BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini dibahas mengenai

advertisement
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini dibahas mengenai konsep penyakit jantung koroner,
program rehabilitasi jantung, konsep kepatuhan dan dukungan keluarga.
2.1 Penyakit Jantung Koroner
2.1.1 Pengertian
PJK adalah suatu kondisi ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan oksigen miokardium. Ketidakseimbangan ini dapat terjadi akibat
penyempitan arteri koroner, penurunan aliran darah atau curah jantung, kebutuhan
O2 miokardium meningkat atau spasme arteri koroner, dengan penyebab tersering
yaitu aterosklerosis (Rokhaeni dkk, 2001).
2.1.2 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari PJK bervariasi antara lain tanpa gejala, angina
pektoris, IMA, aritmia, payah jantung dan kematian mendadak (Nurhayati, dalam
Rokhaeni, 2001). Palpitasi merupakan manifestasi PJK meskipun tidak spesifik,
bisa timbul spontan ataupun atas faktor pencetus yang menambah iskemia seperti
aktivitas fisik dan juga stress. Angina pektoris yang spesifik merupakan gejala
utama dan khas bagi PJK (Noer dkk, 1999). Keadaan tersebut merupakan keluhan
utama pasien masuk rumah sakit, dan apabila tidak mendapat penanganan yang
adekuat sedini mungkin dapat berkembang menjadi IMA dengan angka kematian
yang tinggi yaitu 87,06% pada pasien IMA dengan umur kurang dari 60 tahun dan
68,28% pada pasien IMA umur lebih dari 60 tahun (Kasron, 2012).
13
Menurut PERKI (2004) dalam Wartini (2011) disebutkan bahwa keluhan
nyeri dada yang memerlukan perhatian secara serius memiliki karakteristik
sebagai berikut :
a. Nyeri dada yang baru dirasakan (< 1 bulan).
b. Perubahan kualitas nyeri dada, seperti meningkatnya frekuensi atau beratnya
nyeri dada, atau nyeri dada yang dirasakan saat istirahat.
c. Nyeri dada yang tidak hilang dengan istirahat atau dengan pemberian nitrat
sublingual. Dikatakan juga gejala lain yang mungkin menyertai adalah sesak nafas
dan pingsan (sinkop).
2.1.3 Faktor Risiko
Sebagian besar IMA terjadi atas dasar aterosklerosis koroner. Berbagai
penelitian epidemiologi menujukkan adanya keadaan, sifat dan kelainan yang
dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis yang lazim disebut faktor risiko
koroner. Faktor risiko timbulnya PJK dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
faktor risiko yang tidak dapat dicegah atau dimodifikasi dan faktor risiko yang
dapat dicegah atau dimodifikasi. Untuk selanjutnya disebut faktor risiko koroner
tetap dan faktor risiko koroner termodifikasi. Faktor risiko tetap antara lain umur,
jenis kelamin dan riwayat penyakit jantung dalam keluarga (keturunan).
Sementara faktor risiko yang termodifikasi yaitu merokok, hipertensi,
hiperkolesterol, diabetes mellitus (DM) dan obesitas (Rokhaeni dkk, 2001;
Smeltzer, 2002). Sedangkan Wita (1992) menambahkan bahwa stress dan perilaku
tipe A juga termasuk faktor risiko termodifikasi. Penelitian Friedman, dkk (1982)
dalam Wita (1992) menyatakan pola perilaku tipe A dan stress psikologis
14
merupakan faktor risiko koroner tersendiri. Dikatakan pula hubungan antara stress
dan penyakit kardiovaskuler merupakan hal yang kompleks dan interaktif.
Sebagai dampak akhir dari stress dapat menimbulkan gangguan irama jantung
yang fatal, mengganggu aliran darah koroner secara langsung maupun tidak
langsung sebagai akibat spasme pembuluh darah koroner.
Kaplan (1983) dalam Wita (1992) mengemukakan bahwa umur masih
merupakan prediktor kuat terjadinya PJK meskipun tidak jelas kerentanan
terhadap aterosklerosis dengan bertambahnya umur. PJK merupakan penyebab
kematian pada laki-laki usia 35-44 tahun dan pada usia 55-65 tahun mencapai
40%. Disebutkan pula oleh Stokes (1990) dalam Wita (1992) bahwa predominasi
jenis kelamin laki-laki pada PJK sangat jelas terutama pada umur muda dan
berkurang setelah wanita mengalami menopause. Angka kejadian PJK pada
wanita sebelum menopause biasanya 10 hingga 20 tahun lebih lambat daripada
laki-laki.
PERKI (2004) dalam Wartini (2011) menyebutkan bahwa beberapa studi
epidemiologi berhasil mengidentifikasi faktor-faktor risiko PJK antara lain :
merokok berapapun jumlahnya, kadar kolesterol total dan kolesterol Low Density
Lipoprotein (LDL) yang tinggi, hipertensi, kadar kolesterol High Density
Lipoprotein (HDL) yang rendah, DM dan usia lanjut. Dikatakan pula terdapat
faktor-faktor lain yang berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya PJK
yaitu faktor predisposisi. Faktor-faktor ini adalah : obesitas, kebiasaan kurang
bergerak, riwayat keluarga menderita PJK, etnik tertentu dan faktor psikososial.
15
2.1.4 Penatalaksanaan
Mengingat PJK adalah penyakit multifaktorial dengan manifestasi yang
bermacam-macam, pasien sebaiknya dilihat secara keseluruhan (holistik) dan
diperlakukan individual. Penatalaksanaannya dibagi menjadi dua macam yaitu
penatalaksanaan umum dan mengatasi iskemia yang terdiri dari medikamentosa
dan revaskularisasi (Noer dkk, 1999).
a. Penatalaksanaan Umum
Yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai penyakitnya, hal-hal
yang mempengaruhi keseimbangan O2 miokardium, pengendalian faktor risiko,
pencegahan dan penunjang agar tidak terjadi iskemia yang lebih berat dengan
pemberian oksigen disamping pasien diistirahatkan di tempat tidur.
b. Mengatasi Iskemia
Untuk
mengatasi
iskemia,
terdiri
dari
pemberian
obat-obatan
(medikamentosa) dan melakukan revaskularisasi dengan cara pemakaian
trombolitik, biasanya pada PJK akut seperti IMA. Juga prosedur invasive, non
operatif sering dilakukan yaitu Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty
(PTCA), sedangkan beberapa kasus memerlukan tindakan operasi segera yang
selanjutnya dikenal dengan istilah Coronary Artery Surgery (CAS). Salah satunya
yang banyak dikenal adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG).
Setelah
terapi
farmakologik
dan
tindakan
pembedahan
berhasil
memperbaiki kondisi pasien, selanjutnya sesuai indikasi pasien direncanakan
untuk mengikuti program rehabilitasi jantung untuk memulihkan, menyiapkan
16
pasien secara bertahap kembali pada aktivitas sehari-hari seperti sebelum terkena
PJK (Boestan, 2004).
2.2 Program Rehabilitasi Jantung
Program rehabilitasi jantung sesungguhnya merupakan program yang
berupaya mengembalikan pasien jantung menjadi manusia seutuhnya kembali,
baik dari aspek psikologisnya, maupun aspek jasmaniahnya (Baraas, 2006). Itulah
sebabnya program rehabilitasi jantung dirancang secara multidisiplin dalam
komposisi kerja yang terpadu dan efektif.
Rokhaeni, dkk (2001) menyebutkan bahwa rehabilitasi pada pasien PJK
adalah rangkaian usaha dalam membantu penyembuhan pasien agar dapat kembali
dengan cepat pada kehidupan normalnya atau mendekati kondisi sebelum sakit.
Selanjutnya dikatakan tujuan rehabilitasi pada pasien PJK untuk memulihkan
kondisi fisik, mental, sosial serta vokasional seseorang seoptimal mungkin,
sehingga dicapai kemampuan diri untuk melaksanakan aktivitas di rumah maupun
di lingkungan. Program ini tidak saja ditujukan pada saat pasien sedang dirawat di
ruang intensif, tetapi juga sesudah dipindah ke ruang perawatan biasa dan setelah
keluar rumah sakit. Manfaat program rehabilitasi ini antara lain : rehabilitasi dini
aman, tidak meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas, efek negatif tirah
baring dapat dihindari atau dicegah, ansietas dan depresi pasien dapat dibatasi
sesedikit mungkin dan masa perawatan menjadi lebih singkat sehingga pasien
dapat kembali bekerja lebih cepat.
Pasien yang hendak diberikan latihan aktivitas ini harus memenuhi
beberapa kriteria antara lain pasien IMA tanpa komplikasi, pasien PJK dengan
17
keluhan angina ringan atau tanpa keluhan. Komplikasi yang sering terjadi pada
pasien IMA yaitu aritmia, kegagalan ventrikel kiri, syok kardiogenik, emboli dan
rupture ventrikel (Rokhaeni dkk, 2001). Sedangkan kontraindikasi yaitu untuk
pasien angina pectoris yang belum stabil (sakit dada masih terasa saat pasien
istirahat, lamanya lebih dari 15 menit dan masih ada peningkatan rasa sakit),
tekanan darah sistolik > 200mmHg atau diastolik > 110mmHg, pasien demam
(suhu >37,7 oC), aritmia atrial atau ventrikel, takikardi (HR > 130x/menit) dan
gambaran EKG saat istirahat menunjukkan ST depresi > 2 mm (Hoeri dalam
Rokhaeni dkk, 2001).
Program rehabilitasi jantung di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dibagi
menjadi tiga fase (Baraas, 2006)
2.2.1
Program Fase I
PERKI (2004) dalam Wartini (2011) menyebutkan bahwa Program fase I
diberikan pada pasien yang masih dirawat di ruang intensif hingga menjelang
pulang. Pada hari pertama pasien hendaknya istirahat total dengan berbaring di
tempat tidur minimal 12 jam dan mulai diterangkan tentang penyakit yang sedang
dialami, seluk beluk faktor risikonya serta tindakan yang akan dilakukan termasuk
rencana untuk melakukan program rehabilitasi jantung. Di hari kedua dan ketiga,
pasien mulai diajarkan untuk melakukan latihan pernapasan dan latihan pasif
maupun aktif di tempat tidur. Apabila selama perawatan di ruang rawat intensif
pasien berada dalam kondisi stabil, kemudian bisa dipindahkan ke ruang rawat
biasa pada hari ketiga. Di hari berikutnya mulailah latihan fisik yang dilakukan
setiap hari selama empat sampai lima hari sebelum pasien pulang.
18
2.2.2
Program fase II
Fase II merupakan program setelah pasien keluar dari rumah sakit, harus
senantiasa berada di bawah supervisi instruktur latihan, untuk mengawasi
kemungkinan terjadinya risiko latihan ataupun untuk menilai perkembangan
latihan. Durasi latihan berlangsung selama 20 sampai 30 menit dilakukan tiga
sampai empat kali seminggu selama dua sampai tiga bulan.
2.2.3
Program fase III
Latihan fase III ini tidak lagi disupervisi, karena kemampuan fisik pasien
sesungguhnya sudah setara dengan orang sehat. Walaupun demikian, bagi pasien
jantung kini tidak dianjurkan untuk mengikuti program fase III dengan beban
berat seperti itu, tetapi dianjurkan untuk menjalani program fase III dengan beban
moderat. Mula-mula latihan diawali dengan pemanasan lima menit berupa
peregangan (stretching), senam ringan atau berjalan santai tiga sampai empat
km/jam, kemudian diakhiri dengan latihan pendinginan sekitar lima menit juga
berupa peregangan, senam ringan atau dengan berjalan santai. Latihan fisik yang
teratur dan terukur seperti itu hendaknya dilakukan minimal tiga kali dalam
seminggu atau setiap selang sehari dalam seminggu. Bagi pasien yang sudah
terlatih baik, latihan bisa dilakukan setiap hari lima sampai enam kali dalam
seminggu.
Lubis (2010) memuat program rehabilitasi jantung yang dibagi dalam
empat fase yaitu :
a. Fase I : dilakukan selama pasien dirawat di rumah sakit. Program difokuskan
pada ambulasi dini dan pendidikan kesehatan.
19
b. Fase II : program yang diberikan setelah pasien keluar dari rumah sakit yang
dilakukan selama beberapa minggu. Kegiatan dilakukan dengan supervisi dari tim
rehabilitasi terutama pada latihan, diet, modifikasi faktor risiko dan pendidikan
kesehatan.
c. Fase III : dilakukan segera setelah fase II tetap dengan supervisi untuk
pemeliharaan kondisi yang telah dicapai. Fase ini berlangsung selama empat
sampai enam bulan.
d. Fase IV : fase yang tidak memerlukan supervisi dan berlangsung dalam waktu
tak terbatas, dengan tujuan untuk pemeliharaan pencapaian kondisi yang optimal.
Secara jelas dipaparkan oleh peneliti sebelumnya mengenai latihan
aktifitas rehabilitasi fase I untuk pasien PJK, antara lain menurut Smeltzer & Bare
(2002) menjelaskan latihan aktifitas yang diberikan pada pasien IMA selama
dirawat di ICCU adalah :
a. Hari ke-1 : tirah baring dengan pispot, bantu activity daily living (ADL).
b. Hari ke-2 : latihan duduk di kursi, bantu ADL.
c. Hari ke-3 : latihan berjalan dengan bantuan, bantu ADL.
d. Hari ke-4 : latihan berjalan dengan bantuan, bantu ADL.
e. Hari ke-5 : latihan berjalan sendiri, bantu ADL.
f. Hari ke-6 : latihan berjalan sendiri, bantu ADL.
g. Hari ke-7 : melakukan aktifitas bertahap, ADL dibantu.
h. Hari ke-8 : melakukan aktifitas bertahap, ADL dibantu.
20
Hoeri dalam Rokhaeni, dkk (2001) membuat pedoman latihan rehabilitasi
jantung fase I pada semua pasien yang masih dalam perawatan di rumah sakit
selama tujuh hari sebagai berikut :
a. Hari ke-1 : merawat diri dengan bantuan, makan sendiri, kaki berjuntai ke
bawah, duduk di kursi 15 menit satu sampai dua kali perhari.
b. Hari ke-2 : duduk di kursi 15-30 menit tiga kali perhari, merawat diri tanpa
bantuan.
c. Hari ke-3 : duduk di kursi dengan waktu tak terbatas, pindah ruangan dengan
kursi roda, jalan di sekitar kamar.
d. Hari ke-4 : sesuai dengan kemampuan kapan saja dapat meninggalkan tempat
tidur, jalan ke kamar mandi, ruangan kelas, tetapi dengan pengawasan.
e. Hari ke-5 : jalan ke ruang tunggu, jalan ke tempat telephone, jalan di gang
rumah sakit.
f. Hari ke-6 : mandi sendiri, dengan pengawasan ke ruangan sendiri.
g. Hari ke-7 : melanjutkan aktifitas terdahulu.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mempergunakan latihan aktivitas yang
selama ini dipergunakan di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar sesuai dengan
Standar Operasioal Prosedur (SOP), dan program ini sudah pernah dipergunakan
sebagai pedoman latihan aktivitas rehabilitasi pada penelitian sebelumnya tentang
pengaruh latihan aktifitas rehabilitasi jantung fase I terhadap efikasi diri dan
kecemasan pasien PJK di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar (Mertha, 2010)
serta penelitian tentang hubungan pendidikan kesehatan latihan aktifitas
rehabilitasi jantung fase I dengan kepatuhan melaksanakan mobilisasi pada pasien
21
PJK di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar (Wartini, 2011). Juga penerapannya
didasarkan pada program rehabilitasi jantung fase I untuk pasien PJK selama
dirawat di Ruang ICCU sampai pasien pindah ke ruangan biasa.
Latihan aktifitas dilakukan 2-3 kali sehari dalam waktu 10-15 menit setiap
sesi latihan, selama tujuh hari :
a. Hari I :
1. Gerakan tidur terlentang-miring kiri-terlentang-miring kanan di tempat tidur
(sebelumnya pasien istirahat total minimal 12 jam).
2. ADL (makan, minum, mandi, menggosok gigi, berpakaian, BAB/BAK)
dibantu di tempat tidur.
b. Hari II :
1. Duduk bersandar di tempat tidur, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki
dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi lutut.
2. Makan minum sendiri di tempat tidur.
3. BAB/BAK dibantu di tempat tidur.
4. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian dibantu di tempat tidur.
c. Hari III :
1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah,
gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi fleksi sendi
lutut.
2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur.
3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan.
4. Makan minum sendiri di tempat tidur.
22
5. BAB/BAK dibantu di tempat tidur.
6. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di tempat tidur.
7. Pasien dipindah ke ruangan rawat biasa dengan menggunakan kursi roda.
d. Hari IV :
1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah,
gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi
lutut.
2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur.
3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan.
4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar
mandi.
5. Makan minum sendiri di tempat tidur.
6. BAB/BAK di kamar kecil.
7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di tempat tidur.
8. Pasien dipindah ke ruangan rawat biasa dengan menggunakan kursi roda.
e. Hari V :
1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah,
gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi
lutut.
2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur.
3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan.
4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar
mandi.
23
5. Makan minum sendiri di tempat tidur.
6. BAB/BAK di kamar kecil.
7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di kamar mandi dengan
pengawasan.
f. Hari VI :
1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah,
gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi
lutut.
2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur.
3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan.
4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar
mandi.
5. Makan minum sendiri di tempat tidur.
6. BAB/BAK di kamar kecil.
7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di kamar mandi dengan
pengawasan.
g. Hari VII :
1. Melanjutkan aktifitas terdahulu.
2. Pasien diijinkan pulang.
PERKI (2004) dalam Wartini (2011) menyebutkan bahwa latihan aktifitas
(mobilisasi) bertahap pada pasien PJK tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan
kondisi fisik, fisiologi dan social pasien. Sehingga penderita dapat hidup kembali
secara aktif dan produktif serta mencegah agar tidak terjadi serangan berulang
24
(Boestan, 2004). Selama penyesuaian aktifitas, pasien diobservasi adanya gejala
dan tanda seperti nyeri dada, dispneu, kelemahan, kelelahan dan peningkatan
frekuensi jantung. Evaluasi program latihan aktifitas dilakukan pada akhir fase I
yang mencakup perubahan aspek fisik, aspek mental dan aspek pengetahuan
berupa prilaku dalam kepatuhan menjalani program latihan (Smeltzer & Bare,
2002).
Lebih lanjut Hoeri dalam Rokhaeni (2001) memaparkan hal-hal yang perlu
dievaluasi dalam pelaksanaan program rehabilitasi jantung antara lain :
a. Aspek fisik :
1. Keluhan angina berkurang.
2. Adanya perbaikan kapasitas fungsional.
3. Tekanan darah serta denyut nadi istirahat tidak tinggi.
4. Tidak ada komplikasi.
b. Aspek mental :
1. Pasien tampak lebih tenang dan tidak mudah cemas.
2. Mampu bersosialisasi dengan baik.
c. Aspek pendidikan :
Untuk aspek pendidikan dapat dilihat dari adanya perubahan perilaku
dalam hal kepatuhan menjalani program latihan, pengaturan makan dan minum
obat.
25
2.3 Kepatuhan
2.3.1 Pengertian
a. Menurut Irwanto (1996), kepatuhan berasal dari kata dasar “patuh” yang
berarti taat dan disiplin sehingga mempunyai arti suatu ketaatan dan kedisiplinan
seseorang dalam melakukan sesuatu.
b. Kepatuhan merupakan suatu bentuk perilaku. Perilaku manusia berasal dari
dorongan yang ada dalam diri manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk
memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia (Heri P, 1999).
c. Sarafino (1990) mendefinisikan kepatuhan atau ketaatan (compliance atau
adherence) sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku
yang disarankan oleh dokternya atau oleh tim medis lainnya.
Jadi kepatuhan dalam melaksanakan rehabilitasi adalah ketaatan pasien
dalam melaksanakan aktifitas sesuai aturan yang berlaku dalam upaya mencegah
terjadinya komplikasi dan mengembalikan kondisi pasien ke kondisi normal atau
mendekati keadaan sebelum sakit.
2.3.2 Kriteria Kepatuhan
Rosiana (2012) menyebutkan bahwa kriteria kepatuhan dibagi menjadi dua
yaitu :
a. Patuh adalah tingkat ketaatan dan kedisiplinan klien terhadap program
pengobatan yang diberikan.
b. Tidak patuh adalah ketidaktaan dan ketidaksiplinan klien terhadap program
pengobatan yang diberikan.
26
Depkes RI (2004) dalam Murdani (2010) juga menyebutkan tentang
kriteria kepatuhan yaitu :
a. Patuh adalah suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah ataupun aturan
dan semua aturan maupun perintah tersebut dilakukan dan semuanya benar.
b. Tidak patuh adalah suatu tindakan mengabaikan atau tidak melaksanakan
perintah dan aturan sama sekali.
2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan
Menurut Smeltzer & Bare (2002) dikatakan sejumlah variabel yang
mempengaruhi tingkat kepatuhan yaitu :
a. Variabel demografi, seperti umur, jenis kelamin, suku bangsa, status sosial
ekonomi dan pendidikan.
b. Variabel penyakit, seperti tingkat keparahan penyakit dan hilangnya gejala
akibat terapi.
c. Variabel program pengobatan, seperti kompleksitas program dan efek samping
yang tidak menyenangkan.
d. Variabel psikososial, seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan,
penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya
dan finansial.
Menurut Saputra dalam Niven (2002) disebutkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kepatuhan, yaitu :
a. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
27
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan klien dapat meningkatkan
kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang
aktif.
b. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian klien yang
dapat mempengaruhi kepatuhan adalah jarak dan waktu.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan temanteman, kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu
kepatuhan terhadap program pengobatan. Lingkungan yang harmonis dan positif
akan membawa dampak yang positif.
d. Perubahan model terapi
Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin sehingga klien
terlihat aktif dalam pembuatan program pengobatan (terapi).
e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien
Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien adalah suatu
hal penting untuk memberikan umpan balik pada klien setelah memperoleh
infomasi tentang diagnosis. Suatu penjelasan penyebab penyakit dan bagaimana
pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan.
28
f. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan
terhadap
suatu
obyek
tertentu
(Notoatmodjo,
2005).
Semakin tinggi tingkat pengetahuan, semakin baik pula tingkat kepatuhan klien
terhadap program pengobatan.
g. Usia
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan
berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Semakin dewasa
seseorang, maka cara berfikir semakin matang.
h. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat
dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa tentram dan senang apabila
mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan
tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau
mengelola penyakitnya dengan lebih baik serta penderita mau menuruti saransaran yang diberikan keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya.
Menurut Smert (1994) dalam Syakira (2009), berbagai strategi telah
dicoba untuk meningkatkan kepatuhan antara lain :
a. Dukungan profesional kesehatan
Dukungan professional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan
kepatuhan seperti misalnya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan
29
penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik
dokter/perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
b. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga yang dimaksud adalah anggota keluarga, teman, teman
dekat, dokter serta ahli – ahli dibidang keahlian yang sesuai. Para profesional
kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan
kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.
c. Perilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan PJK
diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi
lebih lanjut apabila sudah menderita PJK.
d. Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai
penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.
2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan merupakan suatu kondisi pada individu atau kelompok
yang sebenarnya mau melakukannya, tetapi dapat dicegah untuk melakukannya
oleh faktor-faktor yang menghalangi ketaatan terhadap anjuran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan
menjadi empat bagian (Niven, 2002) yaitu :
a. Pemahaman tentang instruksi
Tak seorangpun dapat memahami instruksi jika terjadi salah paham
tentang instruksi yang diberikan. Ley dan Spetman dalam Niven (2002),
30
menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dokter
salah mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Hal ini
disebabkan kegagalan petugas kesehatan dalam memberikan informasi yang
lengkap dan banyaknya instruksi yang harus diingat serta penggunaan istilah
medis.
b. Kualitas interaksi
Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan
bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan (Korcsh dan Negrete
dalam Niven, 2002).
c. Isolasi sosial dalam keluarga
Keluarga dapat menjadi factor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat menentukan
tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
d. Keyakinan, sikap dan kepribadian
Model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya
ketidakpatuhan. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami
depresi, ansietas sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki ego yang lebih
lemah dan yang memiliki kehidupan sosial lebih memusatkan perhatian pada diri
sendiri.
Niven (2002) juga mengungkapkan derajat ketidakpatuhan itu ditentukan
oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Kompleksitas prosedur pengobatan.
b. Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan.
31
c. Lamanya waktu yang diperlukan pasien untuk mematuhi program tersebut.
d. Apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan.
e. Apakah pengobatan itu berpotensi menyelamatkan hidup.
f. Keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien, bukan oleh
petugas kesehatan.
2.4 Kepatuhan Rehabilitasi Jantung Fase I
Hoeri dalam Rokhaeni (2001) menyebutkan bahwa program rehabilitasi
jantung fase I merupakan program yang diberikan selama pasien dirawat di rumah
sakit. Program ini dilaksanakan sesegera mungkin pada pasien dengan
hemodinamik stabil sejak di ICCU dan dilajutkan setiap hari di ruang rawat inap
hingga pasien pulang ke rumah. Jenis kegiatan program rehabilitasi jantung fase I
ini terdiri dari latihan aktifitas dan pendidikan kesehatan.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mempergunakan latihan aktivitas yang
selama ini dipergunakan di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar sesuai dengan
Standar Operasional Prosedur (SOP), dan program ini sudah pernah dipergunakan
sebagai pedoman latihan aktivitas rehabilitasi pada penelitian sebelumnya tentang
pengaruh latihan aktifitas rehabilitasi jantung fase I terhadap efikasi diri dan
kecemasan pasien PJK di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar (Mertha, 2010)
serta penelitian tentang hubungan pendidikan kesehatan latihan aktifitas
rehabilitasi jantung fase I dengan kepatuhan melaksanakan mobilisasi pada pasien
PJK di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar (Wartini, 2011). Juga penerapannya
didasarkan pada program rehabilitasi jantung fase I untuk pasien PJK selama
dirawat di Ruang ICCU sampai pasien pindah ke ruangan biasa.
32
Latihan aktivitas dilakukan 2-3 kali sehari dalam waktu 10-15 menit setiap
sesi latihan, selama tujuh hari : Latihan aktifitas dilakukan 2-3 kali sehari dalam
waktu 10-15 menit setiap sesi latihan, selama tujuh hari :
a. Hari I:
1. Gerakan tidur terlentang - miring kiri - terlentang - miring kanan di tempat
tidur (sebelumnya pasien istirahat total minimal 12 jam)
2. ADL (makan, minum, mandi, menggosok gigi, berpakaian, BAB/BAK)
dibantu di tempat tidur.
b. Hari II :
1. Duduk bersandar di tempat tidur, gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki
dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi lutut.
2. Makan minum sendiri di tempat tidur.
3. BAB/BAK dibantu di tempat tidur.
4. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian dibantu di tempat tidur.
c. Hari III :
1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah,
gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi fleksi sendi
lutut.
2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur.
3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan.
4. Makan minum sendiri di tempat tidur.
5. BAB/BAK dibantu di tempat tidur.
6. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di tempat tidur.
33
7. Pasien dipindah ke ruangan rawat biasa dengan menggunakan kursi roda.
d. Hari IV :
1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah,
gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi
lutut.
2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur.
3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan.
4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar
mandi.
5. Makan minum sendiri di tempat tidur.
6. BAB/BAK di kamar kecil.
7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di tempat tidur.
8. Pasien dipindah ke ruangan rawat biasa dengan menggunakan kursi roda.
e. Hari V :
1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah,
gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi
lutut.
2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur.
3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan.
4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar
mandi.
5. Makan minum sendiri di tempat tidur.
6. BAB/BAK di kamar kecil.
34
7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di kamar mandi dengan
pengawasan.
f. Hari VI :
1. Duduk di samping tempat tidur, menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah,
gerakan ekstensi dan fleksi pergelangan kaki dan gerakan ekstensi dan fleksi sendi
lutut.
2. Turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur.
3. Sambil memegang pinggir tempat tidur, melangkah ke kiri dan ke kanan.
4. Berjalan lambat sekitar tempat tidur atau sekitar ruang rawat atau ke kamar
mandi.
5. Makan minum sendiri di tempat tidur.
6. BAB/BAK di kamar kecil.
7. Mandi, menggosok gigi dan berpakaian sendiri di kamar mandi dengan
pengawasan.
g. Hari VII :
1. Melanjutkan aktifitas terdahulu.
2. Pasien diijinkan pulang.
2.5 Dukungan Keluarga
2.5.1 Pengertian Keluarga
Depkes (1988) dalam Effendy (1998) menyebutkan bahwa keluarga adalah
unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang
yang berkumpul dan tinggal dalam satu atap dalam keadaan saling
ketergantungan.
35
2.5.2 Fungsi Keluarga
Menurut Friedman (1982) dikutip dari Setiadi (2008) menyebutkan bahwa
fungsi keluarga dibagi menjadi lima yaitu :
a. Fungsi afektif adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala
sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain.
b. Fungsi sosialisasi adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak
untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan
dengan orang lain di luar rumah.
c. Fungsi reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga
kelangsungan keluarga.
d. Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu
dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
e. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan adalah fungsi untuk
mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki
produktivitas tinggi.
2.5.3 Peran Keluarga
Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh
seseorang dalam konteks keluarga yang menggambarkan seperangkat perilaku
interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu (Setiadi, 2008).
Dalam UU kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal lima menyebutkan ”Setiap orang
berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perorangan, keluarga dan lingkungan”. Dari pasal di atas jelas bahwa
36
keluarga berkewajiban menciptakan dan memelihara kesehatan dalam upaya
meningkatkan tingkat derajat kesehatan yang optimal. Berbagai peranan yang
terdapat di dalam keluarga. Menurut Effendy (1998) peran itu dibagi menjadi tiga
yaitu :
a. Peran Ayah
Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari
nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga,
sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya.
b. Peran Ibu
Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Ibu mempunyai peranan untuk
mengurus rumah tangga sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung
dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota
masyarakat dari lingkungannya, di samping itu juga ibu dapat berperan sebagai
pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
c. Peran Anak
Anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat
perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.
2.5.4 Pengertian Dukungan Keluarga
a. Menurut Sarwono (2003) dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada
orang lain, baik moril maupun materiil untuk memotivasi orang tersebut dalam
melaksanakan kegiatan.
37
b. Menurut Sarason (1983) dalam Zainudin (2002) menyebutkan bahwa
dukungan keluarga adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang
yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita.
c. Cobb (2002) mendefinisikan dukungan keluarga sebagai adanya kenyamanan,
perhatian, penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya,
dukungan keluarga tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok.
Jadi dukungan keluarga adalah informasi verbal atau non verbal, saran,
bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab
dengan subjek di dalam lingkungannya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal
yang dapat memberikan keuntungan emosional dan berpengaruh pada tingkah
laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan secara
emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang
menyenangkan pada dirinya.
Dalam semua tahap, dukungan keluarga menjadikan keluarga mampu
berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan
kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan (Setiadi, 2008). Dukungan
keluarga merupakan cara untuk menunjukkan kasih sayang, kepedulian dan
penghargaan untuk orang lain. Individu yang menerima dukungan keluarga akan
merasa dirinya dicintai, dihargai, berharga, dan merupakan bagian dari lingkungan
sosialnya (Sarafino, 1990). Dukungan keluarga diperoleh dari hasil interaksi
individu dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya dan bisa berasal dari siapa
saja, keluarga, pasangan (suami/istri), teman, maupun rekan kerja. Kenyamanan
psikis maupun emosional yang diterima individu dari dukungan keluarga akan
38
dapat melindungi individu dari konsekuensi stres yang menimpanya (Taylor, 2003
dalam Setiadi, 2008).
2.5.5 Bentuk-Bentuk Dukungan Keluarga
Komponen-komponen dukungan keluarga menurut (Friedman,1982)
terdiri dari:
a. Dukungan penilaian atau penghargaan
Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk memahami
kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan strategi koping yang
dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan ini juga merupakan
dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu.
Individu mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka,
terjadi melalui ekspresi pengaharapan positif individu kepada individu lain,
penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan seseorang dan
perbandingan positif seseorang dengan orang lain, misalnya orang yang kurang
mampu. Dukungan keluarga dapat membantu meningkatkan strategi koping
individu dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus
pada aspek-aspek yang positif.
b. Dukungan instrumental
Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan,
bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata (instrumental support
material support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu
memecahkan masalah praktis, termasuk di dalamnya bantuan langsung, seperti
saat seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu pekerjaan sehari-
39
hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat
sakit ataupun mengalami depresi yang dapat membantu memecahkan masalah.
Dukungan nyata paling efektif bila dihargai oleh individu dan mengurangi depresi
individu. Pada dukungan nyata keluarga sebagai sumber untuk mencapai tujuan
praktis dan tujuan nyata.
c. Dukungan informasional
Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab
bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan
nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh
seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tentang
dokter, terapi yang baik bagi dirinya, dan tindakan spesifik bagi individu untuk
melawan stressor. Individu yang mengalami depresi dapat keluar dari masalahnya
dan memecahkan masalahnya dengan dukungan dari keluarga dengan
menyediakan feed back. Pada dukungan informasi ini keluarga sebagai
penghimpun informasi dan pemberi informasi.
d. Dukungan emosional
Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara emosional,
sedih, cemas, dan kehilangan harga diri. Jika depresi mengurangi perasaan
seseorang akan hal dimiliki dan dicintai. Dukungan emosional memberikan
individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam
bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang
menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga
menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat.
40
Menurut House Smet (1994) dalam Prasetyawati (2011) menyebutkan
bahwa setiap bentuk dukungan keluarga mempunyai ciri-ciri antara lain :
a. Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat dipergunakan
oleh seseorang dalam menganggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi,
meliputi pemberian nasehat, petunjuk, masukan atau penjelasan bagaimana
seseorang bersikap atau bertindak dalam menghadapi situasi yang dianggap
membebani.
b. Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari
orang lain. Dukungan ini meliputi ekspresi empati misalnya mendengarkan, mau
memahami, ekspresi kasih sayang dan perhatian.
c. Bantuan instrumental, bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah
seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan
yang dihadapinya atau menolong secara langsung kesulitan yang dihadapinya,
misalnya menyediakan fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang dan
memberikan makanan.
d. Bantuan penilaian, dukungan ini bisa berbentuk penilaian yang positif,
penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu.
2.5.6 Sumber Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga dapat diperoleh dari teman dekat, anggota keluarga,
teman, dokter serta ahli-ahli dibidang keahlian yang sesuai (Farhati dkk, 1996
dalam Komalasari, 2011).
41
2.5.7 Manfaat Dukungan Keluarga
Witridiani (1996) dalam Komalasari (2011) menyebutkan bahwa
dukungan keluarga dapat memberikan dukungan emosi, instrumental, penilaian
positif dan informasi yang bermanfaat bagi individu dalam :
a. Meningkatkan produktivitas bila dihubungkan dengan pekerjaan.
b. Meningkatkan kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri dengan
menyediakan rasa memiliki, memperjelas identitas diri, menambah harga diri,
serta mengurangi stress.
c. Meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik.
d. Pengelolaan terhadap stres dengan menyediakan pelayanan, perawatan, sumbersumber informasi dan umpan balik yang dibutuhkan untuk menghadapi stres dan
tekanan.
Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa
kehidupan, sifat dan jenis dukungan keluarga berbeda-beda dalam berbagai tahaptahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan,
dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai
kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan
adaptasi keluarga (Friedman, 1982).
2.5.8 Faktor Yang Membentuk Dukungan Keluarga
Runtu (2002) menyebutkan bahwa sedikitnya ada tiga faktor penting yang
mendorong seseorang untuk memberikan bantuan atau dukungan yang positif.
Pertama, empati yaitu turut merasakan kesusahan orang lain dengan tujuan
mengantisipasi emosi dan memotivasi tingkah laku untuk mengurangi kesusahan
42
dan meningkatkan kesejahteraan orang lain. Kedua, norma & nilai sosial yang
berguna untuk membimbing individu untuk menjalankan kewajiban dalam
kehidupan. Ketiga, pertukaran sosial yaitu hubungan timbal balik perilaku sosial
antara cinta, pelayanan, informasi dan status dengan strategi minimal, yaitu
meminimalkan korban dan memaksimalkan reward dan untuk meramalkan
tingkah laku seseorang.
2.6 Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Rehabilitasi Pasien
PJK
Irwanto (1996) mendefinisikan kepatuhan berasal dari kata dasar “patuh”
yang berarti taat dan disiplin sehingga mempunyai arti suatu ketaatan dan
kedisiplinan seseorang dalam melakukan sesuatu. Sackett (1976) dalam Setiadi
(2008) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien
sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Kepatuhan
dalam melaksanakan rehabilitasi adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan
aktifitas sesuai aturan yang berlaku dalam upaya mencegah terjadinya komplikasi
dan mengembalikan kondisi pasien ke kondisi normal atau mendekati keadaan
sebelum sakit.
Saputra dalam Niven, (2002) menyebutkan salah satu faktor yang
mempengaruhi kepatuhan adalah dukungan keluarga, disebutkan juga bahwa
dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak
dapat dipisahkan. Pasien akan merasa senang dan tentram apabila mendapat
perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan
menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya
43
dengan lebih baik serta pasien mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh
keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya.
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga
terhadap anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota keluarga memandang bahwa
orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan
jika diperlukan (Friedman, 1982). Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu
berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan
kasih sayang antara anggota keluarga, antar kerabat serta antar generasi yang
merupakan dasar keluarga yang harmonis (Soetjiningsih, 1995).
Menurut Johnson dan Johnson (dalam Witridiani, 1996) dukungan
keluarga dapat memberikan dukungan emosi, instrumental, penilaian positif dan
informasi yang bermanfaat bagi individu dalam meningkatkan dan memelihara
kesehatan fisik. Dukungan emosional memiliki dampak yang positif dimana
dengan pemberian dukungan tersebut pasien merasa lebih diperhatikan, sehingga
dapat mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Dukungan instrumental dapat
membantu memecahkan masalah serta mengurangi depresi individu. Dukungan
penilaian dapat membantu meningkatkan strategi koping individu dengan strategistrategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek yang
positif. Dukungan informasi membuat pasien merasa lebih berhati-hati. Dengan
adanya motivasi dan dorongan yang kuat dan sangat tinggi dari keluarga dapat
membuat kondisi penyakit subjek semakin membaik (Komalasari, 2011).
44
Rosiana (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa peran serta dan
dukungan keluarga yang merawat dan mendampingi pasien juga sangat
menentukan keberhasilan program rehabilitasi yang dijalani. Dukungan keluarga
merupakan sumber yang sangat penting bagi penderita penyakit kronis, hal ini
terjadi karena dukungan keluarga tidak hanya meningkatkan fungsi fisik dan
emosi pasien tetapi juga kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatannya.
Disebutkan pula bahwa keluarga menjadi pusat utama yang penting dan hanya
keluargalah yang memperhatikan individu secara total dan memperhatikan setiap
segi-segi kehidupanya. Keluarga memainkan suatu peran bersifat mendukung
selama masa penyembuhan dan pemulihan klien. Apabila dukungan semacam ini
tidak ada, maka keberhasilan penyembuhan atau pemulihan (rehabilitasi) sangat
berkurang.
Download