model pembangunan daerah berkelanjutan melalui

advertisement
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commision on
Environment and Development) WCED (1988), insititusi yang pertama kali
menggulirkan konsep pembangunan berkelanjutan mendefinisikan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah “pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri”. WCED membagi dua kunci konsep utama dari
definisi tersebut. Pertama, konsep tentang kebutuhan atau needs yang sangat esensial
untuk penduduk miskin dan perlu diprioritaskan. Kedua, konsep tentang keterbatasan
atau limitation dari kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi
sekarang dan yang akan datang. Untuk itu diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap
mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia. Usulan konkrit dari himbauan tentang apa yang harus dilakukan telah diajukan
oleh IUCN (The World Conservation Union). UNEP (United Nation Environmental
Program) dan WWF (World Wide Fund For Nature) tahun 1991 menerbitkan dokumen
yang disebut Caring For The Earth : a Strategy for Sustainable Living. Menurut
dokumen ini, pada prinsipnya harus ada pemaduan dan keseimbangan antara
pembangunan dan konservasi. Konservasi bukan menghambat tetapi justru mendukung
pembangunan, karena hanya dengan mengkonservasikan alam maka pembangunan dapat
berkelanjutan. Dokumen ini merupakan pengembangan atas dokumen yang berisi usulan
dan himbauan yang berjudul World Consevation Strategy tahun 1980, yang disusun oleh
ketiga badan dunia tersebut. Walaupun demikian dokumen ini kelihatannya kurang
mendapat perhatian dunia. Ini disebabkan selain karena penyebaran yang memang
terbatas, bobot politik dan institutionalnya juga belum mencukupi.
Ketua Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WECD) Gro Harlem
Brutland dalam pengantarnya di buku “Our Common Future” menceritakan bahwa tugas
komisinya ketika memperoleh mandat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tahun 1983 adalah memformulasikan agenda global untuk perubahan atau “a global
agenda for change” yang bertujuan :
1.
Mengajukan strategi jangka panjang di bidang lingkungan untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan tahun 2000 dan kedepan.
2.
Merekomendasikan cara-cara atau strategi untuk lingkungan yang mungkin dapat
direfleksikan pada kerjasama diantara negara–negara berkembang dan diantara
negara yang tingkat sosial ekonominya berbeda dan menuju ke pencapaian tujuan
bersama dan saling menguntungkan dengan memperhatikan keterkaitan antar
manusia (people), sumber-sumber (resources), lingkungan (environment), dan
pembangunan (development).
3.
Mempertimbangkan strategi dan cara dimana masyarakat internasional dapat
mengatasi dengan efektif keprihatinan lingkungan.
4.
Membantu mendifinisikan pandangan tentang isu–isu lingkungan jangka panjang
dan upaya-upaya yang tepat yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah
dalam rangka melindungi dan meningkatkan daya dukung lingkungan, agenda
tindak untuk jangka panjang selama sepuluh tahun mendatang dan tujuan-tujuan
yang aspiratif untuk masyarakat global.
Salim (1990), dalam makalahnya berjudul “Sustainable Development : An
Indonesian Perspektif” menyebutkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
menempatkan pembangunan dalam perspektif jangka panjang (a longer term
perspective). Konsep tersebut menuntut adanya solidaritas antar generasi. Hadi (2001),
menyatakan untuk konteks Indonesia pembangunan berkelanjutan ditujukan untuk
mengurangi kemiskinan dan juga mengeliminasi kerusakan sumberdaya alam dan
lingkungan. Pembangunan berkelanjutan secara implisit juga mengandung arti untuk
memaksimalkan keuntungan pembangunan dengan tetap menjaga kualitas sumberdaya
alam. Konsep pembangunan berkelanjutan menyadari bahwa sumberdaya alam
merupakan bagian dari ekosistem. Dengan memelihara fungsi ekosistem maka
kelestarian sumberdaya alam akan tetap terjaga. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
pembangunan
berkelanjutan
mempersyaratkan
melarutnya
lingkungan
dalam
pembangunan.
Sebagai salah seorang anggota komisi Brutland, Salim (1990) selanjutnya
mengatakan bahwa penduduk dunia telah mencapai 5,2 milyar. Jumlah ini ditopang oleh
pertumbuhan ekonomi dunia yang meningkat 20 kali lipat selama tahun 1900-1990.
Pertumbuhan yang tinggi ini dimungkinkan dengan konsumsi energi dunia yang terus
meningkat. Meskipun jumlah penduduk di negara-negara maju hanya 25% dari
penduduk dunia, tetapi mereka mengkonsumsi energi dunia sebanyak 80%. Sementara
itu penduduk negara berkembang yang mencapai 75% dari penduduk dunia hanya
15
menkonsusmsi 20% energi dunia. Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju maupun
berkembang membawa kesejahteraan tetapi juga ketidakmerataan dan kerusakan
lingkungan. Dampak pada lingkungan meliputi (a) pencemaran atmosfir seperti
menipisnya lapisan ozone, pemanasan global, hujan asam, perubahan iklim (b) kenaikan
permukaan air laut, pencemaran laut karena “oil spill”, penangkapan ikan yang
berlebihan atau “over fishing” (c) penggundulan hutan (d) merosotnya keanekaragaman
hayati (e) degradasi tanah, erosi lahan, karena eksploitasi lahan yang berlebihan.
Para pakar mengidentifikasi tiga pandangan tentang Pembangunan Berkelanjutan
yang berkembang dari tiga disiplin ilmu pengetahuan (Seraggeldin, 1994). Pandangan
tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, pandangan dari sudut ekonomi yang
meletakkan pusat perhatian pada upaya peningkatan kemakmuran semaksimal mungkin
dalam batasan ketersediaan modal dan kemampuan teknologi. Sumberdaya alam
merupakan modal yang lambat laun akan menjadi sesuatu yang langka, dan ini pada
gilirannya akan menjadi kendala bagi upaya peningkatan kemakmuran. Sementara itu
sumberdaya manusia dengan kemampuan teknologinya akan menjadi tumpuan harapan
untuk melonggarkan batas dan mengubah kendala-kendala yang ada. Atas dasar itu
diharapkan perkembangan kemakmuran akan terus mengalami keberlanjutan. Kedua,
pandangan dari sudut ekologi yang melihat terjaganya keutuhan ekosisitem alami
sebagai syarat mutlak untuk menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan. Ketiga,
pandangan dari segi sosial yang menekankan kepada pentingnya demokratisasi,
pemberdayaan, peran serta, transparansi dan keutuhan budaya, sebagai kunci untuk
melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
Selanjutnya Seragaldin (1993) menguraikan bahwa pembangunan berkelanjutan
harus mengintegrasikan tiga bidang ilmu yang berbeda serta hubungan diantara
ketiganya baik aspek ekonomi maupun non ekonomi yaitu (1) tujuan ekonomi, yaitu
pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi capital, (2) tujuan sosial, yaitu pengentasan
kemiskinan dan pemerataan (3) ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang
menjamin keberlanjutan (Gambar 4).
16
Tujuan Ekonomi :
Pertumbuhan, pemerataan
dan efisiensi capital
Tujuan Sosial :
Pemberdayaan masyarakat,
partisipasi, mobilitas sosial,
kepaduan/kohesi sosial,
identitas budaya dan
pengembangan kelembagaan
Tujuan Ekosistem :
Integritas ekosistem, daya
dukung lingkungan
keanekaragaman hayati dan
isu-isu global
Gambar 4. Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Seragaldin, 1993)
Munasinghe (1993) dalam Indahsari (2001) menyatakan bahwa tidaklah mudah
untuk menyatukan ketiga tujuan di atas dan akan terjadi tolak angsur (trade off) diantara
tujuan–tujuan tersebut. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi, para
ahli
ekonomi
memiliki
pendekatan
tersendiri
dalam mencapai
pembangunan
berkelanjutan. Inti dari pendekatan tersebut adalah bahwa telah ada upaya penilaian
terhadap nilai-nilai lingkungan serta sosial yang tidak tertransaksi di pasar. Selain itu,
untuk memfasilitasi trade off antara ketiga tujuan yang berbeda tersebut digunakan
analisis multikriteria dengan indikator-indikator ekonomi, sosial dan lingkungan tertentu
(Gambar 5).
Lebih jauh Munasinghe (1993) menguraikan usaha-usaha untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan ekonomi. Pertama, menelusuri dampak
di tingkat proyek pembangunan yaitu dengan melakukan analisis biaya manfaat. Jika
manfaat suatu proyek pembangunan lebih besar daripada biayanya (termasuk biaya
lingkungan dan sosial) maka proyek tersebut layak dilaksanakan. Kedua, adalah
menelusuri dampak ditingkat sektoral, yaitu dengan kebijakan pricing terhadap
sumberdaya –terutama sumberdaya/jasa-jasa yang langka– dan pengenaan biaya
tambahan (charges) untuk menutupi dampak-dampak eksternal. Ketiga, menelusuri
dampak di tingkat makro ekonomi berupa pendesain ukuran-ukuran komplemen yang
dapat menurunkan dampak negatif kebijakan dan meningkatkan dampak positif
17
kebijakan, baik dalam kebijakan ekonomi, lingkungan, maupun sosial, terutama dalam
hal alokasi dan akses ke sumberdaya.
Tujuan Ekonomi
ƒ evaluasi dampak
lingkungan
ƒ valuasi sumberdaya
ƒ internaliasasi dampak
ƒ distribusi
pendapatan
ƒ employment
ƒ targeted asistance
Tujuan Sosial
Tujuan Ekosistem
ƒ partisipasi
ƒ konsultasi
ƒ pluralisme
Gambar 5. Unsur-unsur Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
Sumber : Munasinghe, 1993
Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan akan diuraikan dibawah ini.
2.1.1. Tujuan Ekonomi dan Sosial
Kedalam tujuan ekonomi sosial, terdapat tiga unsur penting yang harus
diperhatikan agar tujuan ekonomi dan tujuan sosial dapat dicapai secara bersamaan, yaitu
distribusi pendapatan, kesempatan kerja (employment), dan bantuan bersasaran (targeted
assistence). Pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan upaya peningkatan kesempatan
kerja dan upaya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Untuk mencapai hal tersebut,
segala bentuk rintangan (barriers) yang menghalangi akses masyarakat, terutama
masyarakat miskin untuk ikut serta dalam pembangunan, pemanfaatan sumberdaya, dan
lain-lain, harus ditekan sekecil mungkin atau dihilangkan sama sekali.
Dalam konteks industri pertambangan, misalnya dengan memberikan kesempatan
berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat kecil melalui pemberian pinjaman
modal (peningkatan sumberdaya kapital), penyediaan berbagai fasilitas yang mampu
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan lain-lain. Keberpihakan terhadap
kelompok masyarakat miskin, masyarakat di perdesaan, wanita dan anak-anak, ataupun
kelompok masyarakat lain yang selama ini diabaikan, perlu dilakukan sehingga tujuan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus pemerataan dan pengentasan
kemiskinan dapat terealisasi. Intinya adalah bahwa pemberdayaan masyarakat adalah hal
yang sangat penting untuk dilaksanakan dalam mencapai pembangunan yang
berkelanjutan.
18
2.1.2. Tujuan Ekonomi dan Tujuan Ekosistem
Kebijaksanaan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sebagian besar
mempunyai relevansi terhadap konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang
berkelanjutan.
Response
dan
akselerasi
pembangunan
ekonomi
membutuhkan
pemeliharaan lingkungan hidup yang mendukung kegiatan ekonomi dan sosial yang
dinamis, selain menentukan kebijaksaan juga ditingkat nasional membutuhkan programprogram di tingkat lokal dan wilayah yang dapat dilaksanakan. Pembangunan nasional
tidak akan tumbuh pesat apabila kehidupan ekonomi wilayah dan lokal tidak dinamis,
stabil dan penuh ketidakpastian. Pembangunan juga tidak akan berjalan pesat apabila
anggaran belanja pembangunan tidak mencukupi.
Kecenderungan yang terjadi dalam pembangunan ekonomi adalah tidak
memperhitungkan nilai-nilai pemanfaatan sumberdaya yang tidak memiliki harga, seperti
nilai-nilai intrinsik sumberdaya alam maupun beban sosial masyarakat akibat
pemanfaatan sumberdaya. Tidak adanya penilaian terhadap sumberdaya ini selanjutnya
menimbulkan eksternalitas-eksternalitas tersendiri (terutama eksternalitas negatif) yang
sangat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat harus menanggung
beban/biaya sosial yang timbul dalam setiap pemanfaatan sumberdaya tanpa sedikitpun
diberi “kompensasi”. Beban/biaya sosial terbesar yang harus ditanggung oleh masyarakat
saat ini maupun masyarakat dimasa yang akan datang adalah penurunan kualitas
kehidupan dan lingkungan, yang tentu saja dalam jangka panjang tidak menjamin
pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (tujuan ekosistem dalam pembangunan
berkelanjutan tidak akan tercapai).
Oleh karena itu, maka dalam program-program pembangunan wilayah dan
pemukiman sekelompok masyarakat, tujuan ekosistem ini harus diperhatikan. Setiap
program yang akan dilaksanakan harus dievaluasi dampaknya terhadap lingkungan.
Selain itu, penilaian terhadap sumberdaya-sumberdaya yang dimanfaatkan (baik nilai
ekstrinsik maupun intrinsiknya) sangat diperlukan untuk menghindari, setidaknya
mengurangi, eksternalitas. Jikalau eksternalitas telah terjadi, maka upaya-upaya
internalisasi berbagai dampak keluar (eksternalitas) harus dilakukan, misalnya dengan
bentuk-bentuk kompensasi. Dengan demikian, segala aktifitas yang ditujukan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi ataupun efisiensi kapital (tujuan ekonomi) akan
tetap memperhatikan pengelolaan yang berkelanjutan.
19
2.1.3. Tujuan Sosial dan Tujuan Ekosistem
Untuk dapat mengelola sumberdaya secara berkelanjutan, kebijaksanaan
lingkungan yang lebih menekankan pada konservasi dan perlindungan sumberdaya, perlu
memperhitungkan mereka yang masih bergantung kepada sumberdaya tersebut, untuk
mendukung kelangsungan hidupnya. Bila hal ini tidak diperhatikan, akan memberikan
dampak yang buruk terhadap kemiskinan dan mempengaruhi keberhasilan jangka
panjang dalam upaya konservasi sumberdaya dan lingkungan.
Selain itu, masalah hak kepemilikan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan
sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan. Sumberdaya yang dimiliki oleh
umum (tidak jelas hak kepemilikannya) telah mengarah pada sumberdaya akses terbuka
(open access), dimana dalam keadaan ini, siapapun dapat memanfaatkan sumberdaya
yang ada tanpa sedikitpun mempunyai insentif untuk memelihara kelestariannya.
Pengukuhan hak-hak kepemilikan akan memperjelas posisi kepemilikan suatu pihak
sehingga pihak tersebut dapat mencapai kelestarian (upaya konservasi) dan
mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya dari intervensi maupun ancaman dari
pihak luar.
Kearifan-kearifan (wisdoms) harus dipahami dan dijadikan sebagai dasar/landasan
dalam membuat program-program pengembangan wilayah tersebut. Untuk itu,
masyarakat lokal, sebagai pihak yang menguasai pengetahuan tradisional (traditional
knowledge) yang dimilikinya harus diikutkan dalam upaya perumusan/pembuatan
program-program tersebut. Jika hal ini dapat dilakukan dan terealisasi, maka partisipasi
aktif dari masyarakat dalam pembangunan akan muncul dengan sendirinya.
Menurut Anwar (2001), pembangunan wilayah harus diarahkan kepada terjadinya
pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan
keberlanjutan (sustainability). Konsep pembangunan yang memperhatikan ketiga aspek
tersebut, dalam perkembangannya secara evolusi dengan berjalan melintas waktu yang
ditentukan oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat, seperti perubahan keadaan sosial,
ekonomi, serta realitas politik. Agar perencanaan dan pengelolaan pembangunan
mencapai tujuan untuk memperbaiki tingkat kesejaheraan masyarakat, maka perlu
mencurahkan perhatian kepada semua aspek-aspek tentang kesejahteraan manusia,
menurut lintas waktu dan skala spasial yang diarahkan kepada sistem cara perencanaan
dan pengelolaan pembangunan melalui kelembagaan. Untuk mengevaluasi keberhasilan
dalam mencapai tujuan–tujuan tersebut, menurut segugus nilai–nilai untuk wilayah
20
geografis tertentu (seperti kelembagaan/organisasi, wilayah dll dan rentang waktu jangka
pendek, menengah dan panjang dengan memperhatikan semua aspek dan semua
tingkatan (Gambar 6).
Skala spasial yang paralel
dan berhubungan dengan
hirarkhi administrasi dan
ekologi
Pandangan jauh ke depan
memerlukan terjadinya proses
yang berkembang secara evolutif
yang dapat mempengaruhi
keberlanjutan (sustainability)
Spasial
Internasional
_
Temporal
Nasional
_
Regional
_
Lokal
_
Aspek-Aspek diatas perlu
dipertimbangkan agar tindakan
kebijaksanaan mengarah kepada
peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh
|
|
Ekonomi
|
Sosial
Aspek-aspek
Lingkungan
Gambar 6. Kerangka Berfikir Tiga Dimensi tentang Keberlanjutan
Sumber : Anwar (2001)
Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan yang di muat dalam dokumen
Agenda 21 pada dasarnya mengandung empat hal utama. Pertama, program yang
bertalian
dengan
aspek
sosial
ekonomi
seperti
penanggulangan
kemiskinan,
kependudukan, perubahan pola konsumsi dan produksi, permukiman, kesehatan,
pemaduan lingkungan dan pembangunan, dan kerjasama internasional. Kedua, program
yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam seperti
perlindungan atmosfir; pengelolaan tanah, hutan, air tawar, pesisir dan kelautan;
perdesaan dan pertanian; bio-teknologi; pengendalian bahan dan limbah beracun dan
berbahaya; pengelolaan limbah termasuk radioaktif di dalamnya. Ketiga, program yang
berhubungan dengan penguatan peranan kelompok utama dalam masyarakat seperti
masyarakat adat, kalangan perempuan, pemerintah daerah, pekerja, petani, pengusaha
dan industriawan, komunitas ilmuan dan pakar teknologi. Keempat, program yang
21
bertautan dengan pengembangan sarana untuk pelaksanaan seperti pembiayaan, alih
teknologi, pengembangan ilmu, pendidikan, kerjasama nasional maupun internasional,
dan pengembangan informasi.
Agar suatu pembangunan dapat berkelanjutan, ada persyaratan minimum yaitu
bahwa sediaan kapital alami (natural capital stock) yang harus dipertahankan sehingga
kualitas dan kantitasnya tidak menurun dalam suatu rentang waktu (Pearce, 1993) dalam
Margo (2005) (Gambar 7). Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai kapital alami adalah
suatu proses substraksi dan/atau penambahan materi dari dan kepada sistem alam
(Gunawan, 1994). Proses ini kemudian menyebabkan perubahan ke dalam setiap
komponen sistem alam tersebut yang berakibat pada perubahan kondisi alami dari
sumberdaya.
Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development)
Memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama
dalam mencapai kesejahteraannya, seperti halnya generasi sekarang
Kesejahteraan tidak berkurang dengan berjalannya waktu
Diperlukan cara untuk memperbaiki dan mengelola portofolio asset ekonom; sehingga
nilai agregatnya tidak berkurang dengan berjalannya waktu
Kapital alami (Kn)
1.
Kapital fisik (Kp)
Weak Sustainability
Substitusi Kn dan Kp
Kapital manusia (Kh)
Substitusi Kn dengan Kh
Kn bukan hal yang esensial
2.
Strong Sustainability
Menjaga Kn agar utuh karena :
1. Substitusi yang sempurna
2. Kerugian/kehilangan yang tidak dapat
dikembalikan
3. Ketidakpastian nilai
Gambar 7. Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan
Sumber : Pearce dan Barbier (2000 dalam Margo, 2005)
22
2.2.
Indikator Pembangunan Berkelanjutan Daerah
Menurut Agenda 21 (2000). Untuk menggambarkan berbagai aspek yang
kompleks dan sulit terukur dari masyarakat, seringkali dipakai angka atau suatu nilai,
seperti Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan daerah dan
pendapatan per kapita rata–rata. Nilai–nilai tersebut memang kemudian dapat membantu
mengantarkan kepada suatu penilaian tentang keadaan suatu kelompok penduduk dan
daerahnya. Tetapi, dari awal pun diketahui bahwa penilaian tersebut mempunyai
kelemahan–kelemahan. PDRB merupakan jumlah dari semua barang dan jasa yang
dihasilkan suatu daerah dalam nilai uang. Angka PDRB itu tidak dapat menggambarkan
proses ekonomi yang berlangsung pada kehidupan sehari–hari yang tentunya berbeda
antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Pendapatan perkapita rata–rata juga tidak
mampu memberikan gambaran secara lebih detail berapa jumlah penduduk yang hidup
diatas dan dibawah garis kemiskinan. Angka pendapatan perkapita rata–rata tidak bisa
memberikan gambaran berapa orang kaya dan berapa orang miskin di suatu daerah.
Angka dan nilai–nilai tersebut hanya digunakan untuk memudahkan kita melakukan
perkiraan terhadap keadaan makmur-miskin suatu daerah dan penduduknya. Angka dan
nilai itu berfungsi sebagai indikator.
Indikator merupakan alat yang dipakai untuk menggambarkan secara sederhana
suatu keadaan yang tidak berdiri sendiri, tetapi terkait kedalam sistem yang lebih besar
dan lebih rumit. Indikator tidak dimaksudkan untuk menjadi alat tunggal dalam evaluasi
objektif atas suatu keadaan. Selain aspek ekonomi, seperti PDRB, pendapatan daerah dan
pendapatan perkapita rata–rata, juga dipakai indikator–indikator sosial (misalnya, tingkat
pendidikan penduduk) dan lingkungan.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu saat konsep pembangunan berkelanjutan
mulai diadopsi dan dilaksanakan, disadari bahwa tolak ukur perkembangan
pembangunan yang murni bersifat ekonomi harus didukung pula oleh tolak ukur yang
bersifat non ekonomis. Ukuran ekonomi, seperti GNP, ternyata tidak mampu mengukur
adanya inequality dan kemiskinan serta perkembangan sumberdaya manusia; adanya
degradasi serta penyusutan sumberdaya alam dan lingkungan; dan aspek-aspek sosial,
politik dan spiritual manusia (Steer dan Lutz, 1993). Oleh karena itu kemudian muncul
indikator pembangunan lain yang memasukkan dampak-dampak sosial dan lingkungan
dalam pembangunan. Indikator pembangunan yang memperlihatkan dampak sosial
pembangunan adalah Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI).
23
Dalam HDI ini telah dimasukkan indikator-indikator sosial seperti tingkat melek huruf,
tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan
kebutuhan perumahan dan lain-lain. Bentuk ukuran pembangunan manusia yang lain
yang mirip dengan HDI adalah Physical Quality of Life Index (PLQI). PLQI ini
menggunakan indikator-indikator yang lebih sederhana daripada HDI, yaitu tingkat
harapan hidup pada usia satu tahun, tingkat kematian bayi, dan tingkat melek huruf
(Todaro, 1998).
Indikator pembangunan yang lain adalah dengan memasukkan dampak
lingkungan terhadap pendapatan nasional. Untuk keperluan tersebut diperlukan
penghitungan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Pemikiran mengenai
penghitungan sumberdaya alam dan lingkungan ini muncul berkaitan dengan semakin
meningkatnya perhatian dunia terhadap masalah kelangkaan sumberdaya alam dan
degradasi lingkungan. Steer dan Lutz (1993) menyebutkan bahwa ada tiga bentuk
penghitungan sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu menghitung dampak fisik
(ekosistem), dampak terhadap produktifitas dan kesehatan dan dampak moneter.
Suparmoko (1994) bahkan menambah satu lagi bentuk penghitungan sumberdaya alam
dan lingkungan, yaitu melalui pendekatan pendapatan. Melalui penghitunganpenghitungan tersebut maka akan diketahui seberapa besar pengurasan pendapatan
nasional yang konvensional dengan hasil penghitungan pengurasan sumberdaya alam
dan degradasi lingkungan.
Dengan
demikian,
ukuran-ukuran
pembangunan
berkelanjutan
harus
memasukkan ukuran atau indikator ekonomi. Produk Domestik Bruto per kapita ataupun
Produk Domestik Regional Bruto per kapita harus digandengkan dengan Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan hasil penghitungan dampakdampak terhadap sumberdaya alam dan lingkungan.
Dengan
bertambahnya
wawasan
tentang
pembangunan
yang
harus
memperhatikan azas keberlanjutan (sustainability), maka indikator-indikator yang
dipakai untuk mengukur kemajuan suatu daerah sebagai dampak dari pembangunan juga
mengalami perkembangan. Aspek lingkungan kemudian memperoleh perhatian yang
lebih layak sehingga banyak diciptakan indikator lingkungan. Selain itu, tumbuh juga
kesadaran bahwa kegiatan pembangunan itu berlandaskan diri pada penyelenggaraan
urusan publik dan swasta yang baik (good governance) yang tanggap terhadap kebutuhan
24
dan tingkat perkembangan masyarakat setempat. Indikator–indikator yang dapat
menonjolkan azas tersebut pada tingkat daerah perlu mendapat perhatian secara khusus,
terutama untuk kasus seperti Indonesia dengan keragaman daerah yang sangat tinggi.
Dengan keadaan yang seperti itu prioritas lokal bisa saja sangat berbeda antara suatu
daerah dengan daerah/pemerintahan daerah lainnya.
Pengunaan indikator dalam proses Pembangunan Berkelanjutan secara sederhana
ditunjukkan pada Gambar 8 sebagai berikut :
Pengorganisasian partisipasi
masyarakat
Kesepakatan pengertian
pembangunan berkelanjutan
Rumusan rancangan indikator
Laporan tentang
keberlanjutan
Pemantauan dan pelaporan
Kesepakatan : tujuan
Pembangunan
Penggunaan indikator
Perkembangan
Uji coba indikator
Pengendalian
Penggunaan indicator
Pemantaun dan Pelaporan
Gambar 8. Penggunaan Indikator dalam Proses Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: Agenda 21 Sektoral buku 3 (2000)
2.3.
Pembangunan Berkelanjutan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Mineral
Salah satu sifat sumberdaya mineral adalah tidak terbarukan. Sumberdaya yang
tidak pulih adalah sumberdaya yang laju pemulihannya sangat lamban sehingga
sumberdaya tersebut tidak dapat memulihkan stok/sediaannya dalam waktu yang
ekonomis (Conrad, 1999 dan Tietenberg, 2000). Sumberdaya yang tidak dapat
diperbaharui (non renewable resources) seperti mineral disebut juga sumberdaya
terhabiskan (depletable), yaitu sumberdaya alam yang tidak memiliki kemampuan
regenerasi secara biologis sehingga suatu saat akan habis. Selain itu sumberdaya mineral
memerlukan waktu yang lama untuk siap ditambang. Hotteling dalam Stiglitz (2007)
25
menawarkan kerangka utuk menentukan waktu paling tepat mengeluarkan sumber alam
dari perut bumi. Teori ini sebagai basis dari ekstraksi sumberdaya alam tidak pulih
secara optimal. Prinsip model Hotteling adalah bagaimana mengekstrak sumberdaya
mineral secara optimal dengan kendala stok dan waktu. Aplikasi dari teori ini adalah
bagi pihak perusahaan pertambangan, untuk mendapatkan produksi sumberdaya mineral
secara optimal harus mampu menentukan berbagai faktor produksi yang tepat dengan
kendala waktu dan stok (deposit). Sedangkan bagi pihak pemilik sumberdaya dalam hal
ini negara harus bersikap mengabaikan (indifferent) terhadap sumberdaya mineral,
apakah akan mengekstrak sekarang atau pada masa yang akan datang. Jadi sebagai
pengambil kebijakan peran negara sangat menentukan terhadap eksploitasi sumberdaya
mineral yang tidak semata-mata berorientasi ekonomi (economic oriented) tetapi juga
harus mempertimbangkan secara cermat dampak lingkungan, sosial, kesiapan
kelembagaan baik pemerintah maupun masyarakat.
Sumberdaya mineral dengan sifat tersebut mempunyai implikasi yang sangat luas
dalam kehidupan masyarakat karena sumberdaya mineral merupakan aset yang memberi
harapan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu eksploitasi sumberdaya
mineral merupakan kesempatan bagi masyarakat yang hanya datang sekali saja, sehingga
harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian industri pertambangan
merupakan industri alternatif yang paling efektif untuk meningkakan kesejahteraan
masyarakat di daerah yang penduduknya berada dalam kemiskinan struktural. Di sisi lain
industri pertambangan juga merupakan industri yang menimbulkan berbagai perubahan
drastis terhadap lingkungan sehingga merupakan ancaman terhadap kelestarian fungsifungsi lingkungan dan fungsi-fungsi kehidupan sosial budaya masyarakat. Potensipotensi positif sektor pertambangan sering tidak mampu mengkompensasikan potensipotensi negatif ini, sehingga industri pertambangan mempunyai potensi konflik dengan
kepentingan masyarakat (Agenda 21, 2001).
Di lain pihak ada kenyataan bahwa investasi pertambangan merupakan satusatunya cara untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya mineral. Sebab sumberdaya
mineral hanya mempunyai satu kemanfaatan, yaitu kemanfaatan ekonomis. Tanpa ada
investasi, maka sumberdaya mineral dapat dikatakan tidak dapat memberikan
kemanfaatan apa pun. Kemanfaatan ekonomis dalam eksploitasi sumberdaya mineral
cenderung ditujukan untuk mencapai tujuan–tujuan jangka pendek berupa kemanfaatan
finansial yang menjadi kepentingan investor maupun pemerintah. Karena sifatnya yang
26
jangka pendek, maka tujuan finansial juga cenderung dicapai dengan mengabaikan
tujuan-tujuan dan kepentingan–kepentingan jangka panjang (Agenda 21, 2001).
Tujuan jangka panjang yang terkait dengan investasi pertambangan pada umumnya
merupakan kepentingan masyarakat luas dan masyarakat setempat. Kepentingan jangka
panjang yang terkait dengan investasi pertambangan meliputi kelestarian lingkungan,
konservasi sumberdaya mineral dan kelestarian hak-hak masyarakat setempat. Kerusakan
atau peniadaan terhadap kepentingan jangka panjang ini tidak mungkin dapat
dikompensasi atau dikoreksi dengan kemanfaatan finansial yang diperoleh dari investasi
pertambangan. Oleh karena itu azas Pembangunan Berkelanjutan sektor Pertambangan
dimaksudkan dapat berfungsi sebagai instrumen yang efektif dalam upaya menciptakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui eksploitasi sumberdaya mineral (Agenda 21,
2001).
Inti dari azas Pembangunan Berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya
mineral adalah mengupayakan agar sumberdaya mineral dapat memberikan
kemanfaatan secara optimal bagi manusia pada masa kini tanpa megorbankan
kepentingan generasi mendatang (Agenda 21, 2001).
Mengingat sifat tidak terbarukan yang terkandung dalam sumberdaya mineral,
maka eksploitasi sumberdaya mineral harus mampu menciptakan kondisi awal serta
kemampuan–kemampuan agar masyarakat dapat melanjutkan pembangunan setelah
sumberdaya mineral habis di eksploitasi. Proses untuk menciptakan kondisi awal dan
proses peningkatan kemampuan–kemampuan masyarakat secara berkelanjutan inilah
yang dimaksud sebagai proses transformasi sosial. Dengan kata lain, penerapan azas
pembangunan manusia berkelanjutan dalam eksploitasi sumberdaya mineral adalah
untuk menciptakan proses transformasi sosial secara berkelanjutan.
Amin et al (2003) mengatakan implementasi kegiatan konservasi pertambangan
sebagai action plan actual dari peningkatan nilai tambah pertambangan adalah
keberlanjutan manfaat ekonomi dan lingkungan sosial kemasyarakatan yang diperoleh
semenjak perencanaan, selama berlangsungnya kegiatan pertambangan sampai dengan
pasca tambang. Peningkatan nilai tambah pertambangan adalah upaya optimalisasi atas
pengelolaan proses hulu-hilir kegiatan pertambangan serta pengembangan wilayah dan
masyarakat di sekitar kegiatan pertambangan baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Gambar 9).
27
POTENSI MINERAL & BATUBARA
(logam primer/sekunder, batubara, pasir urug, mineral industri, panas bumi)
LEGALITAS
KK, PKP2B, KP, SIPR, SIPD
(IUP&IPR)
PERTAMBANGAN
-
STRATEGI
1.
Terapan Teknologi & Inovasi
2.
Dukungan Pemasaran + Jaringan
Kerja
3.
Down
stream-upstream
linkage
(hulu-hilir)
4.
Pengembangan SDM
5.
Faktor Sosial
eksplorasi
penambangan
pengolahan/ekstraksi
penanganan hasil produksi
pemasaran
pasca tambang
PRODUK
™ Based on demand & applicable tecnology
™ Upgraded raw material
™ Bahan baku setengah jadi
™ Bahan baku industri hilir
Pengembangan berkelanjutan
MANFAAT
Peningkatan Nilai Tambah
1.
efek ganda
2.
pengembangan industri kecil
3.
pengembangan wilayah
4.
pengembangan tenaga kerja lokal
5.
pengembangan masyarakat
6.
pemenuhan bahan baku energi & industri dalam negeri
7.
pertumbuhan ekonomi nasional
Gambar 9. Pola Pikir Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan
Sumber : Amin et al, (2003)
Kebijakan
peningkatan
nilai
tambah
pertambangan
diharapkan
dapat
mewujudkan pembangunan pertambangan yang berkelanjutan baik tingkat lokal,
regional maupun nasional. Manfaat bukan saja dirasakan karena sedang ada
pertambangan, tetapi juga karena pernah ada kegiatan pertambangan (Amin et al, 2003).
2.4.
Transformasi Sumberdaya kearah Berkelanjutan
Menurut (Agenda 21 sektoral, buku 2, 2000) dalam penyelenggaraan
pembangunan di Indonesia selama ini di kenal adanya kekayaan (asset) untuk
pembangunan dan sumberdaya untuk pembangunan. Kekayaan adalah apa yang dimiliki
dan sumberdaya adalah apabila kekayaan itu siap digunakan sebagai modal untuk
menyelenggarakan pembangunan. Secara lebih persis dapat diartikan bahwa kekayaan
adalah bahan yang belum siap, sedangkan sumberdaya adalah barang jadi yang siap
28
digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup. Oleh karena itu, memiliki kekayaan tidak
dengan sendirinya berarti dapat menyelenggarakan pembangunan. Kekayaan itu masih
harus dikombinasikan dengan sumberdaya lain untuk mendapatkan manfaatnya. Dengan
kata lain, memiliki kekayaan alam tidak dengan sendirinya dapat dimanfaatkan, apabila
tidak disertai misalnya dengan modal dan teknologi.
Untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dan perkembangan memang harus
tersedia sumberdaya yang mencukupi, bahkan sumberdaya itu harus dikembangkan,
artinya harus mempunyai kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Sumberdaya itu
digolongkan dalam empat katagori, yaitu (1) sumberdaya alam yang secara alami
tersedia, (2) sumberdaya buatan yang dibuat manusia (human made resources) (3)
sumberdaya manusia yaitu manusia dengan segala kepandaian dan keterampilannya, dan
(4) sumberdaya sosial sebagai produk dari keterkaitan, kerjasama dan interaksi antar
manusia seperti misalnya system nilai dan kelembagaan. Akan tetapi, ada pula yang
menyebutkan sumberdaya sosial adalah sumberdaya buatan yang bersifat lunak
(software), meskipun demikian ada pula yang berpendapat bahwa sumberdaya sosial
tidak dibuat tetapi terjadi dengan sendirinya sebagai hasil dari dialog dan interaksi.
Pembangunan juga dapat diartikan sebagai pembangunan sumberdaya, mengubah
kekayaan menjadi sumberdaya, menciptakan sumberdaya baru dan menata keterkaitan
antar sumberdaya sehingga menghasilkan produk yang bermanfaat bagi peningkatan
kualitas hidup secara berkelanjutan. Kondisi ideal akan tercapai pada saat kualitas hidup
yang terus meningkat, tanpa harus meningkatkan penggunaan sumberdaya alam
mengingat sumberdaya ini –terutama yang tidak dapat diperbaharui– memiliki
keterbatasan. Untuk itu sumberdaya lain yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya sosial
dan sumberdaya buatan harus menjadi andalan pembangunan berkelanjutan, sedangkan
sumberdaya alam harus dihemat dan dijaga kelestariannya.
2.4.1. Empat Tipe Kapital
Menurut
Seragaldin
dan
Steer
dalam
Indahsari
(2001)
pembangunan
berkelanjutan berupaya agar generasi yang akan datang mempunyai kesempatan yang
setidaknya sama seperti kesempatan yang dirasakan oleh generasi saat ini. Kesempatan
yang dimaksud adalah kesempatan memanfaatkan potensi yang ada untuk kesejahteraan
kehidupan. Untuk mewujudkan upaya tersebut, apalagi menghadapi tingkat pertumbuhan
populasi yang tinggi, maka perlu adanya transformasi dan pengembangan stok kapital
29
yang ada sangatlah diperlukan. Ada empat tipe kapital. Tipe yang pertama adalah
sumberdaya buatan (man made capital), yakni infrastruktur misalnya jalan, jembatan,
bangunan dan berbagai bentuk teknologi lainnya. Wanmali (1992) menyatakan bahwa
ada dua tipe infrastruktur, yaitu hard infrastruktur (seperti jalan, telekomunikasi, listrik,
dan sistem irigasi) dan soft infrastruktur (berbagai bentuk pelayanan, seperti transportasi,
kredit dan perbankan, input produksi dan pemasaran). Secara fisik sumberdaya buatan
merupakan ”kekayaan” (hasil pembangunan) yang dapat diukur dengan mudah. Karena
alasan inilah maka pembangunan, terutama di negara-negara berkembang, cenderung
menekankan kepada pengembangan tipe kapital ini (Seragaldin dan Steer, 1993 dalam
Indahsari). Kebijakan industrialisasi dan modernisasi merupakan salah satu bentuk
penekanan arah dan prioritas pembangunan pada pengembangan kapital ini.
Tipe kapital yang kedua adalah sumberdaya alam (natural capital), yaitu
seluruh cadangan aset yang disediakan oleh lingkungan seperti sumberdaya alam (SDA)
dan lingkungan hidup, baik yang dapat diperbaharui ataupun tidak. Hingga saat ini, SDA
dan lingkungan memberikan kontribusi terbesar sebagai pemuas kebutuhan manusia
sebag pemuas kebutuhan ini sangat menentukan eksistensi kehidupan manusia. Peace
dan Warford dalam Indahsari (2001) merinci kontribusi langsung dan tak langsung SDA
dan lingkungan terhadap kehidupan manusia. Kontribusi langsung dapat dirasakan pada
pendapat riil dari sektor–sektor yang berhubungan dengan alam (terutama pertanian),
aktifitas ekonomi dengan SDA dan lingkungan sebagai input produksi, dan kontribusi
terhadap keberlanjutan sistem pendukung kehidupan secara umum. Kontribusi secara
langsung terhadap kualitas kehidupan. Kualitas SDA dan lingkungan yang baik dan
dapat termanfaatkan dengan baik pula akan menjamin kualitas kehidupan yang baik.
Sebalikya kualitas yang buruk –seperti SDA dan lingkungan yang rusak dan
terdegradasi– akan menyebabkan kualitas kehidupan yang buruk pula. Selain itu, kapital
ini memiliki karakteristik tersendiri yang perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan
dan pengembangannya. Karakteristik tersebut adalah bahwa kapital ini dapat langka
dengan cepat, terutama SDA dan lingkungan yag tidak dapat diperbaharui.
Sumberdaya manusia (human capital) merupakan tipe kapital ketiga. Manusia,
dalam hal ini kuantitas dan kualitas penduduk, merupaka potensi tersendiri dalam
pembangunan. Manusia juga merupakan subjek sekaligus objek pembangunan. Sebagai
subjek pembangunan, maka kuantitas dan kualitas penduduk diharapkan dapat
mendukung dan menjadi potensi yang dapat diandalkan dalam pelaksanaan
30
pembangunan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk itu sendiri.
Dan sebagai objek, penduduk diharapkan dapat meningkatkan kesejateraannya dengan
menikmati hasil–hasil pembangunan. Oleh karena itu, pengembangan (investasi)
sumberdaya manusia sehingga mendapat kualitas dan kuantitas yang ideal merupakan
salah satu strategi pembangunan yang penting dan mungkin terpenting (Seragaldin dan
Steer 1993 dalam Indahsari 2001). Bentuk–bentuk pengembangan sumberdaya manusia
adalah investasi di bidang pendidikan, kesehatan, tingkat gizi individu, dan lain – lain.
Tipe keempat adalah modal sosial (social capital). Bentuk dari kapital ini
antara lain fungsi kelembangaan dan budaya yang berbasis sosial. Tata nilai dan
kelembagaan dalam masyarakat, baik formal maupun non formal, merupakan fungsi
kelembagaan dan budaya berbasis sosial yang merupakan potensi penting dalam
pelaksanaan pembangunan.
2.4.2. Komposisi Kapital dalam Pelaksanaan Pembangunan yang Berkelanjutan
Pembangunan yang berkelanjutan berarti memberi kepada generasi yang akan
datang kesempatan–kesempatan, setidaknya sama dengan kesempatan – kesempatan
yang dirasakan oleh generasi saat ini. Kesempatan – kesempatan ini dapat diukur dalam
bentuk kapital (man–made, human, social dan natural capital). Oleh karena itu dalam
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, keempat tipe kapital harus dikembangkan
setiap saat untuk mencapai tujuan pembangunan yang diharapkan. Namun, masing–
masing kapital memiliki karakteristik tersendiri kapital memiliki karakteristik tersendiri
yang selanjutnya mengharuskan adanya pengaturan komposisi kapital dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan.
Sumberdaya alam (natural capital) bersifat dapat langka dengan cepat, oleh
karena itu harus dikembangkan dan proporsi pemanfaatannya harus mulai berkurang
setiap waktu untuk mencegah kelangkaan bahkan ’habisnya’ kapital ini yang tentu saja
mengancam keberlanjutan pembangunan. Demikian halnya dengan sumberdaya buatan
yang proporsi pengembangannnya antar waktu diharapkan berkurang. Penelitian
menunjukkan bahwa di negara–negara maju sumberdaya buatan hanya memberikan
kontribusi 20% terhadap total kekayaan/kesejahteraan manusia. Kontribusi terbesar
diberikan oleh human dan social capital (Seragaldin, 1993).
Komposisi kapital yang harus dikembangkan dengan proporsi yang semakin
besar antar waktu adalah social dan human capital (Gambar 10). Walau bagaimanapun,
penduduk –dengan pertumbuhan yang relatif cepat – merupakan potensi besar yang
31
harus dikembangkan, terutama kualitasnya baik secara individual maupun secara sosial.
Kualitas individu, seperti keahlian dan keterampilan, merupakan potensi tersendiri dalam
pembangunan (peningkatan produktifitas) yang tidak akan ’habis’ antar waktu. Dan
berbagai penelitian menunjukkan bahwa produktifitas kelompok dalam ukuran tertentu
(pemanfaatan social capital) akan lebih besar dibandingkan penjumlahan produktifitas
dari masing–masing individu. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan memiliki
arti pengembangan keempat kapital antar waktu yang disertai dengan perubahan
komposisinya (Anwar, 1999).
Natural
Capital
Social
Capital
Man –
made
Capital
Human
Capital
Natural
Capital
Social
Capital
Manmade
Capital
Human
Capital
Gambar 10. Pengembangan dan Komposisi Kapital dalam Pembangunan Berkelanjutan
Sumber : Anwar, 1999
Menurut Anwar (2002) Human Capital (H), Physical Capital (K), Natural
Capital (R) dan Social Capital (S) dapat menyumbang pada pertumbuhan ekonomi
wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kapital fisik menyumbang pada
kesejahteraan melalui pertumbuhan ekonomi. Sedangkan human dan social capital
beserta natural dan environmental capital juga demikian, karena semuanya juga
merupaan komponen-komponen
langsung dari tingkat kesejahteraan masyarakat.
Human dan social, beserta natural capital juga akan menyumbang pada akumulasi
kapital fisik dengan meningkatkan manfaat-manfaatnya. Sedangkan kapital fisik
meningkatkan manfaat–manfaat kepada human dan social capital serta natural capital
dimana jika pasar berjalan, maka merupakan pencerminan dari pemanfaatan ini.
Akumulasi dari empat kapital tersebut pada gilirannya akan menyumbang kepada
terjadinya kemajuan teknologi dan bertumbuhnya total factor productivity (TFP)
(Gambar 11).
32
Kapital
Manusia
(H)
Mengatasi salah urus dan
korupsi, Mengurangi
distorsi yang
mengutamakan K,
Memperbaki Kegagalan
Pasar yang merusak H, R
dan S, Memperbaiki
Institusi
Kapital
Fisik
(K)
Pertumbuhan
Kesejahteraa
n Masyarakat
Kapital
Alami
(R)
Kapital
Social
(S)
TFP = Total Factor Productivity
Gambar 11. Kerangka Berfikir Total Factor Productivity (TFP)
Sumber : Anwar, 2001
2.5.
Performa Pertambangan Indonesia
Seperti didiskripsikan pada bab pendahuluan bahwa komoditi pertambangan
bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) maknanya sumberdaya tersebut tidak
memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana sumberdaya terbarukan
(renewable resources). Untuk itu eksploitasi sumberdaya mineral harus dilakukan secara
hati-hati agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD ’45 ”Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar–
besar kemakmuran rakyat”.
Industri pertambangan di Indonesia pada era Orde Baru dimulai sejak
disyahkannya UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
(UU No.11/67) dan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA
67). Melalui konsep Kontrak Karya Pertambangan (KKP) dan Perjanjian Karya
33
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), sektor pertambangan Indonesia
mengalami kemajuan pesat. Tidak kurang dari 376 perusahaan telah mengantongi ijin
untuk menambang emas, tembaga, batubara serta mineral logam lainnya. Seiring dengan
munculnya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang terus berkepanjangan menjadi krisis
politik dan sosial, Indonesia hingga saat ini dianggap bukan lagi sebagai tempat untuk
tujuan investasi pertambangan (Sigit, 2004).
Dalam empat dekade terakhir ini, industri pertambangan di Indonesia belum
mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi pembangunan nasional maupun bagi
daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia seperti Aceh, Riau,
Kalimantan Timur, Papua, Sumbawa Barat dan lain-lain. Munculnya ketidakpuasan
daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral tersebut, terutama sejak era reformasi
1998 karena pengelolaan pertambangan bersifat sentralistik dan sektoral. Ketidakpuasan
itu bersumber karena adanya ketimpangan pendapatan bagi hasil sumberdaya mineral
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah selama masa orde baru. Berdasarkan
studi Pricewaterhaouse Coopers PwC 2003 (IMA, 2006) alokasi pendapatan sektor
pertambangan dari pembagian pajak dan royalty ke provinsi, kabupaten dan kota sebesar
57,1% masih jatuh ke pusat setelah estimasi bagi hasil melalui dana alokasi umum
(DAU) disertakan, bila tidak pemerintah pusat masih memegang 76% dari dana tersebut
(Gambar 12).
Euforia reformasi tahun 1998 secara emosional ikut memicu daerah-daerah yang
kaya sumberdaya mineral untuk memisahkan diri dari NKRI dalam bentuk separatisme
yang masih merebak hingga saat ini misalnya untuk kasus Papua dan Aceh. Disamping
masalah bagi hasil pendapatan sumberdaya mineral dengan pemerintah pusat,
kekecewaan daerah penghasil juga bersumber dari tidak adanya kepemilikan saham
pemerintah daerah. Sebenarnya di dalam Kontrak Karya Pertambangan terdapat pasal
yang mewajibkan penjualan saham asing pada pihak Indonesia. Namun ketidakmampuan
kepemilikan saham daerah penghasil sangat terkait dengan besarnya dana yang harus
disediakan untuk membeli saham perusahaan pertambangan yang tertuang dalam
Kontrak Karya Pertambangan. Misalnya saat PT. Newmont Nusa Tenggara
mendivestasikan sahamnya sebesar 3% tahun 2006 maka dana yang harus disiapkan oleh
pembeli adalah Rp. 1,09 triliun. Anggaran sebesar itu setara dengan empat kali lipat
APBD Kabupaten Sumbawa Barat 2007 yang hanya Rp. 260 milyar.
34
Gambar 12. Alokasi Pendapatan Sektor Pertambangan di Indonesia
Sumber : Pricewaterhaouse Coopers PwC 2003 (IMA, 2006)
Selain itu berdasarkan studi yang dilakukan oleh Fraser Institute di Vancauver,
Canada, tahun 2004 (IMA, 2006) terhadap 159 perusahaan tambang dan eksplorasi di
seluruh dunia, ternyata ada beberapa hal yang dianggap sangat menghambat minat
investasi dunia di Indonesia antara lain, faktor stabilitas politik 90 %, ketidakpastian
peraturan 66 % dan tumpang tindih peraturan 53 % (Tabel 7). Studi tersebut juga
menyebutkan berbagai ketidakpastian investasi pertambangan di Indonesia berkenaan
dengan klaim tanah oleh penduduk asli, wilayah yang akan dilindungi sebagai suaka
alam atau taman nasional dan minimnya infrastruktur (Tabel 8).
Tabel 7. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Investasi Pertambangan di Indonesia
No. Faktor
% responden yang
mempertimbangkan
faktor sebagai hambatan
utama investasi di
Indonesia
1.
2.
Stabilitas Politik
Ketidakpastian hukum
90%
66%
3.
Duplikasi (tumpang tindih
peraturan)
53%
Komentar
Hanya Zimbabwe (97%) yang
mendapat nilai lebih buruk
Nilai terburuk
Hanya India (66%) dan
Filipina (69%) yang mendapat
nilai lebih buruk
Sumber : Fraser Institute, 2004
35
Tabel 8. Berbagai Ketidakpastian Investasi Pertambangan di Indonesia
No.
Faktor
1.
Ketidakpastian berkenaan dengan
klaim tanah oleh penduduk asli
Ketidakpastian berkenaan dengan
wilayah yang akan dilindungi
sebagai suaka alam atau taman
nasional
Infrastruktur
2.
3.
% responden yang
mempertimbangkan faktor
yang merupakan
ketidakpastian investasi
pertambangan di Indonesia
22%
Komentar
peringkat terendah ke-5
13%
peringkat terendah ke-2
24%
peringkat terendah ke-4
Sumber : Fraser Institute, 2004
Demikian juga dengan hasil laporan Word Bank (IMA, 2006) tentang indeks
kepercayaan investor menyebutkan bahwa Indonesia relatif memiliki tingkat
kepercayaan investor yang lebih rendah dari Thailand dan Vietnam (Gambar 13).
Rendahnya tingkat kepercayaan investor ini mengakibatkan munculnya disentif yang
sangat besar bagi investor untuk ikut serta dalam kegiatan investasi di Indonesia,
termasuk investasi pada sektor pertambangan yang relatif memakan waktu yang lama
serta risiko yang besar (IMA, 2006).
Faktor lain yang menjadi kendala melemahnya investasi pertambangan di
Indonesia adalah besarnya korupsi pada sektor pemerintahan di Indonesia. Gambar 14
memperlihatkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia relatif sangat parah dibandingkan
dengan negara lain. Indonesia memiliki tingkat korupsi yang lebih buruk dibandingkan
dengan India dan Thailand serta sangat jauh jika dibandingkan dengan Malaysia. Tingkat
korupsi yang parah ini jelas menimbulkan disentif yang sangat besar bagi investasi
pertambangan, mengingat kegiatan pertambangan melibatkan sejumlah peraturan yang
diatur oleh pemerintah sehingga tingkat korupsi yang besar akan mengurangi kepastian
berusaha karena adanya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Gambar 13. Index Kepercayaan Investor (FDI Confidence Index Among Global
Investors)
Sumber : Word Bank, 2005
36
Gambar 14. Indeks Persepsi korupsi 2003
Sumber : Transperancy International, 2003
Jika dilihat dari perspektif daerah penghasil, sektor pertambangan sering
menimbulkan kondisi kantong (enclave) pada masa operasi, terjadinya efek pengurasan
(backwash effect) oleh daerah-daerah yang lebih maju yang justru menghambat
perkembangan wilayah-wilayah perdesaan/hinterland yang kaya sumberdaya mineral
(Anwar 2001). Sebagai akibatnya investasi pertambangan menyebabkan terjadinya
kebocoran wilayah (regional leakage) bagi daerah penghasil pada masa operasi karena
kecilnya penggunaan dan pembelian barang dan jasa di daerah setempat yang mana
sebagian besar barang dan jasa tersebut harus di import.
Menurut Agenda 21 sektor Pertambangan (2001) menyatakan bahwa industri
pertambangan juga merupakan industri yang menimbulkan berbagai perubahan drastis
terhadap lingkungan sehingga merupakan ancaman terhadap kelestarian fungsi-fungsi
lingkungan dan fungsi-fungsi kehidupan sosial budaya masyarakat. Dalam prespektif
lingkungan, kehadiran industri pertambangan pada suatu daerah dapat menyebabkan
terjadinya
depresiasi
(degradation
dan
depletion)
lingkungan,
hilangnya
keanekaragaman hayati flora dan fauna, hutan, lahan, sungai dan laut. Potensi-potensi
positif sektor pertambangan sering tidak mampu mengkompensasi potensi-potensi
negatif itu, sehingga industri pertambangan mempunyai potensi konflik dengan
kepentingan masyarakat.
37
Pertambangan juga berdampak pada kehidupan masyarakat lokal yang
menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam. Aksessibilitas masyarakat lokal
terhadap sumberdaya alam sebagai mata pencaharian tradisionalnya dapat hilang jika
wilayah Kontrak Karya Pertambangan tertutup bagi mereka, hal ini dapat menjadi
masalah serius bagi penduduk setempat. Munculnya berbagai masalah sosial budaya,
pelanggaran hak asasi manusia, hilangnya kearifan-kearifan lokal masyarakat asli
(indegenous people) turut mewarnai perjalanan industri pertambangan di Indonesia
selama empat dekade terakhir ini.
Meskipun berbagai persoalan yang menghambat investasi pertambangan di
Indonesia namun sesungguhnya Indonesia memiliki potensi sumberdaya mineral yang
cukup kaya dan beragam. Menurut Hamilton dan Katili (Sigit, 1996) secara geologi
posisi Indonesia diuntungkan karena berada pada konvergensi tiga lempengan raksasa
dunia yakni lempengan Australia-Hindia yang bergerak ke Utara, lempengan Pasifik
bergerak ke Barat dan lempengan Eurasia (Eropa Asia) yang relatif diam. Konvergensi
ke tiga lempengan tersebut membawa dampak positif dan negatif bagi Indonesia.
Dampak negatifnya ; struktur kepulauan Indonesia di penuhi oleh deretan gunung berapi
yang berpotensi mendatangkan bencana. Dampak positifnya; pola penyebaran
mineralisasi hampir merata pada gugus kepulauan Indonesia yang mengandung potensi
sumberdaya mineral yang kaya dan beragam.
38
Tabel 9. Potensi Sumberdaya Mineral di Indonesia
No
1.
Jenis Mineral
Bauksit
Deposit (cadangan)
1,3 milyar ton
Lokasi
Pulau Bintan Propinsi
Riau. Kalimantan Barat
2.
Batubara
36,5 milyar ton
3.
Kobalt
4.
Tembaga
Nomor 3 terbesar di
dunia setelah Kanada
dan Uganda
32 juta ton
Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Irian
Jaya dan Pulau Jawa
Pulau Wageo (antara
pulau Halmahera dan
Irian Jaya)
Grasberg, Irian Jaya,
Kalimantan, Jawa,
Sumatera dan Sulawesi
Kalimantan Selatan
5.
Intan
Tidak ada data
6.
Emas
3120 ton
7.
Kaolin
tidak ada data
8.
Mangan
tidak ada data
9.
10.
Mika
Pasir Besi
tidak ada data
tidak ada data
11.
12.
Pasir Chroom
Nikel
13.
Timah
tidak ada data
+ 27.000 ton nikel
kasar (nikel matte)
tahun 1990. 1000 juta
ton nikel laterit
dengan kandungan
logam 13 juta ton
24.000 ton
14.
Uranium
tidak ada data
15.
Seng
tidak ada data
Grasberg Irian Jaya.
Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi,
Kepulauan Nusa
Tenggara, Pulau Wetar
Irian Jaya
Sulawesi Timur Laut,
Kepulauan Bangka dan
Belitung
Jawa Barat, Jawa
Tengah
Wasior, Irian Jaya
Cilacap, Bali, Ende
(NTT), Sumatera
Pulau Halmahera
Soroako Sulawesi
Selatan, Kalimantan,
Halmahera dan Irian
Jaya
Kepulauan Riau, lepas
pantai timur Sumatera.
Pulau Bangka Sumatera
Selatan
Sungai Riang Kalbar,
sungai Mahakam,
Sibolga SUMUT,
Kelian KALTIM,
Sungai Momi
Monokwari Irian Jaya
Irian Jaya
Keterangan
PT. Aneka Tambang
memiliki izin
penambangan tunggal
seluas 10.000 ha
PT. Freeport Inc
Kandungan mineral
yang penting di Kalsel
PT. Freeport Inc
Di Belitung terdapat
14 pertambangan
PT. INCO
PT. Tambang Timah
(BUMN)
Di survey oleh
PT.Anggi Chemaloy
Sumber : diolah dari berbagai sumber, 2006
Tentang potensi sumberdaya mineral (Bachriadi, 1998) menambahkan Indonesia
menyimpan kandungan minyak terbesar di dunia, juga dikenal sebagai penghasil timah
nomor 2 di dunia dan bersama Thailand sebagai kontributor 58% dari produksi timah
dunia. Indonesia juga tercatat sebagai pengekspor batubara uap nomor 3, penghasil nikel
39
nomor 5 dan penghasil emas nomor 9 di dunia. Jika mengacu pada program perluasan
tambang PT. Freeport Indonesia (PTFI) di Papua sejak tahun 1997 maka perusahaan ini
akan menjadi penghasil tembaga nomor 2 terbesar di dunia. Potensi sumberdaya mineral
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang menyangkut jenis, deposit dan penyebarannya
merupakan kekayaan nasional disajikan pada Tabel 9 diatas.
Sedangkan persebaran potensi sumberdaya mineral dan pelaku utama sektor
pertambangan di Indonesia di tunjukkan pada Gambar 15 di bawah ini.
Gambar 15. Persebaran Pelaku Utama Sektor Pertambagan di Indonesia
Sumber : DESDM (IMA, 2006)
Hasil annual survey of mining companies 2002/2003 yang dilakukan oleh Fraser
Institute (lembaga penelitian ekonomi, sosial dan pendidikan di Kanada) tentang
kekayaan sumberdaya mineral di Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun tersebut,
Indonesia dari sisi mineral potential index berada pada urutan 16 dari 47 negara yang di
survey seperti terlihat pada Gambar 16.
Indonesia urutan ke 16 dari 47
Gambar 16. Indeks Potensi Mineral dari 47 negara
Sumber : Fraser Institute 2002/2003 survey of mining companies
40
Namun betapapun kayanya potensi sumberdaya mineral di sebuah negara, harus
pula ditopang oleh kebijakan pemerintah dan iklim investasi yang kondusif.
Sebagaimana dikatakan oleh Sigit (1996) :
“Tingkat perkembangan dan kemajuan pertambangan di suatu negara, bukannya
ditentukan terutama oleh potensi sumberdaya mineralnya betapapun juga
kayanya, tetapi lebih banyak bergantung pada kebijaksanaan pemerintah yang
berkuasa dalam menetapkan iklim usaha yang diperlukan”
Menurut Sigit (2004), sejak tahun 1997 timbul berbagai hal yang merusak iklim
investasi pertambangan di Indonesia, yang menyebabkan tidak saja terhentinya arus
investasi pertambangan baru, tetapi juga menyebabkan terhentinya ratusan proyek
eksplorasi yang di lakukan oleh perusahaan-perusahaan Penanaman Modal Asing
(PMA). Sebagai konsekuensi dari situasi demikian berdasarkan hasil annual survey of
mining companies 2002/2003 yang dilakukan oleh Fraser Institute, Indonesia berada
pada urutan ke 47 dari 47 negara dalam Policy Potential Index sebagai negara tujuan
investasi pertambangan, seperti terlihat pada Gambar17.
Indonesia urutan ke 47 dari 47
Gambar 17. Indeks Potensi Kebijakan
Sumber : Fraser Institute 2002/2003 survey of mining companies
Selanjutnya Sigit (2004) menyatakan pertambangan di Indonesia mengalami
pertumbuhan pesat selama kurun waktu 1970-1996, namun dewasa ini mengalami
kesulitan yang berkepanjangan. Sejak tahun 1997 timbul berbagai hal yang merusak
iklim investasi, yang menyebabkan tidak saja terhentinya arus investasi pertambangan
baru, tetapi juga menyebabkan terhentinya ratusan proyek eksplorasi yang dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan PMA. Puluhan investor berbondong-bondong meninggalkan
Indonesia dan mengalihkan investasinya ke negara lain (terutama China, India, Vietnam,
41
Chili, dsbnya) karena negara-negara tersebut dapat memberikan fasilitas dan kondisi
lingkungan kerja yang lebih baik. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian BCI (Bussiness
Competitiveness Index) (IMA, 2006) tentang kondisi persaingan usaha di Indonesia yang
relative buruk dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam, Brazil maupun
Thailand (Gambar 18). Kinerja yang buruk ini tentunya akan mengurangi tingkat
kepastian investor untuk melakukan tindakan investasi di Indonesia. Karenanya, peran
pemerintah untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang kondusif menjadi mutlak
untuk dilakukan.
Gambar 18. Indeks Persaingan Usaha
Sumber : BCI (Bussiness Competitiveness Index) dalam IMA, 2006
Selain itu, serangkaian kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan
perundangan di bidang perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, pertanahan,
ketenagakerjaan dan pelaksanaan otonomi daerah, telah menimbulkan berbagai
permasalahan yang membuat iklim investasi tidak kondusif lagi. Dengan demikian sejak
tahun 1996 penanaman modal dalam pertambangan di Indonesia telah mengalami
Stagnasi atau mati suri.
Setelah beroperasi selama lebih dari empat dekade menurut data BPS 2003,
secara nasional kontribusi sektor pertambangan pada perekonomian nasional (Produk
Domestik Nasional Bruto) berturut-turut tahun 1997 sebesar Rp. 7.645,6 triliun (1,76%),
1998 sebesar Rp. 9.678,0 triliun (2,57%), 1999 sebesar Rp. 10.357,7 triliun (2,73%),
2000 sebesar Rp. 11.619,2 triliun (2,92%), 2001 sebesar Rp. 12.502,5 triliun (3,04%),
2002 sebesar Rp. 13.082,2 triliun (3,07%). Nilai sebesar itu belum dapat dikatakan
42
signifikan jika dibandingkan dengan besarnya deposit sumberdaya mineral yang terdapat
dalam perut bumi Indonesia.
Menurut LPEM UI dalam studi pembuatan road map sektor pertambangan (2004)
bahwa proporsi sektor pertambangan terhadap total PDB Indonesia pada tahun 2002
hanya mencapai lebih dari 2,5% dari total PDB. Proporsi ini relatif menurun
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 3% dari total PDB
secara keseluruhan (Gambar 19). Kecilnya proporsi nilai tambah sektor pertambangan ini
hendaknya menjadi perhatian pemerintah untuk dapat terus meningkatkan nilai tambah
sektor pertambangan sehingga peranannya pada masa yang akan datang dapat terus
ditingkatkan, mengingat besarnya sumberdaya dan cadangan bahan tambang di
Indonesia.
Gambar 19. Proporsi Nilai Tambah Sektor Pertambangan terhadap PDB
Indonesia
Sumber : CEIC (LPEM UI, 2004)
Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) juga berdampak signifikan
bagi pendapatan daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral. Daerah-daerah yang
memiliki potensi sumberdaya alam yang signifikan akan memiliki alokasi yang besar
dari penerimaan negara yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 dan PP No. 104/2000
terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari sumberdaya alam. Untuk sektor pertambangan
umum di bagi dengan imbangan 20% Pemerintah Pusat, 16% Propinsi, 32%
43
Kabupaten/Kota Penghasil dan 32% Kabupaten/Kota dalam Propinsi. Bagi hasil
penerimaan negara dari sumberdaya alam secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Persentase Alokasi Bagi Hasil Penerimaan dari Sumberdaya Alam
No.
PENERIMAAN
A.
1.
SDA Non Migas
Kehutanan
- PSDH
- IHPH
- Dana Reboisasa
Pertambangan
- Land Rent
- Royalty
Perikanan
SDA Migas
Penerimaan Negara
Setelah dikurangi
komponen pajak yang
berasal dari minyak
bumi
Penerimaan Negara
Setelah dikurangi
komponen pajak yan
berasal dari gas alam
2.
3.
B
1.
2.
PUSAT
PROVINSI
KAB./KOTA
PENGHASIL
KAB./KOTA
LAINNYA
KAB./KOTA
SELURUH
INDONESIA
20
20
60
16
16
0
32
64
40
32
0
0
0
0
0
20
20
20
16
16
0
32
32
0
32
32
0
0
0
80
85
3
6
6
0
70
6
12
12
0
Sumber : UU No. 33 Tahun 2004 dirangkum
Bagi hasil pajak dan sumberdaya alam serta dana perimbangan terlihat pada tabel
10 dan tabel 11 di bawah ini.
Tabel 11. Bagian Pusat–Daerah dari Bagi Hasil Pajak dan Sumberdaya Alam
No
1.
2.
3.
4.
5.
Jenis Bagi Hasil & Perincian Bagian Daerah
Pajak Bumi da Bangunan (PBB)
Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan
Pajak Penghasil Perorangan**
SDA Kehutanan
Iuran Hak Penguasaan Hutan (HPH)
(Provinsi 16%, Kabupaten/Kota Penghasilan 6%)
Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH)
(Provinsi
16%
Kabupaten/Kota
Penghasil
Kabupaten/Kota Lainnya 32%)
SDA Pertambangan Umum :
Iuran Tetap (Land Rent)
(Provinsin 16%, Kabupaten/Kota Penghasil 64%)
Iuran Eksplorasi & Eksploitasi (Royalty)
(Provinsi 16 %, Kabupaten/Kota Penghasil
Kabupaten/Kota Lainnya 32%)
Pusat
10%
20%
80%
Daerah
90%
80%
20%
20%
80%
20%
80%
20%
80%
20%
80%
32%,
32%,
Sumber : UU No. 33/2004, PP No. 104/2000 dan PP No. 115/2000
44
Tabel 12. Dana Perimbangan menurut Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000
No
Jenis Penerimaan
Pusat
Provinsi
1.
PBB
90%x16.2%
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
3%
80%x64%
64%x50%
64%
64%
64%x50%
80%
6%
70%
6%
12%
10.
BPHTB
IHPH
Propisi SDH
Iuran Tetap
Royalty
Perikanan
Minyak Bumi
(Penerimaan Bersih)
Gasa Alam
(Penerimaan Bersih)
Alokasi Umum
10% +
(90%x9%,
sebagai biaya
pungut)
20%
20%
20%
20%
20%
20%
85%
Minus 25%
dari APBN
10%
90%
11.
12.
Alokasi Khusus
Dana Reboisasi
9.
60%
80%x16%
16%
16%
16%
16%
Kab/Kota
Penghasil
90%x64.8%
Kabupaten
Lainnya
32
64%x50%
64%x50%
6%
12%
40%***
Sumber : Peraturan Pemerintah No. 104 tahun 2000, dirangkum
Di beberapa daerah yang memiliki sumberdaya mineral sektor pertambangan
mampu menyumbangkan persentase yang besar bagi Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) daerah. Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Kabupaten Kutai
Timur sebesar 74,7 persen, Kabupaten Mimika Papua 97,4 persen dan Kabupaten Luwu
Utara, Sulsel 80 persen, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB sebesar 92,70 persen (2003),
95,24 persen (2004) dan 95,26 persen (2005). Namum tingginya PDRB di daerah-daerah
yang kaya sumberdaya mineral belum dapat dijadikan indikator kesejahteraan
masyarakat karena penilaian tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan. Salah satu
kelemahannya adalah bahwa PDRB konvensional belum dikurangi dengan depresiasi
lingkungan yakni penyusutan (depletion) dan kerusakan (degradation) lingkungan.
Selama empat dekade perjalanan industri pertambangan di Indonesia
dari
prespektif sosial budaya dipenuhi konflik dengan pemerintah daerah dan masyarakat
lokal dan ketidakpuasan unsur-unsur masyarakat di daerah. Sumberdaya mineral yang
selama ini menjadi simbol kekayaaan di daerah menjadi sumber tuntutan untuk
mendapatkan hak otonomi. Pertambangan yang perizinannya dikelola secara sentralistik
dan sektoral dirasakan telah menciptakan ketidakadilan, pencemaran lingkungan serta
kecilnya manfaat bagi masyarakat telah menjadi sasaran tuntutan lahirnya paradigma
baru pertambangan.
45
2.6.
Penganggaran dan Kinerja Pembangunan
Sebagai daerah yang terbuka, adalah wajar apabila suatu daerah mempunyai
akses dan keterkaitan dengan daerah lain. Kecenderungan yang terjadi menunjukkan
bahwa semakin banyak alur akses dan keterkaitan dengan daerah lain, maka semakin
besar kesempatan suatu daerah untuk berkembang. Adanya sejumlah akses tersebut
memungkinkan suatu daerah untuk dapat melakukan pertukaran barang dan jasa secara
efektif. Dalam perencanaan wilayah, keadaan ini disebut sebagai simpul jasa distribusi
(Agenda 21 buku 2, 2000).
Selanjutnya (Agenda 21, 2000) menerangkan dapat pula terjadi eksploitasi suatu
daerah terhadap daerah lain, misalnya eksploitasi suatu kota terhadap daerah buritannya.
Analogi dengan hal tersebut, dalam ekologi dikenal watak dasar bahwa ekosistem yang
dewasa, kuat dan mapan akan melakukan invasi serta mengalahkan ekosisitem yang
muda, lemah dan labil.
Karenanya yang biasa terjadi adalah pembangunan sarana perhubungan dan
komunikasi yang menghubungkan suatu daerah yang “lemah” dengan daerah lain yang
“kuat” akan menyebabkan invasi dan eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah.
Dengan demikian terjadilah ketergantungan daerah yang lemah terhadap yang kuat.
Kondisi yang demikian tidak mendukung pembangunan berkelanjutan. Salah satu atau
bahkan kedua belah pihak akan mengalami kebangkrutan dan kemerosotan atau yang
satu menjadi beban yang lain. Sehingga yang harus dikembangkan adalah saling
ketergantungan, kerjasama antar daerah berdasarkan kekuatan masing-masing. Untuk itu
pola pikir pembangunan berkelanjutan harus menuju pada upaya memperkuat daerah
sehingga terbangun saling ketergantungan.
Kabupaten mempunyai kesempatan untuk membangun hubungan yang saling
menguntungkan antara perdesaan yang berbasis ekonomi pertanian dan perkotaan yang
berbasis ekonomi industri dan jasa. Hal ini juga berarti mengembangkan dan menjaga
hubungan yang serasi antara satuan ruang yang didomominasi oleh lingkungan buatan
dan satuan ruang yang didominasi oleh lingkungan alami. Sumberdaya alami menjadi
komponen yang penting untuk menjamin keberlanjutan perkembangan, bukan hanya
untuk Kabupaten itu sendiri tetapi juga untuk Kota yang harus ditopangnya. Usaha
pertanian yang berkelanjutan dalam arti luas dan mungkin juga kehutanan, perlu menjadi
perhatian utama dalam perencanaan pembangunan Kabupaten.
46
2.6.1. Penganggaran
Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi dalam
penyelenggaraan pemerintah, karena berkaitan dengan pemerintahan itu sendiri untuk
mensejahterakan rakyatnya (Soenarto, 2007). Oleh karena itu output dari perencanaan
adalah penganggaran. Pada era otonomi daerah pemerintah daerah dituntut untuk mampu
secara mandiri mengelolaan keuangan daerah yang tercermin dalam anggaran
pendapatan belanja daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi
pemerintah daerah (UU 33/2004). APBD bagi pemerintah daerah merupakan rencana
kerja yang akan dilaksanakan dan disajikan dala bentuk angka-angka. Angka-angka pada
sisi penerimaan mencerminkan rencana pendapatan serta sumber-sumber untuk
mendapatkannya, sedangkan angka-angka pada sisi pengeluaran mencerminkan program
kerja pemerintahan maupun pembangunan yang akan dilaksanakan.
APBD merupakan instrumen kebijakan utama bagi pemerintah daerah, peran
pemerintah dalam pengalokasian anggaran sangat menentukan bidang-bidang atau
sektor-sektor mana yang harus dikembangkan untuk ditingkatkan anggarannya karena
berpengaruh terhadap kinerja pembangunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola
pengalokasian anggaran dengan kinerja pembangunan daerah yaitu: 1) Pola
pengalokasian anggaran suatu daerah 2) Pola pengalokasian anggaran daerah sekitarnya
dan 3) kinerja pembangunan daerah sekitarnya.
2.6.2. Indikator-Indikator Kinerja Pembangunan
Menurut (Saefulhakim, 2005) indikator-indikator kinerja pembangunan dibangun
atas dasar variabel-variabel penting yang dianggap bisa menggambarkan tingkat
perkembangan dan pertumbuhan atau mampu menjelaskan tingkat ukuran kinerja
pembangunan dapat dirumuskan dengan indeks/ratio. Indeks/rasio tersebut diantaranya
adalah: 1) Bidang perekonomian: diukur dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi,
struktur perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan,
tingkat pemerataan pendapatan (indeks gini), tingkat daya beli, tingkat tabungan
masyarakat, tingkat investasi, perdagangan luar negeri (eksport import), indeks harga
bangunan, realisasi penerimaan APBD dll. 2) Bidang ketertiban umum: diukur dengan
luas wilayah dan jumlah penduduk berdasarkan konflik/kejadian, penduduk berdasarkan
jenis kasus/kejadian, kecelakan, kebakaran hutan dll. 3) Bidang kesehatan: jumlah
penduduk sakit, tingkat kematian, tingkat harapan hidup, angka kelahiran, dll. 4) Bidang
pendidikan: diukur dengan tingkat pendidikan, angka putus sekolah, rataan lama sekolah,
47
angka buta dan melek huruf dll. 5) Bidang tata ruang, lingkungan dan pemerintahan
umum: diukur dengan kepadatan penduduk, rumah permanen dan non permanen,
penyimpangan penggunaan lahan dari rencana tata ruang, tingkat ketersediaan ruang
terbuka hijau, pencemaran lingkungan dll.
2.6.3. Peran Penganggaran dan Kinerja Pembangunan
Perencanaan pembangunan wilayah yang disusun secara komprehensif pada
akhirnya akan meningkatkan kinerja pembangunan daerah sehingga hasil-hasil yang
diharapkan dapat tercapai. Dalam pembangunan perekonomian daerah, setiap kebijakan
dan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan pembangunan di daerah pasti akan
mendasarkan diri dari kekhasan yang menjadi ciri daerah yang bersangkutan, dimana
kegiatan tersebut ditujukan bagi terciptanya peningkatan (baik jumlah maupun jenis)
kesempatan kerja bagi masyarakatnya, pertumbuhan perekonomian wilayah yang stabil
dan peningkatan pendapatan perkapita.
Keterbatasan
dana
sebagai
sumber
pembiayaan
dalam
melaksanakan
pembangunan merupakan alasan ditetapkannya suatu skala prioritas di dalam
pembangunan yang tertuang dalam pola pengalokasian anggaran. Pola pengalokasian
anggaran dalam suatu pembangunan di daerah berarti merupakan suatu pola untuk
melaksanakan rencana kerja dengan tujuan bahwa rencana kerja tersebut akan
mempunyai dampak atau manfaat yang lebih besar bagi masyarakat yang secara umum
akan mempengaruhi kinerja pembangunan.
Berkaitan dengan penganggaran maka pola pengalokasian anggaran yang kurang
tepat akan menyebabkan pemborosan sumberdaya dan sasaran yang akan dicapai tidak
dapat terwujud dengan optimal yaitu kinerja pembangunan yang buruk. Alokasi
anggaran belanja yang tidak disesuaikan dengan pemahaman atas karakteristik
perekonomian wilayah maka tidak akan memberikan manfaat dalam penyusunan rencana
pengeluaran pemerintah.
Kaitannya dengan interaksi spasial, maka pola pengalokasian anggaran suatu
daerah yang tepat akan memberi pengaruh terhadap kinerja pembangunan yang baik
untuk daerah yang bersangkutan dan diharapkan juga memberi pengaruh terhadap kinerja
pembangunan di daerah sekitarnya. Begitu pula kinerrja pembangunan di suatu daerah
tidak hanya dipengaruhi oleh pola pengalokasian anggaran pada daerah yang
bersangkutan, tetapi mendapat pengaruh dari daerah disekitarnya. Pengalokasian
anggaran belanja yang baik sesuai untuk suatu daerah akan memberi dampak terhadap
48
daerah-daerah lainnya. Ataua dapat dikatakan, dengan tercapainya kinerja pembangunan
yang baik maka daerah-daerah sekitarnya akan menerima manfaat juga (Soenarto, 2005).
2.7. Analisis Isi (Content Analysis) Peraturan Perundangan dan Proses Perubahan
Kebijakan
2.7.1. Analisis Isi (Content Analysis) Peraturan Perundangan
Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis
dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentukbentuk tertulis lainnya (Henderson, 1991 dan Krippendorf, 1980). Teknik penelitian ini
bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk
menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Teknik
ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung
melalui analisis cara mereka berkomunikasi (Fraenkel et al. 1996).
Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena sifatnya yang unobtrusive (tidak
langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti), ekonomis, bisa direplikasi serta
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian kelemahan dari metode ini
diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan
validitas jika ada ketidaksepakatan antar penguji (Fraenkel et al, 1996).
Tahapan/prosedur dalam melakukan content analysis dimulai dari identifikasi
permasalahan penelitian, review teori dan penelitian sebelumnya, menentukan fokus
penelitian, mendefinisikan isi dokumen yang relevan, membuat desain yang lebih
spesifik, membuat tabel contoh, membangun protokol untuk pengkodean, spesifikasi
populasi, spesifikasi kerangka sample, melakukan analisis percobaan, memproses data
dan melaporkan hasil (Borg et al., 1989; Riffe et al., 1998; Fraenkel et al., 1996, dan
Krippendorff, 1980). Secara ringkas tahapan content analysis ini disajikan pada Gambar
20.
49
Identifikasi Problem Penelitian
Review Theory
dan Penelitian Sebelumnya
Konseptualisasi
(Conceptualization)
Assert Research Questions
Penentuan Konteks yang relevan
Spesifikasi Desain Formal
Pembuatan Dummy Tables
Rancangan
(Design)
Pembangunan Protokol Pengkodean
Spesifikasikan Populasi
Spesifikasi Sampling Frame
Pretest
Tetapkan Reliability
Analisis
(Analysis)
Proses pengolahan data :
Analisis kualitatif, Analisis Kuantitatif
atau gabungan keduanya
HASIL
Gambar 20. Prosedur Analysis Isi (content analysis)
Sumber : Rosylin, 2008
Analisis isi (content analysis) untuk keperluan penelitian ini dilakukan terhadap
peraturan perundang undangan tentang mineral dari pusat hingga ke daerah penelitian
dalam konteks pembanguan berkelanjutan untuk aspek ekonomi, lingkungn dan sosial.
2.7.2. Proses Perubahan Kebijakan
Sutton (1999) menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para
pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan pemisahan
keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah suatu kebijakan
dilahirkan oleh suatu proses yang “chaotic”. Lindayati dalam Rosylin (2008)
menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak
hanya didorong oleh kepentingan pemerintah; tetapi juga melibatkan proses
50
”pembelajaran” bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peranan
utama.
Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut sebagai
model liner. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau common-sense. Urutan
pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut (Sutton, 1999) :
1.
Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah.
2.
Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah.
3.
Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan
yang mungkin terjadi.
4.
Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat.
5.
Pelaksanaan kebijakan.
6.
Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.
Sedangkan menurut (IDS, 200) proses pembuatan kebijakan non linier mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
1.
Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang
sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan masalah.
Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata bersifat teknis, aktivitas
rasional-lah yang sering dipertahankan.
2.
Pembuatan kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak menentu,
bersifat berulang-ulang dan sering juga didasarkan pada percobaan, kesempatan
belajar dari kekeliruan, dan mengambil ukuran-ukuran yang bersifat perbaikan. Oleh
karena itu tidak ada keputusan atau hasil kebijakan tunggal yang optimal.
3.
Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin tidak ada
kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa permasalahan kebijakan penting
yang sebenarnya.
4.
Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta saling
terjalin. Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran utama.
5.
Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para pengambil
keputusan dan pelaksana keputusan (memberi kesempatan untuk melakukan inovasi
dan lebih dihargai).
6.
Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama ‘saling membangun’
kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi (produksi bersama)
antara kebijakan dan ilmu pengetahuan.
7.
Co-Produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk mengurangi
ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan berusaha melengkapi
dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan, dan selanjutnya didiskusikan.
51
8.
Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai perspektif dari
kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan.
Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam suatu
kerangka sederhana yang menghubungkan tiga tema yang saling berhubungan (Gambar
21) (IDS, 2006), yaitu :
1. pengetahuan dan diskursus (apa yang merupakan ‘kebijakan naratif’? Bagaimana hal
tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan lain sebagainya ?);
2. para pelaku dan jaringan kerja (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung
?); dan
3. politik dan kepentingan ( apakah yang merupakan dasar dinamika kekuasaan ?)
Diskursus &
Naratif
Politik &
Kepentingan
Pelaku &
Jaringan
Kerja
Gambar 21. Kerangka Hubungan Antar Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan
(Sumber : Institute of Development Studies, 2006)
Sutton (1999) menjelaskan bahwa pengembangan narasi (narrative development)
yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi penyederhanaan kompleksitas situasi yang
seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan. Mereka sering menetapkan keyakinankeyakinan tersebut sebagai kearifan di masa lalu yang sulit sekali ditinggalkan.
Keberadaan kelompok kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan
penting karena akan saling memberi pengaruh terhadap ’kebenaran’, asumsi, jalan
keluar, berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam
peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau arena
yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk melakukan
manuver atau membatasi ruang kebijakan (policy space), yaitu kemampuan pembuat
kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Narasi dilahirkan melalui
jaringan
pembuat
kebijakan
(policy
coalition/network)
dan
mengembangkan
paradigmanya sendiri sehingga menjadi sangat berpengaruh.
52
Download