12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini dibahas mengenai konsep penyakit jantung koroner, program rehabilitasi jantung, konsep kepatuhan dan dukungan keluarga. 2.1 Penyakit Jantung Koroner 2.1.1 Pengertian PJK adalah suatu kondisi ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen miokardium. Ketidakseimbangan ini dapat terjadi akibat penyempitan arteri koroner, penurunan aliran darah atau curah jantung, kebutuhan O2 miokardium meningkat atau spasme arteri koroner, dengan penyebab tersering yaitu aterosklerosis (Rokhaeni dkk, 2001). 2.1.2 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dari PJK bervariasi antara lain tanpa gejala, angina pektoris, IMA, aritmia, payah jantung dan kematian mendadak (Nurhayati, dalam Rokhaeni, 2001). Palpitasi merupakan manifestasi PJK meskipun tidak spesifik, bisa timbul spontan ataupun atas faktor pencetus yang menambah iskemia seperti aktivitas fisik dan juga stress. Angina pektoris yang spesifik merupakan gejala utama dan khas bagi PJK (Noer dkk, 1999). Keadaan tersebut merupakan keluhan utama pasien masuk rumah sakit, dan apabila tidak mendapat penanganan yang adekuat sedini mungkin dapat berkembang menjadi IMA dengan angka kematian yang tinggi yaitu 87,06% pada pasien IMA dengan umur kurang dari 60 tahun dan 68,28% pada pasien IMA umur lebih dari 60 tahun (Kasron, 2012). 13 Menurut PERKI (2004) dalam Wartini (2011) disebutkan bahwa keluhan nyeri dada yang memerlukan perhatian secara serius memiliki karakteristik sebagai berikut : a. Nyeri dada yang baru dirasakan (< 1 bulan). b. Perubahan kualitas nyeri dada, seperti meningkatnya frekuensi atau beratnya nyeri dada, atau nyeri dada yang dirasakan saat istirahat. c. Nyeri dada yang tidak hilang dengan istirahat atau dengan pemberian nitrat sublingual. Dikatakan juga gejala lain yang mungkin menyertai adalah sesak nafas dan pingsan (sinkop). 2.1.3 Faktor Risiko Sebagian besar IMA terjadi atas dasar aterosklerosis koroner. Berbagai penelitian epidemiologi menujukkan adanya keadaan, sifat dan kelainan yang dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis yang lazim disebut faktor risiko koroner. Faktor risiko timbulnya PJK dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dicegah atau dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dicegah atau dimodifikasi. Untuk selanjutnya disebut faktor risiko koroner tetap dan faktor risiko koroner termodifikasi. Faktor risiko tetap antara lain umur, jenis kelamin dan riwayat penyakit jantung dalam keluarga (keturunan). Sementara faktor risiko yang termodifikasi yaitu merokok, hipertensi, hiperkolesterol, diabetes mellitus (DM) dan obesitas (Rokhaeni dkk, 2001; Smeltzer, 2002). Sedangkan Wita (1992) menambahkan bahwa stress dan perilaku tipe A juga termasuk faktor risiko termodifikasi. Penelitian Friedman, dkk (1982) dalam Wita (1992) menyatakan pola perilaku tipe A dan stress psikologis 14 merupakan faktor risiko koroner tersendiri. Dikatakan pula hubungan antara stress dan penyakit kardiovaskuler merupakan hal yang kompleks dan interaktif. Sebagai dampak akhir dari stress dapat menimbulkan gangguan irama jantung yang fatal, mengganggu aliran darah koroner secara langsung maupun tidak langsung sebagai akibat spasme pembuluh darah koroner. Kaplan (1983) dalam Wita (1992) mengemukakan bahwa umur masih merupakan prediktor kuat terjadinya PJK meskipun tidak jelas kerentanan terhadap aterosklerosis dengan bertambahnya umur. PJK merupakan penyebab kematian pada laki-laki usia 35-44 tahun dan pada usia 55-65 tahun mencapai 40%. Disebutkan pula oleh Stokes (1990) dalam Wita (1992) bahwa predominasi jenis kelamin laki-laki pada PJK sangat jelas terutama pada umur muda dan berkurang setelah wanita mengalami menopause. Angka kejadian PJK pada wanita sebelum menopause biasanya 10 hingga 20 tahun lebih lambat daripada laki-laki. PERKI (2004) dalam Wartini (2011) menyebutkan bahwa beberapa studi epidemiologi berhasil mengidentifikasi faktor-faktor risiko PJK antara lain : merokok berapapun jumlahnya, kadar kolesterol total dan kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) yang tinggi, hipertensi, kadar kolesterol High Density Lipoprotein (HDL) yang rendah, DM dan usia lanjut. Dikatakan pula terdapat faktor-faktor lain yang berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya PJK yaitu faktor predisposisi. Faktor-faktor ini adalah : obesitas, kebiasaan kurang bergerak, riwayat keluarga menderita PJK, etnik tertentu dan faktor psikososial. 15 2.1.4 Penatalaksanaan Mengingat PJK adalah penyakit multifaktorial dengan manifestasi yang bermacam-macam, pasien sebaiknya dilihat secara keseluruhan (holistik) dan diperlakukan individual. Penatalaksanaannya dibagi menjadi dua macam yaitu penatalaksanaan umum dan mengatasi iskemia yang terdiri dari medikamentosa dan revaskularisasi (Noer dkk, 1999). a. Penatalaksanaan Umum Yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai penyakitnya, hal-hal yang mempengaruhi keseimbangan O2 miokardium, pengendalian faktor risiko, pencegahan dan penunjang agar tidak terjadi iskemia yang lebih berat dengan pemberian oksigen disamping pasien diistirahatkan di tempat tidur. b. Mengatasi Iskemia Untuk mengatasi iskemia, terdiri dari pemberian obat-obatan (medikamentosa) dan melakukan revaskularisasi dengan cara pemakaian trombolitik, biasanya pada PJK akut seperti IMA. Juga prosedur invasive, non operatif sering dilakukan yaitu Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA), sedangkan beberapa kasus memerlukan tindakan operasi segera yang selanjutnya dikenal dengan istilah Coronary Artery Surgery (CAS). Salah satunya yang banyak dikenal adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Setelah terapi farmakologik dan tindakan pembedahan berhasil memperbaiki kondisi pasien, selanjutnya sesuai indikasi pasien direncanakan untuk mengikuti program rehabilitasi jantung untuk memulihkan, menyiapkan 16 pasien secara bertahap kembali pada aktivitas sehari-hari seperti sebelum terkena PJK (Boestan, 2004). 2.2 Program Rehabilitasi Jantung Program rehabilitasi jantung sesungguhnya merupakan program yang berupaya mengembalikan pasien jantung menjadi manusia seutuhnya kembali, baik dari aspek psikologisnya, maupun aspek jasmaniahnya (Baraas, 2006). Itulah sebabnya program rehabilitasi jantung dirancang secara multidisiplin dalam komposisi kerja yang terpadu dan efektif. Rokhaeni, dkk (2001) menyebutkan bahwa rehabilitasi pada pasien PJK adalah rangkaian usaha dalam membantu penyembuhan pasien agar dapat kembali dengan cepat pada kehidupan normalnya atau mendekati kondisi sebelum sakit. Selanjutnya dikatakan tujuan rehabilitasi pada pasien PJK untuk memulihkan kondisi fisik, mental, sosial serta vokasional seseorang seoptimal mungkin, sehingga dicapai kemampuan diri untuk melaksanakan aktivitas di rumah maupun di lingkungan. Program ini tidak saja ditujukan pada saat pasien sedang dirawat di ruang intensif, tetapi juga sesudah dipindah ke ruang perawatan biasa dan setelah keluar rumah sakit. Manfaat program rehabilitasi ini antara lain : rehabilitasi dini aman, tidak meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas, efek negatif tirah baring dapat dihindari atau dicegah, ansietas dan depresi pasien dapat dibatasi sesedikit mungkin dan masa perawatan menjadi lebih singkat sehingga pasien dapat kembali bekerja lebih cepat. Pasien yang hendak diberikan latihan aktivitas ini harus memenuhi beberapa kriteria antara lain pasien IMA tanpa komplikasi, pasien PJK dengan 17 keluhan angina ringan atau tanpa keluhan. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien IMA yaitu aritmia, kegagalan ventrikel kiri, syok kardiogenik, emboli dan rupture ventrikel (Rokhaeni dkk, 2001). Sedangkan kontraindikasi yaitu untuk pasien angina pectoris yang belum stabil (sakit dada masih terasa saat pasien istirahat, lamanya lebih dari 15 menit dan masih ada peningkatan rasa sakit), tekanan darah sistolik > 200mmHg atau diastolik > 110mmHg, pasien demam (suhu >37,7 oC), aritmia atrial atau ventrikel, takikardi (HR > 130x/menit) dan gambaran EKG saat istirahat menunjukkan ST depresi > 2 mm (Hoeri dalam Rokhaeni dkk, 2001). Program rehabilitasi jantung di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dibagi menjadi tiga fase (Baraas, 2006) 2.2.1 Program Fase I PERKI (2004) dalam Wartini (2011) menyebutkan bahwa Program fase I diberikan pada pasien yang masih dirawat di ruang intensif hingga menjelang pulang. Pada hari pertama pasien hendaknya istirahat total dengan berbaring di tempat tidur minimal 12 jam dan mulai diterangkan tentang penyakit yang sedang dialami, seluk beluk faktor risikonya serta tindakan yang akan dilakukan termasuk rencana untuk melakukan program rehabilitasi jantung. Di hari kedua dan ketiga, pasien mulai diajarkan untuk melakukan latihan pernapasan dan latihan pasif maupun aktif di tempat tidur. Apabila selama perawatan di ruang rawat intensif pasien berada dalam kondisi stabil, kemudian bisa dipindahkan ke ruang rawat biasa pada hari ketiga. Di hari berikutnya mulailah latihan fisik yang dilakukan setiap hari selama empat sampai lima hari sebelum pasien pulang. 18 2.2.2 Program fase II Fase II merupakan program setelah pasien keluar dari rumah sakit, harus senantiasa berada di bawah supervisi instruktur latihan, untuk mengawasi kemungkinan terjadinya risiko latihan ataupun untuk menilai perkembangan latihan. Durasi latihan berlangsung selama 20 sampai 30 menit dilakukan tiga sampai empat kali seminggu selama dua sampai tiga bulan. 2.2.3 Program fase III Latihan fase III ini tidak lagi disupervisi, karena kemampuan fisik pasien sesungguhnya sudah setara dengan orang sehat. Walaupun demikian, bagi pasien jantung kini tidak dianjurkan untuk mengikuti program fase III dengan beban berat seperti itu, tetapi dianjurkan untuk menjalani program fase III dengan beban moderat. Mula-mula latihan diawali dengan pemanasan lima menit berupa peregangan (stretching), senam ringan atau berjalan santai tiga sampai empat km/jam, kemudian diakhiri dengan latihan pendinginan sekitar lima menit juga berupa peregangan, senam ringan atau dengan berjalan santai. Latihan fisik yang teratur dan terukur seperti itu hendaknya dilakukan minimal tiga kali dalam seminggu atau setiap selang sehari dalam seminggu. Bagi pasien yang sudah terlatih baik, latihan bisa dilakukan setiap hari lima sampai enam kali dalam seminggu. Lubis (2010) memuat program rehabilitasi jantung yang dibagi dalam empat fase yaitu : a. Fase I : dilakukan selama pasien dirawat di rumah sakit. Program difokuskan pada ambulasi dini dan pendidikan kesehatan. 19 b. Fase II : program yang diberikan setelah pasien keluar dari rumah sakit yang dilakukan selama beberapa minggu. Kegiatan dilakukan dengan supervisi dari tim rehabilitasi terutama pada latihan, diet, modifikasi faktor risiko dan pendidikan kesehatan. c. Fase III : dilakukan segera setelah fase II tetap dengan supervisi untuk pemeliharaan kondisi yang telah dicapai. Fase ini berlangsung selama empat sampai enam bulan. d. Fase IV : fase yang tidak memerlukan supervisi dan berlangsung dalam waktu tak terbatas, dengan tujuan untuk pemeliharaan pencapaian kondisi yang optimal. Secara jelas dipaparkan oleh peneliti sebelumnya mengenai latihan aktifitas rehabilitasi fase I untuk pasien PJK, antara lain menurut Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan latihan aktifitas yang diberikan pada pasien IMA selama dirawat di ICCU adalah : a. Hari ke-1 : tirah baring dengan pispot, bantu activity daily living (ADL). b. Hari ke-2 : latihan duduk di kursi, bantu ADL. c. Hari ke-3 : latihan berjalan dengan bantuan, bantu ADL. d. Hari ke-4 : latihan berjalan dengan bantuan, bantu ADL. e. Hari ke-5 : latihan berjalan sendiri, bantu ADL. f. Hari ke-6 : latihan berjalan sendiri, bantu ADL. g. Hari ke-7 : melakukan aktifitas bertahap, ADL dibantu. h. Hari ke-8 : melakukan aktifitas bertahap, ADL dibantu. 20 Hoeri dalam Rokhaeni, dkk (2001) membuat pedoman latihan rehabilitasi jantung fase I pada semua pasien yang masih dalam perawatan di rumah sakit selama tujuh hari sebagai berikut : a. Hari ke-1 : merawat diri dengan bantuan, makan sendiri, kaki berjuntai ke bawah, duduk di kursi 15 menit satu sampai dua kali perhari. b. Hari ke-2 : duduk di kursi 15-30 menit tiga kali perhari, merawat diri tanpa bantuan. c. Hari ke-3 : duduk di kursi dengan waktu tak terbatas, pindah ruangan dengan kursi roda, jalan di sekitar kamar. d. Hari ke-4 : sesuai dengan kemampuan kapan saja dapat meninggalkan tempat tidur, jalan ke kamar mandi, ruangan kelas, tetapi dengan pengawasan. e. Hari ke-5 : jalan ke ruang tunggu, jalan ke tempat telephone, jalan di gang rumah sakit. f. Hari ke-6 : mandi sendiri, dengan pengawasan ke ruangan sendiri. g. Hari ke-7 : melanjutkan aktifitas terdahulu. Dalam penelitian ini, peneliti akan mempergunakan latihan aktivitas yang selama ini dipergunakan di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar sesuai dengan Standar Operasioal Prosedur (SOP), dan program ini sudah pernah dipergunakan sebagai pedoman latihan aktivitas rehabilitasi pada penelitian sebelumnya tentang pengaruh latihan aktifitas rehabilitasi jantung fase I terhadap efikasi diri dan kecemasan pasien PJK di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar (Mertha, 2010) serta penelitian tentang hubungan pendidikan kesehatan latihan aktifitas rehabilitasi jantung fase I dengan kepatuhan melaksanakan mobilisasi pada pasien 21 PJK di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar (Wartini, 2011). Juga penerapannya didasarkan pada program rehabilitasi jantung fase I untuk pasien PJK selama dirawat di Ruang ICCU sampai pasien pindah ke ruangan biasa. Latihan aktifitas dilakukan 2-3 kali sehari dalam waktu 10-15 menit setiap sesi latihan, selama tujuh hari : a. Hari I : 1. Gerakan tidur terlentang-miring kiri-terlentang-miring kanan di tempat tidur (sebelumnya pasien istirahat total minimal 12 jam). 2. ADL (makan, minum, mandi, menggosok gigi, berpakaian, BAB/BAK) dibantu di tempat tidur. b. Hari II : 1. Duduk bersandar di tempat tidur, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi lutut. 2. Makan minum sendiri di tempat tidur. 3. BAB/BAK dibantu di tempat tidur. 4. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian dibantu di tempat tidur. c. Hari III : 1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi fleksi sendi lutut. 2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur. 3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan. 4. Makan minum sendiri di tempat tidur. 22 5. BAB/BAK dibantu di tempat tidur. 6. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di tempat tidur. 7. Pasien dipindah ke ruangan rawat biasa dengan menggunakan kursi roda. d. Hari IV : 1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi lutut. 2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur. 3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan. 4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar mandi. 5. Makan minum sendiri di tempat tidur. 6. BAB/BAK di kamar kecil. 7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di tempat tidur. 8. Pasien dipindah ke ruangan rawat biasa dengan menggunakan kursi roda. e. Hari V : 1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi lutut. 2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur. 3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan. 4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar mandi. 23 5. Makan minum sendiri di tempat tidur. 6. BAB/BAK di kamar kecil. 7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di kamar mandi dengan pengawasan. f. Hari VI : 1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi lutut. 2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur. 3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan. 4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar mandi. 5. Makan minum sendiri di tempat tidur. 6. BAB/BAK di kamar kecil. 7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di kamar mandi dengan pengawasan. g. Hari VII : 1. Melanjutkan aktifitas terdahulu. 2. Pasien diijinkan pulang. PERKI (2004) dalam Wartini (2011) menyebutkan bahwa latihan aktifitas (mobilisasi) bertahap pada pasien PJK tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan kondisi fisik, fisiologi dan social pasien. Sehingga penderita dapat hidup kembali secara aktif dan produktif serta mencegah agar tidak terjadi serangan berulang 24 (Boestan, 2004). Selama penyesuaian aktifitas, pasien diobservasi adanya gejala dan tanda seperti nyeri dada, dispneu, kelemahan, kelelahan dan peningkatan frekuensi jantung. Evaluasi program latihan aktifitas dilakukan pada akhir fase I yang mencakup perubahan aspek fisik, aspek mental dan aspek pengetahuan berupa prilaku dalam kepatuhan menjalani program latihan (Smeltzer & Bare, 2002). Lebih lanjut Hoeri dalam Rokhaeni (2001) memaparkan hal-hal yang perlu dievaluasi dalam pelaksanaan program rehabilitasi jantung antara lain : a. Aspek fisik : 1. Keluhan angina berkurang. 2. Adanya perbaikan kapasitas fungsional. 3. Tekanan darah serta denyut nadi istirahat tidak tinggi. 4. Tidak ada komplikasi. b. Aspek mental : 1. Pasien tampak lebih tenang dan tidak mudah cemas. 2. Mampu bersosialisasi dengan baik. c. Aspek pendidikan : Untuk aspek pendidikan dapat dilihat dari adanya perubahan perilaku dalam hal kepatuhan menjalani program latihan, pengaturan makan dan minum obat. 25 2.3 Kepatuhan 2.3.1 Pengertian a. Menurut Irwanto (1996), kepatuhan berasal dari kata dasar “patuh” yang berarti taat dan disiplin sehingga mempunyai arti suatu ketaatan dan kedisiplinan seseorang dalam melakukan sesuatu. b. Kepatuhan merupakan suatu bentuk perilaku. Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia (Heri P, 1999). c. Sarafino (1990) mendefinisikan kepatuhan atau ketaatan (compliance atau adherence) sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh tim medis lainnya. Jadi kepatuhan dalam melaksanakan rehabilitasi adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan aktifitas sesuai aturan yang berlaku dalam upaya mencegah terjadinya komplikasi dan mengembalikan kondisi pasien ke kondisi normal atau mendekati keadaan sebelum sakit. 2.3.2 Kriteria Kepatuhan Rosiana (2012) menyebutkan bahwa kriteria kepatuhan dibagi menjadi dua yaitu : a. Patuh adalah tingkat ketaatan dan kedisiplinan klien terhadap program pengobatan yang diberikan. b. Tidak patuh adalah ketidaktaan dan ketidaksiplinan klien terhadap program pengobatan yang diberikan. 26 Depkes RI (2004) dalam Murdani (2010) juga menyebutkan tentang kriteria kepatuhan yaitu : a. Patuh adalah suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah ataupun aturan dan semua aturan maupun perintah tersebut dilakukan dan semuanya benar. b. Tidak patuh adalah suatu tindakan mengabaikan atau tidak melaksanakan perintah dan aturan sama sekali. 2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Menurut Smeltzer & Bare (2002) dikatakan sejumlah variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan yaitu : a. Variabel demografi, seperti umur, jenis kelamin, suku bangsa, status sosial ekonomi dan pendidikan. b. Variabel penyakit, seperti tingkat keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi. c. Variabel program pengobatan, seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak menyenangkan. d. Variabel psikososial, seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan finansial. Menurut Saputra dalam Niven (2002) disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan, yaitu : a. Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan 27 potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan klien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif. b. Akomodasi Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian klien yang dapat mempengaruhi kepatuhan adalah jarak dan waktu. c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan temanteman, kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program pengobatan. Lingkungan yang harmonis dan positif akan membawa dampak yang positif. d. Perubahan model terapi Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin sehingga klien terlihat aktif dalam pembuatan program pengobatan (terapi). e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada klien setelah memperoleh infomasi tentang diagnosis. Suatu penjelasan penyebab penyakit dan bagaimana pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan. 28 f. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmodjo, 2005). Semakin tinggi tingkat pengetahuan, semakin baik pula tingkat kepatuhan klien terhadap program pengobatan. g. Usia Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang. h. Dukungan keluarga Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa tentram dan senang apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik serta penderita mau menuruti saransaran yang diberikan keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya. Menurut Smert (1994) dalam Syakira (2009), berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan antara lain : a. Dukungan profesional kesehatan Dukungan professional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan seperti misalnya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan 29 penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien. b. Dukungan keluarga Dukungan keluarga yang dimaksud adalah anggota keluarga, teman, teman dekat, dokter serta ahli – ahli dibidang keahlian yang sesuai. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi. c. Perilaku sehat Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan PJK diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita PJK. d. Pemberian informasi Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya. 2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Ketidakpatuhan merupakan suatu kondisi pada individu atau kelompok yang sebenarnya mau melakukannya, tetapi dapat dicegah untuk melakukannya oleh faktor-faktor yang menghalangi ketaatan terhadap anjuran. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian (Niven, 2002) yaitu : a. Pemahaman tentang instruksi Tak seorangpun dapat memahami instruksi jika terjadi salah paham tentang instruksi yang diberikan. Ley dan Spetman dalam Niven (2002), 30 menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Hal ini disebabkan kegagalan petugas kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap dan banyaknya instruksi yang harus diingat serta penggunaan istilah medis. b. Kualitas interaksi Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan (Korcsh dan Negrete dalam Niven, 2002). c. Isolasi sosial dalam keluarga Keluarga dapat menjadi factor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. d. Keyakinan, sikap dan kepribadian Model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki ego yang lebih lemah dan yang memiliki kehidupan sosial lebih memusatkan perhatian pada diri sendiri. Niven (2002) juga mengungkapkan derajat ketidakpatuhan itu ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu : a. Kompleksitas prosedur pengobatan. b. Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan. 31 c. Lamanya waktu yang diperlukan pasien untuk mematuhi program tersebut. d. Apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan. e. Apakah pengobatan itu berpotensi menyelamatkan hidup. f. Keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien, bukan oleh petugas kesehatan. 2.4 Kepatuhan Rehabilitasi Jantung Fase I Hoeri dalam Rokhaeni (2001) menyebutkan bahwa program rehabilitasi jantung fase I merupakan program yang diberikan selama pasien dirawat di rumah sakit. Program ini dilaksanakan sesegera mungkin pada pasien dengan hemodinamik stabil sejak di ICCU dan dilajutkan setiap hari di ruang rawat inap hingga pasien pulang ke rumah. Jenis kegiatan program rehabilitasi jantung fase I ini terdiri dari latihan aktifitas dan pendidikan kesehatan. Dalam penelitian ini, peneliti akan mempergunakan latihan aktivitas yang selama ini dipergunakan di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), dan program ini sudah pernah dipergunakan sebagai pedoman latihan aktivitas rehabilitasi pada penelitian sebelumnya tentang pengaruh latihan aktifitas rehabilitasi jantung fase I terhadap efikasi diri dan kecemasan pasien PJK di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar (Mertha, 2010) serta penelitian tentang hubungan pendidikan kesehatan latihan aktifitas rehabilitasi jantung fase I dengan kepatuhan melaksanakan mobilisasi pada pasien PJK di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar (Wartini, 2011). Juga penerapannya didasarkan pada program rehabilitasi jantung fase I untuk pasien PJK selama dirawat di Ruang ICCU sampai pasien pindah ke ruangan biasa. 32 Latihan aktivitas dilakukan 2-3 kali sehari dalam waktu 10-15 menit setiap sesi latihan, selama tujuh hari : Latihan aktifitas dilakukan 2-3 kali sehari dalam waktu 10-15 menit setiap sesi latihan, selama tujuh hari : a. Hari I: 1. Gerakan tidur terlentang - miring kiri - terlentang - miring kanan di tempat tidur (sebelumnya pasien istirahat total minimal 12 jam) 2. ADL (makan, minum, mandi, menggosok gigi, berpakaian, BAB/BAK) dibantu di tempat tidur. b. Hari II : 1. Duduk bersandar di tempat tidur, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi lutut. 2. Makan minum sendiri di tempat tidur. 3. BAB/BAK dibantu di tempat tidur. 4. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian dibantu di tempat tidur. c. Hari III : 1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi fleksi sendi lutut. 2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur. 3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan. 4. Makan minum sendiri di tempat tidur. 5. BAB/BAK dibantu di tempat tidur. 6. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di tempat tidur. 33 7. Pasien dipindah ke ruangan rawat biasa dengan menggunakan kursi roda. d. Hari IV : 1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi lutut. 2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur. 3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan. 4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar mandi. 5. Makan minum sendiri di tempat tidur. 6. BAB/BAK di kamar kecil. 7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di tempat tidur. 8. Pasien dipindah ke ruangan rawat biasa dengan menggunakan kursi roda. e. Hari V : 1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi lutut. 2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur. 3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan. 4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar mandi. 5. Makan minum sendiri di tempat tidur. 6. BAB/BAK di kamar kecil. 34 7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di kamar mandi dengan pengawasan. f. Hari VI : 1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi lutut. 2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur. 3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan. 4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar mandi. 5. Makan minum sendiri di tempat tidur. 6. BAB/BAK di kamar kecil. 7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di kamar mandi dengan pengawasan. g. Hari VII : 1. Melanjutkan aktifitas terdahulu. 2. Pasien diijinkan pulang. 2.5 Dukungan Keluarga 2.5.1 Pengertian Keluarga Depkes (1988) dalam Effendy (1998) menyebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal dalam satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. 35 2.5.2 Fungsi Keluarga Menurut Friedman (1982) dikutip dari Setiadi (2008) menyebutkan bahwa fungsi keluarga dibagi menjadi lima yaitu : a. Fungsi afektif adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. b. Fungsi sosialisasi adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah. c. Fungsi reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. d. Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. e. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan adalah fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. 2.5.3 Peran Keluarga Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga yang menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu (Setiadi, 2008). Dalam UU kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal lima menyebutkan ”Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga dan lingkungan”. Dari pasal di atas jelas bahwa 36 keluarga berkewajiban menciptakan dan memelihara kesehatan dalam upaya meningkatkan tingkat derajat kesehatan yang optimal. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga. Menurut Effendy (1998) peran itu dibagi menjadi tiga yaitu : a. Peran Ayah Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. b. Peran Ibu Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, di samping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. c. Peran Anak Anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual. 2.5.4 Pengertian Dukungan Keluarga a. Menurut Sarwono (2003) dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materiil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. 37 b. Menurut Sarason (1983) dalam Zainudin (2002) menyebutkan bahwa dukungan keluarga adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. c. Cobb (2002) mendefinisikan dukungan keluarga sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya, dukungan keluarga tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok. Jadi dukungan keluarga adalah informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungannya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional dan berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Dalam semua tahap, dukungan keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan (Setiadi, 2008). Dukungan keluarga merupakan cara untuk menunjukkan kasih sayang, kepedulian dan penghargaan untuk orang lain. Individu yang menerima dukungan keluarga akan merasa dirinya dicintai, dihargai, berharga, dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya (Sarafino, 1990). Dukungan keluarga diperoleh dari hasil interaksi individu dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya dan bisa berasal dari siapa saja, keluarga, pasangan (suami/istri), teman, maupun rekan kerja. Kenyamanan psikis maupun emosional yang diterima individu dari dukungan keluarga akan 38 dapat melindungi individu dari konsekuensi stres yang menimpanya (Taylor, 2003 dalam Setiadi, 2008). 2.5.5 Bentuk-Bentuk Dukungan Keluarga Komponen-komponen dukungan keluarga menurut (Friedman,1982) terdiri dari: a. Dukungan penilaian atau penghargaan Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk memahami kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan strategi koping yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan ini juga merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Individu mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi pengaharapan positif individu kepada individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan seseorang dan perbandingan positif seseorang dengan orang lain, misalnya orang yang kurang mampu. Dukungan keluarga dapat membantu meningkatkan strategi koping individu dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek yang positif. b. Dukungan instrumental Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata (instrumental support material support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah praktis, termasuk di dalamnya bantuan langsung, seperti saat seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu pekerjaan sehari- 39 hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit ataupun mengalami depresi yang dapat membantu memecahkan masalah. Dukungan nyata paling efektif bila dihargai oleh individu dan mengurangi depresi individu. Pada dukungan nyata keluarga sebagai sumber untuk mencapai tujuan praktis dan tujuan nyata. c. Dukungan informasional Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya, dan tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stressor. Individu yang mengalami depresi dapat keluar dari masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan dukungan dari keluarga dengan menyediakan feed back. Pada dukungan informasi ini keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi. d. Dukungan emosional Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara emosional, sedih, cemas, dan kehilangan harga diri. Jika depresi mengurangi perasaan seseorang akan hal dimiliki dan dicintai. Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat. 40 Menurut House Smet (1994) dalam Prasetyawati (2011) menyebutkan bahwa setiap bentuk dukungan keluarga mempunyai ciri-ciri antara lain : a. Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat dipergunakan oleh seseorang dalam menganggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, petunjuk, masukan atau penjelasan bagaimana seseorang bersikap atau bertindak dalam menghadapi situasi yang dianggap membebani. b. Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain. Dukungan ini meliputi ekspresi empati misalnya mendengarkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan perhatian. c. Bantuan instrumental, bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya atau menolong secara langsung kesulitan yang dihadapinya, misalnya menyediakan fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang dan memberikan makanan. d. Bantuan penilaian, dukungan ini bisa berbentuk penilaian yang positif, penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu. 2.5.6 Sumber Dukungan Keluarga Dukungan keluarga dapat diperoleh dari teman dekat, anggota keluarga, teman, dokter serta ahli-ahli dibidang keahlian yang sesuai (Farhati dkk, 1996 dalam Komalasari, 2011). 41 2.5.7 Manfaat Dukungan Keluarga Witridiani (1996) dalam Komalasari (2011) menyebutkan bahwa dukungan keluarga dapat memberikan dukungan emosi, instrumental, penilaian positif dan informasi yang bermanfaat bagi individu dalam : a. Meningkatkan produktivitas bila dihubungkan dengan pekerjaan. b. Meningkatkan kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri dengan menyediakan rasa memiliki, memperjelas identitas diri, menambah harga diri, serta mengurangi stress. c. Meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik. d. Pengelolaan terhadap stres dengan menyediakan pelayanan, perawatan, sumbersumber informasi dan umpan balik yang dibutuhkan untuk menghadapi stres dan tekanan. Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan keluarga berbeda-beda dalam berbagai tahaptahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1982). 2.5.8 Faktor Yang Membentuk Dukungan Keluarga Runtu (2002) menyebutkan bahwa sedikitnya ada tiga faktor penting yang mendorong seseorang untuk memberikan bantuan atau dukungan yang positif. Pertama, empati yaitu turut merasakan kesusahan orang lain dengan tujuan mengantisipasi emosi dan memotivasi tingkah laku untuk mengurangi kesusahan 42 dan meningkatkan kesejahteraan orang lain. Kedua, norma & nilai sosial yang berguna untuk membimbing individu untuk menjalankan kewajiban dalam kehidupan. Ketiga, pertukaran sosial yaitu hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta, pelayanan, informasi dan status dengan strategi minimal, yaitu meminimalkan korban dan memaksimalkan reward dan untuk meramalkan tingkah laku seseorang. 2.6 Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Rehabilitasi Pasien PJK Irwanto (1996) mendefinisikan kepatuhan berasal dari kata dasar “patuh” yang berarti taat dan disiplin sehingga mempunyai arti suatu ketaatan dan kedisiplinan seseorang dalam melakukan sesuatu. Sackett (1976) dalam Setiadi (2008) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Kepatuhan dalam melaksanakan rehabilitasi adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan aktifitas sesuai aturan yang berlaku dalam upaya mencegah terjadinya komplikasi dan mengembalikan kondisi pasien ke kondisi normal atau mendekati keadaan sebelum sakit. Saputra dalam Niven, (2002) menyebutkan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah dukungan keluarga, disebutkan juga bahwa dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Pasien akan merasa senang dan tentram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya 43 dengan lebih baik serta pasien mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya. Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 1982). Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antara anggota keluarga, antar kerabat serta antar generasi yang merupakan dasar keluarga yang harmonis (Soetjiningsih, 1995). Menurut Johnson dan Johnson (dalam Witridiani, 1996) dukungan keluarga dapat memberikan dukungan emosi, instrumental, penilaian positif dan informasi yang bermanfaat bagi individu dalam meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik. Dukungan emosional memiliki dampak yang positif dimana dengan pemberian dukungan tersebut pasien merasa lebih diperhatikan, sehingga dapat mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Dukungan instrumental dapat membantu memecahkan masalah serta mengurangi depresi individu. Dukungan penilaian dapat membantu meningkatkan strategi koping individu dengan strategistrategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek yang positif. Dukungan informasi membuat pasien merasa lebih berhati-hati. Dengan adanya motivasi dan dorongan yang kuat dan sangat tinggi dari keluarga dapat membuat kondisi penyakit subjek semakin membaik (Komalasari, 2011). 44 Rosiana (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa peran serta dan dukungan keluarga yang merawat dan mendampingi pasien juga sangat menentukan keberhasilan program rehabilitasi yang dijalani. Dukungan keluarga merupakan sumber yang sangat penting bagi penderita penyakit kronis, hal ini terjadi karena dukungan keluarga tidak hanya meningkatkan fungsi fisik dan emosi pasien tetapi juga kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatannya. Disebutkan pula bahwa keluarga menjadi pusat utama yang penting dan hanya keluargalah yang memperhatikan individu secara total dan memperhatikan setiap segi-segi kehidupanya. Keluarga memainkan suatu peran bersifat mendukung selama masa penyembuhan dan pemulihan klien. Apabila dukungan semacam ini tidak ada, maka keberhasilan penyembuhan atau pemulihan (rehabilitasi) sangat berkurang.