BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gelatin merupakan salah satu jenis protein konversi yang diperoleh melalui proses hidrolisis kolagen dari kulit, tulang dan jaringan serat putih (white fibrous) hewan. Gelatin termasuk protein yang unik karena mampu membentuk gel yang thermo-reversible dengan suhu leleh yang dekat dengan suhu tubuh, serta larut dalam air. Dalam industri makanan, gelatin berfungsi sebagai penstabil, pengental (tickenner), pengemulsi (emulsifier), pembentuk jeli, pengikat air, pengendap dan pembungkus makanan (edible coating) (Damanik, 2005). Di bidang farmasi dan medis, gelatin digunakan sebagai matriks untuk implan pada pemberian injeksi mikrosfer dan infus intravena (Pollack, 1990). Dalam industri farmasi, gelatin digunakan pada pembuatan cangkang kapsul keras maupun lunak, pengembang plasma dan perawatan luka. Gelatin yang rendah kalori digunakan dalam bahan makanan untuk meningkatkan kadar protein. Gelatin juga digunakan untuk mengurangi kadar karbohidrat dalam makanan dan diformulasikan untuk pasien diabetes (Karim dan Bhat, 2009). Sumber utama gelatin adalah dari tulang dan kulit sapi serta babi. Produksi gelatin dari bahan baku kulit babi mencapai 44%, kulit sapi 28%, tulang sapi 27% dan porsi lainnya 1%, dengan total produksi dunia mencapai 326.000 ton (GME, 2009). Penggunaan gelatin dari sumber mamalia memiliki beberapa keterbatasan dan halangan dari aspek religi, sosial dan kesehatan. Masyarakat Yahudi dan 1 2 Islam memiliki pantangan untuk mengonsumsi bahan-bahan dari babi, sedangkan masyarakat Hindu tidak mengonsumsi bahan-bahan dari sapi. Adanya penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau dikenal sapi gila (mad cow) juga merupakan kendala pemakaian gelatin dari sapi. Oleh karenanya, pencarian gelatin alternatif yang tidak bersumber dari babi dan sapi sangat dibutuhkan (Karim dan Bhat, 2009). Dalam hal tersebut, gelatin ikan merupakan alternatif yang potensial untuk mengganti peranan gelatin mamalia (babi dan sapi) dalam beberapa penggunaan. Gelatin ikan berbeda dengan gelatin mamalia berdasarkan pada suhu leleh, suhu pembentukan gel dan kekuatan gel. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan kandungan asam amino, terutama prolin dan hidroksiprolin. Hidroksiprolin adalah asam amino turunan prolin. Keduanya bertanggung jawab pada stabilitas struktur kolagen (Norziah, 2009). Salah satu tulang ikan yang berpotensi digunakan sebagai bahan baku gelatin ikan adalah tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), karena lele dumbo merupakan jenis ikan yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Produksi ikan lele di Indonesia mencapai 162.000 ton pada tahun 2008, dengan proporsi tulang ikan terhadap tubuh ikan mencapai 12,4% (Abdullah, 2005). Pembuatan gelatin dari tulang ikan sangat membantu meningkatkan nilai ekonomis limbah ikan yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal dan membantu pemenuhan gelatin halal dalam negeri. Untuk diaplikasikan pada industri makanan dan farmasi, gelatin ikan harus diproses untuk mendapatkan karakteristik yang sesuai. Jumlah bahan baku harus 3 banyak dan murah sehingga dapat diproduksi terus menerus secara efisien oleh industri (Junianto, 2006). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gelatin yang dihasilkan dari tulang ikan memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan gelatin dari sapi dan babi. Salah satu sebab utamanya adalah gelatin ikan memiliki nilai kekuatan gel yang rendah. Sementara itu, cerminan kualitas gelatin yang baik dan dapat digunakan untuk sediaan farmasi adalah gelatin yang memiliki nilai kekuatan gel tinggi. Oleh karena itu sangat diperlukan penelitian lebih lanjut sebagai upaya menjawab dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Penelitian telah dilakukan untuk memodifikasi gelatin ikan agar lebih berkualitas. Pencampuran gelatin ikan dengan biopolimer lain seperti karagenan, kitosan dan pektin merupakan salah satu usaha yang dapat meningkatkan karakeristik gelatin ikan (Chen dkk, 2003; Uresti dkk, 2003; Haug dkk, 2004a). Penelitian lebih lanjut dengan penambahan plasticizers seperti gliserol, sorbitol, sukrosa, polietilen glikol (Tanaka dkk, 2001; Vanin dkk, 2005) dan agen garam (Fernandez-Diaz dkk, 2001; Ramirez dkk, 2002; Haug dkk, 2004b) dapat meningkatkan karakteristik film atau gel. Penambahan senyawa kimia yang dapat membentuk ikatan silang seperti glutaraldehid, formaldehid dan glioksal (Bigi dkk, 2001; de Carvalho dan Grosso 2004) atau enzim seperti transglutaminase juga dapat meningkatkan sifat gelatin ikan. Transglutaminase merupakan enzim yang mengkatalisis polimerisasi dan membentuk ikatan silang protein melalui pembentukan ikatan kovalen antar molekul (Motoki dkk, 1998). Transglutaminase yang lazim digunakan adalah enzim yang berasal dari mikrobia atau disebut 4 MTGase dan secara komersial telah dipasarkan oleh beberapa produsen (Puruhita, 2011). Penggunaan gelatin cukup luas dalam berbagai aplikasi, tetapi masih terdapat berbagai kendala terkait halal atau tidaknya gelatin mamalia bagi konsumen. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pencarian sumber gelatin alternatif seperti dari ikan serta peningkatan produksinya mutlak diperlukan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka dapat dibuat rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Seperti apakah karakteristik proksimat, fisikokimia dan spektra inframerah gelatin hasil ekstraksi tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)? 2. Apakah enzim transglutaminase dapat meningkatkan viskositas dan kekuatan gel gelatin ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian adalah memproduksi gelatin ikan dari pemanfaatan limbah tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Secara khusus penelitian bertujuan untuk: 1. Melakukan analisis proksimat, fisikokimia, dan penentuan spektra inframerah gelatin hasil ekstraksi tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). 2. Mengoptimalisasi gelatin ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan enzim tranglutaminase untuk meningkatkan viskositas dan kekuatan gelnya. 5 D. Tinjauan Pustaka 1. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Bachtiar (2006), lele dumbo merupakan spesies baru yang diperkenalkan pada tahun 1984. Lele bertubuh besar tersebut adalah hasil persilangan antara induk betina lele asli Taiwan dan induk pejantan yang berasal dari Afrika. Lele tersebut masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 1986, yang diimpor dari Taiwan. Saat ini, penyebaran lele dumbo di Indonesia sudah sangat luas. Sejak tahun 2002, dapat dipastikan bahwa di setiap wilayah Indonesia dapat dijumpai kolam lele dumbo. Di Indonesia dikenal banyak jenis lele, diantaranya lele lokal, lele dumbo, lele phiton dan lele babon (lele Kalimantan). Namun, yang dibudidayakan hanya lele lokal (Clarius barracus) dan lele dumbo (Clarias gariepinus). Jenis yang kedua lebih banyak dikembangkan karena pertumbuhannya lebih cepat dan ukurannya lebih besar daripada lele lokal. Berdasarkan hasil penelitian, lele dumbo memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Setiap 100 gram dagingnya mengandung 18,2 gram protein. Lele dumbo berukuran kecil dengan bobot 500 gram dan mengandung 12 gram protein, energi 149 kalori, lemak 8,4 gram dan karbohidrat 6,4 gram. Komposisi gizi sebesar ini jarang dimiliki oleh daging-daging sumber protein lainnya. Saat ini lele dumbo juga sudah banyak dijual di rumah makan, restoran, hotel dan warung kaki lima dalam berbagai olahan (Khairuman dan Amri, 2008). Berdasarkan taksonominya, lele dumbo diklasifikasikan ke dalam: Kingdom : Animalia Filum : Chordata 6 Klas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies : Clarias gariepinus (Sutrisno, 2006). Gambar 1. Ikan Lele Dumbo (Sumber: www.commons.wikimedia.com) Gambar 1 menunjukkan bahwa ikan lele dumbo memiliki kulit yang licin, berlendir dan sama sekali tidak memiliki sisik. Warnanya hitam keunguan atau kemerahan dengan loreng-loreng seperti baju tentara. Warna kulit akan berubah menjadi mozaik hitam putih jika lele sedang dalam kondisi stres, dan akan menjadi pucat jika terkena sinar matahari langsung. Lele dumbo memiliki kepala yang panjang, hampir seperempat dari panjang tubuhnya. Tanda yang khas dari lele dumbo adalah tumbuhnya empat pasang sungut seperti kumis di dekat mulutnya. Sungut berfungsi sebagai alat penciuman serta alat peraba saat mencari makanan. Lele dumbo memiliki 3 buah sirip tunggal, yaitu sirip punggung yang berfungsi sebagai alat berenang, sirip subur dan sirip ekor yang berfungsi sebagai alat bantu untuk mempercepat dan memperlambat gerakan. Selain itu, lele dumbo juga mempunyai dua sirip berpasangan, yaitu sirip dada dan sirip perut. Sirip dada 7 mempunyai jari-jari yang keras dan runcing yang biasa disebut patil. Alat tersebut berfungsi sebagai senjata sekaligus alat bantu gerak ke kanan dan ke kiri. Walaupun berfungsi sebagai senjata, patil ini tidak memiliki racun (Bachtiar, 2006). 2. Kolagen Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan ikat putih (white connetive tissue) yang meliputi hampir 30% dari total protein pada jaringan dan organ tubuh vertebrata dan invertebrata. Pada mamalia, kolagen terdapat di kulit, tendon, tulang rawan dan jaringan ikat. Demikian juga pada burung dan ikan, sedangkan pada invertebrata kolagen terdapat pada dinding sel (Bailey dan Light, 1989). Kolagen mengandung sekitar 33% glisin, 21% prolin, dan 14% hidroksiprolin, suatu asam amino yang dihasilkan melalui modifikasi pascatranslasi residu prolin (Smith dkk, 2000). Kolagen murni sangat sensitif terhadap reaksi enzimatis dan kimiawi. Perlakuan alkali menyebabkan kolagen mengembang dan menyebar, yang sering dikonversi menjadi gelatin. Disamping pelarut alkali, kolagen juga larut dalam pelarut asam (Bennion, 1980). Molekul dasar pembentuk kolagen disebut tropokolagen dengan BM 300.000, yang di dalamnya terdapat tiga rantai polipeptida yang sama panjang dan bersama-sama membentuk struktur heliks (Gambar 2). Masing-masing rantai polipeptida mengandung sekitar 1.000 residu asam amino. Sewaktu ketiga rantai polipeptida tersebut saling melilit satu sama lain, maka terbentuk supercoil yang merupakan tropokolagen (Smith dkk, 2000). 8 Gambar 2. Heliks Tropokolagen (Sumber: Smith dkk, 2000) Setiap tiga rantai polipeptida dalam unit tropokolagen membentuk struktur heliks tersendiri, bersama-sama dengan ikatan hidrogen antara gugus NH dari residu glisin pada rantai yang satu dengan gugus CO pada rantai lainnya. Cincin pirolidin, prolin, dan hidroksiprolin membantu pembentukan rantai polipeptida dan memperkuat tripel heliks (Wong, 1989). Setiap belokan tripel heliks mengandung 3 residu asam amino, sehingga setiap asam amino ketiga berkontak erat dengan dua untai yang lain di bagian tengah struktur. Hanya glisin, yang tidak memiliki rantai samping yang cocok dengan posisi tersebut. Setiap residu asam amino ketiga pada tropokolagen adalah glisin. Dalam urutan, residu prolin sering mengikuti residu glisin, sehingga urutannya dapat digambarkan sebagai Gly-X-Y, yang mana X sering berupa prolin dan Y adalah semua asam amino yang dijumpai pada kolagen (Smith dkk, 2000). Tropokolagen adalah salah satu contoh protein yang mengalami modifikasi pascatranslasi ekstensif. Reaksi hidroksilasi menghasilkan residu hidroksiprolin dari residu prolin, dan hidroksilisin dari residu lisin. Reaksi tersebut terjadi setelah sintesis protein (Gambar 3) dan memerlukan vitamin C (asam askorbat). Residu hidroksiprolin terlibat dalam pembentukan ikatan hidrogen yang membantu menstabilkan tripel heliks (Smith dkk, 2000). 9 Gambar 3. Hidroksilasi Residu Prolin dan Lisin dalam Kolagen (Sumber: Martianingsih dan Atmaja, 2009) Konversi kolagen yang bersifat tidak larut dalam air menjadi gelatin yang larut dalam air merupakan transformasi penting dalam pembuatan gelatin. Tulang atau kulit agar dapat diesktraksi kolagennya harus diberi perlakuan awal. Ekstraksi tersebut dapat menyebabkan pemutusan ikatan hidrogen diantara ketiga rantai tropokolagen menjadi tiga rantai bebas, dua rantai saling berikatan, dan satu rantai bebas, serta tiga rantai yang masih berikatan (Poppe, 1977). Perlakuan pemanasan atau penambahan zat seperti asam, basa, urea, kalsium dan permanganat dapat menyebabkan larutan tropokolagen terdenaturasi. Tropokolagen yang terdenaturasi akan terdisosiasi menjadi tiga komponen, yaitu 10 α, β dan γ. Komponen α merupakan rantai tunggal polipeptida dengan bobot molekul kurang lebih sepertiga dari bobot molekul tropokolagen, sementara komponen β dan γ merupakan dimer dan trimer yang dibentuk dari ikatan silang (Parker, 1982). Kemampuan pembentukan gel tergantung pada karakteristik spesies ikan. Kandungan NaCl yang rendah berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel kolagen dari kulit ikan, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan gel kolagen dari tulang (Montero dan Borderias, 1991). Kolagen diaplikasikan di berbagai bidang seperti kosmetik, biomedis, farmasi dan lain-lain. Soluble kolagen memiliki kegunaan yang lebih luas di berbagai bidang karena memiliki karakteristik yang khusus, termasuk biodegradabilitas dan antigenisitasnya yang lemah. Kolagen yang berasal dari mamalia memiliki perbedaan dengan kolagen yang terbuat dari ikan. Menurut Fernandez-Diaz dkk (2001), kolagen kulit ikan lebih mudah hancur daripada kolagen kulit hewan, yang mana kedua jenis kolagen tersebut akan hancur oleh proses pemanasan. 3. Gelatin Gelatin adalah protein yang diperoleh dari jaringan kolagen hewan yang terdapat pada kulit, tulang dan jaringan ikat. Gelatin yang ada di pasaran umumnya diproduksi dari kulit dan tulang sapi atau babi. Di Indonesia, kebutuhan industri terhadap gelatin dipenuhi dengan impor dari Prancis, Jerman, Jepang dan India. Data impor gelatin yang tercatat dalam BPS (2006) diberikan pada Tabel 1. 11 Tabel 1. Data Impor Gelatin Tahun 2002-2006 Tahun Bobot (Kg) Nilai (US$) Januari-Mei 2006 1.213.111 4.215.779 2005 2.630.692 8.603.802 2004 2.145.916 8.001.714 2003 2.144.372 6.801.882 2002 4.291.579 10.749.199 (Sumber: BPS, 2006) Susunan asam amino gelatin hampir mirip dengan asam amino kolagen, yang mana glisin merupakan asam amino utama dan berkontribusi sebesar 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, sementara itu 1/3 asam amino yang tersisa diisi oleh prolin dan hidroksiprolin (Chaplin, 2005). H2 C H2C H2 C O C N N H2 C CH2 H2C H N CH H2 C O C C CH O O R C NH H N N CH2 CH C CH C C O R O O Gambar 4. Struktur Gelatin (Sumber: Poppe, 1992) Bobot molekul gelatin secara umum berkisar antara 20.000-250.000. Secara fisika dan kimia, gelatin berwarna kuning cerah atau transparan, berbentuk serpihan atau tepung, berbau dan mempunyai rasa, larut dalam air panas, gliserol dan asam asetat, serta tidak larut dalam pelarut organik. Gelatin dapat mengembang dan menyerap air 5-10 kali bobot asalnya. Disamping itu, gelatin dapat menjendal dalam air dingin. Menurut Norland (1997), gelatin mudah larut dalam air pada suhu 71,1°C dan cenderung membentuk gel pada suhu 48,9°C. 12 Sedangkan menurut Montero dkk (2000), suhu pemanasan yang dilakukan untuk melarutkan gelatin sekurang-kurangnya 49°C atau biasanya pada suhu 60–70°C. Menurut de Man (1997), proses pengubahan kolagen menjadi gelatin melibatkan tiga perubahan, sebagai berikut: a. Pemutusan sejumlah ikatan peptida untuk memperpendek rantai. b. Pemutusan atau pengacauan sejumlah ikatan samping antar rantai. c. Perubahan konfigurasi rantai. Gelatin terbagi menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan proses pengolahannya, yaitu tipe A dan tipe B. Dalam pembuatan gelatin tipe A, bahan baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan asam yang akan mempunyai titik isoeletrik antara pH 6 dan 9, sehingga proses tersebut dikenal dengan sebutan proses asam. Dalam pembuatan gelatin tipe B, perlakuan yang diaplikasikan adalah perlakuan basa yang akan mempunyai titik isoelektrik pada pH antara 4,7 hingga 5. Proses tersebut disebut proses alkali (Utama, 1997). Tabel 2. Sifat Gelatin Berdasarkan Tipenya Sifat Tipe A Tipe B Kekuatan gel (gram Bloom) 50,0-300,0 50,0-300,0 Viskositas (cP) 1,50-7,50 2,00-7,50 Kadar abu (%) 0,30-2,00 0,50-2,00 pH 3,80-6,00 5,00-7,10 Titik isoelektrik 7,00-9,00 4,70-5,40 (Sumber: GMIA, 2007) Sifat gelatin berdasarkan tipenya diberikan pada Tabel 2. Gelatin Tipe A biasanya secara khusus diproduksi dari kulit babi, sedangkan gelatin Tipe B diproduksi dari kulit sapi, kambing dan kerbau atau dari tulang binatang yang 13 sudah dihilangkan mineralnya (demineralised bones). Menurut Wiyono (2001), gelatin ikan dikatagorikan sebagai gelatin tipe A. Proses asam secara ekonomis lebih disukai dibandingkan proses basa karena perendaman yang dilakukan dalam proses asam relatif lebih singkat dibandingkan proses basa (Wiyono, 2001). Asam mampu mengubah serat kolagen tripel heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendam basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal tersebut menyebabkan, pada waktu yang sama, jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa (Ward dan Court, 1977). Proses produksi utama gelatin dibagi dalam tiga tahap, pertama persiapan bahan baku antara lain penghilangan kornponen non kolagen dari bahan baku dengan atau tanpa pengurangan ikatan antara komponen kolagen, kedua konversi kolagen menjadi gelatin, dan ketiga pemurnian serta perolehan gelatin dalarn bentuk kering (Junianto, 2006). Pada tahap persiapan dilakukan pencucian pada kulit atau tulang agar bersih dari sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung deposit lemak tinggi. Proses tersebut dinamakan degreasing dan dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin tulang yaitu 32-80°C (Ward dan Court, 1977). Pada tulang, perlu dilakukan proses demineralisasi yang bertujuan untuk menghilangkan garam kalsium dan garam lainnya dalam tulang, sehingga diperoleh tulang yang sudah lumer yang disebut dengan ossein (Utama, 1997). Selanjutnya pada kulit atau ossein dilakukan tahap penggembungan (swelling), yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mengubah kolagen menjadi gelatin (Surono dkk., 1994). Pada tahap tersebut, perendaman dapat dilakukan 14 dengan larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, tartrat dan asam lainnya yang aman dan tidak menusuk hidung (Choi dan Regenstein, 2000). Untuk mendapatkan konsentrasi yang diharapkan, larutan asam organik dapat dibuat dengan pengenceran, seperti larutan asam asetat 4% yang diperoleh dari pengenceran larutan asam asetat glasial. Tahapan tersebut harus dilakukan dengan tepat (waktu dan konsentrasinya), karena jika tidak tepat akan terjadi kelarutan kolagen dalam pelarut yang akan menyebabkan penurunan rendemen gelatin yang dihasilkan (Utama 1997). Pada tahap selanjutnya, kulit atau ossein diesktraksi dengan air yang dipanaskan. Ekstraksi bertujuan untuk mengubah kolagen menjadi gelatin. Suhu minimum dalam proses ekstraksi adalah 40-50°C (Choi dan Regenstein, 2000) hingga suhu 100°C (Viro, 1992). Ekstraksi kolagen tulang dilakukan dalam suasana asam pada pH 4-5, karena umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen protein non kolagen, sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan (Hinterwaldner, 1997). Kemudian ekstrak dikeringkan untuk mengurangi airnya dengan menggunakan freeze dryer atau oven bersuhu 30-60°C (Viro, 1992). Sifat fisik gelatin yang menentukan mutunya adalah kemampuannya untuk membentuk gel atau kekuatan gel. Kekuatan gel dipengaruhi oleh pH, adanya komponen elektrolit dan non elektrolit serta bahan tambahan lainnya. Sifat fisik lainnya adalah titik pembuatan gel, warna, kapasitas emulsi dan stabilitas emulsi (Glicksman, 1969). Selain itu, viskositas juga merupakan sifat fisik yang penting bagi mutu gelatin. Viskositas dipengaruhi oleh interaksi hidrodinamik antar 15 molekul gelatin, suhu, pH dan konsentrasi. Standar mutu gelatin untuk industri, pangan dan farmasi dapat dilihat berturut-turut di dalam Tabel 3, 4 dan 5. Tabel 3. Standar Mutu Gelatin Menurut SNI No. 06-3735 Tahun 1995 dan British Standard: 757 Tahun 1975 Karakteristik SNI No. 06-3735a British Standard 757b Warna Tidak berwarna sampai kekuningan Kuning pucat Bau, rasa Normal Kadar air Maksimum 16% Kadar abu Maksimum 3,25% Kekuatan gel 50-300 gram Bloom Viskositas 15-70 mps atau 1,5-7 cP pH 4,5-6,5 Logam berat Maksimum 50 mg/kg Arsen Maksimum 2 mg/kg Tembaga Maksimum 30 mg/kg Seng Maksimum 100 mg/kg Sulfit Maksimum 1000 mg/kg (Sumber: SNI dan British Standar) Tabel 4. Standar Gelatin Berdasarkan FAO Parameter Persyaratan Kadar abu Tidak lebih dari 2 % Kadar air Tidak lebih dari 18 % Belerang dioksida tidak lebih dari 40 mg/kg Arsen Tidak lebih dari 1 mg/kg Logam berat Tidak lebih dari 50 mg/kg Timah hitam Tidak lebih dari 5 mg/kg Standard plate count < 104/g E.coli < 10/g Streptococci < 102/g (Sumber: JECFA, 2003) 16 Tabel 5. Spesifikasi Gelatin Farmasi Parameter Kelas Khusus Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kadar air (%) 14,0 14,0 14,0 14,0 Kekuatan gel (gram Bloom) 240 200 160 140 Viskositas (cP) 20 20 20 20 Kadar abu (%) 1,0 1,0 2,0 2,0 pH 5,5-7,0 5,5-7,0 5,5-7,0 5,5-7,0 Arsen (ppm) 0,8 0,8 0,8 0,8 Logam berat (ppm) 50 50 50 50 Mikrobiologi (per g) 1000 1000 1000 1000 E.coli (per 100 g) Negatif Negatif Negatif Negatif Salomonella Negatif Negatif Negatif Negatif (Sumber: Norland Product, 2003) 4. Enzim Transglutaminase Enzim adalah protein yang berperan sebagai katalis dalam proses metabolisme makhluk hidup. Enzim terdiri atas apoenzim yang tersusun dari protein dan gugus prostetik yang tidak tersusun dari protein. Gugus prostetik dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu koenzim (tersusun dari bahan organik) dan kofaktor (tersusun dari bahan anorganik) (Lehninger, 1982). Enzim memiliki beberapa sifat, diantaranya adalah termolabil (mudah rusak bila dipanaskan dengan suhu tertentu), merupakan senyawa protein, bekerja secara spesifik (satu jenis enzim bekerja khusus hanya pada satu jenis substrat). Dalam aktivitasnya, enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, pH, kadar air, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, aktivator, dan adanya inhibitor (Karmana, 2008). Transglutaminase adalah enzim yang mengkatalis pembentukan ikatan silang antar molekul protein (pembentukan polimer antar molekul protein). Pada awalnya, transglutaminase dikenal sebagai faktor XIIIa di bidang kedokteran, yang berperan pada proses penggumpalan darah. Transglutaminase dapat 17 ditemukan pada berbagai organ, jaringan dan cairan tubuh hewan (darat maupun air) dan tanaman. Enzim tersebut terlibat pada berbagai fungsi biologis mulai dari penggumpalan darah sampai diferensiasi sel. Transglutaminase telah berhasil diisolasi dari beberapa sumber, dimurnikan dan dikarakterisasi dari Streptoverticillium mobaraenese (Ando dkk, 1989) dan Streptovercillium ladakannum (Tsai dkk, 1996). Salah satu produk transglutaminase yang telah dipasarkan secara komersial adalah serial ActivaTM Transglutaminase dari Ajinomoto Jepang. Strain yang digunakan adalah Streptoverticillium mobaraense, sehingga transglutaminase yang dihasilkan sering disebut sebagai microbial transglutaminase (MTGase) (Puruhita, 2011). Transglutaminase memiliki pH optimum berkisar antara 5-8, tetapi pada pH 4 atau 9, transglutaminase masih menunjukkan aktivitas enzimatik. Suhu optimum untuk aktivitas enzimatik adalah 50-55°C dan dapat melakukan aktivitas enzimatik terus menerus secara penuh meski berlangsung pada suhu 50°C selama 10 menit. Transglutaminase kehilangan aktivitas enzimatik dalam beberapa menit pada pemanasan mencapai 70°C. Transglutaminase masih mengeluarkan aktivitas enzimatik pada suhu 10°C, dan masih menunjukkan beberapa aktivitas pada suhu sedikit di atas titik beku (Motoki dkk, 1998). Meskipun transglutaminase dapat membentuk ikatan silang yang dapat meningkatkan kekuatan gel, pembentukan ikatan silang yang berlebihan juga dapat menyebabkan perubahan bentuk (deformable), sehingga gel yang terbentuk menjadi lebih rapuh. Hal tersebut hampir sama efeknya dengan pembentukan ikatan silang alami yang terbentuk pada molekul kolagen dan terjadi pada tendon 18 tulang dan kulit binatang. Sejalan dengan bertambahnya umur, akumulasi ikatan silang membuat kolagen menjadi lebih mudah mengalami perubahan bentuk dan lebih rapuh, sebagai akibatnya tulang dan tendon menjadi lebih mudah rapuh dan kulit menjadi tidak elastis (Park, 2005). Protein-protein mengalami perubahan sifat fungsional setelah dipolimerisasi menggunakan transglutaminase. Terbentuknya polimer antar molekul protein tersebut dideteksi menggunakan metode elektroforesis dan kromatografi. Pada metode elektroforesis, terbentuknya polimer protein ditunjukkan oleh adanya pita berbobot molekul tinggi pada gel elektroforesis, sedangkan pada metode kromatografi, terbentuknya polimer ditunjukkan oleh adanya fraksi dengan waktu retensi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan protein aslinya (Srianta, 2000). Secara alami, transglutaminase juga terdapat dalam ikan dan jumlahnya bervariasi dalam ikan segar (Whitehusrt dan Law, 2002). Enzim tersebut merupakan jenis enzim yang tergantung pada ketersediaan kalsium. Untuk dapat aktif, transglutaminase endogen membutuhkan kalsium dalam jumlah yang cukup. Pada jenis ikan yang berbeda, dan pada individu yang berbeda dalam satu jenis ikan, terdapat kandungan transglutaminase endogen yang bervariasi, yang mana hal tersebut dipengaruhi oleh habitat, makanan dan kondisi fisiologi ikan (Park dkk, 2005). 19 O (a) Gln C O NH2 + RNH2 Gln O (b) Gln C Gln C NHR + NH3 O NH2 + NH2 Lys Gln O (c) C C H N Lys + NH3 O NH2 + HOH Gln C OH + NH3 Gambar 5. Reaksi yang dikatalisis oleh Transglutaminase. (a) Reaksi Transfer Asil, (b) Ikatan Silang antara Gln dan Lys dan (c) Deaminasi. (Sumber: Motoki dkk, 1998) Pada Gambar 5 terlihat reaksi transglutaminase yang mengkatalisis pembentukan ikatan silang dengan pembentukan ikatan silang, penggabungan amin, dan deaminasi. a. Pembentukan Ikatan Silang Transglutaminase mengkatalisis pembentukan ikatan silang kebanyakan protein makanan melalui pembentukan ikatan ε-(γ-glutamil) lisin. Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan silang ε-(γ-glutamil) lisin antara kelompok γ-karboksiamid pada residu glutamin (Gln) dan kelompok ε-amino residu lisin (Lys). Pada awalnya, kelompok γ-karboksiamid akan berinteraksi dengan transglutaminase, dan berikutnya kelompok ε-amino residu lisin akan terlibat dalam pembentukan ikatan kovalen baru. Ikatan silang yang terbentuk dapat terjadi pada intra dan intermolekul protein dan mengarah pada terbentuknya polimerisasi. Reaktivitas dari residu glutamin bergantung pada jenis transglutaminase dan substrat protein yang digunakan. Reaksi tersebut 20 telah digunakan pada proses pangan dan dapat memperbaiki sifat fisik dan tekstur makanan yang dihasilkan (Shimba dkk, 2002). Pembentukan ikatan silang tersebut tidak mengurangi nilai gizi makanan, karena residu lisin tetap dapat dicerna. Transglutaminase tidak hanya dapat digunakan untuk membentuk ikatan silang pada satu jenis protein saja, tetapi juga dapat digunakan pada residu glutamin dan lisin dari 2 jenis protein yang berbeda, sehingga membentuk heteropolimer (Motoki dkk, 1998). b. Penggabungan Amin Transglutaminase mengkatalisis reaksi transfer asil antara kelompok γ-karboksiamid dari ikatan peptida residu glutamin (berperan sebagai donor asil) dengan berbagai amin utama (berperan sebagai akseptor asil). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa reaksi yang dikatalisis transglutaminase baik penggabungan amin dan deaminasi dipengaruhi oleh mekanisme pengontrolan kation tunggal. Mekanisme penggabungan amin terjadi ketika kation berfungsi untuk mengaktivasi transglutaminase dengan mengikat protein enzim pada dua tempat terpisah. Pada bagian yang disebut sisi katalitik (catalytic site) yang mana tingkat kation yang dibutuhkan lebih sedikit, transglutaminase tidak dapat mengkatalisis penggabungan amin pada substrat glutamin. Pada sisi lain yang disebut dengan sisi pengikatan (binding site), transglutaminase membutuhkan tingkat kation yang lebih tinggi untuk aktivasi fungsinya dan merupakan bagian penting yang akan bergabung dengan sisi katalitik untuk mengkatalisis penggabungan amin (Folk dkk, 1967). 21 c. Deaminasi Ketika dalam substrat tidak terdapat amin utama, transglutaminase mengkatalisis deaminasi residu glutamin dari protein, dan molekul air berperan sebagai reseptor asil (Motoki dkk, 1998). Deaminasi berkepanjangan seperti yang disebabkan oleh suhu tinggi dan pH rendah, dapat membuat protein-protein terdenaturasi. Protein-protein tersebut mengalami peningkatan kelarutan dikarenakan adanya tegangan pada sisi rantai asam karboksilat yang diproduksi pada proses deaminasi dan peningkatan jumlah daerah permukaan yang kurang terpolarisasi, sebagai akibat terpaparnya daerah hidrofobik (Robinson dan Robinson, 2004). Transglutaminase dilaporkan memiliki aktivitas deaminasi yang rendah (Nonaka dkk, 1996), dan hanya dapat mendeaminasi 7,7% residu glutamin pada citraconylated as1-casein. Secara umum, transglutaminase bereaksi melalui ikatan ε-(γ-glutamil) lisin isopeptida yang menghasilkan penggabungan ikatan kovalen inter atau intramolekuler yang berikatan silang dengan protein makanan. Hal tersebut dapat meningkatkan sifat fisika dan bentuk makanan seperti tahu, pasta ikan rebus dan sosis (Seguro dkk, 1995; Soeda dkk, 1995; Nonaka dkk, 1996; Ni dkk, 1998; Sharma dkk, 2002; Shimba dkk, 2002; Benjakul dkk., 2004). de Jong dan Koppelman (2002) menyatakan bahwa transglutaminase mengkatalisis reaksi transfer asil antara gugus γ-karboksiamid dari residu glutamin (donor asil) dan gugus ε-amino dari residu lisin (akseptor asil), menghasilkan pembentukan ikatan 22 silang protein ε-(γ-glutaminil) lisin intra dan intermolekular. Reaksi yang dikatalisis oleh glutamiltransferase terlihat pada Gambar 6. O Protein 1 Gln C NH2 + Gln C Lys Protein 2 NH3 O Protein 1 NH2 H N Lys Protein 2 Gambar 6. Reaksi Katalisis oleh Glutamiltransferase (Sumber: Martianingsih dan Atmaja, 2009) Polimerase yang disebabkan oleh enzim transglutaminase sudah diteliti pada berbagai sumber protein termasuk α-kasein, protein kedelai dan gelatin, dan terdapat perbedaan hasil dalam nilai kekuatan gel yang tergantung pada kondisi reaksi dan sumber protein (Sakamoto dkk, 1994). Peningkatan nilai kekuatan gel protein oleh transglutaminase tergantung dari intensitas enzim yang menghasilkan ikatan silang. Selain itu, banyaknya ikatan kovalen baru yang menghambat secara fisik ikatan silang selama renaturasi dan pembentukan tripel heliks juga mempengaruhi peningkatan nilai kekuatan gel protein (Babin dan Dickinson, 2001). Hingga saat ini, banyak penelitian yang meneliti karakter dasar dan aplikasi gelatin ikan yang ditambahkan transglutaminase (Ramirez dkk, 2000; Fernandez-Diaz dkk, 2001; Uresti dkk, 2003; Kolodzlejska dkk, 2004; Uresti dkk, 2004a, 2004b). Efek transglutaminase pada gelatin tergantung oleh konsentrasi enzim, suhu inkubasi dan bahan baku gelatin (de Carvalho dan Grosso, 2004; Jongjareonrak dkk., 2006; Kolodzicjska dkk., 2004; Sakamoto dkk., 1994). 23 Protein yang ditambahkan dengan enzim transglutaminase tetap memiliki nilai nutrisi karena residu lisin tetap tersedia untuk pencernaan (Seguro dkk, 1996; Yokoyama dkk, 2004). Modifikasi kimia dan enzimatik gelatin menyebabkan perubahan suhu endotermik pada masa transisi pelelehan, dibandingkan dengan suhu endotermik pelelehan gelatin asli dan gelatin dari lapisan film yang menandakan adanya ikatan silang karena senyawa kimia dan enzim seperti transglutaminase (Norziah dkk, 2009). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gelatin yang dihasilkan dari tulang ikan memiliki nilai kekuatan gel dan viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan gelatin mamalia. Enzim transglutaminase dapat meningkatkan nilai kekuatan gel dan viskositas pada gelatin. Transglutaminase pada konsentrasi 1U/g yang ditambahkan pada gelatin babi mampu meningkatkan nilai viskositasnya. Seperti yang terlihat pada Gambar 7, semakin tinggi konsentrasi transglutaminase yang ditambahkan, semakin tinggi nilai viskositas gelatin yang dihasilkan (Zhu dkk, 2009). Transglutaminase pada jumlah yang tepat dapat meningkatkan nilai kekuatan gel pada gelatin ikan dari Tenualosa ilisha seperti yang terlihat di Gambar 8. Kekuatan gel meningkat secara signifikan dengan nilai 101,10 gram Bloom pada konsentrasi transglutaminase 1,0 mg/g. Sampel tanpa penambahan enzim memiliki nilai kekuatan gel sebesar 59,03 gram Bloom. Konsentrasi enzim di atas 1,0 mg/g dapat menurunkan nilai kekuatan gel dikarenakan ikatan silang yang berlebihan (Norziah dkk, 2009). 24 Gambar 7. Pengaruh Transglutaminase pada Viskositas Gelatin Babi (Sumber: Zhu dkk, 2009) Gambar 8. Pengaruh Transglutaminase pada Kekuatan Gel Gelatin Ikan Tenualosa ilisha (Sumber: Norziah dkk, 2009) 5. Rendemen Rendemen merupakan perbandingan antara bobot awal bahan baku sebelum produksi dibandingkan dengan bobot akhir setelah produksi dan dinyatakan dalam persen (%). Rendemen memberikan gambaran seberapa efisien 25 proses produksi untuk menghasilkan produk dengan jumlah yang diharapkan (Amiruldin, 2007). 6. Analisis Proksimat Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan zat makanan dari suatu bahan. Istilah proksimat mempunyai pengertian bahwa hasil analisis dari metode tersebut menunjukkan nilai yang mendekati dengan nilai yang sebenarnya. Hal tersebut disebabkan dalam satu fraksi hasil analisis masih terdapat zat lain yang berbeda sifatnya dalam jumlah yang sedikit. Analisis proksimat bermanfaat untuk mengidentifikasi kandungan zat makanan yang belum diketahui sebelumnya, menguji kualitas bahan yang telah diketahui dibandingkan dengan standarnya, serta mengevaluasi hasil formula ransum yang telah dibuat. Analisis proksimat merupakan dasar untuk analisis lebih lanjut (Hafes, 2000). a. Kadar Air Kadar air merupakan presentasi jumlah air yang terdapat dalam bahan terhadap bobot kering. Kadar air memberikan gambaran banyaknya air yang terikat oleh komponen padatan bahan. Selain itu, kandungan air suatu bahan dapat menentukan penampakan, tekstur dan kemampuan bertahan bahan terhadap serangan mikroorganisme yang dinyatakan dalam aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Sudarmadji, 1995). 26 b. Kadar Abu Kadar abu merupakan jumlah bahan anorganik yang terdapat dalam bahan organik. Abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang tersisa selama proses pembakaran tinggi (suhu sekitar 600°C) selama dua jam. Jumlah abu dipengaruhi oleh jumlah ion-ion anorganik yang terdapat dalam bahan selama proses berlangsung (Amiruldin, 2007). 7. Analisis Fisikokimia a. Derajad Keasaman (pH) Pengukuran pH dilakukan untuk menentukan kondisi dan jenis muatan yang terdapat pada gelatin. Gelatin merupakan rantai polipeptida yang terdiri atas berbagai macam asam amino. Asam amino mempunyai sifat zwitter ion atau dipolar karena dalam struktur kimianya mempunyai gugus fungsi negatif (COO-) dan gugus fungsi positif (NH3+). Asam amino juga bersifat amfoter, yaitu dapat bersifat asam, netral atau basa sesuai dengan kondisi lingkungannya (Winarno, 2002). b. Kekuatan Gel Kekuatan gel gelatin adalah besarnya kekuatan yang diperlukan oleh probe untuk menekan gel sedalam 4 mm sampai gel pecah. Satuan untuk menunjukkan kekuatan gel yang dihasilkan dari suatu konsentrasi tertentu disebut Gram Bloom (Hermanianto dkk, 2000). Pembentukan gel merupakan fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jalinan tiga dimensi yang kontinyu, sehingga dapat 27 menangkap air di dalamnya menjadi suatu struktur yang kompak dan kaku yang tahan terhadap aliran di bawah tekanan. Pada waktu sol dari gelatin mendingin, konsistensinya menjadi lebih kental dan selanjutnya akan berbentuk gel. (Fardiaz, 1989). c. Viskositas Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan baik dalam air, cairan organik sederhana dan suspensi, serta emulsi encer (de Man, 1997). Untuk stabilitas emulsi gelatin diperlukan viskositas yang tinggi (Leiner, 2006). 8. Analisis secara Spektrofotometri Inframerah Spektroskopi inframerah merupakan teknik yang sangat berguna untuk identifikasi senyawa-senyawa yang tidak dikenal. Spektroskopi inframerah dapat mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75-1.000 µm atau pada bilangan gelombang 13.00010 cm-1. Metode spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang meliputi teknik serapan, emisi dan fluoresensi. Penyerapan gelombang elektromagnetik dapat menyebabkan terjadinya eksitasi tingkat-tingkat energi dalam molekul, yang dapat berupa eksitasi elektronik, vibrasi atau rotasi (Stuart, 2004). Radiasi inframerah tidak memiliki cukup energi untuk menyebabkan transisi elektronik. Bila radiasi inframerah dilewatkan melalui suatu cuplikan, maka molekul akan menyerap energi sehingga terjadi vibrasi. Panjang gelombang serapan oleh suatu ikatan bergantung pada jenis getaran ikatan antar atom. Oleh 28 karena itu, tipe ikatan yang berlainan akan menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berbeda (Fessenden dan Fessenden, 1986). Vibrasi yang terjadi meliputi vibrasi ulur dan tekuk yang dikenal dengan istilah rocking, twisting, scissoring dan waging (Hollas, 2004). Ikatan-ikatan tunggal (contohnya, O-H, N-H dan C-H) menyerap pada bagian spektrum berfrekuensi tinggi (kira-kita 4.000-2.100 cm-1). Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya massa atom hidrogen yang menyebabkan getaran terjadi pada frekuensi tinggi. Ikatan rangkap tiga (contohnya, CN-) menyerap pada frekuensi kira-kita 2.100-1900 cm-1. Sementara itu, ikatan rangkap dua (contohnya, C=O dan C=C) menyerap pada frekuensi kira-kira 1.900-1.500 cm-1. Daerah spektrum inframerah pada bilangan gelombang kurang dari 1.500 cm-1 disebut daerah sidik jari, karena pola puncak yang terjadi pada daerah tersebut khas bagi senyawa yang diujikan dan tidak ada senyawa lain yang memilikinya (Cairns, 2008). Senyawa kimia tertentu mempunyai kemampuan menyerap radiasi elektromagnetik dalam daerah spektrum inframerah. Absorpsi radiasi inframerah pada material tertentu berkaitan dengan fenomena bergetarnya molekul atau ikatan atom. Metode tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu senyawa yang belum diketahui, karena spektrum yang dihasilkan spesifik untuk senyawa tersebut. Metode tersebut banyak digunakan karena: a. Cepat dan relatif murah b. Dapat digunakan untuk identifikasi gugus fungsional dalam molekul 29 c. Spektrum inframerah yang dihasilkan oleh suatu senyawa adalah khas dan oleh karena itu dapat menyajikan sebuah fingerprint (sidik jari) untuk senyawa tersebut (Stuart, 2004). Bila radiasi inframerah dilewatkan melalui suatu cuplikan, maka molekul- molekulnya dapat mengabsorpsi energi dan terjadilah transisi antara tingkat vibrasi dasar (ground state) dan tingkat vibrasi tereksitasi (exited state). Absorbsi energi pada berbagai frekuensi dapat dideteksi oleh spektrofotometer inframerah, yang merajahkan jumlah radiasi inframerah yang diteruskan melalui suatu cuplikan sebagai fungsi frekuensi (atau bilangan gelombang) radiasi. Plot tersebut disebut spektrum inframerah yang akan memberikan informasi penting tentang gugus fungsional suatu molekul (Stuart, 2004). E. Landasan Teori Ikan lele dumbo merupakan jenis ikan yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Kolagen yang terdapat dari tulang ikan lele dumbo dapat diubah menjadi gelatin. Penambahan enzim transglutaminase dapat meningkatkan kualitas gelatin ikan, khususnya nilai viskositas dan kekuatan gelnya. Enzim tersebut mampu mengkatalisis polimerisasi dan membentuk ikatan silang protein melalui pembentukan ikatan kovalen antar molekul. Gelatin yang didapatkan kemudian dikenai analisis proksimat (kadar air dan kadar abu), analisis fisikokimia (derajad keasaman, viskositas dan kekuatan gel) dan penentuan spektra inframerah. Kemudian dilihat perbandingan antara nilai kekuatan gel dan viskositas sebelum serta sesudah penambahan enzim 30 transglutaminase. Hasil tersebut dianalisis statistik dengan metode paired t-test untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan. F. Hipotesis Berdasarkan landasan teori, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: 1. Gelatin hasil ekstraksi dari tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dikenai analisis proksimat, analisis fisikokimia dan penentuan spektra inframerah. 2. Gelatin jika ditambahkan enzim transglutaminase dapat meningkatkan kualitas gelatin khususnya kekuatan gel dan viskositasnya.