penyuluhan tentang pemeriksaan kesehatan hewan

advertisement
PENYULUHAN TENTANG PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN
KURBAN DI DESA ATEUK PAHLAWAN KECAMATAN
BAITURRAHMAN BANDA ACEH
Darmawi, Ummu Balqis
(Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah)
ABSTRAK
Pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan untuk memberi penyuluhan tentang
pemeriksaan kesehatan hewan kurban kepada pelaksana kurban Idul Adha di Desa Ateuk
Pahlawan Banda Aceh. Metode pelaksanaan pengabdian melalui penjelasan mengenai
pemeriksaan antemortem, postmortem, dan kasus fasciolosis pada sapi kurban.
Pemeriksaan antemortem dijelaskan dengan menilai gerakan hewan, cara berjalan, kondisi
gigi, bulu dan kulit, mata, telinga, hidung, mulut, alat kelamin, anus, kaki dan kuku serta
cara bernafas. Pemeriksaan postmortem dijelaskan dengan menilai bagian kepala, isi dada,
isi perut, daging, dan kasus fasciolosis yang disebabkan oleh infeksi Fasciola gigantica
pada hati sapi. Hasil menunjukkan bahwa satu dari tujuh ekor sapi belum tumbuh gigi
permanen sehingga tidak memenuhi syarat umur dua tahun sebagai sapi kurban.
Pemeriksaan ante- dan postmortem menghasilkan keputusan sapi kurban tersebut lulus
pemeriksaan kesehatan yang menandakan bahwa sapi kurban sehat sehingga daging
dijamin utuh dan aman dikonsumsi. Sebanyak tiga (42,86%) dari tujuh ekor sapi kurban
yang diperiksa terinfeksi cacing F. gigantica. Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan
bahwa semua sapi yang diperiksa (tujuh ekor) diyatakan sehat dan hati sapi yang terinfeksi
F. gigantica layak dikonsumsi setelah sarang-sarang cacing tersebut disingkirkan.
Kata kunci: Sapi kurban, pengabdian masyarakat
PENDAHULUAN
Umat Islam merayakan hari raya Idul Adha setiap tahun. Pada hari raya tersebut
umat Islam yang mampu secara ekonomi biasanya melaksanakan ibadah kurban sebagai
wujud pembuktian kecintaan dan keikhlasan umat kepada Allah SWT. Ibadah kurban
adalah ibadah yang dilakukan dengan menyembelih hewan ternak seperti kerbau, sapi,
domba, dan kambing. Penyembelihan hewan kurban biasanya dilakukan di rumah, mesjid,
sekolah, pesantren, dan kantor.
Hewan yang disembelih untuk berkurban adalah hewan yang memenuhi kriteria
tertentu. Hewan kurban harus layak untuk dikonsumsi dan memenuhi kriteria kesehatan
hewan yaitu hewan harus sehat, tidak cacat (tidak pincang, tidak buta, daun telinga tidak
rusak, tanduk tidak patah, dan tidak kurus), berjenis kelamin jantan, cukup umur (kerbau
dan sapi minimal berumur 2 tahun, domba dan kambing minimal berumur 1 tahun) yang
ditandai oleh tumbuhnya sepasang gigi tetap.
Tanda-tanda hewan sehat secara fisik dapat dinilai dengan pemeriksaan
antemortem yaitu pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih. Tanda-tanda fisik
tersebut adalah berbadan tegap, mata bersinar dan tanpa kotoran mata (belekan), hidung
basah (bukan basah karena ingus/pilek), bulu bersih mengkilap, tidak kotor atau gimbal,
tidak ada cacat pada anggota badan, hewan aktif bergerak dan tidak loyo. Hewan yang
sehat tidak mengeluarkan cairan (darah) dari lubang hidung, telinga, mulut, mata, ataupun
anus. Hewan sehat memiliki kuku yang sempurna (tidak terlepas atau luka).
87
Untuk menjamin daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) maka dilakukan
pula pemeriksaan postmortem yaitu pemeriksaan kesehatan hewan setelah disembelih.
Hewan sehat atau sakit dapat ditentukan berdasarkan ada tidaknya kelainan-kelainan yang
ditemukan pada daging, dan jeroan. Hewan kurban tidak boleh disembelih apabila
menderita penyakit ingus jahat, blue tongue, tetanus, dan anthrax. Berdasarkan uraian
tersebut maka kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini difokuskan pada penjelasan
tentang kesehatan hewan kurban kepada masyarakat yang terlibat langsung pada
pelaksanaan kurban di desa Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini berhubungan dengan kesehatan masyarakat
veteriner, dimana hewan kurban serta produk-produknya yang berkaitan dengan kesehatan
manusia atau sebaliknya.
1.1 Analisis Situasi
Ibadah kurban ditunaikan oleh umat Islam setiap tahun pada hari Raya Idul Adha.
Persyaratan hewan yang digunakan untuk ibadah kurban harus memenuhi kriteria cukup
umur, sehat, dan layak untuk dikonsumsi.
1.2 Perumusan Masalah
Untuk kepentingan kurban, kriteria hewan kurban harus yang cukup umur, sehat, dan
layak dikonsumsi. Masalah yang sering dihadapi oleh masyarakat untuk menilai hewan
belum tentu mampu ditetapkan oleh setiap orang. Oleh karena itu melalui pengabdian
kepada masyarakat ini pengabdi memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang
kesehatan hewan kurban.
1.3 Tujuan Kegiatan
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan untuk memberi penjelasan
tentang kelayakan dan kesehatan hewan kurban kepada masyarakat yang terlibat langsung
pada pelaksanaan kurban di desa Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh.
1.4 Manfaat Kegiatan
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat
agar dapat menentukan pilihan hewan yang layak dikurbankan pada masa-masa yang akan
datang.
1.5 Khalayak Sasaran
Khalayak sasaran pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah panitia
pelaksana kurban yang terlibat langsung pada penanganan hewan kurban di desa Ateuk
Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.
1.6 Kerangka Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam rangka menetapkan
secara tepat hewan yang memenuhi kriteria hewan kurban yang cukup umur, sehat, dan
layak dikonsumsi disosialisasikan melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini.
METODE PELAKSANAAN PENGABDIAN
Metode pelaksanaan pengabdian dilakukan melalui penjelasan langsung kepada
masyarakat yang terlibat langsung pada saat pelaksanaan ibadah kurban. Penjelasan yang
diberikan beriringan dengan praktek lapangan berkenaan dengan kesehatan masyarakat
veteriner yaitu semua kegiatan yang berhubungan dengan hewan serta produk-produknya
88
yang berkaitan dengan kesehatan manusia atau sebaliknya. Pelaksanaan pengabdian
mengikuti tahap-tahap pemeriksaan antemortem, penyembelihan hewan kurban,
pemeriksaan postmortem, dan pembagian daging hewan kurban.
3.1 Pemeriksaan antemortem
Pemeriksaan antemortem ditujukan untuk menentukan apakah hewan kurban benarbenar sehat, sehingga dagingnya tidak mengganggu kesehatan manusia yang memakannya
(Fries, 2000; Schnöller, 2006). Pemeriksaan dilakukan terhadap kesehatan hewan yang
akan disembelih yang dilaksanakan pada saat hewan diistirahatkan sebelum
penyembelihan. Pemeriksaan dilakukan secara umum pada semua hewan yang ingin
disembelih. Kondisi hewan diperhatikan satu persatu (gerakan hewan, cara berjalan, bulu
dan kulit, mata, telinga, hidung, mulut, alat kelamin, anus, kaki dan kuku serta cara
bernafas).
3.2 Proses penyembelihan hewan kurban
Sebelum proses penyembelihan dimulai, lubang berukuran panjang dan lebar 50 cm x
50 cm dan kedalaman 100 cm dibuat untuk menampung aliran darah hewan kurban.
Hewan dijinakkan dengan cara direbahkan. Tujuannya agar hewan tidak terlalu menderita
pada saat penyembelihan serta agar memudahkan pekerja pada saat penyembelihan leher.
Setelah hewan jatuh, darah harus segera dikeluarkan (memotong pembuluh darah leher).
Pisau yang digunakan adalah pisau yang sangat tajam, agar tidak menyiksa hewan. Darah
dari tubuh hewan yang disembelih dikeluarkan sebanyak mungkin. Proses penyembelihan
hewan kurban diawasi dalam suasana yang bersih (higienis), baik dan benar.
3.3 Pemeriksaan postmortem
Pemeriksaan postmortem ditujukan pada pemeriksaan daging, isi perut dan isi dada.
Pemeriksaan postmortem dilaksanakan segera setelah hewan disembelih dengan cara
inspeksi yaitu melihat/mengamati dengan mata (Schnöller, 2006). Pemeriksaan juga
dengan cara meraba serta menekan (palpasi). Jika diperlukan dilakukan penyayatan
(insisi). Fries (2000) menyatakan bahwa pemeriksaan daging yaitu semua bagian tubuh
hewan yang disembelih dengan baik dan benar yang layak dan lazim dimakan oleh
manusia. Pemeriksaan karkas yaitu semua bagian tubuh hewan yang disembelih setelah
dipisahkan kepalanya, dipisahkan bagian kaki bawahnya, diambil kulitnya, dikeluarkan isi
perut dan isi dadanya. Pemeriksaan isi perut yaitu bagian-bagian tubuh yang berada
didalam rongga perut, seperti perut (maag), hati, limpa, usus, ginjal, kantung kemih dan
alat kelamin bagian dalam. Pemeriksaan isi dada yaitu bagian-bagian tubuh yang berada
didalam rongga dada, seperti trakhea, esofagus, paru dan jantung. Pemeriksaan postmortem
dapat menghasilkan keputusan apakah hewan tersebut lulus pemeriksaan yang
menandakan bahwa daging lulus pemeriksaan serta menjamin bahwa daging aman, sehat
dan utuh.
3.4 Pembagian Daging Kurban
Daging hewan dipotong kecil-kecil (berat satu potongan daging berkisar antara 250500 g). Sebagian daging dimasak di tempat penyembelihan, dan dikonsumsi secara
bersama-sama oleh masyarakat. Bagian lainnya daging dibagi dengan cara ditumpuk di
atas bentangan alas plastik yang cukup luasnya. Setelah daging kurban habis dibagi, semua
tumpukan daging diamati satu persatu untuk menambah atau mengurangi daging pada
tumpukan daging yang kecil atau besar sehingga ditaksir sama ukuran tumpukannya. Satu
89
per satu tumpukan daging dimasukkan ke dalam kantung plastik dan dibagikan kepada
penduduk yang telah ditentukan oleh panitia kurban.
3.5 Partisipasi Peserta Pada Kegiatan Pengabdian
Masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan ini sangat antusias. Mereka terdiri
dari penduduk Dusun Pahlawan yang berkurban dan panitia yang dibentuk oleh
masyarakat setempat. Mereka melaksanakan kurban secara bersama-sama, dimana 7 orang
berkurban sebanyak satu ekor sapi. Pada kegiatan ini jumlah sapi yang disembelih ada 7
ekor sapi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan kondisi antemortem hewan kurban yang diamati berdasarkan
gerakan hewan, cara berjalan, bulu dan kulit, mata, telinga, hidung, mulut, alat kelamin,
anus, kaki dan kuku serta cara bernafas ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi antemortem pada 7 ekor sapi
Organ
Bulu/kulit
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Alat kelamin
Anus
Kaki/kuku
Gerakan
Cara bernafas
Cara berjalan
Pengamatan
Bersih
Eksudat (-)
Bersih
Basah
Abses (-)
Bersih
Bersih
Darah (-)
Lincah
Putus-putus
Lincah
Penilaian
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Hasil pemeriksaan umur pada 7 ekor sapi sebagai hewan kurban berdasarkan kondisi
gigi ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pemeriksaan umur hewan kurban berdasarkan kondisi gigi
No
Gigi tetap
Keterangan umur
1
2
3
4
5
6
7
+
+
+
+
+
+
-
> 2 tahun
> 2 tahun
> 2 tahun
> 2 tahun
> 2 tahun
> 2 tahun
< 2 tahun
Hasil pemeriksaan kondisi postmortem hewan kurban yang diamati pada organ yang
terdapat pada daerah kepala ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pemeriksaan postmortem pada bagian kepala
Organ
Hasil Pemeriksaan
Keterangan
90
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Lidah
Pembengkakan karena bisul, tumor, luka, benjolan
Merah
Luka
Lendir berlebihan
Luka
Luka, lepuh, sariawan, bengkak, pendarahan
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Hasil pemeriksaan kondisi postmortem hewan kurban yang diamati pada organ yang
terdapat pada jeroan ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pemeriksaan postmortem pada bagian jeroan
Organ
Trakhea
Esofagus
Paru
Jantung
Perut/Usus
Limpa
Ginjal
Daging
Hasil Pemeriksaan
Busa banyak, corpus aleonum, luka, lepuh, darah
Busa banyak, corpus aleonum, luka, lepuh, darah
Bisul, tumor, benjol, bintik merah, warna berubah
Bisul, benjolan, cacing,
Perubahan warna dinding perut/usus
Tumor, benjolan, bengkak
Bengkak, perubahan warna
Memar, bintik darah, bisul, perubahan warna
Keterangan
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Hasil pemeriksaan antemortem pada tujuh ekor sapi menunjukkan bahwa semua sapi
tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kondisi sakit (Tabel 1). Berdasarkan kondisi gigi
menunjukkan bahwa 6 ekor sapi telah tumbuh gigi permanen, sedangkan satu ekor sapi
belum tumbuh gigi permanen. Hal ini berarti sapi yang belum tumbuh gigi permanen
belum mencapai umur dua tahun (Tabel 2). Pemeriksaan postmortem pada bagian kepala
tidak ditemukan pembengkakan karena bisul, tumor, luka, ataupun benjolan. Mata terlihat bersinar
dan tidak ada eksudat. Mulut dan lidah terlihat bersih dan tidak ditemukan lepuh-lebuh ataupun
luka. Hidung terlihat basah dan tidak ada lendir yang berlebihan. Telinga terlihat bersih dan tidak
ada ekto parasit (Tabel 3).
Pemeriksaan postmortem pada bagian jeroan ditunjukkan pada Tabel 4. Pemeriksaan
trakhea dan esofagus tidak ada corpus aleonum, luka, lepuh, darah, dan busa normal.
Pemeriksaan paru menunjukkan bahwa tidak ditemukan bisul, tumor, benjol, bintik merah, dan
warna normal. Pada jantung juga tidak ditemukan bisul, benjolan, dan cacing. Warna
perut/usus adalah normal yaitu putih bersih, dan mengkilap. Pada limpa dan ginjal tidak
ditemukan tumor, benjolan, ataupun bengkak. Tekstur daging normal yaitu liat berwarna
merah, tidak ada memar, bintik darah, bisul.
Pemeriksaan postmortem ditujukan untuk: (1) Mengenali kelainan atau abnormalitas
pada daging, isi dada dan isi perut, sehingga hanya daging hewan kurban yang baik yang
akan dibagikan atau dikonsumsi. (2) Menjamin bahwa proses penyembelihan dilaksanakan
dengan baik. (3) Meneguhkan hasil pemeriksaan antemortem. (4) Menjamin kualitas dan
keamanan daging. Apabila pada pemeriksaan postmortem tidak ditemukan kelainan, maka
daging boleh dikonsumsi. Apabila ditemukan ada kelainan lokal (sedikit), maka daging
boleh dikonsumsi, tetapi bagian yang “mengalami kelainan” harus dibuang (disayat).
Apabila ditemukan banyak kelainan (ada penyakit berbahaya) semua bagian tidak boleh
dikonsumsi. Daging yang tidak sehat (karena hewan sakit) jika dikonsumsi maka akan
mengganggu kesehatan tubuh manusia (misalnya akan menyebabkan penurunan daya
tahan tubuh, tubuh mudah sakit, mengganggu pertumbuhan pada anak, menyebabkan sakit
perut, pusing-pusing, demam, diare atau bahkan jika parah dapat menyebabkan kematian.
Beberapa penyakit dapat diamati melalui pemeriksaan postmortem. Perubahan yang
khas dan menciri pada berbagai organ tubuh menjadi penunjang diagnosa. Corner et al.
91
(1990) menyatakan penyakit tuberculosis pada sapi lebih signifikan dapat diamati melalui
nekropsi postmortem ditandai dengan lesi paru. Kaneene et al. (2006) melaporkan bahwa
salah satu metode program pengendalian dan eradikasi tuberculosis di Amerika Serikat
adalah melalui pemeriksaan rutinitas ante- dan postmotem. Radunz (2006) menyatakan
bahwa keberhasilan eradikasi brucellosis dan tuberculosis di Australia didukung oleh
kerjasama antara industri dan pemerintah yang mendanai program surveilens ante- dan
postmortem sehingga mengurangi infeksi pada saat penanganan daging. McMahon et al.
(1987) menyatakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing parasitik yaitu kasus
fasciolosis pada sapi sering dideteksi pada empat Abotoir (tempat pemotongan) di
Australia.
Pemeriksaan daging berfungsi menjamin daging bermutu yaitu yang aman, sehat dan
utuh untuk perelindungan kesehatan manusia. Selain itu, dapat membantu mengawasi
kejadian penyakit hewan dan melindungi kesehatan hewan lainnya.
Daging masih
boleh dikonsumsi apabila pada pemeriksaan antemortem hewan dinyatakan sehat dan pada
pemeriksaan postmortem tidak ada kelainan yang ditemukan (daging bermutu tinggi).
Apabila ditemukan bisul (yang tidak menyebar ke seluruh bagian), patah tulang,
pembengkakan persendian atau kelainan-kelainan bersifat lokal (setempat) maka daging
boleh dikonsumsi. Apabila ditemukan cacing, tetapi tidak menyebar rata di seluruh bagian
tubuh, maka daging boleh dikonsumsi setelah cacing atau bagian yang rusak karena cacing
tersebut dibuang. Daging tidak boleh dikonsumsi apabila banyak mengandung darah,
banyak kelainan yang ditemukan (misalnya, banyak terdapat bisul atau bisul yang
menyebar, banyak mengandung cacing atau parasit lain.
Untuk mendapatlan daging hewan kurban yang ASUH dan menjaga kesejahteraan
hewan, maka hewan diistirahatkan minimal 12 jam sebelum disembelih. Hal ini dilakukan
mengingat pengangkutan hewan atau transportasi hewan menyebabkan hewan tersebut
letih, lemah dan kekurangan tenaga. Jika hewan yang letih dan lemah tersebut disembelih,
maka akan menghasilkan daging yang tidak bermutu. Hewan diistirahatkan agar
memulihkan kondisi/kesegaran tubuh hewan, sehingga akan menghasilkan daging yang
bermutu.
Pada saat penyembelihan, darah hewan kurban harus dikeluarkan secara sempurna.
Jika darah dari hewan yang disembelih tidak dikeluarkan sebanyak mungkin, maka darah
tersebut akan tertahan didalam daging atau daging masih mengandung banyak darah.
Daging yang masih banyak mengandung darah, maka daging tersebut sangat cepat menjadi
busuk. Daging yang busuk (banyak mengandung kuman) akan mengeluarkan bau busuk
dan daging menjadi tidak sehat (kandungan gizi berkurang).
Hasil pemeriksaan kondisi postmortem hewan kurban yang diamati pada organ hati
ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pemeriksaan postmortem pada hati
No
Jenis pemeriksaan
Tumor Bisul Benjolan Cacing
1
2
3
+
4
5
+
6
+
7
-
92
Pemeriksaan postmortem pada tujuh hati sapi tidak ditemukan tumor, bisul ataupun
benjolan-benjolan, tetapi pada tiga hati sapi ditemukan adanya bagian-bagian parenkim
hati yang mengalami nekrosa yang diganti oleh jaringan ikat membentuk sarang-sarang
cacing F. gigantica. Hal ini berarti bahwa tiga (42,86%) dari tujuh ekor sapi kurban positif
terinfeksi oleh cacing F. gigantica (Tablel 5).
Pada sapi infeksi cacing F. gigantica berlangsung asymptomatic. Kelainan patologi
yang ditimbulkan oleh fasciolosis biasanya tergantung kepada jumlah metaserkaria yang
tertelan pada suatu periode tertentu dan kerentanan hewan.Infeksi yang berat pada sapi
menunjukkan tidak ada gejala klinis yang nyata, tetapi dapat menimbulkan pengurangan
produksi. Kasus fasciolosis kronis terjadi pada semua musim dan gejala klinik termasuk
anemia, berat badan berkurang, penurunan produksi susu, udema submandibula.
Infeksi alami pada inang definitif terjadi manakala inang definitif menelan
tumbuhan atau kadang-kadang ketika meminum air yang terkontaminansi metaserkaria.
Ketika tertelan, cacing muda mengalami encyst pada usus halus, melakukan penetrasi ke
dinding usus, dan menuju rongga abdominal. Cacing muda yang berhasil menerobos
mukosa usus membentuk kista pada dinding usus, melewati rongga abdomen untuk
mencapai kapsul dan memasuki jaringan hati. Cacing muda bermigrasi ke parenkim hati
selama 6 – 8 minggu sebelum melanjutkan ke kantung empedu sebagai tempat
pendewasaan dan mulai bertelur.
Setelah 6-8 minggu bermigrasi ke dalam jaringan hati, cacing muda melanjutkan
kehidupannya pada kantung empedu. Aktivitas cacing menghisap darah menyebabkan
iritasi pada kantung empedu sehingga menimbulkan respons inflamasi, dan berasosiasi
dengan kehilangan darah menyebabkan anemia. Iritasi dan obstruksi kantung empedu
menyebabkan fibrosis hati. F. gigantica yang mampu mencapai hati adalah cacing muda
yang berhasil melawan respons imunitas inang definitif.
Kesimpulan
Masyarakat Dusun Ateuk Pahlawan Kecamatan Baiturrahman yang terlibat langsung
dalam pelaksanaan kurban telah diberi penyuluhan tentang kelayakan dan kesehatan hewan
kurban. Satu dari tujuh ekor sapi belum tumbuh gigi permanen sehingga tidak memenuhi
syarat umur dua tahun sebagai sapi kurban. Pemeriksaan kesehatan ante- dan postmortem
menunjukkan tujuh ekor sapi dinyatakan sehat. Pada organ hati sapi ditemukan cacing F.
gigantica yang menginfeksi tiga ekor sapi (42,86%) dari tujuh ekor sapi kurban. Organ hati
masih layak dikonsumsi setelah sarang-sarang cacing F. gigantica disingkirkan.
Saran
Kepada pelaksana kurban disarankan agar memisahkan antara daging dan jeroan,
terutama rumen dan usus hewan. Rumen dan usus adalah bagian tubuh hewan yang
berhubungan langsung dengan tinja sehingga masih ada sisa-sisa kotoran yang melekat
pada organ tersebut. Sisa kotoran adalah media yang cocok untuk pertumbuhan mikroba
yang dapat menurunkan kualitas daging hewan kurban.
DAFTAR PUSTAKA
Corner L, Melville L, McCubbin K, Small KJ, McCormick BS, Wood PR, Rothel JS.
1990. Efficiency of inspection procedures for the detection of tuberculous lesions
in
cattle.
Aust
Vet
J.
67(11):389-92.
Availeble
at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2085291
93
Fries R. 2000. Procedures in abattoirs and meat inspection. State of the discussion on the
implementation of alternative systems. Berl Munch Tierarztl Wochenschr.
113(1):1-8. Availeble at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10684177
Kaneene JB, Miller R, Meyer RM. 2006. Abattoir surveillance: the U.S. experience. Vet
Microbiol. 112(2-4):273-82. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16326037
McMahon J., Kahn S., Batey R., Murray J.G., Moo D., and Sloan C. 1987. Revised postmortem inspection procedures for cattle and pigs slaughtered at Australian
abattoirs.
Aust
Vet
J.
1987,
64(6):183-7.
Availeble
at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3632501
Radunz B. 2006. Surveillance and risk management during the latter stages of eradication:
experiences from Australia. Vet Microbiol. 112(2-4):283-90. Availeble at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16321479
Schnöller A. 2006. Guidelines for animal and meat inspection procedures in the
slaughterhouse.
Rev
Sci
Tech.
25(2):849-60.
Availeble
at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17094716
94
Download