relasi dinamis antara perusahaan dengan

advertisement
Masyarakat adalah mitra
penting dan utama dalam
kegiatan CSR.
Masyarakat lokal
memandang,bahwa sudah
merupakan hal yang
wajar dan kewajiban
perusahaan untuk
melaksanakan kegiatan
CSR bagi masyarakat,
karena perusahaan telah
mengeksploitasi sumber
daya alam ‘milik’
masyarakat. Dominasi,
signifikansi, dan
legitimasi dari relasi
ekonomi, relasi sosial,
relasi budaya cenderung
membuat masyarakat
tergantung pada
korporasi dan tidak
mandiri. Lemahnya fungsi
pemerintah pusat dan
daerah memperkuat
signifikasi, dominasi dan
legitimasi korporasi
terhadap masyarakat.
RELASI DINAMIS
ANTARA PERUSAHAAN
DENGAN MASYARAKAT LOKAL
Kajian Mengenai Kegiatan Tanggung Jawab Sosial
Industri Geothermal Kepada Masyarakat Lokal
SANTOSO TRI RAHARJO
UNPAD
PRESS
1
2013
RELASI DINAMIS
ANTARA PERUSAHAAN
DENGAN MASYARAKAT LOKAL
Kajian Mengenai Kegiatan Tanggung Jawab Sosial
Industri Geothermal Kepada Masyarakat Lokal
SANTOSO T. RAHARJO
UNPAD
PRESS
2013
ii
ISBN: 978-602-9238-49-5
RELASI DINAMIS
ANTARA PERUSAHAAN
DENGAN MASYARAKAT LOKAL
(Kajian Mengenai Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Industri Geothermal
Kepada Masyarakat Lokal)
© Santoso T. Raharjo
Hak cipta yang dilindungi ada pada penulis
Hak penerbitan ada pada Unpad Press
UNPAD
PRESS
UNPAD PRESS
Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang
Tlp.(022) 843 88812
Website: lppm.unpad.ac.id
Email:lppm.unpad.ac.id
Bandung, 2013
1 Jil., 287 hlm., 17,5 cm X 24 cm
ISBN: 978-602-9238-49-5
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbillalamin patut penulis panjatkan kehadirat Allah
Subhannahuwatala, karena proses penulisan buku ini. Buku ini merupakan
hasil penelitian lapangan yang ditujukan dalam rangka penyelesaian disertasi
penulis. Semoga penulisan buku ini dapat memberikan sumbangan akademis
dan guna laksana, baik bagi masyarakat, pemerintah dan pemerhati lainnya.
Ijinkanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak
yang berperan penting dalam proses penyusunan disertasi ini.
Ucapan terima kasih tak terhingga kepada Prof. H. Oekan Soekotjo
Abdoellah, MA., Ph.D, selaku ketua tim promotor atas bimbingan, interaksi
dan stimulan intelektual yang tak ternilai harganya. Demikian pula kepada
Prof. Dr. Drs. H. Asep Kartiwa, SH., MS. dan Dr. H. Soni Akhmad
Nulhakim, S.Sos., M.Si., selaku anggota tim promotor penulis yang telah
membimbing dan dengan pengetahuan yang tak ternilai, mengingatkan dan
terus menyemangati dengan penuh kesabaran dan kecermatan, sehingga
membawa penulis selalu fokus mengarungi kedalaman dunia ilmu melalui
pemahaman teoritik dan metodologi kritis.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr.
Drs. H. Haryo Martodirdjo; Prof. Drs. H. Sudardja Adiwikarta, MA., Ph.D;
dan Prof. Dr. Drs. H. Josy Adiwisastra; para oponen ahli yang telah hati-hati
memeriksa, memberikan saran perbaikan konstruktif, serta kritis.
Terima kasih yang tulus kepada Bapak Tig Yulianto dan Bapak
H.Yusep Akbar, selaku staf PGPA (Policy Goverments and Public Affair)
PT. Chevron Geothermal Indonesia dan Kang Hadiyan (LSM PUPUK
Bandung, perwakilan Garut) yang sudi meluangkan waktu di sela
kesibukannya untuk berdiskusi berkenaan dengan pengumpulan data di
lapngan. Serta ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Farhan Aditya,
S.Kesos, Dian Nugraha, S.Kesos, serta Addico Porsiana, S.Kesos., yang telah
membantu dan menemani penulis di lapangan.
Ucapan terima kasih rekan-rekan sejawat di Jurusan Ilmu
Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad yang selalu membantu untuk
mengingatkan penyelesaian studi, sekaligus mitra diskusi dalam penyelesaian
Program Doktor.
Khusus, penulis ucapan terima kasih kepada Bapak Drs. Budhi
Wibhawa, MS., sebagai sesepuh, orang tua, pembimbing, dan mitra yang
iv
memberi dukungan penuh dalam penyelesaian. Serta kepada Drs. Bambang
Hermanto, M.Si., yang selalu memberikan kemudahan dan dukungan.
Kepada Saudara-saudaraku, E. Supriyadi, Budi Maryanto, S.Pd, dan
Agus Pratikno, A.Md, serta Heni Nugraheni yang selalu memberikan
dorongan moril kepada penulis. Rasa terima kasih penulis haturkan kepada
Ibunda Marinah (almh) dan Ayahanda Mishan (alm) yang telah mendidik dan
menanamkan nilai-nilai kerja keras dan kesabaran yang tanpa lelah selalu
berjuang sepanjang hidup mereka, mencurahkan kasih sayang kepada anakanaknya. Demikian pula kepada ayahanda H. Ali Ratman dan ibunda mertua
Hj. Ida Badriyah, Amd., yang dengan sabar dan memotivasi penulis untuk
menyelesaikan studi ini, penulis ucapkan terima kasih.
Ucapan terima kasih kepada yang terkasih dan tersayang Nurliana
Cipta Apsari, S.Sos., MSW, yang dengan penuh pengertian dan pemahaman,
rasanya tidak mungkin naskah disertasi ini terwujud tanpa bantuan ‘mu ibu.
Terima kasih atas kesabaran, curahan pengertian, untuk terus saling berbagi
dalam suka dan duka. Untuk Arya Muhammad Rafi Raharjo dan Aslam Aulia
Raharjo, terima kasih atas kesabaran, pengertian, dan selalu menyemangati
penyelesaian studi ini.
Mudah-mudahan karya ini dapat memotivasi penulis untuk terus
berkarya dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa dan negara, serta
agama. Amiin...
Bandung, Oktober 2013
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................
KATA PENGANTAR .............................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................
DAFTAR TABEL....................................................................................
DAFTAR GAMBAR...............................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
BAB I
BAB II
i
iii
v
viii
x
xi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian………………………………….
B. Rumusan Masalah ................................................................
C. Tujuan Penelitian ………………………………………….
D. Manfaat Penelitian ...............................................................
E. Metode Penelitian ...............................................................
1. Metode yang Digunakan ...…………………………......
2. Sumber Data dan Penentuan Informan ….......................
3. Teknik Pengumpulan Data…………………………… ..
4. Instrumen Penelitian ……………………………………
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data . ………………
6. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................
1
10
12
13
15
15
16
19
21
22
24
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) ................
1. Instrumental CSR ...........................................................
2. Politik CSR ....................................................................
3. Integratif CSR ................................................................
4. Etik CSR ........................................................................
27
31
34
36
39
B. Relasi Dinamis Perusahaan dengan Masyarakat Lokal ......
C. Operasionaliasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan:
Struktur, Agen dan Praktik Sosial.........................................
1. Konsep Agen ..................................................................
2. Konsep Struktur .............................................................
3. Konsep Dualitas Struktur dan Praktik Sosial .................
4. Konsep Kesadaran ..........................................................
47
69
73
77
81
87
D. Kerangka Pemikiran dan Proposisi...................................... 91
vi
BAB III GAMBARAN MASYARAKAT LOKAL DAN
PERUSAHAAN: Kasus Desa Karya Mekar Kecamatan
Pasirwangi Garut dan PT. Chevron Geothermal Indonesia
(CGI) .......................................................................................
A. Kecamatan Pasirwangi ........................................................
B. Desa Karyamekar ............................................................. .
C. PT. Chevron Geothermal Indonesia ..................................
101
102
109
132
BAB IV PANDANGAN MASYARAKAT LOKAL AKAN
PERUSAHAAN DAN KEGIATAN CSR ............................ 135
A. Pandangan Masyarakat Lokal akan Kehadiran PT. Chevron
Geothermal Indonesia (CGI) ............................................. 135
1. Pengetahuan Masyarakat Lokal ..................................... 136
2. Pandangan Masyarakat Lokal........................................ 138
3. Inisiatif Masyarakat Lokal ............................................ 145
4. Alasan Masyarakat Lokal melakukan Aksi ................... 149
B. Operasionalisasi Kegiatan Tanggung Jawab Sosial PT.CGI
menurut Pandangan Masyarakat Lokal ............................ 154
1. Inisiatif Usulan Kegiatan ............................................. 154
2. Tahapan Kegiatan ....................................................... 159
C. Relasi Perusahaan dengan Masyarakat Lokal menurut
Masyarakat Lokal ............................................................
BAB V
PANDANGAN PERUSAHAAN AKAN KEGIATAN CSR
DAN MASYARAKAT LOKAL ..........................................
A. Pandangan Perusahaan akan Keberadaan Masyarakat
Lokal ...........................................................................
B. Operasionalisasi Kegiatan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (CSR) ........................................................
1. Landasan Etis Kegiatan CSR ................................
2. Fokus dan Mekanisme Kegiatan CSR ..................
3. Respon Perusahaan Menghadapi Masyarakat ......
4. Tantangan dan Hambatan.......................................
5. Harapan Perusahaan ..............................................
BAB VI RELASI DINAMIS ANTARA MASYARAKAT LOKAL
DENGAN PERUSAHAAN:
PERSPEKTIF STRUKTURASI.......................................
vii
181
187
187
190
194
198
231
234
243
249
A. Relasi Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan.............................................................
1. Pemahaman perusahaan : Contoh kasus PT. Chevron
Geothermal akan masyarakat lokal.............................
2. Kesadaran Perusahaan: Contoh kasus PT. Chevron
Geothermal Indonesia (CGI) dalam melakukan
kegiatan CSR.............................................................
251
254
256
B. Relasi Masyarakat Lokal Terhadap Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan ......................................................................
260
1. Pemahaman masyarakat local akan Perusahaan : Contoh
kasus warga Desa Karyamekar akan keberadaan PT.
Chevron Geothermal Darajat Garut............................ 263
2. Pemahaman masyarakat akan CSR: Contoh kasus warga
Desa Karyamekar terhadap program CSR PT. Chevron
Geothermal Darajat Garut ........................................... 265
C. Relasi Dinamis Antar Masyarakat Lokal dan Perusahaan
Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ..... 268
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................
A. Kesimpulan .......................................................................
B. Rekomendasi .....................................................................
1. Saran Akademik ...........................................................
2. Saran Praktis .................................................................
293
293
296
296
297
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………........ 301
LAMPIRAN ............................................................................................. 315
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Kategori Informan..............................................................
18
Tabel 2.
Fokus dan Aspek Kajian....................................................
19
Tabel 3.
Corporate social responsibilities theories and related .......
approaches....................................................................
42
Tabel 4.
Perbandingan Perspektif teoritis terhadap strategi CSR ...
47
Tabel 5.
Tipe Kelompok Sosial .......................................................
49
Tabel 6.
Kecenderungan Relasi Korporasi-Stakeholder..................
67
Tabel 7.
Operasionalisasi Konsep ”Keadilan dan Pemerataan” ......
68
Tabel 8.
Penggunaan Lahan di Kecamatan Pasirwangi ..................
103
Tabel 9.
Keadaan Penduduk Laki-laki, Perempuan dan KK di
Kecamatan Pasirwangi, 2012 ............................................
104
Tabel 10.
Jenis Mata pencaharian Penduduk kecamatan Pasirwangi
105
Tabel 11.
Kondisi Sarana dan Prasarana Pendidikan di kecamatan
Pasirwangi .........................................................................
106
Tabel 12.
Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pasirwangi ..................
107
Tabel 13.
Orbitrasi Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi..........
110
Tabel 14.
Jumlah Penduduk per Dusun Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi..........................................................................
113
Tabel 15.
Jumlah Penduduk menurut Usia Laki-laki dan Perempuan
Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi........................
114
Tabel 16.
Mata Pencaharian Penduduk di Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi .......................................................................... 115
Tabel 17.
Jumlah Penduduk menurut Pendidikan Desa Karyamekar
Kecamatan Pasirwangi.......................................................
116
Tabel 18.
Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan Desa Karyamekar
Kecamatan Pasirwangi.......................................................
117
Tabel 19.
Jenis Sumber Daya Alam Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi..........................................................................
ix
119
Tabel 20.
Tabel 21.
Tabel 22.
Tabel 23.
Tabel 24.
Kegiatan Usaha Ekonomi Masyarakat Desa Karyamekar
Kecamatan Pasirwangi........................................................
120
Kepemilikan Ternak oleh Masyarakat Desa Karyamekar
Kecamatan Pasirwangi........................................................
121
Sarana Keagamaan (Islam) Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi ..........................................................................
122
Sarana Olah Raga di Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi...........................................................................
123
Kelompok Kesenian dan Budaya di Desa Karyamekar
Kecamatan Pasirwangi .......................................................
124
Tabel 25.
Kelembagaan dan Organisasi di Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi .......................................................................... 125
Tabel 26.
Catatan Pembangunan Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi ..........................................................................
131
Deskripsi pelaksanaan program community engagement
unggulan bidang pendidikan dan pelatihan........................
204
Tabel 27.
Tabel 28.
Deskripsi bidang unggulan peningkatan ekonomi masyarakat
melalui pengembangan domba terpadu .............................
210
Tabel 29.
Deskripsi bidang unggulan local economic development
(LED) dan inisiatives economic engagement and
empowering (I3E)................................................................
230
Jenis Program dan Bantuan dari PT. Chevron Geothermal
Indonesia, menurut masyarakat local ..................................
276
Sejumlah Aksi atau Tuntutan Sosial Masyarakat kepada
PT. Chevron (yang terekam berita media massa) dalam
kurun 7 tahun terakhir .........................................................
280
Tabel 30.
Tabel 31.
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Struktur, Sistem dan Strukturasi .......................................... 80
Gambar 2.
Model Stratifikasi (tindakan) Agen (Giddens, 2010:8)........ 90
Gambar 3.
Dimensi-dimensi dualitas struktur (Giddens, 2010:46) ......
Gambar 4.
Kerangka Alur Pikir Relasi Perusahaan dengan Masyarakat
Lokal .................................................................................... 95
Gambar 5.
Struktur Departemen Policy Government and Public Affair
(PGPA) CGI , (sumber, Chevron: 2012) ........................... 191
Gambar 6.
Program Community Engagement CGI, Sebuah Pendekatan
Keberlanjutan Untuk Memberdayakan Komunitas
(sumber Chevron, 2010) ...................................................... 200
Gambar 7.
Program Education For Forestry Community - Ed4Comm
2009-2014, (Sumber: Chevron 2010) .................................. 203
Gambar 8.
Project Grand Design : Income Generation For Community
(IGP4Com) and Beneficiaries Target: Woman/Youth Farming
Labor (Chevron, 2010) ....................................................... 208
Gambar 9.
Roadmap – Pengembangan Ternak Domba terpadu,
(Chevron, 2010) .................................................................. 209
91
Gambar 10. Relasi ‘Agen’ Perusahaan - ‘Struktur’ kegiatan tanggung
jawab sosial perusahaan ..................................................... 253
Gambar 11. Relasi ‘Agen’ Masyarakat lokal – ‘Struktur’ kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan ..................................... 261
Gambar 12. Skema Relasi Dinamis antara Masyarakat Lokal dengan
Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan . (Sumber: Gidden, Gidden 2009, 2010,
modifikasi oleh peneliti, 2013)
270
Gambar 13. Alur proses pengusulan kegiatan masyarakat desa kepada
PT. CGI Menurut Masyarakat lokal ................................. 272
Gambar 14.
Alur proses dan tahapan program menurut PT. CGI ........ 273
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Peraturan Pemeritah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Lampiran 2 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal
Lampiran 3 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
Lampiran 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kehadiran industri tidak terlepas dari penerapan teknologi
modern dalam proses industrialisasi dan pengembangan industri, yang
secara langsung maupun tidak langsung akan membawa perubahan
baik fisik maupun non fisik (sosial-ekonomi) pada masyarakat
sekitarnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan
oleh Schneider (1986:429), bahwa
“..., industri tidak terlepas dalam keterisolasian. Sebaliknya,
industri kita berada dalam matriks sosial yang kita sebut
komunitas dan masyarakat, industri di satu pihak serta
komunitas dan masyarakat di lain pihak terus-menerus saling
mempengaruhi dengan berbagai cara”.
Dengan demikian kehadiran industri pada suatu komunitas atau
masyarakat tidak dapat dilepaskan dengan keadaan dan kondisi dari
masyarakat tersebut. Keberadaan industri di suatu daerah sedikit
banyak akan berpengaruh kepada masyarakat sekitar.
Perubahan yang berlangsung cepat di masyarakat sebagai akibat
perkembangan industri yang pesat ini di satu sisi telah membawa
dampak kemajuan yang berarti, terutama dalam mendorong percepatan
pertumbuhan ekonomi. Namun di lain pihak, perubahan itu pun tidak
luput pula membawa efek terhadap pergeseran tata nilai kehidupan
masyarakat yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, pembangunan
1
ekonomi dapat juga menimbulkan kemunduran nilai-nilai dalam
kehidupan masyarakat (Soemardjan, 1986).
Keberadaan industri di daerah tentunya akan berkaitan dengan
adanya nilai-nilai baru, sikap dan pola tingkah laku yang lebih
bercirikan perindustrian. Hal ini akan berbeda dengan masyarakat
sekitar yang lebih bercirikan tradisional. Perbedaan-perbedaan antara
masyarakat industri dan masyarakat sekitarnya yang terlalu mencolok
akan mengarah pada timbulnya gejolak-gejolak sosial. Dengan
demikian, proses penyesuaian dan penserasian sosial bagi industri dan
masyarakat sekitar menjadi begitu penting. Harapan adanya keserasian
ini tidak hanya milik dari masyarakat setempat, tetapi juga merupakan
harapan
pihak industri.
Sebab, dari adanya keserasian akan
menumbuhkan hubungan yang ‘mutualis’ antara industri dan
masyarakat sekitar. Keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan
melaksanakan
fungsinya
masing-masing
dan
saling
mengisi
kekosongan fungsi akan menimbulkan harmoni dalam masyarakat yang
pada akhirnya akan menciptakan social equilibrium (Soemardjan,
1986).
Atas dasar kesesuaian dan keserasian, maka industri sebagai
suatu unit produksi berteknologi tinggi sudah selayaknya berusaha
sedapat mungkin menempatkan diri pada lingkungan masyarakat
setempat, melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan.
Persoalannya
adalah
bagaimana
industri
membangun
dan
mengembangkan relasi yang saling menguntungkan dengan masyarakat
sekitar, dan bagaimana pula masyarakat sekitar mengembangkan pola
hubungan yang baik dengan industri tersebut.
2
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dapat
dipandang sebagai salah satu upaya membangun relasi yang baik atau
harmonis dengan masyarakat sekitar. Berbagai cara dan pendekatan
dilakukan oleh perusahaan dalam rangka membangun hubungan yang
serasi dengan masyarakat sekitar dalam lingkup tanggung jawab sosial
perusahaan kepada masyarakat sekitar.
Konsep CSR didasari oleh tiga prinsip dasar yang dikenal
dengan istilah triple bottom lines yang dikenal sebagai 3P (people,
profit, planet) yaitu kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian
keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia
(people) dan lingkungan (planet) agar keberadaan perusahaan dapat
tumbuh dan berkelanjutan. Pertimbangan implementasi CSR terkait
dengan
upaya
memenuhi
regulasi,
hukum
dan
aturan
yang
mengaturnya. Selain itu CSR juga berperan sebagai investasi sosial
perusahaan untuk mendapatkan image yang positif, sebagai bagian dari
strategi bisnis perusahaan, sehingga perusahaan memperoleh licence to
operate dari masyarakat setempat. Hal lain adalah sebagai bagian dari
risk management perusahaan untuk meredam atau menghindari konflik.
Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di
Indonesia diatur menurut Undang-Undang No. 40/2007 tentang
Perseroan
Terbatas
dan
Undang-Undang
No.25/2007
tentang
Penanaman Modal. Perusahaan yang wajib melaksanakan CSR,
berdasarkan UU PT tersebut yaitu:
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana
dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang
3
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan
yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun demikian kehadiran UU PT tersebut di kalangan dunia usaha
telah menimbulkan pro dan kontra. Sebagaimana dikemukakan oleh
Sukarmi (2008:11), bahwa.
Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut
sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam
Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat
keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. Pertanyaan yang
selalu muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi
sebuah kewajiban? Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar
kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam
perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak
atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur
sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR
juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi
kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan.
Dengan keluarnya UU PT No 40 tahun 2007, berikut dengan Peraturan
Pemerintah No 47 tahun 2012, maka konsep CSR yang semula
merupakan
kewajiban
moral,
menjadi
kewajiban
yang
dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum, tetapi khusus hanya perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan /atau berkaitan
dengan sumber daya alam. Bagi perseroan lainnya, CSR hanya
merupakan kewajiban moral.
Sebagai suatu ‘agent of development’, sangat penting bagi
industri untuk mengetahui kondisi-kondisi sosial budaya masyarakat
sekitar. Keberhasilan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh
4
pihak industri akan terlihat dari adanya interaksi yang ‘assosiatif’
antara pihak industri dengan masyarakat sekitar, sehingga tidak
menimbulkan gejolak-gejolak sosial. Akan tetapi, apabila kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan tidak terselesaikan dengan baik
maka akan dapat menimbulkan kondisi sosial yang kurang menunjang
terhadap keberadaan industri di tengah-tengah masyarakat.
Kegiatan-kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dengan
demikian membutuhkan pemahaman yang baik dan mendalam kondisi
masyarakat
setempat
perusahaan tersebut
dimana kegiatan tanggung jawab sosial
diwujudkan. Peran
serta masyarakat
dan
stakeholder menjadi penting untuk dilibatkan dalam kegiatan tersebut.
Tanggung jawab sosial perusahaan masyarakat merupakan suatu proses
yang bergerak dan bertalian dengan sumber-sumber yang ada di
masyarakat, yang saat ini mulai dimanfaatkan secara maksimal oleh
perusahaan dan industri.
Konsep CSR dipopulerkan pada tahun 1953 dengan diterbitkan
buku yang bertajuk “Social Responsibility of the Businessman” karya
Howard R. Bowen
yang kemudian dikenal dengan bapak CSR
(Garriga & Mele, 2004). Gema CSR mulai berkembang pada tahun
1960-an dimana persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan
mulai mendapat perhatian lebih luas dari berbagai kalangan.
Perkembangan konsep CSR kemudian diperkuat pada KTT
Bumi (earth summit), tahun 1992 di Rio De Janeiro menegaskan
konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang
didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi
dan sosial sebagai hal yang harus diimplementasikan. Lalu, World
Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di
5
Yohannesberg,
Afrika
Selatan
memunculkan
konsep
Social
Responsibility yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic
and environment sustainability. Kemudian rencana diberlakukannya
sertifikasi ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility
pada tahun 2010. Dalam draft akhir (final draft) ISO 26000 berkaitan
dengan labour practices, fair operating practices, consumer issues, the
environment, community involvement and development dan human
rights. Rangkaian tersebut mendorong banyak kalangan menaruh
perhatian lebih terhadap perlunya kajian-kajian mengenai tanggung
jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar.
Sejumlah penelitian telah dilakukan berkaitan dengan relasi antara
korporasi dengan masyarakat sekitar melalui kegiatan tanggung jawab
sosial perusahaan, baik itu relasi yang positif maupun negatif (konflik)
(sebagai contoh, Suharto, 2010; Idemudia, 2009; Eweje, 2007; Imbun,
2007; Wahyudi & Muzni, 2005; Prayogo, 2004, Ngadisah, 2002),
namun kesemua penelitian tersebut belum menyentuh persepsi atau
pandangan masyarakat sekitar mengenai tanggung jawab sosial
perusahaan yang berada di lingkungan sekitar mereka.
Ada pula penelitian CSR dari sudut pandang komunikasi, seperti
misalnya (Chariri & Nugroho, 2009; Harmoni, 2009) kedua penelitian
tersebut mengungkapkan pentingnya pelaporan CSR dalam rangka
membangun imej perusahaan, namun kedua penelitian tersebut masih
bersifat informatif saja, sehingga rekomendasi yang dihasilkan adalah
menekankan pada pentingnya komunikasi yang terjalin antara pihak
perusahaan dengan para stakeholder.
Sementara itu, penelitian yang berkaitan dengan CSR dalam
industri ekstraktif (sebagai contoh Tahyudin, 2001; Ngadisah, 2002;
6
Alfitri, Yenrizal, & Hakim, 2004; Nanlohy, 2005; Wahyudi & Muzni,
2005; Alfitri, 2010) memunculkan fakta mengenai kurang harmonisnya
relasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, dan bahwa
perusahaan
melaksanakan
CSR
tanpa
melibatkan
masyarakat,
mengakibatkan program CSR yang dilaksanakan perusahaan selalu
berujung pada ketidakpuasan masyarakat terhadap perusahaan tersebut.
Sejumlah penelitian yang telah dilakukan tersebut, belum memetakan
secara tegas mengenai pandangan dan pemahaman masyarakat lokal
serta pihak perusahaan dalam melihat program tanggung jawab sosial
perusahaan. Berdasarkan hal inilah, maka penelitian ini berupaya
memetakan relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal,
khususnya pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dari
sudut pandang masyarakat lokal dan pihak perusahaan. Kemudian
dalam kajian sosiologi belum banyak penelitian yang mencoba
memetakan relasi perusahaan dengan masyarakat lokal, khususnya
dengan menggunakan teori struktur–agen (Giddens 1999, 2006, 2010,
dan 2011). Oleh karena itu, urgensi penelitian ini adalah memperkaya
kajian-kajian sosiologis tentang CSR yang telah ada pada industri
ektraktif di Indonesia, khususnya dengan menggunakan kerangka teori
struktur-agen
yang memang masih
terbatas.
Kajian
sosiologi
kontemporer khususnya dengan menggunakan kerangka teori strukturagen Giddens dalam melihat relasi sosial antara masyarakat dengan
perusahaan melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Sejumlah isu muncul berkaitan dengan kehadiran perusahaan di
dalam lingkungan dan masyarakat, apalagi pada industri yang
memanfaatkan sumber daya alam. Isu-isu tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh Crowther David (2008:29), antara lain:
7
1. The utilization of natural resouces as a part of its production
processes
2. The effect of competition between it self and other organizations
in the same market
3. The enrichment of a local community throught the creation of
employment opportunities.
4. Transformation of the landscape due raw material extraction or
waste product storage
5. The distribution of wealth created within the firm to the owners
of that firm (via dividends) and the workers of that firm
(throught wages) and the effect of this upon the welfare of
individuals.
6. And more recently the greatest concern has been with climate
change and the way in which the emission of greenhouse are
exacerbating this.
Pelaksanaan otonomi daerah juga memunculkan persoalan
tersendiri yang harus dihadapi oleh perusahaan multinasional di daerah.
Seiring pula dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hakhaknya untuk turut serta mengatur penyelenggaraan negara, masyarakat
mulai ingin memperoleh manfaat dari keberadaan perusahaan yang
beroperasi di daerahnya. Perusahaan nasional maupun multinasional
dituntut untuk memberikan kontribusi langsung pada pemenuhan
kebutuhan masyarakat, antara lain melalui pemberdayaan masyarakat di
tempat mereka melakukan operasi. Hal ini didukung oleh tuntutan
penerapan konsep tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) baik secara lokal melalui berbagai aksi masyarakat,
secara nasional melalui legitimasi hukum, serta iklim perindustrian di
seluruh penjuru dunia. Seluruh perusahaan diminta untuk mewujudkan
tanggung jawab sosialnya tidak lagi semata-mata bekerja untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal atau
8
pemegang saham, melainkan juga memberikan manfaat pada
masyarakat pada umumnya dan pada komunitas sekitar khususnya.
Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang timbul akibat
berdirinya suatu kawasan industri, mengharuskan perusahaan untuk
bertanggung jawab kepada publik melalui aktivitas yang nyata.
Bentuk pemberian dari para perusahaan dikenal dengan semangat
filantropi. Philanthropy atau kedermawanan, memiliki arti kebaikan
hati yang diwujudkan dalam perbuatan baik dengan menolong dan
memberikan sebagian harta, tenaga maupun pikiran secara sukarela
untuk kepentingan orang lain. Sumbangan, amal, derma memang
merupakan salah satu bentuk dari filantropi, namun barulah tahap yang
paling awal. Bentuk akhir dari filantropi adalah sebagai investasi: yaitu
investasi sosial (Ibrahim, 2005). Berdasarkan dari filantropi tersebut
maka pelaku bisnis yang memiliki perusahaan besar maupun kecil
(korporat) memiliki tanggung jawab untuk turut mengembangkan
masyarakat di sekitarnya untuk menghindari terjadinya ketimpangan,
kesenjangan serta kecemburuan sosial yang dapat mengakibatkan
disharmonisasi sosial. Namun Paradigma tanggung jawab sosial
perusahaan tesebut perlu disikapi secara positif oleh seluruh perusahaan
untuk menjaga keberlanjutan usahanya. Dalam penerapan CSR oleh
perusahaan, perlu hati-hati dan cara-cara yang benar agar tidak
memperkuat kondisi relasi ketergantungan dari masyarakat akan
kehadiran perusahaan. Keuntungan-keuntungan yang secara otomatis
didapat dari pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat di sini
adalah
adanya
mengurangi
pengurangan
biaya,
resiko,
membangun
sumber
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
9
meningkatnya
daya
good
will,
manusia,
serta
Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut dan
Chevron Geothermal Indonesia (CGI) menjadi lokus dari penelitian
relasi antara masyarakat lokal dengan perusahaan ini. Pemilihan lokasi
penelitian tersebut memenuhi kebutuhan penelitian sebagai berikut,
pertama
PT.
CGI
merupakan
perusahaan
ekstraktif
yang
menyelenggarakan program CSR, kedua di Desa Karyamekar mewakili
masyarakat lokal yang hidup di sekitar lokasi perusahaan dalam hal ini
yang menyelenggarakan kegiatan CSR.
B. Rumusan Masalah
Keberadaan perusaaan di tengah lingkungan masyarakat
berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap lingkungan
eksternal yaitu masyarakat. Eksistensi perusahaan berpotensi besar
mengubah lingkungan masyarakat, baik ke arah negatif maupun positif.
Dengan demikian perusahaan perlu mencegah timbulnya dampak
negatif, karena hal tersebut dapat memicu konflik dengan masyarakat,
yang selanjutnya dapat mengganggu jalannya perusahaan dan aktifitas
masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat
setempat akibat dari keberadaan industri, pada akhirnya menuntut
masyarakat setempat untuk menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan yang terjadi di sekelilingnya baik secara sosial, ekonomi,
politik dan budaya. Jika proses penyesuaian diri masyarakat setempat
mengalami hambatan sebagai akibat dari ketidakmampuan anggotaanggota masyarakat untuk menyesuaikan diri, atau ketidakmampuan
lingkungan sekitar menyediakan sumber yang dibutuhkan oleh
masyarakat, atau juga perpaduan dari keduanya; maka dapat
10
diperkirakan mereka akan mencari sumber-sumber saluran perubahan
lain yang belum tentu baik dan cocok buat mereka, seterusnya akan
menimbulkan masalah sosial. Peran serta industri dalam kegiatan
pengembangan masyarakat sebagai wujud tanggung jawab sosial
perusahaan yang ditujukan pada masyarakat setempat diharapkan dapat
membantu
proses
penyesuaian
masyarakat
setempat
terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya.
Relasi antara perusahaan dengan komunitas di kawasan operasi
perusahaan di Indonesia dapat merupakan relasi yang dinamis, artinya
dapat berubah seiring perubahan kepentingan, perubahan kondisi
lingkungan dan politik lokal. Kendati memiliki karakteristik yang amat
jauh berbeda antara korporasi dan masyarakat lokal namun keberadaan
perusahaan di antara komunitas atau masyarakat sekitar merupakan
kondisi yang tidak terelakkan. Keberadaan perusahaan multinasional
yang notabene (sebagian besar) merupakan perusahaan asing yang
dikelola bukan oleh warga setempat kerap menimbulkan berbagai
permasalahan besar yang berkaitan dengan perbedaan kepentingan
yang tidak difahami oleh kedua belah pihak. Hal tersebut disebabkan
keberadaan perusahaan di tengah-tengah komunitas berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya alam serta ekonomi masyarakat. Selanjutnya
hal tersebut akan merembet pada permasalahan sosial-budaya dan
politik masyarakat setempat.
Dinamika relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal amat
tergantung pada kesadaran masyarakat lokal akan kehadiran perusahaan
di tengah-tengah mereka. Demikian pula sebaliknya pandangan dan
kesadaran perusahaan akan keberadaan masyarakat lokal akan
menentukan
cara-cara
perusahaan
11
membangun
relasi
dengan
masyarakat sekitar. Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan
permasalahan penelitian ini adalah bagaimana perusahaan dan
masyarakat lokal membangun relasi melalui operasionalisasi kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan. Dari rumusan tersebut kemudian
memunculkan dua isyu atau masalah utama yaitu
1) Bagaimana pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan sebagai media relasi antara masyarakat dan
perusahaan.
2) Bagaimana model relasi dinamis dari upaya masyarakat lokal
dan perusahaan membangun relasi melalui operasionalisasi
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dalam kerangka
teori struktur-agen.
C. Tujuan Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk memahami secara lebih
mendalam mengenai pola relasi yang terbangun antara perusahaan
dengan masyarakat setempat melalui kegiatan (CSR) coorporate social
responsibility.
Tujuan penelitian ini diharapkan dapat menjawab persoalan
yang muncul berkaitan dengan implementasi program tanggung jawab
sosial perusahaan sebagai media relasi perusahaan dengan masyarakat
setempat. Beberapa tujuan penelitian yang ingin diperoleh antara lain:
1) Tergambarkannya pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan sebagai media relasi antara masyarakat dan
perusahaan.
12
2) Tergambarkannya model relasi dinamis dari upaya masyarakat
lokal
dan
perusahaan
membangun
relasi
melalui
operasionalisasi kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan
dalam kerangka teori struktur-agen.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
1) Diharapkan
memperkaya
penggunaan
teori
sosiologi
kontemporer khususnya teori struktur-agen Giddens yang dapat
menjelaskan
hubungan
struktur
perusahaan (CSR) dengan
agen
tanggung
jawab
masyarakat
sosial
lokal dan
perusahaan dalam konteks Indonesia.
2) Diharapkan dapat memunculkan model relasi yang terjadi
antara struktur-agen, dan antar agen dalam kegiatan tanggung
jawab sosial perusahaan industri ekstraktif.
3) Diharapkan akan memunculkan model kegiatan corporate
social responsibility (CSR) yang sesuai dengan kondisi sosial
masyarakat setempat
2. Manfaat Praktis
1) Bagi Masyarakat
Kajian ini diharapkan bermanfaat bagi peningkatan pemahaman
masyarakat akan keberadaan industri ektraktif berikut dampak
yang ditimbulkannya, sehingga dapat membangun hubungan
yang harmonis (serasi) diantara kedua pihak. Sehingga lebih
13
jauh lagi masyarakat setempat dapat berperan serta dalam
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, khususnya pada
kegiatan yang terkait dengan kebutuhan masyarakat setempat
2) Bagi Perusahaan
Kajian ini akan bermanfaat untuk keberlanjutan perusahaan;
menjadi acuan dan informasi dalam mengembangkan programprogram tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat.
3) Bagi Pemerintah
Terdapat peningkatan pemahaman akan pentingnya keberadaan
industri besar ekstraktif sebagai mitra pembangunan baik pusat
maupun di daerah. Sejalan peningkatkan pemahaman tersebut,
diharapkan
akan
tercipta
koordinasi
yang
baik
dalam
pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dengan kegiatan
pembangunan masyarakat.
Pemerintah pusat dan daerah dapat memanfaatkan kajian
ini sebagai acuan data dan informasi dalam merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi suatu proyek pembangunan
yang lebih sinergis, sehingga tidak saling tumpang tindih tetapi
saling menguatkan. Pemerintah dapat menfasilitasi peran serta
perusahaan dan masyarakat, khususnya masyarakat setempat
(sekitar industri), pada kegiatan pembangunan agar tercipta
kegiatan pembangunan yang berkesinambungan dan sesuai
dengan potensi serta kebutuhan masyarakat.
14
E. Metode Penelitian
1. Metode yang Digunakan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, merujuk pada
penjelasan Creswell (2002:4) tentang asumsi pendekatan kualitatif
dengan mempertimbangkan realitas subyektif yang dianut oleh obyek
penelitian, dalam hal ini relasi yang terjadi antara korporasi dengan
masyarakat lokal. Pemilihan pendekatan kualitatif digunakan untuk
mencari informasi yang mendalam tentang kesadaran masyarakat lokal
akan keberadaan perusahaan dan upaya membangun hubungan dengan
perusahaan, serta kesadaran perusahaan akan keberadaan masyarakat
lokal dan kegiatan tangggung jawab sosial perusahaan dalam
membangun relasi dengan masyarakat sekitar.
Metode studi kasus yang digunakan peneliti, dalam rangka
mendalami unit-unit sosial terkecil seperti organisasi dan berbagai
bentuk unit sosial lainnya secara komprehensif, intens, rinci dan
mendalam. Studi kasus digunakan dalam penelitian ini untuk menggali
fenomena relasi industri yaitu PT. Chevron Geothermal Indonesia
dengan masyarakat
sekitar melalui
kegiatan
corporate social
responsibility-nya sebagai sebuah kasus, dengan mengumpulkan
informasi rinci dan mendalam dengan menggunakan prosedur
pengumpulan data.
Obyek penelitian ini
adalah relasi
perusahaan dengan
masyarakat sekitar yang dipilah menjadi 2 (dua) bagian. Pertama,
upaya masyarakat lokal membangun relasi dengan perusahaan untuk
melihat bagaimana kesadaran masyarakat lokal lingkungannya melalui
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam membangun
15
relasi dengan masyarakat sekitar, kedua kesadaran masyarakat setempat
dalam melihat dan merespon keberadaan perusahaan agar diperoleh
informasi mengenai cara-cara masyarakat lokal dalam membangun
relasi dengan perusahaan, dan ketiga informasi lainnya dari pihak
pemerintah setempat dan lembaga swadaya masyarakat dalam melihat
relasi industri dengan masyarakat setempat, agar diperoleh informasi
mengenai pandangan lain akan relasi tersebut.
Unit analisisnya adalah masyarakat setempat (komunitas) dan
perusahaan untuk melihat relasi dinamis yang muncul antara
perusahaan dengan masyaakat setempat.
2. Sumber Data dan Penentuan Informan
Data yang dibutuhkan meliputi data tentang upaya-upaya
perusahaan dan masyarakat setempat dalam membangun relasi, serta
pola relasi yang terbentuk antara perusahaan dengan masyarakat
setempat.
Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dapat
dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer
dapat diperoleh melalui wawancara dengan informan dan hasil
pengamatan di lapangan. Sedangkan data sekunder yang dibutuhkan
berupa catatan-catatan tertulis, gambar, grafik, kliping koran dan
rekaman, demikian pula dengan media elektronik.
Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek
penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek
penelitian (Bungin, 2008:76). Pemilihan dan jumlah informan yang
dibutuhkan didasarkan pada kesesuaian informan yang diteliti atau
16
dimintai keterangan dengan masalah yang diteliti dan kecukupan
informasi yang sudah diperoleh dan tidak ada informasi baru lagi
(Sarwono, 2006:6). Oleh karena itu, seleksi sampel dalam penelitian
kualitatif tidak statis, melainkan bersifat dinamis, dari fase ke fase,
berurut (sequential), berkembang (developmental), dan kontekstual
(Alwasilah, 2002:148). Dalam penelitian ini informan diambil dengan
cara purposeful sampling yaitu pengambilan sampel dengan maksud
tertentu dari penyeleksian kasus yang kaya informasi untuk dikaji
dengan mendalam (Patton, 1991:81).
Pemilihan informan bukan bergantung pada jumlah informan
yang diambil, namun lebih pada sejauhmana data dan informasi tentang
relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal yang diperoleh
mampu menjawab permasalahan. Sifat sampling ini disebut juga
criterion based selection (Goetz dan Comte dikutip Moleong, 1999:22)
Untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, maka data dari
informan yang mengetahui secara mendalam tentang pola relasi yang
terjadi antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Untuk itu pada
penelitian ini informan dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1. Informan kunci
Informan kunci yaitu informan yang mengetahui secara
mendalam mengenai permasalahan yang dikaji dalam penelitian
ini, informan kunci dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh
masyarakat setempat baik formal, serta pihak perusahaan.
2. Informan biasa
Informan biasa yaitu anggota masyarakat setempat lainnya yang
mengetahui fenomena relasi yang terjadi antara masyarakat
setempat (lokal) dengan perusahaan, khususnya kegiatan
17
tanggung jawab sosial PT. Geothermal kepada masyarakat
lokal.
3. Informan pendukung
Informan-informan lainnya baik formal maupun informal baik
pemerintah daerah setempat atau organisasi masyarakat lainnya
yang mengetahui tentang pelaksanaan kegiatan tanggung jawab
sosial perusahaan kepada masyarakat setempat.
Informan-informan dalam penelitian ini terdiri dari warga
masyarakat lokal yang merupakan penduduk asli masyarakat Desa
Karyamekar, yang terdiri dari orang dewasa, tokoh pemuda, tokoh
masyarakat, para ibu. Kemudian terdapat pula informan dari aparat
pemerintah, baik dari desa, dan dua kecamatan; kemudian dari pihak
perusahaan dan LSM mitra perusahaan.
Tabel 1
Kategori Infoman
Kategori informan
Pihak Perusahaan (PP)
Pemerintah Desa (PD)
Pemerintah Kecamatan (PK)
LSM (LS)
Tokoh Masyarakat (TM)
Tokoh Pemuda (TP)
Warga Masyarakat (WM)
Jumlah Total
18
Jumlah (orang)
2
2
3
2
4
4
8
25
Tabel 2 Fokus dan Aspek Kajian
Fokus Penelitian
Aspek-aspek
Upaya perusahaan
membangun relasi
dengan masyarakat lokal
Kesadaran perusahaan terhadap masyarakat
lokal
Kesadaran perusahaan tentang upaya/
program membangun hubungan harmonis
dengan masyarakat lokal
Jenis dan cara perusahaan membangun
hubungan dengan masyarakat lokal
Upaya komunitas lokal
(membangun relasi)
interaksi dengan
perusahaan
Kesadaran perusahaan terhadap masyarakat
lokal
Kesadaran perusahaan tentang upaya/
program membangun hubungan harmonis
dengan masyarakat lokal
Jenis dan cara perusahaan membangun
hubungan dengan masyarakat lokal
Apakah program CSR
telah mempertimbangkan
kebutuhan masyarakat
lokal
(Manfaat, Kesesuaian,
Keberlanjutan, Dampak,
Organisasi)
Proses kegiatan
Kebutuhan sosial, ekonomi dan
kemasyarakatan
Kebutuhan infrastruktur, dan lingkungan
fisik
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan untuk menjelaskan penelitian ini
dikumpulkan dari dua sumber utama, yaitu sumber data primer (melalui
wawancara dan observasi) dan data sekunder (dokumen-dokumen).
Untuk mengetahui upaya perusahaan membangun relasi dengan
masyarakat setempat melalui program tanggung jawab sosial (CSR)
19
dari pihak perusahaan dilakukan dengan wawancara dan studi
dokumentasi, untuk menelaah upaya masyarakat membangun relasi
dengan perusahaan dengan wawancara. Sedangkan untuk mengetahui
bagaimana
program
mempertimbangkan
tanggung
kebutuhan
jawab
sosial
masyarakat
perusahaan
setempat
dapat
menggunakan teknik wawancara dan pengamatan. Sebagaimana
menurut Koentjaraningrat (1979:130), pengumpulan data dalam
penelitian dilakukan melalui pengamatan dan wawancara serta studi
dokumentasi.
Untuk memperoleh data primer dalam penelitian ini, peneliti
dapat memperolehnya dari:
1. Pengamatan (observasi)
Cara ini digunakan untuk mengetahui hubungan (struktur sosial)
antara masyarakat sekitar dengan korporasi melalui tindakan
dan hasil dari tindakan relasi tersebut.
2. Wawancara mendalam
Merujuk pada penjelasan Moleong (1999:135), peneliti
melakukan wawancara mendalam, dengan maksud untuk
mengumpulkan data
ditanyakan
dalam
secara akurat. Tema pokok
wawancara,
diantaranya
yang
menyangkut
beberapa hal sebagai berikut:
a) Upaya
perusahaan
membangun
relasi
dengan
masyarakat setempat melalui program tanggung jawab
sosial (CSR).
b) Upaya
masyarakat
perusahaan.
20
membangun
relasi
dengan
c) Bagaimana program tanggung jawab sosial perusahaan
mempertimbangkan kebutuhan masyarakat setempat.
d) Pola relasi yang terjadi antara perusahaan dengan
masyarakat setempat.
3. Studi dokumentasi
Untuk memperoleh data sekunder, dapat diperoleh dari pihak
pemerintah daerah yang terkait erat dengan isyu tanggung
jawab sosial perusahaan, serta pemerintah desa dan kecamatan
yang berkait dengan bukti-bukti dari relasi dinamis. Kemudian
pihak perusahaan, yaitu berkaitan dengan dokumen tanggung
jawab sosial perusahaan. .
4. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian mengenai relasi antara perusahaan dengan masyarakat
lokal khususnya mengenai pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial
PT. Chevron kepada masyarakat sekitar ini dipergunakan sejumlah alat
(instrumen) pengumpulan data, yaitu:
a. Pedoman wawancara (guide interview) disusun berdasarkan
kategori informasi yang telah ditentukan sebelumnya, agar proses
wawancara dapat menggali informasi sesuai tujuan penelitian.
b. Pedoman Observasi, merupakan panduan bagi peneliti terhadap
objek penelitian agar data yang terkumpul sesuai dengan tujuan
penelitian.
c. Catatan lapangan, yaitu catatan tertulis tentang apa yang didengar,
dilihat, dialami dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data
dan refleksi terhadap data dalam penelitian.
21
Alat bantu yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain tape
recorder dan mp3. Perekaman dengan menggunakan tape recorder
dan mp3 sangat penting karena dapat digunakan untuk menilai/
memperkirakan asumsi-asumsi dan kemungkinan-kemungkinan tujuan
yang ingin dicapai. Dengan rekaman maka peneliti dapat menemukan
hal hal yang mungkin luput dari perhatian peneliti atau mungkin
mengingatkan hal-hal yang terlupakan.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Prosedur analisis data kualitatif dalam penelitian tentang
operasionalisasi kegiatan tanggung jawab sosial PT. Geothermal ini
dilakukan, setelah data diperoleh melalui proses wawancara, observasi
dan studi dokumentasi yang dikumpulkan dari lapangan. Selanjutnya,
data dianalisa supaya dengan segera menemukan proposisi untuk
mengarahkan peneliti pada pengumpulan data selanjutnya. Data
terkumpul selanjutnya diproses seiring berjalannya proses penelitian,
sehingga apabila mendapatkan kekurangan dalam menggali data maka
dapat langsung ditanyakan kembali pada informan untuk melengkapi
kekurangannya. Data yang diperoleh dapat dianalisis melalui tahapan
sebagai berikut:
a) Kategorisasi dan mereduksi data, yaitu data yang diperoleh
berupa informasi penting terkait penelitian, selanjutnya
dikelompokkan sesuai dengan topik permasalahan yang
dibahas;
b) Pengelompokkan data, yaitu data yang telah dikelompokkan
disusun dalam bentuk narasi. Data dikelompokkan pada objek
22
penelitian tentang relasi dinamis antara perusahaan dengan
masyarakat setempat, yang dikelompokkan dalam masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Upaya
perusahaan
membangun
relasi
dengan
masyarakat setempat melalui program tanggung jawab
sosial (CSR).
2. Upaya
masyarakat
membangun
relasi
dengan
perusahaan.
3. Bagaimana program tanggung jawab sosial perusahaan
mempertimbangkan kebutuhan masyarakat setempat.
4. Pola relasi yang terjadi antara perusahaan dengan
masyarakat setempat.
c) Verifikasi data yaitu data yang telah diinterpretasi dicek
kembali
pada
informan
untuk
menghindari
kesalahan
interpretasi dari hasil wawancara dengan sejumlah informan
penelitian.
d) Interpretasi data yaitu dengan menganalisis data yang telah
dikelompokkan sesuai dengan obyek penelitian.
e) Penarikan kesimpulan, yaitu berdasarkan proposisi yang
dibangun dari interpretasi data, sehingga dijadikan jawaban atas
masalah penelitian.
Untuk keabsahan data yang didapatkan dari lapangan, maka
peneliti menggunakan teknik triangulasi data dan metode. Triangulasi
data dilakukan dengan jalan membandingkan data yang diperoleh dari
berbagai informan, melalui cara:
23
a) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakan secara pribadi
b) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang lain.
Sementara itu, triangulasi metode dilakukan dengan cara menggunakan
berbagai teknik pengumpulan data yaitu wawancara langsung,
observasi non partisipasi dan studi dokumentasi:
a) Membandingkan apa yang dikatakan informan dengan hasil
pengamatan peneliti di lapangan.
b) Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang
berkaitan dengan penelitian.
6. Lokasi, dan Waktu Penelitian
Alasan pemilihan lokasi penelitian 1) Perusahaan yang
menyelenggarakan program CSR, dalam hal ini PT. Chevron
Geothermal Indonesia, 2) Masyarakat yang berada di sekitar lokasi
perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan CSR, yaitu desa-desa
yang berdekatan dengan lokasi perusahaan; dan 3) Pemerintah Daerah
Kabupaten Garut. Dengan waktu penelitian selama 10 bulan
Penelitian secara terencana dilakukan pada beberapa tahap
sebagai berikut:
a. Tahap persiapan
Tahap ini peneliti mempelajari berbagai fenomena relasi antara
perusahaan dengan masyarakat lokal yang diteliti, hingga
menemukan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.
Dalam tahap persiapan ini juga termasuk penyusunan Usulan
24
Penelitian, Seminar Usulan Penelitian, dan dilanjutan dengan
perbaikan usulan penelitian berikut isntrumen pengumpulan
data.
b. Tahap pengumpulan data
Dalam tahap ini pengumpulan data utama mengenai relasi
perusahaan dengan masyarakat lokal
dilakukan melalui
wawancara dan pengamatan. Demikian pula dengan data
sekunder yang mendukung data utama dan sesuai dengan
kebutuhan penelitian dikumpulkan.
c. Tahap pengolahan data
d. Tahap penulisan laporan
e. Proses konsultasi
f. Diseminasi
25
26
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
A.
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR)
Batasan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau
Corporate Social Responsibility (CSR) yang dikemukakan oleh para
ahli berbeda-beda, sesuai dengan sudut pandang dan pemahaman
masing-masing mengenai CSR. Namun demikian perlu dikemukakan
beberapa definisi, sebagai koridor dan memagari kajian mengenai CSR.
Berikut definisi CSRyang dikemukakan oleh Pemerintah Inggris,
“The voluntary actions that business can take, over and above
compliance with minimum requirements, to address both its
own competitive interest and interests of wider society”
(www.csr.gov.uk UK Government)
Lebih lanjut World Business Council and Sustainability Development
(WBCSD), memberikan pengertian tanggung jawab sosial perusahaan
sebagai berikut:
“The continuing commitment by business to behave ethically
and contribute to economic development while improving the
quality of life of the workforce and their families as well as of
the local community and society at large”(WBCSD, 1999,
Business Association)
Pendapat tanggung jawab sosial lainnya dikemukakan dalam www.csrasia.com , sebagai berikut:
27
“A company’s commitment to operating in an economically,
socially, and environmentally sustainable manner while
balancing the interests of the diverse stakeholders”(www.csrasia.com, social enterprise)
Definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya keragaman
dalam mengartikan dan mengimplementasikan CSR, sehingga, hingga
saat ini tidak ada terdapat kesepakatan mengenai batasan tanggung
jawab sosial perusahaan (McWilliams, et.al., dalam Radyati, M.R. &
Nindita. 2008). Namun demikian terdapat suatu pemahaman yang sama
di masyarakat Eropa mengenai CSR, sebagaimana pernyataan berikut:
“There is broad agreement in Europe on the definition of CSR
as a concept whereby companies integrate social and
environmental concerns – on a voluntary basis- into their
business operations as well as their interactions with
stakeholders”.(European Communities 2007)
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat ditarik inti bahwa
CSR merupakan konsep sebagai berikut:
1. Perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan
sosial dan lingkungannya
2. Berdasarkan prinsip sukarela
3. Kegiatan bisnis dan interaksi dengan pemangku kepentingan
harus memperhatikan persoalan sosial dan lingkungan
Setidaknya ada 2 (dua) landasan berkenaan dengan corporate
social responsibility (CSR) yaitu berasal dari etika bisnis (bisa
berdasarkan agama, budaya atau etika kebaikan lainnya) dan dimensi
sosial dari aktivitas bisnis. CSR atau sering diartikan sebagai “being
socially responsible” jelas merupakan suatu cara-cara yang berbeda
28
untuk orang yang berbeda dalam negara yang berbeda pula. Artinya
penerapan CSR di masing-masing negara harus disesuaikan dengan
konteks sosial dan lingkungannya. Sehingga perlu kehati-hatian dalam
menerapkan konsep CSR dari negara-negara maju di negara-negara
yang sedang berkembang (Frynas, 2009).
Blowfield dan Frynas (2005) mengibaratkan CSR sebagai
sebuah ‘payung’ bagi beragam teori dan praktek yang mengakui dan
memahami persoalan-persoalan berikut:
(a) Bahwa
perusahaan
memiliki
tanggung
jawab
terhadap
dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan alam, yang
terkadang lebih jauh lagi sekedar memenuhi aspek legal dan
pertanggungjawaban individual.
(b) Bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab untuk
berperilaku dengan siapa mereka melakukan bisnis.
(c) Bahwa bisnis harus (perlu) mengelola hubungannya dengan
masyarakat yang lebih luas, dengan alasan komersial atau untuk
nilai tambah terhadap masyarakat.
Sebagai konsep ‘payung’ maka menjadi hal yang lumrah ketika
melihat banyak dan beragamnya pengertian dan pemahaman mengenai
CSR, memunculkan banyak interpretasi mengenai CSR sebagaimana
yang dikemukakan oleh Ameshi and Adi, 2007 dan dikutip oleh
Frynas, 2009:5, yaitu:
1. Etika dan moralitas bisnis
2. Akuntabilitas perusahaan
3. Corporate citizenship (perusahaan warga)
29
4. Bantuan dan pilantropi perusahaan
5. Perusahaan hijau dan pemasaran hijau
6. Manajemen keragaman
7. Tanggungjawab lingkungan
8. Hak asasi manusia
9. Rantai
manajemen
pembelian
dan
penyediaan
yang
bertanggungjawab
10. Investasi sosial yang bertanggung jawab
11. Perjanjian (kesepakatan) stakeholder
12. Keberlanjutan
Sementara itu, Garriga & Mele (2004: 51-71) mencoba
memetakan konsep-konsep CSR ke dalam empat kelompok besar,
sebagai berikut:
1. Kelompok pertama yang berasumsi bahwa perusahaan adalah
instrumen untuk menciptakan kesejahteraan dan bahwa ini
merupakan satu-satunya tanggung jawab sosial. Hanya aspek
ekonomi dari interaksi antara bisnis dan masyarakat yang
dipertimbangkan. Jadi sekiranya terdapat aktivitas sosial yang
diterima, jika dan hanya jika hal tersebut konsisten dengan
penciptaan kesejahteraan. Kelompok teori ini dapat disebut
instrumental theories karena mereka memahami CSR sebagai
alat belaka untuk memperoleh keuntungan.
2. Kelompok kedua yang melihat kekuatan sosial dari perusahaan
yang menjadi tekanan, khususnya dalam hubungannya dengan
masyarakat dan tanggung jawabnya dalam arena politis
berkaitan dengan kekuatan ini. Hal tersebut mengarahkan
30
perusahaan untuk menerima tugas-tugas dan hak-hak sosial atau
berpartisipasi dalam kerjasama sosial tertentu. Kita dapat
menyebut kelompok ini dengan political theories.
3. Kelompok ketiga termasuk teori-teori yang mempertimbangkan
bisnis seharusnya to integrate tuntutan sosial. Biasanya
berpendapat bahwa bisnis tergantung pada masyarakat untuk
kelanjutan dan pertumbuhannya, bahkan untuk keberadaan
bisnisnya sendiri. Kelompok ini adalah integrative theories.
4. Kelompok keempat teori dari pemahaman hubungan antara
bisnis dan masyarakat adalah penanaman nilai-nilai etis. Hal
tersebut mengarahkan visi CSR dari suatu perspektif etis dan
sebagai konsekuensinya, perusahaan harus menerima tanggung
jawab sosial sebagai sebuah kewajiban etis di atas pertimbangan
lainnya. kelompok ini disebut dengan ethical theories
1. Instrumental CSR
Kelompok
pertama,
kelompok
instrumental
theories,
menganggap bahwa CSR atau kegiatan sosial adalah sebuah alat untuk
mencapai tujuan ekonomi yang pada akhirnya adalah menghasilkan
kekayaan. Pendekatan instrumental theories ini didukung oleh
pandangan yang diungkapkan oleh Friedman (1970) bahwa satusatunya
tanggung
jawab
bisnis
kepada
masyarakat
adalah
memaksimalkan profit untuk para pemegang saham, sesuai dengan
kerangka hukum dan kebiasaan etika dari negara tempat bisnis tersebut
berada. Kelompok teori ini kemudian banyak diakui dan diterima oleh
perusahaan, bahkan banyak perusahaan yang melakukan program CSR
31
dengan menggunakan dasar teori ini. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Windsor (2001: hal. 226) bahwa “a leit-motiv of wealth creation
progressively dominates the managerial conception of responsibility”.
Ada tiga tujuan ekonomi yang kemudian dapat diidentifikasi
dari kelompok instrumental theories ini menurut Garriga & Mele
(2004: 53) yaitu maximization of shareholder value; the strategic goal
of achieving competitive advantages; dan cause-related marketing.
Dalam tujuan maximization of shareholder value, Garriga & Mele
(2004) menjelasan bahwa investasi untuk menjawab tuntutan sosial
yang akan meningkatkan nilai para investor dimata masyarakat harus
dilakukan, sedangkan jika tuntutan sosial tersebut mengakibatkan
kerugian bagi perusahaan, maka investasi tersebut seharusnya ditolak.
Konsep ini memuat tujuan untuk pencarian nilai atau value-seeking
atau long-term values maximization sebagai tujuan utamanya dan pada
saat yang bersamaan, tujuan ini digunakan sebagai kriteria dalam
transaksi penting diantara para pemangku kepentingan (Jensen, 2000;
Garriga & Mele, 2004).
Dalam tujuan the strategic goal of achieving competitive
advantages, perusahaan fokus kepada bagaimana mengalokasikan
sumber daya untuk mencapai tujuan sosial jangka panjang dan
menciptakan keuntungan yang kompetitif. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Husted & Allen, 2000, yang dikutip oleh Garriga &
Mele (2004:54) “…focused on how to allocate resources in order to
achieve long-term social objectives and create competitive advantage”.
Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan
tersebut, yaitu social investments in a competitive context melalui
philanthropic activities; natural resource-based view of the firm and
32
dynamic capabilities melalui unique interplay of human, organizational
and physical resources over time; dan strategies for the bottom of the
economic pyramid melalui disruptive innovations (Garriga & Mele,
2004; Porter & Kramer, 2002; Christensen, et al., 2001; Christensen &
Overdorf, 2000; Barney, 1991; Wernerfelt, 1984).
Cause-related marketing, merupakan sebuah proses kegiatan
pemasaran perusahaan yang menghasilkan keuntungan melalui adanya
pertukaran yang menguntungkan yang sesuai dengan tujuan perusahaan
dan juga individual. Misalnya dengan menjual produk dengan label
bebas pestisida atau non-animal tested. Varadjan & Menon (1988:60)
mendefinisikan cause-related marketing sebagai
The process of formulating and implementing marketing
activities that are characterized by an offer from the firm to
contribute a specified amount to a designated cause when
costumers engage in a revenue-providing exchange that satisfy
organizational and invididual objectives.
Tujuan dari cause-related marketing dari berbagai hasil
penelitian yang dilakukan adalah meningkatkan pendapatan perusahaan
dan penjualan atau hubungan konsumen dengan membangun merk
perusahaan melalui akuisisi dan asosiasi dengan dimensi etika atau
dimensi tanggung jawab sosial, sehingga menghasilkan situasi yang
saling menguntungkan, dalam konteks perusahaan dan sosial (Gerriga
& Mele, 2004; Murray & Montanari, 1986; Varadarajan & Menon,
1988).
33
2. Politik CSR
Kelompok teori kedua yang dipetakan oleh Garriga & Mele
(2004) adalah kelompok political theories. Kelompok teori ini
memusatkan perhatiannya pada bagaimana menggunakan tanggung
jawab dari kekuatan bisnis dalam arena politik. Yang dimaksud dengan
political theories, menurut Garriga & Mele (2004:55) adalah “a group
of CSR theories and approaches focus on interactions and connections
between business and society and on the power and position of business
and
its
inherent
responsibility”.
(sekelompok
teori-teori
dan
pendekatan CSR yang memusatkan perhatiannya pada interaksi dan
koneksi antara bisnis dan masyarakat dan pada kekuasaan dan posisi
bisnis dan tanggung jawab yang melekat pada bisnis tersebut). Ada tiga
teori utama yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004), yaitu
Corporate Constitutionalism, Integrative Social Contract Theory dan
Corporate Citizenship.
Teori Corporate Constitutionalism pertama kali dikemukakan
oleh Davis (1960). Ia adalah orang pertama yang berpendapat bahwa
bisnis adalah institusi sosial dan sehingga bisnis harus menggunakan
kekuasaannya secara bertanggung jawab. Garriga & Mele (2004:55)
mengungkapkan bahwa Davis (1960) “was one of the first to explore
the role of power that business has in society and the social impact of
this power”. Kemudian Davis (1960) memperkenalkan kekuatan bisnis
sebagai sebuah elemen baru dalam debat mengenai CSR. Davis (1960)
menekankan pada pendapat bahwa tanggung jawab sosial bisnis
tergantung pada kekuasaan sosial yang dimiliki bisnis tersebut. Hal ini
kemudian diperkuat dengan yang diungkapkan oleh Davis (1967:48)
34
“social responsibilities of businessmen arise from the amount of social
power that they have ….the equation of social power responsibility has
to be understood through the functional role of business and
managers”. Ini berarti bahwa tanggung jawab sosial kekuasaan
dimanifestasikan melalui peran fungsional bisnis dan manager dalam
masyarakat.
Teori integrative social contract theory yang diungkapkan oleh
Donaldson & Dunfee (1994, 1999) berawal dari pertimbangan bahwa
ada hubungan antara bisnis dan masyarakat berdasarkan pada tradisi
kontrak sosial. Kontrak sosial ini kemudian berimplikasi kepada
beberapa kewajiban tidak langsung dari bisnis untuk masyarakat
(Garriga & Mele, 2004; Prayogo, 2011). Lebih lanjut, teori ini
mengungkapkan sebuah proses yang memberikan legitimasi kepada
kontrak yang terjadi diantara sistem industri, departemen, dan ekonomi
(Garriga & Mele, 2004). Sementara itu, Prayogo (2011:74)
mengungkapkan bahwa
kontrak sosial merupakan kesepakatan yang bersifat “implicit”
masyarakat memberikan legitimasi sosial (the right to exist) atas
kehadiran korporasi dan sebaliknya manfaat ekonomi yang
dihasilkan bisnis harus terdistribusi pula kepada masyarakat (in
return for certain benefits).
Sementara itu, teori corporate citizenship lebih memusatkan
perhatiannya pada hak-hak, tanggung jawab dan kemungkinan
partnership dari bisnis dalam masyarakat. Sebelumnya, corporate
citizenship selalu dikaitkan dengan “a sense of belonging to a
community” atau rasa kepemilikan kepada sebuah masyarakat (Matten,
et al., 2003; Wood & Lodgson, 2002), sehingga sudah menjadi hal yang
biasa diantara para manager dan pengelola bisnis untuk melihat bahwa
35
bisnis perlu memperhatikan masyarakat tempat bisnis itu beroperasi.
Oleh karena itu, menurut teori ini, bisnis dipahami sebagai seperti
warga dengan keterlibatan tertentu dalam masyarakat.
3. Integratif CSR
Kelompok teori ketiga yang diungkapkan oleh Garriga & Mele
(2004)
adalah
kelompok
integrative
theories.
Kelompok
ini
berpendapat bahwa bisnis sangat tergantung pada masyarakat untuk
menjaga keberadaan, keberlanjutan dan perkembangan bisnis tersebut.
Integrative
theories
mengintegrasikan
memandang
tuntutan
sosial
pada
dan
bagaimana
biasanya
fokus
bisnis
kepada
mendeteksi, mencari dan memberikan respon kepada tuntutan sosial
untuk mencapai legitimasi sosial, penerimaan sosial yang lebih tinggi
dan prestige (Garriga & Mele, 2004). Pendekatan yang diurai dalam
kelompok teori ini adalah issues management, the principle of public
responsibility,
stakeholder
management
dan
corporate
social
performance (Garriga & Mele, 2004:58-59).
Issues management menurut Wartick & Rude (1986:124)
diartikan sebagai “the processes by which the corporation can identify,
evaluate and respond to those social and political issues which may
impact significantly upon it”. Issues management merupakan pelebaran
dari konsep social responsiveness yang muncul di tahun 1970-an
(Sethi, 1975). Konsep social responsiveness ini menekankan pada
pentingnya untuk menutupi gap diantara apa yang diharapkan oleh
masyarakat kepada perusahaan dan apa yang perusahaan lakukan secara
aktual. Gap ini biasanya ada dalam zona yang disebut Ackerman
36
(1973:92) sebagai “zone of discretion (neither regulated nor illegal nor
sanctioned) where the company receives some unclear signals from the
environment”. Ini berarti bahwa issues management menekankan pada
proses memberikan respon dari pihak perusahaan terhadap masalahmasalah sosial dan bahwa issues management berfungsi sebagai
peringatan dini atas potensi munculnya ancaman-ancaman lingkungan
dan juga kesempatan-kesempatan, sehingga dapat meminimalisir
kejutan dari adanya perubahan sosial dan politik (Garriga & Mele,
2004).
Pendekatan the principle of public responsibility pertama kali
diungkapkan oleh Preston & Post (1975, 1981). Mereka menekankan
pada kegunaan kata “public” daripada “social”, untuk menunjukkan
pada pentingnya proses publik dalam mendefinisikan scope dari
tanggung
jawab,
daripada
pandangan
personal-morality
atau
berdasarkan minat kelompok tertentu saja (Garriga & Mele, 2004:58).
Preston & Post dalam Garriga & Mele (2004) berpendapat bahwa
aturan yang sesuai untuk melegitimasi perilaku manajerial dapat
ditemukan dalam kerangka kebijakan publik yang relevan dan bahwa
kebijakan publik tidak hanya berisi aturan-autran dan perundangundangan tetapi juga mengandung pola yang sangat luas dari arah
sosial yang terefleksikan dalam opini publik, isu-isu yang muncul,
kebutuhan akan hukum formal dan praktik-praktik dukungan atau
implementasi.
Pendekatan
berikutnya
adalah
pendekatan
stakeholder
management. Pendekatan ini berorientasi kepada para stakeholders atau
pihak-pihak
atau
orang-orang
yang
mempengaruhi
dan
atau
dipengaruhi oleh kebijakan dan praktik sebuah perusahaan. Pendekatan
37
Stakeholder management baru berkembang secara akademik di akhir
tahun 1970-an. Di tahun 1978, Emshoff & Freeman (Garriga & Mele,
2004: 59) mempresentasikan dua prinsip dasar yang memperkuat
pendekatan ini, yaitu achieving maximum cooperation between entire
system of stakeholder groups and the objectives of the corporation; and
efforts in dealing with issues affecting multiple stakeholders.
Pendekatan
ini
mencoba
mengintegrasikan
kelompok-kelompok
dengan kepentingan-kepentingan perusahaan ke dalam pembuatan
keputusan managerial (Garriga & Mele, 2004). Di masa awal
munculnya pendekatan ini, banyak korporasi yang ditekan oleh NGO,
aktifis, masyarakat, pemerintah, media dan kelompok-kelompok
lainnya untuk melakukan kegiatan yang disebut sebagai responsible
corporate practices (Garriga & Mele, 2004:59). Namun sekarang,
berbagai perusahaan berusaha mencari jawaban dari berbagai tuntutan
sosial melalui dialog dengan beragam stakeholders. Dialog antar
stakeholder membantu menjawab pertanyaan mengenai responsiveness
dari perusahaan dalam menerima sinyal yang kurang jelas dari
lingkungan. Kaptein & Van Tulder (2003:208) menambahkan “this
dialogue not only enhances a company’s sensitivity to its environment
but also increases the environments understanding of the dilemmas
facing the organization”.
Pendekatan corporate social performance juga merupakan
sebuah pendekatan yang mencari legitimasi sosial. Carroll (1979) yang
memperkenalkan pendekatan ini yang terdiri dari 3 elemen, yaitu
definisi dasar dari tanggung jawab sosial, daftar isu yang memunculkan
tanggung jawab sosial, dan filosofi dari respon terhadap isu-isu sosial
(Garriga & Mele, 2004). Sementara itu, Wartich & Cochran (1985)
38
menambahkan pendekatan Carroll dengan menyarankan bahwa
corporate social involvement mengandung prinsip-prinsip social
responsibility, the process of social responsiveness and the policy of
issues management (Garriga & Mele, 2004:60). Perkembangan terkini
dari pendekatan ini kemudian diungkapkan oleh Wood (1991) yang
menyebutkan bahwa corporate social performance terdiri dari prinsipprinsip CSR, proses dari corporate social responsivenesss dan hasil
dari perilaku perusahaan.
4. Etik CSR
Kelompok teori terakhir untuk memetakan konsep-konsep CSR
adalah ethical theories. Teori-teori yang tercakup dalam kelompok ini
berperan
sebagai
masyarakat.
perekat
Teori-teori
hubungan
ini
diantara
merupakan
perusahaan
prinsip-prinsip
dan
yang
mengungkapkan mengenai hal-hal yang benar untuk dilakukan atau
hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai masyarakat yang
sejahtera.
Pendekatan pertama adalah normative stakeholder theory. Teori
ini menekankan pada perlunya referensi dari berbagai teori moral yang
ada, seperti misalnya Kantian moral teori, konsep Libertian, prinsipprinsip keadilan, dan masih banyak lagi. Donaldson & Preston (1995:
67) menyebutkan bahwa stakeholder theory memiliki inti normative
yang berdasarkan pada dua ide utama, yaitu “(1) stakeholders are
persons or groups with legitimate interests in procedural and/or
substantive aspects of corporate activity and (2) the interests of all
stakeholders are of intrinsic values”. Berdasarkan hal tersebut, maka
39
dalam praktik CSR dengan menggunakan pendekatan stakeholder teori,
etika atau moral merupakan pusat dari praktik tersebut.
Pendekatan Universal Rights melalui Hak Asasi Manusia telah
diambil sebagai dasar bagi CSR (Cassel, 2001; Garriga & Mele, 2004).
Kini, banyak tanggung jawab sosial yang dijalankan dikembangkan
dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia. Selain hak asasi
manusia, pendekatan ini juga mendasarkan pada hak-hak buruh dan
juga perlindungan lingkungan.
Pendekatan pembangunan berkelanjutan atau sustainable
development dimasukkan ke dalam kelompok ethical teori karena
konsep pembangunan berkelanjutan menyebutkan bahwa pembangunan
berkelanjutan bertujuan untuk menjawab kebutuhan di masa kini tanpa
mengancam kemampuan untuk melindungi generasi penerus untuk
memenuhi kebutuhannya. Istilah sustainable development muncul pada
tahun 1987 dalam “Brutland Report”. Pada awalnya, pembangunan
berkelanjutan menitikberatkan pada faktor lingkungan, namun, World
Business Council for Sustainable Development (2002:2) menyebutkan
bahwa “sustainable development requires the integration of social,
environmental, and economic considerations to make balanced
judgements for the long term”. Kaitannya dengan CSR adalah, seperti
yang diungkapkan oleh Wheeler, et al. (2003:17) bahwa
Sustainability is an ideal toward which society and business can
continually strive, the way we strive is by creating value,
creating outcomes that are consistent with the ideal of
sustainability along social environmental and economic
dimensions.
Dengan demikian, secara etika, CSR perusahaan harus
menggunakan pendekatan “triple bottom line”, yaitu memasukkan
40
aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga akan dapat menjamin
keberlanjutan perusahaan tanpa merusak keberlanjutan lingkungan dan
masyarakat.
Pendekatan terakhir dalam kelompok ethical theories adalah
pendekatan common good (kebajikan umum). Pendekatan ini
merupakan pendekatan klasik yang berakar pada tradisi Aristotelian
yang kemudian dijadikan referensi kunci untuk etika bisnis (Smith,
1999; Alford & Naughton, 2002; Mele, 2002). Pendekatan ini
menyebutkan bahwa perusahaan, sebagaimana kelompok sosial atau
individual dalam masyarakat, harus berkontribusi untuk kebajikan
umum, karena sudah menjadi bagian dari masyarakat. Perusahaan dapat
berkontribusi untuk kebajikan umum dengan berbagai macam cara,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004:62)
“….creating wealth, providing goods and services in an efficient and
fair way, at the same time respecting the dignity and the inalienable
and fundamental rights of the individual”.
Dari uraian sebelumnya, dapat ditarik benang merah bahwa
banyak teori-teori CSR fokus kepada 4 aspek utama, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004:65) yaitu (1) meeting
objectives that produce long-term profits, (2) using business power in a
responsible way, (3) integrating social demands and (4) contributing to
a good society by doing what is ethically correct. Dalam tabel 3
dikemukakan secara ringkas mengenai teori-teori dan pendekatanpendekatan yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan
menurut Garriga and Mele (2004). Tabel tersebut sekaligus merangkum
penjelasan-penjelasan sebelumnya, baik teori instrumental, teori politik,
teori integratif dan teori etik mengenai CSR.
41
Tabel 3
Corporate social responsibilities theories and related approaches
Jenis Teori
1.
2.
Intrumental
theories (fokus
pada
pencapaian
sasaran
ekonomi
melalui
aktifitas sosial)
Political
theories (fokus
pada
pemanfaatan
tanggung
jawab kekuatan
bisnis dalam
arena politik)
Pendekatan
1.
2.
Penjelasan Singkat
Maksimalisasi
nilai shareholder
Strategi untuk
keuntungan
kompetitif
3.
Caused-related
marketing
1.
Konstitusionalisme perusahaan
(Corporate
constitutiona-lism)
Teori Kontrak
Sosial Integrative
(integrative social
contract theories)
2.
3.
Corporate (or
business)
citizenship
42
Maksimalisasi nilai
jangka panjang
ï‚· Investasi sosial
dalam konteks
kompetitif
ï‚· Strategi
berdasarkan
pandangan sumber
alami dari
perusahaan dan
dinamika
kapabilitas
perusahaan
ï‚· Strategi dari dasar
piramida ekonomi
Pengakuan aktifitas
sosial altruistik
dimanfaatkan sebagai
alat pemasaran
Tanggung jawab sosial
bisnis muncul dari
sejumlah kekuatan
sosial yang mereka
Asumsinya bahwa
terdapat suatu kontrak
sosial antara
perusahaan dan
masyarakat
Perusahaan dipahami
sebagaimana seorang
warga dengan
keterlibatan tertentu
dalam komunitas
Beberapa
Referensi Kunci
Friedman (1970),
Jensen (2000)
Porter and Kramer
(2002)
Hart (1995), Lizt
(1996
Prahalad
and
Hammond (2002),
Hart
and
Christensen (2002),
Prahalad (2003)
Varadarajan
and
Menon
(1986),
Murray
and
Montanari (1986)
Davis (1960, 1967)
Donaldson
Dunfee
1999)
&
(1994,
Wood & Lodgson
(2002), Andriof &
McIntosh
(2001)
Matten & Crane (in
press)
Lanjutan tabel 3
Jenis Teori
3.
Integrative
theories
(fokus
integrasi
tuntutan
sosial)
Pendekatan
1.
Manajemen
isu (issues
management)
2.
Tanggung
jawab publik
(public
responsibility
)
3.
Manajemen
Pemangku
Kepentingan
(stakeholder
management)
Kinerja
Sosial
Perusahaan
(Corporate
social
performance)
Teori
Normatif
Pemangku
Kepentingan
(Stakeholder
normative
theories)
Hak-hak
Azasi
Universal
4.
4.
Ethical
theories
(fokus pada
sesuatu yang
baik untuk
mencapai
suatu
masyarakat
yang baik)
1.
2.
3.
Pembanguna
n
Berkelanjutan
4.
The Common
good
Penjelasan Singkat
Proses-proses
perusahaan merespon
isu sosial dan politik
yang
mempengaruhinya.
Hukum dan adanya
proses kebijakan publik
diambil sebagai
rujukan untuk kinerja
sosial (social
performance)
Kesimbangan para
pemangku kepentingan
Beberapa Referensi
Kunci
Sethi (1975),
Ackerman (1973),
Jones (1980), Vogel
(1986), Wartick and
Mahon (1994)
Preston and Post (1975,
1981)
Mitchell et.al. (1997),
Agle and Mitchell
(1999), Rowley (1997),
Mencari legitimasi
sosial dan prosesproses untuk memberi
respon yang tepat
terhadap isu-isu sosial
Carrol (1979), Wartick
and Cochran (1985),
Wood (1991b),
Swanson (1995)
Pertimbangan tugastugas yang tergadai
dari perusahaan.
Aplikasinya
membutuhkan rujukan
sejumlah teori moral
Freeman (1984, 1994),
Evan and Freeman
(1988), Donaldson and
Preston (1995),
Freeman and Phillips
(2002), Phillips et al.
(2003)
The Global Sullivan
Principles (1999), UN
Global Compact (1999)
Kerangkanya
berdasarkan hak-hak
azasi manusia, hak
buruh dan penghargaan
lingkungan
Upaya mencapai
pembangunan manusia
berdasarkan
pertimbangan saat ini
dan generasi masa
depan
Berorientasi pada
kebiasaan baik
masyarakat
Sumber: Garriga & Mele, 2004: 63-64
43
World Commission on
Environment and
Development (Brutland
Report) (1987),
Gladwin and Kennelly
(1995)
Alford and Naugghton
(2002), Mele (2002)
Kaku (1997)
Dalam praktiknya, seringkali terjadi penerapan kegiatan
corporate social responsibility didasarkan pada banyak alasan dan
tuntutan, sebagai paduan antara faktor internal dan eksternal.
Sebagaimana dijelaskan lebih jauh oleh Frynas (2009) yang melihat
bahwa pertimbangan perusahaan untuk melakukan kegiatan CSR antara
lain umumnya karena alasan-alasan berikut:
1. Untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan
2. Sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image
yang positif
3. Bagian dari strategi bisnis perusahaan
4. Untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat
5. Bagian dari risk management perusahaan untuk meredam dan
menghindari konflik sosial
Pada dasarnya tidak ada perspektis teoritis atau metodologi
kajian yang dapat menjelaskan aktifitas CSR secara memuaskan
menjawab semua pertanyaan (Lockett et al.2006, p.12). Namun
demikian terdapat terdapat dua teori dan satu perspektif yang
berkembang saat ini dalam CSR sebagaimana yang diungkapkan oleh
Frynas (2009), yaitu:
1) Teori
Stakeholder:
menekankan
reaksi
perusahaan
(perseorangan) dalam konteks hubungan dengan stakeholder
eksternal. Teori ini menjelaskan respon strategis yang berbeda
dari perusahaan terhadap tekanan-tekanan sosial walaupun
dalam industri sejenis atau negara yang sama, berdasarkan pada
sifat hubungan eksternal.
44
2) Teori Institusional: menekankan daya adaptif perusahaan secara
kelembagaan
(aturan).
Teori
ini
menjelaskan
mengapa
perusahaan dari negara atau industri berbeda dalam merespon
tekanan sosial dan lingkungan, dan mengapa di negara yang
berbeda-beda dari perusahaan multinasional yang sama memilih
strategi CSR yang berbeda, sebagai hasil dari pemberlakuan
norma atau keyakinan nasional.
3) Perspektif Austrian Economics: perspektif ini menyediakan
wawasan terhadap upaya strategi aktif CSR dalam perusahaan
dengan suatu perspektif kewirausahaan.
Teori
Stakeholder
dan
Teori
Institusional
dapat
membantu
menjelaskanbagaimana respon perusahaan terhadap tekanan kondisi
sosial eksternal dan lingkungan. Namun demikian gagal untuk
menjelaskan pilihan strategi aktif dalam perusahaan, yaitu mengapa
perusahaan tertentu menggunakan CSR sebagai sebuah senjata
melawan persaingan perusahaan atau mengapa perusahaan tertentu
mengeluarkan jutaan dolar dalam pembaruan energy.
Sementara, sebagai sebuah perspektif, pendekatan Austrian
Economic dapat dipandang sebagai salah satu alternatif pemikiran yang
lebih maju dalam memandang kegiatan CSR. Dalam kaitan dengan
kewirausahaan sosial sebagai suatu pendekatan dalam mengatasi
persoalan sosial dan kemasyarakat; maka CSR dapat sebagai sumber
pemecahan masalah sosial tersebut. Beberapa pemikiran Austrian
Economics mengenai CSR, adalah sebagai berikut:
1. Wawasan ekonomi dan strategi manajemen mengusulkan
bahwa strategi CSR dalam perusahaan harus dipandang sebagai
45
sebuah keputusan investasi dan sebagai suatu cara memperoleh
keuntungan kompetitif, sama halnya dengan putusan-putusan
investasi lain yang harus diambil.
2. Pendekatan CSR yang berbeda dari Austrian economics
berkenaan dengan tindakan kemanusiaan bukanlah berdasarkan
‘external constrains’ sebagai faktor fundamental pembuatan
keputusan.
3. Perspektif
Austrian
menekankan
peluang
‘future’
dan
kewirausahaan aktif dalam mengidentifikasi masa depan.
4. Karakteristik
utama
keberhasilannya
‘capitalist
entrepreneurship’; yaitu bukan pada kemampuan mereka
beraksi kepada sesuatu atau ‘discover’ tuntutan eksternal, tetapi
lebih pada kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang
berhasil tentang masa depan (Frynas, 2009; hal.19-20)
Dilihat dari uraian tersebut, konsep-konsep dari Austrian
economics dapat lebih berkaitan dengan upaya kewirausahaan sosial di
Indonesia khususnya dalam penyelesaian permasalahan sosial dan
kemasyarakatan. Sudut pandang kewirausahaan dalam CSR diharapkan
dapat memainkan peran kunci dalam membentuk strategi perusahaan
memandang permasalahan sosial dan lingkungan.
Sebagai perbandingan dari ketiga perpektif teoritis, dapat dilihat
dalam tabel berikut:
46
Tabel 4 Perbandingan Perspektif teoritis terhadap strategi CSR
Fokus Utama
Determinan
Strategi CSR
Teori
Institusional
Ketaatan pada
aturan dan
norma
Hidup dengan
konteks
kelembagaan
berbeda
Non-choice
behavior
Teori
Stakeholder
Hubungan
dengan factor
eksternal
Ketergantungan
relative suatu
perusahaan pada
stakeholder
Pilihan perilaku
terbatas
Austrian View
Peran
kewirausahaan
Tinjauan masa
depan
kewirausahaan
Lingkup untuk
Pilihan perilaku
kebebasan aksi
yang substansial
manajemen
Sumber: Frynas (2009: 122) diterjemahkan oleh peneliti.
B. Kajian Relasi Dinamis Antara Perusahaan dengan Masyarakat
Lokal
Soekanto (1982) menyatakan bahwa relasi-relasi sosial yang
dinamis adalah interaksi sosial, yang menyangkut hubungan antara
orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun
antara perorangan dengan kelompok manusia. Relasi sosial dinamis
yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal dapat dipahami
dalam konteks relasi kelompok-kelompok sosial yang terdapat dalam
sebuah masyarakat secara luas.
Pola relasi yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat
lokal tersebut bergantung pada persepsi dan cara pandang masingmasing pihak dalam membangun interaksi dan komunikasi diantara
mereka. Masyarakat adalah sebuah system yang terdiri dari beragam
kelompok yang membuat masyarakat tersebut menjadi sebuah system
yang multikompleks.
Khadijah (2011:35)
47
menyebutkan bahwa
masyarakat merupakan sebuah sistem kehidupan yang multikompleks,
yang di dalamnya terdapat sebuah proses sosial yang ditandai dengan
adanya interaksi sosial dengan menggunakan simbol-simbol yang
sama. Interaksi sosial tersebut kemudian adalah sebuah kebudayaan
dalam bentuk hubungan sosial. Dengan demikian, masyarakat
mempunyai karakteristik budaya yang unik dan mengikat bagi
warganya dalam interaksi antara satu dengan lainnya.
Dalam berinteraksi dalam sebuah masyarakat dikenal sebuah
istilah realitas sosial. Realitas sosial merupakan satu kesatuan dalam
berinteraksi dan beraktifitas dalam sebuah masyarakat. Semakin tinggi
dan rumit aktivitas suatu masyarakat semakin tinggi pula tingkat
dinamika masyarakat tersebut. Dengan demikian akan terbentuk pola
relasi dan interaksi yang berbeda dalam sebuah masyarakat yang
kompleks pula. Bentuk dan corak sebuah relasi sebagaimana
diungkapkan oleh Comte dalam Azwar (2005: 53) adalah bahwa dasar
relasi sosial muncul dari cara berfikir manusia sehingga pijakan relasi
sosial dari sisi perkembangan struktur masyarakat dibentuk selalu
bersifat konsep pasangan kontradiksi. Frekuensi hubungan sosial,
sebagaimana Cooley jelaskan yang dikutip dalam Azwar (2003:54)
bahwa usaha untuk membuat kategori hubungan sosial dapat dilakukan
dengan membedakan antara hubungan primer dan hubungan sekunder.
Yang dimaksud dengan hubungan primer adalah hubungan interaksi
yang terjadi berupa tatap muka yang erat dan gotong royong, yang
meleburkan kepentingan individual dengan kepentingan orang banyak.
Sedangkan mehubungan sekunder dicirikan dengan karakter hubungan
yang formal, prosedural dan impersonal. .
48
Menurut Bungin (2008:44), struktur relasi sosial dapat dibagi
berdasarkan jenis kelompok sosial yang akan mempengaruhi pola-pola
relasi antar kelompok tersebut. Kategori kelompok dapat tergambar
dalam tabel berikut:
Tabel 5 Tipe Kelompok Sosial
Kelompok
Primer
Sekunder
Formal
A
B
Informal
C
D
Sumber: Bungin, 2008
Lebih lanjut, Khadijah (2011:38-40) menggambarkan karakteristik
keempat kelompok sosial tersebut sebagai berikut:
a. Kelompok Formal-Pimer (A) adalah kelompok sosial yang
berkarakter formal (resmi), namun keberadaannya bersifat primer.
Kelompok ini tidak memiliki aturan yang jelas, stuktur yang tegas
secara fungsional impementasinya jeas terlihat. Terbentuknya
kelompok ini, dapat karena tujuan yang jelas atau tidak jelas.
b. Kelompok Formal-Sekunder (B) adalah kelompok sosial yang
bersifat sekunder, resmi, serta memiliki aturan dan struktur yang
tegas, dibentuk berasarkan tujuan yang jelas. Kelompok formal
sekunder memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
c. Kelompok Informal-Primer (C), adalah kelompok sosial yang
terjadi karena meleburnya sifat-sifat kelompok sosial primersekunder atau karena pembentukkan sifat dari luar kelompok yang
tidak dapat ditampung dalam keompok primer sekunder.
d. Kelompok Informal-Sekunder (D), adalah kelompok sosial yang
umumnya informal maupun keberadaannya bersifat sekunder.
49
Kelompok ini bersifat tidak mengikat, tidak memiliki aturan dan
struktur yang tegas. Dibentuk hanya untuk sesaat dan tidak
mengikat, karena dibentuk untuk tujuan yang tidak jelas.
Hubungan sosial yang terjalin menunjukkan adanya pengertian
bahwa setiap individu, kelompok dan masyarakat menyadari tentang
kehadirannya
di
samping
kehadiran
individu,
kelompok
dan
masyarakat lainnya. Kesadaran akan kehadiran pihak lain tersebut,
diharapkan akan muncul tindakan bersama (mutual action) dan
pengakuan bersama (mutual recognition).
Setiap relasi sosial dapat menjadi objek dari nilai-nilai. Inkeles
dalam Soekanto (1983) menyatakan bahwa, secara umum, kualitas dan
aspek hubungan manusia terdapat di sebagian besar masyarakat,
perbedaan budayalah yang menentukan kualitas tersebut penting atau
tidak penting, baik atau buruk. Inkeles yang dikutip oleh Soekanto
(1983), menekankan bahwa aspek nilai dan kebudayaan dalam sebuah
masyarakat merupakan dimensi terpenting hubungan sosial dalam
kebersamaan. Artinya setiap masyarakat memiliki penilaian tertentu
terhadap hubungan antara manusia, hubungan dengan alam, waktu dan
kegiatan atau kekaryaan lainnya.
Menurut Kluckhon dan Strodtbeck (dalam Koentjaraningrat,
1990:78), terdapat lima orientasi nilai budaya dalam hidup manusia,
yaitu:
“(1) Human nature atau makna hidup manusia; (2) man-nature
atau makna hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (3) time
atau persepsi manusia tentang waktu; (4) activity atau makna
akan perkerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; (5)
relational atau hubungan manusia dengan sesama manusia.”
50
Hubungan manusia dengan sesamanya telah dituntun oleh struktur
budaya sejak dari awal, sebagai bagian menata dan mengelola warga
masyarakatnya agar mampu bertahan dan langgeng. Di negara-negara
yang sedang berkembang dimana struktur kekuasaan begitu kuat dan
dominan, terdapat kecenderungan para elit-elit kekuasaan berupaya
memelihara struktur budaya masyarakat yang mudah dan dapat diatur
oleh kekuasaan. Elit-elit kekuasaan mempunyai semangat yang besar
terhadap pengembangan diri mereka karena secara politis mereka
memerlukan
dukungan
masyarakat.
Khadijah
(2011:58-59)
menyebutkan media massa mempunyai posisi-peran strategis dalam
menyampaikan isu-isu nasional, yang merupakan alat bagi elit
kekuasaan untuk meraih dukungan tersebut, yaitu melalui proses
komunikasi informasi satu arah bukan dialog.
Dengan media massa, masyarakat menjadi penonton yang
bersifat pasif, menerima informasi-infomasi elit kekuasaan. Dalam
batas-batas tertentu masyarakat tidak cukup mengetahui realitas atau
kebenaran sehingga masyarkaat begitu mudahnya menjadi salah satu
pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media
massa tersebut. Mills dikutip oleh Khadijah (2011:59) menyebut
mereka sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa
seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki
pengetahuan dan kesadaran yang cukup untuk mengerti isi dari
informasi atau isu yang disampaikan para elit (Khadijah, 2011).
Para elit yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah,
sebagaimana disebutkan oleh Mills, para penguasa dan golongan
politisi, militer, dan pengusaha ekonomi (termasuk penguasaan sumber
51
daya alam) yang digambarkan memiliki karakter dan gerakan yang
serupa (Khadijah, 2011). Para elit kekuasaan di Indonesia membangun
hubungan mendominasi rakyat dan akan bergerak mencapai posisi yang
lebih tinggi dari pada yang lainnya.
Konsepsi Habermas (aliran Frankfurt), meyakini bahwa
semestinya ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral melakukan
kritik masyarakat dan bahwa kepentingan teori sosial adalah
emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur
sosial yang menindas (Khadijah, 2011). Pemikiran Habermas berbicara
tentang pengembangan konsep nalar yang lebih komprehensif, yakni
nalar yang tidak tereduksi pada instrumen teknis dari subjek manusia
(Khadijah, 2011). Postulat Habermas adalah adanya tiga kepentingan
manusia
yang
berakar,
yaitu
kepentingan
teknis
(technical),
kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis
terhadap alam; praktik (practical) dalam bentuk memahami orang lain;
dan emansipatoris (emancipatory) dalam membebaskan diri dari
struktur dominan. Masyarakat modern menyaksikan adanya perubahan
pada manusia ketika muncul keinginan menguasai alam berubah
menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki
penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren
dalam kepentingan praktis dan emansipatoris (Khadijah, 2011). Ini
berarti bahwa dasar rasional untuk bersama-sama hidup dalam harmoni
hanya dapat diraih ketika hubungan sosial diatur menurut kesepakatan
yang dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi satu pihak
terhadap pihak lainnya.
Sedangkan
bentuk-bentuk
interaksi
sosial
dapat
berupa
kerjasama (co-operation), persaingan (competition) dan bahkan dapat
52
juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict), Soekanto
(1990:63). Sedangkan Gillin dan Gillin (1954) dalam Bungin
(2008:134), menggolongkan secara luas terdapat dua macam proses
sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu proses
asosiatif dan proses disosiatif. Proses asosiatif terbagi menjadi dua
yaitu akomodasi dan asimilasi, serta akulturasi; kemudian proses yang
disosiatif mencakup persaingan, kontraversi dan pertentangan atau
pertikaian (conflict).
Perusahaan dapat mengidentifikasi masyarakat lokal secara
menyeluruh, yaitu baik secara budaya, ekonomi, dan sosial sehingga
dapat
menghasilkan
sebuah
kehidupan
yang harmonis
antara
perusahaan dan masyarakat tempat perusahaan tersebut beroperasi.
Berdasarkan pemahaman akan kondisi masyarakat tersebut, perusahaan
diharapkan mampu membangun proses-proses sosial yang bermanfaat
bagi masyarakat lokal sekitar wilayah operasi mereka. Kemanfaatan
yang diperoleh dan dinikmati oleh masyarakat lokal, secara langsung
atau tidak langsung serta berjangka waktu panjang akan memberi
manfaat juga bagi perusahaan bersangkutan.
Dalam penerapan kegiatan CSR oleh perusahaan seringkali
mengalami kegagalan atau tidak efektif dalam pencapaian tujuannya;
bahkan lebih jauh lagi hasilnya contra-productive dengan harapan.
Selain hambatan business case, sejumlah studi yang dilakukan Nuffield
Foundation dikutip oleh Frynas (2009) telah mengidentifikasi sejumlah
hambatan penting dalam penerapan CSR di beberapa negara, antara
lain:
ï‚·
Gagal memahami negara dan konteks isu-isu khusus.
ï‚·
Gagal melibatkan beneficiaries CSR.
53
ï‚·
Kurangnya sumber daya manusia: spesialist pengembangan
masyarakat.
ï‚·
Sikap-sikap sosial dari staf perusahaan / atau hanya fokus pada
solusi teknis dan manajerial.
ï‚·
Tidak ada integrasi ke dalam sebuah rencana pembanguan yang
lebih luas.
Contoh yang paling sering terjadi mengenai ‘negara dan
konteks isu-isu khusus’ antara lain adalah konflik antar suku dan
korupsi (Frynas, 2009). Sedangkan kegagalan melibatkan beneficiaries
adalah tidak adanya upaya membangun partisipasi dari perusahaan dan
upaya
memandirikan
beneficiaries
(Frynas,
2009).
Perusahaan
pertambangan biasanya gagal melakukan konsultasi secara lebih luas
kepada pimpinan lokal dan tokoh-tokoh lokal (Frynas, 2009).
Keterlibatan penerima manfaat CSR dalam pelaksanaan proyek
cenderung terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali, dan paling
mungkin terbatas pada pemberian kontrak pada perusahaan lokal.
Padahal, kegagalan melibatkan orang-orang lokal telah memelihara
suatu mental yang berdampak lebih buruk lagi, yaitu mentalitas
ketergantungan (dependency mentality) (Frynas, 2009).
Persoalan-persoalan yang muncul tersebut sebetulnya dapat
dihindari dengan dilakukannya konsultasi mendalam dan dengan
adanya inisiatif masyarakat lokal untuk berpartisipasi dengan
menggunakan pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan alat-alat
lokal. Namun, keterlibatan masyarakat lokal tersebut secara inheren
terhambat karena perusahaan kekurangan sumber daya manusia
54
perusahaan dan pendekatan teknis/manajerial dari staf perusahaan,
terutama perusahaan minyak dan pertambangan (Frynas, 2009).
Kurangnya ‘jalur karier’ (career path) untuk spesialis
pengembangan masyarakat di dalam perusahaan lebih jauh membatasi
keahlian pembangunan secara potensial. Berkaitan dengan kurangnya
sumber daya manusia, inisiatif CSR secara inheren menjadi cacat
karena hasil dari sikap-sikap sosial staf perusahaan minyak, artinya
nilai-nilai sosial yang mengarahkan penentuan keputusan staf
perusahaan. Orang-orang yang bergerak di perusahaan minyak
biasanya memiliki latar belakang manajerial atau keahlian teknik.
Mereka memiliki kemampuan yang tinggi menghadapi tantangan teknis
dan manajerial. Dengan demikian pendekatan-pendekatan teknik dan
manajerial bisa berhasil mengatasi tantangan lingkungan, tetapi tidak
cukup dalam mengatasi permasalahan sosial yang kompleks dimana
lebih
mementingkan
soft
skill,
kesabaran,
dan
keterampilan
interpersonal.
Dengan tidak terintegrasinya CSR atau ‘social invesment’ ke
dalam rencana pembangunan yang lebih luas, potensi pembangunan
dari inisiatif perusahaan menjadi terbatas dan sumber-sumber mungkin
tidak berhubungan dengan efektifitas pembangunan yang digunakan.
Bahkan akibat buruk lainnya adalah perusahaan akan menghadapi
resiko timbulnya konflik lokal karena kecemburuan dan menciptakan
konsekuensi pembangunan negatif.
Persoalan lainnya adalah berkaitan dengan transparansi, yaitu
keterbukaan dan kejujuran untuk melaporkan keuangan dan kegiatan
CSR. Kajian-kajian yang pernah ada (Alt & Lassen, 2006a,b; Gelos &
55
Wei,
2005;
Shi
&
Svenson,
2002)
menunjukkan
pengaruh
perkembangan yang positif mengenai transparansi, diantaranya:
ï‚·
Pengaruh politik, yaitu transparansi memperbaiki aliran
informasi dari pengatur dan yang diatur.
ï‚·
Pengaruh ekonomi, yaitu transparansi meningkatkan kredibilitas
suatu negara diantara investor luar negeri dan masyarakat
perbankan internasional.
ï‚·
Pengaruh sosial, yaitu pengaruh positif politik dan ekonomi
dapat membawa banyak pengaruh sosial yang positif (Frynas,
2009).
Namun demikian hasil penelitian mengenai transparansi
tersebut juga menyarankan sejumlah kondisi yang harus dipenuhi
dalam rangka memaksimalkan dampak positif dari transparansi.
Berdasarkan hasil penelitian (Alt & Lassen, 2006a,b; Gelos & Wei,
2005; Shi & Svenson, 2002) setidaknya ada 3 (tiga) kondisi atau
prasyarat yang harus dipenuhi: (1) kebebasan media; (2) keterlibatan
masyarakat sipil; dan (3) waktu pengenalan transparansi.
Sesungguhnya CSR memiliki potensi yang besar untuk
mengatasi tantangan lingkungan. Sebaliknya CSR memiliki kelemahan
dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan
masyarakat dan pemerintahan. Perusahaan semestinya memperoleh
manfaat yang besar dari relasi dengan masyarakat dan pemerintahan
yang lebih baik diantaranya adalah berkurangnya biaya operasional,
tidak banyak korupsi, meningkatnya reputasi perusahaan, dan
seterusnya. Negara penyelenggara semestinya juga memperoleh
manfaat yang besar dari peningkatan sumber daya manusia dan
56
pemerintahan, dalam kerangka meningkatnya investasi swasta,
meningkatnya tingkat pendidikan, pelayanan publik yang lebih baik
dan seterusnya. Namun demikian, perusahaan nampak enggan
mengatasi isu-isu pemerintahan, sementara pendekatannya melalui
pengembangan masyarakat seringkali tidak efektif.
Dua alasan mendasar mengapa perusahaan multinasional gagal
mengatasi persoalan pembangunan dan pemerintahan secara efektif
adalah Pertama, ‘business case for CSR’ (yakni, memanfaatkan inisiatif
sosial untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan) terbatas pada satuan
inisiatif untuk dapat mencapai masyarakat yang lebih luas. Kedua,
perusahaan multinasional seringkali gagal mengenali secara penuh
lingkup interaksi mereka dengan masyarakat dan politik, dan mereka
tidak mau menerima tanggung jawab terhadap isu-isu di level makro –
isu-isu yang berkaitan dengan dampak industri mereka terhadap
masyarakat luas.
Keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam CSR bukan
berarti usaha swasta tidak melakukan apa-apa terhadap isu-isu
kemasyarakatan. Perusahaan perlu didorong untuk melibatkan diri
dengan aspek sosial dan lingkungan dalam operasinya, dan mereka
akan memperoleh peluang-peluang bisnis yang CSR tawarkan.
Banyak inisiatif sukarela perusahaan gagal karena mereka tidak
mendengar stakeholders-nya dengan baik. Keterlibatan pemangku
kepentingan seringkali dangkal dan singkat, perusahaan mungkin
mendengarkan stakeholder-nya dengan daya tawar yang lebih besar
dengan prioritas kepentingan perusahaannya daripada memperhatikan
stakeholder-nya.
Sehingga
masalah
krusial
berikutnya
adalah
keputusan mengenai inisiatif sosial dan lingkungan seringkali
57
dilakukan untuk mencapai prioritas perusahaan daripada stakeholder,
yang akhirnya mengarah pada terbatasnya kemampuan CSR memberi
manfaat signifikan kepada stakeholder (pemangku kepentingan).
Pengembangan
industri
pada
dasarnya
ditujukan
untuk
memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat baik melalui
pembukaan lapangan pekerjaan, mendatangkan devisa negara, maupun
peningkatan pendidikan. Namun pada kenyataannya selain dampak
positif di atas, pengembangan industri menuai berbagai dampak negatif
antara
lain;
kerusakan
lingkungan
hidup
serta
menimbulkan
permasalahan sosial yaitu konflik antara perusahaan dengan penduduk
setempat akibat adanya kesenjangan secara sosial maupun ekonomi
antara pelaku usaha (korporat) dengan masyarakat sekitar.
Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang timbul
akibat berdirinya suatu kawasan industri, mengetuk hati pelaku usaha
untuk bertanggung jawab kepada publik melalui aktivitas yang nyata.
Bentuk pemberian dari para pelaku usaha tersebut dikenal dengan
semangat
Filantropi.
Philanthropy
dalam
bahasa
Indonesia
diterjemahkan sebagai kedermawanan sesungguhnya berasal dari
Bahasa Yunani (cinta atau kasih) dan anthropos (manusia); dengan
demikian artinya adalah kebaikan hati yang diwujudkan dalam
perbuatan baik dengan menolong dan memberikan sebagian harta,
tenaga maupun pikiran secara sukarela untuk kepentingan orang lain.
Sumbangan, amal, derma memang merupakan salah satu bentuk dari
filantropi, namun barulah tahap yang paling awal. Bentuk akhir dari
filantropi adalah sebagai investasi: yaitu investasi sosial (Ibrahim,
2005).
58
Berdasarkan dari filantropi tersebut maka pelaku bisnis yang
memiliki perusahaan besar maupun kecil (korporat) memiliki tanggung
jawab untuk turut mengembangkan masyarakat di sekitarnya untuk
menghindari terjadinya ketimpangan, kesenjangan serta kecemburuan
sosial yang dapat mengakibatkan disharmonisasi sosial.
Trinidad and Tobago Bereau of Standards (TTBS) menyatakan
bahwa Tanggung jawab sosial perusahaan dalam terminologi bahasa
Inggris disebut Corporate Social Responsibility, yang didefinisikan
sebagai “komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara
legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersama dengan
peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti
lokal dan masyarakat secara lebih luas (Sankat, Clement K, 2002 dalam
Budimanta, dkk, 2005)
Sementara menurut The World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD) (2002) difahami bahwa definisi Corporate
social responsibility adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan
perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas-komunitas
setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka
meningkatkan kualitas kehidupan.
Peningkatan kualitas kehidupan tersebut memiliki arti adanya
suatu itikad baik dari perusahaan untuk meningkatakan kemampuan
masyarakat sekitarnya agar mampu bertahan dengan perubahan yang
ada, mampu berkarya, menikmati serta memanfaatkan lingkungan
hidup. Dengan demikian tujuan dari peningkatkan kualitas kehidupan
tersebut adalah tidak mengurangi keadaan sebelum perusahaan berdiri
59
serta semaksimal mungkin berusaha meningkatkan daya saing
masyarakat setempat untuk mampu beradaptasi dan bertahan.
Sejalan dengan pandangan tersebut, I Nyoman Tjager (2003)
mengartikan corporate social responsibility sebagai tanggung jawab
moral perusahaan baik terhadap karyawan perusahaan itu sendiri
(internal), maupun di luar lingkungan perusahaan yaitu masyarakat di
sekitar perusahaan (eksternal). Pendapat tersebut menunjukkan adanya
kaitan yang erat antara keberadaan perusahaan dan ketentuan yang
mengikatnya yang dinamakan etika bisnis. Pada satu sisi perusahaan
memiliki orientasi mendapatkan keuntungan (money oriented) namun
di sisi lain perusahaan harus memiliki tanggung jawab dan kepedulian
pada masyarakat sebab perusahaan tersebut berada pada lingkungan
masyarakat dan sedikit banyak telah menimbulkan berbagai dampak
baik positif maupun negatif.
Corporate social responsibility merupakan proses penting dalam
pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari
para stakeholders baik secara internal maupun secara eksternal. Dengan
demikian, tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya terbatas pada
pemberian donor saja, namun konsepnya sangat luas dan tidak bersifat
statis dan pasif, hanya dikeluarkan dari perusahaan, akan tetapi hak dan
kewajiban yang dimiliki bersama antar stakeholders. Drucker (1993)
menyatakan bahwa pendekatan yang diperlukan dalam tanggung jawab
sosial perusahaan adalah holistik dalam usaha bisnis semata bergerak
dari yang bersifat derma menuju ke arah tanggung jawab sosial
perusahaan dan lebih kepada keberlanjutan penanaman sosial
perusahaan. Pertanyaannya adalah bagaimana bentuk penanaman sosial
60
perusahaan, apa dan kepada siapa yang harus ditanamkan tanggung
jawab sosial yang ada.
Mark
Goyder
membagi
dua
bentuk
corporate
social
responsibility, yaitu yang berbentuk tindakan atas program yang
diberikan terhadap masyarakat dan nilai yang menjadi acuan dari
corporate social responsibility. Bentuk yang pertama merupakan
tindakan terhadap aspek ekternal perusahaan atau kaitannya dengan
lingkungan luar seperti masyarakat dan lingkungan alam. Dengan kata
lain bagaimana perusahaan berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat
sekitarnya.
Bentuk kedua cenderung mengarah pada tipe ideal antara lain:
berupa nilai perusahaan yang dipakai untuk menerapkan atau
mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keadaan sosial
terhadap masyarakat sekitarnya. Menurut Goyder, interpretasi yang
benar dari corporate social responsibility adalah ekspresi dari tujuan
perusahaan dan nilai-nilai dalam seluruh hubungan yang telah
dibangun. Nilai-nilai yang ada diartikan berbeda dari norma yang ada
dalam perusahaan. Dengan demikian difahami bahwa corporate social
responsibility akan berjalan dengan cara abstrak, di mana nilai-nilai
perusahaan yang menjadi acuan dalam bertindak, atau tindakan nyata
yang dilakukan oleh perusahaan berdasarkan kondisi sosial masyarakat
sekitarnya.
Pada masa lalu perusahaan berada dalam lingkaran kegiatan untuk
menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kesejahteraan
perusahaan itu sendiri tanpa mengindahkan kewajiban recovery atas
lingkungan. Pandangan konvensional dari perusahaan mengenai hak
dan kewajibannya tersebut telah menyebabkan beberapa dampak
61
negatif atas aspek sosial, manusia, lingkungan (terutama pada
perusahaan yang bergerak pada bidang pemanfaatan sumber daya alam)
dan ekonomi itu sendiri, karena secara tidak langsung keberadaan
perusahaan di tengah-tengah masyarakat telah menyebabkan perubahan
bagi pola mata pencaharian penduduk sekitar. Sehingga tidak jarang
masyarakat menjadi miskin dengan keberadaan perusahaan tersebut.
Sejalan dengan berbagai fenomena yang terjadi kemudian lahirlah
konsep pembangunan berkelanjutan yang mengusung niat melakukan
pembangunan yang berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan masa
kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk
memenuhi kebutuhannya. (Rudito, dkk, 2004).
Pembangunan berkelanjutan harus dibangun atas dasar kerangka
bahwa bisnis akan tumbuh dengan subur di atas masyarakat yang
sejahtera. Karena itu bisnis perlu menyeimbangkan antara aspek
ekonomi berupa mencari keuntungan dan pembangunan sosial dan
perlindungan lingkungan hidup. Sehingga perusahaan dan masyarakat
mendapatkan hasil yang saling menguntungkan.
Pembangunan
berkelanjutan mengilhami pelaksanaan corporate social responsibility
yang kemudian dibahas dalam area internasional yaitu pada Konvensi
Rio de Janeiro tahun 1992. Kegiatan industrialisasi besar-besaran pada
masyarakat dunia telah menyebabkan berkurangnya beberapa modal
penting dalam kehidupan yaitu modal lingkungan sebagai implikasi
rusaknya kondisi alam akibat eksplorasi, serta modal sosial yaitu
ketimpangan dan kesenjangan sosial antara perusahaan dan masyarakat
sekitar yang menyebabkan konflik berkepanjangan.
Pendapat tersebut mengusung ide pelestarian lingkungan, dan
bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk penyadaran bagi
62
perusahaan terutama perusahaan yang berada pada bidang pemanfaatan
sumber daya alam.
Lahirnya corporate social responsibility mendapat tanggapan
kontradiktif dari penganut ekonomi klasik (kapitalis murni), perusahaan
dianggap tidak perlu melakukan kegiatan sosial sebab hal tersebut
merupakan tanggung jawab pemerintah. Perusahaan berpendapat
seperti itu karena perusahaan telah menyerahkan tanggung jawabnya
pada pemerintah secara penuh melalui pajak. Perusahaan hanya
memiliki kewajiban untuk memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya yang akan berdampak pada pembayaran pajak yang lebih
besar sebagai pemberian keuntungan bagi negara.
Pendapat tersebut didukung oleh pakar manajemen, Peter
Drucker, yang menyatakan bahwa keterlibatan perusahaan di luar
kegiatan bisnis yang digelutinya, merupakan perluasan kekuasaan para
eksekutif perusahaan yang melampaui kekuasaan mereka di bidang
ekonomi.
Prayogo (2011) menolak pendapat tersebut, dan menyatakan
bahwa bisnis seharusnya tidak hanya mencari keuntungan semata,
namun harus memperhatikan aspek-aspek yang lebih luas dan bahwa
tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan oleh masyarakat, saat ini, tidak lagi
boleh dipandang sebagai hambatan oleh perusahaan. Tuntutan-tuntutan
tersebut sewajarnya dipandang sebagai peluang bagi perusahaan untuk
mengembangkan bisnisnya sehingga bisnis dapat berkembang dan
tuntutan masyarakat pun terjawab.
Lambat laun hal tersebut menjadi sebuah kesepakatan bagi
seluruh perusahaan di dunia untuk melakukan tanggung jawab
sosialnya tidak sebatas pada pembayaran pajak, namun perlu ada
63
penanganan langsung pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat
di lingkungan sekitar perusahaan tersebut.
Pelaksanaan corporate social responsibility menjadi trend
global sebagai agenda bagi tiap-tiap perusahaan terlepas dari tepat atau
tidak tepatnya pelaksanaan CSR tersebut. Di Indonesia, konsep
corporate social responsibility (CSR) mulai menjadi isu hangat namun
belum memasyarakat baik bagi seluruh lingkungan pelaku industri
maupun bagi masyarakat itu sendiri.
Pelaksanaan CSR di Indonesia masih berada pada tahap
pembagian keuntungan yang dipergunakan untuk menjawab felt needs
(keinginan) daripada real needs (kebutuhan nyata) masyarakat. Hal ini
disebabkan
banyak
perusahaan
belum
memahami
pentingnya
mengetahui dan memfasilitasi kebutuhan nyata masyarakat melalui
pelaksanaan CSR yang tepat. Pelaksanaan CSR yang tidak tepat dapat
menuai permasalahan yang lebih mendalam, dengan kata lain
memecahkan
masalah
dengan
masalah
baru.
Kecenderungan
perusahaan melaksanakan CSR adalah melalui pemberian derma
berupa sumbangan, padahal hal tersebut berada pada tingkatan terendah
pada kedermawanan. Hendaknya perusahaan melakukan CSR dengan
itikad untuk ”growing bigger together” antara perusahaan dengan
masyarakat
setempat.
Artinya
perusahaan
seiring
dengan
perkembangannya melakukan pengembangan terhadap masyarakat agar
memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik, sehingga perusahaan dan
masyarakat dapat berkembang secara bersama-sama.
Terdapat beberapa tipe pelaksanaan CSR seperti yang
diungkapkan oleh Budimanta, dkk (2007) yaitu:
1. Community relations
64
2. Community services
3. Community empowering
Community relations; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut
pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada
para pihak yang terkait.
Dalam kategori ini, program cenderung
mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan (charity) atau filantropis
perusahaan kepada masyarakat, atau pemangku kepentingan lainnya.
Jika semua kegiatan-kegiatan CSR lebih banyak diarahkan pada
kegiatan tersebut maka akan menimbulkan ketergantungan dari
masyarakat lokal kepada perusahaan. Kegiatan-kegiatan CSR yang
ditujukan dalam upaya meredam gejolak di masyarakat dan
dikhawatirkan akan mengganggu hubungan antara perusahaan dengan
masyarakat, juga termasuk dalam kategori ini. Sehingga kegiatankegiatan CSR yang lebih berlandaskan pada community relations
semata, perlu ditunjang dengan kegiatan lainnya yang lebih
memberdayakan.
Dari
hubungan
ini
maka
perlu
dirancang
pengembangan hubungan yang lebih mendalam dan terkait dengan
bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah
yang ada di komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan
program selanjutnya.
Tipe kedua adalah community services; merupakan pelayanan
kemasyarakatan dari perusahaan untuk memenuhi kepentingan
komunitas ataupun kepentingan umum lainya. Tipe kategori ini,
kegiatan atau program yang biasa dilakukan adalah pembangunan
secara fisik sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi dan
sebagainya yang berupa puskesmas, sekolah, rumah ibadah, jalan raya,
sumber air minum, dan sebagainya. Hal pokok dari kategori ini adalah
65
memberikan kebutuhan yang ada di komunitas dan pemecahan masalah
yang dihadapi oleh komunitas. Idealnya, pelaksana kegiatan ini
dilakukan oleh komunitas sendiri, sedangkan perusahaan hanya
bertindak sebagai fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di
komunitas.
Sehingga
dalam
rangka
peran
fasilitator
tersebut,
kebutuhan-kebutuhan yang ada di komunitas dianalisis oleh para
community development officer, kemudian dibuat rencana kegiatannya.
Namun persoalannya, tidak semua perusahaan memiliki sumber daya
manusia yang cukup dan memadai, baik kualitas maupun kuantitas,
yang mendukung kegiatan CSR bersama masyarakat.
Kemudian
tipe
ketiga
adalah
community
empowering;
merupakan kegiatan-kegiatan dan program-program yang berkaitan
dengan pemberian akses yang lebih luas kepada komunitas untuk
menunjang kemandiriannya. Pada dasarnya, kategori ini melalui
tahapan-tahapan kategori lain seperti melakukan community relation
pada awalnya, yang kemudian berkembang pada community services
dengan segala metodologi penggalian data dan kemudian diperdalam
melalui ketersediaan pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di
komunitas melalui program kategori ini. Dalam rangka menunjang
kemandirian masyarakat tersebut, maka dalam setiap tahapan kegiatan
pemberdayaan masyarakat (community empowering), masyarakat harus
dilibatkan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat
(Ife, 2007).
Relasi industri dengan stakeholder khususnya masyarakat lokal,
tergantung pada jenis industri. Berdasarkan bahan dasar (raw material)
dan teknologi pengolahan maka industri dibedakan menjadi 3 (tiga)
66
yaitu industri ektratif, industri manufaktur dan jasa. Dalam Tabel 6
nampak bagaimana kecenderungan relasi korporasi-stakeholder.
Tabel 6. Kecenderungan Relasi Korporasi-Stakeholder
Industri
Ektraktif
Eksploitasi atas
sumber alam /
komunitas lokal
Komunitas Lokal
Kategori 1:
resistensi tinggi,
rentan konflik
hingga ke bentuk
kekerasan,
sumber konflik
utamanya berkait
dengan sumber
ekonomi
Pekerja
Kategori 2:
resistensi sedang,
tidak terlau rentan
terhadap konflik,
secara umum
kesejahteraan
pekerja sangat
baik
Manufaktur
Eksploitasi atas
pekerja
Kategori 2:
resistensi sedang,
tidak terlalu
rentan konflik
terkecuali
berkaitan dengan
masalah
lingkungan
Kategori 3:
resistensi rendah,
jarang konflik,
interkasi dan
silang
kepentingan
jarang terjadi
Kategori 1:
resistensi tinggi,
sangat rentan
konflik, karena
ekstra marjin
diperoleh melalui
minimalisasi upah
Jasa
Eksploitasi atas
konsumen
Kategori 2:
resistensi sedang,
tidak terlalu
rentan konflik
terkecuali
perusahaan yang
bermasalah
dengan
manajemennya
Konsumen
Kategori 3:
resistensi rendah,
konflik jarang
terjadi,
terkecuali bentuk
boikot produk
terkait
pencemaran
lingkungan dan
HAM
Kategori 2:
resistensi rendah,
jarang konflik,
terkecuali
keluhan atas
kualitas produk
Kategori 1:
resistensi tinggi,
sangat rentan
konflik, ekstra
marjin diperoleh
dari selisih
kualitas jasa
dengan harga
Sumber: Prayogo, 2007
Berdasarkan tabel 6 nampak bahwa relasi antara korporasistakeholder berkaitan dengan penelitian ini masuk dalam kategori 1.
Dalam kategori 1 nampak bahwa relasi yang terjadi antara jenis industri
ektratif dan masyarakat lokal cenderung ’resistensi tinggi dengan
67
masyarakat lokal, kerentanan konflik terjadi hingga ke bentuk
kekerasan, sedangkan sumber konflik utamanya adalah ekonomi.
Kemudian kegiatan-kegiatan corporate social responsibility
(CSR) ditengarai merupakan operasionalisasi dari upaya membangun
hubungan yang baik dengan stakeholder, khususnya masyarakat lokal.
Persoalannya adalah apakah kegiatan tanggungjawab sosial perusahaan
tersebut dapat menjadi media dan konteks hubungan antara korporasi
dengan masyarakat lokal. Berikut adalah tabel yang menggambarkan
operasionalisasi
kegiatan
CSR
dengan
konsep
Keadilan
dan
Pemerataan yang diungkapkan oleh Prayogo (2008:156-157).
Tabel 7. Operasionalisasi Konsep ”Keadilan dan Pemerataan”
Tingkat
Justice and
Equity
Philanthropy
Share of profit
Share of Cost of
Production
Share of
ownership
Operasionalisasi
Charity korporasi sebagi donor, komunitas sebagai residual,
prinsip sukarela, secara politik ditujukan agar tidak mengganggu
proses produksi, pendekatan conservatism, jauh dari prinsip
justice and equality
Korporasi dominan, jumlah keuntungan dan prosentasi
pembagian ditentukan sepihak oleh korporasi, komunitas sudah
masuk sebagai primary stakeholders, kewajiban korporasi hanya
pada pembagian keuntungan, equality mulai berjalan namun hak
komunitas secara prinsip belum tersentuh.
Komunitas merupakan bagian integratif dalam sistem produksi,
biaya CSR, dan CD dimasukan dalam biaya produksi, equality
bagian dari cost of production, prinsip equality mulai tercapai
namun justice belum, posisi korporasi masih lebih di atas
komunitas
Justice and equality sudah ditegakkan, ’hak’ komunitas lokal
ditegaskan dalam prosentase pemilikan dan pembagian
keuntungan, namun resiko kerugian turut pula ditanggung
komunitas, posisi komunitas dan korporasi sejajar dalam praktek
tambang
Sumber: Prayogo (2008:156-157)
68
Prayogo (2008) memetakan tingkat keadilan dan pemerataan
yang dilakukan oleh perusahaan melalui tanggung jawab sosial
perusahaan.
Tingkat
terendah
kegiatan
tanggungjawab
sosial
perusahaan adalah hanya dorongan philantropic, dengan dominasi
kegiatan yang bersifat bantuan (charity). Sedangkan tingkat yang
tertinggi adalah share of ownership, dimana hal ini terjadi apabila
posisi hubungan antara korporasi dengan masyarakat lokal adalah
sejajar. Dalam praktiknya kesejajaran relasi antara korporasi dengan
masyarakat lokal tersebut hingga saat ini masih sulit terwujud.
C. Operasionalisasi
Tanggung
Jawab
Sosial
Perusahaan:
Konsepsi Strukturasi
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pelaksanaan
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan kewajiban yang
harus dilakukan oleh perusahaan, apalagi pada industri ektraktif yang
memafaatkan sumber daya alam, sebagaimana tertuang dalam UU No
40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas, serta PP No 47 tahun 2012
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
Bahkan pada sejumlah daerah di Indonesia baik provinsi maupun kotakabupaten, kebijakan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan
tersebut coba dioperasionalkan dalam peraturan daerah, atau setidaknya
seiring dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah kota dan
kabupaten. Dalam konsepsi teori strukturasi (Giddens, 1979) maka
kebijakan nasional ataupun peraturan daerah tersebut dapat dipahami
sebagai salah satu dimensi struktur, yaitu legitimasi. Walaupun
pengertian legitimasi tersebut tidak semata yang tertulis, namun juga
69
sesuatu yang diikuti dan menjadi media terjadinya praktik-praktik
sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Giddens, bahwa struktur
dikonsepsikan sebagai aturan ‘rules’ dan sumber daya ‘resources’ yang
memungkinkan praktik sosial hadir di sepanjang ruang dan waktu
(Gidden, 1986), juga seperti yang diungkapkan oleh Giddens dalam
Ritzer & Goodman (2003) yaitu: Structure is made possible by
existence of rule and resources; structures themselves do not exist in
time and spaces. Artinya struktur hanya mungkin mewujud dalam
bentuk aturan dan sumber daya, struktur itu sendiri tidak terbatas dalam
ruang dan waktu. Dengan demikian kebijakan mengenai tanggung
jawab sosial dan perusahaan dapat dipandang sebagai struktur, dengan
sifatnya yang melintasi ruang dan waktu.
Hingga saat ini masih sangat jarang, atau dengan kata lain
masih
sulit
ditemui
penelitian-penelitian
yang
secara
khusus
menggunakan konsepsi strukturasi untuk mengkaji fenomena sosial.
Dalam bagian berikut ini akan coba diuraikan kaitan isyu mengenai
tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat lokal dengan
menggunakan teori strukturasi.
Teori strukturasi berkait dengan persoalan agen dan struktur
yang dapat ditengarai sebagai salah satu isyu yang fundamental dalam
teori sosial, khususnya dalam Teori Modern (Ritzer & Goodman,
2003). Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan sosial masyarakat pada
dasarnya tidak dapat dipisahkan dari dua faktor tersebut. Lebih jauh,
Jenkins (2010) menambahkan, satu-satunya masalah yang masih
bertahan dalam teori-teori sosial adalah tidak dapat menyatukan
masalah agen dan struktur. Dalam perkembangan teori-teori sosial,
terdapat upaya-upaya untuk mengintegrasikan agen dan struktur, dan
70
salah satu upaya yang paling terkenal adalah upaya yang dilakukan
oleh Anthony Giddens melalui teori strukturasi (Giddens, 1986; Ritzer
& Goodman, 2003).
Teori Strukturasi Giddens dipandang sebagai terobosan baru
dalam wilayah teori sosial karena menyuguhkan suatu elaborasi
pemikiran yang dikemas secara menarik, dan muncul sebagai solusi
untuk menutup kekurangan dari teori-teori sosial yang ada. Teori
Strukturasi Giddens berupaya memberi jalan tengah dan menjembatani
dua kutub teori besar mikro-makro, naturalistik-humanis, atau agenstruktur. Giddens melihat bahwa ilmu-ilmu sosial dijajah oleh gagasan
dualisme agen versus struktur, dimana agen dan struktur dipahami
dalam keadaan terpisah dan dianggap merepresentasikan sifat-sifat dan
kekuatan-kekuatan yang berbeda (Priyono 2002:18). Lebih lanjut,
menurutnya adalah suatu kesalahan besar, bahwa dalam studi-studi
sosiologi kebanyakan menggunakan gagasan tersebut sebagai titik
permulaan. Bagi Giddens, obyek utama dalam ilmu sosial bukanlah
‘peran
sosial’
seperti
fungsionalisme
Parsons,
bukan
‘kode
tersembunyi’ seperti dalam interkasionisme-simbolis Goffman. Bukan
keseluruhan (totalitas), bukan sebagian, bukan struktur, dan bukan juga
agen perorangan, melainkan titik temu di antara keduanya, seperti yang
dikemukakan oleh Giddens (1986:25) sebagai berikut “the constitution
of agents and structure are not two independently given sets
phenomenon, a dualism, but represent a duality...”
Dapat dipahami, hubungan antara agen dan struktur berupa
relasi dualitas bukan dualisme. Dualitas itu terjadi dalam praktik sosial
yang berulang dan terpola dalam dalam lintas ruang dan waktu
(Giddens 1986:2). Dalam pemikiran Giddens, agen dan struktur tidak
71
dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu sama lain, namun
diibaratkan sebagai dua sisi dari satu keping uang logam
Dengan demikian, teori strukturasi dapat dilihat sebagai suatu
upaya dalam mengintegrasikan agen dan struktur melalui cara yang
tepat, dan dimaksudkan untuk menjelaskan dualitas dan hubungan
dialektika antara agen dan struktur (Bernstein, 1989). Walaupun,
Giddden mengatakan bahwa struktur tidak menentukan agen, dan
sebaliknya agen juga tidak menentukan struktur, namun sesungguhnya
baik struktur maupun agen tidak akan ada tanpa kehadiran yang
lainnya. Oleh karena itu, hubungan antara keduanya harus dilihat
sebagai sebuah ‘sejarah, proses, dan persoalan dinamis’ (Ritzer &
Goodman, 2003).
Lebih jauh, Gidden (2010:17) menerangkan pandangan tentang
struktur dalam bukunya “The Constitution of Society: Outline of the
Theory of Structuration,” bahwa Gidden tidak melihat struktur sebagai
bingkai eksternal yang menekan agen, melainkan lebih sebagai bingkai
yang memungkinkan dilakukannya praktik sosial melintasi ruang dan
waktu. Lebih lanjut, Giddens menegaskan kembali bahwa kreasi antara
agen dan struktur pada dasarnya harus dilihat sebagai relasi “dualitas
struktur,” dimana terjadi hubungan koheren di dalamnya: struktur
bertindak sebagai medium, dan sekaligus sebagai hasil perulangan
praktik sosial (Kaspersen 2000, 379). Melalui relasi dualitas inilah,
masyarakat secara konstan dibentuk dalam proses strukturasi yang
dilakukan terus menerus melalui perulangan praktik sosial (social
practice).
Relasi antara perusahaan dengan masyarakat setempat melalui
kegiatan atau operasionalisasi tanggung jawab sosial dapat dijelaskan
72
sebagai praktik-praktik sosial yaitu antara masyarakat lokal dengan
pihak perusahaan melalui suatu ‘struktur’ tanggung jawab sosial
perusahaan. Namun demikian, pernyataan tersebut tidak sesederhana
dan secepat itu. Oleh karena itu perlu uraian penjelasan lebih jauh lagi
mengenai makna praktik sosial itu sendiri.
Dalam mendefinisikan konsep praktik sosial ---yang merupakan
inti Teori Strukturasi—Giddens menggunakan konsep-konsep inti dari
filsafat sosiologi klasik dan modern, seperti: konsep agen, konsep
struktur, dan konsep lainnya sebagai bagian tak terpisahkan satu sama
lain. Giddens mendefinisikan dan memformulasikan kembali beberapa
konsep
dalam
hubungan
saling
bergantung,
dan
kemudian
dikombinasikan untuk menyatakan suatu praktik sosial. Berikut ini
adalah penjelasan mengenai konsep-konsep yang dimaksud.
1. Konsep Agen
Gidden menegaskan bahwa suatu masyarakat terdiri atas praktikpraktik sosial yang diproduksi dan direproduksi melintasi ruang dan
waktu (Kaspersen 2000:379). Maka dari itu, menurutnya penting untuk
mendefinisikan praktik sosial, menggunakan konsep yang tidak
memperlakukan agen melebihi struktur ataupun sebaliknya. Teori
strukturasi menekankan ketidakterpisahan agen-struktur dalam sebuah
hubungan “mutually constitutive.” Agen dan struktur saling jalinmenjalin tanpa terpisahkan dalam praktik sosial manusia. Dia
memulainya dengan menekankan pada definisi dari konsep agen. Agen
adalah orang-orang yang terlibat dalam arus kotinu tindakan (Priyono,
2002:19). Giddens (2010) melihat agen sebagai “pelaku dalam praktik
73
sosial”, agen dapat dilihat sebagai individu perorangan ataupun sebagai
kelompok. Agen atau ‘pelaku praktik sosial’ dalam kegiatan tanggung
jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat lokal adalah perusahaan
dan masyarakat lokal.
Kemudian untuk memunculkan praktik sosial seperti kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan maka dipersyaratkan dua faktor
penting, yaitu rasionalisasi dan motivasi dari agen atau pelaku.
Sebagaimana dikemukakan oleh Giddens (2010) bahwa untuk
melahirkan praktik sosial, agen membutuhkan dua faktor penting yaitu:
rasionalisasi dan motivasi. Rasionalisasi (Gidden, 2010) adalah
mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak hanya memberikan
perasaan aman kepada agen, tetapi juga memungkinkan mereka
menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien. Sedangkan,
motivasi meliputi keinginan dan hasrat yang mendorong praktik sosial.
Jadi, sementara rasionalisasi terus menerus terlibat dalam praktik
sosial, motivasi dapat dibayangkan sebagai potensi untuk bertindak.
Lebih lanjut, Giddens (2010: 10-12) membedakan tiga dimensi
internal agen dalam bentuk kesadaran praktis ‘practical consciousness’,
kesadaran diskursif ‘discursive consciousness’, dan motivasi tak sadar
‘unconciusmotives’. Agen dianggap memiliki pengetahuan tentang
sebagian besar tindakannya, dan pengetahuan ini diekspresikan sebagai
kesadaran praktis (Kaspersen 2000:380). Kesadaran praktis menunjuk
pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu dapat diuraikan
(Priyono 2002: 29). Diam saat kita masuk tempat ibadah adalah salah
satu contoh kesadaran praktis. Gugus pengetahuan ini merupakan
sumber rasa aman ontologis ‘ontological security’ (Giddens 2010:77).
Melalui gugus pengetahuan praktis ini, kita tahu bagaimana
74
melangsungkan hidup sehari-hari tanpa harus mempertanyakan terusmenerus apa yang akan terjadi atau yang harus dilakukan. Demikian
pula, kita hampir tidak pernah bertanya mengapa kita menghentikan
mobil ketika lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Rutinitas hidup
personal dan sosial terbentuk melalui kinerja kesadaran praktis ini
(Priyono 2002: 29). Sebaliknya, kesadaran diskursif mengacu pada
serangkaian
kapasitas
pengetahuan
yang
kita
miliki
dalam
merefleksikan dan memberikan penjelasan serta eksplisit mengenai
tindakan yang kita lakukan (Priyono 2002:28). Selain memungkinkan
kita untuk memformulasikan penjelasan, kesadaran diskursif juga
memberikan
kesempatan
tindakannya
(Karpersen
kepada
agen
2000:380).
Di
untuk
mengubah
samping
itu,
pola
Giddens
menambahkan bahwa tidak semua motivasi dari tindakan agen dapat
ditemukan pada tingkat kesadaran. Giddens memakai motivasi tak
sadar sebagai pemicu terhadap beberapa tindakan agen. Motivasi tak
sadar menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi
mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri. Sebagai
contoh, sangat jarang ‘tindakan’ kita ke tempat kerja digerakkan oleh
motif mencari uang, kecuali mungkin pada hari gajian (Priyono 2002:
28). Dari tiga dimensi di atas, kesadaran praktis dinilai menentukan
dalam memahami kehidupan sosial, dan merupakan kunci untuk
memahami proses bagaimana berbagai praktik sosial kita lambat laun
menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu memampukan praktik
sosial yang kita lakukan. Dengan demikian, dapat kita lihat reproduksi
sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial yang jarang kita
pertanyakan (Priyono 2002:29)
75
Satu hal lagi yang perlu disinggung dalam hubungannya dengan
agen adalah melalui praktik sosial yang berulang-ulang yang dilakukan
oleh agen, tidak hanya struktur yang diciptakan, tetapi juga refleksifitas
(kesadaran). Refleksivitas ini memungkinkan agen untuk memonitor
aliran yang terus menerus dari aktifitas dan kondisi struktural yang
dihadapi oleh agen. Dengan menekankan pada kesadaran ini, Giddens
sebenarnya sangat menekankan arti pentingnya praktik sosial.
Meminjam gagasan Erving Goffman, dia mengemukakan bahwa
sebagai agen, kita mempunyai kemampuan untuk berintrospeksi dan
mawas diri ‘reflexive monitoring of conduct’ (Priyono 2002: 30).
Dengan kata lain, teori strukturasi memberikan agen kemampuan untuk
mengubah situasi, artinya teori ini mengakui besarnya peran agen
dalam menentukan suatu praktik sosial. Hal ini sangat erat dengan
refleksi Gidden (1979: 210) bahwa perubahan selalu terlibat dalam
proses strukturasi betapapun kecilnya perubahan itu. Perubahan terjadi
ketika kapasitas memonitor (mengambil jarak) ini meluas sehingga
berlangsung ‘de-rutinisasi’. Derutinisasi menyangkut gejala, dimana
struktur yang selama ini menjadi aturan dan sumber daya atas praktik
sosial kita, tidak lagi memadai untuk dipakai sebagai prinsip
pemaknaan dan pengorganisasian berbagai praktik sosial yang sedang
berlangsung, atau pun yang sedang diperjuangkan agar menjadi praktik
sosial baru (Priyono 2002: 30). Yang kemudian terjadi adalah
keusangan struktur. Dengan kata lain, perubahan struktur berarti
perubahan skemata agar lebih sesuai dengan praktik sosial yang terus
berkembang.
Dalam tulisannya, Giddens seringkali menggunakan kata agensi
dan praktik sosial secara bergantian, ia melihat agensi sebagai
76
fenomena tersendiri, namun dia melihatnya dengan cara memandang
bahwa:
Action as a flow of events, pervaing society in a never-ending
process thats is analogous to processes of thought an cognition
that constanly pervade our minds. Action is a flow without start
or finish in short, a structuration process (Kaspersen, 2000:
381).
Dapat dipahami bahwa, pengertian mengenai agensi adalah
merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh agen secara terus-menerus
dan berkesinambungan. Agensi berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
yang pelakunya adalah agen dalam rangkaian perilaku tertentu. Apapun
yang terjadi, tidak akan terjadi jika agen tidak terlibat di dalamnya.
Dalam Central Problem in Social Theory, Giddens (1979:9)
menjelaskan bahwa agensi tidak mengacu pada serangkaian tindakan
terpisah yang digabung bersama-sama, namun lebih mengarah pada
perilaku yang berlangsung secara berkesinambungan, yang diwujudkan
dalam bentuk “praktik sosial”. Dengan kata lain, agensi adalah praktik
sosial.
2. Konsep Struktur
Salah satu konseptual penting dari teori strukturasi Giddens terletak
pada pemikiran tentang struktur dan dualitas struktur. Giddens (1986)
menyatakan bahwa struktur bukanlah benda, melainkan suatu skemata
yang hanya tampil dalam dan melalui praktik sosial.
Dengan kata lain, struktur itu bersifat maya ‘virtually’, artinya
hanya hadir di dalam dan melalui aktivitas agen manusia, serta ada
dalam pikiran manusia, yang digunakan hanya ketika kita bertindak,
77
sebagaimana yang dikemukakan oleh Giddens dalam Kaspersen (2000:
381), Structure does not exist, it is continuously produced via agents
who draw on this very structure when they act. Struktur, oleh Giddens,
dikonsepsikan sebagai aturan ‘rules’ dan sumber daya ‘resources’ yang
memungkinkan praktik sosial hadir di sepanjang ruang dan waktu
(Gidden 1984: 17), seperti yang diungkapkan oleh Giddens dalam
Ritzer & Goodman (2003) yaitu: Structure is made possible by
existence of rule and resources; structures themselves do not exist in
time and spaces. Artinya, struktur hanya akan terwujud dengan adanya
aturan dan sumber daya. Struktur didefinisikan sebagai “propertiproperti yang berstruktur (aturan-aturan dan sumber daya) ... properti
yang memungkinkan praktik sosial serupa untuk eksis di sepanjang
ruang dan waktu” (Giddens 1984: 17). Giddens (1989:256) berpendapat
bahwa “struktur hanya ada di dalam dan melalui praktik sosial”.
Sementara, aturan adalah kesepakatan sosial tentang bagaimana harus
bertindak, dan sumber daya itu mengacu pada kapabilitas untuk
membuat sesuatu terjadi (Giddens, 2010: 28).
Perlu dicatat, struktur itu mengatasi ruang dan waktu, artinya
struktur tidak ada dalam ruang dan waktu, sedangkan praktik sosial
hanya ada dan berlangsung di dalam ruang dan waktu (Priyono
2002:19).
Lebih jauh, Giddens (2009: 65) menggarisbawahi, struktur
adalah aturan dan sumber daya yang terbentuk dari dan memediasi
perulangan praktik sosial. Dualitas struktur terletak pada proses dimana
“struktur sosial merupakan hasil ‘outcome’ dan sekaligus menjadi
sarana ‘’medium’ praktik sosial (ibid: 7). Artinya, dualitas agen dan
struktur terletas pada fakta bahwa suatu struktur yang menjadi prinsip
78
praktik-praktik sosial di berbagai tempat dan waktu adalah merupakan
suatu hasil perulangan dan terus menerus dari berbagai praktik sosial
yang kita lakukan, dan sebaliknya, struktur menjadi medium bagi
berlangsungnya praktik sosial kita (Priyono 2002: 22). Agen dan
struktur melakukan interaksi yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Inilah yang disebut dualitas struktur. Melalui dualitas struktur inilah,
hubungan antara agen dan struktur dapat terlihat jelas. Agen dengan
jangkauan pengetahuan yang dimiliki dapat menjadikan struktur
sebagai acuan dalam bertindak dan mengubah serta mereproduksi
struktur melalui praktik sosial yang sudah bersifat rutin. Struktur secara
aktif diproduksi, direproduksi, dan diubah oleh agen yang dilihat
sebagai aktor yang memiliki kemampuan.
Seperti telah disinggung, struktur dalam kehidupan sosial
diidentifikasikan ke dalam dua aspek yakni: sebagai aturan dan sumber
daya. Aspek pertama, sebagai aturan, struktur adalah suatu prosedur
yang dijadikan sebagai pedoman oleh agen dalam menjalankan
kehidupan sosialnya (Giddens, 1984). Terkadang interpretasi dari
aturan dituliskan dalam bentuk hukum atau aturan birokratis. Demikian
pula, aturan struktural dapat direproduksi oleh agen dalam suatu
masyarakat, atau dapat diubah melalui perkembangan pola baru dari
suatu interaksi. Aspek kedua dari struktur adalah sumber daya, yang
juga terjadi melalui praktik sosial, dan dapat diubah atau dipertahankan
olehnya.
Struktur sebagai sumber daya dibedakan menjadi dua yaitu
sumber daya alokatif ‘allocative’
dan sumber daya kewenangan
‘authoritative’ (Haralombos, et al, 2004, 969). Yang dimaksud dengan
sumber daya allocative adalah kegunaan dari gambaran materi dan
79
benda-benda untuk mengotrol serta menggerakkan pola interaksi dalam
suatu konteks. Sumber daya alokatif menakup bahan mentah, tanah,
teknologi, alat-alat produksi, pendapatan, dan harta benda. Bagi
Giddens, sumber daya tidak begitu saja ada atau disediakan oleh alam,
namun hanya melalui praktik sosial, sumber daya itu hadir. Sama
halnya, tanah tidak serta merta merupakan sumber daya sampai
seseorang mengolahnya untuk suatu kepentingan. Sedangkan, yang
dimaksud dengan sumber daya authoritative adalah kemampuan untuk
‘mengontrol’ dan mengarahkan pola-pola interaksi dalam suatu
konteks. Sumber daya ini mencakup keterampilan, pengetahuan ahli,
posisi di lembaga atau organisasi, dominasi, dan legitimasi. Dengan
kata lain, mereka menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk
membuat orang lain menurut dan melakukan keinginan atau
perintahnya. Dengan cara ini, manusia menjadi suatu sumber daya yang
dapat digunakan oleh lainnya. Giddens (1993) menformulasikan
konsep struktur, sistem dan strukturasi sebagai berikut:
Gambar 1. Struktur, Sistem dan Strukturasi
Struktur
Aturan dan sumber daya
atau seperangkat relasi
transformasi,
terorganisasi sebagai
kelengkapankelengkapan dari
sistem-sistem sosial
Sistem
Relasi-relasi yang
direproduksi di antara
para aktor atau
kolektivitas,
terorganisasi sebagai
praktik-praktik sosial
reguler.
Strukturasi
Kondisi-kondisi yang
mengatur keterulangan
atau transformasi
struktur-struktur, dan
karenanya reproduksi
sistem-sistem sosial itu
sendiri
Terlepas dari hal tersebut, struktur menurut Giddens (1984),
dapat disimpulkan sebagai struktur yang memungkinkan agen untuk
80
melakukan praktik sosial “struktur berfungsi sebagai peluang pada
agen,”
dan
bukan
struktur
yang
memaksa,
menekan,
dan
mengendalikan praktik sosial “stuktur berfungsi sebagai pembatas,”
sebagaimana yang didefinisikan oleh para ahli yang menganut paham
konvensional terdahulu.
3. Konsep Dualitas Struktur dan Praktik Sosial
Dalam sebuah wawancara, Anthony Giddens pernah ditanya
tentang tujuan seluruh proyek kerjanya selama dua puluh tahun terakhir
ini. Ia menjawab, “Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang
pemikiran sosial, membangun kembali logika serta metode ilmu-ilmu
sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya lembaga-lembaga
modern.” (Priyono, 2000:16) Apa yang diinginkan Giddens ternyata
bukanlah mimpi kosong karena ia telah menghasilkan satu terobosan
penting tidak hanya bagi sosiologi, namun juga bagi ilmu-ilmu sosial
pada umumnya. Salah satu kontribusinya adalah teori strukturasi.
Teori ini muncul, menurut Giddens, dari ketiadaan teori
tindakan dalam ilmu sosial. (Giddens, 1979) .Ini bukan berarti bahwa
para teoritisi tidak mempunyai teori tentang tindakan. Erving Goffman,
misalnya, menggagas ‘pelaku dan tindakannya’ mirip seperti pemain
Srimulat yang bermain spontan tanpa naskah. Sebaliknya, Talcott
Parsons melihat pelaku dan tindakannya seperti mantan Menteri
Penerangan Indonesia, Harmoko, yang bertindak “menurut petunjuk
bapak presiden.” (Priyono, 2003:7-8) Yang pertama cenderung
menafikan bingkai struktural, sedangkan yang kedua menisbikan
kapasitas bebas pelaku. Kedua kecenderungan inilah yang menguasai
81
dunia ilmu sosial ketika Giddens membangun teorinya. Ada dualisme
yang menggejala.
Akar dualisme tersebut terletak dalam kerancuan kita melihat
objek kajian ilmu sosial. Menurut Giddens, objek utama ilmu sosial
bukanlah ‘peran sosial’ seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukan
‘kode tersembunyi’ seperti dalam strukturalisme Levi-Strauss, bukan
pula ‘keunikan-situasional’ seperti dalam interaksionisme Goffman.
Bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan struktur, dan bukan pelakuperorangan, melainkan titik temu keduanya, yaitu “praktik sosial yang
berulang serta terpola dalam lintas ruang dan waktu” (ibid, 2003: 17).
Kritik Giddens terhadap fungsionalisme setidaknya terangkum
dalam tiga hal. Pertama, fungsionalisme memberangus fakta bahwa
kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang
terjadi disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak berdasarkan
“naskah” (peran) yang sudah ditentukan. Kedua, fungsionalisme
merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya
kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak
punya kebutuhan apa pun. Yang punya kebutuhan adalah kita para
pelaku. Ketiga, fungsionalisme membuang dimensi waktu (time) dan
ruang (space) dalam menjelaskan gejala sosial.
Kritik terhadap strukturalisme ada pada poin pokoknya bahwa
apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan ‘kode
tersembunyi’ yang ada di balik gejala kasat mata. Kode tersembunyi itu
yang disebut struktur. Tindakan dan ruang dalam ruang dan waktu
tertentu hanyalah suatu kebetulan. Contohnya, kalau mau memahami
gejala dalam masyarakat kapitalis, kita harus mengarahkan perhatian
82
bukan pada perilaku modal atau konsumen, melainkan pada logika
internal kinerja modal (ibid, 2003: 15).
Jadi, antara kedua perspektif di atas ada kesejajaran, yaitu
pengebawahan pelaku dan tindakan pelaku pada totalitas gejala.
Pelaku, tindakan pelaku, waktu, ruang dan proses tindakan dianggap
sebagai kebetulan. Dalam kritik Giddens, perspektif fungsionalis dan
strukturalis merupakan “penolakan yang penuh skandal terhadap
subyek” (ibid, 2003: 38).
Konsep strukturasi memusatkan perhatian pada hubungan
dialektika antara agen dan struktur (Giddens 1984: 23). Seperti telah
dijelaskan, tidak ada struktur tanpa agen dan juga sebaliknya, tidak ada
agen tanpa struktur. Pembahasan Giddens atas konsep agen dan
struktur menjadi basis bagi teori strukturasinya. Demikian pula,
konsepnya tentang agensi memandang agen sebagai subjek bebas
sepenuhnya. Giddens mengikuti jalan yang ditempuh agen untuk
menciptakan dirinya sendiri melalui partisipasi dalam praktik-praktik
sosial yang terus berlangsung.
Giddens mengemukakan definisi struktur yang tak lazim,
berbeda dengan pola Durkheimian dan Parsonian tentang struktur yang
lebih bersifat memaksa, mendesak, atau mengendalikan ‘constraining’
dimana struktur dipandang sebagai suatu benda di luar dan bersifat
memaksa agen. Oleh sebab itu, Giddens berupaya menghindarkan
kesan bahwa struktur berada “diluar” atau “eksternal” terhadap agen.
Dengan kata lain, objektivitas struktur tidak bersifat eksternal
melainkan melekat pada praktik sosial yang kita lakukan (Priyono
2003: 23). Dalam mengindari konsepsi struktur sebagai bingkai
eksternal, Giddens pun menekankan bahwa struktur itu bersifat
83
memungkinkan agen melakukan praktik sosial ‘enabling’, struktur
yang berfungsi memberikan pada agen peluang. Karena itulah, Giddens
melihat struktur sebagai ‘medium’ dan ‘outcome’ seperti yang
dikemukakan oleh Giddens (1984:25), inilah yang dimaksud dengan
dualitas struktur.
The constitution of agents and structures are not two
independently given sets phenomena, a dualism, but represent a
duality...the structural properties of social systems are both the
medium an outcome of the practices they recursively organise
Dapat disimpulkan bahwa strukturasi, menurut Giddens,
merupakan suatu proses yang berkaitan dengan produksi dan
reproduksi struktur, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur dalam
kerangka teori strukturasi, sesungguhnya bersifat dinamis karena
dikonstruksikan kembali oleh agen.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hubungan antara konsep
agen dan struktur saling bergantung sama lain, dan dikombinasikan
untuk menyatakan suatu praktik sosial. Melalui penjelasan sebelumnya,
dapat dipahami bahwa yang menjadi inti dari teori strukturasi Giddens
(2010:3) adalah “praktik sosial yang berulang”, sebagaimana yag
dikemukakan dalam buku “The Constitution of Society: Outline of the
Theory of Structuration” bahwa
The basic domain of study the social science, according to the
theory of structuration, is neither the experience of the
individual actor, nor the existence of any form of social totality,
but social practices ordered across space and time. Human
social activities, like some self-reproducing items in nature, are
recursive. This is to say, they are not brought into being by
social actors but continually recreated by them via the very
means whreby they themselves as actors. In and through their
84
activities agents reproduce the conditions that make these
activities possible.
Demikianlah, Giddens memandang praktik-praktik sosial yang
terus berlangsung sebagai segi analitis terpenting dalam teori
strukturasinya. Dalam mengokohkan teori strukturasi, Giddens (2010:
135) melihat bagaimana praktik sosial itu dilakukan terus-menerus atau
dikokohkan, dan bagaimana mereka direproduksi. Dalam bahasa
Giddens (1990:38), “praktik sosial itu dikaji dan diperbarui terusmenerus menurut infomasi baru, yang kemudian pada gilirannya
mengubah praktik sosial tersebut secara konstitutif”. Kemudian,
Giddens juga melihat adanya interaksi antara agen dan struktur dalam
suatu praktik sosial, yang kemudian dinyatakan dalam kebiasaan atau
rutinitas, dan direproduksi dalam kehidupan sosial, seperti yang
diungkapkan dalam Giddens (2010).
How practice are continued or enduring, and how they are
reproduced. As a result, social action and interaction as ‘tacitly
enacted practices’ become ‘instituions or routine’ and ‘
reproduce familiar of social life”.
Dengan demikian, praktik sosial dianggap sebagai basis yang
melandasi keberadaan agen dan masyarakat. Untuk terlibat dalam
praktik-praktik sosial, seorang agen harus mengetahui apa yang ia
kerjakan, meskipun pengetahuan tersebut biasanya tak terucapkan. Di
sini terlihat, sebelum terlibat dalam sebuah praktik sosial maka
seseorang diasumsikan telah memiliki pengetahuan praktis mengenai
peraturan yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sosial. Artinya,
praktik sosial yang dilakukan berlandaskan atas pengetahuan dan
85
kesadaran praktis, dan akan diproduksi atau direproduksi oleh agen
berdasarkan aturan-aturan dan sumber daya yang terdapat di dalam
struktur. Lebih jauh, salah satu proposisi penting dalam teori strukturasi
Giddens adalah, melalui praktik sosial yang dilakukan secara berulangulang atau terus-menerus itulah, struktur diciptakan. Begitu sebaliknya,
struktur merupakan medium yang memungkinkan munculnya praktik
sosial.
Hal itu berarti bahwa di satu sisi ada agen yang melakukan
praktik sosial dalam konteks tertentu, dan di sisi lainnya ada aturan dan
sumber daya yang memediasi praktik sosial tersebut dan pada
gilirannya, melalui praktik sosial tersebut akan terbentuk struktur baru
yang selanjutnya mengorganisasi praktik sosial yang dilakukan oleh
agen. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa tanpa praktik sosial, maka
struktur tidak akan terbentuk. Dan sebaliknya, struktur terbentuk dari
pola-pola praktik sosial yang berulang-ulang, yang dilakukan melalui
aturan dan sumber daya tertentu. Dengan kata lain, praktik sosial
menurut Giddens adalah praktik sosial yang mengintegrasikan agen dan
struktur.
Dalam
hubungan
dengan
pelaksanaan
praktik
sosial,
keterlibatan konsep ruang dan waktu merupakan tuntutan yang tidak
dapat ditawar. Ini juga yang membuat Giddens menamakan teorinya
sebagai strukturasi, sebagaimana setiap akhiran ‘is-(asi) menunjuk pada
kelangsungan proses. Artinya, ruang dan waktu merupakan unsur yang
tidak bisa tidak bagi terjadinya peristiwa atau gejala sosial (Priyono
2002:20). Sesuatu tidak hanya berada dalam ruang dan waktu, namun
ruang dan waktu juga membentuk makna dari sesuatu itu (Giddens
1986:141). Singkatnya, hubungan antara ruang dan waktu dengan
86
praktik sosial berupa hubungan ontologis. Hubungan keduanya bersifat
kodrati dan menyangkut makna serta hakikat praktik sosial itu sendiri.
Lugasnya, tanpa ruang dan waktu tidak ada praktik sosial Semua
praktik sosial hanya berlangsung dalam ruang dan waktu (Priyono
2003: 38)
4. Konsep Kesadaran
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa sebelum terlibat
dalam sebuah praktik sosial maka seseorang diasumsikan telah
memiliki pengetahuan praktis mengenai peraturan yang seharusnya
dilakukan dalam kehidupan sosial. Artinya, praktik sosial yang
dilakukan berlandaskan atas pengetahuan dan kesadaran praktis, dan
akan diproduksi atau direproduksi oleh agen berdasarkan aturan-aturan
dan sumber daya yang terdapat di dalam struktur. Struktur-struktur di
sini menfasilitasi secara individual dengan aturan-aturan mengarahkan
tindakan mereka, tetapi selanjutnya tindakan mereka individu tersebut
menciptakan aturan-aturan baru dan mereproduksi aturan yang lama
(Priyono, 2003).
Sejatinya yang menjelaskan bagaimana struktur bisa terbentuk
melalui
perulangan
praktik-praktik
sosial
adalah
kesadaran.
Sebagaimana “Refleksivitas kehidupan sosial modern terdiri dari fakta
bahwa berbagai praktik sosial secara konstan ditelaah dan direformasi
dari sudut pandang informasi yang masuk tentang praktik yang mereka
lakukan, sehingga secara konstitutif mengubah karakter mereka. Segala
bentuk kehidupan sosial sebagian dibentuk oleh pengetahuan para aktor
tentang hal tersebut” (Giddens, 2004: 51). Praktik sosial dilakukan oleh
87
agen-agen manusia yang memiliki pengetahuan dengan kemampuan
rasional, yaitu membuat perbedaan, dan menjelaskan tindakannya. Para
agen memiliki kapasitas untuk melakukan refleksi-diri dalam interaksi
sehari-hari, yaitu sebuah kesadaran praktis mengenai apa yang mereka
lakukan. Individu-individu memiliki pilihan dan menentukan jati
dirinya dalam rangka mempertahankan hidupnya (Gidden, 2009: 185).
Dalam teori strukturasi agen atau aktor memiliki tiga tingkatan
kesadaran (Giddens, 2010) yaitu:
(1) Kesadaran diskursif (discursive consciousness), yaitu apa
yang mampu dikatakan, diucapkan atau diekspresikan
secara verbal oleh para aktor atau agen, tentang kondisi
sosial, termasuk tindakan-tindakannya sendiri. Kesadaran
Dapat juga dikatakan sebagai suatu kemawasdirian dalam
bentuk diskursif .
(2) Kesadaran praktis (practical consciousness), yaitu apa yang
aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial,
khususnya kondisi-kondisi tindakannya sendiri. Namun
dalam kesadaran praktis, aktor atau agen tidak bisa
mengemukakan secara verbal (diskursif).
(3) Motif
atau
kognisi
tak
sadar
(unconscious
motives/cognition). Motif ini lebih cenderung merujuk ke
potensial bagi tindakan, daripada cara (mode) tindakan itu
yang dilakukan oleh agen. Motif hanya memiliki kaitan
langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa,
yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar tindakan-
88
tindakan agen tidaklah dilandaskan pada motif atau koginisi
yang tidak sadar.
Pemahaman akan kesadaran praktis tersebut sangat mendasar
bagi teori strukturasi, karena struktur dibentuk melalui kesadaran
praktis, yaitu suatu tindakan yang berulang-ulang, yang tidak
memerlukan proses refleksif (perenungan), dan tidak ada ‘pengambilan
jarak’ (duree) oleh si agen terhadap struktur. Ketika semakin banyak
agen atau aktor mengadopsi cara-cara mapan atau rutinitas keseharian
dalam melakukan sesuatu, maka sebenarnya para agen tersebut telah
memperkuat struktur (aturan dan sumber daya).
Peubahan struktur dapat terjadi manakala semakin banyak aktor
atau agen yang mengadopsi kesadaran diskursif, yaitu ketika si agen
‘mengambil jarak’ dari struktur, dan melakukan sesuatu tindakan
dengan mencari makna/ nilai dari tindakannya tersebut. Produk dari
tindakan agen tersebut berupa tindakan yang menyimpang dari rutinitas
atau kemapanan yang ada, sehingga praktis akan mengubah struktur
tersebut. Perubahan struktur dapat juga terjadi sebagai akibat dari
tindakan, yang hasil sebenarnya tidak diniatkan atau direncanakan
sebelumnya (unintended consequences). Dalam hal ini Giddens (2010),
menyatakan
bahwa
unintended
consequences
mungkin
secara
sistematis menimbulkan umpan balik, ke arah kondisi-kondisi yang
tidak diketahui munculnya tindakan-tindakan yang lebih jauh lagi.
Kemudian unintended consequences ini, persoalan utamanya adalah
bukan pada ada atau tidaknya niat, namun pada kapabilitas agen; yaitu
adanya kompetensi atau kapabilitas dari pihak agen untuk melakukan
perubahan.
89
Monitoring refleksif
terhadap aksi
Kondisikondisi
tindakan
yang tak
dikenali
Rasionalisasi tindakan
Konsekuensikonsekuensi
tindakan yang
tak dikehendaki
Motivasi tindakan
Gambar 2. Model Stratifikasi (tindakan) Agen (Giddens,
2010:8).
Para aktor manusia tidak hanya mampu memonitor aktivitasaktivitas tindakan mereka sendiri dan aktivitas-aktivitas orang lain
dalam
perulangan
perilaku
sehari-hari;
mereka
juga
mampu
‘memonitor monitoring itu’ di dalam kesadaran diskursif, sebagaimana
dalam Gambar 2.2 Model Stratifikasi (tindakan) Agen. Dalam
penjelasan mengenai dimensi-dimensi dualitas struktur, Giddens (2010)
menjelaskan, bahwa ‘skema interpretatif’ adalah cara-cara penjenisan
yang tersimpan dalam gudang pengetahuan para aktor, dan diterapkan
secara reflektif ketika melakukan komunikasi. Bekal pengetahuan yang
digunakan para agen atau aktor dalam memproduksi atau mereproduksi
interaksi sama seperti bekal pengetahuan yang membuat mereka
mampu menciptakan cerita, mengemukakan alasan-alasan, dan lain
sebagainya. Komunikasi makna, bersama dengan seluruh aspek
kontekstualitas tindakan, tidak harus dipandang semata-mata terjadi
‘dalam’ ruang dan waktu. Komunikasi, sebagai unsur umum interaksi,
merupakan konsep yang lebih melingkupi dibanding dengan isi
komunikasi (yaitu apa yang ‘hendak’ dikatakan atau dilakukan oleh
para aktor).
90
Struktur
(modalitas)
Interaksi
Signifikansi
Dominasi
Legitimasi
Skema
interpretatif
Fasilitas
Norma
Komunikasi
Kekuasaan
Sanksi
Gambar 3. Dimensi-dimensi dualitas struktur (Giddens, 2010:46).
Ketika dimensi struktur harus dipahami sebagai bagian yang
tidak terpisah. Struktur-struktur signifikasi selalu harus dipahami dalam
kaitannya dengan dominasi dan legitimasi. ‘Dominasi’ tidaklah sama
dengan ‘distorsi sistemik’ dalam struktur-struktur karena dominasi
merupakan kondisi keberadaan kode-kode signifikasi itu sendiri.
‘Dominasi’ dan ‘kekuasaan’ tidak bisa dipikirkan hanya dari sisi
asimetri distribusi, melainkan harus dikenali sebagai tak terpisahkan
dalam asosiasi sosial (tindakan manusia itu sendiri).
Struktur signifikansi terpisahkan dari dominasi dan legitimasi
hanya (untuk kepentingan) secara analitis saja. Dominasi tergantung
pada mobilisasi dua jenis sumber daya berbeda; sumber daya alokatif
mengacu pada kemampuan-kemampuan (atau lebih tepatnya, pada
bentuk-bentuk kemampuan transformatif) yang melahirkan perintah
atas obyek, benda-benda atau fenomena material (non manusia).
Sumber daya autoritatif merujuk pada jenis-jenis kemampuan
91
transformatif yang melahirkan perintah atas orang –orang atau para
aktor (manusia).
D. Kerangka Pemikiran dan Proposisi
Berkenaan dengan relasi korporasi dengan masyarakat lokal,
maka diperlukan informasi dan analisis tentang relasi sosial antara
stakeholder yang siginifikan dengan keberadaan dan kegiatan
korporasi. Secara khusus peta ini disebut dengan peta relasi sosial, yang
berisi informasi dan analisis tentang relasi sosial antar lembaga atau
stakeholder sosial di dalam lingkungan komunitas tertentu. Stakeholder
sosial yang dimaksud di sini antara lain kecamatan, desa, LSM,
kelompok pemuda, ormas, tokoh informal, asosiasi sosial, asosiasi
bisnis, lembaga kepolisian, lembaga militer, media massa, dan lembaga
lain yang dipertimbangkan signifikan terhadap keberadaan dan kegiatan
korporasi (Prayogo, 2011).
Peta relasi sosial dapat dipilah menjadi dua: pertama, ‘peta
sosial statis’, dan kedua ‘peta sosial dinamis’. Peta sosial statis akan
berisi informasi tentang sejumlah lembaga yang signifikan bagi
korporasi, yang secara khusus peta sosial statis menyajikan ‘keadaan
sosial’ sejumlah lembaga dalam wujud informasi penting bagi
korporasi. Tentunya data yang tersaji harus obyektif dan akurat
sehingga tidak menyesatkan kebijakan dan strategi yang diambil.
Kedua, ‘peta sosial dinamis’, yakni kumpulan informasi tentang
keadaan relasi antara lembaga yang satu dengan yang lain dalam
cakupan komunitas tertentu yang signifikan bagi korporasi. Peta
dinamis menjadikan relasi sosial antar lembaga ditinjau dari antara lain
92
variabel kuasa dan otoritas, kepentingan, akses terhadap informasi,
sumber daya, kontrol, atau variabel lain jika diperlukan. Dalam relasi
ini dapat dilihat bagaimana hubungan kuasa dan otoritas, kepentingan,
akses informasi, kemampuan kontrol, sumber daya yang dimiliki dan
seterusnya. Hasil akhir dari peta sosial dinamis menyajikan rona atau
keadaan sesaat---yakni pada waktu tertentu---relasi antara suatu
lembaga secara detail, dan bagaimana implikasi penting dari relasi
dinamis ini. Peta ini disebut dinamis karena hubungan antar lembaga
dapat berubah sejalan dengan perubahan dalam variabel kepentingan,
otorita, sumber daya atau lainnya, sehingga informasi rona tidak
bersifat permanen atau berjangka waktu lama sebagaimana dalam
informasi rona sosial statis. Peta dinamis dimaksudkan untuk lebih
menunjukkan keadaan relasi sosial antar lembaga yang bersifat
dinamis sejajar dengan dinamika dalam interaksi sosial.
Dalam bagan 1 kerangka pikir nampak hubungan interaktif
yang terjalin antara korporasi dan masyarakat lokal, dengan kontrol
dari pemerintah melalui UU nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal dan UU nomor 40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas.
Wadah atau tempat terjadinya relasi antara masyarakat, pemerintah dan
perusahaan umumnya terwujud dalam kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan.
Operasionalisasi kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan
dapat dikatakan sebagai suatu struktur sosial yang mewadahi hubungan
antara masyarakat lokal, perusahaan dan pemerintah. Sehingga,
semestinya sifat dan jenis kegiatan dari tanggung jawab sosial
perusahaan kepada masyarakat lokal merupakan proses persepsi,
pemahaman, pengkajian dan penyesuaian dengan potensi dan
93
permasalahan yang ada di masing-masing pihak. Banyak isyu dan
persoalan perlu dipahami sebelum kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan tersebut diwujudkan. Keterlibatan masing-masing pihak,
khususnya masyarakat lokal sebagai pihak penerima manfaat yang
paling penting dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan,
menjadi penting untuk dipertimbangkan.
Relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal melalui
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dapat dilihat dari kerangka
struktur-agen. Perusahaan berikut individu-individu di dalamnya dapat
dipahami sebagai agen, demikian pula masyarakat lokal berikut
individu-individu di dalamnya sebagai agen atau aktor. Masing-masing
agen, baik pihak perusahaan dan masyarakat lokal, memiliki kesadaran
(praktis dan juga diskursif). Perbedaan bekal pengetahuan diantara
masing-masing pihak agen tersebut, akan menyebabkan cara kesadaran
yang berbeda dalam memonitor praktik-praktik tanggung jawab sosial
perusahaan. Masing-masing agen memiliki cara berpraktik yang
mungkin berbeda, karena kesadaran akan dimensi struktur masingmasing yang berbeda pula.
94
Pemerintah
UU no. 25/2007, UU no.
40/2007
Masyarakat Lokal
(stakeholder sosial)
Kesadaran
Masyarakat Lokal
- Keberadaan
korporasi
- Upaya membangun
relasi
- Harapan
Relasi perusahaan dengan
masyarakat lokal
Korporasi
Operasionalisasi CSR:
Kesadaran
Korporasi



Signifikansi
Dominasi
Legitimasi
- Keberadaan
Masyarakat lokal
- Upaya
membangun relasi
- Harapan
Ruang dan Waktu
Manfaat, Kesesuaian, Keberlanjutan,
Stakeholder (agen-agen) lainnya: LSM, Kelompok
pemuda, Ormas, Asosiasi sosial, Media massa
Gambar 4. Kerangka Pikir Relasi Perusahaan dengan Masyarakat
Lokal
Kesadaran masyarakat lokal terhadap kegiatan tanggung jawab
sosial perusahaan menjadi faktor determinan bagaimana masyaraka
lokal membangun hubungan dengan perusahaan. Faktor-faktor lain
dalam masyarakat lokal yang perlu dipertimbangkan adalah harapanharapan, kepentingan, akses informasi, sumber daya, kemampuan
kendali serta kuasa dan otoritas terhadap kegiatan tanggung jawab
sosial perusahaan. Kehadiran perusahaan multinasional di lingkungan
95
mereka tentunya memunculkan harapan bagi masyarakat lokal,
khususnya bagi kemajuan ekonomi masyarakat setempat.
Dalam kehidupan bertetangga pun terdapat hak dan kewajiban
yang dijalankan oleh setiap warga, demikian pula dengan kehadiran
perusahaan di tengah-tengah masyarakat. Perusahaan memiliki hak dan
kewajiban terhadap lingkungan sekitar, demikian pula warga
masyarakat
memiliki
hak
dan
kewajiban
terhadap
kehadiran
perusahaan. Namun demikian pelaksanaan kewajiban dan hak tersebut
disesuaikan dengan posisi, peran dan kepentingan masing-masing
pihak.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam konteks relasi
perusahaan dengan masyarakat lokal adalah menyangkut sumber daya
dari masing-masing pihak. Perusahaan yang banyak memanfaatkan
teknologi tinggi umumnya cenderung akan padat modal dan
mensyaratkan sumber daya manusia yang memiliki penguasaan ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
yang
sepadan
dengan
kebutuhan
perusahaan. Sementara di lain pihak, masyarakat sekitar perusahaan
belum tentu memiliki kemampuan penguasaan teknologi yang sejalan
dengan kehadiran perusahaan. Implikasinya adalah penyerapan tenaga
kerja dari masyarakat lokal yang berada di sekitar perusahaan yang
pada modal menjadi sangat minim. Implikasi lanjutan dari kondisi
tersebut adalah terjadi kesenjangan baik secara sosial, ekonomi dan
budaya antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Kesenjangan
tersebut akan berpotensi memicu konflik antara masyarakat sekitar
dengan perusahaan menjadi kian terbuka. Selanjutnya konflik yang
muncul akan mengganggu kegiatan operasional korporasi dan aktifitas
keseharian masyarakat sekitar.
96
Kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan seiring dengan
disahkannya UU nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
mewajibkan perusahaan yang di sektor eksplorasi alam untuk
melakukan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan kepada
masyarakat sekitar. Dan diikuti dengan keluarnya Peraturan Penerintah
No. 47 tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan dan
lingkungan, namun dapat dipahami oleh semua agen, dalam hal ini
perusahaan
ekstraktif.
Sehingga
masing-masing
perusahaan
mengembangkan struktur kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan
dengan caranya sendiri. Perusahaan berusaha mengembangkan caracara kreatif untuk melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosialnya,
dengan alasan utama untuk memenuhi kewajiban sesuai UU No. 40
tahun 2007 dan PP No. 47/2007. Sebagaimana dikemukakan oleh
Frynas (2009:3) bahwa penerapan tanggung jawab sosial di negaranegara Barat dengan negara-negara berkembang sangat berbeda, baik
dari motivasi maupun konteks kegiatannya. Penerapan kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan di negara-negara berkembang lebih
variatif dan inovatif jika dibandingkan dengan negara-negara Barat.
Korporasi atau perusahaan berusaha mengembangkan kegiatan
tanggung jawab sosial berdasarkan kesadaran dan pemahaman mereka
tentang apa itu tanggung jawab sosial dan masyarakat sekitar.
Selanjutnya berdasarkan pemahaman tersebut pihak korporasi mencoba
mengembangkan kegiatan tanggung jawab sosialnya. Persoalan yang
akan muncul adalah apabila tidak terdapat kesesuaian pemahaman
antara masyarakat lokal dengan pihak korporasi mengenai kegiatan apa
yang seharusnya dilakukan dalam kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan. Kondisi ini diperburuk dengan posisi peran pemerintah
97
(khususnya pemerintah daerah) yang seharusnya bertindak menaungi
dan mendukung kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, malah
cenderung untuk lebih mengambil posisi ‘aman’ dan memperoleh
‘manfaat’ lebih dari kegiatan tanggung jawab sosial yang dilakukan
oleh setiap perusahaan. Belum banyak pemerintah kota dan kabupaten
merumuskan peraturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan untuk
kepentingan masyarakat di daerahnya. Selanjutnya seiring dengan
afirmatif tanggung jawab sosial dalam peraturan daerah maka langkah
selanjutnya perwujudan perencanaan pembangunan daerah yang
terintegrasi dengan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan.
Terintegrasinya perencanaan pembangunan daerah dengan sumbersumber swasta salah satunya berasal dari perusahaan diharapkan
terdapat program-program pembangunan yang tidak saling tumpang
tindih dan lebih terarah. Sehingga akhirnya diharapkan terdapat
manfaat lebih jauh yang dapat diperoleh dari kegiatan tanggung jawab
sosial perusahaan dan pembangunan daerah adalah keberlanjutan
(sustainability) pembangunan di daerah.
Berdasarkan pada kesadaran perusahaan akan keberadaan
masyarakat lokal serta reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh masyarakat
lokal tersebut akan keberadaan perusahaan. Berikutnya, pemahaman
atau kesadaran akan program-program dan kegiatan-kegiatan tanggung
jawab sosial perusahaan akan menentukan kecenderungan tipologi
kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan; dimana tipologi CSR
(Budimanta, 2007) terdiri dari community relations, community
servicces dan community empowering.
Sejumlah pemangku kepentingan lain, selain masyarakat lokal
dan pemerintah daerah, yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan
98
tanggung jawab sosial perusahaan adalah organisasi masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan asosiasi lainnya. Para
stakeholder ini juga dapat memfungsikan diri sebagai ‘pengawas’
untuk memastikan berjalannya kegiatan tanggung jawab sosial sesuai
dengan tujuannya, sehingga berdampak positif dan berkelanjutan.
Mereka juga dapat menjadi mitra dialog bersama-sama masyarakat dan
pemerintah
untuk
merancang,
menentukan
dan
memastikan
implementasi kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan berjalan
dengan baik. Dengan demikian pola relasi antara perusahaan dengan
masyarakat lokal ditentukan oleh masing-masing kesadaran masyarakat
lokal dan perusahaan akan kondisi struktur tanggung jawab sosial
perusahaan.
99
100
BAB III
GAMBARAN MASYARAKAT LOKAL DAN PERUSAHAAN:
Kasus Desa Karya Mekar Kecamatan Pasirwangi Garut
dan PT. Chevron Geothermal Indonesia (CGI)
Penelitian dilakukan terhadap lingkar terdekat (ring 1) dari
industri esktraktif PT. CGI, yaitu wilayah yang memperoleh dampak
langsung dari kehadiran industri, khususnya penduduk terdekat. Desa
Karyamekar Kecamatan Pasirwangi merupakan wilayah lingkar 1 yang
berarti, wilayah tersebut mendapatkan dampak yang paling besar dari
keberadaan industri ekstraktif PT. CGI. Dengan demikian, selayaknya
perusahaan menjalin relasi yang lebih aktif dengan masyarakat di Desa
Karyamekar
Kecamatan
Pasirwangi
tersebut.
Namun
temuan
dilapangan menemukan bahwa banyak dana CSR PT. CGI yang
disalurkan terutama ke desa-desa di Kecamatan Samarang, khususnya
kepada desa-desa yang dilalui oleh mobilitas yang berkaitan dengan
operasional perusahaan, seperti misalnya pengangkutan karyawan,
pasokan material bahan untuk kepentingan perusahaan, dan lain-lain.
Penyaluran tersebut digunakan sebagai alat peredam terjadinya konflik
dengan masyarakat yang terkena imbas mobilitas perusahaan.
Namun demikian, penelitian ini lebih diarahkan kepada
penduduk yang tinggal paling dekat dengan lokasi PT. CGI, yaitu
penduduk Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi.
101
A. Kecamatan Pasirwangi
Secara historis Kecamatan Pasirwangi merupakan
hasil
pemekaran dari Kecamatan Samarang yang diresmikan pada tanggal 20
Januari 2001 sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Garut No 23
tahun 2000. Untuk mencapai wilayah Kecamatan Pasirwangi dapat
ditempuh kurang lebih 20 km sebelah Barat dari Ibu Kota Kabupaten
Garut dan 80 km ke sebelah Selatan dari kota Propinsi Jawa Barat.
Ketinggian wilayah Kecamatan Pasirwangi antara 1000 – 1200 M di
atas permukaan laut, keadaan topografi tanah yang berbukit-bukit
sehingga lokasi merupakan daerah rawan longsor dan suhu udara
berkisar 16 – 22 derajat Celcius dengan curah hujan antara 1500 – 3000
mm/tahun.
1. Batas Wilayah dan Tataguna Lahan
Secara geografis batas-batas wilayah Kecamatan Pasirwangi antara
lain:
ï‚·
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Samarang
ï‚·
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sukaresmi
ï‚·
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ibun Kabupaten
Bandung
ï‚·
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Samarang dan
kecamatan Bayongbong
Sedangkan luas wilayah Kecamatan Pasirwangi + 5.002,6 ha, yang
sebagian besar terdiri dari ladang (tegalan), hutan dan sawah yang
102
mencakup 91% lebih dari seluruh penggunaan lahan di Kecamatan
Pasirwangi. Sebagaimana terlihat dalam tabel 8.
Tabel 8. Penggunaan Lahan di Kecamatan Pasirwangi
No.
Luas
(dalam ha)
347,359 ha
Penggunaan lahan:
1.
%
Perkampungan
(perumahan
&
6,94
pekarangan)
2.
Sawah
1.211,420 ha
24,22
3.
Lahan Basah/ kolam
38
ha
0,76
4.
Tegalan / Ladang
1.720,651 ha
34, 39
5.
Sarana Pemerintahan dan sosial
16,920 ha
0,33
6.
Hutan
1.667,000 ha
33,33
7.
Sarana perdagangan dan jasa
1,25 ha
0,02
Jumlah
5.002,6 ha
Sumber: Diolah dari Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Pembangunan dan Pembinaan Masyarakat Kecamatan
Pasirwangi, bulan September 2012
Sedangkan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian yaitu lahan
basah (sawah) dan tegalan atau ladang mencakup 67% lebih. Hal
tersebut menunjukkan suatu indikasi bahwa warga masyarakat
Pasirwangi sebagian besar hidup sebagai petani atau sebagai buruh tani.
2. Kondisi Penduduk dan Mata Pencaharian
Penduduk Kecamatan Pasirwangi berdasarkan data laporan dari desadesa tercatat pada bulan September tahun 2012 sebanyak 68.755 orang
yang terdiri dari laki-laki 35.192 orang, dan perempuan 33.563 orang
serta Kepala Keluarga 17.225 (KK). Sebagaimana terlihat dalam tabel
9.
103
Tabel 9.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Keadaan Penduduk Laki-laki, Perempuan dan KK di
Kecamatan Pasirwangi, 2012
DESA
Pasirwangi
Pasirkiamis
Padasuka
Karyamekar
Padaawas
Barusari
Padaasih
Sirnajaya
Padamulya
Talaga
Sarimukti
Padamukti
Jumlah
KK
1632
1128
1434
1393
1696
1756
1270
1716
1156
1325
1442
1277
17225
Penduduk
Laki2
Perempuan
Jumlah
3143
3656
2530
3053
3496
3032
3066
2436
2142
2601
3537
2500
35192
3448
2391
2448
2868
3404
2834
2990
2391
2042
2554
3683
2510
33563
6591
6047
4978
5921
6900
5866
6056
4827
4184
5155
7220
5010
68755
RT
RW
31
28
29
32
43
40
30
22
22
20
27
34
346
10
7
10
6
10
9
9
7
5
7
9
9
96
Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Pembangunan dan
Pembinaan Masyarakat Kecamatan Pasirwangi, bulan
September 2012
Berdasarkan jumlah penduduk per-desa di Kecamatan Pasirwangi,
terlihat bahwa desa dengan jumlah kepala keluarga (KK) terbesar
adalah Desa Banusari (1756 KK). Sedangkan desa dengan jumlah
kepala keluarga (KK) paling sedikit adalah Desa Pasirkiamis dengan
jumlah 1128 KK. Padahal jumlah penduduk tertinggi terdapat di Desa
Sarimukti (7220 jiwa), sedangkan jumlah penduduk paling sedikit
adalah Desa Padamulya (4184 jiwa).
Sebagian besar penduduk Kecamatan Pasirwangi bermata
pencaharian sebagai buruh (53,3%), baik sebagai buruh tani, buruh
bangunan atau serabutan. Namun berdasarkan hasil wawancara,
sebagian besar buruh tersebut adalah sebagai buruh tani. Sedangkan
yang menjadi bermata pencaharian sebagai petani berjumlah sekitar
31%.
104
Tabel 10.
Jenis Mata
Pasirwangi
pencaharian
No.
Mata Pencaharian:
1.
Penduduk
Jumlah
Orang
9.380
Kecamatan
%
Buruh
(tani,
bangunan,
53,3
serabutan)
2.
Petani
5.439
31,0
3.
Pedagang
1.250
7,1
4.
Jasa
977
5,5
5.
PNS, TNI, POLRI, dan
460
2,6
Pensiunan
6.
Perangkat Desa
90
0,5
Jumlah
17.596
100,0
Sumber: Laporan
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Pembangunan
dan
Pembinaan
Masyarakat
Kecamatan Pasirwangi, bulan September 2012
Berdasarkan tabel 10 tersebut nampak bahwa sebagian penduduk di
Kecamatan Pasirwangi menggantungkan kehidupan keluarga mereka di
bidang pertanian. Hal ini juga terkait dengan pemanfaatan lahan di
Kecamatan Pasirwangi yang lebih banyak (67%) digunakan untuk
lahan sawah atau tegalan (palawija). Berdasarkan kondisi dan fakta
tersebut, maka suatu langkah yang bijak apabila program pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat lebih diarahkan pada sektor pertanian.
3. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Selanjutnya mengenai sarana dan prasarana pendidikan di Kecamatan
Pasirwangi, nampak bahwa jenjang pendidikan dari pra sekolah hingga
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) telah tersedia.
105
Tabel 11. Kondisi Sarana dan
Kecamatan Pasirwangi
Prasarana
Pendidikan
di
No
1
2
3
4
Tingkat Sekolah
Jumlah
Negeri
Swasta
TK
7
7
SD / Sederajat
38
32
6
SMP / Sederajat
16
2
14
SLTA / Sederajat
4
1
3
Jumlah
65
35
31
Sumber: Laporan
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Pembangunan dan Pembinaan Masyarakat
Kecamatan Pasirwangi, bulan September 2012
Berdasarkan tabel 11, fasilitas pendidikan yang tersedia di
Kecamatan Pasirwangi, relatif cukup lengkap. Bagi para lulusan SLTA
yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,
mereka dapat melanjutkan pendidikan tinggi ke kota Kabupaten Garut.
Di kota Kabupaten Garut tersedia Universitas Garut (UNIGA), akademi
atau sekolah tinggi lainnya.
Sedangkan bagi mereka yang akan melanjutkan pendidikan
namun secara usia sudah melewati program wajib belajar (wajar) 9
tahun, maka tersedia pula kelompok belajar (kejar) paket A, B, dan C.
Di kecamatan Pasirwangi tersedia 4 kelompok belajar yang semuanya
dikelola oleh dinas pendidikan, dengan rincian 3 kelompok belajar
(kejar) paket B dan 1 kelompok belajar (kejar) paket C. Kesemua
fasilitas pendidikan tersebut, diharapkan dapat meningkatkan layanan
pendidikan bagi warga masyarakat, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan taraf pendidikan warga.
106
4. Sarana Kesehatan
Jaminan pelayanan kesehatan salah satunya ditunjukkan dengan
tersedianya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di suatu daerah.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahawa salah satu
indikasi keseriusan pemerintah daerah terhadap pelayanan kesehatan
warga juga ditunjukkan dengan tersedianya fasilitas kesehatan di suatu
daerah. Sebagaimana terlihat dalam tabel 12, terlihat sejumlah fasilitas
pelayanan kesehatan di Kecamatan Pasirwangi.
Tabel 12. Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pasirwangi
No
1
2
3
4
5
6
7
Tingkat Sekolah
Jml (buah)
Puskesmas
2
Balai Pengolahan Swasta
2
Klinik Bersalin
Polindes
4
Posyandu
80
Pustu
2
Poskesdes
1
Sumber: Laporan
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Pembangunan dan Pembinaan Masyarakat
Kecamatan Pasirwangi, bulan September 2012
Kelengkapan fasilitas pelayanan kesehatan tersebut juga ditunjang pula
dengan tenaga kesehatan, yaitu dokter 2 (dua) orang, bidang 17 orang,
dan perawat medis sejumlah 12 orang. Ketersediaan sumber daya
tenaga kesehatan tersebut, apabila dibandingkan dengan jumlah
penduduk Kecamatan Pasirwangi yang berjumlah 68.755 jiwa, tentu
sangat tidak memadai. Selain tersedianya fasilitas kesehatan dan tenaga
medis untuk memelihara kesehatan warga masyarakat di Kecamatan
Pasirwangi, juga terdapat terdapat masalah sosial. Berdasarkan data
107
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Pembangunan dan Pembinaan
Masyarakat Kecamatan Pasirwangi, bulan September 2012 terdapat
8516 KK dalam kondisi miskin. Dengan demikian apabila di
kecamatan Pasirwangi terdapat 17.225 KK, maka 49% lebih berada
dalam kondisi miskin. Kemudian apabila dalam satu keluarga terdiri
dari 4 (empat) anggota keluarga, maka empat dikali jumlah KK miskin
se-Kecamatan Pasirwangi, akan terdapat
kurang lebih 34 ribu
penduduk berada dalam kondisi miskin.
Dengan kondisi 49% lebih kepala keluarga (KK) di Kecamatan
Pasirwangi berada dalam kemiskinan akan menimbulkan persoalan
yang khas, berkaitan dengan kehadiran industri berteknologi tinggi di
wilayah kecamatan ini, seperti PT. Chevron Geothermal Indonesia, PT.
Indonesia Power, dan Pertamina Geothermal Kamojang. Sungguh
merupakan sisi (kondisi) yang ironis, antara kehadiran industri besar
berteknologi tinggi di satu sisi, dengan kondisi masyarakat yang
setengah penduduknya hidup dalam kemiskinan. Sehingga dapat
dipahami apabila pola relasi yang terjadi antara masyarakat lokal
dengan korporasi menjadi tidak seimbang, dari sisi manapun.
Bagian selanjutnya akan dikemukakan gambaran dari desa yang
secara administratif lokasinya paling dekat dengan lokasi operasi dari
Chevron Geothermal Indonesia, yaitu Desa Karyamekar.
108
B. Desa Karyamekar
Secara historis, awalnya Desa Karyamekar merupakan desa
hasil pemekaran dari Desa Pasirkiamis (Kecamatan Samarang) pada
tahun 1979, pada waktu itu hanya terdapat satu desa pemekaran,
dimana kecamatannya masuk ke Wilayah Kecamatan Samarang.
1. Batas Wilayah dan Orbitrasi Desa Karyamekar
Secara geografis Desa Karyamekar adalah desa yang paling
Barat dari Kabupaten Garut yang berdekatan dengan Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal Darajat Project) khususnya
dengan PT. Chevron Geothermal Indonesia. Kemudian secara
administratif berada dalam wilayah Kecamatan Pasirwangi dan
berdekatan dengan wilayah kehutanan (perhutani). Desa Karyamekar
memiliki luas wilayah 305,493 Ha yang terdiri dari dataran 75,493 ha
dan perbukitan 230 ha, artinya sekitar 75% wilayah Desa Karyamekar
merupakan wilayah berbukit, dan 25% yang terdiri atas tanah datar,
yang umumnya merupakan proses pemerataan atau pemangkasan bukit
secara sengaja oleh warga untuk kegiatan usaha atau aktivitas sosial
lainnya.
Batas-batas
wilayah
administrasi
pemerintahan
Desa
Karyamekar adalah :
Sebelah Utara
: Desa Padaawas (Kecamatan Pasirwangi)
Sebelah Timur
: Desa Talaga (Kecamatan Pasirwangi)
Sebelah Selatan
: Desa Sarimukti (Kecamatan Pasirwangi)
Sebelah Barat
: Kehutanan (Kecamatan Ibun Kabupaten
Bandung)
109
Kemudian mengenai jarak dan waktu tempuh untuk mencapai desa
Karyamekar, dapat dilihat dalam tabel 13 mengenai Orbitrasi/Jarak
Tempuh Desa Karyamekar. Perjalanan menuju Desa Karyamekar,
umumnya menanjak dan berkelok-kelok, namun selama perjalanan
akan disuguhi dengan pemandangan alam yang indah dan berbukit.
Tabel 13.
Orbitrasi Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi
1.
Jarak ke ibu kota Kecamatan
Lama Jarak tempuh ke ibu kota kecamatan dengan
2.
kendaraan Motor
Lama tempuh ke ibu kota kecamatan dengan berjalan kaki/
3.
non motor
4. Kendaraan umum ke ibu kota kecamatan
5. Jarak tempuh ke ibu kota kabupaten/kota
Lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten dengan
6.
kendaraan motor
Lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten dengan berjalan
7.
kaki
8. Kendaraan ke ibu kota kabupaten/kota
9. Jarak ke ibu kota provinsi
10. Lama jarak ke ibu kota provisi dengan kendaraan ber motor
11. Kendaraan ke ibu kota propinsi
12. Jarak tempuh ke Ibu kota pusat memakai kendaraan
Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012
13 Km
¼ jam
1 jam
Ada
23 km
1 jam
3 jam
Ada
83 Km
4 jam
Ada
6 jam
Topografi dan kontur tanah di Desa Karyamekar secara umum
berupa area pertanian terdiri dari kebun dan tegalan. Ketinggian ratarata wilayah ini adalah ± 1450 m dari atas permukaan laut. Suhu ratarata adalah antara 18OC - 32
O
C. secara umum sepanjang tahun
110
mengalami dua musim yaitu musim hujan (Januari–September) dan
musim kemarau (April–Agustus).
Kemudian berdasarkan hidrologi, yaitu gambaran aliran-aliran
sungai di wilayah Desa Karyamekar membentuk pola daerah aliran
sungai yaitu DAS Cibeureum yang berasal dari aliran Gunung Gagak
dan area Darajat. Beberapa aliran sungai baik sekala kecil atau besar
yang melewati Desa Karyamekar antara lain:
-
Sungai Cibeureum (yang berbatasan dengan Desa Padaawas,
Desa Pasirwangi), dan
-
Desa Talaga yang mengalir langsung ke Cikamiri.
-
Sungai Cibeureum di wilayah RW 03 yang mengalir ke
Wilayah Desa Talaga yang dipergunakan untuk mengairi area
sawah/Pertanian Desa Talaga .
-
Sungai Ciwakap yang mengalir ke wilayah Ciherang.
Selain aliran sungai terdapat pula beberapa mata air yang dapat
digunakan untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari, yaitu: mata air
Cihaneut, disebut haneut karena kondisi airnya yang tetap hangat
berada di Kampung Cihaneut Rw 04, kemudian mata air Cipanas
berada di kampung Cipanas Rw04, mata air Pangliwen (Sulita), dan
terakhir mata air Barukai.
111
2. Jumlah Penduduk dan Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa
Karyamekar
Jumlah penduduk Desa Karyamekar di akhir tahun 2012
sebanyak: 5.906 jiwa terdiri dari laki-laki 3.047 jiwa dan perempuan
2.859 jiwa, dengan 1.614 kk (kepala keluaga), dengan jumlah keluarga
miskin adalah 670 kk. Berdasarkan gambaran jumlah penduduk
tersebut maka dapat diperkirakan jika rata-rata jumlah anggota dalam
satu keluarga antara 3-4 orang. Dengan demikian dari 670 kk tersebut
berada dalam kondisi miskin, artinya dapat diperkirakan bahwa sekitar
2000 jiwa hingga 2600 jiwa lebih penduduk berada dalam kondisi
miskin, atau sekitar 33%-44% masyarakat desa Karyamekar berada
dalam kondisi miskin. Kondisi rumah/bangunan tempat tinggal
sebanyak 1.373 rumah terdiri dari rumah panggung, semi permanen dan
permanen (tidak diperoleh data mengenai proporsi tipologi rumah
tersebut).
Kemudian sebaran penduduk di setiap dusun dan rukun warga
(RW) nampak tidak merata, dimana jumlah penduduk terbanyak tinggal
di dusun 1 Kepakan (hampir 80%) dan sisanya penduduk sekitar 20%
tinggal di dusun Ciherang. Dalam data tabel 14 terlihat bahwa
konsentrasi penduduk berada di dusun 1 Kepakan, khususnya di RW 2
yang berjumlah 2.038 jiwa. Hal tersebut dapat dipahami mengingat
pusat kegiatan pemerintahaan dan masyarakat desa Karyamekar berada
di wilayah tersebut.
112
Tabel 14.
Jumlah Penduduk per
Kecamatan Pasirwangi
Dusun
Desa
Jumlah Penduduk
LakiRW
Perempuan
Jumlah
laki
RW 01
580
536
1.116
1.060
978
2.038
Dusun 1 RW 02
Kepakan RW 03
398
350
748
RW 04
411
384
795
Jumlah A
2.449
2.248
4.697
384
388
772
Dusun 2 RW 05
Ciherang RW 06
214
223
437
Jumlah B
598
611
1.209
Jumlah A+B
3.047
2.859
5.906
Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012
Dusun
Karyamekar
Jumlah
KK
323
571
204
181
1.279
210
125
335
1.614
Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan usia, 40% penduduk
berada dalam usia muda (usia 0 -15 tahun). Kemudian berdasarkan
usia produktif, nampak bahwa hampir 56% berada dalam kelompok
tersebut. Besarnya jumlah usia produktif tersebut dapat merupakan
potensi, namun juga dapat dapat menjadi beban apabila tidak tersedia
lapangan pekerjaan yang mampu menyerap tenaga kerja potensial
tersebut.
113
Tabel 15.
Jumlah Penduduk menurut Usia Laki-laki dan
Perempuan Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi
Jumlah
Usia
Jumlah
(tahun)
Laki-laki
Perempuan
1
236
239
475
0 2
2
130
98
228
3 4
3
171
352
5 6
181
4
560
526
1086
7 12
5
146
131
227
13 15
6
208
204
412
16 19
7
683
611
1294
20 30
8
565
532
1097
31 45
9
281
292
573
46 60
10
33
27
60
61 70
11
24
28
52
71
JUMLAH
3047
2859
5.906
Sumber: Diolah dari Potensi Desa Karyamekar, 2012
N0
%
8
4
6
18
4
7
22
19
8
1
1
Banyak faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di suatu
daerah, diantaranya persoalan tingkat pendidikan, kompetensi, skill dan
daya juang dari sumber daya manusia tersebut. Selain itu penyerapan
tenaga kerja juga ditunjang oleh potensi kewilayahan, baik alam,
budaya dan peluang usaha yang tersedia. Sehingga potensi tenaga kerja
produktif tersebut mampu menopang struktur penduduk lain yang
termasuk kriteria tidak produktif, bukannya menjadi beban baru
masyarakat dan pemerintah.
114
Tabel 16.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
18
19
20
22
24
25
Mata Pencaharian Penduduk di
Karyamekar Kecamatan Pasirwangi
Desa
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah (jiwa)
PNS
10
Guru Honor
7
Pensiunan PNS
2
Pegawai BUMN
3
Karyawan Swasta
92
Buruh
104
Buruh Tani
717
Pertukangan/Bangunan
16
Wiraswasta
30
Pedagang Keliling
10
Pedagang
63
Petani
451
Pengemudi Ojek
50
Bidan
1
Pengrajin peralatan tani
1
TKI
2
Tukang Bengkel
4
Penjahit Pakaian /Tailor
3
Paraji
2
Tukang Batu
2
Peternak
81
Kontraktor/Pengusaha Lokal
10
Jumlah
1.661
Sumber: Diolah dari Profil Desa Karyamekar, 2012
Mata pencaharian penduduk Desa Karyamekar, mayoritas
adalah bekerja sebagai petani (27%) dan buruh (49%), sebagian besar
merupakan buruh tani. Struktur ketenagakerjaan Desa Karyamekar
menunjukkan (sebagaimana terlihat dalam tabel 16), bahwa tidak
banyak variasi lapangan pekerjaan yang terdapat di desa Karyamekar.
Sehingga diperlukan upaya-upaya yang memungkinkan masyarakat
115
dapat
berwirausaha
melalui
sitmulus-stimulus
pemberdayaan
masyarakat yang tanpa henti.
3. Sarana Pendidikan
Permasalahan kemiskinan ekonomi umumnya berkat dengan masalah
yang dihadapi oleh suatu masyarakat, yaitu diantaranya adalah tingkat
pendidikan. Pendidikan juga merupakan salah aspek atau indikator
untuk menentukan kemajuan suatu daerah, selain masalah kesehatan
dan pengangguran (penyerapan tenaga kerja).
Tabel 17.
N0
1
2
3
4
5
6
Jumlah Penduduk menurut Pendidikan Desa
Karyamekar Kecamatan Pasirwangi
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Ket (%)
TK
100
2
Tidak Tamat SD
340
5,8
Tamat SD
2.180
40
Tamat SLTP
732
12
Tamat SLTA
567
10
Akademi/Universitas
20
0,3
Jumlah
3839
100
Sisanya 2607 orang (35%) tidak jelas, tidak tercatat atau
memang belum sekolah, dari jumlah penduduk 5.906 jiwa
Sumber: Diolah dari Profil Desa Karyamekar, 2012
Dalam tabel 17, terlihat bahwa sebagian besar penduduk
menurut pendidikan (kelulusan) adalah 40% merupakan lulusan
sekolah dasar. Sedangkan lulusan akademi atau perguruan tinggi hanya
0,3% atau 20 orang saja. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan,
mengingat tingginya tingkat pendidikan penduduk di suatu daerah
menunjukkan potensi kemajuan potensial yang akan dapat diperoleh.
116
Tingginya tingkat pendidikan masyarakat di suatu daerah, juga
merupakan suatu indikasi dari kemampuan warga masyarakat
melakukan penyesuaian diri dengan perkembangan teknologi dan
informasi.
Oleh karena itu pula ketersediaan sarana dan fasilitas
pendidikan di suatu daerah juga merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan kondisi kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pendidikan.
Tabel 18.
Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan
Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Jenis sarana pendidikan
Unit
Tk / PAUD
2
SDN
3
SMP
1
Madrasah
9
PKBM/Kelompok Belajar
1
Masyarakat (Paket B dan C)
6.
Pondok Pesantren
1
Sumber: Diolah dari Profil Desa Karyamekar, 2012
Siswa yang lulus SMP di desa Karyamekar jika akan meneruskan
pendidikan harus ke daerah lain, dimana para lulusan tersebut dapat
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi (SLTA) atau
ke Pendidikan Tinggi. Di desa Karyamekar hanya terdapat 1 Sekolan
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP/ SMP), sedangkan bagi mereka yang
akan meneruskan pendidikan setingkat SLTP/SMP, namun secara usia
sudah melewati usia wajib belajar, dapat mengikuti program Paket A,
Paket B atau Paket C.
Untuk pelayanan kesehatan, khususnya berkaitan dengan
persoalan kesehatan ibu dan anak di desa Karyamekar terdapat 6 buah
117
posyandu, 1 orang bidan desa, serta 3 orang paraji (dukun bayi),
dengan jumlah kader PKK dan kesehatan sejumlah 23 orang (diolah
dari Profil Desa Karyamekar, 2012). 6 buah pos pelayanan terpadu
tersebut terdapat di masing-masing RW yang berjumlah 6 RW. Untuk
pelayanan
kesehatan
lanjutan,
maka
warga
masyarakat
Desa
Karyamekar dapat memanfaatkan fasilitas puskesmas kecamatan
Pasirwangi, atau menuju rumah sakit umum daerah (RSUD) kabupaten
Garut setelah memperoleh rujukan dari Puskesmas setempat.
Selanjutnya mengenai kondisi sarana dan prasarana umum
terutama jalan, selain jalan utama Samarang-Pasirwangi (Darajat),
sebagian berada dalam kondisi baik, dan sebagian lagi belum diaspal
dan diperkeras. Khususnya jalan-jalan dan gang-gang di lingkungan
warga, serta gorong-gorong dan selokan. Kebutuhan akan air bersih
nampaknya mendesak bagi warga Desa Karyamekar, terutama di masa
kemarau.
4. Potensi Ekonomi
Potensi perkonomian yang terdapat Desa Karyamekar salah satunya
potensi alamnya. Potensi yang paling menonjol jika dibandingkan
dengan desa-desa lain di kecamatan Pasirwangi adalah potensi air
panas. Uap panas alami terdapat di 4 (empat) lokasi di desa
Karyamekar, sehingga tidak mengherankan jika di desa Karyamekar ini
banyak terdapat kolam pemandian air panas, sebagai potensi wisata.
Selain itu juga terdapat potensi pertanian, khususnya tanaman palawija.
Desa Karyamekar, juga merupakan salah satu yang lokasinya
berdekatan dengan hutan lindung.
118
Tabel 19.
N0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Jenis Sumber Daya Alam Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi
Jenis
Tanah Carik Desa
Batu alam/Batu Kali
Bambu
Lahan Pekarangan masih
luas
Tanah Sawah
Tanah Pertanian/Darat
Palawija
Tanah Hibah Masyarakat
Sumber Mata Air
Hutan Negara & Hutan
Lindung
Saluran irigasi/Sungai
Kolam
Danau
Sumber Gas /Uap Panas
Sumber Mata air hangat
Jumlah/Luas
3,75 Ha
4 lokasi
2,5 Ha
168,58 Ha
1,5 Ha
98,50 Ha
10,72 Ha
2,4 Ha
7 Lokasi
188 Ha
Lokasi
Menyebar
Menyebar
Menyebar
Menyebar
Kp. Ciherang
Menyebar
Menyebar
Menyebar
Menyebar
Hutan pangkuan
3 Lokasi
Menyebar
10 Lokasi
Menyebar
1 Lokasi Wilayah darajat
4 Lokasi
Menyebar
1 Lokasi Kp. Cihaneut Rw
04
Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012
Karunia kekayaan potensi alam yang terdapat di desa Karyamekar
tersebut
harus
kesejahteraan
dapat
warga
dimanfaatkan
sebesar-besarnya
untuk
masyarakatnya.
Sebesar-besarnya
untuk
kesejahteraan masyarakat setempat, tersebut bukan berarti merusak
potensi alam tersebut, itu artinya tidak mensyukuri karunia alam yang
mereka peroleh. Tetapi masyarakat, pemerintah dan perusahaan yang
memanfaatkan sumber daya alam tersebut, secara secara bijak
119
memelihara kondisi alam, kondisi sosial dan kondisi budaya yang
menunjang pemeliharaan lingkungan tersebut.
Tabel 20.
No.
Kegiatan Usaha Ekonomi Masyarakat Desa Karyamekar
Kecamatan Pasirwangi
Jenis Sarana Usaha dan
jasa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Jumlah
Sarana yang
ada
4
4
1
2
4
3
50
1
1
4
1
Menyebar
Menyebar
Kp.Kubang
Menyebar
Menyebar
Menyebar
Menyebar
Kp.Darajat
Kp.Kepakan
Menyebar
Kp.Ciherang
4
1
4
5
Menyebar
Di Kp.Kepakan
Menyebar
Di Darajat
4
1
Menyebar
Kp.Cibeureum
5
5
diDarajat
diDarajat
Konveksi/Tailor
Bengkel
SPBU Mini
Warnet
Toko
Rumah makan/Restoran
Warung kelontong
Pengrajin Alat Pertanian
Pangkalan Ojek
Bengkel/Tambal ban
Pengrajin Makanan
Ringan
12. Warung Baso
13. Toko Obat/alat Pertanian
14. Counter Hp/Pulsa
15. Kolam Renang/Water
Boom
16. Penjahit
17. Sewa alat Musik/Dangdut
Live
18. Sewa Penginapan
19. Pariwisata
Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012
Lokasi
Selain usaha dan jasa yang dikembangkan berdasarkan potensi
alam
yang
terdapat
di
desa
Karyamekar,
masyarakat
juga
mengembangkan kegiatan usaha ekonomi lainnya. Terdapat 19 jenis
120
kegiatan usaha yang terdapat di desa Karyamekar, baik usaha jasa,
perdagangan, restoran maupun wisata. Perkembangan jenis usaha
tersebut seiring pula dengan meningkat potensi wisata di desa
Karyamekar serta interaksi yang terjadi antara masyarakat lokal dengan
para pendatang atau wisatawan.
Selain potensi usaha jasa dan perdagangan di desa Karyamekar,
kepemilikan hewan ternak juga merupakan potensi usaha yang dapat
dikembangkan oleh masyarakat lokal. Berdasarkan data, terdapat 4
jenis hewan ternak yang dipelihara oleh penduduk desa Karyamekar.
Domba merupakan hewan ternak yang paling banyak dipelihara oleh
penduduk desa Karyamekar, dan lokasinya menyebar di setiap dusun,
RW dan RT. Berbeda dengan kepemilikan ternak ‘itik’ yang hanya
terpusat di kampung Kepakan.
Tabel 21.
N0
1
2
3
4
Kepemilikan Ternak oleh Masyarakat Desa Karyamekar
Kecamatan Pasirwangi
Jenis Kepemilikan
Ternak
Ayam Kampung
Domba
Kelinci
Entog (itik)
Jumlah
Ternak yang
dimiliki
230 ekor
420 ekor
5 ekor
70 ekor
Lokasi
Menyebar
Menyebar
Kp.Sukalaksa
Kp.Kepakan Rt
01/02
725 ekor
JUMLAH
Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012
Kepemilikan hewan ternak yang menyebar tersebut, seperti
ternak domba dan ayam kampung, dapat diartikan bahwa masyarakat
telah terbiasa mengelola dan memelihara hewan ternak tersebut. Hal ini
121
merupakan potensi yang dapat dikembangkan lebih lanjut, khususnya
berkaitan inovasi pemasaran dan diversifikasi kegiatan yang dapat
dimunculkan
dari
kegiatan
beternak
tersebut.
Apakah
akan
dikembangkan menjadi hewan potong, pedaging atau pemuliaan ternak
yang jalur pemasarannya dapat dibangun dengan rumah-rumah makan
di sekitar kecamatan Pasirwangi atau rumah makan dan restoran yang
ada di kabupaten Garut atau daerah lainnya.
5. Sarana Agama, Seni dan Budaya
Di desa Karyamekar tidak ditemui fasilitas keagamaan lain selain
Islam, sebagaimana terlihat dalam tabel 22. Keberadaan sarana ibadah
tersebut tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan kecukupan
menampung jamaah di desa Karyamekar.
Hal tersebut juga
menunjukkan bahwa mayoritas penduduk desa Karyamekar adalah
beragama Islam.
Tabel 22.
Sarana Keagamaan (Islam) Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi
Jumlah unit
Sarana yang ada
1 Mesjid Jami
9
2 Mushola/Langgar
24
3 Pondok Pesantren
1
4 Madrasah
9
JUMLAH
43
Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012
N0
Jenis Sarana Keagamaan
Lokasi
di Rw 01 s/d 06
di Rw 01 s/d 06
di Rw 03
di Rw 01 s/d 06
Selain sarana ibadah, di desa Karyamekar terdapat pula sarana
kegiatan rekreatif dan olah raga. Sarana olah raga yang tersedia di desa
Karyamekar antara lain lapangan sepak bola, bola volley, bulu tangkis,
122
serta kolam renang. Tersedianya kolam renang tidak terlepas dari
keberadaan kolam-kolam air hangat di tempat-tempat wisata.
Keberadaan kolam-kolam tersebut merupakan kondisi tersendiri, yang
jarang dimiliki oleh desa-desa lain di kecamatan Pasirwangi.
Keberadaan sarana olah raga sangat diperlukan bagi warga yang ingin
berolah raga, atau sekedar menyalurkan bakatnya, atau juga sebagai
kegiatan rekreatif. Para pemuda dapat mengisi waktu luang mereka
dengan melakukan aktifitas yang bermanfaat, salah satunya melalui
kegiatan olah raga.
Tabel 23.
N0
1
2
Sarana Olah Raga di Desa Karyamekar Kecamatan
Pasirwangi
Jenis Sarana Olah Raga
Jumlah
Sarana yang ada
1
5
Lapangan Sepak Bola
Kolam Renang/
berendam
3 Lapangan Bola Volly
1
4 Lapangan Bulu
2
Tangkis
9
JUMLAH
Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012
Lokasi
Kp.Kepakan
di Darajat
Kp.Kepakan
Kp.Kepakan
Selain mengisi kegiatan dengan berolah raga, warga masyarakat
pun dapat menyalurkan kegiatan bermanfaat lainnya dalam bidang seni
dan budaya. Di desa Karyamekar terdapat beberapa kelompok seni dan
budaya, seperti seni dogdog, bela diri pencak silat, qosidah, dangdut,
atau group band. Keikutsertaan warga masyarakat dalam kelompok seni
tradisional seperti seni dogdog dan seni bela diri pencak silat,
merupakan salah satu upaya dari pemeliharaan budaya tradisional.
123
Tabel 24.
N0
1.
2.
3.
4.
5.
Kelompok Kesenian dan Budaya di Desa
Karyamekar Kecamatan Pasirwangi
Jumlah kelompok
Jenis Kesenian/Budaya
Kesenian yang ada
Dogdog
1
Pencak Silat
1
Qosidahan
3
Dangdung Live
1
Band
3
9
JUMLAH
Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012
Selain seni tradisonal, terdapat juga beberapa seni kontemporer seperti
misalnya group-group band atau group musik dangdut di desa
Karyamekar. Semua jenis kesenian tersebut merupakan saluran minat
dan bakat bagi warga masyarakat, untuk melepas ketegangan dari
aktivitas pekerjaan sehari-hari.
6. Kelembagaan dan Organisasi Tingkat Desa Karyamekar
Selain struktur formal pemerintahan desa, terdapat pula
organisasi-organisasi yang bersifat semi informal dan informal, yang
dibentuk oleh tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Bahkan dalam
realitas kehidupan sehari-hari organisasi-organisasi inilah yang
seringkali menjadi ujung tombak pelayanan kepada masyarakat secara
langsung.
124
Tabel 25.
N0
Kelembagaan dan Organisasi di
Karyamekar Kecamatan Pasirwangi
Jenis Organisasi/Kelembagaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
BPD
LPM
MUI
PKK dan Kader PKK
Linmas
Posyandu
Kelompok Tani
DKM
Yayasan
Organisasi Olah Raga
Rukun Tetangga (RT)
Rukun Warga (RW)
Partai Politik
Kelompok Simpan Pinjam
Perempuan
15. Remaja Mesjid (IRMA)
Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012
Desa
Jumlah
Anggota/ Lembaga
5
6
5
18
12
6
2
9
2
5
32
6
5
5
3
Namun demikian tidak semua organisasi sosial tersebut aktif,
sehingga dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat. Beberapa
organisasi tersebut hanya akan aktif pada saat tertentu saja ketika
dibutuhkan, atau hanya hadir sebagai pelengkap saja. Keberadaan
organisasi sosial di Desa Karyamekar tersebut dharapkan dapat menjadi
saluran aspirasi dan media pelayanan bagi warga masyarakat.
7. Isyu dan Kebutuhan Pembangunan Desa di Karyamekar
Berdasarkan penjaringan masalah yang dilakukan di setiap
dusun terdapat isyu dan masalah yang akan menjadi prioritas
pelaksanaan pembangunan desa tahun yang dimulai dari Tahun 2011 –
125
2015. Sejumlah isyu dan permasalahan tersebut terangkum dari hasil
data lapangan sebagai berikut:
 Isyu
permasalahaan
pendidikan
yang
dihadapi
oleh
desa
Karyamekar antara lain sarana PAUD, SD, dan perpustakaan di
Madrasah. Ruang guru yang belum tersedia di beberapa sekolah,
sarana
MCK
sekolah,
ruang laboratorium
sekolah,
masih
banyaknya anak yang putus sekolah, kesejahteraan guru ngaji.
 Isyu yang berkait dengan masalah kesehatan antara lain di sejumlah
RW belum tersedia Posyandu, desa belum memiliki ambulan desa,
40% warga belum memiliki MCK, kesadaran dan perilaku warga
masyarakat akan kebersihan masih rendah, belum tersedia tempat
pembuangan sampah sementara (TPS), warga rentan terhadap
penyebaran penyakit menular, kader-kader PKK dan Posyandu
masih kurang, jaminan kesehatan keluarga miskin belum tersedia,
tenaga medis dan kesehatan desa belum tersedia.
 Isyu berkaitan dengan infrastruktur atau pembangunan fisik, antara
lain perbaikan dan pembangunan jalan di setiap kampung, saluran
drainase, saluran kirmier, bahu jalan, pipanisasi untuk kebutuhan
sarana air bersih, sarana gedung serba guna desa.
 Isyu yang berkait dengan lingkungan hidup, masyarakat masih
kesulitan memperoleh air bersih (terutama saat kemarau), tempat
pembuangan sampah sementara belum tersedia, 20% rumah warga
tidak layak huni, pemanfaatan halaman rumah untuk apotik dan
warung hidup masih minim, saluran pembuangan air kotor.
 Isyu yang berkait dengan persoalan sosial, dan budaya antara lain
IPM (indeks pembangunan manusia) masih rendah, kemampuan
dan kompetensi petani masih rendah, banyak angkatan kerja yang
126
belum memiliki keahlian (sekitar 40% usia produktif belum
bekerja), sarana pendukung pertanian masih kurang (termasuk bibit
pertanian), terdapat sejumlah kelompok kesenian yang belum
terbina, karang taruna belum berjalan, beberapa sarana kegiatan
kepemudaan dan olah raga belum tersedia.
 Isyu perekonomian lain dan usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) antara lain, para pelaku usaha kecil masih memerlukan
modal, peternak domba (400 ekor) memerlukan dukungan
pengadaan bibit, kolam ikan air tawar (30 kolam) belum digarap
secara maksimal, industri rumah tangga (pembuatan kripik) butuh
modal, pengusaha konveksi (jahit) butuh modal, tidak terdapat
sentra kerajinan dan makanan khas desa, masih beredarnya
tengkulak. (Sumber: diolah Profil Desa Karyamekar, 2012)
Secara umum kebijakan pembangunan di Desa Karyamekar
mengacu pada terwujudnya desa yang maju sesuai yang dicita – citakan
dalam Visi Desa Karyamekar. Dengan mengarah pada dapat
terakomodasinya kepentingan masyarakat secara umum, dengan
berazaskan pada kemanfaatan, keadilan, pemerataan, untuk mendorong
tumbuhnya pembangunan masyarakat yang partisipatif, berkelanjutan,
transparan dan akuntabel.
Adapun arah Kebijakan Pembangunan Desa Karyamekar pada
dasarnya meskipun Kepala Desa berganti setiap masa jabatannya,tetap
mengarah ke satu hal yaitu mewujudkan sumber daya manusia
berkualitas yang mampu membangun desanya. Dengan didorong oleh
potensi pendidikan dan kesehatan sebagai sektor sesuai arah misinya di
Desa Karyamekar dengan tanpa mengabaikan sektor lainnya,
127
pemerintah desa, tokoh masyarakat, instansi terkait serta seluruh
lapisan masyarakat, berusaha menjadikan sektor ini sebagai ”sarana”
untuk memulai dan menuju ”proses/ tahapan” menuju visi desa
Tentu hal ini harus diimbangi serta didukung pula oleh
pembangunan sektor lain (keagamaan, kesehatan, sarana/prasarana)
serta penataan kelembagaan yang profesional dan amanah. Dengan ini
diharapkan dapat memicu reaksi-berantai, dengan dimulai dari
perubahan paradigma pembangunan masyarakat dengan berorientasi
pada kemandirian (pembangunan yang partisipatif), dengan ditunjang
dari tersedianya sarana/prasarana umum (sekolah, madrasah, jalan
lingkungan, jalan desa, saluran air, perpipaan, penerangan umum
/listrik). Serta dengan kapasitas dan kualitas kesejahteraan masyarakat
yang terus ditingkatkan (sarana kesehatan: penyediaan air, kebersihan
lingkungan, kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan masyarakat),
selanjutnya adalah ketersediaan kebutuhan pokok (pangan dan bahan
pangan) yang memadai khususnya untuk warga Desa Karyamekar.
Dengan ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya SDM yang
memadai untuk peningkatan berbagai sektor, terutama diharapkan
dapat tumbuhnya usaha ekonomi produktif (di bidang perdagangan dan
pertanian), serta adanya ketersediaan lapangan pekerjaan yang terbuka.
Untuk pemilihan skala prioritas tahapan pelaksanaan pembangunan,
mengacu pada beberapa pertimbangan, antara lain:
(1). Dapat memberikan dampak langsung / tidak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan
(2). Memiliki potensi untuk dapat ditangani dalam waktu dekat ini
(ada dananya, atau mendesak karena bencana, atau lainnya)
128
(3). Partisipasi serta kepedulian warga setempat
(4). Rasa Perikemanusiaan, Keadilan serta Pemerataan
Setelah
diketahui
serta
dirumuskannya
tujuan/arah
pembangunan desa, maka melalui potensi yang tersedia, diharapkan
masalah yang muncul dapat ditangani serta ditemukan solusinya. Untuk
menuju ke arah tersebut diperlukan usaha–usaha yang sistematis
dengan tahapan perencanaan yang matang.
Berikut beberapa hal yang menjadi strategi pencapaian rencana
pembangunan Desa Karyamekar antara lain :
1. Mengenali kebutuhan masyarakat, serta keberpihakan pada
Masyarakat. Peran Tokoh masyarakat, Tokoh agama, RT, RW,
serta lainnya sebagai Figur dan/atau pemimpin masa yang
bersentuhan langsung dengan masyarakat, dapat menjadi jembatan
untuk menghimpun aspirasi yang berkembang di masyarakat serta
mensosialisasikan rencana-rencana pembangunan.
2. Pembangunan Partisipatif. Semua komponen berperan aktif, dalam
tahapan perencanaan pembangunan serta proses pelaksanaan
pembangunan di wilayah desa, baik sebagai pelaku ataupun
pemantau dari pelaksanaan kegiatan tersebut.
3. Pemerintahan yang Amanah. Menyediakan informasi tentang
perencanaan, proses serta hasil pembangunan desa secara tranparan
dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan
pembangunan desa.
129
4. Kesadaran masyarakat, bahwa pembangunan desa ini adalah
membutuhkan waktu,penunjang dan proses.
5. Terbukanya
kesempatan
bagi
penyediaan
kader
penggerak
pembangunan desa.
Secara Umum program pembangunan direncanakan serta
dikembangkan dalam 5 (lima) tahun, meliputi bidang-bidang :
1. Bidang Keagamaan meliputi pembangunan serta perbaikan
sarana/prasarana ibadah masyarakat berupa bangunan serta
melengkapi perlengkapan pendukung kegiatan keagamaan
2. Bidang Kesehatan meliputi pembangunan sarana prasarana air
bersih,
Peningkatan/Pelestarian
MCK,
Penyediaan
gedung
posyandu, pelayananan kesehatan ibu dan anak, kesehatan
lingkungan, serta Pelayanan kesehatan Masyarakat (terutama pada
Rumah Tangga Miskin)
3. Bidang Pendidikan meliputi pembangunan sarana prasarana
Sekolah, kendaraan angkutan khusus anak sekolah, pembangunan
madrasah dan pendidikan non fisik seperti pelatihan-pelatihan
masyarakat.
4. Bidang Ekonomi meliputi Permodalan usaha(UKM), Pembinaan
Usaha Kecil, Koperasi.
5. Bidang Sarana Prasarana Umum meliputi sarana prasarana
mobilitas
lingkungan,
warga,
sarana
Drainase),
prasarana
TPT/Kirmir,
Pemukiman
(jalan-jalan
pembangunan
sarana
prasarana olah raga.
6. Bidang Kelembagaan meliputi Penguatan dan pembinaan lembagalembaga, sarana perkantoran yang represenntatif untuk lembaga.
130
7. Pembenahan jalan dan pelebaran jalan utama Pasirwangi, untuk
mengantisipasi kemacetan yang terjadi setiap liburan ke daerah
wisata kolam air panas.
Secara historis mengenai pembangunan desa Karyamekar dapat dilacak
berdasarkan data sejarah pembangunan yang pernah dilakukan oleh
desa beserta pihak-pihak yang membantu proses bantuan tersebut.
Dalam tabel 26 terlihat secara kronologis pembangunan desa,
khususnya sejak hadirnya perusahaan Geothermal di wilayah mereka.
Tabel 26.
Catatan Pembangunan Desa Karyamekar
Pasirwangi, dengan dukungan dari Chevron
Tahun
Peristiwa Pembangunan
(1)
(2)
2001
kecamatan
Pelatihan Las, Mesin Jahit, Tata Boga pembuatan Saos Tomat
Oleh PKK dari Balai Latihan Kerja (Dinas BLK) bekerjasama
dengan Chevron
2004
Pembangunan MCK di Kp. Bedeng,Kp. Babakan
Falah,Kp.Cibeureum Kp. Kepakan Rt 01/01 Dan Kp. Kepakan
Rt 02/01 merupkan Program bantuan dari Chevron Geotermal
Indonesia
2009
Bantuan ternak Domba dari Chevron ke kelompok ternak Kp.
Bedeng Rt 09 Rw 02
2011
Pelaksanaan Kegiatan perlombaan Penghijauan Penanaman
sejuta Pohon di Kawasan Hutan Darajat yang Diselenggarankan
Oleh Bupati Garut dan Chevron.
2011
Pembangunan Rambat Beton Jalan Lingkungan di Kp. Kepakan
RW 01 bantuan dari Chevron.
2011
Pembangunan Saluran air dengan Gorong-gorong saluran Air
Kp. Cibeureum Rt 03 Rw 03 bantuan dari Chevron.
Sumber: Diolah data Desa Karyamekar, 2012
131
Dalam tabel tersebut nampak bahwa keterlibatan pihak perusahaan
Geothermal dalam proses pembangunan di desa Karyamekar hanya
tercatat di tahun 2001 satu kegiatan, tahun 2004 satu kegiatan, tahun
2009 satu kegiatan dan
tahun 2011 tiga kegiatan. Data tersebut
menunjukkan fluktuasi relasi yang terjadi antara masyarakat Desa
Karyamekar dengan pihak PT. Chevron. Data dalam tabel 26
menunjukkan pula bagaimana pemahaman agen (PT. CGI) dalam
melihat potensi sosial-ekonomi, yang kemudian direspon dengan
kegiatan CSR yang mereka lakukan. Nampak terlihat dalam data
sekunder tersebut, program CSR yang dilakukan oleh PT. CGI,
cenderung dilakukan secara sepihak, artinya lebih banyak didasarkan
pemahaman pihak perusahaan. Sehingga program-program CSR yang
dilaksanakan belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta
tidak melibatkan masyarakat secara penuh.
C. PT. Chevron Geothermal Indonesia (CGI)
Chevron Geothermal Indonesia, Ltd. merupakan bagian
Chevron IndoAsia Bussines Unit, sebagai anak perusahaan yang
berkantor di San Ramon, California. Chevron terus berusaha
mengembangkan sumber-sumber energi yang dapat membantu masa
depan dengan ketahanan energi yang kuat dan terdiversifikasi. Salah
satu sumber energi terbarukan yang dikembangkan adalah energi listrik
tenaga panas bumi (geothermal). Hingga saat ini Chevron merupakan
produsen energi listrik tenaga panas bumi terbesar di dunia.
Tahun
2007,
proyek
Geothermal
Darajat
III
yang
dikembangkan di bawah kontrak dengan Pertamina dan PLN
132
(Perusahaan Listrik Negara) di Jawa Barat terdaftar dalam Mekanisme
Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) Protokol
Kyoto. Chevron Geothermal Indonesia, Ltd. yang ada Garut adalah
bagian dari Chevron yang awalnya dikelola oleh Amoseas Indonesia.
CGI merupakan sebuah perusahaan swasta asing yang bergerak dalam
usaha penyedia pasokan energi yang berasal dari panas bumi. CGI
sebagai perusahaan multinasional membangun Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi (PLTP) di kawah Darajat, Kabupaten Garut. Di
Indonesia sendiri, dua proyek geothermal Chevron di Salak dan
Darajat, Jawa Barat, menghasilkan 636 megawatt listrik. Jumlah
tersebut mewakili lebih dari 50% persen total produksi listrik dari
energi panas nasional yang dapat memenuhi kebutuhan listrik untuk 3,9
juta rumah serta mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sampai
saat ini CGI sudah membangun tiga Unit PLTP, yakni Darajat I, II, dan
III. Potensi Geothermal yang telah dimanfaatkan oleh ketiga unit
pembangkit itu mencapai 259 MW (Megawatt). Pada tahun 2009,
Darajat III menerima Sertifikat Pengurangan Emisi (Certified Emission
Reduction) perdana dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pencapaian ini
membuktikan
komitmen
Chevron
dan
Indonesia
untuk
mengembangkan sumber energi terbarukan.
Sebagai sebuah perusahaan yang bersifat ekstraktif, yaitu
bergerak dalam eksplorasi alam khususnya pengelolaan panas bumi.
Kegiatan dan pengelolaan panas bumi yang dilakukan oleh CGI terdiri
dari beberapa tahapan yang semuanya dapat menimbulkan dampak,
baik positif maupun negatif bagi lingkungan sekitarnya.
Dalam sub bab berikutnya akan dikemukakan data mengenai
pandangan agen (masyarakat lokal dan perusahaan) sebagai pelaku
133
praktik sosial, dalam memahami masing-masing agen dan struktur
(kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan) sebagai aturan dan
sumber daya (Giddens, 2011). Kemudian sub bab berikutnya akan
dikemukakan dinamika relasi antara agen-struktur---yaitu masyarakat
lokal
dan
perusahaan
dengan
kegiatan
CSR---dalam
dimensi
signifikansi, dominasi dan legitimasi akan program CSR. Kesadaran
para agen (masyarakat lokal dan perusahaan) merupakan dasar untuk
melakukan praktik sosial (tindakan sosial dan interaksi sosial), sebab
agen harus mengetahui apa yang ia kerjakan, meskipun pengetahuan
tersebut dapat diucapkan secara verbal atau pun tidak terucapkan
(Prayogo, 2011; Giddens, 2009, 2011).
Relasi yang dibangun melalui kegiatan CSR oleh PT. CGI di
Garut secara umumnya dilakukan, hal tersebut contohnya dari bantuan
pengadaan sarana kesehatan melalui Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Garut. Namun kegiatan CSR yang dilakukan oleh PT. CGI
secara khusus lebih cenderung merupakan respon terhadap wilayahwilayah terdekat dengan lokasi operasional perusahaan CGI. Beberapa
kecamatan yang paling berdekatan antara lain adalah Kecamatan
Samarang,
Kecamatan
Sukaresmi
dan
Kecamatan
Pasirwangi.
Kecamatan Pasirwangi merupakan lokasi utama dari operasional PT.
CGI, dan terutama desa Karyamekar merupakan desa dimana secara
administratif perusahaan tersebut berada. Sehingga merupakan yang hal
yang wajar apabila, dinamika relasi yang terjadi antara masyarakat
lokal dengan perusahaan akan terjadi lebih sering.
134
BAB IV
PANDANGAN MASYARAKAT LOKAL AKAN
PERUSAHAAN DAN KEGIATAN CSR
Bagian ini menggambarkan kesadaran atau pemahaman
masyarakat lokal akan kehadiran dan kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan PT. Pemahaman masyarakat lokal di sini merupakan
refleksi (kesadaran) mereka terhadap dimensi-dimensi struktur yaitu
dominasi, legitimasi dan signifikansi dari kehadiran perusahaan dan
tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan oleh PT. CGI.
Tujuan dari ini penyajian data ini adalah untuk memperoleh gambaran
mengenai kesadaran masyarakat lokal sebagai salah satu agen
memandang struktur (CSR) serta agen (perusahaan) lainnya.
A. Pandangan Masyarakat Lokal akan Kehadiran PT. Chevron
Geothermal Indonesia (PT. CGI)
Dalam bagian ini akan dikemukakan hasil penelitian mengenai
pengetahuan
masyarakat
lokal
mengenai
perusahaan,
inisiatif,
pandangan masyarakat lokal akan keberadaan perusahaan, dan inisiatif
masyarakat lokal membangun relasi dengan perusahaan, serta alasan
masyarakat lokal melakukan aksi kepada PT. CGI.
135
1. Pengetahuan Masyarakat Lokal mengenai PT. CGI
Beberapa informan baik warga biasa maupun tokoh informal
masyarakat mengenal PT. CGI sebagai perusahaan gas. Sedangkan
informan yang berkecimpung di pemerintahan desa atau kecamatan
mengenai PT. CGI sebagai perusahaan yang bergerak di bidang
penghasil listrik yang dihasilkan memanfaatkan tenaga pas bumi.
Bahkan terdapat informan yang mampu menjelaskan secara detail
mengenai cara kerja tenaga panas bumi ini menjadi listrik seperti
dikemukakan oleh salah seorang tokoh masyarakat, bahwa
“Chevron bergerak di bidang listrik, Chevron itu sebetulnya
memanfaatkan gas bumi panas bumi lebih tepatnya melalui
perantaraan sumur bor, jadi gini panas bumi itu gak kaya
minyak yah kalau panas bumi kalau masih aktif kan panas kalau
minyak 25 tahun atau 30 tahun habis kalau panas bumi mah
kalau gas alamnya masih aktif nya teras weeee,” (TM 1).
Pengetahuan masyarakat lokal mengenai perusahaan besar di suatu
daerah adalah penting dan diperlukan untuk melihat gambaran
pemahaman masyarakat lokal atas perusahaan tersebut.
Sedangkan mengenai kepemilikan PT. CGI, tidak semua
informan mengetahui atau bahkan tidak peduli mengenai status
kepemilikan perusahaan tersebut. Sebagian informan menyebutkan
bahwa orang Indonesia asli yang memiliki PT. CGI, sebagian lagi
mengatakan orang Amerika yang memiliki perusahaan tersebut.
Beberapa informan bahkan tidak mengetahui status kepemilikan serta
sejak tahun berapa PT. CGI ada di daerah tersebut. Status kepemilikian
tersebut nampaknya bukan sesuatu yang penting untuk dipikirkan oleh
para infoman. Bagi ada informan yang menganggap PT. CGI sebagai
aset negara, sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:
136
“..saya gak tau Chevron disini dari tahun berapa pastinya, untuk
pemiliknya ga tau, yang jelas mah orang Amerika katanya. Saya
belum tahu benar-benar apa milik negara apa milik asing, tapi
sok dicaritakeun kieu “ieu teh aset negara” ya namanya saya
bodoh... ya taunya yang punya orang Amerika aja. ....ya yang
usaha di bidang PLTU (tenaga uap) ya pengeboran cari sumur
buat geothermal seperti itu lah (TM 3).
Pengetahuan yang tertanam dan berkembang di dalam benak
para informan tersebut sedikit banyak mempengaruhi cenderung
berperilaku dan bersikap mereka atau upaya respon (sikap) para
informan kepada perusahaan tersebut. Bahkan beberapa warga
masyarakat lokal Desa Karyamekar mengetahui secara detail asal mula
kepemilikan PT. CGI. Walaupun mereka sendiri memperoleh informasi
tersebut tidak secara langsung dari pihak PT. CGI, tetapi mereka
memperoleh informasi tersebut dari mulut ke mulut warga lainnya.
Mereka mengetahui bahwa PT Amoseas adalah pengelolan sebelum
beralih ke PT. Chevron Geothermal Indonesia sebagai pengelola di
Darajat.
Prayogo (2008: 68-69) menunjukkan bahwa karakteristik lokal
yang berkaitan dengan organisasi lokal dan budaya lokal merupakan
variabel penting yang harus diperhatikan dalam konteks relasi
masyarakat lokal dengan industri ekstraktif. Lebih jauh Prayogo (2011,
150) menyebutkan bahwa substansi pokok berkaitan dengan relasi antar
pemangku kepentingan berkenaan dengan konsep kepentingan, otoritas
dan power, sumber daya, akses informasi dan kontrol. Dalam konsepsi
strukturasi Giddens (2009, 2010) substansi tersebut dengan struktur,
yang terdiri dari dominasi, signifikansi dan legitimasi.
137
2.
Pandangan Masyarakat Lokal akan Keberadaan PT. Chevron
Geothermal Indonesia
Kehadiran peusahan besar berteknologi tinggi ditengah-tengah
masyarakat seringkali menimbulkan pro dan kontra bagi mereka. Bagi
masyarakat yang pro atau mendukung terhadap kehadiran PT. CGI,
karena kehadiran tersebut membawa dampak positif menurut mereka.
Sedangkan mereka yang kontra, mereka menganggap kehadiran
tersebut membawa dampak negatif.
Pada beberapa informan yang melihat kehadiran PT. CGI secara
positif, sebagian melihat banyaknya bantuan yang diberikan oleh
perusahaan kepada warga sekitar. Bantuan yang paling dirasakan
sangat bermanfaat adalah pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan
dan gorong-gorong. Khusus mengenai pembangunan jalan dari PT.
CGI, hampir semua informan bersikap positif. Mulusnya jalan
mendukung mobilitas kegiatan ekonomi masyarakat lokal, yang
sebagian besar adalah petani sayur. Waktu tempuh untuk mengirim
sayuran untuk dijual ke pasar menjadi lebih cepat. Sebagaimana
pendapat dari salah seorang informan, bahwa:
“Pendapat bapak mah alhamdulilah dengan adanya Chevron teh
jalan-jalan
terutama
lingkungan-lingkungan
diantara
masyarakat teh alhamdulillah ku Chevron ka bantos, pami
ngabangun jalan, irigasi, air bersih pami ku swadaya mah moal
kadugi, tapi ku Chevron mah alhamdulillah kebijakan Chevron
teh karaos ku bapak. Bapak ngan saukur ngajengkeun terutama
nampi, pami masalah pembiayaan mah teu terang nu didamel
teu terang upah tah kitu diantarana mah biaya secara globalna
mah teu terang” (TM).
138
Bahkan berdasarkan informasi informan, setiap tahunnya selalu
dilakukan perbaikan jalan atas sumbangan Chevron. Perbaikan jalan ini
dimuali dari jalur masuk dari arah Tarogong --kecamatan Samarang--kecamatan Pasirwangi menuju lokasi PT. CGI. Dengan demikian jalur
ini juga penting bagi mobilitas kepentingan perusahaan tersebut.
Namun jika diperhatikan secara seksama tidak semua jalan di desa-desa
di Kecamatan Pasirwangi dilakukan perbaikan oleh PT. CGI. Terutama
desa-desa yang lokasinya agak jauh terpencil dan tidak dilalui jalur
utama menuju PT. CGI, mereka jarang memperoleh bantuan.
Sedangkan pada warga yang berpandangan negatif, menurut
informan antara lain mereka khawatir dengan kebocoran gas, dan
tenaga kerja lokal yang masih jarang dipekerjakan oleh PT. CGI. Pihak
perusahan kurang terbuka untuk memberikan informasi kebutuhan
tenaga kerja. Bahkan pada sebagian warga masyarakat, mereka
memandang PT. CGI telah mengeksploitasi sumber daya alam milik
mereka. Mereka merasa, masyarakat tidak pernah diberi informasi
berkaitan dengan eksploitasi, mereka tidak diberi tahu sampai kapan
periodesasi kontrak PT. CGI, dan ketiga berkaitan dengan hutan di
Darajat Pass yang semakin gundul. Tidak banyak warga masyarakat
lokal yang dapat menanami hutan, karena lahan hutan sudah diambil
alih oleh PT. CGI. Menurut mereka masyarakat membutuhkan 3 (tiga)
hal pertama, persoalan ekonomi, kedua masalah infrastruktur, dan
ketiga adalah masalah pendidikan. Tetapi masyarakat merasa tidak
berdaya, karena sumberdaya alam, menurut mereka, terus dikeruk;
sementara pemerintah setempat pun seolah tutup mata.
139
Sebagian masyarakat mengetahui pemilik PT. CGI adalah pihak
asing, yaitu Amerika yang kemudian dikaitkan dengan Yahudi.
Sehingga muncul sentimen di kalangan sebagian warga keinginan
untuk menasionalisasi kepemilikan PT. CGI. Tentang pengalihan
kepemilikan tersebut, bagi sebagian warga seringkali dikaitkan dengan
kehadiran PT. CGI yang belum mampu memberikan dampak terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Bahkan pada sebagian
warga yang dahulu memiliki lahan, bahwa mereka dipaksa untuk
menjual tanah mereka dengan harga murah kepada Pertamina pada era
tahun 1982-an. Sebagaimana dikemukakan oleh informan berikut ini:
“...(tahun) ’82. Jadi eta teh pertama-tamana tanah masyarakat,
ngan eta teh tanah paksa tea, jual paksa ke pertamina, mulamulana mah. Kahoyong masyarakat mah jadi eta teh hoyong
sapartos sewa lahan. Ayeuna aya perkembangan, Chevron, jadi
perkembangan deui naik deui, sewaan. Ternyata-nyata
pemerintah itu gabung dengan tokoh-tokoh yang terkaya di
Kepakan, seperti Pak Maman, dulu-dulunya. Jadi, dipaksa
dijual-belikan kitu. Jadi per meter 7.000 (Rupiah). Ti payun teh
per meter kana leuweung ti payun. Tah ari jadi ka hoyong ku
abdi mah jadi hoyong sewa lahan kitu. Jadi, nambah deui
PLTU tenaga uap berkembang, jadi berkembang deui, jadi ka
anak incu teh kabagian. Jadi lamun dijual beli keun mah, ka
anak incu mah, ka anu bungsu-bungsu na, bontot-bontot na teu
kabagian kitu. Jadi anu ageng na hungkul ka tuang teh. Tah
ayeuna mah jadi sisa, anu jadi kanyeuri kapeurih teh iwal ku
alit-alitna kitu. Tenjo ka….. jadi ka anak incu mah teu turunmenurun. Jadi tanah paksa tadi na mah, kedah dipaksa ku
tokoh-tokoh na. jadi atos ageng tea penggusuran kitu.
Disuhunkeun 20 ge permeter ti payun ge henteu iyeu, 7.000 eta
teh permeter! Da Jadi 150 tumbak naming kabagian artos abdi
teh 45 juta. Nuju SMP abdi oge eta teh. Ayeuna teh anu
meserna pertamina (kebelakang), (sekarang) Chevron anu
meserna. Anu ngelolana. Ti payun mah Pertamina, anu mulamulana. (WM 2).
140
Berdasarkan
pernyataan
tersebut
nampak
bahwa
ada
pengalaman negatif yang mempengaruhi pandangan mereka menjadi
pandangan negatif terhadap keberadaan perusahaan di daerah mereka.
Suatu persepsi yang muncul dengan tidak tiba-tiba, tetapi suatu
persepsi negatif yang terpelihara seiring perjalanan waktu, hingga saat
ini. Persepsi negatif ini merupakan gejolak masyarakat yang bersifat
laten, dan tidak muncul ke permukaan. Apabila PT. CGI dan
pemerintah lokal, pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak
mampu mengelola konflik laten tersebut, maka dikhawatirkan situasi
tersebut akan muncul menjadi konflik yang manifes. Sebagaimana
dikemukakan oleh salah seorang informan, bahwa:
“sebenernya mah masyarakat mah pingin nasionalisasi lah. Jadi
perusahaan asing ke (ber)alih... sebenernya nunggu waktu lah,
sebenernya gerakan itu pasti ada, tapi kan masih menunggu
waktu. Jadi keinginan masyarakat pingin nasionalisasi, jadi
pengelola Pertamina gitu. Karena sulit gitu kalo dengan
perusahaan asing mah.” (TP 1).
Sebagian masyarakat lokal yang memandang kehadiran PT.
CGI sebagai sesuatu yang kontradiktif. Masyarakat lokal memahami
bahwa pendapatan yang diperoleh PT. Chevron adalah triliunan, sangat
kontradiktif dengan kondisi masyarakat sekitarnya. Bahkan muncul
nada sarkastik dari sebagian warga yang menyatakan kehadiran PT.
CGI sebagai mengerikan, sehingga masyarakat selalu was-was jika
suatu saat terjadi bencana.
“ya itu pernyataan sikap masyarakat mah, karena itu tanah
kami, itu sumber daya alam kami, maka kembalikan lagi kepada
kami. Terkait dengan masalah pengelolaan, ya silahkan mau
141
dikelola. Tapi masyarakat juga harus menikmati. Jangan hasil
buminya dikeruk semua, diambil gitu harta kekayaannya,
masyarakat dibiarkan.” (TP 1)
Pada sebagian masyarakat, mereka memahami kalau seandainya
banyak bantuan yang diberikan di desa-desa wilayah Kecamatan
Pasirwangi, daripada daerah lainnya di wilayah Kabupaten Garut.
Desa-desa yang berdekatan dengan lokasi operasional PT. CGI masuk
dalam wilayah Ring 1, sedangkan Kecamatan Samarang masuk wilayah
Ring 3. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan,
mengenai kehadian PT. CGI, bahwa:
“...sangat mendukung sekali, boleh dikatakan undang-undang
ya? Sekarang dengan adanya undang-undang nomer 33 tentang
perimbangan keuangan sudah ada ya, sudah ada pembagian
hasil dari pada penghasilan pajaknya. Kalau dulu ketika belum
diselesaikan itu kabupaten itu hanya “to” menerima itu
“DAPU” penghasilan yang dikelola oleh Chevron sendiri
langsung ke pusat. Nah sekarang ada bagian tapi masuknya
tidak ke kecamatan terdekat, tapi ke APBD kabupaten, itu di
bidang keuangannya. Terus di bidang kesejahteraan
masyarakatnya juga ada andil yang terdekat saat ini ada
penerimaan karyawan diutamakan putra daerah dari ini
(masyarakat lokal) ya tapi itu untuk pekerja kasarnya saja, kalau
untuk yang ahli pastinya ya yang sudah ahli. CSR, sangat
mendukung sekali wilayah yang ada disekitar Chevron terutama
di wilayah Pasirwangi itu. Sangat besar program untuk ke sana,
kan Pasirwangi dekat sekali dengan Chevron. Kalau Samarang
ini mah katanya ring 3, kalau tidak salah ya. Da saya kan
soalnya orang baru juga disini, kalau katanya mah ring satunya
itu pasirwangi, ring 2 nya Sukaresmi nah Samarang ini ring 3.
Sehingga sebagian besar CSRnya ada di Pasirwangi tapi di
Samarang juga ada kebagian, ada pembangunan gedung SD,
musholla, madrasah, sarana kesehatannya juga ada, kemudian
infrastruktur jalan, ya jadi banyaklah kalau dari Chevron yang
di kabupaten Garut ini mah”. (PK 3)
142
Kalau melihat pendapat dari salah satu informan di atas yang
berasal dari aparat Kecamatan Samarang dapat terlihat mulai
munculnya kecemburuan mengenai penyaluran program tanggung
jawab sosial perusahaan (CSR) dari PT. CGI. Informan tersebut
menganggap bahwa bantuan CSR dari PT. CGI lebih banyak dinikmati
oleh masyarakat Kecamatan Pasirwangi. Namun demikian mereka
memaklumi besarnya bantuan untuk warga di Kecamatan Pasirwangi
tersebut. Karena bantuan CSR PT. CGI baik untuk infrastruktur dan
non infrastruktur juga diberikan untuk kepentingan warga masyarakat
di wilayah Kecamatan Samarang. Jika diperhatikan lebih seksama
mengenai fokus wilayah program CSR PT. CGI, nampaknya
Kecamatan Pasirwangi dan Kecamatan Samarang memperoleh
perhatian lebih dari pada kecamatan lainnya di Kabupaten Garut.
Isyu lain yang muncul dari kehadiran PT. CGI adalah persoalan
kekhawatiran kerusakan lingkungan yang mengakibatkan menurunnya
produksi lahan pertanian, serta isyu ketenagakerjaan masyarakat lokal,
sebagaimana dikemukakan oleh infoman berikut ini.
“secara pribadi sebagai masyarakat yang saya harapkan orang
Chevron bergaul dengan masyarakat, karena yang dapet
bantuan orangnya itu-itu aja,...kenapa mereka membabat hutan
habis-habisan ...karena mereka kekurangan lahan yang pertama,
yang kedua ...barangkali ada kan efek negatif dari gas yang
dikeluarkan dari Chevron.... Dulu hutan kita ...rindangnya
bukan main, dinginnya bukan main tapi sekarang malem aja
udah panas, kalau dulu jam 2 siang teh udah banyak kabut
dingin banget sejuk udaranya.... Sebetulnya masyarakat jangan
terlalu disalahkan, kalau ada kerjasama yah ayoo, misalkan ada
ajakan ayo masyarakat desa Karyamekar kerjasama gue
misalkan, jangan yang kerja teh itu-itu aja harus ada
rekomendasi lah harus ada ijazah lah. Masyarakat Desa
143
Karyamekar mah yang masuk Chevronnya hanya satu orang
yang benar-benar kerja di Chevron.” (WM 4 & WM 5)
Informan mengkaitkan isyu menurunnya kualitas lingkungan di
kawasan hutan Darajat, dengan menipisnya hutan di wilayah tersebut.
Perambahan hutan oleh warga tersebut karena berkurang lahan
pertanian, yang sebagian besar menanam kentang. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa di sekitar puncak Darajat merupakan
wilayah potensi wisata yang berkembang dengan pesat. Beberapa
warga yang memiliki modal yang menginvestasikan dananya untuk
membangun wisata kolam air panas. Setidaknya terdapat sekitar 10
(sepuluh) kolam air panas dengan wisata air lainnya terdapat di daerah
tersebut.
perkembangan
tersebut
diikuti
dengan
meningkatnya
prasarana pendukung lainnya, seperti penginapan, rumah makan, serta
lahan parkir (masih kurang). Namun, kebutuhan lahan untuk
tersedianya prasarana wisata tersebut mendesak lahan-lahan pertanian
sehingga semakin menipis. Meningkatnya jumlah sarana dan prasarana
wisata merupakan pull factor sehingga menjadikan jumlah wisatawan
yang datang ke lokasi tersebut terus meningkat. Menjelang libur atau
hari Sabtu kepadatan pengunjung wisata ke Darajat Pasirwangi sudah
terasa sejak dari pasar Samarang. Sehingga apabila sedang padat
pengunjung, waktu tempuh menuju tempat wisata Darajat dari
kecamatan Samarang yang seharusnya 30 menit menjadi 3 hingga 4
jam.
Dalam penelitian Prayogo (2008: 72) menunjukkan bahwa
relasi masyarakat dengan perusahaan yang mengarah pada konflik atau
ketegangan hubungan dimulai dengan ‘rumor’  ‘kekecewaan’ 
‘laporan’  demo massa dengan kekerasan. Gidden (2010)
144
menyatakan bahwa agen dan struktur saling jalin-menjalin tanpa
terpisahkan dalam praktik sosial manusia. Artinya dalam hal ini
perusahaan dan masyarakat merupakan agen, yaitu orang-orang atau
kelompok yang terus terlibat dalam arus kontinu tindakan. Sementara
tindakan masyarakat dan perusahaan akan bergantung pada pemahaman
(kesadaran) mereka akan struktur CSR yang mereka pahami.
Perbedaan-perbedaan pemahaman antara masyarakat dan perusahaan
akan CSR ini lah yang mendorong timbulnya flukutuasi dan
dinamisnya hubungan antara masyarakat dengan perusahaan.
3. Inisiatif Masyarakat Lokal Membangun Relasi dengan
Perusahaan
Inisiatif untuk memulai hubungan antara masyarakat lokal
dengan PT. CGI perlu dipahami sebagai niat baik dan upaya dari
masing-masing pihak untuk membina relasi yang harmonis. Inisiatif ini
seringkali dipengaruhi oleh bagaimana pandangan masing-masing
pihak memaknai hubungan tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh
salah seorang informan, bahwa:
”saya kira begini untuk undang-mengundang Chevron jadi
kesannya kita mengemis, kasarnya begini, kalau kita
berhubungan
dengan
Chevron
kita
akan
diberi
sumbangan.....tidak....., jadi kita udah malu sendiri gitu,
sebelum mengundang kita udah malu sendiri karena udah ada
hal yang seperti itu terjadi dan kalau ada undangan udah jelas
minta uang takutnya seperti itu, pernah kan dulu ada sumbangan
mesin jahit dari Chevron “ (WM 4 & WM 5).
145
Terdapat rasa enggan nampaknya dari masyarakat lokal untuk
mengundang pihak PT. CGI dalam kegiatan yang terdapat dari
masyarakat.
Sehingga
jarang
sekali
terjadi,
masyarakat
yang
mengambil inisiatif untuk melakukan komunikasi (dalam arti formal)
dengan pihak PT. CGI. Bahkan ada yang berpendapat secara terus
terang bahwa masyarakat tidak mengundang tetapi yang terjadi adalah
pengusulan kegiatan atau permohonan bantuan dari masyarakat. Itu pun
sebenarnya merupakan inisiatif membangun hubungan, walau dalam
rangka meminta bantuan.
“ masyarakat mah (teu ngundang) ...paling oge pengusulan.
Jadi pengusulan, ya kalau ada bantuan, minta bantuan. Kalau
tidak dibantu baru turun ke jalan (demo). Sebenernya lelah,
capek gitu. Sebenernya penyelesaiannya pingin ada sebuah
sistem yang difasilitasi oleh pemerintah antara masyarakat
dengan pihak Chevron.” (TP 1)
Relasi yang dibangun antara pihak PT. CGI dengan masyarakat
lokal tidak selalu dalam situasi formal saja, namun lebih banyak
dilakukan secara informal. Bahkan komunikasi yang bermakna dan
lebih dekat dapat dilakukan secara informal. Bagi masyarakat lokal,
mengundang pihak PT. CGI jarang dilakukan. Selain hambatan
psikologis, berhadapan dengan sebuah entitas perusahaan besar yang
harus melalui perijinan dan resmi (jika untuk bertemu), merupakan
persoalan sendiri bagi masyarakat lokal.
Sedangkan pihak PT. CGI jika akan mengadakan kegiatan yang
melibatkan masyarakat atau pihak pemerintah lokal selalu membuat
surat undangan atau pemberitahuan. Misalkan kegiatan rutin tahunan
menjelang perayaan Idul Adha, pihak PT. CGI memberikan sumbangan
hewan Qurban kepada warga masyarakat. Sebagaimana pendapat salah
146
seorang pemuda di desa Karyamekar yang menjadi karyawan PT. CGI,
bahwa: “Jadi gini, setiap ada kegiatan ya ada undangan resminya,
biasanya bagian humasnya yang dateng itu untuk menjelaskanlah.” (TP
3)
Masyarakat lokal memandang bahwa sudah sewajarnya apabila
pihak PT. CGI berinisiatif membangun relasi dengan masyarakat
terdekatnya, bahkan sebagian melihat sebagai kewajiban. Sebagaimana
dikemukakan oleh salah seorang aparat pemerintah lokal, bahwa:
“...ya gini, itu mah kan sudah menjadi suatu kewajiban. Jadi
kewajiban ada perusahaan yang besar begini harus
memperhatikan wilayah yang deket itu mah sudah kewajiban,
jadi ya CSR itu memang sudah harus dilakukan. Selain karena
kewajiban juga karena adanya permintaan dari masyarakat. Jadi
gini kan... yang namanya perusahaan itu kan... saling
memerlukan dan saling membutuhkan, kalau saling
menguntungkan mah bagi masyarakat mungkin tidak terlalu
menguntungkan, ya karena ini kan perusahaan internasional
yang adanya di pusat. Minimal ada imbasnya nih ke daerah sini,
minimal kan lingkungan biar dibantu jalan, sekolah, tenaga
kerja tapi ya memang yang tidak terlalu kompeten ya, tapi ada
lah yang membantu ke sini yang masuk. Itu keuntungannya ada
perusahaan besar di sini tu gitu, minimal sebagain besar
masyarakat ada yang dibantulah gitu. (PK)
Pendapat serupa dikemukakan oleh beberapa aparat pemerintah
Kecamatan Pasirwangi, bahwa kegiatan tujuan PT. CGI adalah
memang untuk membangun hubungan dengan masyarakat sekitar.
Menurut mereka terdapat pembagian untuk program CSR di tingkat
kabupaten dan tingkat kecamatan. Namun sayangnya pihak kecamatan
tidak diberi tahu, mereka menganggap prosesnya langsung dilakukan di
tingkat desa.
147
Selain pola komunikasi formal yang dilakukan oleh PT. CGI,
beberapa pegawainya, khususnya staf humas seringkali membangun
hubungan secara informal dengan sejumlah tokoh masyarakat. Banyak
keuntungan yang diperoleh dari pola hubungan informal tersebut.
Menurut staf humas PT. CGI, seringkali informasi yang diperoleh
melalui situasi tidak formal lebih jujur dan orisinil, serta langsung dari
masyarakat. Bahkan banyak informasi penting dapat diperoleh melalui
situasi informal tersebut. Selain itu masyarakat juga dapat memperoleh
secara langsung dan tanpa hambatan formal memperoleh informasi
yang berkaitan dengan PT. CGI. Sehingga seringkali pola relasi yang
secara informal, dalam batas-batas tertentu, jauh lebih efektif jika
dibandingkan dengan pola relasi formal.
Sebagaimana dinyatakan oleh Giddens (2010, bahwa agen
dianggap memiliki pengetahuan akan sebagian besar tindakannya, dan
pengetahuan ini diekspresikan sebagai kesadaran praktis. Dalam hal
masyarakat lokal memiliki kesadaran praktisi (practical consciousness)
bahawa sudah sewajarnya apabila agen perusahan mengambil inisiatif
untuk membangun relasi dengan masyarakat. Sementara dalam
pehaman perusahaan sebagai agen, merasa telah melakukan relasi
bahkan memperoleh ijin untuk melakukan eksplorasi di wilayah
tersebut, melalui pemerintah. Pemahaman yang berbeda antar agen ini
yang seringkali menimbulkan gejolak relasi antara perusahaan dan
masyarakat.
148
4. Alasan Masyarakat Lokal melakukan Aksi (demo) ke
Perusahaan
Demo terakhir pada Rabu 19 Januari 2011 yang dilakukan oleh
warga masyarakat Pasirwangi adalah ketika warga menuntut dan
mempertanyakan bantuan Chevron Geothermal Indonesia Ltd (CGI)
untuk pembangunan Masjid Besar Pasirwangi yang terkatung-katung 7
tahun sejak 2004. Sejumlah warga mendatangi kantor CGI dengan
membentangkan spanduk dan menutup jalan masuk.
Sekitar bulan Agustus 2010 kembali warga Pasirwangi
mendatangi DPRD kabupaten Garut. Demostrasi berkaitan dengan
tuntutan warga yang mengatasnamakan Paguyuban Masyarakat
Pasirwangi Bersatu (PMPB), termasuk 12 Kepala Desa di Kecamatan
Pasirwangi Kabupaten Garut menghujat dan mengecam keras PT.
Chevron, Indonesia Power dan Pertamina. Mereka menilai terdapat
kejanggalan yang dilakukan oleh ketiga perusahaan, atau tidak sesuai
dengan yang diamanatkan UU No. 40/2007 dan UU No. 27/2003.
Mereka menuntut transparansi dan kejelasan royalty (bagi hasil), 90
persen tenaga kerja diprioritaskan putra daerah, realisasi dana CSR/
community development (CD) untuk rakyat, juga mendesak Pemkab
garut mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda). Khusus tentang
kecamatan penghasil (Pasirwangi), dengan presentase 12 persen untuk
daerah (kecamatan) dana dana perimbangan yang diperoleh Pemkab
Garut. Ketiga perusahaan tersebut juga dituntut menggunakan pola
manajemen profesional, proporsioanl dan efektif serta pro rakyat.
Selasa 12 Agustus 2008, sekitar 80 karyawan PT. Chevron
Geothermal Indonesia (CGI) yang berada dalam dua bus dan empat
149
mobil minibus disandera ratusan pendemo, yang tergabung dalam
Gerakan Pemuda Pemudi Samarang (GPPS). Demo yang dilakukan
ratusan warga Kecamatan Samarang tersebut menuntut PT. CGI agar
memperhatikan
kesejahteraan
masyarakat.
Pendemo
menuntut
pemerataan kesejahteraan dan meminta penjelasan mengenai program
community development yakni pembangunan terhadap masyarakat,
pada hal perusahaan tersebut mengkesploitasi hasil di Kabupaten Garut.
“2008, 2009 gitu nya. 2008 terakhir demo. Anu paling kritis
mah didieu, barudak dideu (desa Karyamekar). Ayeuna mun
urang nu barodo rek naon demo mah, orientasina naon rek ka
Chevron teh, ka Chevron, terus cek Chevron naon kadieu?”,
mun orang bodo mah aah. Lamun urang rada pinter mah, geus
diperhitungkeun nya. Jadi udah ada kitu nya. Paling oge nya
anu masyarakat anu teu terlalu rumit dasar pemikirana ketika
ada demo teh masyarakat anu rada beringasan. Jadi bisa
disebut ada dua golongan. Ada golongan orang berintelek, ada
golongan biasa. Nah paling nu biasa mah anu simpel-simpel
wae mereunan, kayak sarana ibadah nya, kalo bergerak di
bidang pendidikan mah kan agak rumit. Dasar apa ceuk
Chevron teh bisa kieu kieu kieu..!. Perlu konseptor anu jernih
mereun nya. Ya paling masyarakat anu biasa-biasa hoyong anu
simpel, yang penting menikmati semua masyarakatna. Kaya
sarana mesjid kan gitu; kayak air, bak kontrol kayak gitu, kayak
jalan kan fisik. Kurang lah sementara ini mah ke sosial.....
kurang. (TP 4)
Penjelasan informan mengenai aksi demo di tahun 2008 dan
2009 dianggap yang paling kritis. Lebih lanjut informan mengatakan
bahwa masyarakat terbagi menjadi dua golongan yaitu masyarakat
yang berpendidikan dan masyarakat biasa. Bagi masyarakat biasa,
mereka tidak berharap banyak tetapi yang jelas saja pemanfaatannya,
seperti sarana ibadah, air bersih dan jalan.
150
Namun dalam dua tahun terakhir ini, relatif tidak terdapat aksi
masyarakat kepada PT. CGI, sebagaimana dikemukakan oleh salah
seorang informan di bawah ini.
“kalau dulu mah ada, baru-baru 2-3 tahunan mah suka ada
demo. Jadi dulu mah kalau kita mengajukan lalu tidak
direalisasikan langsung didemo. Kalau untuk warga mah hasil
dari demo itu ada keuntungannya, ada kerugiannya. Nah kalau
sekarang mah ya sudah tidak ada demo. Sekitar 2-3 tahun
kebelakang mah alhamdulillah tidak pernah ada demo. “ya itu
mah paling demo-demo untuk menuntut lapangan pekerjaan. Ya
pokoknya kalau demo yang paling fatal itu ya dimasalah
tenagakerja. Dari sekecamatan paling banyak demo ya masalah
tenaga kerja” (TM 4).
Beragam isyu sesungguhnya dapat menjadi pemicu munculnya
demo atau aksi masyarakat lokal kepada PT. CGI. Bahkan tidak jarang
aksi demo tersebut dilakukan untuk menuntut sesuatu kepada PT. CGI.
Apabila setelah demo atau aksi masyarakat dilakukan, kemudian
masyarakat mendapatkan apa yang dituntutnya, maka bagi sebagian
masyarakat hal tersebut bukanlah bantuan. Seperti halnya isyu
lingkungan yang menjadi pemicu demo dikemukakan oleh salah
seorang informan bahwa:
“...sering. Orang dieu mah sering demo mah. Soalna dirugikeun
pisan ku Chevron teh nya. Tanah na atuh ku manehna, iyeu teh
sawah hungkul aslina mah ka palih wetan. Ayeuna mah tos
gararing, ...jadi air teh diambil ku perusahaan, tapi klaim
perusahaan mah tidak mengambil. Tapi sebenernya diambil.
Namanya turbin nya, teu pake air nya meledug. tina pusat na,
tina sumber air bersih teh diambil ku perusahaan. ... air bersih
mah eta sanes bantuan. Menang menta atuh eta mah” (WM 1)
Data tersebut menunjukkan sifat dinamis hubungan antara
masyarakat dengan PT. CGI yang bersifat fluktuatif, kadang naik
151
kadang turun. Nampaknya PT. CGI mencoba belajar dari situasi
hubungan sebelumnya yang lebih banyak demo tuntutan masyarakat
sekitar, kemudian mencoba membangun komunikasi dan kemitraan
baru berdasarkan situasi sebelumnya. PT. CGI mengembangkan local
bussiness
development
(LBD),
yaitu
menjalin
mitra
dengan
perusahaan-perusahaan lokal yang memiliki badan usaha CV atau
persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap). Melalui LBD
yang sesuai klasifikasi PT. CGI maka penyerapan tenaga lokal dapat
terjadi. Masyarakat lokal pun didorong untuk mengembangkan
perusahaan dengan kualifikasi minimal (CV), agar dapat mengikuti
tender proyek-proyek terbatas di PT. CGI. Sebagaimana dikemukakan
oleh salah seorang informan, yaitu:
Tapi rasa saya mah dari dulu kan saya kenal dengan Chevron
kalau dari usaha mah Chevron kan ada dari masyarakat
perusahaan lokal istilahnya teh ditampung di LBD (local
bussiness development), LBD itu seperti perusahaanperusahaan lokal seperti anak saya itu bikin usaha, kadangkadang dapet tender dari wilayah-wilayah setiap desa ada. Tapi
ada yang dapet ada yang enggak, karena kalau tender mah siapa
yang berani harga dia yang dapet. Kalau ngomong demo-demo
pasti ada, kemaren-kemaren ada demo gak tahu saya alesannya
apa, tapi demo juga gak terlalu anarkis paling ada pengusulanpengusulan terus ada tanggapan dari chevron udah ga ada apaapa. (TM 3)
Demo atau aksi masyarakat merupakan letupan dari keinginan
atau tuntutan masyarakat yang tidak didengar atau tidak dipenuhi.
Dalam 2 tahun terakhir ini memang relatif tidak terdapat aksi atau
demo ari masyarakat. Namun demikian bukan berarti tidak ada gejolak
terpendam di dalam masyarakat. PT. CGI, pemerintah setempat dan
tokoh masyarakat perlu terus mengembangkan komunikasi secara
152
terbuka (transparan), bukan persoalan pemenuhan kebutuhan tetapi
komunikasi antara ketiga pihak harus dibangun terus agar terjaga
pemahaman dan saling pengertian diantara semua pihak. Sebagaimana
diungkapkan dalam hasil penelitian ini, bahwa cara-cara komunikasi
yang lebih informal, dekat dengan masyarakat setidaknya dapat
meredam potensi konflik yang mungkin muncul terjadi.
Struktur dalam hal ini adalah kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan, sebagaimana konsepsi Giddens (2009, 2011) nyatakan,
bahwa struktur adalah aturan dan sumber daya. Dalam penelitian ini,
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan aturan dan
sumber daya. Fluktuasi konflik menurut Prayogo (2008: 72-73) bukan
peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba, tetapi melalui proses tahapan
eskalatif, mulai dari rumor, kekecawaan, laporan dan kemudian demo
massa dengan kekerasaan. Jika situasi hubungan sudah mulai tegang,
maka pemicu konflik dapat terjadi oleh apa saja yang mungkin tidak
berhubungan langsung antara perusahaan.
Giddens (2010) menunjukkan bahwa atas dasar pengetahuan
dan kesadaran praktis maka praktik sosial dilakukan, dan akan
diproduki oleh agen berdasarkan aturan dan sumber daya yang terdapat
di dalam struktur. Alasan masyarakat melakukan tindakan demo dan
aksi merupakan wujud dari kesadaran diskursif, bahwa mereka
melakukan tindakan aksi agar tujuan mereka tercapai, yaitu perubahan
struktur CSR yang lebih berpihak pada masyarakat. Sementara agenperusahaan merasa bahwa mereka telah melakukan kegiatan CSR,
selain juga pajak yang mereka bayarkan kepada negara. Inilah salah
satu titik diharmoninya relasi masyarakat lokal dengan perusahaan,
153
karena perbedaan pemahaman masing-masing agen akan strukturCSR..
B. Operasionalisasi Kegiatan Tanggung Jawab Sosial PT.CGI
Dalam Pandangan Masyarakat Lokal
Kesadaran masyarakat lokal akan kegiatan tanggung jawab
sosial PT. CGI berisikan gambaran akan upaya-upaya masyarakat lokal
melakukan inisiatif usulan kegiatan, pandangan akan kegiatan tanggung
jawab sosial, relasi yang terjalin dan manfaat kegiatan CSR. Persepsi
warga masyaraat lokal terhadap perusahaan merupakan isyu penting
yang harus diperhatikan oleh perusahaan.
1.
Inisiatif Usulan Kegiatan
Inisiatif usulan kegiatan yang dibungkus dalam payung CSR
dapat dimulai dari pihak mana saja, baik dari masyarakat lokal atau
perusahaan, atau juga pemerintah setempat. Usulan kegiatan tersebut
dapat dipandang sebagai upaya untuk menyelesaikan atau memperbaiki
suatu persoalan tertentu baik di masyarakat lokal maupun perusahaan.
Usulan kegiatan yang berasal dari perusahaan dapat dipandang sebagai
upaya perusahaan membangun hubungan dengan masyarakat sekitar
perusahaan.
Namun bagi masyarakat usulan kegiatan yang ditujukan kepada
perusahaan, dapat diartikan sebagai harapan masyarakat lokal yang
begitu tinggi kepada perusahaan untuk dapat membantu persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Namun masyarakat memandang kehadiran
perusahaan di wilayah lingkungan mereka adalah sebagai tamu, bukan
154
sebaliknya. Jadi bagi masyarakat rasanya aneh jika merekalah yang
harus membuat usulan kegiatan. Sebagaimana pendapat salah seorang
warga masyarakat, sebagai berikut
“masyarakatnya yang ngajuin (usulkan), bukannya Chevron
yang aktif dimasyarakat. Makanya kita jadi beda, kaya kita yang
jadi tamu, Chevronnya yang jadi pribumi. Bisa dibilang disini
mah kalau kita gak ngajuin ya ga akan dikasih. Gitu lah kira”
jang. (WM 6).”
Munculnya usulan kegiatan dari perusahaan juga menunjukkan
kepedulian perusahaan untuk membantu penyelesaian masalah yang
dihadapi oleh masyarakat. Namun jika masyarakat berharap terlalu
tinggi kepada perusahaan untuk dapat menyelesaikan segala persoalan
yang dihadapi, maka pola hubungan ini akan menjadi tidak baik jika
tidak dikelola dengan hati-hati. Akan timbul pola hubungan yang
membuat
masyarakat
menjadi
tergantung
kepada
perusahaan.
Masyarakat menjadi tidak mandiri, sangat tergantung kepada
perusahaan. Sementara PT. CGI sebagai perusahaan yang dikontrak
oleh Pertamina tidak selamanya akan terus berada di Darajat, suatu saat
jika kontraknya habis, mungkin saja mereka hengkang.
“kadang inisiatif dari masyarakat. Kaya misalkan membutuhkan
kursi, ya bisa membuat proposal. Kadang ada juga dari
pemerintah bantuan, kan ada ADD (alokasi dana desa). Ada
juga inisiatif dari Chevronnya. Suka dimasukin ke desa, kaya
fisik, nonfisik, ya apa aja bisa ... warga juga ada, dari Chevron
juga ada ya bantuan tanpa masyarakat harus minta. Mungkin
kesadaran dari Chevronnya juga” (PD 2).
Menurut informan yang merupakan aparat pemerintahan Desa
Karyamekar, usulan kegiatan dapat berasal dari masyarakat atau
pemerintah desa kepada PT.CGI. Begitu pula usulan kegiatan bantuan
155
juga dapat berasal dari PT. CGI, yang seringkali bantuan tersebut
melalui pihak pemerintah desa. Bantuan dari PT. CGI tersebut
merupakan kesadaran dari pihak perusahaan untuk membantu
masyarakat.
Sebagian anggota masyarakat lainnya berpendapat bahwa
inisiatif usulan kegiatan itu berasal dari masyarakat. Masyarakat yang
lebih tahu mengenai kebutuhannya, ketika masyarakat sudah tidak
mampu mengatasi persoalan dan kebutuhannya. Kemudian masyarakat
mengajukan permohonan bantuan kepada PT. CGI. Jadi buat meraka,
kalau masyarakat tidak mengajukan usulan bantuan atau kegiatan,
maka PT. CGI tidak memberi bantuan karena memang tidak ada yang
mengajukan
proposal
untuk
memperoleh
bantuan.
Seperti
pembangunan jalan, karena jalannya sudah rusak dan kritis, baru
kemudian masyarakat mengajukan bantuan kepada PT. CGI.
“Dari inisiatif masyarakat. Pertama mah dilihat dari ini inisiatif
masyarakatnya dulu, kan dilihat dari kebutuhan masyarakatnya
dulu. Seperti sekarang yang dibutuhkanna naon, misalkan jalan
di RW 3, kalau tidak ada yang kritis mah tidak akan ngasih
karena tidak ada yang mengajukan. Jadi harus ada proposal ke
perusahaan dulu.” (TP 2).
Namun demikian usulan kegiatan atau proposal pengajuan bantuan
tersebut tidak serta merta memperoleh bantuan dari PT. CGI. Buktinya
adalah mengenai pembangunan Masjid Kaum Pasirwangi, yang
diajukan oleh 12 desa se-kecamatan Pasirwangi. Bantuan tersebut dapat
direalisasikan setelah warga masyarakat dari 12 desa se-kecamatan
Pasirwangi melakukan unjuk rasa menyampaikan dan menuntut janji
PT. CGI sekitar 7 tahun lalu yang akan membantu pembagunan sarana
156
ibadah tersebut. Warga masyarakat yang melakukan aksi menutup jalan
akses para karyawan PT. CGI ke tempat kerja. Setelah aksi tersebut
kemudian pihak PT. CGI berjanji untuk membantu, dan akhirnya
bantuan pembangunan tersebut dapat diwujudkan. Sebagaimana
pendapat yang dikemukakan oleh salah seorang tokoh pemuda, sebagai
berikut:
”... kan perusahaan ga mungkin langsung nih buat masyarakat,
dilihat feed back dari masyarakatnya dulu seperti apa, biar
sesuai kebutuhan. Kaya contoh pembangunan masjid di kaum
Pasirwangi. Itu kan setelah masyarakat 12 desa ngajuin baru
direalisasikan. Itu teh 2M apa 3M, oh 2M 800jt dari
Chevronnya jadi langsung dibangunin, untuk ke masyarakatna
mah pas serah terima kunci ajalah serah terimana.” (TP 3).
Pada perkembangan selanjutnya desa-desa se-Kecamatan Pasirwangi
mengembangkan sebuah forum yang khusus membicarakan usulanusulan CSR yang berasal dari desa-desa. Forum CSR se-Kecamatan
Pasirwangi ini baru terbentuk sekitar 2 tahun yang lalu. Forum ini
menjadi wadah dan sekaligus menjembatani hubungan antara keinginan
dan kebutuhan masyarakat dengan pihak perusahaan (PT.CGI). Forum
CSR inilah yang kemudian menentukan skala prioritas mengenai
program bantuan dari PT. CGI yang akan dilakukan di desa-desa. Saat
ini koordinator forum CSR se-Kecamatan Pasirwangi adalah dari Desa
Padamulya sedangkan wakilnya dari Desa Padaawas.
“itu kan di desa itu ada koordinatornya. Kecamatan Pasirwangi
itu kordinatornya ada di desa Padamulya wakilnya dari
Padaawas, dia aja berdua yang diajak untuk diskusi sama
Chevron. Bahkan dia juga yang menentukan dananya sekian
untuk program ini untuk anu anu.gitu. ... jadi kaya mereka aja
petugasnya” (PK 1 & PK 2).
157
Terbentuknya forum CSR tersebut sedikit banyak mengurangi beban
tekanan dan kepusingan PT. CGI dalam menentukan usulan kegiatan,
prioritas kegiatan, sasaran kegiatan, dan pelaksana kegiatan di masingmasing desa. Semua ‘keinginan’ masyarakat sebelumnya dibahas
dalam Musrenbang desa masing-masing kemudian melalui perwakilan
atau pemerintah desa, semua usulan tersebut dibicarakan dalam forum
CSR tersebut.
“Karena kita melakukan program comdev. Prosedurnya, melalui
musyawarah desa. Keinginan apa, walau kita ubah.
Pendanaannya tidak hanya untuk pembangunan infrastruktur
saja, tetapi juga untuk pengembangan ekonomi masyarakat.
Kita lihat semua keinginan mereka. Sehingga tidak ada gejolak
dari masyarakat. Setiap tahun buat bertemu di forum (CSR)
lagi. Kita berharap pemda seharusnya seperti itu”. (PP 1).
Menarik untuk memperhatikan keberadaan forum CSR di
Kecamatan Pasirwangi tersebut, dalam hubungannya dengan usulan
kegiatan yang sebelumnya harus selalu ditemui dan ditangani seara
langsung oleh PT. CGI. Sebagaimana pendapat informan dari pihak PT.
CGI, dengan adanya Forum CSR tersebut memudahkan PT. CGI dalam
menyalurkan bantuan untuk program yang telah terseleksi melalui
forum tersebut. Sehingga PT. CGI memiliki waktu luang untuk lebih
berkonsentrasi pada kegiatan lainnya.
Inisiatif pembentukkan forum mungkin saja memang berasal
dari PT. CGI, yang mungkin mengindikasikan upaya mengalihkan
persoalan atau kesibukan menghadapi masyarakat. Dalam fakta di
lapangan menunjukkan bahwa dengan adanya forum tersebut, mereka
merasa lebih leluasa dan tekanan beban kerja teralihkan kepada forum
tersebut. Sejak terbentuknya forum tersebut itu pula gejolak hubungan
158
antara masyarakat lokal dengan PT. CGI relatif menjadi terkendali. Hal
tersebut diakui oleh sejumlah informan baik dari pihak pemerintah
lokal, masyarakat, maupun pihak PT. CGI itu sendiri.
Menurut Prayogo (2011: 157), persepsi terbentuk karena
berbagai sebab, bisa karena pengalaman, informasi yang diterima
(benar atau salah), adanya harapan secara positif atau negatif (dalam
bentuk rasa khawatir). Pemahaman masyarakat lokal sebagai agen,
menentukan tindakan mereka terhadap korporasi, sehingga jika
persepsi negatif terbentuk maka akan negatif tindakannya.Bentukbentuk inisiatif membangun relasi dari masyarakat lokal kepada
perusahaan merupakan wujud dari respon warga masyarakat lokal
terhadap keberadaan korporasi. Dalam kerangka strukturasi Giddens
(2010) inilah yang disebut dengan praktik sosial; melalui praktik sosiallah terus dikaji dan diperbarui terus menerus pengetahuan baru, yang
pada gilirannya mengubah praktik sosial tersebut secara konstitutif.
Oleh karena itu perusahaan perlu selalu mengikuti perkembangan
pengetahuan dan pemahaman warga masyarakat lokal terhadap mereka.
Jenis dan bentuk informasi yang diterima, harapan yang terpenuhi atau
tidak, dampak positif dan negatif yang dirasakan, serta manfaat atau
mudarat yang dirasakan menentukan persepsi warga masyarakat lokal
(Prayogo, 2011: 157).
2.
Tahapan Kegiatan Tanggung Jawab Sosial PT. CGI
Proses pengajuan usulan perlu untuk diamati untuk memperoleh
gambaran dan informasi mengenai pengetahuan masyarakat cara-cara
masyarakat mengajukan usulan kegiatan. Serta bagaimana pihak
159
perusahaan menanggapi bantuan-bantuan yang berasal dari masyarakat
dan dari pemerintah setempat. Tentunya tahapan pengusulan bantuan
tersebut terjadi sebagai pengulangan dari kejadian-kejadian dari
praktik-praktik sosial sebelumnyaAnggota masyarakat yang berhasil
mengajukan proposal bantuan, kemudian akan ditiru oleh anggota
masyarakat lain yang akan mengajukan bantuan kepada PT. CGI.
Keterulangan praktik sosial tersebut terus belangsung selama beberapa
tahun sebelumnya hingga saat kini. Pada pengajuan proposal di tahuntahun sebelumnya, apabila proposal yang diajukan terlalu lama
(bertahun-tahun) atau tidak direspon (tidak ada realisasinya) maka
sudah ada semacam ‘aturan’ tidak tertulis di masyarakat untuk
melakukan aksi atau demonstrasi. Munculnya aksi tersebut juga meniru
kejadian serupa sebelumnya, bahwa kalau tidak didemo, maka bantuan
itu tidak akan cair.
Namun saat ini, kejadian pengajuan proposal bantuan tidak lagi
menimbulkan aksi dari masyarakat. Sejumlah informan mengemukakan
pendapatnya, bahwa pengajuan bantuan kepada PT. CGI selalu ada
prosesnya, dan mereka tahu dan mengerti kapan dan berapa lama
bantuan tersebut akan cair. Sebagaimana pendapat informan berikut ini,
“ada prosesnya, proposal dikordinasikan dulu ke pusat, nanti
pusat yang menginformasikan program itu bisa dijalankan atau
enggak” (WM 6).
“Ya pasti memang membutuhkan proses. Itu biasanya kalau
teknik lapangan Chevron udah kontrol ke lapangan ya cepet,
seminggu setelahnya langsung direalisasikan. Jadi setiap hari
selama proyek pelaksanaan selalu ada pengawasan hingga
proses evaluasi. Kalau perawatan mah itu masyarakat aja sama
pihak pemerintah desa.” (TP 2).
160
Terjadi proses pembelajaran yang terjadi, baik dari masyarakat
lokal maupun dari pihak perusahaan berkenaan dengan tuntutan
masyarakat yang sebelumnya banyak dilakukan melalui aksi atau
demo. Masyarakat pengusul kegiatan harus mengikuti
proses
pengusulan yang ditetapkan pihak PT. CGI. Masyarakat lokal yang
mengusulkan kegiatan, sekarang harus menuliskan usulannya dalam
bentuk prososal. Jika pengusul kegiatan (masyarakat lokal) tidak
membuat usulannya dalam bentuk tertulis atau sebuah naskah proposal
serta mengikuti proses yang diteapkan oleh PT. CGI, maka usulannya
tidak akan ditanggapi. Sesuatu yang tidak mudah sebenarnya mengubah
mindset masyarakat, dari budaya ‘verbal /tidak biasa tertulis’ menjadi
budaya “tertulis menulis.”
“...kita masukkan proposal nanti seminggu kemudiannya
diproses dulu, ya proses-proses seperti itu saja. Ada yang sudah
lewat setahun, ada juga yang suka langsung dapet aja, Cuma
biasanya keputusannya itu sih di akhir tahun. Jadi kalau yang
sudah tau strateginya biasanya ngajuin proposal itu dibulan ke
6, jadi pas bulan ke 10 atau akhir tahun sudah “turun”. (TM 4).
Di sebagian informan dari kalangan masyarakat lokal sudah
muncul pemahaman bahwa untuk memperoleh bantuan mereka harus
menuliskan usulannya tersebut. Masyarakat juga sudah memperkirakan
kapan waktu pengajuan yang tepat, kapan pembahasan, dan kapan
waktu cairnya usulan bantuan tersebut. Seringkali pencairan tersebut
dikaitkan dengan pembahasan anggaran
yang dilakukan oleh
pemerintah daerah, walaupun mungkin saja pengusulan kegiatan
tersebut belum tentu berkait dengan pembahasan APBD. Mereka
mengasosiasikan pengajuan tersebut dengan penganggaran yang
161
dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebagaimana dikemukakan oleh
salah seorang aparat Kecamatan Samarang, yaitu:
“itu tergantung dari pengajuan. Jadi berdasarkan proposal
kebutuhan yang diajukan oleh masyarakat. misalnya desa A
membutuhkan madrasah, ah untuk tahun 2014 dari sekarang
sudah diajukan ke sana. Untuk hasilnya ya seperti penyusunan
APBD aja, jadi tahun ini diajukan oleh Chevron dirapatkan
dulu, dibuat perencanaan untuk setahun yang akan datang
bagaimana lalu ditentukanlah apa yang akan dilaksanakan, jadi
berdasarkan proposal yang masuk itu juga nanti ditentukan
berdasarkan dari kebutuhan masyarakat.” (PK 3)
Hanya saja ketika akan menagih atau mempertanyakan proposal
yang yang telah diajukannya, mereka enggan dan sungkan untuk
mempertanyakannya kepada pihak PT. CGI. Kesungkanan untuk
mempertanyakan hal tersebut tidak terlepas dengan pengalaman yang
pernah terjadi sebelumnya. Selain prosedur yang harus bertemu dengan
front office membuat janji terlebih dahulu, sebelum bertemu dengan
staf humas PT. CGI. Kondisi tersebut dapat dipahami sebagai
penyesuaian dan adaptasi budaya antara budaya formal keorganisasian
dan budaya masyarakat yang cenderung lebih bersifat infomal. Pada
akhirnya masyarakat pengusul bersikap ‘nrimo’ dengan ketentuan dan
hasil yang mungkin diterima atau tidak, cair atau tidak. Dengan
rumitnya prosedur yang harus ditempuh, hal tersebut merupakan
kesulitan tersendiri yang harus dihadapi oleh masyarakat lokal sebagai
pengusul. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan
“kalau kita nagih kesana bila ditanya ‘bu mau kemana?
Proposalnya masih numpuk’, jadi kan kita malu sendiri terus
nyamperin, kita kan termasuk ke lembaga pendidikan, masa
harus pake cara preman kan gak etis. Jadi yah nerimo aja,
dikasih sukur gak dikasih ya “ngeruwet” (WM 4 & WM 5).
162
Namun
demikian
sikap
‘menerima’
sebagian
anggota
masyarakat tersebut apabila tidak dapat dikelola dengan baik, dengan
informasi dan penjelasan yang bijak, maka dimasa depan akan menjadi
‘bom waktu‘ yang mengganggu relasi antara masyarakat dengan PT.
CGI.
Dalam perkembangannya, masyarakat memandang bahwa
hubungan antara masyarakat dengan PT. CGI, melalui kegiatan CSR
dipandang baik. Sudah jelas bagi masyarakat, bahwa terdapat dana
CSR untuk setiap desa di kecamatan Pasirwangi. Tinggal masyarakat
mengusulkan berbagai kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Persoalannya adalah perlu keterbukaan (transparancy)
terhadap dana CSR di setiap desa tersebut. Terkadang persoalan dana
ini sangat sensitif, dan tetapi juga bukan masalah besarnya dana. Perlu
akuntabilitas dan kejujuran dari para pengelola dana CSR desa tersebut.
Perlu dibangun komunikasi yang terbuka, yang dapat memberikan
pemahaman kepada berbagai pihak, terkait dengan persoalan CSR.
“ sementara ini kerja sama Chevron, baik juga gitu nya. Soalnya
udah jelas gitu nya ku tiap desa misal ayeuna CSR, dana CSR
development na nya A. Cuman ceuk abdi oge di masyarakatna
gitu A. Dari Chevron ada kayak CSR weh, kan itu masuk
pemda dulu. Nah lalu entar udah di desa lalu ke tiap desa ke
kepala desa. Nah kepala desa sendiri tidak bisa, jadi menclak
wae gitu. Padahal, misalnya seratus juta, paling mun tepi ka
masyarakat dua puluh juta.” (TP 4)
Kalancaran dan keterbukaan dalam pelaporan kegiatan CSR
juga sangat terkait dengan norma dan perilaku pengelola CSR baik dari
pemerintahan desa, pemerintahan kecamatan, serta serta pihak-pihak
163
lainnya. Dalam pandangan masyarakat tersebut seringkali baik
buruknya kegiatan CSR sangat dipengaruhi oleh perilaku para
pengelolanya.
Alfitri (2009: 116-117) menunjukkan pentingnya partisipasi
masyarakat dalam setiap tahap program pengembangan masyarakat
perusahaan. Setidaknya tiga hal penting partisipasi, pertama, partisipasi
sebagai suatu alat memperoleh infomasi mengenai kondisi, kebutuhan
dan sikap masyarakat lokal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih
mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam
proses persiapan, perencanaan, dan pelaksanaannya; ketiga merupakan
hak demokrasi masyarakat lokal. Lebih jauh lagi partisipasi akan
memunculkan potensi dan kreativitas masyarakat lokal.
Budimanta, dkk. (2007) telah menunjukkan bahwa tipologi
program CSR yang dilakukan oleh perusahaan termasuk dalam tiga
kelompok, yaitu pertama, community relations, yaitu bentuk-bentuk
kegiatan yang lebih bersifat kedermawanan atau filantropis kepada
masyarakat, dengan tujuan utama meredam konflik. Kedua, community
services, merupakan pelayanan kemasyarakatan untuk memenuhi
kepentingan masyarakat atau pun kepentingan umum lainnya. Bentuk
kegiatan ddalam kategori inilebih bersifat pembangunan secara fisik
sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi, jalan raya,
sumber air minum dan sebagainya pelayanan umum. Sebagaimana
yang kegiatan-kegiatan CSR yang masih dilakukan oleh PT. CGI bagi
masyarakat lokal dan sekitarnya. Kategori ketiga adalah pemberdayaan
masyarakat (community empowering), yang merupakan kegiatankegiatan mendorong keberdayaan dan kemandirian masyarakat.
Dengan pandangan Giddens (2010) tentang praktik sosial, maka
164
tahapan dan proses kegiatan CSR dapat dipahami sebagai praktikpraktik yang melandasi keberadaan agen-agen. Melalui struktur-CSR,
maka
praktik-praktik
sosial
kegiatan
tanggung
jawab
sosial
terselenggara. Namun cara-cara melakukan kegiatan tanggung jawab
sosial tersebut belum tentu berlandaskan pada pemahaman yang
diantara agen-agen yang terlibat, yaitu masyarakat, perusahaan dan
pemerintah.
1) Aspek Pembangunan Fisik (Instratruktur)
Porsi terbesar program CSR PT. CGI nampaknya masih pada
pembangunan infrastruktur. Pembangunan dan perbaikan jalan dari
Tarogong (Kecamatan Samarang) hingga Kecamatan Pasirwangi,
penyediaan air bersih, gorong-gorong, pembangunan sarana ibadah
(mesjid), dan sarana pendidikan. Bantuan pembangunan dan perbaikan
jalan hampir setiap tahun dilakukan, demikian pula dengan penyediaan
air bersih. Pipa-pipa penyediaan air bersih bantuan dari Chevron
seringkali mengalami kebocoran, terutama di musim kemarau.
Kebocoran terjadi karena terdapat kerusakan yang ditimbulkan oleh
ulah sebagian warga yang memerlukan air bersih di musim kemarau,
terutama untuk menyirami perkebunan mereka. Seringkali kejadian
tersebut menimbulkan percekcokan atau konflik kecil diantara warga
masyarakat setempat, bukan dengan pihak Chevron-nya. Berikut
pendapat informan mengenai bantuan PT. CGI,
“kalo bangunan mah dari dulu udah dikasih (terpenuhi). Yang
sudah kesini mah air, jalan, sama bantuan untuk ke masjid kaya
karpet gitu suka ada. Ada masjid muhajirin, al falah, at taufik
sudah tercukupi tapi jalannya sama air bersihnya udah tuh dari
Chevron. Tapi karena udah lama, jadi buntu lagi airnya
165
bersihnya, kalau jalan mah sekarang juga lagi dibikin lagi.
Pokoknya Chevron mah muter” kesitu aja kaya air, jalan, ya
gitu.” (WM 6)
Pembangunan jalan yang dilakukan oleh Chevron tidak
dipungkiri membawa perubahan terhadap mobilitas penduduk, serta
membawa percepatan perubahan khususnya ekonomi dan wisata di
daerah Darajat. Namun demikian, terdapat juga perkembangan wisata
yang tidak diantisipasi dengan baik, yang di kemudian hari dapat
menjadi permasalahan yang serius bagi masyarakat lokal.
Persoalan ketenagakerjaan dipandang oleh masyarakat lokal
sebagai isyu yang sering diungkapkan oleh para informan. Menurut
mereka tidak banyak warga masyarakat lokal yang dapat bekerja di PT.
CGI. Hal tersebut dapat dipahami mengingat tuntutan kompetensi dan
skill serta formasi tenaga kerja yang tersedia memang sangat terbatas.
Tetapi sebagian lagi berpendapat sebaiknya tetap mengutamakan
tenaga kerja dari masyarakat lokal, walaupun untuk tahap awal terbatas
pada tenaga kerja kasar (unskill).
“ya... mengutamakan tenaga kerja dari sini, ...ya biar ga nyari
lagi tenaga kerja dari luar Desa Karyamekar. Di sini juga
banyak yang mampu” biar ga ada lagi pengangguran terutama
pemuda gitu ya. Kalo pemudi mah jarang yang mau bekerja.”
(PD 2).
Demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh salah seorang
tokoh
masyarakat,
mengenai
pentingnya
penanganan
masalah
ketenagakarjaan di Desa Karyamekar. Berikut pendapatnya:
“kalau pelatihan mah ga ada, kalau kepemudaan mah ada di
bidang kewirausahaan seperti itu pangkas rambut yang di atas
itu dari Chevron. Ya itu baru-baru ini adanya kalau dulu kan
166
kepemudaannya di remaja mesjid, soalnya karangtaruna mah
kan udah bubar. Lalu kalau remaja mesjid dulu mah
ngebahasnya masalah tenaga kerja tidak ke wirausaha. Jadi
fokusnya ke masalah tenaga kerja aja, kalau ada peluang demo.
Kalau sekarang mah dari Chevronnya kan memberikan celah,
jadi wirausaha mulai ada yang ngajuin.” (TM 4).
Persoalan ketenagakerjaan ini jika tidak ditangani secara benar,
ditengarai akan menimbulkan demo (aksi) dari warga kepada PT. CGI.
Sehingga perlu penanganan serius, dalam arti perlu dikembangkan
pola-pola dialog yang intensif dan
terbuka untuk mengetahui dan
saling memahami kebutuhan masing-masing pihak. Untuk selanjutnya
dapat mengembangkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat di desa
Karyamekar.
Keinginan para ibu di wilayah sekitar PT. CGI untuk dapat
bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Misalkan pengadaan
katering untuk para karyawannya. Banyak para ibu di Desa
Karyamekar yang dapat memasak, asalkan mereka diberi tahu tentang
standar kebersihan dari dapurnya, serta gizi dari makanan yang dibuat.
Termasuk juga pembentukkan badan usahanya (CV) dalam bidang
katering. Nampaknya untuk masalah makanan atau katering untuk
karyawannya, PT. CGI memiliki standar kualitas yang tinggi, selain
persoalan hukum administrasi yang tidak bisa persorangan, tetapi harus
berbeda hukum.
Beberapa ibu warga Desa Karyamekar juga mempertanyakan
sejumlah bantuan yang diberikan PT. CGI, misalnya pemberian mesin
jahit dan mesin obras, tetapi realisasinya bagi mereka dianggap tidak
jelas. Sementara banyak ibu-ibu yang memiliki waktu luang yang
banyak, mereka umumnya hanya menunggu suami pulang dari kebun.
167
Para ibu menginginkan aktivitas yang dapat mengisi waku luang
mereka. Mereka berharap PT. CGI dapat melihat kondisi nyata ibu-ibu
tersebut. Para ibu ini melihat kesenjangan secara ekonomi yang terjadi
di lingkungan mereka yang belum dicermati oleh pihak PT. CGI,
sehingga program CSR-nya dapat lebih mengarah pada masyarakat
miskin.
Berdasarkan informasi dari lembaga swadaya masyarakat yang
menjadi mitra PT. CGI yaitu Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha
Kecil (PUPUK) memang Desa Karyamekar belum ditangani secara
serius, padahal merupakan salah satu wilayah terdekap dekat dengan
operasional PT. CGI. Kemudian sejak bermitra dengan PUPUK, PT.
CGI berupaya menyalurkan program CSR-nya kepada masyarakat
sekitar tidak lagi semata hanya fokus pada pembangunan infrastruktur.
Sejak tahun 2008 program-program capacity building dan program
pemberdayaan masyarakat (community development) mulai menjadi
fokus perhatian. Walaupun porsi antara pembangunan infrastruktur dan
non infrastruktur masih lebih besar pembangunan infrastruktur.
2) Bantuan Bidang Pendidikan
Bantuan di
bidang pendidikan
yang diberikan kepada
masyarakat antara lain fasilitas untuk Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), TK, SD, dan SMP. Termasuk di dalamnya bantuan ATK,
papan tulis, laptop. Artinya beberapa masyarakat di desa Karyamekar
mengetahui dan mengakui adanya bantuan dalam bidang pendidikan,
meskipun belum merata. Demikian pula dengan gedung untuk kegiatan
olah raga dan kesenian yang dibangun oleh PT. CGI. Berikut sejumlah
pendapat dari beberapa informan:
168
“kalau itu mah ini kan PAUD yang ada didekat sini kan itu dari
Chevron“(WM 6)
” Seperti madrasah yang didieu ada bantuan laptop, terus
bangku, ATK pernah, board dll.” (TP 2).
“gedung olah raga dan kesenian kan itu juga diberikan sama
Chevron.” (TP 3).
“Aya (ada bantuan), tapi ke sekolah, ke madrasah mah enggak
SD,SMP, PAUD aya” (TM 1).
“Tah kalau pendidikan ti Chevron teh ka TK panginteun, TK
teh aya opat gunduk (ada empat tempat) rupina di bedeng,
didieu,cipanas, sareng RT 4.” (TM 3).
Namun untuk madrasah belum terdengar terdapat bantuan yang
diberikan PT. CGI kepada masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh
salah seorang tokoh agama, yang menganggap bahwa PT. CGI masih
mendiskriminasikan bantuan untuk sekolah-sekolah formal, namun
belum memberikan bantuan untuk madrasah-madrasah.
3) Aspek Kesehatan
Bantuan bidang kesehatan menurut informan antara bantuan
kendaraan untuk warga yang harus segera dibawa ke rumah sakit,
pembuatan sarana MCK (mandi cuci kakus) dan penyediaan air bersih.
Kemudian bekerja sama dengan dinas kesehatan kabupaten Garut
membangun Puskesmas tingkat kecamatan Pasirwangi.
“ya suka ada salah satunya mah, yang deket dan bisa dibantu
gitu ya ada. Yang bisa masuk kendaraan suka dibantuin untuk
dibawa ke rumah sakit mah ada.” (WM 6)
Pada beberapa bantuan, seperti untuk bantuan sarana MCK dan
air bersih, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang RW, bahwa
sumber airnya merupakan milik masyarakat, namun masyarakat tidak
memiliki dana untuk pompa dan pipanya. Kemudian PT. CGI
169
menyediakan bantuan teknis dan pendanaan dalam penyediaan air
bersih di kampung Ciherang Desa Karyamekar. Bantuan penyuluhan
pencegahan tentang bahaya HIV dan narkoba juga dilakukan oleh PT.
CGI di sekolah-sekolah di kabupaten Garut, dengan bekerja sama
dengan Dinas Kesehatan.
“kalau perumahan mah dulu ada untuk wc, bagian kesehatan
dulu ya saya tau karena jadi RW ada lah bantuannya mah.
Untuk wc sedesa ini kurang lebih ada 7 yang dibuatkan
MCKnya. Nah kalau tahun ini kan di Ciherang masih daerah
Karyamekar juga ya, sekarang dikasih air bersih tapi itu mah
sumber airnya mah ya punya pribadilah punya masyarakat. Itu
dari Chevron biayanya” (WM 6).
Namun sebagian lagi tidak semua warga mengetahui bantuan
yang sudah dilakukan oleh PT. CGI dalam bidang kesehatan. Bahkan
ada informan yang menyatakan tidak ada sama sekali bantuan bidang
kesehatan oleh PT. CGI. Pendapat tersebut diungkapkan oleh aparat
pemerintah desa, ibu-ibu, dan sejumlah tokoh masyarakat.
4) Aspek Ketenagakerjaan
Persoalan keternagakerjaan merupakan persoalan yang dihadapi
hampir semua daerah di Indonesia, termasuk di Desa Karyamekar
Kecamatan Pasirwangi. Tentunya banyak pemuda yang sangat ingin
dapat bekerja di perusahaan besar seperti Chevron. Tidak salah
keinginan dari sebagian warga tersebut. Namun, karena kualifikasi,
skill dan kompetensi yang tidak memenuhi, mereka pun paham akan
hal tersebut. Hanya dua hingga tiga orang warga masyarakat sekecamatan Pasirwangi yang bekerja sebagai karyawan di PT. CGI.
170
Kalaupun ada yang diterima bekerja di Chevron, biasanya sebagai
office boy dan bagian kebersihan.
“ya kalau itu mah bisa dihitung jari. Yang dari Karyamekar
paling juga Cuma 2. Ya yang paling mentoknya itu paling
karena dari tingkat pendidikannya itu tadi. Kalau Chevron ada
seperti BLK (Balai Latihan Kerja) mah enak, kita warga” jadi
bisa berskill. Ini kan ga ada, walaupun kita dari lulusan S1 kalau
kita udah mentok dari Chevronnya ga bisa, ya ga mampu.”
(WM 6).
Sehingga wajar jika sebagian warga berharap adanya balai
latihan kerja untuk meningkatkan keterampian dan keahlian para
pencari kerja, khususnya para pemuda. Pelatihan kerja tersebut bukan
berarti untuk dapat diterima kerja menjadi karyawan di Chevron, tetapi
penciptaan lapangan pekerjaan baru.
Sementara itu PT. CGI mendorong masyarakat lokal untuk
membangun perusahaan lokal dan mengembangkan perusahaanperusahaan lokal yang mampu menjadi mitranya perusahaan tesebut.
Inilah yang dikenal dengan local business development (LBD). LBD
merupakan perusahaan-perusahaan lokal dengan tingkat kemampuan
untuk melakukan kualifikasi pekerjaan minimal hingga menengah.
Masyarakat lokal mengenalnya sebagai CV-CV. Vendor-vendor inilah
yang merupakan perusahaan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yang
akan diikutkan dalam tender-tender pekerjaan di PT. CGI. Melalui CVCV ini pula masyarakat atau pencari kerja lokal direkrut untuk menjadi
pekerja.
” Kalau dari Chevron mah paling menurutkan skill. Meskipun
ayeuna gogontowongan kitu hoyong kerja di Chevron mun teu
bisa kanu komputer mah da percuma ka era-era. Ya jadi
disesuaikanlah. Orang dieu oge hoyong kerja di Chevron,
171
piraku orang nu deket teu diheulakeun. Tapi paling orang dieu
mah jadi helper di tenaga kerja, helper teh pembantu modelna.
Itu juga masuknya bukan dari Chevron langsung tapi melalui
kontraktor-kontraktor rekanan Chevron lagi. (TP 2).
Pola pengembangan perusahaan-perusahaan lokal (LBD), yang
kemudian mereka menjadi mitra (rekanan) PT. CGI, selanjutkan
melalui tender menerima pekerjaan-pekerjaan dari PT. CGI dikenal
dengan outsourcing (alih daya). Sebagian warga mengenal perusahaanperusahaan lokal tersebut sebagai kontraktor-kontraktor PT. CGI.
Sebagaimana dikemukakan mengenai perekrutan tenaga kerja, maka
yang dimaksud dengan tenaga kerja lokal diterima di PT. CGI adalah
sebenarnya mereka diterima oleh mitra/ rekanan/ kontraktor dari PT.
Chevron. Tentunya untuk perusahaan alih daya (kontraktor PT. CGI)
dengan bidang pekerjaan satuan pengamanan atau office boy
merupakan perusahaan yang memiliki kualifikasi pekerjaan yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh PT. CGI; dengan
komitmen jangka panjang (setiap tahun diperbarui kontraknya) dan
terpercaya. Berbeda halnya dengan CV-CV dengan kualifikasi
pekerjaan tingkat rendah, seperti untuk pembangunan gorong-gorong,
pembangunan MCK, atau bangunan fisik lainnya. Inilah jenis
perusahaan lokal yang banyak dimiliki oleh lokal. Jenis LBD ini dapat
berjangka waktu dan komitmen jangka panjang, atau tergantung pada
jenis pekerjaannya. Setelah melalui tender, kemudian jika CV tertentu
menang LBD tersebut memperoleh pekerjaan yang diselesaikan dalam
jangka waktu tertentu. Hubungan kerja antara kotraktor (LBD) dengan
PT. CGI selesai (resmi) setelah perintah pekerjaan yang dibebankan
kepada LBD tersebut selesai dikerjakan dan memperoleh pembayaran
172
penuh. Pada jenis CV-CV (kontraktor lokal) inilah banyak penyerapan
tenaga kerja lokal, karena tidak memerlukan skill tertentu, bersifat
pekerjaan kasar, dan banyak mengandalkan kemampuan fisik.
“outsourcing aja modelnya, kaya satpam, officeboy. Tetapi
selama kita baik, kerjanya bagus, bukan ga mungkin bakalan
diangkat jadi karyawan tetap di sana. Ya bisa dipertahankan
bahkan bisa ditingkatkan gitu. Jadi walaupun dari outsourcing
biasanya ga akan ada pemutusan, bisa saja ditingkatkan bahkan
ada yang sampai pensiun.” (TP 3).
Bagi mereka yang bekerja diperusahaan alih daya dengan
komitmen jangka panjang, muncul keyakinan bahwa status pekerjaan
mereka dapat saja meningkat menjadi pekerja tetap PT. Chevron.
Sehingga mereka
yang bekerja di jenis
perusahaan tersebut
menganggap tidak ada bedanya seperti bekerja di PT. Chevron.
Demikian pula pandangan masyarakat lokal dalam melihat keberadaan
mereka sebagai karyawan PT. Chevron. Hal tersebut dapat dipahami,
mengingat untuk jenis pekerjaan sebagai Satpam atau office boy
membuat mereka sering berada di kantor PT. CGI, sehingga
masyarakat lokal menganggap mereka adalah karyawan Chevron.
“karena Chevron lagi butuh tenaga kerja, nah itu diserahkan ke
muspika untuk mencari 15 orang dibagi dari 3 kecamatan. Dari
kami pihak kecamatan diserahkan kembali ke desa-desa. Kalau
hanya 15 orang, di Pasirwangi aja ada 12 desa, jadi kalau
diambil 15 orang ya paling 3 orang lagi dari 2 kecamatan
lainnya. Ya ga mungkinlah yang dekat tidak didahulukan.
Memang kalau secara birokrasi Chevron itu memakai
pemerintah disetiap kecamatan, kan yang namanya perekrutan
tenaga kerja suka ada masalah sedangkan kalau dulu-dulu itu
katanya yah katanya untuk tenaga kerja Chevron itu harus
diambil dari masyarakat lokal kecuali bagian teknik. Katanya
yah. Kalau saya ngobrol dengan dua kecamatan lain ya, wah
173
enak Pasirwangi mah yang punya Chevron. Padahal aslinya
mah sama aja.” (PK 1 & PK 2)
Dalam perkembangan terakhir, PT. CGI nampaknya mulai
mendengar dan memahami kegelisahan masyarakat akan tuntutan dan
kebutuhan akan tenaga kerja dari masyarakat lokal. Hal tersebut
ditunjukkan dengan permintaan PT. CGI akan tenaga kerja lokal
sebanyak 15 orang melalui pemerintahan kecamatan (muspika) di
sekitar wilayah kerja PT. CGI. 15 orang kebutuhan tenaga kerja tesebut
akan di bagi dalam tiga kecamatan tersebut, yaitu kecamatan
Pasirwangi, Kecamatan Samarang dan kecamatan Sukaresmi. Dengan
pembagian tersebut makan setiap kecamatan akan memperoleh jatah 5
orang.
Alokasi pembagian tersebut, niat awalnya adalah menyerap
tenaga kerja lokal. Namun penyerapan tenaga kerja tersebut juga dapat
dipandang sebagai upaya dari PT. CGI dalam membangun reputasi
yang baik di kalangan muspika wilayah kerja perusahaan tersebut. Hal
yang perlu dicermati kemudian dalam penyediaan tenaga kerja tersebut
adalah alasan pembagian alokasi ke-15 orang tersebut, serta alasan
mengapa jumlahnya 15 orang. PT. CGI dan pemerintah kecamatan
harus mampu membangun komunikasi yang baik dengan pemerintahan
desa di bawahnya, serta yang terpenting adalah masyarakat.
5) Bantuan Bidang Sarana Ibadah
Bantuan
yang
berkait
dengan
sarana
ibadah
dan
perlengkapannya juga diberikan oleh PT. CGI. Seperti juga bantuan
sebelumnya, PT. CGI berupaya tidak memberikan dalam bentuk tunai,
174
tetapi dalam bentuk barang (natura) atau bantuan teknis lainnya.
Kebijakan
tersebut
dilakukan
dalam
upaya
menghindari
penyalahgunaan bantuan yang diberikan PT. CGI kepada masyarakat.
Namun demikian bantuan yang diberikan dalam bentuk barang atau
teknis tersebut sulit menghindari munculnya sifat ketergantungan
masyarakat kepada PT. CGI. Nampaknya PT. CGI masih sulit
menghindari pola atau program tanggung jawab sosial yang bersifat
bantuan sosial (social asistance).
“Ka masjid kantenan sapartos masihan Al-Quran, karpet, duka
ari seuerna mah, pami kadieu mah kamari aya 50 Al-Quran
sareng karpet duka dua duka opat mun teu lepat mah tapi eta ka
tiap masjid.” (TM 3).
Beberapa tokoh agama pun beberapa kali diundang oleh PT.
CGI untuk mengisi acara kegiatan agama yang diselenggarakan
perusahaan. Seringkali kunjungan ke wilayah operasi PT. CGI tersebut
dipergunakan untuk membangun komunikasi antara pihak perusahaan
dengan tokoh masyarakat secara informal. Dalam kesempatan tersebut,
pihak perusahaan dapat memberikan informasi mengenai kegiatan
perusahaan
secara
informal,
atau
sikap
perusahaan
terhadap
masyarakat. Demikian pula sebaliknya, tokoh agama setempat dapat
menceritakan mengenai kondisi dan sikap masyarakat lokal terhadap
PT. CGI. Seringkali hubungan yang bersifat informal tersebut, hasilnya
jauh lebih efektif daripada hubungan yang dibangun secara formal.
Namun demikian kegiatan yang dilakukan oleh tokoh agama tersebut,
juga menimbulkan kecemburuan dari masyarakat lainnya. Melalui
tokoh
agama
tersebut,
masyarakat
menyalurkan bantuan sosialnya.
175
menilai,
PT.
CGI sering
6) Aspek Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
Bantuan untuk usaha kecil dan menengah bagi masyarakat
lokal, menurut sebagian informan, kalau pun ada namun tidak jelas
kelanjutannya. Atau masyarakat memandang bantuan yang diberikan
oleh PT. CGI diberikan secara tidak merata.
“hem kan dulu ada pembuat keripik ubi jalar, ada warga Desa
Karyamekar dari kampung Ciherang. Mungkin dikasih modal
sama itu sama Chevron tapi ga tau sekarang masih jalan apa
enggak.” (PD 2, Desember 2012).
“Duka karena yang benar-benar membutuhkan itu yang pasti
dapat ...*mungkin Chevron memberi bantuan secara tidak
merata mungkin ah da itu oge sama atas nama masyarakat,
karena Chevron-kan tidak tahu”. (WM 4 & WM 5).
Kemudian bantuan untuk wirausaha dan usaha kecil-menengah
tersebut seringkali dikaitkan dengan pemuda. Beberapa informan
berpendapat bahwa jika ada program kewirausahaan untuk warga atau
pemuda di masyarakat lokal itu bagus. Namun juga sebagian informan
berpendapat, bahwa program-program tersebut sosialisasinya tidak
jelas dan tidak merata. Sehingga tidak banyak warga yang mengetahui
program wirausaha tersebut.
“ya itu kata saya juga, mungkin ada program yang bagus tapi
tidak diketahui masyarakat yang luas, yang nanti bisa diajukan
atas masyarakat misalnya, yang saya tahu banyak beberapa
program yang mengatas namakan masyarakat yang ternyata
diambil sama perseorangan. Misalnya ke masjid at-taufik bisa
ditemuin disana ke pak ustad Nassrullah setiap bulannya bisa
mendapat bantuan dari Chevron untuk anak yatim, untuk
jompo, dan sebagainya lah itu dia dapat. Yang harus diakui itu
176
bantuan Chevron secara sosial. Tapi itu kata saya juga tapi tidak
merata.” (WM 4 & WM 5).
Komitmen warga yang memperoleh bantuan tersebut pun tidak lama.
Mereka yang telah memperoleh bantuan, sebagian tidak berlanjut,
bahkan terhenti di tengah jalan. Padahal sebelumnya mereka meminta
bantuan untuk mengembangkan usaha dengan mengajukan usulan atau
proposal kepada PT. CGI. Melihat hal tersebut PT. CGI perlu berfikir
ulang dan selektif dalam menerima proposal dan menyalurkan bantuan
usaha kepada masyarakat. Hal tersebut mulai dikeluhkan oleh
masyarakat yang (merasa) sungguh-sungguh mengajukan proposal
bantuan usaha kepada PT. CGI. Sebagaimana dikemukakan oleh salah
seorang informan,
“Misalkan bantuan domba sama ayam, ayamnya ga ada,
dombanya ga ada. Terus ada lagi bantuan budidaya jamur, terus
ga ada jamurnya, jadi sekarang yang benar-benar proposal teh
gak dipercaya. Terus bantuan yang tadi itu semuanya turun.”
(WM 4 & WM 5).
Dalam perkembangan selanjutnya mengenai bantuan usaha bagi warga,
PT. CGI mencoba mengembangkan program-program unggulan di
masing-masing desa. Setiap desa didata potensi utama yang mungkin
dapat dikembangkan sebagai keunggulan desa. Usulan kegiatan
tersebut dikenak dengan OVOP yaitu singkatan dari one village one
product. Program ini masih berjalan, dan perlu penelitian dan pengujian
atas keterandalan program ini.
7) Aspek Monitoring dan Evaluasi Kegiatan
Minimnya tenaga lapangan yag dimiliki oleh PT. CGI untuk
menjamin kalancaran dan kesesuaian kegiatan menjadi salah faktor
177
penyebab lemahnya kegiatan monitoring dan evaluasi. PT. CGI hanya
melakukan monitoring di tahap awal saja, yaitu saat memastikan
program tersebut berasal dari desa tertentu kepada aparat desa.
Selanjutnya
melalui
kegiatan
FGD
(focus
group
discussion),
dilakukanlah prioritas kegiatan untuk desa tersebut. Sebelum bantuan
diberikan, maka dilakukan kajian terlebih dahulu. Setelah disetujui dan
kemudian bantuan itu turun (dilaksanakan), maka tidak dilakukan lagi
monitoring.
“banyak yang turun sampai ratusan juta (ibu-ibu PKK, Februari
2013) . Tapi mengatas namakan masyarakat, dan ternyata
kemasyarakat-nya mah tidak sampai ...tapi kalau ada
pendampingan dari Chevron langsung turun mah saya kira tidak
akan seperti itu” (WM 4 & WM 5).
Sebagian warga berharap dilakukan pendampingan, khususnya
pada bantuan untuk usaha kecil. Masyarakat memahami bahwa banyak
bantuan yang diberikan oleh PT. CGI. Namun seringkali bantuan
tersebut sering disalahgunakan, dan tidak sampai ke masyarakat.
Kondisi ini dipahami, mengingat banyak usulan yang diajukan kepada
PT. CGI, namun tenaga pelaksana minim. Sehingga sebenarnya kontrol
dan monitoring tersebut sebetulnya dilakukan oleh PT. CGI melalui tim
PGPA, namun tidak semua bantuan yang diberikan kepada masyarakat
dapat dilakukan pengontrolan.
“yaa diawasi langsung. Biasanya yang ngawasin itu pak Tata
sama pak Yusep sampai selesai itu mah. Kalau mau ada proyek
lagi biasanya ditenderin lagi kalau masalah dilibatkan dengan
masyarakat ga ada, ditenderkan lagi sama yang lain”. (WM 6).
Umumnya PT. CGI melalukan tender atau lelang kegiatan yang
akan dilakukan kepada perusahaan-perusahaan (CV) milik masyarakat
178
lokal, tentunya sesuai dengan kualifikasi pekerjaan yang dilakukan. PT.
CGI membina local business development (LBD), yaitu CV-CV atau
perusahaan lokal yang menjadi mitra binaan, yang siap mengikuti
lelang pekerjaan yang dilakukan oleh PT. CGI. Melalui merekalah
program-program CSR PT. CGI dilakukan kepada masyarakat.
Umumnya program-program bantuan dari PT. CGI yang
bersifat fisik, seperti pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, atau
gorong-gorong, atau mesjid ibadah dilakukan melalui LBD tersebut.
Umumnya pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh PT. CGI hanya
dilakukan di awal kegiatan, dan setelah kegiatan pembangunan tersebut
selesai dilakukan. Bagi CV-CV atau anggota LBD yang tidak jujur
atau hasil pekerjaannya tidak sesuai spesifikasi kontrak, maka di masa
CV tersebut tidak akan diajak kembali menjadi mitra.
“ada, biasanya kan kalau program mau turun itu ada serah
terima, nah sebelum serah terima itu biasanya ada pengecekan
ke lapangan dulu disurvei dulu. Nanti kalau dari Chevron sudah
deal akan dikasih jadi ga dikasih begitu saja, ada pengontrolan
biasanya sama Pak Tata itu mah. Pak Tata sama Pak Yosep aja
biasanya itu mah yang untuk dimasukkan ke LBD (local
bussiness development) “(TM 4).
Kemudian pelibatan pengontrolan atau pelaporan kepada pihak
pemerintah
kecamatan
jarang
dilakukan.
Kegiatan
bantuan
pembangunan tersebut sering dilakukan antara pihak pemerintah desa
dengan PT. CGI. Tetapi kalau pihak kecamatan berinisiatif melakukan
monitoring dan pengontrolan, baru kemudian pihak pemerintah desa
atau PT. CGI memberikan pelaporan kepada kecamatan.
tidak ada, jadi kalau tidak ditanya mah ya tidak ada pelaporan.
iya kaya seperti kalau saya turun ke lapangan untuk mengotrol
baru akan ketahuan ada apa di desa de. Kalau tidak ada
179
pengontrolan mah tidak ada informasi ke kecamatan. Yang
biasanya tau itu ya kordinator (PK 1 & PK 2).
Mekanisme pelaksanaan kegiatan CSR dari PT. CGI cenderung tidak
melibatkan pihak kecamatan. Walaupun dalam perencanaan kegiatan
yang dikembangkan oleh PT. CGI terlihat bahwa pihak kecamatan
dilibatkan melalui musrenbang tingkat kecamatan. Fenomena hubungan
antara pemerintah desa, pemerintah kecamatan dan PT. CGI ini
menarik untuk disimak. Idealnya diantara stakeholder ini akan
terbangun relasi yang baik, dalam rangka efektifitas dan efisiensi
pembangunan masyarakat di wilayahnya. Jika masing-masing pihak
merasa benar dan tidak ada komunikasi yang harmonis, maka
masyarakatlah yang akan menjadi korban.
“kalau yang dulu mah saya jelas-jelas ga tau ya, Cuma kalau
yang sekarang mah katanya ya katanya, kan dari desa
mengajukan dulu, nanti diproses sama Chevron lalu untuk
pelaksanakannya swakelola dari desa. Jadi dari Chevron mah
dikasih berupa barang dan bantuan pengerjaan aja, setelah di
proses itu nanti ada tender untuk pengadaan barangnya. Setelah
itu baru dilaksanakan ke desa. ... (bantuannya) langsung aja ke
desa itu mah, pihak kecamatan mah ga tau dimana-gimananya.
Kalaupun ada komunikasi dengan pihak kecamatan pastinya
bapak ini bapak Suryaman sebagai Kasi PMD. Sejauh ini belum
ada. ... ya belum ada de, tapi ya enak-enak aja sih sebenernya
jadi ga begitu ribet hehehe.” (PK 1 & PK 2).
Menarik untuk disimak pendapat aparat pemerintah kecamatan
Pasirwangi, bahwa pihak kecamatan tidak tahu-menahu mengenai
bantuan yang diberikan oleh PT.CGI. Namun begitu, kondisi tersebut
bagi pihak kecamatan tidak masalah, bahkan merasa tidak terganggu
dengan urusan bantuan yang terjadi antara PT. CGI dengan
pemerintahan desa.
180
C. Relasi Perusahaan dengan Masyarakat Lokal Menurut
Masyarakat Lokal
Mengenai komunikasi yang terjalin antara masyarakat lokal
dengan PT. CGI sebagian masyarakat melihat terbatas. Tidak mudah
bagi masyarakat untuk melakukan komunikasi dengan pihak PT. CGI.
Hal tersebut dapat dipahami, mengingat PT. CGI sebagai entitas bisnis
akan fokus pada core bussiness. Apalagi kepemilikan perusahaan
tersebut bukan milik nasional, tetapi milik asing. Kondisi tersebut
sedikit banyak membentuk sentimen dan cara pandang lain dari
masyarakat. Jika dibandingkan dengan perusahaan nasional seperti
Indonesia Power atau Pertamina, maka pandangan masyarakat lokal
agak cenderung lebih negatif terhadap PT. CGI. Tidak banyak gejolak
yang muncul di masyarakat lokal dan dihadapi oleh perusahaan
nasional.
“kalau Chevron ya jujur saja yah, agak terbatas. Jadi terbatas
tidak bisa masuk sembarangan orang, komunikasi juga tidak
terlalu terbuka dengan Chevron itu. Jangan kan untuk
masyarakat biasa yah, setingkat pejabat juga rada susah gitu ya,
soalnya kan Chevron itu perusahaan tingkat internasional ya,
jadi lebih ketat segala peraturannya tidak bisa sembarangan.
Orang indonesia yang ada diperusahaannya juga terbawa
dengan manajemen dari luar gitu.” (PK 3).
Tetapi pendapat berbeda dikemukakan oleh aparat pemeritahan
lokal, yang memandang bahwa kehadiran PT. CGI sangat membantu
masyarakat, khususnya dengan pembangunan jalan tersebut. Juga dapat
dipahami jika aparat pemerintah lokal setidaknya setiap tahun akan
181
bertemu dengan pihak PT. CGI dalam diskusi atau musyawarah
perencanaan pembangunan baik tingkat desa atau kecamatan.
“kalau itu baik, sejauh ini baik-baik saja ya. Ya karena ada
tanggungjawab dari perusahaan itu juga. Karena dengan adanya
Chevron ini masyarakat merasa terbantu sekali ya. Akses
kemana-mana jadi gampang juga. Sama kaya yang sekarang ada
lowongan tenaga kerja dari Chevron kan juga lumayan dari
masyarakat. (PK 1 & PK 2).
“ya sementara ini mah masyarakat yah khususnya agak
senggang gitu nya. Soalnya ... tadinya A, jadi dari Chevronnya
emang bagus gitu nya. Cuman ada yang banyak di manfaatin
gitu. Oleh oknum-oknum itu. Ngan ayeuna Chevronna mah
secara ayeuna kronoligis weh nya di lapangan mah Chevron
mah kitu. Jadi Chevron tidak bisa ngasih langsung, kecuali ada
pengajuan dari masyarakat atau pemuda. Jadi Chevron
merealisasikan ka pemuda, eta juga mun sosorongot popolotot
heula.” (TP 4).
Di kalangan pemuda, mereka memandang hubungan antara PT.
CGI dengan masyarakat lokal saat ini sedang senggang, tidak begitu
harmonis. Pendapat tersebut jelas mencerminkan bahwa terdapat
pandangan dan pendapat yang cenderung berbeda antara aparat
pemerintah lokal dengan masyarakat lokal dalam memandang
hubungan antara masyarakat lokal dengan PT. CGI. Kemudian pada
masyarakat asli, mereka memandang hubungan antara PT. CGI dengan
masyarakat lokal cenderung negatif. Kondisi tersebut tidak terlepas
dengan pengetahuan mereka terhadap kehadiran awal pertama
perusahaan tersebut, yang relatif tidak terlalu harmonis dan
menimbulkan citra kurang baik di hadapan masyarakat. Sedangkan
pada aparat pemerintah lokal cenderung memandang hubungan tersebut
secara positif.
182
Beberapa warga mengemukakan bahwa ada manfaat positif
dengan kehadiran PT. CGI. Salah satu yang paling dirasakan adalah
perbaikan sarana infrastruktur, seperti jalan. Sehingga perbaikan jalan
tersebut dapat dipandang membawa dampak pada kemajuan ekonomi.
Akses penjualan sayur mayur dari desa-desa sekitar ke kota kabupaten
menjadi lebih mudah dan lancar.
“kalau bicara dampak ya positif, hubungan perusahaan dengan
masyarakat menjadi baik, demo-demo juga sudah berkurang,
lalu dampak bagi kemajuan ekonomi juga terlihat jelas yah
kemajuannya tertama karena adanya jalan yang bagus. Ya jadi
dampaknya positiflah menurut saya, sangat banyak membantu.”
(PK 3)
“ya ada, itu kan jadi bagus akses jalan ngaruh juga ke ekonomi.
Jelas ada pengaruh ke masyarakat.” (PK 1 & PK 2)
Perbaikan jalan tersebut dapat dikatakan sebagai upaya PT. CGI
membangun relasi dengan masyarakat sekitar dengan baik. Dan bagi
masyarakat lokal yang sederhana akan lebih memaknai hal tersebut
sebagai sesuatu yang lebih nampak terlihat oleh mata mereka sendiri,
terasakan jelas manfaatnya, dan ada wujudnya.
“ya dengan adanya program CSR ini kan bermanfaat juga untuk
masyarakat. Jadi masyarakat merasa sangat terbantulah
terutama di ekonomi untuk akses penjualan hasil panen sayuran.
Ya.... jadi berpengaruh juga ke hubungan perusahaan dengan
masyarakatnya de. Jadi lebih baiklah, bisa dibilang CSR ini
untuk memperbaiki hubungan Chevron dengan masyarakat. iya
ada, kan jadi makin lebih baik.” (PK 1 & PK 2).
Bantuan infrastruktur seperti jalan, pembangunan mesjid, dan
gorong-gorong merupakan bantuan CSR dari PT. CGI yang paling
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lokal. Berbeda dengan bantuan
yang bersifat capacity building, atau pelatihan KUKM (kelompok
183
usaha kecil dan menengah) yang hasilnya mungkin baru dapat dilihat
dalam jangka waktu tertentu. Jenis bantuan CSR non infrastruktur
tersebut memerlukan komitmen atau rasa tanggung jawab untuk secara
terus menerus melanjutkan usahanya.
“ positifna..., kadang-kadang upami nyuhunkeun kitu sok
masihan. Atos ambek eta ge... atos maksa... Teu aya anu tulus
atuh da mimitina teh pemaksaan eta mah. Bukan ti perusahaan
masihan naon lah. Teu aya. Kesadaran teu aya, upami ke jalan
karak aya. Abdi ge pernah ngusung ngabangun bumi jompo.
Paling masihan ge 5 sak (semen) jang. Ge eta teh sabaraha
tangan kitu tah 5 sak teh, cek saya teh moal kitu ah. Ti payun
didieu teh aya nu kahuruan, teu lungsur ti Chevron teh, ti
perusahaan mah. Ti Ulis ngan beas dua karung harita mah, kitu
kitu. Nah eta nu beak kahuruan. Abdi ngajukeun ka ditu, tiaptiap RW na, LPM, teu aya pisan bantosan, ka nu musibahan.
Didieu kahuruan, kebakaran, seep pisan jang. (WM 1).
Apabila terjadi bencana pun, masyarakat akan meminta bantuan
kepada Chevron jika pemimpin atau aparat desa tidak mampu
memberikan bantuan. Kondisi ini menunjukkan sifat ketergantungan
masyarakat kepada PT. CGI. Masyarakat selalu mengandalkan PT. CGI
untuk mengatasi persoalan sosial yang dihadapinya. Kondisi tersebut
dapat dimaknai pula, bahwa masyarakat memandang sudah selayaknya
PT. CGI memberi bantuan kepada mereka, karena perusahaan tersebut
telah mengeksploitasi sumber daya alam ‘milik’ masyarakat. Inilah
yang dikatakan sebagai kesadaran diskursif agen (Giddens, 2010), yaitu
masyarakat memahami secara berbeda atas kegiatan atau bantuan yang
diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat. Terlaksananya kegiatankegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan, dalam konsepsi
strukturasi, merupakan pemahaman dan pengetahuan agen akan CSR
184
(struktur)
yang
seharusnya
dilakukan,
termasuk
juga
alasan
pengamanan perusahaan dibalik kegiatan CSR tersebut.
Dalam data hasil wawancara lapangan sebelumnya nampak
bahwa tidak semua program CSR perusahaan dapat diterima oleh
masyarakat, namun terdapat pula program-program yang dapat diterima
oleh masyarakat. Semisal pembangunan (pengaspalan) jalan dari
Tarogong-Samarang-Pasirwangi
ditanggapi
positif
oleh
agen
(masyarakat) karena masyarakat memang memiliki pemahaman yang
sama dengan agen lainnya (perusahaan dan pemerintah) akan
kebutuhan jalan yang mulus. Berbeda halnya dengan program LBD dan
pengembangan UMKM, dimana masyarakat dan perusahaan memiliki
pemahaman yang berbeda mengenai ketepatan dan praktik-praktik yang
memberdayakan masyarakat.
185
186
BAB V
PANDANGAN PERUSAHAAN AKAN
KEGIATAN CSR DAN MASYARAKAT LOKAL
Dalam sub bab ini akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai
kesadaran perusahaan akan keberadaan masyarakat lokal dan tanggung
jawab sosial perusahaan, yang diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan
dalam operasionalisasi kegiatan tanggung jawab sosial.
A. Pandangan Perusahaan akan Keberadaan Masyarakat Lokal
Masyarakat lokal merupakan mitra utama dan penting dalam
kesadaran PT. CGI, sehingga kehadiran perusahaan diharapkan
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Hasil
wawancara dengan staf PGPA (Policy Goverment Public Affair)
menunjukkan bahwa kebijakan Chevron di seluruh dunia adalah sama.
Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bagian dari corporate
responsibility. Sehingga CSR Chevron merupakan salah satu bagian
kecil dari tanggung jawab perusahaan. Tanggung jawab perusahaan
tersebut merupakan corporate ethic PT. CGI dimana di dalamnya
terdapat kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, selanjutnya
community development merupakan bagian dari kegiatan CSR
perusahaan tersebut. Sebagaimana diungkapkan dalam wawancara
berikut.
“Saya melihat hubungan antara perusahaan dan masyarakat
harus dicermati secara intensif, bahkan kalau perlu sangat
187
intensif (second by second), karena perubahan stakeholders
yang sedemikian dinamis. Hubungan ini jangan hanya dilihat
sebatas relationship, tetapi sebagai suatu investasi sosial (social
investment) jangka panjang bagi keberlangsungan bisnis. Dalam
hal regulasi, dengan atau tanpa regulasi Chevron tetap
komitmen untuk melaksanakan program pemberdayaan
masyarakat, karena ini merupakan salah satu value Chevron
sebagai sebuah korporasi.
Namun demikian dalam pelaksanaannya, tetap diingat bahwa
kami basisnya adalah sebuah entitas bisnis, sehingga
memerlukan keterlibatan pihak lain untuk bersama-sama
melaksanakan program. ” (PP 2).
PT. CGI melihat hubungan antara perusahaan dengan
masyarakat harus dicermati secara intensif, bahkan sangat intensif.
Dalam arti bahwa hubungan yang terjadi sangat dinamis karena
perubahan dan pergeseran stakeholder sekitar. Selanjutnya hubungan
yang terbina dengan masyarakat tersebut juga merupakan social
investment (investasi sosial) jangka panjang bagi keberlangsungan
bisnis. Menurut peneliti, bahkan hubungan tersebut seharusnya juga
tidak semata sebagai sebuah investasi, tetapi sebagai sebagai upaya
membangun pengakuan sosial (social legitimation) akan penerimaan
dan tumbuhnya rasa saling menjaga antara masyarakat dengan
perusahaan. Dalam sudut pandang ekonomis, mungkin benar bahwa
hubungan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah investasi sosial. Namun
masyarakat bukanlah sekedar entitas ekonomi, masyarakat harus dilihat
secara sosiologis dan beragam dimensi lainnya. Sebagaimana hubungan
dalam lingkungan ketetanggaan, jika memang berfikir dalam jangka
panjang.
188
Comdev hanya bagian kecil dari corporate ethic. Setiap
karyawan dan kontraktor harus menandatangani pakta integritas
setiap 2 tahun sekali. Kalau ngomongin tentang CSR, tidak saja
comdev, tetapi juga bicara dengan etika bisnis. Ada sekitar 7,
salah satunya comdev. (PP 2).
Data hasil lapangan (hasil wawancara) menunjukkan bahwa
setiap karyawan dan kontraktor harus menandatangani pakta integritas
setiap 2 tahun sekali. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin bahwa
seluruh kegiatan yang berkaitan dengan PT. Chevron dapat sesuai
dengan etika bisnisnya. Terdapat konsekuensi apabila etika bisnis
tersebut tidak dijalankan, maka siapa pun baik perusahaan maupun
kontraktor mitra PT. CGI akan mendapat teguran atau terburuknya
adalah pemutusan hubungan kerja. Semua kebijakan tersebut
merupakan bagian dari ‘chevron way’ yang harus dilaksanakan oleh
semua pihak baik internal maupun sebagai kontrakor mitra kerjanya.
Prayogo (2011:5) menunjukkan bahwa pemahaman perusahaan
akan keberadaan masyarakat lokal; dan pengelolaan relasi dengan
masyarakat lokal sekelilingnya adalah penting. Kontrol dan tekanan
masyarakat lokal kepada perusahaan tidak perlu dilihat sebagai
hambatan, melainkan peluang untuk mengembangkan indutri itu sendiri
dengan memperkuat dukungan sosial perusahaan yang bersangkutan.
Kegagalan perusahaan dalam memahami kondisi dan keberadaan
masyarakat
lokal,
serta
pemangku
kepentingan
lainnya
akan
menimbulkan tekanan yang lebih kuat terhadap perusahaan. Frynas
(2009: 39) telah mengingatkan bahwa seringkali acuan CSR universal
gagal dalam mengatasi isyu konteks di negara tempat industri
beroperasi.
189
B. Operasionalisasi Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(CSR)
Sebagai
upaya
meminimalisasi
dampak
sekaligus
juga
merupakan konpensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan, dalam
Community Engagement (CE) report tahun 2011, disebutkan bahwa
komitmen corporate responsibility CGI untuk mengembangkan operasi
panas bumi diselaraskan dengan pemberdayaan di sekitar wilayah
operasi.
Visi dari CGI dikenal dengan 3P, yaitu performance, people dan
partnership. Salah satu landasan CGI melakukan CE berkaitan dengan
visi tersebut yaitu agar terjalin kemitraan (partnership) yang baik
antara CGI dengan semua stakeholder yang terkait, terutama
masyarakat. Komitmen ini berawal dari prinsip yang dipegang bahwa
CGI yakin keberlangsungan bisnis tergantung pada investasi sosial
perusahaan terhadap masyarakat lokal. Secara struktural, CE berada di
bawah departemen Policy Government and Public Affair (PGPA),
dengan struktur sebagaimana terlihat dalam gambar 5.
190
Manager PGPA
TM PGPA
TM Operation
Support
TM
Communication
Analyst
Government Relation
Specialist
Communication
Engagement Specialist
Gambar 5. Struktur Departemen Policy Government and Public Affair
(PGPA) CGI . (Sumber: Chevron, 2012).
Kebijakan, tujuan dan strategi, serta prinsip CE CGI adalah
“berkomitmen untuk berkontribuasi” terhadap perkembangan ekonomi
dan sosial dari masyarakat di sekitar area operasi dengan berpegang
pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Mendukung visi, misi, dan strategi pemerintah setempat
berdasarkan skala prioritas pembangunan (strategis dan tidak
menggantikan program pemerintah)
2. Fokus pada program partisipatif aktif dan pengembangan
kapasitas masyarakat.
3. Bersifat transparan, berkelanjutan, terdokumentasi dengan baik.
4. Berkesinambungan – kontribusi untuk peningkatan kapasitas
dan pengembangan ekonomi baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
5. Menerapkan proses monitoring dan evaluasi untuk memberikan
ukuran dan akuntabilitas program.
191
Tantangan yang kemudian muncul adalah berkaitan dengan
kegiatan CSR PT. CGI kepada masyarakat. Pihak perusahaan menilai
bahwa tema-tema kegiatan yang sudah menjadi pilar kegiatan dari PT.
CGI seringkali tidak sejalan dengan keinginan masyarakat.
“Terus terang bicara persoalan CSR itu sangat menantang,
berbeda dengan ilmu eksakta, yang mudah terukur. Kalau
berkaitan dengan PROPER dari KLH, itu kan hanya tertulis,
kami tidak berani menyatakan sebagai yang terbaik. Kalau
untuk power plant kita berani menyatakan yang terbesar, kalau
yang lain baru ngebor. Apalagi yang namanya CSR dinamis.”
(PP 1).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa persoalan tanggung
jawab sosial perusahaan adalah bukan persoalan yang mudah. Bukan
sekedar besarnya dana atau banyaknya program, tetapi kesungguhan
pihak perusahaan untuk membangun relasi yang harmonis dengan
masyarakat. Dengan demikian latar belakang dan kualifikasi dari
sumberdaya
manusia
yang
menempati
posisi
pentingn
yang
berhubungan dengan masyarakat adalah menjadi tantangan tersendiri
yang harus dihadapi oleh PT. CGI. Oleh karena itu, PT. CGI
memerlukan keterlibatan pihak lain dalam pelaksanaan CSR untuk
bersama-sama melaksanakan program tersebut.
“CSR kami terdapat pilar-pilar, seperti pendidikan, kesehatan.
CSR kami punya tema, sedangkan penduduk terkadang
berdasarkan keinginan bukan berdasarkan kebutuhan, seperti
ingin jalan bagus, fasilitas air bagus, infrastruktur lainnya
bagus; yang mungkin sebetulnya bukan kebutuhan mereka. Kita
ini bukan ingin menggantikan pemerintah, tetapi kita ini ingin
membantu pemerintah. Jadi tidak bisa urusan perbaikan jalan
diserahkan kepada kita.” (PP 1).
192
Menurut PT. CGI, masyarakat seringkali mengajukan usulan
kegiatan bukan berdasarkan kebutuhan nyata yang harus dipenuhi,
tetapi berdasarkan pada keinginan. Keinginan-keinginan masyarakat
tersebut, bagi perusahaan, mungkin saja bukan berdasarkan kebutuhan.
Kemudian PT. CGI tidak ingin menggantikan posisi peran yang
seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Jadi bagi PT. CGI perbaikan
jalan, penyediaan air bersih, dan pembangunan infrastruktur tersebut
seharusnya merupakan kewajiban pemerintah pusat atau daerah.
Pendapat tersebut dapat dipahami, mengingat jika semua kegiatan
pembangunan di wilayah sekitar perusahaan semua dilakukan oleh PT.
Chevron, maka akan timbul ketidaksesuaian arah pembangunan daerah
tersebut dengan daerah lainnya. Kemudian akibat lanjutannya adalah,
akan menimbulkan kecemburuan diantara desa-desa lain di wilayah
Garut.
Hasil penelitian Frynas (2009:116) menunjukkan setidaknya
terdapat 4 (empat) alasan penting yang menjadi motif perusahaan
melakukan kegiatan pengembangan masyarakat, yaitu untuk memenuhi
kepentingan kompetitif, memelihara ‘licence to operate’, mengelola
persepsi eksternal, dan mempertahankan kenyamanan pegawainya.
Lebih lanjut Frynas (2009:39) menyatakan menyatakan bahwa sifat dan
jenis industri menentukan perhatian CSR dan kepentingan sosialnya
sangatlah berbeda diantara industri yang berbeda. Oleh karena itu
pemahaman konteks industri dikaitkan dengan pelaksanaan CSR
menjadi sangat krusial.
193
1. Landasan Etis Kegiatan CSR PT. CGI
Bagi PT. CGI basis CSR itu sesungguhnya adalah kesukarelaan.
Sehingga dengan adanya regulasi justru sebenarnya mereduksi makna
CSR itu sendiri. Untuk Indonesia ada beberapa regulasi yang justru
mewajibkan CSR. Di Chevron, tema besarnya adalah corporate
responsibility, salah satunya social investment. Dengan demikian CSR
di PT. CGI hanya merupakan salah satu dari corporate responsibility,
sedangkan fokus kegiatan lainnya lainnya adalah ketaatan terhadap
regulasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, etika bisnis dan lainlain; ada sekitar 7 (tujuh) butir.
Segala aktifitas PT. Chevron Gothermal Indonesia di Darajat
Garut merupakan bagian dari Chevron di seluruh dunia yang
berlandaskan pada “The Chevron Way”. Visi dari The Chevron Way
adalah “...to be the global energy company most admired for its people,
partnership and performance”. Dalam visi tersebut berarti:
-
Menyediakan produk energi penting secara aman bagai
keberlanjutan kemajuan ekonomi dan perkembangan manusia
melalui dunia;
-
Menjadi sumber daya manusia dan organisasi yang memiliki
kemampuan dan komitmen yang tinggi.;
-
Menjadi mitra pilihan;
-
Memperoleh pengakuan dan penerimaan dari semua pemangku
kepentingan—investor,
konsumen,
pemerintah
setempat,
masyarakat lokal dan para pekerja—tidak hanya dalam
pencapaian tujuan tetapi bagaimana menggapai mereka.
194
-
Menampilkan kinerja kelas dunia.
Sedangkan
nilai-nilai
yang
membangun
perusahaan
mutinasional tersebut antara lain:
1. Integrity. Nilai ini menunjukkan kejujuran terhadap orang lain
dan diri sendiri. Bersandar pada standar etik yang tinggi dalam
semua urusan bisnis. Sejalannya kata dan tindakan. Menerima
tanggung jawab dan dapat mempertanggung-jawabkan dirinya
terhadap pekerjaan dan tindakannya.
2. Trust. Nilai ini memiliki arti saling percaya, hormat dan dukung
dengan lainnya, dan memberi kepercayaan terhadap kolega dan
mitra kerja.
3. Diversity. Nilai ini berarti mencoba belajar dan menghargai
budaya dimana mereka bekerja. Menghargai dan menunjukkan
rasa hormat terhadap keunikan individual dan beragam
perspektif serta bakat-bakat mereka. Lingkungan pekerjaan
yang inklusif dan secara aktif menyebar luaskan keragaman
melalui orang-orang, gagasan, bakat-bakat dan pengalaman.
4. Ingenuity. Berupaya mencari peluang-peluang baru dan solusi
di luar kebiasaan. Memanfaatkan kreativitas untuk menemukan
sesuatu yang tidak terduga dan cara-cara praktis untuk
mengatasi permasalahan. Pengalaman, teknologi, dan keteguhan
memungkin
Chevron
dapat
mengatasi
tantangan
dan
menyebarkan nilai-nilainya.
5. Partnership. Chevron memegang teguh komitmen untuk
menjadi mitra yang baik dengan fokus mengembangkan
produktivitas,
kolaboratif,
195
kepercayaan
dan
relasi
yang
bermanfaat
dengan
pemerintah,
perusahaan
lain,
para
pelanggan, masyarakat dan lain-lain.
6. Protecting people and the environment. Prioritas tertinggi
Chevron adalah pada kesehatan dan keselamatan kerja dan
perlindungan terhadap aset mereka dan lingkungan. Tujuan
Chevron dihargai atas kinerja kelas dunia melalui disiplin
dengan menerapkan Operational Excellent Management System
(OESM).
7. High
performance.
Chevron
berkomitmen
terhadap
kesempurnaan dalam apapun pekerjaan yang dilakukan, dan
selalu memperbikinya secara terus menerus. Kami bersemangat
untuk selalu memperoleh hasil yang melebihi harapan –diri
sendiri atau lainnya. Chevron didorong dengan hasil energi dan
bersifat segera.
Chevron berkomitmen untuk berkontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara dimana
Chevron beroperasi sebagai pengakuan bahwa kemajuan usaha mereka
secara harus seiring dengan kemajuan masyarakatnya. Sebagai
dikemukakan oleh CEO Chevron, bahwa
“Chevron contributes to the economic and social well-being of
people in the countries where we operate because we recognize
that business success is deeply linked to society's progress. Our
investments in communities also are investments in the long-term
success of our company, and they deliver mutual benefit and
promote shared progress. Wherever we are, we strive to be a
good neighbor, sharing the concerns of our communities and
working to create a better future. (Chevron, 2012).
196
Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi Chevron
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat di negaranegara tempat mereka beroperasi, karena mereka melihat bahwa
keberhasilan bisnis sangat berkaitan dengan kemajuan masyarakat.
Pihak Chevron mengakui bahwa investasi mereka, juga investasinya di
masyarakat merupakan investasi jangka panjang dalam keberhasilan
perusahaan mereka. Mereka berharap dapat menyebarluaskan manfaat
dan kemajuan bersama dengan masyarakat. PT. CGI berupaya menjadi
tetangga yang baik, berbagi dan bekerja bersama bagi masyarakat yang
lebih baik di masa depan.
Chevron
juga
berupaya
melakukan
lebih
dari
sekedar
menyediakan energi. Chevron berupaya berinvestasi kepada manusia,
semua pihak mendapat manfaat. Program-program Chevron mencoba
berupaya melibatkan masyarakat dan individu, memberdayakan mereka
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi keberlanjutan dan membantu
mewujudkan manfaat sosio-ekonomi jangka panjang. Sasaran penerima
manfaat dari inisiatif ini adalah masyarakat yang hidup di sekitar
wilayah operasi Chevron. Hal tersebut menunjukkan komitmen
Chevron untuk menjadi mitra pilihan. Untuk itu, pernyataan Garriga
dan Mele (2004:51-71) yang menyebutkan teori etis (ethical theories),
sebagai teori yang mana tanggung jawab sosial yang dijalankan dengan
menggunakan hak asasi manusia. Etika bisnis, menyebutkan bahwa
perusahaan, sebagai kelompok sosial atau individual dalam masyarakat,
harus berkontribusi untuk kebajikan umum, karena sudah menjadi
bagian dari masyarakat (Smith, 1999; Alford & Naughton, 2002; Mele,
2002)
197
2. Fokus dan Mekanisme Kegiatan CSR PT. CGI
Kehadiran
PT.
CGI
di
tengah-tengah
masyarakat,
keberadaannya harus memberi manfaat bagi masyarakat sekitar, dimana
pun mereka beroperasi. Kemanfaatan tersebut dapat dilakukan melalui
kegiatan yang terencana bersama para pemangku kepentingan lainnya,
termasuk masyarakat. Juga melalui kegiatan secara perseorangan yang
dilakukan oleh setiap individu dari karyawan PT. CGI. Setiap karyawan
PT. CGI harus berbaur dengan masyarakat sekitar. Setiap individu
harus membuat laporan individual mengenai kegiatan berbaur dan
keterlibatan mereka dengan masyarakat sekitar.
“Kita bekerja dengan value, kita mengikuti Chevron di seluruh
dunia lah. Salah satu panduannya adalah bahkan dimana pun
kita berada (berusaha) harus memberi manfaat kapada
masyarakat sekitar (dimana kita operasi). ...Value itu sudah ada
sebelum undang-undang (tentang PT dan Energi di Indonesia),
dan itu melekat pada diri setiap karyawan. Setiap karyawan
harus mendeliver diversity, dia harus ada engagement kepada
masyarakat, dia harus berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
Setiap pekerja Chevron harus berperilaku sesuai dengan nilainilai Chevron way. Ada rapport setiap individu.” (PP 1).
Dengan pernyataan tersebut, sudah merupakan kewajiban pihak
PT. CGI untuk melakukan kegiatan pendampingan di wilayahnya.
Berdasarkan data lapangan menunjukkan bahwa prioritas wilayah yang
memperoleh kegiatan dampingan dari PT. CGI adalah Kecamatan
Samarang. Padahal Kecamatan Samarang masuk dalam wilayah Ring
2, sedangkan Ring 1 adalah Kecamatan Pasirwangi dan Sukaresmi.
Desakan dari warga masyarakat dan kepala-kepala desa di Kecamatan
198
Samarang-lah yang membuat PT. CGI memprioritaskan kegiatan awal
mereka di Kecamatan Samarang.
“ya sebenarnya itu sudah ada di ini (baca:programnya) nya
Chevron (Chevron way), apa namanya itu, hemm laporan
keseluruhan PGPA. Di sana dijelaskan bahwa Chevron harus
melakukan CSR. Tapi dilaporan itu namanya bukan CSR tapi
apa ya, corporate responsibility kalau tidak salah ya itu tidak
ada kata Sosialnya. Nah di laporan itu tertulis sudah kewajiban
pihak Chevron untuk melakukan itu di wilayah dampingannya.
Kalau untuk Samarang itu sebenarnya Samarang termasuk
dalam ring dua, ring satunya Pasirwangi dan Sukaresmi. Cuma
karena desakan dari Kepala-kepala Desa di Kecamatan
Samarang akhirnya diputuskan masuklah ke dalam program. Oh
CE (community engagement) namanya bukan CR. Nah di
Kecamatan Samarang itu sebenarnya yang masuk wilayah
rawan... yang letaknya paling ujung dan paling terkena dampak
dari jalan akses keluar masuk kendaraan Chevron makanya
menjadi tanggung jawab perusahaan.... Tujuan Chevron
melakukan CSR itu pada intinya ingin membangun hubungan
yang baik dengan masyarakat sekitar terutama daerah-daerah
yang disebut desa merah tadi...”. (LS 1).
Di dalam PT. Chevron sendiri memang sudah ada komitmen,
yaitu komitmen yang dibangun melalui kesepakatan dengan pihak para
kepala desa. Pihak perusahaan memahami bahwa daerah-daerah yang
terkena dampak terutama akses jalan kendaraan yaitu Kecamatan
Samarang, Pasirwangi, dan Sukaresmi; akan memperoleh prioritas
bantuan. Namun diantara ketiga kecamatan tesebut, hasil data lapangan
menunjukkan bahwa, Kecamatan Samarang merupakan daerah yang
paling rawan dan keras dalam pandangan pihak perusahaan. Sehingga
daerah-daerah tersebut seringkali disebut daerah ‘merah’, karena sering
terjadi demo dan aksi tuntutan masyarakat kepada PT. CGI. Walaupun
199
Kecamatan Pasirwangi secara lokasi yang paling dekat dan berada
dalam wilayahnya PT. CGI, namun bantuan yang paling pertama dan
utama adalah ke desa-desa wilayah Kecamatan Samarang.
Sasaran Bisnis
Tujuan Bisnis
Tujuan Sosial
Implementasi
Sasaran Sosial
Mendukung operasi dan mempererat hubungan dengan para pemangku
kepentingan untuk menjadikan Chevron sebagai mitra pilihan
Meningkatkan reputasi
Chevron sebagai warga
korporat yang baik
Meningkatkan
pengelolaan lingkungan
Mengurangi
ketergantungan
masyarakat sekitar
terhadap Chevron
Konservasi
Pendidikan dan
Kebutuhan
lingkungan dan
Pelatihan
Pokok manusia
keanekaragaman
- Meningkatkan
- Meningkatkan
hayati
akses
akses
- Meningkatkan
masyarakat
masyarakat
kesadaran publik
terhadap fasilitas
terhadap fasilitas
akan pentingnya
pendidikan
layanan
lindung lingkungan
- Meningkatkan
kesehatan.
di sekitar daerah
kualitas
- Meningkatkan
operasi
pendidikan dan
fasilitas umum
- Mendukung upaya
lulusan siswa
dan publik
konservasi
kesehatan
- Program
pengembangan
sekolah- SMK
Pasirwangi
- Supercamp –
Bimbingan
belajar intensif
masuk PTN
untuk siswa
SMA kelas 3
Pengembangan
Keuangan Mikro
- Mendukung
peningkatan
pendapatan
masyarakat
- Meningkatkan
kualitas UMK di
sekitar daerah
operasi
- Membangun dan - Program reboisasi
- Pendampingan
melengkapi
kawasan hutan
usaha home
sarana IGD
Darajat kerjasama
industry oleh
- Pipanisasi air
Perhutani
PUPUK
bersih/ sanitasi
- Kerjasama kawasan - Program KUBE
lingkungan
Cagar Alam dengan
ternak domba
- Kampanye &
BBKSDA
kerjasama
pencegahan
Dinsos, Uniga,
penyakit TBC
CGI
- Kampanye HIV/
AIDS
1.
2.
Meningkatkan standar kehidupan masyarakat
Membangun kemandirian masyarakat
Gambar 6. Program Community Engagement CGI, Sebuah Pendekatan
Keberlanjutan Untuk Memberdayakan Komunitas. (Sumber:
Chevron, 2010).
200
Tujuan utama dari semua bantuan yang diberikan oleh PT.
Chevron kepada masyarakat, tidak lain adalah untuk membangun
hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar. PT. CGI memandang
bantuan yang diberikan kepada masyarakat tersebut sebagai social
investment, yang tidak semata-mata sebagai jaminan keamanan operasi
perusahaan. Investasi sosial yang dibangun oleh PT. CGI adalah yang
berjangka panjang, dengan ketaatan terhadap peraturan yang berlaku di
Indonesia. PT. CGI berpendapat, bahwa apa yang dilakukannya telah
melebihi kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan, sesuai
peraturan dan perundangan yang berlaku. Artinya ada atau tidak
regulasi, maka PT. CGI tetap akan melaksanakan tanggung jawabnya
sebagai perusahaan yang peduli kepada masyarakat (sebagaimana
terlihat dalam tabel sebelumnya).
“Sebenarnya antisipasi kita adalah second by second. ...
Memang kita sebagai part of bussiness, sehingga melihatnya
tidak semata-mata menjaga lokasi (social investment), tetapi
sebagai sebuah investasi jangka panjang. bukan sekedar
investasi 1-2 bulan tetapi investasi 5 tahun (jangka panjang).
Konsepnya kira-kira kita melihat sebagai social investment.
Tidak ada regulasi pun kita akan tetap menjaga lingkungan
sekitar, yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Sebelum ada Undang-undang pun kami sudah melaksanakan
social investment . Bagaimana pun kami basisnya adalah bisnis.
Karena basisnya CSR itu sesungguhnya adalah voluntary basis.
Sedangkan undang-undang di Indonesia mewajibkan CSR.
Sebenarnya apa yang kami lakukan sudah jauh melebihi
peraturan undang-undang. Sudah di atas ketaatan peraturan.”
(PP 2).
201
Dengan melihat perkembangan masyarakat lokal, relatif secara
umum wilayah Pasirwangi masih belum banyak kemajuan dan masuk
dalam kategori daerah miskin. Sehingga tuntutan dan harapan
masyarakat kepada PT. CGI begitu tinggi. Sehingga PT. CGI harus
selalu siap dan mengantisipasi perkembangan masyarakat setiap waktu.
Selanjutnya
program
community
engagement
PT.
CGI,
memiliki fokus berupa sasaran kegiatan bisnis, tujuan bisnis dan tujuan
sosial. Program kegiatan ini nampaknya diharapkan merupakan sebuah
pendekatan
yang
dalam
sustainable
rangka
memberdayakan
masyarakat lokal. Proses dan pelaksanaan program community
engagement dilakukan atas participatory based program dalam CE
CGI, dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1) Pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
program
secara
berkaa
bersama-sama
dengan
stakeholder terkait.
2) Berdasarkan matriks kinerja
3) Fokus pada keberlanjutan program.
4) Rencana tindak lanjut dan umpan balik.
5) Hasil yang terdokumentasi dalam laporan:
a. Pemantauan dan evaluasi
b. Kunjungan lapangan
c. Kemajuan proyek
d. Laporan akhir
1) Program pendidikan dan pelatihan
Untuk meningkatkan reputasi bisnis PT. CGI sebagai warga
korporat yang baik, mengeluarkan dua program tujuan sosial yaitu
202
program pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan kebutuhan pokok
manusia. Tujuan program pendidikan dan pelatihan adalah untuk
meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas pendidikan dan
meningkatkan kualitas pendidikan dan lulusan siswa. Implementasi
untuk mencapai tujuan tersebut, maka diluncurkan dalam 2 (dua)
program yaitu program pengembangan sekolah—SMK Pasirwangi dan
Supercamp—bimbingan belajar intensif masuk PTN untuk siswa SMA
kelas 3. Gambar 7. menunjukkan mekanisme implementasi dari
program pendidikan dan pelatihan.
Gambar 7.
Program Education For Forestry Community - Ed4Comm
2009-2014. (Sumber: Chevron, 2010).
203
Hasil pelaksanaan program community engagement unggulan
bidang pendikan dan pelatihan yaitu pengembangan kualitas sekolah –
SMK Pasirwangi dan pembelajaran intensif bagi siswa SMA kelas 3
masuk PTN, dapat dilihat dalam tabel 27 berikut:
Tabel 27.
Deskripsi pelaksanaan program community engagement
unggulan bidang pendidikan dan pelatihan
Deskripsi
Meningkatkan Akses Masyarakat Terhadap
Layanan Pendidikan, Dengan Membuka
Sekolah Menengah Kejuruan SLTA, di mana
sebelumnya belum ada sekolah setingkat
SLTA.
Kemitraan
dengan
Diknas,
UNIGA/UNINUS
Lokasi
Pasirwangi
Keunggulan :
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Satu-satunya SLTA di Kec. Pasirwangi (sebelumnya tidak ada)
Fokus pada anak-anak keluarga fakir miskin
Akses ke pendidikan SLTA lebih mudah (sebelumnya harus ke Kec.
Lain)
Kemitraan multipihak (CGI, UNIGA, Diknas, UNINUS)
Dalam proses menjadi SMK Negeri Definitif Pasirwangi
Proses dan mekanisme:
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Pembelajaran secara intensif kepada lulusan SMP di Pasirwangi
yang kesulitan dalam mengakses pendidikan
Diawali dengan study baseline bersama-sama dengan UNIGA,
kemudian dilanjutkan dengan Program Paket C ( 1 kelas)
Selain itu mengadopsi Kurikulum KTSP, KKM 6.1
Sampai saat ini sudah sampai di Kelas 2 dengan jumlah murid
sekitar 120 orang, didampingi sekitar 15 orang tutor
Prestasi akademik siswa sebagian besar di atas rata-rata
Bekerjasama dengan Diknas Garut danUNIGA, mendororong
204
ï‚·
percepatan untuk menjadi SMK Negeri definitif, di mana Diknas
menyediakan lahan, sementara secara bertahap akan membangun
fasilitas ruang belajar
Adanya muatan lokal (agrobisnis) dan dilengkapi juga dengan mini
lab komputer
Sumber: Diolah dari PGPA-CE (Sumber: Chevron, 2012)
2) Program kebutuhan dasar manusia
Program-program Chevron didasarkan pada kerjasama dengan
pemerintah, masyarakat, organisasi non pemerintah lokal dan
internasional.
Sebagian
besar
program
Chevron
merupakan
implementasi dari tiga fokus utama yaitu kesehatan, pendidikan dan
pembangunan ekonomi. Dalam bidang kesehatan: memperbaiki akses
kebutuhan dasar manusia (seperti layanan kesehatan, gizi yang lebih
baik, perbaikan sanitasi, pertanian, dan pengembangan infrastruktur
publik); sedangkan bidang pendidikan menciptakan kesempatan
pendidikan dan pelatihan; dan bidang pembanguan ekonomi yaitu
mendukung peningkatan kualitas kehidupan kehidupan manusia yang
berkelanjutan. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan,
“Chevron partners with host governments, nongovernmental
organizations and aid agencies to assess and understand local
needs and the reasons behind them. Our three primary focus
areas for outreach are:
ï‚· Economic development – We invest in small and micro
enterprises and support programs that create sustainable
employment opportunities. This promotes self-sufficiency,
stimulates job growth and economic development, and
creates a higher standard of living for people in the areas
where we operate.
205
Health – In developing countries, we improve access to
preventive care and treatment and work to strengthen health
care systems, because healthy people can create healthy
societies.
ï‚· Education – Chevron promotes education—particularly in
the areas of science, technology, engineering and math
(STEM)—as well as career and vocational training to ensure
people can help their communities thrive in the 21st century
economy.
These areas of focus are the building blocks of strong
communities.”
(Updated: Chevron, April 2012)
ï‚·
Dalam mewujudkan program kebutuhan pokok manusia
community
engagement
(CE)
mengimplementasikannya
dengan
membangun dan melengkapi sarana IGD puskesmas Pasirwangi;
membangun pipanisasi air bersih dan sanitasi lingkungan; dan
kampanye pencegahan penyakit TBC dan HIV/AIDS. Saat ini yang
dilakukan adalah kampanye penyadaran perilaku hidup sehat,
memperbaiki akses pada fasilitas kesehatan masyarakat dan partisipasi
perbaikan sarana fisik dan perlengkapan medis
Di Jawa Barat, Chevron menyadari bahwa HIV/AIDS adalah
ancaman yang mengerikan bagi dunia dengan dampak yang luar biasa
bagi manusia serta merupakan resiko nyata secara sosial, ekonomi dan
politik yang memberikan pengaruh langsung kepada karyawan dan
bisnis kami. Dalam bidang kesehatan ini, Chevron bertekad untuk
mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh HIV/AIDS terhadap bisnis
kami melalui kepemimpinan strategis di dalam industri kami dan di
masyarakat dimana karyawan Chevron berada. Chevron menyediakan
pelayanan pencegahan voluntary counseling and testing (VCT). Dasar
206
pelayanan VCT ini adalah policy 260 Chevron tentang pencegahan
HIV/AIDS di tempat kerja, yang intinya adalah:
ï‚·
Chevron menjamin kerahasiaan (confidentiality) pengidap
HIV/AIDS
ï‚·
Chveron mencegah diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS
di tempat kerja (non discriminative).
ï‚·
Chevron
menyediakan
akses
ke
fasilitas
pencegahan,
pengobatan dan perawatan HIV/ AIDS (prevention, care and
treatment) bagi pegawai dan keluarganya.
Program penyuluhan pencegahan bahaya HIV/ AIDS juga diberikan
kepada sejumlah siswa di kabupaten Garut. Hasil penyuluhan tersebut
diharapkan para siswa yang telah memperoleh penyuluhan dapat
menyebarluaskan bahaya HIV/AIDS kepada khalayak luas.
3) Program Konservasi lingkungan dan keragaman hayati
Program ini diharapkan memberikan kontribusi untuk mendukung
biodiversity dan pelestarian di sekitar daerah operasi PT. CGI. Tujuan
sosial yang ingin dicapa adalah meningkatkan kesadaran publik akan
pentingnya pelestrasian lingkungan di sekitar daerah operasi dan
mendukung upaya konservasi alam. Sedangkan implementasi kegiatan
yang dilakukan adalah melakukan reboisasi kawasan hutan lindung
bekerja sama dengan perhutani, serta bantuan penyediaan tong-tong
sampah.
207
4) Pengembangan Keuangan Mikro dan UMK
Pengembangan
keuangan
mikro
dan
usaha
mikro-kecil
ditujukan untuk mendukung peningkatan pendapatan masyarakat dan
kualitas pengelolaan UMK di sekitar daerah operasi PT. CGI.
Implementasi programnya adalah pendampingan usaha home industry,
dan program kelompok usaha bersama ternak domba bekerja sama
dengan LSM PUPUK, dinas sosial, dan Universitas Garut (UNIGA).
Salah satu kegiatan tersebut dikenal dengan pengembangan LED, yaitu
local economic development untuk kecamatan Samarang dan inisiative
economic engagement and empowering (I3E) untuk desa-desa di
kecamatan Pasirwangi. Gambar 8 ditunjukkan disain proyek untuk
peningkatan pendekatan masyarakat khususnya para wanita dan buruh
tani muda.
Gambar 8. Project Grand Design : Income Generation For Community
(IGP4Com) and Beneficiaries Target: Woman/Youth Farming
Labor. (Sumber: Chevron, 2010)
208
Hasil pelaksanaan program community engagement unggulan
bidang usaha mikro kecil salah satunya adalah pengembangan ternak
domba terpadu. Dalam gambar 9 dan tabel 28, terlihat roadmap
pengembangan ternak terpadu, yang dimulai sejak tahun 2008 hingga
tahun 2012, serta deskripsi singkat mengenai program unggulan ternak
domba terpadu. Jika melihat roadmap tersebut nampak ideal dan secara
rasional dapat diwujudkan, namun fakta di lapangan menunjukkan
bahwa program tersebut tidak berlanjut dan tidak jelas pertanggung
jawabannya di masyarakat.
Tahun 2008
Pola
Kemitraan
CGI-DinsosUniga
Tahun 2009
Tahun 2010
Pemanfaatan
Limbah &
Pakan ternak
Produksi Pupuk
Organik &
biopestisida
Pupuk
organik
Uji coba
kandungan hara
Pestisida
organik
Pengembangan
ekonomi mikro
Tahun 2011
Tahun 2012
Corporate
Farming
Pertanian
organik
Uji coba
komoditas
kentang, kubis &
tomat
Penguatan
ekonomi
Tabungan
peternak
Gambar 9. Roadmap – Pengembangan Ternak Domba terpadu.
(Sumber: Chevron, 2010)
209
Tabel 28.
Deskripsi bidang unggulan peningkatan ekonomi
masyarakat melalui pengembangan domba terpadu
Deskripsi
Mendorong Peningkatan Ekonomi Masyarakat
Melalui Pengembangan Ternak Domba Terpadu
– Pelatihan Teknis, Pendampingan Intensif dan
Stimulan Usaha Ternak
Lokasi
Desa Barusari (2009), replikasi di Padaasih
(2010), Pasirkiamis (2011)
Keunggulan
ï‚·
Dilakukan berbagai pelatihan teknis (penguatan kelompok ternak
domba, komposting, bio pestisida) & pendampingan kelompok
secara intensif. Diharapkan terjadi peningkatan Pendapatan sekitar:
35%, peningkatan jumlah domba : 75 ekor menjadi 230 ekor.
Melalui pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan
Tabungan Kelompok
ï‚· Pretasi Juara ke 4 KUBE Prestasi Tingkat Nasional Dirjen
Pemberdayaan Fakir miskin DEPSOS RI, dan Juara ke 3
Pendamping Berprestasi Tingkat Nasional.
ï‚· Pemberdayaan Fakir Miskin (DEPSOS RI), Pembentukan Lembaga
Keuangan Mikro BMT “Berkah Darajat” (Oct 2010)
ï‚· Produksi kompos sekitar 1.2 ton/bulan
ï‚· Direplikasi tahun 2010 di Desa Padaasih – 80 peternak
Sumber: diolah dari PGPA-CE (Sumber: Chevron, 2012).
Dalam melaksanakan kegiatan CSR-nya, CGI berupaya
menggandeng organisasi atau lembaga swadaya masyarakat yang
memiliki keahlian di bidang pengorganisasian masyarakat atau
pengembangan masyarakat. Kemudian pihak CGI memberi amanah
kepada LSM tersebut untuk melaksanakan kegiatan CSRnya, seperti
pemberian amanah kepada LSM PUPUK (Perkumpulan untuk
Peningkatan Usaha Kecil) untuk membantu desa-desa di sekitarnya
210
yaitu diantaranya Desa Sukalaksana, Kecamatan Samarang menjadi
desa Wisata. Fungsi CGI dalam kegiatan tersebut adalah:
ï‚·
Penyediaan dana untuk program tersebut, dengan pola
penyaluran yang terbagi menjadi dua termin. Termin pertama
60% dan termin kedua sisanya 40%.
ï‚·
Fungsi pengawasan, pendampingan dan evaluasi program
bersama-sama dengan stakeholder terkait.
Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hingga
saat ini masih menjadi mitra dari PT. CGI dan masyarakat lokal adalah
Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK). PUPUK
merupakan organisasi non profit, independen dan bersifat non politis
yang memposisikan fokus kegiatannya dalam bidang pengembangan
usaha kecil. Terkait dengan program pengembangan masyarakat,
PUPUK berupaya mendorong usaha kecil dan menengah agar dapat
mengoptimalkan peranannya sehingga dari program pengembangan
masyarakat tersebut dapat tercapai. Agar lebih dekat dengan lokasi
sasaran
pengembangan
masyarakat,
PUPUK
menempatkan
perwakilannya di Perumahan Malayu Asri, Desa Mekarwangi
Kecamatan Tarogong Kaler Kabupaten Garut.
Pihak PT. CGI memahami bahwa bantuan yang bersifat
finansial semata akan menimbulkan ketergantungan di masyarakat dan
pemerintah lokal. Bantuan yang bersifat finansial tersebut dilakukan
pada awal-awal PT. Chevron hadir di masyarakat, dimana bantuan
tersebut diberikan kepada masyarakat dan pemerintah lokal yang
mengajukan usulan. Dampaknya adalah munculnya ketergantungan
211
masyarakat lokal dan pemerintah yang menjadi semakin tinggi kepada
PT. CGI.
“Bedanya perusahaan dengan NGO sama-sama concern dengan
di bidang pengembangan masyarakat. Kalau perusahaan harus
mengawinkan antara tujuan bisnis dan tujuan sosial. Kalau
yayasan gak punya tujuan bisnis. Nah kalau kami, suka tidak
suka kami ini bisnis perusahaan.....satu kaki kami berada di
etika bisnis dan satu kaki lagi berada di tujuan sosial. LSM
tidak memperhitungkan untung dan rugi. Saya pikir konsep tadi
sampai sekarang ini masih valid. Sasaran kami ini...partner of
choice (mitra pilihan). Kami ingin juga mendukung program
Chevron Geotermal yang mendukung lingkungan, masyarakat,
perundang-undangan.
Bukan
bantuan
finansial...tetapi
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap Chevron.
Suatu saat kami tidak tahu akan hengkang dari Darajat.” (PP 2).
Pihak PT. CGI menyadari bahwa ketergantungan masyarakat
lokal dan pemerintah lokal yang terlalu tinggi akan berbahaya bagi
masyarakat. Kemandirian masyarakat tidak akan pernah tumbuh,
sehingga kemajuan dan kesejahteraan masyarakat akan sulit tercapai.
Suatu saat PT. CGI akan hengkang dari wilayah kecamatan Pasirwangi,
apabila joint contract tidak diperpanjang.
“Sasaran kedua, dimana pun Chevron berada, kita ingin
meningkatkan standar kehidupan masyarakat. Yang ini kami
mix-kan. Logical framework, pengembangan local economy
development (LED) untuk temen-temen UMKM tujuannya
adalah menyiapkan kemandirian masyarakat. Kegiatannya ada
di Samarang, ada di Pasirwangi. Untuk kebutuhan dasar
manusia” (PP 2).
212
Berdasarkan
kondisi
perkembangan
dan
munculnya
ketergantungan masyarakat tersebut, maka sasaran kegiatan PT. CGI
adalah peningkatan standar kehidupan masyarakat. Program CSR dari
PT. CGI mencoba fokus pada capacity building masyarakat, melalui
local economy development (LED) dan local business development
(LBD), dengan sedikit demi sedikit mengurangi program yang bersifat
bantuan sosial semata. Harapannya, tentu saja meningkatnya daya
kemandirian masyarakat sekitar.
“Dalam diskusi dengan pihak pemda, seringkali kami coba
memberi pemahaman bahwa CSR itu tidak hanya semata
pembangunan infrastruktur, tetapi juga capacity building. Kalau
bapak lihat ke atas (Darajat) kondisi infrastruktur relatif sudah
memadai, tetapi kalau capacity building (economic
development) masyarakat tidak dilakukan akan percuma.
Sehingga dalam implementasinya seringkali kami berusaha
untuk menekankan pentingnya capacity building, walaupun ini
memerlukan waktu dan proses yang bertahap. Tahun ini, ok
spending capacity building besarnya 40% sisanya infrastruktur.
Kemudian tahun depan capacity building terus meningkat
menjadi 50%, 60 % , dan 80%, itu yang terus coba diupayakan.
Memang saat ini belum bisa 100% ke arah pemberdayaan
masyarakat .Terkadang capai juga, hampir setiap tahun harus
berjuang menjelaskan pemahaman tersebut. Kadang-kadang
beberapa pihak masih berfikir pembangunan infrastruktur lebih
penting, namun pemahaman mengenai pentingnya peningkatas
kapasitas masyarakat terus kita lakukan.” (PP 2).
Penjelasan kepada masyarakat dan pemerintah oleh PT. CGI
mengenai tujuan sasaran kegiatan tanggung jawab perusahaan harus
terus dilakukan. Saat ini memang kegiatan CSR PT. CGI, diakui oleh
pihak perusahaan belum mencapai 100%. Namun secara bertahap
alokasi dana yang diarahkan pada pengembangan masyarakat
diupayakan harus terus meningkat setiap tahunnya. Dalam upaya
213
tersebut PT. CGI menggaet LSM PUPUK (Perkumpulan Untuk
Pengembangan Usaha Kecil) Bandung, khususnya dalam peningkatan
usaha kecil dan menengah (UKM). Ada komitmen PT. CGI untuk
melibatkan beragam dan sebanyak mungkin stakeholder (multi
stakeholder), dalam rangka kegiatan CSR kepada masyarakat lokal.
Pihak PUPUK pun mengakui kondisi yang dihadapi oleh PT. CGI,
serta kondisi masyarakat sekitar wilayah kerja perusahaan tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh koordinator PUPUK Garut, yaitu
“mereka kan punya platform yang harus ditangani secara baik di
bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Untuk pendidikan
sudah ada kerjasama dengan Asgar Muda dalam bidang super
camp yang intinya kaya bimbel untuk anak-anak SMA
khususnya bagi kelas 3 yang akan melanjutkan ke perguruan
tinggi. Lalu Chevron juga ada membuka beberapa sekolah, jadi
untuk masalah pendidikan Chevron sudah ada concern di
kecamatan Pasirwangi khususnya terutama untuk fasilitas
pendidikan. Kesehatan yang sampai sekarang juga masih
berjalan seperti donor darah, dulu tahun 2009 juga pernah ada
survei di daerah Pasirwangi tentang masalah penyakit TBC,
dilakukan bekerjasama dengan NGO lain. Setelah dilakukan
survei langsung dilakukan penanggulangan jumlah yang terkena
TBC menurun. Itu di kesehatan, nah ekonominya dulu Chevron
itu memberikan bantuan berupa dana cash tapi dampaknya
kurang terasa di masyarakat, makanya setelah itu kita (PUPUK)
diajak bergabung.” (LS 1).
Selain alasan itu, apabila dicermati kondisi sumber daya
manusia PGPA PT. CGI, maka dapat dipahami tuntutan untuk bekerja
dengan berbagai pemangku kepentingan (multi-stakeholder) dalam
rangka pengembangan masyarakat. kebutuhan akan tenaga ahli yang
memiliki
kompetensi dan keterampilan khusus
dalam bidang
pengembangan masyarakat. Sejak saat itulah pola bantuan yang lebih
214
bersifat social asistance sedikit demi sedikit diubah ke arah
pemberdayaan masyarakat, yang bersifat memandirikan masyarakat.
Tantangan lain yang dihadapi oleh PT. CGI dan mitra lainnya,
termasuk LSM PUPUK, adalah banyak program-program sebelumnya
di luar PT. CGI, seperti kredit usaha tani (KUT), inpres desa tertinggal
(IDT), dan program-program lainnya yang lebih bersifat charity.
Sehingga setiap ada program yang berasal dari PT. CGI (Chevron
Geothermal Indonesia), masyarakat menganggap program tersebut
sebagai hibah. Artinya, masyarakat bebas menentukan bantuan yang
telah diterima untuk dipergunakan sesuka hati mereka. Pola tersebut
sudah
berjalan
cukup
lama,
sehingga
memunculkan
tingkat
ketergantungan yang tinggi dari masyarakat kepada PT. CGI. Kondisi
tersebut diperparah dengan minimnya peran dan fungsi pemerintahan
yaitu desa, kecamatan dan kabupaten dalam memberdayakan
masyarakat sekitar wilayah kerja PT. CGI. Hal tersebut dapat pula
dipahami karena minimnya anggaran kegiatan serta kreativitas untuk
kesejahteraan masyarakat.
“kalau yang dulu kan setiap ada program dari Chevron
anggapan masyarakat itu dananya hibah aja. Nah kita coba ubah
polanya. Kita libatkan unsur msyarakat. Kalau dulu yang tahu
adanya dana bantuan cuma beberapa orang aja tapi setelah kita
masuk, kita usahakan minimal RT RW tahu kalau ini ada dana
bantuan dari Chevron. (LS 1).
Kemudian tidak banyak masyarakat yang mengetahui mengenai
adanya dana untuk program pemberdayaan masyarakat yang diberikan
oleh PT. CGI kepada masyarakat. Hanya segelintir orang saja yang
mengetahui adanya bantuan tersebut, bahkan pada beberapa desa
215
cenderung membatasi agar tidak banyak orang tahu tentang dana
bantuan tersebut.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya diupayakan tidak
hanya beberapa orang saja yang mengetahui adanya dana tersebut.
Setidaknya para pengurus RT dan RW sedesa juga mengetahui dana
tersebut, agar merangsang warga masyarakat mengusulkan kegiatan.
Masyarakat mulai mengetahui tersedia dana bantuan untuk program
untuk setiap desa di kecamatan Pasirwangi, dan kecamatan Samarang
yang diberikan oleh PT. CGI. Sehingga masyarakat dapat mengajukan
permohonan penyaluran dana tersebut dengan mengajukan permohonan
kepada kepala desa. Artinya kepala desa lah yang seringkali menjadi
penentu penyaluran dana tersebut kepada masyarakatnya. Persoalan
berikutnya yang muncul adalah sikap kepala desa dan aparat desa
lainnya (seperti LPM) yang kurang jujur dan akuntabel dalam
mengelola dana bantuan program tersebut. Dalam beberapa kasus, jika
kepala desa sifatnya keras kepala, maka dana untuk program tersebut
tidak akan turun. Bahkan dalam kasus tertentu timbul konflik internal
pemerintahan desa yang juga mempengaruhi kelancaran bantuan yang
akan diberikan.
“Kita kasih arahan minimal dikelompok binaan satu atau dua
ada yang jadi, ada yang jalan. Kalau di Sirnasari (Samarang)
yang tahun ke duanya itu tidak jalan, iya-iya aja tapi tak
diberikan. Seperti yang untuk usaha pangan olahan ibu-ibu PKK
kita sudah minta bantuan dana tidak dikasih padahal usaha itu
sudah memiliki pasaran yang bagus. Ibaratnya mereka produksi
sudah ada tempat untuk memasarkan dan prospeknya bagus,
tapi ya itu masalahnya tidak disupport oleh kepala desa, hem
bukan kepala desa aja sebenarnya ada seperti timlah di desa itu
termasuk LPM juga. (LS 1).
216
Kepala desa memegang peranan penting dan menentukan
besaran dana yang akan diberikan dari usuan yang diajukan oleh
masyarakat. Oleh karena itu bukanlah hal yang mengherankan jika
kepala desa tertentu, akan sulit ditemui baik oleh warganya, apalagi
oleh tamu-tamu luar desa. Warga masyarakat hanya dapat menemui
‘pak ulis’ (sekretaris desa) untuk urusan pelayanan masayarakat.
Kondisi tersebut banyak dikeluhkan oleh warga masyarakatnya.
Sehingga tidak jarang masyarakat berpendapat ‘miring’ kepada
pemerintahan lokalnya.
“Jadi sebenarnya kepala desa tadi itu kaya yang ngerti
pemerintahan tapi sebenarnya tidak. Sebenarnya yang jadi
otaknya itu LPM yang mengatur. Istilahnya LPMnya ini lincah
gitu, ngomong di depan iya tapi dibelakang beda. Sampai saat
ini juga sekdes dengan kepala desa tidak akur. Rapat ada,
kegiatan ada tapi tidak pernah dilibatkan. Jadi sekdes ada, tapi
seperti dianggap tidak ada oleh kepala desanya. Padahal
sekdesnya itu sudah PNS, nah makanya itu si kepala desa juga
ga bisa memecat sekdesnya. Karena itu kan langsung
penunjukannya ya jadi ada konfliklah dipemerintahannya.” (LS
1).
Sebagaimana hasil wawancara dengan informan lainnya, bahwa
ternyata hambatan yang muncul justru dari pemerintahan lokal yang
tidak siap dalam menjalankan program CSR yang disalurkan
pendanaannya melalui pemerintahan desa. Ketidaksiapan pemerintahan
desa dalam mengelola dana CSR PT.CGI merupakan tantangan
tersendiri yang harus dihadapi oleh PGPA PT. CGI serta mitra kerjanya
dalam memberdayakan masyarakat.
Demikian pula pemahaman yang berbeda mengenai CSR dari
pemerintah daerah juga merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh
PT. CGI dan mitra pengembangan masyarakatnya (PUPUK).
217
Sebagaimana dikemukakan oleh community engagement spesialist PT.
CGI, sebagai berikut:
“Yang paling krusial adalah pemahaman konsep CSR yang
belum sama dari berbagai pihak. ya mohon maaf ya, seringkali
kalau bertemu (berdiskusi) beberapa pihak terutama dengan
pihak pemerintah saya seringkali mengkritik mereka. (kebetulan
barusan saya mengikuti musrenbang). Itu konsep mengenai
pemberdayaan saja tidak sama. Bagi beberapa pihak, makna
CSR adalah “proyek” (project based), sehingga terkesan sangat
dangkal. Namun demikian, Saya tidak melihat ini sebagai
kendala, tetapi sebagai peluang dan tantangan. Ini menurut saya
yang paling krusial. Dan itu terjadi di semua lapisan, terdapat
pemahaman yang berbeda mengenai permberdayaan/ CSR.
Perkembangan atas pemahaman CSR (pemberdayaan) masih
memerlukan waktu.” (PP 2).
Memang akan merupakan kendala sekaligus tantangan untuk
mendapatkan pemahamaan yang sama antara PT. CGI, masyarakat, dan
pemerintah daerah (kabupaten, kecamatan, dan desa) dalam melihat
CSR. Dengan pemahaman yang berbeda antara masing-masing pihak,
dapat
diperkirakan bahwa sesungguhnya masing-masing pihak
memiliki harapan yang berbeda dengan adanya program CSR tersebut.
Khususnya masyarakat memiliki sejarah perkembangan dan latar
belakang kondisi sosial ekomoni dan budaya yang sangat berbeda
dengan perusahaan dan pemerintah. Demikian pula pemerintah daerah
Kabupaten Garut, dengan kondisi APBD yang tidak terlalu besar
(sekitar 1,4 triliun) , yang sebagian besar (70%) dialokasikan untuk
dana pengeluaran rutin dan belanja pegawai, maka tinggal tersisa 30%
yang digunakan untuk pembangunan. Jelas, dengan anggaran
pemerintah daerah yang minim tersebut, sulit mengharapkan peran
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
218
itu keterlibatan swasta, termasuk perusahaan multinasional, seringkali
menjadi tumpuan masyarakat dan pemerintah daerah itu sendiri.
Muncul kesan bahwa pemerintah daerah membiarkan terhadap
apa yang dilakukan oleh PT. CGI dan mitranya melalui program CSR.
Pihak pemerintah daerah cenderung membiarkan dan tidak turut
campur bahkan lepas tangan dengan apa yang dilakukan oleh Chevron.
Ketidakberdayaan
pemerintah
ini
terlalu
nampak
di
hadapan
masyarakat, manakala PT. CGI dan mitra LSMnya bekerja membantu
masyarakat
melalui kegiatan pengembangan masyarakat. Dalam
kesempatan tertentu, bahkan pemerintah daerah terkadang meminta
jatah dari kegiatan CSR dan pengembangan masyarakat yang dilakukan
oleh PT. CGI kepada masyarakat. Sesuatu yang sangat ironis, dimana
seharusnya pemerintah daerah yang paling bertanggung jawab terhadap
pembangunan masyarakat di daerahnya, tetapi sebaliknya bertindak
sebagai peminta sumbangan atau jatah dari kegiatan CSR PT. CGI.
“Sedangkan dengan pemerintah daerah, nampaknya pemda
Garut, relatif membiarkan. Masih banyak tantangan yang harus
dicermati ketika berhadapan dengan pemerintah kabupaten.
Atau tidak turut campur dengan apa yang dilakukan oleh
PUPUK bersama dengan Chevron. Belum ada regulasi yang
jelas dari pemda yang mengatur tentang kemitraan antara
perusahaan dengan masyarakat setempat. Pemerintah kabupaten
cenderung ‘lepas tangan’ dengan apa yang dilakukan oleh
Chevron dan PUPUK, bahkan cenderung pemerintah kabupaten
cenderung ‘minta bagian’ (jatah), dari apa yang kita lakukan
bersama masyarakat.” (LS 1 & LS 2).
Pemerintah daerah dapat saja berinisiatif mengembangkan
kerjasama
dengan
PT.
CGI.
Misalkan
pemerintah
dapat
mengembangkan peraturan atau kebijakan mengenai pengelolaan
bersama pengembangan masyarakat dengan PT. CGI. Bagi PT. CGI
219
ada atau tidaknya aturan mengenai CSR, maka pihak perusahaan akan
tetap melakukan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat.
Sementara itu pemerintah seharusnya dapat secara jeli dan cermat
mengidentifikasi dana alokasi pembagian pusat dan daerah, yang
bersumber dari pajak perusahaan PT. CGI. Penggunaan dana tersebut
dapat diprioritaskan untuk masyarakat sekitar wilayah PT. CGI, yang
paling terkena dampak dari operasional perusahaan.
“Sesungguhnya, sudah menjadi tanggung jawab kami bergerak
dan melakukan program
pengembangan
masyarakat
berdasarkan “chevron way”. Memang terkadang masih ada
beda persepsi, namun kami yakin bahwa suatu saat kami akan
memiliki pemahaman yang sama. Pemerintah sudah bisa
memahami program, focus dan kondisi Chevron, demikian juga
masyarakat melalui komunikasi yang intensif menggunakan
channel yang ada. Yang penting bagi kami adalah tidak semata
-mata output program, bukan sekedar berhasilnya program
tersebut, tetapi terdapat perubahan perilaku dari pemerintah dan
masyarakat dari setiap program yang dijalankan. Sebelumnya
pengembangan masyarakat hanya infrastruktur saja, sedikit
demi sedikit mulai ada perubahan. Yaitu program
pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan, berjangka
panjang, yang sustain. Harapan kami, ketika suatu saat Chevron
tidak ada lagi di sini, masyarkat sudah siap dengan kondisi ini.
Maaf ya.pak, kami ini perusahaan yang suatu saat tidak lagi
berada di sini karena sesuatu dan lain hal, sehingga yang
diperlukan adalah mempersiapkan masyarakat.” (PP 2).
Pihak perusahaan akan terus mengembangkan dialog dan
komunikasi dengan berbagai stakeholder khususnya pemerintah dan
masyarakat. PT. CGI menyadari bahwa kegiatan pengembangan
masyarakat sudah menjadi tanggung jawab mereka, sesuai dengan etika
bisnisnya yaitu ‘chevron way’. Perbedaan persepsi yang muncul
diantara masyarakat dan pemerintah, pihak perusahaan berkeyakinan
220
suatu saat akan terdapat pemahaman yang sama mengenai program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh PT. CGI. Dalam setiap
pertemuan dan dialog, diharapkan terjadi perubahan ke arah yang lebih
baik, terjadi peningkatan pemahaman yang terus meningkat, serta
perubahan perilaku yang lebih baik pula.
Pola dan mekanisme yang dikembangkan oleg PT. CGI bersama
dengan mitra adalah pola pendampingan dana CSR yang disetor kepada
desa-desa di kecamatan Pasirwangi dan kecamatan Samarang. Ada
kemungkinan bahwa dana yang disetor ke desa tersebut awalnya adalah
untuk meredam gejolak dan aksi tuntutan masyarakat kepada PT.CGI.
Kemudian PT. CGI, sejak tahun 2009 menggandeng LSM PUPUK
untuk melakukan pendampingan. Tujuan pendampingan adalah agar
dana yang diserahkan ke desa tidak hilang begitu saja, tanpa ada
dampak perubahan yang positif di masyarakat. Peran yang dilakukan
oleh PUPUK sebagai mitra PT.CGI adalah mengarahkan agar dana
tersebut dapat dimanfaatkan secara tepat sasaran. Dana tersebut dapat
dipergunakan untuk permodalan usaha-usaha kecil yang kekurangan
modal tetapi secara potensi sudah ada dan berkembang di masyarakat.
“kita (PUPUK) bertanggungjawab untuk melakukan
pendampingan, Chevron sebagai pemberi dana. Untuk lebih
jelasnya seperti ini, Chevron itu memiliki dana untuk desa, nah
gimana caranya dana tersebut jangan sampai masuk ke desa lalu
hilang tanpa adanya dampak sama sekali. Lalu peran PUPUK
adalah untuk mengarahkan agar dana tersebut menjadi tepat
guna melalui program-program pemberdayaan masyarakat. Jadi
begitu masuk ke desa kita buat kesepakatan dengan pemerintah
desa dan tokoh-tokoh masyarakat baru setelah itu dana
diturunkan. Dana untuk program sepenuhnya dikeluarkan oleh
Chevron 100% full langsung masuk ke desa. Kita (PUPUK)
tidak mencampuri karena kita kan sudah ada dana sendiri untuk
221
pelaksanaan pendampingan atau istilahnya
pendampingan yang kami lakukan. (LS 1).
untuk
jasa
Sedangkan sumber dana pendampingan untuk LSM PUPUK
tidak berasal dari dana sumbangan CSR yang ada di desa. Kemudian
dana pendampingan untuk PT. PUPUK bersumber secara khusus dari
PT. CGI tidak mencampuri dana yang ada di desa. Untuk program
pendampingan yang dilakukan di desa-desa se-kecamatan Samarang
dikenal dengan LED, singkatan dari local economic development.
Sedangkan untuk desa-desa di kecamatan Pasirwangi disebut dengan
I3E, yaitu initiative, economic, engagement and empowerment. Pola
LED dan I3E yang berbeda, juga pola pendanaan serta maping
permasalahannya juga berbeda. Namun untuk kegiatan dan cara-cara
pendampingannya tetap sama. Sebagaimana dikemukakan oleh
infoman sebagai berikut:
“...emm sebenarnya itu judulnya saja sih, kalau diproposal sih
pendampingan untuk program pemberdayaan masyarakat di
wilayah dampingan Chevron. LED itu muncul sekarangsekarang. Di Samarang disebut LED di Pasirwangi disebut I3E
(initiative, economic, engagement, empowerment) dengan
sumber dana yang berbeda, kalau LED itu didanai oleh Chevron
Darajat, kalau I3E didanai oleh Chevron pusat yang di Amerika.
Dan titik masuknyapun berbeda, kalau LED berdasarkan ajuan
dari pihak kepala desa, kalau I3E dari temuan-temuan PUPUK
atau istilahnya murni dari mapping yang dilakukan PUPUK
setelah itu dilaporkan ke Chevron pusat, lalu langsung
dieksekusi oleh PUPUK. Kalau LED kan diajukan oleh kepala
desa, di-approve Chevron lalu diperintahkan kepada PUPUK
untuk mengecek di lapangan bener apa enggak, selanjutnya dari
kami melaksanakan FGD setelah fix semua baru kita jalankan.
Sebenarnya kalau menurut prosedur bagusan yang pakai maping
yang dari desa dulu, tapi kalau melihat dari pola bagusan yang
langsung dari PUPUK karena kegiatannya jelas, tapi
222
kekurangannya ya banyak kepala desa atau tokoh-tokoh yang
tidak tahu kalau ada program.” (LS 1).
Melalui pola LED, maka usulan kegiatan berasal dari usulan
para kepala desa sekecamatan Samarang yang bersumber dari pelaku
usaha dan tokoh masyarakat masing-masing, kemudian sumber
pendanaannya berasal dari Chevron Darajat langsung. Sedangkan pola
I3E yang di kecamatan Pasirwangi, sumber pendanaan berasal dari
kantor pusat Chevron di Amerika Serikat, kemudian usulan kegiatan
berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh PUPUK di setiap desa di
kecamatan Pasirwangi. Kelebihannya dengan menggunakan jalur LED,
adalah bahwa secara prosedur lebih baik dan diketahui oleh masyarakat
pengusul dan kepala desa. Sedangkan kekurangannya adalah, seringkali
kegiatannya tidak jelas.
Kemudian dengan menggunakan I3E, secara prosedur tidak
melalui desa. LSM PUPUK langsung turun ke desa-desa melakukan
pemetaan kelompok-kelompok usaha potensial. Hasil dari pemetaan
tersebut kemudian dilakukan kajian tetang kelaikan usaha dari produksi
hingga
pemasarannya,
serta
manajemen
keuangannya.
Setelah
dipastikan laik, kemudian PUPUK mengajukan pendanaan kepada PT.
CGI. Keunggulan pemetaan oleh PUPUK adalah kegiatan usahanya
jelas dan terukur. Kelemahannya adalah, kegiatan usaha kecil kurang
tersosialisasi dengan baik di tingkat desa. Tidak banyak masyarakat
yang tahu tentang program I3E tersebut di desa-desa kecamatan
Pasirwangi. Tentu kondisi tersebut tidak menguntungkan dari sisi
pemahaman masyarakat lokal dan pemerintah lokal tentang program
CSR dari PT. CGI.
223
Kemudian dalam pengembangan ekonomi masyarakat lokal
sekitar wilayah operasi, PT. CGI melakukan kerjasama dengan LSM
PUPUK. Setiap kegiatan yang ada dalam alur perusahaan akan
bersinggungan dengan masyarakat yang ada di lokasi PT. CGI.
Kehadiran perusahaan di suatu wilayah dimana dampak ini dapat
positif atau negatif. Sehingga banyak persoalan yang muncul untuk
membangun daya saing. Pengembangan ekonomi yang berhasil adalah
proses perbaikan terus-menerus, sehingga lingkungan usaha meningkat,
memungkinkan bertambahnya kecanggihan cara bersaing.
Untuk itu perlu pergeseran atau penambahan peran dunia usaha
terhadap isu sosial (CSR) antara lain :
ï‚·
Mempertimbangkan kepentingan bersama (perusahaan dan
masyarakat)
ï‚·
Memberikan dampak sosial yang paling besar
ï‚·
Memadukan strategi perusahaan dan masyarakat
ï‚·
Serta fokus pada kegiatan atau program yang memberikan
dampak strategis
Program kerjasama yang dibangun antara PUPUK dan Chevron
Geothermal Indonesia, Ltd. (CGI) di Kabupaten Garut adalah
memfasilitasi program CSR CGI bagi masyarakat yang berada di
sekitar areal operasi CGI. Daerah-daerah sebagai wilayah dampingan
tersebut, selanjutnya merupakan titik masuk untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tempatan serta daya saing Kabupaten Garut.
Bagi pihak CGI sendiri, peningkatan kemakmuran masyarakat yang ada
di sekitar wilayah operasi CGI tentunya akan meredam ‘tekanan sosial’
masyarakat kepada perusahaan yang pada akhirnya akan meningkatkan
224
daya saing perusahaan karena dapat beroperasi dengan aman tanpa
hambatan-hambatan sosial dari masyarakat setempat.
Program bantuan CSR CGI yang bersifat charity dan tidak
sustainable, sedikit demi sedikit mulai dikurangi dan tidak menutup
kemungkinan akan ditinggalkan. Namun demikian dalam prakteknya
relatif sulit dan masih membutuhkan waktu, agar masyarakat yang
berada di wilayah dampingan siap untuk beralih pada program-program
pemberdayaan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Di lain pihak, agar seluruh masyarakat yang berada di wilayah
dampingan CGI tergerak untuk terlibat dalam program CSR di bidang
ekonomi membutuhkan keberadaan desa-desa pionir (pelopor) yang
dapat dijadikan contoh bagi desa-desa lainnya khususnya dalam
wilayah kerja (Ring Satu) CGI untuk melihat bukti-bukti keberhasilan
(success story).
Pada tahun 2008 hingga 2009, CSR CGI bekerjasama dengan
PUPUK (Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil) Bandung telah
memfasilitasi 2 desa (Sukalaksana dan Sukakarya) untuk bergerak
dalam program pengembangan ekonomi, dan berlanjut pada tahun 2009
hingga pertengahan 2010 terhadap 4 desa di Kecamatan Samarang
yaitu Sukalaksana, Sukarasa, Sirnasari dan Cisarua. Selanjutnya pada
pertengahan 2010 hingga akhir 2010 akan melanjutkan perkuatan dan
inisiasi program ekonomi pada 4 desa terdahulu dan beberapa desa baru
lainnya dalam konteks Program Pengembangan Ekonomi Lokal CSR
CGI.
Program pengembangan ekonomi lokal yang telah dilaksanakan
mulai pertengahan tahun 2008 hingga akhir tahun 2010 kembali akan
digulirkan oleh CSR CGI bekerjasama dengan PUPUK Bandung di
225
beberapa desa di Kecamatan Samarang. Kegiatan Pengembangan
Ekonomi Lokal (PEL) ini sebagian merupakan program penguatan
lanjutan dan memunculkan prakarsa inovatif lainnya serta inisiasi
pengembangan ekonomi lokal baru untuk beberapa desa. Namun
demikian, dalam konteks lebih besar khususnya dalam upaya
meningkatkan daya saing lokal tidak terlepas dari wilayah sekitarnya
(regionalisasi). Kegiatan inovatif yang akan dilakukan oleh PUPUK
akan memperkuat titik masuk (entry point) serta titik ungkit (leverage
effect) yang memberikan multiplier effect dalam bidang ekonomi secara
lebih luas lagi. Hal strategis lainnya khususnya bagi agenda
meningkatkan daya saing jangka panjang (sustainable development).
Selain itu, membangun agenda kolaboratif multi stakeholder tetap
dijalankan karena modal sosial yang sudah dibangun selama ini
menjadi investasi yang krusial dan menjadi dasar kolaborasi dan sinergi
semua pihak baik pelaku usaha, perusahaan, pemerintah, serta lainnya.
Program kolaboratif multi stakeholder ini nantinya akan
mengusung tema besar yang spesifik serta menjadi ‘daya ikat’ para
pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Tema yang menjadi
isu ekonomi strategis dan prakarsa kolaboratif sebagai titik masuk
program akan dituangkan dalam Pendekatan Klaster Industri. Sejauh ini
dari proses interaktif yang dilakukan oleh Tim PUPUK tema klaster
industri spesifik yaitu eco-tourism atau wisata lingkungan yang terdiri
dari belanja, alam, kerajinan, pertunjukan, pangan olahan, seni dan
budaya yang menonjolkan keunikan atau daya saing lokal dengan
pendekatan industri kreatif. Tema wisata akan menjadi perekat bagi
aktivitas-aktivitas ekonomi produktif di wilayah sasaran.
226
Program kolaboratif multi stakeholder ini dengan kata lain akan
mengintegrasikan potensi-potensi ekonomi dari desa-desa wilayah
dampingan CGI yang lain yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal yang berkelanjutan sekaligus upaya
awal untuk meningkatkan daya saing wilayah di Kabupaten Garut.
Sejumlah kegiatan CSR dan pengembangan masyarakat telah
dan sedang berikut capaiannya yang dilakukan oleh PT. Chevron
dengan mitranya LSM PUPUK, antara lain:
1.
Munculnya potensi produk unggulan yang inovatif di setiap desa
yang sekaligus menjadi produk unggulan dan menjadi kebanggaan
wilayahnya, yaitu:
a.
Desa Sukakarya: Tenun akar wangi,
Kerajinan dari
pemanfaatan limbah akar wangi dan Desa Wisata
b.
Desa Sukalaksana: Kerajinan akar wangi dan Desa Wisata
c.
Desa Cisarua: Pangan olahan (dodol waluh dan sale kesemek)
d.
Desa Sukarasa: Pangan olahan (rangginang), sabun aroma
therapy akar wangi dan besek unik
e.
Desa Sirnasari: Pangan olahan (kerupuk belut), padi jepang
dan paper bag
2.
Terbukanya akses pasar bagi seluruh produk unggulan seperti:
a.
Kerajinan (handycraft) akar wangi bekerjasama dengan
Lufapak dari Jerman dan Toko Astiga dari Garut.
b.
Produk pangan olahan bekerjasama dengan Toko Primarasa
dari Garut.
c.
Kerajinan besek unik bekerjasama dengan Chocodot dari
Garut.
227
d.
Paper
bag
bekerjasama
dengan
Chocodot,
Kampung
Sampireun serta beberapa perusahaan lainnya dari Garut.
e.
Sabun akar wangi sudah dinantikan produknya oleh pihak
hotel yang ada di Cipanas dan Kampung Sampireun, Garut.
3.
f.
Padi Jepang bekerjasama dengan Koperasi Satoro dari Bogor.
g.
Desa Wisata bekerjasama dengan Kampung Sampireun.
Tumbuhnya transaksi sebagai dampak dari terbukanya akses pasar.
Beberapa produk sudah menunjukkan transaksi yang sustainable
dan menunjukkan kecenderungan peningkatan seperti paper bag
dan besek cantik.
4.
Munculnya kelembagaan ekonomi lokal di setiap desa, dalam
bentuk Koperasi Warga Desa merupakan potensi penting untuk
menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat di desa.
5.
Munculnya wirausaha baru terutama dari generasi muda yang
menjadi salah satu harapan untuk mengungkit tumbuh dan
berkembangnya industri kreatif di wilayah dampingan. Bahkan,
dua wirausaha muda sebagai wakil dari Samarang menjadi
pemenang Program Technopreneurship dari Kementrian Pemuda
dan Olahraga, Jakarta.
6.
Munculnya prakarsa inovatif lokal untuk membangun kolaborasi
dalam konteks kelembagaan. Hadirnya kelembagaan
yang
dipelopori generasi muda lokal, yaitu SCC (Samarang Creative
Community) menjadi embrio untuk membangun kolaborasi semua
stakeholder untuk mengembangkan industri kreatif di Kecamatan
Samarang dan Kabupaten Garut.
7.
Tumbuhnya prakarsa inovatif lokal untuk menggali potensi
keunikan dan kearifan lokalnya sebagai daya tarik wisata. Gagasan
228
Desa Wisata merupakan inovasi penting dari Desa Sukalaksana
yang akhirnya menjadi tema sentral program.
8.
Terbukanya kolaborasi dari beragam stakeholder. Tercatat mulai
dari instansi pemerintah (Pemda, Dinas, Kementrian, dll), lembaga
bisnis (Chocodot, Kampung Sampireun, Primarasa, dll), lembaga
lokal-internasional (Kadin Kota Tasik, Lufapak, dll). Semuanya
merupakan potensi kolaborasi yang menjadi kekuatan untuk turut
mengembangkan kegiatan ekonomi di wilayah dampingan CGI.
9.
Munculnya tema Desa Wisata dan Industri Kraetif merupakan
proses belajar social yang melibatkan stakeholder yang ada di
desa-desa di wilayah dampingan. Pemilihan tema ini terbukti dapat
mengikat beragam produk unggulan yang ada di setiap desa dan
memungkinkan terjadinya business linkage yang melibatkan
semua desa binaan dari CSR Chevron GI, Ltd.
10. Munculnya dukungan dari kelembagaan pemerintah, baik dari
Kabupaten, Provinsi hingga pusat (Jakarta). Beberapa program
yang sedang dikembangkan di wilayah dampingan ternyata
menjadi perhatian penting pemerintah seperti; pangan olahan
kesemek
(Wk.
Bupati
Garut
sangat
concern
terhadap
pengembangan produk kesemek), desa wisata, paper bag hingga
pemanfaatan
akar
wangi
(minyak,
pemanfaatan limbah).
229
tenun,
handycraf
dan
Tabel 29.
Deskripsi bidang unggulan local economic development
(LED) dan initiatives economic engagement and
empowering (I3E)
Deskripsi
Mendorong Peningkatan Ekonomi Masyarakat
Melalui Pengembangan UMKM Tempatan –
Pelatihan Teknis, Pendampingan Intensif dan
Stimulan Usaha
Lokasi
Kec. Samarang (2008 – sekarang) dan Pasirwangi
(2010 – sekarang)
Keunggulan dan proses kegiatan
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Munculnya berbagai produk UMKM, total sekitar 50 produk. Upaya
yang dilakukan adalah pelatihan teknis (diversifikasi produk, kualitas,
desain, kemasan, manajemen usaha), Sertifikasi (IRT, Depkes), Akses
Pemasaran (pameran, temu bisnis), pemberian stimulus usaha serta
Pendampingan Intensif di Lapangan oleh tenaga ahli.
Peningkatan pendapatan sekitar 40-50% dari produk UMKM, yaitu
handyraft akar wangi dan program desa wisata (di desa Sukalaksana),
dodol waluh/nangka dan sale kesemek (di desa Cisarua), sabun aroma
therapy akar wangi, ranggicok, dan ‘besek’ unik (di desa Sukarasa)
dan paper bag/packaging house, padi jepang dan kerupuk belut (di
desa Sirnasari). Dengan demikian diharapkan membuka lapangan
kerja baru dan menciptakan wirausaha
Memperluas jaringan pemasaran, baik lokal dan Garut (beberapa
outlet oleh-oleh – Primarasa, Chocodot), serta luar daerah
(Jabodetabek, Batam)
Sumber: Diolah dari PGPA-CE (Sumber: Chevron, 2012).
Dengan demikian, maka untuk mengembangkan potensi yang
telah dibangun oleh program sejak tahun 2008 serta kemungkinan
bertambahnya desa binaan, maka program yang akan dilaksanakan
pada tahun 2010 ini akan focus pada beberapa aspek strategis, yaitu:
230
1.
Mempertahankan dan meningkatkan nilai transaksi untuk beberapa
produk yang telah terjalin business linkage dengan cukup baik.
2.
Memfasilitasi dan memperkuat business linkage untuk beberapa
produk yang masih berada pada tahap awal perintisan transaksi.
3.
Menumbuhkan dan memperkuat kolaborasi kelembagaan dengan
beragam stakeholder lokal dan regional.
4.
Menumbuhkan dan memperkuat prakarsa inovatif lokal, baik di
tingkat
pelaku
usaha
(individu)
maupun
kelembagaan
(Koperasi/Kowades) sebagai potensi pelaku ekonomi di wilayah
dampingan.
5.
Tema Wisata dan Industri Kreatif menjadi tema sentral kegiatan
sebagai titik masuk program di setiap desa binaan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh PT. Chevron Geotermal Indonesia
bersama beberapa mitra LSM lokalnya,
Frynas (2009: 109) juga
menunjukkan bahwa terdapat beberapa perusahaan yang memang
secara khusus mendukung kegiatan-kegiatan kesehatan, pendidikan dan
peningkatan usaha kecil dan menengah (small and medium enterprises)
bagi wirausaha lokal. Diantara perusahaan tersebut berdasarkan data
tahun 2006 (Frynas, 2009: 107) adalah Petrobras (Brasil), Total
(Perancis), Exxon (USA), Shell (UK), BP (UK), ENI (Itali) dan
Chevron (USA).
3. Respon Perusahaan Menghadapi Masyarakat
Hasil wawancara menunjukkan bahwa harapan masyarakat
terhadap PT. CGI adalah sangat tinggi. Sehingga kalau perlu segala
urusan dan kekurangan yang ada di masyarakat dapat dilakukan semua
231
oleh PT. CGI. Prayogo (2009:18) menyatakan bahwa tekanan
masyarakat lokal adalah, perusahaan dibebani “kewajiban” untuk
mengebangkan kesejahteraan masyarakat lokal dalam berbagai wujud
dan cara, antara lain memberi prioritas kesempatan kerja bagi warga
lokal dan melakukan program tanggung jawab sosial (CSR) serta
pengembangan masyarakat (CD). Jika harapan masyarakat yang begitu
dapat tinggi maka daat dilihat sebagai potensi kekuatan, tetapi jika
tidak dapat dikelola dengan baik dapat menghambat proses kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan. Sehingga, sesungguhnya program
tanggung jawab sosial perusahaan PT. CGI lebih banyak berurusan
dengan bagaimana mengelola relasi dengan berbagai tokoh-tokoh
masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
“Ekspektasi public termasuk masyarakat terhadap Chevron
sangat tinggi dan ini terkadang kami kesulitan untuk
mengelolanya. Ibaratnya, kami dianggap sebagai dianggap
dewa yang mampu menyelesaikan segala hal, padahal kami ini
hanya sebagian dari elemen yang seharusnya melakukannya
secara sinergi dan bersama-sama. Kami sendiri di dalam pada
akhirnya adalah bagaimana mengelola ekspektasi tersebut
dengan baik, sehingga kami dapat mengkomunikasikan dengan
baik kepada mereka (masyarakat dan pemerintah) tentang siapa
kami dan apa yang dapat dilakukan oleh kami. Lumayan
tantangannya, hampir stress” (PP 2).
Tingginya tingkat ketergantungan masyarakat lokal kepada PT.
CGI dapat dimaknai pula sebagai terlalu ‘jauh’ nya jurang perbedaan
yang terjadi antara kondisi perusahaan dengan masyarakat lokal.
Perbedaan yang terlalu dalam tersebut dapat berupa perbedaan kondisi
ekonomi, kondisi sosial dan kondisi budaya. Secara ekonomi, jelas
perusahaan yang padat modal tersebut mempekerjakan sumber daya
manusia yang terdidik dan terlatih, sehingga memiliki pendapatan yang
232
jauh di atas rata-rata jika dibandingkan dengan masyarakat lokal yang
miskin. Secara sosial, PT. CGI terdiri dari sekelompok orang yang ratarata memiliki tingkat pendidikan tinggi dan minimal SLTA atau SMK;
jika dibandingkan dengan rata-rata pendidikan masyarakat lokal yang
masih rendah. Pola kebiasaan masyarakat lokal yang umumnya petani
dan berdagang, akan berbeda dengan karakteristik masyarakat industri
yang lebih rigid dan sangat menghargai waktu.
Disparitas secara ekonomi, sosial dan budaya yang terlalu tinggi
antara masyarakat lokal dan PT. CGI dapat menjadi faktor tingginya
tingkat ketergantungan masyarakat lokal. Kondisi tersebut makin
diperkuat dengan lemahnya inisiatif pemerintah daerah dalam
mengembangkan program-program pembangunan yang pro rakyat
kecil. Perbedaan yang terlalu tinggi itu pun dapat menimbulkan salah
pengertian dan salah paham diantara perusahaan dengan masyarakat
sekitar, bahkan lebih jauh lagi dapat menimbulkan konflik. Oleh karena
itu dapat dipahami apabila masyarakat lokal memandang program CSR
dari PT. CGI tersebut sebagai hibah, karena memang pengetahuan dan
pemahaman masyarakat lokal terhadap program CSR dan programproramnya masih terbatas.
Secara ekonomi tentunya CSR dan pengembangan masyarakat
diharapkan dapat memberi alternatif peluang ekonomi dan peningkatan
pendapatan warga masyarakat lokal. Program CSR dan pengembangan
masyarakat bukanlah sebagai konpensasi “pemilikan lokal” atas sumber
tambang, melainkan dapat dilihat sebagai bentuk lain dalam upaya
perusahaan membangun sebuah “kontrak sosial” alternatif dalam
mengembangkan legitimasi sosial perusahaan tambang dan migas di
hadapan masyarakat lokal (Prayogo, 2011: 19). Selanjutnya fakta
233
menunjukkan bahwa dalah kurun waktu 10 tahun terakhir setelah
perusahaan-perusahaan menggelar program CSR dan community
development, terjadi penurunan yang cukup tajam berkaitan dengan
jumlah dan intensitas konflik dengan perusahaan (Prayogo, 2011: 14).
4. Tantangan dan Hambatan yang dihadapi dalam Pelaksanaan
CSR
Hambatan yang sering ditemui oleh pihak PT. CGI dalam
membangun relasi dengan masyarakat lokal dan pemerintahan setempat
melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan adalah pemahaman
yang berbeda dari berbagai pihak mengenai konsep CSR. Di kalangan
pemerintah daerah, mereka memandang CSR yang dikeluarkan PT.
CGI merupakan proyek bagi-bagi. Pemahaman pemerintah daerah yang
mengemuka atau muncul dalam kegiatan Musrenbang (musyawarah
perencanaan pembangunan) yang diselenggarakan oleh Bappeda
kabupaten Garut sangat terbatas. Pemberdayaan yang dilakukan oleh
PT. CGI dianggap sebagai pembagian jatah. Sehingga setiap ada
kegiatan musrenbang yang diikuti selalu oleh PT. CGI, pihak
perusahaan selalu khawatir dan sedih dengan kondisi pemahaman pihak
pemerintah daerah Garut. Pihak perusahaan selalu diposisikan sebagai
‘sapi perah’ saja. Dalam kesempatan tersebut pihak PT. CGI tidak
henti-hentinya menjelaskan siapa sebenarnya mereka, apa dan peran
apa yang dapat dilakukan oleh perusahaan melalui kegiatan tanggung
jawab sosial perusahaan dalam rangka pengembangan masyarakat.
Yang paling krusial adalah pemahaman konsep CSR yang
tidak sama dari berbagai pihak. ya mohon maaf ya, seringkali
kalau bertemu (berdiskusi) dengan pihak pemerintah, saya harus
234
mengkritik mereka. (kebetulan barusan saya mengikuti
musrenbang). Itu konsep mengenai pemberdayaan saja tidak
sama. Bagi mereka konsep CSR adalah proyek‘bagi-bagi’
(pembagian jatah), pemahamannya masih sagat terbatas. Saya
tidak melihat kendala, tetapi tantangan. Ini menurut saya yang
paling krusial mengenai pemahaman CSR atau pemberdayaan .
Dan itu terjadi di semua lapisan, terdapat pemahaman yang
berbeda mengenai permberdayaan/ CSR. Perkembangan atas
pemahaman CSR (pemberdayaan) masih memerlukan waktu.
(PP 2).
Pemahaman mengenai CSR dan pengembangan masyarakat
yang berbeda tersebut terjadi di semula lapisan masyarakat. Sehingga,
bagi PT. CGI hambatan dan kendala tersebut sekaligus menjadi
tantangan bagi mereka untuk tidak henti-hentinya menjelaskan apa
yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan dan
pengembangan masyarakat tersebut. Pihak PT. CGI tidak mau
mengambil posisi peran pemerintah daerah sebagai penangggung jawab
pembangunan daerah, yang mana pemda sesungguhnya berkewajiban
dalam mensejahterakan masyarakatnya. PT. CGI tidak menginginkan
‘adanya negara dalam negara’. PT. CGI memandang pemerintah daerah
adalah
partner
(mitra)
dalam
kegiatan
pembangunan
dan
pengembangan masyarakat. Sebagai mitra, maka pemerintah daerah
diharapkan
dapat
bekerja
sama
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, khususnya warga masyarakat yang berada di
ring 1 wilayah kerja PT. CGI, yaitu Kecamatan Pasirwangi.
PT. CGI memahami bahwa kehadiran mereka di Kecamatan
Pasirwangi, jika dibandingkan dengan kondisi pemerintah daerah jelas
terdapat perbedaan secara budaya, yaitu budaya perusahaan yang
mencari keuntungan ekonomis, dan pemerintah sebagai pelayan
235
kegiatan masyarakat. Bahkan dalam pandangan peneliti, perbedaan
ekonomi, pendidikan dan karakter juga menjadi jurang perbedaan yang
cukup dalam antara perusaan dengan pemerintah daerah. PT. CGI
selalu berupaya jujur dan bersih dalam melakukan kegiatan tanggung
jawab
sosial
dan
pengembangan
masyarakat.
Namun
ketika
bersentuhan dengan pemerintah daerah, sekedar untuk mengurus
perijinan kegiatan saja misalnya, seringkali dijumpai praktik-praktik
yang cenderung menghambat kegiatan tersebut. Oknum aparat
pemerintah seringkali meminta jatah atas kegiatan yang akan dilakukan
oleh PT. CGI. Praktik-praktik semacam itu seringkali dijumpai
manakala akan melakukan kegiatan yang bersentuhan dengan
pemerintah daerah. Apabila dikonfrontir dengan pihak pemerintah
setempat, jawaban mereka umumnya adalah sudah sewajarnya pihak
perusahaan memberikan sebagian keuntungannya, karena tidak akan
bangkrut. Bagi PT. CGI sebenarnya bukan persoalan besarnya dana,
tetapi praktik semacam itu tidak sesuai dengan nilai-nilai perusahaan.
“Hambatan pemerintah atau tantangan kami. Kami, Chevron
ada di sini. Dengan pemerintah itu beda budaya. Kalau kami
kan ‘clear’, kita tidak berani sugak-sogok. Kadang kami stress
menghadapi pemerintah. Ini memang ngakal, tapi masih sesuai.
Kita bikin perijinan, kalau tidak dikasih ya..gak diproses.
Akhirnya gimana caranya. Misalnya seharusnya 2000 mereka
minta 5000, ya gak bisa. Makanya kita bisa melakukan
pembayaran kalau ada justifikasi yang jelas, misalnya ada rapat.
Ya sudah kalau begitu dibuat saja rapat, rapat aja, baru kita
dapat danai. Tetapi nilai-nilai kami tetap kami sampaikan,
misalkan “pak kalau seharusnya. Contoh kami katakan “pak
kalau bapak seharusnya 1000 kemudian minta 2000, itu tidak
bisa. Tapi kalau ada pekerjaannya, misalnya rapat, berapa jam,
walaupun tak bertema. Tapi ada yaitu rapat. Dengan meeting itu
kita jadi tahu ....Jadi itu lah cara ngigeulanana disamping kita
tetap menjaga nilai-nilai kita. Nanti mereka sadar, bagi mereka
236
mungkin sesuatu yang luar biasa, tetapi bagi kami itu hal biasa,
bahwa kalau berhubungan dengan Chevron harus begitu. “(PP
1).
Bahkan beberapa kasus, konflik kepentingan terjadi di dalam
aparat pemerintahan itu sendiri. Seperti penyaluran dana CSR yang
besarnya telah disepakati melalui FGD dengan anggota masyarakat di
suatu desa. Kemudian PT. CGI menyalurkan dana CSR sesuai dengan
kebutuhan kegiatan dan besarnya dana yang telah disepakati melalui
rembug desa tersebut. Saat dana CSR tersebut telah disalurkan melalui
kepala desa, tahap berikutnya adalah kelompok-kelompok usaha kecil
dan menengah (KUKM) mengajukan proposal kegiatan kepada kepala
desa untuk pencairan dananya. Seringkali terjadi proses tersebut
menjadi hambatan, karena kepala desa menjadi sulit ditemui oleh
warganya, atau kalau sudah ditemui pencairan dana menjadi sulit dan
berbelit. Kondisi tersebut banyak dikeluhkan hampir setiap warga di
desa-desa yang memperoleh bantuan dana CSR yang penyalurannya
melalui kepala desa.
“ .. tidak ada konflik, jadi konflik itu hanya ada di
pemerintahannya aja. Bahkan ada bayangan kalau tahun ini
sirnasari tidak akan mengajukan CSR. Saya juga bingung
kenapa bisa begitu, padahal masyarakat juga tahu Chevron itu
memiliki dana untuk membantu masyarakat. Ya kalau dari kami
(PUPUK) dan Chevron membiarkan saja, mungkin mau caricari masalah biar dana langsung turun dari Chevron, istilahnya
jalan pintaslah gitu padahal Chevron sekarang udah beda lebih
tegas. Sekarang sudah tau peta wilayah khususnya yang rawan
konflik, jd kalau hanya Sirnasari aja ga sama desa-desa yang
lain Chevron ya membiarkan saja.” (LS 1).
Tantangan lainnya yang harus dihadapi oleh PT. CGI adalah
bagaimana memberikan pola pikir yang baik kepada masyarakat, serta
237
mira kerja lainnya. Pola pikir (mindset) tersebut terdiri dari keamanan,
kejujuran, menghormati hak-hak asasi manusia, dapat dilakukan saat
para kontraktor-kontraktor lokal bekerja sama dengan PT. CGI. Jadi
perubahan perilaku masyarakat ke arah yang lebih mandiri dan maju
tersebut tidak hanya melalui program-program kegiatan CSR dan
pengembangan masyarakat. Tetapi juga melalui interaksi-interaksi yang
terjadi antara antara pihak PT. CGI dengan berbagai pihak yang
berkepentingan. Teladan dan contoh-contoh yang dilakukan oleh
seluruh karyawan, dan cara penerimaan pihak PT. CGI dan cara-cara
kerja sama yang dilakukan; diharapkan dapat memberikan pengertian
dan pemahaman semua pihak yang bekerja sama dengan pihak
perusahaan. Dampak lanjutannya adalah perubahan perilaku ke arah
yang lebih baik dari masyarakat dan pemerintah.
“Tantangannya adalah bagaimana memberikan pola pikir (yang
baik) kepada masyarakat. Juga kita menjalankan misi-misi kita
bahwa CSR kita itu luas, tidak hanya sifatnya karitas saja.
Misalnya begini, di Chevron ini kan terkenal dengan savetynya, banyak kontraktor lokal atau pengusaha lokal di sini
bekerja sebagai driver (yang harus aman), pasti paham. Itu juga
sama dengan menjelaskan tentang nilai-nilai yang kita anut. Itu
juga bagian dari CSR kita. Salah satunya karena perusahaan
tersebut mengedepankan faktor keamanan, sehingga menang.
Ini juga mendeliver nilai-nilai kita, dan secara tidak langsung
akan menular kepada lainnya.” (PP 1)
Demikian
pula
bagi
kontraktor-kontraktor
lokal
yang
memperoleh pekerjaan skala kecil dan sedang dari PT. CGI. Bagi
perusahaan kontraktor yang mengikuti tender yang diselenggarakan
oleh PT. CGI, mereka harus mengikuti peraturan dan persyaratan yang
harus dipenuhi oleh peserta tender tersebut. Salah satu hal yang
membuat para kontraktor lokal tersebut memenangkan tender adalah,
238
adanya jaminan akan keselamatan terhadap tenaga kerja yang sesuai
dengan standar yang dimiliki oleh PT. CGI. Berdasarkan hal tersebut,
maka perusahan-perusahaan lokal lainnya pun berupaya memastikan
adanya
jaminan keselamatan dan keamanan tenaga
kerjanya.
Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi transfer
pengetahuan dan pemahaman diantara para perusahaan lokal, yang
berasal dari PT. CGI.
Tantangan berikutnya adalah komitmen masyarakat atau
kelompok usaha kecil menengah yang masih belum terbangun dengan
baik. Masyarakat masih memandang bahwa bantuan yang diperoleh
dari PT. CGI tersebut merupakan hibah. Jadi masyarakat atau
kelompok usaha penerima bantuan merasa tidak berkewajiban untuk
mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut.
“Hambatan atau tantangan yang kami (pupuk) hadapi adalah
komitmen masyarakat yang masih rendah. Mereka masih
bertindak semaunya. Mereka masih berfikir apapun kegiatan
yang diberikan oleh Chevron adalah bantuan yang tidak perlu
dipertanggung jawabkan. Kalau ingin maju, mari kita maju
bersama dengan mengikuti pola yang ada.” (LS 1 & LS 2).
Pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaan dana CSR
tersebut diperlukan untuk melihat ketepatan pengalokasian, dan
perencanaan keuangan. Agar dikemudian hari pihak PT. CGI dapat
mengevaluasi dan menindaklanjuti dengan program pendampingan
yang lebih tepat. Kondisi kelompok usaha yang memperoleh bantuan,
kemudian hingga kelompok usaha tersebut saat ini masih berjalan,
masih lebih baik komitmennya. Jika dibandingkan dengan kelompok
usaha atau masyarakat lainnya yang memperoleh bantuan dana CSR,
tetapi tidak melanjutkan usaha atau kegiatannya tanpa informasi,
239
pelaporan dan pertanggungjawaban yang jelas. Sifat ketergantungan
masyarakat lokal sekitar wilayah kerja PT. CGI, sebenarnya
ketergantungannya tidak hanya kepada perusahaan tersebut. Namun
dalam kasus ini, dimana keberadaan PT. CGI dengan kombinasi
signifikasi, dominasi, dan legitimasi yang kuat diantara masyarakat dan
pemerintah, disadari atau tidak cenderung membuat stakeholder
lainnya berharap banyak atau terlalu tinggi kepada perusahaan tersebut.
Penyebabnya (komitmen masyarakat rendah) mungkin
pemahaman mereka yang masih rendah. Namun itu adalah
proses. Bagaimana dengan faktor budaya. Mungkin kalau
persoalan bantuan ini adalah imbas program-program
pemerintah sebelumnya yang cenderung bersifat bantuan
semata (karitas). Seperti KUT (kredit usaha tani), raksa desa.
Jadi segala (bantuan) apapun yang berasal dari pemerintah
adalah sifatnya “hibah”. Sementara yang kita lakukan tidak
demikian. Masyarakat sudah terbiasa untuk diberi (tidak
diberdayakan), tanpa dibimbing dengan baik, serta tanpa sangsi
yang tegas bagi mereka yang tidak mengembalikan dana
bantuan. Sedangkan PNPM relatif lebih baik. Namun demikian
program PNPM juga terkena imbas dari program-program
sebelumnya yang dipandang oleh masyarakat sebagai hibah.
Sehingga agak sulit kemajuan programnya. (LS 1 & LS 2).
Kegagalan program-program pemerintah sebelumnya seperti
Kredit Usaha Tani (KUT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), raksa desa
yang berasal dari pemerintah juga turut menyumbang munculnya
persepsi dan budaya ketergantungan masyarakat. Seperti diketahui
banyak program pemerintah yang lebih bersifat hibah tanpa
pertanggungjawaban yang jelas. Kondisi tersebut ditengarai sebagai
salah satu penyebab munculnya sifat ketergantungan masyarakat
terhadap segala hal ‘bantuan’ yang berasal dari ‘atas’ (top down).
240
“Penyebab komitmen yang rendah. Kalau saya lihat lebih
banyak persoalannya teknis saja. Karena persoalan partnership
gak bisa dirole dalam satu dua hari saja. Perlu kesabaran, ibarat
orang pacaran, harus saling memahami. Persoalan-persoalan
teknis nya” (PP 2).
Berdasarkan pernyataan komitmen yang rendah dari informan
pihak PT. CGI, maka dapat dipahami apabila persoalan bermitra
dengan kelompok-kelompok usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM) di dalam masyarakat merupakan proses perubahan perilaku
masyarakat yang relatif memerlukan waktu yang relatif cukup lama.
Apalagi kondisi ketergantungan masyarakat tersebut terjadi hampir di
semua warga masyarakat khususnya di desa-desa se-kecamatan
Pasirwangi, kecamatan Samarang, dan kecamatan Sukaresmi. Hal yang
perlu dijaga adalah komitmen PT. CGI dalam membantu masyarakat
yang harus tetap tinggi. Perlu kesabaran dalam berhubungan dengan
masyarakat yang memiliki sifat ketergantungan yang tinggi kepada
PT.CGI, ditambah dengan kondisi pemerintah daerah yang memiliki
sifat yang tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat lokal.
PT. CGI nampaknya (dari hasil wawancara) akan terus
berkomitmen untuk membantu dan bermitra dengan masyarakat dan
pemerintah daerah. Khususnya juga penjelasan mengenai pemahaman
yang clear mengenai PT. CGI sebagai entitas bisnis yang suatu saat
akan hengkang dari Pasirwangi karena sesuatu hal. Oleh karena itu, PT.
CGI akan terus berupaya membangun kemandirian masyarakat melalui
berbagai program dengan melibatkan berbagai stakeholders yang
memiliki
kesamaan
tujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. Agar ketika PT. CGI sewaktu-waktu meninggalkan lokasi
241
operasi, maka masyarakatnya sudah siap dan relatif mandiri. Walaupun,
menurut informan PT. CGI, mereka bergerak melakukan kegiatan CSR
dan pengembangan masyarakat tanpa regulasi yang jelas.
“Dari sisi regulasi, kami ini bergerak nyaris tanpa regulasi yang
jelas. Karena tidak ada peraturan pemerintahnya. Ada juga
undang-undang tentang energi yang salah satu pasalnya
mengatur bahwa setiap perusahaan panas bumi harus
melakukan kegiatan pengembangan kepada masyarakat, that’s
all... Mengenai bagaimana penerapannya gak dibilangin, model
nya seperti apa? Itu gak jelas. Oleh karena itu kami
menggunakan SOP internal. Yang diterapkan di semua industri
(Chevron), baik oil, geothermal atau lainnya.” (PP 2).
Berdasarkan data lapangan, Pemerintah Daerah Garut dalam
perkembangan terakhir mulai bergerak, namun tidak jelas bergerak
dalam hal apa, apa yang akan dilakukan, dan apa yang sudah dilakukan.
Dalam persoalan CSR PT. CGI, pemerintah daerah nampaknya tidak
akan turut campur. Atau mungkin saja pemerintah tidak peduli dengan
kegiatan-kegiatan pembangunan masyarakat di wilayah kerja PT. CGI.
Dengan alasan, yang penting kegiatan pengembangan masyarakat yang
dilakukan oleh PT. CGI sejalan dengan apa yang dilakukan oleh
pemerintah daerah.
Menurut pihak PT. CGI sejumlah tantangan dan hambatan
tersebut dapat merupakan peluang dan juga pembelajaran mengenai
pelaksanaan kegiatan tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat.
Berikut mengenai hal tersebut:
1. Participatory based
program
akan mendorong “project
ownerships”
2. “Local Wisdom”, berbasis potensi dan kebutuhan masyarakat
setempat
242
3. Kemitraan – berbagi peran dan tanggung jawab demi
keberlanjutan
4. Tingginya harapan stakeholders
5. Ketidaksamaan pandangan tentang CSR
6. Perubahan sosial dan politik yang cepat
7. Kurangnya pemahaman industri geothermal oleh publik
8. Perlu regulasi yang tepat, jelas dan berkesinambungan
9. Media lebih aktif dari sebelumnya
10. Isu pertanahan dan tumpang tindih lahan yang berpotensi
terjadinya konflik
Sebagaimana dikemukakan oleh Frynas (2009:162-163) telah
mengindikasikan
bahwa
tata
kelola
pemerintahan,
khususnya
pemerintah daerah merupakan tantangan tersendiri dari industri
ekstraktif. Seringkali program CSR dikaitkan dengan isyu program
pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Isyu
keterbukaan
(transparansi)
yang
didukung
oleh
perusahaan
multinasional, seringkali berbenturan dengan praktik korupsi dan kolusi
di pemerintahan.
5. Harapan Perusahaan
Masyarakat memiliki potensi tersendiri yang khas dan mungkin
belum tergali dengan baik. Bagi PT. CGI keterwakilan masyarakat
bukan ditentukan oleh keterwakilan jumlah semata, melainkan
keterwakilan ide. Artinya pihak perusahaan nampaknya akan senang
terhadap ide-ide dari masyarakat, dari pemerintah, atau dari manapun
dalam rangka membangun relasi yang harmonis antara masyarakat
243
dengan perusahaan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, pihak PT.
CGI lebih mudah membangun hubungan melalui jalur-jalur informal
dari pada jalur formal. Jalur komunikasi secara informal relatif tidak
banyak hambatan yang akan menggangu kejelasan dan keterbukaan
informasi baik dari masyarakat maupun dari perusahaan kepada
masyarakat. Serta komunikasi dan dialog dilakukan dalam suasana
waktu yang senggang bagi kedua pihak.
“Yang paling penting itu local wisdom. Masing-masing daerah
punya karakteristik dan keunikan sendiri. Mungkin konsep yang
bagus di suatu daerah, belum tentu dapat diterapkan di daerah
ini. Boleh disebut sebagai potensi, karakteristik atau lainnya
yang bercirikan lokal. Forum-forum diskusi tingkat lokal
merupakan salah satu chanel yang bisa kita manfaatkan untuk
menggali hal ini. Buat kami bukan keterwakilan jumlahnya,
tetapi yang terpenting adalah keterwakilan ide. Berdasarkan
pengalaman kami, jalur informal jauh lebih efektif, karena tidak
banyak halangan, hambatan, atau formalitas lainnya.” (PP 2).
Oleh karena masyarakat lokal memiliki karakteristik sendiri
yang khas, sehingga memerlukan pendekatan yang khas dengan
memperhatikan kearifan lokal. PT. CGI menyadari bahwa konsep yang
bagus dan berhasil di daerah lain, belum tentu akan berhasil diterapkan
di masyarakat sekitar lokasi kerja mereka. Sehingga forum-forum
diskusi tingkat lokal masyarakat dapat merupakan jalur efektif yang
dapat dipergunakan untuk memahami kondisi masyarakat yang khas
tersebut. Selain itu juga melalui saluran-saluran PT. CGI dalam batasbatas tertentu dapat memberikan informasi yang sebenarnya mengenai
apa yang sedang dilakukan oleh perusahaan, baik operasional bisnis
maupun kegiatan tanggung jawab perusahaan lainnya.
244
“diharapkan akan tercipta relasi yang baik antara perusahaan
dengan masyarakat lokal. Satu sama lain bisa saling memahami
dan respek. Kalau ditanya indikatornya, agak sulit untuk
dijawab, karena ini bersifat kualitatif. Yang selama ini kami
gunakan sebagai indikator adalah tidak adanya insident social –
konflik dengan masyarakat yang diakibatkan kurangnya
engagement dengan masyarakat. “ (PP 2, Maret 2013)
“Harapan masyarakat lokal adalah kesejahteraan yang
meningkat, idealnya ada perubahan. Kami bergerak membantu
masyarakat, minimal menjadi contoh bagi masyarakat lainnya.”
(LS 1 & LS 2).
Pihak perusahaan berharap setelah semua upaya engagement
dan pemahaman akan masyarakat lokal berikut program-programnya
maka terjadi relasi yang baik antara perusahaan dengan masyarakat
sekitar. Tidak ada konflik antara masyarakat dengan perusahaan.
Banyak keuntungan yang dapat diperoleh apabila relasi yang terbangun
antara perusahaan dengan masyarakat lokal terjadi secara harmonis,
diantaranya masyarakat dan perusahaan dapat membangun kerjasama
yang positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PT. CGI
akan lebih tenang dalam menjalankan operasi usahanya sebagai entitas
bisnis, dengan tetap peduli terhadap masyarakat lokal. Prayogo
(2008:156-157) mengembangkan tingkatan operasionalisasi CSR
dengan konsep keadilan dan pemerataan yang terdiri, yaitu 1)
philanthropy, operasionalisasinya charity korporasi sebagi donor,
komunitas sebagai residual, prinsip sukarela, secara politik ditujukan
agar tidak mengganggu proses produksi, pendekatan conservatism, jauh
dari prinsip justice and equality. 2) Share of profit, Korporasi dominan,
jumlah keuntungan dan prosentasi pembagian ditentukan sepihak oleh
korporasi, komunitas sudah masuk sebagai primary stakeholders,
245
kewajiban korporasi hanya pada pembagian keuntungan, equality mulai
berjalan namun hak komunitas secara prinsip belum tersentuh. 3) Share
of Cost of Production, Komunitas merupakan bagian integratif dalam
sistem produksi, biaya CSR, dan CD dimasukan dalam biaya produksi,
equality bagian dari cost of production, prinsip equality mulai tercapai
namun justice belum, posisi korporasi masih lebih di atas komunitas. 4)
Share of ownership, Justice and equality sudah ditegakkan, ’hak’
komunitas lokal ditegaskan dalam prosentase pemilikan dan pembagian
keuntungan, namun resiko kerugian turut pula ditanggung komunitas,
posisi komunitas dan korporasi sejajar dalam praktek tambang.
Prayogo
(2011:
157)
menunjukkan
bahwa
program
pengembangan masyarakat (community development) sebagai salah
satu operasionalisasi kegiatan CSR banyak dikerjakan perusahaan
sebagai respons dari tekanan masyarakat lokal sekaligus sebagai upaya
membangun relasi yang baik. Pada awal periode Orde Baru, hanya
sedikit perusahaan tambang dan migas melaksanakan program CDCSR secara besar-besaran karena masalah masyarakat lokal pasti dapat
“diselesaikan” oleh pemda dan aparat keamanan. Dengan berubahnya
atmosfer politik dan dominasi pemerintah maka perusahaan mengalami
banyak tuntutan dari masyarakat lokal. Sehingga program-program
CSR dilaksanakan sebagai cara untuk “meredam” tekanan tersebut
sekaligus
sebagai
upaya
memberdayakan
masyarakat.
Dalam
pandangan struktur-agen dapat dipahami bahwa terdapat pergeseran
dominasi otoritatif secara situasional, yang sebelumnya pemerintah
begitu berkuasa beralih ke masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas
dengan situasi politik nasional pasca reformasi 1998, dimana euforia
reformasi masih terasa pada masa-masa tersebut.
246
Terkait dengan kegiatan community development Ife (1995),
menekankan pentingnya menerapkan 22 prinsip dalam program
pengembangan masyarakat. Prinsip ini adalah sifat terpadu (antar
sektor), menghilangkan hambatan struktural (vertikal dan horizontal),
menekankan hak-hak azasi (persamaan dan keadilan), berkelanjutan
(sumber daya an potensi lokal), pemberdayaan (partisipasi dan
peningkatan kemampuan), keseimbangan (kepentingan) antara individu
dan
publik,
kepemilikan
(kemampuan internal),
aset
otonom
komunitas
(komunal),
(terhadap intervensi
mandiri
eksternal),
bertujuan nyata (dengan visi jangka panjang), pengembangan organis
(keterkaitan dengan elemen pembangunan lain), percepatan perubahan
dapat diadaptasi, input eksternal jika diperlukan, pembentukan
komunitas (memperkuat integrasi), keseimbangan antara proses dan
hasil, integritas moral (kesungguhan program CD untuk masyarakat),
kerelaan dan antikekerasan (tidak ada paksaan), terbuka (untuk semua
warga masyarakat lokal), tidak elitis atau bias kelompok, konsensus
(kesepakatan bersama bukan elit), kerjasama dan menghindari
persaingan, partisipasi maksimal anggota masyarakat lokal, penetapan
kebutuhan bersama. Dalam tulisan berikutnya Ife dan Tesoriero (2008)
menambahkan prinsip pengembangan masyarakatnya menjadi 26
prinsip, dengan mamasukan lokalitas, seperti proses, sumber daya dan
partisipasi lokal. Prayogo (2011:95-96) menegaskan, bahwa secara
normatif keseluruhan prinsip tersebut sangat baik jika diterapkan,
setidaknya 75% dari keseluruhan prinsip ini saja maka dapat dikatakan
program sudah tergolong exellent. Namun demikian agen perusahaan
memiliki pemahaman yang berbeda akan kegiatan pengembangan
masyarakat dalam rangka CSR yang mereka lakukan. Motif
247
pengamanan operasional perusahaan menjadi hal utama dalam
melaksanakan kegiatan tersebut.
248
BAB VI
RELASI DINAMIS ANTARA MASYARAKAT LOKAL
DENGAN PERUSAHAAN: PERSPEKTIF STRUKTURASI
Dalam teori struktur-agen, maka PT. CGI dan masyarakat lokal
dapat dipandang sebagai agen; sedangkan tanggung jawab sosial
perusahaan dapat dipandang sebagai struktur sekaligus sebagai media
terlaksananya praktik-praktik sosial. Demikian pula, sebagai agen, PT.
CGI memiliki klasifikasi kesadaran baik kesadaran praktis maupun
kesadaran diskursif, atau motif tidak sadar, dalam melakukan praktikpraktik sosial yaitu membangun relasi dengan masyarakat lokal, dan
pemangku kepentingan lainnya.
Masyarakat lokal sebagai salah satu agen dalam struktur CSR,
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang berbeda mengenai
struktur-CSR, dengan agen-perusahaan. Bagi masyarakat kehadiran PT.
CGI dengan kualitas sumber daya dan keahlian yang dimilikinya untuk
mengeksploitasi sumber daya alam di lingkungan yang berdekatan
dengan masyarakat masyarakat lokal, memunculkan pemahaman bagi
masyarakat bahwa perusahaan sudah sewajarnya ‘memberikan bantuan’
kepada masyarakat. Sementara itu perusahaan memiliki pemahaman
yang berbeda dengan masyarakat lokal dan penerintah mengenai CSR.
Bagi perusahaan, mereka telah melaksanakan segala aturan hukum
yang berlaku, termasuk membayar pajak kepada negara, juga
melakukan bantuan-bantuan bagi masyarakat sekitar lokasi perusahaan.
Perbedaan-perbedaan pemahaman antara perusahaan, masyarakat dan
249
pemerintah yang seringkali menimbulkan gejolak diantara agen
tersebut. Sehingga menimbulkan relasi sosial antara agen (perusahaan)
dan masyarakat disharmonis.
Kesadaran tersebut tidak muncul dengan tiba-tiba, tetapi
kesadaran yang terbentuk dan melalui perjalanan waktu, serta diperkuat
melalui pengalaman-pengalaman berinteraksi (praktik sosial) dengan
masyarakat lokal (dan pemangku kepentingan lainnya) sepanjang
kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat tersebut. Perjalanan
waktu berpraktik sosial (berinteraksi) antara PT. CGI dengan
masyarakat
lokal
menunjukkan
terjadinya
pengulangan
(rutin)
peristiwa (praktik sosial) melalui media struktur tanggung jawab sosial
perusahaan, sehingga para agen (masyarakat lokal, PT. CGI dan agen
lain) turut mempengaruhi dan bahkan membentuk struktur tanggung
jawab sosial perusahaan itu sendiri di wilayah mereka.
Giddens (2010) menunjukkan bahwa atas dasar pengetahuan
dan kesadaran praktis maka praktik sosial dilakukan, dan akan
diproduki oleh agen berdasarkan aturan dan sumber daya yang terdapat
di dalam struktur. Alasan masyarakat melakukan tindakan demo dan
aksi merupakan wujud dari kesadaran diskursif, bahwa mereka
melakukan tindakan aksi agar tujuan mereka tercapai, yaitu perubahan
struktur CSR yang lebih berpihak pada masyarakat. Sementara agenperusahaan merasa bahwa mereka telah melakukan kegiatan CSR,
selain juga pajak yang mereka bayarkan kepada negara. Inilah salah
satu titik diharmoninya relasi masyarakat lokal dengan perusahaan,
karena perbedaan pemahaman masing-masing agen akan strukturCSR..
250
Demikian pula masyarakat lokal memiliki klasifikasi kesadaran
sendiri dalam memandang kehadiran PT. CGI di tengah-tengah mereka,
baik kesadaran praktis maupun ‘motif tidak sadar’. Dengan
kesadarannya sendiri, masyarakat lokal memandang keberadaan
struktur tanggung jawab sosial perusahaan yaitu sebagai, sumber daya
dan aturan; masyarakat lokal membangun dan mengembangkan
praktik-praktik sosial dengan agen-agen lainnya, khususnya perusahaan
sebagai agen penting dari struktur tersebut. Masyarakat melakukan
praktik-praktik sosial melalui kesadaran akan dimensi struktur yang
terdiri dari signifikansi, dominasi dan legitimasi. Kesadaran praktis
masyarakat lokal, memandang kehadiran PT. CGI, bahwa sudah
sewajarnya (bahkan kewajiban) bagi PT. CGI untuk membantu
masyarakat lokal, karena mereka sudah melakukan eksploitasi sumber
daya alam ‘milik’ mereka. Dalam ingatan dan pemahaman masyarakat
lokal (khususnya penduduk asli) memandang kehadiran PT. CGI
sebagai ‘tamu’ di masyarakat, sudah sewajarnya jika PT. CGI harus
bertindak baik kepada masyarakat lokal.
A. Relasi Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan
Hubungan perusahaan sebagai agen dengan tanggung jawab
sosial sebagai struktur dapat dilihat dengan mendalami kesadaran
perusahaan, baik kesadaran praktis maupun kesadaran diskursif atas
stuktur (tanggung jawab sosial perusahaan). Di dalam kesadaran
sesungguhnya akan melihat pemahaman dan motif-motif pihak
perusahaan dalam melakukan praktik sosial melalui struktur tanggung
251
jawab sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh Giddens (2009, 2010)
mengenai kesadaran yang terbagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu
kesadaran diskursif, kesadaran praktis, dan motif tidak sadar.
Kesadaran diskursif berhubungan dengan kemampuan agen
mengucapkan atau mengekpresikan secara verbal tentang kondisi
sosial, termasuk tindakannya sendiri. Sedangkan kesadaran praktis,
agen mengetahui kondisi sosial namun tidak bisa mengemukakannya
secara verbal. Kemudian yang terakhir motif tidak sadar, yaitu sebagai
kecenderungan potensial bagi tindakan agen. Tidak mudah untuk
menunjukkan adanya kesadaran praktis perusahaan untuk melakukan
kegiatan tanggung jawab sosial. Sebuah kesadaran yang tidak harus
diperdebatkan lagi, dimana perusahaan melakukan kegiatan tanggung
jawab sosial tanpa harus diperintah atau karena dasar motif tertentu.
Sehingga dalam melihat hubungan agen (perusahaan) – struktur
(tanggung jawab sosial perusahaan), data kesadaran diskursif lebih
mudah terlihat buktinya, baik secara verbal maupun fisik.
Dalam melakukan praktik sosial melalui kegiatan tanggung
jawab agen perusahaan memiliki sejumlah motif, namun masih dapat
diklasifikasi ke dalam 4 (empat) motif atau latar belakang, yaitu: 1)
CSR sebagai alat untuk reputasi perusahaan, 2) alasan politis
melakukan CSR, 3) CSR sebagai alasan integratif dengan masyarakat
agar operasi perusahaan tetap berjalan, 4) alasan etis,bahwa keberadaan
perusahaan
harus
memberi
manfaat
bagi
masyarakat
sekitar.
Sebagaimana Garriga dan Mele (2004) tunjukkan mengenai 4 (empat)
kelompok alasan melakukan kegiatan CSR, yaitu teori instrumental,
teori politik, teori integratif, dan teori etis.
252
Struktur
Modalitas
Interaksi
Signifikansi:
- Mitra paling
penting adalah
masyarakat
- Pemerintah lokal
lemah
Kerangka
intepretasi
- Ketergantungan
masyarakat tinggi
Komunikasi:
- Kehati-hatian
bertemu dan
berkomunikasi
dengan masyarakat
- Bicara seperlunya
- Penegasan dalam
setiap pertemuan
Dominasi:
- Perusahaan
multinasional
- Modern / teknologi
tinggi
- Dekat dengan
kekuasaan
Fasilitas:
Legitimasi:
- Etika bisnis
- Chevron way
- Kontrak Joint
operation
Norma:
- Ekonomi atau dana
yang besar
- Pendidikan,
kompetensi dan
keterampilan tinggi
dan
- Simbol tertib dan
aman
- UUPT no. 40/
2007
- PP no 47 tahun
2012
- UU no. 25/
2007
Kekuasaan:
- Menentukan mitra
- Menentukan
bantuan
- Menyalurkan
bantuan dan
- Menghentikan
bantuan
Sangsi:
- Pembatasan
bantuan
- Penundaan
bantuan
- Penghentikan
bantuan
Kesadaran Perusahaan: Praktis, Diskursif, Motif tak sadar
AGEN-AGEN LAIN: PEMERINTAH, LSM, MEDIA, MITRA
Gambar 10.
Relasi ‘Agen’ Perusahaan - ‘Struktur’ kegiatan tanggung
jawab sosial perusahaan. (Sumber: Giddens, 2009, 2010;
modifikasi oleh peneliti, 2013)
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya (dalam bab II) bahwa
agen adalah orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam arus
tindakan, sebagai pelaku dalam praktik sosial (Gidden, 2010), yaitu
praktik-praktik dalam struktur tanggung jawab sosial perusahaan.
253
Program tanggung jawab sosial merupakan struktur, sebab terdiri dari
aturan-aturan (rules) dan sumber daya (resources) yang memungkinkan
praktik-praktik interaksi terjadi antara perusahaan dengan masyarakat
lokal, dan pemangku kepentingan lainnya (Gidden, 1986; Ritzer &
Goodman, 2003). Gidden (2010:10-12) menunjukkan terdapat tiga
dimensi internal agen yang menentukan paktik-praktik sosialnya, yaitu
dalam bentuk kesadaran praktis, kesadaran diskursif dan motivasi tidak
sadar.
1. Pemahaman perusahaan : Contoh kasus PT. Chevron
Geothermal akan masyarakat lokal
PT.
CGI
melihat
masyarakat
sangat
berharap
dengan
kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, PT. CGI
seringkali direpotkan dengan bagaimana mengelola semua permintaan
masyarakat. Kehadiran PT. CGI di tengah-tengah masyarakat,
keberadaannya harus memberi manfaat bagi masyarakat sekitar, dimana
pun mereka beroperasi.
Kondisi-kondisi ketimpangan sosial ekonomi masyarakat
dengan perusahaan memperkuat pemikiran pihak perusahaan terhadap
munculnya ketergantungan masyarakat pada perusahaan. Pihak
perusahaan menyadari (PT. CGI ) menyadari bahwa ketergantungan
masyarakat lokal dan pemerintah lokal yang terlalu tinggi tersebut akan
berbahaya bagi masyarakat itu sendiri. Kemandirian masyarakat tidak
akan pernah tumbuh, sehingga kemajuan dan kesejahteraan masyarakat
akan sulit tercapai.
254
Bagi pihak perusahaan (PT. Chevron Geothermal Indonesia),
berpandangan bahwa masyarakat ternyata hanya menganggap program
CSR tersebut sebagai hibah. Hal tersebut diperparah dengan lemahnya
program-program
kebutuhan
pemerintah
masyarakat
di
yang
daerah
tidak
dalam
menyentuh
rangka
langsung
kesejahteraan
masyarakat. Muncul kesan dalam benak Pihak Chevron bahwa
pemerintah daerah membiarkan atau lepas tangan terhadap apa yang
dilakukan oleh PT. CGI dan mitranya melalui program CSR.
Ketidakberdayaan
pemerintah
ini
terlalu
nampak
di
hadapan
masyarakat, manakala PT. CGI dan mitra LSMnya bekerja membantu
masyarakat melalui kegiatan pengembangan masyarakat.
Hanya segelintir orang saja yang mengetahui adanya bantuan
CSR, bahkan pada beberapa desa, kepala desanya cenderung
membatasi diri (bahkan menutup diri) untuk berkomunikasi dengan
masyarakatnya. Perbedaan pandangan dan pemahaman tentang
keberadaan perusahaan dan program CSRnya yang terlalu tinggi,
diantara pihak perusahaan dengan masyarakat dapat menimbulkan
salah pengertian, bahkan konflik antara perusahaan dan masyarakat,
serta pemerintah setempat.
Bagi perusahaan, prioritas terlaksananya kegiatan CSR, adalah
adanya jaminan keamanan agar operasional perusahaan yang tidak
terganggu. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan perusahaan lebih
diutamakan, sehingga kegiatan tanggung awab sosial perusahaan hanya
merupakan alat (intrumental) untuk meredam gejolak masyarakat
sehingga
kegiatan
perusahaan
tidak
terganggu.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Prayogo (2008, 2009) bahwa program CSR yang
255
dikerjakan oleh perusahaan sebagai respons dari tekanan masyarakat
sekaligus upaya membangun relasi yang baik. Sedangkan Frynas
(2009: 16) menunjukkan fakta bahwa adanya program CSR seringkali
merupakan risk management perusahaan untuk meredam dan
menghindari konflik sosial. Prayogo (2011:157) menunjukkan bahwa
wujud akhir dai baik buruknya persepsi komunitas akan berujung pada
bentuk
tindakan masyarakat
lokal, mendukung atau menolak
keberadaan dan kegiatan perusahaan.
2. Kesadaran Perusahaan: Contoh kasus PT. Chevron Geothermal
Indonesia (CGI) dalam melakukan kegiatan CSR
Bagi PT. CGI tanggung jawab sosial perusahaan merupakan
bagian dari corporate responsibility yang bersifat kesukarelaan
(voluntary), sehingga regulasi yang ada sebenarnya justru mereduksi
makna CSR itu sendiri, bergesernya nilai moral dan etika bisnis
menjadi kewajiban (obligation). Dalam rangka operasional kegiatan
CSR, PT. CGI memerlukan banyak keterlibatan pihak-pihak lain
(multistakeholder) dalam kegiatan tersebut, untuk menciptakan
hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan stakeholder lainnya.
PT. CGI melihat hubungan antara perusahaan dengan
masyarakat harus dicermati secara intensif dan hati-hati; artinya,
hubungan yang terjadi akan sangat dinamis karena perubahan dan
pergeseran
stakeholder
sekitar
wilayah
operasi
begitu
cepat.
Hubungannya dengan masyarakat adalah juga merupakan social
investment (investasi sosial) jangka panjang bagi keberlangsungan
bisnis.
256
Usulan-usulan
kegiatan
dari
masyarakat
lebih
banyak
berdasarkan keinginan-keinginan masyarakat saja, bukan berdasarkan
kebutuhan. Kemudian PT. CGI tidak ingin dan tidak berharap
menggantikan posisi dan peran pemerintah, baik pusat maupun daerah
untuk mensejahterakan masyarakat. Namun demikian PT. CGI
nampaknya akan terus berkomitmen untuk membantu dan bermitra
dengan masyarakat dan pemerintah daerah.
PT. CGI mencoba fokus pada capacity building masyarakat,
melalui local economy development (LED) dan local business
development (LBD), dengan sedikit demi sedikit mengurangi program
yang bersifat bantuan sosial (social asistance) saja. Agar kemandirian
masyarakat dapat muncul. Walaupun hingga saat ini memang kegiatan
CSR
belum
mencapai
sepenuhnya
fokus
mengarah
pada
pemberdayaan, namun secara bertahap alokasi dana yang diarahkan
pada pengembangan masyarakat diupayakan harus terus meningkat
setiap tahunnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kegiatan LED dan
I3E, local economic development (LED) di kecamatan Samarang
merupakan program CSR yang pendanaannya berasal dari Chevron
Darajat langsung. Sedangkan pola initiatives economic engagement and
empowering (I3E) yang di kecamatan Pasirwangi, dengan sumber
pendanaan berasal dari kantor pusat Chevron di Amerika Serikat.
Seringkali pemerintah desa (pemerintahan lokal) tidak siap
dalam menjalankan program CSR yang disalurkan pendanaannya
melalui pemerintahan desa. Pemerintah daerah diharapkan dapat
bekerja sama dalam kegiatan CSR dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, khususnya warga masyarakat yang berada di
257
ring 1 wilayah kerja PT. CGI. PT. CGI selalu berupaya jujur dan bersih
dalam melakukan kegiatan tanggung jawab sosial dan pengembangan
masyarakat, namun ketika bersentuhan dengan pemerintah seringkali
dijumpai praktik-praktik yang cenderung menghambat kegiatan
tersebut. Frynas (2009), menyatakan bahwa biasanya perusahaan
pertambangan gagal melakukan konsultasi secara lebih luas dengan
pemimpin lokal dan tokoh-tokoh lokal.
Tantangan memberikan pola pikir (mindset) akan keamanan,
kejujuran, menghormati hak-hak asasi manusia, dapat dilakukan saat
para kontraktor-kontraktor lokal bekerja sama dengan PT. CGI. Perlu
kesabaran dalam berhubungan dengan masyarakat yang memiliki sifat
ketergantungan yang tinggi kepada PT.CGI, ditambah dengan kondisi
pemerintah daerah yang memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan
kondisi masyarakat lokal.
Kegagalan program-program pemerintah sebelumnya seperti
Kredit Usaha Tani (KUT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), raksa desa
yang yang bersifat top down berasal dari pemerintah juga turut
menyumbang munculnya pandangan dan budaya ketergantungan
masyarakat. Sementara itu sesungguhnya masyarakat memiliki potensi
tersendiri (local wisdom) yang khas dan mungkin belum tergali dengan
baik.
Bagi PT. CGI keterwakilan masyarakat bukan ditentukan oleh
keterwakilan jumlah semata, melainkan keterwakilan ide; artinya pihak
perusahaan menghormati ide-ide dari masyarakat, dari pemerintah, atau
dari manapun dalam rangka membangun relasi yang harmonis antara
masyarakat dengan perusahaan. Pihak perusahaan berharap setelah
258
semua upaya engagement dan pemahaman akan masyarakat lokal
berikut program-programnya maka terjadi relasi yang baik antara
perusahaan dengan masyarakat sekitar, maka tidak ada konflik antara
masyarakat dengan perusahaan.
Frynas (2009) menunjukkan bahwa alasan perusahaan ekstraktif
melakukan kegiatan CSR adalah, pertama, untuk memenuhi regulasi,
hukum dan aturan; kedua, sebagai investasi sosial perusahaan untuk
mendapatkan imej positif; ketiga sebaga bagian dari strategi bisnis
perusahaan untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat
lokal; dan keempat, bagian dari risk management untuk meredam dan
menghindari konflik. Dalam pandangan Prayogo (2011: 13) seharusnya
perusahaan tidak sekedar memperoleh ‘ijin operasi’ dari masyarakat,
tetapi lebih jauh lagi, yaitu masyarakat dapat menerima dan mengakui
kehadiran (social legitimacy) perusahaan di tengah-tengah masyarakat.
Kehadiran
perusahaan
seharusnya
memperoleh
dukungan
dari
masyarakat lokal karena kehadirannya bermanfaat bagi mereka, inilah
makna dari pengakuan sosial (social legitimacy). Frynas (2009)
mengingatkan bahwa perlu kehati-hatian dalam menerapkan praktek
tanggung jawab sosial dari negara-negara maju di negara-negara yang
sedang berkembang, termasuk Indonesia. Oleh karena itu penerapan
CSR di masing-masing negara harus disesuaikan dengan konteks sosial
dan lingkugannya. Kehati-hatian penerapan praktik CSR perlu
dipahami oleh agen-perusahaan, sebab dalam konsepsi strukturasi
(Giddens, 2010), melalui praktik-praktik sosial CSR-lah relasi dinamis
antar agen dan dengan struktur terjalin. Strukturasi merupakan suatu
proses yang berkaitan dengan produksi dan reproduksi struktur,
sehingga dapat dikatakan bahwa struktur dalam kerangka teori
259
strukturasi, sesungguhnya bersifat dinamis karena dikontruksi oleh
agen. Masalahnya adalah siapa saja agen yang terlibat dalam produksi
dan reproduksi struktur CSR tersebut, tentunya agen yang terlibat tidak
cukup hanya agen-masyarakat dan agen-perusahaan saja. Perlu
keterlibatan agen lainnya, yaitu pemerintah sebagai bagian dari unsur
tripartit good governance , selain masyarakat dan swasta (perusahaan)
(Bintoro, 2010).
B. Relasi Masyarakat Lokal Terhadap Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan
Hubungan masyarakat lokal sebagai agen dengan perusahaan
yang juga sebagai agen terjadi melalui praktik-praktik sosial dimana
tanggung jawab sosial sebagai struktur merupakan media terjadinya
aktivitas tersebut. Sehingga kesadaran masyarakat lokal akan melihat
keberadaan perusahaan dan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan.
Kesadaran masyarakat lokal dapat diklasifikasi berdasarkan
kesadaran praktis, kesadaran diskursif, dan motif tidak sadar (Giddens,
2010). Semisal untuk kesadaran praktis, yang lama tertanam dalam
benak
masyarakat
lokal,
bahwa
kehadiran
perusahaan
besar
multinasional PT. CGI di tengah-tengah masyarakat berkewajiban
untuk memberikan bantuan yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar
perusahaan. Dalam kesadaran praktis masyarakat lokal, perusahaan
tersebut telah mengeruk (eksploitasi) sumber daya alam ‘milik’
masyarakat. Sementara di sisi lain keberadaan PT. CGI secara
legitimasi memiliki hak melalui joint operation contract (JOC)
260
bersama pertamina dan PLN untuk mengeksploitasi memanfaatkan
energi panas bumi menjadi listrik. Nampak di sini terdapat pemahaman
yang berbeda antara masyarakat lokal dengan pihak agen-perusahaan.
Pemahaman
masyarakat,
bahwa
perusahaan
sudah
sewajarnya
melakukan bantuan kepada masyarakat lokal, sudah merupakan
kesadaran praktis.
Struktur
Modalitas
Signifikansi:
- Kondisi kontradiktif
dengan masyarakat
- Khawatir bencana
bocor
- Penyerapan tenaga
kerja lokal
- Eksploitasi SDA
‘milik’ lokal
Kerangka intepretasi
Kerusakan
lingkungan
- PT. CGI ‘wajib’
memberi bantuan
kepada masyarakat
lokal
-
Interaksi
-
Komunikasi:
Usulan kegiatan
Aksi demonstras
Dominasi:
- Masyarakat lokal
(asli)
- Jumlah penduduk
- Kekompakan
masyarakat
Fasilitas & Sarana:
Wilayah penduduk
dekat dengan lokasi
operasi
- Dekat dengan jalur
mobilitas operasi PT.
CGI
-
-
Kekuasaan:
Aksi massa
Pemblokiran jalan
Perusakan pipa air
-
-
-
Legitimasi:
Etika perusahaan
Forum CSR
(APDESI)
Norma:
UUPT no. 40/ 2007
PP no 47 tahun
2012
Penentuan kegiatan
CSR di masingmasing desa
Sangsi:
Operasi PT. CGI
terganggu
Pengucilan
masyarakat kepada
kepala desa
Kesadaran Masyarakat Lokal:
Praktis, Diskursif, Motif tak sadar
AGEN-AGEN LAIN:
PEMERINTAH, LSM, MEDIA, MITRA
Gambar 11. Relasi ‘Agen’ Masyarakat lokal – ‘struktur’ kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan. (Sumber: Gidden
2009, 2010; modifikasi oleh peneliti, 2013)
261
Kesadaran praktis tersebut diikuti dengan kesadaran diskursif,
yaitu penjelaan-penjelasan secara verbal melalui tuntutan-tuntutan dan
aksi-aksi yang dilakukan masyarakat lokal kepada PT. CGI atau juga
kepada pemerintah. Melalui interaksi dengan perusahaan (agen),
melalui praktik-praktik sosial, dalam kerangka struktur tanggung jawab
sosial perusahaan, maka mulai terjadi penyesuaian dan adaptasi antara
masyarakat lokal dengan perusahaan. Gambar 4.8 menunjukkan skema
analisis perpekstif struktur-agen, dalam kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan.
Nampak agen (masyarakat lokal) memiliki pandangan tersendiri
akan struktur (kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan) dan
keberadaan PT. CGI. Prayogo (2009: 99) menunjukkan bahwa
pemahaman masyarakat lokal akan perusahaan “mengeksploitasi”
sumber panas bumi masyarakat lokal merupakan keadaan yang
obyektif sekaligus subyektif. Secara obyektif memang nyatanya
perusahaan mengambil sumber panas tersebut, namun secara subyektif
panas bumi tersebut dianggap sebagai “milik” warga lokal karena
berada di dalam wilayah mereka. Sehingga, karena perusahaan
melakukan
eksploitasi
maka
sudah
sewajarnya
ia
melakukan
‘pertukaran’ terhadap masyarakat lokal yang energi buminya diambilalih oleh perusahaan. Kegiatan-kegiatan dari program tanggung jawab
sosial perusahaan sudah seharusnya diprioritaskan bagi masyarakat
lokal.
262
1. Pemahaman masyarakat lokal akan keberadaan PT. Chevron
Geothermal Darajat Garut
Faktor-faktor yang membuat pemahaman masyarakat lokal
berbeda dengan masyarakat lokal, antara lain masyarakat lokal
memahami bahwa kehadiran PT. Chevron sebagai kondisi yang sangat
kontradiktif dengan masyarakat lokal yang serba kekurangan.
Masyarakat masih khawatir dengan akan timbulnya kebocoran pipa,
yang dapat mengancam keselamatan warga masyarakat.
Kemudian
agen-masyarakat memandang bahwa tidak banyak tenaga kerja lokal
yang dapat dipekerjakan oleh PT. CGI, warga masyarakat lokal menilai
perusahaan kurang terbuka untuk memberikan informasi kebutuhan
tenaga
kerja.
Masyarakat
memandang
perusahaan
telah
mengeksploitasi sumber daya alam ‘milik’ mereka sendiri. Warga
masyarakat lokal merasa tidak pernah diberi informasi berkaitan
dengan keamanan dan keselamatan eksploitasi.
Kodisi-kondisi
tersebut
memperkuat
pemahaman
warga
masyarakat menyalahkan kepada pihak perusahaan akan persoalan
semakin gundulnya hutan-hutan di wilayah Darajat sejak kehadiran
perusahaan tersebut di wilayah mereka.
Kekhawatiran kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan menurunnya produksi lahan pertanian.
Masyarakat
merasa
tidak
berdaya,
karena
sumberdaya
alam,
menurutnya, terus dikeruk oleh perusahaan, sementara pemerintah
daerah pun seolah tutup mata dengan permasalahan yang dihadapi
masyarakat tersebut.
Isyu lain, beberapa warga yang memiliki modal yang mulai
menginvestasikan dananya untuk membangun fasilitas wisata kolam air
263
panas dan penginapan. Namun pesatnya perkembangan tersebut tidak
diikuti dengan ketersediaan sarana pendukung lainnya, seperti
penginapan-penginapan, rumah makan dan warung-warung, serta
perluasan lahan parkir.
Pandangan negatif warga masyarakat terhadap kehadiran PT.
CGI juga tidak terlepas dari sisi historis kehadiran perusahaan tersebut
di daerah mereka, yang mana masalah-masalah sebelumnya (laten)
yang tidak terselesaikan muncul mengemuka ketika ada kekecewaan
muncul. Semetara itu sebagian masyarakat mengkaitkan kepemilikan
investor asing PT. CGI, yaitu Amerika dengan sentimen negatif
terhadap
kepemilikan
perusahaan
tersebut
dengan
‘Yahudi’.
Masyarakat yang perpandangan positif (mendukung) akan kehadiran
PT. CGI, beralasan banyaknya bantuan yang diberikan oleh perusahaan
kepada warga sekitar, khususnya seperti perbaikan jalan dan goronggorong.
Pandangan-pandangan masyarakat lokal akan keberadaan
perusahaan yang pada modal berteknologi tinggi, di lingkungan mereka
akan menentukan cara praktik sosial terhadap perusahaan. Menurut
Giddens (2010), melalui gugus pemahaman dan pengetahuan praktis
dan diskursif akan struktur, maka agen akan berpraktik sosial --melangsungkan hidup kesehariannya. Lebih lanjut Giddens (2009)
menegaskan bahwa agen memiliki kemampuan untuk mengubah situasi
sosial, dengan peningkatan pengetahuan dan pemahaman. Dari
pemahaman agen (masyarakat lokal, perusahaan dan pemerintah)
tersebut, akan terjadi interaksi dengan struktur (CSR) yang saling
mempengaruhi. Inilah yang dikatakan Giddens dengan dualitas
struktur. Dengan bekal pemahaman dan pengetahuan agen masing-
264
masing, dapat menjadikan struktur (CSR) sebagai acuan dalam
bertindak dan mengubah serta mereproduksi struktur melalui tindakantindakan yang terus-menerus dan bersifat rutin. Maka struktur secara
aktif diproduksi, direproduksi, dan diubah oleh agen (masyarakat,
perusahaan dan pemerintah) sebagai pelaku yang memiliki kemampuan
bertindak.
2. Pemahaman masyarakat akan program CSR PT. Chevron
Geothermal Darajat Garut
Masyarakat lokal enggan untuk berinisiatif mengundang pihak
PT. CGI dalam kegiatan-kegiatan yang terdapat di masyarakat. Bagi
masyarakat lokal berpandangan, sudah seharusnya bahkan ‘wajib,’
inisiatif menjalin hubungan berasal dari Perusahaan, sebagai tamu
masyarakat. sementara menurut LSM Pupuk sejak tahun 2009 programprogram Capacity building dan program pemberdayaan masyarakat
(community development) mulai menjadi fokus perhatian dari kegiatan
CSR PT. CGI. Walaupun porsi antara pembangunan infrastruktur dan
non infrastruktur masih lebih besar pembangunan infrastruktur.
Dinamika relasi yang terbangun antara masyarakat dengan PT.
CGI, yaitu bersifat fluktuatif, kadang naik kadang turun. Namun dari
beragam tuntutan masyarakat lokal kepada perusahaan, nampaknya PT.
CGI mencoba belajar dari situasi hubungan sebelumnya yang lebih
banyak demo tuntutan masyarakat sekitar, kemudian mencoba
membangun komunikasi dan kemitraan baru berdasarkan situasi
sebelumnya. PT. CGI mengembangkan local bussiness development
(LBD), yaitu menjalin mitra dengan perusahaan-perusahaan lokal yang
265
memiliki badan usaha (CV). Sehingga melalui LBD inilah penyerapan
tenaga lokal dapat terjadi, dan masyarakat lokal pun didorong untuk
mengembangkan perusahaan dengan kualifikasi minimal (CV), agar
dapat mengikuti tender proyek-proyek skala kecil di PT. CGI.
Porsi terbesar program CSR PT. CGI masih pada pembangunan
infrastruktur; perbaikan jalan, penyediaan air bersih, gorong-gorong,
pembangunan sarana ibadah (mesjid), penyediaan air bersih dan sarana
pendidikan. Sehingga sebagian masyarakat lokal memahami kalau
seandainya banyak bantuan yang diberikan di desa-desa wilayah
kecamatan Pasirwangi, daripada daerah lainnya di wilayah kabupaten
Garut, dan hal tersebut adalah wajar. Sementara itu usulan-usulan
kegiatan yang berasal dari perusahaan dapat dipandang sebagai
kepedulian
perusahaan
membangun
relasi
yang
baik
dengan
masyarakat sekitar perusahaan.
Harapan masyarakat yang tinggi kepada perusahaan harus
disikapi dan dikelola dengan hati-hati. Sebab di kemudian hari pola
hubungan tersebut akan membuat masyarakat menjadi tidak mandiri,
karena sangat tergantung kepada perusahaan. Namun demikian mulai
muncul kesadaran dalam pandangan masyarakat, bahwa jika ingin
memperoleh bantuan, maka mereka harus membuat proposal kepada
PT. CGI. Sebagian masyarakat lokal juga mengerti bahwa turunnya
bantuan dari perusahaan tersebut memerlukan waktu dan ada
prosesnya.
Desa-desa se-kecamatan Pasirwangi mengembangkan sebuah
forum yang khusus membicarakan usulan-usulan CSR yang terbentuk
sekitar 2 tahun yang lalu. Awalnya forum ini merupakan asosiasi
pemerintah desa Indonesia (APDESI), namun dalam perkembangan
266
selanjutnya asosiasi ini lebih dikenal sebagai forum yang menjadi
wadah dan sekaligus menjembatani hubungan antara keinginan dan
kebutuhan masyarakat dengan pihak perusahaan (PT.CGI).
Forum
CSR inilah yang kemudian menentukan skala prioritas mengenai
program bantuan dari PT. CGI yang akan dilakukan di desa-desa.
Terbentuknya forum CSR tersebut sedikit banyak mengurangi beban
tekanan dan kepusingan PT. CGI dalam menentukan usulan kegiatan,
prioritas kegiatan, sasaran kegiatan, dan pelaksana kegiatan di masingmasing desa. Adanya Forum CSR tersebut memudahkan PT. CGI
dalam menyalurkan bantuan yang telah terseleksi melalui forum
tersebut. Sehingga PT. CGI akan lebih dapat meluang waktu untuk
berkonsentrasi pada kegiatan lainnya.
Proses pengajuan usulan perlu untuk diamati untuk memperoleh
gambaran dan informasi mengenai pengetahuan masyarakat mengenai
cara-cara mengajukan usulan kegiatan. Serta bagaimana pihak
perusahaan menanggapi permohonan akan bantuan-bantuan yang
berasal dari masyarakat dan dari pemerintah setempat. Tentunya
tahapan pengusulan bantuan tersebut terjadi sebagai pengulangan dari
kejadian-kejadian sebelumnya (rutin). Anggota masyarakat yang
berhasil mengajukan proposal bantuan, kemudian akan ditiru oleh
anggota masyarakat lain yang akan mengajukan bantuan kepada PT.
CGI. Keterulangan praktik sosial tersebut terus berlangsung selama
beberapa tahun sebelumnya (Giddens, 2010). Pada pengajuan proposal
di tahun-tahun sebelumnya, apabila proposal yang diajukan terlalu lama
(bertahun-tahun) atau tidak direspon (tidak ada realisasinya) maka
sudah ada semacam ‘aturan’ tidak tertulis di masyarakat untuk
melakukan aksi atau demonstrasi. Munculnya aksi tersebut juga meniru
267
kejadian serupa sebelumnya, bahwa kalau tidak didemo, maka bantuan
itu tidak akan cair. Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa agen
adalah pelaku dalam praktik sosial (Giddens, 2010; Priyono, 2002).
Agen dalam konteks struktur tanggung jawab sosial perusahaan adalah
masyarakat lokal, sebagai pemangku kepentingan penting dalam
kegiatan CSR (Prayogo, 2011:15), selain perusahaan dan pemerintah.
Nampak bahwa dalam konsepsi strukturasi, struktur CSR, dapat
dipahami sebagai ‘medium’ dan ‘outcome’ dari tindakan agen
melakukan praktik sosial sebagaimana dikemukakan oleh Giddens
(2010: 30) sebagai dualitas struktur. Kemudian dalam Giddens
menegaskan (New Rules of Sociological Method, a positive critique of
interpretative sociologies,terjemahan 2010: 141) bahwa produksi
interaksi memiliki tiga elemen dasar: konstitusinya sebagai ‘bermakna’
(signifikansi), konstitusinya sebagai ‘tatanan moral’ (legitimasi), dan
konstitusinya sebagai operasi hubungan ‘kekuasaan’ (dominasi).
C. Relasi Dinamis Antar Masyarakat Lokal dan Perusahaan
Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Relasi yang terjadi diantara para agen, khususnya masyarakat
lokal dengan perusahaan melalui struktur yaitu kegiatan atau program
tanggung jawab sosial perusahaan, merupakan hubungan yang
fluktuatif. Terkadang relasinya harmonis dan terkadang pula memanas,
seiring juga dengan perjalanan waktu sejak kehadiran perusahaan di
tengah – tengah masyarakat lokal, dan pengalaman praktik-praktik
pertemuan para agen tersebut. Sepanjang waktu tersebut terdapat
penyesuaian-penyesuaian
yang
perlu
268
dilakukan
dalam
struktur
tanggung jawab sosial perusahaan PT. CGI oleh para agen, demikian
pula pada akhirnya perkembangan struktur tanggung jawab sosial
(kebijakan nasional dan aturan lainnya) memberikan kemungkinan bagi
para agen untuk melakukan praktik-praktik sosial dalam relasi
masyarakat lokal dan perusahaan. Inilah dualitas struktur tanggung
jawab sosial perusahaan yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan
PT. CGI di desa Karyamekar kecamatan Pasirwangi. Dimana para agen
(masyarakat lokal dan PT. CGI) mempengaruhi tanggung jawab sosial
perusahaan melalui praktik sosial yang berulang, juga struktur
(tanggung jawa sosial perusahaan) mempengaruhi tindakan-tindakan
para agen dalam melakukan relasi diantara mereka. Dalam Gambar 4.9
menunjukkan skema relasi dinamis yang terjadi antara perusahaan
dengan masyarakat lokal, serta agen lainnya yaitu pemerintah, LSM,
media dan mitra kerja perusahaan dalam kerangka teori struktur-agen
Giddens
(2010).
Dimensi
signifikansi
tanggung
jawab
sosial
perusahaan berkenaan pemaknaan masyarakat lokal melalui modalitas
skema interpretatif dalam melakukan interaksi komunikasi dalam
melakukan praktik sosial. Sedangkan dimensi dominasi dengan
modalitas penguasaan sarana dan fasilitas yang ada dalam melakukan
interaksi berupa kekuasaan atau kekuatan (power) yang dimiliki
masyarakat dalam struktur tanggung sosial perusahaan. Sedangkan
dimensi legitimasi (keabsahan) berkenaan dengan modalitas norma dan
sanksi dalam struktur CSR tersebut.
269
Relasi Dinamis antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal
Kesadaran:
P
E
R
U
S
A
H
A
A
N
Interaksi:
Modalitas:
STRUKTUR
Kesadaran:
Kegiatan Tanggung Jawab Sosial PT. CGI
Praktis
Signifikansi
Skema
Interpretatif
Komunikasi
Dominasi
Sarana/ fasilitas
Kekuasaan
Diskursif
Diskursif
Legitimasi
AGEN
Praktis
Norma
Sanksi
Manfaat, Keberlanjutan
(Dimensi Ruang dan Waktu)
AGEN
AGEN-AGEN LAIN:
PEMERINTAH, LSM, MEDIA, MITRA
Gambar 12. Skema Relasi Dinamis antara Masyarakat Lokal dengan
Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan . (Sumber: Giddens, 2009, 2010, modifikasi oleh
peneliti, 2013)
Terjadi proses pembelajaran diantara agen melalui praktikpraktik sosial dalam struktur kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan. Melalui perjalanan waktu, relasi yang terbangun antara
perusahaan dengan masyarakat lokal memunculkan modifikasi akan
praktik-praktik CSR yang sesuai bagi agen (masyarakat – perusahaan),
dan pada akhirnya terjadi pergeseran dari dimensi struktur CSR, yang
270
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
dalam konsepsi Giddens (2010) terdiri dari signifikansi, dominasi dan
legitimasi.
Dalam teori strukturasi, tanggung jawab sosial perusahaan dapat
dipandang sebagai struktur, karena di dalamnya terdiri atas aturanaturan dan sumber daya. Giddens (2010) menunjukkan bahwa sumber
daya memiliki dua jenis, yaitu sumber daya otoritatif dan sumber daya
alokatif. Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan memiliki sumber
daya otoritatif yang berasal dari koordinasi aktivitas para agen
(perusahaan, pemerintah, penyedia barang-barang produksi, dan
masyarakat); juga sumber daya alokatif yang berasal dari kendali atas
produk-produk material atau aspek-aspek dunia material. Besarnya
dana dan jenis kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan ditentukan
dan diatur dengan kepatutan dan peraturan terkait CSR, seperti UU No.
40 tahun 2007 tentang Perseorang Terbatas (PT), UU No. 25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal, serta Peraturan Pemerintah No. 47
tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan Terbatas. Demikian pula masyarakat lokal, sebagai agen,
juga sebaiknya mengetahui dan memahami struktur tanggung jawab
sosial perusahaan. Sehingga masyarakat lokal dapat memeroleh
manfaat sebaik-baiknya dari struktur CSR untuk kemaslahatan warga
masyarakat, dengan berkolaborasi dengan agen lainnya, terutama pihak
perusahaan.
Pengetahuan dan kesadaran para agen akan struktur, dalam hal
ini CSR, dengan demikian akan menentukan cara-cara atau praktikpraktik sosial kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Giddens
(2010), dengan kerangka Goffman, mengidentifikasi 4 (empat) jenis
keadaan atau faktor—faktor yang memengaruhi tingkat dan watak
271
keterlibatan yang dimiliki oleh agen yaitu: 1) sarana akses yang
dimiliki oleh para aktor terhadap pengetahuan berdasarkan lokasi sosial
mereka, 2) cara-cara artikulasi pengetahuan, 3) keadaan-keadaan yang
berhubungan dengan validitas klaim-klaim keyakinan yang dianggap
sebagai ‘pengetahuan’, dan 4) faktor-faktor yang berhubungan dengan
sarana penyebaran pengetahuan yang tersedia (2010:142).
Berdasarkan keempat faktor tersebut maka dapat dimengerti
terdapat pengetahuan dan pemahaman yang berbeda antar kedua agen,
masyarakat lokal dan perusahaan, mengenai struktur tanggung jawab
sosial perusahaan. Seperti halnya pengetahuan masyarakat lokal
mengenai proses pengajuan kegiatan kepada PT. CGI, sebagaimana
terlihat dalam gambar 13. Berbeda halnya dengan pemahaman pihak
perusahaan (gambar 14) mengenai hal tersebut.
C
D
Musyawarah & FGD
PT. CGI, Pengusul
Masyarakat, Pemerintah
Desa: untuk
menentukan prioritas
kegiatan
Humas & CE
B
Pemerintah
Desa
A
Usulan
Masyarakat
Usulan
Masyarakat
2
Usulan
Masyarakat
1
Gambar 13: Alur proses pengusulan kegiatan masyarakat desa kepada PT.
CGI Menurut Masyarakat lokal. (Sumber: hasil olah data
wawancara 2013).
272
-
Pertama, masyarakat lokal mengusulkan langsung kepada
PT. CGI. , kemudian oleh PT. CGI dikonfirmasikan
kembali pemerintah desa tentang pengusulan kegiatan
warganya, kemudian dibicarakan melalui FDG. Peserta
FGD adalah pengusul kegiatan dari masyarakat, aparat
pemerintah desa dan perakilan PT. CGI.
-
Kedua, melalui pemerintah desa masyarakat lokal
mengusulkan kegiatan kepada PT. CGI. Kemudian
dibahas melalui FGD untuk menentukan prioritas
kegiatan.
Sedangkan menurut pihak PT. CGI alur proses dan tahapan
kegiatan CSR sebagaimana terlihat dalam gambar 14, sebagai berikut:
Gambar 14. Alur proses dan tahapan program menurut PT. CGI. (Sumber: PT.
CGI, 2012)
273
-
Pertama, Usulan masyarakat, Pemda, Tawaran kerjasama
dan Inisiatif CGI ditampung;
-
Kedua, kemudian semua usulan dibicarakan melalui
muspika, atau musrenbang, atau musyawarah APDESI
(forum CSR); dengan dihadiri oleh pihak CGI untuk
menentukan prioritas kegiatan dalam daftar usulan
kegiatan.
-
Ketiga,
kemudian
daftar
usulan
diajukan
program/
untuk
kegiatan
memperoleh
tersebut
persetujuan
management CGI untuk menentukan RKAB (rencana
kegiatan dan anggaran biaya)
-
Keempat, RKAB tersebut kemudian dilaporkan kepada
Pertamina untuk memperoleh persetujuan RKAB untuk
selanjutnya dieksekusi dan dimonitoring oleh CGI dan
Mitra kerjanya
-
Kelima, proses pencairan kegiatan kepada masyarakat,
melalui monitoring dari PT. CGI dan mitranya.
Gambar 4.9 dan gambar 4.10 menunjukkan bahwa pada tahapan
pengajuan usulan kepada PT. CGI, terdapat perbedaan pengetahuan dan
pemahaman akan tahapan pengajuan diantara agen (masyarakat,
perusahaan dan pemerintah). Perbedaan pemahaman tersebut akan
menimbulkan perbedaan bertindak dari masing-masing agen yang
berbeda pula, perbedaan praktik atau tindakan antar agen tentang
operasional kegiatan CSR menunjukkan ketidakharmonisan relasi yang
terjadi.
274
Salah satu proses implementasi kegiatan dari pihak perusahaan
(PT. CGI) yaitu mengeluarkan program local business development,
sebagai program unggulan. Namun dalam pemahaman masyarakat
lokal, pola LBD (local business development) ini justru telah
mematikan nilai-nilai partisipasi, kebersamaan, rasa memiliki dan
keberdayaan masyarakat. Sebab pembangunan infrastruktur atau
pembangunan fisik yang dilakukan oleh CV pemenang tender tersebut.
Warga masyarakat lokal hanya berperan sebagai penonton, masyarakat
tidak diajak serta untuk terlibat dalam proses pembangunan fisik
tersebut baik tahap perencannaan, pelaksanaan, serta monitoring dan
evaluasi. Setelah pembangunan fisik tersebut selesai, kemudian terjadi
serah terima bantuan pembangunan fisik tersebut dari PT. CGI kepada
warga masyarakat setempat. Sehingga, manakala hasil pembangunan
fisik LBD tersebut rusak, maka biasanya dalam pemahaman warga
masyarakat segera menuntut kembali untuk perbaikan pembangunan
fisik tersebut kepada PT.CGI. Begitulah seterusnya proses lelang
(tender) pekerjaan itu berulang, dimana warga masyarakat hanya
berperan sebagai penonton. Artinya adalah melampaui perjalanan ruang
dan waktu, praktik-praktik relasi yang terjadi antara agen perusahaan
dan masyarakat, ternyata beberapa pengetahuan dan pemahaman
masyarakat berkembang melalui interaksi dengan agen-agen lainnya.
Sehingga agen (masyarakat) mampu dan memiliki kesadaran diskursif
untuk mengevaluasi salah program CSR yang dianggap unggulan oleh
pihak
perusahaan.
Giddens
(2010:111)
menunjukkan
bahwa
pengulangan (rutinisasi) praktik-praktik sosial melalui perjumpaanperjumpaan antara pihak warga masyarakat lokal dengan perusahaan
akan mengikat dalam reproduksi sosial dan dengan demikian
275
mengesankan pemapanan instiusi-institusi. Proses tersebut juga
mendorong menciptakan (reproduksi) struktur ketergantungan warga
masyarakat kepada PT. Chevron.
Tabel 30. Jenis Bantuan dari PT. Chevron Geothermal Indonesia,
menurut masyarakat lokal
No.
Jenis Bantuan
1.
Pendidikan
2.
Usaha
3.
4.
Kesehatan
Lingkungan
5.
Ketenagakerjaan
6.
Fasilitas umum
7.
Fasilitas Agama
Fisik
PAUD/ TK, SD,
SMP, ATK, papan
tulis, laptop
Permodalan
Puskesmas
Penanaman pohon,
penyediaan air bersih
Non Fisik
Super camp (Asgar
Muda)
Pendampingan oleh
PUPUK dalam
program LED, I3E
HIV/AIDS
Pelatihan budi daya
jamur
Pembangunan jalan
gorong-gorong
Pipanisasi
MCK
Pembangunan mesjid
Bantuan kitab AlQuran
Ceramah di PT. CGI
(informal)
Sumber: Diolah dari data penelitian, 2013.
Kondisi ketergantungan agen-masyarakat ini mulai disadari
oleh pihak perusahaan, sehingga upaya-upaya untuk menghilangkan
ketergantungan masyarakat lokal akan bantuan pihak perusahaan,
ternyata
merupakan kesulitan tersendiri yang dihadapi oleh pihak
perusahaan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh agen (perusahaan)
dalam rangka mengubah struktur CSR yang terlalu bersifat karitas
276
semata coba dilakukan (sebagaimana terlihat dalam tabel 4.23), dengan
mengembangkan program-program penguatan kapasitas (capacity
building) terhadap masyarakat.
Dalam perkembangan terakhir, dalam data sekunder dan primer
(hasil wawancara dan observasi), program CSR yang dikembangkan
oleh pihak perusahaan berupaya mengembangkan program yang lebih
memberdayakan masyarakat, walaupun secara jumlah kegiatan masih
sedikit. Artinya dalam konsepsi agen Giddens (2010), nampak bahwa
agen-perusahaan (dalam divisi CSR PT. CGI) telah mencoba
mengadopsi kesadaran praktis, melakukan refleksi ulang dan
melakukan suatu tindakan dengan mencari makna atau nilai dari
tindakannya tersebut. Hasilnya adalah, berupa pergeseran praktik CSR
yang dilakukan sebelumnya (yang bersifat karitas semata), ke arah
pengembangan masyarakat. Sejak sekitar tahun 2009, mulai nampak
upaya perusahaan sebagai agen, melakukan perubahan perbaikan
terhadap struktur CSR, walaupun secara jumlah dan maupun kualitas
masih terbatas. Hanya saja ketepatan assesment dan program yang
dilakukan masih perlu dipertanyakan, mengingat banyak program yang
tidak berlanjut.
Namun demikian upaya perubahan struktur CSR tersebut tidak
diikuti atau tidak seiring dengan agen-agen lainnya, yaitu masyarakat
dan pemerintah. Masyarakat dan pemerintah, memiliki pemahaman
yang berbeda dengan agen-perusahaan. Sehingga akhirnya, pihak
perusahaan
menganggap
bahwa
komitmen
warga
yang
telah
memperoleh bantuan masih belum sinambung, seringkali terhenti di
tengah jalan. Sementara sebelumnya warga masyarakat meminta
277
bantuan untuk mengembangkan usaha dengan mengajukan usulan atau
proposal kepada PT. CGI. Melihat hal tersebut PT. CGI perlu kiranya
berfikir ulang dan selektif dalam menerima proposal dan menyalurkan
bantuan usaha kepada masyarakat, selain mengembangkan dialog dan
komunikasi dengan sejumlah tokoh masyarakat, agar terbangun
pemahaman yang merata mengenai program CSR. Perbedaan
pemahaman akan struktur CSR dari masing-masing agen, perusahaan,
masyarakat dan pemerintah menimbulkan pola relasi yang cenderung
dinamis, terkadang harmonis dan suatu waktu tertentu harmonis.
Sebaliknya
masyarakat
lokal
menilai,
PT. CGI hanya
melakukan monitoring di tahap awal saja khususnya pada tahan
perencanaan, yaitu saat memastikan program tersebut berasal dari desa
tertentu kepada aparat desa. Selanjutnya melalui kegiatan FGD (focus
group discussion), dilakukanlah prioritas kegiatan untuk desa tersebut.
Sebelum bantuan diberikan, maka dilakukan kajian terlebih dahulu.
Setelah disetujui dan kemudian bantuan itu turun (dilaksanakan),
namun tidak dilakukan monitoring.
Sementara
itu,
pihak
kecamatan
berpandangan
bahwa
mekanisme pelaksanaan kegiatan CSR dari PT. CGI cenderung tidak
melibatkan pihak kecamatan. Fenomena hubungan antara pemerintah
desa, pemerintah kecamatan dan PT. CGI ini menarik untuk disimak.
Idealnya diantara stakeholder ini akan terbangun relasi yang baik,
dalam rangka efektifitas dan efisiensi pembangunan masyarakat di
wilayahnya. Jika masing-masing pihak merasa benar dan tidak ada
komunikasi yang harmonis, maka masyarakatlah yang akan menjadi
korban. Sehingga tidak aneh apabila aparat pemerintah kecamatan
Pasirwangi, tidak tahu-menahu mengenai bantuan yang diberikan oleh
278
PT.CGI. Namun begitu, kondisi tersebut bagi pihak kecamatan tidak
masalah, bahkan merasa tidak terganggu dengan urusan bantuan yang
terjadi antara PT. CGI dengan pemerintahan desa. Kemudian pelibatan
pengontrolan atau pelaporan kepada pihak pemerintah kecamatan
jarang dilakukan. Kegiatan bantuan pembangunan tersebut sering
dilakukan antara pihak pemerintah desa dengan PT. CGI. Tetapi kalau
pihak kecamatan berinisiatif melakukan monitoring dan pengontrolan,
baru kemudian pihak pemerintah desa atau PT. CGI memberikan
pelaporan kepada kecamatan.
Masyarakat lokal masih berpandangan cenderung negatif
terhadap PT. CGI, jika dibandingkan dengan perusahaan nasional
seperti Indonesia Power atau Pertamina. Tidak banyak gejolak yang
muncul dari masyarakat lokal kepada dua perusahaan nasional tersebut.
Padahal, realitasnya PT. CGI merupakan perusahaan di kawasan
tersebut yang paling banyak menyalurkan bantuan kepada masyarakat
lokal.
Bagi kalangan pemuda, mereka memandang hubungan antara
PT. CGI dengan masyarakat lokal saat ini sedang renggang, tidak
begitu harmonis. Sedangkan pendapat berbeda dikemukakan oleh
aparat pemerintah lokal cenderung memandang hubungan tersebut
secara positif. Sementara itu Munculnya kecemburuan mengenai
penyaluran program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari PT.
CGI. yang lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kecamatan
Pasirwangi dan Samarang. Tabel 4.24 menunjukkan dinamika
hubungan yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat dengan
agen perusahaan, yang dipicu oleh pemahaman yang berbeda mengenai
279
kehadiran masing-masing agen, perbedaan mengenai struktur CSR baik
oleh masyarakat, perusahaan ataupun pemerintah.
Tabel 31 Sejumlah Aksi atau Tuntutan Sosial Masyarakat kepada PT.
Chevron (yang terekam berita media massa) dalam kurun 7
tahun terakhir
No.
1
Waktu
6 April 2006
2
12 Agust 2008
3
3 Juni 2009
4
31 Agust 2010
5
6
19 Januari
2011
29 Sept 2011
7
30 Des 2011
Aksi dan Tuntutan
Serikat Petani Pasundan (SPP) memberikan batas waktu
atau deadline kepada PT Chevron sampai Juni 2006
untuk memenuhi tuntutan masyarakat Garut soal bagi
hasil atas usaha panas bumi yang dikelola Chevron di
Darajat Kecamatan Pasirwangi.
Gerakan Pemuda & Pemudi Samarang (GPPS)
Tuntutan: kesejahteraan masyarakat sekitar PT. Chevron
Geothermal Indonesia
Warga Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut, Jawa
Barat memblokir jalan menuju pembangkit listrik tenaga
panas bumi Gunung Darajat. Semua kendaraan milik
Chevron Geotermal Indonesia dihentikan dan warga.
Akibatnya, ratusan karyawan Chevron tertahan di tempat
itu. Mereka menilai keberadaan perusahan itu telah
menyebabkan hilangnya sumber mata air di desanya,.
meminta tanggung jawab perusahaan atas kondisi itu.
Warga meminta Chevron untuk membuat saluran air
bersih.
Paguyuban Masyarakat Pasirwangi Bersatu (PMPB)
Tuntutan: 500 pendemo menghujat PT. CGI, Indonesia
Power dan PT. Pertamina, transparansi royalti, realisasi
dana CSR/ CD, pemda membuat peraturan daerah ttg
CSR
Warga Pasirwangi menuntut pembangunan Masjid Besar
Pasirwangi yang sudah 7 tahun terkatung-katung
Pemkab Bandung,
Protes perambahan hutan oleh PT. Chevron GI.
Menteri Kehutanan mengingatkan PT. CGI agar tidak
melakukan pembabatan hutan
Sumber: Diolah dari data penelitian, 2013.
Dalam data hasil primer (hasil wawancara hal:144) sebelumnya
pun terungkap bahwa kesadaran diskursif dalam masyarakat, bahwa
280
apabila usulan-usulan dari masyarakat tidak dipenuhi oleh PT. CGI,
maka mereka akan melakukan aksi atau demonstrasi tuntutan kepada
PT. CGI. Aksi dan demonstrasi tuntutan yang terus-menerus kepada
PT. CGI, secara langsung atau tidak langsung yang akan mengganggu
jalannya operasi perusahaan. Sehingga pada akhirnya tuntutan
masayarakat tersebut akan dipenuhi. Walaupun, sebenarnya masyarakat
tidak ingin melakukan aksi dan demonstrasi kepada PT. CGI, jadi cara
tersebut hanya merupakan jalan terakhir yang dilakukan oleh
masyarakat dan sebagian warga. Sebagaimana terlihat dalam tabel 31.
Kesadaran masyarakat lokal terhadap perusahaan dan kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) merupakan kemampuan
interpretatif dari agen dalam menyikapi antivitasnya sendiri dan
tindakan-tindakan orang lain dalam perilaku sehari-hari. Sebagaimana
dikemukakan oleh Giddens mengenai model stratifikasi tindakan agen,
bahwa agen juga mampu ‘memonitor monitoring’ itu di dalam
kesadaran diskursif. Sebagaimana masyarakat lokal sebagai agen
memonitor kehadiran PT. CGI, yang ‘notabene’ merupakan perusahaan
asing yang hadir di lingkungan mereka. Sentimen kepemilikan
perusahaan
seperti
mempengaruhi
cara
PT.
CGI
pandang
merupakan
dan
sikap
perusahaan
masyarakat
asing,
terhadap
perusahaan tersebut. Hal tersebut nampak pada demo-demo atau aksiaksi tuntutan masyarakat lokal lebih banyak ditujukan kepada PT. CGI
tersebut. Padahal di wilayah tersebut terdapat PT. Pertamina dan PT.
Indonesia Power (anak perusahaan PLN) yang memang berstatus
perusahaan nasional, yang cenderung tidak sering ‘diganggu’.
Demikian pula kesadaran praktis masyarakat, bahwa PT. CGI telah
mengeksploitasi sumber alam mereka, sehingga sudah sewajarnya
281
apabila pihak perusahaan memberikan bantuan kepada masyarakat
sekitar perusahaan tersebut.
Lebih lanjut Giddens (2010) menyatakan bahwa para agen
memiliki ‘skema interpretatif’ yaitu cara-cara penjenisan yang
tersimpan dalam gudang pengetahuan para aktor, dan diterapkan secara
reflektif ketika melakukan komunikasi dengan aktor lainnya.
Masyarakat lokal sebagai agen memiliki bekal pengetahuan yang
membuat mereka mampu membuat cerita, mengemukakan alasanalasan, dan sebagainya. Seperti halnya ketika berkaitan dengan siapa
yang seharusnya melakukan inisiatif membangun komunikasi dan relasi
antara perusahaan dengan masyarakat. Maka masyarakat lokal
memandang, sudah seharusnya dimulai oleh pihak perusahaan. Sebab
bagi masyarakat lokal, kehadiran perusahaan tersebut adalah tamu di
lingkungan mereka. Walaupun pihak PT. CGI berpandangan masuk ke
wilayah Pasirwangi secara sah dan berijin resmi.
Demikian pula permasalahan relasi antara masyarakat lokal
dengan PT. CGI yang di awal-awal tahun kehadiran PT.CGI yang tidak
baik menurut masyarakat, secara akumulatif akan menumpuk yang di
kemudian hari akan muncul mengemuka berupa aksi dan tindakan
demo. Oleh karena itu, Giddens menegaskan bahwa komunikasi
makna, bersama dengan seluruh kontektualitas tindakan, tidak harus
dipandang semata-mata terjadi ‘dalam’ ruang dan waktu’. Komunikasi,
sebagai unsur umum interaksi, merupakan konsep yang mencakupi
dibanding dengan isi komunikasi, yaitu apa yang akan dikatakan atau
dilakukan oleh para agen. Sehingga pandangan masyarakat lokal
dengan menghubungkan kehadiran PT. CGI dengan menurunnya
kualitas lingkungan, berkurangnya air tanah, dan kegagalan panen
282
sebagai dampak operasional perusahaan merupakan bukti bagaimana
mana masyarakat lokal memaknai proses relasinya dengan pihak agenperusahaan.
Pandangan masyarakat lokal akan pelaksanaan kegiatan
tanggung jawab sosial PT.CGI merupakan pemahaman masyarakat
lokal akan struktur. Giddens (1986) sendiri menyatakan bahwa struktur
bukanlah benda, melainkan skemata yang hanya tampil dan dan melalui
praktik sosial. Dengan kata lain, struktur hanya bersifat maya, artinya
hanya hadir di dalam dan melalui aktivitas agen manusia, serta ada
dalam pikiran manusia. CSR merupakan struktur, yang dalam kegiatan
CSR PT. CGI masyarakat menghargai positif bantuan pembangunan
infrastruktur, khususnya pembangunan jalan Tarogong-SamarangPasirwangi. Bagi masyarakat lokal, sesuatu yang dinilai baik, apabila
bantuan tersebut mewujud, terlihat dan terasa manfaatnya. Namun
demikian masyarakat menganggap program CSR dari PT. CGI yang
pendanaannya disalurkan melalui pemerintah desa (kepala desa), tidak
transparan dan sulit dipertanggungjawabkan, yang mana program CSR
hanya diketahui oleh segelintir orang saja.
Demikian pula masyarakat menganggap apapun program yang
berasal dari PT. CGI adalah bantuan atau hibah. Masyarakat tidak
mengenal makna tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) secara lebih
mendalam, yaitu sebagai upaya membangun relasi sosial yang lebih
harmonis antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Sementara itu
juga masyarakat belum terbiasa dengan usulan kegiatan yang harus
diajukan dalam bentuk tertulis (proposal). Hal ini berkaitan dengan
latar belakang pengetahuan dan pendidikan masyarakat lokal sekitar
283
wilayah operasi PT. CGI yang secara umum (50% tingkat pendidikan
SD) masih rendah.
Prayogo (2008:85) menunjukkan bahwa ketimpangan antara
komunitas lokal merupakan keadaan yang umum ditemui di semua
praktek industri tambang di Indonesia. Setidaknya terdapat dua
penjelasan mengenai hal tersebut, pertama masyarakat lokal umumnya
menempati suatu wilayah yang terpencil dengan rata-rata masyarakat
miskin secara ekonomi; kemudian kedua industri tersebut merupakan
industri padat modal dengan teknologi tinggi yang jauh dari jangkauan
masyarakat lokal. Akibat lebih lanjut dari ketimpangan tersebut adalah
munculnya pelapisan (stratifikasi) sosial antara ‘warga perusahaan’
yang berprofesi sebagai karyawan tetap dengan ‘warga desa’ yang
umumnya berprofesi sebagai petani. Implikasi sosial dari pelapisan
vertikal dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Apabila relasi antara perusahaan dan masyarakat menuju ke
arah konflik, maka perusahaan harus segera menanggapi secara cepat
dan tepat segala tuntutan masyarakat (Prayogo, 2008:144). Masyarakat
menginginkan keterbukaan (transparancy) dalam pengelolaan dana
CSR yang disalurkan dari PT. CGI melalui pemerintah desa masingmasing setiap tahunnya. Kesulitan menemui kepada desa merupakan
persoalan tersendiri yang dihadapi oleh warga masyarakat; kalau pun
dapat bertemu dengan kepala desa, maka belum tentu usulan tersebut
dapat disetujui oleh kepala desa.
Sebagian warga berharap adanya balai latihan kerja untuk
meningkatkan keterampian dan keahlian para pencari kerja, khususnya
para pemuda. Pelatihan kerja tersebut bukan berarti untuk dapat
284
diterima kerja menjadi karyawan di Chevron, tetapi penciptaan
lapangan pekerjaan baru. Sebagian warga berharap adanya kegiatan
pendampingan, khususnya pada bantuan untuk usaha mikro kecil dan
menengah. Masyarakat memahami bahwa banyak bantuan yang
diberikan oleh PT. CGI. Namun seringkali bantuan tersebut sering
disalahgunakan, dan tidak sampai ke masyarakat. Selain minimnya
tenaga ahli yang dimiliki oleh perusahaan tersebut, mengakibatkan
minimnya kontrol dan monitoring yang dilakukan oleh PT. CGI
melalui tim PGPA. Sebagaimana dinyatakan oleh Frynas (2009: 122)
bahwa kurangnya sumber daya manusia, khususnya spesialis
pengembangan masyarakat dan CSR merupakan salah satu hambatan
penting dari gagalnya penerapan CSR di beberapa negara. Tidak
banyak orang yang ahli dalam pengembangan masyarakat dan CSR,
ditempatkan dalam unit atau divisi CSR perusahaan (ibid; 127).
Bahkan keberadaan unit atau divisi CSR di sebuah perusahaan
cenderung merupakan pelengkap dari struktur perusahaan. Fakta
menunjukkan bahwa orang yang ditempatkan di dalam divisi atau unit
CSR adalah orang-orang “tidak berposisi” atau “sekedar mengisi”
jabatan yang kosong.
Sejumlah hambatan penting lainnya dalam penerapan CSR
antara lain, perusahaan gagal dalam memahami isyu-isyu khusus yang
berkembangan di masyarakat lokal dan pemerintahan lokal. Kedua,
perusahaan gagal melibatkan masyarakat lokal sebagai beneficiaries
CSR dalam setiap tahapan pelaksanaan kegiatan pengembangan
masyarakat dan CSR. Ketiga, minimnya sumber daya manusia,
khususnya spesialis pengembangan masyarakat dan CSR. Keempat,
akibatnya SDM yang meninim menimbulkan sikap- sikap sosial dari
285
staf perusahaan yang terlalu fokus pada solusi teknis dan manajerial
jangka pendek. Kelima, seringkali program CSR tidak terintegrasi
dalam sebuah rencana pembangunan yang lebih luas, menyangkut
program pembangunan daerah atau pun pusat (Frynas, 2009: 122-130).
Keterlibatan penerima manfaat CSR dalam pelaksanaan proyek
cenderung terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali, dan paling
mungkin terbatas pada pemberian kontrak pada perusahaan lokal,
seperti CV-CV yang belum tentu memberdayakan masyarakat lokal.
Padahal, kegagalan melibatkan orang-orang lokal telah memelihara
suatu mental yang berdampak lebih buruk lagi, yaitu mentalitas
ketergantungan (dependency mentality). Persoalan-persoalan tersebut
sebetulnya dapat dihindari dengan dilakukannya diskusi mendalam dan
dengan adanya inisiatif masyarakat lokal untuk berpartisipasi dengan
menggunakan pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan alat-alat
lokal (Prayogo, 2008; 2011, Alfitri 2011, Frynas 2009).
Perusahaan seharusnya tidak sekedar mencari keuntungan
semata, namun harus memperhatikan aspek-aspek yang lebih luas dan
bahwa tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan oleh masyarakat, saat ini,
tidak lagi boleh dipandang sebagai hambatan oleh perusahaan.
Tuntutan-tuntutan tersebut sewajarnya dipandang sebagai peluang bagi
perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya sehingga bisnis dapat
berkembang dan tuntutan masyarakat pun terjawab. Perlu dibangun
suatu kesepatakan bagi seluruh perusahaan untuk melakukan tanggung
jawab sosialnya tidak sebatas pada pemenuhan ketaatan terhadap aturan
dan kewajiban (seperti pajak, amdal, ketenagakerjaan), namun perlu
adanya penanganan langsung pada masalah-masalah nyata yang
dihadapi masyarakat lokal di lingkungan sekitar perusahaan.
286
Kehadiran PT. CGI dengan kualitas sumber daya dan keahlian
yang dimilikinya untuk mengeksploitasi sumber daya alam di
lingkungan yang berdekatan dengan masyarakat masyarakat lokal,
dapat memunculkan kesadaran PT. CGI untuk melakukan kegiatan
bantuan kepada masyarakat lokal. Kesadaran tersebut tidak muncul
dengan tiba-tiba, tetapi kesadaran yang terbentuk dan melalui
perjalanan waktu, serta diperkuat melalui pengalaman-pengalaman
berinteraksi (praktik sosial) dengan masyarakat lokal (dan pemangku
kepentingan lainnya) sepanjang kehadiran mereka di tengah-tengah
masyarakat tersebut. Perjalanan waktu berpraktik sosial (berinteraksi)
antara PT. CGI dengan masyarakat lokal menunjukkan terjadinya
pengulangan (rutin) peristiwa (praktik sosial) melalui media struktur
tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga para agen (masyarakat
lokal, PT. CGI dan agen lain) turut mempengaruhi dan bahkan
membentuk struktur tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri di
wilayah mereka.
Dimensi
signifikansi
tanggung
jawab
sosial
perusahaan
berkenaan pemaknaan masyarakat lokal melalui modalitas skema
interpretatif dalam melakukan interaksi komunikasi dalam melakukan
praktik sosial. Sedangkan dimensi dominasi dengan modalitas
penguasaan sarana dan fasilitas yang ada dalam melakukan interaksi
berupa kekuasaan atau kekuatan (power) yang dimiliki masyarakat
dalam struktur tanggung sosial perusahaan. Sedangkan dimensi
legitimasi (keabsahan) berkenaan dengan modalitas norma dan sanksi
dalam struktur CSR tersebut.
287
Demikian pula masyarakat lokal memiliki klasifikasi kesadaran
sendiri dalam memandang kehadiran PT. CGI di tengah-tengah mereka,
baik kesadaran praktis maupun ‘motif tidak sadar’. Dengan
kesadarannya sendiri, masyarakat lokal memandang keberadaan
struktur tanggung jawab sosial perusahaan yaitu sebagai, sumber daya
dan aturan; masyarakat lokal membangun dan mengembangkan
praktik-praktik sosial dengan agen-agen lainnya, khususnya perusahaan
sebagai agen penting dari struktur tersebut. Masyarakat melakukan
praktik-praktik sosial melalui kesadaran akan dimensi struktur yang
terdiri dari signifikansi, dominasi dan legitimasi.
Relasi yang terjadi diantara para agen, khususnya masyarakat
lokal dengan perusahaan melalui media struktur yaitu kegiatan atau
program tanggung jawab sosial perusahaan, merupakan hubungan yang
fluktuatif. Terkadang relasinya harmonis dan terkadang pula memanas,
seiring juga dengan perjalanan waktu sejak kehadiran perusahaan di
tengah – tengah masyarakat lokal, dan pengalaman praktik-praktik
pertemuan para agen tersebut (Giddens, 2010). Sepanjang waktu
tersebut terdapat penyesuaian-penyesuaian yang perlu dilakukan dalam
struktur tanggung jawab sosial PT. CGI oleh para agen.
Demikian pula pada akhirnya perkembangan struktur tanggung
jawab sosial (kebijakan nasional dan aturan lainnya) memberikan
kemungkinan bagi para agen (khususnya masyarakat lokal dan
perusahaan) untuk melakukan praktik-praktik sosial dalam relasi
masyarakat lokal dan perusahaan. Inilah dualitas struktur tanggung
jawab sosial perusahaan yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan
PT. CGI di desa Karyamekar kecamatan Pasirwangi. Dimana para agen
288
(masyarakat lokal dan PT. CGI) mempengaruhi tanggung jawab sosial
perusahaan melalui praktik sosial yang berulang, juga struktur
(tanggung jawa sosial perusahaan) mempengaruhi tindakan-tindakan
para agen dalam melakukan relasi diantara mereka.
Prayogo (2011) menunjukkan bahwa pelaksanaan CSR yang
tidak tepat dapat menuai permasalahan yang lebih mendalam, dengan
kata lain memecahkan masalah dengan masalah baru. Kecenderungan
perusahaan melaksanakan CSR adalah melalui pemberian derma
berupa sumbangan, padahal hal tersebut berada pada tingkatan terendah
pada kedermawanan. Hendaknya perusahaan melakukan CSR dengan
itikad untuk ”growing bigger together” antara perusahaan dengan
masyarakat
setempat.
Artinya
perusahaan
seiring
dengan
perkembangannya melakukan pengembangan terhadap masyarakat agar
memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik, sehingga perusahaan dan
masyarakat dapat berkembang secara bersama-sama.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Gidden (2010: 134) yang
melihat bagaimana praktik sosial itu dilakukan terus-menerus
diperkokoh dan direproduksi menurut informasi baru, yang pada
gilirannya mengubah praktik sosial tersebut secara konstitutif. Lebih
lanjut Giddens menegaskan bahwa, melalui praktik sosial yang
dilakukan
berulang-ulang
atau
terus-menerus
itulah,
struktur
diciptakan, dan begitu sebaliknya, struktur menjadi medium yang
memungkinkan praktik sosial. Perkembangan pengetahuan dan
pemahaman para agen (masyarakat, perusahaan dan pemerintah) akan
struktur (CSR), menentukan perubahan struktur yang memberdayakan
para agen. Seiring dengan pernyataan Giddens, bahwa praktik-praktik
289
sosial yang dilakukan terus-menerus oleh agen yang memiliki
pemahaman yang sama, yang melintasi batas ruang dan waktu; maka
akan terjadi reproduksi struktur. Sebaliknya struktur sebagai hasil
(outcome)
juga akan menjadi media (media) bagi para agen
(masyarakat, perusahaan, dan pemerintah) untuk melakukan praktikpraktis CSR berikutnya yang memberdayakan dan memfasilitasi agen.
Inilah relasi dualitas dari agen dan struktur, bukan dualisme yang saling
terpisah. Suatu hubungan antara agen dan struktur yang diibaratkan
sebagai dua sisi dari satu keping uang logam (Giddens, 1986:2). Suatu
relasi agen dan struktur yang saling jalin-menjalin tanpa terpisahkan
dalam paktik sosial manusia.
Sebagai agen, masyarakat lokal memahami bahwa terdapat
upaya membangun relasi dari agen perusahaan kepada masyarakat
sekitar melalui berbagai bantuan, baik fisik maupun non fisik. Namun
demikian terdapat kesadaran dalam masyarakat lokal bahwa jika usulan
kegiatan atau bantuan sulit atau diterima, maka usulan kegiatan tersebut
akan diterima kalau mereka melakukan aksi atau demo kepada
perusahaan. Kesadaran tersebut muncul berdasarkan praktik-praktik
usulan program sebelumnya, yaitu usulan tersebut akan cair kalau
terlebih dahulu masyarakat melakukan demostrasi kepada perusahaan.
Struktur ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan merupakan
hasil dari praktik-praktik CSR sebelumnya yang cenderung bersifat
bantuan sosial (social asistance) atau karitatif semata.
Dinamika relasi yang terjadi antara masyarakat lokal dengan
perusahaan, terkadang harmonis dan terkadang pula memanas, seiring
juga dengan perjalanan waktu sejak kehadiran perusahaan di tengah –
290
tengah masyarakat lokal, dan pengalaman praktik-praktik pertemuan
para agen tersebut (Giddens, 2010). Dalam pertemuan antara agen di
sepanjang perjalanan waktu tersebut terdapat penyesuaian dan
peningkatan pemahaman masing-masing agen akan CSR. Pemahaman
agen (masyarakat) ditunjukkan dengan pola relasi konfrontatif di suatu
waktu tertentu dengan demo-demo atau aksi-aksi tuntutan masyarakat
lokal yang ditujukan kepada perusahaan. Perbedaan pemahaman para
agen dan ketidakjelasan struktur CSR tersebut telah mengakibatkan
masing-masing agen membangun dan mengembangkan praktik-praktik
sosial dengan cara-cara yang dipandang sesuai menurut para agen
sendiri.
291
292
BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikemukakan
simpulan sebagai berikut, bahwa perusahaan dan masyarakat
membangun relasi melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan
dengan latar pemahaman yang berbeda-beda. Pemahaman berbeda dari
masing-masing agen, yaitu masyarakat lokal dan pihak perusahaan
akan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tersebut menentukan
pola relasi sosial antara masyarakat dan perusahaan mengarah pada
disharmonis atau harmonis. Ketidakjelasan struktur dalam hal ini
kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan, baik pusat maupun
daerah, turut menyumbang ketidakharmonisan relasi yang terbangun
antara perusahaan dengan masyarakat. Temuan-temuan tersebut
memperkuat teori struktur-agen Giddens, mengenai strukturasi dimana
agen (masyarakat, perusahaan dan pemerintah) diasumsikan memiliki
pengetahuan praktis mengenai struktur yaitu peraturan dan sumber
daya yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sosial. Melalui
pengetahuan praktis tersebut agen merekonstruksi (reproduksi) kembali
struktur, sekaligus pula agen melakukan praktis sosial melalui media
struktur. Dengan demikian relasi agen-struktur merupakan relasi sosial
yang bersifat dinamis.
293
Kemudian secara khusus dapat dikemukakan simpulan sebagai
berikut:
1. Pelaksanaan kegiatan tanggungjawab sosialnya oleh perusahaan
dilakukan dengan alasan utama dalam rangka pengamanan atas
operasional perusahaan. Bagi perusahaan berjalannya operasi
perusahaan di wilayah tersebut merupakan prioritas pokok,
sehingga dengan pemahamannya segala upaya akan dilakukan
melalui struktur CSR, untuk meredam setiap gejolak yang muncul
di masyarakat.
2. Terdapat pemahaman yang berbeda antar agen, yaitu masyarakat
dan perusahaan, serta perusahaan, mengenai struktur tanggung
jawab sosial perusahaan. Agen (masyarakat) memahami keberadaan
agen perusahaan asing yang telah mengeksploitasi sumber daya
alam ‘milik’ masyarakat, sehingga masyarakat memandang wajar
apabila perusahaan melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaannya bagi warga masyarakat lokal khususnya dan
masyarakat luas umumnya. Sementara agen-perusahaan memiliki
pemahaman bahwa mereka telah memenuhi semua aturan dan
ketentuan berlaku, termasuk pelaksanaan kegiatan tanggung jawab
sosial
perusahaan
(CSR).
Perbedaan
antar
agen
tersebut
menimbulkan relasi dinamis yang terjadi antara masyarakat dan
perusahaan. Sementara pemerintah daerah, sebagai agen yang
seharusnya bertanggung jawab dalam pembangunan masyarakat
dalam rangka mensejahterakan masyarakat tidak berjalan secara
optimal, turut menyumbang situasi relasi dinamis yang terjadi
antara perusahaan dan masyarakat.
294
3. Pengetahuan dan pemahaman masing-masing agen (masyarakat dan
perusahaan) akan struktur (CSR) yang terus berkembang,
mempengaruhi rasionalisasi dan motivasi agen dalam melakukan
praktik sosial. Motivasi meliputi keinginan dan hasrat yang
mendorong para agen melakukan praktik sosial. Rasionalisasi yaitu
mengembangkan
kebiasaan
sehari-hari
yang
tidak
hanya
memberikan rasa aman kepada agen, tetapi juga memungkinkan
para agen menghadapi praktik sosial mereka.
4. Ketidakjelasan struktur, yaitu aturan-aturan dan sumber daya
mengenai tanggung jawab sosial perusahaan turut menyumbang
dinamika relasi yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat
lokal. Hal tersebut memperkuat teori struktur-agen Giddens,
mengenai struktur, bahwa sebagai aturan, struktur merupakan acuan
bagi agen untuk berpraktik sosial dalam rangka menjalankan
kehidupan sosialnya. Jika struktur CSR yang tidak jelas kemudian
dipahami secara berbeda oleh masing-masing agen (masyarakat,
perusahaan dan juga pemerintah), maka para agen pun akan
bertindak dengan cara yang berbeda pula menurut pemahamannya
masing-masing. Demikian pula pada akhirnya perkembangan
struktur tanggung jawab sosial (kebijakan nasional dan aturan
lainnya) memberikan kemungkinan bagi para agen (khususnya
masyarakat lokal dan perusahaan) untuk melakukan praktik-praktik
sosial dalam relasi masyarakat lokal dan perusahaan. Inilah dualitas
struktur tanggung jawab sosial perusahaan yang terjadi di antara
masyarakat lokal dengan perusahaan di suatu wilayah.
295
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh temuan penelitian bahwa
relasi antara perusahaan dan masyarakat lokal melalui kegiatan
tanggung jawab sosial perusahaan dipengaruhi oleh kesadaran masingmasing agen akan struktur CSR tersebut. Perbedaan pemahaman dari
masing-masing agen akan struktur CSR dan ketidakjelasan struktur
CSR bagi setiap agen menimbulkan dinamika relasi yang tidak
harmonis antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Berdasarkan hal
tersebut dapat dikemukakan saran pengembangan keilmuan (akademik)
dan guna laksana (praktis) sebagai berikut:.
1. Rekomendasi Akademik
1) Kajian-kajian
strukturasi
tentang
Giddens
hubungan
dapat
struktur-agen
dilakukan
dalam
dalam
teori
praktik-praktik
kehidupan sosial lainnya, untuk memperkuat, mengkritisi dan
memperdalam kajian sosiologi dalam konteks Indonesia khususnya.
2) Perlu kajian mengenai bagaimana relasi agen-struktur dapat
menciptakan pola-pola praktik-praktik sosial (CSR) yang positif
seiring dengan
perkembangan kesadaran
(pengetahuan dan
pemahaman) para agen (perusahaan, masyarakat, dan pemerintah)
sehingga terbentuk struktur positif yang memberdayakan dan
memandirikan masyarakat lokal.
3) Penelitian tentang pola kerjasama antara pemerintah (desa,
kecamatan dan kebupaten), perusahaan, dan masyarakat dalam
kaitan dengan tata kelola yang baik (good governance) dalam
program CSR yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat
296
yang tinggal di sekitar lokasi operasi perusahaan eksploratif.
Termasuk kajian tentang bagaimana membentuk struktur berupa
kebijakan daerah yang sesuai dengan relasi antar agen masyarakat,
perusahaan, dan pemerintah, serta stakeholder lainnya.
4) Perlu kajian mengenai pengetahuan dan kearifan lokal (local
wisdom) sebagai upaya peningkatan pemahaman bagi agen
perusahaan dan pemerintah pada masyarakat lokal di sekitar
wilayah operasi pertambangan, agar diperoleh program CSR dan
pengembangan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai sosiokultural masyarakat lokal.
5) Kajian mengenai struktur perlu terus dilakukan, yaitu terhadap
kebijakan baik berupa undang-undang atau pun peraturan
pemerintah lainnya yang sesuai dan seiring dengan pemahaman
para agen yang terlibat dalam penerapan CSR (struktur) di suatu
wilayah tertentu.
2. Rekomendasi Praktis
1) Peningkatan pengetahuan para agen (masyarakat, pemerintah
daerah dan perusahaan) atas struktur (CSR) agar diperoleh
pemahaman yang sama diantara berbagai agen yang terlibat dan
berkait
dengan
kegiatan
CSR
tersebut.
Sehingga
dengan
pemahaman yang sama dari setiap agen tentang struktur CSR,
diharapkan akan membangun tata kelola (good governance) relasi
yang harmonis dan sinergis antara perusahaan, masyarakat dan
pemerintah. Dengan strategi sebagai berikut:
297
(1) Membangun komunikasi yang jujur dan terbuka, baik secara
formal maupun informal secara berkala dan terus-menerus
diantara para agen mengenai struktur CSR. Agar tercipta
suatu pemahaman dan pengertian yang sama tentang
tanggung jawab sosial perusahaan dari semua pihak.
(2) Pelibatan masyarakat tersebut dapat dilakukan dalam setiap
proses
atau
tahap
pengembangan
masyarakat,
agar
menumbuhkan kesadaran kepemilikan pemeliharaan akan
produk pembangunan, sebagai bagian dari peningkatan
pengetahuan dan pemahaman masing-masing agen. Serta
menumbuhkan keberdayaan masyarakat dalam setiap proses
pengembangan masyarakat, yaitu mulai dari mengkaji
potensi-potensi dan masalah-masalah yang terdapat di
masyarakat secara bersama-sama, saat pelaksanaan kegiatan
CSR, serta monitoring dan evaluasi bersama. Demikian pula
masyarakat diberi peluang untuk mengetahui keberadaan
perusahaan di sekitar mereka agar tercipta pemahaman
bersama antara masyarakat dengan perusahaan, serta
pemerintah. .
2) Mengkaji dan memperbaiki struktur kebijakan mengenai CSR yang
sudah ada, secara bersama-sama baik perusahaan-masyarakatpemerintah daerah, yang mungkin belum sesuai penerapannya di
setiap daerah, sehingga memungkinkan membangun struktur CSR
yang sesuai dengan kondisi di masing-masing wilayah. Jika
dimungkinkan membuat peraturan daerah (perda) tentang CSR
yang tidak bertentangan kebijakan nasional sebelumnya, di masingmasing daerah. Kemudian mensosialisasikan dan menerapkan
298
peraturan daerah (perda) tersebut secara konsisten oleh masingmasing agen , yaitu masyarakat, pemerintah daerah dan perusahaan,
serta agen-agen (stakeholder) lainnya terkait dengan kepentingan
CSR.
3) Kembangkan praktik-praktik sosial (kegiatan CSR) yang baik dan
terus-menerus (rutin) sehingga terbiasa dan terstruktur yaitu melalui
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dari setiap agen-agen
(stakeholder). Sebab praktik sosial atau praktik tanggung jawab
sosial yang baik, adalah yang memberdayakan, partisipatif,
kebersamaan, gotong royong; sehingga akan menciptakan struktur
relasi yang baik antara agen-agen (masyarakat lokal, pemerintah,
perusahaan) di saat ini dan hingga terus ke masa yang datang.
4) Semangat philanthropy perusahaan untuk membantu masyarakat
melalui program CSR harus tetap tumbuh dan dipelihara, seiring
dengan peningkatan pemahaman yang sama dari masing-masing
agen tentang CSR. Namun keinginan untuk membantu masyarakat
tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang benar (Giddens:
praktik-praktik sosial), cara-cara yang memberdayakan dan caracara yang membuat masyarakat menjadi mandiri. Bukan sebaliknya
menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan CSR.
Sehingga diperlukan kesabaran, kesungguhan dan keikhlasan dalam
melaksanakan program CSR. Sebab, penting untuk dicamkan oleh
semua pihak bahwa tanggung jawab sosial perusahaan bukan
sekedar besarnya dana bantuan yang digelontorkan kepada
masyarakat.
299
300
SUMBER PUSTAKA
Buku:
Astrid.S. 1984. Sosiologi Pembangunan. Bandung, Bina Cipta.
_______ 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung :
Bina Cipta.
Alford, H. & Naughton, M. 2002. Beyond the Shareholder Model of the
Firm: Working toward the Common Good of a Business, in
S.A. Cortright and M. Naughton (Eds) Rethinking the
purpose of Business. Interdisciplinary Essays from the
Catholic Social Tradition. Notre Dame: Notre Dame
University Press.
Alwasilah, A.C. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang
dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya.
Belal, 2008. Corporate Social Responsibility Reporting in Developing
Countries, The Case of Bangladesh. Burlington USA:
Ashgate Publishing Company.
Bernstein, A. 1989. Social Theory as a critique, dalam David Held &
John Battenson (eds) Social Theory of Modern Societies:
Anthony Giddens and his critiques. New York: Cambridge
University Press.
Bourdieu, 2010. From the model of reality to the reality of the model,
in P. J. Martin and A. Dennis (eds.), Human Agents and
Social Structures, Manchester: Manchester University
Press.
Bonnafous-Boucher & Pesqueux. 2005. Stakeholder Theory, A
European Perspective. New York: Palgrave Macmillan.
Budi, UH. 2009. Corporate Social Responsibility. Sinar Grafika:
Jakarta.
301
Budimanta A., Prasetijo A., & Rudito B., 2005. Corporate Social
Responsibility, Jawaban bagi Model Pembangunan
Indonesia Masa Kini. Indonesia Center for Sustainable
Development (ICSD).
Bungin, B. 2008. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
-------------. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Cohen, Ira. J. 2008. Teori Strukturasi dan Praksis Sosial, dalam
Giddens, A. dan Turner, J (penyunting). Social Teory
Today, Panduan Sistematis dan tren Terdepan Teori Sosial.
Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, J.W. 2002. Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Terjemahan Nur Khabibah. Jakarta: KIK Press.
Crowther, D. 2008. Corporate Social Responsibility. United Kingdom:
Ventus Publishing ApS.
Donaldson, T. & Dunfee, T.W. 1999. Ties that Bind: A Social
Contracts Approach to Business Ethics. Boston: Harvard
Business School Press.
Emil S. 1987. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara.
Frynas, JG. 2009. Beyond Corporate Social Responsibility, Oil
Multinationals and Social Challenges. Cambridge:
Cambridge University Press.
Gerungan. 1988. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Eresco.
Giddens,A. 1986. Kapitalisme dan teori sosial modern: Suatu analisis
karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Terjemahan
Soeheba Kramadibrata. Jakarta: UI Press.
---------------. 1990. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity
Press.
---------------. 1999. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial.
Terjemahan Ketut Arya Mahardika. Jakarta: PT. Gramedia.
302
---------------. 2009. Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan, Masa Depan
Politik Radikal. Terjemahan Dariyatmo. Yogayakarta:
Pustaka Pelajar
---------------. 2009. Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi,
struktur, dan kontradiksi dalam analisis sosial.
Terjemahan Dariyatmo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
---------------. 2010. Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru.
Terjemahan Eka Adinugraha & Wahmuji. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
---------------. 2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan
Struktur Sosial Masyarakat. Terjemahan Maufur &
Daryatno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
---------------, 2011. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Terjemahan
Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Gidden, Bell & Forse. 2004. Sosiologi, Sejarah dan Berbagai
Pemikirannya. Terjemahan Ninik Rochani Syam.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Graha Ilmu:
Yogyakarta.
Haralambos, M., Heald, R.M. & Holborn, M. 2004. Sociology Themes
and Perspectives 6th ed. London: Collins Educational.
Hawkins,
2006. Corporate Social Responsibility, Balancing
Tomorrow’s Sustainability and Today’s Profitability. New
York: Palgrave Macmillan.
Henderson, D. 2001.Misguided Virtue, False Notion of Corporate
Sosial Responsibility. London: The Institute of Economic
Affairs.
Hond, De Bakker & Neergaard, 2007. Managing Corporate Social
Responsibility in Action, Talking, Doing and Measuring.
Hampshire: Ashgate Publishing Limited.
303
Hopkins, 2007. Corporate Social Responsibility and International
Development, Is Bussiness the Solution?. London &
Sterling: Earthscan.
Ibrahim, R. 2005. Bukan Sekedar Berbisnis: Keterlibatan Perusahaan
dalam Pemberdayaan Masyarakat. Depok: PIRAMEDIA.
Idowu & Filho (eds). 2009. Global Practices of Corporate Social
Reponsibility. Hamburg: Springer.
__________. 2009. Professionals’ Perspectives of Corporate Social
Responsibility. Heidelberg Berlin: Springer.
Ife, J. 2002. Community Development Community-based Alternatives in
an Age of Globalisation. Australia: Pearson Education
Jenkins, R. 2010. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Terjemahan
Nurhadi. Bantul: Kreasi Wacana.
Jhon.S.N. 1984. Aspek-Aspek Psikologi yang Berpengaruh Dalam
Pengembangan Pabrik PT. Pupuk Kujang Cikampek Jawa
Barat. Bandung, Fakultas Psikologi Universitas
Padjadjaran.
Jonker & de Witte, 2006. Management Models for Corporate Social
Responsibility. Heidelberg, Germany: Springer.
Karspersen, L.B. 2000. Anthony Giddens: An Introduction to a Social
Theorist. USA: Wiley & Sons.
Khadijah, U.L.S. 2011. Komunikasi Pembangunan (Sebuah Studi
Relasi Sosial pada Masyarakat dan Industri). Bandung:
Unpad Press.
Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:
Dian Rakyat.
----------------------. 1979. Metode-Metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: PT. Gramedia.
304
Leimona & Fauzi. 2008. CSR dan Pelestarian Lingkungan, Mengelola
Dampak: Positif dan Negatif. Yayasan Business Links:
Jakarta.
Mar’at dkk. 1991. Sikap Masyarakat terhadap Pabrik Pupuk Kujang
Cikampek Jawa Barat. Bandung, Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran.
Masri S.& Sofian E. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta, LP3S.
Maurrasse & Jones, 2004. A Future for Everyone, Innovative Social
Responsibility and Community Partnerships. New York &
London: Routledge.
May, C. & Roper, 2007. The Debate Over Corporate Social
Responsibility. New York: Oxford University Press
Mele, D. 2002. Not only Stakeholder Interest. The Firm Oriented
toward the Common Good. Notre Dame: University of
Notre Dame Press.
Moleong, L.J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Desa. Yogyakarta: P3PK,
Universitas Gadjah Mada.
Parker,
Brown, Child and Smith. 1990.
(Terjemahan). Jakarta: Rineka Cipta.
Sosiologi
Industri
Parsons, T, 1991. The Social System. London: Routledge.
Patton, M.Q. 1991. How to use Qualitative Methods in Evaluation.
Terjemahan Budi Puspo Priyadi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Poerwanto. 2010, Corporate Soscial Responsibility, Menjinakan
Gejolak Sosial di Era Pornografi. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
305
Prayogo, D. 2011. Socially Responsible Corporation: Peta Masalah,
Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan Komunitas
pada Industri Tambang dan Migas. Jakarta: UI Press.
--------------. 2008. Konflik antara Korporasi dengan Komunitas Lokal:
Sebuah Kasus Empirik pada Industri Geotermal di Jawa
Barat. Jakarta: UI Press.
Priyono, B.H. 2003. Anthony Giddens: Suatu pengantar. Jakarta: PT.
Gramedia.
Preston, L.E. & Post, J.E. 1975. Private Management and Public
Policy. The Principle of Public Responsibility. New Jersey:
Prentice Hall.
Radyati, M.R. & Nindita. 2008. CSR untuk Pemberdayaan Ekonomi
Lokal. Yayasan Indonesia Business Links: Jakarta.
Raillon, F. 1990. Indonesia Tahun 2000 Tantangan Teknologi dan
Industri. Jakarta, CV. Haji Masagung.
Ritzer G. & Goodman, D.J., 2007. Teori Sosiologi Modern.
Terjemahan Alimandan. Jakarta: Kencana.
Ritzer G., 2008. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan Noor Alif
Maulana. Yogyakarta: Kreasi Kencana.
Rudito, B., Budimanta, A. & Prasetijo. A. 2004. Corporate Social
Responsibility: Jawaban Bagi Model Pembangunan
Indonesia Masa Kini. Jakarta: Indonesia Center for
Sustainable Development.
Rudito, B. & Famiola, M. 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan di Indonesia.Bandung: Rekayasa Sains.
Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Jakarta: Graha Ilmu.
Schneider, 1986. Sosiologi Industri (Terjemahan). Aksara Persada.
306
Soekanto, H. T. 1983. Beberapa Aspek Sosio-Yuridis Masyarakat.
Bandung: Alumni.
Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali Pers.
Soemardjan, S. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Suharto,
E. 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri,
MemperkuatTanggungjawab
Sosial
Perusahaan
(Corporate Social Responsibility). PT. Refika Aditama:
Bandung.
------------, 2010. CSR dan Comdev: Investasi Kreatif Perusahaan di
Era Globalisasi. Alfabeta: Bandung.
Susanto,
AB. 2009. Reputation-Driven Corporate Social
Responsibility, Pendekatan Strategic Management dalam
CSR. Esensi- Erlangga
Tjagger, I Nyoman. 2003. Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas
Bisnis Indonesia. Jakarta: Prenhallindo.
Tjokroamidjojo, Bintoro, 2000, Good Governance: Paradigma Baru
Manajemen Pembangunan, Jakarta: UI Press
Werna, K & Murphy, 2009. Corporate Social Responsibility and
Urban Development, Lessons from The South. Palgrave
Macmillan: New York.
World Business Council for Sustainable Development. 2000.
Corporate Social Responsibility: Making Good Business
Sense. Geneve: World Business Council for Sustainable
Development.
Tesis, Disertasi dan Laporan Penelitian:
Alfitri. 2010. Program Community Development perusahaan Migas
dalam Penguatan Modal Sosial (Studi di Lima Desa pada
Dua Kabupaten di Sumatera Selatan. Bandung:
Pascasarjana Unpad.
307
Alfitri, Yenrizal & Imron Hakim. 2004. Program Stakeholder
Engagement Initiation di Desa-desa sekitar wilayah
Operasi Conoco Phillips Indonesia Inc.Ltd. di Kabupaten
Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Indralaya:
FISIP Universitas Sriwijaya.
Azwar, 2003. Implikasi Perubahan Struktur Pemilikan Tanah dalam
Relasi Sosial Komunitas Lokal di Wilayah Pinggiran Kota
Padang, Studi Kasus di Kecamatan Koto Tangah.
Universitas Padjadjaran, Tidak dipublikasikan.
Chariri, A. & Nugroho, FA., 2009. Retorika Dalam Pelaporan
Corporate Social Responsibility: Analisis Semiotik atas
Sustainability Reporting PT. Aneka Tambang Tbk. FE
Undip
Nanlohy,
M.M. 2005. Program Community Development
Pertambangan Emas dalam meningkatkan kemandirian
Masyarakat Desa Lurang, Pulau Wetar, Kabupaten
Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Bandung:
Pascasarjana Unpad.
Ngadisah. 2002. Gerakan Sosial di Kabupaten Mimika, Studi Kasus
tentang Konflik Pembangunan Proyek Pertambangan
Freeport. Depok: FISIP UI.
Suharto, Ign. 2010. Pengaruh Program Pengembangan Masyarakat
terhadap
Kemampuan
Masyarakat
Meningkatkan
Kesejahteraannya di Desa Padaawas, Kecamatan
Pasirwangi,
Kabupaten
Garut
(Studi
Program
Pengembangan Masyarakat di Kawasan Pembangkit
Listrik tenaga Panas Bumi PT. Chevron).FISIP Unpad.
Tahyudin. 2001. Pemberdayaan Masyarakat di Provinsi Sumatera
Selatan dan Provinsi Bangka Belitung. Indralaya:
Lembaga Penelitian Unsri.
Wahyudi, I. & Muzni, A.I. 2005. Implementasi CSR oleh Perusahaan
Migas di Kabupaten Gresik. Yogyakarta: UGM.
308
Yuniasih, NW. & Wirakusuma, M.G. (Tanpa Tahun). Pengaruh
Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan dengan
Pengungkapan Corporate Social Responsibility dan Good
Governance sebagai variabel Pemoderasi. Jurusan
Akuntansi FE, Universitas Udayana
Jurnal dan Karya Ilmiah:
Ackerman, R.W. 1973. How Companies Respond to Social Demands.
Harvard University Review 51(4), hal. 88-98.
Alt, J.E. & Lassen, D.D. 2006a. Fiscal transparency, political parties,
and debt in OECD countries. European Economic Review
50(6), hal. 1403-1439.
Alt, J.E. & Lassen, D.D. 2006b. Transparency, political polarization,
and political budget cycles in OECD countries. American
Journal of Political Science 50(3), hal. 530-550.
Barney J. 1991. Firm Resource and Sustained Competitive Advantage.
Journal of Management 17, hal. 99-120.
Blowfield, M. & Frynas, JG. 2005. Editorial: setting new agendas –
critical perspectives on corporate social responsibility in
the developing world. International Affairs 81 (3): hal.
499-513.
Cassel, D. 2001. Human Rights Business Responsibilities in the Global
Marketplace. Business Ethics Quarterly 11(2), hal. 261274.
Cetindamar, D. Husoy, K. 2007. Corporate Social Responsibility
Practices and Environmentally Responsible Behavior: The
Case of The United Nations Global Compact. Journal of
Business Ethics 76: 163-176.
Christensen, C., Craig, T. & Hart. S. 2001. The Great Disruption.
Foreign Affairs 80(2), hal. 80-96.
309
Christensen, CM. & Overdorf, M. 2000. Meeting the Challenge of
Disruptive Change. Harvard Business Review 78(2), hal.
66-75.
Cooper, S. & Wagman, G. 2009. Corporate Social Responsibility: A
Study of Progression to the Next Level. Journal of Business
& Economics Research—May, Volume: 7, Number 5.
Davis, K. 1960. Can Business Afford to Ignore Corporate Social
Responsibilities? California Management Review 2, hal.
70-76.
--------------. 1967. Understanding the Social Responsibility Puzzle.
Business Horizons 10(4), hal. 45-51.
DeTienne, K.B & Lewis, LW. 2005. The Pragmatic and Ethical
Barriers to Corporate Social Responsibility Disclosure:
The Nike Case. Journal of Business Ethics 60: 359-376.
Donaldson, T. & Dunfee, T.W. 1994. Towards a Unified Conception of
Business Ethics: Integrative Social Contracts Theory.
Academy of Management Review 19, hal. 252-284.
Donaldson, T. & Preston, L.E. 1995. The Stakeholder theory of the
Corporation: Concepts, Evidence and Implications.
Academy of Management Review 20(1), hal. 65-91.
Ebner, D. & Baumgartner, R. 2006. The Relationship Between
Sustainable Development and Corporate Social
Responsibility. Corporate Responsibility Research
Conference 2006, 4th – 5th September, Dublin.
Eweje, G. 2007. Multinational oil companies CSR inisitaives in
Nigeria, The Scepticism of Stakeholders in Host
communities. Managerial Law 49:218-235
Fredericsen, C.S. 2010. The Relation Between Policies Concerning
Corporate Social Responsibility (CSR) and Philosophical
Moral Theories – An Empirical Investigation. Journal of
Business Ethics 93: 357-371.
310
Garriga, E & Mele, D. 2004. Corporate Responsibility Theories:
Mapping the Territory. Journal of Business Ethic 53: 5171
Gelos, G. & Wei, Shang-Jin. 2005. Transparency and international
portfolio holdings. Journal of Finance 60(6), hal. 29873020.
Han, Lee, & Khang. 2008. Influential Factors of The Social
Responsibility of Newspaper Corporations in South Korea.
Journal of Business Ethics 82: 667-680.
Hanke, T. & Stark, W. 2009. Strategy Development: Conceptual
Framework on Corporate Social Responsibility. Journal of
Business Ethics 85: 507-516.
Harmoni, A. 2009. Interaktivitas Isu CSR pada Laman Resmi
Perusahaan, Studi pada PT. Indocement Tunggal
Prakarsa. Disampaikan dalam Seminar Nasional Aplikasi
Teknologi Informasi (SNATI 2009), Yogyakarta
Hartman, Rubin, & Dhanda. 2007. The Communication of Corporate
Social Responsibility: United States and European Union
Multinational Corporations. Journal of Business Ethics
74:373-389.
Heracleous dan Hendry, 2000. “Discourse and the study of
organization: toward a structurational perspective”
Human Relation 2000:53;1251. Sage Publication)
Idemudia, U. 2009. Oil Extraction and Poverty Reduction in the Niger
Delta: A Critical Examination of Partnership Inisiatives.
Journal of Business Ethic; 90:91-116
Imbun, B.Y. 2007. Cannot Manage without The ‘Significant Other’:
Mining, Corporate Social Responsibility and Local
Communities in Papua New Guinea. Journal of Business
Ethic 73:177-192
Kampf, C. 2007. Corporate Social Responsibility WalMart, Maersk
and the Cultural Bounds of Representation in Corporate
311
Web Sites. Corporate Communications: An International
Journal 12: 41-57.
Kaptein, M. & Van Tulder, R. 2003. Toward Effective Stakeholder
Dialogues. Business and Society Review 108 (summer),
hal. 203-225.
Kirchberg, V. 2007. Cultural Sociology, vol. I (I): 115-135, Sage
Publication
Lockett, A., Moon, J. & Wisser, W. 2006. Corporate social
responsibility in management research: focus, nature,
salience and sources of influence. Journal of Management
Studies 43(1), hal. 115-136.
Maak, T. 2008. Undivided Corporate Responsibility: Towards a Theory
of Corporate Integrity. Journal of Business Ethics 82: 353368.
Matten, D., Crane, A. & Chapple, W. 2003. Behind deMask: Revealing
the True Face of Corporate Citizenship. Journal of
Business Ethics 45(1-2), hal. 109-120.
Murray, K.B. & Montanari, J.R. 1986. Strategic Management of the
Socially Responsible Firm: Integrating Management and
Marketing Theory. Academy of Management Review 11
(4), hal. 815-828.
Porter, M.E. & Kramer, M.R. 2002. The Competitive Advantage of
Corporate Philanthropy. Harvard Business Review 80(12),
hal. 56-69.
Prayogo, D. 2010. Anatomi Konflik Antara Korporasi dan Komunitas
Lokal: Studi Kasus pada Industri Geothermal di Jawa
Barat. Makara, Sosiohumaniora Vol.14, No.1.:25-34.
--------------, 2008. Corporate Social Responsibility, Social Justice dan
Distributive Welfare dalam Industri Tambang dan Migas
di Indonesia. Jurnal Galang Vol.3.No.3: 57:74.
Preston, L.E. & Post, J.E. 1981. Private Management and Public
Policy. California Management Review 23(3), hal. 56-63.
312
Priyono, B.H. 2000. Sebuah Terobosan Teoritis, Basis, No.1-2, Tahun
ke-49, Januari-Februari 2000, 16.
Sethi, S.P. 1975. Dimensions of Corporate Social Performance: An
Analytical Framework. California Management Review
17(3), 58-65.
Smith, T.W. 1999. Aristotle on the Condition for and Limits of the
Common Good. American Political Science Review 93(3),
hal. 625-637.
Sukarmi. 2008. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility) dan Iklim Penanaman Modal di Indonesia.
Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 5(2). Hal. 9-20
Wartick, S.L. & Rude, R.E. 1986. Issues Management: Corporate Fad
or Corporate Function? California Management Review
29(1), hal. 124-132.
Wernefelt, B. 1984. A Resource Based View of the Firm. Strategic
Management Review 5, hal. 171-180.
Wheeler, D., Colbert, B., & Freeman, R.E. 2003. Focusing on Value:
Reconciling
Corporate
Social
Responsibility,
Sustainability and a Stakeholder Approach in a Network
World. Journal of General Management 28(3), hal 1-29.
Windsor, D. 2001. The Future of Corporate Social Responsibility.
International Journal of Organizational Analysis 9 (3), hal.
225-256.
Wood, D.J. & Lodgson, J.M. 2002. Business Citizenship: From
Individuals to Organizations. Business Ethics Quarterly,
Ruffin Series, No. 3, hal. 59-94.
Wood, D.J. 1991. Corporate Social Performance Revisited. Academy
of Management Review 16(4), hal. 691-718.
313
Varadarajan, P.R., & Menon, A. 1988. Cause-Related Marketing: A
Coalignment of Marketing Strategy and Corporate
Philanthropy. Journal of Marketing 52(3), hal 58.
Sumber lain:
Profil Desa Karya Mekar, Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut
2012
Profil Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut 2012
Profil Kecamatan Samarang Kabupaten Garut 2012
Sumber Elektronik:
www.csrindonesia/pubtulis
314
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 47 TAHUN 2012
TENTANG
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERSEROAN TERBATAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas;
Mengingat
1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TANGGUNG JAWAB
SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERSEROAN TERBATAS.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan
adalah badan hukum yang merupakan persekutuan
modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang
Perseroan
Terbatas
serta
peraturan
pelaksanaannya.
2. Rapat . . .
-22.
3.
4.
Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut
RUPS adalah organ Perseroan yang mempunyai
wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau
Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar.
Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus
sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada Direksi.
Pasal 2
Setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung
jawab sosial dan lingkungan.
Pasal 3
(1)
(2)
Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban bagi
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
berdasarkan Undang-Undang.
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan
Perseroan.
Pasal 4
(1)
(2)
Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh
Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan
setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau
RUPS sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Rencana kerja tahunan Perseroan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat rencana kegiatan dan anggaran
yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan.
Pasal 5 . . .
-3Pasal 5
(1)
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam,
dalam menyusun dan menetapkan rencana kegiatan dan
anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
harus memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(2)
Realisasi anggaran untuk pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan yang dilaksanakan oleh Perseroan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan.
Pasal 6
Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dimuat
dalam
laporan
tahunan
Perseroan
dan
dipertanggungjawabkan kepada RUPS.
Pasal 7
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang tidak
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 8
(1)
Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 tidak menghalangi Perseroan
berperan serta melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2)
Perseroan yang telah berperan serta melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penghargaan oleh
instansi yang berwenang.
Pasal 9
Peraturan Pemerintah
diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar . . .
-4Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan
Peraturan
Pemerintah
ini
dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 89
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,
Setio Sapto Nugroho
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 47 TAHUN 2012
TENTANG
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERSEROAN TERBATAS
I. UMUM
Peraturan Pemerintah ini melaksanakan ketentuan Pasal 74 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam
Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai tanggung jawab sosial dan
lingkungan yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan
yang bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat pada
umumnya maupun Perseroan itu sendiri dalam rangka terjalinnya
hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, Perseroan yang kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kegiatan dalam
memenuhi kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut
harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut dimaksudkan
untuk:
1.
meningkatkan kesadaran Perseroan terhadap pelaksanaan tanggung
jawab sosial dan lingkungan di Indonesia;
2.
memenuhi perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat
mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan; dan
3.
menguatkan pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang
telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sesuai
dengan bidang kegiatan usaha Perseoan yang bersangkutan.
Sehubungan . . .
-2Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam Peraturan Pemerintah ini
diatur mengenai:
1.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh Perseroan
dalam menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang.
2.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dilakukan di
dalam ataupun di luar lingkungan Perseroan.
3.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan berdasarkan
rencana kerja tahunan yang memuat rencana kegiatan dan anggaran
yang dibutuhkan untuk pelaksanaannya.
4.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan disusun dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
5.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan wajib dimuat
dalam laporan tahunan Perseroan untuk dipertanggungjawabkan
kepada RUPS.
6.
Penegasan pengaturan pengenaan sanksi Perseroan yang tidak
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
7.
Perseroan yang telah berperan dan melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan dapat diberikan penghargaan oleh instansi
yang berwenang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ketentuan ini menegaskan bahwa pada dasarnya setiap Perseroan
sebagai wujud kegiatan manusia dalam bidang usaha, secara moral
mempunyai komitmen untuk bertanggung jawab atas tetap terciptanya
hubungan Perseroan yang serasi dan seimbang dengan lingkungan dan
masyarakat setempat sesuai dengan nilai, norma, dan budaya
masyarakat tersebut.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang
kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya
alam.
Yang . . .
-3Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah
Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber
daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi
kemampuan sumber daya alam termasuk pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Yang dimaksud dengan “berdasarkan Undang-Undang” adalah
undang-undang beserta peraturan pelaksanaan undang-undang
mengenai sumber daya alam atau yang berkaitan dengan sumber
daya alam, serta etika menjalankan perusahaan, antara lain:
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perindustrian,
kehutanan, minyak dan gas bumi, badan usaha milik negara,
usaha panas bumi, sumber daya air, pertambangan mineral dan
batu bara, ketenagalistrikan, perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, larangan praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, serta
perlindungan konsumen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kecuali ditentukan lain dalam peraturan
perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan
menentukan lain bahwa persetujuan atas rencana kerja diberikan
oleh RUPS, maka anggaran dasar tidak dapat menentukan
rencana kerja disetujui oleh Dewan Komisaris atau sebaliknya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepatutan dan kewajaran”
adalah
kebijakan Perseroan, yang disesuaikan dengan kemampuan
keuangan Perseroan, dan potensi risiko yang mengakibatkan
tanggung jawab sosial dan lingkungan yang harus ditanggung oleh
Perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya yang tidak
mengurangi kewajiban sebagaimana yang ditetapkan dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kegiatan usaha Perseroan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6 . . .
-4Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan dengan “dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala
bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
terkait.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tidak menghalangi Perseroan berperan
serta melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan” adalah
Perseroan tetap dapat melakukan tanggung jawab sosial dan
lingkungan selain yang telah menjadi kewajibannya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penghargaan” misalnya fasilitas atau
bentuk penghargaan lainnya.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5305
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2007
TENTANG
PENANAMAN MODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 perlu dilaksanakan pembangunan eknomi
nasional yang berkelanjutan dengan berlandaskan
demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuan
bernegara;
b. bahwa sesuai dengan amanat yang tercantum
dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang
Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi,
kebijakan penanaman modal selayaknya selalu
mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan
pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi;
c. bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi
nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan
ekonomi
Indonesia
diperlukan
peningkatan
penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi
menjadi
kekuatan
ekonomi
riil
dengan
menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam
negeri maupun dari luar negeri;
d. bahwa
dalam
menghadapi
perubahan
perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia
dalam berbagai kerja sama internasional perlu
diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif,
promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan,
dan
efisien
dengan
tetap
memperhatikan
kepentingan ekonomi nasional;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri perlu diganti karena tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan
percepatan
perkembangan
perekonomian dan pembangunan hukum nasional,
khususnya di bidang penanaman modal;
f. bahwa berdasarkan petimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c , huruf d,
dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang
tentang Penanaman Modal.
Mengingat
: Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (5), Pasal 20, serta Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANAMAN MODAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan
menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesia.
2. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
penanam
modal
dalam
negeri
dengan
menggunakan modal dalam negeri.
3. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam
modal untuk melakukan usaha di wilayah negara
Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam
modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan
penanam modal dalam negeri.
4. Penanam modal adalah perseorangan atau badan
usaha yang melakukan penanaman modal yang
dapat berupa penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing.
5. Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan
warga negara Indonesia, badan usaha Indonesa,
negara Republik Indonesia, atau daerah yang
melakukan penanaman modal di wilayah negara
Republik Indonesia.
6. Penanaman modal asing adalah perseorangan
warga negara negara asing, badan usaha asing,
dan/atau pemerintah asing yang melakukan
penanaman modal di wilayah negara Republik
Indonesia.
7. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk
lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam
modal yang mempunyai nilai ekonomis.
8. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara
asing, perseorangan warga negara asing, badan
usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan
hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh
modalnya dimiliki oleh pihak asing.
9. Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh
negara Republik Indonesia, perseorangan warga
negara Indonesia, atau badan usaha yang
berbentuk badan hukum atau tidak berbadan
hukum.
10. Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan
penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan
yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan
wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki
kewenangan perizinan dan nonperizinan yang
proses pengelolaannya dimulai dari tahap
permohonan sampai dengan tahap terbitnya
dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.
11. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang -undangan.
12. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
13. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi
penanaman modal di semua sektor di wilayah negara
Republik Indonesia.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
(1) Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan
asas:
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. perlakukan yang sama dan tidak membedakan
asal negara;
e. kebersamaan;
f. efisiensi berkeadilan;
g. berkelanjutan;
h. berwawasan lingkungan;
i. kemandirian; dan
j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
(2) Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara
lain untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b. menciptakan lapangan kerja;
c. meningkatkan
pembangunan
ekonomi
berkelanjutan;
d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia
usaha nasional;
e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan
teknologi nasional;
f. mendorong
pengembangan
ekonomi
kerakyatan;
g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan
ekonomi riil dengan menggunakan dana yang
berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri; dan
h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BAB III
KEBIJAKAN DASAR PENANAMAN MODAL
Pasal 4
(1) Pemerintah
menetapkan
kebijakan
dasar
penanaman modal untuk:
a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional
yang kondusif bagi penanaman modal untuk
penguatan daya saing perekonomian nasional;
dan
b. mempercepat peningkatan penanaman modal.
(2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah:
a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam
modal dalam negeri dan penanam modal asing
dengan tetap memperhatikan kepentingan
nasional;
BAB V
PERLAKUAN TERHADAP PENANAMAN MODAL
Pasal 6
(1) Pemerintah memberikan perlakuan yang sama
kepada semua penanam modal yang berasal dari
negara manapun yang melakukan kegiatan
penanaman modal di Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang -undangan.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu
negara
yang
memperoleh
hak
istimewa
berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.
Pasal 7
(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan
nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan
penanam modal, kecuali dengan undang -undang.
(2) Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan
nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
akan memberikan kompensasi yang jumlahnya
ditetapkan berdasarkan harga pasar.
(3) Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai
kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2),
penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.
Pasal 8
(1) Penanam modal dapat mengalihkan aset yang
dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh
penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang
ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang
dikuasai oleh negara.
(3) Penanam modal diberi hak untuk melakukan
transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara
lain terhadap :
a. modal;
b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan
pendapatan lain;
c. dana yang diperlukan untuk :
1. pembelian bahan baku dan penolong, barang
setengah jadi, atau barang jadi; atau
2. penggantian barang modal dalam rangka
melindungi kelangsungan hidup penanaman
modal;
d. tambahan
dana
yang
diperlukan
bagi
pembiayaan penanaman modal;
e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman;
f. royalti atau biaya yang harus dibayar;
g. pendapatan dari perseorangan warga negara
asing yang bekerja dalam perusahaan
penanaman modal;
h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal;
i. kompensasi atas kerugian;
j. kompensasi atas pengambilalihan;
k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka
bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk
jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang
dilakukan di bawah kontrak proyek, dan
pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan
l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4) Hak untuk melakukan transfer dan repatriasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mengurangi :
a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer
dana;
b. hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak
dan/atau
royalti
dan/atau
pendapatan
Pemerintah lainnya dari penanaman modal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
c. pelaksanaan hukum yang melindungi hak
kreditor; dan
d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian
negara.
Pasal 9
(1) Dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang
belum diselesaikan oleh penanam modal :
a. penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta
bank atau lembaga lain untuk menunda hak
melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan
b. pengadilan berwenang menetapkan penundaan
hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi
berdasarkan gugatan.
(2) Bank atau lembaga lain melaksanakan penetapan
penundaan berdasarkan penetapan pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b
hingga selesainya seluruh tanggung jawab
penanam modal.
BAB VI
KETENAGAKERJAAN
Pasal 10
(1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi
kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan
tenaga kerja warga negara Indonesia.
(2) Perusahaan
penanaman
modal
berhak
menggunakan tenaga ahli warga negara asing
untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang -undangan.
(3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan
kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia
melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Perusahaan
penanaman
modal
yang
mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan
menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih
teknologi kepada tenaga kerja warga negara
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 11
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan ind ustrial wajib
diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah
antara perusahaan penanaman modal dan tenaga
kerja.
(2) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mencapai hasil, penyelesaiannya
dilakukan melalui upaya mekanisme tripartit.
(3) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak mencapai hasil, perusahaan
penanaman modal dan tenaga kerja menyelesaikan
perselihan hubungan industrial melalui pengadilan
hubungan industrial.
BAB VII
BIDANG USAHA
Pasal 12
(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi
kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha
atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan
terbuka dengan persyaratan.
(2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal
asing adalah :
a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan
peralatan perang; dan
b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan
tertutup berdasarkan undang-undang.
(3) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden
menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk
penanaman modal, baik asing maupun dalam
negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan,
moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan
dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional
lainnya.
(4) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup
dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar
bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka
dengan persyaratan masing-masing akan diatur
dengan Peraturan Presiden.
(5) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka
dengan
persyaratan
berdasarkan
kriteria
kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber
daya alam, perlindungan, pengembangan usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan
produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas
teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta
kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk
Pemerintah.
BAB VIII
PENGEMBANGAN PENA NAMAN MODAL
BAGI USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH,
DAN KOPERASI
Pasal 13
(1) Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang
dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka
untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja
sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi.
(2) Pemerintah
melakukan
pembinaan
dan
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi melalui program kemitraan, peningkatan
daya saing, pemberian dorongan inovasi dan
perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang
seluas-luasnya.
BAB IX
HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB
PENANAMAN MODAL
Pasal 14
Setiap penanaman modal berhak mendapat :
a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan;
b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha
yang dijalankannya;
c. hak pelayanan; dan
d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang -undangan.
Pasal 15
Setiap penanam modal berkewajiban :
a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang
baik;
b. melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan;
c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman
modal dan menyampaikannya kepada Badan
Koordinasi Penanaman Modal.
d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar
lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan
e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 16
Setiap penanam modal bertanggung jawab :
a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari
sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban
dan kerugian jika penanam modal menghentikan
atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan
usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat,
mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang
merugikan negara;
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. menciptakan
keselamatan,
kesehatan,
kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan
f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 17
Penanam modal yang mengusahakan sumber daya
alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana
secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang
memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang
pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB X
FASILITAS PENANAMAN MODAL
Pasal 18
(1) Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam
modal yang melakukan penanaman modal.
(2) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman
modal yang :
a. melakukan peluasan usaha; atau
b. melakukan penanaman modal baru.
(3) Penanaman modal yang mendapat fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang
sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria
berikut ini :
a. menyerap banyak tenaga kerja;
b. termasuk skala prioritas tinggi;
c. termasuk pembangunan infrastruktur;
d. melakukan alih teknologi;
e. melakukan industri pionir;
f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal,
daerah perbatasan, atau daerah lain yang
dianggap perlu;
g. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h. melaksanakan
kegiatan
penelitian,
pengembangan, dan inovasi;
i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah,
atau koperasi; atau
j. industri yang menggunakan barang modal atau
mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam
negeri.
(4) Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dapat berupa :
a. pajak
penghasilan
melalui
pengurangan
penghasilan netto sampai tingkat tertentu
terhadap jumlah penanaman modal yang
dilakukan dalam waktu tertentu;
b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas
impor barang modal, mesin, atau peralatan
untuk keperluan produksi yang belum dapat
diproduksi di dalam negeri;
c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan
baku atau bahan penolong untuk keperluan
produksi untuk jangka waktu tertentu dan
persyaratan tertentu;
d. pembebasan
atau
penangguhan
Pajak
Pertambahan Nilai atas impor barang modal
atau mesin atau peralatan untuk keperluan
produksi yang belum dapat diproduksi di dalam
negeri selama jangka waktu tertentu;
e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat;
dan
f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan,
khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada
wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
(5) Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan
badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya
dapat diberikan kepada penanaman modal baru
yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang
memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai
tambah
dan
eksternalitas
yang
tinggi,
memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai
strategis bagi perekonomian nasional.
(6) Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung
yang melakukan penggantian mesin atau barang
modal lainnya, dapat diberikan fasilitas berupa
keringanan atau pembebasan bea masuk.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas
fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai
dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 19
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(4) dan ayat (5) diberikan berdasarkan kebijakan
industri nasional yang ditetapkan ole h Pemerintah.
Pasal 20
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak
berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak
berbentuk perseroan terbatas.
Pasal 21
Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,
Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan
dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman
modal untuk memperoleh :
a. hak atas tanah;
b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan
c. fasilitas perizinan impor.
Pasal 22
(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf
a dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas
permohonan penanam modal, berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah
95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan
dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima)
tahun
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan
jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara
dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan
dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun;
dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70
(tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan
dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45
(empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui
selama 25 (dua puluh lima) tahun
(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus untuk kegiatan penanaman modal,
dengan persyaratan antara lain:
a. Penanaman modal yang dilakukan dalam jangka
panjang dan terkait dengan perubahan struktur
perekonomian Indonesia yang lebih berdaya
saing;
b. Penanaman modal dengan tingkat risiko
penanaman
modal
yang
memerlukan
pengembalian modal dalam jangka panjang
sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal
yang dilakukan ;
c. Penanaman modal yang tidak memerlukan area
yang luas;
d. Penanaman modal dengan menggunakan hak
atas tanah negara; dan
e. Penanaman modal yang tidak mengganggu rasa
keadilan masyarakat dan tidak merugikan
kepentingan umum.
(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan
evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan
diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat, dan tujuan pemberian hak.
(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang
diberikan sekaligus di muka dan yang dapat
diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh
Pemerintah jika perusahaan penanaman modal
menelantarkan tanah, merugikan kepentingan
umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah
tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian
hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
pertanahan.
Pasal 23
(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas
fasilitas keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 huruf b dapat diberikan untuk :
a. penanaman modal yang membutuhkan tenaga
kerja asing dalam merealisasikan penanaman
modal;
b. penanaman modal yang membutuhkan tenaga
kerja asing yang bersifat sementara dalam
rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi
lainnya, dan pelayanan purnajual; dan
c. calon penanam modal yang akan melakukan
penjajakan penanaman modal.
(2) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas
fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada
penanaman modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan setelah
pena nam modal mendapat rekomendasi dari Badan
Koordinasi Penanaman Modal.
(3) Untuk penanam modal asing diberikan fasilitas,
yaitu:
a. pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam
modal asing selama 2 (dua) tahun);
b. pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi
penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat
dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama
2(dua) tahun berturut-turut;
c. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa
kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal
terbatas dan dengan masa berlaku 1(satu) tahun
diberikan untuk jangka waktu paling lama 12
(dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal
terbatas diberikan;
d. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa
kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal
terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun
diberikan untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin
tinggal terbatas diberikan ; dan
e. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa
kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap
diberikan untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin
tinggal tetap diberikan.
(4) Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam
modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a dan huruf b dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Imigrasi atas dasar rekomendasi dari
Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Pasal 24
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas
perizinan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 huruf c dapat diberikan untuk impor:
a. barang yang selama tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur perdagangan barang;
b. barang yang tidak memberikan dampak negatif
terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan,
lingkungan hidup, dan moral bangsa;
c. barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri
ke Indonesia; dan
d. barang modal atau badan baku untuk kebutuhan
produksi sendiri;
BAB XI
PENGESAHAN DAN PERIZINAN PERUSAHAAN
Pasal 25
(1) Penanam modal yang melakukan penanaman
modal di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan
Pasal 5 Undang-Undang ini.
(2) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman
modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum
atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman
modal asing yang berbentuk perseroan terbatas
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
(4) Perusahaan penanaman modal yang akan
melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dari instansi yang memiliki kewenangan,
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh
melalui pelayanan terpadu satu pintu.
Pasal 26
(1) Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu
penanam modal dalam memperoleh kemudahan
pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai
penanaman modal.
(2) Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh
lembaga atau instansi yang berwenang di bidang
penanaman modal yang mendapat pendelegasian
atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau
instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan
non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau
instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan
dan nonperizinan di provinsi atau kabupaten/kota.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan
pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Presiden.
BAB XII
KOORDINASI DAN PELAKSANAAN
KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL
Pasal 27
(1) Pemerintah mengkoordinasi kebijakan penanaman
modal, baik koordinasi antarinstansi Pemerintah,
antara instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia,
antara instansi Pemerintah dengan Pemerintah
daerah, maupun antarpemerintah daerah.
(2) Koordinsi pelaksanaan kebijakan penanaman modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(3) Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh seorang
kepala dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden.
(4) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
Pasal 28
(1) Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan
dan pelayanan penanaman modal, Badan
Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas
dan fungsi sebagai berikut:
a. melaksanakan,
tugas
dan
koordinasi
pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman
modal;
b. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan
penanaman modal;
c. menetapkan norma, standar, dan prosedur
pelaksanaan
kegiatan
dan
pelayanan
penanaman modal;
d. mengembangkan
peluang
dan
potensi
penanaman
modal
di
daerah
dengan
memberdayakan badan usaha;
e. membuat peta penanaman modal Indonesia;
f. mempromosikan penanaman modal;
g. mengembangkan sektor usaha penanaman
modal melalui pembinaan penanaman modal,
antara
lain
meningkatkan
kemitraan,
meningkatkan
daya
saing,
menciptakan
persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan
informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup
penyelenggaraan penanaman modal;
h. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan
konsultasi
permasalahan
yang
dihadapi
penanam modal dalam menjalankan kegiatan
penanaman modal;
i. mengoordinasi penanam modal dalam negeri
yang
menjalankan
kegiatan
penanaman
modalnya diluar wilayah Indonesia; dan
j. mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan
terpadu satu pintu.
(2) Selain tugas koordinasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (2), Badan Koordinasi
Penanaman
Modal
bertugas
melaksanakan
pelayanan
penanaman
modal
berdasarkan
ketentuan peraturan perundang -undangan.
Pasal 29
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta
pelayanan terpadu satu pintu, Badan Koordinasi
Penanaman Modal harus melibatkan perwakilan secara
langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan
pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.
BAB XIII
PENYELENGGARAAN URUSAN
PENANAMAN MODAL
Pasal 30
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin
kepastian
dan
keamanan
berusaha
bagi
pelaksanaan penanaman modal.
(2) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan
penanaman modal yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal
yang menjadi urusan Pemerintah.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
penanaman modal yang merupakan urusan wajib
pemerintah daerah didasarkan pada kriteria
eksternalitas,
akuntabilitas,
dan
efisiensi
pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
(4) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang
lingkupnya
lintas
provinsi
menjadi
urusan
Pemerintah.
(5) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang
lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan
pemerintah provinsi.
(6) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang
lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota
menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.
(7) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman
modal, yang menjadi kewenangan Pemerintah
adalah:
a. penanaman modal terkait dengan sumber daya
alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko
kerusakan lingkungan yang tinggi;
b. penanaman modal pada bidang industri yang
merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
c. penanaman modal yang terkait pada fungsi
pemersatu dan penghubung antar wilayah atau
ruang lingkupnya lintas provinsi;
d. penanaman
modal
yang
terkait
pada
pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan
nasional;
e. penanaman modal asing dan penanam modal
yang menggunakan modal asing, yang berasal
dari pemerintah negara lain, yang didasarkan
perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan
pemerintah negara lain; dan
f. bidang penanaman modal lain yang menjadi
urusan Pemerintah menurut undang -undang;
(8) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman
modal yang menjadi kewenangan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pemerintah
menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya
kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau
menugasi pemerintah kabupaten/kota;
(9) Ketentuan
mengenai
pembagian
urusan
pemerintahan di bidang penanaman modal diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah;
BAB XIV
KAWASAN EKONOMI KHUSUS
Pasal 31
(1) Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di
wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi
pengembangan ekonomi nasional dan untuk
menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah,
dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan
ekonomi khusus.
(2) Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan
penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi
khusus.
(3) Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
undang-undang.
BAB XV
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 32
(1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman
modal antara Pemerintah dengan penanaman
modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan
sengketa tersebut melalui musyawarah dan
mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian
sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa atau
pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman
modal antara Pemerintah dengan penanaman
modal
dalam
negeri,
para
pihak
dapat
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase tidak
disepakati, penyelesaian sengketa tersebut melalui
arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan
jika penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukab
di pengadilan.
(4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman
modal antara Pemerintah dengan penanaman
modal asing, para pihak akan menyelesaikan
sengketa tersebut melalui arbitrase internasional
yang harus disepakati oleh para pihak.
BAB XVI
SANKSI
Pasal 33
(1) Penanaman modal dalam negeri dan penanaman
modal asing yang melakukan penanaman modal
dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat
perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan
bahwa kepemilikan sahan dalam perseroan terbatas
untuk dan atas nama orang lain.
(2) Dalam hal penanaman modal dalam negeri dan
penanaman modal asing membuat perjanjian
dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu
dinyatakan batal demi hukum.
(3) Dalam hal penanaman modal yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak
kerja sama dengan Pemerintah melakukan
kejahatan
korporasi
berupa
tindak
pidana
perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan,
dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk
memperkecil keuntungan yang mengakibatkan
kerugian negara berdasarkan temuan atau
pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang
dan telah mendapat putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri
perjanjian atau kontrak kerja sama dengan
penanam modal yang bersangkutan.
Pasal 34
(1) Badan
usaha
atau
usaha
perseorangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal; atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha
atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 35
Perjanjian internasional, baik bilateral, regional,
maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal
yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia
sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku
sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.
Pasal 36
Rancangan perjanjian internasional, baik bilateral,
regional,
maupun
multilateral,
dalam
bidang
penanaman modal yang belum disetujui oleh
Pemerintah Indonesia pada saat Undang-Undang ini
berlaku wajib disesuaikan dengan ketentuan UndangUndang ini.
Pasal 37
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari UndangUndang Nomor 1 Tahun l967 tentang Penanaman
Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 tentang Penanaman modal Asing dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum
diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Persetujuan
penanaman
modal
dan
izin
pelaksanaan yang telah diberikan oleh Pemerintah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya persetujuan penanaman modal dan izin
pelaksanaan tersebut.
(3) Permohonan penanaman modal dan permohonan
lainnya yang berkaitan dengan penanaman modal
yang telah disampaikan kepada instansi yang
berwenang dan pada tanggal disahkannya UndangUndang ini belum memperoleh persetujuan
Pemerintah wajib disesuaikan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
(4) Perusahaan penanaman modal yang telah diberi
izin usaha oleh Pemerintah berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri dan, apabila izin
usaha tetapnya telah berakhir, dapat diperpanjang
berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Dengan berlakunya Undang -Undang ini:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman
Modal Asing (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2943); dan
b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2944);
dicabut dan dinyatakan tidak brlaku.
Pasal 39
Semua Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
yang berkaitan secara langsung dengan penanaman
modal wajib mendasarkan dan menyesuaikan
pengaturannya pada Undang -Undang ini.
Pasal 40
Undang-Undang
diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan
Undang-Undang
ini
dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 26 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007
NOMOR 67
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
27
TAHUN 2003
TENTANG
PANAS BUMI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a.
bahwa panas bumi adalah sumber daya alam yang dapat diperbarui,
berpotensi besar, yang dikuasai oleh negara dan mempunyai peranan
penting sebagai salah satu sumber energi pilihan dalam keanekaragaman
energi
nasional
untuk
menunjang
pembangunan
nasional
yang
berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat;
b. bahwa pemanfaatan panas bumi relatif ramah lingkungan, terutama karena
tidak memberikan kontribusi gas rumah kaca, sehingga perlu didorong
dan dipacu perwujudannya;
c.
bahwa pemanfaatan panas bumi akan mengurangi ketergantungan
terhadap bahan bakar minyak sehingga dapat menghemat cadangan
minyak bumi;
d. bahwa peraturan perundang-undangan yang sudah ada belum dapat
menampung kebutuhan perkembangan pengelolaan hulu sumber daya
panas bumi sehingga undang-undang tentang panas bumi ini dapat
mendorong kegiatan
panas
bumi bagi
kelangsungan
pemenuhan
kebutuhan energi nasional;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal
33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah
pembaruan dan penataan kembali penyelenggaraan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya panas bumi, dipandang perlu membentuk Undangundang tentang Panas Bumi;
Mengingat
: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PANAS BUMI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air
panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang
secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem
Panas
Bumi
dan
untuk
pemanfaatannya
diperlukan
proses
penambangan.
2. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta
yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, menjalankan jenis usaha tetap dan terus-menerus, bekerja
dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan,
analisis dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi
geologi, geofisika, dan geokimia untuk memperkirakan letak dan adanya
sumber daya Panas Bumi serta Wilayah Kerja.
4. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi,
geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi
yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi
geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan
perkiraan potensi Panas Bumi.
5. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan Panas
Bumi untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang
berkaitan untuk menentukan kelayakan usaha pertambangan Panas
Bumi, termasuk penyelidikan atau studi jumlah cadangan yang dapat
dieksploitasi.
6. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu
yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi,
pembangunan fasilitas lapangan dan operasi produksi sumber daya
Panas Bumi.
7. Usaha Pertambangan Panas Bumi adalah usaha yang meliputi kegiatan
eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi.
8. Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut IUP, adalah
izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi.
9. Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut Wilayah
Kerja, adalah wilayah yang ditetapkan dalam IUP.
10.
Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia adalah seluruh
wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia.
11.
Iuran Tetap adalah iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai
imbalan atas kesempatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi
pada suatu Wilayah Kerja.
12. Iuran Produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas hasil
yang diperoleh dari Usaha Pertambangan Panas Bumi.
13.
Mineral Ikutan adalah bahan mineral selain minyak dan gas bumi yang
ditemukan dalam fluida dan/atau dihasilkan dalam jumlah yang memadai
pada kegiatan pengusahaan Panas Bumi serta tidak memerlukan
penambangan dan produksi secara khusus sebagaimana diatur dalam
proses penambangan mineral lainnya.
14.
Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan usaha pemanfaatan energi
dan/atau fluida Panas Bumi untuk keperluan nonlistrik, baik untuk
kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri.
15. Pemanfaatan Tidak Langsung untuk tenaga listrik adalah kegiatan usaha
pemanfaatan energi Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik, baik
untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri.
16. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang terdiri atas Presiden dan para
menteri yang merupakan perangkat Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
17.
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang Panas Bumi.
18.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah
otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan kegiatan pertambangan Panas Bumi menganut asas
manfaat, efisiensi, keadilan, kebersamaan, optimasi ekonomis dalam
pemanfaatan sumber daya, keterjangkauan, berkelanjutan, percaya dan
mengandalkan pada kemampuan sendiri, keamanan dan keselamatan,
kelestarian fungsi lingkungan hidup, serta kepastian hukum.
Pasal 3
Penyelenggaraan kegiatan pertambangan Panas Bumi bertujuan:
a. mengendalikan pemanfaatan kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk
menunjang pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan nilai
tambah secara keseluruhan; dan
b. meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat untuk mendorong
pertumbuhan perekonomian nasional demi peningkatan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat.
BAB III
PENGUASAAN PERTAMBANGAN PANAS BUMI
Pasal 4
(1)
Panas Bumi sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam
Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia merupakan
kekayaan nasional, yang dikuasai oleh negara dan digunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2)
Penguasaan Pertambangan Panas Bumi oleh negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
(3)
Semua data dan informasi yang diperoleh sesuai dengan ketentuan
dalam
IUP
merupakan
data
milik
negara
dan
pengaturan
pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerintah.
BAB IV
KEWENANGAN PENGELOLAAN
PERTAMBANGAN PANAS BUMI
Bagian Kesatu
Kewenangan Pemerintah
Pasal 5
Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi
meliputi :
a. pembuatan
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
pertambangan Panas Bumi;
b. pembuatan kebijakan nasional;
c. pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan
Panas Bumi pada wilayah lintas provinsi;
d. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi
pada wilayah lintas provinsi;
e. pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi;
f. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan
cadangan Panas Bumi nasional.
Bagian Kedua
Kewenangan Pemerintah Daerah
Paragraf 1
Kewenangan Provinsi
Pasal 6
(1)
Kewenangan provinsi dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi
meliputi:
a.
pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang
pertambangan Panas Bumi;
b. pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan Panas
Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota;
c. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di
wilayah lintas kabupaten/kota;
d. pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di wilayah
lintas kabupaten/kota;
e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan
Panas Bumi di provinsi.
(2)
Kewenangan
dilaksanakan
provinsi
sesuai
sebagaimana
dengan
dimaksud
ketentuan
pada
peraturan
ayat
(1)
perundang-
undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Kewenangan Kabupaten/Kota
Pasal 7
(1)
Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan Panas
Bumi meliputi:
a. pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang
pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;
b.
pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di
kabupaten/kota;
c. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di
kabupaten/kota;
d.
pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di
kabupaten/kota;
e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan
Panas Bumi di kabupaten/kota;
f.
pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah
Kerja di kabupaten/kota.
(2)
Kewenangan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan yang berlaku.
BAB V
WILAYAH KERJA
Pasal 8
Wilayah Kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha diumum-kan
secara terbuka.
Pasal 9
(1)
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
masing-masing melakukan penawaran Wilayah Kerja dengan cara
lelang.
(2)
Batas dan luas Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ditetapkan oleh Pemerintah.
(3)
Ketentuan mengenai pedoman, batas, koordinat, luas wilayah, tata
cara, dan syarat-syarat mengenai penawaran, prosedur, penyiapan
dokumen lelang, dan pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
KEGIATAN OPERASIONAL DAN PENGUSAHAAN
Bagian Kesatu
Kegiatan Operasional
Pasal 10
(1)
Kegiatan operasional Panas Bumi meliputi:
(2)
a.
Survei Pendahuluan;
b.
Eksplorasi;
c.
Studi Kelayakan;
d.
Eksploitasi; dan
e.
Pemanfaatan.
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan
masing-masing
melakukan
Survei
Pendahuluan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3)
Pemerintah dapat menugasi pihak lain untuk melakukan Survei
Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dilakukan oleh Pemerintah.
(5)
Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dilakukan oleh Badan
Usaha.
(6)
Pemanfaatan Langsung yang berkaitan dengan pemanfaatan energi
Panas Bumi diatur dengan peraturan pemerintah.
(7)
Pemanfaatan tidak langsung yang berkaitan dengan pemanfaatan
energi Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan
umum atau kepentingan sendiri dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
di
bidang
ketenagalistrikan.
Bagian Kedua
Pengusahaan
Pasal 11
(1)
Pengusahaan sumber daya Panas Bumi meliputi:
a.
Eksplorasi;
b.
Studi Kelayakan; dan
c.
Eksploitasi.
(2) Pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara terpadu atau dalam satu kesatuan atau
dalam keadaan tertentu dapat dilakukan secara terpisah.
(3)
Pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha setelah mendapat IUP dari
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
Pasal 12
Dalam melaksanakan pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Badan Usaha harus mengikuti kaidah-kaidah
keteknikan, kemampuan keuangan dan pengelolaan yang sesuai dengan
standar nasional, serta menjunjung tinggi etika bisnis.
Pasal 13
(1)
Luas Wilayah Kerja untuk Eksplorasi yang dapat diberikan untuk
satu IUP Panas Bumi tidak boleh melebihi 200.000 (dua ratus ribu)
hektar.
(2)
Badan Usaha wajib mengembalikan secara bertahap sebagian atau
seluruhnya dari Wilayah Kerja kepada Pemerintah atau Pemerintah
Daerah.
(3) Ketentuan mengenai luas Wilayah Kerja yang dapat dipertahankan pada
tahap Eksploitasi dan perubahan Luas Wilayah IUP pada setiap
tahapan Usaha Pertambangan Panas Bumi diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Ketiga
Eksplorasi dan Eksploitasi
Pasal 14
(1)
Pemegang IUP wajib menyampaikan rencana jangka panjang
Eksplorasi
dan
Eksploitasi
kepada
Menteri,
Gubernur,
dan
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing yang
mencakup
rencana
kegiatan
dan
rencana
anggaran
serta
menyampaikan besarnya cadangan.
(2)
Penyesuaian terhadap rencana jangka panjang Eksplorasi dan
Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dari
tahun ke tahun sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Bagian Keempat
Pemanfaatan Mineral Ikutan
Pasal 15
Pemanfaatan Mineral Ikutan yang terkandung dalam Panas Bumi dapat
dilakukan secara komersial oleh pemegang IUP atau pihak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
PENGGUNAAN LAHAN
Pasal 16
(1)
Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi dilaksanakan di dalam
Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia.
(2)
Hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
(3)
Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi tidak dapat dilaksanakan
di :
a. tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum,
sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta
tanah milik masyarakat adat;
b.
lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah di
sekitarnya;
c. bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara;
d. bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan
sekitarnya;
e. tempat lain yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan
dalam hal diperoleh izin dari instansi Pemerintah, persetujuan
masyarakat dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Pasal 17
(1)
Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah hak, tanah negara,
atau kawasan hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang IUP yang
bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan
pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti
rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada
pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara.
Pasal 18
Pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan pemegang IUP untuk
melaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi di atas tanah yang
bersangkutan apabila:
a. sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan IUP atau
salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat
kegiatan yang akan dilakukan;
b. dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang
disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas
tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
Pasal 19
(1)
Dalam hal pemegang IUP telah diberi Wilayah Kerja, terhadap bidangbidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha dan
areal pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara
serta menjaga bidang tanah tersebut.
(2)
Dalam hal pemberian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi areal yang luas di atas tanah negara, bagian-bagian tanah
yang belum digunakan untuk kegiatan usaha dapat diberikan kepada
pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat
setempat setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
Pasal 20
Penyelesaian penggunaan tanah hak dan tanah negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
PERIZINAN
Pasal 21
(1)
IUP dikeluarkan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai
dengan kewenangan masing-masing.
(2)
IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat ketentuan
sekurang-kurangnya:
a. nama penyelenggara;
b. jenis usaha yang diberikan;
c. jangka waktu berlakunya izin;
d. hak dan kewajiban pemegang izin usaha;
e. Wilayah Kerja; dan
f.
(3)
tahap pengembalian Wilayah Kerja.
Setiap IUP yang telah diberikan wajib digunakan sesuai dengan
peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan
ayat (2).
(4) IUP dapat dialihkan kepada Badan Usaha afiliasi dengan persetujuan
Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
Pasal 22
(1)
Jangka waktu IUP terdiri atas:
a. jangka waktu Eksplorasi berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak
IUP diterbitkan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali
masing-masing selama 1 (satu) tahun;
b. jangka waktu Studi Kelayakan berlaku paling lama 2 (dua) tahun
sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir;
c. jangka waktu Eksploitasi berlaku paling lama 30 (tiga puluh) tahun
sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir dan dapat diperpanjang.
(2)
Pemegang
IUP
dapat mengajukan
perpanjangan waktu
izin
Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
masing-masing paling cepat 5 (lima) tahun dan paling lambat 3 (tiga)
tahun sebelum izin Eksploitasi berakhir.
(3)
Dalam hal tidak melaksanakan kegiatan Eksploitasi dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi
berakhir, pemegang IUP
wajib mengembalikan seluruh Wilayah
Kerjanya.
Pasal 23
IUP berakhir karena:
a.
habis masa berlakunya;
b.
dikembalikan;
c.
dibatalkan; atau
d.
dicabut.
Pasal 24
(1)
Pemegang IUP dapat menyerahkan kembali IUP dengan pernyataan
tertulis kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangan masing-masing disertai alasan yang jelas.
(2)
Pengembalian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
sah setelah disetujui oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pasal 25
(1)
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
masing-masing dapat mencabut IUP apabila pemegang IUP:
a.
melakukan pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang
tercantum dalam IUP; atau
b. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan undangundang ini.
(2)
Sebelum melaksanakan pencabutan IUP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangan masing-masing terlebih dahulu memberikan kesempatan
selama jangka waktu 6 (enam) bulan pada pemegang IUP untuk
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 26
Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP telah berakhir dan
permohonan
perpanjangan
IUP
tidak
diajukan
atau
permohonan
perpanjangan IUP tidak memenuhi persyaratan, IUP tersebut berakhir.
Pasal 27
(1)
Dalam hal IUP berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25, pemegang IUP wajib memenuhi dan menyelesaikan segala
kewajibannya
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan yang berlaku.
(2)
Kewajiban pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dianggap telah dipenuhi setelah mendapatkan persetujuan dari
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
(3)
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
masing-masing menetapkan persetujuan pengakhiran IUP setelah
pemegang IUP melaksanakan pelestarian dan pemulihan fungsi
lingkungan di Wilayah Kerjanya serta kewajiban lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN USAHA
PERTAMBANGAN PANAS BUMI
Bagian Kesatu
Hak Pemegang Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi
Pasal 28
Pemegang IUP berhak :
a. melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi berupa
Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi di Wilayah Kerjanya;
b. menggunakan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) selama jangka waktu berlakunya IUP di Wilayah Kerjanya;
c. dapat memperoleh fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Bagian Kedua
Kewajiban Pemegang Izin Usaha
Pertambangan Panas Bumi
Pasal 29
Pemegang IUP wajib:
a. memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan, serta
memenuhi standar yang berlaku;
b.
mengelola lingkungan hidup mencakup kegiatan pencegahan dan
penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan hidup
dan melakukan reklamasi;
c. mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, serta kemampuan rekayasa
dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing;
d.
memberikan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Panas Bumi;
e. memberikan dukungan terhadap kegiatan penciptaan, pengembangan
kompetensi, dan pembinaan sumber daya manusia di bidang Panas
Bumi;
f.
melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
setempat;
g. memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan
pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi kepada
Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
BAB X
PENERIMAAN NEGARA
Pasal 30
(1)
Pemegang IUP wajib membayar penerimaan negara berupa pajak dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Penerimaan negara berupa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. pajak;
b. bea masuk dan pungutan lain atas cukai dan impor;
c. pajak daerah dan retribusi daerah.
(3)
Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. pungutan negara berupa Iuran Tetap dan Iuran Produksi serta
pungutan negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. bonus.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tarif Penerimaan Negara
Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
peraturan pemerintah.
(5)
Penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan
Pajak merupakan penerimaan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
yang pembagiannya sebagai berikut.
a.
Penerimaan negara berupa pajak, pembagiannya ditetapkan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan yang berlaku;
b. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Iuran Tetap
dan
Iuran
Produksi,
pembagiannya
ditetapkan
dengan
perimbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80%
(delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah.
(6)
Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf
b dibagi dengan perincian sebagai berikut:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);
c. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar
32% (tiga puluh dua persen).
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 31
(1)
Tanggung jawab pembinaan dan pengawasan atas pekerjaan dan
pelaksanaan kegiatan usaha terhadap ditaatinya ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku berada pada Menteri, Gubernur,
dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2)
Gubernur
dan
Bupati/Walikota
wajib
melaporkan pelaksanaan
penyelenggaraan Usaha Pertambangan Panas Bumi di wilayahnya
masing-masing setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Pemerintah.
Pasal 32
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
meliputi:
a. Eksplorasi;
b. Eksploitasi;
c. keuangan;
d. pengolahan data Panas Bumi;
e. konservasi bahan galian;
f.
keselamatan dan kesehatan kerja;
g. pengelolaan lingkungan hidup dan reklamasi;
h.
pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan
rancang bangun dalam negeri;
i.
pengembangan tenaga kerja Indonesia;
j.
pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat;
k.
penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan
Panas Bumi;
l.
kegiatan lain di bidang kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi
sepanjang menyangkut kepentingan umum;
m. pengelolaan Panas Bumi;
n. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan yang baik.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 34
(1)
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya meliputi kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana untuk
melakukan
penyidikan
tindak
pidana
dalam
kegiatan
Usaha
Pertambangan Panas Bumi.
(2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
yang diterima berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan
Usaha Pertambangan Panas Bumi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga
melakukan tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan
Panas Bumi;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
tersangka
dalam
perkara
tindak
pidana
kegiatan
Usaha
Pertambangan Panas Bumi;
d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan
untuk
melakukan
tindak
pidana
dalam
kegiatan
Usaha
Pertambangan Panas Bumi;
e.
melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan Usaha
Pertambangan Panas Bumi
dan menghentikan penggunaan
peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
f.
menyegel dan/atau menyita alat kegiatan Usaha Pertambangan
Panas Bumi yang digunakan untuk melakukan tindak pidana
sebagai alat bukti;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan-nya
dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan Usaha
Pertambangan Panas Bumi; atau
h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan
Usaha Pertambangan Panas Bumi.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghenti-kan
penyidikannya dalam hal peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan
merupakan tindak pidana.
(5)
Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 35
Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi
tanpa IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).
Pasal 36
Pemegang IUP yang dengan sengaja meninggalkan Wilayah Kerjanya tanpa
menyelesaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dipidana dengan
pidana kurungan paling lama
6 (enam) bulan.
Pasal 37
Setiap
orang
yang
mengganggu
atau
merintangi
kegiatan
Usaha
Pertambangan Panas Bumi dari pemegang IUP sehingga pemegang IUP
terhambat dalam melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 38
(1)
Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 adalah
kejahatan.
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37
adalah pelanggaran.
Pasal 39
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36,
dan Pasal 37 dilakukan oleh Badan Usaha, ancaman pidana denda yang
dijatuhkan kepada Badan Usaha tersebut ditambah dengan 1/3 (sepertiga)
dari pidana denda.
Pasal 40
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, pelaku
tindak pidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Pada saat undang-undang ini berlaku, semua kontrak kerja sama
pengusahaan sumber daya Panas Bumi yang telah ada sebelum berlakunya
undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa
kontrak.
Pasal 42
Pada saat undang-undang ini berlaku pembinaan
dan pengawasan
terhadap pelaksanaan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan
Panas Bumi yang ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini
dialihkan kepada Pemerintah.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Dengan berlakunya undang-undang ini, segala ketentuan yang bertentangan
dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 44
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 115
Salinan sesuai dengan
aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2007
TENTANG
PERSEROAN TERBATAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional,
perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional yang
sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi
perkembangan perekonomian di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh
suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin
terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif;
c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu
diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu
diganti dengan undang-undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
Mengingat
:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
2. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris.
3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umumnya.
4. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan
yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris
dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
5. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
6. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara
umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
- 27.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran
umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pasar
modal.
Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan
modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal.
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih
untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan
aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada
Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan
yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum
memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum
Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya
pengendalian atas Perseroan tersebut.
Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan
usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum
kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih
karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih.
Surat Tercatat adalah surat yang dialamatkan kepada penerima dan dapat dibuktikan dengan
tanda terima dari penerima yang ditandatangani dengan menyebutkan tanggal penerimaan.
Surat Kabar adalah surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional.
Hari adalah hari kalender.
Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi
manusia.
Pasal 2
Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.
Pasal 3
(1) Pemegang saha m Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang
dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi
saham yang dimiliki.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad
buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara
melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan
Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Pasal 4
Terhadap Perseroan berlaku undang-undang ini, anggaran dasar Perseroan, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
(1) Perseroan mempunyai nama dan tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik
Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.
(2) Perseroan mempunyai alamat lengkap sesuai dengan tempat kedudukannya.
- 3-
(3) Dalam surat- menyurat, pengumuman yang diterbitkan oleh Perseroan, barang cetakan, dan
akta dalam hal Perseroan menjadi pihak harus menyebutkan nama dan alamat lengkap
Perseroan.
Pasal 6
Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan
dalam anggaran dasar.
BAB II
PENDIRIAN, ANGGARAN DASAR DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR, DAFTAR
PERSEROAN DAN PENGUMUMAN
Bagian Kesatu
Pendirian
Pasal 7
(1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam
bahasa Indonesia.
(2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka Peleburan.
(4) Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri
mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.
(5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang
dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan
tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada
orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
(6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang
saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi
atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang
berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.
(7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi:
a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau
b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam undangundang tentang Pasar Modal.
Pasal 8
(1) Akta pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan la in berkaitan dengan pendirian
Perseroan.
(2) Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan
pendiri perseorangan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap serta nomor dan
tanggal keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum dari pendiri Perseroan;
b. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan
anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat;
c. nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan
nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor.
(3) Dalam pembuatan akta pendirian, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat
kuasa.
Pasal 9
(1) Untuk memperoleh keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), pendiri bersama-sama mengajukan
permohonan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara
elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian yang memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan Perseroan;
- 4-
b. jangka waktu berdirinya Perseroan;
c. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
d. jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e. alamat lengkap Perseroan.
(2) Pengisian format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didahului dengan
pengajuan nama Perseroan.
(3) Dalam hal pendiri tidak mengajukan sendiri permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), pendiri hanya dapat memberi kuasa kepada notaris.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan pemakaian nama Perseroan diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 10
(1) Permohonan untuk memperoleh keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
ayat (1) harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
tanggal akta pendirian ditandatangani, dilengkapi keterangan mengenai dokumen
pendukung.
Ketentuan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan menteri.
Apabila format isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan keterangan
mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri langsung menyatakan tidak berkeberatan
atas permoho nan yang bersangkutan secara elektronik.
Apabila format isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan keterangan
mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan, Menteri langsung memberitahukan penolakan
beserta alasannya kepada pemohon secara elektronik.
Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pernyataan
tidak berkeberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemohon yang bersangkutan wajib
menyampaikan secara fisik surat permohonan yang dilampiri dokumen pendukung.
Apabila semua persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dipenuhi secara
lengkap, paling lambat 14 (empat belas) hari, Menteri menerbitkan keputusan tentang
pengesahan badan hukum Perseroan yang ditandatangani secara elektronik.
Apabila persyaratan tentang jangka waktu dan kelengkapan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, Menteri langsung memberitahukan hal
tersebut kepada pemohon secara elektronik, dan pernyataan tidak berkeberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menjadi gugur.
Dalam hal pernyataan tidak berkeberatan gugur, pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) dapat mengajukan kembali permohonan untuk memperoleh keputusan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
Dalam hal permohonan untuk memperoleh keputusan menteri tidak diajukan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akta pendirian menjadi batal sejak lewatnya
jangka waktu tersebut dan Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum bubar
karena hukum dan pemberesannya dilakukan oleh pendiri.
Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi
permohonan pengajuan kembali.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan permohonan untuk memperoleh keputusan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) bagi daerah tertentu yang belum mempunyai atau
tidak dapat digunakan jaringan elektronik diatur dengan peraturan menteri.
Pasal 12
(1) Perbuatan hukum yang berkaitan denga n kepemilikan saham dan penyetorannya yang
dilakukan oleh calon pendiri sebelum Perseroan didirikan, harus dicantumkan dalam akta
pendirian.
(2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dengan akta
yang bukan akta otentik, akta tersebut dilekatkan pada akta pendirian.
- 5-
(3) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dengan akta
otentik, nomor, tanggal dan nama serta tempat kedudukan notaris yang membuat akta otentik
tersebut disebutkan dalam akta pendirian Perseroan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak
dipenuhi, perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban serta tidak
mengikat Perseroan.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 13
Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum
didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum apabila RUPS
pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan
kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau
kuasanya.
RUPS pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan dalam jangka
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status badan
hukum.
Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah apabila RUPS dihadiri oleh
pemegang saham yang mewakili semua saham dengan hak suara dan keputusan disetujui
dengan suara bulat.
Dalam hal RUPS tidak diselenggarakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) atau RUPS tidak berhasil mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), setiap calon pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab
secara pribadi atas segala akibat yang timbul.
Persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan apabila perbuatan
hukum tersebut dilakukan atau disetujui secara tertulis oleh semua calon pendiri sebelum
pendirian Perseroan.
Pasal 14
Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya
boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua
anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung
renteng atas perbuatan hukum tersebut.
Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendiri atas
nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, perbuatan hukum tersebut
menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan.
Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena hukum menjadi tanggung
jawab Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum.
Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya mengikat dan menjadi
tanggung jawab Perseroan setelah perbuatan hukum tersebut disetujui oleh semua pemegang
saham dalam RUPS yang dihadiri oleh semua pemega ng saham Perseroan.
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah RUPS pertama yang harus
diselenggarakan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status
badan hukum.
Bagian Kedua
Anggaran Dasar dan Perubahan Anggaran Dasar
Paragraf 1
Anggaran Dasar
Pasal 15
(1) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c. jangka waktu berdirinya Perseroan;
d. besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e. jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi,
hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham;
- 6-
f. nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
g. penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS;
h. tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan
Komisaris;
i. tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) anggaran dasar dapat juga memuat
ketentuan lain yang tidak bertentangan dengan undang- undang ini.
(3) Anggaran dasar tidak boleh memuat:
a. ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham; dan
b. ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada pendiri atau pihak lain.
Pasal 16
(1) Perseroan tidak boleh memakai nama yang:
a. telah dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau sama pada pokoknya dengan nama
Perseroan lain;
b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;
c. sama atau mirip dengan nama lembaga ne gara, lembaga pemerintah, atau lembaga
internasional, kecuali mendapat izin dari yang bersangkutan;
d. tidak sesuai dengan maksud dan tujuan, serta kegiatan usaha, atau menunjukkan maksud
dan tujuan Perseroan saja tanpa nama diri;
e. terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak
membentuk kata; atau
f. mempunyai arti sebagai Perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata.
(2) Nama Perseroan harus didahului dengan frase “Perseroan Terbatas” atau disingkat “PT”.
(3) Dalam hal Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pada akhir nama Perseroan ditambah kata singkatan “Tbk”.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemakaian nama Perseroan diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 17
(1) Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah
negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.
(2) Tempat kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus merupakan kantor pusat
Perseroan.
Pasal 18
Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang dicantumkan dalam
anggaran dasar Perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 2
Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 19
(1) Perubahan anggaran dasar ditetapkan oleh RUPS.
(2) Acara mengenai perubahan anggaran dasar wajib dicantumkan dengan jelas dalam panggilan
RUPS.
Pasal 20
(1) Perubahan anggaran dasar Perseroan yang telah dinyatakan pailit tidak dapat dilakukan,
kecuali dengan pesetujuan kurator.
(2) Persetujuan kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan dalam permohonan
persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri.
Pasal 21
(1) Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat persetujuan Menteri.
(2) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- 7-
nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan;
maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
jangka waktu berdirinya Perseroan;
besarnya modal dasar;
pengurangan modal
ditempatkan dan disetor; dan/atau
status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya.
Perubahan anggaran dasar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) cukup diberitahukan
kepada Menteri.
Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dimuat atau
dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia.
Perubahan anggaran dasar yang tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang dibuat
notaris harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal keputusan RUPS.
Perubahan anggaran dasar tidak boleh dinyatakan dalam akta notaris setelah lewat batas
waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diajukan kepada Menteri, paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta
notaris yang memuat perubahan anggaran dasar.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mutatis mutandis berlaku bagi
pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri.
Setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
permohonan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar tidak dapat diajukan
atau disampaikan kepada Menteri.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Pasal 22
(1) Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar mengenai perpanjangan jangka waktu
berdirinya Perseroan sebagaimana ditetapkan dalam anggaran dasar harus diajukan kepada
Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu berdirinya Perseroan
berakhir.
(2) Menteri memberikan persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat pada tanggal terakhir berdirinya Perseroan.
Pasal 23
(1) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) mulai berlaku
sejak tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai persetujuan perubahan anggaran
dasar.
(2) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) mulai berlaku
sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar oleh
Menteri.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku dalam hal undangundang ini menentukan lain.
Pasal 24
(1) Perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya telah memenuhi kriteria sebagai
Perseroan Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal, wajib mengubah anggaran dasarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
huruf f dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terpenuhi kriteria tersebut.
(2) Direksi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan pernyataan
pendaftaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 25
(1) Perubahan anggaran dasar mengenai status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan
Terbuka mulai berlaku sejak tanggal:
a. efektif pernyataan pendaftaran yang diajukan kepada lembaga pengawas di bidang pasar
modal bagi Perseroan Publik; atau
- 8-
b. dilaksanakan penawaran umum, bagi Perseroan yang mengajukan pernyataan pendaftaran
kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal untuk melakukan penawaran umum
saham sesuai dengan ketent uan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal.
(2) Dalam hal pernyataan pendaftaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
tidak menjadi efektif atau Perseroan yang telah mengajukan pernyataan pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak melaksanakan penawaran umum saham,
Perseroan harus mengubah kembali anggaran dasarnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah tanggal persetujuan Menteri.
Pasal 26
Perubahan anggaran dasar yang dilakukan dalam rangka Penggabungan atau Pengambilalihan
berlaku sejak tanggal:
a. persetujuan Menteri;
b. kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menteri; atau
c. pemberitahuan perubahan anggaran dasar diterima Menteri, atau tanggal kemudian yang
ditetapkan dalam akta Penggabungan atau akta Pengambilalihan.
Pasal 27
Permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2) ditolak apabila:
a. bertentangan dengan ketentuan mengenai tata cara perubahan anggaran dasar;
b. isi perubahan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan/atau kesusilaan; atau
c. terdapat keberatan dari kreditor atas keputusan RUPS mengenai pengurangan modal.
Pasal 28
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan untuk memperoleh keputusan menteri
mengenai pengesahan badan hukum Perseroan, dan keberatannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 mutatis mutandis berlaku bagi pengajuan permohonan
persetujuan perubahan anggaran dasar dan keberatannya.
Bagian Ketiga
Daftar
Perseroan dan Pengumuman
Paragraf 1
Daftar Perseroan
Pasal 29
(1) Daftar Perseroan diselenggarakan oleh Menteri.
(2) Daftar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data tentang
(3) Perseroan yang meliputi:
a. nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, jangka waktu
pendirian, dan permodalan;
b. alamat lengkap Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
c. nomor dan tanggal akta pendirian dan keputusan menteri mengenai pengesahan badan
hukum Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4);
d. nomor dan tangga l akta perubahan anggaran dasar dan persetujuan Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1);
e. nomor dan tanggal akta perubahan anggaran dasar dan tanggal penerimaan
pemberitahuan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2);
f. nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta pendirian dan akta perubahan
anggaran dasar;
g. nama lengkap dan alamat pemegang saham, anggota Direksi, dan anggota Dewan
Komisaris Perseroan;
h. nomor dan tanggal akta pembubaran atau nomor dan tanggal penetapan pengadilan
tentang pembubaran Perseroan yang telah diberitahukan kepada Menteri;
- 9-
i.
j.
(4)
(5)
(6)
(7)
berakhirnya status badan hukum Perseroan;
neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan bagi Perseroan yang
wajib diaudit.
Data Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimasukkan dalam daftar Perseroan
pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal:
a. Keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan, persetujuan atas
perubahan anggaran dasar yang memerlukan persetujuan;
b. Penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar yang tidak memerlukan
persetujuan; atau
c. Penerimaan pemberitahuan perubahan data Perseroan yang bukan merupakan perubahan
anggaran dasar.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g mengenai nama lengkap dan alamat
pemegang saham Perseroan Terbuka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal.
Daftar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbuka untuk umum.
Ketentuan lebih lanjut mengenai daftar Perseroan diatur dengan peraturan menteri.
Paragraf 2
Pengumuman
Pasal 30
(1) Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia:
a. akta pendirian Perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (4);
b. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dalam waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya keputusan Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b atau sejak diterimanya
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumuman dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
BAB III
MODAL DAN SAHAM
Bagian Kesatu
Modal
Pasal 31
(1) Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal mengatur modal Perseroan terdiri atas saham
tanpa nilai nominal.
Pasal 32
(1) Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum
modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 33
(1) Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.
- 10 (2) Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dengan bukti penyetoran yang sah.
(3) Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang
ditempatkan harus disetor penuh.
Pasal 34
(1) Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk
lainnya.
(2) Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang
ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan.
(3) Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1 (satu) Surat
Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian
ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut.
Pasal 35
(1) Pemegang saham dan kreditor lainnya yang mempunyai tagihan terhadap Perseroan tidak
dapat menggunakan hak tagihnya sebagai kompensasi kewajiban penyetoran atas harga
saham yang telah diambilnya, kecuali disetujui oleh RUPS.
(2) Hak tagih terhadap Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat dikompensasi
dengan setoran saha m adalah hak tagih atas tagihan terhadap Perseroan yang timbul karena:
a. Perseroan telah menerima uang atau penyerahan benda berwujud atau benda tidak
berwujud yang dapat dinilai dengan uang;
b. pihak yang menjadi penanggung atau penjamin utang Perseroan telah membayar lunas
utang Perseroan sebesar yang ditanggung atau dijamin; atau
c. Perseroan menjadi penanggung atau penjamin utang dari pihak ketiga dan Perseroan telah
menerima manfaat berupa uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang
langsung atau tidak langsung secara nyata telah diterima Perseroan.
(3) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sah apabila dilakukan sesuai dengan
ketentuan mengenai panggilan rapat, kuorum, dan jumlah suara untuk perubahan anggaran
dasar sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 36
Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki oleh
Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh
Perseroan.
Ketentuan larangan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
terhadap kepemilikan saham yang diperoleh berdasarkan peralihan karena hukum, hibah,
atau hibah wasiat.
Saham yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal perolehan harus dialihkan kepada pihak lain yang
tidak di larang memiliki saham dalam Perseroan.
Dalam hal Perseroan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perusahaan efek,
berlaku ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal.
Bagian Kedua
Perlindungan Modal dan Kekayaan Perseroan
Pasal 37
(1) Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan:
a. pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih Perseroan
menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang
telah disisihkan; dan
b. jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh Perseroan dan gadai saham
atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh Perseroan sendiri dan/atau Perseroan
lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh Perseroan, tidak
- 11 -
melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dalam Perseroan,
kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(2) Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bertentangan
dengan ayat (1) batal karena hukum.
(3) Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang
saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali yang batal karena hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Saham yang dibeli kembali Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh
dikuasai Perseroan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 38
(1) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) atau
pengalihannya lebih lanjut hanya boleh dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(2) Keputusan RUPS yang memuat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sah apabila
dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai panggilan rapat, kuorum, dan persetujuan
jumlah suara untuk perubahan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam undang-undang ini
dan/atau anggaran dasar.
Pasal 39
(1) RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui
pelaksanaan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap kali dapat diperpanjang
untuk jangka waktu yang sama.
(3) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali oleh RUPS.
Pasal 40
(1) Saham yang dikuasai Perseroan karena pembelian kembali, peralihan karena hukum, hibah
atau hibah wasiat, tidak dapat digunakan untuk mengeluarkan suara dalam RUPS dan tidak
diperhitungkan dalam menentukan jumlah kuorum yang harus dicapai sesuai dengan
ketentuan undang- undang ini dan/atau anggaran dasar.
(2) Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhak mendapat pembagian dividen.
Bagian Ketiga
Penambahan Modal
Pasal 41
(1) Penambahan modal Perseroan dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS.
(2) RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui
pelaksanaan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu
paling lama1 (satu) tahun.
(3) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali oleh RUPS.
Pasal 42
(1) Keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar adalah sah apabila dilakukan denga n
memperhatikan persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
(2) Keputusan RUPS untuk penambahan modal ditempatkan dan disetor dalam batas modal
dasar adalah sah apabila dilakukan dengan kuorum kehadiran lebih dari 1/2 (satu perdua)
bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu
perdua) bagian dari jumlah seluruh suara yang dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar
dalam anggaran dasar.
(3) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat wajib diberitahukan kepada Menteri
untuk dicatat dalam daftar Perseroan.
- 12 -
Pasal 43
(1) Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan
kepada setiap peme gang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham
yang sama.
(2) Dalam hal saham yang akan dikeluarkan untuk penambahan modal merupakan saham yang
klasifikasinya belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah
seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya.
(3) Penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pengeluaran saham:
a. ditujukan kepada karyawan Perseroan;
b. ditujukan kepada pemegang obligasi atau efek lain yang dapat dikonversikan menjadi
saham, yang telah dikeluarkan dengan persetujuan RUPS; atau
c. dilakukan dalam rangka reorganisasi dan/atau restrukturisasi yang telah disetujui oleh
RUPS.
(4) Dalam hal pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menggunakan hak
untuk membeli dan membayar lunas saham yang dibeli dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari terhitung sejak tanggal penawaran, Perseroan dapat menawarkan sisa saham yang tidak
diambil bagian tersebut kepada pihak ketiga.
Bagian Keempat
Pengurangan Modal
Pasal 44
(1) Keputusan RUPS untuk pengurangan modal Perseroan adalah sah apabila dilakukan dengan
memperhatikan persyaratan ketentuan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan
anggaran dasar sesuai ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
(2) Direksi wajib memberitahukan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
semua kreditor dengan mengumumkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kabar dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.
Pasal 45
(1) Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), kreditor dapat mengajukan keberatan secara tertulis
disertai alasannya kepada Perseroan atas keputusan pengurangan modal dengan tembusan
kepada Menteri.
(2) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak keberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterima, Perseroan wajib memberikan jawaban secara tertulis atas keberatan
yang diajukan.
(3) Dalam hal Perseroan:
a. menolak keberatan atau tidak memberikan penyelesaian yang disepakati kreditor dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban Perseroan diterima;
atau
b. tidak memberikan tanggapan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
tanggal keberatan diajukan kepada Perseroan, kreditor dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
Pasal 46
(1) Pengurangan modal Perseroan merupakan perubahan anggaran dasar yang harus mendapat
persetujuan Menteri.
(2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila:
a. tidak terdapat keberatan tertulis dari kreditor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (1);
b. telah dicapai penyelesaian atas keberatan yang diajukan kreditor; atau
c. gugatan kreditor ditolak oleh pengadilan berdasarkan putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
- 13 -
Pasal 47
(1) Keputusan RUPS tentang pengurangan modal ditempatkan dan disetor dilakukan dengan cara
penarikan kembali saham atau penurunan nilai nominal saham.
(2) Penarikan kembali saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap saham
yang telah dibeli kembali oleh Perseroan atau terhadap saham dengan klasifikasi yang dapat
ditarik kembali.
(3) Penurunan nilai nominal saham tanpa pembayaran kembali harus dilakukan secara seimbang
terhadap seluruh saham dari setiap klasifikasi saham.
(4) Keseimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dengan persetujuan
semua pemegang saham yang nilai nominal sahamnya dikurangi.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, keputusan RUPS tentang
pengurangan modal hanya boleh diambil setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
semua pemegang saham dari setiap klasifikasi saham yang haknya dirugikan oleh keputusan
RUPS tentang pengurangan modal tersebut.
Bagian Kelima
Saham
Pasal 48
(1) Saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya.
(2) Persyaratan kepemilikan saham dapat ditetapkan dalam anggaran dasar dengan
memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Dalam hal persyaratan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
ditetapkan dan tidak dipenuhi, pihak yang memperoleh kepemilikan saham tersebut tidak
dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak diperhitungkan
dalam kuorum yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan undang- undang ini dan/atau
anggaran dasar.
Pasal 49
(1) Nilai saham harus dicantumkan dalam mata uang rupiah.
(2) Saham tanpa nilai nominal tidak dapat dikeluarkan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan diaturnya
pengeluaran saham tanpa nilai nominal dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 50
Direksi Perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar pemegang saham, yang memuat
sekurang-kurangnya:
a. nama dan alamat pemegang saham;
b. jumlah, nomor, tanggal perolehan saham yang dimiliki pemegang saham, dan
klasifikasinya dalam hal dikeluarkan lebih dari satu klasifikasi saham;
c. jumlah yang disetor atas setiap saham;
d. nama dan alamat dari orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai hak gadai
atas saham atau sebagai penerima jaminan fidusia saham dan tanggal perolehan hak gadai
atau tanggal pendaftaran jaminan fidusia tersebut;
e. keterangan penyetoran saham dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (2).
Selain daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perseroan wajib
mengadakan dan menyimpan daftar khusus yang memuat keterangan mengenai saham
anggota Direksi dan Dewan Komisaris beserta keluarganya dalam Perseroan dan/atau pada
Perseroan lain serta tanggal saham itu diperoleh.
Dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dicatat juga setiap perubahan kepemilikan saham.
Daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disediakan di tempat kedudukan Perseroan agar dapat dilihat oleh para pemegang saham.
- 14 (5) Dalam hal peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak mengatur lain,
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi
Perseroan Terbuka.
Pasal 51
Pemegang saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 52
Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk:
a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
b. menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi;
c. menjalankan hak lainnya berdasarkan undang- undang ini.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku setelah saham dicatat dalam daftar
pemegang saham atas nama pemiliknya.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c tidak berlaku bagi
klasifikasi saham tertentu sebagaimana ditetapkan dalam undang- undang ini.
Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi.
Dalam hal 1 (satu) saham dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) orang, hak yang timbul dari saham
tersebut digunakan dengan cara menunjuk 1 (satu) orang sebagai wakil bersama.
Pasal 53
(1) Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih.
(2) Setiap saham dalam klasifikasi yang sama me mberikan kepada pemegangnya hak yang sama.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, anggaran dasar menetapkan salah
satu di antaranya sebagai saham biasa.
(4) Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain:
a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris;
c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi
saham lain;
d. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu
dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau
nonkumulatif;
e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari
pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam
likuidasi.
Pasal 54
(1) Anggaran dasar dapat menentukan pecahan nilai nominal saham.
(2) Pemegang pecahan nilai nominal saham tidak diberikan hak suara perseorangan, kecuali
pemegang pecahan nilai nominal saham, baik sendiri atau bersama pemegang pecahan nilai
nominal saham lainnya yang klasifikasi sahamnya sama memiliki nilai nominal sebesar 1
(satu) nominal saham dari klasifikasi tersebut.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) dan ayat (5) mutatis mutandis
berlaku bagi pemegang pecahan nilai nominal saham.
Pasal 55
Dalam anggaran dasar Perseroan ditentukan cara pemindahan hak atas saham sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 56
(1) Pemindahan hak atas saham dilakukan dengan akta pemindahan hak.
(2) Akta pemindahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau salinannya disampaikan
secara tertulis kepada Perseroan.
(3) Direksi wajib mencatat pemindahan hak atas saham, tanggal, dan hari pemindahan hak
tersebut dalam daftar pemegang saham atau daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam
- 15 -
Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dan memberitahukan perubahan susunan pemegang saham
kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak.
(4) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dilakukan, Menteri
menolak permohonan persetujuan atau pemberitahuan yang dilaksanakan berdasarkan
susunan dan nama pemegang saham yang belum diberitahukan tersebut.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemindahan hak atas saham yang diperdagangkan di pasar
modal diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal.
Pasal 57
(1) Dalam anggaran dasar dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu:
a. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi
tertentu atau pemegang saham lainnya;
b. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan; dan/atau
c. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pemindahan hak
atas saham disebabkan peralihan hak karena hukum, kecuali keharusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c berkenaan dengan kewarisan.
Pasal 58
(1) Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual menawarkan terlebih
dahulu sahamnya kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain,
dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) terhitung sejak tanggal penawaran dilakukan
ternyata pemegang saham tersebut tidak membeli, pemegang saham penjual dapat
menawarkan dan menjual sahamnya kepada pihak ketiga.
(2) Setiap pemegang saham penjual yang diharuskan menawarkan sahamnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berhak menarik kembali penawaran tersebut, setelah lewatnya jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kewajiban menawarkan kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku 1 (satu) kali.
Pasal 59
(1) Pemberian persetujuan pemindahan hak atas saham yang memerlukan persetujuan Organ
Perseroan atau penolakannya harus diberikan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tangga l Organ Perseroan menerima permintaan
persetujuan pemindahan hak tersebut.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Organ
Perseroan tidak memberikan pernyataan tertulis, Organ Perseroan dianggap menyetujui
pemindahan hak atas saham tersebut.
(3) Dalam hal pemindahan hak atas saham disetujui oleh Organ Perseroan, pemindahan hak
harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan diberikan.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 60
Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 kepada pemiliknya.
Saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak ditentukan lain
dalam anggaran dasar.
Gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang telah didaftarkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan wajib dicatat dalam daftar pemegang saham dan daftar
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
Hak suara atas saham yang diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap berada pada
pemegang saham.
- 16 -
Pasal 61
(1) Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan
negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan
wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
Pasal 62
(1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan
harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang
merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:
a. perubahan anggaran dasar;
b. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50%
(lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau
c. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
(3) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi
batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) huruf b, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak
ketiga.
BAB IV
RENCANA KERJA, LAPORAN TAHUNAN, DAN
PENGGUNAAN LABA
Bagian Kesatu
Rencana Kerja
Pasal 63
(1) Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang akan datang.
(2) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran tahunan
Perseroan untuk tahun buku yang akan datang.
Pasal 64
(1) Rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 disampaikan kepada Dewan Komisaris
atau RUPS sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.
(2) Anggaran dasar dapat menentukan rencana kerja yang disampaikan oleh Direksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau
RUPS, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal anggaran dasar menentukan rencana kerja harus mendapat persetujuan RUPS,
rencana kerja tersebut terlebih dahulu harus ditelaah Dewan Komisaris.
Pasal 65
(1) Dalam hal Direksi tidak menyampaikan rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64, rencana kerja tahun yang lampau diberlakukan.
(2) Rencana kerja tahun yang lampau berlaku juga bagi Perseroan yang rencana kerjanya belum
memperoleh persetujuan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Laporan Tahunan
Pasal 66
(1) Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan
Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan
berakhir.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat sekurang-kurangnya:
- 17 -
a. laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir tahun buku yang
baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari
tahun buk u yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta
catatan atas laporan keuangan tersebut;
b. laporan mengenai kegiatan Perseroan;
c. laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;
d. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha
Perseroan;
e. laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Dewan Komisaris
selama tahun buku yang baru lampau;
f. nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
g. gaji dan tunjangan bagi anggota Direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi
anggota Dewan Komisaris Perseroan untuk tahun yang baru lampau.
(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disusun berdasarkan standar
akuntansi keuangan.
(4) Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a bagi Perseroan yang wajib diaudit, harus disampaikan kepada Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 67
(1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) ditandatangani oleh semua
anggota Direksi dan semua anggota Dewan Komisaris yang menjabat pada tahun buku yang
bersangkutan dan disediakan di kantor Perseroan sejak tanggal panggilan RUPS untuk dapat
diperiksa oleh pemegang saham.
(2) Dalam hal terdapat anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang tidak
menandatangani laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bersangkutan
harus menyebutkan alasannya secara tertulis, atau alasan tersebut dinyatakan oleh Direksi
dalam surat tersendiri yang dilekatkan dalam laporan tahunan.
(3) Dalam hal terdapat anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang tidak
menandatangani laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak memberi
alasan secara tertulis, yang bersangkutan dianggap telah menyetujui isi laporan tahunan.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 68
Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit
apabila:
a. kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat;
b. Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat;
c. Perseroan merupakan Perseroan Terbuka;
d. Perseroan merupakan persero;
e. Perseroan mempunyai aset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah nilai paling
sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau
f. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, laporan keuangan
tidak disahkan oleh RUPS.
Laporan atas hasil audit akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara tertulis kepada RUPS melalui Direksi.
Neraca dan laporan laba rugi dari laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, dan huruf c setelah mendapat pengesahan RUPS diumumkan dalam 1 (satu)
surat kabar.
Pengumuman neraca dan laporan laba rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah mendapat pengesahan RUPS.
Pengurangan besarnya jumlah nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 69
(1) Persetujuan laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta laporan tugas
pengawasan Dewan Komisaris dilakukan oleh RUPS.
- 18 (2) Keputusan atas pengesahan laporan keuangan dan persetujuan laporan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam undang- undang ini dan/atau
anggaran dasar.
(3) Dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan,
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab
terhadap pihak yang dirugikan.
(4) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dibebaskan dari tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena
kesalahannya.
Bagian Ketiga
Penggunaan Laba
Pasal 70
(1) Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untuk
cadangan.
(2) Kewajiban penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku apabila
Perseroan mempunyai saldo laba yang positif.
(3) Penyisihan laba bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai cadangan
mencapai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan
disetor.
(4) Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mencapai jumlah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya boleh dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat
dipenuhi oleh cadangan lain.
Pasal 71
(1) Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS.
(2) Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 ayat (1) dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali
ditentukan lain dalam RUPS.
(3) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan apabila Perseroan
mempunyai saldo laba yang positif.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 72
Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan berakhir
sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila
jumlah kekayaan bersih Perseroan tidak menjadi lebih kecil daripada jumlah modal
ditempatkan dan disetor ditambah cadangan wajib.
Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh mengganggu
atau menyebabkan Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada kreditor atau
mengganggu kegiatan Perseroan.
Pembagian dividen interim ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi setelah memperoleh
persetujuan Dewan Komisaris, dengan memperhatikan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3).
Dalam hal setelah tahun buku berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian, dividen
interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada Perseroan.
Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
Perseroan, dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interim
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 73
(1) Dividen yang tidak diambil setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal yang ditetapkan
untuk pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan khusus.
(2) RUPS mengatur tata cara pengambilan dividen yang telah dimasukkan ke dalam cadangan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 19 (3) Dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan tidak diambil dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun akan menjadi hak Perseroan.
BAB V
TANGGUNG JAWAB
SOSIAL DAN LINGKUNGAN
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 74
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan
peraturan pemerintah.
BAB VI
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 75
RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris,
dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan
dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan
mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan.
RUPS dalam mata acara lain- lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali semua
pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan me nyetujui penambahan mata
acara rapat.
Keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus disetujui dengan suara bulat.
Pasal 76
RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan
kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.
RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di mana saham
Perseroan dicatatkan.
Tempat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terletak di wilayah
negara Republik Indonesia.
Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang
saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan di
manapun dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengambil keputusan jika keputusan
tersebut disetujui dengan suara bulat.
Pasal 77
Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga
dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik
lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara
langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar
Perseroan.
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah
rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.
- 20 -
Pasal 78
(1) RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya.
(2) RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah
tahun buku berakhir.
(3) Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2).
(4) RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan
Perseroan.
Pasal 79
(1) Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2)
dan RUPS lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4) dengan didahului
pemanggilan RUPS.
(2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas
permintaan:
a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu
persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran
dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau
b. Dewan Komisaris.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Direksi dengan Surat
Tercatat disertai alasannya.
(4) Surat Tercatat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang disampaikan oleh pemegang saham
tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris.
(5) Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima
belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.
(6) Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(5):
a. Permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau
b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b.
(7) Dewan Komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
huruf a dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal
permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.
(8) RUPS yang diselenggarakan Direksi berdasarkan panggilan RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan sebaga imana dimaksud
pada ayat (3) dan mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu oleh Direksi.
(9) RUPS yang diselenggarakan Dewan Komisaris berdasarkan panggilan RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf b dan ayat (7) hanya membicarakan masalah yang berkaitan
dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(10)
Penyelenggaraan RUPS Perseroan Terbuka tunduk pada ketentuan undang-undang ini
sepanjang ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak menentukan
lain.
Pasal 80
(1) Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang saham yang
meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan
negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan
pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.
(2) Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, Direksi dan/atau
Dewan Komisaris, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPS apabila
pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon
mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.
(3) Penetapan ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat juga
ketentuan mengenai:
- 21 -
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
a. bentuk RUPS, mata acara RUPS sesuai dengan permohonan pemegang saham, jangka
waktu pemanggilan RUPS, kuorum kehadiran, dan/atau ketentuan tentang persyaratan
pengambilan keputusan RUPS, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa
terikat pada ketentuan undang- undang ini atau anggaran dasar; dan/atau
b. perintah yang mewajibkan Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir dalam RUPS.
Ketua pengadilan negeri menolak permohonan dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan
secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang
wajar untuk diselenggarakannya RUPS.
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh membicarakan mata acara rapat
sebagaimana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri.
Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal penetapan ketua pengadilan negeri menolak permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), upaya hukum yang dapat diajukan hanya kasasi.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka dengan
memperhatikan persyaratan pengumuman akan diadakannya RUPS dan persyaratan lainnya
untuk penyelenggaraan RUPS sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan di
bidang pasar modal.
Pasal 81
(1) Direksi melakukan pemanggilan kepada pemegang saham sebelum menyelenggarakan
RUPS.
(2) Dalam hal tertentu, pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
oleh Dewan Komisaris atau pemegang saham berdasarkan penetapan ketua pengadilan
negeri.
Pasal 82
(1) Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
(2)
(3)
(4)
(5)
sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan
tanggal RUPS.
Pemanggilan RUPS dilakukan dengan Surat Tercatat dan/atau dengan iklan dalam Surat
Kabar.
Dalam panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat disertai
pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor
Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal RUPS
diadakan.
Perseroan wajib memberikan salinan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada
pemegang saham secara cuma-cuma jika diminta.
Dalam hal pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), dan panggilan tidak sesuai dengan ketentuan ayat (3), keputusan RUPS tetap
sah jika semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan
keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.
Pasal 83
(1) Bagi Perseroan Terbuka, sebelum pemanggilan RUPS dilakukan wajib didahului dengan
pengumuman mengenai akan diadakan pemanggilan RUPS dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS.
Pasal 84
(1) Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar
menentukan lain.
(2) Hak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan;
b. saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau
tidak langsung; atau
- 22 -
c. saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau
tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Pasal 85
Pemegang saham, baik sendiri maupun diwakili berdasarkan surat kuasa berhak menghadiri
RUPS dan menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pemegang saham dari
saham tanpa hak suara.
Dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham berlaku untuk
seluruh saham yang dimilikinya dan pemegang saham tidak berhak memberikan kuasa
kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya dengan
suara yang berbeda.
Dalam pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan karyawan
Perseroan yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam hal pemegang saham hadir sendiri dalam RUPS, surat kuasa yang telah diberikan
tidak berlaku untuk rapat tersebut.
Ketua rapat berhak menentukan siapa yang berhak hadir dalam RUPS dengan
memperhatikan ketentuan undang-undang ini dan anggaran dasar Perseroan.
Terhadap Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (6) berlaku juga ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal.
Pasal 86
(1) RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali undang-undang
dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.
Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diadakan
pemanggilan RUPS kedua.
Dalam pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah
dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum.
RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil keputusan jika
dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih
besar.
Dalam hal kuorum RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai,
Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan Perseroan atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk
RUPS ketiga.
Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan
tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah
ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri.
Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan.
RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari
dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya
dilangsungkan.
Pasal 87
(1) Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian
dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali undang- undang dan/atau anggaran dasar
menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih
besar.
- 23 -
Pasal 88
(1) RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili
dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian
dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran
dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat
diselenggarakan RUPS kedua.
RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil keputusan jika
dalam rapat paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adala h sah jika disetujui paling sedikit
2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS
yang lebih besar.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan
ayat (9) mutatis mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengenai kuorum
kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS berlaku juga bagi
Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang- undangan di
bidang pasar modal.
Pasal 89
RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan,
pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu
berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit
3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili
dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat)
bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum
kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih
besar.
Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat
diadakan RUPS kedua.
RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil keputusan jika
dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling
sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran
dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan
keputusan RUPS yang lebih besar.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan
ayat (9) mutatis mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengenai kuorum
kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS berlaku juga
bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
Pasal 90
(1) Setiap penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani oleh ketua
rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta
RUPS.
(2) Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disya ratkan apabila risalah RUPS
tersebut dibuat dengan akta notaris.
Pasal 91
Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat
semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani
usul yang bersangkutan.
- 24 -
BAB VII
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Bagian Kesatu
Direksi
Pasal 92
(1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
(3)
(4)
(5)
(6)
dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang
ini dan/ atau anggaran dasar.
Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.
Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana
masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau
Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan
wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.
Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak menetapkan, pembagian tugas
dan wewenang anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi.
Pasal 93
(1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap
melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya
pernah:
a. dinyatakan pailit;
b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau
yang berkaitan dengan sektor keuangan.
(2) Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kemungkinan
instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan
surat yang disimpan oleh Perseroan.
Pasal 94
(1) Anggota Direksi diangkat oleh RUPS.
(2) Untuk pertama kali pengangkatan anggota Direksi dilakukan oleh pendiri dalam akta
pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b.
(3) Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali.
(4) Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota
Direksi dan dapat juga mengatur tentang tata cara pencalonan anggota Direksi.
(5) Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi
juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian
tersebut.
(6) Dalam hal RUPS tidak menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan
pemberhentian anggota Direksi, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota
Direksi tersebut mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS.
(7) Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi, Direksi
wajib memberitahukan perubahan anggota Direksi kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar
Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
keputusan RUPS tersebut.
(8) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum dilakukan, Menteri
menolak setiap permohonan yang diajukan atau pemberitahuan yang disampaikan kepada
Menteri oleh Direksi yang belum tercatat dalam daftar Perseroan.
- 25 (9) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk pemberitahuan yang
disampaikan oleh Direksi baru atas pengangkatan dirinya sendiri.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 95
Pengangkatan anggota Direksi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 93 batal karena hukum sejak saat anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris
mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut.
Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, anggota Direksi
lainnya atau Dewan Komisaris harus mengumumkan batalnya pengangkatan anggota Direksi
yang bersangkutan dalam surat kabar dan memberitahukannya kepada Menteri untuk dicatat
dalam daftar Perseroan.
Perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh anggota Direksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan
menjadi tanggung jawab Perseroan.
Perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh anggota Direksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah pengangkatannya batal, adalah tidak sah dan
menjadi tanggung jawab pribadi anggota Direksi yang bersangkutan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mengurangi tanggung jawab anggota
Direksi yang bersangkutan terhadap kerugian Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
97 dan Pasal 104.
Pasal 96
(1) Ketentuan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi ditetapkan berdasarkan
keputusan RUPS.
(2) Kewenangan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilimpahkan kepada Dewan
Komisaris.
(3) Dalam hal kewenangan RUPS dilimpahkan kepada Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), besarnya gaji dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Pasal 97
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
92 ayat (1).
Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan
apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota
Direksi.
Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh)
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui
pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya
menimbulkan kerugian pada Perseroan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain
dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.
- 26 -
Pasal 98
mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
(2) Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili
Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.
(2) Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, anggaran
dasar, atau keputusan RUPS.
(3) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar Perseroan.
(1) Direksi
Pasal 99
(1) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:
a. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang
bersangkutan; atau
b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.
(2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhak mewakili
Perseroan adalah:
a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan;
b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan
dengan Perseroan; atau
c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan
Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan.
Pasal 100
(1) Direksi Wajib:
a. membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan
b. risalah rapat Direksi;
c. membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dan dokumen keuangan
Perseroan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang tentang Dokumen Perusahaan;
dan
d. memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b dan dokumen Perseroan lainnya.
(2) Seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan Perseroan, dan dokumen Perseroan lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di tempat kedudukan Perseroan.
(3) Atas permohonan tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi izin kepada pemegang
saham untuk memeriksa daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan laporan tahunan, serta mendapatkan salinan risalah RUPS dan
salinan laporan tahunan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menutup kemungkinan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal menentukan lain.
Pasal 101
(1) Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota
Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk
selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.
(2) Anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian
Perseroan tersebut.
Pasal 102
(1) Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk:
a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau
b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan;
yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam
1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.
- 27 (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah transaksi pengalihan kekayaan
bersih Perseroan yang terjadi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun buku atau jangka waktu
yang lebih lama sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku terhadap tindakan pengalihan
atau penjaminan kekayaan Perseroan yang dilakukan oleh Direksi sebagai pelaksanaan
kegiatan usaha Perseroan sesuai dengan anggaran dasarnya.
(4) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa persetujuan RUPS, tetap
mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik.
(5) Ketentuan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 mutatis mutandis berlaku bagi keputusan RUPS
untuk menyetujui tindakan Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 103
Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau
kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu
sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.
Pasal 104
(1) Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada
(2)
(3)
(4)
(5)
Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat terjadi karena kesalahan atau
kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan
dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab
atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi anggota Direksi
yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) apabila dapat membuktikan:
a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati- hatian, dan penuh tanggung
jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi
Direksi dari Perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga.
Pasal 105
(1) Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan
menyebutkan alasannya.
(2) Keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS.
(3) Dalam hal keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan keputusan di luar RUPS sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91, anggota Direksi yang bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu
tentang rencana pemberhentian dan diberikan kesempatan untuk membela diri sebelum
diambil keputusan pemberhentian.
(4) Pemberian kesempatan untuk membela diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diperlukan dalam hal yang bersangkutan tidak berkeberatan atas pemberhentian tersebut.
(5) Pemberhentian anggota Direksi berlaku sejak:
a. ditutupnya RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. tanggal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
c. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1); atau
- 28 -
d. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 106
(1) Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan
menyebutkan alasannya.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis
kepada anggota Direksi yang bersangkutan.
(3) Anggota Direksi yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
berwenang melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 98
ayat (1).
Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian
sementara harus diselenggarakan RUPS.
Dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) anggota Direksi yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk membela diri.
RUPS mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara tersebut.
Dalam hal RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota Direksi yang
bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya.
Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari telah lewat RUPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) tidak diselenggarakan, atau RUPS tidak dapat mengambil keputusan, pemberhentian
sementara tersebut menjadi batal.
Bagi Perseroan Terbuka penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (8) berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 107
Dalam anggaran dasar diatur ketentuan mengenai:
a. tata cara pengunduran diri anggota Direksi;
b. tata cara pengisian jabatan anggota Direksi yang lowong; dan
c. pihak yang berwenang menjalankan pengurusan dan mewakili Perseroan dalam hal seluruh
anggota Direksi berhalangan atau diberhentikan untuk sementara.
Bagian Kedua
Dewan Komisaris
Pasal 108
(1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan
(2)
(3)
(4)
(5)
pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat
kepada Direksi.
Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih.
Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan
setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan
berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.
Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana
masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat atau
Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris.
Pasal 109
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai
Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli
syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat
dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip
syariah.
- 29 -
Pasal 110
(1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris adalah orang perseoranga n yang
cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum
pengangkatannya pernah:
a. dinyatakan pailit;
b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau
yang berkaitan dengan sektor keuangan.
(2) Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kemungkinan
instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan
surat yang disimpan oleh Perseroan.
Pasal 111
(1) Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS.
(2) Untuk pertama kali pengangkatan anggota Dewan Komisaris dilakukan oleh pendiri dalam
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b.
Anggota Dewan Komisaris diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat
kembali.
Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota
Dewan Komisaris serta dapat juga mengatur tentang pencalonan anggota Dewan Komisaris.
Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan
Komisaris juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan
pemberhentian tersebut.
Dalam hal RUPS tidak menentukan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan
pemberhentian anggota Dewan Komisaris, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian
mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS.
Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris,
Direksi wajib memberitahukan perubahan tersebut kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar
Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
keputusan RUPS tersebut.
Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum dilakukan, Menteri
menolak setiap pemberitahuan tentang perubahan susunan Dewan Komisaris selanjutnya
yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi.
Pasal 112
(1) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan ayat (2) batal karena hukum sejak saat anggota
Dewan Komisaris lainnya atau Direksi mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut.
(2) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, Direksi harus
mengumumkan batalnya pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan dalam
surat kabar dan memberitahukannya kepada Menteri untuk dicatat dala m daftar Perseroan.
(3) Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk dan atas nama Dewan Komisaris sebelum pengangkatannya
batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab anggota
Dewan Komisaris yang bersangkutan terhadap kerugian Perseroan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 114 dan Pasal 115.
Pasal 113
Ketentuan tentang besarnya gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris
ditetapkan oleh RUPS.
- 30 -
Pasal 114
(1) Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 108 ayat (1).
(2) Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung
(3)
(4)
(5)
(6)
jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan.
Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian
Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota Dewan Komisaris atau lebih,
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi
setiap anggota Dewan Komisaris.
Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati- hatian untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan
c. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh)
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan
Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan
ke pengadilan negeri.
Pasal 115
(1) Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam
melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan
Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan
tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab
dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi anggota Dewan
Komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan.
(3) Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kepailitan
Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dapat membuktikan:
a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati- hatian untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan
d. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.
Pasal 116
Dewan Komisaris wajib:
a. membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya;
b. melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada
Perseroan tersebut dan Perseroan lain; dan
c. memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang
baru lampau kepada RUPS.
Pasal 117
(1) Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Dewan Komisaris
untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan
hukum tertentu.
- 31 (2) Dalam hal anggaran dasar menetapkan persyaratan pemberian persetujuan atau bantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanpa persetujuan atau bantuan Dewan Komisaris,
perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lainnya dalam perbuatan hukum
tersebut beritikad baik.
Pasal 118
(1) Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan
tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
(2) Dewan Komisaris yang dalam keadaan tertentu unt uk jangka waktu tertentu melakukan
tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku semua ketentuan
mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap Perseroan dan pihak ketiga.
Pasal 119
Ketentuan mengenai pemberhentian anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105
mutatis mutandis berlaku bagi pemberhentian anggota Dewan Komisaris.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 120
Anggaran dasar Perseroan dapat mengatur adanya 1 (satu) orang atau lebih Komisaris
Independen dan 1 (satu) orang Komisaris Utusan.
Komisaris independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat berdasarkan keputusan
RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris lainnya.
Komisaris utusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan anggota Dewan
Komisaris yang ditunjuk berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris.
Tugas dan wewenang Komisaris utusan ditetapkan dalam anggaran dasar Perseroan dengan
ketentuan tidak bertentangan dengan tugas dan wewenang Dewan Komisaris dan tidak
mengurangi tugas pengurusan yang dilakukan Direksi.
Pasal 121
(1) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Dewan
Komisaris dapat membentuk komite, yang anggotanya seorang atau lebih adalah anggota
Dewan Komisaris.
(2) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris.
BAB VIII
PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN,
DAN PEMISAHAN
Pasal 122
(1) Penggabungan dan Peleburan mengakibatkan Perseroan yang menggabungkan atau
meleburkan diri berakhir karena hukum.
(2) Berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi tanpa dilakukan likuidasi
terlebih dahulu.
(3) Dalam hal berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
a. aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena
hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan;
b. pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum
menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil
Peleburan; dan
c. Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung
sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.
Pasal 123
(1) Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan menyusun
rancangan Penggabungan.
(2) Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurangkurangnya:
- 32 -
a. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
b. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan
persyaratan Penggabungan;
c. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap
saham Perseroan yang menerima Penggabungan;
d. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila
ada;
e. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a yang meliputi 3
(tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
f. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan
Penggabungan;
g. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
h. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan
karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;
i. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap
pihak ketiga.
j. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan
Perseroan;
k. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi
anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
l. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
m. laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan
yang akan melakukan Penggabungan;
n. kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan perubahan yang
terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
o. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang
mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan.
(3) Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapat
persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masingmasing untuk mendapat persetujuan.
(3) Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan selain berlaku ketentuan dalam
undang-undang ini, perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) berlaku juga bagi
Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang- undangan di
bidang pasar modal.
Pasal 124
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 mutatis mutandis berlaku bagi Perseroan
yang akan meleburkan diri.
Pasal 125
(1) Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan
(2)
(3)
(4)
(5)
dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari
pemegang saham.
Pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan.
Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilalihan saham yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan tersebut.
Dalam hal Pengambilalihan yang dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perseroan, Direksi
sebelum melakukan perbuatan hukum pengambilalihan harus berdasarkan keputusan RUPS
yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan
keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
Dalam hal Pengambilalihan dilakukan melalui Direksi, pihak yang akan mengambil alih
menyampaikan maksudnya untuk melakukan Pengambilalihan kepada Direksi Perseroan
yang akan diambil alih.
- 33 (6) Direksi Perseroan yang akan diambil alih dan Perseroan yang akan mengambil alih dengan
persetujuan Dewan Komisaris masing- masing menyusun rancangan Pengambilalihan yang
memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan
yang akan diambil alih;
b. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan Direksi
Perseroan yang akan diambil alih;
c. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a untuk tahun
buku terakhir dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil
alih;
d. tata cara penilaian dan konversi saham dari Perseroan yang akan diambil alih terhadap
saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dilakukan dengan saham;
e. jumlah saham yang akan diambil alih;
f. kesiapan pendanaan;
g. neraca konsolidasi proforma Perseroan yang akan mengambil alih setelah
Pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia;
h. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Pengambilalihan;
i. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan
karyawan dari Perseroan yang akan diambil alih;
j. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian
kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada Direksi Perseroan;
k. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan hasil Pengambilalihan apabila ada.
(7) Dalam hal pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham, ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) tidak berlaku.
(8) Pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib memperhatikan
ketentuan anggaran dasar Perseroan yang diambil alih tentang pemindahan hak atas saham
dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak lain.
Pasal 126
(1) Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib
memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
(2) Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
(3) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses
pelaksanaan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisaha n.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 127
Keputusan RUPS mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sah
apabila diambil sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89.
Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat
kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan
melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat juga pemberitahuan bahwa pihak
yang berkepentingan dapat memperoleh rancangan Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, atau Pemisahan di kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman
sampai tanggal RUPS diselenggarakan.
Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada Perseroan dalam jangka waktu paling lambat
14 (empat belas) hari setelah pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengenai
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sesuai dengan rancangan
tersebut.
- 34 (5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kreditor tidak mengajukan
keberatan, kreditor dianggap menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan.
(6) Dalam hal keberatan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan tanggal
diselenggarakan RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus
disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian.
(7) Selama penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum tercapai, Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan tidak dapat dilaksanakan.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7)
mutatis mutandis berlaku bagi pengumuman dalam rangka Pengambilalihan saham yang
dilakukan langsung dari pemegang saham dalam Perseroan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 125.
Pasal 128
(1) Rancangan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan yang telah disetujui
RUPS dituangkan ke dalam akta Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia.
(2) Akta pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham wajib
dinyatakan dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia.
(3) Akta peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pembuatan akta
pendirian Perseroan hasil Peleburan.
Pasal 129
(1) Salinan akta Penggabungan Perseroan dilampirkan pada:
a. pengajuan permohonan untuk mendapatkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1); atau
b. penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3).
(2) Dalam hal Penggabungan Perseroan tidak disertai perubahan anggaran dasar, salinan akta
Penggabungan harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan.
Pasal 130
Salinan akta Peleburan dilampirkan pada pengajuan permohonan untuk mendapatkan keputusan
menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan hasil Peleburan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (4).
Pasal 131
(1) Salinan akta Pengambilalihan Perseroan wajib dilampirkan pada penyampaian
pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (3).
(2) Dalam hal Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung dari pemegang saham, salinan
akta pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan
kepada Menteri tentang perubahan susunan pemegang saham.
Pasal 132
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 berlaku juga bagi Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.
Pasal 133
(1) Direksi Perseroan yang menerima Penggabungan atau Direksi Perseroan hasil Peleburan
wajib mengumumkan hasil Penggabungan atau Peleburan dalam 1 (satu) surat kabar atau
lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
berlakunya Penggabungan atau Peleburan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap Direksi dari Perseroan
yang sahamnya diambil alih.
- 35 -
Pasal 134
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan Perseroan
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 135
(1) Pemisahan dapat dilakukan dengan cara:
a. Pemisahan murni; atau
b. Pemisahan tidak murni.
(2) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan seluruh aktiva
dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain atau lebih yang
menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan pemisahan usaha tersebut berakhir
karena hukum.
(3) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan
sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain
atau lebih yang menerima peralihan, dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut tetap
ada.
Pasal 136
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 137
Dalam hal peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak mengatur lain, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Bab VIII berlaku juga bagi Perseroan Terbuka.
BAB IX
PEMERIKSAAN TERHADAP PERSEROAN
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 138
Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau
keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:
a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau
pihak ketiga; atau
b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang
merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan
permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan Perseroan.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh:
a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh)
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara;
b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang- undangan, anggaran dasar Perseroan
atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan
pemeriksaan; atau
c. kejaksaan untuk kepentingan umum.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan setelah pemohon terlebih
dahulu meminta data atau keterangan kepada Perseroan dalam RUPS dan Perseroan tidak
memberikan data atau keterangan tersebut.
Permohonan untuk mendapatkan data atau keterangan tentang Perseroan atau permohonan
pemeriksaan untuk mendapatkan data atau keterangan tersebut harus didasarkan atas alasan
yang wajar dan itikad baik.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) huruf a, dan ayat (4) tidak menutup
kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal menentukan lain.
Pasal 139
(1) Ketua pengadilan negeri dapat menolak atau mengabulkan permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 138.
- 36 (2) Ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak permohonan apabila
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
permohonan tersebut tidak didasarkan atas alasan yang wajar dan/atau tidak dilakukan
dengan itikad baik.
Dalam hal permohonan dikabulkan, ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan
pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli untuk melakukan
pemeriksaan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan yang diperlukan.
Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, konsultan, dan
akuntan publik yang telah ditunjuk oleh Perseroan tidak dapat diangkat sebagai ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memeriksa semua dokumen dan kekayaan
Perseroan yang dianggap perlu oleh ahli tersebut untuk diketahui.
Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan semua karyawan Perseroan wajib
memberikan segala keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.
Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib merahasiakan hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan.
Pasal 140
(1) Laporan hasil pemeriksaan disampaikan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139
kepada ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam
penetapan pengadilan untuk pemeriksaan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak tanggal pengangkatan ahli tersebut.
(2) Ketua pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan kepada pemohon
dan Perseroan yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima.
Pasal 141
(1) Dalam hal permohonan untuk melakukan pemeriksaan dikabulkan, ketua pengadilan negeri
menentukan jumlah maksimum biaya pemeriksaan.
(2) Biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh Perseroan.
(3) Ketua pengadilan negeri atas permohonan Perseroan dapat membebankan penggantian
seluruh atau sebagian biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
pemohon, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris.
BAB X
PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN
BERAKHIRNYA STATUS BADAN HUKUM PERSEROAN
Pasal 142
(1) Pembubaran Perseroan terjadi:
a.
b.
c.
d.
berdasarkan keputusan RUPS;
karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
berdasarkan penetapan pengadilan;
dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar
biaya kepailitan;
e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan
insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan
likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan
b. Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk
membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.
(3) Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang
ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan
- 37 -
berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi
bertindak selaku likuidator.
(4) Dalam hal pembubaran Perseroan terjadi dengan dicabutnya kepailitan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, pengadilan niaga sekaligus memutuskan pemberhentian
kurator dengan memperhatikan ketentuan dalam undang-undang tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilanggar, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Perseroan bertanggung jawab secara tanggung
renteng.
(6) Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang,
kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi mutatis mutandis berlaku bagi
likuidator.
Pasal 143
(1) Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum
sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS
atau pengadilan.
(2) Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam
likuidasi” di belakang nama Perseroan.
Pasal 144
(1) Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling
sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat
mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS.
(2) Keputusan RUPS tentang pembubaran Perseroan sah apabila diambil sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89.
(3) Pembubaran Perseroan dimulai sejak saat yang ditetapkan dalam keputusan RUPS.
Pasal 145
(1) Pembubaran Perseroan terjadi karena hukum apabila jangka waktu berdirinya Perseroan yang
ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir.
(2) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah jangka waktu berdirinya
Perseroan berakhir RUPS menetapkan penunjukan likuidator.
(3) Direksi tidak boleh melakukan perbuatan hukum baru atas nama Perseroan setelah jangka
waktu berdirinya Perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir.
Pasal 146
(1) Pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan atas:
a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau
Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
b. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam
akta pendirian;
c. permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan
Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan.
(2) Dalam penetapan pengadilan ditetapkan juga penunjukan likuidator.
Pasal 147
(1) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran
Perseroan, likuidator wajib memberitahukan:
a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan
pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan
b. pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa
Perseroan dalam likuidasi.
(2) Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat:
a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya;
b. nama dan alamat likuidator;
- 38 -
c. tata cara pengajuan tagihan; dan
d. jangka waktu pengajuan tagihan.
(3) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d adalah 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemberitahuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
dilengkapi dengan bukti:
a. dasar hukum pembubaran Perseroan; dan
b. pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a.
Pasal 148
(1) Dalam hal pemberitahuan kepada kreditor dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
147 belum dilakukan, pembubaran Perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
(2) Dalam hal likuidator lalai melakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
likuidator secara tanggung renteng dengan Perseroan bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita pihak ketiga.
Pasal 149
(1) Kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses
likuidasi meliputi pelaksanaan:
a. pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan;
b. pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana
pembagian kekayaan hasil likuidasi;
c. pembayaran kepada para kreditor;
d. pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan
e. tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan.
(2) Dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang Perseroan lebih besar daripada kekayaan
Perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit Perseroan, kecuali peraturan
perundang-undangan menentukan lain, dan semua kreditor yang diketahui identitas dan
alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan.
(3) Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dalam
jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Dalam hal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak oleh likuidator,
kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat
60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan.
Pasal 150
(1) Kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu sebaga imana dimaksud
(2)
(3)
(4)
(5)
dalam Pasal 147 ayat (3), dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
tanggal penolakan.
Kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1).
Tagihan yang diajukan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam
hal terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang diperuntukkan bagi pemegang saham.
Dalam hal sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan kepada pemegang saham dan
terdapat tagihan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengadilan negeri
memerintahkan likuidator untuk menarik kembali sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah
dibagikan kepada pemegang saham.
Pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) secara proporsional dengan jumlah yang diterima terhadap jumlah tagihan.
- 39 -
Pasal 151
(1) Dalam hal likuidator tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 149, atas permohonan pihak yang berkepentingan atau atas permohonan kejaksaan,
ketua pengadilan negeri dapat mengangkat likuidator baru dan memberhentikan likuidator
lama.
(2) Pemberhentian likuidator sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah yang
bersangkutan dipanggil untuk didengar keterangannya.
Pasal 152
(1) Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya atas
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
likuidasi Perseroan yang dilakukan.
Kurator bertanggung jawab kepada hakim pengawas atas likuidasi Perseroan yang dilakukan.
Likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir proses
likuidasi dalam surat kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada
likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang
ditunjuknya.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku juga bagi kurator yang
pertanggungjawabannya telah diterima oleh hakim pengawas.
Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama
Perseroan dari daftar Perseroan, setelah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) dipenuhi.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku juga bagi berakhirnya status badan
hukum Perseroan karena Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan.
Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pertanggungjawaban likuidator atau kurator diterima oleh RUPS, pengadilan atau hakim
pengawas.
Menteri mengumumkan berakhirnya status badan hukum Perseroan dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
BAB XI
BIAYA
Pasal 153
Ketentuan mengenai biaya untuk:
a. memperoleh persetujuan pemakaian nama Perseroan;
b. memperoleh keputusan pengesahan badan hukum Perseroan;
c. memperoleh keputusan persetujuan perubahan anggaran dasar;
d. memperoleh informasi tentang data Perseroan dalam daftar Perseroan;
e. pengumuman yang diwajibkan dalam undang-undang ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; dan
f. memperoleh salinan keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan atau
persetujuan perubahan anggaran dasar Perseroan diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 154
(1) Bagi Perseroan Terbuka berlaku ketentuan undang-undang ini jika tidak diatur lain dalam
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(2) Peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal yang mengecualikan ketentuan
undang-undang ini tidak boleh bertentangan dengan asas hukum Perseroan dalam undangundang ini.
- 40 -
Pasal 155
Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan
kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur
dalam undang- undang tentang Hukum Pidana.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 156
Dalam rangka pelaksanaan dan perkembangan undang-undang ini dibentuk tim ahli
pemantauan hukum Perseroan.
Keanggotaan tim sebaga imana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur:
a. pemerintah;
b. pakar/akademisi;
c. profesi; dan
d. dunia usaha.
Tim ahli berwenang mengkaji akta pendirian dan perubahan anggaran dasar yang diperoleh
atas inisiatif sendiri dari tim atau atas permintaan pihak yang berkepentingan, serta
memberikan pendapat atas hasil kajian tersebut kepada Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja tim ahli
diatur dengan peraturan menteri.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 157
(1) Anggaran dasar dari Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum dan perubahan
anggaran dasar yang telah disetujui atau dilaporkan kepada Menteri dan didaftarkan dalam
daftar perusahaan sebelum undang- undang ini berlaku tetap berlaku jika tidak bertentangan
dengan undang- undang ini.
(2) Anggaran dasar dari Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum atau anggaran
dasar yang perubahannya belum disetujui atau dilaporkan kepada Menteri pada saat undangundang ini mulai berlaku, wajib disesuaikan dengan undang-undang ini.
(3) Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum berdasarkan peraturan perundangundangan, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya undang- undang ini wajib
menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini.
(4) Perseroan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan negeri atas
permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Pasal 158
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun harus menyesuaikan
dengan ketentuan undang-undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 159
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru
berdasarkan undang- undang ini.
Pasal 160
Pada saat undang- undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 41 -
Pasal 161
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang- undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 106
- 42 -
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2007
TENTANG
PERSEROAN TERBATAS
I. UMUM
Pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan pembangunan perkonomian nasional perlu didukung oleh suatu undang-undang
yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang
kondusif.
Selama ini perseroan terbatas telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas, yang menggantikan peraturan perundang-undangan yang berasal
dari zaman kolonial. Namun, dalam perkembangannya ketentuan dalam undang-undang
tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat
karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah
berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Di samping itu, meningkatnya
tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan
pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik
(good corporate governance) menuntut penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas.
Dalam undang-undang ini telah diakomodasi berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik
berupa penambahan ketentuan baru, perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan
ketentuan lama yang dinilai masih relevan. Untuk lebih memperjelas hakikat Perseroan, di
dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa Perseroan adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan
modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh layanan yang cepat,
undang-undang ini mengatur tata cara:
1. pengajuan permohonan dan pemberian pengesahan status badan hukum;
2. pengajuan permohonan dan pemberian persetujuan perubahan anggaran dasar;
3. penyampaian pemberitahuan dan penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar
dan/atau pemberitahuan dan penerimaan pemberitahuan perubahan data lainnya,
yang dilakukan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara
elektronik di samping tetap dimungkinkan menggunakan sistem manual dalam keadaan
tertentu.
Berkenaan dengan permohonan pengesahan badan hukum Perseroan, ditegaskan bahwa
permohonan tersebut merupakan wewenang pendiri bersama-sama yang dapat dilaksanakan
sendiri atau dikuasakan kepada notaris.Akta pendirian Perseroan yang telah disahkan dan
akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui dan/atau diberitahukan kepada Menteri
dicatat dalam daftar Perseroan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia dilakukan oleh Menteri. Dalam hal pemberian status badan hukum, persetujuan
dan/atau penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar, dan perubahan data lainnya,
undang-undang ini tidak dikaitkan dengan undang- undang tentang Wajib Daftar Perusahaan.
Untuk lebih memperjelas dan mempertegas ketentuan yang menyangkut Organ Perseroan,
dalam undang-undang ini dilakukan perubahan atas ketentuan yang menyangkut
penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan memanfaatkan
perkembangan teknologi. Dengan demikian, penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan melalui
media elektronik seperti telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik
lainnya.
- 43 -
Undang-undang ini juga memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi
dan Dewan Komisaris. Undang-undang ini mengatur mengenai komisaris independen dan
komisaris utusan.
Sesuai dengan berkembangnya kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, undang-undang
ini mewajibkan Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
selain mempunyai Dewan Komisaris juga mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Tugas
Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta
mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.
Dalam undang- undang ini ketentuan mengenai struktur modal Perseroan tetap sama, yaitu
terdiri atas modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Namun, modal dasar
Perseroan diubah menjadi paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
sedangkan kewajiban penyetoran atas modal yang ditempatkan harus penuh. Mengenai
pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan pada prinsipnya tetap dapat
dilakukan dengan syarat batas waktu Perseroan menguasai saham yang telah dibeli kembali
paling lama 3 (tiga) tahun. Khusus tentang penggunaan laba, Undang-Undang ini
menegaskan bahwa Perseroan dapat membagi laba dan menyisihkan cadangan wajib apabila
Perseroan mempunyai saldo laba positif.
Dalam undang- undang ini diatur mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang
bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi Perseroan itu sendiri, komunitas setempat,
dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya
hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan
budaya masyarakat setempat, maka ditentukan bahwa Perseroan yang kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan. Untuk melaksanakan kewajiban Perseroan tersebut, kegiatan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
biaya Perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Kegiatan tersebut dimuat dalam laporan tahunan Perseroan. Dalam hal Perseroan tidak
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan maka Perseroan yang bersangkutan
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-undang ini mempertegas ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan
berakhirnya status badan hukum Perseroan dengan memperhatikan ketentuan dalam undangundang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam rangka pelaksanaan dan perkembangan undang-undang ini dibentuk tim ahli
pemantauan hukum perseroan yang tugasnya memberikan masukan kepada Menteri
berkenaan dengan Perseroan. Untuk menjamin kredibilitas tim ahli, keanggotaan tim ahli
tersebut terdiri atas berbagai unsur baik dari pemerintah, pakar/akademisi, profesi, dan dunia
usaha.
Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek Perseroan, maka
undang-undang ini diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih
memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mempertegas ciri Perseroan bahwa pemegang saham hanya
bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi
harta kekayaan pribadinya.
Ayat (2)
Dalam hal- hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas
tersebut apabila terbukti terjadi hal-hal yang disebutkan dalam ayat ini.
Tanggung jawab pemegang saham sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya
kemungkinan hapus apabila terbukti, antara lain terjadi pencampuran harta kekayaan pribadi
- 44 -
pemegang saham dan harta kekayaan Perseroan sehingga Perseroan didirikan semata- mata
sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf d.
Pasal 4
Berlakunya undang- undang ini, anggaran dasar Perseroan, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lain, tidak mengurangi kewajiban setiap Perseroan untuk menaati asas
itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan, dan prinsip tata kelola Perseroan yang baik
(good corporate governance) dalam menjalankan Perseroan.
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya” adalah semua
peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya Perseroan,
termasuk peraturan pelaksanaannya, antara lain peraturan perbankan, peraturan
perasuransian, peraturan lembaga keuangan.
Dalam hal terdapat pertentangan antara anggaran dasar dan undang- undang ini yang berlaku
adalah undang-undang ini.
Pasal 5
Tempat kedudukan Perseroan sekaligus merupakan kantor pusat Perseroan. Perseroan wajib
mempunyai alamat sesuai dengan tempat kedudukannya yang harus disebutkan, antara lain
dalam surat- menyurat dan melalui alamat tersebut Perseroan dapat dihubungi.
Pasal 6
Apabila Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas, lamanya jangka waktu tersebut
harus disebutkan secara tegas, misalnya untuk waktu 10 (sepuluh) tahun, 20 (dua puluh)
tahun, 35 (tiga puluh lima) tahun, dan seterusnya. Demikian juga apabila Perseroan didirikan
untuk jangka waktu tidak terbatas harus disebutkan secara tegas dalam anggaran dasar.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia
maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing. Ketentuan dalam ayat ini menegaskan
prinsip yang berlaku berdasarkan undang-undang ini bahwa pada dasarnya sebagai badan
hukum, Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu)
orang pemegang saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal Peleburan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan yang meleburkan diri masuk
menjadi modal Perseroan hasil Peleburan dan pendiri tidak mengambil bagian saham
sehingga pendiri dari Perseroan hasil Peleburan adalah Perseroan yang meleburkan diri dan
nama pemegang saham dari Perseroan hasil Peleburan adalah nama pemegang saham dari
Perseroan yang meleburkan diri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Perikatan dan kerugian Perseroan yang menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham
adalah perikatan dan kerugian yang terjadi setelah lewat waktu 6 (enam) bulan tersebut.
Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan” adalah kejaksaan untuk kepentingan
umum, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, kreditor, dan/atau
pemangku kepentingan (stake holder) lainnya.
Ayat (7)
Karena status dan karakteristik yang khusus, persyaratan jumlah pendiri bagi Perseroan
sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persero” adalah badan usaha milik negara yang berbentuk Perseroan
yang modalnya terbagi dalam saham yang diatur dalam undang-undang tentang badan usaha
milik negara.
Huruf b
Cukup jelas.
- 45 -
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam mendirikan Perseroan diperlukan kejelasan mengenai kewarganegaraan pendiri. Pada
dasarnya badan hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan didirikan oleh warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, kepada warga negara asing atau badan
hukum asing diberikan kesempatan untuk mendirikan badan hukum Indonesia yang
berbentuk Perseroan sepanjang undang- undang yang mengatur bidang usaha Perseroan
tersebut memungkinkan, atau pendirian Perseroan tersebut diatur dengan undang-undang
tersendiri.Dalam hal pendiri adalah badan hukum asing, nomor dan tanggal pengesahan
badan hukum pendiri adalah dokumen yang sejenis dengan itu, antara lain certificate of
incorporation. Dalam hal pendiri adalah badan hukum negara atau daerah, diperlukan
peraturan pemerintah tentang penyertaan dalam Perseroan atau peraturan daerah tentang
penyertaan daerah dalam Perseroan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “mengambil bagian saham” adalah jumlah saham yang diambil oleh
pemegang saham pada saat pendirian Perseroan.
Apabila ada penyetoran yang melebihi nilai nominal sehingga menimbulkan selisih antara
nilai yang sebenarnya dibayar dengan nilai nominal, selisih tersebut dicatat dalam laporan
keuangan sebagai agio.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum” adalah
jenis pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dalam proses pengesahan badan hukum
Perseroan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “langsung” dalam ketentuan ini adalah pada saat yang bersamaan
dengan saat pengajuan permohonan diterima.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “tanda tangan secara elektronik” adalah tanda tangan yang
dilekatkan atau disertakan pada data elektronik oleh pejabat yang berwenang yang
membuktikan keotentikan data yang berupa gambar elektronik dari tanda tangan pejabat
yang berwenang tersebut yang dibuat melalui media komputer.
Ayat (7)
Lihat penjelasan ayat (3).
Ayat (8)
- 46 -
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak dikenakan biaya tambahan.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini “perbuatan hukum” yang dimaksud, antara lain perbuatan hukum yang
dilakukan oleh calon pendiri dengan pihak lain yang akan diperhitungkan dengan
kepemilikan dan penyetoran saham calon pendiri dalam Perseroan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dilekatkan” adalah penyatuan dokumen yang dilakukan dengan
cara melekatkan atau menjahitkan dokumen tersebut sebagai satu kesatuan dengan akta
pendirian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tata cara yang harus ditempuh untuk mengalihkan kepada Perseroan
hak dan/atau kewajiban yang timbul dari perbuatan calon pendiri yang dibuat sebelum
Perseroan didirikan melalui penerimaan secara tegas atau pengambilalihan hak dan
kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perbuatan hukum atas nama Perseroan” adalah perbuatan hukum,
baik yang menyebutkan Perseroan sebagai pihak dalam perbuatan hukum maupun
menyebutkan Perseroan sebagai pihak yang berkepentingan dalam perbuatan hukum.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa anggota Direksi tidak dapat melakukan
perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, tanpa
persetujuan semua pendiri, anggota Direksi lainnya dan anggota Dewan Komisaris.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat
Perseroan” adalah tanggung jawab pendiri yang melakukan perbuatan tersebut secara pribadi
dan Perseroan tidak bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan pendiri
tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dihadiri” adalah dihadiri sendiri ataupun diwakilkan berdasarkan
surat kuasa.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
- 47 -
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “tata cara pengangkatan” adalah termasuk prosedur pemilihan, antara
lain pemilihan secara lisan atau dengan surat tertutup dan pemilihan calon secara
perseorangan atau paket.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal tidak ada tulisan singkatan “Tbk”, berarti Perseroan itu berstatus tertutup.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan Perseroan mempunyai tempat
kedudukan di desa atau di kecamatan sepanjang anggaran dasar mencantumkan nama kota
atau kabupaten dari desa dan kecamatan tersebut. Contoh: PT A bertempat kedudukan di
desa Bojongsari, Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Maksud dan tujuan me rupakan usaha pokok Perseroan.
Kegiatan usaha merupakan kegiatan yang dijalankan oleh Perseroan dalam rangka mencapai
maksud dan tujuannya, yang harus dirinci secara jelas dalam anggaran dasar, dan rincian
tersebut tidak boleh bertentangan dengan anggaran dasar.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
- 48 -
Persetujuan kurator dilaksanakan sebelum pengambilan keputusan perubahan anggaran
dasar. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan adanya penolakan oleh
kurator sehingga berakibat keputusan perubahan anggaran dasar menjadi batal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Perubahan anggaran dasar dari status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka
atau sebaliknya meliputi perubahan seluruh ketentuan anggaran dasar sehingga persetujuan
menteri diberikan atas perubahan seluruh anggaran dasar tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “harus dinyatakan dengan akta notaris” adalah harus dalam bentuk
akta pernyataan keputusan rapat atau akta perubahan anggaran dasar.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Dalam hal permohonan tetap diajukan, Menteri wajib menolak permohonan atau
pemberitahuan tersebut.
Pasal 22
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (7).
Contoh:
Perseroan didirikan untuk 50 (lima puluh) tahun dan akan berakhir pada tanggal 15
November 2007 sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) apabila
jangka waktu berdirinya Perseroan akan diperpanjang, permohonan persetujuan perubahan
anggaran dasar mengenai perpanjangan jangka waktu tersebut harus sudah diajukan kepada
Menteri paling lambat tanggal 15 September 2007.
Dalam hal RUPS telah mengambil keputusan untuk memperpanjang jangka waktu tersebut
pada tanggal 1 Agustus 2007 dan telah dinyatakan dalam akta Notaris pada tanggal 7
Agustus 2007, pengajua n permohonan kepada Menteri harus diajukan paling lambat 7
September 2007.
Dalam hal RUPS untuk perpanjangan jangka waktu tersebut diadakan pada tanggal 20
Agustus 2007, perpanjangan jangka waktu tersebut harus dinyatakan dalam akta Notaris dan
- 49 -
diajukan permohonannya kepada Menteri paling lambat pada tanggal 15 September 2007
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “undang-undang ini menentukan lain” adalah, antara lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 undang-undang ini yang mengatur
adanya persyaratan yang harus dipenuhi sebelum berlakunya keputusan menteri atau adanya
tanggal kemudian yang ditetapkan dalam keputusan menteri, yang memuat syarat tunda yang
harus dipenuhi lebih dahulu atau tanggal kemudian.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanggal kemudian yang ditetapkan” adalah tanggal setelah tanggal
persetujuan Menteri.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan atau
akta Pengambilalihan” adalah tanggal yang telah disepakati oleh para pihak dan merupakan
tanggal setelah tanggal penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar oleh Menteri.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perubahan data Perseroan” adalah antara lain data tentang
pemindahan hak atas saham, penggantian anggota Direksi dan Dewan Komisaris,
pembubaran Perseroan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
- 50 -
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha tertentu”, antara lain usaha perbankan, asuransi, atau
freight forwarding.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan keadaan perekonomian.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bukti penyetoran yang sah”, antara lain bukti setoran pemegang
saham ke dalam rekening bank atas nama Perseroan, data dari laporan keuangan yang telah
diaudit oleh akuntan, atau neraca Perseroan yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan
Komisaris.
Ayat (3)
Ketentuan ini menegaskan bahwa tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara
mengangsur.
Pasal 34
Ayat (1)
Pada umumnya penyetoran saham adalah dalam bentuk uang. Namun, tidak ditutup
kemungkinan penyetoran saham dalam bentuk lain, baik berupa benda berwujud maupun
benda tidak berwujud, yang dapat dinilai dengan uang dan yang secara nyata telah diterima
oleh Perseroan.Penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang harus disertai rincian yang
menerangkan nilai atau harga, jenis atau macam, status, tempat kedudukan, dan lain- lain
yang dianggap perlu demi kejelasan mengenai penyetoran tersebut.
Ayat (2)
Nilai wajar setoran modal saham ditentukan sesuai dengan nilai pasar. Jika nilai pasar tidak
tersedia, nilai wajar dit entukan berdasarkan teknik penilaian yang paling sesuai dengan
karakteristik setoran, berdasarkan informasi yang relevan dan terbaik.
Yang dimaksud dengan “ahli yang tidak terafiliasi” adalah ahli yang tidak mempunyai:
a. hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara
horizontal maupun vertikal dengan pegawai, anggota Direksi, Dewan Komisaris, atau
pemegang saham dari Perseroan;
b. hubungan dengan Perseroan karena adanya kesamaan satu atau lebih anggota Direksi
atau Dewan Komisaris;
c. hubungan pengendalian dengan Perseroan baik langsung maupun tidak langsung;
dan/atau
d. saham dalam Perseroan sebesar 20% (dua puluh persen) atau lebih.
Ayat (3)
Maksud diumumkannya penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak dalam Surat
Kabar, adalah agar diketahui umum dan memberikan kesempatan kepada pihak yang
berkepentingan untuk dapat mengajukan keberatan atas penyerahan benda tersebut sebagai
setoran modal saham, misalnya ternyata diketahui benda tersebut bukan milik penyetor.
Pasal 35
Ayat (1)
Diperlukannya persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah untuk
menegaskan bahwa hanya dengan persetujuan RUPS dapat dilakukan kompensasi karena
dengan disetujuinya kompensasi, hak didahulukan pemegang saham lainnya untuk
mengambil saham baru dengan sendirinya dilepaskan.
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, bunga dan denda yang terutang sekalipun telah jatuh
waktu dan harus dibayar karena secara nyata tidak diterima oleh Perseroan, tidak dapat
dikompensasikan sebagai setoran saham.
Huruf a
Cukup jelas.
- 51 -
Huruf b
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pihak yang menjadi penanggung atau penjamin
utang Perseroan telah membayar lunas utang Perseroan sehingga mempunyai hak tagih
terhadap Perseroan.
Huruf c
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah kewajiban pembayaran utang oleh Perseroan
dalam kedudukannya sebagai penanggung atau penjamin menjadi hapus hak tagih kreditor
dikompensasi dengan setoran saham yang dikeluarkan oleh Perseroan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Pada prinsipnya, pengeluaran saham adalah suatu upaya pengumpulan modal, maka
kewajiban penyetoran atas saham seharusnya dibebankan kepada pihak lain. Demi kepastian,
Pasal ini menentukan bahwa Perseroan tidak boleh mengeluarkan saham untuk dimiliki
sendiri.
Larangan tersebut termasuk juga larangan kepemilikan silang (cross holding) yang terjadi
apabila Perseroan memiliki saham yang dikeluarkan oleh Perseroan lain yang memiliki
saham Perseroan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengertian kepemilikan silang secara langsung adalah apabila Perseroan pertama memiliki
saham pada Perseroan kedua tanpa melalui kepemilikan pada satu “Perseroan antara” atau
lebih dan sebaliknya Perseroan kedua memiliki saham pada Perseroan pertama. Pengertian
kepemilikan silang secara tidak langsung adalah kepemilikan Perseroan pertama atas saham
pada Perseroan kedua melalui kepemilikan pada satu “Perseroan antara” atau lebih dan
sebaliknya Perseroan kedua memiliki saham pada Perseroan pertama.
Ayat (2)
Kepemilikan saham yang mengakibatkan pemilikan saham oleh Perseroan sendiri atau
pemilikan saham secara kepemilikan silang tidak dilarang jika pemilikan saham tersebut
diperoleh berdasarkan peralihan karena hukum, hibah, atau hibah wasiat oleh karena dalam
hal ini tidak ada pengeluaran saham yang memerlukan setoran dana dari pihak lain sehingga
tidak melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “perusahaan efek” adalah sebagaimana dimaksud dalam undangundang tentang Pasar Modal.
Pasal 37
Ayat (1)
Pembelian kembali saham Perseroan tidak menyebabkan pengurangan modal, kecuali apabila
saham tersebut ditarik kembali.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kekayaan bersih” adalah seluruh harta kekayaan Perseroan
dikurangi seluruh kewajiban Perseroan sesuai dengan laporan keuangan terbaru yang
disahkan oleh RUPS dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan jangka waktu 3 (tiga) tahun pada ayat ini dimaksudkan agar Perseroan dapat
menentukan apakah saham tersebut akan dijual atau ditarik kembali dengan cara
pengurangan modal.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
- 52 -
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan” adalah penentuan tentang saat, cara pembelian
kembali saham, dan jumlah saham yang akan dibeli kembali, tetapi tidak termasuk hal- hal
yang menjadi tugas Direksi dalam pembelian kembali saham, seperti melakukan
pembayaran, menyimpan surat saham, dan mencatatkan dalam daftar pemegang saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “modal Perseroan“ adalah modal dasar, modal ditempatkan, dan
modal disetor.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan” pada ayat ini adalah penentuan saat, cara, dan jumlah
penambahan modal yang tidak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan oleh RUPS,
tetapi tidak termasuk hal-hal yang menjadi tugas Direksi dalam penambahan modal, seperti
menerima setoran saham dan mencatatnya dalam daftar pemegang saham.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jumlah saham dengan hak suara” adalah jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang telah dikeluarkan oleh Perseroan.
Yang dimaksud dengan “kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar” adalah
kuorum yang ditetapkan dalam anggaran dasar lebih tinggi daripada kuorum yang ditentukan
pada ayat ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “saham yang ditujukan kepada karyawan Perseroan”, antara lain
saham yang dikeluarkan dalam rangka ESOP (employee stocks option program) Perseroan
dengan segenap hak dan kewajiban yang melekat padanya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “reorganisasi dan/atau restrukturisasi”, antara lain Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, kompensasi piutang, atau Pemisahan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “jangka waktu 14 (empat belas) hari” termasuk batas waktu bagi
pemegang saham untuk mengambil bagian dari pemegang saham lain yang tidak
menggunakan haknya.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengurangan modal” adalah pengurangan modal dasar, modal
ditempatkan, dan modal disetor. Pengurangan modal ditempatkan dan modal disetor dapat
- 53 -
terjadi dengan cara menarik kembali saham yang telah dikeluarkan untuk dihapus atau
dengan cara menurunkan nilai nominal saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
“Penarikan kembali saham” berarti saham tersebut ditarik dari peredaran dalam rangka
pengurangan modal ditempatkan dan modal disetor.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penarikan kembali saham” adalah penarikan kembali saham yang
mengakibatkan penghapusan saham tersebut dari peredaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan
saham atas nama pemiliknya dan Perseroan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah instansi yang berdasarkan undangundang berwenang mengawasi Perseroan yang melakukan kegiatan usahanya di bidang
tertentu, misalnya Bank Indonesia berwenang mengawasi Perseroan di bidang perbankan,
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral berwenang mengawasi Perseroan di bidang energi
dan pertambangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham”, misalnya
hak untuk dicatat dalam daftar pemegang saham, hak untuk menghadiri dan mengeluarkan
suara dalam RUPS, atau hak untuk menerima dividen yang dibagikan.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jumlah yang disetor” adalah paling sedikit sama dengan jumlah
nilai nominal saham.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “daftar khusus” adalah salah satu sumber informasi mengenai
besarnya kepemilikan dan kepentingan anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan
pada Perseroan yang bersangkutan atau Perseroan lain sehingga pertentangan kepentingan
yang mungkin timbul dapat ditekan sekecil mungkin.
Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah istri atau suami dan anak-anaknya.
Ayat (3)
- 54 -
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”tidak mengatur lain“ adalah bukan berarti tidak diadakan kewajiban
untuk menyusun daftar pemegang saham dan daftar khusus bagi Perseroan Terbuka, tetapi
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dapat menentukan kriteria data yang
harus dimasukkan dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus.
Pasal 51
Pengaturan bentuk bukti pemilikan saham ditetapkan dalam anggaran dasar sesuai dengan
kebutuhan.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Berdasarkan ketentuan ini, para pemegang saham tidak diperkenankan membagi-bagi hak
atas 1 (satu) saham menurut kehendaknya sendiri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “klasifikasi saham” adalah pengelompokan saham berdasarkan
karakteristik yang sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan“saham biasa“ adalah saham yang mempunyai hak suara untuk
mengambil keputusan dalam RUPS mengenai segala hal yang berkaitan dengan pengurusan
Perseroan, mempunyai hak untuk menerima dividen yang dibagikan, dan menerima sisa
kekayaan hasil likuidasi.
Hak suara yang dimiliki oleh pemegang saham biasa dapat dimiliki juga oleh pemegang
saham klasifikasi lain.
Ayat (4)
Bermacam- macam klasifikasi saham tidak selalu menunjukkan bahwa klasifikasi tersebut
masing- masing berdiri sendiri, terpisah satu sama lain, tetapi dapat merupakan gabungan dari
2 (dua) klasifikasi atau lebih.
Pasal 54
Ayat (1)
Pecahan saham hanya dimungkinkan apabila diatur dalam anggaran dasar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akta”, baik berupa akta yang dibuat di hadapan notaris maupun akta
bawah tangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
- 55 -
Yang dimaksud dengan “memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada
Menteri” adalah termasuk juga perubahan susunan pemegang saham yang disebabkan karena
warisan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peralihan hak karena hukum”, antara lain peralihan hak karena
kewarisan atau peralihan hak sebagai akibat Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “hanya berlaku 1 (satu) kali” adalah anggaran dasar Perseroan tidak
boleh menentukan menawarkan sahamnya lebih dari 1 (satu) kali sebelum menawarkan
kepada pihak ketiga.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan kepada
pemiliknya. Hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Perseroan atau pihak lain yang berkepentingan dapat
mengetahui mengenai status saham tersebut.
Ayat (4)
Ketentuan ini menegaskan kembali asas hukum yang tidak memungkinkan penga lihan hak
suara terlepas dari kepemilikan atas saham. Sedangkan hak lain di luar hak suara dapat
diperjanjikan sesuai dengan kesepakatan di antara pemegang saham dan pemegang agunan.
Pasal 61
Ayat (1)
Gugatan yang diajukan pada dasarnya memuat permohonan agar Perseroan menghentikan
tindakan yang merugikan tersebut dan mengambil langkah tertentu baik untuk mengatasi
akibat yang sudah timbul maupun untuk mencegah tindakan serupa di kemudian hari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kekayaan bersih” adalah kekayaan bersih menurut neraca terbaru
yang disahkan dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
- 56 -
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan”
adalah peraturan perundang- undangan menentukan lain bahwa persetujuan atas rencana kerja
diberikan oleh RUPS, maka anggaran dasar tidak dapat menentukan rencana kerja disetujui
oleh Dewan Komisaris atau sebaliknya. Demikian juga, apabila peraturan perundangundangan menentukan bahwa rencana kerja harus mendapat persetujuan dari Dewan
Komisaris atau RUPS, maka anggaran dasar tidak dapat menentukan bahwa rencana kerja
cukup disampaikan oleh Direksi kepada Dewan Komisaris atau RUPS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laporan kegiatan Perseroan” adalah termasuk laporan tentang hasil
atau kine rja Perseroan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “rincian masalah” adalah termasuk sengketa atau perkara yang
melibatkan Perseroan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “standar akuntansi keuangan“ adalah standar yang ditetapkan oleh
Organisasi Profesi Akuntan Indonesia yang diakui Pemerintah Republik Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penandatanganan laporan tahunan” adalah bentuk
pertanggungjawaban anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dalam melaksanakan
tugasnya.
Dalam hal laporan keuangan Perseroan diwajibkan diaudit oleh akuntan publik, laporan
tahunan yang dimaksud adalah laporan tahunan yang memuat laporan keuangan yang telah
diaudit.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “alasan secara tertulis” adalah agar RUPS dapat menggunakannya
sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam memberikan penilaian terhadap laporan
tersebut.
Anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang tidak memberikan alasan, antara lain
karena yang bersangkutan telah meninggal dunia, alasan tersebut dinyatakan oleh Direksi
dalam surat tersendiri yang dilekatkan pada laporan tahunan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 57 -
Pasal 68
Ayat (1)
Kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan kepada akuntan publik untuk diaudit
timbul dari sifat Perseroan yang bersangkutan.
Kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan kepada pengawasan ekstern dibenarkan
dengan asumsi bahwa kepercayaan masyarakat tidak boleh dikecewakan. Demikian juga
halnya dengan Perseroan yang untuk pembiayaannya mengharapkan dana dari pasar modal.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha Perseroan yang menghimpun dan/atau mengelola
dana masyarakat“, antara lain bank, asuransi, reksa dana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat pengakuan utang“, antara lain obligasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Lihat penjelasan Pasal 7 ayat (7) huruf a.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Maksud pengumuman tersebut adalah dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan kepada
masyarakat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan keuangan yang dihasilkan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari
aktiva, kewajiban, modal, dan hasil usaha dari Perseroan.
Direksi dan Dewan Komisaris mempunyai tanggung jawab penuh akan kebenaran isi laporan
keuangan Perseroan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah keuntungan tahun berjalan setelah dikurangi
pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “saldo laba yang positif” adalah laba bersih Perseroan dalam tahun
buku berjalan yang telah menutup akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku
sebelumnya.
Ayat (3)
Perseroan membentuk cadangan wajib dan cadangan lainnya. Cadangan yang dimaksud pada
ayat (1) adalah cadangan wajib.
Cadangan wajib adalah jumlah tertentu yang wajib disisihkan oleh Perseroan setiap tahun
buku yang digunakan untuk menutup kemungkinan kerugian Perseroan pada masa yang akan
datang.
- 58 -
Cadangan wajib tidak harus selalu berbentuk uang tunai, tetapi dapat berbentuk aset lainnya
yang mudah dicairkan dan tidak dapat dibagikan sebagai dividen. Sedangkan yang dimaksud
dengan “cadangan lainnya” adalah cadangan di luar cadangan wajib yang dapat digunakan
untuk berbagai keperluan Perseroan, misalnya untuk perluasan usaha, untuk pembagian
dividen, untuk tujuan sosial, dan lain sebagainya.
Ketentuan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan
disetor dinilai sebagai jumlah yang layak untuk cadangan wajib.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Keputusan RUPS pada ayat ini harus memperhatikan kepentingan Perseroan dan kewajaran.
Berdasarkan keputusan RUPS tersebut dapat ditetapkan sebagian atau seluruh laba bersih
digunakan untuk pembagian dividen kepada pemegang saham, cadangan, dan/atau
pembagian lain seperti tansiem (tantieme) untuk anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta
bonus untuk karyawan.
Pemberian tansiem dan bonus yang dikaitkan dengan kinerja Perseroan telah dianggarkan
dan diperhitungkan sebagai biaya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”seluruh laba bersih” adalah seluruh jumlah laba bersih dari tahun
buku yang bersangkutan setelah dikurangi akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku
sebelumnya.
Ayat (3)
Dalam hal laba bersih Perseroan dalam tahun buku berjalan belum seluruhnya menutup
akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku sebelumnya, Perseroan tidak dapat
membagikan dividen karena Perseroan masih mempunyai saldo laba bersih negatif.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh dividen interim yang harus dikembalikan adalah sebagai berikut.
Dividen interim yang telah dibagikan sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) per saham.
Perseroan menderita kerugian dan tidak mempunyai saldo laba positif sehingga tidak ada
dividen yang dibagikan. Oleh karena itu, yang harus dikembalikan adalah Rp1.000,00 (seribu
rupiah) per saham.
Seandainya Perseroan menderita kerugian, tetapi Perseroan mempunyai laba ditahan
(retained earning) dan saldo laba positif hingga, misalnya RUPS menetapkan dividen sebesar
Rp200,00 (dua ratus rupiah) per saham. Oleh karena, itu saham yang harus dikembalikan
adalah Rp1000,00 (seribu rupiah) dikurangi Rp200,00 (dua ratus rupiah) berarti Rp800,00
(delapan ratus rupiah).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengambilan dividen yang dimaksud adalah jumlah nominal dividen tidak termasuk bunga.
Ayat (3)
Jumlah dividen yang tidak diambil dan menjadi hak Perseroan dibukukan dalam pos
pendapatan lain- lain dari Perseroan.
Pasal 74
- 59 -
Ayat (1)
Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang,
dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber
daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber
daya alam.
Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan
dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan
sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber
daya alam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang terkait.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan berkenaan dengan hak pemegang saham untuk
memperoleh keterangan berkaitan dengan mata acara rapat dengan tidak mengurangi hak
pemegang saham untuk mendapatkan keterangan lainnya berkaitan dengan hak pemegang
saham yang diatur dalam undang-undang ini, antara lain hak pemegang saha m untuk melihat
daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4),
serta hak pemegang saham untuk mendapatkan bahan-bahan rapat segera setelah panggilan
RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)” adalah RUPS
harus diadakan di wilayah negara Republik Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “disetujui dan ditandatangani” adalah disetujui dan ditandatangani
secara fisik atau secara elektronik.
Pasal 78
Ayat (1)
- 60 -
Yang dimaksud dengan “RUPS lainnya” dalam praktik sering dikenal sebagai RUPS luar
biasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “alasan yang menjadi dasar permintaan diadakan RUPS”, antara lain
karena Direksi tidak mengadakan RUPS tahunan sesuai dengan batas waktu yang telah
ditentukan atau masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris akan
berakhir.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penetapan pengadilan mengenai kuorum kehadiran dan ketentuan
tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS” adalah khusus berlaku untuk RUPS
ketiga, sedangkan untuk RUPS pertama dan RUPS kedua ketentuan kuorum kehadiran dan
persyaratan pengambilan keputusan berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 atau anggaran dasar Perseroan.
Yang dimaksud dengan “bentuk RUPS” adalah RUPS tahunan atau RUPS lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap” adalah bahwa
atas penetapan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Ketentuan ini dimaksudkan agar pelaksanaan RUPS tidak tertunda.
Ayat (7)
Upaya hukum yang dimungkinkan apabila penetapan pengadilan menolak permo honan
adalah hanya upaya hukum kasasi dan tidak dimungkinkan peninjauan kembali.
Ayat (8)
Cukup jelas.
- 61 -
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemanggilan RUPS adalah kewajiban Direksi. Pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh
Dewan Komisaris, antara lain dalam hal Direksi tidak menyelenggarakan RUPS sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 79 ayat (6), dalam hal Direksi berhalangan atau terdapat pertentangan
kepentingan antara Direksi dan Perseroan.
Pasal 82
Ayat (1)
“Jangka waktu 14 (empat belas) hari“ adalah jangka waktu minimal untuk memanggil rapat.
Oleh karena itu, dalam anggaran dasar tidak dapat menentukan jangka waktu lebih singkat
dari 14 (empat belas) hari kecuali untuk rapat kedua atau rapat ketiga sesuai dengan
ketentuan undang- undang ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Pengumuman dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pemegang saham
mengusulkan kepada Direksi untuk penambahan acara RUPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kecuali anggaran dasar menentukan lain” adalah apabila anggaran
dasar mengeluarkan satu saham tanpa hak suara. Dalam hal anggaran dasar tidak menentukan
hal tersebut, dapat dianggap bahwa setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak
suara.
Ayat (2)
Dengan ketentuan ini saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan tersebut, baik langsung
maupun tidak langsung, tidak mempunyai hak suara dan tidak dihitung dalam penentuan
kuorum.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dikuasai sendiri” adalah dikuasai baik karena hubungan
kepemilikan, pembelian kembali maupun karena gadai.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini merupakan perwujudan asas musyawarah unt uk mufakat yang diakui
dalam undang- undang ini. Oleh karena itu, suara yang berbeda (split voting) tidak
dibenarkan. Bagi Perseroan Terbuka suara berbeda yang dikeluarkan oleh bank kustodian
atau perusahaan efek yang mewakili pemegang saham dalam dana bersama (mutual fund)
bukan merupakan suara yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Ayat (4)
- 62 -
Dalam menetapkan kuorum RUPS, saham dari pemegang saham yang diwakili anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan sebagai kuasa ikut dihitung,
tetapi dalam pemungutan suara mereka sebagai kuasa pemegang saham tidak berhak
mengeluarkan suara.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Penyimpangan atas ketentuan pada ayat ini hanya dimungkinkan dalam hal yang ditentukan
undang-undang ini. Anggaran dasar tidak boleh menentukan kuorum yang lebih kecil
daripada kuorum yang ditentukan oleh undang- undang ini.
Ayat (2)
Dalam hal kuorum RUPS pertama tidak tercapai, rapat harus tetap dibuka dan kemudian
ditutup dengan membuat notulen rapat yang menerangkan bahwa RUPS pertama tidak dapat
dilanjutkan karena kuorum tidak tercapai dan selanjutnya dapat diadakan pemanggilan RUPS
yang kedua.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, maka RUPS harus tetap dibuka dan kemudian
ditutup dengan membuat notulen RUPS yang menerangkan bahwa RUPS kedua tidak dapat
dilanjutkan karena kuorum tidak tercapai dan selanjutnya dapat diajukan permohonan kepada
ketua pengadilan negeri untuk menetapkan kuorum RUPS ketiga.
Ayat (6)
Dalam hal ketua pengadilan negeri berhalangan, penetapan dilakukan oleh pejabat lain yang
mewakili ketua.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap” adalah bahwa
atas penetapan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “musyawarah untuk mufakat” adalah hasil kesepakatan yang
disetujui oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili dalam RUPS.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “disetujui lebih dari ½ (satu perdua) bagian” adalah bahwa usul
dalam mata acara rapat harus disetujui lebih dari ½ (satu perdua) jumlah suara yang
dikeluarkan. Jika terdapat 3 (tiga) usul atau calon dan tidak ada yang memperoleh suara lebih
dari ½ (satu perdua) bagian, pemungutan suara atas 2 (dua) usul atau calon yang
mendapatkan suara terbanyak harus diulang sehingga salah satu usul atau calon mendapatkan
suara lebih dari ½ (satu perdua) bagian.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 63 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan
pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar“ adalah lebih besar daripada yang ditetapkan
pada ayat ini, tetapi tidak lebih besar daripada yang ditetapkan pada ayat (1).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Penandatanganan oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang
ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan kebenaran
isi risalah RUPS tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 91
Yang dimaksud dengan “pengambilan keputusan di luar RUPS” dalam praktik dikenal
dengan usul keputusan yang diedarkan (circular resolution).
Pengambilan keputusan seperti ini dilakukan tanpa diadakan RUPS secara fisik, tetapi
keputusan diambil dengan cara mengirimkan secara tertulis usul yang akan diputuskan
kepada semua pemegang saham dan usul tersebut disetujui secara tertulis oleh seluruh
pemegang saham.
Yang dimaksud dengan “keputusan yang mengikat” adalah keputusan yang mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan keputusan RUPS.
Pasal 92
Ayat (1)
Ketentuan ini menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang, antara lain meliputi
pengurusan sehari-hari dari Perseroan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kebijakan yang dipandang tepat “ adalah kebijakan yang, antara lain
didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia usaha yang
sejenis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Direksi sebagai organ Perseroan yang melakukan pengurusan Perseroan memahami dengan
jelas kebutuhan pengurusan Perseroan. Oleh karena itu, apabila RUPS tidak menetapkan
pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi, sudah sewajarnya penetapan tersebut
dilakukan oleh Direksi sendiri.
Pasal 93
Ayat (1)
Jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak yang bersangkutan dinyatakan bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap telah menyebabkan
Perseroan pailit atau apabila dihukum terhitung sejak selesai menjalani hukuman.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sektor keuangan”, antara lain lembaga keuangan bank dan nonbank,
pasar modal, dan sektor lain yang berkaitan dengan penghimpunan dan pengelolaan dana
masyarakat.
Ayat (2)
- 64 -
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “surat” adalah surat pernyataan yang dibuat oleh calon anggota
Direksi yang bersangkutan berkenaan dengan persyaratan ayat (1) dan surat dari instansi
yang berwenang berkenaan dengan persyaratan ayat (2).
Pasal 94
Ayat (1)
Kewenangan RUPS tidak dapat dilimpahkan kepada organ Perseroan lainnya atau pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Persyaratan pengangkatan anggota Direksi untuk “jangka waktu tertentu”, dimaksudkan
anggota Direksi yang telah berakhir masa jabatannya tidak dengan sendirinya meneruskan
jabatannya semula, kecuali dengan pengangkatan kembali berdasarkan keputusan RUPS.
Misalnya untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun atau 5 (lima) tahun sejak tanggal pengangkatan,
maka sejak berakhirnya jangka waktu tersebut mantan anggota Direksi yang bersangkutan
tidak berhak lagi bertindak untuk dan atas nama Perseroan, kecuali setelah diangkat kembali
oleh RUPS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “perubahan anggota Direksi” termasuk perubahan karena
pengangkatan kembali anggota Direksi.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan “permohonan” adalah permohonan persetujuan perubahan anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2).
Yang dimaksud dengan “pemberitahuan” adalah pemberitahuan perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dan pemberitahuan tentang data Perseroan
lainnya yang wajib diberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan undang-undang
ini.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Pengangkatan anggota Direksi batal karena hukum sejak diketahuinya pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 oleh anggota Direksi lainnya atau Dewan
Komisaris berdasarkan bukti yang sah dan kepada anggota Direksi yang bersangkutan
diberitahukan secara tertulis pada saat diketahuinya hal tersebut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “anggota Direksi lainnya” adalah anggota Direksi di luar anggota
Direksi yang pengangkatannya batal dan mempunyai wewenang mewakili Direksi sesuai
dengan anggaran dasar. Jika tidak terdapat anggota Direksi yang demikian itu, yang
melaksanakan pengumuman adalah Dewan Komisaris.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi” adalah besarnya gaji
dan tunjangan bagi setiap anggota Direksi.
- 65 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” adalah memperhatikan Perseroan dengan
saksama dan tekun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian” termasuk juga langkah- langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan
pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat Direksi.
Ayat (6)
Dalam hal tindakan Direksi merugikan Perseroan, pemegang saham yang memenuhi
persyaratan sebagaimana ditetapkan pada ayat ini dapat mewakili Perseroan untuk
melakukan tuntutan atau gugatan terhadap Direksi melalui pengadilan.
Ayat (7)
Gugatan yang diajukan Dewan Komisaris adalah dalam rangka tugas Dewan Komisaris
melaksanakan fungsi pengawasan atas pengurusan Perseroan yang dilakukan oleh Direksi,
untuk mengajukan gugatan tersebut Dewan Komisaris tidak perlu bertindak bersama-sama
dengan anggota Direksi lainnya dan kewenangan Dewan Komisaris tersebut tidak terbatas
hanya dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Undang-undang ini pada dasarnya menganut sistem perwakilan kolegial, yang berarti tiaptiap anggota Direksi berwenang me wakili Perseroan. Namun, untuk kepentingan Perseroan,
anggaran dasar dapat menentukan bahwa Perseroan diwakili oleh anggota Direksi tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud “tidak boleh bertentangan dengan undang-undang”, misalnya RUPS tidak
berwenang memutuskan bahwa Direksi di dalam mengagunkan atau mengalihkan sebagian
besar aset Perseroan cukup dengan persetujuan Dewan Komisaris atau persetujuan RUPS
dengan kuorum kurang dari 3/4 (tiga perempat).
Yang dimaksud ‘tidak boleh bertentangan dengan anggaran dasar”, misalnya anggaran dasar
menentukan untuk peminjaman uang di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), Direksi
harus mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris. RUPS tidak berwenang mengambil
keputusan bahwa untuk peminjaman uang di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),
Direksi harus memperoleh persetujuan Dewan Komisaris tanpa terlebih dahulu mengubah
ketentuan anggaran dasar tersebut.
Pasal 99
Cukup jelas.
- 66 -
Pasal 100
Ayat (1)
Huruf a
Daftar pemegang saham dan daftar khusus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50, risalah RUPS dan risalah rapat Direksi memuat segala sesuatu yang
dibicarakan dan diputuskan dalam setiap rapat.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dokumen Perseroan lainnya”, antara lain risalah rapat Dewan
Komisaris, perizinan Perseroan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 101
Setiap perolehan dan perubahan dalam kepemilikan saham tersebut wajib dilaporkan.
Laporan Direksi mengenai hal ini dicatat dalam daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (2).
Yang dimaksud dengan “ keluarganya “, lihat penjelasan Pasal 50 ayat (2).
Pasal 102
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kekayaan Perseroan” adalah semua barang baik bergerak maupun
tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, milik Perseroan.
Yang dimaksud dengan “dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama
lain maupun tidak” adalah satu transaksi atau lebih yang secara kumulatif mengakibatkan
dilampauinya ambang 50% (lima puluh persen).
Penilaian lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih didasarkan pada nilai buku
sesuai neraca yang terakhir disahkan RUPS.
Ayat (2)
Berbeda dari transaksi pengalihan kekayaan, tindakan transaksi penjaminan utang kekayaan
Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dibatasi jangka waktunya,
tetapi harus diperhatikan adalah jumlah kekayaan Perseroan yang masih dalam penjaminan
dalam kurun waktu tertentu.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tindakan pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan, misalnya
penjualan rumah oleh perusahaan real estate, penjualan surat berharga antarbank, dan
penjualan barang dagangan (inventory) oleh perusahaan distribusi atau perusahaan dagang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 103
Yang dimaksud “kuasa” adalah kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana
disebutkan dalam surat kuasa.
Pasal 104
Untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian Direksi, gugatan diajukan ke pengadilan niaga
sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Pasal 105
Ayat (1)
Keputusan RUPS untuk memberhentikan anggota Direksi dapat dilakukan dengan alasan
yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi yang ditetapkan
dalam undang-undang ini, antara lain melakukan tindakan yang merugikan Perseroan atau
karena alasan lain yang dinilai tepat oleh RUPS.
- 67 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pembelaan diri dalam ketentuan ini dilakukan secara tertulis.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1)
Mengingat pemberhentian anggota Direksi oleh RUPS memerlukan waktu untuk
pelaksanaannya, sedangkan kepentingan Perseroan tidak dapat ditunda, Dewan Komisaris
sebagai organ pengawas wajar diberikan kewenangan untuk melakukan pemberhentian
sementara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
RUPS didahului dengan panggilan RUPS yang dilakukan oleh organ Perseroan yang
memberhentikan sementara tersebut.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 107
Huruf a
Tata cara pengunduran diri anggota Direksi yang diatur dalam anggaran dasar dengan
pengajuan permohonan untuk mengundurkan diri yang harus diajukan dalam kurun waktu
tertentu. Dengan lampaunya kurun waktu tersebut, anggota Direksi yang bersangkutan
berhenti dari jabatannya tanpa memerlukan persetujuan RUPS.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 108
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan” adalah bahwa pengawasan dan pemberian nasihat yang dilakukan oleh Dewan
Komisaris tidak untuk kepentingan pihak atau golongan tertentu, tetapi untuk kepentingan
Perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Berbeda dari Direksi yang memungkinkan setiap anggota Direksi bertindak sendiri-sendiri
dalam menjalankan tugas Direksi, setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak
sendiri-sendiri dalam menjalankan tugas Dewan Komisaris, kecuali berdasarkan keputusan
Dewan Komisaris.
Ayat (5)
- 68 -
Perseroan yang kegiatan usahanya menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat,
Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau Perseroan
Terbuka memerlukan pengawasan dengan jumlah anggota Dewan Komisaris yang lebih
besar karena menyangkut kepentingan masyarakat.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lihat penjelasan Pasal 93 ayat (1) huruf c.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “surat” adalah surat pernyataan yang dibuat oleh calon anggota
Dewan Komisaris yang bersangkutan berkenaan dengan persyaratan ayat (1) dan surat dari
instansi yang berwenang berkenaan dengan persyaratan ayat (2).
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “anggota Dewan Komisaris lainnya” adalah anggota Dewan
Komisaris di luar anggota Dewan Komisaris yang pengangkatannya batal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini menegaskan bahwa apabila Dewan Komisaris bersalah atau lalai
dalam menjalankan tugasnya sehingga mengakibatkan kerugian pada Perseroan karena
pengurusan yang dilakukan oleh Direksi, anggota Dewan Komisaris tersebut ikut
bertanggung jawab sebatas dengan kesalahan atau kelalaiannya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Huruf a
Risalah rapat Dewan Komisaris memuat segala sesuatu yang dibicarakan dan diputuskan
dalam rapat tersebut.
- 69 -
Yang dimaksud dengan “salinannya” adalah salinan risalah rapat Dewan Komisaris karena
asli risalah tersebut dipelihara Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100.
Huruf b
Setiap perubahan dalam kepemilikan saham tersebut wajib juga dilaporkan.
Yang dimaksud dengan “keluarganya“, lihat penjelasan Pasal 50 ayat (2).
Huruf c
Laporan Dewan Komisaris mengenai hal ini dicatat dalam daftar khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2).
Pasal 117
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memberikan persetujuan” adalah memberikan persetujuan secara
tertulis dari Dewan Komisaris.
Yang dimaksud dengan “bantuan” adalah tindakan Dewan Komisaris mendampingi Direksi
dalam
melakukan
perbuatan
hukum
tertentu.
Pemberian persetujuan atau bantuan oleh Dewan Komisaris kepada Direksi dalam melakukan
perbuatan hukum tertentu yang dimaksud ayat ini bukan merupakan tindakan pengurusan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan” adalah perbuatan
hukum yang dilakukan tanpa persetujuan Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar tetap mengikat Perseroan, kecuali dapat dibuktikan pihak lainnya tidak
beritikad baik.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat mengakibatkan tanggung jawab pribadi
anggota Direksi sesuai dengan ketentuan undang- undang ini.
Pasal 118
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan wewenang kepada Dewan Komisaris untuk
melakukan pengurusan Perseroan dalam hal Direksi tidak ada.
Yang dimaksud dengan “dalam keadaaan tertentu”, antara lain keadaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf b dan Pasal 107 huruf c.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Komisaris Independen ya ng ada di dalam pedoman tata kelola Perseroan yang baik (code of
good corporate governance) adalah “Komisaris dari pihak luar”.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 121
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “komite”, antara lain komite audit, komite remunerasi, dan komite
nominasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 70 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam tata cara konversi saham ditetapkan harga wajar saham dari Perseroan yang
menggabungkan diri serta harga wajar saham dari Perseroan yang menerima Penggabungan
untuk menentukan perbandingan penukaran saham dalam rangka konversi saham.
Huruf d
Rancangan perubahan anggaran dasar dalam hal ini hanya diwajibkan sebagai bagian dari
usulan apabila Penggabungan tersebut menyebabkan adanya perubahan anggaran dasar.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “3 (tiga) tahun buku terakhir dari Perseroan” adalah yang
keseluruhannya mencakup 36 (tiga puluh enam) bulan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Perseroan tertentu” adalah Perseroan yang mempunyai bidang
usaha khusus, antara lain lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank.
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” antara lain Bank Indonesia untuk Penggabungan
Perseroan perbankan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Ayat (1)
Pengambilalihan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak mengurangi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pihak yang akan mengambil alih” adalah Perseroan, badan hukum
lain yang bukan Perseroan, atau orang perseorangan.
Ayat (6)
- 71 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam tata cara konversi saham ditetapkan harga wajar saham dari Perseroan yang diambil
alih serta harga wajar saham penukarnya untuk menentukan perbandingan penukaran saham
dalam rangka konversi saham.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pengambilalihan saham Perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului
dengan membuat rancangan Pengambilalihan, tetapi dilakukan langsung melalui perundingan
dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap
memperhatikan anggaran dasar Perseroan yang diambil alih.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 126
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan tidak dapat dilakukan apabila akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu.
Selanjutnya, dalam Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan harus juga
dicegah kemungkinan terjadinya monopoli atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang
merugikan masyarakat.
Ayat (2)
Pemegang saham yang tidak menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli sesuai dengan harga
wajar saham dari Perseroan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 123 ayat (2)
huruf c dan Pasal 125 ayat (6) huruf d.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 127
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengumuman dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang
bersangkutan agar mengetahui adanya rencana tersebut dan mengajukan keberatan jika
mereka merasa kepentingannya dirugikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
- 72 -
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Pengumuman dimaksudkan agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah
dilakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan.
Dalam hal ini pengumuman wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal:
a. persetujuan Menteri atas perubahan anggaran dasar dalam hal terjadi Penggabungan;
b. pemberitahuan diterima Menteri baik dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) maupun yang tidak disertai perubahan
anggaran dasar; dan
c. pengesahan Menteri atas akta pendirian Perseroan dalam hal terjadi Peleburan.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemisahan tidak murni” lazim disebut spin off.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “beralih karena hukum” adalah beralih berdasarkan titel umum
sehingga tidak diperlukan akta peralihan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Ayat (1)
Sebelum mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap Perseroan, pemohon telah meminta
secara langsung kepada Perseroan mengenai data atau keterangan yang dibutuhkannya.
Dalam hal Perseroan menolak atau tidak memperhatikan permintaan tersebut, ketentuan ini
memberikan upaya yang dapat ditempuh oleh pemohon.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
- 73 -
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 139
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ahli” adalah orang yang mempunyai keahlian dalam bidang yang
akan diperiksa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “semua dokumen” adalah semua buku, catatan, dan surat yang
berkaitan dengan kegiatan Perseroan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan pada ayat ini, pemohon dapat menentukan sikap lebih
lanjut terhadap Perseroan.
Pasal 141
Ayat (1)
Dalam menetapkan biaya pemeriksaan bagi pemeriksa, ketua pengadilan negeri
mendasarkannya atas tingkat keahlian pemeriksa dan batas kemampuan Perseroan serta
ruang lingkup Perseroan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pembebanan penggantian biaya dimaksud ditetapkan oleh pengadilan dengan memperhatikan
hasil pemeriksaan.
Pasal 142
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan
melakukan likuidasi” adalah ketentuan yang tidak memungkinkan Perseroan untuk berusaha
dalam bidang lain setelah izin usahanya dicabut, misalnya izin usaha perbankan, izin usaha
perasuransian.
Ayat (2)
Berbeda dari bubarnya Perseroan sebagai akibat Penggabungan dan Peleburan yang tidak
perlu diikuti dengan likuidasi, bubarnya Perseroan berdasarkan ketentuan ayat (1) harus
selalu diikuti dengan likuidasi.
- 74 -
Huruf a
Yang dimaksud dengan “likuidasi yang dilakukan oleh kurator” adalah likuidasi yang khusus
dilakukan dalam hal Perseroan bubar berdasarkan ketentuan ayat (1) huruf e.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dengan pengangkatan likuidator, tidak berarti bahwa anggota Direksi dan Dewan Komisaris
diberhentikan, kecuali RUPS yang memberhentikan.
Yang berwenang untuk melakukan pemberhentian sementara likuidator dan pengawasan
terhadapnya adalah Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar.
Pasal 143
Ayat (1)
Karena Perseroan yang dibubarkan masih diakui sebagai badan hukum, Perseroan dapat
dinyatakan pailit dan likuidator selanjutnya digantikan oleh kurator.
Pernyataan pailit tidak mengubah status Perseroan yang telah dibubarkan dan karena itu
Perseroan harus dilikuidasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan”, antara lain:
a. Perseroan tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih,
yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada instansi pajak;
b. dalam hal sebagian besar pemegang saham sudah tidak diketahui alamatnya walaupun
telah dipanggil melalui iklan dalam Surat Kabar sehingga tidak dapat diadakan RUPS;
c. dalam hal perimbangan pemilikan saham dalam Perseroan demikian rupa sehingga RUPS
tidak dapat mengambil keputusan yang sah, misalnya 2 (dua) kubu pemegang saham
memiliki masing- masing 50% (lima puluh persen) saham; atau
d. kekayaan Perseroan telah berkurang demikian rupa sehingga dengan kekayaan yang ada
Perseroan tidak mungkin lagi melanjutkan kegiatan usahanya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 147
Ayat (1)
Penghitungan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dimulai sejak tanggal:
a. pembubaran oleh RUPS karena Perseroan dibubarkan oleh RUPS; atau
b. penetapan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena Perseroan
dibubarkan berdasarkan penetapan pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
- 75 -
Penghitungan jangka waktu 60 (enam puluh) hari dimulai sejak tanggal pengumuman
pemberitahuan kepada kreditor yang paling akhir, misalnya pengumuman dalam surat kabar
tanggal 1 Juli 2007, pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 3 Juli
2007, maka tanggal pengumuman yang paling akhir dimaksud adalah pada tanggal 3 Juli
2007.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dalam rencana pembagian kekayaaan hasil likuidasi”, termasuk
rincian besarnya utang dan rencana pembayarannya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ‘tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan
kekayaan”, antara lain mengajukan permohonan pailit karena utang Perseroan lebih besar
daripada kekayaan Perseroan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “likuidator bertanggung jawab” adalah likuidator harus memberikan
laporan pertanggungjawaban atas likuidasi yang dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Ayat (1)
- 76 -
Pada dasarnya terhadap Perseroan yang melakukan kegiatan tertentu di bidang pasar modal,
misalnya Perseroan Terbuka atau bursa efek berlaku ketentuan dalam undang- undang ini.
Namun, mengingat kegiatan Perseroan tersebut mempunyai sifat tertentu yang berbeda dari
Perseroan pada umumnya, perlu dibuka kemungkinan adanya pengaturan khusus terhadap
Perseroan tersebut.
Pengaturan khusus dimaksud, antara lain mengenai sistem penyetoran modal, hal yang
berkaitan dengan pembelian kembali saham Perseroan, dan hak suara serta penyelenggaraan
RUPS.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “asas hukum Perseroan” adalah asas hukum yang berkaitan dengan
hakikat Perseroan dan Organ Perseroan.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum berdasarkan
peraturan perundang- undangan” adala h Perseroan yang berstatus badan hukum yang
didirikan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 158
Berdasarkan ketentuan ini, kepemilikan saham oleh Perseroan lain tersebut harus sudah
dialihkan kepada pihak lain yang tidak terkena larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya undang-undang ini.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4756.
Riwayat Penulis
Santoso Tri Raharjo, lahir di Bandung 5 Februari
1971 dari pasangan Mishan dan Marinah. Penulis
beragama Islam, dan memiliki istri yang bernama
Nurliana Cipta Apsari, dengan dikaruniai dua orang
putra Arya Muhammad Rafi Raharjo dan Aslam
Aulia Raharjo. Penulis beralamat di Puri Cipageran
Indah I Blok A-277, RT.01/RW.26 Kelurahan
Cipageran Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi. Alamat email:
[email protected].
Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN Angkasa V
Lanud Sulaiman Bandung lulus tahun 1984, SMPN 8 (SMPN 1)
Margahayu Bandung lulus tahun tahun 1987, SMAN 4 Bandung lulus
tahun 1990. Pada tahun 1996 penulis menyelesaikan S-1 Ilmu
Kesejahteraan Sosial FISIP-Univeristas Padjadjaran, kemudian
melanjutkan studi S-2 Sosiologi Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial
Universitas Indonesia lulus tahun 2003, dan pada tahun 2013
menyelesaikan studi S-3 Sosiologi Universitas Padjadjaran.
Riwayat pekerjaan penulis dimulai sejak tahun 1998 diterima
menjadi staf pengajar Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Tahun 20072011 pernah menjabat Kepala Laboratorium Kesejahteraan Sosial, dan
sejak tahun 2011 dipercaya sebagai sekretaris Jurusan Ilmu
Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD. Selain itu penulis juga aktif
sebagai anggota Dewan Pembinan di LSM Bahana Karya Insani.
Penulis pernah memperoleh penghargaan ‘Satyalencana Kesetiaan 10
tahun’ dari Presiden RI tahun 2012
Beberapa karya penulis lainnya antara lain ‘No Nganggur No
Cry’, tahun 2009, Penerbit Oase Bandung; ‘Dasar-dasar Pekerjaan
Sosial’, tahun 2010, Penerbit: Mitra Padjadjaran Bandung; dan ‘Social
Enterprise, Social Entrepreneurship, and Corporate Social
Responsibility’, tahun 2011, Penerbit Mitra Padjadjaran.
------------------------
UNPAD
PRESS
2013
xiii
Download