kriminalisasi gratifikasi seks sebagai tindak pidana korupsi di

advertisement
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
KRIMINALISASI GRATIFIKASI SEKS SEBAGAI TINDAK
PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Aristianto Husin1, Eddy Rifai2, Nikmah Rosidah2
1
Mahasiswa Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Lampung
2
Dosen Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Lampung
Abstract: The problems in this research are about the sexual gratuities criminalization as a
corruption criminal offense in corruption offense court in Indonesia. This research is a juridical
normative research by using secondary and primary data used as a supporting data. The research
type is descriptive analysis that describes the research result and the complete discussion,
complete, cmprehensive, and systematic. Problems approach used was law approach and the
sexual gratuities criminalization in corruption criminal offense that had been done. The research
result shows that the criminalization is a complicated problem because of the act that can be
criminalized, different value and norms in the society, varied instrument choice setting in social
life, and the social change occured in the society. This problem of sexual gratuities criminalization
to criminalize must be applied in careful way, since it has relation to the personal life of human
being. Based on that fact, the sexual gratuities should be categorized to be an offense arranged in
law’s regulation in Indonesia. The application of the reversal of the Sexual Gratuities Prove
Burden which actually uses the Reversal of Burder based on Article 12 B UU No. 20 Year 200.
That the value is 10 million or more is proved by the gratuities receiver in which the value is lees
than 10 million conducted by public prosecutor.
Keywords: criminalization, corruption, sexual gratuities,
PENDAHULUAN
Pemberantasan
tindak
pidana
korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu
koridor kebijakan yang komprehensif dan
preventif. Upaya pencegahan tindak
pidana korupsi menyentuh tahapan
pemberian dalam arti yang luas
(gratifikasi) dari seseorang (pihak lain)
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai suatu tindak
pidana (suap). Undang-undang korupsi
saat ini telah memperkenalkan istilah
"gratifikasi"
sebagai
bagian
dari
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Gratifikasi yang merupakan suatu
pemberian dalam arti luas kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dapat
berpotensi
kearah
suap
apabila
berhubungan
dengan
jabatan
dan
bertentangan dengan kewajiban aparatur
Negara, namun dalam penegakan dan
penerapan
hukumnya
cenderung
menghadapi hambatan/kendala. Oleh
karena itu, pengaturan masalah gratifikasi
sebagai upaya penanggulangan atau
pemberantasan korupsi yang merupakan
bagian dari kebijakan hukum pidana,
memerlukan pengaturan yang bersifat
komprehensif.
Pengertian Gratifikasi menurut
penjelasan Pasal 12B ayat (1) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan,
fasilitas
penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi
tersebut baik yang diterima di dalam
negeri maupun di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pengecualian Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1):
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya
kepada
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(selanjutnya di singkat dengan KPK).
Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang
1
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
Nomor
31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001,
menyatakan bahwa setiap gratifikasi
kepada
pegawai
negeri
atau
penyelenggara
negara
dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, Pasal
12C ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001, yang mengatur bahwa
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada KPK.
Permasalahan timbul mengenai
munculnya istilah gratifikasi seks yaitu
suatu pemberian dalam bentuk pelayanan
seks atau gratifikasi tidak berupa uang.
Namun gratifikasi berupa kesenangan dan
kenikmatan seks yang sering terjadi dalam
berbagai transaksi bisnis maupun politik,
seperti contoh kasus pada kasus suap
impor daging dengan pelaku Ahmad
Fattanah yang tertangkap tangan berdua
dengan seorang wanita bernama Maharani
yang dicurigai sebagai gratifikasi seks dari
rekanan. KPK akhirnya membebaskan
Maharani karena dianggap tidak terkait
dengan kasus dugaan suap impor daging
sapi.1 Pada bulan November 2013
terungkapnya kasus pembunuhan yang
dilakukan oleh oknum anggota kepolisian
yang berawal dari kasus suap dan
pelayanan seks dengan tujuan untuk
membebaskan suami korban dari jeratan
hukum di Kendari Sulawesi Utara.2 Bulan
April 2013 lalu, tersangka hakim
Setyabudi
Tedjocahyono
diduga
menerima gratifikasi seksual dari Toto
Hutagalung dalam penanganan kasus
korupsi bansos Pemkot Bandung.3 Melihat
kasus tersebut, penegakan hukum terkait
1
http://www.tempo.co/read/news/2013,
yang diakses pada tanggal 21 Januari 2014.
2
http://www.kendarinews.com/content/view
/9867/259/#sthash.fr6dXkqF.dpuf,
yang
diakses pada 29 Januari 2014.
3
http://www.republika.co.id, yang diakses
pada tanggal 29 Januari 2014.
gratifikasi seks terkendala dengan aturan
perundang-undangan.
Memperhatikan defenisi yang telah
dimuat dalam penjelasan Pasal 12B ayat
(1), bahwa pemberian berupa pelayanan
seks belum ada diatur dalam regulasi
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Artinya untuk saat ini belum ada
peraturan atau undang-undang yang
menegaskan bahwa perbuatan yang
memberikan suatu pelayanan seks
(gratifikasi seks) merupakan suatu tindak
pidana korupsi. Saat ini hangat
membicarakan istilah tersebut dengan
berbagai pandangan.
Munculnya istilah gratifikasi seks
dan wacana pengaturan perbuatan tersebut
dalam Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi (Undang-Undang TIPIKOR)
merupakan suatu terobosan baru di dunia
hukum pidana yang sifatnya suatu
pembaharuan peraturan atau undangundang atas munculnya perbuatanperbuatan baru yang dapat mengarah ke
dalam suatu perbuatan yang merupakan
tindak pidana. Penulis beranggapan bahwa
gratifikasi seks dapat dikategorikan atau
dikriminalisasikan sebagai suatu bagian
dari gratifikasi yang telah diatur dalam
Undang-Undang TIPIKOR saat ini
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, karena dalam
penjelasan disebutkan bahwa pemberian
tersebut diartikan secara luas dan sifatnya
fleksibel atas perubahan-perubahan yang
terjadi
dalam
masyarakat.
Dalam
penjelasan juga disebutkan bahwa
gratifikasi tersebut dapat berupa fasilitasfasilitas lain, dalam hal ini fasilitas
tersebut dapat berupa pelayanan seks yang
diberikan kepada pejabat atau dapat juga
berupa
rabat
(discount)
dalam
memuluskan perbuatannya.
Gratifikasi seks atau pemberian
pelayanan seks tersebut kepada pejabat
perlu
dilakukan
penelitian
lebih
mendalam apakah gratifikasi seks tersebut
dapat berpengaruh terhadap kewajiban,
keputusan
pejabat
negara
yang
bersangkutan, namun hal ini telah banyak
terjadi dan sering terjadi baik dikalangan
masyarakat maupun pejabat dan menjadi
2
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
suatu rahasia umum. Ketika diangkat
kepermukaan atas wacana pemberian
sanksi, hal ini dianggap tidak ada untuk
menghilangkan perbuatannya dan telah
menjadi kebiasaan dalam kehidupan
masyarakat. Singapura
misalnya,
gratifikasi dalam bentuk jasa termasuk
seks sudah diatur dalam undang-undang,
mengapa
Indonesia
tidak
berani,
seharusnya gratifikasi seks juga bisa
dicantumkan dalam undang-undang untuk
menunjang pembuktian sebuah kasus
tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di
atas, penulis mencoba menulis tesis yang
berjudul : “Kriminalisasi Gratifikasi Seks
dalam Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini tergolong penelitian
hukum normatif menggunakan data
sekunder dan data primer digunakan
sebagai
data
penunjang.
Tipe
penelitiannya adalah deskriptif analisis,
yaitu memaparkan hasil penelitian dan
pembahasan secara rinci, lengkap,
komprehensif dan sistematis. Pendekatan
masalah
yang
digunakan
adalah
pendekatan perundang-undangan dan
kasus gratifikasi seks dalam tindak pidana
korupsi yang sudah terjadi.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Kriminalisasi Gratifikasi Seks
sebagai Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia
Gratifikasi
diartikan
sebagai
pemberian hadiah uang kepada pegawai di
luar gaji yang ditentukan. Istilah
gratifikasi sendiri sesungguhnya berasal
dari Bahasa Belanda, gratifikatie yang
kemudian diadopsi menjadi kata dalam
Bahasa Inggris yang berarti hadiah. Istilah
gratifikasi yang dalam bahasa Inggris
disebut gratification adalah istilah yang
muncul di negara-negara Anglo Saxon
dan Eropa kontinental. Istilah gratification
muncul karena sulitnya pembuktian
mengenai suap (bribery),” sebelumnya
gratification (gratifikasi) lebih banyak
dikenal sebagai gift atau pemberian
(dalam Bahasa Indonesia).4
Gratifikasi sering diidentikkan
dengan bentuk uang. Namun, saat ini
terdapat praktek gratifikasi seks dimana
pelakunya berasal dari kalangan para
pejabat atau penyelenggara negara di
negeri ini yang pada akhir-akhir ini
sedang
hangat-hangatnya
diperbincangkan. 5Ketentuan mengenai
gratifikasi seks yang ada saat ini masih
terjadi kekosongan norma, karena belum
adanya pengaturan mengenai gratifikasi
seks diatur secara jelas disertai sanksi
yang berat serta belum adanya ketentuan
sanksi bagi pelaku perempuan pemberi
layanannya. Hal ini menjadi beberapa
penyebab praktek gratifikasi seks tersebut
masih merajalela dan sulit untuk ditindak
lanjuti.
Sehingga,
banyak
pelaku
gratifikasi seks lepas dari jeratan hukum
dan cenderung untuk mengulangi
perbuatan tersebut.
Perbuatan gratifikasi seks sudah
seharusnya mendapatkan perhatian yang
khusus dari pemerintah. Hal ini
dikarenakan selain merusak moral bangsa,
gratifikasi seks juga merupakan perbuatan
yang merupakan bagian dari tindak pidana
korupsi. Untuk dapat dijatuhkan sanksi
pidana maka perbuatan gratifikasi seks
perlu suatu kriminalisasi terhadap
perbuatan tersebut.
Kriminalisasi merupakan masalah
yang kompleks dan terpisah-pisah.6
Kompleksitas kriminalisasi terletak pada
begitu banyak faktor yang terkait dan
perlu dipertimbangkan dalam proses
kriminalisasi, dan di antara faktor-faktor
4
Eddy OS Hiariej,”Memahami Gratifikasi”,
URL: http://nasional.kompas.com/read/2011/
06/13/03392292, Diakses pada tanggal 1 Mei
2014.
5
Rusman Paraqbueq, “Gratifikasi Seks
Makin Marak”, URL : http:
//www.tempo.co/read/new s/2013/06/ 21,
Diakses pada tanggal 1 Mei 2014.
6
A.P. Simester dan G R Sullivan, Criminal
Law Theory and Doctrine, Hart Publishing,
Oxford, 2000, hlm. 6.
3
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
tersebut adakalanya terdapat perbedaan
yang sangat tajam.
Kompleksitas itu berkaitan dengan
jenis perbuatan yang dapat dikriminalisasi, dimana jenis perbutan yang
dapat dikriminalisasi tersebut bukan
hanya meliputi perbuatan yang secara
esensial mengandung sifat jahat, tapi juga
mencakup perbuatan neteral yang secara
hakiki tidak mengandung unsur jahat.
Kompleksitas kriminalisasi juga
berhubungan dengan perbedaan nilai dan
norma yang dianut oleh kelompokkelompok masyarakat, baik karena
pengaruh latar belakang agama dan
budaya, maupun karena pengaruh latar
belakang pendidikan dan kelas sosial
dalam masyarakat. Perbedaan nilai dan
norma mempengaruhi penilaian terhadap
perbuatan apa yang patut dikriminalisasi
dan berpegaruh juga terhadap penilaian
atas gradasi keseriusan perbuatan yang
akan dikriminalisasikan.
Kompleksitas kriminalisasi juga
tampak dalam beragamnya pilihan
instrumen
pengaturan
kehidupan
masyarakat di mana hukum pidana hanya
salah
satu
instrumen
pengaturan
kehidupan sosial yang tersedia. Instrumen
pengaturan kehidupan sosial lainnya
adalah hukum perdata, hukum administrasi, moral, agama, disiplin, dan
kebiasaan. Hukum pidana tidak boleh
ditempatkan sebagai instrumen pertama
(primum remedium) untuk mengatur
kehidupan masyarakat, melainkan sebagai
instrument terakhir (ultimum remedium)
untuk mengontrol tingkah laku individu
dalam kehidupan bersama. Oleh karena
itu, penggunaan hukum pidana untuk
mengatur masyarakat mengenai aktivitas
tertentu bukan suatu keharusan, melainkan
hanya salah satu alternatif dari instrumeninstrumen pengaturan yang tersedia.
Kompleksitas kriminalisasi berkaitan juga dengan perubahan social
dalam masyarakat yang berlangsung
secara cepat. Perubahan sosial merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi
perubahan hukum. Bila masyarakat
berubah, maka hukum akan ikut berubah
pula.
Perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat meliputi perubahan besar
dalam
susunan
masyarakat
yang
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan
bersama dan perubahan nilai-nilai budaya
yang mempengaruhi alam pikiran,
mentalitas serta jiwa.7 Dengan kata lain,
perubahan sosial tidak hanya berarti
perubahan struktur dan fungsi masyarakat,
tetapi di dalamnya terkandung juga
perubahan nilai, sikap dan pola tingkah
laku masyarakat.8
Perubahan nilai pada dasarnya
adalah perubahan pedoman kelakuan
dalam kehidupan masyarakat. Jenis
perubahan nilai dapat dibedakan dalam
dua hal, yaitu: (1) perubahan nilai-nilai
budaya primordial yang ditentukan oleh
kelompok kekerabatan, komunikasi desa,
ke suatu sistem budaya nasional ....... , dan
(2) perubahan sistem nilai tradisional
kepada sistem nilai budaya modern.9
Akibat
perubahan sosial
tersebut,
perbuatan-perbuatan tertentu yang dulu
dikualifikasikan sebagai perbuatan tercela
atau merugikan masyarakat, kini dianggap
sebagai perbuatan yang wajar dan tidak
tercela.
Berdasarkan teori yang digunakan
sebagai pisau analisis dalam menjawab
permasalahan dalam tesis ini, berikut
adalah kriminalisasi gratifikasi seks di
Indonesia: Korupsi merupakan salah satu
kata yang cukup populer di masyarakat
dan telah menjadi tema pembicaraan
sehari-hari. Namun demikian, ternyata
masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui apa itu korupsi. Pada
umumnya, masyarakat memahami korupsi
sebagai sesuatu yang merugikan keuangan
negara semata. Padahal dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
7
Koentjaraningrat, “Pergeseran Nilai-Nilai
Budaya dalam Masa Transisi” dalam BPHN,
Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa
Transisi, Bina Cipta, Jakarta, tanpa tahun, hlm.
25.
8
Rusli Effendi dkk, Op.Cit, 1986, hlm. 6465.
9
Koentjaraningrat, Op. Cit, hlm. 26
4
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
Korupsi, ada 30 jenis tindak pidana
korupsi. Ke-30 jenis tindak pidana korupsi
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu: 1) kerugian
keuangan Negara; 2) suap-menyuap; 3)
penggelapan dalam jabatan; 4) pemerasan;
5) perbuatan curang; 6) benturan
kepentingan dalam pengadaan; dan 7)
gratifikasi.
Korupsi dari berbagai jenis yang
diatur dalam undang-undang, gratifikasi
merupakan suatu hal yang relatif baru
dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi di Indonesia. Gratifikasi diatur
dalam Pasal 12B Undang-Undang tersebut
di atas. Dalam penjelasan pasal tersebut,
gratifikasi didefinisikan sebagai suatu
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya, yang diterima di dalam negeri
maupun yang di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronika
maupun
tanpa
sarana
elektronika. Meskipun sudah diterangkan
di dalam undang-undang, ternyata masih
banyak masyarakat Indonesia yang belum
memahami definisi gratifikasi, bahkan
para pakar pun masih memperdebatkan
hal ini.
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
PerundangUndangan,
mengingatkan
kepada
pembentuk undang-undang agar selalu
memperhatikan
asas
pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik
dan asas materi muatan sebagaimana yang
di atur dalam Pasal 5, yaitu: Dalam
membentuk
Peraturan
Perundangundangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang
meliputi: 1) kejelasan tujuan; 2)
kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat; 3)kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan materi muatan; 4) dapat
dilaksanakan; 5) kedayagunaan dan
kehasilgunaan; 6) kejelasan rumusan;
dan 7) keterbukaan.
Menurut Rais Rozali bahwa
“Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik”, yang
meliputi10: 1) “asas kejelasan tujuan”,
bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2) “asas kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat”, bahwa setiap
jenis Peraturan Perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat Pembentuk Peraturan Perundangundangan yang berwenang, Peraturan
Perundang-undangan
tersebut
dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
yang tidak berwenang; 3) “asas
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi
muatan”,
bahwa
dalam
Pembentukan
Peraturan
Perundangundangan
harus
benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan; 4) “asas dapat
dilaksanakan”, bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat,
baik secara
filosofis,
sosiologis, maupun yuridis; 5) “asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan”, bahwa
setiap Peraturan perundang-undangan
dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; 6) “asas
kejelasan rumusan”, bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan
Perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta
bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya; 7) “asas keterbukaan”,
10
http://zalirais.wordpress.com/2013/09/12/a
sas-asas-dan-teori-pembentukan-perundangundangan, diakses pada tanggal 22 Maret
2014.
5
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
mulai
dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan
atau
penetapan,
dan
pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh
lapisan
masyarakat
mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut Satochid Kartanegara
secara sederhana dapat dikemukakan
bahwa hukum pidana merupakan hukum
yang mengatur tentang perbuatanperbuatan yang dilarang oleh undangundang beserta sanksi pidana yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku.11 Selain tindak
pidana umum, dikenal pula tindak pidana
khusus yang diatur di luar KUHP,
misalnya tindak pidana korupsi, tindak
pidana
ekonomi,
dan
lain-lain.12
Pengaturan mengenai Gratifikasi di
Indonesia diatur dalam undang-undang
tersendiri di luar KUHP, dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), yakni pada Pasal 12 B Ayat (1).
Di dalam Undang-Undang tersebut tidak
menyebutkan secara eksplisit bahwa
gratifikasi dapat dilakukan dengan
pemberian layanan seksual dan menyebut
Gratifikasi Seks sebagai salah satu bentuk
gratifikasi yang dapat dituntut secara
hukum.
Sehingga,
Undang-Undang
Tipikor yang berlaku saat ini dirasa
kurang memadai karena belum mampu
mengatur secara terperinci seluruh aspek
Gratifikasi Seks, yang dalam hal ini masih
terjadi adanya kekosongan norma.
Berdasarkan UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, subyek hukum gratifikasi
adalah pegawai negeri atau penyelenggara
negara. Gratifikasi dilakukan bersama
pihak ketiga (di luar pemerintahan) untuk
11
Bambang Waluyo, Pidana dan
Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000,
hlm. 6.
12
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi
Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm. 3.
tujuan tertentu, termasuk di dalamnya
menerima atau melakukan pelayanan
seksual. Gratifikasi seksual termasuk
kejahatan terorganisir dengan rapi dan
terselubung.
Berbicara tentang mendapatkan
keuntungan yang besar, maka segala
macam cara akan ditempuh agar
memenangkan sebuah tender untuk suatu
proyek. Salah satu cara yang dilakukan
yakni “Gratifikasi Seks.” Gratifikasi seks
yang dimaksudkan di sini yakni:
“Tindakan menyuap pejabat pemerintah
dengan memberikan layanan seks untuk
memperlancar urusan bisnis”.
Setiap orang pasti menginginkan
agar bisnis yang dijalankannya itu
berhasil. Apalagi berhadapan dengan
berbagai perkembangan saat ini, banyak
terjadi persaingan entah itu persaingan
yang sehat maupun persaingan yang tidak
sehat keduanya berjalan berdampingan.
Persaingan demi persaingan untuk
mengejar keuntungan begitu marak
sehingga aspek etis dan moral dari bisnis
itu sendiri terabaikan. Nilai-nilai moral
yang semestinya menjadi pegangan
dalam berbisnis menjadi sesuatu yang
relatif. Pandangan yang demikian
dipengaruhi oleh adanya cara pikir yang
menganggap nilai-nilai moral sebagai
sesuatu yang tabu atau pamali dalam
dunia bisnis. Ada keyakinan bahwa
penerapan nilai-nilai moral atau nila-nilai
etika dalam kegiatann berbisnis justru
akan berdampak pada kemunduran
bahkan kerugian dalam sebuah bisnis.
Sehingga ada ungkapan yang bebunyi:
“business is business” (paham ini biasa
disebut dengan mitos amoral).13
Bisnis dikatakan punya aturan
sendiri sehigga tidak perlu bercampur
dengan nilai atau norma-norma moral
yang kaku, mengikat dan bahkan
cenderung merugikan. Tak heran kita
melihat paham yang demikian memberi
kesempatan untuk terjadi pelanggaran
etika dan moral dalam berbisnis. Berbagai
cara kotor digunakan dalam berbisnis
13
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis: Tuntunan
dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta,
1998, hlm. 55-57
6
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
untuk bisa mencapai keuntungan. Guna
menopang cara berbisnis yang demikian
maka tiga aspek pokok dari bisnis harus
diperhatikan, yakni: aspek ekonomi, aspek
hukum dan aspek etika. Berikut
penjelasan singkat mengenai tiga aspek
itu.14: a) Aspek Ekonomi Bisnis yang
baik adalah bisnis yang saling
menguntungkan (Relasi mutualistik).
Keuntungan secara ekonomi adalah
baik dan seharusnya demikian. Tetapi
hal yang penting adalah bahwa jangan
sampai demi mengejar keuntungan,
keseimbangan ekonomi dan aspek
keadilan menjadi tidak diperhatikan
bahkan dibiarkan; b) Aspek Moral
Kendati bisnis dijalankan untuk
mendapatkan
keuntungan
secara
ekonomi, tetapi hal yang perlu untuk
diperhatikan pula adalah aspek moral
dari bisnis itu sendiri. Dalam
menjalankan bisnis banyak orang
biasanya terhambat dalam aspek ini,
yakni aspek moral. Berbagai tindakan
penyimpangan yang terjadi mengakibatkan sebuah bisnis menjadi mati dan
kacau. Tindakan suap menyuap adalah
salah satu contoh dari penyimpangan
tersebut. Dan tindakan tersebut
biasanya berujung pada kegagalan dan
pencemaran nama baik perusahaan dan
pelaku bisnis yang ada di dalamnya.
Banyak perusahaan yang berhasil dan
bertahan hingga saat ini bukan karena
berpatokan pada paham atau mitos
amoral,
tetapi
justru
karena
mempunyai dasar moral dan etika
yang baik dalam bisnis mereka. Jadi
bisnis yang baik (good business) itu
bukan saja yang menguntungkan tetapi
bisnis yang baik adalah juga bisnis
yang baik secara moral; c) Aspek
Hukum Bisnis secara langsung terikat
juga dengan hukum, yakni hukum
dagang atau hukum bisnis. Aspek
hukum sangat penting dalam sebuah
14
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis,
Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm. 17-19
bisnis agar supaya kegiatan bisnis itu
bisa berjalan dengan baik dalam
pelindungan hukum. Dengan hukum
maka segala kegiatan bisnis dapat
berjalan dengan baik, lancar dan dapat
dipertanggungjawabkan. Selain tiga
aspek itu, bisnis yang baik juga harus
berpegang pada prinsip-prinsip dasar
etika bisnis, yakni: prinsip otonomi,
kejujuran, keadilan, saling menguntungkan, prinsip integritas moral, tidak
berbuat jahat (non maleficence) dan
prinsip berbuat baik (beneficence).
Prinsip-prinsip itu mau menunjukkan bahwa dalam menjalankan
usahanya seorang palaku bisnis haruslah
orang yang otonom dengan dirinya
sendiri. Mampu membuat keputusan,
mampu membangun relasi dengan para
mitra kerja dan orang lain. Jujur dan
bertanggungjawab serta selalu mampu
bertindak adil dan bijaksana serta peduli
pada kepentingan bersama. Tidak berlaku
curang. Dan yang paling penting adalah
sikap hormat atau
respect pada diri
sendiri dan juga hormat kepada orang lain
sebagai seorang pribadi manusia yang
bermartabat dan bermoral. Artinya bahwa
seorang pelaku bisnis adalah orang yang
punya moral yang tinggi, orang yang
peduli pada nilai-nilai etis dalam
kehidupan.
Persoalan yang dihadapi oleh
manusia sebagai homo economicus saat
ini, yakni bagaimana menjalankan usaha
ekonominya atau bisnisnya agar bisa
berhasil dengan baik. Persaingan mulai
terjadi antara para pebisnis yang berjuang
mati-matian
agar
bisa
mencapai
keuntungan yang telah ditargetkan dalam
jangka waktu tertentu secara bertahap.
Persaingan- persaingan itu menimbulkan
sebuah fenomena lain dalam menjalankan
sebuah bisnis. Fenomena yang akhir-akhir
ini mulai nampak dalam rana bisnis baik
di dalam maupun di luar negeri yakni
bisnis kotor. Artinya menjalankan bisnis
dengan cara yang tidak benar. Modus
yang digunakan adalah dengan menyuap
orang-orang
yang
mempunyai
kepentingan atau pengaruh dalam sebuah
7
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
proyek bisnis, misalnya para pejabat.
Modus suap dengan layanan seks ini
adalah yang paling gencar dilakukan saat
ini. Para lady escort di tempat-tempat
hiburan atau di rumah-rumah bordil
menjadi laris manis. Tidak hanya mereka,
para mahasiswi di perguruan tinggi pun
tak ketinggalan menjajakan tubuh mereka
kepada para pengusaha untuk kemudian
dijadikan sebagai pelayan seks bagi mitra
kerja dari para pengusaha atau pebisnis.
Menurut Moeljatno ada tiga kriteria
kriminalisasi dalam proses pembaruan
hukum pidana. Pertama, penetapan suatu
perbuatan sebagai perbuatan terlarang
(perbuatan pidana) harus sesuai dengan
perasaan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Kedua, apakah ancaman
pidana dan penjatuhan pidana itu adalah
jalan yang utama untuk mencegah
dilanggarnya larangan-larangan tersebut.
Ketiga, apakah pemerintah dengan
melewati
alat-alat
negara
yang
bersangkutan, betul-betul mampu untuk
benar-benar
melaksanakan
ancaman
pidana kalau ternyata ada yang melanggar
larangan.15
Menurut Peter W. Low, dalam
melakukan kriminalisasi perlu mengukur
efek-efek yang mungkin timbul dari
pelaksanaan kriminalisasi. Ada tiga (3)
efek yang perlu diukur, yaitu, pertama,
manfaat
kriminalisasi
terhadap
masyarakat.
Pertanyaannya
adalah,
apakah kriminalisasi lebih banyak
membawa manfaat atau tidak kepada
masyarakat. Tidak mudah mengukur
manfaat kriminalisasi karena adanya
kesulitan membedakan efek pencegahan
bertahap dalam skema kriminalisasi
tertentu dari efek-efek yang bisa dicapai
dengan metode non-pidana melalui
peraturan hukum maupun sarana-sarana
kontrol sosial lain. Di samping itu, adanya
kesulitan menghitung dampak perilaku
tertentu dalam kriminalisasi. Tidak
mudah mengukur manfaat kriminalsasi
juga berkaitan dengan adanya fakta bahwa
„kriminalisasi‟ adalah sebuah variabel
yang dengan sendirinya bisa dimanipulasi
15
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT
Bina Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 5.
karena efek keperilakuan akan tergantung
pada definisi perilaku yang dilarang.
Kedua,
mengukur
biaya
kriminalisasi yang meliputi aspek
pencegahan perilaku yang bernilai sosial,
pengeluaran untuk penegakan, efek pada
individu, efek pada privasi, efek
kriminogenik, dan tarif kejahatan.
Pencegahan perilaku yang bernilai sosial
melalui
pelarangan
pidana
dapat
mencegah perilaku yang sah menurut
hukum agar tidak masuk ke perilaku yang
dilarang hukum. Besarnya efek ini
bervariasi karena tidak menentunya
pelarangan dan sifat instrumental perilaku
yang dilarang Pengeluaran biaya untuk
penegakan hukum berkaitan dengan
anggaran untuk berbagai sumberdaya
yang digunakan untuk mendeteksi dan
menghukum pelanggar. Pada sejumlah
kasus, sumberdaya yang digunakan untuk
penegakan hukum bagi pelanggaran
tertentu paling tepat dipandang sebagai
“biaya kesempatan”, yaitu sumberdaya
yang mestinya telah atau dapat digunakan
untuk menegakkan hukum pidana lain.
Selain aspek pencegahan perilaku
yang bernilai sosial dan pengeluaran
untuk penegakan, biaya kriminalisasi yang
lain adalah efek kriminalisasi pada
individu. Tidak semua „kepedihan‟
hukuman bisa diukur dengan skala
ekonomi, atau bahkan dengan skala
psikologis.
Namun,
kita
bias
mendeskripsikan
efek
penahanan,
penuntutan, pendakwaan, dan penghukuman
pada
pelanggar-pelanggar
individual. Ini meliputi pengurangan
produktivitas yang disebabkan oleh
stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan
pengungkungan, dampak buruk bagi
keluarga yang di tanggung, dan kerugian
psikis dan fisik yang bisa terjadi sebagai
akibat pemenjaraan.
Komponen biaya yang lain adalah
efek yang ditimbulkan kriminalisasi pada
privasi seseorang. Stephen dan Devlin
mengakui bahayanya mengkriminalisasi
perilaku yang terjadi dalam ranah privat
yang tidak menimbulkan kerugian bagi
orang lain. Permasalahannya adalah
bahwa
penegakan
hukum
ini
mengharuskan
polisi
menggunakan
8
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
teknik-teknik investigasi yang “intrusive”
yang melanggar privasi. Selanjutnya efek
kriminogenik
yang
timbul
akibat
kriminalisasi.
Sejumlah
pelarangan
memiliki konsekuensi kriminogenik,
yaitu, menciptakan keadaan-keadaan yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya
aktivitas kejahatan yang tidak akan terjadi
seandainya tidak ada pelarangan dalam
hal tertentu. Menurut para teoritisi
pelabelan, respon resmi terhadap suatu
penyimpangan, terutama melalui proses
stigmatisasi dalam hukum pidana,
meningkatkan
kemungkinan
penyimpangan lebih lanjut oleh individuindividu lain yang belum melakukannya.
Biaya yang harus diukur akibat
penegakan hukum yang setengah hati.
Tingkat penegakan yang sesungguhnya
ditentukan berdasar alokasi sumberdaya
penyelidikan dan penuntutan serta
prevalensi (maraknya) perilaku yang
dilarang. Di samping itu, komponen biaya
lain yang harus diukur adalah tariff
kejahatan. Pelarangan terhadap aktivitas
komersial seperti perjudian, seks,
pornografi, dan obat-obatan terlarang jelas
mengurangi pasokan barang dan jasa yang
dilarang, tapi sepanjang ada pembelinya,
maka muncul pasar komersial gelap.
Seberapa
besar
pelarangan
bisa
mengurangi
aktivitas
yang
tidak
dikehendaki sangat tergantung pada
elastisitas permintaan, yaitu respon calon
konsumen.
Berdasarkan hal tersebut di atas,
gratifikasi dalam bentuk pelayanan
seksual sesungguhnya adalah bentuk
pelanggaran HAM dan pengkhianatan
kepercayaan yang dilakukan oleh
penyelenggara negara terhadap jabatannya
dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya. Walaupun secara empirik belum
ada data yang akurat tentang ini, namun
jika dilihat berbagai sumber yang
mempublikasikan masalah gratifikasi seks
kemungkinan terbesar banyak terjadi.
Gratifikasi seks atau layanan “seks”
jika ditinjau dari segi moral maka
tindakan itu sangat melecehkan martabat
seorang wanita (entah melalui sebuah
konsensus bisnis atau pun karena
keterpaksaan). Selain itu juga tindakan
untuk menggunakan tubuh wanita atau
perempuan sebagai imbalan atau suap
kepada
seseorang
adalah
sebuah
pelanggaran terhadap
hak ketubuan
perempuan sebagai milik pribadi. Tubuh
wanita dipandang sebagai “sesuatu” atau
“benda”
yang
mempunyai
nilai
ekonomis.16
Kekuasaan membuat seseorang
tidak lagi memperlakukan orang lain
dengan penuh perhatian dan hormat,
melainkan
sebagai
bidak
yang
dimanipulasi dan dimainkan dalam
perebutan kebesaran dan keuntungan
pribadi. Dalam konteks gratifikasi seks
Henry
Kissinger
pernah
berkata:
“Kekuasaan adalah obat perangsang seks
yang terbaik.”17 Tindakan yang demikian
akibatnya merusak watak seseorang
seperti diuraikan dengan bagus oleh
negarawan Inggris abad delapan Edmund
Bruke. Ia berkata:
“Kekuasaan pelan-pelan melenyapkan
pikiran manusia dari segala sifat
kemanusiaan dan kelembutan.”18
Gratifikasi seks dalam dunia bisnis adalah
sesuatu yang sangat tidak etis karena
sangat bertentangan dengan martabat dan
kodrat manusia. Perempuan tidak lagi
dilihat sebagai seorang pribadi manusia
tetapi hanya dilihat sebagai “betina.”
Prinsip kewanitaan diturunkan ke
posisi inferior. Kita melihat bahwa
kekuasaan ternyata telah menarik banyak
orang untuk mendekat guna mendapatkan
keuntungan,
dan
perempuan
bisa
menjadikan tubuhnya sebagai umpan atau
kail yang mempermudah transaksi politik
dalam dunia bisnis.19
16
Gail Hardy, “Ketubuhan Perempuan
dalam Interaksi sosial: Suatu Masalah
Perempuan dalam Heterogenitas
kelompoknya,” dalam Perempuan dan Politik
Tubuh Fantastis, Kanisius, Yogyakarta,
1998, hlm. 120.
17
Rutf Tiffany Barnhouse, Identitas
Wanita: Bagaimana Mengenal dan
Membentuk Citra Diri, Kanisius, Yogyakarta,
1988, hlm. 77.
18
Ibid ., hal. 78.
19
Sriyuliani, (Tubuh) Perempuan dan
Moralitas Politik, (Jan-26-2013) dalam
http://sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id/opini/tubu
9
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
Egosime pribadi pebisnis untuk bisa
mencapai
keuntungan
yang
besar
kemudian membuahkan sistem dan cara
berbisnis yang tidak etis. Kesenangan
pribadi
berusaha
dicapai
dengan
mengorbankan martabat manusia yang
begitu luhur dan mulia. Egoisme diri
kemudian membawa seorang pebisnis
pada pelanggaran atas kode etik dan
prinsip-prinsip dalam sebuah bisnis.
Tindakan gratifikasi seks dalam
dunia bisnis sungguh-sungguh “tidak
benar” dan tidak dapat diterima secara
etis. Hal itu disebabkan karena tindakan
yang demikian adalah sebuah tindakan
yang ilegal dalam berbisnis serta keluar
dari prinsip bisnis. Gratifikasi seks
melanggar hampir sebagian besar prinsip
bisnis. Pertama, gratifikasi seks menunjuk
pada kurangnya prinsip otonomi dalam
diri pelaku bisnis. Pelaku bisnis tidak bisa
atau belum sepenuhnya paham tentang
dunia bisnis, dan belum mampu
mengambil keputusan yang benar dalam
menjalankan bisnis. Kedua, pelaku bisnis
belum bisa mempertahankan nilai
kejujuran dan keadilan dalam berbisnis.
Ketiga,
pelaku
bisnis
masih
mempertahankan egonya dengan hanya
mecari keuntungan untuk diri sendiri
tanpa memikirkan orang lain. Keempat,
pelaku
bisnis
kekurangan
rasa
kemanusiaan dengan tidak menaruh
respect pada diri sendiri dan orang lain
sebagai seorang pribadi yang bermartabat
luhur. Bisnis yang baik adalah bisnis fair
dan yang punya otonomi serta integritas
moral yang tinggi. Bisnis menjadi tidak
etis kalau perolehan untung dimutlakan
dan segi moral dikesampingkan. Dengan
kata lain maksimalisasi keuntungan
sebagai
satu-satunya
tujuan
akan
mengakibatkan timbulnya keadaan yang
tidak etis. Ronald Duska menegaskan
bahwa dalam berbisnis seorang pelaku
bisnis harus membedakan antara purpose
(maksud) dan motive (motivasi).20
Artinya sesorang harus menjalankan
maksud bisnisnya dengan motivasi yang
jelas. Menurut Kenneth Blanchard dan
Norman Vincent, apabila seseorang
berbisnis
hanya
untuk
mencari
keuntungan belaka tanpa memperhatikan
dan mengindahkan maksud dan aspek
penting lain dari tindakan bisnis itu
sendiri, maka ia sama dengan pemain
tenis yang hanya memperhatikan papan
angka dan tidak memperhatikan bola.21
Keuntungan itu sifatnya relatif
sedangkan nilai-nilai etis dan moral
sifatnya kekal. Bisnis yang baik adalah
bisnis yang beretika, dan bisnis yang
bertahan adalah bisnis yang berbasis pada
prinsip-prinsip yang benar serta kehendak
yang baik (good will). Immanuel Kant
mengatakan demikian: “Bertindaklah
sedemikian rupa agar tindakanmu itu
berlaku umum.”22
Berbicara mengenai pengaturan
terkait dengan gratifikasi seks, ketentuan
yang ada tidak menyebutkan secara
ekspilit perihal ketentuan pidana terhadap
gratifikasi seks. Namun, menurut Refki
Saputra23 bahwa jika kita menela‟ah
beberapa ketentuan terkait, baik pidana
materil maupun formil, akan terlihat
beberapa ketentuan hukum pidana yang
sebenarnya sudah cukup kuat untuk
menjerat pelaku gratifikasi seks tersebut,
sebagaimana penjelasan berikut:
Pertama. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor) terdiri dari 30 pasal yang
melarang
orang
untuk
korupsi.
Berdasarkan dari 30 pasal tersebut, dapat
dirinci menjadi 7 jenis korupsi,
diantaranya adalah suap (Pasal 5, 6, 11, 12
dan 13) dan gratifikasi (Pasal 12B jo.
Pasal 12C). Dalam pasal-pasal tentang
suap, terdapat frasa “memberi/menerima
sesuatu” dan “memberi/menerima hadiah
atau janji”. Sementara dalam pasal
gratifikasi, terdapat frasa “menerima
gratifikasi”. Dari ketiga frasa tersebut,
dapat ditarik benang merah, bahwa esensi
dari suap maupun gratifikasi pada
21
h-perempuan-dan-moralitas-pejabatpublik/, (diakses pada 22 Maret 2014).
20
Bertens, Op.Cit. hlm. 161.
Ibid, hlm. 162.
Ibid, hlm. 121
23
Majalah Konstitusi Edisi No.75 - mei
2013, Jakarta, hlm. 7.
22
10
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
hakikatnya adalah suatu “pemberian”.
Hanya saja suap ditujukan kepada seorang
pejabat negara untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu, sementara gratifikasi
tidak mesti untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. Namun, kedua-duanya
tergolong kepada suatu pemberian yang
dilarang dalam UU Tipikor.
Kedua. Apakah layanan seks dapat
digolongkan sebagai suatu pemberian
(suap dan gratifikasi) yang dilarang dalam
UU Tipikor? Dalam penjelasan Pasal 12B
Ayat (1), disebutkan bahwa selain uang,
barang, komisi dan lain-lain, gratifikasi
yang dimaksud dalam undang-undang
tipikor juga termasuk “fasilitas lainnya”.
Kemudian dalam Pasal 3 UU No. 11
Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap,
Yang dimaksud dengan “sesuatu atau
janji” tidak selalu berupa uang atau
barang. Undang-undang ini sampai
sekarang belum dicabut dan tentunya
masih memilki kekuatan hukum. Dengan
demikian, paling tidak kita sudah sepakat
jika suatu pemberian yang dilarang dalam
UU Tipikor tidaklah sebatas kepada uang
atau barang saja, namu lebih luas dari
pada itu. Jika layanan seks yang diberikan
kepada pejabat atau penyelenggara negara
(termasuk hakim) dimaksudkan agar
hakim berbuat atau tidak berbuat sesuatu,
maka hal tersebut termasuk suap.
Sedangkan jika diberikan tanpa adanya
perbuatan tertentu dari sang hakim, maka
itu tergolong gratifikasi.
Ketiga, Terkait dengan proses
pemeriksaan perkara suap maupun
gratifikasi seks, Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga
dengan jelas telah mengaturnya. Terhadap
tersangka maupun saksi nantinya dapat
diperiksa pada sidang yang tertutup untuk
umum.
Mengingat
suap
maupun
gratifikasi seks mengandung unsur
kesusilaan sebagaimana diatur pada Pasal
153 ayat (3). Hanya saja, terhadap putusan
tetap dibacakan dalam sidang yang
terbuka untuk umum sebagaimana diatur
pada Pasal 195.
B.
Penerapan Sistem Pembalikan
Beban Pembuktian Gratifikasi
Seks sebagai Tindak Pidana
Korupsi dalam Peradilan Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia
Pembuktian terbalik merupakan
sistem pembuktian pola baru yang
diterapkan di negara-negara Anglo Saxon.
Teori ini telah berhasil dipraktekkan di
beberapa negara, di antaranya Hong
Kong, Inggris, Malaysia, dan Singapura.
Disebut baru, karena sistem pembuktian
terbalik mengandung arti bahwa beban
pembuktian
ada
pada
terdakwa.
Terdakwalah yang harus membuktikan
bahwa dia tidak melakukan tindak pidana.
Sistem pembuktian terbalik berbeda
dengan sistem pembuktian yang selama
ini berlaku, berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Pasal 137 KUHAP, jaksa
penuntut
umumlah
yang
harus
membuktikan
apakah
terdakwa
melakukan tindak pidana. Sedangkan pada
Pasal 66 KUHAP ditegaskan bahwa
tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian.
Sistem Hukum Pidana Indonesia
meliputi hukum pidana materiil dan
hukum pidana formal. Hukum pidana
materiil terdapat dalam KUHP maupun di
luar KUHP. Kemudian hukum pidana
formal bersumber pada Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang- Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Oleh karena itu, tindak pidana
umum dalam KUHP maupun tindak
pidana khusus di luar KUHP sebagaimana
halnya tindak pidana korupsi mengenal
hukum pembuktian.
Hukum Acara Pidana mengenal 3
(tiga) teori tentang sistem pembuktian,
yaitu berupa:
Kesatu, sistem pembuktian menurut
undang-undang secara positif (Positief
Wettelijke Bewijs Theorie) dengan tolok
ukur system pembuktian tergantung
kepada eksistensi alat-alat bukti yang
secara limitative disebut dalam undangundang. Singkatnya, undang-undang telah
menentukan adanya alat-alat bukti mana
dapat dipakai hakim, cara bagaimana
hakim
harus
mempergunakannya,
kekuatan alat-alat bukti tersebut dan
bagaimana caranya hakim harus memutus
11
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
terbukti atau tidaknya perkara yang
sedang diadili.
Kedua, sistem pembuktian menurut
keyakinan hakim polarisasinya hakim
dapat menjatuhkan putusan berdasarkan
“keyakinan” belaka dengan tidak terikat
oleh Hukum Positif (ius constitutum) yang
mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi
antara lain berupa Ketetapan Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik
Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme. Kemudian UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 71 Tahun 2000, Keppres
Nomor 11 Tahun 2005, Inppres Nomor 5
Tahun 2004 dan lain sebagainya.
Ketiga, sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif (Negatief
Wettelijke Bewijs Theorie) yaitu hakim
hanya boleh menjatuhkan pidana kepada
terdakwa apabila alat bukti tersebut secara
limitatif ditentukan undangundang dan
didukung pula adanya keyakinan hakim
terhadap eksistensinya alat-alat bukti yang
bersangkutan. Ketentuan hukum positif
Indonesia tentang tindak pidana korupsi
diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999
jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Pada UU
tersebut maka ketentuan mengenai
pembuktian perkara korupsi terdapat
dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b,
Pasal 37, Pasal 37 A dan Pasal 38B.
Kebijakan legislasi pembalikan beban
pembuktian mulai terdapat dalam UU
Nomor 24 Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5
ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 1960
menyebutkan, “Setiap tersangka wajib
memberi keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda isteri/suami dan
anak dan harta benda sesuatu badan
hukum yang diurusnya, apabila diminta
oleh Jaksa”. Substansi pasal ini
mewajibkan
tersangka
memberikan
keterangan
tentang
seluruh
harta
bendanya apabila diminta oleh Jaksa.
Konsekuensinya, tanpa ada permintaan
dari Jaksa maka tersangka tidak
mempunyai kesempatan untuk memberi
keterangan
tentang
seluruh
harta
bendanya.
Kebijakan legislasi dalam UU
Nomor 3 Tahun 1971 secara eksplisit
telah mengatur pembalikan beban
pembuktian. Ketentuan Pasal 17 UU
Nomor 3 Tahun 1971, selengkapnya
sebagai berikut:
(1) Hakim
dapat
memperkenankan
terdakwa
untuk
kepentingan
pemeriksaan memberikan keterangan
tentang pembuktian bahwa ia tidak
bersalah melakukan tindak pidana
korupsi;
(2) Keterangan tentang pembuktian yang
dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia
tidak bersalah seperti dimaksud dalam
ayat (1) hanya diperkenankan dalam
hal:
(a) apabila terdakwa menerangkan dalam
pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu
menurut keinsyafan yang wajar tidak
merugikan
keuangan
atau
perekonomian negara atau
(b) apabila terdakwa menerangkan dalam
pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu
dilakukan demi kepentingan umum.
(3) Dalam
hal
terdakwa
dapat
memberikan
keterangan
tentang
pembuktian seperti dimaksud dalam
ayat (1) maka keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang
setidak-tidaknya
menguntungkan
baginya. Dalam hal demikian
Penuntut Umum tetap mempunyai
kewenangan
untuk
memberikan
pembuktian yang berlawanan;
(4) Apabila terdakwa tidak dapat
memberi
keterangan
tentang
pembuktian seperti dimaksud dalam
ayat (1) maka keterangan tersebut
12
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
dipandang sebagai hal yang setidaktidaknya merugikan baginya. Dalam
hal demikian Penuntut Umum tetap
diwajibkan memberi pembuktian
bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana korupsi
Pasal 18 UU Nomor 3 Tahun 1971
khusus mengenai kepemilikan harta benda
pelaku selengkapnya sebagai berikut:
(1) Setiap terdakwa wajib memberi
keterangan tentang seluruh harta
bendanya
dan
harta
benda
isteri/suami, anak dan setiap orang,
serta badan yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang
bersangkutan apabila diminta oleh
hakim.
(2) Bila terdakwa tidak dapat memberi
keterangan yang memuaskan disidang
pengadilan tentang sumber kekayaan
yang
tidak
seimbang
dengan
penghasilannya
atau
sumber
penambahan
kekayaannya
maka
keterangan tersebut dapat digunakan
untuk memperkuat keterangan saksi
bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
Pembalikan beban pembuktian juga
tetap diatur dalam UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Ketentuan Pasal 37 sebagai berikut:
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi;
(2) Dalam hal terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi,
maka
pembuktian
tersebut
dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti.
Penjelasan otentik ketentuan Pasal
37 tersebut menentukan, bahwa:
Ayat (1) Pasal ini sebagai konsekuensi
berimbang atas penerapan pembuktian
terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa
tetap memerlukan perlindungan hukum
yang berimbang atas pelanggaran hak-hak
yang mendasar yang berkaitan dengan
asas praduga tidak bersalah (presumption
of innocence) dan menyalahkan diri
sendiri (non self-incrimination)
Ayat (2) Ketentuan ini tidak menganut
sistim pembuktian secara negative
menurut undang-undang (negatief
wettelijk)
Ketentuan pasal ini pada hakikatnya
merupakan pembalikan beban pembuktian
yang dikhususkan pada perampasan harta
benda yang diduga keras berasal dari
tindak pidana korupsi. Akan tetapi,
perampasan harta ini tidak berlaku bagi
ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU
Nomor 20 Tahun 2001, melainkan
terhadap pelaku yang didakwa melakukan
tindak pidana pokok.
Pembalikan beban pembuktian
sebagaimana dalam ketentuan UU Nomor
20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan
dikenal terhadap kesalahan orang yang
diduga keras melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 12B
dan Pasal 37 UU 20 Tahun 2001.
Kemudian terhadap kepemilikan harta
kekayaan pelaku yang diduga keras
merupakan hasil tindak pidana korupsi
diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan
Pasal 38B ayat (2) UU Nomor 20 Tahun
2001.
Apabila dicermati maka UU tindak
pidana
korupsi
mengklasifikasikan
pembuktian menjadi 3 (tiga) sistem, yaitu:
Pertama, pembalikan beban pembuktian
dibebankan kepada terdakwa untuk
membuktikan dirinya tidak melakukan
tindak pidana korupsi. Pembalikan beban
pembuktian ini berlaku untuk tindak
pidana suap menerima gratifikasi yang
nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal
12B ayat (1) huruf a) dan terhadap harta
benda yang belum didakwakan yang ada
hubungannya dengan tindak pidana
korupsi (Pasal 38B). Apabila mengikuti
polarisasi pemikiran pembentuk UU
sebagai kebijakan legislasi, ada beberapa
pembatasan
yang
ketat
terhadap
penerapan pembalikan beban pembuktian
dikaitkan dengan hadiah yang wajar bagi
pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi
kepada aspek hanya diterapkan kepada
pemberian (gratifikasi) dalam delik suap,
pemberian tersebut dalam jumlah Rp.
13
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
10.000.000,00 atau lebih, berhubungan
dengan jabatannya (in zijn bediening) dan
yang
melakukan
pekerjaan
yang
bertentangan dengan kewajiban (in strijd
me zijn plicht) dan harus melapor ke
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kedua,
pembalikan
beban
pembuktian yang bersifat semi terbalik
atau berimbang terbalik dimana beban
pembuktian diletakkan baik terhadap
terdakwa maupun jaksa penuntut umum
secara
berimbang
terhadap
objek
pembuktian
yang
berbeda
secara
berlawanan (Pasal 37A).
Ketiga, sistem konvensional dimana
pembuktian tindak pidana korupsi dan
kesalahan terdakwa melakukan tindak
pidana korupsi dibebankan sepenuhnya
kepada jaksa penuntut umum. Aspek ini
dilakukan terhadap tindak pidana suap
menerima gratifikasi yang nilainya kurang
dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta)
rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan
tindak pidana korupsi pokok.
Sistem hukum pidana Indonesia
khususnya terhadap beban pembuktian
dalam tindak pidana korupsi secara
normatif mengenal asas pembalikan beban
pembuktian yang ditujukan terhadap
kesalahan orang (Pasal 12 B ayat (1),
Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo
UU Nomor 20 Tahun 2001) dan
kepemilikan harta benda terdakwa (Pasal
37A, Pasal 38 B UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001).
Apabila didakwa TPK menerima
suap gratifikasi, maka objek dan cara
pembuktian ialah:
Pertama, bahwa tidak ada gratifikasi yang
diterima, atau bukan terdakwa yang
menerima gratifikasi tersebut; Kedua,
bahwa jika terbukti ada sesuatu
penerimaan (gratifikasi), maka terdakwa
membuktikan bahwa penerimaan itu
bukan berhubungan dengan jabatannya
dan atau tidak berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya. Jadi mengacu
pada unsur-unsurnya, tetapi kebalikan
(negatif) yakni tidak ada unsur-unsur TPK
tersebut; Ketiga ia telah melaporkan pada
KPK tentang penerimaan itu dalam waktu
30 hari kerja sejak menerimanya. Menurut
Pasal 37 ayat (2) bila terdakwa dapat
membuktikan
seperti
itu,
maka
pembuktian tersebut dipergunakan oleh
pengadilan
sebagai
dasar
untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti. Oleh karena pembuktian
(negatif) oleh terdakwa ini mengenai
objek TPK (menerima suap gratifikasi)
tentu harus diikuti dengan diktum
pembebasan terdakwa. Disini letak sistem
terbalik justru menguntungkan terdakwa.
Karena
hakim
tidak
perlu
mempertimbangkan hasil pembuktian
JPU.24
Objek pembuktian sistem terbalik
meskipun
sangat
terbatas,
untuk
memaksimalkan
penerapannya,
diperlukan JPU mendakwakan Pasal 12B
tentang TPK menerima suap gratifikasi.
Dalam hal perkara yang tepat bagi JPU
untuk mendakwakan Pasal 12B sehingga
pembuktiannya
dapat
menggunakan
sistem terbalik, adalah dalam perkara
korupsi suap pasif yang nilainya besar
yang dilakukan dalam waktu yang lama
dan sukar pembuktiannya dengan sistem
biasa. Misalnya rekening gendut di
kepolisian yang sampai kini tidak jelas
hasil penyelidikan atau penyidikannya
atau rekening gendut para Pegawai Negeri
Sipil (PNS) pegawai dirjen Pajak yang
tidak jelas asal-usulnya.
Pembuktian satu-satu penerimaan
suap dari tiap-tiap pengusaha atau para
pencari keadilan serta kapan saat
penerimaan itu terjadi memang tidak
mudah. Hanya tepat untuk kasus-kasus
semacam itu. Sistem beban pembuktian
terbalik TPK bertumpu pada konsep
memudahkan pembuktian bagi TPK yang
sukar pembuktiannya dengan sistem biasa.
Demikianlah itulah maksud pembentuk
undang-undang
memasukkan
sistem
pembebanan pembuktian terbalik bagi
TPK suap menerima gratifikasi dalam UU
TPK.
Apabila dikaji secara selayang
pandang dimensi filosofis mengapa
kebijakan legislasi menterapkan adanya
eksistensi pembalikan beban pembuktian
24
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Bayumedia
Publishing, Malang, 2011, hlm. 83-84.
14
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
dalam tindak pidana korupsi disebabkan
ada kesulitan dalam sistem hukum pidana
Indonesia untuk melakukan pembuktian
terhadap perampasan harta kekayaan
pelaku (offender) apabila dilakukan
dengan mempergunakan teori pembuktian
negatif. Akibatnya, diperlukan ada aspek
yuridis luar biasa dan perangkat hukum
luar biasa pula berupa sistem pembalikan
beban pembuktian sehingga tetap
menjungjung tinggi asas praduga tidak
bersalah dengan tetap memperhatikan Hak
Asasi Manusia (HAM).
Sistem
pembalikan
beban
pembuktian telah diadposi dalam UU
Nomor 20 Tahun 2001. Menurut undangundang
ini,
pembuktian
terbalik
diberlakukan pada tindak pidana baru
tentang gratifikasi (pemberian), yang
berkaitan dengan suap (Pasal 12B ayat 1)
dan terhadap tuntutan perampasan harta
benda terdakwa yang diduga berasal dari
salah satu tindak pidana dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 UU Nomor 31 Tahun
1999, serta Pasal 5 sampai Pasal 12 UU
Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang
ini juga merincikan pengertian gratifikasi
secara luas. Jadi, pemberian seperti
komisi, persenan, imbalan, hadiah,
“upeti”, bahkan pungutan liar, bisa masuk
dalam pengertian tersebut.
Berdasarkan sistem pembuktian
terbalik, terdakwa berhak membuktikan di
persidangan bahwa gratifikasi yang
bernilai Rp 10 juta atau lebih yang
diterimanya bukanlah suap. Terdakwa
juga berhak membuktikan bahwa harta
kekayaannya, bahkan termasuk pula harta
kekayaan istri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan dengan
perkaranya, bukanlah berasal dari korupsi.
Perlindungan bagi hak terdakwa ini bisa
dikatakan
merupakan
jaminan
keseimbangan
karena,
menurut
pembuktian terbalik, terdakwa telah
dianggap melakukan korupsi. Yang perlu
digarisbawahi,
pembalikan
beban
pembuktian diberlakukan pada proses
pengadilan, bukan di tahapan penyidikan
ataupun penuntutan. Karena itu, penyidik
ataupun penuntut umum harus profesional
dalam memproses dan memutuskan “bukti
permulaan yang cukup” bahwa tersangka
atau terdakwa diduga melakukan korupsi,
termasuk pula dalam proses penyitaan
harta kekayaan tersangka. Penerapan
pembuktian terbalik akan efektif bila
aparat penegak hukum, baik kepolisian,
kejaksaan, KPK, maupun hakim, benarbenar bersih, berwibawa, dan profesional.
Pembuktian
terbalik
lebih
mengandung aspek pencegahan agar
segenap aparatur negara tidak melakukan
korupsi, dan melaksanakan pemerintahan
yang baik (good governance), yang sejak
awal reformasi hingga sekarang ternyata
masih jauh dari harapan. Dengan
demikian, pegawai negeri, pegawai
BUMN/BUMD, serta penyelenggara
negara, manakala berdasarkan bukti
permulaan yang cukup ternyata memiliki
kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilan atau sumber pendapatannya,
wajib membuktikan bahwa kekayaan yang
diperolehnya itu sah atau bukan dari hasil
korupsi.
Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua)
pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37
A dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang
berasal dari ayat (1) dan ayat
(2)dengan penyempurnaan pada ayat
(2) frasa yang berbunyi "keterangan
tersebut dipergunakan sebagai hal
yang
menguntungkan
baginya"
diubah menjadi "pembuktian tersebut
digunakan oleh pengadilan sebagai
dasar untuk menyatakan bahwa
dakwaan tidak terbukti".
Sistem pembalikan beban pembuktian
yang diatur dalam Pasal 37 UU No.
20 Tahun 2001 dinyatakan sebagai
berikut :
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi,
maka
pembuktian
tersebut
dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti .
15
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
b.
Pasal 37 A dengan substansi yang
berasal dari ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) dengen penyempurnaan kata
“dapat” pada ayat (4) di hapus dan
penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada
ayat (5) dihapus ,serta ayat (3), ayat
(4) dan ayat (5) masing-masing
berubag menjadi ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), sehungga bunyi
keseluruhan Pasal 37 A adalah
sebagai berikut:
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harga benda istri
atau suami, anak,dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang didakwakan;
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka
keterangan
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
digunakan untuk memperkuat alat
bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.;
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2)
merupakan tindak pidana atau
perkara pokok
Maksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi dan pasal 5 sampai pasal
12 Undang-undang ini, sehingga penuntut
umum
tetap
berkewajiban
untuk
membuktikan dakwaannya. Diantara Pasal
38 dan 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru
yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B dan Pasal 38
C yang seluruhnya berbunyi sebagai
berikut: Ketentuan Pasal 37 di jelaskan
dalam pasal penjelasan sebagai berikut:
(1) Pasal ini sebagai konsekuensi
berimbang
atas
penerapan
pembuktian
terbalik
terhadap
terdakwa.
Terdakwa
tetap
memerlukan perlindungan hukum
yang berimbang atas pelanggaran
hak-hak yang mendasar yang
berkaitan dengan asas praduga tak
bersalah (presumption of innocence)
dan mengalahkan diri sendiri (non
self- in criminition);
(2) Ketentuan ini tidak menganut sistem
pembuktian secara negatif menurut
Undang-undang ( negatief wettelijk).
Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana di maksud
dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada
saat pemeriksaan di sidang pengadilan .
Pasal 38 B
(1) Setiap orang yang didakwa
melakukan salah satu tindak
pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12 Undang-undang
ini,
wajib
membuktikan
sebaliknya terhadap harta benda
miliknya
yang
belum
didakwakan, tetapi juga diduga
berasal dari tindak pidana
korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diperoleh bukan karena
tindak pidana korupsi, harta
benda
tersebut
dianggap
diperoleh juga dari tindak pidana
korupsi dan hakim berwenang
memutuskan
seluruh
atau
sebagian harta benda tersebut
dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diajukan oleh penuntut
umum pada saat membacakan
tuntutannya pada perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) bukan berasal dari tindak
pidana korupsi diajukan oleh
16
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
terdakwa pada saat membacakan
pembelaannya dalam perkara
pokok dan dapat diulangi pada
memori banding dan memori
kasasi.
(5) Hakim
wajib
membuka
persidangan yang khusus untuk
memeriksa pembuktian yang
diajukan terdakwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan
atau dinyatakan lepas dari segala
tuntutan hukum dari perkara
pokok,
maka
tuntutan
perampasan
harta
benda
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak
oleh hakim.
Penjelasan Pasal 38 B dinyatakan:
ketentuan dalam Pasal ini merupakan
pembuktian terbalik yang dikhususkan
pada perampasan harta benda yang diduga
keras juga berasal dari tindak pidana
korupsi berdasarkan salah satu dakwaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang
ini sebagai tindak pidana pokok.
Pertimbangan apakah seluruh atau
sebagian harta benda tersebut dirampas
untuk negara diserahkan kepada hakim
dengan pertimbangan prikemanusiaan dan
jaminan hidup bagi terdakwa. Dasar
pemikiran
ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan
logika hukum karena dibebaskannya atau
dilepaskannya terdakwa dari segala
tuntutan hukum dari perkara pokok,
berarti terdakwa bukan pelaku tindak
pidana korupsi dalam kasus tersebut.
Berdasarkan pendekatan doktrin dan
komprasi sistem hukum pidana, makna
atau arti terbatas “Terbatas” atau “khusus”
dari implementasi sistem pembalikan
beban pembuktian (di Indonesia nantinya)
adalah:25
1. Bahwa Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian
hanya
terbatas
dilakukan
terhadap
delik
“gratification” (pemberian) yang
berkaitan dengan “bribery” (suap),
dan bukan terhadap delik-delik
lainnya dalam tindak pidana
korupsi. Delik-delik lainnya dalam
UU.No.31 Tahun 1999 yang
tertuang dalam Pasal 2 sampai
dengan
pasal
16
beban
pembuktiannya tetap berada pada
Jasa Penuntut Umum.
2. Bahwa Sistem Pembalikan Badan
Pembuktian hanya terbatas di
lakukan terhadap “perampasan”
dari delik-delik yang di dakwakan
terhadap siapapun sebagaimana
yang tertuang dalam pasal 2 sampai
dengan pasal 16 Undang-undang
No. 31Thun 1999 . Perlu di
tegaskan pula bahwa sistem
pembuktian
terhadap
dugaan
pelanggaran pada pasal 2 sampai
dengan pasal 16 Undang-undang
No. 31 tahun 1999 tetap
debebankan kepada Jaksa Penuntut
Umum . Hanya saja, apabila
Terdakwa berdasarkan Tuntutan
Jaksa Penuntut umum dianggap
terbukti melakukan pelanggaran
salah satu ddari delik-delik tersebut
dan dikenakan perampasan terhadap
harta bendanya, Terdakwa wajib
membuktikan (berdasarkan sistem
pembalikan beban pembuktian)
bahwa harta bendanya bukan
berasal dari tindak pidana korupsi.
Menurut analisis penulis bahwa
Pembalikan Beban Pembuktian Gratifikasi
Seksual tentunya akan menggunakan
Pembalikan Beban Pembuktian menurut
Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001. Maka
pemerintah harus membuat peraturan
pemerintah tentang harga jasa pelayanan
seksual, yang nantinya akan di gunakan
25
Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan
Aparatur Negara & Hukum Pidana, CV.
Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm. 56-57.
17
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
sebagai
dasar
Pembalikan
Beban
Pembuktian sebagaimana yang di atur
dalam Pasal 12 B yang nilainya Rp.
10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap di lakukan
oleh penerima gratifikasi. yang nilainya
kurang dari Rp. 10.000.000.00 (sepuluh
juta rupiah), pembuktian bahwa bukan
gratifikasi tersebut Suap dilakukan oleh
Penuntut umum . Dengan demikian
menurut penulis dalam penjelasan Pasal
12 B yang di maksud dengan gratifikasi di
tambah saja termasuk gratifikasi seksual.
Fakta sosial bahwa gratifikasi seksual itu
dapat di ukur dengan uang yang pada
akhirnya akan dijadikan dasar dalam
pembalikan
beban
pembuktian/
pembuktian terbalik (omkering van het
bewijslast).
Pembaharuan hukum pidana dengan
menambah pasal gratifikasi seksual
berdasarkan Pasal 12B Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentunya akn
mengalami kendala jika dikonversikan
kedalam rupiah, karena Pasal 12B
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
menuntut adanya sistem pengkonversian
tersebut.
Berdasarkan Pasal 12B UndangUndang No. 20 Tahun 2001, disebutkan
gratifikasi
yang
nilainya
Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih pembuktiannya bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi, sedangkan
gratifikasi yang nilainya kurang dari
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dibuktikan oleh penuntut umum.
Berdasarkan hal tersebut yang menjadi
pertanyaan adalah harus dikonversikan
berapa harga/nilai layanan seksual.
Apabila bisa, mungkin akan sangat
memalukan menanyakan standar harga
penyedia jasa seksual mana yang
digunakan. Hal ini tentunya akan
mengakibatkan masyarakat melegitimasi
tempat prostitusi dan tentunya akan
melanggar norma-norma yang hidup di
dalam masyarakat.
Menganalogikan
“kemaluan
wanita” sebagai suatu “barang”, sehingga
seorang pria yang ingkar janji menikahi
pasangannya dapat dianggap telah menipu
“barang” milik orang lain (Pasal 378
KUHP). Hukum seharusnya konsisten
bahwa, pengertian barang merupakan
sesuatu yang memiliki nilai/harga baik itu
bergerak maupun tidak bergerak, maaka
konsekueninya akan sama yaitu berapakah
nilai sebuah kehormatan, keperawanan
atau layanan seksual.
Gratifikasi seksual tentunya akan
menimbulkan permasalahan dalam bidang
pembuktian.
Pembaharuan
hukum
tentunya memerlukan perbandingan,
Singapura
misalnya
yang
telah
menerapkan gratifikasi seksual. Singapura
telah mewarisi tradisi common law Inggris
dan karenanya telah menikmati manfaatmanfaat kestabilan, kepastian dan
internasionalisasi yang inheren dalam
sistem Inggris (khususnya dalam bidang
komersial/perdagangan).
Singapura
memiliki akar common law Inggris yang
sama dengan yang dimiliki negara-negara
tetangganya (seperti India, Malaysia,
Brunei dan Myanmar), walaupun detil
penerapan dan pelaksanaan dari masingmasing negara berbeda sesuai dengan
kebutuhan dan kebijakan setiap negara.
Sistem hukum common law
Singapura dicirikan dari doktrin preseden
yudisial (atau stare decisis). Berdasarkan
doktrin ini, hukum itu dibangun dan
dikembangkan terus oleh para hakim
melalui aplikasi prinsip-prinsip hukum
pada fakta-fakta dari kasus-kasus tertentu.
Dalam hal ini, para hakim hanya
diwajibkan untuk menerapkan ratio
decidendi
(atau
alasan
yang
mempengaruhi
diambilnya
suatu
keputusan)
dari
pengadilan
yang
tingkatnya lebih tinggi dalam hirarki yang
sama. Negara Singapura, ratio decidendi
yang terdapat dalam keputusan-keputusan
Pengadilan Banding Singapura (Singapore
Court of Appeal) secara ketat mengikat
Pengadilan Tinggi Singapura (Singapore
High Court), Pengadilan Negeri (District
Court)
dan
Pengadilan
Magistrat
(Magistrate’s Court). Di lain pihak,
keputusan-keputusan pengadilan Inggris
dan
negara-negara
Persemakmuran
lainnya tidak secara ketat mengikat
18
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
Singapura. Pernyataan-pernyataan yudisial lainnya (obiter dicta) yang dibuat
dalam keputusan pengadilan yang lebih
tinggi tingkatannya, yang tidak secara
langsung mempengaruhi hasil akhir suatu
kasus, dapat diabaikan oleh pengadilan
yang lebih rendah tingkatannya.
Pengadilan yang lebih rendah
tingkatannya, dalam beberapa kasus,
dapat menghindarkan diri dari keharusan
menerapkan
ratio
decidendi
dari
keputusan pengadilan yang lebih tinggi
yang dikeluarkan sebelumnya, jika (a)
pengadilan tersebut dapat membedakan
secara material fakta-fakta kasus yang
dibawa ke hadapannya dengan fakta-fakta
dari keputusan yang sebelumnya pernah
diambil oleh pengadilan yang lebih tinggi;
atau (b) keputusan pengadilan yang lebih
tinggi tersebut memang dibuat secara per
incuriam (yaitu, tanpa menghiraukan
doktrin stare dicisis).
Pengaruh besar dari hukum common
law Inggris pada perkembangan hukum
Singapura secara umum lebih terbukti dari
beberapa bidang common law tradisional
(seperti Perjanjian/Contract, Perbuatan
Melawan
Hukum/Tort
dan
Restitusi/Restitution) daripada bidangbidang lain yang didasarkan pada undangundang (seperti Hukum Pidana/Criminal
Law, Hukum Perusahaan/Company Law
dan
Hukum
Pembuktian/Law
of
Evidence). Mengenai bidang-bidang yang
didasarkan pada undang-undang ini,
negara-negara lain seperti India dan
Australia telah amat mempengaruhi dari
segi pendekatan dan isi dari beberapa
undang-undang Singapura tersebut.
Pembuktian dalam hukum singapura
dilakukan dengan mengkonsepsikan apa
saja yng menurut mereka menjadi
kebiasaanya, ciri dari sistem Common law
adalah kurangnya kepastian hukum, tetapi
kuatnya kepuasan masyarakat akan suatu
keputusan,
karena
selain
hakim
masyarakat juga dilibatkan dalam
penentuan
keputusan.
Kebebasan
penganalogian disana juga bebas, artinya
Jaksa maupun pengacara hadir unuk
mempresentasikan argumentasinya untuk
meyakinkan juri. Penganalogian ini bebas
dan tidak terikat peraturan, karena
peraturan
dimasing-masing
distrik
berbeda. Tolak ukurnya adalah logika dan
penerimaan masyarakat terhadap logika
yang berkeadilan tersebut.
Indonesia bukan merupakan negara
Common Law, tetapi Civil Law dengan
ciri khas kepastian hukum. Tata cara
pembuktiannya
pun
terbatas
oleh
posedural yang ada, adanya larangan
analogi dan sebagainya. Nilai-nilai
keadilan di dalam masyarakat saat ini
masih diabaikan, karena masih kuatnya
pandangan positivistik di Indonesia,
sehingga menganalogikan kehormatan
sebagai benda yang memiliki nilai uang,
atau gratifikasi seksual yang nantinya
akan menuntut nilai harga, pastinya akan
dipertanyakan, diluar logika, an norm dan
tidak sesuai peraturan perundangundangan.
Barda Nawawi Arief menyatakan
bahwa, pembaharuan hukum pidana yang
direncanakan bertolak dari pokok
pemikiran keseimbangan monodualistik,
artinya mempertimbangkan keseimbangan
dua
kepentingan
masyarakat
dan
kepentingan individu dan pandangan
inilah yang dikenal dengan prinsip “daaddader strafrecht” yang memperhatikan
baik segi perbuatan (obyektif) maupun
pelakunya (subyektif).26
Penulis menilai adanya pembaharuan tindak pidana seperti gratifikasi
seksual akan akan berpengaruh terhadap
keseimbangan dua kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, sehingga
ketika diundangkan sebagai sebuah
undang-undang akan mengalami legal gap
dan kembali tidak berfungsi seperti Pasal
12 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi yang dikatakan cacat sejak
diundangkan.
26
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, 1996, hlm.
108
19
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Kriminalisasi merupakan masalah
yang kompleks karena adanya
perbedaan jenis perbuatan yang dapat
dikriminalisasi, perbedaan nilai dan
norma dalam masyarakat, beragamnya
pilihan
instrumen
pengaturan
kehidupan masyarakat, dan perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Permasalahan perbuatan gratifikasi
seks ini untuk mengkriminalisasikan
perlu kehati-hatian, karena ini
menyangkut
kehidupan
pribadi
manusia, yang mana dia sendiri yang
akan
mempertanggungjawabkan
segala perbuatan dia kepada yang
menciptakannya. Jadi bukan hanya
sekedar
berdasarkan
beberapa
pendapat
yang
muncul
yang
menimbulkan pro dan kontra tapi
berdasarkan sebuah obyektifitas hasil
pemikiran yang didasarkan data-data
yang akurat pula. Karena pendapat
yang pro dan kontra tidak dapat
mewakili perasaan yang hidup dalam
masyarakat Indonesia yang terdiri
bermacam-macam suku dan budaya
dan agama. Berbagai pendapat kontra
yang
beralasan
negara
tidak
dibenarkan terlalu memasuki hal yang
bersifat pribadi, ini juga perlu
dipertimbangkan karena ini adalah
sebuah reaksi dari mayarakat yang
tidak setuju kehidupan pribadinnya
dicampuri. Tapi pertimbangan alasan
yang pro juga perlu dipertimbangkan.
Melihat kenyataan yang sudah
terjadi yang berkembang dimasyarakat dengan didasarkan dengan
hal-hal yang harus diperhatikan dalam
mengkriminalisasikan
perbuatan,
maka gratifikasi seks sudah saatnya
dikriminalisasikan, karena sejalan
dengan tujuan hukum pidana adalah
untuk menanggulangi kejahatan dan
juga pengguguran terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri, ini semua
demi kesejahteraan masyarakat baik
materiil maupun spirituil serta
melindungi masyarakat. selain itu
demi kemaslahatan umat manusia dan
kebaikan umat manusia.
2. Pembalikan
Beban
Pembuktian
Gratifikasi Seksual tentunya akan
menggunakan Pembalikan Beban
Pembuktian menurut Pasal 12 B UU
No. 20 Tahun 2001. Bahwa yang
nilainya Rp 10.000.000,- atau lebih
dibuktikan oleh penerima gratifikasi
dan yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,- dilakukan oleh penuntut
umum.
Saran
1.
2.
Kepada Pemerintah dan DPR
hendaknya segera merevisi penjelasan dan Pasal 12B ayat (1) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 untuk
memberikan kejelasan atau kepastian
hukum tentang gratifikasi seks,
sehingga pelaku gratifikasi seksual
dapat dijerat.
Disarankan kepada aparat penegak
hukum untuk saling bekerja sama
dalam pembuktian gratifikasi seks
dan fokus pada pembuktian dengan
bisa mengesampingkan pelaporan.
Pembuktian gratifikasi seksual bisa
melalui kesaksian atau alat bukti
lainnya, misalnya, SMS ajakan,
tawaran, atau perjanjian soal
gratifikasi seks.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Andrea, Fockema, 1983. Kamus Hukum
terjemahan Bina Cipta, Bandung.
An-Naim, Abdullah Ahmed, 1990.
Dekonstruksi Syari’ah, LkiS dan
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Atmosudirdjo, Prajudi, 1984. Hukum
Administrasi Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Barnhouse, Rutf Tiffany, 1988, Identitas
Wanita: Bagaimana Mengenal
dan Membentuk Citra Diri,
Kanisius, Yogyakarta.
20
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
Bassioni, M. Cherif, 1973, Substantive
Criminal Law, Charles C. Thomas
Publiser, USA.
Bertens, K. 2000, Pengantar Etika Bisnis,
Kanisius, Yogyakarta.
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif
Fadillah,
2008.
Strategi
pencegahan & penegakan hukum
tindak pidana korupsi, Refika
Aditama, Bandung.
Chazawi,
Adami,
2008.
Hukum
Pembuktian
Tindak
Pidana
Korupsi, PT. Alumni Bandung,
Bandung.
Edy Kristianto, Agustinus, 2009, Panduan
Bantuan Hukum di Indonesia,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Effendy, Marwan, 2010, Pemberantasan
Korupsi dan Good Governance,
Timpani, Jakarta.
Farid, Zaini Abidin, 1995. Hukum Pidana
I, Sinar Grafika, Jakarta.
Gunakaya, Widiada dan Petrus Irianto,
2012.
Kebijakan
Kriminal
Penanggulangan Tindak Pidana
Pendidikan, Alfabeta, Bandung.
Hamdan, M. 2005. Tindak Pidana Suap &
Money Politics, Pustaka Bangsa
Press, Medan.
Hamzah, Andi, 1994. Asas-Asas Hukum
Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
----------, 2005. Pemberantasan Korupsi
Melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Hardy,
Gail,
1998.
“Ketubuhan
Perempuan
dalam
Interaksi
sosial: Suatu Masalah Perempuan
dalam
Heterogenitas
kelompoknya,”
dalam
Perempuan dan Politik Tubuh
Fantastis, Kanisius, Yogyakarta.
Hartanti, Evi, 2008. Tindak Pidana
Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.
Keraf, A. Sonny, 1998. Etika Bisnis:
Tuntunan dan Relevansinya,
Kanisius, Yogyakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1978. Fungsi
Hukum Dalam Masyarakat Yang
Sedang Membangun, BPHNBinacipta, Jakarta.
Lopa,
Baharuddin, 2003. Kejahatan
Korupsi dan Penegakan Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
M Situmorang, Victor, 1990. Tindak
Pidana Pegawai Negeri Sipil,
Rineka Cipta, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2002. “Mengenal
Hukum:
Suatu
Pengantar”
Liberty, Yogyakarta.
Moeljatno, 2000. Asas-asas Hukum
Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984.
Teori-Teori
dan
Kebijakan
Pidana, Alumni, Bandung.
----------, 1992. Kapita Selekta Hukum
Pidana, Alumni, Bandung.
Mulyadi, Lilik, 2007. Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia, Normatif,
Teoritis,Praktik dan Masalahnya,
PT. Alumni, Bandung.
Nawawi Arief, Barda, 1996. Bunga
Rampai
Kebijakan
Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
----------, 1996. Kebijakan Legislative
Dalam
Penanggulangan
Kejahatan
dengan
Pidana
Penjara,
Badan
Penerbit
Universitas
Diponegoro,
Semarang, 1996.
----------,
2005.
Beberapa
Aspek
Kebijakan
Penegakan
dan
Pengembangan Hukum Pidana,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------, 2007. Kapita Selekta Hukum
Pidana, Universitas Diponegoro,
Semarang.
----------, 2008.
Masalah Penegakan
Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan, Kencana, Jakarta.
Nurdjana, IGM. 2005. Korupsi dan Illegal
Loging
Dalam
Sistem
Desentralisasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Prasetyo, Teguh, 2010. Kriminalisasi
Dalam Hukum Pidana, Nusa
Media, Bandung.
Prinst, Darwan, 2002. Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
21
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
Prodjohamidjojo,
Martiman,
2000.
Memahami Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1983. Masalah
Penegakan Hukum, Sinar Baru,
Bandung.
Reksodiputro, Mardjono, 1993. Sistem
Peradilan Indonesia (Melihat
Kepada
Kejahatan
Dan
Penegakan Hukum Dalam BatasBatas
Toleransi),
Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta.
Sahetapy, J.E. 1996. Hukum Pidana,
Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo,
1990. Hukum Pidana, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Saleh, Roeslan, 1981. Asas Hukum
Pidana Dalam Perspektif, Aksara
Baru, Jakarta.
----------, 1988. Hukum Pidana, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta.
Seno Adji, Indriyanto, 2006. Korupsi,
Kebijakan Aparatur Negara &
Hukum Pidana, CV. Diadit
Media, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1983. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Rajawali, Jakarta.
----------, 1983. Penegakan Hukum, BPHN
& Binacipta, Jakarta.
Sudarto, 1977. Hukum dan Hukum
Pidana,
Yayasan
Sudarto,
Semarang.
----------, 1981. Kapita Selekta Hukum
Pidana, Alumni, Bandung.
----------, 1983. Hukum Pidana dan
perkembangan masyarakat. Sinar
Baru, Bandung.
Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2010.
Strategi & Teknik Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta.
Waluyo, Bambang, 2000. Pidana dan
Pemidanaan,
Sinar
Grafika,
Jakarta.
Wiyono, R. 1986. Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia, Penerbit Alumni,
Bandung.
----------, 2005. Pembahasan UndangUndang Tindak Pidana Korupsi,
Sinar Grafika, Jakarta.
B.
Peraturan Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo.
Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1958 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
C. Majalah, Surat Kabar dan Sumber
Lainnya
detikNews, 6 Juni 2012.
Effendi,
Rusli
dkk,
“Masalah
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi
dalam Rangka Pembaruan Hukum
Nasional”
dalam
BPHN,
Simposium Pembaruan Hukum
Pidana
Nasional
Indonesia,
Binacipta, Jakarta, 1986.
Harkrisnowo,
Harkristuti.
“Konsep
Pemidanaan: Suatu Gugatan
Terhadap Proses Legislasi di
Indonesia”, Pidato Pengukuhan
Guru Besar, UI, Jakarta.
Kamariah, “Ajaran Sifat Melawan Hukum
Material Dalam Hukum Pidana
Indonesia”, Pidato Pengukuhan
Guru Besar, UNPAD, Bandung,
Maret 1994.
22
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 1-23
Kompas, 19 Januari 2013.
D. Website
Majalah Konstitusi Edisi No.75 - Mei
2013, Jakarta.
http://aceh.tribunnews.com/menyoalgratifikasi-seks.
Saleh, Roeslan “Kebijakan Kriminalisasi
Dan Dekriminalisasi: Apa Yang
Dibicarakan Sosiologi Hukum
Dalam
Pembaruan
Hukum
Pidana Indonesia”, disampaikan
dalam Seminar Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi dalam Pebaruan
Hukum
Pidana
Indonesia,
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,
15 Juli 1993.
http://kamus.sabda.org.
http://kamusbahasaindonesia.org/sarana#i
xzz2MeIT1N23.
http://staff.unila.ac.id/eddyrifai
http://www.antikorupsi.org/id/content/urg
ensi-pembuktian-terbalik
http://www.kendarinews.com/content/vie
w/9867/259/#sthash.fr6dXkqF.dpuf.
http://www.republika.co.id.
http://www.tempo.co/read/news.
http://sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id/opini/t
ubuh-perempuan-dan-moralitaspejabat-publik/.
23
Download