ANALISIS PIDANA TAMBAHAN PADA PELAKU KEKERASAN

advertisement
ANALISIS PIDANA TAMBAHAN PADA PELAKU KEKERASAN
SEKSUAL TERHADAP ANAK BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016
(Jurnal Ilmiah)
Oleh
Andre Rinaldy. T
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
ABSTRAK
ANALISIS PIDANA TAMBAHAN PADA PELAKU KEKERASAN
SEKSUAL TERHADAP ANAK BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016
Oleh
Andre Rinaldy. T, Nikmah Rosidah, Damanhuri.WN
Email: [email protected]
Dewasa ini, kekerasan seksual makin marak terjadi. Pemerintah sebagai pihak
yang menjamin kesejahteraan warganya tak tinggal diam. Presiden melalui
menterinya, melakukan rapat terbatas untuk membentuk perppu tentang
pemberatan pidana yakni berupa pidana tambahan pengumuman identitas pelaku,
kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi eletronik bagi pelaku. Permasalahan
yang dikaji penulis adalah analisis pidana tambahan pada pelaku kekerasan
seksual berdasarkan undang-undang nomor 17 tahun 2016, faktor-faktor
penghambat dan apakah pidana tambahan tersebut memenuhi rasa keadilan.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data
sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan
penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data menggunakan
analisis data kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa pelaku kekerasan seksual yang
dapat dituntut pidana tambahan sesuai undang-undang nomor 17 tahun 2016
antara lain Residivis, incest, aparatur penegak hukum, tenaga psebutendidik, yang
menimbulkan Korban banyak, dan apabila korban sampai meninggal dunia.
Faktor penghambat yang paling urgen adalah faktor hukumnya, yaitu karena
belum adanya undang-undang atau pun peraturan yang secara khusus mengatur
tentang tata cara pelaksanaan pidana tambahan tersebut. Pidana tambahan ter
hanya semata-mata sebagai suatu tindakan pembalasan dari pemerintah tanpa
upaya memperbaiki pribadi pelaku kekerasan seksual. Saran yang disampaikan
dalam penelitian ini adalah diharapkan pemerintah juga mengkaji ulang undangundang nomor 17 tahun 2016 sebab pidana tambahan yang diatur dalam perppu
tersebut dirasa tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan di Indonesia dan tidak
memenuhi rasa keadilan.
Kata Kunci: Pidana Tambahan, Kekerasan Seksual, Anak
ABSTRACT
ANALYSIS ADDITIONAL CRIMINAL ON PERSON OF SEXUAL
VIOLENCE AGAINST CHILDREN BASED ON GOVERNMENT
REGULATION IN LIEU OF LAW NUMBER 17 YEAR 2016
By
Andre Rinaldy.T , Nikmah Rosidah, Damanhuri.WN
Email: [email protected]
Nowadays, more and more rampant sexual violence. Government as a party to
ensure the welfare of its citizens can not remain silent. President through his
ministers, held a closed meeting to form a regualtion on criminal weighting
announcement in the form of additional criminal identity of the perpetrator,
chemical castration and the installation of electronic detection devices for
offenders. The problem studied is the author analyzes additional penalty on
perpetrators of sexual violence based regulation has the number 17 in 2016, the
inhibiting factors and whether additional criminal sense of fairness. Approach the
problem in this research using normative juridical approach and empirical
jurisdiction. The data used are primary data and secondary data. Methods of data
collection in this research is using the research literature and field research.
Analysis of data using qualitative data analysis. Based on the results of research
and discussion that has been done, it could be concluded that the perpetrators of
sexual violence that can be prosecuted additional penalty according regulation has
the number 17 in 2016 among other convicts, incest, law enforcement officials,
educators, causing victims a lot, and if the victim to death. The Factors inhibiting
the most urgent is the legal factors, namely because there is no law or regulation
that specifically regulates the procedures of the additional penalty. Criminal
additional regulation has the number 17 in 2016 merely as an act of retaliation
from the government without any effort to improve the personal perpetrators of
sexual violence. Suggestions presented in this study are expected in the
government is also reviewing the 2016 regulation has the number 17 cause
additional penalty set out in the regulation has deemed incompatible with the
objective of sentencing in Indonesia and no sense of fairness.
Keywords: Additional criminal, Sexual Violence, Children
1
I. PENDAHULUAN
Hukum sebagai alat kontrol sosial
dalam kehidupan masyarakat dituntut
untuk
dapat
mengatasi
atau
mewaspadai
segala
bentuk
perubahan sosial atau kebudayaan.
Meskipun telah diatur dalam
peraturan
perundang-undangan
masih banyak masyarakat yang tidak
mengetahui
dan
memahami
bagaimana prosedur-prosedur yang
berlaku dalam hukum itu sendiri.
Tidak adanya pemahaman tersebut
seringkali menyebabkan terjadi
implementasi hukum yang tidak
benar. Hal tersebut dapat membuat
hukum yang berlaku di masyarakat
menjadi tidak optimal dan membuat
masyarakat menjadi lupa, bahwa ada
hukum yang mengatur batasanbatasan hak-hak mereka dengan hakhak orang lain. Karena ketidaktahuan
akan hukum tersebut, maka timbulan
gejala sosial yang dinamakan
kejahatan.
Kejahatan merupakan Perilaku yang
tidak sesuai norma atau dapat disebut
sebagai penyelewengan terhadap
norma yang telah disepakati ternyata
menyebabkan
terganggunya
ketertiban
dan
ketentraman
kehidupan manusia.
Kejahatan sejak dahulu hingga
sekarang
selalu
mendapatkan
sorotan, baik itu dari kalangan
pemerintah maupun dari masyarakat
itu sendiri. Persoalan kejahatan
bukanlah merupakan persoalan yang
sederhana
terutama
dalam
masyarakat yang sedang mengalami
perkembangan seperti Indonesia ini.
Perkembangan itu dapat dipastikan
terjadi karena adanya perubahan tata
nilai, dimana perubahan tata nilai
yang bersifat positif berakibat pada
kehidupan
masyarakat
yang
harmonis dan sejahtera, sedangkan
perubahan tata nilai bersifat negatif
menjurus ke arah runtuhnya nilainilai budaya yang sudah ada. 1
Fenomena munculnya kejahatan
sebagai
gejala
sosial
karena
pengaruh kemajuan iptek, kemajuan
budaya dan pembangunan pada
umumnya tidak hanya menimpa
orang dewasa, tetapi juga menimpa
anak-anak. Upaya penanganan atas
kejahatan yang muncul adalah
dengan memfungsikan instrumen
hukum pidana secara efektif melalui
sistem peradilan pidana.
Dewasa ini tindak pidana kekerasan
seksual semakin tinggi. Menurut data
yang dikumpulkan oleh Pusat Data
dan Informasi Komisi Nasional
Perlindungan Anak Indonesia dari
tahun 2010 hingga tahun 2014
tercatat sebanyak 21.869.797 kasus
pelanggaran hak anak, yang tersebar
di 34 provinsi, dan 179 kabupaten
dan kota. Sebesar 42-58% dari
pelanggaran hak anak itu, merupakan
kejahatan kekerasan seksual terhadap
anak. Selebihnya adalah kasus
kekerasan fisik, dan penelantaran
anak. Data dan korban kejahatan
kekerasan seksual terhadap anak
setiap tahun terjadi peningkatan.
Pada 2010, ada 2.046 kasus,
diantaranya
42%
kejahatan
kekerasan seksual. Pada 2011 terjadi
2.426 kasus (58% kejahatan seksual),
dan 2012 ada 2.637 kasus (62%
kejahatan kekerasan seksual). Pada
2013, terjadi peningkatan yang
cukup besar yaitu 3.339 kasus,
dengan kejahatan kekerasan seksual
sebesar 62%. Sedangkan pada 2014
(Januari-April), terjadi sebanyak 600
1
B. Simandjuntak, 1981, Pengantar
Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung:
Tarsito, Hlm, 71
2
kasus atau 876 korban, diantaranya
137 kasus adalah pelaku anak.2
Berdasarkan
data
tersebut
merajalelanya kejahatan kesusilaan
ini terutama semakin mencemaskan
masyarakat, khususnya pada orang
tua. 3 Ini menunjukkan adanya
penyakit yang demikian jelas tidak
berdiri sendiri. Kejahatan terhadap
kesusilaan ini merupakan bukti nyata
perkembangan era globalisasi itu
sendiri. Salah satu perbuatan yang
dilarang oleh hukum yaitu hukum
pidana.
Perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai
dengan ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu. Perbuatan
pidana dapat pula dikatakan tindak
pidana, yaitu perbuatan yang oleh
suatu aturan hukum dilarang dan
diancam, asal saja dalam pada itu
diingat bahwa larangannya ditujukan
pada perbuatan yaitu suatu keadaan
atau suatu kejadian yang ditimbulkan
oleh
kelakuan
orang
yang
menimbulkan kejadian itu. Kejadian
itu tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang.4
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana (KUHP) menggolongkan
tindak pidana persetubuhan ke dalam
tindak
pidana
kesusilaan.
Persetubuhan merupakan salah satu
dari
kejahatan
seksual
yang
diakibatkan dari adanya perubahan
yang
terjadi
dalam
struktur
masyarakat
kita.
kejahatan
persetubuhan akan berdampak buruk
bagi korban apalagi anak yang
menjadi korban dari kejahatatan
kesusilaan,sebab akan melanggar hak
asasi manusia yaitu pada korban
terlebih lagi anak sebagai korban.
dalam
pengaturanya
perbutan
persetubuhan atau pencabulan yang
mana anak menjadi korban diatur
dalam Undang-Undang No 35 tahun
2014 tentang perlindungan anak.
Pemerintah sebagai pihak yang
menjamin dan kesejahteraan warga
negaranya
tak
tinggal
diam
menanggapi fenomena kekerasan
seksual yang makin marak terjadi
saat
ini.
Presiden
melalui
menterinya,
yakni
menteri
pemberdayaan
manusia
dan
kebudayaan, menteri agama, menteri
kesehatan,menteri
sosial,
serta
menteri hukum dan HAM, juga
Komisi
Perlindungan
Anak
Indonesia ( KPAI ) melakukan rapat
terbatas untuk membahas draf
perppu tentang pemberatan pidana
yakni tindakan berupa kebiri kimia
dan pemasangan alat deteksi
elektronik dan hukuman tambahan
seperti tindakan berupa kebiri kimia
dan pemasangan alat deteksi
elektronik bagi pelaku kekerasan
seksual sebagai paying hukum
perlindungan korban kekerasan
seksual.5
Terkait pengesahan undang-undang
tersebut, terjadi pro dan kontra dalam
masyarakat.
Masyarakat
yang
melihat kekerasan seksual sebagai
2
Di kutip dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_seks
ual_terhadap_anak_di_Indonesia diakses
pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 05.30 Wib
3
Arif Gosita.Masalah Korban Kejahatan
.Pressindo. Jakarta.1993. Hlm. 75.
4
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana.
Jakarta. Rineka Cipta. 1993. Hlm. 54.
http://www.bbc.com ,” Presiden terbitkan
Perppu kekerasan seksual terhadap anak”
diakses dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indon
esia/2016/05/160525_indonesia_perpu_keke
rasan_seksual pada tanggal 15 Juni 2016
pukul 05.30 WIB
5
3
kejahatan
yang harus
segera
dihilangkan menganggap bahwa
hukuman tambahan, dalam hal ini
tindakan berupa kebiri kimia dan
pemasangan alat deteksi elektronik
adalah jalan terbaik demi memberi
efek jera bagi para pelaku kekerasan
seksual terhadap anak, namun disisi
lain, banyak pihak-pihak yang
menetang dan menolak hukuman
tambahan yang diatur dalam perppu
tersebut, salah satunya adalah Ikatan
Dokter Indonesia ( IDI ).
Banyaknya masalah terkait pidana
tambahan yang dikeluarkan tersebut
membuat penulis tertarik mengkaji
mengenai pidana tambahan pada
pelaku kekerasan seksual terhadap
anak berdasarkan Perppu Nomor 1
Tahun 2016. Upaya penegakan
hukum terhadap setiap bentuk
kejahatan
kekerasan
seksual
berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun
2016 yang sampai saat ini masih
menimbulkan pro dan kontra dari
beberapa kalangan kendati presiden
sudah
membuatkan
tekadnya
memberantas kejahatan kekerasan
seksual dengan menerbitkan Perppu
Nomor 1 Tahun 2016. Kesulitan
dapat berasal dari diri aparat penegak
hukum,
ketidaksiapan
undangundang, dan rendahnya kesadaran
hukum masyarakat dalam berperan
serta untuk memberantas kejahatan
kekerasan seksual. Adapun judul
penelitian ini yaitu mengenai analisis
pidana tambahan pada pelaku
kekerasan seksual terhadap anak
berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun
2016.
Undang-undang
Tahun 2016
Nomor
Pelaku yang dapat dijatuhi pidana
tambahn kebiri kimia dan pemasang
chip dapat dijatuhkan terhadap
pelaku, antara lain Residivis, Incest,
Menimbulkan
korban
banyak,
apabila korban sampai meninggal
dunia
Pidana tambahan yang sudah
dijelaskan diatas hanya dapat
diberikan kepada orang dewasa.
Dalah hal ini, anak dianggap sebagai
korban.
B. Faktor Penghambat Dalam
Pelaksanaan Pidana Tambahan
pada Undang-undang Nomor 17
Tahun 2016
Menurut
Soerjono
Soekanto,
Faktor-faktor penghambat dalam
penegakan hukum adalah sebagai
berikut:6
1. Faktor
hukumnya
sendiri,
yang didalam tulisan ini akan
dibatasi pada undang-undang
saja;
II. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
6
A. Penerapan Pidana Tambahan
Pada Pelaku Kekerasan Seksual
Terhadap Anak Berdasarkan
17
Soerjono Soekanto. 1983, FaktorFaktor Yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada hal, 8-9
4
2. Faktor penegak hukum, yakni
pihak-pihak yang membentuk
maupun menrapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung penegakan
hukum;
4. Faktor
masyarakat,
yakni
lingkungan dimana hukum
tersebut
berlaku
atau
diterapkan;
5. Faktor
kebudayaan,
yakni
sebagai hasil karya, cipta, dan
rasa yang didasarkan pada
karsa
manusia
di
dalam
adanya penolakan melakukan kebiri
kimia dan pemasangan cip elektronik
oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
IDI beranggapan bahwa pidana
tambahan yang diatur dalam undangundang nomor 17 tahun 2017
bertentangan dengan kode etik
profesi dokter.
alasan IDI menolak pidana tambahan
pada undang-undang nomor 17 tahun
2016 terutama kebiri kimia adalah
karena dokter sebagai profesi
bertugas untuk menyembuhkan
keadaan tubuh yang sakit menjadi ke
keadaan baik dan sehat, bukan
membuat keadaan tubuh yang sakit
menjadi makin sakit atau membuat
keadaan tubuh yang sehat menjadi
sakit.
Dalam hal pelaksanaan perppu
tersebut, profesi dokter hanya dalam
upaya rehabilitasi terhadap pelaku
agar tidak mengalami trauma fisik
maupun psikologis akibat dari pidana
tambahan tersebut.
3. Faktor Sarana dan Fasilitas
pergaulan hidup.
1. Faktor Hukum
Belum adanya edaran terkait tata
cara pelaksanaan pidana tambahan
pada undang-undang nomor 17 tahun
2016 menjadi alasan mengapa
sampai sekarang pidana tambahan
belum dilakukan diindonesia. Jaksa
penuntut umum tidak bisa menuntut
pidana tambahan kepada pelaku
kekerasan seksual apabila belum
adanya peraturan yang mengatur tata
cara
pelaksanaannya
walaupun
pidana tambahannya sendiri sudah
ditetapkan dalam undang-undang
nomor 1 tahun 2016.
2. Faktor Penegak Hukum
Sampai saat ini sarana dan alat-alat
untuk pelaksanaan kebiri kimia dan
pemasangan cip elektronik belum
ada. Dibutuhkan biaya yang besar
untuk pembuatan alat-alat tersebut.
Maka bisa disimpulkan bahwa faktor
yang
menghambat
pelaksanaan
pidana tambahan pada pelaku
kekerasan seksual terhadap anak
berdasarkan undang-undang nomor
17 tahun 2016 adalah tingginya biaya
yang dikeluarkan untuk memenuhi
sarana dan fasilitas yang dibutuhkan.
4. Faktor Masyarakat
Masyarakat turut mempengaruhi
dalam halnya pelaksanaan pidana
tambahan pada Undang-undang
nomor 17 tahun 2016. Dalam hal ini,
5
masyarakat harus sadar hukum
dengan cara meyakini bahwa apa
yang telah dilakukannya terhadap
orang lain sudah ada hukum yang
mengaturnya. Sehingga masyarakat
tidak melakukan hal-hal yang
dilarang dalam hal ini kekerasan
seksual yang terdapat pada undangundang yang berlaku.
Begitu
pula
dengan
korban
kekerasan seksual untuk tidak takut
melaporkan suatu tindakan yang
dialami oleh dirinya atau yang terjadi
disekitarnya kepada aparat penegak
hukum. Hal ini bertujuan agar
hukum
dapat
dilaksanakan
sebagaimana
mestinya
dengan
bantuan masyarakat yang dapat
bekerjasama dengan menekan angka
atau memberantas tindak pidana
kekerasan seksual khususnya pada
anak.
5. Faktor Kultur dan budaya
Kebudayaan merupakan salah satu
unsur yang telah lama hidup dan
berkembang ditengah masyarakat.
Budaya masyarakat yang lebih
mengutamakan alat-alat tradisional
dalam kehidupan sehari-hari yang
dikaitkan dengan pola pikir dan seni
yang tradisional yang dianut dalam
suatu budaya masyarakat itu sendiri.
Pada era modern seperti ini,
masyarakat dapat mengakses media
elektornik. Media eletronik dapat
dijadikan sebagai sebuah wadah
untuk sarana untuk mempermudah
hidup.
Namun kadang media eletronik yang
seharusnya dimanfaatkan untuk halhal yang baik, disalah gunakan untuk
melakukan hal-hal yang salah, salah
satunya untuk mengakses kontenkonten pornografi yang dapat
menjerumuskan seseorang untuk
melakukan tindak pidana kekerasan
seksual.
C. Pidana Tambahan dalam
Undang-undang Nomor 17
Tahun 2016 Ditinjau dari
Teori Tujuan Pemidanaan
Pidana
tambahan
berupa
pengumuman identitas pelaku, kebiri
kimia, dan pemasangan cip tidak
akan menimbulkan efek jera bagi
pelaku kekerasan seksual pada anak
karena kekerasan seksual pada anak
itu merupakan manifestasi atau
operasionalisasi hasrat menguasai,
mengontrol dan mendominasi anak.
Pidana tambahan tersebut dipandang
tidak
menyasar
kepada
akar
permasalahan kekerasan seksual
terhadap anak namun hanya sematamata untuk menimbulkan efek jera
terhadap pelaku kekerasan seksual
pada anakyang diragukan secara
ilmiah.
Kebiri kimia apabila dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana
kekerasan seksual hanya akan
menghentikan hasrat nafsu pelaku
ketika menjalani hukuman saja,
apabila sudah selesai menjalani masa
hukuman taka da jaminan bahwa
pelaku
tidak
melakukan
perbuatannya lagi. Pengumuman
identitas pelaku juga dirasa tidak
sesuai dengan tujuan pemidanaan,
dimana apabila seseorang pelaku
tindak pidana kekerasan seksual
yang
disebarkan
ke
public
identitasnya terancam mengalami
pengucilan dari masyrakat, padahal
jelas-jelas seseorang yang dipidana
diharapkan dapat berbaur kembali
dengan masyarakat setelah ia
menjalani hukuman.
Tidak berbeda dengan cip elektronik
yang nantinya berfungsi untuk
6
melacak keberadaan mantan pelaku
kekerasan seksual, dengan cip yang
dipasangkan padanya membuat
dirinya tidak memiliki kebebasan
untuk bepergian dan melakukan
aktifitas sebab apapun yang sedang
ia lakukan, ia sedang di monitori
oleh aparat penegak hukum.
Dengan demikian pidana tambahan
tersebut hanya semata-mata sebagai
suatu tindakan pembalasan dari
pemerintah
tanpa
upaya
memperbaiki
pribadi
pelaku
kekerasan seksual. Sedangkan bagian
dari teori relative yang diterapkan di
Indonesia terdapat pada Pasal 2
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan
menyebutkan bahwa tujuan sistem
pemasyarakatan
adalah
untuk
membentuk
Warga
Binaan
Pemasyarakatan
menyadari
kesalahannya dan memperbaiki
dirinya agar menjadi manusia yang
lebih baik lagi. Hal inilah yang tidak
sesuai dengan tujuan pemidanaan
Indonesia.
D. Pidana Tambahan Dalam
Undang-undang Nomor 17
Tahun 2016 Dilihat dari
Sisi Keadilan
Keadilan pada dasarnya sifatnya
adalah abstrak, dan hanya bisa
dirasakan dengan akal dan pikiran
serta rasionalitas dari setiap individu
atau masyarakat. Keadilan tidak
berbentuk dan tidak dapat dilihat
namun pelaksanaannya dapat kita
lihat dalam perspektif pencarian
keadilan. Berikut pandangan ahli
tentang keadilan.7
Keadilan mencerminkan bagaimana
seseorang melihat tentang hakikat
manusia dan bagaimana seseorang
memperlakukan manusia. Begitu
pula hakim mempunyai kebebasan
sepenuhnya untuk menentukan jenis
pidana dan tinggi rendahnya suatu
pidana,
hakim
mempunyai
kebebasan untuk bergerak pada batas
minimum dan maksimum, pidana
yang diatur dalam Undang-undang
untuk tiap-tiap tindak pidana8
Suatu pidana yang dijatuhkan kepada
seorang pelaku harus dilihat dari diri
pelaku sendiri apakah dianggap sadar
atas perbuatannya atau tidak. Jika
berpotensi
mengulangi
lagi
perbuatannya
pidana
tambahan
dalam perppu tersebut dirasa adil.
Hukuman yang ada saat ini yakni 15
tahun
penjara
dirasa
kurang
memberikan efek jera bagi para
pelaku kekerasan seksual.
Menurut penulis, pidana tambahan
yang terdapat dalam perppu nomor 1
tahun 2016 tidaklah memenuhi rasa
keadilan. Tidak berbeda dengan
pendapat Ibu Nirmala Dewita, pidana
tambahan pengumuman identias
pelaku hanya akan memberikan
beban psikis karena menimbulkan
efek malu dan tekanan yang luar
biasa, bukan hanya pada pelaku tapi
juga keluarga pelaku. Lalu kebiri
kimia, penulis menganggap bahwa
pidana tesebut hanya akan menyakiti
pelaku, dan bisa berakibat pelaku
tidak bisa memiliki keturunan
nantinya. Hal tersebut juga memiliki
dampak bagi keluarga korban. Dan
yang
terakhir
pemasang
cip
elektronik hanya akan membatasi
aktifitas pelaku dikemudia hari.
7
http://hadisiti.blogspot.com/2012/11/teorikeadilan-menurut-para-ahli.html Diakses
pada tanggal
14 November 2014 Pukul 19.05 WIB
8
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum,
Cahaya Atma Pustaka, Jakarta, 2012, hlm,
105-106
7
Pelaku juga seperti tidak memiliki
privasi apabila setiap hal yang
dilakukan dipantau oleh aparat
penegak hukum.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian sebagaimana
yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat ditarik simpulan sebagai
berikut:
1. Pelaku kekerasan seksual yang
dapat dituntut pidana tambahan
sesuai undang-undang nomor 17
tahun 2016 antara lain , Residivis,
Incest, Aparatur penegak hukum,
Tenaga pendidik, Menimbulkan
Korban banyak, Apabila korban
sampai meninggal dunia
2. Pidana tambahan pada tidak dapat
diberikan kepada anak.
3. Faktor-faktor penghambat yang
paling dominan dalam pelaksanaan
pidana tambahan pada Undangundang Nomor 17 Tahun 2016 antara
lain :
a. Faktor Penegak Hukum, profesi
dokter
sebagai
pihak
yang
seharusnya kebiri kimia menolak
untuk
melakukannya
karena
menganggap
pidana
tambahan
tersebut tidak sesuai kode etik,
dimana profesi dokter seharusnya
membuat seseorang yang sakit
menjadi sembuh, bukan sebaliknya.
4. Pidana tambahan pada undangundang nomor 17 tahun 2016
bertentangan
dengan
tujuan
pemidanaan
Indonesia.
Pidana
tambahan berupa pengumuman
identitas pelaku, kebiri kimia, dan
pemasangan
cip
tidak
akan
menimbulkan efek jera bagi pelaku
kekerasan seksual pada anak karena
kekerasan seksual pada anak itu
merupakan
manifestasi
atau
operasionalisasi hasrat menguasai,
mengontrol dan mendominasi anak.
Pidana tambahan tersebut dipandang
tidak
menyasar
kepada
akar
permasalahan kekerasan seksual
terhadap anak namun hanya sematamata untuk menimbulkan efek jera
terhadap pelaku kekerasan seksual
pada anakyang diragukan secara
ilmiah.
Dengan demikian pidana tambahan
tersebut hanya semata-mata sebagai
suatu tindakan pembalasan dari
pemerintah
tanpa
upaya
memperbaiki
pribadi
pelaku
kekerasan seksual. Sedangkan bagian
dari teori relative yang diterapkan di
Indonesia terdapat pada Pasal 2
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan
menyebutkan bahwa tujuan sistem
pemasyarakatan
adalah
untuk
membentuk
Warga
Binaan
Pemasyarakatan
menyadari
kesalahannya dan memperbaiki
dirinya agar menjadi manusia yang
lebih baik lagi. Hal inilah yang tidak
sesuai dengan tujuan pemidanaan
Indonesia.
5.
Pidana
tambahan
berupa
pengumuman identitas pelaku, kebiri
kimia,
dan
pemasangan
cip
elektronik melanggar hak asasi
manusia seperti yang tercantum
dalam Pasal 33 ayat (1) UndangUndang No. 39 Tahun 2009 Tentang
Hak Asasi Manusia, menyatakan
bahwa setiap orang berhak untuk
bebas dari penghukuman yang
kejam,
tidak
manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat
kemanusiannya.
8
Pidana tambahan pengumuman
identias
pelaku
hanya
akan
memberikan beban psikis karena
menimbulkan efek malu dan tekanan
yang luar biasa, bukan hanya pada
pelaku tapi juga keluarga pelaku.
Lalu
kebiri
kimia,
penulis
menganggap bahwa pidana tesebut
hanya akan menyakiti pelaku, dan
bisa berakibat pelaku tidak bisa
memiliki keturunan nantinya. Hal
tersebut juga memiliki dampak bagi
keluarga korban. Dan yang terakhir
pemasang cip elektronik hanya akan
membatasi
aktifitas
pelaku
dikemudia hari. Pelaku juga seperti
tidak memiliki privasi apabila setiap
hal yang dilakukan dipantau oleh
aparat penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Gosita, Arif .Masalah Korban
Kejahatan. Pressindo. Jakarta.
1993.
Moeljatno.
Asas-Asas
Hukum
Pidana. Jakarta. Rineka Cipta.
1993
.Simandjuntak. B, 1981, Pengantar
Kriminologi
dan
Patologi
Sosial, Bandung: Tarsito
Soekanto, Soerjono, 1983, FaktorFaktor Yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum,
Cahaya Atma Pustaka, Jakarta,
2012, hlm, 105-106
B. Saran
Perundang-Undangan
Berdasarkan kesimpulan di atas
maka dalam hal ini penulis dapat
memberikan saran:
Undang-Undang
Dasar
Republik Indonesia
1.
Diharapkan
kepada
pemerintah untuk mengkaji ulang
undang-undang nomor 17 tahun
2016 sebab masih terdapat beberapa
hal yang belum dibuat aturannya
seperti tata cara pelaksanaan ketiga
pidana tambahan yang terdapat
dalam perppu tersebut.
2.
Diharapkan pemerintah juga
mengkaji ulang undang-undang
nomor 17 tahun 2016 sebab pidana
tambahan yang diatur dalam perppu
tersebut dirasa tidak sesuai dengan
tujuan pemidanaan di Indonesia dan
tidak memenuhi rasa keadilan.
3.
Diharapkan kepada para
profesi dokter apabila memang
pidana tambahan yang terdapat
dalam undang-undang nomor 17
tahun 2016 harus dijalankan, untuk
tidak
menolak
melakukan
kewajibannya.
Negara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak
Website
https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahat
an_seksual_terhadap_anak_di_I
ndonesia
http://www.bbc.com ,” Presiden
terbitkan Perppu kekerasan
9
seksual terhadap anak” diakses
dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita
_indonesia/2016/05/160525_ind
onesia_perpu_kekerasan_seksua
l pada tanggal 15 Juni 2016
pukul 05.30 WIB
Hp : 082280590062
Download