makna konotatif dalam terjemahan al-quran pada

advertisement
MAKNA KONOTATIF DALAM TERJEMAHAN AL-QURAN PADA TAFSIR ALMISHBÂH KARYA M. QURAISH SHIHAB: STUDI KASUS SURAH AN-NISÂ
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Syarat Meraih Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
oleh:
DARTI NURMAESAROH
NIM: 1111024000029
Jurusan Tarjamah
Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
1437H / 2015M
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 30 November 2015
Darti Nurmaesaroh
NIM: 1111024000029
i
ii
iii
ABSTRAK
DARTI NURMAESAROH
“Makna Konotatif dalam Terjemahan al-Quran pada Tafsir al-Mishbâh karya M.
Quraish Shihab: Studi Kasus Surat an-Nisâ” tahun 2010.
Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis berapa jumlah ayat pada surat an-Nisâ
dalam Tafsir al-Mishbâh yang mengandung makna konotatif dan bagaimana
terjemahan tersebut memaknani makna konotatif. Di samping itu, peneliti akan
melihat kategori-kategori konotasi yang terdapat pada terjemahan ayat terpilih.
Untuk memecahkan masalah di atas, dalam penelitian ini peneliti menggunakan
metode analisis kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Dengan kata lain, penelitian kualitatif dilakukan dengan cara
mengumpulkan data-data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti, yaitu
berupa teks-teks atau kata-kata, bukan dengan angka-angka. Sumber data yang
digunakan adalah Terjemahan al-Quran yang diambil dari Tafsir al-Mishbâh
volume 2 karya M. Quraish Shihab.
Dari 170 terjemahan ayat, peneliti menemukan 12 terjemahan ayat yang
menandung makna konotatif. Kemudian terjemahan ayat terpilih dianalisis sesuai
dengan teori makna konotatif.
Setelah diteliti, peneliti menemukan beberapa konotasi yang sama pada beberapa
terjemahan ayat. Hasil analisis menjawab, bahwa makna konotatif yang terdapat
dalam terjemahan surat an-Nisâ dalam Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish
Shihab didominasi oleh konotasi yang bersifat negatif.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Awt, sang
Maha Pengasih lagi Penyayang, karena berkat Kemurahan-Nya saya diberi
kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Di samping Kemurahan yang
diberikan Allah Swt, berkat kasih cinta orang-orang di sekitar saya pula skripsi ini
dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam tercurah kepada kekasih Allah, junjungan umat
manusia seluruh alam Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, para sahabat, dan
semoga kita semua mendapat syafaatnya di hari pengadilan nanti. Dengan segala
kerendahan hati, tak lupa saya haturkan beribu terima kasih kepada sejumlah
nama yang turut serta mensukseskan dan memberi kemudahan bagi saya dalam
proses penyelesaian skripsi ini.
Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada
seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah khususnya kepada: Prof. Dr.
Sukron Kamil, MA selaku Dekan Fakultas adab dan Humaniora dan Dosen
Seminar Proposal saya. Kepada Dr. Syarif Hidayatullah, M. Hum, selaku Ketua
Prodi Tarjamah dan Ibu Rizqi Handatyani M.A selaku sekretaris jurusan yang
mana telah meberikan kemudahan dalam segala urusan administrasi. Juga kepada
semua dosen tarjamah UIN Jakarta yang dengan ikhlas telah memberikan ilmu
mereka yang sangat berguna kepada saya selama perkuliahan. Semoga Allah
membalas amal kebaikan mereka semua. Amin.
v
Pertama saya haturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda
Karlina Helmanita, M. Ag, yang tak kenal lelah membimbing saya dalam segala
proses penelitian skripsi ini hingga selesai. Betapa arahan, petunjuk, dan
bimbingan beliau amat sangat memberikan pelajaran berharga yang tak ternilai
harganya untuk saya.
Terima kasih berbalut cinta yang tak terhingga saya haturkan kepada
kedua orangtua tercinta, Abah Dudung dan Mamah Mumun, yang tak kenal lelah
memberikan dorongan, dukungan, motivasi baik materil dan imateril. Yang mana
karena merekalah saya dapat menjangkau dunia dengan ilmu pengetahuan.
Kepada kedua adik, Dadan dan Iki, yang terus mendoakan saya agar dimudahkan
dalam skripsi ini. Kepada penyejuk hati, Sahrial, yang tak kenal lelah membantu,
menghibur, dan sabar menyemangati saya dalam proses menyelesaikan penelitian
ini. Kepada sahabat-sahabat terbaik, Syawaliah dan Annisa, yang selalu ada dalam
suka dan duka, saling memberi masukan dan pendapat. Juga sahabat-sahabat
Tarjamah 2011 yang selama empat tahun berbagi canda dan tawa hingga perjalan
menuju toga terasa sangat berwarna.
Semoga skripsi yang sederhana ini membawa manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan., terutama kajian penerjemahan. Semoga karya yang sederhana
ini menjadi awal dari produktivitas pribadi saya di masa-masa mendatang. Amin.
vi
Dengan rendah hati, saya minta maaf dan terimakasih jika saya banyak
salah, keliru, atau tidak pada tempatnya dalam bersikap serta membawakan diri
selama ini.
Ciputat, 30 November 2105
Darti Nurmaesaroh
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Pernyataan………..................……………………………………………..……..i
Halaman Pengesahan……………………....……………………………………ii
Abstrak ………………………………………………………………………….iii
Kata Pengantar …………………………………………………………………iv
Daftar Isi……………………………………………………………...…………vii
Pedoman Transliterasi ........................................................................................ ix
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….……….1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ……………………….…………..2
C. Tujuan Penelitian …………………………………………….………….3
D. Manfaat Penelitian ………………………………………….…………..3
E. Tinjauan Pustaka ……………………………………………….………4
F. Landasan Teori …………………………………………………………4
G. Metodologi penelitian
1. Metode Penelitian…………………………………….…………..6
2. Sumber Data……………………………………………………...6
3. Teknik Pengumpulan Data………………………………………6
4. Analisis Data………………………………………………….…..7
H. Sistematika Penulisan ……………………………………………….…..7
BAB II: KERANGKA TEORI
A. Teori Penerjemahan …………………………………….……………….8
1. Definisi Penerjemahan ……………………………………….……...8
viii
2. Macam-macam Penerjemahan ……………………………….……9
B. Makna Konotatif …………………………………………….…...….....15
1. Pengertian Makna Konotatif …………………………………......15
2. Perbedaan Denotatif dan Konotatif ……………………..…….….16
BAB III: M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBÂH
A. Biografi M. Quraish Shihab …………………….……………......……24
1. Riwayat Hidup ……………………….……………………………..24
2. Karir…………………………………………………………………25
3. Karya-karya ……………………….………………………………..27
B. Tafsir al-Mishbah M. Quraish Shihab
1.
Gambaran Teks Penerjemahan al-Quran dalam Tafsir alMishbâh …………………………………………………………….31
2. Karakter Penerjemahan al-Quran dalam Tafsir al-Mishbâh …33
BAB IV: ANALISIS MAKNA KONOTATIF PADA TERJEMAHAN ALQURAN DALAM TAFSIR AL-MISHBÂH
A. Temuan ………………………………………………………………..34
B. Analisis …………………………………………………………………43
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………..51
B. Saran ……………………………………………………………………52
DAFTAR PUSTAKA
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Konsonan
No.
HURUF
ARAB
HURUF
ARAB
HURUF
LATIN
1.
‫ا‬
Tidak
dilambangkan
16.
‫ط‬
th
2.
‫ب‬
b
17.
‫ظ‬
zh
3.
‫ت‬
t
18.
‫ع‬
4.
‫ث‬
ts
19.
‫غ‬
g
5.
‫ج‬
j
20.
‫ف‬
f
6.
‫ح‬
h
21.
‫ق‬
q
7.
‫خ‬
kh
22.
‫ك‬
k
8
‫د‬
d
23.
‫ل‬
l
9.
‫ذ‬
dz
24.
‫م‬
m
10.
‫ر‬
R
25.
‫ن‬
n
11.
‫ز‬
z
26.
‫و‬
w
12.
‫س‬
S
27.
‫هـ‬
h
13.
‫ش‬
sy
28.
‫ء‬
`
14.
‫ص‬
sh
29.
‫ي‬
y
15.
‫ض‬
dl
No.
HURUF
LATIN
x
„
Vokal
1. Vokal Tunggal
No.
TANDA
HURUF
LATIN
No.
1.
__َ__
a
3.
2.
-----ِ
I
TANDA
HURUF
LATIN
___ُ__
u
2. Vokal Rangkap
NO.
TANDA DAN
HURUF
NAMA
GABUNGAN
HURUF
NAMA
1.
‫ ي‬..َ...
fathah dan yâ`
ai
a dan i
2.
‫و‬....َ....
fathah dan wâu
au
a dan u
Maddah
No.
HURUF
DAN
HARAKAT
TANDA
No
.
HURUF DAN
HARAKAT
TANDA
3.
‫و‬....ُ..
û
1.
‫ا‬...َ...
â
2.
‫ي‬..ِ...
î
xi
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Kata merupakan unsur terpenting dalam kalimat, setiap kata mempunyai
makna atau arti.1 Makna segala informasi yang berkaitan erat dengan sebuah
ujaran, maka dari itu makna menjadi objek utama dalam semantik. Jika kata
dalam suatu kalimat tidak digunakan secara tepat maka maksud dan makna
kalimat itu akan terganggu dan pesan yang akan disampaikan tidak akan sampai.
Dalam ilmu semantik terdapat dua macam makna, yaitu makna denotatif dan
makna konotatif. Makna denotatif adalah makna yang awal, makna yang wajar,
makna yang sesuai dengan kenyataanya. Sedangkan makna konotatif adalah
makna wajar yang memperoleh perasaan tertentu, emosi tertentu, dan rangsangan
tertentu pula yang bervariasi dan tidak terduga.2 Makna konotatif adalah makna
yang tidak mudah dipahami, sedangkan dalam pemahaman lain diterangkan
bahwa makna denotatif adalah makna asli yang dimiliki oleh sebuah leksem.
Makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif
tersebut yang berhubungan dengan nilai rasa seseorang.3
Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti salah satu makna yang telah
dibahas di atas, yaitu makna konotatif. Seperti yang telah dipaparkan di atas
bahwa makna konotatif adalah makna yang memiliki rasa. Adapun nilai rasa yang
dimaksud adalah rangsangan yang mempengaruhi panca indera, perasaan, sikap,
dan penilaian. Rangsangan dapat bersifat individu atau kolektif serta berdasarkan
1
J. S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar, (Jakarta: T.pn., 1995), h. 50.
J.D Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga 2004), h. 97-98.
3
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 292.
2
1
pengalaman. Makna konotasi mengandung nilai rasa positif, negatif, dan terkang
netral. Berikut merupakan tiga contoh yang mengandung seluruh nilai konotasi.
1) Ibu guru sedang menasihati anak yang bebal
2) Para Ulama berkumpul di masjid Agung
3) Artis yang bernama Saikoji berbadan gemuk
Pada ketiga contoh di atas, kata “bebal”, “agung”, dan “gemuk” mempunyai
makna denotatif dan konotatifnya masing-masing. Kata bebal berarti bodoh yang
berlebihan. Orang yang mengatakan kata tersebut kepada lawan bicaranya
mengandung perasaan menghina dan merendahkan. Maka kata “bebal” tersebut
mengandung makna konotatif negatif. Kata “agung” pada contoh kalimat yang
kedua tidak hanya mempunyai makna “besar” namun mengandung makna lain
yaitu “mulia” atau sesuatu yang dihormati.” Maka, kata agung di atas
mengandung makna konotasi positif. Dalam contoh yang ketiga, kata gemuk
mengandung makna konotasi netral jika disandingkan dengan kata “gembrot”
yang memiliki nilai rasa yang negatif, kata “besar” memiliki nilai rasa yang
positif. Ketiga kalimat di atas merupakan contoh kalimat konotatif dalam bahasa
Indonesia.
Dari contoh di atas, peneliti akan meneliti makna konotatif pada terjemahan
surat Annisa dalam Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk dapat menemukan masalah yang lebih mendalam, peneliti membatasi
objek penelitiannya dengan meneliti makna konotatif dalam terjemahan surat
Annisa yang diambil dari Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab.
2
2.
Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
a) Ayat-ayat apa saja yang mengandung makna konotatif dalam terjemahan
surat an-Nisa pada Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab?
b) Bagaimana kecenderungan makna konotatif dalam terjemahan al-Quran
surat an-Nisa pada Tafsir al-Mishbâh karya M. Qurais Shihab?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah ditemukan di atas, peneliti memiliki tujuan
umum dalam penelitian ini, di antaranya:
a) Untuk mengetahui jumlah ayat yang mengandung makna konotatif dalam
surat Annisa pada Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab.
b) Untuk mengetahui kecenderungan makna konotatif pada terjemahan surat
Annisa dalam Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis konotasi
yang terdapat dalam surat Annisa pada buku Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish
Shihab. Di samping itu, secara praktis penilitian ini juga diharapkan dapat
memberikan manfaat dan kontribusi keilmuan pada mahasiswa Tarjamah. Selain
itu, setelah dilakukan penelitian ini peneliti berharap para penerjemah dapat lebih
memahami dan memperhatikan makna konotatif dalam bahasa sasaran.
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh peneliti temukan, penelitian yang membahas makna konotatif yang
pernah dilakukan adalah; pertama, Zainab, Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah
meneliti tentang “Analisis Makna Konotatif dan Denotatif
yang tidak tepat
3
maupun yang tepat (studi kasus Terjemahan Kitab Subulussalam Jilid III Bab
Pernikahan oleh Drs. Abubakar Muhammad)” tahun 2010.
Perebedaan yang
terdapat pada penelitian ini adalah objek yang digunakan sebagai bahan
penelitian. Penelitian yang digunakan oleh Zainab adalah objek yang mengandung
istilah hukum sedangkan objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah
terjemahan ayat-ayat al-Quran.
Kedua,
penelitian konotatif juga pernah dilakukan oleh Imam Arifin,
Mahasiswa Tarjamah UIN Jakarta yang meneliti tentang “ Makna Konotasi Kata
Ambilan Bahasa Arab dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia” tahun
2014. Perbedaan yang terdapat pada penelitian ini adalah objek yang digunakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Imam Arifin menggunakan objek “kata ambilan”
sedangkan objek yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah terjemahan
al-Quran.
F. Landasan Teori
1. Teori Penerjemahan
Menurut Catford yang dikutip oleh Suryawinata dan Sugeng,
“penerjemahan merupakan penggantian materi tekstual dalam suatu bahasa
dengan materi tekstual dalam suatu bahasa dengan materi tekstual yang padan
dalam bahasa lain (Translation is the replecment of textual material in one
language by equivalent textual material in other language).4 Perlu
diperhatikan bahwa materi yang dimaksud Catford tidak harus sesuatu yang
tertulis. Jadi penerjemahan bisa berupa lisan maupun tulisan.
4
Suryawinata & Sugeng, Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis
Menerjemahkan (Yoyakarta: Kanisius, 2003), h. 12.
4
Terdapat banyak macam-macam penerjemahan, diantaranya adalah
penerjemahan komunikatif dan penerjemahan semantik. Penerjemahan
komunikatif adalah dimana seorang penerjemah harus memproduksi makna
kontekstual
yang
sedemikian
rupa
ketika
menerjemahkan
dengan
menggunakan metode ini. Aspek kebahasaan dan aspek langsung dapat
dimengerti oleh pembaca. Metode ini mengharuskan penerjemah mengerti
prinsip-prinsip
komunikasi.5
Pendekatan
penerjemahan
komunikatif
berhubungan erat dengan pendekatan semantik.
2. Teori Makna Konotatif
Makna
konotatif merupakan makna yang bukan makna aslinya.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai
nilai rasa, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki rasa maka
dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi bisa juga disebut berkonotasi
netral. Konotasi bersifat merangsang dan menggugah pancaindra, perasaan,
sikap, penilaian, dan keyakinan dan keperluan tertentu rangsanganrangsangan tersebut dapat bersifat individual dan kolektif. Makna konotasi
umumnya tidak dikaitkan dengan kata, sedangkan kosakata tidak hanya
terdiri atas kata, tetapi juga terdiri atas beberapa kata, seperti kambing hitam.
Makna kambing hitam bukan merupakan gabungan makna kambing dan
makna hitam, melainkan memiliki makna tersendiri, yaitu “orang yang
dipersalahkan”. Karena mempunyai makna yang tidak dapat ditelusuri dari
5
Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia,
(Tangerang: Dikara, 2010), h. 34
5
makna setiap kata pembetuknya, kambing hitam dikatakan pula mempunyai
makna idiomatis dan berkonotasi negatif.6
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.7 Dengan kata lain,
penelitian kualitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang
terkait dengan masalah yang akan diteliti, yaitu berupa teks-teks atau katakata, bukan dengan angka-angka.8
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sumber data dari terjemahan
surat an-Nisa dalam Tafsir al-Mishbâh volume 2 karya M. Quraish Shihab.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a) Membaca terjemahan al-Quran surat an-Nisa dalam Tafsir alMishbâh secara heuristik
b) Memilih
terjemahan ayat-ayat al-Quran surat an-Nisa dalam
Tafsir al-Mishbâh yang mengandung makna konotatif
4. Analisis Data
Analisis dilakukan dengan cara menganalisis makna denotaif pada
terjemahan ayat-ayat terpilih. Setelah itu peneliti menganalisis makna
6
Kushartanti, dkk, Pesona Bahasa (Langkah Awal Memahami Linguistik), (Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 116.
7
Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta, Arruz Media, 2011), h. 30.
8
Mahsun, Metodologi Penelitian Bahasa, (Jakarta: Grafindo, 2013), h. 79.
6
konotatif. Lalu,
peneliti mengkategorikan setiap hasil analisis kepada
pembagian sifat makna konotatif yaitu konotasi positif, konotasi negatif, dan
konotasi netral. Dalam proses analisis ini, peneliti menguraikan unsur-unsur
pembentukkan satuan bahasa, setelah itu dibedakan dan dikelompokkan
sesuai dengan objek yang menjadi masalah penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Guna mendapat pemahaman yang komprehensif dalam penelitian ini, peneliti
perlu merumuskan sistematika penelitian sebagai berikut:
Bab I pendahuluan, mencakup: latar belakang masalah, pembatasan rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,
metodologi penelitian, sistematika penelitian.
Bab II kerangka teori, mencakup: definisi dan macam-macam penerjemahan,
definisi makna konotatif juga perbedaan makna konotatif dan denotatif.
Bab III tinjauan umum atas teks sasaran mencakup: tinjauan umum terhadap
Tafsir al-Mishbah, biografi peneliti.
Bab IV analisis makna konotasi pada surat Annisa dalam Tafsir al-Mishbâh
karya M. Quraish shihab.
Ba V penutup, mencakup kesimpulan dan rekomendasi.
7
BAB II
Kerangka Teori
A. Teori Penerjemahan
1. Definisi Penerjemahan
Menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan kembali di dalam
bahasa penerima barang yang secara sedekat-dekatnya dan sewajarnya
sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut
maknanya dan kedua menyangkut gayanya (translating consists in
reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the
source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of
style).9 Definisi tersebut diungkapkan Eugene A. Nida dan Charles R. Taber
yang dikutip oleh A Widya Marta dalam bukunya The Theory and Practice of
Translation. secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan
sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
Peran penerjemah sangatlah sentral dalam kegiatan penerjemahan. Sebab,
ia berperan sebagai mediator yang menjadi jembatan penghubung antara
penulis teks sumber dan pembaca teks target. Jembatan penghubung inilah
yang menghadirkan pemikiran penulis teks sumber ke dalam teks target
dalam bingkai kesepadanan. Secara teoritis, sesungguhnya mengungkapkan
pemikiran orang lain dari bahasa sumber ke dalam bahasa target itu lebih sulit
daripada mengungkapkan pemikiran sendiri. Kesulitan ini timbul karena
penerjemah mengemban tanggung jawab besar.10
9
A Widya Marta, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 11.
M. Zaka Alfarisi, Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 25.
10
8
2. Macam-Macam Penerjemahan
Seorang penerjemah mempunyai teknik tersendiri ketika menerjemahkan
suatu teks sumber. Terdapat banyak macam metode yang dikembangkan oleh
para ahli. Berikut salah satunya, yaitu metode yang diungkapkan oleh dinilai
paling lengkap dan memadai. Newmark membagi metode ini menjadi delapan
bagian, di antaranya:
a) Penerjemahan Kata demi Kata
Saat menerjemahkan menggunakan metode ini, penerjemah akan
meletakkan teks sasaran sesuai dengan versi teks sumber. Kata-kata dalam
teks sumber diterjemahkan di luar konteks. Hal ini biasanya digunakan untuk
prapenerjemahan (analisis dan tahap pengalihan) untuk teks sumber yang
sulit dipahami. Contoh:
ٌ‫صلِ كِتَاب‬
ْ ‫فِي ال َف‬
“Di dalam kelas ada sebuah buku”
b) Penerjemahan Harfiah
Menerjemahkan
dengan
menggunakan
metode
ini,
seorang
penerjemah dituntut untuk mencari padanan konstruksi gramatikal teks
sumber yang terdapat dalam teks sasaran. Penerjemahan kata-kata teks
sumber masih dilakukan terpisah. Metode ini biasanya digunakan pada tahap
awal (pengalihan). Contoh:
ِ‫ع َذجِ ضَحَايَا الزِلزَال‬
َ ‫غيَاكَ ْشتَا لِوُسَا‬
ْ ‫جلِ ا ْلثِ ِش وَ اإلحْسَاىِ إِلَي ُي ْى‬
ُ َ‫جلٌ ِهيْ س‬
ُ َ‫جَاءَ س‬
“Datang seorang laki-laki baik ke Yogyakarta untuk membantu korbankorban gocangan”
9
c) Penerjemahan Setia
Saat penerjemah menggunakan metode ini, ia harus memproduksi
makna kontekstual, tetapi masih bisa dibatasi oleh struktur gramatikalnya.
Contoh:
ِ‫ُهىَ َك ِثيْشُ الشَهَاد‬
“Dia (laki-laki) dermawan karena banyak abunya.”
d) Penerjemahan Semantik
Seorang
penerjemah
diharuskan
memiliki
keluwesan
saat
menerjemahkan dengan metode ini. Ia harus mempertimbangkan unsur
estetika teks sumber dengan mengkompromikan makna selama masih dalam
batas wajar.
ِ‫طثَخ‬
ْ َ‫ج َه ْييِ فِي الو‬
ْ َ‫ت رَا الى‬
ُ ْ‫سََأي‬
“Aku melihat si muka dua di dapur”
e) Penerjemahan Adaptasi
Ketika menerjemahkan menggunakan metode ini, seorang penerjemah
cenderung tidak terlalu memperhatikan keteralihan struktur teks sasaran.
Yang diperhatikan hanyalah, apakah terjemahannya dapat dipahami dengan
baik oleh si penutur teks sasaran. Contoh:
َ‫طىْ َقذَم‬
ُ ْ‫حيْثُ لَا تَخ‬
َ ‫عَاشَت تَ ِع ْيذًا‬
ِ‫ع ٌْذَ ال َيٌَا ِتيْع تِأَعْلَي ال ٌَهْش‬
ِ
“Dia hidup jauh dari jangkauan
Di atas gemercik air yang terdengar jauh”
10
f) Penerjemahan Bebas
Penerjemah biasanya cenderung mengutamakan isi dan mengorbankan
bentuk teks sumber. Tak jarang bentuk retorik (seperti alur) atau bentuk
kalimatnya benar-benar berubah. Dalam metode ini, terjadi perubahan drastis
antara struktur luar teks sumber dan teks sasaran.11 Contoh:
َ‫ص ْىلِ الفَسَادِ لِحَيَاجِ الٌَاسِ أَجْوَ ِع ْيي‬
ُ ‫ص ٌل عَظيْنٌ ِهيْ ُأ‬
ْ ‫فِي َأىَ الوَالَ َأ‬
“Harta sumber malapetaka”
g) Penerjemahan Idiomatik
Saat menerjemahkan dengan menggunakan metode ini, penerjemah
dituntut untuk memproduksi pesan dalam teks sumber. Metode ini
mengharuskan untuk sering menggunakan kesan keakraban dan ungkapan
idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Contoh:
ِ‫وَ هَا الَل َزجُ إِ َّال تَ ْعذَ التَعْة‬
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian”
h) Penerjemahan Komunikatif
Seorang penerjemah harus memproduksi makna kontekstual yang
sedemikian rupa ketika menerjemahkan dengan menggunakan metode ini.
Aspek kebahasaan dan aspek langsung dapat dimengerti oleh pembaca.
Metode ini mengharuskan penerjemah mengerti prinsip-prinsip komunikasi.12
ٍ‫ي عَلَقَ ٍح ثُنَ ِهيْ َهضَغَح‬
ْ ‫ي ًُطْفَ ٍح ثُنَ ِه‬
ْ ‫طىَسُ ِه‬
َ َ‫ًَت‬
“Kita tumbuh dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio”
12
Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia, (Tangerang: Dikara, 2010), h. 34.
11
Lain halnya dengan ungkapan Bathgate mengenai beberapa model
penerjemahan yang dikutip oleh Widyamarta, ia membagi model terjemahan
sebagai berikut:
a) Penerjemahan Hermeneutik
Penerjemahan hermeneutik digunakan dalam fase tuning “penjagaan”
menurut tabel proses penerjemahan Bathgate. Hermeneutik adalah teori atau
ilmu penafsiran lambang atau nas, misalnya lambang atau naskah yang
terdapat dalam kitab suci.
b) Penerjemahan Situasional
Situasi sangat menentukan untuk memahami makna suatu ujaran.
Seperti ujaran, “Hei, hebat benar khotbahnya!” dapat merupakan pujian atau
makian, tergantung dari situasinya.
c) Penerjemahan Stilistik
Selain menjaga situasi dan motif ujaran untuk dapat menangkap
dengan tepat ujaran itu, kita pada tahap pertama perlu juga menjajahi stijlnya, gaya ungkap bahasa (gaya bahasa).
d) Penerjemahan Kata demi Kata
Dalam fase penguraian (analisis) terdapat tiga model: kata demi kata,
sintaktik, transformarsial. Menurut Larson dan Smalley, penerjemahan kata
demi kata disebut juga glossing atau interlinear translation. Analisis
(penguraian) berarti mengupas dan mengulas. Menganalisis bahasa sumber
yang akan kita terjemahkan perlu agar kita kemudian dapat merakit bahanbahan menjadi produk dalam bahasa sasaran.13
13
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 20-24.
12
e) Penerjemahan Sintaktik
Kita dapat menerjemahkan sebuah kalimat sederhana secara langsung
dengan tidak merefleksikan hubungan antara bagian-bagiannya., tetapi
menghadapi kalimat panjang dan rumit, tak boleh tidak perlu merenungkan
hubungan bagian-bagiannya, jika tidak maka hasil penerjemahan tidak akan
menjadi sempurna.
f) Penerjemahan Transformasial
Penerjemah tidak akan pernah luput dari keharusan menyusun kalimat
yang panjang dalam bahasa sasaran. Kalimat dalam bahasa sumber sendiri
juga tidak jarang ditemukan kalimat yang panjang. Oleh karena itu,
penerjemahan tranformasial memberikan andil dalam hal ini. Kalimat yang
rumit dalam bahasa sumber dipecah-dipecah atau dipenggal-penggal menjadi
kernel senteces “kalimat –kalimat inti, menjadi kalimat-kalimat tunggal yang
pendek-pendek: dari kalimat-kalimat tunggal yang pendek; tiap kalimat
tunggal hanya ada satu subjek, satu predikat, satu objek.
g) Penerjemahan Interlingua
Setelah teks dalam bahasa sumber yang akan kita terjemahkan kita
uraikan, kita harus memahami betul-betul makna tiap kata dan hubungan
gagasan-gagasan antara satuan-satuan dalam frase atau klausa, antara satuansatuan dalam kalimat, dan seterusnya.14
h) Penerjemahan Semantik
Penerjemah perlu sadar pula akan sistem perlambangan dalam
berkomunikasi di dunia ini. Bahasa juga merupakan salah satu sistem
14
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 25-27.
13
perlambangan; bahasa adalah suatu sistem komunikasi dengan bunyi, yaitu
menggunakan lambang-lambang bunyi yang memiliki arti-arti sembarangan
berdasarkan kesepakatan. Suatu kata melambangkan (artinya, menunjuk,
kepada atau wakil dari) gagasan dalam benak orang atau barang dan
peristiwadi dunia luar. Penerjemah perlu memahami hubungan antara
lambang, gagasan, dan barang di luar.
i) Penerjemahan Nomenklatif
Dalam mengumpulkan batu bata untuk membangun terjemahannya
pada fase retructuring, penerjemah tentu saja harus menemukan juga istilahistilah yang tepat, khususnya bila ia hendak menerjemahkan suatu bidang
cabang ilmu. Terjemahan tentang psikologi perkembangan atau fisika atom,
misalnya, harus menggunakan istilah-istilah dari ilmu itu.
j) Penerjemahan Generatif
Model generatif mengungkapkan mengungkapkan kenyataan bahwa
proses penerjemahan melibatkan banyak keputusan, dan keputusan yang satu
mempengaruhi keputusan-keputusan berikut yang diambil.
k) Penerjemahan Integral
Model ini mucul dari kebutuhan akan strategi penerjemahan yang
menyeluruh untuk menjamin terjaganya konsistensi dan keindahan dalam
produk fase perakitan ini. Model ini diperlukan bila hendak menerjemahkan
teks yang canggih seperti sajak atau puisi.15
Dalam penelitian ini, sumber data yang didapat menggunakan metode
penerjemahan semantik dan komunikatif. Metode penerjemahan semantik terlihat
15
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 28- 33.
14
karena hasil terjemahan menjadi luwes dan fleksibel. Ia mempertimbangkan unsur
estetika Tsu dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas wajar.16
Sedangkan penerjemahan komunikatif adalah metode penerjemahan dimana
penerjemah berorientasi pada bahasa sasaran. Sesuai dengan namanya, metode ini
memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi yang mengupayakan reproduksi
makna kontekstual teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran.17
Penerjemahan semantik dan komunikatif sangat mirip dan seringkali tumpang sua,
sehingga perbedaan nyata antara keduanya hanyalah terdapat pada penekanan
saja. Penerjemahan semantik terfokus pada pencarian padanan pada tataran kata
denagn tetap terikat pada budaya bahasa sumber. Penerjemahan tipe ini berusaha
mengalihkan makna kontekstual bahasa sumber yang sedekat mungkin dengan
struktur sintaksis dan semantik bahasa sasaran.18 Metode tersebut digunakan
karena melihat aspek isi yang akan tersampaikan kepada pembaca karena metode
ini lebih terkonsentrasi dalam pengalihan pesan. Hal ini dilakukan untuk
mempertimbangkan tingkat kematangan berbahasa dan tingkat pengetahuan
pembaca teks yang diterjemahkan.
16
Moch. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer,
(Tangerang: UIN Press, 2014), h. 60.
17
Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia, (Tangerang:
Lembaga Penelitian UIN, 2008), h. 88-89.
18
M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), cet ke- 3, h. 44-45.
15
B. Makna Konotatif
1. Pengertian Makna Konotatif
Makna konotasi merupakan responsi-responsi emosional yang timbul
dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan para pemakainya.19
Dalam kata lain, makna konotatif adalah makna yang bukan makna aslinya.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai
nilai rasa, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki rasa maka
dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi bisa juga disebut berkonotasi
netral.
Rasa positif atau negatif nilai sebuah kata terjadi akibat penggunaan
referen kata tersebut menjadi sebuah lambang. Dalam pengertian yang lebih
sempit, seperti yang dikutip oleh Makyun Subuki dari Richards dan Schmidt
istilah referensi didefinisikan sebagai hubungan antara kata atau frasa objek
spesifik tertentu. Misalnya hubungan antara frasa mobil pak Harun dengan
“Mobil pak Harun di dunia nyata”.20 Jika digunakan sebagai lambang sesuatu
yang positif maka nilai rasanya akan positif, dan jika lambang tersebut
digunakan untuk sesuatu hal yang negatif maka ia akan memiliki nilai rasa
yang negatif. Salah satu contohnya adalah, jika kita melihat, bagi masyarakat
Amerika maupun bagi masyarakat internasional pada umumnya kata-kata
berbau politik seperti komunis, teroris, fasis, ekstrimis, diktator, subversif,
mempunyai makna konotasi “sesuatu yang perlu dijauhi atau dikecam”
sedangkan kata-kata kebebasan, keadilan, hak-hak asasi, perdamaian,
19
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1985), h.
56.
20
Makyun Subuki, Semantik (Pengantar Memahami Makna Bahasa), (Tangerang,
TransPustaka, 2011), h. 27.
16
kesejahteraan, patriotik bermakna konotasi “sesuatu yang didambakan dan
harus diperjuangkan serta dipertahankan”.21
Konotasi bersifat merangsang dan menggugah pancaindra, perasaan,
sikap, penilaian, dan keyakinan dan keperluan tertentu rangsanganrangsangan tersebut dapat bersifat individual dan kolektif. Makna konotasi
umumnya tidak dikaitkan dengan kata, sedangkan kosakata tidak hanya
terdiri atas kata, tetapi juga terdiri atas beberapa kata, seperti kambing hitam.
Makna kambing hitam bukan merupakan gabungan makna kambing dan
makna hitam, melainkan memiliki makna tersendiri, yaitu “orang yang
dipersalahkan”. Karena mempunyai makna yang tidak dapat ditelusuri dari
makna setiap kata pembetuknya, kambing hitam dikatakan pula mempunyai
makna idiomatis dan berkonotasi negatif.22 Arah rangsangan dapat mengarah
ke arah positif maupun negatif. Klasifikasi rangsangan ini bersifat tumpang
tindih dan bergantian berdasarkan pengalaman dan asosiasi yang muncul dan
hidup pada individu dan masyarakat pemakai bahasa dan pemanfaat makna.
Jadi, tidak ada suatu konotasi yang baku dan tetap. Ada makna konotasi yang
pada suatu saat bersifat negatif dan pada saat yang lain bersifat positif.23
2. Perbedaan Konotatif dan Denotatif
Denotasi merupakan makna yang bersifat umum, tradisional, dan
presedensial,24 maka dari itu denotasi atau sistem tanda primer sering
digunakan untuk berkomunikasi, berpikir, dan menginterpretasikan segala hal
termasuk bahasa itu sendiri. Sedangkan sistem tanda sekunder atau konotasi
21
J. D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta, Erlangga, 2004), cet. ke-II, h. 98.
Kushartanti, dkk, Pesona Bahasa (Langkah Awal Memahami Linguistik), (Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 116.
23
J. D. Parera, Teori Semantik, cet. ke-II, h. 99.
24
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, h. 56.
22
17
sering dimanfaatkan oleh para sastrawan untuk merumuskan pemikirannya
dalam bentuk tanda bahasa secara artistik. Maka dari itu, karya sastra
terutama puisi lebih banyak memiliki taraf konotasi.
Makna denotasi (denotasional, konseptual, kognitif) pada dasarnya
sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi
penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut
penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.
Dengan kata lain, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi
faktual objektif. Karena itu, makna denotatif sering disebut sebagai makna
yang sebenarnya.25 Menurut Barthes yang dikutip oleh Paramita, dalam
Mithologiesnya secara tegas membedakan antara makna denotatif atau sistem
tataran pemaknaan pertama dan sistem tataran pemaknaan kedua yang
dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya, dan sistem kedua ini
Barthes menyebutnya dengan konotatif. Pada peta Barthes dapat digambarkan
bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified),
akan tetapi saat bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif.
Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi
merupakan tingkat kedua. Pada tingkat pertama (Language) Barthes
memperkenalkan signifier (1) dan signified (2) yang gabungan keduanya
menghasilkan sign (3) kembali menjadi Signifier (1) dan digabungkan dengan
25
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta, Rineka Cipta, 2009) h.
65-66.
18
signified (2) dan menjadi sign (3). Sign yang ada di tingkatan kedua inilah
yang berupa myth (mitos) disebut juga dengan metalanguage.26
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa makna denotatif adalah
makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna defisional, literal,
gamblang atau common sense dari sebuah tanda. Makna konotatif mengacu
pada asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis,
emosional, dll.27
Dalam penciptaan sastra, para sastrawan pertama kali diikat oleh
arti bahasa lalu diolah menjadi sebuah karya sastra sehingga makna yang
disampaikan tidak lagi sesuai dengan kata aslinya. Makna sastra seringkali
disebut dengan significance (meaning of meaning) dalam bahasa Inggris.
Sedangkan arti bahasa disebut dengan meaning. Untuk memeberikan
kemudahan dalam mendefinisikan meaning, kita perlu memperhatikan
pendapat Busman yang dikitip oleh Makyun, bahwa untuk menentukan
definisi dari arti (meaning) dapat digunakan empat macam batasan, yaitu: (1)
aspek material dari ekspresi linguistik, baik secara fonetis maupun secara
grafis; (2) aspek kognitif yang terlibat ketika memproduksi konsep abstrak
atau ketika menyadari muatan perseptif; (3) objek, ciri, dan keadaan di dunia
nyata yang dirujuk melalui ekspresi linguistik; dan (4) penutur (speaker) dan
konteks spesifik dari situasi ketika ungkapan linguistik tersebut digunakan.28
Dalam bahasa lain, makna karya sastra ditentukan oleh konvensi tambahan
26
Paramita Nadia, Semiotika dalam Desain Komunikasi, artikel diakses pada 6 April
2015
dari
http://www.academia.edu/4049657/Semiotika_dalam_Desain_Komunikasi_Visual_roland_bartes.
27
Paramita Nadia, Semiotika dalam Desain Komunikasi, artikel diakses pada 6 April
2015
dari
http://www.academia.edu/4049657/Semiotika_dalam_Desain_Komunikasi_Visual_roland_bartes.
28
Makyun Subuki, Semantik (Pengantar Memahami Makna Bahasa), h. 24.
19
(konotasi) atau semiotika tingkat kedua, meskipun tidak lepas sama sekali
dari arti bahasanya.
Dalam tindak komunikasi bahasa, peran yang terlibat di dalamnya
hanya tiga: komunikator, komuniken, dan komunike. Karya sastra juga
merupakan salah satu tindak komunikasi yang melibatkan bermacam-macam
komponen. Menurut pendekatan semiotik, dalam tindak komunikasi sastra,
banyak komponen yang terlibat di dalamnya. Di antaranya terdapat delapan
komponen: pencipta, karya sastra, pembaca, kenyataan atau semesta, sistem
bahasa, konvensi sastra, variasi bentuk karya sastra dan nilai keindahan.29
Dalam berbahasa kita tidak bisa melepas makna konotasi. Kalaulah
konotasi dan gaya bahasa itu dihilangkan, maka musnahlah puisi dan
berbagai macam karya sastra. Berikut adalah kata-kata Chairil Anwar yang
mempunyai kadar konotatif yang tinggi. Puisi di bawah ini begitu manis,
padat arti yang tersembunyi, di dalamnya penuh nada-nada kegaiban dan
pesona. Kita dapat melihat setiap baris sajak tidak bisa ditekuni maksudnya,
kita dapat menyelami maknanya tanpa melihat tautan baris lain. Makna kata
dan ungkapan merupakan persoalan konteks.
Penerimaan
Kalau kau mau kuterima kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
29
Sukron Kamil, Najib Mahfudz Sastra (Islam dan Politik), h. 108-109.
20
Jangan tunduk! Tendang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi30
Dalam catatan lain, Chairil Anwar sadar mengatakan dirinya
sendiri sebagai “Aku ini binatang jalang”, telah merangsang pancaindra
dengan kata jalang. Rangsangan tersebut dapat kita uji dengan kata-kata
sinonim yang lain seperti berikut:
Aku ini binatang jalang
Aku ini binatang buas
Aku ini binatang liar
Konotasi jalang, buas, dan liar berbeda-beda kadarnya bagi setiap
pembaca maupun pendengar, tetapi terasa kurang enak dan menakutkan.31
Dijelaskan pula oleh Piliang bahwa makna denotasi adalah pertandaan
yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, dengan kata lain
tanda dan rujukan yang realistis, yang menghasilkan makna yang eksplisit,
langsung dan pasti.32 Makna denotasi (denotaive meaning) adalah makna
yang sesungguhnya atau makna pada apa yang ada. Denotasi merupakan
tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakan yang
tinggi. Dalam catatan lain, makna denotasi merupakan makna kosakata yang
dikuasai seseorang yang merupakan bagian utama memori semantis yang
30
A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 162-
31
J. D. Parera, Teori Semantik, cet. ke-II, h. 99-100.
Chris Barker, Cultural Studies (Teori dan Praktik), (Jogjakarta, Kreasi Wacana, 2009)
163.
32
h. 94-95.
21
tersimpan dalam otak kita.33 Denotasi-denotasi tersebut biasanya merupakan
hasil penggunaan atau pemakaian kata-kata selama berabad-abad; semua itu
akhirnya termuat dalam kamus dan berubah dengan cara yang sangat
lambat.34
Sedangkan konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya terdapat makna
yang tidak sesuai dengan apa yang tampak, tidak langsung, dan tidak pasti.
Dengan kata lain, makna konotatif adalah makna yang tidak mudah
dipahami.35 Ia menciptakan makna lapis kedua yang terbentuk ketika penanda
dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, yang mencakup perasaan, emosi,
keyakinan. Misalnya, tanda “boneka” mempunyai konotasi “cinta dan kasih
sayang”. Makna lapis kedua dapat dihasilkan oleh konotasi yang bersifat
tersembunyi dan implisit, maka hal yang demikian disebut dengan makna
konotatif (conotative meaning).
Makna konotasi juga merupakan responsi-responsi emosional yang
seringkali bersifat perorangan yang timbul dalam kebanyakan kata-kata
leksikal pada kebanyakan para pemakainya. Justri itu konotasilah yang
memisahkan, bukan denotasi, seperti
Langsing dari kurus
Gagah dari gemuk
Kasar dari agresif
Agresif dari tegas
33
Kushartanti, dkk, Pesona Bahasa (Langkah Awal Memahami Linguistik), (Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 115.
34
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, h. 56.
35
Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 292.
22
Setiap kata di atas pada prisipnya mengandung denotasi atau makna
pusat yang sama, tetapi jelas kata-kata tersebut menimbulkan responsiresponsi yang berbeda karena konotasi-konotasi yang terkandung di
dalamnya. Namun demikian konotasi-konotasi tersebut masih dapat dikatakan
bersifat kolektif. Kebanyakan orang akan menyetujui bahwa “langsing”
misalnya, merupakan hal yang disenangi, sedangkan “kurus” membayangkan
kerempeng akibat kurang urus.36
Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai
“Mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran
bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. 37 Maka
dari itu, konotasi yang mantap akan berkembang menjadi sebuah mitos yaitu
makna yang tersembunyi dan secara sadar disepakati oleh sebuah komunitas.
Mitos yang mantap akan berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu
yang mendasari pemikiran sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar
ideologi tersebut mempengaruhi pandangan mereka.
Pada tingkat denotasi bahasa melahirkan konvensi sosial yang bersifat
eksplisit yaitu kode-kode yang makna
tandanya naik ke permukaan
berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, kode-kode yang
makna tandanya bersifat implisit dilahirkan oleh konotasi. Dengan kata lain,
kode tersebut memiliki muatan makna yang tersembunyi. Menurut Barthes,
makna tersembunyi adalah kawasan dari ideologi atau mitologi. Selain itu,
Barthes menunjukkan, ketika kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-
36
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, h. 56.
Paramita Nadia, Semiotika dalam Desain Komunikasi, artikel diakses pada 6 April 2015
37
dari
http://www.academia.edu/4049657/Semiotika_dalam_Desain_Komunikasi_Visual_roland_bartes.
23
teks, maka ideologipun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang
merembes masuk ke dalam teks bentuk penanda-penanda penting, seperti
tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain.38
Bahasa sebagai sarana komunikasi bermakna tidak dapat
melaksanakan fungsinya secara lengkap tanpa adanya makna konotasi.
Karena bahasa dapat dikatakan hidup dan berkembang jika bahasa tersebut
memiliki makna denotasi dan konotasi serta komunikasi antar sesama
manusia akan terasa lebih hidup. Berbahasa tanpa memanfaatkan konotasi
akan terasa hambar, kecuali ilmu pengetahuan dan teknologi. 39 Dalam buku
Mansoer Pateda, Harimurti berpendapat bahwa, “Aspek makna sebuah atau
sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau
ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Dengan
kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal, yaitu makna yang
ditentukan oleh stilistis fungsional dan nuansa ekspresi pengungkapan
bahasa.40
Dengan demikian, perbedaan makna konotatif dan denotatif
didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” pada sebuah kata. Setiap
kata, terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi
tidak setiap kata mempunyai makna konotatif.
38
Paramita Nadia, Semiotika dalam Desain Komunikasi, artikel diakses pada 6 April 2015
dari
http://www.academia.edu/4049657/Semiotika_dalam_Desain_Komunikasi_Visual_roland_bartes.
39
J. D. Parera, Teori Semantik, cet. ke-II, h. 97.
40
Zaenal Arifin, Cermat Berbahasa Indonesia (Jakarta, Akademia Pressindo, t.t). h. 2527.
24
Bab III
A. Biografi M. Quraish Shihab
a. Riwayat Hidup
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang (Sulawesi
Selatan) pada 16 Februari 1944. Ia berasal dari keturunan Arab yang
terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan
guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah
seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di
kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Ia mengahbiskan masa pendidikan
dasarnya di Makasssar (dulu Ujung Pandang) setelah itu melanjutkan
pendidikan menengahnya di Malang dan menyandang gelar “santri” di
Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah.
Berkat ketekunan dalam menyelami studi Islam dan kemampuan
bahasa Arab yang dimilikinya, ia serta adiknya (Alwi Shihab) disekolahkan
di Al Azhar Cairo. Mereka dikirim ke Kairo pada tahun 1958, saat itu usianya
menginjak 14 tahun. Mereka diterima di kelas dua I‟dadiyah Al Azhar
(setingkat SMP/Tsanawiyah di Tanah Air). Ia meraih gelar Lc (S-1) pada
tahun 1967 jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar.
Setelah itu, cendekiawan ini melanjutkan pendidikannya di fakultas yang
sama dan meraih gelar MA pada tahun 1969 untuk spesialis bidang tafsir alQuran dengan tesisnya yang berjudul “al-I‟jaz at-Tasryri‟i Al-Qur‟an AlKarim (Kemukjizatan Al-Qur‟an Al-Karim dari Segi Hukum)”. Pada tahun
25
1980, ia melanjutkan pendidikannya di universitas yang sama. Dalam kurun
waktu dua tahun, ia berhasil menyandang gelar doktor dalam bidang ilmuilmu al-Quran dengan disertasinya yang berjudul Nazhm Al-Durar li AlBiqa‟iy, Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan Analisa terhadap Keotentikan
Kitab Nazm ad-Durar Karya al-Biqa‟i)”, saat itu ia berhasil meraih gelar
doktornya dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan tingkat I
(Mumtaz ma‟a martabat al-asyraf al-„ula).41
Quraish Shihab menikah dengan Fatmawaty Assegaf pada 2 Februari
1975 di Solo. Mereka dikaruniai lima orang anak, Najelaa, Najwa, Nasywa,
Ahmad dan Nahla. Najelaa menikah dengan Ahmad Fikri Assegaf dan
memiliki tiga anak, Fathi, Nishrin dan Nihlah. Putri kedua, Najwa Shihab
menikah dengan Ibrahim Syarief Assegaf dan memiliki dua orang anak, Izzat
dan almarhumah Namiya. Putri ke tiga Nasywa, menikah dengan Muhammad
Riza Alaydrus, dan memiliki dua orang putri, Naziha dan Nuha. Ahmad
Shihab, satu-satunya anak laki-laki dari Quraish Shihab, menikah dengan
Sidah Al Hadad.42
b. Karir
Ketika kembali ke Makassar, setelah menyelesaikan pendidikan S2nya, Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor bidang
Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin. Selain itu, Ia juga
41
Sriwulandari, “Biografi M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/35/jtptiain-gdl-s1-2006-sriwulanda-17271101004_-3.pdf.
42
Muchlis M. Hanafi, “Profil M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari
http://Quraishshihab.com/profile/.
26
diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam lingkungan kampus seperti
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur,
maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia
Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang, Ia juga
sempat melakukan beberapa penelitian; antara lain, penelitian dengan tema
“Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan
“Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978).
Pada tahun 1984, setelah menyelesaikan program doktornya di
universitas yang sama, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin
dan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di
luar kampus, Ia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara
lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota
Lajnah Pentashbih Al Qur‟an Departemen Agama (sejak 1989); Anggota
Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989). Quraish Shihab juga
banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus
Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari`ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Saat ini, Quraish Shihab aktif
menulis artikel, buku dan karya-karyanya diterbitkan oleh Penerbit Lentera
Hati. Salah satu karanya yang terkenal adalah Tafsir al-Mishbah, yaitu tafsir
lengkap yang terdiri dari 15 volume dan telah diterbitkan sejak 2003.
Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia
Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur „an, Mimbar
Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Di sela-sela segala
27
kesibukannya itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam
maupun luar negeri.
Selain sebagai penulis, sehari-hari Quraish Shihab memimpin Pusat
Studi al-Qur‟an, lembaga non profit yang bertujuan untuk membumikan alQur‟an kepada masyarakat yang pluralistik dan menciptakan kader mufasir
(ahli tafsir) al-Qur‟an yang profesional.43
c. Karya-Karya
Sebagai seorang Guru Besar pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan sebagai ahli Tafsir al-Qur'an yang amat
disegani, M. Quraish Shihab telah menghasilkan karya-karya ilmiah.
Berdasarkan pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang beliau tempuh
melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuan menyampaikan
pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional
dan kecenderungan pemikiran yang moderat, beliau hadir sebagai
penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Beberapa karya yang telah dihasilkannya antara lain:
a. Tafsir Mawdhû’î (Tematik)
Tafsir al-Qur‟an yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu.
Berikut karya-karya M. Quraish Shihab yang merupakan tafsir tematik atau
menggunakan pendekatan tafsir tematik:
43
Muchlis M. Hanafi, “Profil M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari
http://Quraishshihab.com/profile/.
28
i.
Wawasan al-Qur‟an (Mizan, 1996).
ii.
Secercah Cahaya Ilahi (Mizan, 2000).
iii.
Menyingkap Tabir Ilahi: al-Asmâ‟ al-Husnâ dalam Perspektif alQur‟an (Lentera Hati, 1998).
iv.
Yang Tersembunyi: Jin, Malaikat, Iblis, Setan (Lentera Hati, 1999).
v.
Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, Pandangan Ulama Masa Lalu
dan
vi.
Cendekiawan Kontemporer (Lentera Hati, 2004).
Perempuan [Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut'ah sampai
Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru] (Lentera Hati,
2004).
vii.
Pengantin al-Qur‟an (Lentera Hati, 2007).
b. Tafsir Tahlîlî
Tafsir al-Qur‟an yang disusun berdasarkan urutan ayat ataupun surah
dalam mushaf al-Qur‟an dan mencakup berbagai masalah yang berkenaan
dengannya. Karya M. Quraish Shihab yang termasuk dalam kategori ini
sebagai berikut:
i.
Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah al-Fâtihah (Untagma, 1988).
ii.Tafsir
al-Qur‟an
al-Karim:
Tafsir
atas
Surah-surah
Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Pustaka Hidayah, 1997).
iii.Tafsir
iv.
al-Mishbah (Lentera Hati, 2000).
Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat
Tahlil (Lentera Hati, 2001).
29
v.
Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt. (Lentera Hati,
2002).
c. Tafsir Ijmali (Global)
Sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dengan cara
mengemukakan makna ayat secara garis besar, dengan mengikuti urutan
surah-surah dalam al-Qur‟an sebagaimana metode Tahlîlî. Karya M. Quraish
Shihab yang menjelaskan intisari kandungan ayat-ayat al-Qur‟an ini yaitu,
Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur‟an (Lentera
Hati, 2012).
d. Terjemah al-Qur’an.
Berawal dari ketidakpuasan M. Quraish Shihab terhadap terjemahan
al-Qur‟an yang banyak beredar selama ini, karya ini lahir. Banyak ulama
menegaskan bahwa al-Qur‟an tidak dapat diterjemahkan dalam arti
dialihbahasakan, karena tak ada bahasa di dunia yang cukup kaya untuk
merangkum seluruh makna yang dikandungnya. Oleh karenanya, karya beliau
ini diberi judul, Al-Qur‟an dan Maknanya (Lentera Hati, 2010).
e. Maqâlât Tafsîriyyah (Artikel-artikel Tafsir):
i.
Membumikan al-Qur‟an (Mizan, 1992).
ii.
Lentera Hati (Mizan, 1994).
iii.
Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur‟an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat (Lentera Hati, 2006).
iv.
Membumikan al-Qur‟an Jilid 2 (Lentera Hati, 2011).
30
f. Ulumul Qur’an dan Metodologi Tafsir
i.
Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya* (IAIN Alauddin,
1984).
Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduh dan M.
ii.
Rasyid Ridha (*diterbitkan kembali oleh Pustaka Hidayah Bandung,
1994).
Rasionalitas al-Qur‟an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (*diterbitkan
iii.
kembali oleh Lentera Hati, 2005).
iv.
Filsafat Hukum Islam (Departemen Agama, 1987).
v.
Mukjizat al-Qur‟an (Mizan, 1996).
vi.
Kaidah Tafsir (Lentera Hati, 2013).
g. Tsaqâfah Islâmiyah (Wawasan Keislaman)
i.
Haji Bersama M. Quraish Shihab (Mizan, 1998).
ii.
Dia Di Mana-Mana (Lentera Hati, 2004).
iii.
Wawasan al-Qur‟an tentang Zikir dan Doa (Lentera Hati, 2006).
iv.
Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam
Islam (Lentera Hati, 2005).
v.
Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas
Konsep Ajaran dan Pemikiran (Lentera Hati, 2007).
vi.
Yang Ringan Jenaka (Lentera Hati, 2007).
vii.
Yang Sarat dan yang Bijak (Lentera Hati, 2007).
viii.
M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut
Anda Ketahui (Lentera Hati, 2008).
31
ix.
Ayat-Ayat
Fitna:
Sekelumit
Keadaban
Islam
di
Tengah
Purbasangka (Lentera Hati dan Pusat Studi al-Qur‟an, 2008).
x.
Berbisnis dengan Allah (Lentera Hati, 2008).
xi.
Doa Harian bersama M. Quraish Shihab (Lentera Hati, 2009).
xii.
M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut
Anda Ketahui (Lentera Hati, 2010).
xiii.
Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. dalam Sorotan al-Qur‟an
dan Hadits-Hadits Shahih (Lentera Hati, 2011).
xiv.
Doa Asmaul Husna: Doa yang Disukai Allah (Lentera Hati, 2011).
xv.
Haji dan Umrah Bersama M. Quraish Shihab (Lentera Hati, 2012).
xvi.
Kematian adalah Nikmat (Lentera Hati, 2013).
xvii.
M. Quraish Shihab Menjawab pertanyaan Anak tentang Islam
(Lentera Hati, 2014).
xviii.
Birrul Walidain (Lentera Hati, 2014).44
B. Tafsir al-Mishbâh M. Quraish Shihab
1. Gambaran Teks Penerjemahan Tafsir al-Mishbâh
Buku tafsir ini dinamai Al-Mishbâh: pesan dan keserasian al-Quran.
Terdapat dua hal yang mendasari penamaan karya tersebut, pertama, di dalam
kata pengantar sedikit dijelaskan bahwa nama al-Mishbâh berasal dari bahasa
Arab yang berarti: lampu, pelita, lentera, dan benda-benda sejenisnya yang
memberi penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Dengan
44
Muchlis M. Hanafi, “Karya-Karya M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari
http://Quraishshihab.com/work/.
32
demikian, mengacu pada hal tersebut beliau mengharapkan bahwa buku ini
dapat dapat memberikan petunjuk dan pedoman hidup bagi mereka yang
terkendala bahasa.45 Kedua, didasarkan pada kegiatan awal mula beliau
menulis di jakarta, Quraish diminta untuk menjadi pengasuh dari rubrik
“Pelita Hati” pada harian Pelita, pada tahun 1980-an. Tampaknya uraianuraian yang disajikan menarik banyak pihak, karena memberikan nuansa
yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994,
kumpulan dari tulisannya itu diterbitkan oleh penerbit Mizan dengan judul
Lentera Hati, yang ternyata menjadi best seller dan mengalami cetak ulang
beberapa kali. Kumpulan dari rubrik Pelita Hati diterbitkan dengan judul
Lentera hati, yang mana sebagian besar isi buku tersebut banyak diadopsi
dalam penulisan Tafsir al-Misbah. Sebagaimana hasil analisis bahwa judul
dari kumpulan tulisannya adalah Lentera Hati yang mana Lentera mempunyai
padanan dengan pelita yaitu sama-sama memberikan penerangan. Dan dalam
bahasa Arab, lentera, pelita, lampu dipadankan dengan kata mishbah.46
Setiap karya terdapat motifasi yang melatar belakangi para
penulisnya, tak terkecuali Tafsir al-Mishbah. Terdapat dua hal yang
melatarbelakangi penulis, mengapa buku ini harus ditulis, pertama, penulis
merasa mempunyai tanggung jawab moral sebagai ulama yang wajib
memberikan penerangan kepada umatnya sesuai dengan bidang yang ia
geluti. Rasa tanggung jawab tersebut muncul ketika menyadari bahwa alQuran
harus
dipahami
maknanya.
Mengenai
hal
tersebut,
beliau
45
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran),
(Tangerang: Lentera Hati, 2000), vol. I, h. 176-177.
46
Asep Badru Takim, Takhrij Hadis-Hadis Kitab Tafsir al-Mishbâh, (Tangerang, T.pn.
2010), h. 24.
33
mengungkapkan
bahwa,
“Adalah
kewajiban
para
ulama
untuk
memperkenalkan al-Quran dan menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung
di dalamnya sesuai dengan harapan dan kebutuhan.”47 Kedua, tidak sedikit
umat Islam yang mempunyai keterkaitan yang luar biasa terhadap maknamakna al-Quran, tetapi banyak ditemukan kendala, seperti waktu, ilmu-ilmu
pendukung, dan kelangkaan buku-buku rujukan. Motifasi M. Quraish Shihab
dalam menulis dan menyusun Tafsir al-Mishbâh ini nampaknya sejalan
dengan apa yang diungkapkan dengan Ibnu Katsir dalam muqaddimah
tafsirnya, “Adalah menjadi kewajiban para ulama untuk mengungkapkan
maksud
dari
kalam
ilahi,
menafsirkannya,
mempelajarinya,
dan
mengajarkannya.”48
2. Karakter Penerjemahan Tafsir Al-Mishbâh
Penerjemah ayat-ayat al-Quran dalam Tafsir al-Misbâh ditulis dengan
menggunakan metode penerjemahan komunikatif yang mana penerjemahan
teks tersebut berorientasi pada bahasa sasaran. Sesuai dengan namanya,
Newmark mengungkapkan bahwa metode penerjemahan ini memperhatikan
prinsip-prinsip
komunikatif
yang
mengupayakan
reproduksi
makna
kontekstual teks bahasa sumber sedemikian rupa ke dalam teks sasaran, baik
aspek kebahasaan maupun aspek isinya yang langsung dimengerti oleh
pembaca dan pesan dalam bahasa sasarannya pun langsung dapat diterima.49
Mengacu pada prinsip komunikatif, terjemahan yang dihasilkan dengan
47
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992), h. 12.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Kairo: Mathba‟ah al-Istiqomah, 1958), jilid 1, h. 3.
49
Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 88-89.
48
34
metode ini terlihat bersifat lebih sosial, lebih berkonsentrasi dalam pengalihan
pesan dari teks sumber, lebih sederhana, lebih jelas untuk dipahami, lebih
singkat dan alami dalam menyampaikan pesan yang terkandung dalam teks
sumber. Metode ini dilakukan untuk mengantisipasi dan mempertimbangkan
tingkat kematangan berbahasa pembaca dan pesan yang disampaikan.
35
Bab IV
Analisis Makna Konotatif pada Terjemahan al-Quran Surat an-Nisa dalam
Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab
A. Temuan
Dari sumber data yang telah diteliti, peneliti menemukan 12 terjemahan ayat
al-Quran dalam surat an-Nisa pada Tafsir al-Mishbâh yang mengandung makna
konotatif. Selanjutnya, peneliti akan menganalisis dan mengkategorikan masingmasing temuan ke dalam tiga macam konotasi, yaitu: konotasi positif, konotasi
netral, dan konotasi negatif yang selanjutnya akan dibahas pada sub bab B pada
bab ini.
1. Konotasi Positif
  
   

 
  
  
    
      
  
    
 
  
    
 
       

“Apakah engkau tidak melihat orang-orang yang memuji diri mereka
bersih? Sebenarnya Allah memuji dan membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (Q.S An-Nisa:
49).50
50
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 469.
36
2. Konotasi Netral
            

   
  
   
       
    
   
      
 
        
      
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta
mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya itu adalah dosa yang besar.”
(Q.S An-Nisa: 02).51
               
  
 
        
    
     
   
     
   
      
    
       
        
  
 
      
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka mencapai pernikahan. Maka
jika kamu telah mengetahui adanya pada mereka kecerdasan, maka
51
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 336.
37
serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka. Dan janganlah kamu
memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan tergesa-gesa
sebelum mereka dewasa. Barang siapa yang mampu, maka hendaklah ia
menhan diri dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia memakan
harta itu menurut yang patut. Lalu apabila kamu menyerahkan harta
mereka kepada mereka, maka hendaklah kamu mempersaksikan atas
mereka. Dan cukuplah Allah menjadi pengawas.” (Q.S: An-Nisa: 06).52
   
 
  
   
  
   
   
  
 
 
     
    
  
   
 
   
 
 
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perut mereka dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S An-Nisa:
10).”53
 

       
 
   
  
  
  
   
 
   
    
 
 
   

      
  

   
   
  
   
 
     
  
 
      

 

 
     
  
   
  
52
53
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 349.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 357.
38
“Dan para wanita yang mendatangi perbuatan yang sangat keji dari
wanita-wanita kamu, maka hendaklah kamu mempersaksikan atas mereka
empat orang saksi lelaki di antara kamu. Lalu apabila mereka telah
memberi persaksian, maka tahanlah mereka dalam rumah sampai maut
menyempurnakan ajal mereka, atau sampai Allah memberi buat mereka
jalan (penyelesaian).” (Q.S An-Nisa: 15).54
  
    
  
 
  
 
 
       
     
  
     
 
       
     
          
    
 
           
      
     
 
 
 
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat
sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengetahui apa yang
kamu ucapkan, dan tidak juga dalam keadaan junub terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau salah seorang di antara kamu kembali dari tempat yang
54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 372.
39
rendah atau kamu telah menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapati
air, maka bertayamumlah dengan sha‟id yang baik (suci); maka sapulah
wajah kamu dan tangan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun.” (Q.S An-Nisa: 43).55
3. Konotasi Negatif
           
  
    
  
   
   
       
      
 
      
   
 
  
  
      
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya
pasangannya; Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang
banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
nama-Nya kamu saling meminta dan (pelihara pula) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu.” (Q.S AnNisa: 01).56
55
56
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 449.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 329.
40
           
 
  
 
  
 
  
  
   
   
 
  
            
  
  
 
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang
yang kafir berperang di jalan thagut, maka perangilah wali-wali setan itu,
karena sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.” (Q.S An-Nisa: 76).57

        
 
  
  
 
        
   
          
 
 
 
 
   
 
“Barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dia
melemparkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya
dia telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Q.S An-Nisa:
112).58

 
          
  
 
     
  
    
  
   
 
 
    
 
  
  
 
   
  
     
  
 
  
 
     
 
  
  
 
   
  
     
 
    
57
58
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 511.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 581.
41
“Maka disebabkan pelanggaran mereka perjanjian pelanggaran mereka
itu, dan karena kekafiran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan
pembunuhan mereka terhadap nabi-nabi tanpa haq dan ucapan mereka:
“Hati kami tertutup.” Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati
mereka karena kekafiran mereka, karena itu mereka tidak beriman kecuali
sebagian kecil dari mereka.” (Q.S An-Nisa: 155).59
 

  
   
   
     
        
 
  
  
 
     
 
   
    
                
     
        
 
 
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian apa yang telah kamu berikan
kepadanya, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara ma‟ruf atau patut. Selanjutnya bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak
59
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 646.
42
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.” (Q.S An-Nisa: 19).60
 
            
 
            
    

   

  

  
 
    
          
  
   


 
 
 
          
    
 
“Dan wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu
miliki. Itu sebagian ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
untuk memelihara kesucian, bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang
telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka
imbalannya sebgai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan kewajiban itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Bijaksana.” (Q.S An-Nisa: 24).61
60
61
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 380.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 39
43
B. Analisis
1. Konotasi Positif
  
   
   
 
  
  
    
      
  
    
 
  
    
 
       
“Apakah engkau tidak melihat orang-orang yang memuji diri mereka
bersih? Sebenarnya Allah memuji dan membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (Q.S An-Nisa:
49).62
Kata  yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 49 berasal dari kata
‫ َزّكَى – ُيزَّكِى‬yang secara leksikal berarti membersihkan.63 Secara denotatif
membersihkan berarti membuat sesuatu menjadi bersih dengan cara
menyapu, menggosok, mencuci, dan sebagainya. Selain itu, membersihkan
juga
dapat
memulihkan.64
diartikan
Dalam
sebagai
arti
lain,
melenyapkan,
kata
membinasakan,
“membersihkan”
dan
seharusnya
disandingkan dengan kata benda atau sebuah tempat.
Secara konotatif, kata “membersihkan” dalam konteks terjemahan surat anNisa ayat 49 pada Tafsir al-Mishbâh bermakna “melenyapkan”. Kata
“membersihkan” tersebut mengandung konotasi positif karena, sesuai
dengan yang dijelaskan dalam Tafsir al-Mishbah dalam potongan
terjemahan ayat “Allah memuji dan „membersihkan‟ siapa yang
62
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 469.
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, h. 577.
64
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 181.
63
44
dikehendaki-Nya” bermakna Allah akan melenyapkan aib-aib hamba yang
dikehendaki-Nya.
2. Konotasi Netral
            

   
  
   
       
    
   
      
 
        
      
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta
mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya itu adalah dosa yang besar.”
(Q.S An-Nisa: 02).65
Kata   dalam surat an-Nisa ayat 02 berasal dari kata ‫ل‬
ُ ‫ يَ ْأ ُّك‬- َ‫آ َّكل‬
yang secara leksikal bermakna “makan”.66 Secara denotatif, kata “makan”
merupakan kata kerja yang berarti memasukkan makanan ke dalam mulut,
mengunyah lalu menelannya.67 Secara konotatif, kata “makan” dalam
konteks terjemahan surat an-Nisa ayat 02 pada Tafsir al-Mishbâh
bermakna “menggunakan”. Kata “makan” tersebut mengandung konotasi
netral karena kata tersebut memiliki nilai rasa yang biasa saja dan tidak
berimbuh kepada hal yang positif maupun negatif.
65
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 336.
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, h.
67
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 860.
66
45
               
  
 
        
    
     
   
     
   
      
    
       
        
  
 
      
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka mencapai pernikahan. Maka
jika kamu telah mengetahui adanya pada mereka kecerdasan, maka
serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka. Dan janganlah kamu
memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan tergesa-gesa
sebelum mereka dewasa. Barang siapa yang mampu, maka hendaklah ia
menhan diri dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia memakan
harta itu menurut yang patut. Lalu apabila kamu menyerahkan harta
mereka kepada mereka, maka hendaklah kamu mempersaksikan atas
mereka. Dan cukuplah Allah menjadi pengawas.” (Q.S: An-Nisa: 06).68
68
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 349.
46
Kata  yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 06 berasal dari
‫ل‬
ُ ‫ يَ ْأ ُّك‬- َ‫ آ َّكل‬yang secara leksikal bermakna “makan”.69 Secara
kata
denotatif, kata “makan” merupakan kata kerja yang berarti memasukkan
makanan ke dalam mulut, mengunyah lalu menelannya.70 Secara konotatif,
kata “makan” dalam konteks terjemahan surat an-Nisa ayat 02 pada Tafsir
al-Mishbâh
bermakna
“menggunakan”.
Kata
“makan”
tersebut
mengandung konotasi netral karena kata tersebut memiliki nilai rasa yang
biasa saja dan tidak berimbuh kepada hal yang positif maupun negatif.
   
 
  
   
  
   
   
  
 
 
     
    
  
   
 
   
 
 
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perut mereka dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S An-Nisa:
10).”71
Kata َْ  yang terdapat dalam terjemahan surat an-Nisa ayat 10
berasal dari kata ُ‫ يَ ْأ ُّكل‬- َ‫ آ َّكل‬yang secara leksikal bermakna “makan”.
69
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, h. 32.
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 860.
71
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 357.
70
47
Secara denotatif kata makan merupakan kata kerja
yang berarti
memasukkan makanan ke dalam mulut, mengunyah lalu menelannya.72
Secara konotatif, kata “makan” dalam konteks terjemahan surat an-Nisa
ayat 02 pada Tafsir al-Mishbâh bermakna “menggunakan”. Kata “makan”
tersebut mengandung konotasi netral karena kata tersebut memiliki nilai
rasa yang biasa saja dan tidak berimbuh kepada hal yang positif maupun
negatif.
 

       
 
   
  
  
  
   
 
   
    
 
 
   

      
  

   
   
  
   
 
     
  
 
      

 

 
     
  
   
  
“Dan para wanita yang mendatangi perbuatan yang sangat keji dari
wanita-wanita kamu, maka hendaklah kamu mempersaksikan atas mereka
empat orang saksi lelaki di antara kamu. Lalu apabila mereka telah
memberi persaksian, maka tahanlah mereka dalam rumah sampai maut
menyempurnakan ajal mereka, atau sampai Allah memberi buat mereka
jalan (penyelesaian).” (Q.S An-Nisa: 15).73
72
73
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 860.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 372.
48
Kata ‫ ِنسَا ٌء‬secara leksikal berarti wanita datau perempuan. Dalam
terjemahan surat an-Nisa ayat 15 pada Tafsir al-Mishbâh, kata ‫ِنسَا ٌء‬
dimaknakan sebagai wanita. Secara denotatif, kata wanita bermakna
perempuan dewasa.74 Wanita dan perempuan mempunyai denotasi yang
sama. Namun pada kenyataannya kedua kata tersebut mempunyai konotasi
yang berbeda. Kata wanita memiliki konotasi yang tinggi (positif) karena
wanita pada umumnya selalu dipandang mempunyai pendidikan lebih
tinggi, modern, dsb. Sedangkan perempuan mempunyai konotasi lebih
rendah (negatif) karena selalu dipandang kurang berpendidikan, tidak
modern, dsb.
Selain kata wanita, dalam terjemahan surat an-Nisa ayat 15 terdapat
kata
‫ يَتَوَّفَى‬yang secara leksikal berarti “menyempurnakan”.75 Secara
denotatif, kata “menyempurnakan” bermakna menjadikan sesuatu menjadi
sempurna.76 Selain kata wanita, dalam terjemahan surat an-Nisa ayat 15
terdapat kata ‫وّفَى‬
َ َ‫ يَت‬yang secara leksikal berarti “menyempurnakan”.77
Secara denotatif, kata “menyempurnakan” bermakna menjadikan sesuatu
menjadi sempurna.78 Secara konotatif, kata “menyempurnakan” Dalam
konteks terjemahan surat an-Nisa ayat 15 pada Tafsir al-Mishbâh
bermakna “mencabut”. Kata “menyempurnakan” tersebut mengandung
74
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 1556.
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, h. 1572.
76
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 1265.
77
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, h. 1572.
78
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 1265.
75
49
konotasi netral karena memiliki nilai rasa yang biasa saja dan tidak
berimbuh kepada sesuatu yang positif maupun negatif.
  
    
  
 
  
 
 
       
     
  
     
 
       
     
         
   
           
     
    
  
  
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat
sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengetahui apa yang
kamu ucapkan, dan tidak juga dalam keadaan junub terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau salah seorang di antara kamu kembali dari tempat yang
rendah atau kamu telah menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapati
air, maka bertayamumlah dengan sha‟id yang baik (suci); maka sapulah
50
wajah kamu dan tangan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun.” (Q.S An-Nisa: 43).79
Kata 
  dalam terjemahan surat an-Nisa ayat 43 berasal dari
kata ‫ب‬
ُ ‫يُ َق ِّر‬-َ‫ َقّرَب‬yang secara leksikal berarti mendekati.80 Secara denotasi,
mendekati berarti menghampiri, mau berdekatan, hampir sampai pada
sesuatu, hampir serupa dengan sesuatu.81 Secara konotatif, kata
“mendekati” dalam konteks terjemahan surat an-Nisa ayat 43 bermakna
“mendirikan”. Kata “mendekati” mengandung konotassi netral karena kata
tersebut tidak memiliki nilai rasa positif atau negatif.
3. Konotasi Negatif
           
  
    
  
   
   
       
      
 
      
   
 
  
  
      
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya
pasangannya; Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang
79
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 449.
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, h. 1102.
81
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 307.
80
51
banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
nama-Nya kamu saling meminta dan (pelihara pula) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu.” (Q.S AnNisa: 01).82
Kata 
  pada terjemahan al-Quran surat an-Nisa ayat 01, secara
leksikal berarti menyebarluaskan.83 Namun, dalam penerjemahan al-Quran
pada
Tafsir
al-Mishbah,
kata

 
dimaknakan
sebagai
memperkembangbiakkan. Secara denotatif, kata memperkembangbiakkan
biasanya digunakan untuk tanaman atau binatang ternak dan sebagainya.84
Secara
konotatif,
kata
“memperkembangbiakkan”
dalam
konteks
terjemahan surat an-Nisa ayat 01 pada Tafsir al-Mishbah bermakna
“memperbanyak”. Kata “memperkembangbiak” tersebut mengandung
konotasi negatif karena kata “memperkembangbiakkan” hanya digunakan
untuk tumbuhan dan hewan, bukan untuk manusia.
           
 
  
 
  
 
  
  
   
   
 
  
            
  
  
 
82
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 329.
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, (Yogyakarta:Penerbit Pustaka Progressif,
1984), h. 56.
84
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 2008), h. 662.
83
52
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang
yang kafir berperang di jalan thagut, maka perangilah wali-wali setan itu,
karena sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.” (Q.S An-Nisa: 76).85
Kata  yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 76 merupakan
kata jamak taktsir yang berasal dari kata ُ‫وِلّي‬
َ berarti wali atau teman.86
Secara denotatif, kata wali berarti seseorang yang menjamin sebuah
urusan seperti pengasuhan anak, pernikahan, atau diserahi sesuatu untuk
dijaga.87 Secara konotatif, kata “wali-wali” dalam konteks terjemahan
surat an-Nisa ayat 76 pada Tafsir al-Mishbâh bermakna teman. Kata
“wali-wali” tersebut mengandung konotasi negatif karena disandingkan
dengan kata “setan” yang berarti orang-orang kafir.

        
 
  
  
 
        
   
          
 
 
 
 
   
 
“Barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dia
melemparkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya
dia telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Q.S An-Nisa:
112).88
85
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 511.
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, h. 1582.
87
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 1555.
88
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 581.
86
53
Kata َ dalam surat an-Nisa ayat 112 secara leksikal berarti
memikul.89 Secara denotatif, memikul berarti membawa sesuatu dengan
cara menggantungkan tali pada bahu.90 Secara konotatif, kata “memikul”
dalam konteks terjemahan surat an-Nisa ayat 112 pada Tafsir al-Mishbâh
bermakna menanggung. Kata “memikul” tersebut mengandung konotasi
negatif karena ia disandingkan dengan kata “kebohongan” yang artinya
“menanggung kebohongan yang sangat berat.”
          
   
             
“Maka disebabkan pelanggaran mereka perjanjian pelanggaran mereka
itu, dan karena kekafiran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan
pembunuhan mereka terhadap nabi-nabi tanpa haq dan ucapan mereka:
“Hati kami tertutup.” Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati
mereka karena kekafiran mereka, karena itu mereka tidak beriman kecuali
sebagian kecil dari mereka.” (Q.S An-Nisa: 155).91
89
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, h. 297.
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 1073.
91
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 646.
90
54
Kata َ dalam surat an-Nisa ayat 155 secara leksikal bermakna
menutup. Namun, pada terjemahan al-Quran dalam Tafsir al-Mishbah,
kata َ dimaknakan sebagai mengunci. Secara denotatif, mengunci
berarti menyudahi atau mengatupkan sesuatu seperti lemari, bibir, pidato,
dll.92 Secara konotatif, kata “mengunci” bermakna “menutup”. Kata
“mengunci” tersebut megandung konotasi negatif, karena sesuai dengan
yang dijelaskan dalam Tafsir al-Mishbâh kata yang terdapat dalam
potongan terjemhan “Allah „mengunci‟ mati hati mereka” berarti Allah
benar-benar telah menutuphati mereka dari hidayah dan kebaikan.
              
 
         
     
 

              
 
92
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 757.
55
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian apa yang telah kamu berikan
kepadanya, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara ma‟ruf atau patut. Selanjutnya bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.” (Q.S An-Nisa: 19).93
Kata ْ yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 19 berasal dari kata
َ‫ َورَث‬yang secara leksikal berarti mewariskan.94 Namun, dalam terjemahan
al-Quran pada Tafsir al-Mishbâh penerjemah menerjemahkan kata ْ
menjadi kata mempusakai. Secara denotatif, mempusakai berarti memberi
pusaka atau memberi harta benda peninggalan (warisan) dari orang yang
meninggal
kepada
orang
yang
hidup.95
Secara
konotatif,
kata
“mempusakai” bermakna “mewarisi”. Kata “mempusakai” tersebut
mengandung konotasi negatif karena kata mempusakai seharusnya
digunakan untuk benda bukan untuk manusia.
93
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 380.
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, h. 1150.
95
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 1120.
94
56
 
            
 
 
            
    

   

  

  
 
    
          
  
   


 
 
 
          
    
 
“Dan wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu
miliki. Itu sebagian ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
untuk memelihara kesucian, bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang
telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka
imbalannya sebgai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan kewajiban itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Bijaksana.” (Q.S An-Nisa: 24).96
Kata ْ‫ إِسْتَمْتعْتُم‬yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 24 berasal dari
kata ‫ع‬
َ َ‫ ِإسْ َتمْت‬dan secara leksikal berarti menikmati. Dalam terjemahan ayat
96
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 39
57
24 pada surat an-Nisa kata menikmati disandingkan dengan kata istri yang
disajikan dalam bentuk kalimat pasif yaitu istri-istri yang telah kamu
nikmati. Secara denotatif, menikmati berarti merasai (sesuatu yang nikmat
atau lezat) seperti makanan dan minuman.97 Secara konotatif, kata
“nikmati” dalam konteks terjemahan surat an-Nisa ayat 24 bermakna
“menyetubuhi”. Kata “nikmati” tersebut mengandung konotasi negatif
karena kata tersebut tidak pantas digunakan dan disandingkan dengan kata
isrti.
97
Tim Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, h. 962.
58
Bab V
Penutup
A.
Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa ayat-ayat yang mengandung makna
konotasi ditemukan sebanyak 12 ayat, yaitu:
Dalam ayat 49 pada kata ‫ يُزَّكِى‬dari kata membersihkan ke melenyapkan. Dalam
ayat 02 dan 06 pada kata ‫ تَأّْكُُلوْا‬dari makan ke menggunakan. Dalam ayat 10 pada
kata َ‫ يَأّْكُلُوْن‬dari makan ke menggunakan. Dalam ayat 15 pada kata ٌ‫( ِنسَاء‬wanita) dan
kata ‫ يَ َتوَّفَى‬dari menyempurnakan ke mencabut. Dalam ayat 01 pada kata َ‫ بَج‬dari
memperkembangbiakkan ke melahirkan. Dalam ayat 76 pada kata ٌ‫“ َأوْلِيَاء‬wali”.
Dalam ayat 112 pada kata َ‫ إِحتَمَل‬dari kata memikul ke menanggung. Dalam ayat
155 pada kata َ‫ طَبَع‬dari mengunci ke menutup. Dalam ayat 19 pada kata ُ‫ تَ ِّرث‬dari
mempusakai ke mewarisi. Dalam ayat 24 pada kata ْ‫ إِستَمْتَعْتُم‬dari menikmati ke
menyetubuhi. Dalam ayat 43 pada kata ُ‫ تَقّْرَب‬dari mendekati ke mendirikan.
Makna konotatif yang terdapat dalam terjemahan al-Quran surat an-Nisa
pada Tafsir al-Mishbâh cenderung memiliki konotasi negatif karena dari data
yang diteliti sebanyak 12 temuan, 6 terjemahan ayat di antaranya mengandung
konotasi negatif, 5 terjemahan ayat mengandung konotasi netral dan 1 terjemahan
ayat mengandung konotasi positif.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat
beberapa hal yang belum sempurna. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat
menjadi pedoman yang bermanfaat bagi seluruh pembaca. Peneliti menghimbau
59
kepada pembaca bahwa kandungan isi Tafsir al-Mishbâh Karya M. Quraish
Shihab sangat penting untuk dikonsumsi di kehidupan sehari-hari. Masih banyak
makna konotasi yang terdapat dalam surat-surat lainnya yang perlu diteliti karena
peneliti membatasi objek penelitiannya dengan menggunakan surat an-Nisa.
Rekomendasi tersebut dilontarkan guna menjadi tolak ukur dan acuan bagi
peneliti selanjutnya.
60
Daftar Pustaka
Alfarisi, M. Zaka. Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011.
Alwasilah, A. Chaedar. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa, 1993.
Arifin, Zaenal. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademia Pressindo, t.t.
Badudu, J. S. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: T.pn., 1995.
Barker, Chris. Cultural Studies (Teori dan Praktik). Jogjakarta: Kreasi Wacana,
2009.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,
2009.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Hanafi, Muchlis M. “Karya-Karya M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015
dari http://Quraishshihab.com/work/.
Hanafi, Muchlis M. “Profil M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari
http://Quraishshihab.com/profile/.
Hidayatullah, Moch. Syarif. Metode Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia.
Tangerang: Dikara, 2010.
Hidayatullah, Moch. Syarif. Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia
Kontemporer. Tangerang: UIN Press, 2014.
Kamil, Sukron. Najib Mahfudz Sastra (Islam dan Politik). Jakarta: Dian Rakyat,
2013.
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Kairo: Mathba‟ah al-Istiqomah, 1958.
61
Kushartanti, dkk. Pesona Bahasa (Langkah Awal Memahami Linguistik). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Mahsun. Metodologi Penelitian Bahas. Jakarta: Grafindo, 2013.
Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Arruz Media, 2011.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif,
1997.
Nababan, M Rudolf. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Nadia, Paramita. Semiotika dalam Desain Komunikasi, artikel diakses pada 6
April 2015 dari
http://www.academia.edu/4049657/Semiotika_dalam_Desain_Komunikasi
_Visual_roland_barthes.
Parera, J. D. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga, 2004.
Sayogie, Frans. Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia.
Tangerang: Lembaga Penelitian UIN, 2008.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan, 1992.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbâh (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran).
Tangerang: Lentera Hati, 2000.
Sriwulandari, “Biografi M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/35/jtptiain-gdl-s1-2006sriwulanda-1727-1101004_-3.pdf.
Subuki, Makyun. Semantik (Pengantar Memahami Makna Bahasa). Tangerang:
TransPustaka, 2011.
62
Suryawinata & Sugeng.
Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis
Menerjemahkan. Yoyakarta: Kanisius, 2003.
Takim, Asep Badru. Takhrij Hadis-Hadis Kitab Tafsir al-Mishbah. Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Semantik. Bandung: Penerbit Angkasa, 1985.
Tim Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 2008.
Widyamarta, A. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
63
Download
Study collections