BAB II TINJAUAN TENTANG POLITIK, PERS DAN MAKNA PADA KARTUN POLITIK Pada bab ini secara berurutan dijelaskan mengenai pengertian politik secara umum, pengertian pers dan fungsi dari pers. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kartun politik dengan segala ikhwalnya mulai dari pengertian sampai dengan problem visual yang tampak pada karya kartun politik. Bab ini diakhiri dengan uraian mengenai teori tentang makna sebagai teori utama yang digunakan pada penelitian ini. Pada pembahasan mengenai makna dijelaskan metode yang digunakan untuk menelusuri makna yaitu metode ikonografis dan ikonologis dengan mengacu pada pendapat yang dikemukakan Erwin Panofsky. 2.1 Tinjauan Tentang Politik Masyarakat pada umumnya mengkaitkan istilah politik dengan kekuasaan pemerintah, kegiatan legislatif atau partai politik. Dunia politik seakan-akan hanya dimiliki oleh orang-orang yang berada di pemerintahan, legislatif atau partai politik. Lebih sempit lagi, politik hanya dihubungkan dengan proses upaya-upaya memperoleh kekuasaan seperti yang tercermin di kegiatan pemilihan umum baik di tingkat daerah maupun nasional. Miriam Budiarjo (2000:8) menjelaskan politik (politics) adalah bermacam- macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem tersebut dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Joyce M. Mitchel dalam Political Analysis and Public Policy: An Introduction to Political Science (1969:4) menguraikan politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya. (politics is collective decision making or the making of public policies for entire society). Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seorang (private goals). Dijelaskan pula bahwa untuk melaksanakan atau mencapai tujuan maka ditentukan kebijakan umum (public policies) yang mengatur berbagai kegiatan. Agar kebijakan-kebijakan serta aturan-aturan dapat dilaksanakan dibutuhkan legitimasi kekuasaan (power) dan kewenangan (authority). Kekuasaan dan kewenangan ini digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses penerapan sebuah kebijakan. Strategi yang biasa dijalankan oleh pemegang otoritas kekuasaan dapat bersifat persuasif atau paksaan. Pada pelaksanaannya, strategi paksaan seringkali harus ditempuh karena sebuah kebijakan belum tentu mampu memuaskan keinginan semua pihak atau golongan. Sehingga muncul pernyataan bahwa tanpa paksaan kebijakan hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka. Lebih jauh lagi, Miriam Budiarjo (2000:9) menerangkan bahwa konsep-konsep pokok politik berkaitan dengan hal-hal berikut: 1. Negara (state) Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Salah satu konsep yang berhubungan dengan negara adalah Trias Politica yang dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Menurut konsep Trias Politica, konsep kekuasaan negara yang terdiri dari kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melakukan undang-undang, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan yang mengadili pelanggar undang-undang. Trias politica merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh orang yang berkuasa. Pada umumnya negara-negara yang didirikan atas dasar demokrasi menerapkan prinsip Trias Politika. 2. Kekuasaan (power). Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku. Kekuasaan merupakan inti dari politik sehingga muncul paradigma bahwa politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah merebutkan dan mempertahankan kekuasaan. 3. Pengambilan keputusan (decision making) Pengambilan keputusan menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan tercapai. Dalam konteks politik, pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan mengikat seluruh masyarakat. 4. Kebijaksanaan (policy) Kebijaksanaan Umum adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Pihak yang membuat kebijakan adalah yang mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. 5. Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Pembagian dan alokasi adalah pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai dalam masyarakat. Pembagian ini seringkali tidak merata dan menimbulkan konflik. Sistem politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoritatif (berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat. A. Rahman H.I (2007:7) menjelaskan kajian tentang politik meliputi hubungan kekuasaan, baik sesama warga negara, antara warga negara dengan negara, maupun hubungan sesama negara. Nuansa pembicaraan politik meliputi lembagalembaga politik, undang-undang, pemerintahan nasional/pemda/lokal, fungsi ekonomi dan sosial pemerintah. 2.2 Tinjauan Tentang Pers Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Pokok Pers No 44/1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Pers dalam arti luas disebut media massa. Keberadaan pers sangat penting bagi pembangunan masyarakat. Haris Sumadiria dalam Jurnalistik Indonesia (2005:32) menjelaskan terdapat lima fungsi dari pers, yaitu: a. Informasi (to inform). Pers harus mampu menyampaikan informasi secepatcepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi criteria dasar actual, akurat, faktual, penting, benar, lengkap-utuh, jujur, adil, berimbang, relevan, bermanfaat dan etis. b. Edukasi (to educate). Informasi yang disebarluaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Wilbur Schramm dalam Men, Messages and Media (1973) mengatakan, pers bagi masyarakat adalah wathcer, teacher and forum (pengamat, guru dan forum) c. Koreksi (to influence). Pers merupakan pilar demokrasi ke empat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif agar tidak muncul kekuasaan yang absolut. Dalam hal ini pers berperan sebagai watch dog. d. Rekreasi (to entertain). Pers harus mampu memerankan diri sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan bagi semua lapisan masyarakat. e. Mediasi (to mediate). Pers harus mampu menjadi fasilitator atau mediator. Pers harus dapat menghubungkan suatu peristiwa yang terjadi di suatu tempat. Idealnya sebuah media massa (pers) berada dalam posisi yang tidak berpihak pada satu golongan agar pemberitaan dapat dilakukan secara objektif. Tetapi pada realitasnya, pemihakan menjadi sulit dihindari dan berpengaruh pada objektifitas pemberitaan. Dalam penelitian tentang peran media massa ketika mengkonstruksi pemberitaan, Ibnu Hammad (2004:169) mengatakan dalam memberitakan partai politik, media massa bersaing untuk menonjolkan partai politik partisannya. 2.3 Tinjauan tentang Kartun Politik 2.3.1 Pengertian Kartun Politik Istilah kartun berasal dari bahasa Italia, cartone yang berarti kertas. Awalnya cartone merupakan kertas rancangan kerja untuk merencanakan gambar fresko, stained glass atau tapestri. Istilah kartun kemudian diperluas maknanya sebagai gambar termasuk humor atau gambar satir karena suatu kali muncul dalam sebuah parodi kartun fresko di Houses Parliament yang diterbitkan pada sebuah majalah di Inggris tahun 1843 (Susanto, 2003:104). Menurut William McLeod (1992:149), “cartoon: humorous or satiriscal drawing, esp. one in newspaper or magazine”. Kartun merupakan gambar humor atau sindiran (satir) yang biasa dimuat di surat kabar atau majalah. Senada dengan McLeod, Phil Metzger (2001:78), mengemukakan, “cartoon: a drawing intended as satire, caricature, humor or story entertaiment”. Kartun selain merupakan gambar satir atau humor, juga termasuk didalamnya karikatur atau gambar dengan cerita hiburan. Tentang satir, Metzger (ibid:77) mengatakan: “Satire: art that pokes fun at human follies, absurdities or weakness. Perhaps the best known satire today is the political cartoon”. Satir sebagai seni yang menertawakan kebodohan, absurditas atau kelemahan manusia. Mungkin, saat ini bentuk seni satir yang menonjol adalah kartun politik. Maurice Horn seperti dikutip Setiawan (2002:34) menjelaskan, kartun adalah sebuah gambar yang bersifat representasi atau simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah publik. Namun masalah-masalah sosial kadang juga menjadi target, misalnya mengangkat kebiasaan hidup masyarakat atau mengenai kepribadian seseorang. Dari kedua pengertian kartun yang sudah diuraikan, maka dapat dijelaskan bahwa hal yang esensial dari karya kartun adalah kandungan nilai humor, sindiran dan kritik sosial. Disamping istilah kartun, kita juga mengenal istilah karikatur. Smith (1981:7) dengan mengutip Oxford English Dictionary menjelaskan carricature: 1. Grotesque or ludicrous or things by exaggeration of their most characteristic and striking features. 2. A portrait or other artistic representation, in which the characteristic features of the original are exaggerated with ludicrous effect. Definisi yang senada dikemukakan oleh Metzger (2001:77), “Caricature: a picture thar exaggerates by distorting or emphasizing certain features of the subject, usually a person. Often the intent is to ridicule or satirize the subject, especially in political caricature, but just as often the intent is to capture the subject`s likeness in a light a comical manner”. Ciri umum dari karikatur adalah adanya proses distorsi dengan melebih-lebihkan terutama bagian raut yang bertujuan untuk menimbulkan kesan yang menggelikan dan menyindir terutama di karikatur politik. Dalam kaitannya dengan kartun, GM Sudarta, seperti yang dikutip Alex Sobur (2003:138) menjelaskan kartun adalah semua gambar humor, termasuk karikatur itu sendiri. Satu hal yang kemudian dapat disimak adalah pernyataan dari Smith (1981:9) : ...in fact ‘cartoon’ and ‘caricature’ are here regarded as exactly synonymous. Apa yang diungkapkan oleh Smith merupakan pendapat yang dapat menjembatani perbedaan pendapat mengenai kartun dan karikatur. Maurice Horn seperti dikutip Setiawan (2002:34) mengemukakan kartun dapat dikategorikan menjadi dua jenis. Pertama, kartun yang mengangkat humor- humor yang sudah dipahami secara umum oleh masyarakat, yang digunakan juga untuk menyindir kebiasaan-kebiasaan perilaku seseorang atau situasi tertentu. Jenis kartun ini disebut gag cartoon. Wijana (2004;11) menjelaskan gag cartoon adalah gambar lucu atau olok-olok tanpa bermaksud mengulas suatu permasalahan atau peristiwa aktual seperti yang tampak pada Gbr II. Gbr II.1 Contoh karya gag cartoon Sumber: Sinar Harapan (2004) Kedua, kartun yang mengangkat topik tentang situasi politik Jenis kartun ini disebut kartun politik (political cartoon). Kartun politik yang muncul sebagai tajuk rencana yang menyampaikan opini media massa disebut kartun editorial (editorial cartoon). Tema-tema politik yang biasanya muncul berkaitan dengan masalah negara, kekuasaan, kebijakan (lihat gambar II.2.). Berbeda dengan gag cartoon, karya kartun politik lebih menitikberatkan pada nilai satir (sindiran) daripada kelucuan (humor), sehingga sering kali yang muncul pada sebuah kartun politik bukan sesuatu yang sifatnya lelucon tetapi sindiran yang mengandung kritik. Gbr II.2 Contoh kartun politik karya GM Sudharta. Sumber: Kompas (1996) Dalam karya kartun politik, seringkali muncul figur tokoh terkenal yang dikaitkan dengan isu politik tertentu. Wajah figur tersebut ditampilkan tidak secara realistik tapi didistorsi sedemikian rupa. Tujuan dari pendistorsian adalah untuk memperlihatkan karakter dari seorang tokoh secara karikatural. Pada Gbr II.2, tampak contoh dari sebuah kartun politik yang memiliki unsur karikatur. Tokoh yang wajahnya didistorsi oleh kartunis Thomas Lionar adalah Presiden AS, Ronald Reagen. Proses mendistorsi ini dilakukan dengan memperhatikan ciri khas secara fisik (pada Reagen, bagian keriput wajah dan gaya rambut menjadi kekhasan) sehingga biarpun sudah tidak proporsional tetapi masih dapat dikenali. Gbr II.3 Contoh karya kartun politik yang memiliki unsur karikatur, karya Thomas Lionar (1985). Sumber: Sinar Harapan (Pusat Dok. Suara Pembaruann) 2.3.2 Perkembangan Kartun Politik Berbagai bukti menunjukkan, karya visual yang menonjolkan nuansa humor, karikatural dan satir sudah cukup lama hadir. Di ranah budaya Barat, artefakartefak seni rupa masa lampau yang didalamnya mengandung situasi humor sudah muncul seperti yang terlihat pada karya gambar dari Yunani yang berangka tahun sembilan. Karya yang diberi identitas The Brother menggambarkan dua figur laki-laki yang sedang berdialog dengan repetisi sebanyak tiga adegan. Ekspresi wajah yang didukung dengan bentuk mulut yang tebal memunculkan suasana humor. Pada masa selanjutnya, karya seni Hans Holbein yang berjudul Death and Abbes, Dance of Death (1538) memperlihatkan citra humor yang tinggi. Smith (1981:31), menuliskan karya seni cukil kayu ini sebagai karya yang alegoris, berbobot dalam kritik sosial dan humor yang tajam. Gbr.II.4 Karakter dari Terence’ Adelphone (The Brothers), tahun 9M. Sumber: The Art of Caricature Seorang seniman yang menciptakan karya-karya karikatural yang sarat dengan kritik sosial adalah William Hogarth. Ia aktif berkarya diperiode pertengahan tahun 1700 an. Salah satu karyanya adalah The Laughing Audience (1733). Pada karya ini, Hogart tampak mengeksplorasi karakter figur-figur sehingga memperkuat suasana yang karikatural. Studi Hogart terhadap pengolahan karakter wajah dengan teknik eksagarasi ini dilakukan secara intensif seperti yang terlihat pada karya yang berjudul Characters and Caricaturas (1774). Gbr. II.5 Karya William Hogarth, The Laughing Audience (1733) dan Characters and Caricaturas (1774). Sumber: Art and Illusion Seniman yang konsisten dengan mengangkat tema-tema sosial yang disajikan secara satiris diantaranya adalah Honore Daumier. Salah satu karya Daumier yang memperlihatkan kualitas satiris yang kuat diantaranya karya yang berjudul A Literary Discussion in the Second Gallery (1864). Karya tersebut secara dramatis menggambarkan situasi keributan disebuah kerumunan orang. Pengolahan ekspresi wajah dari figur-figur begitu detail sehingga mampu mencerminkan watak manusia. Selain mengolah ekspresi wajah, Daumier juga menunjukkan kepekaan dalam menampilkan gestur tubuh dari setiap objek seperti yang terlihat pada figur yang sedang mendorong figur yang lain. Fokus gambar pun diperhatikan oleh Daumier dengan menampilkan nada gelap terang pada objekobjek gambar tertentu sehingga dapat ditafsirkan tokoh sentral dari tema yang diangkat. Daumier dengan secara menarik mampu memvisualkan suatu kondisi yang ironis, dimana diskusi sastra ternyata telah berubah menjadi arena perkelahian. Gbr.II.6 Karya Honore Daumier, berjudul A Literary Discussion in the Second Gallery (1864) Sumber: The Art of Caricature Perkembangan teknologi cetak juga turut mendorong perkembangan seni kartun. Seni kartun semakin bersenyawa dengan media massa cetak. Beberapa media massa cetak mengkhususkan diri sebagai media massa kartun, seperti Journal La Caricature, yang terkenal dengan pemuatan distorsi bentuk wajah Louis Philllipe menjadi buah pear karya Charles Philipon pada tahun 1831. Media massa lain adalah jurnal Le Diogene (memuat karya Claude Monet, La Ferriere, 1860), Simplicissmus. Diantara media massa yang berpengaruh pada perkembangan kartun adalah majalah Punch yang didirikan tahun 1841. Memasuki abad 20, karya-karya kartun telah menjadi bagian integral dari sebuah media massa cetak baik surat kabar atau majalah. Sebagai contoh nama kartunis Lurie seakan identik dengan majalah Time. Terjadi simbiosis mutualisma antara media massa dengan kartunis. Keduanya memperoleh keuntungan. Kartunis memperoleh wahana untuk mempublikasikan karya, sementara media massa memiliki kesempatan untuk memperluas pengaruh ideologi yang dianut dengan menggunakan bahasa visual yang memiliki kemampuan efektifitas penyampaian pesan. Gbr.II.7 Cover Majalah Punch. Sumber: www.wikipedia.org. Dalam kebudayaan Indonesia, semangat menciptakan karya-karya rupa yang mengandung nilai humor sudah muncul sejak lama. Salah satu jejaknya dapat dilihat dari adanya tokoh-tokoh Punakawan di kesenian wayang kulit di Jawa Tengah dan wayang golek di Jawa Barat. Menurut Bambang Murtiyoso (2002:52), unsur paling menarik dari pementasan wayang (purwa) adalah pesan terselubung dalam setiap cerita. Hal ini bisa dikaitkan denga masalah dalam masyarakat, mengkritik keadaan sosial dan bahkan memberi semangat reformasi. Unsur penting lainnya adalah kemampuan dalang dalam memainkan tokoh wayang dan lelucon yang ditampilkan oleh punakawan dalam peran mereka sebagai abdi setia yang bertugas menghibur dan memberi nasihat. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa tujuan kehadiran tokoh-tokoh punakawan itu tidak sekedar untuk mengisi penokohan yang mampu menghibur tetapi merupakan penyeimbang juga karena melalui punakawan kritik-kritik terhadap tokoh penguasa dilontarkan. Gbr.II.8. Pergelaran wayang kulit (purwa). Di sebelah kiri tampak sosok punakawan Semar. Sumber: Indonesia Heritage 2.3.3 Peranan Kartun Politik dalam Masyarakat Karena kartun merupakan wadah pengungkapan rasa humor atau satir maka untuk mengetahui peranan kartun ada baiknya memahami dulu bagaimana pentingnya pengungkapan humor dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali dihadapkan pada berbagai masalah atau konflik yang menimbulkan ketegangan bahkan rasa frustasi yang hebat. Konflik yang tidak hanya terjadi dalam lingkungan yang terdekat seperti keluarga tetapi juga konflik yang disebabkan sistem yang berlaku dalam masyarakat atau negara yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada kondisi yang demikian, masyarakat membutuhkan suatu katarsis yang mampu meredam ketegangan. Dan salah satu cara adalah dengan pengungkapan rasa humor. Peranan humor dalam kehidupan manusia cukup penting, karena melalui humor yang disampaikan dengan berbagai wahana manusia melakukan pembebasan diri dari berbagai ketegangan, kecemasan dan ketidakmenentuan. Danandjaja (1989:498) menjelaskan humor sebenarnya dapat dijadikan alat psikoterapi terutama bagi masyarakat yang sedang berada dalam proses perubahan kebudayaan secara cepat, seperti Indonesia. Lebih lanjut diuraikan, bahwa dalam sebuah masyarakat, humor baik yang bersifat erotis atau protes sosial berfungsi sebagai pelipur lara. Sementara Cristopher P. Wilson (1979:3) mengatakan bahwa humor tidak selamanya bersifat agresif dan radikal yang memfrustasikan sasaran agresifnya dan memprovokasi perubahan serta mengecam masyarakatnya, tetapi dapat pula bersifat konservatif sistem sosial yang memiliki kecenderungan untuk mempertahankan sistem sosial dan struktur kemasyarakatan yang telah ada. Dengan demikian, kartun sebagai wahana pengungkapan humor secara umum bermanfaat untuk membantu masyarakat membebaskan diri dari berbagai ketegangan sosial. Masyarakat melalui kartun dapat menyampaikan opini dengan mengemasnya dalam bentuk humor. Pada beberapa kasus memang penyampaian opini melalui kartun menunjukkan sisi agresifitas dan keradikalannya yang justru menimbulkan situasi yang destruktif seperti kasus pemuatan kartun-kartun Muhammad di media massa Denmark atau perlombaan kartun tentang masalah genocide masyarakat Yahudi pada masa Perang Dunia II yang diselenggarakan di Iran. Anderson melihat peranan lain dari kartun, seperti yang terungkap dalam pernyataan bahwa kartun adalah alat untuk menciptakan kesadaran kolektif tanpa harus memasuki birokrasi atau berbagai bentuk kekuatan politik (1990:163). 2.3.4 Karakteristik Kartun Politik 2.3.4.1 Elemen Visual Seperti halnya karya-karya seni yang lain, karya kartun politik terbentuk dari perpaduan unsur-unsur rupa dasar yang diolah sehingga membentuk suatu komposisi objek yang memiliki makna tertentu. Kehadiran unsur-unsur visual tidak semata-mata merupakan perwujudan kasat mata tentang sebuah ide tetapi lebih dari itu unsur-unsur visual mewakili ungkapan perasaan, pandangan hidup atau harapan dari seorang seniman. Sebuah objek mungkin telah banyak menginspirasi banyak seniman dalam proses penciptaan karya, tetapi objek yang sama tidak menghasilkan karya yang identik dan serupa karena setiap seniman memiliki sentuhan yang berbeda dalam mengolah unsur-unsur visual. Edmund Burke Feldman (1967:222-255) memfokuskan pembahasan unsur visual kepada garis (line), gelap-terang (dark-light), bidang (shape) dan warna (color). Keempat unsur itulah yang membentuk suatu gambar (image). Pada tulisan ini yang akan dibahas adalah garis, terang dan gelap dan bidang, a. Garis Feldman mendefinisikan: In geometry, a line is “an infinitive series point” (1965:224). Garis merupakan rangkaian titik yang tidak terbatas. Dijelaskan pula bahwa garis merupakan unsur visual yang mampu menciptakan kesan arah, orientasi, gerak dan energi. Goresan garis dapat ditafsirkan ke makna-makna tertentu, misalnya garis yang digoreskan secara vertikal mengandung makna memberi, sesuatu yang agung (bermartabat), semangat melawan, timelessness. Sementara garis horisontal dapat bermakna sesuatu yang tenang, alami. Garis diagonal bermakna bahaya. Sementara kombinasi antara garis vertikal dan horisontal bermakna keseimbangan. Franchis D.K. Ching (2002:21) menjelaskan karakteristik visual sebuah garis yang ditarik memiliki daya sugestif. Daya tersebut dapat membuat gambar mempunyai kemampuan yang unik untuk mengekspresikan kualitas tertentu tanpa mempunyai kemiripan yang sebenarnya terhadap subyek yang digambarkannya. Garis adalah sebuah konvensi grafis yang kita terima karena kita melihat semua kontur sebagai garis-garis kontras. Selanjutnya dijelaskan pula (ibid:37), garisgaris mempunyai kualitas visual rupa bentuk, bobot, tekstur, arah dan gerak yang memungkinkanya untuk mengekspresikan kualitas bentuk dan ruang. Bila digunakan dalam satu rangkaian, garis dapat menjelaskan nada gelap terang dan tekstur permukaan. . Gbr II.9 Karya kartun yang menggunakan banyak tarikan garis. Karya Sibarani (1997) Sumber: Karikatur dan Politik Pada karya kartun, garis merupakan unsur penting yang dapat memvisualkan ide tentang sebuah bentuk. Garis menjadi elemen dasar yang akan menentukan kualitas visual dari karya kartun. Seorang kartunis memiliki kebebasan penuh dalam mengeksplorasi kekuatan garis. Ada kartunis yang memanfaatkan kerumitan garis untuk menciptakan komposisi bentuk dengan banyak melakukan pengulangan dalam penarikan garis sehingga memunculkan kesan tertentu. Tetapi ada juga kartunis yang bekerja dengan satu tarikan garis Gbr II.10 Karya kartun yang meminimalkan tarikan garis. Karya Piem (1991) Sumber: Katalog 10 Eme Salon International du Dessin d Humour b. Bidang (Shape) Lori Siebert (1992:26) menjelaskan, “Shape: Anything that has height and width. Shape define objects, attract attention, communicate ideas and add excitement”. Bidang merupakan sesuatu yang memiliki ukuran panjang dan lebar. Bidang didefinisikan sebagai objek yang menarik perhatian dan berfungsi untuk mengkomunikasikan gagasan. Bidang/ bentuk tercipta karena beberapa faktor antara lain tautan kontur (garis), sapuan warna, gelap terang karena arsir atau tekstur. Terdapat tiga jenis bidang, yaitu bidang geometri (segitiga, bujursangkar, persegipanjang dan lingkaran), bidang natural (binatang, tumbuhan dan manusia) dan bidang abstraksi yang merupakan bentuk penyederhanaan dari bidang natural. Feldman menjelaskan: The important point is that shape is something we perceive, something which has meaning, something which operates structurally within art object (1967:234). Bidang merupakan sesuatu yang menimbulkan perasaan tertentu, memiliki makna dan membangun struktur dalam sebuah objek seni. Penciptaan bentuk pada karya kartun bertujuan untuk menyampaikan citra karakter tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut, kartunis melakukan pengolahan bentuk sehingga bentuk yang dihasilkan tidak lagi seperti tampilan objek yang sebenarnya. Teknik yang biasa digunakan untuk mengeksplorasi bentuk dalam kartun adalah distorsi. Runes (1946:283) memaparkan: “Distorts or exaggerates its medium that there may be a heightening of force as more effective stimulus, thus adding to its powers of expression and communication. Artistically used distortion does not seem ugly or unnatural, for it is necesarry to heighten expression of content.” Distorsi atau proses melebih-lebihkan tampilan visual dari suatu objek bertujuan untuk memperkuat ekspresi dan komunikasi. Pada kartun politik, proses distorsi terhadap gambar seorang tokoh banyak dilakukan agar informasi mengenai karakter dari tokoh serta latar belakang situasi dapat dimengerti oleh apresiator. Gambar II.10, merupakan contoh dari kartun politik yang menonjolkan pendistortian dari raut wajah. Tampak dua tokoh penting Rusia yang ditampilkan dengan karakter raut yang berbeda. Ekspresi Boris Yeltsin terlihat arogan dan kejam, sementara Mikhael Gorbachev ditampilkan dengan ekspresi wajah yang sedih dan tidak berdaya. Gbr II.11 Contoh kartun yang diciptakan dengan teknik distorsi. Karya Guirad (1991) Sumber: Katalog 10 Eme Salon International du Dessin d Humour Selain proses pendistorsian, gambar-gambar kartun sering kali mengalami penyederhanaan (abstraksi). Runes (1946:2) menjelaskan, Abstraction, in art, a design in graphic or plastic medium which is non representational in purpose, is ordinarily more or less geometric, but occasionally amorphous or vaguely biomorphic, and which presumes to have at least decorative beauty and may have cultural meaning and association. It may be derived or abstracted from natural forms, may intend to portray the essential geometric structure of such forms. The free invention of design is sometimes spoken of as non objectivism. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan arah proses abstraksi adalah menghasilkan bentuk-bentuk yang non representatif dan kembali ke struktur geometris. Scott Mc Cloud (2001:50) mengemukakan bahwa lingkup perbendaharaan gambar dapat dideskripsikan dengan tiga sudut yaitu realita, bahasa dan puncak gambar. Penjelasan Runes mengenai hasil akhir dari abstraksi merupakan salah satu dari kemungkinan pencapaian akhir bentuk visual. Arah lain perubahan visual dari bentuk realis setelah melalui proses abtraksi adalah mendekati deskripsi bahasa verbal. Berikut ini adalah skema dari lingkup perbendaharaan bentuk gambar yang dikemukakan oleh McCloud: Gbr II. 12. Skema Perbendaharaan Bentuk Gambar Sumber: Understanding Comics c. Nada Gelap-Terang (Light and Dark) Feldman (1967:241) mengemukakan nada gelap-terang merupakan unsur visual yang bertujuan untuk menciptakan kesan kontras dan ilusi volume. Unsur gelap terang akan muncul apabila garis hitam diletakan di atas latar putih, atau sebaliknya. Sementara apabila menggunakan unsur warna, kesan gelap terang akan muncul apabila komposisi warnanya kontras, seperti kuning dengan merah. Salah satu contoh sederhana dari kontras adalah gambar siluet. Pada gambar siluet warna hitam yang solid berlawanan dengan latar putih. Dalam uraiannya tentang nada gelap-terang, Feldman menggunakan juga istilah chiaroscuro. Istilah ini digunakan oleh seniman-seniman masa Renaissance, seperti Leonardo da Vinci. Dengan memperhatikan nada gelap terang, gambar akan terhindar dari kedataran (flat). Pada berbagai karya rupa, nada gelap terang (chiaroscuro) tidak hanya untuk memenuhi pertimbangan estetis tetapi juga digunakan untuk memaknai kehadiran sebuah objek. Pada tataran ini, maka gelap terang memiliki sifat simbolik dan mengandung nilai metafora. Gbr II.13 Karya kartun yang mempertimbangkan nada gelap terang untuk mengungkapkan suatu pesan. Karya Pinna Sumber: Katalog 10 Eme Salon International du Dessin d Humour 2.3.4.2 Bahasa Ungkap dalam Kartun a. Bahasa Non Verbal dalam Kartun Kartun merupakan karya visual yang dalam penyampaian pesannya menggunakan bahasa non verbal atau kombinasi antara bahasa verbal dengan bahasa non verbal. Bahasa verbal merupakan bahasa yang disampaikan melalui simbol-simbol huruf yang sudah disepakati (konvensi). Wujud dari bahasa verbal adalah kata atau kalimat yang secara teknis disampaikan dengan cara lisan atau tulisan. Sementara yang dimaksud dengan bahasa non verbal, menurut Mark L. Knapp dalam Deddy Mulyana (2005:312), adalah bahasa yang digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Klasifikasi bahasa non verbal, menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter dalam Deddy Mulyana (2005:312) terbagi menjadi dua kategori yaitu pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa. Yang kedua, ruang, waktu dan diam. Pakar komunikasi lainnya, Duncan dalam Jalaluddin Rahmat (1994:287) menyebutkan terdapat enam jenis pesan non verbal, yaitu (1) kinesik atau gerak tubuh; (2) paralinguistik atau suara; (3) proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial; (4)olfaksi atau penciuman; (5) sensitivitas kulit dan (6) faktor artifaktual seperti pakaian dan kosmetik. Untuk penelaahan karya kartun, pengamatan terhadap pesan non verbal kinesik dan pesan artifaktual akan membantu untuk mengetahui makna dari kartun tersebut.. Menurut Duncan, bahasa non verbal kinesik terdiri dari tiga komponen utama yaitu: 1. Pesan fasial. Pengamatan dilakukan terhadap ekspresi untuk menyampaikan makna tertentu. Ekspresi raut paling sedikit menyampaikan sepuluh kelompok makna yaitu kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat dan tekad. Gbr.II.14 Beragam ekspresi manusia pada gambar kartun Sumber: Cartooning-The Head and Figure 2. Pesan gestural. Pengamatan dilakukan terhadap gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Pesan gestural menurut Galloway dalam Jalaluddin Rahmat (1994:290) dapat digunakan untuk mengungkapkan situasi atau perasaan: mendorong/ membatasi, menyesuaikan/ mempertentangkan, responsif/tak responsif, perasaan positif/negatif, memperhatikan/tidak memperhatikan, melancarkan/ tidak reseptif dan menyetujui/menolak. Gbr.II.15 Berbagai posisi gestur pada gambar kartun Sumber: Comics & Sequential Art 3. Pesan postural. Pengamatan dilakukan terhadap keseluruhan anggota badan. Tiga makna yang dapat disampaikan postural: immediacy (ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu lain), power (ungkapan status sosial yang lebih tinggi) dan responsiveness (reaksi secara emosional baik positif dan negatif terhadap lingkungan. Gbr.II.16 Contoh Postural Sumber: Comics & Sequential Art Sementara mengenai pesan artifaktual, Jalaludin Rahmat (1994:292) menjelaskan seseorang berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image). Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya kita untuk membentuk citra tubuh dengan pakaian. Pesan artifaktual tidak hanya dilihat dari cara berpakaian tetapi berbagai perlengkapan yang biasa digunakan, misalnya asesoris, kendaraan, dsb. Dalam seni kartun, ungkapan fasial, gestural atau postural menjadi lebih leluasa untuk dimanfaatkan. Dengan prinsip melebih-lebihkan dan distorsi, gagasan untuk menggambarkan suatu karakter figur dapat direalisasikan agar pembaca memperoleh informasi yang utuh tentang siapa sebenarnya figur tersebut. Raut seorang figur diolah dengan memdistorsi bagian mata, hidung, bibir dan telinga agar dapat dimunculkan karakter atau suasana hati. Seni kartun menawarkan kebebasan seluas-luasnya kepada kartunis untuk mengolah gambar figur. Tidak ada keharusan suatu figur digambarkan sesuai dengan realitasnya baik dalam proporsi gambar maupun pembandingan dengan gambar yang lain. Kartunis dapat memperbesar atau memperkecil proporsi gambar demi kepentingan tema. Demikian pula ketika kartunis ingin memberikan kesan tertentu sehingga ia menciptakan pembandingan yang ekstrim antara satu gambar dengan gambar yang lain. Misalnya untuk menggambarkan suasana intimidatif, seorang figur pelaku intimidasi ditampilkan posturnya jauh lebih besar dari figur yang lain. Gbr.II.17 Tiga Cara Pengambilan Gambar Sumber: Comics & Sequential Art Hal lain yang mempengaruhi penyampaian pesan non verbal adalah cara pengambilan gambar. Terdapat tiga cara pengambilan gambar yaitu long shoot (full figure), medium shoot dan close up shoot. Pengambilan long shoot bercirikan seluruh bagian dari kepala sampai kaki tergambarkan. Dengan cara ini secara leluasa, seluruh aktivitas tubuh dapat dimunculkan. Pengambilan gambar medium shoot, menampilkan setengah bagian saja dari tubuh. Agar dapat mengeksplorasi penggambaran gestur (mempermainkan ekspresi tangan dan wajah), cara penggambaran medium shoot dapat digunakan. Sementar close up, hanya mengambil bagian kepala saja, dengan tujuan untuk memperlihatkan ekspresi raut secara detail. b. Bahasa Verbal Penggunaan bahasa verbal seringkali tidak terhindari dalam penciptaan karya kartun. Kata, frase atau kalimat kerap ditemui dikarya-karya kartun. Fungsi dari penggunaan kalimat verbal dalam kartun diantaranya adalah untuk mengarahkan (anchoring) agar pembaca mengetahui informasi yang disampaikan, baik informasi tentang tema maupun penjelasan mengenai tokoh, menyampaikan komentar-komentar tertentu yang menggambarkan sudut pandang kartunis terhadap suatu peristiwa atau mendukung suasana sehingga menjadi lebih jenaka. Selain penggunaan kata, frase atau kalimat, pemakaian parabahasa juga menjadi pilihan bagi kartunis untuk mengekspresikan suasana. Menurut Deddy Mulyana (2005:342), parabahasa atau vokalika adalah sejenis ungkapan yang merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya suara terputusputus, suara gemetar, suitan, siulan, tawa, dsb. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi yang dirasakan. Contoh parabahasa: “Huuu...”, “Ha...ha...ha”, dsb. Dikaitkan dengan penggunaan bahasa verbal, Wijana membagi karya kartun menjadi dua kelompok (2004:8), yaitu kartun verbal dan kartun non verbal. Kartun verbal adalah kartun-kartun yang memanfaatkan unsur-unsur verbal seperti kata, frase, kalimat, disamping gambar-gambar jenaka dalam upaya memancing senyum dari pembaca. Sementara kartun non verbal adalah kartun yang semata-mata menggambarkan gambar-gambar. Dalam kartun politik batasan ini seringkali menjadi bias, karena kartun politik yang umumnya non verbal tidak benar-benar terbebas dari penggunaan bahasa verbal. 2.3.4.3 Stereotyping dalam Karya Kartun Dipahaminya pesan yang terkandung dalam sebuah karya kartun menjadi sasaran penting bagi seorang kartunis. Sehingga sering kali seorang kartunis harus menggunakan gambar-gambar dengan ciri-ciri yang sudah dikenali oleh masyarakat. Ketika ingin menggambarkan figur seorang dokter maka kartunis menggunakan ciri-ciri visual yang sudah dikenali oleh masyarakat, misalnya mengenakan pakaian serba putih dan dilengkapi dengan gambar peralatan kedokteran. Demikian pula dengan penggambaran suasana lokasi (setting). Seorang kartunis dituntut kejeliannya dalam menangkap hal-hal khusus yang ditemui disuatu lokasi. Gambar-gambar yang demikian dikategorikan sebagai stereotypical image. Menurut Will Eisner (2004:17), “Stereotype is defined as an idea or character that is standardized in conventional form, without individuality. As an adjective, stereotypical applies to that which is hackneyed. Eisner menjelaskan, stereotyping terlihat dari penggunaan bentuk-bentuk konvensional yang sudah memiliki acuan tertentu. Pada batas-batas tertentu, praktek stereotyping ini menimbulkan kesan keusangan karena terlampau seringnya digunakan, misalnya penggunaan gambar tikus untuk menceritakan tentang sosok seorang koruptor. Lebih jauh lagi Eisner menjelaskan: “The art of creating a stereotypical image for the purpose of storytelling requires a familiarity with the audience and a recognition that each society has its own ingrown set of accepted stereotypes. But there are those that transcend cultural boundaries”. Kehadiran gambar-gambar stereotypical sangat membantu untuk memperlancar penceritaan. Karena karya kartun lahir ditengah masyarakat yang memiliki kekayaan literal atau bahasa visual tertentu, seorang kartunis harus memahami potensi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Tetapi ada gambar-gambar tertentu yang telah dipahami oleh komunitas masyarakat yang berbeda-beda, misalnya gambar burung merpati putih untuk menyimbolkan perdamaian. Berikut ini contoh visual dari gambar-gambar stereotypical: Gbr.II.18 Contoh gambar stereotypical tentang berbagai predikat. Sumber: Comics & Sequential Art 2.3.4.4 Metafora dalam Kartun Politik Penyampaian opini pada sebuah karya kartun politik pada umumnya tidak dilakukan secara terbuka tetapi menggunakan idiom-idiom visual yang berperan sebagai kiasan (tropos). Salah satu bentuk bahasa kiasan yang digunakan dalam seni kartun adala metafora. Dick Hartoko (1986:86) menjelaskan metafora dipandang sebagai sebuah perumpamaan tetapi tanpa menyebut dasar perbandingan dan partikel pembandingan. Proses metaforis dapat dilukiskan sebagai interaksi antara berbagai isotopi, misalnya antara dunia yang hidup dan yang tidak hidup, antara dunia insani dan hewani, dsb. Definisi klasik dari metafora dikemukakan oleh Aristoteles yang dikutip Basil Cottle (1960:5): “Metaphor (metaphora) is the transference (epiphora) of a name [from that which it usually denotes] to some other object”. Metafora adalah pemindahan/penggantian sebuah kata dengan kata yang lain. Dick Hartoko menjelaskan penggantian kata dengan kata lain karena kedua kata itu memiliki satu atau lebih banyak semen (komponen arti yang paling kecil) bersama. Persamaan sebagian dianggap cukup untuk mengusulkan persamaan total. Contoh metafora adalah “Jago-jago kita pasti akan menang”. Jago-jago menjadi perumpamaan bagi atlet-atlet. Sementara Herbert Read dalam Basil Cottle(1960:5) menjelaskan: “Metaphor is the synthesis of several units of observation into one commanding image; it is the expression of a complex idea, not by analysis, nor by abstract statement, but by a sudden perception of an objective relation”. Metafora adalah sintesa dari beberapa unit pengamatan menjadi satu image yang mengarahkan / menjadi acuan. Metafora merupakan ekspresi dari gagasan yang kompleks yang dilakukan bukan melalui analisa maupun pernyataan yang bersifat abstrak melainkan sebuah persepsi seketika atas relasi sebuah objek. Kartun politik sering menggunakan konsep bahasa metafora untuk menyampaikan opini. Tujuan yang ingin dicapai dengan penggunaan metafora adalah opini dapat disajikan secara tajam, menarik dan komunikatif. Seperti terlihat pada Gbr. II.17 yang mengumpamakan Uni Sovyet dengan seekor beruang. Gambar-gambar yang berfungsi sebagai metafora memperlihatkan persamaan sifat atau karakter dengan gambar yang diganti atau sudah disepakati. Gbr.II.19 Metafora pada kartun politik. Uni Sovyet digambarkan sebagai beruang Sumber: HU Sinar Harapan 2.4 Makna dalam Kajian Ikonografis dan Ikonologi Kartun politik pada dasarnya merupakan produk budaya dari suatu masyarakat. Karena itu, kartun politik sebagai sebuah karya visual senantiasa merefleksikan kondisi sosial masyarakat tersebut. Di tengah masyarakat yang majemuk, kartun politik tidak akan berada dalam posisi yang benar-benar netral. Seorang kartunis sebagai pihak yang menghasilkan karya-karya kartun akan berpijak pada sebuah sudut pandang dalam memandang sebuah permasalahan yang terjadi di masyarakat. Sehingga dalam sebuah karya kartun politik akan terkandung rangkaian makna yang menyiratkan pandangan dari kartunis. Bagi kartunis yang bekerja untuk sebuah media massa, karya-karyanya akan menunjukkan pandangan surat kabar tersebut. Dengan demikian, ketika mengamati sebuah karya kartun politik, penelusuran terhadap aspek makna menjadi penting untuk dilakukan karena berhubungan dengan hal yang substansial yaitu konsep berpikir dan cara pandang dari kartunis. Perihal makna, G. L. Hagberg (1995:2) menjelaskan sebagai berikut: ...meaning is a mental phenomenon only contingently associated with a particular physical sign or specific utterance, one is then led, through the fundamentally influential analogy between language and art, to a number of further assumptions concerning artistic meaning. One such assumption would define the meaning of an artwork as an entity originating in the mind of the artist, a mental object whose existence we infer through the physical work itself. Menurut Hagberg, makna merupakan suatu fenomena mental yang menjadi utuh hanya jika dikaitkan atau diasosiasikan dengan tanda fisik tertentu atau pemaparan tertentu. Dengan asosiasi tersebut seseorang melakukan analogi yang mendasar dan saling mempengaruhi antara bahasa dan seni yang diarahkan menuju serangkaian asumsi lebih jauh tentang makna artistik. Makna dari sebuah karya seni sebagai sebuah entitas (bentukan) yang berasal dari fikiran seorang seniman. Salah satu asumsi mendefinisikan makna dari sebuah karya seni sebagai sebuah entitas (bentukan) yang berasal dari fikiran seorang seniman. Makna merupakan sebuah objek mental yang keberadaannya hadir melalui karya. Ada beberapa hal yang harus digarisbawahi dari pandangan Hagberg mengenai makna. Pertama, sebuah makna hanya dapat ditelusuri melalui suatu artefak budaya yang dikatakan Hagberg sebagai tanda fisik yang mengungkapkan sesuatu. Sebuah artefak budaya dipenuhi oleh berbagai asosiasi dari kreatornya. Kedua, makna merupakan kristalisasi dari pemikiran seniman dalam menanggapi suatu fenomena atau permasalahan. Karya merupakan wujud dari pemikiran seniman. Makna merupakan konsep yang abstrak. De Vito seperti yang dikutip oleh Alex Sobur (2001:20) mengungkapkan makna terdapat dalam diri manusia, bukan dalam kata-kata. Words don’t mean, people mean. Arthur Asa Berger menguraikan makna bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebuah tanda karena dirinya sendiri melainkan makna berasal dari hubungan-hubungan dalam suatu konteks dimana tanda yang dimaksud didapat atau dari sistem dimana tanda terletak. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa makna adalah maksud atau arti yang terkandung dalam suatu rangkaian tanda-tanda yang terkait dengan konteks tertentu. Sebagai contoh makna warna putih dalam bendera Merah Putih konteks simbol negara Indonesia berarti kesucian, sementara dalam konteks budaya Cina makna warna putih mengandung arti kedukaan. Salah satu kajian tentang interpretasi makna karya seni rupa adalah iconography (ikonografi) dan iconology ( ikonologi). Menurut Theo van Leeuwen (2001:93) ikonografi merupakan pendekatan yang mempertanyakan representasi dan makna yang tersembunyi dari sebuah karya visual. Kata “iconography” berasal dari bahasa Yunani, aekon yang berarti gambar dan graphe yang berarti tulisan. Erwin Panofski (1961:27) menjelaskan, iconography is that branch of the history of art which concern itself with the subject matter or meaning of works of art, as opposed to their form. Ikonografi merupakan cabang dari sejarah seni yang memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia (subject matter) atau makna dari suatu karya seni, sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan bentuk karya tersebut (sisi formalisnya). Merujuk pada penjelasan van Leeuwen dan Panofsky dapat diamil kesimpulan, ikonografi dan ikonologi memusatkan perhatian pada penelaahan makna yang terkandung dalam sebuah karya seni dengan mempertimbangkan aspek penciptanya. Lebih lanjut Panofsky menguraikan tiga tingkat analisis makna secara ikonografi dan ikonologi, yaitu: 1. Deskripsi Pra-ikonografis (Pre-iconographical description) Pada tahap ini pengamatan dilakukan terhadap makna primer/ alami (primary or natural subject matter). Makna yang diungkap adalah makna faktual dan ekspresional. Proses penelaahannya dengan mengamati dan mengidentifikasi bentuk murni (konfigurasi tertentu dari garis dan warna, atau bentuk dan material yang merepresentasikan objek keseharian tertentu), hubunganhubungan yang terjadi pada objek dan identifikasi kualitas ekspresional tertentu dengan melakukan pengamatan pose atau gestur dari objek. Jadi pada tahap ini yang diuraikan adalah motif-motif artistik. 2. Analisa Ikonografis (Iconographical Analysis) Pada tahap ini dilakukan analisa terhadap makna sekunder/ konvensional (secondary or conventional subject matter). Makna yang diungkap adalah makna yang diperoleh melalui penelaahan bahwa suatu objek mewakili sesuatu diluar dirinya. Saat melakukan penelaahan tersebut, kita menghubungkan motif artistik dengan tema atau konsep. Motif-motif yang kemudian dikenali sebagai pembawa makna sekunder disebut sebagai image/citra/wujud. 3. Interpretasi Ikonologi (Iconological Interpretation) Pada tahap ini dilakukan proses interpretasi objek untuk mengetahui makna intrinsik atau konten (intrinsic meaning or content). Pemahaman mengenai makna intrinsik yang terkandung pada sebuah objek diperoleh dengan mengungkapkan prinsip-prinsip dasar yang kemudian dapat menunjukkan perilaku sikap dasar dari sebuah bangsa, kurun waktu , kelas, ajakan religius atau filosofis tertentu – yang sesuai dengan suatu kepribadian dan kemudian diendapkan menjadi sebuah karya. Untuk melihat hubungan antara ketiga tahap pembahasan makna, berikut ini disajikan skema kajian ikonografis dan ikonologi yang dikemukakan oleh Panofsky. Skema Kajian Ikonografi dan Ikonologi Objek Interpretasi I.Pokok Permasalahan Utama: a.Fakta b.Ekspresi (pernyataan)merupakan lingkup motif-motif artistik. II. Permasalahan konvensimerupakan lingkup image, sejarah dan kiasan (alegori) III.Makna intrinsik atau kedalaman isi- merupakan lingkup nilai simbolik Tindakan Interpretasi Deskripsi praikonografi (faktual dan ekspresional) Perlengkapan untuk Interpretasi Pengalaman praktis (pemahaman terhadap objek dan peristiwa) Prinsip Koreksi Interpretasi Sejarah gaya (pengetahuan, wawasan yang mendalam tentang latar belakang sejarah, objek yang diteliti dan peristiwa-peristiwa yang diekspresikan). Analisis ikonografi Pengetahuan dari sumber literatur (pemahaman terhadap tema dan konsep secara spesifik) Klasifikasi sejarah (pengetahuan, wawasan yang mendalam mengenai situasi sejarah, spesifikasi tema atau konsep yang terekspresikan dalam karya dan peristiwa) Interpretasi ikonologikal Sejarah tentang gejalagejala budaya atau simbolsimbol secara umum (pengetahuan, wawasan yang mendalam mengenai kondisi sejarah, esensi pemikiran yang terekspresikan dengan tema-tema dan konsep yang spesifik. Intuisi sintetis (pemahaman terhadap esensi pemikiran, kondisi psikologis individu dan “Weltanschauung” Sumber: Meaning in the Visual Arts, Erwin Panofsky (1955:41) Contoh kasus kajian ikonografis yang diberikan oleh Lurie Adams (1996:37) adalah pembahasan tentang tokoh kartun dari Walt Disney, Mickey Mouse. Pada tahap pertama (deskripsi pra-ikonografis), dijelaskan adanya subjek seekor tikus yang memiliki wajah yang bulat dan telinga hitam. Tikus ini mengenakan pakaian berwarna merah dengan kancing putih serta selalu menggunakan sepatu kuning. Pada tahap kedua (analisa ikonografis), dikatakan bahwa tikus yang dimaksud adalah Mickey Mouse. Identifikasi ini didasari pada konsep yang diciptakan oleh Walt Disney yang memberikan secara khusus ciri-ciri fisik dan karakter tertentu. Melalui media film animasi, maka tokoh Mickey Mouse ini dikenal secara luas oleh masyarakat dimana Mickey Mouse lahir. Pada tahap ketiga (interpretasi ikonologis), diuraikan makna intrinsik dari berbagai aspek, seperti kehadiran tokoh kartun ini film animasi yang diikuti di media komik strip dan pengaruhnya pada budaya populer.