ANALISIS PIDANA TAMBAHAN PADA PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016 (Jurnal Ilmiah) Oleh Andre Rinaldy. T FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017 ABSTRAK ANALISIS PIDANA TAMBAHAN PADA PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016 Oleh Andre Rinaldy. T, Nikmah Rosidah, Damanhuri.WN Email: [email protected] Dewasa ini, kekerasan seksual makin marak terjadi. Pemerintah sebagai pihak yang menjamin kesejahteraan warganya tak tinggal diam. Presiden melalui menterinya, melakukan rapat terbatas untuk membentuk perppu tentang pemberatan pidana yakni berupa pidana tambahan pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi eletronik bagi pelaku. Permasalahan yang dikaji penulis adalah analisis pidana tambahan pada pelaku kekerasan seksual berdasarkan undang-undang nomor 17 tahun 2016, faktor-faktor penghambat dan apakah pidana tambahan tersebut memenuhi rasa keadilan. Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa pelaku kekerasan seksual yang dapat dituntut pidana tambahan sesuai undang-undang nomor 17 tahun 2016 antara lain Residivis, incest, aparatur penegak hukum, tenaga psebutendidik, yang menimbulkan Korban banyak, dan apabila korban sampai meninggal dunia. Faktor penghambat yang paling urgen adalah faktor hukumnya, yaitu karena belum adanya undang-undang atau pun peraturan yang secara khusus mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana tambahan tersebut. Pidana tambahan ter hanya semata-mata sebagai suatu tindakan pembalasan dari pemerintah tanpa upaya memperbaiki pribadi pelaku kekerasan seksual. Saran yang disampaikan dalam penelitian ini adalah diharapkan pemerintah juga mengkaji ulang undangundang nomor 17 tahun 2016 sebab pidana tambahan yang diatur dalam perppu tersebut dirasa tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan di Indonesia dan tidak memenuhi rasa keadilan. Kata Kunci: Pidana Tambahan, Kekerasan Seksual, Anak ABSTRACT ANALYSIS ADDITIONAL CRIMINAL ON PERSON OF SEXUAL VIOLENCE AGAINST CHILDREN BASED ON GOVERNMENT REGULATION IN LIEU OF LAW NUMBER 17 YEAR 2016 By Andre Rinaldy.T , Nikmah Rosidah, Damanhuri.WN Email: [email protected] Nowadays, more and more rampant sexual violence. Government as a party to ensure the welfare of its citizens can not remain silent. President through his ministers, held a closed meeting to form a regualtion on criminal weighting announcement in the form of additional criminal identity of the perpetrator, chemical castration and the installation of electronic detection devices for offenders. The problem studied is the author analyzes additional penalty on perpetrators of sexual violence based regulation has the number 17 in 2016, the inhibiting factors and whether additional criminal sense of fairness. Approach the problem in this research using normative juridical approach and empirical jurisdiction. The data used are primary data and secondary data. Methods of data collection in this research is using the research literature and field research. Analysis of data using qualitative data analysis. Based on the results of research and discussion that has been done, it could be concluded that the perpetrators of sexual violence that can be prosecuted additional penalty according regulation has the number 17 in 2016 among other convicts, incest, law enforcement officials, educators, causing victims a lot, and if the victim to death. The Factors inhibiting the most urgent is the legal factors, namely because there is no law or regulation that specifically regulates the procedures of the additional penalty. Criminal additional regulation has the number 17 in 2016 merely as an act of retaliation from the government without any effort to improve the personal perpetrators of sexual violence. Suggestions presented in this study are expected in the government is also reviewing the 2016 regulation has the number 17 cause additional penalty set out in the regulation has deemed incompatible with the objective of sentencing in Indonesia and no sense of fairness. Keywords: Additional criminal, Sexual Violence, Children 1 I. PENDAHULUAN Hukum sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat dituntut untuk dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan. Meskipun telah diatur dalam peraturan perundang-undangan masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui dan memahami bagaimana prosedur-prosedur yang berlaku dalam hukum itu sendiri. Tidak adanya pemahaman tersebut seringkali menyebabkan terjadi implementasi hukum yang tidak benar. Hal tersebut dapat membuat hukum yang berlaku di masyarakat menjadi tidak optimal dan membuat masyarakat menjadi lupa, bahwa ada hukum yang mengatur batasanbatasan hak-hak mereka dengan hakhak orang lain. Karena ketidaktahuan akan hukum tersebut, maka timbulan gejala sosial yang dinamakan kejahatan. Kejahatan merupakan Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia. Kejahatan sejak dahulu hingga sekarang selalu mendapatkan sorotan, baik itu dari kalangan pemerintah maupun dari masyarakat itu sendiri. Persoalan kejahatan bukanlah merupakan persoalan yang sederhana terutama dalam masyarakat yang sedang mengalami perkembangan seperti Indonesia ini. Perkembangan itu dapat dipastikan terjadi karena adanya perubahan tata nilai, dimana perubahan tata nilai yang bersifat positif berakibat pada kehidupan masyarakat yang harmonis dan sejahtera, sedangkan perubahan tata nilai bersifat negatif menjurus ke arah runtuhnya nilainilai budaya yang sudah ada. 1 Fenomena munculnya kejahatan sebagai gejala sosial karena pengaruh kemajuan iptek, kemajuan budaya dan pembangunan pada umumnya tidak hanya menimpa orang dewasa, tetapi juga menimpa anak-anak. Upaya penanganan atas kejahatan yang muncul adalah dengan memfungsikan instrumen hukum pidana secara efektif melalui sistem peradilan pidana. Dewasa ini tindak pidana kekerasan seksual semakin tinggi. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia dari tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupaten dan kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu, merupakan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, dan penelantaran anak. Data dan korban kejahatan kekerasan seksual terhadap anak setiap tahun terjadi peningkatan. Pada 2010, ada 2.046 kasus, diantaranya 42% kejahatan kekerasan seksual. Pada 2011 terjadi 2.426 kasus (58% kejahatan seksual), dan 2012 ada 2.637 kasus (62% kejahatan kekerasan seksual). Pada 2013, terjadi peningkatan yang cukup besar yaitu 3.339 kasus, dengan kejahatan kekerasan seksual sebesar 62%. Sedangkan pada 2014 (Januari-April), terjadi sebanyak 600 1 B. Simandjuntak, 1981, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung: Tarsito, Hlm, 71 2 kasus atau 876 korban, diantaranya 137 kasus adalah pelaku anak.2 Berdasarkan data tersebut merajalelanya kejahatan kesusilaan ini terutama semakin mencemaskan masyarakat, khususnya pada orang tua. 3 Ini menunjukkan adanya penyakit yang demikian jelas tidak berdiri sendiri. Kejahatan terhadap kesusilaan ini merupakan bukti nyata perkembangan era globalisasi itu sendiri. Salah satu perbuatan yang dilarang oleh hukum yaitu hukum pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu. Perbuatan pidana dapat pula dikatakan tindak pidana, yaitu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangannya ditujukan pada perbuatan yaitu suatu keadaan atau suatu kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang yang menimbulkan kejadian itu. Kejadian itu tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang.4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggolongkan tindak pidana persetubuhan ke dalam tindak pidana kesusilaan. Persetubuhan merupakan salah satu dari kejahatan seksual yang diakibatkan dari adanya perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat kita. kejahatan persetubuhan akan berdampak buruk bagi korban apalagi anak yang menjadi korban dari kejahatatan kesusilaan,sebab akan melanggar hak asasi manusia yaitu pada korban terlebih lagi anak sebagai korban. dalam pengaturanya perbutan persetubuhan atau pencabulan yang mana anak menjadi korban diatur dalam Undang-Undang No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Pemerintah sebagai pihak yang menjamin dan kesejahteraan warga negaranya tak tinggal diam menanggapi fenomena kekerasan seksual yang makin marak terjadi saat ini. Presiden melalui menterinya, yakni menteri pemberdayaan manusia dan kebudayaan, menteri agama, menteri kesehatan,menteri sosial, serta menteri hukum dan HAM, juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) melakukan rapat terbatas untuk membahas draf perppu tentang pemberatan pidana yakni tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik dan hukuman tambahan seperti tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik bagi pelaku kekerasan seksual sebagai paying hukum perlindungan korban kekerasan seksual.5 Terkait pengesahan undang-undang tersebut, terjadi pro dan kontra dalam masyarakat. Masyarakat yang melihat kekerasan seksual sebagai 2 Di kutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_seks ual_terhadap_anak_di_Indonesia diakses pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 05.30 Wib 3 Arif Gosita.Masalah Korban Kejahatan .Pressindo. Jakarta.1993. Hlm. 75. 4 Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. 1993. Hlm. 54. http://www.bbc.com ,” Presiden terbitkan Perppu kekerasan seksual terhadap anak” diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/berita_indon esia/2016/05/160525_indonesia_perpu_keke rasan_seksual pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 05.30 WIB 5 3 kejahatan yang harus segera dihilangkan menganggap bahwa hukuman tambahan, dalam hal ini tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik adalah jalan terbaik demi memberi efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak, namun disisi lain, banyak pihak-pihak yang menetang dan menolak hukuman tambahan yang diatur dalam perppu tersebut, salah satunya adalah Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ). Banyaknya masalah terkait pidana tambahan yang dikeluarkan tersebut membuat penulis tertarik mengkaji mengenai pidana tambahan pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Upaya penegakan hukum terhadap setiap bentuk kejahatan kekerasan seksual berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra dari beberapa kalangan kendati presiden sudah membuatkan tekadnya memberantas kejahatan kekerasan seksual dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Kesulitan dapat berasal dari diri aparat penegak hukum, ketidaksiapan undangundang, dan rendahnya kesadaran hukum masyarakat dalam berperan serta untuk memberantas kejahatan kekerasan seksual. Adapun judul penelitian ini yaitu mengenai analisis pidana tambahan pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Undang-undang Tahun 2016 Nomor Pelaku yang dapat dijatuhi pidana tambahn kebiri kimia dan pemasang chip dapat dijatuhkan terhadap pelaku, antara lain Residivis, Incest, Menimbulkan korban banyak, apabila korban sampai meninggal dunia Pidana tambahan yang sudah dijelaskan diatas hanya dapat diberikan kepada orang dewasa. Dalah hal ini, anak dianggap sebagai korban. B. Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pidana Tambahan pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 Menurut Soerjono Soekanto, Faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum adalah sebagai berikut:6 1. Faktor hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja; II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 6 A. Penerapan Pidana Tambahan Pada Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Berdasarkan 17 Soerjono Soekanto. 1983, FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada hal, 8-9 4 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menrapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam adanya penolakan melakukan kebiri kimia dan pemasangan cip elektronik oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). IDI beranggapan bahwa pidana tambahan yang diatur dalam undangundang nomor 17 tahun 2017 bertentangan dengan kode etik profesi dokter. alasan IDI menolak pidana tambahan pada undang-undang nomor 17 tahun 2016 terutama kebiri kimia adalah karena dokter sebagai profesi bertugas untuk menyembuhkan keadaan tubuh yang sakit menjadi ke keadaan baik dan sehat, bukan membuat keadaan tubuh yang sakit menjadi makin sakit atau membuat keadaan tubuh yang sehat menjadi sakit. Dalam hal pelaksanaan perppu tersebut, profesi dokter hanya dalam upaya rehabilitasi terhadap pelaku agar tidak mengalami trauma fisik maupun psikologis akibat dari pidana tambahan tersebut. 3. Faktor Sarana dan Fasilitas pergaulan hidup. 1. Faktor Hukum Belum adanya edaran terkait tata cara pelaksanaan pidana tambahan pada undang-undang nomor 17 tahun 2016 menjadi alasan mengapa sampai sekarang pidana tambahan belum dilakukan diindonesia. Jaksa penuntut umum tidak bisa menuntut pidana tambahan kepada pelaku kekerasan seksual apabila belum adanya peraturan yang mengatur tata cara pelaksanaannya walaupun pidana tambahannya sendiri sudah ditetapkan dalam undang-undang nomor 1 tahun 2016. 2. Faktor Penegak Hukum Sampai saat ini sarana dan alat-alat untuk pelaksanaan kebiri kimia dan pemasangan cip elektronik belum ada. Dibutuhkan biaya yang besar untuk pembuatan alat-alat tersebut. Maka bisa disimpulkan bahwa faktor yang menghambat pelaksanaan pidana tambahan pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan undang-undang nomor 17 tahun 2016 adalah tingginya biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi sarana dan fasilitas yang dibutuhkan. 4. Faktor Masyarakat Masyarakat turut mempengaruhi dalam halnya pelaksanaan pidana tambahan pada Undang-undang nomor 17 tahun 2016. Dalam hal ini, 5 masyarakat harus sadar hukum dengan cara meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya terhadap orang lain sudah ada hukum yang mengaturnya. Sehingga masyarakat tidak melakukan hal-hal yang dilarang dalam hal ini kekerasan seksual yang terdapat pada undangundang yang berlaku. Begitu pula dengan korban kekerasan seksual untuk tidak takut melaporkan suatu tindakan yang dialami oleh dirinya atau yang terjadi disekitarnya kepada aparat penegak hukum. Hal ini bertujuan agar hukum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan bantuan masyarakat yang dapat bekerjasama dengan menekan angka atau memberantas tindak pidana kekerasan seksual khususnya pada anak. 5. Faktor Kultur dan budaya Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang telah lama hidup dan berkembang ditengah masyarakat. Budaya masyarakat yang lebih mengutamakan alat-alat tradisional dalam kehidupan sehari-hari yang dikaitkan dengan pola pikir dan seni yang tradisional yang dianut dalam suatu budaya masyarakat itu sendiri. Pada era modern seperti ini, masyarakat dapat mengakses media elektornik. Media eletronik dapat dijadikan sebagai sebuah wadah untuk sarana untuk mempermudah hidup. Namun kadang media eletronik yang seharusnya dimanfaatkan untuk halhal yang baik, disalah gunakan untuk melakukan hal-hal yang salah, salah satunya untuk mengakses kontenkonten pornografi yang dapat menjerumuskan seseorang untuk melakukan tindak pidana kekerasan seksual. C. Pidana Tambahan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 Ditinjau dari Teori Tujuan Pemidanaan Pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan cip tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual pada anak karena kekerasan seksual pada anak itu merupakan manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi anak. Pidana tambahan tersebut dipandang tidak menyasar kepada akar permasalahan kekerasan seksual terhadap anak namun hanya sematamata untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual pada anakyang diragukan secara ilmiah. Kebiri kimia apabila dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual hanya akan menghentikan hasrat nafsu pelaku ketika menjalani hukuman saja, apabila sudah selesai menjalani masa hukuman taka da jaminan bahwa pelaku tidak melakukan perbuatannya lagi. Pengumuman identitas pelaku juga dirasa tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan, dimana apabila seseorang pelaku tindak pidana kekerasan seksual yang disebarkan ke public identitasnya terancam mengalami pengucilan dari masyrakat, padahal jelas-jelas seseorang yang dipidana diharapkan dapat berbaur kembali dengan masyarakat setelah ia menjalani hukuman. Tidak berbeda dengan cip elektronik yang nantinya berfungsi untuk 6 melacak keberadaan mantan pelaku kekerasan seksual, dengan cip yang dipasangkan padanya membuat dirinya tidak memiliki kebebasan untuk bepergian dan melakukan aktifitas sebab apapun yang sedang ia lakukan, ia sedang di monitori oleh aparat penegak hukum. Dengan demikian pidana tambahan tersebut hanya semata-mata sebagai suatu tindakan pembalasan dari pemerintah tanpa upaya memperbaiki pribadi pelaku kekerasan seksual. Sedangkan bagian dari teori relative yang diterapkan di Indonesia terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa tujuan sistem pemasyarakatan adalah untuk membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya dan memperbaiki dirinya agar menjadi manusia yang lebih baik lagi. Hal inilah yang tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan Indonesia. D. Pidana Tambahan Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 Dilihat dari Sisi Keadilan Keadilan pada dasarnya sifatnya adalah abstrak, dan hanya bisa dirasakan dengan akal dan pikiran serta rasionalitas dari setiap individu atau masyarakat. Keadilan tidak berbentuk dan tidak dapat dilihat namun pelaksanaannya dapat kita lihat dalam perspektif pencarian keadilan. Berikut pandangan ahli tentang keadilan.7 Keadilan mencerminkan bagaimana seseorang melihat tentang hakikat manusia dan bagaimana seseorang memperlakukan manusia. Begitu pula hakim mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk menentukan jenis pidana dan tinggi rendahnya suatu pidana, hakim mempunyai kebebasan untuk bergerak pada batas minimum dan maksimum, pidana yang diatur dalam Undang-undang untuk tiap-tiap tindak pidana8 Suatu pidana yang dijatuhkan kepada seorang pelaku harus dilihat dari diri pelaku sendiri apakah dianggap sadar atas perbuatannya atau tidak. Jika berpotensi mengulangi lagi perbuatannya pidana tambahan dalam perppu tersebut dirasa adil. Hukuman yang ada saat ini yakni 15 tahun penjara dirasa kurang memberikan efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual. Menurut penulis, pidana tambahan yang terdapat dalam perppu nomor 1 tahun 2016 tidaklah memenuhi rasa keadilan. Tidak berbeda dengan pendapat Ibu Nirmala Dewita, pidana tambahan pengumuman identias pelaku hanya akan memberikan beban psikis karena menimbulkan efek malu dan tekanan yang luar biasa, bukan hanya pada pelaku tapi juga keluarga pelaku. Lalu kebiri kimia, penulis menganggap bahwa pidana tesebut hanya akan menyakiti pelaku, dan bisa berakibat pelaku tidak bisa memiliki keturunan nantinya. Hal tersebut juga memiliki dampak bagi keluarga korban. Dan yang terakhir pemasang cip elektronik hanya akan membatasi aktifitas pelaku dikemudia hari. 7 http://hadisiti.blogspot.com/2012/11/teorikeadilan-menurut-para-ahli.html Diakses pada tanggal 14 November 2014 Pukul 19.05 WIB 8 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Jakarta, 2012, hlm, 105-106 7 Pelaku juga seperti tidak memiliki privasi apabila setiap hal yang dilakukan dipantau oleh aparat penegak hukum. III. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan uraian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Pelaku kekerasan seksual yang dapat dituntut pidana tambahan sesuai undang-undang nomor 17 tahun 2016 antara lain , Residivis, Incest, Aparatur penegak hukum, Tenaga pendidik, Menimbulkan Korban banyak, Apabila korban sampai meninggal dunia 2. Pidana tambahan pada tidak dapat diberikan kepada anak. 3. Faktor-faktor penghambat yang paling dominan dalam pelaksanaan pidana tambahan pada Undangundang Nomor 17 Tahun 2016 antara lain : a. Faktor Penegak Hukum, profesi dokter sebagai pihak yang seharusnya kebiri kimia menolak untuk melakukannya karena menganggap pidana tambahan tersebut tidak sesuai kode etik, dimana profesi dokter seharusnya membuat seseorang yang sakit menjadi sembuh, bukan sebaliknya. 4. Pidana tambahan pada undangundang nomor 17 tahun 2016 bertentangan dengan tujuan pemidanaan Indonesia. Pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan cip tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual pada anak karena kekerasan seksual pada anak itu merupakan manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi anak. Pidana tambahan tersebut dipandang tidak menyasar kepada akar permasalahan kekerasan seksual terhadap anak namun hanya sematamata untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual pada anakyang diragukan secara ilmiah. Dengan demikian pidana tambahan tersebut hanya semata-mata sebagai suatu tindakan pembalasan dari pemerintah tanpa upaya memperbaiki pribadi pelaku kekerasan seksual. Sedangkan bagian dari teori relative yang diterapkan di Indonesia terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa tujuan sistem pemasyarakatan adalah untuk membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya dan memperbaiki dirinya agar menjadi manusia yang lebih baik lagi. Hal inilah yang tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan Indonesia. 5. Pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan cip elektronik melanggar hak asasi manusia seperti yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) UndangUndang No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiannya. 8 Pidana tambahan pengumuman identias pelaku hanya akan memberikan beban psikis karena menimbulkan efek malu dan tekanan yang luar biasa, bukan hanya pada pelaku tapi juga keluarga pelaku. Lalu kebiri kimia, penulis menganggap bahwa pidana tesebut hanya akan menyakiti pelaku, dan bisa berakibat pelaku tidak bisa memiliki keturunan nantinya. Hal tersebut juga memiliki dampak bagi keluarga korban. Dan yang terakhir pemasang cip elektronik hanya akan membatasi aktifitas pelaku dikemudia hari. Pelaku juga seperti tidak memiliki privasi apabila setiap hal yang dilakukan dipantau oleh aparat penegak hukum. DAFTAR PUSTAKA Gosita, Arif .Masalah Korban Kejahatan. Pressindo. Jakarta. 1993. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. 1993 .Simandjuntak. B, 1981, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung: Tarsito Soekanto, Soerjono, 1983, FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Jakarta, 2012, hlm, 105-106 B. Saran Perundang-Undangan Berdasarkan kesimpulan di atas maka dalam hal ini penulis dapat memberikan saran: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1. Diharapkan kepada pemerintah untuk mengkaji ulang undang-undang nomor 17 tahun 2016 sebab masih terdapat beberapa hal yang belum dibuat aturannya seperti tata cara pelaksanaan ketiga pidana tambahan yang terdapat dalam perppu tersebut. 2. Diharapkan pemerintah juga mengkaji ulang undang-undang nomor 17 tahun 2016 sebab pidana tambahan yang diatur dalam perppu tersebut dirasa tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan di Indonesia dan tidak memenuhi rasa keadilan. 3. Diharapkan kepada para profesi dokter apabila memang pidana tambahan yang terdapat dalam undang-undang nomor 17 tahun 2016 harus dijalankan, untuk tidak menolak melakukan kewajibannya. Negara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Website https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahat an_seksual_terhadap_anak_di_I ndonesia http://www.bbc.com ,” Presiden terbitkan Perppu kekerasan 9 seksual terhadap anak” diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/berita _indonesia/2016/05/160525_ind onesia_perpu_kekerasan_seksua l pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 05.30 WIB Hp : 082280590062