Radiologi - Fakultas Kedokteran

advertisement
Prosedur Pemeriksaan
Radiologi
Untuk Mendeteksi Kelainan dan
Cedera Tulang Belakang
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
1.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat
(1) dan ayat (2) dipidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/
atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan dan
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait, sebagaimana
dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Prosedur Pemeriksaan
Radiologi
Untuk Mendeteksi Kelainan dan
Cedera Tulang Belakang
Yuyun Yueniwati
UB
Press
2014
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Untuk Mendeteksi Kelainan dan Cedera Tulang Belakang
© 2014 UB Press
Cetakan Pertama, Februari 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Right Reserved
Penulis
Perancang Sampul
Penata Letak
Pracetak dan Produksi
:
:
:
:
Dr. dr. Yuyun Yueniwati P.W., M.Kes. Sp.Rad.
Farid
Jerry Katon
Tim UB Press
Penerbit:
UB
Press
Universitas Brawijaya Press (UB Press)
Penerbitan Elektronik Pertama dan Terbesar di Indonesia
Jl. Veteran, Malang 65145 Indonesia
Telp. : 0341-551611 Psw. 376
Fax. : 0341-565420
e-mail: [email protected]/[email protected]
http://www.ubpress.ub.ac.id
ISBN: 978-602-203-565-7
xxvi + 172 hlm, 15,5 cm x 23,5 cm
Dilarang keras memfoto kopi atau memperbanyak sebagian
atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit
Kata Pengantar Ahli
Oleh: dr. Bambang Budyatmoko, Sp.Rad. (K)
P
emeriksaan radiologi merupakan salah satu pemeriksaan yang
amat diperlukan dalam menegakkan diagnosa suatu penyakit.
Oleh karena itu, pengetahuan mengenai ilmu radiologi menjadi
salah satu mata pelajaran yang penting dalam pendidikan dokter.
Terbitnya buku radiologi dalam bahasa Indonesia yang berjudul
“Prosedur Pemeriksaan Radiologi untuk Mendeteksi Kelainan
dan Cedera Tulang Belakang” ini merupakan suatu hal yang amat
menggembirakan karena akan sangat membantu bagi para mahasiswa,
dokter maupun pekerja dalam bidang kesehatan lainnya. Selain itu,
keberadaan buku pelajaran radiologi dalam bahasa Indonesia masih
amat langka. Oleh karena itu, saya menyambut dengan gembira buku
yang ditulis oleh dr. Yuyun ini dapat segera terbit. Saya merasa salut
dan senang karena meskipun kesibukannya sangat menyita waktu, tapi
ia masih tetap menyempatkan diri untuk menulis.
Kepada penulis dan UB Press yang membantu penerbitan buku
ini, saya ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya
semoga usaha yang mulia ini juga dapat ditiru dan dilanjutkan oleh
insan radiologi lainnya.
Jakarta, Januari 2014
dr. Bambang Budyatmoko, Sp.Rad. (K)
Ketua Umum Persatuan Dokter
Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI) Pusat
Kata Pengantar Ahli
Oleh: dr. Islana Gadis Yulidani, Sp.Rad. (K)
M
erupakan sebuah kebanggaan bagi saya ketika diminta untuk
memberikan kata pengantar buku yang berjudul “Prosedur
Pemeriksaan Radiologi untuk Mendeteksi Kelainan dan
Cedera Tulang Belakang” ini. Buku ini akan sangat bermanfaat bagi
para tenaga kesehatan, dokter umum, peserta program pendidikan
dokter spesialis (PPDS), dokter spesialis radiologi, dan dokter spesialis
lain yang terkait.
Buku ini merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan
pemahaman mengenai modalitas radiologi pada tulang belakang
karena materinya dipaparkan secara lengkap, mulai dari anatomi
tulang belakang dan berbagai teknik imaging dari yang sederhana
sampai yang canggih.
Penerbitan buku ini mempunyai andil yang besar terhadap
pemahaman yang lebih baik mengenai modalitas radiologi pada
tulang belakang. Oleh karena itu, kehadiran buku ini patut kita sambut
dengan baik.
Malang, Januari 2014
dr. Islana Gadis Yulidani, Sp.Rad. (K)
Ketua Program Studi Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Kata Pengantar Penulis
K
elainan tulang belakang merupakan salah satu penyebab
terbanyak kunjungan pasien ke dokter. Untuk keperluan ini
maka digunakan berbagai macam modalitas radiologi, mulai
dari yang sederhana hingga yang canggih sehingga dapat ditentukan
diagnosis untuk mengetahui penyebab kelainan tulang belakang.
Buku ini kami susun dengan materi yang cukup lengkap dan padat.
Uraian tentang anatomi tulang belakang sangat diperlukan sebagai
pengetahuan dasar yang sebaiknya dimiliki oleh seorang ahli radiologi.
Penjelasan berbagai macam modalitas radiologi akan memberikan
pengetahuan apa kelebihan dan kekurangan pada masing-masing alat.
Berbagai teknik pemeriksaan pada masing-masing modalitas radiologi
akan memberikan pengetahuan yang benar untuk menentukan jenis
pemeriksaan radiologi yang sesuai dengan indikasi pasien. Kami
berharap buku ini akan sangat berguna bagi para tenaga kesehatan,
mahasiswa kedokteran, dokter umum, peserta program studi dokter
spesialis (PPDS) radiologi, dokter spesialis radiologi, dan dokter
spesialis lain yang terkait.
Pada kesempatan ini, kami menyampaikan penghargaan setinggitingginya kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan
buku ini, terutama kepada dr. Ari Eko Laksono dan dr. Dhanti Erma
Widiasi yang sangat banyak membantu dalam pengumpulan materi
dan penyempurnaan buku ini. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih
tak terhingga kepada suami saya tercinta dr. Eko Arisetijono Sp.S. (K)
atas saran dan dukungannya dalam penyusunan buku ini.
Kami sadar bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan buku ini
kami terima dengan tangan terbuka. Semoga buku ini dapat berguna
dan membantu siapa saja yang membaca dan membutuhkan informasi
mengenai modalitas radiologi tulang belakang.
Malang, Januari 2014
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar Ahli .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... v
Kata Pengantar Ahli .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... vii
Kata Pengantar Penulis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... ix
Daftar Isi ....... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... xi
Daftar Tabel .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... xvii
Daftar Gambar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... xix
Bab 1
Bab 2
PENDAHULUAN . .................................... 1
ANATOMI TULANG BELAKANG . ......... 2.1 Kolumna Vertebralis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 2.1.1 Korpus Vertebra . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 2.1.2 Arkus Vertebralis .. . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 2.2 Persendian pada Kolumna Vertebralis . ............................... 2.2.1 Sendi Zigapofiseal . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 2.3 Diskus Intervertebralis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 2.4 Ligamentum pada Tulang Belakang ..................................... 2.5 Vaskularisasi Tulang Belakang Lumbal ................................. 2.5.1 Pembuluh Darah Arteri . . . . . . . ..................................... 2.5.2 Pembuluh Darah Vena . . . . . . . . . .................................... 2.6 Persarafan Lumbosakral . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 2.7 Kanalis Spinalis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 2.8 Medula Spinalis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 2.9Muskulus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 2.10 Karakteristik Tulang Belakang Servikalis . ............................. 2.11 Karakteristik Tulang Belakang Thorakalis ............................. 2.12 Karakteristik Tulang Sakrum dan Tulang Ekor . ..................... 2.13 Embriologi Tulang Belakang . . . . . . . . . . . ..................................... 2.14 Radiografi Anatomi Tulang Belakang ................................... 5
6
7
8
10
10
11
14
17
17
18
21
22
22
26
28
31
32
34
36
Bab 3 3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
DENGAN FOTO RONTGEN
(RADIOGRAFI) . . . . . . . . . . ............................... Prinsip Dasar Foto Rontgen .. . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... Teknik Foto Rontgen Servikalis . . . . . . . . . . . . ................................ 3.2.1 Posisi Lateral Servikalis . . . . . . . . . . . . . ............................... 3.2.2 Posisi Anteroposterior Servikalis . ............................. 3.2.3 Proyeksi AP Open Mouth Cervical . ........................... 3.2.4 Posisi Anterior dan Posterior Oblique Cervical . ........ 3.2.5 Posisi Lateral Cervicothoracalis (Swimmer’s) ............ 3.2.6 Posisi Lateral Hiperekstensi dan Hiperfleksi . ............ Teknik Foto Rontgen pada Thorakalis . . . ............................... 3.3.1 Posisi AP Thorakalis .. . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 3.3.2 Posisi Lateral Thorakalis . . . . . . . . . . . ................................ 3.3.3 Posisi Oblique Anterior atau Posterior Thoracal ....... Teknik Foto Rontgen pada Lumbal . . . . . . ................................ 3.4.1 Posisi AP atau PA Lumbal . . . . . . . . . . ............................... 3.4.2 Posisi Oblique Posterior atau Anterior Lumbal ......... 3.4.3 Posisi Lateral Lumbal .. . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 3.4.4 Posisi Lateral L5-S1 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 3.4.5 Proyeksi AP Aksial L5-S1 .. . . . . . . . . . ................................ Teknik Foto Rontgen Tulang Sakrum dan Tulang Ekor . ........ 3.5.1 Proyeksi AP Aksial Sakrum . . . . . . . ................................ 3.5.2 Proyeksi AP Aksial Tulang Ekor . . ............................... 3.5.3 Posisi Lateral Tulang Sakrum dan Tulang Ekor . ......... Serial Skoliosis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 3.6.1 Proyeksi PA (AP) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 3.6.2 Posisi Lateral Erect . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 3.6.3 Proyeksi PA (AP) Metode Ferguson . ......................... 3.6.4 Proyeksi AP (PA) Bending Kanan Kiri . ....................... Kelebihan dan Aplikasi Klinis Foto Rontgen ......................... 41
42
43
43
45
47
48
49
50
51
51
53
54
54
54
55
56
57
58
59
59
60
61
61
62
62
63
63
64
Bab 4 4.1
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
DENGAN MIELOGRAFI . ........................ 69
Prinsip Dasar Mielografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 70
xii
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
4.2
4.3
Prosedur Pemeriksaan Mielografi . . ..................................... 4.2.1Persiapan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 4.2.2 Pemeriksaan Mielografi . . . . . . . .................................... 4.2.3 Perawatan Setelah Pemeriksaan . ............................. Kelebihan dan Aplikasi Klinis Mielografi . ............................. Bab 5 5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
DENGAN COMPUTED TOMOGRAFI. .. Prinsip Dasar CT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... Indikasi Pemeriksaan CT .. . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 5.2.1 Herniasi Diskus Intervertebralis . .............................. 5.2.2 Fraktur dan Trauma Lain . . . . . ..................................... 5.2.3 Massa Intraspinal .. . . . . . . . . . . . . . . . .................................... Prosedur Pemeriksaan CT . . . . . . . . . . . . . . ..................................... Teknik Pemberian Kontras .. . . . . . . . . . . . . . .................................... 5.4.1 Secara Intravena . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 5.4.2 Secara Intrathecal . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... Risiko Pemeriksaan CT Scan . . . . . . . . . . . . .................................... Kelebihan dan Aplikasi Klinis Pemeriksaan CT Scan ............. Gambaran Normal CT Scan Tulang Belakang Lumbal . ......... 5.7.1 Potongan Aksial Sejajar Dengan Vertebral Endplate
(Soft Tissue Window) . . . . . . . . . . . .................................... 5.7.2 Potongan Aksial Sejajar Dengan Vertebral Endplate
(Bone Window) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 5.7.3 Potongan Transaksial Setinggi Diskus Vertebralis ......
L3-4 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 5.7.4 Potongan Transaksial Setinggi Sendi Faset L3-4 . ...... 5.7.5 Potongan Transaksial Setinggi Pedikel VL4 . .............. 5.7.6 Potongan Transaksial Setinggi Korpus VL5 (Mid
Plane) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 5.7.7 Potongan Aksial Setinggi Diskus Intervertebralis
L4-5 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 5.7.8 Potongan Setinggi Diskus Intervertebralis L5–S1 ...... 5.7.9 Potongan Setinggi Korpus VL5 (Midplane) . .............. 5.7.10Potongan Setinggi Foramen Intervertebralis L5–S1 .. 5.7.11Potongan Aksial Setinggi Korpus VL2 (Midplane) . .... 5.7.12Reformasi Midsagittal . . . . . . . . . ..................................... 5.7.13Reformasi Parasagital .. . . . . . . . . ..................................... Daftar Isi
70
70
71
72
72
75
76
79
79
79
79
80
81
81
81
81
82
82
82
86
89
89
90
91
92
93
93
94
94
95
96
xiii
5.7.14Lokasi Kunci . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 96
5.7.15Perjalanan Nervus L5 . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 97
Bab 6 6.1
6.2
6.3
6.4
6.5
6.6
6.7
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
DENGAN CT MIELOGRAFI . .................. Prinsip Dasar CT Mielografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... Dasar Anatomi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ Indikasi CT Mielografi .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... Kontra Indikasi CT Mielografi . . . . . . . . . . . . . . ................................ 6.4.1 Kontra Indikasi Penggunaan Imaging CT Mielografi .
6.4.2 Kerugian Penggunaan Imaging CT Mielografi . ......... 6.4.3 Keterbatasan Penggunaan Imaging CT Mielografi . .. Prosedur Pemeriksaan CT Mielografi . . . ............................... 6.5.1Persiapan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 6.5.2 Prosedur Pemeriksaan . . . . . . . . . . . . . . ............................... 6.5.3 Perawatan Pasca Pelaksanaan .. ................................ Efek Samping CT Mielografi .. . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... Gambaran Radiologi CT Mielografi . . . . . ................................ 99
100
101
102
103
103
103
104
104
104
105
107
107
108
Bab 7 PEMERIKSAAN RADIOLOGI
DENGAN MAGNETIC RESONANCE
IMAGING . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 7.1 Prinsip Dasar MRI .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 7.2 Teknik Pemilihan Sequence MRI . . . . . . . . . . ............................... 7.3 Koil pada MRI .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 7.3.1 Koil Gradien . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 7.3.2 Koil Radio Frekuensi .. . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 7.4 Kontras Material pada MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 7.5 Indikasi Pemeriksaan MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 7.6 Keuntungan dan Risiko Pemeriksaan MRI . .......................... 7.6.1 Keuntungan Pemeriksaan MRI . . ............................... 7.6.2 Risiko Pemeriksaan MRI . . . . . . . . . . ................................ 7.7 Gambaran Normal Tulang Belakang pada MRI . ................... 7.7.1 Gambaran MRI Tulang Belakang Servikalis ............... 7.7.2 Gambaran MRI Tulang Belakang Thorakalis . ............ 7.7.3 Gambaran MRI Tulang Belakang Lumbal .................. xiv
115
117
118
121
121
122
122
123
124
124
126
127
128
131
132
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Bab 8
KEDOKTERAN NUKLIR . ........................ 8.1 Prinsip Dasar Kedokteran Nuklir . . . . . .................................... 8.2 Sejarah Kedokteran Nuklir . . . . . . . . . . . . . ..................................... 8.3Radiofarmaka .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 8.3.1 Syarat Senyawa Radioaktif . . . .................................... 8.3.2 Klasifikasi Produksi Sediaan Radiofarmaka ............... 8.3.3 Mekanisme Penempatan Radiofarmaka Dalam
Tubuh .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 8.3.4 Faktor Pemilihan Radiofarmaka . .............................. 8.3.5 Deteksi Radioisotop . . . . . . . . . . . . . .................................... 8.4 Instrumentasi Kedokteran Nuklir . . . ..................................... 8.5 Bone Scintigraphy (Sidik Tulang) . . . . ..................................... 8.5.1 Indikasi Sidik Tulang . . . . . . . . . . . . ..................................... 8.5.2 Persiapan Alat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 8.5.3 Persiapan Pasien . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 8.5.4 Prosedur Pemeriksaan . . . . . . . . . .................................... 8.5.5 Evaluasi Hasil . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 8.6 Kelebihan dan Aplikasi Klinis Kedokteran Nuklir . ................ Daftar Pustaka .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... Glosarium .... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... Indeks .......... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... Riwayat Penulis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 143
144
145
146
147
147
148
148
148
149
150
153
158
163
168
Daftar Isi
xv
137
138
140
140
141
142
Daftar Tabel
Tabel 3.1 Jenis foto Rontgen beserta patologi dan penampakan
struktur yang dihasilkan . . . . . . . . . . ..................................... 64
Tabel 5.1 Nilai rata-rata HU pada beberapa zat . .......................... 78
Tabel 7.1 Sekuen pulsa dasar untuk MRI pada tulang belakang
leher . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 120
Tabel 7.2 Intensitas sinyal MRI . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 120
Tabel 7.3 Karakteristik beberapa jaringan pada pemeriksaan
MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 128
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Struktur tulang belakang pada tubuh manusia . ....... 2
Gambar 1.2 Susunan saraf di tulang belakang ............................. 3
Gambar 2.1 Susunan kolumna vertebralis . .................................. 6
Gambar 2.2 Struktur dasar tulang belakang . ............................... 7
Gambar 2.3 Struktur korpus vertebra
.. . ...................................... 8
Gambar 2.4 Struktur arkus vertebralis . . ...................................... 9
Gambar 2.5 Posisi sendi faset .. . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 11
Gambar 2.6 Irisan memanjang tulang belakang lumbal yang
menunjukkan ukuran dan morfologi diskus yang
normal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 12
Gambar 2.7 Struktur diskus intervertebralis ................................ 13
Gambar 2.8 Posisi ligamen pada tulang belakang ........................ 15
Gambar 2.9 Ligamen pada tulang belakang ................................. 16
Gambar 2.10 Suplai arteri pada tulang belakang lumbal
. ............. 18
Gambar 2.11 Sistem saluran venous . . . . . . . ...................................... 20
Gambar 2.12 Sistem persarafan tulang belakang lumbal
Gambar 2.13 Struktur kanalis spinalis
.............. 21
. . . . . ..................................... 22
Gambar 2.14 Struktur innervariation spinal anterior
.................... 23
Gambar 2.15 Struktur spinal posterior . . . . . ..................................... 24
Gambar 2.16 Persarafan tulang belakang tampak secara lateral . .. 25
Gambar 2.17 Otot spinal anterior
.. . . . . . . . . . . ..................................... 26
Gambar 2.18 (a) Distribusi spasial pada otot tulang belakang
paling dalam dan (b) otot suboksipital . .................... 27
Gambar 2.19 Otot tulang belakang interplay anterior dan
posterior . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 28
Gambar 2.20 (a) Tulang atlas tampak superior dan (b) tulang
atlas tampak inferior . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 29
Gambar 2.21 (a) Tulang aksis tampak anterior dan (b) tulang
aksis tampak posterosuperior . . ................................ 30
Gambar 2.22 (a) Tulang belakang servikalis ke-4 dan (b) tulang
belakang servikalis ke-7, tampak superior . .............. 31
Gambar 2.23 (a) Tulang belakang T6 dan (b) tulang belakang T12
tampak lateral .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 32
Gambar 2.24 Struktur tulang sakrum dan tulang ekor tampak
inferior anterior . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 33
Gambar 2.25 Struktur tulang sakrum dan tulang ekor tampak
superior posterior . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 34
Gambar 2.26 Pertumbuhan sklerotom, sel dari sklerotom tumbuh
di sekitar notochord dan neural tube . ...................... 35
Gambar 2.27 Perkembangan tulang belakang pada fetus
............ 35
Gambar 2.28 Anatomi os. lumbar normal . . . . . ................................ 36
Gambar 2.29 Anatomi os. servikal normal . . . ................................. 37
Gambar 2.30 Anatomi normal tulang belakang lumbar
................ 38
Gambar 3.1 Ruang pemeriksaan radiologi .. . ................................ 42
Gambar 3.2 Skema pemotretan dengan foto Rontgen . ............... 43
Gambar 3.3 Posisi erect lateral servikalis .. . . ................................. 44
Gambar 3.4 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral servikalis
. ..... 45
Gambar 3.5 Posisi anteroposterior servikalis ............................... 46
Gambar 3.6 Hasil foto Rontgen pada posisi anteroposterior
servikalis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 46
Gambar 3.7 Posisi foto Rontgen pada proyeksi AP open mouth
cervical .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 47
Gambar 3.8 Hasil foto Rontgen pada proyeksi AP open mouth
cervical .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 47
Gambar 3.9 Foto Rontgen pada posisi: (a) anterior oblique
cervical dan (b) posterior oblique cervical ................ 48
xx
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Gambar 3.10 Hasil foto Rontgen pada posisi: (a) anterior dan
(b) posterior oblique cervical . .................................. 49
Gambar 3.11 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral cervicothoracalis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 49
Gambar 3.12 Posisi lateral: (a) hiperekstensi dan (b) hiperfleksi . .. 50
Gambar 3.13 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral: (a) hiperfleksi dan (b) hiperekstensi . .................................... 51
Gambar 3.14 Posisi AP thorakalis . . . . . . . . . . . . . ..................................... 52
Gambar 3.15 Hasil foto Rontgen pada posisi AP thorakalis
. ......... 52
Gambar 3.16 Posisi lateral thorakalis . . . . . . . ..................................... 53
Gambar 3.17 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral thorakalis
..... 53
Gambar 3.18 Posisi AP lumbal .. . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 54
Gambar 3.19 Hasil foto Rontgen lumbal AP
.................................. 55
Gambar 3.20 Posisi oblique anterior (a) dan posterior (b) lumbal . 55
Gambar 3.21 Hasil foto Rontgen pada posisi oblique posterior (a),
anterior lumbal (b), dan scotty dog sign (c) ............. 56
Gambar 3.22 Posisi lateral lumbal . . . . . . . . . . . ...................................... 57
Gambar 3.23 Hasil foto Rontgen posisi lateral lumbal . .................. 57
Gambar 3.24 Posisi lateral L5-S1 . . . . . . . . . . . . . ...................................... 58
Gambar 3.25 Posisi pada proyeksi AP aksial L5-S1
........................ 58
Gambar 3.26 Posisi pada proyeksi AP aksial sakrum . .................... 59
Gambar 3.27 Film foto Rontgen pada posisi proyeksi AP aksial
sakrum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 59
Gambar 3.28 Posisi pada proyeksi AP aksial tulang ekor
. ............. 60
Gambar 3.29 Hasil foto Rontgen posisi AP aksial tulang ekor . ....... 60
Gambar 3.30 (a) Posisi lateral tulang sakrum dan (b) foto pada
posisi lateral tulang sakrum . .................................... 61
Gambar 3.31 (a) Posisi lateral tulang ekor dan (b) foto lateral
tulang ekor .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 61
Gambar 3.32 Hasil foto Rontgen pada proyeksi PA (AP) . ............... 62
Daftar Gambar
xxi
Gambar 3.33 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral erect . ............ 62
Gambar 3.34 Hasil foto Rontgen pada proyeksi PA metode
Ferguson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 63
Gambar 3.35 Posisi badan pada proyeksi AP (PA) bending kanan
kiri .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 64
Gambar 4.1 Mielogram memerlukan penyuntikan kontras ke
saluran tulang belakang di bawah panduan sinar X . 71
Gambar 4.2 Lokasi pungsi lumbal .. . . . . . . . . . . . . . . ................................ 72
Gambar 4.3 Anak panah nomor (1) menunjukkan saraf tulang
belakang normal Anak panah nomor (2) menunjukkan terjadinya kelainan hernia . ................................ 73
Gambar 4.4 Mielografi normal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 73
Gambar 4.5 Mielografi cut off pada VL4-5
. . ................................ Gambar 5.1 Pasien yang sedang melakukan CT scan
. ................. 74
76
Gambar 5.2 Komponen CT scan . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 77
Gambar 5.3 CT scan bone window dengan rekonstruksi koronal
dan sagital pada tulang punggung bawah ................ 80
Gambar 5.4 (a-i) CT scan potongan aksial paralel dengan vertebral endplate (soft tissue window). . ......................... 85
Gambar 5.5 (a-g) CT scan potongan aksial paralel dengan vertebra endplate (bone window). . . ................................. 88
Gambar 5.6 Gambaran foto polos tulang belakang lumbal
normal proyeksi AP/lateral .. . . . . . ................................ 88
Gambar 5.7 CT scan potongan transaksial pada level setinggi
diskus intervertebralis L3-4 . . . . . ................................ 89
Gambar 5.8 CT scan transaksial setinggi sendi faset L3-4
. .......... 89
Gambar 5.9 Potongan anatomik pada level yang sama dengan
Gambar 5.8 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 90
Gambar 5.10 CT scan potongan transaksial setinggi puncak dari
pedikel L4 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 90
Gambar 5.11 CT scan potongan transaksial setinggi midplane
corpus L4 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 91
xxii
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Gambar 5.12 CT scan potongan transaksial setinggi diskus L5–S1
bagian dorsal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 91
Gambar 5.13 CT scan tanpa dan dengan kontras potongan aksial
setinggi diskus intervertebralis L4-5 ......................... 92
Gambar 5.14 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level dorsal
aspect dari diskus interverebralis L5-S1 . .................. 93
Gambar 5.15 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level
midplane L5 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 93
Gambar 5.16 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level
setinggi foramen intervertebralis L5-S1 . .................. 94
Gambar 5.17 CT scan tanpa dan dengan kontras potongan aksial
pada level setinggi midplane corpus vertebra L2 . .... 94
Gambar 5.18 Reformat midsagital sebelum penambahan
kontras . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 95
Gambar 5.19 Reformat midsagital pasca penambahan kontras,
terlihat opasitas dari basivertebral vein . .................. 95
Gambar 5.20 Reformat parasagital kanan memotong anterior
internal vertebral veins . . . . . . ...................................... 96
Gambar 5.21 Potongan setinggi tulang belakang lumbalis 5 . ........ 96
Gambar 5.22 Seri CT scan yang memperlihatkan perjalanan
nerves lumbal 5 berasal sebagai nerve roots (R5)
dari thecal sac .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 97
Gambar 6.1 (a) Peralatan CT scan dan (b) pelaksanaan mielografi .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 105
Gambar 6.2 Penyuntikan CT mielografi dapat dilakukan pada
L2-L3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 106
Gambar 6.3 Hasil foto CT scan: (a) mielogram lumbal normal
dan (b) mielogram servikal proyeksi AP . .................. 108
Gambar 6.4 (a) Gambaran CT normal pada tulang belakang:
(a) soft tissue windows dan (b) bone window ......... 109
Gambar 6.5 Hasil foto CT scan: (a) coronal refformated CT
myelogram dan (b) sagittal refformated CT
myelogram .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 109
Daftar Gambar
xxiii
Gambar 6.6 Hasil foto CT scan mielografi yang menunjukkan
adanya kista meningeal ekstradural . ........................ 110
Gambar 6.7 Hasil foto CT scan mielografi dengan kelainan kista
meningeal ekstradural ganda . . ................................. 111
Gambar 6.8 Hasil foto CT scan mielogram dengan kista meningeal intradural .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 111
Gambar 6.9 Hasil foto CT scan mielogram dengan kelainan
traumatic cervical pseudomeningocele .................... 112
Gambar 6.10 Hasil foto servikal mielografi pada pasien normal
(posisi pronasi) .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 112
Gambar 6.11 Hasil foto (a) CT mielografi menunjukkan adanya
pseudoceles traumatic di C7-D1 (b) Irisan tipis
(1,25 mm) CT mielografi dan (c) potongan koronal
CT mielografi .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 113
Gambar 6.12 Hasil foto potongan aksial CT mielografi yang
menunjukkan adanya stenosis kanal ringan karena
osteofit korpus posterior . . . . . . . . . ................................ 113
Gambar 6.13 Hasil foto potongan aksial CT mielogram . ................ 114
Gambar 7.1 Pemeriksaan MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 116
Gambar 7.2 Sistem MRI .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 118
Gambar 7.3 Koil yang terdapat pada MRI
. . . ................................ 121
Gambar 7.4 MRI yang menggunakan koil gradien dengan ketiga
medan yang saling tegak lurus . ............................... 122
Gambar 7.5 Dengan adanya MRI, maka adanya infeksi dapat
dideteksi secara dini .. . . . . . . . . . . . . . ................................. 125
Gambar 7.6 MRI yang berbentuk kastil ini dibuat untuk menciptakan suasana nyaman bagi anak ............................. 126
Gambar 7.7 Potongan sagital T2WI tulang belakang servikalis . ... 129
Gambar 7.8 Potongan aksial T2WI tulang belakang servikalis . .... 130
Gambar 7.9 Potongan aksial T2WI tulang belakang servikalis
tengah .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 130
Gambar 7.10 Potongan sagital T1WI tulang belakang thorakalis . .. 131
xxiv
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Gambar 7.11 Potongan aksial T2WI tulang belakang thorakalis . ... 132
Gambar 7.12 Potongan midsagital tulang belakang lumbal ........... 132
Gambar 7.13 Potongan parasagital T1WI tulang belakang lumbal . 133
Gambar 7.14 Potongan sagital T1WI tulang belakang lumbal . ...... 133
Gambar 7.15 Potongan aksial T1WI tulang belakang lumbal pada
L5‑S1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 134
Gambar 8.1 Pencitraan diagnostik dengan menggunakan teknologi nuklir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 138
Gambar 8.2 Senyawa radioaktif yang digunakan dalam kedokteran nuklir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 141
Gambar 8.3 Beberapa instrumen yang diperlukan dalam kedokteran nuklir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 147
Gambar 8.4 (a) Metastasis hot spot dan (b) cold spot . ................ 150
Gambar 8.5 Perbandingan hasil pemeriksaan dengan: (a) CT
scan dan (b) hasil foto bone scan normal dengan
menggunakan teknologi nuklir ................................ 151
Daftar Gambar
xxv
Bab 1
PENDAHULUAN
T
uhan menciptakan tubuh manusia begitu sempurna. Semua
bagian tubuh mempunyai fungsi dan peranan masingmasing dengan susunan dan struktur yang sangat khas.
Kerangka atau susunan tulang merupakan salah satu bagian tubuh
manusia yang mempunyai peranan sangat penting. Kerangka manusia
terdiri atas dua bagian utama, yaitu tulang badan batang dan tulang
anggota badan. Tulang badan batang terbagi atas tiga bagian kerangka
tubuh yaitu tengkorak, tulang belakang (vertebra), dan rongga dada.
Sementara itu, tulang anggota badan terdiri atas dua bagian kerangka
tubuh yaitu anggota gerak atas dan anggota gerak bawah.
7 tulang belakang servikalis
12 tulang belakang thorakalis
5 tulang belakang lumbal
Tulang sakrum
Tulang ekor
Sumber: http://www.southbendclinic.com
Gambar 1.1 Struktur tulang belakang pada tubuh manusia.
Pengetahuan tentang tulang belakang sering terabaikan karena
kurangnya rasa ingin tahu terhadap tubuh kita sendiri, padahal
keberadaannya sangat vital bagi tubuh kita. Tulang belakang terletak
2
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
di tengah-tengah bagian belakang tubuh. Tulang belakang ini berfungsi
penting untuk menopang bagian atas tubuh (kepala, bahu, dan dada)
dan menyambungkan dengan bagian bawah tubuh (perut dan pelvis).
Selain itu, juga berfungsi sebagai tempat melekatnya tulang rusuk dan
melindungi organ dalam tubuh.
Di tulang belakang juga terdapat saraf-saraf yang sangat vital bagi
tubuh kita. Kadang kala karena kesalahan kita sendiri, hal tersebut
dapat mengakibatkan kerusakan atau cedera di tulang belakang.
Karena peranannya yang sangat penting, diperlukan pembahasan
yang terperinci mulai dari anatomi hingga cara pemeriksaan dan
penanganan yang tepat terhadap kelainan dan cedera tulang belakang.
Sumsum (saraf)
tulang belakang
Serabut saraf
tulang belakang
Saraf iskiadika
Sumber: http://purwatiwidiastuti.wordpress.com
Gambar 1.2 Susunan saraf di tulang belakang.
Dengan semakin luas dan rumitnya cakupan untuk memahami
cedera/kelainan tulang belakang ini maka seorang ahli radiologi
perlu memahami prinsip-prinsip dasar seperti embriologi, anatomi,
fisiologi yang sangat diperlukan dalam melakukan diagnosa secara
tepat. Berbagai macam pemeriksaan radiologi juga harus dikuasai oleh
seorang ahli radiologi sehingga ia dapat menentukan jenis pemeriksaan
Bab 1 – Pendahuluan
3
radiologi yang sesuai dengan indikasi pasien sekaligus memberikan
hasil diagnosa yang tepat. Setiap modalitas pemeriksaan dalam bidang
radiologi memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing dan hal
tersebut sebaiknya diketahui dengan baik oleh seorang ahli radiologi.
INTISARI
 Kerangka atau susunan tulang belakang merupakan salah satu
bagian tubuh manusia yang mempunyai peranan penting.
 Dengan peranannya yang sangat penting tersebut maka kita perlu
mengetahui anatomi juga cara pemeriksaan dan penanganan yang
tepat terhadap kelainan dan cedera tulang belakang.
4
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Bab 2
ANATOMI TULANG BELAKANG
U
ntuk dapat mengetahui apakah sebuah organ tubuh
dalam keadaan normal atau tidak, sebaiknya kita dapat
mengetahui anatomi organ tubuh tersebut. Selain itu,
dengan mengetahui adanya kelainan tersebut, diharapkan kita
dapat memberikan penanganan secara tepat dan harapan untuk
kesembuhan menjadi lebih besar. Pada pembahasan berikut ini, akan
diuraikan anatomi tulang belakang dan organ tubuh yang berhubungan
dengannya.
2.1
Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang merupakan
sebuah struktur yang lentur dan dibentuk oleh sejumlah tulang yang
disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Di antara tiap dua ruas
tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan.
Tulang belakang:
7 tulang belakang
servikalis
12 tulang
belakang
thorakalis
Dens C2
Atlas C1
Aksis
Prosessus
spinosus
Lamina
Pedikel
Lengkung
vertebra
Prosessus spinosus
yang tumpang
tindih dengan tulang
belakang inferior
Kanal vertebra
Foramina
intervertebral
5 tulang belakang
lumbal
Diskus
intervertebral (IV)
Prosessus
spinosus
Lamina
Pedikel
Tulang pinggul
4 tulang ekor
Lengkung
vertebra
Sudut lumbosakral
Sumber: Moore, 2010
Gambar 2.1 Susunan kolumna vertebralis.
6
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat
mencapai 57–67 cm. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah di
antaranya adalah tulang-tulang terpisah dan 19 ruas sisanya bergabung
membentuk 2 tulang. Kolumna vertebralis terdiri dari 7 tulang belakang
servikalis, 12 tulang belakang thorakalis, 5 tulang belakang lumbal, 5
tulang sakrum, dan 4 tulang ekor (Ryan et al., 2004).
Jika dilihat dari samping, kolumna vertebralis memperlihatkan
4 (empat) kurva atau lengkung. Di daerah tulang belakang servikal
melengkung ke depan, di daerah thorakal melengkung ke belakang, di
daerah lumbal melengkung ke depan, dan di daerah pelvis melengkung ke
belakang. Walaupun tiap daerah vertebra mempunyai perbedaan ukuran
dan bentuk, tetapi semua memiliki persamaan struktur dasar. Tiap vertebra
terdiri dari korpus, pedikel, lamina, prosessus tranversus, prosessus
spinosus, prosessus artikularis superior dan inferior (Ryan et al., 2004).
Prosessus
tranversus
Prosessus
tranversus
inferior
Korpus
Pedikel
Prosessus
tranversus
posterior
Prosessus
artikularis
superior
Prosessus
artikularis
inferior
Lamina
Prosessus spinosus
Sumber: http://drugline.org
Gambar 2.2 Struktur dasar tulang belakang.
2.1.1 Korpus Vertebra
Korpus vertebra merupakan struktur yang terbesar, mengingat
fungsinya sebagai penyangga berat badan. Korpus vertebra berbentuk
seperti ginjal dan berukuran besar, terdiri dari tulang korteks yang padat
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
7
mengelilingi tulang medular yang berlubang-lubang (honeycomb-like)
(Hosten, 2002).
Saluran tulang belakang
Posterior aspect of epiphysial rim
Pedikel
Saluran untuk vena
basivertebral
Tulang kompak
Tulang spong
Lamina
Vertebral end plate inferior
Nukleus pulposus
Anulus fibrosus
Superior vertebral
“End plate”
Trabekula
Ligamen longitudinal
anterior
Ligamen longitudinal
posterior
Foramen intervertebral
Ligamentum flavum
Arkus tulang belakang
Tubuh tulang belakang
Sumber: Moore, 2010
Gambar 2.3 Struktur korpus vertebra.
Permukaan bagian atas dan bawah korpus vertebra disebut
dengan end plate. End plate menebal di bagian tengah dan dilapisi oleh
lempeng tulang kartilago. Bagian tepi end plate juga menebal untuk
membentuk batas nyata, berasal dari epiphyseal plate yang berfusi
dengan korpus vertebra pada usia 15 tahun. Korpus tulang belakang
lumbal lebih besar daripada servikal dan thorakal dan yang terbesar
pada L5 (Hosten, 2002).
2.1.2 Arkus Vertebralis
Arkus vertebralis atau lengkung vertebra merupakan struktur yang
berbentuk menyerupai tapal kuda, terdiri dari lamina dan pedikel. Dari
lengkung ini tampak tujuh tonjolan prosessus, sepasang prosessus
artikularis superior dan inferior, prosessus spinosus, dan sepasang
prosessus tranversus (Ryan, 2004).
8
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Pedikel berukuran pendek dan melekat pada setengah bagian
atas tulang belakang lumbal. Lamina adalah struktur datar yang
lebar, terletak di bagian medial processus spinosus. Lamina yang
berada di antara processus artikularis superior dan inferior disebut
pars interartikularis (terlihat jelas pada proyeksi oblique). Prosessus
spinosus sendiri merupakan suatu struktur datar, lebar, dan menonjol
ke arah belakang lamina. Prosessus transversus menonjol ke arah
lateral dan sedikit ke arah posterior dari hubungan lamina dan
pedikel. Prosessus transversus bersama dengan prosessus spinosus
berfungsi sebagai tuas untuk otot-otot dan ligamen-ligamen yang
menempel kepadanya. Prosessus artikularis tampak menonjol dari
lamina. Permukaan prosessus artikularis superior berbentuk konkaf
dan menghadap ke arah medial dan sedikit posterior. Prosessus
artikularis inferior menonjol ke arah lateral dan sedikit anterior dan
permukaannya berbentuk konveks (Ryan, 2004).
Prosessus
artikularis
superior
Prosessus
transversus
Prosessus artikularis
superior
Prosessus
spinosus
Prosessus
spinosus
Foramen
invertebralis
Prosessus
transversus
Prosessus artikularis
inferior
Sumber: Moore, 2010
Gambar 2.4 Struktur arkus vertebralis.
Cincin arkus vertebralis dan posterior korpus vertebra membentuk
foramen intervertebralis. Foramen intervertebralis dalam susunan
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
9
kolumna vertebralis akan tampak sebagai kanalis vertebralis. Kanalis
vertebralis merupakan tempat perlindungan bagi medula spinalis dan
selaputnya (Ryan, 2004).
2.2
Persendian pada Kolumna Vertebralis
Pada tulang belakang dewasa, terdapat 2 jenis persendian yaitu
sinovial dan amfiartrodial. Persendian sinovial terdapat pada (1)
sendi artikularis superior atlas dan condylus occipitalis, (2) sendi
atlantoaksial, antara atlas dan aksis, (3) sendi apofiseal intervertebralis,
(4) sendi costovertebra dan costotransverse, antara korpus tulang
belakang thorakalis dan prosessus transversus dengan kosta, (5) sendi
sakroiliaka antara sayap sakrum dengan os iliaka. Persendian
amfiartrodial merupakan sendi dari fibrokartilagonus yaitu antara
diskus intervertebralis dengan end plate vertebra (Ryan, 2004).
Ada dua jenis sendi mayor yaitu sendi antara dua korpus vertebra
yang disebut diskus intervertebralis dan sendi antara prosessus
artikularis yang disebut sendi apofiseal atau sendi zigapofiseal.
2.2.1 Sendi Zigapofiseal
Sendi zigapofiseal disebut juga sendi faset dan merupakan sendi
yang khas. Sendi ini terbentuk dari prosessus artikularis dari vertebra
yang berdekatan untuk memberikan sifat mobilitas dan fleksibilitas.
Sendi ini merupakan true synovial joints dengan cairan sinovial (satu
prosessus superior dari bawah dengan satu prosessus inferior dari
atas). Sendi zigapofiseal berguna untuk memberikan stabilisasi
pergerakan antara dua vertebra dengan adanya translasi dan torsi
saat melakukan fleksi dan ekstensi karena bidang geraknya yang
sagital. Sendi ini membatasi pergerakan fleksi lateral dan rotasi
(Ryan, 2004).
10
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Korpus vertebra
Cakram
Korpus
vertebra
Cakram
Sendi faset
Sumber: Hansberger et al., 2006
Gambar 2.5 Posisi sendi faset.
Permukaan sendi faset terdiri dari kartilago hialin. Pada vertebra
lumbal, kapsul sendinya tebal dan fibrosanya meliputi bagian dorsal
sendi. Kapsul sendi bagian ventral terdiri dari lanjutan ligamentum
flavum. Ruang deltoid pada sendi faset adalah ruang yang dibatasi oleh
kapsul sendi atau ligamentum flavum pada satu sisi dan pertemuan
dari tepi bulat permukaan kartilago sendi artikuler superior dan
inferior pada sisi lainnya. Ruang ini diisi oleh meniskus atau jaringan
fibroadiposa yang berupa invaginasi rudimenter kapsul sendi yang
menonjol ke dalam ruang sendi. Fungsi meniskus ini adalah untuk
mengisi kekosongan sehingga dapat terjadi stabilitas dan distribusi
beban yang merata (Ryan, 2004).
2.3
Diskus Intervertebralis
Diskus intervertebralis menyusun seperempat panjang kolumna
vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah servikal dan lumbal,
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
11
tempat dimana banyak terjadi gerakan kolumna vertebralis. Sendi ini
berfungsi sebagai shock absorber sehingga kolumna vertebralis tidak
cedera bila terjadi trauma. Sendi ini melekat pada korpus vertebra,
khususnya pada end plate superior dan inferior pada sisi atas dan
bawahnya. Diskus invertebralis terdiri atas lempeng rawan hialin,
nukleus pulposus, dan annulus fibrosus.
Nukleus pulposus terlihat seperti substansi gel yang terbentuk dari
fibrin-fibrin kolagen dan tersuspensi pada mukopolisakarida. Nukleus
pulposus pada orang yang masih muda mempunyai komposisi yang
besar dan kemudian secara bertahap berkurang dengan perubahan
degeneratif sejalan dengan proses penuaan. Anulus fibrosus terbentuk
dari fibrokartilaginous lamelar yang tersusun konsentrik dan terlihat
jelas pada 30° dari potongan diskus. Serabut-serabut yang berdekatan
dengan lamela mempunyai susunan yang hampir sama, namun berjalan
dengan arah yang berlawanan dengan serabut di nukleus pulposus.
Serabut yang berada di sisi luar annulus melekat dengan korpus
vertebra dan bercampur dengan serabut periosteal. Fibrocartilaginous
end plate terbentuk dari tulang rawan hialin dan melekat pada sub
kondral plate tulang dari korpus vertebra. Di sini terdapat perfusi dari
vaskular kecil-kecil yang memberi nutrisi ke dalam diskus (Scott D.
Haldeman, 2002).
Sumber: Courtesy Churchill-Livingstone (Saunders) Press
Gambar 2.6 Irisan memanjang tulang belakang lumbal yang
menunjukkan ukuran dan morfologi diskus yang normal.
12
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Diskus mempunyai morfologi yang bervariasi. Pada regio cervical
dan lumbal, diskus akan terlihat lebih tebal di sisi anteriornya dan hal
ini menyebabkan posisi tulang belakang menjadi lordosis. Sementara
itu, pada regio atas vertebrathorakal, diskus terlihat lebih tipis dan di
regio lumbal terlihat lebih tebal. Secara keseluruhan, diskus terhitung
± 20% dari tinggi total colum vertebrae (Claudia Krisch, 2007).
Anulus fibrosus
Nukleus pulposus
Lamela
Cincin
apofisis
End plate
Lamela
Nukleus
pulposus
End plate
Anulus fibrosus
Sumber: Hansberger, 2006
Gambar 2.7 Struktur diskus intervertebralis.
Diskus intervertebralis merupakan struktur hidrodinamik elastik
dan sebagai penghubung utama antara dua vertebra yang berurutan.
Diskus intervertebralis merupakan jenis sendi amfiartrosis atau simfisis,
yaitu sendi antara dua permukaan yang saling berhadapan dan diliputi
oleh tulang rawan hialin. Diskus intervertebralis berfungsi sebagai
sendi universal sehingga dapat menyebabkan pergerakan yang lebih
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
13
besar antar korpus vertebra daripada jika tulang vertebra dihubungkan
langsung satu dengan yang lainnya (Ryan, 2004).
Korpus vertebra yang saling berdekatan dipersatukan oleh suatu
diskus fibrokartilago yang bagian perifernya terdiri dari kira-kira selusin
lapisan serabut konsentris yang bersilangan yaitu anulus fibrosis.
Pusat diskus ini diisi dengan suatu bubur jaringan fibrogelatinosa
yaitu nukleus pulposus yang berfungsi sebagai suatu bantalan atau
peredam kejutan. Pada beberapa bagian vertebra, ketebalan diskus
intervertebralis bisa berbeda. Bila diperlukan pergerakan di antara
dua vertebra secara lebih bebas maka cakram antar ruas vertebra
tebal, yakni di daerah servikalis dan lumbal, di mana kolom vertebral
berbentuk cekung ke depan (Ryan, 2004).
Fungsi mekanik diskus intervertebralis mirip dengan balon yang
diisi air yang diletakkan di antara kedua telapak tangan. Bila suatu
tekanan kompresi yang merata bekerja pada vertebra maka tekanan
itu akan disalurkan secara merata ke seluruh diskus intervertebralis.
Bila suatu gaya bekerja pada satu sisi yang lain, nukleus pulposus akan
melawan gaya tersebut secara lebih dominan pada sudut sisi lain
yang berlawanan. Keadaan ini terjadi pada berbagai macam gerakan
vertebra seperti fleksi, ekstensi, dan laterofleksi (Vitriana, 2001).
2.4
Ligamentum pada Tulang Belakang
Tulang belakang akan dihubungkan oleh serangkaian ligamentum
longitudinal. Ligamentum yang paling penting dalam pandangan
klinis adalah ligamentum longitudinal posterior yang menghubungkan
antara korpus vertebra dan diskus intervertebralis pada sisi posterior,
serta membentuk dinding anterior dari kanalis spinalis. Ligamentum
flavum yang mempunyai komponen elastin yang tinggi, melekat di
antara lamina vertebra dan membentang ke anterior capsule dari
sendi zigapofiseal, dan melekat pada pedikel di sisi atas dan bawahnya,
membentuk dinding posterior kanalis vertebralis dan bagian atap
foramina lateral yang dilalui oleh serabut saraf. Selain itu, juga terdapat
ligamen fibrous tebal yang menghubungkan prosessus spinosus dan
prosessus transversus dengan beberapa ligamen lain yang melekat
pada sisi bawah tulang belakang lumbal ke sakrum dan pelvis (Scott D.
Haldeman, 2002).
14
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Ligamen
longitudinal
anterior
Kostal faset tranversal
Ligamen kostotransversal lateral
Kostal faset
inferior
Ligamen intertransversal
Ligamen
interartikuler
Ligamen kostotransversal
superior
Kostal faset
superior
Ligamen tulang rusuk
kepala radiat
Potongan lateral sebelah kiri
Artikular faset tulang rusuk kepala superior
Ligamen tulang rusuk
kepala radiat
Ligamen intra artikular
Rongga sinovial
Ligamen kostotransversal
superior
Ligamen kostotranversal
lateral
Ligamen kostotransversal
Potongan melintang superior
Sumber: Hansberger, 2006
Gambar 2.8 Posisi ligamen pada tulang belakang.
Terdapat beberapa ligamen pada tulang belakang yaitu seperti
yang akan dijelaskan berikut ini.
~~ Ligamen longitudinal anterior, merupakan struktur fibrosa yang
bermula dari bagian anterior basal tulang oksipital dan berakhir di
bagian anterior atas sakrum.
~~ Ligamen longitudinal posterior, terletak di belakang korpus
vertebra dalam kanalis spinalis dari C2 hingga sakrum.
~~ Ligamentum kapsular, melekat pada tepi prosessus artikularis
yang berdekatan. Ligamen ini berkembang baik di tulang belakang
lumbal, serabutnya tebal dan berhubungan erat, berjalan tegak
lurus terhadap aksis sendi.
~~ Ligamentum flavum, merupakan jaringan ikat yang elastis. Bagian
atas melekat pada permukaan anterior lamina di atasnya dan
bagian bawah melekat pada tepi posterior atas lamina di bawahnya.
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
15
~~ Ligamen interspinosus, merupakan gabungan serabut-serabut
yang berjalan dari dasar prosessus spinosus yang satu ke ujung
prosessus spinosus selanjutnya.
~~ Ligamen supraspinosus, merupakan struktur yang berkembang
baik, dari ujung tulang belakang C7 hingga krista sakralis median,
melekat ke setiap prosessus spinosus.
~~ Ligamentum intertransversal, berjalan dari prosessus transversus
ke prosessus transversus yang lainnya.
~~ Ligamentum iliolumbal melekat pada prosessus transversus,
menghubungkan dua tulang belakang lumbal bawah dengan krista
iliaka sehingga akan membatasi pergerakan sendi sakroiliaka.
Ligamen
longitudinal
anterior
Prosessus artikular superior
Prosessus transversus
Lamina
Prosessus artikular inferior
Pedikel
Pedikel
Foramen intervertebral
Prosessus spinosus
Ligamen interginous
Ligamen supraspinosus
Badan vertebra L1
Diskus
intervertebral
Saraf spinal L2
Ligamen
longitudinal
posterior
Prosessus faset
artikular superior
Prosessus spinosus
Lamina
Prosessus transversus
Prosessus artikular inferior
Ligamen flavum
Ligamen iliolumbal
Iliac crest
Badan vertebra L5
Saraf spinal L5
Permukaan sakrum
artikular
Tulang kelangkang
Tulang ekor
Potongan lateral sebelah kiri
Spina iliaka
posterior
superior
Spina iliaka
posterior
inferior
Ligamen sakroiliaka posterior
Greater sciatic foramen
Spina ischium
Ligamen sakrospinous
Lesser sciatic foramen
Ligamen sakrotuberous
Ligamen
Sakroiliaka
posterior
Ischial
tuberosity
Tampak posterior
Moore, 2010
Gambar 2.9 Ligamen pada tulang belakang.
16
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
2.5
Vaskularisasi Tulang Belakang Lumbal
Berikut ini akan dibahas tentang pembuluh darah yang terdapat di
tulang belakang, yaitu pembuluh darah arteri dan vena.
2.5.1 Pembuluh Darah Arteri
Tulang belakang lumbal mendapatkan suplai darah langsung dari aorta.
Empat buah tulang belakang lumbal yang pertama, mendapatkan suplai
darah arterinya berasal dari empat pasang arteri lumbal yang berasal
langsung dari bagian posterior aorta di depan korpus keempat tulang
belakang tersebut. Setiap arteri segmental atau lumbal bercabang dua
sebelum memasuki foramina sakralis. Pertama, cabang yang pendek
berpenetrasi langsung ke pinggang korpus tulang belakang. Kedua,
cabang yang panjang membentuk suatu jaringan padat di bagian
belakang dan tepi korpus tulang belakang. Beberapa cabang ini akan
berpenetrasi di dekat end plate dan cabang lainnya membentuk
jaringan halus di atas ligamen longitudinal dan anulus (Hosten, 2002).
Arteri lumbal pada daerah mendekati proksimal dari foramen
terbagi menjadi tiga cabang terminal yaitu anterior, posterior dan
spinal. Cabang anterior memberikan suplai pada saraf yang keluar
dari foramen dan otot-otot batang tubuh. Cabang spinal memasuki
foramen dan akan terbagi menjadi cabang anterior, posterior, dan
radikular. Cabang posterior akan memanjang ke belakang, melewati
pars interartikularis dan berakhir di dalam otot-otot spinal, tetapi
sebelumnya bercabang lagi pada sendi apofiseal dan berhubungan
dengan bagian posterior lamina. Di dalam kanalis spinalis, cabang
posterior spinal membentuk jaringan halus pada permukaan anterior
lamina dan ligamentum flavum. Sementara itu, cabang anterior spinal
terbagi menjadi cabang naik dan menurun, yang akan beranastomosis
dengan pembuluh yang ada di atas dan di bawahnya membentuk
sistem arkuata reguler. Sistem kiri dan kanan dihubungkan pada setiap
tingkatan dengan anastomosis transversal yang berjalan di bawah
ligamentum longitudinal posterior. Dari anastomosis transversal,
sistem arkuata dan pembuluh darah eksternal berjalan di bagian depan
vertebra, arteri-arteri berpenetrasi ke dalam korpus dan bergabung
ke dalam saluran arterial di sentral. Dari saluran ini, cabang-cabang
akan naik dan turun menuju ujung permukaan tulang belakang dalam
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
17
bentuk jaringan yang halus dari pembuluh darah yang berjalan vertikal
ke dalam tepi vertebral membentuk capillary bed (Hosten, 2002).
Tulang belakang lumbal lima, tulang sakrum, dan tulang ekor
mendapatkan aliran darah oleh cabang medial arteri superior
gluteal atau hipogastrik. Arteri ini akan mengikuti kontur sakrum
dan bercabang di setiap foramen sakralis anterior. Arteri ini akan
memberikan suplai pembuluh darah untuk kanalis sakralis dan keluar
dari foramina sakralis posterior untuk memberikan percabangannya ke
otot punggung bawah (Hosten, 2002).
Cabang periosteal
dan nutrien
Arteri radikular atau
medular segmental
Arteri cabang
lumbal posterior
Arteri kontinuasi
lumbal anterior
Arteri
nutrien
Arteri cabang
lumbal spinal
Cabang kanal vertebral
posterior, ke lengan
vertebral, meninges, dan
sumsum tulang belakang
Cabang kanal
vertebral anterior
Arteri lumbal
Cabang
ekuatorial
Cabang
periosteal
Aorta
Sumber: Moore, 2010
Gambar 2.10 Suplai arteri pada tulang belakang lumbal.
2.5.2 Pembuluh Darah Vena
Pola pembuluh darah untuk saluran vena berjalan dengan jalur yang
sama dengan suplai arteri. Sistem vena mengalirkan darah dari sistem
vena internal dan eksternal ke dalam vena kava inferior. Sistem vena
disusun dalam bentuk konfigurasi seperti tangga anterior dan posterior
18
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
dengan sejumlah hubungan yang bersilangan. Hasil fungsional dari
anastomosis luas sistem vena ini adalah adanya pergerakan konstan
darah dari pembuluh darah besar ke pembuluh darah kecil dan
sebaliknya tergantung derajat tekanan intra abdominal (Hosten,2002).
Batson memaparkan adanya aliran vena retrograd dari pelvis
bawah ke dalam tulang belakang lumbosakral yang mendasari
metastase neoplasma pelvis (prostat) ke tulang belakang. Pada
end plate, saluran venous berasal dari jaringan vena postcapillary
yang mengosongkan isinya ke dalam sistem subarticular horizontal
collecting melalui vertical channels yang menembus end plate. Dari
sistem ini, venula akan berjalan ke saluran vena besar di pusat yang
kemudian akan mencabangkan satu atau dua vena basivertebral
yang besar. Darah selanjutnya akan dialirkan ke dalam pleksus vena
vertebral internal. Pleksus ini terletak di dalam kanalis spinalis antara
duramater dan vertebra. Dasar pleksus ini terbentuk dari dua pasang
saluran vena yang berjalan longitudinal, satu di anterior saccus dural
dan satu pada bagian posterior, yang beranastomose satu dengan
yang lainnya serta dengan pleksus vena eksternal. Pleksus anterior
eksternal berjalan di depan korpus tulang belakang, diskus, dan
ligamentum longitudinal anterior dan berhubungan dengan vena
segmental, vena ascending lumbal kiri, dan bila ada, vena ascending
lumbal kanan. Bagian posterior pleksus vena eksternal terdapat pada
bagian permukaan posterior lamina dan sekitar spinosus, artikular,
dan prosessus transversus, beranastomose dengan pleksus internal,
dan berakhir di vena segmental atau lumbal. Pada tingkat sakral, vena
epidural dihubungkan dengan dua vena lateral sakral yang utama dari
pleksus eksternal (Hosten, 2002; Vitriana, 2001).
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
19
Pleksus venosus vertebral
eskternal posterior
Pleksus sinuses (vena)
longitudinal vertebra internal
(epidural) anterior dan
posterior
Vena lumbal
Vena lumbal ascending
Vena intervertebral
Vena basivertebral
Pleksus venosus vertebral
eskternal anterior
Tampak superior
Pleksus vertebral (epidural) internal
Pleksus venosus
vertebral
eskternal
anterior
Pleksus internal
anterior
Pleksus internal
posterior
Pleksus venosus
vertebral eskternal
posterior
Vena basivertebral
Tubuh tulang belakang
Diskus invertebral
Irisan median
Prosessus spinosus
Sumber: Moore, 2010
Gambar 2.11 Sistem saluran venous.
20
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
2.6
Persarafan Lumbosakral
Saraf sinuvertebral dianggap sebagai struktur utama saraf sensoris yang
mempersarafi struktur tulang belakang lumbal. Saraf ini berasal dari
saraf spinal yang terbagi menjadi bagian utama posterior dan anterior.
Saraf ini akan bergabung dengan cabang simpatetis ramus communicans
dan memasuki kanalis spinalis melalui foramen intervertebralis, yang
melekuk ke atas di sekitar dasar pedikel menuju garis tengah pada
ligamentum longitudinal posterior. Saraf sinuvertebral mempersarafi
ligamentum longitudinal posterior, lapisan superfisial annulus fibrosus,
pembuluh darah rongga epidural, duramater bagian anterior, tetapi
tidak pada duramater bagian posterior (duramater posterior tidak
mengandung akhiran saraf), selubung dural yang melingkupi akar saraf
spinal dan periosteum vertebral bagian posterior (Vitriana, 2001).
Ligamentum flavum
Lamina periosteum lengan vertebral
Ruang epidural
Interfase dura-arachnoid
Arachnoid
mater
Ruang subarachnoid
Duramater
Pia mater pada permukaan
sumsum tulang belakang
Ligamen dentikulata
Vena intervertebral
Cabang spinal vena dan arteri
posterior interkostal
Foramen IV
Ganglion spinal
Saraf meningeal rekuren
Gabungan saraf spinal
Ramus posterior
Ramus anterior
Communication branch to
meningeal nerve
Ramus komunikan putih
Ramus komunikan abu-abu
Sympathetic trunk
Ligamen posterior
longitudinal
Periosteum
Pleksus various
vertebral internal
Sumber: Moore, 2010
Gambar 2.12 Sistem persarafan tulang belakang lumbal.
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
21
2.7
Kanalis Spinalis
Konfigurasi kanalis spinalis pada potongan melintang terutama
terbentuk oleh bagian posterior lengkung saraf dan permukaan
posterior korpus tulang belakang di bagian anteriornya. Kanalis spinalis
berbentuk oval pada tulang belakang L1 dan berbentuk segitiga pada
tulang belakang L5. Karena saraf lumbalis yang paling besar terdapat
pada L5, sedangkan di daerah tersebut terjadi penyempitan, maka
terdapat kemungkinan adanya penjepitan saraf oleh struktur-struktur
pembentuk foramen. Korda spinalis akan berakhir dengan konus
medularis setinggi batas inferior vertebra L1. Area lumbosakral dari
kanalis spinalis mengandung cauda equine (Ryan, 2004).
Sumber: Hansberger, 2006
Gambar 2.13 Struktur kanalis spinalis.
2.8
Medula Spinalis
Medula spinalis berasal dari bagian kaudal medula oblongata pada
foramen magnum dan terletak dalam kanalis spinalis berbentuk
sebagai silinder yang pipih dengan panjang 42-45 cm pada orang
22
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
dewasa. Pada saat janin, terbentang sampai tulang coccyx, tapi dalam
perkembangannya, pertumbuhan kolum vertebra lebih cepat sehingga
medula spinalis terbentang sampai vertebra L2 saat dewasa. Konus
medularis merupakan bagian kaudal dari medula spinalis dimana
bagian apeksnya terdapat filum terminale disertai dengan radiks saraf
di sekitarnya sampai os coccyx. Karena menyerupai ekor kuda maka
disebut cauda equine (Greene, 2008).
Nukleus pulposus
Ligamen longitudinal
anterior
Ganglion simpatetik
Ramus komunikan
abu-abu
Annulus fibrosis
Saraf vertebral sinu
Ligamen
longitudinal
posterior
Saraf spinal
Divisi primer anterior
Divisi primer
posterior
Duramater
Ganglion akar dorsal
Sumber: Hansberger, 2006
Gambar 2.14 Struktur innervariation spinal anterior.
Medula spinalis terbungkus oleh tiga lapisan meningen. Sisi paling
dalam adalah piamater yang melekat pada medula spinalis dan serabut
sarafnya. Lapisan paling luar adalah duramater yang dipisahkan
dengan ruang potensial subdural terhadap meningen arachnoid,
sedangkan ruang subarachnoid, memisahkan antara piamater dengan
arachnoidmater. Ruangan ini berisi cairan serebrospinal yang mengalir
ke atas dan ke bawah di sepanjang kanalis spinalis. Duramater dan
saraf spinalis hingga menuju ke exit point (Scott D. Haldeman, 2002).
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
23
Badan
Divisi primer anterior
Divisi primer posterior
Cabang tengah
Cabang intermediat
Persendian
Cabang lateral
Prosessus spinosus
Sumber: Hansberger, 2006
Gambar 2.15 Struktur spinal posterior.
Keterangan: Struktur ini menerima persarafan dari medial, berada di tengah
dan bercabang secara lateral pada divisi primer posterior dari
akar saraf.
Fissura mediana anterior dan fissura mediana posterior membagi
medula spinalis menjadi bagian dekstra dan sinistra. Di dalamnya
terdapat white matter dan grey matter dan terdapat saluran di tengah
medula yang merupakan kelanjutan dengan sistem ventrikel otak yang
disebut kanalis sentralis. Serabut-serabut saraf berkumpul ke lateral
membentuk radiks ventralis dan radiks dorsalis. Pada radiks dorsalis
terdapat ganglion spinale yang berisi badan sel saraf sensoris. Kedua
radiks tersebut bersatu membentuk suatu batang saraf. Medula
spinalis terdiri atas 31 pasang saraf spinalis yang terbagi menjadi 8
pasang pada segmen servikalis, 12 pasang pada segmen thorakalis, 5
pasang pada segmen lumbalis, 5 pasang pada segmen sakralis, dan 1
pasang pada segmen koksigeus (Juan M. Traveras, 2006).
Saraf spinalis keluar dari medula spinalis melalui dua serabut
saraf. Serabut saraf ventral membawa serabut motorik yang asalnya
dari kornu anterior medula spinalis. Saraf-saraf ini menerima input
dari pusat motorik di otak kemudian berputar dan menginervasi otot
dalam tubuh. Serabut saraf sensori atau dorsal membawa impuls dari
24
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
reseptor sensoris pada kulit, otot, dan jaringan lain dari tubuh menuju
ke medula spinalis yang kemudian berlanjut dibawa ke otak. Badan sel
dari saraf sensoris terletak di serabut dorsal ganglia yang dapat dilihat
sebagai perluasan ke dalam serabut saraf dorsal. Serabut ventral dan
dorsal kemudian menyatu untuk membentuk saraf spinalis yang keluar
melalui kanalis spinalis dan akhirnya terbagi menjadi divisi primer
anterior dan posterior. Divisi primer posterior atau disebut juga sebagai
ramus serabut saraf menginervasi sendi faset, muskulus posterior,
serta ligamentum mayor posterior. Divisi primer anterior menginervasi
diskus intervertebralis dan ligamentum longitudinal anterior serta
mengirimkan serabut saraf melalui ramus komunikan abu-abu ke
rantai ganglion simpatikum. Sinuvertebral kecil atau recurrent nerve
of VON Luschka bercabang dari gabungan antara nervus spinalis untuk
mensarafi ligamentum longitudinal posterior. Divisi primer anterior
kemudian berjalan ke arah lateral atau inferior tergantung dari level
tulang belakang untuk membentuk berbagai macam pleksus dan
nervus yang menginervasi otot (Scott D. Haldeman, 2002).
Ramus komunikan abu-abu
Ligamen longitudinal
anterior
Diskus intervertebral
Divisi primer posterior
Sendi posterior
Cabang medial
Divisi primer anterior
Ligamen mamillo-asesoris
Rantai simpatik
Sumber: Hansberger, 2006
Gambar 2.16 Persarafan tulang belakang tampak secara lateral.
Keterangan: Ramus komunikan abu-abu menghubungkan divisi primer
anterior ke akar saraf melalui rantai simpatik.
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
25
2.9
Muskulus
Distribusi dari muskulus (otot) secara umum dibedakan berdasarkan
fungsinya. Muskulus-muskulus pada anggota badan dapat dibagi
secara fungsional menjadi muskulus ekstensor dan muskulus fleksor.
Muskulus fleksor yang utama adalah muskulus abdominal (musculus
rectus abdominis, musculus obliqus interna dan eksterna, serta
musculus transversus abdominalis). Sementara itu, muskulus ekstensor
utama adalah kelompok musculus sacrospinalis, transversospinal dan
musculus short back. Kontraksi simetris dari muskulus ekstensor akan
Serratus ant. m.
Ext. oblique
abdominal m.
and
aponeuresis
Umbilical ring
Linea alba
Rectus abdominis m.
and tendinous
intersection
External oblique m.
Internal oblique m.
Ant. sup. iliac
spine
a
b
Tendon of rectus
abdominis m.
Lat. arcuate lig.
External
intercostal m.
Rectus sheath
ant. layer
Rectus sheath
post. layer
Transvers
abdominal m.
Linea arcuta
Peritoneum
c
Med. arcuate lig.
Transvers
abdominal m.
Quadrates
lumborum m.
Columbar lig.
Iliopsoas m.
Psoas minor m.
Psoas major m.
Iliopsoas m.
d
Sumber: Hansberger, 2006
Gambar 2.17 Otot spinal anterior.
Keterangan: (a) Otot abdominal dengan lapisan terluar, (b) lapisan tengah,
dan (c) lapisan dalam. (d) Muskulus psoas yang sangat penting
untuk penstabil tulang belakang.
26
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
menghasilkan ekstensi dari tulang belakang, sedangkan kontraksi
asimetris akan menginduksi bending lateral dan gerakan berputar.
Muskulus yang terbanyak pada lapisan superfisial badan adalah
muskulus pada dinding posterior dan lateral, yang membentang
dan menghubungkan dengan bahu, kepala, dan ekstremitas atas
(rhomboids, latissimus dorsi, pectoralis, trapezius) (Norbert Boos,
2008).
Muskulus di daerah punggung tersusun atas tiga lapisan. Lapisan
paling luar tersusun dari musculus erector spinae yang besar dan tebal
dan melekat ke iliac dan sacral crests di sisi inferiornya dan melekat pada
prosessus spinosus di sepanjang tulang belakang. Pada regio lumbal
sisi bawah, terdiri dari satu muskulus tetapi terbagi ke dalam tiga lajur
yang berbeda dan dipisahkan oleh jaringan fibrous. Di bawah musculus
erector spinal terdapat musculus intermediate yang menyusun tiga lapis
dan saling terkumpul membentuk musculus multifidus.
Otot kapitis
semispinalis
Otot minor rektus
kapitis posterior
Otot oblig kapitis
superior
Otot mayor rektus
kapitis posterior
Otot oblig kapitis
inferior
Otot spinalis
thoraks
Otot spinalis
thoraks
Sumber: Hansberger, 2006
Gambar 2.18 (a) Distribusi spasial pada otot tulang belakang paling
dalam dan (b) otot suboksipital.
Keterangan: Otot suboksipital terdiri atas otot mayor rektus kapitis posterior,
otot minor rektus kapitis posterior, otot oblig kapitis superior,
dan otot oblig kapitis inferior.
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
27
Muskulus yang berasal dari sakrum dan processus mamillary
meluas ke belakang dari pedikel lumbal. Muskulus juga membentang
dari kranial dan medial lalu masuk ke dalam lamina dan prosessus
spinosus yang berada di dekatnya pada satu, dua, atau tiga tingkat
di atas tempat asalnya. Lapisan muskulus terdalam berisi muskulus
kecil yang tersusun dari satu tingkat ke tingkat yang lain di antara
prosessus spinosus, prosessus transversus, dan prosessus mamillari
serta lamina. Pada tulang belakang lumbal, terdapat juga muskulus
anterior dan lateral yang besar termasuk di dalamnya adalah
musculus quadrates lumborum, psoas dan illiacus yang melekat pada
sisi anterior dari corpus vertebrae dan prosessus transversus (Scott
D. Haldeman, 2002).
Umbilikus
Otot rektus abdominal
Cincin
umbilikal
Otot psoas
minor
Badan tulang
belakang lumbal
Otot multifidus dan rotator
Fasia thorakolumbal
Otot longisimus thorak
Otot psoas
mayor
Otot abdominal oblig
eksternal
Otot abdominal oblig
internal
Otot abdominal
transversus
Otot kuadratus lumborum
Otot latisimus dorsi
Fasia thorakolumbal
Otot iliokostalis lumborum
Sumber: Hansberger, 2006
Gambar 2.19 Otot tulang belakang interplay anterior dan posterior.
2.10 Karakteristik Tulang Belakang Servikalis
Secara struktur, tulang belakang servikalis satu dan dua mempunyai
gambaran anatomis yang berbeda dibanding dengan gambaran kelima
tulang belakang servikalis yang lain. Tulang belakang servikalis satu
atau C1 mempunyai nama lain yaitu tulang atlas. Tulang atlas yaitu
struktur tulang yang membentuk cincin (ring) yang terdiri dari arkus
anterior dan posterior yang terhubungkan oleh dua massa lateral.
28
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Tulang atlas tidak mempunyai korpus dan sebagai struktur utamanya
adalah massa lateral yang disebut juga pilar artikular.
Cincin umbilikal
Faset artikular superior
untuk oksipetal
a
b
Foramen
transversal
Lengkungan
Prosessus
posterior
transversus
Faset artikular
inferior untuk aksis
Tonjolan kecil
posterior
Foramen tulang
belakang
Tonjolan kecil anterior
Sumber: http://www.turbosquid.com
Gambar 2.20 (a) Tulang atlas tampak superior dan (b) tulang atlas
tampak inferior.
Tulang belakang servikalis kedua, C2 atau disebut juga aksis,
mempunyai struktur yang lebih kompleks, serta mempunyai struktur
yang berbeda dengan adanya prosessus odontoideus yang disebut
juga sebagai “dens” (gigi) dan terproyeksi ke kranial dari permukaan
anterior dari korpus. Ruang di antara prosessus odontoideus dan
arkus anterior dari os atlas dinamakan atlantal dens interval yang
seharusnya tidak melebihi 3 mm pada orang dewasa ketika kepala
melakukan gerakan fleksi dan ekstensi. Pada anak-anak yang berumur
kurang dari 8 tahun, jarak ini diperkirakan sebesar 4 mm, terutama
pada posisi fleksi. Dens bersendi di arkus anterior tulang atlas dengan
ligamen transversum atlantis, dan sendi inilah yang memungkinkan
tulang atlas melakukan gerakan berputar pada bidang horizontal
(menggeleng). Faset artikularis superior tulang atlas bersendi dengan
kondilus oksipitalis sehingga gerakan yang dihasilkan adalah gerak
mengangguk (Adam Greenspan, 2004).
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
29
Dens
Faset artikular anterior
Faset artikular superior
Badan
Massa lateral
a
Faset artikular inferior
Faset artikular superior
atlas
Prosessus tranversal
Dens
b
Prosessus spinosus
Sumber: http://www.turbosquid.com
Gambar 2.21 (a) Tulang aksis tampak anterior dan (b) tulang aksis
tampak posterosuperior.
Tulang belakang servikalis ketujuh merupakan bentuk peralihan
dari tulang belakang thorakalis. Prosessus spinosus C7 lebih panjang
dan tidak bercabang, terproyeksi horizontal sampai terletak subkutan
di dasar leher. Korpus tulang belakang servikalis ini mempunyai
bentuk segi empat dan ukurannya semakin membesar ke bawah guna
menopang kolom spinal terhadap berat kepala, leher dan anggota
bagian atas. Sementara itu, bentuk arkus tulang belakang servikalis
seperti segitiga. Prosessus spinosus relatif pendek dan bercabang dua
(kecuali C7), sedangkan prosessus transversusnya memiliki foramen
yang disebut foramen tranversum. Di atas foramen transversum
dilewati arteria vertebralis yang naik menuju fossa kranii posterior.
Sendi apofiseal membentuk sudut 90 derajat terhadap midline,
sedangkan foramen intervertebralis terletak pada sudut 45 derajat
oblique dan 15 derajat cephaled (Kenneth L, 2001).
Ciri pembeda lainnya yaitu saraf spinalis servikalis melintas di
superior terhadap vertebra yang sesuai ketika saraf tersebut keluar
dari kolom spinalis. Khusus servikalis ke-7 dilewati nervus cervicalis 7 di
superiornya dan nervus cervicalis 8 di inferiornya. Karena itu pula saraf
30
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
spinalis pada torakal, lumbal, dan sakral keluar dari kolom spinalis di
inferior tulang belakang yang sesuai (Kenneth L, 2001).
Prosessus tranversus
Foramen tulang
belakang
Badan
Lekuk saraf spinal
Badan
Tonjolan kecil
anterior
Foramen
transversal
Prosessus
artikular
inferior
Tonjolan
kecil
posterior
Pedikel
Faset
artikular
superior
Lamina
Prosessus artikular
inferior
Foramen tulang belakang
(canal vertebral)
a
Lamina
b
Prosessus
spinosus
Sumber: http://drugline.org
Gambar 2.22 (a) Tulang belakang servikalis ke-4 dan (b) tulang belakang
servikalis ke-7, tampak superior.
2.11 Karakteristik Tulang Belakang Thorakalis
Pada tulang belakang thorakalis yang menjadi pembeda dengan
vertebra lainnya adalah mempunyai persendian dengan kosta yang
disebut sebagai sendi kostovertebral. Pada setiap tulang belakang
thorakalis mempunyai satu full faset atau dua parsial faset yang
disebut demifaset pada setiap korpusnya. Satu faset atau kombinasi
dua demifaset bersatu dengan head costa membentuk sendi
kostovertebral. T1 mempunyai satu faset dan satu demifaset pada
tepi inferior. T2–T8 mempunyai demifaset di superior dan inferior
vertebra. T9 hanya mempunyai satu demifaset di tepi superior, T10–
T12 mempunyai full faset. Oleh karena itu, kosta 1 pada T1, kosta 2
pada T1 dan T2, demikian selanjutnya. Tapi pada kosta 11 hanya pada
T11 dan kosta 12 pada T12 (Kenneth L, 2001).
Pada T1–T10 terdapat juga faset (pada prosessus tranversus) yang
berhubungan dengan tuberkel dari kosta dan disebut dengan sendi
kostotransversum. Prosessus spinosus T1 terletak horisontal dan dapat
diraba di dasar leher dan selanjutnya lebih miring ke arah posteroinferior.
Sendi apofiseal pada torak posisinya membentuk sudut 70-75 derajat
terhadap midline. Sementara itu, foramina intervertebral thorakalis
membentuk sudut 90 derajat terhadap midline (Kenneth L, 2001).
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
31
Faset dan prosessus
artikular superior
Faset kostal superior
Badan
Pedikel
Faset kostal
transversal
Faset dan prosessus
artikular superior
Badan
Prosessus
transversus
Prosessus
artikular inferior
Faset kostal
inferior
Lekukan
vertebra inferior
Prosessus
spinosus
Faset kostal
Prosessus
spinosus
Faset dan prosessus
artikular inferior
a
b
Sumber: Hansberger, 2006
Gambar 2.23 (a) Tulang belakang T6 dan (b) tulang belakang T12
tampak lateral.
2.12 Karakteristik Tulang Sakrum dan Tulang
Ekor
Tulang sakrum merupakan tulang besar berbentuk segitiga yang terdiri
dari lima tulang belakang yang berfusi. Pada bagian proksimal tulang
ini berartikulasi dengan tulang belakang lumbal kelima, bagian lateral
berartikulasi dengan os illii, dan bagian distal berartikulasi dengan os
coccyx. Di tengah permukaan cembung bagian dorsal terdapat kurang
lebih empat prosessus spinosus yang bersatu membentuk medial sacral
crest. Di samping sacral crest dan di dekat medial foramina sacralis
posterior, terdapat satu seri sendi zigapofiseal yang membentuk
intermediate crest. Permukaan endopelvis berbentuk konkaf dan pada
permukaannya terdapat empat pasang foramina sacral pelvis yang
berlawanan dengan foramina sacral dorsalis. Ujung runcing sakrum
dibentuk oleh vertebra sakrum kelima yang berartikulasi dengan
coccyx. Vertebra kelima ini membentuk suatu hiatus yang disebut
cornu sacralis (Kenneth L, 2001).
32
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Dasar tulang kelangkang
Ala (lateral part)
Permukaan artikular lumbosakral
Prosessus artikular
superior
Sayap
Promontory
Sacral part of pelvic brim
(linea terminalis)
Foramina tulang
kelangkang anterior
Tranverse ridges
Puncak tulang kelangkang
Prosessus tranversus tulang
ekor
Tulang ekor
Tampak inferior
anterior
Permukaan pelvis
Sumber: Greene, 2006
Gambar 2.24 Struktur tulang sakrum dan tulang ekor tampak inferior
anterior.
Coccygeus yang disebut juga dengan tulang ekor terdiri dari
tiga hingga lima vertebra yang berfusi secara bervariasi. Segmen
pertama dan terbesar berartikulasi melalui diskus rudimenter dengan
permukaan bagian bawah tulang belakang sakral kelima dan berbentuk
padat. Di bagian posterior, terbentuk coccygeal cornua. Pada tulang
ekor tidak terdapat kanalis spinalis (Kenneth L, 2001).
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
33
Faset pada
prosessus
artikular superior
Permukaan
aurikular
Tuberositas
tulang kelangkang
Puncak tulang
kelangkang lateral
Puncak tulang
kelangkang median
Puncak tulang
kelangkang intermediat
Foramina tulang
kelangkang posterior
Kornu tulang
kelangkang
Hiatus tulang
kelangkang
Permukaan dorsal
Kornu koksigeal
Prosessus transversus
tulang ekor
Tampak superior posterior
Sumber: Greene, 2006
Gambar 2.25 Struktur tulang sakrum dan tulang ekor tampak superior
posterior.
2.13 Embriologi Tulang Belakang
Selama empat minggu masa kehamilan, sel mesenkimal dari sklerotom
tumbuh mengelilingi notochord untuk menjadi korpus tulang belakang
dan mengelilingi neural tube untuk membentuk arkus tulang belakang.
Sel dari sklerotom yang berdekatan bergabung untuk membentuk
prekursor dari korpus tulang belakang pada struktur intersegmental.
Di antara masing-masing korpus, notochord berkembang ke dalam
diskus intervertebralis. Sel yang mengelilingi neural tube akan menjadi
arkus tulang belakang (Norbert Boos, 2008).
34
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Sumber: Greene, 2006
Gambar 2.26 Pertumbuhan sklerotom, sel dari sklerotom tumbuh di
sekitar notochord dan neural tube.
Selama enam minggu kehidupan fetus, pusat kondrifikasi terlihat
di tiga tempat yaitu pada masing-masing sisi mesenchimal vertebra.
Pusatnya dibentuk oleh gabungan dari pusat paling anterior. Kondrifikasi
terbentuk secara sempurna sebelum pusat osifikasi terlihat. Pada
pusatnya, bersama dengan pusat osifikasi dari masing-masing arkus,
secara keseluruhan membentuk pusat osifikasi untuk masing-masing
tulang belakang (Greene, 2006).
Mesenkim
Pusat kondrifikasi
Pusat osifikasi
sekunder
Osifikasi primer
Jaringan saraf
Kartilago
Tulang
Mesenkim
Sumber: Moore, 1998
Gambar 2.27 Perkembangan tulang belakang pada fetus.
Keterangan: Tulang belakang yang pertama kali berkembang yaitu mesenkim
kemudian kartilago dan terakhir tulang. Pusat osifikasi sekunder
berkembang selama masa anak-anak dan berfusi selama remaja
atau di tahap awal dewasa.
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
35
2.14 Radiografi Anatomi Tulang Belakang
Ciri-ciri anatomi tulang belakang yang dapat diidentifikasikan secara
radiografi (Gambar 2.26, 2.27, dan 2.28) meliputi:
~~ Korpus tulang belakang anterior.
~~ Arkus posterior dibentuk oleh pedikel dan lamina, menutup spinal
canal.
~~ Pedikel: penonjolan tulang belakang dari sudut posterolateral dari
tulang belakang.
~~ Kurva lamina posteromedial dari pedikel dan sendi di garis tengah
dasar dari prosessus spinosus yang melengkapi arkus tulang dari
kanal spinalis.
~~ Prosessus spinosus menonjol ke belakang.
~~ Prosessus tranversus menonjol ke lateral dari sambungan pedikel
dan lamina.
a
b
Sumber: Lisle, 2012
Gambar 2.28 Anatomi os. lumbar normal.
Keterangan: (a) Kenampakan lateral dan (b) kenampakan frontal. Vertebral
body (B), diskus intervertebralis (D), pedikel (P), sendi faset (F),
foramen intervertebralis (Fo), prosessus artikular inferior (I),
prosessus artikular superior (S), prosessus transversus (T),
lamina (L), prosessus spinosus (SP).
Artikulasi di antara tulang belakang meliputi diskus intervertebralis,
sendi zigapofiseal, dan sendi unkovertebral.
~~ Diskus intervertebralis
;; Menempati ruang antar setiap tulang belakang.
36
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
;; Disusun oleh pulposus nukleus sentral yang menutup annulus
fibrosis.
~~ Sendi zigapofiseal
;; Sering dikenal dengan sebutan sendi faset.
;; Dibentuk oleh prosessus artikularis yang menonjol secara
superior dan inferior dari sambungan pedikel dan lamina.
~~ Sendi unkovertebral
;; Ditemukan di tulang belakang servikalis.
;; Dibentuk oleh bibir tulang yang menonjol ke superior dari
pinggir lateral body ventral dan artikulasi dengan tepi lateral
tulang belakang di atasnya.
Pengecualian di atas terdapat pada satu atau dua tulang belakang
servikalis (C1 dan C2). C1 yang juga dikenal sebagai atlas, berisi
arkus anterior, 2 massa lateral, dan arkus posterior. Massa lateral
dari artikulasi C1 superior dengan acciput (atlanto-sendi oksipital),
di bawah prosessus artikulasi superior dari C2 (sendi atlanto-axial).
Odontoid peg atau dens adalah penonjolan vertikal dari tulang yang
diperpanjang keluar dari C2 dan berartikulasi dengan C1 arkus anterior.
a
b
Sumber: Lisle, 2012
Gambar 2.29 Anatomi os. servikal normal.
Keterangan: (a) Kenampakan lateral, sendi faset (F), prosessus spinous (SP), faring
(Ph), os. hyoid (H), trakea (Tr), dan garis servikal posterior dari C1
s/d C3. Pengukuran predental space (antara arkus anterior C1 dan
odontoid peg), celah retrofaringeal pada C2 dan celah retrotrakeal C6.
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
37
(b) kenampakan frontal dari os. servikal bawah, diskus intervertebral
(D), sendi unkovertebral (U), prosessus transversus (T), prosessus
spinosus (SP).
a
b
c
d
Sumber: Lisle, 2012
Gambar 2.30 Anatomi normal tulang belakang lumbar.
Keterangan: (a) Gambar yang direkonstruksi pada potongan sagital
menunjukkan level dari 3 potongan transversal, (b) potongan
transversal pada level pedikel, (c) potongan transversal pada
foramina intervertebra, (d) potongan transversal pada level diskus
intervertebra. Pada gambar (b), (c), dan (d) harus diperhatikan
berikut: vertebral body (B), pedikel (P), sendi faset (F), inferior
articular process (I), superior articular process (S), transverse
process (T), lamina ( ), spinous process (SP), nerve root (NR),
spinal canal (SC), psoas muscle (Ps), paraspinal muscle (Pa).
38
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
INTISARI
 Kita perlu mempelajari anatomi tulang belakang untuk mengetahui
apakah tulang belakang tersebut dalam keadaan normal atau
tidak.
 Beberapa anatomi organ tubuh yang berhubungan dengan tulang
belakang yaitu:
;; kolumna vertebralis
;; persendian pada kolumna vertebralis
;; diskus intervertebralis
;; ligamentum pada tulang belakang
;; vaskularisasi tulang belakang lumbal
;; persarafan lumbosakral
;; kanalis spinalis
;; medulla spinalis
;; muskulus
;; tulang belakang servikalis
;; tulang belakang thorakalis
;; tulang sakrum
;; tulang ekor
;; embriologi tulang belakang
 Anatomi tulang belakang juga dapat diidentifikasi secara radiografi.
Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang
39
Bab 3
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
DENGAN FOTO RONTGEN
(RADIOGRAFI)
U
ntuk melakukan pemeriksaan radiologi, satu hal yang
dapat dilakukan yaitu dengan foto Rontgen. Ada beberapa
hal yang sebaiknya kita ketahui mengenai foto Rontgen ini,
seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
3.1
Prinsip Dasar Foto Rontgen
Untuk pembuatan foto Rontgen yang baik, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan yaitu perlengkapan untuk membuat radiografi,
jenis pemeriksaan dan posisi pemeriksaan, pengetahuan tentang
pesawat Rontgen, pengetahuan kamar gelap, dan proses terjadinya
gambaran radiografi.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.1 Ruang pemeriksaan radiologi.
Pada pembuatan radiografi diperlukan beberapa perlengkapan
antara lain film Rontgen, alat proteksi, alat fiksasi, marker, dan
beberapa peralatan lainnya.Jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
tulang yaitu pemeriksaan Rontgen tanpa kontras. Posisi pemotretan
pada servikalis, pada umumnya dilakukan pada posisi erect (tegak).
Hal tersebut berguna untuk melihat deretan dan stabilitas ligamen,
juga untuk menunjukkan kurvatura dari penderita.Kecuali pada pasien
42
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
dengan trauma yang mengharuskan dalam posisi recumbent/supine
(tidur telentang). Sementara itu, untuk foto thorakolumbal, lebih sering
pasien dalam posisi recumbent, kecuali untuk pemeriksaan rangkaian
skoliosis maka diperlukan posisi erect.
Logger dan integrator
Detektor
Pengubah
A/D
Bahan profil
Objek
Komputer
Nilai digital
Unit
displai
Satu gambar
Kamera
multi gambar
Displai gambar
Tabung sinar-X
Sumber: http://gonnabefine23.blogspot.com
Gambar 3.2 Skema pemotretan dengan foto Rontgen.
Seorang ahli radiologi harus mempunyai pengetahuan tentang
pesawat Rontgen karena dengan pengetahuan yang baik dan benar
maka dapat dihasilkan gambar yang bagus, misalnya KV pada saat
memfoto tulang thorakolumbal harus lebih tinggi daripada foto
thorak. Selain itu, juga diperlukan pengetahuan untuk pengaturan
jarak pemotretan sehingga dihasilkan gambar yang bagus. Hal lain
yang perlu diketahui yaitu pengetahuan tentang kamar gelap yang
berkaitan dengan proses pencucian dan pengolahan film Rontgen.
Proses terjadinya gambaran radiografi tergantung pada benda yang
ditembus sinar X, menghasilkan bayangan radiopaque atau radiolucen.
3.2
Teknik Foto Rontgen Servikalis
Berikut ini akan dijelaskan beberapa teknik foto Rontgen untuk daerah
servikalis.
3.2.1 Posisi Lateral Servikalis
Foto Rontgen pada posisi lateral servikalis dapat dilakukan dengan
posisi erect lateral dan posisi recumbent lateral. Pada posisi erect
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
43
Film
lateral pada tulang belakang servikalis ini, seorang pasien yang
melakukan foto Rontgen bisa mengambil sikap berdiri atau duduk.
Posisi kepala tegak ke depan. Arah sinar sentrasi pada tulang belakang
C4 (setinggi dagu). Pada posisi ini dapat dilakukan dengan leher fleksi
untuk memperlihatkan C1 dan C2.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.3 Posisi erect lateral servikalis.
Pada posisi recumbent lateral, pasien tidur telentang, film
berada di samping leher dan sinar sentrasi horizontal 2-3 cm caudal
mastoid tip.
Hasil foto Rontgen pada posisi lateral servikalis ini menggambarkan
korpus tulang belakang, sendi apofiseal, prosessus spinosus,
diskus invertebralis dari C1-C7. Pada foto Rontgen posisi ini, tidak
diperbolehkan adanya rotasi kepala karena akan menempatkan di
atas (superimpose) pada kedua ramus mandibula atau rotasi badan
yang akan mengakibatkan superimpose kanan dan kiri sendi apofiseal.
Saat melakukan pengambilan gambar, bahu harus diturunkan sejauh
mungkin agar C7 terlihat jelas.
44
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Selain itu, juga terlihat 5 garis normal spina servikalis yaitu garis
tulang belakang anterior (batas tepi anterior tulang belakang), garis
tulang belakang posterior (tepi posterior korpus tulang belakang),
garis spinolaminar (batas anterior prosessus spinosus), garis spinosus
posterior (batas posterior prosessus spinosus C2-C7) dan garis clivus
odontoid (dari dorsum sellae-batas anterior foramen magnum-tip
proccesus odontoid-medial C3). Selain itu, juga terlihat 2 area yaitu area
reto tracheal (jarak dinding posterior paringeal dengan anteroinferior
tonjolan C2) normal < 7 mm dan area retotracheal (jarak dinding
posterior trakea dengan anteroinferior tonjolan C6) normal < 22 mm
pada orang dewasa, dan < 14 mm pada anak.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.4 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral servikalis.
3.2.2Posisi Anteroposterior Servikalis
Pengambilan foto pada posisi anteroposterior servikalis dapat dilakukan
pada posisi erect (tegak) atau supine (tidur telentang) dengan kepala
lurus ke depan dan tangan di samping. Sinar sentrasi terhadap C4
(batas bawah kartilago tiroid) dengan sudut 15-20 derajat cephaled.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
45
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.5 Posisi anteroposterior servikalis.
Hasil pengambilan foto pada posisi anteroposterior servikalis yaitu
akan terlihat korpus vertebra, pedikel seperti tetes air) dan diskus
invertebralis dari C3-C7, juga terlihat T1-T2. Selain itu, juga terlihat
mandibula dan basal tengkorak superimpose dengan C1,C2.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.6 Hasil foto Rontgen pada posisi anteroposterior servikalis.
46
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
3.2.3 Proyeksi AP Open Mouth Cervical
Pada pengambilan foto dengan proyeksi AP open mouth cervical dapat
dilakukan pada posisi yang sama dengan posisi AP servikalis. Bedanya,
pada saat eksposur pasien diminta untuk membuka mulut selebar
mungkin dengan hanya membuka rahang bawah tanpa mengubah
kepala dan bilang ‘aaah’ agar lidah tetap di dasar mulut.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.7 Posisi foto Rontgen pada proyeksi AP open mouth cervical.
Tujuan proyeksi ini yaitu untuk memvisualisasi struktur C1 dan C2,
terlihat dens (odontoid procces), korpus tulang belakang C2, lateral
mass C1, sendi atlantoaxial C1-C2. Pada saat pengambilan foto, dens
tidak boleh tertutup gigi atau basal tengkorak.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.8 Hasil foto Rontgen pada proyeksi AP open mouth cervical.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
47
3.2.4 Posisi Anterior dan Posterior Oblique Cervical
Pengambilan foto Rontgen pada posisi anterior dan posterior oblique
cervical, seorang pasien dapat mengambil posisi erect (duduk atau
berdiri) atau recumbent. Namun, posisi erect biasanya lebih nyaman
daripada recumbent. Pasien dapat melakukan rotasi pada seluruh
badan dan kepala dengan sudut 45 derajat. Sinar sentrasi pada C4
dengan sudut 15-20 derajat cephaled. Pada LPO dan RPO atau sudut
15-20 derajat caudad pada LAO dan RAO. Proyeksi jenis ini efektif
untuk memperlihatkan foramina umco intervertebra dan pedikel.
a
b
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.9 Foto Rontgen pada posisi: (a) anterior oblique cervical dan
(b) posterior oblique cervical.
RAO dan LPO memperlihatkan foramina kanan, sedangkan LAO
dan RPO memperlihatkan foramina kiri. Anterior oblique foramen
intervertebralis dan pedikel cervicalis tampak dekat dengan film,
sedangkan pada posterior oblique tampak jauh dengan film.
48
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
a
b
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.10 Hasil foto Rontgen pada posisi: (a) anterior dan
(b) posterior oblique cervical.
3.2.5 Posisi Lateral Cervicothoracalis (Swimmer’s)
Pada posisi ini, pasien tengkurap (prone) dengan lengan kiri ke depan
dengan membentuk sudut 180 derajat dan lengan kanan di samping
seperti orang berenang. Sentrasi sinar horizontal ke arah aksial,
sedangkan film berada di sebelah kanan. Pada saat pengambilan gambar,
usahakan untuk menjaga toraks dan kepala dalam posisi lateral.
Tujuan foto pada posisi ini yaitu untuk memperlihatkan inferior­
vertebra cervicalis C7, dan superiorvertebra thoracalis T1-T2. Hasil
foto Rontgen pada posisi ini akan tampak korpus vertebra, diskus
intervertebralis, sendi zigapofiseal dari C4-T3.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.11 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral cervicothoracalis.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
49
3.2.6 Posisi Lateral Hiperekstensi dan Hiperfleksi
Pada posisi ini, pasien bersikap erect lateral (duduk atau berdiri)
dengan lengan di samping, sentrasi sinar horizontal pada C4. Bila
pada posisi hiperfleksi, dagu pasien ditekan sampai menempel dada
dan bila hiperekstensi, dagu diangkat dan kepala ke arah belakang
sejauh mungkin.
a
b
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.12 Posisi lateral: (a) hiperekstensi dan (b) hiperfleksi.
50
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen pada posisi ini merupakan studi terhadap fungsi
gerak tulang belakang servikalis. Hasil foto pada posisi ini menunjukkan
kurva spinal C1-C7. Pada hiperfleksi, tampak prosessus spinosus
terpisah dan pada hiperekstensi, tampak prosessus spinosus merapat.
a
b
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.13 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral: (a) hiperfleksi dan
(b) hiperekstensi.
3.3
Teknik Foto Rontgen pada Thorakalis
Pada teknik foto Rontgen thorakalis terdapat beberapa posisi
pengambilan foto seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
3.3.1 Posisi AP Thorakalis
Pada posisi AP thorakalis, pasien dapat melakukannya dengan sikap
erect atau supine. Pada posisi supine, pasien tidur telentang dengan
sedikit menekuk lutut untuk melihat adanya kifosis normal. Sentrasi
sinar dilakukan secara vertikal ke 3 cm arah posterior dari prosessus
xiphoid. Sementara itu, pada posisi erect, sikap pasien seperti yang
terlihat pada gambar berikut ini.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
51
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.14 Posisi AP thorakalis.
Hasil foto Rontgen dari posisi ini akan memperlihatkan korpus
tulang belakang, pedikel, dan diskus intervertebralis. Pada posisi ini,
tinggi dari vertebra dapat ditentukan dan perubahan garis paraspinal
dapat dievaluasi.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.15 Hasil foto Rontgen pada posisi AP thorakalis.
52
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
3.3.2 Posisi Lateral Thorakalis
Pada posisi ini, pasien bisa melakukannya dengan sikap erect atau
supine. Sentrasi sinar diarahkan ke T7 atau T6 dengan sudut 10 derajat
cephalad.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.16 Posisi lateral thorakalis.
Hasil foto Rontgen ini menggambarkan badan vertebra, diskus
intervetebralis, dan foramina intervertebralis.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.17 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral thorakalis.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
53
3.3.3 Posisi Oblique Anterior atau Posterior Thoracal
Pada posisi ini, pasien dapat melakukan dengan sikap lateral erect
atau supine dengan badan rotasi 20 derajat termasuk bahu dan pelvis.
Pasien diminta untuk menekuk lututnya agar stabil. Pada LPO dan RPO,
tangan diletakkan dekat meja dan diangkat ke depan, sedangkan tangan
yang satunya ke bawah. Sementara itu, pada LAO dan RAO, tangan
diletakkan dekat meja dengan arah ke bawah posterior, sedangkan
tangan yang satunya diangkat ke depan.
Hasil foto Rontgen pada posisi ini akan memperlihatkan sendi
apofiseal. Oblique anterior memperlihatkan sendi apofiseal yang
terdekat dengan film, sedangkan pada posisi oblique posterior
menunjukkan sendi yang jauh dari film.
3.4
Teknik Foto Rontgen pada Lumbal
Untuk teknik foto Rontgen pada lumbal akan dijelaskan beberapa
posisi seperti berikut ini.
3.4.1 Posisi AP atau PA Lumbal
Pada posisi ini, pasien dapat melakukannya dengan posisi telentang
dengan lutut ditekuk, tangan dilipat di dada. Selain itu, pasien juga
dapat melakukannya dengan posisi tidur telentang dan kedua lengan
diangkat ke samping kepala. Sentrasi sinar diarahkan pada sentral
abdomen setinggi krista iliaka.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.18 Posisi AP lumbal.
54
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Hasil foto Rontgen pada posisi ini akan memperlihatkan badan
lumbalis, diskus intervertebralis, prosessus spinosus dan transversus,
pedikel, dan sendi sakroiliakal, serta sakrum.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.19 Hasil foto Rontgen lumbal AP.
3.4.2 Posisi Oblique Posterior atau Anterior Lumbal
Pada posisi ini, pasien dalam posisi semi supine dengan sudut 45
derajat pada RPO/LPO atau semi prone dengan sudut 45 derajat
pada RAO/LAO.Pada posisi ini lutut ditekuk untuk stabilitas, sentrasi
diarahkan pada L3.
a
b
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.20 Posisi oblique anterior (a) dan posterior (b) lumbal.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
55
Hasil foto Rontgen posisi ini akan tampak sendi apofiseal terbuka
yang menggambarkan ‘scotty dog’ dengan pedikel sebagai mata,
prosessus transversus sebagai hidung, prosessus artikularis superior
sebagai telinga, pars interartikularis sebagai leher, dan prosessus
artikularis inferior sebagai kaki.
a
b
c
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.21 Hasil foto Rontgen pada posisi oblique posterior (a),
anterior lumbal (b), dan scotty dog sign (c).
3.4.3 Posisi Lateral Lumbal
Pada teknik ini, posisi pasien lateral recumbent dan lutut sedikit fleksi.
Bila dada terlalu sempit atau pelvis lebar maka perlu sudut kaudad 5
atau 10 derajat. Sentrasi sinar diarahkan pada krista iliaka.
56
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.22 Posisi lateral lumbal.
Hasil foto Rontgen pada posisi ini akan tampak foramina
intervertebralis L1-L4, badan tulang belakang, diskus intervertebralis,
prosessus spinosus, L5, dan sakrum.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.23 Hasil foto Rontgen posisi lateral lumbal.
3.4.4 Posisi Lateral L5-S1
Posisi ini dilakukan untuk melihat patologi L5 atau S1, misalnya pada
spondylisthesis L4-5 atau L5-S1. Pasien mengambil posisi lateral
recumbent dan sentrasi sinar pada 4 cm inferior krista iliaca. Hasil foto
Rontgen pada posisi ini akan tampak L4 yang terbuka terhadap L5 dan
L5 terhadap S1.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
57
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.24 Posisi lateral L5-S1.
3.4.5 Proyeksi AP Aksial L5-S1
Pada proyeksi ini, posisi pasien telentang, sentrasi sinar cephaled
bersudut 30 derajat untuk laki-laki atau 35 derajat untuk perempuan
ke arah garis tengah (midline) setinggi krista iliaka. Film hasil Rontgen
akan tampak L5 terhadap S1 dan sendi sakroiliaka.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.25 Posisi pada proyeksi AP aksial L5-S1.
58
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
3.5
Teknik Foto Rontgen Tulang Sakrum dan
Tulang Ekor
Untuk teknik foto Rontgen tulang sakrum dan tulang ekor, terdapat
beberapa posisi yang akan dibahas seperti berikut ini.
3.5.1 Proyeksi AP Aksial Sakrum
Proyeksi AP aksial sakrum dilakukan dengan posisi telentang dengan
lutut sedikit fleksi. Sentrasi sinar pada cephaled 15 derajat ke arah
garis tengah antara simpisis pubis dan SIAS. Bila posisi tengkurap,
sinar cauded sebesar 15 derajat. Sebelum difoto, pasien diminta untuk
buang air dan disiapkan dengan lavemant agar udara dan faecal tidak
menutupi tulang sakrum.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.26 Posisi pada proyeksi AP aksial sakrum.
Hasil film pada foto Rontgen ini akan tampak pubis dan foramina
sacralis, sacroiliaca, dan sendi L5-S1.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.27 Film foto Rontgen pada posisi proyeksi AP aksial sakrum.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
59
3.5.2 Proyeksi AP Aksial Tulang Ekor
Proyeksi ini, menempatkan pasien pada posisi telentang dengan
lutut sedikit fleksi. Sentrasi sinar caudad 10-15 derajat pada superior
simpisis pubis agar tulang ekor tidak berposisi di atas pada simpisis
pubis. Sebelum difoto, pasien diminta untuk buang air dan disiapkan
dengan lavemant agar udara dan faecal tidak menutupi tulang ekor.
Proyeksi ini digunakan untuk melihat patologi pada tulang ekor.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.28 Posisi pada proyeksi AP aksial tulang ekor.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.29 Hasil foto Rontgen posisi AP aksial tulang ekor.
60
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
3.5.3 Posisi Lateral Tulang Sakrum dan Tulang Ekor
Pada posisi ini, sikap tubuh pasien diminta lateral recumbent dan
sentrasi sinar pada posterior SIAS. Pada film akan tampak tulang
sakrum dan tulang ekor dari arah lateral.
a
b
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.30 (a) Posisi lateral tulang sakrum dan (b) foto pada posisi
lateral tulang sakrum.
a
b
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.31 (a) Posisi lateral tulang ekor dan (b) foto lateral tulang
ekor.
3.6
Serial Skoliosis
Beberapa posisi yang akan dijelaskan pada serial skoliosis antara lain
seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
61
3.6.1 Proyeksi PA (AP)
Pada proyeksi PA, foto dilakukan dalam posisi pasien erect dan
recumbent untuk perbandingan. Saat melakukan posisi erect, kedua
kaki pasien harus berdiri. Film hasil foto Rontgen ini memperlihatkan
tulang belakang thorakalis dan lumbal hingga 3 cm di bawah krista iliaka.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.32 Hasil foto Rontgen pada proyeksi PA (AP).
3.6.2 Posisi Lateral Erect
Pengambilan foto dilakukan dalam posisi pasien lateral erect dengan
tangan ke atas dan dipastikan tidak ada rotasi. Film foto Rontgen pada
posisi ini akan tampak thorakalis dan lumbal dalam posisi lateral, batas
bawah film harus tampak krista iliaka.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.33 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral erect.
62
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
3.6.3 Proyeksi PA (AP) Metode Ferguson
Untuk proyeksi ini, foto dalam posisi erect dengan berdiri menggunakan
dua kaki kemudian difoto lagi dalam posisi erect dengan satu kaki
(sesuai letak konveksitas vertebra) menginjak balok yang digunakan
sebagai perbandingan. Pada proyeksi ini, pengambilan foto harus
tampak seluruh tulang belakang thorakalis dan lumbal hingga 3 cm
inferior krista iliaka.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 3.34 Hasil foto Rontgen pada proyeksi PA metode Ferguson.
3.6.4 Proyeksi AP (PA) Bending Kanan Kiri
Pada proyeksi ini, posisi pasien bisa erect atau supine. Pasien diminta
untuk mengambil posisi lateral fleksi kanan dan kiri sejauh mungkin.
Film foto Rontgen pada posisi ini akan tampak thoracal dan lumbal
dalam posisi lateral fleksi dengan krista iliaka.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
63
Tegak
Bengkok ke kanan
Bengkok ke kiri
Sumber: http://www.rad.washington.edu
Gambar 3.35 Posisi badan pada proyeksi AP (PA) bending kanan kiri.
3.7
Kelebihan dan Aplikasi Klinis Foto Rontgen
Pada umumnya, foto Rontgen menjadi pilihan pertama untuk
melakukan screening. Hal ini dilakukan karena biayanya relatif
terjangkau dibandingkan sarana radiologi yang lain. Akan tetapi, foto
Rontgen memiliki keterbatasan pada penggambaran yang kurang bisa
menunjukkan perbedaan organ sehingga dalam pelaksanaannya harus
ditunjang dengan sarana yang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, pada tabel berikut ini akan
dirangkum beberapa jenis foto Rontgen beserta patologi dan
penampakan struktur yang dihasilkan.
Tabel 3.1 Jenis foto Rontgen beserta patologi dan penampakan struktur
yang dihasilkan
No.
1
A
B
64
Jenis Foto
Patologi
Tulang Belakang Servikalis
Lateral
Tulang belakang
servikalis dan jaringan
lunak lainnya
AP
C3-C7
Tampak Struktur
Korpus, apofiseal,
prosesus spinosus, diskus
intervertebralis C1-C2
Korpus, diskus invertebralis
C3-C7, T2/T3
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
No.
Jenis Foto
Patologi
Tampak Struktur
C1-C2 dan jaringan lunak
di sekitanya
Tulang belakang
servikalis, jaringan
lunak. RAO/LAO dapat
mengurangi radiasi tiroid
C7-T3 terlihat lebih jelas
Dens, lateral mass C1, korpus
C2, apofiseal C1-C2
Foramina intervertebralis,
pedikel
C
AP Open Mouth
D
Oblique
E
Swimmers
F
Hiperekstensi/
Gangguan gerak tulang
Hiperfleksi
belakang servikalis
Metode Fuch/Judd Struktur tulang sekitar
C1 dan dens
G
H
Wagging Jaws
2
Kln dens disertai kolum
servikalis lain
Pillars
Kln arcus vertebra
posterior C4-C7 dan
proccesus spinosus
cervicothorakal
Tulang Belakang Thorakalis
A
AP
I
Tulang belakang
thorakalis
Lateral
3
A
Tulang belakang
thorakalis misalnya
kompresi/subluksasi/
kifosis
Oblique
Sendi apofiseal,
kiri kanan untuk
perbandingan
Tulang Belakang Lumbal
AP
Tulang belakang lumbal
misalnya fraktur/sko­lio­
sis/neoplastik
B
Oblique
C
Lateral
D
Lateral L5-S1
E
AP Aksial L1-S1
Pars interartikularis
misalnya spondilolisis
Tulang lumbal misalnya
spondilolisthesis/
neoplastik
Spondilolisthesis L4
terhadap L5/L5 terhadap
S1
L5, S1, sakroiliaka
Korpus, diskus interverte­
bralis, apofiseal C4-T3
Kurvatura servikalis, gerakan,
stabilitas ligamen
Dens, struktur sekitar
atlantoaksial dalam foramen
magnum
Seluruh tulang belakang
servikalis
Tulang belakang servikalis
dan thorakalis atas, sendi
apofiseal dengan lamina dan
prosesus transversus
Korpus, diskus interverte­
bralis, prosessus
transversus dan spinosus,
kosta posterior, sendi
kostovertebra T1-T7
Korpus, diskus
intervertebralis, foramina
intervertebralis T1-T7
Sendi apofiseal T1-T7
Korpus, prosessus
transversus dan spinosus L1L5, sendi intevertebralis dan
sakroiliaka, tulang sakrum
Sendi apofiseal, scotty dog
Korpus, prosessus spinosus,
diskus intervertebralis,
foramen intervertebra L1-L4
Sendi L4 terhadap L5, L5
terhadap S1
Sendi L5 terhadap S1 dan
sakroiliaka
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
65
No.
Jenis Foto
Patologi
4
A
Tulang Sakrum dan Tulang Ekor
AP aksial sakrum
Sakrum
B
AP aksial coccyx
C
Tulang sakrum dan Tulang sakrum dan
tulang ekor lateral tulang ekor
Serial skoliosis
PA erect
Derajat skoliosis,
bandingkan erect dengan
recumbent
Lateral erect
Spondilolithesis, derajat
kifosis atau lordosis
5
A
B
C
PA Ferguson
D
AP bending kanan
kiri
Tulang ekor
Tampak Struktur
Sendi sakroiliaka, foramina
sakrum, sendi L5-S1
Coccyx tidak tertutup
simpisis pubis
Sisi lateral tulang sakrum
dan tulang ekor, sendi L5-S1
Tulang belakang thorakalis
dan lumbal dalam posisi PA,
tampak krista iliaka
Tulang belakang thorakalis
dan lumbal dalam posisi
lateral
Kurva primer atau kurva Tulang belakang thorakalis
sekunder (kompensator) dan lumbal dalam posisi PA
Kemampuan gerak
Tulang belakang thorakalis
kolumna tulang belakang dan lumbal dalam posisi AP
dengan lateral fleksi
INTISARI
 Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk membuat foto
Rontgen yang baik yaitu tersedianya perlengkapan untuk
membuat radiografi, jenis pemeriksaan dan posisi pemeriksaan,
pengetahuan tentang kamar gelap, pengetahuan tentang pesawat
Rontgen, dan proses terjadinya gambaran radiografi.
 Beberapa teknik foto Rontgen untuk daerah tulang belakang
servikalis yaitu:
• posisi lateral servikalis
• posisi anteroposterior servikalis
• proyeksi AP open mouth cervical
• posisi anterior dan posterior oblique cervical
• posisi lateral cervicothoracalis (Swimmer’s)
• posisi lateral-hiperekstensi dan hiperfleksi
 Teknik foto Rontgen pada tulang belakang thorakalis dapat
dilakukan dengan cara:
• posisi AP thoracal
66
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
•
•
posisi lateral thoracal
posisi oblique anterior dan posterior thoracal
 Teknik foto Rontgen pada tulang belakang lumbal dapat dilakukan
dengan cara:
• posisi AP atau PA lumbal
• posisi oblique posterior atau anterior lumbal
• posisi lateral lumbal
• posisi lateral L5-S-1
• proyeksi AP aksial L5-S1
 Teknik foto Rontgen pada tulang sakrum dan tulang ekor dapat
dilakukan dengan cara:
• proyeksi AP aksial sakrum
• proyeksi AP aksial tulang ekor
• proyeksi lateral tulang sakrum dan tulang ekor
 Beberapa posisi pada serial skoliosis antara lain dapat dilakukan
dengan:
• proyeksi AP
• proyeksi lateral erect
• proyeksi AP metode Ferguson
• proyeksi AP bending kanan kiri
 Foto Rontgen biasanya menjadi pilihan pertama untuk melakukan
skrening karena biayanya relatif murah. Namun, memiliki keter­
batasan pada penggambaran yang kurang bisa menunjukkan
perbedaan organ.
Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi)
67
Bab 4
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
DENGAN MIELOGRAFI
S
etelah kita mengenal foto Rontgen sebagai salah satu teknik
pemeriksaan radiografi, sekarang kita akan mengenal
teknik radiografi yang lain yaitu mielografi. Bagaimana
prinsip dasar mielografi dan apakah kelebihan serta bagaimana aplikasi
teknik yang digunakan? Mari kita baca penjelasannya berikut ini.
4.1
Prinsip Dasar Mielografi
Mielografi merupakan pemeriksaan radiografi alternatif dengan
menggunakan fluoroskopi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat
kelainan pada kanalis spinalis, diskus intervertebralis, atau radiks saraf.
Kelainan tersebut antara lain dapat berupa:
1. Herniasis diskus
2. Stenosis spinal (penyempitan kanalis spinalis)
3.Adanya tumor.
Pemeriksaan mielografi pada umumnya dengan menggunakan
kontras iopamiro yang larut dalam air dan mempunyai osmolalitas
yang rendah untuk mengurangi efek samping, misalnya mual, sakit
kepala, vertigo, dan lain sebagainya.
4.2
Prosedur Pemeriksaan Mielografi
Prosedur pemeriksaan mielografi terdiri atas persiapan, pelak­sanaan
pemeriksaan, kemudian perawatan setelah pemeriksaan.
4.2.1Persiapan
Sebelum melakukan pemeriksaan mielografi, ada beberapa persiapan
yang harus dilakukan pasien yaitu:
1. Mulai malam sampai pagi sebelum pemeriksaan, perawat
meningkatkan kebutuhan cairan secara oral atau intravena
untuk mempertahankan hidrasi. Jika setelah pemeriksaan pasien
muntah, dibutuhkan cairan kurang lebih 3.000 cc untuk mencegah
dehidrasi.
2. Fenotiazin dan obat-obat depresan atau stimulan tidak boleh
diberikan dalam jangka waktu 48 jam sebelum pemeriksaan
dilakukan.
70
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
3. Kaji adanya riwayat alergi terhadap iodin atau makanan laut
karena dapat menimbulkan anafilaksis. Riwayat gangguan hepar
atau ginjal juga perlu dikaji karena metabolisme dan ekskresi zat
kontras tergantung pada fungsi hati dan ginjal.
4. Jelaskan prosedur selama dan setelah pemeriksaan.
4.2.2 Pemeriksaan Mielografi
Beberapa teknik pemeriksaan mielografi yang dilakukan yaitu dengan
pungsi lumbal dan oksipetal. Kalau tidak ada obstruksi maka kontras
akan mengisi ruangan berisi cairan serebrospinal.
Pada pungsi lumbal, pasien diarahkan dalam posisi erect (duduk)
atau lateral dekubitus kiri/kanan. Setelah itu, dilakukan pungsi dengan
jarum spinal no. 18 atau no. 20 setinggi L3-4 atau L4-5, dan kadangkadang dikerjakan pungsi setinggi L2-3. Pada mielogram, dimasukkan
kontras sebanyak 4-6 ml dalam ruangan arachnoid. Foto diambil
dalam posisi prone dengan sinar AP, lateral, oblique (jika perlu). Pada
penderita dengan kelainan di daerah lumbal, foto-foto dibuat dalam
posisi erect sampai posisi trendelenberg 15 derajat agar kontras
terlihat mengisi dural sac disral sampai daerah konus medularis.
Untuk penderita dengan kelainan di daerah tulang belakang thorakalis
dan servikalis, foto diambil dalam posisi trendelenberg yang kadangkadang mencapai 45-60 derajat.
Penyuntikan kontras
Ujung sumsum
tulang belakang
Saluran tulang
belakang
Mesin sinar X
Tulang
belakang
Sumber: http://my.clevelandclinic.org
Gambar 4.1 Mielogram memerlukan penyuntikan kontras ke saluran
tulang belakang di bawah panduan sinar X.
Bab 4 – Pemeriksaan Radiologi dengan Mielografi
71
Pada pungsi suboksipital, pasien diarahkan dalam posisi lateral
dekubikus kiri dan dilakukan pungsi di daerah suboksipital dimana
jarum pungsi akan masuk ke dalam sisterna magna cerebri dengan
kontras sebanyak 4 ml. Foto-foto dibuat dalam posisi prone dan lateral.
Cara ini dilakukan untuk melihat batas atas dan lesi yang diderita.
Prosessus
spinosus
Jarum
Cairan tulang
belakang serebral
Lumbar vertebra L3
Tulang
belakang
Lumbar
vertebra L4
Sumber: http://www.urmc.rochester.edu
Gambar 4.2 Lokasi pungsi lumbal.
Namun, pemeriksaan ini sangat jarang dilakukan. Ada kalanya
kontras yang dimasukkan tidak sampai ke dalam ruang subarachnoid,
tetapi masuk ke dalam ruang subdural atau epidural sehingga
pemeriksaan harus diulang kembali.
4.2.3 Perawatan Setelah Pemeriksaan
Perawatan setelah pemeriksaan meliputi:
1. Posisi tidur pasien lurus telentang selama 8-24 jam.
2. Monitor status neurologis tiap jam selama 24 jam.
4.3
Kelebihan dan Aplikasi Klinis Mielografi
Apakah kelebihan pemeriksaan mielografi dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologi lainnya? Hasil pencitraan mielografi cukup
baik untuk memperlihatkan perbedaan struktur pada kanalis spinalis.
72
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Tapi, pertimbangannya adalah pemeriksaan mielografi memerlukan
proses invasif. Sejak pemeriksaan radiografi menggunakan CT dan
MRI mengalami perkembangan, penggunaan mielografi konvensional
menjadi sangat jarang dilakukan. Saat ini, MRI dan CT menjadi pilihan
utama untuk memeriksa kelainan di kanalis spinalis untuk menggantikan
peran mielografi. Namun demikian, pemeriksaan mielografi masih
digunakan di beberapa tempat.
Sumber: http://neuroocean.com
Gambar 4.3 Anak panah nomor (1) menunjukkan saraf tulang belakang
normal. Anak panah nomor (2) menunjukkan terjadinya kelainan hernia.
Kelainan yang dapat ditemukan pada mielografi antara lain
hernia nucleus pulposus (HNP), tumor ekstradural ataupun intradural,
berbagai kelainan kongenital, atau arachnoiditis.
Cord
terminus
Nerve
Root
(dark)
Nerve
Root
Sleeves
Sumber: dokumen dr. Arief Iskandar, Sp.Rad. (K)
Gambar 4.4 Mielografi normal.
Bab 4 – Pemeriksaan Radiologi dengan Mielografi
73
Sumber: http://www.musculoskeletalnetwork.com
Gambar 4.5 Mielografi cut off pada VL4-5.
INTISARI
 Mielografi merupakan pemeriksaan radiografi alternatif dengan
menggunakan fluoroskopi untuk melihat kelainan pada kanalis
spinalis, diskus intervertebralis, atau radiks saraf.
 Prosedur pemeriksaan mielografi terdiri atas persiapan,
pelaksanaan pemeriksaan, kemudian perawatan setelah
pemeriksaan.
 Hasil pencitraan mielografi cukup baik untuk memperlihatkan
perbedaan struktur pada kanalis spinalis. Tetapi, pertim­bangannya
adalah pemeriksaan mielografi memerlukan proses invasif.
74
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Bab 5
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
DENGAN COMPUTED
TOMOGRAFI
C
omputed Tomografi (CT) tulang belakang lumbal
merupakan pemeriksaan radiologi yang menggabungkan
teknik sinar X dengan pemanfaatan komputer untuk
memperoleh informasi anatomi irisan melintang tulang belakang
lumbal (Kertoleksono, 2008).
5.1 Prinsip Dasar CT
Sinar X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis
dengan gelombang radio, panas, cahaya, dan sinar ultraviolet (UV)
tetapi dengan panjang gelombang yang sangat pendek. Karena
panjang gelombang yang sangat pendek tersebut maka sinar X dapat
menembus benda-benda (Rochman, 2008).
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 5.1 Pasien yang sedang melakukan CT scan.
Komponen CT terdiri atas circular scanning gantry yang merupakan
tabung sinar X dan detektor, meja penderita, generator sinar X, dan
unit komputer pengolah data. Pada CT, komputer digunakan untuk
menggantikan film kaset dan kamar gelap difungsikan dengan cairancairan pengembang serta fiksirnya seperti foto sinar X biasa. Tabung
Rontgen dan kumpulan detektor berada di dalam suatu wadah
76
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Sumber:http://www.ti.com
Gambar 5.2 Komponen CT scan.
Tabung Sinar-X
gantry
Sin
arX
Detektor
Logic
Temp Sense Fan
Control
Low Noise
Power
ADC
AFE
Channel Card Front-End
REF
Line
Drivers
Level shift
DSP
And/Or
FPGA
Image
Reconstruction
Core and
I/O Power
DSP
And/Or
FPGA
Signal
processing
Memory
power
Medical
System
and PC
Interfaces
Wireless
Clock
Controller Card
SDRAM
Unit kontrol untuk
pergerakan
SDRAM
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
77
yang disebut gantry. Di tengah-tengah gantry terdapat lubang yang
berfungsi untuk memasukkan atau menggeser meja beserta pasien
dengan motor-motornya.
Mulai pesawat CT generasi ketiga, gantry dapat dimiringkan ke
belakang atau ke depan, masing-masing maksimal sampai kemiringan
20o sehingga tidak hanya penampang tegak saja yang dapat dibuat
melainkan juga scanning miring dengan sudut yang dikehendaki. Baik
tabung Rontgen maupun detektor-detektor bergerak 360o memutari
pasien sebagai objek yang ditempatkan di antaranya. Selama bergerak
memutar tersebut, tabung menyinari pasien dan masing-masing
detektor menangkap sisa-sisa sinar X yang telah menembus pasien
sebagaimana tugas film biasa. Semua data secepat kilat dikirim ke
komputer yang mengolahnya (untuk mengerjakan kalkulasi) dengan
secepat kilat pula. Hasil pengolahan muncul dalam layar TV yang
bekerja sebagai monitor. Hasilnya merupakan penampang bagian
tubuh yang diputar dan disebut scan. Gambar yang dibentuk dapat
merupakan potongan aksial, koronal, dan sagital. Pada pesawat CT
dapat diambil gambar dengan selisih ketebalan mencapai 1 mm
sehingga dapat dilihat 2 daerah yang berhimpitan menjadi struktur
yang terpisah satu sama lain dengan jelas. Namun, pengambilan
gambar dengan interval ketebalan yang tipis akan menimbulkan noise
level (Kertoleksono, 2008).
Penilaian densitas dalam gambar CT dikenal dengan istilah
hiperdens, hipodens, dan isodens. Hiperdens menunjukkan
gambaran putih, hipodens memberikan gambaran hitam dan
isodens memberikan gambaran yang sama dengan organ sekitarnya.
Perbedaan densitas tersebut tergantung pada perbedaan daya serap
organ tubuh terhadap sinar X. Oleh karena itu, dibuatlah penomoran
image dengan satuan HU (Hounsfield Unit). Semakin tinggi nilai HU
maka densitas gambar semakin tinggi. Beberapa zat telah ditetapkan
nilai HU-nya, misalnya densitas air adalah 0 HU dan udara adalah -1000
HU (Kertoleksono, 2008).
Berikut ini akan dijelaskan nilai HU pada beberapa zat.
Tabel 5.1 Nilai rata-rata HU pada beberapa zat
Nama Zat
Udara
Paru
78
Nilai HU
−1000
−500
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Nama Zat
Lemak
Air
CSF
Ginjal
Darah
Otot
Grey matter
White matter
Hati
J-O Blast
Jaringan lunak, Kontras
Tulang
Nilai HU
−100 to −50
0
15
30
+30 s/d +45
+10 s/d +40
+37 s/d +45
+20 s/d +30
+40 s/d +60
+20 s/d +30
+100 s/d +300
+700 (tulang tidak kompak) s/d +3000
(tulang kompak)
Sumber: http://www.ceesential.net
5.2
Indikasi Pemeriksaan CT
Bagaimana indikasi dari pemeriksaan CT scan tulang belakang? Berikut
ini adalah penjelasannya (Hosten, 2002).
5.2.1 Herniasi Diskus Intervertebralis
CT sering digunakan untuk mengevaluasi adanya protrusi diskus
intervertebralis atau herniasi pada nerve root, cauda equine fibers
atau sumsum tulang belakang. Indikasi ini sering terjadi pada vertebra
lumbal dibandingkan dengan servikal maupun thorakal.
5.2.2 Fraktur dan Trauma Lain
Pada beberapa center, spiral CT digunakan untuk skrening awal pada
penderita dengan trauma terutama untuk mengevaluasi kepala, leher,
dan abdomen. Pada trauma spinal, kelainan pertama dan penting yang
harus diperhatikan yaitu adanya fraktur corpus vertebra.
5.2.3 Massa Intraspinal
Tujuan utama diagnosa CT pada kasus massa intraspinal yaitu untuk
menentukan level dari massa dan mendiskripsikan gambaran dari
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
79
massa tersebut. Penambahan kontras intravena direkomendasikan
untuk membantu penegakan diagnosa.
5.3
Prosedur Pemeriksaan CT
Sebagai tahap persiapan, pasien harus berpuasa antara 4–6 jam
sebelum pemeriksaan. Pemotretan awal atau permulaan dilakukan
dengan tabung yang dibiarkan diam, sedangkan pasien dalam posisi
supine dengan meja tidak digerakkan. Hasilnya adalah sama dengan
foto Rontgen biasa dan disebut sebagai topogram atau skenogram.
Skenogram ini dibuat untuk memprogramkan potongan-potongan
mana saja yang akan dibuat. Kemudian satu per satu dibuat scannya
menurut program tersebut. Dalam hal ini, pasien tetap diam di tempat
sehingga arah scan dapat ditentukan dengan tepat, sedangkan tabung
detektornya (generasi III) atau tabung (generasi IV) memutari pasien
(Kertoleksono, 2008).
Prosedur CT pada tulang belakang dapat dijalankan dengan
atau tanpa menggunakan kontras. Penggunaan kontras pada
umumnya dilakukan penderita dengan inflamasi atau neoplasma
(Kertoleksono, 2008).
Pencitraan window CT scan pada vertebra dibagi menjadi bone
window dan soft tissue window. Ketebalan irisan pada CT scan vertebra
berdasarkan indikasi klinis yaitu irisan 1-2 mm untuk fraktur tulang
belakang, 3-5 mm untuk evaluasi diskus intervertebralis, dan 5-8 mm
untuk evaluasi kanalis spinalis (Hosten, 2002).
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 5.3 CT scan bone window dengan rekonstruksi koronal dan
sagital pada tulang punggung bawah.
80
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
5.4
Teknik Pemberian Kontras
Pemberian kontras pada pemeriksaan CT dapat dilakukan dengan
beberapa teknik. Berikut ini penjelasannya (Hosten, 2002).
5.4.1Secara Intravena
Media kontras IV dapat diinjeksikan ke dalam vena perifer atau central
melalui cairan infus. Jumlah dan waktu penyuntikan kontras tergantung
pada kebutuhan klinis dan teknik pemeriksaan (single slice atau spiral
CT). Dosis kontras yang diberikan adalah 1–2,5 ml/kgBB, diinjeksikan
dalam flow rate 0,7–4 ml/detik (Hosten, 2002).
5.4.2Secara Intrathecal
Media kontras intrathecal misalnya iotrolan (isovis) dan biasanya
dimasukkan dengan cara pungsi lumbal dalam pemeriksaan mielografi,
diikuti dengan CT scan (postmyelographic CT) atau secara langsung
dalam pemeriksaan CT mielografi (atau cisternografi).
Secara umum, pemberian kontras intrathecal baik digunakan
untuk menilai spinal cord, conus medullaris, filum terminalis, cauda
equina dan intradural mass. Tanpa penambahan kontras intrathecal,
massa tersebut sangat sulit dibedakan dengan struktur anatomi
normal jaringan di sekitarnya karena memberikan gambaran atenuasi
yang sama (Hosten, 2002).
5.5
Risiko Pemeriksaan CT Scan
Risiko pemeriksaan CT scan terdiri atas risiko terhadap paparan radiasi
sinar X dan risiko reaksi alergi terhadap pemakaian kontras. CT scan
memberikan paparan sinar X lebih besar daripada foto Rontgen biasa.
Penggunaan sinar X dan CT scan secara berkali-kali dapat meningkatkan
risiko terkena kanker. Akan tetapi, risiko dari sekali pemeriksaan CT
scan adalah kecil. Seseorang yang memiliki riwayat alergi terhadap
pemakaian kontras, sebelumnya harus berhati-hati bila akan menjalani
pemeriksaan CT scan dengan kontras. Pada umumnya, kontras yang
digunakan secara intravena mengandung iodin (Kertoleksono, 2008).
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
81
5.6
Kelebihan dan Aplikasi Klinis Pemeriksaan
CT Scan
CT scan paling baik bila digunakan dalam mengevaluasi tulang,
khususnya tulang yang mempunyai elemen posterior misalnya
pada tulang belakang yang meliputi lateral mass, faset, lamina, dan
prosessus spinosus. Waktu yang digunakan untuk scanning jauh lebih
cepat daripada MRI sehingga sangat bermanfaat untuk mengevaluasi
organ tubuh yang bergerak seperti paru. Selain itu, juga bermanfaat
pada pasien trauma yang bersifat akut (Lange, 1989).
Pada tulang belakang, CT scan sangat bermanfaat dalam
mengevaluasi kasus seperti fraktur, subluksasi, herniated disk, tumor,
dan arthropathy seperti rheumatoid arthritis dan osteoarthritis
(Lange, 1989).
5.7
Gambaran Normal CT Scan Tulang Belakang
Lumbal
Gambaran normal CT scan tulang belakang lumbal pada potongan
aksial dengan ketebalan 5 mm dapat dilihat sebagai berikut.
5.7.1 Potongan Aksial Sejajar Dengan Vertebral
Endplate (Soft Tissue Window)
Aorta
Vena cava
Muskulus psoas
Prosessus
transversus
Ligamen
longitudinal anterior
Tubuh vertebra (L4)
Dural sac
Prosessus spinosus
a
82
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Ligamen
longitudinal anterior
Muskulus psoas
Saraf tulang
belakang
Pembuluh darah
tulang belakang
Tubuh vertebra (L4)
Dural sac
Pembuluh darah
tulang belakang
b
Ligamen
longitudinal anterior
Muskulus psoas
Saraf tulang
belakang
Pembuluh darah
tulang belakang
Tubuh vertebra (L4)
Dural sac
Ligamentum flavum
Pembuluh darah
tulang belakang
c
Muskulus psoas
Saraf tulang
belakang
Sendi
intervertebral
d
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
Diskus intervertebral
(L4-5)
Dural Sac
Prosessus artikular
inferior
Prosessus artikular
superior
Prosessus spinosus
83
Ligamen
longitudinal anterior
Muskulus psoas
Saraf tulang
belakang
Sendi
intervertebral
Dural Sac
Prosessus artikular
inferior
Ligamen flavum
Prosessus spinosus
e
Arteri common
iliac
Vena
common iliac
Muskulus
psoas
Saraf tulang
belakang
Sendi
intervertebral
Ligamen
longitudinal anterior
Vertebral body (L5)
Saraf tulang
belakang
Prosessus
Transversus
Prosessus spinosus
f
Arteri common
iliac
Vena
common iliac
Muskulus
psoas
Saraf tulang
belakang
Lamina
Ligamen
longitudinal anterior
Vertebral body (L5)
Saraf tulang
belakang
Lateral recess
Prosessus spinosus
g
84
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Arteri common
iliac
Vena
common iliac
Muskulus
psoas
Foramen
intervertebral
Lamina
Vertebral body (L5)
Saraf tulang
belakang
Prosessus
spinosus
h
Arteri iliac internal
Vena iliac internal
Foramen
intervertebral
Dural Sac
Vertebral body (L5)
Saraf tulang
belakang
Prosessus
spinosus
i
Sumber: Hosten, 2002
Gambar 5.4 (a-i) CT scan potongan aksial paralel dengan vertebral
endplate (soft tissue window).
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
85
5.7.2 Potongan Aksial Sejajar Dengan Vertebral
Endplate (Bone Window)
Ligamen longitudinal
anterior
Muskulus psoas
Ligamentum
flavum
Vertebral body
(L4)
Dural sac
Prosessus
spinosus
a
Ligamen longitudinal
anterior
Muskulus psoas
Saraf tulang
belakang
Vena tulang
belakang
Sendi
b intervertebral
Muskulus psoas
Saraf tulang
belakang
Sendi
intervertebral
c
86
Vertebral body (L4)
Dural sac
Prosessus artikular
inferior
Prosessus artikular
superior
Prosessus spinosus
Diskus intervertebral
Dural sac
Prosessus artikular
inferior
Prosessus artikular
superior
Prosessus spinosus
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Ligamen longitudinal
anterior
Muskulus psoas
Saraf tulang
belakang
Sendi tulang
belakang
Diskus intervertebral
Prosessus
transversus
Dural sac
Ligamentum
flavum
Prosessus
spinosus
d
Tulang kortikol
Tulang concellous
Muskulus psoas
Prosessus
transversus
Sendi
intervertebral
Ligamen longitudinal
anterior
Vertebral body
Prosessus
transversus
Prosessus artikular
inferior
Prosessus artikular
superior
Prosessus spinosus
e
Tulang concellous
Tulang kortikol
Sinus
basivertebral
Lamina
Ligamen longitudinal
anterior
Vertebral body (L5)
Saraf tulang belakang
lateral recess
Prosessus spinosus
f
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
87
Vertebral body (L5)
Foramen
intervertebral
Lamina
Prosessus artikular
superior
Prosessus artikular
Prosessus artikular
superior
g
Sumber: Hosten, 2002
Gambar 5.5 (a-g) CT scan potongan aksial paralel dengan vertebra
endplate (bone window).
Sumber: Hosten, 2002
Gambar 5.6 Gambaran foto polos tulang belakang lumbal normal proyeksi
AP/lateral
88
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
5.7.3 Potongan Transaksial Setinggi Diskus Vertebralis L3-4
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.7 CT scan potongan transaksial pada level setinggi diskus
intervertebralis L3-4.
Keterangan: Panah lurus menunjukkan prosessus artikularis superior dan
panah lengkung menunjuk­kan elemen posterior dari L3.
5.7.4 Potongan Transaksial Setinggi Sendi Faset L3-4
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.8 CT scan transaksial setinggi sendi faset L3-4.
Keterangan: SP: prosessus artikularis superior L4; IP: prosessus artikularis
inferior L3; LFC: ligamentum flavum dan kapsul faset; FJ: sendi
faset. Prosessus artikularis superior VL di bawahnya selalu
berada di anterior dan lateral terhadap prosessus artikularis
inferior VL di atasnya.
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
89
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.9 Potongan anatomik pada level yang sama dengan
Gambar 5.8.
Zona lusen dari sendi faset yang terlihat pada gambar merupakan
synovial cavity dan cartilage articularis. Jarak normal antara permukaan
korteks dari prosessus artikularis superior dan inferior adalah 2–4 mm.
5.7.5 Potongan Transaksial Setinggi Pedikel VL4
Sumber: Dorwart,1992
Gambar 5.10 CT scan potongan transaksial setinggi puncak dari
pedikel L4.
90
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Keterangan: P = pedikel; LF = ligamentum flavum; A = aorta (aneurysmal).
Kanalis neuralis (recessus lateralis) dimulai pada level ini
(panah hitam).
5.7.6 Potongan Transaksial Setinggi Korpus VL5 (Mid
Plane)
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.11 CT scan potongan transaksial setinggi midplane corpus L4
Keterangan: Panah lurus adalah recessus lateralis untuk nervus L4 kanan,
panah lengkung adalah lucent channel untuk vena basivertebral.
PI = pars interartikularis.
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.12 CT scan potongan transaksial setinggi diskus L5–S1 bagian
dorsal.
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
91
Keterangan: S
can pada level ini tanpa angulasi gantry dan memperlihatkan
gambaran dari depan ke belakang yaitu inferior end plate L5 (L5),
dorsal aspect diskus L5-S1 disc (panah) dan thecal sac (TS).
5.7.7 Potongan Aksial Setinggi Diskus Intervertebralis
L4-5
a
b
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.13 CT scan tanpa dan dengan kontras potongan aksial setinggi
diskus intervertebralis L4-5.
Diskus intervertebralis L4-5 yang disusun oleh nucleus pulposus
dan annulus fibrosis, tervisualisasi homogen lebih opak daripada
thecal sac (TS), yang biasanya berbentuk bulat atau sedikit oval pada
potongan menyilang. Panah lurus pada gambar di atas menunjukkan
epidural veins: panah lengkung menunjukkan ascending lumbar veins.
Slightly concave pada batas dorsal dari diskus lumbal orang dewasa
muda yang sehat adalah ligamentum longitudinal posterior yang
terletak di antara permukaan median dan paramedian permukaan
posterior corpus vertebra; epidural veins mungkin juga berperan
dalam terbentuknya gambaran concave tersebut.
92
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
5.7.8 Potongan Setinggi Diskus Intervertebralis L5–S1
a
b
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.14 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level dorsal aspect
dari diskus interverebralis L5-S1 (panah, gambar kiri).
Transaksial scan tanpa angulasi gantry memberikan hasil gambaran
(dari depan ke belakang) yaitu inferior end plate L5 (L5), dorsal aspect
discus L5-S1, epidural veins (panah lurus, gambar kanan) dan thecal sac
(TS). Batas dorsal dari diskus intervertebralis pada orang dewasa muda
yang sehat adalah linier atau konveks minimal pada sisi posterior.
5.7.9 Potongan Setinggi Korpus VL5 (Midplane)
a
b
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.15 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level midplane L5.
Saluran lusen dilalui vena basivertebral (panah lengkung) pada
midline dari dorsal aspect corpus vertebra L5 dan opasitas soft tissue
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
93
yang menunjukkan anterior internal vertebral veins (panah lurus)
dan segmental lumbar veins (LV) pada gambar kiri. Seluruh struktur
tersebut tergambar opacified mengikuti intravertebral injection
(gambar kanan). NT = needle track untuk injeksi kontras.
5.7.10 Potongan Setinggi Foramen Intervertebralis L5–S1
a
b
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.16 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level setinggi
foramen intervertebralis L5-S1.
Anastomosis antara segmental lumbar vein (LV) dengan venavena yang mengaliri sisi dorsal tulang belakang (panah hitam) dapat
tervisualisasi sebagai anterior internal vertebral veins.
5.7.11 Potongan Aksial Setinggi Korpus VL2 (Midplane)
a
b
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.17 CT scan tanpa dan dengan kontras potongan aksial pada
level setinggi midplane corpus vertebra L2.
94
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Keterangan: Menunjukkan segmental lumbar vein yang prominen (panah
lurus) sebelah kanan. Anastomosis yang prominen antara
ascending lumbar vein dengan inferior vena cava sering terlihat
pada level L2 dan L3.
5.7.12 Reformasi Midsagittal
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.18 Reformat midsagital sebelum penambahan kontras.
Terlihat lusensi pada dorsal aspect dari masing-masing corpus
vertebra di antara superior dan inferior end plate (panah lurus)
menunjukkan saluran yang dilalui basivertebral vein. Area lusensi ini
sering kali dikelirukan dengan lesi litik ataupun garis fraktur.
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.19 Reformat midsagital pasca penambahan kontras, terlihat
opasitas dari basivertebral vein.
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
95
5.7.13 Reformasi Parasagital
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.20 Reformat parasagital kanan memotong anterior internal
vertebral veins.
Keterangan: Menunjukkan gambaran longitudinal vena-vena di sepanjang
batas dorsal dari vertebra dan diskus (panah lurus).
5.7.14 Lokasi Kunci
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.21 Potongan setinggi tulang belakang lumbalis 5.
96
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
5.7.15Perjalanan Nervus L5
a
b
c
d
e
Sumber: Dorwart, 1992
Gambar 5.22 Seri CT scan yang memperlihatkan perjalanan nerves
lumbal 5 berasal sebagai nerve roots (R5) dari thecal sac.
Keterangan: Gambar a/setinggi no. 27 dan b/28 melalui dorsal ganglia (D5)
pada gambar c/29 menuju ventral rami (N5) pada gambar d/30
dan E/31.
INTISARI
 Computed Tomografi (CT) tulang belakang lumbal merupakan
pemeriksaan radiologi yang menggabungkan teknik sinar X dengan
pemanfaatan komputer untuk memperoleh informasi anatomi
irisan melintang tulang belakang lumbal.
 Komponen CT terdiri atas circular scanning gantry, meja penderita,
generator sinar X, dan komputer.
Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi
97
 Indikasi pemeriksaan CT scan tulang belakang antara lain:
• Herniasi diskus intervertebralis
• Fraktur dan trauma lain
• Massa intraspinal
 Prosedur pemeriksaan CT scan meliputi tahap persiapan dan
pemeriksaan.
 Pemberian kontras pada pemeriksaan CT dapat dilakukan dengan
teknik:
• secara intravena
• secara intrathecal
 Risiko pemeriksaan CT scan terdiri atas risiko terhadap paparan
radiasi sinar X dan risiko reaksi alergi terhadap pemakaian kontras.
 CT scan paling baik digunakan dalam mengevaluasi tulang,
khususnya tulang yang mempunyai elemen posterior. Waktu yang
digunakan jauh lebih cepat daripada MRI.
 Pada tulang belakang, CT scan sangat bermanfaat dalam
mengevaluasi kasus seperti fraktur, subluksasi, herniated disk,
tumor, dan arthropathy.
98
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Bab 6
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
DENGAN CT MIELOGRAFI
P
ada pembahasan sebelumnya, sudah disinggung mengenai
teknik pemeriksaan radiologi mielografi. Tapi, yang
dimaksud adalah mielografi konvensional. Nah, sekarang
kita akan mempelajari masih berhubungan dengan mielografi, tapi
dengan teknik yang lain yaitu CT mielografi atau CT mielogram.
6.1
Prinsip Dasar CT Mielografi
Mielografi konvensional dengan foto X-ray dan CT mielografi memiliki
prinsip umum yang hampir sama. CT mielogram merupakan prosedur
diagnostik yang dikerjakan setelah kontras diinjeksikan dalam rongga
sub arachnoid.
Mielografi yang baik akan menggambarkan rongga subarachnoid
dengan jelas, tidak hanya korda spinalis, namun juga kornu medularis,
serabut saraf, dan selubung sarafnya dapat terdefinisi dengan
baik. Bagian lain yang juga tampak adalah vaskuler spinal, ligamen
dentikulata, dan septa arachnoid.
CT scan dapat membantu mendiagnosa berbagai kelainan spinal,
termasuk herniasi diskus, stenosis spinal, tumor, dan fraktur tulang
belakang. Modalitas ini bagus untuk menunjukkan jaringan yang
keras, seperti tulang. Sementara itu, mielografi atau mielogram adalah
media diagnostik dengan kontras yang disuntikkan ke dalam cairan
serebrospinal. Setelah disuntikkan, kontras akan mewarnai kanalis
spinalis , korda spinalis, dan serabut saraf selama proses pencitraan.
Ketika CT scan dan mielografi digabungkan maka akan tampak
gambaran tulang dan jaringan saraf di daerah spinal (Moulton, 2013).
Kontras larut air yang digunakan diaplikasikan secara intratechal
dan telah memiliki lisensi, bersifat non neurotoxic, tidak menimbulkan
epilepsi, dan nontoksik terhadap arachnoid. Contoh kontras jenis ini
misalnya iohexol (Sutton, 2003).
Pada sebuah penelitian tentang tingkat akurasi diagnosa pasien
dengan kecurigaan herniasi segmen lumbal diperoleh angka sebagai
berikut. Pemeriksaan mielografi (81%), CT mielografi (84%), dan MRI
sebesar (94%) (Janssen dkk, 1994). Namun, dalam penelitian lain
disebutkan tingkat akurasi dan spesifisitas neuroimaging terhadap
diagnosa HNP dan spinal stenosis adalah sebagai berikut. Untuk CT
mielografi memiliki akurasi paling baik untuk diagnosa HNP sebesar
100
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
76,4% dan sensitifitas 77,8%, sedangkan mielografi memiliki spesifisitas
tertinggi 89,2%. Untuk diagnosa stenosis spinal, CT mielografi dan MRI
memiliki akurasi dan sensitifitas yang seimbang yaitu akurasi 85,3%
dan sensitivitas 87,2%. Sementara itu, mielografi memiliki spesifisitas
tertinggi yaitu sebesar 88,9% (Bischoff, 2003).
Salah satu kelebihan yang dimiliki CT mielografi dibandingkan
MRI adalah sensitifitas yang tinggi terhadap masalah pada foramen
karena dapat mendiferensiasi tulang dan jaringan lunak dengan
baik, sedangkan pada MRI sering ditemui false negatif dalam deteksi
kompresi serabut saraf di bagian foramen (kurangnya kemampuan
menggambarkan diskus foramen dan osteofit) (Birchall dkk, 2003).
Beberapa pusat kesehatan menggabungkan kedua teknik ini untuk
proses diagnostik. Menurut Modic dkk., akurasi MRI dalam mendeteksi
pasien spondilitis cervical dengan radikulopati sebesar 74%, CT
mielografi sebesar 85%, dan jika keduanya digabungkan akurasinya
mencapai 90% (Modic, 1986).
6.2
Dasar Anatomi
Total cairan serebrospinal manusia dewasa sekitar 150 ml (50%
intrakranial, 50% spinal). Sekitar 500-750 ml cairan serebrospinal
diproduksi setiap hari (0,4 ml/menit, 20-30 ml/jam), takaran normal
pada manusia dewasa sekitar 7-15 mm H2O, jika >18 mm H2O, dan hal
ini sudah merupakan kondisi abnormal. Namun untuk orang dewasa
muda, angka normalnya sedikit tinggi yaitu <18-20 mm H2O.
Menurut dr. Hodges, diameter AP korda spinalis 7 mm sampai C7,
sedangkan dari C7-conus sebesar 6 mm, dan 7 mm di bagian comus.
Ukuran korda dinyatakan abnormal jika >8 mm atau <6 mm.
Secara normal akan didapatkan 7 korpus tulang belakang servikalis,
12 korpus tulang belakang torakalis, 5 korpus tulang belakang lumbal,
tulang sakrum, dan tulang ekor. Terdapat beberapa serabut saraf yang
saling berkaitan, 8 tulang belakang servikalis, 12 tulang belakang
thorakalis, 5 tulang belakang lumbal, 5 tulang sakrum, dan tulang ekor
(Washington University, 2010).
Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi
101
6.3
Indikasi CT Mielografi
MRI merupakan pencitraan pertama yang digunakan sebagai
pemeriksaan untuk mengevaluasi spinal cord dan radiks saraf.
Namun pada beberapa kondisi, mielografi dan atau CT mielografi
diindikasikan misalnya untuk pasien yang tidak dapat dilakukan
menggunakan teknik MRI atau pada pasien yang sebelumnya pernah
dipasang plat pada tulang belakangnya sehingga plat logam tersebut
dapat menyebabkan distorsi dari gambar. Sebagai tambahan, pada
beberapa kasus, CT mielografi dapat memberikan gambaran lebih jelas
daripada MRI. CT mielografi memberikan hasil yang sama dengan MRI.
Bedanya, pada CT mielogram, pasien mengalami radiasi, sedangkan
pada MRI, pasien tidak mengalami radiasi. Pada CT mielogram juga
lebih invasi karena kontras yang dimasukkan dapat menimbulkan
ketidaknyamanan tersendiri sehingga pada sebagian besar kondisi,
MRI lebih menjadi pilihan.
CT mielografi paling sering digunakan untuk mendeteksi kelainan
pada spinal cord, kanalis spinalis, dan radiks saraf serta pembuluh darah
yang mensuplai spinal cord, termasuk untuk beberapa hal berikut ini.
~~ Untuk menunjukkan apakah herniasi dari diskus intervertebra
menekan spinal cord atau radiks saraf.
~~ Menunjukkan kondisi yang sering menyertai degenerasi dari tulang
dan jaringan lunak di sekitar kanalis spinalis (spinal stenosis–
kanalis spinalis menyempit akibat jaringan di sekeliling mengalami
pembesaran akibat adanya osteofit dan penebalan dari ligamen
di sekitar).
~~ Adanya kelainan kongenital seperti meningocele (spina bifida),
meningomielocele (penonjolan di bagian medula spinalis dan
membran pembungkusnya) melalui tulang di kanal spinalis.
Adanya kelainan ini ditutupi oleh membran transparan tipis yang
dapat mengeras dan lembab.
~~ Untuk membantu mendeteksi arachnoiditis atau trauma pada
jaringan saraf tulang belakang.
CT mielografi juga dapat digunakan untuk mengakses kondisi
berikut, yaitu suatu kondisi dimana teknik MRI tidak dapat dilakukan
(atau sebagai tambahan dari MRI ketika MRI tidak dapat memberikan
informasi yang cukup) yang meliputi:
102
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
•
•
•
•
6.4
Tumor yang mengenai tulang belakang, meningens, radiks
saraf atau spinal cord.
Infeksi pada tulang belakang, diskus intervertebralis,
meningens, dan jaringan lunak di sekeliling.
Inflamasi membran arachnoid yang menutupi spinal cord.
Lesi spinal yang disebabkan oleh penyakit atau trauma.
Kontra Indikasi CT Mielografi
Penggunaan pencitraan dengan CT mielografi dapat menimbulkan
kontra indikasi, menimbulkan kerugian, dan memiliki keterbatasan
seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
6.4.1 Kontra Indikasi Penggunaan Imaging CT Mielografi
Terdapat beberapa kontra indikasi yang harus diperhatikan pada
pencitraan menggunakan CT mielografi ini yaitu pada kondisi berikut
ini.
~~ Ibu hamil, karena hal ini dapat menyebabkan paparan radiasi yang
dapat membahayakan janin sang ibu.
~~ Pemanjangan PT dan PTT (normal: 10–12 detik), trombosit di
bawah 50.000.
~~ Terjadinya alergi kontras.
6.4.2 Kerugian Penggunaan Imaging CT Mielografi
Sebuah teknologi selain mempunyai keunggulan, tapi di sisi lain
terkadang juga dapat menimbulkan kerugian, tidak terkecuali pada
penggunaan CT mielografi. Berikut ini merupakan beberapa kerugian
yang ditimbulkan akibat penggunaan CT mielografi.
~~ Adanya paparan radiasi (pada penggunaan MRI, pasien tidak
mengalami paparan radiasi).
~~ Menimbulkan nyeri kepala yang parah akibat leak cairan
serebrospinal (biasanya mulai 2-3 hari setelah prosedur
dikerjakan).
~~ Reaksi alergi terhadap kontras.
~~ Infeksi, perdarahan, maupun cidera saraf.
Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi
103
6.4.3 Keterbatasan Penggunaan Imaging CT Mielografi
Beberapa keterbatasan pencitraan menggunakan CT mielografi yaitu:
~~ Tidak dapat dikerjakan apabila sisi injeksi mengalami infeksi.
~~ Injeksi kontras akan sulit bila terdapat kelainan struktur tulang
belakang.
6.5
Prosedur Pemeriksaan CT Mielografi
Prosedur pelaksanaan CT mielografi terdiri atas tahap persiapan,
pemeriksaan, dan perawatan pasca pelaksanaan.
6.5.1Persiapan
Sebelum melakukan pemeriksaan, ada beberapa persiapan yang
dilakukan, antara lain sebagai berikut. Terdapatnya surat persetujuan
pelaksanaan CT mielografi. Menjelaskan history taking yaitu riwayat
alergi, baik obat maupun non-obat, pengobatan yang sedang
digunakan, penyakit yang sedang diderita dan past medical history,
juga kehamilan. Beberapa obat perlu distop penggunaannya sebelum
dilakukan mielogram, seperti yang dijelaskan berikut ini.
Antihistamines
Trimeprazine (Temaril)
Haloperidol (Haldol)
Lithium (Eskalith, Liothane)
Methdilazine (Tracaryl)
Chlorprothizene (Taractan)
Tricyclic Antidepressants
Thiothixene (Navane)
Cyclobenzaprine (Flexeril)
Perphenzaine (Trilafon)
Desipramine (Norpramin)
Imipramine (Tofranil)
Nortriptyline (Aventyl, Pamelor)
Doxepin (Sinequan, Adapin)
Protriptyline (Vixactil)
Presamine
Trimipramine Meleate
Surmontil
Amoxapine (Asecdin)
Antipsychotic Agents
104
Loxapine (Loxitane, Daxolin)
Molindone (Moban, Lidone)
Pain Medications
Tramadol HCL (Ultram)
Phenothiazines - Tranquilizers
Chlorpromazine (Thorazine)
Amitryptyline (Elavil, Etrafon, Endep)
Phochlorperzaine (Compazine)
Thiethylperazine (Torecan)
Thiodazine (Quide)
Acetophenazine (Tindal)
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Promazine (Sparine)
Propiomazine (Largon)
Fluphenazine (Stelazine)
Fluphenazine (Proxilin)
Methotrimeprazine (Levoprome)
Thiorodazine (Mellaril)
Anxiolytics
Thiothixene (Navane)
Perhenazine dan Amitriptyline (Triavil,
Etrafon, Limbitrol)
Triflupromazine (Vesprin)
Mesoridazine (Serentil)
Carphenazine (Proketazine)
Butaperazine (Repoise)
Other
Promethazine (Phenergan)
Sumber: http://www.medicalhealthtests.com
Fasilitas minimal yang perlu dipersiapkan yaitu:
1. Peralatan radiografi/fluoroskopi yang mendukung. Meja radiografi
yang dapat dinaikturunkan sampai minimal 30o.
2. Spinal needle yang adekuat dan kontras nonion yang sesuai untuk
penggunaan intratechal.
3. Peralatan dan fasilitas yang sesuai untuk penanggulangan efek
samping (kejang, reaksi vasovagal, kolaps kardiorespirasi).
4. CT scan yang sesuai.
a
b
Sumber: (a) http://www.gmcimaging.org dan (b) http://www.envrad.com
Gambar 6.1 (a) Peralatan CT scan dan (b) pelaksanaan mielografi.
6.5.2 Prosedur Pemeriksaan
Berikut ini merupakan beberapa prosedur pemeriksaan CT
mielografi.
Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi
105
1. Pasien diposisikan secara prone di atas meja radiografi kemudian
diletakkan bantal di bawah perut untuk membuat fleksi tulang
belakang lumbal dan kulit tempat pungsi disterilisasi.
2. Dengan bantuan fluoroskopi, pada L2-L3 atau L3-L4 (dapat pula
dikerjakan pada C1-C2), lokal anestesi diaplikasikan dengan
spinal needle. Setelah mencapai rongga subarachnoid, cairan
serebrospinal dapat diambil untuk diperiksakan bila perlu.
Penusukan jarum melalui ligamen intraspinosum. Jarum harus
muncul untuk menjadi gambaran titik yang diproyeksikan antara
prosessus transversum pada AP fluoroskopi. Jarum dipegang oleh
kedua tangan, satu jari telunjuk harus memegang stilet di tempat,
sementara sisi yang lain harus di kulit.
Tubuh tulang
belakang lumbal
Diskus
intervertebral
lumbal
Cauda equine
(saraf lumbal dan
sakral)
Saraf tulang
belakang
Konus
Cauda equina
Prosessus
spinosus
Ligamen
interspinous
Sumber: http://www.insideradiology.com.au
Gambar 6.2 Penyuntikan CT mielografi dapat dilakukan pada L2-L3.
3. Kontras nonion kemudian dapat dimasukkan sebanyak 17 ml
dengan konsentrasi 180 mg/dl atau 12 ml dengan konsentrasi 240
mg/dl untuk pemeriksaan lumbal. Sementara itu, sebanyak 10 ml
dengan konsentrasi 300 mg/dl untuk pemeriksaan servikalis atau
106
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
basal sisterna. Secara umum, dosis total dari iodin tidak boleh
melebihi 3 mg.
4. Sebelum jarum diambil, dapat diambil foto X-ray sebagai
dokumentasi.
5. Jarum spinal diambil lalu pasien diposisikan dengan alat pengaman
dan meja radiografi dapat dinaikturunkan.
6.Dengan fluoroskopi, sambil meja radiografi dinaikturunkan, dapat
dilihat pengisian rongga subarachnoid dan gambaran spinal cord
oleh kontras.
7. Untuk mielografi tulang belakang servikalis dan pada beberapa
mielografi tulang belakang thorakalis, kepala dihiperekstensikan
pada bagian leher sehingga posisi pasien menjadi lordosis dan
setelah itu meja radiografi dinaikturunkan sampai kontras mengisi
tempat yang diinginkan.
8. Jika diinginkan sisternografi, pasien kemudian diposisikan secara
horisontal, kepala yang semula hiperekstensi diposisikan normal
kembali (fleksi) secara perlahan-lahan. Sisternografi biasanya
dikerjakan dengan menggunakan CT scan.
9. CT scan mielografi atau CT scan sisternografi dapat dikerjakan
setelahnya.
6.5.3 Perawatan Pasca Pelaksanaan
Setelah selesai, pasien diwajibkan untuk tirah baring dengan posisi
kepala lebih di atas (head elevation) selama beberapa jam (head
elevasi 30-45o), menghindari aktivitas berat, dan banyak minum air
untuk mengeliminasi kontras.
6.6
Efek Samping CT Mielografi
Komplikasi paling umum yang diakibatkan oleh mielografi adalah
terjadinya reaksi meningeal, nyeri kepala, muntah, vertigo, dan
sakit leher. Hal ini karena pengaruh dari hilangnya CSF akibat dari
tusukan pada lapisan dura. Komplikasi ini dapat diminimalkan dengan
menggunakan jarum kecil. Nyeri kepala yang tipikal setelah pungsi
dapat dibedakan dari migrain atau jenis nyeri kepala dengan posisi
tegak nyeri akan semakin memberat dan membaik secara spontan
dalam posisi supinasi. Nyeri kepala ini memiliki onset segera setelah
pungsi atau dalam beberapa jam.
Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi
107
Komplikasi lainnya termasuk kerusakan saraf, meningitis, abses
epidural, reaksi kontras, kebocoran CSF, atau perdarahan, termasuk
kerusakan sumsum tulang belakang, seperti karena konus rendah atau
kabel ditambatkan dengan pendekatan lumbar atau kerusakan kabel
langsung dalam pendekatan serviks. Komplikasi lainnya termasuk
kematian atau kelumpuhan dari kerusakan kabel akibat suntikan
kontras ke kabel atau perdarahan dalam kabel dari kerusakan jarum.
6.7
Gambaran Radiologi CT Mielografi
Berikut ini akan dijelaskan beberapa gambaran radiologi dari CT
mielografi.
a
b
Sumber: Chen, 2004
Gambar 6.3 Hasil foto CT scan: (a) mielogram lumbal normal dan
(b) mielogram servikal proyeksi AP.
Keterangan: (a) Perhatikan kontras putih yang mengisi sakus tekal. Akar
saraf mudah teridentifikasi sebagai “negative defect” pada
kontras (panah). (b) Sumsum tulang belakang (asterisk) dapat
dilihat sebagai gambaran yang memiliki densitas yang rendah
dalam kolom kontras. Akar saraf juga dapat terlihat pada gambar
(panah).
108
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
a
b
Sumber: Chen, 2004
Gambar 6.4 (a) Gambaran CT normal pada tulang belakang: (a) soft tissue
windows dan (b) bone window.
Keterangan: ( a) A = aorta; D = diskus intervertebralis; N = foramen saraf;
P = otot psoas; panah = ligamentum flavum; asterisk = sakus tekal.
(b) Asterisk = kanalis spinalis; P = pedikel; B = korpus vertebrae;
T = prosessus tranversus; F = sendi faset. Perhatikan detail tulang
dan lingkar tipis tulang kortikal yang normal padat (panah).
Berikut ini merupakan gambaran CT mielografi pada pasien
dengan sakit kepala nontraumatik yang disertai kebocoran cairan
serebrospinal.
a
b
Sumber: Chen, 2004
Gambar 6.5 Hasil foto CT scan: (a) coronal refformated CT myelogram dan
(b) sagittal refformated CT myelogram.
Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi
109
Keterangan: (a) Menunjukkan adanya kumpulan cairan serebrospinal pada
jaringan lunak di paravertebra sinistra posterior pada level T12.
(b) Menunjukkan adanya agregasi kontras pada ruang subdural
posterior.
Berikut ini merupakan hasil CT scan mielogram pada pria berusia
57 tahun dengan kista meningeal ekstradural. Axial CT myelogram
menunjukkan kista setinggi S1 sebelah kiri yang terisi dengan kontras.
Perhatikan adanya persarafan yang menempel di dinding kista yang
ditunjuk dengan tanda panah.
Sumber: Davagnanam, 2013
Gambar 6.6 Hasil foto CT scan mielografi yang menunjukkan adanya
kista meningeal ekstradural.
Foto CT scan mielogram ini dimiliki oleh seorang pria berusia
47 tahun dengan kista meningeal ekstradural ganda. Oblique CT
myelogram menunjukkan adanya kista perineurium multiple (tanda
panah) yang membungkus radiks saraf sebelah kiri.
110
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Sumber: Davagnanam, 2013
Gambar 6.7 Hasil foto CT scan mielografi dengan kelainan kista
meningeal ekstradural ganda.
Berikut ini merupakan hasil foto CT scan mielografi dengan kista
meningeal intradural pada laki-laki berusia 50 tahun. Lateral thoracic
myelogram menunjukkan adanya masa intradural yang berbatas tegas
(panah) yang tampak sebagai filling defect kontras pada columna
spinalis. Kista kedua yang lebih kecil dapat dilihat secara inferior.
Sumber: Davagnanam, 2013
Gambar 6.8 Hasil foto CT scan mielogram dengan kista meningeal
intradural.
Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi
111
Gambar berikut ini menunjukkan hasil foto CT scan mielogram
dengan kelainan traumatic cervical pseudomeningocele pada lakilaki berusia 24 tahun.CT mielogram serial menunjukkan komponen
pseudomeningocele intra spinal (arrowheads) dan ekstraspinal (arrow).
Sumber: Davagnanam, 2013
Gambar 6.9 Hasil foto CT scan mielogram dengan kelainan traumatic
cervical pseudomeningocele.
Foto berikut ini menunjukkan gambaran tulang belakang servikalis
mielografi pada pasien normal (posisi pronasi). Dengan kepala pasien
terbaring, ada waktu yang cukup untuk mendapatkan gambar yang
menunjukkan radiks saraf servikalis dengan sangat mendetail tanpa
kehilangan kontras.
Sumber: Fontaine,2002
Gambar 6.10 Hasil foto servikal mielografi pada pasien normal (posisi
pronasi).
112
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Gambar berikut menunjukkan avulsi radiks servikal pada seseorang
setelah kecelakaan motor.
a
b
c
Sumber: Kapur, 2009
Gambar 6.11 Hasil foto (a) CT mielografi menunjukkan adanya
pseudoceles traumatic di C7-D1. (b) Irisan tipis (1,25 mm) CT mielografi
dan (c) potongan koronal CT mielografi.
Keterangan: ( a) Cabang-cabang radiksnya tidak dapat dibedakan. (b) dan
(c) menunjukkan adanya avulsi komplit dari radiks ventral dan dorsal.
Sumber: Kapur, 2009
Gambar 6.12 Hasil foto potongan aksial CT mielografi yang menunjukkan
adanya stenosis kanal ringan karena osteofit korpus posterior.
Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi
113
Sumber: Kapur, 2009
Gambar 6.13 Hasil foto potongan aksial CT mielogram.
Keterangan: Menunjukkan adanya stenosis kanal ringan, stenosis neurofora­
mina kiri, protursi diskus yang menekan serabut saraf, dan
degenerasi sendi faset.
INTISARI
 Mielografi atau mielogram adalah media diagnostik dengan
kontras yang disuntikkan ke dalam cairan serebrospinal. Setelah
disuntikkan, kontras akan mewarnai kanalis spinalis, korda spinalis,
dan serabut saraf selama proses pencitraan.
 Ketika CT scan dan mielografi digabungkan maka akan tampak
gambaran tulang dan jaringan saraf di daerah spinal.
 Salah satu kelebihan yang dimiliki CT mielografi dibandingkan MRI
adalah sensitifitas yang tinggi terhadap masalah pada foramen
karena dapat mendiferensiasi tulang dan jaringan lunak dengan
baik.
 Pada CT mielogram, pasien mengalami radiasi, sedangkan pada
MRI, pasien tidak mengalami radiasi.
 Kontra indikasi penggunaan CT mielografi antara lain berbahaya
pada ibu hamil, pemanjangan PT dan PTT, dan terjadinya alergi
kontras.
 Kerugian penggunaan CT mielografi antara lain terjadinya paparan
radiasi, menimbulkan nyeri kepala yang parah, reaksi alergi,
infeksi, perdarahan, maupun cidera saraf.
 Prosedur pelaksanaan CT mielografi terdiri atas tahap persiapan,
pemeriksaan, dan perawatan pasca pelaksanaan.
114
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Bab 7
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
DENGAN MAGNETIC
RESONANCE IMAGING
S
ecara prinsip, Magnetic Resonance Imaging (MRI)
merupakan pemeriksaan imaging yang menggunakan
bahan hidrogen dan interaksinya dengan kedua medan
magnet eksternal dan gelombang radio untuk menghasilkan gambaran
yang detail dari tubuh manusia. Pada awalnya, MRI dikenal dengan
nama NMR, yang merupakan kepanjangan dari Nuclear Magnetic
Resonance. Namun, nama ini akhirnya diubah karena konotasi negatif
dari kata “nuklir”. Akan tetapi, pada dasarnya prinsip dasar keduanya
adalah sama.
Pada MRI, gambar diperoleh dari partikel nuklir (khususnya
hidrogen). Selain itu, juga diperlukan medan magnet yang kuat.
Kekuatan medan magnet yang digunakan untuk MRI terukur dalam unit
Tesla. Satu Tesla setara dengan 10.000 Gauss. Medan magnet di bumi
kurang lebih 0,5 Gauss. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa 1
Tesla mempunyai medan magnet kurang lebih 20.000 kali lebih kuat
daripada medan magnet bumi. Medan magnet yang dihasilkan oleh
alat ini akan memberikan instruksi pada proton yang ada di nukleus
hidrogen. Pada keadaan normal, proton akan berada dalam arah atau
letak yang acak. Namun, saat diberikan medan magnet maka proton
akan menempatkan diri pada kutub medan magnet. Kemudian akan
dikirimkan radio frekuensi yang akan menyebabkan vibrasi dari proton.
Sinyal radio yang dihasilkan akan direkam dan direkonstruksi menjadi
gambaran jaringan (Schild, H.H., 1990; Westbrook, 1998).
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 7.1 Pemeriksaan MRI.
116
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
MRI merupakan metode pemeriksaan diagnostik yang
menghasilkan gambaran potongan tubuh manusia dengan
menggunakan medan magnet tanpa menggunakan sinar X. Prinsip
dasar pemeriksaan ini adalah inti atom yang bergetar dalam medan
magnet. Proton merupakan inti atom hidrogen yang memiliki daya
magnet yang apabila ditembakkan dan berada pada medan magnet
berfrekuansi tinggi maka proton tersebut akan bergetar dan bergerak
searah secara berulang-ulang. Gerakan itulah yang ditangkap dan
diproses komputer. Metode ini digunakan karena manusia memiliki
konsentrasi atom hidrogen yang cukup tinggi (70%) dalam tubuhnya.
Untuk menghasilkan gambar dari proton, minimum diperlukan tenaga
medan magnet sebesar 0,064 Tesla sampai 3 Tesla (Brown, et all, 1995).
7.1
Prinsip Dasar MRI
Bagaimana prosedur umum untuk melakukan pemeriksaan MRI?
Berikut ini penjelasannya.
1. Pada awalnya, pasien diposisikan dalam scanner.
2. Medan magnetik pada scanner (biasanya 1 atau 1,5 Tesla)
mensejajarkan proton di dalam tubuh pasien pada aksis
longitudinal sejajar medan magnet.
3. Dikirimkan pulsa elektromagnetik ke dalam scanner sehingga
menyebabkan reorientasi dari proton (biasanya 90° terhadap
medan eksternal), selanjutnya pulsa dihentikan dan proton akan
kembali relaks.
4. Pada saat proton sudah sejajar dan relaks maka dipancarkan signal
radio frekuensi yang ditangkap oleh antena pada scanner.
5. Signal akan diproses menggunakan komputer dengan program
software yang digunakan untuk menghasilkan gambar dari
multiple organ pada potongan orthogonal (A. Jay Khanna,2002).
Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging
117
Sistem MRI
Koil magnetik
Koil gradien
Koil radio frekuensi
Transmiter radio
frekuensi
Gradient
power supply
Penerima radio
frekuensi
Komputer
Protokol
Penampilan
gambar melalui
proses kontrol
Keyboard operator
Gambar 7.2 Sistem MRI.
7.2
Sumber: Chakeres, 1992
Teknik Pemilihan Sequence MRI
Penentuan sequence pulsa berdasarkan indikasi klinis untuk
pemeriksaan lebih lanjut kasus-kasus yang dikategorikan secara mayor
misalnya penyakit degeneratif, trauma, dan tumor, baik yang disertai
kompresi medula spinalis, metastase vertebrae, serta infeksi. Dengan
manipulasi kekuatan dari pulsa radio frekuensi, seberapa sering pulsa
dikeluarkan, dan berapa lama setelah energi pulsa dipancarkan hingga
saat relaksasi yang terukur maka image dapat dibedakan menjadi
T1WI, T2WI, STIR atau gradient echo untuk menentukan karakteristik
dari jaringan. Berikut ini merupakan penjelasan masing-masing image.
a. T1-weighted images, merupakan image yang paling baik
digunakan untuk menilai anatomi, detail dari tulang, dan garis
fraktur.
b. T2-weighted images, image ini sensitif untuk menilai perubahan
patologis pada jaringan, meliputi beberapa proses yang terjadi di
118
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
dalam sel dan matriks ekstra selular yang meningkat komponen
cairannya. Selain itu, juga mempunyai efek yang baik pada mielografi.
c. Fat-suppressed T2-weighted fast-spin-echo and STIR (short
tau inversion recovery) images, image ini didesain untuk
menghilangkan sinyal lemak dan menonjolkan cairan serta
edema. Pulsa sequence ini paling sensitif untuk menilai perubahan
patologis dan edema pada tulang dan jaringan lunak para spinal.
Selain itu, juga dapat menunjukkan gambaran mielografik dengan
sangat baik. STIR baik untuk menilai perubahan bone marrow
pada kasus infeksi, inflamatori, dan neoplasma. Selain itu, STIR
juga berguna untuk pasien trauma, untuk menilai injuri pada
ligamentum dan adanya hemorrhage maupun edema.
d. Gradient-recalled echo (GRE), image ini paling bermanfaat
untuk mengevaluasi perubahan degeneratif, meliputi osteofit
dan penyempitan foramen neuralis. Oleh karena itu, dibutuhkan
potongan yang tipis. Selain itu, juga dapat digunakan untuk
evaluasi perdarahan. Sequences ini juga digunakan utuk
menggambarkan batas-batas tulang dan diskus intervertebralis,
memberikan gambaran yang baik untuk membedakan antara
medula spinalis dengan ruang subarachnoid di sekitarnya, serta
dapat menggambarkan dengan jelas foramina neuralis dan
serabut saraf yang keluar dari medula spinalis. Gradient-echo axial
potongan aksial dapat digunakan untuk melihat tulang belakang
servikalis dan thorakalis untuk mendeteksi adanya stenosis canalis
spinalis. GRE kurang dapat diterima pada pasien dengan motion
artefak. Meskipun sinyal terhadap artefak meningkat pada GRE,
namun lemak terlihat hipointense pada GRE dibanding dengan
T1WI sehingga sebagai hasilnya detail morfologi yang dibentuk
oleh lemak tidak tergambar dengan baik pada GRE dibanding
image spin echo.
e. Imaging dengan penambahan kontras seharusnya digunakan
pada indikasi evaluasi vertebrae post operatif, suspect infeksi, lesi
intra dural dan non traumatik dari medula spinalis. Abnormalitas
di dalam ruang epidural kadang tidak dapat dievaluasi pada
pemeriksaan tanpa kontras dalam kasus metastase. Sementara
itu, untuk mengetahui penyebab kompresi medula spinalis akan
dapat dengan mudah dilihat dengan penambahan kontras.
f. Proton density imaging dari tulang belakang tidak secara rutin
dilakukan, tetapi dapat memberi keuntungan informasi mengenai
Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging
119
struktur normal dan patologis dari morfologis tulang belakang (A.
Jay Khanna, 2002; Gaurav Jindal, 2011).
Berikut ini akan dijelaskan mengenai sekuen pulsa dasar untuk
MRI pada tulang belakang leher.
Tabel 7.1 Sekuen pulsa dasar untuk MRI pada tulang belakang leher
Tipe Image
Waktu
Pengulangan
Waktu
Echo
Air
Keuntungan
T1
Pendek
Pendek
Terang
Lemak
Gelap
Menghasilkan
detail anatomi
yang baik,
penerimaan
cepat
Sedikit untuk
tampilan
patologi/
edema
Kerugian
T2‑
Panjang
Panjang
Terang
Terang
Mempunyai
tingkat
sensitivitas
yang sedang
untuk
patologi/
edema, bagus
untuk efek
mielografi
Pengurangan
detail jaringan
lunak,
memerlukan
waktu
Fat
suppressed
T2 atau STIR
Panjang
Pendek
Sangat gelap
Terang
Sebagian
besar sensitif
untuk
patologi/
edema, sangat
baik untuk
efek mielografi
Pengurangan
detail jaringan
lunak,
memerlukan
waktu
Gradien
echo
Pendek
Pendek
Intermediet
Terang
Evaluasi untuk
tulang rawan,
perubahan
degeneratif,
dan ligamen,
sangat bagus
untuk darah
Sangat rentan
pada artefak
metalik
(prostheses),
efek yang
berlebihan/
munculnya
osteofit
Sumber: A. Jay Khanna, et.all, 2001
Tabel 7.2 Intensitas sinyal MRI
Jenis Jaringan
Massa padat
Kista
Darah sub-akut
Darah akut dan kronik
Lemak
120
T2WI
Terang
Terang
Terang
Gelap
Gelap
PD/FLAIR
Terang
Gelap
Terang
Gelap
Terang
T1WI
Gelap
Gelap
Terang
Abu-abu
Terang
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
7.3 Koil pada MRI
Koil terdiri dari satu atau lebih kumparan kawat konduksi dan kumparan
tersebut tampak mengelilingi inti dari koil. Koil merupakan perangkat
keras pada mesin MRI yang digunakan untuk menghasilkan medan
magnet atau untuk mendeteksi perubahan medan magnetik oleh
induksi voltase dari kawat induksi. Koil biasanya secara fisik berupa
antena kecil, dimana koil yang sempurna akan menghasilkan medan
magnet yang seragam tanpa radiasi yang bermakna. Terdapat dua jenis
tipe koil, yaitu koil gradien dan koil radio frekuensi (Chakeres, et all.
1992).
Koil radio frekuensi
Magnet utama
Koil
shim
Koil gradien
Koil radio
frekuensi
Sumber:Chakeres, 1992
Gambar 7.3 Koil yang terdapat pada MRI.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa koil yang terdapat pada MRI.
7.3.1 Koil Gradien
Koil gradien digunakan untuk membangkitkan suatu medan magnet
yang mempunyai fraksi-fraksi kecil terhadap medan magnet utama.
Gradien digunakan untuk memvariasikan medan pada pusat magnet.
Terdapat tiga medan yang saling tegak lurus antara ketiganya yaitu
bidang x, y, dan z. Fungsinya berbeda-beda sesuai dengan irisan yang
Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging
121
dipilih (aksial, sagital, atau koronal). Gradien ini digunakan sesuai
dengan koordinat dimensi ruang: (a) Gz adalah gradien pemilihan
irisan (slice selection), (b) Gy adalah gradien pemilihan fase (phase
encode), (c) Gx adalah gradien pemilihan frekuensi (frequency encode)
(Westbrook, 1998).
Koil Y
Koil Z
Koil X
Transceiver
Pasien
Sumber:http:// www.magnet.fsu.edu
Gambar 7.4 MRI yang menggunakan koil gradien dengan ketiga medan
yang saling tegak lurus.
7.3.2 Koil Radio Frekuensi
Koil radio frekuensi yang umumnya digunakan adalah koil penerima
dan koil pemancar-penerima (transceiver coil). Koil pemancar berfungsi
memancarkan gelombang radio pada inti yang terlokalisir sehingga
terjadi eksitasi. Koil penerima berfungsi untuk menerima sinyal output
dari sistem setelah eksitasi terjadi (Westbrook, 1998).
7.4
Kontras Material pada MRI
Kontras material adalah substansi kimia yang dimasukkan ke dalam
tubuh untuk melihat anatomi dan fungsi dari daerah yang akan dicitrakan
122
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
dengan tujuan untuk memperjelas perbedaan antara berbagai jaringan
yang berbeda atau antara jaringan yang normal dengan jaringan yang
abnormal dengan mengubah waktu relaksasi. Kontras material pada
MRI diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang berbeda dari waktu
relaksasi setelah kontras tersebut diinjeksikan.
~~ Kontras material positif menyebabkan penurunan dari waktu
relaksasi T1 (meningkatkan intensitas signal pada T2WI). Kontras
ini akan terlihat hiperintensi pada MRI, terdiri dari senyawa dengan
berat molekul kecil seperti bahan aktif gadolinium, mangan,
dan besi. Semua elemen ini mempunyai elektron yang tidak
berpasangan pada kulit terluarnya dan memiliki waktu relaksasi
yang panjang. Beberapa bahan kontras seperti gadopentetate
dimeglumine, gadoteridol, dan gadoterate meglumine digunakan
untuk pemeriksaan sistem saraf pusat dan keseluruhan anggota
badan, sedangkan mangafodipir trisodium terutama digunakan
untuk lesi di hepar dan untuk sistem saraf pusat.
~~ Bahan kontras negatif (terlihat dominan hipointense pada
MRI) adalah sekumpulan partikel kecil yang disebut sebagai
superparamagnetic iron oxide (SPIO). Bahan ini terutama
menghasilkan efek relaksasi spin (medan lokal inhomogen) yang
menghasilkan waktu relaksasi pendek pada T1 dan T2. Bahan
kontras ini telah dievaluasi pada percobaan klinis multisenter
untuk pemeriksaan kelenjar limfe pada MRI dan MR angiografi
dengan dampak klinis yang masih diteliti.
~~ Kelompok kontras negatif yang istimewa (terlihat hipointense
pada MRI) adalah perfluorokarbon (perfluorochemicals) karena
keberadaannya menghilangkan atom hidrogen pada signal
imaging MRI (Brown, et all, 1995).
7.5
Indikasi Pemeriksaan MRI
Berikut ini merupakan beberapa indikasi pemeriksaan MRI pada tulang
belakang.
zz Untuk melihat anatomi dan deretan tulang belakang.
zz Mendeteksi kelainan kongenital pada tulang belakang dan medula
spinalis.
zz Menilai masalah akibat penyakit yang mengenai diskus
intervertebralis (degeneratif, herniasi) dan kelainan sendi
intervertebralis. Keduanya merupakan penyebab tersering nyeri
Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging
123
punggung dan sciatica (nyeri punggung yang menjalar hingga ke
tungkai).
zz Menilai progresifitas dari infeksi atau tumor pada daerah tulang
belakang dan di sekitarnya serta melihat perluasannya pada tulang
belakang, medula spinalis maupun jaringan di sekitarnya.
zz Menilai penyebab kompresi pada medula spinalis dan saraf.
zz Membantu perencanaan prosedur pembedahan, seperti pada
kasus dekompresi saraf yang terjepit atau fusi spinal.
zz Memantau perkembangan tulang belakang setelah tindakan
operasi, seperti kemungkinan adanya infeksi dan bekas luka.
zz Untuk memandu pada injeksi steroid dalam upaya meredakan
nyeri punggung.
zz Menyelidiki kemungkinan penyebab nyeri punggung, misalnya
fraktur kompresi (Brown, et all., 1995; Jay Khanna, 2002).
7.6
Keuntungan dan Risiko Pemeriksaan MRI
Penggunaan suatu teknologi, selain ada faktor yang meng­untungkan,
biasanya ada sisi negatif lain yang ditimbulkan oleh alat tersebut, tidak
terkecuali penggunaan MRI. Lalu, apakah keuntungan menggunakan
MRI dan risiko apa yang ditimbulkannya?
7.6.1 Keuntungan Pemeriksaan MRI
Berikut ini akan dijelaskan beberapa keuntungan penggunaan MRI.
zz MRI merupakan pencitraan dengan menggunakan teknik yang
non-invasif serta tidak menggunakan radiasi ionisasi.
zz Gambaran yang diperoleh pada MRI tulang belakang terlihat lebih
jelas dan lebih detail dibandingkan gambaran yang diperoleh
apabila menggunakan metode imaging yang lain. Detailnya
gambaran ini membuat MRI sangat bernilai dalam penegakan
diagnosis dini serta evaluasi berbagaivmacam kondisi pada tulang
belakang seperti kelainan kongenital, infeksi, tumor, maupun
trauma.
zz MRI sangat baik untuk mendeteksi saraf.
zz MRI dapat digunakan untuk menemukan kelainan yang mungkin
tertutup oleh gambaran tulang pada pemeriksaan imaging yang lain.
zz Kontras material yang digunakan pada pemeriksaan MRI
kemungkinan lebih kecil mengakibatkan reaksi alergi jika
124
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
dibandingkan dengan kontras material iodin untuk pemeriksaan
foto polos maupun CT scan.
zz MRI sangat berguna untuk mengevaluasi cedera pada medula
spinalis, terutama sangat membantu untuk penegakan diagnosis
kompresi akut pada medula spinalis ketika temuan klinis
menunjukkan adanya paralisis.
zz MRI dapat mendeteksi secara dini temuan kecil pada kolumna
vertebralis yang mungkin menunjukkan stadium awal dari infeksi
atau tumor. Prosedur ini lebih sensitif dibandingkan CT scan untuk
mengevaluasi tumor, abses, dan massa jaringan lunak di sekitar
medula spinalis.
zz MRI merupakan teknik pencitraan pilihan untuk mengevaluasi
kemungkinan komplikasi akibat pembedahan yang meliputi
perdarahan, jaringan parut, infeksi, dan gambaran terjadinya
herniasi kembali dari diskus intervertebralis (Brown, et al., 1995;
Jay Khanna, 2002).
Lumbar discitis
Kanal tulang
belakang
Infeksi
Tulang
belakang
Sumber: http://www.orthopediatrics.com
Gambar 7.5 Dengan adanya MRI, maka adanya infeksi dapat dideteksi
secara dini.
Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging
125
7.6.2 Risiko Pemeriksaan MRI
Pada dasarnya, hampir tidak ada risiko pada pemeriksaan MRI jika
pelaksanaannya telah mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
Namun, ada beberapa kemungkinan yang merugikan akibat dilaku­
kannya prosedur ini antara lain karena pemeriksaan MRI ini
membutuhkan waktu yang cukup lama. Dengan demikian, pada pasien
yang tidak kooperatif dan pasien anak yang tidak bisa diam dalam
waktu yang lama maka dibutuhkan sedasi. Apabila digunakan sedasi
masih mungkin muncul efek akibat penggunaan obat-obat anestesi
tersebut, maka harus selalu dilakukan monitoring tanda-tanda vital
untuk meminimalisasi risiko. MRI menggunakan medan magnetik kuat
sehingga penggunaan benda-benda logam yang bersifat feromagnetik
harus ditanggalkan dan pada pasien yang menggunakan alat implantasi
medis berbahan logam di dalam tubuhnya juga merupakan kontra
indikasi dari pemeriksaan ini. Hal ini dapat menimbulkan gangguan
fungsi dari alat implantasi tersebut dan juga gangguan pada gambaran
MRI-nya karena dapat menimbulkan artefak. Pada pemeriksaan MRI
untuk kasus-kasus tertentu juga dibutuhkan penggunaan kontras
gadolinium untuk lebih memperjelas adanya kemungkinan kelainan
patologis (Chakeres, et al., 1992).
Sumber: http://bdl.uoregon.edu
Gambar 7.6 MRI yang berbentuk kastil ini dibuat untuk menciptakan
suasana nyaman bagi anak.
126
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien dengan riwayat alergi, ketika diinjeksikan kontras
material maka dapat muncul reaksi alergi dengan berbagai variasi
gejala mulai dari ringan yang dapat dengan mudah dikontrol dengan
pemberian pengobatan hingga reaksi alergi berat yang dapat
menimbulkan shok anafilaktik. Selain itu, pemberian kontras material
juga dapat menyebabkan gangguan nefrogenik, terutama pada pasienpasien dengan fungsi ginjal yang menurun. Pemberian kontras pada ibu
menyusui menurut American College of Radiology (ACR) dan European
Society of Urogenital Radiology dianggap aman dan diperbolehkan
untuk melanjutkan memberikan ASI kepada bayi setelah pemberian
kontras gadolinium (Brown, et al., 1995).
7.7 Gambaran Normal Tulang Belakang pada MRI
Pada magnetic resonance images (MRI) untuk mengevaluasi segmen
tulang belakang servikalis, thorakalis, atau lumbosakral maka
diperlukan khususnya potongan aksial dan sagital. Hal itu dikarenakan
jika hanya dibaca pada satu potongan saja maka dapat menghasilkan
bacaan dengan hasil yang misinterpretasi. Sebagai tambahan maka
diperlukan juga potongan koronal, terutama pada pasien-pasien
dengan skoliosis tulang belakang (Gaurav Jindal, 2011).
Gambaran T1WI dari struktur tulang belakang kortikal mempunyai
intensitas signal rendah dan terlihat kontras dibandingkan dengan
intensitas signal bone marrow yang terlihat mempunyai intensitas
signal tinggi. Hal ini menunjukkan adanya lemak pada medula tulang.
Bone marrow mempunyai intensitas signal intermediat pada T2WI.
Cairan serebrospinal dan korteks dari tulang biasanya sulit untuk
dibedakan satu sama lain pada T1WI spinecho (SE), dimana pada T2WI
korteks dari tulang dan cairan serebrospinal pada ruang sub-arachnoid
dapat dengan mudah dipisahkan. Daerah dengan intensitas signal
tinggi pada T1WI dari korpus tulang belakang terkadang dapat dilihat
pada seluruh tulang belakang sebagai variasi normal. Selain itu, variasi
normal yang lain adalah adanya cupid’s bow yang terlihat sebagai
peningkatan konkavsitas dari end plate, biasanya pada corpus vertebrae
lumbal. Kanalis spinalis terdiri dari ruang epidural, dural sac, ruang
sub-arachnoid, medula spinalis, dan cauda equine. Pada T1WI, lemak
Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging
127
pada ruang epidural terlihat mudah dibedakan dengan tulang kortikal
dari korpus tulang belakang dan dengan intensitas signal rendah vena
pada lemak epidural. Sendi faset pada tulang belakang menunjukkan
bermacam-macam penampakan dan orientasinya tergantung pada
level dari tulang belakang. Permukaan superior dan inferior sendi
artikularis dilapisi tulang rawan hialin yang terlihat hiperintense pada
T2WI dan terutama berbatasan secara tegas terhadap struktur tulang
dengan gradient-echo (GE) imaging (Pierre-Jerome C., 2000).
Berikut ini akan dijelaskan karakteristik beberapa jaringan pada
pemeriksaan MRI.
Tabel 7.3 Karakteristik beberapa jaringan pada pemeriksaan MRI
Tipe Jaringan
T1
T2
STIR
Gradient
Echo
Tulang
kortikol
Sangat
rendah
Sangat rendah Sangat rendah
Sangat
rendah
Sumsum
merah
Intermediet
Intermediet
Intermediet
Intermediet
Sumsum
kuning
Tinggi
Tinggi
Rendah
Intermediet
Saraf tulang
belakang
Intermediet
Intermediet
Intermediet
Intermediet
Cairan
serebrospinal
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Intermediet
Diskus
Intermediet
intervertebral
Lemak
Tinggi
Tinggi
Rendah
Otot
Intermediet
Intermediet
Rendah/Intermediet Intermediet
Ligamen
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Bekas luka
fiseal
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Sumber: A. Jay Khanna, et.all., 2001
7.7.1 Gambaran MRI Tulang Belakang Servikalis
Berikut ini merupakan hasil foto MRI pada beberapa tulang belakang
servikalis.
128
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Sumber: Jindal, 2011
Gambar 7.7 Potongan sagital T2WI tulang belakang servikalis.
Keterangan: ( 1) Clivus, (2) ligamen atlanto oksipital, (3) ligamen anterior
longitudinal, (4) arkus anterior C1, (5) superior fascicle
ligamentum cruciform/tectorial membrane, (6) ligamen apikal,
(7) ligamen transversum (ligament cruciform), (8) arkus posterior
C1, (9) membran occipital-atlantal posterior, (10) ligamen nuchal,
(11) otot semispinalis kapitis, (12) medula spinalis servikalis,
(13) ligamen longitudinal posterior/anterior thecal sac dura,
(14) dural sac posterior, (15) ligamen interspinosus, (16) gray
matter sepanjang kanalis spinalis, (17) ligamen supraspinosus,
(18) ligamentum flavum (19) dental sinkondrosis (disc anlage).
Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging
129
Sumber: Jindal, 2011
Gambar 7.8 Potongan aksial T2WI tulang belakang servikalis.
Keterangan: (1) Uncinate process C7, (2) prosesus artikular superior,
(3) sendi faset apofiseal, (4) prosesus artikular inferior, (5) vena
foraminal, (6) ligamentum flavum/lamina korteks, (7) dorsal
rootlet C7 , (8) sendi unkovertebral, (9) ventral rootlet C7.
Sumber: Jindal, 2011
Gambar 7.9 Potongan aksial T2WI tulang belakang servikalis tengah.
Keterangan: (1) Ganglion akar dorsal, (2) arteri tulang belakang, (3) ligamen
longitudinal posterior/anterior thecal sac dura, (4) otot longus
colli, (5) vena jugular internal, (6) dorsal rootlet, (7) lamina,
(8) otot stemocleidomastoid, (9) otot kapitis longisimus, (10) otot
130
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
levator skapula, (11) otot semispinalis colli, (12) otot kapitis
semispinalis, (13) otot kapitis splenius, (14) otot trapezius,
(15) ligamen nuchal.
7.7.2 Gambaran MRI Tulang Belakang Thorakalis
Berikut ini merupakan hasil foto MRI pada beberapa tulang belakang
thorakalis.
Sumber: Jindal, 2011
Gambar 7.10 Potongan sagital T1WI tulang belakang thorakalis.
Keterangan: (1) Medula spinalis toraks, (2) ruang sub-arachnoid,
(3) lemak epidural posterior, (4) ligamentum flavum, (5) otot
transversospinalis (multifidus), (6) prosessus spinosus, (7) vena
epidural, (8) ligamentum supraspinatus.
Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging
131
Sumber: Jindal,2011
Gambar 7.11 Potongan aksial T2WI tulang belakang thorakalis.
Keterangan: (1) Sendi kostovertebral, (2) head costae, (3)
flavum, (4) pedikel, (5) lamina, (6) prosessus
(7) prosessus spinosus, (8) sendi costotransverse,
costae, (10) vena hemiazigous, (11) ligamentum
posterior.
ligamentum
transversus,
(9) tubercle
longitudinal
7.7.3 Gambaran MRI Tulang Belakang Lumbal
Berikut ini merupakan hasil foto MRI pada beberapa tulang belakang
lumbal.
a
b
Sumber: Jindal, 2011
Gambar 7.12 Potongan midsagital tulang belakang lumbal.
132
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Keterangan: (a) T1 weighted fast spin echo(TR/TE: 500/12). (b) T2 weighted
inversion recovery (TR/TE/TI: 2000/70/150). (1) Medula
spinalis, (2) konus medularis, (3) ligamentum longitudinal
anterior, (4) ligamentum flavum, (5) posterior epidural fat space,
(6) anterior epidural fat space, (7) intranuclear cleft, (8) vena
basivertebral, (9) anulus fibrosus, (10) nukleus pulposus.
Sumber: Jindal, 2011
Gambar 7.13 Potongan parasagital T1WI tulang belakang lumbal.
Keterangan: (1) Vena lumbaris, (2) arteri lumbaris, (3) vena inferior foraminal,
(4) dorsal root ganglia, (5) vena foraminal superior, (6) sendi faset
(7) musculus transversospinalis (multifidis), (8) kelompok musculus
erector spinal, (9) fascia thoracolumbar, lapisan posterior.
Sumber: Jindal, 2011
Gambar 7.14 Potongan sagital T1WI tulang belakang lumbal.
Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging
133
Keterangan: (1) Medula spinalis, (2) konus medularis, (3) cauda equine,
(4) ruang subarachnoid, (5) lemak posterior epidural, (6) ligamen­
tum flavum, (7) ligamen interspinosus, (8) ligamentum supra­
spinosus, (9) plexus venosus basivertebral,(10) plexus venosus
epidural, (11) lemak epidural anterior, dan (12) aorta.
Sumber: Jindal, 2011
Gambar 7.15 Potongan aksial T1WI tulang belakang lumbal pada L5‑S1.
Keterangan: (1) Muskulus psoas, (2) serabut saraf L5 ramus ventral,
(3) serabut saraf L5 ramus dorsal, (4) ligamentum flavum, (5)
ruang sub-arachnoid, (6) serabut saraf cauda equine, (7) sendi
faset, (8) ligamentum iliolumbal, (9) vena iliaka eksterna kiri,
(10) arteri iliaka eksterna kiri, (11) arteri iliaka eksterna kanan,
(12) vena iliaka eksterna kanan, (13) musculus transversospinalis,
(14) kelompok musculus erector spina.
134
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
INTISARI
 Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan
imaging yang menggunakan bahan hidrogen dan interaksinya
dengan kedua medan magnet eksternal dan gelombang radio
untuk menghasilkan gambaran yang detail dari tubuh manusia.
 Dengan manipulasi kekuatan dari pulsa radio frekuensi, seberapa
sering pulsa dikeluarkan, dan berapa lama setelah energi pulsa
dipancarkan hingga saat relaksasi yang terukur maka image dapat
dibedakan menjadi T1WI, T2WI, STIR atau gradient echo untuk
menentukan karakteristik dari jaringan.
 Koil merupakan perangkat keras pada mesin MRI yang digunakan
untuk menghasilkan medan magnet atau untuk mendeteksi
perubahan medan magnetik oleh induksi voltase dari kawat
induksi.
 Terdapat dua jenis tipe koil, yaitu koil gradien dan koil radio
frekuensi.
 Kontras material adalah substansi kimia yang dimasukkan ke
dalam tubuh untuk melihat anatomi dan fungsi dari daerah yang
akan dicitrakan dengan tujuan untuk memperjelas perbedaan
antara berbagai jaringan yang berbeda atau antara jaringan yang
normal dengan jaringan yang abnormal dengan mengubah waktu
relaksasi.
 Beberapa indikasi pemeriksaan MRI pada tulang belakang:
• Untuk melihat anatomi dan deretan tulang belakang.
• Mendeteksi kelainan kongenital pada tulang belakang dan
medula spinalis, dan lain sebagainya.
 Gambaran yang diperoleh pada MRI tulang belakang terlihat lebih
jelas dan lebih detail dibandingkan gambaran yang diperoleh
apabila menggunakan metode imaging yang lain dan sangat baik
untuk mendeteksi saraf.
 Beberapa kerugian penggunaan MRI yaitu memerlukan waktu
yang lebih lama, dapat muncul reaksi alergi, dan lain sebagainya.
Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging
135
Bab 8
KEDOKTERAN NUKLIR
B
erbicara mengenai teknologi nuklir, yang terbayang adalah
sesuatu yang mengerikan. Itulah anggapan kita secara
umum mengenai teknologi yang satu ini. Akan tetapi,
jika kita manfaatkan untuk sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk
orang banyak, hal itu tidak ada salahnya dengan catatan semua harus
dilakukan sesuai dengan prosedur dan aturan yang sesuai. Tahukah
Anda jika teknologi nuklir juga dapat dimanfaatkan dalam bidang
kedokteran, khususnya bidang radiologi? Berikut ini penjelasannya.
8.1
Prinsip Dasar Kedokteran Nuklir
Kedokteran nuklir adalah bidang kedokteran yang memanfaatkan
materi radioaktif untuk menegakkan diagnosis dan mengobati
penderita serta mempelajari penyakit manusia. Secara lengkap definisi
kedokteran nuklir menurut WHO adalah ilmu kedokteran yang dalam
kegiatannya menggunakan sumber radiasi terbuka (“unsealed’) baik
untuk tujuan diagnosa, maupun untuk pengobatan penyakit (terapi),
atau dalam penelitian kedokteran.
Bidang kedokteran nuklir dapat diibaratkan sebagai
sebuah segitiga dengan radiofarmaka, instrumen,
dan masalah biomedik sebagai sisi-sisinya serta
penderita berada di tengahnya. Instrumen
tersebut merupakan alat detektor
yang dapat mengubah sinar
gamma menjadi sebuah
data yang dapat dinilai,
berupa angka,
Sumber: http://www.ina-snm.com
Gambar 8.1 Pencitraan diagnostik dengan menggunakan teknologi nuklir.
138
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
scanning, dan grafik. Untuk menilai keadaan tubuh maka organ
tersebut harus dijadikan sumber radiasi. Oleh karena itu, diperlukan
suatu senyawa yang mengandung radioaktif yang dapat ditangkap
oleh organ tubuh tersebut secara selektif. Senyawa inilah yang disebut
radiofarmaka yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan atau
dengan cara ditelan, tapi tidak ikut dalam metabolisme tubuh.
Beberapa syarat radiofarmaka yaitu menggunakan radionuklida
yang mempunyai waktu paruh singkat (radiasi minimal) dan dengan
mono energi foton (sinar gamma), tidak mengganggu fungsi
metabolisme, tidak bersifat toksik terhadap tubuh manusia dan cepat
diekskresikan keluar tubuh.
Data imaging (pencitraan) diagnostik organ digunakan untuk
menentukan besar/luas, bentuk, letak organ beserta kelainannya. Pada
pencitraan diagnostik tulang, memakai bahan campuran technetium
phosphate (Tc-99m) yang diinjeksikan melalui intravena 10-15mCi.
Setelah 3-4 jam kemudian, dilakukan pemeriksaan scanning tulang
setelah penderita buang air kecil. Pada pemeriksaan ini digunakan
kamera gamma dengan energi rendah, kolimator pararel dan window
25-30 %. Setiap pencitraan, mencatat paling sedikit 100.000 counts.
Pemeriksaan radiologi dibuat di daerah yang Aktivitasnya meningkat
secara abnormal. Scanning positif, bila Aktivitas di tulang panjang dan
tulang belakang tidak simetris atau tidak seragam. Kenaikan aktivitas
selalu berhubungan dengan luasnya lesi.
Kedokteran nuklir mencakup pemasukan radioisotop ke dalam
tubuh pasien (studi in-vivo) dan dapat pula dengan mereaksikannya
dengan bahan biologis seperti darah, cairan lambung, urin, dan
sebagainya, yang berasal dari tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai
studi in-vitro (dalam tabung percobaan).
Secara umum, bidang kedokteran nuklir dapat digolongkan dalam
empat jenis kegiatan yaitu:
1. Pemeriksaan radioaktivitas secara eksternal in-vivo setelah
pemberian radionuklida secara internal. Pada studi in-vivo, setelah
radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut,
suntikan, atau dihirup lewat hidung maka informasi yang dapat
diperoleh dari pasien dapat berupa:
Bab 8 – Kedokteran Nuklir
139
•
citra atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang
diperoleh dengan bantuan peralatan kamera gamma ataupun
kamera positron (teknik imaging),
• grafik atau skala yang menunjukkan akumulasi maupun
intensitas radioisotop,
• sampel dari tubuh pasien yang mengandung radioisotop
seperti darah atau urin, untuk dicacah (teknik non-imaging).
2. Pengukuran radioaktivitas secara in-vitro dalam eluat hasil ekskresi
setelah pemberian radionuklida seperti studi absorpsi vitamin,
studi kandungan air dalam tubuh secara total (total body water),
studi metabolisme dan aplikasi bidang hematologi,
3. Pemeriksaan in-vitro
4. Terapi dengan radioisotop, misalnya pemberian iodium aktif untuk
penyembuhan panyakit kanker tiroid.
8.2
Sejarah Kedokteran Nuklir
Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran dimulai
tahun 1901 oleh Henri Danlos yang menggunakan radium untuk
pengobatan penyakit TBC kulit. Namun yang dianggap sebagai Bapak
Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C. De Havessy yang meletakkan
dasar prinsip perunut dengan menggunakan zat radioaktif. Waktu itu,
yang digunakan adalah radioisotop alam Pb-212.
Dengan ditemukannya radioisotop buatan maka radioisotop
alam tidak lagi digunakan. Radioisotop buatan yang banyak dipakai
pada masa awal perkembangan kedokteran nuklir adalah I-131.
Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc‑99m, selain karena sifatnya
yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga
dapat diperoleh dengan mudah, serta harganya relatif murah. Namun
demikian, I-131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi,
khususnya kanker kelenjar tiroid.
8.3
Radiofarmaka
Radiofarmaka merupakan sediaan farmasi dalam bentuk senyawa
kimia yang mengandung radioisotop yang diberikan pada kegiatan
kedokteran nuklir. Sediaan radiofarmaka pada umumnya terdiri atas
2 komponen yaitu radioisotop dan bahan pembawa menuju ke organ
140
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
target. Pancaran radiasi dari radioisotop pada organ target itulah yang
akan dicacah oleh detektor (gamma kamera) untuk direkonstruksi
menjadi citra ataupun grafik intensitas radiasi.
Sumber: http://www.eeae.gr
Gambar 8.2 Senyawa radioaktif yang digunakan dalam kedokteran nuklir.
8.3.1 Syarat Senyawa Radioaktif
Syarat senyawa radioaktif untuk tujuan diagnosa antara lain:
a) murni satu nuklida saja,
b) murni secara radiokimia,
c) pemancar sinar-gamma energi tunggal yang besarnya berkisar
antara 100-400 KeV,
d) stabil dalam bentuk senyawa, dan
e) waktu paruh biologis pendek.
Beberapa contoh sediaan radiofarmaka antara lain Brom Sufatein
I-131 (BSP), Hipuran I-131, Radio Iodinated Human Serum Albumin
(RIHSA), Rose Bengal I-131, Tc-99m dalam bentuk senyawa Natrium
Perteknetat, Thalium-201, Galium-68. Beberapa contoh radiofarmaka
untuk terapi antara lain I-131, Bi-212, Y-90, Cu-67, Pd-109. Radiofarmaka
yang banyak dipakai untuk keperluan tes in-vitro adalah I-125.
Bab 8 – Kedokteran Nuklir
141
8.3.2 Klasifikasi Produksi Sediaan Radiofarmaka
Produksi sediaan radiofarmaka dapat diklasifikasikan menjadi empat
jenis seperti berikut ini.
1. Radioisotop primer medikal yaitu radioisotop dalam bentuk
kimia yang sederhana (biasanya anorganik). Diproduksi dengan
cara mengiradiasi atom sasaran dalam reaktor nuklir atau dalam
siklotron.
2. Senyawa bertanda medikal yaitu senyawa yang salah satu atau
lebih dari atom atau gugusnya digantikan dengan atom unsur
radioisotop.
3. Generator radioisotop, untuk mendapatkan radioisotop umur
pendek pada lokasi yang jauh dari tempat produksi radioisotop
terutama bagi rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas reaktor
nuklir maka diciptakanlah generator radioisotop. Generator
radioisotop adalah suatu sistem yang terdiri atas dua macam
radioisotop yaitu radioisotop induk dan radioisotop anak yang
keduanya membentuk pasangan kesetimbangan radioaktif.
Radioisotop induk memiliki waktu paruh yang lebih panjang
daripada waktu paruh radioisotop anak. Radioisotop anak
digunakan untuk keperluan diagnostik maupun terapi.
4. Kit radiofarmaka adalah sediaan non-radioaktif yang terdiri atas
beberapa senyawa kimia yang akan ditandai dengan radioisotop
untuk menjadi sediaan radiofarmaka.
Radioisotop yang paling banyak digunakan adalah Technitium‑99m
(Tc-99m) karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu :
a) waktu paruh pendek (6,03 jam),
b) memancarkan gamma murni dengan energi 140 kev,
c) mempunyai tingkat valensi 1 sampai 7 sehingga mudah bereaksi
dengan senyawa lain, dan
d) dapat diperoleh dengan cara elusi generator radioisotop.
Oleh karena itu, sediaan radiofarmaka yang berkem­bang sampai
saat ini adalah sediaan radiofarmaka Technitium yang disiapkan dalam
bentuk kit radiofarmaka, sedangkan Tc-99m dapat diperoleh dengan
elusi generator.
142
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
8.3.3 Mekanisme Penempatan Radiofarmaka Dalam
Tubuh
Mekanisme penempatan radiofarmaka dalam tubuh dapat dilakukan
sebagai berikut.
1. Active transport
Secara aktif sel-sel organ tubuh memindahkan radiofarmaka dari
darah ke dalam organ tertentu, selanjutnya mengikuti proses
metabolisme atau dikeluarkan dari tubuh. Contoh: I-131 akan
ditransfer ke sel-sel tiroid untuk pembuatan T3 dan T4, Tc-99m
IDA dan I-131 Rose Bengal oleh sel poligonal hati ditransfer dari
darah kemudian diekskresi ke usus halus, lewat saluran empedu,
I-131 Hippuran diekskresi oleh tubulus sehingga dapat digunakan
untuk pemeriksaan ginjal.
2. Phagocytosis
Beberapa radionuklida seperti Tc-99m, In-113m atau Au-198
jika diikat oleh pembawa materi berbentuk ”koloid” maka
radiofarmaka ini akan difagosit oleh RES tubuh. Bila radiofarmaka
ini disuntikkan secara intravena maka dapat memeriksa scanning
hati, limpa, dan sumsum tulang, jika disuntikkan secara subkutan
untuk memeriksa kelenjar getah bening.
3. Cell sequestration (pengasingan sel)
Sel darah merah yang ditandai Cr-51 dan dipanaskan sampai 50°
celcius selama 1 menit, lalu dimasukkan ke tubuh penderita secara
intravena kemudian akan diasingkan ke limpa untuk pemeriksaan
scanning limpa.
4. Capillary blockage (penghalang kapiler)
Bila pembawa materi berbentuk makrokoloid (dengan ukuran 2030 mikron) dan disuntikkan secara intravena maka akan menjadi
penghalang kapiler di paru-paru. Contoh; Tc-99m MAA untuk
scanning perfusi hati.
5. Simple or exchanged diffusion (pertukaran difus)
Radiofarmaka tersebut akan saling bertukar tempat dengan
senyawa yang sama dari organ tubuh. Contohnya Polifosfat
bertanda Tc-99m (Tc-99m MDP) akan bertukar tempat dengan
senyawa polifosfat tulang dan dalam jangka waktu 2-4 jam Tc-99m
MDP akan merata dalam tulang, pemeriksaan untuk mendeteksi
lesi otak dengan RIHSA dan cairan interselluler otak.
Bab 8 – Kedokteran Nuklir
143
6. Compartmental localization (kompartemental)
Bila radiofarmaka dapat menggambarkan blood pool karena
keberadaannya yang cukup lama dalam darah maka ikatan ini
dapat dipakai untuk scanning jantung dan plasenta (ventrikulografi
dan plasentografi). Contohnya RIHSA untuk pemeriksaan plasenta,
Cr‑51 eritrosit, Tc-99m Sn eritrosit untuk ventrikulografi jantung.
8.3.4 Faktor Pemilihan Radiofarmaka
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih radiofarmaka
untuk pemeriksaan antara lain sebagai berikut.
1. Jenis peluruhan radiasi
Untuk keperluan pemeriksaan eksternal in-vivo, sinar-gamma
dengan energi 100-500 kev sangat ideal. Karena radiasi dengan
energi lebih besar dari 500 kev akan mampu menembus pelindung
dan sekat-sekat pada kolimator sehingga terjadi penurunan spatial
resolution. Sementara itu, dengan energi sangat kecil (lebih kecil
20 kev) banyak penyerapan foton oleh jaringan sebelum mencapai
detektor. Dengan demikian, sinar gamma murni tanpa radiasi
partikellah yang dibutuhkan untuk diagnostik kedokteran nuklir.
2. Waktu paruh
Waktu paruh meliputi waktu paruh fisik, waktu paruh biologis dan
waktu paruh efektif. Waktu paruh fisik yaitu waktu yang diperlukan
zat radioaktif untuk mencapai aktivitas setengah dari aktivitas
mula-mula. Waktu paruh biologis yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk mengeluarkan setengah radionuklida murni dari suatu
organ tubuh. Sementara itu, waktu paruh efektif yaitu waktu yang
diperlukan setengah zat yang telah dimasukkan ke dalam tubuh.
3. Biological behaviour
Biological behaviour menyangkut perlakuan organ tubuh terhadap
radiofarmaka tersebut sehingga penting untuk menentukan
paparan radiasi dari suatu organ atau untuk mendapatkan hasil
interpretasi. Selain itu, dengan mengetahui biological behaviour
maka kita dapat memperkirakan ekskresi suatu radiofarmaka.
4. Aktivitas tertentu (The specific activity)
Aktivitas tertentu yaitu bagian radiofarmaka yang berperan
memberikan foton yang penting untuk pendeteksian. Hal ini
144
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
disebabkan dalam suatu materi dapat ditemui bagian yang bersifat
non-radioaktif yang dapat merugikan.
5. Jenis instrumen
Berbagai jenis peralatan kedokteran nuklir sengaja didesain hanya
untuk radioisotop yang memiliki energi tertentu.
8.3.5 Deteksi Radioisotop
Deteksi radioisotop dapat dibagi dalam 5 kategori seperti berikut ini.
1. Delution, absorption, dan excretion sudies
Bila penderita disuntikkan sejumlah radiofarmaka yang telah
diketahui jumlahnya maka delution yang terjadi atau persentase
absorsi atau kapan diekskresi dapat ditentukan melalui sampel
darah, urin, feses, dan lain-lain.
2. Concentration sudies
Bila suatu radiofarmaka diberikan pada seorang pasien kemudian
diukur berapa persen yang ditangkap suatu organ, misal thyroid
up-take.
3. Dinamic function study
Suatu radiofarmaka dipelajari saat mencapai atau meninggalkan
suatu organ. Misalnya pada pemeriksaan cerebral blood flow,
renogram.
4. Sistem organ atau pool visualization
Setelah radiofarmaka dimasukkan ke dalam tubuh pasien maka
distribusinya akan tersaji dalam bentuk gambar. Misalnya pada
pemeriksaan scanning otak, cardiac blood pool, dan bone scan.
5. In vitro test
Radiofarmaka dicampur dengan sampel penderita, misalnya pada
pemeriksaan T3 x T4.
Ada 2 macam gambaran yang diperoleh dari hasil scanning yaitu
berikut ini.
1. Hot area, artinya daerah abnormal yang menunjukkan kenaikan
up take (distribusi yang berlebihan) radiofarmaka. Contohnya
bone scanning tulang dan scanning otak.
2. Pada keadaan dimana radiofarmaka diikat oleh organ tubuh yang
normal sehingga pada keadaan abnormal timbul penurunan
aktivitas atau cold area. Contohnya scanning hati dan tiroid.
Bab 8 – Kedokteran Nuklir
145
8.4
Instrumentasi Kedokteran Nuklir
Beberapa komponen atau instrumen yang diperlukan untuk kedokteran
nuklir antara lain seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
1. Stationary probe
Stationary probe biasanya diperlukan untuk pemeriksaan tes
konsentrasi pada organ maupun dinamic test. Data yang diperoleh
berupa count per unit waktu atau waktu yang dibutuhkan untuk
sejumlah count tertentu.
2. Well counter
Prinsip kerjanya sama dengan stationary probe yaitu berupa count
per waktu, tetapi hanya dikhususkan untuk menghitung dari
sampel berupa urin, darah, feses, dan lain-lain (in-vitro test).
3. Scanner
Scanner menghasilkan gambar 2 dimensi dari distribusi radio­
farmaka dalam suatu organ. Scanner dapat juga digunakan untuk
menilai pada pemeriksaan-pemeriksaan konsentrasi, delution,
ekskresi, dan absorbsi. Scanning berupa gerakan maju mundur
melalui daerah yang diinginkan sehingga menghasilkan gambar
yang tersusun dari garis-garis atau titik-titik. Ukuran dan jumlah
kristal detektor NaI menentukan hasil dan kecepatan scanner.
Semakin banyak detektor atau semakin besar ukuran kristalnya,
hasilnya semakin baik dan waktu scanning semakin cepat.
4. Kamera
Kamera yaitu alat pencitraan yang dapat menyajikan gambar
tanpa menggerakkan detektor.
146
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Sumber: http://www.docstoc.com
Gambar 8.3 Beberapa instrumen yang diperlukan dalam kedokteran
nuklir.
8.5
Bone Scintigraphy (Sidik Tulang)
Pada tulang belakang, pemeriksaan kedokteran nuklir yang
dilakukan adalah bone scintigraphy (sidik tulang). Sidik tulang adalah
pemeriksaan menggunakan radiofarmaka untuk memperlihatkan
atau mengidentifikasi abnormalitas yang terjadi pada tulang-tulang di
dalam tubuh.
8.5.1 Indikasi Sidik Tulang
Beberapa indikasi sidik tulang yaitu:
zz
zz
zz
zz
zz
zz
zz
Metastasis pada tulang
Tumor tulang primer
Osteomielitis
Nekrosis aseptik
Trauma
Kelainan sendi
Penyakit metabolik pada tulang
Bab 8 – Kedokteran Nuklir
147
Radiofarmaka yang digunakan adalah Tc-99m MDP (methylene
diphosphonat) dengan dosis 15–20 mCi.
8.5.2 Persiapan Alat
Untuk melakukan sidik tulang maka memerlukan persiapan alat seperti
berikut ini.
1. Kamera gamma planar dilengkapi data prosesor dengan kolimator
LEHR.
2. Puncak energi 140 KeV.
3. Window width 20%.
8.5.3 Persiapan Pasien
Untuk melakukan sidik tulang ini tidak diperlukan persiapan khusus
untuk pasien.
Berikut ini merupakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dan
ditanyakan.
1. Apakah pasien sedang hamil atau menyusui.
2. Apakah beberapa hari sebelumnya melakukan pemeriksaan
yang menggunakan barium (misal barium enema) atau sedang
mengkonsumsi obat yang mengandung bismuth.
3. Pasien perlu mengurangi konsumsi cairan 4 jam sebelum
pemeriksaan.
4. Setelah perunut disuntikkan, pasien harus menunggu 1-3 jam
sebelum sidik tulang dilakukan.
8.5.4 Prosedur Pemeriksaan
Pencitraan pada sidik tulang ini menggunakan metode 3 fase seperti
yang akan dijelaskan berikut ini.
1. Fase pertama (Vaskular)
a. Penderita tidur telentang dengan detektor ditempatkan
sedemikian rupa sehingga tubuh yang akan diperiksa berada
di atas lapang pandang detektor.
b. Pemeriksaan fase pertama merupakan pemeriksaan dinamik
dalam frame berukuran matrix 128 x 128 dengan waktu
pencacahan 3 detik/frame selama 2 menit.
c.Posisi pencitraan adalah anterior dan atau posterior.
148
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
d. Pencitraan dimulai bersamaan dengan saat penyuntikan
radiofarmaka secara bolus.
2. Fase kedua (Blood pool)
a. Pemeriksaan fase kedua dilaksanakan segera setelah fase
pertama selesai. Pemeriksaan ini berupa pencitraan statik
dalam frame berukuran matrix 256 x 256 sebanyak 700
Kcount.
b. Posisi pencitraan adalah anterior dan atau posterior.
3. Fase ketiga
a. Fase ketiga merupakan pemeriksaan statik yang dilakukan 3
jam pasca penyuntikan radiofarmaka.
b. Sebelum memasuki ruang pemeriksaan, penderita dianjurkan
buang air kecil dengan hati-hati untuk menghindari
kontaminasi.
c. Pada pemeriksaan fase ketiga ini dilakukan pemeriksaan
seluruh tubuh (whole body scan).
d. Posisi pencitraan adalah anterior dan posterior dilanjutkan
dengan pemeriksaan spot pada bagian-bagian yang
mencurigakan.
e. Apabila diperlukan pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan
dengan posisi miring (oblique) untuk memperjelas lokasi
kelainan.
f. Pemeriksaan dalam frame berukuran matrix 256 x 256
sebanyak 700 Kcounts.
8.5.5 Evaluasi Hasil
Daerah tulang yang menyerap sedikit perunut atau bahkan tidak
menyerap sama sekali disebut cold spot yang menggambarkan
bahwa suplai darah ke tulang tersebut kurang (infraksi tulang) atau
memperlihatkan adanya kanker.
Daerah yang menyerap perunut banyak atau terlihat terang
disebut hot spot yang menggambarkan terjadinya tumor, fraktur, atau
infeksi.
Bab 8 – Kedokteran Nuklir
149
a
b
Sumber: http://www.med.harvard.edu dan http://radiology.web.id
Gambar 8.4 (a) Metastasis hot spot dan (b) cold spot.
8.6
Kelebihan dan Aplikasi Klinis
Kedokteran Nuklir
Kelebihan imaging dengan kedokteran nuklir ini dapat memberikan data
organ dengan menjadikan organ tersebut sebagai sumber radiasi. Hal
itu sangat bermanfaat untuk membantu guiding (pemanduan) biopsi
atau menetapkan penjalaran lesi. Selain itu, juga sering digunakan
untuk uji skrening terhadap pasien yang menderita keganasan.
Scanning tulang jauh lebih sensitif di daerah dekstruksi tulang. Hal
tersebut dapat menentukan jinak atau ganas, berasal dari jaringan lunak
atau tulang. Scan kedokteran nuklir dapat menunjukkan beberapa
kondisi yang berhubungan dengan tulang belakang seperti tumor
tulang, penyembuhan patah tulang, tumor metastase pada tulang
punggung, osteomielitis atau penyakit pagets. Bila dikombinasikan
dengan pemeriksaan radiologi maka akan lebih bermanfaat.
150
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
a
Anterior
Posterior
Anterior
Anterior
Posterior
Posterior
b
Sumber: (a) http://www.hawaii.edu dan (b) http://www. imaginis.com
Gambar 8.5 Perbandingan hasil pemeriksaan dengan: (a) CT scan dan
(b) hasil foto bone scan normal dengan menggunakan teknologi nuklir.
Bab 8 – Kedokteran Nuklir
151
INTISARI
 Kedokteran nuklir adalah bidang kedokteran yang memanfaatkan
materi radioaktif untuk menegakkan diagnosis dan mengobati
penderita serta mempelajari penyakit manusia.
 Radiofarmaka merupakan sediaan farmasi dalam bentuk senyawa
kimia yang mengandung radioisotop yang diberikan pada kegiatan
kedokteran nuklir.
 Data imaging (pencitraan) diagnostik organ digunakan untuk
menentukan besar/luas, bentuk, letak organ beserta kelainannya.
 Secara umum, bidang kedokteran nuklir dapat digolongkan dalam
empat jenis kegiatan yaitu pemeriksaan radioaktivitas secara
eksternal in-vivo, pengukuran radioaktivitas secara in-vitro,
pemeriksaan in-vitro, dan terapi dengan radioisotop.
 Produksi sediaan radiofarmaka dapat diklasifikasikan menjadi
empat yaitu radioisotop primer medikal, senyawa bertanda
medikal, generator radioisotop, dan kit radiofarmaka.
 Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih
radiofarmaka untuk pemeriksaan antara lain jenis peluruhan
radiasi, waktu paruh, biological behaviour, aktivitas tertentu, dan
jenis instrumen.
 Ada 2 macam gambaran yang diperoleh dari hasil scanning yaitu
hot area dan cold area.
 Beberapa komponen atau instrumen yang diperlukan untuk
kedokteran nuklir antara lain stationary probe, well counter,
scanner, dan kamera.
 Sidik tulang adalah pemeriksaan menggunakan radiofarmaka
untuk memperlihatkan atau mengidentifikasi abnormalitas yang
terjadi pada tulang-tulang di dalam tubuh.
 Kelebihan imaging dengan kedokteran nuklir ini dapat memberikan
data organ dengan menjadikan organ tersebut sebagai sumber
radiasi. Hal itu sangat bermanfaat untuk membantu guiding
(pemanduan) biopsi atau menetapkan penjalaran lesi. Selain itu,
juga sering digunakan untuk uji skrening terhadap pasien yang
menderita keganasan.
152
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Daftar Pustaka
------, 2013. Index of/Video. Available: http://www.cdrnyc.com/video/
Myelogram%20Equipment.jpg. [Accessed 29 Juli 2013].
Adam Greenspan. 2004. Orthopedic Imaging a Practical Approach,
Fourth Edition, USA: William & Wilkins a Waverly Company.
Bahman Roudsari,et all., 2010. Lumbar Spine MRI for Low Back Pain:
Indications and Yield. American Roentgen Ray Society. AJR:195,
September.
Block Note, 2013. Prinsip Dasar CT Scanner. Available: http://gonna
befine23.blogspot.com/ [Accessed 28 Juli 2013].
Brown, M.A., & Semelka, R.C, 1995. MRI Basic Principles and
Applications. Wiley-Liss, A John Wiley & Sons Inc. Publication,
Chapters 1,2,&3.
Chakeres, D.W. & Schmalbrock, 1992. Fundamentals of Magnetic
Resonance Imaging. Williams & Wilkins: Baltimore, Section II.
Children’s Orthopedics Patient Guides. 2013. A Patient’s Guide to Back
Pain in Children. Available: http://www.orthopediatrics.com/
docs/Guides/back_pain.html [Accessed 29 Juli 2013].
Chordoma Presenting as a “Cold” Lesion on Bone Scintigraphy
[Internet]. Available from: http://www.med.harvard.edu/JPNM/
BoneTF/Case19/WriteUp19.html
Claudia Krisch, 2007. Applied Radiological Anatomy for Medical
Students Section 4 The Head, Neck, and Vertebral Column, New
York: Cambridge University Press.
Davagnanam, I., Nikoubashman, O., Shanahan, P.2013. Teaching
Neuroimages: Nontraumatic Spinal CSF Leak on CT Myelography
in Patients with Low-Pressure Headache. Available: http//www.
neurology.org/content/75/22/e89.full.pdf. [Accessed 13 Juni
2013]
Development Lab., 2013. Functional Magnetic Resonance Imaging
(fMRI) Studies for Children. Available: http://bdl.uoregon.edu/
Participants/participants.php?page=mri_kids [Accessed 29 Juli
2013].
153
Dorwart R.H., Degroot J., Sauerland E.K., 1992. Computed Tomography
of the Lumbosacral Spine: Normal Anatomy, Anatomic Variants
and Pathologic Anatomy. Radio Graphics Volume 2 Number 4.
Drugs Information Online, 2013. Definition of C1-C7 (Cervical
Vertebrae). Available: http://drugline.org/medic/term/c1-c7cervical-vertebrae/ [Accessed 28 Juli 2013].
Envision Radiology. 2013. Myelogram Procedures. Available: http://
www.envrad.com/services-myelogram.html [Accessed 29 Juli
2013].
Fontaine, Suzaine dkk., 2002. CAR Standards and Guidelines for
Myelography. Available: http://www.radiology.org. [Accessed 10
Juni 2013].
Hansberger H., Osborn A., MacDonald, Ross. 2006. Diagnostic and
Surgical Imaging Anatomy. Canada: Amirsys Inc.
HealthHub, From Cleveland Clinic. 2013. Diseases and Conditions,
Myelography. Available: http://my.clevelandclinic.org/disorders/
myelography/hic_myelography.aspx [Accessed 28 Juli 2013].
Helms C.A., Vogler J.B., Hardy D.C., 1987. CT of the Lumbar Spine:
Normal Variants and Pitfalls. Radiographics Volume 7 Number 2.
Hosten N, Liebig T., 2002. CT of the Head and Spine. Thieme. Stuttgart.
Imaging Service. 2013. Myelography. Available: http://www.
gmcimaging.org/general-imaging/myelography [Accessed 29 Juli
2013].
Imaginis. Clinical Uses of Nuclear Medicine. 2013. Bone Scanning.
Available: http://www.imaginis.com/nuclear-medicine/clinicaluses-of-nuclear-medicine-2. [Accessed 29 Juli 2013].
Informasi Seputar Nuklir. 2012. Dokter Fadil Nasir dan Kamera Gamma
Dual Head SPECT. Available: http://www.infonuklir.com/read/
detail/418/dokter-fadil-nasir-dan-kamera-gamma-dual-headspect#.UhJJsH-B-ho. [Accessed 29 Juli 2013].
Inside Radiology. 2013. Myelogram. Available: http://www.insidera­
diology.com.au/pages/view.php?T_id=104#.UhJBrX-B-ho.
[Accessed 29 Juli 2013].
Jay Khanna, 2002. Magnetic Resonance Imaging of The Cervical Spine.
Current Techniques and Spectrum of Disease. The Journal of Bone
and Joint Surgery, Incorporated.
154
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Jindal, Gaurav, 2011. Normal Spinal Anatomy on Magnetic Resonance
Imaging. Philadelphia, USA: Elsevier Inc.
John V. Basmajian & Charles E. Slonecker, Grant, 1995. Metode Anatomi
Berorientasi pada Klinik, Edisi Kesebelas, Alih Bahasa oleh dr.
Surya, dkk., Jakarta.
Juan M., 1996. Traveras, Neuroradiology Third Edition, USA: William&
Wilkins a Waverly Company.
Kapur V. 2009. Better Understanding of CT Myelography.
Available:http://www.neuroocean.com/neuroradiology/ctmyelography.php. [Accessed 13 Juni 2013].
Kenneth L, Bontrager, 2001. Texbook of Radiographic Positioning and
Related Anatomy, Fifth Edition, USA: Mosby.
Kertoleksono S. 2008. Tomografi Komputer. Radiologi Diagnostik
Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Kompasiana. 2011. Tulang Belakang dan Postur Tubuh. Available:http://
kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/07/04/tulang-belakangdan-postur-tubuh-376248.html. [Accessed 27 Juli 2013].
Lisle, D.A. 2012. Imaging for Students Fourth Edition. Brisbane: Hodder
Arnold.
Magnet Lab. National High Magnetic Field Laboratory. 2013.MRI:
A Guided Tour Available:http://www.magnet.fsu.edu/education/
tutorials/magnetacademy/mri/fullarticle.html. [Accessed 29 Juli
2013].
Makes D. 1987. Prinsip Dasar dan Teknik Pemeriksaan dengan CT Scan,
Jakarta: Balai Pustaka FKUI.
Moore K.L., Dalley A.F., Agur A.M., 2010. Clinically Oriented Anatomy
6th Edition.Philadelphia: Lippincott William and Wilkins.
Mulyono Siswono, Artikel: Pemanfaatan MRI sebagai Sarana Diagnosa
Penderita, Media Litbang Kesehatan, Volume XIV No. 3 Tahun
2004.
Myelography [Internet]. Available from: http://my.clevelandclinic.org/
disorders/myelography/hic_myelography.aspx
Myelography [Internet]. Available from: http://sehati.org/index/
patientresources/ diagnosticprocedures/myelography.html
Neuroocean. 2013. CT Myelography. Available:http://neuroocean.
com/neuroradiology/ct-myelography.php. [Accessed 29 Juli 2013].
Daftar Pustaka
155
Norbert Boos, 2008. Spinal Disorders Fundamentals of Diagnosis and
Treatment.New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Online Medical Encyclopedia University of Rochester Medical Center
[Internet]. Myelogram. Available from:
http://www.urmc.
rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?ContentTypeID=92&C
ontentID=P07670
Pierre-Jerome C, et all., 2000. MRI of the Spine and Spinal Cord:
Imaging Techniques, Normal Anatomy, Artifacts, and Pitfalls.
Journal of Manipulative & Physiological Therapeutics, Vol. 23,
Issue 7, September 1, 2000.
Pradip R. Ratel, Lecur. 2007. Note Radiologi Edisi Kedua, Jakarta:
Erlangga Medical Series.
Prokop M. 2001. Spiral and Multislice Computed Tomography of The
Body. Germany: Thieme.
Purwatiwidiastuti. 2011. Apa Sich Nyeri Punggung Itu. Available:
http://Purwatiwidiastuti.wordpress.com/2011/01/ 25/apa-sichnyeri-punggung-itu/ [Accessed 28 Juli 2013].
Rachman, M.D. 2008.Segi-segi Fisika Radiologi dan Radiografi.
Radiologi Diagnostik Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Radiographic Imaging of Musculoskeletal Neoplasia: Bone Scintigraphy
[Internet].
Available
from:
http://www.medscape.com/
viewarticle/409049_3
Radiology [Internet]. Available from: http://radiology.web.id/
Rasyad Sjahriar, 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua, Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Ryan S., McNicholas M., Eustace S. 2004. Anatomy for Diagnostic
Imaging.2nd Edition. Philadelphia: Saunders.
Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf [Internet]. PT Gramedia Pustaka Utama;
[Cited 2013 Oct 18]. Available from: http://books.google.com/
books?id=YmUwVAPSX1MC&pgis=1
Scott D. Haldeman, 2002. An Atlas of Back Pain the Encyclopedia of
Visual Medicine Series, UK: The Parthenon Publishing Group.
Schild, H.H., 1990. MRI Made Easy.Well Almost. Schering AG Berlin/
Bergkamen.
Sebastian Lange, 1989. Cerebral and Spinal Computerized Tomography,
West Germany: Schering AG.
156
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Southbendclinic. 2013. Step 2: Know Your Back Anatomy.
Available:
http://www.southbendclinic.com/adam/mens%20
center/28/000409.htm [Accessed 28 Juli 2013].
Suratun, SKM, Heryati, S.Kp, M.Kes, Manurung S, et al. Klien Gangguan
Sistem Muskuloskeletal sAK [Internet]. EGC; [cited 2013 Oct
18]. Available from: http://books.google.com/books?id=PUjwsEgCSEC&pgis=1.
Texas Instruments. 2013. CT Scanner. Block Diagram. Available: http://
www.ti.com/solution/ct_scanner [Accessed 29 Juli 2013].
The Journal of Musculoskeletal Medicine. 2009 Jun 7 [cited 2013 Oct
18]; Managing Degenerative Lumbar Spinal Stenosis. Available
from: http://www.musculoskeletalnetwork.com/nervous-systemdiseases/content/article/1145622/1420201.
Thomas N. Byrne.2000. Diseases of the Spine and Spinal Cord, Oxford
University Press.
Turbosquid. 2013. Thorax. Available: http://www.turbosquid.com/3dmodels/maya-thorax-bones-anatomy/641400 [Accessed 28 Juli
2013].
UW Madicine. Department of Radiology. 2013. Scoliosis. Available:
http://www.rad.washington.edu/academics/academic-sections/
msk/teaching-materials/online-musculoskeletal-radiology-book/
scoliosis [Accessed 28 Juli 2013].
Vitriana. 2001. Aspek Anatomi dan Biomekanik Tulang Lumbosakral
dalam Hubungannya dengan Nyeri Punggung. Jakarta: Rehabilitasi
Medik FKUI/RSCM.
Walter B. Greene, M.D., 2006. Greene: Netter›s Orthopaedics, 1st
Edition, OrthoCarolina Charlotte, North Carolina. Elsevier,
Philadelphia.
Westbrook, C & Kaut C, 1998. MRI in Practice, Second Edition, Blackwell
Science.
What is Nuclear Medicine [Internet]. Available from: http://www.snm.
org/index.cfm?PageID=3106.
Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. 2013. Tulang Punggung. Available:
http://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_punggung [Accessed 27 Juli
2013].
Daftar Pustaka
157
Glosarium
Anatomi
Cabang biologi yang berhubungan dengan struktur dan organisasi
dari makhluk hidup.
Arkus vertebralis
Atau lengkung vertebra merupakan struktur yang berbentuk
menyerupai tapal kuda, terdiri dari lamina dan pedikel.
Cedera
Atau luka adalah sesuatu kerusakan pada struktur atau fungsi
tubuh yang dikarenakan suatu paksaan atau tekanan fisik maupun
kimiawi.
Computed Tomografi (CT)
Pemeriksaan radiologi yang menggabungkan teknik sinar X dengan
pemanfaatan komputer untuk memperoleh informasi anatomi
irisan melintang.
CT mielogram atau mielografi
Prosedur diagnostik yang dikerjakan setelah kontras diinjeksikan ke
dalam rongga subarachnoid. Mielografi merupakan pemeriksaan
radiografi alternatif dengan menggunakan fluoroskopi.
Degenerasi
Perubahan fungsi biokimiawi, perubahan struktural, ataupun
kombinasi dari keduanya karena cedera dan bersifat reversibel.
Bila sel terus-menerus terkena cedera bisa terjadi nekrosis atau
kematian sel yang bersifat irreversibel.
Densitas
Atau massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume
benda. Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin
besar pula massa setiap volumenya.
Diagnosis
Identifikasi mengenai sesuatu. Diagnosis digunakan dalam medis,
ilmu pengetahuan, teknik, bisnis, dan lain sebagainya.
Efek samping
Suatu dampak atau pengaruh yang merugikan dan tidak diinginkan,
yang timbul sebagai hasil dari suatu pengobatan atau intervensi
lain seperti pembedahan.
159
Embriologi
Ilmu tentang perkembangan embrio mulai dari pembuahan sel
telur sampai ke tahap janin.
Fisiologi
Atau ilmu faal (dibaca fa-al) adalah salah satu dari cabang-cabang
biologi yang mempelajari berlangsungnya sistem kehidupan.
Foto Rontgen
Gambaran atau pencitraan yang dihasilkan oleh sinar X yang
ditembakkan ke tubuh pasien.
Fraktur
Atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya atau setiap retak atau patah
pada tulang yang utuh.
Hernia
Suatu keadaan keluarnya jaringan/organ tubuh dari suatu organ
ruangan melalui suatu lubang/celah keluar di bawah kulit atau
menuju rongga lainnya (secara kongenital).
Indikasi
Petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan.
Infeksi
Kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme
inang dan bersifat paling membahayakan inang. Organisme
penginfeksi atau patogen, menggunakan sarana yang dimiliki inang
untuk dapat memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan
inang.
Kedokteran nuklir
Bidang kedokteran yang memanfaatkan materi radioaktif untuk
menegakkan diagnose dan mengobati penderita serta mempelajari
penyakit manusia.
Koil
Perangkat keras pada mesin MRI yang digunakan untuk
menghasilkan medan magnet atau untuk mendeteksi perubahan
medan magnetik oleh induksi voltase dari kawat induksi.
160
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Kolumna vertebralis
Atau rangkaian tulang belakang merupakan sebuah struktur yang
lentur dan dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra
atau ruas tulang belakang.
Komplikasi
Perpaduan beberapa penyakit yang terdapat pada tubuh manusia
yang disebabkan oleh keadaan penyakit lama, misalnya penyakit
maag yang menimbulkan penyakit liver kemudian berubah
menjadi sirosis yang dapat menyebabkan penyakit jantung.
Kontra indikasi
Petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan.
Kontras material
Substansi kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk melihat
anatomi dan fungsi dari daerah yang akan dicitrakan dengan
tujuan untuk memperjelas perbedaan antara berbagai jaringan
yang berbeda atau antara jaringan yang normal dengan jaringan
yang abnormal dengan mengubah waktu relaksasi.
Korpus tulang belakang
Struktur tulang belakang yang terbesar mengingat fungsinya
sebagai penyangga berat badan. Korpus vertebra berbentuk
seperti ginjal dan berukuran besar, terdiri dari tulang korteks
padat dan mengelilingi tulang medular yang berlubang-lubang.
Lesi
Istilah kedokteran untuk merujuk pada keadaan jaringan yang
abnormal pada tubuh.
Ligamen
Atau ligamentum adalah jaringan berbentuk pita yang tersusun
dari serabut-serabut liat yang mengikat tulang satu dengan tulang
lain pada sendi.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan imaging yang menggunakan bahan hidrogen
dan interaksinya dengan kedua medan magnet eksternal dan
gelombang radio untuk menghasilkan gambaran yang detail dari
tubuh manusia.
Glosarium
161
Media kontras
Suatu bahan yang digunakan pada pemeriksaan radiologi sebagai
media yang mempunyai kemampuan menyerap radiasi lebih tinggi
atau lebih rendah dari jaringan di sekitarnya.
Pembuluh balik
Atau vena adalah pembuluh yang membawa darah menuju
jantung. Darahnya banyak mengandung karbon dioksida.
Umumnya terletak dekat permukaan tubuh dan tampak kebirubiruan. Dinding pembuluhnya tipis dan tidak elastis dan jika
diraba, denyut jantungnya tidak terasa.
Pembuluh nadi
Atau arteri adalah pembuluh darah berotot yang membawa darah
dari jantung. Fungsi ini bertolak belakang dengan fungsi pembuluh
balik yang membawa darah menuju jantung.
Posisi pasien
Posisi seluruh tubuh ketika dilakukan pemeriksaan radiografi,
misalnya supine, erect, prone, dan lain sebagainya.
Radiofarmaka
Senyawa radioaktif yang digunakan ke dalam tubuh dengan
cara diminumkan, disuntikkan, atau dihisap melalui saluran
pernapasan, baik untuk tujuan terapi maupun diagnostik serta
mengalami metabolisme ke dalam tubuh manusia.
Radiologi
Ilmu kedokteran untuk melihat bagian tubuh manusia dengan
menggunakan pancaran atau radiasi gelombang, baik gelombang
elektromagnetik maupun gelombang mekanik.
Saraf
Serat-serat yang menghubungkan organ-organ tubuh dengan
sistem saraf pusat (yakni otak dan sumsum tulang belakang) dan
antar bagian sistem saraf dengan lainnya. Saraf membawa impuls
dari dan ke otak atau pusat saraf.
Sendi
Hubungan antartulang sehingga tulang dapat digerakkan.
Hubungan dua tulang disebut persendian (artikulasi).
162
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Sinar X
Pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan
gelombang radio, panas, cahaya, dan sinar ultraviolet (UV) tetapi
dengan panjang gelombang yang sangat pendek. Karena panjang
gelombang yang sangat pendek tersebut maka sinar X dapat
menembus benda-benda.
Tulang punggung
Atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk
punggung yang mudah digerakkan. Disebut juga tulang belakang.
Tulang rawan
Bentuk khusus jaringan ikat dengan fungsi utama menyokong
jaringan lunak. Tulang ini terdiri atas sel-sel (kondrosit dan
kondroblas) dan matriks (serat dan substansi dasar). Matriksnya
mengandung serat kolagen atau serat elastin yang memberi
kekuatan dan kelenturan. Akibatnya, tulang rawan memiliki
kekuatan renggang, penyokong struktural, dan memungkinkan
fleksibilitas tanpa distorsi.
Tulang sakrum
Tulang besar berbentuk segitiga yang terdiri dari lima tulang
belakang yang berfusi. Pada bagian proksimal tulang ini
berartikulasi dengan tulang belakang lumbal kelima, bagian lateral
berartikulasi dengan os illii, dan bagian distal berartikulasi dengan
os coccyx.
Tumor
Sebutan untuk neoplasma atau lesi padat yang terbentuk akibat
pertumbuhan sel tubuh yang tidak semestinya, yang mirip dengan
simtoma bengkak. Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai
ganas (malignan) atau jinak (benign).
Glosarium
163
Indeks
A
C
Active transport 143
Ahli radiologi 3–4, 43
Aksial 58–60, 65
Alergi 71, 81, 98, 103–104, 114,
125, 127, 135
Amfiartrodial 10
Amfiartrosis 13
Anatomi 3, 4, 6, 36, 36–39, 76, 81,
97, 101, 118, 120, 122, 123,
135, 158, 160
Anestesi 106, 126
Anterior lumbal 55–56, 67
Anterior oblique 48
Anteroposterior servikalis 45
AP Aksial
sakrum 59
tulang ekor 60
AP bending kanan kiri 66–67
AP lumbal 54
Apofiseal 10, 17, 30, 44, 54, 56,
64–65, 130
AP open mouth cervical 47, 66
AP thorakalis 51–52
Arkus vertebralis 8, 158
Arteri 17, 18, 21, 130, 133, 134,
161
lumbal 17
Artikulasi 37, 161–162
Capillary blockage 143
Cedera 3, 4, 12, 125, 158
Cell sequestration 143
Coccygeus 33
Cold area 146, 152
Compartmental localization 144
Computed Tomografi 76, 97, 158
Cornu sacralis 32
CT mielografi 81, 100–106, 108,
109, 113, 114
CT scan mielografi 107, 110, 111
CT scan sisternografi 107
B
Biological behaviour 152
Biologis 139, 141, 144
Biopsi 150, 152
Blood pool 144, 145
Bone
scintigraphy 147
window 80, 86, 88, 109
D
Dens 6, 29, 30, 65
Deteksi radioisotop 145
Detektor 76, 78, 138, 141, 144,
146, 148
Diskus
intervertebralis 10, 13, 14, 25,
34, 36, 39, 49, 52, 55, 57,
64, 65, 70, 74, 79, 80, 89,
92, 93, 98, 103, 109, 119,
123, 125
invertebralis 12
Dural sac 71, 127, 129
Duramater 19, 21, 23
E
Efek samping 70, 105, 159
Efektif 48, 144
Embriologi 3, 34, 39, 159
End plate 8, 10, 12, 13, 17, 19, 92,
93, 95, 127
Epidural 19–21, 72, 92, 93, 108,
119, 127, 128, 131, 133, 134
Erect 42–45, 48, 51, 53, 54, 62, 63,
66, 67, 71, 161
165
lateral 43, 44, 50
F
Fascia thoracolumbar 133
Fibrous 14, 27
Fisik 121, 144, 158
Fisiologi 3, 159
Flavum 8, 11, 14, 15, 16, 17, 21,
83, 84, 86, 87, 89, 91, 109,
129–134
Fluoroskopi 70, 74, 105, 106, 107,
158
Foramen
intervertebralis 9, 21, 30, 36, 48,
94
transversum 30
Foto Rontgen 42–67, 70, 80, 81
Fraktur 65, 79, 80, 82, 95, 98, 100,
118, 124, 149, 159
G
Ganas 150, 162
Gantry 76, 77, 78, 92, 93, 97
Gauss 116
Gelombang elektromagnetik 76,
161, 162
Generator radioisotop 142, 152
George C. De Havessy 140
Gradien 118, 121, 122, 135
Gradient echo 118, 135
H
Hematologi 140
Henri Danlos 140
Hernia 70, 159
Herniasi diskus intervertebralis 79,
98
Hiperdens 78
Hipodens 78
Hot area 145, 152
I
Iliolumbal 16, 134
166
Imaging 119, 124, 135, 139, 140,
152
Infeksi 103, 104, 114, 118, 119,
124, 125, 149, 159
Interspinosus 16, 129, 134
Intertransversal 15, 16
Intrathecal 81, 98
Intravena 70, 80, 81, 98, 139, 143
In-vitro 139, 140, 146, 152
In-vivo 139, 144, 152
Isodens 78
J
Jaringan parut 125
Jinak 150, 162
K
Kamar
gelap 42, 43, 66, 76
Kamera
gamma 139, 140
positron 140
Kanalis
sentralis 24
spinalis 14, 15, 17, 19, 21, 22,
23, 25, 33, 39, 70, 72, 73,
74, 80, 100, 102, 109, 114,
129
vertebralis 10, 14
Kanker 81, 140, 149
Kapsular 15
Kedokteran nuklir 138, 139, 140,
141, 144, 145, 146, 147,
150, 152, 159
Kelainan spinal 100
Kerangka 2, 4
Kit radiofarmaka 142
Koil
gradien 121, 122, 135
radio frekuensi 121, 135
Kolumna vertebralis 6, 7, 10, 11,
12, 39, 125
Komponen CT 76, 77, 97
Kontra indikasi 103, 114, 160
Kontras material 122
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Kornu medularis 100
Korpus vertebra 7, 8, 9, 10, 12, 14,
15, 46, 49
Korteks 7, 90, 127, 130, 160
Kosta 10, 31, 65
Kostotransversum 31
Kostovertebral 31, 132
L
Lamina 7–9, 14, 15, 17, 19, 28,
36–38, 65, 82, 130, 132, 158
Lateral
cervicothoracalis 49, 66
erect 54, 62, 67
hiperekstensi 50, 66
L5-S1 57, 65
lumbal 57, 67
recumbent 56, 57, 61
servikalis 43
thorakalis 53
tulang ekor 61
tulang sakrum 61, 66, 67
Lengkung vertebra 6, 8, 158
Lesi 72, 95, 119, 123, 139, 143,
150, 152, 162
Ligamen
fibrous 14
interspinosus 16
supraspinosus 16
Ligamentum
flavum 8, 11, 14, 15, 17, 21, 83,
89, 91, 109, 129–134
iliolumbal 16
intertransversal 16
kapsular 15
longitudinal 14
anterior 19, 25, 133
posterior 17, 21, 92, 132
Lokasi kunci 96
Lordosis 13, 66, 107
M
Massa intraspinal 79, 98
Medan magnet 116–118, 121,
135, 160
Indeks
Medular 8, 18, 160
Medula spinalis 10, 23, 24, 25,
102, 118, 119, 123, 124,
125, 127, 129, 135
Metode Ferguson 63
Midplane 91, 93, 94
Midsagittal 95
Mielografi 70–74, 81, 100–114,
114, 119, 120, 158
Modalitas 4, 100
MRI 73, 82, 98, 100–103, 114–
128, 131–135, 153, 155–
157, 160
N
Nukleus pulposus 12, 14, 133
O
Oblique Cervical 48
Oblique posterior 54, 56, 67
Oksipetal 29, 71
P
Paparan radiasi 81, 98, 103, 114,
144
Parasagital 96, 133
Pasien 4, 42–44, 47–51, 53–56,
58–63, 70–72, 78, 80, 82,
100, 102, 103, 107, 109,
112, 114, 117, 119, 126,
127, 139, 145, 148, 150,
152, 159, 161
Pedikel 7–9, 14, 21, 28, 36, 36–38,
46, 48, 52, 55, 65, 109, 132,
158
Peluruhan radiasi 144, 152
Pencitraan 72, 74, 100, 102, 114,
124, 139, 146, 148, 149,
152, 159
Persendian amfiartrodial 10
Phagocytosis 143
Plasentografi 144
Plat 102
Plate 8, 10, 12, 13, 17, 19, 92, 93,
95, 127
167
Posisi
anterior oblique cervical 48
anteroposterior servikalis 45,
46, 66
AP lumbal 54
AP thorakalis 51
hiperfleksi 50
lateral
cervicothoracalis 49
erect 62
hiperekstensi 50
L5-S1 57, 58
lumbal 56
servikalis 43
thorakalis 53
tulang ekor 61
tulang sakrum 61
oblique anterior lumbal 54
oblique posterior lumbal 55
PA lumbal 54
sendi faset 11
supine 51, 80
Potongan
aksial 78, 82, 85, 88, 92, 94, 119,
127
sagital 38, 129, 131, 133
transaksial 89
Prone 49, 55, 71, 72, 106, 161
Prosessus
artikularis
inferior 7, 9
superior 7, 9, 89, 90
mamillari 28
odontoideus 29
spinosus 7
transversus 10, 14, 16, 19, 28,
36, 38, 56, 65, 132
Proton 116–118
Proyeksi
AP 62
AP aksial L5-S1 58
AP aksial sakrum 59
AP aksial tulang ekor 60
AP bending kanan kiri 63
AP Open Mouth Cervical 47
PA 62
168
Pungsi
lumbal 71, 72, 81
suboksipital 72
R
Radiasi 65, 81, 98, 102, 103, 114,
121, 124, 138, 139, 140,
141, 144, 150, 152, 161
Radioaktif 138, 139, 140, 141, 142,
144, 145, 152, 159, 161
Radiofarmaka 138, 139, 140, 141,
142, 143, 144, 145, 146,
147, 149, 152
Radio frekuensi 116–118, 121,
122, 135
Radioisotop 139, 140, 142, 145,
152
primer 142
Radionuklida 139, 140, 143, 144
Radium 140
Recumbent lateral 43, 44
Reformasi
midsagittal 95
parasagital 96
Renogram 145
S
Saraf
sinuvertebral 21
tulang belakang 73, 102
Satuan HU 78
Scanner 117, 146, 152, 157
Scanning 76, 78, 82, 97, 139, 143,
144, 145, 146, 152
Sediaan radiofarmaka 140
Sendi
amfiartrosis 13
apofiseal 10, 17, 44, 54, 56, 65
faset 10–11, 25, 36–38, 89, 90,
109, 114, 130, 133, 134
kostotransversum 31
kostovertebral 31, 132
zigapofiseal 10, 14, 32, 36, 49
Sequence 118
Sidik tulang 147
Prosedur Pemeriksaan Radiologi
Siklotron 142
Simfisis 13
Sinar X 43, 71, 76, 78, 81, 97, 117,
158, 159, 162
Skenogram 80
Sklerotom 34, 35
Soft tissue window 80, 82, 85
Stationary probe 146
Stenosis spinal 70
STIR 118, 119, 120, 128, 135
Studi
in-vitro 139
in-vivo 139
T
T1-weighted images 118
T2-weighted images 118
Tabung detektor 80
Technitium -99m 142
Teknologi nuklir 138, 151
Tengkorak 2, 46, 47
Tesla 116
Topogram 80
Trauma 12, 43, 79, 82, 98, 102,
103, 118, 124
True synovial joints 10
Tulang
atlas 29
belakang
lumbal 2, 7, 9, 12, 14, 16, 17,
18, 21, 28, 39, 67, 76, 82,
97, 101, 106, 132, 133, 134,
162
servikalis 2, 7, 28, 30, 31, 37,
39, 44, 51, 65, 66, 101, 107,
112, 119, 127, 128, 129, 130
thorakalis 2, 7, 10, 30, 31, 39,
62, 63, 66, 71, 101, 107,
131, 132
ekor 6, 7, 18, 33, 39, 59, 60, 61,
66, 67, 101
korteks 7, 160
medular 8, 160
Indeks
rusuk 3, 15
Tumor 70, 73, 82, 98, 100, 118,
124, 125, 149, 150
U
Uncinate process 130
Unsealed 138
Unsur 142
V
Vena 17–21, 81, 91, 93–95, 128,
130–134, 161
Ventral rootlet 130
Ventrikulografi 144
Vertebra 2, 6–17, 19, 22, 23, 30,
31, 32, 33, 35, 46, 49, 52,
53, 63, 65, 72, 79, 80, 82,
83, 88, 92, 93, 94, 95, 96,
158, 160, 162
W
Waktu paruh 139, 142
biologis 141, 144
efektif 144
fisik 144
Well counter 152
Z
Zat radioaktif 140, 144
169
Riwayat Penulis
D
oktor yang bernama lengkap Yuyun Yueniwati
ini lahir di Malang, 31 Oktober 1968. Ia
merupakan anak pertama dari Bapak Wadjib
(almarhum) dan Ibu R.A. Siti Suparsiyah (almarhum).
Hasil pernikahannya dengan dr. Eko Arisetijono Sp.S. (K)
membuahkan 2 orang putra dan seorang putri.
Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN
Ngaglik I Batu, Malang pada tahun 1981 lalu menempuh pendidikan
menengah pertama di SMPN I Batu, Malang. Setelah itu, masuk
pendidikan menengah atas di SMA PPSP IKIP Malang dan lulus pada
tahun 1986. Pada tahun 1987, ia diterima di Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang dan lulus pada tahun 1994. Untuk
mengembangkan kemampuannya sebagai dokter, ia mengambil
Program Pasca Sarjana di Universitas Airlangga Surabaya dan lulus
sebagai Magister (MKes) dalam bidang ilmu FAAL pada tahun 2000.
Ia berhasil menjadi lulusan terbaik IKD Pasca Sarjana UNAIR. Tidak
berhenti di situ, ia pun melanjutkan studinya dengan mengambil
spesialisasi radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta, dan lulus pada tahun 2007. Saat itu, ia berhasil meraih prestasi
sebagai juara III Ujian Nasional BPNRI. Pendidikan tertingginya ia
tempuh dengan mengambil Program Doktor di Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya, dan lulus sebagai Doktor pada tahun
2012 dengan prestasi lulus dengan predikat cum laude dan sebagai
wisudawan terbaik UNAIR periode Juli 2012. Selain menempuh
pendidikan formal di atas, ia juga menempuh beberapa pendidikan
nonformal yang diikutinya baik di dalam maupun di luar negeri.
Awal karirnya dimulai dengan menjadi seorang dokter PTT di
Puskesmas Bareng, Malang. Pada tahun 1996-sekarang, ia aktif
sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya-RSUD
dr. Saiful Anwar Malang. Ia juga dipercaya sebagai Sekretaris Program
Studi Radiologi FKUB dari tahun 2012 sampai sekarang.
171
Download