EFEKTIVITAS RHIZOSFIR PADA SISTEM AGROFORESTRI

advertisement
EFEKTIVITAS RHIZOSFIR PADA SISTEM AGROFORESTRI:
Sebuah Pemahaman dari Sudut Pandang Biologi Tanah
Enny Widyati
Peneliti Biologi Tanah dan Kesuburan Tanah
Puslitbang Hutan, jl. Gunung Batu no. 5 Bogor
Email: [email protected]
ABSTRAK
Sistem agroforestri merupakan salah satu upaya mencapai produktivitas lahan yang optimal dengan
memadukan tanaman kehutanan (forest) dengan tanaman pertanian (agro) atau tanaman semusim
lainnya. Oleh karena itu sistem ini dapat digunakan untuk mewujudkan ketahanan pangan, energi dan air
di masyarakat. Sistem agroforestri merupakan sistem yang secara ekologis lestari, secara ekonomi
menguntungkan dan secara sosial mengakomodasi kepentingan masyarakat. Makalah ini mendiskusikan
efektivitas rhizosfir pada sistem agroforestri yang disintesis dari berbagai sumber. Paling tidak
teridentifikasi empat efektivitas pada rhizosfir dalam sistem agroforestri. (1) Sistem perakaran agroforestri
membentuk stratifikasi akar vertikal sehingga efisien dalam memanfaatkan sumber unsur hara pada
berbagai kedalaman tanah. (2) Sistem mampu meningkatkan pasokan unsur hara karena produksi bahan
organik yang akan didekomposisikan oleh mikroba tanah. (3) Sistem ini memiliki keanekaragaman hayati
tanaman yang tinggi, hal ini akan meningkatkan jumlah dan jenis eksudat akar sehingga akan memiliki
keanekaragaman mikroba rhizosfir yang tinggi. Mikrob tersebut akan mengeluarkan enzim yang
membantu dekomposisi bahan organik. Mikrob rhizosfir juga meliputi kelompok penambat N dan pelarut
P yang membantu pertumbuhan pohon. (4) Biodiversitas rhizosfir akan mengeluarkan fitohormon dan
siderofor yang membantu meningkatkan pertumbuhan tanaman juga membantu bertahan menghadapi
cekaman kekeringan, kadar garam, polusi logam berat dan patogen tular tanah.
Kata kunci: fitohormon, komunitas mikroba, penambat N, pelarut P, stratifikasi akar
I. PENDAHULUAN
Menurut Mortis (2007) agroforestri didiskripsikan sebagai suatu usaha membudidayakan pohon
dengan tanaman lainnya dan atau dengan hewan ternak pada suatu hamparan lahan yang sama. Tanaman
tersebut dapat dibudidayakan dalam waktu bersamaan, menurut rotasinya atau dipisahkan dalam plot
yang berbeda asalkan mereka dapat saling memberi manfaat satu sama lain. Pendeknya, agroforesti
mengintegrasikan pohon, tanaman bawah dan atau hewan-hewan dalam sistem yang produktif, memiliki
dampak jangka panjang dan bersifat konservatif (Mortis, 2007) terhadap lingkungan dan biodiversitas.
Rhizosfir merupakan area dalam tanah yang berdekatan dengan akar tanaman yang hidup dan secara
langsung dipengaruhi oleh aktivitas akar dan eksudat akar (Hinsinger et al., 2005). Menurut Pinton et al.
1
Galam Volume 2 Nomor 1, Juni 2016
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
(2000) rhizosfir merupakan area tempat akar beraktivitas atau area dalam tanah yang dipengaruhi oleh
akar. Nihorimbere (2011) berpendapat bahwa rhizosfir tumbuhan adalah ekosistem tanah yang paling
dekat dengan system perakaran di mana akar melepaskan sejumlah besar metabolit dari rambut akar yang
hidup. Metabolit tersebut dikenal sebagai rhizodeposit yang meliputi eksudat akar, sel-sel yang terurai dan
material akar yang mati (Gregory, 2006). Nihorimbere (2011), menyatakan bahwa metabolit sekunder di
akar merupakan sinyal kimia bagi bakteri yang dapat bergerak (motil) untuk mendekat ke permukaan
akar, menjadi sumber makanan utama bagi mikroba untuk hidup dan menetap di rhizosfir. Rhizodeposit
juga akan mengundang mikroba tanah dan mikro fauna untuk datang dan mengkoloni rhizosfir.
Tanaman memelihara ekosistem di rhizosfir dengan cara memasok karbon yang diperoleh melalui
fotosintesis dalam bentuk rhizodeposit sebesar 10 – 30% (Morgan et al., 2005). Marschner (1995)
memperkirakan 5-21% hasil fotosintesis tanaman untuk disumbangkan menjadi rhizodeposit. Deposit di
akar tersebut akan mengubah sifat kimia dan fisik ekosistem di rhizosfir serta akan memacu pertumbuhan
mikroba tanah yang akan menggunakan deposit tersebut untuk hidup dan berkembang biak (Gregory,
2006).
Pada sistem agroforestri yang memiliki biodiversitas tanaman tinggi diharapkan memiliki produksi
rhizodeposit yang lebih beragam dan lebih tinggi. Karena menurut Fan et al. (2001) rhizodeposit
tergantung pada jenis, umur dan fase pertumbuhan tanaman. Namun sampai saat ini informasi kinerja
rhizosfir pada sistem agroforestri masih sangat jarang. Oleh karena itu, makalah ini akan mendiskusikan
bagaimanakah kinerja rhizosfir pada sistem perakaran agroforestri berdasarkan informasi yang disintesis
dari berbagai sumber.
II. EFEKTIVITAS RHIZOSFIR PADA SYSTEM AGROFORESTRI
2.1. Rhizosfir sistem agroforestri efisien dalam memanfaatkan unsur hara
Schroth (1999) menjelaskan bahwa ketika berbagai jenis tanaman dibudidayakan secara bersamaan
maka akan terdapat interaksi atas (menyesuaikan cahaya dan ruang tumbuh) dan interaksi bawah
(menyesuaikan dengan unsur hara). Khusus untuk interaksi bawah, pada sistem agroforestri terdapat tiga
macam, fasilitatif (saling mempermudah), komplementer (saling melengkapi) dan kompetitif (saling
bersaing).
Interaksi fasilitatif terjadi karena sistem perakaran pohon berpengaruh terhadap proses pembentukan
tanah dan pertumbuhan tanaman bawah pada sistem agroforestri. Misalnya pengkayaan karbon tanah
selama pertumbuhan dan perkembangan (turn over) akar (termasuk penguraian akar yang mati),
menghambat pelindihan unsur hara, dan secara fisik akan memperbaiki struktur tanah yang padat
(Schroth, 1999) sehingga akan meningkatkan pertumbuhan tanaman pertanian. Akar pohon yang dalam
secara tidak langsung mengambil unsur hara dari lapisan yang dalam kemudian mendeposisikan dalam
bentuk bahan organik dalam jaringan, setelah menjadi serasah dan terurai akan merupakan sumber unsur
hara bagi tanaman yang akarnya berada pada lapisan dangkal.
Interaksi komplementer terjadi karena tanaman yang dibudidayakan dalam sistem agroforestri akan
membangun stratifikasi kedalaman akar, hal ini memungkinkan tanaman memanfaatkan unsur hara pada
kedalaman tanah yang berbeda-beda (Schroth, 1999). Kedalaman sistem perakaran yang dimiliki oleh jenis-jenis
pohon akan memungkinkan mereka memanfaatkan unsur hara dan air pada lapisan subsoil sehingga tidak akan
mengurangi “jatah” yang terdapat pada lapisan topsoil untuk tanaman pangan atau pakan yang
2
Efektivitas Rhizosfir Pada System Agroforestri: Sebuah Pemahaman dari Sudut Pandang Biologi Tanah
Enny Widyati
memiliki sistem perakaran lebih dangkal. Disamping itu, di lapisan tanah yang dalam, pohon tidak banyak
mengembangkan akar samping (percabangan). Hal ini dapat mencegah pengurasan berlebihan unsur hara
di lapisan dalam. Akar pohon yang dalam menggunakan unsur hara yang tidak mampu dijangkau oleh
tanaman pertanian, sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan sumberdaya tanah sebagai sumber unsur
hara secara lebih optimal dalam sistem tersebut (Schroth, 1999).
Interaksi kompetitif terjadi karena akar pohon memiliki kemampuan untuk memanfaatkan celah
tanah/ soil gaps (yaitu ruang dalam tanah yang tidak dihuni oleh akar) atau kemampuan membelah secara
cepat dan mengambil unsur hara pada tapak tanah yang memiliki deposit unsur hara sebelum hadirnya
akar dari tumbuhan lain (Schroth, 1999).Dalam sistem agroforestri, soil gaps terjadi pada waktu
pengolahan tanah, penyiangan atau pemanenan tanaman pangan. Sedangkan tapak tanah subur
terbentuk pada tempat jatuhnya pupuk ketika dilakukan pemupukan, tempat penumpukan serasah atau
limbah panen (Schrotch, 1999).Interaksi kompetitif ini dalam sistem agroforestri memiliki dampak positif
terhadap ekosistem karena akan mencegah unsur hara hilang akibat pelindihan. Hasil penelitian Eissenstat
(1992) akar yang berdiameter kecil memiliki kelenturan untuk merespon kondisi tanah setempat lebih baik
daripada akar yang berdiameter lebih besar. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar pemilihan jenis pohon,
tanaman pertanian atau tanaman pakan yang sesuai dengan kondisi tanah setempat.
2.2. Sistem Agroforestri memasok unsur hara ke dalam tanah lebih tinggi
Pemilihan jenis tanaman pokok (kayu) yang tepat dalam sistem agroforestri dapat meningkatkan
pasokan unsur hara melalui produksi biomas yang akan terdekomposisi menjadi unsur hara. Sudah umum
difahami dalam ilmu tanah bahwa nitrogen (N) merupakan unsur yang paling melimpah di udara tetapi paling
defisit di dalam tanah. Melalui proses dekomposisi sisa biomas, pasokan N ke dalam tanah dapat ditingkatkan.
Jumlah N yang ditambahkan tergantung pada jumlah biomas yang dihasilkan, yang ditentukan oleh jenis,
pengelolaan dan faktor lain yang berkaitan dengan kesesuaian lahan dan jenis. Sebagai contoh pasokan N ke
dalam tanah oleh biomas tanaman legum akan tergantung pada laju penambatan N yang dipengaruhi oleh
aktivitas bintil akar (Ramchandran Nair, 1993). Hasil penelitian Ramchandran Nair (1993), Lamtoro (Leucaena
leucochephala), Dadap (Erythrina poeppigiana) dan Gamal (Glerecidia sephium) yang ditanam sebagai tanaman
tepi yang dipangkas setiap 8 minggu diperoleh biomas 45 g/m, dengan jarak tanam 5 meter telah diperoleh 90
kg N/ha/tahun dan produksi pangkasan tertinggi diperoleh pada pemangkasan 6 bulanan dengan tinggi
pangkasan 100 cm. Hasil mineralisasi dari biomas G. sepium memasok 71% kebutuhan N tanaman jagung,
sedangkan pasokan dari biomas Flemingia macrophyl lahanya 26%. Selain N, menurut Ramchandran Nair (1993),
biomas tanaman pokok yang terdekomposisi juga akan meningkatkan pasokan unsur hara lainnya. Penelitian di
Pantai Gading diperoleh peningkatan pasokan K sebesar 44, 59 dan 37 kg/ha dengan penanaman G. sepium,
L.leucocephaladan F.macrophylladalam waktu 3 bulan.
Penelitian agroforestri dengan alley cropping yang dilakukan di Nigeria Selatan selama 8 tahun pada
tanah berpasir menunjukkan bahwa penambahan biomas dari pangkasan lamtoro (L. Leucocephala) dapat
meningkatkan produktivitas tanaman jagung sebesar 2 ton/ ha. Pada tanaman tanpa biomas pangkasan
lamtoro dan tanpa pupuk (kontrol) hanya 0,66 ton/ha. Dengan pangkasan lamtoro dan pupuk N dosis 80
kg/ ha produktivitasnya mencapai 3,01 ton/ha (Ramachandran Nair, 1993).
Peningkatan kesuburan tanah pada sistem agroforestri juga dilakukan oleh tanaman pertanian. Tanaman
pertanian umumnya mampu berasosiasi dengan mikroba tanah yang dapat meningkatkan pasokan unsur
3
Galam Volume 2 Nomor 1, Juni 2016
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
hara, misalnya bakteri rhizobium (tanaman kacang-kacangan) dan mikoriza arbuskula (tanaman rumputrumputan). Menurut Hrynkiewicz & Baum ( 2011) endomikoriza berasosiasi dengan sebagian besar
tanaman dari kelompok herba dan gramineae. Mikoriza meningkatkan panjang dan densitas akar sehingga
efektif untuk menyerap unsur-unsur hara immobile terutama P. Hal ini sangat penting bagi tanaman yang
memiliki akar relatif tebal dan memiliki percabangan akar yang jarang sehingga memiliki akar yang
pendek untuk tiap jumlah karbon yang didepositkan ke dalam tanah (Eissenstat, 1992). Infeksi mikoriza
ditemukan dapat meningkatkan percabangan akar (Atkinson & Last, 1994).
Mikoriza dapat menginfeksi beberapa jenis tanaman yang berbeda sehingga akan menghubungkan
akar-akar tanaman, namun pertukaran unsur hara antar spesies yang berbeda tersebut sangat kecil atau
tidak terjadi kompetisi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan masing-masing tanaman (Bethlenfalvay,
1992). Mikoriza yang diinokulasikan pada tanaman kacang tanah (Phaseolus vulgaris) dapat menambat N
lebih tinggi dibanding tanaman yang tidak diinokulasi, namun akan mengurangi kandungan N tanah
sehingga ketika ditanam bersamaan dengan jagung dapat mengurangi pasokan N untuk tanaman jagung
(Reeves, 1992). Selain mikoriza dan mikroba penambat N, dalam rhizosfir tanaman agroforestri juga
dikoloni oleh mikroba pelarut P yang juga mampu meningkatkan efisiensi sistem perakaran dan
berinteraksi dengan sistem perakaran tanaman jenis lain yang menjadi tetangganya (Davet, 1996;
Grayston et al., 1996). Oleh karena itu menanam pohon dari jenis legum dengan tanaman pertanian yang
memiliki nilai ekonomi tinggi hendaknya menjadi perhatian penting.
Selain mendorong terjadinya simbiosis dengan mikoriza dan rhizobium untuk meningkatkan pasokan
hara, komunitas rhizosfir yang beragam pada sistem agroforestri akan meningkatkan pasokan unsur hara
karena meningkatnya kemampuan mendegradasikan bahan organik tanah yang dipasok oleh serasah
maupun limbah pertanian. Komunitas mikroba merupakan kunci pendukung kelestarian dan berfungsinya
ekosistem, termasuk agroforestri, karena dari merekalah sumber enzim-enzim yang diperlukan untuk
dekomposisi bahan organik (Kandeler, 1996). Komunitas mikroba berasosiasi dengan rhizosfir
menentukan volume tanah yang dipengaruhi oleh akar tanaman, sehingga penting bagi kesehatan
tanaman dan kesuburan tanah (Gregory, 2006). Rhizosfir sebagian besar tanaman dapat memanfaatkan
pengaruh dari komunitas mikroba tanah pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah. Eksudat akar dari
berbagai tanaman yang berbeda pada sistem agroforestri dapat memacu pertumbuhan populasi bakteri
dan fungi yang khas di daerah sekitar akar (Gregory, 2006).
2.3. Rhizosfir sistem agroforestri memiliki biodiversitas lebih tinggi
Penelitian keanekaragaman genetik (genetic diversity) dari komunitas bakteri di rhizosfir menunjukkan
bahwa tanaman memiliki peranan yang paling penting dalam menentukan komposisi komunitas bakteri di
rhizosfir (Costa et al., 2006). Menurut Smalla et al. (2001), keanekaragaman dan struktur bakteri di rhizosfir
sangat tergantung pada inangnya (plant-specific) dan berbeda-beda menurut waktu. Keanekaragaman
mikroba rhizosfir dipengaruhi oleh umur tanaman, musim dan kondisi tanah (Hrynkiewicz et al. 2010).
Spesifisitas tersebut dikaitkan dengan komposisi eksudat akar yang dihasilkan oleh tanaman (Lynch &
Whipps, 1990), yang berbeda-beda tergantung pada jenis, umur, lokasi tempat berkembangnya sistem
perakaran tanaman serta jenis tanah (Hertenberger et al., 2002). Eksudat akar umumnya dibedakan menjadi
dua, senyawa dengan berat molekul rendah (BMR) misalnya polisakarida sederhana, asam-asam amino, amida,
asam-asam organik, fenolik dan beberapa metabolit sekunder. Yang kedua adalah senyawa dengan
4
Efektivitas Rhizosfir Pada System Agroforestri: Sebuah Pemahaman dari Sudut Pandang Biologi Tanah
Enny Widyati
berat molekul tinggi (BMT) seperti flavonoid, peptida, protein (misalnya enzim-enzim), asam-asam lemak,
zat pengatur tumbuh (growth regulators), nucleotida, tanin, karbohidrat, steroid,terpenoid, alkaloid, polyasetilen, vitamin and mucilage (Bertinet al., 2003; Walker et al., 2003; Gregory, 2006).
Hal tersebut mengakibatkan akar tanaman dari jenis yang berbeda akan dikoloni oleh populasi bakteri
yang berbeda karena tanaman yang berbeda menghasilkan eksudat akar yang berbeda. Kontribusi yang
tinggi dari rhizosfir terhadap dinamika C di dalam tanah ditunjukkan oleh tingginya keanekaragaman
populasi bakteri yang dapat menggunakan eksudat akar dan bahan organik tanah yang tinggi (Haichar et
al., 2008). Pada sistem agroforestri yang memadukan jenis tanaman pohon dengan tanaman pertanian
akan memiliki keanekaragaman eksudat akar yang tinggi. Tingginya keragaman eksudat akar akan
menentukan keragaman mikroba penghuni rhizosfir yang tinggi juga. Karena dalam ekosistem rhizosfir
terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara faktor tanaman, faktor lingkungan, jenis eksudat
yang dikeluarkan dengan struktur mikroba yang dapat dibentuk di rhizosfir. Eksudasi oleh akar tanaman
ditentukan oleh banyakfaktor, antara lain genotif tanaman (Grayston et al., 1998), umur tanaman (Van
Veen et al., 1991; Marschner et al., 2001), status/kandungan unsure hara tanah (Fan et al., 2001) dan ada
tidaknya kolonisasi oleh fungi mikoriza (Marschner et al., 1997). Banyaknya deposit eksudat akar
merupakan faktor utama pemicu proses yang merubah kemelimpahan unsur hara di rhizosfir (Hinsinger et
al., 2009) sehingga akan mengundang mikroba untuk mengkoloni daerah tersebut.
Ibekwe & Kennedy (1999) melaporkan bahwa komunitas mikroba di rhizosfir sangat bervariasi tergantung
pada jenis tanaman (gandum, barley, kacang-kacangan, pakan ternak dan tanaman lain). Smalla et al (2001)
menggunakan sistem molekuler untuk melihat keanekaragaman komunitas mikrob rhizosfir pada tanaman
kentang, strawberry dan rumput penghasil minyak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok Nocardia
hanya ditemukan pada strawberry. Germida et al (1998) menyimpulkan bahwa tanaman penghasil minyak
canola dan gandum yang ditumbuhkan pada lokasi yang sama secara bersamaan memiliki komposisi bakteri
yang berbeda. Tanaman gandum akan didominasi oleh bakteri dari kelompok Bacillus. Komunitas mikrob di
rhizosfir juga akan berbeda pada species yang sama tetapi kultivar yang berbeda. Hasil penelitian Fromin et al.,
(2001) menunjukkan bahwa struktur genetik bakteri Pseudomonas brassicacearum dipengaruhi oleh genotif
tanaman gandum Arabidopsis thaliana yang menjadi inangnya.
Komunitas mikroba di rhizosfir juga dipengaruhi oleh kemampuan tanaman berasosiasi dengan
mikoriza. Ketika tanaman berasosiasi dengan mikoriza akan memiliki komunitas bakteri yang berbeda
dengan akar tanaman yang tidak bermikoriza. Menurut Hrynkiewicz& Baum (2011) terjadi hubungan
timbal balik yang menguntungkan pada mikorhizosfir (ekosistem tanah di sekitar mikoriza) bahwa bakteri
yang mengkoloni mikorhizosfir membantu pembentukan mikoriza.
Bakteri yang mengkoloni rhizosfir secara individu maupun bekerjasama dengan mikoriza dapat
meningkatkan kebugaran tanaman. Dalam rhizosfir bakteri secara terus menerus memetabolisir berbagai
macam bahan organik yang berasal dari eksudat akar. Akibat aktivitas mereka menghasilkan dinamika
secara kuantitatif dan kualitatif dari eksudat akar yang dilepaskan tanaman dan secara signifikan
mempengaruhi pasokan unsur hara kepada tanaman inangnya (Hrynkiewicz& Baum, 2011).
2.4. Rhizosfir agroforestri lebih sehat
Pada umumnya organisme saprotrof dan biotrof di rhizosfir merupakan tanggapan atas tingginya
deposit eksudat akar. Namun hal ini juga dapat terjadi pada mikroba patogen tular tanah. Rhizodeposisi
5
Galam Volume 2 Nomor 1, Juni 2016
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
dapat mendorong patogen tumbuh pada akar tanaman sehingga terjadilah infeksi (Whipps, 2001).
Akibatnya, struktur komunitas rhizosfir dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas senyawa organik yang
dilepaskan oleh akar (Bazin et al., 1990). Namun demikian akar tanaman juga tidak akan pasif ketika
datang mikroba yang disinyalir merupakan patogen akar. Tanaman akan melepaskan senyawa yang dapat
membunuh patogen yang disebut biosida sehingga akan mempengaruhi komunitas mikroba di rhizosfir
(Rumberger & Marschner, 2003).
Komunitas mikroba yang berasosiasi dengan akar tanaman disebut rhizosphere microbiome, memiliki
peranan yang penting dalam menentukan kesehatan dan daya tahan (health and survival) tanaman (Bakker et
al., 2013; Mendes et al., 2013). Tumbuhan mampu melepaskan 20% hasil fotosintesisnya ke dalam tanah,
menyediakan sumber daya yang menjadi dasar bagi terjadinya interaksi mikroba-tanaman yang
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, seperti meningkatkan ketersediaan unsur hara, meningkatkan
produksi hormon tumbuhan (fitohormon), mendegradasikan senyawa yang beracun bagi tanaman (fito-toxic),
dan menekan patogen tular tanah (Bais et al., 2006). Komposisi, ukuran dan aktivitas populasi mikrob di rhizosfir
akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, mengatur dinamika unsur hara dan mengubah
kerentanan tanaman terhadap serangan penyakit dan cekaman abiotik (Morgan et al., 2005).
Cara lain tanaman berinteraksi dengan akar tanaman lainnya adalah melalui pelepasan senyawa
alelopati. Ternyata senyawa alelopati dapat juga menghambat pertumbuhan beberapa spesies mikroba di
rhizosfir (Bertin et al., 2003). Melalui interaksi kimia alelopati, suatu sistem perakaran dapat mencegah
pertumbuhan sistem perakaran yang lain sehingga akan mempengaruhi distribusinya di dalam tanah. Hal
ini sangat penting dalam pemilihan komposisi tanaman agroforestri untuk menghindari kompetisi dan
untuk mengoptimalkan pemanfaatan unsur hara dalam tanah.
Beberapa eksudat akar atau senyawa yang dihasilkan oleh mikroba yang berasosiasi di rhizosfir dapat
berfungsi sebagai messengers, menyebabkan inisiasi interaksi akar-akar, akar-mikroba dan akar-fauna
tanah (Walker et al., 2003). Bauer & Teplitski (2001) menjelaskan bahwa eksudat mencerminkan mikroba
di rhizosfir karena tanaman akan mengatur populasi yang khas di rhizosfirnya. Pengaturan tersebut
melalui produksi senyawa yang memberi tanda untuk duplikasi, penghambat atau untuk merombak enzim
mikrob di rhizosfir (Gregory, 2006).
Selain memasok unsur hara, bakteri rhizosfir juga melepaskan beberapa macam senyawa antara lain
fitohormon atau senyawa anti mikroba untuk melawan patogen (Hrynkiewicz& Baum, 2011). Sebagian besar
bakteri pemacu pertumbuhan yang berasosiasi di akar tanaman (plant growth promoting rhizobacteria, disingkat
PGPR) dapat menghasilkan fitohormon, misalnya auksin, giberelin dan sitokinin (Quiroz-Villareal et al., 2012).
Spesies PGPR pensintesis auksin meliputi Pseudomonas sp.,Klebsiella sp.,Azospirillum sp.,
Bacillus sp., Enterobacter dan Serratia sp. (Frankenberger & Arshad, 1995). Mikroorganisme tanah juga
dapat menghasilkan beberapa macam sitokinin, yaitu kinetin, zeatin dan isopentiladenin (Tsavkelova et al.
2006). Hormon auksin, sitokinin dan giberelin dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (QuirozVillareal et al., 2012), meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan (Yildiz Aktas et al.,2008, Bano &
Yasmeen, 2010), terhadap kontaminasi logam berat (Jing et al., 2007), dan terhadap cekaman kadar garam
(Sharma et al., 2005; Shaterian et al., 2005).
6
Efektivitas Rhizosfir Pada System Agroforestri: Sebuah Pemahaman dari Sudut Pandang Biologi Tanah
Enny Widyati
III. PENUTUP
Sistem agroforestri merupakan sistem yang paling efisien dalam memanfaatkan unsur hara tetapi paling
optimum dalam meningkatkan produktivitas lahan. Karena pada sistem ini menunjang terbentuknya ekosistem
yang sehat dan dinamis. Campuran beberapa jenis tanaman akan mendorong terwujudnya sistem rhizosfir yang
dinamis dengan keanekaragaman tinggi sehingga akan mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan
seimbang serta meningkatkan produksi fitohormon, enzim dan senyawa siderofor yang diperlukan untuk
merombak bahan organik, meningkatkan ketersediaan unsur hara, menghadapi berbagai cekaman dan
melawan patogen tular tanah. Dengan demikian sistem agroforestri tidak hanya menjanjikan secara ekonomi,
ekologi dan sosial, ternyata juga menarik dari sudut pandang ilmu Biologi Tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, D. and Last, F. 1994. Growth, form and function of roots and root systems. Scottish Forestry 48:
153–159
Bais, H.P., Weir, T.L., Perry, L.G., Gilroy, S., and Vivanco, J.M. 2006. The role of root exudates in
rhizosphere interactions with plants and other organisms. Annu Rev Plant Biol 57: 233–266.
Bakker, P.A.H.M., Doornbos, R.F., Zamioudis, C., Berensen, R.L. and Pieterse, C.M.J. 2013. Induce system
resistance and rhizosphere microbiome. Plant pathol. J. 29: 136-143. Doi: 10.5423/PPJ.
SI.07.2012.0111
Bano, A. and Yasmeen, S. 2010. Role of phytohormones under induced drought stress in wheat. Pak. J.
Bot., 42(4): 2579-2587
Bauer, W.D. and Teplitski, M. 2001. Can plants manipulate bacterial quorum sensing. Australian Journal of
Plant Physiology, 28(9), 913-921.
Bazin, M.J., Markham, P., Scott, E.M. and Lynch, J.M. 1990. Population dynamics and rhizosphere
interactions. In J. M. Lynch (Ed.), The rhizosphere. (pp. 99-127). Chichester: Wiley.
Bertin, C., Yang, X.H. and Weston, L. A. 2003. The role of root exudates and allelochemicals in the rhizosphere.
Plant and Soil, 256(1), 67-83.
Bethlenfalvay, G.J. 1992. Mycorrhizae and crop productivity. In: Bethlenfalvay GJ and Linderman RG (eds)
Mycorrhizae in sustainable agriculture, pp 1–27. American Society of Agronomy, Madison
Costa, R., Gotz, M., Mrotzek, N., Lottmann, J., Berg, G. and Smalla, K. 2006. Effects of site and plant
species on rhizosphere community structure as revealed by molecular analysis of microbial guilds.
FEMS Microbiol Ecol 56: 236–249.
Davet, P. 1996. Vie microbienne du sol et production végétale. Paris, Institut National de la Recherche
Agronomique, 383 pp
Eissenstat, D. M. 1992. Costs and benefits of constructing roots of small diameter. J Plant Nutr15: 763-782
Fan, T.W.M., Lane, A.N.,Shenker, M. , Bartley, J.P. , Crowley, D.E. and Higashi, R.M. 2001. Comprehensive
chemical profiling of gramineous plant root exudates using high-resolution NMR and MS.
Phytochem. 57, 209–221.
7
Galam Volume 2 Nomor 1, Juni 2016
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
Frankenberger, J.R.W.T. and Arshad, M. (1995). Phytohormones in soils. Microbial Production and
Function, Marcel Dekker, Inc. New York. pp. 5-40
Fromin, N., Achouak, W., Thiery, J.M., & Heulin, T. (2001). The genotypic diversity of Pseudomonas
brassicacearum populations isolated from roots of Arabidopsis thaliana: influence of plant genotype.
Fems Microbiology Ecology, 37(1), 21-29.
Germida, J.J., Siciliano, S.D., de Freitas, J.R. and Seib, A.M. (1998). Diversity of root associated bacteria
associated with held-grown canola (Brassica napus L.) and wheat (Triticum aestivum L.). Fems
Microbiology Ecology, 26(1), 43-50.
Grayston, S.J., Wang, S., Campbell, C.D. and Edwards, A.C.. 1998. Selective influence of plant species on
microbial diversity in the rhizosphere. Soil Biol. Biochem. 30, 369–378.
Gregory, P.J. 2006. Roots, rhizosphere and soil: The route to a better understanding of soil science. Eur. J.
Soil Sci. 57, 2–12.
Haichar, F.Z., Marol, C., Berge, O., Rangel-Castro, J.I., Prosser, J.I., Balesdent, J., Heulin, T. and Achouak,
W. 2008. Plant host habitat and root exudates shape soil bacterial community structure. The ISME
Journal (2008) 2, 1221–1230
Hertenberger, G., Zampach, P. and Bachmann, G. 2002. Plant species affect the concentration of free
sugars and free amino acids in different types of soil. J Plant Nutr Soil Sci 165: 557–565.
Hinsinger, P., Bengough, A.G., Vetterlein, D. and Young, I.M. 2009. Rhizosphere: biophysics, biogeochemistry
and ecological relevance. Plant Soil (2009) 321:117–152 DOI 10.1007/s11104-008-9885-9
Hrynkiewicz, K., Baum, C. and Leinweber, P. 2010. Density, metabolic activity and identity of
cultivablerhizosphere bacteria on Salix viminalis in disturbed arable and landfill soils. J Plant
NutrSoil Sci 173:747–756
Hrynkiewicz, K. and Baum, C. 2011. The Potential of Rhizosphere Microorganismsto Promote the Plant
Growth in Disturbed Soils. in Malik, A and Grohmann, E. (eds.), Environmental Protection
Strategies for SustainableDevelopment, Strategies for Sustainability,DOI 10.1007/978-94-007-15912_2, © Springer Science
Ibekwe, A. M. and Kennedy, A. C. 1999. Fatty acid methyl ester (FAME) profiles as a tool to investigate
community structure of two agricultural soils. Plant and Soil, 206, 151-161.
Jing, Y, He, Z. and Yang, X. 2007. Role of rhizobacteria on phytoremediation of heavy metals contaminated
soils. J Zhejiang Univ Sci B 8: 193-207.
Kandeler, E., Kampichler, C. and Horak, O. 1996. Influence of heavy metals on the functional diversity of
soil communities. Biol. Fertil. Soils 23, 299–306.
Lynch, J.M. and Whipps, J.M. 1990. Substrate flows in the rhizosphere. Plant Soil 129: 1–10.
Marschner, H. 1995. Mineral nutrition of higher plants, 2nd edition. London, Academic Press,889 pp
Marschner, H. 1998. Soil-root interface: biological and biochemical process. In: Soil chemistryand
ecosystem health. SSSA Special Publication No 52. Madison, WI, pp 191–231
8
Efektivitas Rhizosfir Pada System Agroforestri: Sebuah Pemahaman dari Sudut Pandang Biologi Tanah
Enny Widyati
Marschner, P., Yang, C.H., Lieberei, R. and Crowley, D.E. 2001. Soil and plant specific effects on bacterial
community structure in the rhizosphere. Soil Biol. Biochem. 33, 1437–1445.
Marschner, P., Crowley,D. and Yang, C-H. 2004. Development of specific rhizosphere bacterial
communities in relation toplant species, nutrition and soil type. Plant and Soil 261: 199–208.
Marschner, P., Crowley, D.E. and Higashi, R.M. 1997. Root exudation and physiological status of a rootcolonizing fluorescent pseudomonad in mycorrhizal and non-mycorrhizal pepper (Capsicum
annuum L.). Plant Soil 189, 11–20.
Mendes, R., Garbeva, P. and Raaijmakers, J.M. 2013. The Rhizosphere microbiome: significance of plants
beneficial, plant pathogenic and human pathogenic microorganisms. FEMS Microbial Rev. 37:
634-663. Doi: 10.1111/1574-6976.12028
Morgan, J.A.W., Bending, G.D., and White, P.J. (2005). Biological costs and benefits to plant-microbe
interactions in the rhizosphere. Journal of Experimental Botany, 56(417), 1729-1739.
Mortis,
T.
2007.
Agroforestry
Principles.
Echo
Technical
Notes.
http://people.umass.edu/psoil370/ Syllabus-files/Agroforestry_Principles.pdf
Tersedia
di:
Nihorimbere, V., Ongena, M., Smargiassi,M.and Thonart, P. 2011. Beneficial effect of the rhizosphere microbial
community for plant growth and health. Biotechnol.Agron. Soc. Environ. Vol. 15(2), 327-337
Pinton, R., Varanini, Z. and Paolo, N. 2007. The Rhizosphere: Biochemistry and Organic Substances at the
Soil-Root Interface. CRC Press, Boca Raton.
Quiroz-Villareal,S., Hernández,N.Z., Luna-Romero,I., Amora-Lazcano, E., and Rodríguez-Dorantes, A.
2012. Assessment of plant growth promotion by rhizobacteria supplied with tryptophan as
phytohormone production elicitor on Axonopus affinis. Agricultural Science Research Journals Vol.
2(11), pp. 574-580, Available online at http://www.resjournals.com/ARJ ISSN-L:2026-6073
Ramachandran Nair, P.K. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht.
Reeves, M. 1992. The role of VAM fungi in nitrogen dynamics in maize-bean intercrops. Plant Soil 144: 85–92
Rumberger, A. and Marschner, P. (2003). 2-Phenylethylisothiocyanate concentration and microbial
community composition in the rhizosphere of canola. Soil Biology & Biochemistry, 35(3), 445-452.
Sharma, N., Abrams, S.R. and Waterer, D.R. 2005. Uptake, movement, activity, and persistence of an
abscisic acid analog (80 acetylene ABA methyl ester) in marigold and tomato. J Plant Growth
Regul 24: 28-35
Shaterian, J., Waterer, D., De Jong, H. and Tanino, K.K. (2005) Differential stress responses to NaCl salt
application in early- and late maturing diploid potato (Solanum sp.) clones. Environ Exp Bot 54:
202-212
Smalla, K., Wieland, G., Buchner, A., Zock, A., Parzy, J., Kaiser, S., Roskot, N., Heuer, H. and Berg, G. 2001. Bulk
and rhizosphere soil bacterial communities studied by denaturing gradient gel electrophoresis: plantdependent enrichment and seasonal shifts revealed. Appl Environ Microbiol 67:4742–4751
9
Galam Volume 2 Nomor 1, Juni 2016
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
Tsavkelova, E.A., Klimova, S.Y., Cherdyntseva, T.A., and Netrusov, A.I. (2006). Microbial producers of plant
growth stimulators and their practical use: A review. Applied Biochemistry and Microbiology 42(2):
117-126
USDA
National
Agroforestry
Centre
[USDA
NAC].
2012.
What
is
Agroforestry.
http://nac.unl.edu/documents/ workingtrees/infosheets/WhatIsAgroforestry0725201
Van Veen, J.A., Liljeroth, E. and Lekkerkerk, L.J.A. . 1991. Carbon fluxes in plant-soil systems at elevated
atmospheric CO2 levels. Ecol. Applic. 1, 175–181.
Walker, T. S., Bais, H.P. ,Grotewold,E. and Vivanco, J.M. 2003. Root Exudation and Rhizosphere Biology.
Plant Physiology 132, 44-51.
Whipp, J.M. 2001.Microbial interactions and biocontrol in the rhizosphere.Journal of Experimental Botany,
Root issues special.Vol 54: pp 487 – 511
Yildiz Aktas, L., Akca, H., Altun, N. and Battal, P. 2008.Phytohormone levels of drought-acclimated laurel
seedlings in semiarid conditions. Gen. Appl. PlantPhysilogy,Special Issue,34 93-4), 203-214
10
Download