Analisis Sistem Tenaga

advertisement
Saluran Transmisi
Sudaryatno Sudirham
Analisis
Sistem Tenaga
Darpublic – Edisi Juli 2012
Analisis
Sistem Tenaga
oleh
Sudaryatno Sudirham
i
Hak cipta pada penulis
SUDIRHAM, SUDARYATNO
Analisis Sistem Tenaga
Darpublic, Kanayakan D-30, Bandung, 40135.
ii
Pengantar
Buku ini berisi bahasan analisis sistem tenaga, yang merupakan
suatu analisis pada tingkat transmisi (tidak termasuk sistem
distribusi); pembahasan disajikan dalam lima bab. Bab pertama
berisi tinjauan umum pada sistem tenaga, mencakup ketersediaan
sumber energi sampai dengan sistem polifasa, pada pembebanan
seimbang dan tak seimbang; di sini diberikan penjelasan mengenai
perhitungan dalam per-unit serta komponen simetris yang akan
dimanfaatkan pada pembahasan di bab-bab selanjutnya. Tiga bab
berikutnya berisi bahasan mengenai piranti utama sistem tenaga,
mencakup saluran transmisi, transformator, dan mesin sinkron; di
tiga bab ini dibahas rangkaian ekivalen serta kondisi pembebanan
yang mungkin terjadi. Bab terakhir berisi bahasan mengenai
permasalahan aliran daya, dengan salah satu metoda silusi yaitu
metoda Newton-Raphson. Pada dasarnya kondisi operasional sistem
yang dibahas adalah kondisi mantap; hanya sedikit disinggung
situasi transien pada saluran transmisi dan mesin sinkron. Stabilitas
transien dan analisis keadaan hubung singkat belum dibahas dalam
buku ini.
Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan
usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya,
sangat penulis harapkan.
Bandung, Juli 2012
Wassalam,
Penulis.
iii
Darpublic
Kanayakan D-30, Bandung, 40135
Dalam format .pdf buku ini dapat diunduh bebas di
www.buku-e.lipi.go.id dan www.ee-cafe.org
Selain Buku-e, di
www.ee-cafe.org
tersedia juga open course
dalam format .ppsx beranimasi dan .pdf
iv
Daftar Isi
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
v
Bab 1: Tinjauan Pada Sistem Tenaga
1
Energi yang Tersedia. Struktur Sistem Tenaga Listrik.
Penyaluran Energi Listrik. Sumber Energi Primer.
Beban. Sistem Polifasa. Sistem Tiga-fasa Seimbang.
Sistem Tiga-fasa Tak Seimbang. Pernyataan Sistem
Tenaga.
Bab 2: Saluran Transmisi
47
Impedansi dan Admitansi. Rangkaian Ekivalen.
Perubahan Pembebanan. Perubahan Panjang Saluran.
Lossless Line. Analisis Pembebanan Saluran Transmisi.
Transien Pada Saluran Transmisi.
Bab 3: Transformator
113
Transformator Satu –fasa. Transformator Pada Sistem
Tiga-fasa. Transformator Tiga Belitan. Transformator
Tiga-fasa Dibangaun Dari Transformator Satu-fasa.
Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y-∆. Sistem Per-Unit
Pada Saluran Dengan Transformator. Transformator
Polifasa.
Bab 4: Mesin Sinkron
157
Mesin Sinkron Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor
Silindris. Kopling Turbin-Generator. Daya Mesin
Sinkron. Batas Operasi Mesin Sinkron. Transien Pada
Mesin Sinkron. Lebih Lanjut Tentang Mesin Sinkron
Kutub Menonjol.
v
Bab 5: Analisis Aliran Daya
197
Analisis Aliran Daya. Persamaan Arus-Tegangan.
Persamaan Aliran Daya. Metoda Newton-Raphson.
Contoh Sistem Dua Bus. Contoh Sistem Tiga Bus.
Daftar Pustaka
225
Biodata Penulis
226
Indeks
227
vi
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
BAB 1
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
1.1 Energi Yang Tersedia dan Energi Listrik
Energi tersedia di alam dalam berbagai bentuk, dan manusia
mengubahnya ke dalam bentuk energi listrik untuk memenuhi
kebutuhannya. Pengubahan atau konversi ini memberikan
keuntungan namun konversi tersebut juga memerlukan biaya yang
tidak kecil.
Berbagai bentuk energi yang mungkin dikonversikan ke dalam
energi listrik:
• Energi radiasi (sinar matahari).
• Energi panas bumi.
• Energi kimia (batubara, minyak bumi).
• Energi kinetik gelombang laut.
• Energi kinetic arus laut.
• Energi potensial air terjun.
• Energi nuklir.
Bentuk energi listrik memberikan beberapa keuntungan:
•
•
•
Lebih mudah diatur/dikendalikan.
Dapat ditransmisikan dengan kecepatan cahaya.
Dapat dikonversikan ke bentuk energi lain dengan efisiensi
tinggi.
•
Bebas polusi, walaupun dalam konversinya dari bentuk
aslinya menimbulkan juga masalah polusi.
•
Konversi ke bentuk lain biasanya mudah dan sederhana.
Kelemahan energi listrik terutama adalah bahwa proses
penyediaannya memerlukan pendanaan cukup besar. Kita sadari
bahwa sistem tenaga listrik adalah besar baik dilihat dari ukurannya,
investasinya, jumlah energi yang dikelola, besaran fisisnya
(tegangan, arus) sampai kepada piranti-pirantinya. Oleh karena itu
pembangunan sistem biasanya dilakukan tidak selalu dari nol
melainkan mengembangakan sistem yang sudah ada; kebutuhan
energi listrik yang terus tumbuh, memaksa sistem tenaga listrik
selalu di-modifikasi dengan mengambil manfaat dari perkembangan
teknologi yang terjadi.
1
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Dalam Tinjauan Sistem Tenaga Listrik ini, kita banyak menoleh ke
PLN. Energi listrik diperkenalkan pertama kali di Indonesia pada
tahun 1897 (masih zaman penjajahan) dengan didirikannya
perusahaan listrik pertama yang bernama Nederlandsche Indische
Electriciteit Maatschappij (NIEM) di Batavia (sekarang Jakarta)
dengan kantor pusat di Gambir. Dua belas tahun setelah itu di
Surabaya didirikan Algemeene Indische Electriciteit Maatschappij
(ANIEM) pada tahun 1909 oleh perusahaan gas NIGM [Ensiklopedi
Blora, 2011]. Frekuensi yang digunakan pada sistem tenaga yang
dibangun adalah 50 Hz, standar Eropa.
Yang menarik dalam kaitan perkembangan kelistrikan di Indonesia
adalah bahwa pengenalan energi listrik di Indonesia tidaklah jauh
dari perkembangan kelistrikan di Amerika. Kita baca misalnya
dalam buku Charles A Gross [1] bahwa pada tahun 1890-an
perusahaan Westinghouse baru bereksperimen dengan apa yang
disebut “alternating current”. Persaingan berkembang antara
General Electric dan Westinghouse dalam menentukan apakah dc
atau ac yang sebaiknya digunakan oleh industri. Pada akhirnya
bentuk ac dapat diterima, antara lain oleh alasan-alasan berikut:
• Transformator (ac) memberikan kemungkinan untuk
mengubah tegangan maupun arus secara mudah.
• Generator ac jauh lebih sederhana dibandingkan dengan
generator dc.
• Motor-motor ac juga lebih sederhana dan lebih murah dari
motor dc.
Pada sekitar 1900 masih diperdebatkan mengenai frekuensi yang
harus digunakan dalam mencatu daya ac, apakah 25, 50, 60, 125,
dan 133 Hz. Jika tidak di-standarkan akan diperlukan beaya untuk
peralatan konversi agar antar sistem dapat dihubungkan. Pada waktu
itu pembangkit hidro cenderung menggunakan 25 Hz karena turbin
air dapat dirancang untuk mencapai efisiensi yang lebih baik pada
kecepatan yang sesuai dengan pembangkitan 25 Hz. Masalah yang
timbul pada penggunaan frekuensi ini adalah terjadinya flicker pada
lampu pijar. Pada akhirnya diterimalah frekuensi 60 Hz sebagai
frekuensi standar karena pada frekuensi ini flicker tidak lagi terasa
dan turbin uap berkinerja baik pada kecepatan perputaran yang
berkaitan yaitu 3600 dan 1800 rpm. Sementara itu di Eropa
ditetapkan frekuensi 50 Hz sebagai frekuensi standar.
2
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Pemanfaatan energi listrik yang pertama kali adalah untuk keperluan
penerangan. Lampu listrik terus dikembangkan untuk memperoleh
lumen per watt semakin tinggi. Kebutuhan energi listrik kemudian
berkembang, tidak hanya untuk memenuhi keperluan penerangan
tetapi juga keperluan akan energi untuk mengoperasikan berbagai
alat rumah tanggga, alat kantor, pabrik-pabrik, gedung-gedung,
sampai ke arena hiburan. Kebutuhan yang terus meningkat tersebut
memerlukan penyaluran energi dengan tegangan yang lebih tinggi.
Dibuatlah transformator penaik tegangan untuk mengirimkan energi
dan transformator penurun tegangan untuk disesuaikan dengan
kebutuhan pengguna.
1.2 Struktur Sistem Tenaga Listrik
An electrical power system can be defined as follows: An
electrical power system is a network of interconnected components
designed to convert nonelectrical energy continuously into the
electrical form; transport the electrical energy over potentially
great distances; transform the electrical energy into a specific
form subject to close tolerances; and convert the electrical energy
into a usable nonelectrical form. [1].
Agar dapat diimplementasikan, sistem ini harus aman, dapat
diandalkan, ekonomis, ramah lingkungan, dan secara sosial dapat
diterima. Sistem tenaga dapat dipandang terdiri dari beberapa subsistem, yaitu
Pembangkitan (Generation)
Transmisi (Transmission)
Subtransmission
Distribusi: primer, sekunder
Beban
1.2.1 Pembangkitan
Piranti utama di sub-sistem pembangkitan adalah generator yang
merupakan sumber energi listrik. Istilah “sumber energi” di sini
agaknya kurang tepat, mengingat bahwa sesungguhnya generator
hanyalah mengubah energi non-listrik menjadi energi listrik.
Generator ini, di pusat pembangkit tenaga air misalnya,
digerakkan (diputar) oleh turbin air dan turbin sendiri digerakkan
oleh air terjun. Air terjunlah yang sesungguhnya sumber energi.
Namun demikian pembahasan kita hanya menyangkut sistem
3
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
tenaga listrik, sehingga peralatan-peralatan “di depan generator”
tidak kita bicarakan dan kita menganggap generator sebagai
sumber energi.
Pada umumnya generator merupakan mesin berputar, yang
membangkitkan daya mulai dari puluhan kW hingga lebih dari
1000 MW, dengan tegangan mulai dari 380 V sampai 25 kV. Sisi
keluaran generator merupakan sistem tiga-fasa.
1.2.2 Transmisi
Daya listrik dari pusat pembangkit disalurkan ke berbagai tempat
melalui saluran transmisi. Tegangan saluran transmisi di sistem
PLN adalah 150 kV, yang disebut Saluran Udara Tegangan Tinggi
(SUTT) dan 275 – 500 kV yang disebut Saluran Udara Tegangan
Ekstra Tinggi (SUTET). Di Amerika digunakan tegangan mulai
115 kV sampai 765 kV.
Sesungguhnya ada dua kemungkinan pembangunan saluran
transmisi yaitu bawah tanah (underground) dan diatas tanah
(overhead) yang kita sebut saluran udara. Saluran udaralah yang
umum digunakan. Saluran udara ini biasanya panjang sampai
ratusan kilometer. Konduktor yang digunakan adalah konduktor
telanjang (tanpa isolasi padat) sehingga ia harus didukung oleh
isolator yang terpasang pada menara. Saluran ini berhubungan
langsung dengan udara sekitarnya sehingga sangat terpengaruh
oleh kondisi alam seperti polusi dan petir.
Jaringan transmisi harus memiliki fleksibilitas untuk menyalurkan
daya besar melalui sejumlah route. Ia harus dirancang sedemikian
rupa sehingga gagalnya sejumlah kecil saluran tidak menyebabkan
kegagalan seluruh sistem. Saluran ini juga harus mampu berfungsi
sebagai penghubung yang mampu menyalurkan energi ke kedua
arah.
Piranti yang menghubungkan generator dan saluran transmisi
adalah transformator, yang berfungsi untuk mengubah tegangan
keluaran generator ke tegangan transmisi yang lebih tinggi.
1.2.3 Subtransmissi
Di Indonesia (jaringan PLN), istilah “subtransmisi” tidak
digunakan. Di PLN pernah digunakan saluran dengan tegangan 30
kV dan 70 kV, namun telah mulai ditinggalkan. Saluran
subtransmisi biasanya tidak panjang (kurang dari beberapa puluh
4
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
kilometer), kapasitas rendah (kurang dari 100 MVA) dan banyak
cabang untuk mencatu pusat-pusat beban.
1.2.4 Distribusi
Saluran transmisi mencatu gardu-gardu induk, di mana tegangan
diturunkan menjadi tegangan distribusi primer. Jaringan distribusi
primer mencatu pelanggan tegangan menengah 20 kV. Pernah
pula digunakan tegangan 6 dan 12 kV namun telah ditinggalkan.
Jaringan distribusi primer bisa dirancang sebagai jaringan radial
ataupun loop. (lihat Gb.1.1) Pada jaringan radial daya mengalir
satu arah yaitu dari sumber (gardu) ke beban
(pengguna/pelang
gan). Pada
jaringan loop,
Beban 1
Beban 2
beban dapat
GI
menerima daya
lebih dari satu
Beban 3
Beban 4
arah. Selain radial
Radial
dan loop,
dikembangkan
pula struktur
Beban 1
Beban 2
jaringan spindle.
Pada tahap
GI
terakhir, tegangan
Beban 3
Beban 4
diturunkan lagi
menjadi 380/220
Loop
V. Jaringan yang
Gb.15.1 Jaringan radial dan loop.
melayani
pengguna pada tegangan rendah ini merupakan jaringan distribusi
sekunder. Jaringan ini bisa sangat rumit, terutama di lokasi padat
pengguna.
1.2.5 Beban
Beban (pengguna/pelanggan) mengambil energi listrik dari
jaringan. Ada hal-hal yang harus dipenuhi dalam melayani beban
ini.
1. Tegangan harus konstan, tidak naik-turun.
2. Frekuensi harus konstan.
5
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
3. Bentuk gelombang tegangan sedapat mungkin sinusoidal.
Untuk menentukan apakah ketentuan ini terpenuhi atau tidak,
digunakan indeks kinerja.
1. Regulasi Tegangan: Deviasi nilai tegangan pada waktu beban
berubah dalam batas-batasnya. Biasanya diambil sekitar 5%.
2. Regulasi Frekuensi: Pada keadaan normal, variasi frekuensi
biasanya cukup kecil, ±0.1 Hz , dan tidak terasa oleh beban.
3. Kandungan Harmonisa: (Lihat: Analisis Rangkaian Listrik Jilid3).
1.3 Penyaluran Energi Listrik
Kita mengenal dua cara penyaluran energi listrik yaitu penyaluran
menggunakan arus searah (selanjutnya kita sebut sistem arus searah,
disingkat sistem AS) dan menggunakan arus bolak-balik sinusoidal
(selanjutnya kita sebut sistem arus bolak-balik, disingkat sistem
ABB). Berikut ini kita akan melihat perbandingan daya maksimum
yang mampu disalurkan melalui beberapa konfigurasi saluran.
1.3.1. Daya
Perhatikan
situasi
i
penyaluran
+
Jaringan
Jaringan
daya
antar
v
A
B
dua jaringan
−
seperti
diperlihatkan
pada Gb.1.2.
Gb.15.2. Penyaluran daya antara dua jaringan.
Hubungan
antara A dan B digambarkan hanya dengan dua garis. Namun
penyaluran daya dari A ke B biasanya dilakukan dengan sejumlah
konduktor (2, 3, 4 konduktor) dengan susunan tertentu, yang kita
sebut konfigurasi saluran.
Daya (laju aliran energi) dari A ke B adalah
(1.1)
p = vi
p = daya, v = tegangan, i = arus (yang ditulis dengan huruf kecil
untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan fungsi waktu).
Untuk memperbesar aliran daya, v dan/atau i harus diperbesar.
Akan tetapi upaya memperbesar kedua besaran ini dibatasi oleh
6
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
kemampuan teknologi. Arus dibatasi oleh kemampuan hantar arus
dari konduktor, sedangkan tegangan dibatasi oleh kekuatan isolasi.
Konduktor dibuat dari material yang memiliki konduktivitas listrik
yang tinggi, memiliki kekuatan mekanis yang sesuai, serta
ekonomis. Untuk itu banyak digunakan aluminum untuk saluran
transmisi, dan tembaga untuk saluran distribusi serta bagianbagian tertentu sistem tenaga. Kemampuan hantar arus dari suatu
konduktor terkait erat dengan kerapatan arus dan luas
penampangnya.
I max = J max A
(1.2)
I max = arus maksimum, J max = kerapatan arus maksimum, A =
luas penampang konduktor. Kerapatan arus maksimum, J max ,
ditentukan oleh pembatasan temperatur maksimum konduktor agar
tidak terjadi kerusakan konduktor serta isolasinya.
1.3.2. Konfigurasi Saluran
Berikut ini kita akan memperbandingkan daya maksimum yang
mampu disalurkan melalui suatu konfigurasi saluran tertentu.[1].
Ada enam konfigurasi yang akan kita lihat yaitu sistem AS 2
kawat, sisten AS 3 kawat, sistem ABB 1 fasa 2 kawat, sistem ABB
2 fasa 3 kawat, dan sistem ABB 3 fasa 4 kawat.
Pada setiap konfigurasi, salah satu kawat di-tanah-kan, dan disebut
kawat netral; kawat yang tidak ditanahkan disebut kawat fasa.
Dalam memperbandingkan kemampuan penyaluran setiap
konfigurasi ini kita tetapkan bahwa
1. Luas penampang konduktor total, yaitu total jumlah luas
penampang kawat fasa dan kawat netral, adalah sama yaitu
A. Karena salah satu saluran adalah saluran balik (netral)
maka luas penampang konduktor yang sesungguhnya
digunakan untuk mengirim daya adalah lebih kecil dari A.
2. Kerapatan arus yang mengalir tidak melebihi batas
kerapatan arus maksimum yang di tentukan, yaitu J0.
Pembatasan
ini
diperlukan
karena
kita
akan
memperbandingkan kemampuan penyaluran daya pada
berbagai konfigurasi. Bukan arus yang kita tetapkan
mempunyai batas maksimum karena setiap konfigurasi
memiliki luas penampang konduktor kirim yang berbeda.
7
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
3.
4.
Dengan membatasi kerapatan arus maksimum, maka setiap
konfigurasi memiliki arus maksimum yang berbeda.
Tegangan setiap konduktor ke ground (tegangan fasa ke
netral) tidak melebihi batas maksimum yang ditentukan
yaitu V0. Tegangan antara kawat fasa dan kawat netral,
berbeda antara satu konfigurasi dengan konfigurasi yang
lain. Tegangan maksimum ini kita batasi untuk melihat
berapakah daya yang dapat disalurkan pada tegangan fasanetral maksimum dengan kerapatan arus yang juga
maksimum.
Kawat netral (yang ditanahkan) merupakan saluran balik.
Konfigurasi (a): Sistem AS, 2 kawat, salah satu kawat adalah kawat
netral yang merupakan saluran balik.
0,5A
0,5A
n
V0
Total luas konduktor adalah A, koduktor yang ditanahkan
merupakan penghantar balik. Jadi sistem ini menyalurkan daya
melalui konduktor dengan luas penampang 0,5A. Daya yang mampu
disalurkan paling tinggi adalah
Pa = (0.5 A) J 0V0 = 0.5P0 dengan P0 = AJ 0V0
(1.3)
Selanjutnya kita menggunakan P0 = AJ 0V0 sebagai referensi untuk
melihat kemampuan penyaluran daya pada konfigurasi yang lain;
yaitu berapa kali P0 kemampuan penyaluran dayanya.
Konfigurasi (b): Sistem AS, 3 kawat; dua kawat merupakan saluran
kirim, satu bertegangan positif dan yang satu lagi bertegangan
negatif. Kawat ke-tiga adalah saluran balik yang ditanahkan.
0,5A
0,5A
+V0
n
−V0
Konduktor pertama bertegangan positif sedangkan konduktor kedua
bertegangan negatif, konduktor ketiga ditanahkan. Karena tegangan
berlawanan, arus di konduktor pertama dan kedua juga berlawanan
arah. Konduktor ketiga merupakan konduktor netral sebagai
8
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
penghamtar balik sehingga di konduktor ini arus balik dari
konduktor pertama dan kedua berlawanan arah; jika pembebanan
seimbang kedua arus balik ini saling meniadakan. Hal ini
memungkinkan penampang konduktor netral dibuat kecil saja
sehingga total penampang konduktor dapat dikatakan tetap sama
dengan A. Daya maksimum yang dapat ditransmisikan adalah
Pb = 2 × (0.5 A) J 0V0 = P0
(1.4)
Dari persamaan (1.4) terlihat bahwa kemampuan menyalurkan daya
pada konfigurasi (b) ini dua kali lipat dari konfigurasi (a).
Konfigurasi (c): Sistem ABB satu fasa, dua kawat; satu kawat fasa
dan yang lain kawat netral.
0,5A
0,5A
n
0,707V0
Misalkan gelombang tegangan sefasa dengan arusnya,
v = Vm cos ωt
i = I m cos ωt
(1.5)
Daya sesaat adalah
Vm I m
(1 + cos 2ωt )
(1.6)
2
Daya ini berfluktuasi dengan frekuensi 2ω. Nilai rata-rata bagian
yang berada dalam tanda kurung adalah 1, sehingga daya rata-rata
(atau daya nyata) adalah
pc = vi = Vm I m cos 2 ωt =
P=
Vm I m Vm I m
=
= VI
2
2 2
(1.7)
dengan V dan I adalah nilai efektif (rms). Arus efektif maksimum
yang bisa disalurkan adalah
I = 0.5 AJ 0
(1.8)
(di sini kita menganggap bahwa arus bolak-balik yang menglir di
konduktor terdistribusi secara merata di seluruh penampang
walaupun kenyataannya tidak demikian karena terjadi efek kulit.
Namun anggapan ini cukup layak untuk keperluan diskusi.)
Karena kita telah menetapkan bahwa tegangan konduktor tidak lebih
dari nilai batas V0 maka tegangan efektif maksimum adalah
9
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
V=
V0
2
= 0,707V0
(1.9)
Nilai ini yang dicantumkan pada gambar konfigurasi.
Daya maksimum yang dapat ditransmisikan adalah
Pc = IV = 0.5 AJ 0
V0
2
= 0.354 AJ 0V0 = 0.354 P0
(1.10)
Persamaan (1.10) menunjukkan bahwa kemampuan penyaluran daya
pada konfigurasi ini hanya sekitar 35% dari kemampuan sistem AS
3 kawat. Selain itu, sebagaimana ditunjukkan oleh (1.6) penyaluran
daya berfluktuasi, berarti laju penyaluran energi tidaklah konstan.
Penyaluran energi semacam ini akan memaksa turbin penggerak
generator juga memasok energi dengan laju yang berfluktuasi. Hal
demikian tentu tidak dikehendaki. Oleh karena itu konfigurasi ini
tidak digunakan untuk keluaran generator di pusat pembangkit.
Konfigurasi (d): sistem ABB satu fasa tiga kawat.
0,5A
n
0,5A
0,707V0
0,707V0
Sistem ini memiliki keuntungan seperti halnya untuk arus searah;
oleh karena itu daya maksimum yang mampu disalurkan adalah dua
kali lipat kemampuan penyaluran daya pada sistem ABB satu fasa
dua kawat (konfigurasi (c)).
Pd = 2 Pc = 0,707 P0
(1.11)
Nilai daya sesaat diperlihatkan pada Gb.1.3, bersama dengan nilai
sesaat daya pada konfigurasi (c). Perhatikan bahwa daya
berfluktuasi dengan nilai rata-rata yang positif. Walaupun daya
rata-rata bernilai positif, fluktuasi daya yang terjadi merupakan
kelemahan dari konfigurasi (d) dan (c). Penyaluran energi tidak
terjadi secara mantap; aliran energi berfluktuasi.
Konfigurasi (e): Sistem ABB, 2 fasa, 3 kawat; dua kawat fasa dan
satu kawat netral.
10
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
y
x
0,293A
0,414A
0,707V0
0,293A
0,707V0
n
Jika tegangan dan arus di fasa x adalah
vx = Vm cos ωt
ix = I m cos ωt
(1.12.a)
i y = I m sin ωt
(1.12.b)
o
dan di fasa y berbeda 90 ,
v y = Vm sin ωt
maka daya sesaat menjadi
(
)
pe = v xix + v y i y = Vm I m cos 2 ωt + sin 2 ωt = Vm I m
(1.13)
Persamaan (1.13) ini cukup mengejutkan. Perhatikan bahwa daya
sesaat bernilai konstan. Daya rata-rata sama dengan daya sesaat.
Pe = pe = Vm I m
(l5.14)
Karena tegangan tidak boleh melebihi batas V0 maka tegangan
maksimum adalah
Vm = V0
(1.15.a)
o
Arus di kedua fasa berbeda 90 , sehingga penghantar netral
mengalirkan arus
dibuat
2 kali arus fasa; luas penampangnya juga harus
2 kali sehingga perbandingan luas penampang konduktor
fasa dan netral adalah 1:1:
2 . Luas penampang konduktor fasa
menjadi ( 1 /( 2 + 2 ) = 0,293 kali A. Arus maksimum konduktor fasa
adalah
I m = J 0 (0.293 A) 2
(1.15.b)
Sehingga daya rata-rata adalah
V I
V J (0,293 A) 2
Pe = m m = 0 0
= 0.414 P0
2
2
(1.16)
11
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Perhatikan bahwa konduktor netral berpenampang lebih besar dari
konduktor fasa sebab ia harus mengalirkan arus 2 kali dari arus
fasa, jika sistem beroperasi dalam keadaan seimbang. Hal ini dapat
dimengerti karena arus balik dari kedua fasa berbeda 90o dan bukan
180o sehingga tidak saling meniadakan. Akan tetapi di konfigurasi
ini aliran daya tidak berfluktuasi seperti dinyatakan oleh persamaan
(1.13).
Konfigurasi (f): Sistem ABB 3 fasa, 4 kawat; tiga kawat fasa dan
satu kawat netral.
0,333A
0,333A
0,707V0
0,707V0
0,333A
0,707V0
n
Tegangan dan arus fasa berbeda 120o. Dengan urutan fasa positif,
tegangan dan arus tersebut adalah:
va = Vm cos ωt ; vb = Vm (cos ωt − 120o ); vc = Vm (cos ωt + 120o ).
ia = I m cos ωt ; ib = I m (cos ωt − 120o 0; ic = I m (cos ωt + 120o ).
(1.17)
Daya sesaat adalah
p f = va ia + vbib + vcic
(
= Vm I m cos 2 ωt + cos 2 (ωt − 120o ) + cos 2 (ωt + 120o )
) (1.18)
Dengan memanfaatkan relasi trigonometri
cos 2 θ =
1 + cos 2θ
2
persamaan (1.18) menjadi
(
(1.19)
)
V I
p f = m m 3 + cos 2ωt + cos(2ωt − 240o ) + cos(2ωt + 240o )
2
(1.20)
3Vm I m
=
2
Sekali lagi kita lihat di sini bahwa daya sesaat sama dengan daya
rata-rata, yaitu
Pf = p f =
12
3Vm I m
= 3VI
2
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(1.21)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Tegangan dan arus efektif yang diperkenankan adalah
V=
V0
2
dan I = 0.333 AJ 0
(1.22)
sehingga
Pf =
3V0
2
0.333 AJ 0 = 0.707 P0
(1.23)
1,141P0
1,000P0
Konfig.(b)
0,707P0
Konfig. (d), (f)
0,500P0
Konfig. (a)
Konfig. (e)
Konfig. (c)
0,354P0
t
Gb.1.3. Kurva daya terhadap waktu pada enam
konfigurasi saluran.
Hasil perhitungan untuk enam konfigurasi di atas, dimuatkan dalam
Tabel-1.1.
Tabel-1.1: Daya maksimum yang mampu ditransmisikan
pada enam kofigurasi
Konfigurasi
a) Dua kawat
Modus operasi
AS
Daya maksimum
0.500P0
b) Tiga kawat
AS
1,000P0
c) Dua kawat
ABB, 1 fasa
0,354P0
d) Tiga kawat
ABB, 1fasa
0,707P0
e) Tiga kawat
ABB, 2fasa
0,414P0
f) Empat kawat
ABB, 3 fasa
0,707P0
Bagaimana memilih konfigurasi yang akan digunakan untuk
menyalurkan energi? Misalkan kita memilih sisem ABB.
Konfigurasi c) dan d) kelihatannya terpaksa kita tolak karena
13
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
terjadinya fluktuasi aliran daya pada konfigurasi ini. Di antara
konfigurasi e) dan f) kita lebih memilih f) karena konfigurasi ini
memiliki kemampuan penyaluran daya lebih tinggi.
Bagaimanakah sistem penyaluran energi dengan jumlah fasa lebih
banyak? Sistem multifasa dengan konfigurasi N fasa, N+1 kawat
akan memiliki kemampuan penyaluran daya sebesar 0,707P0. Jadi
sistem 3 fasa 4 kawat merupakan sistem multi fasa yang paling
sederhana ditinjau dari kemampuan penyaluran daya.
Perhitungan-perhitungan di atas ditujukan hanya untuk melihat
kemampuan penyaluran daya di setiap konfigurasi. Dalam
pembangunan saluran transmisi masih harus diperhitungkan banyak
faktor, misalnya keperluan akan isolator, menara, susut energi.
Makin banyak kita gunakan saluran fasa, makin bayak diperlukan
isolator dan perancangan menara pun harus disesuaikan.
Jika kita perhatikan Tabel-1.1 di atas, transmisi AS tiga kawat,
memiliki kemampuan penyaluran daya paling tinggi untuk total luas
penampang konduktor yang sama. Kemajuan teknologi telah
memungkinkan digunakannya sistem transmisi AS dan mengatasi
kendala yang selama ini dihadapi. Mulai dari suatu jarak transmisi
tertentu, biaya pembanguan sistem transmisi AS sudah menjadi
lebih rendah dari sistem ABB. PLN merencanakan pembangunan
transmisi AS untuk menghubungkan Sumatra dan Jawa.
1.4 Sumber Energi Primer
Sebagaimana telah disinggung, generator yang kita sebut sebagai
sumber, tidak lain adalah piranti pengubah (konversi) energi dari
energi non-listrik ke energi listrik. Dalam hal konversi elektromekanik, energi non-listrik berupa energi mekanik yang diberikan
oleh turbin, dan turbin sendiri menerima energi masukan berupa
energi thermal yang diubah olehnya menjadi gerak putar untuk
memutar generator. Masukan energi thermal ke turbin berasal dari
sumber energi primer, yang dapat berupa energi thermal maupun
non-thermal.
1.4.1. Sumber Energi Primer pada Pusat Pembangkit Thermal
Batubara. Cadangan batubara Indonesia terlihat pada gambar
berikut.
14
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Data: Pusat Informasi & Statistik Batubara dan Mineral, Ditjen GSM, DESDM. / RUKN.
Untuk pembangkitan, batubara harus diangkut dari lokasi tambang
ke pusat pembangkit. Untuk pusat pembangkit di Jawa, biaya angkut
ini tidak sedikit dan dapat terganggu bila cuaca buruk. Hasil
tambang batubara ada dua kategori yaitu batubara dengan
kandungan kalori tinggi dan kandungan kalori rendah.
Minyak Bumi. Gambar berikut menginformasikan cadangan
minyak Indonesia.
Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. / RUKN.
Penggunaan minyak sebagai sumber energi primer untuk
pembangkitan energi listrik terus diusahakan untuk dikurangi
proporsinya karena harga yang terlalu tinggi.
Gas Alam. Cadangan gas bumi Indonesia terbaca pada gambar
berikut. Penggunaan gas alam sebagai sumber energi primer untuk
pembangkitan energi listrik diperbesar proporsinya untuk
15
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
menggantikan minyak. Pengangkutan gas dari sumber gas ke pusat
pembangkit dilakukan melalui pipa gas.
Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. / RUKN.
Panas Bumi..Energi panas bumi cukup banyak tersedia di Indonesia.
Penggunaan energi ini masih perlu dikembangkan. Gambar dan
daftar berikut ini memperlihatkan distribusi lokasi sumber energi
panas bumi.
1.Daerah Aceh
2.Sumatra Utara
3.Sumatra Barat
4.Riau
5.Jambi
6.Sumatra Selatan
7.Bengkulu
8.Lampung
17 lks
16 lks
16 lks
1 lks
8 lks
8 lks
6 lks
13 lks
9.Banten
10.Jawa Barat
11 Jawa Tengah
12.DI Yogyakarta
13.Jawa Timur
14.Bali
15.NTB
16.NTT
5 lks
40 lks
14 lks
1 lks
11 lks
5 lks
3 lks
18 lks
17.Sulawesi Utara
18.Gorontalo
19.Sulawesi Tengah
20.Sulawesi Selatan
21.Sulawesi Tenggara
22.Maluku
23.Papua
24.Kalimantan
Total lokasi: 251
Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. /RUKN.
16
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
5 lks
2 lks
14 lks
16 lks
13 lks
15 lks
2 lks
3 lks
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Biomassa. Sumber energi ini belum berkembang walaupun dalam
skala rumah tangga telah mulai dirintis.
Sampah. Sampah sebagai sumber pembangkit energi listrik masih
diwacanakan terutama untuk mengatasi masalah sampah di kota
Bandung.
Energi Nuklir. Penggunaan energi nuklir di Indonesia masih dalam
tingkat wacana. Sementara itu Jerman sudah mulai meninggalkan
penggunaan energi nuklir untuk pembangkitan energi listrik.
1.4.2. Sumber Energi Primer Pusat Pembangkit Nonthermal
Tenaga Air (Hydro). Tenaga air merupakan sumber energi yang
paling murah dan kelangsungannya dapat dipercaya. Namun
pembangunannya memerlukan waktu lama dibandingkan dengan
pembangkit thermal. Dibandingkan dengan pembangkit thermal,
pembangkit tenaga air dapat di-start dengan sangat cepat; sementara
untuk men-start pembangkit thermal diperlukan waktu untuk
pemanasan. Oleh karena itu pembangkit tenaga air biasanya
digunakan sebagai pembangkit untuk memenuhi beban puncak,
sementara pembangkit thermal menanggung beban dasar.
Angin. Di Eropa energi angin telah banyak dimanfaatkan namun di
Indonesia masih belum berkembang walaupun telah mulai ada.
Gelombang Laut. Sumber energi ini belum termanfaatkan di
Indonesia.
Arus laut. Di Indonesia sumber energi ini masih menjadi wacana.
Tenaga Surya. Di Indonesia Sumber energi ini telah mulai
dimanfaatkan baik sebagai sumber tenaga listrik “stand alone”
maupun sebagai pusat pembangkit walaupun masih dalam skala
yang tidak besar.
1.5. Beban
1.5.1. Pengelompokan Beban
Tujuan dibangunnya suatu sistem tenaga adalah untuk mencatu
energi ke beban yang berupa peralatan-peralatan yang mengubah
energi listrik menjadi bentuk energi yang sesuai dengan kebutuhan
pengguna. Jenis peralatan sangat beragam, ada yang statis, ada
yang berputar, ada pula yang merupakan gabungan statis dan
berputar. Dalam pengusahaan tenaga listrik beban tidak
17
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
diklasifikasikan berdasarkan peralatan yang dicatu akan tetapi
berdasarkan sifat-sifat umum pengguna akhir. PLN melakukan
klasifikasi beban (pelanggan) sebagai berikut.
Beban Rumah Tangga. Energi di jenis beban ini digunakan
untuk mencatu peralatan rumah tangga yang sangat beragam.
Beban ini biasanya tersebar dalam area yang luas.
Beban Industri. Beban ini membutuhkan sejumlah besar energi
untuk keperluan manufaktur dan proses-proses produksi. Beban
demikian biasanya terlokalisasi pada titik-titik beban di area
tertentu.
Beban Komersial. Jenis beban ini bisa sekumpulan peralatan
kecil seperti di rumah tangga, akan tetapi memerlukan daya agak
besar untuk penerangan, pemanasan dan pendinginan. Beban ini
lebih tersebar dibandingkan dengan beban industri tetapi tidak
se-tersebar beban rumah tangga; misalnya pusat perbelanjaan,
bandara, hotel.
Beban Lain. Beban lain yang dimaksud di sini adalah bebanbeban yang terkait dengan pentarifan ataupun pelayanan tertentu.
Termasuk di dalamnya adalah beban kantor pemerintah, sosial,
dan penerangan jalan umum.
Di PLN jumlah pelanggan Rumah Tangga sangat dominan;
sementara jumlah pelanggan Industri dan pelanggan Komersial
sangat sedikit dibanding dengan jumlah pelanggan Rumah
Tangga. Namun demikian daya tersambung ke pelanggan tidaklah
proporsional dengan jumlah pelanggan. Dan sudah barang tentu
demikian juga dengan penggunaan energi per kelompok
pelanggan.
1.5.2. Model Beban
Untuk keperluan analisis, kita perlu “mengombinasikan” berbagai
karakteristik piranti listrik yang jumlahnya ribuan ke satu titik
beban tertentu. Melakukan kombinasi secara harfiah tentulah tidak
mungkin. Oleh karena itu kita membangun model beban; beban
dapat kita modelkan sebagai sumber tegangan, atau sumber arus,
atau impedansi.
18
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Z
+
−
E
Beban
+
−
Z
+
−
E
Beban
Z
+
−
Beban
E
Model sumber tegangan Model sumber arus Model impedansi
Gb.1.4. Model-model beban
Model yang kita pilih tentulah yang mewakili sifat-sifat yang
menonjol dari beban. Beban yang pasif misalnya, kita modelkan
sebagai suatu impedansi. Beban yang karakter arusnya menonjol,
kita modelkan sebagai sumber arus; hal ini misalnya digunakan
pada beban nonlinier.
1.5.3. Pengaruh Perubahan Tegangan dan Perubahan Frekuensi
Daya yang mengalir ke beban tergantung dari tegangan maupun
frekuensi. Apabila terjadi perubahan tegangan dan/atau perubahan
frekuensi, daya yang mengalir ke beban akan berubah pula.
Sesungguhnya, beban mengharapkan tegangan dan frekuensi tidak
berubah-ubah. Namun situasi operasional
sering memaksa
terjadinya perubahan-perubahan besaran tersebut. Masuknya
beban besar yang tiba-tiba ke jaringan akan diikuti oleh penurunan
tegangan; keluarnya beban besar yang tiba-tiba akan menyebabkan
kenaikan tegangan. Di jaringan sistem tenaga, dipasang peralatan
untuk membatasi lama terjadinya suatu perubahan tegangan. Pada
umumnya, jika perubahan tegangan tidak besar (karena tegangan
seharusnya tidak berubah-ubah, sesuai standar) pasokan daya ke
beban dapat didekati dengan hubungan linier
P = P0 +
∂P
∂P
∂Q
∂Q
∆V +
∆f ; Q = P0 +
∆V +
∆f
∂V
∂f
∂V
∂f
(1.24)
dengan ∆V = V − V0 = perubahan tegangan sekitar titik referensi
V0, ∆f = f − f 0 = perubahan frekuensi sekitar titik referensi f0.
∂P ∂P ∂Q ∂Q
dapat diturunkan melalui
,
,
,
∂V ∂f ∂V ∂f
rangkaian dengan model beban. Mereka juga dapat diturunkan dari
Diferensial parsial
19
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
data-data yang dikumpulkan dari pengukuran praktis yang
kemudian dihitung menggunakan computer.
CONTOH-1.1: Kita akan
R +
+
memperbandingkan
v
pengaruh perubahan
v
L −
tegangan dan perubahan
−
frekuesi pada rangkaian R-L
seri dan rangkaian R-L parallel dengan melihat
R
L
∂P / ∂V , ∂P / ∂f , ∂Q / ∂V , dan ∂P / ∂V .
Solusi untuk rangkaian seri:
∗
2
 V∠0 o 
V2
 = V
S seri = VI ∗ = V∠0 o 
=
( R + jωL)
2
 R + jω L 
R − jωL R + ω 2 L2


=
Pseri =
Q seri =
RV 2
R +ω L
2
RV 2
R +ω L
2
2 2
ωLV 2
R +ω L
2
2 2
2 2
⇒
⇒
+j
ωLV 2
R + ω 2 L2
2
∂Pseri
2 RV 2 ωL2
=
;
∂ω
( R 2 + ω 2 L2 ) 2
∂Pseri
2 RV
=
∂V
R 2 + ω 2 L2
∂Q seri ( R 2 + ω 2 L2 ) LV 2 − 2ω 2 L3V 2
=
;
∂ω
( R 2 + ω 2 L2 ) 2
∂Q seri
2ωLV
=
∂V
R 2 + ω 2 L2
Solusi untuk rangkaian parallel:
∗
V
V 
V2
V2
 =
S paralel = VI = V +
+j
R
ωL
 R jωL 
2
∂Pparalel
∂Pparalel 2V
V
Pparalel =
⇒
=0 ;
=
R
∂ω
∂V
R
2
2
∂
Q
∂
Q
2V
V
−V L
paralel
paralel
Q paralel =
⇒
=
;
=
2
ωL
∂ω
∂
V
ω
L
(ωL)
∗
Perhatikan: ketergantungan terhadap tegangan kedua rangkaian ini
sama, yaitu sebanding dengan tegangan. Akan tetapi
ketergantungan terhadap frekuensi sangat berbeda. Polinom
20
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
pangkat 4 dari penyebut pada ∂Pseri / ∂ω membuat penyebut
hampir tak berubah bila terjadi perubahan ω hanya 10% misalnya;
Oleh karena itu ∂Pseri / ∂ω dapat dikatakan berbanding lurus
dengan ω. Sebaliknya ∂Pparalel / ∂ω bernilai nol; perubahan
frekuensi tidak mempengaruhi besarnya daya nyata.
1.6. Sistem Polifasa
Kita telah mempelajari salah satu sistem polifasa yaitu sistem tigafasa. Di sub-bab ini kita akan melihat secara lebih umum, dan juga
akan melihat bagaimana perhitungan-perhitungan dilakukan baik
pada kondisi pembebanan seimbang maupun tidak seimbang.
1.6.1. Sistem Polifasa Secara Umum
Kita lihat secara umum suatu sistem polifasa. Gb.1.5. berikut ini
memperlihatkan hubungan dua jaringan secara umum yaitu
jaringan A dan B yang dihubungkan dengan (N+1) konduktor.
Salah satu konduktor adalah konduktor netral; jadi sistem ini
adalah sistem N fasa.
Jaringan
A
a
Ia
b
Ib
.
.
.
Iz
z
Van
Vbn
Jaringan
B
Vzn
....
n
In
Gb.1.5. Dua jaringan dihubungkan dengan (N+1) konduktor.
21
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Tegangan konduktor fasa terhadap netral adalah sebagai berikut
Van = Va = Va ∠α a = tegangan fasa a.
Vbn = Vb = Vb ∠α b = tegangan fasa b.
………………
Vzn = Vz = V z ∠α z = tegangan fasa z.
Arus di setiap penghantar fasa adalah
I a = I a ∠β a = arus fasa a.
I b = I b ∠β b = arus fasa b.
………………
I z = I z ∠β z = arus fasa z.
I n = I n ∠β n = arus penghantar netral.
Menurut hukum arus Kirchhoff
I a + I b + I c + ....... + I z + I n = 0
(1.25)
Daya kompleks total (sejumlah N fasa) yang mengalir ke B adalah:
S Nf = Va I a∗ + Vb I b∗ + ...... + V z I ∗z =
z
∑ Si
(1.26.a)
i =a
dengan
S i = Vi I ∗i
i = a, b, c,....... z
(1.26.b)
Dapat dimengerti pula bahwa
z
PNf =
∑ Pi ,
Pi = Vi I i cos ψ i
(1.27.a)
i =a
z
Q Nf =
∑ Qi ,
Qi = Vi I i sin ψ i
(1.28.b)
i =a
Dalam kondisi pembebanan seimbang
Va = Vb = ...... = V z = V f
22
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(1.29.a)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
dan, dengan mengambil fasa a sebagai referensi,
α a = 0; α b = −θ; α c = −2θ; ..... α n = −nθ
dan θ =
(1.29.b)
360o
N
Dalam pembebanan seimbang ini, arus fasa dan sudut ψ adalah:
I a = I b = ...... = I z = I f = arus fasa
(1.30.a)
ψ a = ψ b = ψ c = ....... = ψ z = ψ = sudut faktor daya (1.30.b)
Urutan penamaan fasa abc. . . z kita sebut urutan positif. Jika
seandainya urutan penamaan ini kita balik, z . . cba maka kita
mempunyai urutan negatif.
Sementara itu tegangan fasa-fasa adalah
Vij = Vi − V j
i, j = a, b, c....... z
= Vi ∠α i − V j ∠α j
(1.31)
yang dalam kondisi seimbang akan menjadi
Vi = V j = V f
= tegangan fasa-netral
(1.32)
dan
Vij = V f 2[1 − cos(α i − α j )]
Perhatikan Gb.1.4. Gambar ini memperlihatkan hubungan
tegangan fasaVab
netral
Van , Vbn , .........V zn
serta tegangan
fasa-fasa Vab
lagging
terhadap Van .
Vzn
θ
dan Vaz .
Diperlihatkan
pula arus fasa
I a yang
(1.33)
ψ
360 o
θ=
N
Ia
Vaz
Van
θ
Vbn
Gb.15.4 Fasor tegangan sistem N-fasa
seimbang.
23
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Perbandingan tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral
untuk N dari 2 sampai 12 (dinormalisasi terhadap Va) diberikan
pada Tabel -1.1.
Table 1.1. Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa
untuk sistem 2 ÷ 12 fasa, dinormalisir terhadap Va [1]
N:
Vab/Va
Vac/Va
Vad/Va
Vae/Va
Vaf/Va
N:
Vab/Va
Vac/Va
Vad/Va
Vae/Va
Vaf/Va
Vag/Va
Vah/Va
Vai/Va
Vaj/Va
Vak/Va
Val/Va
1
7
0,868
1,564
1,950
1,950
1,564
0,868
2
2,000
8
0,765
1,414
1,848
2,000
1,848
1,414
0,765
3
1,732
1,732
4
1,414
2,000
1,414
9
0,684
1,286
1,732
1,970
1,970
1,732
0,286
0,684
10
0,618
1,176
1,618
1,902
2,000
1,902
1,618
1,176
0,618
5
1,176
1,902
1,902
1,176
11
0,563
1,081
1,511
1,819
1,980
1,980
1,819
1,511
1,081
0,563
6
1,000
1,732
2,000
1,732
1,000
12
0,518
1,000
1,414
1,732
1,932
2,000
1,932
1,732
1,414
1,000
0,518
Daya sesaat total untuk N ≥ 3 adalah
z
p Nf =
∑
i =a
z
v i ii =
∑ (V
2 )( I 2 ) cos(ωt − α i ) cos(ωt − βi )
i =a
(1.34)
= NV f I f cos ψ
Persamaan (1.26) menunjukkan bahwa sistem ABB multifasa
memberikan transfer daya yang konstan seperti pada sistem AS.
Itulah sebabnya sistem tenaga dibangun sebagai sistem multifasa
24
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
yang beroperasi seimbang. Jika kita lanjutkan perhitungan kita
akan memperoleh relasi
S Nf = NV f I f
PNf = NV f I f cos ψ
Q Nf = NV f I f sin ψ
(1.35)
1.6.2. Hubungan Bintang dan Hubungan Mesh
Jika jaringan B adalah jaringan pasif, ia dapat dinyatakan dengan
model impedansi. Impedansi pada sistem multifasa dapat
dihubungkan bintang ataupun mesh; rangkaian ini diperlihatkan
pada Gb.1.5.
IaY
a
ZY
b
ZY
c
ZY
.
.
.
z
ZY
a
Ia∆
Z
b
Z
Z
c
Z
z
Bintang
Mesh
Gb.1.5 Hubungan bintang dan hubungan mesh.
Transformasi dari rangkaian bintang ke mesh diturunkan sebagai
berikut.
Rangkaian bintang :
I aY =
o
Van V f ∠ 0
=
ZY
ZY
(1.36)
Rangkaian mesh:
25
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
I a∆ =
=
Vab Vaz
1
(Van − Vbn + Van − Vzn )
+
=
Z∆
Z∆
Z∆
Vf
Z∆
(1∠ 0 o − 1∠ − θ + 1∠0 o − 1∠θ) =
2V f
Z∆
(1.37)
(1 − cos θ)
Jika kedua rangkaian ini harus sama maka
I a∆ = I aY ⇒ Z ∆ = 2(1 − cos θ) Z Y
(1.38)
CONTOH-1.2: Sumber 6 fasa seimbang dengan Va = 1000∠0o V ,
urutan fasa abc, mencatu beban 6 fasa seimbang S6f = 900 kVA,
faktor daya = 0.8 lagging. (a) Hitunglah arus fasa; (b) Hitung
tegangan fasa-fasa ac; (c) Hitung impedansi ekivalen Y, ZY ; (d)
Hitung impedansi ekivalen ∆, Z∆.
Solusi:
Va = 1000∠0o V = 1∠0o kV
(a) I fasa =
S 6φ / 6
V fasa
=
900 / 6
= 150 A
1
(b) Vac = Va − Vc = 1000∠0o − 1000∠ − 120o = 1732∠ − 30o V
(c)
ZY =
V fasa
I fasa
=
1000
= 6.67 Ω; ψ = cos −1 (0.8) = ±36.9 o
150
ZY = 6.67∠ + 36.9o
Z ∆ = 2(1 − cos 60o ) ZY = 2(1 / 2) ZY = ZY = 6.67∠ + 36.9o
1.7. Sistem Tiga-fasa Seimbang
Sistem tiga-fasa adalah sistem multifasa yang paling sederhana.
Lihat Gb.1.6. Dengan urutan positif abc, tegangan-tegangan fasa
adalah
26
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Van = Va = V f ∠0 o
Vbn = Vb = V f ∠ − 120 o
(1.39)
Vcn = Vc = V f ∠ − 240 = V f ∠ + 120
o
o
Tegangan fasa-fasa adalah
Vab = Va − Va = V f
3∠30 o
Vbc = Vb − Vc = V f
3∠ − 90 o
Vca = Vc − Va = V f
3∠ + 150 o
Jaringan
A
(1.40)
a
Ia
b
Ib
c
Ic
Va
Jaringan
B
Vb Vc
In
n
Gb.1.6. Sistem tiga-fasa.
Jika jaringan B adalah jaringan pasif, ia dapat dimodelkan dengan
impedansi dan impedansi ini dapat terhubung Y atau ∆, seperti
diperlihatkan oleh Gb.1.7.
a
Z∆
b
Z∆
a
ZY
b
ZY
c
ZY
Z∆
c
∆
Y
Gb.1.7. Beban terhubung ∆ dan terhubung Y.
27
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Dalam kondisi seimbang, arus-arus fasa pada hubungan Y adalah
Ia =
Va V f
=
∠(0 o − ψ ) = I f ∠ − ψ
ZY
ZY
I b = I f ∠(−120 o − ψ )
(1.41)
I c = I f ∠(−240 o − ψ )
In = 0
Gb. 1.8. memperlihatkan diagram fasor tegangan dan arus pada
sistem tiga-fasa seimbang dengan beban induktif; arus lagging
terhadap tegangan.
Vca
Vc
− Va
ψ
− Vb
Ic
Vab
ψ
Ia
Ib ψ
Va
− Vc
Vb
Vbc
Gb.15.8. Diagram fasor sistem tiga
fasa seimbang; urutan fasa abc.
Transformasi hubungan Y ke ∆ diberikan oleh (1.30), yang untuk
sistem tiga-fasa θ = 120o .
Z ∆ = 2(1 − cos θ) ZY = 3ZY
(1.42)
Jika diperlukan, arus pada cabang-cabang hubungan ∆ dapat
dihitung, dengan relasi
Iab =
28
Vab
V
V
; Ibc = bc ; Ica = ca
Z∆
Z∆
Z∆
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(1.43)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Hubungan arus fasa I a pada Gb.1.6, yang juga disebut arus saluran
(line current) I L , dengan arus pada cabang ∆ adalah
Ia = Iab − Ica;
Ib = Ibc − Iab;
Ic = Ica − Ibc
(1.44)
1.8. Sistem Tiga-fasa Tak-seimbang
Dalam sistem tiga-fasa seimbang, besar tegangan adalah sama di
semua fasa dan antara fasa yang berurutan terdapat beda fasa 120o.
Demikian pula halnya dengan arus; keadaan ini membuat arus di
penghantar netral bernilai nol. Tidak demikian halnya dengan
keadaan tak-seimbang; tegangan dan arus di setiap fasa tidak sama
dan beda fasa antar tegangan fasa-netral tidak 120o.
1.8.1. Komponen Simetris
Tegangan di setiap fasa (fasa-netral) sistem tak-seimbang dapat
kita tuliskan sebagai
Va = V a ∠α a ;
Vb = Vb ∠α b ;
Vc = Vc ∠α c
Satu kesatuan tiga fasor tak-seimbang ini, dipandang sebagai
terdiri dari tiga komponen fasor seimbang yaitu:
komponen urutan positif
komponen urutan negatif
komponen urutan nol
Komponen urutan positif adalah fasor tiga-fasa seimbang dengan
selisih sudut fasa 120o, dengan urutan abc. Komponen urutan
negatif adalah fasor tiga-fasa seimbang dengan selisih sudut fasa
120o dengan urutan cba, dan komponen urutan nol adalah fasor
tiga-fasa tanpa selisih sudut fasa. Tiga set fasor seimbang ini
digambarkan pada Gb.1.9. Perhatikanlah bahwa baik komponen
urutan positif maupun negatif, memiliki selisih sudut fasa 120o;
artinya kemunculan tegangan berselisih 120o secara berurutan,
sedangkan komponen urutan nol tidak memiliki selisih sudut fasa,
yang berarti gelombang tegangan di ketiga-fasa muncul dan
bervariasi secara bersamaan. Oleh karena itu jumlah fasor arus
urutan nol di titik penghatar netral tidaklah nol melainkan 3 kali
arus urutan nol.
29
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Komponen urutan nol diberi tambahan indeks 0, urutan positif
diberi tambahan indeks 1, urutan negatif dengan tambahan indeks
2. Komponen-komponen ini disebut komponen simetris. Dengan
komponen simetris ini maka pernyataan tegangan semula (yang
tidak seimbang) menjadi
Va = Va0 + Va1 + Va 2 ;
(1.45)
Vb = Vb 0 + Vb1 + Vb 2 ;
Vc = Vc 0 + Vc1 + Vc 2
Vc1
Vb 2
V a1
Va 0 , Vb 0 , Vc 0
Vb1
Urutan nol
Va 2
Vc 2
Urutan positif
Urutan negatif
Gb.1.9. Komponen seimbang dari fasor tegangantiga-fasa
tak-seimbang.
1.8.2. Operator a
Penulisan komponen urutan dilakukan dengan memanfaatkan
operator a, yang sesungguhnya adalah fasor satuan yang
berbentuk
a = 1∠
∠120o
(1.46)
Suatu fasor, apabila kita kalikan dengan a akan menjadi fasor lain
yang terputar ke arah positif sebesar 120o; dan jika kita kalikan
dengan a2 akan terputar ke arah posistif 240o (operator semacam
ini telah pernah kita kenal yaitu operator j = 1∠90o ). Kita
manfaatkan operator a ini untuk menuliskan komponen urutan
positif dan negatif. Dengan operator a ini, indeks a,b,c dapat kita
hilangkan karena arah fasor sudah dinyatakan oleh operator a,
sehingga kita dapat menuliskan
30
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Va 0 = Vb 0 = Vc 0 = V0
Va1 = V1 ; Vb1 = aV1 ; Vc1 = a 2 Va 0
Va 2 = V2 ; Vb 2 = a 2 V2 ; Vc 2 = aV2
sehingga
Va = V0 + V1 + V2
Vb = V0 + a 2 V1 + aV2
(1.47)
Vc = V0 + aV1 + a V2
2
Agar lebih jelas, perhatikan Gb.1.10 berikut ini.
a V1 = Vc1
V0
a V2 = Vb 2
V1 = Va1
V2 = V a 2
a 2 V 2 = Vc 2
a 2 V1 = Vb1
Urutan nol
Urutan positif
Urutan negatif
Gb.1.10. Penulisan komponen urutan dengan
menggunakan operator a.
Persamaan (1.47) dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks
menjadi
Va  1 1
  
2
 Vb  = 1 a
 Vc  1 a
  
1   V0 
 
a   V1 
a 2   V2 
(1.48)
1.8.3. Mencari Komponen Simetris
Komponen simetris adalah besaran-besaran hasil olah matematik;
ia tidak diukur dalam praktek. Yang terukur adalah besaranbesaran yang tak-seimbang yaitu Va , Vb , Vc . Komponen simetris
dapat kita cari dari (1.47.a) dengan menjumlahkan fasor-fasor dan
dengan mengingat bahwa (1 + a + a2) = 0, yaitu
31
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Va = V0 + V1 + V2
Vb = V0 + a 2 V1 + aV2
Vc = V0 + aV1 + a 2 V2
⇒ Va + Vb + Vc = 3V0 + (1 + a 2 + a) V1 + (1 + a + a 2 ) V2 = 3V0
⇒ V0 =
(
1
Va + Vb + Vc
3
)
(1.49.a)
Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga
kita kalikan dengan a2, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
Va = V0 + V1 + V2
aVb = aV0 + a 3 V1 + a 2 V2
a 2 Vc = a 2 V0 + a 3 V1 + a 4 V2
⇒ Va + aVb + a 2 Vc = (1 + a + a 2 )V0 + 3V1 + (1 + a 2 + a) V2 = 3V1
⇒ V1 =
(
1
Va + aVb + a 2 Vc
3
)
(1.49.b)
Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a2 dan baris ke-tiga
kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
Va = V0 + V1 + V2
a 2 Vb = a 2 V0 + a 4 V1 + a 3 V2
aVc = aV0 + a 2 V1 + a 3 V2
⇒ Va + aVb + a 2 Vc = (1 + a 2 + a )V0 + (1 + a + a 2 ) V1 + 3V2 = 3V2
⇒ V1 =
(
1
Va + a 2 Vb + aVc
3
)
(1.49.c)
Relasi (1.49.a,b,c) kita kumpulkan dalam satu penulisan matriks:
 V0 
1 1
  1
 V1  = 3 1 a
 V2 
1 a 2
 
32
1  VA 


a 2   VB 
a   VC 
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(1.50)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Dengan demikian kita mempunyai dua relasi antara besaran fasa
dan komponen simetrisnya yaitu (1.48) dan (1.50) yang masingmasing dapat kita tuliskan dengan lebih kompak sebagai berikut:
~
~
Vabc = [T] V012
(1.51.a)
~
~
V012 = [T] −1 Vabc
dengan
1 1
[T] = 1 a 2
1 a
1
a 
a 2 
dan
[T]
−1
1 1
1
= 1 a
3
1 a 2
1
a 2 
a 
(1.51.b)
Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh relasi untuk arus
~
~
I abc = [T] I 012
(1.51.c)
~
~
I 012 = [T] −1 I abc
1.8.4. Relasi Transformasi
Relasi (1.51) inilah pasangan relasi untuk menghitung komponen
urutan jika diketahui besaran fasanya, dan sebaliknya menghitung
besaran fasa jika diketahui komponen urutannya; mereka kita
sebut relasi transformasi fasor tak-seimbang. Perhatikan sekali
lagi bahwa masing-masing komponen urutan membentuk fasor
seimbang; komponen simetris adalah besaran-besaran hasil olah
matematik, tidak diukur dalam praktek; yang terukur adalah
besaran-besaran yang tak-seimbang yaitu V a , Vb , Vc .
CONTOH-1.3: Diketahui I a = 1∠60 o , I b = 1∠ − 60 o , and I c = 0 ,
hitunglah komponen-komponen simetrisnya .
Solusi:
(
) (
1
1
I a + aIb + a 2 I c = 1∠60o + 1∠60o + 0
3
3
1
= ((0,5 + j 0,866) + (0,5 + j 0,866) + 0 )
3
1
1
= (1 + j1,732) = 2∠60o
3
3
I1 =
(
)
)
33
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
(
) (
1
1
I a + a 2 Ib + aI c = 1∠60o + 1∠180o + 0
3
3
1
= ((0,5 + j 0,866) − 1 + 0)
3
1
= (− 0,5 + j 0,866) = 0,333∠120o
3
I2 =
(
) (
1
1
I a + Ib + I c = 1∠60o + 1∠60o + 0
3
3
1
= ((0,5 + j 0,866) + (0,5 − j 0,866) + 0)
3
1
= (1 + j 0) = 0,333∠0o
3
I0 =
)
)
Perhatikan: perhitungan dalam soal ini memberikan
2
2
I c1 = aI1 = 1∠120o × ∠60o = ∠(120o + 60o ) = 0,667∠180o
3
3
I c 2 = a 2 I 2 = 1∠240o × 0,333∠120o = 0,333∠360o
I c 0 = I 0 = 0,333∠0o
sedangkan diketahui I c = 0
Kita yakinkan:
I c = I c1 + I c 2 + I c0 = −0,667 + 0,333 + 0,333 ≈ 0
1.8.3. Impedansi Urutan
Jika impedansi Z A , Z B , Z C merupakan impedansi-impedansi
dengan tegangan antar terminal masing-masing Vaa ' , Vbb' , Vcc'
maka
Vaa ' 
I a 


 
 Vbb'  = [ Z ABC ] I b 
 Vcc' 
I c 


 
atau lebih kompak
34
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
~
~
V( abc)' = [ Z ABC ] I abc
(1.52)
~
~
V( abc)' adalah tegangan antar terminal impedansi dan I abc
adalah arus yang melalui impedansi. [Z ABC ] adalah matriks 3 × 3,
yang elemen-elemennya merupakan impedansi total yang terdiri
dari impedansi sendiri dan impedansi bersama. Kita akan melihat
sebuah contoh saluran transmisi yang mendapat pembebanan tidak
seimbang.
CONTOH-1.4: Suatu saluran tiga-fasa masing
reaktansi sediri Xs sedangkan antar fasa terdapat
Xm. Resistansi konduktor diabaikan. Tentukanlah
Perhatikan bahwa Xs adalah reaktansi sendiri
reaktansi bersama antar konduktor.
Xs
I
a
.
Va
Xm
Xm
Xm
Vb
.
.
masing memiliki
reaktansi bersama
impedansi urutan.
dan Xm adalah
Xs
Ib
Xs
Ic
Va′
Vb′
I a + Ib + Ic
Vc
Vc′
Solusi:
Vaa ' = Va − Va ' = jX s I a + jX m I b + jX m I c
Vbb' = Vb − Vb' = jX m I a + jX s I b + jX m I c
Vcc' = Vc − Vc ' = jX m I a + jX m I b + jX s I c
yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks
Va   Va ' 
  

 Vb  −  Vb '  =
 Vc   Vc ' 
  

Xs
j  X m
 X m
Xm
Xs
Xm
X m  I a 
 
X m   I b 
X s   I c 
dan dapat dituliskan dengan lebih kompak
35
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
~
~
~
′ = [ Z ABC ] I abc
Vabc − Vabc
Karena
~
~
~
~
~
~
Vabc = [T] V012 , V012 = [T] −1 Vabc , dan I abc = [T] I012
maka relasi diatas menjadi
~
~
~
′ = [ Z ABC ] [T] I 012 atau
[T]V012 − [T]V012
~
~
~
′ = [T] −1 [ Z ABC ] [T] I 012
V012 − V012
Pada relasi terakhir ini terdapat faktor
[T]−1[Z ABC ][T]
yang dapat kita hitung sebagai berikut:
1 1 1   X s X m X m  1 1
1
[T] [Z ABC ][T] = 1 a a 2  j  X m X s X m  1 a 2
3
1 a 2 a   X m X m X s  1 a
Xs + 2Xm
Xs + 2Xm
Xs + 2Xm
 1
j
2
2
=  X s − X m aX s + (1 + a ) X m a X s + (1 + a) X m  1
3
 X s − X m a 2 X s + (1 + a) X m aX s + (1 + a 2 ) X m  1
-1
X s + 2X m
= j 
0

0
0
Xs − Xm
0
1
a 
a 2 
1
a2
a



X s − X m 
0
0
Hasil perhitungan ini memberikan relasi berikut
0
0
X s + 2X m

~
~

~
′
V012 − V012 = j 
0
Xs − Xm
0
 I 012 =

0
0
X s − X m 
0
Z 0 0
~
~
=  0 Z 1 0  I012 = [ Z 012 ] I012
 0
0 Z 2 
36
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
1
a 
a 2 
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Jika didefinisikan:
Impedansi urutan nol Z 0 = j ( X s + 2 X m )
Impedeansi urutan positif Z 1 = j ( X s − X m )
Impedansi urutan negatif Z 2 = j ( X s − X m )
Rangkaian ekivalen urutan dari rangkaian dalam relasi ini
digambarkan sebagai berikut:
Z0
V 0′
V0
Urutan nol
Z1
V1
V1′
Urutan positif
Z2
V2
V 2′
Urutan negatif
1.9.4. Daya Pada Sistem Tak-seimbang
Daya pada sistem tiga-fasa adalah jumlah daya setiap fasa.
S 3 f = Va I ∗a + Vb I ∗b + Vc I ∗c atau dalam bentuk matriks
I ∗a 
  ~
~∗
S 3 f = Va Vb Vc I ∗b  = VabcT I abc
(1.53)
I ∗ 
 c 
~
~
( VabcT adalah transposisi dari Vabc )
~
~
~
~
Karena Vabc = [T] V012 dan I abc = [T] I 012 , maka relasi
diatas menjadi
~
~∗
S 3 f = V012 [T] T [T]∗ I012
(1.54)
[
]
~
~
~
~
Catatan: Vabc = [T] V012 ⇒ VabcT = V012T [T]T
~
~
~∗
~∗
I abc = [T] I012 ⇒ I abc
= [T]∗ I 012
Pada (1.54) terdapat faktor [T ]T [T ]∗ yang dapat kita hitung
[T]T [T ]
∗
1 1
= 1 a 2
1 a
1  1 1
a  1 a
a 2  1 a 2
1  3 0 0 
1 0 0

2 
a  = 0 3 0 = 30 1 0
0 0 1
a  0 0 3
37
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Dengan demikian (1.54) dapat dituliskan
~
~∗
S 3 f = 3V012T I012
atau
(
S 3 f = 3 V0 I 0∗ + V1 I1∗ + V2 I ∗2
)
(1.55)
CONTOH-1.5: Hitunglah daya tiga-fasa pada kondisi tidak
seimbang seperti berikut:
 10 
 j10 


V ABC = − 10 kV dan I ABC = − 10 A
 0 
− 10
Solusi (1):
V ABCT = [10 − 10 0] dan
I ∗ABC
− j10
=  − 10 
 − 10 
Kita akan menghitung daya tiga-fasa langsung dengan
mengalikan kedua matriks kolom ini
− j10
S 3 f = [10 − 10 0]  − 10  = − j100 + 100 + 0 = (100 − j100) kVA
 − 10 
Hasil ini kita peroleh dengan mengaplikasikan langsung
formulasi daya dengan mengambil nilai-nilai tegangan dan arus
yang tidak simetris. Berikut ini kita akan menyelesaikan soal ini
melalui komponen simetris.
Solusi (2):
Tegangan urutan adalah:
1 1
~
1
−1 ~
V012 = [T ] V ABC = 1 a
3
1 a 2
~
Dari sini kita hitung V012T
[
1   10 
0


1

2 
a  − 10 =  10 − a10 + 0 
3
10 − a 2 10 + 0
a   0 
1
~
⇒ V012T = 0 10 − a10 10 − a 2 10
3
38
]
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Arus urutan adalah:
1 1
~
1
−1 ~
I 012 = [T ] I ABC = 1 a
3
2
1 a
1   j10 
a 2  − 10
a  − 10
0


 0 
1
2  1
=  j10 − a10 − a 10 =  j10 + 10
3
3
 j10 − a 2 10 − a10
 j10 + 10
0


~∗
1

⇒ I012 = − j10 + 10
3
− j10 + 10
Daya tiga-fasa adalah
~
∗
S3 f = 3V012T I012
0


1 1

2
= 3 × × 0 10 - a10 10 − a 10 − j10 + 10
3 3
− j10 + 10
[
[
]
1
0 + (10 − a10)(− j10 + 10) + (10 − a 210)(− j10 + 10)
3
1
= (300 − j 300) = (100 − j100) kVA
3
=
]
(catatan: a + a 2 = −1 )
Komentar: Hasil perhitungan dengan perkalian langsung
tegangan dan arus tak-seimbang sama dengan hasil
perkalian melalui komponen simetris. Jika hasilnya sama,
mengapa kita harus bersusah payah mencari komponen
simetris terlebih dulu? Persoalan pada pembebanan takseimbang tidak hanya menghitung daya, tetapi juga arus
dan tegangan; misalnya menghitung arus hubung singkat
yang tidak simetris, yang tetap memerlukan perhitungan
komponen simetris.
39
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
1.9. Pernyataan Sistem Tenaga
Sistem tenaga merupakan rangkaian listrik yang rumit. Disamping
banyaknya macam piranti yang ada di dalamnya, sistem ini juga
sistem multifasa (umumnya tiga-fasa), dan ia beroperasi pada
banyak tingkat tegangan. Agar analisis dapat dilakukan, maka
sistem tenaga harus dapat dinyatakan secara mudah.
1.9.1. Diagram Satu Garis
Langkah pertama dalam analisis adalah memindahkan rangkaian
sistem tenaga ke atas kertas dalam bentuk diagram rangkaian.
Diagram rangkaian untuk sistem tenaga berupa diagram satu garis
(single line diagram). Diagram ini sederhana namun menunjukkan
secara lengkap interkoneksi berbagai piranti. Walaupun hanya satu
garis, ia menggambarkan sistem multifasa. Berikut ini contoh dari
diagram satu garis.
Generator
1 ∆
2
Y G
4
Saluran
transmisi
Y∆
Z
beban
Y-ditanahkan
melalui
impedansi
3∆
Y
Circuit
Breaker
Nomer bus
5
Trafo
2 belitan
6
beban
Trafo
3 belitan
Gb.1.11. Diagram satu garis.
Gb.1.11. memperlihatkan sebuah generator terhubung Y, dengan
titik netral yang ditanahkan melalui sebuah impedansi. Generator
ini dihubungkan ke trasformator tiga belitan melalui bus-1. Belitan
primer trafo terhubung ∆, belitan sekunder terhubung Y dengan
titik netral ditanahkan langsung dan terhubung ke bus-2,
sedangkan belitan tertier dihubungkan ∆ masuk ke bus-3 untuk
mencatu beban.
Dari bus-2 melalui circuit breaker masuk ke saluran transmisi
melalui bus-4. Ujung saluran transmisi melalui bus-5 terhubung ke
transformator 2 belitan; transformator ini terhubung Y-∆ dengan
40
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
titik netral primernya ditanahkan langsung. Sekunder
transformator terhubung ke bus-6 untuk mencatu beban.
Dalam diagram satu garis, impedansi-impedansi tidak
digambarkan. Untuk analisis, diagram satu garis perlu
“diterjemahkan” menjadi diagram rangkaian listrik model satu
fasa seperti terlihat pada Gb. 1.12.
1
Transformator
Generator
beban
5
4
Circuit
breaker
3
∼+
2
Rangkaian
ekivalen π
saluran
transmisi
6
Transformator
beban
Gb.1.12. Model satu fasa dari diagram satu garis Gb.1.11.
Dengan model satu fasa inilah analisis dilakukan. Dalam Gb.1.12.
ini saluran transmisi dinyatakan dengan rangkaian ekivalennya,
yaitu rangkaian ekivalen π, yang akan kita pelajari lebih lanjut.
1.9.2. Sistem Per-Unit
Sistem per-unit sesungguhnya merupakan cara penskalaan atau
normalisasi. Besaran-besaran sistem dalam satuan masing-masing,
tegangan dalam volt – arus dalam ampere – impedansi dalam ohm,
ditransformasikan ke dalam besaran tak berdimensi yaitu per-unit
(disingkat pu). Pada mulanya transformasi ke dalam per-unit
dimaksudkan untuk mempermudah perhitungan, namun dengan
perkembangan penggunaan computer maksud penyederhanaan itu
sudah kurang berarti lagi. Walaupun demikian, beberapa
keuntungan yang terkandung dalam sistem per-unit (yang akan
kita lihat kemudian) masih terasakan dan oleh karena itu kita akan
pelajari.
Nilai per-unit dari suatu besaran merupakan rasio dari besaran
tersebut dengan suatu besaran basis. Besaran basis ini berdimensi
sama dengan dimensi besaran aslinya sehingga nilai per-unit
besaran itu menjadi tidak berdimensi
41
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Nilai per - unit =
nilai sesungguhnya
nilai basis
Nilai sesungguhnya mungkin berupa bilangan kompleks, namun
nilai basis yang ditetapkan adalah bilangan nyata. Oleh karena itu
sudut fasa nilai dalam per-unit sama dengan sudut fasa
sesungguhnya.
Sebagai contoh kita ambil daya kompleks
S = V I ∗ = VI∠(α − β)
(1.56)
di mana α adalah sudut fasa tegangan dan β adalah sudut fasa
arus. Untuk menyatakan S dalam per-unit kita tetapkan Sbasis yang
berupa bilangan nyata, sehingga
S pu =
S∠(α − β)
= S pu ∠(α − β)
Sbasis
(1.57)
Didefinisikan pula bahwa
S basis = Vbasis × I basis
(1.58)
Nilai Sbasis dipilih secara bebas dan biasanya dipilih angka yang
memberi kemudahan seperti puluhan, ratusan dan ribuan. Jika
Sbasis sudah ditentukan kita harus memilih salah satu Vbasis atau
Ibasis untuk ditentukan secara bebas, tetapi tidak kedua-duanya bisa
dipilih bebas.
Jika kita hitung Spu dari (1.56) dan (1.57) kita peroleh
S pu =
S
S basis
=
V∠αI∠ − β
= V pu I ∗pu
Vbasis I basis
(1.59)
Nilai basis untuk impedansi ditentukan menggunakan relasi
Z basis =
2
Vbasis Vbasis
=
I basis S basis
(1.60)
Dengan Zbasis ini relasi arus dan tegangan V = Z I atau Z =
akan memberikan
42
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
V
I
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Z
Z basis
V/I
Vbasis / I basis
=
Z pu =
atau
V pu
I pu
(1.61)
Karena Z = R + jX maka
Z
Z basis
=
R + jX
R
X
=
+ j
atau
Z basis
Z basis
Z basis
Z pu = R pu + jX pu
(1.62)
Jadi tidaklah perlu menentukan nilai basis untuk R dan X secara
sendiri-sendiri. Selain itu tidak pula diperlukan menentukan nilai
basis untu P dan Q secara sendiri-sendiri pula.
S
S basis
=
P + jQ
S basis
atau
S pu = Ppu + jQ pu
(1.63)
Contoh-1.6:
Nyatakanlah
4Ω
− j4 Ω
besaran-besaran
o
j8 Ω
pada rangkaian V = 200 ∠0 V
satu fasa berikut
ini dalam perunit dengan mengambil Sbasis = 1000 VA dan Vbasis = 200 V.
∼
Solusi:
S basis = 1000 VA;
Vbasis = 200 V
I basis =
S basis 1000
=
=5 A
Vbasis
200
Z basis =
Vbasis 200
=
= 40 Ω
I basis
5
Maka: V pu =
R pu =
200∠0 o
= 1∠0 o pu
200
4
= 0,1 pu
40
43
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
4
= 0,1 pu
40
8
X Lpu =
= 0,2 pu
40
X Cpu =
Transformasi rangkaian dalam per-unit menjadi seperti
gambar di bawah ini.
Z pu = 0,1 − j 0,1 + j 0,2 = 0,1 + j 0,1 = 0,1 2∠45 o pu
I pu =
V pu
Z pu
=
1∠0 o
0,1 2∠45 o
= 5 2∠ − 45 o pu
S pu = V pu I ∗pu = 1∠0 o × 5 2∠45 o = 5 2∠45 o pu
1∠0 o pu
0,1 pu − j 0,1 pu
j 0,2 pu
∼
1.9.3. Sistem Per-Unit Dalam Sistem Tiga-fasa
Di sub-bab sebelumnya, kita lihat aplikasi sistem per-unit pada
sistem satu fasa. Untuk sistem tiga-fasa (yang kita ketahui bahwa
sistem tiga-fasa ini sangat luas dipakai dalam penyediaan energi
listrik) dikembangkan pengertian nilai basis tambahan sebagai
berikut.
S 3 f basis = 3S basis
V ff
basis
= Vbasis 3
Z Ybasis = Z basis
Z ∆basis = 3Z basis
If
asis
(1.64)
= I basis
I Ybasis = I basis
I ∆basis = I basis / 3
Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita
lihat pada contoh berikut ini.
44
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Contoh-1.5: Sebuah sumber tiga-fasa dengan tegangan fasa-fasa 6
kV mencatu dua beban seimbang yang tersambung parallel: bebanA: 600 kVA, faktor daya 0,8 lagging, beban-B: 300 kVA, faktor
daya 0,6 leading. Tentukan nilai basis untuk sistem ini, hitung arus
saluran dalam per-unit dan dalam ampere, dan impedansi beban A.
Solusi:
Penentuan nilai basis adalah sembarang. Kita pilih S3f
kVA dan Vff basis = 6 kV, sehingga
basis
= 600
600
= 200kVA
3
6
Vbasis =
= 3464 V
3
S
200
I basis = basis =
= 57,74 A
Vbasis 6 / 3
Sbasis =
V
3464
Z basis = basis =
= 60 Ω
I basis 57,74
Sumber ini terbebani seimbang sehingga hanya ada urutan positif.
Besaran per fasa adalah:
Beban-A:
SA =
600
= 200 kVA; ϕ A = cos −1 (0,8) = +36,9o (f.d. lag )
3
S A = 200∠36,9o kVA
→ S Apu =
V Apu =
SA
Sbasis
=
200∠ + 36,9o
= 1∠36,9o
200
6/ 3
= 1∠0 o ;
6/ 3
S Apu 1∠36,9 o
I ∗Apu =
=
= 1∠36,9 o ⇒ I Apu = 1∠ − 36,9 = 0,8 − j 0,6
V Apu
1∠0 o
45
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
Beban-B:
SB =
300
= 100 kVA; ϕ B = cos(0,6) = −53,1o (f.d. lead )
3
S B = 100∠ − 53,1o kVA
⇒ S Bpu =
SB
Sbasis
=
100∠ − 53,1o
= 0.5∠ − 53,1o
200
VBpu = V Apu = 1∠0o
∗
I Bpu
=
S Bpu
VBpu
=
0,5∠ − 53,1o
1∠0
o
= 0,5∠ − 53,1o
⇒ I Bpu = 0,5∠53,1o = 0,3 + j 0,4
Arus saluran:
I pu = I Apu + I Bpu = 0.8 − j 0,6 + 0,3 + j 0,4 = 1,1 − j 0,2
I = (1,1 − j 0,2) × 57,74 = 63,51 − j11,55 = 64,55∠ − 10,3o A
Impedansi beban-A:
Z Apu =
V Apu
I Apu
=
1∠0 o
1∠ − 36
o
= 1∠36,9 o
⇒ Z A = 60∠36,9 o = (48 + j 36) Ω
46
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
BAB 2
Saluran Transmisi
Saluran transmisi merupakan koridor yang harus dilalui dalam
penyaluran energi listrik. Saluran transmisi biasanya dinyatakan
menggunakan rangkaian ekivalen. Hal ini telah kita lihat secara
selintas pada pembahasan diagram satu garis, Gb.1.9. Walaupun
rangkaian ekivalen saluran transmisi cukup sederhana, ada empat
hal yang perlu kita perhatikan yaitu:
• Resistansi konduktor,
• Imbas tegangan di satu konduktor oleh arus yang mengalir
di konduktor yang lain,
• Arus kapasitif karena adanya medan listrik antar konduktor,
• Arus bocor pada isolator.
Dalam analisis sistem tenaga, arus bocor pada isolator biasanya
diabaikan karena cukup kecil dibandingkan dengan arus konduktor.
Namun masalah arus bocor menjadi sangat penting jika kita
membahas isolator karena arus bocor ini mengawali terjadinya
kerusakan pada permukaan isolator yang dapat mengakibatkan
flashover dan kegagalan sistem.
Karena saluran udara memanfaatkan udara sebagai bahan isolasi,
perlu kita lihat besaran-besaran fisis udara yang akan masuk dalam
perhitungan-perhitungan saluran transmisi, yaitu:
Permeabilitas: permeabilitas magnetik udara dianggap sama
dengan permeabilitas ruang hampa:
µ = µ 0 µ r ≈ µ 0 = 4π × 10 −7 H/m
Permitivitas: permitivitas listrik udara dianggap sama dengan
permitivitas ruang hampa:
ε = εr ε0 ≈ ε0 =
10 −9
F/m
36π
47
Saluran Transmisi
2.1. Impedansi dan Admitansi
2.1.1. Resistansi
Material yang biasa digunakan sebagai konduktor adalah tembaga
dan aluminum. Untuk saluran transmisi banyak digunakan
aluminum dan kita mengenal jenis-jenis konduktor aluminum,
seperti:
• Aluminum: AAL (all aluminum coductor)
• Aloy aluminum: AAAL (all aluminum alloy conductor)
• Aluminum dengan penguatan kawat baja: ACSR
(aluminum conductor steel reinforced)
Data mengenai ukuran, konstruksi, resistansi [Ω per km], radius
[cm], GMR [cm] (Geometric Mean Radius), serta kemampuan
mengalirkan arus [A], dapat kita peroleh dari standar / spesifikasi;
untuk sementara kita tidak membahasnya.
Relasi resistansi untuk arus searah adalah
ρl
R AS =
Ω
(2.1)
A
dengan l panjang konduktor [m], A luas penampang konduktor
[m2], dan ρ adalah resistivitas bahan.
ρ Al = 2,83 × 10−8 Ω.m [20o C]
ρ Al = 1,77 × 10−8 Ω.m [20o C]
Resistansi tergantung dari temperature,
T + T0
ρT 2 = ρ T 1 2
T1 + T0
(2.2)
Untuk aluminum T0 = 228o C ; untuk tembaga T0 = 241o C
Resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dari resistansi untuk
arus searah karena ada efek kulit yaitu kecenderungan arus bolakbalik untuk mengalir melalui daerah pinggiran penampang
konduktor.
48
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Selain daripada itu, kondukor saluran transmisi merupakan pilinan
konduktor sehingga panjang konduktor sesungguhnya lebih dari
panjang lateral yang kita ukur.
2.1.2. Induktansi
Arus di suatu konduktor menimbulkan medan magnit di
sekelilingnya dan juga di dalam konduktor itu sendiri walaupun
yang di dalam konduktor tidak merata di seluruh penampang.
Menurut hukum Ampere, jika arus yang mengalir pada konduktor
adalah i maka medan magnet H di sekitar konduktor diperoleh
∫ Hdl = i . Di titik berjarak x di luar konduktor
dengan relasi
l
relasi ini menjadi
Hx =
i
2πx
(2.3)
Jika konduktor kita anggap sangat panjang dan l adalah satu
segmen dari padanya, maka fluksi magnet yang melingkupi
segmen ini sampai jarak Dx dari konduktor adalah
λ=
Dx
∫r
µHldx =
Dx
∫r
µil
µil D x
dx =
ln
2πx
2π
r
(2.4)
dimana r adalah radius konduktor. Persamaan (2.4) ini adalah
fluksi lingkup di luar konduktor. Masih ada fluksi di dalam
konduktor yang harus diperhitungkan. Untuk mencakup fluksi di
dalam konduktor tersebut, didefinisikan suatu radius ekivalen yang
disebut Geometric Mean Radius (GMR), r′, sehingga (2.4) menjadi
λ′ =
µil D x
ln
2π
r′
(2.5)
GMR adalah suatu radius fiktif yang lebih kecil dari radius fisik
konduktor. Radius fiktif (GMR) ini kita anggap sebagai radius
konduktor manakala kita berbicara tentang fluksi magnet sekitar
konduktor. Dengan r ′ yang lebih kecil dari r ini, kita telah
memperhitungkan adanya fluksi magnet di dalam konduktor.
49
Saluran Transmisi
2.1.2.1. Sistem Dua Konduktor
A
iA
A′
D AN : jarak A ke N
′
v A r A′ : GMR konduktor A
rN′ : GMR konduktor N
vA
N
N′
iA
Gb.2.1. Saluran kirim A dan saluran balik N.
Kita perhatikan suatu saluran daya listrik yang terdiri dari dua
konduktor, satu adalah saluran kirim dan satu lagi saluran balik.
Saluran kirim dialiri arus i sedangkan saluran balik juga dialiri
arus i tetapi dengan arah yang berlawanan; hal ini digambarkan
pada Gb.2.1. Kita pandang sistem dua konduktor ini sebagai satu
segmen dari loop yang sangat panjang. Pada ujung-ujung
segmen loop ini terdapat tegangan di antara kedua konduktor,
yaitu v A dan v ′A .
Jika panjang segmen ini adalah l maka arus iA di saluran A
memberikan fluksi lingkup menembus bidang segmen loop ini
sebesar
λ AN1 =
µi A l D AN
ln
2π
r A′
(2.6.a)
Arus iA di saluran balik N memberikan fluksi lingkup sebesar
λ AN 2 =
D AN
µi A l D AN
ln
2π
rN′
(2.6.b)
Di ruang antara A dan N, fluksi λ AN 1
dan λ AN 2 saling menguatkan sehingga
fluksi lingkup total menjadi
A
N
Fluksi saling
menguatkan
50
λ AN = λ A1 + λ A2 =
2
µi A l D AN
(2.6.c)
ln
2π
r A′ rN′
λ AN adalah fluksi lingkup konduktor
A-N yang ditimbulkan oleh iA, dan
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
merupakan fluksi sendiri yang akan memberikan induktansi
sendiri LAA.
2.1.2.2. Sistem Tiga Konduktor
Kita lihat sekarang sistem tiga konduktor, saluran kirim A dan B
serta saluran balik N, seperti terlihat pada Gb.2.2. Arus iA dan iB
masing-masing mengalir di A dan B sedang di N mengalir arus
balik (i A + i B ) . Kita akan menghitung fluksi lingkup segmen
loop yang menjadi perhatian kita yaitu fluksi lingkup pada
segmen loop yang dibentuk oleh saluran A dan saluran balik N.
iA
A
A′
iB
B′
B
i A + iB
N
N′
Gb.2.2. Saluran kirim A dan B, dan
saluran balik N
Dalam situasi ini arus iA di konduktor A dan arus balik (iA+iB) di
N memberikan fluksi lingkup sebesar
λ ANB1 =
µi A l D AN µ(i A + i B )l D AN
ln
+
ln
2π
r A′
2π
rN′
(2.7.a)
Sementara itu arus iB di konduktor B juga memberikan fluksi
λ ANB 2 =
µi B l D AB µi B l D BN
ln
+
ln
2π
rB′
2π
rB′
(2.7.b)
Karena arus iB searah dengan iA maka suku pertama (2.7.b)
memperlemah fluksi antara A dan B, sedangkan suku ke-dua
memperkuat fluksi antara B dan N. Fluksi lingkup antara A dan
N dengan kehadiran B menjadi
λ ANB = λ ANB1 + λ ANB 2
µi l  D
D
= A  ln AN + ln AN
2π 
rA′
rN′
 µiBl
+
 2π

 DAN
D
D 
 ln
− ln AB + ln BN 

rN′
rB′
rB′ 

51
Saluran Transmisi
atau
λ ANB =
2
µi Al D AN
µi l  D D
ln
+ B  ln AN BN
2π
rA′ rN′
2π 
rN′ D AB




(2.7.c)
λ ANB adalah fluksi lingkup segmen loop A-N dengan kehadiran
arus di konduktor B yang jika kita bandingkan dengan (2.6.c)
terlihat bahwa suku ke-dua (2.7.c) adalah tambahan yang
disebabkan oleh adanya arus iB.
Kita lihat sekarang fluksi lingkup segmen loop B-N antara
konduktor B dan N. Fluksi lingkup yang ditimbulkan oleh arus
di B dan arus di N adalah
λ BNA1 =
µi B l D BN µ(i B + i A )l D BN
ln
+
ln
2π
rB′
2π
rN′
(2.8.a)
dan fluksi yang ditimbulkan oleh iA yang memperkuat fluksi
λ BNA1 adalah
λ BNA2 =
µi A l  D AN
D  µi l D
 ln
− ln AB  = A ln AN
2π 
r A′
r A′  2π
D AB
(2.8.b)
sehingga fluksi lingkup konduktor B-N menjadi
λ BNA = λ BNA1 + λ BNA2 =
2
µi B l D BN
µi l D D
ln
+ A ln BN AN
2π
rB′ rN′
2π
D AB rN′
(2.8.c)
Kita lihat bahwa formulasi (2.8.c) mirip dengan (2.7.c); suku
pertama adalah fluksi yang ditimbulkan oleh arus iB sedangkan
suku kedua adalah tambahan yang disebabkan oleh arus iA.
2.2.1.3. Sistem Empat Konduktor
Dengan cara yang sama, kita menghitung fluksi-fluksi lingkup
pada sistem empat konduktor dengan tiga konduktor A, B, dan C
masing-masing dengan arus iA, iB, dan iC, dan konduktor balik N
dengan arus (i A + iB + iC ) seperti terlihat pada Gb.2.3.
52
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
A
B
v BN
C
v ′AN
iB
v AN
v ′BN
iC
v CN
i A + i B + iC
′
v CN
A′
B′
C′
N′
N
Dij : jarak konduktor i dan j ; ri′ = GMR konduktor i; i, j : A, B, C, N
Gb.2.3. Sistem empat konduktor.
Fluksi lingkup konduktor A-N, B-N, dan C-N adalah:
λ AN =
µl 
D
D
 i A ln AN + (i A + iB + iC ) ln AN
2π 
rA′
rN′
+
=
D
D
µ 
 iC ln CN − iC ln AC
2π 
rC′
rC′
 µ 
DBN
DAB 
+


 2π  iB ln r′ − iB ln r ′ 
B
B 






D2
D D
D D
µl 
i A ln AN + iB ln AN BN + iC ln AN CN
2π 
rA′ rN′
rN′ DAB
rN′ DAC




(2.9.a)
D
D
µl 
 i B ln BN + (i A + i B + i C ) ln BN
2π 
rB′
rN′
λ BN =
+
=
D
D
µ 
 iC ln CN − i C ln BC
2π 
rC′
rC′
 µ 
D AN
D AB 
+


 2π  i A ln r ′ − i A ln r ′ 
A
A 






D D
D2
D D
µl 
i A ln BN AN + i B ln BN + +iC ln BN CN

2π 
rN′ D AB
rB′ rN′
rN′ D BC




(2.9.b)
λ CN =
D
D
µl 
 iC ln CN + (i A + i B + iC ) ln CN
2π 
r A′
rN′
+
=
D
D
µ 
 i B ln BN − i B ln BC
′
rB
rB′
2π 
 µ 
D AN
D AC
+

 2π  i A ln r ′ − i A ln r ′
A
A





D D
D D
D2
µl 
i A ln CN AN + i B ln CN BN + iC ln CN
2π 
rN′ D AC
rN′ D BC
rC′ rN′




(2.9.c)
53



Saluran Transmisi
Penurunan relasi (2.9) sudah barang tentu tidak terbatas hanya untuk
empat konduktor. Akan tetapi dalam pembahasan ini kita
mengaitkannya dengan keperluan kita untuk meninjau sistem tigafasa. Oleh karena itu kita batasi tinjauan pada sistem empat
konduktor. Dalam bentuk matriks, (2.9) dapat kita tuliskan sebagai
 µ
D2
ln AN

 2π rA′ rN′
λ AN 
λ  = l  µ ln DBN D AN
 BN 
rN′ D AB
 2π
λCN 
µ
D D
 ln CN AN
rN′ DAC
 2π
µ D AN DBN
ln
2π
rN′ D AB
µ
D2
ln BN
2π rB′ rN′
µ
D D
ln CN BN
2π
rN′ DBC
µ D AN DCN
ln
2π
rN′ DAC
µ
DBN DCN
ln
2π
rN′ DBC
µ
D2
ln CN
2π rC′ rN′


 i 
  A
  iB 
 
 iC 


(2.10)
Turunan terhadap waktu dari fluksi lingkup memberikan tegangan
imbas
 µ
D2

ln AN
 2π r A′ rN′
 v AA′  
D D
1
µ
v BB′  =  ln BN AN

l
rN′ D AB
 2π
v CC ′  
D
µ
 ln CN D AN
 2π
rN′ D AC

D D
µ
ln AN BN
2π
rN′ D AB
D2
µ
ln BN
2π rB′ rN′
D D
µ
ln CN BN
2π
rN′ D BC
D D
µ
ln AN CN
2π
rN′ D AC
D
D
µ
ln BN CN
2π
rN′ D BC
D2
µ
ln CN
2π rC′ rN′

  di A 
  dt 
  di 
 B
  dt 
  diC 
  dt 



(2.11)
Jika tegangan dan arus adalah sinusoidal, persamaan matriks di atas
dapat kita tuliskan dalam fasor
 µ
D2
ln AN

 2π r A′ rN′
 V AA′ 
µ
D D
1

V BB′  = jω ln BN AN

l
2
rN′ D AB
π



VCC ′ 
 µ ln DCN D AN
 2π
rN′ D AC

D D
µ
ln AN BN
2π
rN′ D AB
D2
µ
ln BN
2π rB′ rN′
D D
µ
ln CN BN
2π
rN′ D BC
D D
µ
ln AN CN
2π
rN′ D AC
D D
µ
ln BN CN
2π
rN′ D BC
D2
µ
ln CN
2π rC′ rN′


 
 I A 
 I B 
 
 I C 



(2.12)
Persamaan ini menunjukkan tegangan imbas pada setiap konduktor,
sepanjang segmen l (jika faktor l pindah ke ruas kanan).
54
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
2.1.3. Impedansi
Resistansi dan tegangan imbas (baik oleh fluksinya sendiri
maupun oleh fluksi yang timbul karena arus di konduktor lain)
pada setiap konduktor membentuk impedansi di setiap konduktor.
Dalam memperhitungkan resistansi, kita amati hal berikut:
Semua arus fasa melalui masing-masing konduktor fasa,
sedangkan arus balik melalui konduktor netral secara bersamasama. Oleh karena itu impedansi sendiri suatu fasa akan
mengandung resistansi konduktor fasa dan resistansi konduktor
netral, sedangkan impedansi bersama akan mengandung resistansi
konduktor netral saja. Persamaan (2.12) dapat kita tuliskan
menjadi:
 VAA′   Z AA
1

VBB ′  =  Z BA

l
VCC ′   Z CA


Z AB
Z BB
Z CB
Z AC   I A 
 
Z BC   I B 
Z CC  I C 
(2.13.a)
dengan ZXX adalah impedansi sendiri konduktor X dan ZXY adalah
impedansi konduktor X karena adanya imbas dari konduktor Y;
impedansi ini adalah per satuan panjang. (Perhatikan adanya
faktor 1/l di ruas kiri (2.13.a))
Z AA = R A + R N + j
Z BB = R B + R N + j
Z CC = RC + R N + j
2
ωµ D AN
ln
;
2π rA′ rN′
2
ωµ D BN
ln
;
2π rB′ rN′
2
ωµ DCN
ln
;
2π rC′ rN′
Z AB = R N + j
ωµ D AN D BN
ln
2π
rN′ D AB
Z AC = R N + j
ωµ D AN DCN
ln
rN′ D AC
2π
Z BA = R N + j
ωµ D BN D AN
ln
2π
rN′ D AB
Z BC = R N + j
ωµ D BN DCN
ln
2π
rN′ D BC
Z CA = R N + j
ωµ DCN D AN
ln
2π
rN′ D AC
Z CB = R N + j
ωµ DCN D BN
ln
2π
rN′ D AC
(2.13.b)
55
Saluran Transmisi
Walaupun matriks impedansi pada (2.13.a) terlihat simetris namun
tidak diagonal. Matrik impedansi urutan akan berbentuk diagonal
jika konfigurasi konduktor memiliki kesimetrisan seperti pada
konfigurasi ∆ atau dibuat simetris melalui transposisi, seperti yang
akan kita lihat berikut ini.
2.1.3.1. Konfigurasi ∆ (Segitiga Sama-Sisi)
Konfigurasi ini adalah konfigurasi segitiga sama-sisi di mana
konduktor fasa berposisi di puncak-puncak segitiga.
D AB = DBC = D AC = D
Konduktor netral berposisi di titik berat segitiga, sehingga
D AN = DBN = DCN = D / 3
Gb.2.4. memperlihatkan konfigurasi ini.
D
D
D/ 3
D
Gb.2.4 Konfigurasi ∆ (equilateral).
Jika kita anggap resistansi konduktor fasa sama besar yaitu R
dan GMR-nya pun sama yaitu r ′ , maka jika kita masukkan
besaran-besaran ini ke (2.13.b) kita peroleh persamaan (2.14) di
bawah ini. Perhatikan impedansi sendiri ZXX yang akan kita sebut
Zs dan impedansi bersama ZXY yang akan kita sebut Zm dalam
persamaan yang diperoleh ini.
56
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Z AA = R + RN + j
ωµ
D2
ln
;
2π 3r ′rN′
Z AB = RN + j
ωµ
D
ln
2π 3rN′
Z AC = RN + j
Z BB = R + RN + j
2
ωµ DBN
ln
;
2π 3r ′rN′
Z BA = RN + j
Z BC
Z CC = R + RN + j
2
ωµ DCN
ln
;
2π 3r ′rN′
ωµ
D
ln
2π 3rN′
ωµ
D
ln
2π 3rN′
(2.14)
ωµ
D
= RN + j
ln
2π 3rN′
Z CA = RN + j
ωµ
D
ln
2π 3rN′
Z CB = R N + j
ωµ
D
ln
2π 3rN′
Pada (2.14) ini terlihat bahwa
Z AB = Z BC = Z CA = Z m dan Z AA = Z BB = Z CC = Z s
sehingga (2.13.a) dapat dituliskan:
 V AA′   Z s
1

VBB′  =  Z m
l
 VCC ′   Z m

 
Z m  I A 
 
Z m  I B 
Z s  I C 
(2.15.a)
ωµ
D2
ln
Ω/m
2π 3r ′rN′
(2.15.b)
Zm
Zs
Zm
dengan
Z s = R + RN + j
Z s = RN + j
ωµ
D
ln
Ω/m
2π 3rN′
jika R dan RN dinyatakan dalam Ω/m, dan µ dalam H/m. D, r ′ ,
dan rN′ dinyatakan dengan satuan yang sama (biasanya dalam
meter disesuaikan dengan D yang juga diukur dalam meter).
Impedansi urutan dapat kita peroleh dengan cara seperti yang
kita pelajari di bab sebelumnya, yaitu
57
Saluran Transmisi
[Z 012 ] = [T]−1[Z ABC ][T]
1 1 1   Z s Z m Z m  1 1 1 
1
1 a a 2   Z m Z s Z m  1 a 2 a 
3
1 a 2 a   Z m Z m Z s  1 a a 2 
Z s + 2Z m
Z s + 2Z m
Z s + 2Z m
 1 1
1
2
2
=  Z s − Z m aZ s + (1 + a ) Z m a Z s + (1 + a ) Z m  1 a 2
3
 Z s − Z m a 2 Z s + (1 + a ) Z m aZ s + (1 + a 2 ) Z m  1 a
0
0 
Z s + 2Z m

=
0
Zs − Zm
0 

0
0
Z s − Z m 
=
1
a 
a 2 
(2.16.a)
Dengan memasukkan (2.15.b) ke (2.16.a) kita peroleh
ωµ
D4
ln
Ω/km
2π 27r ′(rN′ )3
(2.16.b)
ωµ D
= R+ j
ln
Ω/km
2π r ′
Z 0 = Z s + 2 Z m = R + 3R N + j
Z1 = Z 2 = Z s − Z m
CONTOH-2.1: Penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50
Hz, panjang 20 km. Konduktor penyulang berpenampang 95 mm2
dan memiliki radius efektif 6 mm. Resistivitas konduktor adalah
0,0286 Ω.mm2/m dan penyulang dibangun dalam konfigurasi ∆
dengan jarak antar konduktor 1 m. Hitunglah impedansi sendiri dan
impedansi bersama serta impedansi urutan positif, dengan
mengabaikan kapasitansi.
Solusi:
Resistansi konduktor:
ρl 0,0286
RA =
=
= 0,00031 Ω/m
A
95
Dengan konfigurasi ∆, impedansi sendiri dan impedansi bersama
fasa A dihitung menggunakan formulasi (2.14) dengan panjang
saluran l = 20 km = 20000 m:
58
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Z AAl
 0,00031 + 0,00031



−
7
2
=
 × 20000
100π × 4π × 10
1
ln
+ j

2π
3 × 0,006 × 0,006 

= 12,04 + j12,85 = 17,61∠46,86o Ω


100π × 4π × 10− 7
12
 × 20000
Z ABl =  0,00031 + j
ln


2
π
3
×
0
,
006


= 6,02 + j 5,05 = 7,68∠39,96o Ω
Z ACl = Z ABl
Impedansi urutan positif dihitung dengan relasi (2.16.b)
Z1 = Z s − Z m = Z AAl − Z ABl
= 12,04 + j12,85 − 6,02 − j 5,05
= 6,02 + j 7,8 = 9,86∠52,35
CONTOH-2.2: Beban 5000 kW dengan faktor daya 0,8 dicatu
melalui penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50 Hz,
sepanjang 20 km dengan konfigurasi seperti yang diberikan pada
Contoh-2.1. Dengan mengabaikan kapasitansi antar konduktor,
hitunglah tegangan di ujung kirim apabila tegangan di ujung terima
(beban) ditetapkan 20 kV dengan cara: a) menggunakan besaranbesaran fasa; b) menggunakan besaran urutan.
Solusi:
a)
Karena kapasitansi diabaikan, maka perbedaan tegangan
antara ujung kirim dan ujung terima hanya disebabkan oleh
impedansi saluran. Dengan pembebanan seimbang,
perhitungan dilakukan menggunakan model satu-fasa. Kita
amati fasa A. Impedansi sendiri total dan impedansi
bersama total fasa A telah dihitung pada contoh-2.1:
Z AAl = 12,04 + j12,85 = 17,61∠46,86o Ω
Z ABl = Z ACl = 6 ,02 + j 5,05 = 7,68∠39,96o Ω
59
Saluran Transmisi
Dengan menggunakan tegangan fasa-netral ujung terima fasa A
sebagai referensi, maka tegangan fasa-netral ujung terima fasa A,
B, dan C adalah
VrA =
20
3
∠0 o = 11,55∠0 o kV
VrB = 11,55∠ − 120 o kV
VrC = 11,55∠ − 240 o kV
Arus fasa A, B, dan C adalah
IA =
5000 / 3
= 180,4 A → I A = 180,4∠ − 36,87 o A
11,55 × 0,8
I B = 180,4∠ − 156,87 o A
IC = 180,4∠ − 276,87 o A
Tegangan jatuh di fasa A adalah:
V AA′ = Z AA I A + Z AB I B + Z AC I C
= 17,61∠46,86 o × 180,4∠ − 36,87 o + 7,86∠39,96 o × 180,4∠ − 156,87 o
+ 7,86∠39,96 o × 180,4∠ − 276,87 o
= 3129,33 + j551,34 − 641,39 − j1263,93 − 773,90 + j1187,43
= 1714,04 + j 474,84
Tegangan fasa-netral di ujung kirim:
VsA = VrA + V AA′ = 11,55 + 1,71 + j 0,48 = 13,2∠2 o kV
Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:
Vsff = 13,2 3 = 22,8 kV
b). Pada pembebanan seimbang, besaran urutan yang ada
hanyalah urutan positif. Impedansi urutan positif telah dihitung
pada contoh-2.1.
Z1 = 6,02 + j 7,8 = 9,86∠52,35 o Ω
Tegangan jatuh di fasa A adalah:
60
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
V AA′ = Z1 × I A = 9,86∠52,35 o × 180,4∠ − 36,87 o
= 1778,59∠15,48 o = 1,71 + j 0,48 V
Tegangan fasa-netral di ujung kirim
VsA = VrA + V AA′ = 11,55 + 1,71 + j 0,48 = 13,2∠2 o kV
Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:
Vsff = 13,2 3 = 22,8 kV
2.1.3.2. Transposisi
Suatu upaya untuk membuat konfigurasi menjadi simetris adalah
melakukan transposisi, yaitu mempertukarkan posisi konduktor
sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan transmisi
mempunyai konfigurasi simetris ataupun hampir simetris.
Panjang total saluran, d, dibagi dalam tiga seksi dan posisi
konduktor fasa dipertukarkan secara berurutan, seperti
diperlihatkan secara skematis oleh Gb.2.5.
D AN = D1
D AN = D 2
D AN = D3
D BN = D 2
D BN = D3
D BN = D1
DCN = D3
DCN = D1
DCN = D2
Gb.2.5. Transposisi.
Kita misalkan ketiga konduktor fasa pada Gb.2.5 memiliki
resistansi per satuan panjang sama besar dan demikian juga jarijari serta GMR-nya;
R A = R B = RC = R , rA = rB = rC = r , dan r A′ = rB′ = rC′ = r ′ .
61
Saluran Transmisi
Kita dapat mencari formulasi impedansi fasa dan impedansi
urutan dengan melihat seksi per seksi. Jika panjang keseluruhan
saluran adalah d, maka untuk konduktor A:
seksi pertama:
Z AA =
D2
ωµ
d 
R + RN + j
ln 1
3 
2π r ′rN′

;


Z AB =
D D
D D
ωµ
ωµ
d
1
RN + j
ln 1 2 ; Z AC =  R N + j
ln 1 3
3
2π D AB rN′
3
2π D AC rN′




(2.17.a)
seksi ke-dua:

;


d
1
ωµ
DD
ωµ D2 D3 
; Z AC =  RN + j
ln
ln 2 1
=  RN + j


3
2π DAB rN′ 
3
2π DAC rN′
Z AA =
Z AB
d 
ωµ D22
R + RN + j
ln
3 
2π r′rN′




(2.17.b)
seksi ke-tiga
Z AA =
d 
D2
ωµ
R + RN + j
ln 3
3 
2π rA′ rN′
Z AB =
d
ωµ
DD
 RN + j
ln 3 1
3 
2π DAB rN′

;



1
ωµ
DD
; Z AC =  RN + j
ln 3 2

3 
2π DAC rN′





(2.17.c)
Impedansi per satuan panjang konduktor A menjadi:
ωµ  D12
ln
2π  r ′rN′




Z AB = R N + j
ωµ  D1 D 2
ln
2π  D AB rN′




Z AC = R N + j
ωµ  D1 D3
ln
2π  D AC rN′




Z AA = R + R N + j
62
1/ 3
1/ 3
 D 22

 r ′rN′





1/ 3
 D 2 D3

 D r′
 AB N
1/ 3
 D 2 D1

 D r′
 AC N




 D32

 r ′rN′

1/ 3








1/ 3
 D3 D1

 D r′
 AB N
1/ 3
 D3 D 2

 D r′
 AC N
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)




1/ 3




1/ 3
(2.18)
Saluran Transmisi
Jika didefinisikan:
Dh = 3 D1 D2 D3
dan D f = 3 D AB D BC D AC
(2.19)
maka formulasi (2.18) menjadi
Z AA = R + RN + j
ωµ  Dh2
ln
2π  r ′rN′
ωµ  Dh2
Z AB = RN + j
ln
2π  D f rN′

;


2


 ; Z AC = RN + j ωµ ln Dh

2π  D f rN′





(2.20)
Fasa B dan C memiliki formula yang mirip dengan fasa A.
Relasi lengkap untuk ketiga fasa adalah:
 V AA′   Z s
1

VBB′  =  Z m

l
 VCC ′   Z m

 
dengan
Z s = R + RN + j
Zm
Zs
Zm
Z m  I A 
 
Z m  I B 
Z s  I C 
ωµ  Dh2
ln
2π  r ′rN′
2
ωµ  Dh
Z m = RN + j
ln
2π  D f rN′
Impedansi urutan

 Ω/m



 Ω/m


(2.21.a)
(2.21.b)
[Z 012 ] = [T]−1 [Z ABC ][T ]
dan dengan (2.21.b) kita peroleh:
Z 0 = Z s + 2 Z m = R + 3R N + j
Z1 = Z 2 = Z s − Z m
D h6
ωµ
ln
2π D 2 r ′(rN′ ) 3
f
(2.22)
ωµ D f
= R+ j
ln
2π
r′
63
Saluran Transmisi
CONTOH-2.3: Hitunglah impedansi urutan positif pada frekuensi
50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang
mempunyai konfigurasi sebagai berikut:
8, 4 m
R A = RB = RC = 0.088 Ω / km
4,2 m
A
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA′ = rB′ = rC′ = r ′ = 1,073 cm
4,2 m
C
B
Kapasitas arus : 900 A
Solusi: (perhatikan bahwa R dinyatakan dalam Ω/km; µ juga harus
dinyatakan sebagai H/km = 1000 × H/m)
Untuk menggunakan relasi (2.22), kita hitung lebih dulu Df dengan
menggunakan relasi (2.19):
D f = 3 4 × 4 × 8 = 5,29 m
Jadi:
2π × 50 × 4π × 10 −7 × 1000
5,29
ln
2π
0,01073
= 0,088 + j 0,3896 Ω/km
Z1 = 0,088 + j
2.1.4. Admitansi
Kita pandang satu konduktor lurus dengan panjang tak hingga
dan mengandung muatan dengan kerapatan ρ per satuan panjang.
Pada konfigurasi sederhana ini, penerapan hukum Gauss untuk
menghitung displacement D menjadi sederhana.
∫ Dds = ρl
S
dengan S adalah luas dinding silinder sepanjang l dengan sumbu
yang berimpit pada konduktor. Bidang equipotensial di sekitar
konduktor akan berbentuk silindris. Kuat medan listrik di suatu
titik berjarak x dari konduktor adalah:
D
ρl
ρ
Ex = =
=
ε ε × 2πx × l 2πεx
1
Untuk udara, ε = ε 0 =
× 10 −9 F/m
36π
64
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Kuat medan listrik ini menyebabkan terjadinya perbedaan
potensial antara dua titik di luar konduktor, seperti digambarkan
pada Gb.2.6.
A
B
xA
xB
Gb.2.6. Dua titik di luar konduktor.
v AB =
xB
∫x
Edx =
A
xB
∫x
A
x
ρ
ρ
dx =
ln B
2πεx
2πε x A
(2.23)
v AB adalah penurunan potensial dari A ke B yang bernilai positif
jika xB > xA. Jika ρ adalah muatan negatif maka v AB adalah
kenaikan potensial.
2.1.4.1. Beda Potensial Dua Konduktor Tak Bermuatan
Kita lihat sekarang satu konduktor k dengan jari-jari rk dan
bermuatan ρk. Dua konduktor lain yang tidak bermuatan, i dan j,
berjarak Dik dan Djk dari konduktor k seperti terlihat pada Gb.2.7.
k , rk , ρ k
i
Dik
j
D jk
Gb.2.7. Satu konduktor bermuatan dan dua konduktor
tak bermuatan.
Potensial konduktor i yang diakibatkan oleh adanya muatan di
konduktor k adalah beda potensial antara titik di permukaan
konduktor k dan posisi konduktor i. Sedangkan beda potensial
antara konduktor k dan j adalah beda potensial antara permukaan
konduktor k dan posisi konduktor j. Beda potensial antara
konduktor i dan j adalah selisih antara keduanya.
D jk 
ρ  D

vij
= vkj − vki ρ = k  ln ik − ln
ρk
ρk
k
2πε  rk
rk 
(2.24)
ρ
D
= k ln ik
2πε Dij
65
Saluran Transmisi
2.1.4.2. Beda Potensial Tiga Konduktor Bermuatan
Tiga konduktor bermuatan A, B, C diperlihatkan pada Gb.2.8.
Setiap muatan di setiap konduktor akan menyebabkan beda
potensial di dua konduktor yang lain.
D AC
D AB
D BC
A, r A , ρ A
B, rB , ρ B
C, rC , ρ C
Gb.2.8. Tiga konduktor bermuatan.
v BC = v BC
v BC
ρA
Jadi
+ v BC
ρB
+ v BC
D
ρ
= A ln AC ; v BC
2πε D AB
v BC ρ =
c
ρA
ρC
ρB
=
D
ρB
ln BC ;
rB
2πε
r
ρC
ln C
2πε DBC
v BC =
D
D
r
1 
 ρ A ln AC + ρ B ln BC + ρ C ln C

2πε 
D AB
rB
D BC

 (2.25)


2.1.4.3. Beda Potensial Empat Konduktor Bermuatan
Empat konduktor bermuatan terlihat pada Gb.2.9:
A , rA , ρ A
B, rB , ρ B
C, rC , ρ C
N , rN , ρ N
Gb. 2.9. Sistem empat konduktor.
Kita akan meninjau sistem empat konduktor seperti terlihat pada
gambar di atas dengan ketentuan konservasi muatan, yaitu
ρA + ρA + ρA + ρA = 0
66
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(2.26)
Saluran Transmisi
v AN =
D
D
D
r
1 
 ρ A ln AN + ρ B ln BN + ρ C ln CN + ρ N ln N
2πε 
rA
D AB
D AC
D AN




v BN =
D
D
D
r
1 
 ρ A ln AN + ρ B ln BN + ρ C ln CN + ρ N ln N

2πε 
D AB
rB
D BC
D BN




vCN =
D
D
D
r
1 
 ρ A ln AN + ρ B ln BN + ρ C ln CN + ρ N ln N

2πε 
D AC
D BC
rC
DCN




v NN =
D
D
D
D
1 
 ρ A ln AN + ρ B ln BN + ρ C ln CN + ρ N ln NN

2πε 
D AN
D BN
DCN
D NN

=0


(2.27)
Jika kita terapkan relasi konservasi muatan yaitu
ρ a + ρ b + ρ c + ρ n = 0 atau ρ n = −(ρ a + ρ b + ρ c )
maka ρN akan ter-eliminasi dari persamaan (2.27).
v AN =
1 
D2
D D
D D
ρ A ln AN + ρ B ln AN BN + ρC ln AN CN
2πε 
rArN
D AB rN
DAC rN




2
D
D D 
+ ρ B ln BN + ρC ln BN CN  (2.28.a)
rB rN
DBC rN 
D D
D2 
+ ρ B ln CN BN + ρC ln CN 
DBC rN
rC rN 
vBN =
1 
D D
ρ A ln AN BN

2πε 
DAB rN
vCN =
1 
D D
ρ A ln CN AN

2πε 
DAC rN
yang dalam bentuk matriks kita tuliskan:

1
D2
ln AN

2πε
ra rn
v A  

1
D
v  =
BN D AN
 B   2πε ln D r
AB n
vC  
 1
DCN DAN

ln
DAC rn
 2πε
1
D D
ln AN BN
2πε
DAB rn
1
D2
ln BN
2πε
rb rn
1
D D
ln CN BN
2πε
DBCB rn
1
D D 
ln AN CN 
DAC rn 
2πε
ρ A 
1
DBN DCN    (2.28.b)
ln
 ρB
2πε
DBC rn   
 
 ρC 
1
D2
ln CN 
2πε
rc rn 
atau secara singkat
67
Saluran Transmisi
v A   f AA
v  =  f
 B   AB
vC   f CA
f AB
f BB
f CB
f AC  ρ A 
f BC  ρ A 
f CC  ρ C 
(2.28.c)
atau lebih ringkas
~
~v
ABC = [F ABC ] ρ ABC
dengan
f ij =
(2.28.d)
Din D jn
1
ln
; i, j = A, B, C
2πε
Dij rn
(2.28.e)
Untuk tegangan sinusoidal keadaan mantap, (2.28.c) dapat kita
tuliskan:
 V A   f AA
  
 VB  =  f BA
VC   f CA
  
f AB
ρ A   f AA
ρ  =  f
 B   BA
ρ C   f CA
f AB
f BB
f CB
f AC  ρ A 
f BC  ρ B 
f CC  ρ C 
(2.29.a)
atau
f BB
f CB
f AC 
f BC 
f CC 
−1
V A 
 
 VB 
VC 
 
(2.29.b)
Atau
~
-1 ~
~
ρ
ABC = [F ABC ] V ABC = [C ABC ] V ABC
(2.29.c)
Kita ingat relasi kapasitor Q = CV . Dari (2.29.c) kita turunkan
[C ABC ] = [F ABC ]-1
F/m
(2.30)
[Y ABC ] = jω[C ABC ] Ω/m
(2.31)
dan kita peroleh admitansi
68
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Namun kita tidak menghitung [YABC] dengan menggunakan
(2.31) melainkan dari (2.30) dengan menghitung [F ABC ] dan
sini menghitung [F012 ] sehingga diperoleh [C 012 ] dan [Y012 ] .
 f AA
[F ABC ] =  f BA
 f CA
f AC 
f BC 
f CC 
f AB
f BB
f CB
(2.32)
nilai urutannya adalah
[F012 ] = [T]−1 [F ABC ][T]
(2.33)
dan akan kita peroleh
[C 012 ] = [F012 ]−1
sehingga
[Y012 ] = jω[C 012 ]
(2.35)
2.1.4.4. Konfigurasi ∆
Pada konfigurasi ∆,
D AB = D BC = D AC = D
 1
D2
ln

 2πε 3rrn

[F ABC ] =  1 ln D
 2πε 3rn
 1
D

ln
 2πε 3rn
 fs
fm
 f m
fs
fm
[F012 ] = [T]−1  f m
;
1
D
ln
2πε 3rn
1
D2
ln
2πε 3rrn
1
D
ln
2πε 3rn
D AN = D BN = DCN = D / 3
1
D 
ln

2πε 3rn 
 fs
1
D  
ln
 =  fm
2πε 3rn 
 fm
1
D2  

ln
2πε 3rrn 
fm 
 fs + 2 fm
f m  [T ] = 
0

f s 
0
F0 = f s + 2 f m =
0
fs − fm
0
fm
fs
fm
fm 
f m 
f s 
(2.35)

0 
f s − f m 
0
(2.36)
1
D4
ln
2πε 27r (rn ) 3
F1 = F2 = f s − f m =
1
D
ln
2πε r
(2.37)
69
Saluran Transmisi
Kapasitansi
C0 =
1
2πε
=
4
F0 ln[ D / 27r (rN )3 ]
C1 =
1
2πε
= C2 =
F1
ln( D / r )
(2.38)
Admitansi
Y0 = jωC 0 = j
2πεω
ln[ D / 27r (rN ) 3 ]
Y1 = jωC1 = Y2 = j
4
2πεω
ln( D / r )
(2.39)
2.1.4.5. Transposisi
Kita telah melihat bahwa jika transposisi dilakukan, maka
impedansi urutan dapat berbentuk matriks diagonal. Hal yang
sama akan terjadi pada admitansi. Dengan transposisi matriks
[FABC] berbentuk
 fs
[F ABC ] =  f m
 f m
fm
fs
fm
fm 
f m 
f s 
(2.40)
Pada tahap ini kita perlu mengingat kembali bahwa walaupun
dalam analisis rangkaian listrik besaran resistansi, induktansi,
impedansi, serta admitansi difahami sebagai konstanta
proporsiaonalitas rangkaian linier, namun sesungguhnya mereka
adalah besaran-besaran dimensional. Mereka merupakan besaran
yang tergantung dari ukuran yang dimilikinya serta sifat-sifat
fisis material yang membentuknya. Oleh karena itu, selama
dimensinya sama, pengolahan aritmatika dapat dilakukan.
Dalam kasus transposisi saluran transmisi, sebagaimana
ditunjukkan oleh matriks [FABC] di atas, konduktor-konduktor
memiliki nilai sama jika dilihat dalam selang saluran yang
ditransposisikan yaitu yang terdiri dari tiga seksi. Dengan
70
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
demikian maka admitansi dapat kita peroleh dengan mengambil
nilai rata-rata dari admitansi per seksi.
(
1
f ij seksi-1 + f ij seksi-2 + f ij seksi-3
3
dengan f ij = f s jika i = j
f ij =
f if = f m jika i ≠ j
)
(2.41)
Kita memperoleh
fs =
D2D2D2
1
ln 1 2 3
6πε
r 3 rN3
fm =
DD D D D D
1
ln 1 2 2 3 3 1
6πε D AB D BC D AC rN3
(2.42)
Dengan definisi:
Dh = 3 D1 D2 D3
D f = 3 D AB DBC D AC
kita peroleh
fs =
D2
1
ln h
2πε rrN
fm =
Dh2
1
ln
2πε D f rN
(2.43)
sehingga
F0 = f s + 2 f m =
D h6
1
ln
2πε D 2 r (rn ) 3
f
F1 = F2 = f s − f m =
Kapasitansi adalah
Df
1
ln
2πε
r
C0 =
1
2πε
=
F/m
6
F0 ln[ Dh / D 2f r (rN )3 ]
C1 =
1
2πε
= C2 =
F/m
ln( D f / r )
F1
(2.44)
(2.45)
71
Saluran Transmisi
Admitansi adalah
Y0 = jωC 0 = jω
Y1 = Y2 = jω
2πε
ln( Dh6
/ D 2f rrN3 )
S/m
2πε
S/m
ln( D f / r )
(2.46)
CONTOH-2.4: Hitunglah admitansi urutan positif pada frekuensi
50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang
mempunyai konfigurasi seperti berikut:
8, 4 m
4,2 m
A
R A = RB = RC = 0.088 Ω / km
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA′ = rB′ = rC′ = r ′ = 1,073 cm
4,2 m
C
B
Kapasitas arus : 900 A
Solusi:
Dengan menggunakan relasi (2.46), di mana Df sudah dihitung
pada Contoh-2.3. Dengan
ε = (1 / 36π) × 10 −9 F/m
maka:
Y1 = jω
2π × 50 × 2π × (1 / 36π) × 10 −9
2πε
= j
ln( D f / r )
ln(5,29 / 0,01350)
= j 2,923 × 10 −9 S/m = j 2,923 µS/km
2.2. Rangkaian Ekivalen
Di sub-bab sebelumnya kita telah memperoleh formulasi impedansi
dan admitansi per satuan panjang dari saluran transmisi. Selain itu
kita telah melihat bahwa dengan transposisi saluran transmisi dibuat
menjadi simetris dan memberikan matriks besaran urutan yang
diagonal.
Dengan menggunakan model satu-fasa, kita akan melihat bagaimana
perubahan tegangan dan arus sepanjang saluran. Setelah itu kita
akan melihat rangkaian ekivalen yang diperlukan dalam analisis.
72
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Rangkaian ekivalen ini diperlukan karena saluran transmisi
terhubung dengan peralatan lain, transformator misalnya.
2.2.1. Persamaan Saluran Transmisi
Impedansi dan admitansi suatu saluran transmisi terdistribusi
sepanjang saluran yang ratusan kilometer panjangnya. Karena
impedansi dan admitansi terdistribusi sepanjang saluran maka dalam
penyaluran daya akan terjadi perbedaan tegangan dan arus antara
setiap posisi yang berbeda. Kita lihat model satu fasa saluran
transmisi seperti pada Gb.2.10.
∆x
I s + ∆x
Vs
V s + ∆x
Z∆x I x
Y∆ x V x
Ix
Vx
Ir
Vr
x
Gb.2.10 Model satu-fasa saluran transmisi.
Saluran transmisi ini bertegangan Vs di ujung kirim dan Vr di
ujung terima. Kita tinjau satu posisi berjarak x dari ujung terima
dan kita perhatikan satu segmen kecil ∆x ke-arah ujung kirim.
Pada segmen kecil ini terjadi hal-hal berikut:
• Di posisi x terdapat tegangan Vx .
• Di posisi (x + ∆x) terdapat tegangan Vx +∆x karena terjadi
tegangan jatuh ∆Vx = Z∆xI x (Z adalah impedansi per satuan
panjang).
• Arus I x mengalir dari x menuju ujung terima.
• Arus ∆I x = Y∆xVx mengalir di segmen ∆x (Y adalah
admitansi per satuan panjang).
• Arus I x+∆x mengalir menuju titik (x + ∆x) dari arah ujung
kirim.
73
Saluran Transmisi
V x + ∆x − V x
= ZI x
∆x
I
− Ix
atau x + ∆x
= YV x
∆x
V x + ∆x − V x = Z∆xI x atau
I x + ∆x − I x = Y∆xVx
Jika ∆x mendekati nol, maka
dV x
= ZI x
dx
dI x
= YV x
dx
dan
(2.47)
Jika (2.47) kita turunkan sekali lagi terhadap x kita peroleh
d 2 Vx
dx
2
=Z
dI x
dx
d 2I x
dan
dx
2
=Y
dV x
dx
(2.48)
Substitusi (2.47) ke (2.48) memberikan
d 2 Vx
dx 2
= ZYVx
dan
d 2I x
dx 2
= ZYI x
(2.49)
2.2.2. Konstanta Propagasi
Persamaan (2.49) ini telah menjadi sebuah persamaan di mana
ruas kiri dan kanan berisi peubah yang sama sehingga solusi dapat
dicari. Untuk mencari solusi tersebut didefinisikan
γ 2 = ZY
atau γ =
ZY
(2.50)
γ disebut konstanta propagasi. Karena Z memiliki satuan Ω/m
dan Y memiliki satuan S/m, maka γ memiliki satuan per meter.
Selain itu karena Z dan Y merupakan bilangan kompleks maka γ
juga merupakan bilangan kompleks yang dapat dituliskan sebagai
γ = α + jβ
(2.51)
α disebut konstanta redaman, yang akan mengubah amplitudo
tegangan dari satu posisi ke posisi yang lain.
β disebut konstanta fasa, yang akan mengubah sudut fasa tegangan
dari satu posisi ke posisi yang lain.
74
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
2.2.3. Impedansi Karakteristik
Dengan menggunakan pengertian konstanta propagasi maka
persamaan tegangan dan arus, (2.49) dapat dituliskan menjadi
d 2 Vx
dx
2
= γ 2 Vx
dan
d 2I x
dx
2
= γ 2I x
(2.52.a)
atau
d 2 Vx
dx
2
− γ 2 Vx = 0
dan
d 2I x
dx
2
− γ2I x = 0
(2.52.b)
Solusi persamaan (2.52.b) adalah :
V x = k v1e γx + k v 2 e − γx dan I x = k i1e γx + k i 2 e − γx
(2.52.c)
Kita lihat lebih dulu persamaan pertama (2.52.c) yaitu
V x = k v1e γx + k v1e − γx
(2.53.a)
Turunan (2.53.a) terhadap x memberikan
dV x
= k v1 γe γx − k v 2 γe γx
dx
sedangkan persamaan pertama (2.47) memberikan
(2.53.b)
dV x
= ZI x
dx
sehingga (2.53.b) dan (2.47) memberikan
k v1 γe γx − k v 2 γe γx = Z I x
(2.53.c)
Konstanta propagasi γ didefinisikan pada (2.50) yaitu
γ = ZY
Kita masukkan γ ke (2.53c) dan kita peroleh
(
)
ZY k v1e γx − k v 2 e γx = ZI x
atau
75
Saluran Transmisi
k v1e γx − k v 2 e γx =
Z
ZY
Ix =
Z
Ix
Y
(2.53.d)
Perhatikan bahwa ruas paling kiri (2.53.d) adalah ruas kanan
persamaan (2.53a), yaitu tegangan. Hal ini berarti bahwa ruas
Z
di
Y
ruas paling kanan (2.53.c) haruslah berdimensi impedansi;
impedansi ini disebut impedansi karakteristik, Zc.
paling kanan juga berdimensi tegangan. Oleh karena itu
Zc =
Z
Y
(2.54)
Perhatikan bahwa kita sedang meninjau satu segmen kecil dari suatu
saluran transmisi yaitu sepanjang ∆x; dan kita memperoleh suatu
besaran impedansi yaitu impedansi karakteristik, Zc. Kita dapat
menduga bahwa impedansi ini terasakan/terdapat di setiap segmen
saluran transmisi dan oleh karena itu dia menjadi karakteristik suatu
saluran transmisi.
Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (2.53.d) kita
tulis menjadi
k v1e γx − k v 2 e γx = Z c I x
(2.55)
Kita lihat sekarang situasi di ujung terima, dimana x = 0. Persamaan
pertama (2.53.c) memberikan tegangan di setiap poisi x, yaitu
V x = k v1e γx + k v1e − γx
Dengan memberikan x = 0 pada (2.53.c) ini kita dapatkan tegangan
di ujung terima
k v1 + k v 2 = Vr
(2.56.a)
sedangkan pada x = 0 persamaan (2.55) memberikan arus di ujung
terima yaitu
k v1 − k v 2 = Z c I r
Dari (2.56.a) dan (2.56.b) kita peroleh
76
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(2.56.b)
Saluran Transmisi
k v1 =
Z c I r + Vr
2
kv2 =
Vr − Z c I r
2
(2.56.c)
Dengan (2.56.c) ini maka persamaan tegangan di setiap posisi x,
yaitu persamaan pertama (2.52.c) menjadi
V x = k v1e γx + k v 2 e − γx
=
Z c I r + Vr γx Vr − Z c I r − γx
e +
e
2
2
e γx + e − γx
e γx − e − γx
= Vr
+ ZcIr
2
2
= Vr cosh( γx) + Z c I r sinh(λx)
(2.57)
Inilah persamaan tegangan di setiap posisi x apabila tegangan dan
arus di ujung terima adalah Vr dan I r .
Selanjutnya persamaan arus di setiap posisi x yaitu persamaa ke-dua
(2.52.c) dapat kita olah dengan cara yang sama.
dI
I x = k i1e γx + k i 2 e − γx → x = k i1 γe γx − k i 2 γe − γx = YV x
dx
(2.58.a)
1
γx
− γx
→ k i1e − k i 2 e
=
Vx
Zc
Untuk x = 0,
1
k i1 + k i 2 = I r
k i1 − k i 2 =
Vr
Zc
sehingga diperoleh
I + Vr / Z c
k i1 = r
2
I − Vr / Z c
ki2 = r
2
(2.58.b)
Dengan (2.58.b) ini kita peroleh
I + Vr / Z c γx I r − Vr / Z c − γx
Ix = r
e +
e
2
2
=
Vr e γx − e − γx
e γx + e − γx
+ Ir
Zc
2
2
=
Vr
sinh( λx) + I r cosh( γx)
Zc
(2.58.c)
77
Saluran Transmisi
Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan
Vx = Vr cosh( γx ) + Z c I r sinh( γx)
V
I x = r sinh( γx) + I r cosh( γx)
Zc
(2.59)
Persamaan (2.59) ini memberikan nilai tegangan di setiap posisi x
pada saluran transmisi apabila tegangan dan arus di ujung terima
diketahui. Dengan bantuan komputer tidaklah terlalu sulit untuk
melakukan perhitungan untuk setiap nilai x. Parameter yang terlibat
dalam perhitungan adalah konstanta propagasi γ dan impedansi
karakteristik Zc. Konstanta propagasi mempunyai satuan per meter
yang ditunjukkan oleh persamaan (2.50); impedansi karakteristik
mempunyai satuan ohm (bukan ohm per meter) yang ditunjukkan
oleh (2.54).
2.2.4. Rangkaian Ekivalen π
Jika panjang saluran adalah d, tegangan dan arus di ujung kirim
adalah Vs dan I s maka dari (2.59) kita peroleh
Vs = Vr cosh( γd ) + Z c I r sinh( γd )
V
I s = r sinh( γd ) + I r cosh( γd )
Zc
(2.60)
Rangkaian ekivalen diperlukan dalam analisis jika saluran
transmisi terhubung dengan piranti lain. Kita akan meninjau suatu
rangkaian ekivalen yang disebut rangkaian ekivalen π seperti
terlihat pada Gb.2.11.
Is
Ir
Zt
Vs
Yt
2
Yt
2
Gb.2.11. Rangkaian ekivalen π
78
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Vr
Saluran Transmisi
Pada rangkaian ekivalen ini, impedansi dan admitansi yang
terdistribusi sepanjang saluran dimodelkan sebagai impedansi dan
admitansi tergumpal. Aplikasi hukum Kirchhoff pada rangkaian
ini memberikan:
Y

  Z Y
Vs = Vr + Z t  I r + t Vr  = 1 + t t
2
2

 
Y
Y
I s = Ir + t Vr + t Vs
2
2

Y
Y  Z Y 
= Ir + t Vr + t 1 + t t Vr + Zt Ir 
2
2 
2 

 ZY
= 2 + t t
2


 Vr + Z t I r

(2.61.a)
(2.61.b)
 Yt
 ZY 
 Vr + 1 + t t Ir
2 
2

Kita ringkaskan (2.61.a dan b) menjadi :
ZY 

Vs = 1 + t t Vr + Z t I r
2 

Z Y Y
ZY 


I s =  2 + t t  t Vr + 1 + t t  I r
2 2
2 


(2.62)
Jika kita perbandingkan persamaan ini dengan persamaan
tegangan dan arus pada (2.60) yaitu
Vs = Vr cosh( γd ) + Z c I r sinh( γd )
Is =
Vr
sinh( γd ) + I r cosh( γd )
Zc
kita dapatkan
Z t Yt
= cosh( γd )
2
Z t = Z c sinh( γd )
1+
(2.63)
Z Y Y

1
 2 + t t  t =
sinh( γd )
2
2
Z


c
Substitusi persamaan pertama (2.63) ke persamaan ke-tiga (2.63)
memberikan
79
Saluran Transmisi
Yt
sinh( γd )
(e γd − e − γd ) / 2
=
=
2 Z c (cosh( γd ) + 1) Z c (e γd + e − γd + 2) / 2
=
=
(e γd / 2 − e − γd / 2 ) × (e γd / 2 + e − γd / 2 )
Z c (e γd / 2 + e − γd / 2 ) 2
(e γd / 2 − e − γd / 2 )
Z c (e
γd / 2
+e
− γd / 2
)
=
1
 γd 
tanh  
Zc
 2 
Jadi dalam rangkaian ekivalen π
Z t = Z c sinh( γd )
dan
Yt
1
 γd 
=
tanh  
2 Zc
 2 
(2.64)
dengan d = jarak antara ujung-terima dan ujung-kirim, Zc =
impedansi karakteristik.
Rangkaian ekivalen π diturunkan dari model satu-fasa rangkaian
tiga-fasa seimbang. Untuk rangkaian tiga-fasa tak-seimbang,
fasor-fasor tak seimbang kita uraikan menjadi komponenkomponen simetris. Masing-masing komponen simetris
merupakan fasa-fasa seimbang sehingga masing-masing
komponen dapat di analisis menggunakan rangkaian ekivalen satufasa. Dengan kata lain masing-masing komponen memiliki
rangkaian ekivalen, yaitu rangkaian ekivalen urutan positif, urutan
negatif, dan urutan nol, seperti terlihat pada Gb.2.12.
Besaran rangkaian ekivalen adalah:
Konstanta propagasi urutan:
γ 0 = Z 0Y0 ;
γ1 = Z1Y1 ;
γ 2 = Z 2Y2
(2.65)
Impedansi karakteristik urutan:
Z c 0 = Z 0 / Y0
Z c1 = Z1 / Y1
Z c 2 = Z 2 / Y2
Impedansi urutan:
80
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(2.66)
Saluran Transmisi
Z 0 = Z c 0 sinh γ 0 d
Z1 = Z c1 sinh γ1d
(2.67)
Z 2 = Z c 2 sinh γ 2 d
Admitansi urutan:
Y0
γ d
1
=
tanh 0
2 Z c0
2
γd
Y1
1
=
tanh 1
2 Z c1
2
(2.68)
Y2
1
γ d
=
tanh 2
2 Z c2
2
I s0
I r0
Zt0
Vs 0
Yt 0
2
Yt 0
Vr 0
2
Rangkaian Urutan Nol
I s1
I r1
Z t1
V s1
Yt1
2
Yt1
2
Vr1
Rangkaian Urutan Positif
Is2
Ir2
Zt 2
Vs 2
Yt 2
2
Yt 2
2
Vr 2
Rangkaian Urutan Negatif
Gb.2.12. Rangkaian ekivalen urutan.
81
Saluran Transmisi
CONTOH-2.5: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi
yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, tentukan
(a) impedansi karakteristik;
(b) konstanta propagasi;
(c) rangkaian ekivalen π.
8, 4 m
4,2 m
A
R A = RB = RC = 0.088 Ω / km
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA′ = rB′ = rC′ = r ′ = 1,073 cm
4,2 m
C
B
Kapasitas arus : 900 A
Solusi:
Impedansi dan admitansi per satuan panjang saluran ini telah
dihitung pada dua contoh sebelumnya.
Z1 = 0,088 + j 0,3896 Ω/km
a)
Y1 = j 2,923 µS/km
Impedansi karakteristik adalah:
Zc =
Z
=
Y
= 103 ×
0,088 + j 0,3896
j 2,923 × 10− 6
0,088 + j 0,3896
= 369,67∠ - 6,4o Ω
j 2,923
b) Konstanta propagasi
γ = ZY = (0,088 + j 0,3896)( j 2,923 × 10 −6 )
= (0,1198 + j1,074) × 10 −3 per km
c) Untuk jarak antara ujung kirim dan ujung terima 100 km,
elemen-elemen rangkaian ekivalen π adalah
Z t = Z c sinh( γd )
= (369,67∠ − 6,4 o ) sinh[(0,1198 + j1,074) × 10 −1 ]
= 8,77 + j 38,89 = 39.87∠77.3o Ω
82
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Yt
1
 γd 
=
tanh 
2 Zc
 2 
=
 (0,1207 + j1,074) × 10 − 3 × 100 

tanh


2
369,67∠ − 6,4 o


1
= 3,14 × 10 − 8 + j 0,1463 × 10 − 3 ≈ j 0,1463 mS
Is
V s j 0,1463
8.77 + j38,89
j 0,1463
Ir
Vr
16.2.5. Rangkaian Ekivalen Pendekatan
Apabila kita melakukan perhitungan dengan menggunakan
computer, pendekatan ini sebenarnya tidak diperlukan. Namun
untuk saluran pendek, perhitungan secara manual kadang-kadang
diperlukan sehingga diperlukan besaran pendekatan. Pada saluran
yang pendek, γd << 1 . Dalam situasi ini kita dapat membuat
pendekatan sebagai berikut
Z t′ = Z c sinh γd ≈ Z c ( γd ) =
Yt′
1
γd
1 γd
=
tanh
≈
=
2 Zc
2 Zc 2
Z
Y
ZY d = Zd
(2.69)
1
ZY
Yd
d=
2
2
Z /Y
Rangkaian ekivalen π yang dibuat dengan menggunakan nilai-nilai
pendekatan ini disebut juga rangkaian ekivalen nominal.
CONTOH-2.6: Tentukan rangkaian ekivan π pendekatan untuk
saluran pada Contoh-2.5.
Solusi:
Dengan menggunakan relasi (2.69) elemen rangkaian ekivalen
pendekatan adalah:
Z t′ = Z1 × 100 = 8,8 + j 38,96 Ω
Yt′ Y1
j 2,923 × 10 −6
= × 100 =
× 100 = j 0,1461 mS
2
2
2
83
Saluran Transmisi
2.2.6. Saluran Pendek
Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (2.60)
yaitu
Vs = Vr cosh( γd ) + Z c I r sinh( γd )
V
I s = r sinh( γd ) + I r cosh( γd )
Zc
Pada saluran yang pendek, γd << 1 . Dalam situasi ini kita dapat
membuat pendekatan sinh( γd ) ≈ γd dan cosh( γd ) ≈ 1 . Dengan
pendekatan ini persamaan kinerja saluran transmisi pendek dapat
ditulis dengan lebih sederhana:
Vs = Vr + ( Z c γd ) I r
γd
Is =
Vr + I r
Zc
(2.70.a)
Sementara itu
Zcγ =
Z
× ZY = Z
Y
γ
=
Zc
dan
ZY
Z /Y
=Y
(2.70.b)
sehingga (2.24.a) menjadi
Vs = Vr + ( Zd ) I r
(2.70.c)
I s = (Yd ) Vr + I r
Persamaan (2.24.c)
ini memberikan
diagram rangkaian
ekivalen seperti
terlihat pada
Gb.2.13. di samping
ini, yang kita sebut
rangkaian ekivalen
pendekatan untuk
saluran pendek.
84
Is
Ir
Zd
Vs
Yd
Vr
Gb.2.13. Diagram rangkaian ekivalen
pendekatan.
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Rangkaian ekivalen pendekatan hanya kita pakai apabila kita
perlukan. Dalam analisis selanjutnya kita akan menggunakan
rangkaian ekivalen π yang sebenarnya.
2.2.7. Konstanta ABCD
Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (2.60)
yaitu
Vs = Vr cosh( γd ) + Z c I r sinh( γd )
V
I s = r sinh( γd ) + I r cosh( γd )
Zc
Persamaan ini dapat ditulis dengan dengan menggunakan
konstanta A, B, C, D seperti berikut:
Vs = AVr + B I r
(2.71.a)
I s = C Vr + D I r
dengan
A = cosh γd ; B = Z c sinh γd
C=
sinh γd
1
=
B ; D = cosh γd = A
Zc
Z c2
(2.71.b)
Konstanta-konstanta ini dapat pula diturunkan dari rangkaian
ekivalen π yang telah kita peroleh pada persamaan (2.60) yaitu
ZY 

Vs = 1 + t t  Vr + Z t I
2 

Z Y Y
ZY 


I s =  2 + t t  t Vr + 1 + t t  I r
2  2
2 


yang jika kita perbandingkan dengan (2.71.a) kita dapatkan
 Z Y 
A = 1 + t t 
2 

Z Y Y

C =  2 + t t  t
2  2

B = Zt
 Z Y 
D = 1 + t t  = A
2 

(2.71.c)
85
Saluran Transmisi
Konstanta-konstanta A, B, C, D, adalah bilangan-bilangan
kompleks karena Zt maupun Yt adalah bilangan kompleks yang
nilainya ditentukan oleh ukuran, konfigurasi, dan panjang
saluran. Kita lihat lagi saluran pada Contoh-7.1. untuk memberi
gambaran tentang nilai konstanta-konstanta ini.
CONTOH-2.7: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi
yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, sedangkan
panjang saluran 100 km, tentukan konstanta A, B, C, D saluran
transmisi ini.
8, 4 m
4,2 m
A
R A = RB = RC = 0.088 Ω / km
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA′ = rB′ = rC′ = r ′ = 1,073 cm
4,2 m
C
B
Kapasitas arus : 900 A
Solusi:
γ dan Zc telah dihitung pada Contoh-2.5:
Z c = 369,67∠ - 6,4 o Ω
γ = (0,1198 + j1,074) × 10 −3 per km
Menggunakan formulasi (2.71.b), nilai konstanta A, B, C,
D, adalah
A = cosh γd = 0,9943∠0,07 o
B = Z c sinh γd = 39,87∠77,30 o
C=
sinh γd
1
=
B = 0,0003∠90,02 o
Zc
Z c2
D = cosh γd = A = 0,9943∠0,07 o
Dengan menggunakan konstanta A,B,C,D, ini, kita akan
mecermati kinerja saluran.
CONTOH-2.8: Jika saluran transmisi pada Contoh-2.7 mencatu
beban sebesar 250 MVA dengan faktor daya 0.9 lagging pada
tegangan 270 kV. Hitunglah tegangan di ujung kirim, arus di ujung
kirim, tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim, faktor daya di
ujung kirim, dan susut daya di saluran.
86
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Solusi:
Dengan model satu-fasa, tegangan beban 270 kV digunakan
sebagai referensi. Tegangan fasa-netral adalah
Vr =
270
3
= 155,88 ∠0 o kV
Karena faktor daya 0,9 lagging maka arus beban:
Ir =
250
270 × 0,9 × 3
= 0.53∠ - 25,8 o kA
Tegangan fasa-netral di ujung kirim:
Vs = 0,9943∠0,07 o Vr + 39,87∠77,30 o I r
= 155 + j 0.2 + 13.3 + j16.7 = 169.1∠5.7 o kV
Arus di ujung kirim:
I s = CVr + D I r = -2 × 10 -5 + j 0.05 + 0.48 − j 0.23
= 0.51∠ - 21,2 o kV
Tegangan jatuh di saluran adalah
∆V = Vs − Vr = 169,1∠5,7 o − 155,88∠0 o
= 12,4 + j16,9 = 21∠53,7 o kV
atau
21
× 100 ≈ 12% dari tegangan di ujung kirim.
169,1
Daya kompleks ujung kirim
S s = 3 × Vs I ∗s = 3 × 169,1∠5,7 × 0,51∠21,2 = 260∠27 o MVA
Faktor daya ujung kirim cos(27 o ) = 0.89
Daya nyata ujung kirim Ps = 260 × 0,89 = 232 MW
Daya nyata ujung terima Pr = 250 × 0.9 = 225 MW
Susut yang terjadi di saluran adalah
P − Pr
Psaluran = s
× 100% = 3.1% .
Ps
87
Saluran Transmisi
2.3. Perubahan Pembebanan
Dalam Contoh-2.8 di atas, pembebanan 250 MVA dengan faktor
daya 0,9 menyebabkan tegangan jatuh 12% dan susut daya 3,1%
sementara faktor daya di ujung kirim 0,89. Berikut ini kita akan
melihat situasi jika terjadi perubahan pembebanan
CONTOH-2.9: Dengan panjang tetap 100 km, saluran transmisi
pada Contoh-2.8 dibebani 200, 250, 300 MVA dengan faktor daya
tetap 0.9 lagging. Hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung
kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran.
Solusi:
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada
Contoh-2.8. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.
Beban [MVA]
200
Panjang
88
250
100 km
300
100 km
o
155,88∠0
o
100 km
155,88∠0o
Vr [kV]
155,88∠0
I r [kA]
0.43∠-25.8o
0.53∠-25.8o
0.64∠-25.8o
Vs [kV]
166.2∠4.7o
169.1∠5.7o
172.1∠6.7o
I s [kA]
0.40∠-20o
0.51∠-21.2o
0.62∠-22o
∆V [kV]
16.7∠54.3o
21∠53.7o
25.2∠53.3o
∆V [%]
10
12
15
Ss [MVA]
203
260
320
f.d.
0.9
0.89
0.88
Susut [%]
2.5
3.1
3.75
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
2.4. Perubahan Panjang Saluran
Perubahan panjang saluran akan mengubah konstanta saluran. Kita
lihat contoh berikut.
CONTOH-2.10: Dengan beban tetap 250 MVA dan faktor daya 0,9
lagging, hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim,
faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran untuk panjang
saluran 100, 150, 200 km
Solusi:
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada
Contoh-2.8. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.
Panjang Saluran
100
Beban
150
250 MVA
200
250 MVA
o
250 MVA
o
0.9773∠0.3o
A
0.9943∠0.07
B [Ω]
39.867∠77.3o
59.658 ∠77.3o
79.28∠77.4o
C [mS]
0.2917∠90.02o
0.4366 ∠90.06o
0.5802∠90.1o
D
0.9943∠0.07o
0.9872∠0.17o
0.9773∠0.3o
Vr [kV]
155.88∠0o
155.88∠0o
155.88∠0o
I r [kA]
0.53∠-25.8o
0.53∠-25.8o
0.53∠-25.8o
Vs [kV]
169.1∠5.7o
175.6∠8.3o
181.9∠10.8o
I s [kA]
0.51∠-21.2o
0.50∠-18.7o
0.49∠-16o
∆V [kV]
21∠53.7o
31∠54.9o
41∠56.1o
∆V [%]
12
18
22
Ss [MVA]
260
264
267
f.d.
0.89
0.89
0.89
Susut [%]
3.1
4.5
5.8
0.9872∠0,17
89
Saluran Transmisi
2.5. Lossless Line
Konstanta ABCD saluran transmisi diberikan oleh (2.71.b) yaitu
A = cosh γd ; B = Z c sinh γd
C=
sinh γd
1
=
B ; D = cosh γd = A
Zc
Z c2
Untuk d tertentu, konstanta A dan D ditentukan oleh konstanta
propagasi γ yang didefinisikan pada (2.50)
γ 2 = ZY
atau γ =
ZY
dimana Z impedansi seri per satuan panjang, dan Y admitansi per
satuan panjang. Konstanta propagasi ini merupakan besaran
kompleks yang dapat dituliskan sebagai
γ = α + jβ
α disebut konstanta redaman, sedangkan β disebut konstanta fasa.
Konstanta redaman α muncul dari impedansi seri Z s = R s + jX s .
Jika resistansi seri Rs = 0, konstanta redaman juga 0.
γ = 0 + jβ = jβ
(2.72)
Keadaan ideal ini, dimana Rs atau α bernilai nol menjadikan saluran
transmisi lossless, tidak menyerap daya atau tidak terjadi susut
energi di saluran transmisi. Dalam situasi ini, konstanta A dan D
adalah
A = D = cosh γd =
e jβ + e − jβ
= cosβ
2
(2.73)
Konstanta B menjadi
B = Z c sinh γd = Z c
e jβ − e − jβ
= Z c j sin β
2
(2.74)
Kondisi ideal ini akan kita gunakan dalam membahas surge
impedance loading di sub-bab 2.6.6.
90
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
2.6. Analisis Pembebanan Saluran Transmisi
Kenaikan tegangan jatuh serta kenaikan susut daya seiring dengan
peningkatan pembebanan sudah dapat kita duga. Pada pembebanan
yang kita hitung pada Contoh-2.8 sebesar 250 MVA, tegangan jatuh
sudah mencapai 12% dan susut daya sudah 3,1%. Padahal jika kita
mengingat kapasitas arus konduktor yang 900 A dan seandainya
saluran kita bebani sesuai dengan kemampuan arus konduktornya,
daya yang bisa diterima di ujung kirim adalah
S r 3fasa = 270 × 0,9 × 3 = 420 MVA
Jika pembebanan sebesar ini kita paksakan, maka tegangan jatuh di
saluran akan mencapai 20% dan susut mencapai 5,2%.
2.6.1. Pembebanan Thermal
Sebagian energy yang melalui saluran transmisi terkonversi
menjadi panas di saluran sebanding dengan kuadrat arus.
Psaluran = 3 × I 2fasa × Rsaluran
Batas thermal menentukan seberapa besar arus yang
diperkenankan mengalir pada konduktor agar tidak terjadi
pemanasan yang berlebihan di saluran. Kenaikan temperatur
konduktor akan menyebabkan pemuaian; jika temperature
meningkat maka andongan akan bertambah .
Dari relasi daya tiga-fasa S 3 fasa = VI 3 kita dapat menghitung
berapa daya yang dapat dipasok melalui suatu saluran transmisi.
Saluran transmisi dengan tegangan fasa-fasa 150 kV misalnya,
setiap 10 amper arus berarti penyaluran daya sebesar
150 3 = 2,5 MVA ; pada transmisi 500 kV berarti penyaluran
daya 85 MVA setiap 10 ampere arus. Namun bukan daya ini saja
yang menjadi batas dalam menghitung pembebanan suatu saluran
transmisi. Beberapa hal akan kita lihat berikut ini.
91
Saluran Transmisi
2.6.2. Tegangan dan Arus di Ujung Kirim
Kita misalkan:
konstanta saluran: A = A∠α dan B = B∠β ,
tegangan ujung terima Vr = Vr ∠0 o (sebagai referensi)
arus beban lagging I r = I r ∠ − ϕ o ,
maka tegangan di ujung kirim adalah
Vs = AVr + B I r = AVr ∠(α + 0) + BI r ∠(β − ϕ)
(2.75.a)
Sudut A∠α dan B∠β adalah konstanta yang ditentukan hanya
oleh parameter saluran, yang bernilai konstan selama saluran tidak
berubah. Oleh karena itu jika faktor daya beban dipertahankan
pada nilai tertentu (ϕ konstan) fasor tegangan di ujung kirim
ditentukan hanya oleh arus beban Ir . Gb.2.14. memperlihatkan
peristiwa tersebut.
Im
Vs′
Vs
β−ϕ
BI r
AVr
α
Re
Vr
Ir ′
Ir
Gb.2.14. Perubahan I r menjadi I ′r menyebabkan perubahan
Vs menjadi V′s .
Jika kita misalkan Z c = Z c ∠θ , maka persamaan ke-dua
(2.71.a) menjadi:
B
Is =
Vr + A I r
Z c2
(2.75.b)
BVr
=
∠(0 − 2θ) + AI r ∠(α − ϕ)
2
Zc
Impedansi karakteristik Zc juga merupakan besaran konstan untuk
satu saluran transmisi tertentu. Jika faktor daya beban
dipertahankan konstan, beda susut fasa antara arus di ujung terima
dan di ujung kirim hanya ditentukan oleh parameter saluran.
92
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
2.6.3. Tegangan Jatuh Pada Saluran
Peningkatan arus Ir berarti peningkatan pembebanan. Selain batas
thermal sebagaimana telah dikemukakan di atas, ada pembatasan
lain yang akan kita lihat berikut ini.
Jika δ adalah sudut antara Vs dan Vr maka dari relasi tegangan
Vs = AVr + B I r kita peroleh arus beban
Vs AVr
−
B
B
Vs
AVr
=
∠(δ − β) −
∠(α − β)
B
B
Ir =
(2.76)
Daya per fasa di ujung terima adalah
S r 1fasa = Vr I r∗
=
Vr V s
AVr2
∠(β − δ) −
∠(β − α)
B
B
(2.77)
Jika kita menghendaki tegangan jatuh tidak melebihi nilai tertentu,
kita dapat menetapkan tegangan di ujung terima dan di ujung
kirim. Jika hal ini dilakukan maka VrVs dan Vr2 pada persamaan
daya (2.77) akan bernilai konstan. Persamaan ini akan
menunjukkan bahwa hanya sudut δ yang akan bervariasi apabila
terjadi perubahan permintaan daya di ujung terima. Sudut ini, δ,
disebut sudut daya.
Diagram fasor perubahan sudut daya diperlihatkan pada Gb. 2.15.
Im
Vs
α
AVr
δ
BI r
Re
Vr
Ir
Gb.2.15. Perubahan sudut δ.
93
Saluran Transmisi
2.6.4. Diagram Lingkaran
Daya tiga-fasa di ujung terima diperoleh dari (2.77) yaitu
S r 3fasa =
3Vr Vs
3 AVr2
∠(β − δ) −
∠(β − α)
B
B
(2.78)
Jika Vr dan Vs dipertahankan konstan, hanya sudut δ yang dapat
bervariasi mengikuti perubahan daya. Karakteristik perubahan
daya akan mengikuti bentuk kurva lingkaran.
Kita amati bahwa sudut α jauh lebih kecil dari sudut β. Oleh
karena itu sudut fasa suku ke-dua (2.78) akan berada di sekitar
nilai β. Selain itu jika tegangan jatuh di saluran tidak lebih dari
10%, nilai VrVs di suku pertama tidak pula jauh berbeda dengan
nilai Vr2 di suku ke-dua. Pengamatan ini kita perlukan karena kita
akan menggambarkan diagram lingkaran tanpa skala, yang
diperlihatkan pada Gb.2.16.
Im
M ′′
N ′′
δ
N
M
O
β−α
Re
β−δ
M′
Gb.2.16. Diagram lingkaran.
94
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
N′
Saluran Transmisi
Penjelasan dari Gb.2.16 adalah sebagai berikut:
1. Pada
bidang
kompleks
kita
gambarkan
3 AVr2
B
−
2.
∠(β − α)
yaitu
OM
kemudian
kita
fasor
gambar
3 AVr2
∠(β − α) yaitu OM ′ .
B
Pada fasor OM ′ kita tambahkan fasor
yaitu fasor M ′N .
3V r V s
∠(β − δ)
B
3.
Sudut antara M ′N dengan sumbu mendatar adalah (β − δ) .
4.
Pada perubahan sudut δ fasor M ′N akan bergerak
mengikuti lingkaran yang berpusat di M ′ berjari-jari M ′N .
5.
Sudut δ sendiri adalah sudut antara fasor M ′N dengan garis
M ′M ′′ yaitu garis sejajar fasor OM seandainya α = 0.
6.
Daya nyata maksimum terjadi jika (β − δ) = 0 yaitu pada
waktu M ′N menjadi M ′N ′
7.
Daya reaktif maksimum terjadi jika (β − δ) = 90 o .
2.6.5. Batas Stabilitas Keadaan Mantap
Dalam meninjau daya maksimum ini, kita akan
menyederhanakan relasi (2.77) dengan melihat saluran transmisi
pada tegangan pengenalnya yang kita sebut V, misalnya
transmisi 70 kV atau 150 kV, dan tidak membedakan Vr atau Vs.
Dengan pengertian ini maka (2.77) menjadi:
S r 1fasa =
V2
AV 2
∠(β − δ) −
∠(β − α )
3B
3B
(2.79.a)
Daya tiga-fasa menjadi
V2
AV 2
∠(β − δ) −
∠(β − α)
(2.79.b)
B
B
Pada nilai δ = 0, kita tetap mendapatkan daya kompleks, bukan
daya nyata. Daya nyata kita peroleh dengan mengambil bagian
nyata dari relasi daya ini, dan daya reaktif adalah bagian
imajinernya.
S r 3fasa =
95
Saluran Transmisi
Pr 3fasa = Re S r 3fasa
V 2

AV 2
= Re 
∠(β − δ) −
∠(β − α)
B
 B

=
(2.80.a)
V2
AV 2
cos(β − δ) −
cos(β − α)
B
B
dan daya reaktif Q adalah
Qr 3fasa = Im S r 3fasa
V 2

AV 2
= Im
∠(β − δ) −
∠(β − α)
B
 B

(2.80.b)
V2
AV 2
sin(β − δ) −
sin(β − α)
B
B
Daya nyata pada relasi (2.80.a) akan mencapai nilai maksimum
pada waktu (β − δ) = 0 atau δ = β . Daya nyata maksimum ini
merupakan daya maksimum yang bisa dicapai dalam tinjauan
keadaan mantap (steady state); besarnya adalah
=
V2
[1 − A cos( β − α )]
(2.81)
B
Pada waktu δ = β, yaitu pada waktu daya nyata mencapai nilai
maksimum mantap, daya reaktif adalah
Pr 3fasa
maks mantap
=
AV 2
sin( β − α )
(2.82)
B
Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap adalah
Q r 3fasa maks mantap = −
S3 fasa maks
mantap
= P2 + Q2
(2.83)
V2
2
=
1 + A − 2 A cos(β − α)
B
Ini merupakan daya kompleks tiga-fasa maksimum yang bisa
dibebankan pada suatu saluran transmisi. Jika konduktor yang
digunakan dalam saluran ini mempunyai kapasitas arus sebesar
Ic, maka berdasarkan kapasitas arus ini daya yang bisa
dibebankan pada saluran transmisi adalah
96
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
S 3 fasa saluran = VI c 3
(2.84)
dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap menjadi
batas pembebanan saluran transmisi dan menjadi batas stabilitas
keadaan mantap
S 3fasa maks mantap < S 3 fasa saluran
CONTOH-2.11: Tinjaulah batas pembebanan saluran transmisi
pada Contoh-2.8. di mana saluran transmisi mencatu beban sebesar
100 MW dengan faktor daya 0.9 lagging pada tegangan 270 kV.
8, 4 m
4,2 m
A
R A = RB = RC = 0.088 Ω / km
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA′ = rB′ = rC′ = r ′ = 1,073 cm
4,2 m
B
C
Kapasitas arus : 900 A
Sistem ini kita anggap memiliki tegangan penunjuk 275 kV.
Beban beroperasi pada 270 kV dan tegangan di ujung kirim telah
dihitung pada sebelumnya sebesar 279 kV. Konstanta A dan B
telah dihitung yaitu
A = 0,9943∠0,07 o dan B = 39,87∠77,30o
Daya maksimum yang dapat dibebankan pada saluran ini menurut
(2.83) adalah
S 3fasa maks mantap =
V2
1 + A 2 − 2 A cos( β − α )
B
275
1 + 0,9943 − 2 × 0,09943 (cos( 77 ,30 − 0,07 )
39,87
= 417 MVA
=
Dengan kapasitas arus sebesar 900 A, maka pembebanan saluran
S 3 fasa saluran = VI c 3 = 275 × 0,9 × 3 = 428 MVA
⇒ S 3fasa maks mantap < S 3 fasa saluran
Jadi 417 MVA merupakan batas pembebanan maksimum.
97
Saluran Transmisi
2.6.6. Surge Impedance Loading (SIL)
SIL kita tinjau untuk suatu lossless line. Dalam kondisi ini
cosh γd = cosβ
dan
sinh γd = j sin β
Jika selain lossless saluran, transmisi ini dibebani dengan beban
sebesar impedansi karakteristik Zc (beban dimodelkan sebagai satu
impedansi) sehingga tegangan di ujung terima (beban) menjadi
V
Vr = Z c I r atau
Ir = r
(2.85)
Zc
maka tegangan di ujung kirim menjadi
Vs = Vr cosh( γd ) + Z c I r sinh( γd )
= Vr cos(βd ) + jZ c
Vr
sin(βd )
Zc
(2.86)
= Vr (cos(β d ) + j sin(βd ) )
= Vr ∠(βd )
Persamaan (2.86) ini menunjukkan bahwa besar tegangan di ujung
kirim sama dengan besar tegangan di ujung terima, Vs = Vr ,
berapapun panjang saluran transmisi. Panjang saluran transmisi d
hanya menentukan perbedaan sudut fasa. Dengan kata lain, jika d
tertentu maka tegangan di seluruh posisi pada saluran transmisi
sama besar; persamaan (2.86) dapat kita tulis
Vs = Vr ∠βx
V ( x)
d
(2.87)
Tegangan sepanjang V
r
saluran
x
0
Gb.2.17. Saluran transmisi lossless, beban = Zc.
Dalam kondisi ini daya yang tersalur ke beban disebut surge
impedance loading (SIL).
98
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
SIL = 3
Vr2
V2
==
Zc
Zc
(2.88)
dengan V adalah tegangan penunjuk saluran transmisi, misalnya
150 kV, 270 kV. Perhatikan bahwa dalam perhitungan ini beban
dimodelkan sebagai impedansi karakteristik, yaitu
Zc = Z / Y
dengan Z dan Y adalah besaran per satuan panjang; dan Z tetap
mengandung resistansi, Z = R + jX .
Pembebanan sesungguhnya bisa lebih besar atau lebih kecil dari
SIL. Jika tegangan di ujung terima, Vr, dipertahankan pada suatu
nilai tertentu, pembebanan yang lebih besar dari SIL
mengharuskan tegangan di ujung kirim lebih besar dari tegangan
ujung terima, Vs > Vr . Jika pembebanan lebih kecil dari SIL,
tegangan di ujung kirim lebih kecil dari tegangan di unjung terima
maka Vs > Vr
> SIL
V (x)
SIL
Vr
< SIL
d
x
Gb.2.18. Pembebanan >SIL atau < SIL.
CONTOH-2.12: Dari saluran transmisi 50 Hz, 275kV, dengan
panjang saluran 100 km seperti pada Contoh-2.8, tentukan SIL.
Bandingkanlah dengan contoh-2.8 dimana saluran dibebani 250
MVA.
8, 4 m
4,2 m
A
R A = RB = RC = 0.088 Ω / km
rA = rB = rC = r = 1,350 cm
rA′ = rB′ = rC′ = r ′ = 1,073 cm
4,2 m
B
C
Kapasitas arus : 900 A
99
Saluran Transmisi
Solusi:
Zc telah dihitung pada sebelumnya, yaitu
Z c = 369,67∠ - 6,4 o Ω
SIL =
V2
2752
=
= 205 MVA
Z c 369,67
Jika saluran dibebani lebih besar dari SIL, maka tegangan di
ujung kirim akan lebih besar dari 275 kV. Hal ini terlihat pada
contoh-2.8, dimana pada pembebanan 250 MVA, tegangan
ujung kirim adalah Vs = 169,1∠5,7 o yang berarti tegangan fasafasa adalah
Vs = 169,1 3 = 293 kV
lebih besar dari tegangan penunjuk 275 kV.
2.7. Transien Pada Saluran Transmisi
2.7.1. Isolasi Saluran Transmisi
Udara adalah isolasi utama pada saluran udara. Namun konduktor
saluran transmisi harus ditopang oleh menara untuk mencapai
ketinggian tertentu terhadap permukaan tanah. Untuk mendukung
konduktor ini, diperlukan isolator yang memisahkan konduktor
dari menara.
Untuk memilih isolator, ada tiga hal utama yang perlu
dipertimbangkan, yaitu:
Tegangan kerja sistem itu sendiri.
Tegangan surja yang mungkin timbul oleh sambaran petir.
Tegangan surja yang timbul pada waktu penutupan/pembukaan
circuit breaker.
Tegangan yang paling menentukan adalah tegangan surja karena
kalau isolator mampu menahan tegangan uji surja tertentu,
biasanya ia juga mampu menahan tegangan kerja sistem. Untuk uji
surja, bentuk gelombang tegangan uji didefinisikan. Bentuk
100
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
gelombang surja dinyatakan sebagai T1 × T2 dimana keduanya
dinyatakan dalam mikrodetik (µs). Jika tegangan puncaknya
adalah V0 maka T1 adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai
puncak sedangkan T2 adalah waktu untuk turun mencapai 0,5V0.
Bentuk gelombang surja, secara matematis dinyatakan
menggunakan fungsi eksponensial ganda
[
v(t ) = V1 e −t / τ 2 − e −t / τ1
]
(2.89.a)
dengan
τ2 =
T2
= 1,443T 2 ;
ln( 2)
V1 = V 0 e
T
τ1 = 1 = 0, 2T1
5
(2.89.b)
(T1 / 1, 443T2 )
Pengujian isolator dilakukan pada suatu kondisi yang ditentukan,
dengan bentuk gelombang uji yang terdefinisi secara baik.
Beberapa pengertian perlu kita fahami, yaitu:
Critical Flashover Voltage (CFO): adalah tegangan maksimum
dimana probabilitas terjadinya flashover adalah 0,50.
Withstand Voltage: Tegangan maksimum 3 × standar deviasi
dibawah CFO.
Basic (lightning) Impulse Insulation Level (BIL): Tegangan
puncak dimana kemungkinan terjadinya flashover adalah 0,01
pada surja uji 1,2/50 µs.
Basic (switching) Surge Impulse Insulation Level (BSL):
Tegangan puncak dimana kemungkinan terjadinya flashover
adalah 0,01 pada surja uji 250/2500 µs.
2.7.2. Surja Petir
Petir (lightning) sangat berbahaya bagi saluran transmisi.
Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan petir. Arus petir
yang pernah teramati di Jawa ini berkisar dari 7 sampai 130 A
dengan rata-rata 30 kA, tapi di daerah Sumatra bisa sampai di atas
200 kA.
Saluran transmisi dilengkapi dengan kawat tanah yang dipasang di
puncak menara dan berfungsi sebagai pelindung kawat fasa
101
Saluran Transmisi
terhadap sambaran petir. Berdasar pengalaman, kawat-kawat fasa
yang berada dalam sektor 60o di bawah kawat tanah ini “aman”
terhadap sambaran petir langsung. Walaupun kawat fasa
terlindungi, sambaran petir langsung ke kawat tanah dapat terjadi.
Pada sambaran ini akan mengalir arus sangat tinggi ke tanah
melalui badan menara. Aliran arus yang sangat tinggi ini dapat
mengakibatkan kenaikan tegangan (beberapa saat) yang melebihi
tegangan flshover isolator. Terjadilah apa yang disebut backflash
yaitu tembus udara antara kawat tanah dengan konduktor fasa.
Sekali hal ini terjadi, flashover ini akan dipertahamkan oleh
tegangan sistem; ia akan dapat dihilangkan dengan cara
mematikan sistem. Hal yang sama juga bisa terjadi jika kawat fasa
terkena sambaran langsung. Tegangan dan arus tinggi pada saluran
transmisi juga bisa terjadi jika ada sambaran petir tidak jauh dari
saluran; peristiwa ini disebut sambaran tak langsung.
Salah satu upaya yang paling sederhana untuk menghindari
kerusakan akibat sambaran petir adalah pemasangan rod gap. Rod
gap berupa suatu sela udara yang dibangun antara kawat fasa dan
menara dengan perantaraan dua batang logam. Sela udara dibuat
sedemikian rupa sehingga ia akan tembus bila terjadi kenaikan
tegangan yang tidak diinginkan. Kelemahan alat sederhana ini
adalah bahwa tembus yang terjadi tidak dapat hilang dengan
sendirinya; di samping itu terjadi pula kerusakan pada batang
logam.
Gangguan petir terhadap saluran transmisi bisa berupa sambaran
langsung seperti disinggung di atas, ataupun sambaran tidak
langsung. Sambaran tidak langsung akan menimbulkan tegangan
imbas pada saluran transmisi. Lonjakan tegangan di saluran
transmisi, baik oleh sambaran langsung maupun sambaran tak
langsung, yang berlangsung hanya beberapa saat, akan merambat
sepanjang saluran transmisi. Lonjakan tegangan ini merupakan
peristiwa transien.
2.7.3. Transien Pada Saluran Transmisi
Dalam pelajaran analisis rangkaian listrik kita telah mempelajari
gejala transien. Penutupan saklar S pada rangkaian RLC Gb.2.19.
memberikan persamaan orde dua pada t ≥ 0 + sebagai berikut
102
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Ri + L
di
+ v = vin
dt
Persamaan ini diperoleh dengan pandangan bahwa begitu saklar
ditutup, seluruh tegangan
S
v R = iR v L = L di / dt
vin terterapkan pada
+
seluruh rangkaian RLC
i
vC = v
dan hukum Kirchhoff
∪∩ vin
dapat kita terapkan pada
−
rangkaian ini. Pandangan
Gb.2.19. Rangkaian RLC seri.
ini tidak dapat kita
aplikasikan begitu saja
pada saluran transmisi.
Panjang saluran transmisi adalah ratusan kilometer. Jika kita
menutup circuit breaker di ujung kirim, tegangan tidak serta merta
terasakan di ujung terima; artinya tegangan masuk di ujung kirim
tidak segera mencakup seluruh rangkaian. Tegangan di ujung
kirim harus merambat dan memerlukan waktu untuk sampai ke
ujung terima, walaupun waktu yang diperlukan itu sangat pendek.
Oleh karena itu kita harus hati-hati menerapkan hukum Kirchhoff.
Kita akan melihat kasus
tegangan durasi terbatas
yang muncul pada t = 0 di
ujung kirim, sementara
saluran transmisi tidak
memiliki simpanan energi
sebelum t = 0. Tegangan
dengan durasi terbatas ini
ditunjukkan pada Gb.2.20.
v
vin = v(t )u(t )
0
t
Gb.2.20. Tegangan dengan durasi
terbatas diterapkan di ujung kirim.
Tegangan ini merupakan
fungsi waktu dan muncul pada t = 0 di ujung kirim; persamaannya
adalah
v in = v in (t )u (t )
Di posisi lain di saluran transmisi, misalkan pada posisi x dari
ujung kirim, tegangan ini belum muncul; ia akan muncul beberapa
waktu kemudian, misalnya baru terasa pada t = Tx. Jadi terdapat
pergeseran waktu kemunculan tegangan ini di posisi x. Tegangan
103
Saluran Transmisi
di posisi x ini ditunjukkan pada Gb.2.21 dengan persamaan yang
dapat kita tuliskan sebagai
v x = v x (t )u (t − T x )
(2.90)
Sesungguhnya bentuk gelombang tegangan di posisi x tidak sama
dengan bentuk tegangan di ujung kirim (x = 0) karena ada faktor
redaman di saluran transmisi. Namun untuk analisis gejala transien
ini, kita menganggap
saluran transmisi sebagai
v
vx = v(t )u(t − Tx ) lossless line). Dengan
anggapan ini maka kita
boleh menganggap pula
bentuk gelombang tidak
berubah
sepanjang
t
0
Tx
saluran.
Gb.2.21. Tegangan di posisi x.
Dengan demikian kita
mengerti bahwa bentuk
gelombang yang merambat di saluran transmisi, yang disebut
gelombang berjalan (travelling wave), tidak hanya merupakan
fungsi t tetapi juga merupakan fungsi x. Bentuk gelombang ini
dapat kita tuliskan sebagai
v( x, t ) = v(t )u (t − t x )
(2.91)
Kita tinjau satu segmen saluran transmisi sepanjang ∆x yang
kecil, seperti ditunjukkan oleh Gb.2.22.
∆x
i( x, t ) − ∆i( x, t )
i ( x, t )
∆ xL
v ( x, t )
∆ xC
v ( x, t ) − ∆ v ( x, t )
x
Gb.2.22. Situasi di satu segmen kecil saluran transmisi, ∆x.
Perhatikan bahwa kita menghitung jarak x dari ujung kiri (ujung
kirim), bukan dari ujung kanan (ujung terima) karena kita sedang
104
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
membicarakan gelombang yang merambat dari ujung kirim, atau
lebih tepatnya dari ujung sumber masuknya gelombang tegangan.
Pada segmen kecil terdapat induktansi seri ∆xL dan kapasitansi
∆xC dengan L dan C adalah induktansi dan kapasitansi per satuan
panjang, sedangkan resistansi diabaikan karena kita menganggap
saluran transmisi adalah lossless. Pada segmen kecil inilah kita
dapat menerapkan hukum Kirchhoff.
∂i
∂v
− ∆v( x, t ) = ∆xL
dan − ∆i ( x, t ) = ∆xC
(2.92)
∂t
∂t
Jika ∆x cukup kecil maka kita dapatkan formulasi diferensial
∂v( x, t )
∂i
=L
∂x
∂t
(2.93)
∂i ( x, t )
∂v
−
=C
∂x
∂t
Persamaan (2.93) kita tuliskan sebagai
∂
∂
v ( x, t ) = − L i ( x, t )
∂x
∂t
(2.94)
∂
∂
i ( x , t ) = −C v ( x , t )
∂x
∂t
Perhatikan persamaan pertama (2.94). Ruas kiri adalah turunan
parsial terhadap x dari v( x, t ) , ruas kanan adalah turunan parsial
terhadap t dari i ( x, t ) . Transformasi Laplace ruas kiri
∂
memberikan
V ( x, s ) sedangkan transformasi Laplace ruas
∂x
kanan adalah − L{sI ( x, s ) − i ( x,0)} dengan i ( x,0) adalah nilai awal
dari i; jika tidak ada simpanan energi awal pada saluran transmisi
maka nilai awal i adalah nol sehingga transformasi Laplace ruas
kanan menjadi − sLI ( x, s ) . Argumen yang sama berlaku untuk
persamaan kedua dari (2.94). Dengan demikian maka transformasi
Laplace dari (2.94) adalah
∂
V ( x, s ) = − sLI ( x, s )
∂x
(2.95)
∂
I ( x, s ) = − sCV ( x, s )
∂x
−
Diferensiasi terhadap x persamaan (2.95) memberikan
105
Saluran Transmisi
∂2
∂x 2
V ( x, s ) = − sL
∂
I ( x, s )
∂x
(2.96)
∂
I ( x, s ) = − sC V ( x, s )
∂x
∂x 2
Ruas kanan persamaan (2.96) ini memiliki nilai seperti
ditunjukkan oleh (2.95); jika kita substitusikan, akan kita peroleh
∂2
∂2
∂x 2
∂2
V ( x, s ) = s 2 LCV ( x, s )
(2.97)
I ( x, s ) = s LCI ( x, s )
∂x 2
Pada persamaan (2.97) ini turunan kedua suatu fungsi sama
bentuknya dengan fungsi itu sendiri. Fungsi yang demikian adalah
fungsi eksponensial. Kita duga bentuk fungsi itu adalah
2
V ( x, s ) = V ( s )e px dan I ( x, s ) = I ( s )e qx ; jika fungsi dugaan ini
kita masukkan ke (2.97) kita peroleh
p 2V ( s )e px − s 2 LCV ( s )e px = 0
q 2 I ( s )e qx − s 2 LCI ( s )e qx = 0
(2.98)
Dari sini kita peroleh
p 2 − s 2 LC = 0 ⇒ p = ± s LC
q 2 − s 2 LC = 0 ⇒ q = ± s LC
(2.99)
Kita masukkan hasil ini ke fungsi dugaan, kita peroleh
V ( x, s ) = V ( s )e ± s LC x
I ( x, s ) = I ( s )e ± s LC x
(2.100)
Untuk menafsirkan persamaan di kawasan s ini, kita lakukan
transformasi balik guna melihat bentuk persamaannya di kawasan
t.
Kita gunakan salah satu sifat transformasi Laplace yaitu
pergeseran di kawasan t,
L [ f (t − a)]u (t − a) = e −as F (s)
Kita terapkan sifat ini pada (2.100), dan kita peroleh
106
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(2.101)
Saluran Transmisi
v( x, t ) = v(t ± LC x)u (t ± LC x)
(2.102.a)
i( x, t ) = i (t ± LC x )u (t ± LC x )
Kita lihat persamaan pertama (2.102.a) dengan mengambil tanda
minus
v( x, t ) = v (t − LC x)u (t − LC x)
(2.102.b)
Faktor u (t − LC x) menunjukkan pergeseran waktu tibanya
gelombang di posisi x sedangkan bentuk gelombang itu sendiri
adalah
v( x, t ) = v(t − LC x)
(2.102.c)
Untuk suatu nilai konstan v( x, t ) = A , ruas kanan juga harus
konstan. Jika t bertambah besar harus diimbangi dengan x yang
bertambah besar pula. Artinya jika waktu makin bertambah posisi
A makin menjauh dari ujung kirim; gelombang ini bergerak kekanan yang disebut gelombang maju. Kita simpulkan pula bahwa
jika kita mengambil tanda plus, gelombang ini akan bergerak ke
kiri dan disebut gelombang mundur. Penafsiran yang sama berlaku
pula untuk persamaan kedua (2.102.a). Jika gelombang maju kita
beri indeks atas “+” dan gelombang mundur kita beri indeks atas
“−”, maka bentuk persamaan (2.102.a) menjadi
v( x, t ) = v + (t − LC x)u (t − LC x) + v − (t + LC x)u (t + LC x)
i( x, t ) = i + (t − LC x )u (t − LC x) + i − (t + LC x)u (t + LC x)
Pada persamaan (2.102.c) , v( x, t ) = v(t − LC x) ,
(2.103)
LC x haruslah
berdimensi waktu, t. Karena x adalah jarak, maka 1 / LC haruslah
berdimensi jarak/waktu; dan inilah kecepatan perambatan
gelombang maju maupun gelombang mundur.
Persamaan (2.103) ini adalah persamaan di kawasan waktu.
Persamaan di kawasan s telah kita peroleh yang kita tulis ulang
menjadi
V ( x, s ) = V + ( s )e − s
I ( x, s ) = I + ( s )e − s
LC x
LC x
+ V − ( s )e + s
+ I − ( s )e + s
LC x
(2.104)
LC x
107
Saluran Transmisi
2.7.4. Pernyataan I(x,s) dalam Tegangan
Pemahaman gejala transien akan lebih mudah difahami jika kita
melakukan analisis pada gelombang tegangan. Oleh karena itu kita
akan menyatakan arus pada persamaan (2.104) dalam tegangan.
Hal ini dapat kita lakukan melalui persamaan
∂
V ( x, s ) = − sLI ( x, s )
∂x
∂
I ( x, s ) = − sCV ( x, s )
∂x
Apabila V ( x, s ) dari persamaan pertama ini dimasukkan ke
persamaan pertama (2.104) kita dapatkan
∂
∂  +
−s
V ( x, s ) =
V ( s )e
∂x
∂x 
+
= − s LCV ( s)e
+ V − ( s )e + s
LC x
− s LC x
LC x 
−
+ s LCV ( s)e


(2.105.a)
+ s LC x
Dengan (2.105.a) ini, persamaan pertama (2.104) menjadi
∂
V ( x, s ) = − sLI ( x, s )
∂x
+
= − s LCV ( s )e
(2.105.b)
− s LC x
−
+ s LCV ( s )e
+ s LC x
dan dari sini diperoleh
I ( x, s ) =
=
− s LC +
V ( s )e − s
− sL
C +
V ( s )e − s
L
LC x
LC x
+
s LC −
V ( s )e + s
− sL
C −
−
V ( s )e + s
L
LC x
(2.105.c)
LC x
Dalam persamaan (2.105.c) ini, ruas kiri adalah pernyataan arus di
kawasan s sedangkan di ruas kanan merupakan C / L kali
pernyataan tegangan yang juga di kawasan s. Kita dapat berharap
bahwa C / L adalah admitansi atau 1 / C / L = L / C adalah
impedansi yang juga merupakan pernyataan impedansi di kawasan
s. Kita lihat hal ini sebagai berikut.
108
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Saluran Transmisi
Pada lossless line impedansi seri adalah Z = jX L karena R = 0.
Impedansi ini adalah besaran kompleks dan bukan merupakan
fungsi waktu sehingga tidak dapat melakukan transformasi
Laplace. Namun kita mengetahui bahwa peubah s dalam analisis
di kawasan s adalah peubah kompleks. Kita dapat mendefinisikan
pernyataan impedansi di kawasan s yaitu Z = sL dengan s adalah
operator Laplace. Dengan argument yang sama, pernyatan
admitansi Y = jX C di kawasan s adalah Y = sC . Dengan
pengertian impedansi karakteristik yang sudah kita kenal,
impedansi karekteristik di kawasan s adalah
Zc =
Z
=
Y
sL
L
=
sC
C
(2.106)
Dengan (2.106) ini maka arus pada (2.105.c) menjadi
I ( x, s ) =
V + ( s )e − s
Zc
LC x
−
V − ( s )e + s
Zc
LC x
(2.107)
Dengan (2.107) ini maka persamaan tegangan dan arus
V ( x, s ) = V + ( s )e − s LC x + V − ( s )e + s LC x
I ( x, s ) =
V + ( s )e − s LC x V − ( s )e + s LC x
−
Zc
Zc
(2.108)
Persamaan (2.108) inilah persamaan gelombang berjalan di
saluran transmisi dengan arus yang juga dinyatakan dalam
tegangan.
2.7.5. Situasi di Ujung Saluran
Kita lihat sekarang situasi di ujung saluran (ujung terima). Di
posisi ini, x = d. Jadi persamaan tegangan dan arus (2.108)
menjadi
V (d , s ) = V + ( s )e − s LC d + V − ( s )e + s LC d
I (d , s ) =
V + ( s )e − s LC d V − ( s )e + s LC d
−
Zc
Zc
(2.109)
109
Saluran Transmisi
Rasio antara tegangan dan arus di ujung terima adalah impedansi
di ujung terima. Kita bagi persamaan pertama pada (2.109) dengan
persamaan yang kedua untuk mendapatkan impedansi di ujung
terima Zr.
Zr =
V (d , s ) V + ( s )e − s LC d + V − ( s )e + s LC d
=
I (d , s ) V + ( s )e − s LC d V − ( s )e + s LC d
−
Zc
Zc
= Zc
(2.110.a)
V + ( s )e − s LC d + V − ( s )e + s LC d
V + ( s )e − s LC d − V − ( s )e + s LC d
atau
Z r V + ( s)e − s LC x − V − ( s )e + s LC x 


= Z c V + ( s )e − s LC x + V − ( s )e + s

(2.110.b)
LC x 


atau
( Z r − Z c )V + ( s )e − s
LC x
= ( Z c + Z r )V − ( s)e + s
LC x
(2.110.c)
sehingga
V − ( s )e + s
LC x
=
(Zr − Zc ) +
V ( s )e − s
(Zc + Zr )
LC x
(2.110.d)
Persamaan (2.23.d) memperlihatkan bahwa di ujung saluran
terdapat gelombang mundur yang merambat balik menuju ujung
kirim. Inilah gelombang pantulan yang terjadi di ujung saluran.
Besar gelombang pantulan ini adalah suatu faktor kr dikalikan
besar gelombang maju. Faktor kr itu adalah
kr =
110
(Z r − Zc )
(Zc + Z r )
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(2.110.e)
Saluran Transmisi
2.7.6. Superposisi Gelombang Maju Dan Gelombang Pantulan
Dalam perjalanannya menuju ujung kirim, gelombang pantulan
akan ter-superposisi dengan gelombang maju yang masih akan
datang dari ujung kirim. Jadi persamaan pertama (2.18) yang
memberikan persamaan tegangan sebagai fungsi x di kawasan s
menjadi
V ( x, s ) = V + ( s )e − s
LC x
+ V − ( s )e + s
= V + ( s )e − s
LC x
+
LC x
(Zr − Zc ) +
V ( s )e − s
( Zc + Z r )
LC x
(2.111)
Persamaan (2.111) ini menunjukkan bahwa gelombang tegangan
di setiap posisi saluran transmisi merupakan superposisi dari
gelombang maju dan gelombang pantulan. Besar gelombang
pantulan sama dengan besar gelombang maju dengan faktor skala
k
kr =
(Z r − Z c )
(Zc + Z r )
yang disebut koefisien pantulan.
Koefisien pantulan ini bisa bernilai nol, positif, atau negatif. Jika k
= 0, yaitu jika Z r = Z c , tidak terjadi pantulan di ujung saluran;
hanya ada gelombang maju. Seandainya gelombang maju ini
adalah gelombang sinusoidal, yaitu gelombang yang ter-injeksi ke
saluran transmisi pada waktu penutupan circuit breaker di ujung
kirim, maka hanya gelombang inilah yang ada di semua posisi
pada saluran transmisi. Hal ini berarti bahwa tegangan di semua
posisi sama besar; inilah situasi yang kita ulas pada surge
impedance loading di sub-bab-2.6.6
2.7.7 Pantulan di Ujung Kirim
Gelombng patulan di ujung terima, setibanya di ujung kirim akan
dipantulkan oleh ujung kirim karena ada perbedaan impedansi
karakteristirk saluran dengan impedansi sumber. Gelombang yang
dipantulkan di ujung kirim akanmerambat ke ujung terima dan
sesampai di ujung terima akan dipantulkan lagi menuju ujung
111
Saluran Transmisi
kirim. Di saluran akan terjadi superposisi gelombang gelombang
pantul ini. Koefisien pantulan di ujung kirim adalah
ks =
(Z s − Zc )
(Zc + Z s )
Zs adalah impedansi ujung kirim.
112
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(2.112)
Transformator
BAB 3
Transformator
3.1. Transformator Satu-fasa
Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam
sistem komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi
audio sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan.
Kita mengenal misalnya input transformers, interstage transformers,
output transformers pada rangkaian radio dan televisi.
Transformator juga dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk
penyesuaian impedansi agar tercapai transfer daya maksimum.
Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator
berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan
transformator tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat
dilakukan dalam jarak jauh dan susut daya pada jaringan dapat
ditekan. Di jaringan distribusi listrik banyak digunakan
transformator penurun tegangan, dari tegangan menengah 20 kV
menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan kantor-kantor
pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada umumnya
merupakan transformator tiga-fasa. Dalam pembahasan ini kita akan
melihat transformator satu-fasa lebih dulu.
Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas
rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak
ideal sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan
membahas hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan
dipelajari secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesinmesin listrik.
Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal
untuk mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun
konversi energi elektromekanik membahas konversi energi antara
sistem mekanik dan sistem listrik, sedangkan transformator
merupakan piranti konversi energi listrik ke listrik, akan tetapi
kopling antar sistem dalam kedua hal tersebut pada dasarnya sama
yaitu kopling magnetik
113
Transformator
3.1.1. Teori Operasi Transformator
3.1.1.1. Transformator Dua Belitan Tak Berbeban.
Diagram transformator
dua belitan tak
berbeban diperlihatkan
pada Gb.3.1. Belitan
pertama kita sebut
belitan primer dan yang
ke-dua kita sebut
belitan sekunder.
If
Vs
∼
φ
+
E1
−
N1
N2
+
E2
−
Gb.3.1. Transformator dua belitan.
Jika fluksi di rangkaian
magnetiknya adalah φ = Φ maks sin ωt , maka fluksi ini akan
menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar
e1 = N1
dφ
= N1Φ maks ω cos ωt
dt
(3.1)
atau dalam bentuk fasor :
E1 = E1∠0 o =
N1ωΦ maks
2
∠0 o ;
E1 = nilai efektif
(3.2)
Karena ω = 2π f maka:
E1 =
2π f N 1
2
Φ maks = 4.44 f N1Φ maks
(3.3)
Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan
sebesar
E 2 = 4.44 f N 2 Φ maks
(3.4)
Dari (3.3) dan (3.4) kita peroleh:
E1 N1
=
≡ a = rasio transformasi
E2 N 2
114
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(3.5)
Transformator
Perhatikan bahwa E1
sefasa dengan E 2 karena dibangkitkan
oleh fluksi yang sama. Karena E1 mendahului φ dengan sudut 90o
maka E 2 juga mendahului φ dengan sudut 90o. Jika rasio
transformasi a = 1, dan resistansi belitan primer adalah R1 ,
diagram fasor tegangan dan arus adalah seperti ditunjukkan oleh
Gb.3.2.a. Arus I1 adalah arus magnetisasi, yang dapat dipandang
sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ (90o dibelakang E1 )
yang menimbulkan φ dan I c (sefasa dengan E1 ) guna mengatasi
rugi inti. Resistansi belitan R1 dalam diagram fasor ini muncul
sebagai tegangan jatuh I f R1 .
Ic
E1 = E 2
I f R1
Iφ
φ
If
V1
Ic
Iφ
φ
V1
φl E1 = E 2
I f R1
If
jI f X l
b). ada fluksi bocor
a). tak ada fluksi bocor
Gb.3.2. Diagram fasor transformator tak berbeban
3.1.1.2. Fluksi Bocor
Fluksi di belitan
primer
If
φ
transformator
dibangkitkan oleh
E2
arus yang mengalir
φl1
Vs ∼
di belitan primer.
Dalam kenyataan,
tidak semua fluksi
magnit yang
Gb.3.3. Transformator tak berbeban.
dibangkitkan
Fluksi bocor belitan primer.
tersebut akan
melingkupi baik belitan primer maupun sekunder. Selisih antara
fluksi yang dibangkitkan oleh belitan primer dengan fluksi
bersama (yaitu fluksi yang melingkupi kedua belitan) disebut
fluksi bocor. Fluksi bocor ini hanya melingkupi belitan primer saja
115
Transformator
dan tidak seluruhnya berada dalam inti transformator tetapi juga
melalui udara. (Lihat Gb.3.3). Oleh karena itu reluktansi yang
dihadapi oleh fluksi bocor ini praktis adalah reluktansi udara.
Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala histerisis
sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini
ditunjukkan dalam diagram fasor Gb.16.2.b.
Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan
induksi di belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan E1 ).
Tegangan induksi ini 90o mendahului φl1 (seperti halnya E1 90o
mendahului φ) dan dapat dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh
ekivalen, E l1 , di rangkaian primer dan dinyatakan sebagai
E l1 = jI f X 1
(3.6)
dengan X1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan
tegangan dan arus di rangkaian primer menjadi
V1 = E1 + I1 R1 + El1 = E1 + I1 R1 + j I1 X 1
(3.7)
Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini
adalah Gb.3.2.b.
3.1.1.3. Transformator Berbeban.
Rangkaian
I1
φ
I2
transformator
berbeban resistif,
≈
RB, diperlihatkan
V 2 RB
φl1 φl2
Vs
oleh Gb.3.4.
Tegangan induksi
E 2 (yang telah
Gb.3.4. Transformator berbeban.
timbul dalam
keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di
rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2
ini membangkitkan fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi
bersama φ dan sebagian akan bocor (kita sebut fluksi bocor
sekunder).
116
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
Fluksi bocor ini, φl2 , sefasa dengan I 2 dan menginduksikan
tegangan E l 2 di belitan sekunder yang 90o mendahului φl2.
Seperti halnya untuk belitan primer, tegangan E l 2 ini diganti
dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada
reaktansi bocor sekunder X2 di rangkaian sekunder. Jika resistansi
belitan sekunder adalah R2 , maka untuk rangkaian sekunder kita
peroleh hubungan
E 2 = V2 + I 2 R 2 + E l 2 = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2
(3.8)
dengan V2 adalah tegangan pada beban RB.
Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi
yang melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan
cenderung mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi
di belitan primer juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena
belitan primer terhubung ke sumber yang tegangannya tak
berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer yang dalam
keadaan transformator tidak berbeban hanyalah arus magnetisasi
I f , bertambah menjadi I1 setelah transformator berbeban.
Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi
bersama φ dipertahankan dan E1 juga tetap seperti semula.
Dengan demikian maka persamaan rangkaian primer (3.7) tetap
terpenuhi.
Pertambahan arus primer dari I f menjadi I1 adalah untuk
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 sehingga φ
dipertahankan. Jadi haruslah
(
)
( )
N 1 I1 − I f − N 2 I 2 = 0
(3.9)
Pertambahan arus primer ( I1 − I f ) disebut arus penyeimbang
yang akan mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin
besar pula arus penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin
besar pula arus primer. Dengan cara inilah terjadinya transfer daya
dari primer ke sekunder. Dari (3.9) kita peroleh arus magnetisasi
I f = I1 −
( )
N2
I
I 2 = I1 − 2
N1
a
(3.10)
117
Transformator
3.1.2. Diagram Fasor Transformator
Dengan persamaan (3.7) dan (3.8) kita dapat menggambarkan
secara lengkap diagram fasor dari suatu transformator.
Penggambaran kita mulai dari belitan sekunder dengan langkahlangkah:
Gambarkan V2 dan I 2 . Untuk beban resistif, I 2 sefasa dengan
V2 . Selain itu kita dapat gambarkan I ′2 = I 2 / a yaitu besarnya
arus sekunder jika dilihat dari sisi primer.
Dari V2 dan I 2 kita dapat menggambarkan E 2 sesuai dengan
persamaan (3.8) yaitu
E 2 = V2 + I 2 R 2 + E l 2 = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2
Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian
sekunder.
Untuk rangkaian primer, karena E1 sefasa dengan E 2 maka
E1 dapat kita gambarkan yang besarnya E1 = a E 2 .
Untuk menggambarkan arus magnetisasi I f kita gambarkan
lebih dulu φ yang tertinggal 90o dari E1 . Kemudian kita
gambarkan I f yang mendahului φ dengan sudut histerisis γ.
Selanjutnya arus belitan primer adalah I 1 = I f + I 2' .
Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi
sesuai dengan persamaan (3.7), yaitu
V1 = E1 + I1 R1 + El1 = E1 + I1 R1 + j I1 X
Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator
berbeban. Gb.3.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud,
yang dibuat dengan mengambil rasio transformasi N1/N2 = a > 1
118
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
V1
E 2 jI 2 X 2
φ
If
γ
I 2'
E1
jI1 X 1
I1 R1
I 2 V2 I 2 R 2
I1
Gb.3.5. Diagram fasor lengkap,
transformator berbeban resistif . a > 1
CONTOH-3.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat
untuk tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan
ini dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah
besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita
terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms)? b). Berapa
persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55
V (rms) pada setengah belitan primer? c). Berapa persenkah
pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms)
pada setengah belitan primer? d). Jika jumlah lilitan di belitan
sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasuskasus tersebut di atas?
Solusi :
a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φm
adalah
Φm =
E1 2 V1 2 220 2
=
=
N 1ω
N 1ω
160ω
Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka
Φ′m =
Penurunan fluksi m
V1′ 2 110 2
=
N 1ω
160ω
aksimum adalah 50 %, Φ′m = Φm / 2.
b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,
′ =
Φ ′m
V1′′ 2
55 2 110 2
=
=
(1 / 2) N 1ω 80ω
160ω
119
Transformator
Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″m = Φm / 2.
c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka
′′ =
Φ ′m
V1′′′ 2
110 2 220 2
=
=
(1 / 2) N 1ω
80ω
160ω
Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″m =Φm.
d). Dengan N1/N2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V,
tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V,
tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan
pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V.
Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer,
tegangan sekunder adalah 55 V.
CONTOH-3.2 : Sebuah transformator satu-fasa mempunyai belitan
primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas
penampang inti efektif adalah 60 cm2. Jika belitan primer
dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz,
tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di
belitan sekunder.
Solusi :
Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka
V1 =
N1ωΦ m
2
= 500 → Φ m =
500 2
= 0.00563 weber
400 × 2π × 50
→ Kerapatan fluksi maksimum : Bm =
0.00563
= 0.94 weber/m 2
0.006
Tegangan belitan sekunder adalah V2 =
1000
× 500 = 1250 V
400
CONTOH-3.3 : Dari sebuah transformator satu-fasa diinginkan
suatu perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak
berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi
dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan
jumlah lilitan primer dan sekunder.
120
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
Solusi :
Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan
mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,
V1 =
N1ωΦ m
= 6000 → N1 =
2
250
⇒ N2 =
× 450 = 18.75
6000
6000 2
= 450
2π × 50 × 0.06
Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan
pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φm tidak akan
terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan
⇒ N 2 = 20 lilitan
⇒ N1 =
6000
× 20 = 480 lilitan
250
3.1.3. Rangkaian Ekivalen Transformator
Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti
listrik biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik
ekivalen yang sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah
penafsiran secara rangkaian listrik dari suatu persamaan
matematik yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk
transformator, ada tiga persamaan yang menggambarkan
perilakunya, yaitu persamaan (3.7), (3.8), dan (3.10), yang kita
tulis lagi sebagai satu set persamaan (3.11).
V1 = E1 + I1R1 + jI1 X1 ; E2 = V2 + I 2 R2 + jI 2 X 2 ;
I1 = I f + I 2'
(3.11)
dengan I 2' =
N2
I
I2 = 2
N1
a
Dengan hubungan E1 = aE2 dan I′2 = I2/a maka persamaan kedua dari (3.11) dapat ditulis sebagai
E1
= V2 + a I2′ R 2 + ja I2′ X 2
a
⇒ E1 = aV2 + I2′ (a 2 R 2 ) + j I2′ (a 2 X 2 ) = V2′ + I 2′ R 2′ + j I2′ X 2′ (3.12)
dengan
V 2′ = aV 2 ; R 2′ = a 2 R 2 ; X 2′ = a 2 X 2
121
Transformator
Dengan (3.12) maka (3.11) menjadi
V1 = E1 + I1 R1 + jI1 X 1 ;
E1 = aV2 + I2′ R 2′ + j I2′ X 2′ ;
(3.13)
I1 = I f + I2′
I 2' , R′2 , dan X′2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder
yang dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (3.13) dibangunlah
rangkaian ekivalen transformator seperti Gb.3.6. di bawah ini.
I 2'
I1
∼
R1 jX1
E1
V1
If
Z
R′2
jX′2
B
V 2' = a V2
Gb.3.6. Rangkaian ekivalen diturunkan dari persamaan (3.13).
Arus magnetisasi dapat dipandang sebagai terdiri dari dua
komponen, yaitu Ic dan Iφ . Ic sefasa dengan E1 sedangkan Iφ 90o
dibelakang E1. Dengan demikian maka impedansi Z pada
rangkaian ekivalen Gb.3.6. dapat dinyatakan sebagai hubungan
paralel antara suatu resistansi Rc dan impedansi induktif jXφ
sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil
menjadi seperti Gb.3.7.
I 2'
I1
∼
R1 jX1
V1
E1
If
Rc
Ic
R′2
Iφ
jXc
jX′2
B
V 2′ = a V2
Gb.3.7. Rangkaian ekivalen transformator lebih detil.
Rangkaian Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator
yang digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan
frekuensi yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada
sistem tenaga listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2
sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Keadaan ini
bisa dicapai karena inti transformator dibangun dari material
122
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
dengan permeabilitas magnetik yang tinggi. Oleh karena itu, jika If
diabaikan terhadap I1 kesalahan yang terjadi dapat dianggap cukup
kecil. Pengabaian ini akan membuat rangkaian ekivalen menjadi
lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.3.8.
I1 = I 2'
Re = R1+R′2 jXe =j(X1+ X′2)
∼
B V 2′
V1
V1
j I 2' X e
V 2′
I 2'
Gb.3.8. Rangkaian ekivalen transformator
disederhanakan dan diagram fasornya.
3.1.4. Impedansi Masukan Transformator
Resistansi beban B adalah RB = V2/I2. Dilihat dari sisi primer
resistansi tersebut menjadi
R B′ =
V 2′
aV 2
V
=
= a 2 2 = a 2 RB
I 2′
I2 / a
I2
Dengan melihat rangkaian ekivalen
Gb.16.10, impedansi masukan adalah
Z in =
V1
I1
= Re + a 2 R B + jX e
yang
(3.14)
disederhanakan
(3.15)
3.1.5. Penentuan Parameter Transformator
Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.3.7. terlihat ada enam
parameter transformator yang harus ditentukan, R1 , X1 , R′2 , X′2 ,
Rc , dan Xφ . Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur
langsung menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan
empat parameter yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti
diuraikan berikut ini.
123
Transformator
3.1.5.1. Uji Tak Berbeban ( Uji Beban Nol )
Uji beban nol ini biasanya dilakukan pada sisi tegangan rendah
karena catu tegangan rendah maupun alat-alat ukur tegangan
rendah lebih mudah diperoleh. Sisi tegangan rendah menjadi sisi
masukan yang dihubungkan ke sumber tegangan sedangkan sisi
tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan rendah dilakukan
pengukuran tegangan masukan Vr, arus masukan Ir, dan daya
(aktif) masukan Pr. Karena sisi primer terbuka, Ir adalah arus
magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan
tegangan jatuh di reaktansi bocor sehingga Vr sama dengan
tegangan induksi Er. Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan
kehilangan daya di resistansi belitan sehingga Pr menunjukkan
kehilangan daya pada Rcr (Rc dilihat dari sisi tegangan rendah)
saja.
Pr
P
= r
S r Vr I r
Daya kompleks masukan : S r = Vr I r ; cos θ =
→ sin θ =
Sr
2
− Pr 2
Sr
(3.16)
⇒ I cr = I r cos θ ; I φr = I r sin θ
V
Vr
V
Vr
⇒ Rcr = r =
; X φr = r =
I cr I r cos θ
I φr I r sin θ
3.1.5.2. Uji Hubung Singkat
Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan tinggi dengan si`si
tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan tinggi menjadi
sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan.
Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan
rendah masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan
tegangan tinggi dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu
tegangan masukan Vt, arus masukan It, dan daya (aktif) masukan
Pt. Tegangan masukan yang dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi
inti menjadi kecil sehingga kita dapat membuat pendekatan
dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan demikian kita dapat
menggunakan rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.3.9.
Daya Pt dapat dianggap sebagai daya untuk mengatasi rugi-rugi
124
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen yang dilihat
dari sisi tegangan tinggi Ret.
Pt = I t2 Ret → Ret =
Vt = I t Z et → Z et
Pt
I t2
;
V
= t → X e = Z et2 − Ret2
It
(3.17)
Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai Ret = R1 + R′2 . Nilai
resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan
pengukuran terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.
Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai Xet = X1 + X′2 . Kita tidak
dapat memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masingmasing belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing
belitan diperlukan kita dapat mengambil asumsi bahwa X1 = X′2 .
Kondisi ini sesungguhnya benar adanya jika transformator
dirancang dengan baik.
CONTOH-3.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt,
50 Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat.
Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil
Vr = 240 volt, Ir = 1.6 amper, Pr = 114 watt
Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat
belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi
tegangan tinggi
Vt = 55 volt, It = 10.4 amper, Pt = 360 watt
a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan
tinggi. b). Hitung rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada beban
penuh.
Solusi :
a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai Rc
dan Xφ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari
tegangan rendah, kita sebut Rcr dan Xφr.
(240 × 1.6) 2 − 114 2
P
114
=
= 0.3 ; sin θ =
= 0.95
VI 240 × 1.6
240 × 1.6
V
V
240
240
240
=
=
=
= 500 Ω ; X φr =
=
= 158 Ω
I c I cos θ 1.6 × 0.3
I φ 1.6 × 0.95
cos θ =
Rcr
125
Transformator
Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :
2
 2400 
Rct = a 2 Rcr = 
 × 500 = 50 kΩ
 240 
X φt = a 2 X φr = 15.8 kΩ
Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji
hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi
tegangan tinggi ini memberikan
Ret =
Pt
It
Z et =
2
=
360
(10.4) 2
= 3.33 Ω ;
Vt
55
=
= 5.29 Ω →
I t 10.4
X et = 5.29 2 = 3.33 2 = 4.1 Ω
b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti
transformator hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban
nol. Jadi rugi-rugi inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt.
Rugi-rugi tembaga tergantung dari besar arus. Besar arus primer
pada beban penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi
pada percobaan hubung singkat, yaitu
I1 =
S
V1
=
25000
= 10.4 A → Pcu = I 1 2 Ret = (10.4) 2 × 3.33 = 360 W
2400
Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat
sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah
penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.
3.1.6. Efisiensi dan Regulasi Tegangan
Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai
η=
daya keluaran [watt]
daya masukan [watt]
(3.18)
Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugirugi daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai
126
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
η =1−
rugi - rugi daya [watt]
daya masukan [watt]
(3.19)
Formulasi (3.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator
rugi-rugi daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji
hubung singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.
Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan
besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke
beban nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi
Regulasi Tegangan =
=
V2 beban nol − V2 beban penuh
V1 / a − V2
V2
V2 beban penuh
=
V1 − aV2
aV2
V − V2′
= 1
V2′
(3.25)
Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.16.9. maka (3.25)
menjadi
Regulasi Tegangan =
V2′ + I ′2 ( Re + jX e ) − V2′
V2′
(3.26)
CONTOH-3.6 : Transformator pada Contoh-16.5. mencatu beban
25 KVA pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b).
Hitunglah regulasi tegangannya.
Solusi :
Total rugi daya : Pc + cu = 114 + 360 = 474 W = 0.474 KW
a). Daya keluaran : Po = 25000 × 0.8 = 20 KW
Efisiensi : η = 1 −
0.474
= 0.976 atau 97.6 %
20
b). Mengambil V2 sebagai referensi : V′2 = 10×240 = 2400∠0o V.
I ′2 = I 2 / a = (25000 / 240) / 10∠ − cos −1 0.8 = 10.4∠ − 36.8 o
Reg. Tegangan =
2400∠0 o + 10.4∠ − 36.8 o (3.33 + j 4.1) − 2400
2400
0.022 atau 2.2 %
127
Transformator
3.1.7. Konstruksi Transformator
Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator
dengan satu inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah
satu kaki inti dan belitan sekunder digulung pada kaki inti yang
lain. Dalam kenyataan tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi
bocor, belitan primer dan sekunder masing-masing dibagi menjadi
dua bagian dan digulung di setiap kaki inti. Belitan primer dan
sekunder digulung secara konsentris dengan belitan sekunder
berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini fluksi bocor dapat
ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi bersama.
Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk
lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang
tentu lebih tinggi.
NR / 2
NR / 2
NT / 2
NT / 2
a). tipe inti.
NR / 4
NT / 2
NR / 2
NT / 2
NR / 4
a). tipe sel.
Gb.3.9. Dua tipe konstruksi transformator.
NT : jumlah lilitan tegangan tinggi; NR : jumlah lilitan tegangan
rendah.
Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satufasa adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.3.9.a.
memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan
sekunder yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung
dekat dengan inti yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan
tinggi. Konstruksi ini sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah
isolasi lebih mudah ditangani. Gb.3.9.b. memperlihatkan
konstruksi tipe sel. Konstruksi ini sesuai untuk transformator daya
dengan arus besar. Inti pada konstruksi ini memberikan
perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.
128
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
3.2. Transformator Pada Sistem Tiga-fasa
Pada sistem tiga-fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu :
(a) menggunakan tiga unit transformator satu-fasa,
(b) menggunakan satu unit transformator tiga-fasa.
Transformator tiga-fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap
kaki mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran
daya yang sama, penggunaan satu unit transformator tiga-fasa akan
lebih ringan, lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga
unit transformator satu-fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit
transformator satu-fasa juga mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan satu unit transformator tiga-fasa. Misalnya
beaya awal yang lebih rendah, jika untuk sementara beban dapat
dilayani dengan dua unit saja dan unit ketiga ditambahkan jika
penambahan beban telah terjadi. Terjadinya kerusakan pada salah
satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh penyaluran daya.
Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari berbagai
pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah
sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder
transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga-fasa melalui
tiga unit transformator satu-fasa.
3.2.1. Hubungan ∆−∆
Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu-fasa untuk
melayani sistem tiga-fasa, hubungan sekunder harus diperhatikan
agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini diperlihatkan
pada Gb.3.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W sedangkan
fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer kita
sebut VUO , VVO , VWO dengan nilai VFP , dan tegangan fasa
sekunder kita sebut VXO , VYO , VZO dengan nilai VFS. Nilai
tegangan saluran (tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita
sebut VLP dan VLS . Nilai arus saluran primer dan sekunder masingmasing kita sebut ILP dan ILS sedang nilai arus fasanya IFP dan IFS .
Rasio tegangan fasa primer terhadap sekunder VFP / VFS = a .
Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk hubungan ∆-∆ kita peroleh :
129
Transformator
V LP V FP
I
I
3 1
=
= a ; LP = FP
=
V LS V FP
I LS I FS 3 a
U
(3.27)
X
VUO
VXO
V
Y
VVO
VYO
VWO
VZO
VUV = VUO
VXY = VXO
Gb.3.10. Hubungan ∆-∆.
3.2.2. Hubungan ∆-Y
Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.11. Tegangan
pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan
fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa
dengan perbedaan sudut fasa 30o. Dengan mengabaikan
kita peroleh
fasa-fasa
tegangan
sekunder
rugi-rugi
VLP
V
a
= FP =
VLS VFS 3
3
I LP I FP 3
3
=
=
I LS
I FS
a
Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30o.
130
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(3.28)
Transformator
U
V
X
VUO
VXO
Y
VVO
VYO
VWO
VZO
VUV = VUO
VXY
VZO
VXO
VYO
Gb.3.11. Hubungan ∆-Y
3.2.3. Hubungan Y-Y
Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.12. Tegangan fasa-fasa
pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer dengan
perbedaan sudut fasa 30o, tegangan fasa-fasa sekunder sama
dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut
fasa 30o. Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder
adalah
VLP VFP 3
=
=a
VLS VFS 3
(3.29)
I LP I FP 1
=
=
I LS I FS a
Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat
perbedaan sudut fasa.
131
Transformator
U
X
VUO
VXO
V
Y
VVO
VYO
VWO
VZO
VWO
VUV
VZO
VUO
VXY
VXO
VYO
VVO
Gb.3.12. Hubungan Y-Y
3.2.4. Hubungan Y-∆
Hubungan ini terlihat pada Gb.3.13. Tegangan fasa-fasa pimer
sama dengan √3 kali tegangan fasa primer dengan perbedaan sudut
fasa 30o, sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan
tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi diperoleh
VLP VFP 3
=
=a 3
VLS
VFS
I LP
I
1
= FP =
I LS VFS 3 a 3
Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30o.
132
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(3.30)
Transformator
U
X
VUO
VXO
Y
V
VVO
VYO
VWO
VZO
VWO
VUV
VXY = VXO
VZO
VUO
VYO
VVO
Gb.3.13. Hubungan Y-∆
CONTOH-3.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,
tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan
mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah
tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran
untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ;
(d) Y-∆ .
Solusi :
a). Untuk hubungan ∆-∆ :
V
V
6600
V LS = V FS = FP = LP =
= 550 V ;
a
a
12
I
I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a LP 3 = 12 × 10 = 120 A.
3
b). Untuk hubungan Y-Y :
V
V
3 6600
V LS = V FS 3 = FP 3 = LP
=
= 550 V ;
a
12
3 a
I LS == I FS = aI FP = aI LP = 12 × 10 = 120 A.
133
Transformator
c). Untuk hubungan ∆-Y :
V
V
6600
3 = 953 V ;
V LS = V FS 3 = FP 3 = LP 3 =
a
a
12
I
10
I LS = I FS = aI FP = a LP = 12
= 69,3 A.
3
3
d) Untuk hubungan Y-∆ :
V
1 V LP
1 6600
V LS = V FS = FP =
=
= 318 V ;
a
a 3 12 3
I LS = I FS 3 = aI FP 3 = aI LP 3 = 12 × 10 × 3 = 208 A .
Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan
daya masukan.
S keluaran = S masukan = V LP I LP 3 = 6,6 × 10 3 = 114,3 kVA.
3.3. Transformator Tiga Belitan
3.3.1. Transformator Ideal Tiga Belitan
Hubungan belitan primer, sekunder, dan tertier tansformator satufasa tiga belitan terlihat pada Gb.3.14. Konvensi titik kita gunakan
di sini.
I2
+
I1
N
V2
2
+
−
V1 N1
I3
+
−
N 3 V3
−
Gb.3.14. Hubungan belitan transformator tiga belitan.
Indeks 1, 2, 3 menunjukkan primer, sekunder, tertier.
V1 , V2 , V3 : tegangan.
I1 , I 2 , I3 : arus, digambarkan masuk pada ujung belitan
yang bertanda titik.
N1 , N 2 , N 3 : jumlah lilitan.
134
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
Untuk keperluan analisis ini kita menganggap resistansi belitan
transformator nol, sehingga hubungan tegangan, arus dan jumlah
lilitan adalah:
V1 N1
=
;
V2 N 2
V2 N 2
=
;
V3 N 3
V1 N1
=
V3 N 3
(3.31)
Kita juga menganggap tidak terjadi fluksi bocor dan permeabilitas
magnetik inti inti yang sempurna, sehingga
N 1 I1 + N 2 I 2 + N 3 I 3 = 0
(3.32)
Contoh-3.8: Sebuah transformator tiga belitan (Gb.3.14), memiliki
jumlah lilitan N 1 = 1000, N 2 = 500, N 3 = 2000 .Belitan primer
terhubung ke sumber tegangan ideal, V1 = 1000∠0o V . Belitan
sekunder terhubung ke resistor 20 Ω. Belitan tertier terhubung ke
induktor dengan reaktansi 100 Ω. Hitung arus dan daya di belitan
primer, I1 dan S1.
Solusi:
Arus di belitan primer dapat dihitung setelah arus di belitan
sekunder dan tertier diperoleh; arus-arus ini adalah arus beban.
V2 =
N2
500
V1 =
× 1000∠0o = 500∠0o V
N1
1000
V3 =
N3
2000
V1 =
× 1000∠0o = 2000∠0o V
N1
1000
Dengan referensi arah arus seperti tergambar pada Gb.16.1, kita
dapatkan
− I2 =
V2 500∠0o
=
= 25∠0o = 25 + j 0 A
Z2
20∠0o
− I3 =
V3 2000∠0o
=
= 20∠ − 90o = 0 − j 20 A
Z 3 100∠90o
Arus di belitan primer dihitung dengan menggunakan formulasi
(3.32) adalah
135
Transformator
N1I1 + N 2 I 2 + N 3I 3 = 0
⇒ I1 =
− N 2 I 2 − N 3 I 3 500 × 25 + 2000 × (− j 20)
=
N1
1000
= 12,5 − j 40 = 41,9∠ − 72,6o A
Daya kompleks yang masuk di belitan adalah
S1 = V1I1∗ = 1000∠0o × 41,9∠ + 72,6o = 41,9∠72,6o kVA
Karena kita menganggap transformator ideal, tidak ada rugi-rugi
daya pada transformator, daya masuk di belitan primer harus
sama dengan jumlah daya keluar dari belitan sekunder dan
tertier. Kita jakinkan hal itu sebagai berikut
S 2 = V2 (− I 2 )∗ = 500∠0o × 25 = 12500 VA
S3 = V3 (− I3 )∗ = 2000∠0o × 20∠ + 90o = j 40000 VA
⇒ S 2 + S3 = 12500 + j 40000 = 41900 VA = 41,9 kVA
Ternyata benar S 2 + S3 = S1
3.3.2. Transformator Nyata Tiga Belitan
Dalam kenyataan belitan-belitan transformator mengandung
impedansi; impedansi belitan primer, sekunder, tertier, dapat kita
nyatakan sebagai Z1 = R1 + jX 1 , Z 2 = R2 + jX 2 , dan
Z 3 = R3 + jX 3 . Selain itu terdapat rugi-rugi inti yang dalam
rangkaian dinyatakan dengan cabang parallel Rφ dan Xφ . Jika
elemen-elemen ini tidak kita abaikan dan kita nyatakan juga dalam
per-unit, maka rangkaian pada Gb.3.14. akan berbentuk seperti
Gb.3.15.
136
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
2
I1
1∠0 o
+
∼
−
1
R1
R2
X2
R3
X3
X1
Rφ
Xφ
I2
3
I3
4
j1,25
Gb.3.15. Rangkaian transformator nyata satu-fasa
tiga belitan.
Contoh-3.9: [1] Hitunglah I1 pada contoh-3.8 jika diketahui pula
R1 = R2 = R3 = 0,01 pu
X 1 = X 2 = X 3 = 0,03 pu
Rφ = X φ = ∝
Solusi:
Dengan Rφ = X φ = ∝ , jika kita melihat ke belitan primer, kita
dapatkan
Z1 pu = R1 + jX 1 +
( R2 + jX 2 + 4) ( R3 + jX 3 + j1,25)
( R2 + jX 2 + 4) + ( R3 + jX 3 + j1,25)
= 0,01 + j 0,03 +
(4,01 + j 0,03) (0,01 + j1,28)
(4,02 + j1,31)
= 0,38654 + j1,184 = 1,245∠71,92o
V
1∠0o
Maka I1 pu = 1 =
= 0,803∠ − 71,92o pu
Z1 1,245∠71,92o
Perbedaan segera dapat kita lihat dengan hasil perhitungan
traformator ideal yang memberikan I1 = 0,838∠ − 72,6o pu .
Perbedaan ini adalah sekitar 4%. Perbedaan arus 4% ini, jika kita
tinjau dari sisi daya dimana S = V I ∗ berarti pula ada perbedaan
daya sekitar 4%. Ditinjau dari kacamata bisnis, hal ini cukup
besar.
137
Transformator
3.4 Transformator Tiga-fasa Dibangun dari Tiga
Transformator Satu-fasa
Untuk memperoleh transformator tiga-fasa tiga belitan kita dapat
menggunakan tiga buah transformator satu-fasa tiga belitan.
Masing-masing transformator satu-fasa tersebut sudah barang tentu
memiliki tiga belitan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Jadi
dengan tiga buah transformator satu-fasa kita mempunyai 3 belitan
primer, 3 sekunder, dan 3 tersier. Masing-masing kelompok belitan
tersebut secara sendiri-sendiri dapat dihubungkan Y atau ∆. Pada
diagram satu garis Gb.1.11. di bab-14, transformator tiga-fasa tiga
belitan yang terhubung ke generator, mempunyai sisi primer
terhubung ∆, sisi sekunder yang terhubung Y menuju CB kemudian
ke saluran transmisi, dan sisi tertier yang terhubung ∆ mencatu
beban. Gb.3.16. memperlihatkan penggalan diagram satu garis
tersebut.
Generator
G
beban
1
3
∆
2
∆
Y
Saluran transmisi
CB
Gb.3.16. Penggalan diagram satu garis Gb.1.11 untuk
memperlihatkan hubungan transformator tiga-fasa tiga belitan.
3.4.1. Tinjauan Pada Sisi Primer Terhubung Y, dengan Netral
Ditanahkan Melalui Impedansi
Kita akan melihat belitan primer terlebih dulu, dengan
menganggap belitan sekunder dan belitan tertier terbuka. Pada
Gb.3.16. belitan ini terhubung ∆. Namun dalam pembahasan
transformator ini kita akan melihat sisi primer yang terhubung Y
lebih dulu dengan titik netral yang dihubungkan ke tanah melalui
sebuah impedansi. Karena sisi sekunder dan tersier terbuka, maka
setiap transformator satu-fasa yang tersedia (untuk dibangun
menjadi transformator tiga-fasa) mempunyai diagram rangkaian
seperti pada Gb.3.17.
138
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
I1
2
1
+ R1
X1
V1
3
Rφ
Xφ
Gb.3.17. Sisi primer transformator satu-fasa tiga belitan dengan
sisi sekunder dan tersier terbuka.
Dari terminal primer terlihat impedansi, yang kita sebut impedansi
fasa primer Zf1, sebesar
Z f 1 = Z 1 + Z φ = R1 + jX 1 + Z φ
(3.33)
dengan
Zφ =
Rφ × jX φ
(3.34)
Rφ + jX φ
Impedansi Zf1 inilah kita hubungkan Y membentuk sisi primer
transformator tiga-fasa. Dalam membentuk hubungan Y ini, di
titik netral kita sambungkan satu impedansi Zn1 untuk
pentanahan. Dengan demikian kita memperoleh rangkaian tigafasa abc seperti terliht pada Gb.3.18.
a
Va1
Z f1
b
Vb1
Z f1
c
Z f1
Vc1
Z n1
n
Gb.3.18. Hubungan Y sisi primer transformator tiga-fasa
tiga belitan.
Relasi tegangan-arus pada hubungan Y ini adalah
139
Transformator
 I a1 
Va1  ( Z f 1 + Z n1 )
Z n1
Z n1
 

 
Z n1
( Z f 1 + Z n1 )
Z n1
  I b1  (3.35)
 Vb1  = 
 Vc1  
Z n1
Z n1
( Z f 1 + Z n1 )  I c1 

 
Matriks impedansi kita transformasikan ke impedansi urutan,
[Z 012 ]1 = [T]−1 [Z abc ]1 [T]
kita peroleh
[Z 012 ] primer
( Z f 1 + 3Z n1 )
0

=
0
Z f1

0
0

0 

0 
Z f 1 )
(3.36.a)
Catatan: indeks 012 yang menunjukkan impedansi urutan, ditulis
dengan huruf tebal untuk membedakan dengan indeks 1
yang menunjuk pada belitan primer.
3.4.2. Tinjauan Pada Sisi Sekunder dan Tersier Terhubung Y,
dengan Netral Ditanahkan Melalui Impedansi
Persamaan (3.36.a) adalah impedansi urutan dilihat dari sisi
primer. Jika kita memperlakukan sisi sekunder dan tersier sama
seperti sisi primer, yaitu membuatnya terhubung Y dengan
impedansi pada titik netralnya, kita akan mendapatkan rangkaian
belitan sekunder dan tersier seperti terlihat pada Gb.3.19. Pada
gambar ini Zf2 dan Zf3 adalah impedansi fasa sekunder dan
impedansi fasa tersier.
a
Zf2
Va2
b
Zf2
Vb2
Vcs
Z n2
n
Sekunder
Va3
b
Zf3
c
Zf2
a
Zf3
Vb3
c
Zf3
Vc3
Z n3
n
Tersier
Gb.3.19. Hubungan Y sisi sekunder dan tersier.
140
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
Dengan cara yang sama seperti mencari impedansi urutan pada
sisi primer, kita peroleh impedansi urutan di sisi sekunder dan
tertier yaitu
Z f 2 + 3Z n 2
0
0
Zf2
0
0
[Z012 ]sekunder = 


0 

0 
Z f 2 
(3.36.b)
0 

0 
Z f 3 
(3.36.c)
dan
[Z012 ]tersier
 Z f 3 + 3Z n3

=
0

0

0
Zf3
0
Persamaan (3.36.a), (3.36.b), dan (3.36.c) memberi jalan untuk
menggambarkan rangkaian impedansi urutan taransformator.
Kita kumpulkan impedansi urutan sebagai berikut:
Z 01 = Z f 1 + 3Z n1 ; Z 02 = Z f 2 + 3Z n 2 ; Z 03 = Z f 3 + 3Z n3 (3.37.a)
Z 11 = Z f 1 ;
Z 12 = Z f 2 ;
Z 13 = Z f 3
(3.37.b)
Z 21 = Z f 1 ;
Z 22 = Z f 2 ;
Z 23 = Z f 3
(3.37.c)
Z f 3 = Z3 + Zφ
(3.37.d)
dan seperti (3.33)
Z f 1 = Z1 + Z φ ;
Z f 2 = Z2 + Zφ;
Persamaan pertama (3.37.a) dan (3.37.d) memberikan rangkaian
urutan nol seperti pada Gb.3.20. Terminal 1, 2, 3 adalah terminal
primer, sekunder, dan tersier.
1
3Z n1
Z2
3Z n 2
2
Z3
3Z n3
3
Z1
Zφ
Gb.3.20. Rangkaian urutan nol transformator tiga
belitan.
Persamaan pertama (3.37.b) dan (3.37.d) memberikan rangkaian
urutan positif seperti pada Gb.3.21.
141
Transformator
1
Z2
2
Z3
3
Z1
Zφ
Gb.3.21. Rangkaian urutan positif transformator tiga belitan.
Persamaan pertama (3.37.c) dan (3.37.d) memberikan rangkaian
urutan negatif seperti pada Gb.3.22.
1
Z2
2
Z3
3
Z1
Zφ
Gb.3.22. Rangkaian urutan negatif transformator tiga belitan.
3.4.3. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan
Terhubung Y Dengan Ketiga Titik Netral Ditanahkan Langsung
Jika titik netral ditanahkan secara langsung (solidly grounded),
baik di sisi primer maupun sekunder dan tersier, maka
Z n1 = Z n 2 = N n3 = 0 . Rangkaian urutan pada Gb.16.22 yang
berubah hanyalah rangkaian urutan nol; rangkaian urutan positif
dan negatif tidak berubah. Rangkaian urutan nol menjadi sama
dengan rangkaian urutan yang lain.
3.4.4. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan
Terhubung Y, dengan Ketiga Titik Netral Tidak Ditanahkan.
Jika titik netral tidak di tanahkan maka Z n1 = Z n 2 = N n3 =∝ .
Rangkaian urutan pada Gb.16.22 yang berubah juga hanya
rangkaian urutan nol; rangkaian urutan positif dan negatif tidak
berubah. Rangkaian urutan nol menjadi terbuka baik di sisi
primer, sekuder, maupun tersier.
142
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
3.4.5. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan
dengan Ketiga Sisi Terhubung
Hubungan ∆ dapat kita cari ekivalennya dalam hubungan Y. Jika
ini kita lakukan maka kita mendapatkan transformator terhubung
Y dengan netral tidak ditanahkan. Rangkaian urutan nol menjadi
terbuka. Jadi belitan yang terhubung ∆ memiliki rangkaian urutan
nol yang terbuka (kita menganggap impedansi di ketiga belitan
identik).
3.4.6. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan
dengan Sisi Primer, Sekunder, dan Tersier Memiliki Hubungan
Berbeda.
Contoh dari situasi ini adalah situasi yang diperlihatkan pada
diagram satu garis Gb.15.9. Dalam gambar ini sisi pimer
terhubung ∆, sisi sekunder terhubung Y dengan netral ditanahkan
langsung, dan sisi tersier terhubung ∆. Rangkaian urutan nol sisi
primer dan tersier terbuka, sedangkan rangkaian urutan nol
sekunder tidak mengandung 3Z n 2
Demikianlah kita dapat membangun rangkaian urutan dari
transformator tiga-fasa tiga belitan, dengan belitan terhubung Y
maupun ∆. Namun ada sedikit catatan untuk belitan yang
terhubung ∆: hubungan ini adalah hubungan yang membentuk
loop tertutup; jika ketiga belitan yang membentuk ∆ ini tidak
benar-benar idektik, ada kemungkinan terjadi arus sirkulasi di
belitan ini.
Contoh-3.10: [1] Tiga transformator 1 fasa identik pada contoh-3.9
dipakai untuk membangun transformator 3 fasa dengan hubunganhubungan belitan sebagai berikut:
Belitan-1: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan melalui
impedansi Z n = j 0,04
Belitan-2: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan langsung.
Belitan-3: dihubungkan ∆
Gambarkanlah rangkaian urutan.
Solusi:
Resistansi dan reaktansi dalam per-unit belitan trafo adalah:
143
Transformator
R1 = R2 = R3 = 0,01 pu
X 1 = X 2 = X 3 = 0,03 pu
Rφ = X φ = ∝
Rangkaian urutan nol adalah (Gb.3.20)
1
3Z n1
Z2
3Z n2
2
Z3
3Z n3
3
Z1
Zφ
Dengan memasukkan nilai-nilai yang diketahui, rangkaian
urutan nol menjadi
1
j 0,12
0,01 + j 0,03
2
0,01 + j 0,03
3
0,01 + j 0,03
Rangkaian urutan positif adalah (Gb.3.21)
1
Z2
2
Z3
3
Z1
Zφ
Dengan memasukkan nilai-nilai yang diketahui, rangkaian
urutan positif menjadi
1
0,01 + j 0,03
2
0,01 + j 0,03
3
0,01 + j 0,03
Rangkaian urutan negatif sama dengan rangkaian urutan positif.
144
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
3.4. Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y- , Transformator
Tiga-fasa Dua Belitan
Pada hubungan sisi primer-sekunder Y-Y ataupun ∆-∆, diagram
fasor tegangan fasa-netral di kedua sisi transformator tidak berbeda
fasa. Akan tetapi pada hubungan Y-∆ atau ∆-Y terjadi pergeseran
fasa. Untuk melihat pergeseran fasa ini, kita tinjau transformator
tiga-fasa dua belitan seperti terlihat pada Gb.3.23. Pada gambar ini
terlihat Va1 sefasa Vab 2 , Vb1 sefasa Vbc 2 , Vc1 sefasa Vca 2 .
Tegangan fasa-netral di sisi primer yang terhubung Y sefasa dengan
tegangan fasa-fasa di sisi sekunder yang terhubung ∆. Kalau kita
buat rangkaian ekivalen Y dari ∆, hal tersebtu berarti tegangan fasnetral di sisi sekunder berbeda fasa 30o dengan tegangan fasa-netral
di sisi primer.
a
a
Vab2
Va1
Vb1
Vc1
b
b
c
c
Vbc2
Vca2
n
Gb.3.23. Hubungan Y-∆ transformator tiga-fasa.
Berkaitan dengan terjadinya pergeseran fasa pada hubungan Y-∆
ataupun ∆-Y, penamaan fasa pada suatu transformator diberi
ketentuan sebagai berikut:
Penamaan fasa baik pada hubugan Y-∆ ataupun ∆-Y haruslah
sedemikian rupa sehngga urutasn positif di sisi tegangan
tinggnya mendahului 30o dari pasangan di tegangan rendahnya.
Ketentuan ini untuk urutan negatif berarti kebalikannya, yaitu
bahwa tegangan urutan negatif tegangan di sisi tegangan tinggi
tertinggal 30o dari tegangan di sisi tegangan rendahnya.
Pergeseran fasa ini tidak berpengaruh pada urutan nol.
145
Transformator
3.5. Sistem Per-Unit Pada Saluran Dengan Transformator
Adanya transformator dalam sistem tenaga membuat sistem tenaga
terbagi-bagi dalam banyak segmen yang masing-masing segmen
memiliki tegangan kerja sendiri-sendiri. Dengan memanfaatkan
sistem per-unit, maka representasi suatu sistem tenaga menjadi lebih
sederhana dan perhitungan-perhitungan menjadi lebih mudah
dilakukan. Dalam uraian berikut ini kita memusatkan perhatian pada
sistem tiga-fasa.
Penetuan besaran basis untuk penggunaan sistem per-unit adalah
sebagai berikut:
a)
Tetapkan daya 3 fasa basis, kita sebut S 3 f basis . Penetapan
daya basis ini biasanya mengambil angka-angka yang mudah,
seperti 1, 10, 100, 1000. Karena untuk analisis sistem tiga-fasa
kita menggunakan model satu-fasa maka harus kita hitung daya
basis untuk satu-fasa, yaitu:
S 3 f basis
S f basis =
3
b) Tetapkan tegangan basis di bus tertentu sebagai referensi, yaitu
tegangan nominal. Tegangan nominal adalah nilai tegangan
yang dirancang untuk sistem bekerja pada pembebanan
seimbang. Tegangan nominal fasa-fasa, Vff di Indonesia
misalnya 20 kV, 150 kV, 500 kV. Karena kita melakukan
analisis menggunakan model rangkaian satu-fasa maka kita
tetapkan tegangan basis fasa-netral di bus ini yaitu
V fn basis = V ff
c)
146
basis
/ 3.
Dalam menentukan besaran-besaran basis, kita menganggap
semua saluran dan transformator adalah ideal. Dengan demikian
maka bus-bus yang terhubung langsung oleh saluran
transmisitanpa melalui transformator akan memiliki tegangan
basis yang sama.
Tegangan basis bus-bus yang dihubungkan oleh saluran
transmisi melewati suatu transformator berbanding lurus
dengan perbandingan jumlah lilitan di kedua sisi transformator.
Dengan demikian maka nilai per-unit tegangan di kedua sisi
transformator tidak lagi tergantung dari tegangan transformator.
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
d) Arus basis di setiap bagian sistem adalah daya basis di bagian
tersebut dibagi dengan tegangan basisnya.
I basis =
e)
Sf
basis
V fn basis
Impedansi basis di tiap bagian sistem adalah tegangan basis
dibagi arus basis
Z basis =
V fn basis
If
basis
Walaupun demikian, relasi ini dapat kita uraikan sebagai berikut:
Z basis =
V fn basis
If
=
basis
V fn basis
Sf
(V ff basis / 3 )
2
=
Sf
/ V fn basis
basis
basis
=
V ff2
3S f
basis
basis
=
=
2
V fn
basis
Sf
basis
V ff2
basis
S3 f
basis
Relasi terakhir ini yang biasa digunakan menentukan impedansi
basis, yaitu
Z basis =
f)
V ff2
basis
S3 f
basis
Besaran dalam per-unit adalah besaran sesungguhnya dibagi
dengan besaran basis. Dengan besaran dalam per-unit kita
gambarkan diagram rangkaian model satu-fasa.
Contoh-3.11: [1] Gambarkan rangkaian model satu-fasa dalam perunit dari sistem tiga-fasa yang diagram satu garisnya diberikan
berikut ini. Gunakan daya basis tiga-fasa di bus-2
S3 f
basis
= 100 MVA
dan tegangan basis fasa-fasa
V ff
basis
= 345 kV
147
Transformator
1 ∆Y 2
3 Y∆
Z = 12,8 + j64 Ω
4
Y/2 = j280 mS
Transformator T1
Transformator T2
1 trafo 3 fasa, 120 MVA
3 trafo 1 fasa, 30 MVA
35 kV ∆, 350 kV Y
200 kV / 20 kV
Z=(1+j8%) pada ratingnya
Z=(1+j7%) pada ratingnya
Solusi:
a)
Kita harus membuat rangkaian ekivalen model 1 fasa dalam
per-unit. Oleh karena itu besaran-besaran harus dinyatakan
sebagai besaran fasa-netral. Daya basis 3 fasa telah
ditentukan untuk bus-2 dengan memilih angka yang mudah
yaitu
S3 f
basis
= 100 MVA
Dengan penetapan daya basis 3 fasa ini maka daya basis per fasa
adalah
S fn basis =
100
= 33,3 MVA
3
Daya basis per fasa ini berlaku untuk semua bus.
Tegangan nominal sistem ini adalah 345 kV fasa-fasa. Tegangan
basis fasa-netral adalah
V fn basis =
V ff
nominal
3
=
345
3
= 199 kV
Rangkaian ekivalen model satu-fasa yang harus kita bangun harus
menggunakan basis ini, artinya semua besaran akan dilihat dari
sisi tegangan tinggi, termasuk impedansi-impedansi di sisi
tegangan rendah transformator. Rangkaian ekivalen saluran
transmisinya adalah rangkaian ekivalen π dengan ujung di bus 2
terhubunhg ke transformator T1 dan ujung di bus-3 terhubung ke
transformator T2. Rangkaian ekivalen sistem ini akan berbentuk
seperti berikut:
148
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
1
2
ZT 1
3
Y
2
Zs
4
ZT 2
Y
2
1, 2, 3, 4: nomer bus
Z T 1 : impedansi trafo T1; Z T 2 : impedansi trafo T2
Zs ; impedansi seri saluran transmisi;
Y
: admitansi saluran transmisi
2
Kita lihat situasi di setiap bus sebagai berikut:
Bus-2. Daya basis di bus ini adalah S fn basis = 33,3 MVA dan
tegangan basis V fn basis.bus.2 = V fn basis = 199 kV
Arus basis bus-2: I f basis.bus.2 =
Impedansi basis: Z basis.bus.2 =
Sf
basis
V fn basis
V fn basis
If
=
basis
=
33,3
= 0,167 kA
199
199
= 1190 Ω
0,167
Bus-3. Daya basis di bus ini juga S fbasis = 33,3 MVA Bus ini
terhubung ke bus-2 tanpa melalui transformator. Oleh karena itu
tegangan basis bus ini sama dengan tegangan basis bus-2, yaitu
V fn basis.bus.3 = 199 kV
Arus basis bus-3: I f basis.bus.3 =
Sf
basis
V fn basis
Impedansi basis bus-3: Z basis.bus.3 =
=
33,3
= 0,167 kA
199
V fn basis
If
basis
=
199
= 1190 Ω
0,167
Bus-1. Daya basis di bus ini sama dengan daya basis yang telah
ditetapkan yaitu S fn basis = 33,3 MVA . Bus ini terhubung pada
transformator Y-∆ dengan perbadingan tegangan fasa-fasa 350 kV
149
Transformator
: 35 kV atau tegangan fasa-netral 350 / 3 kV : 35 / 3 kV .
Tegangan basis di bus-1 dapat kita hitung yaitu
V fn basis.bus.1 =
V fn bus.1
V fn bus.2
× V fn basis.bus.2 =
Arus basis di bus-1: I f basis.bus.1 =
Impedansi basis: Z basis bus.1 =
Sf
350 / 3
basis
V fn basis
V fn basis
If
35 / 3
=
basis
=
× 199 = 19,9 kV
33,3
= 1,674 kA
19,9
19,9
= 11,9 Ω
1,674
Bus-4. Basis daya di bus ini sama dengan basis daya yang telah
ditetapkan yaitu S fbasis = 33,3 MVA . Bus ini bertegangan fasafasa 20 kV yaitu tegangan sisi sekunder trafo yang terhubung ∆.
Ini berarti tegangan fasa–netral adalah 20 / 3 kV , walaupun tak
terlihat titik netral. Sisi primer transformator terhubung Y dengan
tegangan fasa-fasa 350 kV atau tegangan fasa-netral
350 / 3 = 200 kV . Tegangan basis di bus-4 ini adalah
V fn basis.bus.4 =
V fn bus.4
V fn bus.3
× V fn basis.bus.3 =
Arus basis bus-4: I f basis.bus.4 =
Impedansi basis: Z basis bus − 4 =
Sf
basis
V fn basis
Vf
basis
If
basis
=
20 / 3
×199 = 11,5 kV
200
=
33,3
= 2,889 kA
11,5
11,5
= 3,97 Ω
2,889
Untuk melihat dengan lebih jelas, hasil perhitungan di atas kita
kumpulkan dalam satu tabel seperti di bawah ini.
150
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
Sbasis
MVA
Vbasis
kV
Ibasis
kA
Zbasis
1
33,3
19,9
1,674
11,9
2
33,3
199
0,167
1190
3
33,3
199
0,167
1190
4
33,3
11,5
2,889
3,97
Bus
Ω
b) Saluran Transmisi. Impedansi dan admitansi saluran dalam
per-unit dihitung dengan menggunakan impedansi dan
admitansi basis di bus-2 atau bus-3
Z sal pu =
Z sal
12,8 + j 64
=
= 0,0108 + j 0,0538 pu
Z basis
1190
Ysal basis pu
2
c)
=
j 0,0280 × 10 −3
= j 0,333 pu
1 / 1190
Impedansi transformator.
Nilai dalam per-unit
diberikan adalah:
impedansi
transformator
yang
T1: Z T 1 pu = 0,01 + j 0,08 pu ( pada ratingnya)
T2: Z T 2 pu = 0,01 + j 0,07 pu ( pada ratingnya)
Impedansi ini dinyatakan dalam per-unit dengan basis rating
masing-masing transformator.
Transformator T1.
Transformator T1 adalah sebuah
transformator tiga-fasa, dua belitan. Rating daya T1 adalah 120
MVA, dengan tegangan nominal (sisi tegangan tinggi) 345 kV
(fasa-fasa). Hal ini berarti bahwa basis yang di gunakan untuk
menghitung ZT1pu adalah Zbasis rating yaitu
Z basis rating =
V ff2
rating
S3 f
rating
Ω
151
Transformator
Dengan basis inilah impedansi per-unit yang telah diberikan, yaitu
Z T 1 = 0,01 + j 0,08 pu . Impedansi ini harus kita ubah
menggunakan basis sistem yaitu S 3 f basis = 100 MVA dan
tegangan nominal
345 kV dan Zbasis di bus-2 (tempat
dihubungkannya T1) yang telah dihitung sebesar 1190 Ω.
Perubahan nilai impedansi dari basis rating ke basis sistem kita
lakukan sebagai berikut:
Z T 1 basis sistem =
(0,01 + j 0,08) × Z basis rating
Z basis sistem
= (0,01 + j 0,08) ×
(V
2
ff rating
(345
/ S3 f
)
1190
2
/ 120
1190
= (0,0083 + j 0,0667) pu
= (0,01 + j 0,08) ×
rating
)
Transformator T2. Transformator T2 adalah transformator 3
fasa yang dibangun dari 3 tansformator 1 fasa dua belitan.
Rating daya trafo ini adalah 30 MVA dengan tegangan rating
200 kV. Sisi primer dihubungkan Y agar sesuai dengan tegangan
sistem di sisi tegangan tinggi (345 kV), dan sisi sekunder
dihubungkan ∆ dengan tegangan sekunder 20 kV. Impedansi
yang diberikan adalah
Z T 2 = 0,01 + j 0,07 pu ( pada ratingnya)
Impedansi ini harus kita ubah dengan menggunakan basis
sistem.
(
(0,01 + j 0,07) × 200 2 / 30
1190
= (0,0112 + j 0,0784) pu
Z T 2 basis sistem =
)
Dengan hasil perhitungan ini, rangkaian ekivalen satu-fasa
menjadi sebagai berikut:
152
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
1
2
0,0108 + j 0,0538
0,0083 + j 0,0667
j 0,333
3
4
0,0112 + j 0,0784
j 0,333
3.6. Transformator Polifasa
Dari transformator satu-fasa dapat pula dibangun transformator
polifasa. Berikut ini kita lihat contoh transformator enam fasa yang
dibangun dari enam transformator satu-fasa. Setiap transformator
satu-fasa ini mempunyai rating masing-masing.
Contoh-3.12: [1] Enam buah transformator satu-fasa dua belitan
yang identik dihubungkan sebagai berikut:
- dua-dua belitan primer di hubungkan paralel,
- kemudian tiga set paralel tersebut dihubungkan membentuk
sisi primer transformator 3 fasa yang terhubung Y.
- enam belitan sekunder dari enam transformator dihubungkan
membentuk sisi sekunder transformator 6 fasa.
Rating setiap transformator adalah 13,8 kV / 138 kV, 15 MVA, X
= 7% (pada ratingnya). Tegangan nominal fasa-netral dari sistem
adalah 13,2 kV pada bus tegangan rendah yang terhubung Y.
Dengan menggunakan daya 3 fasa basis S 3 f = S 6 f = 100 MVA .
(a) Hitung semua besaran basis di kedua sisi transformator.
(b) Jika sisi primer terhubung pada sumber seimbang dengan
tegangan fasa-netral V an = 13,2 kV hitunglah tegangan fasa
dan tegangan urutan di kedua sisi transfomator.
(c) Gambarkan rangkaian urutan positif dengan X dalam per-unit.
Solusi:
Tranformator yang terbentuk terhubung Y- yang skema hubungan
serta diagram fasor tegangannya terlihat pada gambar berikut.
153
Transformator
a
A
D
c
b
E
C
A
D
a
b
F
F
c
C
B
E
B
(a)
Besaran-besaran basis:
Bus tegangan tinggi
Bus tegangan rendah
S f basis =
100
= 33,3 MVA
3
V fn basis = 13,2 kV
I f basis =
Z basis =
S f basis
33,3
=
= 2,52 A
V fn basis 13,2
V fn basis
If
basis
=
13,2
= 5,23 Ω
2,52
100
= 16,7 MVA
6
Jika sisi tegangan Van=13,2 kV:
Sf
basis
 138 
V AN = 13,2 
 = 132 kV
 13,8 
V fn basis = 132 kV
If
basis
=
Z basis =
154
=
Sf
basis
V fn basis
V fn basis
I f basis
=
=
16,7
= 0,126 A
132
132
= 1045 Ω
0,126
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Transformator
(b)
Dengan sumber 13,2 kV:
Bus tegangan tinggi
Bus tegangan rendah
Tegangan fasa-netral:
V an = Vbn = Vcn = 13,2 kV
Dalam per-unit:
13,2
Van =
= 1,0 pu
13,2
Tegangan urutan:
Tegangan fasa-netral:
V AN = V BN = VCN =
V DN = V FN = 132 kV
Dalam per-unit:
V AN =
132
= 1,0 pu
132
Tegangan urutan:
V0 = V 2 = 0
1
(3 V an ) = 13,2 kV
3
Dalam per-unit:
13,2
V1 =
= 1,0 pu
13,2
V1 =
V0 = V 2 = V3 = V 4 = V5 = 0
1
(6 V AN ) = 132 kV
6
Dalam per-unit:
132
V1 =
= 1,0 pu
132
V1 =
c) Rangkaian urutan positif.
Rangkaian urutan positif dari transformator ini hanya berupa satu
impedansi yang mengubungkan bus di sisi primer dan sisi
sekunder. Kita dapat melihat trafo ini dari sisi tegangan rendah
ataupun sisi tegangan tinggi.
Dari sisi tegangan rendah:
Reaktansi dalam per-unit X = 7% = 0,07 pu (pada rating trafo) .
Rating trafo adalah 15 MVA, 13,8 kV sehingga impedansi basis
menurut rating trafo adalah
Z basis rating =
2
V rating
S rating
=
13,8 2
15
155
Transformator
Dalam membangun sisi tegangan rendah, dua belitan primer trafo
satu-fasa diparalelkan menjadi salah satu-fasa hubungan Y,
sehingga reaktansi menjadi setengahnya, yaitu
X =
1
1
13,8 2
× 0,07 × Z basis rating = × 0,07 ×
= 0,444 Ω
2
2
15
Impedansi basis sistem sudah dihitung sebesar 5,23 Ω. Impedansi
basis
ini
memberikan
reaktansi
dalam
per-unit:
0,0444
X =
= 0,0850 pu . Rangkaian urutan positif menjadi :
5,23
0,0850 pu
Dari sisi tegangan tinggi:
X = 0,07 ×
Dalam per-unit: X =
138 2
= 88,8 Ω
15
88,8
= 0,0850 pu . Rangkaian urutan positif
1045
menjadi :
0,0850 pu
156
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
BAB 4
Mesin Sinkron
Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari
sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator
tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka
mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda
besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti
konversi energi dari energi listrik ke energi listrik.
Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder
transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan
fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi
primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu
dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis;
cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari
energi mekanis ke energi listrik atau disebut konversi energi
elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari
mekanis ke listrik tetapi juga dari listrik ke mekanis, dan dilandasi
oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum Faraday dan
hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini dinyatakan
dalam dua persamaan berikut
e=−
dλ
dφ
= −N
dt
dt
dan
F = K B B i f (θ)
Persamaan pertama menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan
dan persamaan ke-dua menunjukkan bagaimana gaya mekanis
ditimbulkan.
Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat
luas digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut
generator sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat
yaitu konstruksi kutub menonjol dan konstruksi rotor silindris.
4.1. Mesin Sinkron Kutub Menonjol
Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.4.1.a.
Mesin ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan
a1a11 sampai c2c22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar
yang mendukung kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat
157
Mesin Sinkron
kita memperoleh energi disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor
yang dialiri arus eksitasi untuk menimbullkan medan magnit disebut
belitan eksitasi. Pada gambar ini ada empat kutub magnit. Satu
siklus kutub S-U pada rotor memiliki kisar sudut (yang kita sebut
sudut magnetis atau sudut listrik) 360o. Kisar sudut 360o ini
melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang bergeser 120o
antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a1a11 dan belitan b1b11
berbeda posisi 120o, belitan b1b11 dan c1c11 berbeda posisi 120o, dan
mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga belitan
yang lain, yaitu a2a22, b2b22, dan c2c22 berada dibawah satu kisaran
kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120o.
b1
c11
a1
a11
U
U
a2
c22
S
c2
φ
b11
S
b22
180o mekanis = 360o
c1
b2
a22
a)
konstruksi kutub menonjol
a1
a11
b)
belitan
φ
φ
c)
fluksi magnetik
Gb.4.1. Mesin sinkron kutub menonjol
Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub
(dua pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran
rotor) sama dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan
antara sudut kisaran mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah
θ magnetik [derajat ] = 2 × θ mekanik [derajat ]
atau secara umum
θ magnetik [derajat ] =
p
× θ mekanik [derajat ]
2
dengan p adalah jumlah kutub.
158
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(4.1)
Mesin Sinkron
Kecepatan sudut mekanik adalah
ω mekanik =
dθ mekanik
= 2π f mekanik
dt
(4.2)
Frekuensi mekanik fmekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik
yang tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik.
Biasanya kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah
rotasi per menit (rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n
n
n
atau f mekanis =
rpm, maka jumlah siklus per detik adalah
60
60
siklus per detik.
Kecepatan sudut magnetik adalah
ω magnetik =
dθ magnetik
dt
= 2π f magnetik
(4.3)
Dengan hubungan (4.1) maka (4.3) menjadi
ω magnetik =
p
p
p
pn
n
ω mekanik = 2π f mekanik = 2π
= 2π
2
2
2
60
120
yang berarti
f magnetik =
pn
siklus per detik
120
(4.4)
Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi
di setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi
pn
f magnetik =
Hz maka tegangan pada belitanpun akan
120
mempunyai frekuensi
pn
f tegangan =
Hz
(4.5)
120
Dengan (4.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi
tertentu, kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah
kutub. Jika diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n =
3000 rpm; jika p = 4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000
rpm, dan seterusnya. Konstruksi mesin dengan kutub menonjol
seperti pada Gb.17.1. sesuai untuk mesin putaran rendah tetapi tidak
sesuai untuk mesin putaran tinggi karena kendala-kendala mekanis.
159
Mesin Sinkron
Untuk mesin putaran tinggi digunakan rotor dengan konstruksi
silindris.
Dengan pergeseran posisi belitan 120o magnetik untuk setiap pasang
kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga-fasa untuk
setiap pasang kutub, yaitu ea1 pada belitan a1a11 , eb1 pada b1b11 , dan
ec1 pada c1c11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan ea2 , eb2
dan ec2 pada belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi
setiap pasang kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga-fasa
pada belitan-belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan
yang sefasa, misalnya ea1 dan ea2 , dapat dijumlahkan untuk
memperoleh tegangan yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk
memperoleh arus yang lebih besar.
Tegangan yang
180o mekanis = 360o magnetik
terbangkit di belitan
pada umumnya
a11
diinginkan berbentuk
gelombang sinus
v = A cos ωt , dengan
pergeseran 120o untuk
φs
θ
belitan fasa-fasa yang
a1
lain. Tegangan
sebagai fungsi waktu
ini pada transformator
dapat langsung
diperoleh di belitan
sekunder karena
fluksinya merupakan
Gb.4.2. Perhitungan fluksi.
fungsi waktu. Pada
mesin sinkron, fluksi dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor
yang dialiri arus searah sehingga fluksi tidak merupakan fungsi
waktu. Akan tetapi fluksi yang ditangkap oleh belitan stator harus
merupakan fungsi waktu agar persamaan (4.1) dapat diterapkan
untuk memperoleh tegangan. Fluksi sebagai fungsi waktu diperoleh
melalui putaran rotor. Jika φ adalah fluksi yang dibangkitkan di
rotor dan memasuki celah udara antara rotor dan stator dengan nilai
konstan maka, dengan mengabaikan efek pinggir, laju pertambahan
fluksi yang ditangkap oleh belitan stator adalah
d θ magnetik
dφ s
=φ
= φ ω magnetik
(4.6)
dt
dt
160
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
Karena ω magnetik = 2π f magnetik = 2π
pn
, maka
120
dφ s
pn
(4.7)
=φπ
dt
60
Dari (4.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu
dφ s
pn
(4.8)
v = −N
= −N φ π
dt
60
Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (4.8) memberikan suatu
tegangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah
perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda
berikutnya. Maka (4.8) memberikan tegangan bolak-balik yang
tidak sinus. Untuk memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus
berbentuk sinus juga. Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi
sinus terhadap waktu, akan tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu
terhadap θmaknetik . Jadi jika
φ = φ m cos θ maknetik
(4.9)
maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah
dθmagnetik
dφs dφ d
=
=
φm cos θmagnetik = −φm sin θmagnetik
dt
dt dt
dt
pn

= −φmωmagnetik sin θmmagnetik = −φm  2π
 sin θmagnetik
 120 
(
)
sehingga tegangan belitan
dφ s
pn
e = −N
= Nπ φ m
sin θ magnetik
dt
60
= 2π f N φ m sin θ magnetik = ω N φ m sin ωt
(4.10)
(4.11)
Persamaan (4.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang
dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini
adalah
E m = ωN φ m Volt
(4.12)
dan nilai efektifnya adalah
E
ωN φ m 2π f
E rms = m =
=
N φm
(4.13)
2
2
2
= 4,44 f N φ m Volt
Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan
perhitungan fluksi yang merupakan penyederhanaan dari konstruksi
mesin a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:
161
Mesin Sinkron
1.
2.
Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan a1a11,
yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun gulungan
itu terdiri dari N lilitan. Belitan semacam ini kita sebut belitan
terpusat.
Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a1 dan a11
adalah 180o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut
kisar penuh.
Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan,
melainkan terdistribusi di beberapa belitan yang menempati
beberapa pasang alur stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan
terdistribusi, yang dapat menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh
(60o magnetik). Selain dari pada itu, gulungan yang menempati
sepasang alur secara sengaja dibuat tidak mempunyi lebar satu
kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180o akan tetapi hanya 80%
sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan terdistribusi
dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk
menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan
fluksi. Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi
komponen fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan
suatu faktor Kw yang kita sebut faktor belitan. Biasanya Kw
mempunyai nilai antara 0,85 sampai 0,95. Dengan adanya faktor
belitan ini formulasi tegangan (4.13) menjadi
E rms = 4,44 f N K w φ m Volt
(4.14)
Berikut ini beberapa contoh perhitungan tegangan jangkar. Untuk
sementara pembahasan mesin sinkron kutub menonjol kita hentikan
di sini. Kita akan melihat mesin jenis ini lagi setelah pembahasan
mesin sinkron rotor silindris.
CONTOH-4.1: Sebuah generator sinkron tiga-fasa, 4 kutub, belitan
jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan setiap
alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara sinus
dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan perputaran rotor
1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar dan nilai rms
tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.
Solusi :
Frekuensi tegangan jangkar adalah
f =
162
p n 4 ×1500
=
= 50 Hz
120
120
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
12
= 3 yang berarti setiap pasang
4
kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tigafasa. Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.
Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah
Jumlah alur per kutub adalah
E ak = 4,44 f N φ m = 4,44 × 50 × 10 × 0,03 = 66,6 V
Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2
× 66,6 = 133 V.
Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.
CONTOH-4.2: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur
pada stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain tetap.
Solusi :
Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh
karena itu frekuensi tetap 50 Hz.
24
= 6 yang berarti setiap pasang
4
kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem tegangan tigafasa. Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub terdiri dari 2 belitan
yang masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar
untuk setiap belitan adalah
Jumlah alur per kutub adalah
E a1 = 4,44 f N φ m V = 4,44 × 50 ×10 × 0,03 = 66,6 V .
Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda, maka
terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya.
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah
360 o
= 15 o mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau 2
24
pasang kutub, maka 1o mekanik setara dengan 2o listrik. Jadi
selisih sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30o
listrik sehingga tegangan rms per fasa per pasang kutub adalah
jumlah fasor tegangan di dua belitan yang berselisih fasa 30o
tersebut.
E ak = 66,6 + 66,6(cos 30 o + j sin 30 o ) = 124,8 + j 33,3
Karena ada 2 pasang kutub maka
E a = 2 × (124,8) 2 + (33,3) 2 = 258 V
163
Mesin Sinkron
Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V
CONTOH-4.3: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur
pada stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat 16 (8
pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375 rpm.
Ketentuan yang lain tetap.
Solusi :
16 × 375
Frekuensi tegangan jangkar : f =
= 50 Hz
120
144
Jumlah alur per kutub
= 9 yang berarti terdapat 9 belitan
16
per pasang kutub yang membangun sistem tiga-fasa. Jadi tiap
fasa terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah
E a1 = 4,44 × 50 × 10 × 0,03 = 66,6 V ; sama dengan tegangan per
belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan,
dan fluksi maksimum tidak berubah.
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan adalah
360 o
= 2,5 o mekanik. Karena mesin memiliki 16 kutub (8
144
pasang) maka 1o mekanik ekivalen dengan 8o listrik, sehingga
beda
fasa
tegangan
pada
belitan-belitan
adalah
2,5 × 8 = 20 o listrik. Tegangan per fasa per pasang kutub adalah
jumlah fasor dari tegangan belitan yang masing-masing
berselisih fasa 20o.
E ak = 66,6 + 66,6∠20 o + 66,6∠40 o
(
= 66,6 1 + cos 20 o + cos 40 o + j (sin 20 o + sin 40 o )
= 180,2 + j 65,6
Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah
E a = 8 × (180,2) 2 + (65,6) 2 = 8 × 191,8 = 1534 V
Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V
164
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
)
Mesin Sinkron
4.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris
Sebagaimana telah
disinggung di atas,
a
mesin kutub menonjol
sesuai untuk perputaran
U
b1
c1
rendah. Untuk
perputaran tinggi
digunakan mesin rotor
silindris yang skemanya
c
b
S
diperlihatkan ada
Gb.4.3. Rotor mesin ini
a1
berbentuk silinder
dengan alur-alur untuk
menempatkan belitan
Gb.4.3. Mesin sinkron rotor silindris.
eksitasi. Dengan
konstruksi ini, reluktansi magnetik jauh lebih merata dibandingkan
dengan mesin kutub menonjol. Di samping itu kendala mekanis
untuk perputaran tinggi lebih mudah diatasi dibanding dengan mesin
kutub menonjol. Belitan eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah
sehingga rotor membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti
terlihat pada gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat
aa1 , bb1 dan cc1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar
tidak terlalu rumit, walaupun dalam kenyataan pada umumnya
dijumpai belitan-belitan terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari
kisaran penuh.
Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi
rotor (pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi
mirip dengan tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada
transformator kita mempunyai fluksi mantap, sedangkan pada mesin
sinkron fluksi tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva
magnetisasi dari mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol.
Pada uji beban nol, mesin diputar pada perputaran sinkron (3000
rpm) dan belitan jangkar terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran
pada belitan jangkar sebagai fungsi arus eksitasi (disebut juga arus
medan) pada belitan eksitasi di rotor. Kurva tegangan keluaran
sebagai fungsi arus eksitasi seperti terlihat pada Gb.17.4 disebut
karakteristik beban nol. Bagian yang berbentuk garis lurus pada
kurva itu disebut karakteristik celah udara dan kurva inilah (dengan
165
Mesin Sinkron
ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk melakukan analisis
mesin sinkron.
Arus fasa [A]
Tegangan Fasa-Netral [V]
Karakterik
12000
lain yang
beban-nol
11000
penting adalah
celah udara
V=V(If )|I =0
V=kIf
10000
karakteritik
hubung singkat
9000
yang dapat kita
8000
peroleh dari uji
7000
hubung
singkat. Dalam
6000
hubung singkat
uji hubung
5000
I = I (If ) |V=0
singkat ini
4000
mesin diputar
pada kecepatan
3000
perputaran
2000
sinkron dan
1000
terminal
00
belitan jangkar
0 50 100 150
200 medan
250 300
350 400 450 500
dihubung
Arus
[A]
Gb.4.4. Karakteristik beban-nol dan hubung singkat.
singkat (belitan
Karakteristik celah udara (linier).
jangkar
terhubung Y).
Kita mengukur arus fasa sebagai fungsi dari arus eksitasi. Kurva
yang akan kita peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.4. Kurva ini
berbentuk garis lurus karena untuk mendapatkan arus beban penuh
pada percobaan ini, arus eksitasi yang diperlukan tidak besar
sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari keadaan jenuh. Fluksi
magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang diperlukan untuk
membangkitkan tegangan untuk mengatasi tegangan jatuh di
impedansi belitan jangkar.
Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat
memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus
medan. Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf
(lilitan ampere) untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang
mengimbaskan tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan
karakteristik ini kita dapat menyatakan pembangkit fluksi tidak
dengan mmf akan tetapi dengan arus medan ekivalennya dan hal
166
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
inilah yang akan kita lakukan dalam menggambarkan diagram fasor
yang akan kita pelajari beikut ini.
4.2.1. Diagram Fasor dan Reaktansi Sinkron
Kita ingat bahwa pada transformator besaran-besaran tegangan,
arus, dan fluksi, semuanya merupakan besaran-besaran yang
berubah secara sinusoidal terhadap waktu dengan frekuensi yang
sama sehingga tidak terjadi kesulitan menyatakannya sebagai
fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan dan arus yang
merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor, walaupun ia
merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu tetapi terhadap
posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya. Menurut
konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke dalam
fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan
berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang
dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini
mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai
dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar.
Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia
dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar
melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru
karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai
dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi
tegangan imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi
yang dilihat oleh belitan jangkar.
Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga
arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.
θ a
a
U
U
sumbu
emaks
S
S
(a)
a1
sumbu magnet
sumbu
imaks
(b)
a1
sumbu magnet
Gb.4.5. Posisi rotor pada saat emaks dan imaks.
167
Mesin Sinkron
Gb.4.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di
aa1 maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu
kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a1 adalah
maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik
yang dilingkupi oleh belitan aa1 adalah minimum. Sementara itu
arus di belitan aa1 belum maksimum karena beban induktif. Pada
saat arus mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah
seperti terlihat pada Gb.4.5.b.
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut
magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama
dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan
mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang
akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini
maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan
keluaran mesin dipertahankan.
Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami
reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf
rotor. Hal ini berbeda dengan mesin kutub menonjol yang akan
membuat analisis mesin kutub menonjol memerlukan cara
khusus sehingga kita menunda pembahasannya.
Diagram fasor (Gb.4.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut
1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.
2. Tegangan terminal Va dan arus jangkar I a adalah
nominal.
3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi
tegangan imbas tertinggal 90o dari fluksi yang
membangkitkannya.
4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor Xl dan resistansi
Ra.
5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.
Dengan mengambil tegangan terminal jangkar Va sebagai
referensi, arus jangkar Ia tertinggal dengan sudut θ dari Va (beban
induktif). Tegangan imbas pada jangkar adalah
E a = Va + I a (R a + jX l )
168
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(4.15)
Mesin Sinkron
Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara
yang dinyatakan dengan arus ekivalen I fa yang 90o mendahului
E a . Arus jangkar I a memberikan fluksi lawan dari jangkar yang
dinyatakan dengan arus ekivalen I φa . Jadi fluksi dalam celah udara
merupakan jumlah dari fluksi rotor Φf yang dinyatakan dengan arus
ekivalen I f dan fluksi jangkar. Jadi
I fa = I f + I φa
atau
I f = I fa − I φa
Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor I f
(4.16)
haruslah cukup untuk
membangkitkan fluksi celah udara guna membangkitkan E a dan
mengatasi fluksi lawan jangkar agar tegangan terbangkit E a dapat
dipertahankan. Perhatikan Gb.4.6: I f membangkitkan tegangan
E f yang 90o di belakang I f dan lebih besar dari E a .
Ef
I f = I fa − I φa
I fa
γ
− I φa
I φa
θ
Va
Ia
Ea
jI a X l
I a Ra
Gb.4.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.
Hubungan antara nilai E a dan I fa diperoleh dari karakteristik
celah udara, sedangkan antara nilai I a dan I φa diperoleh dari
karakteristik hubung singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti
terlihat pada Gb.17.4., dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan
E a = k v I fa dan I a = k i I φa atau
169
Mesin Sinkron
I fa = E a / k v dan I φa = I a / k i
(4.17)
dengan kv dan ki adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan
kurva Gb.17.4. Dari (4.7) dan Gb.17.6. kita peroleh
E
I
I f = I fa − I φa = a ∠(90 o + γ ) + a ∠(180 o − θ)
kv
ki
(4.18)
Ea
Ia
= j
∠γ −
∠−θ
kv
ki
Dari (4.18) kita peroleh E f yaitu
 E

I
E aa = − jk v I f = − jk v  j a ∠γ − a ∠ − θ 
ki
 kv

kv
kv
= E a ∠γ + j
I a ∠ − θ = Ea + j
Ia
ki
ki
Suku kedua (4.19) dapat kita tulis sebagai jX φa I a dengan
k
X φa = v
ki
(4.19)
(4.20)
yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat
adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (4.19) dapat ditulis
E f = E a + jX φa I a = Va + I a (R a + jX l ) + jX φa I a
= Va + I a (R a + jX a )
(4.21)
dengan X a = X l + X φa yang disebut reaktansi sinkron.
Diagram fasor Gb.4.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.4.7.
untuk memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi
sinkron.
Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan
dengan memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik
linier dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh
karena itu reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak
jenuh.
170
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
E aa
I f = I fa − I φa
j I a X φa
I fa
γ
− I φa
I φa
θ
Ea
jI a X l
Va
Ia
jI a X a
I a Ra
Gb.4.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;
reaktansi reaksi jangkar (Xφa) dan reaktansi sinkron (Xa).
4.2.2. Rangkaian Ekivalen Mesin Sinkron Rotor Silindris
Sumber tegangan cukup memadai untuk menggambarkan
rangkaian ekivalen mesin sinkron rotor silindris. Kumparankumparan
jangkar,
tempat
dibangkitkannya
tegangan,
mengandung resistansi dan reaktansi. Selain itu, antar kumparan
juga terjadi kopling magnetic karena letak mereka yang saling
berdekatan pada posisi yang simetris. Kita anggap bahwa ketiga
kumparan jangkar adalah identik, masing-masing dengan
resistansi Ra dan reaktansi Xa. Antar ketiga kumparan terjadi
reaktansi bersama Xm. Jika tegangan terbangkit di kumparan
jangkar adalah E a , E b , dan E c dan tegangan fasa-netral di
terminal mesin adalah Van , Vbn , dan Vcn , maka
digambarkan rangkaian ekivalen seperti pada Gb.4.8.
dapat
Pada Gb.4.8. ini I a , I b , dan I c adalah arus fasa a, b, dan c yang
keluar dari terminal mesin dan ketiganya kembali melalui
penghantar netral melalui impedansi Zn. Aplikasi hokum Kirchhoff
pada rangkaian ini memberikan persamaan
171
Mesin Sinkron
E a = ( R a + jX a ) I a + Z n (I a + I b + I c ) + jX m (I b + I c ) + Van
= ( R a + jX a + Z n ) I a + ( Z n + jX m )I b + ( Z n + jX m )I c + Van
(4.20.a)
E b = ( R a + jX a + Z n ) I b + ( Z n + jX m ) I a + ( Z n + jX m ) I c + Vbn
(4.20.b)
E c = ( R a + jX a + Z n ) I c + ( Z n + jX m ) I a + ( Z n + jX m ) I b + Vcn
(4.20.c)
Ra
∼
+
Eb
N
Ic
c
Ec
∼
+
jX a
∼
Ra
jX a
jX m
+
Ea
Vcn
Ia
jX m a
Ra
Zn
jX a
jX m
Ib
Van
b
I a + Ib + I c
Vbn
n
Gb.4.8. Rangkaian ekivalen mesin sinkron
Jika kita tuliskan
Z s = R a + jX a + Z n
Z m = Z n + jX m
(4.21)
Maka persamaan 4.20.a,b,c menjadi
E a = Z s I a + Z m I b + Z m I c + Van
E b = Z s I b + Z m I a + Z m I c + Vbn
(4.22)
E c = Z s I c + Z m I a + Z m I b + Vcn
Dalam bentuk matriks, persamaan (4.22) adalah
E a   Z s
  
 Eb  = Z m
 Ec  Z m
  
172
Zm
Zs
Zm
Z m   I a   Van 
  

Z m   I b  +  Van 
Z s   I c   Van 
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(4.23.a)
Mesin Sinkron
atau secara lebih ringkas
~
~
~
E abc = [Z abc ]I abc + Vabc
(4.23.b)
Kita ingat bahwa
~
~
~
~
I abc = [T] I012 dan Vabc = [T] V012
dan kita masukkan ke (4.23.b) serta kita kalikan kedua ruas
(4.23.b) dengan [T]−1 maka kita peroleh
[T]−1 E~ abc = [T]−1 [Z abc ][T]~I012 + [T]−1 [T]V~ 012
~
~
= [Z 012 ] I 012 + V012
(4.24.a)
Kita hitung ruas kiri (9.24.a)
[T]
−1 ~
E abc
1 1
1
= 1 a
3
1 a 2
1  Ef

a 2  a 2 E f
a   a E f


 0   0
 1
 
 = 3E f  =  E f
3

 0   0


 ( 4.24.b)


[Z 012 ] pada (4.24.a) adalah
[Z 012 ] = [T]
−1
Z s + 2Z m
[Z abc ][T] =  0

0
0
Zs − Zm
0

 (4.24.c)
0

Z s − Z m 
0
dengan Zs dan Zm diberikan oleh (4.21). Elemen-elemen matriks
(4.24.c) menjadi
Z 00 = Z s + 2Z m = R a + jX a + Z n + 2 Z n + j 2 X m
= R a + j ( X a + 2 X m ) + 3Z n
Z 11 = Z s − Z m = R a + jX a + Z n − Z n − jX m
= Ra + j( X a − X m )
Z 22 = Z s − Z m = R a + jX a + Z n − Z n − jX m
= Ra + j( X a − X m )
(4.25.a)
4.25.b)
(4.25.c)
sehingga (4.24.c) menjadi
173
Mesin Sinkron
 Z 00
[Z 012 ] =  0
 0
0
Z 11
0
0 
0 
Z 22 
(4.25.d)
Dengan (4.25.b) dan (4.25.d) maka (4.23.a) menjadi
 0   Z 00
E  =  0
  
 0   0
0
Z 11
0
0   I 0   V0 
   
0   I1  +  V1 
Z 22  I 2  V2 
(4.26.a)
Persamaan (4.26.a) ini memberi jalan untuk menggambarkan
rangkaian urutan dari mesin sinkron. Dengan mengingat bahwa Zn
bukanlah komponen mesin, didefinisikan impedansi urutan mesin
sebagai
Z 0 = Z 00 − 3Z n ; Z1 = Z11 ; Z 2 = Z 22
(4.26.b)
Berdasarkan (4.26.a) dan (4.26.b) kita gambarkan rangkaian
urutan seperti terlihat pada Gb.4.9.
I0
Z0
+
3Z n
V0
−
Rangkaian urutan nol.
I1
Z1
+
∼
E
V1
−
Rangkaian urutan Positif
I2
Z2
+
V2
−
Rangkaian urutan negatif.
Gb.4.9. Rangkaian urutan mesin sinkron.
174
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
Penurunan rangkaian urutan di atas cukup sederhana dengan hasil
yang sederhana pula dan kita akan menggunakannya dalam
analisis. Namun sesungguhnya beberapa hal tidak kita
pertimbangkan dalam penurunan tersebut. Misalnya keberadaan
damper winding tidak kita singgung; dan demikian juga tegangan
terbangkit di kumparan jangkar kita anggap ditimbulkan oleh arus
eksitasi yang konstan padahal dalam kenyataannya tidak
demikian; rangkaian magnetic mesin juga kita anggap memiliki
karakteristik linier walaupun kenyataannya nonlinier. Hal-hal yang
kita abaikan ini diperhitungkan oleh pembuat mesin.
4.2. Kopling Turbin-Generator
Generatos sinkron diputar oleh turbin. Turbin memberikan daya
mekanis. Jika generator tidak bebeban, torka mekanis yang
dikeluarkan oleh turbin hanya digunakan untuk mengatasi gesekan
dengan udara dari bagian-bagian yang berputar dan gesekan poros
dengan bantalan. Gesekan ini memberikan torka yang melawan
torka dari turbin; torka lawan akibat gesekan ini biasanya kecil
dibandingkan dengan torka lawan dari generator, dan biasanya
diabaikan. Torka lawan dari generator terjadi jika generator diberi
beban. Arus yang mengalir di kumparan jangkar sebagai akibat
pembebanan, menimbulkan medan magnet yang berinteraksi dengan
medan magnet dari rotor. Interaksi ini menimbulkan torka lawan
terhadap torka turbin. Jika torka turbin kita sebut Tm (torka mekanis)
dan torka lawan dari generator kita sebut Te (torka listrik) maka kita
mendapat persamaan
dω rm
(4.27)
dt
dengan J adalah inersia seluruh massa yang berputar, dan ωrm
adalah kecepatan perputaran rotor (kecepatan putar mekanis).
Persamaan (4.27) ini sudah barang tentu merupakan persamaan
umum yaitu jika memang ωrm berubah terhadap waktu; hal
demikian terjadi pada peristiwa transien. Untuk sementara kita tidak
melihat kondisi transien, tetapi hanya kondisi mantap. Oleh karena
itu dω rm / dt = 0 sehingga (4.27) menjadi
T m − Te = J
Tm − Te = 0 atau
T m = Te
(4.28)
175
Mesin Sinkron
Dalam kondisi mantap, kecepatan perputaran mekanis rotor, ωrm,
sama dengan kecepatan perputar sinkron, ω rm = ω s . Jika
persamaan (4.28) kita kalikan dengan ωrm maka kita peroleh
Tm ω rm = Te ω rm = Te ω s
atau
(4.29)
Pm = Pe
Persamaan (4.29) menunjukkan bahwa dengan mengabaikan rugirugi gesekan dengan udara dan bantalan poros, seluruh daya
mekanik diubah menjadi daya listrik.
4.4. Daya Mesin Sinkron
Dalam model satu-fasa, tegangan terbangkit di kumparan jangkar
per fasa adalah E f , tegangan di terminal generator adalah V .
Adanya impedansi belitan jangkar membuat E f dan V berbeda fasa.
Jika kita ambil tegangan terminal generator sebagai referensi dan
beda sudut fasa antara tegangan terminal dan tegangan terbangkit
adalah δ, maka
V = V∠0 o
dan
E f = E f ∠δ
(4.30)
dan δ disebut sudut daya (power angle)
Impedansi belitan jangkar tiap fasa adalah
Z = Ra + jX a
(4.31.a)
Karena Xa >> Ra maka
Z ≈ jX a = jX d
(4.31.b)
Xd adalah reaktansi jangkar yang disebut direct axis reactance.
176
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
Kita menganggap generator sinkron terbebani seimbang. Oleh
karena itu rangkaian ekivalen yang kita perlukan hanyalah rangkaian
urutan positif. Jika beban generator sinkron kita modelkan sebagai
sumber tegangan, kita memperoleh rangkaian ekivalen generator
sinkron dengan bebannya seperti terlihat pada Gb.4.10.
I
jX d
+
∼
Ef
+
∼
V
Gb.4.10. Rangkaian ekivalen model satufasa generator sinkron dengan beban
seimbang.
Dengan (4.12.b) daya per fasa yang keluar dari terminal generator
adalah
Sf
Ef −V

= V I = V
 jX d 


∗
∗
(4.32.a)
Dengan memasukkan (4.30) maka (4.32.a) menjadi

∗
2

 = VE f ∠(90o − δ) − V ∠90o

Xd
Xd

(4.32.b)
2 
 VE f
VE f
V 
=
sin δ + j 
cos δ −
= Pf + jQ f
 Xd
Xd
X d 

E f ∠δ − V∠0
S f = V∠0o 
 X ∠90o
d

o
dengan
Pf =
VE f
Xd
 VE f
V2
cos δ −
sin δ dan Q f = 
 Xd
Xd





(4.33)
Pf adalah daya nyata dan Qf adalah daya reaktif (per fasa).
Kita telah melihat pada (4.10) bahwa dengan mengabaikan rugi
daya pada gesekan, seluruh daya mekanik dari turbin dikonversi
menjadi daya listrik. Turbin hanya memberikan daya nyata, namun
generator mengubahnya menjadi daya nyata dan daya reaktif. Hal
177
Mesin Sinkron
ini berarti bahwa jika kita menambah daya turbin dengan menambah
uap pada turbin uap atau menambah debit air pada turbin air, daya
yang bertambah adalah daya nyata, P. Jika E f , V, X d tidak
berubah maka peningkatan P berarti bertambahnya sudut daya δ.
Pertambahan daya nyata ini ada batasnya, yaitu pada saat sin δ = 1 ,
dan inilah daya nyata maksimum yang bisa diberikan oleh generator,
yang disebut batas stabilitas keadaan mantap. Apabila kita teruskan
menambah daya turbin dengan menambah uap lagi, mesin akan
keluar dari perputaran sinkron. Oleh karena itu generator sinkron
dioperasikan pada nilai yang cukup rendah dari daya maksimumnya,
sekitar 20%.
Kelebihan pasokan daya nyata mekanis tidak hanya terjadi jika kita
menambah daya turbin. Kelebihan tersebut juga terjadi jika dalam
operasi normal tiba-tiba beban hilang sebagian (beban keluar dari
jaringan). Dalam hal demikian sudut δ meningkat untuk sementara,
perputaran bertambah, sampai governor secara otomatis mengatur
masukan uap untuk mengembalikan perputaran turbin ke perputaran
semula, dan kondisi operasi kembali normal.
Jika kita perhatikan persamaan untuk Qf pada (4.33), peningkatan δ
yang meningkatkan Pf, justru menurunkan Qf. Daya reaktif Qf bisa
meningkat jika Ef meningkat yaitu dengan menambah arus eksitasi.
Dengan kata lain penambahan Qf dilakukan dengan menambah
arus eksitasi. Sebagaimana telah kita pelajari, daya ini mengalir dari
sumber ke beban dalam setengah perioda dan mengalir dari beban
ke sumber dalam setengah perioda berikutnya. Nilai rata-ratanya
adalah nol; daya reaktif tidak memberikan transfer energi. Kita lihat
contoh persoalan berikut.
CONTOH-4.4: [1] Beban seimbang generator sinkron memiliki
faktor daya 0,8 lagging. Reaktansi X d = 0,7 pu (pada ratingnya) .
+
Ef
∼
jX d = 0,7 pu
I
+
∼
V
a). Hitung , Pf, Qf, Ef, dan δ, dan gambarkan fasor diagramnya.
178
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan
menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, Ef , dan δ, pada keadaan
ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor
keadaan sebelumnya (soal a).
c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang naikkan
arus eksitasi sehingga Ef meningkat sebesar 20%. Hitung P, Q, Ef,
dan δ, pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram fasornya
bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).
Solusi:
a). Kita tetapkan referensi V = 1∠0 o
ψ = cos −1 (0,8) = 36,9 o
I = 1∠ − 36,9 o = 0,8 − j 0,6
E f = jX d I = j 0,7(0,8 − j 0,6) + 1 = 1,42 + j 0,56 = 1,53∠21,5 o
⇒ E f = 1,53
δ = 21,5 o
VE f
1× 1,53
Pf =
sin δ =
sin( 21,5 o ) = 0,8
Xd
0,7
V12 1× 1,53
12
=
cos(21,5 o ) −
= 0,6
Xd
Xd
0,7
0,7
Diagram fasornya terlihat pada gambar berikut.
Qf =
VE f
cos δ −
Ef
δ
ψ
jX d I
V
I
b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan
menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, Ef , dan δ, pada
keadaan ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan
diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).
Tetap gunakan referensi V = 1∠0 o
179
Mesin Sinkron
P ′ = 1,2 P = 1,2 × 0,8 = 0,96 (meningkat 20% dari P pada soal a).
E ′f = E f = 1,53 (tidak berubah, eksitasi tidak ditambah).
 P ′X d 
 = sin −1  0,96 × 0,7  = 26,1o (meningkat 21%).
δ′ = sin −1 
 1,53 × 1 
 E ′f V 




E ′f V
V 2 1,53 × 1
12
Q′ =
=
cos δ ′ −
cos(26,1o ) −
Xd
Xd
0,7
0,7
= 0,535
(menurun 11%)
Diagram fasor adalah seperti gambar berikut
jX d I ′
E ′f
δ
ψ
I1
.
δ′
I1′
Ef
jX d I
V
c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang
naikkan arus eksitasi sehingga Ef meningkat sebesar 20%. Hitung
P, Q, Ef, dan δ, pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram
fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya
(soal a).
Tetap gunakan referensi V = 1∠0 o .
P ′′ = P = 0,8 (tidak berubah)
E ′f′ = 1,2 × E f = 1,2 × 1,53 = 1,84 (naik 20%)
 P ′′X d
δ′′ = sin −1 
 E ′f′ V

Q ′′ =
E ′′f V
Xd
= 1,07
180

 = sin −1  0,8 × 0,7  = 17,8 o
 1,84 × 1 




cos δ′′ −
(menurun 17%)
V 2 1,84 × 1
12
=
cos(17,8 o ) −
Xd
0,7
0,7
(meningkat 44%)
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
Diagram fasor terlihat di bawah ini.
E ′′f
Ef
jX d I
δ′′
I1′′
V
ψ′′
4.5. Batas Operasi Mesin Sinkron
Menambah daya nyata ada batasnya karena menambah daya nyata
berarti memperbesar arus jangkar yang berarti menaikkan
temperatur kumparan jangkar. Demikian juga halnya dengan daya
reaktif. Meningkatkan Ef , untuk menambah daya reaktif, ada
batasnya karena meningkatkan Ef berarti menambah arus eksitasi.
Kita lihat lebih dulu upaya menambah daya reaktif dengan
menambah arus eksitasi. Makin tinggi arus eksitasi berarti kenaikan
temperatur pada belitan eksitasi. Kenaikan temperatur ini harus
dibatasi agar tidak merusak belitan eksitasi dengan menetapkan nilai
maksimum arus eksitasi, Ifmaks. Arus maksimum ini akan
memberikan tegangan terbangkit maksimum, Ef maks. Dengan Ef maks
maka daya per fasa generator adalah:
Sf
E fmaks
=
VE fmaks
Xd
 VE fmaks
V2
sin δ + j 
cos δ −
 Xd
Xd





(4.34)
yaitu batas daya yang terkait dengan pembatasan Ef. Jika daya ini
kita plot pada bidang P-Q, maka kurva S f
E fmaks
akan berbentuk
lingkaran dengan jari-jari
rE =
VE f
maks
Xd
dan pusat di

V2
O ′ =  0, −

Xd

seperti terrlihat pada Gb.4.11.




181
Mesin Sinkron
Q
q
Sf
E fmaks
p
−
V2
Xd
Gb.4.11. Kurva S f
O'
P
rE
E fmaks
pada bidang P-Q.
Akan tetapi tidak seluruh lingkaran merupakan tempat kedudukan
Sf
E fmaks
stabilitas
karena ada nilai maksimum daya nyata yaitu batas
keadaan
mantap
yang
terjadi
pada
nilai
sin δ = 1 atau δ = 90 . Pada δ = 90 P mencapai nilai maksimum
o
o
dan Q = 0; keadaan ini ditunjukkan oleh posisi titik p. Pada δ = 0 o ,
P = 0 dan Q mencapai nilai maksimum; keadaan ini ditunjukkan
oleh posisi titik q. Inilah batas operasi generator sinkron yang terkait
dengan pembatasan arus eksitasi.
Sekarang kita lihat upaya menambah daya nyata. Penambahan daya
nyata, dengasn menambah pasokan uap misalnya, akan menambah
arus jangkar; arus jangkar juga harus dibatasi. Kumparan jangkar
mengandung resistansi. Arus yang dikeluarkan oleh generator harus
melalui resistansi ini dan menimbulkan panas di kumparan jangkar.
Upaya pendinginan harus dilakukan agar panas yang timbul di
kumparan jangkar tidak melewati batas yang bisa merusakkan
isolasi. Perlu kita ingat bahwa suhu jangkar tidaklah merata, akan
tetapi ada bagian-bagian tertentu yang lebih tinggi suhunya dari
bagian lain. Suhu di titik terpanas inilah yang harus diperhatikan
untuk menetapkan batas suhu dalam operasi. Bagaimanapun usaha
pendinginan dilakukan, tetap ada batas teratas nilai arus yang harus
182
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
ditetapkan yang tak boleh dilampaui. Batas atas yang ditetapkan
untuk arus itu disebut rated current, I rated .
Selain ditetapkan batas atas nilai arus jangkar, ditetapkan juga batas
atas nilai tegangan yang juga tak boleh dilampaui, yang disebut
rated voltage, Vff rated. Batas arus dan batas tegangan memberikan
batas nilai daya tiga-fasa |S3f rated|.
S3 f
Daya
= V ff
rated
keluaran
S3 f ≤ S3 f
rated
rated
×If
mesin
rated
× 3
pada
waktu
(4.35.a)
operasi
haruslah
atau daya per fasa
Sf ≤
S3 f
rated
(4.35.b)
3
Dari rangkaian ekivalen Gb.4.10, batas daya per fasa adalah
Sf
rated
= Vrated I ∗rated =
2
Vrated
∠ψ rated
Xd
(4.36)
S f = Vrated I rated cos ψ rated
Faktor daya juga memiliki nilai batas yang terkait dengan batas
tegangan terbangkit yang ditetapkan, Ef maks.
Kurva batas daya per fasa S f rated juga berbentuk lingkaran dengan
pusat di O(0,0)
2
jari-jari rr = Vrated
/ Xd .
Gb.4.12. memperlihatkan kurva S f rated bersama dengan kurva
Sf
E fmaks
.
183
Mesin Sinkron
Q
c
Sf
rated
q
ψ rated
a
b
−
V2
Xd
P
p
O
Sf
E fmaks
O'
Gb.4.12. Kurva S f
dan S f rated .
E fmaks
Titik potong antara kurva S f rated dan kurva S f
, yaitu titik a
E fmaks
pada Gb.4.12, harus berarti bahwa titik tersebut menunjukkan batas
daya yang terkait dengan Vrated , I rated , mupun terkait dengan Ef
maks; dan garis Oa membuat sudut faktor daya ψrated dengan sumbu P.
Apabila ψ kita turunkan sampai bernilai nol, maka kurva S f rated
mencapai titik b, dan cos ψ = 1 ; daya reaktif nol. Titik b inilah
menunjukkan nilai maksimum daya nyata yang dapat diberikan oleh
mesin dan bukan p karena daya nyata di b lebih rendah dari daya
nyata di p.
Apabila ψ kita naikkan sampai 90o maka kurva S f rated mencapai
titik c, dan cos ψ = 0 ; daya nyata nol. Akan tetapi titik c tidak
menjadi batas nilai daya reaktif maksimum, karena ada pembatasan
lain yang lebih redah yang ditunjukkan oleh titik q yaitu batas daya
reakti oleh adanya pembatasan Efmaks.
Berikut ini kita lihat contoh mencari nilai Ef maks pada kedua kondisi
limit tersebut.
184
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
CONTOH-4.5. [1] Sebuah generator memiliki Xd = 1,2 pu. Hitung
Ef yang diperlukan, agar faktor daya menjadi (a) maksimum, f.d.=1,
(b) minimum, f.d. = 0 (lagging),
Solusi: Kita ambil
referensi
fasor
V = 1∠0 o
pada
rangkaian ekivalen
di samping ini.
+
Ef
jX d
I
∼
+
∼
V
a) Agar faktor daya = 1:
I = 1∠0 o = 1 + j 0
E f = jX d I + V = j1,2 × 1 + 1 = 1,56∠50,2 o
⇒ E f = 1,56
b) Agar faktor daya = 0:
I = 1∠ − 90 o = 0 − j1
E f = jX d I + V = j1,2 × (− j1) + 1 = 2,20∠0 o
⇒ E f = 2,20
Contoh-4.5 menunjukkan bahwa pada faktor daya lagging mulai
dari 1 sampai 0, Ef yang diperlukan cukup tinggi. Tingginya Ef
berarti tingginya arus eksitasi. Sedangkan makin tinggi arus eksitasi
berarti kenaikan temperature belitan eksitasi.yang makin tinggi pula.
Kenaikan temperatur ini harus dibatasi agar tidak merusak belitan
eksitasi dengan menetapkan nilai maksimum arus eksitasi, If maks.
Arus maksimum ini akan memberikan tegangan terbangkit
maksimum, Ef maks. Batas yang ditentukan ini tidaklah perlu sampai
mencapai kondisi dimana faktor daya nol (Ef =2,20 pada contoh di
atas) karena tak ada manfaatnya membuat generator yang
dioperasikan untuk tidak memberikan daya nyata.
Tugas generator adalah mencatu daya ke beban. Beban memiliki
impedansi dan faktor dayanya sendiri. Jika generator harus menuruti
permintaan beban, maka jika faktor daya beban terlalu rendah,
185
Mesin Sinkron
generator akan menderita karena harus beroperasi pada faktor daya
yang terlalu rendah tersebut. Oleh karena itu harus ada persyaratan
faktor daya di beban; persyaratan itu misalnya faktor daya beban
paling rendah 0,85 lagging.
Kita amati sekarang bagian kurva S f rated yang berada di bawah
sumbu P. Bagian kurva ini adalah tempat kedudukan S f rated
dengan faktor daya leading, Q negatif. Makin negatif daya reaktif,
makin kecil arus eksitasi karena batas Emaks kecil, namun makin
besar sudut daya δ makin besar. Contoh berikut ini akan
memberikan gambaran lebih jelas.
CONTOH-4.6: [1] Pada rangkaian ekivalen contoh-4.5, tentukan Ef
agar faktor daya menjadi 0,553.
Solusi:
Pada faktor daya 0,553, ψ = cos −1 (0,553) = 56,4 o
→ I = 1∠56,4 o
E f = jX d I + V = j1,2 × 1∠56,4 + 1 = 0,664∠90 o
⇒ E f = 0,664
δ = 90 o
Untuk pembebanan dengan faktor daya leading eksitasi yang
diperlukan cukup rendah. Namun makin rendah Emaks, sudut δ makin
besar dan mencapai 90o pada faktor daya 0,553. Inilah nilai δ yang
tak dikehendaki karena generator berada pada titik batas stabilitas
mantapnya; sedikit saja terjadi kenaikan δ, generator akan keluar
dari perputaran sinkron. Oleh karena itu diperlukan suatu nilai
maksimum δmaks untuk membatasi operasi. Penetapan nilai δmaks
dapat dilakukan dengan menetapkan daya nyata minimum yang
tetap harus masih ada jika terjadi pembebanan kapasitif; misalkan
Pminimal
=
10%
Prated
atau
sin δ maks = 0,9
sehingga
δ maks = sin −1 0,9 = 64,2 o . Pada suatu δ maks yang ditetapkan, nilai
P dan Q diberikan melalui relasi (4.14) yaitu
186
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
P=
VE f
Xd
 VE f
V2
cos δmaks −
sin δmaks dan Q = 
 Xd
Xd





(4.37)

P
V2
=
−
 tan δmaks X d

(4.38)
Dari daya nyata diperoleh relasi
VE f
Xd
=
P
sin δmaks
jika ini kita pakai untuk menyatakan Q kita peroleh:

P
V2
Q=
cos δmaks −
 sin δmaks
Xd

Persamaan (4.38) membentuk kurva garis lurus di bidang P-Q.
Garis ini memotong sumbu Q di −
V2
dan memotong sumbu P di
Xd
V 2 tan δ maks
. Gb.4.13. menunjukkan posisi garis lurus tersebut,
Xd
bersama dengan kurva S frated dan S f
; garis lurus itu
Emaks
berpotongan dengan kurva S frated di titk d.
Q
c
q
Sf
rated
ψ rated
a
b
d
O
−
V2
Xd
p
P
V 2 tan δ maks
Xd
O'
Sf
E fmaks
Gb.4.13. Batas-batas operasi generator sinkron.
187
Mesin Sinkron
Dengan demikian maka batas-batas operasi generator sinkron, baik
karena pembatasan arus eksitasi maupun pembatasan arus jangkar
dan tegangan terminal, adalah kurva qabdO’ pada Gb.4.13. Bagian
kurva qa adalah batas operasi karena pembatasan arus eksitasi pada
pembebanan induktif, kurva ab adalah batas operasi karena
pembatasan arus dan tegangan jangkar pada pembebanan induktif,
kurva bd adalah batas operasi karena pembatasan oleh arus jangkar
dan tegangan jangkar pada pembebanan kapasitif., garis dO’ adalah
batas operasi karena pembatasan δmaks. Di dalam batas-batas kurva
inilah generator sinkron boleh beroperasi. Bagian kurva di sebelah
kiri sumbu Q tidak diperlukan dan dihapus.
Sesungguhnya batas operasi generator tidak hanya oleh pembatasan
di rangkaian eksitasi dan rangkaian jangkar saja, tetapi juga
pembatasan di rangkaian magnetik stator. Medan magnet bolakbalik di inti stator menimbulkan rugi-rugi inti seperti halnya pada
transformator. Pengaruh ini tidak tergambarkan pada Gb.4.13. Perlu
kita sadari pula bahwa kerapatan fluksi magnetik tidaklah merata.
Pada gigi-gigi alur jangkar terdapat kerapatan medan magnetik
yang tinggi dan di sini bisa terjadi kenaikan temperatur yang tinggi
yang sudah pasti akan mempengaruhi kenaikan temperatur di
kumparan jangkar. Di ujung-ujung stator arah fluksi magnet tegak
lurus dengan laminasi jangkar dan kenaikan temperatur di daerah ini
juga tinggi. Pembatasan di rangkaian magnetic sudah barang tentu
akan memodifikasi bentuk kurva yang telah tergambarkan di
Gb.4.13. Untuk sementara perihal rangkaian magnetik ini tidak kita
bahas.
4.6. Transien Pada Mesin Sinkron
Peristiwa transien terjadi jika ada pembebanan tiba-tiba pada mesin
sinkron. Salah satu contoh yang akan kita uraikan di sini adalah
terjadinya hubung singkat tiga-fasa pada terminal generator; hubung
singkat tiga-fasa merupakan pembebanan seimbang. Oleh karena itu
kita dapat
I hs
menyatakan
R a + jX d
+
rangkaian ekivalen
Ef ∼
model satu-fasa
untuk situasi ini,
seperti terlihat pada
Gb.4.14. Rangkaian ekivalen model satuGb.4.14.
fasa, gangguan hubung singkat tiga-fasa.
188
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
Peristiwa transien di sini adalah peristiwa transien pada rangkaian
orde-2, seperti yang kita pelajari pada Analisis Rangkaian Listrik.
Sinyal masukan adalah sinyal sinus. Hasil analisis di kawasan waktu
akan memberikan arus hubung singkat yang berbentuk
i hs (t ) = iˆhs sin( ωt − α)(1 + e −t / τ )
(4.39.a)
ihs
t
Gb.4.15. Arus hubung singkat tak simetris terhadap
sumbu waktu.
i hs
iˆhs
t
Gb.4.16. Arus hubung singkat simetris terhadap
sumbu waktu.
α
ditentukan oleh saat terjadinya hubung singkat atau masuknya saklar
pada rangkaian Gb.4.14. Sudah barang tentu nilainya sangat tidak
menentu dan α ini membuat alur variasi arus hubung singkat tidak
simetris terhadap sumbu waktu, seperti terlihat pada Gb.4.15.
189
Mesin Sinkron
Untuk keperluan analisis sistem tenaga, α dianggap nol dan
persamaan arus transien yang diperhitungkan berbentuk
i hs (t ) = iˆhs sin(ωt )(1 + e −t / τ )
(4.39.b)
Kurva arus hubung singkat akan simetris terhadap sumbu waktu
seperti terlihat pada Gb.4.16, dan disebut arus hubung singkat
simetris.
Penurunan nilai arus hubung singkat ditentukan oleh konstanta
waktu τ, yang besarnya tergantung dari proporsi Ra dan Xd. Namun
bentuk gelombang arus ini hampir sinusoidal dan kita dapat
mendekati nilai arus efektifnya dengan membagi nilai puncak
dengan 2 . Nilai efektif ini dapat kita plot sebagai nilai efektif
yang merupakan fungsi waktu seperti terlihat pada Gb.4.17.
Kurva I hs (t ) = iˆhs (t ) / 2 dapat didekati dengan suatu nilai
konstan dalam selang-selang waktu tertentu.
I ′′
I hs (t ) =
iˆhs (t )
2
pendekatan
I′
I
0
t1
t2
t
Gb.4.17. Kurva arus hubung singkat efektif.
0 ≤ t ≤ t1 : I ′′ disebut arus hubung singkat subtransien
t1 ≤ t ≤ t 2 : I ′ disebut arus hubung singkat transien
t ≥ t2 : I
disebut arus hubung singkat mantap.
Analisis sistem tenaga dilakukan di kawasan fasor, bukan di
kawasan waktu. Oleh karena itu pernyataan arus hubung singkat
harus dilakukan dalam bentuk
Ef
Ef
I hs =
≈
(4.40)
Xd
R a + jX d
Perubahan Ihs terhadap waktu, di kawasan fasor dapat dinyatakan
dengan memilih salah satu apakah tegangan sumber Ef konstan dan
190
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
Xd yang berubah terhadap waktu, atau Xd konstan dan Ef yang
berubah terhadap waktu. Kita memilih Ef tetap dan Xd berubah
terhadap waktu. Dengan demikian maka dalam selang
0 ≤ t ≤ t1 : X d′′ =
Ef
t1 ≤ t ≤ t 2 : X d′ =
Ef
t ≥ t2 : X d =
I ′′
I′
Ef
I
disebut reaktansi subtransien
disebut reaktansi transien
disebut reaktansi mantap.
Impedansi urutan positif menjadi
Z 1′′ = R a + jX d′′ ;
Z 1′ = R a + jX d′ ;
Z1 = R a + jX d
Nilai-nilai X d′′ dan X d′ diberikan oleh pembuat generator.
Mana yang akan kita gunakan tergantung dari persoalan yang kita
hadapi. Untuk menghitung arus hubung singkat misalnya, kita akan
memilih menggunakan reaktansi subtransien, X d′′ .
4.7. Mesin Sinkron Kutub Menonjol
Rangkaian ekivalen satu-fasa mesin sinkron rotor silindris kita
gambarkan sekali
lagi pada Gb.4.18.
I
Xd adalah direct
jX d
+
+
axis reactance yang
∼ V
Ef ∼
memberikan beda
tegangan sebesar
IXd antara tegangan
Gb.4.18. Rangkaian ekivalen model satuterbangkit dan
fasa generator sinkron rotor silindris.
tegangan terminal
generator; arus I adalah arus jangkar yang menimbulkan medan
magnet berputar yang melawan medan magnet rotor. Medan magnet
lawan dari stator ini berbeda fasa secara mekanis dengan magnet
rotor. Hal demikian tidak menjadi masalah pada mesin sinkron rotor
silindris karena lebar celah udara antara rotor dan stator sama di
191
Mesin Sinkron
seluruh keliling rotor. Tidak demikian halnya dengan mesin kutub
menonjol; celah udara di depan sepatu kutub lebih sempit
disbanding dengan celah udara yang terletak di antara dua sepatu
kutub. Lihat Gb.4.19.
d
d
θ a
q
θ a
q
U
U
sumbu fluksi
lawan jangkar
sumbu fluksi
lawan jangkar
S
S
a1
sumbu fluksi
rotor
a1
sumbu fluksi
rotor
Rotor silindris
Kutub menonjol
Gb.4.19. Mesin rotor silindris dan kutub menonjol.
Sumbu fluksi magnet rotor adalah sumbu d (direct axis); sumbu
yang tegak lurus pada d dan tertinggal 90o adalah sumbu q
(quadrature axis). Fluksi lawan jangkar dapat dianggap terdiri dari
dua komponen yaitu komponen sejajar sumbu d dan komponen
sejajar sumbu q. Masing-masing komponen ini dinyatakan dengan
tegangan jatuh ekivalen pada jangkar sebesar I d X d dan I q X q ,
dengan Id dan Iq adalah direct axis current dan quadrature axis
current, sedangkan Xd dan Xq adalah direct axis reactance dan
quadrature axis reactance. Jika tegangan terbangkit di kumparan
fasa adalah E f dan tegangan di terminal generator adalah V maka
dengan mengabaikan resistansi belitan jangkar,
E f = jI d X d + j I q X q + V
(4.41)
Gb.4.19 menggambarkan mesin sinkron dua kutub, sehingga sudut
mekanis θ sama dengan sudut listrik. Pada umumnya generator
dibangun dengan lebih dari dua kutub; oleh karena itu kita gunakan
sudut listrik δ yang memiliki relasi tertentu dengan sudut mekanis.
Jika V kita ambil sebagai referensi dengan sudut fasa nol, maka
192
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
V = V∠0 o , I = I∠ − ψ, E f = E f ∠δ, I d = I d ∠δ − 90o , I q = I q ∠δ
Untuk jelasnya kita gambarkan diagram fasor seperti pada Gb.4.20.
Perhatikan bahwa beda fasa antara tegangan terbangkit dan tegangan
terminal adalah δ; tegangan jatuh direct axis sefasa dengan tegangan
terbangkit; tegangan jatuh quadrature axis berbeda fasa 90o dengan
tegangan terbangkit.
Ef
jI q X q
jI X q
Iq
ψ
Id
Iq X q
δ
jI d X d
V
Id (X d − X q )
I
Gb.4.20. Diagram fasor mesin kutub menonjol.
Kita perhatikan pula bahwa pada tegangan terminal yang ditetapkan
(dalam operasi), sudut δ tergantung dari daya beban dan faktor daya
beban (tergantung dari I dan ψ dalam diagram fasor). Nilai Xd dan
Xq dapat diberikan oleh pembuat generator, maka menjadi
pertanyaan berpakah daya maksimum yang dapat diberikan oleh
generator.
Daya per fasa adalah
(
S f = VI ∗ = V ( I q ∠δ + I d ∠(δ − 90 o )
(
= V I q ∠ − δ + I d ∠90 o − δ
(
(
(
)
)
)
∗
= V I q + jI d ∠ − δ
= V I q (cos δ − j sin δ) + jI d (cos δ − j sin δ)
= V I q (cos δ − j sin δ) + I d ( j cos δ + sin δ)
)
)
(4.42)
= V ( I q cos δ + I d sin δ) + jV ( I d cos δ − I q sin δ)
= P f + jQ f
193
Mesin Sinkron
Dari Gb.4.20 kita peroleh
E f − Id X d
E f − V cos δ
→ Id =
V
Xd
Iq X q
V sin δ
→ Iq =
sin δ =
V
Xq
cos δ =
(4.43)
sehingga kita peroleh daya nyata
P f = V ( I q cos δ + I d sin δ)
 V sin δ

E f − V cos δ
=V
cos δ +
sin δ 
 Xq

Xd


2
2
VE f
V
V
=
sin δ cos δ +
sin δ −
sin δ cos δ
Xq
Xd
Xd
(4.44)
V 2 V 2 
 sin δ cos δ
sin δ + 
−
 Xq Xd 
Xd


2
VE f
V
=
sin δ +
X d − X q sin 2δ
Xd
2X d X q
=
VE f
(
)
Jika kita bandingkan persamaan (4.44) ini dengan peramaan (4.33)
untuk mesin rotor silindris, yaitu
Pf =
VE f
Xd
sin δ
terlihat bahwa daya maksimum mesin kutub menonjol lebih tinggi
dan terjadi pada sudut δ yang lebih rendah. Lagipula pada Ef = 0
(kehilangan eksitasi) mesin kutub menonjol masih bisa memberikan
daya. Persamaan (4.44) akan menjadi (4.33) bila Xd = Xq.
Untuk daya reaktif mesin kutub menonjol, (4.42) memberikan
194
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Mesin Sinkron
 E f − V cos δ

V sin δ
Q f = V ( I d cos δ − I q sin δ) = V 
cos δ −
sin δ 


Xd
Xq


2
2
2
2
VE f
V cos δ V sin δ
=
−
cos δ −
Xd
Xd
Xq
=
=
=
VE f
Xd
VE f
Xd
VE f
Xd
cos δ −
cos δ +
2
V 2  cos 2δ
 V  cos 2δ

+ sin 2 δ  +
− cos 2 δ 


Xd  2
 Xq  2

V 2 cos 2δ  1
1  V 2 sin 2 δ V 2 cos 2 δ
−
+
−
−
 Xd Xq 
2
Xd
Xq


2
 V 2 (X d − X q ) 
 cos 2δ − V ( X d + X q )
cos δ + 

Xd Xq
 2X d X q


(4.45)
Jika kita bandingkan relasi ini dengan relasi daya reaktif untuk
mesin sinkron rotor silindris yang diberikan oleh persamaan (4.33)
yaitu:
 VE f
V2
Qf = 
cos δ −
 Xd
Xd





terlihat bahwa (4.33) dapat diperoleh dari (4.45) jika Xd = Xq.
195
Mesin Sinkron
196
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
BAB 5
Analisis Aliran Daya
Dalam analisis rangkaian listrik pada umumnya, suatu sumber
dinyatakan sebagai sumber tegangan ideal atau sumber arus ideal,
dan beban dinyatakan sebagai impedansi. Sumber tegangan ideal
memberikan daya ke rangkaian pada tegangan tertentu, berapapun
besar arus yang dibutuhkan oleh rangkaian; sumber arus ideal
memberikan daya pada rangkaian pada arus tertentu, berapapun
tegangan yang diperlukan oleh rangkaian. Oleh karena itu apabila
rangkaian merupakan rangkaian linier, terdapat hubungan linier
antara tegangan, arus dan impedansi; dan dalam analisis, misalnya
dengan menggunakan metoda tegangan simpul, kita memperoleh
persamaan linier.
Dalam sistem tenaga, kita melihat situasi yang berbeda. Sumber,
merupakan sumber daya yang hanya boleh beroperasi pada batas
daya dan tegangan tertentu. Sementara itu beban dinyatakan sebagai
besar daya yang diminta/diperlukan, pada tegangan yang juga
ditentukan. Suatu permintaan daya hanya dapat dilayani selama
pembebanan tidak melampaui batas daya yang mampu disediakan
oleh sumber. Kita mengetahui bahwa walaupun rangkaian tetap
rangkaian linier, relasi daya antara sumber dan beban tidaklah linier.
Oleh karena itu jika kita menurunkan persamaan rangkaian, dengan
daya sebagai parameter, persamaan rangkaian yang kita peroleh
merupakan persamaan nonlinier. Dalam memecahkan persamaan
nonlinier ini kita memerlukan cara khusus.
5.1. Analisis Aliran Daya
Dalam analisis aliran daya, kita mengambil ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a). Sistem dalam keadaan seimbang; dengan demikian kita dapat
melakukan perhitungan dengan menggunakan model satu-fasa.
b). Semua besaran dinyatakan dalam per-unit; dengan demikian
berbagai tingkat tegangan dalam sistem sebagai akibat
digunakannya transformator, tidaklah menjadi persoalan.
197
Analisis Aliran Daya
Bus-bus dalam rangkaian sistem tenaga merupakan simpul-simpul
rangkaian yang biasa kita kenal dalam analisis rangkaian listrik.
Bus-bus ini dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis:
i)
Bus-generator (generator bus), adalah bus dimana generator
dihubungkan melalui transformator. Daya yang masuk dari
generator ke bus-generator ke-i (bus nomer i) adalah
SGi = PGi + jQGi
(5.1)
Dari bus ke-i ini mengalir daya ke dua jurusan; yang pertama
adalah aliran daya langsung ke beban yang terhubung ke bus
ini dan yang kedua adalah aliran daya menuju saluran
transmisi. Daya yang langsung menuju beban adalah
S Bi = PBi + jQBi
(5.2)
dan daya yang menuju saluran transmisi menjadi
Si = Pi + jQi = SGi − S Bi
ii)
(5.3)
Bus yang tidak terhubung ke generator tetapi terhubung hanya
ke beban disebut bus-beban (load bus). Dari bus-beban ke-j
(nomor bus j) mengalir daya menuju ke beban sebesar SBj atau
kita katakan daya mengalir menuju saluran transmisi sebesar
S j = − S Bj
(5.4)
iii) Jika kita hanya memperhatikan daya sumber dan daya beban,
teorema Tellegen tidak akan terpenuhi karena masih ada daya
keluar dari rangkaian yang tidak diketahui yaitu daya yang
diserap oleh saluran dan transformator. Oleh karena itu, untuk
keperluan analisis, jika tegangan semua bus-beban diketahui,
baik melalui dugaan maupun ditetapkan, tegangan busgenerator juga harus dapat ditetapkan kecuali satu di antaranya
yang dibiarkan mengambang; bus mengambang ini disebut
slack bus. Slack bus seolah berfungsi sebagai simpul sumber
tegangan bebas dalam analisis rangkaian listrik yang biasa kita
kenal. Dengan cara ini maka teorema Tellegen akan bisa
dipenuhi.
198
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
5.2. Persamaan Arus-Tegangan
Karena relasi linier hanya ada pada tegangan dan arus, tidak pada
daya, maka persamaan aliran daya harus diturunkan melalui
persamaan arus dan tegangan terlebih dulu. Selain itu, karena kita
menggunakan sistem per-unit, impedansi transformator dapat
disatukan dengan impedansi generator sehingga transformator tak
digambarkan lagi dalam diagram satu garis untuk analisis ini.
Sistem Dengan Dua Bus. Kita tinjau bus-1 (bus-generator nomer-1)
yang terhubung melalui saluran transmisi ke bus-2 (bus-generator
nomer-2). Diagram satu garis dan model satu-fasa terlihat pada
Gb.5.1.
SG1
∼
V1 I1
bus - 1
saluran transmisi
I B1
SG 2
I 2 V2
∼
I B2
bus - 2
diagram rangkaian
bus - 1
bus - 2
zs
I1
S G1
S B1
yp
I2
yp
S B2
SG2
rangkaian ekivalen
Gb.5.1. Model satu-fasa. Diagram dan rangkaian ekivalen.
S G1 , S G 2 : daya per fasa generator
V1 , V1 : tegangan fasa - netral
I1 , I 2 : arus ke saluran transmisi dari bus - 1 dan bus - 2
I B1 , I B 2 : arus beban (langsung) dari bus - 1 dan bus - 2.
z12 : impedansi seri antar bus dalam rangkaian ekivalen π
y p : admitansi paralel saluran transmisi pada rangkaian ekivalen π
Arus yang keluar dari bus-1 ke saluran transmisi adalah
I1 = y p V1 + y12 ( V1 − V2 ) = ( y p + y12 )V1 − y12 V2
(5.5.a)
dengan y12 = 1 / z12 adalah admitansi transfer antara bus-1 dan bus-2.
199
Analisis Aliran Daya
Admitansi total yang dilihat oleh bus-1 didefinisikan sebagai
Y11 = y p + y12
(5.5.c)
Dengan pengertian ini maka relasi (5.5.a) dapat ditulis
I1 = Y11V1 − y12 V2
(5.6.a)
Dengan pengertian yang sama, kita peroleh relasi untuk bus-2
sebagai
I 2 = Y22 V2 − y12 V1
(5.6.b)
Dengan demikian kita memperoleh persamaan untuk sistem dengan
dua bus (dengan mengubah urutan penulisan pada (5.6.b))
I1 = Y11V1 − y12 V2
I 2 = −Y12 V1 + y22 V1
(5.7)
Sistem Dengan Tiga Bus. Untuk sistem dengan tiga bus, relasi (5.7)
dikembangkan menjadi
I1 = Y11V1 − y12 V2 − y13V3
I 2 = − y12 V1 + Y22 V1 − y23V3
(5.8.a)
I 3 = − y12 V2 − y23V + Y33V3
Secara formal, penulisan persamaan (5.8.a) adalah
I1 = Y11V1 + Y12 V2 + Y13V3
I 2 = Y12 V1 + Y22 V1 + Y23 V3
(5.8.b)
I 3 = Y12 V2 + Y23 V + Y33 V3
dengan Yij = − yij . Persamaan (5.8.b) dapat kita tuliskan dalam
bentuk matriks sebagai
 I1  Y11 Y12 Y13   V1 
  
 
I 2  = Y12 Y22 Y23   V2 
 I 3  Y13 Y23 Y33   V3 
 
 
(5.9)
Sistem Dengan n Bus. Persamaan untuk sistem dengan tiga bus
(5.9) dikembangkan untuk sistem dengan n bus menjadi
200
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
 I1  Y11 Y12 Y13
  
 I 2  Y12 Y22 Y23
 I3  = Y13 Y23 Y33
  
.
.
.  .
I  Y
 n   1n Y2 n Y3n
. Y1n   V1 
 
. Y2 n   V2 
. Y3n   V3 
 
. .  . 
. Ynn  Vn 
Persamaan (5.10.a) ini dapat kita tulis dengan ringkas:
~
~
Ibus = [Ybus ]Vbus
(5.10.a)
(5.10.b)
5.3. Persamaan Aliran Daya
Untuk menurunkan persamaan aliran daya kita perhatikan arus yang
mengalir ke saluran transmisi (tidak termasuk arus ke beban
langsung). Untuk bus ke-i dalam sistim dengan n bus, kita dapatkan
n
Ii =
∑ Yij V j
(5.11)
j =1
j = 1, 2, ...i, ...n; Yij = Yij ∠θij ; V j = V j ∠ψ j
Dengan (5.11) ini kita dapat menghitung daya dari bus-i yang
menuju saluran transmisi, yaitu
Si = Vi Ii∗ = Vi
n
∑ (Yij V j )∗
j =1
∑ ( Yij ∠ − θij V j ∠ − ψ j )= Pi + jQi
(5.12)
n
= Vi ∠ψ i
j =1
 n



Pi = Vi 
Yij V j cos(ψ i − θij − ψ j )  dan
 j =1



 n



Qi = Vi 
Yij V j sin(ψ i − θij − ψ j ) 
 j =1



∑
(5.13)
∑
201
Analisis Aliran Daya
Perhatikan bahwa Si adalah daya yang mengalir ke saluran
transmisi. Hubungan dengan daya generator bisa diperoleh melalui
relasi (5.3) yaitu
Si = Pi + jQi = SGi − S Bi
sehingga
 n



PGi − PBi = Vi  V j Yij cos(ψ i − ψ j − θij )  dan
 j =1



(5.14)
 n



QGi − QBi = Vi  V j Yij sin(ψ i − ψ j − θij ) 
 j =1



∑
∑
Persamaan (5.14) adalah dua persamaan yang kita peroleh untuk
setiap bus-i. Dalam persamaan ini terdapat enam besaran peubah
yang terkait dengan bus yang bersangkutan, yaitu
PGi , QGi , PBi , QBi , Vi , dan ψ i
(5.15)
Besaran yang lain adalah peubah di luar bus-i.
Jika bus-i adalah bus-generator, maka sebagian besaran yang terdapat
pada persamaan (5.14) merupakan besaran yang diketahui atau
ditentukan:
- PBi dan QBi adalah daya beban yang diketahui.
- PGi merupakan besaran yang diketahui karena daya nyata ini
bisa ditentukan dengan mengatur masukan uap di turbin
misalnya.
- Vi juga tertentu besarnya karena bisa di atur melalui arus
eksitasi.
- QGi walaupun tidak diketahui namun, akan tertentu besarnya
jika tegangan dan sudut fasa di bus yang lain diketahui.
- dengan demikian hanya tinggal satu peubah yang harus
dihitung yaitu ψi.
Jika bus-i adalah bus-beban, tak ada generator terhubung ke sini; PGi
dan QGi bernilai nol, dan Pi = − PBi dan Qi = −QBi keduanya
diketahui (tanda minus pda PBi dan QBi diberikan karena daya
202
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
dianggap mengalir ke saluran). Dengan demikian untuk bus-beban
hanya ada dua besaran peubah yang harus dihitung yaitu Vi dan ψi.
Jadi di setiap bus pada dasarnya hanya ada dua atau satu peubah
yang harus dicari, yaitu Vi dan ψi di bus-beban dan ψi saja di busgenerator. Dalam satu jaringan transmisi yang terdiri dari total n
bus, dengan nG bus-generator dan satu slack-bus, terdapat besaran
yang harus dihitung sebanyak
besaran harus dihitung = 2(n − 1) − nG
(5.16)
Kebanyakan bus dalam sistem tenaga adalah bus-beban; hanya
sebagian kecil dari total jumlah bus merupakan bus-generator.
5.4. Proses Pencarian Solusi
Solusi suatu persamaan aliran daya adalah mencari profil tegangan
di semua bus dalam suatu sistem tenaga. Karena persamaan daya
merupakan persamaan non-linier, maka solusi dilakukan dengan
cara iterasi. Proses pencarian solusi adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Berdasarkan data teknis dari jaringan, tentukan elemenelemen dari matriks [Ybus].
Pada bus-beban tentukan PB dan QB.
Pada bus-generator tentukan nilai tegangan bus V dan PG.
Buat slack-bus (bus nomer-1) bertegangan V1 = 1∠0o .
Asumsikan profil tegangan dan sudut fasanya, V dan ψ, bus
yang lain.
Masukkan data [Ybus] dan profil tegangan yang diasumsikan
ke persamaan (5.14) untuk mencari Pi dan Qi. Setiap kali
iterasi dilakukan, bandingkan hasil perhitungannya dengan
besaran yang ditetapkan sesuai langkah-2 dan langkah-3 atau
hasil perhitungan sebelumnya.
Selisih yang diperoleh pada langkah-6, digunakan sebagai
dasar untuk melakukan koreksi pada langkah iterasi
berikutnya sedemikian rupa sehingga selisih tersebut menjadi
semakin kecil.
Ulangi langkah-langkah iterasi sampai selisih yang didapat
mencapai nilai kecil yang dapat diterima. Profil tegangan pada
situasi terakhir ini menjadi solusi yang dicari.
203
Analisis Aliran Daya
5.4. Metoda Newton-Raphson
5.4.1. Formula Iterasi – Persamaan Rekursi
Dalam buku Vincent del Toro, [2], formula iterasi diturunkan
melalui penguraian fungsi nonlinier menjadi deret Taylor dan
mengabaikan suku-suku dengan orde tinggi. Di sini kita akan
menurunkannya melalui pengamatan grafis.
Persamaan dengan Peubah Tunggal. Kita misalkan sebuah
persamaan nonlinier dengan peubah tunggal
p( x) = 0
(5.17)
dan kita akan mencari solusinya dengan cara iterasi. Ruas kiri
persamaan ini dapat kita pandang sebagai sebuah fungsi, dan kita
misalkan fungsi ini adalah kontinyu dalam domain yang ditinjau.
Kita dapat menggambarkan kurva fungsi ini di bidang px; nilai x
sebagai solusi adalah titik potong kurva dengan sumbu-x, yaitu
x sol , seperti terlihat pada Gb.5.2 di bawah ini. Indeks atas
digunakan untuk menunjukkan langkah iterasi; misalnya x0 adalah
iterasai ke-0 yaitu dugaan awal, x1 adalah iterasi ke-1, dan
seterusnya.
p
p (x )
0
p( x )
p ( x1 )
dp
dx
0
x sol p ( x 2 )
x0
x 2 x1
0
1
∆x
∆x
x
Gb.5.2. Proses iterasi untuk persamaan p( x) = 0 .
Kita tentukan dugaan awal solusi persamaan, yaitu x0. Jika kita
masukkan solusi dugaan ini ke dalam persamaannya, kita
memperoleh p( x 0 ) . Antara p( x 0 ) ini dengan nilai yang
204
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
ditentukan pada persamaan (5.17) yaitu 0, terdapat selisih sebesar
∆p( x 0 ) = 0 − p( x 0 ) ; perhatikan bahwa selisih ini bernilai negatif.
Oleh karena itu kita melakukan dugaan solusi baru yaitu x1 yang
mendekati xsol; dugaan baru ini kita masukkan ke persamaan, dan
akan memberikan p( x1 ) . Jika p( x1 ) belum juga bernilai nol
sebagaimana diminta, kita coba lagi nilai x2, dan demikian
seterusnya sampai kita memperoleh suatu nilai x yang memberikan
p( x) = 0 atau sangat dekat dengan 0.
Menetukan x1 secara efektif dilakukan sebagai berikut. Setelah
dugaan solusi x0 memberikan p(x0), kita buat garis singgung pada
kurva di titik p(x0) yaitu dp / dx
0
; garis singgung ini akan
memotong sumbu-x di x1 yang berposisi tergeser sebesar ∆x 0 dari
0
posisi x0. Karena dp / dx = p( x 0 ) / ∆x 0 maka ∆x 0 =
∆p( x 0 )
(dp / dx)
0
dan karena ∆p( x 0 ) bernilai negatif maka kita dapat menentukan x1
yaitu
x1 = x 0 + ∆x 0 = x 0 +
∆p( x 0 )
(dy / dx)
0
x1 akan memberikan p( x1 ) yang memungkinkan kita menghitung
1
∆x1 = ∆p( x1 ) / (dp / dx) yang akan memberikan x2; dan demikian
seterusnya sampai kita mendapatkan ∆x n yang akan memberikan
p( x n ) ≈ 0 .
Secara umum formulasi dari proses iterasi ini dapat kita turunkan
sebagai berikut:
Jika xk adalah nilai x untuk iterasi ke-k maka
x k = x k −1 +
∆p( x k −1 )
(dp / dx)
k −1
(5.18)
Persamaan (5.18) inilah persamaan rekursi atau formula iterasi.
205
Analisis Aliran Daya
Uraian di atas adalah untuk persamaan (5.17) dimana ruas kanan
bernilai nol. Kita tinjau sekarang persamaan dengan ruas kanan
tidak bernilai nol, yang kita tuliskan sebagai
p( x) = P
(5.19)
dengan P adalah tetapan. Ruas kiri (5.19) kita pandang sebagai
fungsi x dengan kurva seperti pada Gb.5.2; akan tetapi solusi xsol
yang dicari adalah nilai x pada titik potong antara p(x) dengan
garis P sejajar sumbu-x . Situasi ini digambarkan pada Gb.5.3.
p
p(x)
0
p( x )
dp / dx
0
p( x 0 ) − p( x1 )
p ( x1 )
P
x sol
x 2 x1
1
∆x
∆x
x
x0
0
Gb.5.3. Proses iterasi untuk persamaan p( x) = P .
Untuk persamaan (5.19) ini ∆x 0 adalah
∆x 0 =
P + ∆p x0
(dp / dx)
Kita
∆p 0x
coba
untuk
(5.20)
0
memahami
persamaan
terakhir
ini.
= P − p( x ) adalah perbedaan antara nilai fungsi yang
seharusnya, yaitu P, dengan nilai fungsi jika dugaan awal peubah
x0 kita terapkan; perbedaan ini bernilai negatif. Perbedaan ini
harus dikoreksi dengan mengoreksi dugaan awal sebesar ∆x0
0
sehingga nilai peubah berubah dari x0 menjadi x1 = x 0 + ∆x 0 ;
koreksi inilah koreksi terhadap dugaan awal. Setelah koreksi awal
ini, perbedaan nilai fungsi terhadap nilai seharusnya adalah
∆p1 = P − p( x1 ) yang lebih kecil dari ∆p 0 yang berarti nilai
fungsi mendekati P. Koreksi peubah kita lakukan lagi untuk lebih
mendekat lagi ke P; langkah koreksi ini merupakan iterasi
pertama. Pada iterasi pertama ini kita akan memperoleh
206
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
perbedaan ∆p x2 = P − p( x 2 ) yang mungkin masih harus di koreksi
lagi pada itersi ke-dua. Demikian seterusnya sampai kita peroleh
( P − p( x n )) ≈ 0 . Dalam perjalanan menuju P tersebut alur yang
kita lewati adalah kurva p(x). Secara umum, pada iterasi ke-k kita
akan mempunyai persamaan yang memberikan perbedaan nilai
fungsi dengan nilai seharusnya, yaitu
k
∆p k = (dp / dx) ∆x k
(5.21)
Dengan pemahaman ini kita lanjutkan pengamatan pada
persamaan dengan dua peubah.
Persamaan Dengan Dua Peubah. Sepasang persamaan dengan
dua peubah kita tuliskan sebagai
p ( x, y ) = P
q ( x, y ) = Q
(5.22)
dengan P dan Q adalah tetapan. Kita harus melakukan iterasi
untuk dua peubah x dan y. Dugaan solusi awal memberikan
persamaan yang merupakan pengembangan dari (15.21) yaitu
0
0
0
0
∆p 0 = P − p( x 0 , y 0 ) = (∂p / ∂x) ∆x 0 + (∂p / ∂y ) ∆y 0
∆q 0 = P − q( x 0 , y 0 ) = (∂q / ∂x) ∆x 0 + (∂q / ∂y ) ∆y 0
(5.23)
yang dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks
0
0
0
∆p 
∂p / ∂x ∂p / ∂y   ∆x 
0  ∆x 
∆q  = ∂p / ∂x ∂p / ∂y  ∆y  = J ∆y 
 

  
 
0
(5.24)
Matriks 2×2 turunan parsial terhadap x dan y disebut jacobian dan
dinyatakan dengan J. Apabila ∆p0 dan ∆q0 tidak bernilai nol maka
0
( )
∆x 
−1 0 ∆p 
∆y  = J
∆q 
 
 
0
(5.25)
Inilah persamaan untuk menentukan besar koreksi. Dengan (5.25)
ini dapat dihitung ∆x0 dan ∆y0 sehingga dapat diperoleh x1 dan y1
untuk iterasi selanjutnya.
207
Analisis Aliran Daya
1
 x   x + ∆x 
 y  =  y + ∆y 
  

0
(5.26)
Pada langkah ke-k kita mempunyai identitas dan persamaanpersamaan sebagai berikut:
k
k
∆p 
 P − p( x) 
1).   ≡ 
 ;
∆
q
 
 P − p( y )
k
∂p / ∂x 
3). J k = 
 ;
∂p / ∂y 
k
k
∆p 
∆x 
2).  = J k   ;
∆
q
 
∆y 
k
( )
k ∆p 
∆x 
4).   = J −1  
∆
y
 
∆q 
(5.27)
k
Persamaan pertama (5.27) yang berupa identitas akan menentukan
perlu tidaknya dilakukan koreksi (iterasi) lagi terhadap hasil
perhitungan sebelumnya; oleh karena itu persamaan ini disebut
corrective force. Identitas ini menjadi ruas kiri persamaan ke-dua,
yang terkait dengan koreksi peubah yang harus dilakukan melalui
jacobian Jk yang nilainya diberikan oleh persamaan ke-tiga. Besar
koreksi yang harus dilakukan diberikan oleh persamaan ke-empat.
Setelah koreksi dilakukan, kita kembali pada persamaan pertama
untuk melihat perlu tidaknya iterasi dilanjutkan lagi.
5.4.2. Aplikasi Pada Analisis Aliran Daya
Berapa banyak peubah yang harus ditentukan dalam satu jaringan
transmisi diberikaan oleh (5.16). Namun dalam menuliskan
persamaan aliran daya, kita memperlakukan semua bus sebagai
bus-beban, agar penulisan lebih terstruktur; ini berarti bahwa
semua bus megandung dua peubah yaitu tegangan dan sudut
fasanya, walupun ada peubah yang sudah ditetapkan di beberapa
bus-generator.
Karena slack-bus ditetapkan sebagai bus nomer-1, dengan
tegangan 1∠0 o pu , maka kita bekerja mulai dari bus-2, dan nilai
peubah yang harus dicari agar persamaan aliran daya terpenuhi
adalah tegangan serta sudut fasa di setiap bus yaitu (V2 , V3, Vi ,...,
Vn) dan (ψ2, ψ3, …., ψi, … ψn). Pengembangan dari (5.28) untuk
jaringan transmisi dengan n bus adalah sebagai berikut:
208
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
∆p 2   P2 − p 2 (V2 k ,......., ψ nk ) 

 

 ∆p3   P3 − p3 (V2 k ,......., ψ nk ) 
 M  

M
~ k = ∆p  ≡  P − p (V ,......., ψ ) 
1). ∆u
n 2k
nk 
 n  n
∆q  Q − q (V ,......., ψ ) 
2 2k
nk
 2  2

M
 M  

∆q  Q − q (V ,......., ψ ) 
n 2k
nk 
 n  n
k
(5.28.a)
~ k = J k ∆x k
2). ∆u
 ∂p 2
 ∂V
 2
 ∂p3
 ∂V2
 M

∂p
k
3). J =  n
 ∂V2
 ∂q
 2
 ∂V2
 M
 ∂q
 n
 ∂V2
(5.28.b)
∂p2
∂V3
∂p3
∂V3
∂p n
∂V3
∂q2
∂V3
∂q n
∂V3
∂p2
∂Vn
∂p3
L
∂Vn
∂p 2
∂ψ 2
∂p3
∂ψ 2
∂p n
∂Vn
∂q2
L
∂Vn
∂pn
∂ψ 2
∂q 2
∂ψ 2
∂q n
∂Vn
∂qn
∂ψ 2
L
L
L
L
L
L
L
L
∂p2 
∂ψ n 

∂p3 
∂ψ n 


∂p n 
∂ψ n 
∂q2 

∂ψ n 

∂q2 

∂ψ n 
k
(5.28.c)
k
 ∆V 2 
 ∆V 
 3
 M 
k ~k


k
~
4). ∆x ≡  ∆Vn  = J −1 ∆u
 ∆ψ 2 


 M 
 ∆ψ 
 n
( )
(5.28.d)
Kiranya perlu kita fahami arti dari persamaan-persamaan (5.28)
sebelum kita melangkah lebih lanjut.
~ k adalah vektor yang berisi perbedaan nilai daya di setiap
∆u
bus terhadap nilai daya yang ditetapkan untuk setiap bus yang
209
Analisis Aliran Daya
bersangkutan pada iterasi ke-k, baik daya nyata maupun daya
reaktif.
∆~
x k adalah vektor yang berisi koreksi peubah di setiap bus,
yaitu tegangan dan sudut fasanya, yang diperoleh pada iterasi
ke-k untuk melakukan iterasi selanjutnya. Pada waktu
x 0 untuk
menetapkan dugaan awal misalnya, diperoleh ∆~
melakukan koreksi pada iterasi ke-1; pada itersai ke-1
diperoleh ∆~
x1 untuk melakukan koreksi pada iterasi ke-2; dan
seterusnya.
Matriks jacobian adalah matriks yang berisi laju perubahan
daya, baik daya nyata maupun reaktif, terhadap perubahan
tegangan maupun sudut fasa di setiap bus. Perhatikan bahwa
daya merupakan fungsi semua peubah di setiap bus. Oleh
karena itu perbedaan nilai daya di setiap bus dengan daya yang
ditetapkan pada bus yang bersangkutan pada iterasi ke-k,
merupakan hasil kali matriks jacobian pada iterasi ke-k dengan
vektor koreksi tegangan maupun sudut fasa pada iterasi ke-k.
Jika matriks jacobian tidak bernilai nol, yang berarti bahwa
dalam peninjauan secara grafis (pada persamaan dengan
peubah tunggal misalnya), garis singgung pada kurva tidak
sejajar dengan sumbu-x, besaran koreksi dapat dihitung dengan
k ~k
relasi (5.28.d), ∆~x k = J −1 ∆u
. Inversi matriks jacobian
( )
dalam relasi ini, akan kita fahami dengan meninjau sistem
dengan dua bus seperti dalam contoh berikut.
5.4.3. CONTOH Sistem Dua Bus
Untuk melihat aplikasi dalam perhitungan kita akan melihat sistem
dua bus seperti pada gambar berikut. Contoh ini diambil dari buku
referensi [3], sedangkan perhitungan-perhitungan dilakukan secara
manual dengan menggunakan “excel”. Cara ini akan membuat kita
memahami langkah demi langkah proses perhitungan; hasil
perhitungan yang kita lakukan ini sedikit berbeda dengan apa yang
tercantum dalam buku referensi. Diagram rangkaian untuk contoh
ini terlihat pada halaman berikut, dimana saluran transmisi
digambarkan sebagai rangkaian ekivale π.
210
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
P1 , Q1 bus - 1
bus - 2
z12 = 20 + j80
S B2 =
1 + j1 pu
V1 = 1∠0o pu
y p = 0,27 × 10 −3 S
yp
V2 = V2 ∠ψ 2 pu
Bus-1 adalah bus-generator tanpa beban langsung. Bus-2 adalah
bus-beban.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan data
jaringan; kemudian data jaringan ini kita nyatakan dalam per unit
dengan memilih suatu nilai basis tertentu. Data jaringan adalah:
z12 = 20 + j80 = 82,4621∠75,96o Ω
y12 = 1 / 82,4621∠75,96o = 0,012127∠ − 75,96 o
= 0,002941 − j 0,011765 S
y p = j 0,27 × 10 − 3 S
y11 = y22 = y12 + y p = 0,002942 − j 0,011495
= 0,011865∠ − 75,65o S
Besaran-besaran dinyatakan dalam per-unit setelah ditetapkan nilai
basis.
Sbasis = 100 MVA ; Vbasis = 230 kV
⇒ Z basis = 100 / 2302 = 529 Ω;
Ybasis = 1 / 529 = 0,001890 S
→ Y12 = Y21 = − y12
Y12 = Y21 = 0,012127 / 0,00189 = 6,4151
θ12 = θ 21 = −75,96 + 180 = 104,04o
→ Y11 = Y22 = 6,2766;
θ11 = θ 22 = −75,65o
Peubah dan daya yang ditetapkan di bus adalah:
Bus - 1 : V1 = 1; ψ1 = 0o ( slack bus)
Bus - 2 : P2 = −1; Q2 = −1; (bus - beban)
V2 dan ψ 2 (harus dihitung)
211
Analisis Aliran Daya
Matriks Y-bus. Dari perhitungan di atas kita peroleh matriks Ybus
sebagai berikut
Y11 Y12  6,2766∠ − 75,64 o
=
o
Y21 Y22   6,4151∠104,04
[Ybus ] = 
6,4151∠104,04 o  (5.29)

6,2766∠ − 75,64 o 
Persamaan Aliran Daya dan Jacobian. Secara umum, persamaan
aliran daya di bus-i adalah
n
pi = Vi ∠ψ 2
∑YijV j cos(−θij − ψ j )
j =1
n
qi = Vi ∠ψ 2
∑YijV j sin(−θij − ψ j )
j =1
Untuk bus-2 persamaan ini menjadi
p 2 = V2 [Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22V2 cos(ψ 2 − θ 22 − ψ 2 )]
= V2 [Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22V2 cos( −θ 22 ]
q 2 = V2 [Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22V2 sin(ψ 2 − θ 22 − ψ 2 )]
(5.30)
= V2 [Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22V2 sin( −θ 22 )]
Daya nyata maupun reaktif untuk bus-2, dituliskan dengan huruf
kecil karena ia masih akan berubah menuju nilai yang ditetapkan
yaitu P2 dan Q2.
Nilai yang sudah tetap, yaitu V1 = 1 , ψ1 = 0 di slack bus, dan
elemen-elemen matriks Ybus , dapat kita masukkan ke dalam
persamaan daya untuk mendapatkan persamaan yang lebih
sederhana. Namun karena kita akan menggunakan excel, kita
biarkan persamaan aliran daya ini seperti apa adanya agar mudah
ditelusuri dalam spreadsheet.
Karena kita hanya menghadapi dua persamaan daya, yaitu
persamaan p dan q dengan dua peubah yaitu V2 dan ψ2, maka
matriks jacobian akan berukuran 2×2.
∂p / ∂ψ 2
J= 2
∂q 2 / ∂ψ 2
∂p2 / ∂V2 
∂q2 / ∂V2 
dengan elemen-elemen:
212
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(5.31.a)
Analisis Aliran Daya
∂p 2
= −V2Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 )
∂ψ 2
∂p 2
= Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + 2Y22V2 cos( −θ 22 ]
∂V2
(5.31.b)
∂q 2
= V2Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 )
∂ψ 2
∂q 2
= Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + 2Y22V2 sin( −θ 22 )]
∂V2
Dugaan Awal dan Iterasi. Kita buat dugaan awal yaitu nilai awal
daya di bus-2. Seberapa dekat nilai dugaan yang kita buat ini ke
nilai yang ditetapkan, akan menentukan seberapa cepat kita
sampai ke iterasi terakhir. Kita coba dugaan awal
ψ 0  0 
~
x 0 ≡  02  =  
(5.32)
V2  1
Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya (5.30)
untuk mendapatkan nilai p20 dan q 20 . Darisini kita peroleh
corrective force:
0
0
~ 0 = ∆p2  == − 1 − p2 
(5.33)
∆u

∆q 
0
 2
 − 1 − q2 
Corrective force menentukan besar koreksi
 ∆ψ 0 
0 ~0
0 − 1 − p 0 
2
(5.34)
∆~
x 0 ≡  20  = J −1 ∆u
= J −1 
0
∆V2 
 − 1 − q2 
Formulasi (5.29) sampai dengan (5.34) kita gunakan dalam
perhitungan menggunakan excel. Semua besaran akan berubah
setiap kali iterasi, kecuali besaran yang sudah ditetapkan, P2, Q2,
dan elemen matriks Ybus.
( )
( )
Hasil Perhitungan. Dalam perhitungan ini, sudut fasa tegangan
dinyatakan dalam radian. Perhitungan jacobian inversi pada
secara umum dilakukan dengan eliminasi Gauss-Jordan. Berikut
ini ditulis lagi data Ybus , persamaan aliran daya, kemudian
diberikan hasil perhitungan dalam tabel. Elemen matriks jacobian
dan inversinya langsung dicantumkan dalam tabel.
[Ybus ] = 
Y11
Y21
Y12  6,2766∠ − 75,64 o
=
Y22   6,4151∠104,04 o
6,4151∠104,04 o 

6,2766∠ − 75,64 o 
213
Analisis Aliran Daya
p 2 = V2Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22 (V2 ) 2 cos(− θ 22 )
q 2 = V2Y21V1 sin( ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y22 (V2 ) 2 sin( −θ 22 )
~
∆u
P2
Q2
ψ2
V2
p2
q2
∆p2
∆q2
Jk
(J−1)k
∆~
x
~
∆u
∆ψ2
∆v2
P2
Q2
ψ2
V2
p2
q2
∆p2
∆q2
Jk
(J−1)k
∆~
x
214
∆ψ2
∆v2
-1
-1
0
1
5.29E-06
-0.14283
-1.0000
-0.8572
6.2235
-1.5559
0.1508
0.0395
-0.1169
-0.1750
-1
-1
-0.1506
0.7625
-0.9803
-0.9784
-0.0197
-0.0216
4.5137
-1.8849
0.2243
0.1261
-0.0046
-0.0090
(tetapan)
(dugaan
awal)
(substitusi ke
persamaan)
~0
∆u
1.5559
5.9379
-0.0395
0.1581
∆~
x0
-0.1169
0.8250
-0.8149
-0.8109
-0.1851
-0.1891
4.9496
-1.8739
0.1966
0.0913
-0.0337
-0.0625
(iterasi
ke-1)
(substitusi ke
persamaan)
~1
∆u
0.2959
4.0337
-0.0144
0.2412
∆~
x1
(tetapan)
(iterasi
ke-2)
(substitusi ke
persamaan)
~2
∆u
-0.0993
3.3532
0.0066
0.3020
∆~
x2
-0.1552
(iterasi
0.7535
ke-3)
-0.9996 (substitusi ke
-0.9996 persamaan)
-0.0004
~3
∆u
-0.0004
4.4518
-0.1543
-1.8830
3.2551
0.2292
0.0109
0.1326
0.3135
-0.0001
∆~
x3
-0.0002
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
P2
Q2
ψ2
V2
p2
q2
∆p2
∆q2
~
∆u
Jk
(J−1)k
∆~
x
∆ψ2
∆v2
P1
Q1
-1
-1
-0.1553
0.7533
-0.99999983
-0.99999981
-2.0000
-2.0000
4.4505
-1.8829
0.2293
0.1327
-0.4806
-0.8930
1.1229
1.2677
(tetapan)
(iterasi
ke-4)
(substitusi ke
persamaan)
~4
∆u
Iterasi ke-5 tidak
dilakukan.
p24 dan q24 sudah
dianggap sama
dengan P2 dan Q2
yang ditetapkan
-0.1554
3.2531
0.0110
0.3137
∆~
x4
Sampai iterasi ke-3, nilai p23 ≈ −1 dan q23 ≈ −1 . Pada iterasi ke-4
nilai tersebut sudah dapat dikatakan sama dengan nilai P2 dan Q2
yang ditetapkan. Oleh karena itu iterasi ke-5 tidak perlu dilakukan
lagi.
Profil Tegangan Sistem dan Daya Pada Bus-Generator. Pada
Iterasi terakhir kita perloeh profil tegangan sistem dua bus ini
sebagai berikut
V1 = 1 pu;
ψ1 = 0 o
V 2 = 0,7533 pu ; ψ 2 = −0,1553 rad = -8.90 o
dengan diagram fasor:
V2
Pada kondisi ini, daya yang dialirkan ke
saluran transmisi dari bus-1 dan bus-2 adalah
P1 = 1,12 pu ; Q1 = 1,27 pu (bus - generator)
V1
P2 = −1 pu ; Q2 = −1 pu (bus - beban)
Dalam contoh ini tegangan jatuh di saluran cukup besar, dan susut
daya di saluran, yang diperlihatkan oleh selisih P1 dan P2 cukup
besar pula yaitu Psal = 1,12 − 1 = 0,12 pu ≈ 12%. (P1 dan Q1 pada
iterasi ke-4 dicantumkan dalam tabel pada dua baris terakhir).
215
Analisis Aliran Daya
5.6.4 CONTOH Sistem Tiga Bus
Contoh ini juga diambil dari buku referensi [3]. Seperti pada contoh
sebelumnya, perhitungan-perhitungan di sini dilakukan secara
manual dengan menggunakan excel.
Diagram rangkaian beserta data jaringan yang diketahui diberikan
berikut ini.
o
SG1 V1 = 1∠0 pu
bus - 1
G1
S B1 S = 2 pu
B1
bus - 2
y12 = − j10 pu
y13 = − j15 pu
y 23 = − j12 pu
V3 = 1.1
P3 = 2.0
G3
2,5 pu
− j 2 pu
bus - 3
SG 3 S
B2
j1,2 pu
= 2.5 + j1,2 − j 2 = 2,5 − j 0,8
Sbasis = 100 MVA, Vbasis = 230 V
Z basis = 230 2 / 100 = 529 Ω, Ybasis = 1 / 529 = 0,00189 S
G1 = 300 MVA, 15 kV
G3 = 250 MVA, 15 kV
Saluran transmisi dianggap sebagai lossless line.
Admitansi saluran per fasa sudah dihitung dalam per unit:
Y11 = y12 + y13 = 25∠ − 90o ; Y12 = − y12 = 10∠90o ; Y13 = − y13 = 15∠90o
Y22 = y12 + y 23 = 22∠ − 90o ; Y21 = − y 21 = 10∠90o ; Y23 = − y 23 = 12∠90o
Y33 = y31 + y32 = 27∠ − 90o ; Y31 = − y31 = 15∠90o ; Y32 = − y32 = 12∠90 o
Matriks Ybus. Dari perhitungan di atas kita dapatkan matriks
sebagai berikut:
o
Y11 Y12 Y13   25∠ − 90



o
Ybus = Y21 Y22 Y23  =  10∠90
Y31 Y32 Y33   15∠90o

216
10∠90o
22∠ − 90o
12∠90o
15∠90o 

12∠90o  (5.35)
27∠ − 90o 

Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
Peubah-Peubah Dan Pembebanan Pada Bus.
Bus-1: slack bus, V1 = 1 ψ1 = 0o . Daya di bus P1 dan Q1 ini
tergantung dari profil tegangan di semua bus; jadi P1 dan Q1
merupakan peubah tak bebas.
Bus-2: bus-beban. Beban di bus ini dinyatakan dengan resistor
yang menyerap daya nyata PR = 2,5 pu , terhubung seri dengan
ystem r yang menyerap daya reaktif QL = j1,2 pu . Sebuah
kapasitor dihubungkan ke bus-2 dan menyerap daya reaktif
sebesar QC = − j 2 . Total beban yang tersambung ke bus-2
menjadi S B 2 = 2,5 − j 0,8 . Beban di bus-2 yang mengalir ke
saluran transmisi menjadi P2 = −2,5 dan Q2 = j 0,8 . Peubah di
bus ini adalah tegangan dan sudut fasanya, V2 dan ψ 2 .
Bus-3: bus-generator. Daya nyata dari generator di diberikan
melalui pengaturan masukan uap (di turbin) sebesar P3 = 2,0 pu
sedangkan tegangan diatur melalui arus eksitasi sebesar
V3 = 1,1 pu ; oleh karena itu peubah di bus ini tinggallah sudut
fasa tegangan ψ 3 .
Jadi peubah yang ada pada
ystem ini adalah V2 , ψ 2 , dan ψ 3 .
Persamaan Aliran Daya. Bentuk umum persamaan aliran daya
adalah
 n



pi = Vi 
Yij V j cos(ψi − θij − ψ j ) 
 j =1



 n



qi = Vi 
Yij V j sin(ψi − θij − ψ j ) 
 j =1



∑
∑
Karena bus-1 adalah slack bus maka kita akan bekerja pada bus-2
dan bus-3. Di bus-2, daya yang harus dicapai pada akhir iterasi
adalah P2 = −2,5 dan Q2 = 0,8 . Sedangkan di bus-3 daya nyata
yang harus dicapai adalah P2 = 2,0 . Jadi dalam ystem ini
diberikan tiga tetapan daya, dengan tiga peubah. Oleh karena itu
persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan yaitu untuk p2,
p3, dan q2.
217
Analisis Aliran Daya
p2 = V2Y21V1 cos(ψ 2 − θ21 − ψ1) + V2Y23V3 cos(ψ 2 − θ23 − ψ 3 )
+ Y22 (V2 ) 2 cos(−θ22 )]
p3 = V3Y31V1 cos(ψ 3 − θ31 − ψ1) + V3Y32V2 cos(ψ3 − θ32 − ψ 2 )
+ Y33 (V3 ) 2 cos(−θ33 )]
(5.36)
q2 = V2Y21V1 sin(ψ 2 − θ21 − ψ1) + V2Y23V3 sin(ψ 2 − θ23 − ψ3 )
+ Y22 (V2 ) 2 sin(−θ22 )]
Jacobian. Persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan
seperti ditunjukkan oleh (5.36) dengan tiga peubah yaitu
V2 , ψ 2 , dan ψ 3 . Matriks jacobian akan berukuran 3×3, yaitu
∂p 2 / ∂ψ 2 ∂p2 / ∂ψ 3
J = ∂p3 / ∂ψ 2 ∂p3 / ∂ψ 3
∂q 2 / ∂ψ 2 ∂q2 / ∂ψ 3
Elemen-elemen matriks ini adalah
∂p 2 / ∂V2
∂p3 / ∂V2
∂q 2 / ∂V2
(5.37.a)
∂p 2
= −V2Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) − V2Y23V3 sin(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 )
∂ψ 2
∂p 2
= +V2Y23V3 sin(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 )
∂ψ 3
∂p 2
= Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y23V3 cos(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 )
∂V2
+ 2Y22V2 cos(−θ 22 )]
∂p3
= +V3Y32V2 sin(ψ 3 − θ32 − ψ 2 )
∂ψ 2
∂p3
= −V3Y31V1 sin(ψ 3 − θ31 − ψ1 ) − V3Y32V2 sin(ψ 3 − θ32 − ψ 2 )
∂ψ 3
∂p3
= +V3Y32 cos(ψ 3 − θ32 − ψ 2 )
∂V2
∂q 2
= V2Y21V1 cos(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + V2Y23V3 cos(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 )
∂ψ 2
∂q 2
= − V2Y23V3 cos(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 )
∂ψ 3
∂q 2
= Y21V1 sin(ψ 2 − θ 21 − ψ1 ) + Y23V3 sin(ψ 2 − θ 23 − ψ 3 )
∂V2
+ 2Y22V2 sin(−θ 22 )
218
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(5.37.b)
Analisis Aliran Daya
Dugaan Awal dan Iterasi. Kita coba dugaan awal
V20  1
 
∆~
x 0 ≡ ψ 02  = 0
ψ 0  0 
 3   
(5.38)
Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya untuk
mendapatkan corrective force:
0
0
∆p2   P2 − p2  − 2,5 − p2 



0 
0 
∆u ≡  ∆p3  =  P3 − p3  =  2 − p3 
∆q2  Q2 − q20   0,8 − q20 

 

~0
(5.39)
Besar koreksi
( ) ∆u~ = (J )
∆~
x0 = J
−1 0
0
− 2,5 − p20 
0 
 2 − p3 
 0,8 − q 0 
2 

−1 0 
(5.40)
Hasil Perhitungan. Dalam perhitungan ini, sudut fasa tegangan
dinyatakan dalam radian. Perhitungan jacobian inversi pada
dilakukan dengan eliminasi Gauss-Jordan. Berikut ini ditulis lagi
data Ybus , persamaan aliran daya, formulsi jacobian, kemudian
diberikan hasil perhitungan dalam tabel. Elemen matriks jacobian
dan inversinya langsung dicantumkan dalam tabel.
o
Y11 Y12 Y13   25∠ − 90



o
Ybus = Y21 Y22 Y23  =  10∠90
Y31 Y32 Y33   15∠90o

10∠90o
22∠ − 90o
12∠90o
15∠90o 

12∠90o 
27∠ − 90o 

p2 = V2Y21V1 cos(ψ 2 − θ21 − ψ1) + V2Y23V3 cos(ψ 2 − θ23 − ψ 3 )
+ Y22 (V2 ) 2 cos(−θ22 )]
p3 = V3Y31V1 cos(ψ 3 − θ31 − ψ1) + V3Y32V2 cos(ψ3 − θ32 − ψ 2 )
+ Y33 (V3 ) 2 cos(−θ33 )]
q2 = V2Y21V1 sin(ψ 2 − θ21 − ψ1) + V2Y23V3 sin(ψ 2 − θ23 − ψ3 )
+ Y22 (V2 ) 2 sin(−θ22 )]
219
Analisis Aliran Daya
P2
p,q
∂p 2 / ∂ψ 2
J = ∂p3 / ∂ψ 2
∂p2 / ∂ψ 3
∂p3 / ∂ψ 3
∂p 2 / ∂V2
∂p3 / ∂V2
∂q 2 / ∂ψ 2
∂q2 / ∂ψ 3
∂q 2 / ∂V2
-2.5
P3
2
Q2
0.8
ψ1
0
V1
1
ψ2
0
V2
1
ψ3
0
0.0260
V3
1.1
(tetapan)
p2
0.0000
p3
3E-15
q2
-1.2000
∆p
~
∆u
(tetapan)
2
-2.5
∆p
3
-0.0929
(dugaan awal)
1.0962
(substitusi ke
persamaan aliran
daya)
-2.7349
~0
∆u
0.2349
2
2.2399
1.1530
(iterasi ke-1)
(substitusi ke
persamaan aliran
daya)
~1
∆u
-0.2399
∆q
2
2.0000
23.2000 -13.2000
Jk
(J )
∆~
x
220
-2.4950
1.5668
29.700
0
0.0000 -14.3669
30.861
4
0.0000
0.0000
20.800
0
-2.7349
1.7175
25.167
3
0.0577
0.0256
0.0000
0.0542
0.0250
0.0038
0.0256
0.0451
0.0000
0.0250
0.0441
-0.0003
0.0000
0.0000
0.0481
0.0042
-0.0003
0.0402
-13.2000
-1 k
0.0000
-0.3530
25.281
2 -14.3669
ψ2
-0.0929
ψ3
0.0260
V2
0.0962
0.0054
∆~
x0
-0.0046
∆~
x1
-0.0131
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
P2
P3
Q2
ψ1
V1
ψ2
V2
ψ3
V3
p2
p3
q2
∆p2
∆p3
∆q2
p,q
~
∆u
Jk
(J-1)k
∆~
x
ψ2
ψ3
V2
P1
Q1
Q3
P12
Q12
P13
Q13
P31
Q31
P32
Q32
P21
Q21
P23
Q23
-2.5
2
0.8
0
1
-0.0876
1.0830
0.0214
(tetapan)
(iterasi ke-2)
-2.5023
(substitusi ke
persamaan aliran
1.9963
daya)
0.8049
0.0023
~2
∆u
0.0037
-0.0049
24.9999 -14.2111 -2.3105
-14.2111 30.7073
1.4359
-2.5023
1.5551 24.5698
0.0546
0.0251
0.0037
0.0251
0.0442 -0.0002
0.0040 -0.0002
0.0411
0.0002
∆~
x2
0.0002
-0.0002
-0.0874
1.0828
0.0217
(tetapan)
-2.5000
1.9998
0.8000
0.0000
0.0002
0.0000
(iterasi ke-3)
(substitusi ke
persamaan aliran
daya)
~3
∆u
Proses iterasi dihentikan;
nilai p2, p3, dan q2 sudah
dapat dianggap sama dengan
nilai tetapan yang diberikan
yaitu
P2 = −2,5 P3 = 2 Q2 = 0,8
0.5876
-2.2832
1.9653
-0.9448
0.7870
0.3573
1.4961
-0.3573
-1.6539
-1.5552
-0.3115
-0.9448
0.9382
-1.5552
-0.1382
221
Analisis Aliran Daya
Profil Tegangan Sistem. Pada iterasi terakhir kita perloeh profil
tegangan sistem tiga bus ini yaitu
V1 = 1 pu;
ψ1 = 0 o
V2 = 1,08 pu ψ 2 = −0,0876 rad = −5,0 o
V3 = 1,1 pu
ψ 3 = 0,0214 rad = 1,24 o
Diagram fasor tegangan di tiga bus tersebut kurang lebih adalah:
V3
V2
V1
Aliran Daya Antar Bus. Kita akan melihat bagaimana aliran daya
antar bus di saluran transmisi. Aliran daya ini kita hitung
menggunakan relasi
(
S ij = Vi × I ij∗ = Vi Yij ( Vi − V j )
)∗ = Vi Yij∗ Vi∗ − Vi Yij∗ V ∗j
⇒ Pij = Yij Vi2 cos(−θ ij ) − Vi YijV j cos(ψ 1 − θ ij − ψ j )
⇒ Qij = Yij Vi2 sin( −θ ij ) − Vi Yij V j sin(ψ 1 − θ ij − ψ j )
yang tidak lain adalah bentuk awal dari persamaan aliran daya
sebelum cara penulisannya diubah untuk memperoleh bentuk
pernyataan yang lebih terstruktur. Hasil perhitungan tercantum
dalam bagian tabel yang diberi batas garis tebal. Dari bagian tabel
tersebut kita peroleh daya kompleks antar bus dan daya kompleks
di setiap bus.
Bus-1:
S12 = −0,945 + j 0,787 pu
S13 = 0,357 + j1,496 pu
⇒ S1 = −0,588 + j 2,283 pu
Bus-3:
S 31 = −0,357 − j1,654 pu
S 32 = −1,555 − j 0.311 pu
⇒ S 3 = − j1,912 − j1,965 pu
222
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
Bus-2:
S 21 = −0,945 + j 0.938 pu
S 23 = −1,555 − j 0,138 pu
⇒ S 2 = −2,500 + j 0,800 pu
Antara bus-1 dan bus-3 aliran daya hanya terjadi dari bus-3 ke
bus-1; daya di bus-3 S 31 = −0,357 − j1,654 sedangkan daya di
bus-1 S13 = 0,357 + j1,496 . Daya nyata yang dikirim oleh bus-3
tepat sama dengan daya nyata yang diterima bus-1; hal ini terjadi
karena saluran transmisi merupakan lossless line. Perbedaan antara
daya reaktif yang dikirim bus-3 dan yang diterima bus-1 adalah
daya reaktif yang terserap di saluran yaitu sebesar j 0,158 pu .
Aliran
daya
di
bus-2
dari
S 21 = −0,945 + j 0.938
sedang
S 23 = −1,555 − j 0,138
dengan
arah
dari
jumlah
yang
bus-1
arah
sesuai
adalah
bus-3
yang
ditetapkan yaitu S 2 = −2.500 + j 0.800 . Penyerapan daya reaktif
di saluran antara bus-1 dan bus-2 adalah j 0,151 pu sedangkan
antara bus-3 dan bus-2 j 0,499 pu .
Bus-Generator. Kita perhatikan sekarang dua bus-generator pada
sistem ini yaitu bus-1 dan bus-3. Seperti kita pelajari di bab
sebelumnya, mesin sinkron memiliki batas-batas maksimum dan
minimum dalam mencatu daya reaktif agar tidak over-excited
ataupun under-excited. Oleh karena itu pada setiap langkah
iterasi perlu dicermati apakah batas-batas tersebut tidak
dilampaui. Jika pada suatu tahap iterasi batas tersebut dicapai,
maka batas tersebut dijadikan besaran tetapan untuk dipakai
dalam melakukan iterasi selanjutnya.
Persamaan aliran daya di bus generator adalah (5.14)
 n



PGi − PBi = Vi  V j Yij cos(ψ i − ψ j − θ ij )  dan
 j =1



∑


QGi − Q Bi = Vi 




V j Yij sin( ψ i − ψ j − θ ij ) 

j =1

n
∑
223
Analisis Aliran Daya
atau
PGi − PBi = Pi
dan QGi − Q Bi = Qi
Dengan demikian maka
PG1 = P1 + PB1 = −0,588 + 2 = 1,412 pu
QG1 = Q1 + Q B1 = 2,283 + 0 = 2,283 pu
⇒ S G1 = 1,412 + j 2,283 = 2,684∠58,3 o pu
dan
PG 3 = P3 + PB3 = −1,912 + 0 = −1,912 pu
QG 3 = Q3 + Q B3 = −1,965 + 0 = −1,965 pu
⇒ S G 3 = 2,742∠45,8 o pu
Karena daya basis adalah 100 MVA, maka
S G1 = 2684 MVA
dan
S G 3 = 2742 MVA
Ternyata SG1 masih dalam batas kapasitas G1 yaitu 300 MVA;
akan tetapi SG3 melebihi kapasitas generator G3 yang 250 MVA.
Kita dapat menurunkan pasokan daya nyata oleh G3; pasokan daya
ini ditetapkan PG 3 = 2 pu pada awal iterasi. Jika tetapan ini kita
kurangi dengan diimbangi tambahan daya nyata dari G1 agar
kebutuhan daya di seluruh sistem terpenuhi, maka hasil iterasi
ulang dari awal (tidak disajikan dalam tabel) memberikan:
profil tegangan
V1 = 1 pu;
ψ1 = 0 o
V2 = 1,083 pu ψ 2 = −0,0977 rad = −5,60 o
V3 = 1,1 pu
ψ 3 = 0,0035 rad = 0,21o
daya di setiap bus
S1 = −0.9978 + j 2.2772 pu
S 2 = −2.5000 + j 0.8000 pu
S 3 = −1.5022 − j1.9491 pu
daya generator:
S G1 = 1,0022 − j 2,2772 = 2,488∠ − 66,25 o pu
S G 3 = − 1,5022 − j1,9491 = 2,461∠52,38 pu
224
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Daftar Pustaka
1.
Charles A. Gross : “Power System Analysis”, John Willey &
Son, 1986.
2.
Turan Gönen: ”Electric Power Transmission
Engineering”, John Willey & Son, 1988.
3.
Vincent Del Toro, “Electric Power Systems”, Prentice-Hall
International, Inc., 1992.
4.
Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit
ITB 2002.
5.
“Rencana Umum Kelistrikan Nasional”, 2005.
6.
Sudaryatno Sudirham, “Fungsi dan Grafik, Diferensial dan
Integral”, Darpublic, Bandung, , 2011.
7.
Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listik Jilid 1”,
Darpublic, Bandung, , 2012.
8.
Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listik Jilid 2”,
Darpublic, Bandung, , 2012.
9.
Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik Jilid 3”,
Darpublic, Bandung, , 2012.
System
225
Biodata Penulis
Nama: Sudaryatno Sudirham
Lahir: 26 Juli 1943, di Blora.
Istri: Ning Utari
Anak: Arga Aridarma, Aria Ajidarma.
Pendidikan & Pekerjaan:
1971 : Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung.
1982 : DEA, l’ENSEIHT, INPT, Perancis.
1985 : Doktor, l’ENSEIHT, INPT, Perancis.
1972−2008 : Dosen Teknik Elektro, ITB.
Training & Pengalaman lain:
1974 : TERC, UNSW, Australia; 1975 − 1978 : Berca Indonesia PT,
Jakarta; 1979 : Electricité de France, Perancis; 1981 : Cour d”Ete,
Grenoble, Perancis; 1991 : Tokyo Intitute of Technology, Tokyo,
Jepang; 2005 : Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand;
2005 − 2009 : Tenaga Ahli, Dewan Komisaris PT PLN (Persero);
2006 − 2011 : Komisaris PT EU – ITB.
226
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Indeks
a
ABCD, konstanta 85
admitansi 48, 64
air, tenaga 17
aliran daya 199, 203, 210,
214
angin 17
arus laut 17
b
batas operasi 183
batubara 14
beban 5, 17, 18
beban, model 18
bintang, hubungan 25
biomassa 17
bus beban 200, 205
bus-generator 200, 205, 225
d
daya 6, 37, 199
daya mesin sinkron 178
diagram lingkaran 94
diagram satu garis 40
distribusi 5
e
efisiensi 128
energi 1, 6
energi primer 14
f
fluksi bocor 117
g
gas alam 15
gelombang laut 17
i
impedansi 48, 55
impedansi karakteristik 75
impedansi urutan 34
induktansi 49
iterasi 206, 215, 220
j
jacobian 209, 214, 220
k
komponen simetris 29, 31
konfigurai saluran 7
konfigurasi ∆ 56, 69
kutub menonjol 159, 193
l
lossless line 90
m
mesh, hubungan 25
mesin sinkron 159
minyak bumi 15
n
Newton-Raphson 206
nuklir 17
o
operator a 30
p
panas bumi 16
pembangkitan 3
pergeseran fasa 147
permeabilitas 47
permitivitas 47
per-unit 41, 44, 148
polifasa 21
propagasi, konstanta 74
r
rangkaian ekivalen 72, 123
rangkaian ekivalen π 78
reaktansi sinkron 169
regulasi tegangan 128
resistansi 48
rotor silindris 167, 173
227
s
sampah 17
slack bus 200, 205
stabilitas, mantap 95
struktur 3
subtransmisi 4
surge impedance loading 98
surja 101
surya, tenaga 17
t
tiga-fasa 26, 29
transformator 115, 116, 118,
120, 123, 125, 130, 131
transformator polifasa 155
transformator tiga belitan
136, 138, 140, 144
transien 100, 102, 190
transmisi 4, 47, 73
transposisi 61, 70
turbin 177
228
u
uji beban nol 126
uji hubung singkat 126
urutan negatif 29
urutan nol 29
urutan positif 29
y
Ybus 203, 205, 214
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Download