BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang siap pakai membantu seseorang untuk berpikir cepat dan tepat (Notoadmojo, 2003). Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, pengetahuan (knowledge) didefenisikan sebagai segala sesuatu yang diketahui; kepandaian. Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang (Depdiknas, 2005). 2.1.2. Cara Memperoleh Pengetahuan Berbagai macam cara yang telah digunakan sepanjang sejarah manusia untuk memperoleh pengetahuan maka dapat dikelompokkan menjadi dua yakni cara tradisional (non ilmiah) melalui cara coba salah (trial and error), kekuasaan atau otoritas, pengalaman pribadi, jalan pikiran dan dengan modern (cara ilmiah) (Notoadmojo, 2005). Cara tradisional yang pertama yakni cara coba-salah dipakai orang sebelum mengenal kebudayaan bahkan mungkin peradaban. Cara coba-salah ini digunakan dalam pemecahan masalah dan apabila tidak berhasil kemungkinan pemecahan yang lain, begitu seterusnya. Cara tradisional lain yakni kekuasaan atau otoritas adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan kehidupan seharihari dan tradisi-tradisi yang dilaukan orang tanpa adanya penalaran apakah yang Universitas Sumatera Utara dilakukan itu baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan ini selalu diwariskan turuntemurun ke generasi berikutnya. Berdasarkan pengalaman pribadi adalah pengetahuan tersebut diperoleh setelah terjadi pada seseorang dan diulangi lagi keadaan tersebut untuk memecahkan masalah seperti yang lalu (Notoadmojo, 2005). Sumber pengetahuan dapat didefinisikan dari beberapa aspek, diantaranya kepercayaan berdasarkan tradisi, kesaksian orang lain, panca indera, rasionalisme dan intuisi (Suhartono, 2005). Kepercayaan berdasarkan tradisi, merupakan pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan yang menunjukkan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui cara mewarisi apa saja yang ada di dalam suatu kehidupan masyarakat, adat istiadat, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan kehidupan dalam beragama atau dengan kata lain pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pemahaman atas situasi baru dengan berpegang pada kepercayaan yang telah dibenarkan. Kesaksian orang lain, termasuk pengetahuan yang masih tetap ada dalam susunan kehidupan yang terdahulu pada orang-orang tertentu yang dapat dipercaya, karena sudah dianggap memiliki pengetahuan yang benar, lalu menjadi panutan yang handal bagi orang lain pada umumnya dalam hal-hal bagaimana memandang, bersikap dan cara hidup serta bagaimana bertingkah laku (Suhartono, 2005). Panca indera bagi manusia merupakan alat vital dalam kehidupan seharihari, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh persoalan hidup sehari-hari bisa diatasi dengan menggunakan alat panca indera. Rasionalisme merupakan sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia berdasarkan akal budi. Rasio mampu mengetahui melalui observasi. Sedangkan intuisi merupakan pengetahuan yang berasal dari dalam diri kita sendiri (Suhartono, 2005). Universitas Sumatera Utara 2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: a. Pendidikan Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, yang bertujuan untuk mencerdaskan manusia. Melalui pendidikan seseorang akan memperoleh pengetahuan, apabila semakin tinggi tingkat pendidikan maka hidup akan semakin berkualitas dimana seseorang akan berpikir logis dan memahami informasi yang diperolehnya. b. Media Media adalah sarana yang dapat dipergunakan oleh seseorang dalam memperoleh pengetahuan. Contohnya: televisi, radio, koran, dan majalah. c. Paparan Informasi Informasi adalah data yang diperoleh dari observasi terhadap lingkungan sekitar yang diteruskan melalui komunikasi dalam kehidupan sehari-hari (Meliono, 2007). 2.1.4. Tingkatan Pengetahuan Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai beberapa tingkatan yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisa (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) (Sunaryo, 2004). Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu: a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja yang bisa digunakan antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan menyatakan dan sebagainya. b. Memahami (comprehension) Memahami merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang sudah paham suatu materi atau objek harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya (real). Misalnya penggunaan rumus, hukum-hukum, metode, prinsip dan sebagainya. d. Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Biasanya menggunakan kata kerja membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. e. Sintesis (syntesis) Sintesis menunjuk kepada kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. Universitas Sumatera Utara f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek atau materi. Penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri ataupun yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek peneliti atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan tersebut (Notoatmodjo, 2003). 2.2. Kanker Serviks 2.2.1. Pengertian Kanker Serviks Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan proliferasi (pertumbuhan) sel-sel baru (neoplastic cells) yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali (Mills, 2002). Kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada daerah serviks, yaitu terjadinya perubahan sel-sel menjadi abnormal pada organ genitalia wanita yaitu serviks. Karsinoma serviks atau yang biasa disebut kanker serviks adalah kanker genital kedua yang paling sering pada perempuan dan bertanggung jawab untuk 6 % dari semua kanker pada perempuan di Amerika Serikat (Price & Wilson, 2005). Kanker servikal ini sebagian besar (90%) adalah karsinoma sel skuamosa dan sisanya (10%) adalah adenokarsinoma. Tipe lain yang jarang adalah karsinoma sel adenoskuamosa, karsinoma sel terang, melanoma maligna, sarcoma dan limfoma maligna (Price & Wilson, 2005). Puncak insiden karsinoma in situ adalah usia 20 hingga 30 tahun pada perempuan keturunan Afrika-Amerika maupun Kaukasian. Perempuan yang lebih tua dari 65 tahun dilaporkan 25 % menderita karsinoma servikal invasif dan 40 % Universitas Sumatera Utara hingga 50 % kematian terjadi akibat karsinoma servikal (Price &Wilson, 2005). 2.2.2. Penyebab Kanker Serviks Sampai saat ini, kejadian kanker serviks belum diketahui penyebabnya secara pasti. Namun kejadian kanker serviks dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor risiko mayor untuk kanker servikal adalah infeksi dengan virus papilloma manusia (HPV) yang ditularkan secara seksual. Penelitian epidemiologi di seluruh dunia menegaskan bahwa infeksi HPV adalah faktor penting dalam perkembangan kanker serviks (Bosch, 1995). Lebih dari 20 tipe HPV yang berbeda mempunyai hubungan dengan kanker servikal. Penelitian memperlihatkan bahwa perempuan dengan HPV-16, 18 dan 31 mempunyai angka neoplasia intraepithelial servikal (CIN) yang lebih tinggi (Cancer Net, 2001). Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa perempuan dengan HPV strain 18 memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk (Schwartz, 2001). Faktor risiko kanker serviks adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan inisiasi transformasi atipik serviks dan perkembangan dari displasia. Transformasi atipik merupakan daerah atipik (abnormal) yang terletak di antara perbatasan sel-sel squamouscolumnar serviks yang asli dengan sel-sel yang baru terbentuk akibat metaplasia sel columnar menjadi sel squamous (Azis, 2002). Hal ini berhubungan dengan riwayat seksual. Faktor risiko lain untuk perkembangan kanker servikal adalah aktivitas seksual pada usia muda, paritas tinggi, jumlah pasangan seksual yang meningkat, status sosioekonomi yang rendah dan merokok (Cancer Net, 2001). Penelitian menunjukkan bahwa tipe kanker ini kemungkinan ditularkan secara seksual. Kanker serviks invasif telah teridentifikasi sebagai suatu kondisi penentu HIV. Kemudian faktor risiko, selain usia dini saat melakukan hubungan seksual, melahirkan pada usia sangat muda, dan memiliki Universitas Sumatera Utara banyak pasangan seksual, termasuk pemajanan terhadap human papilomavirus (HPV), infeksi HIV, merokok, dan pemajanan terhadap dietilstilbestrol (DES) in utero (Brunner & Suddarth, 2001). 2.2.3. Perkembangan Kanker Serviks Perjalanan penyakit kanker serviks dimulai dari stadium 0 pada serviks merupakan karsinoma in situ dengan 100 % harapan hidup 5 tahun, kemudian stadium I terbatas pada uterus dengan 85% harapan hidup 5 tahun, lalu stadium II menyerang luar uterus tapi pelvis tidak dengan 60% harapan hidup 5 tahun, selanjutnya stadium III meluas ke dinding pelvis dan atau sebenarnya sepertiga bawah vagina atau hidronefrosis dengan 33% harapan hidup 5 tahun, dan akhirnya stadium IV menyerang mukosa kandung kemih atau rectum atau meluas keluar pelvis sebenarnya dengan 7% harapan hidup 5 tahun (Price & Wilson, 2005). Perkembangan kanker serviks yaitu: a. Didahului oleh lesi prekanker yang disebut displasia (Cervical Intraepithel Neoplasm). Displasia ditandai dengan adanya perubahan morfologi berupa gambaran sel-sel imatur, inti sel yang atipik, perubahan rasio inti/ sitoplasma dan kehilangan polaritas yang normal. Displasia bukan merupakan suatu bentuk kanker tetapi akan mengganas menjadi kanker bila tidak diatasi (Hacker, 2005). Displasia dikelompokkan lagi menjadi 3 berdasarkan perkembangan luas perubahan morfologi yang terjadi pada epitel leher rahim. yaitu: 1. Displasia ringan (CIN I), pada displasia ringan sel-sel yang mengalami perubahan morfologi hanya sebatas 1/3 bagian atas dari lapisan epithelium serviks; Universitas Sumatera Utara 2. Displasia sedang (CIN II), pada displasia sedang ditandai dengan perubahan morfologi sel yang telah mencapai 2/3 bagian dari lapisan atas epithelium serviks; 3. Displasia berat (CIN III), pada displasia berat ditandai dengan lebih banyaknya variasi dari sel dan ukuran inti, orientasi yang tidak teratur, dan hiperkromasi yang telah melebihi 2/3 lapisan atas epithelium serviks, namun belum menginvasi jaringan stroma di bawahnya. b. Perkembangan terakhir adalah bila perubahan displasia berlanjut hingga menginvasi jaringan stroma di bawahnya, maka perubahan ini disebut karsinoma in situ atau kanker (Aziz, 2002). 2.2.4 Tanda dan Gejala Kanker Serviks Tidak ada tanda atau gejala spesifik untuk kanker serviks. Karsinoma servikal prainvasif tidak memiliki gejala, namun karsinoma invasif dini dapat menyebabkan secret vagina atau perdarahan vagina. Walaupun perdarahan adalah gejala yang signifikan, perdarahan tidak selalu muncul pada saat-saaat awal, sehingga kanker dapat sudah dalam keadaan lanjut pada saat didiagnosis. Jenis perdarahan vagina yang paling sering adalah pascakoitus atau bercak antara menstruasi. Bersamaan dengan tumbuhnya tumor, gejala yang muncul kemudian adalah nyeri punggung bagian bawah atau nyeri tungkai akibat penekanan saraf lumbosakralis, frekuensi berkemih yang sering mendesak, hematuria, atau perdarahan rectum (Price & Wilson, 2005). Kanker serviks dapat dideteksi ketika pasien mengeluh adanya rabas, perdarahan tidak teratur, atau perdarahan setelah melakukan hubungan seksual, tetapi penyakit ini biasanya tidak menimbulkan gejala. Rabas vagina pada kanker serviks lanjut meningkat secara bertahap dan menjadi encer dan akhirnya berwarna lebih gelap dan sangat berbau akibat nekrosis dan infeksi. Perdarahan, Universitas Sumatera Utara yang terjadi pada interval yang tidak teratur, antara periode menstruasi (metoragia), atau setelah menopause, mungkin hanya sedikit bercak darah (hanya cukup tampak pada celana dalam) dan biasanya terjadi setelah trauma ringan (seperti hubungan seksual, irigasi, atau defekasi). Sejalan dengan berlanjutnya penyakit, perdarahan dapat menetap dan meningkat (Brunner & Suddarth, 2001). Dengan berkembangnya kanker, jaringan di luar serviks dapat terkena, termasuk kelenjar limfe anterior ke sacrum. Pada sepertiga pasien dengan kanker serviks invasif, penyakit ini juga menyerang fundus uteri. Saraf-saraf pada region ini dapat terkena, yang menyebabkan nyeri tajam pada punggung dan tungkai yang hilang hanya dengan analgesic opioid dosis besar. Tahap akhir bila penyakit tidak diobati, menyebabkan emasiasi ekstrim dan anemia, biasanya disertai dengan demam akibat infeksi sekunder dan abses pada massa yang mengalami ulserasi dan pembentukan fistula (Brunner & Suddarth, 2001). Interval waktu antara timbulnya lesi prekanker dan terjadinya kanker leher rahim membutuhkan waktu yang cukup panjang. Menurut Robbins dan Kumar (1995), diperkirakan 80 % dari displasia akan menjadi karsinoma in situ dalam waktu 10-15 tahun. Selama interval waktu yang panjang tersebut dapat dilakukan berbagai upaya pencegahan berupa pemeriksaan dan pemberian terapi secara dini (Husain & Hoskin, 2002). 2.2.5. Pencegahan dan Pengobatan Kanker Serviks Pencegahan kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu: pencegahan primer, sekunder dan tersier (Sukardja, 2000). a. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya dalam mengurangi atau menghilangkan kontak individu dengan karsinogen untuk mencegah terjadinya proses karsinogenesis. Pencegahan primer kanker serviks dapat dilakukan dengan Universitas Sumatera Utara menghindari berbagai faktor risiko serta dengan memberikan vaksin pencegah infeksi dan penyakit terkait HPV (Sukardja, 2000). b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini kanker serviks, sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Pencegahan sekunder termasuk skrining dan deteksi dini, seperti Pap Smear, kolposkopi, servikografi, Pap net (dengan komputerisasi), dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) (Sukardja, 2000). Pap Smear merupakan standar emas program skrining karena pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit serta dapat dilakukan setiap saat, kecuali pada masa haid. Selain itu, Pap Smear juga memiliki sensitivitas dan spesifitas yang cukup tinggi, sehingga Pap smear mampu untuk mencegah kejadian kanker serviks hingga mencapai 93 % (WHO, 2005). Pendeteksian dini dapat menggunakan pulasan Pap Smear sebagai uji penapisan untuk mendeteksi perubahan neoplastik. Deteksi dini dapat dilakukan dengan uji Pap Smear dan diketahui kanker serviks bila hasil Pap Smear disertai adanya displasia, atau sel-sel atipik persisten, yang diikuti dengan hasil biopsi yang mengidentifikasi adanya neoplasia intra-epitel (CIN) atau lesi intra epitel skuamosa tingkat tinggi (HGSIL). Istilah ini digunakan dalam mengklasifikasi lesi servikal premalignant (Brunner & Suddarth, 2001). Pulasan yang abnormal ditindaklanjuti dengan biopsi untuk mendapatkan jaringan yang digunakan untuk pemeriksaan sitologis. Karena serviks mempunyai tampilan normal, kolposkopi digunakan untuk menentukan daerah yang abnormal atau daerah untuk pengambilan contoh jaringan. Dilakukan biopsi tusuk pada daerah yang terpisah atau biopsi kerucut (pengambilan bagian jaringan dengan bentuk kerucut dari serviks yang hampir semuanya termasuk dalam daerah perpindahan) seluruh persambungan skumokolumnar (Price & Wilson, 2005). Bentuk displasia serviks Universitas Sumatera Utara prainvasif termasuk karsinoma in situ dapat diangkat seluruhnya dengan biopsi kerucut atau eradikasi menggunakan laser, kauter, atau bedah krio. Tindak lanjut yang sering dan teratur untuk lesi yang berulang penting dilakukan setelah pengobatan ini. Evaluasi untuk karsinoma servikal adalah pemeriksaan dengan inspeksi atau palpasi, keadaan biokimia (fungsi hati dan ginjal), foto toraks, sistoskopi, proktosigmoidoskopi, dan CT scan (Price & Wilson, 2005). c. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier kanker serviks bertujuan untuk mencegah komplikasi klinik dan kematian awal. Pengobatan karsinoma serviks invasif ditentukan oleh pemeriksaan klinis dan bedah. Metode pengobatan adalah dengan eksisi bedah, terapi radiasi, kemoterapi atau kombinasi metode-metode tersebut (Price & Wilson, 2005). 2.3. Pemeriksaan Pap Smear 2.3.1. Pengertian Pemeriksaan Pap Smear Pap Smear adalah suatu test yang aman dan murah yang telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang ada di sel-sel leher rahim. Test ditemukan pertama kali oleh Dr. George Papanicoloau sehingga dinamakan Pap Smear Test. Pap Smear Test adalah suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari sel-sel tersebut. Perubahanperubahan yang terdeteksi secara dini akan menurunkan kejadian kanker serviks. Pap Smear dapat mendeteksi dini kanker serviks dengan melihat penemuan perkembangan sel-sel abnormal serviks (Brunner & Suddarth, 2001). Universitas Sumatera Utara 2.3.2. Manfaat Pemeriksaan Pap Smear Pemeriksaan Pap Smear berguna sebagai pemeriksaan penyaring (skrining) dan pelacak adanya perubahan sel ke arah keganasan secara dini sehingga kelainan prakanker dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih mudah dan murah (Price & Wilson, 2005). Manfaat Pap Smear dapat dijabarkan secara rinci sebagai berikut: a. Diagnosis dini keganasan Pap Smear berguna dalam mendeteksi kanker serviks, kanker korpus endometrium, keganasan tuba fallopi, dan mungkin keganasan ovarium. b. Perawatan ikutan dari keganasan Pap Smear berguna sebagai perawatan ikutan setelah operasi dan setelah mendapatkan kemoterapi dan radiasi. c. Interpretasi hormonal wanita Pap Smear bertujuan untuk mengikuti siklus menstruasi dengan ovulasi atau tanpa ovulasi, menentukan maturitas kehamilan, dan menentukan kemungkinan keguguran pada hamil muda. d. Menentukan proses peradangan Pap Smear berguna untuk menentukan proses peradangan pada berbagai infeksi bakteri atau jamur (Manuaba, 2005). 2.3.3. Prosedur Pemeriksaan Pap Smear Prosedur pemeriksaan Pap Smear Test dimulai dengan tindakan pasien dibaringkan telentang kemudian diatur dalam posisi lithotomic, lalu masukkan alat spekulum ke dalam liang senggama yaitu alat yang menyerupai moncong bebek yang bertujuan untuk membuka liang senggama sehingga dapat terlihat jelas dinding leher rahim dan alat ini bertujuan untuk menahan vagina agar tetap terbuka. Setelah itu sel-sel leher rahim diambil dengan cara mengusap leher rahim Universitas Sumatera Utara dengan spatula yaitu suatu alat yang menyerupai tangkai pada es krim, kemudian dioleskan apusan leher rahim tersebut pada object glass, dan kemudian dikirim ke bagian laboratorium patologi anatomi untuk pemeriksaan teliti yaitu dengan dipulas dengan Papanicoloau dan diperiksa adanya sel kanker atau tidak (Price & Wilson, 2005). Prosedur pemeriksaan Pap Smear (Soepardiman, 2002 dan Manuaba, 2005) yaitu: a. Persiapan alat-alat yang akan digunakan, meliputi formulir konsultasi sitologi, speculum bivalve (cocor bebek), spatula Ayre, kaca objek (object glass) yang telah diberi label pada satu sisinya, dan wadah berisi larutan alkohol 95 %; b. Persiapkan pasien untuk berbaring dengan posisi ginekologi; c. Pasang spekulum kering dan disesuaikan sehingga tampak dengan jelas vagina bagian atas, forniks posterior, serviks uteri dan kanalis servikalis; d. Memeriksa serviks apakah normal atau tidak; e. Spatula Ayre dengan ujung yang pendek dimasukkan ke dalam endoserviks, dimulai dari arah jam 12 dan diputar 3600 searah jarum jam; f. Sediaan lendir serviks dioleskan di atas kaca objek pada sisi yang telah diberi tanda dengan membentu sudut 450 satu kali usapan; g. Kemudian kaca objek dicelupkan ke dalam larutan alkohol 95 % selama 10 menit; h. Sediaan diletakkan pada wadah kemudian dikirim ke ahli patologi anatomi. Prosedur pemeriksaan ini akan memberikan rasa tidak nyaman tetapi tidak akan menimbulkan rasa sakit. Pemeriksaan ini dilakukan 1 tahun sekali dan secara teratur. Pap Smear Test sebaiknya dilakukan seminggu atau dua minggu setelah berakhirnya masa menstruasi. Bagi wanita yang sudah menopause maka dapat melakukan pemeriksaan ini kapan saja. Pap Smear ditunda sampai pengobatan Universitas Sumatera Utara selesai pada pasien dengan peradangan berat. Pap Smear tidak dilakukan lagi bagi wanita yang telah menjalani pengangkatan seluruh rahim (histerektomi) dengan riwayat penyakit jinak dan bukan merupakan lesi prekanker. Selain itu Pap Smear juga tidak dilakukan lagi pada wanita yang telah berusia di atas 70 tahun dengan syarat hasilnya 2 kali negatif dalam 5 tahun terakhir (Azis, 2002). Pap Smear mulai dapat dilaksanakan pada wanita yang telah 3 tahun menikah atau aktif secara seksual, tetapi usianya tidak dibawah 21 tahun (Husain & Hoskins, 2002). Pap Smear sebaiknya tidak dilakuan pada wanita yang baru menikah atau aktif secara seksual kurang dari 3 tahun karena dapat menimbulkan pengobatan yang berlebihan akibat gambaran sel abnormal yang bersifat sementara. Pasien dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seksual 2-3 hari sebelum pemeriksaan, kemudian dianjurkan untuk tidak menggunakan pengobatan melalui vagina atau mencuci vagina dengan cairan seperti spermicidal foams, creams dan jellies. Hal ini perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan Pap Smear. Setelah pemeriksaan Pap Smear, pasien dapat langsung kembali mengerjakan aktivitas-aktivitasnya sehari-hari (Schoendstadt, 2006). Menurut rekomendasi terbaru dari American College of Obstetricans and Gynecologist dan The American Cancer Society, pemeriksaan Pap Smear dianjurkan untuk diulang setahun sekali secara teratur seumur hidup. Bila pemeriksaan tahunan tiga kali berturut-turut hasilnya normal, pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang atas kebijakan dokter (Hillegas, 2005). Bila hasil pemeriksaan menunjukkan tanda-tanda abnormal maka dilakukan pengobatan lanjutan dengan pemanasan sinar laser, atau dengan cone biopsy . Dan apabila terjadi prekanker maka tindakan yang dilakukan adalah dengan operasi dan radioterapi (Price & Wilson, 2005). Universitas Sumatera Utara 2.3.4. Interpretasi Pap Smear Dikenal beberapa sistem pelaporan hasil pemeriksaan Pap Smear, yaitu sistem Papanicolau, sistem Cervical Intraepithel Neoplasm, dan sistem Bethesda (Garcia, 2007). Klasifikasi Papanicolaou adalah sistem yang pertama kali ditemukan oleh Papanicolaou. Sistem ini membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas (Manuaba, 2005), yaitu: a. Kelas I : Tidak ada sel atipik atau sel abnormal; b. Kelas II : Gambaran sitologi atipik, tetapi tidak ada bukti keganasan; c. Kelas III : Gambaran sitologi dicurigai keganasan; d. Kelas IV : Gambaran sitologi dijumpai sel ganas dalam jumlah sedikit; e. Kelas V : Gambaran sitologi dijumpai sel ganas dalam jumlah banyak. Perkembangan sitologi di bidang diagnostik ahli menganjurkan untuk mengganti klasifikasi Papanicolaou karena sistem ini dianggap tidak mencerminan pengertian neoplasia serviks/vagina, tidak mempunyai padanan dengan terminologi histopatologi, tidak mencantumkan diagnosis non kanker, tidak menggambarkan interpretasi yang seragam, dan tidak menunjukkan suatu pernyataan diagnosis. Sistem displasia/ Cervical Intraepithel Neoplasm dipublikasikan pertama kali oleh Richart RM (1973) di Amerika Serikat. Sistem CIN menegaskan kembali bahwa lesi precursor kanker serviks ini membentuk rangkaian berkelanjutan menuju karsinoma, sehingga semua derajat CIN yaitu CIN I, II, dan III wajib diobati (Tierner & Whooley, 2002). Sistem Bethesda pertama sekali diperkenalkan oleh Bethesda pada tahun 1988, dan disempurnakan oleh National Cancer Institute USA. Klasifikasi sistem Bethesda adalah sebagai berikut: Untuk sel squamous dibagi menjadi 4 yaitu: a. Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASCUS); b. Low Grade Squamous Intraepithelial Lesions (LGSIL), yang meliputi displasia ringan (CIN I), koilositosis, dan flat condyloma; Universitas Sumatera Utara c. High Grade Squamous Intraepithelial Lesions (HSGIL), yang meliputi CIN II dan CIN III; d. Squamous Cells Carcinoma. (Rosevear, 2002). Untuk sel glandular, sistem Bethesda dibagi menjadi: a. Sel endometrial (pada wanita menopause); b. Atypical Glandular Undetermined Significance (AGUS); c. Lesi intraepitel glandular; d. Adenokarsinoma endoserviks; e. Adenokarsinoma endometrium; f. Adenokarsinoma ekstrauterin; g. Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya (Rosevear, 2002). Sistem Bethesda lebih sering digunakan karena sistem ini mampu memfasilitasi komunikasi antara laboratorium dengan klinikus dan sistem ini juga mampu menjelaskan derajat abnormalitas sel yang tidak jelas (Soepardiman, 2002). Universitas Sumatera Utara