penerapan metode activity-based costing system dalam

advertisement
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
PENERAPAN METODE ACTIVITY-BASED COSTING SYSTEM
DALAM MENENTUKAN HARGA
Marismiati
Politeknik PalComTech Palembang
Abstract
Activity based costing is a method that applies the concepts of accounting activities to
produce the product cost price calculation more accurate. This paper describes the
basic concept of activity based costing and comparing it with the method of
determining the cost of traditional products. Furthermore, this paper also explained
about the benefits and advantages for determining cost based on activity.
The main purpose of this paper is to discuss about the implementation of ABC in
service firms. Characteristics of different services firm by appointing a different
treatment in determining the cost of production. The author presents a discussion
about how to identify and define ABC on service companies. Thus the allocation of the
cost of the activity in every hospital room can be calculated precisely based on the
consumption of each activity.
Keywords : Activity Based Costing, Cost Of Good Sold, Service Company
PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi dan ditunjang perkembangan dunia usaha yang semakin pesat
mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu
strategi dalam usaha menarik konsumen. Persaingan tersebut tidak hanya persaingan bisnis
dibidang manufaktur/industri tetapi juga dibidang usaha pelayanan jasa.
Dalam menentukan harga pokok produk masih menggunakan akuntansi biaya
tradisional. Dimana Sistem tersebut tidak sesuai dengan lingkungan pemanufakturan yang
maju, pada diversifiksi (keanekaragaman) produk yang tinggi (Bunyamin Lumenta, 1989).
Biaya produk yang dihasilkan oleh sistem akuntansi biaya tradisional memberikan
informasi biaya yang terdistorsi. Distorsi timbul karena adanya ketidakakuratan dalam
pembebanan biaya, sehingga mengakibatkan kesalahan penentuan biaya, pembuatan
keputusan, perencanaan, dan pengendalian (Supriyono, 1999: 259). Distorsi tersebut juga
mengakibatkan undercost/overcost terhadap produk (Hansen & Mowen, 2005).
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kemudian pada tahun 1800-an dan awal
1900-an lahirlah suatu sistem penentuan harga pokok produk berbasis aktivitas yang
dirancang untuk mengatasi distorsi pada akuntansi biaya tradisional. Sistem akuntansi ini
disebut Activit-Based Costing. Definisi metode Activity-Based Costing (ABC) merupakan
suatu sistem kalkulasi biaya yang pertama kali menelusuri biaya keaktivitas dan kemudian
keproduk (Hansen & Mowen, 1992).
22
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Perbedaan utama penghitungan harga pokok produk antara akuntansi biaya
tradisional dengan ABC adalah jumlah cost driver (pemicu biaya) yang digunakan. Dalam
sistem penentuan harga pokok produk dengan metode ABC menggunakan cost driver
dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dalam sistem akuntansi biaya tradisional yang
hanya menggunakan satu atau dua cost driver berdasarkan unit.
Dalam metode ABC, menganggap bahwa timbulnya biaya disebabkan oleh adanya
aktivitas yang dihasilkan produk. Pendekatan ini menggunakan cost driver yang berdasar
pada aktivitas yang menimbulkan biaya dan akan lebih baik apabila diterapakan pada
perusahaan yang menghasilkan keanekaragaman produk.
Metode ABC dinilai dapat mengukur secara cermat biaya-biaya yang keluar dari setiap
aktivitas. Hal ini disebabkan karena banyaknya cost driver yang digunakan dalam
pembebanan biaya overhead, sehingga dalam metode ABC dapat meningkatkan ketelitian
dalam perincian biaya, dan ketepatan pembebanan biaya lebih akurat.
LANDASAN TEORI
Pengertian Activity-Based Costing
Activity Based Costing merupakan metode yang menerapkan konsep-konsep
akuntansi aktivitas untuk menghasilkan perhitungan harga pokok produk yang lebih
akurat. Namun dari perspektif manajerial, sistem ABC menawarkan lebih dari sekedar
informasi biaya produk yang akurat akan tetapi juga menyediakan informasi tentang biaya
dan kinerja dari aktivitas dan sumber daya serta dapat menelusuri biaya-biaya secara
akurat ke objek biaya selain produk, misalnya pelanggan dan saluran distribusi.
Pengertian akuntansi aktivitas menurut Amin Widjaja (1992; 27) adalah :
“Bahwa ABC Sistem tidak hanya memberikan kalkulasi biaya produk yang lebih
akurat, tetapi juga memberikan kalkulasi apa yang menimbulkan biaya dan
bagaimana mengelolanya, sehingga ABC System juga dikenal sebagai sistem
manajemen yang pertama.”
Sedangakan menurut Mulyadi (1993:34) memberikan pengertian ABC sebagai berikut :
“ABC merupakan metode penentuan HPP (product costing) yang ditujukan untuk
menyajikan informasi harga pokok secara cermat bagi kepentingan manajemen,
dengan mengikursecara cermat konsumsi sumber daya alam setiap aktivitas yang
digunakan untuk menghasilkan produk.”
Pengertian ABC Sistem yang lain juga dikemukakan oleh Hansen and Mowen (1999:
321) sebagai berikut :
“Suatu sistem kalkulasi biaya yang pertama kali menelusuri biaya ke aktivitas
kemudian ke produk.”
Pengertian akuntansi aktivitas menurut Brimson (1991: 47) adalah:
“Suatu proses pengumpulan dan menelusuri biaya dan data performan terhadap
suatu aktivitas perusahaan dan memberikan umpan balik dari hasil aktual terhadap
biaya yang direncanakan untuk melakukan tindakan koreksi apabila diperlukan.”
Definisi lain dikemukakan oleh Garrison dan Norren (2000: 292) sebagai berikut:
23
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
“Metode costing yang dirancang untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer
untuk keputusan strategik dan keputusan lainnya yang mungkin akan
mempengaruhi kapasitas dan juga biaya tetap.”
Konsep-Konsep Dasar Activity Based Costing
Activity Based Costing Sistem adalah suatu sistem akuntansi yang terfokus pada
aktifitas-aktifitas yang dilakukan untuk menghasilkan produk/jasa. Activity Based Costing
menyediakan informasi perihal aktivitas-aktivitas dan sumber daya yang dibutuhkan untuk
melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut. Aktivitas adalah setiap kejadian atau transaksi
yang merupakan pemicu biaya (cost driver) yakni, bertindak sebagai faktor penyebab
dalam pengeluaran biaya dalam organisasi. Aktivitas-aktivitas ini menjadi titik
perhimpunan biaya. Dalam sistem ABC, biaya ditelusur ke aktivitas dan kemudian ke
produk. System ABC mengasumsikan bahwa aktivitas-aktivitaslah, yang mengkonsumsi
sumber daya dan bukannya produk.
Gambar 1. Konsep Dasar Activity Based Costing
Resources
Process View
Cost Driver
Activities
Performance
Cost Object
Sumber: Hansen, Don .R. dan Maryanne, M. Mowen, 2005
Perbandingan Biaya Produk Tradisional dan ABC
Metode ABC memandang bahwa biaya overhead dapat dilacak dengan secara
memadai pada berbagai produk secara individual. Biaya yang ditimbulkan oleh cost driver
berdasarkan unit
adalah biaya yang dalam metode tradisional disebut sebagai biaya variabel.
Metode ABC memperbaiki keakuratan perhitungan harga pokok produk dengan
mengakui bahwa banyak dari biaya overhead tetap bervariasi dalam proporsi untuk
berubah selain berdasarkan volume produksi.
Dengan memahami apa yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat dan
menurun, biaya tersebut dapat ditelusuri kemasing-masing produk. Hubungan sebab akibat
ini memungkinkan manajer untuk memperbaiki ketepatan kalkulasi biaya produk yang
dapat secara signifikan memperbaiki pengambilan keputusan (Hansen dan Mowen, 1999:
157-158)
Digambarkan dalam tabel, perbedaan antara penentuan harga pokok produk tradisional dan
sistem ABC, yaitu:
24
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Tabel 1. Perbedaan Penetapan Harga Pokok Produk Tradisional
dengan Metode Activity Based Costing
Metode Penentuan
Metode
Harga Pokok Produk
Activity Based Costing
Tradisional
Tujuan
Inventory level
Product Costing
Lingkup
Tahap produksi
Tahap desain, produksi, Tahap
pengembangan
Fokus
Biaya
bahan
baku, Biaya overhead
tenaga kerja langsung
Periode
Perode akuntansi
Daur hidup produk
Teknologi yang digunakan Metode manual
Komputer telekomunikasi
Sumber : Mulyadi 1993A
Ada dua hal mendasar yang harus dipenuhi sebelum kemungkinan penerapan metode ABC,
yaitu (Supriyono, 2002: 247)
1. Biaya berdasarkan non unit harus merupakan prosentase yang signifikan dari biaya
overhead. Jika hanya terdapat biaya overhead yang dipengaruhi hanya oleh volume
produksi dari keseluruhan overhead pabrik maka jika digunakan akuntansi biaya
tradisionalpun informasi biaya yang dihasilkan masih akurat sehingga penggunaan
sisitem ABC kehilangan relevansinya. Artinya Activity Based Costing akan lebih
baik diterapkan pada perusahaan yang biaya overheadnya tidak hanya dipengaruhi
oleh volume produksi saja.
2. Rasio konsumsi antara aktivitas berdasarkan unit dan berdasarkan non unit harus
berbeda Jika rasio konsumsi antar aktivitas sama, itu artinya semua biaya overhead
yang terjadi bisa diterangkan dengan satu pemicu biaya. Pada kondisi ini
penggunaan system ABC justru tidak tepat karena sistem ABC hanya dibebankan ke
produk dengan menggunakan pemicu biaya baik unit maupun non unit (memakai
banyak cost driver). Apabila berbagai produk rasio konsumsinya sama, maka
sistem akuntansi biaya tradisional atau sistem ABC membebankan biaya overhead
dalam jumlah yang sama. Jadi perusahaan yang produksinya homogen
(diversifikasi paling rendah) mungkin masih dapat mengunakan sistem tradisional
tanpa ada masalah.
3. Pembebanan Biaya Overhead pada Activity-Based Costing
Pada Activity-Based Costing meskipun pembebanan biaya-biaya overhad pabrik
dan produk juga menggunakan dua tahap seperti pada akuntansi biaya tradisional,
tetapi pusat biaya yang dipakai untuk pengumpulan biaya-biaya pada tahap pertama
dan dasar pembebanan dari pusat biaya kepada produk pada tahap kedua sangat
berbeda dengan akuntansi biaya tradisional (cooper, 1991:269-270).
Activity-Based costing menggunakan lebih banyak cost driver bila dibandingkan
dengan sistem pembebanan biaya pada akuntansi biaya tradisional.
Sebelum sampai pada prosedure pembebanan dua tahap dalam Activity-Based Costing
perlu dipahami hal-hal sebagai berikut:
1. Cost Driver adalah suatu kejadian yang menimbulkan biaya. Cost Driver
merupakan faktor yang dapat menerangkan konsumsi biaya-biaya overhead.
25
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Faktor ini menunjukkan suatu penyebab utama tingkat aktivitas yang akan
menyebabkan biaya dalam aktivitas-aktivitas selanjutnya.
2. Rasio konsumsi adalah proporsi masing-masing aktivitas yang dikonsumsi oleh
setiap produk, dihitung dengan cara membagi jumlah aktivitas yang dikonsumsi
oleh suatu produk dengan jumlah keseluruhan aktivitas tersebut dari semua jenis
produk.
3. Rasio Konsumsi adalah proporsi masing-masing aktivitas yang dikonsumsi oleh
setiap produk, dihitung dengan cara membagi jumlah aktivitas yang dikonsumsi
oleh suatu produk dengan jumlah keseluruhan aktivitas tersebut dari semua jenis
produk.
4. Homogeneous Cost Pool merupakan kumpulan biaya dari overhead yang variasi
biayanya dapat diartikan dengan satu pemicu biaya saja, atau untuk dapat disebut
suatu kelompok biaya yang homogen, aktivitas-aktivitas overhead produk.
Prosedure Pembebanan Biaya Overhead dengan Sistem ABC
Menurut Mulyadi (1993: 94), prosedure pembebanan biaya overhead dengan sisitem
ABC melalui dua tahap kegiatan:
a. Tahap Pertama
Pengumpulan biaya dalam cost pool yang memiliki aktifitas yang sejenis atau homogen,
terdiri dari 4 langkah :
1. Mengidentifikasi dan menggolongkan biaya kedalam berbagai aktifitas.
2. Mengklasifikasikan aktifitas biaya kedalam berbagai aktifitas, pada langkah ini biaya
digolongkan kedalam aktivitas yang terdiri dari 4 kategori yaitu: Unit level activity
costing, Batch related activity costing, product sustaining activity costing, facility
sustaining activity costing.
Level tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Aktivitas Berlevel Unit (Unit Level Activities)
Aktivitas ini dilakukan untuk setiap unit produksi. Biaya aktivitas berlevel unit
bersifat proporsional dengan jumlah unit produksi. Sebagai contoh, menyediakan
tenaga untuk
menjalankan peralatan, karena tenaga tersebut cenderung
dikonsumsi secara proporsiona dengan jumlah unit yang diproduksi.
b. Aktivitas Berlevel Batch (Batch Level Activities)
Aktivitas dilakukan setiap batch diproses, tanpa memperhatikan berapa unit yang
ada pada batch tersebut. Misalnya, pekerjaan seperti membuat order produksi dan
pengaturan pengiriman konsumen adalah aktivitas berlevel batch.
c. Aktivitas Berlevel Produk (Produk Level Activities)
Aktivitas berlevel produk berkaitan dengan produk spesifik dan biasanya
dikerjakan tanpa memperhatikan berapa batch atau unit yang diproduksi atau
dijual. Sebagai contoh merancang produk atau mengiklankan produk.
d. Aktivitas Berlevel Fasilitas (Fasility level activities)
Aktivitas berlevel fasilitas adalah aktivitas yang menopang proses operasi
perusahaan namun banyak sedikitnya aktivitas ini tidak berhubungan dengan
volume. Aktivitas ini dimanfaatkan secara bersama oleh berbagai jenis produk
yang berbeda. Kategori ini termasuk aktivitas seperti kebersihan kantor,
penyediaan jaringan komputer dan sebagainya.
e. Mengidentifikasikan Cost Driver maksudnya untuk memudahkan dalam
penentuan tarif/unit cost driver
26
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
f. Menentukan tarif/unit Cost Driver
Adalah biaya per unit Cost Driver yang dihitung untuk suatu aktivitas. Tarif/unit
cost driver dapat dihitung dengan rumus sbb:
Tarif per unit Cost Driver = Cost DriverfitasJumlahAktifitas
b. Tahap Kedua
Penelusuran dan pembebanan biaya aktivitas kemasing-masing produk yang menggunakan
cost driver. Pembebanan biaya overhead dari setiap aktivitas dihitung dengan rumus sbb:
BOP yang dibebankan = Tarif/unit Cost Driver X Cost Driver
yang dipilih
Manfaat Penentuan Harga Pokok Produk Berdasarkan Aktivitas
Jika syarat-syarat penerapan sistem ABC sudah terpenuhi, maka sebaiknya
perusahaan menerapkan sistem ABC dan segera mendesain ulang sistem akuntansi
biayanya karena akan bermanfaat sebagai berikut: (Supriyono, 2002:698)
1. Memperbaiki mutu pengambilan keputusan
Dengan informasi biaya produk yang lebih teliti, kemungkinan manajer melakukan
pengambilan keputusan yang salah dapat dikurangi. Informasi biaya produk yang lebih
teliti sangat penting artinya bagi manajemen jika perusahaan menghadapi persaingan
yang tajam.
2. Memungkinkan manajemen melakukan perbaikan terus menerus terhadap kegiatan
untuk mengurangi biaya overhead.
Sistem ABC mengidentifikasi biaya overhed dengan kegiatan yang menimbulkan
biaya tersebut. Pembebanan overhead harus mencerminkan jumlah permintaan
overhead (yang dikonsumsi) oleh setiap produk. Sistem ABC mengakui bahwa tidak
semua overhed bervariasi dengan jumlah unit yang diproduksi. Dengan menggunakan
biaya berdasarkan unit dan non unit overhead dapat lebih akurat ditelusuri ke masingmasing produk.
3. Memberikan kemudahan dalam menentukan biaya relevan.
Karena sistem ABC menyediakan informasi biaya yang relevan yang dihubungkan.
Cost Driver
Landasan penting untuk menghitung biaya berdasarkan aktivitas adalah dengan
mengidentifikasi pemicu biaya atau cost driver untuk setiap aktivitas. Pemahaman yang
tidak tepat atas pemicu akan mengakibatkan ketidaktepatan pada pengklasifikasian biaya,
sehingga menimbulkan dampak bagi manajemen dalam mengambil keputusan.
Jika perusahaan memiliki beberapa jenis produk maka biaya overhead yang terjadi
ditimbulkan secara bersamaan oleh seluruh produk. Hal ini menyebabkan jumlah overhead
yang ditimbulkan oleh masing-masing jenis produk harus diidentifikasi melalui cost driver.
Pengertian Cost Driver
Cost driver merupakan faktor yang dapat menerangkan konsumsi biaya-biaya
overhead. Faktor ini menunjukkan suatu penyebab utama tingkat aktifitas yang akan
menyebabkan biaya dalam aktifitas.
27
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Ada dua jenis cost driver, yaitu:
1. Cost Driver Berdasarkan Unit
Cost Driver berdasarkan unit membebankan biaya overhead pada produk melalui
penggunaan tarif overhead tunggal oleh seluruh departemen.
2. Cost Driver Berdasarkan Non Unit
Cost Driver berdasarkan non unit merupakan faktor-faktor penyebab selain unit
yang menjelaskan konsumsi overhead.
Contoh cost driver berdasarkan unit pada perusahaan jasa adalah luas lantai,
jumlah pasien, jumlah kamar yang tersedia.
Penentuan Cost Driver Yang Tepat
Aktivitas yang ada dalam perusahaan sangat komplek dan banyak jumlahnya. Oleh
karena itu perlu pertimbangan yang matang dalam menentukan penimbul biayanya atau
cost driver.
1. Penentuan Jumlah Cost Driver Yang Dibutuhkan
Menurut Cooper dan Kaplan (1991: 375), penentuan banyaknya cost driver yang
dibutuhkan berdasarkan pada keakuratan laporan product cost yang diinginkan
dan kompleksitas komposisi output perusahaan. Semakin banyak cost driver yang
digunakan, laporan biaya produksi semakin akurat. Dengan kata lain semakin
tinggi tingkat keakuratan yang diinginkan, semakin banyak cost driver yang
dibutuhkan.
2. Pemilihan Cost Driver Yang Tepat.
Dalam pemilihan cost driver yang tepat ada tiga faktor yang harus
dipertimbangkan (Cooper dan Kaplan, 1991: 383)
a. Kemudahan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam pemilihan cost
driver (cost of measurement). Cost driver yang membutuhkan biaya
pengukuran lebih rendah akan dipilih.
b. Korelasi antara konsumsi aktivitas yang diterangkan oleh cost driver terpilih
dengan konsumsi aktivitas sesungguhnya (degree of correlation). Cost driver
yang memiliki korelasi tinggi akan dipilih.
c. Perilaku yang disebabkan oleh cost driver terpilih (behavior effec). cost driver
yang menyebabkan perilaku yang diinginkan yang akan dipilih
Keunggulan Metode ABC
Amin (1994: 23) mengemukakan tentang keunggulan ABC adalah sebagai berikut:
1. Suatu pengkajian ABC dapat meyakinkan manajemen bahwa mereka harus
mengambil sejumlah langkah untuk menjadi lebih kompetitif. Sebagai hasilnya
mereka dapat berusaha untuk meningkatkan mutu sambil secara simultan
memfokus pada mengurangi biaya. Analisis biaya dapat menyoroti bagaimana
benar-benar mahalnya proses manufakturing, yang pada akhirnya dapat memicu
aktivitas untuk mereorganisasi proses, memperbaiki mutu dan mengurangi biaya.
2. ABC dapat membantu dalam pengambilan keputusan
3. Manajemen akan berada dalam suatu posisi untuk melakukan penawaran
kompetitif
yang lebih wajar
28
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
4. Dengan analisis biaya yang diperbaiki, manajemen dapat melakukan analisis yang
lebih akurat mengenai volume, yang dilakukan untuk mencari break even atas
produk yang bervolume rendah.
5. Melalui analisis data biaya dan pola konsumsi sumber daya, manajemen dapat
mulai merekayasa kembali proses manufakturing untuk mencapai pola keluaran
mutu yang lebih efisien dan lebih tinggi.
Kelemahan Sistem Akuntansi Biaya Tradisional
Hal-hal yang tidak diberitahukan oleh sistem akuntansi biaya tradisional kepada
manajemen banyak sekali. Akuntansi biaya tradisional memberi sedikit ide kepada
manajemen pada saat harus mengurangi pengeluaran pada waktu yang mendesak. Sistem
tersebut hanya memberikan laporan manajemen dengan menunjukkan dimana biaya
dikeluarkan dan tidak ada indikasi apa-apa yang menimbulkan biaya.
Sistem biaya tradisional memang memeperhatikan biaya total perusahaan, akan
tetapi mereka mengabaikan “below the line expenses”, seperti penjualan, distribusi, riset,
dan pengembangan serta biaya administrasi. Biaya-biaya ini tidak dibebankan kepasar,
pelanggan, saluran distribusi, atau bahkan produk yang berbeda. Banyak manajer yang
percaya bahwa biaya-biaya ini adalah tetap. Oleh sebab itu, biaya-biaya “below the line”
ini diperlakukan secara sama dengan mendistribusikannya kepada pelanggan. Padahal,
sekarang ini beberapa pelanggan jauh lebih mahal untuk dilayani dibandingkan dengan
yang lain dan sebenarnya beberapa biaya tersebut adalah biaya variabel. (Amin, 1992: 22).
Lebih jauh lagi dijelaskan oleh Supriyono (2002: 74-77) bahwa dengan
berkembangnya dunia teknologi, sistem biaya tradisional mulai dirasakan tidak mampu
menghasilkan produk yang akurat lagi. Hal ini disebabkan karena lingkungan global
menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab sistem akuntansi biaya
tradisional, antara lain:
1. Sistem akuntansi biaya tradisional terlalu menekankan pada tujuan penentuan
harga pokok produk yang dijual. Akibatnya sistem ini hanya menyediakan
informasi yang relatif sangat sedikit untuk mencapai keunggulan dalam
persaingan global.
2. Sistem akuntansi biaya tradisional untuk biaya overhead terlalu memusatkan pada
distribusi dan alokasi biaya overhead daripada berusaha keras untuk mengurangi
pemborosan dengan menghilangkan aktivitas yang tidak bernilai tambah.
3. Sistem akuntansi biaya tradisional tidak mencerminkan sebab akibat biaya karena
seringkali beranggapan bahwa biaya ditimbulkan oleh faktor tunggal misalnya
volume produk atau jam kerja langsung.
4. Sistem akuntansi biaya tradisional menghasilkan informasi biaya yang terdistorsi
sehingga mengakibatkan pembuatan keputusan yang menimbulkan konflik
dengan keunggulan perusahaan.
5. Sistem akuntansi biaya tradisional menggolongkan biaya langsung dan tidak
langsung serta biaya tetap dan variabel hanya mendasarkan faktor penyebab
tunggal misalnya volume produk, padahal dalam lingkungan teknologi maju cara
penggolongan tersebut menjadi kabur karena biaya dipengaruhi oleh berbagai
macam aktivitas.
6. Sistem akuntansi biayaa tradisional menggolongkan suatu perusahaan kedalam
pusat-pusat pertanggung jawaban yang kaku dan terlalu menekankan kinerja
jangka pendek.
29
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
7. Sistem akuntansi biaya tradisional memusatkan perhatian kepada perhitungan
selisih biaya pusat-pusat pertanggngjawaban tertantu dengan menggunakan
standar.
8. Sistem akuntansi biaya tradisional tidak banyak memerlukan alat-alat dan teknikteknik yang canggih dalam sistem informasi dibandingkan pada lingkungan
teknologi maju.
9. Sistem akuntansi biaya tradisional kurang menekankan pentingnya daur hidup
produk. Hal ini dibuktikan dengan perlakuan akuntansi biaya tradisional terhadap
biaya aktivitas-aktivitas perekayasaan, penelitian dan pengembangan. Biay-biaya
tersebut diperlakukan sebagai biaya periode sehingga menyebabkan terjadinya
distorsi harga pokok daur hidup produk.
Pengertian dan Penentuan Tarif dengan Menggunakan Metode Cost Plus Pricing
Tarif menurut Supriyono (1991:332) adalah:
“Sejumlah moneter yang dibebankan oleh suatu unit usaha kepada pembeli atau
pelangga atas barang atau jasa yang dijual atau diserahkan”
Untuk menentukan tarif, biasanya manajemen mempertimbangkan beberapa faktor yang
mempengaruhi baik faktor biaya maupun bukan biaya. Menurut Supriyono (1991:332):
- Biaya, khususnya biaya masa depan
- Pendapatan yang diharapkan
- Jenis produk jasa yang dijual
- Jenis industri
- Citra dan kesan masyarakat
- Pengaruh pemerintah, khususnya undang-undang, keputusan, peraturan dan
kebijakan pemerintah
- Tindakan atau reaksi para pesaing
- Tipe pasar yang dihadapi
- Trend Ekonomi
- Biaya manajemen
- Tujuan non laba
- Tanggung jawab sosial perusahaan
- Tujuan perusahaan,khususnya laba dan return on investment (ROI)
Dalam penentuan tarif atau harga jual produk, manajemen perlu tujuan dari penentuan tarif
tersebut. Tujuan itu akan digunakan sebagai salah satu pedoman kerja perusahaan. Pada
umumnya tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Bertahan Hidup (Survival)
Perusahaan menetapkan bertahan hidup sebagai tujuan utama, apabila menghadap
kesulitan dalam hal kelebihan kapasitas produksi, persaingan keras, atau
perubahan keinginan konsumen. Untuk mempertahankan tetap berjalannya
kegiatan produksi, perusahaan harus menetapkan harga yang rendah, dengan
harapan akan meningkatkan permintaan. Dalam situasi demikian, laba menjadi
kurang penting dibandingkan survival.
b. Memaksimalkan Laba Jangka Pendek
Perusahaan memperkirakan permintaan akan biaya, dihubungkan dengan harga
alternatif dan harga yang akan menghasilkan laba, arus kas, atau tingkat laba
investasi maksimal. Dalam semua hal, perusahaan lebih menitikberatkan pada
30
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
kemampuan keuangan yang ada dan kurang mempertimbangkan prestasi
keuangan jangka pendek.
c. Kepemimpinan Pangsa Pasar (Leader Of Market Share)
Sebagian perusahaan ingin mencapai pangsa pasar yang dominan. Mereka yakin
bahwa perusahaan dengan market share terbesar akan menikmati biaya terendah
dan laba tertinggi dalam jangka panjang. Untuk itu, mereka menetapkan harga
serendah mungkin akan menikmati biaya terendah dan laba tertinggi dalam
jangka panjang. Untuk itu, mereka menetapkan harga serendah mungkin.
d. Kepemimpinan Mutu Produk
Perusahaan dapat memutuskan bahwa mereka ingin memiliki produk dengan
mutu terbaik di pasar. Keputusan ini biasanya mengharuskan penetapan harga
yang tinggi untuk penutup biaya pengendalian mutu produk serta biaya riset dan
pengembangan.
e. Tujuan-Tujuan Lain
Misalnya mempertahankan loyalitas pelanggan perusahaan mungkin menetapkan
harga yang rendah untuk mencegah masuknya perusahaan pesaing atau dapat
menetapkan harga yang sama dengan pesaing dengan tujuan untuk
mempertahankan loyalitas pelanggan. Menghindari campur tangan pemerintah,
menciptakan daya tarik sebuah produk, dan untuk menarik lebih banyak
pelanggan.
Menurut Mulyadi (1993), penentuan tarif atau harga jual suatu produk atau jasa
dengan menggunakan metode Cost Plus Pricing yaitu penentuan tarif jasa dengan cara
menambahkan laba yang diharapkan diatas biaya penuh masa yang akan datang untuk
memproduksi dan memasarkan produk atau jasa. Tarif jasa berdasarkan Cost Plus Pricing
dihitung dengan rumus:
Tarif per Kamar = Cost Sewa Kamar + Laba yang Diharapkan
Activity Based Counting Untuk Perusahaan Jasa
Sistem kerja Activity Based Costing banyak diterapkan pada perusahaan manufaktur,
tetapi juga dapat diterapkan pada perusahaan jasa. Penerapan metode Activity Based
Costing pada perusahaan jasa memiliki beberapa ketentuan khusus, hal ini disebabkan oleh
karakteristik yang dimiliki perusahaan jasa. Menurut Brinker (1992), karakteristik yang
dimiliki perusahaan jasa, yaitu:
a. Output seringkali sulit didefinisi
b. Pengendalian aktivitas pada permintaan jasa kurang dapat didefinisi
c. Cost mewakili proporsi yang lebih tinggi dari total cost pada seluruh kapasitas yang
ada dan sulit untuk menghubungkan antara output dengan aktivitasnya. Output pada
perusahaan jasa adalah manfaat dari jasa itu sendiri yang kebanyakan tidak terwujud,
contoh: kecepatan suatu jasa, kualitas suatu informasi, pemuasan konsumen. Output
pada perusahaan jasa tidak berwujud membuat perhitungan menjadi sulit. Sekalipun
sulit, dewasa ini bisnis jasa menggunakan metode Activity Based Costing pada
bisnisnya. Untuk menjawab permasalahan diatas, Activity Based Costing benar-benar
dapat digunakan pada perusahaan jasa, setidak-tidaknya pada beberapa perusahaan.
31
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan Activy Based Costing pada perusahaan
jasa adalah:
1) Identifying and Costing Activities
Mengidentifikasi dan menghargai aktivitas dapat membuka beberapa kesempatan
untk pengoperasian yang efisien.
2) Spesial Challenger
Perbedaan antara perusahaan jasa dan perusahaan manufaktur akan memiliki
permasalahan-permasalahan yang serupa. Permasalahan itu seperti sulitnya
mengalokasikan biaya ke aktivitas. Selain itu jasa tidak dapat menjadi suatu
persediaan, karena kapasitas yang ada namun tidak dapat digunakan menimbulkan
biaya yang tidak dapat dihindari.
3) Output Diversity
Perusahaan jasa juga memiliki kesulitan-kesulitan dalam mengidentifikasi output
yang ada. Pada perusahaan jasa, diversity yang menggambarkan aktivitas-aktivitas
pendukung pada hal-hal yang berbeda mungkin sulit untuk dijelaskan atau
ditentukan.
PEMBAHASAN
Penentuan Harga Pokok Rawat Inap Menggunakan Activity-Based Costing System
Mengidentifikasi dan Mendefinisikan Aktivitas dan Pusat Aktivitas
Berdasarkan hasil wawancara dengan bagian keuangan, bagian perawatan, bagian
dapur, dan bagian gudang.
Aktivitas-aktivitas biaya yang ada diunit rawat inap meliputi:
1. Biaya perawatan
2. Biaya konsumsi pasien
3. Biaya listrik dan air
4. Biaya kebersihan
5. Biaya administrasi
6. Biaya service
7. Biaya Asuransi
8. Biaya penyusutan gedung
9. Biaya penyusutan fasilitas
10. Biaya laundry
Aktivitas-aktivitas tersebut dikelompokkan menjadi beberapa pusat aktivitas, yaitu:
1. Aktivitas perawatan pasien
- biaya perawat
2. Aktivitas Pemeliharaan inventaris
- biaya depresiasi gedung
- biaya depresiasi fasilitas
- biaya kebersihan
3. Aktivitas pemeliharaan pasien
- biaya konsumsi
4. Aktivitas pelayanan pasien
- biaya listrik dan air
- biaya administrasi
32
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
- biaya bahan habis pakai
- biaya asuransi
- biaya laundry
Berikut ini akan dijelaskan mengenai elemen biaya diatas sebagai berikut:
1. Biaya Perawatan Pasien oleh Perawat
Dalam hubungannya dengan penetapan tarif kamar rawat inap, biaya perawatan
pasien oleh perawat secara tidak langsung turut mempengaruhi aktifitas bagian
rawat inap, maka aktivitas ini termasuk dalam kategori unit level activity cost.
Dialokasikan secara profesional pada setiap tipe kamar
2. Biaya Penggunaan Tenaga Listrik Dan Air
Seluruh tipe kamar rawat inap rumah sakit memerlukan tenaga listrik untuk
menjalankan peralatan elektronik, untuk penerangan kamar atau fasilitas yang
ada di masing-masing kamar dan air untuk mandi. Untuk penggunaan listrik dan
air termasuk kategori unit level activity cost, karena biaya berubah sesuai dengan
perubahan KWH kamar yang terpakai. Fasilitas yang mengkonsumsi listrik
meliputi: TV, Kulkas, alat pemanas, lampu.
3. Biaya Konsumsi
Pasien yang menjalani rawat inap membutuhkan makanan dan minuman untuk
mempercepat penyembuhan pasien, yang termasuk dalam kategori Unit level
activity costs, karena tidak tergantung pada lamanya pasien menjalani rawat
inap.
4. Biaya Kebersihan
Biaya kebersihan adalah biaya dikeluarkan untuk menunjang kebersihan
lingkungan rawat inap, sehingga pasien merasa nyaman. Biaya ini termasuk
dalam kategori Batch related activity costs.
5. Biaya Administrasi
Pelayanan administasi diberikan untuk menunjang kelancaran dalam penyediaan
aktivitas sarana dan prasarana. Termasuk kategori batch related activity based
costing.
6. Biaya Bahan Habis Pakai
Biaya bahan habis pakai adalah biaya yang digunakan oleh perawat untuk
pasien, juga paket yang diberikan kepada pasien rawat inap pada hari pertama
dirawat di rumah sakit.
7. Biaya Asuransi
Keberadaan pasien di kamar rawat inap menyebabkan munculnya biaya asuransi
sebagai jaminan kesehatan bagi pasien rawat inap. Termasuk dalam kategori
fasility sustaining activity cost.
8. Biaya Penyusutan Gedung/Bangunan
Biaya penyusutan bangunan merupakan fasilitiy sustaining activity cost karena
seluruh tipe kamar menggunakan bangunan dan pembebanan masing-masing
kamar.
9. Biaya Penyusutan Fasilitas
Pembebanan penyusutan fasilitas ini berdasarkan masing-masing tipe kamar.
Penyusutan fasilitas ini termasuk dalam kategori facility sustaining activity cost
karena seluruh tipe kamar menggunakan fasilitas yang ada dalam masingmasing tipe kamar dan pembenannya berdasarkan jumlah hari pakai. Penyusutan
33
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
fasilitas terdiri dari penyusutan TV, AC, Kulkas, Bed, kipas angin, Alat
pemanas.
10. Biaya Laundry
Aktivitas yang dilakukan untuk menyediakan linen bersih kepada pasien rawat
inap seperti sprei, selimut, korden, sarung bantal.
Mengklasifikasi Aktivitas Biaya Kedalam Berbagai Aktivitas
1. Berdasarkan Unit-Level Activity Cost
Aktivitas ini dilakukan setiap hari dalam menjalani rawat inap pada RSUD kab.
Batang. Aktivitas yang termasuk dalam kategori ini adalah aktivitas perawatan,
penyediaan tenaga listrik dan air dan biaya konsumsi.
2. Berdasarkan Batch-Related Activity Cost
Besar kecilnya biaya ini tergantung dari frekwensi order produksi yang diolah
oleh fungsi produksi. Aktivitas ini tergantung pada jumlah batch produk yang di
produksi. Yaitu biaya administrasi, biaya bahan habis pakai, biaya kebersihan.
3. Product-Sustaining Activity Cost
Aktivitas ini berhubungan dengan penelitian dan pengembangan produk tertentu
dan biaya-biaya untuk mempertahankan produk agar tetap dapat dipasarkan.
Aktivitas ini tidak ditemui dalam penentuan tarif jasa rawat inap pada RSUD
Kab. Batang.
4. Fasilitas-Sustaining Activity Cost
Aktivitas ini berhubungan dengan kegiatan untuk mempertahankan fasilitas
yang dimiliki oleh perusahaan. Aktivitas yang termasuk dalam kategori ini
adalah biaya laundry, biaya asuransi, biaya penyusutan gedung, biaya
penyusutan fasilitas.
Mengidentifikasi Cost Driver
Setelah aktivitas-aktivitas ini diidentifikasi sesuai dengan kategorinya, langkah
selanjutnya adalah mengidentifikasi cost driver dari setiap biaya aktivitas.
Pengidentifikasian ini dimaksudkan dalam penentuan kelompok aktivitas dan tarif/unit
cost driver.
Menentukan Tarif Per Unit Cost Driver
Setelah mengidentifikasi cost driver, kemudian menentukan tarif per unit cost driver.
Karena setiap aktivitasnya memiliki cost driver dengan cara membagi jumlah biaya
dengan cost driver. Menurut Hansen and Mowen (1999; 134), tarif per unit cost driver
dapat dihitung dengan rumus sbb:
Tarif per unit Cost Driver = CostDriverfitas JumlahAkt
Membebankan Biaya Ke Produk dengan Menggunakan Tarif Cost Driver dan
Ukuran Aktivitas
Dalam tahap ini, menurut Hansen and Mowen (1999; 138), biaya aktivitas
dibebankan keproduk berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas produk. Pembebanan
biaya overhead dari tiap aktivitas ke setiap kamar dihitung dengan rumus sbb:
34
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
BOP yang dibebankan =Tarif/unit Cost Driver x Cost Driver
yang dipilih
Dengan Mengetahui BOP yang dibebankan pada masing-masing produk, maka dapat
dihitung tarif jasa rawat inap per kamar. Menurut Mulyadi (1993) perhitungan tarif
masing-masing tipe kamar dengan metode ABC dapat dihitung dengan Rumus sbb:
Tarif Per Kamar = Cost Rawat Inap + Laba yang diharapkan
Untuk cost rawat inap per kamar diperolehdari total biaya yang telah dibebankan
pada masing-masing produk dibagi dengan jumlah hari pakai. Sedangkan laba yang
diharapkan ditetapkan pihak manajemen.
Perbandingan Metode Akuntansi Biaya Tradisional dengan ABC dalam Penetapan
Tarif Jasa Rawat Inap
Perbedaan yang terjadi antara tarif jasa rawat inap dengan menggunakan metode
tradisional dan metode ABC, disebabkan karena pembebanan biaya overhead pada masingmasing produk. Pada metode akuntansi biaya tradisional biaya overhead pada masingmasing produk hanya dibebankan pada satu cost driver saja. Akibatnya cenderung terjadi
distorsi pada pembebanan biaya overhead. Sedangkan pada metode ABC, biaya overhead
pada masing-masing produk dibebankan pada banyak cost driver. Sehingga dalam metode
ABC, telah mampu mengalokasikan biaya aktivitas kesetiap kamar secara tepat
berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas.
PENUTUP
Pembahasan yang dilakukan oleh penulis maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Perhitungan tarif jasa rawat inap dengan menggunakan metode ABC, dilakukan
melalui 2 tahap. Tahap pertama biaya ditelusur ke aktivitas yang menimbulkan
biaya dan tahap ke dua membebankan biaya aktivitas ke produk. Sedangkan tarif
diperoleh dengan menambahkan cost rawat inap dengan laba yang di harapkan.
2. Dari hasil perhitungan tarif rawat inap dengan menggunakan metode ABC,
apabila dibandingkan dengan metode tradisional maka metode ABC memberikan
hasil yang lebih besar. Perbedaan yang terjadi antara tarif jasa rawat inap dengan
menggunakan metode tradisional dan metode ABC, disebabkan karena
pembebanan biaya overhead pada masing-masing produk. Pada metode akuntansi
biaya tradisional biaya overhead pada masing-masing produk hanya dibebankan
pada satu cost driver saja. Akibatnya cenderung terjadi distorsi pada pembebanan
biaya overhead. Sedangkan pada metode ABC, biaya overhead pada masingmasing produk dibebankan pada banyak cost driver. Sehingga dalam metode
ABC, telah mampu mengalokasikan biaya aktivitas kesetiap kamar secara tepat
berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas.
Perhitungan tarif rawat inap dengan menggunakan metode Activity Based-Costing,
dengan tetap mempertimbangkan factor-faktor external yang lain seperti tarif pesaing dan
kemampuan masyarakat yang dapat mempengaruhi dalam penetapan harga pelayanan
rawat inap.
35
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Peranan Metode Activity-Based Costing System Dalam Menentukan Harga
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
DAFTAR PUSTAKA
Tunggal, Amin Widjaja, Activity Based Costing Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta,
1992
Mulyadi, Akuntansi Manajemen, Konsep, Manfaat dan Rekayasa, Edisi 2, BP STIE
YKPN, YK, 1993
Hansen, Don R and Maryanne M Mowen, Akuntansi Manajemen, Edisi 7, Salemba Empat,
Jakarta, 2004
________, Manajemen Biaya, Edisi I, Salemba Empat, Jakarta, 2000
Supriyono, akuntansi Manajemen, Proses Pengendalian Manajemen, STIE YKPN,
Yogyakarta, 1991
Sugiri, Slamet, Akuntansi Manajemen, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, AMP YKPN, YK,
1994
Cooper Robin and Kaplan Robert S, The design of Cost Manajement System : Text, Cases
and Reading, Prentise-Hall, 1993
Supriyono, R.A, Akuntansi Biaya dan Akuntansi Manajemen Untuk Teknologi maju dan
globalisasi, Edisi 2, BPFE, Yogyakarta, 1999
Thomas, Johnson H, Activity-Based Information: A Blue Print For World Class
Manajement Accounting, The design Of Cost Manajement System: Text, Cases and
Reading, New Jersey, 1991
Sujatmika, Activity Based Costing Alternatif Perbaikan Harga Pokok, Buletin Ekonomi,
No. 2, UPN “Veteran” Yogyakarta, April 1997, Hal 81-87.
Lumenta, Bunyamin, Pelayanan Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989.
36
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Agency Theory dan Managements Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
AGENCY THEORY DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS
DALAM KONTEKS BUDAYA ASIA
Yusnaini
Universitas IBA Palembang
Abstract
This paper explains the conection among agency theory, culture and management
control system in asia. Based on few study, Agency theory, in fact cannot generalize
implementation in asia cultures. Its because limitation research when explore culture
dimension or metodology development. This paper show point of view that eventhogh
agency theory can be use to build MCS design but so many cultures factor can effect
the agent and pricipal relation in an organization.
Keywords : Agency Theory, Culture, Management Control Systems
PENDAHULUAN
Dalam mencapai tujuan umum organisasi, seringkali terdapat berbagai hambatan.
Hambatan tersebut kadangkala diakibatkan oleh tidak sesuainya antara tujuan agent dan
principal, baik antara shareholder dengan manajemen maupun antara superior dengan
subordinate dalam suatu organisasi (Jensen dan Meckling 1976). Hal ini dapat dijelaskan
melalui agency theory. Agency theory memberikan dasar-dasar teoretis dalam banyak
penelitian di bidang ekonomi, manajemen, marketing, finance, accounting dan sistem
informasi. Teori ini memiliki pengaruh paling besar yang mendasari penelitian di bidang
corporate governance dan management control systems di dunia barat (Ekanayake 2004).
Dalam budaya barat, agency theory telah memberikan sumbangan yang sangat
berarti dalam memandang masalah goal congruence (Jensen dan Meckling 1976;
Eisenhardt 1989). Sayangnya, beberapa penelitian pada budaya Asia masih belum dapat
dibuktikan secara konsisten mengeni perspektif agency theory (O’Connor 1997; Salter and
Sharp 1997; Taylor 1995). Hal ini dikarenakan sifat dasar agent di antara berbagai budaya
berbeda, baik dalam nilai dan norma (Hofstede 1980). Sampai saat ini masih belum
terdapat kesimpulan umum di antara para peneliti mengenai perspektif agency theory jika
melibatkan unsur budaya dalam memahami hubungan antara agent dan principal.
Untuk mengatasi permasalahan akibat hubungan antara agent dan principal tersebut,
diperlukan management control systems (MCS) yang merupakan sarana untuk
menyelaraskan tujuan antara agent dengan principal. Dengan desain management control
system yang tepat, diharapkan akan mampu memahami hubungan (agent dan principal) ini
dengan baik sehingga tujuan umum organisasi dapat di capai (Ekanayake 2004).
Paper ini berusaha untuk mengangkat fenomena yang telah diuraikan diatas dengan
memandang pentingnya desain management control systems dalam mengatasi agency
problem. Namun, dengan juga memperhatikan unsur budaya yang sangat mempengaruhi
37
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
agency theory, yang pada akhirnya akan menentukan desain MCS yang tepat dalam
mencapai tujuan organisasi.
AGENCY THEORY DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS (MCS)
Agency theory memfokuskan perhatian pada agency problem yang terjadi ketika
terdapat hubungan keagenan antara principal dengan agent. Dalam hal ini principal
mendelegasikan wewenangnya kepada agent untuk mengambil keputusan (Anthony dan
Govindarajan 2003). Agency problem ini terjadi karena agent memiliki tujuan yang
berbeda dengan principal (Jensen dan Meckling, 1976). Premis dari agency theory adalah
bahwa agent berprilaku self-interested, risk averse, rational actors yang selalu berusaha
less effort (moral hazard) dan adverse selection. Agency theory ini berusaha untuk
menyelesaikan dua problem yang berkaitan dengan agency problem, yaitu (1) masalah
pengawasan (monitoring) yang timbul karena principal tidak dapat membuktikan apakah
agent telah berprilaku secara tepat; (2) masalah pembagian risiko (risk sharing) khususnya
dalam kasus pengendalian outcome yang timbul ketika principal dan agent bersikap
berbeda mengenai risiko (Eisenhardt 1989).
Terdapat dua tipe hubungan antara agent dan principal, yaitu (1) pertama, hubungan
antara pemilik perusahaan atau shareholder (the principal) dengan top management (the
agent) (Jensen dan Meckling 1976), (2) kedua, hubungan antara top management yang
bertindak sebagai principal dengan manager unit sebagai agents (Govindarajan dan Fisher
1990). Beberapa studi yang memperluas konsep hubungan principal-agent pada tipe
kedua adalah hubungan antara superior-subordinate, employer-employee, manager-worker
(Eisenhardt 1988; Gomez-Mejia dan Balkin 1992).
Management control systems (MCS) memiliki tugas penting me-manage hubungan
tersebut secara optimal dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi. Perspektif agency
dapat memberikan penjelasan langsung mengenai aspek-aspek MCS suatu organisasi
(Ekanayake 2004). Aspek tersebut antara lain sistem informasi dan proses informasi,
internal control dan audits, pengukuran kinerja dan evaluasi, kompensasi dan insentif.
Terdapat implikasi agency theory pada management control, yaitu, pertama, prilaku selfinterest agen dapat di monitor melalu sistem informasi. Kedua, kompensasi dan insentif
dapat menjadi alat untuk menyelaraskan motivasi agen dengan tujuan organisasi. Ketiga,
kondisi ketidakpastian dan pertimbangan risiko yang dijelaskan agency theory
memerlukan perhatian mengenai sistem pengendalian.
Samson Ekanayake (2004), mengemukakan bahwa esensi dari perspektif agency
adalah sebagai alat untuk memonitor agen dan mengevaluasi kinerja dan penghargaan.
Terdapat empat pertanyaan mendasar yang dihadapi oleh desainer MCS dan untuk
mengidentifikasi bagaimana agency theory memberikan kontribusi yang tinggi dalam
memahami dan memberikan jalan keluar dari beberapa pertanyaan tersebut. Pertanyaan
tersebut adalah sebagai berikut:
 Behaviour Control or Output Control?
Terdapat kelebihan dan kekurangan dalam mengendalikan agen. Ketika principal
lebih menekankan pada control output, baik principal maupun agent dapat mengamati
outcomes yang dihasilkan namun effort yang digunakan oleh agen hanya dapat diketahui
oleh agen saja sedangkan principal tidak dapat mengetahuinya. Sedangkan ketika
mengendalikan prilaku dalam memonitor effort agen, hal ini tidak memuaskan bagi agen
dan dapat menimbulkan masalah moral hazard dan adverse selection. Masalah moral
38
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
hazard dapat dihubungkan dengan monitoring (sistem informasi), outcome control
(kontrak berdasar outcome), insentif (compensation schemes). Dalam hal masalah adverse
selection, principal dapat memilih agen dengan level of skill yang tepat selain level of
effort yang tepat juga.
 In Designing Compensation and Incentives Schemes
Dalam memonitor kinerja, ketika tugas sangat terprogram, agency theory menduga
bahwa hal itu akan berhubungan positif dengan penggunaan kompensasi berdasarkan
prilaku (fixed salary) dan berhubungan negatif dengan penggunaan kontrak berbasis
outcome (variable pay). Namun ketika tugas sangat tidak terprogram, tidak ada cara lain
selain mengawasi perilaku agen melalui penilaian outcomes. Sejalan dengan agency
theory, perspektif ekonomi pada pengendalian organisasi umumnya mendukung
penggunaan performance-contingency pay. Agency theory menentukan penggunaan
insentif kinerja ketika principal tidak dapat mengamati tindakan agent.
 Management Information Systems
Pertanyaan penting mengenai management information systems adalah: bagaimana
sistem yang komprehensif seharusnya memberikan informasi bisa menjadi sangat mahal?
Bagaimana seharusnya informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi dan prosedur
akuntansi (budgeting systems, monitoring systems, variance investigation systems, cost
allocation systems, responsibility accounting systems dan transfer pricing systems) dapat
dimasukkan ke dalam kontrak kerja untuk membatasi agency problem (Baiman 1990)?
Haruskan pilihan sistem monitoring (seperti metode pelaporan) dapat didelegasikan
kepada agent (Baiman 1990)?
Agency theory (transaction cost economic’s) mengimplikasikan bahwa
ketidakmampuan untuk memiliki kontrak yang lengkap dapat meningkatkan prosedur
pengelolaan (management control systems) sebagai suatu mekanisme untuk membatasi
prilaku opportunistik agent. Dengan demikian, aturan sistem informasi manajemen
menjadi bagian dari prosedur pengelolaan yaitu untuk memonitor prilaku self-interested
agent.
 Performance evaluation
Jika agen berprilaku risk averse, evaluasi kinerja berdasar tanggung jawab akuntansi
dan kompensasi mungkin tidak menjadi optimal sebagaimana meninggalkan risiko
(mengutamakan pencapaian outcome) bagi agen. Meskipun tanggungjawab akuntansi
secara luas di terima dalam literatur akuntansi, agency theory berpendapat bahwa agen
seharusnya hanya bertanggungjawab untuk berusaha menggunakan skill yang ada. Satu
pesan penting dari agency theory mengenai MCS adalah bahwa evaluasi saja tidak cukup
untuk memperoleh perilaku yang diinginkan dari agen, tetapi evaluasi yang dilakukan
bersamaan dengan reward dapat lebih berarti.
39
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
AGENCY THEORY DALAM KONTEKS BUDAYA ASIA
Faktor budaya dapat mempengaruhi perilaku organisasional secara mendalam
meskipun individu seringkali kurang menyadari dampaknya. Kebanyakan peneliti tidak
memperhitungkan dampak nilai-nilai yang telah sangat tertanam ini, sehingga banyak
aspek dari teori-teori organisasi yang dihasilkan pada budaya yang satu tidak sesuai jika
diterapkan dalam budaya lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai teori-teori
dari Amerika yang didasarkan atas budaya Barat apakah dapat dijadikan teori yang
universal. Oleh karenanya, banyak peneliti yang memandang perlunya penelitian lebih
lanjut untuk mengintegrasikan teori yang bersifat lintas budaya dalam usaha untuk
membentuk rerangka yang integratif (Boyacigiler dan Adler 1991).
Meskipun agency theory dapat menangkap sifat agen-agen pada budaya Barat,
namun dalam budaya yang berbeda, hal itu belum tentu sesuai dengan budaya di luar
budaya Barat (Ekanayake 2004). Dengan demikian, timbul pertanyaan apakah sifat-sifat
agen memiliki kesamaan dalam lintas budaya. Secara fundamental, hal ini penting
diperhatikan dalam upaya penerapan agency theory secara universal. Hofstede (1980)
meneliti keterkaitan norma dan nilai pada agen (karyawan, subordinate dan manager) yang
berbeda di antara berbagai budaya, hal ini memberikan pemahaman bahwa sifat dasar
agen-agen berbeda sesuai dengan budayanya masing-masing.
Dalam konteks Asia, terdapat beberapa penelitian yang secara tidak langsung
memberikan dukungan yang besar bahwa terdapat jarak yang jauh antara sifat agen-agen
pada budaya Barat dengan budaya Asia. Terdapat juga sejumlah penelitian yang secara
langsung menguji agency theory dalam konteks budaya yang berbeda. Taylor (1995)
dalam Ekanayake (2004) menggunakan multi-paradigm (contingency, agency dan
cultural) sebagai kerangka konseptual yang menguji prilaku yang berkaitan dengan
Anggaran dalam setting multi budaya. Variabel agency yang digunakan adalah information
asymmetry dan outcome-based compensation schemes. Hasilnya menunjukkan bahwa
terdapat kesenjangan diantara lintas budaya mengenai asumsi yang mendasari agency
theory dalam prilaku berkaitan dengan anggaran. Taylor mengemukakan bahwa
keefektifan sub sistem pengendalian tradisional seperti partisipasi anggaran, penekanan
pada budget dan pola kompensasi, hanya sesuai untuk kelompok Barat dan tidak tepat
untuk kelompok China.
Sharp dan Salter (1997), menguji universalitas agency theory dan prospect theory
dalam menjelaskan keputusan eskalasi komitment untuk proyek yang rugi. Studi ini
menggunakan dimensi individualism/collectivism dan loyal versus utilitarian. Hasilnya
menunjukkan bahwa manajer Asia lebih berani mengambil risiko dibanding manajer
Amerika Utara bila membuat keputusan yang bersifat keuntungan jangka panjang bagi
perusahaan, tetapi manajer Asia kurang berani mengambil risiko pada keputusan yang
melibatkan keuntungan finansial jangka pendek. Manajer Asia mungkin mempunyai
orientasi jangka panjang dari manajer Amerika Utara dalam membuat keputusan. Teori
agensi mempunyai explanatory power yang kuat di Amerika Utara, tetapi tidak
mempunyai explanatory power pada sampel Asia. Efek pembingkaian signifikan pada
kedua kelompok sampel dan tidak signifikan berbeda
O’Connor dan Ekanayake (1997, 1998) menguji perbedaan dalam penggunaan
Anggaran (sebagai pengendali output) dalam mengevaluasi kinerja manager subordinat di
Australia, Singapore, South Korea dan Sri Lanka. Hofstede (1980) mengemukakan
dimensi budaya seperti power distance, individualism dan uncertainty avoidance telah
digunakan untuk mengukur budaya dan mengembangkan hipotesis. Hasilnya secara
40
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
empiris mendukung ekspektasi teoretis bahwa penekanan pada anggaran dalam
mengevaluasi kinerja cukup rendah pada sampel Asia, hal ini mengindikasikan rendahnya
pengaruh agency dalam budaya Asia.
Dari beberapa tinjauan literatur mengenai agency theory dalam perspekstif budaya,
dapat dikatakan bahwa agency theory belum dapat sepenuhnya berlaku secara universal.
Faktor budaya yang sangat berbeda antara dunia Barat dan Timur telah mempengaruhi
prilaku agen-agen dalam bertindak. Dengan demikian, hasil-hasil penelitian yang
mengambil setting di luar Asia tidak dapat berlaku secara umum, sehingga agency problem
yang terjadi dalam suatu organisasi juga memiliki level dan pola yang bervariasi sesuai
dengan budaya dimana mereka berinteraksi dalam organisasi.
PERAN BUDAYA TERHADAP DESAIN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS
Dalam pengembangan body of reasearch pada tahun-tahun terakhir ini telah
diarahkan pada pemahaman mengenai hubungan antara budaya dan desain managemenet
control systems (MCS) di negara-negara yang berbeda (Harrison dan McKinnon 1999).
Dengan adanya peningkatan globalisasi, telah memberikan kesempatan bagi perusahaan
untuk mengembangkan operasi secara internasional. Hal ini membawa pada pertanyaan
apakah desain MCS yang ada pada perusahaan saat ini sudah cukup baik dan sesuai
dengan lingkungan global tersebut atau apakah seharusnya mendesain kembali MCS agar
sesuai dengan budaya negara-negara tujuan operasi perusahaan. Desain MCS merupakan
issu utama dalam riset-riset akuntansi selama beberapa tahun. Namun sayangnya mayoritas
penelitian-penelitian ini hanya ditekankan pada satu negara saja, meskipun telah di akui
bahwa unsur budaya sangat penting.
Harrison dan McKinnon (1999) mereview penelitian-penelitian mengenai
management control system (MCS) dalam lintas budaya mulai dari tahun 1980, dalam
upaya untuk memberikan pemahaman mengenai pengaruh budaya terhadap desain MCS,
dan untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan metodologikal riset-riset tersebut untuk
memberi arahan pada riset-riset mendatang. Hasilnya menunjukkan bahwa penelitianpenelitian lintas budaya ini terlalu menyederhanakan konsep budaya dan perbedaan
mereka dalam hal metodologis dalam penelitian memberikan hasil yang berbeda pula.
Beberapa penelitian yang ada telah menunjukkan adanya hubungan antara desain
MCS dengan budaya, baik yang mendukung atau menentang bahwa budaya dapat
memberikan pengaruh terhadap desain MCS. Berbagai perbedaaan hasil penelitian ini di
duga tergantung pada originalitas dari peneliti. Analisis yang dilakukan Harrison dan
McKinnon (1999) menunjukkan perbedaan hasil penelitian ini karena beberapa hal berikut,
yaitu, pertama, tingginya variasi karakteristik MCS dan organisasi yang telah di uji.
Meskipun karakteristik MCS beberapa studi sama, namun definisi operasional dari
karakterisitiknya seringkali bervariasi atau ketidakcukupan definisi secara umum. Seperti
contoh karakteristik MCS mengenai formalization/rules dengan prosedur, yang
dioperasionalisasikan secara berbeda dalam berbagai penelitian. Kedua, perbedaan dimensi
budaya yang digunakan memberikan perbedaan studi dalam mendukung hubungan antara
budaya-MCS. Meskipun dimensi budaya yang digunakan sama, kadangkala perbedaan
teori dapat memberikan arti yang berbeda pula. Ketiga, meskipun metode survey kuesioner
mendominasi studi-studi tersebut, perbedaan ukuran sampel, managerial level dan lokasi
responden serta variabel control yang digunakan membuat sulit dalam menilai convergen
dan perbedaan hasil penelitian.
41
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Penelitian yang dilakukan Chow et al. (1991) menggunakan eksperimental studi,
menekankan pada dimensi individualism (IDV) mengenai workflow dan pay
interdependence di Singapore dan US. Hasilnya menunjukkan IDV merupakan dimensi
yang paling relevan untuk karakteristik MCS. Frucot dan Winston (1991) melakukan
penelitian pada partisipasi budget untuk menguji hasil Brownell’s (1982) mengenai
partisipasi di antara manager US. Mereka menghipotesiskan bahwa hasil Brownell’s tidak
bisa digeneralisir untuk Mexico, dengan alasan bahwa rangking power distance (PD) dan
uncertainty avoidance (UA) di Mexico lebih tinggi dibandingkan US (menurut Hofstede
1980). Rangking ini juga dihubungkan dengan autokrasi, rule-based organization dan
rendahnya partisipasi. Hasilnya bertentangan dengan yang mereka perkirakan. Meskipun
hasil ini menduga bahwa beberapa pengaruh budaya terjadi pada level managerial dan firm
ownership subsets pada sampel mereka, penemuan mereka menunjukkan bahwa tidak
terdapat pengaruh budaya, dan hasil Brownell’s tidak bisa digeneralisir untuk Mexico.
Birnbaum dan Wong (1985) menggunakan dimensi Hofstede’s uncertainty
avoidance (UA) untuk menghipotesiskan bahwa Hong Kong mengacu pada rendahnya
level horizontal differentiation dibandingkan US. Hipotesis ini di dasari oleh Hofstede
(1980) yang menemukan bahwa para pekerja di Hong Kong memiliki preferensi yang kuat
pada level UA yang rendah, dimana hal berhubungan dengan rendahnya level horizontal
differentiation. Hasilnya menunjukkan gagal dalam mendukung hipotesis mereka. Hal ini
dikarenakan pilihan hipotesis mereka hanya didasarkan pada penemuan Hofstede saja
tanpa berusaha mempertimbangkan atribut budaya lainnya. Lincoln et al. (1981),
menemukan bahwa level horizontal differentiation di Jepang cukup rendah, dimana UA
tinggi. Birnbaum dan Wong menghipotesiskan bahwa rendahnya level of horizontal
differentiation di Hong Kong karena UA juga rendah.
Kebanyakan penelitian difokuskan pada masyarakat di Anglo-American (khususnya
US dan Australia) dan dibandingkan dengan Asia (Jepang, Singapore, Hong Kong). Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan substansial pada power distance (PD), individualism (IDV)
dan uncertainty avoidance (UA). Cluster pada Anglo_ameria memiliki tipe lebih tinggi
pada IDV dan rendah pada PD dibandingkan Asia, studi-studi cenderung untuk
mengasumsikan IDV dan PD memiliki nilai yang sama untuk masing-masing negara
(Harrison 1992). Dampak nilai budaya ditentukan oleh centralitas mereka di dalam sistem
nilai dari setting budaya. Mereka membedakan konsep nilai sebagai core dan peripheral
yang dapat menjelaskan perbedaan penemuan dari penelitian-penelitian budaya pada MCS.
Ucno dan Sekaran (1992) menggunakan enam budget control yang digunakan dalam
perusahaan manufaktur di Jepang dan USA. Dihipotesiskan bahwa empat dari enam yang
digunakan di USA, yaitu (1) komunikasi formal dan koordinasi dalam proses perencanaan
budget, (2) adanya slack pada budget, (3) pengendalian pada budget secara luas, (4)
menggunakan evaluasi jangka panjang sampai perluasan terkecil. Dua hipotesis yang
diajukan bahwa perusahaan Jepang menyusun proses perencanaan budget mereka dan
menggunakan waktu yang panjang dalam prosesnya sangat luas digunakan dibandingkan
perusahaan-perusahaan di Amerika, tidak terdukung. Empat premis mengenai perbedaan
IDV antara Jepang dan USA terdukung, sedangkan dua premis mengenai perbedaan dalam
UA tidak terdukung.
Nilai central dalam suatu budaya memiliki implikasi pada perusahaan multinasional,
sehingga diperlukan modifikasi atas MCS domestik yang seharusnya disesuaikan dengan
negara asing dimana perusahaan akan beroperasi. Penelitian Chow et al. (1996)
memberikan bukti bahwa yang mendukung asumsi tersebut. Dalam studi mereka
42
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
digunakan delapan karakteristik MCS pada perusahaan Jepang dan USA yang beroperasi
di Taiwan. Organisasi yang beroperasi di sana secara substansial memodifikasi MCS
mereka untuk menyesuaikan dengan budaya Taiwan yang berbeda. Sedangkan O’Connor
(1995) menemukan bukti dari perusahaan yang memodifikasi budaya mikrokosmik budaya
organisasi melalui selection, sosialisasi dan pelatihan. Hal ini tidak konsisten dengan
penemuan Chow et al. (1996), terlebih lagi hal itu menduga bahwa organisasi memiliki
pilihan untuk memodifikasi, pilihan tersebut tergantung pada cost modifikasi budaya
organisasi atau memodifikasi MCS pada budaya yang berbeda.
Dari beberapa penelitian diatas, dapat dirasakan adanya beberapa kelemahan yang
ada pada penelitian-penelitian yang menguji pengaruh budaya terhadap desain MCS. Hal
ini dapat di lihat dari perbedaan-perbedaan hasil-hasil temuan dari beberapa peneliti
meskipun karakteristik dan faktor budaya yang digunakan adalah sama. Harrison dan
McKinnon (1999) menyebutkan empat kelemahan penelitian lintas budaya di bidang
sistem pengendalian manajamen yaitu (1) gagal mempertimbangkan totalitas domain
budaya; (2) tendensi tidak mempertimbangkan intensitas diferensial dari norma dan nilai
lintas nasional; (3) tendensi memperlakukan budaya secara simplistis dengan hanya
menggunakan kumpulan terbatas dari dimensi agregat; (4) terlalu mengandalkan konsepsi
budaya yang terbatas.
AGENCY THEORY, BUDAYA DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS (MCS)
Dari uraian literatur yang telah dijabarkan diatas, dapat dilihat adanya hubungan
yang kuat antara agency theory dan faktor budaya dengan desain management control
systems (MCS). Agency theory dapat menjelaskan adanya masalah agency dalam
hubungan agen dan principal. Untuk mengatasi permasalahan akibat hubungan antara
agent dan principal tersebut, diperlukan management control systems (MCS) yang
merupakan sarana untuk menyelaraskan tujuan antara agent dengan principal. Dengan
desain management control system yang tepat, diharapkan akan mampu memahami
hubungan (agent dan principal) ini dengan baik sehingga tujuan umum organisasi dapat di
capai (Ekanayake 2004). Ekanayake (2004), mengemukakan bahwa esensi dari perspektif
agency adalah sebagai alat untuk memonitor agen dan mengevaluasi kinerja dan
penghargaan.
Agency theory dapat menangkap sifat agen-agen pada budaya Barat, namun dalam
budaya yang berbeda, hal itu belum tentu sesuai dengan budaya di luar budaya Barat
(Ekanayake 2004). Dengan demikian, timbul pertanyaan apakah sifat-sifat agen memiliki
kesamaan dalam lintas budaya. Secara fundamental, hal ini penting diperhatikan dalam
upaya penerapan agency theory secara universal. Hofstede (1980) meneliti keterkaitan
norma dan nilai pada agen (karyawan, subordinate dan manager) yang berbeda di antara
berbagai budaya, hal ini memberikan pemahaman bahwa sifat dasar agen-agen berbeda
sesuai dengan budayanya masing-masing.
Dari beberapa tinjauan literatur mengenai agency theory dalam perspekstif budaya,
dapat dikatakan bahwa agency theory belum dapat sepenuhnya berlaku secara universal.
Faktor budaya yang sangat berbeda antara dunia Barat dan Timur telah mempengaruhi
prilaku agen-agen dalam bertindak. Dengan demikian, hasil-hasil penelitian yang
mengambil setting di luar Asia tidak dapat berlaku secara umum, sehingga agency problem
yang terjadi dalam suatu organisasi juga memiliki level dan pola yang bervariasi sesuai
dengan budaya dimana mereka berinteraksi dalam organisasi (Taylor 1995; Sharp dan
Salter 1997; O’Connor dan Ekanayake 1997, 1998).
43
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Beberapa penelitian yang ada telah menunjukkan adanya hubungan antara desain
MCS dengan budaya, baik yang mendukung atau menentang bahwa budaya dapat
memberikan pengaruh terhadap desain MCS (Chow et al. 1991; Harrison 1992). Berbagai
perbedaaan hasil penelitian ini di duga tergantung pada originalitas dari peneliti.
Dari beberapa penelitian diatas, dapat dirasakan adanya beberapa kelemahan yang
ada pada penelitian-penelitian yang menguji pengaruh budaya terhadap desain MCS. Hal
ini dapat di lihat dari perbedaan-perbedaan hasil-hasil temuan dari beberapa peneliti
meskipun karakteristik dan faktor budaya yang digunakan adalah sama. Harrison dan
McKinnon (1999) menyebutkan empat kelemahan penelitian lintas budaya di bidang
sistem pengendalian manajamen yaitu (1) gagal mempertimbangkan totalitas domain
budaya; (2) tendensi tidak mempertimbangkan intensitas diferensial dari norma dan nilai
lintas nasional; (3) tendensi memperlakukan budaya secara simplistis dengan hanya
menggunakan kumpulan terbatas dari dimensi agregat; (4) terlalu mengandalkan konsepsi
budaya yang terbatas.
PENUTUP
Agency theory yang merupakan teori yang paling berpengaruh dalam memahami
hubungan antara agent dan principal ternyata memang sangat tepat dan telah teruji di
dunia barat. Namun ketika teori ini diterapkan pada budaya yang berbeda maka hasilnya
juga tidak konsisten sebagaimana hasil yang di peroleh pada asal teori ini ditemukan.
Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa faktor budaya sangat berperan dalam menentukan
suatu hubungan antara agent dan principal.
Ketidakkonsistenan hasil pengujian agency theory pada budaya yang berbeda akan
memberikan suatu tantangan tertentu bagi organisasi dalam mendesain sistem
pengendalian manajemen yang dipercaya mampu mengatasi agency problem atas
hubungan principal dan agent. Beberapa penelitian juga memberikan petunjuk bahwa
faktor budaya juga sangat berpengaruh dalam penentuan desain MCS. Namun review
penelitian yang dilakukan oleh Harrison dan McKinnon (1999) menjawab bahwa
penelitian-penelitian yang memasukkan unsur pengaruh budaya terhadap desain MCS,
memiliki 4 keterbatasan baik pada dimensi maupun metodologi seperti yang telah
dikemukakan diatas.
Dengan demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang
kuat antara budaya, agency theroy dan management control systems (MCS). Namun peran
budaya dalam konteks Asia masih memerlukan penelitian-penelitian lebih jauh untuk
menggeneralisir hasil-hasil penemuan di budaya Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, Robert and Vijay Govindarajan. 2003. Management Control System. 11th
Edition: Irwin McGraw Hill.
Baiman, S. 1990. Agency Research in Managerial Accounting: A second look. Accounting
Organizations and Society. Vol. 15. No. 4 Pp: 314-371.
Boyacigiler, N.A., and Adler, N. 1991. The Parochial Dinosaur: Organization Science in A
Global Context. Academy of Management Review. Pp: 262-290.
44
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Agency Theory dan Management Control Systems Dalam Konteks Budaya Asia
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Brownell, P. 1982. A Field Study Examination of Budgetary Participation and Locus of
Control. The Accounting Review. Vol. 56 (4). Pp: 844-860.
Chow, C. and Y. Kato, K. Merchant. 1996. The Use of Organizational Controls and Their
Effects on Data Manipulation and Management Myopia: A Japan vs. U.S.
comparison. Accounting, Organizations and Society. Vol. 21. pp.175 - 192.
Eisenhardt. 1989. Agency theory: An Assessment and Review. Academy of Management
Review. Vol. 14 No. 1. Pp: 57-74.
Ekanayake, Samson. 2004. Agency Theory, National Culture and Management Control
Systems. Journal of American Academy of Business. Vol. 4. Pp: 49-54.
Frucot, Veronique and Shearon Winston T. 1991. Budgetary Participation, Locus of
Control and Mexican Managerial Performance and Job Satisfaction. The
Accounting Review. January. Pp: 80-89.
Gomez-Mejia, L. and Balkin, D. 1992. The Determinants of Faculty Pay: An Agency
Theory Perspective. Academy of Management Journal. Vol. 35. Pp: 921-955.
Govindarajan, V and Fisher J. 1990. Strategy, Control Systems and Resource. Sharing:
Effects on Bussiness Unit Performance. Academy of Management Journal. Vol.
33 Issue 3. Pp 259-285.
Harrell, A. and P. Harrison. 1994. An Incentive To Shirk, Privately-Held Information, and
Managers Project Evaluation Decisions. Accounting, Organizations and
Society. Vol. 19 pp: 569 - 577.
Harrison, G.L., and J. McKinnon. 1999. Cross-Cultural Research in Management Control
Systems Design: A Review of The Current State. Accounting, Organizations
and Society. Vol. 24 pp.483 - 506.
Hofstede,
Geert. 1980. Culture’s Consequences: International Differences in Work
Related Value . Newbury Park, CA: Sage.
Jensen dan Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and
Ownership Structure. Journal of Financial Economics. Vol: 3. Pp: 305-360.
O’Connor N.G. 1997. Patterns of Cultural and Budgetary Controls in International Joint
Ventures in South Korea, Asian Review of Accounting. Pp. 1-20.
Salter, Stephen B. dan David J. Sharp. 1997. Agency Effects and Escalation of
Commitment: do Small National Culture Differences Matter?. The
International Journal of Accounting. Vol. 36. Issue 1. Pp: 33-45.
45
Download