LAPORAN KASUS Wound Myasis pada Anak Natharina Yolanda, Satyadharma Michael Winata Dokter Internship Puskesmas Niki, Niki, Nusa Tenggara Timur, Indonesia ABSTRAK Myasis merupakan infestasi parasit pada jaringan hidup makhluk bertulang belakang (manusia dan atau hewan) yang disebabkan oleh larva lalat ordo Diptera (belatung). Infestasi larva pada kulit dan luka adalah bentuk yang paling sering. Dilaporkan kasus seorang anak perempuan 10 tahun dengan keluhan luka disertai belatung pada kulit kepala. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sebuah luka terbuka bentuk bulat, diameter 1,5 cm, kedalaman 1 cm, bergaung, berbau busuk, dengan tepi eritema disertai pus. Pada probing luka ditemukan 10 larvae berbentuk silinder, bersegmen, putih–kecokelatan dengan panjang 1,5–2 cm. Gambaran di atas mengarah pada diagnosis wound myasis dengan infeksi bakterial sekunder. Pasien diterapi dengan ekstraksi larva secara mekanik diikuti debridemen dan irigasi saline, petroleum jelly untuk merangsang granulasi pada kondisi lembap, antibiotik untuk infeksi sekunder. Luka sembuh dan menutup sempurna. Kata kunci: Diptera, larva, myasis, myasis pada luka ABSTRACT Myasis is an infestation of larvae of flies from Diptera order in live vertebrates (humans and or animals). Larvae infestation in skin and wound are the most common form. This is a report of a 10-year-old girl with chief complaint of an open wound with larvae in her scalp. Physical examination revealed a round open lesion, 1.5 cm in diameter, 1 cm in depth, cavernous, malodorous, with florid and purulent margin. Probing into the lesion revealed 10 larvae which are cylindrical, segmented, white–brownish, and 1.5–2 cm in length. Those findings confirmed the diagnosis of wound myasis with secondary bacterial infection. Patient was treated with mechanical larva extraction followed by debridement and saline irrigation, petroleum jelly to stimulate granulation in humid condition, and antibiotics for secondary infection. The lesion was healed and closed perfectly. Natharina Yolanda, Satyadharma Michael Winata. Wound Myasis in a Child–case report. Key words: Diptera, larvae, myasis, wound myasis PENDAHULUAN Myasis adalah infestasi parasit pada jaringan hidup atau kavitas manusia atau hewan bertulang belakang disebabkan oleh larva lalat ordo Diptera (belatung). Larva ini mengkonsumsi jaringan mati atau jaringan hidup, cairan tubuh, atau makanan yang tercerna.1,2 Myasis merupakan penyakit yang umum ditemui pada hewan, namun jarang pada manusia. Beberapa spesies lalat dari ordo Diptera dapat menyebabkan myasis pada manusia di berbagai bagian tubuh, paling sering di kulit.2,3 Secara klinis, myasis dikelompokkan menjadi: (1) myasis sanguinivorus (penyedot darah), (2) kutaneus (furunkular dan migratorik), (3) myasis pada luka (wound myasis), serta (4) myasis pada kavitas. Myasis pada kavitas alami misalnya infestasi pada kavum oral, aural, okular, nasal, gastrointestinal, dan genitourinaria. Myasis furunkular dan wound myasis adalah bentuk yang paliing sering ditemui.2 Kami melaporAlamat korespondensi kan satu kasus wound myasis pada kulit kepala seorang anak perempuan di Kelurahan Niki– Niki, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. disangkal. Pasien mengaku jarang mencuci rambut. Pasien berasal dari kelompok sosioekonomi kurang mampu dan tanpa orang tua. KASUS Seorang anak perempuan berusia 10 tahun datang ke Balai Pengobatan Umum (BPU) Puskesmas Niki dengan keluhan luka kulit kepala yang sangat gatal dan disertai belatung. Luka tersebut telah dialami selama satu bulan, namun adanya belatung baru dikeluhkan keluarga pasien satu hari sebelum berobat. Keluarga pasien mengaku telah mengeluarkan 30 buah belatung dari luka tersebut. Pasien mengaku mengalami ketombe pada kulit kepala sejak lama dan sering menggaruk kulit kepala karena gatal. Luka timbul akibat garukan terusmenerus. Awalnya, luka berupa borok kecil dan kemudian membesar dan bernanah. Riwayat kutu pada rambut dan trauma kepala Saat berobat, pasien tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis, dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Antropometri: berat badan 22 kg dan tinggi badan 124 cm (status gizi baik). Saat datang rambut pasien pendek, warna hitam, tidak kusam, tidak mudah dicabut, dan tampak gumpalan skuama kekuningan pada batang rambut dan kulit kepala (ketombe). Pada regio parietal dekstra, tampak satu buah luka terbuka bentuk bulat, diameter 1,5 cm, kedalaman 1 cm, bergaung, tepi eritema disertai pus, dengan bau busuk (Gambar 1A dan 1B). Atas izin pasien dan keluarganya, rambut pasien dicukur seluruhnya; tampak hampir seluruh permukaan kulit kepala ditutupi email: [email protected] CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014 601 LAPORAN KASUS A B Gambar 1 (A) Luka terbuka pada regio parietal dekstra saat pasien datang berobat. Tepi luka tampak eritema dan disertai pus. Tampak gumpalan skuama kekuningan pada batang rambut. (B) Ekstraksi larva dari dalam luka. A B tanda infeksi mereda (tidak terdapat pus dan eritema berkurang). Ampisilin dan gentamisin diberikan selama 5 hari; setelah pengobatan antibiotik selesai dan infeksi telah sembuh, luka ditutup kasa yang diolesi petroleum jelly murni 100%. Kasa diganti dan luka dibersihkan setiap hari. Setelah 3 hari penggunaan petroleum jelly, tampak jaringan granulasi di dalam luka dan tepi luka merapat. Perkembangan luka digambarkan pada Gambar 4. Selama perawatan luka, tidak ditemukan larva lain dari dalam luka. DISKUSI Myasis berasal dari bahasa Yunani “mya” yang berarti lalat; istilah ini pertama kali digunakan oleh Hope untuk mendeskripsikan penyakit pada manusia yang disebabkan larva Diptera. Myasis didefinisikan sebagai infestasi parasit pada jaringan hidup atau kavitas manusia atau vertebrae yang disebabkan oleh larva lalat ordo Diptera. Larva ini mengkonsumsi jaringan mati atau jaringan hidup, cairan tubuh, atau makanan yang tercerna.1-3 Penyakit ini terutama ditemui pada daerah tropis dan subtropis, kelompok sosioekonomi rendah, serta higienitas buruk. Terdapat dua jenis klasifikasi myasis, yaitu klasifikasi berdasarkan anatomi dan ekologi. Berdasarkan anatomi, myasis dibagi menjadi: (1) myasis sanguinivorus (penyedot darah), (2) kutaneus (furunkular dan migratorik), (3) myasis pada luka (wound myasis), serta (4) myasis pada kavitas. Klasifikasi secara anatomi oleh Bishopp, James, dan Zumpt ini digunakan Gambar 2 (A) Saat pasien datang berobat; tampak hampir seluruh kulit kepala ditutupi lesi makula eritema multipel yang ditutupi skuama halus dan berminyak. (B) Setelah pengobatan dengan miconazole krim selama 3 hari, skuama berkurang dan lesi mengering. Lesi mencapai batas rambut bawah dan bagian posterior aurikula. makula eritema multipel bentuk bervariasi, ukuran papular sampai numular, sebagian berkonfluensi, ditutupi skuama halus dan berminyak warna kekuningan (Gambar 2). Pada kedua daun telinga juga tampak makula putih kemerahan berukuran papular dengan skuama halus. Pada luka terbuka dilakukan probing dengan pinset dan ditemukan kehilangan jaringan lunak kulit kepala setebal 1 cm dengan luas 1,5–2 cm. Dari dalam luka dikeluarkan 10 belatung. Belatung tersebut berbentuk silinder, bersegmen, berwarna putih-kecokelatan dengan panjang 1,5–2 cm (Gambar 3). Setelah dipastikan tidak terdapat sisa belatung di dalam luka, kulit kepala dicuci 602 dengan shampo (luka terbuka ditutup dengan kasa saat pencucian). Luka diirigasi dengan cairan fisiologis (NaCl 0,9%), ditampon dengan kasa yang diolesi povidone iodine, dan permukaan luka ditutup dengan kasa. Diagnosis sementara pasien ini adalah wound myasis dengan infeksi bakterial sekunder dan dermatitis seboroik. Pasien dirawat inap untuk perawatan luka lebih lanjut dengan: ampisilin 4 x 1 gram IV, gentamisin 1 x 80 mg IV, acetaminophen 3 x 250 mg PO, vitamin C 2 x 1 tablet PO, vitamin B kompleks 3 x 1 tablet PO, dan loratadine 1 x 10 mg PO. Dermatitis seboroik diobati dengan salep miconazole 3 kali sehari pada kulit kepala. Luka dirawat 1 kali per hari dengan cairan fisiologis dan ditutup dengan kasa. Pada hari ketiga, tanda- Gambar 3 Larva yang diesktraksi dari luka. Larva berbentuk silinder, bersegmen, berwarna putih-kecokelatan, dengan panjang 1,5–2 cm. CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014 LAPORAN KASUS untuk diagnosis klinis. Secara ekologi, myasis dibagi menjadi (1) obligat (myasis akibat larva yang memerlukan manusia untuk hidup) dan (2) fakultatif (infestasi oportunistik). Klasifikasi ekologis menunjukkan tingkat parasitisme yang digunakan dalam program eradikasi.2-4 anthropophagi (tumbu fly);5 myasis migratorik paling sering disebabkan oleh Hypoderma bovis atau Gasterophilus intestinalis, sedangkan wound myasis umumnya disebabkan oleh Cochliomyia americana atau Chrysomyia bezziana.2,4,5 Ordo Diptera (lalat sejati) ditandai dengan satu pasang sayap fungsional dengan sayap belakang yang kecil. Ordo ini terbagi menjadi dua sub-ordo, yaitu Nematocera dan Brachycera. Nematocera terdiri dari famili lalat penghisap darah yang berperan dalam berbagai penyakit virus, protozoa, dan cacing. Sub-ordo Brachycera terdiri dari berberapa infra-ordo; infra-ordo Muscomorpha mengandung semua spesies lalat penyebab myasis, terutama dari famili Calliphoridae (bowfly) dan Muscidae (housefly).2 Memahami tipe lalat penyebab myasis penting karena patofisiologi infeksi pada manusia berbeda tergantung tipe lalat. Myasis furunkular paling sering disebabkan oleh Dermatobia hominis (human botfly) atau Cordylobia Bentuk klinis myasis yang paling banyak ditemui adalah myasis furunkular dan wound myasis.2,3 Myasis furunkular terjadi setelah penetrasi larva melalui kulit sehat, menyebabkan lesi berupa nodul eritema seperti furunkel. Gambaran khas lesi ini adalah adanya punctum sentral yang mengeluarkan cairan serosanguinosa atau purulen; bagian posterior larva (bagian pernapasan) umumnya nampak pada punctum ini, berupa titik kecil kehitaman. Gejala berupa gatal, nyeri, dan sensasi gerakan. Umumnya terdapat riwayat berpergian ke daerah endemik, yaitu Meksiko, Amerika Selatan, Amerika Tengah, Trinidad, dan Afrika.4-6 Komplikasi myasis furunkular yang paling sering adalah infeksi bakteri sekunder oleh Staphylococcus aureus dan Gambar 4 Perkembangan luka selama perawatan. Setelah 5 hari pemberian antibiotik sistemik dan antiseptik lokal, tandatanda infeksi mereda sehingga dimulai pemberian petroleum jelly untuk merangsang jaringan granulasi. Setelah 3 hari pemakaian petroleum jelly (hari 8), tampak jaringan granulasi di bawah kulit dan luka menutup. CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014 Streptococcus grup B, yang ditandai dengan adanya pus, pembesaran kelenjar getah bening, dan atau gejala sistemik.2 Wound myasis terjadi jika lalat meletakkan telurnya pada luka yang disertai jaringan nekrotik, pus, atau darah.2 Faktor penting dalam terjadinya myasis pada luka adalah adanya nekrosis, pH luka basa, higienitas buruk, serta status sosioekonomi rendah. Wound myasis umumnya ditemui pada pasien lanjut usia, penderita kelainan jiwa, pecandu alkohol, dan korban bencana alam.2,6,7 Beberapa kelainan kulit juga diketahui dapat menjadi faktor predisposisi (terutama yang disertai ulkus dan hiperkeratosis), yaitu seperti ulkus neuropatik, psoriasis, keratosis seboroik, onikomikosis, ulkus stasis, karsinoma sel basal, lipedema, infeksi virus herpes zoster, noma, limfedema filaria, kondiloma akuminata, pedikulosis, impetigo, dan lepra.2,8 Telur yang menetas akan mengeluarkan larva; larva ini akan mengkonsumsi jaringan di bawah kulit sehingga timbul kerusakan jaringan luas dan luka bergaung. Selama larva masih terdapat dalam luka, maka luka akan mengeluarkan cairan bercampur darah yang berbau busuk. Komplikasi wound myasis umumnya adalah infeksi sekunder, destruksi lokal, serta invasi ke jaringan yang lebih dalam. Infeksi sekunder terjadi jika larva mengalami ruptur atau mati di dalam luka namun tidak dikeluarkan. Diagnosis wound myasis adalah melalui pemeriksaan klinis. Kecurigaan adanya infeksi oleh larva harus timbul jika terdapat luka dengan pus yang berbau busuk disertai sensasi pergerakan dan nyeri, serta adanya faktor risiko seperti di atas.2,4,9 Prinsip tatalaksana myasis adalah (1) menciptakan kondisi hipoksia lokal untuk memaksa pengeluaran larva, (2) mengaplikasikan bahan-bahan yang toksik terhadap larva dan telur, serta (3) mengeluarkan semua larva secara mekanik atau bedah. Tujuan terapi adalah pembersihan luka dari larva secara total dan mengontrol infeksi sekunder.2,3,11 Semua larva yang tampak harus segera dikeluarkan, diikuti dengan debridemen jaringan nekrotik yang tersisia dan irigasi luka yang bergaung. Irigasi dapat dilakukan menggunakan cairan saline, hidrogen peroksida, larutan antimikroba, atau kloroform 5–15% dalam minyak.1,2,4,6 Pada myasis furunkular, dapat dilakukan penekanan dengan jari-jari pada tepi luka untuk mengeluarkan larva. Eksisi 603 LAPORAN KASUS secara bedah diperlukan jika larva tidak dapat dikeluarkan secara mekanik atau tertanam pada poisisi yang sulit. Ekstraksi larva harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah ruptur yang dapat memicu infeksi bakteri sekunder atau reaksi alergi.2,3 400 μg/kgBB) yang diaplikasikan pada luka selama 2 jam dan kemudian dibilas dengan salin. Penggunaan obat oral tidak direkomendasikan pada myasis manusia. Antibiotik dapat diberikan jika terdapat infeksi bakteri sekunder.2,11 Kondisi hipoksia lokal dapat memicu larva untuk keluar dari luka; hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan bahan-bahan oklusif seperti kloroform, minyak zaitun, minyak paraffin, bacon, beeswax atau petroleum jelly.13,7 Petroleum jelly diaplikasikan secara tebal di atas luka dan diganti setiap 3 jam sampai semua larva keluar dari luka. Bahan toksik yang efektif untuk myasis adalah ivermectin 1% dalam larutan propylene glycol (maksimal SIMPULAN Telah dilaporkan satu kasus wound myasis dengan infeksi bakterial sekunder pada seorang anak perempuan. Faktor risiko pada pasien ini adalah penyakit kulit (dermatitis seboroik), luka dengan higienitas buruk, serta status sosioekonomi rendah. Ciriciri luka myasis sesuai wound myasis, yaitu luka bergaung dengan destruksi lokal jaringan di bawah kulit disertai bau busuk. Infeksi sekunder diidentifikasi berdasarkan adanya eritema dan pus di sekitar luka. Fasilitas kesehatan di tempat pasien tidak memungkinkan pemeriksaan identifikasi jenis larva dan lalat penyebab. Ivermectin sebagai agen toksik belum tersedia di Indonesia, sehingga diterapkan prinsip ekstraksi larva mekanik diikuti debridemen dan irigasi, penggunaan petroleum jelly, serta pengobatan infeksi sekunder. Penggunaan petroleum jelly bertujuan menciptakan kondisi luka yang lembap untuk merangsang pembentukan jaringan granulasi dan penutupan luka. Dengan prinsip tersebut, wound myasis pada pasien berhasil disembuhkan dan luka menutup sempurna setelah perawatan selama 11 hari. DAFTAR PUSTAKA 1. Franza R, Leo L, Minerva T, Sanapo F. Myasis of the tracheostomy wound: case report. Acta Otorhinolaryngol Ital. 2006;26(4):222–4. 2. Francesconi F, Lupi O. Myasis. Clin Microbiol Rev. 2012;25(1):79,79–105. 3. Caissie R, Beaulieu F, Giroux M, Berthod F, Landry P. Cutaneus myasis: diagnosis, treatment, and prevention. J Oral Maxillofac Surg. 2008;66:508–68. 4. Passos M R L, Barreto N A, Varella R Q, Rodrigues G H S, Lewis D A. Penile myasis: a case report. Sex Transm Infect. 2004;80:183–4. 5. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin 11th edition. USA: Saunders Elsevier; 2011. 6. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini R. Cutaneous myasis. Dalam: Dermatology. Vol 1. 2nd ed. Mosby Elsevier; 2008:1300–01. 7. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Diseases caused by arthropods and other noxious animals. Dalam: Rook’s Textbook of Dermatology. Vol 2. 7th ed. Malden, MA: Blackwell Publishing; 8. Curtis SJ, Edwards C, Athulathmuda C, Paul J. Cutaneous myasis in a returning traveller from the Algarve: first report of tumbu maggots, Cordylobia anthropophaga, acquired in Portugal. 9. Ghosh SK, Bandyopadhyay D, Sarkar S. Myasis in a large perigenital seborrheic keratosis. Indian J Dermatol. 2010;55:305–6.127. 2004:33.8–11. Emerg Med J. 2006;23:236–7. 10. McGraw TA, et al. Cutaneous myasis. J Am Acad Dermatol 2008;58(6):907–26. 11. Grammatikopoulou E, Wilson B. Myasis. Medscape Reference, updated 21 April 2011. 604 CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014