BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commision on Environment and Development) WCED (1988), insititusi yang pertama kali menggulirkan konsep pembangunan berkelanjutan mendefinisikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah “pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”. WCED membagi dua kunci konsep utama dari definisi tersebut. Pertama, konsep tentang kebutuhan atau needs yang sangat esensial untuk penduduk miskin dan perlu diprioritaskan. Kedua, konsep tentang keterbatasan atau limitation dari kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk itu diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Usulan konkrit dari himbauan tentang apa yang harus dilakukan telah diajukan oleh IUCN (The World Conservation Union). UNEP (United Nation Environmental Program) dan WWF (World Wide Fund For Nature) tahun 1991 menerbitkan dokumen yang disebut Caring For The Earth : a Strategy for Sustainable Living. Menurut dokumen ini, pada prinsipnya harus ada pemaduan dan keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Konservasi bukan menghambat tetapi justru mendukung pembangunan, karena hanya dengan mengkonservasikan alam maka pembangunan dapat berkelanjutan. Dokumen ini merupakan pengembangan atas dokumen yang berisi usulan dan himbauan yang berjudul World Consevation Strategy tahun 1980, yang disusun oleh ketiga badan dunia tersebut. Walaupun demikian dokumen ini kelihatannya kurang mendapat perhatian dunia. Ini disebabkan selain karena penyebaran yang memang terbatas, bobot politik dan institutionalnya juga belum mencukupi. Ketua Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WECD) Gro Harlem Brutland dalam pengantarnya di buku “Our Common Future” menceritakan bahwa tugas komisinya ketika memperoleh mandat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1983 adalah memformulasikan agenda global untuk perubahan atau “a global agenda for change” yang bertujuan : 1. Mengajukan strategi jangka panjang di bidang lingkungan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan tahun 2000 dan kedepan. 2. Merekomendasikan cara-cara atau strategi untuk lingkungan yang mungkin dapat direfleksikan pada kerjasama diantara negara–negara berkembang dan diantara negara yang tingkat sosial ekonominya berbeda dan menuju ke pencapaian tujuan bersama dan saling menguntungkan dengan memperhatikan keterkaitan antar manusia (people), sumber-sumber (resources), lingkungan (environment), dan pembangunan (development). 3. Mempertimbangkan strategi dan cara dimana masyarakat internasional dapat mengatasi dengan efektif keprihatinan lingkungan. 4. Membantu mendifinisikan pandangan tentang isu–isu lingkungan jangka panjang dan upaya-upaya yang tepat yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah dalam rangka melindungi dan meningkatkan daya dukung lingkungan, agenda tindak untuk jangka panjang selama sepuluh tahun mendatang dan tujuan-tujuan yang aspiratif untuk masyarakat global. Salim (1990), dalam makalahnya berjudul “Sustainable Development : An Indonesian Perspektif” menyebutkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan menempatkan pembangunan dalam perspektif jangka panjang (a longer term perspective). Konsep tersebut menuntut adanya solidaritas antar generasi. Hadi (2001), menyatakan untuk konteks Indonesia pembangunan berkelanjutan ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan juga mengeliminasi kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan secara implisit juga mengandung arti untuk memaksimalkan keuntungan pembangunan dengan tetap menjaga kualitas sumberdaya alam. Konsep pembangunan berkelanjutan menyadari bahwa sumberdaya alam merupakan bagian dari ekosistem. Dengan memelihara fungsi ekosistem maka kelestarian sumberdaya alam akan tetap terjaga. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan berkelanjutan mempersyaratkan melarutnya lingkungan dalam pembangunan. Sebagai salah seorang anggota komisi Brutland, Salim (1990) selanjutnya mengatakan bahwa penduduk dunia telah mencapai 5,2 milyar. Jumlah ini ditopang oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang meningkat 20 kali lipat selama tahun 1900-1990. Pertumbuhan yang tinggi ini dimungkinkan dengan konsumsi energi dunia yang terus meningkat. Meskipun jumlah penduduk di negara-negara maju hanya 25% dari penduduk dunia, tetapi mereka mengkonsumsi energi dunia sebanyak 80%. Sementara itu penduduk negara berkembang yang mencapai 75% dari penduduk dunia hanya 15 menkonsusmsi 20% energi dunia. Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju maupun berkembang membawa kesejahteraan tetapi juga ketidakmerataan dan kerusakan lingkungan. Dampak pada lingkungan meliputi (a) pencemaran atmosfir seperti menipisnya lapisan ozone, pemanasan global, hujan asam, perubahan iklim (b) kenaikan permukaan air laut, pencemaran laut karena “oil spill”, penangkapan ikan yang berlebihan atau “over fishing” (c) penggundulan hutan (d) merosotnya keanekaragaman hayati (e) degradasi tanah, erosi lahan, karena eksploitasi lahan yang berlebihan. Para pakar mengidentifikasi tiga pandangan tentang Pembangunan Berkelanjutan yang berkembang dari tiga disiplin ilmu pengetahuan (Seraggeldin, 1994). Pandangan tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, pandangan dari sudut ekonomi yang meletakkan pusat perhatian pada upaya peningkatan kemakmuran semaksimal mungkin dalam batasan ketersediaan modal dan kemampuan teknologi. Sumberdaya alam merupakan modal yang lambat laun akan menjadi sesuatu yang langka, dan ini pada gilirannya akan menjadi kendala bagi upaya peningkatan kemakmuran. Sementara itu sumberdaya manusia dengan kemampuan teknologinya akan menjadi tumpuan harapan untuk melonggarkan batas dan mengubah kendala-kendala yang ada. Atas dasar itu diharapkan perkembangan kemakmuran akan terus mengalami keberlanjutan. Kedua, pandangan dari sudut ekologi yang melihat terjaganya keutuhan ekosisitem alami sebagai syarat mutlak untuk menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan. Ketiga, pandangan dari segi sosial yang menekankan kepada pentingnya demokratisasi, pemberdayaan, peran serta, transparansi dan keutuhan budaya, sebagai kunci untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Selanjutnya Seragaldin (1993) menguraikan bahwa pembangunan berkelanjutan harus mengintegrasikan tiga bidang ilmu yang berbeda serta hubungan diantara ketiganya baik aspek ekonomi maupun non ekonomi yaitu (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi capital, (2) tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan (3) ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan (Gambar 4). 16 Tujuan Ekonomi : Pertumbuhan, pemerataan dan efisiensi capital Tujuan Sosial : Pemberdayaan masyarakat, partisipasi, mobilitas sosial, kepaduan/kohesi sosial, identitas budaya dan pengembangan kelembagaan Tujuan Ekosistem : Integritas ekosistem, daya dukung lingkungan keanekaragaman hayati dan isu-isu global Gambar 4. Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Seragaldin, 1993) Munasinghe (1993) dalam Indahsari (2001) menyatakan bahwa tidaklah mudah untuk menyatukan ketiga tujuan di atas dan akan terjadi tolak angsur (trade off) diantara tujuan–tujuan tersebut. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi, para ahli ekonomi memiliki pendekatan tersendiri dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Inti dari pendekatan tersebut adalah bahwa telah ada upaya penilaian terhadap nilai-nilai lingkungan serta sosial yang tidak tertransaksi di pasar. Selain itu, untuk memfasilitasi trade off antara ketiga tujuan yang berbeda tersebut digunakan analisis multikriteria dengan indikator-indikator ekonomi, sosial dan lingkungan tertentu (Gambar 5). Lebih jauh Munasinghe (1993) menguraikan usaha-usaha untuk mencapai pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan ekonomi. Pertama, menelusuri dampak di tingkat proyek pembangunan yaitu dengan melakukan analisis biaya manfaat. Jika manfaat suatu proyek pembangunan lebih besar daripada biayanya (termasuk biaya lingkungan dan sosial) maka proyek tersebut layak dilaksanakan. Kedua, adalah menelusuri dampak ditingkat sektoral, yaitu dengan kebijakan pricing terhadap sumberdaya –terutama sumberdaya/jasa-jasa yang langka– dan pengenaan biaya tambahan (charges) untuk menutupi dampak-dampak eksternal. Ketiga, menelusuri dampak di tingkat makro ekonomi berupa pendesain ukuran-ukuran komplemen yang dapat menurunkan dampak negatif kebijakan dan meningkatkan dampak positif 17 kebijakan, baik dalam kebijakan ekonomi, lingkungan, maupun sosial, terutama dalam hal alokasi dan akses ke sumberdaya. Tujuan Ekonomi evaluasi dampak lingkungan valuasi sumberdaya internaliasasi dampak distribusi pendapatan employment targeted asistance Tujuan Sosial Tujuan Ekosistem partisipasi konsultasi pluralisme Gambar 5. Unsur-unsur Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan Sumber : Munasinghe, 1993 Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan akan diuraikan dibawah ini. 2.1.1. Tujuan Ekonomi dan Sosial Kedalam tujuan ekonomi sosial, terdapat tiga unsur penting yang harus diperhatikan agar tujuan ekonomi dan tujuan sosial dapat dicapai secara bersamaan, yaitu distribusi pendapatan, kesempatan kerja (employment), dan bantuan bersasaran (targeted assistence). Pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan upaya peningkatan kesempatan kerja dan upaya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Untuk mencapai hal tersebut, segala bentuk rintangan (barriers) yang menghalangi akses masyarakat, terutama masyarakat miskin untuk ikut serta dalam pembangunan, pemanfaatan sumberdaya, dan lain-lain, harus ditekan sekecil mungkin atau dihilangkan sama sekali. Dalam konteks industri pertambangan, misalnya dengan memberikan kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat kecil melalui pemberian pinjaman modal (peningkatan sumberdaya kapital), penyediaan berbagai fasilitas yang mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan lain-lain. Keberpihakan terhadap kelompok masyarakat miskin, masyarakat di perdesaan, wanita dan anak-anak, ataupun kelompok masyarakat lain yang selama ini diabaikan, perlu dilakukan sehingga tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus pemerataan dan pengentasan kemiskinan dapat terealisasi. Intinya adalah bahwa pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan. 18 2.1.2. Tujuan Ekonomi dan Tujuan Ekosistem Kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sebagian besar mempunyai relevansi terhadap konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Response dan akselerasi pembangunan ekonomi membutuhkan pemeliharaan lingkungan hidup yang mendukung kegiatan ekonomi dan sosial yang dinamis, selain menentukan kebijaksaan juga ditingkat nasional membutuhkan programprogram di tingkat lokal dan wilayah yang dapat dilaksanakan. Pembangunan nasional tidak akan tumbuh pesat apabila kehidupan ekonomi wilayah dan lokal tidak dinamis, stabil dan penuh ketidakpastian. Pembangunan juga tidak akan berjalan pesat apabila anggaran belanja pembangunan tidak mencukupi. Kecenderungan yang terjadi dalam pembangunan ekonomi adalah tidak memperhitungkan nilai-nilai pemanfaatan sumberdaya yang tidak memiliki harga, seperti nilai-nilai intrinsik sumberdaya alam maupun beban sosial masyarakat akibat pemanfaatan sumberdaya. Tidak adanya penilaian terhadap sumberdaya ini selanjutnya menimbulkan eksternalitas-eksternalitas tersendiri (terutama eksternalitas negatif) yang sangat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat harus menanggung beban/biaya sosial yang timbul dalam setiap pemanfaatan sumberdaya tanpa sedikitpun diberi “kompensasi”. Beban/biaya sosial terbesar yang harus ditanggung oleh masyarakat saat ini maupun masyarakat dimasa yang akan datang adalah penurunan kualitas kehidupan dan lingkungan, yang tentu saja dalam jangka panjang tidak menjamin pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (tujuan ekosistem dalam pembangunan berkelanjutan tidak akan tercapai). Oleh karena itu, maka dalam program-program pembangunan wilayah dan pemukiman sekelompok masyarakat, tujuan ekosistem ini harus diperhatikan. Setiap program yang akan dilaksanakan harus dievaluasi dampaknya terhadap lingkungan. Selain itu, penilaian terhadap sumberdaya-sumberdaya yang dimanfaatkan (baik nilai ekstrinsik maupun intrinsiknya) sangat diperlukan untuk menghindari, setidaknya mengurangi, eksternalitas. Jikalau eksternalitas telah terjadi, maka upaya-upaya internalisasi berbagai dampak keluar (eksternalitas) harus dilakukan, misalnya dengan bentuk-bentuk kompensasi. Dengan demikian, segala aktifitas yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ataupun efisiensi kapital (tujuan ekonomi) akan tetap memperhatikan pengelolaan yang berkelanjutan. 19 2.1.3. Tujuan Sosial dan Tujuan Ekosistem Untuk dapat mengelola sumberdaya secara berkelanjutan, kebijaksanaan lingkungan yang lebih menekankan pada konservasi dan perlindungan sumberdaya, perlu memperhitungkan mereka yang masih bergantung kepada sumberdaya tersebut, untuk mendukung kelangsungan hidupnya. Bila hal ini tidak diperhatikan, akan memberikan dampak yang buruk terhadap kemiskinan dan mempengaruhi keberhasilan jangka panjang dalam upaya konservasi sumberdaya dan lingkungan. Selain itu, masalah hak kepemilikan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan. Sumberdaya yang dimiliki oleh umum (tidak jelas hak kepemilikannya) telah mengarah pada sumberdaya akses terbuka (open access), dimana dalam keadaan ini, siapapun dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa sedikitpun mempunyai insentif untuk memelihara kelestariannya. Pengukuhan hak-hak kepemilikan akan memperjelas posisi kepemilikan suatu pihak sehingga pihak tersebut dapat mencapai kelestarian (upaya konservasi) dan mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya dari intervensi maupun ancaman dari pihak luar. Kearifan-kearifan (wisdoms) harus dipahami dan dijadikan sebagai dasar/landasan dalam membuat program-program pengembangan wilayah tersebut. Untuk itu, masyarakat lokal, sebagai pihak yang menguasai pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang dimilikinya harus diikutkan dalam upaya perumusan/pembuatan program-program tersebut. Jika hal ini dapat dilakukan dan terealisasi, maka partisipasi aktif dari masyarakat dalam pembangunan akan muncul dengan sendirinya. Menurut Anwar (2001), pembangunan wilayah harus diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability). Konsep pembangunan yang memperhatikan ketiga aspek tersebut, dalam perkembangannya secara evolusi dengan berjalan melintas waktu yang ditentukan oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat, seperti perubahan keadaan sosial, ekonomi, serta realitas politik. Agar perencanaan dan pengelolaan pembangunan mencapai tujuan untuk memperbaiki tingkat kesejaheraan masyarakat, maka perlu mencurahkan perhatian kepada semua aspek-aspek tentang kesejahteraan manusia, menurut lintas waktu dan skala spasial yang diarahkan kepada sistem cara perencanaan dan pengelolaan pembangunan melalui kelembagaan. Untuk mengevaluasi keberhasilan dalam mencapai tujuan–tujuan tersebut, menurut segugus nilai–nilai untuk wilayah 20 geografis tertentu (seperti kelembagaan/organisasi, wilayah dll dan rentang waktu jangka pendek, menengah dan panjang dengan memperhatikan semua aspek dan semua tingkatan (Gambar 6). Skala spasial yang paralel dan berhubungan dengan hirarkhi administrasi dan ekologi Pandangan jauh ke depan memerlukan terjadinya proses yang berkembang secara evolutif yang dapat mempengaruhi keberlanjutan (sustainability) Spasial Internasional _ Temporal Nasional _ Regional _ Lokal _ Aspek-Aspek diatas perlu dipertimbangkan agar tindakan kebijaksanaan mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh | | Ekonomi | Sosial Aspek-aspek Lingkungan Gambar 6. Kerangka Berfikir Tiga Dimensi tentang Keberlanjutan Sumber : Anwar (2001) Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan yang di muat dalam dokumen Agenda 21 pada dasarnya mengandung empat hal utama. Pertama, program yang bertalian dengan aspek sosial ekonomi seperti penanggulangan kemiskinan, kependudukan, perubahan pola konsumsi dan produksi, permukiman, kesehatan, pemaduan lingkungan dan pembangunan, dan kerjasama internasional. Kedua, program yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam seperti perlindungan atmosfir; pengelolaan tanah, hutan, air tawar, pesisir dan kelautan; perdesaan dan pertanian; bio-teknologi; pengendalian bahan dan limbah beracun dan berbahaya; pengelolaan limbah termasuk radioaktif di dalamnya. Ketiga, program yang berhubungan dengan penguatan peranan kelompok utama dalam masyarakat seperti masyarakat adat, kalangan perempuan, pemerintah daerah, pekerja, petani, pengusaha dan industriawan, komunitas ilmuan dan pakar teknologi. Keempat, program yang 21 bertautan dengan pengembangan sarana untuk pelaksanaan seperti pembiayaan, alih teknologi, pengembangan ilmu, pendidikan, kerjasama nasional maupun internasional, dan pengembangan informasi. Agar suatu pembangunan dapat berkelanjutan, ada persyaratan minimum yaitu bahwa sediaan kapital alami (natural capital stock) yang harus dipertahankan sehingga kualitas dan kantitasnya tidak menurun dalam suatu rentang waktu (Pearce, 1993) dalam Margo (2005) (Gambar 7). Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai kapital alami adalah suatu proses substraksi dan/atau penambahan materi dari dan kepada sistem alam (Gunawan, 1994). Proses ini kemudian menyebabkan perubahan ke dalam setiap komponen sistem alam tersebut yang berakibat pada perubahan kondisi alami dari sumberdaya. Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development) Memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama dalam mencapai kesejahteraannya, seperti halnya generasi sekarang Kesejahteraan tidak berkurang dengan berjalannya waktu Diperlukan cara untuk memperbaiki dan mengelola portofolio asset ekonom; sehingga nilai agregatnya tidak berkurang dengan berjalannya waktu Kapital alami (Kn) 1. Kapital fisik (Kp) Weak Sustainability Substitusi Kn dan Kp Kapital manusia (Kh) Substitusi Kn dengan Kh Kn bukan hal yang esensial 2. Strong Sustainability Menjaga Kn agar utuh karena : 1. Substitusi yang sempurna 2. Kerugian/kehilangan yang tidak dapat dikembalikan 3. Ketidakpastian nilai Gambar 7. Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan Sumber : Pearce dan Barbier (2000 dalam Margo, 2005) 22 2.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan Daerah Menurut Agenda 21 (2000). Untuk menggambarkan berbagai aspek yang kompleks dan sulit terukur dari masyarakat, seringkali dipakai angka atau suatu nilai, seperti Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan daerah dan pendapatan per kapita rata–rata. Nilai–nilai tersebut memang kemudian dapat membantu mengantarkan kepada suatu penilaian tentang keadaan suatu kelompok penduduk dan daerahnya. Tetapi, dari awal pun diketahui bahwa penilaian tersebut mempunyai kelemahan–kelemahan. PDRB merupakan jumlah dari semua barang dan jasa yang dihasilkan suatu daerah dalam nilai uang. Angka PDRB itu tidak dapat menggambarkan proses ekonomi yang berlangsung pada kehidupan sehari–hari yang tentunya berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Pendapatan perkapita rata–rata juga tidak mampu memberikan gambaran secara lebih detail berapa jumlah penduduk yang hidup diatas dan dibawah garis kemiskinan. Angka pendapatan perkapita rata–rata tidak bisa memberikan gambaran berapa orang kaya dan berapa orang miskin di suatu daerah. Angka dan nilai–nilai tersebut hanya digunakan untuk memudahkan kita melakukan perkiraan terhadap keadaan makmur-miskin suatu daerah dan penduduknya. Angka dan nilai itu berfungsi sebagai indikator. Indikator merupakan alat yang dipakai untuk menggambarkan secara sederhana suatu keadaan yang tidak berdiri sendiri, tetapi terkait kedalam sistem yang lebih besar dan lebih rumit. Indikator tidak dimaksudkan untuk menjadi alat tunggal dalam evaluasi objektif atas suatu keadaan. Selain aspek ekonomi, seperti PDRB, pendapatan daerah dan pendapatan perkapita rata–rata, juga dipakai indikator–indikator sosial (misalnya, tingkat pendidikan penduduk) dan lingkungan. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu saat konsep pembangunan berkelanjutan mulai diadopsi dan dilaksanakan, disadari bahwa tolak ukur perkembangan pembangunan yang murni bersifat ekonomi harus didukung pula oleh tolak ukur yang bersifat non ekonomis. Ukuran ekonomi, seperti GNP, ternyata tidak mampu mengukur adanya inequality dan kemiskinan serta perkembangan sumberdaya manusia; adanya degradasi serta penyusutan sumberdaya alam dan lingkungan; dan aspek-aspek sosial, politik dan spiritual manusia (Steer dan Lutz, 1993). Oleh karena itu kemudian muncul indikator pembangunan lain yang memasukkan dampak-dampak sosial dan lingkungan dalam pembangunan. Indikator pembangunan yang memperlihatkan dampak sosial pembangunan adalah Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI). 23 Dalam HDI ini telah dimasukkan indikator-indikator sosial seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan perumahan dan lain-lain. Bentuk ukuran pembangunan manusia yang lain yang mirip dengan HDI adalah Physical Quality of Life Index (PLQI). PLQI ini menggunakan indikator-indikator yang lebih sederhana daripada HDI, yaitu tingkat harapan hidup pada usia satu tahun, tingkat kematian bayi, dan tingkat melek huruf (Todaro, 1998). Indikator pembangunan yang lain adalah dengan memasukkan dampak lingkungan terhadap pendapatan nasional. Untuk keperluan tersebut diperlukan penghitungan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Pemikiran mengenai penghitungan sumberdaya alam dan lingkungan ini muncul berkaitan dengan semakin meningkatnya perhatian dunia terhadap masalah kelangkaan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Steer dan Lutz (1993) menyebutkan bahwa ada tiga bentuk penghitungan sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu menghitung dampak fisik (ekosistem), dampak terhadap produktifitas dan kesehatan dan dampak moneter. Suparmoko (1994) bahkan menambah satu lagi bentuk penghitungan sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu melalui pendekatan pendapatan. Melalui penghitunganpenghitungan tersebut maka akan diketahui seberapa besar pengurasan pendapatan nasional yang konvensional dengan hasil penghitungan pengurasan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Dengan demikian, ukuran-ukuran pembangunan berkelanjutan harus memasukkan ukuran atau indikator ekonomi. Produk Domestik Bruto per kapita ataupun Produk Domestik Regional Bruto per kapita harus digandengkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan hasil penghitungan dampakdampak terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan bertambahnya wawasan tentang pembangunan yang harus memperhatikan azas keberlanjutan (sustainability), maka indikator-indikator yang dipakai untuk mengukur kemajuan suatu daerah sebagai dampak dari pembangunan juga mengalami perkembangan. Aspek lingkungan kemudian memperoleh perhatian yang lebih layak sehingga banyak diciptakan indikator lingkungan. Selain itu, tumbuh juga kesadaran bahwa kegiatan pembangunan itu berlandaskan diri pada penyelenggaraan urusan publik dan swasta yang baik (good governance) yang tanggap terhadap kebutuhan 24 dan tingkat perkembangan masyarakat setempat. Indikator–indikator yang dapat menonjolkan azas tersebut pada tingkat daerah perlu mendapat perhatian secara khusus, terutama untuk kasus seperti Indonesia dengan keragaman daerah yang sangat tinggi. Dengan keadaan yang seperti itu prioritas lokal bisa saja sangat berbeda antara suatu daerah dengan daerah/pemerintahan daerah lainnya. Pengunaan indikator dalam proses Pembangunan Berkelanjutan secara sederhana ditunjukkan pada Gambar 8 sebagai berikut : Pengorganisasian partisipasi masyarakat Kesepakatan pengertian pembangunan berkelanjutan Rumusan rancangan indikator Laporan tentang keberlanjutan Pemantauan dan pelaporan Kesepakatan : tujuan Pembangunan Penggunaan indikator Perkembangan Uji coba indikator Pengendalian Penggunaan indicator Pemantaun dan Pelaporan Gambar 8. Penggunaan Indikator dalam Proses Pembangunan Berkelanjutan Sumber: Agenda 21 Sektoral buku 3 (2000) 2.3. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Mineral Salah satu sifat sumberdaya mineral adalah tidak terbarukan. Sumberdaya yang tidak pulih adalah sumberdaya yang laju pemulihannya sangat lamban sehingga sumberdaya tersebut tidak dapat memulihkan stok/sediaannya dalam waktu yang ekonomis (Conrad, 1999 dan Tietenberg, 2000). Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) seperti mineral disebut juga sumberdaya terhabiskan (depletable), yaitu sumberdaya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sehingga suatu saat akan habis. Selain itu sumberdaya mineral memerlukan waktu yang lama untuk siap ditambang. Hotteling dalam Stiglitz (2007) 25 menawarkan kerangka utuk menentukan waktu paling tepat mengeluarkan sumber alam dari perut bumi. Teori ini sebagai basis dari ekstraksi sumberdaya alam tidak pulih secara optimal. Prinsip model Hotteling adalah bagaimana mengekstrak sumberdaya mineral secara optimal dengan kendala stok dan waktu. Aplikasi dari teori ini adalah bagi pihak perusahaan pertambangan, untuk mendapatkan produksi sumberdaya mineral secara optimal harus mampu menentukan berbagai faktor produksi yang tepat dengan kendala waktu dan stok (deposit). Sedangkan bagi pihak pemilik sumberdaya dalam hal ini negara harus bersikap mengabaikan (indifferent) terhadap sumberdaya mineral, apakah akan mengekstrak sekarang atau pada masa yang akan datang. Jadi sebagai pengambil kebijakan peran negara sangat menentukan terhadap eksploitasi sumberdaya mineral yang tidak semata-mata berorientasi ekonomi (economic oriented) tetapi juga harus mempertimbangkan secara cermat dampak lingkungan, sosial, kesiapan kelembagaan baik pemerintah maupun masyarakat. Sumberdaya mineral dengan sifat tersebut mempunyai implikasi yang sangat luas dalam kehidupan masyarakat karena sumberdaya mineral merupakan aset yang memberi harapan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu eksploitasi sumberdaya mineral merupakan kesempatan bagi masyarakat yang hanya datang sekali saja, sehingga harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian industri pertambangan merupakan industri alternatif yang paling efektif untuk meningkakan kesejahteraan masyarakat di daerah yang penduduknya berada dalam kemiskinan struktural. Di sisi lain industri pertambangan juga merupakan industri yang menimbulkan berbagai perubahan drastis terhadap lingkungan sehingga merupakan ancaman terhadap kelestarian fungsifungsi lingkungan dan fungsi-fungsi kehidupan sosial budaya masyarakat. Potensipotensi positif sektor pertambangan sering tidak mampu mengkompensasikan potensipotensi negatif ini, sehingga industri pertambangan mempunyai potensi konflik dengan kepentingan masyarakat (Agenda 21, 2001). Di lain pihak ada kenyataan bahwa investasi pertambangan merupakan satusatunya cara untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya mineral. Sebab sumberdaya mineral hanya mempunyai satu kemanfaatan, yaitu kemanfaatan ekonomis. Tanpa ada investasi, maka sumberdaya mineral dapat dikatakan tidak dapat memberikan kemanfaatan apa pun. Kemanfaatan ekonomis dalam eksploitasi sumberdaya mineral cenderung ditujukan untuk mencapai tujuan–tujuan jangka pendek berupa kemanfaatan finansial yang menjadi kepentingan investor maupun pemerintah. Karena sifatnya yang 26 jangka pendek, maka tujuan finansial juga cenderung dicapai dengan mengabaikan tujuan-tujuan dan kepentingan–kepentingan jangka panjang (Agenda 21, 2001). Tujuan jangka panjang yang terkait dengan investasi pertambangan pada umumnya merupakan kepentingan masyarakat luas dan masyarakat setempat. Kepentingan jangka panjang yang terkait dengan investasi pertambangan meliputi kelestarian lingkungan, konservasi sumberdaya mineral dan kelestarian hak-hak masyarakat setempat. Kerusakan atau peniadaan terhadap kepentingan jangka panjang ini tidak mungkin dapat dikompensasi atau dikoreksi dengan kemanfaatan finansial yang diperoleh dari investasi pertambangan. Oleh karena itu azas Pembangunan Berkelanjutan sektor Pertambangan dimaksudkan dapat berfungsi sebagai instrumen yang efektif dalam upaya menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui eksploitasi sumberdaya mineral (Agenda 21, 2001). Inti dari azas Pembangunan Berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya mineral adalah mengupayakan agar sumberdaya mineral dapat memberikan kemanfaatan secara optimal bagi manusia pada masa kini tanpa megorbankan kepentingan generasi mendatang (Agenda 21, 2001). Mengingat sifat tidak terbarukan yang terkandung dalam sumberdaya mineral, maka eksploitasi sumberdaya mineral harus mampu menciptakan kondisi awal serta kemampuan–kemampuan agar masyarakat dapat melanjutkan pembangunan setelah sumberdaya mineral habis di eksploitasi. Proses untuk menciptakan kondisi awal dan proses peningkatan kemampuan–kemampuan masyarakat secara berkelanjutan inilah yang dimaksud sebagai proses transformasi sosial. Dengan kata lain, penerapan azas pembangunan manusia berkelanjutan dalam eksploitasi sumberdaya mineral adalah untuk menciptakan proses transformasi sosial secara berkelanjutan. Amin et al (2003) mengatakan implementasi kegiatan konservasi pertambangan sebagai action plan actual dari peningkatan nilai tambah pertambangan adalah keberlanjutan manfaat ekonomi dan lingkungan sosial kemasyarakatan yang diperoleh semenjak perencanaan, selama berlangsungnya kegiatan pertambangan sampai dengan pasca tambang. Peningkatan nilai tambah pertambangan adalah upaya optimalisasi atas pengelolaan proses hulu-hilir kegiatan pertambangan serta pengembangan wilayah dan masyarakat di sekitar kegiatan pertambangan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Gambar 9). 27 POTENSI MINERAL & BATUBARA (logam primer/sekunder, batubara, pasir urug, mineral industri, panas bumi) LEGALITAS KK, PKP2B, KP, SIPR, SIPD (IUP&IPR) PERTAMBANGAN - STRATEGI 1. Terapan Teknologi & Inovasi 2. Dukungan Pemasaran + Jaringan Kerja 3. Down stream-upstream linkage (hulu-hilir) 4. Pengembangan SDM 5. Faktor Sosial eksplorasi penambangan pengolahan/ekstraksi penanganan hasil produksi pemasaran pasca tambang PRODUK Based on demand & applicable tecnology Upgraded raw material Bahan baku setengah jadi Bahan baku industri hilir Pengembangan berkelanjutan MANFAAT Peningkatan Nilai Tambah 1. efek ganda 2. pengembangan industri kecil 3. pengembangan wilayah 4. pengembangan tenaga kerja lokal 5. pengembangan masyarakat 6. pemenuhan bahan baku energi & industri dalam negeri 7. pertumbuhan ekonomi nasional Gambar 9. Pola Pikir Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan Sumber : Amin et al, (2003) Kebijakan peningkatan nilai tambah pertambangan diharapkan dapat mewujudkan pembangunan pertambangan yang berkelanjutan baik tingkat lokal, regional maupun nasional. Manfaat bukan saja dirasakan karena sedang ada pertambangan, tetapi juga karena pernah ada kegiatan pertambangan (Amin et al, 2003). 2.4. Transformasi Sumberdaya kearah Berkelanjutan Menurut (Agenda 21 sektoral, buku 2, 2000) dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia selama ini di kenal adanya kekayaan (asset) untuk pembangunan dan sumberdaya untuk pembangunan. Kekayaan adalah apa yang dimiliki dan sumberdaya adalah apabila kekayaan itu siap digunakan sebagai modal untuk menyelenggarakan pembangunan. Secara lebih persis dapat diartikan bahwa kekayaan adalah bahan yang belum siap, sedangkan sumberdaya adalah barang jadi yang siap 28 digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup. Oleh karena itu, memiliki kekayaan tidak dengan sendirinya berarti dapat menyelenggarakan pembangunan. Kekayaan itu masih harus dikombinasikan dengan sumberdaya lain untuk mendapatkan manfaatnya. Dengan kata lain, memiliki kekayaan alam tidak dengan sendirinya dapat dimanfaatkan, apabila tidak disertai misalnya dengan modal dan teknologi. Untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dan perkembangan memang harus tersedia sumberdaya yang mencukupi, bahkan sumberdaya itu harus dikembangkan, artinya harus mempunyai kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Sumberdaya itu digolongkan dalam empat katagori, yaitu (1) sumberdaya alam yang secara alami tersedia, (2) sumberdaya buatan yang dibuat manusia (human made resources) (3) sumberdaya manusia yaitu manusia dengan segala kepandaian dan keterampilannya, dan (4) sumberdaya sosial sebagai produk dari keterkaitan, kerjasama dan interaksi antar manusia seperti misalnya system nilai dan kelembagaan. Akan tetapi, ada pula yang menyebutkan sumberdaya sosial adalah sumberdaya buatan yang bersifat lunak (software), meskipun demikian ada pula yang berpendapat bahwa sumberdaya sosial tidak dibuat tetapi terjadi dengan sendirinya sebagai hasil dari dialog dan interaksi. Pembangunan juga dapat diartikan sebagai pembangunan sumberdaya, mengubah kekayaan menjadi sumberdaya, menciptakan sumberdaya baru dan menata keterkaitan antar sumberdaya sehingga menghasilkan produk yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup secara berkelanjutan. Kondisi ideal akan tercapai pada saat kualitas hidup yang terus meningkat, tanpa harus meningkatkan penggunaan sumberdaya alam mengingat sumberdaya ini –terutama yang tidak dapat diperbaharui– memiliki keterbatasan. Untuk itu sumberdaya lain yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya sosial dan sumberdaya buatan harus menjadi andalan pembangunan berkelanjutan, sedangkan sumberdaya alam harus dihemat dan dijaga kelestariannya. 2.4.1. Empat Tipe Kapital Menurut Seragaldin dan Steer dalam Indahsari (2001) pembangunan berkelanjutan berupaya agar generasi yang akan datang mempunyai kesempatan yang setidaknya sama seperti kesempatan yang dirasakan oleh generasi saat ini. Kesempatan yang dimaksud adalah kesempatan memanfaatkan potensi yang ada untuk kesejahteraan kehidupan. Untuk mewujudkan upaya tersebut, apalagi menghadapi tingkat pertumbuhan populasi yang tinggi, maka perlu adanya transformasi dan pengembangan stok kapital 29 yang ada sangatlah diperlukan. Ada empat tipe kapital. Tipe yang pertama adalah sumberdaya buatan (man made capital), yakni infrastruktur misalnya jalan, jembatan, bangunan dan berbagai bentuk teknologi lainnya. Wanmali (1992) menyatakan bahwa ada dua tipe infrastruktur, yaitu hard infrastruktur (seperti jalan, telekomunikasi, listrik, dan sistem irigasi) dan soft infrastruktur (berbagai bentuk pelayanan, seperti transportasi, kredit dan perbankan, input produksi dan pemasaran). Secara fisik sumberdaya buatan merupakan ”kekayaan” (hasil pembangunan) yang dapat diukur dengan mudah. Karena alasan inilah maka pembangunan, terutama di negara-negara berkembang, cenderung menekankan kepada pengembangan tipe kapital ini (Seragaldin dan Steer, 1993 dalam Indahsari). Kebijakan industrialisasi dan modernisasi merupakan salah satu bentuk penekanan arah dan prioritas pembangunan pada pengembangan kapital ini. Tipe kapital yang kedua adalah sumberdaya alam (natural capital), yaitu seluruh cadangan aset yang disediakan oleh lingkungan seperti sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup, baik yang dapat diperbaharui ataupun tidak. Hingga saat ini, SDA dan lingkungan memberikan kontribusi terbesar sebagai pemuas kebutuhan manusia sebag pemuas kebutuhan ini sangat menentukan eksistensi kehidupan manusia. Peace dan Warford dalam Indahsari (2001) merinci kontribusi langsung dan tak langsung SDA dan lingkungan terhadap kehidupan manusia. Kontribusi langsung dapat dirasakan pada pendapat riil dari sektor–sektor yang berhubungan dengan alam (terutama pertanian), aktifitas ekonomi dengan SDA dan lingkungan sebagai input produksi, dan kontribusi terhadap keberlanjutan sistem pendukung kehidupan secara umum. Kontribusi secara langsung terhadap kualitas kehidupan. Kualitas SDA dan lingkungan yang baik dan dapat termanfaatkan dengan baik pula akan menjamin kualitas kehidupan yang baik. Sebalikya kualitas yang buruk –seperti SDA dan lingkungan yang rusak dan terdegradasi– akan menyebabkan kualitas kehidupan yang buruk pula. Selain itu, kapital ini memiliki karakteristik tersendiri yang perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan dan pengembangannya. Karakteristik tersebut adalah bahwa kapital ini dapat langka dengan cepat, terutama SDA dan lingkungan yag tidak dapat diperbaharui. Sumberdaya manusia (human capital) merupakan tipe kapital ketiga. Manusia, dalam hal ini kuantitas dan kualitas penduduk, merupaka potensi tersendiri dalam pembangunan. Manusia juga merupakan subjek sekaligus objek pembangunan. Sebagai subjek pembangunan, maka kuantitas dan kualitas penduduk diharapkan dapat mendukung dan menjadi potensi yang dapat diandalkan dalam pelaksanaan 30 pembangunan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk itu sendiri. Dan sebagai objek, penduduk diharapkan dapat meningkatkan kesejateraannya dengan menikmati hasil–hasil pembangunan. Oleh karena itu, pengembangan (investasi) sumberdaya manusia sehingga mendapat kualitas dan kuantitas yang ideal merupakan salah satu strategi pembangunan yang penting dan mungkin terpenting (Seragaldin dan Steer 1993 dalam Indahsari 2001). Bentuk–bentuk pengembangan sumberdaya manusia adalah investasi di bidang pendidikan, kesehatan, tingkat gizi individu, dan lain – lain. Tipe keempat adalah modal sosial (social capital). Bentuk dari kapital ini antara lain fungsi kelembangaan dan budaya yang berbasis sosial. Tata nilai dan kelembagaan dalam masyarakat, baik formal maupun non formal, merupakan fungsi kelembagaan dan budaya berbasis sosial yang merupakan potensi penting dalam pelaksanaan pembangunan. 2.4.2. Komposisi Kapital dalam Pelaksanaan Pembangunan yang Berkelanjutan Pembangunan yang berkelanjutan berarti memberi kepada generasi yang akan datang kesempatan–kesempatan, setidaknya sama dengan kesempatan – kesempatan yang dirasakan oleh generasi saat ini. Kesempatan – kesempatan ini dapat diukur dalam bentuk kapital (man–made, human, social dan natural capital). Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, keempat tipe kapital harus dikembangkan setiap saat untuk mencapai tujuan pembangunan yang diharapkan. Namun, masing– masing kapital memiliki karakteristik tersendiri kapital memiliki karakteristik tersendiri yang selanjutnya mengharuskan adanya pengaturan komposisi kapital dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Sumberdaya alam (natural capital) bersifat dapat langka dengan cepat, oleh karena itu harus dikembangkan dan proporsi pemanfaatannya harus mulai berkurang setiap waktu untuk mencegah kelangkaan bahkan ’habisnya’ kapital ini yang tentu saja mengancam keberlanjutan pembangunan. Demikian halnya dengan sumberdaya buatan yang proporsi pengembangannnya antar waktu diharapkan berkurang. Penelitian menunjukkan bahwa di negara–negara maju sumberdaya buatan hanya memberikan kontribusi 20% terhadap total kekayaan/kesejahteraan manusia. Kontribusi terbesar diberikan oleh human dan social capital (Seragaldin, 1993). Komposisi kapital yang harus dikembangkan dengan proporsi yang semakin besar antar waktu adalah social dan human capital (Gambar 10). Walau bagaimanapun, penduduk –dengan pertumbuhan yang relatif cepat – merupakan potensi besar yang 31 harus dikembangkan, terutama kualitasnya baik secara individual maupun secara sosial. Kualitas individu, seperti keahlian dan keterampilan, merupakan potensi tersendiri dalam pembangunan (peningkatan produktifitas) yang tidak akan ’habis’ antar waktu. Dan berbagai penelitian menunjukkan bahwa produktifitas kelompok dalam ukuran tertentu (pemanfaatan social capital) akan lebih besar dibandingkan penjumlahan produktifitas dari masing–masing individu. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan memiliki arti pengembangan keempat kapital antar waktu yang disertai dengan perubahan komposisinya (Anwar, 1999). Natural Capital Social Capital Man – made Capital Human Capital Natural Capital Social Capital Manmade Capital Human Capital Gambar 10. Pengembangan dan Komposisi Kapital dalam Pembangunan Berkelanjutan Sumber : Anwar, 1999 Menurut Anwar (2002) Human Capital (H), Physical Capital (K), Natural Capital (R) dan Social Capital (S) dapat menyumbang pada pertumbuhan ekonomi wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kapital fisik menyumbang pada kesejahteraan melalui pertumbuhan ekonomi. Sedangkan human dan social capital beserta natural dan environmental capital juga demikian, karena semuanya juga merupaan komponen-komponen langsung dari tingkat kesejahteraan masyarakat. Human dan social, beserta natural capital juga akan menyumbang pada akumulasi kapital fisik dengan meningkatkan manfaat-manfaatnya. Sedangkan kapital fisik meningkatkan manfaat–manfaat kepada human dan social capital serta natural capital dimana jika pasar berjalan, maka merupakan pencerminan dari pemanfaatan ini. Akumulasi dari empat kapital tersebut pada gilirannya akan menyumbang kepada terjadinya kemajuan teknologi dan bertumbuhnya total factor productivity (TFP) (Gambar 11). 32 Kapital Manusia (H) Mengatasi salah urus dan korupsi, Mengurangi distorsi yang mengutamakan K, Memperbaki Kegagalan Pasar yang merusak H, R dan S, Memperbaiki Institusi Kapital Fisik (K) Pertumbuhan Kesejahteraa n Masyarakat Kapital Alami (R) Kapital Social (S) TFP = Total Factor Productivity Gambar 11. Kerangka Berfikir Total Factor Productivity (TFP) Sumber : Anwar, 2001 2.5. Performa Pertambangan Indonesia Seperti didiskripsikan pada bab pendahuluan bahwa komoditi pertambangan bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) maknanya sumberdaya tersebut tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana sumberdaya terbarukan (renewable resources). Untuk itu eksploitasi sumberdaya mineral harus dilakukan secara hati-hati agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD ’45 ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar– besar kemakmuran rakyat”. Industri pertambangan di Indonesia pada era Orde Baru dimulai sejak disyahkannya UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (UU No.11/67) dan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA 67). Melalui konsep Kontrak Karya Pertambangan (KKP) dan Perjanjian Karya 33 Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), sektor pertambangan Indonesia mengalami kemajuan pesat. Tidak kurang dari 376 perusahaan telah mengantongi ijin untuk menambang emas, tembaga, batubara serta mineral logam lainnya. Seiring dengan munculnya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang terus berkepanjangan menjadi krisis politik dan sosial, Indonesia hingga saat ini dianggap bukan lagi sebagai tempat untuk tujuan investasi pertambangan (Sigit, 2004). Dalam empat dekade terakhir ini, industri pertambangan di Indonesia belum mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi pembangunan nasional maupun bagi daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Papua, Sumbawa Barat dan lain-lain. Munculnya ketidakpuasan daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral tersebut, terutama sejak era reformasi 1998 karena pengelolaan pertambangan bersifat sentralistik dan sektoral. Ketidakpuasan itu bersumber karena adanya ketimpangan pendapatan bagi hasil sumberdaya mineral antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah selama masa orde baru. Berdasarkan studi Pricewaterhaouse Coopers PwC 2003 (IMA, 2006) alokasi pendapatan sektor pertambangan dari pembagian pajak dan royalty ke provinsi, kabupaten dan kota sebesar 57,1% masih jatuh ke pusat setelah estimasi bagi hasil melalui dana alokasi umum (DAU) disertakan, bila tidak pemerintah pusat masih memegang 76% dari dana tersebut (Gambar 12). Euforia reformasi tahun 1998 secara emosional ikut memicu daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral untuk memisahkan diri dari NKRI dalam bentuk separatisme yang masih merebak hingga saat ini misalnya untuk kasus Papua dan Aceh. Disamping masalah bagi hasil pendapatan sumberdaya mineral dengan pemerintah pusat, kekecewaan daerah penghasil juga bersumber dari tidak adanya kepemilikan saham pemerintah daerah. Sebenarnya di dalam Kontrak Karya Pertambangan terdapat pasal yang mewajibkan penjualan saham asing pada pihak Indonesia. Namun ketidakmampuan kepemilikan saham daerah penghasil sangat terkait dengan besarnya dana yang harus disediakan untuk membeli saham perusahaan pertambangan yang tertuang dalam Kontrak Karya Pertambangan. Misalnya saat PT. Newmont Nusa Tenggara mendivestasikan sahamnya sebesar 3% tahun 2006 maka dana yang harus disiapkan oleh pembeli adalah Rp. 1,09 triliun. Anggaran sebesar itu setara dengan empat kali lipat APBD Kabupaten Sumbawa Barat 2007 yang hanya Rp. 260 milyar. 34 Gambar 12. Alokasi Pendapatan Sektor Pertambangan di Indonesia Sumber : Pricewaterhaouse Coopers PwC 2003 (IMA, 2006) Selain itu berdasarkan studi yang dilakukan oleh Fraser Institute di Vancauver, Canada, tahun 2004 (IMA, 2006) terhadap 159 perusahaan tambang dan eksplorasi di seluruh dunia, ternyata ada beberapa hal yang dianggap sangat menghambat minat investasi dunia di Indonesia antara lain, faktor stabilitas politik 90 %, ketidakpastian peraturan 66 % dan tumpang tindih peraturan 53 % (Tabel 7). Studi tersebut juga menyebutkan berbagai ketidakpastian investasi pertambangan di Indonesia berkenaan dengan klaim tanah oleh penduduk asli, wilayah yang akan dilindungi sebagai suaka alam atau taman nasional dan minimnya infrastruktur (Tabel 8). Tabel 7. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Investasi Pertambangan di Indonesia No. Faktor % responden yang mempertimbangkan faktor sebagai hambatan utama investasi di Indonesia 1. 2. Stabilitas Politik Ketidakpastian hukum 90% 66% 3. Duplikasi (tumpang tindih peraturan) 53% Komentar Hanya Zimbabwe (97%) yang mendapat nilai lebih buruk Nilai terburuk Hanya India (66%) dan Filipina (69%) yang mendapat nilai lebih buruk Sumber : Fraser Institute, 2004 35 Tabel 8. Berbagai Ketidakpastian Investasi Pertambangan di Indonesia No. Faktor 1. Ketidakpastian berkenaan dengan klaim tanah oleh penduduk asli Ketidakpastian berkenaan dengan wilayah yang akan dilindungi sebagai suaka alam atau taman nasional Infrastruktur 2. 3. % responden yang mempertimbangkan faktor yang merupakan ketidakpastian investasi pertambangan di Indonesia 22% Komentar peringkat terendah ke-5 13% peringkat terendah ke-2 24% peringkat terendah ke-4 Sumber : Fraser Institute, 2004 Demikian juga dengan hasil laporan Word Bank (IMA, 2006) tentang indeks kepercayaan investor menyebutkan bahwa Indonesia relatif memiliki tingkat kepercayaan investor yang lebih rendah dari Thailand dan Vietnam (Gambar 13). Rendahnya tingkat kepercayaan investor ini mengakibatkan munculnya disentif yang sangat besar bagi investor untuk ikut serta dalam kegiatan investasi di Indonesia, termasuk investasi pada sektor pertambangan yang relatif memakan waktu yang lama serta risiko yang besar (IMA, 2006). Faktor lain yang menjadi kendala melemahnya investasi pertambangan di Indonesia adalah besarnya korupsi pada sektor pemerintahan di Indonesia. Gambar 14 memperlihatkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia relatif sangat parah dibandingkan dengan negara lain. Indonesia memiliki tingkat korupsi yang lebih buruk dibandingkan dengan India dan Thailand serta sangat jauh jika dibandingkan dengan Malaysia. Tingkat korupsi yang parah ini jelas menimbulkan disentif yang sangat besar bagi investasi pertambangan, mengingat kegiatan pertambangan melibatkan sejumlah peraturan yang diatur oleh pemerintah sehingga tingkat korupsi yang besar akan mengurangi kepastian berusaha karena adanya ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Gambar 13. Index Kepercayaan Investor (FDI Confidence Index Among Global Investors) Sumber : Word Bank, 2005 36 Gambar 14. Indeks Persepsi korupsi 2003 Sumber : Transperancy International, 2003 Jika dilihat dari perspektif daerah penghasil, sektor pertambangan sering menimbulkan kondisi kantong (enclave) pada masa operasi, terjadinya efek pengurasan (backwash effect) oleh daerah-daerah yang lebih maju yang justru menghambat perkembangan wilayah-wilayah perdesaan/hinterland yang kaya sumberdaya mineral (Anwar 2001). Sebagai akibatnya investasi pertambangan menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah (regional leakage) bagi daerah penghasil pada masa operasi karena kecilnya penggunaan dan pembelian barang dan jasa di daerah setempat yang mana sebagian besar barang dan jasa tersebut harus di import. Menurut Agenda 21 sektor Pertambangan (2001) menyatakan bahwa industri pertambangan juga merupakan industri yang menimbulkan berbagai perubahan drastis terhadap lingkungan sehingga merupakan ancaman terhadap kelestarian fungsi-fungsi lingkungan dan fungsi-fungsi kehidupan sosial budaya masyarakat. Dalam prespektif lingkungan, kehadiran industri pertambangan pada suatu daerah dapat menyebabkan terjadinya depresiasi (degradation dan depletion) lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati flora dan fauna, hutan, lahan, sungai dan laut. Potensi-potensi positif sektor pertambangan sering tidak mampu mengkompensasi potensi-potensi negatif itu, sehingga industri pertambangan mempunyai potensi konflik dengan kepentingan masyarakat. 37 Pertambangan juga berdampak pada kehidupan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam. Aksessibilitas masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam sebagai mata pencaharian tradisionalnya dapat hilang jika wilayah Kontrak Karya Pertambangan tertutup bagi mereka, hal ini dapat menjadi masalah serius bagi penduduk setempat. Munculnya berbagai masalah sosial budaya, pelanggaran hak asasi manusia, hilangnya kearifan-kearifan lokal masyarakat asli (indegenous people) turut mewarnai perjalanan industri pertambangan di Indonesia selama empat dekade terakhir ini. Meskipun berbagai persoalan yang menghambat investasi pertambangan di Indonesia namun sesungguhnya Indonesia memiliki potensi sumberdaya mineral yang cukup kaya dan beragam. Menurut Hamilton dan Katili (Sigit, 1996) secara geologi posisi Indonesia diuntungkan karena berada pada konvergensi tiga lempengan raksasa dunia yakni lempengan Australia-Hindia yang bergerak ke Utara, lempengan Pasifik bergerak ke Barat dan lempengan Eurasia (Eropa Asia) yang relatif diam. Konvergensi ke tiga lempengan tersebut membawa dampak positif dan negatif bagi Indonesia. Dampak negatifnya ; struktur kepulauan Indonesia di penuhi oleh deretan gunung berapi yang berpotensi mendatangkan bencana. Dampak positifnya; pola penyebaran mineralisasi hampir merata pada gugus kepulauan Indonesia yang mengandung potensi sumberdaya mineral yang kaya dan beragam. 38 Tabel 9. Potensi Sumberdaya Mineral di Indonesia No 1. Jenis Mineral Bauksit Deposit (cadangan) 1,3 milyar ton Lokasi Pulau Bintan Propinsi Riau. Kalimantan Barat 2. Batubara 36,5 milyar ton 3. Kobalt 4. Tembaga Nomor 3 terbesar di dunia setelah Kanada dan Uganda 32 juta ton Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Irian Jaya dan Pulau Jawa Pulau Wageo (antara pulau Halmahera dan Irian Jaya) Grasberg, Irian Jaya, Kalimantan, Jawa, Sumatera dan Sulawesi Kalimantan Selatan 5. Intan Tidak ada data 6. Emas 3120 ton 7. Kaolin tidak ada data 8. Mangan tidak ada data 9. 10. Mika Pasir Besi tidak ada data tidak ada data 11. 12. Pasir Chroom Nikel 13. Timah tidak ada data + 27.000 ton nikel kasar (nikel matte) tahun 1990. 1000 juta ton nikel laterit dengan kandungan logam 13 juta ton 24.000 ton 14. Uranium tidak ada data 15. Seng tidak ada data Grasberg Irian Jaya. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Pulau Wetar Irian Jaya Sulawesi Timur Laut, Kepulauan Bangka dan Belitung Jawa Barat, Jawa Tengah Wasior, Irian Jaya Cilacap, Bali, Ende (NTT), Sumatera Pulau Halmahera Soroako Sulawesi Selatan, Kalimantan, Halmahera dan Irian Jaya Kepulauan Riau, lepas pantai timur Sumatera. Pulau Bangka Sumatera Selatan Sungai Riang Kalbar, sungai Mahakam, Sibolga SUMUT, Kelian KALTIM, Sungai Momi Monokwari Irian Jaya Irian Jaya Keterangan PT. Aneka Tambang memiliki izin penambangan tunggal seluas 10.000 ha PT. Freeport Inc Kandungan mineral yang penting di Kalsel PT. Freeport Inc Di Belitung terdapat 14 pertambangan PT. INCO PT. Tambang Timah (BUMN) Di survey oleh PT.Anggi Chemaloy Sumber : diolah dari berbagai sumber, 2006 Tentang potensi sumberdaya mineral (Bachriadi, 1998) menambahkan Indonesia menyimpan kandungan minyak terbesar di dunia, juga dikenal sebagai penghasil timah nomor 2 di dunia dan bersama Thailand sebagai kontributor 58% dari produksi timah dunia. Indonesia juga tercatat sebagai pengekspor batubara uap nomor 3, penghasil nikel 39 nomor 5 dan penghasil emas nomor 9 di dunia. Jika mengacu pada program perluasan tambang PT. Freeport Indonesia (PTFI) di Papua sejak tahun 1997 maka perusahaan ini akan menjadi penghasil tembaga nomor 2 terbesar di dunia. Potensi sumberdaya mineral yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang menyangkut jenis, deposit dan penyebarannya merupakan kekayaan nasional disajikan pada Tabel 9 diatas. Sedangkan persebaran potensi sumberdaya mineral dan pelaku utama sektor pertambangan di Indonesia di tunjukkan pada Gambar 15 di bawah ini. Gambar 15. Persebaran Pelaku Utama Sektor Pertambagan di Indonesia Sumber : DESDM (IMA, 2006) Hasil annual survey of mining companies 2002/2003 yang dilakukan oleh Fraser Institute (lembaga penelitian ekonomi, sosial dan pendidikan di Kanada) tentang kekayaan sumberdaya mineral di Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun tersebut, Indonesia dari sisi mineral potential index berada pada urutan 16 dari 47 negara yang di survey seperti terlihat pada Gambar 16. Indonesia urutan ke 16 dari 47 Gambar 16. Indeks Potensi Mineral dari 47 negara Sumber : Fraser Institute 2002/2003 survey of mining companies 40 Namun betapapun kayanya potensi sumberdaya mineral di sebuah negara, harus pula ditopang oleh kebijakan pemerintah dan iklim investasi yang kondusif. Sebagaimana dikatakan oleh Sigit (1996) : “Tingkat perkembangan dan kemajuan pertambangan di suatu negara, bukannya ditentukan terutama oleh potensi sumberdaya mineralnya betapapun juga kayanya, tetapi lebih banyak bergantung pada kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa dalam menetapkan iklim usaha yang diperlukan” Menurut Sigit (2004), sejak tahun 1997 timbul berbagai hal yang merusak iklim investasi pertambangan di Indonesia, yang menyebabkan tidak saja terhentinya arus investasi pertambangan baru, tetapi juga menyebabkan terhentinya ratusan proyek eksplorasi yang di lakukan oleh perusahaan-perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Sebagai konsekuensi dari situasi demikian berdasarkan hasil annual survey of mining companies 2002/2003 yang dilakukan oleh Fraser Institute, Indonesia berada pada urutan ke 47 dari 47 negara dalam Policy Potential Index sebagai negara tujuan investasi pertambangan, seperti terlihat pada Gambar17. Indonesia urutan ke 47 dari 47 Gambar 17. Indeks Potensi Kebijakan Sumber : Fraser Institute 2002/2003 survey of mining companies Selanjutnya Sigit (2004) menyatakan pertambangan di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat selama kurun waktu 1970-1996, namun dewasa ini mengalami kesulitan yang berkepanjangan. Sejak tahun 1997 timbul berbagai hal yang merusak iklim investasi, yang menyebabkan tidak saja terhentinya arus investasi pertambangan baru, tetapi juga menyebabkan terhentinya ratusan proyek eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan PMA. Puluhan investor berbondong-bondong meninggalkan Indonesia dan mengalihkan investasinya ke negara lain (terutama China, India, Vietnam, 41 Chili, dsbnya) karena negara-negara tersebut dapat memberikan fasilitas dan kondisi lingkungan kerja yang lebih baik. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian BCI (Bussiness Competitiveness Index) (IMA, 2006) tentang kondisi persaingan usaha di Indonesia yang relative buruk dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam, Brazil maupun Thailand (Gambar 18). Kinerja yang buruk ini tentunya akan mengurangi tingkat kepastian investor untuk melakukan tindakan investasi di Indonesia. Karenanya, peran pemerintah untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang kondusif menjadi mutlak untuk dilakukan. Gambar 18. Indeks Persaingan Usaha Sumber : BCI (Bussiness Competitiveness Index) dalam IMA, 2006 Selain itu, serangkaian kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan perundangan di bidang perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, pertanahan, ketenagakerjaan dan pelaksanaan otonomi daerah, telah menimbulkan berbagai permasalahan yang membuat iklim investasi tidak kondusif lagi. Dengan demikian sejak tahun 1996 penanaman modal dalam pertambangan di Indonesia telah mengalami Stagnasi atau mati suri. Setelah beroperasi selama lebih dari empat dekade menurut data BPS 2003, secara nasional kontribusi sektor pertambangan pada perekonomian nasional (Produk Domestik Nasional Bruto) berturut-turut tahun 1997 sebesar Rp. 7.645,6 triliun (1,76%), 1998 sebesar Rp. 9.678,0 triliun (2,57%), 1999 sebesar Rp. 10.357,7 triliun (2,73%), 2000 sebesar Rp. 11.619,2 triliun (2,92%), 2001 sebesar Rp. 12.502,5 triliun (3,04%), 2002 sebesar Rp. 13.082,2 triliun (3,07%). Nilai sebesar itu belum dapat dikatakan 42 signifikan jika dibandingkan dengan besarnya deposit sumberdaya mineral yang terdapat dalam perut bumi Indonesia. Menurut LPEM UI dalam studi pembuatan road map sektor pertambangan (2004) bahwa proporsi sektor pertambangan terhadap total PDB Indonesia pada tahun 2002 hanya mencapai lebih dari 2,5% dari total PDB. Proporsi ini relatif menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 3% dari total PDB secara keseluruhan (Gambar 19). Kecilnya proporsi nilai tambah sektor pertambangan ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah untuk dapat terus meningkatkan nilai tambah sektor pertambangan sehingga peranannya pada masa yang akan datang dapat terus ditingkatkan, mengingat besarnya sumberdaya dan cadangan bahan tambang di Indonesia. Gambar 19. Proporsi Nilai Tambah Sektor Pertambangan terhadap PDB Indonesia Sumber : CEIC (LPEM UI, 2004) Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) juga berdampak signifikan bagi pendapatan daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral. Daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang signifikan akan memiliki alokasi yang besar dari penerimaan negara yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 dan PP No. 104/2000 terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari sumberdaya alam. Untuk sektor pertambangan umum di bagi dengan imbangan 20% Pemerintah Pusat, 16% Propinsi, 32% 43 Kabupaten/Kota Penghasil dan 32% Kabupaten/Kota dalam Propinsi. Bagi hasil penerimaan negara dari sumberdaya alam secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Persentase Alokasi Bagi Hasil Penerimaan dari Sumberdaya Alam No. PENERIMAAN A. 1. SDA Non Migas Kehutanan - PSDH - IHPH - Dana Reboisasa Pertambangan - Land Rent - Royalty Perikanan SDA Migas Penerimaan Negara Setelah dikurangi komponen pajak yang berasal dari minyak bumi Penerimaan Negara Setelah dikurangi komponen pajak yan berasal dari gas alam 2. 3. B 1. 2. PUSAT PROVINSI KAB./KOTA PENGHASIL KAB./KOTA LAINNYA KAB./KOTA SELURUH INDONESIA 20 20 60 16 16 0 32 64 40 32 0 0 0 0 0 20 20 20 16 16 0 32 32 0 32 32 0 0 0 80 85 3 6 6 0 70 6 12 12 0 Sumber : UU No. 33 Tahun 2004 dirangkum Bagi hasil pajak dan sumberdaya alam serta dana perimbangan terlihat pada tabel 10 dan tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Bagian Pusat–Daerah dari Bagi Hasil Pajak dan Sumberdaya Alam No 1. 2. 3. 4. 5. Jenis Bagi Hasil & Perincian Bagian Daerah Pajak Bumi da Bangunan (PBB) Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan Pajak Penghasil Perorangan** SDA Kehutanan Iuran Hak Penguasaan Hutan (HPH) (Provinsi 16%, Kabupaten/Kota Penghasilan 6%) Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) (Provinsi 16% Kabupaten/Kota Penghasil Kabupaten/Kota Lainnya 32%) SDA Pertambangan Umum : Iuran Tetap (Land Rent) (Provinsin 16%, Kabupaten/Kota Penghasil 64%) Iuran Eksplorasi & Eksploitasi (Royalty) (Provinsi 16 %, Kabupaten/Kota Penghasil Kabupaten/Kota Lainnya 32%) Pusat 10% 20% 80% Daerah 90% 80% 20% 20% 80% 20% 80% 20% 80% 20% 80% 32%, 32%, Sumber : UU No. 33/2004, PP No. 104/2000 dan PP No. 115/2000 44 Tabel 12. Dana Perimbangan menurut Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 No Jenis Penerimaan Pusat Provinsi 1. PBB 90%x16.2% 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 3% 80%x64% 64%x50% 64% 64% 64%x50% 80% 6% 70% 6% 12% 10. BPHTB IHPH Propisi SDH Iuran Tetap Royalty Perikanan Minyak Bumi (Penerimaan Bersih) Gasa Alam (Penerimaan Bersih) Alokasi Umum 10% + (90%x9%, sebagai biaya pungut) 20% 20% 20% 20% 20% 20% 85% Minus 25% dari APBN 10% 90% 11. 12. Alokasi Khusus Dana Reboisasi 9. 60% 80%x16% 16% 16% 16% 16% Kab/Kota Penghasil 90%x64.8% Kabupaten Lainnya 32 64%x50% 64%x50% 6% 12% 40%*** Sumber : Peraturan Pemerintah No. 104 tahun 2000, dirangkum Di beberapa daerah yang memiliki sumberdaya mineral sektor pertambangan mampu menyumbangkan persentase yang besar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah. Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur sebesar 74,7 persen, Kabupaten Mimika Papua 97,4 persen dan Kabupaten Luwu Utara, Sulsel 80 persen, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB sebesar 92,70 persen (2003), 95,24 persen (2004) dan 95,26 persen (2005). Namum tingginya PDRB di daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral belum dapat dijadikan indikator kesejahteraan masyarakat karena penilaian tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah bahwa PDRB konvensional belum dikurangi dengan depresiasi lingkungan yakni penyusutan (depletion) dan kerusakan (degradation) lingkungan. Selama empat dekade perjalanan industri pertambangan di Indonesia dari prespektif sosial budaya dipenuhi konflik dengan pemerintah daerah dan masyarakat lokal dan ketidakpuasan unsur-unsur masyarakat di daerah. Sumberdaya mineral yang selama ini menjadi simbol kekayaaan di daerah menjadi sumber tuntutan untuk mendapatkan hak otonomi. Pertambangan yang perizinannya dikelola secara sentralistik dan sektoral dirasakan telah menciptakan ketidakadilan, pencemaran lingkungan serta kecilnya manfaat bagi masyarakat telah menjadi sasaran tuntutan lahirnya paradigma baru pertambangan. 45 2.6. Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Sebagai daerah yang terbuka, adalah wajar apabila suatu daerah mempunyai akses dan keterkaitan dengan daerah lain. Kecenderungan yang terjadi menunjukkan bahwa semakin banyak alur akses dan keterkaitan dengan daerah lain, maka semakin besar kesempatan suatu daerah untuk berkembang. Adanya sejumlah akses tersebut memungkinkan suatu daerah untuk dapat melakukan pertukaran barang dan jasa secara efektif. Dalam perencanaan wilayah, keadaan ini disebut sebagai simpul jasa distribusi (Agenda 21 buku 2, 2000). Selanjutnya (Agenda 21, 2000) menerangkan dapat pula terjadi eksploitasi suatu daerah terhadap daerah lain, misalnya eksploitasi suatu kota terhadap daerah buritannya. Analogi dengan hal tersebut, dalam ekologi dikenal watak dasar bahwa ekosistem yang dewasa, kuat dan mapan akan melakukan invasi serta mengalahkan ekosisitem yang muda, lemah dan labil. Karenanya yang biasa terjadi adalah pembangunan sarana perhubungan dan komunikasi yang menghubungkan suatu daerah yang “lemah” dengan daerah lain yang “kuat” akan menyebabkan invasi dan eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Dengan demikian terjadilah ketergantungan daerah yang lemah terhadap yang kuat. Kondisi yang demikian tidak mendukung pembangunan berkelanjutan. Salah satu atau bahkan kedua belah pihak akan mengalami kebangkrutan dan kemerosotan atau yang satu menjadi beban yang lain. Sehingga yang harus dikembangkan adalah saling ketergantungan, kerjasama antar daerah berdasarkan kekuatan masing-masing. Untuk itu pola pikir pembangunan berkelanjutan harus menuju pada upaya memperkuat daerah sehingga terbangun saling ketergantungan. Kabupaten mempunyai kesempatan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan antara perdesaan yang berbasis ekonomi pertanian dan perkotaan yang berbasis ekonomi industri dan jasa. Hal ini juga berarti mengembangkan dan menjaga hubungan yang serasi antara satuan ruang yang didomominasi oleh lingkungan buatan dan satuan ruang yang didominasi oleh lingkungan alami. Sumberdaya alami menjadi komponen yang penting untuk menjamin keberlanjutan perkembangan, bukan hanya untuk Kabupaten itu sendiri tetapi juga untuk Kota yang harus ditopangnya. Usaha pertanian yang berkelanjutan dalam arti luas dan mungkin juga kehutanan, perlu menjadi perhatian utama dalam perencanaan pembangunan Kabupaten. 46 2.6.1. Penganggaran Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintah, karena berkaitan dengan pemerintahan itu sendiri untuk mensejahterakan rakyatnya (Soenarto, 2007). Oleh karena itu output dari perencanaan adalah penganggaran. Pada era otonomi daerah pemerintah daerah dituntut untuk mampu secara mandiri mengelolaan keuangan daerah yang tercermin dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah (UU 33/2004). APBD bagi pemerintah daerah merupakan rencana kerja yang akan dilaksanakan dan disajikan dala bentuk angka-angka. Angka-angka pada sisi penerimaan mencerminkan rencana pendapatan serta sumber-sumber untuk mendapatkannya, sedangkan angka-angka pada sisi pengeluaran mencerminkan program kerja pemerintahan maupun pembangunan yang akan dilaksanakan. APBD merupakan instrumen kebijakan utama bagi pemerintah daerah, peran pemerintah dalam pengalokasian anggaran sangat menentukan bidang-bidang atau sektor-sektor mana yang harus dikembangkan untuk ditingkatkan anggarannya karena berpengaruh terhadap kinerja pembangunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengalokasian anggaran dengan kinerja pembangunan daerah yaitu: 1) Pola pengalokasian anggaran suatu daerah 2) Pola pengalokasian anggaran daerah sekitarnya dan 3) kinerja pembangunan daerah sekitarnya. 2.6.2. Indikator-Indikator Kinerja Pembangunan Menurut (Saefulhakim, 2005) indikator-indikator kinerja pembangunan dibangun atas dasar variabel-variabel penting yang dianggap bisa menggambarkan tingkat perkembangan dan pertumbuhan atau mampu menjelaskan tingkat ukuran kinerja pembangunan dapat dirumuskan dengan indeks/ratio. Indeks/rasio tersebut diantaranya adalah: 1) Bidang perekonomian: diukur dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, tingkat pemerataan pendapatan (indeks gini), tingkat daya beli, tingkat tabungan masyarakat, tingkat investasi, perdagangan luar negeri (eksport import), indeks harga bangunan, realisasi penerimaan APBD dll. 2) Bidang ketertiban umum: diukur dengan luas wilayah dan jumlah penduduk berdasarkan konflik/kejadian, penduduk berdasarkan jenis kasus/kejadian, kecelakan, kebakaran hutan dll. 3) Bidang kesehatan: jumlah penduduk sakit, tingkat kematian, tingkat harapan hidup, angka kelahiran, dll. 4) Bidang pendidikan: diukur dengan tingkat pendidikan, angka putus sekolah, rataan lama sekolah, 47 angka buta dan melek huruf dll. 5) Bidang tata ruang, lingkungan dan pemerintahan umum: diukur dengan kepadatan penduduk, rumah permanen dan non permanen, penyimpangan penggunaan lahan dari rencana tata ruang, tingkat ketersediaan ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan dll. 2.6.3. Peran Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Perencanaan pembangunan wilayah yang disusun secara komprehensif pada akhirnya akan meningkatkan kinerja pembangunan daerah sehingga hasil-hasil yang diharapkan dapat tercapai. Dalam pembangunan perekonomian daerah, setiap kebijakan dan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan pembangunan di daerah pasti akan mendasarkan diri dari kekhasan yang menjadi ciri daerah yang bersangkutan, dimana kegiatan tersebut ditujukan bagi terciptanya peningkatan (baik jumlah maupun jenis) kesempatan kerja bagi masyarakatnya, pertumbuhan perekonomian wilayah yang stabil dan peningkatan pendapatan perkapita. Keterbatasan dana sebagai sumber pembiayaan dalam melaksanakan pembangunan merupakan alasan ditetapkannya suatu skala prioritas di dalam pembangunan yang tertuang dalam pola pengalokasian anggaran. Pola pengalokasian anggaran dalam suatu pembangunan di daerah berarti merupakan suatu pola untuk melaksanakan rencana kerja dengan tujuan bahwa rencana kerja tersebut akan mempunyai dampak atau manfaat yang lebih besar bagi masyarakat yang secara umum akan mempengaruhi kinerja pembangunan. Berkaitan dengan penganggaran maka pola pengalokasian anggaran yang kurang tepat akan menyebabkan pemborosan sumberdaya dan sasaran yang akan dicapai tidak dapat terwujud dengan optimal yaitu kinerja pembangunan yang buruk. Alokasi anggaran belanja yang tidak disesuaikan dengan pemahaman atas karakteristik perekonomian wilayah maka tidak akan memberikan manfaat dalam penyusunan rencana pengeluaran pemerintah. Kaitannya dengan interaksi spasial, maka pola pengalokasian anggaran suatu daerah yang tepat akan memberi pengaruh terhadap kinerja pembangunan yang baik untuk daerah yang bersangkutan dan diharapkan juga memberi pengaruh terhadap kinerja pembangunan di daerah sekitarnya. Begitu pula kinerrja pembangunan di suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pola pengalokasian anggaran pada daerah yang bersangkutan, tetapi mendapat pengaruh dari daerah disekitarnya. Pengalokasian anggaran belanja yang baik sesuai untuk suatu daerah akan memberi dampak terhadap 48 daerah-daerah lainnya. Ataua dapat dikatakan, dengan tercapainya kinerja pembangunan yang baik maka daerah-daerah sekitarnya akan menerima manfaat juga (Soenarto, 2005). 2.7. Analisis Isi (Content Analysis) Peraturan Perundangan dan Proses Perubahan Kebijakan 2.7.1. Analisis Isi (Content Analysis) Peraturan Perundangan Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentukbentuk tertulis lainnya (Henderson, 1991 dan Krippendorf, 1980). Teknik penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi (Fraenkel et al. 1996). Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena sifatnya yang unobtrusive (tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti), ekonomis, bisa direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan antar penguji (Fraenkel et al, 1996). Tahapan/prosedur dalam melakukan content analysis dimulai dari identifikasi permasalahan penelitian, review teori dan penelitian sebelumnya, menentukan fokus penelitian, mendefinisikan isi dokumen yang relevan, membuat desain yang lebih spesifik, membuat tabel contoh, membangun protokol untuk pengkodean, spesifikasi populasi, spesifikasi kerangka sample, melakukan analisis percobaan, memproses data dan melaporkan hasil (Borg et al., 1989; Riffe et al., 1998; Fraenkel et al., 1996, dan Krippendorff, 1980). Secara ringkas tahapan content analysis ini disajikan pada Gambar 20. 49 Identifikasi Problem Penelitian Review Theory dan Penelitian Sebelumnya Konseptualisasi (Conceptualization) Assert Research Questions Penentuan Konteks yang relevan Spesifikasi Desain Formal Pembuatan Dummy Tables Rancangan (Design) Pembangunan Protokol Pengkodean Spesifikasikan Populasi Spesifikasi Sampling Frame Pretest Tetapkan Reliability Analisis (Analysis) Proses pengolahan data : Analisis kualitatif, Analisis Kuantitatif atau gabungan keduanya HASIL Gambar 20. Prosedur Analysis Isi (content analysis) Sumber : Rosylin, 2008 Analisis isi (content analysis) untuk keperluan penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang undangan tentang mineral dari pusat hingga ke daerah penelitian dalam konteks pembanguan berkelanjutan untuk aspek ekonomi, lingkungn dan sosial. 2.7.2. Proses Perubahan Kebijakan Sutton (1999) menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan pemisahan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang “chaotic”. Lindayati dalam Rosylin (2008) menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah; tetapi juga melibatkan proses 50 ”pembelajaran” bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peranan utama. Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut sebagai model liner. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau common-sense. Urutan pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut (Sutton, 1999) : 1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. 2. Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah. 3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi. 4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat. 5. Pelaksanaan kebijakan. 6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan. Sedangkan menurut (IDS, 200) proses pembuatan kebijakan non linier mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1. Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata bersifat teknis, aktivitas rasional-lah yang sering dipertahankan. 2. Pembuatan kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak menentu, bersifat berulang-ulang dan sering juga didasarkan pada percobaan, kesempatan belajar dari kekeliruan, dan mengambil ukuran-ukuran yang bersifat perbaikan. Oleh karena itu tidak ada keputusan atau hasil kebijakan tunggal yang optimal. 3. Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin tidak ada kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa permasalahan kebijakan penting yang sebenarnya. 4. Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta saling terjalin. Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran utama. 5. Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan (memberi kesempatan untuk melakukan inovasi dan lebih dihargai). 6. Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama ‘saling membangun’ kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi (produksi bersama) antara kebijakan dan ilmu pengetahuan. 7. Co-Produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan berusaha melengkapi dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan, dan selanjutnya didiskusikan. 51 8. Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai perspektif dari kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan. Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam suatu kerangka sederhana yang menghubungkan tiga tema yang saling berhubungan (Gambar 21) (IDS, 2006), yaitu : 1. pengetahuan dan diskursus (apa yang merupakan ‘kebijakan naratif’? Bagaimana hal tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan lain sebagainya ?); 2. para pelaku dan jaringan kerja (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung ?); dan 3. politik dan kepentingan ( apakah yang merupakan dasar dinamika kekuasaan ?) Diskursus & Naratif Politik & Kepentingan Pelaku & Jaringan Kerja Gambar 21. Kerangka Hubungan Antar Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan (Sumber : Institute of Development Studies, 2006) Sutton (1999) menjelaskan bahwa pengembangan narasi (narrative development) yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi penyederhanaan kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan. Mereka sering menetapkan keyakinankeyakinan tersebut sebagai kearifan di masa lalu yang sulit sekali ditinggalkan. Keberadaan kelompok kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena akan saling memberi pengaruh terhadap ’kebenaran’, asumsi, jalan keluar, berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau arena yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi ruang kebijakan (policy space), yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Narasi dilahirkan melalui jaringan pembuat kebijakan (policy coalition/network) dan mengembangkan paradigmanya sendiri sehingga menjadi sangat berpengaruh. 52