mualaf REPUBLIKA ● AHAD, 6 FEBRUARI 2011 B12 DOK PRIBADI WOLFGANG PIKAL Nikmatnya Menjadi Muslim SELAMA MENJALANKAN DELAPAN KALI UMRAH DAN SATU KALI HAJI, PIKAL MENGAKU BANYAK MENGALAMI PENGALAMAN BERKESAN SELAMA DI TANAH SUCI MAKKAH. Oleh Nidia Zuraya olfgang Pikal. Penggemar sepak bola di Tanah Air pasti sangat akrab dengan sosok yang satu ini. Pikal dikenal masyarakat pencinta si kulit bundar berkat perannya dalam Timnas Indonesia di ajang AFF Suzuki Cup 2010. Ia tak hanya sekadar menjadi asisten pelatih Alfred Riedl, namun sekaligus juru bicara sang bos. Pikal pun kerap tampil di layar kaca dan surat kabar. Kemampuan bahasa Indonesianya yang bagus membuat Pikal makin populer. Di balik kemampuannya membantu mengarsiteki Timnas Indonesia, tak banyak yang tahu kalau pria kelahiran Vienna, Austria, 1 November 1967 itu adalah seorang Muslim. “Memang, kepada orang yang baru saya kenal, saya tidak pernah mengatakan bahwa saya seorang Muslim. Tapi, kepada orangorang yang sudah lama kenal, saya kasih tahu,” ujar Pikal membuka pembicaraan dengan Republika, Jumat (28/1) lalu. Perkenalannya dengan Islam dimulai ketika Pikal berkunjung ke Bali pada 1990. Di Pulau Dewata itu ia bertemu dengan Tina Rostina Gondokusumo, wanita Indonesia yang kemudian menjadi istrinya. Selama masa lima tahun berpacaran, Pikal mulai mengetahui keyakinan yang dianut oleh Tina. Ia pun mulai mempelajari Islam. Pikal dan Tina kemudian memutuskan untuk menikah. Pikal pun membuat keputusan penting dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk berpindah keyakinan dari agama Katholik ke Islam. Secara resmi, ia memeluk Islam pada 1995. Dibimbing Ustaz Roihan, seorang guru agama yang dikenalnya di Bali, Pikal pun berikrar menjadi seorang Muslim dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia menjadi seorang Muslim dengan sebuah kerelaan yang muncul dari kesadaran akan kebenaran Islam. Pikal mengaku tak ada permintaan atau desakan dari sang istri agar memeluk Islam. “Dia (istri—Red) selalu bilang bahwa agama Islam tidak bisa memaksa seseorang untuk memeluk Islam. Saya sendiri tidak merasa berat saat (mengambil keputusan) itu karena bagi saya tidak ada bedanya,” papar Pikal. Setelah menikah, keduanya memutuskan untuk tinggal dan menetap di Bali. Pikal pun lantas memulai hidupnya yang baru dengan W merintis usaha garmen. Mengetahui sang anak masuk Islam, kedua orang tua Pikal yang bermukim di Austria menganggapnya sudah gila dan sempat menyebutnya sebagai seorang teroris. Pikal pun memberi pengertian kepada orang tuanya, terutama sang ibu, bahwa dia merasa bahagia dan nikmat dengan pilihan tersebut. “Saya berbicara dengan ibu melalui telepon. Setelah mendengar penjelasan saya selama satu jam, akhirnya dia mengerti. Karena yang penting bagi ibu, saya (merasa) bahagia,” ungkapnya. Belajar dari istri Kendati hampir 15 tahun lamanya memeluk Islam, Pikal mengaku masih belum benarbenar menjadi seorang Muslim yang taat. Pada awal masuk Islam, kata Pikal, dia masih kerap meninggalkan shalat lima waktu dan belum menjalankan puasa di bulan Ramadhan selama sebulan penuh. LIKA YA/REPUB NIDIA ZURA Kepada Republika ia menceritakan bagaimana pengalamannya saat menjalankan shalat dan puasa Ramadhan di tahun pertama menjadi seorang mualaf. Di lima tahun pertama memeluk Islam, menurut Pikal, dirinya jarang shalat. “Ketika saya mulai rajin shalat, saya belum bisa baca bacaan dalam shalat. Saya hanya bisa baca Allahu Akbar, selebihnya hanya mengikuti gerakan shalat ipar saya.” DOK PRIBADI Bersama Alfred Riedl, pelatih Timnas INdonesia Begitu juga dengan keharusan berpuasa selama bulan Ramadhan. Seperti halnya shalat lima waktu, ungkap Pikal, pada awalnya ia hanya menjalankan puasa beberapa hari. “Baru pada sepuluh tahun terakhir terus meningkat satu pekan penuh, dua minggu penuh, tiga minggu penuh, dan satu bulan penuh,” ujarnya. Puasa sebulan penuh, kata Pikal, baru bisa dijalankannya sejak tiga tahun terakhir. Keinginan yang kuat dalam diri untuk belajar banyak tentang Islam muncul selepas menunaikan ibadah umrah pada tahun 2000. Sepulang dari umrah yang pertama, ia benarbenar merasakan nikmatnya menjadi seorang Muslim. “Itu yang mungkin betul-betul membuka mata hati saya untuk mengetahui bagaimana sebenarnya agama Islam,” tutur Pikal. Ia pun banyak belajar tentang Islam dari sang istri. Terlebih, lanjut dia, keluarga besar istrinya amat religius. Salah satu teladan yang dicontohkan sang istri, sambung dia, adalah saat ada calon klien besar yang datang ke pabrik garmen milik mereka. “Ketika datang waktu shalat Zhuhur, istri saya minta izin untuk meninggalkan klien tersebut guna menunaikan shalat. Istri saya tidak peduli meski saat itu sedang membicarakan soal order atau duit. Jika masuk waktunya shalat, dia akan meninggalkan tamu untuk shalat.” Selama menjalankan delapan kali umrah dan satu kali haji, Pikal mengaku banyak mengalami pengalaman berkesan selama di tanah suci Makkah. Dari sekian banyak pengalaman tersebut, ia sangat terkesan saat menyaksikan seorang jamaah yang berada tepat di hadapannya melaksanakan shalat dengan cara duduk di atas kursi. Ketika itu, Pikal kesulitan untuk ruku dan sujud akibat cedera pada bagian lutut yang dideritanya sejak lama. Ia mengaku baru pertama kali melihat ada orang yang shalat di atas kursi. “Salah seorang paman dari keluarga istri yang kebetulan berdiri di samping saya mengatakan, ‘Ini Tuhan kasih tahu ke kamu bahwa shalat itu bisa dilakukan sambil berdiri, duduk, atau (sambil) tiduran. Ini Tuhan kasih contoh ke kamu’.” Peristiwa tersebut amat membekas dalam diri Pikal. Sehingga, selepas pulang dari menjalankan umrah pertamanya ini, ia pun berjanji untuk tidak pernah lagi meninggalkan kewajiban shalat lima waktu meski dalam kondisi apa pun. “Sekarang dalam hidup, saya berusaha untuk tidak meninggalkan kewajiban shalat kalau tiba waktunya shalat. Kalau setiap Jumat, pasti saya shalat Jumat. Begitupun dengan shalat Subuh, Maghrib, dan Isya, pasti selalu saya jalankan. Mungkin yang masih sering bolong itu waktu Zhuhur dan Ashar karena kerap terbentur dengan sesi latihan,” ungkap ayah dari Anissa Jasmine Pikal Gondokusumo (12 tahun) dan Rizki Adam Pikal Gondokusumo (9) itu. ■ ed: heri ruslan Pikal Pikal dan Si Kulit Bundar DOK PRIBADI Oleh Nidia Zuraya epak bola merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam hidup Wolfgang Pikal. Sebelum menjadi asisten pelatih timnas sepak bola Indonesia, pria kelahiran Vienna, Austria itu adalah seorang pemain sepak bola. Ia sempat merumput bersama klub divisi III SR Donaufeld, Austria. Sayangnya, Pikal harus gantung sepatu pada usia 22 tahun setelah mengalami cedera akibat engkelnya patah. Hingga akhirnya, Pikal berlabuh di Pulau Dewata Bali. Di pulau itulah Pikal bertemu dengan Tina Rostina Gondokusumo yang kemudian menjadi istrinya. Pikal pun memeluk Islam setelah mempelajari ajaran yang disebarkan Rasulullah SAW itu dari sang istri. Di Pulau Bali, Pikal bersama sang istri berbisnis garmen. Setelah satu dasawarsa tak bersentuhan dengan dunia sepak bola, Pikal akhirnya kembali ke lapangan hijau. Adalah Dick Buitelaar, mantan pelatih PS Perseden Denpasar, yang mengajak Pikal kembali ke dunia sepak bola. Profesi baru yakni sebagai pelatih sepak bola akhirnya ditekuni Pikal. Terhitung mulai 1999, Pikal dipercaya melatih sejumlah klub di Bali. Pikal pun mulai serius menekuni dunia kepelatihan. Ia pun secara serius mengikuti program kepelatihan di sejumlah klub sepak bola top di daratan Eropa. Beberapa klub top itu antara lain Arsenal, Aston Villa, dan Ajax Amsterdam. Kini, Pikal telah mengantongi 20 sertifikat kepelatihan, di antaranya Lisensi B UEFA, Lisensi FA, dan KNVB Belanda. Pikal saat ini menjadi asisten pelatih timnas Indonesia. Pada ajang AFF 2010 lalu, namanya langsung dikenal luas. Bersama pelatih timnas Alfred Reidl, Pikal menjadikan timnas Indonesia menjadi sebuah kekuatan baru. Publik sepak bola Tanah Air yang awalnya apatis dengan penampilan timnas dibuat terperangah dengan penampilan Irfan Bachdim dan kawan-kawan. Permainan timnas yang memukau telah memantik rasa nasionalisme anak-anak bangsa di seluruh penjuru Tanah Air. Pikal telah menjadi bagian dari figur yang turut mengangkat prestasi sepak bola Indonesia, meski pada ajang AFF 2010 lalu Indonesia tak meraih gelar juara. Paling tidak, semangat nasionalisme yang telah sedikit luntur di kalangan generasi muda kini menjadi hidup kembali berkat sepak bola. ■ ed: heri ruslan S