BAB IV STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ZAKAT HASIL

advertisement
BAB IV
STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP
ZAKAT HASIL USAHA PENANGKAPAN IKAN LAUT
DI KECAMATAN PEKALONGAN UTARA
A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Zakat Hasil Usaha Penangkapan Ikan
Laut di Pekalongan Utara
Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
penulis,
usaha
penangkapan ikan laut sudah menjadi usaha yang bisa dikatakan sebagai usaha
yang dapat mendatangkan hasil yang besar. Hal ini dapat dilihat dari laba yang
didapatkan para pengusaha penangkapan ikan laut yang mencapai ratusan juta
hingga milyaran rupiah setiap tahunnya, tanpa mengesampingkan adanya
keuntungan dan kerugian dalam setiap jenis usaha apapun.
Para pengusaha penangkapan ikan laut menjalankan kewajibannya
menunaikan zakat setiap tahun. H. Maksum menerangkan bahwa zakat usaha
penangkapan ikan laut ini selain sebagai pelaksanaan perintah agama
dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur dari para pengusaha atas rizki yang
telah diberikan oleh Allah kepada mereka.1
Menurut penjelasannya, zakat hasil usaha penangkapan ikan laut
dilaksanakan sebagaimana zakat perdagangan. Hal ini didasarkan adanya
modal yang harus disiapkan setiap kali pelayaran. Selain itu, hasil tangkapan
dari setiap pelayaran ini diperdagangkan, dalam hal ini ditangani oleh TPI
Pekalongan. Maka dari itu, zakat hasil usaha penangkapan ikan laut
1
Wawancara dengan H. Maksum pada tanggal 5 September 2015
58
59
dilaksanakan
sebagaimana
zakat
perniagaan.
Karena
pelaksanaannya
disamakan dengan zakat perdagangan, maka ketentuan-ketentuan syariatnya
pun juga disamakan dengan zakat perdagangan. Baik syarat, rukun, maupun
tata caranya.
Dalam nash Al Quran maupun Hadits, Hasil usaha penangkapan ikan
laut belum ada ketentuan apakah ada kewajiban zakat ataupun tidak. Meski
demikian, melihat hasil yang didapatkan begitu melimpah bahkan melebihi
beberapa komoditas pertanian – seperti yang penulis ketahui, bahwa hasil dari
pertanian tidaklah sebanyak hasil usaha penangkapan ikan laut – yang terkena
wajib zakat, maka perlu adanya hukum yang mengatur tentang zakat usaha
penangkapan ikan laut ini.
Dari keterangan yang penulis dapatkan dari H. Maksum, zakat hasil
usaha penangkapan laut di kecamatan pekalongan utara yang dilaksanakan
dengan menyamakannya dengan zakat perniagaan, maka perhitungan untuk
harta yang dikeluarkan hanyalah harta yang bersumber dari hasil penangkapan
ikan laut sendiri, dipisahkan dengan harta yang lain. Yakni para pengusaha
mengelompokkan harta kekayaan mereka yang bersumber dari hasil usaha
penangkapan ikan laut dari harta kekayaan lainnya. H. Alimin, H. Nastan dan
H. Apong sependapat dengan pendapat ini, yakni memisahkan harta kekayaan
yang didapat dari hasil usaha penangkapan ikan laut dengan harta yang lain.
Sedangkan menurut Heri Irawan, penghitungan harta kekayaan
tidaklah dipisahkan. Yakni pengeluaran zakat hasil usaha penangkapan ikan
laut digabungkan dengan harta lain.
60
Menurut
Fahmi
Adita,
zakat
usaha
penangkapan
ikan
laut
dilaksanakan setelah menzakati kapal dalam waktu pembelian pertama.
Karena kapal tersebut termasuk harta hak milik.
Dari ketiga pendapat ini terlihat jelas adanya perbedaan antara
pengusaha satu dengan lainnya tentang mekanisme pelaksanaan zakat hasil
usaha penangkapan ikan laut. Menurut penulis, hal ini dikarenakan perbedaan
pemahaman di antara para pengusaha ikan laut akan perhitungan zakat hasil
usaha penangkapan ikan laut.
Untuk menganalisis ketiga pendapat ini, maka perlu penulis paparkan
pengelompokkan harta hasil usaha yang akan dikeluarkan zakatnya. Hal ini
dikarenakan ketidaksamaan semua harta dalam tata cara pengeluaran
zakatnya. Yakni tidak semua hasil usaha dizakati dengan cara yang sama
dengan zakat perniagaan sebagaimana zakat usaha penangkapan ikan laut.
Tidak semua usaha dizakati dengan 2,5%, dan usaha itupun membutuhkan
investasi modal masing-masing. Zakat perniagaan (sebagai dasar tata cara
pengeluaran zakat usaha penangkapan ikan laut) yang pengeluaran zakatnya
adalah 2,5% tentunya berbeda dengan zakat pertanian yang zakatnya diperinci
dengan 5% jika pengairannya dengan mesin dan 10% jika pengairannya secara
alami.2
Dengan demikian pengelompokan harta sebelum dihitung untuk
dikeluarkan zakatnya merupakan hal yang perlu dilakukan oleh pengusaha
penangkapan ikan laut, terutama apabila seorang pengusaha penangkapan ikan
2
Taqiyuddin Ad Dimasyqi, Kifayah al Akhyar, (Beirut: Darul Kutub al ‘Ilmiyah, 2005), Juz
I, hlm. 268
61
laut memiliki usaha lain selain usaha penangkapan ikan laut. Maka
pengelompokan harta ini seyogyanya dilakukan olehnya. Jika semua harta
digabungkan, maka akan menyulitkan penghitungan perkembangan suatu
harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Setelah masing-masing harta dihitung
dan dikeluarkan zakatnya, barulah ia bisa menggabung harta usaha
penangkapan ikan laut dengan harta yang lain yang juga telah dihitung dan
dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, harta yang sudah dihitung tadi sudah
menjadi harta yang bersih yang telah diambil zakatnya, dan dalam
pembagiannya disebut sebagai pembagian zakat mal.
Dari ketiga pendapat yang diutarakan para pengusaha penagkapan ikan
laut di kecamatan pekalongan utara, maka pendapat mayoritas pengusaha lah
(yakni H. Maksum, H. Alimin, H. Nastan dan H. Apong yang
mengelompokkan harta sebelum dihitung dan dikeluarkan zakatnya) yang
menurut penulis telah memenuhi kriteria. Menurut penulis pengelompokkan
harta ini merupakan hal yang perlu dilakukan sebagai ihityat dari pengusaha
untuk menghindari hal yang syubhat supaya tidak bercampurnya hasil usaha
penangkapan ikan laut dengan harta yang lain. Setelah dihitung seluruh hasil
usaha penangkapan ikan laut dan kadar yang harus dikeluarkan zakatnya,
maka waktu pelaksanaan zakatnya bisa digabung dengan zakat harta yang lain.
Sedangkan pendapat Fahmi Adita yang menyatakan bahwa kapal harus
dikeluarkan zakatnya terlebih dahulu sebelum mengeluarkan zakat hasil usaha
penangkapan ikan laut tidak lah mempunyai dasar dan penulis tidak
sependapat dengan pendapat ini. Karena kapal memang merupakan harta (al
62
mal) yang mengandung arti nama bagi semua benda yang ada di bawah
kekuasaaan manusia.3 Meski demikian, sudah menjadi kesepakatan ulama
bahwa tidak semua harta manusia wajib dizakati. Hanya empat jenis harta
yang wajib dizakati: emas perak, tanaman, hewan ternak, dan harta dagagan.
Kewajiban zakat pada harta-harta tersebut adalah karena adanya unsur
berkembang (an nama‟),4 sedangkan kapal sendiri tidak memenuhi kriteria
harta yang terkena wajib zakat.
B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Zakat Hasil Usaha Penangkapan
Ikan Laut di Kecamatan Pekalongan Utara
Usaha penangkapan ikan laut merupakan kegiatan penangkapan ikan
di laut lepas yang tidak dalam keadaan dibudidayakan di mana dalam usaha
tersebut terjadi perputaran uang dari modal untuk mendapatkan keuntungan
atau laba. Modal tersebut digunakan untuk melengkapi berbagai perbekalan
yang dibutuhkan dalam kegiatan pelayaran, seperti oli, solar, es, jaring, bahanbahan pokok makanan dan lain sebagainya. Tanpa adanya modal, maka usaha
penangkapan ikan laut ini tidak akan berjalan dengan baik.
Hasil yang diperoleh dari usaha ini tidak menentu sebagaimana telah
disebutkan di bab III dalam tabel produksi dan nilai produksi perikanan laut
tahun 2014 – 2015. Dalam dua tabel yang penulis paparkan yang didapatkan
3
Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmah At Tasyri‟ Wa Falsafatuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1997),
cet. ke-5, h. 126
4
Yang dimaksud berkembang di sini adalah bertambah dan banyak. Seorang yang memiliki
lima ekor kambing yang dikembangbiakkan selama beberapa waktu, kemudian kambing-kambing
itu bertambah, baig dalam segi kualitas (gemuk) maupun kuantitas (dari lima menjadi sepuluh dan
seterusnya), maka pertambahan itu dikatakan sebagai nama‟ (berkembang). Lihat: Forum
Kalimasada Lirboyo, Kearifan Syariah – Menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif Filosofis,
Medis, Dan Sosiohistoris, (Kediri: Lirboyo Press & An-Najma, 2009), hlm. 214
63
dari TPI Kota Pekalongan, dapat disimpulkan bahwa hasil yang didapatkan
oleh para pengusaha penangkapan ikan laut tidaklah menentu. Dalam bulan
yang sama di tahun 2014 dan 2015, hasil yang didapatkan tidaklah sama.
Pengusaha penangkapan ikan laut di Kecamatan Pekalongan Utara
melaksanakan zakat usaha penangkapan ikan laut dengan ketentuan
sebagaimana zakat perniagaan, baik syarat maupun cara penghitungan nishab
dan kadar yang dikeluarkan. Untuk mengetahui apakah yang telah dilakukan
para pengusaha penangkapan ikan laut ini sesuai syariat ataupun tidak, maka
perlu dilakukan analisa dilihat dari perspektif hukum Islam.
1. Kewajiban Zakat Usaha Penangkapan Ikan Laut
Usaha penangkapan ikan laut sendiri dapat dikatakan sebagai hal
baru yang ketentuannya belum diatur pada zaman Rasulullah SAW.
Sebagaimana disebutkan dalam literatur fiqih, bahwa ada dua kategori
dalam bab zakat, yaitu: zakat yang berkenaan dengan badan (shadaqat al
fithr) dan zakat yang berkenaan dengan dengan harta (zakat mal). Dalam
kaitannya dengan zakat harta, sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa
tidak semua harta wajib dizakati. Hanya ada empat jenis harta yang wajib
dizakati: emas-perak, tanaman, hewan ternak dan harta dagangan.5
Sedangkan ikan laut sendiri tidak ada ketentuan apakah wajib dikeluarkan
zakatnya ataupun tidak. Meskipun demikian, dalam al Quran disebutkan:
‫ي َ َٰٓأَُّيه َا ٱ ذ َِّل َين َءا َمنُ ٓو ْا َٱه ِف ُقو ْا ِمن َط ِ ّيبَ َٰ ِت َما َك َس ۡب ُ ُۡت َو ِم ذما ٓ َٱخ َۡر ۡجنَا لَ ُُك ِّم َن ٱ ۡ َۡل ۡر ِۖض َو ََل تَ َي ذم ُمو ْا‬
َ ‫ٱلۡ َخب‬
٧٦٢ ‫ون َولَ ۡس ُُت ِبَا ِذ ِيي ِه ا ذَل ٓ َٱن تُ ۡم ِموُ و ْا ِيِ ِوه َوٱ ۡلمَ ُم ٓو ْا َٱ ذن ٱ ذ ََهَّ نَ ِ حٌّي َ ِِمي‬
َ ‫ِيث ِمنۡ ُه تُن ِف ُق‬
ّ
5
Ibid
64
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.” (Al Baqarah: 267)
Dalam tafsir ibnu katsir disebutkan Ibnu ‘Abbas berkata bahwa
dengan ayat tersebut Allah memerintahkan hambaNya yang beriman untuk
berinfaq dari harta yang baik yang diberikan oleh Allah kepada mereka
melalui usaha mereka. Sedangkan yang dimaksud dari hasil usaha yang
baik-baik (‫)من طيبات ما كسبتم‬, ulama berbeda pendapat. Sedangkan
menurut Mujahid, yang dimaksud dari hasil usaha yang baik-baik adalah
emas, perak, buah-buahan dan pertanian yang ditumbuhkan oleh Allah di
bumi untuk manusia. Berbeda dengan Ibnu ‘Abbas yang berpendapat
bahwa Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berinfaq dari sebaik-baik
hartanya, dan melarang mereka untuk berinfaq dengan harta yang kotor.6
Ada baiknya kita sebagai orang beriman mengambil pendapat yang
dinyatakan oleh Ibnu Abbas sebagai ihtiyath (kehati-hatian) kita
menjalankan perintah Allah. Dari pendapat Ibnu Abbas dapat dipahami
bahwa ayat di atas bersifat umum. Yakni Allah memerintahkan hambaNya yang beriman untuk berinfaq dari segala apa yang baik-baik yang
Allah rizkikan kepada mereka yang mereka usahakan dengan segala jenis
usaha yang baik-baik. Maka segala jenis usaha yang dijalani oleh hamba
6
Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al Qurasyiy, Tafsir al Quran al „Adhim, (Dar Thayyibah li an
Nasyri wa at Tauzi’, 1999), Juz: I, hlm. 697
65
Allah yang beriman terkena khithab dari ayat ini, tak terkecuali usaha
penangkapan ikan laut.
Syaikh fakhruddin ar Razi dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini,
bahwa ulama berbeda pendapat tentang maksud dari (‫ )أنفقوا‬dalam ayat
tersebut, apakah yang dimaksud dari shighat amr tersebut adalah untuk
perintah wajib (lil wujub) atau sebatas anjuran (at tathawwu‟) hingga
muncul lah tiga pendapat tentang shighat amr dalam lafadh tersebut.
Pertama, yang dimaksud dari lafadh tersebut adalah zakat-zakat yang
diwajibkan. Pendapat ini didasarkan oleh shighat lafadh (‫ )أنفقوا‬yang
merupakan amr (perintah) dan secara dhahir, perintah ditujukan untuk
mewajibkan. Sedangkan bentuk infaq yang wajib hanyalah zakat dan
beberapa jenis nafaqah lainnya (seperti menafkahi keluarga). 7
Pendapat Kedua, yang dimaksud dari lafadh (‫ )أنفقوا‬dalam ayat
tersebut adalah shadaqah tathawwu‟. Pendapat ini berdasarkan sebab
turunnya ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Ali, al
Hasan, dan Mujahid RA. bahwasanya orang-orang bershadaqah dengan
buah-buahan dan dan harta yang jelek. Maka turunlah ayat tersebut.8
Pendapat ketiga yang dimaksud dari lafadh (‫ )أنفقوا‬dalam ayat
tersebut meliputi kedua jenis shadaqah, baik yang wajib maupun yang
sunnah. Pendapat ini berdasarkan mafhum dari amr tersebut adalah
7
Muhammad Bin Umar bin Hasan ar Razi, Mafatiih al Ghaib, (Mauqi’ at Tafasir,
http://www.altafsir.com CD: maktabah syamilah) Juz: III, hlm 500
8
Ibid. hlm 501
66
mengunggulkan (tarjih) sisi perintah atas sisi meninggalkan tanpa adanya
keterangan (dalam ayat tersebut) boleh atau tidaknya meninggalkan
perintah tersebut.9
Penulis mengambil pendapat pertama, yakni shighat amr dalam
ayat tersebut sebagai perintah wajib. Karena ayat tersebut merupakan
dasar diwajibkannya zakat di mana dalam ayat tersebut menyinggung
tentang zakat pertanian. Ayat tersebut juga menjadi dasar kewajiban zakat
pertanian. Sedangkan dari lafadh ‫ من طيبات ما كسبتم‬dalam ayat tersebut,
bersifat umum. Maka ayat tersebut mencakup semua harta yang
didapatkan manusia dengan segala jenis bentuk usaha.10 Ibnu ‘Abbas
dalam tafsir ibnu katsir juga menyinggung keumuman ‫ طيبات ما كسبتم‬dari
ayat tersebut11.
Dengan pendapat-pendapat dari ulama tersebut, maka surat al
baqarah ayat 267 bisa menjadi dasar kewajiban zakat usaha penangkapan
ikan laut. Hal ini dimaksudkan sebagai ihtiyath kita menjalankan perintah
Allah, di mana pendapat yang paling berhati-hati dari ayat tersebut adalah
kewajiban zakat semua bentuk usaha yang dijalani seorang mukmin
dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Maka zakat usaha
penangkapan ikan laut harus dilaksanakan jika telah memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan.
9
Ibid, Muhammad Bin Umar bin Hasan ar Razi. hlm 501.
Ibid
11
Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al Qurasyiy, Tafsir al Quran al „Adhim, Juz: I, hlm. 697
10
67
2. Pelaksanaan zakat usaha penangkapan ikan laut yang didasarkan pada
zakat perdagangan
Pengusaha
ikan
laut
di
Kecamatan
Pekalongan
Utara
melaksanakan zakat dari usahanya sebagaimana pelaksanaan zakat
perniagaan dengan segala ketentuannya. Mereka melaksanakannya setelah
menghitung hasil bersih selama satu tahun yang didapatkan mencapai satu
nishab. Maka mereka mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5%
Usaha penangkapan ikan laut sendiri dilakukan dengan cara
pemilik kapal melakukan pelayaran untuk mencari ikan, kemudian setelah
mendapatkan hasil maka ikan hasil tangkapan dijual.
Dalam kitab Al Fiqhu Ala Al Madzahib Al Arba’ah dijelaskan,
bahwa menurut madzhab Hanafiyah sesuatu yang diambil dari laut tidak
terkena zakat apapun, seperti anbar, mutiara, marjan, ikan, dan sebagainya,
kecuali jika dipersiapkan untuk diperdagangkan.
Sedangkan
menurut
madzhab
Malikiyah:
sesuatu
yang
dikategorikan dalam benda laut seperti anbar, mutiara, atau marjan, tidak
terkena kewajiban apapun. Maka barang tersebut menjadi milik dari yang
menemukan, kecuali jika ia mengetahui bahwa barang tersebut sudah
menjadi milik seseorang dari kaum jahiliyah atau yang lainnya. Jika
seperti itu, maka barang tersebut seperti rikaz dan luqathah beserta
hukumnya.
Dalam madzhab Hanabilah dikatakan bahwa barangsiapa yang
menemukan minyak misik, mutiara, marjan, atau sebagainya di laut, maka
68
dia tidak terkena kewajiban zakat apapun dari temuannya itu meskipun
mencapai satu nishab. 12
Pendapat dari madzhab hanafiah diperkuat oleh syaikh Taqiyuddin
(yang bermadzhab syafi’i) dalam kitabnya Kifayah al Akhyar fi Ghayah al
Ikhtishar. Beliau berkata bahwa segala jenis barang yang dipersiapkan
untuk diperdagangkan dengan segala syaratnya, maka wajib dikeluarkan
zakat. Dalil yang digunakan adalah surat al Baqarah ayat 267 (yang telah
di bahas di atas), menurut imam Mujahid, bahwa yang dimaksud dari
lafadh tersebut adalah perdagangan. Dalil lain yang digunakan adalah
adanya hadits yang diriwayatkan oleh al Hakim:
‫ِِف الْ َ َِّب َص َ قَُتُ َا‬
Lafadh (‫ )البز‬adalah kain yang dipersiapkan untuk diperdagangkan.
Syaikh Taqiyuddin menjelaskan bahwa dalam zakat hadits tersebut
bukanlah dari dzat nya (‫)زكاة العين‬, yakni bukan dari pakaiannya. Maka
yang dimaksud hadits tersebut adalah zakat tijarahnya.13
Berdasarkan pendapat dari madzhab Hanafiyah dan pendapat
syaikh Taqiyuddin, maka melaksanakan zakat usaha penangkapan ikan
laut berdasarkan ketentuan zakat perdagangan bisa dibenarkan. Dengan
syarat, usaha tersebut sudah benar-benar memenuhi syarat yang ditetapkan
dalam ketentuan hukum perdagangan menurut Islam.
12
Abdurrahman Al Jaziriy, Al Fiqhu „Ala Al Madzahib Al Arba‟ah, (Beirut: Darul Kutub al
‘Ilmiyyah, t.th), Juz I, hlm. 982
13
Taqiyuddin Ad Dimasyqi, Kifayah al Akhyar, (Beirut: Darul Kutub al ‘Ilmiyah, 2005),
Juz I, hlm. 144
69
Adapun syarat-syarat harta yang sah diperdagangkan ada lima:
a. Suci.
b. Bisa dimanfaatkan.
c. Barang dimiliki oleh penjual.
d. Bisa diserahkan kepada pembelinya.
e. Barang tersebut bisa diketahui (ma‟lum).14
Dari kelima syarat tersebut, jikia diperinci maka hasil usaha
penangkapan ikan laut tentunya bersifat suci. Karena semua binatang laut
adalah suci meskipun sudah mati atau menjadi bangkai. Ikan hasil
tangkapan pun bisa dimanfaatkan oleh pembeli, misalnya sebagai lauk
pauk. Kemudian, ikan tersebut juga menjadi milik pengusaha yang
menerjunkan anak buahnya untuk melakukan pelayaran. Ikan-ikan tersebut
juga bisa diserahkan dari penjual ke pembeli, yakni ikan tersebut sudah
dalam genggaman si penjual dan bukanlah ikan yang terlepas di laut. Dan
ikan tersebut sudah diketahui oleh pembeli, baik rupa, jenis, maupun
ukurannya. Maka dapat disimpulkan bahwa hasil usaha penangkapan ikan
laut sudah memenuhi persyaratan harta perdagangan.
14
Ibid, hlm.196
Download