BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sirkulasi Janin dan Perubahan

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sirkulasi Janin dan Perubahan Setelah Lahir
Tali pusat berisi satu vena dan dua arteri. Vena ini menyalurkan oksigen dan
makanan dari plasenta ke janin. Sebaliknya, kedua arteri menjadi pembuluh balik
yang menyalurkan darah ke arah plasenta untuk dibersihkan dari sisa
metabolisme.
Setelah melewati dinding abdomen, pembuluh vena umbilikalis mengarah
ke atas menuju hati, membagi menjadi 2, yaitu sinus porta ke kanan, yang
memasok darah ke hati, duktus venosus yang berdiameter lebih besar dan akan
bergabung dengan vena kava inferior masuk ke atrium kanan. Darah yang masuk
ke jantung kanan ini mempunyai kadar oksigen yang sama seperti arteri, meski
bercampur sedikit dengan darah dari vena kava.
Darah ini akan langsung mengalir melalui foramen ovale pada septum,
masuk ke atrium kiri dan selanjutnya melalui ventrikel kiri akan menuju aorta dan
seluruh tubuh. Adanya krista dividens sebagai pembatas pada vena kava
memungkinkan sebagian besar darah bersih dari duktus venosus langsung akan
mengalir ke arah foramen ovale. Sebaliknya, sebagian kecil akan mengalir ke arah
ventrikel kanan.
Darah dari ventrikel kanan akan mengalir ke arah paru, tetapi sebagian
besar dari jantung kanan melalui arteri pulmonalis akan dialirkan ke aorta melalui
suatu pembuluh duktus arteriosus karena paru belum berkembang. Darah tersebut
akan bergabung di aorta desending, bercampur dengan darah bersih yang akan
dialirkan ke seluruh tubuh. Darah balik akan melalui arteri hipogastrika, keluar
melalui dinding abdomen sebagai arteri umbilikalis.
Setelah bayi lahir, semua pembuluh umbilikalis, duktus venosus, dan
duktus arteriosus akan mengerut. Pada saat lahir, akan terjadi perubahan sirkulasi,
dimana terjadi pengembangan paru dan penyempitan tali pusat. Akibat
peningkatan tekanan oksigen pada sirkulasi paru dan vena pulmonalis, duktus
Universitas Sumatera Utara
arteriosus akan menutup dalam 3 hari dan total pada minggu kedua.
(Wiknjosastro, 2008).
2.2
Penyakit Jantung Bawaan
2.2.1 Definisi
Menurut Prof. Dr. Ganesja M. Harimurti, Sp.JP (K), FASCC, dokter spesialis
jantung dan pembuluh darah di Rumah Sakit Harapan Kita, mengatakan bahwa
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit yang dibawa oleh anak sejak ia
dilahirkan akibat proses pembentukan jantung yang kurang sempurna. Proses
pembentukan jantung ini terjadi pada awal pembuahan (konsepsi). Pada waktu
jantung mengalami proses pertumbuhan di dalam kandungan, ada kemungkinan
mengalami gangguan. Gangguan pertumbuhan jantung pada janin ini terjadi pada
usia tiga bulan pertama kehamilan karena jantung terbentuk sempurna pada saat
janin berusia 4 bulan. (Dhania, 2009)
2.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab PJB belum diketahui dengan pasti. Sebagian besar kasus dipengaruhi
banyak faktor, terutama kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Beberapa kasus
PJB terkait dengan abnormalitas kromosom, terutama trisomi 21, 13, dan 18 serta
sindrom Turner. (Bernstein, 2007)
Faktor resiko PJB dapat berupa ibu yang tidak mengkonsumsi vitamin B
secara teratur selama kehamilan awal mempunyai 3 kali risiko bayi dengan PJB.
Merokok secara signifikan sebagai faktor risiko bagi PJB 37,5 kali. Faktor risiko
lain secara statistik tidak berhubungan (Harimurti,1996).
2.2.3 Jenis-Jenis Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit Jantung Bawaan dapat dibagi menjadi 2 klasifikasi besar, yaitu PJB
sianotik dan asianotik. (Bernstein, 2007)
Universitas Sumatera Utara
A.
Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Penyakit Jantung Bawaan Asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung
yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat
jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung
dan penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya
lubang di sekat jantung. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis
yang bervariasi dari ringan sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya
kelainan serta tahanan vaskuler paru (Roebiono,2003).
Menurut Soeroso dan Sastrosoebroto (1994), berdasarkan ada tidaknya
pirau, kelompok asianotik terbagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok dengan pirau
dari kiri ke kanan dan kelompok tanpa pirau.
Kelompok dengan pirau kiri ke kanan adalah sebagai berikut:
1. Defek Septum Ventrikel
Defek Septum Ventrikel (DSV) adalah lesi kongenital pada jantung
berupa lubang pada septum yang memisahkan ventrikel sehingga
terdapat hubungan antara antar rongga ventrikel (Ramaswamy, et al.
2009). Defek ini dapat terletak dimanapun pada sekat ventrikel, baik
tunggal atau banyak, serta ukuran dan bentuk dapat bervariasi (Fyler,
1996).
Insidensi DSV terisolasi adalah sekitar 2 – 6 kasus per 1000 kelahiran
hidup dan terjadi lebih dari 20% dari seluruh kejadian PJB. Defek ini
lebih sering terjadi pada wanita daripada pria (Ramaswamy, et al.
2009).
Klasifikasi DSV dibagi berdasarkan letak defek yang terjadi, yaitu:
•
Perimembranasea, merupakan lesi yang terletak tepat di bawah
katup aorta. Defek Septum Ventrikel tipe ini terjadi sekitar
80% dari seluruh kasus DSV (Rao, 2005).
•
Muskular, merupakan jenis DSV dengan lesi yang terletak di
otot-otot septum dan terjadi sekitar 5 – 20% dari seluruh angka
kejadian DSV (Ramaswamy, et al. 2009).
Universitas Sumatera Utara
•
Suprakristal, jenis lesi DSV ini terletak di bawah katup
pulmonalis dan berhubungan dengan jalur jalan keluar
ventrikel kanan. Persentase kejadian jenis DSV jenis ini adalah
5 – 7% di negara-negara barat dan 25% di kawasan timur
(Rao, 2005).
Gejala klinis DSV cukup bervariasi, mulai dari asimtomatis, gagal
jantung berat, ataupun gagal tumbuh. Semua ini sangat bergantung
kepada besarnya defek serta derajat piraunya sendiri, sedangkan lokasi
defek sendiri tidak mempengaruhi derajat ringannya manifestasi klinis
yang akan terjadi (Soeroso and Sastrosoebroto,1994). Pada DSV kecil
dengan pirau kiri-ke-kanan dan tekanan arteri pulmonalis yang normal,
pasien biasanya tidak menunjukkan gejala dan kelainan ditemukan
ketika pemeriksaan fisik. Pada defek berukuran besar dengan
peningkatan aliran darah paru dan hipertensi pulmonalis, pasien dapat
mengalami dispnea, kesulitan makan, gangguan pertumbuhan, infeksi
paru berulang, dan gagal jantung pada awal masa bayi (Bernstein,
2007).
2. Defek Septum Atrium
Defek Septum Atrium (DSA) adalah anomali jantung kongenital yang
ditandai dengan defek pada septum atrium akibat gagal fusi antara
ostium sekundum, ostium primum, dan bantalan endokardial. Defek
Septum Atrium dapat terjadi di bagian manapun dari septum atrium,
tergantung dari struktur septum atrium yang gagal berkembang secara
normal (Bernstein, 2007).
Insidensi DSA adalah 1 per 1000 kelahiran hidup dan terhitung 7%
dari seluruh kejadian PJB. Prevalensi DSA pada wanita lebih tinggi
daripada pria dengan perbandingan 2:1. (Carr and King, 2008).
Klasifikasi DSA dibagi menurut letak defek pada septum atrium, yaitu:
•
Ostium Primum, merupakan hasil dari kegagalan fusi ostium
primum dengan bantalan endokardial dan meninggalkan defek
Universitas Sumatera Utara
di dasar septum. Kejadian DSA Ostium Primum pada wanita
sama dengan pria dan terhitung sekitar 20% dari seluruh kasus
PJB (Bernstein, 2007).
•
Ostium Sekundum, merupakan tipe lesi DSA terbanyak (70%)
dan jumlah kasus pada wanita 2 kali lebih banyak daripada pria
(Vick and Bezold, 2008).
•
Sinus Venosus, merupakan salah satu jenis DSA yang ditandai
dengan malposisi masuknya vena kava superior atau inferior ke
atrium kanan. Insidensi defek ini diperkirakan 10% dari seluruh
kasus DSA (Vick and Bezold, 2008).
Defek yang terjadi dapat berbagai jenis, mulai dari yang berukuran
kecil sampai sangat besar dan menyebabkan pirau dari atrium kiri ke
atrium kanan dengan beban volume lebih banyak di atrium dan
ventrikel kanan.
Gejala pada anak
dan
neonatus umumnya
asimtomatis, namun bila pirau cukup besar maka pasien dapat
mengalami sesak nafas dan sering mengalami infeksi paru. Gagal
jantung sangat jarang ditemukan (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994).
Pada anak dengan pirau kiri-ke-kanan berukuran besar biasanya
mengeluhkan cepat lelah dan dispnea. Gagal tumbuh jarang didapati
(Emmanouilides, et al. 1998).
3. Defek Septum Atrioventrikularis
Defek Septum Atrioventrikularis (DSAV) ditandai dengan penyatuan
DSA dan DSV disertai abnormalitas katup atrioventrikular (Bernstein,
2007).
Defek Septum Atrioventrikularis terhitung 4 – 5% dari seluruh kasus
PJB. Predileksi defek ini antara pria dan wanita sama banyaknya
(Emmanouilides, et al. 1998).
Gejala dapat timbul pada minggu pertama dan gagal jantung pada
bulan-bulan pertama kelahiran (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994).
Riwayat intoleransi olahraga, cepat lelah, dan Pneumonia berulang
Universitas Sumatera Utara
dapat ditemukan, terutama pada bayi dengan pirau kiri-ke-kanan dan
mitral insufisiensi mitral yang berat (Bernstein, 2007).
4. Duktus Arteriosus Persisten
Seperti namanya, Duktus Arteriosus Persisten (DAP) disebabkan oleh
duktus arteriosus yang tetap terbuka setelah bayi lahir (Soeroso and
Sastrosoebroto, 1994). Jika duktus tetap terbuka setelah penurunan
resistensi vaskular paru, maka darah aorta dapat bercampur ke darah
arteri pulmonalis. (Bernstein, 2007)
Kelainan ini merupakan 7% dari seluruh PJB dan sering dijumpai pada
bayi prematur (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994).
Gejala klinis yang muncul tergantung ukuran duktus. Duktus
berukuran kecil tidak menyebabkan gejala dan biasanya diketahui jika
terdapat suara murmur saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien
dengan DAP berukuran besar, pasien akan mengalami gejala gagal
jantung. Gangguan pertumbuhan fisik dapat menjadi gejala utama
pada bayi yang menderita DAP besar (Bernstein, 2007).
Kelompok tanpa pirau meliputi:
1. Stenosis Pulmonalis (SP)
Obstruksi aliran keluar ventrikel kanan, baik dalam tubuh ventrikel
kanan, pada katup pulmonalis, atau dalam arteri pulmonalis, diuraikan
sebagai Stenosis Pulmonalis (SP).
Stenosis Pulmonalis terjadi sekitar 7.1 – 8.1 per 100.000 kelahiran
hidup. Defek ini cenderung terjadi pada wanita (Fyler, 1996).
Gejala klinis umumnya asimtomatis meskipun stenosis cukup besar.
Anak bisa saja tampak sehat, tumbuh kembang normal dengan wajah
moon face, dapat berolahraga seperti normal, dan tidak terdapat infeksi
saluran nafas yang berulang (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994).
Walaupun demikian, pasien yang awalnya tidak menunjukkan gejala
dalam perkembangan penyakitnya dapat timbul gejala yang bervariasi
Universitas Sumatera Utara
dari dispnea ringan saat olahraga sampai gejala gagal jantung,
tergantung keparahan obstruksi dan tingkat kompensasi myokardium.
Obstruksi sedang-berat dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
paru selama berolahraga sehingga terjadi kelelahan yang diinduksi
olahraga, sinkop, atau nyeri dada (Keane and St. John Sutton, 2008).
2. Stenosis Aorta
Stenosis Aorta (SA) merupakan penyempitan aorta yang dapat terjadi
pada tingkat subvalvular, valvular, atau supravalvular. Kelainan
mungkin tidak terdiagnosis pada masa anak-anak karena katup
berfungsi normal, hanya saja akan ditemukan bising sistolik yang
lunak di daerah aorta dan baru diketahui pada masa dewasa sehingga
terkadang sulit dibedakan apakah stenosis aorta tersebut merupakan
penyakit jantung bawaan atau didapat (Soeroso and Sastrosoebroto,
1994).
Insidensi SA pada anak mendekati 5% dari seluruh kejadian PJB
(Bernstein, 2007). Defek ini lebih sering terjadi pada pria
(Emmanouilides, et al. 1998).
Gejala klinis asimtomatis, namun pada gejala yang cukup berat dapat
ditemukan nyeri substernal, sesak nafas, pusing, atau sinkop pada saat
bekerja atau olahraga (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994). Bayi
dengan SA terisolasi dapat disertai denga gagal jantung kronik pada
beberapa bulan awal kehidupan dan menunjukkan tanda dan gejala
klasik gagal jantung, berupa dispnea, kesulitan makan, dan berat badan
tidak bertambah (Emmanouilides, et al. 1998).
3. Koarktasio Aorta
Koarktasio Aorta (KoA) adalah suatu obstruksi pada aorta desendens
yang terletak hampir selalu pada insersinya duktus arteriosus. (Fyler,
1996)
Universitas Sumatera Utara
Prevalensi KoA di Amerika Serikat adalah sebesar 6 – 8% dari seluruh
kasus PJB dan prevalensinya di Asia (<2%) lebih rendah daripada di
Eropa dan negara Amerika Utara. Rasio kejadian defek ini pada pria
dan wanita adalah 2:1 (Rao and Seib, 2009).
Gejala yang tampak pada masa neonatus umumnya merupakan jenis
koarktasio yang berat. Gejala dapat hilang timbul mendadak. Tanda
klasik KoA adalah nadi brakhialis yang teraba normal atau meningkat,
nadi femoralis serta dorsalis pedis teraba kecil atau tidak teraba sama
sekali dan harus ditekankan pemeriksaan tekanan darah pada keempat
ekstremitas (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994). Pasien dapat
menunjukkan gejala di beberapa minggu awal kehidupan berupa
kesulitan makan, takipnea, dan letargia. Gejala dapat memburuk
menjadi gagal jantung dan syok (Rao and Seib, 2009).
B.
Penyakit Jantung Bawaan Sianotik
Sesuai dengan namanya, manifestasi klinis yang selalu terdapat pada penyakit
jantung sianotik adalah sianosis. Sianosis adalah kebiruan pada mukosa yang
disebabkan oleh terdapatnya lebih dari 5 gr/dl hemoglobin tereduksi dalam
sirkulasi.
Dibandingkan dengan pasien PJB non sianotik, jumlah pasien PJB sianotik
lebih sedikit. Walaupun jumlahnya lebih sedikit, PJB sianotik menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada PJB non sianotik. (Prasodo,
1994)
1. Tetralogi Fallot
Tetralogi Fallot (TF) merupakan kombinasi 4 komponen, yaitu Defek
Septum Ventrikel (DSV), over-riding aorta, Stenosis Pulmonal (SP),
serta hipertrofi ventrikel kanan. Komponen paling penting untuk
menentukan derajat beratnya penyakit adalah SP yang bersifat
progresif (Prasodo, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Tetralogi Fallot merupakan PJB jenis sianotik dengan angka kejadian
terbanyak dengan insidensi 1 – 3 kasus per 1000 kelahiran hidup
(Ramaswamy and Pflieger, 2008).
Manifestasi klinis TF mencerminkan derajat hipoksia. Pada waktu baru
lahir biasanya bayi belum sianotik; bayi tampak biru setelah tumbuh.
Jari tabuh pada sebagian besar pasien sudah mulai tampak setelah
berumur 6 bulan. Salah satu manifestasi yang penting pada TF dalah
terjadinya seranga sianotik (cyanotic spells, hypoxic spells, paroxysmal
hyperpnea) yang ditandai oleh timbulnya sesak nafas mendadak, nafas
cepat dan dalam, sianosis bertambah, lemas, bahkan dapat pula disertai
kejang atau sinkop (Prasodo, 1994). Pertumbuhan dan perkembangan
dapat terhambat pada pasien TF yang berat dan tidak terobat, terutama
jika saturasi oksigen kurang dari 70%. (Bernstein, 2007)
2. Transposisi Arteri Besar
Transposisi Arteri Besar (TAB) ditandai dengan aorta yang secara
morfologi muncul dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis muncul
dari ventrikel kiri. Pada 60% pasien, aorta berada di bagian anterior
kanan dari arteri pulmonalis walaupun di beberapa kasus aorta dapat
berada di bagian anterior kiri dari arteri pulmonalis.
Insidensi TAB yang tercatat adalah 20 – 30 per 10.000 kelahiran
hidup. Defek ini lebih dominan terjadi pada pria dengan persentase 60
– 70% dari seluruh kasus. (Charpie and Maher, 2009).
Gejala klinis dapat berupa sianosis, penurunan toleransi olahraga, dan
gangguan pertumbuhan fisik, mirip dengan gejala pada TF; walaupun
begitu, jantung tampak membesar (Bernstein, 2007). Sianosis biasanya
terjadi segera setelah lahir dan dapat memburuk secara progresif.
Gejala gagal jantung kongestif mulai tampak dalam 2 – 6 minggu
(Emmanouilides, et al. 1998).
Universitas Sumatera Utara
3. Atresia Pulmoner dengan Septum Ventrikel Utuh
Pada Atresia Pulmoner dengan Septum Ventrikel Utuh (APSVU),
daun katup pulmonalis berfusi secara lengkap sehingga membentuk
membran dan tidak terdapat jalan keluar (outflow) ventrikel kanan.
Tidak terdapat aliran darah di ventrikel kanan karena tidak adanya
hubungan antarventrikel (Bernstein, 2007).
Defek ini terjadi 7.1 – 8.1 per 100.000 kelahiran hidup dengan
persentase 0.7 – 3.1% dari seluruh kasus PJB di Amerika Serikat.
(Charpie , 2009)
Sianosis telah jelas tampak dalam hari-hari pertama pascalahir. Bayi
sesak dengan gejala gagal jantung. Pada pemeriksaan fisik, tidak
terdengar bising, atau terdengar bising pansistolik insufisiensi
trikuspid, atau terdengar bising duktus arteriosus (Prasodo, 1994).
4. Ventrikel Kanan dengan Jalan Keluar Ganda
Ventrikel Kanan dengan Jalan Keluar Ganda (VKAJKG), yang dalam
kepustakaan barat disebut Double Outlet Right Ventricle (DORV),
adalah kelainan jantung yang ditandai dengan malposisi arteri-arteri
besar, septum outlet, atau keduanya, yang menyebabkan kedua arteri
besar muncul dari ventrikel kanan (Hoffman, 2009).
Defek ini terjadi 1 – 1.5% dari seluruh kejadian PJB (Prasodo, 1994).
Presentasi klinis VKAJKG sangat bervariasi, bergantung kepada
kelainan hemodinamiknya; defek ini dapat mirip DSV, TAB, atau TF.
Oleh karena itu, diagnosis tidak mungkin ditegakkan atas dasar
gambaran klinis saja (Prasodo, 1994). Jika defek ini disertai dengan
SP, terjadi penurunan aliran darah paru sehingga terjadi sianosis yang
cukup berat seperti gejala TF. Pasien VKAJKG tanpa SP memiliki
gejala yang sama dengan DSV, yaitu peningkatan aliran darah paru
sehingga terjadi takipnea dan kardiomegali (Emmanouilides, et al.
1998).
Universitas Sumatera Utara
5. Atresia Trikuspid
Istilah Atresia Trikuspid (AT) menggambarkan agenesis katup
trikuspid kongenital dan merupakan jenis PJB sianotik terbanyak
setelah TF dan TAB (Rao, 2009). Pada defek ini, tidak terdapat aliran
dari atrium kanan menuju ventrikel kanan sehingga seluruh aliran balik
vena sistemik masuk ke bagian kiri jantung melalui foramen ovale atau
jika terdapat defek pada septum atrium (Bernstein, 2007).
Insidensi AT diperkirakan 1 per 10.000 kelahiran hidup dengan
estimasi prevalensi AT dari seluruh kasus PJB adalah 2.9% dari
autopsi dan 1.4% dari penegakkan diagnosis setelah dilakukan
pemeriksaan berulang. (Rao, 2009).
Sianosis biasanya muncul segera setelah lahir, dengan penyebaran
yang dipengaruhi oleh tingkat keterbatasan aliran darah pulmonal
(Bernstein, 2007). Apabila aliran darah paru berkurang maka pasien
akan tampak sianotik; semakin sedikit darah ke paru maka semakin
jelas sianosis yang terjadi (Prasodo, 1994).
2.2.4 Penatalaksanaan
Dewasa ini telah terjadi peningkatan dan kemajuan teknologi, baik dalam
diagnosis, teknik pembedahan, serta perbaikan perawatan yang menyebabkan
terjadi peningkatan harapan hidup pada pasien dengan PJB pascabedah jika
dibandingkan tidak dilakukan pembedahan sehingga tidak jarang teknik
pembedahan sering dilakukan sebagai suaru penatalaksanaan pada pasien PJB.
Pada pasien-pasien PJB, dapat terjadi berbagai kelainan, baik pada otot jantung,
paru, atau keduanya, yang apabila tidak dikoreksi kelainan yang terjadi dapat
bersifat ireversibel. Oleh karena itu, sebaiknya pasien PJB diperiksa secara
menyeluruh dan dilakukan penatalaksanaan berupa pembedahan atau operasi
pascabedah pada saat yang tepat.
Terdapat 2 unsur utama yang diharapkan dalam tindakan pembedahan
pada kasus PJB, yaitu tindakan bedah dengan risiko mortalitas yang rendah serta
peningkatan harapan hidup layaknya orang normal lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Bedah jantung merupakan bagian integral dalam pelayanan kardiologi
anak. Kemajuan bedah jantung berlangsung sangat pesat dalam 2 dasawarsa
terakhir. Perkembangan teknologi dalam mendeteksi kelainan jantung pada bayi
baru lahir memudahkan dalam aspek pembedahan jantung itu sendiri. Kemajuan
teknologi dalam mendeteksi adanya kelainan jantung pada anak telah bergeser
hingga ke arah neonatus (Rahmad and Rachmat, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Download