2. tinjauan pustaka

advertisement
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
Aliran Permukaan
Aliran permukaan merupakan bagian dari hujan yang tidak diserap tanah
dan tidak tergenang di permukaan tanah, tetapi bergerak ke tempat yang lebih
rendah dan akhirnya terkumpul di dalam parit-parit atau saluran (Hillel 1981).
Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah dan
merupakan bentuk aliran yang penting sebagai penyebab erosi, karena aliran
permukaan mengangkut dan mengikis lapisan permukaan tanah dan bagianbagiannya dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah (Arsyad 2010).
Sifat-sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuannya untuk
menimbulkan erosi adalah jumlah dan laju aliran permukaan. Jumlah aliran
permukaan menyatakan jumlah air yang mengalir di permukaan tanah untuk satu
masa hujan atau masa tertentu. Kecepatan dan laju aliran permukaan dipengaruhi
oleh berbagai faktor dan komponen siklus air. Faktor-faktor tersebut adalah curah
hujan (jumlah, intensitas dan distribusi), tanah, tanaman (tumbuhan penutup
tanah) dan sistem pengelolaan tanah. Jumlah dan kecepatan aliran permukaan
akan meningkat dengan semakin curamnya lereng, karena aliran permukaan dari
bagian atas akan menambahkan air ke lereng bagian bawah dan menyebabkan
bertambahnya kedalaman air (Troeh et al. 1980).
Aliran permukaan dapat terjadi setelah proses hidrologi yang meliputi
intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi dan evaporasi terpenuhi namun, hujan
dengan curah hujan tinggi masih terjadi (Haridjaja et al. 1991), dan di daerah
iklim tropis kemampuan sifat-sifat aliran permukaan sangat menentukan kejadian
erosi, terutama daerah-daerah dengan topografi yang curam dan tidak ada
vegetasi. Energi kinetik hujan merupakan penyebab utama dalam penghancuran
agregat dan peningkatan intensitas hujan menyebabkan meningkatnya kerusakan
agregat dan struktur tanah lapisan atas serta penurunan laju permeabilitas yang
mengakibatkan aliran permukaan akan meningkat (Arsyad 2010). Semakin besar
aliran permukaan maka erosi yang ditimbulkan akan semakin besar, apalagi jika
terjadi pada lahan terbuka.
Aliran permukaan dapat dikurangi berdasarkan faktor-faktor yang
mempengaruhinya yaitu dengan cara meningkatkan laju infiltrasi, meningkatkan
simpanan permukaan dan meningkatkan intersepsi hujan dengan menanam
tanaman atau sisa-sisa tanaman sebagai mulsa (Sinukaban 1989). Praktek
konservasi tanah dan air dapat mengurangi aliran permukaan tetapi aliran akan
selalu terjadi kecuali pada tanah yang datar. Tanaman penutup yang rapat, sisa
tanaman atau serasah yang banyak pada teknik budidaya merupakan cara terbaik
untuk memperbesar kapasitas infiltrasi sehingga dapat mengurangi aliran
permukaan (Troeh et al. 2004).
4
Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami yaitu air dan angin
(Arsyad 2010). Gerakan berpindahnya tanah oleh air melalui tiga fase yaitu fase
penghancuran massa tanah menjadi partikel-partikel atau agregat kecil, fase
transportasi hasil hancuran tersebut dan fase deposisi atau sedimentasi di tempat
yang baru.
Proses Erosi Tanah
Peristiwa erosi diawali oleh air hujan, dimana tumbukan air hujan yang
langsung jatuh ke tanah akan menyebabkan pecahnya material tanah yang
merupakan proses awal erosi. Air yang jatuh pada vegetasi ada yang diintersepsi
dan ada yang dievaporasikan. Air yang jatuh di atas permukaan tanah akan
diinfiltrasikan masuk ke dalam tanah. Jika intensitas hujan lebih besar dari laju
infiltrasi maka kelebihan air mulai berakumulasi sebagai cadangan permukaan
yang selanjutnya akan menjadi aliran permukaan bila intensitas curah hujan terus
bertambah.
Fraksi liat terangkut lebih dahulu dibandingkan fraksi pasir dan debu
dalam peristiwa erosi. Hal ini terkait dengan daya angkut aliran permukaan
terhadap butir-butir tanah yang berbeda berat jenisnya. Pemindahan partikel halus
oleh peristiwa erosi menyebabkan peningkatan persentase pasir dan kerikil di
permukaan tanah, dan pada waktu yang sama mengurangi persentase debu dan
liat. Dengan demikian tanah yang telah mengalami erosi bertekstur lebih kasar
dibandingkan dengan sebelum tererosi (Sinukaban 1981).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi
Erosi adalah interaksi kerja antara faktor-faktor diantaranya faktor iklim (i),
topografi (r), vegetasi (v), tanah (t) dan manusia (m). Secara ringkas
persamaannya adalah :
E = f ( i. r. v. t. m)
dimana E adalah besarnya erosi, i adalah iklim, r adalah topografi, v adalah
tumbuhan, t adalah tanah dan m adalah manusia. Persamaan tersebut mengandung
dua jenis peubah yaitu (1) faktor-faktor yang dapat diubah oleh manusia seperti
vegetasi (v), sebagian sifat-sifat tanah (t) yaitu kesuburan, kemantapan agregat
dan kapasitas infiltrasi serta satu unsur topografi yaitu panjang lereng, dan (2)
faktor yang tidak dapat diubah oleh manusia seperti iklim, tipe tanah, dan
kecuraman lereng (Arsyad 2010).
Iklim. Faktor iklim yang berpengaruh terhadap erosi dan aliran permukaan
adalah presipitasi, temperatur, dan angin. Presipitasi adalah faktor yang terpenting
khususnya hujan, terutama di daerah tropika basah seperti Indonesia. Hal ini
disebabkan curah hujan di daerah tropis pada umumnya mempunyai intensitas
yang relatif lebih tinggi. Selama kejadian hujan, jumlah curah hujan merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah aliran permukaan, sedangkan
penyebaran hujan menentukan luasan erosi yang terjadi (Kohnke dan Bertrand
1959, dalam Arsyad 2010).
Topografi. Pengaruh lereng pada erosi adalah erosi akan meningkat apabila
lereng semakin curam. Semakin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan
meningkat sehingga kekuatan untuk mengangkut tanah juga meningkat
5
(Hardjowigeno 2003). Selain itu, semakin miringnya lereng maka jumlah butirbutir tanah yang terpercik ke bagian bawah lereng oleh tumbukan butir-butir hujan
semakin banyak sehingga erosi yang terjadi semakin besar.
Vegetasi. Tingkat erosi suatu lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang
ditanam dan teknik pertanian yang digunakan. Pengaruh vegetasi terhadap erosi
adalah menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah,
menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi, serta memperkuat
penyerapan air ke dalam tanah oleh transpirasi melalui vegetasi. Makin rapat
vegetasi makin efektif terjadinya pencegahan erosi (Hardjowigeno 2003). Asdak
(1995) mengemukakan bahwa yang lebih berperan dalam menurunkan besarnya
erosi adalah tumbuhan karena tumbuhan merupakan stratum vegetasi terakhir
yang akan menentukan besar kecilnya erosi percikan.
Tanah. Sifat-sifat tanah sangat menentukan untuk dapat terjadinya erosi,
namun demikian resistensi tanah tererosi tergantung pada keadaan topografi,
kecuraman lereng, dan kegiatan manusia misalnya pengolahan tanah (Morgan
1979). Tekstur, struktur, bahan organik, dan permeabilitas tanah adalah sifat-sifat
profil tanah yang secara bersama berinteraksi menentukan kepekaan tanah tererosi
(Olsen 1981). Kepekaan tanah terhadap erosi atau kepekaan erosi tanah yang
menunjukan mudah tidaknya tanah mengalami erosi, ditentukan oleh berbagai
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Manusia. Manusia dapat mengubah tanah menjadi lebih baik atau lebih
buruk. tergantung dari cara penggunaan dan pengolahannya. Pembuatan teras,
penanaman secara berjalur, penanaman atau pengolahan tanah menurut kontur,
perlindungan tanah dengan mulsa adalah kegiatan manusia yang dapat
menurunkan erosi. Di lain pihak, penanaman searah lereng, perladangan dan
penggunaan lahan tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan meningkatkan
bahaya erosi (Arsyad 2010). Pengolahan tanah menurut kontur mampu
mengurangi erosi secara efektif terutama bila terjadi hujan lebat dengan intensitas
sedang sampai rendah. Pembuatan teras berfungsi mengurangi panjang lereng
sehingga kecepatan aliran permukaan bisa dikurangi dan memungkinkan
penyerapan air oleh tanah lebih besar, akibatnya erosi menjadi berkurang (Rahim
dan Sufli 2000).
Kerugian yang Diakibatkan oleh Erosi
Erosi dapat menyebabkan dampak yang sangat luas antara lain : (1)
menurunkan produktivitas lahan, (2) menurunkan ketersediaan unsur hara yang
diperlukan tanaman, (3) menurunkan produksi serta kualitas tanaman yang
dihasilkan, (4) menurunkan laju infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, (5)
menyebabkan rusaknya struktur tanah, (6) menyebabkan tertimbunnya tanah
yang subur oleh endapan, (7) mengurangi bagian tanah yang dapat ditanami
misalnya pada erosi parit dan tebing, dan (8) menurunkan pendapatan yang
diperoleh dari hasil lahan (Arsyad 2010).
Erosi yang Dapat Ditoleransikan (TSL)
Menurut Wischmeier and Smith (1978) erosi yang dapat ditoleransikan
adalah jumlah tanah yang hilang yang diperbolehkan pertahun agar produktivitas
lahan tidak berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari. Erosi yang
dapat ditoleransikan (TSL) menunjukkan tingkat erosi tanah maksimum yang
6
masih memberikan tingkat produktivitas tanah yang memadai, masih mampu
dipertahankan secara ekonomi dalam waktu yang tidak terbatas (Sukartaadmadja
2004). Hammer (1981) menyatakan bahwa laju erosi yang dapat ditoleransikan
adalah laju erosi sama dengan laju pembentukan tanah.
Erosi yang dapat ditoleransikan dapat diprediksi dengan menggunakan
metode Hammer (1981, dalam Arsyad 2010) dan metode Wood and Dent (1983,
dalam Hardjowigeno 2003). Metode Hammer memprediksi TSL menggunakan
pendekatan konsep kedalaman ekivalen (DE) dan umur guna tanah (UGT) dengan
formula sebagai berikut :
TSL =
Kedalaman ekivalen adalah kedalaman tanah setelah mengalami erosi
sehingga tingkat produktivitasnya berkurang hingga 60 % dibandingkan dengan
tanah yang tidak tererosi. Selain menggunakan pendekatan kedalaman ekivalen
(DE) dan umur guna tanah (UGT), Wood and Dent memprediksi TSL dengan
mempertimbangkan kedalaman tanah minimun (Dmin) untuk budidaya tanaman
dan laju pembentukan tanah (LPT). Metode Wood and Dent (1983, dalam
Hardjowigeno 2003) :
TSL =
+ LPT
Pada metode Hammer, tidak memperhatikan faktor kedalaman minimum
tanah dimana tanah masih tetap produktif. Dalam hal ini tidak diperhatikan jenis
tanamannya, meskipun masing-masing tanaman memerlukan kedalaman
minimum tanah yang berbeda. Selain itu, laju pembentukan tanah juga tidak
diperhitungkan, padahal kecepatan pembentukkan tanah tersebut akan
menentukan berapa kedalaman tanah yang masih tersisa setelah jangka waktu
kelestarian tanah terlampaui. Menurut Hardjowigeno (2003) rata-rata laju
pembentukan tanah di daerah tropika basah (Indonesia) adalah 1 mm/tahun.
Pengaruh Pertanaman Sayuran terhadap Aliran Permukaan dan Erosi
Penggunaan lahan untuk usaha tanaman sayuran sering dilakukan pada
daerah pegunungan yang berbukit dan berlereng yang curam. Hal ini
mengakibatkan banyak lahan-lahan yang sebenarnya kurang sesuai untuk tanaman
sayuran mudah mengalami erosi tanah. Penelitian yang dilakukan oleh El Kateb et
al. (2013) menemukan bahwa pada kemiringan lereng > 30% pada budidaya
tanaman holtikultura di propinsi Shaanxi Cina menghasilkan aliran permukaan
dan erosi yang paling besar dibandingkan pada kelerengan 10 % - 30 %.
Pada umumnya berbagai jenis tanaman sayuran dataran tinggi diusahakan
pada tanah Andisol yang secara umum peka terhadap erosi. Kesuburan tanah pada
lahan sayuran dataran tinggi lebih baik dari jenis tanah mineral lainnya. Pada
umumnya tanah Andisol yang digunakan untuk lahan pertanian biasanya
terbentuk dari bahan volkan dengan bahan organik yang tinggi dan secara umum
kapasitas tukar kation (KTK) tinggi (Erfandi et al. 2002).
7
Menurut Dariah (2007) menerangkan bahwa lahan akan lebih mudah
tererosi akibat seringnya digunakan untuk budidaya, sehingga penerapan teknik
konservasi tanah mutlak diperlukan agar dapat mempertahankan produktivitas
lahan. Pengolahan tanah merupakan komponen penting dalam kegiatan usaha tani
tanaman semusim. Pengolahan tanah utamanya ditujukan untuk menyiapkan atau
menciptakan media tanam yang baik untuk pertumbuhan tanaman, sehingga
tanaman dapat berproduksi secara optimum. Namun demikian, pengolahan tanah
secara berlebih dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, diantaranya terjadi
penghancuran struktur tanah.
Aliran permukaan dan erosi harus dikendalikan melalui penerapan
tindakan konservasi tanah dan air agar lahan tetap produktif. Teknik konservasi
tanah pada lahan usaha tani berbasis tanaman sayuran dapat dilakukan dengan
penanaman guludan atau bedengan searah kontur atau memotong lereng yang
dinilai mampu mengendalikan aliran permukaan dan erosi. Pembuatan guludan
atau bedengan adalah tindakan konservasi tanah yang dapat dilakukan oleh petani.
Pertimbangannya adalah selain efektif menekan aliran permukaan dan erosi, juga
karena terbatasnya jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan teknologi dan
ekonomi para petani (Arsyad 2010).
Penelitian-penelitian tentang erosi tanah sudah banyak dilakukan. Beberapa
hasil penelitian menyatakan bahwa erosi yang terjadi pada lahan holtikultura yang
dibuat pada bedengan searah lereng lebih besar daripada memotong lereng.
Suganda et al. (1997) menyatakan bahwa erosi tertinggi pada tanaman buncis di
Desa Batulawang, Pacet, Cianjur terjadi pada bedengan yang dibuat searah lereng
yaitu sebesar 65.1 ton/ha. Erfandi et al. (2002) dalam penelitiannya juga
menyatakan bahwa pada penanaman buncis dengan bedengan searah lereng di
daerah Campaka, Cianjur pada 1 musim tanam menghasilkan erosi sebesar 40.6
ton/ha. Penelitian berbeda yang dilakukan Henny (2012) mengatakan bahwa
guludan tanaman memotong lereng mampu menekan erosi ± 80% dibandingkan
dengan guludan searah lereng pada pertanaman kubis dan kentang pada tanah
Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, kabupaten Kerinci, Jambi. Penelitian
Sutapradja dan Asandhi (1998) bahwa bedengan atau guludan memotong lereng
menghasilkan laju aliran permukaan yang lebih kecil daripada guludan searah
lereng. Menurut Wiralaga (1997) penerapan teknik konservasi tanah berupa
guludan yang memotong lereng dapat memperkecil laju aliran permukaan.
Penelitian-penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa penanaman
guludan atau bedengan memotong lereng mampu mengendalikan aliran pemukaan
dan erosi. Lal (1979) menyatakan bahwa pengolahan tanah dan penanaman
menurut kontur mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 14 - 28 mm dan
erosi sebesar 17.33 – 33.00 ton/ha/tahun pada pertanaman jagung di Brazil. Fagi
dan Mackie (1988) juga menyatakan bahwa pengolahan tanah dan penanaman
menurut kontur mampu menurunkan erosi sebesar 92.6 ton/ha/tahun dibandingkan
dengan penanaman searah lereng pada pertanaman kentang.
Teknik konservasi tanah dan air berupa bedengan memotong lereng mampu
menekan erosi. Hal ini dikarenakan aliran permukaan tertahan oleh bedengan,
pada kondisi ini volume dan kecepatan aliran permukaan berkurang sehingga
kapasitas transportasi menjadi rendah sehingga mampu menurunkan erosi.
Tanaman juga dapat meminimalkan kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh
menimpa tanah (Arsyad 2010).
8
Kehilangan Hara
Peristiwa erosi tidak hanya mengakibatkan hilangnya lapisan olah tanah
namun juga dapat mengurangi kesuburan tanah akibat terangkutnya hara tanaman
baik dalam aliran permukaan maupun dalam tanah tererosi. Lapisan tanah bagian
atas umumnya lebih subur (kaya bahan organik dan unsur hara) dibandingkan
dengan lapisan bawah. Tanah yang subur atau produktivitasnya tinggi yaitu tanah
yang dapat menyediakan unsur hara yang sesuai bagi kebutuhan tanaman tertentu
sehingga produktivitasnya tinggi. Unsur hara dalam tanah dapat berkurang karena
terangkut pada waktu panen, pencucian, dan terangkutnya pada waktu proses
erosi. Apabila erosi berjalan terus-menerus pada permukaan tanah, maka dengan
sendirinya akan terangkut partikel liat dan humus serta partikel tanah lainnya yang
kaya akan unsur hara yang diperlukan tanaman (Sarief 1988).
Menurut Arsyad (2010) banyaknya unsur hara yang hilang oleh erosi
tergantung pada besarnya erosi dan unsur hara yang terkandung dalam tanah yang
tererosi. Daerah dengan curah hujan yang tinggi meningkatkan resiko erosi yang
lebih besar. Chen et al. (2013) melaporkan bahwa semakin tinggi curah hujan,
erosi yang terjadi semakin besar dan kehilangan hara N dan P juga semakin besar
pada vegetasi penutup tanah di Xiangxi Cina.
Petani sayuran pada daerah dataran tinggi umumnya menggunakan pupuk
anorganik dan pupuk organik dalam takaran yang lebih tinggi dari dosis yang
dianjurkan. Akibatnya dengan kondisi ekosistem lahan sayuran yang rentan
terhadap erosi, diperkirakan banyak unsur-unsur hara dari pupuk tersebut hilang
terbawa aliran permukaan dan erosi (Dariah 2007). Unsur-unsur hara yang
terbawa aliran permukaan terutama N dan P, akan masuk ke dalam badan air atau
sungai, sehingga terjadi eutrofikasi. Pemupukan yang berlebihan menyebabkan
pencemaran lingkungan seperti berkurangnya kualitas air tanah. Menurunnya
kualitas air tanah dapat disebabkan oleh kandungan sedimen dan unsur yang
terbawa masuk oleh air yang bersumber dari erosi, tercuci oleh air hujan dari
lahan-lahan pertanian, atau bahan dan senyawa dari limbah industri atau limbah
pertanian (Arsyad 2010). Upaya pemupukan akhirnya menjadi tidak efisien,
sehingga diperlukan tindakan pencegahan erosi dan kehilangan unsur-unsur hara
agar tercipta sistem usaha tani sayuran yang berkelanjutan.
Karakteristik Tanah Andisol
Luas seluruh jenis tanah Andisol diperkirakan 5.39 juta ha atau sekitar 2.9
% wilayah daratan Indonesia (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 2000).
Tanah Andisol di pulau Jawa umumnya berasal dari bahan induk andesitik
sampai basaltik yang kaya akan unsur-unsur hara seperti Ca, Mg, Na dan K karena
itu umumnya tanah Andisol tergolong subur (Tan 1965). Prasetyo (2005)
menerangkan bahwa tanah Andisol umumnya gembur sehingga mudah diolah dan
baik untuk pertumbuhan akar tanaman. Selain itu, tanah Andisol memiliki
kapasitas menahan air yang besar, kesuburan tanah tergolong tinggi dan umumnya
dimanfaatkan untuk lahan budidaya tanaman sayuran.
Erosi tanah pada tanah Andisol di Indonesia terutama disebabkan oleh curah
hujan. Hujan di Indonesia sebagian besar termasuk tipe orografis, yakni makin
9
tinggi suatu tempat makin tinggi pula curah hujannya, sebaliknya penguapannya
semakin berkurang. Makin besar selisih curah hujan dengan penguapan
mengakibatkan bahaya erosi semakin besar dan ditunjang dengan banyaknya
kondisi lahan berlereng dan curam (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 2000).
Tanah Andisol merupakan salah satu ordo tanah pada kawasan usahatani sayuran
dataran tinggi yang tergolong memiliki kepekaan erosi yang besar meskipun
umumnya mempunyai sifat fisika yang baik. Tanah Andisol di Indonesia dapat
dibedakan menjadi Andisol dataran rendah dan Andisol dataran tinggi. Andisol
dataran rendah daerah Sumatera terbentuk pada dataran rendah dengan iklim
tropika basah serta mempunyai rasio asam humat dan fulvat < 0.2. Sedangkan,
Andisol dataran tinggi daerah Jawa terbentuk pada elevasi yang lebih tinggi
dengan iklim sedang, serta mempunyai rasio asam humat dan fulvat lebih dari 0.5
(Tan 1965).
Andisol adalah salah satu jenis tanah yang relatif subur, namun mempunyai
retensi P yang tinggi karena didominasi oleh mineral amorf seperti alofan,
imogolit, ferihidrit, dan oksida-oksida hidrat Al dan Fe dengan permukaan
spesifik yang luas. Penambahan P dan bahan organik pada tanah Andisol mampu
mengatasi retensi P. Solum tanah Andisol agak tebal (1 – 2 m), tekstur lempung
hingga debu, struktur remah, makin ke bawah agak gumpal, konsistensi gembur,
permeabilitas sedang. Tanah Andisol memiliki pH dari kemasaman agak masam
hingga netral (5.0 – 7.0), kejenuhan basa sedang sampai tinggi (30% - 70%)
Rachim (2009).
Tanah Andisol mempunyai mempunyai porositas yang tinggi sehingga air
lebih mudah masuk ke dalam tanah, namun karena tekstur tanahnya didominasi
oleh fraksi debu yang sangat mudah terangkut oleh aliran permukaan, maka tanah
menjadi sangat mudah tererosi saat jenuh dan terjadi aliran permukaan (Dariah
dan Husen 2004). Kurnia et al. (2004) juga mengatakan hal yang sama bahwa
tekstur tanah Andisol mengandung fraksi debu lebih banyak dan umumnya
berada pada topografi berlereng dengan curah hujan tinggi. Letak tanah Andisol
yang berada pada di dataran tinggi dengan lereng yang cukup terjal dapat
mengakibatkan erosi dan pencucian hara serta bahan organik yang cukup intensif.
Download