1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gelatin merupakan salah satu jenis protein konversi yang diperoleh
melalui proses hidrolisis kolagen dari kulit, tulang dan jaringan serat putih (white
fibrous) hewan. Gelatin termasuk protein yang unik karena mampu membentuk
gel yang thermo-reversible dengan suhu leleh yang dekat dengan suhu tubuh,
serta larut dalam air. Dalam industri makanan, gelatin berfungsi sebagai penstabil,
pengental (tickenner), pengemulsi (emulsifier), pembentuk jeli, pengikat air,
pengendap dan pembungkus makanan (edible coating) (Damanik, 2005). Di
bidang farmasi dan medis, gelatin digunakan sebagai matriks untuk implan pada
pemberian injeksi mikrosfer dan infus intravena (Pollack, 1990). Dalam industri
farmasi, gelatin digunakan pada pembuatan cangkang kapsul keras maupun lunak,
pengembang plasma dan perawatan luka. Gelatin yang rendah kalori digunakan
dalam bahan makanan untuk meningkatkan kadar protein. Gelatin juga digunakan
untuk mengurangi kadar karbohidrat dalam makanan dan diformulasikan untuk
pasien diabetes (Karim dan Bhat, 2009).
Sumber utama gelatin adalah dari tulang dan kulit sapi serta babi. Produksi
gelatin dari bahan baku kulit babi mencapai 44%, kulit sapi 28%, tulang sapi 27%
dan porsi lainnya 1%, dengan total produksi dunia mencapai 326.000 ton (GME,
2009). Penggunaan gelatin dari sumber mamalia memiliki beberapa keterbatasan
dan halangan dari aspek religi, sosial dan kesehatan. Masyarakat Yahudi dan
1
2
Islam memiliki pantangan untuk mengonsumsi bahan-bahan dari babi, sedangkan
masyarakat Hindu tidak mengonsumsi bahan-bahan dari sapi. Adanya penyakit
Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau dikenal sapi gila (mad cow) juga
merupakan kendala pemakaian gelatin dari sapi. Oleh karenanya, pencarian
gelatin alternatif yang tidak bersumber dari babi dan sapi sangat dibutuhkan
(Karim dan Bhat, 2009). Dalam hal tersebut, gelatin ikan merupakan alternatif
yang potensial untuk mengganti peranan gelatin mamalia (babi dan sapi) dalam
beberapa penggunaan.
Gelatin ikan berbeda dengan gelatin mamalia berdasarkan pada suhu leleh,
suhu pembentukan gel dan kekuatan gel. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
perbedaan kandungan asam amino, terutama prolin dan hidroksiprolin.
Hidroksiprolin adalah asam amino turunan prolin. Keduanya bertanggung jawab
pada stabilitas struktur kolagen (Norziah, 2009). Salah satu tulang ikan yang
berpotensi digunakan sebagai bahan baku gelatin ikan adalah tulang ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus), karena lele dumbo merupakan jenis ikan yang
banyak dibudidayakan di Indonesia. Produksi ikan lele di Indonesia mencapai
162.000 ton pada tahun 2008, dengan proporsi tulang ikan terhadap tubuh ikan
mencapai 12,4% (Abdullah, 2005). Pembuatan gelatin dari tulang ikan sangat
membantu meningkatkan nilai ekonomis limbah ikan yang selama ini belum
termanfaatkan secara optimal dan membantu pemenuhan gelatin halal dalam
negeri.
Untuk diaplikasikan pada industri makanan dan farmasi, gelatin ikan harus
diproses untuk mendapatkan karakteristik yang sesuai. Jumlah bahan baku harus
3
banyak dan murah sehingga dapat diproduksi terus menerus secara efisien oleh
industri (Junianto, 2006). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gelatin yang
dihasilkan dari tulang ikan memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan
dengan gelatin dari sapi dan babi. Salah satu sebab utamanya adalah gelatin ikan
memiliki nilai kekuatan gel yang rendah. Sementara itu, cerminan kualitas gelatin
yang baik dan dapat digunakan untuk sediaan farmasi adalah gelatin yang
memiliki nilai kekuatan gel tinggi. Oleh karena itu sangat diperlukan penelitian
lebih lanjut sebagai upaya menjawab dan memberikan solusi terhadap
permasalahan yang ada.
Penelitian telah dilakukan untuk memodifikasi gelatin ikan agar lebih
berkualitas. Pencampuran gelatin ikan dengan biopolimer lain seperti karagenan,
kitosan dan pektin merupakan salah satu usaha yang dapat meningkatkan
karakeristik gelatin ikan (Chen dkk, 2003; Uresti dkk, 2003; Haug dkk, 2004a).
Penelitian lebih lanjut dengan penambahan plasticizers seperti gliserol, sorbitol,
sukrosa, polietilen glikol (Tanaka dkk, 2001; Vanin dkk, 2005) dan agen garam
(Fernandez-Diaz dkk, 2001; Ramirez dkk, 2002; Haug dkk, 2004b) dapat
meningkatkan karakteristik film atau gel. Penambahan senyawa kimia yang dapat
membentuk ikatan silang seperti glutaraldehid, formaldehid dan glioksal (Bigi
dkk, 2001; de Carvalho dan Grosso 2004) atau enzim seperti transglutaminase
juga dapat meningkatkan sifat gelatin ikan. Transglutaminase merupakan enzim
yang mengkatalisis polimerisasi dan membentuk ikatan silang protein melalui
pembentukan ikatan kovalen antar molekul (Motoki dkk, 1998). Transglutaminase
yang lazim digunakan adalah enzim yang berasal dari mikrobia atau disebut
4
MTGase dan secara komersial telah dipasarkan oleh beberapa produsen (Puruhita,
2011).
Penggunaan gelatin cukup luas dalam berbagai aplikasi, tetapi masih
terdapat berbagai kendala terkait halal atau tidaknya gelatin mamalia bagi
konsumen. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pencarian sumber gelatin
alternatif seperti dari ikan serta peningkatan produksinya mutlak diperlukan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut,
maka dapat dibuat rumusan permasalahan sebagai berikut:
1.
Seperti apakah karakteristik proksimat, fisikokimia dan spektra inframerah
gelatin hasil ekstraksi tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)?
2.
Apakah enzim transglutaminase dapat meningkatkan viskositas dan kekuatan
gel gelatin ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah memproduksi gelatin ikan dari
pemanfaatan limbah tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Secara khusus
penelitian bertujuan untuk:
1.
Melakukan analisis proksimat, fisikokimia, dan penentuan spektra inframerah
gelatin hasil ekstraksi tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).
2.
Mengoptimalisasi gelatin ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan enzim
tranglutaminase untuk meningkatkan viskositas dan kekuatan gelnya.
5
D. Tinjauan Pustaka
1.
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Menurut Bachtiar (2006), lele dumbo merupakan spesies baru yang
diperkenalkan pada tahun 1984. Lele bertubuh besar tersebut adalah hasil
persilangan antara induk betina lele asli Taiwan dan induk pejantan yang berasal
dari Afrika. Lele tersebut masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 1986, yang
diimpor dari Taiwan. Saat ini, penyebaran lele dumbo di Indonesia sudah sangat
luas. Sejak tahun 2002, dapat dipastikan bahwa di setiap wilayah Indonesia dapat
dijumpai kolam lele dumbo. Di Indonesia dikenal banyak jenis lele, diantaranya
lele lokal, lele dumbo, lele phiton dan lele babon (lele Kalimantan). Namun, yang
dibudidayakan hanya lele lokal (Clarius barracus) dan lele dumbo (Clarias
gariepinus).
Jenis
yang
kedua
lebih
banyak
dikembangkan
karena
pertumbuhannya lebih cepat dan ukurannya lebih besar daripada lele lokal.
Berdasarkan hasil penelitian, lele dumbo memiliki kandungan gizi yang
cukup tinggi. Setiap 100 gram dagingnya mengandung 18,2 gram protein. Lele
dumbo berukuran kecil dengan bobot 500 gram dan mengandung 12 gram protein,
energi 149 kalori, lemak 8,4 gram dan karbohidrat 6,4 gram. Komposisi gizi
sebesar ini jarang dimiliki oleh daging-daging sumber protein lainnya. Saat ini
lele dumbo juga sudah banyak dijual di rumah makan, restoran, hotel dan warung
kaki lima dalam berbagai olahan (Khairuman dan Amri, 2008). Berdasarkan
taksonominya, lele dumbo diklasifikasikan ke dalam:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
6
Klas
: Pisces
Ordo
: Ostariophysi
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias gariepinus (Sutrisno, 2006).
Gambar 1. Ikan Lele Dumbo (Sumber: www.commons.wikimedia.com)
Gambar 1 menunjukkan bahwa ikan lele dumbo memiliki kulit yang licin,
berlendir dan sama sekali tidak memiliki sisik. Warnanya hitam keunguan atau
kemerahan dengan loreng-loreng seperti baju tentara. Warna kulit akan berubah
menjadi mozaik hitam putih jika lele sedang dalam kondisi stres, dan akan
menjadi pucat jika terkena sinar matahari langsung. Lele dumbo memiliki kepala
yang panjang, hampir seperempat dari panjang tubuhnya. Tanda yang khas dari
lele dumbo adalah tumbuhnya empat pasang sungut seperti kumis di dekat
mulutnya. Sungut berfungsi sebagai alat penciuman serta alat peraba saat mencari
makanan. Lele dumbo memiliki 3 buah sirip tunggal, yaitu sirip punggung yang
berfungsi sebagai alat berenang, sirip subur dan sirip ekor yang berfungsi sebagai
alat bantu untuk mempercepat dan memperlambat gerakan. Selain itu, lele dumbo
juga mempunyai dua sirip berpasangan, yaitu sirip dada dan sirip perut. Sirip dada
7
mempunyai jari-jari yang keras dan runcing yang biasa disebut patil. Alat tersebut
berfungsi sebagai senjata sekaligus alat bantu gerak ke kanan dan ke kiri.
Walaupun berfungsi sebagai senjata, patil ini tidak memiliki racun (Bachtiar,
2006).
2.
Kolagen
Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan ikat putih
(white connetive tissue) yang meliputi hampir 30% dari total protein pada jaringan
dan organ tubuh vertebrata dan invertebrata. Pada mamalia, kolagen terdapat di
kulit, tendon, tulang rawan dan jaringan ikat. Demikian juga pada burung dan
ikan, sedangkan pada invertebrata kolagen terdapat pada dinding sel (Bailey dan
Light, 1989). Kolagen mengandung sekitar 33% glisin, 21% prolin, dan 14%
hidroksiprolin,
suatu
asam
amino
yang
dihasilkan
melalui
modifikasi
pascatranslasi residu prolin (Smith dkk, 2000). Kolagen murni sangat sensitif
terhadap reaksi enzimatis dan kimiawi. Perlakuan alkali menyebabkan kolagen
mengembang dan menyebar, yang sering dikonversi menjadi gelatin. Disamping
pelarut alkali, kolagen juga larut dalam pelarut asam (Bennion, 1980).
Molekul dasar pembentuk kolagen disebut tropokolagen dengan BM
300.000, yang di dalamnya terdapat tiga rantai polipeptida yang sama panjang dan
bersama-sama membentuk struktur heliks (Gambar 2). Masing-masing rantai
polipeptida mengandung sekitar 1.000 residu asam amino. Sewaktu ketiga rantai
polipeptida tersebut saling melilit satu sama lain, maka terbentuk supercoil yang
merupakan tropokolagen (Smith dkk, 2000).
8
Gambar 2. Heliks Tropokolagen (Sumber: Smith dkk, 2000)
Setiap tiga rantai polipeptida dalam unit tropokolagen membentuk struktur
heliks tersendiri, bersama-sama dengan ikatan hidrogen antara gugus NH dari
residu glisin pada rantai yang satu dengan gugus CO pada rantai lainnya. Cincin
pirolidin, prolin, dan hidroksiprolin membantu pembentukan rantai polipeptida
dan memperkuat tripel heliks (Wong, 1989). Setiap belokan tripel heliks
mengandung 3 residu asam amino, sehingga setiap asam amino ketiga berkontak
erat dengan dua untai yang lain di bagian tengah struktur. Hanya glisin, yang tidak
memiliki rantai samping yang cocok dengan posisi tersebut. Setiap residu asam
amino ketiga pada tropokolagen adalah glisin. Dalam urutan, residu prolin sering
mengikuti residu glisin, sehingga urutannya dapat digambarkan sebagai Gly-X-Y,
yang mana X sering berupa prolin dan Y adalah semua asam amino yang dijumpai
pada kolagen (Smith dkk, 2000).
Tropokolagen adalah salah satu contoh protein yang mengalami modifikasi
pascatranslasi ekstensif. Reaksi hidroksilasi menghasilkan residu hidroksiprolin
dari residu prolin, dan hidroksilisin dari residu lisin. Reaksi tersebut terjadi setelah
sintesis protein (Gambar 3) dan memerlukan vitamin C (asam askorbat). Residu
hidroksiprolin terlibat dalam pembentukan ikatan hidrogen yang membantu
menstabilkan tripel heliks (Smith dkk, 2000).
9
Gambar 3. Hidroksilasi Residu Prolin dan Lisin dalam Kolagen
(Sumber: Martianingsih dan Atmaja, 2009)
Konversi kolagen yang bersifat tidak larut dalam air menjadi gelatin yang
larut dalam air merupakan transformasi penting dalam pembuatan gelatin. Tulang
atau kulit agar dapat diesktraksi kolagennya harus diberi perlakuan awal.
Ekstraksi tersebut dapat menyebabkan pemutusan ikatan hidrogen diantara ketiga
rantai tropokolagen menjadi tiga rantai bebas, dua rantai saling berikatan, dan satu
rantai bebas, serta tiga rantai yang masih berikatan (Poppe, 1977). Perlakuan
pemanasan atau penambahan zat seperti asam, basa, urea, kalsium dan
permanganat
dapat
menyebabkan
larutan
tropokolagen
terdenaturasi.
Tropokolagen yang terdenaturasi akan terdisosiasi menjadi tiga komponen, yaitu
10
α, β dan γ. Komponen α merupakan rantai tunggal polipeptida dengan bobot
molekul kurang lebih sepertiga dari bobot molekul tropokolagen, sementara
komponen β dan γ merupakan dimer dan trimer yang dibentuk dari ikatan silang
(Parker, 1982).
Kemampuan pembentukan gel tergantung pada karakteristik spesies ikan.
Kandungan NaCl yang rendah berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel kolagen
dari kulit ikan, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan gel kolagen
dari tulang (Montero dan Borderias, 1991). Kolagen diaplikasikan di berbagai
bidang seperti kosmetik, biomedis, farmasi dan lain-lain. Soluble kolagen
memiliki kegunaan yang lebih luas di berbagai bidang karena memiliki
karakteristik yang khusus, termasuk biodegradabilitas dan antigenisitasnya yang
lemah. Kolagen yang berasal dari mamalia memiliki perbedaan dengan kolagen
yang terbuat dari ikan. Menurut Fernandez-Diaz dkk (2001), kolagen kulit ikan
lebih mudah hancur daripada kolagen kulit hewan, yang mana kedua jenis kolagen
tersebut akan hancur oleh proses pemanasan.
3.
Gelatin
Gelatin adalah protein yang diperoleh dari jaringan kolagen hewan yang
terdapat pada kulit, tulang dan jaringan ikat. Gelatin yang ada di pasaran
umumnya diproduksi dari kulit dan tulang sapi atau babi. Di Indonesia, kebutuhan
industri terhadap gelatin dipenuhi dengan impor dari Prancis, Jerman, Jepang dan
India. Data impor gelatin yang tercatat dalam BPS (2006) diberikan pada Tabel 1.
11
Tabel 1. Data Impor Gelatin Tahun 2002-2006
Tahun
Bobot (Kg) Nilai (US$)
Januari-Mei 2006 1.213.111
4.215.779
2005
2.630.692
8.603.802
2004
2.145.916
8.001.714
2003
2.144.372
6.801.882
2002
4.291.579 10.749.199
(Sumber: BPS, 2006)
Susunan asam amino gelatin hampir mirip dengan asam amino kolagen,
yang mana glisin merupakan asam amino utama dan berkontribusi sebesar 2/3 dari
seluruh asam amino yang menyusunnya, sementara itu 1/3 asam amino yang
tersisa diisi oleh prolin dan hidroksiprolin (Chaplin, 2005).
H2
C
H2C
H2
C
O
C
N
N
H2
C
CH2
H2C
H
N
CH
H2
C
O
C
C
CH
O
O
R
C
NH
H
N
N
CH2
CH
C
CH
C
C
O
R
O
O
Gambar 4. Struktur Gelatin (Sumber: Poppe, 1992)
Bobot molekul gelatin secara umum berkisar antara 20.000-250.000.
Secara fisika dan kimia, gelatin berwarna kuning cerah atau transparan, berbentuk
serpihan atau tepung, berbau dan mempunyai rasa, larut dalam air panas, gliserol
dan asam asetat, serta tidak larut dalam pelarut organik. Gelatin dapat
mengembang dan menyerap air 5-10 kali bobot asalnya. Disamping itu, gelatin
dapat menjendal dalam air dingin. Menurut Norland (1997), gelatin mudah larut
dalam air pada suhu 71,1°C dan cenderung membentuk gel pada suhu 48,9°C.
12
Sedangkan menurut Montero dkk (2000), suhu pemanasan yang dilakukan untuk
melarutkan gelatin sekurang-kurangnya 49°C atau biasanya pada suhu 60–70°C.
Menurut de Man (1997), proses pengubahan kolagen menjadi gelatin
melibatkan tiga perubahan, sebagai berikut:
a. Pemutusan sejumlah ikatan peptida untuk memperpendek rantai.
b. Pemutusan atau pengacauan sejumlah ikatan samping antar rantai.
c. Perubahan konfigurasi rantai.
Gelatin terbagi menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan proses
pengolahannya, yaitu tipe A dan tipe B. Dalam pembuatan gelatin tipe A, bahan
baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan asam yang akan mempunyai titik
isoeletrik antara pH 6 dan 9, sehingga proses tersebut dikenal dengan sebutan
proses asam. Dalam pembuatan gelatin tipe B, perlakuan yang diaplikasikan
adalah perlakuan basa yang akan mempunyai titik isoelektrik pada pH antara 4,7
hingga 5. Proses tersebut disebut proses alkali (Utama, 1997).
Tabel 2. Sifat Gelatin Berdasarkan Tipenya
Sifat
Tipe A
Tipe B
Kekuatan gel (gram Bloom) 50,0-300,0 50,0-300,0
Viskositas (cP)
1,50-7,50 2,00-7,50
Kadar abu (%)
0,30-2,00 0,50-2,00
pH
3,80-6,00 5,00-7,10
Titik isoelektrik
7,00-9,00 4,70-5,40
(Sumber: GMIA, 2007)
Sifat gelatin berdasarkan tipenya diberikan pada Tabel 2. Gelatin Tipe A
biasanya secara khusus diproduksi dari kulit babi, sedangkan gelatin Tipe B
diproduksi dari kulit sapi, kambing dan kerbau atau dari tulang binatang yang
13
sudah dihilangkan mineralnya (demineralised bones). Menurut Wiyono (2001),
gelatin ikan dikatagorikan sebagai gelatin tipe A.
Proses asam secara ekonomis lebih disukai dibandingkan proses basa
karena perendaman yang dilakukan dalam proses asam relatif lebih singkat
dibandingkan proses basa (Wiyono, 2001). Asam mampu mengubah serat kolagen
tripel heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendam basa hanya
mampu menghasilkan rantai ganda. Hal tersebut menyebabkan, pada waktu yang
sama, jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak daripada
larutan basa (Ward dan Court, 1977). Proses produksi utama gelatin dibagi dalam
tiga tahap, pertama persiapan bahan baku antara lain penghilangan kornponen non
kolagen dari bahan baku dengan atau tanpa pengurangan ikatan antara komponen
kolagen, kedua konversi kolagen menjadi gelatin, dan ketiga pemurnian serta
perolehan gelatin dalarn bentuk kering (Junianto, 2006).
Pada tahap persiapan dilakukan pencucian pada kulit atau tulang agar
bersih dari sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung deposit lemak
tinggi. Proses tersebut dinamakan degreasing dan dilakukan pada suhu antara titik
cair lemak dan suhu koagulasi albumin tulang yaitu 32-80°C (Ward dan Court,
1977). Pada tulang, perlu dilakukan proses demineralisasi yang bertujuan untuk
menghilangkan garam kalsium dan garam lainnya dalam tulang, sehingga
diperoleh tulang yang sudah lumer yang disebut dengan ossein (Utama, 1997).
Selanjutnya pada kulit atau ossein dilakukan tahap penggembungan (swelling),
yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mengubah kolagen menjadi
gelatin (Surono dkk., 1994). Pada tahap tersebut, perendaman dapat dilakukan
14
dengan larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat,
suksinat, tartrat dan asam lainnya yang aman dan tidak menusuk hidung (Choi dan
Regenstein, 2000). Untuk mendapatkan konsentrasi yang diharapkan, larutan
asam organik dapat dibuat dengan pengenceran, seperti larutan asam asetat 4%
yang diperoleh dari pengenceran larutan asam asetat glasial. Tahapan tersebut
harus dilakukan dengan tepat (waktu dan konsentrasinya), karena jika tidak tepat
akan terjadi kelarutan kolagen dalam pelarut yang akan menyebabkan penurunan
rendemen gelatin yang dihasilkan (Utama 1997).
Pada tahap selanjutnya, kulit atau ossein diesktraksi dengan air yang
dipanaskan. Ekstraksi bertujuan untuk mengubah kolagen menjadi gelatin. Suhu
minimum dalam proses ekstraksi adalah 40-50°C (Choi dan Regenstein, 2000)
hingga suhu 100°C (Viro, 1992). Ekstraksi kolagen tulang dilakukan dalam
suasana asam pada pH 4-5, karena umumnya pH tersebut merupakan titik
isoelektrik dari komponen-komponen protein non kolagen, sehingga mudah
terkoagulasi
dan
dihilangkan
(Hinterwaldner,
1997).
Kemudian
ekstrak
dikeringkan untuk mengurangi airnya dengan menggunakan freeze dryer atau
oven bersuhu 30-60°C (Viro, 1992).
Sifat fisik gelatin yang menentukan mutunya adalah kemampuannya untuk
membentuk gel atau kekuatan gel. Kekuatan gel dipengaruhi oleh pH, adanya
komponen elektrolit dan non elektrolit serta bahan tambahan lainnya. Sifat fisik
lainnya adalah titik pembuatan gel, warna, kapasitas emulsi dan stabilitas emulsi
(Glicksman, 1969). Selain itu, viskositas juga merupakan sifat fisik yang penting
bagi mutu gelatin. Viskositas dipengaruhi oleh interaksi hidrodinamik antar
15
molekul gelatin, suhu, pH dan konsentrasi. Standar mutu gelatin untuk industri,
pangan dan farmasi dapat dilihat berturut-turut di dalam Tabel 3, 4 dan 5.
Tabel 3. Standar Mutu Gelatin Menurut SNI No. 06-3735 Tahun 1995
dan British Standard: 757 Tahun 1975
Karakteristik
SNI No. 06-3735a
British Standard 757b
Warna
Tidak berwarna sampai kekuningan
Kuning pucat
Bau, rasa
Normal
Kadar air
Maksimum 16%
Kadar abu
Maksimum 3,25%
Kekuatan gel
50-300 gram Bloom
Viskositas
15-70 mps atau 1,5-7 cP
pH
4,5-6,5
Logam berat
Maksimum 50 mg/kg
Arsen
Maksimum 2 mg/kg
Tembaga
Maksimum 30 mg/kg
Seng
Maksimum 100 mg/kg
Sulfit
Maksimum 1000 mg/kg
(Sumber: SNI dan British Standar)
Tabel 4. Standar Gelatin Berdasarkan FAO
Parameter
Persyaratan
Kadar abu
Tidak lebih dari 2 %
Kadar air
Tidak lebih dari 18 %
Belerang dioksida
tidak lebih dari 40 mg/kg
Arsen
Tidak lebih dari 1 mg/kg
Logam berat
Tidak lebih dari 50 mg/kg
Timah hitam
Tidak lebih dari 5 mg/kg
Standard plate count
< 104/g
E.coli
< 10/g
Streptococci
< 102/g
(Sumber: JECFA, 2003)
16
Tabel 5. Spesifikasi Gelatin Farmasi
Parameter
Kelas Khusus Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
Kadar air (%)
14,0
14,0
14,0
14,0
Kekuatan gel (gram Bloom)
240
200
160
140
Viskositas (cP)
20
20
20
20
Kadar abu (%)
1,0
1,0
2,0
2,0
pH
5,5-7,0
5,5-7,0 5,5-7,0 5,5-7,0
Arsen (ppm)
0,8
0,8
0,8
0,8
Logam berat (ppm)
50
50
50
50
Mikrobiologi (per g)
1000
1000
1000
1000
E.coli (per 100 g)
Negatif
Negatif Negatif Negatif
Salomonella
Negatif
Negatif Negatif Negatif
(Sumber: Norland Product, 2003)
4. Enzim Transglutaminase
Enzim adalah protein yang berperan sebagai katalis dalam proses
metabolisme makhluk hidup. Enzim terdiri atas apoenzim yang tersusun dari
protein dan gugus prostetik yang tidak tersusun dari protein. Gugus prostetik
dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu koenzim (tersusun dari bahan organik)
dan kofaktor (tersusun dari bahan anorganik) (Lehninger, 1982). Enzim memiliki
beberapa sifat, diantaranya adalah termolabil (mudah rusak bila dipanaskan
dengan suhu tertentu), merupakan senyawa protein, bekerja secara spesifik (satu
jenis enzim bekerja khusus hanya pada satu jenis substrat). Dalam aktivitasnya,
enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, pH, kadar air, konsentrasi
substrat, konsentrasi enzim, aktivator, dan adanya inhibitor (Karmana, 2008).
Transglutaminase adalah enzim yang mengkatalis pembentukan ikatan
silang antar molekul protein (pembentukan polimer antar molekul protein). Pada
awalnya, transglutaminase dikenal sebagai faktor XIIIa di bidang kedokteran,
yang berperan pada proses penggumpalan darah. Transglutaminase dapat
17
ditemukan pada berbagai organ, jaringan dan cairan tubuh hewan (darat maupun
air) dan tanaman. Enzim tersebut terlibat pada berbagai fungsi biologis mulai dari
penggumpalan darah sampai diferensiasi sel. Transglutaminase telah berhasil
diisolasi
dari
beberapa
sumber,
dimurnikan
dan
dikarakterisasi
dari
Streptoverticillium mobaraenese (Ando dkk, 1989) dan Streptovercillium
ladakannum (Tsai dkk, 1996). Salah satu produk transglutaminase yang telah
dipasarkan secara komersial adalah serial ActivaTM Transglutaminase dari
Ajinomoto Jepang. Strain yang digunakan adalah Streptoverticillium mobaraense,
sehingga transglutaminase yang dihasilkan sering disebut sebagai microbial
transglutaminase (MTGase) (Puruhita, 2011).
Transglutaminase memiliki pH optimum berkisar antara 5-8, tetapi pada
pH 4 atau 9, transglutaminase masih menunjukkan aktivitas enzimatik. Suhu
optimum untuk aktivitas enzimatik adalah 50-55°C dan dapat melakukan aktivitas
enzimatik terus menerus secara penuh meski berlangsung pada suhu 50°C selama
10 menit. Transglutaminase kehilangan aktivitas enzimatik dalam beberapa menit
pada pemanasan mencapai 70°C. Transglutaminase masih mengeluarkan aktivitas
enzimatik pada suhu 10°C, dan masih menunjukkan beberapa aktivitas pada suhu
sedikit di atas titik beku (Motoki dkk, 1998).
Meskipun transglutaminase dapat membentuk ikatan silang yang dapat
meningkatkan kekuatan gel, pembentukan ikatan silang yang berlebihan juga
dapat menyebabkan perubahan bentuk (deformable), sehingga gel yang terbentuk
menjadi lebih rapuh. Hal tersebut hampir sama efeknya dengan pembentukan
ikatan silang alami yang terbentuk pada molekul kolagen dan terjadi pada tendon
18
tulang dan kulit binatang. Sejalan dengan bertambahnya umur, akumulasi ikatan
silang membuat kolagen menjadi lebih mudah mengalami perubahan bentuk dan
lebih rapuh, sebagai akibatnya tulang dan tendon menjadi lebih mudah rapuh dan
kulit menjadi tidak elastis (Park, 2005).
Protein-protein
mengalami
perubahan
sifat
fungsional
setelah
dipolimerisasi menggunakan transglutaminase. Terbentuknya polimer antar
molekul protein tersebut dideteksi menggunakan metode elektroforesis dan
kromatografi. Pada metode elektroforesis, terbentuknya polimer protein
ditunjukkan oleh adanya pita berbobot molekul tinggi pada gel elektroforesis,
sedangkan pada metode kromatografi, terbentuknya polimer ditunjukkan oleh
adanya fraksi dengan waktu retensi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan
protein aslinya (Srianta, 2000).
Secara alami, transglutaminase juga terdapat dalam ikan dan jumlahnya
bervariasi dalam ikan segar (Whitehusrt dan Law, 2002). Enzim tersebut
merupakan jenis enzim yang tergantung pada ketersediaan kalsium. Untuk dapat
aktif, transglutaminase endogen membutuhkan kalsium dalam jumlah yang cukup.
Pada jenis ikan yang berbeda, dan pada individu yang berbeda dalam satu jenis
ikan, terdapat kandungan transglutaminase endogen yang bervariasi, yang mana
hal tersebut dipengaruhi oleh habitat, makanan dan kondisi fisiologi ikan (Park
dkk, 2005).
19
O
(a)
Gln
C
O
NH2 + RNH2
Gln
O
(b)
Gln
C
Gln
C
NHR + NH3
O
NH2 + NH2
Lys
Gln
O
(c)
C
C
H
N
Lys + NH3
O
NH2 + HOH
Gln
C
OH + NH3
Gambar 5. Reaksi yang dikatalisis oleh Transglutaminase. (a) Reaksi Transfer Asil, (b)
Ikatan Silang antara Gln dan Lys dan (c) Deaminasi. (Sumber: Motoki dkk, 1998)
Pada Gambar 5 terlihat reaksi transglutaminase yang mengkatalisis
pembentukan ikatan silang dengan pembentukan ikatan silang, penggabungan
amin, dan deaminasi.
a.
Pembentukan Ikatan Silang
Transglutaminase
mengkatalisis
pembentukan
ikatan
silang
kebanyakan protein makanan melalui pembentukan ikatan ε-(γ-glutamil) lisin.
Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan silang ε-(γ-glutamil) lisin antara
kelompok γ-karboksiamid pada residu glutamin (Gln) dan kelompok ε-amino
residu lisin (Lys). Pada awalnya, kelompok γ-karboksiamid akan berinteraksi
dengan transglutaminase, dan berikutnya kelompok ε-amino residu lisin akan
terlibat dalam pembentukan ikatan kovalen baru. Ikatan silang yang terbentuk
dapat terjadi pada intra dan intermolekul protein dan mengarah pada
terbentuknya polimerisasi. Reaktivitas dari residu glutamin bergantung pada
jenis transglutaminase dan substrat protein yang digunakan. Reaksi tersebut
20
telah digunakan pada proses pangan dan dapat memperbaiki sifat fisik dan
tekstur makanan yang dihasilkan (Shimba dkk, 2002). Pembentukan ikatan
silang tersebut tidak mengurangi nilai gizi makanan, karena residu lisin tetap
dapat dicerna. Transglutaminase tidak hanya dapat digunakan untuk
membentuk ikatan silang pada satu jenis protein saja, tetapi juga dapat
digunakan pada residu glutamin dan lisin dari 2 jenis protein yang berbeda,
sehingga membentuk heteropolimer (Motoki dkk, 1998).
b.
Penggabungan Amin
Transglutaminase mengkatalisis reaksi transfer asil antara kelompok
γ-karboksiamid dari ikatan peptida residu glutamin (berperan sebagai donor
asil) dengan berbagai amin utama (berperan sebagai akseptor asil). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa reaksi yang dikatalisis transglutaminase baik
penggabungan
amin
dan
deaminasi
dipengaruhi
oleh
mekanisme
pengontrolan kation tunggal. Mekanisme penggabungan amin terjadi ketika
kation berfungsi untuk mengaktivasi transglutaminase dengan mengikat
protein enzim pada dua tempat terpisah. Pada bagian yang disebut sisi
katalitik (catalytic site) yang mana tingkat kation yang dibutuhkan lebih
sedikit, transglutaminase tidak dapat mengkatalisis penggabungan amin pada
substrat glutamin. Pada sisi lain yang disebut dengan sisi pengikatan (binding
site), transglutaminase membutuhkan tingkat kation yang lebih tinggi untuk
aktivasi fungsinya dan merupakan bagian penting yang akan bergabung
dengan sisi katalitik untuk mengkatalisis penggabungan amin (Folk dkk,
1967).
21
c.
Deaminasi
Ketika dalam substrat tidak terdapat amin utama, transglutaminase
mengkatalisis deaminasi residu glutamin dari protein, dan molekul air
berperan
sebagai
reseptor
asil
(Motoki
dkk,
1998).
Deaminasi
berkepanjangan seperti yang disebabkan oleh suhu tinggi dan pH rendah,
dapat membuat protein-protein terdenaturasi. Protein-protein tersebut
mengalami peningkatan kelarutan dikarenakan adanya tegangan pada sisi
rantai asam karboksilat yang diproduksi pada proses deaminasi dan
peningkatan jumlah daerah permukaan yang kurang terpolarisasi, sebagai
akibat terpaparnya daerah hidrofobik (Robinson dan Robinson, 2004).
Transglutaminase dilaporkan memiliki aktivitas deaminasi yang rendah
(Nonaka dkk, 1996), dan hanya dapat mendeaminasi 7,7% residu glutamin
pada citraconylated as1-casein.
Secara umum, transglutaminase bereaksi melalui ikatan ε-(γ-glutamil) lisin
isopeptida yang menghasilkan penggabungan ikatan kovalen inter atau
intramolekuler yang berikatan silang dengan protein makanan. Hal tersebut dapat
meningkatkan sifat fisika dan bentuk makanan seperti tahu, pasta ikan rebus dan
sosis (Seguro dkk, 1995; Soeda dkk, 1995; Nonaka dkk, 1996; Ni dkk, 1998;
Sharma dkk, 2002; Shimba dkk, 2002; Benjakul dkk., 2004). de Jong dan
Koppelman (2002) menyatakan bahwa transglutaminase mengkatalisis reaksi
transfer asil antara gugus γ-karboksiamid dari residu glutamin (donor asil) dan
gugus ε-amino dari residu lisin (akseptor asil), menghasilkan pembentukan ikatan
22
silang protein ε-(γ-glutaminil) lisin intra dan intermolekular. Reaksi yang
dikatalisis oleh glutamiltransferase terlihat pada Gambar 6.
O
Protein 1
Gln
C
NH2 +
Gln
C
Lys
Protein 2
NH3
O
Protein 1
NH2
H
N
Lys
Protein 2
Gambar 6. Reaksi Katalisis oleh Glutamiltransferase
(Sumber: Martianingsih dan Atmaja, 2009)
Polimerase yang disebabkan oleh enzim transglutaminase sudah diteliti
pada berbagai sumber protein termasuk α-kasein, protein kedelai dan gelatin, dan
terdapat perbedaan hasil dalam nilai kekuatan gel yang tergantung pada kondisi
reaksi dan sumber protein (Sakamoto dkk, 1994). Peningkatan nilai kekuatan gel
protein oleh transglutaminase tergantung dari intensitas enzim yang menghasilkan
ikatan silang. Selain itu, banyaknya ikatan kovalen baru yang menghambat secara
fisik ikatan silang selama renaturasi dan pembentukan tripel heliks juga
mempengaruhi peningkatan nilai kekuatan gel protein (Babin dan Dickinson,
2001).
Hingga saat ini, banyak penelitian yang meneliti karakter dasar dan
aplikasi gelatin ikan yang ditambahkan transglutaminase (Ramirez dkk, 2000;
Fernandez-Diaz dkk, 2001; Uresti dkk, 2003; Kolodzlejska dkk, 2004; Uresti dkk,
2004a, 2004b). Efek transglutaminase pada gelatin tergantung oleh konsentrasi
enzim, suhu inkubasi dan bahan baku gelatin (de Carvalho dan Grosso, 2004;
Jongjareonrak dkk., 2006; Kolodzicjska dkk., 2004; Sakamoto dkk., 1994).
23
Protein yang ditambahkan dengan enzim transglutaminase tetap memiliki nilai
nutrisi karena residu lisin tetap tersedia untuk pencernaan (Seguro dkk, 1996;
Yokoyama dkk, 2004). Modifikasi kimia dan enzimatik gelatin menyebabkan
perubahan suhu endotermik pada masa transisi pelelehan, dibandingkan dengan
suhu endotermik pelelehan gelatin asli dan gelatin dari lapisan film yang
menandakan adanya ikatan silang karena senyawa kimia dan enzim seperti
transglutaminase (Norziah dkk, 2009).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gelatin yang dihasilkan dari
tulang ikan memiliki nilai kekuatan gel dan viskositas yang lebih rendah
dibandingkan
dengan
gelatin
mamalia.
Enzim
transglutaminase
dapat
meningkatkan nilai kekuatan gel dan viskositas pada gelatin. Transglutaminase
pada konsentrasi 1U/g yang ditambahkan pada gelatin babi mampu meningkatkan
nilai viskositasnya. Seperti yang terlihat pada Gambar 7, semakin tinggi
konsentrasi transglutaminase yang ditambahkan, semakin tinggi nilai viskositas
gelatin yang dihasilkan (Zhu dkk, 2009).
Transglutaminase pada jumlah yang tepat dapat meningkatkan nilai
kekuatan gel pada gelatin ikan dari Tenualosa ilisha seperti yang terlihat di
Gambar 8. Kekuatan gel meningkat secara signifikan dengan nilai 101,10 gram
Bloom pada konsentrasi transglutaminase 1,0 mg/g. Sampel tanpa penambahan
enzim memiliki nilai kekuatan gel sebesar 59,03 gram Bloom. Konsentrasi enzim
di atas 1,0 mg/g dapat menurunkan nilai kekuatan gel dikarenakan ikatan silang
yang berlebihan (Norziah dkk, 2009).
24
Gambar 7. Pengaruh Transglutaminase pada Viskositas Gelatin Babi
(Sumber: Zhu dkk, 2009)
Gambar 8. Pengaruh Transglutaminase pada Kekuatan Gel Gelatin Ikan
Tenualosa ilisha (Sumber: Norziah dkk, 2009)
5.
Rendemen
Rendemen merupakan perbandingan antara bobot awal bahan baku
sebelum produksi dibandingkan dengan bobot akhir setelah produksi dan
dinyatakan dalam persen (%). Rendemen memberikan gambaran seberapa efisien
25
proses produksi untuk menghasilkan produk dengan jumlah yang diharapkan
(Amiruldin, 2007).
6.
Analisis Proksimat
Analisis
proksimat
adalah
suatu
metode
analisis
kimia
untuk
mengidentifikasi kandungan zat makanan dari suatu bahan. Istilah proksimat
mempunyai pengertian bahwa hasil analisis dari metode tersebut menunjukkan
nilai yang mendekati dengan nilai yang sebenarnya. Hal tersebut disebabkan
dalam satu fraksi hasil analisis masih terdapat zat lain yang berbeda sifatnya
dalam jumlah yang sedikit. Analisis proksimat bermanfaat untuk mengidentifikasi
kandungan zat makanan yang belum diketahui sebelumnya, menguji kualitas
bahan yang telah diketahui dibandingkan dengan standarnya, serta mengevaluasi
hasil formula ransum yang telah dibuat. Analisis proksimat merupakan dasar
untuk analisis lebih lanjut (Hafes, 2000).
a.
Kadar Air
Kadar air merupakan presentasi jumlah air yang terdapat dalam
bahan terhadap bobot kering. Kadar air memberikan gambaran
banyaknya air yang terikat oleh komponen padatan bahan. Selain itu,
kandungan air suatu bahan dapat menentukan penampakan, tekstur dan
kemampuan bertahan bahan terhadap serangan mikroorganisme yang
dinyatakan dalam aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan
oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Sudarmadji, 1995).
26
b.
Kadar Abu
Kadar abu merupakan jumlah bahan anorganik yang terdapat
dalam bahan organik. Abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang
tersisa selama proses pembakaran tinggi (suhu sekitar 600°C) selama dua
jam. Jumlah abu dipengaruhi oleh jumlah ion-ion anorganik yang
terdapat dalam bahan selama proses berlangsung (Amiruldin, 2007).
7.
Analisis Fisikokimia
a.
Derajad Keasaman (pH)
Pengukuran pH dilakukan untuk menentukan kondisi dan jenis
muatan yang terdapat pada gelatin. Gelatin merupakan rantai polipeptida
yang terdiri atas berbagai macam asam amino. Asam amino mempunyai
sifat zwitter ion atau dipolar karena dalam struktur kimianya mempunyai
gugus fungsi negatif (COO-) dan gugus fungsi positif (NH3+). Asam
amino juga bersifat amfoter, yaitu dapat bersifat asam, netral atau basa
sesuai dengan kondisi lingkungannya (Winarno, 2002).
b.
Kekuatan Gel
Kekuatan gel gelatin adalah besarnya kekuatan yang diperlukan
oleh probe untuk menekan gel sedalam 4 mm sampai gel pecah. Satuan
untuk menunjukkan kekuatan gel yang dihasilkan dari suatu konsentrasi
tertentu disebut Gram Bloom (Hermanianto dkk, 2000). Pembentukan gel
merupakan fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai
polimer membentuk jalinan tiga dimensi yang kontinyu, sehingga dapat
27
menangkap air di dalamnya menjadi suatu struktur yang kompak dan
kaku yang tahan terhadap aliran di bawah tekanan. Pada waktu sol dari
gelatin mendingin, konsistensinya menjadi lebih kental dan selanjutnya
akan berbentuk gel. (Fardiaz, 1989).
c.
Viskositas
Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan baik
dalam air, cairan organik sederhana dan suspensi, serta emulsi encer (de
Man, 1997). Untuk stabilitas emulsi gelatin diperlukan viskositas yang
tinggi (Leiner, 2006).
8.
Analisis secara Spektrofotometri Inframerah
Spektroskopi inframerah merupakan teknik yang sangat berguna untuk
identifikasi senyawa-senyawa yang tidak dikenal. Spektroskopi inframerah dapat
mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada
daerah panjang gelombang 0,75-1.000 µm atau pada bilangan gelombang 13.00010 cm-1. Metode spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang meliputi
teknik serapan, emisi dan fluoresensi. Penyerapan gelombang elektromagnetik
dapat menyebabkan terjadinya eksitasi tingkat-tingkat energi dalam molekul, yang
dapat berupa eksitasi elektronik, vibrasi atau rotasi (Stuart, 2004).
Radiasi inframerah tidak memiliki cukup energi untuk menyebabkan
transisi elektronik. Bila radiasi inframerah dilewatkan melalui suatu cuplikan,
maka molekul akan menyerap energi sehingga terjadi vibrasi. Panjang gelombang
serapan oleh suatu ikatan bergantung pada jenis getaran ikatan antar atom. Oleh
28
karena itu, tipe ikatan yang berlainan akan menyerap radiasi inframerah pada
panjang gelombang yang berbeda (Fessenden dan Fessenden, 1986). Vibrasi yang
terjadi meliputi vibrasi ulur dan tekuk yang dikenal dengan istilah rocking,
twisting, scissoring dan waging (Hollas, 2004).
Ikatan-ikatan tunggal (contohnya, O-H, N-H dan C-H) menyerap pada
bagian spektrum berfrekuensi tinggi (kira-kita 4.000-2.100 cm-1). Hal tersebut
disebabkan oleh rendahnya massa atom hidrogen yang menyebabkan getaran
terjadi pada frekuensi tinggi. Ikatan rangkap tiga (contohnya, CN-) menyerap pada
frekuensi kira-kita 2.100-1900 cm-1. Sementara itu, ikatan rangkap dua
(contohnya, C=O dan C=C) menyerap pada frekuensi kira-kira 1.900-1.500 cm-1.
Daerah spektrum inframerah pada bilangan gelombang kurang dari 1.500 cm-1
disebut daerah sidik jari, karena pola puncak yang terjadi pada daerah tersebut
khas bagi senyawa yang diujikan dan tidak ada senyawa lain yang memilikinya
(Cairns, 2008).
Senyawa kimia tertentu mempunyai kemampuan menyerap radiasi
elektromagnetik dalam daerah spektrum inframerah. Absorpsi radiasi inframerah
pada material tertentu berkaitan dengan fenomena bergetarnya molekul atau
ikatan atom. Metode tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu
senyawa yang belum diketahui, karena spektrum yang dihasilkan spesifik untuk
senyawa tersebut. Metode tersebut banyak digunakan karena:
a.
Cepat dan relatif murah
b.
Dapat digunakan untuk identifikasi gugus fungsional dalam molekul
29
c.
Spektrum inframerah yang dihasilkan oleh suatu senyawa adalah khas dan
oleh karena itu dapat menyajikan sebuah fingerprint (sidik jari) untuk
senyawa tersebut (Stuart, 2004).
Bila radiasi inframerah dilewatkan melalui suatu cuplikan, maka molekul-
molekulnya dapat mengabsorpsi energi dan terjadilah transisi antara tingkat
vibrasi dasar (ground state) dan tingkat vibrasi tereksitasi (exited state). Absorbsi
energi pada berbagai frekuensi dapat dideteksi oleh spektrofotometer inframerah,
yang merajahkan jumlah radiasi inframerah yang diteruskan melalui suatu
cuplikan sebagai fungsi frekuensi (atau bilangan gelombang) radiasi. Plot tersebut
disebut spektrum inframerah yang akan memberikan informasi penting tentang
gugus fungsional suatu molekul (Stuart, 2004).
E. Landasan Teori
Ikan lele dumbo merupakan jenis ikan yang banyak dibudidayakan di
Indonesia. Kolagen yang terdapat dari tulang ikan lele dumbo dapat diubah
menjadi gelatin. Penambahan enzim transglutaminase dapat meningkatkan
kualitas gelatin ikan, khususnya nilai viskositas dan kekuatan gelnya. Enzim
tersebut mampu mengkatalisis polimerisasi dan membentuk ikatan silang protein
melalui pembentukan ikatan kovalen antar molekul.
Gelatin yang didapatkan kemudian dikenai analisis proksimat (kadar air
dan kadar abu), analisis fisikokimia (derajad keasaman, viskositas dan kekuatan
gel) dan penentuan spektra inframerah. Kemudian dilihat perbandingan antara
nilai kekuatan gel dan viskositas sebelum serta sesudah penambahan enzim
30
transglutaminase. Hasil tersebut dianalisis statistik dengan metode paired t-test
untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan.
F. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori, maka hipotesis penelitian adalah sebagai
berikut:
1.
Gelatin hasil ekstraksi dari tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat
dikenai analisis proksimat, analisis fisikokimia dan penentuan spektra
inframerah.
2.
Gelatin jika ditambahkan enzim transglutaminase dapat meningkatkan
kualitas gelatin khususnya kekuatan gel dan viskositasnya.
Download