analisis ketentuan risiko dan manajemen risiko terhadap akad

advertisement
ANALISIS KETENTUAN RISIKO DAN MANAJEMEN RISIKO
TERHADAP AKAD MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH
MENURUT HUKUM ISLAM
Rafie Naufan, dan Yeni Salma Barlinti
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
Jurnal ini membahas secara khusus mengenai akad mudharabah sebagai akad bagi-hasil, risiko
dari akad mudharabah, dan proses manajemen risiko dari akad mudharabah berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan hukum Islam. Analisis terhadap risiko pada akad
mudharabah dalam ini dilakukan dengan metode yuridis normatif, dengan melakukan analisis
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum Islam melalui studi pustaka yang
dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan analisis yang dilakukan, mudharabah merupakan suatu
kerja sama dengan konsep kepercayaan antara pemilik modal dan pengelola, yang memilki risiko
kredit, pasar, likuiditas, operasional, kepatuhan, hukum, reputasi, dan stratejik yang terhadapnya
dilakukan proses manajemen risiko preventif berupa pemeriksaan dan pengawasan serta
penanggulangan.
RISK AND RISK MANAGEMENT ANALYSIS OF MUDHARABAH CONTRACT IN
SHARIA BANKING ACCORDING TO ISLAMIC LAW
Abstract
1 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
This journal discusses mudharabah as profit-sharing agreement, the risk and the process of risk
management mudharabah based on regulation and Islamic law. Analysis of the risk on the
mudharabah is done with normative method, through literature study analyzed qualitatively.
From the analysis that has been conducted, mudharabah is a partnership with the concept of trust
between capital owners and managers, who have the credit, market, liquidity, operational,
compliance, legal, reputation, and the strategic risk, which the management process is carried out
as a preventive such as inspection and supervision as well as countermeasures.
Keywords: Mudharabah Contract, Risks, Risk Management, Sharia Banking.
Pendahuluan
Di Indonesia, secara yuridis keberadaan Bank Syariah atau Bank syariah telah diakui.
Pengakuan secara yuridis tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia diwadahi
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memperkenalkan “sistem
bagi hasil” atau “prinsip bagi hasil” dalam kegiatan Perbankan Nasional yang membuka
kemungkinan bagi Bank baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat untuk
melaksanakan usahanya berdasarkan prinsip tersebut.1 Lebih lanjut perkembangan peraturan
perundang-undangan di Indonesia ketika dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 istilah “Bank berdasarkan
prinsip bagi hasil” kemudian dinamakan dengan nama baru yaitu “Bank Berdasarkan Prinsip
Syariah”.2 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 ini juga membuka kesempatan bagi Bank
Konvensional untuk dapat melaksanakan dan menjalankan pola pembiayaan dan/atau kegiatan
lain berdasarkan prinsip syariah dan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
menyelenggarakan kegiatan usaha dan pendirian Bank dengan prinsip Syariah.3
1
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm.
2
Ibid.., hlm. 51.
3
Ibid.., hlm. 52.
44.
2 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
Dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dapat diketahui bahwa pelaksanaan
operasional perbankan Nasional dapat didasarkan kepada “sistem bunga” dan/atau “sistem
syariah”, yang kepengelolaannya bisa dilaksanakan oleh Bank Konvensional atau Bank Syariah,
apakah itu Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat. Khusus Bank Umum Konvensional
diperkenankan menganut Dual Banking System sekaligus.4
Dalam pelaksanaan Bank Syariah, akad mudharabah sebagai bentuk pengumpulan dana
memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan yang dimaksud tersebut adalah
keuntungan yang akan diperoleh oleh kedua belah pihak, baik pihak Bank, maupun pihak
nasabah. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan dana oleh pihak Bank kemudian akan
dibagi melalui sistem bagi hasil, dengan dilakukan pembagian keuntungan ataupun kerugian akan
dibagi diantara kedua belah pihak yang mengikatkan diri yaitu dari pihak nasabah dan juga Bank.
Bagi hasil sebagai pengganti riba merupakan insentif dari investasi penyimpan dana di Bank
Syariah. Bagi penyimpan dana pada bank ini pada akad mudharabah dianggap sebagai penyedia
dana (Shahibul Maal) akan memperoleh hak bagi hasil dari usaha Bank sebagai pengelola dana
(mudharib) yang sifat hasilnya tidak tetap dan tidak pasti sesuai dengan besar kecilnya hasil
usaha Bank. Bagi hasil yang diterima penyimpan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya
dana tersebut mengendap dan dikelola oleh bank, bisa satu tahun, satu bulan, satu minggu,
bahkan satu hari.5 Hal ini menjadikan pengelolaan dana serta kemampuan likuidasi Bank dapat
lebih stabil karena dalam pembentukan perikatannya, Bank dan nasabah secara bersama-sama
sepakat akan menanggung keadaan baik itu keuntungan, ataupun kerugian yang akan dialami
selama masa Investasi secara bersama-sama.
Namun, dalam penerapannya di Indonesia, keadaan masyarakat di Indonesia sendiri
masih baru mengenal dan awam terhadap sistem syariah. Maka Bank dituntut untuk melakukan
upaya ekstra dalam menarik agar para calon nasabah mau menyimpan dan menyetorkan asetnya
4
Rachmadi Usman, Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia: Implementasi dan Aspek Hukum,
(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2009) hlm. 7. Pengenalan dual banking system yang dikembangkan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang memberikan kesempatan operasi bagi hasil dilanjutkan lagi oleh
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, dimana Bank Indonesia mengakui keberadaan Bank Syariah dan Bank
Konvensional, dan Bank Konvensional diperkenankan membuka kantor cabang syariah. Dual Banking System dalam
pengelolaan bank, yakni secara konvensional dengan menggunakan bunga (interest) untuk setiap peminjaman atau
penyimpanan dana, serta menggunakan sistem bagi hasil yang merupakan dasar perbankan syariah.
5
Ibid., hlm. 16-17.
3 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
di bank syariah. Hal ini mengakibatkan belum dapat diterapkannya sistem bagi hasil secara profit
and loss sharing melainkan penerapannya berupa revenue sharing atau membagi pendapatan
kotor dari bank itu sendiri. Disamping itu terdapat pula keadaan masih tingginya moral hazard di
masyarakat dan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap produk syariah, sehingga masih sulit
untuk mengawasi dan mengendalikan biaya. Karena itu praktek perbankan saat ini masih
menggunakan revenue sharing6. Hal ini di satu sisi memang menguntungkan bagi nasabah dalam
penghimpunan dana karena yang dibagi adalah pendapatan dari Bank tanpa perlu membagi
tingkat kerugian (aset nasabah akan selalu positif). Namun di satu sisi hal ini juga dapat
memberatkan berdasarkan produk pembiayaan karena mudharib (nasabah) harus melakukan
pembagian hasil dari hasil pendapatan total nya.
Disamping uraian atas kondisi perekonomian yang dapat mempengaruhi penerapan akad
Mudharabah diatas, terdapat pula faktor pangsa pasar atau marketshare serta risiko atas
pelaksanaan akad mudharabah oleh bank. Industri bank syariah yang tergolong baru bagi
masyarakat Indonesia sehingga masih belum memiliki marketshare yang kuat untuk menyaingi
marketshare konvensional. Pada dasarnya memang industri bank syariah merupakan industri
yang prospektif dan menunjukkan performa yang serta perkembangan yang sangat baik dalam
dua dekade terakhir. Namun pada dasarnya tingkat marketshare bank syariah dalam
perbandingannya dengan bank konvensional masihlah dapat dikatakan sangat kecil7. Pada akhir
Oktober 2009 total marketshare bank syariah pada industri perbankan masih pada tingkat
2,49%8, dengan target dari peningkatan tingkat marketshare ini pada tingkat 5% untuk
meningkatkan peranan industri perbankan syariah dalam perekonomian.
Sementara itu pada sisi risiko, sebagaimana pada bank konvensional, pada bank syariah
dalam melakukan usahanya tentu akan selalu memiliki risiko yang melekat atas kegiatan yang
dilakukannya. Dalam akad mudharabah sebagai suatu bentuk investasi, maka dalam kegiatan
investasi ini ketika shahibul maal memberikan dana nya untuk dikelola oleh mudharib akan
6
Ibid., hlm. 119.
7
Rifki Ismal (1), The Indonesian Islamic Banking : Theory and Practices, (Jakarta : Gramata Publishing,
2011), hlm. 131.
8
Rifki Ismal (1), Ibid., hlm. 132
4 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
selalu ada risiko atas kegiatan pengelolaan ini.9 Risiko menjadi satu hal yang harus senantiasa
menjadi pertimbangan bank ketika akan melakukan suatu akad mudharabah. Hal ini untuk
mencegah risiko terealisasi dan mengakibatkan kerugian terhadap mudharabah yang telah
disepakati oleh mudharib dan shahibul maal, dan bahkan mengancam kesehatan bank, sehingga
perlu diterapkan suatu manajemen risiko sebagai bentuk antisipasi dan juga penanggulangan bagi
risiko.
Melihat dari faktor-faktor dari uraian diatas, maka penulis ingin membahas dan mengkaji
lebih dalam terkait dengan permasalahan dan isu-isu yang ada dengan pembahasan terhadap akad
mudharabah, serta dampak dan penyikapan atas risiko yang dapat timbul dari sisi bank syariah
sebagai mudharib dari akad tersebut agar dapat memenuhi sebagaimana tujuan asal dari
penerapan prinsip syariah berdasarkan ajaran Islam dalam sistem perbankan yang ditujukan untuk
menguntungkan baik bagi pihak bank, maupun masyarakat (nasabah secara khusus, dan
masyarakat luas secara umum).
Tinjauan Teoritis
Akad mudharabah merupakan akad yang memenuhi prinsip dari Natural Uncertainty
Contracts (NUC). Natural Uncertainty Contracts merupakan bentuk transaksi yang didasarkan
pada teori percampuran ketika para pihak yang mengikatkan diri saling mencampurkan asetnya
(baik real assets, maupun financial assets) menjadi satu kesatuan dan kemudian secara bersamasama menanggung risiko dan kerugian. Karena itu, kontrak dalam bentuk ini tidak memberikan
kepastian terhadap pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)nya, yang berarti sifatnya tidak fixed and predetermined.10 Yang memenuhi sifat dari akad ini
berdasarkan produk perbankan menurut hukum positif di Indonesia adalah akad-akad bagi hasil
yang mana keuntungan yang diperoleh tidaklah ditentukan di awal melainkan ditentukan melalui
presentase.
9
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, LN No. 182, TLN No. 3790, Pasal 8 ayat (1).
10
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, cet. 4, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),,
hlm. 75.
5 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
Akad bagi hasil berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia terdapat pada baik
kegiatan pengumpulan dana, maupun penyaluran dana yaitu sebagai berikut :
1. Pengumpulan Dana :
a. Tabungan atau investasi dana berdasarkan akad Mudharabah11
b. Deposito berjangka atau investasi dana berdasarkan akad Mudharabah12
2. Pembiayaan/penyaluran dana13 :
a. Akad Mudharabah
b. Akad Musyarakah
Mudharabah merupakan suatu praktek yang tidak terbatas pada satu ketentuan
pelaksanaan saja, hal ini karena pada definisinya, mudharabah adalah suatu kerjasama diantara
shahibul maal dan mudharib dalam pengelolaan dana sebagai suatu bentuk investasi. Dalam
praktek perbankan bentuk ini dapat berupa suatu pembiayaan, maupun suatu pengumpulan dana
oleh bank. Pada dasarnya bentuk dari mudharabah dibagi menjadi berikut :
1. Mudharabah Mutlaqah
Adalah mudharabah yang sifatnya mutlak tanpa ada pembatasan atau syarat-syarat
tertentu bagi si mudharib14. Dalam bahasa inggris dikenal sebagai Unrestricted
Investment Account (URIA). Hal ini disebabkan karena cirri khas mudharabah zaman
dulu yang berdasarkan hubungan langsung dan personal yang melibatkan kepercayaan
dan amanah yang tinggi15.
2. Mudharabah Muqayyadah
Adalah ketika shahibul maal boleh menetapkan batasan-batasan atau syarat-syarat
tertentu atas usaha yang boleh dilakukan oleh mudharib dalam menggunakan modal yang
11
Indonesia, Undang-undang tentang Perbankan Syari’ah, Indonesia, Undang-Undang tentang Perbankan
Syariah, UU No. 21 Tahun 2008, LN No. 94, TLN No. 4867, Pasal 1 ayat 1.
12
Ibid., Pasal 1 ayat (22).
13
Ibid., Pasal 1 ayat (25).
14
Dikutip dari Definition of Mudharabah oleh Academy for International Moslem Studies, hlm. 1, diunduh
dari www.kantakji.com/media/8678/m220.pdf pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 18:14.
15
Karim, op.cit., hlm. 212.
6 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
diinvestasikan olehnya.16 Dalam bahasa inggris dikenal juga sebagai Restricted
Investment Account. Syarat dan batasan ini harus dipenuhi oleh mudharib dalam
pengelolaan modal tersebut yang apabila dilanggar dan mengalami kerugian, maka
mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul tersebut.17
Dalam produk mudharabah sebagai produk Natural Uncertainty Contracts, terdapat tiga
aspek penilaian risiko sebagaimana yang telah disebutkan di atas yaitu business risk, shrinking
risk, dan character risk. Penjelasan lebih lanjut atas ketiga risiko ini adalah sebagai berikut18 :
1. Bussiness Risk, merupakan risiko terhadap bisnis yang dibiayai yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor penentu seperti risiko industri (industry risk). Risiko industri terjadi karena
dipengaruhi karakteristik dari jenis usaha yang bersangkutan, serta kinerja keuangan jenis
usaha yang bersangkutan. Disamping dari risiko tersebut terdapat risiko lain seperti
keadaan force majeure, permasalahan hukum, pemogokan, kewajiban off balance sheet,
market risk, dan riwayat pembayaran (tunggakan kewajiban) serta restrukturisasi
pembiayaan.
2. Shrinking Risk, merupakan risiko berkurangnya nilai pembiayaan mudharabah yang
dikarenakan adanya faktor seperti :
a. unusual business risk (faktor bisnis luar biasa) yang ditentukan karena adanya
penurunan drastis tingkat penjualan bisnis yang dibiayai, penurunan drastis harga
jual barang/jasa dari bisnis yang dibiayai, dan penurunan drastis dari harga
barang/jasa dari bisnis yang dibiayai.
b. Jenis bagi hasil yang dilakukan, dalam hal ini kita melihat pada revenue sharing.
Shrinking risk terjadi ketika nasabah tidak mampu menanggung biaya (nafaqah)
yang seharusnya ditanggng nasabah, sehingga nasabah tidak mampu melanjutkan
usahanya.
c. Disaster risk yaitu keadaan force majeure yang dampaknya besar terhadap bisnis
nasabah yang dibiayai oleh bank.
16
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia,
cet.2, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2005), hlm. 27.
17
Adiwarman Karim, loc. cit.
18
Karim, op cit., hlm. 266.
7 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
3. Character Risk merupakan risiko karakter buruk mudharib yang dipengaruhi faktor
kelalaian nasabah dalam mengelola bisnis yang dibiayai, pelanggaran ketentuan yang
telah disepakati sehingga nasabah dalam menjalankan bisnis yang dibiayai bank tidak lagi
sesuai dengan kesepakatan, dan pengelolaan internal perusahaan seperti manajemen,
organisasi, pemasaran, teknis produksi dan keuangan yang tidak dilakukan secara
professional.
Risiko-risiko pada akah mudharabah ini pada dasarnya merupakan suatu risiko turunan
yang berkaitan dengan risiko umum yang dihadapi perbankan. Risiko Kredit, Risiko Pasar,
Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko stratejik merupakan risiko yang memiliki unsur
yang tercakup dalam risiko-risiko produk mudharabah diatas dalam hal suatu pembiayaan
mudharabah. Sementara dalam penghimpunan mudharabah risiko yang memiliki unsur yang erat
adalah Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Stratejik, dan Risiko Reputasi. Hal ini dapat
kita lihat pada business risk sebagai suatu risiko yang mencakup keseluruhan dari risiko
perbankan secara umum, karena business risk merupakan risiko yang dihadapi bank dalam
pelaksanaan usahanya yang dalam hal ini suatu akad mudharabah. Sementara shrinking risk dari
akad mudharabah merupakan bagian dari risiko kredit, likuiditas, stratejik serta risiko pasar.
Character risk merupakan suatu risiko yang merupakan bagian dari risiko kredit, risiko stratejik,
dan juga risiko operasional.
Sebagai lembaga intermediary memiliki izin untuk melakukan aktivitas keuangan, dan
memiliki peluang yang luas dalam memperoleh pendapatan (income/return) dari aktivitas
tersebut. Namun dalam menjalankan aktivitas tersebut, perbankan selalu dihadapkan dengan
risiko yang pada dasarnya melekat pada seluruh aktivitas bank (inherent).19 Risiko dalam konteks
perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated)
maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap
pendapatan dan permodalan bank.20
Metode Penelitian
19
Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II
Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 21.
20
Karim, op cit., hlm. 255.
8 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
Bentuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode yuridis
normatif yaitu dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder21. Melihat dari
tujuannya maka penelitian ini bersifat deskriptif normatif dan dari sisi penerapannya penelitian
ini adalah penelitian yang berfokus masalah (problem focused research) dimana penulis akan
berusaha mengidentifikasi risiko dari suatu akad mudharabah dan melakukan analisis kualitatif
berdasarkan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan terkait dengan manajemen risiko.
Hasil Penelitian
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum mengatur agar masing-masing bank menerapkan manajemen risiko sebagai
upaya peningkatan efektivitas prudential banking. Hal ini juga dijelaskan didalam Pasal 35
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bahwa Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehatihatian.22 Disamping itu pada Pasal 2 ayat 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007,
dijelaskan bahwa bank wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian dan
prinsip syariah dalam rangka menjada atau meningkatkan tingkat kesehaan bank.23 Prinsip kehatihatian dalam perbankan ini (prudential banking) merupakan hal yang diwajibkan oleh UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, yang pada bank syariah dijelaskan lebih rinci terkait dengan pengelolaan risiko (risk
management) ini diatur dalam ketentuan Pasal 38 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 sebagai berikut24 :
a) Pasal 38 : ditetapkan bahwa bank syariah dan unit usaha syariah wajib menerapkan
manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah yang secara
teknis diatur dengan regulasi Bank Indonesia
21
Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:
Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.
22
Indonesia, Undang-Undang Perbankan Syariah, op cit., Pasal 35.
23
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Pasal 2 ayat 1.
24
Loc cit., Pasal 38-40.
9 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
b) Pasal 39 : Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap nasabah, bank syariah dan
unit usaha syariah wwajib menjelaskan kepada nasabah mengenai kemungkinan
timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui
bank syariah atau unit usaha syariah. Hal ini ditujukan untuk menjamin transparansi
produk dan jasa perbankan.
c) Pasal 40 : Terkait risiko pembiayaan , ketika nasabah penerima fasilitas tidak dapat
memenuhi kewajibannya, ketentuan dalam Pasal 40 menyatakan bahwa bank syariah dan
unit usaha syariah dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui maupun di
luar pelelangan yang wajib diselesaikan (dijual) oleh bank dalam jangka waktu satu tahun.
Manajemen Risiko adalah sebuah konsep yang luas dan komprehensif dalam melakukan
pengukuran dan penanggulangan risiko. Terdapat empat jenis komponen dalam proses
manajemen risiko, yaitu standarisasi dan laporan, batas posisi dan peraturan, pedoman investasi
dan strategi, serta insentif kontrak dan kompensasi.25 Secara umum proses manajemen risiko
adalah proses suatu institusi keuangan mengikuti suatu pedoman dan strategi bisnis dalam
identifikasi, mengukur, memahami, dan mengontrol risiko yang mungkin dihadapinya.
Proses suatu manajemen risiko pada dasarnya merupakan suatu proses yang umum
dilakukan pada bentuk institusi apapun dalam melakukan pengelolaan kegiatannya. Penerapan
dari manajemen risiko ini pada dasarnya pun adalah saling menyerupai diantara institusi-institusi.
Perbedaan yang dapat dilihat pada bank syariah pada dasarnya adalah bank syariah memiliki
risiko-risiko khusus yang membedakan dengan institusi konvensional. Risiko khusus ini yang
timbul karena penerapan prinsip syariah pada bank, menjadikan bank syariah perlu menerapkan
manajemen tambahan disamping proses manajemen umum.
Dalam manajemen risiko produk akad mudharabah, yang dilakukan adalah sebagai
berikut26 :
1. Menetapkan suatu pola analisis yang kuat, kontrol yang ketat, serta pengawasan terhadap
proses kegiatan mudharabah. Terhadap kegiatan tersebut harus selalu dilakukan evaluasi,
25
Habib Ahmed, Risk Management Assessment Systems: An Application to Islamic Bank, dikutip dari Jurnal
Islamic Economic Stuides, Universitas Durham, UK, hlm. 65.
26
Syeth Othman Alhabshi, chief academic officer INCEIF, dalam slide presentasinya Risk Management in
an Islamic Financial Institution.
10 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
dan dengan terus melakukan pengawasan secara berkala untuk mengurangi kemungkinan
misrepresentasi keuntungan.
2. Kerugian yang dialami karena operational risk dapat diganti rugi melalui takaful (jaminan
berdasarkan prinsip syariah)
3. Pada tingkatan investasi yang lebih umum, penting untuk dilakukan diversifikasi investasi
mudharabah terhadap wilayah, industri, dan diversifikasi lainnya.
Mengenai kontrol terhadap kegiatan mudharabah, dalam ketentuan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles) yang berdasarkan Pasal 2 Peraturan ini wajib untuk diterapkan oleh bank
dengan melakukan prosedur identifikasi, pemantauan, serta penetapaan kebijakan prosedur
manajemen risiko terhadap nasabah.27 Tindakan ini ditujukan untuk menjaga kegiatan transaksi
yang dilakukan bank dengan nasabah agar tidak merugikan bank sehingga bank harus melakukan
pemeriksaan mendalam (due diligence) terhadap nasabahnya. Dalam melakukan tindakan Know
Your Customer (KYC) ini terkait dengan pemberian kredit dan pembiayaan, bank akan
melakukan penilaian 5 C terhadap nasabahnya, yang mana 5 C ini adalah sebagai berikut :
1. Character, merupakan suatu penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh
mana tingkat kejujuran dan integritas serta itikad baik, yaitu kemauan untuk memenuhi
tanggung jawab debitur.
2. Capacity, merupakan suatu penilaian yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan
usaha debitur untuk berkembang bila dibiayai kredit sehingga usaha tersebut dapat
menghasilkan pendapatan dan/atau keuntungan yang dapat melunasi terhadap bank.
3. Capital, merupakan suatu penilaian yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan calon
debitur/debitur menyediakan dana sendiri untuk membiayai usaha yang sedang atau akan
dijalankan. Kemampuan ini menunjukkan tingkat kesungguhan menjalankan usaha dan
kemampuan usaha tersebut ketika menghadapi masalah keuangan.
4. Collateral, merupakan suatu penilaian yang dilakukan atas jaminan yang diserahkan oleh
calon debitur/debitur atas kredit yang diberikan. Manfaat agunan ini adalah sebagai
pengaman terhadap : kegagalan usaha yang dibiayai oleh kredit tersebut, ketidakmampuan
27
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah, Pasal 2.
11 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
calon debitur untuk melunasi kredit yang diberikan dari hasil usaha yang normal, dan
ketidakpastian di masa yang akan datang pada saat kredit harus dilunasi.
5. Condition, merupakan suatu penilaian yang dilakukan atas situasi dan kondisi politik,
sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi kelancaran usaha calon
debitur/debitur yang memperoleh kredit.
Pembahasan
Risiko yang ada pada perbankan syariah adalah risiko yang juga ada pada bank pada
umumnya. Yang membedakan diantara kedua bank ini hanyalah terdapatnya suatu prinsip syariah
yang harus diikuti oleh bank syariah. Risiko risiko pada bank syariah dibagi menjadi dua
berdasarkan produk yaitu risiko produk penghimpunan dan risik produk pembiayaan. Risiko pada
produk penghimpunan adalah risiko-risiko sebagai berikut :
1. Risiko Likuiditas
2. Risiko Operasional
3. Risiko Reputasi
4. Risiko Stratejik
Risiko likuiditas dan risiko stratejik ini jelas menjadi suatu permasalahan utama dalam
pengelolaan investasi bank. Pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 jelas ditegaskan
bahwa bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian
terhadap seluruh faktor-faktor risiko (risk factor). Bank juga harus selalu mengevaluasi secara
berkala atas kesesuaian asumsi, sumber data, serta prosedur pengukuran risiko serta evaluasi atas
eksposur risiko yang dimiliki bank.28 Hal ini memungkinkan bank untuk mengambil langkahlangkah stratejik yang sesuai dengan keadaan bank, dan meminimumkan risiko terhadap kegiatan
investasi bank. Dalam hal ini melihat pada Pasal 10 ayat 2 dijelaskan pula bahwa proses
identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko wajib didukung oleh :
a) Sistem informasi manajemen yang tepat waktu
b) Laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan bank, kinerja aktivitas
fungsional dan eksposur risiko bank.
28
Lihat ketentuan PBI Nomor 5/8/PBI/2003 Pasal 10 jo Pasal 11.
12 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
Didalam Pasal 11 ayat 5 PBI Nomor 5/8/PBI/2003, juga dijelaskan bahwa dalam
manajemen risiko terkait dengan likuditias, maka bank menerapkan Assets and Liability
Management (ALMA). Dalam sisi Liabilities bank syariah menjamin kembali pembayaran nilai
nominal yang disimpan nasabah. Namun bank tidak menjamin untuk memberi keuntungan atas
simpanan nasabah tersebut dengan angka pasti. Oleh karena it dalam sisi aset, bank syariah harus
memperhatikan29 :
1) Komposisi aset, apakah lebih banyak penyaluran dana melalui mekanisme jual beli atau
bagi hasil.
2) Kepercayaan untuk memperoleh keuntungan melalui angsuran ataupun bagi untung.
3) Tingkat kesulitan untuk memperoleh kembali keuntungan dan/atau angsuran.
4) Komposisi berkurangnya aset.
Dikarenakan tidak adanya ketetapan faktor tingkat suku bunga yang pasti dalam bank
syariah, hal inilah yang menjadi faktor risiko likuiditas bagi bank dan disamping itu juga menjadi
risiko atas penyaluran dana atau pembiayaan. Sebagaimana lazimnya bank umum, ALMA pada
bank syariah perlu memperhatikan kemampuan bank dalam memenuhi kewajibannya. Hal ini
akan sangat berkaitan pada risiko reputasi yang melekat pada bank ketika bank harus menjaga
kepercayaan masyarakat. Hal yang perlu diperhatikan bank tersebut antara lain30 :
1. Memelihara likuiditas wajib minimum bank sesuai dengan ketentuan otoritas moneter.
2. Memelihara likuiditas yang cukup untuk memenuhi cash flow dan penarikan dana yang
besar.
3. Meminimumkan dana yang idle.
4. Meminimumkan risiko
Dalam risiko terkait dengan produk pembiayaan maka penanggulangan terhadap
manajemen risiko berkisar kepada adanya suatu jaminan yang diberikan kepada bank, dan juga
tindakan untuk menanggulangi keadaan ketika suatu pembiayaan mudharabah mengalami
masalah. Dalam praktek bank syariah, pada Pasal 1 angka 26 diatur mengenai agunan dijelaskan
agunan adalah jaminan tambahan yang meliputi barang bergerak dan barang tidak bergerak.
29
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 271.
30
Ibid..
13 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
Terkait dengan hal ini apabila kita kaitkan pada ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Perbankan
Syariah, maka berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut31 :
1. Yang dimaksud dengan jaminan kredit atau pembiayaan adalah keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai
dengan yang diperjanjikan.
2. Jaminan kredit atau pembiayaan dalam arti luas meliputi watak, kemampuan, modal,
agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur. Dalam arti sempit jaminan kredit atau
pembiayaan adalah agunan.
3. Jenis agunan kredit/pembiayaan terdiri dari :
a. Agunan pokok yaitu berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan
pembiayaan yang bersangkutan.
b. Agunan tambahan yaitu berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan
obyek yang dibiayai.
4. Bank
konvensional
maupun
bank
syariah
harus
memperoleh
agunan
dari
nasabah/penerima fasilitas sebagai jaminan kredit/pembiayaan yang diberikannya.
Ketentuan ini bersifat legal mandatory, sehingga wajib ditaati.
Dari sisi hukum Islam, suatu agunan sebagaimana dalam konteks Pasal 23 UndangUndang Perbankan Syariah tersebut dapat kita lihat sebagai suatu bentuk ganti rugi pada QS: AlBaqarah ayat 194, dijelaskan mengenai ganti kerugian yang disebabkan kesalahan (perbuatan
aniaya) seseorang32. Dan juga dalam QS: Al-Israa’ ayat 34 tentang kewajiban untuk memenuhi
janji33. Pendapat beberapa ulama kontemporer terkait dengan ganti kerugian seperti Wahbah
Zuhaili yang menjelaskan terkait denga Ta’widh adalah untuk menutup kerugian yang terjadi
31
Faturrahman Djamil (2), Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012) hlm. 43.
32
Terjemahan dari QS: Al-Baqarah : 194 “Bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut
dihormati, berlaku hukum Qishaash. Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orangorang yang bertakwa.” Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung : Syamil Al-Qur’an,
2002), hlm. 30.
33
Terjemahan dari QS: Al-Israa’ ayat 34 “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan jawabnya.”. Ibid., hlm. 285.
14 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
karena pelanggaran atau kekeliruan. Hal ini juga diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh).
Sementara dalam halnya suatu pembiayaan bermasalah maka tindakan yang ditempuh
oleh bank dalam menanggulangi berdasarkan ketentuan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/18/PBI/2008 suatu proses restrukturisasi dalam pembiayaan adalah melalui proses
penyelesaian sebagai berikut :
a) Penjadwalan kembali (rescheduling), adalah perubahan jadwal pembayaran
kewajiban nasabah atau jangka waktu dari pembiayaan;
b) Persyaratan kembali (reconditioning), adalah perubahan sebagian atau seluruh
persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah
angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah
sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank;
c) Penataan kembali (restructuring), adalah perubahan persyaratan pembiayaan tidak
terbatas pada rescheduling dan reconditioning, antara lain dengan melakukan
penambahan dana pembiayaan bank, atau menlakukan konversi akad pembiayaan
menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah, atau konversi
pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah
(mudharib).
Kesimpulan
1. Akad mudharabah dalam hukum Islam adalah suatu kerjasama yang berlandaskan dengan
kepercayaan oleh shaibul maal dalam memberikan dana kepada mudharib untuk dikelola agar
menghasilkan keuntungan yang akan dibagi atas kedua pihak. Sementara dalam peraturan
perundang-undangan adalah suatu kontrak perjanjian kerjasama berbentuk investasi yang
dilakukan oleh bank dengan nasabahnya baik berbentuk tabungan, deposito, maupun berupa
pembiayaan yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan berdasarkan hasil perputaran
investasi halal dan wajar yang dilakukan oleh bank atau nasabah. Dalam melakukan
mudharabah ini aspek terpenting merupakan bagi-hasil, yang dalam hukum Islam merupakan
suatu pembagian nisbah atas suatu usaha yang dilakukan, baik itu berupa keuntungan,
maupun kerugian yang diderita oleh usaha mudharabah. Kerugian finansial ditanggung oleh
15 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
shahibul maal karena prinsip kepercayaan dari mudharabah sementara oleh mudharib adalah
kerugian karena tidak memperoleh keuntungan dan kerugian atas waktu dan tenaga. Didalam
peraturan perundang-undangan bagi-hasil menganut prinsip revenue sharing dengan
pembagian tidak berdasarkan penghasilan bersih dari usaha melainkan pendapatan secara
keseluruhan dari usaha tersebut. Disamping itu terdapat pula terapan atas jaminan terkait
dengan klausula kerugian untuk mengantisipasi adanya kelalaian atau kecurangan dari pihak
mudharib ketika melakukan pengelolaan dana.
2. Risiko yang ada pada akad mudharabah dalam bank syariah mencakup risiko kredit, risiko
pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko kepatuhan, risiko hukum, risiko reputasi, dan
risiko stratejik. Tidak terdapat pengaturan khusus terkait dengan risiko atas praktek kegiatan
perbankan syariah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini. Namun
berdasarkan literatur, secara khusus untuk bank syariah terdapat risiko khusus yaitu risiko
terkait kepatuhan terhadap prinsip syariah (sharia non-compliance risk), risiko tingkat retur
keuntungan (rate of return risk), displaced commercial risk yang merupakan risiko bagi bank
syariah terkait tekanan tingkat suku bunga terhadap bank syariah, dan equity invenstment risk
sebagai suatu risiko investasi pada bank syariah. Mudharabah sebagai bentuk investasi
memiliki risiko bisnis atas kegiatan yang dilakukannya dimana risiko bisnis melekat pada
setiap kegiatan usaha, terdapat juga risiko penyusutan (shrinking risk) terhadap nilai dari
mudharabah yang dibiayai, serta risiko karakter dalam hal ini adalah terkait dengan karakter
mudharib dalam mengelola akad mudharabah dimana shahibul maal harus memiliki
keyakinan atas karakter mudharib sebelum melakukan suatu mudharabah karena
mudharabah berlandaskan kepada prinsip kepercayaan.
3. Manajemen risiko, sebagaimana layaknya yang dilakukan pada setiap instansi yang
melakukan kegiatan usaha untuk mencari keuntungan, harus diterapkan dalam bank syariah
untuk mencegah terjadinya kegagalan atas bank tersebut. Manajemen risiko yang dilakukan
berupa pengawasan, pemeriksaan, due diligence, pemberian saran terhadap kegiatan usaha
yang dilakukan, serta penyusunan langkah stratejik apabila suatu risiko itu terjadi sebagai
bentuk penanggulangan dari risiko. Dalam posisi sebagai mudharib maka bank melaksanakan
manajemen risiko terhadap kegiatan pengelolaan yang dilakukannya, dimana apabila bank
mengalami kerugian hal ini akan berdampak pada kehilangan kepercayaan dari masyarakat
terhadap bank. Sementara dalam posisi sebagai shahibul maal bank akan melakukan
16 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
pemeriksaan terhadap calon mudharib atas kelayakannya menjadi pengurus mudharabah,
serta melakukan pengawasan, pemberian saran, dan mempersiapkan suatu strategi
penanggulangan apabila mudharib lalai dalam melakukan tugasnya. Disamping itu bank juga
memiliki organ khusus untuk mengawasi kegiatan usahanya agar tidak menyalahi prinsip
syariah yaitu Dewan Pengawas Syariah. Dengan adanya Dewan Pengawas Syariah ini bank
berusaha melaksanakan suatu Good Corporate Governance dalam hal kepatuhannya
menjalankan usaha perbankannya terhadap prinsip-prinsip syariah.
Saran
1. Perlu dilakukan pembentukan peraturan oleh para legislator atas klasifikasi khusus terkait
dengan risiko yang ada pada akad mudharabah pada khususnya disamping risiko-risiko umum
yang telah ada dalam perbankan. Hal ini karena pada dasarnya, walaupun secara prinsip dan
pelaksanaan baik perbankan syariah, maupun perbankan konvensional memiliki eksposur
risiko yang sama atas kegiatan usahanya, namun dalam perbankan syariah terdapat keharusan
untuk mengikuti prinsip syariah agar tidak melenceng dari tujuan dibentuknya institusi
keuangan syariah tersebut. Didalam peraturan di Indonesia belum terdapat klasifikasi risiko
secara khusus mengenai eksposur risiko dalam konteks syariah sebagai pedoman risiko yang
melekat pada bank syariah, oleh karena itu masih mengacu kepada teori-teori pelaksanaan
secara global dan praktek dari pelaksanaan perbankan syariah secara umum.
2. Perlu diberikan pedoman ketentuan oleh para legislator terhadap manajemen risiko terkait
dengan risiko khusus bank syariah dan risiko pada akad mudharabah. Dalam praktek memang
akad mudharabah memiliki kemiripan dengan kredit dan investasi dalam bank konvensional
sehingga praktek manajemen risiko yang dilakukan adalah sebagaimana halnya kedua sistem
konvensional tersebut. Hal ini terlihat dimana dalam bank syariah dalam praktek mudharabah
memiliki suatu konsep jaminan ketika mudharib lalai melaksanakan pengelolaan usahanya.
Mengacu kembali pada prinsip syariah yang menjadi dasar pelaksanaan bank syariah, maka
perlu ditetapkan pedoman pelaksanaan manajemen risiko pada bank syariah secara khusus,
agar dalam praktek bank syariah tidak melenceng dari fungsinya sebagai lembaga
intermediary Islam dan tidak bercampur dalam pengurusannya sebagaimana layaknya sistem
yang dilakukan oleh bank konvensional.
17 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
Daftar Pustaka
Buku
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Al-Qur’an,
2002.
Djamil, Faturrahman. Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah. Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Idroes, Ferry N. Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan
Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008.
Institut Bankir Indonesia. Tim Pengembangan. Konsep, Produk dan Implementasi Operasional
Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2003.
Ismal, Rifki. The Indonesian Islamic Banking: Theory and Practices. Jakarta: Gramata
Publishing, 2011.
Karim, Adiwarman A. Bank Islam: Analisis Fiqih Keuangan. Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Remy Sjahdeini, Sutan. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indoneisa. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2005
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
Usman, Rachmadi. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Jurnal & Artikel
Ahmed, Habib. “Risk Management Assessment Systems: An Application to Islamic Bank”.
Islamic Economic Studies Durham University.
Alhabsi, Syeth Othman. “Risk Management in an Islamic Financial Institution”. Presentasi oleh
chief academic officer INCEIF.
18 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Perbankan. UU No. 7 tahun 1992. LN No. 31 Tahun 1992,
TLN No. 3742.
__________. Undang-Undang tentang Perbankan Syariah. UU No. 21 Tahun 2008, LN No. 94.
TLN No. 4867.
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. PBI
Nomor 3/10/PBI/2001.
__________. Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. PBI
Nomor 10/16/PBI/2008.
Majelis Ulama Indonesia. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Tabungan.
__________. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito.
__________. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah.
__________. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi
(Ta’widh).
19 Analisis ketentuan risiko..., Rafie Naufan, FH UI, 2014
Download