BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA PELEPASAN HAK DENGAN GANTI RUGI YANG LAHIR AKIBAT WANPRESTASI HUTANG PIUTANG A. Tinjauan Umum Akta Otentik dan Akta dibawah tangan Pengertian akta menurut Sudikno Mertokusumo adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.133Menurut R. Subekti, akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. 134 Menurut ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan“. Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa akta terdiri atas 2 (dua) macam akta yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh pemerintah menurut peraturan perundang-undangan.Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau atau orang-orang yang mendapatkan hak daripadanya. Dengan kata lain, isi akta otentik dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak hal 149. 133 Sudikno mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Lyberti,, 1981), 134 R.Subekti,Hukum Pembuktian, (Jakarta :PT. Pradya Paramita, 1991), hal. 89. A.Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, (Bandung : Alumni, 1993), hal 3. 135 Universitas Sumatera Utara dapat dibuktikan. Menurut R. Subekti bawa akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dapat dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.135Apabila ada akta yang batal sebagai akta otentik, maka akta tersebut masih berfungsi sebagai akta di bawah tangan, apabila akta tersebut akta tersebut ditandatangani oleh para pihak, sepanjang berubahnya status dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan tersebut tidak mendatangkan kerugian, maka Notaris tersebut tidak bisa dituntut, sekalipun Notaris tersebut akan kehilangan nama baiknya. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris terbagi menjadi 2 bentuk yaitu pertama akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta pejabat/akta relaas merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang/para pihak yang namanya diterangkan didalam akta tersebut. Ciri khas dalam akta ini adalah tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung jawabpenuh atas pembuatan akta. 136 Kedua, akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta partij (partij akten).Partij akta adalah akta yang dibuat dihadapan para pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas permintaan dari pihak-pihak yang berkepentingan.Ciri khas pada akta ini adalah adanya komparisi 136 137 R. Subekti, Op.Cit, hal. 48. Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 109. Universitas Sumatera Utara yang menjelaskan kewenangan para pihak yang menghadap Notaris untuk membuat akta.137 Perbedaan antara kedua jenis akta tersebut adalah dalam akta relaas penandatanganan akta bukanlah suatu keharusan, akta tersebut masih dikatakan sah apabila salah satu pihak atau lebih tidak menandatangani akta tersebut selama Notaris menyebutkan alasan pihak tersebut tidak menandatangani akta.Sedangkan dalam akta partij penandatangan oleh para pihak merupakan suatu keharusan yang menyatakan bahwa memang benar yang bersangkutan memberi keterangan dihadapan Notaris. Apabila salah satu pihak/penghadap tidak menandatanganiakta tersebut maka hal ini berarti pihak tersebut tidak menyetujui isi perjanjian tersebut, kecuali tidak menandatangani akta tersebut dikarenakan oleh keterbatasan fisik, misalnya dikarenakan tidak bisa baca tulis, cacat, maupun sakit maka pihak tersebut akan membubuhkan cap jempolnya dan Notaris menerangkan alasan pembubuhan cap jempol tersebut dalam akhir akta. Selain itu perbedaan kedua akta tersebut terletak pada pemberian pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta. Kebenaran isi akta pejabat (ambtelijk akte) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu, sedangkan pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh bahwa akta tersebut akta palsu akan tetapi dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang 138 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 110. Universitas Sumatera Utara bersangkutan yang diuraikan dalam akta itu adalah tidak benar, artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenalkan pembuktian sebaliknya. 138 Menurut Irawan Soerodjo, mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur essensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum dan akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat. 139Pendapat di atas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapanpegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Pengertian dari akta di bawah tangan ini dapat diketahui dari beberapa perundang-undangan sebagai berikut : 1. Pasal 101 ayat b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya 2. Pasal 1874 KUHPerdata, menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, 139 140 ,hal. 56. GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 53. Irawan Soerodjo,Kepastian Hukum Hak atas Tanah di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2003) Universitas Sumatera Utara surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Ciri-ciri akta dibawah tangan yaitu bentuknya yang bebas, pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum, tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya dan dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi dan bukti lainnya.Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan dua orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian. B. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Pembuatan akta otentik yang menjadi dasar dalam pembuatannya yaitu harus adanya keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak.Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran atau nasehat dengan tetap berpijak pada aturan hukum.Ketikasaran atau nasehat Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta otentik, maka tetap isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris. Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta otentik, dalam hal ini tidak berarti pejabat umum dalam hal ini Notaris sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Notaris bukan sebagai pihak atau Universitas Sumatera Utara yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara perdata Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang. Akta Notaris dibuat sesuai kehendak para pihak yang berkepentingan guna memastikan atau menjamin hak dan kewajiban para pihak, kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum para pihak. Akta Notaris pada hakekatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris berkewajiban untuk memasukkan dalam akta tentang apa yang sungguh-sungguh telah dimengerti sesuai dengan kehendak para pihak dan membacakan kepada para pihak tentang isi dari akta tersebut. Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta Notaris.140Akta otentik terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayanya pejabattersebut, maka isi dari akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Dengan kata lain dapatlah dianggap bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya. Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka dan tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu. Maka pembuktian harus dilakukan oleh para pihak 140 Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 45. Universitas Sumatera Utara dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR ditentukan bahwa barang siapa yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus membuktikan. 141 Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat para pihak yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang. Notaris dalam membuat akta harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perundang-undangan.Pasal 1869 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu akta yang dibuat di hadapan pejabat yang tidak berwenang itu, bukanlah suatu akta otentik melainkan hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan apabila para pihak telah menandatangani.Akta di bawah tangan dibuat oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari seorang pejabat umum. 141 Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, (Yogyakarta: Liberty, 1993) , hal. 121. Universitas Sumatera Utara Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat menurut bentuk dan tata cara sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu KUHPerdata, UUJN dan UU perubahan atas UUJN, jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan , maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Akta Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian, dalam hal ini ada 3 (tiga) nilai pembuktian, yaitu kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskrcht).142 Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) adalah kemampuan lahiriah akta Notaris yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant seseipsa).Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah.Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tandatangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta akta dan salinan dan adanya 142 Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 26. Universitas Sumatera Utara awal akta(mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Menurut R. Soegondo kemampuan lahiriah akta ialah syarat-syarat yang diperlukan agar supaya sesuatu akta Notaris dapat berlaku sebagai akta otentik.143 Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht) adalah akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap.144Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang dilakukan.Dengan kata lain pihakyang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun. 145 Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht) menurut R. Soegondo adalah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak 143 R. Soegondo, Op. Cit, hal. 55. R. Soegondo, Loc.Cit. 145 Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 27. 144 Universitas Sumatera Utara dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).146Akta otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan bahwa apa yang ditulis pada akta tersebut, tetapi juga menerangkan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis adalah benar-benar terjadi. Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut.Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris dalam hal ini dapat dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat menurut bentuk dan tata cara sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang yaitu KUHPerdata dan UUJN, jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Mengacu pada penjelasan diatas artinya bahwa syarat akta Notaris sebagai akta otentik adalah harus dibuat dengan tata cara maupun prosedur sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat 146 R. Soegondo, Op.Cit, hal. 56. Universitas Sumatera Utara yangberwenang untuk di wilayah kedudukannya. Adapun Irawan Soerodjo mengemukakan bahwa ada tiga unsur syarat formal suatu akta otentik :147 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang 2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum 3. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat. Mengenai pembuatan akta Notaris oleh atau di hadapan Notaris diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berarti bahwa Notaris ikut ambil bagian dalam perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta olehnya, Notaris tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak, Notaris tetap berada di luar para pihak. Suatu saat apabila akta tersebut dipermasalahkan, maka Notaris dapat menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai pembantu tergugat dalam lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana. Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akta Notaris adalah memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, dibuat oleh atau di hadapan Notaris, mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan dibuat berdasarkan ketentuan dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia serta memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. 147 Irawan Soerodjo, Op.Cit, hal. 148. Universitas Sumatera Utara C. Akibat hukum terhadap Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang lahir akibat wanprestasi hutang piutang Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan negara di bidang Hukum Perdata terutama untuk membuat alat bukti otentik (akta Notaris). Dalam pembuatan akta Notaris baik dalam bentuk partij akta maupun relaas akta, Notaris bertanggungjawab supaya setiap akta yang dibuatnya mempunyai sifat otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Kewajiban Notaris untuk dapat mengetahui peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia juga serta untuk mengetahui hukum apa yang berlaku terhadap para pihak yang datang kepada Notaris untuk membuat akta. Hal tersebut sangat penting agar supaya akta yang dibuat oleh Notaris tersebut memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna. Adapun kedudukan akta Notaris dapat dibagi menjadi 5 macam yaitu dapat dibatalkan, batal demi hukum, mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, dibatalkan oleh para pihak sendiri dan dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas praduga sah. Kelima kedudukan akta Notaris tersebut tidak dapat dilakukan secara bersama-sama, tetapi hanya berlaku satu saja. Jika akta Notaris diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum (Negeri) dan telah ada putusan pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta Notaris mempunyai kududukan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta Universitas Sumatera Utara Notaris batal demi hukum, atau akta Notaris dibatalkan oleh para pihak sendiri dengan akta Notaris lagi, maka pembatalan akta Notaris yang lainnya tidak berlaku. Hukum perjanjian memuat adanya akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orangorang tertentu atau yang berkepentingan. Pembatalan karena ada permintaan dari pihak yang berkepentingan, seperti orang tua, wali atau pengampu disebut pembatalan yang relatif atau tidak mutlak. Pembatalan relatif ini dibagi 2 (dua) yaitu pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan orang tertentu dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim menyatakan batal (nietig verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak dipenuhi syarat subjektif (Pasal 1446 KUHPerdata) dan pembatalan oleh hakim, dengan putusan membatalkan suatu perjanjian dengan mengajukan gugatan. Contohnya Pasal 1449 KUHPerdata. Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika syarat suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336KUHPerdata), objektif tidak dipenuhi, maka Universitas Sumatera Utara perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun. Kausa yang halal merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, artinya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan baik. 148 Akta pelepasan hak dengan ganti rugi yang merupakan objek dalam penelitian ini lahir dari perjanjian hutang piutang yang mengandung unsur kuasa mutlak, yaitu pada poin keenam perjanjian hutang piutang tersebut yang menyatakan: “Apabila Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak dapat melunasi hutangnya tersebut kepada Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman sampai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama, maka kedua belah pihak sepakat jaminan yang berupa tanah kebun yang luasnya kurang lebih 200.000 M 2 (dua ratus ribu meter persegi) diserahkan kepada Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman. Dengan demikian, Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak berhak lagi atas kebun tersebut beserta pengelolaannya.” Perjanjian yang terlarang dapat ditinjau dari 3 (tiga) aspek, yaitu: 1) Substansi perjanjian yang terlarang. 148 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik ,(Bandung: PT. Refika Aditama, 2008),hal.170. Universitas Sumatera Utara 2) Pelaksanaan perjanjian yang terlarang. 3) Motivasi atau maksud dan tujuan perjanjian yang terlarang.149 Perjanjian hutang piutang yang menjadi objek penelitian tesis ini merupakan perjanjian yang dilarang oleh undang-undang ditinjau dari substansi perjanjiannya. Dalam kaitannya dengan aspek substansi, karena mengandung pembuatan kuasa mutlak yang objeknya adalah hak atas sebidang tanah sebagai jaminan hutang. Pengalihan barang jaminan kepada kreditur dalam hal debitur wanprestasi atau lalai, dilarang oleh undang-undang yang diatur pada Pasal 1154 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Apabila si berutang tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka tidak diperkenankan si berpiutang memiliki barang yang dijaminkan dalam perjanjian hutang piutang tersebut. Segala perjanjian yang bertentangan dengan hal tersebut adalah batal.150 Perjanjian yang dibuat mengandung pengalihan hak untuk menjamin hutang piutang merupakan bentuk pelanggaran ketertiban umum. Perbuatan hukum ini tidak dapat dianggap sebagai suatu pemberian kuasa secara sukarela dari pemberi jaminan atau debitur, dan perjanjian tersebut menjadi tidak sah dan melanggar ketertiban umum, karena merupakan penyelundupan hukum terhadap larangan yang bersifat memaksa dimana jaminan harus dilakukan melalui pelelangan umum. 151 Ketentuan mengenai eksekusi hak tanggungan diatur pada Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak 149 Ibid, hal.171 Ibid, hal.172 151 Irawan Soerodjo, Op.Cit, hal. 148. 150 Universitas Sumatera Utara Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pasal 20 ayat (1) menyebutkan : Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan : (a). Hak pemegang hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau (b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahulu dari pada krediturkreditur lainnya. Pelelangan secara umum dapat dihindarkan dengan pelunasan hutang yang dijamin dengan hak tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan sampai saat pengumuman untuk lelang belum dikeluarkan. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Selain melalui pelelangan umum, obyek hak tanggungan dapat dilaksankan dibawah tangan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang menyebutkan: Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Pelaksanaan penjualan melalui penjualan di bawah tangan, dilakukan setelah waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan Universitas Sumatera Utara sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) batal demi hukum. Tan Thong Kie dalam bukunya Studi Notariat menyatakan mengenai penjualan barang jaminan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) dengan memakai hak pemegang jaminan yang disebut pelaksanaannya segera (Pasal 1155 KUH Perdata). 2) dengan meminta hakim agar penjualan barang yang dijaminkan dilakukan dengan cara dan perantara hakim (Pasal 1156 ayat (2) KUH Perdata). 3) dengan izin hakim barang yang dijaminkan tetap berada dan menjadi milik pemegang jaminan dengan jumlah yang ditetapkan olehnya, atau 4) dengan memperhitungkan bunga yang dihasilkan barang yang dijaminkan dengan bunga yang terutang.152 Segala penyelesaian yang dilaksanakan dengan “pelaksanaan segera” atau yang diputuskan oleh hakim, berlaku ketentuan bahwa jika harga yang ditentukan oleh hakim lebih tinggi daripada hutang ditambah dengan bunga dan ongkos, maka kelebihannya harus segera diserahkan kepada debitur; sedangkan apabila harga yang 152 Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris ,(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2007),hal.190. Universitas Sumatera Utara ditetapkan hakim lebih rendah daripada hutang, bunga, dan ongkos, maka pemegang jaminan tetap ada tagihan sampai sejumlah kekurangannya, tetapi sebagai kreditur biasa ia tidak memiliki hak utama. Pasal 1156 ayat (2) KUH Perdata menyatakan bahwa: “setelah penjualan barang yang digadaikan terjadi, kreditur berkewajiban memberitahukan hal penjualan itu kepada debitur selambat-lambatnya esok harinya.” Lebih lanjut Pasal 1154 KUH Perdata menegaskan bahwa: “Walaupun kreditur memiliki hak untuk membayar diri sendiri dari hasil penjualan sebagaimana diuraikan di atas, kreditur sekali-kali tidak boleh mengalihkan barang yang menjadi jaminan sebagai barang miliknya sendiri, dengan ketentuan bahwa tiap ketentuan yang bertentangan dengan larangan ini adalah batal demi undang-undang ” Kasus hutang piutang dengan jaminan sebidang tanah yang diteliti dalam tesis ini tidak dilaporkan para pihak sehingga, penulis hanya dapat menganalisis perbuatan yang dilakukan Notaris X ini berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jabatan Notaris, undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini, serta menurut pandangan pihakpihak yang berkompeten dalam hal ini yaitu Pengurus Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Medan. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan pengurus Majelis Pengawas Daerah Kota Medan (MPD KM) menyatakan bahwa apabila ada akta Notaris yang dipermasalahkan oleh para pihak atau yang berkepentingan, maka untuk menyelesaikannya harus didasarkan pada kebatalan dan pembatalan akta Notaris sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada akta- Universitas Sumatera Utara akta yang dibuat oleh Notaris akan dikoreksi oleh hakim pada saat akta Notaris tersebut diajukan ke pengadilan sebagai alat bukti. 153 Alat bukti sah atau yang diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana dan perdata) telah diterima juga alat bukti elektronik atau yang terekam atau yang disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan. Dalam kaitan ini perlu diberi penekanan dan penjelasan terdap alat bukti tertulis dapat berupa tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Secara tertulis tersebut dapat berupa surat (secara umum) dan surat dalam bentuk tertentu serta tata cara pembuatan dengan pejabat yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan dari hakim untuk menyatakan suatu akta Notaris tersebut batal demi hukum, dapat dibatalkan atau akta Notaris tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan-ketentuan pasal-pasal dalam UU perubahan atas UUJN, yang menyebabkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, maka pihak yang merugikan dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga pada Notaris. 154 153 Wawancara dengan Bapak Jonas Marolop Simarmata, Notaris/PPAT Kota Medan, pada tanggal 7 Juni 2016. 154 Ibid, Universitas Sumatera Utara Dalam hal suatu akta Notaris dibatalkan oleh putusan hakim di pengadilan, maka jika menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan, Notaris dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi, sepanjang hal tersebut terjadi disebabkan oleh karena kesalahan Notaris. Namun dalam hal pembatalan akta Notaris oleh pengadilan dengan alasan bukan merupakan kesalahan Notaris, maka para pihak yang berkepentingan tidak dapat menuntut Notaris untuk memberikan ganti rugi. 155 Seorang Notaris baru dapat dikatakan bebas dari pertanggungjawaban hukum apabila akta otentik yang dibuatnya dan atau dibuat dihadapannya telah memenuhi syarat formil. Akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik pada dasarnya terjadinya suatu perkara dimana pejabat umum telah mencari-cari keuntungan serta menyalahgunakan kewenangan yang telah diatur dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN dan seorang klien atau penghadap lainnya merasa dirugikan atas terbuatnya suatu akta yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris, sehingga berakibat akta otentik yang dibuat oleh Notaris dapat menjadi batal atau dapat dibatalkan.156 Mengenai pembatalan akta adalah menjadi kewenangan hakim perdata, yakni dengan mengajukan gugatan secara perdata kepengadilan. Apabila dalam persidangan dimintakan pembatalan akta oleh pihak yang dirugikan (pihak korban) maka akta Notaris tersebut dapat dibatalkan oleh hakim perdata jika ada bukti lawan. 155 Ibid, Wawancara dengan Bapak Cipto Sunaryo, Ketua Dewan Kehormatan Daerah Ikatan Notaris Indonesia Kota Medan, pada tanggal 23 Mei 2016. 156 Universitas Sumatera Utara Sebagaimana diketahui bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna. Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan yakni diajukannya gugatan untuk menuntut pembatalan akta ke pengadilan agar akta tersebut dibatalkan. Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undangundang memberikan waktu terbatas dalam hal menuntut dimana oleh undang-undang dapat dilakukan pembatalan apabila hendak melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian dalam suatu putusan oleh hakim perdata selama tidak dimintakan pembatalan maka perbuatan hukum/perjanjian yang tercantum dalam akta tersebut akan tetap berlaku atau sah. Setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan penuntutan pembatalan akta tersebut maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti yang otentik karena mengandung cacat secara yuridis/cacat hukum, maka dalam amar putusan hakim perdata akan menyatakan bahwa akta tersebut batal demi hukum. Dan berlakunya pembatalan akta tersebut adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat. 157 Pembatalan terhadap suatu akta otentik dapat juga dilakukan oleh Notaris apabila para pihak/penghadap menyadari adanya kekeliruan atau kesalahan yang telah dituangkan dalam akta tersebut. Sehingga dapat membuat keraguan terhadap kesepakatan/perjanjian dari para pihak/penghadap, maka akta tersebut dapat 157 Wawancara dengan Bapak Jonas Marolop Simarmata, Notaris/PPAT Kota Medan, pada tanggal 7 Juni 2016. Universitas Sumatera Utara dibatalkan oleh Notaris. Bilamana Notaris terseret dalam perkara pemalsuan akta yang menjadi aktor intelektualnya atau Notaris turut serta ikut melakukan pemalsuan surat yang bisa dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana tersebut maka secara yuridis tidak dapat ditolelir bukan hanya berdasarkan ketentuan pidana saja, tetapi juga oleh peraturan dalam KUHPerdata serta UUJN dan undang-undang perubahannya.158 Akibat hukum ini juga telah sejalan dengan konsep perlindungan hukum yang dikemukan Satijipto Raharjo yang menjelaskan bahwa perlindungan hukum memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Serta bahwa perlindungan hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Sesuai dengan pengertian konsep perlindungan hukum yang dikemukan oleh para sarjana maka akibat hukum berupa pembatalan akta otentik dapat melindungi para pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam proses pembuatan akta otentik. Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan telah sejalan dengan teori kewenangan dan konsep perlindungan hukum. Seperti dikemukakan dalam teori kewenangan, Notaris dalam membuat akta otentik termasuk dalam kewenangan secara atribusi, berdasarkan 158 Ibid, Universitas Sumatera Utara ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU perubahan atas UUJN. Terjadinya suatu akibat hukum yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan dan akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Notaris, dimana Notaris dalam menjalakan wewenangnya telah melanggar ketentuan perundangundangan yang mengakibatkan kerugian bagi para pihak dan mengakibatkan berubahnya kekuatan pembuktian akta dan adanya pembatalan akta otentik tersebut oleh pengadilan. Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya keotentikkan akta tersebut dan menjadi akta dibawah tangan sesuai dengan ketentuan Pasal 41 UU perubahan atas UUJN serta akta otentik tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu akta otentik harus memuat ketiga unsur tersebut di atas (lahiriah, formil dan materiil) atau salah satu unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang kemudian dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Sehingga dalam menjalankan jabatannya seorang Notaris harus tunduk pada ketentuan undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh dan dihadapan Notaris sesuai dengan prosedur dan tata cara pembuatan akta otentik agar keotentikannya tidak menjadi akta di bawah tangan atau akta tidak sampai dibatalkan. Universitas Sumatera Utara BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA PELEPASAN HAK DENGAN GANTI RUGI YANG LAHIR AKIBAT WANPRESTASI HUTANG PIUTANG A. Hubungan Hukum antara Para Penghadap dengan Notaris dalam Akta yang dibuatnya Hubungan hukum antara para penghadap dengan Notaris terjadi ketika para penghadap datang ke notaris agar tindakan atau perbuatannya diformulasikan ke dalam akta otentik sesuai dengan kewenangan notaris, dan kemudian notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam hal ini memberikan landasan kepada notaris dan para penghadap telah terjadi hubungan hukum. Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut. 159 Notaris dalam menjamin pembuatan akta otentik, yang harus sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan, maka notaris mengklasifikasikan 3 (tiga) subyek hukum, yaitu: para penghadap, para saksi, dan Notaris. Subjek hukum ini juga harus memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 39 UUJN yaitu: 159 Habib Adjie, Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang Kenotariatan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal.57. Universitas Sumatera Utara 1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. cakap melakukan perbuatan hukum. 2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. 3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta. Kedudukan para penghadap atau para pihak dalam suatu akta notaris dapat dibedakan dalam 3 (tiga) hal : 1. Para penghadap atau para pihak bertindak untuk dirinya sendiri. Apabila pihak yang berkepentingan hadir dan memberikan suatu keterangan dan atau kehendaknya untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dituangkan oleh notaris dalam suatu akta notaris dihadapan notaris dan saksi-saksi. Kemudian dalam akta tersebut juga dinyatakan bahwa penghadap datang dan meminta kepada notaris untuk dibuatkan akta tersebut guna kepentingan para penghadap dan akta tersebut menjadi bukti telah terjadinya perbuatan hukum dan diharapkan akta tersebut menjadi bukti telah terjadinya perbuatan hukum dan diharapkan akta tersebut dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para penghadap yang berkepentingan, ahli warisnya maupun pihak lain. Universitas Sumatera Utara 2. Para penghadap atau para pihak bertindak untuk mewakili orang lain berdasarkan surat kuasa maupun ketentuan undang-undang. Hal ini dimungkinkan apabila pihak yang berkepentingan tidak dapat hadir sendiri dihadapan notaris, namun demikian undang-undang memberikan syarat bahwa penghadap harus membawa surat kuasa dan bukti-bukti otentik yang menjadi dasar pelimpahan kewenangan pembuatan akta tersebut. 3. Para penghadap atau para pihak bertindak dalam jabatannya dan atau kedudukannya berdasarkan ketentuan undang-undang. Pihak yang hadir dan menandatangani akta dihadapan notaris dalam hal ini bertindak dalam jabatannya atau kedudukannya berdasarkan undang-undang, bukan atas dasar keinginannya ataupun kepentingannya sendiri tetapi untuk mewakili pihak lain. Mengenai ketentuan para saksi diatur dalam Pasal 40 UUJN, yaitu: 1) Setiap akta yang dibacakan oleh notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain; 2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; b. cakap melakukan perbuatan hukum; c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan Universitas Sumatera Utara e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. 3) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada notaris oleh penghadap. 4) Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta. Kedudukan saksi dalam pembuatan akta adalah sebagai saksi yang bertanggungjawab sebatas pada formalitas-formalitas peresmian akta/ proses suatu akta, akan tetapi saksi akta tersebut tetap dimintakan kesaksiannya. Dengan kondisi tersebut, saksi dalam akta notaris merasa tertekan harus memberikan keterangan tentang isi/materi akta yang memang bukan tanggung jawabnya. Tanggung jawab saksi yaitu melihat kehadiran penghadap, kebenaran penghadap membubuhkan tanda tangan serta melihat dan mendengar akta tersebut dibacakan oleh notaris. Jika akta tersebut tersandung dalam masalah hukum, maka saksi dapat memberikan kesaksian dalam pengadilan yang berkaitan dengan tanggung jawabnya. Saksi dihadirkan dalam persidangan untuk memberikan kesaksian sebatas tanggung jawabnya dalam melaksanakan kewajibannya yakni dalam melaksanakan perintah atau tugas yang diberikan oleh notaris. Dari sifat kedudukannya sebagai saksi, maka para saksi turut mendengarkan pembacaan dari akta itu, juga turut menyaksikan perbuatan atau kenyataan yang dikonstantir itu dan penandatanganan Universitas Sumatera Utara dalam akta itu. Dalam pada itu, para saksi tidak perlu harus mengerti apa yang dibacakan itu, dan bagi mereka tidak ada kewajiban untuk menyimpan isi dari akta itu dalam ingatannya. Saksi tidak bertanggungjawab terhadap isi akta itu. Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa kedudukan saksi sangatlah penting dalam proses penyelesaian sebuah akta. Selain itu juga, saksi dapat membantu Notaris, apabila akta tersebut tersandung dalam permasalahan hukum. Saksi akan diminta pertanggungjawabannya berkaitan dengan melihat bahwa para penghadap hadir pada saat proses peresmian akta, melihat bahwa akta tersebut benar dibacakan dihadapan penghadap oleh Notaris serta bahwa para pihak membubuhkan tanda tangan disertai oleh saksi-saksi.160 B. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta yang dibuatnya Kekuatan pembuktian dan tanggung jawab notaris hanya sebatas formalitasformalitas akta tersebut. Namun, untuk isi dari akta tersebut merupakan tanggung jawab notaris. Notaris seharusnya mengerti isi atau klausul dalam akta tersebut dan telah diketahui oleh para pihak, sehingga terjadi sengketa, saksi hanya menjelaskan apa yang diketahuinya tentang formalitas tersebut. Isi akta tetap menjadi tanggung jawab notaris.161 Ketentuan mengenai notaris diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UUJN, yaitu notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dan dijabarkan dalam Pasal 160 161 G.H.S. Lumban Tobing., Op.,Cit.,hal.170 Habib Adjie., Op.,Cit.,hal 11-12. Universitas Sumatera Utara 15 ayat 1 UUJN yaitu notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Setiap akta yang dibuat oleh notaris disamping harus dihadiri oleh penghadap, juga harus dihadiri dan ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali undang-undang menentukan lain. Sejak kehadiran penghadap dihadapan notaris untuk menuangkan tindakan atau perbuatannya dalam bentuk akta otentik, kemudian notaris membuat akta notaris tersebut sesuai keinginan para penghadap dengan memperhatikan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh UUJN, maka sejak penandatanganan akta tersebut oleh para pihak, saksi-saksi dan notaris, disinilah telah terjadi hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap. 162 Kedudukan notaris dalam pembuatan akta adalah notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut. Dengan hubungan hukum seperti itu, maka perlu ditentukan kedudukan hubungan hukum tersebut yang merupakan awal dari tanggung jawab Notaris. 163 162 163 Agustining., Op.,Cit.,hal 65 Habib Adjie., Op.,Cit.,hal 55. Universitas Sumatera Utara Landasan terhadap hubungan hukum seperti tersebut diatas, perlu ditentukan tanggung gugat notaris apakah dapat berlandaskan kepada wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) atau pemberian kuasa (lastgeving), perjanjian untuk melakukan pekerjaan ataupun persetujuan perburuhan. Hingga sampai saat ini di Indonesia, khususnya di kalangan notaris masih dianut ajaran bahwa pertanggungjawaban notaris dalam hubungannya dengan para pihak yang menghadap, disamping berdasarkan UUJN, juga berdasarkan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. 1. Perbuatan Melawan Hukum Notaris Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelumnya diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan halhal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut: 1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain. 2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. Universitas Sumatera Utara 4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik. 164 Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain adalah melanggar hakhak seseorang yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak yaitu hakhak pribadi (persoonlijkheidsrechten), hak kekayaan (vermosgensrecht), hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan nama baik.165 Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri adalah suatu kewajiban hukum yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupunhukum tidak tertulis. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan adalah tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat meminta ganti kerugian berdasarkan atas perbutan melawan hukum seperti yang terkadung dalam Pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Perbuatan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik atau yang disebut dengan istilah zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum.Jadi, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal-pasal dari hukum yang tertulis mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati164 165 Munir Fuady I, Op.Cit, Hal. 6. Munir Fuady I, Op.Cit, hal. 8. Universitas Sumatera Utara hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat.Keharusan dalam pergaulan masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.166 Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat dijumpai baik dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum Perdata (privat).Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana begitupun melawan Hukum Perdata.Dalam konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan danperbedaan. 167 Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum yang dilanggar.Persamaan berikutnya adalah kedua melawan hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum.Perbedaan pokok antara kedua melawan hukum tersebut, apabila melawan Hukum Pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan.Sementara melawan Hukum Perdata lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies). Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut : 166 167 Munir Fuady I, Loc.Cit. Rosa Agustina, Op.Cit, hal. 14. Universitas Sumatera Utara 1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi. 2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga perbuatan yang merupakan suatu kecelakaan. 3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi. 4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya. 5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual. 6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan. 7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia bukan suatu fisika atau matematika.168 Perbuatan melawan hukum lebih diartikan sebagai sebuah perbuatan melukai (injury) daripada pelanggaran terhadap kontrak (breach of contract).Apalagi perbuatan melawan hukum umumnya tidak didasari dengan adanya hubungan hukum kontraktual. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ada 4 unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yaitu : 168 Munir Fuady,Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 4. Universitas Sumatera Utara 1. Adanya Perbuatan Melawan Hukum Dikatakan perbuatan melawan hukum, tidak hanya hal yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga jika berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang memenuhi salah satu unsur berikut yaitu berbertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan keharusan (kehati-hatian, kepantasan, kepatutan) yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. 2. Adanya unsur kesalahan Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku. 3. Adanya kerugian Yaitu kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum tidak hanya dapat mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. 4. Adanya hubungan sebab akibat Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk meneliti adalah hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga si pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang Notaris dapat mencakup ranah bidang perdata, administrasi, kode etik profesi Notaris dan ranah Universitas Sumatera Utara bidang pidana. Adapun perbuatan melawan hukum dalam ranah bidang perdata diatur dalam buku III Pasal 1352 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum berasal dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan melawan hukum murni merupakan akibat pelanggaran perbuatan manusia yang sudah ditentukan sendiri oleh undang-undang. Sedangkan ranah bidang pidana yaitu seorang Notaris dapat dikenakan tindakan pidana atas perbuatan yang melanggar ketentuan dari kaedah peraturan larangan yang diterbitkan oleh negara. Hukum Pidana adalah suatu kumpulan uturan yang berkaitan langsung dengan ketertiban umum. Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undangundang sehingga sifatnya terbatas Ranah bidang administrasi dan kode etik yaitu diberikan batasan seorang Notaris diketegorikan melanggar ketentuan UUJN, UU perubahan atas UUJN dan kode etik Notaris secara formil atau perdata (law of tort) atas apa yang mereka lakukan terkait dengan tindakan-tindakan Notaris. Seperti penambahan, pengurangan, pencoretan, pengubahan akta tidak sesuai prosedur dengan tidak dilakukan tidak dihadapan dua saksi, Notaris/saksi yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, Notaris mempunyai hubungan darah dengan salah satu atau para penghadap. Notaris melakukan perbuatan melawan hukum juga dapat didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu. Kesalahan Notaris dalam membuat Universitas Sumatera Utara akta sehingga menyebabkan pihak lain mengalami kerugian dapat termasuk perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Adapun syarat perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum yaitu adanya perbuatan, yang melawan hukum, harus ada kesalahan dan harus ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban sekaligus sebagai anggota dari perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya. Kewajiban dan larangan Notaris diatur dalam UU perubahan atas UUJN (Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 17) serta Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) yaitu Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Notaris sebagai anggota organisasi profesi Notaris memiliki kewajiban dan larangan yang diatur dalam suatu kode etik jabatan Notaris, serta kode etik tersebut memiliki sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan dalam kode etik jabatan Notaris tersebut. Kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris. Selain kewajiban Notaris yang diatur dalam Kode Etik Notaris, ada hal lain mengenai beberapa larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya yang disebutkan dalam Pasal 4 Kode Etik Notaris. Apabila Notaris melanggar ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas Notaris telah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dalam ranah Hukum Universitas Sumatera Utara Administrasi dan melanggar ketentuan kode etik jabatan Notaris yang berlaku. Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat juga terjerat dalam kasus atau perkara yang diakibatkan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan seorang Notaris dalam proses pembuatan akta otentik, dalam ranah Hukum Pidana diantaranya dapat berupa pemalsuan dokumen atau surat yang diatur dalam ketentuan Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP. Notaris juga dapat dikatakan melakukan penggelapan apabila melanggar ketentuan Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP. Pasal 372 yang menyatakan bahwa : Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Sedangkan penjelasan dari Pasal 374 KUHP yang menyatakan bahwa Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Selain itu perbuatan Notaris dapat dikategorikan dalam ranah pidana apabila seorang Notaris memberikan keterangan palsu di bawah sumpah yang diatur dalam ketentuan Pasal 242 KUHP . Adapun contoh pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh Notaris misalnya Notaris memalsukan surat setoran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan(BPHTB) dan surat setoran pajak (SSP). Sedangkan contoh penggelapan yang dilakukan oleh Notaris yaitu penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien. Universitas Sumatera Utara 2. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta yang melanggar Perbuatan Melawan Hukum Hubungan hukum antara para penghadap dengan notaris dapat dimasukkan atau dikualifikasikan dalam bentuk sebuah wanprestasi jika terjadi hubungan hukum secara kontraktual, misalnya para penghadap memberi kuasa untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu untuk dan atas nama pemberi kuasa. Hubungan hukum dalam bentuk perbuatan melawan hukum yaitu tidak adanya hubungan kontraktual antara satu pihak dengan pihak lainnya. Perbuatan melawan hukum dapat terjadi satu pihak merugikan pihak lain tanpa adanya suatu kesengajaan tetapi dapat menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.169 Notaris sepanjang melaksanakan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan yang berlaku dan telah memenuhi semua tata cara dan persyaratan dalam pembuatan akta dan isi akta telah sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap, maka berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, yaitu: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” tidak mungkin untuk dilakukan. Perbuatan melanggar hukum merupakan perbuatan yang menimbulkan kerugian, dan secara normatif perbuatan tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Bentuk tanggung gugat yang dianut oleh Pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata ini adalah tanggung gugat 169 Ibid., Universitas Sumatera Utara berdasarkan kesalahan (liability based fault). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal tersebut yang mensyaratkan adanya kesalahan pada pelaku untuk sampai pada keputusan apakah perbuatan seseorang itu merupakan perbuatan melanggar hukum. Selain itu perlu dipahami bahwa unsur kesalahan itu harus dibuktikan oleh pihak yang menderita kerugian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1865 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan 163 HIR. 170 Perbuatan melanggar hukum, yang dimaksud dalam perbuatan melanggar hukum oleh notaris, tidak hanya perbuatan yang langsung melanggar hukum, melainkan juga perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan lain, yang dimaksud dengan peraturan lain adalah peraturan yang berada dalam lapangan kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun dalam masyarakat yang dilanggar,171 Dalam kasus ini, maka terhadap Notaris yang aktanya cacat hukum, maka Notaris yang bersangkutan telah menyalahi ketentuan Pasal 15 UUJN, yang dikaitkan dengan Pasal 1865 Kitab Undang Undang Hukum Perdata Jo Pasal 1870 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Selain pengertian tentang perbuatan melanggar hukum seperti tersebut di atas, maka sejak dijatuhkannya putusan dalam perkara Max Lindenbaum vs Samuel Cohen pada tahun 1919, terdapat empat kriteria perbuatan melanggar hukum, dan keempat kriteria tersebut adalah: 1. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 170 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2011), hlm.179. 171 R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum dipandang dari sudut hukum perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal 6-7. 167 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2011), hlm.180. Universitas Sumatera Utara 2. melanggar hak subjektif orang lain; 3. melanggar kaidah tata susila; dan 4. bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. 172 Untuk adanya suatu perbuatan melanggar hukum tidak disyaratkan adanya keempat kriteria itu secara kumulatif, namun terpenuhinya salah satu kriteria secara alternatif, sudah cukup terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan melanggar hukum. Apabila hal tersebut terjadi, maka tuntutan terhadap notaris terjadi dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga berdasarkan adanya: 1) Hubungan hukum yang khas antara notaris dengan para penghadap dengan bentuk sebagai perbuatan melawan hukum. 2) Ketidakcermatan, ketidaktelitian dan ketidaktepatan dalam: a) Teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN b) Penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan menguasai keilmuan bidang notaris secara khusus dan hukum pada umumnya.173 Notaris sebelum diminta pertanggungjawaban dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, maka terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa: a. adanya diderita kerugian; b. kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari notaris terdapat hubungan kausal; dan c. pelanggaran atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada notaris yang bersangkutan. 174 173 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm.103-104. 174 Ibid., Universitas Sumatera Utara Hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, karena dalam hubungan hukum tersebut terdapat ciri hubungan dengan karakter: 1) tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam bentuk pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaanpekerjaan tertentu; 2) mereka yang datang ke hadapan notaris, dengan anggapan bahwa Notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik; 3) hasil akhir dari tindakan notaris berdasarkan kewenangan notaris yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri; dan 4) Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan. 175 C. Tanggung Jawab Notaris Dalam Membuat Akta PHGR yang Lahir Akibat Wanprestasi Hutang Piutang Pada dasarnya hukum memberikan beban tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, hukum sendiri memberikan batas-batas atau rambu-rambu tanggung jawab notaris, sehingga tidak semua kerugian ditanggung oleh notaris akan tetapi harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu pihak manakah yang melakukan pelanggaran. Atmadja berpendapat pertanggungjawaban adalah suatu kebebasan bertindak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan, tetapi pada akhirnya tidak dapat melepaskan diri dari kebebasan bertindak, berupa penuntutan untuk melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya. Pandangan tersebut bersesuaian dengan batasan Ensiklopedia Administrasi yang mendefenisikan responsibility sebagai 175 Ibid.,hal.102. Universitas Sumatera Utara keharusan seseorang untuk melaksanakan secara layak apa yang telah diwajibkan kepadanya.176 Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan profesinya wajib mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya tersebut.Besarnya tanggung jawab Notaris dalam menjalankan profesinya mengharuskan Notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat merugikan pihak lain. Tugas seorang Notaris adalah membuat suatu akta otentik yang diinginkan oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Tanpa adanya suatu permintaan dari para pihak maka Notaris tidak akan membuatkan suatu akta apapun. Notaris dalam membuat suatu akta harus berdasarkan keterangan atau pernyataan dari para pihak yang hadir dihadapan Notaris, kemudian Notaris menuangkan keteranganketerangan/penyataan-pernyataan tersebut kedalam suatu akta, dimana akta tersebut telah memenuhi ketentuan secara ilmiah, formil dan materiil dalam pembuatan akta otentik. Serta Notaris dalam membuat akta tersebut harus berpijak pada peraturan hukum atau tata cara prosedur pembuatan akta. Selain itu Notaris juga berperan dalam hal memberikan nasehat hukum yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para pihak yang membutuhkan jasa seorang Notaris.Seandainya 176 Sutarto, Encylopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta, hal.291. Universitas Sumatera Utara nasehat hukum yang diberikan oleh Notaris kepada para pihak kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta maka hal tersebut tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak sebagai keterangan atau pernyataan Notaris. Seorang Notaris dapat secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Jika hal ini dilakukan, selain merugikan Notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, diberi sambutan sebagai orang yang senantiasa melanggar hukum.177 Aspek yang dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh Notaris harus diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan menurut UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan UUJN, tetapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut, lebih baik memintapendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, yaitu dari organisasi jabatan Notaris.Ancaman sanksi yang demikian itu dimaksudkan agar dalam menjalankan tugas dan jabatannya, seorang Notaris dituntut untuk dapat bertanggungjawab terhadap diri, klien, dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun tanggung jawab hukum seorang Notaris dalam menjalankan profesinya menurut Lanny Kusumawati digolongkan dalam 2 (dua) bentuk yaitu : 177 Habib Adjie I, Op.Cit. hal. 124. Universitas Sumatera Utara 1. Tanggung jawab Hukum Perdata yaitu apabila Notaris melakukan kesalahan karena ingkar janji sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata atau perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Terhadap kesalahan tersebut telah menimbulkan kerugian pihak klien atau pihak lain. 2. Tanggung jawab Hukum Pidana bilamana Notaris telah melakukan perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang atau melakukan kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena sengaja atau lalai yang menimbulkan kerugian pihak lain.178 Selain adanya tanggung jawab Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan tugas dan jabatannya, juga dikenakan tanggung jawab administrasi dan tanggungjawab terhadap kode etik jabatan Notaris.Tanggung jawab administrasi, perdata dan kode etik Notaris dengan dikenai sanksi yang mengarah pada perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, sedangkan pertanggungjawaban pidana yang dikenai sanksi pidana menyasar pada pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut. Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat reparatoir atau korektif artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh yang bersangkutan ataupun oleh Notaris lain. Regresif berarti segala sesuatunyadikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya pelanggaran.Dalam aturan hukum tertentu, disamping dijatuhi sanksi adminstratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara komulatif) yang bersifat comdemnatoir (punitif) atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN.Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum. 179 hal .49. 178 Lanny Kusumawati,Tanggung jawab Jabatan Notaris, (Bandung,:Refika Aditama, 2006), 179 Ibid, hal.123‐124. Universitas Sumatera Utara Menurut Hermin Hediati Koeswadji, suatu delik atau pebuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut mempunyai unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang dapat berupa suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan.Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum. Kedua mempunyai unsur subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia. Unsur subjektif dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid) dan kesalahan (schuld).180 Batasan-batasan pemidanaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Notaris adalah berupa ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN.Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang 180 Liliana Tedjosapatro, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, (Semarang: CV Agung, 1991) hal. 51. Universitas Sumatera Utara berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.181 Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasanbatasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP.Apabila tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian dari Majelis Pengawas Daerah bukan suatu pelanggaran.Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan kode etik jabatan Notaris. Bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik harus dapat dipertanggungjawabkan dengan penuh tanggung jawab serta memuat rasa keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat perbuatan Notaris serta keadilan bagi Notaris itu sendiri.Hal ini sejalan dengan konsep tujuan hukum menurut Gustav Radbruch yang mengarahkan pertanggungjwaban yang diberikan terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik sesuai dengan tujuan hukum yaitu yang lebih diutamakan memberikan keadilan bagi pihak yang dirugikan selajutnya memberikan manfaat dan selanjutnya menjamin adanya kepastian hukum. 181 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 124‐125. Universitas Sumatera Utara Sedangkan dalam teori keadilan menurut Hans Kelsen yang menyatakan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. Dari teori tersebut dapat dijelaskan bahwa tujuan dari pertanggungjawaban seorang Notaris yaitu untuk memberikan rasa adil bagi para pihak maupun bagi Notaris sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik. Demikian pula dengan bentuk pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik telah sesuai dengan teori pertanggujawaban yang dikemukan oleh Kranenburg dan Vegtig dalam teori fautes personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian.Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. Sehingga disini Notaris berdasarkan teori pertanggungjawaban tersebut Notaris bertanggungjawab secara pribadi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya dalam pembuatan akta otentik. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bentuk pertangggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik adalah seorang Notaris dapat dikenakan pertanggungjawaban secara perdata berupa sanksi untuk melakukan penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris., Pertanggungjawaban secara administrasi berupa pemberian sanksi teguran lisan, Universitas Sumatera Utara teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai seorang Notaris.Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi Notaris berupa pemberian sanksi teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing), pemecatan (Onzetting) dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.Sedangkan pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat berupa pemberian sanksi pidana penjara atau kurungan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.Hal-hal tersebut berdasarkan temuantemuan dalam yurisprudensi mengenai pertanggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. Terkait dengan perbuatan yang dilakukan Notaris X, sampai saat ini MPD KM belum mengetahuinya sehingga sangat sulit untuk menindaklanjuti lebih jauh mengenai kasus ini.182 Disamping itu, yang menjadi kendala dalam proses penyelesaian Notaris X adalah MPD KM belum mendapat pengaduan dari para pihak dalam perjanjian hutang piutang yang diikuti dengan Akta pelepasan hak dengan ganti rugi tersebut, sehingga MPD KM tidak dapat menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan terhadap Notaris X tersebut. Dalam hal ini, MPD KM memiliki kewenangan yang terbatas untuk memberikan sanksi yang tegas kepada Notaris X yang apabila nantinya diperiksa terbukti melakukan perbuatan yang melanggar UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris. MPD KM mempunyai kewenangan untuk memberikan sanksi lisan 182 Wawancara dengan Bapak Cipto Sunaryo, Ketua Dewan Kehormatan Daerah Ikatan Notaris Indonesia Kota Medan, 23 Mei 2016. Universitas Sumatera Utara dan tertulis. Sanksi lisan dan tertulis tidak dapat memberikan efek jera bagi notaris yang melakukan pelanggaran yang merugikan pihak secara materil dan immaterial. Bahkan banyak terjadi kasus yang serupa dengan kasus Notaris X, akan tetapi undang-undang belum mampu memberikan sanksi yang berat terhadap Notaris. Seharusnya UUJN dapat melakukan perubahan-perubahan dengan memberatkan sanksi terhadap notaris dan mengatur secara tegas mengenai sanksi pidana terhadap notaris. Dalam UUJN tidak memberikan kepada MPD untuk menjatuhkan sanksi apapun terhadap notaris, hanya MPW dan MPP yang berwenang memberikan sanksi teguran lisan dan tertulis serta putusan tersebut bersifat final. MPD tidak mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi apapun. Meskipun MPD mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan tugas jabatan notaris, tapi tidak diberikan kewenangannya untuk menjatuhkan sanksi apapun. MPD dalam hal ini hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada Majelis Pengawas Wilayah dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris. MPW dapat menjatuhkan sanksi berupa sanksi teguran lisan atau tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final. Disamping itu, mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan notaris selama 3 (tiga) bulan sampai 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan notaris. Menurut Pasal 77 huruf c UUJN, Majelis Universitas Sumatera Utara Pengawas Pusat berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan notaris. MPP hanya berwenang untuk mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan pemberhentian tidak hormat dari jabatannya dengan alasan tertentu berdasarkan ketentuan Pasal 12 UUJN kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sanksi teguran lisan sampai pemberhentian tidak hormat adalah kewenangan dari MPW dan MPP. Lemahnya pengaturan hukum dan terbatasnya pemberian kewenangan terhadap MPD menjadi salah satu yang menyulitkan proses penyelesaian terhadap kasus Notaris X dan kasus yang sama lainnya yang belum dilaporkan oleh masyarakat. MPD KM menyarankan: 1. Adanya pengaturan hukum yang kuat sebagai dasar hukum terhadap kewenangan terhadap MPD yang dapat memberikan sanksi yang tegas terhadap notaris yang melakukan pelanggaran. 2. Perlunya pemberlakuan BPN online secara efektif sehingga dapat membantu MPD maupun para pihak untuk memonitor pekerjaan dari seorang notaris. Tidak adanya laporan dari pihak yang merasa dirugikan dalam perjanjian hutang piutang yang diikuti Akta pelepasan hak dengan ganti rugi ini mengakibatkan lambatnya proses penyelesaian kasus Notaris X. Akan tetapi, MPD KM akan berupaya untuk menyelesaikan kasus ini dengan melakukan pemeriksaan lebih teliti Universitas Sumatera Utara lagi terhadap para notaris di wilayah Kota Medan sehingga kewajiban-kewajiban notaris X selaku pejabat publik dapat dipenuhi dan siap mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu, penulis dalam hal ini hanya membahas pertanggungjawaban notaris X terkait pembuatan perjanjian hutang piutang yang diikuti dengan perjanjian pelepasan hak dengan ganti rugi dengan melakukan analisisterhadap UUJN, UU perubahan atas UUJN, dan dengan Kode Etik Notaris. Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tunduk dan patuh pada UUJN.Oleh karena itu apabila Notaris melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, Notaris diancam sanksi sebagaimana tertuang dalam UUJN. Sanksi terhadap Notaris dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau aktamenjadi batal demi hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 UU perubahan atas UUJN. Selain sanksi perdata, juga ditentukan sanksi adminstrasi yaitu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, sampai pemberhentian dengan tidak hormat, sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal dalam UU perubahan atas UUJN.183 Selain itu, Notaris juga masih harus menghadapi ancaman sanksi berupa sanksi etika jika Notaris melakukan pelanggaran terhadap kode etik jabatan Notaris, dan bahkan dapat dijatuhi sanksi pidana. Namun demikian, sanksi pidana terhadap 183 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 91‐92. Universitas Sumatera Utara Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatannya, dan tunduk pada ketentuan pidana umum yaitu KUHP, UUJN dan UU perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk Notaris. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi yaitu perbuatan Notaris harus memenuhi rumusan perbuatan itu dilarang oleh undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan Notaris tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik formil maupun materiil. Secara formal disini sudah dipenuhi karena sudah memenuhi rumusan dalam undang-undang, tetapi secara materiil harus diuji kembali dengan kode etik, UUJN dan UU perubahan atas UUJN. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Legalitas Akta PHGR yang lahir akibat wanprestasi hutang piutang tidak sah dan batal demi hukum karena melanggar sumber hukum formal yakni: undang-undang yang berlaku dan beberapa yurisprudensi hukum. Akta PHGR yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris X lahir akibat ketidaksanggupan si berutang (debitur) membayar hutangnya kepada si berpiutang (kreditur) sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati dalam Perjanjian hutang piutang yang disahkan penandatanganannya dihadapan Notaris X.Perjanjian Hutang Piutang tersebut berdasarkan Ketentuan Hukum Perdata telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Akan tetapi, tidak serta merta menjadikan perjanjian itu memiliki legalitas yang kuat. Isi dari perjanjian hutang piutang yang disahkan penandatanganannya dihadapan Notaris X tersebut telah melanggar Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 Tentang larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai dasar pemindahan hak atas tanah,melanggar dalil (adagium) yang termaktub dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1440 K/Pdt/1996 tanggal 30 Juni 1998 yang menyatakan suatu perjanjian hanya boleh berisi satu perbuatan hukum, melanggar Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3438 K/Pdt/1985 Tanggal 9 Universitas Sumatera Utara Desember 1987 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hutang piutang dengan jaminan sebidang tanah tidak dapat begitu saja menjadi perbuatan hukum jual beli tanah manakala si debitur tidak melunasi hutangnya, melanggar Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2817 K/Pdt/1994 tentang jual beli yang dilakukan dengan dasar kuasa mutlak maka tidak sah dan batal demi hukum, serta Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 17 K/Sip/1959 yang menyatakan bahwa jual beli yang ditinjau dalam keseluruhan mengandung ketidakberesan, seperti orang-orangnya, tidak meyakinkan secara materil dan tidak adanya persetujuan kehendak yang bebas. 2. Akibat hukum terhadap akta PHGR yang lahir akibat wanprestasi hutang piutang yang penulis teliti adalah masih belum dapat dipastikan penyelesaiannya karenaMajelis Pengawas Daerah Kota Medan tidak mendapat laporan dari para pihak terkait kasus tersebut sehingga penulis hanya dapat menganalisis perbuatan yang dilakukan Notaris X ini berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jabatan Notaris, undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini, serta menurut pandangan pihak-pihak yang berkompeten dalam hal ini yaitu Pengurus Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Medan. Kewenangan dari hakim untuk menyatakan suatu akta Notaris tersebut batal demi hukum, dapat dibatalkan atau akta Notaris tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Universitas Sumatera Utara 3. Pertanggungjawaban Notaris X dalam pembuatan Akta PHGR yang lahir akibat wanprestasi hutang piutang yang diteliti dalam tesis ini belum dapat dimintai pertanggungjawabannya karena, temuan kasus yang diteliti penulis dalam tesis ini belum dilaporkan kepada Majelis Pengawas Daerah Kota Medan sehingga sulit untuk menindaklanjuti lebih jauh kasus ini. Akan tetapi, berdasarkan kajian yuridis terkait pelanggaran hukum atas pembuatan akta yang dilakukan oleh Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban berupa sanksi perdata, pidana, dan sanksi administratif. B. Saran 1. Hendaknya para pengemban profesi Notaris dan para pihak terhindarkan dari segala resiko baik berupa sanksi maupunbatalnyasuatuakta, maka Notaris dan para pihak harus memiliki sifat kehati-hatian, lebih teliti dan memiliki itikad baik dalam pembuatan akta otentik serta mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dan berlandaskan pada moral dan etika. 2. Hendaknya Majelis Pengawas Daerah Khususnya MPD Kota Medan lebih teliti dan cermat dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap akta-akta yang dibuat dan dilaporkan Notaris setiap bulannya. Hal ini untuk mengetahui dan mencegah adanya pelanggaran terhadap tugas dan wewenang Notaris dalam menjalankan profesinya. 3. Hendaknya Pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif merekonstruksi kembali pengaturan Universitas Sumatera Utara dalam UUJN mengenai penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris, karena pengaturan penggabungan penerapan sanksi ini tentunya akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak dalam hal perbuatan melawan hukum yang dilakukan para pengemban profesi Notaris. Universitas Sumatera Utara