BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Multiple Trauma Multiple trauma dapat

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Multiple Trauma
Multiple trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem
organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara lebih khusus,
multiple trauma adalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan
yang cukup tinggi (ISS >16) yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang
kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang
letaknya jauh dan sistem organ yang vital yang tidak mengalami cedera akibat trauma
secara langsung (Trentz O L, 2000)..
2.2 Epidemiologi
Trauma merupakan masalah kesehatan yang cukup serius dan merupakan salah
satu penyebab utama dari kematian terutama pada usia remaja dan usia dewasa muda.
Pada tahun 1998, diperkirakan 5,8 juta orang meninggal dunia oleh karena trauma. Di
Amerika Serikat, diperkirakan 12.400 orang meninggal dunia setiap bulannya oleh
karena trauma. Disebutkan bahwa rerata umur pasien trauma adalah antara umur 29-
6
7
34 tahun dan disebutkan pula bahwa pria lebih banyak yang mengalami trauma (6080% dari kasus yang terjadi) daripada wanita (Barkin et al., 1998).
Insiden terjadinya trauma meningkat secara signifikan di negara miskin dan
negara berkembang. Fenomena ini disebabkan oleh karena meningkatnya mobilisasi
di negara – negara tersebut, yang kemudian tergantung pada kendaraan transportasi
untuk melakukan kegiatan ekonomi. Peningkatan penggunaan kendaraan bermotor di
negara-negara tersebut sering tidak disertai dengan peningkatan kuantitas serta
kualitas infrastruktur penunjang, misalnya ketersediaan jalan, regulasi transportasi
yang baik, fasilitas keamanan suatu kendaraan, serta sistem edukasi mengenai tata
cara berlalu lintas yang baik dan benar. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan
tingginya angka kejadian trauma di negara-negara miskin dan berkembang (Barkin et
al., 1998).
Multiple trauma mempunyai konseskuensi yang serius terhadap pasien dan
apabila pasien terselamatkan maka akan disertai dengan disability yang cukup serius
dan akan menghambat pasien tersebut dalam beraktivitas sehari-hari di rumah, tempat
pekerjaan, dan masyarakat.
2.3 Mekanisme Trauma
Pengetahuan mengenai mekanisme trauma akan dapat membantu dokter bedah
dalam memperkirakan masalah dan cedera khusus yang dapat terjadi pada pasien
8
multiple trauma sehingga diagnsosis dan tindakan dapat dilakukan dengan lebih
efektif (Barkin et al., 1998). Tabel 1 menunjukkan beberapa mekanisme trauma
dengan cedera yang memungkinkan pada mekanisme trauma tersebut.
Tabel 2.1. Mekanisme Trauma dan Cedera yang Diantisipasi (Barkin et al., 1998).
Mekanisme
Cedera yang Diantisipasi
Kecelakaan mobil
Benturan pada jendela mobil
Cedera kepala, fraktur tulang wajah,
fraktur tulang tengkorak, fraktur tulang
leher
Benturan pada kemudi mobil
Cedera deselerasi pada thorak, termasuk
kontusio otot jantung, rupture aorta,
kontusi paru, fraktur tulang sternum, flail
chest dan hemopneumothorax
Cedera abdomen bagian atas termasuk
liver dan lien, rupture diafragma, serta
cedera pancreaticoduodenal
Benturan pada dashboard
Dislokasi hip, fraktur hip, fraktur femur,
fraktur acetabulum
Sabuk pengaman yang tidak sesuai
Fraktur tulang midlumbar, cedera organ
9
berongga
Tahanan oleh 3 point seatbelt
Fraktur costa, clavicula, sternum; kontusio
paru
Terjepitnya bagian bawah tubuh oleh Crush injury, fraktur pelvis, fraktur
kendaraan
ekstremitas
bawah,
compartment
syndrome
Tabrakan dari belakang
Cedera hiperekstensi dari tulang cervical,
termasuk
fraktur
dan
central
cord
syndrome
Jatuh
Jatuh dalam posisi supine
Secara
umum
berpotensi
untuk
menyebabkan axial dan appendicular
skeletal injury
Trombosis arteri renal akibat dari robekan
pada lapisan tunika intima
Jatuh dalam posisi prone
Cedera
deselerasi
pada
thorak
dan
abdomen
Jatuh dengan kepala di bawah
Cedera kepala dan cedera cervical
Jatuh dalam keadaan berdiri
Fraktur calcaneus, fraktur thoracolumbar,
fraktur pelvis,
bawah
fraktur pada ekstremitas
10
Kecelakaan pada pejalan kaki
Kecepatan rendah, dewasa
Fraktur tibial plateau, cedera ligamen lutut
Kecepatan rendah anak-anak
Cedera kepala, thorak, dan abdomen
Kecepatan tinggi
Cedera multiorgan yang mengancam jiwa
Trauma tajam
Periorbital
Penetrasi intracranial
Leher bagian anterior
Hematom retrofaring yang berpotensi
menyumbat airway
Cedera esophagus
Thorak
Cedera jantung dan pembuluh darah besar
Pantat
Cedera rectum dan peritoneum
Senapan
Cedera pada area di sekitar luka masuk
Lain-lain
Strangulasi
Cedera laring, fraktur hyoid, cedera arteri
carotid
Cedera pada area lokal epigastric atau Hematom dudodenal
abdomen kuadran kanan atas (misalnya
bicycle handlebar)
11
2.4 Patofisiologi Trauma
Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan serta infeksi pada tubuh
penderita. Adanya kerusakan jaringan dan infeksi tersebut menyebabkan timbulnya
respon inflamasi yang merupakan respon adaptif tubuh untuk mengeliminasi jaringan
yang rusak serta untuk mengeliminasi jaringan yang terinfeksi (Gerard M D, 2006)
Respon inflamasi tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1.
Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling
berkoordinasi untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin (tumor
necrosis faktor-α), interleukins, interferons, leukotrienes, prostaglandins, nitric
oxide, reactive oxgen species, serta produk dari classic inflammatory pathway
(complement, histamine, bradykin). Ketika mediator-mediator tersebut berkumpul di
jaringan yang rusak maka mediator-mediator tersebut akan melakukan rekrutmen selsel sistem imun innate dan adaptive untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menginvasi serta untuk melakukan proses perbaikan di jaringan yang terluka. Bila
derajat infeksi serta trauma melampaui kemampuan tubuh untuk beradaptasi maka
respon inflamasi yang awalnya bersifat lokal menjadi sistemik yang kemudian
disebut dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome atau SIRS (Craig S R et.,
2005).
SIRS berhubungan dengan kebocoran kapiler dan kebutuhan energi yang tinggi
sehingga memerlukan keadaan hemodinamik yang hiperdinamik dan meningkatkan
12
kebutuhan akan oksigen. Keadaan hemodinamik yang hiperdinamik akan
menyebabkan peningkatan beban metabolik yang disertai dengan muscle wasting,
kehilangan nitrogen, dan pemecahan protein. Keadaan hipermetabolik ini akan
disertai dengan peningkatan suhu tubuh inti dan disregulasi suhu tubuh. Bila kondisi
tersebut tidak diikuti dengan resusitasi yang adekuat maka konsumsi energi yang
tinggi akan menyebabkan terjadinya burn out (Gerard M D, 2006).
Gambar 2.1. Respon Inflamasi Pasca Trauma (Gerard M D, 2006)
13
SIRS kemudian akan menyebabkan gangguan terhadap metabolisme sel dan
microcirculatory perfusion. Bila respon inflamasi yang terjadi cukup berat maka akan
menyebabkan perburukan klinis pada pasien dengan manifestasi berupa disfungsi
beberapa organ tubuh, yaitu :
1. Disfungsi otak : delirium
2. Disfungsi paru-paru : hipoksia
3. Disfungsi jantung dan pembuluh darah : syok dan edema
4. Disfungsi ginjal : oligouria
5. Disfungsi saluran pencernaan : ileus
6. Disfungsi liver : hiperbilirubinemia
7. Disfungsi hematologi : koagulopati dan anemia (Gerard M D, 2006)
Selain disfungsi beberapa organ tubuh, juga terjadi gangguan terhadap sistem
imunitas tubuh pasien berupa supresi imun. Sindrom tersebut dikenal dengan multiple
organ dysfunction syndrome (MODS). MODS kemudian akan menyebabkan
terjadinya multiple organ failure (MOF) yang kemudian berakhir dengan kematian
(Gerard M D, 2006).
Selain MODS, respon inflamasi yang berlebihan juga dapat meyebabkan
terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Hal tersebut disebabkan oleh
karena pada respon inflamasi yang berlebihan akan terjadi kerusakan pada permukaan
14
alveolar-capillary sehingga menyebabkan kebocoran cairan kaya protein ke rongga
alveoli yang akan menimbulkan manifestasi klinis ARDS (Gerard M D, 2006).
2.5 Aspek Molekular pada Trauma
Pasca trauma, dalam tubuh pasien akan terjadi perubahan yang dinamis pada
respon hemodinamik, metabolik, dan imun yang dipengaruhi oleh mediator endogen
atau yang disebut dengan sitokin. Proses inflamasi tersebut merupakan bagian dari
respon fisiologis tubuh terhadap suatu trauma. Respon tubuh tersebut akan
menimbulkan SIRS yang kemudian akan diikuti dengan compensatory antiinflammatory
response
syndrome
(CARS).
Pada
proses
inflamasi,
terjadi
keseimbangan antara efek positif dari inflamasi dengan potensi dari proses tersebut
untuk menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan. Bila proses inflamasi tersebut
berlebihan maka pasien akan memasuki malignant systemic inflammation (moderate
atau severe SIRS) yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya ARDS dan MODS
(Gerard M D, 2006).
Terdapat beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya MODS, antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Macrophage theory: adanya peningkatan produksi sitokin dan mediator
lain oleh activated macrophage.
15
2. Microcirculatory theory: adanya syok hipovolemik yang berkepanjangan
dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen ke jaringan dan fenomena
reperfusi yang kemudian dapat menyebabkan MODS.
3. One and two hit theories: cedera awal yang berat dan syok dikatakan
sebagai first hit, yang akan menyebabkan terjadinya SIRS yang cukup
berat yang kemudian mengaktivasi sistem imun innate, termasuk
makrofag, leukosit, natural killer cell, serta migrasi sel inflamasi yang
diperkuat oleh interleukin-8 (IL-8) dan komponen komplemen (C5a dan
C3a). Ketika stimulus menjadi berkurang dan pasien seharusnya
mengalami resolusi, adanya secondary insult atau second hit akan
menyebabkan reaktivasi SIRS yang kemudian akan menimbulkan late
MODS. Secondary insult yang dimaksud misalnya adalah pembedahan
dan sepsis (Craig S R et al., 2005). Bagan one and two hit theory dapat
dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. One and Two Hit Theory (Craig S R et al., 2005)
16
Dampak Sistemik dari Trauma (First Hit)
Terjadinya respon inflamasi pasca trauma merupakan bagian dari reaksi
fisiologis terhadap suatu trauma. Derajat dari inflamasi tersebut dipengaruhi oleh
faktor eksternal (derajat trauma) serta faktor internal (predisposisi genetik seseorang)
(Craig S R et al., 2005).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa stimulasi beberapa mediator inflamasi
terjadi segera setelah terjadinya trauma. Terdapat beberapa sitokin yang berperan
penting dalam proses inflamasi pasca trauma, jenis sitokin tersebut dapat dilihat pada
tabel 2. Disebutkan juga bahwa terdapat hubungan antara derajat suatu trauma dengan
kadar inflammatory markers, contohnya adalah terjadi peningkatan kadar IL-6 dan
IL-8 dalam plasma pasien dengan injury severity score ≥25 (Craig S R et al., 2005).
Tabel 2.2 Sitokin yang Berperan dalam Inflamasi Pasca Trauma (Craig S R et al.,
2005)
Pengukuran sitokin proinflamasi sangat beramanfaat dalam penggunaan klinis.
Awalnya dikatakan bahwa kadar sitokin primary inflammatory, yaitu tumor necrosis
17
faktor α (TNF-α) dan Interleukin 12 (IL-12), mempunyai korelasi dengan derajat
perdarahan awal serta keadaan nonsurvival setelah mengalami ARDS dan MODS.
Kemudian terdapat beberapa penelitian yang bertentangan dengan hal tersebut,
dikatakan bahwa IL-6 merupakan marker yang lebih dapat dipercaya (Giannouids P
V et al., 2004).
Selain terjadi imunostimulasi yang bersifat selektif, pada tubuh pasien pasca
trauma juga terjadi imunosupresi. Setelah trauma, produksi immunoglobulin dan
interferon berkurang sehingga meningkatkan risiko pasien tersebut untuk terinfeksi
yang kemudian nantinya dapat berkembang menjadi sepsis. Selain itu, pada tubuh
pasien juga terjadi gangguan pada kemotaksis neutrofil, fagositosis, dan kandungan
enzim lisosom (Giannouids P V et al., 2004).
Beberapa trauma tertentu disebutkan lebih sering meyebabkan MODS. Diantara
trauma ekstremitas, fraktur femur dikatakan berhubungan dengan meningkatnya
risiko untuk outcome yang buruk. Hal tersebut dikarenakan fraktur femur berkaitan
dengan kerusakan jaringan lunak serta perdarahan yang cukup signifikan (Rockwood,
2006).
Dampak Sistemik dari Prosedur Pembedahan (Second Hit)
Seorang pasien multiple trauma yang awalnya dalam kondisi moderat kemudian
akibat dari second hit, kondisi pasien tersebut dapat memburuk. Yang termasuk
18
second hit, antara lain infeksi, transfusi darah, serta intervensi pembedahan. Dengan
adanya pemahaman tersebut, maka diciptakan suatu konsep damage control surgery
yang bertujuan untuk meminimalisir stress terhadap unstable patient yang berisiko
tinggi untuk mengalami komplikasi pascatrauma (Craig S R et al., 2005).
Second hit merupakan additive terhadap first hit dan bila kombinasi kedua hal
tersebut cukup parah maka akan mengganggu keseimbangan fisiologis pada tubuh
pasien serta akan meningkatkan risiko untuk terjadinya MODS dan ARDS (Craig S R
et al., 2005).
2.6 Hubungan Sitokin IL-6 dengan Trauma
IL-6 merupakan suatu glycoprotein dengan berat molekul 22-29 kD dan
diproduksi oleh beberapa jenis sel, antara lain sel T, sel B dan sel endotel. Produksi
IL-6 diinduksi oleh virus, LPS, IL-1 dan TNF.
proliferasi
limfosit
B
untuk
meningkatkan
IL 6 kemudian menginduksi
sintesis
immunoglobulin
serta
menginduksi proliferasi limfosit T. IL-6 juga meningkatkan diferensiasi sel T dan
aktivitas sel NK (Natural Killer). IL-6 merupakan salah satu marker prognosis terbaik
untuk mengetahui outcome pasien dengan SIRS, sepsis, atau MODS (Giannouids P V
et al., 2004).
Beberapa penelitian mengkonfirmasi peningkatan segera dari kadar IL-6 pasca
trauma, dimana pasien dengan derajat trauma yang terberat mempunyai kadar IL-6
19
tertinggi. Disebutkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan awal kadar sitokin
IL-6, nilai Injury Severity Score yang tinggi serta late adverse outcome. Pada
penelitian Gebhard F et al tahun 2000 yang memaparkan perubahan kadar sitokin IL6 pasca trauma. Pada penelitian tersebut didapatkan suatu korelasi antara kadar
sitokin Il-6 pada 6 jam pertama pasca trauma dengan derajat suatu trauma. Pasien
dengan cedera terparah memiliki kadar sitokin IL-6 tertinggi. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa kadar sitokin IL-6 dapat digunakan untuk mengevaluasi
dampak suatu trauma terhadap tubuh pasien (Gebhard F et al., 2000).
Pada penelitian Giannoudis et al tahun 2008 didapatkan bahwa kadar sitokin IL-6
dapat memprediksi terjadinya komplikasi pada pasien multiple trauma, salah satunya
adalah terjadinya komplikasi MODS, pada cut off point 300 pg/mL dengan akurasi
78%, sensitivitas 72% dan spesifisitas 78% (Giannoudis et al, 2008). Pada penelitian
Stensballe et al tahun 2009 didapatkan bahwa pada hari pertama pasien yang
mempunyai kadar sitokin IL-6 lebih dari 300 pg/mL akan mengalami kematian dalam
30 hari (Stensballe et al., 2009).
2.7 Trauma Scoring System
Pengukuran mengenai derajat keparahan suatu trauma sudah dimulai pada tahun
1969. Diawali dengan pengukuran dengan Abbreviated Injury Scale (AIS) untuk
menilai derajat keparahan suatu trauma. AIS merupakan dasar dari penghitungan
20
Injury Severity Score yang kemudian banyak diaplikasikan untuk menilai derajat
keparahan suatu trauma. Usaha untuk menyimpulkan derajat keparahan suatu trauma
pada pasien multiple trauma merupakan hal yang sulit sehingga terdapat beberapa
scoring system alternatif yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan
(Chawda M N et al., 2004).
Metode yang akurat untuk menilai derajat trauma secara kuantitatif mempunyai
beberapa manfaat yang potensial, salah satunya adalah untuk memprediksi outcome
dari suatu trauma atau prognosis dari pasien trauma. Selain hal tersebut skor trauma
juga dapat menjadi bahan pertimbangan dari klinisi untuk menentukan terapi yang
akan dilakukan pada pasien trauma dan skor trauma berperan penting di dalam
penelitian mengenai trauma (Chawda M N et al., 2004).
Terdapat beberapa scoring system untuk trauma dan secara garis besar dapat
diklasifikasikan menjadi
tiga jenis
berdasarkan komponen-komponen
yang
digunakan, yaitu skor anatomis, skor fisiologis, dan skor kombinasi (Chawda M N et
al., 2004).
Untuk skor fisiologis, Revised Trauma Score (RTS) merupakan skor yang paling
sering digunakan. RTS terdiri dari tiga komponen yaitu Glasgow Coma Scale (GCS),
systolic blood pressure (SBP), dan respiratory rate (RR). RTS mempunyai dua bentuk
tergantung dari penggunaannya. Ketika digunakan di triase lapangan, RTS ditentukan
21
dengan menambahkan nilai dari masing-masing indikator, sehingga RTS mempunyai
rentang 0-12. (Chawda M N et al., 2004). RTS dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Tabel RTS (Chawda M N et al., 2004).
Coded Value
GCS
SBP (mmHg)
RR (breaths/min)
0
3
0
0
1
4-5
<50
<5
2
6-8
50-75
5-9
3
9-12
76-90
>30
4
13-15
>90
10-30
Untuk bentuk kedua, yaitu coded RTS (RTSc) digunakan untuk memprediksi
outcome pasien trauma. Perhitungan RTSc adalah sebagai berikut dengan SBPc, RRc,
dan GCSc merupakan coded value dari masing-masing variabel.
RTSc = 0.9368 GCSc + 0.7326 SBPc + 0.2908 RRc
Perhitungan dari RTSc adalah rumit yang menyebakan keterbatasan dari
penggunaan skor tersebut di lapangan. Kelebihan dari RTSc adalah menekankan
22
dampak cedera kepala yang signifikan terhadap outcome dari pasien trauma.
Kelemahan dari RTSc adalah ketidakmampuan untuk menilai secara akurat pasien
trauma yang terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik, serta pasien trauma
yang sedang dalam pengaruh obat-obatan dan alkohol (Chawda M N et al., 2004).
Untuk skor anatomis, terdapat beberapa scoring system, antara lain Abbreviated
Injury Score (AIS), Injury Severity Score (ISS), New Injury Severity Score (NISS)
(Chawda M N et al., 2004).
Abbreviated Injury Scale (AIS)
AIS bertujuan untuk mendeskripsikan suatu cedera dan tidak didesain untuk
memprediksi outcome. AIS merupakan dasar dari ISS. Pada AIS suatu cedera
diranking pada skala 1-6 seperti pada tabel 2.4. Setiap cedera pada tubuh pasien
diberi AIS grade (Chawda M N et al., 2004).
Tabel 2.4 AIS score (Chawda M N et al., 2004)
23
Injury Severity Score (ISS)
ISS merupakan suatu anatomical scoring system yang dapat memberikan skor
pada pasien dengan multiple trauma. Setiap cedera diberi AIS score dan dialokasikan
ke salah satu dari enam regio pada tubuh pasien (kepala, wajah, thorak, abdomen,
ekstremitas (termasuk pelvis), serta struktur eksternal). Hanya AIS score yang
tertinggi di masing-masing regio tubuh yang digunakan. Kemudian dari AIS score
tiga regio tubuh yang memiliki cedera terparah dikuadratkan dan dijumlahkan
sehingga menghasilkan ISS. Dengan kata lain ISS adalah jumlah kuadrat dari AIS
score tertinggi pada tiga regio tubuh yang mengalami cedera terparah (Chawda M N
et al., 2004).
ISS mempunyai rentang antara 1-75. Seseorang dikatakan mengalami multiple
trauma bila ISS lebih dari atau sama dengan 16. Contoh penghitungan ISS dapat
dilihat pada tabel 2.5 (Chawda M N et al., 2004).
ISS mempunyai keterbatasan, yaitu jumlah dari cedera yang diperhitungkan
hanya berjumlah tiga, yang masig-masing berasal dari tiga regio tubuh yang memiliki
cedera terparah, sehingga akan terjadi underscoring bila pada pasien tersebut terdapat
lebih dari satu cedera yang signifikan pada satu regio tubuh dan atau lebih dari tiga
regio tubuh. ISS hanya memperhitungkan satu cedera per regio tubuh sehingga tidak
mampu untuk mengevaluasi cedera multipel yang terjadi pada regio tubuh yang sama
sehingga derajat keparahan suatu trauma sering salah diperkirakan. Selain itu ISS
24
hanya memperhitungkan data anatomis dan tidak memperhitungkan data fisiologis.
ISS juga memerlukan perawat khusus trauma atau dokter bedah trauma untuk menilai
secara akurat dari AIS score (Chawda M N et al., 2004).
Tabel 2.5 Contoh Penghitungan ISS (Chawda M N et al., 2004)
New Injury Severity Score (NISS)
Untuk mengatasi keterbatasan pada ISS maka diciptakanlah New Injury Severity
Score (NISS) oleh Osler et al. NISS merupakan jumlah kuadrat dari nilai AIS score
dari tiga cedera terparah pada pasien tanpa mempertimbangkan regio tubuh lokasi
cedera tersebut (Chawda M N et al., 2004).
Disebutkan bahwa NISS lebih akurat dalam memprediksi mortalitas trauma
dibandingkan dengan ISS, terutama pada trauma tajam. Disebutkan juga bahwa NISS
lebih baik daripada ISS untuk memprediksi terjadinya MOF pasca trauma (Chawda M
N et al., 2004).
25
Sebuah contoh akan lebih dapat menjelaskan perbedaan antara ISS dan NISS.
Misalnya seseorang mengalami kecelakaan sepeda motor dan mengalami cedera
steering-wheel compression pada regio abdomen. Pada saat operasi laparotomi,
awalnya ditemukan small-bowel perforation (AIS score 3, ISS 9, NISS 9), kemudian
ditemukan juga adanya moderate liver laceration (AIS score 3, ISS 9, NISS 18).
Kemudian ditemukan moderate pancreatic laceration dengan duct involvement (AIS
score 3, ISS 9, NISS 27) serta ditemukan adanya bladder perforation (AIS score 4,
ISS 16, NISS 34). Pada ekstremitas bawah pasien tersebut didapatkan bimalleolar
fibular fracture (AIS score 2, ISS meningkat menjadi 20, tetapi NISS tetap 34). Hal
tersebut menunjukkan bahwa NISS lebih konsisten dengan naluri dokter bedah trauma
daripada ISS, dimana bila jumlah cedera bertambah maka seseorang lebih berisiko
mengalami kematian, bahkan bila cedera-cedera tersebut hanya terakumulasi pada
satu regio tubuh. Selain itu adanya cedera yang tidak terlalu parah di regio tubuh yang
lain (dalam kasus ini adalah fibular fracture) tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap risiko untuk mengalami kematian (Chawda M N et al., 2004).
NISS dikatakan lebih superior daripada ISS pada kasus trauma tajam, sedangkan
belum terdapat penelitian mengenai perbandingan antara NISS dengan ISS dalam
memprediksi outcome pada pasien yang mengalami trauma tumpul (Chawda M N et
al., 2004).
NISS mempunyai beberapa keterbatasan. Pada NISS, begitu juga dengan ISS,
hanya memperhitungkan data anatomis dan tidak memperhitungkan data fisiologis,
26
untuk memprediksi outcome pada pasien. NISS juga memerlukan memerlukan
perawat khusus trauma atau dokter bedah trauma untuk menilai secara akurat dari AIS
score (Chawda M N et al., 2004).
Skor Kombinasi
Salah satu contoh skor kombinasi adalah Trauma Injury Severity Score (TRISS),
yang mengkombinasikan faktor anatomi (ISS) dan fisiologis (RTS) untuk mengukur
derajat keparahan suatu trauma serta memasukkan faktor usia untuk memprediksi
prognosis pasien trauma (Chawda M N et al., 2004).
Untuk memprediksi prognosis pasien trauma, formula TRISS adalah sebagai
berikut :
Ps : Probabilitas hidup
b : b0 + b1(RTS) + b2(ISS) + b3(Age Index)
Koefisien b0-b3 terdapat pada tabel 2.6
27
Tabel 2.6 Koefisien TRISS (Chawda M N et al., 2004)
Age Index adalah 0 bila pasien berumur kurang dari 54 tahun atau 1 bila pasien
berumur 55 tahun atau lebih (Chawda M N et al., 2004).
TRISS mempunyai beberapa kelemahan, antara lain akurasi yang moderat untuk
memprediksi prognosis pasien trauma dan tidak mempertimbangkan faktor komorbid
seperti penyakit jantung, penyakit paru, serta penyakit lainnya (Chawda M N et al.,
2004).
2.7.1 Mechanism, Glasgow Coma Scale, Age, and Arterial Pressure (MGAP) Score
MGAP score diciptakan oleh Sarorius et al pada tahun 2010 dan merupakan
improvisasi dari skor-skor trauma yang sudah ada sebelumnya. Skor tersebut dapat
memprediksi terjadinya mortalitas pada pasien trauma (Hasler R M et al., 2012).
Sistem MGAP score dapat dilihat pada tabel 2.7
28
Tabel 2.7 MGAP score (Hasler R M et al., 2012)
MGAP score
(3-29 poin)
Umur < 60 tahun
5
Tekanan darah sistolik >120 mmHg
5
Tekanan darah sistolik 60-120 mmHg
3
Tekanan darah sistolik <60 mmHg
0
Skor GCS (3-15)
Skor GCS
Mekanisme trauma tusuk
4
Dari skor tersebut kemudian pasien trauma dikategorikan menjadi tiga
berdasarkan risiko mortalitas, yaitu:
Kategori low (mortalitas <5%)
: Skor 23-29
Kategori medium (mortalitas 5-50%)
: Skor 18-22
Kategori high (mortalitas >50%)
: Skor 3-17
MGAP score mempunyai keterbatasan yaitu skor yang lebih tinggi pada trauma
tusuk dibandingkan dengan trauma tumpul, meskipun trauma tusuk tidak selalu lebih
parah daripada trauma tumpul dan trauma tusuk secara epidemiologi terjadi pada 10%
pasien trauma (Hasler R M et al., 2012).
29
2.7.2 Glasgow Coma Scale, Age, and Arterial Pressure (GAP) Score
Untuk mengatasi keterbatasan pada MGAP score maka Yutaka et al pada tahun
2011 menciptakan GAP score. GAP score tidak memasukkan mekanisme trauma
sebagai bagian skor. Skor tersebut juga dapat memprediksi terjadinya mortalitas pada
pasien trauma (Hasler R M et al., 2012). Sistem GAP score dapat dilihat pada tabel
2.8
Tabel 2.8 GAP score (Hasler R M et al., 2012)
GAP score
(3-24 poin)
Umur ≥ 60 tahun
0
Umur < 60 tahun
3
Tekanan darah sistolik >120 mmHg
6
Tekanan darah sistolik 60-120 mmHg
4
Tekanan darah sistolik <60 mmHg
0
Skor GCS (3-15)
Skor GCS
GAP score mempunyai kelebihan dibandingkan sistem trauma score yang lain
karena lebih sederhana serta dapat memprediksi terjadinya mortalitas pada pasien
trauma (Hasler R M et al., 2012).
30
2.8 Klasifikasi Kondisi Pasien Multiple Trauma
Setelah dilakukan assessment dan intervensi awal maka kondisi pasien sebaiknya
diklasifikasikan diantara empat kategori dengan tujuan untuk memandu langkah
perawatan berikutnya. Keempat kategori tersebut adalah stable, borderline, unstable,
dan in extremis. Kategori ini berdasarkan atas derajat keparahan trauma, adanya
cedera spesifik, dan keadaan hemodinamik. Sebelum pasien dimasukkan dalam salah
satu kategori, terlebih dahulu harus dicapai end points of resuscitation. Yang
termasuk end points of resuscitation adalah hemodinamik yang stabil, saturasi
oksigen yang stabil, kadar laktat di bawah 2 mmol/L, tidak ada gangguan koagulasi,
temperatur yang normal, urine output di atas 1 mL/kg/jam, dan tidak diperlukannya
dukungan inotropic (Trentz O L, 2000).
Pasien dikatakan stable bila pasien tidak memiliki cedera yang mengancam jiwa
dengan segera, berespon terhadap terapi awal, dan memiliki hemodinamik stabil
tanpa dukungan inotropik. Pada pasien juga tidak terdapat gangguan fisiologis,
seperti koagulopati, respiratory distress, atau ongoing occult hypoperfusion yang
bermanifestasi sebagai gangguan keseimbangan asam basa, serta pada pasien tidak
terdapat hipotermia. Pasien dalam kondisi stable memiliki physiologic reserve untuk
mampu bertahan menghadapi tindakan pembedahan yang panjang (Rockwood, 2006).
31
Pasien dikatakan borderline bila pasien telah distabilkan dan berespon terhadap
resusitasi awal tetapi memiliki beberapa manifestasi klinis atau cedera sebagai
berikut:

ISS <40

Hipotermia dengan temperatur <35° C

Mean pulmonary arterial pressure awal >24 mm Hg atau peningkatan >6 mm
Hg pada pulmonary artery pressure selama dilakukannya intramedullary
nailing atau tindakan operasi lainnya

Multiple injuries (ISS >20) yang disertai dengan trauma thorak (AIS >2)

Multiple injuries yang disertai dengan cedera abdomen dan pelvis yang parah
serta mengalami syok hipovolemik pada awal datangnya pasien tersebut
(systolic BP <90 mm Hg)

Adanya kontusio paru pada pemeriksaan radiologis

Pasien dengan fraktur femur bilateral

Pasien dengan cedera kepala sedang atau berat (AIS >3)
Faktor-faktor di atas berkaitan dengan outcome yang buruk dan berisiko
menyebabkan kondisi pasien memburuk. Pada pasien tersebut harus tetap dilakukan
pengawasan dan dapat pula digunakan invasive monitoring (Rockwood, 2006).
Pasien dikatakan unstable bila kondisi hemodinamik pasien masih unstable
walaupun telah dilakukan resusitasi awal. Pada pasien tersebut berisiko tinggi untuk
32
mengalami perburukan secara cepat, yang kemudian diikuti dengan multiple organ
failure dan kematian. Pada kategori ini maka penatalaksanaan menggunakan damage
control approach, dimana pendekatan tersebut menekankan rapid life saving surgery
hanya bila diperlukan secara absolut serta diikuti dengan mentransfer pasien ke
Intensive Care Unit / ICU untuk stabilisasi dan monitoring lebih lanjut. Disarankan
untuk dilakukan temporay stabilization dari fraktur dengan menggunakan external
fixation dan juga dilakukan hemorrhage control. Tindakan pembedahan yang
kompleks sebaiknya ditunda hingga tercapainya kondisi pasien yang stabil serta
respon inflamasi telah berkurang. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak
second hit dari suatu tindakan pembedahan (Rockwood, 2006).
Pasien yang termasuk kategori in extremis adalah pasien yang akan meninggal
akibat cedera yang terlalu parah dan sering didapatkan adanya ongoing uncontrolled
blood loss. Pasien tersebut tetap severely unstable walaupun telah dilakukan usaha
resusitasi yang agresif. Pada pasien tersebut juga ditemukan triad of death, yaitu
hipotermia, asidosis, dan koagulopati. Sebaiknya tetap dilakukan damage control
approach yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa kemudian setelah tindakan
tersebut pasien ditransfer ke ICU untuk invasive monitoring dan advanced
hematological, pulmonary, dan cardiocvascular support. Cedera orthopaedi dapat
distabilkan dengan cepat dengan menggunakan external fixation. Tindakan
pembedahan yang bersifat rekonstruktif sebaiknya ditunda dan dapat dikerjakan bila
nyawa pasien terselamatkan (Rockwood, 2006).
33
2.9 Penatalaksanaan pada Pasien Multiple Trauma
Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple trauma adalah untuk
membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasi untuk memastikan
perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. Hal tersebut dapat dicapai
dengan cara konservatif seperti intubasi, ventilasi, dan volume replacement sesuai
dengan protokol Advanced Trauma and Life Support / ATLS. Bila dengan cara
konservatif tidak bisa memberikan respon yang positif maka dapat dilakukan
immediate life-saving surgery (Solomon, 2001; Rockwood, 2006).
Untuk penanganan awal digunakan konsep damage control, yaitu kontrol
terhadap perdarahan dan kontaminasi, irigasi, packing, serta penutupan luka atau
rongga abdomen. Selanjutnya dilakukan stabilisasi fungsi fisiologis pasien di ICU,
yang kemudian diikuti dengan pembedahan definitif bila kondisi pasien
memungkinkan (Trentz O L, 2000). Untuk algoritma penanganan pasien multiple
trauma dapat dilihat pada gambar 2.3
34
Primary Survey
Basic imaging
+
Resusitasi
Evaluasi
respon?
?
Secondary Survey
-
Life-saving
surgery
Damage control
ICU
Scoring
Delayed primary
surgery
Gambar 2.3. Initial Assesment dan Penatalaksanaan pada Pasien Multiple Trauma
(Trentz O L, 2000)
Prioritas dan Timing Pembedahan pada Pasien Multiple Trauma
Pada pasien multiple trauma, keputusan untuk memilih cedera yang akan
ditangani terlebih dahulu dapat menjadi sulit, terutama bila cedera tersebut berbahaya
dan dapat menyebabkam gangguan hemodinamik. Ketika cedera yang berbeda
memerlukan tindakan spesialisasi yang berbeda maka dapat menimbulkan perbedaan
pendapat mengenai prioritas tindakan yang akan dilakukan. Penelitian mengenai
epidemiologi mortalitas pada pasien trauma serta pengalaman klinis yang dimiliki
35
dapat memilah cedera tertentu yang sangat fatal dan harus menjadi prioritas untuk
ditangani dibandingkan cedera lainnya. Terkadang pada cedera tertentu dapat
dilakukan tindakan pembedahan dini tanpa dilakukannya prosedur diagnostik yang
bertujuan untuk menyelamatkan nyawa. Cedera-cedera yang dimaksud adalah
penetrating thoracic injury yang mengakibatkan cardiac tamponade, open arterial
injury, dan trauma pelvis. Adanya perdarahan yang terus-menerus disertai syok yang
resisten terhadap resusitasi pada area thorak, abdomen, atau pelvis merupakan
indikasi untuk dilakukannya tindakan pembedahan (Pape et al, 2002; Rockwood,
2006).
Timing untuk melakukan pembedahan harus mempertimbangkan kondisi pasien
serta respon pasien terhadap resusitasi awal (Trentz O L, 2000). Timing untuk
pembedahan dapat dilihat pada tabel 2.9.
2.10 Rehabilitasi
Rehabilitasi pada pasien multiple trauma harus dimulai sedini mungkin. Pada
pasien multiple trauma dengan cedera kepala, rehabilitasi bertujuan untuk
memfasilitasi stimulasi terhadap fungsi kognitif dari pasien. Sebelum dilakukan
rehabilitasi sebaiknya dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien tersebut sudah tidak
dalam pengaruh dari obat sedatif (Rockwood, 2006).
36
Tabel 2.9. Timing untuk Pembedahan (Trentz O L, 2000).
Status Fisiologis
Intervensi Pembedahan
Respon terhadap
(-)
Life-saving surgery
resusitasi awal
(?)
Damage control
(+)
Delayed primary surgery
Timing
Hari I
Hyper-inflammation
“Second look”, only
“Window of opportunity”
Scheduled
Hari II-III
definitive Hari V-X
surgery
Immunosuppression
No surgery
Recovery
Secondary reconstructive Minggu III
surgery
Pada rehabilitasi pasien multiple trauma yang disertai dengan cedera pada sistem
muskuloskeletal maka rehabilitasi bertujuan untuk melatih mobilisasi dari ekstremitas
yang mengalami cedera. Saat perawatan di bangsal, rehabilitasi dilakukan dengan
latihan aktif oleh pasien tersebut serta diawasi oleh trained physiotherapist. Sering
terjadi ketakutan pada pasien saat melakukan mobilisasi, hal tersebut memerlukan
penjelasan yang baik dari dokter bedah maupun physiotherapist mengenai tujuan dari
mobilisasi tersebut yaitu untuk mempertahankan mobilitas sendi serta untuk
37
mencegah terjadinya osteoporosis yang disebabkan oleh imobilisasi (Rockwood,
2006).
2.11 Outcome
Outcome pada pasien multiple trauma dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain lain derajat trauma, lokasi cedera, umur pasien, adanya kondisi penyerta pada
pasien, serta penatalaksanaan pada pasien tersebut (Rockwood, 2006).
Kematian karena trauma terjadi pada salah satu dari tiga periode waktu
(Trimodal Death Distribution). Puncak pertama dari kematian adalah kematian yang
terjadi beberapa detik atau menit setelah kejadian yang biasanya disebabkan oleh
laserasi otak, cedera batang otak, cedera spinal cord level tinggi, serta cedera jantung
dan aorta. Kematian puncak kedua terjadi beberapa menit sampai beberapa jam
setelah trauma
yang disebabkan oleh perdarahan
subdural dan epidural,
hemopneumothoraks, rupture limpa, laserasi hati, cedera pelvis, serta cedera lainnya
dengan perdarahan yang masif. Kematian puncak ketiga terjadi beberapa hari atau
minggu setelah trauma yang disebabkan oleh sepsis dan MOF (ATLS 2004).
Pada pasien multiple trauma tanpa cedera kepala dan dilakukan perawatan di
rumah sakit yang memadai, mortalitasnya adalah kurang lebih 10%, sedangkan pada
pasien multiple trauma yang disertai dengan cedera kepala mortalitasnya adalah
kurang lebih 30%. Trauma thorak, cedera solid abdominal organ serta fraktur lebih
38
dari satu long bone disebutkan juga meningkatkan risiko kematian pada pasien
multiple trauma. Pada pasien trauma, MOF dapat terjadi pada 5% pasien. Mortalitas
pada pasien dengan MOF adalah antara 20% - 100% (Chawda MN et al, 2005;
Hietbrink F et al., 2006).
Mortalitas pada pasien berumur tua lebih tinggi daripada pasien berumur muda.
Tingkat mortalitas pada pasien berumur tua adalah 42,3%. Adanya penurunan fungsi
fisiologik, berkurangnya physiologic reserve, serta adanya kondisi penyerta
merupakan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap lebih tingginya mortalitas
pada pasien berumur tua dibandingkan dengan pasien berumur muda (Rockwood,
2006).
Selain masalah gangguan fisik, pada pasien yang mengalami trauma juga dapat
mengalami gangguan psikis pasca trauma, yaitu post traumatic stress disorder
(PTSD) serta depresi. Pada penelitian oleh Suliman et al disebutkan bahwa keluhan
dan gejala PTSD dan depresi pada pasien multiple trauma lebih berat daripada pasien
yang mengalami single trauma (Suliman S et al., 2009).
Download