7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak
kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai
macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk
mengetahui keberhasilan pembangunan di masa yang akan datang. Pertumbuhan
ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil
pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai dilapisan
paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah
(Sirojuzilam, 2015).
Pertumbuhan ekonomi diyakini oleh sebagian besar ekonom sebagai indikator
yang paling tepat dalam menggambarkan proses kemajuan pembangunan suatu
negara. Hal ini terkait dengan kemampuannya dalam menggambarkan tercapainya
suatu proses peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kapasitas
produksi nasional, peningkatan jumlah konsumsi, dan yang terpenting adalah
peningkatan pendapatan. Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi
hanya menggambarkan nilai secara agregat, bukan secara parsial. Faktanya,
proses pertumbuhan ekonomi yang terjadi di dunia pada saat ini memperlihatkan
bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu dibarengi dengan
7
Universitas Sumatera Utara
pembagian porsi pendapatan yang merata diantara para pelaku ekonomi (Lincolin
Arsyad, 2010).
Menurut Sjafrizal (2012), menyatakan bahwa teori pertumbuhan ekonomi
wilayah merupakan bagian penting dalam analisis ekonomi wilayah dan
perkotaan. Alasannya jelas, karena pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
unsur utama dalam pembangunan ekonomi wilayah dan mempunyai implikasi
kebijakan yang cukup luas. Sasaran utama analisis pertumbuhan ekonomi wilayah
ini adalah untuk menjelaskan mengapa suatu daerah dapat pertumbuh cepat dan
ada pula yang tumbuh lambat. Disamping itu, analisis pertumbuhan ekonomi
wilayah ini juga dapat menjelaskan hubungan antar pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan antar daerah dan mengapa hal tersebut terjadi.
Pertumbuhan ekonomi sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan
perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila
dibandingkan
dengan
tahun
sebelumnya.
Perkembangan
tersebut
selalu
dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan pendapatan nasional pada suatu
tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sadono Sukirno, 2006).
Pemerintah dapat jatuh atau bangun jika tingkat pertumbuhan ekonomi
rendah atau tinggi, seperti terlihat dalam keseluruhan papan statistik.
Sebagaimana dimaklumi, berhasilnya program pembangunan di suatu provinsi
sering kali dinilai berdasarkan tingkat pertumbuhan output dan pendapatan
nasional.
Menurut Profesor Simon Kuznets (1971), definisi tentang pertumbuhan
ekonomi suatu negara sebagai kenaikan kapasitas dalam angka panjang untuk
8
Universitas Sumatera Utara
menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas
tersebut dimungkinkan oleh adanya kemajuan teknologi, kelembagaan, dan
perubahan ideologi. Ketiga komponen pokok dari definisi tersebut adalah sebagai
berikut (Michael P. Todaro, 1995) :
1) Meningkatnya
output
secara
terus-menerus
merupakan
manifestasi
pertumbuhan ekonomi, sedangkan kemampuan untuk menyediakan berbagai
jenis barang merupakan tanda adanya kematangan ekonomi.
2) Perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi kesinambungan
pertumbuhan ekonomi suatu kondisi yang perlu tetapi tidak cukup itu saja.
3) Dalam rangka merealisasi potensi pertumbuhan yang menyertai teknologi
baru, maka perlu diadakan penyesuaian kelembagaan, sikap, dan teknologi.
Inovasi
dibidang teknologi tanpa dibarengi dengan inovasi sosial sama
halnya dengan lampu pijar tanpa listrik (potensi ada tetapi tanpa input tidak
akan dihasilkan barang apapun).
2.2 Ketimpangan Pembangunan Ekonomi
Ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah merupakan fenomena
umum yang terjadi dalam proses pembangunan ekonomi suatu daerah.
Ketimpangan ini pada awalnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan
sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing –
masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daearah untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pembangunan juga
menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap
9
Universitas Sumatera Utara
daearah biasanya terdapat daerah wilayah yang relatif maju (developed region)
dann wilayah relatif terbelakang (underdeveloped region) (Sjafrizal, 2012).
Menurut Williamson (1965) Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan
pusat dan antar daerah dengan daerah lain adalah merupakan suatu yang wajar,
karena adanya perbedaan dalam sumber daya dan awal pelaksanaan pembangunan
antar daerah (Kuncoro, 2004).
Ketimpangan yang paling sering dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan
per kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan
kerja, dan atau antar wilayah.
Ketimpangan
pembangunan
ekonomi
dan
penghapusan
kemiskinan
merupakan permasalahan dalam pembangunan. Lewat pemahaman yang
mendalam akan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan
dapat memberikan dasar yang baik untuk menganalisis masalah pembangunan
yang lebih khusus agar permasalahan pembangunan ini bisa dipecahkan dengan
perencanaan pembangunan yang lebih baik (Lincolin Arsyad, 2004).
Ketimpangan pembangunan ekonomi dapat mengakibatkan konsekuensi
sosial dalam pembangunan itu sendiri. Konsekuensi dari ketimpangan
pembangunan ekonomi adalah rendahnya mobilitas sosial dan dapat menyebabkan
kemiskinan (Colclough, 1990) dalam (Hasan Basri Tarmizi, 2011).
Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu
negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses
tersebut akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak.
10
Universitas Sumatera Utara
Kemudian pada saat proses pembangunan tersebut terus berlanjut, maka secara
berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan
menurun (Sjafrizal, 2008) dalam (Devi Sitorus, 2012).
Ketimpangan daerah yang dibiarkan secara terus menerus tersebut akan
membawa pengaruh yang merugikan (backwash effect) yang mendominasi
pengaruh yang menguntungkan (spread effect) seperti dapat mengakibatkan
adanya
kecemburuan
sosial
antar
daerah
dan
menganggu
kestabilan
perekonomian.
Menurut Neo-Klasik, ketimpangan pembangunan wilayah terjadi karena
adanya perbedaan sumber daya, tenaga kerja, dan modal yang dimiliki oleh tiap
daerah adalah berbeda-beda. Hipotesis Neo-Klasik merupakan dasar teoritis
terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Termasuk dalam hal ini
adalah hasil studi dari Jeffrey G. Williamson yang melakukan pengujian terhadap
kebenaran Neo-Klasik tersebut. Menurut Neo-Klasik bahwa ketimpangan wilayah
akan berkurang dengan sendirinya. Neo-Klasik berpendapat bahwa dalam awal
pembangunan yang dilaksanakan di negara yang sedang berkembang justru
ketimpangan meningkat, hal ini dikarenakan pada saat proses pembangunan baru
dimulai di negara sedang berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan
yang ada umumnya di manfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunan
sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak
mampu memanfaatkan peluang karena keterbatasan saran dan prasarana serta
rendahnya kualitas sumber daya manusia. Selain faktor ekonomi, faktor sosial-
11
Universitas Sumatera Utara
budaya juga turut mempangaruhi ketimpangan pembangunan wilayah (Myrdal,
1976) dalam (Harun, 2012).
Ketimpangan wilayah merupakan suatu aspek yang umum terjadi di setiap
negara baik negara miskin, negara berkembang, bahkan negara maju sekalipun
memiliki masalah ketimpangan pembangunan antar wilayah walaupun dengan
ukuran yang berbeda-beda. Menurut Neo-Klasik, ketimpangan wilayah ini terjadi
karena setiap daerah memiliki perbedaan sumber daya, tenaga kerja, dan
teknologi. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong
proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu tidak mengherankan
apabila ada yang disebut daerah maju dan daerah yang terbelakang.
2.3 Penyebab Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah
Ketimpangan pembangunan antarwilayah merupakan aspek yang umum
terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Terdapat beberapa faktor utama
yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah
tersebut, yaitu sebagai berikut (Sjafrizal, 2012) :
1.
Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam
Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan ekonomi
antarwilayah adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan
sumber daya alam pada masing-masing daerah. Perbedaan kandungan sumber
daya alam ini jelas akan memengaruhi kegiatan produksi pada daerah
bersangkutan.
Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup banyak akan dapat
memproduksi barang dan jasa tertentu dengan biaya relatif murah
12
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya
alam lebih sedikit. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai
kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi
barang dan jasa dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya
menjadi lemah. Kondisi tersebut selanjutnya menyebabkan pula daerah
bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih
lambat.
Dengan demikian, terlihat bahwa perbedaan kandungan sumber daya alam ini
dapat mendorong terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah yang lebih
tinggi pada suatu negara.
2.
Perbedaan Kondisi Demografis
Faktor utama lainnya yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan
ekonomi
antarwilayah
adalah
bilamana
terdapat
perbedaan
kondisi
demografis yang cukup besar antardaerah. Kondisi demografis yang
dimaksudkan disini meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur
kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan
kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan
serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.
Kondisi demografis ini kemudian akan dapat pula memengaruhi ketimpangan
ekonomi
antarwilayah,
karena
hal
ini
akan
berpengaruh
terhadap
produktivitas kerja masyarakat pada daerah bersangkutan. Daerah dengan
kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai tingkat
13
Universitas Sumatera Utara
produktivitas kerja yang lebih tinggi. Kondisi ini selanjutnya akan mendorong
pula peningkatan investasi yang ke daerah bersangkutan sehingga akan
cenderung pula meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan
ekonomi daerah bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu
kondisi demografisnya kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif
rendahnya tingkat produktivitas kerja masyarakat setempat yang cenderung
menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi para penanam modal
(investor) sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan
cenderung menjadi lebih rendah.
3.
Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa
Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa antarwilayah dapat pula
mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan ekonomi antarwilayah.
Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah dan
migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan.
Alasannya adalah karena bila mobilitas tersebut kurang lancar, maka
kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang
membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar
menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak akan dapat
dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya.
Akibatnya, ketimpangan ekonomi antarwilayah akan cenderung lebih tinggi
karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang
membutuhkan, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong kegiatan
ekonominya. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana, ketimpangan
14
Universitas Sumatera Utara
ekonomi antarwilayah akan cenderung relatif tinggi pada negara sedang
berkembang di mana mobilitas barang dan jasa kurang lancar karena
terbatasnya fasilitas transportasi dan komunikasi dan masih terdapatnya
beberapa daerah yang terisolir.
4.
Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah
tertentu jelas akan memengaruhi ketimpangan ekonomi antarwilayah.
Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah di
mana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi
tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui
peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.
Demikian pula sebaliknya bilamana, konsentrasi kegiatan ekonomi pada
suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadi
pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat.
5.
Alokasi Dana Pembangunan Antarwilayah
Tidak dapat disangkal bahwa investasi merupakan salah satu unsur yang
sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah
yang mendapatkan alokasi investasi swasta ke daerahnya akan cenderung
mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Kondisi ini
tentunya akan dapat pula mendorong proses pembangunan daerah melalui
penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan per
kapita yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi bilamana investasi
pemerintah dan swasta yang masuk ke suatu daerah tertentu ternyata lebih
15
Universitas Sumatera Utara
rendah, sehingga kegiatan ekonomi dan pembangunan daerahnya kurang
berkembang baik.
Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem
pemerintah daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut
bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih
banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan
pembangunan antarwilayah akan cenderung tinggi. Akan tetapi, sebaliknya
bilamana sistem pemerintah yang dianut adalah otonomi atau desentralisasi,
maka dana investasi pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah
sehingga ketimpangan ekonomi antarwilayah akan cenderung lebih rendah.
2.4 Klassen Typology
Model yang paling populer untuk mengindetifikasi daerah tertinggal atau
perkembangan daerah-daerah berdasarkan pertumbuhan ekonominya adalah
model Typology Klassen.
Typology Klassen dikenalkan oleh Leo Klassen (1965), Klassen menganggap
daerah (regions) sebagai mikrokosmos yang diskrit (discrete microcosms), yaitu
daerah ekonomi yang dapat dipahami dengan melalui studi tentang besaranbesaran ekonominya. Dengan menggunakan pendapatan, Klassen mengajukan
suatu teknik sederhana yaitu dengan memperbandingkan tingkat dan laju
pertumbuhan pendapatan suatu daerah tertentu dengan tingkat dan laju
pertumbuhan pendapatan nasional, seperti yang ditunjukan pada table 2.1. Ada
tiga macam daerah yang permasalahannya berbeda yakni kategori II, III, dan IV
seperti tampak pada table tersebut. Daerah tipe II adalah daerah dengan tingkat
16
Universitas Sumatera Utara
pendapatan yang realtif rendah tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi,
daerah tipe III adalah daerah dengan tingkat pendapatan tinggi tetapi dengan
tingkat pertumbuhan yang rendah, dan daerah tipe IV adalah daerah dengan
tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan yang rendah. Daerah yang terakhir
merupakan daerah yang menjadi perhatian utama bagi para perencana
pembangunan daerah (Lincolin Arsyad, 2010).
Tabel 2.1
Tipologi Klassen untuk Pengidentifikasian Daerah Tertinggal
Tingkat pertumbuhan
pendapatan daerah
dibandingkan dengan
tingkat pertumbuhan
pendapatan nasional
Tingkat pendapatan daerah dibandingkan dengan
tingkat pendapatan nasional
Tinggi (>1)
Tipe I
Tinggi (>1)
Daerah makmur
Rendah (<1)
Tipe II
Daerah tertinggal dalam
proses membangun
Tipe III
Tipe IV
Rendah (<1)
Daerah makmur yang
sedang menurun (potensial
untuk tertinggal)
Daerah tertinggal
Menurut Klassen, daerah tertinggal seperti itu karena kondisinya yang tidak
menguntungkan, kurang dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi
nasional. Daerah-daerah tersebut tidak dapat bersaing dengan daerah-daerah
lainnya paling tidak dalam satu cabang industri. Daerah-daerah tersebut tidak
memiliki potensi sumber daya yang menarik termasuk yang sudah dieksploitasi.
17
Universitas Sumatera Utara
Tenaga kerja lokal tidak memiliki ketrampilan yang memenuhi kualifikasi industri
modern dan pembentukan modal lokal tidak terjadi. Oleh karena itu tingkat
produktivitas sangat rendah. Efisiensi ekonomi nasional akan turun jika sumber
daya kapital –yang notabene langka- dengan jumlah yang banyak ditanamkan di
daerah tersebut. Oleh karena itu, yang dapat dikerjakan untuk daerah-daerah
seperti itu –jika secara politis diperlukan- adalah pemberian sejumlah dana yang
tertentu dan terbatas dari pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur lokal dan
menyediakan pelayanan sosial minimum. Mungkin juga ada sedikit investasi
“produktif”, tetapi kata kuncinya adalah tunjangan kesejahteraan dan pelatihan
kembali tenaga kerja (retraining) (Lincolin Arsyad, 2010).
Pada tulisannya yang lain, Klassen dan Drewe (1973) menjelaskan logika dari
program-program seperti itu. Menurut mereka, pada daerah-daerah yang tidak
dapat bersaing, jika semuanya harus dilakukan oleh pemerintah, penduduk dalam
usia kerja harus dilatih kembali dan pindah ke daerah-daerah lainnya di mana
mereka dapat memberikan kontribusi produktifnya terhadap perekonomian. Akan
lebih murah mensubsidi biaya tenaga kerja perusahaan daerah-daerah inti (cores)
melalui program-program relokasi yang didukung pemerintah ketimbang
mencoba untuk memberikan subsidi modal secara langsung terhadap lokasi-lokasi
yang tidak menguntungkan tersebut. Kesejahteraan masyarakat (manusia) adalah
tujuannya, bukan kesejahteraan daerah (lokasi) (Lincolin Arsyad, 2010).
18
Universitas Sumatera Utara
2.5 Penelitian Terdahulu
Untuk melakukan penelitian ini tentu saja membutuhkan beberapa bahan
pertimbangan sebagai dasar dalam mengkaji penelitian ini. Untuk itu ada
beberapa peneliti-peneliti sebelumnya yang telah melakukan penelitian tentang
pertumbuhan dan ketimpangan pembangunan ekonomi maupun penilitan yang
terkait dengan ketimpangan ataupun hal yang serupa. Berikut penelitian tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Tryanto Hery Prasetyo Utomo (2012), dengan
judul Analisis Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi antar
Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitiannya
adalah
secara
keseluruhan
tingkat
pertumbuhan
ekonomi
di
semua
Kabupaten/Kota mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun selama periode
pengamatan, secara rata-rata pertumbuhan ekonominya relatif merata artinya tidak
terpaut jauh antar Kabupaten/Kota Lainnya. Pola Pertumbuhan Ekonomi Di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi menjadi 3 kategori yaitu Daerah
Cepat Tumbuh Dan Berkembang, Daerah Berkembang Cepat dan Daerah Relatif
Tertinggal. Setiap Kabupaten/Kota Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
memilki Sektor Unggulan sendiri yang dijadikan konsentrasi untuk terus
dikembangkan sebagai penunjang nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
serta pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta tidak terjadi ketimpangan pembangunan antar daerah yang artinya
pembangunan ekonomi antar Kabupaten/Kota merata.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Astari Khairunnisa (2014), dengan
judul Analisis Disparitas Pembangunan Ekonomi antar Kecamatan di Kota
19
Universitas Sumatera Utara
Medan. Hasi penelitiannya sebagai berikut, Hasil penelitian Klassen Typologi
menunjukkan selama periode 2001-2005 dan periode 2006-2010 terdapat 3
kecamatan yang masuk dalam kuadran I (cepat maju, cepat tumbuh), 5 kecamatan
yang masuk dalam kuadran II (maju tapi tertekan), 2 kecamatan yang masuk
dalam kuadran III (berkembang cepat), 4 kecamatan yang masuk dalam kuadran
IV (relative tertinggal) dan 7 kecamatan yang mengalami perubahan pola
pembangunan ekonomi. Analisis Williamson Index menunjukkan nilai IW antar
kecamatan tergolong rendah dengna rata-rata indeks sebesar 0.16994. sehingga
diperlukan
strategi
dna
kebijakan
dalam
penyelesaian
disparities
atau
ketimpangan yang terjadi di Kota Medan.
Penelitian selanjutnya yang terkait dengan ketimpangan dilakukan oleh Ketut
Wahyu Dyhatmika (2013), dengan judul Analisis Ketimpangan Pembangunan
Provinsi Banten Pasca Pemekaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
ketimpangan
pembangunan
di
Provinsi
Banten
cenderung
meningkat.
Berdasarkan tipologi klassen, Kota Tangerang dan Cilegon berada pada kelompok
daerah maju dan cepat berkembang, Kabupaten Tangerang pada kelompok daerah
berkembang cepat dan daerah lainnya berada pada kategori daerah tertinggal.
Hasil analisis data panel dengan metode FEM, penanaman modal asing (PMA)
berpengaruh positif dan pengeluaran pemerintah (GE) berpengaruh negatif
terhadap ketimpangan, sedangkan variabel tingkat pengangguran (UE) tidak
berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan di Provinsi Banten pasca
pemekaran wilayah.
20
Universitas Sumatera Utara
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Ida Ayu Indah Utama dkk (2014),
dengan
judul
penelitian
Analisis
Ketimpangan
Pembangunan
Antara
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa
Struktur pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Bali terbagi dalam
tiga pola yaitu : perekonomian Daerah yang maju dan tumbuh cepat, terdiri dari
Kabupaten Badung; daerah berkembang cepat tetapi tidak maju, yaitu Kota
Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Buleleng; daerah maju tapi tertekan
yaitu Kabupaten Klungkung; dan daerah tertinggal yaitu Kabupaten Tabanan,
Jembrana, Bangli dan Karangasem. Indeks Williamson di Provinsi Bali berkisar
pada nilai 0,68 yang menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pembangunan di
Provinsi Bali tinggi. Hipotesis Kuznets tentang hubungan antara pertumbuhan
ekonomi dan ketimpangan pembangunan berbentuk kurva U terbalik tidak berlaku
di Provinsi Bali. Oleh karena pertumbuhan pendapatan per kapita selalu
diharapkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perubahan struktur
ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa sulit dihindari, maka
untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan maka
dianjurkan kepada pemerintah memberikan subsidi lebih banyak kepada
masyarakat secara langsung berupa “pembayaran transfer”, dan secara tidak
langsung melalui subsidi pendidikan, penciptaan lapangan kerja, subsidi
kesehatan, dan sebagainya.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Caska dan R.M Riadi (2008) dengan
judul penelitian Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antara
Daerah di Provinsi Riau. Hasil penelitiannya adalah di dalam pertumbuhan
21
Universitas Sumatera Utara
ekonomi daerah Provinsi Riau, daerah yang termasuk daerah yang mengalami
cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) hanya 1 (satu)
daerah saja yakni Kota Pekanbaru. Daerah atau kabupaten yang dikategorikan
berkembang cepat dalam arti pertumbuhan (high growth but low income) adalah
Kabupaten Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Kabupaten Siak.
Untuk daerah atau kabupaten yang maju tapi tertekan (high income but low
growth) adalah pada Kabupaten Indragiri Hilir, Rokan Hulu dan Kabupaten
Kampar, sedangkan daerah yang pembangunan atau pertumbuhan ekonominya
relatif tertinggal adalah Kabupaten Rokan Hilir, Dumai dan Kabupaten Bengkalis.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Azwar dkk (2013), dengan judul
penelitian Disparitas Pertumbuhan Ekonomi antarwilayah di Aceh Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi potensi untuk konvergensi karena
faktor dominan yang mempengaruhi perbedaan tanpa memasukkan variable efek
kumulatif, konsentrasi kegiatan ekonomi antar wilayah yang memiliki efek positif
dan dampak negatif dari Indeks Pertumbuhan Manusia (IPM). Dengan
memasukkan variabel efek kumulatif, ternyata IPM memiliki efek negatif,
sedangkan efek kumulatif dari pertumbuhan antar daerah dan PDB per kapita
memiliki dampak positif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesenjangan
ekonomi antar wilayah memiliki potensi untuk konvergensi jika dan hanya jika
ada intervensi kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan,
kesehatan, dan daya beli konsumen untuk mengurangi disparitas tersebut.
Disarankan agar Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus
mendorong pertumbuhan PDB per tahun, sama dengan atau di atas rata-rata
22
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan ekonomi nasional dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja
sehingga kemakmuran ekonomi juga meningkat (spread effect lebih baik daripada
backwash effect) karena efek kumulatif pertumbuhan berlaku di antar
kabupaten/kota di Aceh.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Achmad Masnawi dkk (2015), dengan
judul penelitian Analisis Pertumbuhan Daerah dan Kesenjangan Pembangunan di
Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat. Penelitian ini menjelaskan sektor unggulan
konteks Pulau Sulawesi dan tingkat disparitas pengembangan daerah Kabupaten
Mamuju. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui sektor dasar (keunggulan komparatif) yang digunakan analisis
Location Quotient (LQ), analisis saham pergeseran ini digunakan untuk melihat
kompetisi sektor. Analisis Tipologi Klassen digunakan untuk menentukan pola
dan struktur pertumbuhan ekonomi. Analisis indeks Williamson dan indeks Theil
digunakan untuk mengukur kesenjangan pembangunan. Hasil penelitian ini
menunjukkan (1) sektor unggulan di Kabupaten Mamuju konteks Pulau Sulawesi
adalah sektor jasa karena pertumbuhan ekonomi dan kemajuan cepat. (2) tingkat
Disparitas pembangunan daerah yang terjadi sangat nyata di setiap kabupaten
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan di wilayah Kecamatan itu sendiri.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Carlos R. Azzoni (2001), dengan judul
penelitian Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Wilayah di
Brazil. Penelitian ini menganalisis evolusi ketimpangan regional di Brazil pada
periode 1939-1995. Berdasarkan data set yang diselenggarakan oleh penulis,
indikator per kapita dispersi pendapatan negara dan antar daerah yang disajikan
23
Universitas Sumatera Utara
dan perkembangan dari waktu ke waktu yang telah dianalisis. Korelasi antara
daerah mengalami tingkat awal pendapatan per kapita dan itu dianggap
pertumbuhan, pengujian untuk konvergensi Beta. Kecepatan konvergensi dihitung
dalam dua bentuk yang berbeda yaitu model neoklasik dan koefisien variasi,
kemudian untuk analisis oscillations, ketidaksetaraan dari waktu ke waktu dan
hubungan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Hipotesis Kuznets,
berkaitan dengan ketimpangan pendapatan daerah dan tingkat perkembangan yang
telah diuji. Hasil penelitian menunjukkan adanya tanda-tanda konvergensi
pendapatan daerah di Brasil, tetapi dengan analisis oscillations penting dalam
perkembangan ketidaksetaraan dari waktu ke waktu serta di seluruh wilayah di
dalam negeri. Asosiasi kesenjangan regional dengan pertumbuhan pendapatan
nasional menghasilkan hasil yang menarik, yang menunjukkan garis menjanjikan
untuk penelitian masa depan.
2.6 Kerangka Konseptual
Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu
negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode
tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan
kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan
pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi dihitung dengan melakukan
perbandingan antara tahun sedang berjalan dengan tahun yang sebelumnya
melalui penyajian PDRB.
Ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan aspek yang umum
terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya
24
Universitas Sumatera Utara
disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan
kondisi geografi yang terdapat pada masing – masing daerah. Akibat dari
perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan
juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap
daerah biasanya terdapat daerah maju (Development Region) dan daeah
terbelakang (Underdevelopment Region).
Terjadinya ketimpangan antar daerah ini membawa implikasi terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat antar daerah. Karena itu, aspek ketimpangan
pembangunan antar daerah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi
kebijakan pembangunan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Untuk menghitung pertumbuhan dan ketimpangan pembangunan ekonomi
antar kabupaten/kota maka penelitian ini menggunankan Typologi Klassen dan
Williamson Index. Dari uraian diatas maka konsep kerangka pemikiran tersebut
menjadi dasar dalam penelitian ini dan dapat disusun dalam suatu skema yang
dapat dilihat dalam gambar 2.1 berikut :
25
Universitas Sumatera Utara
Pembangunan Daerah di
Provinsi Sumatera Utara
Kota
Kabupaten
Pertumbuhan Ekonomi antar kabupaten/kota
di Provinsi Sumatera Utara
Ketimpangan pembangunan ekonomi antar
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara
Ketimpangan Pembangunan
Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi
Williamson Index
Klasifikasi Daerah
Typology Klassen
Gambar 2.2
Kerangka Konseptual
26
Universitas Sumatera Utara
Download