ASPEK HUKUM SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR Oleh : Firman Floranta Adonara S.H.,M.H. I. Pendahuluan Kalau mengamati keadaan jalan-jalan di Indonesia, khususnya kota jember, semakin hari kepadatan jumlah pengendara yang menggunakan kendaraan bermotor semakin bertambah. Kepadatan tersebut disebabkan karena tidak sebandingnya antara bertambahnya kendaraan bermotor dengan bertambahnya volume jalan. Keadaan seperti di atas, merupakan salah satu indikasi adanya peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Salah satu sebab banyaknya kendaraan bermotor adalah karena adanya kemudahan-kemudahan yang diciptakan oleh pihak penjual kendaraan bermotor dalam melakukan pemasaran produk-produknya. Kemudahan tersebut di dapat karena untuk membeli suatu produk kendaraan bermotor, pihak pembeli tidak harus membayar harga barang secara lunas seketika, akan tetapi bisa dicicil atau diangsur beberapa kali sesuai dengan kesepakatan. Hal ini terjadi karena konsumen memiliki dana yang terbatas. Namun demikian disini yang terjadi bukan jual beli dengan angsuran sebagaimana yang dimaksud dalam KUH Perdata, tetapi bernama “Sewa Beli” yang merupakan lembaga hukum yang muncul sebagai jawaban atas kebutuhan praktek perdagangan sehari-hari. Pembelian barang bergerak, misalnya kendaraan bermotor, dengan sistem sewa beli dipandang sangan membantu pembeli dan sesuai dengan kemampuan keuangan mereka utnutk dapat memiliki barang yang diinginkan tersebut. Sistem ini menawarkan cara pembayaran angsuran dalam beberapa kali, dalam jangka waktu yang relatif panjang, yang tidak dijumpai pada sistem pembayaran tunai. Inilah yang menyebabkan pranata sewa beli semakin populer di masyarakat, tanpa terpikirkan persoalan-persoalan hukum yang mungkin timbul di kemudian hari. (Sri Gambir Melati Hatta,hal.1, 2000). Lembaga sewa beli berada di luar KUH Perdata, dan sampai saat ini belum diatur dalam undang-undang tersendiri yang khusus untuk itu, sepertinya halnya fiducia (UU No. 42 Tahun 1999). Lembaga sewa beli hidup dan berkembang berdasarkan kebiasaan dan kebutuhan perdagangan/bisnis. Lembaga ini memang belum diatur di dalam undang-undang secara khusus, tetapi mempunyai dasar hukum yaitu Surat Keputusan (SK) Menteri Perdagangan dan koperasi No.34/KP/80. SK tersebut hanya 1 memberikan perumusan tentang sewa beli dan mengatur tentang perizinan usaha sewa beli, jual beli dengan angsuran, dan sewa. Perkembangan lembaga sewa beli ini demikian pesat dan tentunya banyak terjadi peristiwa yang menyebabkan sewa beli ini mengalami kendala atau masalah-masalah hukum, baik yang dialami pihak produsen (penjual) maupun pihak konsumen (Pembeli). II. Rumusan Masalah 1. Kapan beralihnya hak kepemilikan kepada pembeli dalam hal terjadi sewa beli kendaraan bermotor? 2. Apa akibat hukum yang ditimbulkan dalam hal sewa beli kendaraan bermotor? III. Pembahasan 3.1. Peralihan Hak Dalam Lembaga Sewa Beli Lembaga sewa beli sekilas dapat menimbulkan persepsi yang keliru kepada orang yang untuk pertama kali berhadapan dengan lembaga tersebut, seakan-akan ada unsur “sewa” di dalamnya. Pemberian nama tersebut tidak terlepas dari pengaruh KUH Perdata, yaitu pada waktu orang percaya bahwa semua masalah hukum, khususnya hokum perdata, sudah mendapat pengaturannya secara lengkap dalam KUH Perdata. Dulu ada pemikiran bahwa semua peristiwa hukum yang muncul bisa dimasukkan ke dalam perjanjian yang ada dalam KUH Perdata dan tinggal menarik keluar pemecahannya, karena belum ada hukum yang belum tertampung dalam kitab undang-undang tersebut. Demikian pula dengan penyebutan sewa beli, karena orang tidak bisa melepaskan diri dari KUH Perdata, dan di sini hanya ada kotak jual beli dan sewa menyewa saja, yang cirri-cirinya agak mirip dengan lembaga yang baru muncul, maka mereka menyebutnya sewa beli, sesuai dengan nama-nama kotak-kotak yang ada. Memberi nama baru tentunya tak terpikir mereka. (J. Satrio, hal.16, 1986). Perjanjian sewa beli dalam KUH Perdata Belanda dimasukkan dalam kelompok jual beli, padahal sejatinya bukanlah jual beli sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 1457, karena justru ia muncul karena cirri-ciri jual beli tidak menampung kebutuhan praktek perdagangan dalam kehidupan sehari-hari. (Sri Gambir Melati Hatta,hal.33, 2000). Salah satu ciridari perjanjian jual beli dalam Pasal 1457 KUH Perdata adalah pembayaran dilakkan dengan tunai/kontan. Para usahawan (Penjual) 2 membutuhkan perluasan peredaran produk dagangannya, supaya tidak hanya menjangkau mereka yang mempunyai cukup uang, sehingga dapat membayar secara tunai, tetapi juga berusaha menjangkau mereka yang tidak dapat membayar secara tunai, atau dengan membayar sebagian saja sebagai uang muka, sedangkan sisanya dapat dibayar secara berkala di waktu kemudian sesuai kesepakatan. Ditinjau dari pembayarannya, mereka menghendaki adanya perjanjian kredit, paling tidak untuk sebagian harganya, dan karena pelunasan kreditnya dilakukan dalam beberapa angsuran, maka biasanya disebut jual beli dengan angsuran (novasi). Sedangkan ditinjau dari sudut pembeli, dengan membayar sebagian saja dari harga yang telah disepakati, maka sudah dapat menikmati barang tersebut, karena memang barang sudah langsung diserahkan kepada pembeli. Namun jual beli dengan angsuran tidak memberikan cukup jaminan akan pemenuhan secara tertib angsuran-angsuran yang menjadi kewajiban pembeli angsuran, maka para penjual tidak puas dengan langkah ini. Dalam jual beli dengan angsuran bendanya juga langsung diserahkan kepemilikannya kepada pembeli, sekalipun harganya belum dilunasi sesuai harga jual beli yang telah disepakatinya. Terhadap sisa harga jual beli ini pihak penjual mempunyai tagihan biasa saja, tanpa adanya jaminan. Menghadapi persoalan tersebut maka pihak penjual mencari jalan lain, yaitu suatu bentuk jual beli angsuran dengan cirri yang memberikan rasa aman bagi penjual. Rasa aman tersebut ditemukan dalam bentuk dipertahankannya hak milik atas benda yang dibeli tetap berada dalam kekuasaan penjual, sampai seluruh kreditnya dilunasi, atau ditinjau dari segi angsuran sampai angsuran terakhir dilunasinya. Selanjutnya jalan yang ditempuh oleh penjual adalah melakukan hubungan hukum yang memberikan rasa aman, dan lembaga hukum baru itu adalah sewa beli. SK Menperdagkop No.34/KP/II/1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli memberikan definisi bahwa sewa beli adalah jual beli barang, penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual. Pada perjanjian jual beli angsuran dengan pembayaran pertama dan diikuti penyerahan barang maka hak milik langsung beralih kepada pembeli. Sehingga pembeli langsung menjadi pemilik dengan penyerahan barang tersebut meskipun pembayaran belum lunas. (Sri Gambir Melati Hatta,hal.5-6, 2000). 3 Dengan demikian sewa beli adalah bukan jual beli dengan angsuran, tetapi modifikasi dari jual beli dengan angsuran, dimana hak kepemilikannya masih tetap berada di tangan penjual. Perlu diingat bahwa sewa beli disini adalah terhadap barang bergerak, dimana benda sewa beli sudah diserahkan kepada pembeli sewa pada waktu transaksi sewa beli ditutup. Padahal kalau dicermati disini timbul problema untuk menentukan apakah kepemilikan ikut berpindah atau tidak, sebab penyerahan benda bergerak tidak atas nama cukup dengan penyerahan secara nyata saja (Pasal 612 KUH Perdata), tetapi penyerahannya disini hanyalah untuk dipinjam-pakai saja, sebab kepemilikannya masih di tangan penjual sewa. Bahwa kesepakatan adanya sewa beli adalah termasuk perjanjian yang berada di luar KUH Perdata, namun demikian syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak boleh ditinggalkan, sebab Pasal 1320 KUH Perdata tersebut merupakan dasar terhadap semua perjanjian. Demikian juga terhadap hak dan kewajiban penjual sewa dan pembeli sewa tetap sesuai dengan jual beli dengan angsuran, yaitu penjual sewa menyerahkan barang dan berhak menerima angsuran, sedangakan pihak pembeli sewa berhak atas barang dan membayar sesuai dengan kesepakatan, hanya saja hak kepemilikan terhadap barang tersebut masih tetap berada di tangan penjual sewa sampai dilunasi sisa angsuran sesuai yang telah diperjanjikan. Bahwa di dalam perjanjian antara penjual sewa dan pembeli sewa adalah adanya penegasan penyerahan barang yang menjadi obyek sewa beli untuk dipinjam pakai saja, disini berarti kepemilikan obyek sewa beli masih tetap berada di tangan penjual sewa, maka konsekwensinya pembeli sewa tidak boleh memindah tangankan kepada pihak lain tanpa seijin pihak penjual sewa. Kemudian apabila ternyata hal tersebut dilanggar oleh pihak pembeli sewa, maka ia dapat dikenakan tindakan pidana, yaitu pasal tentang penggelapan (Pasal 374 KUHP). Barang bergerak yang tidak atas nama, dengan adanya perbuatan memindah tangankan oleh pembeli sewa kepada pihak ketiga tersbut, pihak penjual sewa secara perdata tidak dapat menuntut untuk dikembalikan barang yang ada pada pihak ketiga tersebut, sebab : Pertama: yang terikat dalam perjanjian pinjam pakai tersebut adalah antara penjual sewa dengan pembeli sewa (Pasal 1340 KUH Perdata), akan tetapi pihak penjual sewa secara pidana dapat melaporkan pembeli sewa tentang penggelapan kepada polisi, 4 sedangakan secara perdata dapat meminta ganti kerugian kepada pembeli sewa karena danya wanprestasi. Kedua: pihak ketiga yang beritikad baik harus dilindungi. Bahwa pihak ketiga yang membeli barang bergerak tidak atas nama secara wajar adalah mendapat perlindungan hokum (Pasal 1977 ayat 1 KUH Perdata). Disini penjual sewa dapat menuntut ganti kerugian kepada pembeli sewa karena adanya wanprestasi. Dengan demikian pihak penjual sewa mempunyai perlindungan hukum, walaupun tidak sempurna, adalah bahwa barang sewa beli tersebut, sekalipun dipegang oleh pembeli sewa, hak miliknya, selama harga sewa beli belum dilunasi, masih tetap berada dalam tangan si penjual sewa. Perlindungan dari sudut hukum pidana berupa ancaman pidana terhadap pengoperan barang sewa beli tanpa adanya persetujuan pihak penjual sewa. Dan karena inilah yang merupakan cirri khas yang membedakan dengan jual beli dengan angsuran (cicilan). Harus diakui, bahwa perlindungan tersebut bukan merupakan perlindungan yang sempurna, dalam arti bahwa pembeli sewa mutlak tidak dapat mengoperkan barang sewa beli kepada pihak ketiga. Walaupun demikian karena pada umumnya orang takut terlibat dalam perkara pidana, maka secara umum perlindungan tersebut sudah dianggap cukup memadai. Penyerahan barang sewa beli, untuk barang bergerak yang tidak atas nama adalah sebagaimana tersebut di atas, yaitu dengan penyerahan langsung atau nyata, akan tetapi untuk barang-barang bergerak yang atas nama, tidak cukup dengan penyerahan nyata saja, tetapi perlu disertai dengan pendaftaran (balik nama). Dalam tulisan ini penulis menitikberatkan pada sewa beli kendaraan bermotor saja. Untuk kendaraankendaraan bermotor di Indonesia, yang dipakai di jalanan umum, wajib didaftarkan. Sebagai tanda pendaftaran tersebut dikeluarkan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Dari namanya saja sudah ketahuan, bahwa buku tersebut membuktikan kepemilikan seseorang atas kendaraan tersebut. Setelah kendaraan didaftarkan maka selanjutnya diadakan tata usaha pendaftaran, dimana perkembangan lebih lanjut kepemilikan kendaraan tersebut diikuti. Setiap peralihan hak maupun pembebanan kendaraan tersebut (gadai, fiducia) wajib didaftarkan pada kantor Polisi dimana kendaraan tersebut terdaftar. Dengan cara demikian dapatlah diketahui siapa pemilik kendaraan yang bersangkutan dan apakah kendaraan tersebut sedang dijaminkan. 5 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembeli sewa telah sah menjadi pemilik dari kendaraan tersebut sejak didaftarkan (di samsat). Dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang terjadi saat ini, kebanyakan sejakpembayaran pertama atau uang muka, surat-surat yang berkaitan dengan kendaraan bermotor sudah diatas namakan kepada pembeli sewa, dan ini semuanya dilakukan dengan penuh kesadaran oleh penjual sewa sendiri, sebagai suatu rangkaian pelayanan penjualan. Akibatnya adalah bahwa sewa beli disini yang terjadi adalah jual beli dengan angsuran, sebab penjual sewa dengan kesadarannya sendiri membalik namakan kepada pembeli sewa, disini berarti penjual sewa telah menghilangkan jaminan terhadap barang yang disewa, yang semula dimaksudkan sebagai garansi pada saat perjanjian sewa beli ditutup. Konsekwensi dari semuanya ini adalah penjual sewa menjadi kreditur konkuren biasa, tanpa adanya jaminan khusus. Memang penjual sewa mempunyai pedoman Pasal 1144 KUH Perdata. Dalam hal pembeli sewa wanprestasi, penjual sewa dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan/atau tanpa tuntutan ganti rugi, da/atau sangsi yang diperjanjikan, termasuk pelaksanaan daripada denda, kalau hal tersebut diperjanjikan. Akan tetapi menuntut kembali benda sewa beli, seperti yang biasanya diperjanjikan dalam akta sewa beli, tidak dapat lagi, karena benda tersebut sudah bukan miliknya lagi. Pembeli sewa sekarang berkedudukan sebagai pemilik kendaraan sewa beli dan sebagai debitur biasa atas sisa-sisa angsuran yang belum dibayar. Keadaan sebagaimana disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa dalam sewa beli kendaraan bermotor telah terjadi perjanjian dua kali. Pertama perjanjian sewa beli itu sendiri, yang kedua adalah perjanjian untuk langsung membalik ke atas nama pembeli sewa. Disini perlu dipertimbangkan kedudukan secara hukum penjual sewa, sebab dengan dibalik namakan kepada pembeli sewa, berarti posisi pembeli sewa sudah sah menjadi pemilik barang, sehingga penjual sewa secara hukum sudah tidak berhak atas barang tersebut. Apakah penjual sewa tidak dapat memperbaiki kedudukannya dengan mengemukakan, bahwa perjanjian yang kedua batal demi hukum, mengingat bahwa causanya terlarang? Karena untuk menghindari balik nama untuk kedua kalinya! Kemungkinan bagi penjual sewa untuk dapat membebaskan diri dari akibat-akibat perjanjian yang kedua, yang merugikan dirinya, kiranya sulit tercapai, mengingat ia wajib membuktikan bahwa perjanjian yang kedua benar-benar diadakan untuk menyelundupi peraturan perpajakan, karena pihak pembeli sewa dapat saja 6 mengemukakan, bahwa dasar dibuatnya perjanjian yang kedua adalah sepakat antara mereka untuk merubah perjanjian sewa beli menjadi jual beli dengan angsuran dan dengan demikian tidak ada yang terlarang. Apakah penjual sewa dapat mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian yang kedua atas dasar kesesatan? Dengan perkataan lain, apakah penjual sewa dapat mengemukakan bahwa ia tidak tahu, bahwa akibat hukum yang timbul dari perjanjian kedua adalah sangat merugikan baginya, sehingga seandainya ia mengetahui lebih dahulu tentang akibat hokum tersebut, ia tidak akan menutup kemungkinan yang kedua? Terhadap inipun sulit diterima, sebab dipandang dari sudut kemampuan penjual sewa dipandang mempunyai pemikiran bagus. Disamping itu barang sewa beli diserahkan kepada pembeli sewa hanya sebagai pemegang pakai saja, barang sewa beli yang bersangkutan langsung dibalik nama atas nama pembeli sewa, semuanya dilakukan dengan penuh kesadaran. Kemudian menyadari akan kemungkinan adanya tindakan pembeli sewa yang merugikan pihak penjual sewa, maka pengurusan pendaftaran kendaraan tersebut dilakukan oleh penjual sewa sendiri. Selanjutnya setelah BPKB sudah jadi, maka BPKB tersebut oleh penjual sewa ditahan sebagai barang jaminan sampai dilunasinya harga sewa beli tersebut. Latar belakang didaftarkannya kendaraan sewa beli langsung keatas nama pihak pembeli sewa adalah semata-mata kebutuhan bisnis, yaitu demi memberikan pelayanan kepada pihak pembeli sewa. Disamping itu juga untuk menghindari balik nama kedua kalinya, sebab kalau sampai harus diatasnamakan penjual sewa terlebih dahulu, maka setelah angsuran terakhir, setelah hak kepemilikan berpindah ke pihak pembeli sewa, maka harus dibaliknamakan, ini berarti telah terjadi balik nama kendaraan dua kali. Dilihat dari sisi ekonomis, adalah dapat menyebabkan biaya tinggi, sebab mau tidak mau akan menyebabkan biaya menjadi banyak dan akhirnya harga sewa menjadi lebih tinggi, dan ini tentunya sangat tidak kompetitif dan berpengaruh terhadap omzet penjualan, mengingat saat ini persaingan sewa beli sangat ketat. 3.2. Akibat Hukum Sewa Beli Kendaraan Bermotor Bahwa meskipun dalam praktek sewa beli yang menddaftarkan langsung menjadi milik pembeli sewa, ditinjau dari segi yuridis mengandung kelemahan di pihak penjual sewa, sebab sejak saat didaftarkannya barang sewa beli keatas nama pembeli sewa, maka secara hukum barang sewa beli tersebut sudah menjadi milik pembeli 7 sewa, meskipun harga belum lunas. Disini berarti yang terjadi sebenarnya adalah bukan sewa beli, tetapi jual beli dengan angsuran. Dengan demikian, praktek semacam ini telah terjadi perjanjian dua kali, yaitu : Pertama perjanjian sewa beli itu sendiri, yang kedua adalah perjanjian untuk langsung membalik ke atas nama pembeli sewa. Dari keadan demikian maka penjual sewa akan mengalami kesulitan untuk membuktikan bahwa maksud perjanjian yang kedua adalah bukan untuk merubah perjanjian dari sewa beli menjadi jual beli dengan angsuran. Melihat adanya risiko, pihak penjual sewa yang tetap melaksanakan praktek sebagaimana tersebut diatas, maka ini semua tidak terlepas dari masalah bisnis, sebab : Kalau kendaraan bermotor yang menjadi obyek sewa beli harus didaftarkan atas nama penjual sewa terlebih dahulu sebelum dibayar lunas angsurannya, dengan konsekwensi penjual sewa harus membalik nama kembali ke atas nama pembeli sewa, yang berarti menambah biaya dan akhirnya membuat harga sewa beli menjadi lebih tinggi,atau Kendaraan langsung diatasnamakan pembeli sewa, dengan konsekwensi penjual sewa kehilangan pegangan hak kepemilikan secara hukum terhadap jaminannya, akan tetapi harga penjualan dapat ditekan seminimal mungkin. Memang dalam pelaksanaannya pihak penjual sewa masih dapat menahan BPKB sampai dilunasinya barang sewa, tetapi disini secara hukum bukan permasalahan sewa beli lagi, tetapi merupakan wanprestasi karena sisa angsuran belum dilunasi. Di dalam praktek yang biasa terlaksana dalam masyarakat ternyata hampir semua BPKB sudah atas nama pembeli sewa, yang kemudian di dalam klausul yang lain ada pengecualian yang umumnya berbunyi “bahwa meskipun BPKB sudah atas nama pembeli, Namun hanya untuk memudahkan pengurusan pembayaran dan pengurusan lain-lain. Maka untuk itu pembeli menyatakan bahwa selama masa mengangsur hak milik masih tetap dipegang penjual”. Namun demikian, walaupun di dalam klausula perjanjian sewa beli telah dicantumkan klausula penundaan peralihan hak, dalam prakteknya terdapat pula putusan Mahkamah agung Republik Indonesia yang telah menyatakan bahwa pembeli 8 adalah pemilik dari barang yang dibeli sedangkan kekurangan angsuran dianggap sebagai hutang yang harus dibayar oleh pembeli sewa. Hal ini dapat kita lihat dalam perkara antara P.T. Kirana Motor v.s. Lomo Saragih No. 1243 K/Pdt/1983, tanggal 19 April 1985. Menurut Mahkamah Agung, walaupun sewa beli tidak ada dalam KUH Perdata namun demikian dalam memutuskan suatu perkara dapat juga dipergunakan KUH Perdata. Dalam perkara P.T. Kirana Motor v.s. Lomo Saragih tersebut hakim mempertimbangkan bahwa meskipun tergugat (pembeli sewa) wanprestasi, namun barang obyek perjanjian menjadi milik tergugat (pembeli sewa). Meskipun masih dalam masa mengangsur ternyata barang obyek perjanjian sudah beralih haknya kepada tergugat (pembeli sewa). Mengenai hal ini pula disimak Putusan MA No.935 K/Pdt/1985, tanggal 30 September 1986 dalam perkara antara Unda Bin H. Marsan dan Ny. Lie Tjiu Howa dan Achmad Kartawijaya, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Dari pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Agung dalam memutus perkara ini, dapat diketahui bahwa berdasarkan pertimbangan hakim serta putusannya, ternyata bahwa walaupun dalam perjanjian sewa beli tersebut telah ada klausul penundaan peralihan hak namun demikian karena tergugat telah membayar lebih dari 50% angsurannya, barang tersebut telah dinyatakan sebagai milik dari pembeli sewa sehingga tidak dapat ditarik kembali oleh penjual. Jadi walaupun dalam teori perjanjian sewa beli, peralihan hak baru beralih jika pembayarannya telah lunas, namun demikian berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung ini telah terjadi pergeseran atas teori tersebut. Semua ada kelebihan dan kekurangannya, dan masing-masing juga membawa risiko, akan tetapi bukankah dalam bisnis penuh dengan risiko dari berbagai kemungkinan. Dalam praktek yang terjadi adalah pembeli sewa sudah langsung memperoleh balik nama terhadap sewa beli kendaraan, hal ini dipilih oleh penjual sewa, karena dengan menahan BPKB sudah dirasa cukup sebagai pegangan akan jaminan terhadap kekurangan angsuran. Jalan yang seharusnya ditempuh oleh pihak penjual sewa, supaya aman secara hukum dalam melakukan transaksi jual beli barang bergerak yang atas nama yang tidak kontan adalah bukan dengan perjanjian sewa beli, tetapi dengan melakukan perjanjian jual beli dengan angsuran/cicilan, tetapi terus diikuti dengan perjanjian fiducia sebagai jaminan atas sisa harga jual yang masih terutang oleh pembeli sewa. 9 IV. Penutup 4.1. Kesimpulan Bahwa sewa beli merupakan salah satu perjanjian tak bernama yang tidak diatur dalam suatu undang-undang yang secara khusus. Sewa beli tumbuh dan berkembang seiring perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan dalam perdagangan atau bisnis, sehingga belum terakomodasi dalam KUH Perdata. Sewa beli diatur dalam SK Menteri Perdagangan dan koperasi No.34/KP/II/1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli. Bahwa sewa beli hamper mirip dengan jual beli dengan angsuran, karena samasama merupakan pembelian barang bergerak yang pembayarannya dilakukan beberapa kali sesuai perjanjian dan barang langsung diserahkan kepada pembeli. Perbedaannya kalau jual beli dengan angsuran kepemilikannya sejak pembayaran angsuran pertama, sedangkan sewa beli kepemilikannya terjadi pada saat pembayaran angsuran terakhir. Dalam sewa beli kendaraan bermotor, dimana suratnya langsung tercatat atas nama pembeli sewa, yang terjadi sebenarnya bukan lagi sewa beli, tetapi jual beli dengan angsuran, karena dengan tercatatnya pembeli sewa ke dalam BPKB, maka secara hokum saat tercatat itulah kepemilikan terhadap barang tersebut berada di pihak pembeli sewa. 4.2. Saran Bila akan mengadakan perjanjian sewa beli terhadap barang bergerak atas nama, yang langsung dicatatkan ke dalam nama pembeli sewa, maka hendaknya diikuti perjanjian kedua yaitu perjanjian fiducia, supaya pihak penjual sewa mendapat perlindungan secara hukum. Di waktu yang akan datang hendaknya lembaga sewa beli dapat diatur secara tegas dalam suatu undang-undang tersendiri, ini semata-mata demi kepastian hukum dan rasa aman, baik bagi produsen maupun konsumen. 10 Daftar Pustaka J. Satrio, 1986, Sewa Beli, dimuat dalam majalah “Justitia” Media Komunikasi F.H. Unsud, No.3; Sri Gambir Melati Hatta,2000,Beli sewa sebagai perjanjian tak bernama : Pandangan Masyarakat dan sikap Mahkamah Agung Indonesia,Alumni, Bandung; KUH Perdata; KUH Pidana; SK Menperdagkop No.34/KP/II/1980; Putusan Mahkamah Agung RI No. 1243 K/Pdt/1983, tanggal 19 April 1985; Putusan Mahkamah Agung RI No.935 K/Pdt/1985, tanggal 30 September 1986. 11