bab ix reklamasi hutan - Sertifikasi Guru Rayon UNS

advertisement
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
TEKNIK REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN
BAB IX
REKLAMASI HUTAN
DR RINA MARINA MASRI, MP
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2017
BAB IX
REKLAMASI HUTAN
1. Pengertian Reklamasi Hutan
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan yang bertujuan strategis seperti kegiatan pertambangan, pembangunan
jaringan listrik, telepon, instalasi air, kepentingan religi serta kepentingan pertahanan
keamanan harus diimbangi dengan upaya rehabilitasi hutan melalui kegiatan reboisasi,
penghijauan dan reklamasi hutan.
Reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan
dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya.
Pendekatan partisipatif adalah wujud keikutsertaan peran masyarakat dan pihak terkait
dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan reklamasi hutan. Hutan dan lahan kritis
yang perlu direklamasi adalah hutan dan lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan
hutan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai media pengatur tata air dan unsur
produktivitas lahan sehingga rnenyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem DAS.
Kawasan hutan ini merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau yang ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Reklamasi hutan yang merupakan bagian dari pengelolaan hutan, pelaksanaannya
harus
melalui
pendekatan
partisipatif
dengan
mengembangkan
potensi
dan
memberdayakan masyarakat, karena kegiatan reklamasi yang tidak memperhatikan aspek
sosial masyarakat memiliki kemungkinan gagal pada masa mendatang. Artinya reklamasi
hutan mensyaratkan pelibatan masyarakat dalam proses reklamasi agar dapat
menyentuh sisi sosial, ekonomi, budaya dan politik yang berkembang di masyarakat.
Program reklamasi hutan meliputi penyiapan kawasan hutan, pengaturan bentuk
kawasan hutan, pengendalian erosi dan sedimentasi, pengelolaan lapisan tanah,
revegetasi, dan pengamanan. Penyiapan kawasan hutan merupakan aktivitas
pemindahan atau pembersihan seluruh peralatan dan prasarana yang tidak digunakan
lagi, pembuangan limbah sampah beracun/berbahaya, pembuangan atau penguburan
srap, penutupan bukaan, dan melarang atau menutup jalan masuk.
1
Pengaturan bentuk kawasan hutan dilakukan sesuai dengan kondisi topografi dan
hidrologi, meliputi kegiatan pengaturan bentuk lereng dan pengaturan saluran
pembuangan air. Pengendalian erosi dan sedimentasi dilakukan dengan meminimaliskan
areal yang terganggu, membatasi/mengurangi kecepatan air limpasan, meningkatkan
infiltrasi dan pengolahan air yang keluar dari lokasi bekas aktivitas penggunaan kawasan
hutan. Pengolahan lapisan tanah merupakan kegiatan untuk memisahkan tanah pucuk
dengan lapisan tanah lain. Revegetasi adalah penanaman kembali dengan jenis-jenis
tanaman cepat tumbuh pada awalnya dan penyulaman/pengkayaan dengan jenis
tanaman lokal. Revegetasi dilakukan dengan tahapan penyusunan rancangan teknis,
persiapan lapangan, pengadaan bibit, penanaman dan pemeliharaan. Pengamanan
meliputi patroli, pemasangan tanda- tanda peringatan dan tanda larangan, serta
mengamankan hasil reklamasi. Contoh pelaksanaan reklamasi hutan bekas penambangan
tersaji pada Gambar 9.1.
Gambar 9.1 Reklamsi Hutan Bekas Penambangan
(Sumber : http://img.antaranews.com/new/2012/07/ori/20120704reklamasi_tambang.jpg) )
Prinsip dasar dari kegiatan reklamasi hutan yaitu :
a.
Merupakan satu kesatuan yang utuh (holistic) dengan kegiatan penambangan; dan
2
b. Dilakukan sedini mungkin tanpa menunggu proses penambangan secara keseluruhan
selesai dilakukan.
Reklamasi hutan bekas usaha penambangan dilaksanakan oleh perusahaan
pertambangan dan energi secara bertahap sesuai dengan rencana dan rancangan
reklamasi yang disahkan dan harus mulai dilaksanakan paling lambat 6 bulan setelah
kegiatan penambangan selesai di setiap lokasi berdasarkan tahapan kegiatan
penambangan. Selain itu perusahaan pertambangan wajib menyampaikan laporan
kemajuan reklamasi setiap 3 (tiga) bulan kepada pihak-pihak terkait.
Reklamasi hutan selain diselenggarakan mengikuti pola umum, kriteria, dan
standar reklamasi hutan yang berlaku, juga harus menggunakan kriteria dan standar:
a. Karakteristik lokasi kegiatan;
b. Jenis kegiatan;
c. Penataan lahan;
d. Pengendalian erosi dan limbah;
e. Revegetasi; dan
f. Pengembangan sosial ekonomi.
2. Program Rencana Reklamasi Hutan
Program reklamasi hutan untuk rencana 5 tahunan sesuai dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.04/MENHUT-II/2011 tentang Pedoman
Reklamasi Hutan, meliputi:
a.
Penyiapan kawasan hutan terdiri dari kegiatan: (1) pemindahan atau pembersihan
seluruh peralatan dan prasarana yang tidak digunakan lagi; (2) pembuangan
limbah/sampah beracun/berbahaya; (3) pembuangan atau penguburan scrap; dan (4)
penataan bukaan dan pemasangan larangan rambu-rambu atau menutup jalan
masuk ke lokasi tambang.;
b. Pengaturan bentuk lahan/penataan lahan;
c.
Pengendalian erosi dan sedimentasi;
d. Pengelolaan lapisan tanah pucuk;
e.
Revegetasi;
f.
Pengamanan
3
Jenis kegiatan reklamasi rencana 5 (lima) tahun tersebut di atas dijabarkan lebih
lanjut ke dalam rencana tahunan meliputi :
(a) Penataan lahan,
(b) Pengisian kembali lubang bekas tambang,
(c) Penataan permukaan tanah,
(d) Penaburan/pengelolaan tanah pucuk,
(e) Pengendalian erosi dan sedimentasi,
(f) Pembuatan bangunan konservasi tanah (checkdam, dam penahan, pengendali jurang,
drop structure, saluran pembuangan air, dan lain-lain),
(g) Penanaman cover
crops untuk
memperkecil
kecepatan
air
limpasan
dan
meningkatkan infiltrasi,
(h) Revegetasi (luas areal penanaman, jumlah tanaman per hektar dan komposisi jenis
tanaman);
3. Pedoman Reklamasi Hutan
Kegiatan reklamasi hutan pada areal bekas penggunaan kawasan hutan mengacu
pada pedoman reklamasi hutan bertujuan agar pelaksanaan reklamasi hutan dapat
dilakukan sesuai dengan pola umum, standar dan kriteria dalam rangka memulihkan
hutan agar kembali berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya.
Ruang lingkup pedoman reklamasi hutan meliputi:
A. Inventarisasi Lokasi
Inventarisasi lokasi merupakan kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang
kondisi seluruh areal kawasan hutan yang akan terganggu dan/atau terganggu sebagai
akibat penggunaan kawasan hutan. Hasil inventarisasi lokasi akan diperoleh: (a) data
numerik dan data spasial seluruh kawasan hutan yang akan terganggu yang digunakan
sebagai data rona awal penggunaan kawasan hutan, (b) data numerik dan data spasial
seluruh kawasan hutan yang terganggu digunakan sebagai dasar penetapan lokasi. Data
numerik dan data spasial merupakan data pokok yang berasal dari dokumen Studi
Kelayakan, AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL), rencana penggunaan kawasan hutan dan Rencana Penutupan Tambang.
Data dan informasi terdiri dari data primer dan sekunder meliputi:
4
1) Kondisi Fisik Areal Pinjam Pakai antara lain:
a. fungsi kawasan hutan,
b. penutupan lahan,
c. flora dan fauna,
d. jenis tanah,
e. tebal solum,
f. topografi,
g. iklim,
h. tata air,
i. erosi atau sedimentasi,
j. ketinggian lokasi, dan
k. jenis vegetasi.
2) Kondisi Sosial Ekonomi meliputi desa di sekitar areal pertambangan yang
terpengaruh/dipengaruhi oleh aktivitas penambangan antara lain:
a. demografi,
b. tingkat pendapatan,
c. mata pencaharian,
d. pendidikan,
e. kelembagaan masyarakat,
f. pemilikan lahan dan
g. budaya masyarakat;
B. Penetapan Lokasi
Penetapan lokasi merupakan kegiatan pemilihan dan penunjukan kawasan hutan
yang terganggu sebagai akibat penggunaan kawasan hutan yang siap untuk direklamasi
berdasarkan data numerik dan data spasial seluruh kawasan hutan yang terganggu hasil
inventarisasi lokasi. Penetapan lokasi reklamasi dilakukan dengan cara menganalisis dan
mengevaluasi data spasial dan numerik kawasan hutan yang terganggu. Luas dan lokasi
reklamasi hasil analisis dipetakan pada peta rencana reklamasi skala paling kecil 1:25.000
sebagai bahan penyusunan rencana reklamasi 5 (lima) tahun atau tahunan.
5
C. Perencanaan
Perencanaan reklamasi dilakukan untuk menghasilkan rencana reklamasi hutan
yang terdiri dari:
(1) Rencana 5 (lima) tahun yang disusun oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan
berdasarkan hasil inventarisasi lokasi dan penetapan lokasi yang memuat:
a) Kondisi kawasan hutan sebelum dan sesudah aktivitas. Kondisi ini berisi informasi
tentang kondisi kuantitatif dan kualitatif rona awal dan rona akhir berupa:
kerapatan tegakan, jenis tanaman, topografi, kelerengan, penutupan lahan dan
flora fauna;
b) Rencana pembukaan kawasan hutan berisi informasi tentang luas dan lokasi
penggunaan kawasan hutan yang akan dilaksanakan;
c) Rancangan teknis reklamasi (T-0);
d) Tata waktu pelaksanaan meliputi jangka waktu pelaksanaan dan penyelesaian
kegiatan reklamasi hutan;
e) Rencana biaya, merupakan seluruh biaya baik langsung maupun biaya tidak
langsung yang dikeluarkan dalam penyelenggaraan kegiatan reklamasi hutan.
Biaya langsung terdiri dari: (1) biaya penyiapan kawasan hutan, (2) biaya
pengaturan bentuk lahan/penataan lahan; (3) biaya pengendalian erosi dan
sedimentasi; (4) biaya pengelolaan lapisan tanah pucuk; (5) biaya revegetasi; dan
(6) biaya pemeliharaan dan pengamanan. Biaya tidak langsung terdiri dari: biaya
mobilisasi dan demobilisasi, biaya perencanaan reklamasi, biaya administrasi
reklamasi dan biaya pemantauan.
f) Peta lokasi dan peta rencana kegiatan reklamasi dibuat dengan skala paling kecil
1:25.000.
(2) Rencana tahunan merupakan penjabaran lebih lanjut dari rencana 5 tahun yang
dibuat dengan mempertimbangkan umur tambang. Bila umur tambang kurang dari 5
(lima) tahun maka rencana reklamasi disusun sesuai dengan umur tambang mengacu
pada rencana 5 (lima) tahun yang dijabarkan ke dalam rencana tahunan yang
memuat: Lokasi/site reklamasi hutan dan Jenis kegiatan reklamasi. Untuk setiap
lokasi disusun rancangan teknis (technical design) sebagai acuan detail pada lokasi
tapak. Lokasi tapak merupakan lokasi setempat (site) yang akan dilakukan kegiatan
6
reklamasi dengan menerapkan teknik reklamasi sesuai dengan rancangan teknis yang
merupakan desain detail dari masing-masing kegiatan yang akan dilaksanakan dalam
rangka kegiatan reklamasi, baik rancangan penataan lahan, rancangan tanaman
maupun rancangan bangunan konservasi tanah.
Rancangan teknis memuat: (a)Lokasi/site reklamasi hutan, (b) Jenis kegiatan
reklamasi, (c) Luas atau volume setiap jenis kegiatan reklamasi, (d) Pola tanam
(tahapan penanaman, jarak tanam, jenis tanaman dan lain-lain), (e) Kebutuhan bahan
dan alat, (f) Kebutuhan tenaga kerja, (g)Kebutuhan biaya, (h) Tata waktu, (i)Peta
rancangan penanaman (lay out tanaman), dan (j) Gambar rancangan bangunan
konservasi tanah.
Rancangan teknis disusun berdasarkan hasil analisis kondisi biofisik dan
kondisi sosial ekonomi. Kondisi biofisik merupakan langkah awal untuk menentukan
tahapan kegiatan penanaman yang meliputi: (a) topografi atau bentuk lahan, (b)
iklim, (c) hidrologi, (d) kesuburan tanah, (e) kondisi vegetasi awal, dan (f) vegetasi
asli. Sedangkan kondisi sosial ekonomi meliputi: (a) Demografi, (b) sarana dan
prasarana, dan (c)aksesibilitas.
Pada lokasi tertentu kegiatan penanaman harus diawali prakondisi dengan
menanam jenis tanaman perintis atau jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing
species) sebelum dilakukan pengkayaan dengan penanaman jenis vegetasi tetap,
yaitu jenis tanaman lokal berdaur panjang. Untuk lokasi lainnya, dapat dilakukan
penanaman langsung dengan jenis-jenis tanaman lokal berdaur panjang. Jenis
tanaman yang dipilih diarahkan pada penanaman jenis tumbuhan asli, yaitu jenis
tumbuhan lokal yang sesuai dengan iklim dan kondisi tanah setempat.
Jenis tumbuhan/tanaman (species) yang dipilih juga tergantung pada penggunaan
lahan/fungsi hutan tersebut di masa yang akan datang. Untuk hutan lindung, jenis
tanaman harus memenuhi syarat: (a) memiliki daur panjang,(b) perakaran dalam, (c)
evapotranspirasi rendah, (d) menghasilkan kayu, getah, kulit, atau buah; dan (e)
heterogen. Untuk hutan produksi jenis tanaman harus memenuhi syarat: (a)
pertumbuhannya cepat, (b) nilai komersialnya tinggi, (c) teknik silvikulturnya telah
dikuasai,(d) mudah untuk memperoleh benih dan bibit yang berkualitas,(e)
disesuaikan dengan kebutuhan/permintaan pasar.
7
Penanaman di samping harus mengacu pada hal tersebut di atas, dalam
pemilihan species perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Species tanaman yang tumbuh secara alamiah dilokasi reklamasi agar
pengelompokan dan pertumbuhannya dapat diidentifikasikan,
b. Tanah dan kondisi drainase di mana species lokal yang berbeda dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi lokasi bekas tambang,
c. Jenis tanaman yang dapat menghasilkan biji dan dapat memperbanyak diri
secara alami,
d. Jenis tanaman yang bernilai ekonomi/komersil dapat digunakan dengan
mempertimbangkan peruntukan lahannya sesuai Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR) atau Tata Guna Hutan,
e. Pertimbangan persyaratan habitat, di mana kemungkinan kembalinya satwa liar
ke daerah tersebut merupakan unsur penting dari penggunaan lahan pasca
penambangan (post mining land use),
f. Pertimbangan penanaman tumbuhan pangkas (trubus) karena tumbuhan ini
sering merupakan kelompok tumbuhan yang baik dan akan memperbaiki
kesuburan tanah.
(3) Penilaian Rencana Reklamasi
Rencana reklamasi hutan 5 (lima) tahun dan tahunan yang telah disusun dinilai oleh
Menteri Teknis, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya
dengan melibatkan Menteri. Dalam hal tertentu, penilaian rencana reklamasi dapat
melibatkan Menteri yang membidangi pengelolaan lingkungan hidup. Penilaian
rencana reklamasi hutan 5 (lima) tahun dan tahunan dilakukan oleh Direktur Jenderal
Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial atas nama Menteri.
Dalam hal penilaian dinyatakan memenuhi syarat, Direktur Jenderal Bina Pengelolaan
DAS dan Perhutanan Sosial atas nama Menteri memberikan rekomendasi.
Rencana reklamasi hutan 5 (lima) tahun dan tahunan yang telah dinilai dan telah
mendapat rekomendasi selanjutnya disahkan oleh Menteri Teknis, Gubernur atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Jika umur tambang kurang dari 5
(lima) tahun, maka rencana reklamasi hutan disusun sesuai dengan umur tambang,
8
selanjutnya proses penyusunan, penilaian, rekomendasi dan pengesahan mengacu
pada ketentuan rencana reklamasi hutan 5 (lima) tahun.
D. Pelaksanaan Reklamasi
Pelaksanaan reklamasi dimulai sesuai dengan rencana yang telah disetujui dan
harus sudah selesai pada waktu yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan kegiatan
reklamasi, pemegang izin penggunaan kawasan hutan bertanggung jawab sampai
kondisi/rona akhir sesuai dengan rencana yang telah disahkan. Pelaksanaan reklamasi
meliputi jenis kegiatan teknik sipil dan teknik vegetasi.
Kegiatan teknik sipil untuk pelaksanaan reklamasi disesuaikan dengan kondisi
setempat meliputi kegiatan: (a)pengisian kembali lubang bekas tambang, (b) pengaturan
bentuk lahan, (c) pengelolaan tanah pucuk, (d) pembuatan teras, (e) saluran pembuangan
air (SPA), (f) bangunan pengendali jurang, (g) pembuatan chek dam, dan/atau
(h)penangkap oli bekas (oil catcher).
Kegiatan teknik vegetasi meliputi pemilihan: (a) pola tanam, (b) tahapan
penanaman (prakondisi dan penanaman vegetasi tetap), (c) sistem penanaman
(monokultur, multiple cropping), (d) jenis tanaman yang disesuaikan kondisi setempat dan
(e) tanaman penutup (cover crop).
Pelaksanaan reklamasi hutan melalui tahapan-tahapan kegiatan : (1) Penataan lahan,
(2) Pengendalian erosi dan sedimentasi, (3) Revegetasi (penanaman kembali) dan (4)
Pemeliharaan.
Contoh tahapan pelaksanaan reklamasi hutan tersaji pada Gambar 9.2.
9
Gambar 9.2. Tahapan Pelaksanaan reklamasi Hutan
(Sumber:https://rahelamelthia.files.wordpress.com/2016/02/newmont-1-c.png?w=700)
1) Penataan lahan
a) Pengisian kembali lubang bekas tambang pada kegiatan penambangan terbuka,
lubang harus ditutup kembali disesuaikan dengan dokumen AMDAL-nya. Kegiatan
penutupan lubang dilakukan secara progresif sesuai dengan kemajuan pelaksanaan
penambangan;
b) Pengaturan bentuk lahan disesuaikan dengan kondisi topografi, jenis tanah dan
iklim setempat. Kegiatan pengaturan bentuk lahan meliputi:
(1) Pengaturan bentuk lereng untuk mengurangi kecepatan air limpasan (run off),
erosi dan sedimentasi serta longsor. Bentuk lereng jangan terlalu tinggi/ terjal
dan dibentuk berteras-teras, tinggi dan kemiringan lereng dimaksud tergantung
kepada sifat tekstur dan struktur tanah serta curah hujan;
(2) Pengaturan saluran air untuk mengatur air agar mengalir pada tempat tertentu
dan dapat mengurangi kerusakan lahan. Jumlah dan kerapatan serta bentuk
saluran air tergantung pada bentuk lahan/topografi, jenis tanah, curah hujan
dan luas areal yang akan direklamasi.
(3) Pengaturan/Penempatan Low Grade berupa bahan tambang yang mempunyai
nilai ekonomis rendah ditujukan agar bahan tambang tersebut tidak
tererosi/hilang apabila ditimbun dalam waktu yang lama karena belum dapat
dimanfaatkan.
10
c) Pengelolaan tanah pucuk bertujuan untuk mengatur dan memisahkan tanah pucuk
dengan lapisan tanah lain. Tanah pucuk merupakan media tumbuh bagi tanaman
dan merupakan faktor penentu untuk keberhasilan pertumbuhan tanaman yang
harus memperhatikan:
(1) Pengamatan profil tanah dan mengidentifikasi per lapisan tanah sampai
endapan bahan galian.
(2) Pengupasan tanah berdasarkan lapisan tanah dan ditempatkan pada tempat
sesuai tingkat lapisan dan timbunan tanah pucuk tidak melebihi dari 2 meter.
(3) Pembentukan lahan sesuai susunan lapisan tanah semula, tanah pucuk
ditempatkan paling atas dengan ketebalan paling sedikit 0,15 meter.
(4) Ketebalan timbunan tanah pucuk pada tanah yang mengandung racun
dianjurkan lebih tebal dari yang tidak beracun atau dilakukan perlakuan khusus
dengan cara mengisolasi dan memisahkannya.
(5) Pengupasan tanah sebaiknya jangan dilakukan dalam keadaan basah untuk
menghindari pemadatan dan rusaknya struktur tanah.
Lapisan tanah pucuk tipis, terbatas atau sedikit, perlu mempertimbangkan:
(1) Penentuan daerah prioritas yaitu daerah yang sangat peka terhadap erosi yang
perlu segera dilakukan penanganan konservasi tanah dan penanaman tanaman.
(2) Penempatan tanah pucuk pada jalur penanaman, atau dengan sistem pot.
(3) Percampuran tanah pucuk dengan tanah lain, yaitu jumlah tanah pucuk yang
terbatas/sangat tipis dapat dicampur dengan tanah bawah/sub soil. Perlu
dihindarkan dalam memanfaatkan tanah pucuk adalah apabila:
(a) sangat berpasir (> 70% pasir atau kerikil)
(b) sangat berlempung (> 60% lempung)
(c) mempunyai pH< 5.00 atau >8.00,
(d) mengandung khlorida 3%,
(e) mempunyai electrical conductivity (ec) 400 milisiemens/meter;
(4) Dilakukan penanaman langsung dengan tanaman penutup (cover crop) yang
cepat tumbuh dan menutup permukaan tanah. Contoh pada Gambar 9.3
11
Gambar 9.3. Penanaman cover crop pada permukaan tebing curam
(Sumber:http://image.slidesharecdn.com/pertambangan-111217100435phpapp02/95/pertambangan-12-728.jpg?cb=1324116711)
2) Pengendalian Erosi dan Sedimentasi
Erosi dapat disebabkan oleh angin dan air. Erosi angin biasanya terjadi di daerah
pantai pasir, daerah semi kering/kering (Nusa Tenggara), atau pada lahan tambang yang
dibuka sangat luas. Dampak utama dari erosi angin antara lain: penurunan produktivitas
lahan, gangguan debu dan terjadinya endapan debu pada selokan, kanan kiri jalan, pagar
dan bangunan-bangunan.
Untuk mengurangi kecepatan angin dapat dibuat pemecah angin. Pemecah angin ini
dapat berupa deretan pohon atau semak belukar yang dibiarkan tumbuh atau ditanam
tegak lurus arah angin, pohon atau semak belukar yang ditanam sebaiknya dari jenis
tanaman yang cepat tumbuh dan kuat atau dapat pula dengan membuat pagar.
Penempatan dan pemilihan pemecah angin harus mempertimbangkan faktor-faktor: (a)
Arah angin erosive, (b) Tinggi dan jarak tanam, (c) Permeabilitas atau kelolosan angin
(paling tinggi 40%), (d) Kontinuitas dan panjang pemecah angin dan turbulensi pada
daerah yang akan direklamasi.
Sedangkan erosi oleh air disebabkan oleh faktor-faktor: curah hujan, kemiringan
lereng (topografi), jenis tanah, tataguna lahan (perlakuan terhadap lahan) dan tanaman
penutup tanah. Beberapa cara untuk mengendalikan erosi air antara lain:
(1) Meminimalisasikan areal terganggu dengan cara:
(a) Membuat rencana detail kegiatan penggunaan kawasan hutan dan reklamasi;
12
(b) Membuat batas-batas yang jelas areal tahapan pengembangan;
(c) Penebangan pohon sebatas areal yang akan dilakukan penggunaan kawasan
hutan;
(d) Pengawasan yang ketat pelaksanaan penebangan pepohonan.
(2) Membatasi/mengurangi kecepatan air limpasan dengan cara:
(a) Pembuatan teras;
(b) Pembuatan saluran diversi/pengelak (saluran yang sejajar garis kontur);
(c) Pembuatan Saluran Pembuangan Air (SPA).
(3) Meningkatkan infiltrasi (peresapan air) dengan cara:
(a) Pembuatan rorak/saluran buntu berupa lubang-lubang atau saluran buntu
yang dibuat di antara tanaman pokok untuk menampung air dan
meresapkannya ke dalam tanah;
(b) Penggaruan tanah searah kontur agar tanah menjadi gembur dan volume
tanah meningkat sebagai media perakaran tanaman.
(4) Menampung sedimen
(a) Sedimen akibat erosi yang terjadi ditampung oleh dam penahan atau dam
pengendali;
(b) Bila endapan sedimen telah mencapai setengah dari badan bendungan
sebaiknya sedimen dikeruk dan dapat dipakai sebagai lapisan tanah atas.
(5) Memperkecil erosi
(a) Untuk memperkecil erosi terutama pada saat baru selesai penataan lahan
dapat dilakukan melalui kegiatan penanaman cover crop;
(b) Pada lahan yang relatif datar penanaman cover crop dapat dilakukan secara
manual, sedangkan pada lahan yang mempunyai kelerengan sedikit terjal
dapat dilakukan penanaman cover crop dengan menggunakan hydroseeding.
(6) Pengelolaan air yang ke luar dari areal penggunaan kawasan hutan dengan cara:
(a) Penyaluran air dari lokasi tambang ke perairan umum harus sesuai dengan
peraturan yang berlaku;
(b) Bila curah hujan tinggi perlu dibuat bendungan yang kuat dan permanen yang
dilengkapi saluran pengelak;
13
(c) Letak bendungan ditempatkan sedemikian rupa sehingga air larian mudah
ditampung dan dibelokkan serta kemiringan saluran air jangan terlalu curam.
(d) Dalam membuat bendungan permanen sebaiknya dilengkapi dengan saluran
pelimpah (spillways), pipa pembuangan (outlet), dan lain-lain yang dianggap
perlu.
Untuk mengendalikan erosi dalam jangka yang lama digunakan tanaman tahunan
atau tanaman penutup tanah(cover crop). Sebelum tanaman berfungsi dilakukan
tindakan-tindakan:
(1) Menutup lahan dengan menggunakan mulsa;
(2) Membuat kondisi tanah tahan terhadap erosi dengan cara membiarkan tanah
tetap menggumpal, membasahi permukaan tanah dan membuat lekukan-lekukan
tanah;
(3) Mengurangi kecepatan angin dengan membuat pemecah angin.
3) Revegetasi (penanaman kembali)
Penambangan permukaan akan menghilangkan semua vegetasi di lokasi yang
ditambang seperti: pohon, semak-belukar, perakaran tanaman, benih, mikroorganisme,
termasuk berpindahnya hewan liar. Proses ini akan menghilangkan fungsi-fungsi kawasan
bervegetasi seperti menyediakan berbagai hasil hutan, tempat hidup hewan liar, pangan,
dan kawasan penyerap air atau sumber air, dan lain-lain.
Vegetasi termasuk komponen biotik yang berfungsi antara lain sebagai pelindung
permukaan tanah dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan dapat menahan
derasnya aliran permukaan. Vegetasi juga dapat berfungsi untuk memperbaiki kapasitas
infiltrasi tanah. Vegetasi dapat juga mengubah sifat fisik tanah melalui aktifitas biologi
yang dilakukan bakteri, jamur /cendawan, insekta dan cacing tanah yang dapat
memperbaiki porositas dan kemantapan agregat tanah.
Usaha manusia untuk memulihkan lahan kritis di luar kawasan hutan dengan
maksud agar lahan tersebut dapat kembali berfungsi secara normal disebut dengan
revegetasi. Revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang
rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas penggunaan
kawasan hutan. Beberapa jenis tanaman cepat tumbuh yang umum digunakan untuk
14
revegetasi adalah sengon laut (Albizzia falcata), akasia (Acasia mangium, Acasia
crassicarpa), lamtoro (Leucaena glauca), turi (Sesbania grandiflora), gamal (Gliricidia
sepium), dan sebagainya. Tanaman cepat tumbuh ditanam bersamaan atau segera
setelah tanaman penutup tanah ditanam.
Ada beberapa jenis tanaman cepat tumbuh yang ditanam sebagai pohon
pelindung yang melindungi tanaman pokok atau tebing, pematah angin, mengurangi
intensitas cahaya dan suhu, meningkatkan kelembaban udara dan mempertahankan
kelembaban tanah, dan menambah bahan organik. Tanaman ini berfungsi untuk
menciptakan iklim mikro yang cocok untuk ekosistem hutan. Setelah tanaman pioner
cepat tumbuh sudah berkembang dengan baik, maka tanaman lokal dapat digunakan
untuk memperkaya variasi jenis tumbuhan.
Tanaman lokal adalah tanaman yang sudah tumbuh secara alami di sekitar daerah
penambangan. Jenis-jenis tanaman lokal dapat dilihat pada Rona Awal Laporan Amdal.
Bibit tanaman lokal dapat diperoleh dari bibit kecil di hutan sekitar daerah penambangan.
Kerjasama dengan masyarakat lokal sangat penting untuk memperoleh bibit tanaman
lokal. Tanaman lokal umumnya sulit tumbuh pada kondisi lahan terbuka. Oleh karena itu
tanaman lokal ditanam setelah tanaman cepat tumbuh sudah tumbuh dengan baik.
Semakin banyak jenis dan jumlah tanaman lokal maka ekosistem hutan semakin baik dan
mendekati hutan alami. Untuk mensukseskan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang
maka faktor yang tak kalah penting adalah lokasi pembibitan untuk tanaman cepat
tumbuh dan tanaman lokal. Tanaman lokal perlu diaklimatisasi sebelum ditanam pada
lahan bekas tambang yang sudah ditumbuhi tanaman cepat tumbuh.
Syarat-syarat tanaman penghijauan atau reklamasi sebagai berikut :
(a) Mempunyai fungsi penyelamatan tanah dan air dengan persyaratan tumbuh yang
sesuai dengan keadaan lokasi, baik iklim maupun tanahnya
(b) Mempunyai fungsi mereklamasi tanah.
(c) Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu yang tidak terlalu lama.
(d) Tumbuh cepat & mampu tumbuh pada tanah kurang subur,
(e) Tidak mengalami gugur daun pada musim tertentu,
(f) Tidak menjadi inang penyakit, tahan akan angin dan mudah dimusnahkan,
(g) Mempunyai perakaran yang lebar dan atau dalam,
15
(h) Tanaman harus bisa dimanfaatkan kemudian hari, artinya mempunyai prospek
ekonomi yang baik.
Tahapan Pelaksanaan Revegetasi :
(1) Persiapan lapangan
Kegiatan persiapan lapangan meliputi pekerjaan: pembersihan lahan, pengolahan
tanah, dan perbaikan tanah.
(a) Pembersihan lahan dari tanaman pengganggu (alang-alang, liana dan lain-lain)
dilakukan agar tanaman pokok dapat tumbuh baik tanpa ada persaingan dengan
tanaman pengganggu dalam hal mendapatkan unsur hara, sinar matahari.
(b) Pengolahan Tanah dilakukan agar tanah menjadi gembur sehingga perakaran
tanaman dapat dengan mudah menembus tanah dan mendapat unsur hara yang
diperlukan dengan baik, sehingga pertumbuhan tanaman dapat sesuai dengan
yang diinginkan.
(c) Perbaikan tanah dimaksudkan agar kualitas tanah yang kurang bagus bagi
pertumbuhan tanaman mendapat perhatian khusus. Perbaikan tanah dilakukan
dengan cara-cara:
i. Penggunaan gypsum untuk memperbaiki kondisi tanah yang mengandung
banyak lempung dan untuk mengurangi pembentukan kerak tanah (crusting)
pada tanah padat (hard-setting soil).
ii. Penggunaan kapur khususnya untuk mengatur pH, akan tetapi dapat juga
memperbaiki struktur tanah.
iii. Penggunaan mulsa, jerami dan bahan organik lainnya. Mulsa merupakan bahan
yang disebarkan di permukaan tanah sebagai upaya perbaikan kondisi tanah
untuk penyesuaian biji pada pertumbuhan awal tanaman, mengendalikan erosi
dan untuk mempertahankan kelembaban tanah dan mengatur sudut
permukaan tanah. Tanaman penutup berumur pendek dapat juga digunakan
sebagai mulsa.
iv. Pemberian pupuk dasar dengan komposisi dan dosis yang tepat dan sesuai
kebutuhan akan sangat berpengaruh pada tingkat pertumbuhan tanaman.
Penggunaan pupuk organik dapat dilakukan karena bermanfaat sebagai
pengubah sifat tanah. Pemberian pupuk butiran atau tablet dapat dilakukan
16
dengan catatan tidak ada kontak langsung antara akar dengan pupuk.
Penggunaan pupuk organik dapat dilakukan karena bermanfaat sebagai
pengubah sifat tanah. Pemberian pupuk butiran atau tablet dapat dilakukan
dengan catatan tidak ada kontak langsung antara akar dengan pupuk.
(2) Persemaian dan/atau pengadaan bibit
Bibit yang dibutuhkan untuk melakukan revegetasi harus dipenuhi melalui
persemaian dan/atau pengadaan bibit. Untuk itu setiap pengguna kawasan hutan
harus memiliki persemaian sendiri. Bila bibit yang tersedia di persemaian tidak
memenuhi syarat untuk ditanam dan/atau jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan
maka pengadaan bibit dapat dilakukan dengan pengadaan langsung. Ketentuan
pelaksanaan persemaian dan/atau pengadaan bibit diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan Penanaman
Tahapan pelaksanaan penanaman meliputi:
(b) Pengaturan arah larikan tanaman
Pengaturan arah larikan harus sejajar kontur atau pada daerah yang relatif
datar mengikuti arah timur barat.
(c) Pemasangan ajir
Pemasangan ajir mengikuti arah larikan tanaman dan jarak tanam yang telah
ditetapkan pada rancangan teknis.
(d) Distribusi bibit
Distribusi bibit dilakukan setelah kegiatan pembuatan lubang tanam atau
dilakukan setelah pemasangan ajir.
(e) Pembuatan lubang tanaman
Pembuatan lubang tanaman dibuat dengan ukuran (30 x 30 x 30) cm atau
disesuaikan dengan ukuran bibit yang akan ditanam dengan jarak lubang
tanaman mengikuti jarak tanam yang telah ditetapkan pada rancangan teknis.
Sebelum penanaman dilakukan, tanah yang akan digunakan untuk menutup
lubang tanaman diberi pupuk dasar (N, P dan K) sesuai kebutuhan atau jenis
tanaman yang akan ditanam.
(f) Penanaman.
17
Penanaman, dilakukan dengan ketentuan:
i. Sebelum
dilakukan
penanaman
terlebih
dahulu
melepas
plastik
(pot/pollybag) pada bibit yang tersedia,
ii. Tanamkan bibit secara tegak lurus dan cukup padat, untuk memastikannya
adalah dengan menekan sekitar tanaman menggunakan kaki.
iii. Jumlah "tanaman jadi" (tanaman akhir) minimal 625 batang pohon per
hektar atau dengan jarak tanam maksimal 4 x 4 meter disesuaikan dengan
bentuk lahan, fungsi kawasan dan bentuk/tajuk tanaman.
iv. Tahapan penanaman dilakukan dengan cara antara lain:
(a) Untuk pengendalian erosi dan sedimentasi, tahap pertama dilakukan
penanaman cover crop,
(b) Setelah tanaman cover crop tumbuh, pada lokasi tertentu harus
diawali prakondisi dengan menanam jenis tanaman perintis/pionir
atau jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species) dengan tujuan
agar penutupan lahan dan pengkayaan unsur hara tanah dapat dicapai
dengan cepat.
(c) Setelah tanaman pionir berumur antara 2 sampai dengan 3 tahun
dilakukan pengkayaan melalui penanaman jenis-jenis lokal berdaur
panjang dan mempunyai nilai ekonomi tinggi yang pada umumnya
memerlukan naungan pada awal penanamannya.
(d) Untuk lokasi lain yang kondisinya memungkinkan, dapat langsung
dilakukan penanaman jenis-jenis tanaman lokal berdaur panjang
dengan jenis tanaman disesuaikan dengan fungsi hutan.
Metode revegetasi pada area bekas tambang tersaji pada Gambar 9.4.
18
Gambar 9.4. Metode Revegetasi pada Area Bekas Tambang
(Sumber http://image.slidesharecdn.com/tatacaraperhitunganjaminanreklamasifinaldanang-150101035341-conversion-gate01/95/tata-cara-perhitungan-jaminan-reklamasifinal-danang-44-638.jpg?cb=1420091503)
4)Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan tanaman
sedemikian rupa sehingga dapat diwujudkan keadaan optimum bagi pertumbuhan
tanaman. Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi:
a.
Penyulaman dilakukan pada tanaman yang mati atau rusak, tidak sehat atau merana,
dan dilakukan pada pemeliharaan tahun berjalan, tahun I dan tahun II sampai
tanaman dapat tumbuh secara baik dan alami.
b. Pengendalian gulma dilakukan untuk mengurangi/memperkecil persaingan akar
antara tanaman pokok dengan tanaman pengganggu. Pengendalian gulma dapat
dilakukan secara manual berupa penyiangan dan pendangiran atau kimiawi berupa
19
penyemprotan bahan kimia/herbisida, tergantung pada kondisi lapangan, keadaan
tanah, jenis tanaman dan jenis gulma.
c.
Pemupukan dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan tanaman dan peningkatan
riap. Dalam menentukan, jenis, dosis dan waktu pemupukan perlu dipertimbangkan
jenis tanaman dan kesuburan tanahnya serta terlebih dahulu dilakukan analisa tanah.
d. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara kimiawi hanya dapat dilakukan
pada keadaan yang sangat mendesak, yang cenderung menggagalkan reklamasi
hutan secara keseluruhan.
e.
Pencegahan terhadap kebakaran hutan dan penggembalaan liar. Beberapa usaha
pencegahan terhadap kebakaran yang dapat dilakukan antara lain: pembersihan
lahan dari bahan mudah terbakar, memilih jenis tanaman yang tahan kebakaran dan
memberikan penyuluhan tentang pencegahan kebakaran kepada masyarakat di
sekitarnya. Pencegahan terhadap penggembalaan liar dilakukan melalui penyuluhan,
pemberian bibit makanan ternak, dan apabila dianggap perlu dapat dilakukan
pembuatan pagar pengamanan.
f.
Pemangkasan untuk memberikan ruang tumbuh yang cukup pada tanaman.
Pemangkasan juga ditujukan untuk memberikan ruang tumbuh pada tanaman sisipan
atau tanaman pengkayaan yang ditanam setelah penanaman tanaman pionir atau
cepat tumbuh.
g.
Penjarangan yang dilakukan pada jenis cepat tumbuh untuk mengurangi persaingan
tumbuh tanaman. Penjarangan selain untuk mengurangi persaingan tumbuh
tanaman juga untuk menghilangkan tanaman dengan pertumbuhan yang tertekan,
dan memberikan ruang tumbuh yang cukup bagi tanaman sisipan atau pengkayaan.
Kegiatan penjarangan dilakukan pada setengah daur umur tegakan pionir, dengan
jumlah/persentase dari jumlah tegakan yang ada tergantung kepada kondisi
kerapatan tegakan dan jenis tanaman atau rencana penanaman jenis lokal berdaur
panjang.
h. PengkayaanPenanaman pengkayaan dapat dilakukan dengan cara melakukan
penanaman sisipan setelah tanaman pioner berumur antara 2 (dua) sampai dengan 3
(tiga) tahun atau setelah dilakukan penjarangan. Pengkayaan tanaman dilakukan
20
dengan menanam jenis-jenis tanaman lokal berdaur panjang dan mempunyai nilai
ekonomis tinggi sesuai dengan hasil analisis di dalam studi AMDAL.
E.
Pembiayaan Pelaksanaan Reklamasi
Biaya pelaksanaan reklamasi hutan dibebankan kepada pemegang izin penggunaan
kawasan hutan. Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan reklamasi hutan pemegang
izin diwajibkan membayar Dana Jaminan Reklamasi (DJR). Ketentuan mengenai besaran,
bentuk, tatacara penempatan, dan pencairan Dana Jaminan Reklamasi dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
F. Jangka Waktu Reklamasi Hutan
Batas akhir penyelesaian reklamasi hutan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu izin penggunaan kawasan hutan. Dalam hal perusahaan akan
mengembalikan kawasan hutan yang dipinjam pakai sebelum berakhirnya jangka waktu
izin pinjam pakai kawasan hutan, maka batas akhir penyelesaian reklamasi hutan adalah
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelum waktu pengembalian kawasan hutan
tersebut. Sebelum dilakukan pengembalian dilakukan penilaian terhadap keberhasilan
reklamasi hutan.
G. Kelembagaan
Bagi pemegang izin penggunaan kawasan hutan wajib mempunyai organisasi khusus
yang menangani reklamasi hutan. Organisasi bertugas untuk: (a) Mengidentifikasi rencana
peruntukan
dan
pemanfaatan
ruang
daerah
yang
akan
di
tambang,
(b)
Mengidentifikasikan rona lingkungan awal, (c) Merencanakan upaya reklamasi hutan (d.)
Melaksanakan rencana dan upaya reklamasi hutan, dan (e) Melakukan pemeliharaan,
penelitian, pemantauan dan pelaporan dari semua pelaksanan rencana dan upaya
reklamasi hutan.
Pemegang izin penggunaan kawasan hutan wajib meningkatkan kualitas dan
kemampuan keahlian sumber daya manusia dalam melakukan kegiatan reklamasi hutan,
antara lain melalui kegiatan pelatihan, on the job training(magang), studi banding,
workshop. Sumber daya manusia reklamasi hutan wajib mempunyai keahlian dalam
bidang kehutanan, pertanian, pertambangan, tanah dan bidang lain yang terkait dengan
reklamasi hutan.
21
Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kemampuan keahlian sumber daya
manusia, di bidang kehutanan dilakukan melalui pelatihan antara lain:
(a) Pemetaan GIS dan penguasaan informasi tenurial kawasan hutan, pemegang izin
penggunaan dapat bekerjasama dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH)
selaku UPT Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.
(b) Monitoring dan evaluasi daerah aliran sungai yang sejalan dengan pemantauan,
pengelolaan dan pengendalian lingkungan, pemegang izin penggunaan dapat
bekerjasama dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) selaku Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
dan Perhutanan Sosial.
(c) Teknik pembibitan tanaman hutan, pemegang izin penggunaan dapat bekerjasama
dengan Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) selaku UPT Direktorat Jenderal
Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial.
(d) Kebijakan pembangunan hutan di daerah dan manajemen hutan lestari, pemegang
izin penggunaan dapat bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi.
H. Pemantauan dan Pembinaan Teknis
Pelaksanaan reklamasi hutan memerlukan kegiatan pemantauan dan pembinaan
teknis yang dilakukan paling sedikit 1 (satu) tahun sekali yang dilakukan oleh tingkat pusat
maupun tingkat daerah. Kegiatan pemantauan bertujuan untuk memperoleh data dan
informasi, kebijakan dan pelaksanaan reklamasi hutan.
Tahapan pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan dilakukan dengan mengamati
perkembangan
pelaksanaan
kegiatan
reklamasi
hutan,
mengidentifikasi
serta
mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil
tindakan sedini mungkin. Sedangkan Kegiatan pembinaan teknis bertujuan untuk
memberikan saran dan masukan untuk perbaikan pelaksanaan reklamasi hutan yang
kurang/tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Pemantauan dan pembinaan teknis reklamasi tingkat pusat dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial cq.
Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Dalam pelaksanaannya melibatkan instansi
terkait atara lain Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Kementerian
22
Energi Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian
Kehutanan. Sedangkan pemantauan dan pembinaan teknis reklamasi tingkat daerah
dapat dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dalam
pelaksanaannya, Gubernur, Bupati/Walikota menugaskan instansi teknis yang menangani
urusan kehutanan, dan dapat melibatkan instansi terkait.
Kegiatan pemantauan dan pembinaan teknis dilakukan oleh dinas teknis yang
ditunjuk oleh Bupati/Walikota untuk memantau perkembangan pelaksanan reklamasi
antara lain: (a) pemenuhan kewajiban pembayaran PSDH-DR, (b) inventarisasi tegakan
hasil reklamasi (c) progres/kemajuan penggunaan kawasan hutan
dan (d)
reklamasi/revegetasi.
Kegiatan pemantauan dan pembinaan teknis dilakukan oleh dinas teknis yang
ditunjuk oleh Gubernur, untuk memantau antara lain: (a) perkembangan pelaksanaan
penataan batas, (b) pelaksanaan pengamanan kawasan hutan, (c) perkembangan
pelaksanaan penggunaan kawasan hutan, dan (d) reklamasi/revegetasi.
Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan atas nama Direktur Jenderal Bina
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial menugaskan Balai Pengelolaan
DAS untuk melaksanakan pemantauan dan pembinaan teknis reklamasi, terutama
dikaitkan dengan pemantauan kondisi tata air pada DAS yang bersangkutan, di samping
pemantauan terhadap kemajuan pelaksanaan reklamasi hutan. Dalam melaksanakan
pemantauan kondisi tata air dilakukan dengan pemasangan SPAS.
Penetapan waktu pelaksanaan pemantauan dan pembinaan teknis ditetapkan oleh
masing-masing instansi teknis dan dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait. Hasil
pemantauan digunakan untuk; (a) Mengetahui perkembangan/kemajuan pelaksanaan
reklamasi, (b) Menyajikan data dan informasi sebagai fungsi kontrol terhadap
pelaksanaan reklamasi hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hasil
pemantauan oleh instansi teknis yang menangani urusan kehutanan di tingkat
Kabupaten/Kota dilaporkan ke Gubernur cq. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dengan
tembusan kepada Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial.
23
Hasil pemantauan oleh instansi teknis yang menangani urusan kehutanan di tingkat
Provinsi dilaporkan ke Gubernur dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Bina
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. Hasil pemantauan dan
pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS dilaporkan langsung kepada Direktorat
Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial.
Penilaian keberhasilan reklamasi hutan dilakukan melalui kegiatan evaluasi
terhadap pelaksanaan reklamasi hutan. Penilaian tingkat pusat dilakukan oleh Tim yang
dikoordinir oleh Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial dan penilaian tingkat daerah dilakukan oleh Tim yang dikoordinir oleh
Dinas Teknis Provinsi yang menangani kehutanan. Penilaian keberhasilan reklamasi hutan
dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali atau setahun sebelum berakhirnya masa berlaku
izin pinjam pakai kawasan hutan.
Pembangunan/pemasangan SPAS dilakukan untuk mengetahui kondisi tata air dan
erosi/sedimentasi yang terjadi. SPAS dilaksanakan untuk mengukur atau mengetahui: (a)
Kondisi tata air, yang diindikasikan dari Koefisien Regim Sungai (KRS), yaitu perbandingan
antara debit maksimum (Qmaks) dan debit minimum (Qmin) dalam suatu DAS. (b) Erosi
yang terjadi yang diindikasikan dari besarnya kadar lumpur/sedimen dalam air yang
terangkut oleh aliran air sungai, atau banyaknya endapan sedimen pada badan-badan air.
Makin besar kadar sedimen yang terbawa oleh aliran air berarti makin tidak sehat kondisi
DAS.
Perangkat SPAS tersebut dipasang pada outlet small watershed (catchment area).
Pada areal pertambangan dengan lebih dari satu catchment area, maka untuk
membangun dan memasang SPAS dipilih catchment area yang paling besar atau yang
paling terpengaruh oleh aktivitas tambang. Sebagai kelengkapan dalam pembangunan
SPAS, maka perlu dipasang alat pengukur curah hujan yang berupa pengukur curah hujan
secara
manual (Ombrometer)
atau
alat
pengukur
otomatis (Automatic
Rainfall
Recorder/ARR). Dalam pemasangan perangkat SPAS tersebut, pemegang izin dapat
berkoordinasi/berkonsultasi dengan Balai pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS)
setempat. Data hasil pengamatan yang sudah diolah/dianalisis yang berupa debit air dan
24
kandungan lumpur yang disampaikan secara periodik dan merupakan bagian dari laporan
reklamasi.
Sistem
pengendalian,
pemantauan
kegiatan
reklamasi
hutan
harus
bersifat measurable reportable, dan verifiable(MRV), dan harus memenuhi prinsip: (a)
Kombinasi remote sensing dan ground based inventory, (b) Hasil perhitungan: transparan
dan terbuka untuk direview. Sistem pengendalian, pemantauan pelaksanaannya harus
didukung oleh pemetaan/data spasial yang memadai (keakuratan sasaran lokasi kegiatan)
dan adanya sistem database dokumentasi proses dan output kegiatan serta adanya
sistem monitoring hasil (outcome), dampak (impact) dan benefit dari program reklamasi.
Semua data dan informasi hasil pemantauan/monitoring reklamasi hutan disajikan
dalam bentuk numerik/tekstual, spasial dan visual. Untuk data visual, perusahaan wajib
menyiapkan citra/dokumentasi foto yang dapat menggambarkan perkembangan
kenampakan rona dari awal sampai akhir penambangan baik sebelum adanya kegiatan
dan setelah dilakukan revegetasi. Reklamasi hutan sebagai bagian dari RHL yang
merupakan program pembangunan yang prosesnya multiyears, input, output, outcome
dan impact programnya dapat diidentifikasi dan dapat diukur.
Pemantauan/monitoring reklamasi hutan sangat penting keberadaannya untuk
memastikan input, output, outcome dan impact dari program reklamasi hutan dapat
berjalan sesuai dengan rencana/sasaran program.
Pelaksanaan pemantauan dengan sistem MRV harus memenuhi tahapan sebagai berikut:
(a) Pemantauan/monitoring Output yang meliputi pemantauan/monitoring keluaran
langsung dari kegiatan Reklamasi Hutan antara lain berupa tanaman/tegakan pohon
yang
merupakan
hasil
langsung
dari input,
dalam
konteks
MRV,
pemantauan/monitoring output ini akan lebih banyak dimanfaatkan.
(b) Pemantauan/monitoring Outcome yang meliputi pemantauan/monitoring hasil yang
mengindikasikan outputkegiatan
Reklamasi
Hutan
telah
berfungsi.
Indikator yang bisa diamati di on-site/lokasi seperti turunnya erosi dan sedimentasi
dan lain sebagainya merupakan bagian dari indikator outcome ini.
(c) Pemantauan/monitoring Impact - kegiatan Reklamasi Hutan yang meliputi indikatorindikator pada off-site/di luar atau di sekitar lokasi yang menunjukkan adanya
25
dampak/pengaruh dari kegiatan, indikasi membaiknya tata air, ekonomi dan sosial
masyarakat merupakan indikator dampak Reklamasi Hutan yang perlu diukur.
(d) Pemantauan/monitoring Benefit yang merupakan pemantauan untuk menguji
sejauhmana program memberikan manfaat.
Untuk mendukung pemantauan reklamasi hutan agar dapat diperoleh gambaran
yang jelas sejak proses awal penggunaan kawasan hutan sampai dengan pelaksanaan
reklamasi, pemegang izin penggunaan kawasan hutan diwajibkan untuk menyiapkan citra
satelit dengan resolusi yang memadai sejak sebelum dilakukan penggunaan kawasan
hutan sampai dengan serah terima kawasan hutan. Pengadaan citra satelit ini merupakan
bagian dari pemantauan dengan metode MRV yang perlu dilakukan untuk periode waktu
tertentu sesuai dengan masa berlaku izin penggunaan kawasan hutan. Bagi pemegang izin
penggunaan kawasan hutan yang masa berlakunya 5 (lima) tahun atau kurang,
pengadaan citra satelit dilakukan pada awal dan akhir kegiatan penggunaan kawasan
hutan. Pemegang izin penggunaan kawasan hutan yang masa berlakunya di atas 5 (lima)
tahun, pengadaan citra satelit dilakukan pada setiap periode 5 (lima) tahun.
I. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Reklamasi Hutan
Pemegang izin penggunaan kawasan hutan sebagai pelaksana reklamasi hutan wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan reklamasi secara berkala kepada Direktur Jenderal
Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan
dengan tembusan kepada:
(a) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan;
(b) Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral;
(c) Dinas Teknis Provinsi yang menangani kehutanan; dan
(d) Dinas Teknis Kabupaten/Kota yang menangani kehutanan.
Laporan reklamasi hutan terdiri dari Laporan Triwulan dan Laporan Tahunan.
Format laporan reklamasi hutan untuk laporan triwulan dan tahunan yang dilengkapi
dengan: (a) Data SPAS (debit air, sedimentasi), (b) Foto-foto dokumentasi pelaksanaan
kegiatan reklamasi dan (c) Peta dan koordinat areal reklamasi (skala 1:10.000). Pemegang
izin penggunaan kawasan hutan juga diwajibkan untuk membuat foto kondisi/citra areal
26
pinjam pakai kawasan hutan mulai tahun ke-0 sampai dengan saat serah
terima/pengembalian areal izin pinjam pakai kawasan hutan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.04/MENHUT-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan), bagi para pemegang izin yang
tidak melaksanakan kegiatan reklamasi hutan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan atau tidak melakukan kegiatan reklamasi hutan, dikenakan sanksi berupa:
(a) Sanksi administratif, didahului dengan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali
dengan selang waktu 3 (tiga) bulan untuk setiap kali peringatan.
(b) Sanksi berupa pencabutan ijin penggunaan kawasan hutan, setelah dilakukan
penilaian hasil reklamasi hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sanksi administratif diberikan oleh Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial setelah dilakukan pemantauan baik oleh Dinas
Provinsi yang membidangi kehutanan maupun yang dilakukan oleh BPDAS setempat.
Bila masa peringatan ke-3 (tiga) telah berakhir dan pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan tidak melakukan kegiatan reklamasi hutan, maka Direktorat Jenderal
Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial membentuk tim
verifikasi/penilai untuk melakukan penilaian pelaksanaan reklamasi sebagai dasar
pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh Menteri. Anggota tim
verifikasi/penilai terdiri dari instansi terkait sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penilaian
Keberhasilan Reklamasi Hutan.
27
Download