BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori Setiap penelitian

advertisement
6
BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1
Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam
memecahkan masalah atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun
kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari
sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39). Kerangka teori
itu adalah suatu kumpulan teori dan literatur yang menjelakan hubungan dalam
masalah tertentu. Dalam kerangka teoritis, secara logis dikembangkann dan
dielaborasikan jaringan-jaringan dari asosiasi antara variabel-variabel yang
diidentifikasi melalui survei dan telaah literatur (Silalahi, 2009:92). Kerangka
teori diperlukan dalam suatu penelitian sebagai landasan kerangka berpikir
penelitian untuk memecahkan masalah secara sistematis. Penyelesaian ini perlu
disusun kerangka teori yang sesuai dengan penelitian yang akan memuat inti
pemikiran, dan masalah tersebut dapat tergambarkan dari sudut mana peneliti
akan membahasnya. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
2.1.1
Komunikasi
Istilah komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa
Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau
communicare yang berarti “membuat sama”. Carl I. Hovland berpendapat bahwa
ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar
asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap
(Effendy, 2005:10). Singkatnya, komunikasi merupakan proses penyampaian
pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu media dan
akan menghasilkan umpan balik dari komunikan, baik berupa bahasa verbal
ataupun non verbal.
Komunikasi hanya dapat terjadi apabila memiliki unsur-unsur komunikasi. Unsurunsur komunikasi tersebut adalah (Cangara 2000:21-28) :
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
7
a. Sumber
Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau
pengirim informasi. Sumber sering disebut pengirim ataupun komunikator.
b. Pesan
Pesan (message, content, atau information) yang dimaksud dalam proses
komunikasi adalah sesuatu yang disamppaikan pengirim kepada penerima. Pesan
dapat disampaikan melalui tatap muka atau melalui media komunikasi.
c. Media
Media yang dimaksud di sini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan
pesan dari sumber kepada penerima. Alat itu dapat berupa telepon, surat kabar,
buku, stiker, poster, spanduk, dan sebagainya. Dalam komunikasi antarpribadi,
pancaindra dianggap sebagai salah satu media komunikasi.
d. Penerima
Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber.
Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai,
atau negara. Penerima biasa disebut dalam berbagai istilah seperti khalayak,
sasaran, komunikan, ataupun audiens.
e. Pengaruh
Pengaruh ataupun efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan,
dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini
bisa terjadi pada pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang.
f. Tanggapan balik
Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk
daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan
balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan belum
sampai ada penerima.
g. Lingkungan
Lingkungan ialah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya
komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni lingkungan
sosial budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi waktu.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.2
Komunikasi Antarbudaya
Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah” yang merupakan
bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu
sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Menurut
Alfred G. Smith (dalam Lubis 2012: 12), budaya adalah kode yang dipelajari
bersama dan untuk itu dibutuhkan komunikasi. Inti penting dari budaya adalah
pandangan yang bertujuan untuk mempermudah hidup dengan “mengajarkan”
orang-orang bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungan. Seperti yang
Triandis
tuliskan
dalam
Samovar
(2010:28),
budaya
“berperan
untuk
memperbaiki cara anggota kelompok suatu budaya beradaptasi dengan ekologi
tertentu dan hal ini melibatkan pengetahuan yang dibutuhkan orang supaya
meraka dapat berperan aktif dalam lingkungan sosialnya”.
Edwart T. Hall (dalam Syam 2013:84) mengemukakan bahwa “komunikasi adalah
budaya, dan budaya adalah komunikasi”. Hal itu membuktikan bahwa hubungan
manusia dalam proses komunikasi tidak terlepas dari pengaruh budaya masingmasing pelaku komunikasi. Adapun Lubis (2012:3,44) pernah menyatakan bahwa
komunikasi antarbudaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan
kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi. Artinya, bahwa
proses komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu
budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi
antarbudaya itu sendiri ialah proses pertukaran informasi yang terjalin antara
individu-individu yang memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda.
Pengaruh budaya atas individu dan masalah-masalah penyandian dan penyandian
balik pesan terlukis pada gambar di bawah (lihat gambar 1). Tiga budaya diwakili
dalam model ini oleh tiga bentuk geometrik yang berbeda. Budaya A dan budaya
B relatif serupa dan masing-masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi
delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat
berbeda dari budaya A dan B. Perbedaan yang lebih besar tampak pada bentuk
melingkar budaya C dan jarak fisiknya dari budaya A dan budaya B.
Gambar 1 : Model Komunikasi Antarbudaya
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
9
Sumber: Samovar dan Porter (dalam Lubis 2014:20)
Komunikasi yang berlangsung di antara individu yang berbeda budaya selalu
mengalami hambatan-hambatan yang disengaja maupun tidak disengaja (tanpa
disadari). Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication
barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya
komunikasi yang efektif (Chaney & Martin, 2004:11). Hambatan komunikasi
dalam komunikasi antarbudaya (intercultural communication) mempunyai bentuk
seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Dimana hambatan
komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di atas air (above waterline) dan
di bawah air (below waterline). Faktor-faktor hambatan komunikasi antarbudaya
yang berada di bawah air adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau
sikap seseorang. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions),
norma (norms), stereotip (stereotypes), filosofi bisnis (business philosophy),
aturan (rules), jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang (subcultures
group). Jenis-jenis hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di atas air
adalah fisik (physical), budaya (cultural), persepsi (perceptual), motivasi
(motivational),
pengalamana
(experiantial),
emosi
(emotional),
bahasa
(linguistic), nonverbal, dan kompetisi (competition).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
10
2.1.3 Masyarakat
Tidak ada definisi tunggal tentang masyarakat. Hal ini dikarenakan sifat manusia
dalam sebuah kelompok yang dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu.
Akibatnya persepsi para pakar tentang masyarakat juga berbeda satu dengan yang
lain. Emile Durkheim mendefinisikan masyarakat sebagai kenyataan objektif
individ-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Sedangkan Max Weber
mengartikan masyarakat sebagai struktur atau aksi yang pada pokoknya
ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya. Adapun
Selo Seomardjan mengartikan masyarakat sebagai orang-orang yang hidup
bersama dan menghasilkan budaya (Setiadi 2011:36).
Dari berbagai pendapat tentang masyarakat, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
adalah sekelompok manusia yang bertempat tinggl di daerah tertentu dalam waktu
yang relatif lama, memiliki norma-norma yang mengatur kehidupannya menuju
tujuan yang dicita-citakan bersama, dan di tempat tersebut anggota-anggotanya
melakukan regenerasi/beranak pinak (Setiadi 2011:37).
2.1.4
Stereotip
Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula
stereotip: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola
komunikasi tentang kelompok tertentu, dan konflik antarkelompok. Sosiolog
menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok
dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis (misalnya Sander
Gilman dalam Lubis 2012:85), menekankan bahwa stereotip secara definisi tidak
pernah akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada
oranglainnya, tanpa memperdulikan kenyataan yang sebenarnya.
Stereotip merupakan bentuk kompleks dari pengelompokan yang secara mental
mengatur pengalaman kita dan mengarahkan sikap kita dalam menghadapi orangorang tertentu. Psikolog Abbate, Boca, dan Bocchiaro memberikan pengertian
yang lebih formal,“Stereotip merupakan susunan kognitif yang mengandung
pengetahuan, kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai kelompok sosial
manusia” (dalam Samovar, 2010: 203). Alasan mengapa stereotip itu begitu
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
11
mudah menyebar adalah karena manusia memiliki kebutuhan psikologis untuk
mengelompokkan dan mengklasifikasikan suatu hal.
Soekanto mengatakan, bahwa stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling
sering diterapkan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain, atau oleh
seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Sedangkan Matsumoto (1996)
menuliskan, stereotip adalah sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai
seseoran terutama karakter psikologi atau sifat kepribadian. Ketika berhadapan
dengan suatu hal yang tidak sama dan tidak kita ketahui, kita cenderung untuk
memiliki stereotip. Stereotip bisa terjadi karena kita bertemu dengan banyak
orang asing dan terkadang dihadapkan pada kesempatan yang tidak lazim.
Problem utama dari stereotip ini adalah meminjam ungkapan Arnett, “komunikasi
dari posisi terpolarisasikan” Gudykunst dan Kim, (1992) dalam Sihabudin
(2011:120), yakni ketidakmampuan mempercayai atau secara serius menganggap
pandangan sendiri sebagai sesuatu yang keliru dan pendapat orang lain sebagai
sesuatu yang benar. Komunikasi ditandai dengan retorika “kami yang benar” dan
“mereka yang salah”. Dengan kata lain, setiap kelompok budaya cenderung
etnosentrik.
Matsumoto (dalam Lubis 2012:86) memaparkan, ada tiga poin mengenai
stereotip, yaitu:
1. Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara
pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari
komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung.
Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang
keliru atau tanpa dasar fakta.
2. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa
diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifkasii seringkali kita seleksi tanpa
alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu
ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
3. Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di
dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok
mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam
kelompok tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
12
Dalam beberapa kesempatan, stereotip merupakan hasil dari persepsi yang
terbatas, malas, dan sesat. Masalah yang timbul dapat serius dan banyak. Adler
mengingatkan: Stereotip menjadi masalah ketika kita menempatkan orang di
tempat yang salah, ketika kita menggambarkan norma kelompok dengan tidak
benar, ketika kita mengevaluasi suatu kelompok dibandingkan menjelaskannya,
ketika kita mencampuradukkan stereotip dengan gambaran dari seorang individu,
dan ketika kita gagal untuk mengubah stereotip berdasarkan pengamatan dan
pengalaman kita yang sebenarnya.
Ada 4 (empat) alasan mengapa stereotip itu menghambat komunikasi
antarbudaya:
1) Sejenis penyaring; menyediakan informasi yang konsisten dengan
informasi yang dipercayai oleh seseorang. Dengan itu, suatu hal yang
benar tidak memiliki kesempatan untuk diketahui.
2) Suatu stereotip menganggap semua orang dalam suatu kelompok memiliki
sifat yang sama. Asumsi bahwa semua informasi spesifik mengenai suatu
budaya diterapkan pada semua orang dari kelompok tertentu. Seperti
Atkinson, Morten dan Sue tuliskan, “Stereotip merupakan konsep yang
kaku tanpa mempertimbangkan keanekaragaman individu”.
3) Penghalang keberhasilan Anda sebagai seorang komunikator, biasanya
berlebih-lebihan, terlalu sederhana, dan terlalu menyamaratakan. Stereotip
berubah karena didasarkan pada premis dan asumsi yang setengah benar
dan kadang tidak benar. Guirdham menegaskan bahwa stereotip mengubah
komunikasi antarkelompok, karena mengarahkan orang pada dasar pesan
mereka, cara untuk menyampaikannnya, penerimaan kelompok terhadap
asumsi yang salah.
4) Jarang berubah, karena stereotip biasanya berkembang sejak awal
kehidupan, terus berulang dan diperkuat dalam suatu kelompok dan
berkembang setiap waktu. “Sekali terbentuk, stereotip tidak akan berubah,
dan hubungan langsung kadang memperkuat asosiasi yang sudah ada
mengenai kelompok target dan ciri-cirinya yang stereotip”, seperti yang
ditulis oleh Meshel dan McGlynn.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
13
2.1.5 Stereotip “Dang Jolma”
Di Indonesia kita masih sering mendengar stereotip-stereotip kesukuan. Misalnya,
stereotip etnis yaitu orang-orang Jawa atau Sunda beranggapan bahwa mereka
halus dan sopan, dan bahwa orang-orang Batak dianggap nekat, suka berbicara
keras, dan suka berkelahi. Akan tetapi, orang Batak sendiri menganggap bahwa
mereka pemberani, terbuka, suka berterus terang, pintar, rajin, kuat, dan tegar.
Mereka menganggap orang- orang Jawa dan Sunda lebih halus dan sopan, tetapi
lemah dan tidak suka berterus terang. Apa yang orang Sunda anggap kekasaran,
bagi orang Batak justru kejujuran. Apa yang orang anggap kehalusan, bagi orang
Batak adalah kemunafikan dan kelemahan (Sihabudin 2011:121). Lain halnya
dengan stereotip gender, misalnya laki-laki harus lebih kuat, dan tidak boleh
menangis. Di Indonesia pemimpin yang berhasil selalu identik dengan laki-laki.
Sedangkan stereotip pekerjaan, misalnya tugas perempuan adalah melayani suami
dan mengurus rumah, bukan bekerja kantoran. Perempuan dianggap kurang
rasional dan lebih sering menggunakan perasaan. Berdasarkan penelitian, kuliah
yang disampaikan oleh dosen berkacamata lebih dapat diterima dibandingkan bila
disampaikan oleh dosen yang tak berkacamata.
Bagi penduduk urban terdidik, perbedaan etnik mungkin tidak terlalu penting.
Namun, hal itu boleh jadi dianggap peka oleh masyarakat kurang terdidik yang
merupakan sebagian besar penduduk Indonesia, seperti di Sambas, antar suku
Daya dan suku Madura. Disana, seperti dikemukakan oleh Rachbini (1999), suku
Madura dipandang warga setempat berkarakter kasar, tidak sopan, dan tidak
mudah beradaptasi dengan lingkungannya.
Masyarakat suku Nias juga tidak terlepas dari yang namanya stereotip. Di
Kabupaten Tapanuli Tengah misalnya, masyarakat Kabupaten Tapanuli Tengah
sudah sangat familiar dengan sebutan “Dang Jolma”. Adapun stereotip “Dang
Jolma” ini sudah berlangsung cukup lama dan ditujukan kepada masyakarat suku
Nias. Selama ini, penelitian yang berkaitan dengan istilah atau stereotip “Dang
Jolma” belum pernah dikaji. Namun, secara harfiah atau etimologi, “Dang
Jolma” berasal dari bahasa Batak Toba: ndang = tidak, dan jolma = manusia. Jadi
secara sederhana, “dang jolma” adalah tidak manusia.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
14
2.1.6 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarmanusia, termasuk komunikasi antarbudaya, selalu mempunyai
tujuan tertentu yakni menciptakan komunikasi yang efektif melalui pemaknaan
yang sama atas pesan yang dipertukarkan. Secara umum, sebenarnya tujuan
komunikasi antarbudaya antara lain untuk menyatakan identitas sosial dan
menjembatani perbedaan antarbudaya melalui perolehan informasi baru,
mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan, serta
sekedar mendapat hiburan atau melepaskan diri. Komunikasi antarbudaya yang
intensif dapat mengubah persepsi dan sikap orang lain, bahkan dapat
meningkatkan kreativitas manusia (dalam Lubis, 2014:144).
Kita tidak dapat menilai keefektifan komunikasi yang kita lakukan bila apa yang
kita maksudkan tidak jelas, kita harus benar-benar tahu apa yang kita inginkan.
Salah satu hal yang membuat definisi awal mengenai komunikasi efektif tidak
memadai (“bila orang berhasil menyampaikan apa maksudnya”) adalah bahwa
dalam berkomunikasi, mungkin kita menginginkan sebuah hasil atau lebih dari
beberapa kemungkinan hasil yang diperoleh. Ada lima hal yang dapat dijadikan
ukuran bagi komunikasi yang efektif, yakni:
1. Pemahaman
Arti pokok pemahaman adalah penerimaan yang cermat atas kandungan
rangsangan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Dalam hal ini,
komunikator dikatakan efektif bila penerima memperoleh pemahaman yang
cermat
atas
pesan
yang
disampaikannya
(kadang-kadang,
komunikator
menyampaikan pesan tanpa disengaja, yang juga dipahami dengan baik).
Kegagalan utama dalam berkomunikasi adalah ketidakberhasilan dalam
menyampaikan isi pesan secara cermat. Semakin banyak jumlah orang yang
terlibat dalam konteks komunikasi, semakin sulit pula menentukan seberapa
cermat pesan diterima. Ini merupakan salah satu sebab mengapa diskusi kelompok
seringkali berubah menjadi “arena bebas” (Lubis, 2014:148).
2. Kesenangan
Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan maksud tertentu.
Sebenarnya,tujuan mazhab analisis transaksional adalah sekedar berkomunikasi
dengan orang lain untuk menimbulkan kesejahteraan bersama. Komunikasi
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
15
semacam ini biasa disebut komunikasi fatik (phatic communication), atau
mempertahanlan hubungan insani. Tingkat kesenangan dalam berkomunikasi
berkaitan erat dengan perasaan kita terhadap orang yang berinteraksi dengan kita.
Sapaan “Hei!”, “Apa kabar?”, adalah contoh komunikasi jenis ini. Berkencan,
minum kopi, dan ramah tamah merupakan acara yang sengaja dirancang agar
orang dapat memperoleh kesenangan dari perjumpaan dan obrolan-obrolan
tersebut.
3. Pengaruh Sikap
Tindakan mempengaruhi orang lain merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dalam berbagai situasi kita berusaha mempengaruhi sikap orang lain, dan
berusaha agar orang lain memahami ucapan kita. Proses mengubah dan
merumuskan kembali sikap, atau pengaruh sikap (attitude influence), berlangsung
terus seumur hidup. Dalam hubungan antara dua orang, pengaruh sikap sering
disebut “pengaruh sosial”.
Dalam menentukan tingkat keberhasilan berkomunikasi, ingatlah bahwa anda bisa
saja gagal mengubah sikap oranng lain, namun orang tersebut tetap dapat
memahami apa yang anda maksudkan. Dengan perkataan lain, kegagalan dalam
mengubah pandangan seseorang jangan disamakan dengan kegagalan dalam
meningkatkan pemahaman.
4. Memperbaiki Hubungan
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa kegagalan utama dalam berkomunikasi
muncul bila isi pesan tidak dipahami secara cermat. Di pihak lain, kegagalankegagalan lainnya muncul karena gangguan dalam hubungan insani yang berasal
dari kesalahpahaman. Hal ini tumbuh dari rasa frustasi, kemarahan atau
kebingungan (kadang-kadang muncil ketiga hal tersebut sekaligus) sebagai akibat
kegagalan
awal
dalam
pemahaman.
Kegagalan
jenis
ini
cenderung
mempertentangkan komunikator-komunikator yang terlibat, maka penanganannya
menjadi sulit. Dengan mengakui bahwa awal kesalahpahaman biasa
muncul
dalam komunikasi sehari-hari, mungkin kita dapat lebih sabar menghadapinya dan
menghindarinya, atau paling tidak meminimalkan pengaruh buruhnya terhadap
hubungan antarpersonal. Jenis pemahaman lainnya yyang berpengaruh besar
dalam hubungan insani adalah memahami motivasi orang lain. Kadang-kadang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
16
komunikasi dilakukan bukan untuk menyampaikan informasi atau untuk
mengubah sikap seseorang, tapi hanya untuk “dipahami” dalam pengertian yang
kedua ini (dalam Lubis, 2014:151).
5. Tindakan
Mendorong orang lain untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang kita
inginkan, merupakan hasil yang paling sulit dicapai dalam berkomunikasi.
Tampaknya lebih mudah mengusahakan agar pesan kita dipahami daripada
mengusahakannya agar pesan kita disetujui. Lalu, lebih mudah membuat orang
lain setuju daripada membuatnya bertindak (membuatnya melakukan sesuatu).
Ada beberapa perilaku muncul bukan karena memerlukan perubahan sikap
terlebih dahulu, namun karena paksaan, ataupun tekanan sosial. Biasanya tindakan
sukarela muncul lebih dulu sebelum terjadi perubahan sikap.
2.1.7 Gaya Berkomunikasi
Identitas dan citra diri kita di mata orang lain dipengaruhi oleh cara kita
berkomunikasi. Penampilan kita (termasuk busana dan gaya rambut) serta
perlengkapang lainnya, seperti arloji, kacamata, sepatu dan tas, akan memberi
kesan kuat tentang siapa kita. Begitu juga caraa berbicara kita, termaasuk katakata yang kita pilih, kelancaran, kecepatan dan intonasi suara. Gaya
berkomunikasi akan mempengaruhi simbol-simbol yang kita gunakan yaitu
simbol verbal ataukah non verbal bergantung konteks komunikasi yang sedang
berlangsung. Masing-masing negara maupun daerah mempunyai ciri khas
tersendiri yang menunjukkan identitas budayanya.
Salah
satu
analisis
populer
mengenai
perbedaan
gaya
berkomunikasi
dikemukakan oleh Edward T. Hall (dalam Lubis, 2014:129). Hal berpendapat
bahwa budaya dapat diklasifikasikan ke dalam gaya komunikasi konteks tinggi
dan gaya komunikasi konteks rendah. Dalam budaya konteks tinggi, makna
terinternalisasikan pada orang yang bersangkutan dan pesan nonverbal lebih
ditekankan.
Budaya
konteks
tinggi
kebanyakan
masyarakat
homogen.
Komunikasi konteks tinggi merupakan kekuatan kohesif bersama yang memiliki
sejarah yang panjang, lamban berubah dan berfungsi untuk menyatukan
kelompok. Sebaliknya, komunikasi konteks rendah cepat dan mudah berubah,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
17
karena tidak mengikat kelompok. Oleh karena perbedaan ini, orang-orang dalam
budaya konteks tinggi cenderung lebih curiga terhadap pendatang atau orang
asing. Bahasa yang digunakan langsung dan lugas.
Orang berbudaya konteks rendah dianggap berbicara berlebihan, mengulangulang apa yang sudah jelas, sedangkan orang berbudaya konteks tinggi gemar
berdiam diri, tidak suka berterus terang dan misterius. Dalam budaya konteks
tinggi ekpresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi, dan lokasi interaksi lebih
bermakna. Orang dalam budaya konteks tinggi mengharapkan orang lain
memahami suasana hati yang tidak terucap.
Sebenarnya gaya komunikasi tidak dapat dikotomikan menjadi komunikasi
konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah. Namun persepsi budaya dapat
menjadi suatu rujukan mengapa hal tersebut menjadi suatu rujukan. Meskipun
diakui bahwa kedua gaya komunikasi tersebut bisa jadi ada dalam budaya yang
sama, tetapi biasanya salah satunya mendominasi. Di bawah ini dapat dilihat
perbandingan persepsi budaya komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks
rendah.
Tabel 2.1
Perbandingan Persepsi Budaya Konteks Tinggi dan Budaya Konteks Rendah
Low Culture Context (LCC)
High Culture Context (HCC)

Prosedur pengalihan informasi

sukar
Prosedur pengalihan informasi
menjadi lebih gampang
Persepsi terhadap isu dan orang yang menyebarkan isu

Tidak
memisahkan
isu
dan

orang yang mengkonsumsikan
Memisahkan isu dan orang yang
mengkonsumsikan isu
isu
Persepsi terhadap tugas dan relasi

Mengutamakan
relasi
sosial

dalam melaksanakan tugas
Relasi
antarmanusia
dalam
tugas berdasarkan relasi tugas

Social oriented

Task oriented

Personal relations

Inpersonal relations
Persepsi terhadap kelogisan informasi
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
18

Tidak menyukai informasi yang

rasional
Menyukai
informasi
yang
rasional

Mengutamakan emosi

Menjauhi sikap emosi

Mengutamakan basa-basi

Tidak mengutamakan basa-basi
Persepsi terhadap gaya komunikasi

Memakai gaya komunikasi tidak

langsung

langsung

Mengutamakan pertukaran
informasi secara nonverbal

Memakai gaya komunikasi
informasi secara verbal

Mengutamakan suasana
Mengutamakan perturakan
komunikasi yang informal
Mengutamakan suasana
komunikasi yang formal
Persepsi terhadap pola negosiasi

Mengutamakan perundingan

melalui human relations

perundingan
melalui bargaining
Pilihan komunikasi meliputi

perasaan dan intuisi

Mengutamakan
Pilihan
komunikasi
meliputi
pertimbangan rasional
Mengutamakan hati daripada

otak
Mengutamakan otak daripada
hati
Persepsi terhadap informasi tentang individu

Mengutamakan individu dengan
mempertimbangkan

dukungan
individu tanpa memperhatikan
faktor sosial

Mengutamakan kapasitas
faktor sosial
Mempertimbangkan
loyalitas

individu kepada kelompok
Tidak mempertimbangkan
loyalitas individu kepada
kelompok
Bentuk pesan atau informasi

Sebagian
besar
pesan

tersembunyi dan implisit
Sebagian
besar
pesan
jelas
tampak dan eksplisit
Reaksi terhadap sesuatu

Reaksi terhadap sesuatu tidak
selalu tampak

Reaksi terhadap sesuatu selalu
tampak
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
19
Memandang in group dan out group

Selalu luwes dalam melihat

perbedaan in group dengan out
Selalu memisahkan kepentingan
in group dengan out group
group
Sifat pertalian antarpribadi

Pertalian
antarpribadi
sangat

kuat
Pertalian
antarpribadi
sangat
lemah
Konsep waktu

Konsep terhadap waktu sangat
terbuka dan luwes

Konsep terhadap waktu sangat
terorganisir
Sumber: Lubis, 2014
2.2
Kerangka Konsep
Variabel penelitian yang terdapat pada judul atau masalah penelitian perlu dibatasi
pengertiannya untuk menghindari salah maksud dalam menafsirkan konsep
tersebut antara peneliti dan pembaca hasil penelitian, serta untuk membatasi
penelitian itu sendiri. Tidak semua judul atau masalah dibatasi konsepnya secara
harfiah, tetapi hanya konsep yang akan diuji. Pembatasan konsep dalam penelitian
tidak saja menghindari salah maksud dalam memahami konsep penelitian dan
membatasi penelitian, tetapi batasan konsep sangat diperlukan untuk penjabaran
variabel penelitian maupun indikator variabel (Bungin, 2005:92).
Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan
rumusan hipotesis, yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji
kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus
dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel Bebas (X), yakni merupakan variabel yang menjelaskan
terjadinya fokus atau topik penelitian (Prasetyo, 2005:67). Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah Pengaruh Stereotip “Dang Jolma” oleh
Masyarakat Kelurahan Pasir Bidang.
b. Variabel Terikat (Y), adalah variabel yang diakibatkan atau dipengaruhi
oleh variabel bebas. Keberadaan variabel ini sebagai variabel yang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
20
dijelaskan dalam fokus atau topik penelitian (Prasetyo, 2005:68). Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah Efektivitas Komunikasi Antarbudaya
dengan Masyarakat Suku Nias.
2.3
Variabel Penelitian
Tabel 2.2 Variabel Penelitian
No Variabel Teoritis
Variabel Operasional
.
1.
2.
Variabel Bebas (X)
1.
Pengetahuan
Stereotip Dang Jolma
2.
Kepercayaan
3.
Harapan
Variabel Terikat (Y)
1. Pemahaman
Efektivitas Komunikasi
2. Kesenangan
Antarbudaya
3. Pengaruh sikap
4. Hubungan
5. Tindakan
3
Karakteristik Responden 1.
Jenis Kelamin
2.
Pekerjaan
3.
Tingkat pendidikan
4.
Asal suku
5.
Agama
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
21
Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas,
maka untuk memudahkan penelitian, perlu dibuat variabel penelitian sebagai
berikut:
Tabel 2.3 Model Teoritis
Variabel Bebas (X)
Stereotip “Dang Jolma”:
Variabel Terikat (Y)
Efektivitas Komunikasi
Antarbudaya:
1. Pengetahuan
2. Kepercayaan
3. Harapan
1.
2.
3.
4.
5.
Pemahaman
Kesenangan
Pengaruh Sikap
Hubungan
Tindakan
Karakteristik Responden:
1. Jenis Kelamin
2. Pekerjaan
3. Tingkat pendidikan
4. Asal suku
5. Agama
2.4
Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan unsut penelitian yang memberitahukan cara untuk
mengukur suatu variabel. Adapun yang menjadi definisi operasional pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel Bebas (X)
Stereotip “dang jolma”, yaitu generalisasi kesan yang berarti “tidak manusia”
oleh sekelompok tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang berdasarkan
kategori yang bersifat subjektif.
a) Pengetahuan, yakni hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
22
b) Kepercayaan, yakni kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain
dimana kita memiliki keyakinan padanya.
c) Harapan, adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang
diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan berbuah kebaikan di
waktu yang akan datang.
2. Variabel Terikat (Y)
a) Pemahaman, yakni penerimaan yang cermat atas kandungan
rangsangan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan.
b) Kesenangan, yakni perasaan yang didapatkan diwaktu sekedar
berkomunikasi dengan orang lain untuk menimbulkan kesejahteraan
bersama.
c) Pengaruh sikap, yakni hasil yang didapatkan ketika seseorang
berkomunikasi untuk mempengaruhi sikap orang lain.
d) Hubungan, yakni salah satu indikator untuk menentukan keefektifan
komunikasi antarbudaya. Dalam hal ini hubungan yang dimaksud
adalah hubungan insani. Dimana
gangguan hubungan insani
dipengaruhi dari rasa frustasi, kemarahan atau kebingungan sebagai
akibat kegagalan awal dalam pemahaman.
e) Tindakan, yakni hasil yang diharapkan ketika seseorang tersebut telah
paham dan setuju terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator.
3. Karakteristik responden terdiri dari:
a. Jenis
Kelamin, yakni
dilihat
dari
jenis
kelamin
masyarakat
Kelurahan Pasir Bidang, apakah laki-laki atau perempuan.
b. Pekerjaan, yakni dilihat dari jenis pekerjaan masyarakat Kelurahan
Pasir Bidang, apakah guru, wirausaha, dan lain-lain.
c. Tingkat Pendidikan, yakni jenjang pendidikan masyarakat Kelurahan
Pasir Bidang. Baik mahasiswa, SMA, SMP, SD, bahkan masyarakat
yang tidak sekolah.
d. Suku, yakni dilihat dari asal suku masyarakat Kelurahan Pasir Bidang.
e. Agama.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
23
2.5
Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang masih harus diuji kebenarannya
secara empiris. Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
: Tidak terdapat pengaruh antara stereotip “dang jolma” oleh masyarakat
Kelurahan Pasir Bidang terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya dengan
masyarakat suku Nias di Kelurahan Pasir Bidang.
: Terdapat hubungan antara stereotip “dang jolma” oleh masyarakat
Kelurahan Pasir Bidang terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya dengan
masyarakat suku Nias di Kelurahan Pasir Bidang.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Download