JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 PENERAPAN METODE ACTIVITY-BASED COSTING SYSTEM DALAM MENENTUKAN HARGA Marismiati Politeknik PalComTech Palembang Abstract Activity based costing is a method that applies the concepts of accounting activities to produce the product cost price calculation more accurate. This paper describes the basic concept of activity based costing and comparing it with the method of determining the cost of traditional products. Furthermore, this paper also explained about the benefits and advantages for determining cost based on activity. The main purpose of this paper is to discuss about the implementation of ABC in service firms. Characteristics of different services firm by appointing a different treatment in determining the cost of production. The author presents a discussion about how to identify and define ABC on service companies. Thus the allocation of the cost of the activity in every hospital room can be calculated precisely based on the consumption of each activity. Keywords : Activity Based Costing, Cost Of Good Sold, Service Company PENDAHULUAN Dalam era globalisasi dan ditunjang perkembangan dunia usaha yang semakin pesat mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu strategi dalam usaha menarik konsumen. Persaingan tersebut tidak hanya persaingan bisnis dibidang manufaktur/industri tetapi juga dibidang usaha pelayanan jasa. Dalam menentukan harga pokok produk masih menggunakan akuntansi biaya tradisional. Dimana Sistem tersebut tidak sesuai dengan lingkungan pemanufakturan yang maju, pada diversifiksi (keanekaragaman) produk yang tinggi (Bunyamin Lumenta, 1989). Biaya produk yang dihasilkan oleh sistem akuntansi biaya tradisional memberikan informasi biaya yang terdistorsi. Distorsi timbul karena adanya ketidakakuratan dalam pembebanan biaya, sehingga mengakibatkan kesalahan penentuan biaya, pembuatan keputusan, perencanaan, dan pengendalian (Supriyono, 1999: 259). Distorsi tersebut juga mengakibatkan undercost/overcost terhadap produk (Hansen & Mowen, 2005). Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kemudian pada tahun 1800-an dan awal 1900-an lahirlah suatu sistem penentuan harga pokok produk berbasis aktivitas yang dirancang untuk mengatasi distorsi pada akuntansi biaya tradisional. Sistem akuntansi ini disebut Activit-Based Costing. Definisi metode Activity-Based Costing (ABC) merupakan suatu sistem kalkulasi biaya yang pertama kali menelusuri biaya keaktivitas dan kemudian keproduk (Hansen & Mowen, 1992). 22 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Perbedaan utama penghitungan harga pokok produk antara akuntansi biaya tradisional dengan ABC adalah jumlah cost driver (pemicu biaya) yang digunakan. Dalam sistem penentuan harga pokok produk dengan metode ABC menggunakan cost driver dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dalam sistem akuntansi biaya tradisional yang hanya menggunakan satu atau dua cost driver berdasarkan unit. Dalam metode ABC, menganggap bahwa timbulnya biaya disebabkan oleh adanya aktivitas yang dihasilkan produk. Pendekatan ini menggunakan cost driver yang berdasar pada aktivitas yang menimbulkan biaya dan akan lebih baik apabila diterapakan pada perusahaan yang menghasilkan keanekaragaman produk. Metode ABC dinilai dapat mengukur secara cermat biaya-biaya yang keluar dari setiap aktivitas. Hal ini disebabkan karena banyaknya cost driver yang digunakan dalam pembebanan biaya overhead, sehingga dalam metode ABC dapat meningkatkan ketelitian dalam perincian biaya, dan ketepatan pembebanan biaya lebih akurat. LANDASAN TEORI Pengertian Activity-Based Costing Activity Based Costing merupakan metode yang menerapkan konsep-konsep akuntansi aktivitas untuk menghasilkan perhitungan harga pokok produk yang lebih akurat. Namun dari perspektif manajerial, sistem ABC menawarkan lebih dari sekedar informasi biaya produk yang akurat akan tetapi juga menyediakan informasi tentang biaya dan kinerja dari aktivitas dan sumber daya serta dapat menelusuri biaya-biaya secara akurat ke objek biaya selain produk, misalnya pelanggan dan saluran distribusi. Pengertian akuntansi aktivitas menurut Amin Widjaja (1992; 27) adalah : “Bahwa ABC Sistem tidak hanya memberikan kalkulasi biaya produk yang lebih akurat, tetapi juga memberikan kalkulasi apa yang menimbulkan biaya dan bagaimana mengelolanya, sehingga ABC System juga dikenal sebagai sistem manajemen yang pertama.” Sedangakan menurut Mulyadi (1993:34) memberikan pengertian ABC sebagai berikut : “ABC merupakan metode penentuan HPP (product costing) yang ditujukan untuk menyajikan informasi harga pokok secara cermat bagi kepentingan manajemen, dengan mengikursecara cermat konsumsi sumber daya alam setiap aktivitas yang digunakan untuk menghasilkan produk.” Pengertian ABC Sistem yang lain juga dikemukakan oleh Hansen and Mowen (1999: 321) sebagai berikut : “Suatu sistem kalkulasi biaya yang pertama kali menelusuri biaya ke aktivitas kemudian ke produk.” Pengertian akuntansi aktivitas menurut Brimson (1991: 47) adalah: “Suatu proses pengumpulan dan menelusuri biaya dan data performan terhadap suatu aktivitas perusahaan dan memberikan umpan balik dari hasil aktual terhadap biaya yang direncanakan untuk melakukan tindakan koreksi apabila diperlukan.” Definisi lain dikemukakan oleh Garrison dan Norren (2000: 292) sebagai berikut: 23 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 “Metode costing yang dirancang untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer untuk keputusan strategik dan keputusan lainnya yang mungkin akan mempengaruhi kapasitas dan juga biaya tetap.” Konsep-Konsep Dasar Activity Based Costing Activity Based Costing Sistem adalah suatu sistem akuntansi yang terfokus pada aktifitas-aktifitas yang dilakukan untuk menghasilkan produk/jasa. Activity Based Costing menyediakan informasi perihal aktivitas-aktivitas dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut. Aktivitas adalah setiap kejadian atau transaksi yang merupakan pemicu biaya (cost driver) yakni, bertindak sebagai faktor penyebab dalam pengeluaran biaya dalam organisasi. Aktivitas-aktivitas ini menjadi titik perhimpunan biaya. Dalam sistem ABC, biaya ditelusur ke aktivitas dan kemudian ke produk. System ABC mengasumsikan bahwa aktivitas-aktivitaslah, yang mengkonsumsi sumber daya dan bukannya produk. Gambar 1. Konsep Dasar Activity Based Costing Resources Process View Cost Driver Activities Performance Cost Object Sumber: Hansen, Don .R. dan Maryanne, M. Mowen, 2005 Perbandingan Biaya Produk Tradisional dan ABC Metode ABC memandang bahwa biaya overhead dapat dilacak dengan secara memadai pada berbagai produk secara individual. Biaya yang ditimbulkan oleh cost driver berdasarkan unit adalah biaya yang dalam metode tradisional disebut sebagai biaya variabel. Metode ABC memperbaiki keakuratan perhitungan harga pokok produk dengan mengakui bahwa banyak dari biaya overhead tetap bervariasi dalam proporsi untuk berubah selain berdasarkan volume produksi. Dengan memahami apa yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat dan menurun, biaya tersebut dapat ditelusuri kemasing-masing produk. Hubungan sebab akibat ini memungkinkan manajer untuk memperbaiki ketepatan kalkulasi biaya produk yang dapat secara signifikan memperbaiki pengambilan keputusan (Hansen dan Mowen, 1999: 157-158) Digambarkan dalam tabel, perbedaan antara penentuan harga pokok produk tradisional dan sistem ABC, yaitu: 24 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Tabel 1. Perbedaan Penetapan Harga Pokok Produk Tradisional dengan Metode Activity Based Costing Metode Penentuan Metode Harga Pokok Produk Activity Based Costing Tradisional Tujuan Inventory level Product Costing Lingkup Tahap produksi Tahap desain, produksi, Tahap pengembangan Fokus Biaya bahan baku, Biaya overhead tenaga kerja langsung Periode Perode akuntansi Daur hidup produk Teknologi yang digunakan Metode manual Komputer telekomunikasi Sumber : Mulyadi 1993A Ada dua hal mendasar yang harus dipenuhi sebelum kemungkinan penerapan metode ABC, yaitu (Supriyono, 2002: 247) 1. Biaya berdasarkan non unit harus merupakan prosentase yang signifikan dari biaya overhead. Jika hanya terdapat biaya overhead yang dipengaruhi hanya oleh volume produksi dari keseluruhan overhead pabrik maka jika digunakan akuntansi biaya tradisionalpun informasi biaya yang dihasilkan masih akurat sehingga penggunaan sisitem ABC kehilangan relevansinya. Artinya Activity Based Costing akan lebih baik diterapkan pada perusahaan yang biaya overheadnya tidak hanya dipengaruhi oleh volume produksi saja. 2. Rasio konsumsi antara aktivitas berdasarkan unit dan berdasarkan non unit harus berbeda Jika rasio konsumsi antar aktivitas sama, itu artinya semua biaya overhead yang terjadi bisa diterangkan dengan satu pemicu biaya. Pada kondisi ini penggunaan system ABC justru tidak tepat karena sistem ABC hanya dibebankan ke produk dengan menggunakan pemicu biaya baik unit maupun non unit (memakai banyak cost driver). Apabila berbagai produk rasio konsumsinya sama, maka sistem akuntansi biaya tradisional atau sistem ABC membebankan biaya overhead dalam jumlah yang sama. Jadi perusahaan yang produksinya homogen (diversifikasi paling rendah) mungkin masih dapat mengunakan sistem tradisional tanpa ada masalah. 3. Pembebanan Biaya Overhead pada Activity-Based Costing Pada Activity-Based Costing meskipun pembebanan biaya-biaya overhad pabrik dan produk juga menggunakan dua tahap seperti pada akuntansi biaya tradisional, tetapi pusat biaya yang dipakai untuk pengumpulan biaya-biaya pada tahap pertama dan dasar pembebanan dari pusat biaya kepada produk pada tahap kedua sangat berbeda dengan akuntansi biaya tradisional (cooper, 1991:269-270). Activity-Based costing menggunakan lebih banyak cost driver bila dibandingkan dengan sistem pembebanan biaya pada akuntansi biaya tradisional. Sebelum sampai pada prosedure pembebanan dua tahap dalam Activity-Based Costing perlu dipahami hal-hal sebagai berikut: 1. Cost Driver adalah suatu kejadian yang menimbulkan biaya. Cost Driver merupakan faktor yang dapat menerangkan konsumsi biaya-biaya overhead. 25 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Faktor ini menunjukkan suatu penyebab utama tingkat aktivitas yang akan menyebabkan biaya dalam aktivitas-aktivitas selanjutnya. 2. Rasio konsumsi adalah proporsi masing-masing aktivitas yang dikonsumsi oleh setiap produk, dihitung dengan cara membagi jumlah aktivitas yang dikonsumsi oleh suatu produk dengan jumlah keseluruhan aktivitas tersebut dari semua jenis produk. 3. Rasio Konsumsi adalah proporsi masing-masing aktivitas yang dikonsumsi oleh setiap produk, dihitung dengan cara membagi jumlah aktivitas yang dikonsumsi oleh suatu produk dengan jumlah keseluruhan aktivitas tersebut dari semua jenis produk. 4. Homogeneous Cost Pool merupakan kumpulan biaya dari overhead yang variasi biayanya dapat diartikan dengan satu pemicu biaya saja, atau untuk dapat disebut suatu kelompok biaya yang homogen, aktivitas-aktivitas overhead produk. Prosedure Pembebanan Biaya Overhead dengan Sistem ABC Menurut Mulyadi (1993: 94), prosedure pembebanan biaya overhead dengan sisitem ABC melalui dua tahap kegiatan: a. Tahap Pertama Pengumpulan biaya dalam cost pool yang memiliki aktifitas yang sejenis atau homogen, terdiri dari 4 langkah : 1. Mengidentifikasi dan menggolongkan biaya kedalam berbagai aktifitas. 2. Mengklasifikasikan aktifitas biaya kedalam berbagai aktifitas, pada langkah ini biaya digolongkan kedalam aktivitas yang terdiri dari 4 kategori yaitu: Unit level activity costing, Batch related activity costing, product sustaining activity costing, facility sustaining activity costing. Level tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Aktivitas Berlevel Unit (Unit Level Activities) Aktivitas ini dilakukan untuk setiap unit produksi. Biaya aktivitas berlevel unit bersifat proporsional dengan jumlah unit produksi. Sebagai contoh, menyediakan tenaga untuk menjalankan peralatan, karena tenaga tersebut cenderung dikonsumsi secara proporsiona dengan jumlah unit yang diproduksi. b. Aktivitas Berlevel Batch (Batch Level Activities) Aktivitas dilakukan setiap batch diproses, tanpa memperhatikan berapa unit yang ada pada batch tersebut. Misalnya, pekerjaan seperti membuat order produksi dan pengaturan pengiriman konsumen adalah aktivitas berlevel batch. c. Aktivitas Berlevel Produk (Produk Level Activities) Aktivitas berlevel produk berkaitan dengan produk spesifik dan biasanya dikerjakan tanpa memperhatikan berapa batch atau unit yang diproduksi atau dijual. Sebagai contoh merancang produk atau mengiklankan produk. d. Aktivitas Berlevel Fasilitas (Fasility level activities) Aktivitas berlevel fasilitas adalah aktivitas yang menopang proses operasi perusahaan namun banyak sedikitnya aktivitas ini tidak berhubungan dengan volume. Aktivitas ini dimanfaatkan secara bersama oleh berbagai jenis produk yang berbeda. Kategori ini termasuk aktivitas seperti kebersihan kantor, penyediaan jaringan komputer dan sebagainya. e. Mengidentifikasikan Cost Driver maksudnya untuk memudahkan dalam penentuan tarif/unit cost driver 26 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 f. Menentukan tarif/unit Cost Driver Adalah biaya per unit Cost Driver yang dihitung untuk suatu aktivitas. Tarif/unit cost driver dapat dihitung dengan rumus sbb: Tarif per unit Cost Driver = Cost DriverfitasJumlahAktifitas b. Tahap Kedua Penelusuran dan pembebanan biaya aktivitas kemasing-masing produk yang menggunakan cost driver. Pembebanan biaya overhead dari setiap aktivitas dihitung dengan rumus sbb: BOP yang dibebankan = Tarif/unit Cost Driver X Cost Driver yang dipilih Manfaat Penentuan Harga Pokok Produk Berdasarkan Aktivitas Jika syarat-syarat penerapan sistem ABC sudah terpenuhi, maka sebaiknya perusahaan menerapkan sistem ABC dan segera mendesain ulang sistem akuntansi biayanya karena akan bermanfaat sebagai berikut: (Supriyono, 2002:698) 1. Memperbaiki mutu pengambilan keputusan Dengan informasi biaya produk yang lebih teliti, kemungkinan manajer melakukan pengambilan keputusan yang salah dapat dikurangi. Informasi biaya produk yang lebih teliti sangat penting artinya bagi manajemen jika perusahaan menghadapi persaingan yang tajam. 2. Memungkinkan manajemen melakukan perbaikan terus menerus terhadap kegiatan untuk mengurangi biaya overhead. Sistem ABC mengidentifikasi biaya overhed dengan kegiatan yang menimbulkan biaya tersebut. Pembebanan overhead harus mencerminkan jumlah permintaan overhead (yang dikonsumsi) oleh setiap produk. Sistem ABC mengakui bahwa tidak semua overhed bervariasi dengan jumlah unit yang diproduksi. Dengan menggunakan biaya berdasarkan unit dan non unit overhead dapat lebih akurat ditelusuri ke masingmasing produk. 3. Memberikan kemudahan dalam menentukan biaya relevan. Karena sistem ABC menyediakan informasi biaya yang relevan yang dihubungkan. Cost Driver Landasan penting untuk menghitung biaya berdasarkan aktivitas adalah dengan mengidentifikasi pemicu biaya atau cost driver untuk setiap aktivitas. Pemahaman yang tidak tepat atas pemicu akan mengakibatkan ketidaktepatan pada pengklasifikasian biaya, sehingga menimbulkan dampak bagi manajemen dalam mengambil keputusan. Jika perusahaan memiliki beberapa jenis produk maka biaya overhead yang terjadi ditimbulkan secara bersamaan oleh seluruh produk. Hal ini menyebabkan jumlah overhead yang ditimbulkan oleh masing-masing jenis produk harus diidentifikasi melalui cost driver. Pengertian Cost Driver Cost driver merupakan faktor yang dapat menerangkan konsumsi biaya-biaya overhead. Faktor ini menunjukkan suatu penyebab utama tingkat aktifitas yang akan menyebabkan biaya dalam aktifitas. 27 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Ada dua jenis cost driver, yaitu: 1. Cost Driver Berdasarkan Unit Cost Driver berdasarkan unit membebankan biaya overhead pada produk melalui penggunaan tarif overhead tunggal oleh seluruh departemen. 2. Cost Driver Berdasarkan Non Unit Cost Driver berdasarkan non unit merupakan faktor-faktor penyebab selain unit yang menjelaskan konsumsi overhead. Contoh cost driver berdasarkan unit pada perusahaan jasa adalah luas lantai, jumlah pasien, jumlah kamar yang tersedia. Penentuan Cost Driver Yang Tepat Aktivitas yang ada dalam perusahaan sangat komplek dan banyak jumlahnya. Oleh karena itu perlu pertimbangan yang matang dalam menentukan penimbul biayanya atau cost driver. 1. Penentuan Jumlah Cost Driver Yang Dibutuhkan Menurut Cooper dan Kaplan (1991: 375), penentuan banyaknya cost driver yang dibutuhkan berdasarkan pada keakuratan laporan product cost yang diinginkan dan kompleksitas komposisi output perusahaan. Semakin banyak cost driver yang digunakan, laporan biaya produksi semakin akurat. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat keakuratan yang diinginkan, semakin banyak cost driver yang dibutuhkan. 2. Pemilihan Cost Driver Yang Tepat. Dalam pemilihan cost driver yang tepat ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan (Cooper dan Kaplan, 1991: 383) a. Kemudahan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam pemilihan cost driver (cost of measurement). Cost driver yang membutuhkan biaya pengukuran lebih rendah akan dipilih. b. Korelasi antara konsumsi aktivitas yang diterangkan oleh cost driver terpilih dengan konsumsi aktivitas sesungguhnya (degree of correlation). Cost driver yang memiliki korelasi tinggi akan dipilih. c. Perilaku yang disebabkan oleh cost driver terpilih (behavior effec). cost driver yang menyebabkan perilaku yang diinginkan yang akan dipilih Keunggulan Metode ABC Amin (1994: 23) mengemukakan tentang keunggulan ABC adalah sebagai berikut: 1. Suatu pengkajian ABC dapat meyakinkan manajemen bahwa mereka harus mengambil sejumlah langkah untuk menjadi lebih kompetitif. Sebagai hasilnya mereka dapat berusaha untuk meningkatkan mutu sambil secara simultan memfokus pada mengurangi biaya. Analisis biaya dapat menyoroti bagaimana benar-benar mahalnya proses manufakturing, yang pada akhirnya dapat memicu aktivitas untuk mereorganisasi proses, memperbaiki mutu dan mengurangi biaya. 2. ABC dapat membantu dalam pengambilan keputusan 3. Manajemen akan berada dalam suatu posisi untuk melakukan penawaran kompetitif yang lebih wajar 28 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 4. Dengan analisis biaya yang diperbaiki, manajemen dapat melakukan analisis yang lebih akurat mengenai volume, yang dilakukan untuk mencari break even atas produk yang bervolume rendah. 5. Melalui analisis data biaya dan pola konsumsi sumber daya, manajemen dapat mulai merekayasa kembali proses manufakturing untuk mencapai pola keluaran mutu yang lebih efisien dan lebih tinggi. Kelemahan Sistem Akuntansi Biaya Tradisional Hal-hal yang tidak diberitahukan oleh sistem akuntansi biaya tradisional kepada manajemen banyak sekali. Akuntansi biaya tradisional memberi sedikit ide kepada manajemen pada saat harus mengurangi pengeluaran pada waktu yang mendesak. Sistem tersebut hanya memberikan laporan manajemen dengan menunjukkan dimana biaya dikeluarkan dan tidak ada indikasi apa-apa yang menimbulkan biaya. Sistem biaya tradisional memang memeperhatikan biaya total perusahaan, akan tetapi mereka mengabaikan “below the line expenses”, seperti penjualan, distribusi, riset, dan pengembangan serta biaya administrasi. Biaya-biaya ini tidak dibebankan kepasar, pelanggan, saluran distribusi, atau bahkan produk yang berbeda. Banyak manajer yang percaya bahwa biaya-biaya ini adalah tetap. Oleh sebab itu, biaya-biaya “below the line” ini diperlakukan secara sama dengan mendistribusikannya kepada pelanggan. Padahal, sekarang ini beberapa pelanggan jauh lebih mahal untuk dilayani dibandingkan dengan yang lain dan sebenarnya beberapa biaya tersebut adalah biaya variabel. (Amin, 1992: 22). Lebih jauh lagi dijelaskan oleh Supriyono (2002: 74-77) bahwa dengan berkembangnya dunia teknologi, sistem biaya tradisional mulai dirasakan tidak mampu menghasilkan produk yang akurat lagi. Hal ini disebabkan karena lingkungan global menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab sistem akuntansi biaya tradisional, antara lain: 1. Sistem akuntansi biaya tradisional terlalu menekankan pada tujuan penentuan harga pokok produk yang dijual. Akibatnya sistem ini hanya menyediakan informasi yang relatif sangat sedikit untuk mencapai keunggulan dalam persaingan global. 2. Sistem akuntansi biaya tradisional untuk biaya overhead terlalu memusatkan pada distribusi dan alokasi biaya overhead daripada berusaha keras untuk mengurangi pemborosan dengan menghilangkan aktivitas yang tidak bernilai tambah. 3. Sistem akuntansi biaya tradisional tidak mencerminkan sebab akibat biaya karena seringkali beranggapan bahwa biaya ditimbulkan oleh faktor tunggal misalnya volume produk atau jam kerja langsung. 4. Sistem akuntansi biaya tradisional menghasilkan informasi biaya yang terdistorsi sehingga mengakibatkan pembuatan keputusan yang menimbulkan konflik dengan keunggulan perusahaan. 5. Sistem akuntansi biaya tradisional menggolongkan biaya langsung dan tidak langsung serta biaya tetap dan variabel hanya mendasarkan faktor penyebab tunggal misalnya volume produk, padahal dalam lingkungan teknologi maju cara penggolongan tersebut menjadi kabur karena biaya dipengaruhi oleh berbagai macam aktivitas. 6. Sistem akuntansi biayaa tradisional menggolongkan suatu perusahaan kedalam pusat-pusat pertanggung jawaban yang kaku dan terlalu menekankan kinerja jangka pendek. 29 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 7. Sistem akuntansi biaya tradisional memusatkan perhatian kepada perhitungan selisih biaya pusat-pusat pertanggngjawaban tertantu dengan menggunakan standar. 8. Sistem akuntansi biaya tradisional tidak banyak memerlukan alat-alat dan teknikteknik yang canggih dalam sistem informasi dibandingkan pada lingkungan teknologi maju. 9. Sistem akuntansi biaya tradisional kurang menekankan pentingnya daur hidup produk. Hal ini dibuktikan dengan perlakuan akuntansi biaya tradisional terhadap biaya aktivitas-aktivitas perekayasaan, penelitian dan pengembangan. Biay-biaya tersebut diperlakukan sebagai biaya periode sehingga menyebabkan terjadinya distorsi harga pokok daur hidup produk. Pengertian dan Penentuan Tarif dengan Menggunakan Metode Cost Plus Pricing Tarif menurut Supriyono (1991:332) adalah: “Sejumlah moneter yang dibebankan oleh suatu unit usaha kepada pembeli atau pelangga atas barang atau jasa yang dijual atau diserahkan” Untuk menentukan tarif, biasanya manajemen mempertimbangkan beberapa faktor yang mempengaruhi baik faktor biaya maupun bukan biaya. Menurut Supriyono (1991:332): - Biaya, khususnya biaya masa depan - Pendapatan yang diharapkan - Jenis produk jasa yang dijual - Jenis industri - Citra dan kesan masyarakat - Pengaruh pemerintah, khususnya undang-undang, keputusan, peraturan dan kebijakan pemerintah - Tindakan atau reaksi para pesaing - Tipe pasar yang dihadapi - Trend Ekonomi - Biaya manajemen - Tujuan non laba - Tanggung jawab sosial perusahaan - Tujuan perusahaan,khususnya laba dan return on investment (ROI) Dalam penentuan tarif atau harga jual produk, manajemen perlu tujuan dari penentuan tarif tersebut. Tujuan itu akan digunakan sebagai salah satu pedoman kerja perusahaan. Pada umumnya tujuan tersebut adalah sebagai berikut : a. Bertahan Hidup (Survival) Perusahaan menetapkan bertahan hidup sebagai tujuan utama, apabila menghadap kesulitan dalam hal kelebihan kapasitas produksi, persaingan keras, atau perubahan keinginan konsumen. Untuk mempertahankan tetap berjalannya kegiatan produksi, perusahaan harus menetapkan harga yang rendah, dengan harapan akan meningkatkan permintaan. Dalam situasi demikian, laba menjadi kurang penting dibandingkan survival. b. Memaksimalkan Laba Jangka Pendek Perusahaan memperkirakan permintaan akan biaya, dihubungkan dengan harga alternatif dan harga yang akan menghasilkan laba, arus kas, atau tingkat laba investasi maksimal. Dalam semua hal, perusahaan lebih menitikberatkan pada 30 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 kemampuan keuangan yang ada dan kurang mempertimbangkan prestasi keuangan jangka pendek. c. Kepemimpinan Pangsa Pasar (Leader Of Market Share) Sebagian perusahaan ingin mencapai pangsa pasar yang dominan. Mereka yakin bahwa perusahaan dengan market share terbesar akan menikmati biaya terendah dan laba tertinggi dalam jangka panjang. Untuk itu, mereka menetapkan harga serendah mungkin akan menikmati biaya terendah dan laba tertinggi dalam jangka panjang. Untuk itu, mereka menetapkan harga serendah mungkin. d. Kepemimpinan Mutu Produk Perusahaan dapat memutuskan bahwa mereka ingin memiliki produk dengan mutu terbaik di pasar. Keputusan ini biasanya mengharuskan penetapan harga yang tinggi untuk penutup biaya pengendalian mutu produk serta biaya riset dan pengembangan. e. Tujuan-Tujuan Lain Misalnya mempertahankan loyalitas pelanggan perusahaan mungkin menetapkan harga yang rendah untuk mencegah masuknya perusahaan pesaing atau dapat menetapkan harga yang sama dengan pesaing dengan tujuan untuk mempertahankan loyalitas pelanggan. Menghindari campur tangan pemerintah, menciptakan daya tarik sebuah produk, dan untuk menarik lebih banyak pelanggan. Menurut Mulyadi (1993), penentuan tarif atau harga jual suatu produk atau jasa dengan menggunakan metode Cost Plus Pricing yaitu penentuan tarif jasa dengan cara menambahkan laba yang diharapkan diatas biaya penuh masa yang akan datang untuk memproduksi dan memasarkan produk atau jasa. Tarif jasa berdasarkan Cost Plus Pricing dihitung dengan rumus: Tarif per Kamar = Cost Sewa Kamar + Laba yang Diharapkan Activity Based Counting Untuk Perusahaan Jasa Sistem kerja Activity Based Costing banyak diterapkan pada perusahaan manufaktur, tetapi juga dapat diterapkan pada perusahaan jasa. Penerapan metode Activity Based Costing pada perusahaan jasa memiliki beberapa ketentuan khusus, hal ini disebabkan oleh karakteristik yang dimiliki perusahaan jasa. Menurut Brinker (1992), karakteristik yang dimiliki perusahaan jasa, yaitu: a. Output seringkali sulit didefinisi b. Pengendalian aktivitas pada permintaan jasa kurang dapat didefinisi c. Cost mewakili proporsi yang lebih tinggi dari total cost pada seluruh kapasitas yang ada dan sulit untuk menghubungkan antara output dengan aktivitasnya. Output pada perusahaan jasa adalah manfaat dari jasa itu sendiri yang kebanyakan tidak terwujud, contoh: kecepatan suatu jasa, kualitas suatu informasi, pemuasan konsumen. Output pada perusahaan jasa tidak berwujud membuat perhitungan menjadi sulit. Sekalipun sulit, dewasa ini bisnis jasa menggunakan metode Activity Based Costing pada bisnisnya. Untuk menjawab permasalahan diatas, Activity Based Costing benar-benar dapat digunakan pada perusahaan jasa, setidak-tidaknya pada beberapa perusahaan. 31 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan Activy Based Costing pada perusahaan jasa adalah: 1) Identifying and Costing Activities Mengidentifikasi dan menghargai aktivitas dapat membuka beberapa kesempatan untk pengoperasian yang efisien. 2) Spesial Challenger Perbedaan antara perusahaan jasa dan perusahaan manufaktur akan memiliki permasalahan-permasalahan yang serupa. Permasalahan itu seperti sulitnya mengalokasikan biaya ke aktivitas. Selain itu jasa tidak dapat menjadi suatu persediaan, karena kapasitas yang ada namun tidak dapat digunakan menimbulkan biaya yang tidak dapat dihindari. 3) Output Diversity Perusahaan jasa juga memiliki kesulitan-kesulitan dalam mengidentifikasi output yang ada. Pada perusahaan jasa, diversity yang menggambarkan aktivitas-aktivitas pendukung pada hal-hal yang berbeda mungkin sulit untuk dijelaskan atau ditentukan. PEMBAHASAN Penentuan Harga Pokok Rawat Inap Menggunakan Activity-Based Costing System Mengidentifikasi dan Mendefinisikan Aktivitas dan Pusat Aktivitas Berdasarkan hasil wawancara dengan bagian keuangan, bagian perawatan, bagian dapur, dan bagian gudang. Aktivitas-aktivitas biaya yang ada diunit rawat inap meliputi: 1. Biaya perawatan 2. Biaya konsumsi pasien 3. Biaya listrik dan air 4. Biaya kebersihan 5. Biaya administrasi 6. Biaya service 7. Biaya Asuransi 8. Biaya penyusutan gedung 9. Biaya penyusutan fasilitas 10. Biaya laundry Aktivitas-aktivitas tersebut dikelompokkan menjadi beberapa pusat aktivitas, yaitu: 1. Aktivitas perawatan pasien - biaya perawat 2. Aktivitas Pemeliharaan inventaris - biaya depresiasi gedung - biaya depresiasi fasilitas - biaya kebersihan 3. Aktivitas pemeliharaan pasien - biaya konsumsi 4. Aktivitas pelayanan pasien - biaya listrik dan air - biaya administrasi 32 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 - biaya bahan habis pakai - biaya asuransi - biaya laundry Berikut ini akan dijelaskan mengenai elemen biaya diatas sebagai berikut: 1. Biaya Perawatan Pasien oleh Perawat Dalam hubungannya dengan penetapan tarif kamar rawat inap, biaya perawatan pasien oleh perawat secara tidak langsung turut mempengaruhi aktifitas bagian rawat inap, maka aktivitas ini termasuk dalam kategori unit level activity cost. Dialokasikan secara profesional pada setiap tipe kamar 2. Biaya Penggunaan Tenaga Listrik Dan Air Seluruh tipe kamar rawat inap rumah sakit memerlukan tenaga listrik untuk menjalankan peralatan elektronik, untuk penerangan kamar atau fasilitas yang ada di masing-masing kamar dan air untuk mandi. Untuk penggunaan listrik dan air termasuk kategori unit level activity cost, karena biaya berubah sesuai dengan perubahan KWH kamar yang terpakai. Fasilitas yang mengkonsumsi listrik meliputi: TV, Kulkas, alat pemanas, lampu. 3. Biaya Konsumsi Pasien yang menjalani rawat inap membutuhkan makanan dan minuman untuk mempercepat penyembuhan pasien, yang termasuk dalam kategori Unit level activity costs, karena tidak tergantung pada lamanya pasien menjalani rawat inap. 4. Biaya Kebersihan Biaya kebersihan adalah biaya dikeluarkan untuk menunjang kebersihan lingkungan rawat inap, sehingga pasien merasa nyaman. Biaya ini termasuk dalam kategori Batch related activity costs. 5. Biaya Administrasi Pelayanan administasi diberikan untuk menunjang kelancaran dalam penyediaan aktivitas sarana dan prasarana. Termasuk kategori batch related activity based costing. 6. Biaya Bahan Habis Pakai Biaya bahan habis pakai adalah biaya yang digunakan oleh perawat untuk pasien, juga paket yang diberikan kepada pasien rawat inap pada hari pertama dirawat di rumah sakit. 7. Biaya Asuransi Keberadaan pasien di kamar rawat inap menyebabkan munculnya biaya asuransi sebagai jaminan kesehatan bagi pasien rawat inap. Termasuk dalam kategori fasility sustaining activity cost. 8. Biaya Penyusutan Gedung/Bangunan Biaya penyusutan bangunan merupakan fasilitiy sustaining activity cost karena seluruh tipe kamar menggunakan bangunan dan pembebanan masing-masing kamar. 9. Biaya Penyusutan Fasilitas Pembebanan penyusutan fasilitas ini berdasarkan masing-masing tipe kamar. Penyusutan fasilitas ini termasuk dalam kategori facility sustaining activity cost karena seluruh tipe kamar menggunakan fasilitas yang ada dalam masingmasing tipe kamar dan pembenannya berdasarkan jumlah hari pakai. Penyusutan 33 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 fasilitas terdiri dari penyusutan TV, AC, Kulkas, Bed, kipas angin, Alat pemanas. 10. Biaya Laundry Aktivitas yang dilakukan untuk menyediakan linen bersih kepada pasien rawat inap seperti sprei, selimut, korden, sarung bantal. Mengklasifikasi Aktivitas Biaya Kedalam Berbagai Aktivitas 1. Berdasarkan Unit-Level Activity Cost Aktivitas ini dilakukan setiap hari dalam menjalani rawat inap pada RSUD kab. Batang. Aktivitas yang termasuk dalam kategori ini adalah aktivitas perawatan, penyediaan tenaga listrik dan air dan biaya konsumsi. 2. Berdasarkan Batch-Related Activity Cost Besar kecilnya biaya ini tergantung dari frekwensi order produksi yang diolah oleh fungsi produksi. Aktivitas ini tergantung pada jumlah batch produk yang di produksi. Yaitu biaya administrasi, biaya bahan habis pakai, biaya kebersihan. 3. Product-Sustaining Activity Cost Aktivitas ini berhubungan dengan penelitian dan pengembangan produk tertentu dan biaya-biaya untuk mempertahankan produk agar tetap dapat dipasarkan. Aktivitas ini tidak ditemui dalam penentuan tarif jasa rawat inap pada RSUD Kab. Batang. 4. Fasilitas-Sustaining Activity Cost Aktivitas ini berhubungan dengan kegiatan untuk mempertahankan fasilitas yang dimiliki oleh perusahaan. Aktivitas yang termasuk dalam kategori ini adalah biaya laundry, biaya asuransi, biaya penyusutan gedung, biaya penyusutan fasilitas. Mengidentifikasi Cost Driver Setelah aktivitas-aktivitas ini diidentifikasi sesuai dengan kategorinya, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi cost driver dari setiap biaya aktivitas. Pengidentifikasian ini dimaksudkan dalam penentuan kelompok aktivitas dan tarif/unit cost driver. Menentukan Tarif Per Unit Cost Driver Setelah mengidentifikasi cost driver, kemudian menentukan tarif per unit cost driver. Karena setiap aktivitasnya memiliki cost driver dengan cara membagi jumlah biaya dengan cost driver. Menurut Hansen and Mowen (1999; 134), tarif per unit cost driver dapat dihitung dengan rumus sbb: Tarif per unit Cost Driver = CostDriverfitas JumlahAkt Membebankan Biaya Ke Produk dengan Menggunakan Tarif Cost Driver dan Ukuran Aktivitas Dalam tahap ini, menurut Hansen and Mowen (1999; 138), biaya aktivitas dibebankan keproduk berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas produk. Pembebanan biaya overhead dari tiap aktivitas ke setiap kamar dihitung dengan rumus sbb: 34 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 BOP yang dibebankan =Tarif/unit Cost Driver x Cost Driver yang dipilih Dengan Mengetahui BOP yang dibebankan pada masing-masing produk, maka dapat dihitung tarif jasa rawat inap per kamar. Menurut Mulyadi (1993) perhitungan tarif masing-masing tipe kamar dengan metode ABC dapat dihitung dengan Rumus sbb: Tarif Per Kamar = Cost Rawat Inap + Laba yang diharapkan Untuk cost rawat inap per kamar diperolehdari total biaya yang telah dibebankan pada masing-masing produk dibagi dengan jumlah hari pakai. Sedangkan laba yang diharapkan ditetapkan pihak manajemen. Perbandingan Metode Akuntansi Biaya Tradisional dengan ABC dalam Penetapan Tarif Jasa Rawat Inap Perbedaan yang terjadi antara tarif jasa rawat inap dengan menggunakan metode tradisional dan metode ABC, disebabkan karena pembebanan biaya overhead pada masingmasing produk. Pada metode akuntansi biaya tradisional biaya overhead pada masingmasing produk hanya dibebankan pada satu cost driver saja. Akibatnya cenderung terjadi distorsi pada pembebanan biaya overhead. Sedangkan pada metode ABC, biaya overhead pada masing-masing produk dibebankan pada banyak cost driver. Sehingga dalam metode ABC, telah mampu mengalokasikan biaya aktivitas kesetiap kamar secara tepat berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas. PENUTUP Pembahasan yang dilakukan oleh penulis maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Perhitungan tarif jasa rawat inap dengan menggunakan metode ABC, dilakukan melalui 2 tahap. Tahap pertama biaya ditelusur ke aktivitas yang menimbulkan biaya dan tahap ke dua membebankan biaya aktivitas ke produk. Sedangkan tarif diperoleh dengan menambahkan cost rawat inap dengan laba yang di harapkan. 2. Dari hasil perhitungan tarif rawat inap dengan menggunakan metode ABC, apabila dibandingkan dengan metode tradisional maka metode ABC memberikan hasil yang lebih besar. Perbedaan yang terjadi antara tarif jasa rawat inap dengan menggunakan metode tradisional dan metode ABC, disebabkan karena pembebanan biaya overhead pada masing-masing produk. Pada metode akuntansi biaya tradisional biaya overhead pada masing-masing produk hanya dibebankan pada satu cost driver saja. Akibatnya cenderung terjadi distorsi pada pembebanan biaya overhead. Sedangkan pada metode ABC, biaya overhead pada masingmasing produk dibebankan pada banyak cost driver. Sehingga dalam metode ABC, telah mampu mengalokasikan biaya aktivitas kesetiap kamar secara tepat berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas. Perhitungan tarif rawat inap dengan menggunakan metode Activity Based-Costing, dengan tetap mempertimbangkan factor-faktor external yang lain seperti tarif pesaing dan kemampuan masyarakat yang dapat mempengaruhi dalam penetapan harga pelayanan rawat inap. 35 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 DAFTAR PUSTAKA Tunggal, Amin Widjaja, Activity Based Costing Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta, 1992 Mulyadi, Akuntansi Manajemen, Konsep, Manfaat dan Rekayasa, Edisi 2, BP STIE YKPN, YK, 1993 Hansen, Don R and Maryanne M Mowen, Akuntansi Manajemen, Edisi 7, Salemba Empat, Jakarta, 2004 ________, Manajemen Biaya, Edisi I, Salemba Empat, Jakarta, 2000 Supriyono, akuntansi Manajemen, Proses Pengendalian Manajemen, STIE YKPN, Yogyakarta, 1991 Sugiri, Slamet, Akuntansi Manajemen, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, AMP YKPN, YK, 1994 Cooper Robin and Kaplan Robert S, The design of Cost Manajement System : Text, Cases and Reading, Prentise-Hall, 1993 Supriyono, R.A, Akuntansi Biaya dan Akuntansi Manajemen Untuk Teknologi maju dan globalisasi, Edisi 2, BPFE, Yogyakarta, 1999 Thomas, Johnson H, Activity-Based Information: A Blue Print For World Class Manajement Accounting, The design Of Cost Manajement System: Text, Cases and Reading, New Jersey, 1991 Sujatmika, Activity Based Costing Alternatif Perbaikan Harga Pokok, Buletin Ekonomi, No. 2, UPN “Veteran” Yogyakarta, April 1997, Hal 81-87. Lumenta, Bunyamin, Pelayanan Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989. 36 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Managements Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 AGENCY THEORY DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS DALAM KONTEKS BUDAYA ASIA Yusnaini Universitas IBA Palembang Abstract This paper explains the conection among agency theory, culture and management control system in asia. Based on few study, Agency theory, in fact cannot generalize implementation in asia cultures. Its because limitation research when explore culture dimension or metodology development. This paper show point of view that eventhogh agency theory can be use to build MCS design but so many cultures factor can effect the agent and pricipal relation in an organization. Keywords : Agency Theory, Culture, Management Control Systems PENDAHULUAN Dalam mencapai tujuan umum organisasi, seringkali terdapat berbagai hambatan. Hambatan tersebut kadangkala diakibatkan oleh tidak sesuainya antara tujuan agent dan principal, baik antara shareholder dengan manajemen maupun antara superior dengan subordinate dalam suatu organisasi (Jensen dan Meckling 1976). Hal ini dapat dijelaskan melalui agency theory. Agency theory memberikan dasar-dasar teoretis dalam banyak penelitian di bidang ekonomi, manajemen, marketing, finance, accounting dan sistem informasi. Teori ini memiliki pengaruh paling besar yang mendasari penelitian di bidang corporate governance dan management control systems di dunia barat (Ekanayake 2004). Dalam budaya barat, agency theory telah memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam memandang masalah goal congruence (Jensen dan Meckling 1976; Eisenhardt 1989). Sayangnya, beberapa penelitian pada budaya Asia masih belum dapat dibuktikan secara konsisten mengeni perspektif agency theory (O’Connor 1997; Salter and Sharp 1997; Taylor 1995). Hal ini dikarenakan sifat dasar agent di antara berbagai budaya berbeda, baik dalam nilai dan norma (Hofstede 1980). Sampai saat ini masih belum terdapat kesimpulan umum di antara para peneliti mengenai perspektif agency theory jika melibatkan unsur budaya dalam memahami hubungan antara agent dan principal. Untuk mengatasi permasalahan akibat hubungan antara agent dan principal tersebut, diperlukan management control systems (MCS) yang merupakan sarana untuk menyelaraskan tujuan antara agent dengan principal. Dengan desain management control system yang tepat, diharapkan akan mampu memahami hubungan (agent dan principal) ini dengan baik sehingga tujuan umum organisasi dapat di capai (Ekanayake 2004). Paper ini berusaha untuk mengangkat fenomena yang telah diuraikan diatas dengan memandang pentingnya desain management control systems dalam mengatasi agency problem. Namun, dengan juga memperhatikan unsur budaya yang sangat mempengaruhi 37 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 agency theory, yang pada akhirnya akan menentukan desain MCS yang tepat dalam mencapai tujuan organisasi. AGENCY THEORY DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS (MCS) Agency theory memfokuskan perhatian pada agency problem yang terjadi ketika terdapat hubungan keagenan antara principal dengan agent. Dalam hal ini principal mendelegasikan wewenangnya kepada agent untuk mengambil keputusan (Anthony dan Govindarajan 2003). Agency problem ini terjadi karena agent memiliki tujuan yang berbeda dengan principal (Jensen dan Meckling, 1976). Premis dari agency theory adalah bahwa agent berprilaku self-interested, risk averse, rational actors yang selalu berusaha less effort (moral hazard) dan adverse selection. Agency theory ini berusaha untuk menyelesaikan dua problem yang berkaitan dengan agency problem, yaitu (1) masalah pengawasan (monitoring) yang timbul karena principal tidak dapat membuktikan apakah agent telah berprilaku secara tepat; (2) masalah pembagian risiko (risk sharing) khususnya dalam kasus pengendalian outcome yang timbul ketika principal dan agent bersikap berbeda mengenai risiko (Eisenhardt 1989). Terdapat dua tipe hubungan antara agent dan principal, yaitu (1) pertama, hubungan antara pemilik perusahaan atau shareholder (the principal) dengan top management (the agent) (Jensen dan Meckling 1976), (2) kedua, hubungan antara top management yang bertindak sebagai principal dengan manager unit sebagai agents (Govindarajan dan Fisher 1990). Beberapa studi yang memperluas konsep hubungan principal-agent pada tipe kedua adalah hubungan antara superior-subordinate, employer-employee, manager-worker (Eisenhardt 1988; Gomez-Mejia dan Balkin 1992). Management control systems (MCS) memiliki tugas penting me-manage hubungan tersebut secara optimal dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi. Perspektif agency dapat memberikan penjelasan langsung mengenai aspek-aspek MCS suatu organisasi (Ekanayake 2004). Aspek tersebut antara lain sistem informasi dan proses informasi, internal control dan audits, pengukuran kinerja dan evaluasi, kompensasi dan insentif. Terdapat implikasi agency theory pada management control, yaitu, pertama, prilaku selfinterest agen dapat di monitor melalu sistem informasi. Kedua, kompensasi dan insentif dapat menjadi alat untuk menyelaraskan motivasi agen dengan tujuan organisasi. Ketiga, kondisi ketidakpastian dan pertimbangan risiko yang dijelaskan agency theory memerlukan perhatian mengenai sistem pengendalian. Samson Ekanayake (2004), mengemukakan bahwa esensi dari perspektif agency adalah sebagai alat untuk memonitor agen dan mengevaluasi kinerja dan penghargaan. Terdapat empat pertanyaan mendasar yang dihadapi oleh desainer MCS dan untuk mengidentifikasi bagaimana agency theory memberikan kontribusi yang tinggi dalam memahami dan memberikan jalan keluar dari beberapa pertanyaan tersebut. Pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: Behaviour Control or Output Control? Terdapat kelebihan dan kekurangan dalam mengendalikan agen. Ketika principal lebih menekankan pada control output, baik principal maupun agent dapat mengamati outcomes yang dihasilkan namun effort yang digunakan oleh agen hanya dapat diketahui oleh agen saja sedangkan principal tidak dapat mengetahuinya. Sedangkan ketika mengendalikan prilaku dalam memonitor effort agen, hal ini tidak memuaskan bagi agen dan dapat menimbulkan masalah moral hazard dan adverse selection. Masalah moral 38 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 hazard dapat dihubungkan dengan monitoring (sistem informasi), outcome control (kontrak berdasar outcome), insentif (compensation schemes). Dalam hal masalah adverse selection, principal dapat memilih agen dengan level of skill yang tepat selain level of effort yang tepat juga. In Designing Compensation and Incentives Schemes Dalam memonitor kinerja, ketika tugas sangat terprogram, agency theory menduga bahwa hal itu akan berhubungan positif dengan penggunaan kompensasi berdasarkan prilaku (fixed salary) dan berhubungan negatif dengan penggunaan kontrak berbasis outcome (variable pay). Namun ketika tugas sangat tidak terprogram, tidak ada cara lain selain mengawasi perilaku agen melalui penilaian outcomes. Sejalan dengan agency theory, perspektif ekonomi pada pengendalian organisasi umumnya mendukung penggunaan performance-contingency pay. Agency theory menentukan penggunaan insentif kinerja ketika principal tidak dapat mengamati tindakan agent. Management Information Systems Pertanyaan penting mengenai management information systems adalah: bagaimana sistem yang komprehensif seharusnya memberikan informasi bisa menjadi sangat mahal? Bagaimana seharusnya informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi dan prosedur akuntansi (budgeting systems, monitoring systems, variance investigation systems, cost allocation systems, responsibility accounting systems dan transfer pricing systems) dapat dimasukkan ke dalam kontrak kerja untuk membatasi agency problem (Baiman 1990)? Haruskan pilihan sistem monitoring (seperti metode pelaporan) dapat didelegasikan kepada agent (Baiman 1990)? Agency theory (transaction cost economic’s) mengimplikasikan bahwa ketidakmampuan untuk memiliki kontrak yang lengkap dapat meningkatkan prosedur pengelolaan (management control systems) sebagai suatu mekanisme untuk membatasi prilaku opportunistik agent. Dengan demikian, aturan sistem informasi manajemen menjadi bagian dari prosedur pengelolaan yaitu untuk memonitor prilaku self-interested agent. Performance evaluation Jika agen berprilaku risk averse, evaluasi kinerja berdasar tanggung jawab akuntansi dan kompensasi mungkin tidak menjadi optimal sebagaimana meninggalkan risiko (mengutamakan pencapaian outcome) bagi agen. Meskipun tanggungjawab akuntansi secara luas di terima dalam literatur akuntansi, agency theory berpendapat bahwa agen seharusnya hanya bertanggungjawab untuk berusaha menggunakan skill yang ada. Satu pesan penting dari agency theory mengenai MCS adalah bahwa evaluasi saja tidak cukup untuk memperoleh perilaku yang diinginkan dari agen, tetapi evaluasi yang dilakukan bersamaan dengan reward dapat lebih berarti. 39 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 AGENCY THEORY DALAM KONTEKS BUDAYA ASIA Faktor budaya dapat mempengaruhi perilaku organisasional secara mendalam meskipun individu seringkali kurang menyadari dampaknya. Kebanyakan peneliti tidak memperhitungkan dampak nilai-nilai yang telah sangat tertanam ini, sehingga banyak aspek dari teori-teori organisasi yang dihasilkan pada budaya yang satu tidak sesuai jika diterapkan dalam budaya lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai teori-teori dari Amerika yang didasarkan atas budaya Barat apakah dapat dijadikan teori yang universal. Oleh karenanya, banyak peneliti yang memandang perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengintegrasikan teori yang bersifat lintas budaya dalam usaha untuk membentuk rerangka yang integratif (Boyacigiler dan Adler 1991). Meskipun agency theory dapat menangkap sifat agen-agen pada budaya Barat, namun dalam budaya yang berbeda, hal itu belum tentu sesuai dengan budaya di luar budaya Barat (Ekanayake 2004). Dengan demikian, timbul pertanyaan apakah sifat-sifat agen memiliki kesamaan dalam lintas budaya. Secara fundamental, hal ini penting diperhatikan dalam upaya penerapan agency theory secara universal. Hofstede (1980) meneliti keterkaitan norma dan nilai pada agen (karyawan, subordinate dan manager) yang berbeda di antara berbagai budaya, hal ini memberikan pemahaman bahwa sifat dasar agen-agen berbeda sesuai dengan budayanya masing-masing. Dalam konteks Asia, terdapat beberapa penelitian yang secara tidak langsung memberikan dukungan yang besar bahwa terdapat jarak yang jauh antara sifat agen-agen pada budaya Barat dengan budaya Asia. Terdapat juga sejumlah penelitian yang secara langsung menguji agency theory dalam konteks budaya yang berbeda. Taylor (1995) dalam Ekanayake (2004) menggunakan multi-paradigm (contingency, agency dan cultural) sebagai kerangka konseptual yang menguji prilaku yang berkaitan dengan Anggaran dalam setting multi budaya. Variabel agency yang digunakan adalah information asymmetry dan outcome-based compensation schemes. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan diantara lintas budaya mengenai asumsi yang mendasari agency theory dalam prilaku berkaitan dengan anggaran. Taylor mengemukakan bahwa keefektifan sub sistem pengendalian tradisional seperti partisipasi anggaran, penekanan pada budget dan pola kompensasi, hanya sesuai untuk kelompok Barat dan tidak tepat untuk kelompok China. Sharp dan Salter (1997), menguji universalitas agency theory dan prospect theory dalam menjelaskan keputusan eskalasi komitment untuk proyek yang rugi. Studi ini menggunakan dimensi individualism/collectivism dan loyal versus utilitarian. Hasilnya menunjukkan bahwa manajer Asia lebih berani mengambil risiko dibanding manajer Amerika Utara bila membuat keputusan yang bersifat keuntungan jangka panjang bagi perusahaan, tetapi manajer Asia kurang berani mengambil risiko pada keputusan yang melibatkan keuntungan finansial jangka pendek. Manajer Asia mungkin mempunyai orientasi jangka panjang dari manajer Amerika Utara dalam membuat keputusan. Teori agensi mempunyai explanatory power yang kuat di Amerika Utara, tetapi tidak mempunyai explanatory power pada sampel Asia. Efek pembingkaian signifikan pada kedua kelompok sampel dan tidak signifikan berbeda O’Connor dan Ekanayake (1997, 1998) menguji perbedaan dalam penggunaan Anggaran (sebagai pengendali output) dalam mengevaluasi kinerja manager subordinat di Australia, Singapore, South Korea dan Sri Lanka. Hofstede (1980) mengemukakan dimensi budaya seperti power distance, individualism dan uncertainty avoidance telah digunakan untuk mengukur budaya dan mengembangkan hipotesis. Hasilnya secara 40 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 empiris mendukung ekspektasi teoretis bahwa penekanan pada anggaran dalam mengevaluasi kinerja cukup rendah pada sampel Asia, hal ini mengindikasikan rendahnya pengaruh agency dalam budaya Asia. Dari beberapa tinjauan literatur mengenai agency theory dalam perspekstif budaya, dapat dikatakan bahwa agency theory belum dapat sepenuhnya berlaku secara universal. Faktor budaya yang sangat berbeda antara dunia Barat dan Timur telah mempengaruhi prilaku agen-agen dalam bertindak. Dengan demikian, hasil-hasil penelitian yang mengambil setting di luar Asia tidak dapat berlaku secara umum, sehingga agency problem yang terjadi dalam suatu organisasi juga memiliki level dan pola yang bervariasi sesuai dengan budaya dimana mereka berinteraksi dalam organisasi. PERAN BUDAYA TERHADAP DESAIN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS Dalam pengembangan body of reasearch pada tahun-tahun terakhir ini telah diarahkan pada pemahaman mengenai hubungan antara budaya dan desain managemenet control systems (MCS) di negara-negara yang berbeda (Harrison dan McKinnon 1999). Dengan adanya peningkatan globalisasi, telah memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mengembangkan operasi secara internasional. Hal ini membawa pada pertanyaan apakah desain MCS yang ada pada perusahaan saat ini sudah cukup baik dan sesuai dengan lingkungan global tersebut atau apakah seharusnya mendesain kembali MCS agar sesuai dengan budaya negara-negara tujuan operasi perusahaan. Desain MCS merupakan issu utama dalam riset-riset akuntansi selama beberapa tahun. Namun sayangnya mayoritas penelitian-penelitian ini hanya ditekankan pada satu negara saja, meskipun telah di akui bahwa unsur budaya sangat penting. Harrison dan McKinnon (1999) mereview penelitian-penelitian mengenai management control system (MCS) dalam lintas budaya mulai dari tahun 1980, dalam upaya untuk memberikan pemahaman mengenai pengaruh budaya terhadap desain MCS, dan untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan metodologikal riset-riset tersebut untuk memberi arahan pada riset-riset mendatang. Hasilnya menunjukkan bahwa penelitianpenelitian lintas budaya ini terlalu menyederhanakan konsep budaya dan perbedaan mereka dalam hal metodologis dalam penelitian memberikan hasil yang berbeda pula. Beberapa penelitian yang ada telah menunjukkan adanya hubungan antara desain MCS dengan budaya, baik yang mendukung atau menentang bahwa budaya dapat memberikan pengaruh terhadap desain MCS. Berbagai perbedaaan hasil penelitian ini di duga tergantung pada originalitas dari peneliti. Analisis yang dilakukan Harrison dan McKinnon (1999) menunjukkan perbedaan hasil penelitian ini karena beberapa hal berikut, yaitu, pertama, tingginya variasi karakteristik MCS dan organisasi yang telah di uji. Meskipun karakteristik MCS beberapa studi sama, namun definisi operasional dari karakterisitiknya seringkali bervariasi atau ketidakcukupan definisi secara umum. Seperti contoh karakteristik MCS mengenai formalization/rules dengan prosedur, yang dioperasionalisasikan secara berbeda dalam berbagai penelitian. Kedua, perbedaan dimensi budaya yang digunakan memberikan perbedaan studi dalam mendukung hubungan antara budaya-MCS. Meskipun dimensi budaya yang digunakan sama, kadangkala perbedaan teori dapat memberikan arti yang berbeda pula. Ketiga, meskipun metode survey kuesioner mendominasi studi-studi tersebut, perbedaan ukuran sampel, managerial level dan lokasi responden serta variabel control yang digunakan membuat sulit dalam menilai convergen dan perbedaan hasil penelitian. 41 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Penelitian yang dilakukan Chow et al. (1991) menggunakan eksperimental studi, menekankan pada dimensi individualism (IDV) mengenai workflow dan pay interdependence di Singapore dan US. Hasilnya menunjukkan IDV merupakan dimensi yang paling relevan untuk karakteristik MCS. Frucot dan Winston (1991) melakukan penelitian pada partisipasi budget untuk menguji hasil Brownell’s (1982) mengenai partisipasi di antara manager US. Mereka menghipotesiskan bahwa hasil Brownell’s tidak bisa digeneralisir untuk Mexico, dengan alasan bahwa rangking power distance (PD) dan uncertainty avoidance (UA) di Mexico lebih tinggi dibandingkan US (menurut Hofstede 1980). Rangking ini juga dihubungkan dengan autokrasi, rule-based organization dan rendahnya partisipasi. Hasilnya bertentangan dengan yang mereka perkirakan. Meskipun hasil ini menduga bahwa beberapa pengaruh budaya terjadi pada level managerial dan firm ownership subsets pada sampel mereka, penemuan mereka menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh budaya, dan hasil Brownell’s tidak bisa digeneralisir untuk Mexico. Birnbaum dan Wong (1985) menggunakan dimensi Hofstede’s uncertainty avoidance (UA) untuk menghipotesiskan bahwa Hong Kong mengacu pada rendahnya level horizontal differentiation dibandingkan US. Hipotesis ini di dasari oleh Hofstede (1980) yang menemukan bahwa para pekerja di Hong Kong memiliki preferensi yang kuat pada level UA yang rendah, dimana hal berhubungan dengan rendahnya level horizontal differentiation. Hasilnya menunjukkan gagal dalam mendukung hipotesis mereka. Hal ini dikarenakan pilihan hipotesis mereka hanya didasarkan pada penemuan Hofstede saja tanpa berusaha mempertimbangkan atribut budaya lainnya. Lincoln et al. (1981), menemukan bahwa level horizontal differentiation di Jepang cukup rendah, dimana UA tinggi. Birnbaum dan Wong menghipotesiskan bahwa rendahnya level of horizontal differentiation di Hong Kong karena UA juga rendah. Kebanyakan penelitian difokuskan pada masyarakat di Anglo-American (khususnya US dan Australia) dan dibandingkan dengan Asia (Jepang, Singapore, Hong Kong). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan substansial pada power distance (PD), individualism (IDV) dan uncertainty avoidance (UA). Cluster pada Anglo_ameria memiliki tipe lebih tinggi pada IDV dan rendah pada PD dibandingkan Asia, studi-studi cenderung untuk mengasumsikan IDV dan PD memiliki nilai yang sama untuk masing-masing negara (Harrison 1992). Dampak nilai budaya ditentukan oleh centralitas mereka di dalam sistem nilai dari setting budaya. Mereka membedakan konsep nilai sebagai core dan peripheral yang dapat menjelaskan perbedaan penemuan dari penelitian-penelitian budaya pada MCS. Ucno dan Sekaran (1992) menggunakan enam budget control yang digunakan dalam perusahaan manufaktur di Jepang dan USA. Dihipotesiskan bahwa empat dari enam yang digunakan di USA, yaitu (1) komunikasi formal dan koordinasi dalam proses perencanaan budget, (2) adanya slack pada budget, (3) pengendalian pada budget secara luas, (4) menggunakan evaluasi jangka panjang sampai perluasan terkecil. Dua hipotesis yang diajukan bahwa perusahaan Jepang menyusun proses perencanaan budget mereka dan menggunakan waktu yang panjang dalam prosesnya sangat luas digunakan dibandingkan perusahaan-perusahaan di Amerika, tidak terdukung. Empat premis mengenai perbedaan IDV antara Jepang dan USA terdukung, sedangkan dua premis mengenai perbedaan dalam UA tidak terdukung. Nilai central dalam suatu budaya memiliki implikasi pada perusahaan multinasional, sehingga diperlukan modifikasi atas MCS domestik yang seharusnya disesuaikan dengan negara asing dimana perusahaan akan beroperasi. Penelitian Chow et al. (1996) memberikan bukti bahwa yang mendukung asumsi tersebut. Dalam studi mereka 42 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 digunakan delapan karakteristik MCS pada perusahaan Jepang dan USA yang beroperasi di Taiwan. Organisasi yang beroperasi di sana secara substansial memodifikasi MCS mereka untuk menyesuaikan dengan budaya Taiwan yang berbeda. Sedangkan O’Connor (1995) menemukan bukti dari perusahaan yang memodifikasi budaya mikrokosmik budaya organisasi melalui selection, sosialisasi dan pelatihan. Hal ini tidak konsisten dengan penemuan Chow et al. (1996), terlebih lagi hal itu menduga bahwa organisasi memiliki pilihan untuk memodifikasi, pilihan tersebut tergantung pada cost modifikasi budaya organisasi atau memodifikasi MCS pada budaya yang berbeda. Dari beberapa penelitian diatas, dapat dirasakan adanya beberapa kelemahan yang ada pada penelitian-penelitian yang menguji pengaruh budaya terhadap desain MCS. Hal ini dapat di lihat dari perbedaan-perbedaan hasil-hasil temuan dari beberapa peneliti meskipun karakteristik dan faktor budaya yang digunakan adalah sama. Harrison dan McKinnon (1999) menyebutkan empat kelemahan penelitian lintas budaya di bidang sistem pengendalian manajamen yaitu (1) gagal mempertimbangkan totalitas domain budaya; (2) tendensi tidak mempertimbangkan intensitas diferensial dari norma dan nilai lintas nasional; (3) tendensi memperlakukan budaya secara simplistis dengan hanya menggunakan kumpulan terbatas dari dimensi agregat; (4) terlalu mengandalkan konsepsi budaya yang terbatas. AGENCY THEORY, BUDAYA DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS (MCS) Dari uraian literatur yang telah dijabarkan diatas, dapat dilihat adanya hubungan yang kuat antara agency theory dan faktor budaya dengan desain management control systems (MCS). Agency theory dapat menjelaskan adanya masalah agency dalam hubungan agen dan principal. Untuk mengatasi permasalahan akibat hubungan antara agent dan principal tersebut, diperlukan management control systems (MCS) yang merupakan sarana untuk menyelaraskan tujuan antara agent dengan principal. Dengan desain management control system yang tepat, diharapkan akan mampu memahami hubungan (agent dan principal) ini dengan baik sehingga tujuan umum organisasi dapat di capai (Ekanayake 2004). Ekanayake (2004), mengemukakan bahwa esensi dari perspektif agency adalah sebagai alat untuk memonitor agen dan mengevaluasi kinerja dan penghargaan. Agency theory dapat menangkap sifat agen-agen pada budaya Barat, namun dalam budaya yang berbeda, hal itu belum tentu sesuai dengan budaya di luar budaya Barat (Ekanayake 2004). Dengan demikian, timbul pertanyaan apakah sifat-sifat agen memiliki kesamaan dalam lintas budaya. Secara fundamental, hal ini penting diperhatikan dalam upaya penerapan agency theory secara universal. Hofstede (1980) meneliti keterkaitan norma dan nilai pada agen (karyawan, subordinate dan manager) yang berbeda di antara berbagai budaya, hal ini memberikan pemahaman bahwa sifat dasar agen-agen berbeda sesuai dengan budayanya masing-masing. Dari beberapa tinjauan literatur mengenai agency theory dalam perspekstif budaya, dapat dikatakan bahwa agency theory belum dapat sepenuhnya berlaku secara universal. Faktor budaya yang sangat berbeda antara dunia Barat dan Timur telah mempengaruhi prilaku agen-agen dalam bertindak. Dengan demikian, hasil-hasil penelitian yang mengambil setting di luar Asia tidak dapat berlaku secara umum, sehingga agency problem yang terjadi dalam suatu organisasi juga memiliki level dan pola yang bervariasi sesuai dengan budaya dimana mereka berinteraksi dalam organisasi (Taylor 1995; Sharp dan Salter 1997; O’Connor dan Ekanayake 1997, 1998). 43 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Beberapa penelitian yang ada telah menunjukkan adanya hubungan antara desain MCS dengan budaya, baik yang mendukung atau menentang bahwa budaya dapat memberikan pengaruh terhadap desain MCS (Chow et al. 1991; Harrison 1992). Berbagai perbedaaan hasil penelitian ini di duga tergantung pada originalitas dari peneliti. Dari beberapa penelitian diatas, dapat dirasakan adanya beberapa kelemahan yang ada pada penelitian-penelitian yang menguji pengaruh budaya terhadap desain MCS. Hal ini dapat di lihat dari perbedaan-perbedaan hasil-hasil temuan dari beberapa peneliti meskipun karakteristik dan faktor budaya yang digunakan adalah sama. Harrison dan McKinnon (1999) menyebutkan empat kelemahan penelitian lintas budaya di bidang sistem pengendalian manajamen yaitu (1) gagal mempertimbangkan totalitas domain budaya; (2) tendensi tidak mempertimbangkan intensitas diferensial dari norma dan nilai lintas nasional; (3) tendensi memperlakukan budaya secara simplistis dengan hanya menggunakan kumpulan terbatas dari dimensi agregat; (4) terlalu mengandalkan konsepsi budaya yang terbatas. PENUTUP Agency theory yang merupakan teori yang paling berpengaruh dalam memahami hubungan antara agent dan principal ternyata memang sangat tepat dan telah teruji di dunia barat. Namun ketika teori ini diterapkan pada budaya yang berbeda maka hasilnya juga tidak konsisten sebagaimana hasil yang di peroleh pada asal teori ini ditemukan. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa faktor budaya sangat berperan dalam menentukan suatu hubungan antara agent dan principal. Ketidakkonsistenan hasil pengujian agency theory pada budaya yang berbeda akan memberikan suatu tantangan tertentu bagi organisasi dalam mendesain sistem pengendalian manajemen yang dipercaya mampu mengatasi agency problem atas hubungan principal dan agent. Beberapa penelitian juga memberikan petunjuk bahwa faktor budaya juga sangat berpengaruh dalam penentuan desain MCS. Namun review penelitian yang dilakukan oleh Harrison dan McKinnon (1999) menjawab bahwa penelitian-penelitian yang memasukkan unsur pengaruh budaya terhadap desain MCS, memiliki 4 keterbatasan baik pada dimensi maupun metodologi seperti yang telah dikemukakan diatas. Dengan demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara budaya, agency theroy dan management control systems (MCS). Namun peran budaya dalam konteks Asia masih memerlukan penelitian-penelitian lebih jauh untuk menggeneralisir hasil-hasil penemuan di budaya Barat. DAFTAR PUSTAKA Anthony, Robert and Vijay Govindarajan. 2003. Management Control System. 11th Edition: Irwin McGraw Hill. Baiman, S. 1990. Agency Research in Managerial Accounting: A second look. Accounting Organizations and Society. Vol. 15. No. 4 Pp: 314-371. Boyacigiler, N.A., and Adler, N. 1991. The Parochial Dinosaur: Organization Science in A Global Context. Academy of Management Review. Pp: 262-290. 44 JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS) Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia VOL. 1 NO. 1 JANUARI 2011 Brownell, P. 1982. A Field Study Examination of Budgetary Participation and Locus of Control. The Accounting Review. Vol. 56 (4). Pp: 844-860. Chow, C. and Y. Kato, K. Merchant. 1996. The Use of Organizational Controls and Their Effects on Data Manipulation and Management Myopia: A Japan vs. U.S. comparison. Accounting, Organizations and Society. Vol. 21. pp.175 - 192. Eisenhardt. 1989. Agency theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review. Vol. 14 No. 1. Pp: 57-74. Ekanayake, Samson. 2004. Agency Theory, National Culture and Management Control Systems. Journal of American Academy of Business. Vol. 4. Pp: 49-54. Frucot, Veronique and Shearon Winston T. 1991. Budgetary Participation, Locus of Control and Mexican Managerial Performance and Job Satisfaction. The Accounting Review. January. Pp: 80-89. Gomez-Mejia, L. and Balkin, D. 1992. The Determinants of Faculty Pay: An Agency Theory Perspective. Academy of Management Journal. Vol. 35. Pp: 921-955. Govindarajan, V and Fisher J. 1990. Strategy, Control Systems and Resource. Sharing: Effects on Bussiness Unit Performance. Academy of Management Journal. Vol. 33 Issue 3. Pp 259-285. Harrell, A. and P. Harrison. 1994. An Incentive To Shirk, Privately-Held Information, and Managers Project Evaluation Decisions. Accounting, Organizations and Society. Vol. 19 pp: 569 - 577. Harrison, G.L., and J. McKinnon. 1999. Cross-Cultural Research in Management Control Systems Design: A Review of The Current State. Accounting, Organizations and Society. Vol. 24 pp.483 - 506. Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequences: International Differences in Work Related Value . Newbury Park, CA: Sage. Jensen dan Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure. Journal of Financial Economics. Vol: 3. Pp: 305-360. O’Connor N.G. 1997. Patterns of Cultural and Budgetary Controls in International Joint Ventures in South Korea, Asian Review of Accounting. Pp. 1-20. Salter, Stephen B. dan David J. Sharp. 1997. Agency Effects and Escalation of Commitment: do Small National Culture Differences Matter?. The International Journal of Accounting. Vol. 36. Issue 1. Pp: 33-45. 45