Masyarakat adalah mitra penting dan utama dalam kegiatan CSR. Masyarakat lokal memandang,bahwa sudah merupakan hal yang wajar dan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan kegiatan CSR bagi masyarakat, karena perusahaan telah mengeksploitasi sumber daya alam ‘milik’ masyarakat. Dominasi, signifikansi, dan legitimasi dari relasi ekonomi, relasi sosial, relasi budaya cenderung membuat masyarakat tergantung pada korporasi dan tidak mandiri. Lemahnya fungsi pemerintah pusat dan daerah memperkuat signifikasi, dominasi dan legitimasi korporasi terhadap masyarakat. RELASI DINAMIS ANTARA PERUSAHAAN DENGAN MASYARAKAT LOKAL Kajian Mengenai Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Industri Geothermal Kepada Masyarakat Lokal SANTOSO TRI RAHARJO UNPAD PRESS 1 2013 RELASI DINAMIS ANTARA PERUSAHAAN DENGAN MASYARAKAT LOKAL Kajian Mengenai Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Industri Geothermal Kepada Masyarakat Lokal SANTOSO T. RAHARJO UNPAD PRESS 2013 ii ISBN: 978-602-9238-49-5 RELASI DINAMIS ANTARA PERUSAHAAN DENGAN MASYARAKAT LOKAL (Kajian Mengenai Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Industri Geothermal Kepada Masyarakat Lokal) © Santoso T. Raharjo Hak cipta yang dilindungi ada pada penulis Hak penerbitan ada pada Unpad Press UNPAD PRESS UNPAD PRESS Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang Tlp.(022) 843 88812 Website: lppm.unpad.ac.id Email:lppm.unpad.ac.id Bandung, 2013 1 Jil., 287 hlm., 17,5 cm X 24 cm ISBN: 978-602-9238-49-5 iii KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbillalamin patut penulis panjatkan kehadirat Allah Subhannahuwatala, karena proses penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil penelitian lapangan yang ditujukan dalam rangka penyelesaian disertasi penulis. Semoga penulisan buku ini dapat memberikan sumbangan akademis dan guna laksana, baik bagi masyarakat, pemerintah dan pemerhati lainnya. Ijinkanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang berperan penting dalam proses penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih tak terhingga kepada Prof. H. Oekan Soekotjo Abdoellah, MA., Ph.D, selaku ketua tim promotor atas bimbingan, interaksi dan stimulan intelektual yang tak ternilai harganya. Demikian pula kepada Prof. Dr. Drs. H. Asep Kartiwa, SH., MS. dan Dr. H. Soni Akhmad Nulhakim, S.Sos., M.Si., selaku anggota tim promotor penulis yang telah membimbing dan dengan pengetahuan yang tak ternilai, mengingatkan dan terus menyemangati dengan penuh kesabaran dan kecermatan, sehingga membawa penulis selalu fokus mengarungi kedalaman dunia ilmu melalui pemahaman teoritik dan metodologi kritis. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Drs. H. Haryo Martodirdjo; Prof. Drs. H. Sudardja Adiwikarta, MA., Ph.D; dan Prof. Dr. Drs. H. Josy Adiwisastra; para oponen ahli yang telah hati-hati memeriksa, memberikan saran perbaikan konstruktif, serta kritis. Terima kasih yang tulus kepada Bapak Tig Yulianto dan Bapak H.Yusep Akbar, selaku staf PGPA (Policy Goverments and Public Affair) PT. Chevron Geothermal Indonesia dan Kang Hadiyan (LSM PUPUK Bandung, perwakilan Garut) yang sudi meluangkan waktu di sela kesibukannya untuk berdiskusi berkenaan dengan pengumpulan data di lapngan. Serta ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Farhan Aditya, S.Kesos, Dian Nugraha, S.Kesos, serta Addico Porsiana, S.Kesos., yang telah membantu dan menemani penulis di lapangan. Ucapan terima kasih rekan-rekan sejawat di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad yang selalu membantu untuk mengingatkan penyelesaian studi, sekaligus mitra diskusi dalam penyelesaian Program Doktor. Khusus, penulis ucapan terima kasih kepada Bapak Drs. Budhi Wibhawa, MS., sebagai sesepuh, orang tua, pembimbing, dan mitra yang iv memberi dukungan penuh dalam penyelesaian. Serta kepada Drs. Bambang Hermanto, M.Si., yang selalu memberikan kemudahan dan dukungan. Kepada Saudara-saudaraku, E. Supriyadi, Budi Maryanto, S.Pd, dan Agus Pratikno, A.Md, serta Heni Nugraheni yang selalu memberikan dorongan moril kepada penulis. Rasa terima kasih penulis haturkan kepada Ibunda Marinah (almh) dan Ayahanda Mishan (alm) yang telah mendidik dan menanamkan nilai-nilai kerja keras dan kesabaran yang tanpa lelah selalu berjuang sepanjang hidup mereka, mencurahkan kasih sayang kepada anakanaknya. Demikian pula kepada ayahanda H. Ali Ratman dan ibunda mertua Hj. Ida Badriyah, Amd., yang dengan sabar dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi ini, penulis ucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih kepada yang terkasih dan tersayang Nurliana Cipta Apsari, S.Sos., MSW, yang dengan penuh pengertian dan pemahaman, rasanya tidak mungkin naskah disertasi ini terwujud tanpa bantuan ‘mu ibu. Terima kasih atas kesabaran, curahan pengertian, untuk terus saling berbagi dalam suka dan duka. Untuk Arya Muhammad Rafi Raharjo dan Aslam Aulia Raharjo, terima kasih atas kesabaran, pengertian, dan selalu menyemangati penyelesaian studi ini. Mudah-mudahan karya ini dapat memotivasi penulis untuk terus berkarya dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa dan negara, serta agama. Amiin... Bandung, Oktober 2013 Penulis v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................ KATA PENGANTAR ............................................................................. DAFTAR ISI............................................................................................. DAFTAR TABEL.................................................................................... DAFTAR GAMBAR............................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ BAB I BAB II i iii v viii x xi PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian…………………………………. B. Rumusan Masalah ................................................................ C. Tujuan Penelitian …………………………………………. D. Manfaat Penelitian ............................................................... E. Metode Penelitian ............................................................... 1. Metode yang Digunakan ...…………………………...... 2. Sumber Data dan Penentuan Informan …....................... 3. Teknik Pengumpulan Data…………………………… .. 4. Instrumen Penelitian …………………………………… 5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data . ……………… 6. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................ 1 10 12 13 15 15 16 19 21 22 24 TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) ................ 1. Instrumental CSR ........................................................... 2. Politik CSR .................................................................... 3. Integratif CSR ................................................................ 4. Etik CSR ........................................................................ 27 31 34 36 39 B. Relasi Dinamis Perusahaan dengan Masyarakat Lokal ...... C. Operasionaliasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Struktur, Agen dan Praktik Sosial......................................... 1. Konsep Agen .................................................................. 2. Konsep Struktur ............................................................. 3. Konsep Dualitas Struktur dan Praktik Sosial ................. 4. Konsep Kesadaran .......................................................... 47 69 73 77 81 87 D. Kerangka Pemikiran dan Proposisi...................................... 91 vi BAB III GAMBARAN MASYARAKAT LOKAL DAN PERUSAHAAN: Kasus Desa Karya Mekar Kecamatan Pasirwangi Garut dan PT. Chevron Geothermal Indonesia (CGI) ....................................................................................... A. Kecamatan Pasirwangi ........................................................ B. Desa Karyamekar ............................................................. . C. PT. Chevron Geothermal Indonesia .................................. 101 102 109 132 BAB IV PANDANGAN MASYARAKAT LOKAL AKAN PERUSAHAAN DAN KEGIATAN CSR ............................ 135 A. Pandangan Masyarakat Lokal akan Kehadiran PT. Chevron Geothermal Indonesia (CGI) ............................................. 135 1. Pengetahuan Masyarakat Lokal ..................................... 136 2. Pandangan Masyarakat Lokal........................................ 138 3. Inisiatif Masyarakat Lokal ............................................ 145 4. Alasan Masyarakat Lokal melakukan Aksi ................... 149 B. Operasionalisasi Kegiatan Tanggung Jawab Sosial PT.CGI menurut Pandangan Masyarakat Lokal ............................ 154 1. Inisiatif Usulan Kegiatan ............................................. 154 2. Tahapan Kegiatan ....................................................... 159 C. Relasi Perusahaan dengan Masyarakat Lokal menurut Masyarakat Lokal ............................................................ BAB V PANDANGAN PERUSAHAAN AKAN KEGIATAN CSR DAN MASYARAKAT LOKAL .......................................... A. Pandangan Perusahaan akan Keberadaan Masyarakat Lokal ........................................................................... B. Operasionalisasi Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) ........................................................ 1. Landasan Etis Kegiatan CSR ................................ 2. Fokus dan Mekanisme Kegiatan CSR .................. 3. Respon Perusahaan Menghadapi Masyarakat ...... 4. Tantangan dan Hambatan....................................... 5. Harapan Perusahaan .............................................. BAB VI RELASI DINAMIS ANTARA MASYARAKAT LOKAL DENGAN PERUSAHAAN: PERSPEKTIF STRUKTURASI....................................... vii 181 187 187 190 194 198 231 234 243 249 A. Relasi Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan............................................................. 1. Pemahaman perusahaan : Contoh kasus PT. Chevron Geothermal akan masyarakat lokal............................. 2. Kesadaran Perusahaan: Contoh kasus PT. Chevron Geothermal Indonesia (CGI) dalam melakukan kegiatan CSR............................................................. 251 254 256 B. Relasi Masyarakat Lokal Terhadap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ...................................................................... 260 1. Pemahaman masyarakat local akan Perusahaan : Contoh kasus warga Desa Karyamekar akan keberadaan PT. Chevron Geothermal Darajat Garut............................ 263 2. Pemahaman masyarakat akan CSR: Contoh kasus warga Desa Karyamekar terhadap program CSR PT. Chevron Geothermal Darajat Garut ........................................... 265 C. Relasi Dinamis Antar Masyarakat Lokal dan Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ..... 268 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ A. Kesimpulan ....................................................................... B. Rekomendasi ..................................................................... 1. Saran Akademik ........................................................... 2. Saran Praktis ................................................................. 293 293 296 296 297 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………........ 301 LAMPIRAN ............................................................................................. 315 viii DAFTAR TABEL Tabel 1. Kategori Informan.............................................................. 18 Tabel 2. Fokus dan Aspek Kajian.................................................... 19 Tabel 3. Corporate social responsibilities theories and related ....... approaches.................................................................... 42 Tabel 4. Perbandingan Perspektif teoritis terhadap strategi CSR ... 47 Tabel 5. Tipe Kelompok Sosial ....................................................... 49 Tabel 6. Kecenderungan Relasi Korporasi-Stakeholder.................. 67 Tabel 7. Operasionalisasi Konsep ”Keadilan dan Pemerataan” ...... 68 Tabel 8. Penggunaan Lahan di Kecamatan Pasirwangi .................. 103 Tabel 9. Keadaan Penduduk Laki-laki, Perempuan dan KK di Kecamatan Pasirwangi, 2012 ............................................ 104 Tabel 10. Jenis Mata pencaharian Penduduk kecamatan Pasirwangi 105 Tabel 11. Kondisi Sarana dan Prasarana Pendidikan di kecamatan Pasirwangi ......................................................................... 106 Tabel 12. Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pasirwangi .................. 107 Tabel 13. Orbitrasi Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi.......... 110 Tabel 14. Jumlah Penduduk per Dusun Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi.......................................................................... 113 Tabel 15. Jumlah Penduduk menurut Usia Laki-laki dan Perempuan Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi........................ 114 Tabel 16. Mata Pencaharian Penduduk di Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi .......................................................................... 115 Tabel 17. Jumlah Penduduk menurut Pendidikan Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi....................................................... 116 Tabel 18. Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi....................................................... 117 Tabel 19. Jenis Sumber Daya Alam Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi.......................................................................... ix 119 Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23. Tabel 24. Kegiatan Usaha Ekonomi Masyarakat Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi........................................................ 120 Kepemilikan Ternak oleh Masyarakat Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi........................................................ 121 Sarana Keagamaan (Islam) Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi .......................................................................... 122 Sarana Olah Raga di Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi........................................................................... 123 Kelompok Kesenian dan Budaya di Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi ....................................................... 124 Tabel 25. Kelembagaan dan Organisasi di Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi .......................................................................... 125 Tabel 26. Catatan Pembangunan Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi .......................................................................... 131 Deskripsi pelaksanaan program community engagement unggulan bidang pendidikan dan pelatihan........................ 204 Tabel 27. Tabel 28. Deskripsi bidang unggulan peningkatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan domba terpadu ............................. 210 Tabel 29. Deskripsi bidang unggulan local economic development (LED) dan inisiatives economic engagement and empowering (I3E)................................................................ 230 Jenis Program dan Bantuan dari PT. Chevron Geothermal Indonesia, menurut masyarakat local .................................. 276 Sejumlah Aksi atau Tuntutan Sosial Masyarakat kepada PT. Chevron (yang terekam berita media massa) dalam kurun 7 tahun terakhir ......................................................... 280 Tabel 30. Tabel 31. x DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Struktur, Sistem dan Strukturasi .......................................... 80 Gambar 2. Model Stratifikasi (tindakan) Agen (Giddens, 2010:8)........ 90 Gambar 3. Dimensi-dimensi dualitas struktur (Giddens, 2010:46) ...... Gambar 4. Kerangka Alur Pikir Relasi Perusahaan dengan Masyarakat Lokal .................................................................................... 95 Gambar 5. Struktur Departemen Policy Government and Public Affair (PGPA) CGI , (sumber, Chevron: 2012) ........................... 191 Gambar 6. Program Community Engagement CGI, Sebuah Pendekatan Keberlanjutan Untuk Memberdayakan Komunitas (sumber Chevron, 2010) ...................................................... 200 Gambar 7. Program Education For Forestry Community - Ed4Comm 2009-2014, (Sumber: Chevron 2010) .................................. 203 Gambar 8. Project Grand Design : Income Generation For Community (IGP4Com) and Beneficiaries Target: Woman/Youth Farming Labor (Chevron, 2010) ....................................................... 208 Gambar 9. Roadmap – Pengembangan Ternak Domba terpadu, (Chevron, 2010) .................................................................. 209 91 Gambar 10. Relasi ‘Agen’ Perusahaan - ‘Struktur’ kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan ..................................................... 253 Gambar 11. Relasi ‘Agen’ Masyarakat lokal – ‘Struktur’ kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan ..................................... 261 Gambar 12. Skema Relasi Dinamis antara Masyarakat Lokal dengan Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan . (Sumber: Gidden, Gidden 2009, 2010, modifikasi oleh peneliti, 2013) 270 Gambar 13. Alur proses pengusulan kegiatan masyarakat desa kepada PT. CGI Menurut Masyarakat lokal ................................. 272 Gambar 14. Alur proses dan tahapan program menurut PT. CGI ........ 273 xi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Peraturan Pemeritah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas Lampiran 2 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Lampiran 3 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi Lampiran 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehadiran industri tidak terlepas dari penerapan teknologi modern dalam proses industrialisasi dan pengembangan industri, yang secara langsung maupun tidak langsung akan membawa perubahan baik fisik maupun non fisik (sosial-ekonomi) pada masyarakat sekitarnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Schneider (1986:429), bahwa “..., industri tidak terlepas dalam keterisolasian. Sebaliknya, industri kita berada dalam matriks sosial yang kita sebut komunitas dan masyarakat, industri di satu pihak serta komunitas dan masyarakat di lain pihak terus-menerus saling mempengaruhi dengan berbagai cara”. Dengan demikian kehadiran industri pada suatu komunitas atau masyarakat tidak dapat dilepaskan dengan keadaan dan kondisi dari masyarakat tersebut. Keberadaan industri di suatu daerah sedikit banyak akan berpengaruh kepada masyarakat sekitar. Perubahan yang berlangsung cepat di masyarakat sebagai akibat perkembangan industri yang pesat ini di satu sisi telah membawa dampak kemajuan yang berarti, terutama dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Namun di lain pihak, perubahan itu pun tidak luput pula membawa efek terhadap pergeseran tata nilai kehidupan masyarakat yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, pembangunan 1 ekonomi dapat juga menimbulkan kemunduran nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat (Soemardjan, 1986). Keberadaan industri di daerah tentunya akan berkaitan dengan adanya nilai-nilai baru, sikap dan pola tingkah laku yang lebih bercirikan perindustrian. Hal ini akan berbeda dengan masyarakat sekitar yang lebih bercirikan tradisional. Perbedaan-perbedaan antara masyarakat industri dan masyarakat sekitarnya yang terlalu mencolok akan mengarah pada timbulnya gejolak-gejolak sosial. Dengan demikian, proses penyesuaian dan penserasian sosial bagi industri dan masyarakat sekitar menjadi begitu penting. Harapan adanya keserasian ini tidak hanya milik dari masyarakat setempat, tetapi juga merupakan harapan pihak industri. Sebab, dari adanya keserasian akan menumbuhkan hubungan yang ‘mutualis’ antara industri dan masyarakat sekitar. Keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan melaksanakan fungsinya masing-masing dan saling mengisi kekosongan fungsi akan menimbulkan harmoni dalam masyarakat yang pada akhirnya akan menciptakan social equilibrium (Soemardjan, 1986). Atas dasar kesesuaian dan keserasian, maka industri sebagai suatu unit produksi berteknologi tinggi sudah selayaknya berusaha sedapat mungkin menempatkan diri pada lingkungan masyarakat setempat, melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Persoalannya adalah bagaimana industri membangun dan mengembangkan relasi yang saling menguntungkan dengan masyarakat sekitar, dan bagaimana pula masyarakat sekitar mengembangkan pola hubungan yang baik dengan industri tersebut. 2 Konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dapat dipandang sebagai salah satu upaya membangun relasi yang baik atau harmonis dengan masyarakat sekitar. Berbagai cara dan pendekatan dilakukan oleh perusahaan dalam rangka membangun hubungan yang serasi dengan masyarakat sekitar dalam lingkup tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar. Konsep CSR didasari oleh tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lines yang dikenal sebagai 3P (people, profit, planet) yaitu kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) agar keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan. Pertimbangan implementasi CSR terkait dengan upaya memenuhi regulasi, hukum dan aturan yang mengaturnya. Selain itu CSR juga berperan sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image yang positif, sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan, sehingga perusahaan memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat. Hal lain adalah sebagai bagian dari risk management perusahaan untuk meredam atau menghindari konflik. Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di Indonesia diatur menurut Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang No.25/2007 tentang Penanaman Modal. Perusahaan yang wajib melaksanakan CSR, berdasarkan UU PT tersebut yaitu: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang 3 dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun demikian kehadiran UU PT tersebut di kalangan dunia usaha telah menimbulkan pro dan kontra. Sebagaimana dikemukakan oleh Sukarmi (2008:11), bahwa. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban? Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan. Dengan keluarnya UU PT No 40 tahun 2007, berikut dengan Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2012, maka konsep CSR yang semula merupakan kewajiban moral, menjadi kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum, tetapi khusus hanya perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan /atau berkaitan dengan sumber daya alam. Bagi perseroan lainnya, CSR hanya merupakan kewajiban moral. Sebagai suatu ‘agent of development’, sangat penting bagi industri untuk mengetahui kondisi-kondisi sosial budaya masyarakat sekitar. Keberhasilan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh 4 pihak industri akan terlihat dari adanya interaksi yang ‘assosiatif’ antara pihak industri dengan masyarakat sekitar, sehingga tidak menimbulkan gejolak-gejolak sosial. Akan tetapi, apabila kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan tidak terselesaikan dengan baik maka akan dapat menimbulkan kondisi sosial yang kurang menunjang terhadap keberadaan industri di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan-kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dengan demikian membutuhkan pemahaman yang baik dan mendalam kondisi masyarakat setempat perusahaan tersebut dimana kegiatan tanggung jawab sosial diwujudkan. Peran serta masyarakat dan stakeholder menjadi penting untuk dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Tanggung jawab sosial perusahaan masyarakat merupakan suatu proses yang bergerak dan bertalian dengan sumber-sumber yang ada di masyarakat, yang saat ini mulai dimanfaatkan secara maksimal oleh perusahaan dan industri. Konsep CSR dipopulerkan pada tahun 1953 dengan diterbitkan buku yang bertajuk “Social Responsibility of the Businessman” karya Howard R. Bowen yang kemudian dikenal dengan bapak CSR (Garriga & Mele, 2004). Gema CSR mulai berkembang pada tahun 1960-an dimana persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan mulai mendapat perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Perkembangan konsep CSR kemudian diperkuat pada KTT Bumi (earth summit), tahun 1992 di Rio De Janeiro menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang harus diimplementasikan. Lalu, World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di 5 Yohannesberg, Afrika Selatan memunculkan konsep Social Responsibility yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic and environment sustainability. Kemudian rencana diberlakukannya sertifikasi ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility pada tahun 2010. Dalam draft akhir (final draft) ISO 26000 berkaitan dengan labour practices, fair operating practices, consumer issues, the environment, community involvement and development dan human rights. Rangkaian tersebut mendorong banyak kalangan menaruh perhatian lebih terhadap perlunya kajian-kajian mengenai tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar. Sejumlah penelitian telah dilakukan berkaitan dengan relasi antara korporasi dengan masyarakat sekitar melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, baik itu relasi yang positif maupun negatif (konflik) (sebagai contoh, Suharto, 2010; Idemudia, 2009; Eweje, 2007; Imbun, 2007; Wahyudi & Muzni, 2005; Prayogo, 2004, Ngadisah, 2002), namun kesemua penelitian tersebut belum menyentuh persepsi atau pandangan masyarakat sekitar mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang berada di lingkungan sekitar mereka. Ada pula penelitian CSR dari sudut pandang komunikasi, seperti misalnya (Chariri & Nugroho, 2009; Harmoni, 2009) kedua penelitian tersebut mengungkapkan pentingnya pelaporan CSR dalam rangka membangun imej perusahaan, namun kedua penelitian tersebut masih bersifat informatif saja, sehingga rekomendasi yang dihasilkan adalah menekankan pada pentingnya komunikasi yang terjalin antara pihak perusahaan dengan para stakeholder. Sementara itu, penelitian yang berkaitan dengan CSR dalam industri ekstraktif (sebagai contoh Tahyudin, 2001; Ngadisah, 2002; 6 Alfitri, Yenrizal, & Hakim, 2004; Nanlohy, 2005; Wahyudi & Muzni, 2005; Alfitri, 2010) memunculkan fakta mengenai kurang harmonisnya relasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, dan bahwa perusahaan melaksanakan CSR tanpa melibatkan masyarakat, mengakibatkan program CSR yang dilaksanakan perusahaan selalu berujung pada ketidakpuasan masyarakat terhadap perusahaan tersebut. Sejumlah penelitian yang telah dilakukan tersebut, belum memetakan secara tegas mengenai pandangan dan pemahaman masyarakat lokal serta pihak perusahaan dalam melihat program tanggung jawab sosial perusahaan. Berdasarkan hal inilah, maka penelitian ini berupaya memetakan relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal, khususnya pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dari sudut pandang masyarakat lokal dan pihak perusahaan. Kemudian dalam kajian sosiologi belum banyak penelitian yang mencoba memetakan relasi perusahaan dengan masyarakat lokal, khususnya dengan menggunakan teori struktur–agen (Giddens 1999, 2006, 2010, dan 2011). Oleh karena itu, urgensi penelitian ini adalah memperkaya kajian-kajian sosiologis tentang CSR yang telah ada pada industri ektraktif di Indonesia, khususnya dengan menggunakan kerangka teori struktur-agen yang memang masih terbatas. Kajian sosiologi kontemporer khususnya dengan menggunakan kerangka teori strukturagen Giddens dalam melihat relasi sosial antara masyarakat dengan perusahaan melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Sejumlah isu muncul berkaitan dengan kehadiran perusahaan di dalam lingkungan dan masyarakat, apalagi pada industri yang memanfaatkan sumber daya alam. Isu-isu tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Crowther David (2008:29), antara lain: 7 1. The utilization of natural resouces as a part of its production processes 2. The effect of competition between it self and other organizations in the same market 3. The enrichment of a local community throught the creation of employment opportunities. 4. Transformation of the landscape due raw material extraction or waste product storage 5. The distribution of wealth created within the firm to the owners of that firm (via dividends) and the workers of that firm (throught wages) and the effect of this upon the welfare of individuals. 6. And more recently the greatest concern has been with climate change and the way in which the emission of greenhouse are exacerbating this. Pelaksanaan otonomi daerah juga memunculkan persoalan tersendiri yang harus dihadapi oleh perusahaan multinasional di daerah. Seiring pula dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hakhaknya untuk turut serta mengatur penyelenggaraan negara, masyarakat mulai ingin memperoleh manfaat dari keberadaan perusahaan yang beroperasi di daerahnya. Perusahaan nasional maupun multinasional dituntut untuk memberikan kontribusi langsung pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain melalui pemberdayaan masyarakat di tempat mereka melakukan operasi. Hal ini didukung oleh tuntutan penerapan konsep tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) baik secara lokal melalui berbagai aksi masyarakat, secara nasional melalui legitimasi hukum, serta iklim perindustrian di seluruh penjuru dunia. Seluruh perusahaan diminta untuk mewujudkan tanggung jawab sosialnya tidak lagi semata-mata bekerja untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal atau 8 pemegang saham, melainkan juga memberikan manfaat pada masyarakat pada umumnya dan pada komunitas sekitar khususnya. Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang timbul akibat berdirinya suatu kawasan industri, mengharuskan perusahaan untuk bertanggung jawab kepada publik melalui aktivitas yang nyata. Bentuk pemberian dari para perusahaan dikenal dengan semangat filantropi. Philanthropy atau kedermawanan, memiliki arti kebaikan hati yang diwujudkan dalam perbuatan baik dengan menolong dan memberikan sebagian harta, tenaga maupun pikiran secara sukarela untuk kepentingan orang lain. Sumbangan, amal, derma memang merupakan salah satu bentuk dari filantropi, namun barulah tahap yang paling awal. Bentuk akhir dari filantropi adalah sebagai investasi: yaitu investasi sosial (Ibrahim, 2005). Berdasarkan dari filantropi tersebut maka pelaku bisnis yang memiliki perusahaan besar maupun kecil (korporat) memiliki tanggung jawab untuk turut mengembangkan masyarakat di sekitarnya untuk menghindari terjadinya ketimpangan, kesenjangan serta kecemburuan sosial yang dapat mengakibatkan disharmonisasi sosial. Namun Paradigma tanggung jawab sosial perusahaan tesebut perlu disikapi secara positif oleh seluruh perusahaan untuk menjaga keberlanjutan usahanya. Dalam penerapan CSR oleh perusahaan, perlu hati-hati dan cara-cara yang benar agar tidak memperkuat kondisi relasi ketergantungan dari masyarakat akan kehadiran perusahaan. Keuntungan-keuntungan yang secara otomatis didapat dari pelaksanaan tanggung jawab sosial masyarakat di sini adalah adanya mengurangi pengurangan biaya, resiko, membangun sumber meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 9 meningkatnya daya good will, manusia, serta Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut dan Chevron Geothermal Indonesia (CGI) menjadi lokus dari penelitian relasi antara masyarakat lokal dengan perusahaan ini. Pemilihan lokasi penelitian tersebut memenuhi kebutuhan penelitian sebagai berikut, pertama PT. CGI merupakan perusahaan ekstraktif yang menyelenggarakan program CSR, kedua di Desa Karyamekar mewakili masyarakat lokal yang hidup di sekitar lokasi perusahaan dalam hal ini yang menyelenggarakan kegiatan CSR. B. Rumusan Masalah Keberadaan perusaaan di tengah lingkungan masyarakat berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap lingkungan eksternal yaitu masyarakat. Eksistensi perusahaan berpotensi besar mengubah lingkungan masyarakat, baik ke arah negatif maupun positif. Dengan demikian perusahaan perlu mencegah timbulnya dampak negatif, karena hal tersebut dapat memicu konflik dengan masyarakat, yang selanjutnya dapat mengganggu jalannya perusahaan dan aktifitas masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat setempat akibat dari keberadaan industri, pada akhirnya menuntut masyarakat setempat untuk menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan yang terjadi di sekelilingnya baik secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jika proses penyesuaian diri masyarakat setempat mengalami hambatan sebagai akibat dari ketidakmampuan anggotaanggota masyarakat untuk menyesuaikan diri, atau ketidakmampuan lingkungan sekitar menyediakan sumber yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau juga perpaduan dari keduanya; maka dapat 10 diperkirakan mereka akan mencari sumber-sumber saluran perubahan lain yang belum tentu baik dan cocok buat mereka, seterusnya akan menimbulkan masalah sosial. Peran serta industri dalam kegiatan pengembangan masyarakat sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan yang ditujukan pada masyarakat setempat diharapkan dapat membantu proses penyesuaian masyarakat setempat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Relasi antara perusahaan dengan komunitas di kawasan operasi perusahaan di Indonesia dapat merupakan relasi yang dinamis, artinya dapat berubah seiring perubahan kepentingan, perubahan kondisi lingkungan dan politik lokal. Kendati memiliki karakteristik yang amat jauh berbeda antara korporasi dan masyarakat lokal namun keberadaan perusahaan di antara komunitas atau masyarakat sekitar merupakan kondisi yang tidak terelakkan. Keberadaan perusahaan multinasional yang notabene (sebagian besar) merupakan perusahaan asing yang dikelola bukan oleh warga setempat kerap menimbulkan berbagai permasalahan besar yang berkaitan dengan perbedaan kepentingan yang tidak difahami oleh kedua belah pihak. Hal tersebut disebabkan keberadaan perusahaan di tengah-tengah komunitas berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam serta ekonomi masyarakat. Selanjutnya hal tersebut akan merembet pada permasalahan sosial-budaya dan politik masyarakat setempat. Dinamika relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal amat tergantung pada kesadaran masyarakat lokal akan kehadiran perusahaan di tengah-tengah mereka. Demikian pula sebaliknya pandangan dan kesadaran perusahaan akan keberadaan masyarakat lokal akan menentukan cara-cara perusahaan 11 membangun relasi dengan masyarakat sekitar. Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah bagaimana perusahaan dan masyarakat lokal membangun relasi melalui operasionalisasi kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Dari rumusan tersebut kemudian memunculkan dua isyu atau masalah utama yaitu 1) Bagaimana pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai media relasi antara masyarakat dan perusahaan. 2) Bagaimana model relasi dinamis dari upaya masyarakat lokal dan perusahaan membangun relasi melalui operasionalisasi kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dalam kerangka teori struktur-agen. C. Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memahami secara lebih mendalam mengenai pola relasi yang terbangun antara perusahaan dengan masyarakat setempat melalui kegiatan (CSR) coorporate social responsibility. Tujuan penelitian ini diharapkan dapat menjawab persoalan yang muncul berkaitan dengan implementasi program tanggung jawab sosial perusahaan sebagai media relasi perusahaan dengan masyarakat setempat. Beberapa tujuan penelitian yang ingin diperoleh antara lain: 1) Tergambarkannya pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai media relasi antara masyarakat dan perusahaan. 12 2) Tergambarkannya model relasi dinamis dari upaya masyarakat lokal dan perusahaan membangun relasi melalui operasionalisasi kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dalam kerangka teori struktur-agen. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis 1) Diharapkan memperkaya penggunaan teori sosiologi kontemporer khususnya teori struktur-agen Giddens yang dapat menjelaskan hubungan struktur perusahaan (CSR) dengan agen tanggung jawab masyarakat sosial lokal dan perusahaan dalam konteks Indonesia. 2) Diharapkan dapat memunculkan model relasi yang terjadi antara struktur-agen, dan antar agen dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan industri ekstraktif. 3) Diharapkan akan memunculkan model kegiatan corporate social responsibility (CSR) yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat setempat 2. Manfaat Praktis 1) Bagi Masyarakat Kajian ini diharapkan bermanfaat bagi peningkatan pemahaman masyarakat akan keberadaan industri ektraktif berikut dampak yang ditimbulkannya, sehingga dapat membangun hubungan yang harmonis (serasi) diantara kedua pihak. Sehingga lebih 13 jauh lagi masyarakat setempat dapat berperan serta dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, khususnya pada kegiatan yang terkait dengan kebutuhan masyarakat setempat 2) Bagi Perusahaan Kajian ini akan bermanfaat untuk keberlanjutan perusahaan; menjadi acuan dan informasi dalam mengembangkan programprogram tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. 3) Bagi Pemerintah Terdapat peningkatan pemahaman akan pentingnya keberadaan industri besar ekstraktif sebagai mitra pembangunan baik pusat maupun di daerah. Sejalan peningkatkan pemahaman tersebut, diharapkan akan tercipta koordinasi yang baik dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dengan kegiatan pembangunan masyarakat. Pemerintah pusat dan daerah dapat memanfaatkan kajian ini sebagai acuan data dan informasi dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi suatu proyek pembangunan yang lebih sinergis, sehingga tidak saling tumpang tindih tetapi saling menguatkan. Pemerintah dapat menfasilitasi peran serta perusahaan dan masyarakat, khususnya masyarakat setempat (sekitar industri), pada kegiatan pembangunan agar tercipta kegiatan pembangunan yang berkesinambungan dan sesuai dengan potensi serta kebutuhan masyarakat. 14 E. Metode Penelitian 1. Metode yang Digunakan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, merujuk pada penjelasan Creswell (2002:4) tentang asumsi pendekatan kualitatif dengan mempertimbangkan realitas subyektif yang dianut oleh obyek penelitian, dalam hal ini relasi yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat lokal. Pemilihan pendekatan kualitatif digunakan untuk mencari informasi yang mendalam tentang kesadaran masyarakat lokal akan keberadaan perusahaan dan upaya membangun hubungan dengan perusahaan, serta kesadaran perusahaan akan keberadaan masyarakat lokal dan kegiatan tangggung jawab sosial perusahaan dalam membangun relasi dengan masyarakat sekitar. Metode studi kasus yang digunakan peneliti, dalam rangka mendalami unit-unit sosial terkecil seperti organisasi dan berbagai bentuk unit sosial lainnya secara komprehensif, intens, rinci dan mendalam. Studi kasus digunakan dalam penelitian ini untuk menggali fenomena relasi industri yaitu PT. Chevron Geothermal Indonesia dengan masyarakat sekitar melalui kegiatan corporate social responsibility-nya sebagai sebuah kasus, dengan mengumpulkan informasi rinci dan mendalam dengan menggunakan prosedur pengumpulan data. Obyek penelitian ini adalah relasi perusahaan dengan masyarakat sekitar yang dipilah menjadi 2 (dua) bagian. Pertama, upaya masyarakat lokal membangun relasi dengan perusahaan untuk melihat bagaimana kesadaran masyarakat lokal lingkungannya melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam membangun 15 relasi dengan masyarakat sekitar, kedua kesadaran masyarakat setempat dalam melihat dan merespon keberadaan perusahaan agar diperoleh informasi mengenai cara-cara masyarakat lokal dalam membangun relasi dengan perusahaan, dan ketiga informasi lainnya dari pihak pemerintah setempat dan lembaga swadaya masyarakat dalam melihat relasi industri dengan masyarakat setempat, agar diperoleh informasi mengenai pandangan lain akan relasi tersebut. Unit analisisnya adalah masyarakat setempat (komunitas) dan perusahaan untuk melihat relasi dinamis yang muncul antara perusahaan dengan masyaakat setempat. 2. Sumber Data dan Penentuan Informan Data yang dibutuhkan meliputi data tentang upaya-upaya perusahaan dan masyarakat setempat dalam membangun relasi, serta pola relasi yang terbentuk antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer dapat diperoleh melalui wawancara dengan informan dan hasil pengamatan di lapangan. Sedangkan data sekunder yang dibutuhkan berupa catatan-catatan tertulis, gambar, grafik, kliping koran dan rekaman, demikian pula dengan media elektronik. Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian (Bungin, 2008:76). Pemilihan dan jumlah informan yang dibutuhkan didasarkan pada kesesuaian informan yang diteliti atau 16 dimintai keterangan dengan masalah yang diteliti dan kecukupan informasi yang sudah diperoleh dan tidak ada informasi baru lagi (Sarwono, 2006:6). Oleh karena itu, seleksi sampel dalam penelitian kualitatif tidak statis, melainkan bersifat dinamis, dari fase ke fase, berurut (sequential), berkembang (developmental), dan kontekstual (Alwasilah, 2002:148). Dalam penelitian ini informan diambil dengan cara purposeful sampling yaitu pengambilan sampel dengan maksud tertentu dari penyeleksian kasus yang kaya informasi untuk dikaji dengan mendalam (Patton, 1991:81). Pemilihan informan bukan bergantung pada jumlah informan yang diambil, namun lebih pada sejauhmana data dan informasi tentang relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal yang diperoleh mampu menjawab permasalahan. Sifat sampling ini disebut juga criterion based selection (Goetz dan Comte dikutip Moleong, 1999:22) Untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, maka data dari informan yang mengetahui secara mendalam tentang pola relasi yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Untuk itu pada penelitian ini informan dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1. Informan kunci Informan kunci yaitu informan yang mengetahui secara mendalam mengenai permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, informan kunci dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh masyarakat setempat baik formal, serta pihak perusahaan. 2. Informan biasa Informan biasa yaitu anggota masyarakat setempat lainnya yang mengetahui fenomena relasi yang terjadi antara masyarakat setempat (lokal) dengan perusahaan, khususnya kegiatan 17 tanggung jawab sosial PT. Geothermal kepada masyarakat lokal. 3. Informan pendukung Informan-informan lainnya baik formal maupun informal baik pemerintah daerah setempat atau organisasi masyarakat lainnya yang mengetahui tentang pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat setempat. Informan-informan dalam penelitian ini terdiri dari warga masyarakat lokal yang merupakan penduduk asli masyarakat Desa Karyamekar, yang terdiri dari orang dewasa, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, para ibu. Kemudian terdapat pula informan dari aparat pemerintah, baik dari desa, dan dua kecamatan; kemudian dari pihak perusahaan dan LSM mitra perusahaan. Tabel 1 Kategori Infoman Kategori informan Pihak Perusahaan (PP) Pemerintah Desa (PD) Pemerintah Kecamatan (PK) LSM (LS) Tokoh Masyarakat (TM) Tokoh Pemuda (TP) Warga Masyarakat (WM) Jumlah Total 18 Jumlah (orang) 2 2 3 2 4 4 8 25 Tabel 2 Fokus dan Aspek Kajian Fokus Penelitian Aspek-aspek Upaya perusahaan membangun relasi dengan masyarakat lokal Kesadaran perusahaan terhadap masyarakat lokal Kesadaran perusahaan tentang upaya/ program membangun hubungan harmonis dengan masyarakat lokal Jenis dan cara perusahaan membangun hubungan dengan masyarakat lokal Upaya komunitas lokal (membangun relasi) interaksi dengan perusahaan Kesadaran perusahaan terhadap masyarakat lokal Kesadaran perusahaan tentang upaya/ program membangun hubungan harmonis dengan masyarakat lokal Jenis dan cara perusahaan membangun hubungan dengan masyarakat lokal Apakah program CSR telah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat lokal (Manfaat, Kesesuaian, Keberlanjutan, Dampak, Organisasi) Proses kegiatan Kebutuhan sosial, ekonomi dan kemasyarakatan Kebutuhan infrastruktur, dan lingkungan fisik 3. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan untuk menjelaskan penelitian ini dikumpulkan dari dua sumber utama, yaitu sumber data primer (melalui wawancara dan observasi) dan data sekunder (dokumen-dokumen). Untuk mengetahui upaya perusahaan membangun relasi dengan masyarakat setempat melalui program tanggung jawab sosial (CSR) 19 dari pihak perusahaan dilakukan dengan wawancara dan studi dokumentasi, untuk menelaah upaya masyarakat membangun relasi dengan perusahaan dengan wawancara. Sedangkan untuk mengetahui bagaimana program mempertimbangkan tanggung kebutuhan jawab sosial masyarakat perusahaan setempat dapat menggunakan teknik wawancara dan pengamatan. Sebagaimana menurut Koentjaraningrat (1979:130), pengumpulan data dalam penelitian dilakukan melalui pengamatan dan wawancara serta studi dokumentasi. Untuk memperoleh data primer dalam penelitian ini, peneliti dapat memperolehnya dari: 1. Pengamatan (observasi) Cara ini digunakan untuk mengetahui hubungan (struktur sosial) antara masyarakat sekitar dengan korporasi melalui tindakan dan hasil dari tindakan relasi tersebut. 2. Wawancara mendalam Merujuk pada penjelasan Moleong (1999:135), peneliti melakukan wawancara mendalam, dengan maksud untuk mengumpulkan data ditanyakan dalam secara akurat. Tema pokok wawancara, diantaranya yang menyangkut beberapa hal sebagai berikut: a) Upaya perusahaan membangun relasi dengan masyarakat setempat melalui program tanggung jawab sosial (CSR). b) Upaya masyarakat perusahaan. 20 membangun relasi dengan c) Bagaimana program tanggung jawab sosial perusahaan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat setempat. d) Pola relasi yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat setempat. 3. Studi dokumentasi Untuk memperoleh data sekunder, dapat diperoleh dari pihak pemerintah daerah yang terkait erat dengan isyu tanggung jawab sosial perusahaan, serta pemerintah desa dan kecamatan yang berkait dengan bukti-bukti dari relasi dinamis. Kemudian pihak perusahaan, yaitu berkaitan dengan dokumen tanggung jawab sosial perusahaan. . 4. Instrumen Penelitian Dalam penelitian mengenai relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal khususnya mengenai pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial PT. Chevron kepada masyarakat sekitar ini dipergunakan sejumlah alat (instrumen) pengumpulan data, yaitu: a. Pedoman wawancara (guide interview) disusun berdasarkan kategori informasi yang telah ditentukan sebelumnya, agar proses wawancara dapat menggali informasi sesuai tujuan penelitian. b. Pedoman Observasi, merupakan panduan bagi peneliti terhadap objek penelitian agar data yang terkumpul sesuai dengan tujuan penelitian. c. Catatan lapangan, yaitu catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian. 21 Alat bantu yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain tape recorder dan mp3. Perekaman dengan menggunakan tape recorder dan mp3 sangat penting karena dapat digunakan untuk menilai/ memperkirakan asumsi-asumsi dan kemungkinan-kemungkinan tujuan yang ingin dicapai. Dengan rekaman maka peneliti dapat menemukan hal hal yang mungkin luput dari perhatian peneliti atau mungkin mengingatkan hal-hal yang terlupakan. 5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Prosedur analisis data kualitatif dalam penelitian tentang operasionalisasi kegiatan tanggung jawab sosial PT. Geothermal ini dilakukan, setelah data diperoleh melalui proses wawancara, observasi dan studi dokumentasi yang dikumpulkan dari lapangan. Selanjutnya, data dianalisa supaya dengan segera menemukan proposisi untuk mengarahkan peneliti pada pengumpulan data selanjutnya. Data terkumpul selanjutnya diproses seiring berjalannya proses penelitian, sehingga apabila mendapatkan kekurangan dalam menggali data maka dapat langsung ditanyakan kembali pada informan untuk melengkapi kekurangannya. Data yang diperoleh dapat dianalisis melalui tahapan sebagai berikut: a) Kategorisasi dan mereduksi data, yaitu data yang diperoleh berupa informasi penting terkait penelitian, selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan topik permasalahan yang dibahas; b) Pengelompokkan data, yaitu data yang telah dikelompokkan disusun dalam bentuk narasi. Data dikelompokkan pada objek 22 penelitian tentang relasi dinamis antara perusahaan dengan masyarakat setempat, yang dikelompokkan dalam masalah penelitian sebagai berikut: 1. Upaya perusahaan membangun relasi dengan masyarakat setempat melalui program tanggung jawab sosial (CSR). 2. Upaya masyarakat membangun relasi dengan perusahaan. 3. Bagaimana program tanggung jawab sosial perusahaan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat setempat. 4. Pola relasi yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat setempat. c) Verifikasi data yaitu data yang telah diinterpretasi dicek kembali pada informan untuk menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan sejumlah informan penelitian. d) Interpretasi data yaitu dengan menganalisis data yang telah dikelompokkan sesuai dengan obyek penelitian. e) Penarikan kesimpulan, yaitu berdasarkan proposisi yang dibangun dari interpretasi data, sehingga dijadikan jawaban atas masalah penelitian. Untuk keabsahan data yang didapatkan dari lapangan, maka peneliti menggunakan teknik triangulasi data dan metode. Triangulasi data dilakukan dengan jalan membandingkan data yang diperoleh dari berbagai informan, melalui cara: 23 a) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi b) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain. Sementara itu, triangulasi metode dilakukan dengan cara menggunakan berbagai teknik pengumpulan data yaitu wawancara langsung, observasi non partisipasi dan studi dokumentasi: a) Membandingkan apa yang dikatakan informan dengan hasil pengamatan peneliti di lapangan. b) Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan dengan penelitian. 6. Lokasi, dan Waktu Penelitian Alasan pemilihan lokasi penelitian 1) Perusahaan yang menyelenggarakan program CSR, dalam hal ini PT. Chevron Geothermal Indonesia, 2) Masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan CSR, yaitu desa-desa yang berdekatan dengan lokasi perusahaan; dan 3) Pemerintah Daerah Kabupaten Garut. Dengan waktu penelitian selama 10 bulan Penelitian secara terencana dilakukan pada beberapa tahap sebagai berikut: a. Tahap persiapan Tahap ini peneliti mempelajari berbagai fenomena relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal yang diteliti, hingga menemukan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Dalam tahap persiapan ini juga termasuk penyusunan Usulan 24 Penelitian, Seminar Usulan Penelitian, dan dilanjutan dengan perbaikan usulan penelitian berikut isntrumen pengumpulan data. b. Tahap pengumpulan data Dalam tahap ini pengumpulan data utama mengenai relasi perusahaan dengan masyarakat lokal dilakukan melalui wawancara dan pengamatan. Demikian pula dengan data sekunder yang mendukung data utama dan sesuai dengan kebutuhan penelitian dikumpulkan. c. Tahap pengolahan data d. Tahap penulisan laporan e. Proses konsultasi f. Diseminasi 25 26 BAB II KAJIAN PUSTAKA TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN A. Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) Batasan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda, sesuai dengan sudut pandang dan pemahaman masing-masing mengenai CSR. Namun demikian perlu dikemukakan beberapa definisi, sebagai koridor dan memagari kajian mengenai CSR. Berikut definisi CSRyang dikemukakan oleh Pemerintah Inggris, “The voluntary actions that business can take, over and above compliance with minimum requirements, to address both its own competitive interest and interests of wider society” (www.csr.gov.uk UK Government) Lebih lanjut World Business Council and Sustainability Development (WBCSD), memberikan pengertian tanggung jawab sosial perusahaan sebagai berikut: “The continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”(WBCSD, 1999, Business Association) Pendapat tanggung jawab sosial lainnya dikemukakan dalam www.csrasia.com , sebagai berikut: 27 “A company’s commitment to operating in an economically, socially, and environmentally sustainable manner while balancing the interests of the diverse stakeholders”(www.csrasia.com, social enterprise) Definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam mengartikan dan mengimplementasikan CSR, sehingga, hingga saat ini tidak ada terdapat kesepakatan mengenai batasan tanggung jawab sosial perusahaan (McWilliams, et.al., dalam Radyati, M.R. & Nindita. 2008). Namun demikian terdapat suatu pemahaman yang sama di masyarakat Eropa mengenai CSR, sebagaimana pernyataan berikut: “There is broad agreement in Europe on the definition of CSR as a concept whereby companies integrate social and environmental concerns – on a voluntary basis- into their business operations as well as their interactions with stakeholders”.(European Communities 2007) Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat ditarik inti bahwa CSR merupakan konsep sebagai berikut: 1. Perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan lingkungannya 2. Berdasarkan prinsip sukarela 3. Kegiatan bisnis dan interaksi dengan pemangku kepentingan harus memperhatikan persoalan sosial dan lingkungan Setidaknya ada 2 (dua) landasan berkenaan dengan corporate social responsibility (CSR) yaitu berasal dari etika bisnis (bisa berdasarkan agama, budaya atau etika kebaikan lainnya) dan dimensi sosial dari aktivitas bisnis. CSR atau sering diartikan sebagai “being socially responsible” jelas merupakan suatu cara-cara yang berbeda 28 untuk orang yang berbeda dalam negara yang berbeda pula. Artinya penerapan CSR di masing-masing negara harus disesuaikan dengan konteks sosial dan lingkungannya. Sehingga perlu kehati-hatian dalam menerapkan konsep CSR dari negara-negara maju di negara-negara yang sedang berkembang (Frynas, 2009). Blowfield dan Frynas (2005) mengibaratkan CSR sebagai sebuah ‘payung’ bagi beragam teori dan praktek yang mengakui dan memahami persoalan-persoalan berikut: (a) Bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan alam, yang terkadang lebih jauh lagi sekedar memenuhi aspek legal dan pertanggungjawaban individual. (b) Bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab untuk berperilaku dengan siapa mereka melakukan bisnis. (c) Bahwa bisnis harus (perlu) mengelola hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, dengan alasan komersial atau untuk nilai tambah terhadap masyarakat. Sebagai konsep ‘payung’ maka menjadi hal yang lumrah ketika melihat banyak dan beragamnya pengertian dan pemahaman mengenai CSR, memunculkan banyak interpretasi mengenai CSR sebagaimana yang dikemukakan oleh Ameshi and Adi, 2007 dan dikutip oleh Frynas, 2009:5, yaitu: 1. Etika dan moralitas bisnis 2. Akuntabilitas perusahaan 3. Corporate citizenship (perusahaan warga) 29 4. Bantuan dan pilantropi perusahaan 5. Perusahaan hijau dan pemasaran hijau 6. Manajemen keragaman 7. Tanggungjawab lingkungan 8. Hak asasi manusia 9. Rantai manajemen pembelian dan penyediaan yang bertanggungjawab 10. Investasi sosial yang bertanggung jawab 11. Perjanjian (kesepakatan) stakeholder 12. Keberlanjutan Sementara itu, Garriga & Mele (2004: 51-71) mencoba memetakan konsep-konsep CSR ke dalam empat kelompok besar, sebagai berikut: 1. Kelompok pertama yang berasumsi bahwa perusahaan adalah instrumen untuk menciptakan kesejahteraan dan bahwa ini merupakan satu-satunya tanggung jawab sosial. Hanya aspek ekonomi dari interaksi antara bisnis dan masyarakat yang dipertimbangkan. Jadi sekiranya terdapat aktivitas sosial yang diterima, jika dan hanya jika hal tersebut konsisten dengan penciptaan kesejahteraan. Kelompok teori ini dapat disebut instrumental theories karena mereka memahami CSR sebagai alat belaka untuk memperoleh keuntungan. 2. Kelompok kedua yang melihat kekuatan sosial dari perusahaan yang menjadi tekanan, khususnya dalam hubungannya dengan masyarakat dan tanggung jawabnya dalam arena politis berkaitan dengan kekuatan ini. Hal tersebut mengarahkan 30 perusahaan untuk menerima tugas-tugas dan hak-hak sosial atau berpartisipasi dalam kerjasama sosial tertentu. Kita dapat menyebut kelompok ini dengan political theories. 3. Kelompok ketiga termasuk teori-teori yang mempertimbangkan bisnis seharusnya to integrate tuntutan sosial. Biasanya berpendapat bahwa bisnis tergantung pada masyarakat untuk kelanjutan dan pertumbuhannya, bahkan untuk keberadaan bisnisnya sendiri. Kelompok ini adalah integrative theories. 4. Kelompok keempat teori dari pemahaman hubungan antara bisnis dan masyarakat adalah penanaman nilai-nilai etis. Hal tersebut mengarahkan visi CSR dari suatu perspektif etis dan sebagai konsekuensinya, perusahaan harus menerima tanggung jawab sosial sebagai sebuah kewajiban etis di atas pertimbangan lainnya. kelompok ini disebut dengan ethical theories 1. Instrumental CSR Kelompok pertama, kelompok instrumental theories, menganggap bahwa CSR atau kegiatan sosial adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan ekonomi yang pada akhirnya adalah menghasilkan kekayaan. Pendekatan instrumental theories ini didukung oleh pandangan yang diungkapkan oleh Friedman (1970) bahwa satusatunya tanggung jawab bisnis kepada masyarakat adalah memaksimalkan profit untuk para pemegang saham, sesuai dengan kerangka hukum dan kebiasaan etika dari negara tempat bisnis tersebut berada. Kelompok teori ini kemudian banyak diakui dan diterima oleh perusahaan, bahkan banyak perusahaan yang melakukan program CSR 31 dengan menggunakan dasar teori ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Windsor (2001: hal. 226) bahwa “a leit-motiv of wealth creation progressively dominates the managerial conception of responsibility”. Ada tiga tujuan ekonomi yang kemudian dapat diidentifikasi dari kelompok instrumental theories ini menurut Garriga & Mele (2004: 53) yaitu maximization of shareholder value; the strategic goal of achieving competitive advantages; dan cause-related marketing. Dalam tujuan maximization of shareholder value, Garriga & Mele (2004) menjelasan bahwa investasi untuk menjawab tuntutan sosial yang akan meningkatkan nilai para investor dimata masyarakat harus dilakukan, sedangkan jika tuntutan sosial tersebut mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, maka investasi tersebut seharusnya ditolak. Konsep ini memuat tujuan untuk pencarian nilai atau value-seeking atau long-term values maximization sebagai tujuan utamanya dan pada saat yang bersamaan, tujuan ini digunakan sebagai kriteria dalam transaksi penting diantara para pemangku kepentingan (Jensen, 2000; Garriga & Mele, 2004). Dalam tujuan the strategic goal of achieving competitive advantages, perusahaan fokus kepada bagaimana mengalokasikan sumber daya untuk mencapai tujuan sosial jangka panjang dan menciptakan keuntungan yang kompetitif. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Husted & Allen, 2000, yang dikutip oleh Garriga & Mele (2004:54) “…focused on how to allocate resources in order to achieve long-term social objectives and create competitive advantage”. Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan tersebut, yaitu social investments in a competitive context melalui philanthropic activities; natural resource-based view of the firm and 32 dynamic capabilities melalui unique interplay of human, organizational and physical resources over time; dan strategies for the bottom of the economic pyramid melalui disruptive innovations (Garriga & Mele, 2004; Porter & Kramer, 2002; Christensen, et al., 2001; Christensen & Overdorf, 2000; Barney, 1991; Wernerfelt, 1984). Cause-related marketing, merupakan sebuah proses kegiatan pemasaran perusahaan yang menghasilkan keuntungan melalui adanya pertukaran yang menguntungkan yang sesuai dengan tujuan perusahaan dan juga individual. Misalnya dengan menjual produk dengan label bebas pestisida atau non-animal tested. Varadjan & Menon (1988:60) mendefinisikan cause-related marketing sebagai The process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specified amount to a designated cause when costumers engage in a revenue-providing exchange that satisfy organizational and invididual objectives. Tujuan dari cause-related marketing dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan adalah meningkatkan pendapatan perusahaan dan penjualan atau hubungan konsumen dengan membangun merk perusahaan melalui akuisisi dan asosiasi dengan dimensi etika atau dimensi tanggung jawab sosial, sehingga menghasilkan situasi yang saling menguntungkan, dalam konteks perusahaan dan sosial (Gerriga & Mele, 2004; Murray & Montanari, 1986; Varadarajan & Menon, 1988). 33 2. Politik CSR Kelompok teori kedua yang dipetakan oleh Garriga & Mele (2004) adalah kelompok political theories. Kelompok teori ini memusatkan perhatiannya pada bagaimana menggunakan tanggung jawab dari kekuatan bisnis dalam arena politik. Yang dimaksud dengan political theories, menurut Garriga & Mele (2004:55) adalah “a group of CSR theories and approaches focus on interactions and connections between business and society and on the power and position of business and its inherent responsibility”. (sekelompok teori-teori dan pendekatan CSR yang memusatkan perhatiannya pada interaksi dan koneksi antara bisnis dan masyarakat dan pada kekuasaan dan posisi bisnis dan tanggung jawab yang melekat pada bisnis tersebut). Ada tiga teori utama yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004), yaitu Corporate Constitutionalism, Integrative Social Contract Theory dan Corporate Citizenship. Teori Corporate Constitutionalism pertama kali dikemukakan oleh Davis (1960). Ia adalah orang pertama yang berpendapat bahwa bisnis adalah institusi sosial dan sehingga bisnis harus menggunakan kekuasaannya secara bertanggung jawab. Garriga & Mele (2004:55) mengungkapkan bahwa Davis (1960) “was one of the first to explore the role of power that business has in society and the social impact of this power”. Kemudian Davis (1960) memperkenalkan kekuatan bisnis sebagai sebuah elemen baru dalam debat mengenai CSR. Davis (1960) menekankan pada pendapat bahwa tanggung jawab sosial bisnis tergantung pada kekuasaan sosial yang dimiliki bisnis tersebut. Hal ini kemudian diperkuat dengan yang diungkapkan oleh Davis (1967:48) 34 “social responsibilities of businessmen arise from the amount of social power that they have ….the equation of social power responsibility has to be understood through the functional role of business and managers”. Ini berarti bahwa tanggung jawab sosial kekuasaan dimanifestasikan melalui peran fungsional bisnis dan manager dalam masyarakat. Teori integrative social contract theory yang diungkapkan oleh Donaldson & Dunfee (1994, 1999) berawal dari pertimbangan bahwa ada hubungan antara bisnis dan masyarakat berdasarkan pada tradisi kontrak sosial. Kontrak sosial ini kemudian berimplikasi kepada beberapa kewajiban tidak langsung dari bisnis untuk masyarakat (Garriga & Mele, 2004; Prayogo, 2011). Lebih lanjut, teori ini mengungkapkan sebuah proses yang memberikan legitimasi kepada kontrak yang terjadi diantara sistem industri, departemen, dan ekonomi (Garriga & Mele, 2004). Sementara itu, Prayogo (2011:74) mengungkapkan bahwa kontrak sosial merupakan kesepakatan yang bersifat “implicit” masyarakat memberikan legitimasi sosial (the right to exist) atas kehadiran korporasi dan sebaliknya manfaat ekonomi yang dihasilkan bisnis harus terdistribusi pula kepada masyarakat (in return for certain benefits). Sementara itu, teori corporate citizenship lebih memusatkan perhatiannya pada hak-hak, tanggung jawab dan kemungkinan partnership dari bisnis dalam masyarakat. Sebelumnya, corporate citizenship selalu dikaitkan dengan “a sense of belonging to a community” atau rasa kepemilikan kepada sebuah masyarakat (Matten, et al., 2003; Wood & Lodgson, 2002), sehingga sudah menjadi hal yang biasa diantara para manager dan pengelola bisnis untuk melihat bahwa 35 bisnis perlu memperhatikan masyarakat tempat bisnis itu beroperasi. Oleh karena itu, menurut teori ini, bisnis dipahami sebagai seperti warga dengan keterlibatan tertentu dalam masyarakat. 3. Integratif CSR Kelompok teori ketiga yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004) adalah kelompok integrative theories. Kelompok ini berpendapat bahwa bisnis sangat tergantung pada masyarakat untuk menjaga keberadaan, keberlanjutan dan perkembangan bisnis tersebut. Integrative theories mengintegrasikan memandang tuntutan sosial pada dan bagaimana biasanya fokus bisnis kepada mendeteksi, mencari dan memberikan respon kepada tuntutan sosial untuk mencapai legitimasi sosial, penerimaan sosial yang lebih tinggi dan prestige (Garriga & Mele, 2004). Pendekatan yang diurai dalam kelompok teori ini adalah issues management, the principle of public responsibility, stakeholder management dan corporate social performance (Garriga & Mele, 2004:58-59). Issues management menurut Wartick & Rude (1986:124) diartikan sebagai “the processes by which the corporation can identify, evaluate and respond to those social and political issues which may impact significantly upon it”. Issues management merupakan pelebaran dari konsep social responsiveness yang muncul di tahun 1970-an (Sethi, 1975). Konsep social responsiveness ini menekankan pada pentingnya untuk menutupi gap diantara apa yang diharapkan oleh masyarakat kepada perusahaan dan apa yang perusahaan lakukan secara aktual. Gap ini biasanya ada dalam zona yang disebut Ackerman 36 (1973:92) sebagai “zone of discretion (neither regulated nor illegal nor sanctioned) where the company receives some unclear signals from the environment”. Ini berarti bahwa issues management menekankan pada proses memberikan respon dari pihak perusahaan terhadap masalahmasalah sosial dan bahwa issues management berfungsi sebagai peringatan dini atas potensi munculnya ancaman-ancaman lingkungan dan juga kesempatan-kesempatan, sehingga dapat meminimalisir kejutan dari adanya perubahan sosial dan politik (Garriga & Mele, 2004). Pendekatan the principle of public responsibility pertama kali diungkapkan oleh Preston & Post (1975, 1981). Mereka menekankan pada kegunaan kata “public” daripada “social”, untuk menunjukkan pada pentingnya proses publik dalam mendefinisikan scope dari tanggung jawab, daripada pandangan personal-morality atau berdasarkan minat kelompok tertentu saja (Garriga & Mele, 2004:58). Preston & Post dalam Garriga & Mele (2004) berpendapat bahwa aturan yang sesuai untuk melegitimasi perilaku manajerial dapat ditemukan dalam kerangka kebijakan publik yang relevan dan bahwa kebijakan publik tidak hanya berisi aturan-autran dan perundangundangan tetapi juga mengandung pola yang sangat luas dari arah sosial yang terefleksikan dalam opini publik, isu-isu yang muncul, kebutuhan akan hukum formal dan praktik-praktik dukungan atau implementasi. Pendekatan berikutnya adalah pendekatan stakeholder management. Pendekatan ini berorientasi kepada para stakeholders atau pihak-pihak atau orang-orang yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan dan praktik sebuah perusahaan. Pendekatan 37 Stakeholder management baru berkembang secara akademik di akhir tahun 1970-an. Di tahun 1978, Emshoff & Freeman (Garriga & Mele, 2004: 59) mempresentasikan dua prinsip dasar yang memperkuat pendekatan ini, yaitu achieving maximum cooperation between entire system of stakeholder groups and the objectives of the corporation; and efforts in dealing with issues affecting multiple stakeholders. Pendekatan ini mencoba mengintegrasikan kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan perusahaan ke dalam pembuatan keputusan managerial (Garriga & Mele, 2004). Di masa awal munculnya pendekatan ini, banyak korporasi yang ditekan oleh NGO, aktifis, masyarakat, pemerintah, media dan kelompok-kelompok lainnya untuk melakukan kegiatan yang disebut sebagai responsible corporate practices (Garriga & Mele, 2004:59). Namun sekarang, berbagai perusahaan berusaha mencari jawaban dari berbagai tuntutan sosial melalui dialog dengan beragam stakeholders. Dialog antar stakeholder membantu menjawab pertanyaan mengenai responsiveness dari perusahaan dalam menerima sinyal yang kurang jelas dari lingkungan. Kaptein & Van Tulder (2003:208) menambahkan “this dialogue not only enhances a company’s sensitivity to its environment but also increases the environments understanding of the dilemmas facing the organization”. Pendekatan corporate social performance juga merupakan sebuah pendekatan yang mencari legitimasi sosial. Carroll (1979) yang memperkenalkan pendekatan ini yang terdiri dari 3 elemen, yaitu definisi dasar dari tanggung jawab sosial, daftar isu yang memunculkan tanggung jawab sosial, dan filosofi dari respon terhadap isu-isu sosial (Garriga & Mele, 2004). Sementara itu, Wartich & Cochran (1985) 38 menambahkan pendekatan Carroll dengan menyarankan bahwa corporate social involvement mengandung prinsip-prinsip social responsibility, the process of social responsiveness and the policy of issues management (Garriga & Mele, 2004:60). Perkembangan terkini dari pendekatan ini kemudian diungkapkan oleh Wood (1991) yang menyebutkan bahwa corporate social performance terdiri dari prinsipprinsip CSR, proses dari corporate social responsivenesss dan hasil dari perilaku perusahaan. 4. Etik CSR Kelompok teori terakhir untuk memetakan konsep-konsep CSR adalah ethical theories. Teori-teori yang tercakup dalam kelompok ini berperan sebagai masyarakat. perekat Teori-teori hubungan ini diantara merupakan perusahaan prinsip-prinsip dan yang mengungkapkan mengenai hal-hal yang benar untuk dilakukan atau hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Pendekatan pertama adalah normative stakeholder theory. Teori ini menekankan pada perlunya referensi dari berbagai teori moral yang ada, seperti misalnya Kantian moral teori, konsep Libertian, prinsipprinsip keadilan, dan masih banyak lagi. Donaldson & Preston (1995: 67) menyebutkan bahwa stakeholder theory memiliki inti normative yang berdasarkan pada dua ide utama, yaitu “(1) stakeholders are persons or groups with legitimate interests in procedural and/or substantive aspects of corporate activity and (2) the interests of all stakeholders are of intrinsic values”. Berdasarkan hal tersebut, maka 39 dalam praktik CSR dengan menggunakan pendekatan stakeholder teori, etika atau moral merupakan pusat dari praktik tersebut. Pendekatan Universal Rights melalui Hak Asasi Manusia telah diambil sebagai dasar bagi CSR (Cassel, 2001; Garriga & Mele, 2004). Kini, banyak tanggung jawab sosial yang dijalankan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia. Selain hak asasi manusia, pendekatan ini juga mendasarkan pada hak-hak buruh dan juga perlindungan lingkungan. Pendekatan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development dimasukkan ke dalam kelompok ethical teori karena konsep pembangunan berkelanjutan menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk menjawab kebutuhan di masa kini tanpa mengancam kemampuan untuk melindungi generasi penerus untuk memenuhi kebutuhannya. Istilah sustainable development muncul pada tahun 1987 dalam “Brutland Report”. Pada awalnya, pembangunan berkelanjutan menitikberatkan pada faktor lingkungan, namun, World Business Council for Sustainable Development (2002:2) menyebutkan bahwa “sustainable development requires the integration of social, environmental, and economic considerations to make balanced judgements for the long term”. Kaitannya dengan CSR adalah, seperti yang diungkapkan oleh Wheeler, et al. (2003:17) bahwa Sustainability is an ideal toward which society and business can continually strive, the way we strive is by creating value, creating outcomes that are consistent with the ideal of sustainability along social environmental and economic dimensions. Dengan demikian, secara etika, CSR perusahaan harus menggunakan pendekatan “triple bottom line”, yaitu memasukkan 40 aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga akan dapat menjamin keberlanjutan perusahaan tanpa merusak keberlanjutan lingkungan dan masyarakat. Pendekatan terakhir dalam kelompok ethical theories adalah pendekatan common good (kebajikan umum). Pendekatan ini merupakan pendekatan klasik yang berakar pada tradisi Aristotelian yang kemudian dijadikan referensi kunci untuk etika bisnis (Smith, 1999; Alford & Naughton, 2002; Mele, 2002). Pendekatan ini menyebutkan bahwa perusahaan, sebagaimana kelompok sosial atau individual dalam masyarakat, harus berkontribusi untuk kebajikan umum, karena sudah menjadi bagian dari masyarakat. Perusahaan dapat berkontribusi untuk kebajikan umum dengan berbagai macam cara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004:62) “….creating wealth, providing goods and services in an efficient and fair way, at the same time respecting the dignity and the inalienable and fundamental rights of the individual”. Dari uraian sebelumnya, dapat ditarik benang merah bahwa banyak teori-teori CSR fokus kepada 4 aspek utama, sebagaimana yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004:65) yaitu (1) meeting objectives that produce long-term profits, (2) using business power in a responsible way, (3) integrating social demands and (4) contributing to a good society by doing what is ethically correct. Dalam tabel 3 dikemukakan secara ringkas mengenai teori-teori dan pendekatanpendekatan yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan menurut Garriga and Mele (2004). Tabel tersebut sekaligus merangkum penjelasan-penjelasan sebelumnya, baik teori instrumental, teori politik, teori integratif dan teori etik mengenai CSR. 41 Tabel 3 Corporate social responsibilities theories and related approaches Jenis Teori 1. 2. Intrumental theories (fokus pada pencapaian sasaran ekonomi melalui aktifitas sosial) Political theories (fokus pada pemanfaatan tanggung jawab kekuatan bisnis dalam arena politik) Pendekatan 1. 2. Penjelasan Singkat Maksimalisasi nilai shareholder Strategi untuk keuntungan kompetitif 3. Caused-related marketing 1. Konstitusionalisme perusahaan (Corporate constitutiona-lism) Teori Kontrak Sosial Integrative (integrative social contract theories) 2. 3. Corporate (or business) citizenship 42 Maksimalisasi nilai jangka panjang ï‚· Investasi sosial dalam konteks kompetitif ï‚· Strategi berdasarkan pandangan sumber alami dari perusahaan dan dinamika kapabilitas perusahaan ï‚· Strategi dari dasar piramida ekonomi Pengakuan aktifitas sosial altruistik dimanfaatkan sebagai alat pemasaran Tanggung jawab sosial bisnis muncul dari sejumlah kekuatan sosial yang mereka Asumsinya bahwa terdapat suatu kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat Perusahaan dipahami sebagaimana seorang warga dengan keterlibatan tertentu dalam komunitas Beberapa Referensi Kunci Friedman (1970), Jensen (2000) Porter and Kramer (2002) Hart (1995), Lizt (1996 Prahalad and Hammond (2002), Hart and Christensen (2002), Prahalad (2003) Varadarajan and Menon (1986), Murray and Montanari (1986) Davis (1960, 1967) Donaldson Dunfee 1999) & (1994, Wood & Lodgson (2002), Andriof & McIntosh (2001) Matten & Crane (in press) Lanjutan tabel 3 Jenis Teori 3. Integrative theories (fokus integrasi tuntutan sosial) Pendekatan 1. Manajemen isu (issues management) 2. Tanggung jawab publik (public responsibility ) 3. Manajemen Pemangku Kepentingan (stakeholder management) Kinerja Sosial Perusahaan (Corporate social performance) Teori Normatif Pemangku Kepentingan (Stakeholder normative theories) Hak-hak Azasi Universal 4. 4. Ethical theories (fokus pada sesuatu yang baik untuk mencapai suatu masyarakat yang baik) 1. 2. 3. Pembanguna n Berkelanjutan 4. The Common good Penjelasan Singkat Proses-proses perusahaan merespon isu sosial dan politik yang mempengaruhinya. Hukum dan adanya proses kebijakan publik diambil sebagai rujukan untuk kinerja sosial (social performance) Kesimbangan para pemangku kepentingan Beberapa Referensi Kunci Sethi (1975), Ackerman (1973), Jones (1980), Vogel (1986), Wartick and Mahon (1994) Preston and Post (1975, 1981) Mitchell et.al. (1997), Agle and Mitchell (1999), Rowley (1997), Mencari legitimasi sosial dan prosesproses untuk memberi respon yang tepat terhadap isu-isu sosial Carrol (1979), Wartick and Cochran (1985), Wood (1991b), Swanson (1995) Pertimbangan tugastugas yang tergadai dari perusahaan. Aplikasinya membutuhkan rujukan sejumlah teori moral Freeman (1984, 1994), Evan and Freeman (1988), Donaldson and Preston (1995), Freeman and Phillips (2002), Phillips et al. (2003) The Global Sullivan Principles (1999), UN Global Compact (1999) Kerangkanya berdasarkan hak-hak azasi manusia, hak buruh dan penghargaan lingkungan Upaya mencapai pembangunan manusia berdasarkan pertimbangan saat ini dan generasi masa depan Berorientasi pada kebiasaan baik masyarakat Sumber: Garriga & Mele, 2004: 63-64 43 World Commission on Environment and Development (Brutland Report) (1987), Gladwin and Kennelly (1995) Alford and Naugghton (2002), Mele (2002) Kaku (1997) Dalam praktiknya, seringkali terjadi penerapan kegiatan corporate social responsibility didasarkan pada banyak alasan dan tuntutan, sebagai paduan antara faktor internal dan eksternal. Sebagaimana dijelaskan lebih jauh oleh Frynas (2009) yang melihat bahwa pertimbangan perusahaan untuk melakukan kegiatan CSR antara lain umumnya karena alasan-alasan berikut: 1. Untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan 2. Sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image yang positif 3. Bagian dari strategi bisnis perusahaan 4. Untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat 5. Bagian dari risk management perusahaan untuk meredam dan menghindari konflik sosial Pada dasarnya tidak ada perspektis teoritis atau metodologi kajian yang dapat menjelaskan aktifitas CSR secara memuaskan menjawab semua pertanyaan (Lockett et al.2006, p.12). Namun demikian terdapat terdapat dua teori dan satu perspektif yang berkembang saat ini dalam CSR sebagaimana yang diungkapkan oleh Frynas (2009), yaitu: 1) Teori Stakeholder: menekankan reaksi perusahaan (perseorangan) dalam konteks hubungan dengan stakeholder eksternal. Teori ini menjelaskan respon strategis yang berbeda dari perusahaan terhadap tekanan-tekanan sosial walaupun dalam industri sejenis atau negara yang sama, berdasarkan pada sifat hubungan eksternal. 44 2) Teori Institusional: menekankan daya adaptif perusahaan secara kelembagaan (aturan). Teori ini menjelaskan mengapa perusahaan dari negara atau industri berbeda dalam merespon tekanan sosial dan lingkungan, dan mengapa di negara yang berbeda-beda dari perusahaan multinasional yang sama memilih strategi CSR yang berbeda, sebagai hasil dari pemberlakuan norma atau keyakinan nasional. 3) Perspektif Austrian Economics: perspektif ini menyediakan wawasan terhadap upaya strategi aktif CSR dalam perusahaan dengan suatu perspektif kewirausahaan. Teori Stakeholder dan Teori Institusional dapat membantu menjelaskanbagaimana respon perusahaan terhadap tekanan kondisi sosial eksternal dan lingkungan. Namun demikian gagal untuk menjelaskan pilihan strategi aktif dalam perusahaan, yaitu mengapa perusahaan tertentu menggunakan CSR sebagai sebuah senjata melawan persaingan perusahaan atau mengapa perusahaan tertentu mengeluarkan jutaan dolar dalam pembaruan energy. Sementara, sebagai sebuah perspektif, pendekatan Austrian Economic dapat dipandang sebagai salah satu alternatif pemikiran yang lebih maju dalam memandang kegiatan CSR. Dalam kaitan dengan kewirausahaan sosial sebagai suatu pendekatan dalam mengatasi persoalan sosial dan kemasyarakat; maka CSR dapat sebagai sumber pemecahan masalah sosial tersebut. Beberapa pemikiran Austrian Economics mengenai CSR, adalah sebagai berikut: 1. Wawasan ekonomi dan strategi manajemen mengusulkan bahwa strategi CSR dalam perusahaan harus dipandang sebagai 45 sebuah keputusan investasi dan sebagai suatu cara memperoleh keuntungan kompetitif, sama halnya dengan putusan-putusan investasi lain yang harus diambil. 2. Pendekatan CSR yang berbeda dari Austrian economics berkenaan dengan tindakan kemanusiaan bukanlah berdasarkan ‘external constrains’ sebagai faktor fundamental pembuatan keputusan. 3. Perspektif Austrian menekankan peluang ‘future’ dan kewirausahaan aktif dalam mengidentifikasi masa depan. 4. Karakteristik utama keberhasilannya ‘capitalist entrepreneurship’; yaitu bukan pada kemampuan mereka beraksi kepada sesuatu atau ‘discover’ tuntutan eksternal, tetapi lebih pada kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang berhasil tentang masa depan (Frynas, 2009; hal.19-20) Dilihat dari uraian tersebut, konsep-konsep dari Austrian economics dapat lebih berkaitan dengan upaya kewirausahaan sosial di Indonesia khususnya dalam penyelesaian permasalahan sosial dan kemasyarakatan. Sudut pandang kewirausahaan dalam CSR diharapkan dapat memainkan peran kunci dalam membentuk strategi perusahaan memandang permasalahan sosial dan lingkungan. Sebagai perbandingan dari ketiga perpektif teoritis, dapat dilihat dalam tabel berikut: 46 Tabel 4 Perbandingan Perspektif teoritis terhadap strategi CSR Fokus Utama Determinan Strategi CSR Teori Institusional Ketaatan pada aturan dan norma Hidup dengan konteks kelembagaan berbeda Non-choice behavior Teori Stakeholder Hubungan dengan factor eksternal Ketergantungan relative suatu perusahaan pada stakeholder Pilihan perilaku terbatas Austrian View Peran kewirausahaan Tinjauan masa depan kewirausahaan Lingkup untuk Pilihan perilaku kebebasan aksi yang substansial manajemen Sumber: Frynas (2009: 122) diterjemahkan oleh peneliti. B. Kajian Relasi Dinamis Antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal Soekanto (1982) menyatakan bahwa relasi-relasi sosial yang dinamis adalah interaksi sosial, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Relasi sosial dinamis yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal dapat dipahami dalam konteks relasi kelompok-kelompok sosial yang terdapat dalam sebuah masyarakat secara luas. Pola relasi yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal tersebut bergantung pada persepsi dan cara pandang masingmasing pihak dalam membangun interaksi dan komunikasi diantara mereka. Masyarakat adalah sebuah system yang terdiri dari beragam kelompok yang membuat masyarakat tersebut menjadi sebuah system yang multikompleks. Khadijah (2011:35) 47 menyebutkan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem kehidupan yang multikompleks, yang di dalamnya terdapat sebuah proses sosial yang ditandai dengan adanya interaksi sosial dengan menggunakan simbol-simbol yang sama. Interaksi sosial tersebut kemudian adalah sebuah kebudayaan dalam bentuk hubungan sosial. Dengan demikian, masyarakat mempunyai karakteristik budaya yang unik dan mengikat bagi warganya dalam interaksi antara satu dengan lainnya. Dalam berinteraksi dalam sebuah masyarakat dikenal sebuah istilah realitas sosial. Realitas sosial merupakan satu kesatuan dalam berinteraksi dan beraktifitas dalam sebuah masyarakat. Semakin tinggi dan rumit aktivitas suatu masyarakat semakin tinggi pula tingkat dinamika masyarakat tersebut. Dengan demikian akan terbentuk pola relasi dan interaksi yang berbeda dalam sebuah masyarakat yang kompleks pula. Bentuk dan corak sebuah relasi sebagaimana diungkapkan oleh Comte dalam Azwar (2005: 53) adalah bahwa dasar relasi sosial muncul dari cara berfikir manusia sehingga pijakan relasi sosial dari sisi perkembangan struktur masyarakat dibentuk selalu bersifat konsep pasangan kontradiksi. Frekuensi hubungan sosial, sebagaimana Cooley jelaskan yang dikutip dalam Azwar (2003:54) bahwa usaha untuk membuat kategori hubungan sosial dapat dilakukan dengan membedakan antara hubungan primer dan hubungan sekunder. Yang dimaksud dengan hubungan primer adalah hubungan interaksi yang terjadi berupa tatap muka yang erat dan gotong royong, yang meleburkan kepentingan individual dengan kepentingan orang banyak. Sedangkan mehubungan sekunder dicirikan dengan karakter hubungan yang formal, prosedural dan impersonal. . 48 Menurut Bungin (2008:44), struktur relasi sosial dapat dibagi berdasarkan jenis kelompok sosial yang akan mempengaruhi pola-pola relasi antar kelompok tersebut. Kategori kelompok dapat tergambar dalam tabel berikut: Tabel 5 Tipe Kelompok Sosial Kelompok Primer Sekunder Formal A B Informal C D Sumber: Bungin, 2008 Lebih lanjut, Khadijah (2011:38-40) menggambarkan karakteristik keempat kelompok sosial tersebut sebagai berikut: a. Kelompok Formal-Pimer (A) adalah kelompok sosial yang berkarakter formal (resmi), namun keberadaannya bersifat primer. Kelompok ini tidak memiliki aturan yang jelas, stuktur yang tegas secara fungsional impementasinya jeas terlihat. Terbentuknya kelompok ini, dapat karena tujuan yang jelas atau tidak jelas. b. Kelompok Formal-Sekunder (B) adalah kelompok sosial yang bersifat sekunder, resmi, serta memiliki aturan dan struktur yang tegas, dibentuk berasarkan tujuan yang jelas. Kelompok formal sekunder memiliki ciri-ciri sebagai berikut: c. Kelompok Informal-Primer (C), adalah kelompok sosial yang terjadi karena meleburnya sifat-sifat kelompok sosial primersekunder atau karena pembentukkan sifat dari luar kelompok yang tidak dapat ditampung dalam keompok primer sekunder. d. Kelompok Informal-Sekunder (D), adalah kelompok sosial yang umumnya informal maupun keberadaannya bersifat sekunder. 49 Kelompok ini bersifat tidak mengikat, tidak memiliki aturan dan struktur yang tegas. Dibentuk hanya untuk sesaat dan tidak mengikat, karena dibentuk untuk tujuan yang tidak jelas. Hubungan sosial yang terjalin menunjukkan adanya pengertian bahwa setiap individu, kelompok dan masyarakat menyadari tentang kehadirannya di samping kehadiran individu, kelompok dan masyarakat lainnya. Kesadaran akan kehadiran pihak lain tersebut, diharapkan akan muncul tindakan bersama (mutual action) dan pengakuan bersama (mutual recognition). Setiap relasi sosial dapat menjadi objek dari nilai-nilai. Inkeles dalam Soekanto (1983) menyatakan bahwa, secara umum, kualitas dan aspek hubungan manusia terdapat di sebagian besar masyarakat, perbedaan budayalah yang menentukan kualitas tersebut penting atau tidak penting, baik atau buruk. Inkeles yang dikutip oleh Soekanto (1983), menekankan bahwa aspek nilai dan kebudayaan dalam sebuah masyarakat merupakan dimensi terpenting hubungan sosial dalam kebersamaan. Artinya setiap masyarakat memiliki penilaian tertentu terhadap hubungan antara manusia, hubungan dengan alam, waktu dan kegiatan atau kekaryaan lainnya. Menurut Kluckhon dan Strodtbeck (dalam Koentjaraningrat, 1990:78), terdapat lima orientasi nilai budaya dalam hidup manusia, yaitu: “(1) Human nature atau makna hidup manusia; (2) man-nature atau makna hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (3) time atau persepsi manusia tentang waktu; (4) activity atau makna akan perkerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; (5) relational atau hubungan manusia dengan sesama manusia.” 50 Hubungan manusia dengan sesamanya telah dituntun oleh struktur budaya sejak dari awal, sebagai bagian menata dan mengelola warga masyarakatnya agar mampu bertahan dan langgeng. Di negara-negara yang sedang berkembang dimana struktur kekuasaan begitu kuat dan dominan, terdapat kecenderungan para elit-elit kekuasaan berupaya memelihara struktur budaya masyarakat yang mudah dan dapat diatur oleh kekuasaan. Elit-elit kekuasaan mempunyai semangat yang besar terhadap pengembangan diri mereka karena secara politis mereka memerlukan dukungan masyarakat. Khadijah (2011:58-59) menyebutkan media massa mempunyai posisi-peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional, yang merupakan alat bagi elit kekuasaan untuk meraih dukungan tersebut, yaitu melalui proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog. Dengan media massa, masyarakat menjadi penonton yang bersifat pasif, menerima informasi-infomasi elit kekuasaan. Dalam batas-batas tertentu masyarakat tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga masyarkaat begitu mudahnya menjadi salah satu pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media massa tersebut. Mills dikutip oleh Khadijah (2011:59) menyebut mereka sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup untuk mengerti isi dari informasi atau isu yang disampaikan para elit (Khadijah, 2011). Para elit yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah, sebagaimana disebutkan oleh Mills, para penguasa dan golongan politisi, militer, dan pengusaha ekonomi (termasuk penguasaan sumber 51 daya alam) yang digambarkan memiliki karakter dan gerakan yang serupa (Khadijah, 2011). Para elit kekuasaan di Indonesia membangun hubungan mendominasi rakyat dan akan bergerak mencapai posisi yang lebih tinggi dari pada yang lainnya. Konsepsi Habermas (aliran Frankfurt), meyakini bahwa semestinya ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral melakukan kritik masyarakat dan bahwa kepentingan teori sosial adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial yang menindas (Khadijah, 2011). Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep nalar yang lebih komprehensif, yakni nalar yang tidak tereduksi pada instrumen teknis dari subjek manusia (Khadijah, 2011). Postulat Habermas adalah adanya tiga kepentingan manusia yang berakar, yaitu kepentingan teknis (technical), kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; praktik (practical) dalam bentuk memahami orang lain; dan emansipatoris (emancipatory) dalam membebaskan diri dari struktur dominan. Masyarakat modern menyaksikan adanya perubahan pada manusia ketika muncul keinginan menguasai alam berubah menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren dalam kepentingan praktis dan emansipatoris (Khadijah, 2011). Ini berarti bahwa dasar rasional untuk bersama-sama hidup dalam harmoni hanya dapat diraih ketika hubungan sosial diatur menurut kesepakatan yang dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Sedangkan bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama (co-operation), persaingan (competition) dan bahkan dapat 52 juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict), Soekanto (1990:63). Sedangkan Gillin dan Gillin (1954) dalam Bungin (2008:134), menggolongkan secara luas terdapat dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu proses asosiatif dan proses disosiatif. Proses asosiatif terbagi menjadi dua yaitu akomodasi dan asimilasi, serta akulturasi; kemudian proses yang disosiatif mencakup persaingan, kontraversi dan pertentangan atau pertikaian (conflict). Perusahaan dapat mengidentifikasi masyarakat lokal secara menyeluruh, yaitu baik secara budaya, ekonomi, dan sosial sehingga dapat menghasilkan sebuah kehidupan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat tempat perusahaan tersebut beroperasi. Berdasarkan pemahaman akan kondisi masyarakat tersebut, perusahaan diharapkan mampu membangun proses-proses sosial yang bermanfaat bagi masyarakat lokal sekitar wilayah operasi mereka. Kemanfaatan yang diperoleh dan dinikmati oleh masyarakat lokal, secara langsung atau tidak langsung serta berjangka waktu panjang akan memberi manfaat juga bagi perusahaan bersangkutan. Dalam penerapan kegiatan CSR oleh perusahaan seringkali mengalami kegagalan atau tidak efektif dalam pencapaian tujuannya; bahkan lebih jauh lagi hasilnya contra-productive dengan harapan. Selain hambatan business case, sejumlah studi yang dilakukan Nuffield Foundation dikutip oleh Frynas (2009) telah mengidentifikasi sejumlah hambatan penting dalam penerapan CSR di beberapa negara, antara lain: ï‚· Gagal memahami negara dan konteks isu-isu khusus. ï‚· Gagal melibatkan beneficiaries CSR. 53 ï‚· Kurangnya sumber daya manusia: spesialist pengembangan masyarakat. ï‚· Sikap-sikap sosial dari staf perusahaan / atau hanya fokus pada solusi teknis dan manajerial. ï‚· Tidak ada integrasi ke dalam sebuah rencana pembanguan yang lebih luas. Contoh yang paling sering terjadi mengenai ‘negara dan konteks isu-isu khusus’ antara lain adalah konflik antar suku dan korupsi (Frynas, 2009). Sedangkan kegagalan melibatkan beneficiaries adalah tidak adanya upaya membangun partisipasi dari perusahaan dan upaya memandirikan beneficiaries (Frynas, 2009). Perusahaan pertambangan biasanya gagal melakukan konsultasi secara lebih luas kepada pimpinan lokal dan tokoh-tokoh lokal (Frynas, 2009). Keterlibatan penerima manfaat CSR dalam pelaksanaan proyek cenderung terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali, dan paling mungkin terbatas pada pemberian kontrak pada perusahaan lokal. Padahal, kegagalan melibatkan orang-orang lokal telah memelihara suatu mental yang berdampak lebih buruk lagi, yaitu mentalitas ketergantungan (dependency mentality) (Frynas, 2009). Persoalan-persoalan yang muncul tersebut sebetulnya dapat dihindari dengan dilakukannya konsultasi mendalam dan dengan adanya inisiatif masyarakat lokal untuk berpartisipasi dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan alat-alat lokal. Namun, keterlibatan masyarakat lokal tersebut secara inheren terhambat karena perusahaan kekurangan sumber daya manusia 54 perusahaan dan pendekatan teknis/manajerial dari staf perusahaan, terutama perusahaan minyak dan pertambangan (Frynas, 2009). Kurangnya ‘jalur karier’ (career path) untuk spesialis pengembangan masyarakat di dalam perusahaan lebih jauh membatasi keahlian pembangunan secara potensial. Berkaitan dengan kurangnya sumber daya manusia, inisiatif CSR secara inheren menjadi cacat karena hasil dari sikap-sikap sosial staf perusahaan minyak, artinya nilai-nilai sosial yang mengarahkan penentuan keputusan staf perusahaan. Orang-orang yang bergerak di perusahaan minyak biasanya memiliki latar belakang manajerial atau keahlian teknik. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi menghadapi tantangan teknis dan manajerial. Dengan demikian pendekatan-pendekatan teknik dan manajerial bisa berhasil mengatasi tantangan lingkungan, tetapi tidak cukup dalam mengatasi permasalahan sosial yang kompleks dimana lebih mementingkan soft skill, kesabaran, dan keterampilan interpersonal. Dengan tidak terintegrasinya CSR atau ‘social invesment’ ke dalam rencana pembangunan yang lebih luas, potensi pembangunan dari inisiatif perusahaan menjadi terbatas dan sumber-sumber mungkin tidak berhubungan dengan efektifitas pembangunan yang digunakan. Bahkan akibat buruk lainnya adalah perusahaan akan menghadapi resiko timbulnya konflik lokal karena kecemburuan dan menciptakan konsekuensi pembangunan negatif. Persoalan lainnya adalah berkaitan dengan transparansi, yaitu keterbukaan dan kejujuran untuk melaporkan keuangan dan kegiatan CSR. Kajian-kajian yang pernah ada (Alt & Lassen, 2006a,b; Gelos & 55 Wei, 2005; Shi & Svenson, 2002) menunjukkan pengaruh perkembangan yang positif mengenai transparansi, diantaranya: ï‚· Pengaruh politik, yaitu transparansi memperbaiki aliran informasi dari pengatur dan yang diatur. ï‚· Pengaruh ekonomi, yaitu transparansi meningkatkan kredibilitas suatu negara diantara investor luar negeri dan masyarakat perbankan internasional. ï‚· Pengaruh sosial, yaitu pengaruh positif politik dan ekonomi dapat membawa banyak pengaruh sosial yang positif (Frynas, 2009). Namun demikian hasil penelitian mengenai transparansi tersebut juga menyarankan sejumlah kondisi yang harus dipenuhi dalam rangka memaksimalkan dampak positif dari transparansi. Berdasarkan hasil penelitian (Alt & Lassen, 2006a,b; Gelos & Wei, 2005; Shi & Svenson, 2002) setidaknya ada 3 (tiga) kondisi atau prasyarat yang harus dipenuhi: (1) kebebasan media; (2) keterlibatan masyarakat sipil; dan (3) waktu pengenalan transparansi. Sesungguhnya CSR memiliki potensi yang besar untuk mengatasi tantangan lingkungan. Sebaliknya CSR memiliki kelemahan dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat dan pemerintahan. Perusahaan semestinya memperoleh manfaat yang besar dari relasi dengan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik diantaranya adalah berkurangnya biaya operasional, tidak banyak korupsi, meningkatnya reputasi perusahaan, dan seterusnya. Negara penyelenggara semestinya juga memperoleh manfaat yang besar dari peningkatan sumber daya manusia dan 56 pemerintahan, dalam kerangka meningkatnya investasi swasta, meningkatnya tingkat pendidikan, pelayanan publik yang lebih baik dan seterusnya. Namun demikian, perusahaan nampak enggan mengatasi isu-isu pemerintahan, sementara pendekatannya melalui pengembangan masyarakat seringkali tidak efektif. Dua alasan mendasar mengapa perusahaan multinasional gagal mengatasi persoalan pembangunan dan pemerintahan secara efektif adalah Pertama, ‘business case for CSR’ (yakni, memanfaatkan inisiatif sosial untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan) terbatas pada satuan inisiatif untuk dapat mencapai masyarakat yang lebih luas. Kedua, perusahaan multinasional seringkali gagal mengenali secara penuh lingkup interaksi mereka dengan masyarakat dan politik, dan mereka tidak mau menerima tanggung jawab terhadap isu-isu di level makro – isu-isu yang berkaitan dengan dampak industri mereka terhadap masyarakat luas. Keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam CSR bukan berarti usaha swasta tidak melakukan apa-apa terhadap isu-isu kemasyarakatan. Perusahaan perlu didorong untuk melibatkan diri dengan aspek sosial dan lingkungan dalam operasinya, dan mereka akan memperoleh peluang-peluang bisnis yang CSR tawarkan. Banyak inisiatif sukarela perusahaan gagal karena mereka tidak mendengar stakeholders-nya dengan baik. Keterlibatan pemangku kepentingan seringkali dangkal dan singkat, perusahaan mungkin mendengarkan stakeholder-nya dengan daya tawar yang lebih besar dengan prioritas kepentingan perusahaannya daripada memperhatikan stakeholder-nya. Sehingga masalah krusial berikutnya adalah keputusan mengenai inisiatif sosial dan lingkungan seringkali 57 dilakukan untuk mencapai prioritas perusahaan daripada stakeholder, yang akhirnya mengarah pada terbatasnya kemampuan CSR memberi manfaat signifikan kepada stakeholder (pemangku kepentingan). Pengembangan industri pada dasarnya ditujukan untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat baik melalui pembukaan lapangan pekerjaan, mendatangkan devisa negara, maupun peningkatan pendidikan. Namun pada kenyataannya selain dampak positif di atas, pengembangan industri menuai berbagai dampak negatif antara lain; kerusakan lingkungan hidup serta menimbulkan permasalahan sosial yaitu konflik antara perusahaan dengan penduduk setempat akibat adanya kesenjangan secara sosial maupun ekonomi antara pelaku usaha (korporat) dengan masyarakat sekitar. Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang timbul akibat berdirinya suatu kawasan industri, mengetuk hati pelaku usaha untuk bertanggung jawab kepada publik melalui aktivitas yang nyata. Bentuk pemberian dari para pelaku usaha tersebut dikenal dengan semangat Filantropi. Philanthropy dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kedermawanan sesungguhnya berasal dari Bahasa Yunani (cinta atau kasih) dan anthropos (manusia); dengan demikian artinya adalah kebaikan hati yang diwujudkan dalam perbuatan baik dengan menolong dan memberikan sebagian harta, tenaga maupun pikiran secara sukarela untuk kepentingan orang lain. Sumbangan, amal, derma memang merupakan salah satu bentuk dari filantropi, namun barulah tahap yang paling awal. Bentuk akhir dari filantropi adalah sebagai investasi: yaitu investasi sosial (Ibrahim, 2005). 58 Berdasarkan dari filantropi tersebut maka pelaku bisnis yang memiliki perusahaan besar maupun kecil (korporat) memiliki tanggung jawab untuk turut mengembangkan masyarakat di sekitarnya untuk menghindari terjadinya ketimpangan, kesenjangan serta kecemburuan sosial yang dapat mengakibatkan disharmonisasi sosial. Trinidad and Tobago Bereau of Standards (TTBS) menyatakan bahwa Tanggung jawab sosial perusahaan dalam terminologi bahasa Inggris disebut Corporate Social Responsibility, yang didefinisikan sebagai “komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersama dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara lebih luas (Sankat, Clement K, 2002 dalam Budimanta, dkk, 2005) Sementara menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) (2002) difahami bahwa definisi Corporate social responsibility adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas-komunitas setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan kualitas kehidupan tersebut memiliki arti adanya suatu itikad baik dari perusahaan untuk meningkatakan kemampuan masyarakat sekitarnya agar mampu bertahan dengan perubahan yang ada, mampu berkarya, menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup. Dengan demikian tujuan dari peningkatkan kualitas kehidupan tersebut adalah tidak mengurangi keadaan sebelum perusahaan berdiri 59 serta semaksimal mungkin berusaha meningkatkan daya saing masyarakat setempat untuk mampu beradaptasi dan bertahan. Sejalan dengan pandangan tersebut, I Nyoman Tjager (2003) mengartikan corporate social responsibility sebagai tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan perusahaan itu sendiri (internal), maupun di luar lingkungan perusahaan yaitu masyarakat di sekitar perusahaan (eksternal). Pendapat tersebut menunjukkan adanya kaitan yang erat antara keberadaan perusahaan dan ketentuan yang mengikatnya yang dinamakan etika bisnis. Pada satu sisi perusahaan memiliki orientasi mendapatkan keuntungan (money oriented) namun di sisi lain perusahaan harus memiliki tanggung jawab dan kepedulian pada masyarakat sebab perusahaan tersebut berada pada lingkungan masyarakat dan sedikit banyak telah menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif. Corporate social responsibility merupakan proses penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari para stakeholders baik secara internal maupun secara eksternal. Dengan demikian, tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya terbatas pada pemberian donor saja, namun konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif, hanya dikeluarkan dari perusahaan, akan tetapi hak dan kewajiban yang dimiliki bersama antar stakeholders. Drucker (1993) menyatakan bahwa pendekatan yang diperlukan dalam tanggung jawab sosial perusahaan adalah holistik dalam usaha bisnis semata bergerak dari yang bersifat derma menuju ke arah tanggung jawab sosial perusahaan dan lebih kepada keberlanjutan penanaman sosial perusahaan. Pertanyaannya adalah bagaimana bentuk penanaman sosial 60 perusahaan, apa dan kepada siapa yang harus ditanamkan tanggung jawab sosial yang ada. Mark Goyder membagi dua bentuk corporate social responsibility, yaitu yang berbentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap masyarakat dan nilai yang menjadi acuan dari corporate social responsibility. Bentuk yang pertama merupakan tindakan terhadap aspek ekternal perusahaan atau kaitannya dengan lingkungan luar seperti masyarakat dan lingkungan alam. Dengan kata lain bagaimana perusahaan berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat sekitarnya. Bentuk kedua cenderung mengarah pada tipe ideal antara lain: berupa nilai perusahaan yang dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keadaan sosial terhadap masyarakat sekitarnya. Menurut Goyder, interpretasi yang benar dari corporate social responsibility adalah ekspresi dari tujuan perusahaan dan nilai-nilai dalam seluruh hubungan yang telah dibangun. Nilai-nilai yang ada diartikan berbeda dari norma yang ada dalam perusahaan. Dengan demikian difahami bahwa corporate social responsibility akan berjalan dengan cara abstrak, di mana nilai-nilai perusahaan yang menjadi acuan dalam bertindak, atau tindakan nyata yang dilakukan oleh perusahaan berdasarkan kondisi sosial masyarakat sekitarnya. Pada masa lalu perusahaan berada dalam lingkaran kegiatan untuk menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kesejahteraan perusahaan itu sendiri tanpa mengindahkan kewajiban recovery atas lingkungan. Pandangan konvensional dari perusahaan mengenai hak dan kewajibannya tersebut telah menyebabkan beberapa dampak 61 negatif atas aspek sosial, manusia, lingkungan (terutama pada perusahaan yang bergerak pada bidang pemanfaatan sumber daya alam) dan ekonomi itu sendiri, karena secara tidak langsung keberadaan perusahaan di tengah-tengah masyarakat telah menyebabkan perubahan bagi pola mata pencaharian penduduk sekitar. Sehingga tidak jarang masyarakat menjadi miskin dengan keberadaan perusahaan tersebut. Sejalan dengan berbagai fenomena yang terjadi kemudian lahirlah konsep pembangunan berkelanjutan yang mengusung niat melakukan pembangunan yang berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. (Rudito, dkk, 2004). Pembangunan berkelanjutan harus dibangun atas dasar kerangka bahwa bisnis akan tumbuh dengan subur di atas masyarakat yang sejahtera. Karena itu bisnis perlu menyeimbangkan antara aspek ekonomi berupa mencari keuntungan dan pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Sehingga perusahaan dan masyarakat mendapatkan hasil yang saling menguntungkan. Pembangunan berkelanjutan mengilhami pelaksanaan corporate social responsibility yang kemudian dibahas dalam area internasional yaitu pada Konvensi Rio de Janeiro tahun 1992. Kegiatan industrialisasi besar-besaran pada masyarakat dunia telah menyebabkan berkurangnya beberapa modal penting dalam kehidupan yaitu modal lingkungan sebagai implikasi rusaknya kondisi alam akibat eksplorasi, serta modal sosial yaitu ketimpangan dan kesenjangan sosial antara perusahaan dan masyarakat sekitar yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Pendapat tersebut mengusung ide pelestarian lingkungan, dan bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk penyadaran bagi 62 perusahaan terutama perusahaan yang berada pada bidang pemanfaatan sumber daya alam. Lahirnya corporate social responsibility mendapat tanggapan kontradiktif dari penganut ekonomi klasik (kapitalis murni), perusahaan dianggap tidak perlu melakukan kegiatan sosial sebab hal tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah. Perusahaan berpendapat seperti itu karena perusahaan telah menyerahkan tanggung jawabnya pada pemerintah secara penuh melalui pajak. Perusahaan hanya memiliki kewajiban untuk memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya yang akan berdampak pada pembayaran pajak yang lebih besar sebagai pemberian keuntungan bagi negara. Pendapat tersebut didukung oleh pakar manajemen, Peter Drucker, yang menyatakan bahwa keterlibatan perusahaan di luar kegiatan bisnis yang digelutinya, merupakan perluasan kekuasaan para eksekutif perusahaan yang melampaui kekuasaan mereka di bidang ekonomi. Prayogo (2011) menolak pendapat tersebut, dan menyatakan bahwa bisnis seharusnya tidak hanya mencari keuntungan semata, namun harus memperhatikan aspek-aspek yang lebih luas dan bahwa tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan oleh masyarakat, saat ini, tidak lagi boleh dipandang sebagai hambatan oleh perusahaan. Tuntutan-tuntutan tersebut sewajarnya dipandang sebagai peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya sehingga bisnis dapat berkembang dan tuntutan masyarakat pun terjawab. Lambat laun hal tersebut menjadi sebuah kesepakatan bagi seluruh perusahaan di dunia untuk melakukan tanggung jawab sosialnya tidak sebatas pada pembayaran pajak, namun perlu ada 63 penanganan langsung pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat di lingkungan sekitar perusahaan tersebut. Pelaksanaan corporate social responsibility menjadi trend global sebagai agenda bagi tiap-tiap perusahaan terlepas dari tepat atau tidak tepatnya pelaksanaan CSR tersebut. Di Indonesia, konsep corporate social responsibility (CSR) mulai menjadi isu hangat namun belum memasyarakat baik bagi seluruh lingkungan pelaku industri maupun bagi masyarakat itu sendiri. Pelaksanaan CSR di Indonesia masih berada pada tahap pembagian keuntungan yang dipergunakan untuk menjawab felt needs (keinginan) daripada real needs (kebutuhan nyata) masyarakat. Hal ini disebabkan banyak perusahaan belum memahami pentingnya mengetahui dan memfasilitasi kebutuhan nyata masyarakat melalui pelaksanaan CSR yang tepat. Pelaksanaan CSR yang tidak tepat dapat menuai permasalahan yang lebih mendalam, dengan kata lain memecahkan masalah dengan masalah baru. Kecenderungan perusahaan melaksanakan CSR adalah melalui pemberian derma berupa sumbangan, padahal hal tersebut berada pada tingkatan terendah pada kedermawanan. Hendaknya perusahaan melakukan CSR dengan itikad untuk ”growing bigger together” antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Artinya perusahaan seiring dengan perkembangannya melakukan pengembangan terhadap masyarakat agar memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik, sehingga perusahaan dan masyarakat dapat berkembang secara bersama-sama. Terdapat beberapa tipe pelaksanaan CSR seperti yang diungkapkan oleh Budimanta, dkk (2007) yaitu: 1. Community relations 64 2. Community services 3. Community empowering Community relations; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini, program cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan (charity) atau filantropis perusahaan kepada masyarakat, atau pemangku kepentingan lainnya. Jika semua kegiatan-kegiatan CSR lebih banyak diarahkan pada kegiatan tersebut maka akan menimbulkan ketergantungan dari masyarakat lokal kepada perusahaan. Kegiatan-kegiatan CSR yang ditujukan dalam upaya meredam gejolak di masyarakat dan dikhawatirkan akan mengganggu hubungan antara perusahaan dengan masyarakat, juga termasuk dalam kategori ini. Sehingga kegiatankegiatan CSR yang lebih berlandaskan pada community relations semata, perlu ditunjang dengan kegiatan lainnya yang lebih memberdayakan. Dari hubungan ini maka perlu dirancang pengembangan hubungan yang lebih mendalam dan terkait dengan bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada di komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya. Tipe kedua adalah community services; merupakan pelayanan kemasyarakatan dari perusahaan untuk memenuhi kepentingan komunitas ataupun kepentingan umum lainya. Tipe kategori ini, kegiatan atau program yang biasa dilakukan adalah pembangunan secara fisik sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi dan sebagainya yang berupa puskesmas, sekolah, rumah ibadah, jalan raya, sumber air minum, dan sebagainya. Hal pokok dari kategori ini adalah 65 memberikan kebutuhan yang ada di komunitas dan pemecahan masalah yang dihadapi oleh komunitas. Idealnya, pelaksana kegiatan ini dilakukan oleh komunitas sendiri, sedangkan perusahaan hanya bertindak sebagai fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di komunitas. Sehingga dalam rangka peran fasilitator tersebut, kebutuhan-kebutuhan yang ada di komunitas dianalisis oleh para community development officer, kemudian dibuat rencana kegiatannya. Namun persoalannya, tidak semua perusahaan memiliki sumber daya manusia yang cukup dan memadai, baik kualitas maupun kuantitas, yang mendukung kegiatan CSR bersama masyarakat. Kemudian tipe ketiga adalah community empowering; merupakan kegiatan-kegiatan dan program-program yang berkaitan dengan pemberian akses yang lebih luas kepada komunitas untuk menunjang kemandiriannya. Pada dasarnya, kategori ini melalui tahapan-tahapan kategori lain seperti melakukan community relation pada awalnya, yang kemudian berkembang pada community services dengan segala metodologi penggalian data dan kemudian diperdalam melalui ketersediaan pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di komunitas melalui program kategori ini. Dalam rangka menunjang kemandirian masyarakat tersebut, maka dalam setiap tahapan kegiatan pemberdayaan masyarakat (community empowering), masyarakat harus dilibatkan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat (Ife, 2007). Relasi industri dengan stakeholder khususnya masyarakat lokal, tergantung pada jenis industri. Berdasarkan bahan dasar (raw material) dan teknologi pengolahan maka industri dibedakan menjadi 3 (tiga) 66 yaitu industri ektratif, industri manufaktur dan jasa. Dalam Tabel 6 nampak bagaimana kecenderungan relasi korporasi-stakeholder. Tabel 6. Kecenderungan Relasi Korporasi-Stakeholder Industri Ektraktif Eksploitasi atas sumber alam / komunitas lokal Komunitas Lokal Kategori 1: resistensi tinggi, rentan konflik hingga ke bentuk kekerasan, sumber konflik utamanya berkait dengan sumber ekonomi Pekerja Kategori 2: resistensi sedang, tidak terlau rentan terhadap konflik, secara umum kesejahteraan pekerja sangat baik Manufaktur Eksploitasi atas pekerja Kategori 2: resistensi sedang, tidak terlalu rentan konflik terkecuali berkaitan dengan masalah lingkungan Kategori 3: resistensi rendah, jarang konflik, interkasi dan silang kepentingan jarang terjadi Kategori 1: resistensi tinggi, sangat rentan konflik, karena ekstra marjin diperoleh melalui minimalisasi upah Jasa Eksploitasi atas konsumen Kategori 2: resistensi sedang, tidak terlalu rentan konflik terkecuali perusahaan yang bermasalah dengan manajemennya Konsumen Kategori 3: resistensi rendah, konflik jarang terjadi, terkecuali bentuk boikot produk terkait pencemaran lingkungan dan HAM Kategori 2: resistensi rendah, jarang konflik, terkecuali keluhan atas kualitas produk Kategori 1: resistensi tinggi, sangat rentan konflik, ekstra marjin diperoleh dari selisih kualitas jasa dengan harga Sumber: Prayogo, 2007 Berdasarkan tabel 6 nampak bahwa relasi antara korporasistakeholder berkaitan dengan penelitian ini masuk dalam kategori 1. Dalam kategori 1 nampak bahwa relasi yang terjadi antara jenis industri ektratif dan masyarakat lokal cenderung ’resistensi tinggi dengan 67 masyarakat lokal, kerentanan konflik terjadi hingga ke bentuk kekerasan, sedangkan sumber konflik utamanya adalah ekonomi. Kemudian kegiatan-kegiatan corporate social responsibility (CSR) ditengarai merupakan operasionalisasi dari upaya membangun hubungan yang baik dengan stakeholder, khususnya masyarakat lokal. Persoalannya adalah apakah kegiatan tanggungjawab sosial perusahaan tersebut dapat menjadi media dan konteks hubungan antara korporasi dengan masyarakat lokal. Berikut adalah tabel yang menggambarkan operasionalisasi kegiatan CSR dengan konsep Keadilan dan Pemerataan yang diungkapkan oleh Prayogo (2008:156-157). Tabel 7. Operasionalisasi Konsep ”Keadilan dan Pemerataan” Tingkat Justice and Equity Philanthropy Share of profit Share of Cost of Production Share of ownership Operasionalisasi Charity korporasi sebagi donor, komunitas sebagai residual, prinsip sukarela, secara politik ditujukan agar tidak mengganggu proses produksi, pendekatan conservatism, jauh dari prinsip justice and equality Korporasi dominan, jumlah keuntungan dan prosentasi pembagian ditentukan sepihak oleh korporasi, komunitas sudah masuk sebagai primary stakeholders, kewajiban korporasi hanya pada pembagian keuntungan, equality mulai berjalan namun hak komunitas secara prinsip belum tersentuh. Komunitas merupakan bagian integratif dalam sistem produksi, biaya CSR, dan CD dimasukan dalam biaya produksi, equality bagian dari cost of production, prinsip equality mulai tercapai namun justice belum, posisi korporasi masih lebih di atas komunitas Justice and equality sudah ditegakkan, ’hak’ komunitas lokal ditegaskan dalam prosentase pemilikan dan pembagian keuntungan, namun resiko kerugian turut pula ditanggung komunitas, posisi komunitas dan korporasi sejajar dalam praktek tambang Sumber: Prayogo (2008:156-157) 68 Prayogo (2008) memetakan tingkat keadilan dan pemerataan yang dilakukan oleh perusahaan melalui tanggung jawab sosial perusahaan. Tingkat terendah kegiatan tanggungjawab sosial perusahaan adalah hanya dorongan philantropic, dengan dominasi kegiatan yang bersifat bantuan (charity). Sedangkan tingkat yang tertinggi adalah share of ownership, dimana hal ini terjadi apabila posisi hubungan antara korporasi dengan masyarakat lokal adalah sejajar. Dalam praktiknya kesejajaran relasi antara korporasi dengan masyarakat lokal tersebut hingga saat ini masih sulit terwujud. C. Operasionalisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Konsepsi Strukturasi Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan, apalagi pada industri ektraktif yang memafaatkan sumber daya alam, sebagaimana tertuang dalam UU No 40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas, serta PP No 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Bahkan pada sejumlah daerah di Indonesia baik provinsi maupun kotakabupaten, kebijakan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan tersebut coba dioperasionalkan dalam peraturan daerah, atau setidaknya seiring dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah kota dan kabupaten. Dalam konsepsi teori strukturasi (Giddens, 1979) maka kebijakan nasional ataupun peraturan daerah tersebut dapat dipahami sebagai salah satu dimensi struktur, yaitu legitimasi. Walaupun pengertian legitimasi tersebut tidak semata yang tertulis, namun juga 69 sesuatu yang diikuti dan menjadi media terjadinya praktik-praktik sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Giddens, bahwa struktur dikonsepsikan sebagai aturan ‘rules’ dan sumber daya ‘resources’ yang memungkinkan praktik sosial hadir di sepanjang ruang dan waktu (Gidden, 1986), juga seperti yang diungkapkan oleh Giddens dalam Ritzer & Goodman (2003) yaitu: Structure is made possible by existence of rule and resources; structures themselves do not exist in time and spaces. Artinya struktur hanya mungkin mewujud dalam bentuk aturan dan sumber daya, struktur itu sendiri tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Dengan demikian kebijakan mengenai tanggung jawab sosial dan perusahaan dapat dipandang sebagai struktur, dengan sifatnya yang melintasi ruang dan waktu. Hingga saat ini masih sangat jarang, atau dengan kata lain masih sulit ditemui penelitian-penelitian yang secara khusus menggunakan konsepsi strukturasi untuk mengkaji fenomena sosial. Dalam bagian berikut ini akan coba diuraikan kaitan isyu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat lokal dengan menggunakan teori strukturasi. Teori strukturasi berkait dengan persoalan agen dan struktur yang dapat ditengarai sebagai salah satu isyu yang fundamental dalam teori sosial, khususnya dalam Teori Modern (Ritzer & Goodman, 2003). Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan sosial masyarakat pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari dua faktor tersebut. Lebih jauh, Jenkins (2010) menambahkan, satu-satunya masalah yang masih bertahan dalam teori-teori sosial adalah tidak dapat menyatukan masalah agen dan struktur. Dalam perkembangan teori-teori sosial, terdapat upaya-upaya untuk mengintegrasikan agen dan struktur, dan 70 salah satu upaya yang paling terkenal adalah upaya yang dilakukan oleh Anthony Giddens melalui teori strukturasi (Giddens, 1986; Ritzer & Goodman, 2003). Teori Strukturasi Giddens dipandang sebagai terobosan baru dalam wilayah teori sosial karena menyuguhkan suatu elaborasi pemikiran yang dikemas secara menarik, dan muncul sebagai solusi untuk menutup kekurangan dari teori-teori sosial yang ada. Teori Strukturasi Giddens berupaya memberi jalan tengah dan menjembatani dua kutub teori besar mikro-makro, naturalistik-humanis, atau agenstruktur. Giddens melihat bahwa ilmu-ilmu sosial dijajah oleh gagasan dualisme agen versus struktur, dimana agen dan struktur dipahami dalam keadaan terpisah dan dianggap merepresentasikan sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan yang berbeda (Priyono 2002:18). Lebih lanjut, menurutnya adalah suatu kesalahan besar, bahwa dalam studi-studi sosiologi kebanyakan menggunakan gagasan tersebut sebagai titik permulaan. Bagi Giddens, obyek utama dalam ilmu sosial bukanlah ‘peran sosial’ seperti fungsionalisme Parsons, bukan ‘kode tersembunyi’ seperti dalam interkasionisme-simbolis Goffman. Bukan keseluruhan (totalitas), bukan sebagian, bukan struktur, dan bukan juga agen perorangan, melainkan titik temu di antara keduanya, seperti yang dikemukakan oleh Giddens (1986:25) sebagai berikut “the constitution of agents and structure are not two independently given sets phenomenon, a dualism, but represent a duality...” Dapat dipahami, hubungan antara agen dan struktur berupa relasi dualitas bukan dualisme. Dualitas itu terjadi dalam praktik sosial yang berulang dan terpola dalam dalam lintas ruang dan waktu (Giddens 1986:2). Dalam pemikiran Giddens, agen dan struktur tidak 71 dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu sama lain, namun diibaratkan sebagai dua sisi dari satu keping uang logam Dengan demikian, teori strukturasi dapat dilihat sebagai suatu upaya dalam mengintegrasikan agen dan struktur melalui cara yang tepat, dan dimaksudkan untuk menjelaskan dualitas dan hubungan dialektika antara agen dan struktur (Bernstein, 1989). Walaupun, Giddden mengatakan bahwa struktur tidak menentukan agen, dan sebaliknya agen juga tidak menentukan struktur, namun sesungguhnya baik struktur maupun agen tidak akan ada tanpa kehadiran yang lainnya. Oleh karena itu, hubungan antara keduanya harus dilihat sebagai sebuah ‘sejarah, proses, dan persoalan dinamis’ (Ritzer & Goodman, 2003). Lebih jauh, Gidden (2010:17) menerangkan pandangan tentang struktur dalam bukunya “The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration,” bahwa Gidden tidak melihat struktur sebagai bingkai eksternal yang menekan agen, melainkan lebih sebagai bingkai yang memungkinkan dilakukannya praktik sosial melintasi ruang dan waktu. Lebih lanjut, Giddens menegaskan kembali bahwa kreasi antara agen dan struktur pada dasarnya harus dilihat sebagai relasi “dualitas struktur,” dimana terjadi hubungan koheren di dalamnya: struktur bertindak sebagai medium, dan sekaligus sebagai hasil perulangan praktik sosial (Kaspersen 2000, 379). Melalui relasi dualitas inilah, masyarakat secara konstan dibentuk dalam proses strukturasi yang dilakukan terus menerus melalui perulangan praktik sosial (social practice). Relasi antara perusahaan dengan masyarakat setempat melalui kegiatan atau operasionalisasi tanggung jawab sosial dapat dijelaskan 72 sebagai praktik-praktik sosial yaitu antara masyarakat lokal dengan pihak perusahaan melalui suatu ‘struktur’ tanggung jawab sosial perusahaan. Namun demikian, pernyataan tersebut tidak sesederhana dan secepat itu. Oleh karena itu perlu uraian penjelasan lebih jauh lagi mengenai makna praktik sosial itu sendiri. Dalam mendefinisikan konsep praktik sosial ---yang merupakan inti Teori Strukturasi—Giddens menggunakan konsep-konsep inti dari filsafat sosiologi klasik dan modern, seperti: konsep agen, konsep struktur, dan konsep lainnya sebagai bagian tak terpisahkan satu sama lain. Giddens mendefinisikan dan memformulasikan kembali beberapa konsep dalam hubungan saling bergantung, dan kemudian dikombinasikan untuk menyatakan suatu praktik sosial. Berikut ini adalah penjelasan mengenai konsep-konsep yang dimaksud. 1. Konsep Agen Gidden menegaskan bahwa suatu masyarakat terdiri atas praktikpraktik sosial yang diproduksi dan direproduksi melintasi ruang dan waktu (Kaspersen 2000:379). Maka dari itu, menurutnya penting untuk mendefinisikan praktik sosial, menggunakan konsep yang tidak memperlakukan agen melebihi struktur ataupun sebaliknya. Teori strukturasi menekankan ketidakterpisahan agen-struktur dalam sebuah hubungan “mutually constitutive.” Agen dan struktur saling jalinmenjalin tanpa terpisahkan dalam praktik sosial manusia. Dia memulainya dengan menekankan pada definisi dari konsep agen. Agen adalah orang-orang yang terlibat dalam arus kotinu tindakan (Priyono, 2002:19). Giddens (2010) melihat agen sebagai “pelaku dalam praktik 73 sosial”, agen dapat dilihat sebagai individu perorangan ataupun sebagai kelompok. Agen atau ‘pelaku praktik sosial’ dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat lokal adalah perusahaan dan masyarakat lokal. Kemudian untuk memunculkan praktik sosial seperti kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan maka dipersyaratkan dua faktor penting, yaitu rasionalisasi dan motivasi dari agen atau pelaku. Sebagaimana dikemukakan oleh Giddens (2010) bahwa untuk melahirkan praktik sosial, agen membutuhkan dua faktor penting yaitu: rasionalisasi dan motivasi. Rasionalisasi (Gidden, 2010) adalah mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak hanya memberikan perasaan aman kepada agen, tetapi juga memungkinkan mereka menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien. Sedangkan, motivasi meliputi keinginan dan hasrat yang mendorong praktik sosial. Jadi, sementara rasionalisasi terus menerus terlibat dalam praktik sosial, motivasi dapat dibayangkan sebagai potensi untuk bertindak. Lebih lanjut, Giddens (2010: 10-12) membedakan tiga dimensi internal agen dalam bentuk kesadaran praktis ‘practical consciousness’, kesadaran diskursif ‘discursive consciousness’, dan motivasi tak sadar ‘unconciusmotives’. Agen dianggap memiliki pengetahuan tentang sebagian besar tindakannya, dan pengetahuan ini diekspresikan sebagai kesadaran praktis (Kaspersen 2000:380). Kesadaran praktis menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu dapat diuraikan (Priyono 2002: 29). Diam saat kita masuk tempat ibadah adalah salah satu contoh kesadaran praktis. Gugus pengetahuan ini merupakan sumber rasa aman ontologis ‘ontological security’ (Giddens 2010:77). Melalui gugus pengetahuan praktis ini, kita tahu bagaimana 74 melangsungkan hidup sehari-hari tanpa harus mempertanyakan terusmenerus apa yang akan terjadi atau yang harus dilakukan. Demikian pula, kita hampir tidak pernah bertanya mengapa kita menghentikan mobil ketika lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Rutinitas hidup personal dan sosial terbentuk melalui kinerja kesadaran praktis ini (Priyono 2002: 29). Sebaliknya, kesadaran diskursif mengacu pada serangkaian kapasitas pengetahuan yang kita miliki dalam merefleksikan dan memberikan penjelasan serta eksplisit mengenai tindakan yang kita lakukan (Priyono 2002:28). Selain memungkinkan kita untuk memformulasikan penjelasan, kesadaran diskursif juga memberikan kesempatan tindakannya (Karpersen kepada agen 2000:380). Di untuk mengubah samping itu, pola Giddens menambahkan bahwa tidak semua motivasi dari tindakan agen dapat ditemukan pada tingkat kesadaran. Giddens memakai motivasi tak sadar sebagai pemicu terhadap beberapa tindakan agen. Motivasi tak sadar menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri. Sebagai contoh, sangat jarang ‘tindakan’ kita ke tempat kerja digerakkan oleh motif mencari uang, kecuali mungkin pada hari gajian (Priyono 2002: 28). Dari tiga dimensi di atas, kesadaran praktis dinilai menentukan dalam memahami kehidupan sosial, dan merupakan kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai praktik sosial kita lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu memampukan praktik sosial yang kita lakukan. Dengan demikian, dapat kita lihat reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial yang jarang kita pertanyakan (Priyono 2002:29) 75 Satu hal lagi yang perlu disinggung dalam hubungannya dengan agen adalah melalui praktik sosial yang berulang-ulang yang dilakukan oleh agen, tidak hanya struktur yang diciptakan, tetapi juga refleksifitas (kesadaran). Refleksivitas ini memungkinkan agen untuk memonitor aliran yang terus menerus dari aktifitas dan kondisi struktural yang dihadapi oleh agen. Dengan menekankan pada kesadaran ini, Giddens sebenarnya sangat menekankan arti pentingnya praktik sosial. Meminjam gagasan Erving Goffman, dia mengemukakan bahwa sebagai agen, kita mempunyai kemampuan untuk berintrospeksi dan mawas diri ‘reflexive monitoring of conduct’ (Priyono 2002: 30). Dengan kata lain, teori strukturasi memberikan agen kemampuan untuk mengubah situasi, artinya teori ini mengakui besarnya peran agen dalam menentukan suatu praktik sosial. Hal ini sangat erat dengan refleksi Gidden (1979: 210) bahwa perubahan selalu terlibat dalam proses strukturasi betapapun kecilnya perubahan itu. Perubahan terjadi ketika kapasitas memonitor (mengambil jarak) ini meluas sehingga berlangsung ‘de-rutinisasi’. Derutinisasi menyangkut gejala, dimana struktur yang selama ini menjadi aturan dan sumber daya atas praktik sosial kita, tidak lagi memadai untuk dipakai sebagai prinsip pemaknaan dan pengorganisasian berbagai praktik sosial yang sedang berlangsung, atau pun yang sedang diperjuangkan agar menjadi praktik sosial baru (Priyono 2002: 30). Yang kemudian terjadi adalah keusangan struktur. Dengan kata lain, perubahan struktur berarti perubahan skemata agar lebih sesuai dengan praktik sosial yang terus berkembang. Dalam tulisannya, Giddens seringkali menggunakan kata agensi dan praktik sosial secara bergantian, ia melihat agensi sebagai 76 fenomena tersendiri, namun dia melihatnya dengan cara memandang bahwa: Action as a flow of events, pervaing society in a never-ending process thats is analogous to processes of thought an cognition that constanly pervade our minds. Action is a flow without start or finish in short, a structuration process (Kaspersen, 2000: 381). Dapat dipahami bahwa, pengertian mengenai agensi adalah merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh agen secara terus-menerus dan berkesinambungan. Agensi berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang pelakunya adalah agen dalam rangkaian perilaku tertentu. Apapun yang terjadi, tidak akan terjadi jika agen tidak terlibat di dalamnya. Dalam Central Problem in Social Theory, Giddens (1979:9) menjelaskan bahwa agensi tidak mengacu pada serangkaian tindakan terpisah yang digabung bersama-sama, namun lebih mengarah pada perilaku yang berlangsung secara berkesinambungan, yang diwujudkan dalam bentuk “praktik sosial”. Dengan kata lain, agensi adalah praktik sosial. 2. Konsep Struktur Salah satu konseptual penting dari teori strukturasi Giddens terletak pada pemikiran tentang struktur dan dualitas struktur. Giddens (1986) menyatakan bahwa struktur bukanlah benda, melainkan suatu skemata yang hanya tampil dalam dan melalui praktik sosial. Dengan kata lain, struktur itu bersifat maya ‘virtually’, artinya hanya hadir di dalam dan melalui aktivitas agen manusia, serta ada dalam pikiran manusia, yang digunakan hanya ketika kita bertindak, 77 sebagaimana yang dikemukakan oleh Giddens dalam Kaspersen (2000: 381), Structure does not exist, it is continuously produced via agents who draw on this very structure when they act. Struktur, oleh Giddens, dikonsepsikan sebagai aturan ‘rules’ dan sumber daya ‘resources’ yang memungkinkan praktik sosial hadir di sepanjang ruang dan waktu (Gidden 1984: 17), seperti yang diungkapkan oleh Giddens dalam Ritzer & Goodman (2003) yaitu: Structure is made possible by existence of rule and resources; structures themselves do not exist in time and spaces. Artinya, struktur hanya akan terwujud dengan adanya aturan dan sumber daya. Struktur didefinisikan sebagai “propertiproperti yang berstruktur (aturan-aturan dan sumber daya) ... properti yang memungkinkan praktik sosial serupa untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu” (Giddens 1984: 17). Giddens (1989:256) berpendapat bahwa “struktur hanya ada di dalam dan melalui praktik sosial”. Sementara, aturan adalah kesepakatan sosial tentang bagaimana harus bertindak, dan sumber daya itu mengacu pada kapabilitas untuk membuat sesuatu terjadi (Giddens, 2010: 28). Perlu dicatat, struktur itu mengatasi ruang dan waktu, artinya struktur tidak ada dalam ruang dan waktu, sedangkan praktik sosial hanya ada dan berlangsung di dalam ruang dan waktu (Priyono 2002:19). Lebih jauh, Giddens (2009: 65) menggarisbawahi, struktur adalah aturan dan sumber daya yang terbentuk dari dan memediasi perulangan praktik sosial. Dualitas struktur terletak pada proses dimana “struktur sosial merupakan hasil ‘outcome’ dan sekaligus menjadi sarana ‘’medium’ praktik sosial (ibid: 7). Artinya, dualitas agen dan struktur terletas pada fakta bahwa suatu struktur yang menjadi prinsip 78 praktik-praktik sosial di berbagai tempat dan waktu adalah merupakan suatu hasil perulangan dan terus menerus dari berbagai praktik sosial yang kita lakukan, dan sebaliknya, struktur menjadi medium bagi berlangsungnya praktik sosial kita (Priyono 2002: 22). Agen dan struktur melakukan interaksi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Inilah yang disebut dualitas struktur. Melalui dualitas struktur inilah, hubungan antara agen dan struktur dapat terlihat jelas. Agen dengan jangkauan pengetahuan yang dimiliki dapat menjadikan struktur sebagai acuan dalam bertindak dan mengubah serta mereproduksi struktur melalui praktik sosial yang sudah bersifat rutin. Struktur secara aktif diproduksi, direproduksi, dan diubah oleh agen yang dilihat sebagai aktor yang memiliki kemampuan. Seperti telah disinggung, struktur dalam kehidupan sosial diidentifikasikan ke dalam dua aspek yakni: sebagai aturan dan sumber daya. Aspek pertama, sebagai aturan, struktur adalah suatu prosedur yang dijadikan sebagai pedoman oleh agen dalam menjalankan kehidupan sosialnya (Giddens, 1984). Terkadang interpretasi dari aturan dituliskan dalam bentuk hukum atau aturan birokratis. Demikian pula, aturan struktural dapat direproduksi oleh agen dalam suatu masyarakat, atau dapat diubah melalui perkembangan pola baru dari suatu interaksi. Aspek kedua dari struktur adalah sumber daya, yang juga terjadi melalui praktik sosial, dan dapat diubah atau dipertahankan olehnya. Struktur sebagai sumber daya dibedakan menjadi dua yaitu sumber daya alokatif ‘allocative’ dan sumber daya kewenangan ‘authoritative’ (Haralombos, et al, 2004, 969). Yang dimaksud dengan sumber daya allocative adalah kegunaan dari gambaran materi dan 79 benda-benda untuk mengotrol serta menggerakkan pola interaksi dalam suatu konteks. Sumber daya alokatif menakup bahan mentah, tanah, teknologi, alat-alat produksi, pendapatan, dan harta benda. Bagi Giddens, sumber daya tidak begitu saja ada atau disediakan oleh alam, namun hanya melalui praktik sosial, sumber daya itu hadir. Sama halnya, tanah tidak serta merta merupakan sumber daya sampai seseorang mengolahnya untuk suatu kepentingan. Sedangkan, yang dimaksud dengan sumber daya authoritative adalah kemampuan untuk ‘mengontrol’ dan mengarahkan pola-pola interaksi dalam suatu konteks. Sumber daya ini mencakup keterampilan, pengetahuan ahli, posisi di lembaga atau organisasi, dominasi, dan legitimasi. Dengan kata lain, mereka menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk membuat orang lain menurut dan melakukan keinginan atau perintahnya. Dengan cara ini, manusia menjadi suatu sumber daya yang dapat digunakan oleh lainnya. Giddens (1993) menformulasikan konsep struktur, sistem dan strukturasi sebagai berikut: Gambar 1. Struktur, Sistem dan Strukturasi Struktur Aturan dan sumber daya atau seperangkat relasi transformasi, terorganisasi sebagai kelengkapankelengkapan dari sistem-sistem sosial Sistem Relasi-relasi yang direproduksi di antara para aktor atau kolektivitas, terorganisasi sebagai praktik-praktik sosial reguler. Strukturasi Kondisi-kondisi yang mengatur keterulangan atau transformasi struktur-struktur, dan karenanya reproduksi sistem-sistem sosial itu sendiri Terlepas dari hal tersebut, struktur menurut Giddens (1984), dapat disimpulkan sebagai struktur yang memungkinkan agen untuk 80 melakukan praktik sosial “struktur berfungsi sebagai peluang pada agen,” dan bukan struktur yang memaksa, menekan, dan mengendalikan praktik sosial “stuktur berfungsi sebagai pembatas,” sebagaimana yang didefinisikan oleh para ahli yang menganut paham konvensional terdahulu. 3. Konsep Dualitas Struktur dan Praktik Sosial Dalam sebuah wawancara, Anthony Giddens pernah ditanya tentang tujuan seluruh proyek kerjanya selama dua puluh tahun terakhir ini. Ia menjawab, “Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun kembali logika serta metode ilmu-ilmu sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya lembaga-lembaga modern.” (Priyono, 2000:16) Apa yang diinginkan Giddens ternyata bukanlah mimpi kosong karena ia telah menghasilkan satu terobosan penting tidak hanya bagi sosiologi, namun juga bagi ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Salah satu kontribusinya adalah teori strukturasi. Teori ini muncul, menurut Giddens, dari ketiadaan teori tindakan dalam ilmu sosial. (Giddens, 1979) .Ini bukan berarti bahwa para teoritisi tidak mempunyai teori tentang tindakan. Erving Goffman, misalnya, menggagas ‘pelaku dan tindakannya’ mirip seperti pemain Srimulat yang bermain spontan tanpa naskah. Sebaliknya, Talcott Parsons melihat pelaku dan tindakannya seperti mantan Menteri Penerangan Indonesia, Harmoko, yang bertindak “menurut petunjuk bapak presiden.” (Priyono, 2003:7-8) Yang pertama cenderung menafikan bingkai struktural, sedangkan yang kedua menisbikan kapasitas bebas pelaku. Kedua kecenderungan inilah yang menguasai 81 dunia ilmu sosial ketika Giddens membangun teorinya. Ada dualisme yang menggejala. Akar dualisme tersebut terletak dalam kerancuan kita melihat objek kajian ilmu sosial. Menurut Giddens, objek utama ilmu sosial bukanlah ‘peran sosial’ seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukan ‘kode tersembunyi’ seperti dalam strukturalisme Levi-Strauss, bukan pula ‘keunikan-situasional’ seperti dalam interaksionisme Goffman. Bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan struktur, dan bukan pelakuperorangan, melainkan titik temu keduanya, yaitu “praktik sosial yang berulang serta terpola dalam lintas ruang dan waktu” (ibid, 2003: 17). Kritik Giddens terhadap fungsionalisme setidaknya terangkum dalam tiga hal. Pertama, fungsionalisme memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang terjadi disekitar kita, dan bukan robot yang bertindak berdasarkan “naskah” (peran) yang sudah ditentukan. Kedua, fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Bagi Giddens, sistem sosial tidak punya kebutuhan apa pun. Yang punya kebutuhan adalah kita para pelaku. Ketiga, fungsionalisme membuang dimensi waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala sosial. Kritik terhadap strukturalisme ada pada poin pokoknya bahwa apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan ‘kode tersembunyi’ yang ada di balik gejala kasat mata. Kode tersembunyi itu yang disebut struktur. Tindakan dan ruang dalam ruang dan waktu tertentu hanyalah suatu kebetulan. Contohnya, kalau mau memahami gejala dalam masyarakat kapitalis, kita harus mengarahkan perhatian 82 bukan pada perilaku modal atau konsumen, melainkan pada logika internal kinerja modal (ibid, 2003: 15). Jadi, antara kedua perspektif di atas ada kesejajaran, yaitu pengebawahan pelaku dan tindakan pelaku pada totalitas gejala. Pelaku, tindakan pelaku, waktu, ruang dan proses tindakan dianggap sebagai kebetulan. Dalam kritik Giddens, perspektif fungsionalis dan strukturalis merupakan “penolakan yang penuh skandal terhadap subyek” (ibid, 2003: 38). Konsep strukturasi memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara agen dan struktur (Giddens 1984: 23). Seperti telah dijelaskan, tidak ada struktur tanpa agen dan juga sebaliknya, tidak ada agen tanpa struktur. Pembahasan Giddens atas konsep agen dan struktur menjadi basis bagi teori strukturasinya. Demikian pula, konsepnya tentang agensi memandang agen sebagai subjek bebas sepenuhnya. Giddens mengikuti jalan yang ditempuh agen untuk menciptakan dirinya sendiri melalui partisipasi dalam praktik-praktik sosial yang terus berlangsung. Giddens mengemukakan definisi struktur yang tak lazim, berbeda dengan pola Durkheimian dan Parsonian tentang struktur yang lebih bersifat memaksa, mendesak, atau mengendalikan ‘constraining’ dimana struktur dipandang sebagai suatu benda di luar dan bersifat memaksa agen. Oleh sebab itu, Giddens berupaya menghindarkan kesan bahwa struktur berada “diluar” atau “eksternal” terhadap agen. Dengan kata lain, objektivitas struktur tidak bersifat eksternal melainkan melekat pada praktik sosial yang kita lakukan (Priyono 2003: 23). Dalam mengindari konsepsi struktur sebagai bingkai eksternal, Giddens pun menekankan bahwa struktur itu bersifat 83 memungkinkan agen melakukan praktik sosial ‘enabling’, struktur yang berfungsi memberikan pada agen peluang. Karena itulah, Giddens melihat struktur sebagai ‘medium’ dan ‘outcome’ seperti yang dikemukakan oleh Giddens (1984:25), inilah yang dimaksud dengan dualitas struktur. The constitution of agents and structures are not two independently given sets phenomena, a dualism, but represent a duality...the structural properties of social systems are both the medium an outcome of the practices they recursively organise Dapat disimpulkan bahwa strukturasi, menurut Giddens, merupakan suatu proses yang berkaitan dengan produksi dan reproduksi struktur, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur dalam kerangka teori strukturasi, sesungguhnya bersifat dinamis karena dikonstruksikan kembali oleh agen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hubungan antara konsep agen dan struktur saling bergantung sama lain, dan dikombinasikan untuk menyatakan suatu praktik sosial. Melalui penjelasan sebelumnya, dapat dipahami bahwa yang menjadi inti dari teori strukturasi Giddens (2010:3) adalah “praktik sosial yang berulang”, sebagaimana yag dikemukakan dalam buku “The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration” bahwa The basic domain of study the social science, according to the theory of structuration, is neither the experience of the individual actor, nor the existence of any form of social totality, but social practices ordered across space and time. Human social activities, like some self-reproducing items in nature, are recursive. This is to say, they are not brought into being by social actors but continually recreated by them via the very means whreby they themselves as actors. In and through their 84 activities agents reproduce the conditions that make these activities possible. Demikianlah, Giddens memandang praktik-praktik sosial yang terus berlangsung sebagai segi analitis terpenting dalam teori strukturasinya. Dalam mengokohkan teori strukturasi, Giddens (2010: 135) melihat bagaimana praktik sosial itu dilakukan terus-menerus atau dikokohkan, dan bagaimana mereka direproduksi. Dalam bahasa Giddens (1990:38), “praktik sosial itu dikaji dan diperbarui terusmenerus menurut infomasi baru, yang kemudian pada gilirannya mengubah praktik sosial tersebut secara konstitutif”. Kemudian, Giddens juga melihat adanya interaksi antara agen dan struktur dalam suatu praktik sosial, yang kemudian dinyatakan dalam kebiasaan atau rutinitas, dan direproduksi dalam kehidupan sosial, seperti yang diungkapkan dalam Giddens (2010). How practice are continued or enduring, and how they are reproduced. As a result, social action and interaction as ‘tacitly enacted practices’ become ‘instituions or routine’ and ‘ reproduce familiar of social life”. Dengan demikian, praktik sosial dianggap sebagai basis yang melandasi keberadaan agen dan masyarakat. Untuk terlibat dalam praktik-praktik sosial, seorang agen harus mengetahui apa yang ia kerjakan, meskipun pengetahuan tersebut biasanya tak terucapkan. Di sini terlihat, sebelum terlibat dalam sebuah praktik sosial maka seseorang diasumsikan telah memiliki pengetahuan praktis mengenai peraturan yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sosial. Artinya, praktik sosial yang dilakukan berlandaskan atas pengetahuan dan 85 kesadaran praktis, dan akan diproduksi atau direproduksi oleh agen berdasarkan aturan-aturan dan sumber daya yang terdapat di dalam struktur. Lebih jauh, salah satu proposisi penting dalam teori strukturasi Giddens adalah, melalui praktik sosial yang dilakukan secara berulangulang atau terus-menerus itulah, struktur diciptakan. Begitu sebaliknya, struktur merupakan medium yang memungkinkan munculnya praktik sosial. Hal itu berarti bahwa di satu sisi ada agen yang melakukan praktik sosial dalam konteks tertentu, dan di sisi lainnya ada aturan dan sumber daya yang memediasi praktik sosial tersebut dan pada gilirannya, melalui praktik sosial tersebut akan terbentuk struktur baru yang selanjutnya mengorganisasi praktik sosial yang dilakukan oleh agen. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa tanpa praktik sosial, maka struktur tidak akan terbentuk. Dan sebaliknya, struktur terbentuk dari pola-pola praktik sosial yang berulang-ulang, yang dilakukan melalui aturan dan sumber daya tertentu. Dengan kata lain, praktik sosial menurut Giddens adalah praktik sosial yang mengintegrasikan agen dan struktur. Dalam hubungan dengan pelaksanaan praktik sosial, keterlibatan konsep ruang dan waktu merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar. Ini juga yang membuat Giddens menamakan teorinya sebagai strukturasi, sebagaimana setiap akhiran ‘is-(asi) menunjuk pada kelangsungan proses. Artinya, ruang dan waktu merupakan unsur yang tidak bisa tidak bagi terjadinya peristiwa atau gejala sosial (Priyono 2002:20). Sesuatu tidak hanya berada dalam ruang dan waktu, namun ruang dan waktu juga membentuk makna dari sesuatu itu (Giddens 1986:141). Singkatnya, hubungan antara ruang dan waktu dengan 86 praktik sosial berupa hubungan ontologis. Hubungan keduanya bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat praktik sosial itu sendiri. Lugasnya, tanpa ruang dan waktu tidak ada praktik sosial Semua praktik sosial hanya berlangsung dalam ruang dan waktu (Priyono 2003: 38) 4. Konsep Kesadaran Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa sebelum terlibat dalam sebuah praktik sosial maka seseorang diasumsikan telah memiliki pengetahuan praktis mengenai peraturan yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sosial. Artinya, praktik sosial yang dilakukan berlandaskan atas pengetahuan dan kesadaran praktis, dan akan diproduksi atau direproduksi oleh agen berdasarkan aturan-aturan dan sumber daya yang terdapat di dalam struktur. Struktur-struktur di sini menfasilitasi secara individual dengan aturan-aturan mengarahkan tindakan mereka, tetapi selanjutnya tindakan mereka individu tersebut menciptakan aturan-aturan baru dan mereproduksi aturan yang lama (Priyono, 2003). Sejatinya yang menjelaskan bagaimana struktur bisa terbentuk melalui perulangan praktik-praktik sosial adalah kesadaran. Sebagaimana “Refleksivitas kehidupan sosial modern terdiri dari fakta bahwa berbagai praktik sosial secara konstan ditelaah dan direformasi dari sudut pandang informasi yang masuk tentang praktik yang mereka lakukan, sehingga secara konstitutif mengubah karakter mereka. Segala bentuk kehidupan sosial sebagian dibentuk oleh pengetahuan para aktor tentang hal tersebut” (Giddens, 2004: 51). Praktik sosial dilakukan oleh 87 agen-agen manusia yang memiliki pengetahuan dengan kemampuan rasional, yaitu membuat perbedaan, dan menjelaskan tindakannya. Para agen memiliki kapasitas untuk melakukan refleksi-diri dalam interaksi sehari-hari, yaitu sebuah kesadaran praktis mengenai apa yang mereka lakukan. Individu-individu memiliki pilihan dan menentukan jati dirinya dalam rangka mempertahankan hidupnya (Gidden, 2009: 185). Dalam teori strukturasi agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran (Giddens, 2010) yaitu: (1) Kesadaran diskursif (discursive consciousness), yaitu apa yang mampu dikatakan, diucapkan atau diekspresikan secara verbal oleh para aktor atau agen, tentang kondisi sosial, termasuk tindakan-tindakannya sendiri. Kesadaran Dapat juga dikatakan sebagai suatu kemawasdirian dalam bentuk diskursif . (2) Kesadaran praktis (practical consciousness), yaitu apa yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi tindakannya sendiri. Namun dalam kesadaran praktis, aktor atau agen tidak bisa mengemukakan secara verbal (diskursif). (3) Motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives/cognition). Motif ini lebih cenderung merujuk ke potensial bagi tindakan, daripada cara (mode) tindakan itu yang dilakukan oleh agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar tindakan- 88 tindakan agen tidaklah dilandaskan pada motif atau koginisi yang tidak sadar. Pemahaman akan kesadaran praktis tersebut sangat mendasar bagi teori strukturasi, karena struktur dibentuk melalui kesadaran praktis, yaitu suatu tindakan yang berulang-ulang, yang tidak memerlukan proses refleksif (perenungan), dan tidak ada ‘pengambilan jarak’ (duree) oleh si agen terhadap struktur. Ketika semakin banyak agen atau aktor mengadopsi cara-cara mapan atau rutinitas keseharian dalam melakukan sesuatu, maka sebenarnya para agen tersebut telah memperkuat struktur (aturan dan sumber daya). Peubahan struktur dapat terjadi manakala semakin banyak aktor atau agen yang mengadopsi kesadaran diskursif, yaitu ketika si agen ‘mengambil jarak’ dari struktur, dan melakukan sesuatu tindakan dengan mencari makna/ nilai dari tindakannya tersebut. Produk dari tindakan agen tersebut berupa tindakan yang menyimpang dari rutinitas atau kemapanan yang ada, sehingga praktis akan mengubah struktur tersebut. Perubahan struktur dapat juga terjadi sebagai akibat dari tindakan, yang hasil sebenarnya tidak diniatkan atau direncanakan sebelumnya (unintended consequences). Dalam hal ini Giddens (2010), menyatakan bahwa unintended consequences mungkin secara sistematis menimbulkan umpan balik, ke arah kondisi-kondisi yang tidak diketahui munculnya tindakan-tindakan yang lebih jauh lagi. Kemudian unintended consequences ini, persoalan utamanya adalah bukan pada ada atau tidaknya niat, namun pada kapabilitas agen; yaitu adanya kompetensi atau kapabilitas dari pihak agen untuk melakukan perubahan. 89 Monitoring refleksif terhadap aksi Kondisikondisi tindakan yang tak dikenali Rasionalisasi tindakan Konsekuensikonsekuensi tindakan yang tak dikehendaki Motivasi tindakan Gambar 2. Model Stratifikasi (tindakan) Agen (Giddens, 2010:8). Para aktor manusia tidak hanya mampu memonitor aktivitasaktivitas tindakan mereka sendiri dan aktivitas-aktivitas orang lain dalam perulangan perilaku sehari-hari; mereka juga mampu ‘memonitor monitoring itu’ di dalam kesadaran diskursif, sebagaimana dalam Gambar 2.2 Model Stratifikasi (tindakan) Agen. Dalam penjelasan mengenai dimensi-dimensi dualitas struktur, Giddens (2010) menjelaskan, bahwa ‘skema interpretatif’ adalah cara-cara penjenisan yang tersimpan dalam gudang pengetahuan para aktor, dan diterapkan secara reflektif ketika melakukan komunikasi. Bekal pengetahuan yang digunakan para agen atau aktor dalam memproduksi atau mereproduksi interaksi sama seperti bekal pengetahuan yang membuat mereka mampu menciptakan cerita, mengemukakan alasan-alasan, dan lain sebagainya. Komunikasi makna, bersama dengan seluruh aspek kontekstualitas tindakan, tidak harus dipandang semata-mata terjadi ‘dalam’ ruang dan waktu. Komunikasi, sebagai unsur umum interaksi, merupakan konsep yang lebih melingkupi dibanding dengan isi komunikasi (yaitu apa yang ‘hendak’ dikatakan atau dilakukan oleh para aktor). 90 Struktur (modalitas) Interaksi Signifikansi Dominasi Legitimasi Skema interpretatif Fasilitas Norma Komunikasi Kekuasaan Sanksi Gambar 3. Dimensi-dimensi dualitas struktur (Giddens, 2010:46). Ketika dimensi struktur harus dipahami sebagai bagian yang tidak terpisah. Struktur-struktur signifikasi selalu harus dipahami dalam kaitannya dengan dominasi dan legitimasi. ‘Dominasi’ tidaklah sama dengan ‘distorsi sistemik’ dalam struktur-struktur karena dominasi merupakan kondisi keberadaan kode-kode signifikasi itu sendiri. ‘Dominasi’ dan ‘kekuasaan’ tidak bisa dipikirkan hanya dari sisi asimetri distribusi, melainkan harus dikenali sebagai tak terpisahkan dalam asosiasi sosial (tindakan manusia itu sendiri). Struktur signifikansi terpisahkan dari dominasi dan legitimasi hanya (untuk kepentingan) secara analitis saja. Dominasi tergantung pada mobilisasi dua jenis sumber daya berbeda; sumber daya alokatif mengacu pada kemampuan-kemampuan (atau lebih tepatnya, pada bentuk-bentuk kemampuan transformatif) yang melahirkan perintah atas obyek, benda-benda atau fenomena material (non manusia). Sumber daya autoritatif merujuk pada jenis-jenis kemampuan 91 transformatif yang melahirkan perintah atas orang –orang atau para aktor (manusia). D. Kerangka Pemikiran dan Proposisi Berkenaan dengan relasi korporasi dengan masyarakat lokal, maka diperlukan informasi dan analisis tentang relasi sosial antara stakeholder yang siginifikan dengan keberadaan dan kegiatan korporasi. Secara khusus peta ini disebut dengan peta relasi sosial, yang berisi informasi dan analisis tentang relasi sosial antar lembaga atau stakeholder sosial di dalam lingkungan komunitas tertentu. Stakeholder sosial yang dimaksud di sini antara lain kecamatan, desa, LSM, kelompok pemuda, ormas, tokoh informal, asosiasi sosial, asosiasi bisnis, lembaga kepolisian, lembaga militer, media massa, dan lembaga lain yang dipertimbangkan signifikan terhadap keberadaan dan kegiatan korporasi (Prayogo, 2011). Peta relasi sosial dapat dipilah menjadi dua: pertama, ‘peta sosial statis’, dan kedua ‘peta sosial dinamis’. Peta sosial statis akan berisi informasi tentang sejumlah lembaga yang signifikan bagi korporasi, yang secara khusus peta sosial statis menyajikan ‘keadaan sosial’ sejumlah lembaga dalam wujud informasi penting bagi korporasi. Tentunya data yang tersaji harus obyektif dan akurat sehingga tidak menyesatkan kebijakan dan strategi yang diambil. Kedua, ‘peta sosial dinamis’, yakni kumpulan informasi tentang keadaan relasi antara lembaga yang satu dengan yang lain dalam cakupan komunitas tertentu yang signifikan bagi korporasi. Peta dinamis menjadikan relasi sosial antar lembaga ditinjau dari antara lain 92 variabel kuasa dan otoritas, kepentingan, akses terhadap informasi, sumber daya, kontrol, atau variabel lain jika diperlukan. Dalam relasi ini dapat dilihat bagaimana hubungan kuasa dan otoritas, kepentingan, akses informasi, kemampuan kontrol, sumber daya yang dimiliki dan seterusnya. Hasil akhir dari peta sosial dinamis menyajikan rona atau keadaan sesaat---yakni pada waktu tertentu---relasi antara suatu lembaga secara detail, dan bagaimana implikasi penting dari relasi dinamis ini. Peta ini disebut dinamis karena hubungan antar lembaga dapat berubah sejalan dengan perubahan dalam variabel kepentingan, otorita, sumber daya atau lainnya, sehingga informasi rona tidak bersifat permanen atau berjangka waktu lama sebagaimana dalam informasi rona sosial statis. Peta dinamis dimaksudkan untuk lebih menunjukkan keadaan relasi sosial antar lembaga yang bersifat dinamis sejajar dengan dinamika dalam interaksi sosial. Dalam bagan 1 kerangka pikir nampak hubungan interaktif yang terjalin antara korporasi dan masyarakat lokal, dengan kontrol dari pemerintah melalui UU nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU nomor 40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas. Wadah atau tempat terjadinya relasi antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan umumnya terwujud dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Operasionalisasi kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dapat dikatakan sebagai suatu struktur sosial yang mewadahi hubungan antara masyarakat lokal, perusahaan dan pemerintah. Sehingga, semestinya sifat dan jenis kegiatan dari tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat lokal merupakan proses persepsi, pemahaman, pengkajian dan penyesuaian dengan potensi dan 93 permasalahan yang ada di masing-masing pihak. Banyak isyu dan persoalan perlu dipahami sebelum kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan tersebut diwujudkan. Keterlibatan masing-masing pihak, khususnya masyarakat lokal sebagai pihak penerima manfaat yang paling penting dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, menjadi penting untuk dipertimbangkan. Relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dapat dilihat dari kerangka struktur-agen. Perusahaan berikut individu-individu di dalamnya dapat dipahami sebagai agen, demikian pula masyarakat lokal berikut individu-individu di dalamnya sebagai agen atau aktor. Masing-masing agen, baik pihak perusahaan dan masyarakat lokal, memiliki kesadaran (praktis dan juga diskursif). Perbedaan bekal pengetahuan diantara masing-masing pihak agen tersebut, akan menyebabkan cara kesadaran yang berbeda dalam memonitor praktik-praktik tanggung jawab sosial perusahaan. Masing-masing agen memiliki cara berpraktik yang mungkin berbeda, karena kesadaran akan dimensi struktur masingmasing yang berbeda pula. 94 Pemerintah UU no. 25/2007, UU no. 40/2007 Masyarakat Lokal (stakeholder sosial) Kesadaran Masyarakat Lokal - Keberadaan korporasi - Upaya membangun relasi - Harapan Relasi perusahaan dengan masyarakat lokal Korporasi Operasionalisasi CSR: Kesadaran Korporasi    Signifikansi Dominasi Legitimasi - Keberadaan Masyarakat lokal - Upaya membangun relasi - Harapan Ruang dan Waktu Manfaat, Kesesuaian, Keberlanjutan, Stakeholder (agen-agen) lainnya: LSM, Kelompok pemuda, Ormas, Asosiasi sosial, Media massa Gambar 4. Kerangka Pikir Relasi Perusahaan dengan Masyarakat Lokal Kesadaran masyarakat lokal terhadap kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan menjadi faktor determinan bagaimana masyaraka lokal membangun hubungan dengan perusahaan. Faktor-faktor lain dalam masyarakat lokal yang perlu dipertimbangkan adalah harapanharapan, kepentingan, akses informasi, sumber daya, kemampuan kendali serta kuasa dan otoritas terhadap kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Kehadiran perusahaan multinasional di lingkungan 95 mereka tentunya memunculkan harapan bagi masyarakat lokal, khususnya bagi kemajuan ekonomi masyarakat setempat. Dalam kehidupan bertetangga pun terdapat hak dan kewajiban yang dijalankan oleh setiap warga, demikian pula dengan kehadiran perusahaan di tengah-tengah masyarakat. Perusahaan memiliki hak dan kewajiban terhadap lingkungan sekitar, demikian pula warga masyarakat memiliki hak dan kewajiban terhadap kehadiran perusahaan. Namun demikian pelaksanaan kewajiban dan hak tersebut disesuaikan dengan posisi, peran dan kepentingan masing-masing pihak. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam konteks relasi perusahaan dengan masyarakat lokal adalah menyangkut sumber daya dari masing-masing pihak. Perusahaan yang banyak memanfaatkan teknologi tinggi umumnya cenderung akan padat modal dan mensyaratkan sumber daya manusia yang memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sepadan dengan kebutuhan perusahaan. Sementara di lain pihak, masyarakat sekitar perusahaan belum tentu memiliki kemampuan penguasaan teknologi yang sejalan dengan kehadiran perusahaan. Implikasinya adalah penyerapan tenaga kerja dari masyarakat lokal yang berada di sekitar perusahaan yang pada modal menjadi sangat minim. Implikasi lanjutan dari kondisi tersebut adalah terjadi kesenjangan baik secara sosial, ekonomi dan budaya antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Kesenjangan tersebut akan berpotensi memicu konflik antara masyarakat sekitar dengan perusahaan menjadi kian terbuka. Selanjutnya konflik yang muncul akan mengganggu kegiatan operasional korporasi dan aktifitas keseharian masyarakat sekitar. 96 Kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan seiring dengan disahkannya UU nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan perusahaan yang di sektor eksplorasi alam untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar. Dan diikuti dengan keluarnya Peraturan Penerintah No. 47 tahun 2012 tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan dan lingkungan, namun dapat dipahami oleh semua agen, dalam hal ini perusahaan ekstraktif. Sehingga masing-masing perusahaan mengembangkan struktur kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dengan caranya sendiri. Perusahaan berusaha mengembangkan caracara kreatif untuk melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosialnya, dengan alasan utama untuk memenuhi kewajiban sesuai UU No. 40 tahun 2007 dan PP No. 47/2007. Sebagaimana dikemukakan oleh Frynas (2009:3) bahwa penerapan tanggung jawab sosial di negaranegara Barat dengan negara-negara berkembang sangat berbeda, baik dari motivasi maupun konteks kegiatannya. Penerapan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan di negara-negara berkembang lebih variatif dan inovatif jika dibandingkan dengan negara-negara Barat. Korporasi atau perusahaan berusaha mengembangkan kegiatan tanggung jawab sosial berdasarkan kesadaran dan pemahaman mereka tentang apa itu tanggung jawab sosial dan masyarakat sekitar. Selanjutnya berdasarkan pemahaman tersebut pihak korporasi mencoba mengembangkan kegiatan tanggung jawab sosialnya. Persoalan yang akan muncul adalah apabila tidak terdapat kesesuaian pemahaman antara masyarakat lokal dengan pihak korporasi mengenai kegiatan apa yang seharusnya dilakukan dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Kondisi ini diperburuk dengan posisi peran pemerintah 97 (khususnya pemerintah daerah) yang seharusnya bertindak menaungi dan mendukung kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, malah cenderung untuk lebih mengambil posisi ‘aman’ dan memperoleh ‘manfaat’ lebih dari kegiatan tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh setiap perusahaan. Belum banyak pemerintah kota dan kabupaten merumuskan peraturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan untuk kepentingan masyarakat di daerahnya. Selanjutnya seiring dengan afirmatif tanggung jawab sosial dalam peraturan daerah maka langkah selanjutnya perwujudan perencanaan pembangunan daerah yang terintegrasi dengan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Terintegrasinya perencanaan pembangunan daerah dengan sumbersumber swasta salah satunya berasal dari perusahaan diharapkan terdapat program-program pembangunan yang tidak saling tumpang tindih dan lebih terarah. Sehingga akhirnya diharapkan terdapat manfaat lebih jauh yang dapat diperoleh dari kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dan pembangunan daerah adalah keberlanjutan (sustainability) pembangunan di daerah. Berdasarkan pada kesadaran perusahaan akan keberadaan masyarakat lokal serta reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh masyarakat lokal tersebut akan keberadaan perusahaan. Berikutnya, pemahaman atau kesadaran akan program-program dan kegiatan-kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan akan menentukan kecenderungan tipologi kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan; dimana tipologi CSR (Budimanta, 2007) terdiri dari community relations, community servicces dan community empowering. Sejumlah pemangku kepentingan lain, selain masyarakat lokal dan pemerintah daerah, yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan 98 tanggung jawab sosial perusahaan adalah organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan asosiasi lainnya. Para stakeholder ini juga dapat memfungsikan diri sebagai ‘pengawas’ untuk memastikan berjalannya kegiatan tanggung jawab sosial sesuai dengan tujuannya, sehingga berdampak positif dan berkelanjutan. Mereka juga dapat menjadi mitra dialog bersama-sama masyarakat dan pemerintah untuk merancang, menentukan dan memastikan implementasi kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan berjalan dengan baik. Dengan demikian pola relasi antara perusahaan dengan masyarakat lokal ditentukan oleh masing-masing kesadaran masyarakat lokal dan perusahaan akan kondisi struktur tanggung jawab sosial perusahaan. 99 100 BAB III GAMBARAN MASYARAKAT LOKAL DAN PERUSAHAAN: Kasus Desa Karya Mekar Kecamatan Pasirwangi Garut dan PT. Chevron Geothermal Indonesia (CGI) Penelitian dilakukan terhadap lingkar terdekat (ring 1) dari industri esktraktif PT. CGI, yaitu wilayah yang memperoleh dampak langsung dari kehadiran industri, khususnya penduduk terdekat. Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi merupakan wilayah lingkar 1 yang berarti, wilayah tersebut mendapatkan dampak yang paling besar dari keberadaan industri ekstraktif PT. CGI. Dengan demikian, selayaknya perusahaan menjalin relasi yang lebih aktif dengan masyarakat di Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi tersebut. Namun temuan dilapangan menemukan bahwa banyak dana CSR PT. CGI yang disalurkan terutama ke desa-desa di Kecamatan Samarang, khususnya kepada desa-desa yang dilalui oleh mobilitas yang berkaitan dengan operasional perusahaan, seperti misalnya pengangkutan karyawan, pasokan material bahan untuk kepentingan perusahaan, dan lain-lain. Penyaluran tersebut digunakan sebagai alat peredam terjadinya konflik dengan masyarakat yang terkena imbas mobilitas perusahaan. Namun demikian, penelitian ini lebih diarahkan kepada penduduk yang tinggal paling dekat dengan lokasi PT. CGI, yaitu penduduk Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi. 101 A. Kecamatan Pasirwangi Secara historis Kecamatan Pasirwangi merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Samarang yang diresmikan pada tanggal 20 Januari 2001 sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Garut No 23 tahun 2000. Untuk mencapai wilayah Kecamatan Pasirwangi dapat ditempuh kurang lebih 20 km sebelah Barat dari Ibu Kota Kabupaten Garut dan 80 km ke sebelah Selatan dari kota Propinsi Jawa Barat. Ketinggian wilayah Kecamatan Pasirwangi antara 1000 – 1200 M di atas permukaan laut, keadaan topografi tanah yang berbukit-bukit sehingga lokasi merupakan daerah rawan longsor dan suhu udara berkisar 16 – 22 derajat Celcius dengan curah hujan antara 1500 – 3000 mm/tahun. 1. Batas Wilayah dan Tataguna Lahan Secara geografis batas-batas wilayah Kecamatan Pasirwangi antara lain: ï‚· Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Samarang ï‚· Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sukaresmi ï‚· Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung ï‚· Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Samarang dan kecamatan Bayongbong Sedangkan luas wilayah Kecamatan Pasirwangi + 5.002,6 ha, yang sebagian besar terdiri dari ladang (tegalan), hutan dan sawah yang 102 mencakup 91% lebih dari seluruh penggunaan lahan di Kecamatan Pasirwangi. Sebagaimana terlihat dalam tabel 8. Tabel 8. Penggunaan Lahan di Kecamatan Pasirwangi No. Luas (dalam ha) 347,359 ha Penggunaan lahan: 1. % Perkampungan (perumahan & 6,94 pekarangan) 2. Sawah 1.211,420 ha 24,22 3. Lahan Basah/ kolam 38 ha 0,76 4. Tegalan / Ladang 1.720,651 ha 34, 39 5. Sarana Pemerintahan dan sosial 16,920 ha 0,33 6. Hutan 1.667,000 ha 33,33 7. Sarana perdagangan dan jasa 1,25 ha 0,02 Jumlah 5.002,6 ha Sumber: Diolah dari Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Pembangunan dan Pembinaan Masyarakat Kecamatan Pasirwangi, bulan September 2012 Sedangkan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian yaitu lahan basah (sawah) dan tegalan atau ladang mencakup 67% lebih. Hal tersebut menunjukkan suatu indikasi bahwa warga masyarakat Pasirwangi sebagian besar hidup sebagai petani atau sebagai buruh tani. 2. Kondisi Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Pasirwangi berdasarkan data laporan dari desadesa tercatat pada bulan September tahun 2012 sebanyak 68.755 orang yang terdiri dari laki-laki 35.192 orang, dan perempuan 33.563 orang serta Kepala Keluarga 17.225 (KK). Sebagaimana terlihat dalam tabel 9. 103 Tabel 9. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Keadaan Penduduk Laki-laki, Perempuan dan KK di Kecamatan Pasirwangi, 2012 DESA Pasirwangi Pasirkiamis Padasuka Karyamekar Padaawas Barusari Padaasih Sirnajaya Padamulya Talaga Sarimukti Padamukti Jumlah KK 1632 1128 1434 1393 1696 1756 1270 1716 1156 1325 1442 1277 17225 Penduduk Laki2 Perempuan Jumlah 3143 3656 2530 3053 3496 3032 3066 2436 2142 2601 3537 2500 35192 3448 2391 2448 2868 3404 2834 2990 2391 2042 2554 3683 2510 33563 6591 6047 4978 5921 6900 5866 6056 4827 4184 5155 7220 5010 68755 RT RW 31 28 29 32 43 40 30 22 22 20 27 34 346 10 7 10 6 10 9 9 7 5 7 9 9 96 Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Pembangunan dan Pembinaan Masyarakat Kecamatan Pasirwangi, bulan September 2012 Berdasarkan jumlah penduduk per-desa di Kecamatan Pasirwangi, terlihat bahwa desa dengan jumlah kepala keluarga (KK) terbesar adalah Desa Banusari (1756 KK). Sedangkan desa dengan jumlah kepala keluarga (KK) paling sedikit adalah Desa Pasirkiamis dengan jumlah 1128 KK. Padahal jumlah penduduk tertinggi terdapat di Desa Sarimukti (7220 jiwa), sedangkan jumlah penduduk paling sedikit adalah Desa Padamulya (4184 jiwa). Sebagian besar penduduk Kecamatan Pasirwangi bermata pencaharian sebagai buruh (53,3%), baik sebagai buruh tani, buruh bangunan atau serabutan. Namun berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar buruh tersebut adalah sebagai buruh tani. Sedangkan yang menjadi bermata pencaharian sebagai petani berjumlah sekitar 31%. 104 Tabel 10. Jenis Mata Pasirwangi pencaharian No. Mata Pencaharian: 1. Penduduk Jumlah Orang 9.380 Kecamatan % Buruh (tani, bangunan, 53,3 serabutan) 2. Petani 5.439 31,0 3. Pedagang 1.250 7,1 4. Jasa 977 5,5 5. PNS, TNI, POLRI, dan 460 2,6 Pensiunan 6. Perangkat Desa 90 0,5 Jumlah 17.596 100,0 Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Pembangunan dan Pembinaan Masyarakat Kecamatan Pasirwangi, bulan September 2012 Berdasarkan tabel 10 tersebut nampak bahwa sebagian penduduk di Kecamatan Pasirwangi menggantungkan kehidupan keluarga mereka di bidang pertanian. Hal ini juga terkait dengan pemanfaatan lahan di Kecamatan Pasirwangi yang lebih banyak (67%) digunakan untuk lahan sawah atau tegalan (palawija). Berdasarkan kondisi dan fakta tersebut, maka suatu langkah yang bijak apabila program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat lebih diarahkan pada sektor pertanian. 3. Sarana dan Prasarana Pendidikan Selanjutnya mengenai sarana dan prasarana pendidikan di Kecamatan Pasirwangi, nampak bahwa jenjang pendidikan dari pra sekolah hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) telah tersedia. 105 Tabel 11. Kondisi Sarana dan Kecamatan Pasirwangi Prasarana Pendidikan di No 1 2 3 4 Tingkat Sekolah Jumlah Negeri Swasta TK 7 7 SD / Sederajat 38 32 6 SMP / Sederajat 16 2 14 SLTA / Sederajat 4 1 3 Jumlah 65 35 31 Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Pembangunan dan Pembinaan Masyarakat Kecamatan Pasirwangi, bulan September 2012 Berdasarkan tabel 11, fasilitas pendidikan yang tersedia di Kecamatan Pasirwangi, relatif cukup lengkap. Bagi para lulusan SLTA yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka dapat melanjutkan pendidikan tinggi ke kota Kabupaten Garut. Di kota Kabupaten Garut tersedia Universitas Garut (UNIGA), akademi atau sekolah tinggi lainnya. Sedangkan bagi mereka yang akan melanjutkan pendidikan namun secara usia sudah melewati program wajib belajar (wajar) 9 tahun, maka tersedia pula kelompok belajar (kejar) paket A, B, dan C. Di kecamatan Pasirwangi tersedia 4 kelompok belajar yang semuanya dikelola oleh dinas pendidikan, dengan rincian 3 kelompok belajar (kejar) paket B dan 1 kelompok belajar (kejar) paket C. Kesemua fasilitas pendidikan tersebut, diharapkan dapat meningkatkan layanan pendidikan bagi warga masyarakat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan taraf pendidikan warga. 106 4. Sarana Kesehatan Jaminan pelayanan kesehatan salah satunya ditunjukkan dengan tersedianya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di suatu daerah. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahawa salah satu indikasi keseriusan pemerintah daerah terhadap pelayanan kesehatan warga juga ditunjukkan dengan tersedianya fasilitas kesehatan di suatu daerah. Sebagaimana terlihat dalam tabel 12, terlihat sejumlah fasilitas pelayanan kesehatan di Kecamatan Pasirwangi. Tabel 12. Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pasirwangi No 1 2 3 4 5 6 7 Tingkat Sekolah Jml (buah) Puskesmas 2 Balai Pengolahan Swasta 2 Klinik Bersalin Polindes 4 Posyandu 80 Pustu 2 Poskesdes 1 Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Pembangunan dan Pembinaan Masyarakat Kecamatan Pasirwangi, bulan September 2012 Kelengkapan fasilitas pelayanan kesehatan tersebut juga ditunjang pula dengan tenaga kesehatan, yaitu dokter 2 (dua) orang, bidang 17 orang, dan perawat medis sejumlah 12 orang. Ketersediaan sumber daya tenaga kesehatan tersebut, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Kecamatan Pasirwangi yang berjumlah 68.755 jiwa, tentu sangat tidak memadai. Selain tersedianya fasilitas kesehatan dan tenaga medis untuk memelihara kesehatan warga masyarakat di Kecamatan Pasirwangi, juga terdapat terdapat masalah sosial. Berdasarkan data 107 Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Pembangunan dan Pembinaan Masyarakat Kecamatan Pasirwangi, bulan September 2012 terdapat 8516 KK dalam kondisi miskin. Dengan demikian apabila di kecamatan Pasirwangi terdapat 17.225 KK, maka 49% lebih berada dalam kondisi miskin. Kemudian apabila dalam satu keluarga terdiri dari 4 (empat) anggota keluarga, maka empat dikali jumlah KK miskin se-Kecamatan Pasirwangi, akan terdapat kurang lebih 34 ribu penduduk berada dalam kondisi miskin. Dengan kondisi 49% lebih kepala keluarga (KK) di Kecamatan Pasirwangi berada dalam kemiskinan akan menimbulkan persoalan yang khas, berkaitan dengan kehadiran industri berteknologi tinggi di wilayah kecamatan ini, seperti PT. Chevron Geothermal Indonesia, PT. Indonesia Power, dan Pertamina Geothermal Kamojang. Sungguh merupakan sisi (kondisi) yang ironis, antara kehadiran industri besar berteknologi tinggi di satu sisi, dengan kondisi masyarakat yang setengah penduduknya hidup dalam kemiskinan. Sehingga dapat dipahami apabila pola relasi yang terjadi antara masyarakat lokal dengan korporasi menjadi tidak seimbang, dari sisi manapun. Bagian selanjutnya akan dikemukakan gambaran dari desa yang secara administratif lokasinya paling dekat dengan lokasi operasi dari Chevron Geothermal Indonesia, yaitu Desa Karyamekar. 108 B. Desa Karyamekar Secara historis, awalnya Desa Karyamekar merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Pasirkiamis (Kecamatan Samarang) pada tahun 1979, pada waktu itu hanya terdapat satu desa pemekaran, dimana kecamatannya masuk ke Wilayah Kecamatan Samarang. 1. Batas Wilayah dan Orbitrasi Desa Karyamekar Secara geografis Desa Karyamekar adalah desa yang paling Barat dari Kabupaten Garut yang berdekatan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal Darajat Project) khususnya dengan PT. Chevron Geothermal Indonesia. Kemudian secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Pasirwangi dan berdekatan dengan wilayah kehutanan (perhutani). Desa Karyamekar memiliki luas wilayah 305,493 Ha yang terdiri dari dataran 75,493 ha dan perbukitan 230 ha, artinya sekitar 75% wilayah Desa Karyamekar merupakan wilayah berbukit, dan 25% yang terdiri atas tanah datar, yang umumnya merupakan proses pemerataan atau pemangkasan bukit secara sengaja oleh warga untuk kegiatan usaha atau aktivitas sosial lainnya. Batas-batas wilayah administrasi pemerintahan Desa Karyamekar adalah : Sebelah Utara : Desa Padaawas (Kecamatan Pasirwangi) Sebelah Timur : Desa Talaga (Kecamatan Pasirwangi) Sebelah Selatan : Desa Sarimukti (Kecamatan Pasirwangi) Sebelah Barat : Kehutanan (Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung) 109 Kemudian mengenai jarak dan waktu tempuh untuk mencapai desa Karyamekar, dapat dilihat dalam tabel 13 mengenai Orbitrasi/Jarak Tempuh Desa Karyamekar. Perjalanan menuju Desa Karyamekar, umumnya menanjak dan berkelok-kelok, namun selama perjalanan akan disuguhi dengan pemandangan alam yang indah dan berbukit. Tabel 13. Orbitrasi Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi 1. Jarak ke ibu kota Kecamatan Lama Jarak tempuh ke ibu kota kecamatan dengan 2. kendaraan Motor Lama tempuh ke ibu kota kecamatan dengan berjalan kaki/ 3. non motor 4. Kendaraan umum ke ibu kota kecamatan 5. Jarak tempuh ke ibu kota kabupaten/kota Lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten dengan 6. kendaraan motor Lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten dengan berjalan 7. kaki 8. Kendaraan ke ibu kota kabupaten/kota 9. Jarak ke ibu kota provinsi 10. Lama jarak ke ibu kota provisi dengan kendaraan ber motor 11. Kendaraan ke ibu kota propinsi 12. Jarak tempuh ke Ibu kota pusat memakai kendaraan Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012 13 Km ¼ jam 1 jam Ada 23 km 1 jam 3 jam Ada 83 Km 4 jam Ada 6 jam Topografi dan kontur tanah di Desa Karyamekar secara umum berupa area pertanian terdiri dari kebun dan tegalan. Ketinggian ratarata wilayah ini adalah ± 1450 m dari atas permukaan laut. Suhu ratarata adalah antara 18OC - 32 O C. secara umum sepanjang tahun 110 mengalami dua musim yaitu musim hujan (Januari–September) dan musim kemarau (April–Agustus). Kemudian berdasarkan hidrologi, yaitu gambaran aliran-aliran sungai di wilayah Desa Karyamekar membentuk pola daerah aliran sungai yaitu DAS Cibeureum yang berasal dari aliran Gunung Gagak dan area Darajat. Beberapa aliran sungai baik sekala kecil atau besar yang melewati Desa Karyamekar antara lain: - Sungai Cibeureum (yang berbatasan dengan Desa Padaawas, Desa Pasirwangi), dan - Desa Talaga yang mengalir langsung ke Cikamiri. - Sungai Cibeureum di wilayah RW 03 yang mengalir ke Wilayah Desa Talaga yang dipergunakan untuk mengairi area sawah/Pertanian Desa Talaga . - Sungai Ciwakap yang mengalir ke wilayah Ciherang. Selain aliran sungai terdapat pula beberapa mata air yang dapat digunakan untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari, yaitu: mata air Cihaneut, disebut haneut karena kondisi airnya yang tetap hangat berada di Kampung Cihaneut Rw 04, kemudian mata air Cipanas berada di kampung Cipanas Rw04, mata air Pangliwen (Sulita), dan terakhir mata air Barukai. 111 2. Jumlah Penduduk dan Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Karyamekar Jumlah penduduk Desa Karyamekar di akhir tahun 2012 sebanyak: 5.906 jiwa terdiri dari laki-laki 3.047 jiwa dan perempuan 2.859 jiwa, dengan 1.614 kk (kepala keluaga), dengan jumlah keluarga miskin adalah 670 kk. Berdasarkan gambaran jumlah penduduk tersebut maka dapat diperkirakan jika rata-rata jumlah anggota dalam satu keluarga antara 3-4 orang. Dengan demikian dari 670 kk tersebut berada dalam kondisi miskin, artinya dapat diperkirakan bahwa sekitar 2000 jiwa hingga 2600 jiwa lebih penduduk berada dalam kondisi miskin, atau sekitar 33%-44% masyarakat desa Karyamekar berada dalam kondisi miskin. Kondisi rumah/bangunan tempat tinggal sebanyak 1.373 rumah terdiri dari rumah panggung, semi permanen dan permanen (tidak diperoleh data mengenai proporsi tipologi rumah tersebut). Kemudian sebaran penduduk di setiap dusun dan rukun warga (RW) nampak tidak merata, dimana jumlah penduduk terbanyak tinggal di dusun 1 Kepakan (hampir 80%) dan sisanya penduduk sekitar 20% tinggal di dusun Ciherang. Dalam data tabel 14 terlihat bahwa konsentrasi penduduk berada di dusun 1 Kepakan, khususnya di RW 2 yang berjumlah 2.038 jiwa. Hal tersebut dapat dipahami mengingat pusat kegiatan pemerintahaan dan masyarakat desa Karyamekar berada di wilayah tersebut. 112 Tabel 14. Jumlah Penduduk per Kecamatan Pasirwangi Dusun Desa Jumlah Penduduk LakiRW Perempuan Jumlah laki RW 01 580 536 1.116 1.060 978 2.038 Dusun 1 RW 02 Kepakan RW 03 398 350 748 RW 04 411 384 795 Jumlah A 2.449 2.248 4.697 384 388 772 Dusun 2 RW 05 Ciherang RW 06 214 223 437 Jumlah B 598 611 1.209 Jumlah A+B 3.047 2.859 5.906 Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012 Dusun Karyamekar Jumlah KK 323 571 204 181 1.279 210 125 335 1.614 Sedangkan jumlah penduduk berdasarkan usia, 40% penduduk berada dalam usia muda (usia 0 -15 tahun). Kemudian berdasarkan usia produktif, nampak bahwa hampir 56% berada dalam kelompok tersebut. Besarnya jumlah usia produktif tersebut dapat merupakan potensi, namun juga dapat dapat menjadi beban apabila tidak tersedia lapangan pekerjaan yang mampu menyerap tenaga kerja potensial tersebut. 113 Tabel 15. Jumlah Penduduk menurut Usia Laki-laki dan Perempuan Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Jumlah Usia Jumlah (tahun) Laki-laki Perempuan 1 236 239 475 0 2 2 130 98 228 3 4 3 171 352 5 6 181 4 560 526 1086 7 12 5 146 131 227 13 15 6 208 204 412 16 19 7 683 611 1294 20 30 8 565 532 1097 31 45 9 281 292 573 46 60 10 33 27 60 61 70 11 24 28 52 71 JUMLAH 3047 2859 5.906 Sumber: Diolah dari Potensi Desa Karyamekar, 2012 N0 % 8 4 6 18 4 7 22 19 8 1 1 Banyak faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di suatu daerah, diantaranya persoalan tingkat pendidikan, kompetensi, skill dan daya juang dari sumber daya manusia tersebut. Selain itu penyerapan tenaga kerja juga ditunjang oleh potensi kewilayahan, baik alam, budaya dan peluang usaha yang tersedia. Sehingga potensi tenaga kerja produktif tersebut mampu menopang struktur penduduk lain yang termasuk kriteria tidak produktif, bukannya menjadi beban baru masyarakat dan pemerintah. 114 Tabel 16. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 18 19 20 22 24 25 Mata Pencaharian Penduduk di Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Desa Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) PNS 10 Guru Honor 7 Pensiunan PNS 2 Pegawai BUMN 3 Karyawan Swasta 92 Buruh 104 Buruh Tani 717 Pertukangan/Bangunan 16 Wiraswasta 30 Pedagang Keliling 10 Pedagang 63 Petani 451 Pengemudi Ojek 50 Bidan 1 Pengrajin peralatan tani 1 TKI 2 Tukang Bengkel 4 Penjahit Pakaian /Tailor 3 Paraji 2 Tukang Batu 2 Peternak 81 Kontraktor/Pengusaha Lokal 10 Jumlah 1.661 Sumber: Diolah dari Profil Desa Karyamekar, 2012 Mata pencaharian penduduk Desa Karyamekar, mayoritas adalah bekerja sebagai petani (27%) dan buruh (49%), sebagian besar merupakan buruh tani. Struktur ketenagakerjaan Desa Karyamekar menunjukkan (sebagaimana terlihat dalam tabel 16), bahwa tidak banyak variasi lapangan pekerjaan yang terdapat di desa Karyamekar. Sehingga diperlukan upaya-upaya yang memungkinkan masyarakat 115 dapat berwirausaha melalui sitmulus-stimulus pemberdayaan masyarakat yang tanpa henti. 3. Sarana Pendidikan Permasalahan kemiskinan ekonomi umumnya berkat dengan masalah yang dihadapi oleh suatu masyarakat, yaitu diantaranya adalah tingkat pendidikan. Pendidikan juga merupakan salah aspek atau indikator untuk menentukan kemajuan suatu daerah, selain masalah kesehatan dan pengangguran (penyerapan tenaga kerja). Tabel 17. N0 1 2 3 4 5 6 Jumlah Penduduk menurut Pendidikan Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Tingkat Pendidikan Jumlah Ket (%) TK 100 2 Tidak Tamat SD 340 5,8 Tamat SD 2.180 40 Tamat SLTP 732 12 Tamat SLTA 567 10 Akademi/Universitas 20 0,3 Jumlah 3839 100 Sisanya 2607 orang (35%) tidak jelas, tidak tercatat atau memang belum sekolah, dari jumlah penduduk 5.906 jiwa Sumber: Diolah dari Profil Desa Karyamekar, 2012 Dalam tabel 17, terlihat bahwa sebagian besar penduduk menurut pendidikan (kelulusan) adalah 40% merupakan lulusan sekolah dasar. Sedangkan lulusan akademi atau perguruan tinggi hanya 0,3% atau 20 orang saja. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan, mengingat tingginya tingkat pendidikan penduduk di suatu daerah menunjukkan potensi kemajuan potensial yang akan dapat diperoleh. 116 Tingginya tingkat pendidikan masyarakat di suatu daerah, juga merupakan suatu indikasi dari kemampuan warga masyarakat melakukan penyesuaian diri dengan perkembangan teknologi dan informasi. Oleh karena itu pula ketersediaan sarana dan fasilitas pendidikan di suatu daerah juga merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendidikan. Tabel 18. Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi No. 1. 2. 3. 4. 5. Jenis sarana pendidikan Unit Tk / PAUD 2 SDN 3 SMP 1 Madrasah 9 PKBM/Kelompok Belajar 1 Masyarakat (Paket B dan C) 6. Pondok Pesantren 1 Sumber: Diolah dari Profil Desa Karyamekar, 2012 Siswa yang lulus SMP di desa Karyamekar jika akan meneruskan pendidikan harus ke daerah lain, dimana para lulusan tersebut dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi (SLTA) atau ke Pendidikan Tinggi. Di desa Karyamekar hanya terdapat 1 Sekolan Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP/ SMP), sedangkan bagi mereka yang akan meneruskan pendidikan setingkat SLTP/SMP, namun secara usia sudah melewati usia wajib belajar, dapat mengikuti program Paket A, Paket B atau Paket C. Untuk pelayanan kesehatan, khususnya berkaitan dengan persoalan kesehatan ibu dan anak di desa Karyamekar terdapat 6 buah 117 posyandu, 1 orang bidan desa, serta 3 orang paraji (dukun bayi), dengan jumlah kader PKK dan kesehatan sejumlah 23 orang (diolah dari Profil Desa Karyamekar, 2012). 6 buah pos pelayanan terpadu tersebut terdapat di masing-masing RW yang berjumlah 6 RW. Untuk pelayanan kesehatan lanjutan, maka warga masyarakat Desa Karyamekar dapat memanfaatkan fasilitas puskesmas kecamatan Pasirwangi, atau menuju rumah sakit umum daerah (RSUD) kabupaten Garut setelah memperoleh rujukan dari Puskesmas setempat. Selanjutnya mengenai kondisi sarana dan prasarana umum terutama jalan, selain jalan utama Samarang-Pasirwangi (Darajat), sebagian berada dalam kondisi baik, dan sebagian lagi belum diaspal dan diperkeras. Khususnya jalan-jalan dan gang-gang di lingkungan warga, serta gorong-gorong dan selokan. Kebutuhan akan air bersih nampaknya mendesak bagi warga Desa Karyamekar, terutama di masa kemarau. 4. Potensi Ekonomi Potensi perkonomian yang terdapat Desa Karyamekar salah satunya potensi alamnya. Potensi yang paling menonjol jika dibandingkan dengan desa-desa lain di kecamatan Pasirwangi adalah potensi air panas. Uap panas alami terdapat di 4 (empat) lokasi di desa Karyamekar, sehingga tidak mengherankan jika di desa Karyamekar ini banyak terdapat kolam pemandian air panas, sebagai potensi wisata. Selain itu juga terdapat potensi pertanian, khususnya tanaman palawija. Desa Karyamekar, juga merupakan salah satu yang lokasinya berdekatan dengan hutan lindung. 118 Tabel 19. N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jenis Sumber Daya Alam Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Jenis Tanah Carik Desa Batu alam/Batu Kali Bambu Lahan Pekarangan masih luas Tanah Sawah Tanah Pertanian/Darat Palawija Tanah Hibah Masyarakat Sumber Mata Air Hutan Negara & Hutan Lindung Saluran irigasi/Sungai Kolam Danau Sumber Gas /Uap Panas Sumber Mata air hangat Jumlah/Luas 3,75 Ha 4 lokasi 2,5 Ha 168,58 Ha 1,5 Ha 98,50 Ha 10,72 Ha 2,4 Ha 7 Lokasi 188 Ha Lokasi Menyebar Menyebar Menyebar Menyebar Kp. Ciherang Menyebar Menyebar Menyebar Menyebar Hutan pangkuan 3 Lokasi Menyebar 10 Lokasi Menyebar 1 Lokasi Wilayah darajat 4 Lokasi Menyebar 1 Lokasi Kp. Cihaneut Rw 04 Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012 Karunia kekayaan potensi alam yang terdapat di desa Karyamekar tersebut harus kesejahteraan dapat warga dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk masyarakatnya. Sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat setempat, tersebut bukan berarti merusak potensi alam tersebut, itu artinya tidak mensyukuri karunia alam yang mereka peroleh. Tetapi masyarakat, pemerintah dan perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut, secara secara bijak 119 memelihara kondisi alam, kondisi sosial dan kondisi budaya yang menunjang pemeliharaan lingkungan tersebut. Tabel 20. No. Kegiatan Usaha Ekonomi Masyarakat Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Jenis Sarana Usaha dan jasa 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Jumlah Sarana yang ada 4 4 1 2 4 3 50 1 1 4 1 Menyebar Menyebar Kp.Kubang Menyebar Menyebar Menyebar Menyebar Kp.Darajat Kp.Kepakan Menyebar Kp.Ciherang 4 1 4 5 Menyebar Di Kp.Kepakan Menyebar Di Darajat 4 1 Menyebar Kp.Cibeureum 5 5 diDarajat diDarajat Konveksi/Tailor Bengkel SPBU Mini Warnet Toko Rumah makan/Restoran Warung kelontong Pengrajin Alat Pertanian Pangkalan Ojek Bengkel/Tambal ban Pengrajin Makanan Ringan 12. Warung Baso 13. Toko Obat/alat Pertanian 14. Counter Hp/Pulsa 15. Kolam Renang/Water Boom 16. Penjahit 17. Sewa alat Musik/Dangdut Live 18. Sewa Penginapan 19. Pariwisata Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012 Lokasi Selain usaha dan jasa yang dikembangkan berdasarkan potensi alam yang terdapat di desa Karyamekar, masyarakat juga mengembangkan kegiatan usaha ekonomi lainnya. Terdapat 19 jenis 120 kegiatan usaha yang terdapat di desa Karyamekar, baik usaha jasa, perdagangan, restoran maupun wisata. Perkembangan jenis usaha tersebut seiring pula dengan meningkat potensi wisata di desa Karyamekar serta interaksi yang terjadi antara masyarakat lokal dengan para pendatang atau wisatawan. Selain potensi usaha jasa dan perdagangan di desa Karyamekar, kepemilikan hewan ternak juga merupakan potensi usaha yang dapat dikembangkan oleh masyarakat lokal. Berdasarkan data, terdapat 4 jenis hewan ternak yang dipelihara oleh penduduk desa Karyamekar. Domba merupakan hewan ternak yang paling banyak dipelihara oleh penduduk desa Karyamekar, dan lokasinya menyebar di setiap dusun, RW dan RT. Berbeda dengan kepemilikan ternak ‘itik’ yang hanya terpusat di kampung Kepakan. Tabel 21. N0 1 2 3 4 Kepemilikan Ternak oleh Masyarakat Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Jenis Kepemilikan Ternak Ayam Kampung Domba Kelinci Entog (itik) Jumlah Ternak yang dimiliki 230 ekor 420 ekor 5 ekor 70 ekor Lokasi Menyebar Menyebar Kp.Sukalaksa Kp.Kepakan Rt 01/02 725 ekor JUMLAH Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012 Kepemilikan hewan ternak yang menyebar tersebut, seperti ternak domba dan ayam kampung, dapat diartikan bahwa masyarakat telah terbiasa mengelola dan memelihara hewan ternak tersebut. Hal ini 121 merupakan potensi yang dapat dikembangkan lebih lanjut, khususnya berkaitan inovasi pemasaran dan diversifikasi kegiatan yang dapat dimunculkan dari kegiatan beternak tersebut. Apakah akan dikembangkan menjadi hewan potong, pedaging atau pemuliaan ternak yang jalur pemasarannya dapat dibangun dengan rumah-rumah makan di sekitar kecamatan Pasirwangi atau rumah makan dan restoran yang ada di kabupaten Garut atau daerah lainnya. 5. Sarana Agama, Seni dan Budaya Di desa Karyamekar tidak ditemui fasilitas keagamaan lain selain Islam, sebagaimana terlihat dalam tabel 22. Keberadaan sarana ibadah tersebut tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan kecukupan menampung jamaah di desa Karyamekar. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa mayoritas penduduk desa Karyamekar adalah beragama Islam. Tabel 22. Sarana Keagamaan (Islam) Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Jumlah unit Sarana yang ada 1 Mesjid Jami 9 2 Mushola/Langgar 24 3 Pondok Pesantren 1 4 Madrasah 9 JUMLAH 43 Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012 N0 Jenis Sarana Keagamaan Lokasi di Rw 01 s/d 06 di Rw 01 s/d 06 di Rw 03 di Rw 01 s/d 06 Selain sarana ibadah, di desa Karyamekar terdapat pula sarana kegiatan rekreatif dan olah raga. Sarana olah raga yang tersedia di desa Karyamekar antara lain lapangan sepak bola, bola volley, bulu tangkis, 122 serta kolam renang. Tersedianya kolam renang tidak terlepas dari keberadaan kolam-kolam air hangat di tempat-tempat wisata. Keberadaan kolam-kolam tersebut merupakan kondisi tersendiri, yang jarang dimiliki oleh desa-desa lain di kecamatan Pasirwangi. Keberadaan sarana olah raga sangat diperlukan bagi warga yang ingin berolah raga, atau sekedar menyalurkan bakatnya, atau juga sebagai kegiatan rekreatif. Para pemuda dapat mengisi waktu luang mereka dengan melakukan aktifitas yang bermanfaat, salah satunya melalui kegiatan olah raga. Tabel 23. N0 1 2 Sarana Olah Raga di Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Jenis Sarana Olah Raga Jumlah Sarana yang ada 1 5 Lapangan Sepak Bola Kolam Renang/ berendam 3 Lapangan Bola Volly 1 4 Lapangan Bulu 2 Tangkis 9 JUMLAH Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012 Lokasi Kp.Kepakan di Darajat Kp.Kepakan Kp.Kepakan Selain mengisi kegiatan dengan berolah raga, warga masyarakat pun dapat menyalurkan kegiatan bermanfaat lainnya dalam bidang seni dan budaya. Di desa Karyamekar terdapat beberapa kelompok seni dan budaya, seperti seni dogdog, bela diri pencak silat, qosidah, dangdut, atau group band. Keikutsertaan warga masyarakat dalam kelompok seni tradisional seperti seni dogdog dan seni bela diri pencak silat, merupakan salah satu upaya dari pemeliharaan budaya tradisional. 123 Tabel 24. N0 1. 2. 3. 4. 5. Kelompok Kesenian dan Budaya di Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Jumlah kelompok Jenis Kesenian/Budaya Kesenian yang ada Dogdog 1 Pencak Silat 1 Qosidahan 3 Dangdung Live 1 Band 3 9 JUMLAH Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012 Selain seni tradisonal, terdapat juga beberapa seni kontemporer seperti misalnya group-group band atau group musik dangdut di desa Karyamekar. Semua jenis kesenian tersebut merupakan saluran minat dan bakat bagi warga masyarakat, untuk melepas ketegangan dari aktivitas pekerjaan sehari-hari. 6. Kelembagaan dan Organisasi Tingkat Desa Karyamekar Selain struktur formal pemerintahan desa, terdapat pula organisasi-organisasi yang bersifat semi informal dan informal, yang dibentuk oleh tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Bahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari organisasi-organisasi inilah yang seringkali menjadi ujung tombak pelayanan kepada masyarakat secara langsung. 124 Tabel 25. N0 Kelembagaan dan Organisasi di Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Jenis Organisasi/Kelembagaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. BPD LPM MUI PKK dan Kader PKK Linmas Posyandu Kelompok Tani DKM Yayasan Organisasi Olah Raga Rukun Tetangga (RT) Rukun Warga (RW) Partai Politik Kelompok Simpan Pinjam Perempuan 15. Remaja Mesjid (IRMA) Sumber: Profil Desa Karyamekar, 2012 Desa Jumlah Anggota/ Lembaga 5 6 5 18 12 6 2 9 2 5 32 6 5 5 3 Namun demikian tidak semua organisasi sosial tersebut aktif, sehingga dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat. Beberapa organisasi tersebut hanya akan aktif pada saat tertentu saja ketika dibutuhkan, atau hanya hadir sebagai pelengkap saja. Keberadaan organisasi sosial di Desa Karyamekar tersebut dharapkan dapat menjadi saluran aspirasi dan media pelayanan bagi warga masyarakat. 7. Isyu dan Kebutuhan Pembangunan Desa di Karyamekar Berdasarkan penjaringan masalah yang dilakukan di setiap dusun terdapat isyu dan masalah yang akan menjadi prioritas pelaksanaan pembangunan desa tahun yang dimulai dari Tahun 2011 – 125 2015. Sejumlah isyu dan permasalahan tersebut terangkum dari hasil data lapangan sebagai berikut:  Isyu permasalahaan pendidikan yang dihadapi oleh desa Karyamekar antara lain sarana PAUD, SD, dan perpustakaan di Madrasah. Ruang guru yang belum tersedia di beberapa sekolah, sarana MCK sekolah, ruang laboratorium sekolah, masih banyaknya anak yang putus sekolah, kesejahteraan guru ngaji.  Isyu yang berkait dengan masalah kesehatan antara lain di sejumlah RW belum tersedia Posyandu, desa belum memiliki ambulan desa, 40% warga belum memiliki MCK, kesadaran dan perilaku warga masyarakat akan kebersihan masih rendah, belum tersedia tempat pembuangan sampah sementara (TPS), warga rentan terhadap penyebaran penyakit menular, kader-kader PKK dan Posyandu masih kurang, jaminan kesehatan keluarga miskin belum tersedia, tenaga medis dan kesehatan desa belum tersedia.  Isyu berkaitan dengan infrastruktur atau pembangunan fisik, antara lain perbaikan dan pembangunan jalan di setiap kampung, saluran drainase, saluran kirmier, bahu jalan, pipanisasi untuk kebutuhan sarana air bersih, sarana gedung serba guna desa.  Isyu yang berkait dengan lingkungan hidup, masyarakat masih kesulitan memperoleh air bersih (terutama saat kemarau), tempat pembuangan sampah sementara belum tersedia, 20% rumah warga tidak layak huni, pemanfaatan halaman rumah untuk apotik dan warung hidup masih minim, saluran pembuangan air kotor.  Isyu yang berkait dengan persoalan sosial, dan budaya antara lain IPM (indeks pembangunan manusia) masih rendah, kemampuan dan kompetensi petani masih rendah, banyak angkatan kerja yang 126 belum memiliki keahlian (sekitar 40% usia produktif belum bekerja), sarana pendukung pertanian masih kurang (termasuk bibit pertanian), terdapat sejumlah kelompok kesenian yang belum terbina, karang taruna belum berjalan, beberapa sarana kegiatan kepemudaan dan olah raga belum tersedia.  Isyu perekonomian lain dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) antara lain, para pelaku usaha kecil masih memerlukan modal, peternak domba (400 ekor) memerlukan dukungan pengadaan bibit, kolam ikan air tawar (30 kolam) belum digarap secara maksimal, industri rumah tangga (pembuatan kripik) butuh modal, pengusaha konveksi (jahit) butuh modal, tidak terdapat sentra kerajinan dan makanan khas desa, masih beredarnya tengkulak. (Sumber: diolah Profil Desa Karyamekar, 2012) Secara umum kebijakan pembangunan di Desa Karyamekar mengacu pada terwujudnya desa yang maju sesuai yang dicita – citakan dalam Visi Desa Karyamekar. Dengan mengarah pada dapat terakomodasinya kepentingan masyarakat secara umum, dengan berazaskan pada kemanfaatan, keadilan, pemerataan, untuk mendorong tumbuhnya pembangunan masyarakat yang partisipatif, berkelanjutan, transparan dan akuntabel. Adapun arah Kebijakan Pembangunan Desa Karyamekar pada dasarnya meskipun Kepala Desa berganti setiap masa jabatannya,tetap mengarah ke satu hal yaitu mewujudkan sumber daya manusia berkualitas yang mampu membangun desanya. Dengan didorong oleh potensi pendidikan dan kesehatan sebagai sektor sesuai arah misinya di Desa Karyamekar dengan tanpa mengabaikan sektor lainnya, 127 pemerintah desa, tokoh masyarakat, instansi terkait serta seluruh lapisan masyarakat, berusaha menjadikan sektor ini sebagai ”sarana” untuk memulai dan menuju ”proses/ tahapan” menuju visi desa Tentu hal ini harus diimbangi serta didukung pula oleh pembangunan sektor lain (keagamaan, kesehatan, sarana/prasarana) serta penataan kelembagaan yang profesional dan amanah. Dengan ini diharapkan dapat memicu reaksi-berantai, dengan dimulai dari perubahan paradigma pembangunan masyarakat dengan berorientasi pada kemandirian (pembangunan yang partisipatif), dengan ditunjang dari tersedianya sarana/prasarana umum (sekolah, madrasah, jalan lingkungan, jalan desa, saluran air, perpipaan, penerangan umum /listrik). Serta dengan kapasitas dan kualitas kesejahteraan masyarakat yang terus ditingkatkan (sarana kesehatan: penyediaan air, kebersihan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan masyarakat), selanjutnya adalah ketersediaan kebutuhan pokok (pangan dan bahan pangan) yang memadai khususnya untuk warga Desa Karyamekar. Dengan ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya SDM yang memadai untuk peningkatan berbagai sektor, terutama diharapkan dapat tumbuhnya usaha ekonomi produktif (di bidang perdagangan dan pertanian), serta adanya ketersediaan lapangan pekerjaan yang terbuka. Untuk pemilihan skala prioritas tahapan pelaksanaan pembangunan, mengacu pada beberapa pertimbangan, antara lain: (1). Dapat memberikan dampak langsung / tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan (2). Memiliki potensi untuk dapat ditangani dalam waktu dekat ini (ada dananya, atau mendesak karena bencana, atau lainnya) 128 (3). Partisipasi serta kepedulian warga setempat (4). Rasa Perikemanusiaan, Keadilan serta Pemerataan Setelah diketahui serta dirumuskannya tujuan/arah pembangunan desa, maka melalui potensi yang tersedia, diharapkan masalah yang muncul dapat ditangani serta ditemukan solusinya. Untuk menuju ke arah tersebut diperlukan usaha–usaha yang sistematis dengan tahapan perencanaan yang matang. Berikut beberapa hal yang menjadi strategi pencapaian rencana pembangunan Desa Karyamekar antara lain : 1. Mengenali kebutuhan masyarakat, serta keberpihakan pada Masyarakat. Peran Tokoh masyarakat, Tokoh agama, RT, RW, serta lainnya sebagai Figur dan/atau pemimpin masa yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, dapat menjadi jembatan untuk menghimpun aspirasi yang berkembang di masyarakat serta mensosialisasikan rencana-rencana pembangunan. 2. Pembangunan Partisipatif. Semua komponen berperan aktif, dalam tahapan perencanaan pembangunan serta proses pelaksanaan pembangunan di wilayah desa, baik sebagai pelaku ataupun pemantau dari pelaksanaan kegiatan tersebut. 3. Pemerintahan yang Amanah. Menyediakan informasi tentang perencanaan, proses serta hasil pembangunan desa secara tranparan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pembangunan desa. 129 4. Kesadaran masyarakat, bahwa pembangunan desa ini adalah membutuhkan waktu,penunjang dan proses. 5. Terbukanya kesempatan bagi penyediaan kader penggerak pembangunan desa. Secara Umum program pembangunan direncanakan serta dikembangkan dalam 5 (lima) tahun, meliputi bidang-bidang : 1. Bidang Keagamaan meliputi pembangunan serta perbaikan sarana/prasarana ibadah masyarakat berupa bangunan serta melengkapi perlengkapan pendukung kegiatan keagamaan 2. Bidang Kesehatan meliputi pembangunan sarana prasarana air bersih, Peningkatan/Pelestarian MCK, Penyediaan gedung posyandu, pelayananan kesehatan ibu dan anak, kesehatan lingkungan, serta Pelayanan kesehatan Masyarakat (terutama pada Rumah Tangga Miskin) 3. Bidang Pendidikan meliputi pembangunan sarana prasarana Sekolah, kendaraan angkutan khusus anak sekolah, pembangunan madrasah dan pendidikan non fisik seperti pelatihan-pelatihan masyarakat. 4. Bidang Ekonomi meliputi Permodalan usaha(UKM), Pembinaan Usaha Kecil, Koperasi. 5. Bidang Sarana Prasarana Umum meliputi sarana prasarana mobilitas lingkungan, warga, sarana Drainase), prasarana TPT/Kirmir, Pemukiman (jalan-jalan pembangunan sarana prasarana olah raga. 6. Bidang Kelembagaan meliputi Penguatan dan pembinaan lembagalembaga, sarana perkantoran yang represenntatif untuk lembaga. 130 7. Pembenahan jalan dan pelebaran jalan utama Pasirwangi, untuk mengantisipasi kemacetan yang terjadi setiap liburan ke daerah wisata kolam air panas. Secara historis mengenai pembangunan desa Karyamekar dapat dilacak berdasarkan data sejarah pembangunan yang pernah dilakukan oleh desa beserta pihak-pihak yang membantu proses bantuan tersebut. Dalam tabel 26 terlihat secara kronologis pembangunan desa, khususnya sejak hadirnya perusahaan Geothermal di wilayah mereka. Tabel 26. Catatan Pembangunan Desa Karyamekar Pasirwangi, dengan dukungan dari Chevron Tahun Peristiwa Pembangunan (1) (2) 2001 kecamatan Pelatihan Las, Mesin Jahit, Tata Boga pembuatan Saos Tomat Oleh PKK dari Balai Latihan Kerja (Dinas BLK) bekerjasama dengan Chevron 2004 Pembangunan MCK di Kp. Bedeng,Kp. Babakan Falah,Kp.Cibeureum Kp. Kepakan Rt 01/01 Dan Kp. Kepakan Rt 02/01 merupkan Program bantuan dari Chevron Geotermal Indonesia 2009 Bantuan ternak Domba dari Chevron ke kelompok ternak Kp. Bedeng Rt 09 Rw 02 2011 Pelaksanaan Kegiatan perlombaan Penghijauan Penanaman sejuta Pohon di Kawasan Hutan Darajat yang Diselenggarankan Oleh Bupati Garut dan Chevron. 2011 Pembangunan Rambat Beton Jalan Lingkungan di Kp. Kepakan RW 01 bantuan dari Chevron. 2011 Pembangunan Saluran air dengan Gorong-gorong saluran Air Kp. Cibeureum Rt 03 Rw 03 bantuan dari Chevron. Sumber: Diolah data Desa Karyamekar, 2012 131 Dalam tabel tersebut nampak bahwa keterlibatan pihak perusahaan Geothermal dalam proses pembangunan di desa Karyamekar hanya tercatat di tahun 2001 satu kegiatan, tahun 2004 satu kegiatan, tahun 2009 satu kegiatan dan tahun 2011 tiga kegiatan. Data tersebut menunjukkan fluktuasi relasi yang terjadi antara masyarakat Desa Karyamekar dengan pihak PT. Chevron. Data dalam tabel 26 menunjukkan pula bagaimana pemahaman agen (PT. CGI) dalam melihat potensi sosial-ekonomi, yang kemudian direspon dengan kegiatan CSR yang mereka lakukan. Nampak terlihat dalam data sekunder tersebut, program CSR yang dilakukan oleh PT. CGI, cenderung dilakukan secara sepihak, artinya lebih banyak didasarkan pemahaman pihak perusahaan. Sehingga program-program CSR yang dilaksanakan belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta tidak melibatkan masyarakat secara penuh. C. PT. Chevron Geothermal Indonesia (CGI) Chevron Geothermal Indonesia, Ltd. merupakan bagian Chevron IndoAsia Bussines Unit, sebagai anak perusahaan yang berkantor di San Ramon, California. Chevron terus berusaha mengembangkan sumber-sumber energi yang dapat membantu masa depan dengan ketahanan energi yang kuat dan terdiversifikasi. Salah satu sumber energi terbarukan yang dikembangkan adalah energi listrik tenaga panas bumi (geothermal). Hingga saat ini Chevron merupakan produsen energi listrik tenaga panas bumi terbesar di dunia. Tahun 2007, proyek Geothermal Darajat III yang dikembangkan di bawah kontrak dengan Pertamina dan PLN 132 (Perusahaan Listrik Negara) di Jawa Barat terdaftar dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) Protokol Kyoto. Chevron Geothermal Indonesia, Ltd. yang ada Garut adalah bagian dari Chevron yang awalnya dikelola oleh Amoseas Indonesia. CGI merupakan sebuah perusahaan swasta asing yang bergerak dalam usaha penyedia pasokan energi yang berasal dari panas bumi. CGI sebagai perusahaan multinasional membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di kawah Darajat, Kabupaten Garut. Di Indonesia sendiri, dua proyek geothermal Chevron di Salak dan Darajat, Jawa Barat, menghasilkan 636 megawatt listrik. Jumlah tersebut mewakili lebih dari 50% persen total produksi listrik dari energi panas nasional yang dapat memenuhi kebutuhan listrik untuk 3,9 juta rumah serta mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sampai saat ini CGI sudah membangun tiga Unit PLTP, yakni Darajat I, II, dan III. Potensi Geothermal yang telah dimanfaatkan oleh ketiga unit pembangkit itu mencapai 259 MW (Megawatt). Pada tahun 2009, Darajat III menerima Sertifikat Pengurangan Emisi (Certified Emission Reduction) perdana dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pencapaian ini membuktikan komitmen Chevron dan Indonesia untuk mengembangkan sumber energi terbarukan. Sebagai sebuah perusahaan yang bersifat ekstraktif, yaitu bergerak dalam eksplorasi alam khususnya pengelolaan panas bumi. Kegiatan dan pengelolaan panas bumi yang dilakukan oleh CGI terdiri dari beberapa tahapan yang semuanya dapat menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif bagi lingkungan sekitarnya. Dalam sub bab berikutnya akan dikemukakan data mengenai pandangan agen (masyarakat lokal dan perusahaan) sebagai pelaku 133 praktik sosial, dalam memahami masing-masing agen dan struktur (kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan) sebagai aturan dan sumber daya (Giddens, 2011). Kemudian sub bab berikutnya akan dikemukakan dinamika relasi antara agen-struktur---yaitu masyarakat lokal dan perusahaan dengan kegiatan CSR---dalam dimensi signifikansi, dominasi dan legitimasi akan program CSR. Kesadaran para agen (masyarakat lokal dan perusahaan) merupakan dasar untuk melakukan praktik sosial (tindakan sosial dan interaksi sosial), sebab agen harus mengetahui apa yang ia kerjakan, meskipun pengetahuan tersebut dapat diucapkan secara verbal atau pun tidak terucapkan (Prayogo, 2011; Giddens, 2009, 2011). Relasi yang dibangun melalui kegiatan CSR oleh PT. CGI di Garut secara umumnya dilakukan, hal tersebut contohnya dari bantuan pengadaan sarana kesehatan melalui Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Garut. Namun kegiatan CSR yang dilakukan oleh PT. CGI secara khusus lebih cenderung merupakan respon terhadap wilayahwilayah terdekat dengan lokasi operasional perusahaan CGI. Beberapa kecamatan yang paling berdekatan antara lain adalah Kecamatan Samarang, Kecamatan Sukaresmi dan Kecamatan Pasirwangi. Kecamatan Pasirwangi merupakan lokasi utama dari operasional PT. CGI, dan terutama desa Karyamekar merupakan desa dimana secara administratif perusahaan tersebut berada. Sehingga merupakan yang hal yang wajar apabila, dinamika relasi yang terjadi antara masyarakat lokal dengan perusahaan akan terjadi lebih sering. 134 BAB IV PANDANGAN MASYARAKAT LOKAL AKAN PERUSAHAAN DAN KEGIATAN CSR Bagian ini menggambarkan kesadaran atau pemahaman masyarakat lokal akan kehadiran dan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan PT. Pemahaman masyarakat lokal di sini merupakan refleksi (kesadaran) mereka terhadap dimensi-dimensi struktur yaitu dominasi, legitimasi dan signifikansi dari kehadiran perusahaan dan tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan oleh PT. CGI. Tujuan dari ini penyajian data ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kesadaran masyarakat lokal sebagai salah satu agen memandang struktur (CSR) serta agen (perusahaan) lainnya. A. Pandangan Masyarakat Lokal akan Kehadiran PT. Chevron Geothermal Indonesia (PT. CGI) Dalam bagian ini akan dikemukakan hasil penelitian mengenai pengetahuan masyarakat lokal mengenai perusahaan, inisiatif, pandangan masyarakat lokal akan keberadaan perusahaan, dan inisiatif masyarakat lokal membangun relasi dengan perusahaan, serta alasan masyarakat lokal melakukan aksi kepada PT. CGI. 135 1. Pengetahuan Masyarakat Lokal mengenai PT. CGI Beberapa informan baik warga biasa maupun tokoh informal masyarakat mengenal PT. CGI sebagai perusahaan gas. Sedangkan informan yang berkecimpung di pemerintahan desa atau kecamatan mengenai PT. CGI sebagai perusahaan yang bergerak di bidang penghasil listrik yang dihasilkan memanfaatkan tenaga pas bumi. Bahkan terdapat informan yang mampu menjelaskan secara detail mengenai cara kerja tenaga panas bumi ini menjadi listrik seperti dikemukakan oleh salah seorang tokoh masyarakat, bahwa “Chevron bergerak di bidang listrik, Chevron itu sebetulnya memanfaatkan gas bumi panas bumi lebih tepatnya melalui perantaraan sumur bor, jadi gini panas bumi itu gak kaya minyak yah kalau panas bumi kalau masih aktif kan panas kalau minyak 25 tahun atau 30 tahun habis kalau panas bumi mah kalau gas alamnya masih aktif nya teras weeee,” (TM 1). Pengetahuan masyarakat lokal mengenai perusahaan besar di suatu daerah adalah penting dan diperlukan untuk melihat gambaran pemahaman masyarakat lokal atas perusahaan tersebut. Sedangkan mengenai kepemilikan PT. CGI, tidak semua informan mengetahui atau bahkan tidak peduli mengenai status kepemilikan perusahaan tersebut. Sebagian informan menyebutkan bahwa orang Indonesia asli yang memiliki PT. CGI, sebagian lagi mengatakan orang Amerika yang memiliki perusahaan tersebut. Beberapa informan bahkan tidak mengetahui status kepemilikan serta sejak tahun berapa PT. CGI ada di daerah tersebut. Status kepemilikian tersebut nampaknya bukan sesuatu yang penting untuk dipikirkan oleh para infoman. Bagi ada informan yang menganggap PT. CGI sebagai aset negara, sebagaimana dinyatakan sebagai berikut: 136 “..saya gak tau Chevron disini dari tahun berapa pastinya, untuk pemiliknya ga tau, yang jelas mah orang Amerika katanya. Saya belum tahu benar-benar apa milik negara apa milik asing, tapi sok dicaritakeun kieu “ieu teh aset negara” ya namanya saya bodoh... ya taunya yang punya orang Amerika aja. ....ya yang usaha di bidang PLTU (tenaga uap) ya pengeboran cari sumur buat geothermal seperti itu lah (TM 3). Pengetahuan yang tertanam dan berkembang di dalam benak para informan tersebut sedikit banyak mempengaruhi cenderung berperilaku dan bersikap mereka atau upaya respon (sikap) para informan kepada perusahaan tersebut. Bahkan beberapa warga masyarakat lokal Desa Karyamekar mengetahui secara detail asal mula kepemilikan PT. CGI. Walaupun mereka sendiri memperoleh informasi tersebut tidak secara langsung dari pihak PT. CGI, tetapi mereka memperoleh informasi tersebut dari mulut ke mulut warga lainnya. Mereka mengetahui bahwa PT Amoseas adalah pengelolan sebelum beralih ke PT. Chevron Geothermal Indonesia sebagai pengelola di Darajat. Prayogo (2008: 68-69) menunjukkan bahwa karakteristik lokal yang berkaitan dengan organisasi lokal dan budaya lokal merupakan variabel penting yang harus diperhatikan dalam konteks relasi masyarakat lokal dengan industri ekstraktif. Lebih jauh Prayogo (2011, 150) menyebutkan bahwa substansi pokok berkaitan dengan relasi antar pemangku kepentingan berkenaan dengan konsep kepentingan, otoritas dan power, sumber daya, akses informasi dan kontrol. Dalam konsepsi strukturasi Giddens (2009, 2010) substansi tersebut dengan struktur, yang terdiri dari dominasi, signifikansi dan legitimasi. 137 2. Pandangan Masyarakat Lokal akan Keberadaan PT. Chevron Geothermal Indonesia Kehadiran peusahan besar berteknologi tinggi ditengah-tengah masyarakat seringkali menimbulkan pro dan kontra bagi mereka. Bagi masyarakat yang pro atau mendukung terhadap kehadiran PT. CGI, karena kehadiran tersebut membawa dampak positif menurut mereka. Sedangkan mereka yang kontra, mereka menganggap kehadiran tersebut membawa dampak negatif. Pada beberapa informan yang melihat kehadiran PT. CGI secara positif, sebagian melihat banyaknya bantuan yang diberikan oleh perusahaan kepada warga sekitar. Bantuan yang paling dirasakan sangat bermanfaat adalah pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan gorong-gorong. Khusus mengenai pembangunan jalan dari PT. CGI, hampir semua informan bersikap positif. Mulusnya jalan mendukung mobilitas kegiatan ekonomi masyarakat lokal, yang sebagian besar adalah petani sayur. Waktu tempuh untuk mengirim sayuran untuk dijual ke pasar menjadi lebih cepat. Sebagaimana pendapat dari salah seorang informan, bahwa: “Pendapat bapak mah alhamdulilah dengan adanya Chevron teh jalan-jalan terutama lingkungan-lingkungan diantara masyarakat teh alhamdulillah ku Chevron ka bantos, pami ngabangun jalan, irigasi, air bersih pami ku swadaya mah moal kadugi, tapi ku Chevron mah alhamdulillah kebijakan Chevron teh karaos ku bapak. Bapak ngan saukur ngajengkeun terutama nampi, pami masalah pembiayaan mah teu terang nu didamel teu terang upah tah kitu diantarana mah biaya secara globalna mah teu terang” (TM). 138 Bahkan berdasarkan informasi informan, setiap tahunnya selalu dilakukan perbaikan jalan atas sumbangan Chevron. Perbaikan jalan ini dimuali dari jalur masuk dari arah Tarogong --kecamatan Samarang--kecamatan Pasirwangi menuju lokasi PT. CGI. Dengan demikian jalur ini juga penting bagi mobilitas kepentingan perusahaan tersebut. Namun jika diperhatikan secara seksama tidak semua jalan di desa-desa di Kecamatan Pasirwangi dilakukan perbaikan oleh PT. CGI. Terutama desa-desa yang lokasinya agak jauh terpencil dan tidak dilalui jalur utama menuju PT. CGI, mereka jarang memperoleh bantuan. Sedangkan pada warga yang berpandangan negatif, menurut informan antara lain mereka khawatir dengan kebocoran gas, dan tenaga kerja lokal yang masih jarang dipekerjakan oleh PT. CGI. Pihak perusahan kurang terbuka untuk memberikan informasi kebutuhan tenaga kerja. Bahkan pada sebagian warga masyarakat, mereka memandang PT. CGI telah mengeksploitasi sumber daya alam milik mereka. Mereka merasa, masyarakat tidak pernah diberi informasi berkaitan dengan eksploitasi, mereka tidak diberi tahu sampai kapan periodesasi kontrak PT. CGI, dan ketiga berkaitan dengan hutan di Darajat Pass yang semakin gundul. Tidak banyak warga masyarakat lokal yang dapat menanami hutan, karena lahan hutan sudah diambil alih oleh PT. CGI. Menurut mereka masyarakat membutuhkan 3 (tiga) hal pertama, persoalan ekonomi, kedua masalah infrastruktur, dan ketiga adalah masalah pendidikan. Tetapi masyarakat merasa tidak berdaya, karena sumberdaya alam, menurut mereka, terus dikeruk; sementara pemerintah setempat pun seolah tutup mata. 139 Sebagian masyarakat mengetahui pemilik PT. CGI adalah pihak asing, yaitu Amerika yang kemudian dikaitkan dengan Yahudi. Sehingga muncul sentimen di kalangan sebagian warga keinginan untuk menasionalisasi kepemilikan PT. CGI. Tentang pengalihan kepemilikan tersebut, bagi sebagian warga seringkali dikaitkan dengan kehadiran PT. CGI yang belum mampu memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Bahkan pada sebagian warga yang dahulu memiliki lahan, bahwa mereka dipaksa untuk menjual tanah mereka dengan harga murah kepada Pertamina pada era tahun 1982-an. Sebagaimana dikemukakan oleh informan berikut ini: “...(tahun) ’82. Jadi eta teh pertama-tamana tanah masyarakat, ngan eta teh tanah paksa tea, jual paksa ke pertamina, mulamulana mah. Kahoyong masyarakat mah jadi eta teh hoyong sapartos sewa lahan. Ayeuna aya perkembangan, Chevron, jadi perkembangan deui naik deui, sewaan. Ternyata-nyata pemerintah itu gabung dengan tokoh-tokoh yang terkaya di Kepakan, seperti Pak Maman, dulu-dulunya. Jadi, dipaksa dijual-belikan kitu. Jadi per meter 7.000 (Rupiah). Ti payun teh per meter kana leuweung ti payun. Tah ari jadi ka hoyong ku abdi mah jadi hoyong sewa lahan kitu. Jadi, nambah deui PLTU tenaga uap berkembang, jadi berkembang deui, jadi ka anak incu teh kabagian. Jadi lamun dijual beli keun mah, ka anak incu mah, ka anu bungsu-bungsu na, bontot-bontot na teu kabagian kitu. Jadi anu ageng na hungkul ka tuang teh. Tah ayeuna mah jadi sisa, anu jadi kanyeuri kapeurih teh iwal ku alit-alitna kitu. Tenjo ka….. jadi ka anak incu mah teu turunmenurun. Jadi tanah paksa tadi na mah, kedah dipaksa ku tokoh-tokoh na. jadi atos ageng tea penggusuran kitu. Disuhunkeun 20 ge permeter ti payun ge henteu iyeu, 7.000 eta teh permeter! Da Jadi 150 tumbak naming kabagian artos abdi teh 45 juta. Nuju SMP abdi oge eta teh. Ayeuna teh anu meserna pertamina (kebelakang), (sekarang) Chevron anu meserna. Anu ngelolana. Ti payun mah Pertamina, anu mulamulana. (WM 2). 140 Berdasarkan pernyataan tersebut nampak bahwa ada pengalaman negatif yang mempengaruhi pandangan mereka menjadi pandangan negatif terhadap keberadaan perusahaan di daerah mereka. Suatu persepsi yang muncul dengan tidak tiba-tiba, tetapi suatu persepsi negatif yang terpelihara seiring perjalanan waktu, hingga saat ini. Persepsi negatif ini merupakan gejolak masyarakat yang bersifat laten, dan tidak muncul ke permukaan. Apabila PT. CGI dan pemerintah lokal, pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak mampu mengelola konflik laten tersebut, maka dikhawatirkan situasi tersebut akan muncul menjadi konflik yang manifes. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, bahwa: “sebenernya mah masyarakat mah pingin nasionalisasi lah. Jadi perusahaan asing ke (ber)alih... sebenernya nunggu waktu lah, sebenernya gerakan itu pasti ada, tapi kan masih menunggu waktu. Jadi keinginan masyarakat pingin nasionalisasi, jadi pengelola Pertamina gitu. Karena sulit gitu kalo dengan perusahaan asing mah.” (TP 1). Sebagian masyarakat lokal yang memandang kehadiran PT. CGI sebagai sesuatu yang kontradiktif. Masyarakat lokal memahami bahwa pendapatan yang diperoleh PT. Chevron adalah triliunan, sangat kontradiktif dengan kondisi masyarakat sekitarnya. Bahkan muncul nada sarkastik dari sebagian warga yang menyatakan kehadiran PT. CGI sebagai mengerikan, sehingga masyarakat selalu was-was jika suatu saat terjadi bencana. “ya itu pernyataan sikap masyarakat mah, karena itu tanah kami, itu sumber daya alam kami, maka kembalikan lagi kepada kami. Terkait dengan masalah pengelolaan, ya silahkan mau 141 dikelola. Tapi masyarakat juga harus menikmati. Jangan hasil buminya dikeruk semua, diambil gitu harta kekayaannya, masyarakat dibiarkan.” (TP 1) Pada sebagian masyarakat, mereka memahami kalau seandainya banyak bantuan yang diberikan di desa-desa wilayah Kecamatan Pasirwangi, daripada daerah lainnya di wilayah Kabupaten Garut. Desa-desa yang berdekatan dengan lokasi operasional PT. CGI masuk dalam wilayah Ring 1, sedangkan Kecamatan Samarang masuk wilayah Ring 3. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, mengenai kehadian PT. CGI, bahwa: “...sangat mendukung sekali, boleh dikatakan undang-undang ya? Sekarang dengan adanya undang-undang nomer 33 tentang perimbangan keuangan sudah ada ya, sudah ada pembagian hasil dari pada penghasilan pajaknya. Kalau dulu ketika belum diselesaikan itu kabupaten itu hanya “to” menerima itu “DAPU” penghasilan yang dikelola oleh Chevron sendiri langsung ke pusat. Nah sekarang ada bagian tapi masuknya tidak ke kecamatan terdekat, tapi ke APBD kabupaten, itu di bidang keuangannya. Terus di bidang kesejahteraan masyarakatnya juga ada andil yang terdekat saat ini ada penerimaan karyawan diutamakan putra daerah dari ini (masyarakat lokal) ya tapi itu untuk pekerja kasarnya saja, kalau untuk yang ahli pastinya ya yang sudah ahli. CSR, sangat mendukung sekali wilayah yang ada disekitar Chevron terutama di wilayah Pasirwangi itu. Sangat besar program untuk ke sana, kan Pasirwangi dekat sekali dengan Chevron. Kalau Samarang ini mah katanya ring 3, kalau tidak salah ya. Da saya kan soalnya orang baru juga disini, kalau katanya mah ring satunya itu pasirwangi, ring 2 nya Sukaresmi nah Samarang ini ring 3. Sehingga sebagian besar CSRnya ada di Pasirwangi tapi di Samarang juga ada kebagian, ada pembangunan gedung SD, musholla, madrasah, sarana kesehatannya juga ada, kemudian infrastruktur jalan, ya jadi banyaklah kalau dari Chevron yang di kabupaten Garut ini mah”. (PK 3) 142 Kalau melihat pendapat dari salah satu informan di atas yang berasal dari aparat Kecamatan Samarang dapat terlihat mulai munculnya kecemburuan mengenai penyaluran program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari PT. CGI. Informan tersebut menganggap bahwa bantuan CSR dari PT. CGI lebih banyak dinikmati oleh masyarakat Kecamatan Pasirwangi. Namun demikian mereka memaklumi besarnya bantuan untuk warga di Kecamatan Pasirwangi tersebut. Karena bantuan CSR PT. CGI baik untuk infrastruktur dan non infrastruktur juga diberikan untuk kepentingan warga masyarakat di wilayah Kecamatan Samarang. Jika diperhatikan lebih seksama mengenai fokus wilayah program CSR PT. CGI, nampaknya Kecamatan Pasirwangi dan Kecamatan Samarang memperoleh perhatian lebih dari pada kecamatan lainnya di Kabupaten Garut. Isyu lain yang muncul dari kehadiran PT. CGI adalah persoalan kekhawatiran kerusakan lingkungan yang mengakibatkan menurunnya produksi lahan pertanian, serta isyu ketenagakerjaan masyarakat lokal, sebagaimana dikemukakan oleh infoman berikut ini. “secara pribadi sebagai masyarakat yang saya harapkan orang Chevron bergaul dengan masyarakat, karena yang dapet bantuan orangnya itu-itu aja,...kenapa mereka membabat hutan habis-habisan ...karena mereka kekurangan lahan yang pertama, yang kedua ...barangkali ada kan efek negatif dari gas yang dikeluarkan dari Chevron.... Dulu hutan kita ...rindangnya bukan main, dinginnya bukan main tapi sekarang malem aja udah panas, kalau dulu jam 2 siang teh udah banyak kabut dingin banget sejuk udaranya.... Sebetulnya masyarakat jangan terlalu disalahkan, kalau ada kerjasama yah ayoo, misalkan ada ajakan ayo masyarakat desa Karyamekar kerjasama gue misalkan, jangan yang kerja teh itu-itu aja harus ada rekomendasi lah harus ada ijazah lah. Masyarakat Desa 143 Karyamekar mah yang masuk Chevronnya hanya satu orang yang benar-benar kerja di Chevron.” (WM 4 & WM 5) Informan mengkaitkan isyu menurunnya kualitas lingkungan di kawasan hutan Darajat, dengan menipisnya hutan di wilayah tersebut. Perambahan hutan oleh warga tersebut karena berkurang lahan pertanian, yang sebagian besar menanam kentang. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa di sekitar puncak Darajat merupakan wilayah potensi wisata yang berkembang dengan pesat. Beberapa warga yang memiliki modal yang menginvestasikan dananya untuk membangun wisata kolam air panas. Setidaknya terdapat sekitar 10 (sepuluh) kolam air panas dengan wisata air lainnya terdapat di daerah tersebut. perkembangan tersebut diikuti dengan meningkatnya prasarana pendukung lainnya, seperti penginapan, rumah makan, serta lahan parkir (masih kurang). Namun, kebutuhan lahan untuk tersedianya prasarana wisata tersebut mendesak lahan-lahan pertanian sehingga semakin menipis. Meningkatnya jumlah sarana dan prasarana wisata merupakan pull factor sehingga menjadikan jumlah wisatawan yang datang ke lokasi tersebut terus meningkat. Menjelang libur atau hari Sabtu kepadatan pengunjung wisata ke Darajat Pasirwangi sudah terasa sejak dari pasar Samarang. Sehingga apabila sedang padat pengunjung, waktu tempuh menuju tempat wisata Darajat dari kecamatan Samarang yang seharusnya 30 menit menjadi 3 hingga 4 jam. Dalam penelitian Prayogo (2008: 72) menunjukkan bahwa relasi masyarakat dengan perusahaan yang mengarah pada konflik atau ketegangan hubungan dimulai dengan ‘rumor’ ïƒ ‘kekecewaan’ ïƒ ‘laporan’ ïƒ demo massa dengan kekerasan. Gidden (2010) 144 menyatakan bahwa agen dan struktur saling jalin-menjalin tanpa terpisahkan dalam praktik sosial manusia. Artinya dalam hal ini perusahaan dan masyarakat merupakan agen, yaitu orang-orang atau kelompok yang terus terlibat dalam arus kontinu tindakan. Sementara tindakan masyarakat dan perusahaan akan bergantung pada pemahaman (kesadaran) mereka akan struktur CSR yang mereka pahami. Perbedaan-perbedaan pemahaman antara masyarakat dan perusahaan akan CSR ini lah yang mendorong timbulnya flukutuasi dan dinamisnya hubungan antara masyarakat dengan perusahaan. 3. Inisiatif Masyarakat Lokal Membangun Relasi dengan Perusahaan Inisiatif untuk memulai hubungan antara masyarakat lokal dengan PT. CGI perlu dipahami sebagai niat baik dan upaya dari masing-masing pihak untuk membina relasi yang harmonis. Inisiatif ini seringkali dipengaruhi oleh bagaimana pandangan masing-masing pihak memaknai hubungan tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, bahwa: ”saya kira begini untuk undang-mengundang Chevron jadi kesannya kita mengemis, kasarnya begini, kalau kita berhubungan dengan Chevron kita akan diberi sumbangan.....tidak....., jadi kita udah malu sendiri gitu, sebelum mengundang kita udah malu sendiri karena udah ada hal yang seperti itu terjadi dan kalau ada undangan udah jelas minta uang takutnya seperti itu, pernah kan dulu ada sumbangan mesin jahit dari Chevron “ (WM 4 & WM 5). 145 Terdapat rasa enggan nampaknya dari masyarakat lokal untuk mengundang pihak PT. CGI dalam kegiatan yang terdapat dari masyarakat. Sehingga jarang sekali terjadi, masyarakat yang mengambil inisiatif untuk melakukan komunikasi (dalam arti formal) dengan pihak PT. CGI. Bahkan ada yang berpendapat secara terus terang bahwa masyarakat tidak mengundang tetapi yang terjadi adalah pengusulan kegiatan atau permohonan bantuan dari masyarakat. Itu pun sebenarnya merupakan inisiatif membangun hubungan, walau dalam rangka meminta bantuan. “ masyarakat mah (teu ngundang) ...paling oge pengusulan. Jadi pengusulan, ya kalau ada bantuan, minta bantuan. Kalau tidak dibantu baru turun ke jalan (demo). Sebenernya lelah, capek gitu. Sebenernya penyelesaiannya pingin ada sebuah sistem yang difasilitasi oleh pemerintah antara masyarakat dengan pihak Chevron.” (TP 1) Relasi yang dibangun antara pihak PT. CGI dengan masyarakat lokal tidak selalu dalam situasi formal saja, namun lebih banyak dilakukan secara informal. Bahkan komunikasi yang bermakna dan lebih dekat dapat dilakukan secara informal. Bagi masyarakat lokal, mengundang pihak PT. CGI jarang dilakukan. Selain hambatan psikologis, berhadapan dengan sebuah entitas perusahaan besar yang harus melalui perijinan dan resmi (jika untuk bertemu), merupakan persoalan sendiri bagi masyarakat lokal. Sedangkan pihak PT. CGI jika akan mengadakan kegiatan yang melibatkan masyarakat atau pihak pemerintah lokal selalu membuat surat undangan atau pemberitahuan. Misalkan kegiatan rutin tahunan menjelang perayaan Idul Adha, pihak PT. CGI memberikan sumbangan hewan Qurban kepada warga masyarakat. Sebagaimana pendapat salah 146 seorang pemuda di desa Karyamekar yang menjadi karyawan PT. CGI, bahwa: “Jadi gini, setiap ada kegiatan ya ada undangan resminya, biasanya bagian humasnya yang dateng itu untuk menjelaskanlah.” (TP 3) Masyarakat lokal memandang bahwa sudah sewajarnya apabila pihak PT. CGI berinisiatif membangun relasi dengan masyarakat terdekatnya, bahkan sebagian melihat sebagai kewajiban. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang aparat pemerintah lokal, bahwa: “...ya gini, itu mah kan sudah menjadi suatu kewajiban. Jadi kewajiban ada perusahaan yang besar begini harus memperhatikan wilayah yang deket itu mah sudah kewajiban, jadi ya CSR itu memang sudah harus dilakukan. Selain karena kewajiban juga karena adanya permintaan dari masyarakat. Jadi gini kan... yang namanya perusahaan itu kan... saling memerlukan dan saling membutuhkan, kalau saling menguntungkan mah bagi masyarakat mungkin tidak terlalu menguntungkan, ya karena ini kan perusahaan internasional yang adanya di pusat. Minimal ada imbasnya nih ke daerah sini, minimal kan lingkungan biar dibantu jalan, sekolah, tenaga kerja tapi ya memang yang tidak terlalu kompeten ya, tapi ada lah yang membantu ke sini yang masuk. Itu keuntungannya ada perusahaan besar di sini tu gitu, minimal sebagain besar masyarakat ada yang dibantulah gitu. (PK) Pendapat serupa dikemukakan oleh beberapa aparat pemerintah Kecamatan Pasirwangi, bahwa kegiatan tujuan PT. CGI adalah memang untuk membangun hubungan dengan masyarakat sekitar. Menurut mereka terdapat pembagian untuk program CSR di tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan. Namun sayangnya pihak kecamatan tidak diberi tahu, mereka menganggap prosesnya langsung dilakukan di tingkat desa. 147 Selain pola komunikasi formal yang dilakukan oleh PT. CGI, beberapa pegawainya, khususnya staf humas seringkali membangun hubungan secara informal dengan sejumlah tokoh masyarakat. Banyak keuntungan yang diperoleh dari pola hubungan informal tersebut. Menurut staf humas PT. CGI, seringkali informasi yang diperoleh melalui situasi tidak formal lebih jujur dan orisinil, serta langsung dari masyarakat. Bahkan banyak informasi penting dapat diperoleh melalui situasi informal tersebut. Selain itu masyarakat juga dapat memperoleh secara langsung dan tanpa hambatan formal memperoleh informasi yang berkaitan dengan PT. CGI. Sehingga seringkali pola relasi yang secara informal, dalam batas-batas tertentu, jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan pola relasi formal. Sebagaimana dinyatakan oleh Giddens (2010, bahwa agen dianggap memiliki pengetahuan akan sebagian besar tindakannya, dan pengetahuan ini diekspresikan sebagai kesadaran praktis. Dalam hal masyarakat lokal memiliki kesadaran praktisi (practical consciousness) bahawa sudah sewajarnya apabila agen perusahan mengambil inisiatif untuk membangun relasi dengan masyarakat. Sementara dalam pehaman perusahaan sebagai agen, merasa telah melakukan relasi bahkan memperoleh ijin untuk melakukan eksplorasi di wilayah tersebut, melalui pemerintah. Pemahaman yang berbeda antar agen ini yang seringkali menimbulkan gejolak relasi antara perusahaan dan masyarakat. 148 4. Alasan Masyarakat Lokal melakukan Aksi (demo) ke Perusahaan Demo terakhir pada Rabu 19 Januari 2011 yang dilakukan oleh warga masyarakat Pasirwangi adalah ketika warga menuntut dan mempertanyakan bantuan Chevron Geothermal Indonesia Ltd (CGI) untuk pembangunan Masjid Besar Pasirwangi yang terkatung-katung 7 tahun sejak 2004. Sejumlah warga mendatangi kantor CGI dengan membentangkan spanduk dan menutup jalan masuk. Sekitar bulan Agustus 2010 kembali warga Pasirwangi mendatangi DPRD kabupaten Garut. Demostrasi berkaitan dengan tuntutan warga yang mengatasnamakan Paguyuban Masyarakat Pasirwangi Bersatu (PMPB), termasuk 12 Kepala Desa di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut menghujat dan mengecam keras PT. Chevron, Indonesia Power dan Pertamina. Mereka menilai terdapat kejanggalan yang dilakukan oleh ketiga perusahaan, atau tidak sesuai dengan yang diamanatkan UU No. 40/2007 dan UU No. 27/2003. Mereka menuntut transparansi dan kejelasan royalty (bagi hasil), 90 persen tenaga kerja diprioritaskan putra daerah, realisasi dana CSR/ community development (CD) untuk rakyat, juga mendesak Pemkab garut mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda). Khusus tentang kecamatan penghasil (Pasirwangi), dengan presentase 12 persen untuk daerah (kecamatan) dana dana perimbangan yang diperoleh Pemkab Garut. Ketiga perusahaan tersebut juga dituntut menggunakan pola manajemen profesional, proporsioanl dan efektif serta pro rakyat. Selasa 12 Agustus 2008, sekitar 80 karyawan PT. Chevron Geothermal Indonesia (CGI) yang berada dalam dua bus dan empat 149 mobil minibus disandera ratusan pendemo, yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Pemudi Samarang (GPPS). Demo yang dilakukan ratusan warga Kecamatan Samarang tersebut menuntut PT. CGI agar memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Pendemo menuntut pemerataan kesejahteraan dan meminta penjelasan mengenai program community development yakni pembangunan terhadap masyarakat, pada hal perusahaan tersebut mengkesploitasi hasil di Kabupaten Garut. “2008, 2009 gitu nya. 2008 terakhir demo. Anu paling kritis mah didieu, barudak dideu (desa Karyamekar). Ayeuna mun urang nu barodo rek naon demo mah, orientasina naon rek ka Chevron teh, ka Chevron, terus cek Chevron naon kadieu?”, mun orang bodo mah aah. Lamun urang rada pinter mah, geus diperhitungkeun nya. Jadi udah ada kitu nya. Paling oge nya anu masyarakat anu teu terlalu rumit dasar pemikirana ketika ada demo teh masyarakat anu rada beringasan. Jadi bisa disebut ada dua golongan. Ada golongan orang berintelek, ada golongan biasa. Nah paling nu biasa mah anu simpel-simpel wae mereunan, kayak sarana ibadah nya, kalo bergerak di bidang pendidikan mah kan agak rumit. Dasar apa ceuk Chevron teh bisa kieu kieu kieu..!. Perlu konseptor anu jernih mereun nya. Ya paling masyarakat anu biasa-biasa hoyong anu simpel, yang penting menikmati semua masyarakatna. Kaya sarana mesjid kan gitu; kayak air, bak kontrol kayak gitu, kayak jalan kan fisik. Kurang lah sementara ini mah ke sosial..... kurang. (TP 4) Penjelasan informan mengenai aksi demo di tahun 2008 dan 2009 dianggap yang paling kritis. Lebih lanjut informan mengatakan bahwa masyarakat terbagi menjadi dua golongan yaitu masyarakat yang berpendidikan dan masyarakat biasa. Bagi masyarakat biasa, mereka tidak berharap banyak tetapi yang jelas saja pemanfaatannya, seperti sarana ibadah, air bersih dan jalan. 150 Namun dalam dua tahun terakhir ini, relatif tidak terdapat aksi masyarakat kepada PT. CGI, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan di bawah ini. “kalau dulu mah ada, baru-baru 2-3 tahunan mah suka ada demo. Jadi dulu mah kalau kita mengajukan lalu tidak direalisasikan langsung didemo. Kalau untuk warga mah hasil dari demo itu ada keuntungannya, ada kerugiannya. Nah kalau sekarang mah ya sudah tidak ada demo. Sekitar 2-3 tahun kebelakang mah alhamdulillah tidak pernah ada demo. “ya itu mah paling demo-demo untuk menuntut lapangan pekerjaan. Ya pokoknya kalau demo yang paling fatal itu ya dimasalah tenagakerja. Dari sekecamatan paling banyak demo ya masalah tenaga kerja” (TM 4). Beragam isyu sesungguhnya dapat menjadi pemicu munculnya demo atau aksi masyarakat lokal kepada PT. CGI. Bahkan tidak jarang aksi demo tersebut dilakukan untuk menuntut sesuatu kepada PT. CGI. Apabila setelah demo atau aksi masyarakat dilakukan, kemudian masyarakat mendapatkan apa yang dituntutnya, maka bagi sebagian masyarakat hal tersebut bukanlah bantuan. Seperti halnya isyu lingkungan yang menjadi pemicu demo dikemukakan oleh salah seorang informan bahwa: “...sering. Orang dieu mah sering demo mah. Soalna dirugikeun pisan ku Chevron teh nya. Tanah na atuh ku manehna, iyeu teh sawah hungkul aslina mah ka palih wetan. Ayeuna mah tos gararing, ...jadi air teh diambil ku perusahaan, tapi klaim perusahaan mah tidak mengambil. Tapi sebenernya diambil. Namanya turbin nya, teu pake air nya meledug. tina pusat na, tina sumber air bersih teh diambil ku perusahaan. ... air bersih mah eta sanes bantuan. Menang menta atuh eta mah” (WM 1) Data tersebut menunjukkan sifat dinamis hubungan antara masyarakat dengan PT. CGI yang bersifat fluktuatif, kadang naik 151 kadang turun. Nampaknya PT. CGI mencoba belajar dari situasi hubungan sebelumnya yang lebih banyak demo tuntutan masyarakat sekitar, kemudian mencoba membangun komunikasi dan kemitraan baru berdasarkan situasi sebelumnya. PT. CGI mengembangkan local bussiness development (LBD), yaitu menjalin mitra dengan perusahaan-perusahaan lokal yang memiliki badan usaha CV atau persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap). Melalui LBD yang sesuai klasifikasi PT. CGI maka penyerapan tenaga lokal dapat terjadi. Masyarakat lokal pun didorong untuk mengembangkan perusahaan dengan kualifikasi minimal (CV), agar dapat mengikuti tender proyek-proyek terbatas di PT. CGI. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, yaitu: Tapi rasa saya mah dari dulu kan saya kenal dengan Chevron kalau dari usaha mah Chevron kan ada dari masyarakat perusahaan lokal istilahnya teh ditampung di LBD (local bussiness development), LBD itu seperti perusahaanperusahaan lokal seperti anak saya itu bikin usaha, kadangkadang dapet tender dari wilayah-wilayah setiap desa ada. Tapi ada yang dapet ada yang enggak, karena kalau tender mah siapa yang berani harga dia yang dapet. Kalau ngomong demo-demo pasti ada, kemaren-kemaren ada demo gak tahu saya alesannya apa, tapi demo juga gak terlalu anarkis paling ada pengusulanpengusulan terus ada tanggapan dari chevron udah ga ada apaapa. (TM 3) Demo atau aksi masyarakat merupakan letupan dari keinginan atau tuntutan masyarakat yang tidak didengar atau tidak dipenuhi. Dalam 2 tahun terakhir ini memang relatif tidak terdapat aksi atau demo ari masyarakat. Namun demikian bukan berarti tidak ada gejolak terpendam di dalam masyarakat. PT. CGI, pemerintah setempat dan tokoh masyarakat perlu terus mengembangkan komunikasi secara 152 terbuka (transparan), bukan persoalan pemenuhan kebutuhan tetapi komunikasi antara ketiga pihak harus dibangun terus agar terjaga pemahaman dan saling pengertian diantara semua pihak. Sebagaimana diungkapkan dalam hasil penelitian ini, bahwa cara-cara komunikasi yang lebih informal, dekat dengan masyarakat setidaknya dapat meredam potensi konflik yang mungkin muncul terjadi. Struktur dalam hal ini adalah kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, sebagaimana konsepsi Giddens (2009, 2011) nyatakan, bahwa struktur adalah aturan dan sumber daya. Dalam penelitian ini, kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan aturan dan sumber daya. Fluktuasi konflik menurut Prayogo (2008: 72-73) bukan peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba, tetapi melalui proses tahapan eskalatif, mulai dari rumor, kekecawaan, laporan dan kemudian demo massa dengan kekerasaan. Jika situasi hubungan sudah mulai tegang, maka pemicu konflik dapat terjadi oleh apa saja yang mungkin tidak berhubungan langsung antara perusahaan. Giddens (2010) menunjukkan bahwa atas dasar pengetahuan dan kesadaran praktis maka praktik sosial dilakukan, dan akan diproduki oleh agen berdasarkan aturan dan sumber daya yang terdapat di dalam struktur. Alasan masyarakat melakukan tindakan demo dan aksi merupakan wujud dari kesadaran diskursif, bahwa mereka melakukan tindakan aksi agar tujuan mereka tercapai, yaitu perubahan struktur CSR yang lebih berpihak pada masyarakat. Sementara agenperusahaan merasa bahwa mereka telah melakukan kegiatan CSR, selain juga pajak yang mereka bayarkan kepada negara. Inilah salah satu titik diharmoninya relasi masyarakat lokal dengan perusahaan, 153 karena perbedaan pemahaman masing-masing agen akan strukturCSR.. B. Operasionalisasi Kegiatan Tanggung Jawab Sosial PT.CGI Dalam Pandangan Masyarakat Lokal Kesadaran masyarakat lokal akan kegiatan tanggung jawab sosial PT. CGI berisikan gambaran akan upaya-upaya masyarakat lokal melakukan inisiatif usulan kegiatan, pandangan akan kegiatan tanggung jawab sosial, relasi yang terjalin dan manfaat kegiatan CSR. Persepsi warga masyaraat lokal terhadap perusahaan merupakan isyu penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan. 1. Inisiatif Usulan Kegiatan Inisiatif usulan kegiatan yang dibungkus dalam payung CSR dapat dimulai dari pihak mana saja, baik dari masyarakat lokal atau perusahaan, atau juga pemerintah setempat. Usulan kegiatan tersebut dapat dipandang sebagai upaya untuk menyelesaikan atau memperbaiki suatu persoalan tertentu baik di masyarakat lokal maupun perusahaan. Usulan kegiatan yang berasal dari perusahaan dapat dipandang sebagai upaya perusahaan membangun hubungan dengan masyarakat sekitar perusahaan. Namun bagi masyarakat usulan kegiatan yang ditujukan kepada perusahaan, dapat diartikan sebagai harapan masyarakat lokal yang begitu tinggi kepada perusahaan untuk dapat membantu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Namun masyarakat memandang kehadiran perusahaan di wilayah lingkungan mereka adalah sebagai tamu, bukan 154 sebaliknya. Jadi bagi masyarakat rasanya aneh jika merekalah yang harus membuat usulan kegiatan. Sebagaimana pendapat salah seorang warga masyarakat, sebagai berikut “masyarakatnya yang ngajuin (usulkan), bukannya Chevron yang aktif dimasyarakat. Makanya kita jadi beda, kaya kita yang jadi tamu, Chevronnya yang jadi pribumi. Bisa dibilang disini mah kalau kita gak ngajuin ya ga akan dikasih. Gitu lah kira” jang. (WM 6).” Munculnya usulan kegiatan dari perusahaan juga menunjukkan kepedulian perusahaan untuk membantu penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Namun jika masyarakat berharap terlalu tinggi kepada perusahaan untuk dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi, maka pola hubungan ini akan menjadi tidak baik jika tidak dikelola dengan hati-hati. Akan timbul pola hubungan yang membuat masyarakat menjadi tergantung kepada perusahaan. Masyarakat menjadi tidak mandiri, sangat tergantung kepada perusahaan. Sementara PT. CGI sebagai perusahaan yang dikontrak oleh Pertamina tidak selamanya akan terus berada di Darajat, suatu saat jika kontraknya habis, mungkin saja mereka hengkang. “kadang inisiatif dari masyarakat. Kaya misalkan membutuhkan kursi, ya bisa membuat proposal. Kadang ada juga dari pemerintah bantuan, kan ada ADD (alokasi dana desa). Ada juga inisiatif dari Chevronnya. Suka dimasukin ke desa, kaya fisik, nonfisik, ya apa aja bisa ... warga juga ada, dari Chevron juga ada ya bantuan tanpa masyarakat harus minta. Mungkin kesadaran dari Chevronnya juga” (PD 2). Menurut informan yang merupakan aparat pemerintahan Desa Karyamekar, usulan kegiatan dapat berasal dari masyarakat atau pemerintah desa kepada PT.CGI. Begitu pula usulan kegiatan bantuan 155 juga dapat berasal dari PT. CGI, yang seringkali bantuan tersebut melalui pihak pemerintah desa. Bantuan dari PT. CGI tersebut merupakan kesadaran dari pihak perusahaan untuk membantu masyarakat. Sebagian anggota masyarakat lainnya berpendapat bahwa inisiatif usulan kegiatan itu berasal dari masyarakat. Masyarakat yang lebih tahu mengenai kebutuhannya, ketika masyarakat sudah tidak mampu mengatasi persoalan dan kebutuhannya. Kemudian masyarakat mengajukan permohonan bantuan kepada PT. CGI. Jadi buat meraka, kalau masyarakat tidak mengajukan usulan bantuan atau kegiatan, maka PT. CGI tidak memberi bantuan karena memang tidak ada yang mengajukan proposal untuk memperoleh bantuan. Seperti pembangunan jalan, karena jalannya sudah rusak dan kritis, baru kemudian masyarakat mengajukan bantuan kepada PT. CGI. “Dari inisiatif masyarakat. Pertama mah dilihat dari ini inisiatif masyarakatnya dulu, kan dilihat dari kebutuhan masyarakatnya dulu. Seperti sekarang yang dibutuhkanna naon, misalkan jalan di RW 3, kalau tidak ada yang kritis mah tidak akan ngasih karena tidak ada yang mengajukan. Jadi harus ada proposal ke perusahaan dulu.” (TP 2). Namun demikian usulan kegiatan atau proposal pengajuan bantuan tersebut tidak serta merta memperoleh bantuan dari PT. CGI. Buktinya adalah mengenai pembangunan Masjid Kaum Pasirwangi, yang diajukan oleh 12 desa se-kecamatan Pasirwangi. Bantuan tersebut dapat direalisasikan setelah warga masyarakat dari 12 desa se-kecamatan Pasirwangi melakukan unjuk rasa menyampaikan dan menuntut janji PT. CGI sekitar 7 tahun lalu yang akan membantu pembagunan sarana 156 ibadah tersebut. Warga masyarakat yang melakukan aksi menutup jalan akses para karyawan PT. CGI ke tempat kerja. Setelah aksi tersebut kemudian pihak PT. CGI berjanji untuk membantu, dan akhirnya bantuan pembangunan tersebut dapat diwujudkan. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh salah seorang tokoh pemuda, sebagai berikut: ”... kan perusahaan ga mungkin langsung nih buat masyarakat, dilihat feed back dari masyarakatnya dulu seperti apa, biar sesuai kebutuhan. Kaya contoh pembangunan masjid di kaum Pasirwangi. Itu kan setelah masyarakat 12 desa ngajuin baru direalisasikan. Itu teh 2M apa 3M, oh 2M 800jt dari Chevronnya jadi langsung dibangunin, untuk ke masyarakatna mah pas serah terima kunci ajalah serah terimana.” (TP 3). Pada perkembangan selanjutnya desa-desa se-Kecamatan Pasirwangi mengembangkan sebuah forum yang khusus membicarakan usulanusulan CSR yang berasal dari desa-desa. Forum CSR se-Kecamatan Pasirwangi ini baru terbentuk sekitar 2 tahun yang lalu. Forum ini menjadi wadah dan sekaligus menjembatani hubungan antara keinginan dan kebutuhan masyarakat dengan pihak perusahaan (PT.CGI). Forum CSR inilah yang kemudian menentukan skala prioritas mengenai program bantuan dari PT. CGI yang akan dilakukan di desa-desa. Saat ini koordinator forum CSR se-Kecamatan Pasirwangi adalah dari Desa Padamulya sedangkan wakilnya dari Desa Padaawas. “itu kan di desa itu ada koordinatornya. Kecamatan Pasirwangi itu kordinatornya ada di desa Padamulya wakilnya dari Padaawas, dia aja berdua yang diajak untuk diskusi sama Chevron. Bahkan dia juga yang menentukan dananya sekian untuk program ini untuk anu anu.gitu. ... jadi kaya mereka aja petugasnya” (PK 1 & PK 2). 157 Terbentuknya forum CSR tersebut sedikit banyak mengurangi beban tekanan dan kepusingan PT. CGI dalam menentukan usulan kegiatan, prioritas kegiatan, sasaran kegiatan, dan pelaksana kegiatan di masingmasing desa. Semua ‘keinginan’ masyarakat sebelumnya dibahas dalam Musrenbang desa masing-masing kemudian melalui perwakilan atau pemerintah desa, semua usulan tersebut dibicarakan dalam forum CSR tersebut. “Karena kita melakukan program comdev. Prosedurnya, melalui musyawarah desa. Keinginan apa, walau kita ubah. Pendanaannya tidak hanya untuk pembangunan infrastruktur saja, tetapi juga untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Kita lihat semua keinginan mereka. Sehingga tidak ada gejolak dari masyarakat. Setiap tahun buat bertemu di forum (CSR) lagi. Kita berharap pemda seharusnya seperti itu”. (PP 1). Menarik untuk memperhatikan keberadaan forum CSR di Kecamatan Pasirwangi tersebut, dalam hubungannya dengan usulan kegiatan yang sebelumnya harus selalu ditemui dan ditangani seara langsung oleh PT. CGI. Sebagaimana pendapat informan dari pihak PT. CGI, dengan adanya Forum CSR tersebut memudahkan PT. CGI dalam menyalurkan bantuan untuk program yang telah terseleksi melalui forum tersebut. Sehingga PT. CGI memiliki waktu luang untuk lebih berkonsentrasi pada kegiatan lainnya. Inisiatif pembentukkan forum mungkin saja memang berasal dari PT. CGI, yang mungkin mengindikasikan upaya mengalihkan persoalan atau kesibukan menghadapi masyarakat. Dalam fakta di lapangan menunjukkan bahwa dengan adanya forum tersebut, mereka merasa lebih leluasa dan tekanan beban kerja teralihkan kepada forum tersebut. Sejak terbentuknya forum tersebut itu pula gejolak hubungan 158 antara masyarakat lokal dengan PT. CGI relatif menjadi terkendali. Hal tersebut diakui oleh sejumlah informan baik dari pihak pemerintah lokal, masyarakat, maupun pihak PT. CGI itu sendiri. Menurut Prayogo (2011: 157), persepsi terbentuk karena berbagai sebab, bisa karena pengalaman, informasi yang diterima (benar atau salah), adanya harapan secara positif atau negatif (dalam bentuk rasa khawatir). Pemahaman masyarakat lokal sebagai agen, menentukan tindakan mereka terhadap korporasi, sehingga jika persepsi negatif terbentuk maka akan negatif tindakannya.Bentukbentuk inisiatif membangun relasi dari masyarakat lokal kepada perusahaan merupakan wujud dari respon warga masyarakat lokal terhadap keberadaan korporasi. Dalam kerangka strukturasi Giddens (2010) inilah yang disebut dengan praktik sosial; melalui praktik sosiallah terus dikaji dan diperbarui terus menerus pengetahuan baru, yang pada gilirannya mengubah praktik sosial tersebut secara konstitutif. Oleh karena itu perusahaan perlu selalu mengikuti perkembangan pengetahuan dan pemahaman warga masyarakat lokal terhadap mereka. Jenis dan bentuk informasi yang diterima, harapan yang terpenuhi atau tidak, dampak positif dan negatif yang dirasakan, serta manfaat atau mudarat yang dirasakan menentukan persepsi warga masyarakat lokal (Prayogo, 2011: 157). 2. Tahapan Kegiatan Tanggung Jawab Sosial PT. CGI Proses pengajuan usulan perlu untuk diamati untuk memperoleh gambaran dan informasi mengenai pengetahuan masyarakat cara-cara masyarakat mengajukan usulan kegiatan. Serta bagaimana pihak 159 perusahaan menanggapi bantuan-bantuan yang berasal dari masyarakat dan dari pemerintah setempat. Tentunya tahapan pengusulan bantuan tersebut terjadi sebagai pengulangan dari kejadian-kejadian dari praktik-praktik sosial sebelumnyaAnggota masyarakat yang berhasil mengajukan proposal bantuan, kemudian akan ditiru oleh anggota masyarakat lain yang akan mengajukan bantuan kepada PT. CGI. Keterulangan praktik sosial tersebut terus belangsung selama beberapa tahun sebelumnya hingga saat kini. Pada pengajuan proposal di tahuntahun sebelumnya, apabila proposal yang diajukan terlalu lama (bertahun-tahun) atau tidak direspon (tidak ada realisasinya) maka sudah ada semacam ‘aturan’ tidak tertulis di masyarakat untuk melakukan aksi atau demonstrasi. Munculnya aksi tersebut juga meniru kejadian serupa sebelumnya, bahwa kalau tidak didemo, maka bantuan itu tidak akan cair. Namun saat ini, kejadian pengajuan proposal bantuan tidak lagi menimbulkan aksi dari masyarakat. Sejumlah informan mengemukakan pendapatnya, bahwa pengajuan bantuan kepada PT. CGI selalu ada prosesnya, dan mereka tahu dan mengerti kapan dan berapa lama bantuan tersebut akan cair. Sebagaimana pendapat informan berikut ini, “ada prosesnya, proposal dikordinasikan dulu ke pusat, nanti pusat yang menginformasikan program itu bisa dijalankan atau enggak” (WM 6). “Ya pasti memang membutuhkan proses. Itu biasanya kalau teknik lapangan Chevron udah kontrol ke lapangan ya cepet, seminggu setelahnya langsung direalisasikan. Jadi setiap hari selama proyek pelaksanaan selalu ada pengawasan hingga proses evaluasi. Kalau perawatan mah itu masyarakat aja sama pihak pemerintah desa.” (TP 2). 160 Terjadi proses pembelajaran yang terjadi, baik dari masyarakat lokal maupun dari pihak perusahaan berkenaan dengan tuntutan masyarakat yang sebelumnya banyak dilakukan melalui aksi atau demo. Masyarakat pengusul kegiatan harus mengikuti proses pengusulan yang ditetapkan pihak PT. CGI. Masyarakat lokal yang mengusulkan kegiatan, sekarang harus menuliskan usulannya dalam bentuk prososal. Jika pengusul kegiatan (masyarakat lokal) tidak membuat usulannya dalam bentuk tertulis atau sebuah naskah proposal serta mengikuti proses yang diteapkan oleh PT. CGI, maka usulannya tidak akan ditanggapi. Sesuatu yang tidak mudah sebenarnya mengubah mindset masyarakat, dari budaya ‘verbal /tidak biasa tertulis’ menjadi budaya “tertulis menulis.” “...kita masukkan proposal nanti seminggu kemudiannya diproses dulu, ya proses-proses seperti itu saja. Ada yang sudah lewat setahun, ada juga yang suka langsung dapet aja, Cuma biasanya keputusannya itu sih di akhir tahun. Jadi kalau yang sudah tau strateginya biasanya ngajuin proposal itu dibulan ke 6, jadi pas bulan ke 10 atau akhir tahun sudah “turun”. (TM 4). Di sebagian informan dari kalangan masyarakat lokal sudah muncul pemahaman bahwa untuk memperoleh bantuan mereka harus menuliskan usulannya tersebut. Masyarakat juga sudah memperkirakan kapan waktu pengajuan yang tepat, kapan pembahasan, dan kapan waktu cairnya usulan bantuan tersebut. Seringkali pencairan tersebut dikaitkan dengan pembahasan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah, walaupun mungkin saja pengusulan kegiatan tersebut belum tentu berkait dengan pembahasan APBD. Mereka mengasosiasikan pengajuan tersebut dengan penganggaran yang 161 dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang aparat Kecamatan Samarang, yaitu: “itu tergantung dari pengajuan. Jadi berdasarkan proposal kebutuhan yang diajukan oleh masyarakat. misalnya desa A membutuhkan madrasah, ah untuk tahun 2014 dari sekarang sudah diajukan ke sana. Untuk hasilnya ya seperti penyusunan APBD aja, jadi tahun ini diajukan oleh Chevron dirapatkan dulu, dibuat perencanaan untuk setahun yang akan datang bagaimana lalu ditentukanlah apa yang akan dilaksanakan, jadi berdasarkan proposal yang masuk itu juga nanti ditentukan berdasarkan dari kebutuhan masyarakat.” (PK 3) Hanya saja ketika akan menagih atau mempertanyakan proposal yang yang telah diajukannya, mereka enggan dan sungkan untuk mempertanyakannya kepada pihak PT. CGI. Kesungkanan untuk mempertanyakan hal tersebut tidak terlepas dengan pengalaman yang pernah terjadi sebelumnya. Selain prosedur yang harus bertemu dengan front office membuat janji terlebih dahulu, sebelum bertemu dengan staf humas PT. CGI. Kondisi tersebut dapat dipahami sebagai penyesuaian dan adaptasi budaya antara budaya formal keorganisasian dan budaya masyarakat yang cenderung lebih bersifat infomal. Pada akhirnya masyarakat pengusul bersikap ‘nrimo’ dengan ketentuan dan hasil yang mungkin diterima atau tidak, cair atau tidak. Dengan rumitnya prosedur yang harus ditempuh, hal tersebut merupakan kesulitan tersendiri yang harus dihadapi oleh masyarakat lokal sebagai pengusul. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan “kalau kita nagih kesana bila ditanya ‘bu mau kemana? Proposalnya masih numpuk’, jadi kan kita malu sendiri terus nyamperin, kita kan termasuk ke lembaga pendidikan, masa harus pake cara preman kan gak etis. Jadi yah nerimo aja, dikasih sukur gak dikasih ya “ngeruwet” (WM 4 & WM 5). 162 Namun demikian sikap ‘menerima’ sebagian anggota masyarakat tersebut apabila tidak dapat dikelola dengan baik, dengan informasi dan penjelasan yang bijak, maka dimasa depan akan menjadi ‘bom waktu‘ yang mengganggu relasi antara masyarakat dengan PT. CGI. Dalam perkembangannya, masyarakat memandang bahwa hubungan antara masyarakat dengan PT. CGI, melalui kegiatan CSR dipandang baik. Sudah jelas bagi masyarakat, bahwa terdapat dana CSR untuk setiap desa di kecamatan Pasirwangi. Tinggal masyarakat mengusulkan berbagai kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Persoalannya adalah perlu keterbukaan (transparancy) terhadap dana CSR di setiap desa tersebut. Terkadang persoalan dana ini sangat sensitif, dan tetapi juga bukan masalah besarnya dana. Perlu akuntabilitas dan kejujuran dari para pengelola dana CSR desa tersebut. Perlu dibangun komunikasi yang terbuka, yang dapat memberikan pemahaman kepada berbagai pihak, terkait dengan persoalan CSR. “ sementara ini kerja sama Chevron, baik juga gitu nya. Soalnya udah jelas gitu nya ku tiap desa misal ayeuna CSR, dana CSR development na nya A. Cuman ceuk abdi oge di masyarakatna gitu A. Dari Chevron ada kayak CSR weh, kan itu masuk pemda dulu. Nah lalu entar udah di desa lalu ke tiap desa ke kepala desa. Nah kepala desa sendiri tidak bisa, jadi menclak wae gitu. Padahal, misalnya seratus juta, paling mun tepi ka masyarakat dua puluh juta.” (TP 4) Kalancaran dan keterbukaan dalam pelaporan kegiatan CSR juga sangat terkait dengan norma dan perilaku pengelola CSR baik dari pemerintahan desa, pemerintahan kecamatan, serta serta pihak-pihak 163 lainnya. Dalam pandangan masyarakat tersebut seringkali baik buruknya kegiatan CSR sangat dipengaruhi oleh perilaku para pengelolanya. Alfitri (2009: 116-117) menunjukkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam setiap tahap program pengembangan masyarakat perusahaan. Setidaknya tiga hal penting partisipasi, pertama, partisipasi sebagai suatu alat memperoleh infomasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat lokal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan, perencanaan, dan pelaksanaannya; ketiga merupakan hak demokrasi masyarakat lokal. Lebih jauh lagi partisipasi akan memunculkan potensi dan kreativitas masyarakat lokal. Budimanta, dkk. (2007) telah menunjukkan bahwa tipologi program CSR yang dilakukan oleh perusahaan termasuk dalam tiga kelompok, yaitu pertama, community relations, yaitu bentuk-bentuk kegiatan yang lebih bersifat kedermawanan atau filantropis kepada masyarakat, dengan tujuan utama meredam konflik. Kedua, community services, merupakan pelayanan kemasyarakatan untuk memenuhi kepentingan masyarakat atau pun kepentingan umum lainnya. Bentuk kegiatan ddalam kategori inilebih bersifat pembangunan secara fisik sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi, jalan raya, sumber air minum dan sebagainya pelayanan umum. Sebagaimana yang kegiatan-kegiatan CSR yang masih dilakukan oleh PT. CGI bagi masyarakat lokal dan sekitarnya. Kategori ketiga adalah pemberdayaan masyarakat (community empowering), yang merupakan kegiatankegiatan mendorong keberdayaan dan kemandirian masyarakat. Dengan pandangan Giddens (2010) tentang praktik sosial, maka 164 tahapan dan proses kegiatan CSR dapat dipahami sebagai praktikpraktik yang melandasi keberadaan agen-agen. Melalui struktur-CSR, maka praktik-praktik sosial kegiatan tanggung jawab sosial terselenggara. Namun cara-cara melakukan kegiatan tanggung jawab sosial tersebut belum tentu berlandaskan pada pemahaman yang diantara agen-agen yang terlibat, yaitu masyarakat, perusahaan dan pemerintah. 1) Aspek Pembangunan Fisik (Instratruktur) Porsi terbesar program CSR PT. CGI nampaknya masih pada pembangunan infrastruktur. Pembangunan dan perbaikan jalan dari Tarogong (Kecamatan Samarang) hingga Kecamatan Pasirwangi, penyediaan air bersih, gorong-gorong, pembangunan sarana ibadah (mesjid), dan sarana pendidikan. Bantuan pembangunan dan perbaikan jalan hampir setiap tahun dilakukan, demikian pula dengan penyediaan air bersih. Pipa-pipa penyediaan air bersih bantuan dari Chevron seringkali mengalami kebocoran, terutama di musim kemarau. Kebocoran terjadi karena terdapat kerusakan yang ditimbulkan oleh ulah sebagian warga yang memerlukan air bersih di musim kemarau, terutama untuk menyirami perkebunan mereka. Seringkali kejadian tersebut menimbulkan percekcokan atau konflik kecil diantara warga masyarakat setempat, bukan dengan pihak Chevron-nya. Berikut pendapat informan mengenai bantuan PT. CGI, “kalo bangunan mah dari dulu udah dikasih (terpenuhi). Yang sudah kesini mah air, jalan, sama bantuan untuk ke masjid kaya karpet gitu suka ada. Ada masjid muhajirin, al falah, at taufik sudah tercukupi tapi jalannya sama air bersihnya udah tuh dari Chevron. Tapi karena udah lama, jadi buntu lagi airnya 165 bersihnya, kalau jalan mah sekarang juga lagi dibikin lagi. Pokoknya Chevron mah muter” kesitu aja kaya air, jalan, ya gitu.” (WM 6) Pembangunan jalan yang dilakukan oleh Chevron tidak dipungkiri membawa perubahan terhadap mobilitas penduduk, serta membawa percepatan perubahan khususnya ekonomi dan wisata di daerah Darajat. Namun demikian, terdapat juga perkembangan wisata yang tidak diantisipasi dengan baik, yang di kemudian hari dapat menjadi permasalahan yang serius bagi masyarakat lokal. Persoalan ketenagakerjaan dipandang oleh masyarakat lokal sebagai isyu yang sering diungkapkan oleh para informan. Menurut mereka tidak banyak warga masyarakat lokal yang dapat bekerja di PT. CGI. Hal tersebut dapat dipahami mengingat tuntutan kompetensi dan skill serta formasi tenaga kerja yang tersedia memang sangat terbatas. Tetapi sebagian lagi berpendapat sebaiknya tetap mengutamakan tenaga kerja dari masyarakat lokal, walaupun untuk tahap awal terbatas pada tenaga kerja kasar (unskill). “ya... mengutamakan tenaga kerja dari sini, ...ya biar ga nyari lagi tenaga kerja dari luar Desa Karyamekar. Di sini juga banyak yang mampu” biar ga ada lagi pengangguran terutama pemuda gitu ya. Kalo pemudi mah jarang yang mau bekerja.” (PD 2). Demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh salah seorang tokoh masyarakat, mengenai pentingnya penanganan masalah ketenagakarjaan di Desa Karyamekar. Berikut pendapatnya: “kalau pelatihan mah ga ada, kalau kepemudaan mah ada di bidang kewirausahaan seperti itu pangkas rambut yang di atas itu dari Chevron. Ya itu baru-baru ini adanya kalau dulu kan 166 kepemudaannya di remaja mesjid, soalnya karangtaruna mah kan udah bubar. Lalu kalau remaja mesjid dulu mah ngebahasnya masalah tenaga kerja tidak ke wirausaha. Jadi fokusnya ke masalah tenaga kerja aja, kalau ada peluang demo. Kalau sekarang mah dari Chevronnya kan memberikan celah, jadi wirausaha mulai ada yang ngajuin.” (TM 4). Persoalan ketenagakerjaan ini jika tidak ditangani secara benar, ditengarai akan menimbulkan demo (aksi) dari warga kepada PT. CGI. Sehingga perlu penanganan serius, dalam arti perlu dikembangkan pola-pola dialog yang intensif dan terbuka untuk mengetahui dan saling memahami kebutuhan masing-masing pihak. Untuk selanjutnya dapat mengembangkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat di desa Karyamekar. Keinginan para ibu di wilayah sekitar PT. CGI untuk dapat bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Misalkan pengadaan katering untuk para karyawannya. Banyak para ibu di Desa Karyamekar yang dapat memasak, asalkan mereka diberi tahu tentang standar kebersihan dari dapurnya, serta gizi dari makanan yang dibuat. Termasuk juga pembentukkan badan usahanya (CV) dalam bidang katering. Nampaknya untuk masalah makanan atau katering untuk karyawannya, PT. CGI memiliki standar kualitas yang tinggi, selain persoalan hukum administrasi yang tidak bisa persorangan, tetapi harus berbeda hukum. Beberapa ibu warga Desa Karyamekar juga mempertanyakan sejumlah bantuan yang diberikan PT. CGI, misalnya pemberian mesin jahit dan mesin obras, tetapi realisasinya bagi mereka dianggap tidak jelas. Sementara banyak ibu-ibu yang memiliki waktu luang yang banyak, mereka umumnya hanya menunggu suami pulang dari kebun. 167 Para ibu menginginkan aktivitas yang dapat mengisi waku luang mereka. Mereka berharap PT. CGI dapat melihat kondisi nyata ibu-ibu tersebut. Para ibu ini melihat kesenjangan secara ekonomi yang terjadi di lingkungan mereka yang belum dicermati oleh pihak PT. CGI, sehingga program CSR-nya dapat lebih mengarah pada masyarakat miskin. Berdasarkan informasi dari lembaga swadaya masyarakat yang menjadi mitra PT. CGI yaitu Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) memang Desa Karyamekar belum ditangani secara serius, padahal merupakan salah satu wilayah terdekap dekat dengan operasional PT. CGI. Kemudian sejak bermitra dengan PUPUK, PT. CGI berupaya menyalurkan program CSR-nya kepada masyarakat sekitar tidak lagi semata hanya fokus pada pembangunan infrastruktur. Sejak tahun 2008 program-program capacity building dan program pemberdayaan masyarakat (community development) mulai menjadi fokus perhatian. Walaupun porsi antara pembangunan infrastruktur dan non infrastruktur masih lebih besar pembangunan infrastruktur. 2) Bantuan Bidang Pendidikan Bantuan di bidang pendidikan yang diberikan kepada masyarakat antara lain fasilitas untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), TK, SD, dan SMP. Termasuk di dalamnya bantuan ATK, papan tulis, laptop. Artinya beberapa masyarakat di desa Karyamekar mengetahui dan mengakui adanya bantuan dalam bidang pendidikan, meskipun belum merata. Demikian pula dengan gedung untuk kegiatan olah raga dan kesenian yang dibangun oleh PT. CGI. Berikut sejumlah pendapat dari beberapa informan: 168 “kalau itu mah ini kan PAUD yang ada didekat sini kan itu dari Chevron“(WM 6) ” Seperti madrasah yang didieu ada bantuan laptop, terus bangku, ATK pernah, board dll.” (TP 2). “gedung olah raga dan kesenian kan itu juga diberikan sama Chevron.” (TP 3). “Aya (ada bantuan), tapi ke sekolah, ke madrasah mah enggak SD,SMP, PAUD aya” (TM 1). “Tah kalau pendidikan ti Chevron teh ka TK panginteun, TK teh aya opat gunduk (ada empat tempat) rupina di bedeng, didieu,cipanas, sareng RT 4.” (TM 3). Namun untuk madrasah belum terdengar terdapat bantuan yang diberikan PT. CGI kepada masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang tokoh agama, yang menganggap bahwa PT. CGI masih mendiskriminasikan bantuan untuk sekolah-sekolah formal, namun belum memberikan bantuan untuk madrasah-madrasah. 3) Aspek Kesehatan Bantuan bidang kesehatan menurut informan antara bantuan kendaraan untuk warga yang harus segera dibawa ke rumah sakit, pembuatan sarana MCK (mandi cuci kakus) dan penyediaan air bersih. Kemudian bekerja sama dengan dinas kesehatan kabupaten Garut membangun Puskesmas tingkat kecamatan Pasirwangi. “ya suka ada salah satunya mah, yang deket dan bisa dibantu gitu ya ada. Yang bisa masuk kendaraan suka dibantuin untuk dibawa ke rumah sakit mah ada.” (WM 6) Pada beberapa bantuan, seperti untuk bantuan sarana MCK dan air bersih, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang RW, bahwa sumber airnya merupakan milik masyarakat, namun masyarakat tidak memiliki dana untuk pompa dan pipanya. Kemudian PT. CGI 169 menyediakan bantuan teknis dan pendanaan dalam penyediaan air bersih di kampung Ciherang Desa Karyamekar. Bantuan penyuluhan pencegahan tentang bahaya HIV dan narkoba juga dilakukan oleh PT. CGI di sekolah-sekolah di kabupaten Garut, dengan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan. “kalau perumahan mah dulu ada untuk wc, bagian kesehatan dulu ya saya tau karena jadi RW ada lah bantuannya mah. Untuk wc sedesa ini kurang lebih ada 7 yang dibuatkan MCKnya. Nah kalau tahun ini kan di Ciherang masih daerah Karyamekar juga ya, sekarang dikasih air bersih tapi itu mah sumber airnya mah ya punya pribadilah punya masyarakat. Itu dari Chevron biayanya” (WM 6). Namun sebagian lagi tidak semua warga mengetahui bantuan yang sudah dilakukan oleh PT. CGI dalam bidang kesehatan. Bahkan ada informan yang menyatakan tidak ada sama sekali bantuan bidang kesehatan oleh PT. CGI. Pendapat tersebut diungkapkan oleh aparat pemerintah desa, ibu-ibu, dan sejumlah tokoh masyarakat. 4) Aspek Ketenagakerjaan Persoalan keternagakerjaan merupakan persoalan yang dihadapi hampir semua daerah di Indonesia, termasuk di Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi. Tentunya banyak pemuda yang sangat ingin dapat bekerja di perusahaan besar seperti Chevron. Tidak salah keinginan dari sebagian warga tersebut. Namun, karena kualifikasi, skill dan kompetensi yang tidak memenuhi, mereka pun paham akan hal tersebut. Hanya dua hingga tiga orang warga masyarakat sekecamatan Pasirwangi yang bekerja sebagai karyawan di PT. CGI. 170 Kalaupun ada yang diterima bekerja di Chevron, biasanya sebagai office boy dan bagian kebersihan. “ya kalau itu mah bisa dihitung jari. Yang dari Karyamekar paling juga Cuma 2. Ya yang paling mentoknya itu paling karena dari tingkat pendidikannya itu tadi. Kalau Chevron ada seperti BLK (Balai Latihan Kerja) mah enak, kita warga” jadi bisa berskill. Ini kan ga ada, walaupun kita dari lulusan S1 kalau kita udah mentok dari Chevronnya ga bisa, ya ga mampu.” (WM 6). Sehingga wajar jika sebagian warga berharap adanya balai latihan kerja untuk meningkatkan keterampian dan keahlian para pencari kerja, khususnya para pemuda. Pelatihan kerja tersebut bukan berarti untuk dapat diterima kerja menjadi karyawan di Chevron, tetapi penciptaan lapangan pekerjaan baru. Sementara itu PT. CGI mendorong masyarakat lokal untuk membangun perusahaan lokal dan mengembangkan perusahaanperusahaan lokal yang mampu menjadi mitranya perusahaan tesebut. Inilah yang dikenal dengan local business development (LBD). LBD merupakan perusahaan-perusahaan lokal dengan tingkat kemampuan untuk melakukan kualifikasi pekerjaan minimal hingga menengah. Masyarakat lokal mengenalnya sebagai CV-CV. Vendor-vendor inilah yang merupakan perusahaan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yang akan diikutkan dalam tender-tender pekerjaan di PT. CGI. Melalui CVCV ini pula masyarakat atau pencari kerja lokal direkrut untuk menjadi pekerja. ” Kalau dari Chevron mah paling menurutkan skill. Meskipun ayeuna gogontowongan kitu hoyong kerja di Chevron mun teu bisa kanu komputer mah da percuma ka era-era. Ya jadi disesuaikanlah. Orang dieu oge hoyong kerja di Chevron, 171 piraku orang nu deket teu diheulakeun. Tapi paling orang dieu mah jadi helper di tenaga kerja, helper teh pembantu modelna. Itu juga masuknya bukan dari Chevron langsung tapi melalui kontraktor-kontraktor rekanan Chevron lagi. (TP 2). Pola pengembangan perusahaan-perusahaan lokal (LBD), yang kemudian mereka menjadi mitra (rekanan) PT. CGI, selanjutkan melalui tender menerima pekerjaan-pekerjaan dari PT. CGI dikenal dengan outsourcing (alih daya). Sebagian warga mengenal perusahaanperusahaan lokal tersebut sebagai kontraktor-kontraktor PT. CGI. Sebagaimana dikemukakan mengenai perekrutan tenaga kerja, maka yang dimaksud dengan tenaga kerja lokal diterima di PT. CGI adalah sebenarnya mereka diterima oleh mitra/ rekanan/ kontraktor dari PT. Chevron. Tentunya untuk perusahaan alih daya (kontraktor PT. CGI) dengan bidang pekerjaan satuan pengamanan atau office boy merupakan perusahaan yang memiliki kualifikasi pekerjaan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh PT. CGI; dengan komitmen jangka panjang (setiap tahun diperbarui kontraknya) dan terpercaya. Berbeda halnya dengan CV-CV dengan kualifikasi pekerjaan tingkat rendah, seperti untuk pembangunan gorong-gorong, pembangunan MCK, atau bangunan fisik lainnya. Inilah jenis perusahaan lokal yang banyak dimiliki oleh lokal. Jenis LBD ini dapat berjangka waktu dan komitmen jangka panjang, atau tergantung pada jenis pekerjaannya. Setelah melalui tender, kemudian jika CV tertentu menang LBD tersebut memperoleh pekerjaan yang diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Hubungan kerja antara kotraktor (LBD) dengan PT. CGI selesai (resmi) setelah perintah pekerjaan yang dibebankan kepada LBD tersebut selesai dikerjakan dan memperoleh pembayaran 172 penuh. Pada jenis CV-CV (kontraktor lokal) inilah banyak penyerapan tenaga kerja lokal, karena tidak memerlukan skill tertentu, bersifat pekerjaan kasar, dan banyak mengandalkan kemampuan fisik. “outsourcing aja modelnya, kaya satpam, officeboy. Tetapi selama kita baik, kerjanya bagus, bukan ga mungkin bakalan diangkat jadi karyawan tetap di sana. Ya bisa dipertahankan bahkan bisa ditingkatkan gitu. Jadi walaupun dari outsourcing biasanya ga akan ada pemutusan, bisa saja ditingkatkan bahkan ada yang sampai pensiun.” (TP 3). Bagi mereka yang bekerja diperusahaan alih daya dengan komitmen jangka panjang, muncul keyakinan bahwa status pekerjaan mereka dapat saja meningkat menjadi pekerja tetap PT. Chevron. Sehingga mereka yang bekerja di jenis perusahaan tersebut menganggap tidak ada bedanya seperti bekerja di PT. Chevron. Demikian pula pandangan masyarakat lokal dalam melihat keberadaan mereka sebagai karyawan PT. Chevron. Hal tersebut dapat dipahami, mengingat untuk jenis pekerjaan sebagai Satpam atau office boy membuat mereka sering berada di kantor PT. CGI, sehingga masyarakat lokal menganggap mereka adalah karyawan Chevron. “karena Chevron lagi butuh tenaga kerja, nah itu diserahkan ke muspika untuk mencari 15 orang dibagi dari 3 kecamatan. Dari kami pihak kecamatan diserahkan kembali ke desa-desa. Kalau hanya 15 orang, di Pasirwangi aja ada 12 desa, jadi kalau diambil 15 orang ya paling 3 orang lagi dari 2 kecamatan lainnya. Ya ga mungkinlah yang dekat tidak didahulukan. Memang kalau secara birokrasi Chevron itu memakai pemerintah disetiap kecamatan, kan yang namanya perekrutan tenaga kerja suka ada masalah sedangkan kalau dulu-dulu itu katanya yah katanya untuk tenaga kerja Chevron itu harus diambil dari masyarakat lokal kecuali bagian teknik. Katanya yah. Kalau saya ngobrol dengan dua kecamatan lain ya, wah 173 enak Pasirwangi mah yang punya Chevron. Padahal aslinya mah sama aja.” (PK 1 & PK 2) Dalam perkembangan terakhir, PT. CGI nampaknya mulai mendengar dan memahami kegelisahan masyarakat akan tuntutan dan kebutuhan akan tenaga kerja dari masyarakat lokal. Hal tersebut ditunjukkan dengan permintaan PT. CGI akan tenaga kerja lokal sebanyak 15 orang melalui pemerintahan kecamatan (muspika) di sekitar wilayah kerja PT. CGI. 15 orang kebutuhan tenaga kerja tesebut akan di bagi dalam tiga kecamatan tersebut, yaitu kecamatan Pasirwangi, Kecamatan Samarang dan kecamatan Sukaresmi. Dengan pembagian tersebut makan setiap kecamatan akan memperoleh jatah 5 orang. Alokasi pembagian tersebut, niat awalnya adalah menyerap tenaga kerja lokal. Namun penyerapan tenaga kerja tersebut juga dapat dipandang sebagai upaya dari PT. CGI dalam membangun reputasi yang baik di kalangan muspika wilayah kerja perusahaan tersebut. Hal yang perlu dicermati kemudian dalam penyediaan tenaga kerja tersebut adalah alasan pembagian alokasi ke-15 orang tersebut, serta alasan mengapa jumlahnya 15 orang. PT. CGI dan pemerintah kecamatan harus mampu membangun komunikasi yang baik dengan pemerintahan desa di bawahnya, serta yang terpenting adalah masyarakat. 5) Bantuan Bidang Sarana Ibadah Bantuan yang berkait dengan sarana ibadah dan perlengkapannya juga diberikan oleh PT. CGI. Seperti juga bantuan sebelumnya, PT. CGI berupaya tidak memberikan dalam bentuk tunai, 174 tetapi dalam bentuk barang (natura) atau bantuan teknis lainnya. Kebijakan tersebut dilakukan dalam upaya menghindari penyalahgunaan bantuan yang diberikan PT. CGI kepada masyarakat. Namun demikian bantuan yang diberikan dalam bentuk barang atau teknis tersebut sulit menghindari munculnya sifat ketergantungan masyarakat kepada PT. CGI. Nampaknya PT. CGI masih sulit menghindari pola atau program tanggung jawab sosial yang bersifat bantuan sosial (social asistance). “Ka masjid kantenan sapartos masihan Al-Quran, karpet, duka ari seuerna mah, pami kadieu mah kamari aya 50 Al-Quran sareng karpet duka dua duka opat mun teu lepat mah tapi eta ka tiap masjid.” (TM 3). Beberapa tokoh agama pun beberapa kali diundang oleh PT. CGI untuk mengisi acara kegiatan agama yang diselenggarakan perusahaan. Seringkali kunjungan ke wilayah operasi PT. CGI tersebut dipergunakan untuk membangun komunikasi antara pihak perusahaan dengan tokoh masyarakat secara informal. Dalam kesempatan tersebut, pihak perusahaan dapat memberikan informasi mengenai kegiatan perusahaan secara informal, atau sikap perusahaan terhadap masyarakat. Demikian pula sebaliknya, tokoh agama setempat dapat menceritakan mengenai kondisi dan sikap masyarakat lokal terhadap PT. CGI. Seringkali hubungan yang bersifat informal tersebut, hasilnya jauh lebih efektif daripada hubungan yang dibangun secara formal. Namun demikian kegiatan yang dilakukan oleh tokoh agama tersebut, juga menimbulkan kecemburuan dari masyarakat lainnya. Melalui tokoh agama tersebut, masyarakat menyalurkan bantuan sosialnya. 175 menilai, PT. CGI sering 6) Aspek Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Bantuan untuk usaha kecil dan menengah bagi masyarakat lokal, menurut sebagian informan, kalau pun ada namun tidak jelas kelanjutannya. Atau masyarakat memandang bantuan yang diberikan oleh PT. CGI diberikan secara tidak merata. “hem kan dulu ada pembuat keripik ubi jalar, ada warga Desa Karyamekar dari kampung Ciherang. Mungkin dikasih modal sama itu sama Chevron tapi ga tau sekarang masih jalan apa enggak.” (PD 2, Desember 2012). “Duka karena yang benar-benar membutuhkan itu yang pasti dapat ...*mungkin Chevron memberi bantuan secara tidak merata mungkin ah da itu oge sama atas nama masyarakat, karena Chevron-kan tidak tahu”. (WM 4 & WM 5). Kemudian bantuan untuk wirausaha dan usaha kecil-menengah tersebut seringkali dikaitkan dengan pemuda. Beberapa informan berpendapat bahwa jika ada program kewirausahaan untuk warga atau pemuda di masyarakat lokal itu bagus. Namun juga sebagian informan berpendapat, bahwa program-program tersebut sosialisasinya tidak jelas dan tidak merata. Sehingga tidak banyak warga yang mengetahui program wirausaha tersebut. “ya itu kata saya juga, mungkin ada program yang bagus tapi tidak diketahui masyarakat yang luas, yang nanti bisa diajukan atas masyarakat misalnya, yang saya tahu banyak beberapa program yang mengatas namakan masyarakat yang ternyata diambil sama perseorangan. Misalnya ke masjid at-taufik bisa ditemuin disana ke pak ustad Nassrullah setiap bulannya bisa mendapat bantuan dari Chevron untuk anak yatim, untuk jompo, dan sebagainya lah itu dia dapat. Yang harus diakui itu 176 bantuan Chevron secara sosial. Tapi itu kata saya juga tapi tidak merata.” (WM 4 & WM 5). Komitmen warga yang memperoleh bantuan tersebut pun tidak lama. Mereka yang telah memperoleh bantuan, sebagian tidak berlanjut, bahkan terhenti di tengah jalan. Padahal sebelumnya mereka meminta bantuan untuk mengembangkan usaha dengan mengajukan usulan atau proposal kepada PT. CGI. Melihat hal tersebut PT. CGI perlu berfikir ulang dan selektif dalam menerima proposal dan menyalurkan bantuan usaha kepada masyarakat. Hal tersebut mulai dikeluhkan oleh masyarakat yang (merasa) sungguh-sungguh mengajukan proposal bantuan usaha kepada PT. CGI. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, “Misalkan bantuan domba sama ayam, ayamnya ga ada, dombanya ga ada. Terus ada lagi bantuan budidaya jamur, terus ga ada jamurnya, jadi sekarang yang benar-benar proposal teh gak dipercaya. Terus bantuan yang tadi itu semuanya turun.” (WM 4 & WM 5). Dalam perkembangan selanjutnya mengenai bantuan usaha bagi warga, PT. CGI mencoba mengembangkan program-program unggulan di masing-masing desa. Setiap desa didata potensi utama yang mungkin dapat dikembangkan sebagai keunggulan desa. Usulan kegiatan tersebut dikenak dengan OVOP yaitu singkatan dari one village one product. Program ini masih berjalan, dan perlu penelitian dan pengujian atas keterandalan program ini. 7) Aspek Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Minimnya tenaga lapangan yag dimiliki oleh PT. CGI untuk menjamin kalancaran dan kesesuaian kegiatan menjadi salah faktor 177 penyebab lemahnya kegiatan monitoring dan evaluasi. PT. CGI hanya melakukan monitoring di tahap awal saja, yaitu saat memastikan program tersebut berasal dari desa tertentu kepada aparat desa. Selanjutnya melalui kegiatan FGD (focus group discussion), dilakukanlah prioritas kegiatan untuk desa tersebut. Sebelum bantuan diberikan, maka dilakukan kajian terlebih dahulu. Setelah disetujui dan kemudian bantuan itu turun (dilaksanakan), maka tidak dilakukan lagi monitoring. “banyak yang turun sampai ratusan juta (ibu-ibu PKK, Februari 2013) . Tapi mengatas namakan masyarakat, dan ternyata kemasyarakat-nya mah tidak sampai ...tapi kalau ada pendampingan dari Chevron langsung turun mah saya kira tidak akan seperti itu” (WM 4 & WM 5). Sebagian warga berharap dilakukan pendampingan, khususnya pada bantuan untuk usaha kecil. Masyarakat memahami bahwa banyak bantuan yang diberikan oleh PT. CGI. Namun seringkali bantuan tersebut sering disalahgunakan, dan tidak sampai ke masyarakat. Kondisi ini dipahami, mengingat banyak usulan yang diajukan kepada PT. CGI, namun tenaga pelaksana minim. Sehingga sebenarnya kontrol dan monitoring tersebut sebetulnya dilakukan oleh PT. CGI melalui tim PGPA, namun tidak semua bantuan yang diberikan kepada masyarakat dapat dilakukan pengontrolan. “yaa diawasi langsung. Biasanya yang ngawasin itu pak Tata sama pak Yusep sampai selesai itu mah. Kalau mau ada proyek lagi biasanya ditenderin lagi kalau masalah dilibatkan dengan masyarakat ga ada, ditenderkan lagi sama yang lain”. (WM 6). Umumnya PT. CGI melalukan tender atau lelang kegiatan yang akan dilakukan kepada perusahaan-perusahaan (CV) milik masyarakat 178 lokal, tentunya sesuai dengan kualifikasi pekerjaan yang dilakukan. PT. CGI membina local business development (LBD), yaitu CV-CV atau perusahaan lokal yang menjadi mitra binaan, yang siap mengikuti lelang pekerjaan yang dilakukan oleh PT. CGI. Melalui merekalah program-program CSR PT. CGI dilakukan kepada masyarakat. Umumnya program-program bantuan dari PT. CGI yang bersifat fisik, seperti pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, atau gorong-gorong, atau mesjid ibadah dilakukan melalui LBD tersebut. Umumnya pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh PT. CGI hanya dilakukan di awal kegiatan, dan setelah kegiatan pembangunan tersebut selesai dilakukan. Bagi CV-CV atau anggota LBD yang tidak jujur atau hasil pekerjaannya tidak sesuai spesifikasi kontrak, maka di masa CV tersebut tidak akan diajak kembali menjadi mitra. “ada, biasanya kan kalau program mau turun itu ada serah terima, nah sebelum serah terima itu biasanya ada pengecekan ke lapangan dulu disurvei dulu. Nanti kalau dari Chevron sudah deal akan dikasih jadi ga dikasih begitu saja, ada pengontrolan biasanya sama Pak Tata itu mah. Pak Tata sama Pak Yosep aja biasanya itu mah yang untuk dimasukkan ke LBD (local bussiness development) “(TM 4). Kemudian pelibatan pengontrolan atau pelaporan kepada pihak pemerintah kecamatan jarang dilakukan. Kegiatan bantuan pembangunan tersebut sering dilakukan antara pihak pemerintah desa dengan PT. CGI. Tetapi kalau pihak kecamatan berinisiatif melakukan monitoring dan pengontrolan, baru kemudian pihak pemerintah desa atau PT. CGI memberikan pelaporan kepada kecamatan. tidak ada, jadi kalau tidak ditanya mah ya tidak ada pelaporan. iya kaya seperti kalau saya turun ke lapangan untuk mengotrol baru akan ketahuan ada apa di desa de. Kalau tidak ada 179 pengontrolan mah tidak ada informasi ke kecamatan. Yang biasanya tau itu ya kordinator (PK 1 & PK 2). Mekanisme pelaksanaan kegiatan CSR dari PT. CGI cenderung tidak melibatkan pihak kecamatan. Walaupun dalam perencanaan kegiatan yang dikembangkan oleh PT. CGI terlihat bahwa pihak kecamatan dilibatkan melalui musrenbang tingkat kecamatan. Fenomena hubungan antara pemerintah desa, pemerintah kecamatan dan PT. CGI ini menarik untuk disimak. Idealnya diantara stakeholder ini akan terbangun relasi yang baik, dalam rangka efektifitas dan efisiensi pembangunan masyarakat di wilayahnya. Jika masing-masing pihak merasa benar dan tidak ada komunikasi yang harmonis, maka masyarakatlah yang akan menjadi korban. “kalau yang dulu mah saya jelas-jelas ga tau ya, Cuma kalau yang sekarang mah katanya ya katanya, kan dari desa mengajukan dulu, nanti diproses sama Chevron lalu untuk pelaksanakannya swakelola dari desa. Jadi dari Chevron mah dikasih berupa barang dan bantuan pengerjaan aja, setelah di proses itu nanti ada tender untuk pengadaan barangnya. Setelah itu baru dilaksanakan ke desa. ... (bantuannya) langsung aja ke desa itu mah, pihak kecamatan mah ga tau dimana-gimananya. Kalaupun ada komunikasi dengan pihak kecamatan pastinya bapak ini bapak Suryaman sebagai Kasi PMD. Sejauh ini belum ada. ... ya belum ada de, tapi ya enak-enak aja sih sebenernya jadi ga begitu ribet hehehe.” (PK 1 & PK 2). Menarik untuk disimak pendapat aparat pemerintah kecamatan Pasirwangi, bahwa pihak kecamatan tidak tahu-menahu mengenai bantuan yang diberikan oleh PT.CGI. Namun begitu, kondisi tersebut bagi pihak kecamatan tidak masalah, bahkan merasa tidak terganggu dengan urusan bantuan yang terjadi antara PT. CGI dengan pemerintahan desa. 180 C. Relasi Perusahaan dengan Masyarakat Lokal Menurut Masyarakat Lokal Mengenai komunikasi yang terjalin antara masyarakat lokal dengan PT. CGI sebagian masyarakat melihat terbatas. Tidak mudah bagi masyarakat untuk melakukan komunikasi dengan pihak PT. CGI. Hal tersebut dapat dipahami, mengingat PT. CGI sebagai entitas bisnis akan fokus pada core bussiness. Apalagi kepemilikan perusahaan tersebut bukan milik nasional, tetapi milik asing. Kondisi tersebut sedikit banyak membentuk sentimen dan cara pandang lain dari masyarakat. Jika dibandingkan dengan perusahaan nasional seperti Indonesia Power atau Pertamina, maka pandangan masyarakat lokal agak cenderung lebih negatif terhadap PT. CGI. Tidak banyak gejolak yang muncul di masyarakat lokal dan dihadapi oleh perusahaan nasional. “kalau Chevron ya jujur saja yah, agak terbatas. Jadi terbatas tidak bisa masuk sembarangan orang, komunikasi juga tidak terlalu terbuka dengan Chevron itu. Jangan kan untuk masyarakat biasa yah, setingkat pejabat juga rada susah gitu ya, soalnya kan Chevron itu perusahaan tingkat internasional ya, jadi lebih ketat segala peraturannya tidak bisa sembarangan. Orang indonesia yang ada diperusahaannya juga terbawa dengan manajemen dari luar gitu.” (PK 3). Tetapi pendapat berbeda dikemukakan oleh aparat pemeritahan lokal, yang memandang bahwa kehadiran PT. CGI sangat membantu masyarakat, khususnya dengan pembangunan jalan tersebut. Juga dapat dipahami jika aparat pemerintah lokal setidaknya setiap tahun akan 181 bertemu dengan pihak PT. CGI dalam diskusi atau musyawarah perencanaan pembangunan baik tingkat desa atau kecamatan. “kalau itu baik, sejauh ini baik-baik saja ya. Ya karena ada tanggungjawab dari perusahaan itu juga. Karena dengan adanya Chevron ini masyarakat merasa terbantu sekali ya. Akses kemana-mana jadi gampang juga. Sama kaya yang sekarang ada lowongan tenaga kerja dari Chevron kan juga lumayan dari masyarakat. (PK 1 & PK 2). “ya sementara ini mah masyarakat yah khususnya agak senggang gitu nya. Soalnya ... tadinya A, jadi dari Chevronnya emang bagus gitu nya. Cuman ada yang banyak di manfaatin gitu. Oleh oknum-oknum itu. Ngan ayeuna Chevronna mah secara ayeuna kronoligis weh nya di lapangan mah Chevron mah kitu. Jadi Chevron tidak bisa ngasih langsung, kecuali ada pengajuan dari masyarakat atau pemuda. Jadi Chevron merealisasikan ka pemuda, eta juga mun sosorongot popolotot heula.” (TP 4). Di kalangan pemuda, mereka memandang hubungan antara PT. CGI dengan masyarakat lokal saat ini sedang senggang, tidak begitu harmonis. Pendapat tersebut jelas mencerminkan bahwa terdapat pandangan dan pendapat yang cenderung berbeda antara aparat pemerintah lokal dengan masyarakat lokal dalam memandang hubungan antara masyarakat lokal dengan PT. CGI. Kemudian pada masyarakat asli, mereka memandang hubungan antara PT. CGI dengan masyarakat lokal cenderung negatif. Kondisi tersebut tidak terlepas dengan pengetahuan mereka terhadap kehadiran awal pertama perusahaan tersebut, yang relatif tidak terlalu harmonis dan menimbulkan citra kurang baik di hadapan masyarakat. Sedangkan pada aparat pemerintah lokal cenderung memandang hubungan tersebut secara positif. 182 Beberapa warga mengemukakan bahwa ada manfaat positif dengan kehadiran PT. CGI. Salah satu yang paling dirasakan adalah perbaikan sarana infrastruktur, seperti jalan. Sehingga perbaikan jalan tersebut dapat dipandang membawa dampak pada kemajuan ekonomi. Akses penjualan sayur mayur dari desa-desa sekitar ke kota kabupaten menjadi lebih mudah dan lancar. “kalau bicara dampak ya positif, hubungan perusahaan dengan masyarakat menjadi baik, demo-demo juga sudah berkurang, lalu dampak bagi kemajuan ekonomi juga terlihat jelas yah kemajuannya tertama karena adanya jalan yang bagus. Ya jadi dampaknya positiflah menurut saya, sangat banyak membantu.” (PK 3) “ya ada, itu kan jadi bagus akses jalan ngaruh juga ke ekonomi. Jelas ada pengaruh ke masyarakat.” (PK 1 & PK 2) Perbaikan jalan tersebut dapat dikatakan sebagai upaya PT. CGI membangun relasi dengan masyarakat sekitar dengan baik. Dan bagi masyarakat lokal yang sederhana akan lebih memaknai hal tersebut sebagai sesuatu yang lebih nampak terlihat oleh mata mereka sendiri, terasakan jelas manfaatnya, dan ada wujudnya. “ya dengan adanya program CSR ini kan bermanfaat juga untuk masyarakat. Jadi masyarakat merasa sangat terbantulah terutama di ekonomi untuk akses penjualan hasil panen sayuran. Ya.... jadi berpengaruh juga ke hubungan perusahaan dengan masyarakatnya de. Jadi lebih baiklah, bisa dibilang CSR ini untuk memperbaiki hubungan Chevron dengan masyarakat. iya ada, kan jadi makin lebih baik.” (PK 1 & PK 2). Bantuan infrastruktur seperti jalan, pembangunan mesjid, dan gorong-gorong merupakan bantuan CSR dari PT. CGI yang paling dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lokal. Berbeda dengan bantuan yang bersifat capacity building, atau pelatihan KUKM (kelompok 183 usaha kecil dan menengah) yang hasilnya mungkin baru dapat dilihat dalam jangka waktu tertentu. Jenis bantuan CSR non infrastruktur tersebut memerlukan komitmen atau rasa tanggung jawab untuk secara terus menerus melanjutkan usahanya. “ positifna..., kadang-kadang upami nyuhunkeun kitu sok masihan. Atos ambek eta ge... atos maksa... Teu aya anu tulus atuh da mimitina teh pemaksaan eta mah. Bukan ti perusahaan masihan naon lah. Teu aya. Kesadaran teu aya, upami ke jalan karak aya. Abdi ge pernah ngusung ngabangun bumi jompo. Paling masihan ge 5 sak (semen) jang. Ge eta teh sabaraha tangan kitu tah 5 sak teh, cek saya teh moal kitu ah. Ti payun didieu teh aya nu kahuruan, teu lungsur ti Chevron teh, ti perusahaan mah. Ti Ulis ngan beas dua karung harita mah, kitu kitu. Nah eta nu beak kahuruan. Abdi ngajukeun ka ditu, tiaptiap RW na, LPM, teu aya pisan bantosan, ka nu musibahan. Didieu kahuruan, kebakaran, seep pisan jang. (WM 1). Apabila terjadi bencana pun, masyarakat akan meminta bantuan kepada Chevron jika pemimpin atau aparat desa tidak mampu memberikan bantuan. Kondisi ini menunjukkan sifat ketergantungan masyarakat kepada PT. CGI. Masyarakat selalu mengandalkan PT. CGI untuk mengatasi persoalan sosial yang dihadapinya. Kondisi tersebut dapat dimaknai pula, bahwa masyarakat memandang sudah selayaknya PT. CGI memberi bantuan kepada mereka, karena perusahaan tersebut telah mengeksploitasi sumber daya alam ‘milik’ masyarakat. Inilah yang dikatakan sebagai kesadaran diskursif agen (Giddens, 2010), yaitu masyarakat memahami secara berbeda atas kegiatan atau bantuan yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat. Terlaksananya kegiatankegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan, dalam konsepsi strukturasi, merupakan pemahaman dan pengetahuan agen akan CSR 184 (struktur) yang seharusnya dilakukan, termasuk juga alasan pengamanan perusahaan dibalik kegiatan CSR tersebut. Dalam data hasil wawancara lapangan sebelumnya nampak bahwa tidak semua program CSR perusahaan dapat diterima oleh masyarakat, namun terdapat pula program-program yang dapat diterima oleh masyarakat. Semisal pembangunan (pengaspalan) jalan dari Tarogong-Samarang-Pasirwangi ditanggapi positif oleh agen (masyarakat) karena masyarakat memang memiliki pemahaman yang sama dengan agen lainnya (perusahaan dan pemerintah) akan kebutuhan jalan yang mulus. Berbeda halnya dengan program LBD dan pengembangan UMKM, dimana masyarakat dan perusahaan memiliki pemahaman yang berbeda mengenai ketepatan dan praktik-praktik yang memberdayakan masyarakat. 185 186 BAB V PANDANGAN PERUSAHAAN AKAN KEGIATAN CSR DAN MASYARAKAT LOKAL Dalam sub bab ini akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai kesadaran perusahaan akan keberadaan masyarakat lokal dan tanggung jawab sosial perusahaan, yang diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan dalam operasionalisasi kegiatan tanggung jawab sosial. A. Pandangan Perusahaan akan Keberadaan Masyarakat Lokal Masyarakat lokal merupakan mitra utama dan penting dalam kesadaran PT. CGI, sehingga kehadiran perusahaan diharapkan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Hasil wawancara dengan staf PGPA (Policy Goverment Public Affair) menunjukkan bahwa kebijakan Chevron di seluruh dunia adalah sama. Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bagian dari corporate responsibility. Sehingga CSR Chevron merupakan salah satu bagian kecil dari tanggung jawab perusahaan. Tanggung jawab perusahaan tersebut merupakan corporate ethic PT. CGI dimana di dalamnya terdapat kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, selanjutnya community development merupakan bagian dari kegiatan CSR perusahaan tersebut. Sebagaimana diungkapkan dalam wawancara berikut. “Saya melihat hubungan antara perusahaan dan masyarakat harus dicermati secara intensif, bahkan kalau perlu sangat 187 intensif (second by second), karena perubahan stakeholders yang sedemikian dinamis. Hubungan ini jangan hanya dilihat sebatas relationship, tetapi sebagai suatu investasi sosial (social investment) jangka panjang bagi keberlangsungan bisnis. Dalam hal regulasi, dengan atau tanpa regulasi Chevron tetap komitmen untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, karena ini merupakan salah satu value Chevron sebagai sebuah korporasi. Namun demikian dalam pelaksanaannya, tetap diingat bahwa kami basisnya adalah sebuah entitas bisnis, sehingga memerlukan keterlibatan pihak lain untuk bersama-sama melaksanakan program. ” (PP 2). PT. CGI melihat hubungan antara perusahaan dengan masyarakat harus dicermati secara intensif, bahkan sangat intensif. Dalam arti bahwa hubungan yang terjadi sangat dinamis karena perubahan dan pergeseran stakeholder sekitar. Selanjutnya hubungan yang terbina dengan masyarakat tersebut juga merupakan social investment (investasi sosial) jangka panjang bagi keberlangsungan bisnis. Menurut peneliti, bahkan hubungan tersebut seharusnya juga tidak semata sebagai sebuah investasi, tetapi sebagai sebagai upaya membangun pengakuan sosial (social legitimation) akan penerimaan dan tumbuhnya rasa saling menjaga antara masyarakat dengan perusahaan. Dalam sudut pandang ekonomis, mungkin benar bahwa hubungan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah investasi sosial. Namun masyarakat bukanlah sekedar entitas ekonomi, masyarakat harus dilihat secara sosiologis dan beragam dimensi lainnya. Sebagaimana hubungan dalam lingkungan ketetanggaan, jika memang berfikir dalam jangka panjang. 188 Comdev hanya bagian kecil dari corporate ethic. Setiap karyawan dan kontraktor harus menandatangani pakta integritas setiap 2 tahun sekali. Kalau ngomongin tentang CSR, tidak saja comdev, tetapi juga bicara dengan etika bisnis. Ada sekitar 7, salah satunya comdev. (PP 2). Data hasil lapangan (hasil wawancara) menunjukkan bahwa setiap karyawan dan kontraktor harus menandatangani pakta integritas setiap 2 tahun sekali. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin bahwa seluruh kegiatan yang berkaitan dengan PT. Chevron dapat sesuai dengan etika bisnisnya. Terdapat konsekuensi apabila etika bisnis tersebut tidak dijalankan, maka siapa pun baik perusahaan maupun kontraktor mitra PT. CGI akan mendapat teguran atau terburuknya adalah pemutusan hubungan kerja. Semua kebijakan tersebut merupakan bagian dari ‘chevron way’ yang harus dilaksanakan oleh semua pihak baik internal maupun sebagai kontrakor mitra kerjanya. Prayogo (2011:5) menunjukkan bahwa pemahaman perusahaan akan keberadaan masyarakat lokal; dan pengelolaan relasi dengan masyarakat lokal sekelilingnya adalah penting. Kontrol dan tekanan masyarakat lokal kepada perusahaan tidak perlu dilihat sebagai hambatan, melainkan peluang untuk mengembangkan indutri itu sendiri dengan memperkuat dukungan sosial perusahaan yang bersangkutan. Kegagalan perusahaan dalam memahami kondisi dan keberadaan masyarakat lokal, serta pemangku kepentingan lainnya akan menimbulkan tekanan yang lebih kuat terhadap perusahaan. Frynas (2009: 39) telah mengingatkan bahwa seringkali acuan CSR universal gagal dalam mengatasi isyu konteks di negara tempat industri beroperasi. 189 B. Operasionalisasi Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Sebagai upaya meminimalisasi dampak sekaligus juga merupakan konpensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan, dalam Community Engagement (CE) report tahun 2011, disebutkan bahwa komitmen corporate responsibility CGI untuk mengembangkan operasi panas bumi diselaraskan dengan pemberdayaan di sekitar wilayah operasi. Visi dari CGI dikenal dengan 3P, yaitu performance, people dan partnership. Salah satu landasan CGI melakukan CE berkaitan dengan visi tersebut yaitu agar terjalin kemitraan (partnership) yang baik antara CGI dengan semua stakeholder yang terkait, terutama masyarakat. Komitmen ini berawal dari prinsip yang dipegang bahwa CGI yakin keberlangsungan bisnis tergantung pada investasi sosial perusahaan terhadap masyarakat lokal. Secara struktural, CE berada di bawah departemen Policy Government and Public Affair (PGPA), dengan struktur sebagaimana terlihat dalam gambar 5. 190 Manager PGPA TM PGPA TM Operation Support TM Communication Analyst Government Relation Specialist Communication Engagement Specialist Gambar 5. Struktur Departemen Policy Government and Public Affair (PGPA) CGI . (Sumber: Chevron, 2012). Kebijakan, tujuan dan strategi, serta prinsip CE CGI adalah “berkomitmen untuk berkontribuasi” terhadap perkembangan ekonomi dan sosial dari masyarakat di sekitar area operasi dengan berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Mendukung visi, misi, dan strategi pemerintah setempat berdasarkan skala prioritas pembangunan (strategis dan tidak menggantikan program pemerintah) 2. Fokus pada program partisipatif aktif dan pengembangan kapasitas masyarakat. 3. Bersifat transparan, berkelanjutan, terdokumentasi dengan baik. 4. Berkesinambungan – kontribusi untuk peningkatan kapasitas dan pengembangan ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang. 5. Menerapkan proses monitoring dan evaluasi untuk memberikan ukuran dan akuntabilitas program. 191 Tantangan yang kemudian muncul adalah berkaitan dengan kegiatan CSR PT. CGI kepada masyarakat. Pihak perusahaan menilai bahwa tema-tema kegiatan yang sudah menjadi pilar kegiatan dari PT. CGI seringkali tidak sejalan dengan keinginan masyarakat. “Terus terang bicara persoalan CSR itu sangat menantang, berbeda dengan ilmu eksakta, yang mudah terukur. Kalau berkaitan dengan PROPER dari KLH, itu kan hanya tertulis, kami tidak berani menyatakan sebagai yang terbaik. Kalau untuk power plant kita berani menyatakan yang terbesar, kalau yang lain baru ngebor. Apalagi yang namanya CSR dinamis.” (PP 1). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa persoalan tanggung jawab sosial perusahaan adalah bukan persoalan yang mudah. Bukan sekedar besarnya dana atau banyaknya program, tetapi kesungguhan pihak perusahaan untuk membangun relasi yang harmonis dengan masyarakat. Dengan demikian latar belakang dan kualifikasi dari sumberdaya manusia yang menempati posisi pentingn yang berhubungan dengan masyarakat adalah menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh PT. CGI. Oleh karena itu, PT. CGI memerlukan keterlibatan pihak lain dalam pelaksanaan CSR untuk bersama-sama melaksanakan program tersebut. “CSR kami terdapat pilar-pilar, seperti pendidikan, kesehatan. CSR kami punya tema, sedangkan penduduk terkadang berdasarkan keinginan bukan berdasarkan kebutuhan, seperti ingin jalan bagus, fasilitas air bagus, infrastruktur lainnya bagus; yang mungkin sebetulnya bukan kebutuhan mereka. Kita ini bukan ingin menggantikan pemerintah, tetapi kita ini ingin membantu pemerintah. Jadi tidak bisa urusan perbaikan jalan diserahkan kepada kita.” (PP 1). 192 Menurut PT. CGI, masyarakat seringkali mengajukan usulan kegiatan bukan berdasarkan kebutuhan nyata yang harus dipenuhi, tetapi berdasarkan pada keinginan. Keinginan-keinginan masyarakat tersebut, bagi perusahaan, mungkin saja bukan berdasarkan kebutuhan. Kemudian PT. CGI tidak ingin menggantikan posisi peran yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Jadi bagi PT. CGI perbaikan jalan, penyediaan air bersih, dan pembangunan infrastruktur tersebut seharusnya merupakan kewajiban pemerintah pusat atau daerah. Pendapat tersebut dapat dipahami, mengingat jika semua kegiatan pembangunan di wilayah sekitar perusahaan semua dilakukan oleh PT. Chevron, maka akan timbul ketidaksesuaian arah pembangunan daerah tersebut dengan daerah lainnya. Kemudian akibat lanjutannya adalah, akan menimbulkan kecemburuan diantara desa-desa lain di wilayah Garut. Hasil penelitian Frynas (2009:116) menunjukkan setidaknya terdapat 4 (empat) alasan penting yang menjadi motif perusahaan melakukan kegiatan pengembangan masyarakat, yaitu untuk memenuhi kepentingan kompetitif, memelihara ‘licence to operate’, mengelola persepsi eksternal, dan mempertahankan kenyamanan pegawainya. Lebih lanjut Frynas (2009:39) menyatakan menyatakan bahwa sifat dan jenis industri menentukan perhatian CSR dan kepentingan sosialnya sangatlah berbeda diantara industri yang berbeda. Oleh karena itu pemahaman konteks industri dikaitkan dengan pelaksanaan CSR menjadi sangat krusial. 193 1. Landasan Etis Kegiatan CSR PT. CGI Bagi PT. CGI basis CSR itu sesungguhnya adalah kesukarelaan. Sehingga dengan adanya regulasi justru sebenarnya mereduksi makna CSR itu sendiri. Untuk Indonesia ada beberapa regulasi yang justru mewajibkan CSR. Di Chevron, tema besarnya adalah corporate responsibility, salah satunya social investment. Dengan demikian CSR di PT. CGI hanya merupakan salah satu dari corporate responsibility, sedangkan fokus kegiatan lainnya lainnya adalah ketaatan terhadap regulasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, etika bisnis dan lainlain; ada sekitar 7 (tujuh) butir. Segala aktifitas PT. Chevron Gothermal Indonesia di Darajat Garut merupakan bagian dari Chevron di seluruh dunia yang berlandaskan pada “The Chevron Way”. Visi dari The Chevron Way adalah “...to be the global energy company most admired for its people, partnership and performance”. Dalam visi tersebut berarti: - Menyediakan produk energi penting secara aman bagai keberlanjutan kemajuan ekonomi dan perkembangan manusia melalui dunia; - Menjadi sumber daya manusia dan organisasi yang memiliki kemampuan dan komitmen yang tinggi.; - Menjadi mitra pilihan; - Memperoleh pengakuan dan penerimaan dari semua pemangku kepentingan—investor, konsumen, pemerintah setempat, masyarakat lokal dan para pekerja—tidak hanya dalam pencapaian tujuan tetapi bagaimana menggapai mereka. 194 - Menampilkan kinerja kelas dunia. Sedangkan nilai-nilai yang membangun perusahaan mutinasional tersebut antara lain: 1. Integrity. Nilai ini menunjukkan kejujuran terhadap orang lain dan diri sendiri. Bersandar pada standar etik yang tinggi dalam semua urusan bisnis. Sejalannya kata dan tindakan. Menerima tanggung jawab dan dapat mempertanggung-jawabkan dirinya terhadap pekerjaan dan tindakannya. 2. Trust. Nilai ini memiliki arti saling percaya, hormat dan dukung dengan lainnya, dan memberi kepercayaan terhadap kolega dan mitra kerja. 3. Diversity. Nilai ini berarti mencoba belajar dan menghargai budaya dimana mereka bekerja. Menghargai dan menunjukkan rasa hormat terhadap keunikan individual dan beragam perspektif serta bakat-bakat mereka. Lingkungan pekerjaan yang inklusif dan secara aktif menyebar luaskan keragaman melalui orang-orang, gagasan, bakat-bakat dan pengalaman. 4. Ingenuity. Berupaya mencari peluang-peluang baru dan solusi di luar kebiasaan. Memanfaatkan kreativitas untuk menemukan sesuatu yang tidak terduga dan cara-cara praktis untuk mengatasi permasalahan. Pengalaman, teknologi, dan keteguhan memungkin Chevron dapat mengatasi tantangan dan menyebarkan nilai-nilainya. 5. Partnership. Chevron memegang teguh komitmen untuk menjadi mitra yang baik dengan fokus mengembangkan produktivitas, kolaboratif, 195 kepercayaan dan relasi yang bermanfaat dengan pemerintah, perusahaan lain, para pelanggan, masyarakat dan lain-lain. 6. Protecting people and the environment. Prioritas tertinggi Chevron adalah pada kesehatan dan keselamatan kerja dan perlindungan terhadap aset mereka dan lingkungan. Tujuan Chevron dihargai atas kinerja kelas dunia melalui disiplin dengan menerapkan Operational Excellent Management System (OESM). 7. High performance. Chevron berkomitmen terhadap kesempurnaan dalam apapun pekerjaan yang dilakukan, dan selalu memperbikinya secara terus menerus. Kami bersemangat untuk selalu memperoleh hasil yang melebihi harapan –diri sendiri atau lainnya. Chevron didorong dengan hasil energi dan bersifat segera. Chevron berkomitmen untuk berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara dimana Chevron beroperasi sebagai pengakuan bahwa kemajuan usaha mereka secara harus seiring dengan kemajuan masyarakatnya. Sebagai dikemukakan oleh CEO Chevron, bahwa “Chevron contributes to the economic and social well-being of people in the countries where we operate because we recognize that business success is deeply linked to society's progress. Our investments in communities also are investments in the long-term success of our company, and they deliver mutual benefit and promote shared progress. Wherever we are, we strive to be a good neighbor, sharing the concerns of our communities and working to create a better future. (Chevron, 2012). 196 Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi Chevron terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat di negaranegara tempat mereka beroperasi, karena mereka melihat bahwa keberhasilan bisnis sangat berkaitan dengan kemajuan masyarakat. Pihak Chevron mengakui bahwa investasi mereka, juga investasinya di masyarakat merupakan investasi jangka panjang dalam keberhasilan perusahaan mereka. Mereka berharap dapat menyebarluaskan manfaat dan kemajuan bersama dengan masyarakat. PT. CGI berupaya menjadi tetangga yang baik, berbagi dan bekerja bersama bagi masyarakat yang lebih baik di masa depan. Chevron juga berupaya melakukan lebih dari sekedar menyediakan energi. Chevron berupaya berinvestasi kepada manusia, semua pihak mendapat manfaat. Program-program Chevron mencoba berupaya melibatkan masyarakat dan individu, memberdayakan mereka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi keberlanjutan dan membantu mewujudkan manfaat sosio-ekonomi jangka panjang. Sasaran penerima manfaat dari inisiatif ini adalah masyarakat yang hidup di sekitar wilayah operasi Chevron. Hal tersebut menunjukkan komitmen Chevron untuk menjadi mitra pilihan. Untuk itu, pernyataan Garriga dan Mele (2004:51-71) yang menyebutkan teori etis (ethical theories), sebagai teori yang mana tanggung jawab sosial yang dijalankan dengan menggunakan hak asasi manusia. Etika bisnis, menyebutkan bahwa perusahaan, sebagai kelompok sosial atau individual dalam masyarakat, harus berkontribusi untuk kebajikan umum, karena sudah menjadi bagian dari masyarakat (Smith, 1999; Alford & Naughton, 2002; Mele, 2002) 197 2. Fokus dan Mekanisme Kegiatan CSR PT. CGI Kehadiran PT. CGI di tengah-tengah masyarakat, keberadaannya harus memberi manfaat bagi masyarakat sekitar, dimana pun mereka beroperasi. Kemanfaatan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan yang terencana bersama para pemangku kepentingan lainnya, termasuk masyarakat. Juga melalui kegiatan secara perseorangan yang dilakukan oleh setiap individu dari karyawan PT. CGI. Setiap karyawan PT. CGI harus berbaur dengan masyarakat sekitar. Setiap individu harus membuat laporan individual mengenai kegiatan berbaur dan keterlibatan mereka dengan masyarakat sekitar. “Kita bekerja dengan value, kita mengikuti Chevron di seluruh dunia lah. Salah satu panduannya adalah bahkan dimana pun kita berada (berusaha) harus memberi manfaat kapada masyarakat sekitar (dimana kita operasi). ...Value itu sudah ada sebelum undang-undang (tentang PT dan Energi di Indonesia), dan itu melekat pada diri setiap karyawan. Setiap karyawan harus mendeliver diversity, dia harus ada engagement kepada masyarakat, dia harus berbaur dengan masyarakat sekitarnya. Setiap pekerja Chevron harus berperilaku sesuai dengan nilainilai Chevron way. Ada rapport setiap individu.” (PP 1). Dengan pernyataan tersebut, sudah merupakan kewajiban pihak PT. CGI untuk melakukan kegiatan pendampingan di wilayahnya. Berdasarkan data lapangan menunjukkan bahwa prioritas wilayah yang memperoleh kegiatan dampingan dari PT. CGI adalah Kecamatan Samarang. Padahal Kecamatan Samarang masuk dalam wilayah Ring 2, sedangkan Ring 1 adalah Kecamatan Pasirwangi dan Sukaresmi. Desakan dari warga masyarakat dan kepala-kepala desa di Kecamatan 198 Samarang-lah yang membuat PT. CGI memprioritaskan kegiatan awal mereka di Kecamatan Samarang. “ya sebenarnya itu sudah ada di ini (baca:programnya) nya Chevron (Chevron way), apa namanya itu, hemm laporan keseluruhan PGPA. Di sana dijelaskan bahwa Chevron harus melakukan CSR. Tapi dilaporan itu namanya bukan CSR tapi apa ya, corporate responsibility kalau tidak salah ya itu tidak ada kata Sosialnya. Nah di laporan itu tertulis sudah kewajiban pihak Chevron untuk melakukan itu di wilayah dampingannya. Kalau untuk Samarang itu sebenarnya Samarang termasuk dalam ring dua, ring satunya Pasirwangi dan Sukaresmi. Cuma karena desakan dari Kepala-kepala Desa di Kecamatan Samarang akhirnya diputuskan masuklah ke dalam program. Oh CE (community engagement) namanya bukan CR. Nah di Kecamatan Samarang itu sebenarnya yang masuk wilayah rawan... yang letaknya paling ujung dan paling terkena dampak dari jalan akses keluar masuk kendaraan Chevron makanya menjadi tanggung jawab perusahaan.... Tujuan Chevron melakukan CSR itu pada intinya ingin membangun hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar terutama daerah-daerah yang disebut desa merah tadi...”. (LS 1). Di dalam PT. Chevron sendiri memang sudah ada komitmen, yaitu komitmen yang dibangun melalui kesepakatan dengan pihak para kepala desa. Pihak perusahaan memahami bahwa daerah-daerah yang terkena dampak terutama akses jalan kendaraan yaitu Kecamatan Samarang, Pasirwangi, dan Sukaresmi; akan memperoleh prioritas bantuan. Namun diantara ketiga kecamatan tesebut, hasil data lapangan menunjukkan bahwa, Kecamatan Samarang merupakan daerah yang paling rawan dan keras dalam pandangan pihak perusahaan. Sehingga daerah-daerah tersebut seringkali disebut daerah ‘merah’, karena sering terjadi demo dan aksi tuntutan masyarakat kepada PT. CGI. Walaupun 199 Kecamatan Pasirwangi secara lokasi yang paling dekat dan berada dalam wilayahnya PT. CGI, namun bantuan yang paling pertama dan utama adalah ke desa-desa wilayah Kecamatan Samarang. Sasaran Bisnis Tujuan Bisnis Tujuan Sosial Implementasi Sasaran Sosial Mendukung operasi dan mempererat hubungan dengan para pemangku kepentingan untuk menjadikan Chevron sebagai mitra pilihan Meningkatkan reputasi Chevron sebagai warga korporat yang baik Meningkatkan pengelolaan lingkungan Mengurangi ketergantungan masyarakat sekitar terhadap Chevron Konservasi Pendidikan dan Kebutuhan lingkungan dan Pelatihan Pokok manusia keanekaragaman - Meningkatkan - Meningkatkan hayati akses akses - Meningkatkan masyarakat masyarakat kesadaran publik terhadap fasilitas terhadap fasilitas akan pentingnya pendidikan layanan lindung lingkungan - Meningkatkan kesehatan. di sekitar daerah kualitas - Meningkatkan operasi pendidikan dan fasilitas umum - Mendukung upaya lulusan siswa dan publik konservasi kesehatan - Program pengembangan sekolah- SMK Pasirwangi - Supercamp – Bimbingan belajar intensif masuk PTN untuk siswa SMA kelas 3 Pengembangan Keuangan Mikro - Mendukung peningkatan pendapatan masyarakat - Meningkatkan kualitas UMK di sekitar daerah operasi - Membangun dan - Program reboisasi - Pendampingan melengkapi kawasan hutan usaha home sarana IGD Darajat kerjasama industry oleh - Pipanisasi air Perhutani PUPUK bersih/ sanitasi - Kerjasama kawasan - Program KUBE lingkungan Cagar Alam dengan ternak domba - Kampanye & BBKSDA kerjasama pencegahan Dinsos, Uniga, penyakit TBC CGI - Kampanye HIV/ AIDS 1. 2. Meningkatkan standar kehidupan masyarakat Membangun kemandirian masyarakat Gambar 6. Program Community Engagement CGI, Sebuah Pendekatan Keberlanjutan Untuk Memberdayakan Komunitas. (Sumber: Chevron, 2010). 200 Tujuan utama dari semua bantuan yang diberikan oleh PT. Chevron kepada masyarakat, tidak lain adalah untuk membangun hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar. PT. CGI memandang bantuan yang diberikan kepada masyarakat tersebut sebagai social investment, yang tidak semata-mata sebagai jaminan keamanan operasi perusahaan. Investasi sosial yang dibangun oleh PT. CGI adalah yang berjangka panjang, dengan ketaatan terhadap peraturan yang berlaku di Indonesia. PT. CGI berpendapat, bahwa apa yang dilakukannya telah melebihi kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan, sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku. Artinya ada atau tidak regulasi, maka PT. CGI tetap akan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai perusahaan yang peduli kepada masyarakat (sebagaimana terlihat dalam tabel sebelumnya). “Sebenarnya antisipasi kita adalah second by second. ... Memang kita sebagai part of bussiness, sehingga melihatnya tidak semata-mata menjaga lokasi (social investment), tetapi sebagai sebuah investasi jangka panjang. bukan sekedar investasi 1-2 bulan tetapi investasi 5 tahun (jangka panjang). Konsepnya kira-kira kita melihat sebagai social investment. Tidak ada regulasi pun kita akan tetap menjaga lingkungan sekitar, yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup RI. Sebelum ada Undang-undang pun kami sudah melaksanakan social investment . Bagaimana pun kami basisnya adalah bisnis. Karena basisnya CSR itu sesungguhnya adalah voluntary basis. Sedangkan undang-undang di Indonesia mewajibkan CSR. Sebenarnya apa yang kami lakukan sudah jauh melebihi peraturan undang-undang. Sudah di atas ketaatan peraturan.” (PP 2). 201 Dengan melihat perkembangan masyarakat lokal, relatif secara umum wilayah Pasirwangi masih belum banyak kemajuan dan masuk dalam kategori daerah miskin. Sehingga tuntutan dan harapan masyarakat kepada PT. CGI begitu tinggi. Sehingga PT. CGI harus selalu siap dan mengantisipasi perkembangan masyarakat setiap waktu. Selanjutnya program community engagement PT. CGI, memiliki fokus berupa sasaran kegiatan bisnis, tujuan bisnis dan tujuan sosial. Program kegiatan ini nampaknya diharapkan merupakan sebuah pendekatan yang dalam sustainable rangka memberdayakan masyarakat lokal. Proses dan pelaksanaan program community engagement dilakukan atas participatory based program dalam CE CGI, dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1) Pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program secara berkaa bersama-sama dengan stakeholder terkait. 2) Berdasarkan matriks kinerja 3) Fokus pada keberlanjutan program. 4) Rencana tindak lanjut dan umpan balik. 5) Hasil yang terdokumentasi dalam laporan: a. Pemantauan dan evaluasi b. Kunjungan lapangan c. Kemajuan proyek d. Laporan akhir 1) Program pendidikan dan pelatihan Untuk meningkatkan reputasi bisnis PT. CGI sebagai warga korporat yang baik, mengeluarkan dua program tujuan sosial yaitu 202 program pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan kebutuhan pokok manusia. Tujuan program pendidikan dan pelatihan adalah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan dan lulusan siswa. Implementasi untuk mencapai tujuan tersebut, maka diluncurkan dalam 2 (dua) program yaitu program pengembangan sekolah—SMK Pasirwangi dan Supercamp—bimbingan belajar intensif masuk PTN untuk siswa SMA kelas 3. Gambar 7. menunjukkan mekanisme implementasi dari program pendidikan dan pelatihan. Gambar 7. Program Education For Forestry Community - Ed4Comm 2009-2014. (Sumber: Chevron, 2010). 203 Hasil pelaksanaan program community engagement unggulan bidang pendikan dan pelatihan yaitu pengembangan kualitas sekolah – SMK Pasirwangi dan pembelajaran intensif bagi siswa SMA kelas 3 masuk PTN, dapat dilihat dalam tabel 27 berikut: Tabel 27. Deskripsi pelaksanaan program community engagement unggulan bidang pendidikan dan pelatihan Deskripsi Meningkatkan Akses Masyarakat Terhadap Layanan Pendidikan, Dengan Membuka Sekolah Menengah Kejuruan SLTA, di mana sebelumnya belum ada sekolah setingkat SLTA. Kemitraan dengan Diknas, UNIGA/UNINUS Lokasi Pasirwangi Keunggulan : ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Satu-satunya SLTA di Kec. Pasirwangi (sebelumnya tidak ada) Fokus pada anak-anak keluarga fakir miskin Akses ke pendidikan SLTA lebih mudah (sebelumnya harus ke Kec. Lain) Kemitraan multipihak (CGI, UNIGA, Diknas, UNINUS) Dalam proses menjadi SMK Negeri Definitif Pasirwangi Proses dan mekanisme: ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Pembelajaran secara intensif kepada lulusan SMP di Pasirwangi yang kesulitan dalam mengakses pendidikan Diawali dengan study baseline bersama-sama dengan UNIGA, kemudian dilanjutkan dengan Program Paket C ( 1 kelas) Selain itu mengadopsi Kurikulum KTSP, KKM 6.1 Sampai saat ini sudah sampai di Kelas 2 dengan jumlah murid sekitar 120 orang, didampingi sekitar 15 orang tutor Prestasi akademik siswa sebagian besar di atas rata-rata Bekerjasama dengan Diknas Garut danUNIGA, mendororong 204 ï‚· percepatan untuk menjadi SMK Negeri definitif, di mana Diknas menyediakan lahan, sementara secara bertahap akan membangun fasilitas ruang belajar Adanya muatan lokal (agrobisnis) dan dilengkapi juga dengan mini lab komputer Sumber: Diolah dari PGPA-CE (Sumber: Chevron, 2012) 2) Program kebutuhan dasar manusia Program-program Chevron didasarkan pada kerjasama dengan pemerintah, masyarakat, organisasi non pemerintah lokal dan internasional. Sebagian besar program Chevron merupakan implementasi dari tiga fokus utama yaitu kesehatan, pendidikan dan pembangunan ekonomi. Dalam bidang kesehatan: memperbaiki akses kebutuhan dasar manusia (seperti layanan kesehatan, gizi yang lebih baik, perbaikan sanitasi, pertanian, dan pengembangan infrastruktur publik); sedangkan bidang pendidikan menciptakan kesempatan pendidikan dan pelatihan; dan bidang pembanguan ekonomi yaitu mendukung peningkatan kualitas kehidupan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, “Chevron partners with host governments, nongovernmental organizations and aid agencies to assess and understand local needs and the reasons behind them. Our three primary focus areas for outreach are: ï‚· Economic development – We invest in small and micro enterprises and support programs that create sustainable employment opportunities. This promotes self-sufficiency, stimulates job growth and economic development, and creates a higher standard of living for people in the areas where we operate. 205 Health – In developing countries, we improve access to preventive care and treatment and work to strengthen health care systems, because healthy people can create healthy societies. ï‚· Education – Chevron promotes education—particularly in the areas of science, technology, engineering and math (STEM)—as well as career and vocational training to ensure people can help their communities thrive in the 21st century economy. These areas of focus are the building blocks of strong communities.” (Updated: Chevron, April 2012) ï‚· Dalam mewujudkan program kebutuhan pokok manusia community engagement (CE) mengimplementasikannya dengan membangun dan melengkapi sarana IGD puskesmas Pasirwangi; membangun pipanisasi air bersih dan sanitasi lingkungan; dan kampanye pencegahan penyakit TBC dan HIV/AIDS. Saat ini yang dilakukan adalah kampanye penyadaran perilaku hidup sehat, memperbaiki akses pada fasilitas kesehatan masyarakat dan partisipasi perbaikan sarana fisik dan perlengkapan medis Di Jawa Barat, Chevron menyadari bahwa HIV/AIDS adalah ancaman yang mengerikan bagi dunia dengan dampak yang luar biasa bagi manusia serta merupakan resiko nyata secara sosial, ekonomi dan politik yang memberikan pengaruh langsung kepada karyawan dan bisnis kami. Dalam bidang kesehatan ini, Chevron bertekad untuk mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh HIV/AIDS terhadap bisnis kami melalui kepemimpinan strategis di dalam industri kami dan di masyarakat dimana karyawan Chevron berada. Chevron menyediakan pelayanan pencegahan voluntary counseling and testing (VCT). Dasar 206 pelayanan VCT ini adalah policy 260 Chevron tentang pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja, yang intinya adalah: ï‚· Chevron menjamin kerahasiaan (confidentiality) pengidap HIV/AIDS ï‚· Chveron mencegah diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS di tempat kerja (non discriminative). ï‚· Chevron menyediakan akses ke fasilitas pencegahan, pengobatan dan perawatan HIV/ AIDS (prevention, care and treatment) bagi pegawai dan keluarganya. Program penyuluhan pencegahan bahaya HIV/ AIDS juga diberikan kepada sejumlah siswa di kabupaten Garut. Hasil penyuluhan tersebut diharapkan para siswa yang telah memperoleh penyuluhan dapat menyebarluaskan bahaya HIV/AIDS kepada khalayak luas. 3) Program Konservasi lingkungan dan keragaman hayati Program ini diharapkan memberikan kontribusi untuk mendukung biodiversity dan pelestarian di sekitar daerah operasi PT. CGI. Tujuan sosial yang ingin dicapa adalah meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya pelestrasian lingkungan di sekitar daerah operasi dan mendukung upaya konservasi alam. Sedangkan implementasi kegiatan yang dilakukan adalah melakukan reboisasi kawasan hutan lindung bekerja sama dengan perhutani, serta bantuan penyediaan tong-tong sampah. 207 4) Pengembangan Keuangan Mikro dan UMK Pengembangan keuangan mikro dan usaha mikro-kecil ditujukan untuk mendukung peningkatan pendapatan masyarakat dan kualitas pengelolaan UMK di sekitar daerah operasi PT. CGI. Implementasi programnya adalah pendampingan usaha home industry, dan program kelompok usaha bersama ternak domba bekerja sama dengan LSM PUPUK, dinas sosial, dan Universitas Garut (UNIGA). Salah satu kegiatan tersebut dikenal dengan pengembangan LED, yaitu local economic development untuk kecamatan Samarang dan inisiative economic engagement and empowering (I3E) untuk desa-desa di kecamatan Pasirwangi. Gambar 8 ditunjukkan disain proyek untuk peningkatan pendekatan masyarakat khususnya para wanita dan buruh tani muda. Gambar 8. Project Grand Design : Income Generation For Community (IGP4Com) and Beneficiaries Target: Woman/Youth Farming Labor. (Sumber: Chevron, 2010) 208 Hasil pelaksanaan program community engagement unggulan bidang usaha mikro kecil salah satunya adalah pengembangan ternak domba terpadu. Dalam gambar 9 dan tabel 28, terlihat roadmap pengembangan ternak terpadu, yang dimulai sejak tahun 2008 hingga tahun 2012, serta deskripsi singkat mengenai program unggulan ternak domba terpadu. Jika melihat roadmap tersebut nampak ideal dan secara rasional dapat diwujudkan, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa program tersebut tidak berlanjut dan tidak jelas pertanggung jawabannya di masyarakat. Tahun 2008 Pola Kemitraan CGI-DinsosUniga Tahun 2009 Tahun 2010 Pemanfaatan Limbah & Pakan ternak Produksi Pupuk Organik & biopestisida Pupuk organik Uji coba kandungan hara Pestisida organik Pengembangan ekonomi mikro Tahun 2011 Tahun 2012 Corporate Farming Pertanian organik Uji coba komoditas kentang, kubis & tomat Penguatan ekonomi Tabungan peternak Gambar 9. Roadmap – Pengembangan Ternak Domba terpadu. (Sumber: Chevron, 2010) 209 Tabel 28. Deskripsi bidang unggulan peningkatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan domba terpadu Deskripsi Mendorong Peningkatan Ekonomi Masyarakat Melalui Pengembangan Ternak Domba Terpadu – Pelatihan Teknis, Pendampingan Intensif dan Stimulan Usaha Ternak Lokasi Desa Barusari (2009), replikasi di Padaasih (2010), Pasirkiamis (2011) Keunggulan ï‚· Dilakukan berbagai pelatihan teknis (penguatan kelompok ternak domba, komposting, bio pestisida) & pendampingan kelompok secara intensif. Diharapkan terjadi peningkatan Pendapatan sekitar: 35%, peningkatan jumlah domba : 75 ekor menjadi 230 ekor. Melalui pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan Tabungan Kelompok ï‚· Pretasi Juara ke 4 KUBE Prestasi Tingkat Nasional Dirjen Pemberdayaan Fakir miskin DEPSOS RI, dan Juara ke 3 Pendamping Berprestasi Tingkat Nasional. ï‚· Pemberdayaan Fakir Miskin (DEPSOS RI), Pembentukan Lembaga Keuangan Mikro BMT “Berkah Darajat” (Oct 2010) ï‚· Produksi kompos sekitar 1.2 ton/bulan ï‚· Direplikasi tahun 2010 di Desa Padaasih – 80 peternak Sumber: diolah dari PGPA-CE (Sumber: Chevron, 2012). Dalam melaksanakan kegiatan CSR-nya, CGI berupaya menggandeng organisasi atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki keahlian di bidang pengorganisasian masyarakat atau pengembangan masyarakat. Kemudian pihak CGI memberi amanah kepada LSM tersebut untuk melaksanakan kegiatan CSRnya, seperti pemberian amanah kepada LSM PUPUK (Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil) untuk membantu desa-desa di sekitarnya 210 yaitu diantaranya Desa Sukalaksana, Kecamatan Samarang menjadi desa Wisata. Fungsi CGI dalam kegiatan tersebut adalah: ï‚· Penyediaan dana untuk program tersebut, dengan pola penyaluran yang terbagi menjadi dua termin. Termin pertama 60% dan termin kedua sisanya 40%. ï‚· Fungsi pengawasan, pendampingan dan evaluasi program bersama-sama dengan stakeholder terkait. Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hingga saat ini masih menjadi mitra dari PT. CGI dan masyarakat lokal adalah Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK). PUPUK merupakan organisasi non profit, independen dan bersifat non politis yang memposisikan fokus kegiatannya dalam bidang pengembangan usaha kecil. Terkait dengan program pengembangan masyarakat, PUPUK berupaya mendorong usaha kecil dan menengah agar dapat mengoptimalkan peranannya sehingga dari program pengembangan masyarakat tersebut dapat tercapai. Agar lebih dekat dengan lokasi sasaran pengembangan masyarakat, PUPUK menempatkan perwakilannya di Perumahan Malayu Asri, Desa Mekarwangi Kecamatan Tarogong Kaler Kabupaten Garut. Pihak PT. CGI memahami bahwa bantuan yang bersifat finansial semata akan menimbulkan ketergantungan di masyarakat dan pemerintah lokal. Bantuan yang bersifat finansial tersebut dilakukan pada awal-awal PT. Chevron hadir di masyarakat, dimana bantuan tersebut diberikan kepada masyarakat dan pemerintah lokal yang mengajukan usulan. Dampaknya adalah munculnya ketergantungan 211 masyarakat lokal dan pemerintah yang menjadi semakin tinggi kepada PT. CGI. “Bedanya perusahaan dengan NGO sama-sama concern dengan di bidang pengembangan masyarakat. Kalau perusahaan harus mengawinkan antara tujuan bisnis dan tujuan sosial. Kalau yayasan gak punya tujuan bisnis. Nah kalau kami, suka tidak suka kami ini bisnis perusahaan.....satu kaki kami berada di etika bisnis dan satu kaki lagi berada di tujuan sosial. LSM tidak memperhitungkan untung dan rugi. Saya pikir konsep tadi sampai sekarang ini masih valid. Sasaran kami ini...partner of choice (mitra pilihan). Kami ingin juga mendukung program Chevron Geotermal yang mendukung lingkungan, masyarakat, perundang-undangan. Bukan bantuan finansial...tetapi mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap Chevron. Suatu saat kami tidak tahu akan hengkang dari Darajat.” (PP 2). Pihak PT. CGI menyadari bahwa ketergantungan masyarakat lokal dan pemerintah lokal yang terlalu tinggi akan berbahaya bagi masyarakat. Kemandirian masyarakat tidak akan pernah tumbuh, sehingga kemajuan dan kesejahteraan masyarakat akan sulit tercapai. Suatu saat PT. CGI akan hengkang dari wilayah kecamatan Pasirwangi, apabila joint contract tidak diperpanjang. “Sasaran kedua, dimana pun Chevron berada, kita ingin meningkatkan standar kehidupan masyarakat. Yang ini kami mix-kan. Logical framework, pengembangan local economy development (LED) untuk temen-temen UMKM tujuannya adalah menyiapkan kemandirian masyarakat. Kegiatannya ada di Samarang, ada di Pasirwangi. Untuk kebutuhan dasar manusia” (PP 2). 212 Berdasarkan kondisi perkembangan dan munculnya ketergantungan masyarakat tersebut, maka sasaran kegiatan PT. CGI adalah peningkatan standar kehidupan masyarakat. Program CSR dari PT. CGI mencoba fokus pada capacity building masyarakat, melalui local economy development (LED) dan local business development (LBD), dengan sedikit demi sedikit mengurangi program yang bersifat bantuan sosial semata. Harapannya, tentu saja meningkatnya daya kemandirian masyarakat sekitar. “Dalam diskusi dengan pihak pemda, seringkali kami coba memberi pemahaman bahwa CSR itu tidak hanya semata pembangunan infrastruktur, tetapi juga capacity building. Kalau bapak lihat ke atas (Darajat) kondisi infrastruktur relatif sudah memadai, tetapi kalau capacity building (economic development) masyarakat tidak dilakukan akan percuma. Sehingga dalam implementasinya seringkali kami berusaha untuk menekankan pentingnya capacity building, walaupun ini memerlukan waktu dan proses yang bertahap. Tahun ini, ok spending capacity building besarnya 40% sisanya infrastruktur. Kemudian tahun depan capacity building terus meningkat menjadi 50%, 60 % , dan 80%, itu yang terus coba diupayakan. Memang saat ini belum bisa 100% ke arah pemberdayaan masyarakat .Terkadang capai juga, hampir setiap tahun harus berjuang menjelaskan pemahaman tersebut. Kadang-kadang beberapa pihak masih berfikir pembangunan infrastruktur lebih penting, namun pemahaman mengenai pentingnya peningkatas kapasitas masyarakat terus kita lakukan.” (PP 2). Penjelasan kepada masyarakat dan pemerintah oleh PT. CGI mengenai tujuan sasaran kegiatan tanggung jawab perusahaan harus terus dilakukan. Saat ini memang kegiatan CSR PT. CGI, diakui oleh pihak perusahaan belum mencapai 100%. Namun secara bertahap alokasi dana yang diarahkan pada pengembangan masyarakat diupayakan harus terus meningkat setiap tahunnya. Dalam upaya 213 tersebut PT. CGI menggaet LSM PUPUK (Perkumpulan Untuk Pengembangan Usaha Kecil) Bandung, khususnya dalam peningkatan usaha kecil dan menengah (UKM). Ada komitmen PT. CGI untuk melibatkan beragam dan sebanyak mungkin stakeholder (multi stakeholder), dalam rangka kegiatan CSR kepada masyarakat lokal. Pihak PUPUK pun mengakui kondisi yang dihadapi oleh PT. CGI, serta kondisi masyarakat sekitar wilayah kerja perusahaan tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh koordinator PUPUK Garut, yaitu “mereka kan punya platform yang harus ditangani secara baik di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Untuk pendidikan sudah ada kerjasama dengan Asgar Muda dalam bidang super camp yang intinya kaya bimbel untuk anak-anak SMA khususnya bagi kelas 3 yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Lalu Chevron juga ada membuka beberapa sekolah, jadi untuk masalah pendidikan Chevron sudah ada concern di kecamatan Pasirwangi khususnya terutama untuk fasilitas pendidikan. Kesehatan yang sampai sekarang juga masih berjalan seperti donor darah, dulu tahun 2009 juga pernah ada survei di daerah Pasirwangi tentang masalah penyakit TBC, dilakukan bekerjasama dengan NGO lain. Setelah dilakukan survei langsung dilakukan penanggulangan jumlah yang terkena TBC menurun. Itu di kesehatan, nah ekonominya dulu Chevron itu memberikan bantuan berupa dana cash tapi dampaknya kurang terasa di masyarakat, makanya setelah itu kita (PUPUK) diajak bergabung.” (LS 1). Selain alasan itu, apabila dicermati kondisi sumber daya manusia PGPA PT. CGI, maka dapat dipahami tuntutan untuk bekerja dengan berbagai pemangku kepentingan (multi-stakeholder) dalam rangka pengembangan masyarakat. kebutuhan akan tenaga ahli yang memiliki kompetensi dan keterampilan khusus dalam bidang pengembangan masyarakat. Sejak saat itulah pola bantuan yang lebih 214 bersifat social asistance sedikit demi sedikit diubah ke arah pemberdayaan masyarakat, yang bersifat memandirikan masyarakat. Tantangan lain yang dihadapi oleh PT. CGI dan mitra lainnya, termasuk LSM PUPUK, adalah banyak program-program sebelumnya di luar PT. CGI, seperti kredit usaha tani (KUT), inpres desa tertinggal (IDT), dan program-program lainnya yang lebih bersifat charity. Sehingga setiap ada program yang berasal dari PT. CGI (Chevron Geothermal Indonesia), masyarakat menganggap program tersebut sebagai hibah. Artinya, masyarakat bebas menentukan bantuan yang telah diterima untuk dipergunakan sesuka hati mereka. Pola tersebut sudah berjalan cukup lama, sehingga memunculkan tingkat ketergantungan yang tinggi dari masyarakat kepada PT. CGI. Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya peran dan fungsi pemerintahan yaitu desa, kecamatan dan kabupaten dalam memberdayakan masyarakat sekitar wilayah kerja PT. CGI. Hal tersebut dapat pula dipahami karena minimnya anggaran kegiatan serta kreativitas untuk kesejahteraan masyarakat. “kalau yang dulu kan setiap ada program dari Chevron anggapan masyarakat itu dananya hibah aja. Nah kita coba ubah polanya. Kita libatkan unsur msyarakat. Kalau dulu yang tahu adanya dana bantuan cuma beberapa orang aja tapi setelah kita masuk, kita usahakan minimal RT RW tahu kalau ini ada dana bantuan dari Chevron. (LS 1). Kemudian tidak banyak masyarakat yang mengetahui mengenai adanya dana untuk program pemberdayaan masyarakat yang diberikan oleh PT. CGI kepada masyarakat. Hanya segelintir orang saja yang mengetahui adanya bantuan tersebut, bahkan pada beberapa desa 215 cenderung membatasi agar tidak banyak orang tahu tentang dana bantuan tersebut. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya diupayakan tidak hanya beberapa orang saja yang mengetahui adanya dana tersebut. Setidaknya para pengurus RT dan RW sedesa juga mengetahui dana tersebut, agar merangsang warga masyarakat mengusulkan kegiatan. Masyarakat mulai mengetahui tersedia dana bantuan untuk program untuk setiap desa di kecamatan Pasirwangi, dan kecamatan Samarang yang diberikan oleh PT. CGI. Sehingga masyarakat dapat mengajukan permohonan penyaluran dana tersebut dengan mengajukan permohonan kepada kepala desa. Artinya kepala desa lah yang seringkali menjadi penentu penyaluran dana tersebut kepada masyarakatnya. Persoalan berikutnya yang muncul adalah sikap kepala desa dan aparat desa lainnya (seperti LPM) yang kurang jujur dan akuntabel dalam mengelola dana bantuan program tersebut. Dalam beberapa kasus, jika kepala desa sifatnya keras kepala, maka dana untuk program tersebut tidak akan turun. Bahkan dalam kasus tertentu timbul konflik internal pemerintahan desa yang juga mempengaruhi kelancaran bantuan yang akan diberikan. “Kita kasih arahan minimal dikelompok binaan satu atau dua ada yang jadi, ada yang jalan. Kalau di Sirnasari (Samarang) yang tahun ke duanya itu tidak jalan, iya-iya aja tapi tak diberikan. Seperti yang untuk usaha pangan olahan ibu-ibu PKK kita sudah minta bantuan dana tidak dikasih padahal usaha itu sudah memiliki pasaran yang bagus. Ibaratnya mereka produksi sudah ada tempat untuk memasarkan dan prospeknya bagus, tapi ya itu masalahnya tidak disupport oleh kepala desa, hem bukan kepala desa aja sebenarnya ada seperti timlah di desa itu termasuk LPM juga. (LS 1). 216 Kepala desa memegang peranan penting dan menentukan besaran dana yang akan diberikan dari usuan yang diajukan oleh masyarakat. Oleh karena itu bukanlah hal yang mengherankan jika kepala desa tertentu, akan sulit ditemui baik oleh warganya, apalagi oleh tamu-tamu luar desa. Warga masyarakat hanya dapat menemui ‘pak ulis’ (sekretaris desa) untuk urusan pelayanan masayarakat. Kondisi tersebut banyak dikeluhkan oleh warga masyarakatnya. Sehingga tidak jarang masyarakat berpendapat ‘miring’ kepada pemerintahan lokalnya. “Jadi sebenarnya kepala desa tadi itu kaya yang ngerti pemerintahan tapi sebenarnya tidak. Sebenarnya yang jadi otaknya itu LPM yang mengatur. Istilahnya LPMnya ini lincah gitu, ngomong di depan iya tapi dibelakang beda. Sampai saat ini juga sekdes dengan kepala desa tidak akur. Rapat ada, kegiatan ada tapi tidak pernah dilibatkan. Jadi sekdes ada, tapi seperti dianggap tidak ada oleh kepala desanya. Padahal sekdesnya itu sudah PNS, nah makanya itu si kepala desa juga ga bisa memecat sekdesnya. Karena itu kan langsung penunjukannya ya jadi ada konfliklah dipemerintahannya.” (LS 1). Sebagaimana hasil wawancara dengan informan lainnya, bahwa ternyata hambatan yang muncul justru dari pemerintahan lokal yang tidak siap dalam menjalankan program CSR yang disalurkan pendanaannya melalui pemerintahan desa. Ketidaksiapan pemerintahan desa dalam mengelola dana CSR PT.CGI merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh PGPA PT. CGI serta mitra kerjanya dalam memberdayakan masyarakat. Demikian pula pemahaman yang berbeda mengenai CSR dari pemerintah daerah juga merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh PT. CGI dan mitra pengembangan masyarakatnya (PUPUK). 217 Sebagaimana dikemukakan oleh community engagement spesialist PT. CGI, sebagai berikut: “Yang paling krusial adalah pemahaman konsep CSR yang belum sama dari berbagai pihak. ya mohon maaf ya, seringkali kalau bertemu (berdiskusi) beberapa pihak terutama dengan pihak pemerintah saya seringkali mengkritik mereka. (kebetulan barusan saya mengikuti musrenbang). Itu konsep mengenai pemberdayaan saja tidak sama. Bagi beberapa pihak, makna CSR adalah “proyek” (project based), sehingga terkesan sangat dangkal. Namun demikian, Saya tidak melihat ini sebagai kendala, tetapi sebagai peluang dan tantangan. Ini menurut saya yang paling krusial. Dan itu terjadi di semua lapisan, terdapat pemahaman yang berbeda mengenai permberdayaan/ CSR. Perkembangan atas pemahaman CSR (pemberdayaan) masih memerlukan waktu.” (PP 2). Memang akan merupakan kendala sekaligus tantangan untuk mendapatkan pemahamaan yang sama antara PT. CGI, masyarakat, dan pemerintah daerah (kabupaten, kecamatan, dan desa) dalam melihat CSR. Dengan pemahaman yang berbeda antara masing-masing pihak, dapat diperkirakan bahwa sesungguhnya masing-masing pihak memiliki harapan yang berbeda dengan adanya program CSR tersebut. Khususnya masyarakat memiliki sejarah perkembangan dan latar belakang kondisi sosial ekomoni dan budaya yang sangat berbeda dengan perusahaan dan pemerintah. Demikian pula pemerintah daerah Kabupaten Garut, dengan kondisi APBD yang tidak terlalu besar (sekitar 1,4 triliun) , yang sebagian besar (70%) dialokasikan untuk dana pengeluaran rutin dan belanja pegawai, maka tinggal tersisa 30% yang digunakan untuk pembangunan. Jelas, dengan anggaran pemerintah daerah yang minim tersebut, sulit mengharapkan peran pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena 218 itu keterlibatan swasta, termasuk perusahaan multinasional, seringkali menjadi tumpuan masyarakat dan pemerintah daerah itu sendiri. Muncul kesan bahwa pemerintah daerah membiarkan terhadap apa yang dilakukan oleh PT. CGI dan mitranya melalui program CSR. Pihak pemerintah daerah cenderung membiarkan dan tidak turut campur bahkan lepas tangan dengan apa yang dilakukan oleh Chevron. Ketidakberdayaan pemerintah ini terlalu nampak di hadapan masyarakat, manakala PT. CGI dan mitra LSMnya bekerja membantu masyarakat melalui kegiatan pengembangan masyarakat. Dalam kesempatan tertentu, bahkan pemerintah daerah terkadang meminta jatah dari kegiatan CSR dan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh PT. CGI kepada masyarakat. Sesuatu yang sangat ironis, dimana seharusnya pemerintah daerah yang paling bertanggung jawab terhadap pembangunan masyarakat di daerahnya, tetapi sebaliknya bertindak sebagai peminta sumbangan atau jatah dari kegiatan CSR PT. CGI. “Sedangkan dengan pemerintah daerah, nampaknya pemda Garut, relatif membiarkan. Masih banyak tantangan yang harus dicermati ketika berhadapan dengan pemerintah kabupaten. Atau tidak turut campur dengan apa yang dilakukan oleh PUPUK bersama dengan Chevron. Belum ada regulasi yang jelas dari pemda yang mengatur tentang kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Pemerintah kabupaten cenderung ‘lepas tangan’ dengan apa yang dilakukan oleh Chevron dan PUPUK, bahkan cenderung pemerintah kabupaten cenderung ‘minta bagian’ (jatah), dari apa yang kita lakukan bersama masyarakat.” (LS 1 & LS 2). Pemerintah daerah dapat saja berinisiatif mengembangkan kerjasama dengan PT. CGI. Misalkan pemerintah dapat mengembangkan peraturan atau kebijakan mengenai pengelolaan bersama pengembangan masyarakat dengan PT. CGI. Bagi PT. CGI 219 ada atau tidaknya aturan mengenai CSR, maka pihak perusahaan akan tetap melakukan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Sementara itu pemerintah seharusnya dapat secara jeli dan cermat mengidentifikasi dana alokasi pembagian pusat dan daerah, yang bersumber dari pajak perusahaan PT. CGI. Penggunaan dana tersebut dapat diprioritaskan untuk masyarakat sekitar wilayah PT. CGI, yang paling terkena dampak dari operasional perusahaan. “Sesungguhnya, sudah menjadi tanggung jawab kami bergerak dan melakukan program pengembangan masyarakat berdasarkan “chevron way”. Memang terkadang masih ada beda persepsi, namun kami yakin bahwa suatu saat kami akan memiliki pemahaman yang sama. Pemerintah sudah bisa memahami program, focus dan kondisi Chevron, demikian juga masyarakat melalui komunikasi yang intensif menggunakan channel yang ada. Yang penting bagi kami adalah tidak semata -mata output program, bukan sekedar berhasilnya program tersebut, tetapi terdapat perubahan perilaku dari pemerintah dan masyarakat dari setiap program yang dijalankan. Sebelumnya pengembangan masyarakat hanya infrastruktur saja, sedikit demi sedikit mulai ada perubahan. Yaitu program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan, berjangka panjang, yang sustain. Harapan kami, ketika suatu saat Chevron tidak ada lagi di sini, masyarkat sudah siap dengan kondisi ini. Maaf ya.pak, kami ini perusahaan yang suatu saat tidak lagi berada di sini karena sesuatu dan lain hal, sehingga yang diperlukan adalah mempersiapkan masyarakat.” (PP 2). Pihak perusahaan akan terus mengembangkan dialog dan komunikasi dengan berbagai stakeholder khususnya pemerintah dan masyarakat. PT. CGI menyadari bahwa kegiatan pengembangan masyarakat sudah menjadi tanggung jawab mereka, sesuai dengan etika bisnisnya yaitu ‘chevron way’. Perbedaan persepsi yang muncul diantara masyarakat dan pemerintah, pihak perusahaan berkeyakinan 220 suatu saat akan terdapat pemahaman yang sama mengenai program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh PT. CGI. Dalam setiap pertemuan dan dialog, diharapkan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik, terjadi peningkatan pemahaman yang terus meningkat, serta perubahan perilaku yang lebih baik pula. Pola dan mekanisme yang dikembangkan oleg PT. CGI bersama dengan mitra adalah pola pendampingan dana CSR yang disetor kepada desa-desa di kecamatan Pasirwangi dan kecamatan Samarang. Ada kemungkinan bahwa dana yang disetor ke desa tersebut awalnya adalah untuk meredam gejolak dan aksi tuntutan masyarakat kepada PT.CGI. Kemudian PT. CGI, sejak tahun 2009 menggandeng LSM PUPUK untuk melakukan pendampingan. Tujuan pendampingan adalah agar dana yang diserahkan ke desa tidak hilang begitu saja, tanpa ada dampak perubahan yang positif di masyarakat. Peran yang dilakukan oleh PUPUK sebagai mitra PT.CGI adalah mengarahkan agar dana tersebut dapat dimanfaatkan secara tepat sasaran. Dana tersebut dapat dipergunakan untuk permodalan usaha-usaha kecil yang kekurangan modal tetapi secara potensi sudah ada dan berkembang di masyarakat. “kita (PUPUK) bertanggungjawab untuk melakukan pendampingan, Chevron sebagai pemberi dana. Untuk lebih jelasnya seperti ini, Chevron itu memiliki dana untuk desa, nah gimana caranya dana tersebut jangan sampai masuk ke desa lalu hilang tanpa adanya dampak sama sekali. Lalu peran PUPUK adalah untuk mengarahkan agar dana tersebut menjadi tepat guna melalui program-program pemberdayaan masyarakat. Jadi begitu masuk ke desa kita buat kesepakatan dengan pemerintah desa dan tokoh-tokoh masyarakat baru setelah itu dana diturunkan. Dana untuk program sepenuhnya dikeluarkan oleh Chevron 100% full langsung masuk ke desa. Kita (PUPUK) tidak mencampuri karena kita kan sudah ada dana sendiri untuk 221 pelaksanaan pendampingan atau istilahnya pendampingan yang kami lakukan. (LS 1). untuk jasa Sedangkan sumber dana pendampingan untuk LSM PUPUK tidak berasal dari dana sumbangan CSR yang ada di desa. Kemudian dana pendampingan untuk PT. PUPUK bersumber secara khusus dari PT. CGI tidak mencampuri dana yang ada di desa. Untuk program pendampingan yang dilakukan di desa-desa se-kecamatan Samarang dikenal dengan LED, singkatan dari local economic development. Sedangkan untuk desa-desa di kecamatan Pasirwangi disebut dengan I3E, yaitu initiative, economic, engagement and empowerment. Pola LED dan I3E yang berbeda, juga pola pendanaan serta maping permasalahannya juga berbeda. Namun untuk kegiatan dan cara-cara pendampingannya tetap sama. Sebagaimana dikemukakan oleh infoman sebagai berikut: “...emm sebenarnya itu judulnya saja sih, kalau diproposal sih pendampingan untuk program pemberdayaan masyarakat di wilayah dampingan Chevron. LED itu muncul sekarangsekarang. Di Samarang disebut LED di Pasirwangi disebut I3E (initiative, economic, engagement, empowerment) dengan sumber dana yang berbeda, kalau LED itu didanai oleh Chevron Darajat, kalau I3E didanai oleh Chevron pusat yang di Amerika. Dan titik masuknyapun berbeda, kalau LED berdasarkan ajuan dari pihak kepala desa, kalau I3E dari temuan-temuan PUPUK atau istilahnya murni dari mapping yang dilakukan PUPUK setelah itu dilaporkan ke Chevron pusat, lalu langsung dieksekusi oleh PUPUK. Kalau LED kan diajukan oleh kepala desa, di-approve Chevron lalu diperintahkan kepada PUPUK untuk mengecek di lapangan bener apa enggak, selanjutnya dari kami melaksanakan FGD setelah fix semua baru kita jalankan. Sebenarnya kalau menurut prosedur bagusan yang pakai maping yang dari desa dulu, tapi kalau melihat dari pola bagusan yang langsung dari PUPUK karena kegiatannya jelas, tapi 222 kekurangannya ya banyak kepala desa atau tokoh-tokoh yang tidak tahu kalau ada program.” (LS 1). Melalui pola LED, maka usulan kegiatan berasal dari usulan para kepala desa sekecamatan Samarang yang bersumber dari pelaku usaha dan tokoh masyarakat masing-masing, kemudian sumber pendanaannya berasal dari Chevron Darajat langsung. Sedangkan pola I3E yang di kecamatan Pasirwangi, sumber pendanaan berasal dari kantor pusat Chevron di Amerika Serikat, kemudian usulan kegiatan berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh PUPUK di setiap desa di kecamatan Pasirwangi. Kelebihannya dengan menggunakan jalur LED, adalah bahwa secara prosedur lebih baik dan diketahui oleh masyarakat pengusul dan kepala desa. Sedangkan kekurangannya adalah, seringkali kegiatannya tidak jelas. Kemudian dengan menggunakan I3E, secara prosedur tidak melalui desa. LSM PUPUK langsung turun ke desa-desa melakukan pemetaan kelompok-kelompok usaha potensial. Hasil dari pemetaan tersebut kemudian dilakukan kajian tetang kelaikan usaha dari produksi hingga pemasarannya, serta manajemen keuangannya. Setelah dipastikan laik, kemudian PUPUK mengajukan pendanaan kepada PT. CGI. Keunggulan pemetaan oleh PUPUK adalah kegiatan usahanya jelas dan terukur. Kelemahannya adalah, kegiatan usaha kecil kurang tersosialisasi dengan baik di tingkat desa. Tidak banyak masyarakat yang tahu tentang program I3E tersebut di desa-desa kecamatan Pasirwangi. Tentu kondisi tersebut tidak menguntungkan dari sisi pemahaman masyarakat lokal dan pemerintah lokal tentang program CSR dari PT. CGI. 223 Kemudian dalam pengembangan ekonomi masyarakat lokal sekitar wilayah operasi, PT. CGI melakukan kerjasama dengan LSM PUPUK. Setiap kegiatan yang ada dalam alur perusahaan akan bersinggungan dengan masyarakat yang ada di lokasi PT. CGI. Kehadiran perusahaan di suatu wilayah dimana dampak ini dapat positif atau negatif. Sehingga banyak persoalan yang muncul untuk membangun daya saing. Pengembangan ekonomi yang berhasil adalah proses perbaikan terus-menerus, sehingga lingkungan usaha meningkat, memungkinkan bertambahnya kecanggihan cara bersaing. Untuk itu perlu pergeseran atau penambahan peran dunia usaha terhadap isu sosial (CSR) antara lain : ï‚· Mempertimbangkan kepentingan bersama (perusahaan dan masyarakat) ï‚· Memberikan dampak sosial yang paling besar ï‚· Memadukan strategi perusahaan dan masyarakat ï‚· Serta fokus pada kegiatan atau program yang memberikan dampak strategis Program kerjasama yang dibangun antara PUPUK dan Chevron Geothermal Indonesia, Ltd. (CGI) di Kabupaten Garut adalah memfasilitasi program CSR CGI bagi masyarakat yang berada di sekitar areal operasi CGI. Daerah-daerah sebagai wilayah dampingan tersebut, selanjutnya merupakan titik masuk untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tempatan serta daya saing Kabupaten Garut. Bagi pihak CGI sendiri, peningkatan kemakmuran masyarakat yang ada di sekitar wilayah operasi CGI tentunya akan meredam ‘tekanan sosial’ masyarakat kepada perusahaan yang pada akhirnya akan meningkatkan 224 daya saing perusahaan karena dapat beroperasi dengan aman tanpa hambatan-hambatan sosial dari masyarakat setempat. Program bantuan CSR CGI yang bersifat charity dan tidak sustainable, sedikit demi sedikit mulai dikurangi dan tidak menutup kemungkinan akan ditinggalkan. Namun demikian dalam prakteknya relatif sulit dan masih membutuhkan waktu, agar masyarakat yang berada di wilayah dampingan siap untuk beralih pada program-program pemberdayaan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Di lain pihak, agar seluruh masyarakat yang berada di wilayah dampingan CGI tergerak untuk terlibat dalam program CSR di bidang ekonomi membutuhkan keberadaan desa-desa pionir (pelopor) yang dapat dijadikan contoh bagi desa-desa lainnya khususnya dalam wilayah kerja (Ring Satu) CGI untuk melihat bukti-bukti keberhasilan (success story). Pada tahun 2008 hingga 2009, CSR CGI bekerjasama dengan PUPUK (Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil) Bandung telah memfasilitasi 2 desa (Sukalaksana dan Sukakarya) untuk bergerak dalam program pengembangan ekonomi, dan berlanjut pada tahun 2009 hingga pertengahan 2010 terhadap 4 desa di Kecamatan Samarang yaitu Sukalaksana, Sukarasa, Sirnasari dan Cisarua. Selanjutnya pada pertengahan 2010 hingga akhir 2010 akan melanjutkan perkuatan dan inisiasi program ekonomi pada 4 desa terdahulu dan beberapa desa baru lainnya dalam konteks Program Pengembangan Ekonomi Lokal CSR CGI. Program pengembangan ekonomi lokal yang telah dilaksanakan mulai pertengahan tahun 2008 hingga akhir tahun 2010 kembali akan digulirkan oleh CSR CGI bekerjasama dengan PUPUK Bandung di 225 beberapa desa di Kecamatan Samarang. Kegiatan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) ini sebagian merupakan program penguatan lanjutan dan memunculkan prakarsa inovatif lainnya serta inisiasi pengembangan ekonomi lokal baru untuk beberapa desa. Namun demikian, dalam konteks lebih besar khususnya dalam upaya meningkatkan daya saing lokal tidak terlepas dari wilayah sekitarnya (regionalisasi). Kegiatan inovatif yang akan dilakukan oleh PUPUK akan memperkuat titik masuk (entry point) serta titik ungkit (leverage effect) yang memberikan multiplier effect dalam bidang ekonomi secara lebih luas lagi. Hal strategis lainnya khususnya bagi agenda meningkatkan daya saing jangka panjang (sustainable development). Selain itu, membangun agenda kolaboratif multi stakeholder tetap dijalankan karena modal sosial yang sudah dibangun selama ini menjadi investasi yang krusial dan menjadi dasar kolaborasi dan sinergi semua pihak baik pelaku usaha, perusahaan, pemerintah, serta lainnya. Program kolaboratif multi stakeholder ini nantinya akan mengusung tema besar yang spesifik serta menjadi ‘daya ikat’ para pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Tema yang menjadi isu ekonomi strategis dan prakarsa kolaboratif sebagai titik masuk program akan dituangkan dalam Pendekatan Klaster Industri. Sejauh ini dari proses interaktif yang dilakukan oleh Tim PUPUK tema klaster industri spesifik yaitu eco-tourism atau wisata lingkungan yang terdiri dari belanja, alam, kerajinan, pertunjukan, pangan olahan, seni dan budaya yang menonjolkan keunikan atau daya saing lokal dengan pendekatan industri kreatif. Tema wisata akan menjadi perekat bagi aktivitas-aktivitas ekonomi produktif di wilayah sasaran. 226 Program kolaboratif multi stakeholder ini dengan kata lain akan mengintegrasikan potensi-potensi ekonomi dari desa-desa wilayah dampingan CGI yang lain yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal yang berkelanjutan sekaligus upaya awal untuk meningkatkan daya saing wilayah di Kabupaten Garut. Sejumlah kegiatan CSR dan pengembangan masyarakat telah dan sedang berikut capaiannya yang dilakukan oleh PT. Chevron dengan mitranya LSM PUPUK, antara lain: 1. Munculnya potensi produk unggulan yang inovatif di setiap desa yang sekaligus menjadi produk unggulan dan menjadi kebanggaan wilayahnya, yaitu: a. Desa Sukakarya: Tenun akar wangi, Kerajinan dari pemanfaatan limbah akar wangi dan Desa Wisata b. Desa Sukalaksana: Kerajinan akar wangi dan Desa Wisata c. Desa Cisarua: Pangan olahan (dodol waluh dan sale kesemek) d. Desa Sukarasa: Pangan olahan (rangginang), sabun aroma therapy akar wangi dan besek unik e. Desa Sirnasari: Pangan olahan (kerupuk belut), padi jepang dan paper bag 2. Terbukanya akses pasar bagi seluruh produk unggulan seperti: a. Kerajinan (handycraft) akar wangi bekerjasama dengan Lufapak dari Jerman dan Toko Astiga dari Garut. b. Produk pangan olahan bekerjasama dengan Toko Primarasa dari Garut. c. Kerajinan besek unik bekerjasama dengan Chocodot dari Garut. 227 d. Paper bag bekerjasama dengan Chocodot, Kampung Sampireun serta beberapa perusahaan lainnya dari Garut. e. Sabun akar wangi sudah dinantikan produknya oleh pihak hotel yang ada di Cipanas dan Kampung Sampireun, Garut. 3. f. Padi Jepang bekerjasama dengan Koperasi Satoro dari Bogor. g. Desa Wisata bekerjasama dengan Kampung Sampireun. Tumbuhnya transaksi sebagai dampak dari terbukanya akses pasar. Beberapa produk sudah menunjukkan transaksi yang sustainable dan menunjukkan kecenderungan peningkatan seperti paper bag dan besek cantik. 4. Munculnya kelembagaan ekonomi lokal di setiap desa, dalam bentuk Koperasi Warga Desa merupakan potensi penting untuk menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat di desa. 5. Munculnya wirausaha baru terutama dari generasi muda yang menjadi salah satu harapan untuk mengungkit tumbuh dan berkembangnya industri kreatif di wilayah dampingan. Bahkan, dua wirausaha muda sebagai wakil dari Samarang menjadi pemenang Program Technopreneurship dari Kementrian Pemuda dan Olahraga, Jakarta. 6. Munculnya prakarsa inovatif lokal untuk membangun kolaborasi dalam konteks kelembagaan. Hadirnya kelembagaan yang dipelopori generasi muda lokal, yaitu SCC (Samarang Creative Community) menjadi embrio untuk membangun kolaborasi semua stakeholder untuk mengembangkan industri kreatif di Kecamatan Samarang dan Kabupaten Garut. 7. Tumbuhnya prakarsa inovatif lokal untuk menggali potensi keunikan dan kearifan lokalnya sebagai daya tarik wisata. Gagasan 228 Desa Wisata merupakan inovasi penting dari Desa Sukalaksana yang akhirnya menjadi tema sentral program. 8. Terbukanya kolaborasi dari beragam stakeholder. Tercatat mulai dari instansi pemerintah (Pemda, Dinas, Kementrian, dll), lembaga bisnis (Chocodot, Kampung Sampireun, Primarasa, dll), lembaga lokal-internasional (Kadin Kota Tasik, Lufapak, dll). Semuanya merupakan potensi kolaborasi yang menjadi kekuatan untuk turut mengembangkan kegiatan ekonomi di wilayah dampingan CGI. 9. Munculnya tema Desa Wisata dan Industri Kraetif merupakan proses belajar social yang melibatkan stakeholder yang ada di desa-desa di wilayah dampingan. Pemilihan tema ini terbukti dapat mengikat beragam produk unggulan yang ada di setiap desa dan memungkinkan terjadinya business linkage yang melibatkan semua desa binaan dari CSR Chevron GI, Ltd. 10. Munculnya dukungan dari kelembagaan pemerintah, baik dari Kabupaten, Provinsi hingga pusat (Jakarta). Beberapa program yang sedang dikembangkan di wilayah dampingan ternyata menjadi perhatian penting pemerintah seperti; pangan olahan kesemek (Wk. Bupati Garut sangat concern terhadap pengembangan produk kesemek), desa wisata, paper bag hingga pemanfaatan akar wangi (minyak, pemanfaatan limbah). 229 tenun, handycraf dan Tabel 29. Deskripsi bidang unggulan local economic development (LED) dan initiatives economic engagement and empowering (I3E) Deskripsi Mendorong Peningkatan Ekonomi Masyarakat Melalui Pengembangan UMKM Tempatan – Pelatihan Teknis, Pendampingan Intensif dan Stimulan Usaha Lokasi Kec. Samarang (2008 – sekarang) dan Pasirwangi (2010 – sekarang) Keunggulan dan proses kegiatan ï‚· ï‚· ï‚· Munculnya berbagai produk UMKM, total sekitar 50 produk. Upaya yang dilakukan adalah pelatihan teknis (diversifikasi produk, kualitas, desain, kemasan, manajemen usaha), Sertifikasi (IRT, Depkes), Akses Pemasaran (pameran, temu bisnis), pemberian stimulus usaha serta Pendampingan Intensif di Lapangan oleh tenaga ahli. Peningkatan pendapatan sekitar 40-50% dari produk UMKM, yaitu handyraft akar wangi dan program desa wisata (di desa Sukalaksana), dodol waluh/nangka dan sale kesemek (di desa Cisarua), sabun aroma therapy akar wangi, ranggicok, dan ‘besek’ unik (di desa Sukarasa) dan paper bag/packaging house, padi jepang dan kerupuk belut (di desa Sirnasari). Dengan demikian diharapkan membuka lapangan kerja baru dan menciptakan wirausaha Memperluas jaringan pemasaran, baik lokal dan Garut (beberapa outlet oleh-oleh – Primarasa, Chocodot), serta luar daerah (Jabodetabek, Batam) Sumber: Diolah dari PGPA-CE (Sumber: Chevron, 2012). Dengan demikian, maka untuk mengembangkan potensi yang telah dibangun oleh program sejak tahun 2008 serta kemungkinan bertambahnya desa binaan, maka program yang akan dilaksanakan pada tahun 2010 ini akan focus pada beberapa aspek strategis, yaitu: 230 1. Mempertahankan dan meningkatkan nilai transaksi untuk beberapa produk yang telah terjalin business linkage dengan cukup baik. 2. Memfasilitasi dan memperkuat business linkage untuk beberapa produk yang masih berada pada tahap awal perintisan transaksi. 3. Menumbuhkan dan memperkuat kolaborasi kelembagaan dengan beragam stakeholder lokal dan regional. 4. Menumbuhkan dan memperkuat prakarsa inovatif lokal, baik di tingkat pelaku usaha (individu) maupun kelembagaan (Koperasi/Kowades) sebagai potensi pelaku ekonomi di wilayah dampingan. 5. Tema Wisata dan Industri Kreatif menjadi tema sentral kegiatan sebagai titik masuk program di setiap desa binaan. Sebagaimana yang dilakukan oleh PT. Chevron Geotermal Indonesia bersama beberapa mitra LSM lokalnya, Frynas (2009: 109) juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa perusahaan yang memang secara khusus mendukung kegiatan-kegiatan kesehatan, pendidikan dan peningkatan usaha kecil dan menengah (small and medium enterprises) bagi wirausaha lokal. Diantara perusahaan tersebut berdasarkan data tahun 2006 (Frynas, 2009: 107) adalah Petrobras (Brasil), Total (Perancis), Exxon (USA), Shell (UK), BP (UK), ENI (Itali) dan Chevron (USA). 3. Respon Perusahaan Menghadapi Masyarakat Hasil wawancara menunjukkan bahwa harapan masyarakat terhadap PT. CGI adalah sangat tinggi. Sehingga kalau perlu segala urusan dan kekurangan yang ada di masyarakat dapat dilakukan semua 231 oleh PT. CGI. Prayogo (2009:18) menyatakan bahwa tekanan masyarakat lokal adalah, perusahaan dibebani “kewajiban” untuk mengebangkan kesejahteraan masyarakat lokal dalam berbagai wujud dan cara, antara lain memberi prioritas kesempatan kerja bagi warga lokal dan melakukan program tanggung jawab sosial (CSR) serta pengembangan masyarakat (CD). Jika harapan masyarakat yang begitu dapat tinggi maka daat dilihat sebagai potensi kekuatan, tetapi jika tidak dapat dikelola dengan baik dapat menghambat proses kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Sehingga, sesungguhnya program tanggung jawab sosial perusahaan PT. CGI lebih banyak berurusan dengan bagaimana mengelola relasi dengan berbagai tokoh-tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. “Ekspektasi public termasuk masyarakat terhadap Chevron sangat tinggi dan ini terkadang kami kesulitan untuk mengelolanya. Ibaratnya, kami dianggap sebagai dianggap dewa yang mampu menyelesaikan segala hal, padahal kami ini hanya sebagian dari elemen yang seharusnya melakukannya secara sinergi dan bersama-sama. Kami sendiri di dalam pada akhirnya adalah bagaimana mengelola ekspektasi tersebut dengan baik, sehingga kami dapat mengkomunikasikan dengan baik kepada mereka (masyarakat dan pemerintah) tentang siapa kami dan apa yang dapat dilakukan oleh kami. Lumayan tantangannya, hampir stress” (PP 2). Tingginya tingkat ketergantungan masyarakat lokal kepada PT. CGI dapat dimaknai pula sebagai terlalu ‘jauh’ nya jurang perbedaan yang terjadi antara kondisi perusahaan dengan masyarakat lokal. Perbedaan yang terlalu dalam tersebut dapat berupa perbedaan kondisi ekonomi, kondisi sosial dan kondisi budaya. Secara ekonomi, jelas perusahaan yang padat modal tersebut mempekerjakan sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih, sehingga memiliki pendapatan yang 232 jauh di atas rata-rata jika dibandingkan dengan masyarakat lokal yang miskin. Secara sosial, PT. CGI terdiri dari sekelompok orang yang ratarata memiliki tingkat pendidikan tinggi dan minimal SLTA atau SMK; jika dibandingkan dengan rata-rata pendidikan masyarakat lokal yang masih rendah. Pola kebiasaan masyarakat lokal yang umumnya petani dan berdagang, akan berbeda dengan karakteristik masyarakat industri yang lebih rigid dan sangat menghargai waktu. Disparitas secara ekonomi, sosial dan budaya yang terlalu tinggi antara masyarakat lokal dan PT. CGI dapat menjadi faktor tingginya tingkat ketergantungan masyarakat lokal. Kondisi tersebut makin diperkuat dengan lemahnya inisiatif pemerintah daerah dalam mengembangkan program-program pembangunan yang pro rakyat kecil. Perbedaan yang terlalu tinggi itu pun dapat menimbulkan salah pengertian dan salah paham diantara perusahaan dengan masyarakat sekitar, bahkan lebih jauh lagi dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu dapat dipahami apabila masyarakat lokal memandang program CSR dari PT. CGI tersebut sebagai hibah, karena memang pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal terhadap program CSR dan programproramnya masih terbatas. Secara ekonomi tentunya CSR dan pengembangan masyarakat diharapkan dapat memberi alternatif peluang ekonomi dan peningkatan pendapatan warga masyarakat lokal. Program CSR dan pengembangan masyarakat bukanlah sebagai konpensasi “pemilikan lokal” atas sumber tambang, melainkan dapat dilihat sebagai bentuk lain dalam upaya perusahaan membangun sebuah “kontrak sosial” alternatif dalam mengembangkan legitimasi sosial perusahaan tambang dan migas di hadapan masyarakat lokal (Prayogo, 2011: 19). Selanjutnya fakta 233 menunjukkan bahwa dalah kurun waktu 10 tahun terakhir setelah perusahaan-perusahaan menggelar program CSR dan community development, terjadi penurunan yang cukup tajam berkaitan dengan jumlah dan intensitas konflik dengan perusahaan (Prayogo, 2011: 14). 4. Tantangan dan Hambatan yang dihadapi dalam Pelaksanaan CSR Hambatan yang sering ditemui oleh pihak PT. CGI dalam membangun relasi dengan masyarakat lokal dan pemerintahan setempat melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan adalah pemahaman yang berbeda dari berbagai pihak mengenai konsep CSR. Di kalangan pemerintah daerah, mereka memandang CSR yang dikeluarkan PT. CGI merupakan proyek bagi-bagi. Pemahaman pemerintah daerah yang mengemuka atau muncul dalam kegiatan Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) yang diselenggarakan oleh Bappeda kabupaten Garut sangat terbatas. Pemberdayaan yang dilakukan oleh PT. CGI dianggap sebagai pembagian jatah. Sehingga setiap ada kegiatan musrenbang yang diikuti selalu oleh PT. CGI, pihak perusahaan selalu khawatir dan sedih dengan kondisi pemahaman pihak pemerintah daerah Garut. Pihak perusahaan selalu diposisikan sebagai ‘sapi perah’ saja. Dalam kesempatan tersebut pihak PT. CGI tidak henti-hentinya menjelaskan siapa sebenarnya mereka, apa dan peran apa yang dapat dilakukan oleh perusahaan melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dalam rangka pengembangan masyarakat. Yang paling krusial adalah pemahaman konsep CSR yang tidak sama dari berbagai pihak. ya mohon maaf ya, seringkali kalau bertemu (berdiskusi) dengan pihak pemerintah, saya harus 234 mengkritik mereka. (kebetulan barusan saya mengikuti musrenbang). Itu konsep mengenai pemberdayaan saja tidak sama. Bagi mereka konsep CSR adalah proyek‘bagi-bagi’ (pembagian jatah), pemahamannya masih sagat terbatas. Saya tidak melihat kendala, tetapi tantangan. Ini menurut saya yang paling krusial mengenai pemahaman CSR atau pemberdayaan . Dan itu terjadi di semua lapisan, terdapat pemahaman yang berbeda mengenai permberdayaan/ CSR. Perkembangan atas pemahaman CSR (pemberdayaan) masih memerlukan waktu. (PP 2). Pemahaman mengenai CSR dan pengembangan masyarakat yang berbeda tersebut terjadi di semula lapisan masyarakat. Sehingga, bagi PT. CGI hambatan dan kendala tersebut sekaligus menjadi tantangan bagi mereka untuk tidak henti-hentinya menjelaskan apa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan dan pengembangan masyarakat tersebut. Pihak PT. CGI tidak mau mengambil posisi peran pemerintah daerah sebagai penangggung jawab pembangunan daerah, yang mana pemda sesungguhnya berkewajiban dalam mensejahterakan masyarakatnya. PT. CGI tidak menginginkan ‘adanya negara dalam negara’. PT. CGI memandang pemerintah daerah adalah partner (mitra) dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan masyarakat. Sebagai mitra, maka pemerintah daerah diharapkan dapat bekerja sama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya warga masyarakat yang berada di ring 1 wilayah kerja PT. CGI, yaitu Kecamatan Pasirwangi. PT. CGI memahami bahwa kehadiran mereka di Kecamatan Pasirwangi, jika dibandingkan dengan kondisi pemerintah daerah jelas terdapat perbedaan secara budaya, yaitu budaya perusahaan yang mencari keuntungan ekonomis, dan pemerintah sebagai pelayan 235 kegiatan masyarakat. Bahkan dalam pandangan peneliti, perbedaan ekonomi, pendidikan dan karakter juga menjadi jurang perbedaan yang cukup dalam antara perusaan dengan pemerintah daerah. PT. CGI selalu berupaya jujur dan bersih dalam melakukan kegiatan tanggung jawab sosial dan pengembangan masyarakat. Namun ketika bersentuhan dengan pemerintah daerah, sekedar untuk mengurus perijinan kegiatan saja misalnya, seringkali dijumpai praktik-praktik yang cenderung menghambat kegiatan tersebut. Oknum aparat pemerintah seringkali meminta jatah atas kegiatan yang akan dilakukan oleh PT. CGI. Praktik-praktik semacam itu seringkali dijumpai manakala akan melakukan kegiatan yang bersentuhan dengan pemerintah daerah. Apabila dikonfrontir dengan pihak pemerintah setempat, jawaban mereka umumnya adalah sudah sewajarnya pihak perusahaan memberikan sebagian keuntungannya, karena tidak akan bangkrut. Bagi PT. CGI sebenarnya bukan persoalan besarnya dana, tetapi praktik semacam itu tidak sesuai dengan nilai-nilai perusahaan. “Hambatan pemerintah atau tantangan kami. Kami, Chevron ada di sini. Dengan pemerintah itu beda budaya. Kalau kami kan ‘clear’, kita tidak berani sugak-sogok. Kadang kami stress menghadapi pemerintah. Ini memang ngakal, tapi masih sesuai. Kita bikin perijinan, kalau tidak dikasih ya..gak diproses. Akhirnya gimana caranya. Misalnya seharusnya 2000 mereka minta 5000, ya gak bisa. Makanya kita bisa melakukan pembayaran kalau ada justifikasi yang jelas, misalnya ada rapat. Ya sudah kalau begitu dibuat saja rapat, rapat aja, baru kita dapat danai. Tetapi nilai-nilai kami tetap kami sampaikan, misalkan “pak kalau seharusnya. Contoh kami katakan “pak kalau bapak seharusnya 1000 kemudian minta 2000, itu tidak bisa. Tapi kalau ada pekerjaannya, misalnya rapat, berapa jam, walaupun tak bertema. Tapi ada yaitu rapat. Dengan meeting itu kita jadi tahu ....Jadi itu lah cara ngigeulanana disamping kita tetap menjaga nilai-nilai kita. Nanti mereka sadar, bagi mereka 236 mungkin sesuatu yang luar biasa, tetapi bagi kami itu hal biasa, bahwa kalau berhubungan dengan Chevron harus begitu. “(PP 1). Bahkan beberapa kasus, konflik kepentingan terjadi di dalam aparat pemerintahan itu sendiri. Seperti penyaluran dana CSR yang besarnya telah disepakati melalui FGD dengan anggota masyarakat di suatu desa. Kemudian PT. CGI menyalurkan dana CSR sesuai dengan kebutuhan kegiatan dan besarnya dana yang telah disepakati melalui rembug desa tersebut. Saat dana CSR tersebut telah disalurkan melalui kepala desa, tahap berikutnya adalah kelompok-kelompok usaha kecil dan menengah (KUKM) mengajukan proposal kegiatan kepada kepala desa untuk pencairan dananya. Seringkali terjadi proses tersebut menjadi hambatan, karena kepala desa menjadi sulit ditemui oleh warganya, atau kalau sudah ditemui pencairan dana menjadi sulit dan berbelit. Kondisi tersebut banyak dikeluhkan hampir setiap warga di desa-desa yang memperoleh bantuan dana CSR yang penyalurannya melalui kepala desa. “ .. tidak ada konflik, jadi konflik itu hanya ada di pemerintahannya aja. Bahkan ada bayangan kalau tahun ini sirnasari tidak akan mengajukan CSR. Saya juga bingung kenapa bisa begitu, padahal masyarakat juga tahu Chevron itu memiliki dana untuk membantu masyarakat. Ya kalau dari kami (PUPUK) dan Chevron membiarkan saja, mungkin mau caricari masalah biar dana langsung turun dari Chevron, istilahnya jalan pintaslah gitu padahal Chevron sekarang udah beda lebih tegas. Sekarang sudah tau peta wilayah khususnya yang rawan konflik, jd kalau hanya Sirnasari aja ga sama desa-desa yang lain Chevron ya membiarkan saja.” (LS 1). Tantangan lainnya yang harus dihadapi oleh PT. CGI adalah bagaimana memberikan pola pikir yang baik kepada masyarakat, serta 237 mira kerja lainnya. Pola pikir (mindset) tersebut terdiri dari keamanan, kejujuran, menghormati hak-hak asasi manusia, dapat dilakukan saat para kontraktor-kontraktor lokal bekerja sama dengan PT. CGI. Jadi perubahan perilaku masyarakat ke arah yang lebih mandiri dan maju tersebut tidak hanya melalui program-program kegiatan CSR dan pengembangan masyarakat. Tetapi juga melalui interaksi-interaksi yang terjadi antara antara pihak PT. CGI dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Teladan dan contoh-contoh yang dilakukan oleh seluruh karyawan, dan cara penerimaan pihak PT. CGI dan cara-cara kerja sama yang dilakukan; diharapkan dapat memberikan pengertian dan pemahaman semua pihak yang bekerja sama dengan pihak perusahaan. Dampak lanjutannya adalah perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dari masyarakat dan pemerintah. “Tantangannya adalah bagaimana memberikan pola pikir (yang baik) kepada masyarakat. Juga kita menjalankan misi-misi kita bahwa CSR kita itu luas, tidak hanya sifatnya karitas saja. Misalnya begini, di Chevron ini kan terkenal dengan savetynya, banyak kontraktor lokal atau pengusaha lokal di sini bekerja sebagai driver (yang harus aman), pasti paham. Itu juga sama dengan menjelaskan tentang nilai-nilai yang kita anut. Itu juga bagian dari CSR kita. Salah satunya karena perusahaan tersebut mengedepankan faktor keamanan, sehingga menang. Ini juga mendeliver nilai-nilai kita, dan secara tidak langsung akan menular kepada lainnya.” (PP 1) Demikian pula bagi kontraktor-kontraktor lokal yang memperoleh pekerjaan skala kecil dan sedang dari PT. CGI. Bagi perusahaan kontraktor yang mengikuti tender yang diselenggarakan oleh PT. CGI, mereka harus mengikuti peraturan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh peserta tender tersebut. Salah satu hal yang membuat para kontraktor lokal tersebut memenangkan tender adalah, 238 adanya jaminan akan keselamatan terhadap tenaga kerja yang sesuai dengan standar yang dimiliki oleh PT. CGI. Berdasarkan hal tersebut, maka perusahan-perusahaan lokal lainnya pun berupaya memastikan adanya jaminan keselamatan dan keamanan tenaga kerjanya. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi transfer pengetahuan dan pemahaman diantara para perusahaan lokal, yang berasal dari PT. CGI. Tantangan berikutnya adalah komitmen masyarakat atau kelompok usaha kecil menengah yang masih belum terbangun dengan baik. Masyarakat masih memandang bahwa bantuan yang diperoleh dari PT. CGI tersebut merupakan hibah. Jadi masyarakat atau kelompok usaha penerima bantuan merasa tidak berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut. “Hambatan atau tantangan yang kami (pupuk) hadapi adalah komitmen masyarakat yang masih rendah. Mereka masih bertindak semaunya. Mereka masih berfikir apapun kegiatan yang diberikan oleh Chevron adalah bantuan yang tidak perlu dipertanggung jawabkan. Kalau ingin maju, mari kita maju bersama dengan mengikuti pola yang ada.” (LS 1 & LS 2). Pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaan dana CSR tersebut diperlukan untuk melihat ketepatan pengalokasian, dan perencanaan keuangan. Agar dikemudian hari pihak PT. CGI dapat mengevaluasi dan menindaklanjuti dengan program pendampingan yang lebih tepat. Kondisi kelompok usaha yang memperoleh bantuan, kemudian hingga kelompok usaha tersebut saat ini masih berjalan, masih lebih baik komitmennya. Jika dibandingkan dengan kelompok usaha atau masyarakat lainnya yang memperoleh bantuan dana CSR, tetapi tidak melanjutkan usaha atau kegiatannya tanpa informasi, 239 pelaporan dan pertanggungjawaban yang jelas. Sifat ketergantungan masyarakat lokal sekitar wilayah kerja PT. CGI, sebenarnya ketergantungannya tidak hanya kepada perusahaan tersebut. Namun dalam kasus ini, dimana keberadaan PT. CGI dengan kombinasi signifikasi, dominasi, dan legitimasi yang kuat diantara masyarakat dan pemerintah, disadari atau tidak cenderung membuat stakeholder lainnya berharap banyak atau terlalu tinggi kepada perusahaan tersebut. Penyebabnya (komitmen masyarakat rendah) mungkin pemahaman mereka yang masih rendah. Namun itu adalah proses. Bagaimana dengan faktor budaya. Mungkin kalau persoalan bantuan ini adalah imbas program-program pemerintah sebelumnya yang cenderung bersifat bantuan semata (karitas). Seperti KUT (kredit usaha tani), raksa desa. Jadi segala (bantuan) apapun yang berasal dari pemerintah adalah sifatnya “hibah”. Sementara yang kita lakukan tidak demikian. Masyarakat sudah terbiasa untuk diberi (tidak diberdayakan), tanpa dibimbing dengan baik, serta tanpa sangsi yang tegas bagi mereka yang tidak mengembalikan dana bantuan. Sedangkan PNPM relatif lebih baik. Namun demikian program PNPM juga terkena imbas dari program-program sebelumnya yang dipandang oleh masyarakat sebagai hibah. Sehingga agak sulit kemajuan programnya. (LS 1 & LS 2). Kegagalan program-program pemerintah sebelumnya seperti Kredit Usaha Tani (KUT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), raksa desa yang berasal dari pemerintah juga turut menyumbang munculnya persepsi dan budaya ketergantungan masyarakat. Seperti diketahui banyak program pemerintah yang lebih bersifat hibah tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Kondisi tersebut ditengarai sebagai salah satu penyebab munculnya sifat ketergantungan masyarakat terhadap segala hal ‘bantuan’ yang berasal dari ‘atas’ (top down). 240 “Penyebab komitmen yang rendah. Kalau saya lihat lebih banyak persoalannya teknis saja. Karena persoalan partnership gak bisa dirole dalam satu dua hari saja. Perlu kesabaran, ibarat orang pacaran, harus saling memahami. Persoalan-persoalan teknis nya” (PP 2). Berdasarkan pernyataan komitmen yang rendah dari informan pihak PT. CGI, maka dapat dipahami apabila persoalan bermitra dengan kelompok-kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di dalam masyarakat merupakan proses perubahan perilaku masyarakat yang relatif memerlukan waktu yang relatif cukup lama. Apalagi kondisi ketergantungan masyarakat tersebut terjadi hampir di semua warga masyarakat khususnya di desa-desa se-kecamatan Pasirwangi, kecamatan Samarang, dan kecamatan Sukaresmi. Hal yang perlu dijaga adalah komitmen PT. CGI dalam membantu masyarakat yang harus tetap tinggi. Perlu kesabaran dalam berhubungan dengan masyarakat yang memiliki sifat ketergantungan yang tinggi kepada PT.CGI, ditambah dengan kondisi pemerintah daerah yang memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat lokal. PT. CGI nampaknya (dari hasil wawancara) akan terus berkomitmen untuk membantu dan bermitra dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Khususnya juga penjelasan mengenai pemahaman yang clear mengenai PT. CGI sebagai entitas bisnis yang suatu saat akan hengkang dari Pasirwangi karena sesuatu hal. Oleh karena itu, PT. CGI akan terus berupaya membangun kemandirian masyarakat melalui berbagai program dengan melibatkan berbagai stakeholders yang memiliki kesamaan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agar ketika PT. CGI sewaktu-waktu meninggalkan lokasi 241 operasi, maka masyarakatnya sudah siap dan relatif mandiri. Walaupun, menurut informan PT. CGI, mereka bergerak melakukan kegiatan CSR dan pengembangan masyarakat tanpa regulasi yang jelas. “Dari sisi regulasi, kami ini bergerak nyaris tanpa regulasi yang jelas. Karena tidak ada peraturan pemerintahnya. Ada juga undang-undang tentang energi yang salah satu pasalnya mengatur bahwa setiap perusahaan panas bumi harus melakukan kegiatan pengembangan kepada masyarakat, that’s all... Mengenai bagaimana penerapannya gak dibilangin, model nya seperti apa? Itu gak jelas. Oleh karena itu kami menggunakan SOP internal. Yang diterapkan di semua industri (Chevron), baik oil, geothermal atau lainnya.” (PP 2). Berdasarkan data lapangan, Pemerintah Daerah Garut dalam perkembangan terakhir mulai bergerak, namun tidak jelas bergerak dalam hal apa, apa yang akan dilakukan, dan apa yang sudah dilakukan. Dalam persoalan CSR PT. CGI, pemerintah daerah nampaknya tidak akan turut campur. Atau mungkin saja pemerintah tidak peduli dengan kegiatan-kegiatan pembangunan masyarakat di wilayah kerja PT. CGI. Dengan alasan, yang penting kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh PT. CGI sejalan dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Menurut pihak PT. CGI sejumlah tantangan dan hambatan tersebut dapat merupakan peluang dan juga pembelajaran mengenai pelaksanaan kegiatan tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat. Berikut mengenai hal tersebut: 1. Participatory based program akan mendorong “project ownerships” 2. “Local Wisdom”, berbasis potensi dan kebutuhan masyarakat setempat 242 3. Kemitraan – berbagi peran dan tanggung jawab demi keberlanjutan 4. Tingginya harapan stakeholders 5. Ketidaksamaan pandangan tentang CSR 6. Perubahan sosial dan politik yang cepat 7. Kurangnya pemahaman industri geothermal oleh publik 8. Perlu regulasi yang tepat, jelas dan berkesinambungan 9. Media lebih aktif dari sebelumnya 10. Isu pertanahan dan tumpang tindih lahan yang berpotensi terjadinya konflik Sebagaimana dikemukakan oleh Frynas (2009:162-163) telah mengindikasikan bahwa tata kelola pemerintahan, khususnya pemerintah daerah merupakan tantangan tersendiri dari industri ekstraktif. Seringkali program CSR dikaitkan dengan isyu program pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Isyu keterbukaan (transparansi) yang didukung oleh perusahaan multinasional, seringkali berbenturan dengan praktik korupsi dan kolusi di pemerintahan. 5. Harapan Perusahaan Masyarakat memiliki potensi tersendiri yang khas dan mungkin belum tergali dengan baik. Bagi PT. CGI keterwakilan masyarakat bukan ditentukan oleh keterwakilan jumlah semata, melainkan keterwakilan ide. Artinya pihak perusahaan nampaknya akan senang terhadap ide-ide dari masyarakat, dari pemerintah, atau dari manapun dalam rangka membangun relasi yang harmonis antara masyarakat 243 dengan perusahaan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, pihak PT. CGI lebih mudah membangun hubungan melalui jalur-jalur informal dari pada jalur formal. Jalur komunikasi secara informal relatif tidak banyak hambatan yang akan menggangu kejelasan dan keterbukaan informasi baik dari masyarakat maupun dari perusahaan kepada masyarakat. Serta komunikasi dan dialog dilakukan dalam suasana waktu yang senggang bagi kedua pihak. “Yang paling penting itu local wisdom. Masing-masing daerah punya karakteristik dan keunikan sendiri. Mungkin konsep yang bagus di suatu daerah, belum tentu dapat diterapkan di daerah ini. Boleh disebut sebagai potensi, karakteristik atau lainnya yang bercirikan lokal. Forum-forum diskusi tingkat lokal merupakan salah satu chanel yang bisa kita manfaatkan untuk menggali hal ini. Buat kami bukan keterwakilan jumlahnya, tetapi yang terpenting adalah keterwakilan ide. Berdasarkan pengalaman kami, jalur informal jauh lebih efektif, karena tidak banyak halangan, hambatan, atau formalitas lainnya.” (PP 2). Oleh karena masyarakat lokal memiliki karakteristik sendiri yang khas, sehingga memerlukan pendekatan yang khas dengan memperhatikan kearifan lokal. PT. CGI menyadari bahwa konsep yang bagus dan berhasil di daerah lain, belum tentu akan berhasil diterapkan di masyarakat sekitar lokasi kerja mereka. Sehingga forum-forum diskusi tingkat lokal masyarakat dapat merupakan jalur efektif yang dapat dipergunakan untuk memahami kondisi masyarakat yang khas tersebut. Selain itu juga melalui saluran-saluran PT. CGI dalam batasbatas tertentu dapat memberikan informasi yang sebenarnya mengenai apa yang sedang dilakukan oleh perusahaan, baik operasional bisnis maupun kegiatan tanggung jawab perusahaan lainnya. 244 “diharapkan akan tercipta relasi yang baik antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Satu sama lain bisa saling memahami dan respek. Kalau ditanya indikatornya, agak sulit untuk dijawab, karena ini bersifat kualitatif. Yang selama ini kami gunakan sebagai indikator adalah tidak adanya insident social – konflik dengan masyarakat yang diakibatkan kurangnya engagement dengan masyarakat. “ (PP 2, Maret 2013) “Harapan masyarakat lokal adalah kesejahteraan yang meningkat, idealnya ada perubahan. Kami bergerak membantu masyarakat, minimal menjadi contoh bagi masyarakat lainnya.” (LS 1 & LS 2). Pihak perusahaan berharap setelah semua upaya engagement dan pemahaman akan masyarakat lokal berikut program-programnya maka terjadi relasi yang baik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar. Tidak ada konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh apabila relasi yang terbangun antara perusahaan dengan masyarakat lokal terjadi secara harmonis, diantaranya masyarakat dan perusahaan dapat membangun kerjasama yang positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PT. CGI akan lebih tenang dalam menjalankan operasi usahanya sebagai entitas bisnis, dengan tetap peduli terhadap masyarakat lokal. Prayogo (2008:156-157) mengembangkan tingkatan operasionalisasi CSR dengan konsep keadilan dan pemerataan yang terdiri, yaitu 1) philanthropy, operasionalisasinya charity korporasi sebagi donor, komunitas sebagai residual, prinsip sukarela, secara politik ditujukan agar tidak mengganggu proses produksi, pendekatan conservatism, jauh dari prinsip justice and equality. 2) Share of profit, Korporasi dominan, jumlah keuntungan dan prosentasi pembagian ditentukan sepihak oleh korporasi, komunitas sudah masuk sebagai primary stakeholders, 245 kewajiban korporasi hanya pada pembagian keuntungan, equality mulai berjalan namun hak komunitas secara prinsip belum tersentuh. 3) Share of Cost of Production, Komunitas merupakan bagian integratif dalam sistem produksi, biaya CSR, dan CD dimasukan dalam biaya produksi, equality bagian dari cost of production, prinsip equality mulai tercapai namun justice belum, posisi korporasi masih lebih di atas komunitas. 4) Share of ownership, Justice and equality sudah ditegakkan, ’hak’ komunitas lokal ditegaskan dalam prosentase pemilikan dan pembagian keuntungan, namun resiko kerugian turut pula ditanggung komunitas, posisi komunitas dan korporasi sejajar dalam praktek tambang. Prayogo (2011: 157) menunjukkan bahwa program pengembangan masyarakat (community development) sebagai salah satu operasionalisasi kegiatan CSR banyak dikerjakan perusahaan sebagai respons dari tekanan masyarakat lokal sekaligus sebagai upaya membangun relasi yang baik. Pada awal periode Orde Baru, hanya sedikit perusahaan tambang dan migas melaksanakan program CDCSR secara besar-besaran karena masalah masyarakat lokal pasti dapat “diselesaikan” oleh pemda dan aparat keamanan. Dengan berubahnya atmosfer politik dan dominasi pemerintah maka perusahaan mengalami banyak tuntutan dari masyarakat lokal. Sehingga program-program CSR dilaksanakan sebagai cara untuk “meredam” tekanan tersebut sekaligus sebagai upaya memberdayakan masyarakat. Dalam pandangan struktur-agen dapat dipahami bahwa terdapat pergeseran dominasi otoritatif secara situasional, yang sebelumnya pemerintah begitu berkuasa beralih ke masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas dengan situasi politik nasional pasca reformasi 1998, dimana euforia reformasi masih terasa pada masa-masa tersebut. 246 Terkait dengan kegiatan community development Ife (1995), menekankan pentingnya menerapkan 22 prinsip dalam program pengembangan masyarakat. Prinsip ini adalah sifat terpadu (antar sektor), menghilangkan hambatan struktural (vertikal dan horizontal), menekankan hak-hak azasi (persamaan dan keadilan), berkelanjutan (sumber daya an potensi lokal), pemberdayaan (partisipasi dan peningkatan kemampuan), keseimbangan (kepentingan) antara individu dan publik, kepemilikan (kemampuan internal), aset otonom komunitas (komunal), (terhadap intervensi mandiri eksternal), bertujuan nyata (dengan visi jangka panjang), pengembangan organis (keterkaitan dengan elemen pembangunan lain), percepatan perubahan dapat diadaptasi, input eksternal jika diperlukan, pembentukan komunitas (memperkuat integrasi), keseimbangan antara proses dan hasil, integritas moral (kesungguhan program CD untuk masyarakat), kerelaan dan antikekerasan (tidak ada paksaan), terbuka (untuk semua warga masyarakat lokal), tidak elitis atau bias kelompok, konsensus (kesepakatan bersama bukan elit), kerjasama dan menghindari persaingan, partisipasi maksimal anggota masyarakat lokal, penetapan kebutuhan bersama. Dalam tulisan berikutnya Ife dan Tesoriero (2008) menambahkan prinsip pengembangan masyarakatnya menjadi 26 prinsip, dengan mamasukan lokalitas, seperti proses, sumber daya dan partisipasi lokal. Prayogo (2011:95-96) menegaskan, bahwa secara normatif keseluruhan prinsip tersebut sangat baik jika diterapkan, setidaknya 75% dari keseluruhan prinsip ini saja maka dapat dikatakan program sudah tergolong exellent. Namun demikian agen perusahaan memiliki pemahaman yang berbeda akan kegiatan pengembangan masyarakat dalam rangka CSR yang mereka lakukan. Motif 247 pengamanan operasional perusahaan menjadi hal utama dalam melaksanakan kegiatan tersebut. 248 BAB VI RELASI DINAMIS ANTARA MASYARAKAT LOKAL DENGAN PERUSAHAAN: PERSPEKTIF STRUKTURASI Dalam teori struktur-agen, maka PT. CGI dan masyarakat lokal dapat dipandang sebagai agen; sedangkan tanggung jawab sosial perusahaan dapat dipandang sebagai struktur sekaligus sebagai media terlaksananya praktik-praktik sosial. Demikian pula, sebagai agen, PT. CGI memiliki klasifikasi kesadaran baik kesadaran praktis maupun kesadaran diskursif, atau motif tidak sadar, dalam melakukan praktikpraktik sosial yaitu membangun relasi dengan masyarakat lokal, dan pemangku kepentingan lainnya. Masyarakat lokal sebagai salah satu agen dalam struktur CSR, memiliki pengetahuan dan pemahaman yang berbeda mengenai struktur-CSR, dengan agen-perusahaan. Bagi masyarakat kehadiran PT. CGI dengan kualitas sumber daya dan keahlian yang dimilikinya untuk mengeksploitasi sumber daya alam di lingkungan yang berdekatan dengan masyarakat masyarakat lokal, memunculkan pemahaman bagi masyarakat bahwa perusahaan sudah sewajarnya ‘memberikan bantuan’ kepada masyarakat. Sementara itu perusahaan memiliki pemahaman yang berbeda dengan masyarakat lokal dan penerintah mengenai CSR. Bagi perusahaan, mereka telah melaksanakan segala aturan hukum yang berlaku, termasuk membayar pajak kepada negara, juga melakukan bantuan-bantuan bagi masyarakat sekitar lokasi perusahaan. Perbedaan-perbedaan pemahaman antara perusahaan, masyarakat dan 249 pemerintah yang seringkali menimbulkan gejolak diantara agen tersebut. Sehingga menimbulkan relasi sosial antara agen (perusahaan) dan masyarakat disharmonis. Kesadaran tersebut tidak muncul dengan tiba-tiba, tetapi kesadaran yang terbentuk dan melalui perjalanan waktu, serta diperkuat melalui pengalaman-pengalaman berinteraksi (praktik sosial) dengan masyarakat lokal (dan pemangku kepentingan lainnya) sepanjang kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat tersebut. Perjalanan waktu berpraktik sosial (berinteraksi) antara PT. CGI dengan masyarakat lokal menunjukkan terjadinya pengulangan (rutin) peristiwa (praktik sosial) melalui media struktur tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga para agen (masyarakat lokal, PT. CGI dan agen lain) turut mempengaruhi dan bahkan membentuk struktur tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri di wilayah mereka. Giddens (2010) menunjukkan bahwa atas dasar pengetahuan dan kesadaran praktis maka praktik sosial dilakukan, dan akan diproduki oleh agen berdasarkan aturan dan sumber daya yang terdapat di dalam struktur. Alasan masyarakat melakukan tindakan demo dan aksi merupakan wujud dari kesadaran diskursif, bahwa mereka melakukan tindakan aksi agar tujuan mereka tercapai, yaitu perubahan struktur CSR yang lebih berpihak pada masyarakat. Sementara agenperusahaan merasa bahwa mereka telah melakukan kegiatan CSR, selain juga pajak yang mereka bayarkan kepada negara. Inilah salah satu titik diharmoninya relasi masyarakat lokal dengan perusahaan, karena perbedaan pemahaman masing-masing agen akan strukturCSR.. 250 Demikian pula masyarakat lokal memiliki klasifikasi kesadaran sendiri dalam memandang kehadiran PT. CGI di tengah-tengah mereka, baik kesadaran praktis maupun ‘motif tidak sadar’. Dengan kesadarannya sendiri, masyarakat lokal memandang keberadaan struktur tanggung jawab sosial perusahaan yaitu sebagai, sumber daya dan aturan; masyarakat lokal membangun dan mengembangkan praktik-praktik sosial dengan agen-agen lainnya, khususnya perusahaan sebagai agen penting dari struktur tersebut. Masyarakat melakukan praktik-praktik sosial melalui kesadaran akan dimensi struktur yang terdiri dari signifikansi, dominasi dan legitimasi. Kesadaran praktis masyarakat lokal, memandang kehadiran PT. CGI, bahwa sudah sewajarnya (bahkan kewajiban) bagi PT. CGI untuk membantu masyarakat lokal, karena mereka sudah melakukan eksploitasi sumber daya alam ‘milik’ mereka. Dalam ingatan dan pemahaman masyarakat lokal (khususnya penduduk asli) memandang kehadiran PT. CGI sebagai ‘tamu’ di masyarakat, sudah sewajarnya jika PT. CGI harus bertindak baik kepada masyarakat lokal. A. Relasi Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Hubungan perusahaan sebagai agen dengan tanggung jawab sosial sebagai struktur dapat dilihat dengan mendalami kesadaran perusahaan, baik kesadaran praktis maupun kesadaran diskursif atas stuktur (tanggung jawab sosial perusahaan). Di dalam kesadaran sesungguhnya akan melihat pemahaman dan motif-motif pihak perusahaan dalam melakukan praktik sosial melalui struktur tanggung 251 jawab sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh Giddens (2009, 2010) mengenai kesadaran yang terbagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu kesadaran diskursif, kesadaran praktis, dan motif tidak sadar. Kesadaran diskursif berhubungan dengan kemampuan agen mengucapkan atau mengekpresikan secara verbal tentang kondisi sosial, termasuk tindakannya sendiri. Sedangkan kesadaran praktis, agen mengetahui kondisi sosial namun tidak bisa mengemukakannya secara verbal. Kemudian yang terakhir motif tidak sadar, yaitu sebagai kecenderungan potensial bagi tindakan agen. Tidak mudah untuk menunjukkan adanya kesadaran praktis perusahaan untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial. Sebuah kesadaran yang tidak harus diperdebatkan lagi, dimana perusahaan melakukan kegiatan tanggung jawab sosial tanpa harus diperintah atau karena dasar motif tertentu. Sehingga dalam melihat hubungan agen (perusahaan) – struktur (tanggung jawab sosial perusahaan), data kesadaran diskursif lebih mudah terlihat buktinya, baik secara verbal maupun fisik. Dalam melakukan praktik sosial melalui kegiatan tanggung jawab agen perusahaan memiliki sejumlah motif, namun masih dapat diklasifikasi ke dalam 4 (empat) motif atau latar belakang, yaitu: 1) CSR sebagai alat untuk reputasi perusahaan, 2) alasan politis melakukan CSR, 3) CSR sebagai alasan integratif dengan masyarakat agar operasi perusahaan tetap berjalan, 4) alasan etis,bahwa keberadaan perusahaan harus memberi manfaat bagi masyarakat sekitar. Sebagaimana Garriga dan Mele (2004) tunjukkan mengenai 4 (empat) kelompok alasan melakukan kegiatan CSR, yaitu teori instrumental, teori politik, teori integratif, dan teori etis. 252 Struktur Modalitas Interaksi Signifikansi: - Mitra paling penting adalah masyarakat - Pemerintah lokal lemah Kerangka intepretasi - Ketergantungan masyarakat tinggi Komunikasi: - Kehati-hatian bertemu dan berkomunikasi dengan masyarakat - Bicara seperlunya - Penegasan dalam setiap pertemuan Dominasi: - Perusahaan multinasional - Modern / teknologi tinggi - Dekat dengan kekuasaan Fasilitas: Legitimasi: - Etika bisnis - Chevron way - Kontrak Joint operation Norma: - Ekonomi atau dana yang besar - Pendidikan, kompetensi dan keterampilan tinggi dan - Simbol tertib dan aman - UUPT no. 40/ 2007 - PP no 47 tahun 2012 - UU no. 25/ 2007 Kekuasaan: - Menentukan mitra - Menentukan bantuan - Menyalurkan bantuan dan - Menghentikan bantuan Sangsi: - Pembatasan bantuan - Penundaan bantuan - Penghentikan bantuan Kesadaran Perusahaan: Praktis, Diskursif, Motif tak sadar AGEN-AGEN LAIN: PEMERINTAH, LSM, MEDIA, MITRA Gambar 10. Relasi ‘Agen’ Perusahaan - ‘Struktur’ kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. (Sumber: Giddens, 2009, 2010; modifikasi oleh peneliti, 2013) Sebagaimana dinyatakan sebelumnya (dalam bab II) bahwa agen adalah orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam arus tindakan, sebagai pelaku dalam praktik sosial (Gidden, 2010), yaitu praktik-praktik dalam struktur tanggung jawab sosial perusahaan. 253 Program tanggung jawab sosial merupakan struktur, sebab terdiri dari aturan-aturan (rules) dan sumber daya (resources) yang memungkinkan praktik-praktik interaksi terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal, dan pemangku kepentingan lainnya (Gidden, 1986; Ritzer & Goodman, 2003). Gidden (2010:10-12) menunjukkan terdapat tiga dimensi internal agen yang menentukan paktik-praktik sosialnya, yaitu dalam bentuk kesadaran praktis, kesadaran diskursif dan motivasi tidak sadar. 1. Pemahaman perusahaan : Contoh kasus PT. Chevron Geothermal akan masyarakat lokal PT. CGI melihat masyarakat sangat berharap dengan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, PT. CGI seringkali direpotkan dengan bagaimana mengelola semua permintaan masyarakat. Kehadiran PT. CGI di tengah-tengah masyarakat, keberadaannya harus memberi manfaat bagi masyarakat sekitar, dimana pun mereka beroperasi. Kondisi-kondisi ketimpangan sosial ekonomi masyarakat dengan perusahaan memperkuat pemikiran pihak perusahaan terhadap munculnya ketergantungan masyarakat pada perusahaan. Pihak perusahaan menyadari (PT. CGI ) menyadari bahwa ketergantungan masyarakat lokal dan pemerintah lokal yang terlalu tinggi tersebut akan berbahaya bagi masyarakat itu sendiri. Kemandirian masyarakat tidak akan pernah tumbuh, sehingga kemajuan dan kesejahteraan masyarakat akan sulit tercapai. 254 Bagi pihak perusahaan (PT. Chevron Geothermal Indonesia), berpandangan bahwa masyarakat ternyata hanya menganggap program CSR tersebut sebagai hibah. Hal tersebut diperparah dengan lemahnya program-program kebutuhan pemerintah masyarakat di yang daerah tidak dalam menyentuh rangka langsung kesejahteraan masyarakat. Muncul kesan dalam benak Pihak Chevron bahwa pemerintah daerah membiarkan atau lepas tangan terhadap apa yang dilakukan oleh PT. CGI dan mitranya melalui program CSR. Ketidakberdayaan pemerintah ini terlalu nampak di hadapan masyarakat, manakala PT. CGI dan mitra LSMnya bekerja membantu masyarakat melalui kegiatan pengembangan masyarakat. Hanya segelintir orang saja yang mengetahui adanya bantuan CSR, bahkan pada beberapa desa, kepala desanya cenderung membatasi diri (bahkan menutup diri) untuk berkomunikasi dengan masyarakatnya. Perbedaan pandangan dan pemahaman tentang keberadaan perusahaan dan program CSRnya yang terlalu tinggi, diantara pihak perusahaan dengan masyarakat dapat menimbulkan salah pengertian, bahkan konflik antara perusahaan dan masyarakat, serta pemerintah setempat. Bagi perusahaan, prioritas terlaksananya kegiatan CSR, adalah adanya jaminan keamanan agar operasional perusahaan yang tidak terganggu. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan perusahaan lebih diutamakan, sehingga kegiatan tanggung awab sosial perusahaan hanya merupakan alat (intrumental) untuk meredam gejolak masyarakat sehingga kegiatan perusahaan tidak terganggu. Sebagaimana dikemukakan oleh Prayogo (2008, 2009) bahwa program CSR yang 255 dikerjakan oleh perusahaan sebagai respons dari tekanan masyarakat sekaligus upaya membangun relasi yang baik. Sedangkan Frynas (2009: 16) menunjukkan fakta bahwa adanya program CSR seringkali merupakan risk management perusahaan untuk meredam dan menghindari konflik sosial. Prayogo (2011:157) menunjukkan bahwa wujud akhir dai baik buruknya persepsi komunitas akan berujung pada bentuk tindakan masyarakat lokal, mendukung atau menolak keberadaan dan kegiatan perusahaan. 2. Kesadaran Perusahaan: Contoh kasus PT. Chevron Geothermal Indonesia (CGI) dalam melakukan kegiatan CSR Bagi PT. CGI tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bagian dari corporate responsibility yang bersifat kesukarelaan (voluntary), sehingga regulasi yang ada sebenarnya justru mereduksi makna CSR itu sendiri, bergesernya nilai moral dan etika bisnis menjadi kewajiban (obligation). Dalam rangka operasional kegiatan CSR, PT. CGI memerlukan banyak keterlibatan pihak-pihak lain (multistakeholder) dalam kegiatan tersebut, untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan stakeholder lainnya. PT. CGI melihat hubungan antara perusahaan dengan masyarakat harus dicermati secara intensif dan hati-hati; artinya, hubungan yang terjadi akan sangat dinamis karena perubahan dan pergeseran stakeholder sekitar wilayah operasi begitu cepat. Hubungannya dengan masyarakat adalah juga merupakan social investment (investasi sosial) jangka panjang bagi keberlangsungan bisnis. 256 Usulan-usulan kegiatan dari masyarakat lebih banyak berdasarkan keinginan-keinginan masyarakat saja, bukan berdasarkan kebutuhan. Kemudian PT. CGI tidak ingin dan tidak berharap menggantikan posisi dan peran pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk mensejahterakan masyarakat. Namun demikian PT. CGI nampaknya akan terus berkomitmen untuk membantu dan bermitra dengan masyarakat dan pemerintah daerah. PT. CGI mencoba fokus pada capacity building masyarakat, melalui local economy development (LED) dan local business development (LBD), dengan sedikit demi sedikit mengurangi program yang bersifat bantuan sosial (social asistance) saja. Agar kemandirian masyarakat dapat muncul. Walaupun hingga saat ini memang kegiatan CSR belum mencapai sepenuhnya fokus mengarah pada pemberdayaan, namun secara bertahap alokasi dana yang diarahkan pada pengembangan masyarakat diupayakan harus terus meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kegiatan LED dan I3E, local economic development (LED) di kecamatan Samarang merupakan program CSR yang pendanaannya berasal dari Chevron Darajat langsung. Sedangkan pola initiatives economic engagement and empowering (I3E) yang di kecamatan Pasirwangi, dengan sumber pendanaan berasal dari kantor pusat Chevron di Amerika Serikat. Seringkali pemerintah desa (pemerintahan lokal) tidak siap dalam menjalankan program CSR yang disalurkan pendanaannya melalui pemerintahan desa. Pemerintah daerah diharapkan dapat bekerja sama dalam kegiatan CSR dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya warga masyarakat yang berada di 257 ring 1 wilayah kerja PT. CGI. PT. CGI selalu berupaya jujur dan bersih dalam melakukan kegiatan tanggung jawab sosial dan pengembangan masyarakat, namun ketika bersentuhan dengan pemerintah seringkali dijumpai praktik-praktik yang cenderung menghambat kegiatan tersebut. Frynas (2009), menyatakan bahwa biasanya perusahaan pertambangan gagal melakukan konsultasi secara lebih luas dengan pemimpin lokal dan tokoh-tokoh lokal. Tantangan memberikan pola pikir (mindset) akan keamanan, kejujuran, menghormati hak-hak asasi manusia, dapat dilakukan saat para kontraktor-kontraktor lokal bekerja sama dengan PT. CGI. Perlu kesabaran dalam berhubungan dengan masyarakat yang memiliki sifat ketergantungan yang tinggi kepada PT.CGI, ditambah dengan kondisi pemerintah daerah yang memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat lokal. Kegagalan program-program pemerintah sebelumnya seperti Kredit Usaha Tani (KUT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), raksa desa yang yang bersifat top down berasal dari pemerintah juga turut menyumbang munculnya pandangan dan budaya ketergantungan masyarakat. Sementara itu sesungguhnya masyarakat memiliki potensi tersendiri (local wisdom) yang khas dan mungkin belum tergali dengan baik. Bagi PT. CGI keterwakilan masyarakat bukan ditentukan oleh keterwakilan jumlah semata, melainkan keterwakilan ide; artinya pihak perusahaan menghormati ide-ide dari masyarakat, dari pemerintah, atau dari manapun dalam rangka membangun relasi yang harmonis antara masyarakat dengan perusahaan. Pihak perusahaan berharap setelah 258 semua upaya engagement dan pemahaman akan masyarakat lokal berikut program-programnya maka terjadi relasi yang baik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, maka tidak ada konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Frynas (2009) menunjukkan bahwa alasan perusahaan ekstraktif melakukan kegiatan CSR adalah, pertama, untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan; kedua, sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan imej positif; ketiga sebaga bagian dari strategi bisnis perusahaan untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat lokal; dan keempat, bagian dari risk management untuk meredam dan menghindari konflik. Dalam pandangan Prayogo (2011: 13) seharusnya perusahaan tidak sekedar memperoleh ‘ijin operasi’ dari masyarakat, tetapi lebih jauh lagi, yaitu masyarakat dapat menerima dan mengakui kehadiran (social legitimacy) perusahaan di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran perusahaan seharusnya memperoleh dukungan dari masyarakat lokal karena kehadirannya bermanfaat bagi mereka, inilah makna dari pengakuan sosial (social legitimacy). Frynas (2009) mengingatkan bahwa perlu kehati-hatian dalam menerapkan praktek tanggung jawab sosial dari negara-negara maju di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Oleh karena itu penerapan CSR di masing-masing negara harus disesuaikan dengan konteks sosial dan lingkugannya. Kehati-hatian penerapan praktik CSR perlu dipahami oleh agen-perusahaan, sebab dalam konsepsi strukturasi (Giddens, 2010), melalui praktik-praktik sosial CSR-lah relasi dinamis antar agen dan dengan struktur terjalin. Strukturasi merupakan suatu proses yang berkaitan dengan produksi dan reproduksi struktur, sehingga dapat dikatakan bahwa struktur dalam kerangka teori 259 strukturasi, sesungguhnya bersifat dinamis karena dikontruksi oleh agen. Masalahnya adalah siapa saja agen yang terlibat dalam produksi dan reproduksi struktur CSR tersebut, tentunya agen yang terlibat tidak cukup hanya agen-masyarakat dan agen-perusahaan saja. Perlu keterlibatan agen lainnya, yaitu pemerintah sebagai bagian dari unsur tripartit good governance , selain masyarakat dan swasta (perusahaan) (Bintoro, 2010). B. Relasi Masyarakat Lokal Terhadap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Hubungan masyarakat lokal sebagai agen dengan perusahaan yang juga sebagai agen terjadi melalui praktik-praktik sosial dimana tanggung jawab sosial sebagai struktur merupakan media terjadinya aktivitas tersebut. Sehingga kesadaran masyarakat lokal akan melihat keberadaan perusahaan dan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Kesadaran masyarakat lokal dapat diklasifikasi berdasarkan kesadaran praktis, kesadaran diskursif, dan motif tidak sadar (Giddens, 2010). Semisal untuk kesadaran praktis, yang lama tertanam dalam benak masyarakat lokal, bahwa kehadiran perusahaan besar multinasional PT. CGI di tengah-tengah masyarakat berkewajiban untuk memberikan bantuan yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar perusahaan. Dalam kesadaran praktis masyarakat lokal, perusahaan tersebut telah mengeruk (eksploitasi) sumber daya alam ‘milik’ masyarakat. Sementara di sisi lain keberadaan PT. CGI secara legitimasi memiliki hak melalui joint operation contract (JOC) 260 bersama pertamina dan PLN untuk mengeksploitasi memanfaatkan energi panas bumi menjadi listrik. Nampak di sini terdapat pemahaman yang berbeda antara masyarakat lokal dengan pihak agen-perusahaan. Pemahaman masyarakat, bahwa perusahaan sudah sewajarnya melakukan bantuan kepada masyarakat lokal, sudah merupakan kesadaran praktis. Struktur Modalitas Signifikansi: - Kondisi kontradiktif dengan masyarakat - Khawatir bencana bocor - Penyerapan tenaga kerja lokal - Eksploitasi SDA ‘milik’ lokal Kerangka intepretasi Kerusakan lingkungan - PT. CGI ‘wajib’ memberi bantuan kepada masyarakat lokal - Interaksi - Komunikasi: Usulan kegiatan Aksi demonstras Dominasi: - Masyarakat lokal (asli) - Jumlah penduduk - Kekompakan masyarakat Fasilitas & Sarana: Wilayah penduduk dekat dengan lokasi operasi - Dekat dengan jalur mobilitas operasi PT. CGI - - Kekuasaan: Aksi massa Pemblokiran jalan Perusakan pipa air - - - Legitimasi: Etika perusahaan Forum CSR (APDESI) Norma: UUPT no. 40/ 2007 PP no 47 tahun 2012 Penentuan kegiatan CSR di masingmasing desa Sangsi: Operasi PT. CGI terganggu Pengucilan masyarakat kepada kepala desa Kesadaran Masyarakat Lokal: Praktis, Diskursif, Motif tak sadar AGEN-AGEN LAIN: PEMERINTAH, LSM, MEDIA, MITRA Gambar 11. Relasi ‘Agen’ Masyarakat lokal – ‘struktur’ kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. (Sumber: Gidden 2009, 2010; modifikasi oleh peneliti, 2013) 261 Kesadaran praktis tersebut diikuti dengan kesadaran diskursif, yaitu penjelaan-penjelasan secara verbal melalui tuntutan-tuntutan dan aksi-aksi yang dilakukan masyarakat lokal kepada PT. CGI atau juga kepada pemerintah. Melalui interaksi dengan perusahaan (agen), melalui praktik-praktik sosial, dalam kerangka struktur tanggung jawab sosial perusahaan, maka mulai terjadi penyesuaian dan adaptasi antara masyarakat lokal dengan perusahaan. Gambar 4.8 menunjukkan skema analisis perpekstif struktur-agen, dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Nampak agen (masyarakat lokal) memiliki pandangan tersendiri akan struktur (kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan) dan keberadaan PT. CGI. Prayogo (2009: 99) menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat lokal akan perusahaan “mengeksploitasi” sumber panas bumi masyarakat lokal merupakan keadaan yang obyektif sekaligus subyektif. Secara obyektif memang nyatanya perusahaan mengambil sumber panas tersebut, namun secara subyektif panas bumi tersebut dianggap sebagai “milik” warga lokal karena berada di dalam wilayah mereka. Sehingga, karena perusahaan melakukan eksploitasi maka sudah sewajarnya ia melakukan ‘pertukaran’ terhadap masyarakat lokal yang energi buminya diambilalih oleh perusahaan. Kegiatan-kegiatan dari program tanggung jawab sosial perusahaan sudah seharusnya diprioritaskan bagi masyarakat lokal. 262 1. Pemahaman masyarakat lokal akan keberadaan PT. Chevron Geothermal Darajat Garut Faktor-faktor yang membuat pemahaman masyarakat lokal berbeda dengan masyarakat lokal, antara lain masyarakat lokal memahami bahwa kehadiran PT. Chevron sebagai kondisi yang sangat kontradiktif dengan masyarakat lokal yang serba kekurangan. Masyarakat masih khawatir dengan akan timbulnya kebocoran pipa, yang dapat mengancam keselamatan warga masyarakat. Kemudian agen-masyarakat memandang bahwa tidak banyak tenaga kerja lokal yang dapat dipekerjakan oleh PT. CGI, warga masyarakat lokal menilai perusahaan kurang terbuka untuk memberikan informasi kebutuhan tenaga kerja. Masyarakat memandang perusahaan telah mengeksploitasi sumber daya alam ‘milik’ mereka sendiri. Warga masyarakat lokal merasa tidak pernah diberi informasi berkaitan dengan keamanan dan keselamatan eksploitasi. Kodisi-kondisi tersebut memperkuat pemahaman warga masyarakat menyalahkan kepada pihak perusahaan akan persoalan semakin gundulnya hutan-hutan di wilayah Darajat sejak kehadiran perusahaan tersebut di wilayah mereka. Kekhawatiran kerusakan lingkungan yang mengakibatkan menurunnya produksi lahan pertanian. Masyarakat merasa tidak berdaya, karena sumberdaya alam, menurutnya, terus dikeruk oleh perusahaan, sementara pemerintah daerah pun seolah tutup mata dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat tersebut. Isyu lain, beberapa warga yang memiliki modal yang mulai menginvestasikan dananya untuk membangun fasilitas wisata kolam air 263 panas dan penginapan. Namun pesatnya perkembangan tersebut tidak diikuti dengan ketersediaan sarana pendukung lainnya, seperti penginapan-penginapan, rumah makan dan warung-warung, serta perluasan lahan parkir. Pandangan negatif warga masyarakat terhadap kehadiran PT. CGI juga tidak terlepas dari sisi historis kehadiran perusahaan tersebut di daerah mereka, yang mana masalah-masalah sebelumnya (laten) yang tidak terselesaikan muncul mengemuka ketika ada kekecewaan muncul. Semetara itu sebagian masyarakat mengkaitkan kepemilikan investor asing PT. CGI, yaitu Amerika dengan sentimen negatif terhadap kepemilikan perusahaan tersebut dengan ‘Yahudi’. Masyarakat yang perpandangan positif (mendukung) akan kehadiran PT. CGI, beralasan banyaknya bantuan yang diberikan oleh perusahaan kepada warga sekitar, khususnya seperti perbaikan jalan dan goronggorong. Pandangan-pandangan masyarakat lokal akan keberadaan perusahaan yang pada modal berteknologi tinggi, di lingkungan mereka akan menentukan cara praktik sosial terhadap perusahaan. Menurut Giddens (2010), melalui gugus pemahaman dan pengetahuan praktis dan diskursif akan struktur, maka agen akan berpraktik sosial --melangsungkan hidup kesehariannya. Lebih lanjut Giddens (2009) menegaskan bahwa agen memiliki kemampuan untuk mengubah situasi sosial, dengan peningkatan pengetahuan dan pemahaman. Dari pemahaman agen (masyarakat lokal, perusahaan dan pemerintah) tersebut, akan terjadi interaksi dengan struktur (CSR) yang saling mempengaruhi. Inilah yang dikatakan Giddens dengan dualitas struktur. Dengan bekal pemahaman dan pengetahuan agen masing- 264 masing, dapat menjadikan struktur (CSR) sebagai acuan dalam bertindak dan mengubah serta mereproduksi struktur melalui tindakantindakan yang terus-menerus dan bersifat rutin. Maka struktur secara aktif diproduksi, direproduksi, dan diubah oleh agen (masyarakat, perusahaan dan pemerintah) sebagai pelaku yang memiliki kemampuan bertindak. 2. Pemahaman masyarakat akan program CSR PT. Chevron Geothermal Darajat Garut Masyarakat lokal enggan untuk berinisiatif mengundang pihak PT. CGI dalam kegiatan-kegiatan yang terdapat di masyarakat. Bagi masyarakat lokal berpandangan, sudah seharusnya bahkan ‘wajib,’ inisiatif menjalin hubungan berasal dari Perusahaan, sebagai tamu masyarakat. sementara menurut LSM Pupuk sejak tahun 2009 programprogram Capacity building dan program pemberdayaan masyarakat (community development) mulai menjadi fokus perhatian dari kegiatan CSR PT. CGI. Walaupun porsi antara pembangunan infrastruktur dan non infrastruktur masih lebih besar pembangunan infrastruktur. Dinamika relasi yang terbangun antara masyarakat dengan PT. CGI, yaitu bersifat fluktuatif, kadang naik kadang turun. Namun dari beragam tuntutan masyarakat lokal kepada perusahaan, nampaknya PT. CGI mencoba belajar dari situasi hubungan sebelumnya yang lebih banyak demo tuntutan masyarakat sekitar, kemudian mencoba membangun komunikasi dan kemitraan baru berdasarkan situasi sebelumnya. PT. CGI mengembangkan local bussiness development (LBD), yaitu menjalin mitra dengan perusahaan-perusahaan lokal yang 265 memiliki badan usaha (CV). Sehingga melalui LBD inilah penyerapan tenaga lokal dapat terjadi, dan masyarakat lokal pun didorong untuk mengembangkan perusahaan dengan kualifikasi minimal (CV), agar dapat mengikuti tender proyek-proyek skala kecil di PT. CGI. Porsi terbesar program CSR PT. CGI masih pada pembangunan infrastruktur; perbaikan jalan, penyediaan air bersih, gorong-gorong, pembangunan sarana ibadah (mesjid), penyediaan air bersih dan sarana pendidikan. Sehingga sebagian masyarakat lokal memahami kalau seandainya banyak bantuan yang diberikan di desa-desa wilayah kecamatan Pasirwangi, daripada daerah lainnya di wilayah kabupaten Garut, dan hal tersebut adalah wajar. Sementara itu usulan-usulan kegiatan yang berasal dari perusahaan dapat dipandang sebagai kepedulian perusahaan membangun relasi yang baik dengan masyarakat sekitar perusahaan. Harapan masyarakat yang tinggi kepada perusahaan harus disikapi dan dikelola dengan hati-hati. Sebab di kemudian hari pola hubungan tersebut akan membuat masyarakat menjadi tidak mandiri, karena sangat tergantung kepada perusahaan. Namun demikian mulai muncul kesadaran dalam pandangan masyarakat, bahwa jika ingin memperoleh bantuan, maka mereka harus membuat proposal kepada PT. CGI. Sebagian masyarakat lokal juga mengerti bahwa turunnya bantuan dari perusahaan tersebut memerlukan waktu dan ada prosesnya. Desa-desa se-kecamatan Pasirwangi mengembangkan sebuah forum yang khusus membicarakan usulan-usulan CSR yang terbentuk sekitar 2 tahun yang lalu. Awalnya forum ini merupakan asosiasi pemerintah desa Indonesia (APDESI), namun dalam perkembangan 266 selanjutnya asosiasi ini lebih dikenal sebagai forum yang menjadi wadah dan sekaligus menjembatani hubungan antara keinginan dan kebutuhan masyarakat dengan pihak perusahaan (PT.CGI). Forum CSR inilah yang kemudian menentukan skala prioritas mengenai program bantuan dari PT. CGI yang akan dilakukan di desa-desa. Terbentuknya forum CSR tersebut sedikit banyak mengurangi beban tekanan dan kepusingan PT. CGI dalam menentukan usulan kegiatan, prioritas kegiatan, sasaran kegiatan, dan pelaksana kegiatan di masingmasing desa. Adanya Forum CSR tersebut memudahkan PT. CGI dalam menyalurkan bantuan yang telah terseleksi melalui forum tersebut. Sehingga PT. CGI akan lebih dapat meluang waktu untuk berkonsentrasi pada kegiatan lainnya. Proses pengajuan usulan perlu untuk diamati untuk memperoleh gambaran dan informasi mengenai pengetahuan masyarakat mengenai cara-cara mengajukan usulan kegiatan. Serta bagaimana pihak perusahaan menanggapi permohonan akan bantuan-bantuan yang berasal dari masyarakat dan dari pemerintah setempat. Tentunya tahapan pengusulan bantuan tersebut terjadi sebagai pengulangan dari kejadian-kejadian sebelumnya (rutin). Anggota masyarakat yang berhasil mengajukan proposal bantuan, kemudian akan ditiru oleh anggota masyarakat lain yang akan mengajukan bantuan kepada PT. CGI. Keterulangan praktik sosial tersebut terus berlangsung selama beberapa tahun sebelumnya (Giddens, 2010). Pada pengajuan proposal di tahun-tahun sebelumnya, apabila proposal yang diajukan terlalu lama (bertahun-tahun) atau tidak direspon (tidak ada realisasinya) maka sudah ada semacam ‘aturan’ tidak tertulis di masyarakat untuk melakukan aksi atau demonstrasi. Munculnya aksi tersebut juga meniru 267 kejadian serupa sebelumnya, bahwa kalau tidak didemo, maka bantuan itu tidak akan cair. Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa agen adalah pelaku dalam praktik sosial (Giddens, 2010; Priyono, 2002). Agen dalam konteks struktur tanggung jawab sosial perusahaan adalah masyarakat lokal, sebagai pemangku kepentingan penting dalam kegiatan CSR (Prayogo, 2011:15), selain perusahaan dan pemerintah. Nampak bahwa dalam konsepsi strukturasi, struktur CSR, dapat dipahami sebagai ‘medium’ dan ‘outcome’ dari tindakan agen melakukan praktik sosial sebagaimana dikemukakan oleh Giddens (2010: 30) sebagai dualitas struktur. Kemudian dalam Giddens menegaskan (New Rules of Sociological Method, a positive critique of interpretative sociologies,terjemahan 2010: 141) bahwa produksi interaksi memiliki tiga elemen dasar: konstitusinya sebagai ‘bermakna’ (signifikansi), konstitusinya sebagai ‘tatanan moral’ (legitimasi), dan konstitusinya sebagai operasi hubungan ‘kekuasaan’ (dominasi). C. Relasi Dinamis Antar Masyarakat Lokal dan Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Relasi yang terjadi diantara para agen, khususnya masyarakat lokal dengan perusahaan melalui struktur yaitu kegiatan atau program tanggung jawab sosial perusahaan, merupakan hubungan yang fluktuatif. Terkadang relasinya harmonis dan terkadang pula memanas, seiring juga dengan perjalanan waktu sejak kehadiran perusahaan di tengah – tengah masyarakat lokal, dan pengalaman praktik-praktik pertemuan para agen tersebut. Sepanjang waktu tersebut terdapat penyesuaian-penyesuaian yang perlu 268 dilakukan dalam struktur tanggung jawab sosial perusahaan PT. CGI oleh para agen, demikian pula pada akhirnya perkembangan struktur tanggung jawab sosial (kebijakan nasional dan aturan lainnya) memberikan kemungkinan bagi para agen untuk melakukan praktik-praktik sosial dalam relasi masyarakat lokal dan perusahaan. Inilah dualitas struktur tanggung jawab sosial perusahaan yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan PT. CGI di desa Karyamekar kecamatan Pasirwangi. Dimana para agen (masyarakat lokal dan PT. CGI) mempengaruhi tanggung jawab sosial perusahaan melalui praktik sosial yang berulang, juga struktur (tanggung jawa sosial perusahaan) mempengaruhi tindakan-tindakan para agen dalam melakukan relasi diantara mereka. Dalam Gambar 4.9 menunjukkan skema relasi dinamis yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal, serta agen lainnya yaitu pemerintah, LSM, media dan mitra kerja perusahaan dalam kerangka teori struktur-agen Giddens (2010). Dimensi signifikansi tanggung jawab sosial perusahaan berkenaan pemaknaan masyarakat lokal melalui modalitas skema interpretatif dalam melakukan interaksi komunikasi dalam melakukan praktik sosial. Sedangkan dimensi dominasi dengan modalitas penguasaan sarana dan fasilitas yang ada dalam melakukan interaksi berupa kekuasaan atau kekuatan (power) yang dimiliki masyarakat dalam struktur tanggung sosial perusahaan. Sedangkan dimensi legitimasi (keabsahan) berkenaan dengan modalitas norma dan sanksi dalam struktur CSR tersebut. 269 Relasi Dinamis antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal Kesadaran: P E R U S A H A A N Interaksi: Modalitas: STRUKTUR Kesadaran: Kegiatan Tanggung Jawab Sosial PT. CGI Praktis Signifikansi Skema Interpretatif Komunikasi Dominasi Sarana/ fasilitas Kekuasaan Diskursif Diskursif Legitimasi AGEN Praktis Norma Sanksi Manfaat, Keberlanjutan (Dimensi Ruang dan Waktu) AGEN AGEN-AGEN LAIN: PEMERINTAH, LSM, MEDIA, MITRA Gambar 12. Skema Relasi Dinamis antara Masyarakat Lokal dengan Perusahaan Melalui Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan . (Sumber: Giddens, 2009, 2010, modifikasi oleh peneliti, 2013) Terjadi proses pembelajaran diantara agen melalui praktikpraktik sosial dalam struktur kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Melalui perjalanan waktu, relasi yang terbangun antara perusahaan dengan masyarakat lokal memunculkan modifikasi akan praktik-praktik CSR yang sesuai bagi agen (masyarakat – perusahaan), dan pada akhirnya terjadi pergeseran dari dimensi struktur CSR, yang 270 M A S Y A R A K A T dalam konsepsi Giddens (2010) terdiri dari signifikansi, dominasi dan legitimasi. Dalam teori strukturasi, tanggung jawab sosial perusahaan dapat dipandang sebagai struktur, karena di dalamnya terdiri atas aturanaturan dan sumber daya. Giddens (2010) menunjukkan bahwa sumber daya memiliki dua jenis, yaitu sumber daya otoritatif dan sumber daya alokatif. Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan memiliki sumber daya otoritatif yang berasal dari koordinasi aktivitas para agen (perusahaan, pemerintah, penyedia barang-barang produksi, dan masyarakat); juga sumber daya alokatif yang berasal dari kendali atas produk-produk material atau aspek-aspek dunia material. Besarnya dana dan jenis kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan ditentukan dan diatur dengan kepatutan dan peraturan terkait CSR, seperti UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseorang Terbatas (PT), UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, serta Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Terbatas. Demikian pula masyarakat lokal, sebagai agen, juga sebaiknya mengetahui dan memahami struktur tanggung jawab sosial perusahaan. Sehingga masyarakat lokal dapat memeroleh manfaat sebaik-baiknya dari struktur CSR untuk kemaslahatan warga masyarakat, dengan berkolaborasi dengan agen lainnya, terutama pihak perusahaan. Pengetahuan dan kesadaran para agen akan struktur, dalam hal ini CSR, dengan demikian akan menentukan cara-cara atau praktikpraktik sosial kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Giddens (2010), dengan kerangka Goffman, mengidentifikasi 4 (empat) jenis keadaan atau faktor—faktor yang memengaruhi tingkat dan watak 271 keterlibatan yang dimiliki oleh agen yaitu: 1) sarana akses yang dimiliki oleh para aktor terhadap pengetahuan berdasarkan lokasi sosial mereka, 2) cara-cara artikulasi pengetahuan, 3) keadaan-keadaan yang berhubungan dengan validitas klaim-klaim keyakinan yang dianggap sebagai ‘pengetahuan’, dan 4) faktor-faktor yang berhubungan dengan sarana penyebaran pengetahuan yang tersedia (2010:142). Berdasarkan keempat faktor tersebut maka dapat dimengerti terdapat pengetahuan dan pemahaman yang berbeda antar kedua agen, masyarakat lokal dan perusahaan, mengenai struktur tanggung jawab sosial perusahaan. Seperti halnya pengetahuan masyarakat lokal mengenai proses pengajuan kegiatan kepada PT. CGI, sebagaimana terlihat dalam gambar 13. Berbeda halnya dengan pemahaman pihak perusahaan (gambar 14) mengenai hal tersebut. C D Musyawarah & FGD PT. CGI, Pengusul Masyarakat, Pemerintah Desa: untuk menentukan prioritas kegiatan Humas & CE B Pemerintah Desa A Usulan Masyarakat Usulan Masyarakat 2 Usulan Masyarakat 1 Gambar 13: Alur proses pengusulan kegiatan masyarakat desa kepada PT. CGI Menurut Masyarakat lokal. (Sumber: hasil olah data wawancara 2013). 272 - Pertama, masyarakat lokal mengusulkan langsung kepada PT. CGI. , kemudian oleh PT. CGI dikonfirmasikan kembali pemerintah desa tentang pengusulan kegiatan warganya, kemudian dibicarakan melalui FDG. Peserta FGD adalah pengusul kegiatan dari masyarakat, aparat pemerintah desa dan perakilan PT. CGI. - Kedua, melalui pemerintah desa masyarakat lokal mengusulkan kegiatan kepada PT. CGI. Kemudian dibahas melalui FGD untuk menentukan prioritas kegiatan. Sedangkan menurut pihak PT. CGI alur proses dan tahapan kegiatan CSR sebagaimana terlihat dalam gambar 14, sebagai berikut: Gambar 14. Alur proses dan tahapan program menurut PT. CGI. (Sumber: PT. CGI, 2012) 273 - Pertama, Usulan masyarakat, Pemda, Tawaran kerjasama dan Inisiatif CGI ditampung; - Kedua, kemudian semua usulan dibicarakan melalui muspika, atau musrenbang, atau musyawarah APDESI (forum CSR); dengan dihadiri oleh pihak CGI untuk menentukan prioritas kegiatan dalam daftar usulan kegiatan. - Ketiga, kemudian daftar usulan diajukan program/ untuk kegiatan memperoleh tersebut persetujuan management CGI untuk menentukan RKAB (rencana kegiatan dan anggaran biaya) - Keempat, RKAB tersebut kemudian dilaporkan kepada Pertamina untuk memperoleh persetujuan RKAB untuk selanjutnya dieksekusi dan dimonitoring oleh CGI dan Mitra kerjanya - Kelima, proses pencairan kegiatan kepada masyarakat, melalui monitoring dari PT. CGI dan mitranya. Gambar 4.9 dan gambar 4.10 menunjukkan bahwa pada tahapan pengajuan usulan kepada PT. CGI, terdapat perbedaan pengetahuan dan pemahaman akan tahapan pengajuan diantara agen (masyarakat, perusahaan dan pemerintah). Perbedaan pemahaman tersebut akan menimbulkan perbedaan bertindak dari masing-masing agen yang berbeda pula, perbedaan praktik atau tindakan antar agen tentang operasional kegiatan CSR menunjukkan ketidakharmonisan relasi yang terjadi. 274 Salah satu proses implementasi kegiatan dari pihak perusahaan (PT. CGI) yaitu mengeluarkan program local business development, sebagai program unggulan. Namun dalam pemahaman masyarakat lokal, pola LBD (local business development) ini justru telah mematikan nilai-nilai partisipasi, kebersamaan, rasa memiliki dan keberdayaan masyarakat. Sebab pembangunan infrastruktur atau pembangunan fisik yang dilakukan oleh CV pemenang tender tersebut. Warga masyarakat lokal hanya berperan sebagai penonton, masyarakat tidak diajak serta untuk terlibat dalam proses pembangunan fisik tersebut baik tahap perencannaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi. Setelah pembangunan fisik tersebut selesai, kemudian terjadi serah terima bantuan pembangunan fisik tersebut dari PT. CGI kepada warga masyarakat setempat. Sehingga, manakala hasil pembangunan fisik LBD tersebut rusak, maka biasanya dalam pemahaman warga masyarakat segera menuntut kembali untuk perbaikan pembangunan fisik tersebut kepada PT.CGI. Begitulah seterusnya proses lelang (tender) pekerjaan itu berulang, dimana warga masyarakat hanya berperan sebagai penonton. Artinya adalah melampaui perjalanan ruang dan waktu, praktik-praktik relasi yang terjadi antara agen perusahaan dan masyarakat, ternyata beberapa pengetahuan dan pemahaman masyarakat berkembang melalui interaksi dengan agen-agen lainnya. Sehingga agen (masyarakat) mampu dan memiliki kesadaran diskursif untuk mengevaluasi salah program CSR yang dianggap unggulan oleh pihak perusahaan. Giddens (2010:111) menunjukkan bahwa pengulangan (rutinisasi) praktik-praktik sosial melalui perjumpaanperjumpaan antara pihak warga masyarakat lokal dengan perusahaan akan mengikat dalam reproduksi sosial dan dengan demikian 275 mengesankan pemapanan instiusi-institusi. Proses tersebut juga mendorong menciptakan (reproduksi) struktur ketergantungan warga masyarakat kepada PT. Chevron. Tabel 30. Jenis Bantuan dari PT. Chevron Geothermal Indonesia, menurut masyarakat lokal No. Jenis Bantuan 1. Pendidikan 2. Usaha 3. 4. Kesehatan Lingkungan 5. Ketenagakerjaan 6. Fasilitas umum 7. Fasilitas Agama Fisik PAUD/ TK, SD, SMP, ATK, papan tulis, laptop Permodalan Puskesmas Penanaman pohon, penyediaan air bersih Non Fisik Super camp (Asgar Muda) Pendampingan oleh PUPUK dalam program LED, I3E HIV/AIDS Pelatihan budi daya jamur Pembangunan jalan gorong-gorong Pipanisasi MCK Pembangunan mesjid Bantuan kitab AlQuran Ceramah di PT. CGI (informal) Sumber: Diolah dari data penelitian, 2013. Kondisi ketergantungan agen-masyarakat ini mulai disadari oleh pihak perusahaan, sehingga upaya-upaya untuk menghilangkan ketergantungan masyarakat lokal akan bantuan pihak perusahaan, ternyata merupakan kesulitan tersendiri yang dihadapi oleh pihak perusahaan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh agen (perusahaan) dalam rangka mengubah struktur CSR yang terlalu bersifat karitas 276 semata coba dilakukan (sebagaimana terlihat dalam tabel 4.23), dengan mengembangkan program-program penguatan kapasitas (capacity building) terhadap masyarakat. Dalam perkembangan terakhir, dalam data sekunder dan primer (hasil wawancara dan observasi), program CSR yang dikembangkan oleh pihak perusahaan berupaya mengembangkan program yang lebih memberdayakan masyarakat, walaupun secara jumlah kegiatan masih sedikit. Artinya dalam konsepsi agen Giddens (2010), nampak bahwa agen-perusahaan (dalam divisi CSR PT. CGI) telah mencoba mengadopsi kesadaran praktis, melakukan refleksi ulang dan melakukan suatu tindakan dengan mencari makna atau nilai dari tindakannya tersebut. Hasilnya adalah, berupa pergeseran praktik CSR yang dilakukan sebelumnya (yang bersifat karitas semata), ke arah pengembangan masyarakat. Sejak sekitar tahun 2009, mulai nampak upaya perusahaan sebagai agen, melakukan perubahan perbaikan terhadap struktur CSR, walaupun secara jumlah dan maupun kualitas masih terbatas. Hanya saja ketepatan assesment dan program yang dilakukan masih perlu dipertanyakan, mengingat banyak program yang tidak berlanjut. Namun demikian upaya perubahan struktur CSR tersebut tidak diikuti atau tidak seiring dengan agen-agen lainnya, yaitu masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dan pemerintah, memiliki pemahaman yang berbeda dengan agen-perusahaan. Sehingga akhirnya, pihak perusahaan menganggap bahwa komitmen warga yang telah memperoleh bantuan masih belum sinambung, seringkali terhenti di tengah jalan. Sementara sebelumnya warga masyarakat meminta 277 bantuan untuk mengembangkan usaha dengan mengajukan usulan atau proposal kepada PT. CGI. Melihat hal tersebut PT. CGI perlu kiranya berfikir ulang dan selektif dalam menerima proposal dan menyalurkan bantuan usaha kepada masyarakat, selain mengembangkan dialog dan komunikasi dengan sejumlah tokoh masyarakat, agar terbangun pemahaman yang merata mengenai program CSR. Perbedaan pemahaman akan struktur CSR dari masing-masing agen, perusahaan, masyarakat dan pemerintah menimbulkan pola relasi yang cenderung dinamis, terkadang harmonis dan suatu waktu tertentu harmonis. Sebaliknya masyarakat lokal menilai, PT. CGI hanya melakukan monitoring di tahap awal saja khususnya pada tahan perencanaan, yaitu saat memastikan program tersebut berasal dari desa tertentu kepada aparat desa. Selanjutnya melalui kegiatan FGD (focus group discussion), dilakukanlah prioritas kegiatan untuk desa tersebut. Sebelum bantuan diberikan, maka dilakukan kajian terlebih dahulu. Setelah disetujui dan kemudian bantuan itu turun (dilaksanakan), namun tidak dilakukan monitoring. Sementara itu, pihak kecamatan berpandangan bahwa mekanisme pelaksanaan kegiatan CSR dari PT. CGI cenderung tidak melibatkan pihak kecamatan. Fenomena hubungan antara pemerintah desa, pemerintah kecamatan dan PT. CGI ini menarik untuk disimak. Idealnya diantara stakeholder ini akan terbangun relasi yang baik, dalam rangka efektifitas dan efisiensi pembangunan masyarakat di wilayahnya. Jika masing-masing pihak merasa benar dan tidak ada komunikasi yang harmonis, maka masyarakatlah yang akan menjadi korban. Sehingga tidak aneh apabila aparat pemerintah kecamatan Pasirwangi, tidak tahu-menahu mengenai bantuan yang diberikan oleh 278 PT.CGI. Namun begitu, kondisi tersebut bagi pihak kecamatan tidak masalah, bahkan merasa tidak terganggu dengan urusan bantuan yang terjadi antara PT. CGI dengan pemerintahan desa. Kemudian pelibatan pengontrolan atau pelaporan kepada pihak pemerintah kecamatan jarang dilakukan. Kegiatan bantuan pembangunan tersebut sering dilakukan antara pihak pemerintah desa dengan PT. CGI. Tetapi kalau pihak kecamatan berinisiatif melakukan monitoring dan pengontrolan, baru kemudian pihak pemerintah desa atau PT. CGI memberikan pelaporan kepada kecamatan. Masyarakat lokal masih berpandangan cenderung negatif terhadap PT. CGI, jika dibandingkan dengan perusahaan nasional seperti Indonesia Power atau Pertamina. Tidak banyak gejolak yang muncul dari masyarakat lokal kepada dua perusahaan nasional tersebut. Padahal, realitasnya PT. CGI merupakan perusahaan di kawasan tersebut yang paling banyak menyalurkan bantuan kepada masyarakat lokal. Bagi kalangan pemuda, mereka memandang hubungan antara PT. CGI dengan masyarakat lokal saat ini sedang renggang, tidak begitu harmonis. Sedangkan pendapat berbeda dikemukakan oleh aparat pemerintah lokal cenderung memandang hubungan tersebut secara positif. Sementara itu Munculnya kecemburuan mengenai penyaluran program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari PT. CGI. yang lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kecamatan Pasirwangi dan Samarang. Tabel 4.24 menunjukkan dinamika hubungan yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat dengan agen perusahaan, yang dipicu oleh pemahaman yang berbeda mengenai 279 kehadiran masing-masing agen, perbedaan mengenai struktur CSR baik oleh masyarakat, perusahaan ataupun pemerintah. Tabel 31 Sejumlah Aksi atau Tuntutan Sosial Masyarakat kepada PT. Chevron (yang terekam berita media massa) dalam kurun 7 tahun terakhir No. 1 Waktu 6 April 2006 2 12 Agust 2008 3 3 Juni 2009 4 31 Agust 2010 5 6 19 Januari 2011 29 Sept 2011 7 30 Des 2011 Aksi dan Tuntutan Serikat Petani Pasundan (SPP) memberikan batas waktu atau deadline kepada PT Chevron sampai Juni 2006 untuk memenuhi tuntutan masyarakat Garut soal bagi hasil atas usaha panas bumi yang dikelola Chevron di Darajat Kecamatan Pasirwangi. Gerakan Pemuda & Pemudi Samarang (GPPS) Tuntutan: kesejahteraan masyarakat sekitar PT. Chevron Geothermal Indonesia Warga Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut, Jawa Barat memblokir jalan menuju pembangkit listrik tenaga panas bumi Gunung Darajat. Semua kendaraan milik Chevron Geotermal Indonesia dihentikan dan warga. Akibatnya, ratusan karyawan Chevron tertahan di tempat itu. Mereka menilai keberadaan perusahan itu telah menyebabkan hilangnya sumber mata air di desanya,. meminta tanggung jawab perusahaan atas kondisi itu. Warga meminta Chevron untuk membuat saluran air bersih. Paguyuban Masyarakat Pasirwangi Bersatu (PMPB) Tuntutan: 500 pendemo menghujat PT. CGI, Indonesia Power dan PT. Pertamina, transparansi royalti, realisasi dana CSR/ CD, pemda membuat peraturan daerah ttg CSR Warga Pasirwangi menuntut pembangunan Masjid Besar Pasirwangi yang sudah 7 tahun terkatung-katung Pemkab Bandung, Protes perambahan hutan oleh PT. Chevron GI. Menteri Kehutanan mengingatkan PT. CGI agar tidak melakukan pembabatan hutan Sumber: Diolah dari data penelitian, 2013. Dalam data hasil primer (hasil wawancara hal:144) sebelumnya pun terungkap bahwa kesadaran diskursif dalam masyarakat, bahwa 280 apabila usulan-usulan dari masyarakat tidak dipenuhi oleh PT. CGI, maka mereka akan melakukan aksi atau demonstrasi tuntutan kepada PT. CGI. Aksi dan demonstrasi tuntutan yang terus-menerus kepada PT. CGI, secara langsung atau tidak langsung yang akan mengganggu jalannya operasi perusahaan. Sehingga pada akhirnya tuntutan masayarakat tersebut akan dipenuhi. Walaupun, sebenarnya masyarakat tidak ingin melakukan aksi dan demonstrasi kepada PT. CGI, jadi cara tersebut hanya merupakan jalan terakhir yang dilakukan oleh masyarakat dan sebagian warga. Sebagaimana terlihat dalam tabel 31. Kesadaran masyarakat lokal terhadap perusahaan dan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) merupakan kemampuan interpretatif dari agen dalam menyikapi antivitasnya sendiri dan tindakan-tindakan orang lain dalam perilaku sehari-hari. Sebagaimana dikemukakan oleh Giddens mengenai model stratifikasi tindakan agen, bahwa agen juga mampu ‘memonitor monitoring’ itu di dalam kesadaran diskursif. Sebagaimana masyarakat lokal sebagai agen memonitor kehadiran PT. CGI, yang ‘notabene’ merupakan perusahaan asing yang hadir di lingkungan mereka. Sentimen kepemilikan perusahaan seperti mempengaruhi cara PT. CGI pandang merupakan dan sikap perusahaan masyarakat asing, terhadap perusahaan tersebut. Hal tersebut nampak pada demo-demo atau aksiaksi tuntutan masyarakat lokal lebih banyak ditujukan kepada PT. CGI tersebut. Padahal di wilayah tersebut terdapat PT. Pertamina dan PT. Indonesia Power (anak perusahaan PLN) yang memang berstatus perusahaan nasional, yang cenderung tidak sering ‘diganggu’. Demikian pula kesadaran praktis masyarakat, bahwa PT. CGI telah mengeksploitasi sumber alam mereka, sehingga sudah sewajarnya 281 apabila pihak perusahaan memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar perusahaan tersebut. Lebih lanjut Giddens (2010) menyatakan bahwa para agen memiliki ‘skema interpretatif’ yaitu cara-cara penjenisan yang tersimpan dalam gudang pengetahuan para aktor, dan diterapkan secara reflektif ketika melakukan komunikasi dengan aktor lainnya. Masyarakat lokal sebagai agen memiliki bekal pengetahuan yang membuat mereka mampu membuat cerita, mengemukakan alasanalasan, dan sebagainya. Seperti halnya ketika berkaitan dengan siapa yang seharusnya melakukan inisiatif membangun komunikasi dan relasi antara perusahaan dengan masyarakat. Maka masyarakat lokal memandang, sudah seharusnya dimulai oleh pihak perusahaan. Sebab bagi masyarakat lokal, kehadiran perusahaan tersebut adalah tamu di lingkungan mereka. Walaupun pihak PT. CGI berpandangan masuk ke wilayah Pasirwangi secara sah dan berijin resmi. Demikian pula permasalahan relasi antara masyarakat lokal dengan PT. CGI yang di awal-awal tahun kehadiran PT.CGI yang tidak baik menurut masyarakat, secara akumulatif akan menumpuk yang di kemudian hari akan muncul mengemuka berupa aksi dan tindakan demo. Oleh karena itu, Giddens menegaskan bahwa komunikasi makna, bersama dengan seluruh kontektualitas tindakan, tidak harus dipandang semata-mata terjadi ‘dalam’ ruang dan waktu’. Komunikasi, sebagai unsur umum interaksi, merupakan konsep yang mencakupi dibanding dengan isi komunikasi, yaitu apa yang akan dikatakan atau dilakukan oleh para agen. Sehingga pandangan masyarakat lokal dengan menghubungkan kehadiran PT. CGI dengan menurunnya kualitas lingkungan, berkurangnya air tanah, dan kegagalan panen 282 sebagai dampak operasional perusahaan merupakan bukti bagaimana mana masyarakat lokal memaknai proses relasinya dengan pihak agenperusahaan. Pandangan masyarakat lokal akan pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial PT.CGI merupakan pemahaman masyarakat lokal akan struktur. Giddens (1986) sendiri menyatakan bahwa struktur bukanlah benda, melainkan skemata yang hanya tampil dan dan melalui praktik sosial. Dengan kata lain, struktur hanya bersifat maya, artinya hanya hadir di dalam dan melalui aktivitas agen manusia, serta ada dalam pikiran manusia. CSR merupakan struktur, yang dalam kegiatan CSR PT. CGI masyarakat menghargai positif bantuan pembangunan infrastruktur, khususnya pembangunan jalan Tarogong-SamarangPasirwangi. Bagi masyarakat lokal, sesuatu yang dinilai baik, apabila bantuan tersebut mewujud, terlihat dan terasa manfaatnya. Namun demikian masyarakat menganggap program CSR dari PT. CGI yang pendanaannya disalurkan melalui pemerintah desa (kepala desa), tidak transparan dan sulit dipertanggungjawabkan, yang mana program CSR hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Demikian pula masyarakat menganggap apapun program yang berasal dari PT. CGI adalah bantuan atau hibah. Masyarakat tidak mengenal makna tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) secara lebih mendalam, yaitu sebagai upaya membangun relasi sosial yang lebih harmonis antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Sementara itu juga masyarakat belum terbiasa dengan usulan kegiatan yang harus diajukan dalam bentuk tertulis (proposal). Hal ini berkaitan dengan latar belakang pengetahuan dan pendidikan masyarakat lokal sekitar 283 wilayah operasi PT. CGI yang secara umum (50% tingkat pendidikan SD) masih rendah. Prayogo (2008:85) menunjukkan bahwa ketimpangan antara komunitas lokal merupakan keadaan yang umum ditemui di semua praktek industri tambang di Indonesia. Setidaknya terdapat dua penjelasan mengenai hal tersebut, pertama masyarakat lokal umumnya menempati suatu wilayah yang terpencil dengan rata-rata masyarakat miskin secara ekonomi; kemudian kedua industri tersebut merupakan industri padat modal dengan teknologi tinggi yang jauh dari jangkauan masyarakat lokal. Akibat lebih lanjut dari ketimpangan tersebut adalah munculnya pelapisan (stratifikasi) sosial antara ‘warga perusahaan’ yang berprofesi sebagai karyawan tetap dengan ‘warga desa’ yang umumnya berprofesi sebagai petani. Implikasi sosial dari pelapisan vertikal dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Apabila relasi antara perusahaan dan masyarakat menuju ke arah konflik, maka perusahaan harus segera menanggapi secara cepat dan tepat segala tuntutan masyarakat (Prayogo, 2008:144). Masyarakat menginginkan keterbukaan (transparancy) dalam pengelolaan dana CSR yang disalurkan dari PT. CGI melalui pemerintah desa masingmasing setiap tahunnya. Kesulitan menemui kepada desa merupakan persoalan tersendiri yang dihadapi oleh warga masyarakat; kalau pun dapat bertemu dengan kepala desa, maka belum tentu usulan tersebut dapat disetujui oleh kepala desa. Sebagian warga berharap adanya balai latihan kerja untuk meningkatkan keterampian dan keahlian para pencari kerja, khususnya para pemuda. Pelatihan kerja tersebut bukan berarti untuk dapat 284 diterima kerja menjadi karyawan di Chevron, tetapi penciptaan lapangan pekerjaan baru. Sebagian warga berharap adanya kegiatan pendampingan, khususnya pada bantuan untuk usaha mikro kecil dan menengah. Masyarakat memahami bahwa banyak bantuan yang diberikan oleh PT. CGI. Namun seringkali bantuan tersebut sering disalahgunakan, dan tidak sampai ke masyarakat. Selain minimnya tenaga ahli yang dimiliki oleh perusahaan tersebut, mengakibatkan minimnya kontrol dan monitoring yang dilakukan oleh PT. CGI melalui tim PGPA. Sebagaimana dinyatakan oleh Frynas (2009: 122) bahwa kurangnya sumber daya manusia, khususnya spesialis pengembangan masyarakat dan CSR merupakan salah satu hambatan penting dari gagalnya penerapan CSR di beberapa negara. Tidak banyak orang yang ahli dalam pengembangan masyarakat dan CSR, ditempatkan dalam unit atau divisi CSR perusahaan (ibid; 127). Bahkan keberadaan unit atau divisi CSR di sebuah perusahaan cenderung merupakan pelengkap dari struktur perusahaan. Fakta menunjukkan bahwa orang yang ditempatkan di dalam divisi atau unit CSR adalah orang-orang “tidak berposisi” atau “sekedar mengisi” jabatan yang kosong. Sejumlah hambatan penting lainnya dalam penerapan CSR antara lain, perusahaan gagal dalam memahami isyu-isyu khusus yang berkembangan di masyarakat lokal dan pemerintahan lokal. Kedua, perusahaan gagal melibatkan masyarakat lokal sebagai beneficiaries CSR dalam setiap tahapan pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat dan CSR. Ketiga, minimnya sumber daya manusia, khususnya spesialis pengembangan masyarakat dan CSR. Keempat, akibatnya SDM yang meninim menimbulkan sikap- sikap sosial dari 285 staf perusahaan yang terlalu fokus pada solusi teknis dan manajerial jangka pendek. Kelima, seringkali program CSR tidak terintegrasi dalam sebuah rencana pembangunan yang lebih luas, menyangkut program pembangunan daerah atau pun pusat (Frynas, 2009: 122-130). Keterlibatan penerima manfaat CSR dalam pelaksanaan proyek cenderung terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali, dan paling mungkin terbatas pada pemberian kontrak pada perusahaan lokal, seperti CV-CV yang belum tentu memberdayakan masyarakat lokal. Padahal, kegagalan melibatkan orang-orang lokal telah memelihara suatu mental yang berdampak lebih buruk lagi, yaitu mentalitas ketergantungan (dependency mentality). Persoalan-persoalan tersebut sebetulnya dapat dihindari dengan dilakukannya diskusi mendalam dan dengan adanya inisiatif masyarakat lokal untuk berpartisipasi dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan alat-alat lokal (Prayogo, 2008; 2011, Alfitri 2011, Frynas 2009). Perusahaan seharusnya tidak sekedar mencari keuntungan semata, namun harus memperhatikan aspek-aspek yang lebih luas dan bahwa tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan oleh masyarakat, saat ini, tidak lagi boleh dipandang sebagai hambatan oleh perusahaan. Tuntutan-tuntutan tersebut sewajarnya dipandang sebagai peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya sehingga bisnis dapat berkembang dan tuntutan masyarakat pun terjawab. Perlu dibangun suatu kesepatakan bagi seluruh perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosialnya tidak sebatas pada pemenuhan ketaatan terhadap aturan dan kewajiban (seperti pajak, amdal, ketenagakerjaan), namun perlu adanya penanganan langsung pada masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat lokal di lingkungan sekitar perusahaan. 286 Kehadiran PT. CGI dengan kualitas sumber daya dan keahlian yang dimilikinya untuk mengeksploitasi sumber daya alam di lingkungan yang berdekatan dengan masyarakat masyarakat lokal, dapat memunculkan kesadaran PT. CGI untuk melakukan kegiatan bantuan kepada masyarakat lokal. Kesadaran tersebut tidak muncul dengan tiba-tiba, tetapi kesadaran yang terbentuk dan melalui perjalanan waktu, serta diperkuat melalui pengalaman-pengalaman berinteraksi (praktik sosial) dengan masyarakat lokal (dan pemangku kepentingan lainnya) sepanjang kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat tersebut. Perjalanan waktu berpraktik sosial (berinteraksi) antara PT. CGI dengan masyarakat lokal menunjukkan terjadinya pengulangan (rutin) peristiwa (praktik sosial) melalui media struktur tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga para agen (masyarakat lokal, PT. CGI dan agen lain) turut mempengaruhi dan bahkan membentuk struktur tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri di wilayah mereka. Dimensi signifikansi tanggung jawab sosial perusahaan berkenaan pemaknaan masyarakat lokal melalui modalitas skema interpretatif dalam melakukan interaksi komunikasi dalam melakukan praktik sosial. Sedangkan dimensi dominasi dengan modalitas penguasaan sarana dan fasilitas yang ada dalam melakukan interaksi berupa kekuasaan atau kekuatan (power) yang dimiliki masyarakat dalam struktur tanggung sosial perusahaan. Sedangkan dimensi legitimasi (keabsahan) berkenaan dengan modalitas norma dan sanksi dalam struktur CSR tersebut. 287 Demikian pula masyarakat lokal memiliki klasifikasi kesadaran sendiri dalam memandang kehadiran PT. CGI di tengah-tengah mereka, baik kesadaran praktis maupun ‘motif tidak sadar’. Dengan kesadarannya sendiri, masyarakat lokal memandang keberadaan struktur tanggung jawab sosial perusahaan yaitu sebagai, sumber daya dan aturan; masyarakat lokal membangun dan mengembangkan praktik-praktik sosial dengan agen-agen lainnya, khususnya perusahaan sebagai agen penting dari struktur tersebut. Masyarakat melakukan praktik-praktik sosial melalui kesadaran akan dimensi struktur yang terdiri dari signifikansi, dominasi dan legitimasi. Relasi yang terjadi diantara para agen, khususnya masyarakat lokal dengan perusahaan melalui media struktur yaitu kegiatan atau program tanggung jawab sosial perusahaan, merupakan hubungan yang fluktuatif. Terkadang relasinya harmonis dan terkadang pula memanas, seiring juga dengan perjalanan waktu sejak kehadiran perusahaan di tengah – tengah masyarakat lokal, dan pengalaman praktik-praktik pertemuan para agen tersebut (Giddens, 2010). Sepanjang waktu tersebut terdapat penyesuaian-penyesuaian yang perlu dilakukan dalam struktur tanggung jawab sosial PT. CGI oleh para agen. Demikian pula pada akhirnya perkembangan struktur tanggung jawab sosial (kebijakan nasional dan aturan lainnya) memberikan kemungkinan bagi para agen (khususnya masyarakat lokal dan perusahaan) untuk melakukan praktik-praktik sosial dalam relasi masyarakat lokal dan perusahaan. Inilah dualitas struktur tanggung jawab sosial perusahaan yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan PT. CGI di desa Karyamekar kecamatan Pasirwangi. Dimana para agen 288 (masyarakat lokal dan PT. CGI) mempengaruhi tanggung jawab sosial perusahaan melalui praktik sosial yang berulang, juga struktur (tanggung jawa sosial perusahaan) mempengaruhi tindakan-tindakan para agen dalam melakukan relasi diantara mereka. Prayogo (2011) menunjukkan bahwa pelaksanaan CSR yang tidak tepat dapat menuai permasalahan yang lebih mendalam, dengan kata lain memecahkan masalah dengan masalah baru. Kecenderungan perusahaan melaksanakan CSR adalah melalui pemberian derma berupa sumbangan, padahal hal tersebut berada pada tingkatan terendah pada kedermawanan. Hendaknya perusahaan melakukan CSR dengan itikad untuk ”growing bigger together” antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Artinya perusahaan seiring dengan perkembangannya melakukan pengembangan terhadap masyarakat agar memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik, sehingga perusahaan dan masyarakat dapat berkembang secara bersama-sama. Sebagaimana ditunjukkan oleh Gidden (2010: 134) yang melihat bagaimana praktik sosial itu dilakukan terus-menerus diperkokoh dan direproduksi menurut informasi baru, yang pada gilirannya mengubah praktik sosial tersebut secara konstitutif. Lebih lanjut Giddens menegaskan bahwa, melalui praktik sosial yang dilakukan berulang-ulang atau terus-menerus itulah, struktur diciptakan, dan begitu sebaliknya, struktur menjadi medium yang memungkinkan praktik sosial. Perkembangan pengetahuan dan pemahaman para agen (masyarakat, perusahaan dan pemerintah) akan struktur (CSR), menentukan perubahan struktur yang memberdayakan para agen. Seiring dengan pernyataan Giddens, bahwa praktik-praktik 289 sosial yang dilakukan terus-menerus oleh agen yang memiliki pemahaman yang sama, yang melintasi batas ruang dan waktu; maka akan terjadi reproduksi struktur. Sebaliknya struktur sebagai hasil (outcome) juga akan menjadi media (media) bagi para agen (masyarakat, perusahaan, dan pemerintah) untuk melakukan praktikpraktis CSR berikutnya yang memberdayakan dan memfasilitasi agen. Inilah relasi dualitas dari agen dan struktur, bukan dualisme yang saling terpisah. Suatu hubungan antara agen dan struktur yang diibaratkan sebagai dua sisi dari satu keping uang logam (Giddens, 1986:2). Suatu relasi agen dan struktur yang saling jalin-menjalin tanpa terpisahkan dalam paktik sosial manusia. Sebagai agen, masyarakat lokal memahami bahwa terdapat upaya membangun relasi dari agen perusahaan kepada masyarakat sekitar melalui berbagai bantuan, baik fisik maupun non fisik. Namun demikian terdapat kesadaran dalam masyarakat lokal bahwa jika usulan kegiatan atau bantuan sulit atau diterima, maka usulan kegiatan tersebut akan diterima kalau mereka melakukan aksi atau demo kepada perusahaan. Kesadaran tersebut muncul berdasarkan praktik-praktik usulan program sebelumnya, yaitu usulan tersebut akan cair kalau terlebih dahulu masyarakat melakukan demostrasi kepada perusahaan. Struktur ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan merupakan hasil dari praktik-praktik CSR sebelumnya yang cenderung bersifat bantuan sosial (social asistance) atau karitatif semata. Dinamika relasi yang terjadi antara masyarakat lokal dengan perusahaan, terkadang harmonis dan terkadang pula memanas, seiring juga dengan perjalanan waktu sejak kehadiran perusahaan di tengah – 290 tengah masyarakat lokal, dan pengalaman praktik-praktik pertemuan para agen tersebut (Giddens, 2010). Dalam pertemuan antara agen di sepanjang perjalanan waktu tersebut terdapat penyesuaian dan peningkatan pemahaman masing-masing agen akan CSR. Pemahaman agen (masyarakat) ditunjukkan dengan pola relasi konfrontatif di suatu waktu tertentu dengan demo-demo atau aksi-aksi tuntutan masyarakat lokal yang ditujukan kepada perusahaan. Perbedaan pemahaman para agen dan ketidakjelasan struktur CSR tersebut telah mengakibatkan masing-masing agen membangun dan mengembangkan praktik-praktik sosial dengan cara-cara yang dipandang sesuai menurut para agen sendiri. 291 292 BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut, bahwa perusahaan dan masyarakat membangun relasi melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dengan latar pemahaman yang berbeda-beda. Pemahaman berbeda dari masing-masing agen, yaitu masyarakat lokal dan pihak perusahaan akan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tersebut menentukan pola relasi sosial antara masyarakat dan perusahaan mengarah pada disharmonis atau harmonis. Ketidakjelasan struktur dalam hal ini kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan, baik pusat maupun daerah, turut menyumbang ketidakharmonisan relasi yang terbangun antara perusahaan dengan masyarakat. Temuan-temuan tersebut memperkuat teori struktur-agen Giddens, mengenai strukturasi dimana agen (masyarakat, perusahaan dan pemerintah) diasumsikan memiliki pengetahuan praktis mengenai struktur yaitu peraturan dan sumber daya yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sosial. Melalui pengetahuan praktis tersebut agen merekonstruksi (reproduksi) kembali struktur, sekaligus pula agen melakukan praktis sosial melalui media struktur. Dengan demikian relasi agen-struktur merupakan relasi sosial yang bersifat dinamis. 293 Kemudian secara khusus dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan kegiatan tanggungjawab sosialnya oleh perusahaan dilakukan dengan alasan utama dalam rangka pengamanan atas operasional perusahaan. Bagi perusahaan berjalannya operasi perusahaan di wilayah tersebut merupakan prioritas pokok, sehingga dengan pemahamannya segala upaya akan dilakukan melalui struktur CSR, untuk meredam setiap gejolak yang muncul di masyarakat. 2. Terdapat pemahaman yang berbeda antar agen, yaitu masyarakat dan perusahaan, serta perusahaan, mengenai struktur tanggung jawab sosial perusahaan. Agen (masyarakat) memahami keberadaan agen perusahaan asing yang telah mengeksploitasi sumber daya alam ‘milik’ masyarakat, sehingga masyarakat memandang wajar apabila perusahaan melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaannya bagi warga masyarakat lokal khususnya dan masyarakat luas umumnya. Sementara agen-perusahaan memiliki pemahaman bahwa mereka telah memenuhi semua aturan dan ketentuan berlaku, termasuk pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Perbedaan antar agen tersebut menimbulkan relasi dinamis yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan. Sementara pemerintah daerah, sebagai agen yang seharusnya bertanggung jawab dalam pembangunan masyarakat dalam rangka mensejahterakan masyarakat tidak berjalan secara optimal, turut menyumbang situasi relasi dinamis yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat. 294 3. Pengetahuan dan pemahaman masing-masing agen (masyarakat dan perusahaan) akan struktur (CSR) yang terus berkembang, mempengaruhi rasionalisasi dan motivasi agen dalam melakukan praktik sosial. Motivasi meliputi keinginan dan hasrat yang mendorong para agen melakukan praktik sosial. Rasionalisasi yaitu mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak hanya memberikan rasa aman kepada agen, tetapi juga memungkinkan para agen menghadapi praktik sosial mereka. 4. Ketidakjelasan struktur, yaitu aturan-aturan dan sumber daya mengenai tanggung jawab sosial perusahaan turut menyumbang dinamika relasi yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat lokal. Hal tersebut memperkuat teori struktur-agen Giddens, mengenai struktur, bahwa sebagai aturan, struktur merupakan acuan bagi agen untuk berpraktik sosial dalam rangka menjalankan kehidupan sosialnya. Jika struktur CSR yang tidak jelas kemudian dipahami secara berbeda oleh masing-masing agen (masyarakat, perusahaan dan juga pemerintah), maka para agen pun akan bertindak dengan cara yang berbeda pula menurut pemahamannya masing-masing. Demikian pula pada akhirnya perkembangan struktur tanggung jawab sosial (kebijakan nasional dan aturan lainnya) memberikan kemungkinan bagi para agen (khususnya masyarakat lokal dan perusahaan) untuk melakukan praktik-praktik sosial dalam relasi masyarakat lokal dan perusahaan. Inilah dualitas struktur tanggung jawab sosial perusahaan yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan perusahaan di suatu wilayah. 295 B. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian diperoleh temuan penelitian bahwa relasi antara perusahaan dan masyarakat lokal melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dipengaruhi oleh kesadaran masingmasing agen akan struktur CSR tersebut. Perbedaan pemahaman dari masing-masing agen akan struktur CSR dan ketidakjelasan struktur CSR bagi setiap agen menimbulkan dinamika relasi yang tidak harmonis antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan saran pengembangan keilmuan (akademik) dan guna laksana (praktis) sebagai berikut:. 1. Rekomendasi Akademik 1) Kajian-kajian strukturasi tentang Giddens hubungan dapat struktur-agen dilakukan dalam dalam teori praktik-praktik kehidupan sosial lainnya, untuk memperkuat, mengkritisi dan memperdalam kajian sosiologi dalam konteks Indonesia khususnya. 2) Perlu kajian mengenai bagaimana relasi agen-struktur dapat menciptakan pola-pola praktik-praktik sosial (CSR) yang positif seiring dengan perkembangan kesadaran (pengetahuan dan pemahaman) para agen (perusahaan, masyarakat, dan pemerintah) sehingga terbentuk struktur positif yang memberdayakan dan memandirikan masyarakat lokal. 3) Penelitian tentang pola kerjasama antara pemerintah (desa, kecamatan dan kebupaten), perusahaan, dan masyarakat dalam kaitan dengan tata kelola yang baik (good governance) dalam program CSR yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat 296 yang tinggal di sekitar lokasi operasi perusahaan eksploratif. Termasuk kajian tentang bagaimana membentuk struktur berupa kebijakan daerah yang sesuai dengan relasi antar agen masyarakat, perusahaan, dan pemerintah, serta stakeholder lainnya. 4) Perlu kajian mengenai pengetahuan dan kearifan lokal (local wisdom) sebagai upaya peningkatan pemahaman bagi agen perusahaan dan pemerintah pada masyarakat lokal di sekitar wilayah operasi pertambangan, agar diperoleh program CSR dan pengembangan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai sosiokultural masyarakat lokal. 5) Kajian mengenai struktur perlu terus dilakukan, yaitu terhadap kebijakan baik berupa undang-undang atau pun peraturan pemerintah lainnya yang sesuai dan seiring dengan pemahaman para agen yang terlibat dalam penerapan CSR (struktur) di suatu wilayah tertentu. 2. Rekomendasi Praktis 1) Peningkatan pengetahuan para agen (masyarakat, pemerintah daerah dan perusahaan) atas struktur (CSR) agar diperoleh pemahaman yang sama diantara berbagai agen yang terlibat dan berkait dengan kegiatan CSR tersebut. Sehingga dengan pemahaman yang sama dari setiap agen tentang struktur CSR, diharapkan akan membangun tata kelola (good governance) relasi yang harmonis dan sinergis antara perusahaan, masyarakat dan pemerintah. Dengan strategi sebagai berikut: 297 (1) Membangun komunikasi yang jujur dan terbuka, baik secara formal maupun informal secara berkala dan terus-menerus diantara para agen mengenai struktur CSR. Agar tercipta suatu pemahaman dan pengertian yang sama tentang tanggung jawab sosial perusahaan dari semua pihak. (2) Pelibatan masyarakat tersebut dapat dilakukan dalam setiap proses atau tahap pengembangan masyarakat, agar menumbuhkan kesadaran kepemilikan pemeliharaan akan produk pembangunan, sebagai bagian dari peningkatan pengetahuan dan pemahaman masing-masing agen. Serta menumbuhkan keberdayaan masyarakat dalam setiap proses pengembangan masyarakat, yaitu mulai dari mengkaji potensi-potensi dan masalah-masalah yang terdapat di masyarakat secara bersama-sama, saat pelaksanaan kegiatan CSR, serta monitoring dan evaluasi bersama. Demikian pula masyarakat diberi peluang untuk mengetahui keberadaan perusahaan di sekitar mereka agar tercipta pemahaman bersama antara masyarakat dengan perusahaan, serta pemerintah. . 2) Mengkaji dan memperbaiki struktur kebijakan mengenai CSR yang sudah ada, secara bersama-sama baik perusahaan-masyarakatpemerintah daerah, yang mungkin belum sesuai penerapannya di setiap daerah, sehingga memungkinkan membangun struktur CSR yang sesuai dengan kondisi di masing-masing wilayah. Jika dimungkinkan membuat peraturan daerah (perda) tentang CSR yang tidak bertentangan kebijakan nasional sebelumnya, di masingmasing daerah. Kemudian mensosialisasikan dan menerapkan 298 peraturan daerah (perda) tersebut secara konsisten oleh masingmasing agen , yaitu masyarakat, pemerintah daerah dan perusahaan, serta agen-agen (stakeholder) lainnya terkait dengan kepentingan CSR. 3) Kembangkan praktik-praktik sosial (kegiatan CSR) yang baik dan terus-menerus (rutin) sehingga terbiasa dan terstruktur yaitu melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dari setiap agen-agen (stakeholder). Sebab praktik sosial atau praktik tanggung jawab sosial yang baik, adalah yang memberdayakan, partisipatif, kebersamaan, gotong royong; sehingga akan menciptakan struktur relasi yang baik antara agen-agen (masyarakat lokal, pemerintah, perusahaan) di saat ini dan hingga terus ke masa yang datang. 4) Semangat philanthropy perusahaan untuk membantu masyarakat melalui program CSR harus tetap tumbuh dan dipelihara, seiring dengan peningkatan pemahaman yang sama dari masing-masing agen tentang CSR. Namun keinginan untuk membantu masyarakat tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang benar (Giddens: praktik-praktik sosial), cara-cara yang memberdayakan dan caracara yang membuat masyarakat menjadi mandiri. Bukan sebaliknya menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan CSR. Sehingga diperlukan kesabaran, kesungguhan dan keikhlasan dalam melaksanakan program CSR. Sebab, penting untuk dicamkan oleh semua pihak bahwa tanggung jawab sosial perusahaan bukan sekedar besarnya dana bantuan yang digelontorkan kepada masyarakat. 299 300 SUMBER PUSTAKA Buku: Astrid.S. 1984. Sosiologi Pembangunan. Bandung, Bina Cipta. _______ 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung : Bina Cipta. Alford, H. & Naughton, M. 2002. Beyond the Shareholder Model of the Firm: Working toward the Common Good of a Business, in S.A. Cortright and M. Naughton (Eds) Rethinking the purpose of Business. Interdisciplinary Essays from the Catholic Social Tradition. Notre Dame: Notre Dame University Press. Alwasilah, A.C. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Belal, 2008. Corporate Social Responsibility Reporting in Developing Countries, The Case of Bangladesh. Burlington USA: Ashgate Publishing Company. Bernstein, A. 1989. Social Theory as a critique, dalam David Held & John Battenson (eds) Social Theory of Modern Societies: Anthony Giddens and his critiques. New York: Cambridge University Press. Bourdieu, 2010. From the model of reality to the reality of the model, in P. J. Martin and A. Dennis (eds.), Human Agents and Social Structures, Manchester: Manchester University Press. Bonnafous-Boucher & Pesqueux. 2005. Stakeholder Theory, A European Perspective. New York: Palgrave Macmillan. Budi, UH. 2009. Corporate Social Responsibility. Sinar Grafika: Jakarta. 301 Budimanta A., Prasetijo A., & Rudito B., 2005. Corporate Social Responsibility, Jawaban bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini. Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD). Bungin, B. 2008. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. -------------. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana. Cohen, Ira. J. 2008. Teori Strukturasi dan Praksis Sosial, dalam Giddens, A. dan Turner, J (penyunting). Social Teory Today, Panduan Sistematis dan tren Terdepan Teori Sosial. Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Creswell, J.W. 2002. Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Terjemahan Nur Khabibah. Jakarta: KIK Press. Crowther, D. 2008. Corporate Social Responsibility. United Kingdom: Ventus Publishing ApS. Donaldson, T. & Dunfee, T.W. 1999. Ties that Bind: A Social Contracts Approach to Business Ethics. Boston: Harvard Business School Press. Emil S. 1987. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara. Frynas, JG. 2009. Beyond Corporate Social Responsibility, Oil Multinationals and Social Challenges. Cambridge: Cambridge University Press. Gerungan. 1988. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Eresco. Giddens,A. 1986. Kapitalisme dan teori sosial modern: Suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Terjemahan Soeheba Kramadibrata. Jakarta: UI Press. ---------------. 1990. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity Press. ---------------. 1999. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial. Terjemahan Ketut Arya Mahardika. Jakarta: PT. Gramedia. 302 ---------------. 2009. Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan, Masa Depan Politik Radikal. Terjemahan Dariyatmo. Yogayakarta: Pustaka Pelajar ---------------. 2009. Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, struktur, dan kontradiksi dalam analisis sosial. Terjemahan Dariyatmo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ---------------. 2010. Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru. Terjemahan Eka Adinugraha & Wahmuji. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ---------------. 2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Terjemahan Maufur & Daryatno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ---------------, 2011. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Terjemahan Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Gidden, Bell & Forse. 2004. Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Terjemahan Ninik Rochani Syam. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Graha Ilmu: Yogyakarta. Haralambos, M., Heald, R.M. & Holborn, M. 2004. Sociology Themes and Perspectives 6th ed. London: Collins Educational. Hawkins, 2006. Corporate Social Responsibility, Balancing Tomorrow’s Sustainability and Today’s Profitability. New York: Palgrave Macmillan. Henderson, D. 2001.Misguided Virtue, False Notion of Corporate Sosial Responsibility. London: The Institute of Economic Affairs. Hond, De Bakker & Neergaard, 2007. Managing Corporate Social Responsibility in Action, Talking, Doing and Measuring. Hampshire: Ashgate Publishing Limited. 303 Hopkins, 2007. Corporate Social Responsibility and International Development, Is Bussiness the Solution?. London & Sterling: Earthscan. Ibrahim, R. 2005. Bukan Sekedar Berbisnis: Keterlibatan Perusahaan dalam Pemberdayaan Masyarakat. Depok: PIRAMEDIA. Idowu & Filho (eds). 2009. Global Practices of Corporate Social Reponsibility. Hamburg: Springer. __________. 2009. Professionals’ Perspectives of Corporate Social Responsibility. Heidelberg Berlin: Springer. Ife, J. 2002. Community Development Community-based Alternatives in an Age of Globalisation. Australia: Pearson Education Jenkins, R. 2010. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Terjemahan Nurhadi. Bantul: Kreasi Wacana. Jhon.S.N. 1984. Aspek-Aspek Psikologi yang Berpengaruh Dalam Pengembangan Pabrik PT. Pupuk Kujang Cikampek Jawa Barat. Bandung, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Jonker & de Witte, 2006. Management Models for Corporate Social Responsibility. Heidelberg, Germany: Springer. Karspersen, L.B. 2000. Anthony Giddens: An Introduction to a Social Theorist. USA: Wiley & Sons. Khadijah, U.L.S. 2011. Komunikasi Pembangunan (Sebuah Studi Relasi Sosial pada Masyarakat dan Industri). Bandung: Unpad Press. Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. ----------------------. 1979. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. 304 Leimona & Fauzi. 2008. CSR dan Pelestarian Lingkungan, Mengelola Dampak: Positif dan Negatif. Yayasan Business Links: Jakarta. Mar’at dkk. 1991. Sikap Masyarakat terhadap Pabrik Pupuk Kujang Cikampek Jawa Barat. Bandung, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Masri S.& Sofian E. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta, LP3S. Maurrasse & Jones, 2004. A Future for Everyone, Innovative Social Responsibility and Community Partnerships. New York & London: Routledge. May, C. & Roper, 2007. The Debate Over Corporate Social Responsibility. New York: Oxford University Press Mele, D. 2002. Not only Stakeholder Interest. The Firm Oriented toward the Common Good. Notre Dame: University of Notre Dame Press. Moleong, L.J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Desa. Yogyakarta: P3PK, Universitas Gadjah Mada. Parker, Brown, Child and Smith. 1990. (Terjemahan). Jakarta: Rineka Cipta. Sosiologi Industri Parsons, T, 1991. The Social System. London: Routledge. Patton, M.Q. 1991. How to use Qualitative Methods in Evaluation. Terjemahan Budi Puspo Priyadi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Poerwanto. 2010, Corporate Soscial Responsibility, Menjinakan Gejolak Sosial di Era Pornografi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 305 Prayogo, D. 2011. Socially Responsible Corporation: Peta Masalah, Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan Komunitas pada Industri Tambang dan Migas. Jakarta: UI Press. --------------. 2008. Konflik antara Korporasi dengan Komunitas Lokal: Sebuah Kasus Empirik pada Industri Geotermal di Jawa Barat. Jakarta: UI Press. Priyono, B.H. 2003. Anthony Giddens: Suatu pengantar. Jakarta: PT. Gramedia. Preston, L.E. & Post, J.E. 1975. Private Management and Public Policy. The Principle of Public Responsibility. New Jersey: Prentice Hall. Radyati, M.R. & Nindita. 2008. CSR untuk Pemberdayaan Ekonomi Lokal. Yayasan Indonesia Business Links: Jakarta. Raillon, F. 1990. Indonesia Tahun 2000 Tantangan Teknologi dan Industri. Jakarta, CV. Haji Masagung. Ritzer G. & Goodman, D.J., 2007. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Kencana. Ritzer G., 2008. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan Noor Alif Maulana. Yogyakarta: Kreasi Kencana. Rudito, B., Budimanta, A. & Prasetijo. A. 2004. Corporate Social Responsibility: Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development. Rudito, B. & Famiola, M. 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia.Bandung: Rekayasa Sains. Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Graha Ilmu. Schneider, 1986. Sosiologi Industri (Terjemahan). Aksara Persada. 306 Soekanto, H. T. 1983. Beberapa Aspek Sosio-Yuridis Masyarakat. Bandung: Alumni. Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali Pers. Soemardjan, S. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Suharto, E. 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri, MemperkuatTanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility). PT. Refika Aditama: Bandung. ------------, 2010. CSR dan Comdev: Investasi Kreatif Perusahaan di Era Globalisasi. Alfabeta: Bandung. Susanto, AB. 2009. Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan Strategic Management dalam CSR. Esensi- Erlangga Tjagger, I Nyoman. 2003. Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta: Prenhallindo. Tjokroamidjojo, Bintoro, 2000, Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan, Jakarta: UI Press Werna, K & Murphy, 2009. Corporate Social Responsibility and Urban Development, Lessons from The South. Palgrave Macmillan: New York. World Business Council for Sustainable Development. 2000. Corporate Social Responsibility: Making Good Business Sense. Geneve: World Business Council for Sustainable Development. Tesis, Disertasi dan Laporan Penelitian: Alfitri. 2010. Program Community Development perusahaan Migas dalam Penguatan Modal Sosial (Studi di Lima Desa pada Dua Kabupaten di Sumatera Selatan. Bandung: Pascasarjana Unpad. 307 Alfitri, Yenrizal & Imron Hakim. 2004. Program Stakeholder Engagement Initiation di Desa-desa sekitar wilayah Operasi Conoco Phillips Indonesia Inc.Ltd. di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Indralaya: FISIP Universitas Sriwijaya. Azwar, 2003. Implikasi Perubahan Struktur Pemilikan Tanah dalam Relasi Sosial Komunitas Lokal di Wilayah Pinggiran Kota Padang, Studi Kasus di Kecamatan Koto Tangah. Universitas Padjadjaran, Tidak dipublikasikan. Chariri, A. & Nugroho, FA., 2009. Retorika Dalam Pelaporan Corporate Social Responsibility: Analisis Semiotik atas Sustainability Reporting PT. Aneka Tambang Tbk. FE Undip Nanlohy, M.M. 2005. Program Community Development Pertambangan Emas dalam meningkatkan kemandirian Masyarakat Desa Lurang, Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Bandung: Pascasarjana Unpad. Ngadisah. 2002. Gerakan Sosial di Kabupaten Mimika, Studi Kasus tentang Konflik Pembangunan Proyek Pertambangan Freeport. Depok: FISIP UI. Suharto, Ign. 2010. Pengaruh Program Pengembangan Masyarakat terhadap Kemampuan Masyarakat Meningkatkan Kesejahteraannya di Desa Padaawas, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut (Studi Program Pengembangan Masyarakat di Kawasan Pembangkit Listrik tenaga Panas Bumi PT. Chevron).FISIP Unpad. Tahyudin. 2001. Pemberdayaan Masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bangka Belitung. Indralaya: Lembaga Penelitian Unsri. Wahyudi, I. & Muzni, A.I. 2005. Implementasi CSR oleh Perusahaan Migas di Kabupaten Gresik. Yogyakarta: UGM. 308 Yuniasih, NW. & Wirakusuma, M.G. (Tanpa Tahun). Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility dan Good Governance sebagai variabel Pemoderasi. Jurusan Akuntansi FE, Universitas Udayana Jurnal dan Karya Ilmiah: Ackerman, R.W. 1973. How Companies Respond to Social Demands. Harvard University Review 51(4), hal. 88-98. Alt, J.E. & Lassen, D.D. 2006a. Fiscal transparency, political parties, and debt in OECD countries. European Economic Review 50(6), hal. 1403-1439. Alt, J.E. & Lassen, D.D. 2006b. Transparency, political polarization, and political budget cycles in OECD countries. American Journal of Political Science 50(3), hal. 530-550. Barney J. 1991. Firm Resource and Sustained Competitive Advantage. Journal of Management 17, hal. 99-120. Blowfield, M. & Frynas, JG. 2005. Editorial: setting new agendas – critical perspectives on corporate social responsibility in the developing world. International Affairs 81 (3): hal. 499-513. Cassel, D. 2001. Human Rights Business Responsibilities in the Global Marketplace. Business Ethics Quarterly 11(2), hal. 261274. Cetindamar, D. Husoy, K. 2007. Corporate Social Responsibility Practices and Environmentally Responsible Behavior: The Case of The United Nations Global Compact. Journal of Business Ethics 76: 163-176. Christensen, C., Craig, T. & Hart. S. 2001. The Great Disruption. Foreign Affairs 80(2), hal. 80-96. 309 Christensen, CM. & Overdorf, M. 2000. Meeting the Challenge of Disruptive Change. Harvard Business Review 78(2), hal. 66-75. Cooper, S. & Wagman, G. 2009. Corporate Social Responsibility: A Study of Progression to the Next Level. Journal of Business & Economics Research—May, Volume: 7, Number 5. Davis, K. 1960. Can Business Afford to Ignore Corporate Social Responsibilities? California Management Review 2, hal. 70-76. --------------. 1967. Understanding the Social Responsibility Puzzle. Business Horizons 10(4), hal. 45-51. DeTienne, K.B & Lewis, LW. 2005. The Pragmatic and Ethical Barriers to Corporate Social Responsibility Disclosure: The Nike Case. Journal of Business Ethics 60: 359-376. Donaldson, T. & Dunfee, T.W. 1994. Towards a Unified Conception of Business Ethics: Integrative Social Contracts Theory. Academy of Management Review 19, hal. 252-284. Donaldson, T. & Preston, L.E. 1995. The Stakeholder theory of the Corporation: Concepts, Evidence and Implications. Academy of Management Review 20(1), hal. 65-91. Ebner, D. & Baumgartner, R. 2006. The Relationship Between Sustainable Development and Corporate Social Responsibility. Corporate Responsibility Research Conference 2006, 4th – 5th September, Dublin. Eweje, G. 2007. Multinational oil companies CSR inisitaives in Nigeria, The Scepticism of Stakeholders in Host communities. Managerial Law 49:218-235 Fredericsen, C.S. 2010. The Relation Between Policies Concerning Corporate Social Responsibility (CSR) and Philosophical Moral Theories – An Empirical Investigation. Journal of Business Ethics 93: 357-371. 310 Garriga, E & Mele, D. 2004. Corporate Responsibility Theories: Mapping the Territory. Journal of Business Ethic 53: 5171 Gelos, G. & Wei, Shang-Jin. 2005. Transparency and international portfolio holdings. Journal of Finance 60(6), hal. 29873020. Han, Lee, & Khang. 2008. Influential Factors of The Social Responsibility of Newspaper Corporations in South Korea. Journal of Business Ethics 82: 667-680. Hanke, T. & Stark, W. 2009. Strategy Development: Conceptual Framework on Corporate Social Responsibility. Journal of Business Ethics 85: 507-516. Harmoni, A. 2009. Interaktivitas Isu CSR pada Laman Resmi Perusahaan, Studi pada PT. Indocement Tunggal Prakarsa. Disampaikan dalam Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI 2009), Yogyakarta Hartman, Rubin, & Dhanda. 2007. The Communication of Corporate Social Responsibility: United States and European Union Multinational Corporations. Journal of Business Ethics 74:373-389. Heracleous dan Hendry, 2000. “Discourse and the study of organization: toward a structurational perspective” Human Relation 2000:53;1251. Sage Publication) Idemudia, U. 2009. Oil Extraction and Poverty Reduction in the Niger Delta: A Critical Examination of Partnership Inisiatives. Journal of Business Ethic; 90:91-116 Imbun, B.Y. 2007. Cannot Manage without The ‘Significant Other’: Mining, Corporate Social Responsibility and Local Communities in Papua New Guinea. Journal of Business Ethic 73:177-192 Kampf, C. 2007. Corporate Social Responsibility WalMart, Maersk and the Cultural Bounds of Representation in Corporate 311 Web Sites. Corporate Communications: An International Journal 12: 41-57. Kaptein, M. & Van Tulder, R. 2003. Toward Effective Stakeholder Dialogues. Business and Society Review 108 (summer), hal. 203-225. Kirchberg, V. 2007. Cultural Sociology, vol. I (I): 115-135, Sage Publication Lockett, A., Moon, J. & Wisser, W. 2006. Corporate social responsibility in management research: focus, nature, salience and sources of influence. Journal of Management Studies 43(1), hal. 115-136. Maak, T. 2008. Undivided Corporate Responsibility: Towards a Theory of Corporate Integrity. Journal of Business Ethics 82: 353368. Matten, D., Crane, A. & Chapple, W. 2003. Behind deMask: Revealing the True Face of Corporate Citizenship. Journal of Business Ethics 45(1-2), hal. 109-120. Murray, K.B. & Montanari, J.R. 1986. Strategic Management of the Socially Responsible Firm: Integrating Management and Marketing Theory. Academy of Management Review 11 (4), hal. 815-828. Porter, M.E. & Kramer, M.R. 2002. The Competitive Advantage of Corporate Philanthropy. Harvard Business Review 80(12), hal. 56-69. Prayogo, D. 2010. Anatomi Konflik Antara Korporasi dan Komunitas Lokal: Studi Kasus pada Industri Geothermal di Jawa Barat. Makara, Sosiohumaniora Vol.14, No.1.:25-34. --------------, 2008. Corporate Social Responsibility, Social Justice dan Distributive Welfare dalam Industri Tambang dan Migas di Indonesia. Jurnal Galang Vol.3.No.3: 57:74. Preston, L.E. & Post, J.E. 1981. Private Management and Public Policy. California Management Review 23(3), hal. 56-63. 312 Priyono, B.H. 2000. Sebuah Terobosan Teoritis, Basis, No.1-2, Tahun ke-49, Januari-Februari 2000, 16. Sethi, S.P. 1975. Dimensions of Corporate Social Performance: An Analytical Framework. California Management Review 17(3), 58-65. Smith, T.W. 1999. Aristotle on the Condition for and Limits of the Common Good. American Political Science Review 93(3), hal. 625-637. Sukarmi. 2008. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dan Iklim Penanaman Modal di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 5(2). Hal. 9-20 Wartick, S.L. & Rude, R.E. 1986. Issues Management: Corporate Fad or Corporate Function? California Management Review 29(1), hal. 124-132. Wernefelt, B. 1984. A Resource Based View of the Firm. Strategic Management Review 5, hal. 171-180. Wheeler, D., Colbert, B., & Freeman, R.E. 2003. Focusing on Value: Reconciling Corporate Social Responsibility, Sustainability and a Stakeholder Approach in a Network World. Journal of General Management 28(3), hal 1-29. Windsor, D. 2001. The Future of Corporate Social Responsibility. International Journal of Organizational Analysis 9 (3), hal. 225-256. Wood, D.J. & Lodgson, J.M. 2002. Business Citizenship: From Individuals to Organizations. Business Ethics Quarterly, Ruffin Series, No. 3, hal. 59-94. Wood, D.J. 1991. Corporate Social Performance Revisited. Academy of Management Review 16(4), hal. 691-718. 313 Varadarajan, P.R., & Menon, A. 1988. Cause-Related Marketing: A Coalignment of Marketing Strategy and Corporate Philanthropy. Journal of Marketing 52(3), hal 58. Sumber lain: Profil Desa Karya Mekar, Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut 2012 Profil Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut 2012 Profil Kecamatan Samarang Kabupaten Garut 2012 Sumber Elektronik: www.csrindonesia/pubtulis 314 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas; Mengingat 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); : MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERSEROAN TERBATAS. Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya. 2. Rapat . . . -22. 3. 4. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar. Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Pasal 2 Setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 3 (1) (2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan Perseroan. Pasal 4 (1) (2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. Rencana kerja tahunan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 5 . . . -3Pasal 5 (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, dalam menyusun dan menetapkan rencana kegiatan dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) harus memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (2) Realisasi anggaran untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilaksanakan oleh Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan sebagai biaya Perseroan. Pasal 6 Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dimuat dalam laporan tahunan Perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS. Pasal 7 Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 8 (1) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak menghalangi Perseroan berperan serta melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Perseroan yang telah berperan serta melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penghargaan oleh instansi yang berwenang. Pasal 9 Peraturan Pemerintah diundangkan. ini mulai berlaku pada tanggal Agar . . . -4Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 April 2012 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 April 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 89 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian, Setio Sapto Nugroho PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERSEROAN TERBATAS I. UMUM Peraturan Pemerintah ini melaksanakan ketentuan Pasal 74 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya maupun Perseroan itu sendiri dalam rangka terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Dalam Peraturan Pemerintah ini, Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kegiatan dalam memenuhi kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut dimaksudkan untuk: 1. meningkatkan kesadaran Perseroan terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia; 2. memenuhi perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan; dan 3. menguatkan pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan bidang kegiatan usaha Perseoan yang bersangkutan. Sehubungan . . . -2Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai: 1. Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh Perseroan dalam menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang. 2. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dilakukan di dalam ataupun di luar lingkungan Perseroan. 3. Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan berdasarkan rencana kerja tahunan yang memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaannya. 4. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan disusun dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 5. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan wajib dimuat dalam laporan tahunan Perseroan untuk dipertanggungjawabkan kepada RUPS. 6. Penegasan pengaturan pengenaan sanksi Perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 7. Perseroan yang telah berperan dan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat diberikan penghargaan oleh instansi yang berwenang. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ketentuan ini menegaskan bahwa pada dasarnya setiap Perseroan sebagai wujud kegiatan manusia dalam bidang usaha, secara moral mempunyai komitmen untuk bertanggung jawab atas tetap terciptanya hubungan Perseroan yang serasi dan seimbang dengan lingkungan dan masyarakat setempat sesuai dengan nilai, norma, dan budaya masyarakat tersebut. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Yang . . . -3Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam termasuk pelestarian fungsi lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan “berdasarkan Undang-Undang” adalah undang-undang beserta peraturan pelaksanaan undang-undang mengenai sumber daya alam atau yang berkaitan dengan sumber daya alam, serta etika menjalankan perusahaan, antara lain: peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian, kehutanan, minyak dan gas bumi, badan usaha milik negara, usaha panas bumi, sumber daya air, pertambangan mineral dan batu bara, ketenagalistrikan, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, serta perlindungan konsumen. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan menentukan lain bahwa persetujuan atas rencana kerja diberikan oleh RUPS, maka anggaran dasar tidak dapat menentukan rencana kerja disetujui oleh Dewan Komisaris atau sebaliknya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kepatutan dan kewajaran” adalah kebijakan Perseroan, yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan Perseroan, dan potensi risiko yang mengakibatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang harus ditanggung oleh Perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya yang tidak mengurangi kewajiban sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan usaha Perseroan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 . . . -4Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tidak menghalangi Perseroan berperan serta melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan” adalah Perseroan tetap dapat melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan selain yang telah menjadi kewajibannya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penghargaan” misalnya fasilitas atau bentuk penghargaan lainnya. Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5305 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan pembangunan eknomi nasional yang berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuan bernegara; b. bahwa sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; c. bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; d. bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional; e. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri perlu diganti karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang penanaman modal; f. bahwa berdasarkan petimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c , huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanaman Modal. Mengingat : Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5), Pasal 20, serta Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENANAMAN MODAL BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. 2. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. 3. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. 4. Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing. 5. Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesa, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. 6. Penanaman modal asing adalah perseorangan warga negara negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. 7. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis. 8. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. 9. Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. 10. Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. 11. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. 12. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 13. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal 2 Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 3 (1) Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. perlakukan yang sama dan tidak membedakan asal negara; e. kebersamaan; f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan; h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (2) Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk: a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b. menciptakan lapangan kerja; c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat. BAB III KEBIJAKAN DASAR PENANAMAN MODAL Pasal 4 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk: a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan b. mempercepat peningkatan penanaman modal. (2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah: a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional; BAB V PERLAKUAN TERHADAP PENANAMAN MODAL Pasal 6 (1) Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. (2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. Pasal 7 (1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang -undang. (2) Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. (3) Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Pasal 8 (1) Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara. (3) Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap : a. modal; b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain; c. dana yang diperlukan untuk : 1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau 2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal; d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal; e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman; f. royalti atau biaya yang harus dibayar; g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal; h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; i. kompensasi atas kerugian; j. kompensasi atas pengambilalihan; k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Hak untuk melakukan transfer dan repatriasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi : a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana; b. hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti dan/atau pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; c. pelaksanaan hukum yang melindungi hak kreditor; dan d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara. Pasal 9 (1) Dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam modal : a. penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan b. pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan. (2) Bank atau lembaga lain melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b hingga selesainya seluruh tanggung jawab penanam modal. BAB VI KETENAGAKERJAAN Pasal 10 (1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. (2) Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. (3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 (1) Penyelesaian perselisihan hubungan ind ustrial wajib diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah antara perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja. (2) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai hasil, penyelesaiannya dilakukan melalui upaya mekanisme tripartit. (3) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai hasil, perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja menyelesaikan perselihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial. BAB VII BIDANG USAHA Pasal 12 (1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. (2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah : a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. (3) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya. (4) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden. (5) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. BAB VIII PENGEMBANGAN PENA NAMAN MODAL BAGI USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH, DAN KOPERASI Pasal 13 (1) Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. (2) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya. BAB IX HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB PENANAMAN MODAL Pasal 14 Setiap penanaman modal berhak mendapat : a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan; b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c. hak pelayanan; dan d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. Pasal 15 Setiap penanam modal berkewajiban : a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan; c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal. d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 16 Setiap penanam modal bertanggung jawab : a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d. menjaga kelestarian lingkungan hidup; e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 17 Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB X FASILITAS PENANAMAN MODAL Pasal 18 (1) Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal. (2) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang : a. melakukan peluasan usaha; atau b. melakukan penanaman modal baru. (3) Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini : a. menyerap banyak tenaga kerja; b. termasuk skala prioritas tinggi; c. termasuk pembangunan infrastruktur; d. melakukan alih teknologi; e. melakukan industri pionir; f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu; g. menjaga kelestarian lingkungan hidup; h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi; atau j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. (4) Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa : a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu; b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. (5) Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. (6) Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 19 Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) diberikan berdasarkan kebijakan industri nasional yang ditetapkan ole h Pemerintah. Pasal 20 Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas. Pasal 21 Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh : a. hak atas tanah; b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan c. fasilitas perizinan impor. Pasal 22 (1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun (2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a. Penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing; b. Penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan ; c. Penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; d. Penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan e. Penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. (3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. (4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Pasal 23 (1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b dapat diberikan untuk : a. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam merealisasikan penanaman modal; b. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing yang bersifat sementara dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi lainnya, dan pelayanan purnajual; dan c. calon penanam modal yang akan melakukan penjajakan penanaman modal. (2) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan setelah pena nam modal mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. (3) Untuk penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu: a. pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun); b. pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2(dua) tahun berturut-turut; c. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1(satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; d. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan ; dan e. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan. (4) Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas dasar rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pasal 24 Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dapat diberikan untuk impor: a. barang yang selama tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perdagangan barang; b. barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan moral bangsa; c. barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia; dan d. barang modal atau badan baku untuk kebutuhan produksi sendiri; BAB XI PENGESAHAN DAN PERIZINAN PERUSAHAAN Pasal 25 (1) Penanam modal yang melakukan penanaman modal di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang ini. (2) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (4) Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. (5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu. Pasal 26 (1) Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. (2) Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan nonperizinan di provinsi atau kabupaten/kota. (3) Ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. BAB XII KOORDINASI DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL Pasal 27 (1) Pemerintah mengkoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antarinstansi Pemerintah, antara instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antara instansi Pemerintah dengan Pemerintah daerah, maupun antarpemerintah daerah. (2) Koordinsi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal. (3) Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. (4) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 28 (1) Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut: a. melaksanakan, tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal; b. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal; c. menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal; d. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha; e. membuat peta penanaman modal Indonesia; f. mempromosikan penanaman modal; g. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal; h. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal; i. mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya diluar wilayah Indonesia; dan j. mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu. (2) Selain tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Badan Koordinasi Penanaman Modal bertugas melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang -undangan. Pasal 29 Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta pelayanan terpadu satu pintu, Badan Koordinasi Penanaman Modal harus melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan. BAB XIII PENYELENGGARAAN URUSAN PENANAMAN MODAL Pasal 30 (1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal. (2) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan Pemerintah. (3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. (4) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan Pemerintah. (5) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi. (6) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota. (7) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang menjadi kewenangan Pemerintah adalah: a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi; b. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional; c. penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; e. penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan f. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang -undang; (8) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugasi pemerintah kabupaten/kota; (9) Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang penanaman modal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah; BAB XIV KAWASAN EKONOMI KHUSUS Pasal 31 (1) Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah, dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus. (2) Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi khusus. (3) Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang. BAB XV PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 32 (1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanaman modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanaman modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukab di pengadilan. (4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanaman modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. BAB XVI SANKSI Pasal 33 (1) Penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan sahan dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. (2) Dalam hal penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. (3) Dalam hal penanaman modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan. Pasal 34 (1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 35 Perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut. Pasal 36 Rancangan perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang belum disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada saat Undang-Undang ini berlaku wajib disesuaikan dengan ketentuan UndangUndang ini. Pasal 37 (1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UndangUndang Nomor 1 Tahun l967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. (2) Persetujuan penanaman modal dan izin pelaksanaan yang telah diberikan oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya persetujuan penanaman modal dan izin pelaksanaan tersebut. (3) Permohonan penanaman modal dan permohonan lainnya yang berkaitan dengan penanaman modal yang telah disampaikan kepada instansi yang berwenang dan pada tanggal disahkannya UndangUndang ini belum memperoleh persetujuan Pemerintah wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (4) Perusahaan penanaman modal yang telah diberi izin usaha oleh Pemerintah berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dan, apabila izin usaha tetapnya telah berakhir, dapat diperpanjang berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 38 Dengan berlakunya Undang -Undang ini: a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2943); dan b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2944); dicabut dan dinyatakan tidak brlaku. Pasal 39 Semua Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan secara langsung dengan penanaman modal wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang -Undang ini. Pasal 40 Undang-Undang diundangkan. ini mulai berlaku pada tanggal Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 26 April 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 26 April 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 67 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa panas bumi adalah sumber daya alam yang dapat diperbarui, berpotensi besar, yang dikuasai oleh negara dan mempunyai peranan penting sebagai salah satu sumber energi pilihan dalam keanekaragaman energi nasional untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat; b. bahwa pemanfaatan panas bumi relatif ramah lingkungan, terutama karena tidak memberikan kontribusi gas rumah kaca, sehingga perlu didorong dan dipacu perwujudannya; c. bahwa pemanfaatan panas bumi akan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak sehingga dapat menghemat cadangan minyak bumi; d. bahwa peraturan perundang-undangan yang sudah ada belum dapat menampung kebutuhan perkembangan pengelolaan hulu sumber daya panas bumi sehingga undang-undang tentang panas bumi ini dapat mendorong kegiatan panas bumi bagi kelangsungan pemenuhan kebutuhan energi nasional; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali penyelenggaraan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya panas bumi, dipandang perlu membentuk Undangundang tentang Panas Bumi; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PANAS BUMI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. 2. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis usaha tetap dan terus-menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia untuk memperkirakan letak dan adanya sumber daya Panas Bumi serta Wilayah Kerja. 4. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan potensi Panas Bumi. 5. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan usaha pertambangan Panas Bumi, termasuk penyelidikan atau studi jumlah cadangan yang dapat dieksploitasi. 6. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan operasi produksi sumber daya Panas Bumi. 7. Usaha Pertambangan Panas Bumi adalah usaha yang meliputi kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi. 8. Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi. 9. Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut Wilayah Kerja, adalah wilayah yang ditetapkan dalam IUP. 10. Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia. 11. Iuran Tetap adalah iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai imbalan atas kesempatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja. 12. Iuran Produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari Usaha Pertambangan Panas Bumi. 13. Mineral Ikutan adalah bahan mineral selain minyak dan gas bumi yang ditemukan dalam fluida dan/atau dihasilkan dalam jumlah yang memadai pada kegiatan pengusahaan Panas Bumi serta tidak memerlukan penambangan dan produksi secara khusus sebagaimana diatur dalam proses penambangan mineral lainnya. 14. Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan usaha pemanfaatan energi dan/atau fluida Panas Bumi untuk keperluan nonlistrik, baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri. 15. Pemanfaatan Tidak Langsung untuk tenaga listrik adalah kegiatan usaha pemanfaatan energi Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik, baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri. 16. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang terdiri atas Presiden dan para menteri yang merupakan perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia. 17. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang Panas Bumi. 18. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Penyelenggaraan kegiatan pertambangan Panas Bumi menganut asas manfaat, efisiensi, keadilan, kebersamaan, optimasi ekonomis dalam pemanfaatan sumber daya, keterjangkauan, berkelanjutan, percaya dan mengandalkan pada kemampuan sendiri, keamanan dan keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan hidup, serta kepastian hukum. Pasal 3 Penyelenggaraan kegiatan pertambangan Panas Bumi bertujuan: a. mengendalikan pemanfaatan kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan nilai tambah secara keseluruhan; dan b. meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. BAB III PENGUASAAN PERTAMBANGAN PANAS BUMI Pasal 4 (1) Panas Bumi sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia merupakan kekayaan nasional, yang dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2) Penguasaan Pertambangan Panas Bumi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (3) Semua data dan informasi yang diperoleh sesuai dengan ketentuan dalam IUP merupakan data milik negara dan pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerintah. BAB IV KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN PANAS BUMI Bagian Kesatu Kewenangan Pemerintah Pasal 5 Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi : a. pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan Panas Bumi; b. pembuatan kebijakan nasional; c. pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi pada wilayah lintas provinsi; d. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi pada wilayah lintas provinsi; e. pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi; f. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi nasional. Bagian Kedua Kewenangan Pemerintah Daerah Paragraf 1 Kewenangan Provinsi Pasal 6 (1) Kewenangan provinsi dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi: a. pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas Bumi; b. pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota; c. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota; d. pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota; e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di provinsi. (2) Kewenangan dilaksanakan provinsi sesuai sebagaimana dengan dimaksud ketentuan pada peraturan ayat (1) perundang- undangan yang berlaku. Paragraf 2 Kewenangan Kabupaten/Kota Pasal 7 (1) Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi: a. pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota; b. pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota; c. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota; d. pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di kabupaten/kota; e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di kabupaten/kota; f. pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah Kerja di kabupaten/kota. (2) Kewenangan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. BAB V WILAYAH KERJA Pasal 8 Wilayah Kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha diumum-kan secara terbuka. Pasal 9 (1) Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan penawaran Wilayah Kerja dengan cara lelang. (2) Batas dan luas Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan oleh Pemerintah. (3) Ketentuan mengenai pedoman, batas, koordinat, luas wilayah, tata cara, dan syarat-syarat mengenai penawaran, prosedur, penyiapan dokumen lelang, dan pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VI KEGIATAN OPERASIONAL DAN PENGUSAHAAN Bagian Kesatu Kegiatan Operasional Pasal 10 (1) Kegiatan operasional Panas Bumi meliputi: (2) a. Survei Pendahuluan; b. Eksplorasi; c. Studi Kelayakan; d. Eksploitasi; dan e. Pemanfaatan. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Pemerintah dapat menugasi pihak lain untuk melakukan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh Pemerintah. (5) Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dilakukan oleh Badan Usaha. (6) Pemanfaatan Langsung yang berkaitan dengan pemanfaatan energi Panas Bumi diatur dengan peraturan pemerintah. (7) Pemanfaatan tidak langsung yang berkaitan dengan pemanfaatan energi Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum atau kepentingan sendiri dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagalistrikan. Bagian Kedua Pengusahaan Pasal 11 (1) Pengusahaan sumber daya Panas Bumi meliputi: a. Eksplorasi; b. Studi Kelayakan; dan c. Eksploitasi. (2) Pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu atau dalam satu kesatuan atau dalam keadaan tertentu dapat dilakukan secara terpisah. (3) Pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha setelah mendapat IUP dari Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pasal 12 Dalam melaksanakan pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Badan Usaha harus mengikuti kaidah-kaidah keteknikan, kemampuan keuangan dan pengelolaan yang sesuai dengan standar nasional, serta menjunjung tinggi etika bisnis. Pasal 13 (1) Luas Wilayah Kerja untuk Eksplorasi yang dapat diberikan untuk satu IUP Panas Bumi tidak boleh melebihi 200.000 (dua ratus ribu) hektar. (2) Badan Usaha wajib mengembalikan secara bertahap sebagian atau seluruhnya dari Wilayah Kerja kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah. (3) Ketentuan mengenai luas Wilayah Kerja yang dapat dipertahankan pada tahap Eksploitasi dan perubahan Luas Wilayah IUP pada setiap tahapan Usaha Pertambangan Panas Bumi diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Eksplorasi dan Eksploitasi Pasal 14 (1) Pemegang IUP wajib menyampaikan rencana jangka panjang Eksplorasi dan Eksploitasi kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing yang mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran serta menyampaikan besarnya cadangan. (2) Penyesuaian terhadap rencana jangka panjang Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dari tahun ke tahun sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Bagian Keempat Pemanfaatan Mineral Ikutan Pasal 15 Pemanfaatan Mineral Ikutan yang terkandung dalam Panas Bumi dapat dilakukan secara komersial oleh pemegang IUP atau pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VII PENGGUNAAN LAHAN Pasal 16 (1) Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi dilaksanakan di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia. (2) Hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. (3) Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi tidak dapat dilaksanakan di : a. tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat; b. lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah di sekitarnya; c. bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara; d. bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya; e. tempat lain yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan dalam hal diperoleh izin dari instansi Pemerintah, persetujuan masyarakat dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut. Pasal 17 (1) Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah hak, tanah negara, atau kawasan hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang IUP yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara. Pasal 18 Pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan pemegang IUP untuk melaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi di atas tanah yang bersangkutan apabila: a. sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan IUP atau salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan; b. dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. Pasal 19 (1) Dalam hal pemegang IUP telah diberi Wilayah Kerja, terhadap bidangbidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha dan areal pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut. (2) Dalam hal pemberian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi areal yang luas di atas tanah negara, bagian-bagian tanah yang belum digunakan untuk kegiatan usaha dapat diberikan kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Pasal 20 Penyelesaian penggunaan tanah hak dan tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VIII PERIZINAN Pasal 21 (1) IUP dikeluarkan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya: a. nama penyelenggara; b. jenis usaha yang diberikan; c. jangka waktu berlakunya izin; d. hak dan kewajiban pemegang izin usaha; e. Wilayah Kerja; dan f. (3) tahap pengembalian Wilayah Kerja. Setiap IUP yang telah diberikan wajib digunakan sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2). (4) IUP dapat dialihkan kepada Badan Usaha afiliasi dengan persetujuan Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pasal 22 (1) Jangka waktu IUP terdiri atas: a. jangka waktu Eksplorasi berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak IUP diterbitkan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing selama 1 (satu) tahun; b. jangka waktu Studi Kelayakan berlaku paling lama 2 (dua) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir; c. jangka waktu Eksploitasi berlaku paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir dan dapat diperpanjang. (2) Pemegang IUP dapat mengajukan perpanjangan waktu izin Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing paling cepat 5 (lima) tahun dan paling lambat 3 (tiga) tahun sebelum izin Eksploitasi berakhir. (3) Dalam hal tidak melaksanakan kegiatan Eksploitasi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir, pemegang IUP wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya. Pasal 23 IUP berakhir karena: a. habis masa berlakunya; b. dikembalikan; c. dibatalkan; atau d. dicabut. Pasal 24 (1) Pemegang IUP dapat menyerahkan kembali IUP dengan pernyataan tertulis kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing disertai alasan yang jelas. (2) Pengembalian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pasal 25 (1) Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mencabut IUP apabila pemegang IUP: a. melakukan pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tercantum dalam IUP; atau b. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan undangundang ini. (2) Sebelum melaksanakan pencabutan IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing terlebih dahulu memberikan kesempatan selama jangka waktu 6 (enam) bulan pada pemegang IUP untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Pasal 26 Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP telah berakhir dan permohonan perpanjangan IUP tidak diajukan atau permohonan perpanjangan IUP tidak memenuhi persyaratan, IUP tersebut berakhir. Pasal 27 (1) Dalam hal IUP berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, pemegang IUP wajib memenuhi dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (2) Kewajiban pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. (3) Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing menetapkan persetujuan pengakhiran IUP setelah pemegang IUP melaksanakan pelestarian dan pemulihan fungsi lingkungan di Wilayah Kerjanya serta kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB IX HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN PANAS BUMI Bagian Kesatu Hak Pemegang Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi Pasal 28 Pemegang IUP berhak : a. melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi berupa Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi di Wilayah Kerjanya; b. menggunakan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) selama jangka waktu berlakunya IUP di Wilayah Kerjanya; c. dapat memperoleh fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Bagian Kedua Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi Pasal 29 Pemegang IUP wajib: a. memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan, serta memenuhi standar yang berlaku; b. mengelola lingkungan hidup mencakup kegiatan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan hidup dan melakukan reklamasi; c. mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing; d. memberikan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Panas Bumi; e. memberikan dukungan terhadap kegiatan penciptaan, pengembangan kompetensi, dan pembinaan sumber daya manusia di bidang Panas Bumi; f. melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; g. memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. BAB X PENERIMAAN NEGARA Pasal 30 (1) Pemegang IUP wajib membayar penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Penerimaan negara berupa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pajak; b. bea masuk dan pungutan lain atas cukai dan impor; c. pajak daerah dan retribusi daerah. (3) Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pungutan negara berupa Iuran Tetap dan Iuran Produksi serta pungutan negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bonus. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. (5) Penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan penerimaan Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang pembagiannya sebagai berikut. a. Penerimaan negara berupa pajak, pembagiannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku; b. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Iuran Tetap dan Iuran Produksi, pembagiannya ditetapkan dengan perimbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah. (6) Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dibagi dengan perincian sebagai berikut: a. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen); b. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen); c. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua persen). BAB XI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 31 (1) Tanggung jawab pembinaan dan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berada pada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Gubernur dan Bupati/Walikota wajib melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan Usaha Pertambangan Panas Bumi di wilayahnya masing-masing setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Pemerintah. Pasal 32 Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 meliputi: a. Eksplorasi; b. Eksploitasi; c. keuangan; d. pengolahan data Panas Bumi; e. konservasi bahan galian; f. keselamatan dan kesehatan kerja; g. pengelolaan lingkungan hidup dan reklamasi; h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; i. pengembangan tenaga kerja Indonesia; j. pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat; k. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan Panas Bumi; l. kegiatan lain di bidang kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi sepanjang menyangkut kepentingan umum; m. pengelolaan Panas Bumi; n. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan yang baik. Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XII PENYIDIKAN Pasal 34 (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang diterima berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi; d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi; e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana; f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan-nya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi; atau h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi. (3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghenti-kan penyidikannya dalam hal peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana. (5) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 35 Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi tanpa IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Pasal 36 Pemegang IUP yang dengan sengaja meninggalkan Wilayah Kerjanya tanpa menyelesaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 37 Setiap orang yang mengganggu atau merintangi kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi dari pemegang IUP sehingga pemegang IUP terhambat dalam melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 38 (1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 adalah kejahatan. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 adalah pelanggaran. Pasal 39 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 dilakukan oleh Badan Usaha, ancaman pidana denda yang dijatuhkan kepada Badan Usaha tersebut ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana denda. Pasal 40 Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 41 Pada saat undang-undang ini berlaku, semua kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya Panas Bumi yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa kontrak. Pasal 42 Pada saat undang-undang ini berlaku pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan Panas Bumi yang ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini dialihkan kepada Pemerintah. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Dengan berlakunya undang-undang ini, segala ketentuan yang bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku. Pasal 44 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 115 Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Lambock V. Nahattands UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat; b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional yang sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif; c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; d. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. 2. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. 3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. 4. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. 5. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 6. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. - 27. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih. Surat Tercatat adalah surat yang dialamatkan kepada penerima dan dapat dibuktikan dengan tanda terima dari penerima yang ditandatangani dengan menyebutkan tanggal penerimaan. Surat Kabar adalah surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional. Hari adalah hari kalender. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pasal 2 Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. Pasal 3 (1) Pemegang saha m Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila: a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Pasal 4 Terhadap Perseroan berlaku undang-undang ini, anggaran dasar Perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 5 (1) Perseroan mempunyai nama dan tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar. (2) Perseroan mempunyai alamat lengkap sesuai dengan tempat kedudukannya. - 3- (3) Dalam surat- menyurat, pengumuman yang diterbitkan oleh Perseroan, barang cetakan, dan akta dalam hal Perseroan menjadi pihak harus menyebutkan nama dan alamat lengkap Perseroan. Pasal 6 Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. BAB II PENDIRIAN, ANGGARAN DASAR DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR, DAFTAR PERSEROAN DAN PENGUMUMAN Bagian Kesatu Pendirian Pasal 7 (1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. (2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka Peleburan. (4) Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. (5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain. (6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut. (7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi: a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam undangundang tentang Pasar Modal. Pasal 8 (1) Akta pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan la in berkaitan dengan pendirian Perseroan. (2) Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya: a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan pendiri perseorangan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap serta nomor dan tanggal keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum dari pendiri Perseroan; b. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat; c. nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor. (3) Dalam pembuatan akta pendirian, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa. Pasal 9 (1) Untuk memperoleh keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), pendiri bersama-sama mengajukan permohonan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian yang memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan tempat kedudukan Perseroan; - 4- b. jangka waktu berdirinya Perseroan; c. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; d. jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; e. alamat lengkap Perseroan. (2) Pengisian format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didahului dengan pengajuan nama Perseroan. (3) Dalam hal pendiri tidak mengajukan sendiri permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pendiri hanya dapat memberi kuasa kepada notaris. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan pemakaian nama Perseroan diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 10 (1) Permohonan untuk memperoleh keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) ayat (1) harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian ditandatangani, dilengkapi keterangan mengenai dokumen pendukung. Ketentuan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri. Apabila format isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan keterangan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri langsung menyatakan tidak berkeberatan atas permoho nan yang bersangkutan secara elektronik. Apabila format isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan keterangan mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, Menteri langsung memberitahukan penolakan beserta alasannya kepada pemohon secara elektronik. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pernyataan tidak berkeberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemohon yang bersangkutan wajib menyampaikan secara fisik surat permohonan yang dilampiri dokumen pendukung. Apabila semua persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dipenuhi secara lengkap, paling lambat 14 (empat belas) hari, Menteri menerbitkan keputusan tentang pengesahan badan hukum Perseroan yang ditandatangani secara elektronik. Apabila persyaratan tentang jangka waktu dan kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, Menteri langsung memberitahukan hal tersebut kepada pemohon secara elektronik, dan pernyataan tidak berkeberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi gugur. Dalam hal pernyataan tidak berkeberatan gugur, pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat mengajukan kembali permohonan untuk memperoleh keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). Dalam hal permohonan untuk memperoleh keputusan menteri tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akta pendirian menjadi batal sejak lewatnya jangka waktu tersebut dan Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum bubar karena hukum dan pemberesannya dilakukan oleh pendiri. Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi permohonan pengajuan kembali. Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan permohonan untuk memperoleh keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) bagi daerah tertentu yang belum mempunyai atau tidak dapat digunakan jaringan elektronik diatur dengan peraturan menteri. Pasal 12 (1) Perbuatan hukum yang berkaitan denga n kepemilikan saham dan penyetorannya yang dilakukan oleh calon pendiri sebelum Perseroan didirikan, harus dicantumkan dalam akta pendirian. (2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dengan akta yang bukan akta otentik, akta tersebut dilekatkan pada akta pendirian. - 5- (3) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dengan akta otentik, nomor, tanggal dan nama serta tempat kedudukan notaris yang membuat akta otentik tersebut disebutkan dalam akta pendirian Perseroan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak dipenuhi, perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban serta tidak mengikat Perseroan. (1) (2) (3) (4) (5) (1) (2) (3) (4) (5) Pasal 13 Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum apabila RUPS pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau kuasanya. RUPS pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status badan hukum. Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah apabila RUPS dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili semua saham dengan hak suara dan keputusan disetujui dengan suara bulat. Dalam hal RUPS tidak diselenggarakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau RUPS tidak berhasil mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), setiap calon pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul. Persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan apabila perbuatan hukum tersebut dilakukan atau disetujui secara tertulis oleh semua calon pendiri sebelum pendirian Perseroan. Pasal 14 Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut. Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendiri atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena hukum menjadi tanggung jawab Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan setelah perbuatan hukum tersebut disetujui oleh semua pemegang saham dalam RUPS yang dihadiri oleh semua pemega ng saham Perseroan. RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah RUPS pertama yang harus diselenggarakan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status badan hukum. Bagian Kedua Anggaran Dasar dan Perubahan Anggaran Dasar Paragraf 1 Anggaran Dasar Pasal 15 (1) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan tempat kedudukan Perseroan; b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; c. jangka waktu berdirinya Perseroan; d. besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; e. jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; - 6- f. nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris; g. penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; h. tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris; i. tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen. (2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) anggaran dasar dapat juga memuat ketentuan lain yang tidak bertentangan dengan undang- undang ini. (3) Anggaran dasar tidak boleh memuat: a. ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham; dan b. ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada pendiri atau pihak lain. Pasal 16 (1) Perseroan tidak boleh memakai nama yang: a. telah dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau sama pada pokoknya dengan nama Perseroan lain; b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan; c. sama atau mirip dengan nama lembaga ne gara, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, kecuali mendapat izin dari yang bersangkutan; d. tidak sesuai dengan maksud dan tujuan, serta kegiatan usaha, atau menunjukkan maksud dan tujuan Perseroan saja tanpa nama diri; e. terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata; atau f. mempunyai arti sebagai Perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata. (2) Nama Perseroan harus didahului dengan frase “Perseroan Terbatas” atau disingkat “PT”. (3) Dalam hal Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada akhir nama Perseroan ditambah kata singkatan “Tbk”. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemakaian nama Perseroan diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 17 (1) Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar. (2) Tempat kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus merupakan kantor pusat Perseroan. Pasal 18 Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang dicantumkan dalam anggaran dasar Perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Perubahan Anggaran Dasar Pasal 19 (1) Perubahan anggaran dasar ditetapkan oleh RUPS. (2) Acara mengenai perubahan anggaran dasar wajib dicantumkan dengan jelas dalam panggilan RUPS. Pasal 20 (1) Perubahan anggaran dasar Perseroan yang telah dinyatakan pailit tidak dapat dilakukan, kecuali dengan pesetujuan kurator. (2) Persetujuan kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan dalam permohonan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri. Pasal 21 (1) Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat persetujuan Menteri. (2) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: - 7- nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan; maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; jangka waktu berdirinya Perseroan; besarnya modal dasar; pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya. Perubahan anggaran dasar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) cukup diberitahukan kepada Menteri. Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia. Perubahan anggaran dasar yang tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang dibuat notaris harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS. Perubahan anggaran dasar tidak boleh dinyatakan dalam akta notaris setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Menteri, paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta notaris yang memuat perubahan anggaran dasar. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mutatis mutandis berlaku bagi pemberitahuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri. Setelah lewat batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (6) permohonan persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar tidak dapat diajukan atau disampaikan kepada Menteri. a. b. c. d. e. f. g. (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Pasal 22 (1) Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar mengenai perpanjangan jangka waktu berdirinya Perseroan sebagaimana ditetapkan dalam anggaran dasar harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu berdirinya Perseroan berakhir. (2) Menteri memberikan persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat pada tanggal terakhir berdirinya Perseroan. Pasal 23 (1) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) mulai berlaku sejak tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai persetujuan perubahan anggaran dasar. (2) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) mulai berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar oleh Menteri. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku dalam hal undangundang ini menentukan lain. Pasal 24 (1) Perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya telah memenuhi kriteria sebagai Perseroan Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, wajib mengubah anggaran dasarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf f dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terpenuhi kriteria tersebut. (2) Direksi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan pernyataan pendaftaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pasal 25 (1) Perubahan anggaran dasar mengenai status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka mulai berlaku sejak tanggal: a. efektif pernyataan pendaftaran yang diajukan kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal bagi Perseroan Publik; atau - 8- b. dilaksanakan penawaran umum, bagi Perseroan yang mengajukan pernyataan pendaftaran kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal untuk melakukan penawaran umum saham sesuai dengan ketent uan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. (2) Dalam hal pernyataan pendaftaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak menjadi efektif atau Perseroan yang telah mengajukan pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak melaksanakan penawaran umum saham, Perseroan harus mengubah kembali anggaran dasarnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri. Pasal 26 Perubahan anggaran dasar yang dilakukan dalam rangka Penggabungan atau Pengambilalihan berlaku sejak tanggal: a. persetujuan Menteri; b. kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menteri; atau c. pemberitahuan perubahan anggaran dasar diterima Menteri, atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan atau akta Pengambilalihan. Pasal 27 Permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) ditolak apabila: a. bertentangan dengan ketentuan mengenai tata cara perubahan anggaran dasar; b. isi perubahan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan; atau c. terdapat keberatan dari kreditor atas keputusan RUPS mengenai pengurangan modal. Pasal 28 Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan untuk memperoleh keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan, dan keberatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 mutatis mutandis berlaku bagi pengajuan permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar dan keberatannya. Bagian Ketiga Daftar Perseroan dan Pengumuman Paragraf 1 Daftar Perseroan Pasal 29 (1) Daftar Perseroan diselenggarakan oleh Menteri. (2) Daftar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data tentang (3) Perseroan yang meliputi: a. nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, jangka waktu pendirian, dan permodalan; b. alamat lengkap Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; c. nomor dan tanggal akta pendirian dan keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4); d. nomor dan tangga l akta perubahan anggaran dasar dan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); e. nomor dan tanggal akta perubahan anggaran dasar dan tanggal penerimaan pemberitahuan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2); f. nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta pendirian dan akta perubahan anggaran dasar; g. nama lengkap dan alamat pemegang saham, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris Perseroan; h. nomor dan tanggal akta pembubaran atau nomor dan tanggal penetapan pengadilan tentang pembubaran Perseroan yang telah diberitahukan kepada Menteri; - 9- i. j. (4) (5) (6) (7) berakhirnya status badan hukum Perseroan; neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit. Data Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimasukkan dalam daftar Perseroan pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal: a. Keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan, persetujuan atas perubahan anggaran dasar yang memerlukan persetujuan; b. Penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar yang tidak memerlukan persetujuan; atau c. Penerimaan pemberitahuan perubahan data Perseroan yang bukan merupakan perubahan anggaran dasar. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g mengenai nama lengkap dan alamat pemegang saham Perseroan Terbuka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Daftar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbuka untuk umum. Ketentuan lebih lanjut mengenai daftar Perseroan diatur dengan peraturan menteri. Paragraf 2 Pengumuman Pasal 30 (1) Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia: a. akta pendirian Perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4); b. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b atau sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumuman dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB III MODAL DAN SAHAM Bagian Kesatu Modal Pasal 31 (1) Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal mengatur modal Perseroan terdiri atas saham tanpa nilai nominal. Pasal 32 (1) Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 33 (1) Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh. - 10 (2) Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah. (3) Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor penuh. Pasal 34 (1) Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya. (2) Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan. (3) Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut. Pasal 35 (1) Pemegang saham dan kreditor lainnya yang mempunyai tagihan terhadap Perseroan tidak dapat menggunakan hak tagihnya sebagai kompensasi kewajiban penyetoran atas harga saham yang telah diambilnya, kecuali disetujui oleh RUPS. (2) Hak tagih terhadap Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat dikompensasi dengan setoran saha m adalah hak tagih atas tagihan terhadap Perseroan yang timbul karena: a. Perseroan telah menerima uang atau penyerahan benda berwujud atau benda tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang; b. pihak yang menjadi penanggung atau penjamin utang Perseroan telah membayar lunas utang Perseroan sebesar yang ditanggung atau dijamin; atau c. Perseroan menjadi penanggung atau penjamin utang dari pihak ketiga dan Perseroan telah menerima manfaat berupa uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang langsung atau tidak langsung secara nyata telah diterima Perseroan. (3) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai panggilan rapat, kuorum, dan jumlah suara untuk perubahan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. (1) (2) (3) (4) Pasal 36 Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki oleh Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan. Ketentuan larangan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kepemilikan saham yang diperoleh berdasarkan peralihan karena hukum, hibah, atau hibah wasiat. Saham yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal perolehan harus dialihkan kepada pihak lain yang tidak di larang memiliki saham dalam Perseroan. Dalam hal Perseroan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perusahaan efek, berlaku ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. Bagian Kedua Perlindungan Modal dan Kekayaan Perseroan Pasal 37 (1) Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan: a. pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih Perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan; dan b. jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh Perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh Perseroan sendiri dan/atau Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh Perseroan, tidak - 11 - melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dalam Perseroan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (2) Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bertentangan dengan ayat (1) batal karena hukum. (3) Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Saham yang dibeli kembali Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh dikuasai Perseroan paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 38 (1) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) atau pengalihannya lebih lanjut hanya boleh dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (2) Keputusan RUPS yang memuat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai panggilan rapat, kuorum, dan persetujuan jumlah suara untuk perubahan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Pasal 39 (1) RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (2) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap kali dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. (3) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh RUPS. Pasal 40 (1) Saham yang dikuasai Perseroan karena pembelian kembali, peralihan karena hukum, hibah atau hibah wasiat, tidak dapat digunakan untuk mengeluarkan suara dalam RUPS dan tidak diperhitungkan dalam menentukan jumlah kuorum yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan undang- undang ini dan/atau anggaran dasar. (2) Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhak mendapat pembagian dividen. Bagian Ketiga Penambahan Modal Pasal 41 (1) Penambahan modal Perseroan dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS. (2) RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu paling lama1 (satu) tahun. (3) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh RUPS. Pasal 42 (1) Keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar adalah sah apabila dilakukan denga n memperhatikan persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. (2) Keputusan RUPS untuk penambahan modal ditempatkan dan disetor dalam batas modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan kuorum kehadiran lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh suara yang dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar. (3) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat wajib diberitahukan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan. - 12 - Pasal 43 (1) Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap peme gang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama. (2) Dalam hal saham yang akan dikeluarkan untuk penambahan modal merupakan saham yang klasifikasinya belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya. (3) Penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pengeluaran saham: a. ditujukan kepada karyawan Perseroan; b. ditujukan kepada pemegang obligasi atau efek lain yang dapat dikonversikan menjadi saham, yang telah dikeluarkan dengan persetujuan RUPS; atau c. dilakukan dalam rangka reorganisasi dan/atau restrukturisasi yang telah disetujui oleh RUPS. (4) Dalam hal pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menggunakan hak untuk membeli dan membayar lunas saham yang dibeli dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penawaran, Perseroan dapat menawarkan sisa saham yang tidak diambil bagian tersebut kepada pihak ketiga. Bagian Keempat Pengurangan Modal Pasal 44 (1) Keputusan RUPS untuk pengurangan modal Perseroan adalah sah apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan ketentuan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. (2) Direksi wajib memberitahukan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada semua kreditor dengan mengumumkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kabar dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS. Pasal 45 (1) Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), kreditor dapat mengajukan keberatan secara tertulis disertai alasannya kepada Perseroan atas keputusan pengurangan modal dengan tembusan kepada Menteri. (2) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, Perseroan wajib memberikan jawaban secara tertulis atas keberatan yang diajukan. (3) Dalam hal Perseroan: a. menolak keberatan atau tidak memberikan penyelesaian yang disepakati kreditor dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban Perseroan diterima; atau b. tidak memberikan tanggapan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal keberatan diajukan kepada Perseroan, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. Pasal 46 (1) Pengurangan modal Perseroan merupakan perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila: a. tidak terdapat keberatan tertulis dari kreditor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1); b. telah dicapai penyelesaian atas keberatan yang diajukan kreditor; atau c. gugatan kreditor ditolak oleh pengadilan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. - 13 - Pasal 47 (1) Keputusan RUPS tentang pengurangan modal ditempatkan dan disetor dilakukan dengan cara penarikan kembali saham atau penurunan nilai nominal saham. (2) Penarikan kembali saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap saham yang telah dibeli kembali oleh Perseroan atau terhadap saham dengan klasifikasi yang dapat ditarik kembali. (3) Penurunan nilai nominal saham tanpa pembayaran kembali harus dilakukan secara seimbang terhadap seluruh saham dari setiap klasifikasi saham. (4) Keseimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dengan persetujuan semua pemegang saham yang nilai nominal sahamnya dikurangi. (5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, keputusan RUPS tentang pengurangan modal hanya boleh diambil setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari semua pemegang saham dari setiap klasifikasi saham yang haknya dirugikan oleh keputusan RUPS tentang pengurangan modal tersebut. Bagian Kelima Saham Pasal 48 (1) Saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. (2) Persyaratan kepemilikan saham dapat ditetapkan dalam anggaran dasar dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Dalam hal persyaratan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah ditetapkan dan tidak dipenuhi, pihak yang memperoleh kepemilikan saham tersebut tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan undang- undang ini dan/atau anggaran dasar. Pasal 49 (1) Nilai saham harus dicantumkan dalam mata uang rupiah. (2) Saham tanpa nilai nominal tidak dapat dikeluarkan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan diaturnya pengeluaran saham tanpa nilai nominal dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (1) (2) (3) (4) Pasal 50 Direksi Perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar pemegang saham, yang memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan alamat pemegang saham; b. jumlah, nomor, tanggal perolehan saham yang dimiliki pemegang saham, dan klasifikasinya dalam hal dikeluarkan lebih dari satu klasifikasi saham; c. jumlah yang disetor atas setiap saham; d. nama dan alamat dari orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai hak gadai atas saham atau sebagai penerima jaminan fidusia saham dan tanggal perolehan hak gadai atau tanggal pendaftaran jaminan fidusia tersebut; e. keterangan penyetoran saham dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2). Selain daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar khusus yang memuat keterangan mengenai saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris beserta keluarganya dalam Perseroan dan/atau pada Perseroan lain serta tanggal saham itu diperoleh. Dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat juga setiap perubahan kepemilikan saham. Daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disediakan di tempat kedudukan Perseroan agar dapat dilihat oleh para pemegang saham. - 14 (5) Dalam hal peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak mengatur lain, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka. Pasal 51 Pemegang saham diberi bukti pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya. (1) (2) (3) (4) (5) Pasal 52 Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk: a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; b. menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; c. menjalankan hak lainnya berdasarkan undang- undang ini. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku setelah saham dicatat dalam daftar pemegang saham atas nama pemiliknya. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c tidak berlaku bagi klasifikasi saham tertentu sebagaimana ditetapkan dalam undang- undang ini. Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi. Dalam hal 1 (satu) saham dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) orang, hak yang timbul dari saham tersebut digunakan dengan cara menunjuk 1 (satu) orang sebagai wakil bersama. Pasal 53 (1) Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih. (2) Setiap saham dalam klasifikasi yang sama me mberikan kepada pemegangnya hak yang sama. (3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, anggaran dasar menetapkan salah satu di antaranya sebagai saham biasa. (4) Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain: a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara; b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain; d. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif; e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi. Pasal 54 (1) Anggaran dasar dapat menentukan pecahan nilai nominal saham. (2) Pemegang pecahan nilai nominal saham tidak diberikan hak suara perseorangan, kecuali pemegang pecahan nilai nominal saham, baik sendiri atau bersama pemegang pecahan nilai nominal saham lainnya yang klasifikasi sahamnya sama memiliki nilai nominal sebesar 1 (satu) nominal saham dari klasifikasi tersebut. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) dan ayat (5) mutatis mutandis berlaku bagi pemegang pecahan nilai nominal saham. Pasal 55 Dalam anggaran dasar Perseroan ditentukan cara pemindahan hak atas saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 56 (1) Pemindahan hak atas saham dilakukan dengan akta pemindahan hak. (2) Akta pemindahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada Perseroan. (3) Direksi wajib mencatat pemindahan hak atas saham, tanggal, dan hari pemindahan hak tersebut dalam daftar pemegang saham atau daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam - 15 - Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) dan memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak. (4) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dilakukan, Menteri menolak permohonan persetujuan atau pemberitahuan yang dilaksanakan berdasarkan susunan dan nama pemegang saham yang belum diberitahukan tersebut. (5) Ketentuan mengenai tata cara pemindahan hak atas saham yang diperdagangkan di pasar modal diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. Pasal 57 (1) Dalam anggaran dasar dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu: a. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya; b. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan; dan/atau c. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pemindahan hak atas saham disebabkan peralihan hak karena hukum, kecuali keharusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berkenaan dengan kewarisan. Pasal 58 (1) Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual menawarkan terlebih dahulu sahamnya kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) terhitung sejak tanggal penawaran dilakukan ternyata pemegang saham tersebut tidak membeli, pemegang saham penjual dapat menawarkan dan menjual sahamnya kepada pihak ketiga. (2) Setiap pemegang saham penjual yang diharuskan menawarkan sahamnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak menarik kembali penawaran tersebut, setelah lewatnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kewajiban menawarkan kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku 1 (satu) kali. Pasal 59 (1) Pemberian persetujuan pemindahan hak atas saham yang memerlukan persetujuan Organ Perseroan atau penolakannya harus diberikan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tangga l Organ Perseroan menerima permintaan persetujuan pemindahan hak tersebut. (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Organ Perseroan tidak memberikan pernyataan tertulis, Organ Perseroan dianggap menyetujui pemindahan hak atas saham tersebut. (3) Dalam hal pemindahan hak atas saham disetujui oleh Organ Perseroan, pemindahan hak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan. (1) (2) (3) (4) Pasal 60 Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 kepada pemiliknya. Saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar. Gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang telah didaftarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan wajib dicatat dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50. Hak suara atas saham yang diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap berada pada pemegang saham. - 16 - Pasal 61 (1) Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. Pasal 62 (1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa: a. perubahan anggaran dasar; b. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau c. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan. (3) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga. BAB IV RENCANA KERJA, LAPORAN TAHUNAN, DAN PENGGUNAAN LABA Bagian Kesatu Rencana Kerja Pasal 63 (1) Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang akan datang. (2) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran tahunan Perseroan untuk tahun buku yang akan datang. Pasal 64 (1) Rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 disampaikan kepada Dewan Komisaris atau RUPS sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. (2) Anggaran dasar dapat menentukan rencana kerja yang disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal anggaran dasar menentukan rencana kerja harus mendapat persetujuan RUPS, rencana kerja tersebut terlebih dahulu harus ditelaah Dewan Komisaris. Pasal 65 (1) Dalam hal Direksi tidak menyampaikan rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, rencana kerja tahun yang lampau diberlakukan. (2) Rencana kerja tahun yang lampau berlaku juga bagi Perseroan yang rencana kerjanya belum memperoleh persetujuan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Laporan Tahunan Pasal 66 (1) Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat sekurang-kurangnya: - 17 - a. laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir tahun buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buk u yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan tersebut; b. laporan mengenai kegiatan Perseroan; c. laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; d. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha Perseroan; e. laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Dewan Komisaris selama tahun buku yang baru lampau; f. nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; g. gaji dan tunjangan bagi anggota Direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris Perseroan untuk tahun yang baru lampau. (3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan. (4) Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bagi Perseroan yang wajib diaudit, harus disampaikan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 67 (1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) ditandatangani oleh semua anggota Direksi dan semua anggota Dewan Komisaris yang menjabat pada tahun buku yang bersangkutan dan disediakan di kantor Perseroan sejak tanggal panggilan RUPS untuk dapat diperiksa oleh pemegang saham. (2) Dalam hal terdapat anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang tidak menandatangani laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bersangkutan harus menyebutkan alasannya secara tertulis, atau alasan tersebut dinyatakan oleh Direksi dalam surat tersendiri yang dilekatkan dalam laporan tahunan. (3) Dalam hal terdapat anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang tidak menandatangani laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak memberi alasan secara tertulis, yang bersangkutan dianggap telah menyetujui isi laporan tahunan. (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pasal 68 Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila: a. kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat; b. Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat; c. Perseroan merupakan Perseroan Terbuka; d. Perseroan merupakan persero; e. Perseroan mempunyai aset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah nilai paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau f. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, laporan keuangan tidak disahkan oleh RUPS. Laporan atas hasil audit akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada RUPS melalui Direksi. Neraca dan laporan laba rugi dari laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c setelah mendapat pengesahan RUPS diumumkan dalam 1 (satu) surat kabar. Pengumuman neraca dan laporan laba rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah mendapat pengesahan RUPS. Pengurangan besarnya jumlah nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 69 (1) Persetujuan laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta laporan tugas pengawasan Dewan Komisaris dilakukan oleh RUPS. - 18 (2) Keputusan atas pengesahan laporan keuangan dan persetujuan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam undang- undang ini dan/atau anggaran dasar. (3) Dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. (4) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahannya. Bagian Ketiga Penggunaan Laba Pasal 70 (1) Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untuk cadangan. (2) Kewajiban penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif. (3) Penyisihan laba bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai cadangan mencapai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor. (4) Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mencapai jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya boleh dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain. Pasal 71 (1) Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS. (2) Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS. (3) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif. (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pasal 72 Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan. Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila jumlah kekayaan bersih Perseroan tidak menjadi lebih kecil daripada jumlah modal ditempatkan dan disetor ditambah cadangan wajib. Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh mengganggu atau menyebabkan Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada kreditor atau mengganggu kegiatan Perseroan. Pembagian dividen interim ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi setelah memperoleh persetujuan Dewan Komisaris, dengan memperhatikan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3). Dalam hal setelah tahun buku berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian, dividen interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada Perseroan. Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Perseroan, dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 73 (1) Dividen yang tidak diambil setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal yang ditetapkan untuk pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan khusus. (2) RUPS mengatur tata cara pengambilan dividen yang telah dimasukkan ke dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 19 (3) Dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak diambil dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun akan menjadi hak Perseroan. BAB V TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN (1) (2) (3) (4) Pasal 74 Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VI RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (1) (2) (3) (4) (1) (2) (3) (4) (5) (1) (2) (3) (4) Pasal 75 RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan. RUPS dalam mata acara lain- lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan me nyetujui penambahan mata acara rapat. Keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus disetujui dengan suara bulat. Pasal 76 RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan. Tempat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terletak di wilayah negara Republik Indonesia. Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan di manapun dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengambil keputusan jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat. Pasal 77 Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS. - 20 - Pasal 78 (1) RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya. (2) RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. (3) Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2). (4) RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan. Pasal 79 (1) Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dan RUPS lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4) dengan didahului pemanggilan RUPS. (2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan: a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau b. Dewan Komisaris. (3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Direksi dengan Surat Tercatat disertai alasannya. (4) Surat Tercatat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang disampaikan oleh pemegang saham tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris. (5) Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima. (6) Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5): a. Permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. (7) Dewan Komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat huruf a dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima. (8) RUPS yang diselenggarakan Direksi berdasarkan panggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan sebaga imana dimaksud pada ayat (3) dan mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu oleh Direksi. (9) RUPS yang diselenggarakan Dewan Komisaris berdasarkan panggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dan ayat (7) hanya membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (10) Penyelenggaraan RUPS Perseroan Terbuka tunduk pada ketentuan undang-undang ini sepanjang ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak menentukan lain. Pasal 80 (1) Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut. (2) Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPS apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS. (3) Penetapan ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat juga ketentuan mengenai: - 21 - (4) (5) (6) (7) (8) a. bentuk RUPS, mata acara RUPS sesuai dengan permohonan pemegang saham, jangka waktu pemanggilan RUPS, kuorum kehadiran, dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan undang- undang ini atau anggaran dasar; dan/atau b. perintah yang mewajibkan Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir dalam RUPS. Ketua pengadilan negeri menolak permohonan dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS. RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh membicarakan mata acara rapat sebagaimana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal penetapan ketua pengadilan negeri menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), upaya hukum yang dapat diajukan hanya kasasi. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka dengan memperhatikan persyaratan pengumuman akan diadakannya RUPS dan persyaratan lainnya untuk penyelenggaraan RUPS sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. Pasal 81 (1) Direksi melakukan pemanggilan kepada pemegang saham sebelum menyelenggarakan RUPS. (2) Dalam hal tertentu, pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Dewan Komisaris atau pemegang saham berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri. Pasal 82 (1) Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari (2) (3) (4) (5) sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. Pemanggilan RUPS dilakukan dengan Surat Tercatat dan/atau dengan iklan dalam Surat Kabar. Dalam panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal RUPS diadakan. Perseroan wajib memberikan salinan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pemegang saham secara cuma-cuma jika diminta. Dalam hal pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan panggilan tidak sesuai dengan ketentuan ayat (3), keputusan RUPS tetap sah jika semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat. Pasal 83 (1) Bagi Perseroan Terbuka, sebelum pemanggilan RUPS dilakukan wajib didahului dengan pengumuman mengenai akan diadakan pemanggilan RUPS dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS. Pasal 84 (1) Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain. (2) Hak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan; b. saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung; atau - 22 - c. saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Pasal 85 Pemegang saham, baik sendiri maupun diwakili berdasarkan surat kuasa berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pemegang saham dari saham tanpa hak suara. Dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya dan pemegang saham tidak berhak memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya dengan suara yang berbeda. Dalam pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam hal pemegang saham hadir sendiri dalam RUPS, surat kuasa yang telah diberikan tidak berlaku untuk rapat tersebut. Ketua rapat berhak menentukan siapa yang berhak hadir dalam RUPS dengan memperhatikan ketentuan undang-undang ini dan anggaran dasar Perseroan. Terhadap Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (6) berlaku juga ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. Pasal 86 (1) RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua. Dalam pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum. RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. Dalam hal kuorum RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga. Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan. RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan. Pasal 87 (1) Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali undang- undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar. - 23 - Pasal 88 (1) RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit (2) (3) (4) (5) (1) (2) (3) (4) (5) 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diselenggarakan RUPS kedua. RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adala h sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) mutatis mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengenai kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. Pasal 89 RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diadakan RUPS kedua. RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) mutatis mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengenai kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pasal 90 (1) Setiap penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. (2) Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disya ratkan apabila risalah RUPS tersebut dibuat dengan akta notaris. Pasal 91 Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan. - 24 - BAB VII DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Bagian Kesatu Direksi Pasal 92 (1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. (2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai (3) (4) (5) (6) dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau anggaran dasar. Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih. Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi. Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak menetapkan, pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi. Pasal 93 (1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: a. dinyatakan pailit; b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan. (2) Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (3) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan. Pasal 94 (1) Anggota Direksi diangkat oleh RUPS. (2) Untuk pertama kali pengangkatan anggota Direksi dilakukan oleh pendiri dalam akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b. (3) Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. (4) Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi dan dapat juga mengatur tentang tata cara pencalonan anggota Direksi. (5) Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut. (6) Dalam hal RUPS tidak menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi tersebut mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS. (7) Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi, Direksi wajib memberitahukan perubahan anggota Direksi kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS tersebut. (8) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum dilakukan, Menteri menolak setiap permohonan yang diajukan atau pemberitahuan yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi yang belum tercatat dalam daftar Perseroan. - 25 (9) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk pemberitahuan yang disampaikan oleh Direksi baru atas pengangkatan dirinya sendiri. (1) (2) (3) (4) (5) Pasal 95 Pengangkatan anggota Direksi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 batal karena hukum sejak saat anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut. Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris harus mengumumkan batalnya pengangkatan anggota Direksi yang bersangkutan dalam surat kabar dan memberitahukannya kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan. Perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan. Perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah pengangkatannya batal, adalah tidak sah dan menjadi tanggung jawab pribadi anggota Direksi yang bersangkutan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mengurangi tanggung jawab anggota Direksi yang bersangkutan terhadap kerugian Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 dan Pasal 104. Pasal 96 (1) Ketentuan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. (2) Kewenangan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilimpahkan kepada Dewan Komisaris. (3) Dalam hal kewenangan RUPS dilimpahkan kepada Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), besarnya gaji dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Pasal 97 Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan. - 26 - Pasal 98 mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. (2) Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. (2) Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, anggaran dasar, atau keputusan RUPS. (3) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar Perseroan. (1) Direksi Pasal 99 (1) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: a. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. (2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhak mewakili Perseroan adalah: a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; atau c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. Pasal 100 (1) Direksi Wajib: a. membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan b. risalah rapat Direksi; c. membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang tentang Dokumen Perusahaan; dan d. memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dan dokumen Perseroan lainnya. (2) Seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan Perseroan, dan dokumen Perseroan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di tempat kedudukan Perseroan. (3) Atas permohonan tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi izin kepada pemegang saham untuk memeriksa daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan tahunan, serta mendapatkan salinan risalah RUPS dan salinan laporan tahunan. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal menentukan lain. Pasal 101 (1) Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus. (2) Anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan tersebut. Pasal 102 (1) Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk: a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak. - 27 (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah transaksi pengalihan kekayaan bersih Perseroan yang terjadi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun buku atau jangka waktu yang lebih lama sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku terhadap tindakan pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang dilakukan oleh Direksi sebagai pelaksanaan kegiatan usaha Perseroan sesuai dengan anggaran dasarnya. (4) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa persetujuan RUPS, tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik. (5) Ketentuan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 mutatis mutandis berlaku bagi keputusan RUPS untuk menyetujui tindakan Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 103 Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Pasal 104 (1) Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada (2) (3) (4) (5) Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan: a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati- hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi Direksi dari Perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga. Pasal 105 (1) Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya. (2) Keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS. (3) Dalam hal keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan keputusan di luar RUPS sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91, anggota Direksi yang bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu tentang rencana pemberhentian dan diberikan kesempatan untuk membela diri sebelum diambil keputusan pemberhentian. (4) Pemberian kesempatan untuk membela diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan dalam hal yang bersangkutan tidak berkeberatan atas pemberhentian tersebut. (5) Pemberhentian anggota Direksi berlaku sejak: a. ditutupnya RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. tanggal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); c. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau - 28 - d. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 106 (1) Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya. (2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada anggota Direksi yang bersangkutan. (3) Anggota Direksi yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak (4) (5) (6) (7) (8) (9) berwenang melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1). Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus diselenggarakan RUPS. Dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) anggota Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri. RUPS mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara tersebut. Dalam hal RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota Direksi yang bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya. Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari telah lewat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diselenggarakan, atau RUPS tidak dapat mengambil keputusan, pemberhentian sementara tersebut menjadi batal. Bagi Perseroan Terbuka penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (8) berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pasal 107 Dalam anggaran dasar diatur ketentuan mengenai: a. tata cara pengunduran diri anggota Direksi; b. tata cara pengisian jabatan anggota Direksi yang lowong; dan c. pihak yang berwenang menjalankan pengurusan dan mewakili Perseroan dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan atau diberhentikan untuk sementara. Bagian Kedua Dewan Komisaris Pasal 108 (1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan (2) (3) (4) (5) pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi. Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris. Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris. Pasal 109 (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah. (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. (3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. - 29 - Pasal 110 (1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris adalah orang perseoranga n yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: a. dinyatakan pailit; b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan. (2) Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (3) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan. Pasal 111 (1) Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS. (2) Untuk pertama kali pengangkatan anggota Dewan Komisaris dilakukan oleh pendiri dalam (3) (4) (5) (6) (7) (8) akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b. Anggota Dewan Komisaris diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris serta dapat juga mengatur tentang pencalonan anggota Dewan Komisaris. Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut. Dalam hal RUPS tidak menentukan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS. Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris, Direksi wajib memberitahukan perubahan tersebut kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS tersebut. Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum dilakukan, Menteri menolak setiap pemberitahuan tentang perubahan susunan Dewan Komisaris selanjutnya yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi. Pasal 112 (1) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan ayat (2) batal karena hukum sejak saat anggota Dewan Komisaris lainnya atau Direksi mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut. (2) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, Direksi harus mengumumkan batalnya pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan dalam surat kabar dan memberitahukannya kepada Menteri untuk dicatat dala m daftar Perseroan. (3) Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dan atas nama Dewan Komisaris sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan terhadap kerugian Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dan Pasal 115. Pasal 113 Ketentuan tentang besarnya gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris ditetapkan oleh RUPS. - 30 - Pasal 114 (1) Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1). (2) Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung (3) (4) (5) (6) jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota Dewan Komisaris atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris. Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati- hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan c. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri. Pasal 115 (1) Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi anggota Dewan Komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. (3) Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dapat membuktikan: a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati- hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan d. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan. Pasal 116 Dewan Komisaris wajib: a. membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya; b. melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain; dan c. memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada RUPS. Pasal 117 (1) Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. - 31 (2) Dalam hal anggaran dasar menetapkan persyaratan pemberian persetujuan atau bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanpa persetujuan atau bantuan Dewan Komisaris, perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lainnya dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik. Pasal 118 (1) Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. (2) Dewan Komisaris yang dalam keadaan tertentu unt uk jangka waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap Perseroan dan pihak ketiga. Pasal 119 Ketentuan mengenai pemberhentian anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 mutatis mutandis berlaku bagi pemberhentian anggota Dewan Komisaris. (1) (2) (3) (4) Pasal 120 Anggaran dasar Perseroan dapat mengatur adanya 1 (satu) orang atau lebih Komisaris Independen dan 1 (satu) orang Komisaris Utusan. Komisaris independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat berdasarkan keputusan RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris lainnya. Komisaris utusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan anggota Dewan Komisaris yang ditunjuk berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris. Tugas dan wewenang Komisaris utusan ditetapkan dalam anggaran dasar Perseroan dengan ketentuan tidak bertentangan dengan tugas dan wewenang Dewan Komisaris dan tidak mengurangi tugas pengurusan yang dilakukan Direksi. Pasal 121 (1) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Dewan Komisaris dapat membentuk komite, yang anggotanya seorang atau lebih adalah anggota Dewan Komisaris. (2) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris. BAB VIII PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN Pasal 122 (1) Penggabungan dan Peleburan mengakibatkan Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum. (2) Berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu. (3) Dalam hal berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), a. aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; b. pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan c. Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku. Pasal 123 (1) Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan menyusun rancangan Penggabungan. (2) Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurangkurangnya: - 32 - a. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan; b. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan persyaratan Penggabungan; c. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham Perseroan yang menerima Penggabungan; d. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila ada; e. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan; f. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan; g. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia; h. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri; i. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga. j. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan Perseroan; k. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan; l. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan; m. laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan; n. kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan o. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan. (3) Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masingmasing untuk mendapat persetujuan. (3) Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan selain berlaku ketentuan dalam undang-undang ini, perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. Pasal 124 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 mutatis mutandis berlaku bagi Perseroan yang akan meleburkan diri. Pasal 125 (1) Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan (2) (3) (4) (5) dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham. Pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilalihan saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan tersebut. Dalam hal Pengambilalihan yang dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perseroan, Direksi sebelum melakukan perbuatan hukum pengambilalihan harus berdasarkan keputusan RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. Dalam hal Pengambilalihan dilakukan melalui Direksi, pihak yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk melakukan Pengambilalihan kepada Direksi Perseroan yang akan diambil alih. - 33 (6) Direksi Perseroan yang akan diambil alih dan Perseroan yang akan mengambil alih dengan persetujuan Dewan Komisaris masing- masing menyusun rancangan Pengambilalihan yang memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih; b. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan Direksi Perseroan yang akan diambil alih; c. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a untuk tahun buku terakhir dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih; d. tata cara penilaian dan konversi saham dari Perseroan yang akan diambil alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dilakukan dengan saham; e. jumlah saham yang akan diambil alih; f. kesiapan pendanaan; g. neraca konsolidasi proforma Perseroan yang akan mengambil alih setelah Pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia; h. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Pengambilalihan; i. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan dari Perseroan yang akan diambil alih; j. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada Direksi Perseroan; k. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan hasil Pengambilalihan apabila ada. (7) Dalam hal pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) tidak berlaku. (8) Pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib memperhatikan ketentuan anggaran dasar Perseroan yang diambil alih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak lain. Pasal 126 (1) Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan: a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan; b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. (2) Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62. (3) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses pelaksanaan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisaha n. (1) (2) (3) (4) Pasal 127 Keputusan RUPS mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sah apabila diambil sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89. Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat juga pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat memperoleh rancangan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan di kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan. Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sesuai dengan rancangan tersebut. - 34 (5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kreditor tidak mengajukan keberatan, kreditor dianggap menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan. (6) Dalam hal keberatan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian. (7) Selama penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum tercapai, Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan tidak dapat dilaksanakan. (8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) mutatis mutandis berlaku bagi pengumuman dalam rangka Pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham dalam Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125. Pasal 128 (1) Rancangan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan yang telah disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia. (2) Akta pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham wajib dinyatakan dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. (3) Akta peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pembuatan akta pendirian Perseroan hasil Peleburan. Pasal 129 (1) Salinan akta Penggabungan Perseroan dilampirkan pada: a. pengajuan permohonan untuk mendapatkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); atau b. penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3). (2) Dalam hal Penggabungan Perseroan tidak disertai perubahan anggaran dasar, salinan akta Penggabungan harus disampaikan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan. Pasal 130 Salinan akta Peleburan dilampirkan pada pengajuan permohonan untuk mendapatkan keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan hasil Peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4). Pasal 131 (1) Salinan akta Pengambilalihan Perseroan wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3). (2) Dalam hal Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung dari pemegang saham, salinan akta pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan susunan pemegang saham. Pasal 132 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 berlaku juga bagi Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan. Pasal 133 (1) Direksi Perseroan yang menerima Penggabungan atau Direksi Perseroan hasil Peleburan wajib mengumumkan hasil Penggabungan atau Peleburan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya Penggabungan atau Peleburan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap Direksi dari Perseroan yang sahamnya diambil alih. - 35 - Pasal 134 Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan Perseroan diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 135 (1) Pemisahan dapat dilakukan dengan cara: a. Pemisahan murni; atau b. Pemisahan tidak murni. (2) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan pemisahan usaha tersebut berakhir karena hukum. (3) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada. Pasal 136 Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 137 Dalam hal peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak mengatur lain, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Bab VIII berlaku juga bagi Perseroan Terbuka. BAB IX PEMERIKSAAN TERHADAP PERSEROAN (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pasal 138 Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa: a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh: a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara; b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang- undangan, anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau c. kejaksaan untuk kepentingan umum. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan setelah pemohon terlebih dahulu meminta data atau keterangan kepada Perseroan dalam RUPS dan Perseroan tidak memberikan data atau keterangan tersebut. Permohonan untuk mendapatkan data atau keterangan tentang Perseroan atau permohonan pemeriksaan untuk mendapatkan data atau keterangan tersebut harus didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) huruf a, dan ayat (4) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal menentukan lain. Pasal 139 (1) Ketua pengadilan negeri dapat menolak atau mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138. - 36 (2) Ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak permohonan apabila (3) (4) (5) (6) (7) permohonan tersebut tidak didasarkan atas alasan yang wajar dan/atau tidak dilakukan dengan itikad baik. Dalam hal permohonan dikabulkan, ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan yang diperlukan. Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, konsultan, dan akuntan publik yang telah ditunjuk oleh Perseroan tidak dapat diangkat sebagai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memeriksa semua dokumen dan kekayaan Perseroan yang dianggap perlu oleh ahli tersebut untuk diketahui. Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan semua karyawan Perseroan wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan. Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib merahasiakan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Pasal 140 (1) Laporan hasil pemeriksaan disampaikan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 kepada ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam penetapan pengadilan untuk pemeriksaan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal pengangkatan ahli tersebut. (2) Ketua pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan kepada pemohon dan Perseroan yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima. Pasal 141 (1) Dalam hal permohonan untuk melakukan pemeriksaan dikabulkan, ketua pengadilan negeri menentukan jumlah maksimum biaya pemeriksaan. (2) Biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh Perseroan. (3) Ketua pengadilan negeri atas permohonan Perseroan dapat membebankan penggantian seluruh atau sebagian biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemohon, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris. BAB X PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN BERAKHIRNYA STATUS BADAN HUKUM PERSEROAN Pasal 142 (1) Pembubaran Perseroan terjadi: a. b. c. d. berdasarkan keputusan RUPS; karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; berdasarkan penetapan pengadilan; dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan b. Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi. (3) Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan - 37 - berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator. (4) Dalam hal pembubaran Perseroan terjadi dengan dicabutnya kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pengadilan niaga sekaligus memutuskan pemberhentian kurator dengan memperhatikan ketentuan dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. (5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilanggar, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng. (6) Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi mutatis mutandis berlaku bagi likuidator. Pasal 143 (1) Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. (2) Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan. Pasal 144 (1) Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS. (2) Keputusan RUPS tentang pembubaran Perseroan sah apabila diambil sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89. (3) Pembubaran Perseroan dimulai sejak saat yang ditetapkan dalam keputusan RUPS. Pasal 145 (1) Pembubaran Perseroan terjadi karena hukum apabila jangka waktu berdirinya Perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir. (2) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah jangka waktu berdirinya Perseroan berakhir RUPS menetapkan penunjukan likuidator. (3) Direksi tidak boleh melakukan perbuatan hukum baru atas nama Perseroan setelah jangka waktu berdirinya Perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir. Pasal 146 (1) Pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan atas: a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan; b. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian; c. permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan. (2) Dalam penetapan pengadilan ditetapkan juga penunjukan likuidator. Pasal 147 (1) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan: a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan b. pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi. (2) Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat: a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya; b. nama dan alamat likuidator; - 38 - c. tata cara pengajuan tagihan; dan d. jangka waktu pengajuan tagihan. (3) Jangka waktu pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pemberitahuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilengkapi dengan bukti: a. dasar hukum pembubaran Perseroan; dan b. pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Pasal 148 (1) Dalam hal pemberitahuan kepada kreditor dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 belum dilakukan, pembubaran Perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga. (2) Dalam hal likuidator lalai melakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), likuidator secara tanggung renteng dengan Perseroan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga. Pasal 149 (1) Kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi meliputi pelaksanaan: a. pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan; b. pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi; c. pembayaran kepada para kreditor; d. pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan e. tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan. (2) Dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang Perseroan lebih besar daripada kekayaan Perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain, dan semua kreditor yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan. (3) Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Dalam hal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak oleh likuidator, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. Pasal 150 (1) Kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu sebaga imana dimaksud (2) (3) (4) (5) dalam Pasal 147 ayat (3), dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. Kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1). Tagihan yang diajukan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam hal terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang diperuntukkan bagi pemegang saham. Dalam hal sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan kepada pemegang saham dan terdapat tagihan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengadilan negeri memerintahkan likuidator untuk menarik kembali sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham. Pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara proporsional dengan jumlah yang diterima terhadap jumlah tagihan. - 39 - Pasal 151 (1) Dalam hal likuidator tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149, atas permohonan pihak yang berkepentingan atau atas permohonan kejaksaan, ketua pengadilan negeri dapat mengangkat likuidator baru dan memberhentikan likuidator lama. (2) Pemberhentian likuidator sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah yang bersangkutan dipanggil untuk didengar keterangannya. Pasal 152 (1) Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya atas (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) likuidasi Perseroan yang dilakukan. Kurator bertanggung jawab kepada hakim pengawas atas likuidasi Perseroan yang dilakukan. Likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam surat kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku juga bagi kurator yang pertanggungjawabannya telah diterima oleh hakim pengawas. Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dari daftar Perseroan, setelah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dipenuhi. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku juga bagi berakhirnya status badan hukum Perseroan karena Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan. Pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pertanggungjawaban likuidator atau kurator diterima oleh RUPS, pengadilan atau hakim pengawas. Menteri mengumumkan berakhirnya status badan hukum Perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia. BAB XI BIAYA Pasal 153 Ketentuan mengenai biaya untuk: a. memperoleh persetujuan pemakaian nama Perseroan; b. memperoleh keputusan pengesahan badan hukum Perseroan; c. memperoleh keputusan persetujuan perubahan anggaran dasar; d. memperoleh informasi tentang data Perseroan dalam daftar Perseroan; e. pengumuman yang diwajibkan dalam undang-undang ini dalam Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; dan f. memperoleh salinan keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan atau persetujuan perubahan anggaran dasar Perseroan diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 154 (1) Bagi Perseroan Terbuka berlaku ketentuan undang-undang ini jika tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (2) Peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal yang mengecualikan ketentuan undang-undang ini tidak boleh bertentangan dengan asas hukum Perseroan dalam undangundang ini. - 40 - Pasal 155 Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang- undang tentang Hukum Pidana. (1) (2) (3) (4) Pasal 156 Dalam rangka pelaksanaan dan perkembangan undang-undang ini dibentuk tim ahli pemantauan hukum Perseroan. Keanggotaan tim sebaga imana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur: a. pemerintah; b. pakar/akademisi; c. profesi; dan d. dunia usaha. Tim ahli berwenang mengkaji akta pendirian dan perubahan anggaran dasar yang diperoleh atas inisiatif sendiri dari tim atau atas permintaan pihak yang berkepentingan, serta memberikan pendapat atas hasil kajian tersebut kepada Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja tim ahli diatur dengan peraturan menteri. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 157 (1) Anggaran dasar dari Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum dan perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dilaporkan kepada Menteri dan didaftarkan dalam daftar perusahaan sebelum undang- undang ini berlaku tetap berlaku jika tidak bertentangan dengan undang- undang ini. (2) Anggaran dasar dari Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum atau anggaran dasar yang perubahannya belum disetujui atau dilaporkan kepada Menteri pada saat undangundang ini mulai berlaku, wajib disesuaikan dengan undang-undang ini. (3) Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum berdasarkan peraturan perundangundangan, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya undang- undang ini wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini. (4) Perseroan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan negeri atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Pasal 158 Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 159 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang- undang ini. Pasal 160 Pada saat undang- undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 41 - Pasal 161 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 106 - 42 - PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS I. UMUM Pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pembangunan perkonomian nasional perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Selama ini perseroan terbatas telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang menggantikan peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman kolonial. Namun, dalam perkembangannya ketentuan dalam undang-undang tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Di samping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) menuntut penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Dalam undang-undang ini telah diakomodasi berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik berupa penambahan ketentuan baru, perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan. Untuk lebih memperjelas hakikat Perseroan, di dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh layanan yang cepat, undang-undang ini mengatur tata cara: 1. pengajuan permohonan dan pemberian pengesahan status badan hukum; 2. pengajuan permohonan dan pemberian persetujuan perubahan anggaran dasar; 3. penyampaian pemberitahuan dan penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dan/atau pemberitahuan dan penerimaan pemberitahuan perubahan data lainnya, yang dilakukan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik di samping tetap dimungkinkan menggunakan sistem manual dalam keadaan tertentu. Berkenaan dengan permohonan pengesahan badan hukum Perseroan, ditegaskan bahwa permohonan tersebut merupakan wewenang pendiri bersama-sama yang dapat dilaksanakan sendiri atau dikuasakan kepada notaris.Akta pendirian Perseroan yang telah disahkan dan akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui dan/atau diberitahukan kepada Menteri dicatat dalam daftar Perseroan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Menteri. Dalam hal pemberian status badan hukum, persetujuan dan/atau penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar, dan perubahan data lainnya, undang-undang ini tidak dikaitkan dengan undang- undang tentang Wajib Daftar Perusahaan. Untuk lebih memperjelas dan mempertegas ketentuan yang menyangkut Organ Perseroan, dalam undang-undang ini dilakukan perubahan atas ketentuan yang menyangkut penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Dengan demikian, penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan melalui media elektronik seperti telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya. - 43 - Undang-undang ini juga memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris. Undang-undang ini mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris utusan. Sesuai dengan berkembangnya kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, undang-undang ini mewajibkan Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris juga mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Tugas Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam undang- undang ini ketentuan mengenai struktur modal Perseroan tetap sama, yaitu terdiri atas modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Namun, modal dasar Perseroan diubah menjadi paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), sedangkan kewajiban penyetoran atas modal yang ditempatkan harus penuh. Mengenai pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh Perseroan pada prinsipnya tetap dapat dilakukan dengan syarat batas waktu Perseroan menguasai saham yang telah dibeli kembali paling lama 3 (tiga) tahun. Khusus tentang penggunaan laba, Undang-Undang ini menegaskan bahwa Perseroan dapat membagi laba dan menyisihkan cadangan wajib apabila Perseroan mempunyai saldo laba positif. Dalam undang- undang ini diatur mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi Perseroan itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, maka ditentukan bahwa Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Untuk melaksanakan kewajiban Perseroan tersebut, kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kegiatan tersebut dimuat dalam laporan tahunan Perseroan. Dalam hal Perseroan tidak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan maka Perseroan yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-undang ini mempertegas ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum Perseroan dengan memperhatikan ketentuan dalam undangundang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam rangka pelaksanaan dan perkembangan undang-undang ini dibentuk tim ahli pemantauan hukum perseroan yang tugasnya memberikan masukan kepada Menteri berkenaan dengan Perseroan. Untuk menjamin kredibilitas tim ahli, keanggotaan tim ahli tersebut terdiri atas berbagai unsur baik dari pemerintah, pakar/akademisi, profesi, dan dunia usaha. Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek Perseroan, maka undang-undang ini diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini mempertegas ciri Perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Ayat (2) Dalam hal- hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas tersebut apabila terbukti terjadi hal-hal yang disebutkan dalam ayat ini. Tanggung jawab pemegang saham sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya kemungkinan hapus apabila terbukti, antara lain terjadi pencampuran harta kekayaan pribadi - 44 - pemegang saham dan harta kekayaan Perseroan sehingga Perseroan didirikan semata- mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf d. Pasal 4 Berlakunya undang- undang ini, anggaran dasar Perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain, tidak mengurangi kewajiban setiap Perseroan untuk menaati asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan, dan prinsip tata kelola Perseroan yang baik (good corporate governance) dalam menjalankan Perseroan. Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya” adalah semua peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya Perseroan, termasuk peraturan pelaksanaannya, antara lain peraturan perbankan, peraturan perasuransian, peraturan lembaga keuangan. Dalam hal terdapat pertentangan antara anggaran dasar dan undang- undang ini yang berlaku adalah undang-undang ini. Pasal 5 Tempat kedudukan Perseroan sekaligus merupakan kantor pusat Perseroan. Perseroan wajib mempunyai alamat sesuai dengan tempat kedudukannya yang harus disebutkan, antara lain dalam surat- menyurat dan melalui alamat tersebut Perseroan dapat dihubungi. Pasal 6 Apabila Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas, lamanya jangka waktu tersebut harus disebutkan secara tegas, misalnya untuk waktu 10 (sepuluh) tahun, 20 (dua puluh) tahun, 35 (tiga puluh lima) tahun, dan seterusnya. Demikian juga apabila Perseroan didirikan untuk jangka waktu tidak terbatas harus disebutkan secara tegas dalam anggaran dasar. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing. Ketentuan dalam ayat ini menegaskan prinsip yang berlaku berdasarkan undang-undang ini bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang saham. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal Peleburan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan yang meleburkan diri masuk menjadi modal Perseroan hasil Peleburan dan pendiri tidak mengambil bagian saham sehingga pendiri dari Perseroan hasil Peleburan adalah Perseroan yang meleburkan diri dan nama pemegang saham dari Perseroan hasil Peleburan adalah nama pemegang saham dari Perseroan yang meleburkan diri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Perikatan dan kerugian Perseroan yang menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham adalah perikatan dan kerugian yang terjadi setelah lewat waktu 6 (enam) bulan tersebut. Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan” adalah kejaksaan untuk kepentingan umum, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, kreditor, dan/atau pemangku kepentingan (stake holder) lainnya. Ayat (7) Karena status dan karakteristik yang khusus, persyaratan jumlah pendiri bagi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Huruf a Yang dimaksud dengan “persero” adalah badan usaha milik negara yang berbentuk Perseroan yang modalnya terbagi dalam saham yang diatur dalam undang-undang tentang badan usaha milik negara. Huruf b Cukup jelas. - 45 - Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam mendirikan Perseroan diperlukan kejelasan mengenai kewarganegaraan pendiri. Pada dasarnya badan hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan didirikan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, kepada warga negara asing atau badan hukum asing diberikan kesempatan untuk mendirikan badan hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan sepanjang undang- undang yang mengatur bidang usaha Perseroan tersebut memungkinkan, atau pendirian Perseroan tersebut diatur dengan undang-undang tersendiri.Dalam hal pendiri adalah badan hukum asing, nomor dan tanggal pengesahan badan hukum pendiri adalah dokumen yang sejenis dengan itu, antara lain certificate of incorporation. Dalam hal pendiri adalah badan hukum negara atau daerah, diperlukan peraturan pemerintah tentang penyertaan dalam Perseroan atau peraturan daerah tentang penyertaan daerah dalam Perseroan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “mengambil bagian saham” adalah jumlah saham yang diambil oleh pemegang saham pada saat pendirian Perseroan. Apabila ada penyetoran yang melebihi nilai nominal sehingga menimbulkan selisih antara nilai yang sebenarnya dibayar dengan nilai nominal, selisih tersebut dicatat dalam laporan keuangan sebagai agio. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum” adalah jenis pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dalam proses pengesahan badan hukum Perseroan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “langsung” dalam ketentuan ini adalah pada saat yang bersamaan dengan saat pengajuan permohonan diterima. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “tanda tangan secara elektronik” adalah tanda tangan yang dilekatkan atau disertakan pada data elektronik oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan keotentikan data yang berupa gambar elektronik dari tanda tangan pejabat yang berwenang tersebut yang dibuat melalui media komputer. Ayat (7) Lihat penjelasan ayat (3). Ayat (8) - 46 - Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak dikenakan biaya tambahan. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Dalam ketentuan ini “perbuatan hukum” yang dimaksud, antara lain perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri dengan pihak lain yang akan diperhitungkan dengan kepemilikan dan penyetoran saham calon pendiri dalam Perseroan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dilekatkan” adalah penyatuan dokumen yang dilakukan dengan cara melekatkan atau menjahitkan dokumen tersebut sebagai satu kesatuan dengan akta pendirian. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Ketentuan ini mengatur tata cara yang harus ditempuh untuk mengalihkan kepada Perseroan hak dan/atau kewajiban yang timbul dari perbuatan calon pendiri yang dibuat sebelum Perseroan didirikan melalui penerimaan secara tegas atau pengambilalihan hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perbuatan hukum atas nama Perseroan” adalah perbuatan hukum, baik yang menyebutkan Perseroan sebagai pihak dalam perbuatan hukum maupun menyebutkan Perseroan sebagai pihak yang berkepentingan dalam perbuatan hukum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa anggota Direksi tidak dapat melakukan perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, tanpa persetujuan semua pendiri, anggota Direksi lainnya dan anggota Dewan Komisaris. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan” adalah tanggung jawab pendiri yang melakukan perbuatan tersebut secara pribadi dan Perseroan tidak bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan pendiri tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “dihadiri” adalah dihadiri sendiri ataupun diwakilkan berdasarkan surat kuasa. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 - 47 - Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “tata cara pengangkatan” adalah termasuk prosedur pemilihan, antara lain pemilihan secara lisan atau dengan surat tertutup dan pemilihan calon secara perseorangan atau paket. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal tidak ada tulisan singkatan “Tbk”, berarti Perseroan itu berstatus tertutup. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Ketentuan pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan Perseroan mempunyai tempat kedudukan di desa atau di kecamatan sepanjang anggaran dasar mencantumkan nama kota atau kabupaten dari desa dan kecamatan tersebut. Contoh: PT A bertempat kedudukan di desa Bojongsari, Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Maksud dan tujuan me rupakan usaha pokok Perseroan. Kegiatan usaha merupakan kegiatan yang dijalankan oleh Perseroan dalam rangka mencapai maksud dan tujuannya, yang harus dirinci secara jelas dalam anggaran dasar, dan rincian tersebut tidak boleh bertentangan dengan anggaran dasar. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) - 48 - Persetujuan kurator dilaksanakan sebelum pengambilan keputusan perubahan anggaran dasar. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan adanya penolakan oleh kurator sehingga berakibat keputusan perubahan anggaran dasar menjadi batal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Perubahan anggaran dasar dari status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya meliputi perubahan seluruh ketentuan anggaran dasar sehingga persetujuan menteri diberikan atas perubahan seluruh anggaran dasar tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “harus dinyatakan dengan akta notaris” adalah harus dalam bentuk akta pernyataan keputusan rapat atau akta perubahan anggaran dasar. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Dalam hal permohonan tetap diajukan, Menteri wajib menolak permohonan atau pemberitahuan tersebut. Pasal 22 Ayat (1) Ketentuan pada ayat ini tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (7). Contoh: Perseroan didirikan untuk 50 (lima puluh) tahun dan akan berakhir pada tanggal 15 November 2007 sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) apabila jangka waktu berdirinya Perseroan akan diperpanjang, permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar mengenai perpanjangan jangka waktu tersebut harus sudah diajukan kepada Menteri paling lambat tanggal 15 September 2007. Dalam hal RUPS telah mengambil keputusan untuk memperpanjang jangka waktu tersebut pada tanggal 1 Agustus 2007 dan telah dinyatakan dalam akta Notaris pada tanggal 7 Agustus 2007, pengajua n permohonan kepada Menteri harus diajukan paling lambat 7 September 2007. Dalam hal RUPS untuk perpanjangan jangka waktu tersebut diadakan pada tanggal 20 Agustus 2007, perpanjangan jangka waktu tersebut harus dinyatakan dalam akta Notaris dan - 49 - diajukan permohonannya kepada Menteri paling lambat pada tanggal 15 September 2007 sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “undang-undang ini menentukan lain” adalah, antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 undang-undang ini yang mengatur adanya persyaratan yang harus dipenuhi sebelum berlakunya keputusan menteri atau adanya tanggal kemudian yang ditetapkan dalam keputusan menteri, yang memuat syarat tunda yang harus dipenuhi lebih dahulu atau tanggal kemudian. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tanggal kemudian yang ditetapkan” adalah tanggal setelah tanggal persetujuan Menteri. Huruf c Yang dimaksud dengan “tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan atau akta Pengambilalihan” adalah tanggal yang telah disepakati oleh para pihak dan merupakan tanggal setelah tanggal penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar oleh Menteri. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “perubahan data Perseroan” adalah antara lain data tentang pemindahan hak atas saham, penggantian anggota Direksi dan Dewan Komisaris, pembubaran Perseroan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. - 50 - Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha tertentu”, antara lain usaha perbankan, asuransi, atau freight forwarding. Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan keadaan perekonomian. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “bukti penyetoran yang sah”, antara lain bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama Perseroan, data dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau neraca Perseroan yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris. Ayat (3) Ketentuan ini menegaskan bahwa tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara mengangsur. Pasal 34 Ayat (1) Pada umumnya penyetoran saham adalah dalam bentuk uang. Namun, tidak ditutup kemungkinan penyetoran saham dalam bentuk lain, baik berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud, yang dapat dinilai dengan uang dan yang secara nyata telah diterima oleh Perseroan.Penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang harus disertai rincian yang menerangkan nilai atau harga, jenis atau macam, status, tempat kedudukan, dan lain- lain yang dianggap perlu demi kejelasan mengenai penyetoran tersebut. Ayat (2) Nilai wajar setoran modal saham ditentukan sesuai dengan nilai pasar. Jika nilai pasar tidak tersedia, nilai wajar dit entukan berdasarkan teknik penilaian yang paling sesuai dengan karakteristik setoran, berdasarkan informasi yang relevan dan terbaik. Yang dimaksud dengan “ahli yang tidak terafiliasi” adalah ahli yang tidak mempunyai: a. hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal dengan pegawai, anggota Direksi, Dewan Komisaris, atau pemegang saham dari Perseroan; b. hubungan dengan Perseroan karena adanya kesamaan satu atau lebih anggota Direksi atau Dewan Komisaris; c. hubungan pengendalian dengan Perseroan baik langsung maupun tidak langsung; dan/atau d. saham dalam Perseroan sebesar 20% (dua puluh persen) atau lebih. Ayat (3) Maksud diumumkannya penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak dalam Surat Kabar, adalah agar diketahui umum dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk dapat mengajukan keberatan atas penyerahan benda tersebut sebagai setoran modal saham, misalnya ternyata diketahui benda tersebut bukan milik penyetor. Pasal 35 Ayat (1) Diperlukannya persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah untuk menegaskan bahwa hanya dengan persetujuan RUPS dapat dilakukan kompensasi karena dengan disetujuinya kompensasi, hak didahulukan pemegang saham lainnya untuk mengambil saham baru dengan sendirinya dilepaskan. Ayat (2) Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, bunga dan denda yang terutang sekalipun telah jatuh waktu dan harus dibayar karena secara nyata tidak diterima oleh Perseroan, tidak dapat dikompensasikan sebagai setoran saham. Huruf a Cukup jelas. - 51 - Huruf b Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pihak yang menjadi penanggung atau penjamin utang Perseroan telah membayar lunas utang Perseroan sehingga mempunyai hak tagih terhadap Perseroan. Huruf c Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah kewajiban pembayaran utang oleh Perseroan dalam kedudukannya sebagai penanggung atau penjamin menjadi hapus hak tagih kreditor dikompensasi dengan setoran saham yang dikeluarkan oleh Perseroan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Pada prinsipnya, pengeluaran saham adalah suatu upaya pengumpulan modal, maka kewajiban penyetoran atas saham seharusnya dibebankan kepada pihak lain. Demi kepastian, Pasal ini menentukan bahwa Perseroan tidak boleh mengeluarkan saham untuk dimiliki sendiri. Larangan tersebut termasuk juga larangan kepemilikan silang (cross holding) yang terjadi apabila Perseroan memiliki saham yang dikeluarkan oleh Perseroan lain yang memiliki saham Perseroan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengertian kepemilikan silang secara langsung adalah apabila Perseroan pertama memiliki saham pada Perseroan kedua tanpa melalui kepemilikan pada satu “Perseroan antara” atau lebih dan sebaliknya Perseroan kedua memiliki saham pada Perseroan pertama. Pengertian kepemilikan silang secara tidak langsung adalah kepemilikan Perseroan pertama atas saham pada Perseroan kedua melalui kepemilikan pada satu “Perseroan antara” atau lebih dan sebaliknya Perseroan kedua memiliki saham pada Perseroan pertama. Ayat (2) Kepemilikan saham yang mengakibatkan pemilikan saham oleh Perseroan sendiri atau pemilikan saham secara kepemilikan silang tidak dilarang jika pemilikan saham tersebut diperoleh berdasarkan peralihan karena hukum, hibah, atau hibah wasiat oleh karena dalam hal ini tidak ada pengeluaran saham yang memerlukan setoran dana dari pihak lain sehingga tidak melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “perusahaan efek” adalah sebagaimana dimaksud dalam undangundang tentang Pasar Modal. Pasal 37 Ayat (1) Pembelian kembali saham Perseroan tidak menyebabkan pengurangan modal, kecuali apabila saham tersebut ditarik kembali. Huruf a Yang dimaksud dengan “kekayaan bersih” adalah seluruh harta kekayaan Perseroan dikurangi seluruh kewajiban Perseroan sesuai dengan laporan keuangan terbaru yang disahkan oleh RUPS dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan jangka waktu 3 (tiga) tahun pada ayat ini dimaksudkan agar Perseroan dapat menentukan apakah saham tersebut akan dijual atau ditarik kembali dengan cara pengurangan modal. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 - 52 - Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelaksanaan” adalah penentuan tentang saat, cara pembelian kembali saham, dan jumlah saham yang akan dibeli kembali, tetapi tidak termasuk hal- hal yang menjadi tugas Direksi dalam pembelian kembali saham, seperti melakukan pembayaran, menyimpan surat saham, dan mencatatkan dalam daftar pemegang saham. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “modal Perseroan“ adalah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pelaksanaan” pada ayat ini adalah penentuan saat, cara, dan jumlah penambahan modal yang tidak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan oleh RUPS, tetapi tidak termasuk hal-hal yang menjadi tugas Direksi dalam penambahan modal, seperti menerima setoran saham dan mencatatnya dalam daftar pemegang saham. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “jumlah saham dengan hak suara” adalah jumlah seluruh saham dengan hak suara yang telah dikeluarkan oleh Perseroan. Yang dimaksud dengan “kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar” adalah kuorum yang ditetapkan dalam anggaran dasar lebih tinggi daripada kuorum yang ditentukan pada ayat ini. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “saham yang ditujukan kepada karyawan Perseroan”, antara lain saham yang dikeluarkan dalam rangka ESOP (employee stocks option program) Perseroan dengan segenap hak dan kewajiban yang melekat padanya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “reorganisasi dan/atau restrukturisasi”, antara lain Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, kompensasi piutang, atau Pemisahan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “jangka waktu 14 (empat belas) hari” termasuk batas waktu bagi pemegang saham untuk mengambil bagian dari pemegang saham lain yang tidak menggunakan haknya. Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengurangan modal” adalah pengurangan modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Pengurangan modal ditempatkan dan modal disetor dapat - 53 - terjadi dengan cara menarik kembali saham yang telah dikeluarkan untuk dihapus atau dengan cara menurunkan nilai nominal saham. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) “Penarikan kembali saham” berarti saham tersebut ditarik dari peredaran dalam rangka pengurangan modal ditempatkan dan modal disetor. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penarikan kembali saham” adalah penarikan kembali saham yang mengakibatkan penghapusan saham tersebut dari peredaran. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama pemiliknya dan Perseroan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah instansi yang berdasarkan undangundang berwenang mengawasi Perseroan yang melakukan kegiatan usahanya di bidang tertentu, misalnya Bank Indonesia berwenang mengawasi Perseroan di bidang perbankan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral berwenang mengawasi Perseroan di bidang energi dan pertambangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham”, misalnya hak untuk dicatat dalam daftar pemegang saham, hak untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS, atau hak untuk menerima dividen yang dibagikan. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “jumlah yang disetor” adalah paling sedikit sama dengan jumlah nilai nominal saham. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “daftar khusus” adalah salah satu sumber informasi mengenai besarnya kepemilikan dan kepentingan anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan pada Perseroan yang bersangkutan atau Perseroan lain sehingga pertentangan kepentingan yang mungkin timbul dapat ditekan sekecil mungkin. Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah istri atau suami dan anak-anaknya. Ayat (3) - 54 - Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan ”tidak mengatur lain“ adalah bukan berarti tidak diadakan kewajiban untuk menyusun daftar pemegang saham dan daftar khusus bagi Perseroan Terbuka, tetapi peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dapat menentukan kriteria data yang harus dimasukkan dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus. Pasal 51 Pengaturan bentuk bukti pemilikan saham ditetapkan dalam anggaran dasar sesuai dengan kebutuhan. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Berdasarkan ketentuan ini, para pemegang saham tidak diperkenankan membagi-bagi hak atas 1 (satu) saham menurut kehendaknya sendiri. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “klasifikasi saham” adalah pengelompokan saham berdasarkan karakteristik yang sama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan“saham biasa“ adalah saham yang mempunyai hak suara untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai segala hal yang berkaitan dengan pengurusan Perseroan, mempunyai hak untuk menerima dividen yang dibagikan, dan menerima sisa kekayaan hasil likuidasi. Hak suara yang dimiliki oleh pemegang saham biasa dapat dimiliki juga oleh pemegang saham klasifikasi lain. Ayat (4) Bermacam- macam klasifikasi saham tidak selalu menunjukkan bahwa klasifikasi tersebut masing- masing berdiri sendiri, terpisah satu sama lain, tetapi dapat merupakan gabungan dari 2 (dua) klasifikasi atau lebih. Pasal 54 Ayat (1) Pecahan saham hanya dimungkinkan apabila diatur dalam anggaran dasar. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “akta”, baik berupa akta yang dibuat di hadapan notaris maupun akta bawah tangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) - 55 - Yang dimaksud dengan “memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri” adalah termasuk juga perubahan susunan pemegang saham yang disebabkan karena warisan, Pengambilalihan, atau Pemisahan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “peralihan hak karena hukum”, antara lain peralihan hak karena kewarisan atau peralihan hak sebagai akibat Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan. Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “hanya berlaku 1 (satu) kali” adalah anggaran dasar Perseroan tidak boleh menentukan menawarkan sahamnya lebih dari 1 (satu) kali sebelum menawarkan kepada pihak ketiga. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan kepada pemiliknya. Hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan agar Perseroan atau pihak lain yang berkepentingan dapat mengetahui mengenai status saham tersebut. Ayat (4) Ketentuan ini menegaskan kembali asas hukum yang tidak memungkinkan penga lihan hak suara terlepas dari kepemilikan atas saham. Sedangkan hak lain di luar hak suara dapat diperjanjikan sesuai dengan kesepakatan di antara pemegang saham dan pemegang agunan. Pasal 61 Ayat (1) Gugatan yang diajukan pada dasarnya memuat permohonan agar Perseroan menghentikan tindakan yang merugikan tersebut dan mengambil langkah tertentu baik untuk mengatasi akibat yang sudah timbul maupun untuk mencegah tindakan serupa di kemudian hari. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kekayaan bersih” adalah kekayaan bersih menurut neraca terbaru yang disahkan dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. - 56 - Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang- undangan menentukan lain bahwa persetujuan atas rencana kerja diberikan oleh RUPS, maka anggaran dasar tidak dapat menentukan rencana kerja disetujui oleh Dewan Komisaris atau sebaliknya. Demikian juga, apabila peraturan perundangundangan menentukan bahwa rencana kerja harus mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris atau RUPS, maka anggaran dasar tidak dapat menentukan bahwa rencana kerja cukup disampaikan oleh Direksi kepada Dewan Komisaris atau RUPS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “laporan kegiatan Perseroan” adalah termasuk laporan tentang hasil atau kine rja Perseroan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “rincian masalah” adalah termasuk sengketa atau perkara yang melibatkan Perseroan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “standar akuntansi keuangan“ adalah standar yang ditetapkan oleh Organisasi Profesi Akuntan Indonesia yang diakui Pemerintah Republik Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penandatanganan laporan tahunan” adalah bentuk pertanggungjawaban anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugasnya. Dalam hal laporan keuangan Perseroan diwajibkan diaudit oleh akuntan publik, laporan tahunan yang dimaksud adalah laporan tahunan yang memuat laporan keuangan yang telah diaudit. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “alasan secara tertulis” adalah agar RUPS dapat menggunakannya sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam memberikan penilaian terhadap laporan tersebut. Anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang tidak memberikan alasan, antara lain karena yang bersangkutan telah meninggal dunia, alasan tersebut dinyatakan oleh Direksi dalam surat tersendiri yang dilekatkan pada laporan tahunan. Ayat (3) Cukup jelas. - 57 - Pasal 68 Ayat (1) Kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan kepada akuntan publik untuk diaudit timbul dari sifat Perseroan yang bersangkutan. Kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan kepada pengawasan ekstern dibenarkan dengan asumsi bahwa kepercayaan masyarakat tidak boleh dikecewakan. Demikian juga halnya dengan Perseroan yang untuk pembiayaannya mengharapkan dana dari pasar modal. Huruf a Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha Perseroan yang menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat“, antara lain bank, asuransi, reksa dana. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat pengakuan utang“, antara lain obligasi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Lihat penjelasan Pasal 7 ayat (7) huruf a. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Maksud pengumuman tersebut adalah dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan kepada masyarakat. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Laporan keuangan yang dihasilkan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari aktiva, kewajiban, modal, dan hasil usaha dari Perseroan. Direksi dan Dewan Komisaris mempunyai tanggung jawab penuh akan kebenaran isi laporan keuangan Perseroan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah keuntungan tahun berjalan setelah dikurangi pajak. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “saldo laba yang positif” adalah laba bersih Perseroan dalam tahun buku berjalan yang telah menutup akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku sebelumnya. Ayat (3) Perseroan membentuk cadangan wajib dan cadangan lainnya. Cadangan yang dimaksud pada ayat (1) adalah cadangan wajib. Cadangan wajib adalah jumlah tertentu yang wajib disisihkan oleh Perseroan setiap tahun buku yang digunakan untuk menutup kemungkinan kerugian Perseroan pada masa yang akan datang. - 58 - Cadangan wajib tidak harus selalu berbentuk uang tunai, tetapi dapat berbentuk aset lainnya yang mudah dicairkan dan tidak dapat dibagikan sebagai dividen. Sedangkan yang dimaksud dengan “cadangan lainnya” adalah cadangan di luar cadangan wajib yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan Perseroan, misalnya untuk perluasan usaha, untuk pembagian dividen, untuk tujuan sosial, dan lain sebagainya. Ketentuan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor dinilai sebagai jumlah yang layak untuk cadangan wajib. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Keputusan RUPS pada ayat ini harus memperhatikan kepentingan Perseroan dan kewajaran. Berdasarkan keputusan RUPS tersebut dapat ditetapkan sebagian atau seluruh laba bersih digunakan untuk pembagian dividen kepada pemegang saham, cadangan, dan/atau pembagian lain seperti tansiem (tantieme) untuk anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta bonus untuk karyawan. Pemberian tansiem dan bonus yang dikaitkan dengan kinerja Perseroan telah dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”seluruh laba bersih” adalah seluruh jumlah laba bersih dari tahun buku yang bersangkutan setelah dikurangi akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku sebelumnya. Ayat (3) Dalam hal laba bersih Perseroan dalam tahun buku berjalan belum seluruhnya menutup akumulasi kerugian Perseroan dari tahun buku sebelumnya, Perseroan tidak dapat membagikan dividen karena Perseroan masih mempunyai saldo laba bersih negatif. Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh dividen interim yang harus dikembalikan adalah sebagai berikut. Dividen interim yang telah dibagikan sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) per saham. Perseroan menderita kerugian dan tidak mempunyai saldo laba positif sehingga tidak ada dividen yang dibagikan. Oleh karena itu, yang harus dikembalikan adalah Rp1.000,00 (seribu rupiah) per saham. Seandainya Perseroan menderita kerugian, tetapi Perseroan mempunyai laba ditahan (retained earning) dan saldo laba positif hingga, misalnya RUPS menetapkan dividen sebesar Rp200,00 (dua ratus rupiah) per saham. Oleh karena, itu saham yang harus dikembalikan adalah Rp1000,00 (seribu rupiah) dikurangi Rp200,00 (dua ratus rupiah) berarti Rp800,00 (delapan ratus rupiah). Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengambilan dividen yang dimaksud adalah jumlah nominal dividen tidak termasuk bunga. Ayat (3) Jumlah dividen yang tidak diambil dan menjadi hak Perseroan dibukukan dalam pos pendapatan lain- lain dari Perseroan. Pasal 74 - 59 - Ayat (1) Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang terkait. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan berkenaan dengan hak pemegang saham untuk memperoleh keterangan berkaitan dengan mata acara rapat dengan tidak mengurangi hak pemegang saham untuk mendapatkan keterangan lainnya berkaitan dengan hak pemegang saham yang diatur dalam undang-undang ini, antara lain hak pemegang saha m untuk melihat daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4), serta hak pemegang saham untuk mendapatkan bahan-bahan rapat segera setelah panggilan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)” adalah RUPS harus diadakan di wilayah negara Republik Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “disetujui dan ditandatangani” adalah disetujui dan ditandatangani secara fisik atau secara elektronik. Pasal 78 Ayat (1) - 60 - Yang dimaksud dengan “RUPS lainnya” dalam praktik sering dikenal sebagai RUPS luar biasa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “alasan yang menjadi dasar permintaan diadakan RUPS”, antara lain karena Direksi tidak mengadakan RUPS tahunan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan atau masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris akan berakhir. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “penetapan pengadilan mengenai kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS” adalah khusus berlaku untuk RUPS ketiga, sedangkan untuk RUPS pertama dan RUPS kedua ketentuan kuorum kehadiran dan persyaratan pengambilan keputusan berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 atau anggaran dasar Perseroan. Yang dimaksud dengan “bentuk RUPS” adalah RUPS tahunan atau RUPS lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap” adalah bahwa atas penetapan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Ketentuan ini dimaksudkan agar pelaksanaan RUPS tidak tertunda. Ayat (7) Upaya hukum yang dimungkinkan apabila penetapan pengadilan menolak permo honan adalah hanya upaya hukum kasasi dan tidak dimungkinkan peninjauan kembali. Ayat (8) Cukup jelas. - 61 - Pasal 81 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemanggilan RUPS adalah kewajiban Direksi. Pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh Dewan Komisaris, antara lain dalam hal Direksi tidak menyelenggarakan RUPS sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 ayat (6), dalam hal Direksi berhalangan atau terdapat pertentangan kepentingan antara Direksi dan Perseroan. Pasal 82 Ayat (1) “Jangka waktu 14 (empat belas) hari“ adalah jangka waktu minimal untuk memanggil rapat. Oleh karena itu, dalam anggaran dasar tidak dapat menentukan jangka waktu lebih singkat dari 14 (empat belas) hari kecuali untuk rapat kedua atau rapat ketiga sesuai dengan ketentuan undang- undang ini. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Pengumuman dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pemegang saham mengusulkan kepada Direksi untuk penambahan acara RUPS. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 84 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kecuali anggaran dasar menentukan lain” adalah apabila anggaran dasar mengeluarkan satu saham tanpa hak suara. Dalam hal anggaran dasar tidak menentukan hal tersebut, dapat dianggap bahwa setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara. Ayat (2) Dengan ketentuan ini saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, tidak mempunyai hak suara dan tidak dihitung dalam penentuan kuorum. Huruf a Yang dimaksud dengan “dikuasai sendiri” adalah dikuasai baik karena hubungan kepemilikan, pembelian kembali maupun karena gadai. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini merupakan perwujudan asas musyawarah unt uk mufakat yang diakui dalam undang- undang ini. Oleh karena itu, suara yang berbeda (split voting) tidak dibenarkan. Bagi Perseroan Terbuka suara berbeda yang dikeluarkan oleh bank kustodian atau perusahaan efek yang mewakili pemegang saham dalam dana bersama (mutual fund) bukan merupakan suara yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Ayat (4) - 62 - Dalam menetapkan kuorum RUPS, saham dari pemegang saham yang diwakili anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan sebagai kuasa ikut dihitung, tetapi dalam pemungutan suara mereka sebagai kuasa pemegang saham tidak berhak mengeluarkan suara. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 86 Ayat (1) Penyimpangan atas ketentuan pada ayat ini hanya dimungkinkan dalam hal yang ditentukan undang-undang ini. Anggaran dasar tidak boleh menentukan kuorum yang lebih kecil daripada kuorum yang ditentukan oleh undang- undang ini. Ayat (2) Dalam hal kuorum RUPS pertama tidak tercapai, rapat harus tetap dibuka dan kemudian ditutup dengan membuat notulen rapat yang menerangkan bahwa RUPS pertama tidak dapat dilanjutkan karena kuorum tidak tercapai dan selanjutnya dapat diadakan pemanggilan RUPS yang kedua. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, maka RUPS harus tetap dibuka dan kemudian ditutup dengan membuat notulen RUPS yang menerangkan bahwa RUPS kedua tidak dapat dilanjutkan karena kuorum tidak tercapai dan selanjutnya dapat diajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri untuk menetapkan kuorum RUPS ketiga. Ayat (6) Dalam hal ketua pengadilan negeri berhalangan, penetapan dilakukan oleh pejabat lain yang mewakili ketua. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap” adalah bahwa atas penetapan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 87 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “musyawarah untuk mufakat” adalah hasil kesepakatan yang disetujui oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili dalam RUPS. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “disetujui lebih dari ½ (satu perdua) bagian” adalah bahwa usul dalam mata acara rapat harus disetujui lebih dari ½ (satu perdua) jumlah suara yang dikeluarkan. Jika terdapat 3 (tiga) usul atau calon dan tidak ada yang memperoleh suara lebih dari ½ (satu perdua) bagian, pemungutan suara atas 2 (dua) usul atau calon yang mendapatkan suara terbanyak harus diulang sehingga salah satu usul atau calon mendapatkan suara lebih dari ½ (satu perdua) bagian. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 63 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar“ adalah lebih besar daripada yang ditetapkan pada ayat ini, tetapi tidak lebih besar daripada yang ditetapkan pada ayat (1). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 90 Ayat (1) Penandatanganan oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan kebenaran isi risalah RUPS tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 91 Yang dimaksud dengan “pengambilan keputusan di luar RUPS” dalam praktik dikenal dengan usul keputusan yang diedarkan (circular resolution). Pengambilan keputusan seperti ini dilakukan tanpa diadakan RUPS secara fisik, tetapi keputusan diambil dengan cara mengirimkan secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham dan usul tersebut disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham. Yang dimaksud dengan “keputusan yang mengikat” adalah keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan RUPS. Pasal 92 Ayat (1) Ketentuan ini menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang, antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari Perseroan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kebijakan yang dipandang tepat “ adalah kebijakan yang, antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Direksi sebagai organ Perseroan yang melakukan pengurusan Perseroan memahami dengan jelas kebutuhan pengurusan Perseroan. Oleh karena itu, apabila RUPS tidak menetapkan pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi, sudah sewajarnya penetapan tersebut dilakukan oleh Direksi sendiri. Pasal 93 Ayat (1) Jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak yang bersangkutan dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap telah menyebabkan Perseroan pailit atau apabila dihukum terhitung sejak selesai menjalani hukuman. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “sektor keuangan”, antara lain lembaga keuangan bank dan nonbank, pasar modal, dan sektor lain yang berkaitan dengan penghimpunan dan pengelolaan dana masyarakat. Ayat (2) - 64 - Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “surat” adalah surat pernyataan yang dibuat oleh calon anggota Direksi yang bersangkutan berkenaan dengan persyaratan ayat (1) dan surat dari instansi yang berwenang berkenaan dengan persyaratan ayat (2). Pasal 94 Ayat (1) Kewenangan RUPS tidak dapat dilimpahkan kepada organ Perseroan lainnya atau pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Persyaratan pengangkatan anggota Direksi untuk “jangka waktu tertentu”, dimaksudkan anggota Direksi yang telah berakhir masa jabatannya tidak dengan sendirinya meneruskan jabatannya semula, kecuali dengan pengangkatan kembali berdasarkan keputusan RUPS. Misalnya untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun atau 5 (lima) tahun sejak tanggal pengangkatan, maka sejak berakhirnya jangka waktu tersebut mantan anggota Direksi yang bersangkutan tidak berhak lagi bertindak untuk dan atas nama Perseroan, kecuali setelah diangkat kembali oleh RUPS. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “perubahan anggota Direksi” termasuk perubahan karena pengangkatan kembali anggota Direksi. Ayat (8) Yang dimaksud dengan “permohonan” adalah permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2). Yang dimaksud dengan “pemberitahuan” adalah pemberitahuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dan pemberitahuan tentang data Perseroan lainnya yang wajib diberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 95 Ayat (1) Pengangkatan anggota Direksi batal karena hukum sejak diketahuinya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 oleh anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris berdasarkan bukti yang sah dan kepada anggota Direksi yang bersangkutan diberitahukan secara tertulis pada saat diketahuinya hal tersebut. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “anggota Direksi lainnya” adalah anggota Direksi di luar anggota Direksi yang pengangkatannya batal dan mempunyai wewenang mewakili Direksi sesuai dengan anggaran dasar. Jika tidak terdapat anggota Direksi yang demikian itu, yang melaksanakan pengumuman adalah Dewan Komisaris. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi” adalah besarnya gaji dan tunjangan bagi setiap anggota Direksi. - 65 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 97 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” adalah memperhatikan Perseroan dengan saksama dan tekun. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian” termasuk juga langkah- langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat Direksi. Ayat (6) Dalam hal tindakan Direksi merugikan Perseroan, pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan pada ayat ini dapat mewakili Perseroan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap Direksi melalui pengadilan. Ayat (7) Gugatan yang diajukan Dewan Komisaris adalah dalam rangka tugas Dewan Komisaris melaksanakan fungsi pengawasan atas pengurusan Perseroan yang dilakukan oleh Direksi, untuk mengajukan gugatan tersebut Dewan Komisaris tidak perlu bertindak bersama-sama dengan anggota Direksi lainnya dan kewenangan Dewan Komisaris tersebut tidak terbatas hanya dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan. Pasal 98 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Undang-undang ini pada dasarnya menganut sistem perwakilan kolegial, yang berarti tiaptiap anggota Direksi berwenang me wakili Perseroan. Namun, untuk kepentingan Perseroan, anggaran dasar dapat menentukan bahwa Perseroan diwakili oleh anggota Direksi tertentu. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud “tidak boleh bertentangan dengan undang-undang”, misalnya RUPS tidak berwenang memutuskan bahwa Direksi di dalam mengagunkan atau mengalihkan sebagian besar aset Perseroan cukup dengan persetujuan Dewan Komisaris atau persetujuan RUPS dengan kuorum kurang dari 3/4 (tiga perempat). Yang dimaksud ‘tidak boleh bertentangan dengan anggaran dasar”, misalnya anggaran dasar menentukan untuk peminjaman uang di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), Direksi harus mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris. RUPS tidak berwenang mengambil keputusan bahwa untuk peminjaman uang di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), Direksi harus memperoleh persetujuan Dewan Komisaris tanpa terlebih dahulu mengubah ketentuan anggaran dasar tersebut. Pasal 99 Cukup jelas. - 66 - Pasal 100 Ayat (1) Huruf a Daftar pemegang saham dan daftar khusus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, risalah RUPS dan risalah rapat Direksi memuat segala sesuatu yang dibicarakan dan diputuskan dalam setiap rapat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “dokumen Perseroan lainnya”, antara lain risalah rapat Dewan Komisaris, perizinan Perseroan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 101 Setiap perolehan dan perubahan dalam kepemilikan saham tersebut wajib dilaporkan. Laporan Direksi mengenai hal ini dicatat dalam daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2). Yang dimaksud dengan “ keluarganya “, lihat penjelasan Pasal 50 ayat (2). Pasal 102 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kekayaan Perseroan” adalah semua barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, milik Perseroan. Yang dimaksud dengan “dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak” adalah satu transaksi atau lebih yang secara kumulatif mengakibatkan dilampauinya ambang 50% (lima puluh persen). Penilaian lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih didasarkan pada nilai buku sesuai neraca yang terakhir disahkan RUPS. Ayat (2) Berbeda dari transaksi pengalihan kekayaan, tindakan transaksi penjaminan utang kekayaan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dibatasi jangka waktunya, tetapi harus diperhatikan adalah jumlah kekayaan Perseroan yang masih dalam penjaminan dalam kurun waktu tertentu. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tindakan pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan, misalnya penjualan rumah oleh perusahaan real estate, penjualan surat berharga antarbank, dan penjualan barang dagangan (inventory) oleh perusahaan distribusi atau perusahaan dagang. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 103 Yang dimaksud “kuasa” adalah kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa. Pasal 104 Untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian Direksi, gugatan diajukan ke pengadilan niaga sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 105 Ayat (1) Keputusan RUPS untuk memberhentikan anggota Direksi dapat dilakukan dengan alasan yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi yang ditetapkan dalam undang-undang ini, antara lain melakukan tindakan yang merugikan Perseroan atau karena alasan lain yang dinilai tepat oleh RUPS. - 67 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pembelaan diri dalam ketentuan ini dilakukan secara tertulis. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 106 Ayat (1) Mengingat pemberhentian anggota Direksi oleh RUPS memerlukan waktu untuk pelaksanaannya, sedangkan kepentingan Perseroan tidak dapat ditunda, Dewan Komisaris sebagai organ pengawas wajar diberikan kewenangan untuk melakukan pemberhentian sementara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) RUPS didahului dengan panggilan RUPS yang dilakukan oleh organ Perseroan yang memberhentikan sementara tersebut. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 107 Huruf a Tata cara pengunduran diri anggota Direksi yang diatur dalam anggaran dasar dengan pengajuan permohonan untuk mengundurkan diri yang harus diajukan dalam kurun waktu tertentu. Dengan lampaunya kurun waktu tersebut, anggota Direksi yang bersangkutan berhenti dari jabatannya tanpa memerlukan persetujuan RUPS. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 108 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan” adalah bahwa pengawasan dan pemberian nasihat yang dilakukan oleh Dewan Komisaris tidak untuk kepentingan pihak atau golongan tertentu, tetapi untuk kepentingan Perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Berbeda dari Direksi yang memungkinkan setiap anggota Direksi bertindak sendiri-sendiri dalam menjalankan tugas Direksi, setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri dalam menjalankan tugas Dewan Komisaris, kecuali berdasarkan keputusan Dewan Komisaris. Ayat (5) - 68 - Perseroan yang kegiatan usahanya menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau Perseroan Terbuka memerlukan pengawasan dengan jumlah anggota Dewan Komisaris yang lebih besar karena menyangkut kepentingan masyarakat. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Lihat penjelasan Pasal 93 ayat (1) huruf c. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “surat” adalah surat pernyataan yang dibuat oleh calon anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan berkenaan dengan persyaratan ayat (1) dan surat dari instansi yang berwenang berkenaan dengan persyaratan ayat (2). Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “anggota Dewan Komisaris lainnya” adalah anggota Dewan Komisaris di luar anggota Dewan Komisaris yang pengangkatannya batal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini menegaskan bahwa apabila Dewan Komisaris bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga mengakibatkan kerugian pada Perseroan karena pengurusan yang dilakukan oleh Direksi, anggota Dewan Komisaris tersebut ikut bertanggung jawab sebatas dengan kesalahan atau kelalaiannya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Huruf a Risalah rapat Dewan Komisaris memuat segala sesuatu yang dibicarakan dan diputuskan dalam rapat tersebut. - 69 - Yang dimaksud dengan “salinannya” adalah salinan risalah rapat Dewan Komisaris karena asli risalah tersebut dipelihara Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100. Huruf b Setiap perubahan dalam kepemilikan saham tersebut wajib juga dilaporkan. Yang dimaksud dengan “keluarganya“, lihat penjelasan Pasal 50 ayat (2). Huruf c Laporan Dewan Komisaris mengenai hal ini dicatat dalam daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2). Pasal 117 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “memberikan persetujuan” adalah memberikan persetujuan secara tertulis dari Dewan Komisaris. Yang dimaksud dengan “bantuan” adalah tindakan Dewan Komisaris mendampingi Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Pemberian persetujuan atau bantuan oleh Dewan Komisaris kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu yang dimaksud ayat ini bukan merupakan tindakan pengurusan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan” adalah perbuatan hukum yang dilakukan tanpa persetujuan Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan anggaran dasar tetap mengikat Perseroan, kecuali dapat dibuktikan pihak lainnya tidak beritikad baik. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat mengakibatkan tanggung jawab pribadi anggota Direksi sesuai dengan ketentuan undang- undang ini. Pasal 118 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan wewenang kepada Dewan Komisaris untuk melakukan pengurusan Perseroan dalam hal Direksi tidak ada. Yang dimaksud dengan “dalam keadaaan tertentu”, antara lain keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf b dan Pasal 107 huruf c. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Komisaris Independen ya ng ada di dalam pedoman tata kelola Perseroan yang baik (code of good corporate governance) adalah “Komisaris dari pihak luar”. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 121 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “komite”, antara lain komite audit, komite remunerasi, dan komite nominasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. - 70 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam tata cara konversi saham ditetapkan harga wajar saham dari Perseroan yang menggabungkan diri serta harga wajar saham dari Perseroan yang menerima Penggabungan untuk menentukan perbandingan penukaran saham dalam rangka konversi saham. Huruf d Rancangan perubahan anggaran dasar dalam hal ini hanya diwajibkan sebagai bagian dari usulan apabila Penggabungan tersebut menyebabkan adanya perubahan anggaran dasar. Huruf e Yang dimaksud dengan “3 (tiga) tahun buku terakhir dari Perseroan” adalah yang keseluruhannya mencakup 36 (tiga puluh enam) bulan. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Perseroan tertentu” adalah Perseroan yang mempunyai bidang usaha khusus, antara lain lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Yang dimaksud dengan “instansi terkait” antara lain Bank Indonesia untuk Penggabungan Perseroan perbankan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Ayat (1) Pengambilalihan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “pihak yang akan mengambil alih” adalah Perseroan, badan hukum lain yang bukan Perseroan, atau orang perseorangan. Ayat (6) - 71 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam tata cara konversi saham ditetapkan harga wajar saham dari Perseroan yang diambil alih serta harga wajar saham penukarnya untuk menentukan perbandingan penukaran saham dalam rangka konversi saham. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (7) Pengambilalihan saham Perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan Pengambilalihan, tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar Perseroan yang diambil alih. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 126 Ayat (1) Ketentuan ini menegaskan bahwa Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan tidak dapat dilakukan apabila akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu. Selanjutnya, dalam Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan harus juga dicegah kemungkinan terjadinya monopoli atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat. Ayat (2) Pemegang saham yang tidak menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli sesuai dengan harga wajar saham dari Perseroan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 123 ayat (2) huruf c dan Pasal 125 ayat (6) huruf d. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 127 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengumuman dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang bersangkutan agar mengetahui adanya rencana tersebut dan mengajukan keberatan jika mereka merasa kepentingannya dirugikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) - 72 - Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Pengumuman dimaksudkan agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah dilakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan. Dalam hal ini pengumuman wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal: a. persetujuan Menteri atas perubahan anggaran dasar dalam hal terjadi Penggabungan; b. pemberitahuan diterima Menteri baik dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) maupun yang tidak disertai perubahan anggaran dasar; dan c. pengesahan Menteri atas akta pendirian Perseroan dalam hal terjadi Peleburan. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pemisahan tidak murni” lazim disebut spin off. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “beralih karena hukum” adalah beralih berdasarkan titel umum sehingga tidak diperlukan akta peralihan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Sebelum mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap Perseroan, pemohon telah meminta secara langsung kepada Perseroan mengenai data atau keterangan yang dibutuhkannya. Dalam hal Perseroan menolak atau tidak memperhatikan permintaan tersebut, ketentuan ini memberikan upaya yang dapat ditempuh oleh pemohon. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) - 73 - Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 139 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “ahli” adalah orang yang mempunyai keahlian dalam bidang yang akan diperiksa. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “semua dokumen” adalah semua buku, catatan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan Perseroan. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 140 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan pada ayat ini, pemohon dapat menentukan sikap lebih lanjut terhadap Perseroan. Pasal 141 Ayat (1) Dalam menetapkan biaya pemeriksaan bagi pemeriksa, ketua pengadilan negeri mendasarkannya atas tingkat keahlian pemeriksa dan batas kemampuan Perseroan serta ruang lingkup Perseroan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pembebanan penggantian biaya dimaksud ditetapkan oleh pengadilan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan. Pasal 142 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi” adalah ketentuan yang tidak memungkinkan Perseroan untuk berusaha dalam bidang lain setelah izin usahanya dicabut, misalnya izin usaha perbankan, izin usaha perasuransian. Ayat (2) Berbeda dari bubarnya Perseroan sebagai akibat Penggabungan dan Peleburan yang tidak perlu diikuti dengan likuidasi, bubarnya Perseroan berdasarkan ketentuan ayat (1) harus selalu diikuti dengan likuidasi. - 74 - Huruf a Yang dimaksud dengan “likuidasi yang dilakukan oleh kurator” adalah likuidasi yang khusus dilakukan dalam hal Perseroan bubar berdasarkan ketentuan ayat (1) huruf e. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Dengan pengangkatan likuidator, tidak berarti bahwa anggota Direksi dan Dewan Komisaris diberhentikan, kecuali RUPS yang memberhentikan. Yang berwenang untuk melakukan pemberhentian sementara likuidator dan pengawasan terhadapnya adalah Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar. Pasal 143 Ayat (1) Karena Perseroan yang dibubarkan masih diakui sebagai badan hukum, Perseroan dapat dinyatakan pailit dan likuidator selanjutnya digantikan oleh kurator. Pernyataan pailit tidak mengubah status Perseroan yang telah dibubarkan dan karena itu Perseroan harus dilikuidasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan”, antara lain: a. Perseroan tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih, yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada instansi pajak; b. dalam hal sebagian besar pemegang saham sudah tidak diketahui alamatnya walaupun telah dipanggil melalui iklan dalam Surat Kabar sehingga tidak dapat diadakan RUPS; c. dalam hal perimbangan pemilikan saham dalam Perseroan demikian rupa sehingga RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang sah, misalnya 2 (dua) kubu pemegang saham memiliki masing- masing 50% (lima puluh persen) saham; atau d. kekayaan Perseroan telah berkurang demikian rupa sehingga dengan kekayaan yang ada Perseroan tidak mungkin lagi melanjutkan kegiatan usahanya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 147 Ayat (1) Penghitungan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dimulai sejak tanggal: a. pembubaran oleh RUPS karena Perseroan dibubarkan oleh RUPS; atau b. penetapan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena Perseroan dibubarkan berdasarkan penetapan pengadilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) - 75 - Penghitungan jangka waktu 60 (enam puluh) hari dimulai sejak tanggal pengumuman pemberitahuan kepada kreditor yang paling akhir, misalnya pengumuman dalam surat kabar tanggal 1 Juli 2007, pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 3 Juli 2007, maka tanggal pengumuman yang paling akhir dimaksud adalah pada tanggal 3 Juli 2007. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “dalam rencana pembagian kekayaaan hasil likuidasi”, termasuk rincian besarnya utang dan rencana pembayarannya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan ‘tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan”, antara lain mengajukan permohonan pailit karena utang Perseroan lebih besar daripada kekayaan Perseroan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “likuidator bertanggung jawab” adalah likuidator harus memberikan laporan pertanggungjawaban atas likuidasi yang dilakukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) - 76 - Pada dasarnya terhadap Perseroan yang melakukan kegiatan tertentu di bidang pasar modal, misalnya Perseroan Terbuka atau bursa efek berlaku ketentuan dalam undang- undang ini. Namun, mengingat kegiatan Perseroan tersebut mempunyai sifat tertentu yang berbeda dari Perseroan pada umumnya, perlu dibuka kemungkinan adanya pengaturan khusus terhadap Perseroan tersebut. Pengaturan khusus dimaksud, antara lain mengenai sistem penyetoran modal, hal yang berkaitan dengan pembelian kembali saham Perseroan, dan hak suara serta penyelenggaraan RUPS. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “asas hukum Perseroan” adalah asas hukum yang berkaitan dengan hakikat Perseroan dan Organ Perseroan. Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Perseroan yang telah memperoleh status badan hukum berdasarkan peraturan perundang- undangan” adala h Perseroan yang berstatus badan hukum yang didirikan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 158 Berdasarkan ketentuan ini, kepemilikan saham oleh Perseroan lain tersebut harus sudah dialihkan kepada pihak lain yang tidak terkena larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4756. Riwayat Penulis Santoso Tri Raharjo, lahir di Bandung 5 Februari 1971 dari pasangan Mishan dan Marinah. Penulis beragama Islam, dan memiliki istri yang bernama Nurliana Cipta Apsari, dengan dikaruniai dua orang putra Arya Muhammad Rafi Raharjo dan Aslam Aulia Raharjo. Penulis beralamat di Puri Cipageran Indah I Blok A-277, RT.01/RW.26 Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi. Alamat email: [email protected]. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN Angkasa V Lanud Sulaiman Bandung lulus tahun 1984, SMPN 8 (SMPN 1) Margahayu Bandung lulus tahun tahun 1987, SMAN 4 Bandung lulus tahun 1990. Pada tahun 1996 penulis menyelesaikan S-1 Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-Univeristas Padjadjaran, kemudian melanjutkan studi S-2 Sosiologi Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia lulus tahun 2003, dan pada tahun 2013 menyelesaikan studi S-3 Sosiologi Universitas Padjadjaran. Riwayat pekerjaan penulis dimulai sejak tahun 1998 diterima menjadi staf pengajar Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Tahun 20072011 pernah menjabat Kepala Laboratorium Kesejahteraan Sosial, dan sejak tahun 2011 dipercaya sebagai sekretaris Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD. Selain itu penulis juga aktif sebagai anggota Dewan Pembinan di LSM Bahana Karya Insani. Penulis pernah memperoleh penghargaan ‘Satyalencana Kesetiaan 10 tahun’ dari Presiden RI tahun 2012 Beberapa karya penulis lainnya antara lain ‘No Nganggur No Cry’, tahun 2009, Penerbit Oase Bandung; ‘Dasar-dasar Pekerjaan Sosial’, tahun 2010, Penerbit: Mitra Padjadjaran Bandung; dan ‘Social Enterprise, Social Entrepreneurship, and Corporate Social Responsibility’, tahun 2011, Penerbit Mitra Padjadjaran. ------------------------ UNPAD PRESS 2013 xiii