1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu tujuan pembangunan pertanian adalah untuk meningkatkan
produksi hasil pertanian. Hasil-hasil pertanian membutuhkan pasar serta harga yang
cukup tinggi guna membayar kembali biaya-biaya tunai dan daya upaya yang telah
dikeluarkan petani sewaktu memproduksikannya sehingga pasar menjadi salah satu
syarat mutlak dari pembangunan pertanian (Mosher, 1987), sebaliknya pertanian juga
berperan dalam terbentuk dan berkembangnnya pasar (Mellor, 2013; Kohansal et. al,
2013).
Pasar dalam teori ekonomi dilihat sebagai partial equilibrium dalam sistem
pertukaran barang dan jasa, di mana terdapat keseimbangan demand dan supply atas
barang dan jasa. Keseimbangan ini ditandai oleh penentuan harga dan kualitas
komoditi yang sesuai dengan keinginan masing-masing demander dan supplier.
Keseimbangan antara harga yang ditetapkan produsen dengan jumlah komoditi yang
diinginkan konsumen membentuk harga pasar (Nicholson, 2002). Menurut Nasdian &
Dharmawan (2004) dalam perspektif sosiologi, pasar lebih dimaknai sebagai suatu
kelembagaan sosial tempat aktivitas jual beli untuk memenuhi kebutuhan dengan
proses tawar menawar. Melalui pola interaksi jual beli melahirkan peraturan dan
norma-norma baru yang mengatur antarhubungan dan antaraksi, selanjutnya disebut
pelembagaan. Pasar juga suatu kejadian/peristiwa publik yang dapat dilihat, yang
terjadi pada waktu dan tempat yang reguler, dengan bangunan-bangunan, aturan-
1
aturan, institusi-institusi yang mengatur (governing institution), dan struktur sosial
lainnya (Slater & Tonkiss, 2001).
Sejalan dengan ide dasarnya, fungsi penting pasar adalah sebagai penetapan
harga dan proses pertukaran atau transaksi (Kohls dan Uhl, 2002). Peran dan fungsi
pasar adalah sebagai tempat terjadinya transaksi bertujuan untuk mengurangi
ketidaksetaraan informasi, menekan biaya transaksi dan meningkatkan kepercayaan
(Leksono, 2009). Pasar pertanian di beberapa negara berkembang berfungsi untuk
perbaikan kesejahteraan yang berkelanjutan. Sebagai contoh, pasar sebagai menyerap
kelebihan produksi dan menstabilkan harga. Pasar juga melakukan fungsi yang
berharga seperti: distribusi input (pupuk, benih) dan output (produk tanaman dan
hewan), transformasi komoditas mentah menjadi produk bernilai tambah, dan
transmisi informasi dan risiko (Leksono, 2009; Hasibuan,1994).
Pasar yang kompetitif dan mekanisme pasar yang berfungsi dengan baik akan
mengurangi ketidaksetaraan informasi (asymmetric information), menekan biaya
transaksi (transaction cost) dan meningkatkan kepercayaan (trust). Mekanisme pasar
yang berfungsi dengan baik membuat pertukaran barang & jasa akan berlangsung
dengan biaya transaksi yang rendah, efisien dan adil sehingga secara sosial
melibatkan banyak pelaku yang berkepentingan. Secara ekonomi bermanfaat bagi
kesejahteraan masyarakat, secara finansial menguntungkan bagi semua pelaku terlibat
didalamnya. Seterusnya, pasar yang berfungsi dengan baik juga dalam keadaan
persaingan sempurna, di mana jumlah penjual dan pembeli banyak (tidak mampu
mempengaruhi harga), produk homogen (karakteristik teknis maupun jasa yang
diperlukan sama), mobilitas faktor produksi ke pasar lancar, informasi pasar sama dan
diperoleh secara murah (Leksono, 2009; Cramer and Jensen, 2001; Hasibuan,1994).
2
Pasar yang kompetitif dan berfungsi dengan baik membantu memastikan alokasi
sumber daya yang efisien sehingga dapat memaksimalkan kesejahteraan (Barrett and
Emelly, 2005; Eaton dan Meijerink, 2007).
Agar pasar berfungsi dengan baik dan dapat merealisasikan keuntungan
diperlukan kelembagaan yang kuat melalui aturan main yang jelas. Aturan main yang
jelas untuk penegasan norma tingkah laku kelompok-kelompok yang bertransaksi,
guna mengurangi biaya transaksi tinggi. Biaya transaksi tinggi terjadi karena ketidak
setaraaan informasi di pasar. Ketidak setaraan informasi akibat kemampuan individu
yang bertransaksi terbatas (bounded rationality), mendapatkan keuntungan melalui
praktik yang tidak jujur dalam kegiatan transaksi (opurtunistis) atau main curang
(cheating) serta melalaikan kewajiban (shirking) sehingga perlu mengembangkan
informasi yang sama di antara pelaku pasar (North, 1990; Beckmann, 2002).
Menurut Anwar (2001) faktor-faktor yang diatur dan dikendalikan dalam aturan main
dipasar meliputi harga-harga, kuantitas, kualitas dan pengaturan manfaat dalam
pertukaran (terms of exchange). Aturan-aturan main ini tentunya harus di desain
sedemikian rupa sehingga manfaat dari pertukaran bisa memberikan nilai tambah
yang lebih adil dan merata.
Untuk menjaga dan menegakan aturan dibutuhkan aksi atau tindakan kolektif
(Meinzen - Dick et al, 2004), dalam hal ini termasuk aturan main di pasar. Menurut
Ostrom (2004) tindakan kolektif merupakan keterlibatan sekelompok orang, yang
melakukan tindakan bersama dan sukarela untuk tujuan kepentingan bersama.
Tindakan kolektif dibentuk untuk mengikat setiap individu dalam kelompok untuk
tetap berkomitmen mencapai tujuan bersama, untuk mendapatkan keuntungan
(Marshall, 2009). Satu individu masyarakat secara alami akan cenderung memilih
3
melakukan tindakan kolektif dengan individu lain ketika mereka merasa ada
kesamaan dalam hal tujuan yang ingin dicapai dan ketika merasa ada ketidakpastian
serta resiko yang dihadapi jika bergerak sendirian (Di Gregorio et. al. 2004). Dalam
proses pertukaran di pasar, tindakan kolektif akan mempermudah dan memperlancar
pihak-pihak yang bertransaksi (Meinzen - Dick et al, 2004; Syahyuti, 2008).
Kruijssen et. al. (2007) menjelaskan, melalui tindakan kolektif petani kecil mampu menyatukan sumber
daya dan memasarkan produk mereka secara berkelompok sehingga mengatasi masalah biaya transaksi yang
timbul akibat kecilnya skala pertanian. Membantu meningkatkan akses terhadap sumber daya seperti input,
kredit, pelatihan, transpor dan informasi. Meningkatkan daya tawar, serta memfasilitasi sertifikasi maupun
pembuatan label. Kruijssen dan kawan-kawan memberi contoh koperasi perempuan di Provinsi Chanthaburi,
Thailand yang mengolah produk buah tropis (Garcinia cowa/kandis), melalui koperasi petani melakukan
pemasaran bersama sehingga lebih menguntungkan. Produk dikalengkan, diberi label, dan dipasarkan di
toko bagi wisatawan serta pasar-pasar. Desa Tam Quan Nam, Provinsi Binh Dinh, Vietnam, memiliki
komunitas petani kelapa yang sangat miskin, melalui pinjaman kolektif dan penjualan kolektif petani lebih
diuntungkan dengan pemasukan yang stabil dan lebih tinggi. Contoh lain, desa Kassab sebelah barat laut
Suriah. Produsen sabun mengorganisasi dan membuat aturan bersama pengumpul buah salam yang hidup di
hutan. Sabun bermutu tinggi diproduksi untuk pasar lokal dan ekspor sehingga memberikan peluang kerja
bagi masyarakat setempat dan meningkatkan sumber penghidupan rumah tangga. Kasus lain,
Shiferaw
dan kawan-kawan (2009) mengambarkan sebuah kelembagaan pedesaan (organisasi
petani dan pedagang) di Kenya membuat aturan dan mekanisme penegakan untuk
menanggulangi kegagalan pasar akibat biaya transaksi tinggi dan kegagalan
koordinasi pemasaran gandum. Pengaturan dilakukan untuk pemasaran bersama,
pinjaman keuangan, jeda pembayaran sehingga mendapat keuntungan yang lebih baik.
Seterusnya analisis tentang kelembagaan dan tindakan kolektif merujuk atau
mengkaitkan upaya-upaya untuk mengetahui kemampuan masyarakat dalam proses
kerja sama/transaksi saling menguntungkan melalui modal sosial (Putnam, 1993;
Uphoff, 1992,2000; Yustika, 2008). Modal sosial menurut Bourdieu (1986) adalah
4
bagian dari sumberdaya nyata atau potensial yang melembaga dan dimanfaatkan
secara efektif sesuai besarnya jaringan. Modal sosial berfungsi untuk mengadakan
kapital sehingga menjadi saling menguntungkan. Modal sosial dijadikan sebagai
akses langsung individu terhadap sumberdaya ekonomi seperti, pinjaman bersubsidi,
saran-saran investasi dan pasar yang terlindungi (Bourdieu, 1986; Yustika, 2008).
Konsep modal sosial juga mengintegrasikan konsep jaringan dan kelembagaan
(perspektif sinergi) antara pemerintah dan masyarakat atas prinsip komplementaritas
dan kelekatan untuk hubungan yang saling menguntungkan dalam pertukaran
(Woolcock, 2000). Modal sosial perspektif sinergi akan berkontribusi terhadap
tindakan kolektif yang lebih kuat,
terjaga dan saling melengkapi (Evans, 1996;
Meinzen - Dick et al, 2004) sehingga dapat menyelesaikan masalah pasar. Kasus
Hungaria, modal sosial sinergi dilakukan antara pemerintah daerah, pemerintah pusat
(departemen pertanian) dan produsen anggur. Untuk peningkatan ekonomi daerah,
pemerintah daerah menghubungkan petani dan produsen anggur dengan departemen
pertanian dalam mengembangkan fasilitas pengolahan dan subsidi pinjaman untuk
membeli pabrik sampanye. Pemerintah daerah juga membantu dalam proses
kebijakan dan pemasaran bersama untuk menstabilkan harga dan iklim usaha yang
kondusif (Megyesi et al, 2010).
Uraian di atas memperlihatkan bahwa pentingnya tindakan kolektif dengan
dukungan modal sosial dari sinergi kelembagaan untuk menyelesaikan permasalahan
pasar sehingga pasar lebih kompetitif dan mekanisme pasar berfungsi dengan baik.
(persaingan sempurna). Menurut Zuzmelia (2007) pasar-pasar pertanian diwilayah
pedesaan sering tidak berfungsi dengan baik dan pelaku-pelaku pasar yang tidak
rasional. Hal tersebut terjadi akibat pola pemasaran yang tidak terorganisir,
5
kurangnya pengetahuan petani tentang pasar, harga yang tidak jelas dan berfluktuasi,
monopsoni serta tidak adanya kerja sama antar petani dan kelembagaan yang ada
(Hastuti, 2004; Hermina, R. 2004; Melania, 2007). Pasar yang tidak kompetitif dan
mekanisme pasar yang tidak berfungsi baik, juga dialami pasar-pasar gambir di
pedesaan Sumatera Barat. Pasar gambir lebih sering merugikan petani akibat posisi
tawar petani rendah (struktur pasar monopsoni), harga tidak terintegrasi dengan harga
ekspor, pasar dikuasai oleh eksportir/pedagang pengumpul dan akses informasi yang
lemah (tertutup), kurangnya informasi pasar internasional mengenai harga riil gambir
(Syahni, 2004; Dhalimi, 2004, Afrizal, 2009; Sa’id, 2011). Kondisi tersebut
diperparah dengan kebiasaan petani mencampur gambir sehingga membuat mutu
menjadi rendah, pencampuran gambir dibiarkan pengumpul/toke untuk menekan
harga di pasar (Dhalimi, 2006; Afrizal, 2009; Sa’id, 2011).
Mekanisme pasar yang
tidak berfungsi
dengan
baik
menimbulkan
ketidakadilan di pasar (Swedberg,1994). Ketidakadilan di pasar gambir sering
merugikan
petani.
Ketidakadilan
di
pasar
gambir
sering
terjadi
akibat
penguasaan/penentuan harga oleh pedagang pengumpul, penguasaan akses dan
informasi oleh pengumpul terhadap eksportir untuk harga riil gambir (Afrizal, 2009;
Sa’id, 2011). Untuk itu, harus dilakukan tindakan kolektif pada pasar gambir.
Tindakan kolektif mengikat setiap individu dalam kelompok yang bertransaksi di
pasar gambir, sesuai dengan tujuan dan kepentingan bersama. Tindakan kolektif juga
mempermudah dan memperlancar pihak-pihak yang bertransaksi di pasar gambir
sehingga pasar lebih kompetitif dan menguntungkan semua pihak yang bertransaksi.
Tindakan kolektif yang kuat dan berjalan dengan baik didukung atau terbentuk
6
melalui kelembagaan1. Kelembagaan berperan membuat dan menspesifikasi aturan
main (rule of the game) yang jelas dalam bertransaksi di pasar adalah pemerintah
(North, 1990). Melihat permasalahan pasar gambir di pedesaan, pemerintah dapat
melakukan perbaikan melalui; a) menetapkan standar mutu gambir sehingga harga
menjadi baik, b) mengatur keluar masuk pedagang pengumpul sehingga tidak terjadi
penguasaan oleh pedagang, c) penindakan dan sanksi terhadap moral pelaku yang
buruk saat bertransaksi, e) memberikan kesamaan dan kemudahan informasi tentang
harga dan mutu gambir, serta f) mempermudah akses permodalan, sehingga petani
tidak tergantung kepada satu pemodal (toke) yang berakibat pada penekanan harga.
Hasil penelitian terdahulu memperlihatkan pemerintah daerah/lokal masih belum
berperan dalam menyelesaikan permasalahan pada pasar gambir di Propinsi Sumatera
Barat (Syahni, 2004; Dhalimi, 2006; Busharmaidi, 2007; Sudjarmoko, 2008, Sa’id,
2011).
Pemerintah yang lemah dan kurang berperan dalam menfungsikan pasar
gambir agar tidak merugikan pihak-pihak yang bertransaksi perlu dukungan
kelembagaan-kelembagaan lainnya yang terlibat di pasar. Dalam kata lain,
dibutuhkannya sinergi seluruh kelembagaan yang terlibat pada pasar gambir.
Perspektif sinergi atau pandangan kelembagaan dan sinergi2 merujuk pada hubungan
yang saling menguntungkan dan menfasilitasi pertukaran antara asosiasi dan
kelompok-kelompok bisnis (Yustika, 2008). Seterusnya Evans (1996) menyebutkan
1
Tugas terpenting dari kelembagaan adalah menciptakan pasar yang berfungsi
dengan baik, seperti: a) regulasi pasar untuk mengatasi eksternalitas dan informasi
yang tidak sempurna; b) menstabilisasi pasar, seperti menurunkan inflasi; c)
melegitimasi pasar untuk menguntungkan semua pihak. (lihat Rodrik dan
Subramanian, 2003)
2
Pandangan kelembagaan dan sinerji melihat aliansi dan hubungan yang terjadi
antara birokrasi negara dan berbagai aktor dalam masyarakat sipil (lihat Woolcock
dan Narayan, 2000).
7
bahwa
pandangan
sinergi
didasarkan
pada
prinsip
saling
melengkapi
(complementarity) dan prinsip mengakar (embeddedness). Prinsip saling melengkapi
yang dimaksud adalah hubungan yang saling mendukung antara aktor publik dan
aktor swasta. Prinsip mengakar yang dimaksud mencakup sifat dan bentuk hubungan
yang mempertautkan masyarakat dengan aparat publik.
Sinergi beberapa kelembagaan sangat penting untuk menghasilkan tindakan
kolektif berupa aturan main, pengawasan dan penindakan di pasar gambir.
Kelembagaan-kelembagaan yang mendukung dan terlibat di pasar gambir, selain
pemerintahan lokal (nagari, sebutan lain desa di Propinsi Sumatera Barat) adalah
beberapa kelembagaan masyarakat dan lokal yang ada di nagari, seperti; a) kelompok
tani, sebagai pemasok gambir ke pasar, b) pedagang pengumpul (toke) (sebutan lain
pedagang pengumpul) di pasar/nagari, yang membeli gambir dari petani/kelompok
tani, kadang-kadang memodali petani dalam berproduksi, c) kelembagaan keuangan
di pasar gambir/nagari, yang dimanfaatkan oleh petani untuk modal berproduksi dan
pedagang pengumpul untuk modal membeli gambir dari petani, d) kelembagaan adat
di nagari, sebagai kelembagaan yang membantu pemerintah nagari dalam membuat
aturan pasar (Busharmaidi, 2007; Sudjarmoko, 2008; Afrizal, 2009; Adi, 2011).
Dukungan beberapa kelembagaan lokal yang terlibat pada pasar gambir tersebut akan
membuat pasar berfungsi dengan baik tindakan kolektifnya. Kelembagaan lokal
merupakan wadah dan aturan yang terbentuk untuk memenuhi berbagai tuntutan
hidup yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat di tingkat lokal
(Mubyarto, 1988, Suradisastra, 2002).
Uraian di atas memperlihatkan pentingnya tindakan kolektif agar pasar
gambir berfungsi dengan baik. Tindakan kolektif mengikat setiap individu dalam
8
kelompok yang bertransaksi sesuai dengan tujuan dan kepentingan bersama di pasar
gambir. Tindakan kolektif juga mempermudah dan memperlancar pihak-pihak yang
bertransaksi di pasar gambir. Tindakan kolektif terbangun dari relasi modal sosial dan
sinergi beberapa kelembagaan lokal yang terlibat pada pasar gambir. Relasi dan
sinergi modal sosial kelembagaan-kelembagaan lokal di pasar gambir berkontribusi
terhadap tindakan kolektif yang lebih kuat, terjaga dan saling melengkapi. Tindakan
kolektif yang kuat, terjaga dan berjalan baik di pasar gambir membuat pasar gambir
berfungsi dengan baik, lebih kompetitif dan
berkelanjutan serta menguntungkan
semua pihak-pihak yang bertransaksi dan terlibat di pasar.
1.2 Perumusan Masalah
Tanaman gambir adalah komoditi perkebunan potensial spesifik lokasi
Sumatera Barat. Di Indonesia 80% gambir berasal dari Sumatera Barat. Sentra
produksi tanaman gambir Sumatera Barat berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota,
Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Pasaman
Barat. Data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat menyebutkan jumlah produksi
gambir Sumatera Barat tahun 2012 sebanyak 14.220 ton, luas lahan 21.412 ha dengan
jumlah petani gambir sebanyak 32.234 kepala keluarga. Kabupaten Lima Puluh Kota
sebagai produsen gambir terbesar di Sumatera Barat, dengan luas lahan 14.682,50 ha,
produksi 7.293 ton pertahun. Hasil produksi gambir petani di Kabupaten Lima Puluh
Kota pada umumnya langsung dijual ke pengumpul/toke di pasar-pasar gambir di
nagari sehingga pasar gambir sangat dibutuhkan petani. Budidaya gambir telah
berlangsung lama di Kabupaten Lima Puluh Kota, tapi kehidupan petani gambir
belum sejahtera (Afrizal, 2009; Adi 2011; Sa’id, 2011).
9
Belum sejahteranya petani gambir diakibatkan harga gambir yang cenderung
merugikan petani, akibat mutu gambir yang rendah, mutu yang rendah dibiarkan oleh
pedagang pengumpul/toke untuk melakukan penekanan harga. Daya tawar petani
yang rendah akibat jumlah petani yang banyak, sedangkan pengumpul sedikit
(oligopsoni) dan sebagian petani juga mempunyai keterkaitan/hutang dengan
pedagang pengumpul sehingga penentuan harga didominasi pedagang pengumpul.
Kurangnya koordinasi antar petani akibat wilayah produksi gambir yang luas dan
terpisah (Kab. Lima Puluh Kota, Kab Pesisir Selatan dan Kab Pasaman Barat) dan
letak konsumen akhir yang jauh dari daerah sentra produksi (diluar negeri) membuat
informasi harga tidak jelas dan sering ditentukan oleh ekportir melalui pedagang
pengumpul (Afrizal, 2009; Adi, 2011).
Tanaman Gambir merupakan salah satu komoditas perkebunan Indonesia
yang pasar utamanya adalah ekspor. Menurut BPS (2014) ekspor gambir Indonesia
pada Bulan Juli sampai dengan Desember 2013 mencapai sekitar 7,398 ton dengan
nilai US$ 15,2 juta dan menguasai 80 persen pangsa pasar gambir di dunia. Tujuan
ekspor utama gambir Indonesia adalah India dengan volume ekspor mencapai 90%
(pusdatin.deptan.go.id). Kondisi tersebut menyebabkan ketergantungan yang sangat
tinggi yang melemahkan posisi tawar Indonesia dalam pemasaran gambir global dan
sebaliknya sangat menguatkan dominasi India dalam perdagangan gambir dunia.
Kuatnya posisi tawar India tidak hanya berlaku dalam perdagangan produk turunan
gambir di pasar global, tapi juga dalam pembelian hingga penentuan harga gambir
asalan dari masyarakat (Adi, 2011). Sudah banyak pengkajian pemasaran gambir
yang sudah dilakukan, masing-masingnya juga sudah memberikan jalan keluar (way
out) dari permasalahan-permasalahan tersebut, akan tetapi berbagai solusi itu belum
10
banyak membuahkan hasil. Ini diduga karena belum menyentuh aspek penting dari
pemasaran itu sendiri, yaitu tindakan/aksi kolektif.
Tabel 1.1 berikut memperlihatkan beberapa permasalahan pasar gambir di
nagari-nagari Sumatatera Barat dari berbagai hasil penelitian. Penelitian-penelitian
tersebut juga membuat beberapa usulan (jalan keluar) untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan pasar gambir.
Tabel 1.1. Permasalahan Pasar Gambir
No
Masalah
1 Aturan main yang
tidak jelas di pasar
seperti posisi tawar
petani rendah (struktur
pasar
monopsoni),
harga
tidak
terintegrasi
dengan
harga ekspor, pasar
dikuasai
oleh
eksportir/
pedagang
pengumpul, hambatan
masuk pasar bagi
pedagang baru
2
3
Rujukan
Syahni ( 2004);
Dhalimi
(2006);
Busharmaidi
(2007); Afrizal
(2009); Sa’id
(2011); Adi
(2011)
Jalan Keluar
kebijakan pemerintah utuk
melindungi petani dari perlakukan
tidak adil oleh pedagang di pasar
gambir,
diperlukan
kebijakan
pemerintah
dalam
memperkecil
divergensi antara keuntungan privat
dan keuntungan sosial usaha tani
gambir (Syahni, 2004).
- Diperlukan
- Diperlukan
Moral pelaku yang
buruk,
petani
mencampur
gambir
sehingga
membuat
mutu
rendah,
pedagang pengumpul/
toke
membiarkan,
untuk
melakukan
penekanan harga
Syahni (2004);
Dhalimi
(2006);
Busharmaidi
(2007);
Sudjarmoko
(2008), Sa’id
(2011)
Akses informasi yang
lemah
(tertutup),
kurangnya informasi
pasar
internasional
mengenai harga riil
gambir
Busharmaidi
(2007);
Sudjarmoko,
dkk (2008);
Sa’id (2011)
kelembagaan were whouse
Receipt, yaitu lembaga yang akan
dapat meningkatkan daya tawar
produsen,
meningkatkan
sarana
komunikasi sehingga produsen punya
akses ke informasi harga, dan
penetapan standar mutu (Busharmaidi,
2007).
- Diperlukan
pembentukan jaringan
informasi dan analisa perdagangan
gambir,
penguatan
kemandirian
permodalan melalu kelembagaan
petani, penetapan dan sosialisasi
standarisasi mutu gambir, peningkatan
pengetahuan SDM dalam pengolahan
gambir (Dhalimi, 2006; Sa’id, 2011).
- Diperlukan
peningkatan aksebilitas
terhadap pasar melalui peningkatan
nilai output, peningkatan respon
terhadap mutu produk; informasi serta
meningkatkan peran organisasi petani
(Sudjarmoko (2008, Adi, 2011).
11
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas terlihat beberapa permasalahan pasar gambir
sehingga penting dilihat tindakan-tindakan kolektif yang telah terbentuk dan
disarankan nantinya untuk perbaikan pasar gambir. Tindakan-tindakan kolektif dilihat
melalui relasi modal sosial dan sinergi3 beberapa kelembagaan lokal yang terlibat
pada pasar gambir. Tindakan kolektif yang dihasilkan dari konsep-konsep modal
sosial telah banyak digunakan dalam masalah-masalah untuk isu-isu kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat (Woolcock, 2001; Fukuyama, 2001; Putnam, 1993, Heffner,
2000), tetapi konsep modal sosial untuk tidakan kolektif pada pasar pertanian
terutama di pedesaan belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian pasar dan
pemasaran gambir telah memperlihatkan bentuk-bentuk modal sosial yang dimiliki
individu dan aktor-aktor yang terlibat di pasar seperti kepercayaan, jaringan atau kerja
sama. Bentuk-bentuk modal sosial tersebut belum sampai pada tahap melakukan
tindakan kolektif terhadap permasalahan pasar gambir sehingga kepercayaan dan
kerja sama yang terjadi lebih sering merugikan petani dan menguntungkan
pengumpul (toke) atau pedagang eksportir (Busharmaidi, 2007; Afrizal, 2009, Adi,
2011).
Melihat permasalahan pasar gambir, penelitian ini menganalisis fungsi dan
kinerja modal sosial perspektif sinergi. Analisis Woolcock (1998) tentang sinergi
modal sosial terjadi dari jaringan dan interaksi kelompok bawah (bounding social
capital) dengan jaringan dan interaksi kelompok atas (bridging social capital dan
linking social capital) memunculkan bentuk-bentuk kinerja modal sosial. Kinerja
modal sosial terbaik atau tinggi disebut “beneficent autonomy” sedangkan kinerja
3
Konsep modal sosial tidaklah dipahami secara tunggal, melainkan mempunyai
dimensi yang multispektrum. Terdapat empat cara pandang modal sosial yakni;
komunitarian, jaringan, kelembagaan dan sinergi (jaringan dan kelembagaan), lihat
Woolcock dan Narayan (2000).
12
terburuk atau rendah disebut “anarchic individualism”. Penelitian modal sosial
perspektif sinergi kelembagaan selama ini lebih banyak dilakukan pada tataran makro
dan sinergi kelembagaan formal/pemerintah dan masyarakat sipil dalam proyekproyek pembangunan bersama dan kebijakan politik (Evans, 1996; 1997; Ostrom,
2000). Penelitian sinergi modal sosial kelembagaan lokal dalam tataran mikro (pasar
pertanian di pedesaan) serta dukungannya terhadap tindakan kolektif belum pernah
dilakukan.
Berdasarkan
permasalahan-permasalahan
serta
uraian-uraian
di
atas
beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah;
a. Bagaimanakah bentuk modal sosial yang berfungsi pada pasar gambir?
b. Apa faktor-faktor pendorong terbentuknya modal sosial yang berfungsi pada
pasar gambir?
c. Bagaimanakah kinerja modal sosial dalam menghasilkan tindakan kolektif
pada pasar gambir?
d. Apa saja bentuk tindakan kolektif yang dihasilkan pada pasar gambir?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini mengkaji fungsi dan kinerja modal sosial
dalam menghasilkan tindakan kolektif pada pasar gambir sedangkan secara khusus
tujuannya adalah sebagai berikut:
a. Mengindentifikasi dan menjelaskan bentuk modal sosial yang berfungsi pada
pasar gambir.
b.
Menganalisa faktor-faktor pendorong terbentuknya modal sosial yang
berfungsi pada pasar gambir.
13
c. Menjelaskan kinerja modal sosial dalam menghasilkan tindakan kolektif pada
pasar gambir.
d. Mengindentifikasi dan mendeskripsikan bentuk-bentuk tindakan kolektif yang
dihasilkan pada pasar gambir.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara teoritis menyumbang pengetahuan tentang konsep modal
sosial pada tataran mikro pasar pertanian. Penelitian ini juga menambah penjelasan
tentang konsep modal sosial yang dimiliki beberapa kelembagaan lokal di wilayah
pedesaan dalam menghasilkan tidakan kolektif. Seterusnya penelitian ini juga
memberikan sumbangan pengetahuan fungsi dan kinerja modal sosial dalam
menghasilkan tindakan kolektif untuk perbaikan fungsi dan mekanisme pasar
pertanian di wilayah pedesaan.
Secara praktis tindakan kolektif yang dihasilkan dapat menyelesaikan
beberapa masalah pasar gambir. Tindakan-tindakan kolektif tersebut dapat dijadikan
contoh dan masukan terhadap perbaikan (fungsi dan mekanisme) pasar gambir
khususnya, dan pasar petanian pada umumnya. Sehingga pasar-pasar pertanian lebih
kompetitif, mekanismenya berjalan dengan baik dan menguntungkan semua pihak
yang bertransaksi, terutama petani. Pasar pertanian yang kopetitif akan lebih
berkontribusi dalam meningkatkan pembangunan pertanian dan daerah.
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan rancangan studi multi
kasus. Studi multi kasus menjelaskan secara rinci dan mendalam persamaan dan
perbedaan fungsi serta kinerja modal sosial pada pasar gambir dalam menghasilkan
tindakan kolektif.
14
Download