PENYULUHAN TENTANG PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN KURBAN DI DESA ATEUK PAHLAWAN KECAMATAN BAITURRAHMAN BANDA ACEH Darmawi, Ummu Balqis (Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah) ABSTRAK Pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan untuk memberi penyuluhan tentang pemeriksaan kesehatan hewan kurban kepada pelaksana kurban Idul Adha di Desa Ateuk Pahlawan Banda Aceh. Metode pelaksanaan pengabdian melalui penjelasan mengenai pemeriksaan antemortem, postmortem, dan kasus fasciolosis pada sapi kurban. Pemeriksaan antemortem dijelaskan dengan menilai gerakan hewan, cara berjalan, kondisi gigi, bulu dan kulit, mata, telinga, hidung, mulut, alat kelamin, anus, kaki dan kuku serta cara bernafas. Pemeriksaan postmortem dijelaskan dengan menilai bagian kepala, isi dada, isi perut, daging, dan kasus fasciolosis yang disebabkan oleh infeksi Fasciola gigantica pada hati sapi. Hasil menunjukkan bahwa satu dari tujuh ekor sapi belum tumbuh gigi permanen sehingga tidak memenuhi syarat umur dua tahun sebagai sapi kurban. Pemeriksaan ante- dan postmortem menghasilkan keputusan sapi kurban tersebut lulus pemeriksaan kesehatan yang menandakan bahwa sapi kurban sehat sehingga daging dijamin utuh dan aman dikonsumsi. Sebanyak tiga (42,86%) dari tujuh ekor sapi kurban yang diperiksa terinfeksi cacing F. gigantica. Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan bahwa semua sapi yang diperiksa (tujuh ekor) diyatakan sehat dan hati sapi yang terinfeksi F. gigantica layak dikonsumsi setelah sarang-sarang cacing tersebut disingkirkan. Kata kunci: Sapi kurban, pengabdian masyarakat PENDAHULUAN Umat Islam merayakan hari raya Idul Adha setiap tahun. Pada hari raya tersebut umat Islam yang mampu secara ekonomi biasanya melaksanakan ibadah kurban sebagai wujud pembuktian kecintaan dan keikhlasan umat kepada Allah SWT. Ibadah kurban adalah ibadah yang dilakukan dengan menyembelih hewan ternak seperti kerbau, sapi, domba, dan kambing. Penyembelihan hewan kurban biasanya dilakukan di rumah, mesjid, sekolah, pesantren, dan kantor. Hewan yang disembelih untuk berkurban adalah hewan yang memenuhi kriteria tertentu. Hewan kurban harus layak untuk dikonsumsi dan memenuhi kriteria kesehatan hewan yaitu hewan harus sehat, tidak cacat (tidak pincang, tidak buta, daun telinga tidak rusak, tanduk tidak patah, dan tidak kurus), berjenis kelamin jantan, cukup umur (kerbau dan sapi minimal berumur 2 tahun, domba dan kambing minimal berumur 1 tahun) yang ditandai oleh tumbuhnya sepasang gigi tetap. Tanda-tanda hewan sehat secara fisik dapat dinilai dengan pemeriksaan antemortem yaitu pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih. Tanda-tanda fisik tersebut adalah berbadan tegap, mata bersinar dan tanpa kotoran mata (belekan), hidung basah (bukan basah karena ingus/pilek), bulu bersih mengkilap, tidak kotor atau gimbal, tidak ada cacat pada anggota badan, hewan aktif bergerak dan tidak loyo. Hewan yang sehat tidak mengeluarkan cairan (darah) dari lubang hidung, telinga, mulut, mata, ataupun anus. Hewan sehat memiliki kuku yang sempurna (tidak terlepas atau luka). 87 Untuk menjamin daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) maka dilakukan pula pemeriksaan postmortem yaitu pemeriksaan kesehatan hewan setelah disembelih. Hewan sehat atau sakit dapat ditentukan berdasarkan ada tidaknya kelainan-kelainan yang ditemukan pada daging, dan jeroan. Hewan kurban tidak boleh disembelih apabila menderita penyakit ingus jahat, blue tongue, tetanus, dan anthrax. Berdasarkan uraian tersebut maka kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini difokuskan pada penjelasan tentang kesehatan hewan kurban kepada masyarakat yang terlibat langsung pada pelaksanaan kurban di desa Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini berhubungan dengan kesehatan masyarakat veteriner, dimana hewan kurban serta produk-produknya yang berkaitan dengan kesehatan manusia atau sebaliknya. 1.1 Analisis Situasi Ibadah kurban ditunaikan oleh umat Islam setiap tahun pada hari Raya Idul Adha. Persyaratan hewan yang digunakan untuk ibadah kurban harus memenuhi kriteria cukup umur, sehat, dan layak untuk dikonsumsi. 1.2 Perumusan Masalah Untuk kepentingan kurban, kriteria hewan kurban harus yang cukup umur, sehat, dan layak dikonsumsi. Masalah yang sering dihadapi oleh masyarakat untuk menilai hewan belum tentu mampu ditetapkan oleh setiap orang. Oleh karena itu melalui pengabdian kepada masyarakat ini pengabdi memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang kesehatan hewan kurban. 1.3 Tujuan Kegiatan Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan untuk memberi penjelasan tentang kelayakan dan kesehatan hewan kurban kepada masyarakat yang terlibat langsung pada pelaksanaan kurban di desa Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh. 1.4 Manfaat Kegiatan Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat agar dapat menentukan pilihan hewan yang layak dikurbankan pada masa-masa yang akan datang. 1.5 Khalayak Sasaran Khalayak sasaran pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah panitia pelaksana kurban yang terlibat langsung pada penanganan hewan kurban di desa Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. 1.6 Kerangka Pemecahan Masalah Pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam rangka menetapkan secara tepat hewan yang memenuhi kriteria hewan kurban yang cukup umur, sehat, dan layak dikonsumsi disosialisasikan melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini. METODE PELAKSANAAN PENGABDIAN Metode pelaksanaan pengabdian dilakukan melalui penjelasan langsung kepada masyarakat yang terlibat langsung pada saat pelaksanaan ibadah kurban. Penjelasan yang diberikan beriringan dengan praktek lapangan berkenaan dengan kesehatan masyarakat veteriner yaitu semua kegiatan yang berhubungan dengan hewan serta produk-produknya 88 yang berkaitan dengan kesehatan manusia atau sebaliknya. Pelaksanaan pengabdian mengikuti tahap-tahap pemeriksaan antemortem, penyembelihan hewan kurban, pemeriksaan postmortem, dan pembagian daging hewan kurban. 3.1 Pemeriksaan antemortem Pemeriksaan antemortem ditujukan untuk menentukan apakah hewan kurban benarbenar sehat, sehingga dagingnya tidak mengganggu kesehatan manusia yang memakannya (Fries, 2000; Schnöller, 2006). Pemeriksaan dilakukan terhadap kesehatan hewan yang akan disembelih yang dilaksanakan pada saat hewan diistirahatkan sebelum penyembelihan. Pemeriksaan dilakukan secara umum pada semua hewan yang ingin disembelih. Kondisi hewan diperhatikan satu persatu (gerakan hewan, cara berjalan, bulu dan kulit, mata, telinga, hidung, mulut, alat kelamin, anus, kaki dan kuku serta cara bernafas). 3.2 Proses penyembelihan hewan kurban Sebelum proses penyembelihan dimulai, lubang berukuran panjang dan lebar 50 cm x 50 cm dan kedalaman 100 cm dibuat untuk menampung aliran darah hewan kurban. Hewan dijinakkan dengan cara direbahkan. Tujuannya agar hewan tidak terlalu menderita pada saat penyembelihan serta agar memudahkan pekerja pada saat penyembelihan leher. Setelah hewan jatuh, darah harus segera dikeluarkan (memotong pembuluh darah leher). Pisau yang digunakan adalah pisau yang sangat tajam, agar tidak menyiksa hewan. Darah dari tubuh hewan yang disembelih dikeluarkan sebanyak mungkin. Proses penyembelihan hewan kurban diawasi dalam suasana yang bersih (higienis), baik dan benar. 3.3 Pemeriksaan postmortem Pemeriksaan postmortem ditujukan pada pemeriksaan daging, isi perut dan isi dada. Pemeriksaan postmortem dilaksanakan segera setelah hewan disembelih dengan cara inspeksi yaitu melihat/mengamati dengan mata (Schnöller, 2006). Pemeriksaan juga dengan cara meraba serta menekan (palpasi). Jika diperlukan dilakukan penyayatan (insisi). Fries (2000) menyatakan bahwa pemeriksaan daging yaitu semua bagian tubuh hewan yang disembelih dengan baik dan benar yang layak dan lazim dimakan oleh manusia. Pemeriksaan karkas yaitu semua bagian tubuh hewan yang disembelih setelah dipisahkan kepalanya, dipisahkan bagian kaki bawahnya, diambil kulitnya, dikeluarkan isi perut dan isi dadanya. Pemeriksaan isi perut yaitu bagian-bagian tubuh yang berada didalam rongga perut, seperti perut (maag), hati, limpa, usus, ginjal, kantung kemih dan alat kelamin bagian dalam. Pemeriksaan isi dada yaitu bagian-bagian tubuh yang berada didalam rongga dada, seperti trakhea, esofagus, paru dan jantung. Pemeriksaan postmortem dapat menghasilkan keputusan apakah hewan tersebut lulus pemeriksaan yang menandakan bahwa daging lulus pemeriksaan serta menjamin bahwa daging aman, sehat dan utuh. 3.4 Pembagian Daging Kurban Daging hewan dipotong kecil-kecil (berat satu potongan daging berkisar antara 250500 g). Sebagian daging dimasak di tempat penyembelihan, dan dikonsumsi secara bersama-sama oleh masyarakat. Bagian lainnya daging dibagi dengan cara ditumpuk di atas bentangan alas plastik yang cukup luasnya. Setelah daging kurban habis dibagi, semua tumpukan daging diamati satu persatu untuk menambah atau mengurangi daging pada tumpukan daging yang kecil atau besar sehingga ditaksir sama ukuran tumpukannya. Satu 89 per satu tumpukan daging dimasukkan ke dalam kantung plastik dan dibagikan kepada penduduk yang telah ditentukan oleh panitia kurban. 3.5 Partisipasi Peserta Pada Kegiatan Pengabdian Masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan ini sangat antusias. Mereka terdiri dari penduduk Dusun Pahlawan yang berkurban dan panitia yang dibentuk oleh masyarakat setempat. Mereka melaksanakan kurban secara bersama-sama, dimana 7 orang berkurban sebanyak satu ekor sapi. Pada kegiatan ini jumlah sapi yang disembelih ada 7 ekor sapi. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan kondisi antemortem hewan kurban yang diamati berdasarkan gerakan hewan, cara berjalan, bulu dan kulit, mata, telinga, hidung, mulut, alat kelamin, anus, kaki dan kuku serta cara bernafas ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kondisi antemortem pada 7 ekor sapi Organ Bulu/kulit Mata Telinga Hidung Mulut Alat kelamin Anus Kaki/kuku Gerakan Cara bernafas Cara berjalan Pengamatan Bersih Eksudat (-) Bersih Basah Abses (-) Bersih Bersih Darah (-) Lincah Putus-putus Lincah Penilaian Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Hasil pemeriksaan umur pada 7 ekor sapi sebagai hewan kurban berdasarkan kondisi gigi ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Pemeriksaan umur hewan kurban berdasarkan kondisi gigi No Gigi tetap Keterangan umur 1 2 3 4 5 6 7 + + + + + + - > 2 tahun > 2 tahun > 2 tahun > 2 tahun > 2 tahun > 2 tahun < 2 tahun Hasil pemeriksaan kondisi postmortem hewan kurban yang diamati pada organ yang terdapat pada daerah kepala ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Pemeriksaan postmortem pada bagian kepala Organ Hasil Pemeriksaan Keterangan 90 Kepala Mata Telinga Hidung Mulut Lidah Pembengkakan karena bisul, tumor, luka, benjolan Merah Luka Lendir berlebihan Luka Luka, lepuh, sariawan, bengkak, pendarahan Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Hasil pemeriksaan kondisi postmortem hewan kurban yang diamati pada organ yang terdapat pada jeroan ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Pemeriksaan postmortem pada bagian jeroan Organ Trakhea Esofagus Paru Jantung Perut/Usus Limpa Ginjal Daging Hasil Pemeriksaan Busa banyak, corpus aleonum, luka, lepuh, darah Busa banyak, corpus aleonum, luka, lepuh, darah Bisul, tumor, benjol, bintik merah, warna berubah Bisul, benjolan, cacing, Perubahan warna dinding perut/usus Tumor, benjolan, bengkak Bengkak, perubahan warna Memar, bintik darah, bisul, perubahan warna Keterangan Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Hasil pemeriksaan antemortem pada tujuh ekor sapi menunjukkan bahwa semua sapi tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kondisi sakit (Tabel 1). Berdasarkan kondisi gigi menunjukkan bahwa 6 ekor sapi telah tumbuh gigi permanen, sedangkan satu ekor sapi belum tumbuh gigi permanen. Hal ini berarti sapi yang belum tumbuh gigi permanen belum mencapai umur dua tahun (Tabel 2). Pemeriksaan postmortem pada bagian kepala tidak ditemukan pembengkakan karena bisul, tumor, luka, ataupun benjolan. Mata terlihat bersinar dan tidak ada eksudat. Mulut dan lidah terlihat bersih dan tidak ditemukan lepuh-lebuh ataupun luka. Hidung terlihat basah dan tidak ada lendir yang berlebihan. Telinga terlihat bersih dan tidak ada ekto parasit (Tabel 3). Pemeriksaan postmortem pada bagian jeroan ditunjukkan pada Tabel 4. Pemeriksaan trakhea dan esofagus tidak ada corpus aleonum, luka, lepuh, darah, dan busa normal. Pemeriksaan paru menunjukkan bahwa tidak ditemukan bisul, tumor, benjol, bintik merah, dan warna normal. Pada jantung juga tidak ditemukan bisul, benjolan, dan cacing. Warna perut/usus adalah normal yaitu putih bersih, dan mengkilap. Pada limpa dan ginjal tidak ditemukan tumor, benjolan, ataupun bengkak. Tekstur daging normal yaitu liat berwarna merah, tidak ada memar, bintik darah, bisul. Pemeriksaan postmortem ditujukan untuk: (1) Mengenali kelainan atau abnormalitas pada daging, isi dada dan isi perut, sehingga hanya daging hewan kurban yang baik yang akan dibagikan atau dikonsumsi. (2) Menjamin bahwa proses penyembelihan dilaksanakan dengan baik. (3) Meneguhkan hasil pemeriksaan antemortem. (4) Menjamin kualitas dan keamanan daging. Apabila pada pemeriksaan postmortem tidak ditemukan kelainan, maka daging boleh dikonsumsi. Apabila ditemukan ada kelainan lokal (sedikit), maka daging boleh dikonsumsi, tetapi bagian yang “mengalami kelainan” harus dibuang (disayat). Apabila ditemukan banyak kelainan (ada penyakit berbahaya) semua bagian tidak boleh dikonsumsi. Daging yang tidak sehat (karena hewan sakit) jika dikonsumsi maka akan mengganggu kesehatan tubuh manusia (misalnya akan menyebabkan penurunan daya tahan tubuh, tubuh mudah sakit, mengganggu pertumbuhan pada anak, menyebabkan sakit perut, pusing-pusing, demam, diare atau bahkan jika parah dapat menyebabkan kematian. Beberapa penyakit dapat diamati melalui pemeriksaan postmortem. Perubahan yang khas dan menciri pada berbagai organ tubuh menjadi penunjang diagnosa. Corner et al. 91 (1990) menyatakan penyakit tuberculosis pada sapi lebih signifikan dapat diamati melalui nekropsi postmortem ditandai dengan lesi paru. Kaneene et al. (2006) melaporkan bahwa salah satu metode program pengendalian dan eradikasi tuberculosis di Amerika Serikat adalah melalui pemeriksaan rutinitas ante- dan postmotem. Radunz (2006) menyatakan bahwa keberhasilan eradikasi brucellosis dan tuberculosis di Australia didukung oleh kerjasama antara industri dan pemerintah yang mendanai program surveilens ante- dan postmortem sehingga mengurangi infeksi pada saat penanganan daging. McMahon et al. (1987) menyatakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing parasitik yaitu kasus fasciolosis pada sapi sering dideteksi pada empat Abotoir (tempat pemotongan) di Australia. Pemeriksaan daging berfungsi menjamin daging bermutu yaitu yang aman, sehat dan utuh untuk perelindungan kesehatan manusia. Selain itu, dapat membantu mengawasi kejadian penyakit hewan dan melindungi kesehatan hewan lainnya. Daging masih boleh dikonsumsi apabila pada pemeriksaan antemortem hewan dinyatakan sehat dan pada pemeriksaan postmortem tidak ada kelainan yang ditemukan (daging bermutu tinggi). Apabila ditemukan bisul (yang tidak menyebar ke seluruh bagian), patah tulang, pembengkakan persendian atau kelainan-kelainan bersifat lokal (setempat) maka daging boleh dikonsumsi. Apabila ditemukan cacing, tetapi tidak menyebar rata di seluruh bagian tubuh, maka daging boleh dikonsumsi setelah cacing atau bagian yang rusak karena cacing tersebut dibuang. Daging tidak boleh dikonsumsi apabila banyak mengandung darah, banyak kelainan yang ditemukan (misalnya, banyak terdapat bisul atau bisul yang menyebar, banyak mengandung cacing atau parasit lain. Untuk mendapatlan daging hewan kurban yang ASUH dan menjaga kesejahteraan hewan, maka hewan diistirahatkan minimal 12 jam sebelum disembelih. Hal ini dilakukan mengingat pengangkutan hewan atau transportasi hewan menyebabkan hewan tersebut letih, lemah dan kekurangan tenaga. Jika hewan yang letih dan lemah tersebut disembelih, maka akan menghasilkan daging yang tidak bermutu. Hewan diistirahatkan agar memulihkan kondisi/kesegaran tubuh hewan, sehingga akan menghasilkan daging yang bermutu. Pada saat penyembelihan, darah hewan kurban harus dikeluarkan secara sempurna. Jika darah dari hewan yang disembelih tidak dikeluarkan sebanyak mungkin, maka darah tersebut akan tertahan didalam daging atau daging masih mengandung banyak darah. Daging yang masih banyak mengandung darah, maka daging tersebut sangat cepat menjadi busuk. Daging yang busuk (banyak mengandung kuman) akan mengeluarkan bau busuk dan daging menjadi tidak sehat (kandungan gizi berkurang). Hasil pemeriksaan kondisi postmortem hewan kurban yang diamati pada organ hati ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Pemeriksaan postmortem pada hati No Jenis pemeriksaan Tumor Bisul Benjolan Cacing 1 2 3 + 4 5 + 6 + 7 - 92 Pemeriksaan postmortem pada tujuh hati sapi tidak ditemukan tumor, bisul ataupun benjolan-benjolan, tetapi pada tiga hati sapi ditemukan adanya bagian-bagian parenkim hati yang mengalami nekrosa yang diganti oleh jaringan ikat membentuk sarang-sarang cacing F. gigantica. Hal ini berarti bahwa tiga (42,86%) dari tujuh ekor sapi kurban positif terinfeksi oleh cacing F. gigantica (Tablel 5). Pada sapi infeksi cacing F. gigantica berlangsung asymptomatic. Kelainan patologi yang ditimbulkan oleh fasciolosis biasanya tergantung kepada jumlah metaserkaria yang tertelan pada suatu periode tertentu dan kerentanan hewan.Infeksi yang berat pada sapi menunjukkan tidak ada gejala klinis yang nyata, tetapi dapat menimbulkan pengurangan produksi. Kasus fasciolosis kronis terjadi pada semua musim dan gejala klinik termasuk anemia, berat badan berkurang, penurunan produksi susu, udema submandibula. Infeksi alami pada inang definitif terjadi manakala inang definitif menelan tumbuhan atau kadang-kadang ketika meminum air yang terkontaminansi metaserkaria. Ketika tertelan, cacing muda mengalami encyst pada usus halus, melakukan penetrasi ke dinding usus, dan menuju rongga abdominal. Cacing muda yang berhasil menerobos mukosa usus membentuk kista pada dinding usus, melewati rongga abdomen untuk mencapai kapsul dan memasuki jaringan hati. Cacing muda bermigrasi ke parenkim hati selama 6 – 8 minggu sebelum melanjutkan ke kantung empedu sebagai tempat pendewasaan dan mulai bertelur. Setelah 6-8 minggu bermigrasi ke dalam jaringan hati, cacing muda melanjutkan kehidupannya pada kantung empedu. Aktivitas cacing menghisap darah menyebabkan iritasi pada kantung empedu sehingga menimbulkan respons inflamasi, dan berasosiasi dengan kehilangan darah menyebabkan anemia. Iritasi dan obstruksi kantung empedu menyebabkan fibrosis hati. F. gigantica yang mampu mencapai hati adalah cacing muda yang berhasil melawan respons imunitas inang definitif. Kesimpulan Masyarakat Dusun Ateuk Pahlawan Kecamatan Baiturrahman yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kurban telah diberi penyuluhan tentang kelayakan dan kesehatan hewan kurban. Satu dari tujuh ekor sapi belum tumbuh gigi permanen sehingga tidak memenuhi syarat umur dua tahun sebagai sapi kurban. Pemeriksaan kesehatan ante- dan postmortem menunjukkan tujuh ekor sapi dinyatakan sehat. Pada organ hati sapi ditemukan cacing F. gigantica yang menginfeksi tiga ekor sapi (42,86%) dari tujuh ekor sapi kurban. Organ hati masih layak dikonsumsi setelah sarang-sarang cacing F. gigantica disingkirkan. Saran Kepada pelaksana kurban disarankan agar memisahkan antara daging dan jeroan, terutama rumen dan usus hewan. Rumen dan usus adalah bagian tubuh hewan yang berhubungan langsung dengan tinja sehingga masih ada sisa-sisa kotoran yang melekat pada organ tersebut. Sisa kotoran adalah media yang cocok untuk pertumbuhan mikroba yang dapat menurunkan kualitas daging hewan kurban. DAFTAR PUSTAKA Corner L, Melville L, McCubbin K, Small KJ, McCormick BS, Wood PR, Rothel JS. 1990. Efficiency of inspection procedures for the detection of tuberculous lesions in cattle. Aust Vet J. 67(11):389-92. Availeble at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2085291 93 Fries R. 2000. Procedures in abattoirs and meat inspection. State of the discussion on the implementation of alternative systems. Berl Munch Tierarztl Wochenschr. 113(1):1-8. Availeble at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10684177 Kaneene JB, Miller R, Meyer RM. 2006. Abattoir surveillance: the U.S. experience. Vet Microbiol. 112(2-4):273-82. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16326037 McMahon J., Kahn S., Batey R., Murray J.G., Moo D., and Sloan C. 1987. Revised postmortem inspection procedures for cattle and pigs slaughtered at Australian abattoirs. Aust Vet J. 1987, 64(6):183-7. Availeble at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3632501 Radunz B. 2006. Surveillance and risk management during the latter stages of eradication: experiences from Australia. Vet Microbiol. 112(2-4):283-90. Availeble at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16321479 Schnöller A. 2006. Guidelines for animal and meat inspection procedures in the slaughterhouse. Rev Sci Tech. 25(2):849-60. Availeble at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17094716 94