6 BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalah atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39). Kerangka teori itu adalah suatu kumpulan teori dan literatur yang menjelakan hubungan dalam masalah tertentu. Dalam kerangka teoritis, secara logis dikembangkann dan dielaborasikan jaringan-jaringan dari asosiasi antara variabel-variabel yang diidentifikasi melalui survei dan telaah literatur (Silalahi, 2009:92). Kerangka teori diperlukan dalam suatu penelitian sebagai landasan kerangka berpikir penelitian untuk memecahkan masalah secara sistematis. Penyelesaian ini perlu disusun kerangka teori yang sesuai dengan penelitian yang akan memuat inti pemikiran, dan masalah tersebut dapat tergambarkan dari sudut mana peneliti akan membahasnya. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 2.1.1 Komunikasi Istilah komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare yang berarti “membuat sama”. Carl I. Hovland berpendapat bahwa ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap (Effendy, 2005:10). Singkatnya, komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu media dan akan menghasilkan umpan balik dari komunikan, baik berupa bahasa verbal ataupun non verbal. Komunikasi hanya dapat terjadi apabila memiliki unsur-unsur komunikasi. Unsurunsur komunikasi tersebut adalah (Cangara 2000:21-28) : Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 7 a. Sumber Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber sering disebut pengirim ataupun komunikator. b. Pesan Pesan (message, content, atau information) yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disamppaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan melalui tatap muka atau melalui media komunikasi. c. Media Media yang dimaksud di sini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Alat itu dapat berupa telepon, surat kabar, buku, stiker, poster, spanduk, dan sebagainya. Dalam komunikasi antarpribadi, pancaindra dianggap sebagai salah satu media komunikasi. d. Penerima Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai, atau negara. Penerima biasa disebut dalam berbagai istilah seperti khalayak, sasaran, komunikan, ataupun audiens. e. Pengaruh Pengaruh ataupun efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa terjadi pada pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang. f. Tanggapan balik Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai ada penerima. g. Lingkungan Lingkungan ialah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi waktu. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 8 2.1.2 Komunikasi Antarbudaya Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Menurut Alfred G. Smith (dalam Lubis 2012: 12), budaya adalah kode yang dipelajari bersama dan untuk itu dibutuhkan komunikasi. Inti penting dari budaya adalah pandangan yang bertujuan untuk mempermudah hidup dengan “mengajarkan” orang-orang bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungan. Seperti yang Triandis tuliskan dalam Samovar (2010:28), budaya “berperan untuk memperbaiki cara anggota kelompok suatu budaya beradaptasi dengan ekologi tertentu dan hal ini melibatkan pengetahuan yang dibutuhkan orang supaya meraka dapat berperan aktif dalam lingkungan sosialnya”. Edwart T. Hall (dalam Syam 2013:84) mengemukakan bahwa “komunikasi adalah budaya, dan budaya adalah komunikasi”. Hal itu membuktikan bahwa hubungan manusia dalam proses komunikasi tidak terlepas dari pengaruh budaya masingmasing pelaku komunikasi. Adapun Lubis (2012:3,44) pernah menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi. Artinya, bahwa proses komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya itu sendiri ialah proses pertukaran informasi yang terjalin antara individu-individu yang memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda. Pengaruh budaya atas individu dan masalah-masalah penyandian dan penyandian balik pesan terlukis pada gambar di bawah (lihat gambar 1). Tiga budaya diwakili dalam model ini oleh tiga bentuk geometrik yang berbeda. Budaya A dan budaya B relatif serupa dan masing-masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat berbeda dari budaya A dan B. Perbedaan yang lebih besar tampak pada bentuk melingkar budaya C dan jarak fisiknya dari budaya A dan budaya B. Gambar 1 : Model Komunikasi Antarbudaya Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 9 Sumber: Samovar dan Porter (dalam Lubis 2014:20) Komunikasi yang berlangsung di antara individu yang berbeda budaya selalu mengalami hambatan-hambatan yang disengaja maupun tidak disengaja (tanpa disadari). Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif (Chaney & Martin, 2004:11). Hambatan komunikasi dalam komunikasi antarbudaya (intercultural communication) mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di atas air (above waterline) dan di bawah air (below waterline). Faktor-faktor hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di bawah air adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosofi bisnis (business philosophy), aturan (rules), jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang (subcultures group). Jenis-jenis hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di atas air adalah fisik (physical), budaya (cultural), persepsi (perceptual), motivasi (motivational), pengalamana (experiantial), emosi (emotional), bahasa (linguistic), nonverbal, dan kompetisi (competition). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 10 2.1.3 Masyarakat Tidak ada definisi tunggal tentang masyarakat. Hal ini dikarenakan sifat manusia dalam sebuah kelompok yang dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu. Akibatnya persepsi para pakar tentang masyarakat juga berbeda satu dengan yang lain. Emile Durkheim mendefinisikan masyarakat sebagai kenyataan objektif individ-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Sedangkan Max Weber mengartikan masyarakat sebagai struktur atau aksi yang pada pokoknya ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya. Adapun Selo Seomardjan mengartikan masyarakat sebagai orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan budaya (Setiadi 2011:36). Dari berbagai pendapat tentang masyarakat, dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang bertempat tinggl di daerah tertentu dalam waktu yang relatif lama, memiliki norma-norma yang mengatur kehidupannya menuju tujuan yang dicita-citakan bersama, dan di tempat tersebut anggota-anggotanya melakukan regenerasi/beranak pinak (Setiadi 2011:37). 2.1.4 Stereotip Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotip: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tertentu, dan konflik antarkelompok. Sosiolog menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis (misalnya Sander Gilman dalam Lubis 2012:85), menekankan bahwa stereotip secara definisi tidak pernah akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada oranglainnya, tanpa memperdulikan kenyataan yang sebenarnya. Stereotip merupakan bentuk kompleks dari pengelompokan yang secara mental mengatur pengalaman kita dan mengarahkan sikap kita dalam menghadapi orangorang tertentu. Psikolog Abbate, Boca, dan Bocchiaro memberikan pengertian yang lebih formal,“Stereotip merupakan susunan kognitif yang mengandung pengetahuan, kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai kelompok sosial manusia” (dalam Samovar, 2010: 203). Alasan mengapa stereotip itu begitu Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 11 mudah menyebar adalah karena manusia memiliki kebutuhan psikologis untuk mengelompokkan dan mengklasifikasikan suatu hal. Soekanto mengatakan, bahwa stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Sedangkan Matsumoto (1996) menuliskan, stereotip adalah sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseoran terutama karakter psikologi atau sifat kepribadian. Ketika berhadapan dengan suatu hal yang tidak sama dan tidak kita ketahui, kita cenderung untuk memiliki stereotip. Stereotip bisa terjadi karena kita bertemu dengan banyak orang asing dan terkadang dihadapkan pada kesempatan yang tidak lazim. Problem utama dari stereotip ini adalah meminjam ungkapan Arnett, “komunikasi dari posisi terpolarisasikan” Gudykunst dan Kim, (1992) dalam Sihabudin (2011:120), yakni ketidakmampuan mempercayai atau secara serius menganggap pandangan sendiri sebagai sesuatu yang keliru dan pendapat orang lain sebagai sesuatu yang benar. Komunikasi ditandai dengan retorika “kami yang benar” dan “mereka yang salah”. Dengan kata lain, setiap kelompok budaya cenderung etnosentrik. Matsumoto (dalam Lubis 2012:86) memaparkan, ada tiga poin mengenai stereotip, yaitu: 1. Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta. 2. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifkasii seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain. 3. Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 12 Dalam beberapa kesempatan, stereotip merupakan hasil dari persepsi yang terbatas, malas, dan sesat. Masalah yang timbul dapat serius dan banyak. Adler mengingatkan: Stereotip menjadi masalah ketika kita menempatkan orang di tempat yang salah, ketika kita menggambarkan norma kelompok dengan tidak benar, ketika kita mengevaluasi suatu kelompok dibandingkan menjelaskannya, ketika kita mencampuradukkan stereotip dengan gambaran dari seorang individu, dan ketika kita gagal untuk mengubah stereotip berdasarkan pengamatan dan pengalaman kita yang sebenarnya. Ada 4 (empat) alasan mengapa stereotip itu menghambat komunikasi antarbudaya: 1) Sejenis penyaring; menyediakan informasi yang konsisten dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang. Dengan itu, suatu hal yang benar tidak memiliki kesempatan untuk diketahui. 2) Suatu stereotip menganggap semua orang dalam suatu kelompok memiliki sifat yang sama. Asumsi bahwa semua informasi spesifik mengenai suatu budaya diterapkan pada semua orang dari kelompok tertentu. Seperti Atkinson, Morten dan Sue tuliskan, “Stereotip merupakan konsep yang kaku tanpa mempertimbangkan keanekaragaman individu”. 3) Penghalang keberhasilan Anda sebagai seorang komunikator, biasanya berlebih-lebihan, terlalu sederhana, dan terlalu menyamaratakan. Stereotip berubah karena didasarkan pada premis dan asumsi yang setengah benar dan kadang tidak benar. Guirdham menegaskan bahwa stereotip mengubah komunikasi antarkelompok, karena mengarahkan orang pada dasar pesan mereka, cara untuk menyampaikannnya, penerimaan kelompok terhadap asumsi yang salah. 4) Jarang berubah, karena stereotip biasanya berkembang sejak awal kehidupan, terus berulang dan diperkuat dalam suatu kelompok dan berkembang setiap waktu. “Sekali terbentuk, stereotip tidak akan berubah, dan hubungan langsung kadang memperkuat asosiasi yang sudah ada mengenai kelompok target dan ciri-cirinya yang stereotip”, seperti yang ditulis oleh Meshel dan McGlynn. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 13 2.1.5 Stereotip “Dang Jolma” Di Indonesia kita masih sering mendengar stereotip-stereotip kesukuan. Misalnya, stereotip etnis yaitu orang-orang Jawa atau Sunda beranggapan bahwa mereka halus dan sopan, dan bahwa orang-orang Batak dianggap nekat, suka berbicara keras, dan suka berkelahi. Akan tetapi, orang Batak sendiri menganggap bahwa mereka pemberani, terbuka, suka berterus terang, pintar, rajin, kuat, dan tegar. Mereka menganggap orang- orang Jawa dan Sunda lebih halus dan sopan, tetapi lemah dan tidak suka berterus terang. Apa yang orang Sunda anggap kekasaran, bagi orang Batak justru kejujuran. Apa yang orang anggap kehalusan, bagi orang Batak adalah kemunafikan dan kelemahan (Sihabudin 2011:121). Lain halnya dengan stereotip gender, misalnya laki-laki harus lebih kuat, dan tidak boleh menangis. Di Indonesia pemimpin yang berhasil selalu identik dengan laki-laki. Sedangkan stereotip pekerjaan, misalnya tugas perempuan adalah melayani suami dan mengurus rumah, bukan bekerja kantoran. Perempuan dianggap kurang rasional dan lebih sering menggunakan perasaan. Berdasarkan penelitian, kuliah yang disampaikan oleh dosen berkacamata lebih dapat diterima dibandingkan bila disampaikan oleh dosen yang tak berkacamata. Bagi penduduk urban terdidik, perbedaan etnik mungkin tidak terlalu penting. Namun, hal itu boleh jadi dianggap peka oleh masyarakat kurang terdidik yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia, seperti di Sambas, antar suku Daya dan suku Madura. Disana, seperti dikemukakan oleh Rachbini (1999), suku Madura dipandang warga setempat berkarakter kasar, tidak sopan, dan tidak mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Masyarakat suku Nias juga tidak terlepas dari yang namanya stereotip. Di Kabupaten Tapanuli Tengah misalnya, masyarakat Kabupaten Tapanuli Tengah sudah sangat familiar dengan sebutan “Dang Jolma”. Adapun stereotip “Dang Jolma” ini sudah berlangsung cukup lama dan ditujukan kepada masyakarat suku Nias. Selama ini, penelitian yang berkaitan dengan istilah atau stereotip “Dang Jolma” belum pernah dikaji. Namun, secara harfiah atau etimologi, “Dang Jolma” berasal dari bahasa Batak Toba: ndang = tidak, dan jolma = manusia. Jadi secara sederhana, “dang jolma” adalah tidak manusia. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 14 2.1.6 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarmanusia, termasuk komunikasi antarbudaya, selalu mempunyai tujuan tertentu yakni menciptakan komunikasi yang efektif melalui pemaknaan yang sama atas pesan yang dipertukarkan. Secara umum, sebenarnya tujuan komunikasi antarbudaya antara lain untuk menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antarbudaya melalui perolehan informasi baru, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan, serta sekedar mendapat hiburan atau melepaskan diri. Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap orang lain, bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia (dalam Lubis, 2014:144). Kita tidak dapat menilai keefektifan komunikasi yang kita lakukan bila apa yang kita maksudkan tidak jelas, kita harus benar-benar tahu apa yang kita inginkan. Salah satu hal yang membuat definisi awal mengenai komunikasi efektif tidak memadai (“bila orang berhasil menyampaikan apa maksudnya”) adalah bahwa dalam berkomunikasi, mungkin kita menginginkan sebuah hasil atau lebih dari beberapa kemungkinan hasil yang diperoleh. Ada lima hal yang dapat dijadikan ukuran bagi komunikasi yang efektif, yakni: 1. Pemahaman Arti pokok pemahaman adalah penerimaan yang cermat atas kandungan rangsangan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Dalam hal ini, komunikator dikatakan efektif bila penerima memperoleh pemahaman yang cermat atas pesan yang disampaikannya (kadang-kadang, komunikator menyampaikan pesan tanpa disengaja, yang juga dipahami dengan baik). Kegagalan utama dalam berkomunikasi adalah ketidakberhasilan dalam menyampaikan isi pesan secara cermat. Semakin banyak jumlah orang yang terlibat dalam konteks komunikasi, semakin sulit pula menentukan seberapa cermat pesan diterima. Ini merupakan salah satu sebab mengapa diskusi kelompok seringkali berubah menjadi “arena bebas” (Lubis, 2014:148). 2. Kesenangan Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan maksud tertentu. Sebenarnya,tujuan mazhab analisis transaksional adalah sekedar berkomunikasi dengan orang lain untuk menimbulkan kesejahteraan bersama. Komunikasi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 15 semacam ini biasa disebut komunikasi fatik (phatic communication), atau mempertahanlan hubungan insani. Tingkat kesenangan dalam berkomunikasi berkaitan erat dengan perasaan kita terhadap orang yang berinteraksi dengan kita. Sapaan “Hei!”, “Apa kabar?”, adalah contoh komunikasi jenis ini. Berkencan, minum kopi, dan ramah tamah merupakan acara yang sengaja dirancang agar orang dapat memperoleh kesenangan dari perjumpaan dan obrolan-obrolan tersebut. 3. Pengaruh Sikap Tindakan mempengaruhi orang lain merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai situasi kita berusaha mempengaruhi sikap orang lain, dan berusaha agar orang lain memahami ucapan kita. Proses mengubah dan merumuskan kembali sikap, atau pengaruh sikap (attitude influence), berlangsung terus seumur hidup. Dalam hubungan antara dua orang, pengaruh sikap sering disebut “pengaruh sosial”. Dalam menentukan tingkat keberhasilan berkomunikasi, ingatlah bahwa anda bisa saja gagal mengubah sikap oranng lain, namun orang tersebut tetap dapat memahami apa yang anda maksudkan. Dengan perkataan lain, kegagalan dalam mengubah pandangan seseorang jangan disamakan dengan kegagalan dalam meningkatkan pemahaman. 4. Memperbaiki Hubungan Sebelumnya telah dikemukakan bahwa kegagalan utama dalam berkomunikasi muncul bila isi pesan tidak dipahami secara cermat. Di pihak lain, kegagalankegagalan lainnya muncul karena gangguan dalam hubungan insani yang berasal dari kesalahpahaman. Hal ini tumbuh dari rasa frustasi, kemarahan atau kebingungan (kadang-kadang muncil ketiga hal tersebut sekaligus) sebagai akibat kegagalan awal dalam pemahaman. Kegagalan jenis ini cenderung mempertentangkan komunikator-komunikator yang terlibat, maka penanganannya menjadi sulit. Dengan mengakui bahwa awal kesalahpahaman biasa muncul dalam komunikasi sehari-hari, mungkin kita dapat lebih sabar menghadapinya dan menghindarinya, atau paling tidak meminimalkan pengaruh buruhnya terhadap hubungan antarpersonal. Jenis pemahaman lainnya yyang berpengaruh besar dalam hubungan insani adalah memahami motivasi orang lain. Kadang-kadang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 16 komunikasi dilakukan bukan untuk menyampaikan informasi atau untuk mengubah sikap seseorang, tapi hanya untuk “dipahami” dalam pengertian yang kedua ini (dalam Lubis, 2014:151). 5. Tindakan Mendorong orang lain untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang kita inginkan, merupakan hasil yang paling sulit dicapai dalam berkomunikasi. Tampaknya lebih mudah mengusahakan agar pesan kita dipahami daripada mengusahakannya agar pesan kita disetujui. Lalu, lebih mudah membuat orang lain setuju daripada membuatnya bertindak (membuatnya melakukan sesuatu). Ada beberapa perilaku muncul bukan karena memerlukan perubahan sikap terlebih dahulu, namun karena paksaan, ataupun tekanan sosial. Biasanya tindakan sukarela muncul lebih dulu sebelum terjadi perubahan sikap. 2.1.7 Gaya Berkomunikasi Identitas dan citra diri kita di mata orang lain dipengaruhi oleh cara kita berkomunikasi. Penampilan kita (termasuk busana dan gaya rambut) serta perlengkapang lainnya, seperti arloji, kacamata, sepatu dan tas, akan memberi kesan kuat tentang siapa kita. Begitu juga caraa berbicara kita, termaasuk katakata yang kita pilih, kelancaran, kecepatan dan intonasi suara. Gaya berkomunikasi akan mempengaruhi simbol-simbol yang kita gunakan yaitu simbol verbal ataukah non verbal bergantung konteks komunikasi yang sedang berlangsung. Masing-masing negara maupun daerah mempunyai ciri khas tersendiri yang menunjukkan identitas budayanya. Salah satu analisis populer mengenai perbedaan gaya berkomunikasi dikemukakan oleh Edward T. Hall (dalam Lubis, 2014:129). Hal berpendapat bahwa budaya dapat diklasifikasikan ke dalam gaya komunikasi konteks tinggi dan gaya komunikasi konteks rendah. Dalam budaya konteks tinggi, makna terinternalisasikan pada orang yang bersangkutan dan pesan nonverbal lebih ditekankan. Budaya konteks tinggi kebanyakan masyarakat homogen. Komunikasi konteks tinggi merupakan kekuatan kohesif bersama yang memiliki sejarah yang panjang, lamban berubah dan berfungsi untuk menyatukan kelompok. Sebaliknya, komunikasi konteks rendah cepat dan mudah berubah, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 17 karena tidak mengikat kelompok. Oleh karena perbedaan ini, orang-orang dalam budaya konteks tinggi cenderung lebih curiga terhadap pendatang atau orang asing. Bahasa yang digunakan langsung dan lugas. Orang berbudaya konteks rendah dianggap berbicara berlebihan, mengulangulang apa yang sudah jelas, sedangkan orang berbudaya konteks tinggi gemar berdiam diri, tidak suka berterus terang dan misterius. Dalam budaya konteks tinggi ekpresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi, dan lokasi interaksi lebih bermakna. Orang dalam budaya konteks tinggi mengharapkan orang lain memahami suasana hati yang tidak terucap. Sebenarnya gaya komunikasi tidak dapat dikotomikan menjadi komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah. Namun persepsi budaya dapat menjadi suatu rujukan mengapa hal tersebut menjadi suatu rujukan. Meskipun diakui bahwa kedua gaya komunikasi tersebut bisa jadi ada dalam budaya yang sama, tetapi biasanya salah satunya mendominasi. Di bawah ini dapat dilihat perbandingan persepsi budaya komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah. Tabel 2.1 Perbandingan Persepsi Budaya Konteks Tinggi dan Budaya Konteks Rendah Low Culture Context (LCC) High Culture Context (HCC) Prosedur pengalihan informasi sukar Prosedur pengalihan informasi menjadi lebih gampang Persepsi terhadap isu dan orang yang menyebarkan isu Tidak memisahkan isu dan orang yang mengkonsumsikan Memisahkan isu dan orang yang mengkonsumsikan isu isu Persepsi terhadap tugas dan relasi Mengutamakan relasi sosial dalam melaksanakan tugas Relasi antarmanusia dalam tugas berdasarkan relasi tugas Social oriented Task oriented Personal relations Inpersonal relations Persepsi terhadap kelogisan informasi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 18 Tidak menyukai informasi yang rasional Menyukai informasi yang rasional Mengutamakan emosi Menjauhi sikap emosi Mengutamakan basa-basi Tidak mengutamakan basa-basi Persepsi terhadap gaya komunikasi Memakai gaya komunikasi tidak langsung langsung Mengutamakan pertukaran informasi secara nonverbal Memakai gaya komunikasi informasi secara verbal Mengutamakan suasana Mengutamakan perturakan komunikasi yang informal Mengutamakan suasana komunikasi yang formal Persepsi terhadap pola negosiasi Mengutamakan perundingan melalui human relations perundingan melalui bargaining Pilihan komunikasi meliputi perasaan dan intuisi Mengutamakan Pilihan komunikasi meliputi pertimbangan rasional Mengutamakan hati daripada otak Mengutamakan otak daripada hati Persepsi terhadap informasi tentang individu Mengutamakan individu dengan mempertimbangkan dukungan individu tanpa memperhatikan faktor sosial Mengutamakan kapasitas faktor sosial Mempertimbangkan loyalitas individu kepada kelompok Tidak mempertimbangkan loyalitas individu kepada kelompok Bentuk pesan atau informasi Sebagian besar pesan tersembunyi dan implisit Sebagian besar pesan jelas tampak dan eksplisit Reaksi terhadap sesuatu Reaksi terhadap sesuatu tidak selalu tampak Reaksi terhadap sesuatu selalu tampak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 19 Memandang in group dan out group Selalu luwes dalam melihat perbedaan in group dengan out Selalu memisahkan kepentingan in group dengan out group group Sifat pertalian antarpribadi Pertalian antarpribadi sangat kuat Pertalian antarpribadi sangat lemah Konsep waktu Konsep terhadap waktu sangat terbuka dan luwes Konsep terhadap waktu sangat terorganisir Sumber: Lubis, 2014 2.2 Kerangka Konsep Variabel penelitian yang terdapat pada judul atau masalah penelitian perlu dibatasi pengertiannya untuk menghindari salah maksud dalam menafsirkan konsep tersebut antara peneliti dan pembaca hasil penelitian, serta untuk membatasi penelitian itu sendiri. Tidak semua judul atau masalah dibatasi konsepnya secara harfiah, tetapi hanya konsep yang akan diuji. Pembatasan konsep dalam penelitian tidak saja menghindari salah maksud dalam memahami konsep penelitian dan membatasi penelitian, tetapi batasan konsep sangat diperlukan untuk penjabaran variabel penelitian maupun indikator variabel (Bungin, 2005:92). Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis, yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Variabel Bebas (X), yakni merupakan variabel yang menjelaskan terjadinya fokus atau topik penelitian (Prasetyo, 2005:67). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Pengaruh Stereotip “Dang Jolma” oleh Masyarakat Kelurahan Pasir Bidang. b. Variabel Terikat (Y), adalah variabel yang diakibatkan atau dipengaruhi oleh variabel bebas. Keberadaan variabel ini sebagai variabel yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 20 dijelaskan dalam fokus atau topik penelitian (Prasetyo, 2005:68). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Efektivitas Komunikasi Antarbudaya dengan Masyarakat Suku Nias. 2.3 Variabel Penelitian Tabel 2.2 Variabel Penelitian No Variabel Teoritis Variabel Operasional . 1. 2. Variabel Bebas (X) 1. Pengetahuan Stereotip Dang Jolma 2. Kepercayaan 3. Harapan Variabel Terikat (Y) 1. Pemahaman Efektivitas Komunikasi 2. Kesenangan Antarbudaya 3. Pengaruh sikap 4. Hubungan 5. Tindakan 3 Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin 2. Pekerjaan 3. Tingkat pendidikan 4. Asal suku 5. Agama Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 21 Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka untuk memudahkan penelitian, perlu dibuat variabel penelitian sebagai berikut: Tabel 2.3 Model Teoritis Variabel Bebas (X) Stereotip “Dang Jolma”: Variabel Terikat (Y) Efektivitas Komunikasi Antarbudaya: 1. Pengetahuan 2. Kepercayaan 3. Harapan 1. 2. 3. 4. 5. Pemahaman Kesenangan Pengaruh Sikap Hubungan Tindakan Karakteristik Responden: 1. Jenis Kelamin 2. Pekerjaan 3. Tingkat pendidikan 4. Asal suku 5. Agama 2.4 Definisi Operasional Definisi operasional merupakan unsut penelitian yang memberitahukan cara untuk mengukur suatu variabel. Adapun yang menjadi definisi operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel Bebas (X) Stereotip “dang jolma”, yaitu generalisasi kesan yang berarti “tidak manusia” oleh sekelompok tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif. a) Pengetahuan, yakni hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 22 b) Kepercayaan, yakni kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain dimana kita memiliki keyakinan padanya. c) Harapan, adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang. 2. Variabel Terikat (Y) a) Pemahaman, yakni penerimaan yang cermat atas kandungan rangsangan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. b) Kesenangan, yakni perasaan yang didapatkan diwaktu sekedar berkomunikasi dengan orang lain untuk menimbulkan kesejahteraan bersama. c) Pengaruh sikap, yakni hasil yang didapatkan ketika seseorang berkomunikasi untuk mempengaruhi sikap orang lain. d) Hubungan, yakni salah satu indikator untuk menentukan keefektifan komunikasi antarbudaya. Dalam hal ini hubungan yang dimaksud adalah hubungan insani. Dimana gangguan hubungan insani dipengaruhi dari rasa frustasi, kemarahan atau kebingungan sebagai akibat kegagalan awal dalam pemahaman. e) Tindakan, yakni hasil yang diharapkan ketika seseorang tersebut telah paham dan setuju terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator. 3. Karakteristik responden terdiri dari: a. Jenis Kelamin, yakni dilihat dari jenis kelamin masyarakat Kelurahan Pasir Bidang, apakah laki-laki atau perempuan. b. Pekerjaan, yakni dilihat dari jenis pekerjaan masyarakat Kelurahan Pasir Bidang, apakah guru, wirausaha, dan lain-lain. c. Tingkat Pendidikan, yakni jenjang pendidikan masyarakat Kelurahan Pasir Bidang. Baik mahasiswa, SMA, SMP, SD, bahkan masyarakat yang tidak sekolah. d. Suku, yakni dilihat dari asal suku masyarakat Kelurahan Pasir Bidang. e. Agama. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 23 2.5 Hipotesis Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang masih harus diuji kebenarannya secara empiris. Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : : Tidak terdapat pengaruh antara stereotip “dang jolma” oleh masyarakat Kelurahan Pasir Bidang terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya dengan masyarakat suku Nias di Kelurahan Pasir Bidang. : Terdapat hubungan antara stereotip “dang jolma” oleh masyarakat Kelurahan Pasir Bidang terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya dengan masyarakat suku Nias di Kelurahan Pasir Bidang. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara