Prosedur Pemeriksaan Radiologi Untuk Mendeteksi Kelainan dan Cedera Tulang Belakang Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan dan barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait, sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Prosedur Pemeriksaan Radiologi Untuk Mendeteksi Kelainan dan Cedera Tulang Belakang Yuyun Yueniwati UB Press 2014 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Untuk Mendeteksi Kelainan dan Cedera Tulang Belakang © 2014 UB Press Cetakan Pertama, Februari 2014 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Right Reserved Penulis Perancang Sampul Penata Letak Pracetak dan Produksi : : : : Dr. dr. Yuyun Yueniwati P.W., M.Kes. Sp.Rad. Farid Jerry Katon Tim UB Press Penerbit: UB Press Universitas Brawijaya Press (UB Press) Penerbitan Elektronik Pertama dan Terbesar di Indonesia Jl. Veteran, Malang 65145 Indonesia Telp. : 0341-551611 Psw. 376 Fax. : 0341-565420 e-mail: [email protected]/[email protected] http://www.ubpress.ub.ac.id ISBN: 978-602-203-565-7 xxvi + 172 hlm, 15,5 cm x 23,5 cm Dilarang keras memfoto kopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit Kata Pengantar Ahli Oleh: dr. Bambang Budyatmoko, Sp.Rad. (K) P emeriksaan radiologi merupakan salah satu pemeriksaan yang amat diperlukan dalam menegakkan diagnosa suatu penyakit. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai ilmu radiologi menjadi salah satu mata pelajaran yang penting dalam pendidikan dokter. Terbitnya buku radiologi dalam bahasa Indonesia yang berjudul “Prosedur Pemeriksaan Radiologi untuk Mendeteksi Kelainan dan Cedera Tulang Belakang” ini merupakan suatu hal yang amat menggembirakan karena akan sangat membantu bagi para mahasiswa, dokter maupun pekerja dalam bidang kesehatan lainnya. Selain itu, keberadaan buku pelajaran radiologi dalam bahasa Indonesia masih amat langka. Oleh karena itu, saya menyambut dengan gembira buku yang ditulis oleh dr. Yuyun ini dapat segera terbit. Saya merasa salut dan senang karena meskipun kesibukannya sangat menyita waktu, tapi ia masih tetap menyempatkan diri untuk menulis. Kepada penulis dan UB Press yang membantu penerbitan buku ini, saya ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya semoga usaha yang mulia ini juga dapat ditiru dan dilanjutkan oleh insan radiologi lainnya. Jakarta, Januari 2014 dr. Bambang Budyatmoko, Sp.Rad. (K) Ketua Umum Persatuan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI) Pusat Kata Pengantar Ahli Oleh: dr. Islana Gadis Yulidani, Sp.Rad. (K) M erupakan sebuah kebanggaan bagi saya ketika diminta untuk memberikan kata pengantar buku yang berjudul “Prosedur Pemeriksaan Radiologi untuk Mendeteksi Kelainan dan Cedera Tulang Belakang” ini. Buku ini akan sangat bermanfaat bagi para tenaga kesehatan, dokter umum, peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS), dokter spesialis radiologi, dan dokter spesialis lain yang terkait. Buku ini merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan pemahaman mengenai modalitas radiologi pada tulang belakang karena materinya dipaparkan secara lengkap, mulai dari anatomi tulang belakang dan berbagai teknik imaging dari yang sederhana sampai yang canggih. Penerbitan buku ini mempunyai andil yang besar terhadap pemahaman yang lebih baik mengenai modalitas radiologi pada tulang belakang. Oleh karena itu, kehadiran buku ini patut kita sambut dengan baik. Malang, Januari 2014 dr. Islana Gadis Yulidani, Sp.Rad. (K) Ketua Program Studi Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Kata Pengantar Penulis K elainan tulang belakang merupakan salah satu penyebab terbanyak kunjungan pasien ke dokter. Untuk keperluan ini maka digunakan berbagai macam modalitas radiologi, mulai dari yang sederhana hingga yang canggih sehingga dapat ditentukan diagnosis untuk mengetahui penyebab kelainan tulang belakang. Buku ini kami susun dengan materi yang cukup lengkap dan padat. Uraian tentang anatomi tulang belakang sangat diperlukan sebagai pengetahuan dasar yang sebaiknya dimiliki oleh seorang ahli radiologi. Penjelasan berbagai macam modalitas radiologi akan memberikan pengetahuan apa kelebihan dan kekurangan pada masing-masing alat. Berbagai teknik pemeriksaan pada masing-masing modalitas radiologi akan memberikan pengetahuan yang benar untuk menentukan jenis pemeriksaan radiologi yang sesuai dengan indikasi pasien. Kami berharap buku ini akan sangat berguna bagi para tenaga kesehatan, mahasiswa kedokteran, dokter umum, peserta program studi dokter spesialis (PPDS) radiologi, dokter spesialis radiologi, dan dokter spesialis lain yang terkait. Pada kesempatan ini, kami menyampaikan penghargaan setinggitingginya kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan buku ini, terutama kepada dr. Ari Eko Laksono dan dr. Dhanti Erma Widiasi yang sangat banyak membantu dalam pengumpulan materi dan penyempurnaan buku ini. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih tak terhingga kepada suami saya tercinta dr. Eko Arisetijono Sp.S. (K) atas saran dan dukungannya dalam penyusunan buku ini. Kami sadar bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan buku ini kami terima dengan tangan terbuka. Semoga buku ini dapat berguna dan membantu siapa saja yang membaca dan membutuhkan informasi mengenai modalitas radiologi tulang belakang. Malang, Januari 2014 Penulis Daftar Isi Kata Pengantar Ahli .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... v Kata Pengantar Ahli .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... vii Kata Pengantar Penulis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... ix Daftar Isi ....... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... xi Daftar Tabel .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... xvii Daftar Gambar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... xix Bab 1 Bab 2 PENDAHULUAN . .................................... 1 ANATOMI TULANG BELAKANG . ......... 2.1 Kolumna Vertebralis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 2.1.1 Korpus Vertebra . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 2.1.2 Arkus Vertebralis .. . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 2.2 Persendian pada Kolumna Vertebralis . ............................... 2.2.1 Sendi Zigapofiseal . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 2.3 Diskus Intervertebralis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 2.4 Ligamentum pada Tulang Belakang ..................................... 2.5 Vaskularisasi Tulang Belakang Lumbal ................................. 2.5.1 Pembuluh Darah Arteri . . . . . . . ..................................... 2.5.2 Pembuluh Darah Vena . . . . . . . . . .................................... 2.6 Persarafan Lumbosakral . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 2.7 Kanalis Spinalis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 2.8 Medula Spinalis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 2.9Muskulus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 2.10 Karakteristik Tulang Belakang Servikalis . ............................. 2.11 Karakteristik Tulang Belakang Thorakalis ............................. 2.12 Karakteristik Tulang Sakrum dan Tulang Ekor . ..................... 2.13 Embriologi Tulang Belakang . . . . . . . . . . . ..................................... 2.14 Radiografi Anatomi Tulang Belakang ................................... 5 6 7 8 10 10 11 14 17 17 18 21 22 22 26 28 31 32 34 36 Bab 3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 PEMERIKSAAN RADIOLOGI DENGAN FOTO RONTGEN (RADIOGRAFI) . . . . . . . . . . ............................... Prinsip Dasar Foto Rontgen .. . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... Teknik Foto Rontgen Servikalis . . . . . . . . . . . . ................................ 3.2.1 Posisi Lateral Servikalis . . . . . . . . . . . . . ............................... 3.2.2 Posisi Anteroposterior Servikalis . ............................. 3.2.3 Proyeksi AP Open Mouth Cervical . ........................... 3.2.4 Posisi Anterior dan Posterior Oblique Cervical . ........ 3.2.5 Posisi Lateral Cervicothoracalis (Swimmer’s) ............ 3.2.6 Posisi Lateral Hiperekstensi dan Hiperfleksi . ............ Teknik Foto Rontgen pada Thorakalis . . . ............................... 3.3.1 Posisi AP Thorakalis .. . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 3.3.2 Posisi Lateral Thorakalis . . . . . . . . . . . ................................ 3.3.3 Posisi Oblique Anterior atau Posterior Thoracal ....... Teknik Foto Rontgen pada Lumbal . . . . . . ................................ 3.4.1 Posisi AP atau PA Lumbal . . . . . . . . . . ............................... 3.4.2 Posisi Oblique Posterior atau Anterior Lumbal ......... 3.4.3 Posisi Lateral Lumbal .. . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 3.4.4 Posisi Lateral L5-S1 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 3.4.5 Proyeksi AP Aksial L5-S1 .. . . . . . . . . . ................................ Teknik Foto Rontgen Tulang Sakrum dan Tulang Ekor . ........ 3.5.1 Proyeksi AP Aksial Sakrum . . . . . . . ................................ 3.5.2 Proyeksi AP Aksial Tulang Ekor . . ............................... 3.5.3 Posisi Lateral Tulang Sakrum dan Tulang Ekor . ......... Serial Skoliosis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 3.6.1 Proyeksi PA (AP) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 3.6.2 Posisi Lateral Erect . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 3.6.3 Proyeksi PA (AP) Metode Ferguson . ......................... 3.6.4 Proyeksi AP (PA) Bending Kanan Kiri . ....................... Kelebihan dan Aplikasi Klinis Foto Rontgen ......................... 41 42 43 43 45 47 48 49 50 51 51 53 54 54 54 55 56 57 58 59 59 60 61 61 62 62 63 63 64 Bab 4 4.1 PEMERIKSAAN RADIOLOGI DENGAN MIELOGRAFI . ........................ 69 Prinsip Dasar Mielografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 70 xii Prosedur Pemeriksaan Radiologi 4.2 4.3 Prosedur Pemeriksaan Mielografi . . ..................................... 4.2.1Persiapan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 4.2.2 Pemeriksaan Mielografi . . . . . . . .................................... 4.2.3 Perawatan Setelah Pemeriksaan . ............................. Kelebihan dan Aplikasi Klinis Mielografi . ............................. Bab 5 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 PEMERIKSAAN RADIOLOGI DENGAN COMPUTED TOMOGRAFI. .. Prinsip Dasar CT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... Indikasi Pemeriksaan CT .. . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 5.2.1 Herniasi Diskus Intervertebralis . .............................. 5.2.2 Fraktur dan Trauma Lain . . . . . ..................................... 5.2.3 Massa Intraspinal .. . . . . . . . . . . . . . . . .................................... Prosedur Pemeriksaan CT . . . . . . . . . . . . . . ..................................... Teknik Pemberian Kontras .. . . . . . . . . . . . . . .................................... 5.4.1 Secara Intravena . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 5.4.2 Secara Intrathecal . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... Risiko Pemeriksaan CT Scan . . . . . . . . . . . . .................................... Kelebihan dan Aplikasi Klinis Pemeriksaan CT Scan ............. Gambaran Normal CT Scan Tulang Belakang Lumbal . ......... 5.7.1 Potongan Aksial Sejajar Dengan Vertebral Endplate (Soft Tissue Window) . . . . . . . . . . . .................................... 5.7.2 Potongan Aksial Sejajar Dengan Vertebral Endplate (Bone Window) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 5.7.3 Potongan Transaksial Setinggi Diskus Vertebralis ...... L3-4 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 5.7.4 Potongan Transaksial Setinggi Sendi Faset L3-4 . ...... 5.7.5 Potongan Transaksial Setinggi Pedikel VL4 . .............. 5.7.6 Potongan Transaksial Setinggi Korpus VL5 (Mid Plane) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 5.7.7 Potongan Aksial Setinggi Diskus Intervertebralis L4-5 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 5.7.8 Potongan Setinggi Diskus Intervertebralis L5–S1 ...... 5.7.9 Potongan Setinggi Korpus VL5 (Midplane) . .............. 5.7.10Potongan Setinggi Foramen Intervertebralis L5–S1 .. 5.7.11Potongan Aksial Setinggi Korpus VL2 (Midplane) . .... 5.7.12Reformasi Midsagittal . . . . . . . . . ..................................... 5.7.13Reformasi Parasagital .. . . . . . . . . ..................................... Daftar Isi 70 70 71 72 72 75 76 79 79 79 79 80 81 81 81 81 82 82 82 86 89 89 90 91 92 93 93 94 94 95 96 xiii 5.7.14Lokasi Kunci . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 96 5.7.15Perjalanan Nervus L5 . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 97 Bab 6 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 PEMERIKSAAN RADIOLOGI DENGAN CT MIELOGRAFI . .................. Prinsip Dasar CT Mielografi . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... Dasar Anatomi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ Indikasi CT Mielografi .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... Kontra Indikasi CT Mielografi . . . . . . . . . . . . . . ................................ 6.4.1 Kontra Indikasi Penggunaan Imaging CT Mielografi . 6.4.2 Kerugian Penggunaan Imaging CT Mielografi . ......... 6.4.3 Keterbatasan Penggunaan Imaging CT Mielografi . .. Prosedur Pemeriksaan CT Mielografi . . . ............................... 6.5.1Persiapan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 6.5.2 Prosedur Pemeriksaan . . . . . . . . . . . . . . ............................... 6.5.3 Perawatan Pasca Pelaksanaan .. ................................ Efek Samping CT Mielografi .. . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... Gambaran Radiologi CT Mielografi . . . . . ................................ 99 100 101 102 103 103 103 104 104 104 105 107 107 108 Bab 7 PEMERIKSAAN RADIOLOGI DENGAN MAGNETIC RESONANCE IMAGING . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 7.1 Prinsip Dasar MRI .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 7.2 Teknik Pemilihan Sequence MRI . . . . . . . . . . ............................... 7.3 Koil pada MRI .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 7.3.1 Koil Gradien . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 7.3.2 Koil Radio Frekuensi .. . . . . . . . . . . . . . . . . ............................... 7.4 Kontras Material pada MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 7.5 Indikasi Pemeriksaan MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 7.6 Keuntungan dan Risiko Pemeriksaan MRI . .......................... 7.6.1 Keuntungan Pemeriksaan MRI . . ............................... 7.6.2 Risiko Pemeriksaan MRI . . . . . . . . . . ................................ 7.7 Gambaran Normal Tulang Belakang pada MRI . ................... 7.7.1 Gambaran MRI Tulang Belakang Servikalis ............... 7.7.2 Gambaran MRI Tulang Belakang Thorakalis . ............ 7.7.3 Gambaran MRI Tulang Belakang Lumbal .................. xiv 115 117 118 121 121 122 122 123 124 124 126 127 128 131 132 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Bab 8 KEDOKTERAN NUKLIR . ........................ 8.1 Prinsip Dasar Kedokteran Nuklir . . . . . .................................... 8.2 Sejarah Kedokteran Nuklir . . . . . . . . . . . . . ..................................... 8.3Radiofarmaka .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 8.3.1 Syarat Senyawa Radioaktif . . . .................................... 8.3.2 Klasifikasi Produksi Sediaan Radiofarmaka ............... 8.3.3 Mekanisme Penempatan Radiofarmaka Dalam Tubuh .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 8.3.4 Faktor Pemilihan Radiofarmaka . .............................. 8.3.5 Deteksi Radioisotop . . . . . . . . . . . . . .................................... 8.4 Instrumentasi Kedokteran Nuklir . . . ..................................... 8.5 Bone Scintigraphy (Sidik Tulang) . . . . ..................................... 8.5.1 Indikasi Sidik Tulang . . . . . . . . . . . . ..................................... 8.5.2 Persiapan Alat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 8.5.3 Persiapan Pasien . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 8.5.4 Prosedur Pemeriksaan . . . . . . . . . .................................... 8.5.5 Evaluasi Hasil . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 8.6 Kelebihan dan Aplikasi Klinis Kedokteran Nuklir . ................ Daftar Pustaka .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... Glosarium .... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... Indeks .......... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... Riwayat Penulis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 143 144 145 146 147 147 148 148 148 149 150 153 158 163 168 Daftar Isi xv 137 138 140 140 141 142 Daftar Tabel Tabel 3.1 Jenis foto Rontgen beserta patologi dan penampakan struktur yang dihasilkan . . . . . . . . . . ..................................... 64 Tabel 5.1 Nilai rata-rata HU pada beberapa zat . .......................... 78 Tabel 7.1 Sekuen pulsa dasar untuk MRI pada tulang belakang leher . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 120 Tabel 7.2 Intensitas sinyal MRI . . . . . . . . . . . . . . . . .................................... 120 Tabel 7.3 Karakteristik beberapa jaringan pada pemeriksaan MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 128 Daftar Gambar Gambar 1.1 Struktur tulang belakang pada tubuh manusia . ....... 2 Gambar 1.2 Susunan saraf di tulang belakang ............................. 3 Gambar 2.1 Susunan kolumna vertebralis . .................................. 6 Gambar 2.2 Struktur dasar tulang belakang . ............................... 7 Gambar 2.3 Struktur korpus vertebra .. . ...................................... 8 Gambar 2.4 Struktur arkus vertebralis . . ...................................... 9 Gambar 2.5 Posisi sendi faset .. . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 11 Gambar 2.6 Irisan memanjang tulang belakang lumbal yang menunjukkan ukuran dan morfologi diskus yang normal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 12 Gambar 2.7 Struktur diskus intervertebralis ................................ 13 Gambar 2.8 Posisi ligamen pada tulang belakang ........................ 15 Gambar 2.9 Ligamen pada tulang belakang ................................. 16 Gambar 2.10 Suplai arteri pada tulang belakang lumbal . ............. 18 Gambar 2.11 Sistem saluran venous . . . . . . . ...................................... 20 Gambar 2.12 Sistem persarafan tulang belakang lumbal Gambar 2.13 Struktur kanalis spinalis .............. 21 . . . . . ..................................... 22 Gambar 2.14 Struktur innervariation spinal anterior .................... 23 Gambar 2.15 Struktur spinal posterior . . . . . ..................................... 24 Gambar 2.16 Persarafan tulang belakang tampak secara lateral . .. 25 Gambar 2.17 Otot spinal anterior .. . . . . . . . . . . ..................................... 26 Gambar 2.18 (a) Distribusi spasial pada otot tulang belakang paling dalam dan (b) otot suboksipital . .................... 27 Gambar 2.19 Otot tulang belakang interplay anterior dan posterior . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 28 Gambar 2.20 (a) Tulang atlas tampak superior dan (b) tulang atlas tampak inferior . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 29 Gambar 2.21 (a) Tulang aksis tampak anterior dan (b) tulang aksis tampak posterosuperior . . ................................ 30 Gambar 2.22 (a) Tulang belakang servikalis ke-4 dan (b) tulang belakang servikalis ke-7, tampak superior . .............. 31 Gambar 2.23 (a) Tulang belakang T6 dan (b) tulang belakang T12 tampak lateral .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 32 Gambar 2.24 Struktur tulang sakrum dan tulang ekor tampak inferior anterior . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 33 Gambar 2.25 Struktur tulang sakrum dan tulang ekor tampak superior posterior . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 34 Gambar 2.26 Pertumbuhan sklerotom, sel dari sklerotom tumbuh di sekitar notochord dan neural tube . ...................... 35 Gambar 2.27 Perkembangan tulang belakang pada fetus ............ 35 Gambar 2.28 Anatomi os. lumbar normal . . . . . ................................ 36 Gambar 2.29 Anatomi os. servikal normal . . . ................................. 37 Gambar 2.30 Anatomi normal tulang belakang lumbar ................ 38 Gambar 3.1 Ruang pemeriksaan radiologi .. . ................................ 42 Gambar 3.2 Skema pemotretan dengan foto Rontgen . ............... 43 Gambar 3.3 Posisi erect lateral servikalis .. . . ................................. 44 Gambar 3.4 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral servikalis . ..... 45 Gambar 3.5 Posisi anteroposterior servikalis ............................... 46 Gambar 3.6 Hasil foto Rontgen pada posisi anteroposterior servikalis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 46 Gambar 3.7 Posisi foto Rontgen pada proyeksi AP open mouth cervical .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 47 Gambar 3.8 Hasil foto Rontgen pada proyeksi AP open mouth cervical .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 47 Gambar 3.9 Foto Rontgen pada posisi: (a) anterior oblique cervical dan (b) posterior oblique cervical ................ 48 xx Prosedur Pemeriksaan Radiologi Gambar 3.10 Hasil foto Rontgen pada posisi: (a) anterior dan (b) posterior oblique cervical . .................................. 49 Gambar 3.11 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral cervicothoracalis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 49 Gambar 3.12 Posisi lateral: (a) hiperekstensi dan (b) hiperfleksi . .. 50 Gambar 3.13 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral: (a) hiperfleksi dan (b) hiperekstensi . .................................... 51 Gambar 3.14 Posisi AP thorakalis . . . . . . . . . . . . . ..................................... 52 Gambar 3.15 Hasil foto Rontgen pada posisi AP thorakalis . ......... 52 Gambar 3.16 Posisi lateral thorakalis . . . . . . . ..................................... 53 Gambar 3.17 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral thorakalis ..... 53 Gambar 3.18 Posisi AP lumbal .. . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 54 Gambar 3.19 Hasil foto Rontgen lumbal AP .................................. 55 Gambar 3.20 Posisi oblique anterior (a) dan posterior (b) lumbal . 55 Gambar 3.21 Hasil foto Rontgen pada posisi oblique posterior (a), anterior lumbal (b), dan scotty dog sign (c) ............. 56 Gambar 3.22 Posisi lateral lumbal . . . . . . . . . . . ...................................... 57 Gambar 3.23 Hasil foto Rontgen posisi lateral lumbal . .................. 57 Gambar 3.24 Posisi lateral L5-S1 . . . . . . . . . . . . . ...................................... 58 Gambar 3.25 Posisi pada proyeksi AP aksial L5-S1 ........................ 58 Gambar 3.26 Posisi pada proyeksi AP aksial sakrum . .................... 59 Gambar 3.27 Film foto Rontgen pada posisi proyeksi AP aksial sakrum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 59 Gambar 3.28 Posisi pada proyeksi AP aksial tulang ekor . ............. 60 Gambar 3.29 Hasil foto Rontgen posisi AP aksial tulang ekor . ....... 60 Gambar 3.30 (a) Posisi lateral tulang sakrum dan (b) foto pada posisi lateral tulang sakrum . .................................... 61 Gambar 3.31 (a) Posisi lateral tulang ekor dan (b) foto lateral tulang ekor .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 61 Gambar 3.32 Hasil foto Rontgen pada proyeksi PA (AP) . ............... 62 Daftar Gambar xxi Gambar 3.33 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral erect . ............ 62 Gambar 3.34 Hasil foto Rontgen pada proyeksi PA metode Ferguson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 63 Gambar 3.35 Posisi badan pada proyeksi AP (PA) bending kanan kiri .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 64 Gambar 4.1 Mielogram memerlukan penyuntikan kontras ke saluran tulang belakang di bawah panduan sinar X . 71 Gambar 4.2 Lokasi pungsi lumbal .. . . . . . . . . . . . . . . ................................ 72 Gambar 4.3 Anak panah nomor (1) menunjukkan saraf tulang belakang normal Anak panah nomor (2) menunjukkan terjadinya kelainan hernia . ................................ 73 Gambar 4.4 Mielografi normal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 73 Gambar 4.5 Mielografi cut off pada VL4-5 . . ................................ Gambar 5.1 Pasien yang sedang melakukan CT scan . ................. 74 76 Gambar 5.2 Komponen CT scan . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 77 Gambar 5.3 CT scan bone window dengan rekonstruksi koronal dan sagital pada tulang punggung bawah ................ 80 Gambar 5.4 (a-i) CT scan potongan aksial paralel dengan vertebral endplate (soft tissue window). . ......................... 85 Gambar 5.5 (a-g) CT scan potongan aksial paralel dengan vertebra endplate (bone window). . . ................................. 88 Gambar 5.6 Gambaran foto polos tulang belakang lumbal normal proyeksi AP/lateral .. . . . . . ................................ 88 Gambar 5.7 CT scan potongan transaksial pada level setinggi diskus intervertebralis L3-4 . . . . . ................................ 89 Gambar 5.8 CT scan transaksial setinggi sendi faset L3-4 . .......... 89 Gambar 5.9 Potongan anatomik pada level yang sama dengan Gambar 5.8 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 90 Gambar 5.10 CT scan potongan transaksial setinggi puncak dari pedikel L4 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 90 Gambar 5.11 CT scan potongan transaksial setinggi midplane corpus L4 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 91 xxii Prosedur Pemeriksaan Radiologi Gambar 5.12 CT scan potongan transaksial setinggi diskus L5–S1 bagian dorsal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 91 Gambar 5.13 CT scan tanpa dan dengan kontras potongan aksial setinggi diskus intervertebralis L4-5 ......................... 92 Gambar 5.14 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level dorsal aspect dari diskus interverebralis L5-S1 . .................. 93 Gambar 5.15 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level midplane L5 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 93 Gambar 5.16 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level setinggi foramen intervertebralis L5-S1 . .................. 94 Gambar 5.17 CT scan tanpa dan dengan kontras potongan aksial pada level setinggi midplane corpus vertebra L2 . .... 94 Gambar 5.18 Reformat midsagital sebelum penambahan kontras . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 95 Gambar 5.19 Reformat midsagital pasca penambahan kontras, terlihat opasitas dari basivertebral vein . .................. 95 Gambar 5.20 Reformat parasagital kanan memotong anterior internal vertebral veins . . . . . . ...................................... 96 Gambar 5.21 Potongan setinggi tulang belakang lumbalis 5 . ........ 96 Gambar 5.22 Seri CT scan yang memperlihatkan perjalanan nerves lumbal 5 berasal sebagai nerve roots (R5) dari thecal sac .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 97 Gambar 6.1 (a) Peralatan CT scan dan (b) pelaksanaan mielografi .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 105 Gambar 6.2 Penyuntikan CT mielografi dapat dilakukan pada L2-L3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 106 Gambar 6.3 Hasil foto CT scan: (a) mielogram lumbal normal dan (b) mielogram servikal proyeksi AP . .................. 108 Gambar 6.4 (a) Gambaran CT normal pada tulang belakang: (a) soft tissue windows dan (b) bone window ......... 109 Gambar 6.5 Hasil foto CT scan: (a) coronal refformated CT myelogram dan (b) sagittal refformated CT myelogram .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 109 Daftar Gambar xxiii Gambar 6.6 Hasil foto CT scan mielografi yang menunjukkan adanya kista meningeal ekstradural . ........................ 110 Gambar 6.7 Hasil foto CT scan mielografi dengan kelainan kista meningeal ekstradural ganda . . ................................. 111 Gambar 6.8 Hasil foto CT scan mielogram dengan kista meningeal intradural .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 111 Gambar 6.9 Hasil foto CT scan mielogram dengan kelainan traumatic cervical pseudomeningocele .................... 112 Gambar 6.10 Hasil foto servikal mielografi pada pasien normal (posisi pronasi) .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 112 Gambar 6.11 Hasil foto (a) CT mielografi menunjukkan adanya pseudoceles traumatic di C7-D1 (b) Irisan tipis (1,25 mm) CT mielografi dan (c) potongan koronal CT mielografi .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 113 Gambar 6.12 Hasil foto potongan aksial CT mielografi yang menunjukkan adanya stenosis kanal ringan karena osteofit korpus posterior . . . . . . . . . ................................ 113 Gambar 6.13 Hasil foto potongan aksial CT mielogram . ................ 114 Gambar 7.1 Pemeriksaan MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 116 Gambar 7.2 Sistem MRI .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................ 118 Gambar 7.3 Koil yang terdapat pada MRI . . . ................................ 121 Gambar 7.4 MRI yang menggunakan koil gradien dengan ketiga medan yang saling tegak lurus . ............................... 122 Gambar 7.5 Dengan adanya MRI, maka adanya infeksi dapat dideteksi secara dini .. . . . . . . . . . . . . . ................................. 125 Gambar 7.6 MRI yang berbentuk kastil ini dibuat untuk menciptakan suasana nyaman bagi anak ............................. 126 Gambar 7.7 Potongan sagital T2WI tulang belakang servikalis . ... 129 Gambar 7.8 Potongan aksial T2WI tulang belakang servikalis . .... 130 Gambar 7.9 Potongan aksial T2WI tulang belakang servikalis tengah .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................................. 130 Gambar 7.10 Potongan sagital T1WI tulang belakang thorakalis . .. 131 xxiv Prosedur Pemeriksaan Radiologi Gambar 7.11 Potongan aksial T2WI tulang belakang thorakalis . ... 132 Gambar 7.12 Potongan midsagital tulang belakang lumbal ........... 132 Gambar 7.13 Potongan parasagital T1WI tulang belakang lumbal . 133 Gambar 7.14 Potongan sagital T1WI tulang belakang lumbal . ...... 133 Gambar 7.15 Potongan aksial T1WI tulang belakang lumbal pada L5‑S1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 134 Gambar 8.1 Pencitraan diagnostik dengan menggunakan teknologi nuklir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... 138 Gambar 8.2 Senyawa radioaktif yang digunakan dalam kedokteran nuklir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 141 Gambar 8.3 Beberapa instrumen yang diperlukan dalam kedokteran nuklir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 147 Gambar 8.4 (a) Metastasis hot spot dan (b) cold spot . ................ 150 Gambar 8.5 Perbandingan hasil pemeriksaan dengan: (a) CT scan dan (b) hasil foto bone scan normal dengan menggunakan teknologi nuklir ................................ 151 Daftar Gambar xxv Bab 1 PENDAHULUAN T uhan menciptakan tubuh manusia begitu sempurna. Semua bagian tubuh mempunyai fungsi dan peranan masingmasing dengan susunan dan struktur yang sangat khas. Kerangka atau susunan tulang merupakan salah satu bagian tubuh manusia yang mempunyai peranan sangat penting. Kerangka manusia terdiri atas dua bagian utama, yaitu tulang badan batang dan tulang anggota badan. Tulang badan batang terbagi atas tiga bagian kerangka tubuh yaitu tengkorak, tulang belakang (vertebra), dan rongga dada. Sementara itu, tulang anggota badan terdiri atas dua bagian kerangka tubuh yaitu anggota gerak atas dan anggota gerak bawah. 7 tulang belakang servikalis 12 tulang belakang thorakalis 5 tulang belakang lumbal Tulang sakrum Tulang ekor Sumber: http://www.southbendclinic.com Gambar 1.1 Struktur tulang belakang pada tubuh manusia. Pengetahuan tentang tulang belakang sering terabaikan karena kurangnya rasa ingin tahu terhadap tubuh kita sendiri, padahal keberadaannya sangat vital bagi tubuh kita. Tulang belakang terletak 2 Prosedur Pemeriksaan Radiologi di tengah-tengah bagian belakang tubuh. Tulang belakang ini berfungsi penting untuk menopang bagian atas tubuh (kepala, bahu, dan dada) dan menyambungkan dengan bagian bawah tubuh (perut dan pelvis). Selain itu, juga berfungsi sebagai tempat melekatnya tulang rusuk dan melindungi organ dalam tubuh. Di tulang belakang juga terdapat saraf-saraf yang sangat vital bagi tubuh kita. Kadang kala karena kesalahan kita sendiri, hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan atau cedera di tulang belakang. Karena peranannya yang sangat penting, diperlukan pembahasan yang terperinci mulai dari anatomi hingga cara pemeriksaan dan penanganan yang tepat terhadap kelainan dan cedera tulang belakang. Sumsum (saraf) tulang belakang Serabut saraf tulang belakang Saraf iskiadika Sumber: http://purwatiwidiastuti.wordpress.com Gambar 1.2 Susunan saraf di tulang belakang. Dengan semakin luas dan rumitnya cakupan untuk memahami cedera/kelainan tulang belakang ini maka seorang ahli radiologi perlu memahami prinsip-prinsip dasar seperti embriologi, anatomi, fisiologi yang sangat diperlukan dalam melakukan diagnosa secara tepat. Berbagai macam pemeriksaan radiologi juga harus dikuasai oleh seorang ahli radiologi sehingga ia dapat menentukan jenis pemeriksaan Bab 1 – Pendahuluan 3 radiologi yang sesuai dengan indikasi pasien sekaligus memberikan hasil diagnosa yang tepat. Setiap modalitas pemeriksaan dalam bidang radiologi memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing dan hal tersebut sebaiknya diketahui dengan baik oleh seorang ahli radiologi. INTISARI Kerangka atau susunan tulang belakang merupakan salah satu bagian tubuh manusia yang mempunyai peranan penting. Dengan peranannya yang sangat penting tersebut maka kita perlu mengetahui anatomi juga cara pemeriksaan dan penanganan yang tepat terhadap kelainan dan cedera tulang belakang. 4 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Bab 2 ANATOMI TULANG BELAKANG U ntuk dapat mengetahui apakah sebuah organ tubuh dalam keadaan normal atau tidak, sebaiknya kita dapat mengetahui anatomi organ tubuh tersebut. Selain itu, dengan mengetahui adanya kelainan tersebut, diharapkan kita dapat memberikan penanganan secara tepat dan harapan untuk kesembuhan menjadi lebih besar. Pada pembahasan berikut ini, akan diuraikan anatomi tulang belakang dan organ tubuh yang berhubungan dengannya. 2.1 Kolumna Vertebralis Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang merupakan sebuah struktur yang lentur dan dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Di antara tiap dua ruas tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Tulang belakang: 7 tulang belakang servikalis 12 tulang belakang thorakalis Dens C2 Atlas C1 Aksis Prosessus spinosus Lamina Pedikel Lengkung vertebra Prosessus spinosus yang tumpang tindih dengan tulang belakang inferior Kanal vertebra Foramina intervertebral 5 tulang belakang lumbal Diskus intervertebral (IV) Prosessus spinosus Lamina Pedikel Tulang pinggul 4 tulang ekor Lengkung vertebra Sudut lumbosakral Sumber: Moore, 2010 Gambar 2.1 Susunan kolumna vertebralis. 6 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57–67 cm. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah di antaranya adalah tulang-tulang terpisah dan 19 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang. Kolumna vertebralis terdiri dari 7 tulang belakang servikalis, 12 tulang belakang thorakalis, 5 tulang belakang lumbal, 5 tulang sakrum, dan 4 tulang ekor (Ryan et al., 2004). Jika dilihat dari samping, kolumna vertebralis memperlihatkan 4 (empat) kurva atau lengkung. Di daerah tulang belakang servikal melengkung ke depan, di daerah thorakal melengkung ke belakang, di daerah lumbal melengkung ke depan, dan di daerah pelvis melengkung ke belakang. Walaupun tiap daerah vertebra mempunyai perbedaan ukuran dan bentuk, tetapi semua memiliki persamaan struktur dasar. Tiap vertebra terdiri dari korpus, pedikel, lamina, prosessus tranversus, prosessus spinosus, prosessus artikularis superior dan inferior (Ryan et al., 2004). Prosessus tranversus Prosessus tranversus inferior Korpus Pedikel Prosessus tranversus posterior Prosessus artikularis superior Prosessus artikularis inferior Lamina Prosessus spinosus Sumber: http://drugline.org Gambar 2.2 Struktur dasar tulang belakang. 2.1.1 Korpus Vertebra Korpus vertebra merupakan struktur yang terbesar, mengingat fungsinya sebagai penyangga berat badan. Korpus vertebra berbentuk seperti ginjal dan berukuran besar, terdiri dari tulang korteks yang padat Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 7 mengelilingi tulang medular yang berlubang-lubang (honeycomb-like) (Hosten, 2002). Saluran tulang belakang Posterior aspect of epiphysial rim Pedikel Saluran untuk vena basivertebral Tulang kompak Tulang spong Lamina Vertebral end plate inferior Nukleus pulposus Anulus fibrosus Superior vertebral “End plate” Trabekula Ligamen longitudinal anterior Ligamen longitudinal posterior Foramen intervertebral Ligamentum flavum Arkus tulang belakang Tubuh tulang belakang Sumber: Moore, 2010 Gambar 2.3 Struktur korpus vertebra. Permukaan bagian atas dan bawah korpus vertebra disebut dengan end plate. End plate menebal di bagian tengah dan dilapisi oleh lempeng tulang kartilago. Bagian tepi end plate juga menebal untuk membentuk batas nyata, berasal dari epiphyseal plate yang berfusi dengan korpus vertebra pada usia 15 tahun. Korpus tulang belakang lumbal lebih besar daripada servikal dan thorakal dan yang terbesar pada L5 (Hosten, 2002). 2.1.2 Arkus Vertebralis Arkus vertebralis atau lengkung vertebra merupakan struktur yang berbentuk menyerupai tapal kuda, terdiri dari lamina dan pedikel. Dari lengkung ini tampak tujuh tonjolan prosessus, sepasang prosessus artikularis superior dan inferior, prosessus spinosus, dan sepasang prosessus tranversus (Ryan, 2004). 8 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Pedikel berukuran pendek dan melekat pada setengah bagian atas tulang belakang lumbal. Lamina adalah struktur datar yang lebar, terletak di bagian medial processus spinosus. Lamina yang berada di antara processus artikularis superior dan inferior disebut pars interartikularis (terlihat jelas pada proyeksi oblique). Prosessus spinosus sendiri merupakan suatu struktur datar, lebar, dan menonjol ke arah belakang lamina. Prosessus transversus menonjol ke arah lateral dan sedikit ke arah posterior dari hubungan lamina dan pedikel. Prosessus transversus bersama dengan prosessus spinosus berfungsi sebagai tuas untuk otot-otot dan ligamen-ligamen yang menempel kepadanya. Prosessus artikularis tampak menonjol dari lamina. Permukaan prosessus artikularis superior berbentuk konkaf dan menghadap ke arah medial dan sedikit posterior. Prosessus artikularis inferior menonjol ke arah lateral dan sedikit anterior dan permukaannya berbentuk konveks (Ryan, 2004). Prosessus artikularis superior Prosessus transversus Prosessus artikularis superior Prosessus spinosus Prosessus spinosus Foramen invertebralis Prosessus transversus Prosessus artikularis inferior Sumber: Moore, 2010 Gambar 2.4 Struktur arkus vertebralis. Cincin arkus vertebralis dan posterior korpus vertebra membentuk foramen intervertebralis. Foramen intervertebralis dalam susunan Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 9 kolumna vertebralis akan tampak sebagai kanalis vertebralis. Kanalis vertebralis merupakan tempat perlindungan bagi medula spinalis dan selaputnya (Ryan, 2004). 2.2 Persendian pada Kolumna Vertebralis Pada tulang belakang dewasa, terdapat 2 jenis persendian yaitu sinovial dan amfiartrodial. Persendian sinovial terdapat pada (1) sendi artikularis superior atlas dan condylus occipitalis, (2) sendi atlantoaksial, antara atlas dan aksis, (3) sendi apofiseal intervertebralis, (4) sendi costovertebra dan costotransverse, antara korpus tulang belakang thorakalis dan prosessus transversus dengan kosta, (5) sendi sakroiliaka antara sayap sakrum dengan os iliaka. Persendian amfiartrodial merupakan sendi dari fibrokartilagonus yaitu antara diskus intervertebralis dengan end plate vertebra (Ryan, 2004). Ada dua jenis sendi mayor yaitu sendi antara dua korpus vertebra yang disebut diskus intervertebralis dan sendi antara prosessus artikularis yang disebut sendi apofiseal atau sendi zigapofiseal. 2.2.1 Sendi Zigapofiseal Sendi zigapofiseal disebut juga sendi faset dan merupakan sendi yang khas. Sendi ini terbentuk dari prosessus artikularis dari vertebra yang berdekatan untuk memberikan sifat mobilitas dan fleksibilitas. Sendi ini merupakan true synovial joints dengan cairan sinovial (satu prosessus superior dari bawah dengan satu prosessus inferior dari atas). Sendi zigapofiseal berguna untuk memberikan stabilisasi pergerakan antara dua vertebra dengan adanya translasi dan torsi saat melakukan fleksi dan ekstensi karena bidang geraknya yang sagital. Sendi ini membatasi pergerakan fleksi lateral dan rotasi (Ryan, 2004). 10 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Korpus vertebra Cakram Korpus vertebra Cakram Sendi faset Sumber: Hansberger et al., 2006 Gambar 2.5 Posisi sendi faset. Permukaan sendi faset terdiri dari kartilago hialin. Pada vertebra lumbal, kapsul sendinya tebal dan fibrosanya meliputi bagian dorsal sendi. Kapsul sendi bagian ventral terdiri dari lanjutan ligamentum flavum. Ruang deltoid pada sendi faset adalah ruang yang dibatasi oleh kapsul sendi atau ligamentum flavum pada satu sisi dan pertemuan dari tepi bulat permukaan kartilago sendi artikuler superior dan inferior pada sisi lainnya. Ruang ini diisi oleh meniskus atau jaringan fibroadiposa yang berupa invaginasi rudimenter kapsul sendi yang menonjol ke dalam ruang sendi. Fungsi meniskus ini adalah untuk mengisi kekosongan sehingga dapat terjadi stabilitas dan distribusi beban yang merata (Ryan, 2004). 2.3 Diskus Intervertebralis Diskus intervertebralis menyusun seperempat panjang kolumna vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah servikal dan lumbal, Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 11 tempat dimana banyak terjadi gerakan kolumna vertebralis. Sendi ini berfungsi sebagai shock absorber sehingga kolumna vertebralis tidak cedera bila terjadi trauma. Sendi ini melekat pada korpus vertebra, khususnya pada end plate superior dan inferior pada sisi atas dan bawahnya. Diskus invertebralis terdiri atas lempeng rawan hialin, nukleus pulposus, dan annulus fibrosus. Nukleus pulposus terlihat seperti substansi gel yang terbentuk dari fibrin-fibrin kolagen dan tersuspensi pada mukopolisakarida. Nukleus pulposus pada orang yang masih muda mempunyai komposisi yang besar dan kemudian secara bertahap berkurang dengan perubahan degeneratif sejalan dengan proses penuaan. Anulus fibrosus terbentuk dari fibrokartilaginous lamelar yang tersusun konsentrik dan terlihat jelas pada 30° dari potongan diskus. Serabut-serabut yang berdekatan dengan lamela mempunyai susunan yang hampir sama, namun berjalan dengan arah yang berlawanan dengan serabut di nukleus pulposus. Serabut yang berada di sisi luar annulus melekat dengan korpus vertebra dan bercampur dengan serabut periosteal. Fibrocartilaginous end plate terbentuk dari tulang rawan hialin dan melekat pada sub kondral plate tulang dari korpus vertebra. Di sini terdapat perfusi dari vaskular kecil-kecil yang memberi nutrisi ke dalam diskus (Scott D. Haldeman, 2002). Sumber: Courtesy Churchill-Livingstone (Saunders) Press Gambar 2.6 Irisan memanjang tulang belakang lumbal yang menunjukkan ukuran dan morfologi diskus yang normal. 12 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Diskus mempunyai morfologi yang bervariasi. Pada regio cervical dan lumbal, diskus akan terlihat lebih tebal di sisi anteriornya dan hal ini menyebabkan posisi tulang belakang menjadi lordosis. Sementara itu, pada regio atas vertebrathorakal, diskus terlihat lebih tipis dan di regio lumbal terlihat lebih tebal. Secara keseluruhan, diskus terhitung ± 20% dari tinggi total colum vertebrae (Claudia Krisch, 2007). Anulus fibrosus Nukleus pulposus Lamela Cincin apofisis End plate Lamela Nukleus pulposus End plate Anulus fibrosus Sumber: Hansberger, 2006 Gambar 2.7 Struktur diskus intervertebralis. Diskus intervertebralis merupakan struktur hidrodinamik elastik dan sebagai penghubung utama antara dua vertebra yang berurutan. Diskus intervertebralis merupakan jenis sendi amfiartrosis atau simfisis, yaitu sendi antara dua permukaan yang saling berhadapan dan diliputi oleh tulang rawan hialin. Diskus intervertebralis berfungsi sebagai sendi universal sehingga dapat menyebabkan pergerakan yang lebih Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 13 besar antar korpus vertebra daripada jika tulang vertebra dihubungkan langsung satu dengan yang lainnya (Ryan, 2004). Korpus vertebra yang saling berdekatan dipersatukan oleh suatu diskus fibrokartilago yang bagian perifernya terdiri dari kira-kira selusin lapisan serabut konsentris yang bersilangan yaitu anulus fibrosis. Pusat diskus ini diisi dengan suatu bubur jaringan fibrogelatinosa yaitu nukleus pulposus yang berfungsi sebagai suatu bantalan atau peredam kejutan. Pada beberapa bagian vertebra, ketebalan diskus intervertebralis bisa berbeda. Bila diperlukan pergerakan di antara dua vertebra secara lebih bebas maka cakram antar ruas vertebra tebal, yakni di daerah servikalis dan lumbal, di mana kolom vertebral berbentuk cekung ke depan (Ryan, 2004). Fungsi mekanik diskus intervertebralis mirip dengan balon yang diisi air yang diletakkan di antara kedua telapak tangan. Bila suatu tekanan kompresi yang merata bekerja pada vertebra maka tekanan itu akan disalurkan secara merata ke seluruh diskus intervertebralis. Bila suatu gaya bekerja pada satu sisi yang lain, nukleus pulposus akan melawan gaya tersebut secara lebih dominan pada sudut sisi lain yang berlawanan. Keadaan ini terjadi pada berbagai macam gerakan vertebra seperti fleksi, ekstensi, dan laterofleksi (Vitriana, 2001). 2.4 Ligamentum pada Tulang Belakang Tulang belakang akan dihubungkan oleh serangkaian ligamentum longitudinal. Ligamentum yang paling penting dalam pandangan klinis adalah ligamentum longitudinal posterior yang menghubungkan antara korpus vertebra dan diskus intervertebralis pada sisi posterior, serta membentuk dinding anterior dari kanalis spinalis. Ligamentum flavum yang mempunyai komponen elastin yang tinggi, melekat di antara lamina vertebra dan membentang ke anterior capsule dari sendi zigapofiseal, dan melekat pada pedikel di sisi atas dan bawahnya, membentuk dinding posterior kanalis vertebralis dan bagian atap foramina lateral yang dilalui oleh serabut saraf. Selain itu, juga terdapat ligamen fibrous tebal yang menghubungkan prosessus spinosus dan prosessus transversus dengan beberapa ligamen lain yang melekat pada sisi bawah tulang belakang lumbal ke sakrum dan pelvis (Scott D. Haldeman, 2002). 14 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Ligamen longitudinal anterior Kostal faset tranversal Ligamen kostotransversal lateral Kostal faset inferior Ligamen intertransversal Ligamen interartikuler Ligamen kostotransversal superior Kostal faset superior Ligamen tulang rusuk kepala radiat Potongan lateral sebelah kiri Artikular faset tulang rusuk kepala superior Ligamen tulang rusuk kepala radiat Ligamen intra artikular Rongga sinovial Ligamen kostotransversal superior Ligamen kostotranversal lateral Ligamen kostotransversal Potongan melintang superior Sumber: Hansberger, 2006 Gambar 2.8 Posisi ligamen pada tulang belakang. Terdapat beberapa ligamen pada tulang belakang yaitu seperti yang akan dijelaskan berikut ini. ~~ Ligamen longitudinal anterior, merupakan struktur fibrosa yang bermula dari bagian anterior basal tulang oksipital dan berakhir di bagian anterior atas sakrum. ~~ Ligamen longitudinal posterior, terletak di belakang korpus vertebra dalam kanalis spinalis dari C2 hingga sakrum. ~~ Ligamentum kapsular, melekat pada tepi prosessus artikularis yang berdekatan. Ligamen ini berkembang baik di tulang belakang lumbal, serabutnya tebal dan berhubungan erat, berjalan tegak lurus terhadap aksis sendi. ~~ Ligamentum flavum, merupakan jaringan ikat yang elastis. Bagian atas melekat pada permukaan anterior lamina di atasnya dan bagian bawah melekat pada tepi posterior atas lamina di bawahnya. Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 15 ~~ Ligamen interspinosus, merupakan gabungan serabut-serabut yang berjalan dari dasar prosessus spinosus yang satu ke ujung prosessus spinosus selanjutnya. ~~ Ligamen supraspinosus, merupakan struktur yang berkembang baik, dari ujung tulang belakang C7 hingga krista sakralis median, melekat ke setiap prosessus spinosus. ~~ Ligamentum intertransversal, berjalan dari prosessus transversus ke prosessus transversus yang lainnya. ~~ Ligamentum iliolumbal melekat pada prosessus transversus, menghubungkan dua tulang belakang lumbal bawah dengan krista iliaka sehingga akan membatasi pergerakan sendi sakroiliaka. Ligamen longitudinal anterior Prosessus artikular superior Prosessus transversus Lamina Prosessus artikular inferior Pedikel Pedikel Foramen intervertebral Prosessus spinosus Ligamen interginous Ligamen supraspinosus Badan vertebra L1 Diskus intervertebral Saraf spinal L2 Ligamen longitudinal posterior Prosessus faset artikular superior Prosessus spinosus Lamina Prosessus transversus Prosessus artikular inferior Ligamen flavum Ligamen iliolumbal Iliac crest Badan vertebra L5 Saraf spinal L5 Permukaan sakrum artikular Tulang kelangkang Tulang ekor Potongan lateral sebelah kiri Spina iliaka posterior superior Spina iliaka posterior inferior Ligamen sakroiliaka posterior Greater sciatic foramen Spina ischium Ligamen sakrospinous Lesser sciatic foramen Ligamen sakrotuberous Ligamen Sakroiliaka posterior Ischial tuberosity Tampak posterior Moore, 2010 Gambar 2.9 Ligamen pada tulang belakang. 16 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 2.5 Vaskularisasi Tulang Belakang Lumbal Berikut ini akan dibahas tentang pembuluh darah yang terdapat di tulang belakang, yaitu pembuluh darah arteri dan vena. 2.5.1 Pembuluh Darah Arteri Tulang belakang lumbal mendapatkan suplai darah langsung dari aorta. Empat buah tulang belakang lumbal yang pertama, mendapatkan suplai darah arterinya berasal dari empat pasang arteri lumbal yang berasal langsung dari bagian posterior aorta di depan korpus keempat tulang belakang tersebut. Setiap arteri segmental atau lumbal bercabang dua sebelum memasuki foramina sakralis. Pertama, cabang yang pendek berpenetrasi langsung ke pinggang korpus tulang belakang. Kedua, cabang yang panjang membentuk suatu jaringan padat di bagian belakang dan tepi korpus tulang belakang. Beberapa cabang ini akan berpenetrasi di dekat end plate dan cabang lainnya membentuk jaringan halus di atas ligamen longitudinal dan anulus (Hosten, 2002). Arteri lumbal pada daerah mendekati proksimal dari foramen terbagi menjadi tiga cabang terminal yaitu anterior, posterior dan spinal. Cabang anterior memberikan suplai pada saraf yang keluar dari foramen dan otot-otot batang tubuh. Cabang spinal memasuki foramen dan akan terbagi menjadi cabang anterior, posterior, dan radikular. Cabang posterior akan memanjang ke belakang, melewati pars interartikularis dan berakhir di dalam otot-otot spinal, tetapi sebelumnya bercabang lagi pada sendi apofiseal dan berhubungan dengan bagian posterior lamina. Di dalam kanalis spinalis, cabang posterior spinal membentuk jaringan halus pada permukaan anterior lamina dan ligamentum flavum. Sementara itu, cabang anterior spinal terbagi menjadi cabang naik dan menurun, yang akan beranastomosis dengan pembuluh yang ada di atas dan di bawahnya membentuk sistem arkuata reguler. Sistem kiri dan kanan dihubungkan pada setiap tingkatan dengan anastomosis transversal yang berjalan di bawah ligamentum longitudinal posterior. Dari anastomosis transversal, sistem arkuata dan pembuluh darah eksternal berjalan di bagian depan vertebra, arteri-arteri berpenetrasi ke dalam korpus dan bergabung ke dalam saluran arterial di sentral. Dari saluran ini, cabang-cabang akan naik dan turun menuju ujung permukaan tulang belakang dalam Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 17 bentuk jaringan yang halus dari pembuluh darah yang berjalan vertikal ke dalam tepi vertebral membentuk capillary bed (Hosten, 2002). Tulang belakang lumbal lima, tulang sakrum, dan tulang ekor mendapatkan aliran darah oleh cabang medial arteri superior gluteal atau hipogastrik. Arteri ini akan mengikuti kontur sakrum dan bercabang di setiap foramen sakralis anterior. Arteri ini akan memberikan suplai pembuluh darah untuk kanalis sakralis dan keluar dari foramina sakralis posterior untuk memberikan percabangannya ke otot punggung bawah (Hosten, 2002). Cabang periosteal dan nutrien Arteri radikular atau medular segmental Arteri cabang lumbal posterior Arteri kontinuasi lumbal anterior Arteri nutrien Arteri cabang lumbal spinal Cabang kanal vertebral posterior, ke lengan vertebral, meninges, dan sumsum tulang belakang Cabang kanal vertebral anterior Arteri lumbal Cabang ekuatorial Cabang periosteal Aorta Sumber: Moore, 2010 Gambar 2.10 Suplai arteri pada tulang belakang lumbal. 2.5.2 Pembuluh Darah Vena Pola pembuluh darah untuk saluran vena berjalan dengan jalur yang sama dengan suplai arteri. Sistem vena mengalirkan darah dari sistem vena internal dan eksternal ke dalam vena kava inferior. Sistem vena disusun dalam bentuk konfigurasi seperti tangga anterior dan posterior 18 Prosedur Pemeriksaan Radiologi dengan sejumlah hubungan yang bersilangan. Hasil fungsional dari anastomosis luas sistem vena ini adalah adanya pergerakan konstan darah dari pembuluh darah besar ke pembuluh darah kecil dan sebaliknya tergantung derajat tekanan intra abdominal (Hosten,2002). Batson memaparkan adanya aliran vena retrograd dari pelvis bawah ke dalam tulang belakang lumbosakral yang mendasari metastase neoplasma pelvis (prostat) ke tulang belakang. Pada end plate, saluran venous berasal dari jaringan vena postcapillary yang mengosongkan isinya ke dalam sistem subarticular horizontal collecting melalui vertical channels yang menembus end plate. Dari sistem ini, venula akan berjalan ke saluran vena besar di pusat yang kemudian akan mencabangkan satu atau dua vena basivertebral yang besar. Darah selanjutnya akan dialirkan ke dalam pleksus vena vertebral internal. Pleksus ini terletak di dalam kanalis spinalis antara duramater dan vertebra. Dasar pleksus ini terbentuk dari dua pasang saluran vena yang berjalan longitudinal, satu di anterior saccus dural dan satu pada bagian posterior, yang beranastomose satu dengan yang lainnya serta dengan pleksus vena eksternal. Pleksus anterior eksternal berjalan di depan korpus tulang belakang, diskus, dan ligamentum longitudinal anterior dan berhubungan dengan vena segmental, vena ascending lumbal kiri, dan bila ada, vena ascending lumbal kanan. Bagian posterior pleksus vena eksternal terdapat pada bagian permukaan posterior lamina dan sekitar spinosus, artikular, dan prosessus transversus, beranastomose dengan pleksus internal, dan berakhir di vena segmental atau lumbal. Pada tingkat sakral, vena epidural dihubungkan dengan dua vena lateral sakral yang utama dari pleksus eksternal (Hosten, 2002; Vitriana, 2001). Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 19 Pleksus venosus vertebral eskternal posterior Pleksus sinuses (vena) longitudinal vertebra internal (epidural) anterior dan posterior Vena lumbal Vena lumbal ascending Vena intervertebral Vena basivertebral Pleksus venosus vertebral eskternal anterior Tampak superior Pleksus vertebral (epidural) internal Pleksus venosus vertebral eskternal anterior Pleksus internal anterior Pleksus internal posterior Pleksus venosus vertebral eskternal posterior Vena basivertebral Tubuh tulang belakang Diskus invertebral Irisan median Prosessus spinosus Sumber: Moore, 2010 Gambar 2.11 Sistem saluran venous. 20 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 2.6 Persarafan Lumbosakral Saraf sinuvertebral dianggap sebagai struktur utama saraf sensoris yang mempersarafi struktur tulang belakang lumbal. Saraf ini berasal dari saraf spinal yang terbagi menjadi bagian utama posterior dan anterior. Saraf ini akan bergabung dengan cabang simpatetis ramus communicans dan memasuki kanalis spinalis melalui foramen intervertebralis, yang melekuk ke atas di sekitar dasar pedikel menuju garis tengah pada ligamentum longitudinal posterior. Saraf sinuvertebral mempersarafi ligamentum longitudinal posterior, lapisan superfisial annulus fibrosus, pembuluh darah rongga epidural, duramater bagian anterior, tetapi tidak pada duramater bagian posterior (duramater posterior tidak mengandung akhiran saraf), selubung dural yang melingkupi akar saraf spinal dan periosteum vertebral bagian posterior (Vitriana, 2001). Ligamentum flavum Lamina periosteum lengan vertebral Ruang epidural Interfase dura-arachnoid Arachnoid mater Ruang subarachnoid Duramater Pia mater pada permukaan sumsum tulang belakang Ligamen dentikulata Vena intervertebral Cabang spinal vena dan arteri posterior interkostal Foramen IV Ganglion spinal Saraf meningeal rekuren Gabungan saraf spinal Ramus posterior Ramus anterior Communication branch to meningeal nerve Ramus komunikan putih Ramus komunikan abu-abu Sympathetic trunk Ligamen posterior longitudinal Periosteum Pleksus various vertebral internal Sumber: Moore, 2010 Gambar 2.12 Sistem persarafan tulang belakang lumbal. Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 21 2.7 Kanalis Spinalis Konfigurasi kanalis spinalis pada potongan melintang terutama terbentuk oleh bagian posterior lengkung saraf dan permukaan posterior korpus tulang belakang di bagian anteriornya. Kanalis spinalis berbentuk oval pada tulang belakang L1 dan berbentuk segitiga pada tulang belakang L5. Karena saraf lumbalis yang paling besar terdapat pada L5, sedangkan di daerah tersebut terjadi penyempitan, maka terdapat kemungkinan adanya penjepitan saraf oleh struktur-struktur pembentuk foramen. Korda spinalis akan berakhir dengan konus medularis setinggi batas inferior vertebra L1. Area lumbosakral dari kanalis spinalis mengandung cauda equine (Ryan, 2004). Sumber: Hansberger, 2006 Gambar 2.13 Struktur kanalis spinalis. 2.8 Medula Spinalis Medula spinalis berasal dari bagian kaudal medula oblongata pada foramen magnum dan terletak dalam kanalis spinalis berbentuk sebagai silinder yang pipih dengan panjang 42-45 cm pada orang 22 Prosedur Pemeriksaan Radiologi dewasa. Pada saat janin, terbentang sampai tulang coccyx, tapi dalam perkembangannya, pertumbuhan kolum vertebra lebih cepat sehingga medula spinalis terbentang sampai vertebra L2 saat dewasa. Konus medularis merupakan bagian kaudal dari medula spinalis dimana bagian apeksnya terdapat filum terminale disertai dengan radiks saraf di sekitarnya sampai os coccyx. Karena menyerupai ekor kuda maka disebut cauda equine (Greene, 2008). Nukleus pulposus Ligamen longitudinal anterior Ganglion simpatetik Ramus komunikan abu-abu Annulus fibrosis Saraf vertebral sinu Ligamen longitudinal posterior Saraf spinal Divisi primer anterior Divisi primer posterior Duramater Ganglion akar dorsal Sumber: Hansberger, 2006 Gambar 2.14 Struktur innervariation spinal anterior. Medula spinalis terbungkus oleh tiga lapisan meningen. Sisi paling dalam adalah piamater yang melekat pada medula spinalis dan serabut sarafnya. Lapisan paling luar adalah duramater yang dipisahkan dengan ruang potensial subdural terhadap meningen arachnoid, sedangkan ruang subarachnoid, memisahkan antara piamater dengan arachnoidmater. Ruangan ini berisi cairan serebrospinal yang mengalir ke atas dan ke bawah di sepanjang kanalis spinalis. Duramater dan saraf spinalis hingga menuju ke exit point (Scott D. Haldeman, 2002). Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 23 Badan Divisi primer anterior Divisi primer posterior Cabang tengah Cabang intermediat Persendian Cabang lateral Prosessus spinosus Sumber: Hansberger, 2006 Gambar 2.15 Struktur spinal posterior. Keterangan: Struktur ini menerima persarafan dari medial, berada di tengah dan bercabang secara lateral pada divisi primer posterior dari akar saraf. Fissura mediana anterior dan fissura mediana posterior membagi medula spinalis menjadi bagian dekstra dan sinistra. Di dalamnya terdapat white matter dan grey matter dan terdapat saluran di tengah medula yang merupakan kelanjutan dengan sistem ventrikel otak yang disebut kanalis sentralis. Serabut-serabut saraf berkumpul ke lateral membentuk radiks ventralis dan radiks dorsalis. Pada radiks dorsalis terdapat ganglion spinale yang berisi badan sel saraf sensoris. Kedua radiks tersebut bersatu membentuk suatu batang saraf. Medula spinalis terdiri atas 31 pasang saraf spinalis yang terbagi menjadi 8 pasang pada segmen servikalis, 12 pasang pada segmen thorakalis, 5 pasang pada segmen lumbalis, 5 pasang pada segmen sakralis, dan 1 pasang pada segmen koksigeus (Juan M. Traveras, 2006). Saraf spinalis keluar dari medula spinalis melalui dua serabut saraf. Serabut saraf ventral membawa serabut motorik yang asalnya dari kornu anterior medula spinalis. Saraf-saraf ini menerima input dari pusat motorik di otak kemudian berputar dan menginervasi otot dalam tubuh. Serabut saraf sensori atau dorsal membawa impuls dari 24 Prosedur Pemeriksaan Radiologi reseptor sensoris pada kulit, otot, dan jaringan lain dari tubuh menuju ke medula spinalis yang kemudian berlanjut dibawa ke otak. Badan sel dari saraf sensoris terletak di serabut dorsal ganglia yang dapat dilihat sebagai perluasan ke dalam serabut saraf dorsal. Serabut ventral dan dorsal kemudian menyatu untuk membentuk saraf spinalis yang keluar melalui kanalis spinalis dan akhirnya terbagi menjadi divisi primer anterior dan posterior. Divisi primer posterior atau disebut juga sebagai ramus serabut saraf menginervasi sendi faset, muskulus posterior, serta ligamentum mayor posterior. Divisi primer anterior menginervasi diskus intervertebralis dan ligamentum longitudinal anterior serta mengirimkan serabut saraf melalui ramus komunikan abu-abu ke rantai ganglion simpatikum. Sinuvertebral kecil atau recurrent nerve of VON Luschka bercabang dari gabungan antara nervus spinalis untuk mensarafi ligamentum longitudinal posterior. Divisi primer anterior kemudian berjalan ke arah lateral atau inferior tergantung dari level tulang belakang untuk membentuk berbagai macam pleksus dan nervus yang menginervasi otot (Scott D. Haldeman, 2002). Ramus komunikan abu-abu Ligamen longitudinal anterior Diskus intervertebral Divisi primer posterior Sendi posterior Cabang medial Divisi primer anterior Ligamen mamillo-asesoris Rantai simpatik Sumber: Hansberger, 2006 Gambar 2.16 Persarafan tulang belakang tampak secara lateral. Keterangan: Ramus komunikan abu-abu menghubungkan divisi primer anterior ke akar saraf melalui rantai simpatik. Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 25 2.9 Muskulus Distribusi dari muskulus (otot) secara umum dibedakan berdasarkan fungsinya. Muskulus-muskulus pada anggota badan dapat dibagi secara fungsional menjadi muskulus ekstensor dan muskulus fleksor. Muskulus fleksor yang utama adalah muskulus abdominal (musculus rectus abdominis, musculus obliqus interna dan eksterna, serta musculus transversus abdominalis). Sementara itu, muskulus ekstensor utama adalah kelompok musculus sacrospinalis, transversospinal dan musculus short back. Kontraksi simetris dari muskulus ekstensor akan Serratus ant. m. Ext. oblique abdominal m. and aponeuresis Umbilical ring Linea alba Rectus abdominis m. and tendinous intersection External oblique m. Internal oblique m. Ant. sup. iliac spine a b Tendon of rectus abdominis m. Lat. arcuate lig. External intercostal m. Rectus sheath ant. layer Rectus sheath post. layer Transvers abdominal m. Linea arcuta Peritoneum c Med. arcuate lig. Transvers abdominal m. Quadrates lumborum m. Columbar lig. Iliopsoas m. Psoas minor m. Psoas major m. Iliopsoas m. d Sumber: Hansberger, 2006 Gambar 2.17 Otot spinal anterior. Keterangan: (a) Otot abdominal dengan lapisan terluar, (b) lapisan tengah, dan (c) lapisan dalam. (d) Muskulus psoas yang sangat penting untuk penstabil tulang belakang. 26 Prosedur Pemeriksaan Radiologi menghasilkan ekstensi dari tulang belakang, sedangkan kontraksi asimetris akan menginduksi bending lateral dan gerakan berputar. Muskulus yang terbanyak pada lapisan superfisial badan adalah muskulus pada dinding posterior dan lateral, yang membentang dan menghubungkan dengan bahu, kepala, dan ekstremitas atas (rhomboids, latissimus dorsi, pectoralis, trapezius) (Norbert Boos, 2008). Muskulus di daerah punggung tersusun atas tiga lapisan. Lapisan paling luar tersusun dari musculus erector spinae yang besar dan tebal dan melekat ke iliac dan sacral crests di sisi inferiornya dan melekat pada prosessus spinosus di sepanjang tulang belakang. Pada regio lumbal sisi bawah, terdiri dari satu muskulus tetapi terbagi ke dalam tiga lajur yang berbeda dan dipisahkan oleh jaringan fibrous. Di bawah musculus erector spinal terdapat musculus intermediate yang menyusun tiga lapis dan saling terkumpul membentuk musculus multifidus. Otot kapitis semispinalis Otot minor rektus kapitis posterior Otot oblig kapitis superior Otot mayor rektus kapitis posterior Otot oblig kapitis inferior Otot spinalis thoraks Otot spinalis thoraks Sumber: Hansberger, 2006 Gambar 2.18 (a) Distribusi spasial pada otot tulang belakang paling dalam dan (b) otot suboksipital. Keterangan: Otot suboksipital terdiri atas otot mayor rektus kapitis posterior, otot minor rektus kapitis posterior, otot oblig kapitis superior, dan otot oblig kapitis inferior. Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 27 Muskulus yang berasal dari sakrum dan processus mamillary meluas ke belakang dari pedikel lumbal. Muskulus juga membentang dari kranial dan medial lalu masuk ke dalam lamina dan prosessus spinosus yang berada di dekatnya pada satu, dua, atau tiga tingkat di atas tempat asalnya. Lapisan muskulus terdalam berisi muskulus kecil yang tersusun dari satu tingkat ke tingkat yang lain di antara prosessus spinosus, prosessus transversus, dan prosessus mamillari serta lamina. Pada tulang belakang lumbal, terdapat juga muskulus anterior dan lateral yang besar termasuk di dalamnya adalah musculus quadrates lumborum, psoas dan illiacus yang melekat pada sisi anterior dari corpus vertebrae dan prosessus transversus (Scott D. Haldeman, 2002). Umbilikus Otot rektus abdominal Cincin umbilikal Otot psoas minor Badan tulang belakang lumbal Otot multifidus dan rotator Fasia thorakolumbal Otot longisimus thorak Otot psoas mayor Otot abdominal oblig eksternal Otot abdominal oblig internal Otot abdominal transversus Otot kuadratus lumborum Otot latisimus dorsi Fasia thorakolumbal Otot iliokostalis lumborum Sumber: Hansberger, 2006 Gambar 2.19 Otot tulang belakang interplay anterior dan posterior. 2.10 Karakteristik Tulang Belakang Servikalis Secara struktur, tulang belakang servikalis satu dan dua mempunyai gambaran anatomis yang berbeda dibanding dengan gambaran kelima tulang belakang servikalis yang lain. Tulang belakang servikalis satu atau C1 mempunyai nama lain yaitu tulang atlas. Tulang atlas yaitu struktur tulang yang membentuk cincin (ring) yang terdiri dari arkus anterior dan posterior yang terhubungkan oleh dua massa lateral. 28 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Tulang atlas tidak mempunyai korpus dan sebagai struktur utamanya adalah massa lateral yang disebut juga pilar artikular. Cincin umbilikal Faset artikular superior untuk oksipetal a b Foramen transversal Lengkungan Prosessus posterior transversus Faset artikular inferior untuk aksis Tonjolan kecil posterior Foramen tulang belakang Tonjolan kecil anterior Sumber: http://www.turbosquid.com Gambar 2.20 (a) Tulang atlas tampak superior dan (b) tulang atlas tampak inferior. Tulang belakang servikalis kedua, C2 atau disebut juga aksis, mempunyai struktur yang lebih kompleks, serta mempunyai struktur yang berbeda dengan adanya prosessus odontoideus yang disebut juga sebagai “dens” (gigi) dan terproyeksi ke kranial dari permukaan anterior dari korpus. Ruang di antara prosessus odontoideus dan arkus anterior dari os atlas dinamakan atlantal dens interval yang seharusnya tidak melebihi 3 mm pada orang dewasa ketika kepala melakukan gerakan fleksi dan ekstensi. Pada anak-anak yang berumur kurang dari 8 tahun, jarak ini diperkirakan sebesar 4 mm, terutama pada posisi fleksi. Dens bersendi di arkus anterior tulang atlas dengan ligamen transversum atlantis, dan sendi inilah yang memungkinkan tulang atlas melakukan gerakan berputar pada bidang horizontal (menggeleng). Faset artikularis superior tulang atlas bersendi dengan kondilus oksipitalis sehingga gerakan yang dihasilkan adalah gerak mengangguk (Adam Greenspan, 2004). Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 29 Dens Faset artikular anterior Faset artikular superior Badan Massa lateral a Faset artikular inferior Faset artikular superior atlas Prosessus tranversal Dens b Prosessus spinosus Sumber: http://www.turbosquid.com Gambar 2.21 (a) Tulang aksis tampak anterior dan (b) tulang aksis tampak posterosuperior. Tulang belakang servikalis ketujuh merupakan bentuk peralihan dari tulang belakang thorakalis. Prosessus spinosus C7 lebih panjang dan tidak bercabang, terproyeksi horizontal sampai terletak subkutan di dasar leher. Korpus tulang belakang servikalis ini mempunyai bentuk segi empat dan ukurannya semakin membesar ke bawah guna menopang kolom spinal terhadap berat kepala, leher dan anggota bagian atas. Sementara itu, bentuk arkus tulang belakang servikalis seperti segitiga. Prosessus spinosus relatif pendek dan bercabang dua (kecuali C7), sedangkan prosessus transversusnya memiliki foramen yang disebut foramen tranversum. Di atas foramen transversum dilewati arteria vertebralis yang naik menuju fossa kranii posterior. Sendi apofiseal membentuk sudut 90 derajat terhadap midline, sedangkan foramen intervertebralis terletak pada sudut 45 derajat oblique dan 15 derajat cephaled (Kenneth L, 2001). Ciri pembeda lainnya yaitu saraf spinalis servikalis melintas di superior terhadap vertebra yang sesuai ketika saraf tersebut keluar dari kolom spinalis. Khusus servikalis ke-7 dilewati nervus cervicalis 7 di superiornya dan nervus cervicalis 8 di inferiornya. Karena itu pula saraf 30 Prosedur Pemeriksaan Radiologi spinalis pada torakal, lumbal, dan sakral keluar dari kolom spinalis di inferior tulang belakang yang sesuai (Kenneth L, 2001). Prosessus tranversus Foramen tulang belakang Badan Lekuk saraf spinal Badan Tonjolan kecil anterior Foramen transversal Prosessus artikular inferior Tonjolan kecil posterior Pedikel Faset artikular superior Lamina Prosessus artikular inferior Foramen tulang belakang (canal vertebral) a Lamina b Prosessus spinosus Sumber: http://drugline.org Gambar 2.22 (a) Tulang belakang servikalis ke-4 dan (b) tulang belakang servikalis ke-7, tampak superior. 2.11 Karakteristik Tulang Belakang Thorakalis Pada tulang belakang thorakalis yang menjadi pembeda dengan vertebra lainnya adalah mempunyai persendian dengan kosta yang disebut sebagai sendi kostovertebral. Pada setiap tulang belakang thorakalis mempunyai satu full faset atau dua parsial faset yang disebut demifaset pada setiap korpusnya. Satu faset atau kombinasi dua demifaset bersatu dengan head costa membentuk sendi kostovertebral. T1 mempunyai satu faset dan satu demifaset pada tepi inferior. T2–T8 mempunyai demifaset di superior dan inferior vertebra. T9 hanya mempunyai satu demifaset di tepi superior, T10– T12 mempunyai full faset. Oleh karena itu, kosta 1 pada T1, kosta 2 pada T1 dan T2, demikian selanjutnya. Tapi pada kosta 11 hanya pada T11 dan kosta 12 pada T12 (Kenneth L, 2001). Pada T1–T10 terdapat juga faset (pada prosessus tranversus) yang berhubungan dengan tuberkel dari kosta dan disebut dengan sendi kostotransversum. Prosessus spinosus T1 terletak horisontal dan dapat diraba di dasar leher dan selanjutnya lebih miring ke arah posteroinferior. Sendi apofiseal pada torak posisinya membentuk sudut 70-75 derajat terhadap midline. Sementara itu, foramina intervertebral thorakalis membentuk sudut 90 derajat terhadap midline (Kenneth L, 2001). Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 31 Faset dan prosessus artikular superior Faset kostal superior Badan Pedikel Faset kostal transversal Faset dan prosessus artikular superior Badan Prosessus transversus Prosessus artikular inferior Faset kostal inferior Lekukan vertebra inferior Prosessus spinosus Faset kostal Prosessus spinosus Faset dan prosessus artikular inferior a b Sumber: Hansberger, 2006 Gambar 2.23 (a) Tulang belakang T6 dan (b) tulang belakang T12 tampak lateral. 2.12 Karakteristik Tulang Sakrum dan Tulang Ekor Tulang sakrum merupakan tulang besar berbentuk segitiga yang terdiri dari lima tulang belakang yang berfusi. Pada bagian proksimal tulang ini berartikulasi dengan tulang belakang lumbal kelima, bagian lateral berartikulasi dengan os illii, dan bagian distal berartikulasi dengan os coccyx. Di tengah permukaan cembung bagian dorsal terdapat kurang lebih empat prosessus spinosus yang bersatu membentuk medial sacral crest. Di samping sacral crest dan di dekat medial foramina sacralis posterior, terdapat satu seri sendi zigapofiseal yang membentuk intermediate crest. Permukaan endopelvis berbentuk konkaf dan pada permukaannya terdapat empat pasang foramina sacral pelvis yang berlawanan dengan foramina sacral dorsalis. Ujung runcing sakrum dibentuk oleh vertebra sakrum kelima yang berartikulasi dengan coccyx. Vertebra kelima ini membentuk suatu hiatus yang disebut cornu sacralis (Kenneth L, 2001). 32 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Dasar tulang kelangkang Ala (lateral part) Permukaan artikular lumbosakral Prosessus artikular superior Sayap Promontory Sacral part of pelvic brim (linea terminalis) Foramina tulang kelangkang anterior Tranverse ridges Puncak tulang kelangkang Prosessus tranversus tulang ekor Tulang ekor Tampak inferior anterior Permukaan pelvis Sumber: Greene, 2006 Gambar 2.24 Struktur tulang sakrum dan tulang ekor tampak inferior anterior. Coccygeus yang disebut juga dengan tulang ekor terdiri dari tiga hingga lima vertebra yang berfusi secara bervariasi. Segmen pertama dan terbesar berartikulasi melalui diskus rudimenter dengan permukaan bagian bawah tulang belakang sakral kelima dan berbentuk padat. Di bagian posterior, terbentuk coccygeal cornua. Pada tulang ekor tidak terdapat kanalis spinalis (Kenneth L, 2001). Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 33 Faset pada prosessus artikular superior Permukaan aurikular Tuberositas tulang kelangkang Puncak tulang kelangkang lateral Puncak tulang kelangkang median Puncak tulang kelangkang intermediat Foramina tulang kelangkang posterior Kornu tulang kelangkang Hiatus tulang kelangkang Permukaan dorsal Kornu koksigeal Prosessus transversus tulang ekor Tampak superior posterior Sumber: Greene, 2006 Gambar 2.25 Struktur tulang sakrum dan tulang ekor tampak superior posterior. 2.13 Embriologi Tulang Belakang Selama empat minggu masa kehamilan, sel mesenkimal dari sklerotom tumbuh mengelilingi notochord untuk menjadi korpus tulang belakang dan mengelilingi neural tube untuk membentuk arkus tulang belakang. Sel dari sklerotom yang berdekatan bergabung untuk membentuk prekursor dari korpus tulang belakang pada struktur intersegmental. Di antara masing-masing korpus, notochord berkembang ke dalam diskus intervertebralis. Sel yang mengelilingi neural tube akan menjadi arkus tulang belakang (Norbert Boos, 2008). 34 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Sumber: Greene, 2006 Gambar 2.26 Pertumbuhan sklerotom, sel dari sklerotom tumbuh di sekitar notochord dan neural tube. Selama enam minggu kehidupan fetus, pusat kondrifikasi terlihat di tiga tempat yaitu pada masing-masing sisi mesenchimal vertebra. Pusatnya dibentuk oleh gabungan dari pusat paling anterior. Kondrifikasi terbentuk secara sempurna sebelum pusat osifikasi terlihat. Pada pusatnya, bersama dengan pusat osifikasi dari masing-masing arkus, secara keseluruhan membentuk pusat osifikasi untuk masing-masing tulang belakang (Greene, 2006). Mesenkim Pusat kondrifikasi Pusat osifikasi sekunder Osifikasi primer Jaringan saraf Kartilago Tulang Mesenkim Sumber: Moore, 1998 Gambar 2.27 Perkembangan tulang belakang pada fetus. Keterangan: Tulang belakang yang pertama kali berkembang yaitu mesenkim kemudian kartilago dan terakhir tulang. Pusat osifikasi sekunder berkembang selama masa anak-anak dan berfusi selama remaja atau di tahap awal dewasa. Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 35 2.14 Radiografi Anatomi Tulang Belakang Ciri-ciri anatomi tulang belakang yang dapat diidentifikasikan secara radiografi (Gambar 2.26, 2.27, dan 2.28) meliputi: ~~ Korpus tulang belakang anterior. ~~ Arkus posterior dibentuk oleh pedikel dan lamina, menutup spinal canal. ~~ Pedikel: penonjolan tulang belakang dari sudut posterolateral dari tulang belakang. ~~ Kurva lamina posteromedial dari pedikel dan sendi di garis tengah dasar dari prosessus spinosus yang melengkapi arkus tulang dari kanal spinalis. ~~ Prosessus spinosus menonjol ke belakang. ~~ Prosessus tranversus menonjol ke lateral dari sambungan pedikel dan lamina. a b Sumber: Lisle, 2012 Gambar 2.28 Anatomi os. lumbar normal. Keterangan: (a) Kenampakan lateral dan (b) kenampakan frontal. Vertebral body (B), diskus intervertebralis (D), pedikel (P), sendi faset (F), foramen intervertebralis (Fo), prosessus artikular inferior (I), prosessus artikular superior (S), prosessus transversus (T), lamina (L), prosessus spinosus (SP). Artikulasi di antara tulang belakang meliputi diskus intervertebralis, sendi zigapofiseal, dan sendi unkovertebral. ~~ Diskus intervertebralis ;; Menempati ruang antar setiap tulang belakang. 36 Prosedur Pemeriksaan Radiologi ;; Disusun oleh pulposus nukleus sentral yang menutup annulus fibrosis. ~~ Sendi zigapofiseal ;; Sering dikenal dengan sebutan sendi faset. ;; Dibentuk oleh prosessus artikularis yang menonjol secara superior dan inferior dari sambungan pedikel dan lamina. ~~ Sendi unkovertebral ;; Ditemukan di tulang belakang servikalis. ;; Dibentuk oleh bibir tulang yang menonjol ke superior dari pinggir lateral body ventral dan artikulasi dengan tepi lateral tulang belakang di atasnya. Pengecualian di atas terdapat pada satu atau dua tulang belakang servikalis (C1 dan C2). C1 yang juga dikenal sebagai atlas, berisi arkus anterior, 2 massa lateral, dan arkus posterior. Massa lateral dari artikulasi C1 superior dengan acciput (atlanto-sendi oksipital), di bawah prosessus artikulasi superior dari C2 (sendi atlanto-axial). Odontoid peg atau dens adalah penonjolan vertikal dari tulang yang diperpanjang keluar dari C2 dan berartikulasi dengan C1 arkus anterior. a b Sumber: Lisle, 2012 Gambar 2.29 Anatomi os. servikal normal. Keterangan: (a) Kenampakan lateral, sendi faset (F), prosessus spinous (SP), faring (Ph), os. hyoid (H), trakea (Tr), dan garis servikal posterior dari C1 s/d C3. Pengukuran predental space (antara arkus anterior C1 dan odontoid peg), celah retrofaringeal pada C2 dan celah retrotrakeal C6. Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 37 (b) kenampakan frontal dari os. servikal bawah, diskus intervertebral (D), sendi unkovertebral (U), prosessus transversus (T), prosessus spinosus (SP). a b c d Sumber: Lisle, 2012 Gambar 2.30 Anatomi normal tulang belakang lumbar. Keterangan: (a) Gambar yang direkonstruksi pada potongan sagital menunjukkan level dari 3 potongan transversal, (b) potongan transversal pada level pedikel, (c) potongan transversal pada foramina intervertebra, (d) potongan transversal pada level diskus intervertebra. Pada gambar (b), (c), dan (d) harus diperhatikan berikut: vertebral body (B), pedikel (P), sendi faset (F), inferior articular process (I), superior articular process (S), transverse process (T), lamina ( ), spinous process (SP), nerve root (NR), spinal canal (SC), psoas muscle (Ps), paraspinal muscle (Pa). 38 Prosedur Pemeriksaan Radiologi INTISARI Kita perlu mempelajari anatomi tulang belakang untuk mengetahui apakah tulang belakang tersebut dalam keadaan normal atau tidak. Beberapa anatomi organ tubuh yang berhubungan dengan tulang belakang yaitu: ;; kolumna vertebralis ;; persendian pada kolumna vertebralis ;; diskus intervertebralis ;; ligamentum pada tulang belakang ;; vaskularisasi tulang belakang lumbal ;; persarafan lumbosakral ;; kanalis spinalis ;; medulla spinalis ;; muskulus ;; tulang belakang servikalis ;; tulang belakang thorakalis ;; tulang sakrum ;; tulang ekor ;; embriologi tulang belakang Anatomi tulang belakang juga dapat diidentifikasi secara radiografi. Bab 2 – Anatomi Tulang Belakang 39 Bab 3 PEMERIKSAAN RADIOLOGI DENGAN FOTO RONTGEN (RADIOGRAFI) U ntuk melakukan pemeriksaan radiologi, satu hal yang dapat dilakukan yaitu dengan foto Rontgen. Ada beberapa hal yang sebaiknya kita ketahui mengenai foto Rontgen ini, seperti yang akan dijelaskan berikut ini. 3.1 Prinsip Dasar Foto Rontgen Untuk pembuatan foto Rontgen yang baik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu perlengkapan untuk membuat radiografi, jenis pemeriksaan dan posisi pemeriksaan, pengetahuan tentang pesawat Rontgen, pengetahuan kamar gelap, dan proses terjadinya gambaran radiografi. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.1 Ruang pemeriksaan radiologi. Pada pembuatan radiografi diperlukan beberapa perlengkapan antara lain film Rontgen, alat proteksi, alat fiksasi, marker, dan beberapa peralatan lainnya.Jenis pemeriksaan yang dipilih untuk tulang yaitu pemeriksaan Rontgen tanpa kontras. Posisi pemotretan pada servikalis, pada umumnya dilakukan pada posisi erect (tegak). Hal tersebut berguna untuk melihat deretan dan stabilitas ligamen, juga untuk menunjukkan kurvatura dari penderita.Kecuali pada pasien 42 Prosedur Pemeriksaan Radiologi dengan trauma yang mengharuskan dalam posisi recumbent/supine (tidur telentang). Sementara itu, untuk foto thorakolumbal, lebih sering pasien dalam posisi recumbent, kecuali untuk pemeriksaan rangkaian skoliosis maka diperlukan posisi erect. Logger dan integrator Detektor Pengubah A/D Bahan profil Objek Komputer Nilai digital Unit displai Satu gambar Kamera multi gambar Displai gambar Tabung sinar-X Sumber: http://gonnabefine23.blogspot.com Gambar 3.2 Skema pemotretan dengan foto Rontgen. Seorang ahli radiologi harus mempunyai pengetahuan tentang pesawat Rontgen karena dengan pengetahuan yang baik dan benar maka dapat dihasilkan gambar yang bagus, misalnya KV pada saat memfoto tulang thorakolumbal harus lebih tinggi daripada foto thorak. Selain itu, juga diperlukan pengetahuan untuk pengaturan jarak pemotretan sehingga dihasilkan gambar yang bagus. Hal lain yang perlu diketahui yaitu pengetahuan tentang kamar gelap yang berkaitan dengan proses pencucian dan pengolahan film Rontgen. Proses terjadinya gambaran radiografi tergantung pada benda yang ditembus sinar X, menghasilkan bayangan radiopaque atau radiolucen. 3.2 Teknik Foto Rontgen Servikalis Berikut ini akan dijelaskan beberapa teknik foto Rontgen untuk daerah servikalis. 3.2.1 Posisi Lateral Servikalis Foto Rontgen pada posisi lateral servikalis dapat dilakukan dengan posisi erect lateral dan posisi recumbent lateral. Pada posisi erect Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 43 Film lateral pada tulang belakang servikalis ini, seorang pasien yang melakukan foto Rontgen bisa mengambil sikap berdiri atau duduk. Posisi kepala tegak ke depan. Arah sinar sentrasi pada tulang belakang C4 (setinggi dagu). Pada posisi ini dapat dilakukan dengan leher fleksi untuk memperlihatkan C1 dan C2. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.3 Posisi erect lateral servikalis. Pada posisi recumbent lateral, pasien tidur telentang, film berada di samping leher dan sinar sentrasi horizontal 2-3 cm caudal mastoid tip. Hasil foto Rontgen pada posisi lateral servikalis ini menggambarkan korpus tulang belakang, sendi apofiseal, prosessus spinosus, diskus invertebralis dari C1-C7. Pada foto Rontgen posisi ini, tidak diperbolehkan adanya rotasi kepala karena akan menempatkan di atas (superimpose) pada kedua ramus mandibula atau rotasi badan yang akan mengakibatkan superimpose kanan dan kiri sendi apofiseal. Saat melakukan pengambilan gambar, bahu harus diturunkan sejauh mungkin agar C7 terlihat jelas. 44 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Selain itu, juga terlihat 5 garis normal spina servikalis yaitu garis tulang belakang anterior (batas tepi anterior tulang belakang), garis tulang belakang posterior (tepi posterior korpus tulang belakang), garis spinolaminar (batas anterior prosessus spinosus), garis spinosus posterior (batas posterior prosessus spinosus C2-C7) dan garis clivus odontoid (dari dorsum sellae-batas anterior foramen magnum-tip proccesus odontoid-medial C3). Selain itu, juga terlihat 2 area yaitu area reto tracheal (jarak dinding posterior paringeal dengan anteroinferior tonjolan C2) normal < 7 mm dan area retotracheal (jarak dinding posterior trakea dengan anteroinferior tonjolan C6) normal < 22 mm pada orang dewasa, dan < 14 mm pada anak. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.4 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral servikalis. 3.2.2Posisi Anteroposterior Servikalis Pengambilan foto pada posisi anteroposterior servikalis dapat dilakukan pada posisi erect (tegak) atau supine (tidur telentang) dengan kepala lurus ke depan dan tangan di samping. Sinar sentrasi terhadap C4 (batas bawah kartilago tiroid) dengan sudut 15-20 derajat cephaled. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 45 Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.5 Posisi anteroposterior servikalis. Hasil pengambilan foto pada posisi anteroposterior servikalis yaitu akan terlihat korpus vertebra, pedikel seperti tetes air) dan diskus invertebralis dari C3-C7, juga terlihat T1-T2. Selain itu, juga terlihat mandibula dan basal tengkorak superimpose dengan C1,C2. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.6 Hasil foto Rontgen pada posisi anteroposterior servikalis. 46 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 3.2.3 Proyeksi AP Open Mouth Cervical Pada pengambilan foto dengan proyeksi AP open mouth cervical dapat dilakukan pada posisi yang sama dengan posisi AP servikalis. Bedanya, pada saat eksposur pasien diminta untuk membuka mulut selebar mungkin dengan hanya membuka rahang bawah tanpa mengubah kepala dan bilang ‘aaah’ agar lidah tetap di dasar mulut. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.7 Posisi foto Rontgen pada proyeksi AP open mouth cervical. Tujuan proyeksi ini yaitu untuk memvisualisasi struktur C1 dan C2, terlihat dens (odontoid procces), korpus tulang belakang C2, lateral mass C1, sendi atlantoaxial C1-C2. Pada saat pengambilan foto, dens tidak boleh tertutup gigi atau basal tengkorak. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.8 Hasil foto Rontgen pada proyeksi AP open mouth cervical. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 47 3.2.4 Posisi Anterior dan Posterior Oblique Cervical Pengambilan foto Rontgen pada posisi anterior dan posterior oblique cervical, seorang pasien dapat mengambil posisi erect (duduk atau berdiri) atau recumbent. Namun, posisi erect biasanya lebih nyaman daripada recumbent. Pasien dapat melakukan rotasi pada seluruh badan dan kepala dengan sudut 45 derajat. Sinar sentrasi pada C4 dengan sudut 15-20 derajat cephaled. Pada LPO dan RPO atau sudut 15-20 derajat caudad pada LAO dan RAO. Proyeksi jenis ini efektif untuk memperlihatkan foramina umco intervertebra dan pedikel. a b Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.9 Foto Rontgen pada posisi: (a) anterior oblique cervical dan (b) posterior oblique cervical. RAO dan LPO memperlihatkan foramina kanan, sedangkan LAO dan RPO memperlihatkan foramina kiri. Anterior oblique foramen intervertebralis dan pedikel cervicalis tampak dekat dengan film, sedangkan pada posterior oblique tampak jauh dengan film. 48 Prosedur Pemeriksaan Radiologi a b Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.10 Hasil foto Rontgen pada posisi: (a) anterior dan (b) posterior oblique cervical. 3.2.5 Posisi Lateral Cervicothoracalis (Swimmer’s) Pada posisi ini, pasien tengkurap (prone) dengan lengan kiri ke depan dengan membentuk sudut 180 derajat dan lengan kanan di samping seperti orang berenang. Sentrasi sinar horizontal ke arah aksial, sedangkan film berada di sebelah kanan. Pada saat pengambilan gambar, usahakan untuk menjaga toraks dan kepala dalam posisi lateral. Tujuan foto pada posisi ini yaitu untuk memperlihatkan inferior­ vertebra cervicalis C7, dan superiorvertebra thoracalis T1-T2. Hasil foto Rontgen pada posisi ini akan tampak korpus vertebra, diskus intervertebralis, sendi zigapofiseal dari C4-T3. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.11 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral cervicothoracalis. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 49 3.2.6 Posisi Lateral Hiperekstensi dan Hiperfleksi Pada posisi ini, pasien bersikap erect lateral (duduk atau berdiri) dengan lengan di samping, sentrasi sinar horizontal pada C4. Bila pada posisi hiperfleksi, dagu pasien ditekan sampai menempel dada dan bila hiperekstensi, dagu diangkat dan kepala ke arah belakang sejauh mungkin. a b Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.12 Posisi lateral: (a) hiperekstensi dan (b) hiperfleksi. 50 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Foto Rontgen pada posisi ini merupakan studi terhadap fungsi gerak tulang belakang servikalis. Hasil foto pada posisi ini menunjukkan kurva spinal C1-C7. Pada hiperfleksi, tampak prosessus spinosus terpisah dan pada hiperekstensi, tampak prosessus spinosus merapat. a b Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.13 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral: (a) hiperfleksi dan (b) hiperekstensi. 3.3 Teknik Foto Rontgen pada Thorakalis Pada teknik foto Rontgen thorakalis terdapat beberapa posisi pengambilan foto seperti yang akan dijelaskan berikut ini. 3.3.1 Posisi AP Thorakalis Pada posisi AP thorakalis, pasien dapat melakukannya dengan sikap erect atau supine. Pada posisi supine, pasien tidur telentang dengan sedikit menekuk lutut untuk melihat adanya kifosis normal. Sentrasi sinar dilakukan secara vertikal ke 3 cm arah posterior dari prosessus xiphoid. Sementara itu, pada posisi erect, sikap pasien seperti yang terlihat pada gambar berikut ini. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 51 Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.14 Posisi AP thorakalis. Hasil foto Rontgen dari posisi ini akan memperlihatkan korpus tulang belakang, pedikel, dan diskus intervertebralis. Pada posisi ini, tinggi dari vertebra dapat ditentukan dan perubahan garis paraspinal dapat dievaluasi. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.15 Hasil foto Rontgen pada posisi AP thorakalis. 52 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 3.3.2 Posisi Lateral Thorakalis Pada posisi ini, pasien bisa melakukannya dengan sikap erect atau supine. Sentrasi sinar diarahkan ke T7 atau T6 dengan sudut 10 derajat cephalad. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.16 Posisi lateral thorakalis. Hasil foto Rontgen ini menggambarkan badan vertebra, diskus intervetebralis, dan foramina intervertebralis. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.17 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral thorakalis. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 53 3.3.3 Posisi Oblique Anterior atau Posterior Thoracal Pada posisi ini, pasien dapat melakukan dengan sikap lateral erect atau supine dengan badan rotasi 20 derajat termasuk bahu dan pelvis. Pasien diminta untuk menekuk lututnya agar stabil. Pada LPO dan RPO, tangan diletakkan dekat meja dan diangkat ke depan, sedangkan tangan yang satunya ke bawah. Sementara itu, pada LAO dan RAO, tangan diletakkan dekat meja dengan arah ke bawah posterior, sedangkan tangan yang satunya diangkat ke depan. Hasil foto Rontgen pada posisi ini akan memperlihatkan sendi apofiseal. Oblique anterior memperlihatkan sendi apofiseal yang terdekat dengan film, sedangkan pada posisi oblique posterior menunjukkan sendi yang jauh dari film. 3.4 Teknik Foto Rontgen pada Lumbal Untuk teknik foto Rontgen pada lumbal akan dijelaskan beberapa posisi seperti berikut ini. 3.4.1 Posisi AP atau PA Lumbal Pada posisi ini, pasien dapat melakukannya dengan posisi telentang dengan lutut ditekuk, tangan dilipat di dada. Selain itu, pasien juga dapat melakukannya dengan posisi tidur telentang dan kedua lengan diangkat ke samping kepala. Sentrasi sinar diarahkan pada sentral abdomen setinggi krista iliaka. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.18 Posisi AP lumbal. 54 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Hasil foto Rontgen pada posisi ini akan memperlihatkan badan lumbalis, diskus intervertebralis, prosessus spinosus dan transversus, pedikel, dan sendi sakroiliakal, serta sakrum. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.19 Hasil foto Rontgen lumbal AP. 3.4.2 Posisi Oblique Posterior atau Anterior Lumbal Pada posisi ini, pasien dalam posisi semi supine dengan sudut 45 derajat pada RPO/LPO atau semi prone dengan sudut 45 derajat pada RAO/LAO.Pada posisi ini lutut ditekuk untuk stabilitas, sentrasi diarahkan pada L3. a b Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.20 Posisi oblique anterior (a) dan posterior (b) lumbal. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 55 Hasil foto Rontgen posisi ini akan tampak sendi apofiseal terbuka yang menggambarkan ‘scotty dog’ dengan pedikel sebagai mata, prosessus transversus sebagai hidung, prosessus artikularis superior sebagai telinga, pars interartikularis sebagai leher, dan prosessus artikularis inferior sebagai kaki. a b c Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.21 Hasil foto Rontgen pada posisi oblique posterior (a), anterior lumbal (b), dan scotty dog sign (c). 3.4.3 Posisi Lateral Lumbal Pada teknik ini, posisi pasien lateral recumbent dan lutut sedikit fleksi. Bila dada terlalu sempit atau pelvis lebar maka perlu sudut kaudad 5 atau 10 derajat. Sentrasi sinar diarahkan pada krista iliaka. 56 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.22 Posisi lateral lumbal. Hasil foto Rontgen pada posisi ini akan tampak foramina intervertebralis L1-L4, badan tulang belakang, diskus intervertebralis, prosessus spinosus, L5, dan sakrum. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.23 Hasil foto Rontgen posisi lateral lumbal. 3.4.4 Posisi Lateral L5-S1 Posisi ini dilakukan untuk melihat patologi L5 atau S1, misalnya pada spondylisthesis L4-5 atau L5-S1. Pasien mengambil posisi lateral recumbent dan sentrasi sinar pada 4 cm inferior krista iliaca. Hasil foto Rontgen pada posisi ini akan tampak L4 yang terbuka terhadap L5 dan L5 terhadap S1. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 57 Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.24 Posisi lateral L5-S1. 3.4.5 Proyeksi AP Aksial L5-S1 Pada proyeksi ini, posisi pasien telentang, sentrasi sinar cephaled bersudut 30 derajat untuk laki-laki atau 35 derajat untuk perempuan ke arah garis tengah (midline) setinggi krista iliaka. Film hasil Rontgen akan tampak L5 terhadap S1 dan sendi sakroiliaka. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.25 Posisi pada proyeksi AP aksial L5-S1. 58 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 3.5 Teknik Foto Rontgen Tulang Sakrum dan Tulang Ekor Untuk teknik foto Rontgen tulang sakrum dan tulang ekor, terdapat beberapa posisi yang akan dibahas seperti berikut ini. 3.5.1 Proyeksi AP Aksial Sakrum Proyeksi AP aksial sakrum dilakukan dengan posisi telentang dengan lutut sedikit fleksi. Sentrasi sinar pada cephaled 15 derajat ke arah garis tengah antara simpisis pubis dan SIAS. Bila posisi tengkurap, sinar cauded sebesar 15 derajat. Sebelum difoto, pasien diminta untuk buang air dan disiapkan dengan lavemant agar udara dan faecal tidak menutupi tulang sakrum. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.26 Posisi pada proyeksi AP aksial sakrum. Hasil film pada foto Rontgen ini akan tampak pubis dan foramina sacralis, sacroiliaca, dan sendi L5-S1. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.27 Film foto Rontgen pada posisi proyeksi AP aksial sakrum. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 59 3.5.2 Proyeksi AP Aksial Tulang Ekor Proyeksi ini, menempatkan pasien pada posisi telentang dengan lutut sedikit fleksi. Sentrasi sinar caudad 10-15 derajat pada superior simpisis pubis agar tulang ekor tidak berposisi di atas pada simpisis pubis. Sebelum difoto, pasien diminta untuk buang air dan disiapkan dengan lavemant agar udara dan faecal tidak menutupi tulang ekor. Proyeksi ini digunakan untuk melihat patologi pada tulang ekor. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.28 Posisi pada proyeksi AP aksial tulang ekor. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.29 Hasil foto Rontgen posisi AP aksial tulang ekor. 60 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 3.5.3 Posisi Lateral Tulang Sakrum dan Tulang Ekor Pada posisi ini, sikap tubuh pasien diminta lateral recumbent dan sentrasi sinar pada posterior SIAS. Pada film akan tampak tulang sakrum dan tulang ekor dari arah lateral. a b Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.30 (a) Posisi lateral tulang sakrum dan (b) foto pada posisi lateral tulang sakrum. a b Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.31 (a) Posisi lateral tulang ekor dan (b) foto lateral tulang ekor. 3.6 Serial Skoliosis Beberapa posisi yang akan dijelaskan pada serial skoliosis antara lain seperti yang akan dijelaskan berikut ini. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 61 3.6.1 Proyeksi PA (AP) Pada proyeksi PA, foto dilakukan dalam posisi pasien erect dan recumbent untuk perbandingan. Saat melakukan posisi erect, kedua kaki pasien harus berdiri. Film hasil foto Rontgen ini memperlihatkan tulang belakang thorakalis dan lumbal hingga 3 cm di bawah krista iliaka. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.32 Hasil foto Rontgen pada proyeksi PA (AP). 3.6.2 Posisi Lateral Erect Pengambilan foto dilakukan dalam posisi pasien lateral erect dengan tangan ke atas dan dipastikan tidak ada rotasi. Film foto Rontgen pada posisi ini akan tampak thorakalis dan lumbal dalam posisi lateral, batas bawah film harus tampak krista iliaka. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.33 Hasil foto Rontgen pada posisi lateral erect. 62 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 3.6.3 Proyeksi PA (AP) Metode Ferguson Untuk proyeksi ini, foto dalam posisi erect dengan berdiri menggunakan dua kaki kemudian difoto lagi dalam posisi erect dengan satu kaki (sesuai letak konveksitas vertebra) menginjak balok yang digunakan sebagai perbandingan. Pada proyeksi ini, pengambilan foto harus tampak seluruh tulang belakang thorakalis dan lumbal hingga 3 cm inferior krista iliaka. Sumber: dokumen pribadi Gambar 3.34 Hasil foto Rontgen pada proyeksi PA metode Ferguson. 3.6.4 Proyeksi AP (PA) Bending Kanan Kiri Pada proyeksi ini, posisi pasien bisa erect atau supine. Pasien diminta untuk mengambil posisi lateral fleksi kanan dan kiri sejauh mungkin. Film foto Rontgen pada posisi ini akan tampak thoracal dan lumbal dalam posisi lateral fleksi dengan krista iliaka. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 63 Tegak Bengkok ke kanan Bengkok ke kiri Sumber: http://www.rad.washington.edu Gambar 3.35 Posisi badan pada proyeksi AP (PA) bending kanan kiri. 3.7 Kelebihan dan Aplikasi Klinis Foto Rontgen Pada umumnya, foto Rontgen menjadi pilihan pertama untuk melakukan screening. Hal ini dilakukan karena biayanya relatif terjangkau dibandingkan sarana radiologi yang lain. Akan tetapi, foto Rontgen memiliki keterbatasan pada penggambaran yang kurang bisa menunjukkan perbedaan organ sehingga dalam pelaksanaannya harus ditunjang dengan sarana yang lain. Berdasarkan penjelasan di atas, pada tabel berikut ini akan dirangkum beberapa jenis foto Rontgen beserta patologi dan penampakan struktur yang dihasilkan. Tabel 3.1 Jenis foto Rontgen beserta patologi dan penampakan struktur yang dihasilkan No. 1 A B 64 Jenis Foto Patologi Tulang Belakang Servikalis Lateral Tulang belakang servikalis dan jaringan lunak lainnya AP C3-C7 Tampak Struktur Korpus, apofiseal, prosesus spinosus, diskus intervertebralis C1-C2 Korpus, diskus invertebralis C3-C7, T2/T3 Prosedur Pemeriksaan Radiologi No. Jenis Foto Patologi Tampak Struktur C1-C2 dan jaringan lunak di sekitanya Tulang belakang servikalis, jaringan lunak. RAO/LAO dapat mengurangi radiasi tiroid C7-T3 terlihat lebih jelas Dens, lateral mass C1, korpus C2, apofiseal C1-C2 Foramina intervertebralis, pedikel C AP Open Mouth D Oblique E Swimmers F Hiperekstensi/ Gangguan gerak tulang Hiperfleksi belakang servikalis Metode Fuch/Judd Struktur tulang sekitar C1 dan dens G H Wagging Jaws 2 Kln dens disertai kolum servikalis lain Pillars Kln arcus vertebra posterior C4-C7 dan proccesus spinosus cervicothorakal Tulang Belakang Thorakalis A AP I Tulang belakang thorakalis Lateral 3 A Tulang belakang thorakalis misalnya kompresi/subluksasi/ kifosis Oblique Sendi apofiseal, kiri kanan untuk perbandingan Tulang Belakang Lumbal AP Tulang belakang lumbal misalnya fraktur/sko­lio­ sis/neoplastik B Oblique C Lateral D Lateral L5-S1 E AP Aksial L1-S1 Pars interartikularis misalnya spondilolisis Tulang lumbal misalnya spondilolisthesis/ neoplastik Spondilolisthesis L4 terhadap L5/L5 terhadap S1 L5, S1, sakroiliaka Korpus, diskus interverte­ bralis, apofiseal C4-T3 Kurvatura servikalis, gerakan, stabilitas ligamen Dens, struktur sekitar atlantoaksial dalam foramen magnum Seluruh tulang belakang servikalis Tulang belakang servikalis dan thorakalis atas, sendi apofiseal dengan lamina dan prosesus transversus Korpus, diskus interverte­ bralis, prosessus transversus dan spinosus, kosta posterior, sendi kostovertebra T1-T7 Korpus, diskus intervertebralis, foramina intervertebralis T1-T7 Sendi apofiseal T1-T7 Korpus, prosessus transversus dan spinosus L1L5, sendi intevertebralis dan sakroiliaka, tulang sakrum Sendi apofiseal, scotty dog Korpus, prosessus spinosus, diskus intervertebralis, foramen intervertebra L1-L4 Sendi L4 terhadap L5, L5 terhadap S1 Sendi L5 terhadap S1 dan sakroiliaka Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 65 No. Jenis Foto Patologi 4 A Tulang Sakrum dan Tulang Ekor AP aksial sakrum Sakrum B AP aksial coccyx C Tulang sakrum dan Tulang sakrum dan tulang ekor lateral tulang ekor Serial skoliosis PA erect Derajat skoliosis, bandingkan erect dengan recumbent Lateral erect Spondilolithesis, derajat kifosis atau lordosis 5 A B C PA Ferguson D AP bending kanan kiri Tulang ekor Tampak Struktur Sendi sakroiliaka, foramina sakrum, sendi L5-S1 Coccyx tidak tertutup simpisis pubis Sisi lateral tulang sakrum dan tulang ekor, sendi L5-S1 Tulang belakang thorakalis dan lumbal dalam posisi PA, tampak krista iliaka Tulang belakang thorakalis dan lumbal dalam posisi lateral Kurva primer atau kurva Tulang belakang thorakalis sekunder (kompensator) dan lumbal dalam posisi PA Kemampuan gerak Tulang belakang thorakalis kolumna tulang belakang dan lumbal dalam posisi AP dengan lateral fleksi INTISARI Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk membuat foto Rontgen yang baik yaitu tersedianya perlengkapan untuk membuat radiografi, jenis pemeriksaan dan posisi pemeriksaan, pengetahuan tentang kamar gelap, pengetahuan tentang pesawat Rontgen, dan proses terjadinya gambaran radiografi. Beberapa teknik foto Rontgen untuk daerah tulang belakang servikalis yaitu: • posisi lateral servikalis • posisi anteroposterior servikalis • proyeksi AP open mouth cervical • posisi anterior dan posterior oblique cervical • posisi lateral cervicothoracalis (Swimmer’s) • posisi lateral-hiperekstensi dan hiperfleksi Teknik foto Rontgen pada tulang belakang thorakalis dapat dilakukan dengan cara: • posisi AP thoracal 66 Prosedur Pemeriksaan Radiologi • • posisi lateral thoracal posisi oblique anterior dan posterior thoracal Teknik foto Rontgen pada tulang belakang lumbal dapat dilakukan dengan cara: • posisi AP atau PA lumbal • posisi oblique posterior atau anterior lumbal • posisi lateral lumbal • posisi lateral L5-S-1 • proyeksi AP aksial L5-S1 Teknik foto Rontgen pada tulang sakrum dan tulang ekor dapat dilakukan dengan cara: • proyeksi AP aksial sakrum • proyeksi AP aksial tulang ekor • proyeksi lateral tulang sakrum dan tulang ekor Beberapa posisi pada serial skoliosis antara lain dapat dilakukan dengan: • proyeksi AP • proyeksi lateral erect • proyeksi AP metode Ferguson • proyeksi AP bending kanan kiri Foto Rontgen biasanya menjadi pilihan pertama untuk melakukan skrening karena biayanya relatif murah. Namun, memiliki keter­ batasan pada penggambaran yang kurang bisa menunjukkan perbedaan organ. Bab 3 – Pemeriksaan Radiologi dengan Foto Rontgen (Radiografi) 67 Bab 4 PEMERIKSAAN RADIOLOGI DENGAN MIELOGRAFI S etelah kita mengenal foto Rontgen sebagai salah satu teknik pemeriksaan radiografi, sekarang kita akan mengenal teknik radiografi yang lain yaitu mielografi. Bagaimana prinsip dasar mielografi dan apakah kelebihan serta bagaimana aplikasi teknik yang digunakan? Mari kita baca penjelasannya berikut ini. 4.1 Prinsip Dasar Mielografi Mielografi merupakan pemeriksaan radiografi alternatif dengan menggunakan fluoroskopi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kelainan pada kanalis spinalis, diskus intervertebralis, atau radiks saraf. Kelainan tersebut antara lain dapat berupa: 1. Herniasis diskus 2. Stenosis spinal (penyempitan kanalis spinalis) 3.Adanya tumor. Pemeriksaan mielografi pada umumnya dengan menggunakan kontras iopamiro yang larut dalam air dan mempunyai osmolalitas yang rendah untuk mengurangi efek samping, misalnya mual, sakit kepala, vertigo, dan lain sebagainya. 4.2 Prosedur Pemeriksaan Mielografi Prosedur pemeriksaan mielografi terdiri atas persiapan, pelak­sanaan pemeriksaan, kemudian perawatan setelah pemeriksaan. 4.2.1Persiapan Sebelum melakukan pemeriksaan mielografi, ada beberapa persiapan yang harus dilakukan pasien yaitu: 1. Mulai malam sampai pagi sebelum pemeriksaan, perawat meningkatkan kebutuhan cairan secara oral atau intravena untuk mempertahankan hidrasi. Jika setelah pemeriksaan pasien muntah, dibutuhkan cairan kurang lebih 3.000 cc untuk mencegah dehidrasi. 2. Fenotiazin dan obat-obat depresan atau stimulan tidak boleh diberikan dalam jangka waktu 48 jam sebelum pemeriksaan dilakukan. 70 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 3. Kaji adanya riwayat alergi terhadap iodin atau makanan laut karena dapat menimbulkan anafilaksis. Riwayat gangguan hepar atau ginjal juga perlu dikaji karena metabolisme dan ekskresi zat kontras tergantung pada fungsi hati dan ginjal. 4. Jelaskan prosedur selama dan setelah pemeriksaan. 4.2.2 Pemeriksaan Mielografi Beberapa teknik pemeriksaan mielografi yang dilakukan yaitu dengan pungsi lumbal dan oksipetal. Kalau tidak ada obstruksi maka kontras akan mengisi ruangan berisi cairan serebrospinal. Pada pungsi lumbal, pasien diarahkan dalam posisi erect (duduk) atau lateral dekubitus kiri/kanan. Setelah itu, dilakukan pungsi dengan jarum spinal no. 18 atau no. 20 setinggi L3-4 atau L4-5, dan kadangkadang dikerjakan pungsi setinggi L2-3. Pada mielogram, dimasukkan kontras sebanyak 4-6 ml dalam ruangan arachnoid. Foto diambil dalam posisi prone dengan sinar AP, lateral, oblique (jika perlu). Pada penderita dengan kelainan di daerah lumbal, foto-foto dibuat dalam posisi erect sampai posisi trendelenberg 15 derajat agar kontras terlihat mengisi dural sac disral sampai daerah konus medularis. Untuk penderita dengan kelainan di daerah tulang belakang thorakalis dan servikalis, foto diambil dalam posisi trendelenberg yang kadangkadang mencapai 45-60 derajat. Penyuntikan kontras Ujung sumsum tulang belakang Saluran tulang belakang Mesin sinar X Tulang belakang Sumber: http://my.clevelandclinic.org Gambar 4.1 Mielogram memerlukan penyuntikan kontras ke saluran tulang belakang di bawah panduan sinar X. Bab 4 – Pemeriksaan Radiologi dengan Mielografi 71 Pada pungsi suboksipital, pasien diarahkan dalam posisi lateral dekubikus kiri dan dilakukan pungsi di daerah suboksipital dimana jarum pungsi akan masuk ke dalam sisterna magna cerebri dengan kontras sebanyak 4 ml. Foto-foto dibuat dalam posisi prone dan lateral. Cara ini dilakukan untuk melihat batas atas dan lesi yang diderita. Prosessus spinosus Jarum Cairan tulang belakang serebral Lumbar vertebra L3 Tulang belakang Lumbar vertebra L4 Sumber: http://www.urmc.rochester.edu Gambar 4.2 Lokasi pungsi lumbal. Namun, pemeriksaan ini sangat jarang dilakukan. Ada kalanya kontras yang dimasukkan tidak sampai ke dalam ruang subarachnoid, tetapi masuk ke dalam ruang subdural atau epidural sehingga pemeriksaan harus diulang kembali. 4.2.3 Perawatan Setelah Pemeriksaan Perawatan setelah pemeriksaan meliputi: 1. Posisi tidur pasien lurus telentang selama 8-24 jam. 2. Monitor status neurologis tiap jam selama 24 jam. 4.3 Kelebihan dan Aplikasi Klinis Mielografi Apakah kelebihan pemeriksaan mielografi dibandingkan dengan pemeriksaan radiologi lainnya? Hasil pencitraan mielografi cukup baik untuk memperlihatkan perbedaan struktur pada kanalis spinalis. 72 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Tapi, pertimbangannya adalah pemeriksaan mielografi memerlukan proses invasif. Sejak pemeriksaan radiografi menggunakan CT dan MRI mengalami perkembangan, penggunaan mielografi konvensional menjadi sangat jarang dilakukan. Saat ini, MRI dan CT menjadi pilihan utama untuk memeriksa kelainan di kanalis spinalis untuk menggantikan peran mielografi. Namun demikian, pemeriksaan mielografi masih digunakan di beberapa tempat. Sumber: http://neuroocean.com Gambar 4.3 Anak panah nomor (1) menunjukkan saraf tulang belakang normal. Anak panah nomor (2) menunjukkan terjadinya kelainan hernia. Kelainan yang dapat ditemukan pada mielografi antara lain hernia nucleus pulposus (HNP), tumor ekstradural ataupun intradural, berbagai kelainan kongenital, atau arachnoiditis. Cord terminus Nerve Root (dark) Nerve Root Sleeves Sumber: dokumen dr. Arief Iskandar, Sp.Rad. (K) Gambar 4.4 Mielografi normal. Bab 4 – Pemeriksaan Radiologi dengan Mielografi 73 Sumber: http://www.musculoskeletalnetwork.com Gambar 4.5 Mielografi cut off pada VL4-5. INTISARI Mielografi merupakan pemeriksaan radiografi alternatif dengan menggunakan fluoroskopi untuk melihat kelainan pada kanalis spinalis, diskus intervertebralis, atau radiks saraf. Prosedur pemeriksaan mielografi terdiri atas persiapan, pelaksanaan pemeriksaan, kemudian perawatan setelah pemeriksaan. Hasil pencitraan mielografi cukup baik untuk memperlihatkan perbedaan struktur pada kanalis spinalis. Tetapi, pertim­bangannya adalah pemeriksaan mielografi memerlukan proses invasif. 74 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Bab 5 PEMERIKSAAN RADIOLOGI DENGAN COMPUTED TOMOGRAFI C omputed Tomografi (CT) tulang belakang lumbal merupakan pemeriksaan radiologi yang menggabungkan teknik sinar X dengan pemanfaatan komputer untuk memperoleh informasi anatomi irisan melintang tulang belakang lumbal (Kertoleksono, 2008). 5.1 Prinsip Dasar CT Sinar X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan gelombang radio, panas, cahaya, dan sinar ultraviolet (UV) tetapi dengan panjang gelombang yang sangat pendek. Karena panjang gelombang yang sangat pendek tersebut maka sinar X dapat menembus benda-benda (Rochman, 2008). Sumber: dokumen pribadi Gambar 5.1 Pasien yang sedang melakukan CT scan. Komponen CT terdiri atas circular scanning gantry yang merupakan tabung sinar X dan detektor, meja penderita, generator sinar X, dan unit komputer pengolah data. Pada CT, komputer digunakan untuk menggantikan film kaset dan kamar gelap difungsikan dengan cairancairan pengembang serta fiksirnya seperti foto sinar X biasa. Tabung Rontgen dan kumpulan detektor berada di dalam suatu wadah 76 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Sumber:http://www.ti.com Gambar 5.2 Komponen CT scan. Tabung Sinar-X gantry Sin arX Detektor Logic Temp Sense Fan Control Low Noise Power ADC AFE Channel Card Front-End REF Line Drivers Level shift DSP And/Or FPGA Image Reconstruction Core and I/O Power DSP And/Or FPGA Signal processing Memory power Medical System and PC Interfaces Wireless Clock Controller Card SDRAM Unit kontrol untuk pergerakan SDRAM Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi 77 yang disebut gantry. Di tengah-tengah gantry terdapat lubang yang berfungsi untuk memasukkan atau menggeser meja beserta pasien dengan motor-motornya. Mulai pesawat CT generasi ketiga, gantry dapat dimiringkan ke belakang atau ke depan, masing-masing maksimal sampai kemiringan 20o sehingga tidak hanya penampang tegak saja yang dapat dibuat melainkan juga scanning miring dengan sudut yang dikehendaki. Baik tabung Rontgen maupun detektor-detektor bergerak 360o memutari pasien sebagai objek yang ditempatkan di antaranya. Selama bergerak memutar tersebut, tabung menyinari pasien dan masing-masing detektor menangkap sisa-sisa sinar X yang telah menembus pasien sebagaimana tugas film biasa. Semua data secepat kilat dikirim ke komputer yang mengolahnya (untuk mengerjakan kalkulasi) dengan secepat kilat pula. Hasil pengolahan muncul dalam layar TV yang bekerja sebagai monitor. Hasilnya merupakan penampang bagian tubuh yang diputar dan disebut scan. Gambar yang dibentuk dapat merupakan potongan aksial, koronal, dan sagital. Pada pesawat CT dapat diambil gambar dengan selisih ketebalan mencapai 1 mm sehingga dapat dilihat 2 daerah yang berhimpitan menjadi struktur yang terpisah satu sama lain dengan jelas. Namun, pengambilan gambar dengan interval ketebalan yang tipis akan menimbulkan noise level (Kertoleksono, 2008). Penilaian densitas dalam gambar CT dikenal dengan istilah hiperdens, hipodens, dan isodens. Hiperdens menunjukkan gambaran putih, hipodens memberikan gambaran hitam dan isodens memberikan gambaran yang sama dengan organ sekitarnya. Perbedaan densitas tersebut tergantung pada perbedaan daya serap organ tubuh terhadap sinar X. Oleh karena itu, dibuatlah penomoran image dengan satuan HU (Hounsfield Unit). Semakin tinggi nilai HU maka densitas gambar semakin tinggi. Beberapa zat telah ditetapkan nilai HU-nya, misalnya densitas air adalah 0 HU dan udara adalah -1000 HU (Kertoleksono, 2008). Berikut ini akan dijelaskan nilai HU pada beberapa zat. Tabel 5.1 Nilai rata-rata HU pada beberapa zat Nama Zat Udara Paru 78 Nilai HU −1000 −500 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Nama Zat Lemak Air CSF Ginjal Darah Otot Grey matter White matter Hati J-O Blast Jaringan lunak, Kontras Tulang Nilai HU −100 to −50 0 15 30 +30 s/d +45 +10 s/d +40 +37 s/d +45 +20 s/d +30 +40 s/d +60 +20 s/d +30 +100 s/d +300 +700 (tulang tidak kompak) s/d +3000 (tulang kompak) Sumber: http://www.ceesential.net 5.2 Indikasi Pemeriksaan CT Bagaimana indikasi dari pemeriksaan CT scan tulang belakang? Berikut ini adalah penjelasannya (Hosten, 2002). 5.2.1 Herniasi Diskus Intervertebralis CT sering digunakan untuk mengevaluasi adanya protrusi diskus intervertebralis atau herniasi pada nerve root, cauda equine fibers atau sumsum tulang belakang. Indikasi ini sering terjadi pada vertebra lumbal dibandingkan dengan servikal maupun thorakal. 5.2.2 Fraktur dan Trauma Lain Pada beberapa center, spiral CT digunakan untuk skrening awal pada penderita dengan trauma terutama untuk mengevaluasi kepala, leher, dan abdomen. Pada trauma spinal, kelainan pertama dan penting yang harus diperhatikan yaitu adanya fraktur corpus vertebra. 5.2.3 Massa Intraspinal Tujuan utama diagnosa CT pada kasus massa intraspinal yaitu untuk menentukan level dari massa dan mendiskripsikan gambaran dari Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi 79 massa tersebut. Penambahan kontras intravena direkomendasikan untuk membantu penegakan diagnosa. 5.3 Prosedur Pemeriksaan CT Sebagai tahap persiapan, pasien harus berpuasa antara 4–6 jam sebelum pemeriksaan. Pemotretan awal atau permulaan dilakukan dengan tabung yang dibiarkan diam, sedangkan pasien dalam posisi supine dengan meja tidak digerakkan. Hasilnya adalah sama dengan foto Rontgen biasa dan disebut sebagai topogram atau skenogram. Skenogram ini dibuat untuk memprogramkan potongan-potongan mana saja yang akan dibuat. Kemudian satu per satu dibuat scannya menurut program tersebut. Dalam hal ini, pasien tetap diam di tempat sehingga arah scan dapat ditentukan dengan tepat, sedangkan tabung detektornya (generasi III) atau tabung (generasi IV) memutari pasien (Kertoleksono, 2008). Prosedur CT pada tulang belakang dapat dijalankan dengan atau tanpa menggunakan kontras. Penggunaan kontras pada umumnya dilakukan penderita dengan inflamasi atau neoplasma (Kertoleksono, 2008). Pencitraan window CT scan pada vertebra dibagi menjadi bone window dan soft tissue window. Ketebalan irisan pada CT scan vertebra berdasarkan indikasi klinis yaitu irisan 1-2 mm untuk fraktur tulang belakang, 3-5 mm untuk evaluasi diskus intervertebralis, dan 5-8 mm untuk evaluasi kanalis spinalis (Hosten, 2002). Sumber: dokumen pribadi Gambar 5.3 CT scan bone window dengan rekonstruksi koronal dan sagital pada tulang punggung bawah. 80 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 5.4 Teknik Pemberian Kontras Pemberian kontras pada pemeriksaan CT dapat dilakukan dengan beberapa teknik. Berikut ini penjelasannya (Hosten, 2002). 5.4.1Secara Intravena Media kontras IV dapat diinjeksikan ke dalam vena perifer atau central melalui cairan infus. Jumlah dan waktu penyuntikan kontras tergantung pada kebutuhan klinis dan teknik pemeriksaan (single slice atau spiral CT). Dosis kontras yang diberikan adalah 1–2,5 ml/kgBB, diinjeksikan dalam flow rate 0,7–4 ml/detik (Hosten, 2002). 5.4.2Secara Intrathecal Media kontras intrathecal misalnya iotrolan (isovis) dan biasanya dimasukkan dengan cara pungsi lumbal dalam pemeriksaan mielografi, diikuti dengan CT scan (postmyelographic CT) atau secara langsung dalam pemeriksaan CT mielografi (atau cisternografi). Secara umum, pemberian kontras intrathecal baik digunakan untuk menilai spinal cord, conus medullaris, filum terminalis, cauda equina dan intradural mass. Tanpa penambahan kontras intrathecal, massa tersebut sangat sulit dibedakan dengan struktur anatomi normal jaringan di sekitarnya karena memberikan gambaran atenuasi yang sama (Hosten, 2002). 5.5 Risiko Pemeriksaan CT Scan Risiko pemeriksaan CT scan terdiri atas risiko terhadap paparan radiasi sinar X dan risiko reaksi alergi terhadap pemakaian kontras. CT scan memberikan paparan sinar X lebih besar daripada foto Rontgen biasa. Penggunaan sinar X dan CT scan secara berkali-kali dapat meningkatkan risiko terkena kanker. Akan tetapi, risiko dari sekali pemeriksaan CT scan adalah kecil. Seseorang yang memiliki riwayat alergi terhadap pemakaian kontras, sebelumnya harus berhati-hati bila akan menjalani pemeriksaan CT scan dengan kontras. Pada umumnya, kontras yang digunakan secara intravena mengandung iodin (Kertoleksono, 2008). Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi 81 5.6 Kelebihan dan Aplikasi Klinis Pemeriksaan CT Scan CT scan paling baik bila digunakan dalam mengevaluasi tulang, khususnya tulang yang mempunyai elemen posterior misalnya pada tulang belakang yang meliputi lateral mass, faset, lamina, dan prosessus spinosus. Waktu yang digunakan untuk scanning jauh lebih cepat daripada MRI sehingga sangat bermanfaat untuk mengevaluasi organ tubuh yang bergerak seperti paru. Selain itu, juga bermanfaat pada pasien trauma yang bersifat akut (Lange, 1989). Pada tulang belakang, CT scan sangat bermanfaat dalam mengevaluasi kasus seperti fraktur, subluksasi, herniated disk, tumor, dan arthropathy seperti rheumatoid arthritis dan osteoarthritis (Lange, 1989). 5.7 Gambaran Normal CT Scan Tulang Belakang Lumbal Gambaran normal CT scan tulang belakang lumbal pada potongan aksial dengan ketebalan 5 mm dapat dilihat sebagai berikut. 5.7.1 Potongan Aksial Sejajar Dengan Vertebral Endplate (Soft Tissue Window) Aorta Vena cava Muskulus psoas Prosessus transversus Ligamen longitudinal anterior Tubuh vertebra (L4) Dural sac Prosessus spinosus a 82 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Ligamen longitudinal anterior Muskulus psoas Saraf tulang belakang Pembuluh darah tulang belakang Tubuh vertebra (L4) Dural sac Pembuluh darah tulang belakang b Ligamen longitudinal anterior Muskulus psoas Saraf tulang belakang Pembuluh darah tulang belakang Tubuh vertebra (L4) Dural sac Ligamentum flavum Pembuluh darah tulang belakang c Muskulus psoas Saraf tulang belakang Sendi intervertebral d Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi Diskus intervertebral (L4-5) Dural Sac Prosessus artikular inferior Prosessus artikular superior Prosessus spinosus 83 Ligamen longitudinal anterior Muskulus psoas Saraf tulang belakang Sendi intervertebral Dural Sac Prosessus artikular inferior Ligamen flavum Prosessus spinosus e Arteri common iliac Vena common iliac Muskulus psoas Saraf tulang belakang Sendi intervertebral Ligamen longitudinal anterior Vertebral body (L5) Saraf tulang belakang Prosessus Transversus Prosessus spinosus f Arteri common iliac Vena common iliac Muskulus psoas Saraf tulang belakang Lamina Ligamen longitudinal anterior Vertebral body (L5) Saraf tulang belakang Lateral recess Prosessus spinosus g 84 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Arteri common iliac Vena common iliac Muskulus psoas Foramen intervertebral Lamina Vertebral body (L5) Saraf tulang belakang Prosessus spinosus h Arteri iliac internal Vena iliac internal Foramen intervertebral Dural Sac Vertebral body (L5) Saraf tulang belakang Prosessus spinosus i Sumber: Hosten, 2002 Gambar 5.4 (a-i) CT scan potongan aksial paralel dengan vertebral endplate (soft tissue window). Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi 85 5.7.2 Potongan Aksial Sejajar Dengan Vertebral Endplate (Bone Window) Ligamen longitudinal anterior Muskulus psoas Ligamentum flavum Vertebral body (L4) Dural sac Prosessus spinosus a Ligamen longitudinal anterior Muskulus psoas Saraf tulang belakang Vena tulang belakang Sendi b intervertebral Muskulus psoas Saraf tulang belakang Sendi intervertebral c 86 Vertebral body (L4) Dural sac Prosessus artikular inferior Prosessus artikular superior Prosessus spinosus Diskus intervertebral Dural sac Prosessus artikular inferior Prosessus artikular superior Prosessus spinosus Prosedur Pemeriksaan Radiologi Ligamen longitudinal anterior Muskulus psoas Saraf tulang belakang Sendi tulang belakang Diskus intervertebral Prosessus transversus Dural sac Ligamentum flavum Prosessus spinosus d Tulang kortikol Tulang concellous Muskulus psoas Prosessus transversus Sendi intervertebral Ligamen longitudinal anterior Vertebral body Prosessus transversus Prosessus artikular inferior Prosessus artikular superior Prosessus spinosus e Tulang concellous Tulang kortikol Sinus basivertebral Lamina Ligamen longitudinal anterior Vertebral body (L5) Saraf tulang belakang lateral recess Prosessus spinosus f Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi 87 Vertebral body (L5) Foramen intervertebral Lamina Prosessus artikular superior Prosessus artikular Prosessus artikular superior g Sumber: Hosten, 2002 Gambar 5.5 (a-g) CT scan potongan aksial paralel dengan vertebra endplate (bone window). Sumber: Hosten, 2002 Gambar 5.6 Gambaran foto polos tulang belakang lumbal normal proyeksi AP/lateral 88 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 5.7.3 Potongan Transaksial Setinggi Diskus Vertebralis L3-4 Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.7 CT scan potongan transaksial pada level setinggi diskus intervertebralis L3-4. Keterangan: Panah lurus menunjukkan prosessus artikularis superior dan panah lengkung menunjuk­kan elemen posterior dari L3. 5.7.4 Potongan Transaksial Setinggi Sendi Faset L3-4 Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.8 CT scan transaksial setinggi sendi faset L3-4. Keterangan: SP: prosessus artikularis superior L4; IP: prosessus artikularis inferior L3; LFC: ligamentum flavum dan kapsul faset; FJ: sendi faset. Prosessus artikularis superior VL di bawahnya selalu berada di anterior dan lateral terhadap prosessus artikularis inferior VL di atasnya. Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi 89 Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.9 Potongan anatomik pada level yang sama dengan Gambar 5.8. Zona lusen dari sendi faset yang terlihat pada gambar merupakan synovial cavity dan cartilage articularis. Jarak normal antara permukaan korteks dari prosessus artikularis superior dan inferior adalah 2–4 mm. 5.7.5 Potongan Transaksial Setinggi Pedikel VL4 Sumber: Dorwart,1992 Gambar 5.10 CT scan potongan transaksial setinggi puncak dari pedikel L4. 90 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Keterangan: P = pedikel; LF = ligamentum flavum; A = aorta (aneurysmal). Kanalis neuralis (recessus lateralis) dimulai pada level ini (panah hitam). 5.7.6 Potongan Transaksial Setinggi Korpus VL5 (Mid Plane) Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.11 CT scan potongan transaksial setinggi midplane corpus L4 Keterangan: Panah lurus adalah recessus lateralis untuk nervus L4 kanan, panah lengkung adalah lucent channel untuk vena basivertebral. PI = pars interartikularis. Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.12 CT scan potongan transaksial setinggi diskus L5–S1 bagian dorsal. Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi 91 Keterangan: S can pada level ini tanpa angulasi gantry dan memperlihatkan gambaran dari depan ke belakang yaitu inferior end plate L5 (L5), dorsal aspect diskus L5-S1 disc (panah) dan thecal sac (TS). 5.7.7 Potongan Aksial Setinggi Diskus Intervertebralis L4-5 a b Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.13 CT scan tanpa dan dengan kontras potongan aksial setinggi diskus intervertebralis L4-5. Diskus intervertebralis L4-5 yang disusun oleh nucleus pulposus dan annulus fibrosis, tervisualisasi homogen lebih opak daripada thecal sac (TS), yang biasanya berbentuk bulat atau sedikit oval pada potongan menyilang. Panah lurus pada gambar di atas menunjukkan epidural veins: panah lengkung menunjukkan ascending lumbar veins. Slightly concave pada batas dorsal dari diskus lumbal orang dewasa muda yang sehat adalah ligamentum longitudinal posterior yang terletak di antara permukaan median dan paramedian permukaan posterior corpus vertebra; epidural veins mungkin juga berperan dalam terbentuknya gambaran concave tersebut. 92 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 5.7.8 Potongan Setinggi Diskus Intervertebralis L5–S1 a b Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.14 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level dorsal aspect dari diskus interverebralis L5-S1 (panah, gambar kiri). Transaksial scan tanpa angulasi gantry memberikan hasil gambaran (dari depan ke belakang) yaitu inferior end plate L5 (L5), dorsal aspect discus L5-S1, epidural veins (panah lurus, gambar kanan) dan thecal sac (TS). Batas dorsal dari diskus intervertebralis pada orang dewasa muda yang sehat adalah linier atau konveks minimal pada sisi posterior. 5.7.9 Potongan Setinggi Korpus VL5 (Midplane) a b Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.15 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level midplane L5. Saluran lusen dilalui vena basivertebral (panah lengkung) pada midline dari dorsal aspect corpus vertebra L5 dan opasitas soft tissue Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi 93 yang menunjukkan anterior internal vertebral veins (panah lurus) dan segmental lumbar veins (LV) pada gambar kiri. Seluruh struktur tersebut tergambar opacified mengikuti intravertebral injection (gambar kanan). NT = needle track untuk injeksi kontras. 5.7.10 Potongan Setinggi Foramen Intervertebralis L5–S1 a b Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.16 CT scan tanpa dan dengan kontras pada level setinggi foramen intervertebralis L5-S1. Anastomosis antara segmental lumbar vein (LV) dengan venavena yang mengaliri sisi dorsal tulang belakang (panah hitam) dapat tervisualisasi sebagai anterior internal vertebral veins. 5.7.11 Potongan Aksial Setinggi Korpus VL2 (Midplane) a b Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.17 CT scan tanpa dan dengan kontras potongan aksial pada level setinggi midplane corpus vertebra L2. 94 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Keterangan: Menunjukkan segmental lumbar vein yang prominen (panah lurus) sebelah kanan. Anastomosis yang prominen antara ascending lumbar vein dengan inferior vena cava sering terlihat pada level L2 dan L3. 5.7.12 Reformasi Midsagittal Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.18 Reformat midsagital sebelum penambahan kontras. Terlihat lusensi pada dorsal aspect dari masing-masing corpus vertebra di antara superior dan inferior end plate (panah lurus) menunjukkan saluran yang dilalui basivertebral vein. Area lusensi ini sering kali dikelirukan dengan lesi litik ataupun garis fraktur. Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.19 Reformat midsagital pasca penambahan kontras, terlihat opasitas dari basivertebral vein. Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi 95 5.7.13 Reformasi Parasagital Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.20 Reformat parasagital kanan memotong anterior internal vertebral veins. Keterangan: Menunjukkan gambaran longitudinal vena-vena di sepanjang batas dorsal dari vertebra dan diskus (panah lurus). 5.7.14 Lokasi Kunci Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.21 Potongan setinggi tulang belakang lumbalis 5. 96 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 5.7.15Perjalanan Nervus L5 a b c d e Sumber: Dorwart, 1992 Gambar 5.22 Seri CT scan yang memperlihatkan perjalanan nerves lumbal 5 berasal sebagai nerve roots (R5) dari thecal sac. Keterangan: Gambar a/setinggi no. 27 dan b/28 melalui dorsal ganglia (D5) pada gambar c/29 menuju ventral rami (N5) pada gambar d/30 dan E/31. INTISARI Computed Tomografi (CT) tulang belakang lumbal merupakan pemeriksaan radiologi yang menggabungkan teknik sinar X dengan pemanfaatan komputer untuk memperoleh informasi anatomi irisan melintang tulang belakang lumbal. Komponen CT terdiri atas circular scanning gantry, meja penderita, generator sinar X, dan komputer. Bab 5 – Pemeriksaan Radiologi dengan Computed Tomografi 97 Indikasi pemeriksaan CT scan tulang belakang antara lain: • Herniasi diskus intervertebralis • Fraktur dan trauma lain • Massa intraspinal Prosedur pemeriksaan CT scan meliputi tahap persiapan dan pemeriksaan. Pemberian kontras pada pemeriksaan CT dapat dilakukan dengan teknik: • secara intravena • secara intrathecal Risiko pemeriksaan CT scan terdiri atas risiko terhadap paparan radiasi sinar X dan risiko reaksi alergi terhadap pemakaian kontras. CT scan paling baik digunakan dalam mengevaluasi tulang, khususnya tulang yang mempunyai elemen posterior. Waktu yang digunakan jauh lebih cepat daripada MRI. Pada tulang belakang, CT scan sangat bermanfaat dalam mengevaluasi kasus seperti fraktur, subluksasi, herniated disk, tumor, dan arthropathy. 98 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Bab 6 PEMERIKSAAN RADIOLOGI DENGAN CT MIELOGRAFI P ada pembahasan sebelumnya, sudah disinggung mengenai teknik pemeriksaan radiologi mielografi. Tapi, yang dimaksud adalah mielografi konvensional. Nah, sekarang kita akan mempelajari masih berhubungan dengan mielografi, tapi dengan teknik yang lain yaitu CT mielografi atau CT mielogram. 6.1 Prinsip Dasar CT Mielografi Mielografi konvensional dengan foto X-ray dan CT mielografi memiliki prinsip umum yang hampir sama. CT mielogram merupakan prosedur diagnostik yang dikerjakan setelah kontras diinjeksikan dalam rongga sub arachnoid. Mielografi yang baik akan menggambarkan rongga subarachnoid dengan jelas, tidak hanya korda spinalis, namun juga kornu medularis, serabut saraf, dan selubung sarafnya dapat terdefinisi dengan baik. Bagian lain yang juga tampak adalah vaskuler spinal, ligamen dentikulata, dan septa arachnoid. CT scan dapat membantu mendiagnosa berbagai kelainan spinal, termasuk herniasi diskus, stenosis spinal, tumor, dan fraktur tulang belakang. Modalitas ini bagus untuk menunjukkan jaringan yang keras, seperti tulang. Sementara itu, mielografi atau mielogram adalah media diagnostik dengan kontras yang disuntikkan ke dalam cairan serebrospinal. Setelah disuntikkan, kontras akan mewarnai kanalis spinalis , korda spinalis, dan serabut saraf selama proses pencitraan. Ketika CT scan dan mielografi digabungkan maka akan tampak gambaran tulang dan jaringan saraf di daerah spinal (Moulton, 2013). Kontras larut air yang digunakan diaplikasikan secara intratechal dan telah memiliki lisensi, bersifat non neurotoxic, tidak menimbulkan epilepsi, dan nontoksik terhadap arachnoid. Contoh kontras jenis ini misalnya iohexol (Sutton, 2003). Pada sebuah penelitian tentang tingkat akurasi diagnosa pasien dengan kecurigaan herniasi segmen lumbal diperoleh angka sebagai berikut. Pemeriksaan mielografi (81%), CT mielografi (84%), dan MRI sebesar (94%) (Janssen dkk, 1994). Namun, dalam penelitian lain disebutkan tingkat akurasi dan spesifisitas neuroimaging terhadap diagnosa HNP dan spinal stenosis adalah sebagai berikut. Untuk CT mielografi memiliki akurasi paling baik untuk diagnosa HNP sebesar 100 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 76,4% dan sensitifitas 77,8%, sedangkan mielografi memiliki spesifisitas tertinggi 89,2%. Untuk diagnosa stenosis spinal, CT mielografi dan MRI memiliki akurasi dan sensitifitas yang seimbang yaitu akurasi 85,3% dan sensitivitas 87,2%. Sementara itu, mielografi memiliki spesifisitas tertinggi yaitu sebesar 88,9% (Bischoff, 2003). Salah satu kelebihan yang dimiliki CT mielografi dibandingkan MRI adalah sensitifitas yang tinggi terhadap masalah pada foramen karena dapat mendiferensiasi tulang dan jaringan lunak dengan baik, sedangkan pada MRI sering ditemui false negatif dalam deteksi kompresi serabut saraf di bagian foramen (kurangnya kemampuan menggambarkan diskus foramen dan osteofit) (Birchall dkk, 2003). Beberapa pusat kesehatan menggabungkan kedua teknik ini untuk proses diagnostik. Menurut Modic dkk., akurasi MRI dalam mendeteksi pasien spondilitis cervical dengan radikulopati sebesar 74%, CT mielografi sebesar 85%, dan jika keduanya digabungkan akurasinya mencapai 90% (Modic, 1986). 6.2 Dasar Anatomi Total cairan serebrospinal manusia dewasa sekitar 150 ml (50% intrakranial, 50% spinal). Sekitar 500-750 ml cairan serebrospinal diproduksi setiap hari (0,4 ml/menit, 20-30 ml/jam), takaran normal pada manusia dewasa sekitar 7-15 mm H2O, jika >18 mm H2O, dan hal ini sudah merupakan kondisi abnormal. Namun untuk orang dewasa muda, angka normalnya sedikit tinggi yaitu <18-20 mm H2O. Menurut dr. Hodges, diameter AP korda spinalis 7 mm sampai C7, sedangkan dari C7-conus sebesar 6 mm, dan 7 mm di bagian comus. Ukuran korda dinyatakan abnormal jika >8 mm atau <6 mm. Secara normal akan didapatkan 7 korpus tulang belakang servikalis, 12 korpus tulang belakang torakalis, 5 korpus tulang belakang lumbal, tulang sakrum, dan tulang ekor. Terdapat beberapa serabut saraf yang saling berkaitan, 8 tulang belakang servikalis, 12 tulang belakang thorakalis, 5 tulang belakang lumbal, 5 tulang sakrum, dan tulang ekor (Washington University, 2010). Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi 101 6.3 Indikasi CT Mielografi MRI merupakan pencitraan pertama yang digunakan sebagai pemeriksaan untuk mengevaluasi spinal cord dan radiks saraf. Namun pada beberapa kondisi, mielografi dan atau CT mielografi diindikasikan misalnya untuk pasien yang tidak dapat dilakukan menggunakan teknik MRI atau pada pasien yang sebelumnya pernah dipasang plat pada tulang belakangnya sehingga plat logam tersebut dapat menyebabkan distorsi dari gambar. Sebagai tambahan, pada beberapa kasus, CT mielografi dapat memberikan gambaran lebih jelas daripada MRI. CT mielografi memberikan hasil yang sama dengan MRI. Bedanya, pada CT mielogram, pasien mengalami radiasi, sedangkan pada MRI, pasien tidak mengalami radiasi. Pada CT mielogram juga lebih invasi karena kontras yang dimasukkan dapat menimbulkan ketidaknyamanan tersendiri sehingga pada sebagian besar kondisi, MRI lebih menjadi pilihan. CT mielografi paling sering digunakan untuk mendeteksi kelainan pada spinal cord, kanalis spinalis, dan radiks saraf serta pembuluh darah yang mensuplai spinal cord, termasuk untuk beberapa hal berikut ini. ~~ Untuk menunjukkan apakah herniasi dari diskus intervertebra menekan spinal cord atau radiks saraf. ~~ Menunjukkan kondisi yang sering menyertai degenerasi dari tulang dan jaringan lunak di sekitar kanalis spinalis (spinal stenosis– kanalis spinalis menyempit akibat jaringan di sekeliling mengalami pembesaran akibat adanya osteofit dan penebalan dari ligamen di sekitar). ~~ Adanya kelainan kongenital seperti meningocele (spina bifida), meningomielocele (penonjolan di bagian medula spinalis dan membran pembungkusnya) melalui tulang di kanal spinalis. Adanya kelainan ini ditutupi oleh membran transparan tipis yang dapat mengeras dan lembab. ~~ Untuk membantu mendeteksi arachnoiditis atau trauma pada jaringan saraf tulang belakang. CT mielografi juga dapat digunakan untuk mengakses kondisi berikut, yaitu suatu kondisi dimana teknik MRI tidak dapat dilakukan (atau sebagai tambahan dari MRI ketika MRI tidak dapat memberikan informasi yang cukup) yang meliputi: 102 Prosedur Pemeriksaan Radiologi • • • • 6.4 Tumor yang mengenai tulang belakang, meningens, radiks saraf atau spinal cord. Infeksi pada tulang belakang, diskus intervertebralis, meningens, dan jaringan lunak di sekeliling. Inflamasi membran arachnoid yang menutupi spinal cord. Lesi spinal yang disebabkan oleh penyakit atau trauma. Kontra Indikasi CT Mielografi Penggunaan pencitraan dengan CT mielografi dapat menimbulkan kontra indikasi, menimbulkan kerugian, dan memiliki keterbatasan seperti yang akan dijelaskan berikut ini. 6.4.1 Kontra Indikasi Penggunaan Imaging CT Mielografi Terdapat beberapa kontra indikasi yang harus diperhatikan pada pencitraan menggunakan CT mielografi ini yaitu pada kondisi berikut ini. ~~ Ibu hamil, karena hal ini dapat menyebabkan paparan radiasi yang dapat membahayakan janin sang ibu. ~~ Pemanjangan PT dan PTT (normal: 10–12 detik), trombosit di bawah 50.000. ~~ Terjadinya alergi kontras. 6.4.2 Kerugian Penggunaan Imaging CT Mielografi Sebuah teknologi selain mempunyai keunggulan, tapi di sisi lain terkadang juga dapat menimbulkan kerugian, tidak terkecuali pada penggunaan CT mielografi. Berikut ini merupakan beberapa kerugian yang ditimbulkan akibat penggunaan CT mielografi. ~~ Adanya paparan radiasi (pada penggunaan MRI, pasien tidak mengalami paparan radiasi). ~~ Menimbulkan nyeri kepala yang parah akibat leak cairan serebrospinal (biasanya mulai 2-3 hari setelah prosedur dikerjakan). ~~ Reaksi alergi terhadap kontras. ~~ Infeksi, perdarahan, maupun cidera saraf. Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi 103 6.4.3 Keterbatasan Penggunaan Imaging CT Mielografi Beberapa keterbatasan pencitraan menggunakan CT mielografi yaitu: ~~ Tidak dapat dikerjakan apabila sisi injeksi mengalami infeksi. ~~ Injeksi kontras akan sulit bila terdapat kelainan struktur tulang belakang. 6.5 Prosedur Pemeriksaan CT Mielografi Prosedur pelaksanaan CT mielografi terdiri atas tahap persiapan, pemeriksaan, dan perawatan pasca pelaksanaan. 6.5.1Persiapan Sebelum melakukan pemeriksaan, ada beberapa persiapan yang dilakukan, antara lain sebagai berikut. Terdapatnya surat persetujuan pelaksanaan CT mielografi. Menjelaskan history taking yaitu riwayat alergi, baik obat maupun non-obat, pengobatan yang sedang digunakan, penyakit yang sedang diderita dan past medical history, juga kehamilan. Beberapa obat perlu distop penggunaannya sebelum dilakukan mielogram, seperti yang dijelaskan berikut ini. Antihistamines Trimeprazine (Temaril) Haloperidol (Haldol) Lithium (Eskalith, Liothane) Methdilazine (Tracaryl) Chlorprothizene (Taractan) Tricyclic Antidepressants Thiothixene (Navane) Cyclobenzaprine (Flexeril) Perphenzaine (Trilafon) Desipramine (Norpramin) Imipramine (Tofranil) Nortriptyline (Aventyl, Pamelor) Doxepin (Sinequan, Adapin) Protriptyline (Vixactil) Presamine Trimipramine Meleate Surmontil Amoxapine (Asecdin) Antipsychotic Agents 104 Loxapine (Loxitane, Daxolin) Molindone (Moban, Lidone) Pain Medications Tramadol HCL (Ultram) Phenothiazines - Tranquilizers Chlorpromazine (Thorazine) Amitryptyline (Elavil, Etrafon, Endep) Phochlorperzaine (Compazine) Thiethylperazine (Torecan) Thiodazine (Quide) Acetophenazine (Tindal) Prosedur Pemeriksaan Radiologi Promazine (Sparine) Propiomazine (Largon) Fluphenazine (Stelazine) Fluphenazine (Proxilin) Methotrimeprazine (Levoprome) Thiorodazine (Mellaril) Anxiolytics Thiothixene (Navane) Perhenazine dan Amitriptyline (Triavil, Etrafon, Limbitrol) Triflupromazine (Vesprin) Mesoridazine (Serentil) Carphenazine (Proketazine) Butaperazine (Repoise) Other Promethazine (Phenergan) Sumber: http://www.medicalhealthtests.com Fasilitas minimal yang perlu dipersiapkan yaitu: 1. Peralatan radiografi/fluoroskopi yang mendukung. Meja radiografi yang dapat dinaikturunkan sampai minimal 30o. 2. Spinal needle yang adekuat dan kontras nonion yang sesuai untuk penggunaan intratechal. 3. Peralatan dan fasilitas yang sesuai untuk penanggulangan efek samping (kejang, reaksi vasovagal, kolaps kardiorespirasi). 4. CT scan yang sesuai. a b Sumber: (a) http://www.gmcimaging.org dan (b) http://www.envrad.com Gambar 6.1 (a) Peralatan CT scan dan (b) pelaksanaan mielografi. 6.5.2 Prosedur Pemeriksaan Berikut ini merupakan beberapa prosedur pemeriksaan CT mielografi. Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi 105 1. Pasien diposisikan secara prone di atas meja radiografi kemudian diletakkan bantal di bawah perut untuk membuat fleksi tulang belakang lumbal dan kulit tempat pungsi disterilisasi. 2. Dengan bantuan fluoroskopi, pada L2-L3 atau L3-L4 (dapat pula dikerjakan pada C1-C2), lokal anestesi diaplikasikan dengan spinal needle. Setelah mencapai rongga subarachnoid, cairan serebrospinal dapat diambil untuk diperiksakan bila perlu. Penusukan jarum melalui ligamen intraspinosum. Jarum harus muncul untuk menjadi gambaran titik yang diproyeksikan antara prosessus transversum pada AP fluoroskopi. Jarum dipegang oleh kedua tangan, satu jari telunjuk harus memegang stilet di tempat, sementara sisi yang lain harus di kulit. Tubuh tulang belakang lumbal Diskus intervertebral lumbal Cauda equine (saraf lumbal dan sakral) Saraf tulang belakang Konus Cauda equina Prosessus spinosus Ligamen interspinous Sumber: http://www.insideradiology.com.au Gambar 6.2 Penyuntikan CT mielografi dapat dilakukan pada L2-L3. 3. Kontras nonion kemudian dapat dimasukkan sebanyak 17 ml dengan konsentrasi 180 mg/dl atau 12 ml dengan konsentrasi 240 mg/dl untuk pemeriksaan lumbal. Sementara itu, sebanyak 10 ml dengan konsentrasi 300 mg/dl untuk pemeriksaan servikalis atau 106 Prosedur Pemeriksaan Radiologi basal sisterna. Secara umum, dosis total dari iodin tidak boleh melebihi 3 mg. 4. Sebelum jarum diambil, dapat diambil foto X-ray sebagai dokumentasi. 5. Jarum spinal diambil lalu pasien diposisikan dengan alat pengaman dan meja radiografi dapat dinaikturunkan. 6.Dengan fluoroskopi, sambil meja radiografi dinaikturunkan, dapat dilihat pengisian rongga subarachnoid dan gambaran spinal cord oleh kontras. 7. Untuk mielografi tulang belakang servikalis dan pada beberapa mielografi tulang belakang thorakalis, kepala dihiperekstensikan pada bagian leher sehingga posisi pasien menjadi lordosis dan setelah itu meja radiografi dinaikturunkan sampai kontras mengisi tempat yang diinginkan. 8. Jika diinginkan sisternografi, pasien kemudian diposisikan secara horisontal, kepala yang semula hiperekstensi diposisikan normal kembali (fleksi) secara perlahan-lahan. Sisternografi biasanya dikerjakan dengan menggunakan CT scan. 9. CT scan mielografi atau CT scan sisternografi dapat dikerjakan setelahnya. 6.5.3 Perawatan Pasca Pelaksanaan Setelah selesai, pasien diwajibkan untuk tirah baring dengan posisi kepala lebih di atas (head elevation) selama beberapa jam (head elevasi 30-45o), menghindari aktivitas berat, dan banyak minum air untuk mengeliminasi kontras. 6.6 Efek Samping CT Mielografi Komplikasi paling umum yang diakibatkan oleh mielografi adalah terjadinya reaksi meningeal, nyeri kepala, muntah, vertigo, dan sakit leher. Hal ini karena pengaruh dari hilangnya CSF akibat dari tusukan pada lapisan dura. Komplikasi ini dapat diminimalkan dengan menggunakan jarum kecil. Nyeri kepala yang tipikal setelah pungsi dapat dibedakan dari migrain atau jenis nyeri kepala dengan posisi tegak nyeri akan semakin memberat dan membaik secara spontan dalam posisi supinasi. Nyeri kepala ini memiliki onset segera setelah pungsi atau dalam beberapa jam. Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi 107 Komplikasi lainnya termasuk kerusakan saraf, meningitis, abses epidural, reaksi kontras, kebocoran CSF, atau perdarahan, termasuk kerusakan sumsum tulang belakang, seperti karena konus rendah atau kabel ditambatkan dengan pendekatan lumbar atau kerusakan kabel langsung dalam pendekatan serviks. Komplikasi lainnya termasuk kematian atau kelumpuhan dari kerusakan kabel akibat suntikan kontras ke kabel atau perdarahan dalam kabel dari kerusakan jarum. 6.7 Gambaran Radiologi CT Mielografi Berikut ini akan dijelaskan beberapa gambaran radiologi dari CT mielografi. a b Sumber: Chen, 2004 Gambar 6.3 Hasil foto CT scan: (a) mielogram lumbal normal dan (b) mielogram servikal proyeksi AP. Keterangan: (a) Perhatikan kontras putih yang mengisi sakus tekal. Akar saraf mudah teridentifikasi sebagai “negative defect” pada kontras (panah). (b) Sumsum tulang belakang (asterisk) dapat dilihat sebagai gambaran yang memiliki densitas yang rendah dalam kolom kontras. Akar saraf juga dapat terlihat pada gambar (panah). 108 Prosedur Pemeriksaan Radiologi a b Sumber: Chen, 2004 Gambar 6.4 (a) Gambaran CT normal pada tulang belakang: (a) soft tissue windows dan (b) bone window. Keterangan: ( a) A = aorta; D = diskus intervertebralis; N = foramen saraf; P = otot psoas; panah = ligamentum flavum; asterisk = sakus tekal. (b) Asterisk = kanalis spinalis; P = pedikel; B = korpus vertebrae; T = prosessus tranversus; F = sendi faset. Perhatikan detail tulang dan lingkar tipis tulang kortikal yang normal padat (panah). Berikut ini merupakan gambaran CT mielografi pada pasien dengan sakit kepala nontraumatik yang disertai kebocoran cairan serebrospinal. a b Sumber: Chen, 2004 Gambar 6.5 Hasil foto CT scan: (a) coronal refformated CT myelogram dan (b) sagittal refformated CT myelogram. Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi 109 Keterangan: (a) Menunjukkan adanya kumpulan cairan serebrospinal pada jaringan lunak di paravertebra sinistra posterior pada level T12. (b) Menunjukkan adanya agregasi kontras pada ruang subdural posterior. Berikut ini merupakan hasil CT scan mielogram pada pria berusia 57 tahun dengan kista meningeal ekstradural. Axial CT myelogram menunjukkan kista setinggi S1 sebelah kiri yang terisi dengan kontras. Perhatikan adanya persarafan yang menempel di dinding kista yang ditunjuk dengan tanda panah. Sumber: Davagnanam, 2013 Gambar 6.6 Hasil foto CT scan mielografi yang menunjukkan adanya kista meningeal ekstradural. Foto CT scan mielogram ini dimiliki oleh seorang pria berusia 47 tahun dengan kista meningeal ekstradural ganda. Oblique CT myelogram menunjukkan adanya kista perineurium multiple (tanda panah) yang membungkus radiks saraf sebelah kiri. 110 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Sumber: Davagnanam, 2013 Gambar 6.7 Hasil foto CT scan mielografi dengan kelainan kista meningeal ekstradural ganda. Berikut ini merupakan hasil foto CT scan mielografi dengan kista meningeal intradural pada laki-laki berusia 50 tahun. Lateral thoracic myelogram menunjukkan adanya masa intradural yang berbatas tegas (panah) yang tampak sebagai filling defect kontras pada columna spinalis. Kista kedua yang lebih kecil dapat dilihat secara inferior. Sumber: Davagnanam, 2013 Gambar 6.8 Hasil foto CT scan mielogram dengan kista meningeal intradural. Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi 111 Gambar berikut ini menunjukkan hasil foto CT scan mielogram dengan kelainan traumatic cervical pseudomeningocele pada lakilaki berusia 24 tahun.CT mielogram serial menunjukkan komponen pseudomeningocele intra spinal (arrowheads) dan ekstraspinal (arrow). Sumber: Davagnanam, 2013 Gambar 6.9 Hasil foto CT scan mielogram dengan kelainan traumatic cervical pseudomeningocele. Foto berikut ini menunjukkan gambaran tulang belakang servikalis mielografi pada pasien normal (posisi pronasi). Dengan kepala pasien terbaring, ada waktu yang cukup untuk mendapatkan gambar yang menunjukkan radiks saraf servikalis dengan sangat mendetail tanpa kehilangan kontras. Sumber: Fontaine,2002 Gambar 6.10 Hasil foto servikal mielografi pada pasien normal (posisi pronasi). 112 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Gambar berikut menunjukkan avulsi radiks servikal pada seseorang setelah kecelakaan motor. a b c Sumber: Kapur, 2009 Gambar 6.11 Hasil foto (a) CT mielografi menunjukkan adanya pseudoceles traumatic di C7-D1. (b) Irisan tipis (1,25 mm) CT mielografi dan (c) potongan koronal CT mielografi. Keterangan: ( a) Cabang-cabang radiksnya tidak dapat dibedakan. (b) dan (c) menunjukkan adanya avulsi komplit dari radiks ventral dan dorsal. Sumber: Kapur, 2009 Gambar 6.12 Hasil foto potongan aksial CT mielografi yang menunjukkan adanya stenosis kanal ringan karena osteofit korpus posterior. Bab 6 – Pemeriksaan Radiologi dengan CT Mielografi 113 Sumber: Kapur, 2009 Gambar 6.13 Hasil foto potongan aksial CT mielogram. Keterangan: Menunjukkan adanya stenosis kanal ringan, stenosis neurofora­ mina kiri, protursi diskus yang menekan serabut saraf, dan degenerasi sendi faset. INTISARI Mielografi atau mielogram adalah media diagnostik dengan kontras yang disuntikkan ke dalam cairan serebrospinal. Setelah disuntikkan, kontras akan mewarnai kanalis spinalis, korda spinalis, dan serabut saraf selama proses pencitraan. Ketika CT scan dan mielografi digabungkan maka akan tampak gambaran tulang dan jaringan saraf di daerah spinal. Salah satu kelebihan yang dimiliki CT mielografi dibandingkan MRI adalah sensitifitas yang tinggi terhadap masalah pada foramen karena dapat mendiferensiasi tulang dan jaringan lunak dengan baik. Pada CT mielogram, pasien mengalami radiasi, sedangkan pada MRI, pasien tidak mengalami radiasi. Kontra indikasi penggunaan CT mielografi antara lain berbahaya pada ibu hamil, pemanjangan PT dan PTT, dan terjadinya alergi kontras. Kerugian penggunaan CT mielografi antara lain terjadinya paparan radiasi, menimbulkan nyeri kepala yang parah, reaksi alergi, infeksi, perdarahan, maupun cidera saraf. Prosedur pelaksanaan CT mielografi terdiri atas tahap persiapan, pemeriksaan, dan perawatan pasca pelaksanaan. 114 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Bab 7 PEMERIKSAAN RADIOLOGI DENGAN MAGNETIC RESONANCE IMAGING S ecara prinsip, Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan imaging yang menggunakan bahan hidrogen dan interaksinya dengan kedua medan magnet eksternal dan gelombang radio untuk menghasilkan gambaran yang detail dari tubuh manusia. Pada awalnya, MRI dikenal dengan nama NMR, yang merupakan kepanjangan dari Nuclear Magnetic Resonance. Namun, nama ini akhirnya diubah karena konotasi negatif dari kata “nuklir”. Akan tetapi, pada dasarnya prinsip dasar keduanya adalah sama. Pada MRI, gambar diperoleh dari partikel nuklir (khususnya hidrogen). Selain itu, juga diperlukan medan magnet yang kuat. Kekuatan medan magnet yang digunakan untuk MRI terukur dalam unit Tesla. Satu Tesla setara dengan 10.000 Gauss. Medan magnet di bumi kurang lebih 0,5 Gauss. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa 1 Tesla mempunyai medan magnet kurang lebih 20.000 kali lebih kuat daripada medan magnet bumi. Medan magnet yang dihasilkan oleh alat ini akan memberikan instruksi pada proton yang ada di nukleus hidrogen. Pada keadaan normal, proton akan berada dalam arah atau letak yang acak. Namun, saat diberikan medan magnet maka proton akan menempatkan diri pada kutub medan magnet. Kemudian akan dikirimkan radio frekuensi yang akan menyebabkan vibrasi dari proton. Sinyal radio yang dihasilkan akan direkam dan direkonstruksi menjadi gambaran jaringan (Schild, H.H., 1990; Westbrook, 1998). Sumber: dokumen pribadi Gambar 7.1 Pemeriksaan MRI. 116 Prosedur Pemeriksaan Radiologi MRI merupakan metode pemeriksaan diagnostik yang menghasilkan gambaran potongan tubuh manusia dengan menggunakan medan magnet tanpa menggunakan sinar X. Prinsip dasar pemeriksaan ini adalah inti atom yang bergetar dalam medan magnet. Proton merupakan inti atom hidrogen yang memiliki daya magnet yang apabila ditembakkan dan berada pada medan magnet berfrekuansi tinggi maka proton tersebut akan bergetar dan bergerak searah secara berulang-ulang. Gerakan itulah yang ditangkap dan diproses komputer. Metode ini digunakan karena manusia memiliki konsentrasi atom hidrogen yang cukup tinggi (70%) dalam tubuhnya. Untuk menghasilkan gambar dari proton, minimum diperlukan tenaga medan magnet sebesar 0,064 Tesla sampai 3 Tesla (Brown, et all, 1995). 7.1 Prinsip Dasar MRI Bagaimana prosedur umum untuk melakukan pemeriksaan MRI? Berikut ini penjelasannya. 1. Pada awalnya, pasien diposisikan dalam scanner. 2. Medan magnetik pada scanner (biasanya 1 atau 1,5 Tesla) mensejajarkan proton di dalam tubuh pasien pada aksis longitudinal sejajar medan magnet. 3. Dikirimkan pulsa elektromagnetik ke dalam scanner sehingga menyebabkan reorientasi dari proton (biasanya 90° terhadap medan eksternal), selanjutnya pulsa dihentikan dan proton akan kembali relaks. 4. Pada saat proton sudah sejajar dan relaks maka dipancarkan signal radio frekuensi yang ditangkap oleh antena pada scanner. 5. Signal akan diproses menggunakan komputer dengan program software yang digunakan untuk menghasilkan gambar dari multiple organ pada potongan orthogonal (A. Jay Khanna,2002). Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging 117 Sistem MRI Koil magnetik Koil gradien Koil radio frekuensi Transmiter radio frekuensi Gradient power supply Penerima radio frekuensi Komputer Protokol Penampilan gambar melalui proses kontrol Keyboard operator Gambar 7.2 Sistem MRI. 7.2 Sumber: Chakeres, 1992 Teknik Pemilihan Sequence MRI Penentuan sequence pulsa berdasarkan indikasi klinis untuk pemeriksaan lebih lanjut kasus-kasus yang dikategorikan secara mayor misalnya penyakit degeneratif, trauma, dan tumor, baik yang disertai kompresi medula spinalis, metastase vertebrae, serta infeksi. Dengan manipulasi kekuatan dari pulsa radio frekuensi, seberapa sering pulsa dikeluarkan, dan berapa lama setelah energi pulsa dipancarkan hingga saat relaksasi yang terukur maka image dapat dibedakan menjadi T1WI, T2WI, STIR atau gradient echo untuk menentukan karakteristik dari jaringan. Berikut ini merupakan penjelasan masing-masing image. a. T1-weighted images, merupakan image yang paling baik digunakan untuk menilai anatomi, detail dari tulang, dan garis fraktur. b. T2-weighted images, image ini sensitif untuk menilai perubahan patologis pada jaringan, meliputi beberapa proses yang terjadi di 118 Prosedur Pemeriksaan Radiologi dalam sel dan matriks ekstra selular yang meningkat komponen cairannya. Selain itu, juga mempunyai efek yang baik pada mielografi. c. Fat-suppressed T2-weighted fast-spin-echo and STIR (short tau inversion recovery) images, image ini didesain untuk menghilangkan sinyal lemak dan menonjolkan cairan serta edema. Pulsa sequence ini paling sensitif untuk menilai perubahan patologis dan edema pada tulang dan jaringan lunak para spinal. Selain itu, juga dapat menunjukkan gambaran mielografik dengan sangat baik. STIR baik untuk menilai perubahan bone marrow pada kasus infeksi, inflamatori, dan neoplasma. Selain itu, STIR juga berguna untuk pasien trauma, untuk menilai injuri pada ligamentum dan adanya hemorrhage maupun edema. d. Gradient-recalled echo (GRE), image ini paling bermanfaat untuk mengevaluasi perubahan degeneratif, meliputi osteofit dan penyempitan foramen neuralis. Oleh karena itu, dibutuhkan potongan yang tipis. Selain itu, juga dapat digunakan untuk evaluasi perdarahan. Sequences ini juga digunakan utuk menggambarkan batas-batas tulang dan diskus intervertebralis, memberikan gambaran yang baik untuk membedakan antara medula spinalis dengan ruang subarachnoid di sekitarnya, serta dapat menggambarkan dengan jelas foramina neuralis dan serabut saraf yang keluar dari medula spinalis. Gradient-echo axial potongan aksial dapat digunakan untuk melihat tulang belakang servikalis dan thorakalis untuk mendeteksi adanya stenosis canalis spinalis. GRE kurang dapat diterima pada pasien dengan motion artefak. Meskipun sinyal terhadap artefak meningkat pada GRE, namun lemak terlihat hipointense pada GRE dibanding dengan T1WI sehingga sebagai hasilnya detail morfologi yang dibentuk oleh lemak tidak tergambar dengan baik pada GRE dibanding image spin echo. e. Imaging dengan penambahan kontras seharusnya digunakan pada indikasi evaluasi vertebrae post operatif, suspect infeksi, lesi intra dural dan non traumatik dari medula spinalis. Abnormalitas di dalam ruang epidural kadang tidak dapat dievaluasi pada pemeriksaan tanpa kontras dalam kasus metastase. Sementara itu, untuk mengetahui penyebab kompresi medula spinalis akan dapat dengan mudah dilihat dengan penambahan kontras. f. Proton density imaging dari tulang belakang tidak secara rutin dilakukan, tetapi dapat memberi keuntungan informasi mengenai Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging 119 struktur normal dan patologis dari morfologis tulang belakang (A. Jay Khanna, 2002; Gaurav Jindal, 2011). Berikut ini akan dijelaskan mengenai sekuen pulsa dasar untuk MRI pada tulang belakang leher. Tabel 7.1 Sekuen pulsa dasar untuk MRI pada tulang belakang leher Tipe Image Waktu Pengulangan Waktu Echo Air Keuntungan T1 Pendek Pendek Terang Lemak Gelap Menghasilkan detail anatomi yang baik, penerimaan cepat Sedikit untuk tampilan patologi/ edema Kerugian T2‑ Panjang Panjang Terang Terang Mempunyai tingkat sensitivitas yang sedang untuk patologi/ edema, bagus untuk efek mielografi Pengurangan detail jaringan lunak, memerlukan waktu Fat suppressed T2 atau STIR Panjang Pendek Sangat gelap Terang Sebagian besar sensitif untuk patologi/ edema, sangat baik untuk efek mielografi Pengurangan detail jaringan lunak, memerlukan waktu Gradien echo Pendek Pendek Intermediet Terang Evaluasi untuk tulang rawan, perubahan degeneratif, dan ligamen, sangat bagus untuk darah Sangat rentan pada artefak metalik (prostheses), efek yang berlebihan/ munculnya osteofit Sumber: A. Jay Khanna, et.all, 2001 Tabel 7.2 Intensitas sinyal MRI Jenis Jaringan Massa padat Kista Darah sub-akut Darah akut dan kronik Lemak 120 T2WI Terang Terang Terang Gelap Gelap PD/FLAIR Terang Gelap Terang Gelap Terang T1WI Gelap Gelap Terang Abu-abu Terang Prosedur Pemeriksaan Radiologi 7.3 Koil pada MRI Koil terdiri dari satu atau lebih kumparan kawat konduksi dan kumparan tersebut tampak mengelilingi inti dari koil. Koil merupakan perangkat keras pada mesin MRI yang digunakan untuk menghasilkan medan magnet atau untuk mendeteksi perubahan medan magnetik oleh induksi voltase dari kawat induksi. Koil biasanya secara fisik berupa antena kecil, dimana koil yang sempurna akan menghasilkan medan magnet yang seragam tanpa radiasi yang bermakna. Terdapat dua jenis tipe koil, yaitu koil gradien dan koil radio frekuensi (Chakeres, et all. 1992). Koil radio frekuensi Magnet utama Koil shim Koil gradien Koil radio frekuensi Sumber:Chakeres, 1992 Gambar 7.3 Koil yang terdapat pada MRI. Berikut ini akan dijelaskan beberapa koil yang terdapat pada MRI. 7.3.1 Koil Gradien Koil gradien digunakan untuk membangkitkan suatu medan magnet yang mempunyai fraksi-fraksi kecil terhadap medan magnet utama. Gradien digunakan untuk memvariasikan medan pada pusat magnet. Terdapat tiga medan yang saling tegak lurus antara ketiganya yaitu bidang x, y, dan z. Fungsinya berbeda-beda sesuai dengan irisan yang Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging 121 dipilih (aksial, sagital, atau koronal). Gradien ini digunakan sesuai dengan koordinat dimensi ruang: (a) Gz adalah gradien pemilihan irisan (slice selection), (b) Gy adalah gradien pemilihan fase (phase encode), (c) Gx adalah gradien pemilihan frekuensi (frequency encode) (Westbrook, 1998). Koil Y Koil Z Koil X Transceiver Pasien Sumber:http:// www.magnet.fsu.edu Gambar 7.4 MRI yang menggunakan koil gradien dengan ketiga medan yang saling tegak lurus. 7.3.2 Koil Radio Frekuensi Koil radio frekuensi yang umumnya digunakan adalah koil penerima dan koil pemancar-penerima (transceiver coil). Koil pemancar berfungsi memancarkan gelombang radio pada inti yang terlokalisir sehingga terjadi eksitasi. Koil penerima berfungsi untuk menerima sinyal output dari sistem setelah eksitasi terjadi (Westbrook, 1998). 7.4 Kontras Material pada MRI Kontras material adalah substansi kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk melihat anatomi dan fungsi dari daerah yang akan dicitrakan 122 Prosedur Pemeriksaan Radiologi dengan tujuan untuk memperjelas perbedaan antara berbagai jaringan yang berbeda atau antara jaringan yang normal dengan jaringan yang abnormal dengan mengubah waktu relaksasi. Kontras material pada MRI diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang berbeda dari waktu relaksasi setelah kontras tersebut diinjeksikan. ~~ Kontras material positif menyebabkan penurunan dari waktu relaksasi T1 (meningkatkan intensitas signal pada T2WI). Kontras ini akan terlihat hiperintensi pada MRI, terdiri dari senyawa dengan berat molekul kecil seperti bahan aktif gadolinium, mangan, dan besi. Semua elemen ini mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada kulit terluarnya dan memiliki waktu relaksasi yang panjang. Beberapa bahan kontras seperti gadopentetate dimeglumine, gadoteridol, dan gadoterate meglumine digunakan untuk pemeriksaan sistem saraf pusat dan keseluruhan anggota badan, sedangkan mangafodipir trisodium terutama digunakan untuk lesi di hepar dan untuk sistem saraf pusat. ~~ Bahan kontras negatif (terlihat dominan hipointense pada MRI) adalah sekumpulan partikel kecil yang disebut sebagai superparamagnetic iron oxide (SPIO). Bahan ini terutama menghasilkan efek relaksasi spin (medan lokal inhomogen) yang menghasilkan waktu relaksasi pendek pada T1 dan T2. Bahan kontras ini telah dievaluasi pada percobaan klinis multisenter untuk pemeriksaan kelenjar limfe pada MRI dan MR angiografi dengan dampak klinis yang masih diteliti. ~~ Kelompok kontras negatif yang istimewa (terlihat hipointense pada MRI) adalah perfluorokarbon (perfluorochemicals) karena keberadaannya menghilangkan atom hidrogen pada signal imaging MRI (Brown, et all, 1995). 7.5 Indikasi Pemeriksaan MRI Berikut ini merupakan beberapa indikasi pemeriksaan MRI pada tulang belakang. zz Untuk melihat anatomi dan deretan tulang belakang. zz Mendeteksi kelainan kongenital pada tulang belakang dan medula spinalis. zz Menilai masalah akibat penyakit yang mengenai diskus intervertebralis (degeneratif, herniasi) dan kelainan sendi intervertebralis. Keduanya merupakan penyebab tersering nyeri Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging 123 punggung dan sciatica (nyeri punggung yang menjalar hingga ke tungkai). zz Menilai progresifitas dari infeksi atau tumor pada daerah tulang belakang dan di sekitarnya serta melihat perluasannya pada tulang belakang, medula spinalis maupun jaringan di sekitarnya. zz Menilai penyebab kompresi pada medula spinalis dan saraf. zz Membantu perencanaan prosedur pembedahan, seperti pada kasus dekompresi saraf yang terjepit atau fusi spinal. zz Memantau perkembangan tulang belakang setelah tindakan operasi, seperti kemungkinan adanya infeksi dan bekas luka. zz Untuk memandu pada injeksi steroid dalam upaya meredakan nyeri punggung. zz Menyelidiki kemungkinan penyebab nyeri punggung, misalnya fraktur kompresi (Brown, et all., 1995; Jay Khanna, 2002). 7.6 Keuntungan dan Risiko Pemeriksaan MRI Penggunaan suatu teknologi, selain ada faktor yang meng­untungkan, biasanya ada sisi negatif lain yang ditimbulkan oleh alat tersebut, tidak terkecuali penggunaan MRI. Lalu, apakah keuntungan menggunakan MRI dan risiko apa yang ditimbulkannya? 7.6.1 Keuntungan Pemeriksaan MRI Berikut ini akan dijelaskan beberapa keuntungan penggunaan MRI. zz MRI merupakan pencitraan dengan menggunakan teknik yang non-invasif serta tidak menggunakan radiasi ionisasi. zz Gambaran yang diperoleh pada MRI tulang belakang terlihat lebih jelas dan lebih detail dibandingkan gambaran yang diperoleh apabila menggunakan metode imaging yang lain. Detailnya gambaran ini membuat MRI sangat bernilai dalam penegakan diagnosis dini serta evaluasi berbagaivmacam kondisi pada tulang belakang seperti kelainan kongenital, infeksi, tumor, maupun trauma. zz MRI sangat baik untuk mendeteksi saraf. zz MRI dapat digunakan untuk menemukan kelainan yang mungkin tertutup oleh gambaran tulang pada pemeriksaan imaging yang lain. zz Kontras material yang digunakan pada pemeriksaan MRI kemungkinan lebih kecil mengakibatkan reaksi alergi jika 124 Prosedur Pemeriksaan Radiologi dibandingkan dengan kontras material iodin untuk pemeriksaan foto polos maupun CT scan. zz MRI sangat berguna untuk mengevaluasi cedera pada medula spinalis, terutama sangat membantu untuk penegakan diagnosis kompresi akut pada medula spinalis ketika temuan klinis menunjukkan adanya paralisis. zz MRI dapat mendeteksi secara dini temuan kecil pada kolumna vertebralis yang mungkin menunjukkan stadium awal dari infeksi atau tumor. Prosedur ini lebih sensitif dibandingkan CT scan untuk mengevaluasi tumor, abses, dan massa jaringan lunak di sekitar medula spinalis. zz MRI merupakan teknik pencitraan pilihan untuk mengevaluasi kemungkinan komplikasi akibat pembedahan yang meliputi perdarahan, jaringan parut, infeksi, dan gambaran terjadinya herniasi kembali dari diskus intervertebralis (Brown, et al., 1995; Jay Khanna, 2002). Lumbar discitis Kanal tulang belakang Infeksi Tulang belakang Sumber: http://www.orthopediatrics.com Gambar 7.5 Dengan adanya MRI, maka adanya infeksi dapat dideteksi secara dini. Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging 125 7.6.2 Risiko Pemeriksaan MRI Pada dasarnya, hampir tidak ada risiko pada pemeriksaan MRI jika pelaksanaannya telah mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Namun, ada beberapa kemungkinan yang merugikan akibat dilaku­ kannya prosedur ini antara lain karena pemeriksaan MRI ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Dengan demikian, pada pasien yang tidak kooperatif dan pasien anak yang tidak bisa diam dalam waktu yang lama maka dibutuhkan sedasi. Apabila digunakan sedasi masih mungkin muncul efek akibat penggunaan obat-obat anestesi tersebut, maka harus selalu dilakukan monitoring tanda-tanda vital untuk meminimalisasi risiko. MRI menggunakan medan magnetik kuat sehingga penggunaan benda-benda logam yang bersifat feromagnetik harus ditanggalkan dan pada pasien yang menggunakan alat implantasi medis berbahan logam di dalam tubuhnya juga merupakan kontra indikasi dari pemeriksaan ini. Hal ini dapat menimbulkan gangguan fungsi dari alat implantasi tersebut dan juga gangguan pada gambaran MRI-nya karena dapat menimbulkan artefak. Pada pemeriksaan MRI untuk kasus-kasus tertentu juga dibutuhkan penggunaan kontras gadolinium untuk lebih memperjelas adanya kemungkinan kelainan patologis (Chakeres, et al., 1992). Sumber: http://bdl.uoregon.edu Gambar 7.6 MRI yang berbentuk kastil ini dibuat untuk menciptakan suasana nyaman bagi anak. 126 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Pada pasien dengan riwayat alergi, ketika diinjeksikan kontras material maka dapat muncul reaksi alergi dengan berbagai variasi gejala mulai dari ringan yang dapat dengan mudah dikontrol dengan pemberian pengobatan hingga reaksi alergi berat yang dapat menimbulkan shok anafilaktik. Selain itu, pemberian kontras material juga dapat menyebabkan gangguan nefrogenik, terutama pada pasienpasien dengan fungsi ginjal yang menurun. Pemberian kontras pada ibu menyusui menurut American College of Radiology (ACR) dan European Society of Urogenital Radiology dianggap aman dan diperbolehkan untuk melanjutkan memberikan ASI kepada bayi setelah pemberian kontras gadolinium (Brown, et al., 1995). 7.7 Gambaran Normal Tulang Belakang pada MRI Pada magnetic resonance images (MRI) untuk mengevaluasi segmen tulang belakang servikalis, thorakalis, atau lumbosakral maka diperlukan khususnya potongan aksial dan sagital. Hal itu dikarenakan jika hanya dibaca pada satu potongan saja maka dapat menghasilkan bacaan dengan hasil yang misinterpretasi. Sebagai tambahan maka diperlukan juga potongan koronal, terutama pada pasien-pasien dengan skoliosis tulang belakang (Gaurav Jindal, 2011). Gambaran T1WI dari struktur tulang belakang kortikal mempunyai intensitas signal rendah dan terlihat kontras dibandingkan dengan intensitas signal bone marrow yang terlihat mempunyai intensitas signal tinggi. Hal ini menunjukkan adanya lemak pada medula tulang. Bone marrow mempunyai intensitas signal intermediat pada T2WI. Cairan serebrospinal dan korteks dari tulang biasanya sulit untuk dibedakan satu sama lain pada T1WI spinecho (SE), dimana pada T2WI korteks dari tulang dan cairan serebrospinal pada ruang sub-arachnoid dapat dengan mudah dipisahkan. Daerah dengan intensitas signal tinggi pada T1WI dari korpus tulang belakang terkadang dapat dilihat pada seluruh tulang belakang sebagai variasi normal. Selain itu, variasi normal yang lain adalah adanya cupid’s bow yang terlihat sebagai peningkatan konkavsitas dari end plate, biasanya pada corpus vertebrae lumbal. Kanalis spinalis terdiri dari ruang epidural, dural sac, ruang sub-arachnoid, medula spinalis, dan cauda equine. Pada T1WI, lemak Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging 127 pada ruang epidural terlihat mudah dibedakan dengan tulang kortikal dari korpus tulang belakang dan dengan intensitas signal rendah vena pada lemak epidural. Sendi faset pada tulang belakang menunjukkan bermacam-macam penampakan dan orientasinya tergantung pada level dari tulang belakang. Permukaan superior dan inferior sendi artikularis dilapisi tulang rawan hialin yang terlihat hiperintense pada T2WI dan terutama berbatasan secara tegas terhadap struktur tulang dengan gradient-echo (GE) imaging (Pierre-Jerome C., 2000). Berikut ini akan dijelaskan karakteristik beberapa jaringan pada pemeriksaan MRI. Tabel 7.3 Karakteristik beberapa jaringan pada pemeriksaan MRI Tipe Jaringan T1 T2 STIR Gradient Echo Tulang kortikol Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah Sumsum merah Intermediet Intermediet Intermediet Intermediet Sumsum kuning Tinggi Tinggi Rendah Intermediet Saraf tulang belakang Intermediet Intermediet Intermediet Intermediet Cairan serebrospinal Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Intermediet Diskus Intermediet intervertebral Lemak Tinggi Tinggi Rendah Otot Intermediet Intermediet Rendah/Intermediet Intermediet Ligamen Rendah Rendah Rendah Rendah Bekas luka fiseal Rendah Rendah Rendah Rendah Sumber: A. Jay Khanna, et.all., 2001 7.7.1 Gambaran MRI Tulang Belakang Servikalis Berikut ini merupakan hasil foto MRI pada beberapa tulang belakang servikalis. 128 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Sumber: Jindal, 2011 Gambar 7.7 Potongan sagital T2WI tulang belakang servikalis. Keterangan: ( 1) Clivus, (2) ligamen atlanto oksipital, (3) ligamen anterior longitudinal, (4) arkus anterior C1, (5) superior fascicle ligamentum cruciform/tectorial membrane, (6) ligamen apikal, (7) ligamen transversum (ligament cruciform), (8) arkus posterior C1, (9) membran occipital-atlantal posterior, (10) ligamen nuchal, (11) otot semispinalis kapitis, (12) medula spinalis servikalis, (13) ligamen longitudinal posterior/anterior thecal sac dura, (14) dural sac posterior, (15) ligamen interspinosus, (16) gray matter sepanjang kanalis spinalis, (17) ligamen supraspinosus, (18) ligamentum flavum (19) dental sinkondrosis (disc anlage). Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging 129 Sumber: Jindal, 2011 Gambar 7.8 Potongan aksial T2WI tulang belakang servikalis. Keterangan: (1) Uncinate process C7, (2) prosesus artikular superior, (3) sendi faset apofiseal, (4) prosesus artikular inferior, (5) vena foraminal, (6) ligamentum flavum/lamina korteks, (7) dorsal rootlet C7 , (8) sendi unkovertebral, (9) ventral rootlet C7. Sumber: Jindal, 2011 Gambar 7.9 Potongan aksial T2WI tulang belakang servikalis tengah. Keterangan: (1) Ganglion akar dorsal, (2) arteri tulang belakang, (3) ligamen longitudinal posterior/anterior thecal sac dura, (4) otot longus colli, (5) vena jugular internal, (6) dorsal rootlet, (7) lamina, (8) otot stemocleidomastoid, (9) otot kapitis longisimus, (10) otot 130 Prosedur Pemeriksaan Radiologi levator skapula, (11) otot semispinalis colli, (12) otot kapitis semispinalis, (13) otot kapitis splenius, (14) otot trapezius, (15) ligamen nuchal. 7.7.2 Gambaran MRI Tulang Belakang Thorakalis Berikut ini merupakan hasil foto MRI pada beberapa tulang belakang thorakalis. Sumber: Jindal, 2011 Gambar 7.10 Potongan sagital T1WI tulang belakang thorakalis. Keterangan: (1) Medula spinalis toraks, (2) ruang sub-arachnoid, (3) lemak epidural posterior, (4) ligamentum flavum, (5) otot transversospinalis (multifidus), (6) prosessus spinosus, (7) vena epidural, (8) ligamentum supraspinatus. Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging 131 Sumber: Jindal,2011 Gambar 7.11 Potongan aksial T2WI tulang belakang thorakalis. Keterangan: (1) Sendi kostovertebral, (2) head costae, (3) flavum, (4) pedikel, (5) lamina, (6) prosessus (7) prosessus spinosus, (8) sendi costotransverse, costae, (10) vena hemiazigous, (11) ligamentum posterior. ligamentum transversus, (9) tubercle longitudinal 7.7.3 Gambaran MRI Tulang Belakang Lumbal Berikut ini merupakan hasil foto MRI pada beberapa tulang belakang lumbal. a b Sumber: Jindal, 2011 Gambar 7.12 Potongan midsagital tulang belakang lumbal. 132 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Keterangan: (a) T1 weighted fast spin echo(TR/TE: 500/12). (b) T2 weighted inversion recovery (TR/TE/TI: 2000/70/150). (1) Medula spinalis, (2) konus medularis, (3) ligamentum longitudinal anterior, (4) ligamentum flavum, (5) posterior epidural fat space, (6) anterior epidural fat space, (7) intranuclear cleft, (8) vena basivertebral, (9) anulus fibrosus, (10) nukleus pulposus. Sumber: Jindal, 2011 Gambar 7.13 Potongan parasagital T1WI tulang belakang lumbal. Keterangan: (1) Vena lumbaris, (2) arteri lumbaris, (3) vena inferior foraminal, (4) dorsal root ganglia, (5) vena foraminal superior, (6) sendi faset (7) musculus transversospinalis (multifidis), (8) kelompok musculus erector spinal, (9) fascia thoracolumbar, lapisan posterior. Sumber: Jindal, 2011 Gambar 7.14 Potongan sagital T1WI tulang belakang lumbal. Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging 133 Keterangan: (1) Medula spinalis, (2) konus medularis, (3) cauda equine, (4) ruang subarachnoid, (5) lemak posterior epidural, (6) ligamen­ tum flavum, (7) ligamen interspinosus, (8) ligamentum supra­ spinosus, (9) plexus venosus basivertebral,(10) plexus venosus epidural, (11) lemak epidural anterior, dan (12) aorta. Sumber: Jindal, 2011 Gambar 7.15 Potongan aksial T1WI tulang belakang lumbal pada L5‑S1. Keterangan: (1) Muskulus psoas, (2) serabut saraf L5 ramus ventral, (3) serabut saraf L5 ramus dorsal, (4) ligamentum flavum, (5) ruang sub-arachnoid, (6) serabut saraf cauda equine, (7) sendi faset, (8) ligamentum iliolumbal, (9) vena iliaka eksterna kiri, (10) arteri iliaka eksterna kiri, (11) arteri iliaka eksterna kanan, (12) vena iliaka eksterna kanan, (13) musculus transversospinalis, (14) kelompok musculus erector spina. 134 Prosedur Pemeriksaan Radiologi INTISARI Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan imaging yang menggunakan bahan hidrogen dan interaksinya dengan kedua medan magnet eksternal dan gelombang radio untuk menghasilkan gambaran yang detail dari tubuh manusia. Dengan manipulasi kekuatan dari pulsa radio frekuensi, seberapa sering pulsa dikeluarkan, dan berapa lama setelah energi pulsa dipancarkan hingga saat relaksasi yang terukur maka image dapat dibedakan menjadi T1WI, T2WI, STIR atau gradient echo untuk menentukan karakteristik dari jaringan. Koil merupakan perangkat keras pada mesin MRI yang digunakan untuk menghasilkan medan magnet atau untuk mendeteksi perubahan medan magnetik oleh induksi voltase dari kawat induksi. Terdapat dua jenis tipe koil, yaitu koil gradien dan koil radio frekuensi. Kontras material adalah substansi kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk melihat anatomi dan fungsi dari daerah yang akan dicitrakan dengan tujuan untuk memperjelas perbedaan antara berbagai jaringan yang berbeda atau antara jaringan yang normal dengan jaringan yang abnormal dengan mengubah waktu relaksasi. Beberapa indikasi pemeriksaan MRI pada tulang belakang: • Untuk melihat anatomi dan deretan tulang belakang. • Mendeteksi kelainan kongenital pada tulang belakang dan medula spinalis, dan lain sebagainya. Gambaran yang diperoleh pada MRI tulang belakang terlihat lebih jelas dan lebih detail dibandingkan gambaran yang diperoleh apabila menggunakan metode imaging yang lain dan sangat baik untuk mendeteksi saraf. Beberapa kerugian penggunaan MRI yaitu memerlukan waktu yang lebih lama, dapat muncul reaksi alergi, dan lain sebagainya. Bab 7 – Pemeriksaan Radiologi dengan Magnetic Resonance Imaging 135 Bab 8 KEDOKTERAN NUKLIR B erbicara mengenai teknologi nuklir, yang terbayang adalah sesuatu yang mengerikan. Itulah anggapan kita secara umum mengenai teknologi yang satu ini. Akan tetapi, jika kita manfaatkan untuk sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk orang banyak, hal itu tidak ada salahnya dengan catatan semua harus dilakukan sesuai dengan prosedur dan aturan yang sesuai. Tahukah Anda jika teknologi nuklir juga dapat dimanfaatkan dalam bidang kedokteran, khususnya bidang radiologi? Berikut ini penjelasannya. 8.1 Prinsip Dasar Kedokteran Nuklir Kedokteran nuklir adalah bidang kedokteran yang memanfaatkan materi radioaktif untuk menegakkan diagnosis dan mengobati penderita serta mempelajari penyakit manusia. Secara lengkap definisi kedokteran nuklir menurut WHO adalah ilmu kedokteran yang dalam kegiatannya menggunakan sumber radiasi terbuka (“unsealed’) baik untuk tujuan diagnosa, maupun untuk pengobatan penyakit (terapi), atau dalam penelitian kedokteran. Bidang kedokteran nuklir dapat diibaratkan sebagai sebuah segitiga dengan radiofarmaka, instrumen, dan masalah biomedik sebagai sisi-sisinya serta penderita berada di tengahnya. Instrumen tersebut merupakan alat detektor yang dapat mengubah sinar gamma menjadi sebuah data yang dapat dinilai, berupa angka, Sumber: http://www.ina-snm.com Gambar 8.1 Pencitraan diagnostik dengan menggunakan teknologi nuklir. 138 Prosedur Pemeriksaan Radiologi scanning, dan grafik. Untuk menilai keadaan tubuh maka organ tersebut harus dijadikan sumber radiasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu senyawa yang mengandung radioaktif yang dapat ditangkap oleh organ tubuh tersebut secara selektif. Senyawa inilah yang disebut radiofarmaka yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan atau dengan cara ditelan, tapi tidak ikut dalam metabolisme tubuh. Beberapa syarat radiofarmaka yaitu menggunakan radionuklida yang mempunyai waktu paruh singkat (radiasi minimal) dan dengan mono energi foton (sinar gamma), tidak mengganggu fungsi metabolisme, tidak bersifat toksik terhadap tubuh manusia dan cepat diekskresikan keluar tubuh. Data imaging (pencitraan) diagnostik organ digunakan untuk menentukan besar/luas, bentuk, letak organ beserta kelainannya. Pada pencitraan diagnostik tulang, memakai bahan campuran technetium phosphate (Tc-99m) yang diinjeksikan melalui intravena 10-15mCi. Setelah 3-4 jam kemudian, dilakukan pemeriksaan scanning tulang setelah penderita buang air kecil. Pada pemeriksaan ini digunakan kamera gamma dengan energi rendah, kolimator pararel dan window 25-30 %. Setiap pencitraan, mencatat paling sedikit 100.000 counts. Pemeriksaan radiologi dibuat di daerah yang Aktivitasnya meningkat secara abnormal. Scanning positif, bila Aktivitas di tulang panjang dan tulang belakang tidak simetris atau tidak seragam. Kenaikan aktivitas selalu berhubungan dengan luasnya lesi. Kedokteran nuklir mencakup pemasukan radioisotop ke dalam tubuh pasien (studi in-vivo) dan dapat pula dengan mereaksikannya dengan bahan biologis seperti darah, cairan lambung, urin, dan sebagainya, yang berasal dari tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro (dalam tabung percobaan). Secara umum, bidang kedokteran nuklir dapat digolongkan dalam empat jenis kegiatan yaitu: 1. Pemeriksaan radioaktivitas secara eksternal in-vivo setelah pemberian radionuklida secara internal. Pada studi in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau dihirup lewat hidung maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat berupa: Bab 8 – Kedokteran Nuklir 139 • citra atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan peralatan kamera gamma ataupun kamera positron (teknik imaging), • grafik atau skala yang menunjukkan akumulasi maupun intensitas radioisotop, • sampel dari tubuh pasien yang mengandung radioisotop seperti darah atau urin, untuk dicacah (teknik non-imaging). 2. Pengukuran radioaktivitas secara in-vitro dalam eluat hasil ekskresi setelah pemberian radionuklida seperti studi absorpsi vitamin, studi kandungan air dalam tubuh secara total (total body water), studi metabolisme dan aplikasi bidang hematologi, 3. Pemeriksaan in-vitro 4. Terapi dengan radioisotop, misalnya pemberian iodium aktif untuk penyembuhan panyakit kanker tiroid. 8.2 Sejarah Kedokteran Nuklir Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran dimulai tahun 1901 oleh Henri Danlos yang menggunakan radium untuk pengobatan penyakit TBC kulit. Namun yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C. De Havessy yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan zat radioaktif. Waktu itu, yang digunakan adalah radioisotop alam Pb-212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan maka radioisotop alam tidak lagi digunakan. Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran nuklir adalah I-131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc‑99m, selain karena sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah, serta harganya relatif murah. Namun demikian, I-131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid. 8.3 Radiofarmaka Radiofarmaka merupakan sediaan farmasi dalam bentuk senyawa kimia yang mengandung radioisotop yang diberikan pada kegiatan kedokteran nuklir. Sediaan radiofarmaka pada umumnya terdiri atas 2 komponen yaitu radioisotop dan bahan pembawa menuju ke organ 140 Prosedur Pemeriksaan Radiologi target. Pancaran radiasi dari radioisotop pada organ target itulah yang akan dicacah oleh detektor (gamma kamera) untuk direkonstruksi menjadi citra ataupun grafik intensitas radiasi. Sumber: http://www.eeae.gr Gambar 8.2 Senyawa radioaktif yang digunakan dalam kedokteran nuklir. 8.3.1 Syarat Senyawa Radioaktif Syarat senyawa radioaktif untuk tujuan diagnosa antara lain: a) murni satu nuklida saja, b) murni secara radiokimia, c) pemancar sinar-gamma energi tunggal yang besarnya berkisar antara 100-400 KeV, d) stabil dalam bentuk senyawa, dan e) waktu paruh biologis pendek. Beberapa contoh sediaan radiofarmaka antara lain Brom Sufatein I-131 (BSP), Hipuran I-131, Radio Iodinated Human Serum Albumin (RIHSA), Rose Bengal I-131, Tc-99m dalam bentuk senyawa Natrium Perteknetat, Thalium-201, Galium-68. Beberapa contoh radiofarmaka untuk terapi antara lain I-131, Bi-212, Y-90, Cu-67, Pd-109. Radiofarmaka yang banyak dipakai untuk keperluan tes in-vitro adalah I-125. Bab 8 – Kedokteran Nuklir 141 8.3.2 Klasifikasi Produksi Sediaan Radiofarmaka Produksi sediaan radiofarmaka dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis seperti berikut ini. 1. Radioisotop primer medikal yaitu radioisotop dalam bentuk kimia yang sederhana (biasanya anorganik). Diproduksi dengan cara mengiradiasi atom sasaran dalam reaktor nuklir atau dalam siklotron. 2. Senyawa bertanda medikal yaitu senyawa yang salah satu atau lebih dari atom atau gugusnya digantikan dengan atom unsur radioisotop. 3. Generator radioisotop, untuk mendapatkan radioisotop umur pendek pada lokasi yang jauh dari tempat produksi radioisotop terutama bagi rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas reaktor nuklir maka diciptakanlah generator radioisotop. Generator radioisotop adalah suatu sistem yang terdiri atas dua macam radioisotop yaitu radioisotop induk dan radioisotop anak yang keduanya membentuk pasangan kesetimbangan radioaktif. Radioisotop induk memiliki waktu paruh yang lebih panjang daripada waktu paruh radioisotop anak. Radioisotop anak digunakan untuk keperluan diagnostik maupun terapi. 4. Kit radiofarmaka adalah sediaan non-radioaktif yang terdiri atas beberapa senyawa kimia yang akan ditandai dengan radioisotop untuk menjadi sediaan radiofarmaka. Radioisotop yang paling banyak digunakan adalah Technitium‑99m (Tc-99m) karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu : a) waktu paruh pendek (6,03 jam), b) memancarkan gamma murni dengan energi 140 kev, c) mempunyai tingkat valensi 1 sampai 7 sehingga mudah bereaksi dengan senyawa lain, dan d) dapat diperoleh dengan cara elusi generator radioisotop. Oleh karena itu, sediaan radiofarmaka yang berkem­bang sampai saat ini adalah sediaan radiofarmaka Technitium yang disiapkan dalam bentuk kit radiofarmaka, sedangkan Tc-99m dapat diperoleh dengan elusi generator. 142 Prosedur Pemeriksaan Radiologi 8.3.3 Mekanisme Penempatan Radiofarmaka Dalam Tubuh Mekanisme penempatan radiofarmaka dalam tubuh dapat dilakukan sebagai berikut. 1. Active transport Secara aktif sel-sel organ tubuh memindahkan radiofarmaka dari darah ke dalam organ tertentu, selanjutnya mengikuti proses metabolisme atau dikeluarkan dari tubuh. Contoh: I-131 akan ditransfer ke sel-sel tiroid untuk pembuatan T3 dan T4, Tc-99m IDA dan I-131 Rose Bengal oleh sel poligonal hati ditransfer dari darah kemudian diekskresi ke usus halus, lewat saluran empedu, I-131 Hippuran diekskresi oleh tubulus sehingga dapat digunakan untuk pemeriksaan ginjal. 2. Phagocytosis Beberapa radionuklida seperti Tc-99m, In-113m atau Au-198 jika diikat oleh pembawa materi berbentuk ”koloid” maka radiofarmaka ini akan difagosit oleh RES tubuh. Bila radiofarmaka ini disuntikkan secara intravena maka dapat memeriksa scanning hati, limpa, dan sumsum tulang, jika disuntikkan secara subkutan untuk memeriksa kelenjar getah bening. 3. Cell sequestration (pengasingan sel) Sel darah merah yang ditandai Cr-51 dan dipanaskan sampai 50° celcius selama 1 menit, lalu dimasukkan ke tubuh penderita secara intravena kemudian akan diasingkan ke limpa untuk pemeriksaan scanning limpa. 4. Capillary blockage (penghalang kapiler) Bila pembawa materi berbentuk makrokoloid (dengan ukuran 2030 mikron) dan disuntikkan secara intravena maka akan menjadi penghalang kapiler di paru-paru. Contoh; Tc-99m MAA untuk scanning perfusi hati. 5. Simple or exchanged diffusion (pertukaran difus) Radiofarmaka tersebut akan saling bertukar tempat dengan senyawa yang sama dari organ tubuh. Contohnya Polifosfat bertanda Tc-99m (Tc-99m MDP) akan bertukar tempat dengan senyawa polifosfat tulang dan dalam jangka waktu 2-4 jam Tc-99m MDP akan merata dalam tulang, pemeriksaan untuk mendeteksi lesi otak dengan RIHSA dan cairan interselluler otak. Bab 8 – Kedokteran Nuklir 143 6. Compartmental localization (kompartemental) Bila radiofarmaka dapat menggambarkan blood pool karena keberadaannya yang cukup lama dalam darah maka ikatan ini dapat dipakai untuk scanning jantung dan plasenta (ventrikulografi dan plasentografi). Contohnya RIHSA untuk pemeriksaan plasenta, Cr‑51 eritrosit, Tc-99m Sn eritrosit untuk ventrikulografi jantung. 8.3.4 Faktor Pemilihan Radiofarmaka Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih radiofarmaka untuk pemeriksaan antara lain sebagai berikut. 1. Jenis peluruhan radiasi Untuk keperluan pemeriksaan eksternal in-vivo, sinar-gamma dengan energi 100-500 kev sangat ideal. Karena radiasi dengan energi lebih besar dari 500 kev akan mampu menembus pelindung dan sekat-sekat pada kolimator sehingga terjadi penurunan spatial resolution. Sementara itu, dengan energi sangat kecil (lebih kecil 20 kev) banyak penyerapan foton oleh jaringan sebelum mencapai detektor. Dengan demikian, sinar gamma murni tanpa radiasi partikellah yang dibutuhkan untuk diagnostik kedokteran nuklir. 2. Waktu paruh Waktu paruh meliputi waktu paruh fisik, waktu paruh biologis dan waktu paruh efektif. Waktu paruh fisik yaitu waktu yang diperlukan zat radioaktif untuk mencapai aktivitas setengah dari aktivitas mula-mula. Waktu paruh biologis yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan setengah radionuklida murni dari suatu organ tubuh. Sementara itu, waktu paruh efektif yaitu waktu yang diperlukan setengah zat yang telah dimasukkan ke dalam tubuh. 3. Biological behaviour Biological behaviour menyangkut perlakuan organ tubuh terhadap radiofarmaka tersebut sehingga penting untuk menentukan paparan radiasi dari suatu organ atau untuk mendapatkan hasil interpretasi. Selain itu, dengan mengetahui biological behaviour maka kita dapat memperkirakan ekskresi suatu radiofarmaka. 4. Aktivitas tertentu (The specific activity) Aktivitas tertentu yaitu bagian radiofarmaka yang berperan memberikan foton yang penting untuk pendeteksian. Hal ini 144 Prosedur Pemeriksaan Radiologi disebabkan dalam suatu materi dapat ditemui bagian yang bersifat non-radioaktif yang dapat merugikan. 5. Jenis instrumen Berbagai jenis peralatan kedokteran nuklir sengaja didesain hanya untuk radioisotop yang memiliki energi tertentu. 8.3.5 Deteksi Radioisotop Deteksi radioisotop dapat dibagi dalam 5 kategori seperti berikut ini. 1. Delution, absorption, dan excretion sudies Bila penderita disuntikkan sejumlah radiofarmaka yang telah diketahui jumlahnya maka delution yang terjadi atau persentase absorsi atau kapan diekskresi dapat ditentukan melalui sampel darah, urin, feses, dan lain-lain. 2. Concentration sudies Bila suatu radiofarmaka diberikan pada seorang pasien kemudian diukur berapa persen yang ditangkap suatu organ, misal thyroid up-take. 3. Dinamic function study Suatu radiofarmaka dipelajari saat mencapai atau meninggalkan suatu organ. Misalnya pada pemeriksaan cerebral blood flow, renogram. 4. Sistem organ atau pool visualization Setelah radiofarmaka dimasukkan ke dalam tubuh pasien maka distribusinya akan tersaji dalam bentuk gambar. Misalnya pada pemeriksaan scanning otak, cardiac blood pool, dan bone scan. 5. In vitro test Radiofarmaka dicampur dengan sampel penderita, misalnya pada pemeriksaan T3 x T4. Ada 2 macam gambaran yang diperoleh dari hasil scanning yaitu berikut ini. 1. Hot area, artinya daerah abnormal yang menunjukkan kenaikan up take (distribusi yang berlebihan) radiofarmaka. Contohnya bone scanning tulang dan scanning otak. 2. Pada keadaan dimana radiofarmaka diikat oleh organ tubuh yang normal sehingga pada keadaan abnormal timbul penurunan aktivitas atau cold area. Contohnya scanning hati dan tiroid. Bab 8 – Kedokteran Nuklir 145 8.4 Instrumentasi Kedokteran Nuklir Beberapa komponen atau instrumen yang diperlukan untuk kedokteran nuklir antara lain seperti yang akan dijelaskan berikut ini. 1. Stationary probe Stationary probe biasanya diperlukan untuk pemeriksaan tes konsentrasi pada organ maupun dinamic test. Data yang diperoleh berupa count per unit waktu atau waktu yang dibutuhkan untuk sejumlah count tertentu. 2. Well counter Prinsip kerjanya sama dengan stationary probe yaitu berupa count per waktu, tetapi hanya dikhususkan untuk menghitung dari sampel berupa urin, darah, feses, dan lain-lain (in-vitro test). 3. Scanner Scanner menghasilkan gambar 2 dimensi dari distribusi radio­ farmaka dalam suatu organ. Scanner dapat juga digunakan untuk menilai pada pemeriksaan-pemeriksaan konsentrasi, delution, ekskresi, dan absorbsi. Scanning berupa gerakan maju mundur melalui daerah yang diinginkan sehingga menghasilkan gambar yang tersusun dari garis-garis atau titik-titik. Ukuran dan jumlah kristal detektor NaI menentukan hasil dan kecepatan scanner. Semakin banyak detektor atau semakin besar ukuran kristalnya, hasilnya semakin baik dan waktu scanning semakin cepat. 4. Kamera Kamera yaitu alat pencitraan yang dapat menyajikan gambar tanpa menggerakkan detektor. 146 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Sumber: http://www.docstoc.com Gambar 8.3 Beberapa instrumen yang diperlukan dalam kedokteran nuklir. 8.5 Bone Scintigraphy (Sidik Tulang) Pada tulang belakang, pemeriksaan kedokteran nuklir yang dilakukan adalah bone scintigraphy (sidik tulang). Sidik tulang adalah pemeriksaan menggunakan radiofarmaka untuk memperlihatkan atau mengidentifikasi abnormalitas yang terjadi pada tulang-tulang di dalam tubuh. 8.5.1 Indikasi Sidik Tulang Beberapa indikasi sidik tulang yaitu: zz zz zz zz zz zz zz Metastasis pada tulang Tumor tulang primer Osteomielitis Nekrosis aseptik Trauma Kelainan sendi Penyakit metabolik pada tulang Bab 8 – Kedokteran Nuklir 147 Radiofarmaka yang digunakan adalah Tc-99m MDP (methylene diphosphonat) dengan dosis 15–20 mCi. 8.5.2 Persiapan Alat Untuk melakukan sidik tulang maka memerlukan persiapan alat seperti berikut ini. 1. Kamera gamma planar dilengkapi data prosesor dengan kolimator LEHR. 2. Puncak energi 140 KeV. 3. Window width 20%. 8.5.3 Persiapan Pasien Untuk melakukan sidik tulang ini tidak diperlukan persiapan khusus untuk pasien. Berikut ini merupakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dan ditanyakan. 1. Apakah pasien sedang hamil atau menyusui. 2. Apakah beberapa hari sebelumnya melakukan pemeriksaan yang menggunakan barium (misal barium enema) atau sedang mengkonsumsi obat yang mengandung bismuth. 3. Pasien perlu mengurangi konsumsi cairan 4 jam sebelum pemeriksaan. 4. Setelah perunut disuntikkan, pasien harus menunggu 1-3 jam sebelum sidik tulang dilakukan. 8.5.4 Prosedur Pemeriksaan Pencitraan pada sidik tulang ini menggunakan metode 3 fase seperti yang akan dijelaskan berikut ini. 1. Fase pertama (Vaskular) a. Penderita tidur telentang dengan detektor ditempatkan sedemikian rupa sehingga tubuh yang akan diperiksa berada di atas lapang pandang detektor. b. Pemeriksaan fase pertama merupakan pemeriksaan dinamik dalam frame berukuran matrix 128 x 128 dengan waktu pencacahan 3 detik/frame selama 2 menit. c.Posisi pencitraan adalah anterior dan atau posterior. 148 Prosedur Pemeriksaan Radiologi d. Pencitraan dimulai bersamaan dengan saat penyuntikan radiofarmaka secara bolus. 2. Fase kedua (Blood pool) a. Pemeriksaan fase kedua dilaksanakan segera setelah fase pertama selesai. Pemeriksaan ini berupa pencitraan statik dalam frame berukuran matrix 256 x 256 sebanyak 700 Kcount. b. Posisi pencitraan adalah anterior dan atau posterior. 3. Fase ketiga a. Fase ketiga merupakan pemeriksaan statik yang dilakukan 3 jam pasca penyuntikan radiofarmaka. b. Sebelum memasuki ruang pemeriksaan, penderita dianjurkan buang air kecil dengan hati-hati untuk menghindari kontaminasi. c. Pada pemeriksaan fase ketiga ini dilakukan pemeriksaan seluruh tubuh (whole body scan). d. Posisi pencitraan adalah anterior dan posterior dilanjutkan dengan pemeriksaan spot pada bagian-bagian yang mencurigakan. e. Apabila diperlukan pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan dengan posisi miring (oblique) untuk memperjelas lokasi kelainan. f. Pemeriksaan dalam frame berukuran matrix 256 x 256 sebanyak 700 Kcounts. 8.5.5 Evaluasi Hasil Daerah tulang yang menyerap sedikit perunut atau bahkan tidak menyerap sama sekali disebut cold spot yang menggambarkan bahwa suplai darah ke tulang tersebut kurang (infraksi tulang) atau memperlihatkan adanya kanker. Daerah yang menyerap perunut banyak atau terlihat terang disebut hot spot yang menggambarkan terjadinya tumor, fraktur, atau infeksi. Bab 8 – Kedokteran Nuklir 149 a b Sumber: http://www.med.harvard.edu dan http://radiology.web.id Gambar 8.4 (a) Metastasis hot spot dan (b) cold spot. 8.6 Kelebihan dan Aplikasi Klinis Kedokteran Nuklir Kelebihan imaging dengan kedokteran nuklir ini dapat memberikan data organ dengan menjadikan organ tersebut sebagai sumber radiasi. Hal itu sangat bermanfaat untuk membantu guiding (pemanduan) biopsi atau menetapkan penjalaran lesi. Selain itu, juga sering digunakan untuk uji skrening terhadap pasien yang menderita keganasan. Scanning tulang jauh lebih sensitif di daerah dekstruksi tulang. Hal tersebut dapat menentukan jinak atau ganas, berasal dari jaringan lunak atau tulang. Scan kedokteran nuklir dapat menunjukkan beberapa kondisi yang berhubungan dengan tulang belakang seperti tumor tulang, penyembuhan patah tulang, tumor metastase pada tulang punggung, osteomielitis atau penyakit pagets. Bila dikombinasikan dengan pemeriksaan radiologi maka akan lebih bermanfaat. 150 Prosedur Pemeriksaan Radiologi a Anterior Posterior Anterior Anterior Posterior Posterior b Sumber: (a) http://www.hawaii.edu dan (b) http://www. imaginis.com Gambar 8.5 Perbandingan hasil pemeriksaan dengan: (a) CT scan dan (b) hasil foto bone scan normal dengan menggunakan teknologi nuklir. Bab 8 – Kedokteran Nuklir 151 INTISARI Kedokteran nuklir adalah bidang kedokteran yang memanfaatkan materi radioaktif untuk menegakkan diagnosis dan mengobati penderita serta mempelajari penyakit manusia. Radiofarmaka merupakan sediaan farmasi dalam bentuk senyawa kimia yang mengandung radioisotop yang diberikan pada kegiatan kedokteran nuklir. Data imaging (pencitraan) diagnostik organ digunakan untuk menentukan besar/luas, bentuk, letak organ beserta kelainannya. Secara umum, bidang kedokteran nuklir dapat digolongkan dalam empat jenis kegiatan yaitu pemeriksaan radioaktivitas secara eksternal in-vivo, pengukuran radioaktivitas secara in-vitro, pemeriksaan in-vitro, dan terapi dengan radioisotop. Produksi sediaan radiofarmaka dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu radioisotop primer medikal, senyawa bertanda medikal, generator radioisotop, dan kit radiofarmaka. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih radiofarmaka untuk pemeriksaan antara lain jenis peluruhan radiasi, waktu paruh, biological behaviour, aktivitas tertentu, dan jenis instrumen. Ada 2 macam gambaran yang diperoleh dari hasil scanning yaitu hot area dan cold area. Beberapa komponen atau instrumen yang diperlukan untuk kedokteran nuklir antara lain stationary probe, well counter, scanner, dan kamera. Sidik tulang adalah pemeriksaan menggunakan radiofarmaka untuk memperlihatkan atau mengidentifikasi abnormalitas yang terjadi pada tulang-tulang di dalam tubuh. Kelebihan imaging dengan kedokteran nuklir ini dapat memberikan data organ dengan menjadikan organ tersebut sebagai sumber radiasi. Hal itu sangat bermanfaat untuk membantu guiding (pemanduan) biopsi atau menetapkan penjalaran lesi. Selain itu, juga sering digunakan untuk uji skrening terhadap pasien yang menderita keganasan. 152 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Daftar Pustaka ------, 2013. Index of/Video. Available: http://www.cdrnyc.com/video/ Myelogram%20Equipment.jpg. [Accessed 29 Juli 2013]. Adam Greenspan. 2004. Orthopedic Imaging a Practical Approach, Fourth Edition, USA: William & Wilkins a Waverly Company. Bahman Roudsari,et all., 2010. Lumbar Spine MRI for Low Back Pain: Indications and Yield. American Roentgen Ray Society. AJR:195, September. Block Note, 2013. Prinsip Dasar CT Scanner. Available: http://gonna befine23.blogspot.com/ [Accessed 28 Juli 2013]. Brown, M.A., & Semelka, R.C, 1995. MRI Basic Principles and Applications. Wiley-Liss, A John Wiley & Sons Inc. Publication, Chapters 1,2,&3. Chakeres, D.W. & Schmalbrock, 1992. Fundamentals of Magnetic Resonance Imaging. Williams & Wilkins: Baltimore, Section II. Children’s Orthopedics Patient Guides. 2013. A Patient’s Guide to Back Pain in Children. Available: http://www.orthopediatrics.com/ docs/Guides/back_pain.html [Accessed 29 Juli 2013]. Chordoma Presenting as a “Cold” Lesion on Bone Scintigraphy [Internet]. Available from: http://www.med.harvard.edu/JPNM/ BoneTF/Case19/WriteUp19.html Claudia Krisch, 2007. Applied Radiological Anatomy for Medical Students Section 4 The Head, Neck, and Vertebral Column, New York: Cambridge University Press. Davagnanam, I., Nikoubashman, O., Shanahan, P.2013. Teaching Neuroimages: Nontraumatic Spinal CSF Leak on CT Myelography in Patients with Low-Pressure Headache. Available: http//www. neurology.org/content/75/22/e89.full.pdf. [Accessed 13 Juni 2013] Development Lab., 2013. Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) Studies for Children. Available: http://bdl.uoregon.edu/ Participants/participants.php?page=mri_kids [Accessed 29 Juli 2013]. 153 Dorwart R.H., Degroot J., Sauerland E.K., 1992. Computed Tomography of the Lumbosacral Spine: Normal Anatomy, Anatomic Variants and Pathologic Anatomy. Radio Graphics Volume 2 Number 4. Drugs Information Online, 2013. Definition of C1-C7 (Cervical Vertebrae). Available: http://drugline.org/medic/term/c1-c7cervical-vertebrae/ [Accessed 28 Juli 2013]. Envision Radiology. 2013. Myelogram Procedures. Available: http:// www.envrad.com/services-myelogram.html [Accessed 29 Juli 2013]. Fontaine, Suzaine dkk., 2002. CAR Standards and Guidelines for Myelography. Available: http://www.radiology.org. [Accessed 10 Juni 2013]. Hansberger H., Osborn A., MacDonald, Ross. 2006. Diagnostic and Surgical Imaging Anatomy. Canada: Amirsys Inc. HealthHub, From Cleveland Clinic. 2013. Diseases and Conditions, Myelography. Available: http://my.clevelandclinic.org/disorders/ myelography/hic_myelography.aspx [Accessed 28 Juli 2013]. Helms C.A., Vogler J.B., Hardy D.C., 1987. CT of the Lumbar Spine: Normal Variants and Pitfalls. Radiographics Volume 7 Number 2. Hosten N, Liebig T., 2002. CT of the Head and Spine. Thieme. Stuttgart. Imaging Service. 2013. Myelography. Available: http://www. gmcimaging.org/general-imaging/myelography [Accessed 29 Juli 2013]. Imaginis. Clinical Uses of Nuclear Medicine. 2013. Bone Scanning. Available: http://www.imaginis.com/nuclear-medicine/clinicaluses-of-nuclear-medicine-2. [Accessed 29 Juli 2013]. Informasi Seputar Nuklir. 2012. Dokter Fadil Nasir dan Kamera Gamma Dual Head SPECT. Available: http://www.infonuklir.com/read/ detail/418/dokter-fadil-nasir-dan-kamera-gamma-dual-headspect#.UhJJsH-B-ho. [Accessed 29 Juli 2013]. Inside Radiology. 2013. Myelogram. Available: http://www.insidera­ diology.com.au/pages/view.php?T_id=104#.UhJBrX-B-ho. [Accessed 29 Juli 2013]. Jay Khanna, 2002. Magnetic Resonance Imaging of The Cervical Spine. Current Techniques and Spectrum of Disease. The Journal of Bone and Joint Surgery, Incorporated. 154 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Jindal, Gaurav, 2011. Normal Spinal Anatomy on Magnetic Resonance Imaging. Philadelphia, USA: Elsevier Inc. John V. Basmajian & Charles E. Slonecker, Grant, 1995. Metode Anatomi Berorientasi pada Klinik, Edisi Kesebelas, Alih Bahasa oleh dr. Surya, dkk., Jakarta. Juan M., 1996. Traveras, Neuroradiology Third Edition, USA: William& Wilkins a Waverly Company. Kapur V. 2009. Better Understanding of CT Myelography. Available:http://www.neuroocean.com/neuroradiology/ctmyelography.php. [Accessed 13 Juni 2013]. Kenneth L, Bontrager, 2001. Texbook of Radiographic Positioning and Related Anatomy, Fifth Edition, USA: Mosby. Kertoleksono S. 2008. Tomografi Komputer. Radiologi Diagnostik Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Kompasiana. 2011. Tulang Belakang dan Postur Tubuh. Available:http:// kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/07/04/tulang-belakangdan-postur-tubuh-376248.html. [Accessed 27 Juli 2013]. Lisle, D.A. 2012. Imaging for Students Fourth Edition. Brisbane: Hodder Arnold. Magnet Lab. National High Magnetic Field Laboratory. 2013.MRI: A Guided Tour Available:http://www.magnet.fsu.edu/education/ tutorials/magnetacademy/mri/fullarticle.html. [Accessed 29 Juli 2013]. Makes D. 1987. Prinsip Dasar dan Teknik Pemeriksaan dengan CT Scan, Jakarta: Balai Pustaka FKUI. Moore K.L., Dalley A.F., Agur A.M., 2010. Clinically Oriented Anatomy 6th Edition.Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. Mulyono Siswono, Artikel: Pemanfaatan MRI sebagai Sarana Diagnosa Penderita, Media Litbang Kesehatan, Volume XIV No. 3 Tahun 2004. Myelography [Internet]. Available from: http://my.clevelandclinic.org/ disorders/myelography/hic_myelography.aspx Myelography [Internet]. Available from: http://sehati.org/index/ patientresources/ diagnosticprocedures/myelography.html Neuroocean. 2013. CT Myelography. Available:http://neuroocean. com/neuroradiology/ct-myelography.php. [Accessed 29 Juli 2013]. Daftar Pustaka 155 Norbert Boos, 2008. Spinal Disorders Fundamentals of Diagnosis and Treatment.New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Online Medical Encyclopedia University of Rochester Medical Center [Internet]. Myelogram. Available from: http://www.urmc. rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?ContentTypeID=92&C ontentID=P07670 Pierre-Jerome C, et all., 2000. MRI of the Spine and Spinal Cord: Imaging Techniques, Normal Anatomy, Artifacts, and Pitfalls. Journal of Manipulative & Physiological Therapeutics, Vol. 23, Issue 7, September 1, 2000. Pradip R. Ratel, Lecur. 2007. Note Radiologi Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga Medical Series. Prokop M. 2001. Spiral and Multislice Computed Tomography of The Body. Germany: Thieme. Purwatiwidiastuti. 2011. Apa Sich Nyeri Punggung Itu. Available: http://Purwatiwidiastuti.wordpress.com/2011/01/ 25/apa-sichnyeri-punggung-itu/ [Accessed 28 Juli 2013]. Rachman, M.D. 2008.Segi-segi Fisika Radiologi dan Radiografi. Radiologi Diagnostik Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Radiographic Imaging of Musculoskeletal Neoplasia: Bone Scintigraphy [Internet]. Available from: http://www.medscape.com/ viewarticle/409049_3 Radiology [Internet]. Available from: http://radiology.web.id/ Rasyad Sjahriar, 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua, Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Ryan S., McNicholas M., Eustace S. 2004. Anatomy for Diagnostic Imaging.2nd Edition. Philadelphia: Saunders. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf [Internet]. PT Gramedia Pustaka Utama; [Cited 2013 Oct 18]. Available from: http://books.google.com/ books?id=YmUwVAPSX1MC&pgis=1 Scott D. Haldeman, 2002. An Atlas of Back Pain the Encyclopedia of Visual Medicine Series, UK: The Parthenon Publishing Group. Schild, H.H., 1990. MRI Made Easy.Well Almost. Schering AG Berlin/ Bergkamen. Sebastian Lange, 1989. Cerebral and Spinal Computerized Tomography, West Germany: Schering AG. 156 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Southbendclinic. 2013. Step 2: Know Your Back Anatomy. Available: http://www.southbendclinic.com/adam/mens%20 center/28/000409.htm [Accessed 28 Juli 2013]. Suratun, SKM, Heryati, S.Kp, M.Kes, Manurung S, et al. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal sAK [Internet]. EGC; [cited 2013 Oct 18]. Available from: http://books.google.com/books?id=PUjwsEgCSEC&pgis=1. Texas Instruments. 2013. CT Scanner. Block Diagram. Available: http:// www.ti.com/solution/ct_scanner [Accessed 29 Juli 2013]. The Journal of Musculoskeletal Medicine. 2009 Jun 7 [cited 2013 Oct 18]; Managing Degenerative Lumbar Spinal Stenosis. Available from: http://www.musculoskeletalnetwork.com/nervous-systemdiseases/content/article/1145622/1420201. Thomas N. Byrne.2000. Diseases of the Spine and Spinal Cord, Oxford University Press. Turbosquid. 2013. Thorax. Available: http://www.turbosquid.com/3dmodels/maya-thorax-bones-anatomy/641400 [Accessed 28 Juli 2013]. UW Madicine. Department of Radiology. 2013. Scoliosis. Available: http://www.rad.washington.edu/academics/academic-sections/ msk/teaching-materials/online-musculoskeletal-radiology-book/ scoliosis [Accessed 28 Juli 2013]. Vitriana. 2001. Aspek Anatomi dan Biomekanik Tulang Lumbosakral dalam Hubungannya dengan Nyeri Punggung. Jakarta: Rehabilitasi Medik FKUI/RSCM. Walter B. Greene, M.D., 2006. Greene: Netter›s Orthopaedics, 1st Edition, OrthoCarolina Charlotte, North Carolina. Elsevier, Philadelphia. Westbrook, C & Kaut C, 1998. MRI in Practice, Second Edition, Blackwell Science. What is Nuclear Medicine [Internet]. Available from: http://www.snm. org/index.cfm?PageID=3106. Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. 2013. Tulang Punggung. Available: http://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_punggung [Accessed 27 Juli 2013]. Daftar Pustaka 157 Glosarium Anatomi Cabang biologi yang berhubungan dengan struktur dan organisasi dari makhluk hidup. Arkus vertebralis Atau lengkung vertebra merupakan struktur yang berbentuk menyerupai tapal kuda, terdiri dari lamina dan pedikel. Cedera Atau luka adalah sesuatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh yang dikarenakan suatu paksaan atau tekanan fisik maupun kimiawi. Computed Tomografi (CT) Pemeriksaan radiologi yang menggabungkan teknik sinar X dengan pemanfaatan komputer untuk memperoleh informasi anatomi irisan melintang. CT mielogram atau mielografi Prosedur diagnostik yang dikerjakan setelah kontras diinjeksikan ke dalam rongga subarachnoid. Mielografi merupakan pemeriksaan radiografi alternatif dengan menggunakan fluoroskopi. Degenerasi Perubahan fungsi biokimiawi, perubahan struktural, ataupun kombinasi dari keduanya karena cedera dan bersifat reversibel. Bila sel terus-menerus terkena cedera bisa terjadi nekrosis atau kematian sel yang bersifat irreversibel. Densitas Atau massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda. Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap volumenya. Diagnosis Identifikasi mengenai sesuatu. Diagnosis digunakan dalam medis, ilmu pengetahuan, teknik, bisnis, dan lain sebagainya. Efek samping Suatu dampak atau pengaruh yang merugikan dan tidak diinginkan, yang timbul sebagai hasil dari suatu pengobatan atau intervensi lain seperti pembedahan. 159 Embriologi Ilmu tentang perkembangan embrio mulai dari pembuahan sel telur sampai ke tahap janin. Fisiologi Atau ilmu faal (dibaca fa-al) adalah salah satu dari cabang-cabang biologi yang mempelajari berlangsungnya sistem kehidupan. Foto Rontgen Gambaran atau pencitraan yang dihasilkan oleh sinar X yang ditembakkan ke tubuh pasien. Fraktur Atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya atau setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Hernia Suatu keadaan keluarnya jaringan/organ tubuh dari suatu organ ruangan melalui suatu lubang/celah keluar di bawah kulit atau menuju rongga lainnya (secara kongenital). Indikasi Petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan. Infeksi Kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang dan bersifat paling membahayakan inang. Organisme penginfeksi atau patogen, menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan inang. Kedokteran nuklir Bidang kedokteran yang memanfaatkan materi radioaktif untuk menegakkan diagnose dan mengobati penderita serta mempelajari penyakit manusia. Koil Perangkat keras pada mesin MRI yang digunakan untuk menghasilkan medan magnet atau untuk mendeteksi perubahan medan magnetik oleh induksi voltase dari kawat induksi. 160 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Kolumna vertebralis Atau rangkaian tulang belakang merupakan sebuah struktur yang lentur dan dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Komplikasi Perpaduan beberapa penyakit yang terdapat pada tubuh manusia yang disebabkan oleh keadaan penyakit lama, misalnya penyakit maag yang menimbulkan penyakit liver kemudian berubah menjadi sirosis yang dapat menyebabkan penyakit jantung. Kontra indikasi Petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan. Kontras material Substansi kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk melihat anatomi dan fungsi dari daerah yang akan dicitrakan dengan tujuan untuk memperjelas perbedaan antara berbagai jaringan yang berbeda atau antara jaringan yang normal dengan jaringan yang abnormal dengan mengubah waktu relaksasi. Korpus tulang belakang Struktur tulang belakang yang terbesar mengingat fungsinya sebagai penyangga berat badan. Korpus vertebra berbentuk seperti ginjal dan berukuran besar, terdiri dari tulang korteks padat dan mengelilingi tulang medular yang berlubang-lubang. Lesi Istilah kedokteran untuk merujuk pada keadaan jaringan yang abnormal pada tubuh. Ligamen Atau ligamentum adalah jaringan berbentuk pita yang tersusun dari serabut-serabut liat yang mengikat tulang satu dengan tulang lain pada sendi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pemeriksaan imaging yang menggunakan bahan hidrogen dan interaksinya dengan kedua medan magnet eksternal dan gelombang radio untuk menghasilkan gambaran yang detail dari tubuh manusia. Glosarium 161 Media kontras Suatu bahan yang digunakan pada pemeriksaan radiologi sebagai media yang mempunyai kemampuan menyerap radiasi lebih tinggi atau lebih rendah dari jaringan di sekitarnya. Pembuluh balik Atau vena adalah pembuluh yang membawa darah menuju jantung. Darahnya banyak mengandung karbon dioksida. Umumnya terletak dekat permukaan tubuh dan tampak kebirubiruan. Dinding pembuluhnya tipis dan tidak elastis dan jika diraba, denyut jantungnya tidak terasa. Pembuluh nadi Atau arteri adalah pembuluh darah berotot yang membawa darah dari jantung. Fungsi ini bertolak belakang dengan fungsi pembuluh balik yang membawa darah menuju jantung. Posisi pasien Posisi seluruh tubuh ketika dilakukan pemeriksaan radiografi, misalnya supine, erect, prone, dan lain sebagainya. Radiofarmaka Senyawa radioaktif yang digunakan ke dalam tubuh dengan cara diminumkan, disuntikkan, atau dihisap melalui saluran pernapasan, baik untuk tujuan terapi maupun diagnostik serta mengalami metabolisme ke dalam tubuh manusia. Radiologi Ilmu kedokteran untuk melihat bagian tubuh manusia dengan menggunakan pancaran atau radiasi gelombang, baik gelombang elektromagnetik maupun gelombang mekanik. Saraf Serat-serat yang menghubungkan organ-organ tubuh dengan sistem saraf pusat (yakni otak dan sumsum tulang belakang) dan antar bagian sistem saraf dengan lainnya. Saraf membawa impuls dari dan ke otak atau pusat saraf. Sendi Hubungan antartulang sehingga tulang dapat digerakkan. Hubungan dua tulang disebut persendian (artikulasi). 162 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Sinar X Pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan gelombang radio, panas, cahaya, dan sinar ultraviolet (UV) tetapi dengan panjang gelombang yang sangat pendek. Karena panjang gelombang yang sangat pendek tersebut maka sinar X dapat menembus benda-benda. Tulang punggung Atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk punggung yang mudah digerakkan. Disebut juga tulang belakang. Tulang rawan Bentuk khusus jaringan ikat dengan fungsi utama menyokong jaringan lunak. Tulang ini terdiri atas sel-sel (kondrosit dan kondroblas) dan matriks (serat dan substansi dasar). Matriksnya mengandung serat kolagen atau serat elastin yang memberi kekuatan dan kelenturan. Akibatnya, tulang rawan memiliki kekuatan renggang, penyokong struktural, dan memungkinkan fleksibilitas tanpa distorsi. Tulang sakrum Tulang besar berbentuk segitiga yang terdiri dari lima tulang belakang yang berfusi. Pada bagian proksimal tulang ini berartikulasi dengan tulang belakang lumbal kelima, bagian lateral berartikulasi dengan os illii, dan bagian distal berartikulasi dengan os coccyx. Tumor Sebutan untuk neoplasma atau lesi padat yang terbentuk akibat pertumbuhan sel tubuh yang tidak semestinya, yang mirip dengan simtoma bengkak. Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (malignan) atau jinak (benign). Glosarium 163 Indeks A C Active transport 143 Ahli radiologi 3–4, 43 Aksial 58–60, 65 Alergi 71, 81, 98, 103–104, 114, 125, 127, 135 Amfiartrodial 10 Amfiartrosis 13 Anatomi 3, 4, 6, 36, 36–39, 76, 81, 97, 101, 118, 120, 122, 123, 135, 158, 160 Anestesi 106, 126 Anterior lumbal 55–56, 67 Anterior oblique 48 Anteroposterior servikalis 45 AP Aksial sakrum 59 tulang ekor 60 AP bending kanan kiri 66–67 AP lumbal 54 Apofiseal 10, 17, 30, 44, 54, 56, 64–65, 130 AP open mouth cervical 47, 66 AP thorakalis 51–52 Arkus vertebralis 8, 158 Arteri 17, 18, 21, 130, 133, 134, 161 lumbal 17 Artikulasi 37, 161–162 Capillary blockage 143 Cedera 3, 4, 12, 125, 158 Cell sequestration 143 Coccygeus 33 Cold area 146, 152 Compartmental localization 144 Computed Tomografi 76, 97, 158 Cornu sacralis 32 CT mielografi 81, 100–106, 108, 109, 113, 114 CT scan mielografi 107, 110, 111 CT scan sisternografi 107 B Biological behaviour 152 Biologis 139, 141, 144 Biopsi 150, 152 Blood pool 144, 145 Bone scintigraphy 147 window 80, 86, 88, 109 D Dens 6, 29, 30, 65 Deteksi radioisotop 145 Detektor 76, 78, 138, 141, 144, 146, 148 Diskus intervertebralis 10, 13, 14, 25, 34, 36, 39, 49, 52, 55, 57, 64, 65, 70, 74, 79, 80, 89, 92, 93, 98, 103, 109, 119, 123, 125 invertebralis 12 Dural sac 71, 127, 129 Duramater 19, 21, 23 E Efek samping 70, 105, 159 Efektif 48, 144 Embriologi 3, 34, 39, 159 End plate 8, 10, 12, 13, 17, 19, 92, 93, 95, 127 Epidural 19–21, 72, 92, 93, 108, 119, 127, 128, 131, 133, 134 Erect 42–45, 48, 51, 53, 54, 62, 63, 66, 67, 71, 161 165 lateral 43, 44, 50 F Fascia thoracolumbar 133 Fibrous 14, 27 Fisik 121, 144, 158 Fisiologi 3, 159 Flavum 8, 11, 14, 15, 16, 17, 21, 83, 84, 86, 87, 89, 91, 109, 129–134 Fluoroskopi 70, 74, 105, 106, 107, 158 Foramen intervertebralis 9, 21, 30, 36, 48, 94 transversum 30 Foto Rontgen 42–67, 70, 80, 81 Fraktur 65, 79, 80, 82, 95, 98, 100, 118, 124, 149, 159 G Ganas 150, 162 Gantry 76, 77, 78, 92, 93, 97 Gauss 116 Gelombang elektromagnetik 76, 161, 162 Generator radioisotop 142, 152 George C. De Havessy 140 Gradien 118, 121, 122, 135 Gradient echo 118, 135 H Hematologi 140 Henri Danlos 140 Hernia 70, 159 Herniasi diskus intervertebralis 79, 98 Hiperdens 78 Hipodens 78 Hot area 145, 152 I Iliolumbal 16, 134 166 Imaging 119, 124, 135, 139, 140, 152 Infeksi 103, 104, 114, 118, 119, 124, 125, 149, 159 Interspinosus 16, 129, 134 Intertransversal 15, 16 Intrathecal 81, 98 Intravena 70, 80, 81, 98, 139, 143 In-vitro 139, 140, 146, 152 In-vivo 139, 144, 152 Isodens 78 J Jaringan parut 125 Jinak 150, 162 K Kamar gelap 42, 43, 66, 76 Kamera gamma 139, 140 positron 140 Kanalis sentralis 24 spinalis 14, 15, 17, 19, 21, 22, 23, 25, 33, 39, 70, 72, 73, 74, 80, 100, 102, 109, 114, 129 vertebralis 10, 14 Kanker 81, 140, 149 Kapsular 15 Kedokteran nuklir 138, 139, 140, 141, 144, 145, 146, 147, 150, 152, 159 Kelainan spinal 100 Kerangka 2, 4 Kit radiofarmaka 142 Koil gradien 121, 122, 135 radio frekuensi 121, 135 Kolumna vertebralis 6, 7, 10, 11, 12, 39, 125 Komponen CT 76, 77, 97 Kontra indikasi 103, 114, 160 Kontras material 122 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Kornu medularis 100 Korpus vertebra 7, 8, 9, 10, 12, 14, 15, 46, 49 Korteks 7, 90, 127, 130, 160 Kosta 10, 31, 65 Kostotransversum 31 Kostovertebral 31, 132 L Lamina 7–9, 14, 15, 17, 19, 28, 36–38, 65, 82, 130, 132, 158 Lateral cervicothoracalis 49, 66 erect 54, 62, 67 hiperekstensi 50, 66 L5-S1 57, 65 lumbal 57, 67 recumbent 56, 57, 61 servikalis 43 thorakalis 53 tulang ekor 61 tulang sakrum 61, 66, 67 Lengkung vertebra 6, 8, 158 Lesi 72, 95, 119, 123, 139, 143, 150, 152, 162 Ligamen fibrous 14 interspinosus 16 supraspinosus 16 Ligamentum flavum 8, 11, 14, 15, 17, 21, 83, 89, 91, 109, 129–134 iliolumbal 16 intertransversal 16 kapsular 15 longitudinal 14 anterior 19, 25, 133 posterior 17, 21, 92, 132 Lokasi kunci 96 Lordosis 13, 66, 107 M Massa intraspinal 79, 98 Medan magnet 116–118, 121, 135, 160 Indeks Medular 8, 18, 160 Medula spinalis 10, 23, 24, 25, 102, 118, 119, 123, 124, 125, 127, 129, 135 Metode Ferguson 63 Midplane 91, 93, 94 Midsagittal 95 Mielografi 70–74, 81, 100–114, 114, 119, 120, 158 Modalitas 4, 100 MRI 73, 82, 98, 100–103, 114– 128, 131–135, 153, 155– 157, 160 N Nukleus pulposus 12, 14, 133 O Oblique Cervical 48 Oblique posterior 54, 56, 67 Oksipetal 29, 71 P Paparan radiasi 81, 98, 103, 114, 144 Parasagital 96, 133 Pasien 4, 42–44, 47–51, 53–56, 58–63, 70–72, 78, 80, 82, 100, 102, 103, 107, 109, 112, 114, 117, 119, 126, 127, 139, 145, 148, 150, 152, 159, 161 Pedikel 7–9, 14, 21, 28, 36, 36–38, 46, 48, 52, 55, 65, 109, 132, 158 Peluruhan radiasi 144, 152 Pencitraan 72, 74, 100, 102, 114, 124, 139, 146, 148, 149, 152, 159 Persendian amfiartrodial 10 Phagocytosis 143 Plasentografi 144 Plat 102 Plate 8, 10, 12, 13, 17, 19, 92, 93, 95, 127 167 Posisi anterior oblique cervical 48 anteroposterior servikalis 45, 46, 66 AP lumbal 54 AP thorakalis 51 hiperfleksi 50 lateral cervicothoracalis 49 erect 62 hiperekstensi 50 L5-S1 57, 58 lumbal 56 servikalis 43 thorakalis 53 tulang ekor 61 tulang sakrum 61 oblique anterior lumbal 54 oblique posterior lumbal 55 PA lumbal 54 sendi faset 11 supine 51, 80 Potongan aksial 78, 82, 85, 88, 92, 94, 119, 127 sagital 38, 129, 131, 133 transaksial 89 Prone 49, 55, 71, 72, 106, 161 Prosessus artikularis inferior 7, 9 superior 7, 9, 89, 90 mamillari 28 odontoideus 29 spinosus 7 transversus 10, 14, 16, 19, 28, 36, 38, 56, 65, 132 Proton 116–118 Proyeksi AP 62 AP aksial L5-S1 58 AP aksial sakrum 59 AP aksial tulang ekor 60 AP bending kanan kiri 63 AP Open Mouth Cervical 47 PA 62 168 Pungsi lumbal 71, 72, 81 suboksipital 72 R Radiasi 65, 81, 98, 102, 103, 114, 121, 124, 138, 139, 140, 141, 144, 150, 152, 161 Radioaktif 138, 139, 140, 141, 142, 144, 145, 152, 159, 161 Radiofarmaka 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 149, 152 Radio frekuensi 116–118, 121, 122, 135 Radioisotop 139, 140, 142, 145, 152 primer 142 Radionuklida 139, 140, 143, 144 Radium 140 Recumbent lateral 43, 44 Reformasi midsagittal 95 parasagital 96 Renogram 145 S Saraf sinuvertebral 21 tulang belakang 73, 102 Satuan HU 78 Scanner 117, 146, 152, 157 Scanning 76, 78, 82, 97, 139, 143, 144, 145, 146, 152 Sediaan radiofarmaka 140 Sendi amfiartrosis 13 apofiseal 10, 17, 44, 54, 56, 65 faset 10–11, 25, 36–38, 89, 90, 109, 114, 130, 133, 134 kostotransversum 31 kostovertebral 31, 132 zigapofiseal 10, 14, 32, 36, 49 Sequence 118 Sidik tulang 147 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Siklotron 142 Simfisis 13 Sinar X 43, 71, 76, 78, 81, 97, 117, 158, 159, 162 Skenogram 80 Sklerotom 34, 35 Soft tissue window 80, 82, 85 Stationary probe 146 Stenosis spinal 70 STIR 118, 119, 120, 128, 135 Studi in-vitro 139 in-vivo 139 T T1-weighted images 118 T2-weighted images 118 Tabung detektor 80 Technitium -99m 142 Teknologi nuklir 138, 151 Tengkorak 2, 46, 47 Tesla 116 Topogram 80 Trauma 12, 43, 79, 82, 98, 102, 103, 118, 124 True synovial joints 10 Tulang atlas 29 belakang lumbal 2, 7, 9, 12, 14, 16, 17, 18, 21, 28, 39, 67, 76, 82, 97, 101, 106, 132, 133, 134, 162 servikalis 2, 7, 28, 30, 31, 37, 39, 44, 51, 65, 66, 101, 107, 112, 119, 127, 128, 129, 130 thorakalis 2, 7, 10, 30, 31, 39, 62, 63, 66, 71, 101, 107, 131, 132 ekor 6, 7, 18, 33, 39, 59, 60, 61, 66, 67, 101 korteks 7, 160 medular 8, 160 Indeks rusuk 3, 15 Tumor 70, 73, 82, 98, 100, 118, 124, 125, 149, 150 U Uncinate process 130 Unsealed 138 Unsur 142 V Vena 17–21, 81, 91, 93–95, 128, 130–134, 161 Ventral rootlet 130 Ventrikulografi 144 Vertebra 2, 6–17, 19, 22, 23, 30, 31, 32, 33, 35, 46, 49, 52, 53, 63, 65, 72, 79, 80, 82, 83, 88, 92, 93, 94, 95, 96, 158, 160, 162 W Waktu paruh 139, 142 biologis 141, 144 efektif 144 fisik 144 Well counter 152 Z Zat radioaktif 140, 144 169 Riwayat Penulis D oktor yang bernama lengkap Yuyun Yueniwati ini lahir di Malang, 31 Oktober 1968. Ia merupakan anak pertama dari Bapak Wadjib (almarhum) dan Ibu R.A. Siti Suparsiyah (almarhum). Hasil pernikahannya dengan dr. Eko Arisetijono Sp.S. (K) membuahkan 2 orang putra dan seorang putri. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN Ngaglik I Batu, Malang pada tahun 1981 lalu menempuh pendidikan menengah pertama di SMPN I Batu, Malang. Setelah itu, masuk pendidikan menengah atas di SMA PPSP IKIP Malang dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1987, ia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang dan lulus pada tahun 1994. Untuk mengembangkan kemampuannya sebagai dokter, ia mengambil Program Pasca Sarjana di Universitas Airlangga Surabaya dan lulus sebagai Magister (MKes) dalam bidang ilmu FAAL pada tahun 2000. Ia berhasil menjadi lulusan terbaik IKD Pasca Sarjana UNAIR. Tidak berhenti di situ, ia pun melanjutkan studinya dengan mengambil spesialisasi radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, dan lulus pada tahun 2007. Saat itu, ia berhasil meraih prestasi sebagai juara III Ujian Nasional BPNRI. Pendidikan tertingginya ia tempuh dengan mengambil Program Doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, dan lulus sebagai Doktor pada tahun 2012 dengan prestasi lulus dengan predikat cum laude dan sebagai wisudawan terbaik UNAIR periode Juli 2012. Selain menempuh pendidikan formal di atas, ia juga menempuh beberapa pendidikan nonformal yang diikutinya baik di dalam maupun di luar negeri. Awal karirnya dimulai dengan menjadi seorang dokter PTT di Puskesmas Bareng, Malang. Pada tahun 1996-sekarang, ia aktif sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya-RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Ia juga dipercaya sebagai Sekretaris Program Studi Radiologi FKUB dari tahun 2012 sampai sekarang. 171