BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Pengertian

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan
2.1.1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan yang siap pakai membantu seseorang untuk berpikir cepat
dan tepat (Notoadmojo, 2003). Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia,
pengetahuan (knowledge) didefenisikan sebagai segala sesuatu yang diketahui;
kepandaian. Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau
disadari oleh seseorang (Depdiknas, 2005).
2.1.2. Cara Memperoleh Pengetahuan
Berbagai macam cara yang telah digunakan sepanjang sejarah manusia
untuk memperoleh pengetahuan maka dapat dikelompokkan menjadi dua yakni
cara tradisional (non ilmiah) melalui cara coba salah (trial and error), kekuasaan
atau otoritas, pengalaman pribadi, jalan pikiran dan dengan modern (cara ilmiah)
(Notoadmojo, 2005).
Cara tradisional yang pertama yakni cara coba-salah dipakai orang
sebelum mengenal kebudayaan bahkan mungkin peradaban. Cara coba-salah ini
digunakan dalam pemecahan masalah dan apabila tidak berhasil kemungkinan
pemecahan yang lain, begitu seterusnya. Cara tradisional lain yakni kekuasaan
atau otoritas adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan kehidupan seharihari dan tradisi-tradisi yang dilaukan orang tanpa adanya penalaran apakah yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan itu baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan ini selalu diwariskan turuntemurun ke generasi berikutnya. Berdasarkan pengalaman pribadi adalah
pengetahuan tersebut diperoleh setelah terjadi pada seseorang dan diulangi lagi
keadaan tersebut untuk memecahkan masalah seperti yang lalu (Notoadmojo,
2005).
Sumber pengetahuan dapat didefinisikan dari beberapa aspek, diantaranya
kepercayaan berdasarkan tradisi, kesaksian orang lain, panca indera, rasionalisme
dan intuisi (Suhartono, 2005). Kepercayaan berdasarkan tradisi, merupakan
pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan yang menunjukkan bahwa
pengetahuan itu diperoleh melalui cara mewarisi apa saja yang ada di dalam suatu
kehidupan masyarakat, adat istiadat, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan
kehidupan dalam beragama atau dengan kata lain pengetahuan itu diperoleh
berdasarkan pemahaman atas situasi baru dengan berpegang pada kepercayaan
yang telah dibenarkan. Kesaksian orang lain, termasuk pengetahuan yang masih
tetap ada dalam susunan kehidupan yang terdahulu pada orang-orang tertentu
yang dapat dipercaya, karena sudah dianggap memiliki pengetahuan yang benar,
lalu menjadi panutan yang handal bagi orang lain pada umumnya dalam hal-hal
bagaimana memandang, bersikap dan cara hidup serta bagaimana bertingkah laku
(Suhartono, 2005).
Panca indera bagi manusia merupakan alat vital dalam kehidupan seharihari, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh persoalan hidup sehari-hari bisa
diatasi dengan menggunakan alat panca indera. Rasionalisme merupakan sumber
satu-satunya dari pengetahuan manusia berdasarkan akal budi. Rasio mampu
mengetahui melalui observasi. Sedangkan intuisi merupakan pengetahuan yang
berasal dari dalam diri kita sendiri (Suhartono, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan, yang bertujuan untuk mencerdaskan manusia. Melalui
pendidikan seseorang akan memperoleh pengetahuan, apabila semakin tinggi
tingkat pendidikan maka hidup akan semakin berkualitas dimana seseorang akan
berpikir logis dan memahami informasi yang diperolehnya.
b. Media
Media adalah sarana yang dapat dipergunakan oleh seseorang dalam
memperoleh pengetahuan. Contohnya: televisi, radio, koran, dan majalah.
c. Paparan Informasi
Informasi adalah data yang diperoleh dari observasi terhadap lingkungan
sekitar yang diteruskan melalui komunikasi dalam kehidupan sehari-hari
(Meliono, 2007).
2.1.4. Tingkatan Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang dicakup
dalam domain kognitif mempunyai beberapa tingkatan yaitu tahu (know),
memahami (comprehension), aplikasi (application), analisa (analysis), sintesis
(synthesis), dan evaluasi (evaluation) (Sunaryo, 2004).
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan
yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya. Mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Merupakan tingkatan
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja yang bisa digunakan antara lain
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang sudah paham suatu materi atau objek harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek
yang telah dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya (real). Misalnya
penggunaan rumus, hukum-hukum, metode, prinsip dan sebagainya.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Biasanya menggunakan kata kerja
membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (syntesis)
Sintesis
menunjuk
kepada
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan,
dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori
atau rumusan-rumusan yang telah ada.
Universitas Sumatera Utara
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu objek atau materi. Penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri ataupun yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan
antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek peneliti atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan tersebut (Notoatmodjo, 2003).
2.2. Kanker Serviks
2.2.1. Pengertian Kanker Serviks
Kanker adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan proliferasi
(pertumbuhan) sel-sel baru (neoplastic cells) yang tidak normal, cepat dan tidak
terkendali (Mills, 2002). Kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada daerah
serviks, yaitu terjadinya perubahan sel-sel menjadi abnormal pada organ genitalia
wanita yaitu serviks. Karsinoma serviks atau yang biasa disebut kanker serviks
adalah kanker genital kedua yang paling sering pada perempuan dan bertanggung
jawab untuk 6 % dari semua kanker pada perempuan di Amerika Serikat (Price &
Wilson, 2005). Kanker servikal ini sebagian besar (90%) adalah karsinoma sel
skuamosa dan sisanya (10%) adalah adenokarsinoma. Tipe lain yang jarang
adalah karsinoma sel adenoskuamosa, karsinoma sel terang, melanoma maligna,
sarcoma dan limfoma maligna (Price & Wilson, 2005).
Puncak insiden karsinoma in situ adalah usia 20 hingga 30 tahun pada
perempuan keturunan Afrika-Amerika maupun Kaukasian. Perempuan yang lebih
tua dari 65 tahun dilaporkan 25 % menderita karsinoma servikal invasif dan 40 %
Universitas Sumatera Utara
hingga 50 % kematian terjadi akibat karsinoma servikal (Price &Wilson, 2005).
2.2.2. Penyebab Kanker Serviks
Sampai saat ini, kejadian kanker serviks belum diketahui penyebabnya
secara pasti. Namun kejadian kanker serviks dapat disebabkan oleh berbagai
faktor. Faktor risiko mayor untuk kanker servikal adalah infeksi dengan virus
papilloma manusia (HPV) yang ditularkan secara seksual. Penelitian epidemiologi
di seluruh dunia menegaskan bahwa infeksi HPV adalah faktor penting dalam
perkembangan kanker serviks (Bosch, 1995). Lebih dari 20 tipe HPV yang
berbeda
mempunyai
hubungan
dengan
kanker
servikal.
Penelitian
memperlihatkan bahwa perempuan dengan HPV-16, 18 dan 31 mempunyai angka
neoplasia intraepithelial servikal (CIN) yang lebih tinggi (Cancer Net, 2001).
Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa perempuan dengan HPV strain 18
memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk
(Schwartz, 2001).
Faktor risiko kanker serviks adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan inisiasi transformasi atipik serviks dan perkembangan dari displasia.
Transformasi atipik merupakan daerah atipik (abnormal) yang terletak di antara
perbatasan sel-sel squamouscolumnar serviks yang asli dengan sel-sel yang baru
terbentuk akibat metaplasia sel columnar menjadi sel squamous (Azis, 2002). Hal
ini berhubungan dengan riwayat seksual. Faktor risiko lain untuk perkembangan
kanker servikal adalah aktivitas seksual pada usia muda, paritas tinggi, jumlah
pasangan seksual yang meningkat, status sosioekonomi yang rendah dan merokok
(Cancer Net, 2001). Penelitian menunjukkan bahwa tipe kanker ini kemungkinan
ditularkan secara seksual. Kanker serviks invasif telah teridentifikasi sebagai
suatu kondisi penentu HIV. Kemudian faktor risiko, selain usia dini saat
melakukan hubungan seksual, melahirkan pada usia sangat muda, dan memiliki
Universitas Sumatera Utara
banyak pasangan seksual, termasuk pemajanan terhadap human papilomavirus
(HPV), infeksi HIV, merokok, dan pemajanan terhadap dietilstilbestrol (DES) in
utero (Brunner & Suddarth, 2001).
2.2.3. Perkembangan Kanker Serviks
Perjalanan penyakit kanker serviks dimulai dari stadium 0 pada serviks
merupakan karsinoma in situ dengan 100 % harapan hidup 5 tahun, kemudian
stadium I terbatas pada uterus dengan 85% harapan hidup 5 tahun, lalu stadium II
menyerang luar uterus tapi pelvis tidak dengan 60% harapan hidup 5 tahun,
selanjutnya stadium III meluas ke dinding pelvis dan atau sebenarnya sepertiga
bawah vagina atau hidronefrosis dengan 33% harapan hidup 5 tahun, dan akhirnya
stadium IV menyerang mukosa kandung kemih atau rectum atau meluas keluar
pelvis sebenarnya dengan 7% harapan hidup 5 tahun (Price & Wilson, 2005).
Perkembangan kanker serviks yaitu:
a. Didahului oleh lesi prekanker yang disebut displasia (Cervical Intraepithel
Neoplasm). Displasia ditandai dengan adanya perubahan morfologi berupa
gambaran sel-sel imatur, inti sel yang atipik, perubahan rasio inti/ sitoplasma
dan kehilangan polaritas yang normal. Displasia bukan merupakan suatu
bentuk kanker tetapi akan mengganas menjadi kanker bila tidak diatasi
(Hacker, 2005).
Displasia dikelompokkan lagi menjadi 3 berdasarkan perkembangan luas
perubahan morfologi yang terjadi pada epitel leher rahim. yaitu:
1. Displasia ringan (CIN I), pada displasia ringan sel-sel yang mengalami
perubahan morfologi hanya sebatas 1/3 bagian atas dari lapisan epithelium
serviks;
Universitas Sumatera Utara
2. Displasia sedang (CIN II), pada displasia sedang ditandai dengan perubahan
morfologi sel yang telah mencapai 2/3 bagian dari lapisan atas epithelium
serviks;
3. Displasia berat (CIN III), pada displasia berat ditandai dengan lebih
banyaknya variasi dari sel dan ukuran inti, orientasi yang tidak teratur, dan
hiperkromasi yang telah melebihi 2/3 lapisan atas epithelium serviks, namun
belum menginvasi jaringan stroma di bawahnya.
b. Perkembangan terakhir adalah bila perubahan displasia berlanjut hingga
menginvasi jaringan stroma di bawahnya, maka perubahan ini disebut
karsinoma in situ atau kanker (Aziz, 2002).
2.2.4 Tanda dan Gejala Kanker Serviks
Tidak ada tanda atau gejala spesifik untuk kanker serviks. Karsinoma
servikal prainvasif tidak memiliki gejala, namun karsinoma invasif dini dapat
menyebabkan secret vagina atau perdarahan vagina. Walaupun perdarahan adalah
gejala yang signifikan, perdarahan tidak selalu muncul pada saat-saaat awal,
sehingga kanker dapat sudah dalam keadaan lanjut pada saat didiagnosis. Jenis
perdarahan vagina yang paling sering adalah pascakoitus atau bercak antara
menstruasi. Bersamaan dengan tumbuhnya tumor, gejala yang muncul kemudian
adalah nyeri punggung bagian bawah atau nyeri tungkai akibat penekanan saraf
lumbosakralis, frekuensi berkemih yang sering mendesak, hematuria, atau
perdarahan rectum (Price & Wilson, 2005).
Kanker serviks dapat dideteksi ketika pasien mengeluh adanya rabas,
perdarahan tidak teratur, atau perdarahan setelah melakukan hubungan seksual,
tetapi penyakit ini biasanya tidak menimbulkan gejala. Rabas vagina pada kanker
serviks lanjut meningkat secara bertahap dan menjadi encer dan akhirnya
berwarna lebih gelap dan sangat berbau akibat nekrosis dan infeksi. Perdarahan,
Universitas Sumatera Utara
yang terjadi pada interval yang tidak teratur, antara periode menstruasi
(metoragia), atau setelah menopause, mungkin hanya sedikit bercak darah (hanya
cukup tampak pada celana dalam) dan biasanya terjadi setelah trauma ringan
(seperti hubungan seksual, irigasi, atau defekasi). Sejalan dengan berlanjutnya
penyakit, perdarahan dapat menetap dan meningkat (Brunner & Suddarth, 2001).
Dengan berkembangnya kanker, jaringan di luar serviks dapat terkena,
termasuk kelenjar limfe anterior ke sacrum. Pada sepertiga pasien dengan kanker
serviks invasif, penyakit ini juga menyerang fundus uteri. Saraf-saraf pada region
ini dapat terkena, yang menyebabkan nyeri tajam pada punggung dan tungkai
yang hilang hanya dengan analgesic opioid dosis besar. Tahap akhir bila penyakit
tidak diobati, menyebabkan emasiasi ekstrim dan anemia, biasanya disertai
dengan demam akibat infeksi sekunder dan abses pada massa yang mengalami
ulserasi dan pembentukan fistula (Brunner & Suddarth, 2001).
Interval waktu antara timbulnya lesi prekanker dan terjadinya kanker leher
rahim membutuhkan waktu yang cukup panjang. Menurut Robbins dan Kumar
(1995), diperkirakan 80 % dari displasia akan menjadi karsinoma in situ dalam
waktu 10-15 tahun. Selama interval waktu yang panjang tersebut dapat dilakukan
berbagai upaya pencegahan berupa pemeriksaan dan pemberian terapi secara dini
(Husain & Hoskin, 2002).
2.2.5. Pencegahan dan Pengobatan Kanker Serviks
Pencegahan kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu: pencegahan
primer, sekunder dan tersier (Sukardja, 2000).
a.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya dalam mengurangi atau menghilangkan
kontak individu dengan karsinogen untuk
mencegah terjadinya proses
karsinogenesis. Pencegahan primer kanker serviks dapat dilakukan dengan
Universitas Sumatera Utara
menghindari berbagai faktor risiko serta dengan memberikan vaksin pencegah
infeksi dan penyakit terkait HPV (Sukardja, 2000).
b.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini kanker
serviks, sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Pencegahan
sekunder termasuk skrining dan deteksi dini, seperti Pap Smear, kolposkopi,
servikografi, Pap net (dengan komputerisasi), dan inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA) (Sukardja, 2000). Pap Smear merupakan standar emas program
skrining karena pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit serta
dapat dilakukan setiap saat, kecuali pada masa haid. Selain itu, Pap Smear juga
memiliki sensitivitas dan spesifitas yang cukup tinggi, sehingga Pap smear
mampu untuk mencegah kejadian kanker serviks hingga mencapai 93 % (WHO,
2005).
Pendeteksian dini dapat menggunakan pulasan Pap Smear sebagai uji
penapisan untuk mendeteksi perubahan neoplastik. Deteksi dini dapat dilakukan
dengan uji Pap Smear dan diketahui kanker serviks bila hasil Pap Smear disertai
adanya displasia, atau sel-sel atipik persisten, yang diikuti dengan hasil biopsi
yang mengidentifikasi adanya neoplasia intra-epitel (CIN) atau lesi intra epitel
skuamosa tingkat tinggi (HGSIL). Istilah ini digunakan dalam mengklasifikasi lesi
servikal premalignant (Brunner & Suddarth, 2001). Pulasan yang abnormal
ditindaklanjuti dengan biopsi untuk mendapatkan jaringan yang digunakan untuk
pemeriksaan sitologis. Karena serviks mempunyai tampilan normal, kolposkopi
digunakan untuk menentukan daerah yang abnormal atau daerah untuk
pengambilan contoh jaringan. Dilakukan biopsi tusuk pada daerah yang terpisah
atau biopsi kerucut (pengambilan bagian jaringan dengan bentuk kerucut dari
serviks yang hampir semuanya termasuk dalam daerah perpindahan) seluruh
persambungan skumokolumnar (Price & Wilson, 2005). Bentuk displasia serviks
Universitas Sumatera Utara
prainvasif termasuk karsinoma in situ dapat diangkat seluruhnya dengan biopsi
kerucut atau eradikasi menggunakan laser, kauter, atau bedah krio. Tindak lanjut
yang sering dan teratur untuk lesi yang berulang penting dilakukan setelah
pengobatan ini. Evaluasi untuk karsinoma servikal adalah pemeriksaan dengan
inspeksi atau palpasi, keadaan biokimia (fungsi hati dan ginjal), foto toraks,
sistoskopi, proktosigmoidoskopi, dan CT scan (Price & Wilson, 2005).
c.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier kanker serviks bertujuan untuk mencegah komplikasi
klinik dan kematian awal. Pengobatan karsinoma serviks invasif ditentukan oleh
pemeriksaan klinis dan bedah. Metode pengobatan adalah dengan eksisi bedah,
terapi radiasi, kemoterapi atau kombinasi metode-metode tersebut (Price &
Wilson, 2005).
2.3. Pemeriksaan Pap Smear
2.3.1. Pengertian Pemeriksaan Pap Smear
Pap Smear adalah suatu test yang aman dan murah yang telah dipakai
bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang ada di sel-sel
leher rahim. Test ditemukan pertama kali oleh Dr. George Papanicoloau sehingga
dinamakan Pap Smear Test. Pap Smear Test adalah suatu metode pemeriksaan
sel-sel yang diambil dari leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop
untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari sel-sel tersebut. Perubahanperubahan yang terdeteksi secara dini akan menurunkan kejadian kanker serviks.
Pap Smear dapat mendeteksi dini kanker serviks dengan melihat penemuan
perkembangan sel-sel abnormal serviks (Brunner & Suddarth, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Manfaat Pemeriksaan Pap Smear
Pemeriksaan Pap Smear berguna sebagai pemeriksaan penyaring
(skrining) dan pelacak adanya perubahan sel ke arah keganasan secara dini
sehingga kelainan prakanker dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih
mudah dan murah (Price & Wilson, 2005).
Manfaat Pap Smear dapat dijabarkan secara rinci sebagai berikut:
a. Diagnosis dini keganasan
Pap Smear berguna dalam mendeteksi kanker serviks, kanker korpus
endometrium, keganasan tuba fallopi, dan mungkin keganasan ovarium.
b. Perawatan ikutan dari keganasan
Pap Smear berguna sebagai perawatan ikutan setelah operasi dan setelah
mendapatkan kemoterapi dan radiasi.
c. Interpretasi hormonal wanita
Pap Smear bertujuan untuk mengikuti siklus menstruasi dengan ovulasi atau
tanpa
ovulasi,
menentukan
maturitas
kehamilan,
dan
menentukan
kemungkinan keguguran pada hamil muda.
d.
Menentukan proses peradangan
Pap Smear berguna untuk menentukan proses peradangan pada berbagai
infeksi bakteri atau jamur (Manuaba, 2005).
2.3.3. Prosedur Pemeriksaan Pap Smear
Prosedur pemeriksaan Pap Smear Test dimulai dengan tindakan pasien
dibaringkan telentang kemudian diatur dalam posisi lithotomic, lalu masukkan alat
spekulum ke dalam liang senggama yaitu alat yang menyerupai moncong bebek
yang bertujuan untuk membuka liang senggama sehingga dapat terlihat jelas
dinding leher rahim dan alat ini bertujuan untuk menahan vagina agar tetap
terbuka. Setelah itu sel-sel leher rahim diambil dengan cara mengusap leher rahim
Universitas Sumatera Utara
dengan spatula yaitu suatu alat yang menyerupai tangkai pada es krim, kemudian
dioleskan apusan leher rahim tersebut pada object glass, dan kemudian dikirim ke
bagian laboratorium patologi anatomi untuk pemeriksaan teliti yaitu dengan
dipulas dengan Papanicoloau dan diperiksa adanya sel kanker atau tidak (Price &
Wilson, 2005).
Prosedur pemeriksaan Pap Smear (Soepardiman, 2002 dan Manuaba,
2005) yaitu:
a.
Persiapan alat-alat yang akan digunakan, meliputi formulir konsultasi
sitologi, speculum bivalve (cocor bebek), spatula Ayre, kaca objek (object
glass) yang telah diberi label pada satu sisinya, dan wadah berisi larutan
alkohol 95 %;
b.
Persiapkan pasien untuk berbaring dengan posisi ginekologi;
c.
Pasang spekulum kering dan disesuaikan sehingga tampak dengan jelas
vagina bagian atas, forniks posterior, serviks uteri dan kanalis servikalis;
d.
Memeriksa serviks apakah normal atau tidak;
e.
Spatula Ayre dengan ujung yang pendek dimasukkan ke dalam endoserviks,
dimulai dari arah jam 12 dan diputar 3600 searah jarum jam;
f.
Sediaan lendir serviks dioleskan di atas kaca objek pada sisi yang telah diberi
tanda dengan membentu sudut 450 satu kali usapan;
g.
Kemudian kaca objek dicelupkan ke dalam larutan alkohol 95 % selama 10
menit;
h.
Sediaan diletakkan pada wadah kemudian dikirim ke ahli patologi anatomi.
Prosedur pemeriksaan ini akan memberikan rasa tidak nyaman tetapi tidak
akan menimbulkan rasa sakit. Pemeriksaan ini dilakukan 1 tahun sekali dan secara
teratur. Pap Smear Test sebaiknya dilakukan seminggu atau dua minggu setelah
berakhirnya masa menstruasi. Bagi wanita yang sudah menopause maka dapat
melakukan pemeriksaan ini kapan saja. Pap Smear ditunda sampai pengobatan
Universitas Sumatera Utara
selesai pada pasien dengan peradangan berat. Pap Smear tidak dilakukan lagi bagi
wanita yang telah menjalani pengangkatan seluruh rahim (histerektomi) dengan
riwayat penyakit jinak dan bukan merupakan lesi prekanker. Selain itu Pap Smear
juga tidak dilakukan lagi pada wanita yang telah berusia di atas 70 tahun dengan
syarat hasilnya 2 kali negatif dalam 5 tahun terakhir (Azis, 2002).
Pap Smear mulai dapat dilaksanakan pada wanita yang telah 3 tahun
menikah atau aktif secara seksual, tetapi usianya tidak dibawah 21 tahun (Husain
& Hoskins, 2002). Pap Smear sebaiknya tidak dilakuan pada wanita yang baru
menikah atau aktif secara seksual kurang dari 3 tahun karena dapat menimbulkan
pengobatan yang berlebihan akibat gambaran sel abnormal yang bersifat
sementara. Pasien dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seksual 2-3 hari
sebelum
pemeriksaan,
kemudian
dianjurkan
untuk
tidak
menggunakan
pengobatan melalui vagina atau mencuci vagina dengan cairan seperti spermicidal
foams, creams dan jellies. Hal ini perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi
hasil pemeriksaan Pap Smear. Setelah pemeriksaan Pap Smear, pasien dapat
langsung kembali mengerjakan aktivitas-aktivitasnya sehari-hari (Schoendstadt,
2006).
Menurut rekomendasi terbaru dari American College of Obstetricans and
Gynecologist dan The American Cancer Society, pemeriksaan Pap Smear
dianjurkan untuk diulang setahun sekali secara teratur seumur hidup. Bila
pemeriksaan tahunan tiga kali berturut-turut hasilnya normal, pemeriksaan
selanjutnya dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang atas kebijakan dokter
(Hillegas, 2005).
Bila hasil pemeriksaan menunjukkan tanda-tanda abnormal maka
dilakukan pengobatan lanjutan dengan pemanasan sinar laser, atau dengan cone
biopsy . Dan apabila terjadi prekanker maka tindakan yang dilakukan adalah
dengan operasi dan radioterapi (Price & Wilson, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Interpretasi Pap Smear
Dikenal beberapa sistem pelaporan hasil pemeriksaan Pap Smear, yaitu
sistem Papanicolau, sistem Cervical Intraepithel Neoplasm, dan sistem Bethesda
(Garcia, 2007).
Klasifikasi Papanicolaou adalah sistem yang pertama kali ditemukan oleh
Papanicolaou. Sistem ini membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas (Manuaba,
2005), yaitu:
a. Kelas I
: Tidak ada sel atipik atau sel abnormal;
b. Kelas II
: Gambaran sitologi atipik, tetapi tidak ada bukti keganasan;
c. Kelas III
: Gambaran sitologi dicurigai keganasan;
d. Kelas IV
: Gambaran sitologi dijumpai sel ganas dalam jumlah sedikit;
e. Kelas V
: Gambaran sitologi dijumpai sel ganas dalam jumlah banyak.
Perkembangan sitologi di bidang diagnostik ahli menganjurkan untuk
mengganti
klasifikasi
Papanicolaou
karena
sistem
ini
dianggap
tidak
mencerminan pengertian neoplasia serviks/vagina, tidak mempunyai padanan
dengan terminologi histopatologi, tidak mencantumkan diagnosis non kanker,
tidak menggambarkan interpretasi yang seragam, dan tidak menunjukkan suatu
pernyataan diagnosis.
Sistem displasia/ Cervical Intraepithel Neoplasm dipublikasikan pertama
kali oleh Richart RM (1973) di Amerika Serikat. Sistem CIN menegaskan
kembali bahwa lesi precursor kanker serviks ini membentuk rangkaian
berkelanjutan menuju karsinoma, sehingga semua derajat CIN yaitu CIN I, II, dan
III wajib diobati (Tierner & Whooley, 2002).
Sistem Bethesda pertama sekali diperkenalkan oleh Bethesda pada tahun
1988, dan disempurnakan oleh National Cancer Institute USA. Klasifikasi sistem
Bethesda adalah sebagai berikut:
Untuk sel squamous dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASCUS);
b. Low Grade Squamous Intraepithelial Lesions (LGSIL), yang meliputi displasia
ringan (CIN I), koilositosis, dan flat condyloma;
Universitas Sumatera Utara
c. High Grade Squamous Intraepithelial Lesions (HSGIL), yang meliputi CIN II
dan CIN III;
d. Squamous Cells Carcinoma. (Rosevear, 2002).
Untuk sel glandular, sistem Bethesda dibagi menjadi:
a. Sel endometrial (pada wanita menopause);
b. Atypical Glandular Undetermined Significance (AGUS);
c. Lesi intraepitel glandular;
d. Adenokarsinoma endoserviks;
e. Adenokarsinoma endometrium;
f. Adenokarsinoma ekstrauterin;
g. Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya (Rosevear, 2002).
Sistem Bethesda lebih sering digunakan karena sistem ini mampu
memfasilitasi komunikasi antara laboratorium dengan klinikus dan sistem ini juga
mampu menjelaskan derajat abnormalitas sel yang tidak jelas (Soepardiman,
2002).
Universitas Sumatera Utara
Download