Implementasi Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Kota

advertisement
Implementasi Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Kota Bekasi
Oleh : Dr. H. Adjat Daradjat, M.Si.
Dosen LB FISIP UNLA
ABSTRACT
Implementation of public policies in the field of occupational safety and health in the city of Bekasi felt
still not optimal. This is evident from some of the indicators are as follows: the numbers are still high-risk
work; including accidents, a lot of companies that do not comply with safety and health norms, and the
number of target groups who do not understand the substance and the health and safety benefits to the
effectiveness and workfare perusahaan.Peningkatan efficiency including the protection of health and
safety, is part of the national development goals. Hence the formulation and establishment of policies
relating to it should be done properly, so that the purpose for which is to protect workers and improve
their welfare. This research uses descriptive qualitative method. Research informants as many as 10
people. Oenentuan informant research using Teknique snow ball. Secondary data collection using
literature, studies and documents using descriptive observation method triangulated approach. Results
showed findings reinforce the concept presented Edward III about the factors that influence policy
implementation. It needs to be added from the concept is the importance of attention to external factors
implementers, namely the political, social and economic environment. The third external factor besides
directly influence the effectiveness of safety and health protection.
Pendahuluan
Sejak Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja ditetapkan dan disahkan
pada tanggal 12 Januari 1970, hingga saat ini implementasi kebijakan publik di bidang keselamatan dan
kesehatan kerja dirasakan masih belum optimal. Hal ini dapat terlihat dari beberapa indikator berikut :
a) Masih tingginya angka risiko kerja, seperti jumlah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, peledakan,
kebakaran, maupun kerusakan lingkungan kerja. Hal ini merupakan akibat dari kesalahan dalam
sistem dan prosedur kerja, serta ketidakpatuhan dalam menerapkan standar keselamatan dan
kesehatan kerja.
b) Masih banyak kelompok sasaran (perusahaan dan tenaga kerja) yang belum mematuhi norma dan
standar keselamatan dan kesehatan kerja, sebagaimana ditunjukkan oleh data pelanggaran hasil
pemeriksaan pengawasan ketenagakerjaan.
c) Masih terjadi kekeliruan pemahaman pengusaha dan tenaga kerja mengenai makna dan manfaat
keselamatan dan kesehatan kerja bagi efektifitas dan efisiensi perusahaan, serta lebih jauh bagi
peningkatan kesejahteraan tenagakerja dan masyarakat.
Kerugian yang ditanggung akibat kecelakaan tersebut tidak hanya berupa kerugian langsung dalam
bentuk kompensasi yang dibayarkan, tetapi juga berupa kerugian tidak langsung, misalnya kehilangan
hari atau waktu kerja yang produktif. Karena setiap risiko kerja yang terjadi baik itu kematian, cacat
total, kehilangan tangan, kehilangan mata dan sebagainya biasanya disetarakan dengan kehilangan waktu
kerja (Simanjuntak, 2004:131)]
Salah satu faktor yang menyebabkan angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja menjadi
tinggi adalah rendahnya tingkat pemahaman pimpinan perusahaan maupun tenaga kerja, mengenai tujuan
dan manfaat keselamatan dan kesehatan kerja, serta ketidakpatuhan perusahaan untuk melaksanakan
norma dan standar yang berlaku.
Jumlah pelanggaran yang menggambarkan tingkat kepatuhan kelompok sasaran terhadap kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk :
1) Penyediaan alat pengaman kerja;
2) Penyediaan alat pelindung diri;
3) Mematuhi standar-standar keselamatan kerja yang telah ditetapkan;
4) Membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3);
5) Memberikan pembinaan pada pekerja mengenai langkah– langkah keselamatan kerja;
6) Melaksanakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3);
7) Melaporkan dalam hal terjadi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Kondisi di atas mengindikasikan terjadinya kesenjangan antara sasaran dan tujuan yang
diharapkan, dengan realitas senyatanya yang telah dicapai. Gejala ini oleh Andrew Dunsire dalam Wahab
(1997:61) dinamakan dengan implementation gap, yaitu perbedaan antara apa yang diharapkan
(direncanakan) oleh pembuat kebijakan, dengan apa yang senyatanya dicapai oleh pelaksana kebijakan.
Kesenjangan tersebut menunjukkan ketidakefektifan implementasi kebijakan perlindungan keselamatan
dan kesehatan kerja di Indonesia.
Di kota Bekasi adanya berbagai permasalahan krusial yang patut diduga merupakan faktor
penyebab tidak efektifnya
implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
tersebut. Beberapa fenomena tersebut adalah :
1)
Kapasitas sumber daya yang dimiliki pemerintah kota Bekasi untuk melaksanakan perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja tidak memadai, seperti : a) jumlah dan kompetensi tenaga
pengawas ketenagakerjaan, b) data mengenai keadaan ketenagakerjaan serta sumber-sumber risiko
yang digunakan, c) penempatan tenaga pengawas yang tidak sesuai dengan kemampuan dan
kewenangan yang dimilikinya, d) terbatasnya sumber keuangan untuk membiayai kegiatan, serta
terbatasnya fasilitas pemeriksaan dan pengujian untuk mendeteksi risiko kerja.
2)
Struktur birokrasi yang menempatkan fungsi pengawasan ketenagakerjaan untuk
mendukung
keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tidak memadai.
3)
Aksesibilitas
maupun
rentang
kendali
antar
tingkatan
pemerintahan
berkurang, yang menyebabkan terhambatnya arus informasi kebijakan.
4)
Sikap para pelaksana yang kurang mendukung, bahkan seringkali kontra produktif terhadap
keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Keempat faktor di atas merupakan kelemahan yang ditemukan pada kapasitas organisasi
penyelenggara ketenagakerjaan di kota Bekasi. Badan pelaksana merupakan bagian dari sistem kebijakan
(Dunn, 1981:46 serta Dye 1987:6), yaitu bagian dari komponen kelembagaan, proses dan perilaku
(institution, process and behaviour).
Hal yang sama dikemukakan oleh Goggin et all (1990:38) bahwa : “Organizational capacity
refers to an institution’s ability to take purposeful action; it is a function of the structural, personnel and
resource characteristics of state agencies”, yang menunjukkan bahwa faktor-faktor kapasitas badan
pelaksana menjadi penentu terhadap kemampuan bertindak (the state capacity act) dalam keefektifan
implementasi kebijakan. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Edwards III mengenai empat faktor kritis
(four critical factors) yang mempengaruhi keefektifan implementasi kebijakan publik. Keempat faktor
tersebut menurut Edwards III adalah : faktor komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana dan struktur
birokrasi.
Masalah di atas relevan untuk dilakukan penelitian dengan pertimbangan:
1.
Implementasi kebijakan yang merupakan salah satu dari dimensi kebijakan publik, seringkali
menjadi titik lemah dalam penyelenggaraan administrasi negara, khususnya dalam fungsi pelayanan
publik serta menyelesaikan urusan-urusan publik. Oleh karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang
mempengaruhi keefektifan implementasinya.
2.
Perlu diteliti sejauhmana kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat
nasional diimplementasikan di kota Bekasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Karena setiap
daerah memiliki kondisi dan karakter yang spesifik, seperti : kemampuan untuk mendapatkan
Pendapatan Asli Daerah, keputusan politik untuk menetapkan prioritas
pembangunan, kondisi
sosial, politik,
ekonomi dan budaya daerah yang sangat mempengaruhi pilihan prioritas
pembangunan.
Berdasarkan hal tersebut dirumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah implementasi
pelaksanaan kebijakan tentang keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai berbagai permasalahan,
hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di
kota Bekasi Jawa Barat.
Dari aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi dinas terkait
maupun pemerintah kota Bekasi, untuk menyempurnakan proses formulasi kebijakan perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja, maupun dalam merancang strategi implementasi kebijakan di daerah,
sehingga dapat menjadi model implementasi kebijakan yang berlaku umum.
Kajian Pustaka
1. Konsep Efektivitas Kebijakan Publik
Keefektifan (effectiveness) berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi suatu efek atau akibat yang
dikehendaki dari suatu perbuatan. Ensiklopedia umum (1977:296) menyebutkan bahwa yang dimaksud
keefektifan adalah menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan.
Sangat sulit untuk menetapkan definisi keefektifan secara tunggal, karena konsep keefektifan dapat
ditinjau dari berbagai perspektif yang berbeda. Setiap jenis atau tahapan proses kegiatan dalam suatu
organisasi dapat memberikan pandangan yang berbeda-beda mengenai keefektifan. Hal tersebut dapat
dilihat seperti di bawah ini :
Pertama, keefektifan organisasi diartikan sebagai pencapaian sasaran-sasaran dari usaha kooperatif.
Seperti dikemukakan oleh Barnard (1938:55) : “ What we mean by effectiveness … is the accomplishment
of recognized objectives of cooperative effort. The degree of accomplishment indicated the degree of
effectiveness”.
Kedua, keefektifan organisasi diukur dari sejauhmana ia mencapai tujuan dengan nilai-nilai organisasi
yang ada (Etzioni, 1964:18).
Ketiga, diukur dari sejauhmana mencapai tujuan organisasi dari tingkat kelayakannya. (Steers, 1985: 5).
Keempat, keefektifan berdasarkan tiga pendekatan yang berbeda yaitu pendekatan tujuan, pendekatan
teori sistem dan pendekatan multiple constituency. (Gibson, 1996: 38-48).
Kelima,
keefektifan
organisasi
ditinjau
dari
kemampuan
organisasi
untuk
mengeksploitasi
lingkungannya, yaitu untuk mengambil sumber daya yang langka dan bernilai untuk mencapai tujuan
organisasi. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Seashare dan Yuchtman dalam Katz dan Kahn
(1966:226) : “as the ability of an organization to exploit its environment in the acquisition of scarce of
valued resources to sustain its functioning”.
Keenam, keefektifan organisasi dipandang sebagai karakteristik struktural dari masing-masing organisasi
untuk mencapai keseimbangan tugas dan lingkungannya. Seperti dikemukakan oleh Lawrence dan Lorsch
dalam Wexley dan Yulk (1984:289) : “the less effective firms in each case had structural characteristic
that were in appropriate in many ways for their respective tasks and environment”.
Ketujuh, ukuran keefektifan bagi suatu organisasi pemerintah dapat dilihat dari sejauhmana organisasi
pemerintah dapat mencapai tujuan publik yang diinginkan, memenuhi keinginan-keinginan masyarakat
dan pelayanan prima. Seperti dikemukakan oleh Epstein (1988:11) :
Effectiveness measurement is a method for examining how well a government is meeting the public
purposes it is intended to fulfill. Put another way, effectiveness refers to the degree to which services are
responsive to the needs and desires of the community.
Dengan luasnya makna keefektifan seperti diatas, maka diperlukan ukuran-ukuran yang lebih
operasional. Sehingga Epstein (1988:13) mengusulkan 4 (empat) macam ukuran keefektifan sebagai
berikut :
1. Measures of community conditions are important measure of effectiveness as they are the most
explicit measure of community needs. These are generally the effectiveness measures that are least.
Controllable by local services, so it is important to supplement then with other, more controllable
measures of effectiveness.
2. Measures of service accomplishment can be more directly lied to a specific service program than can
general community conditions.
3. Measures of citizen or client satisfaction and perceptions cover satisfaction with public service and
perception of community conditions on the part of citizens in general, or specific clients or target
group of particular programs.
4. Measures of the unintended adverse impact of a services create needs or problem that might not
otherwise exist, or unintentionally aggravate existing problems.
Kita tidak bisa mengukur keefektifan dari perspektif tujuan saja karena banyak mengandung
beberapa kelemahan. Karena disamping adanya berbagai tujuan dalam organisasi, juga sulitnya mengukur
tujuan / sasaran yang tidak jelas kelihatan (intangible) seperti halnya sering terjadi pada organisasi
pemerintahan, maupun adanya perbedaan antara tujuan organisasi dengan tujuan anggota organisasi.
Oleh karena itu, selain dari perspektif tujuan, maka keefektifan juga dapat dilihat dengan
menggunakan model dari perspektif sistem. Hal ini dikemukakan oleh Georgopolous dan Tannenbaum
dalam Etzioni (1969: 81) sebagai berikut :
For theoritical resources, however it is preferable to look at the concept of organizational effectiveness
from the point of view of the system itself of the total organization in question rather than from stand
point as some its parts to the larger socciety.
Pendekatan teori sistem menekankan pada elemen dasar organisasi, yaitu input-proses-output, serta
pengaruh-pengaruh lingkungan yang diadaptasi.
Terdapat perbedaan yang cukup mendasar untuk mengukur tingkat keefektifan organisasi
pemerintah dengan organisasi usaha. Ukuran keefektifan dalam organisasi publik tidak hanya berdasarkan
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, tetapi melibatkan berbagai kriteria lain yang sangat spesifik.
Salah satu ukuran keefektifan bisa dilihat dari karakteristik paradigma administrasi negara baru seperti
yang diintrodusir oleh Frederickson dalam Bellone (1980: 46-49), dimana nilai-nilai yang akan
dimaksimumkan dalam administrasi negara baru adalah :
1.
Daya tanggap (responsiveness) dari pemerintah lebih meningkat terhadap masalah dan keinginan
masyarakat.
2.
Lebih meningkatnya peluang bagi para pegawai dan warga negara untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan (worker and citizen participation in decision making).
3.
Lebih diperhatikannya azas keadilan sosial (social equity) baik dalam penghasilan maupun distribusi
hasil pembangunan dan kesamaan pelayanan.
4.
Memperluas peluang bagi warga negara dalam memilih pelayanan yang diharapkannya (citizen
choice), sehingga mengurangi monopoli pelayanan oleh pemerintah.
5.
Meningkatnya
tanggungjawab
administrasi
terhadap
keefektifan
program
(administrative
responsibility for program effectiveness)
Sedangkan mengenai kriteria keefektifan dalam implementasi kebijakan publik Mazmanian dan
Sabatier mengemukakan empat kriteria yaitu : (1) kesediaan kelompok sasaran untuk mematuhi output
kebijakan, (2) dampak berupa persepsi dari kelompok sasaran, (3) dampak nyata output kebijakan, dan (4)
upaya revisi terhadap kebijakan.
Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa perilaku patuh pada
umumnya berhubungan dengan penilaian individu mengenai untung ruginya jika mematuhi peraturan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rodgers dan Bullock (1980), sebagaimana dikutip oleh Edwards III
mengungkapkan hal yang sama, bahwa tingkat kepatuhan seseorang terhadap peraturan perundangundangan merupakan fungsi dari :
(1) Kemungkinan bahwa pelanggaran akan mudah dideteksi dan diseret ke pengadilan
(2) Tersedianya sanksi-sanksi yang menghukum pelanggaran
(3) Sikap kelompok sasaran terhadap keabsahan dari kebijakan
(4) biaya bagi kepatuhan yang harus dikeluarkan.
Dampak nyata output kebijakan dapat diukur dari berbagai indikator misalnya: (1) perubahan
perilaku yang diharapkan, (2) tercapainya suatu keadaan tertentu. Persepsi seseorang mengenai dampak
kebijakan merupakan fungsi dari dampak nyata yang diwarnai dengan nilai-nilai orang yang
mempersepsinya. Roger Brown (1965) mengemukakan teori disonansi kognitif, yaitu bilamana seseorang
tidak sepakat terhadap dampak suatu kebijakan, maka ia akan memandang : (1) dampak tersebut tidak
sejalan dengan tujuan kebijakan; (2) kebijakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak sah;, dan (3)
mempertanyakan keabsahan data (validitas dari dampak tersebut).
Terjadinya perbaikan terhadap kebijakan yang dilaksanakan harus dipandang sebagai titik
kulminasi dari proses implementasi (Abdul Wahab,1997:108). Karena upaya perubahan pada dasarnya
merupakan fungsi dari persepsi terhadap kegiatan badan pelaksana dimasa lalu, terjadinya perubahanperubahan dikalangan masyarakat (termasuk kondisi sosial, ekonomi dan politik), serta perubahan posisi
strategis lembaga-lembaga atasan dari badan pelaksana.
2. Konsep dan Kebijakan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat dunia industri berlomba-lomba
melakukan efisiensi dan meningkatkan produktivitas dengan menggunakan alat-alat produksi yang
semakin kompleks. Makin canggih peralatan yang digunakan, makin besar pula potensi bahaya yang
mungkin terjadi. Akibatnya akan makin besar pula peluang terjadinya kecelakaan kerja yang dapat
ditimbulkan, apabila seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi tersebut tidak dilakukan
penanganan dan pengendalian sebaik mungkin.
Dalam perkembangan pasar bebas dunia, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah menjadi isu
global dan mempunyai kedudukan strategis, karena selain menyangkut aspek perlindungan tenaga kerja,
lingkungan kerja, cara kerja, proses produksi, sangat erat pula kaitannya dengan pelaksanaan lingkungan
hidup. Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja juga merupakan salah satu pilar tegaknya hak azasi
manusia (HAM). Hal tersebut dikemukakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Konvensi
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Tahun 2000, yang menyatakan :
Oleh karena itu diadakannya Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk menciptakan tempat kerja
yang aman dan sehat, yang dapat menjadi salah satu penentu kekuatan daya saing perusahaan,
karena kualitas pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam jangka panjang berpengaruh
terhadap kualitas manajemen dan kualitas sumber daya manusia, serta efisiensi dan produktivitas
perusahaan.
Upaya mendorong peningkatan penerapan standar keselamatan dan kesehatan kerja, selain
merupakan tugas fungsi instansi ketenagakerjaan, juga merupakan tugas dan fungsi berbagai instansi,
antara lain di bidang industri dan perdagangan, di bidang kesehatan, kalangan pengusaha. Seperti
dikemukakan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI pada seminar Perlindungan Hukum Bagi Tenaga
Kerja dan Penerapan Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di Era Globalisasi dan Otonomi Daerah
(Februari 2002), kebijakan pemerintah mengenai keselamatan kerja di bidang industri dan perdagangan
adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan di bidang iklim usaha, diantaranya menciptakan aturan yang mendorong dunia usaha untuk
memperlakukan tenaga kerja sesuai dengan norma-norma keselamatan dan kesehatan kerja.
2. Kebijakan di bidang lingkungan yaitu ketentuan melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), Unit
Pengelolaan Lingkungan (UKL), Unit Pemantauan Lingkungan(UPL) sesuai dengan masing-masing
jenis industri serta pengawasan operasionalnya secara berkelanjutan.
3. Peningkatan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan tenaga kerja
dan sekaligus sebagai upaya memperkecil tingkat kecelakaan yang diakibatkan pekerja (human
error).
4. Penerapan standar kompetensi jabatan, khususnya bagi jabatan yang dalam pekerjaannya sangat
rawan kecelakaan kerja.
5. Penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja bagi industri dan perdagangan, utamanya
yang rentan terhadap kecelakaan.
Keselamatan kerja bukan hanya memberi keuntungan kepada pengusaha dan pekerja, tetapi juga
bagi kepentingan konsumen. Hal tersebut seperti diatur di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Pasal 3 huruf (f) menyatakan: “ Tugas pokok perlindungan
konsumen adalah meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen ”.
Pada kesempatan yang lain Raul Erickson dalam seminar Occupational, Environment, Health and
Safety for Sustainable Development yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1999 menyatakan
bahwa keselamatan dan kesehatan kerja sangat besar peranannya dalam upaya meningkatkan
produktivitas perusahaan, terutama dapat mencegah korban manusia dan segala kerugian akibat
kecelakaan, dan secara positif untuk mewujudkan kualitas hidup masyarakat sesuai dengan tujuan
pembangunan.
Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Asean Occupational Safety and Health Network
(ASEAN OSHNET) tahun 2002 menunjukkan bahwa dari jumlah kecelakaan kerja yang terjadi, secara
umum dapat dikualifikasi bahwa kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan manusia (unsafe act)
mencapai sebesar 78% dan disebabkan kondisi berbahaya dari peralatan (unsafe condition) sebesar 20%
serta faktor lainnya sebesar 2%. Hal itu membuktikan bahwa perilaku manusia merupakan penyebab
utama terjadinya kecelakaan di tempat kerja.
Berkaitan dengan faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja Payaman Simanjuntak (2003:165)
mengidentifikasi penyebab-penyebab sebagai berikut:
a. pekerja yang bersangkutan tidak terampil atau tidak mengetahui cara mengoperasikan alat-alat
tersebut;
b. pekerja tidak hati-hati, lalai, dalam kondisi terlalu lelah atau dalam keadaan sakit;
c. tidak tersedia alat-alat pengaman; dan/atau
d. alat kerja atau alat produksi yang digunakan dalam keadaan tidak baik atau tidak layak pakai.
Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa pelaksanaan perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja berkaitan dengan Pemerintah, Pengusaha dan Masyarakat (tenaga kerja). Oleh karena itu
diperlukan prinsip-prinsip pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tingkat nasional,
tingkat perusahaan dan tempat kerja. Berikut ini dapat ditampilkan bagan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja di tingkat nasional, perusahaan dan tempat kerja (Kode Praktis ILO, 2002;9-33).
Tingkat Nasional
Kebijakan K3
Utk Industri
Kerangka Hkm
& Perundangundangan
Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
Pengawasan
Ketenagakerjaan
Sistem
Pelatihan
Pedoman
Tingkat Perusahaan
Sistem Manajemen K3
Kebijakan K3
Perlengkapan
Yg Aman
Tenaga Kerja
Yg Kompeten
Jasa K3
Alat
Pelindung Diri
Tempat Berteduh
Perumahan & Gizi Kerja
Tingkat Tempat Kerja
Perencanaan Lokasi
Seleksi Metode Kerja
Perlengkapan Aman
Organisasi Kerja
Operasi Aman
Catatan : K3 = Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Sumber : Draft kode Praktek Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
Kehutanan
(Genewa, ILO, 1997 hal 5)
Gambar : 2.1
Bagi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tingkat nasional yang harus diperhitungkan
Upaya-upaya keselamatan dan kesehatan kerja pada
adalah penyusunan dan penetapan
kebijakan dan undang-undang keselamatan dan kesehatan kerja, serta
tingkat nasional, perusahaan dan tempat kerja
kebijakan implementasinya di lapangan. Kebijakan ini hditinjau atau dievaluasi mengenai sejauhmana
keefektifannya dalam mengatasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja di lapangan.
Mengenai keefektifan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja Payaman
(2003:165-181) menyampaikan bahwa keberhasilan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dapat
diukur dari :
1.
Jumlah dan frekuensi kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
2.
Tingkat keparahan akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
3.
Tingkat kerugian yang terjadi baik ekonomis maupun non ekonomis;
4.
Jumlah tunjangan dan ganti rugi yang dibayarkan;
5.
Dampak akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
6.
Kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan norma dan standar keselamatan dan kesehatan kerja;
7.
Kepatuhan tenaga kerja untuk mengikuti prosedur dan mekanisme keselamatan dan kesehatan kerja;
8.
Tingkat pemahaman perusahaan dan tenaga kerja tentang tujuan dan manfaat keselamatan dan
kesehatan kerja;
9.
Jumlah kebijakan/peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan tentang keselamatan dan kesehatan
kerja.
Di lingkungan dunia internasional perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja juga telah
mendapat perhatian yang cukup besar. Hal itu dapat dilihat dari kesungguhan
Organisasi
Ketenagakerjaan Internasional (International Labour organization- ILO) telah mengeluarkan beberapa
konvensi mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu:
1. Konvensi No. 120 Tahun 1964, tentang Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor;
2. Konvensi No.155 Tahun 1981, tentang Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan Kerja;
3. Konvensi No. 174 Tahun 1993, tentang Pencegahan Bencana Kecelakaan Kerja.
Selain itu ILO telah mengeluarkan buku petunjuk Pencegahan Kecelakaan Kerja Industri atau
Code Of Practice on the Prevention of Major Industrial Accident, yang menjadi petunjuk praktis dalam
penanganan keselamatan dan kesehatan kerja pada perusahaan-perusahaan di setiap Negara.
Di Indonesia sendiri perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja telah dimulai sejak jaman
Hindia Belanda, melalui Staats Blad Nomor 20 Tahun 1852, diperbaharui dengan Veilegheids reglement
staats blad Nomor 25 Tahun 1905, dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
keselamatan kerja. Makna dari Undang-Undang tersebut adalah untuk memberi perlindungan bagi tenaga
kerja serta orang-orang yang berada di tempat kerja, agar terhindar dari resiko-resiko kecelakaan,
penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, maupun gangguan dari kondisi dan lingkungan.
Sebagaimana dimaklumi, akibat dari risiko tersebut tidak saja merugikan pekerja beserta keluarganya
tetapi juga menimbulkan kerugian bagi perusahaan dalam bentuk penambahan biaya produksi, kehilangan
waktu dan tenaga. Akibatnya harus ditanggung oleh masyarakat dalam bentuk peningkatan harga jual
hasil produksi.
Sehubungan dengan itu, dalam rangka untuk lebih menajamkan perlindungan ketenagakerjaan,
International Labour Conference ke-87 tahun 1999 dan ke-88 tahun 2000, para utusan tripartit dari
seluruh anggota telah menyepakati konsep kerja layak (decent work) dan menerapkannya. Seperti dikutip
dari hasil sidang tersebut mengenai kerja layak sebagai berikut:
In defining Decent Work (DW), the Director General identified four major components, each
reflecting four main resposiblities the ILO has to human beings in the world of work . The first
was to promote their fundamental right of work; the second was to increase availability and
quality of productive work; the third was to addres people’s vulnerabilities and contingencies at
work or whether they arise from unemployment, loss of livelihood, sickness or old age; the fourth
was to ensure social dialoque based on freedom of association and equal participation.
Di Indonesia sendiri, kebijakan perlindungan tenaga kerja telah ada sejak lama, bahkan sejak
jaman Hindia Belanda. Seperti Staat Blaad No.25 tahun 1921 tentang perlindungan tenaga kerja anak dan
wanita, Wervings Ordantie tahun 1936 tentang penempatan tenaga kerja, Undang-Undang Uap tahun
1930, dan lain-lain.
Di jaman kemerdekaan makin banyak kebijakan perlindungan tenaga kerja yang telah ditetapkan,
seperti Undang-undang Kerja Nomor 1 Tahun 1951 jo. Undang-Undang nomor 12 tahun 1948, UndangUndang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, termasuk Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Konsep perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja seperti yang diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970, bukan hanya untuk
mencegah terjadinya resiko-resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja, tetapi lebih jauh untuk
meningkatkan produktivitas kerja dan hasil usaha, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan pertumbuhan
dunia usaha, serta lebih jauh lagi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Konsep dan kebijakan perlindungan tenaga kerja perlu diimplementasikan, agar tujuan kebijakan
dapat tercapai sesuai yang diharapkan, termasuk perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk itu
telah dibentuk lembaga Pengawas Ketenagakerjaan yang bertugas mengawasi semua kebijakan
perlindungan agar ditaati oleh semua pihak.
Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan (Labour Inspection
in Industry and Commerce), mendorong setiap negara anggota ILO membentuk lembaga yang secara
khusus mengawasi pelaksanaan Undang-undang mengenai perlindungan tenaga kerja dengan
menyediakan tenaga dan sarana yang memadai.
Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947 melalui Undangundang Nomor 21 Tahun 2003. Di samping itu, Indonesia telah memiliki Undang-undang yang mengatur
tentang pengawasan ketenagakerjaan yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 jo Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1984 tentang
Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu (Integrated Labour Inspection).
Mengenai fungsi dari Pengawas Ketenagakerjaan, Heron dkk, mengatakan:
Labour Inspectors: (1) enforce the labour law and related regulations, (2) advise employers and
workers on how to comply with the law, (3) report to superiors on problems and depects not
convered by the law.In some countries inspectors perform other functions, including: (1)
promoting harmonious relations between employers and workers, (2) investigating, conciliating,
and mediating disputes between employers and workers.
Pernyataan di atas menunjukan bahwa pengawasan ketenagakerjaan memiliki fungsi penegakan
hukum, fungsi edukasi, serta fungsi mediasi dalam hal terjadinya konflik antara pekerja dengan
pengusaha. Oleh karena itu prinsip kerja pengawasan ketenagakerjaan adalah bersifat preventif, edukatif,
promotif, rehabilitatif serta refresif.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Informan penelitian sebanyak 10 orang.
Penetuan informan penelitian menggunakan snow ball technique. Pengumpulan data sekunder
menggunakan studi kepustakaan, studi dokumen dan observasi. Pengolahan data menggunakan metode
analisis deskriptif dengan pendekatan triangulasi.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi dinilai
masih belum efektif sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa indikator, yaitu : angka kecelakaan kerja dan
penyakit kerja masih tinggi,
angka gangguan pada lingkungan kerja masih tinggi,
kondisi dan
lingkungan kerja yang belum mapan, angka penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma dan
kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja masih tinggi, serta pemahaman masyarakat
khususnya masyarakat pekerja dan pengusaha mengenai tujuan, manfaat serta substansi perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja masih belum mapan. Indikator yang lebih operasional dapat dilihat dari:
rendahnya upaya untuk melakukan pencatatan dan upaya-upaya perbaikan terhadap kasus-kasus
kecelakaan dan penyakit akibat kerja; rendahnya tingkat pelaksanaan manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja melalui Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( SMK3); rendahnya
pembentukan dan efektifitas fungsi sarana perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, seperti Ahli
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (AK3), Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( P2K3),
dokter pemeriksa kesehatan, Tim Penanggulangan Kebakaran, serta rendah dan atau tidak efektifnya
penggunaan alat pengaman kerja (safety device) serta alat pelindung diri
tenaga kerja.
(safety protection) bagi
Belum efektifnya pelaksanaan kebijakan tersebut disebabkan rendahnya kapasitas organisasi yang
dimiliki oleh dinas tenaga kerja yang menangani perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota
Bekasi, mencakup : Pertama, kapasitas komunikasi, yang menggambarkan hubungan antara pemerintah
pusat sebagai perumus kebijakan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota, serta komunikasi
antara para pengawas ketenagakerjaan sebagai pelaksana dengan pimpinan perusahaan dan tenaga kerja
sebagai kelompok sasaran. Kedua, kapasitas sumber daya yang terdiri dari jumlah dan kualitas pengawas
ketenagakerjaan, kapasitas informasi, kapasitas kewenangan, kapasitas anggaran, serta fasilitas kerja dan
fasilitas sarana untuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian. Ketiga, kapasitas sikap dan perilaku
pelaksana dalam melaksanakan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Keempat,
kapasitas struktur organisasi (kelembagaan) dari unit kerja yang melaksanakan kebijakan perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja.
Kapasitas komunikasi merupakan hal yang penting dalam keefektifan pelaksanaan kebijakan
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama
ini telah terjadi hambatan komunikasi, terjadi karena : Pertama, tidak konsistennya penyampaian pesan
kebijakan, yang disebabkan lemahnya pemahaman pengawas ketenagakerjaan tentang substansi
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja serta pesan yang disampaikan bersifat kontradiktif. Kedua,
tidak jelasnya pesan yang disampaikan, sehingga membingungkan pimpinan perusahaan dan tenaga kerja.
Ketiga, proses penyampaian pesan kebijakan tidak mengikuti kaidah-kaidah komunikasi. Sehingga terjadi
kelemahan pada setiap domain komunikasi, yaitu pada domain komunikator, domain saluran komunikasi,
domain proses komunikasi, domain media komunikasi, maupun domain komunikan. Dari tiga dimensi
komunikasi kebijakan, maka dimensi konsistensi dalam proses penyampaian pesan maupun konsistensi
dari isi pesan yang disampaikan, memiliki pengaruh tertinggi. Hal ini terjadi karena inkonsistensi dalam
komunikasi kebijakan mengakibatkan timbulnya kebimbangan dari pimpinan perusahaan, menimbulkan
apatisme, bahkan mendorong timbulnya penolakan kebijakan.
Kapasitas sumber daya merupakan faktor kedua yang berpengaruh terhadap keefektifan kebijakan
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama
ini dinas yang menangani ketenagakerjaan di kota Bekasi memiliki kelemahan dalam penyediaan sumber
daya, berupa kurangnya jumlah dan kualitas pengawas ketenagakerjaan, kelemahan informasi tentang
cara pelaksanaan kebijakan dan data tentang kelompok sasaran, adanya hambatan dalam penggunaan
kewenangan pengawas ketenagakerjaan, keterbatasan anggaran yang diperlukan, serta terbatasnya
fasilitas kerja dan sarana untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian keselamatan dan kesehatan kerja.
Kelemahan tersebut selain disebabkan karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kabupaten
dan kota, juga karena lemahnya dukungan politik dari pimpinan kabupaten dan kota serta lembaga
legislatif, sehingga tidak menempatkan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai
prioritas sasaran pembangunan.
Sikap dan perilaku pengawas ketenagakerjaan merupakan kapasitas organisasi yang memiliki
kaitan terhadap keefektifan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa keefektifan pelaksanaan kebijakan tidak semata-mata ditentukan oleh
lancarnya komunikasi, tingkat pemahaman pelaksana tentang substansi kebijakan, serta jumlah sumber
daya yang tersedia, tetapi juga oleh faktor-faktor psikologis dari pengawas ketenagakerjaan yang
berkaitan dengan nilai kepentingan, latar belakang status sosial, ekonomis, pendidikan maupun nilai
budaya. Faktor-faktor psikologis tersebut mempengaruhi sikap pandang, tingkat pemahaman, tingkat
partisipasi, kerjasama, kemampuan bertindak dan mengambil keputusan. Oleh karena itu dimensi efek
dari sikap pengawas ketenagakerjaan memiliki pengaruh yang lebih besar, karena secara langsung dan
tidak langsung mempengaruhi proses pelayanan dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan
dan kesehatan kerja, mempengaruhi pemahaman pimpinan perusahaan dan tenagakerja, serta
mempengaruhi tingkat kinerja setiap petugas.
Struktur birokrasi dari organisasi pengawasan ketenagakerjaan mempunyai tingkat pengaruh
paling kecil terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
pada kabupaten dan kota di Jawa Barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun dengan sangat
sederhana, aspek-aspek pengorganisasian dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja di kota Bekasi seperti pembagian tugas, spesialisasi, rentang kendali, kesatuan komando,
maupun formalisasi melalui pembuatan prosedur operasi baku (standard operating procedures) masih
dapat dilaksanakan. Dimensi yang paling besar pengaruhnya terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja adalah dimensi pembagian tugas. Hal tersebut terjadi
karena terbatasnya jumlah dan keahlian pengawas ketenagakerjaan yang tersedia, sehingga satu orang
pengawas ketenagakerjaan harus menangani lebih dari satu jenis tugas dan tanggung jawab. Untuk
mendukung pelaksanaan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, sebenarnya
telah tersedia
bermacam-macam prosedur operasi, yang ditetapkan dan berlaku secara nasional, seperti prosedur
pemeriksaan, pengujian, pemberian ijin dan pengesahan, maupun prosedur dalam tindakan penegakan
hukum.
Faktor komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana serta struktur birokrasi pada
organisasi
pelaksana perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi, secara simultan
tingkat
keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, meskipun dengan tingkat pengaruh yang
berbeda-beda. Hal tersebut menunjukkan bahwa keempat faktor tersebut mutlak harus tersedia sebagai
kapasitas dari dinas yang menangani ketenagakerjaan di kabupaten dan kota. Apabila salah satu faktor
tidak tersedia, akan mempengaruhi tingkat keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan
dan kesehatan kerja.
Ketersediaan faktor komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana serta struktur birokrasi pada dinas
yang menangani ketenagakerjaan pada kabupaten dan kota, sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan organisasi, yaitu lingkungan politik yang menunjukkan tingkat dukungan politik dari
pimpinan kota Bekasi serta lembaga legislatif terhadap kebijakan perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja; lingkungan ekonomi, berupa kemampuan pemerintah kabupaten dan kota serta
perusahaan untuk membiayai kegiatan; serta lingkungan sosial, yang menunjukkan tingkat apresiasi
masyarakat termasuk media massa, mengenai pentingnya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Model implementasi kebijakan publik dari Edwards III, berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dapat dipandang sesuai (feasible) untuk digunakan dalam mengkaji implementasi kebijakan
publik di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, meskipun telah terjadi reposisi tingkat pengaruh dari
variabel-variabel indikator terhadap variabel-variabel eksogennya. Hal tersebut
menunjukan, bahwa
posisi variabel-variabel indikator bersifat elastis, karena tergantung pada substansi kebijakan yang diteliti
serta faktor lingkungan penelitian. Oleh karena itu hasil penelitian
menunjukkan temuan yang
memperkuat konsep yang dikemukakan Edward III, tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan.
Simpulan
Implementasi kebijakan tentang keselamatan dan kesehatan kerja belum efektif dilaksanakan
karena tingkat kecelakaan kerja sangat tinggi. Hal ini karena rendahnya kapasitas organisasi dinas tenaga
kerja yang menangani perlindungan dan keselamatan kerja. Faktor komunikasi, sumber daya, struktur
birokrasi dan disposisi merupakan faktor yang paling penting dalam implementasi kebijakan kesehatan
dan keselamatan kerja di kota Bekasi. Berdasarkan hal tersebut dapat disampaikan saran sebagai berikut :
Saran
Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja, perlu ditambahkan pentingnya memperhatikan faktor-faktor eksternal
pelaksana, yaitu lingkungan politik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan sosial. Hal tersebut sangat
penting dilakukan, mengingat badan pelaksana kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
di Bekasi adalah organisasi publik, yang keberadaan maupun dalam penyediaan kapasitas-kapasitas yang
diperlukan sangat dipengaruhi oleh dukungan politik, kemampuan ekonomi daerah,
kemampuan
keuangan perusahaan, serta dukungan masyarakat agar kebijakan perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja dijadikan prioritas pembangunan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui tingkat pengaruh dari ketiga lingkungan tersebut bagi keefektifan pelaksanaan kebijakan
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta bagi tersedianya kapasitas organisasi.
Dalam melaksanakan sosialisasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kabupaten
dan kota, perlu ditingkatkan kemampuan dan keterampilan para pengawas ketenagakerjaan dalam
melakukan komunikasi, seperti kemampuan dalam merencanakan komunikasi, merancang dan mengemas
kebijakan dalam bentuk pesan yang menarik dan mudah difahami, melakukan komunikasi interpersonal,
memilih saluran komunikasi dan media yang tepat sesuai kelompok sasaran, memahami kemungkinankemungkinan hambatan komunikasi (noise), serta kemampuan untuk merangsang para penerima pesan
agar bersedia menyampaikan umpan balik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solihin, 1991, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan
Negara, Jakarta : Bumi Aksara.
Anderson, James E, 1979, Public Policy Making, New York : Holt Rinehart and Winston.
Anderson, Allan H. and Anna Kyrianov, 1994, Effective Organization Behaviour: A Skill and ActivityBased Approach, London:Blackwell Puslishers.
Denhardt, Robert and Edwards T. Jenning S (ed), 1987, The Revitalization of The Public Services,
Columbia: University Of Missouri.
Dunn, William N. 1981. Public Policy Analysis: an Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Englewood Clift.
Edwards III, George C. 1980, Implementing Public Policy, Washington DC: Congessional Quartenly
Press.
Etzioni, Amitai, 1992, Organisasi-Organisasi Modern, terjemahan Suryatim, Jakarta: UI Press.
Fitzenz, Jac, 1987, How to Measure Human Resources Management, New York: McGraw-Hill.
Frederickson, George, H. 1980, The Lineage of New Public Administration, Alabama, USA : the
University of Alabama Press.
Gannon, Martin, Martin J., 1979, Organizational Behavior: A Managerial and Organizational
Perspective, Boston Toronto: Little Brown and company.
Gibson, James. L. et all, 1995. Organizations, eighth edition, Chicago: Richard D. Irwin, Inc.
Goggin, Malcom et all. 1980, Implementation Theory and Practice to Word a Third Generation, Illionis:
Scott, Foresman and Company Glenview.
Katz, Daniel & Roberth L. Kahn, 1978, The Social Psychology of Organization, New York : John Wiley
& Son.
Soedjatmoko, 1983, Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
Steers, Richard M., 1985, Efektifitas Organisasi (Organizational Effectiveness) a Behaviour View,
Penterjemah : Magdalena Jamin, Jakarta: Erlangga.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan
Undang-Undang No. 21 Tahun 2004 tentang Retifikasi Konvensi Ilo No. 81 Tahun 1947 tentang Jabatan
Inspector.
Wibawa, Samodra, 1994, Kebijakan Publik : Proses dan Analisis, Jakarta: Intermedia.
Wibawa, Samodra, Yuyun Purbokusumo dan Agus Pramusindo, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik,
Jakarta: Raja Grafindo.
Wieland, George F. and Roberth A. Ullrich, 1976, Organization: Behavior, Design and Change, Illions
USA: Richard D. Irwin Homewood.
Wijaya, H.A.W., 1992, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, Jakarta: Rajawali.
Winardi, J., 1987, Pengantar Tentang Sistem Informasi Manajemen, Bandung: Nova.
Download