BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Stres 2.1.1 Defenisi stres Stres adalah sebagai suatu hubungan yang khas antar individu dan lingkungan yang dinilai oleh individu tersebut sebagai suatu hal yang mengancam atau melampaui kemampuannya untuk mengatasinya sehingga membahayakan kesejahteraannya (Lazarus dan Folkman, 1984). Stres menurut Maramis (1999) adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri, oleh karena itu stres dapat mengganggu keseimbangan kita. Sementara itu menurut Kelliat (1998), stres adalah realitas kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari,disebabkan oleh perubahan yang memerlukan penyesuaian. Stres tidak terlepas darimana datangnya dan apa saja sumbernya. Sumber stres atau yang disebut stresor adalah suatu keadaan, situasi objek atau individu yang dapat menimbulkan stres. Stres yang berasal dari dalam diri disebut internal sources dan yang berasal dari luar disebut eksternal sources (Potter dan Perry, 1999). Menurut Spielberger (2001), bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. 2.1.2 Gejala stres Cooper dan Straw (1995) mengemukakan gejala stres fisik, perilaku, dan dalam bentuk watak. Bentuk gejala fisik oleh Cooper dan Straw (1995) ditandai dengan adanya kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah. Sementara dalam bentuk perilaku umumnya ditandai dengan perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain. Dalam bentuk gejala watak dan kepribadian biasanya tanda yang dapat dilihat adalah sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, dan kurang percaya diri menjadi rawan (Cooper dan Straw, 1995). Tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Cooper dan Straw (1995) adalah pendapat Braham dalam Handoyo (2001:68), dimana gejala stres dapat dibedakan atas gejala fisik, emosional, intelektual, dan gejala interpersonal. Gejala fisik ditandai dengan adanya sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencemaan, radang usus, kulit gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, selera makan berubah, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, dan kehilangan energi. Sementara gejala stres yang bersifat emosional ditandai dengan marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental. Braham sebagaimana dikutip oleh Handoyo (2001) menambahkan bahwa gejala stres yang bersifat intelektual umumnya ditandai dengan mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, dan pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja. Sedangkan tanda stres yang bersifat interpersonal adalah acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain (Braham dalam Handoyo, 2001). 2.1.3 Faktor-faktor Penyebab Stres Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001). Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga dimana pribadi berada dan mengembangkan diri, maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum faktor yang menyebabkan terjadinya stres oleh Dwiyanti (2001) adalah akibat tidak adanya dukungan sosial, tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, kondisi lingkungan kerja, manajemen yang tidak sehat, tipe kepribadian, dan pengalaman pribadi. Penyebab stres yang pertama menurut Dwiyanti (2001) yaitu tidak adanya dukungan sosial diartikan bahwa stres akan cenderung muncul pada para individu yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, individu yang mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sejawatnya akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. Tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan sebagai penyebab stres yang kedua menurut Dwiyanti (2001) berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya. Stres juga bisa terjadi ketika seorang tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya. Kondisi lingkungan kerja juga dapat memicu terjadinya stres. Kondisi fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin (Margiati, 1999). Manajemen yang tidak sehat diidentifikasi juga dapat mengakibatkan seseorang mengalami stres. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan stres (http://lensakomunika.com). Tipe kepribadian seseorang dapat juga memicu terjadinya stres. Seseorang dengan kepribadian tipe A cenderung mengalami stres dibanding kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dari satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema ketika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangan/sakit jantung (http://lensakomunika.com). Peristiwa/pengalaman pribadi dianggap dapat juga memicu terjadinya stres. Stres kerja sering disebabkan pengalaman pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah (pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stres paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Disamping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman juga termasuk kategori ini. (Baron & Greenberg dalam Margiati, 1999). Davis dan Newstrom dalam Margiati (1999) stres kerja disebabkan tugas yang terlalu banyak, terbatasnya waktu, kurang mendapatkan tanggungjawab, ambiguitas peran, perbedaan nilai, frustasi, perubahan tipe pekerjaan, dan perubahan atau konflik peran. Adanya tugas yang terlalu banyak memang tidak selalu menjadi penyebab stres, namun akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi individu. Sementara terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan mampu memicu terjadinya stres karena bila seseorang yang biasanya mempunyai kemampuan menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya, individu dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai waktu yang ditetapkan atasan. Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai dapat menyebabkan terjadinya stres pada seseorang terutama jika hal ini menyangkut dengan hak dan kewajiban. Sementara itu ambiguitas peran menjadi penyebab stres bila seseorang agar menghasilkan performan yang baik, perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran. Perbedaan nilai sebagai penyebab stres karena umumnya situasi ini biasanya terjadi pada individu yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). Kondisi frustasi seseorang juga mampu memunculkan stres, dalam arti bila dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bisa disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi adalah, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf. Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum juga mampu memicu terjadinya stres terutama situasi ini bisa timbul akibat tugas atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian. Konflik peran juga mampu menimbulkan stres pada seseorang. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender, dimana individu berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan terjadi pada yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada individu yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternatif. Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pemicu tetapi dari beberapa pemicu stres. Sebagian besar dari waktu manusia ditempat mereka bekerja. Lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pemicu stres dipekerjaan berperan besar terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seseorang yang bekerja. Menurut Munandar (2001) faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres dalam pekerjaan adalah: 1) Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan seperti tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan, dan faktor tugas mencakup kerja malam, beban kerja, dan resiko dan bahaya, 2) Faktor struktur dan iklim kelompok adalah terpusat pada sejauh mana individu dapat berperan serta pada support sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan produktivitas, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik, 3) Faktor ciri-ciri individu sebagai faktor lainnya yang dapat memicu terjadinya stres artinya stres ditentukan pula oleh individunya sendiri, sejauh mana ia melihat situasinya sebagai kondisi stres. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis, dan dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri-ciri kepribadian yang khusus dan polapola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain inteligensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Faktor-faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap pembangkit stres potensial (Davis dan Newstrom dalam Margiati, 1999). 2.1.4 Tahapan Stres Seseorang yang stres akan mengalami beberapa tahapan stres. Menurut Amberg (1979), sebagaimana dikemukakan oleh Dadang Hawari (2001) bahwa tahapan stres adalah sebagai berikut: a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam. b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, cepat lelah pada saat menjelang sore, mudah lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung dan perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai. c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan seperti defekasi tidak teratur, otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan susah tertidur lagi, bangun terlalu pagi dan sulit tidur lagi, koordinasi tubuh terganggu, akan jatuh pingsan. d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dngan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari, aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respon tidakadekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan. e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik. f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda- tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, lemah, serta pingsan. Sementara menurut Holmes & Rehe (1976) dan Wiebe & Williams (1992), tahapan stres dibagi menjadi tiga yaitu: a. Stres ringan Adalah stresor yang dihadapi seseorang secara teratur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari orang lain. Situasi ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam. b. Stres sedang Berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa hari, seperti perselisihan dengan teman. c. Stres berat Adalah situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan perkawanan terus menerus, penyakit fisik jangka panjang. Berdasarkan tahapan stres diatas, maka harus dipahami pula tentang bagaimana cara mengatasi stres. 2.1.5 Cara Mengatasi Stres Menurut Agus Hardjana (1994) ada 2 cara mengatasi stres yaitu: a. Mengatasi secara negatif, seperti lari ke tempat- tempat hiburan (bioskop, diskotik), minum- minuman keras, makan banyak, minum obat penenang, gelisah, kacau pikiran, menghisap rokok berlebihan dan acuh tak acuh, menyalahkan peristiwa dan menyimpan dendam. b. Mengatasi stres secara positif a) Tindakan langsung (direct action), berbuat yang nyata secara khusus dan langsung, seperti meminta nasehat, mempelajari ilmu atau kecakapan baru b) Mencari informasi dengan pengetahuan yang membuat stres sehingga dapat mengetahui dan memahami situasi stres yang dialami. c) Berpaling pada orang lain. Misal orang tua, saudara, sahabat. d) Menerima dengan pasrah, yaitu berusaha menerima peristiwa atau keadaan apa adanya, karena dengan cara apapun kita tidak dapat mengubah sumber penyebab stresnya, kita hanya bisa melepaskan emosi dan mengurangi ketegangan seperti menangis, berteriak atau melucu, bisa juga melakukan tindakan meloncat- loncat, memukul- mukul meja atau berjalan keluar rumah untuk menghirup udara segar. e) Proses interpsikis yaitu dengan memanfaatkan strategi kognitif atau usaha pemahaman untuk menilai kembali situasi stres yang dialami, berupa strategi merumuskan kembali secara kognitif bentuk lain dari proses intrapsikis adalah apa yang disebut oleh Sigmund Frued yaitu mekanisme pertahanan (defence mechanisme), denial (penyangkalan), penekanan (suppresi). 2.2 Konsep Mekanisme Koping 2.2.1 Pengertian Mekanisme Koping Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dari perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Kelliat, 1999). Jika individu berada pada kondisi stres ia akan menggunakan berbagai cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping yang tersedia (Rasmun, 2001). Sedangkan menurut Stuart (1998), mekanisme koping dapat didefenisikan sebagai segala usaha untuk mengatasi stres. 2.2.2 Penggolongan Mekanisme Koping Mekanisme koping juga dibedakan menjadi dua tipe menurut (Kozier, 2004) yaitu : a. Mekanisme koping berfokus pada masalah (problem focused coping), meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat perubahan atau mengambil beberapa tindakan dan usaha segera untuk mengatasi ancaman pada dirinya. Contohnya adalah negosiasi, konfrontasi dan meminta nasehat. b. Mekanisme koping berfokus pada emosi (emotional focused coping), meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distres emosional. Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi tetapi seseorang sering merasa lebih baik. Mekanisme koping juga dilihat sebagai mekanisme koping jangka pendek dan jangka panjang. Mekanisme koping jangka panjang merupakan cara konstruktif dan realistik. Sebagai contoh, dalam situasi tertentu berbicara dengan orang lain tentang masalah dan mencoba untuk menemukan lebih banyak informasi tentang situasi. Mekanisme koping yang selanjutnya adalah mekanisme koping jangka pendek, cara ini digunakan untuk mengurangi stres untuk sementara tetapi merupakan cara yang tidak efektif untuk menghadapi realitas. Sedangkan metode koping menurut Folkman & Lazarus; Folkman et al, dalam Afidarti (2006) adalah : 1. Planful problem solving (problem-focused) Individu berusaha menganalisa situasi untuk memperoleh solusi dan kemudian mengambil tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah. 2. Confrontative coping (problem-focused) Individu mengambil tindakan asertif yang sering melibatkan kemarahan atau mengambil resiko untuk merubah situasi. 3. Seeking social support (problem or emotion- focused) Usaha individu untuk memperoleh dukungan emosional atau dukungan informasional. 4. Distancing (emotion-focused) Usaha kognitif untuk menjauhkan diri sendiri dari situasi atau menciptakan pandangan yang positif terhadap masalah yang dihadapi. 5. Escape-Avoidanceting (emotion-focused) Menghindari masalah dengan cara berkhayal atau berpikir dengan penuh harapan tentang situasi yang dihadapi atau mengambil tindakan untuk menjauhi masalah yang dihadapi. 6. Self Control (emotion-focused) Usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan perasaan ataupun tindakan dalam hubungannya dengan masalah. 7. Accepting responcibility (emotion-focused) Mengakui peran diri sendiri dalam masalah dan berusaha untuk memperbaikinya. 8. Positive Reappraisal (emotion-focused) Usaha individu untuk menciptakan arti yang positif dari situasi yang dihadapi. 2.2.3 Respon Koping Respon koping sangat berbeda antar individu dan sering berhubungan dengan persepsi individual dari kejadian yang penuh stres. Koping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek : fisiologis dan psikososial. Reaksi fisiologis merupakan indikasi klien dalam keadaan stres. Koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua (Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Mustikasari, 2006) yaitu; Mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Katagorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar. Koping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek : fisiologis dan psikososial (Kelliat, 1999). a. Reaksi fisiologis merupakan manifestasi tubuh terhadap stres. b. Reaksi psikososial terkait beberapa aspek antara lain : 1) Reaksi yang berorientasi pada ego yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental, seperti denial (menyangkal), projeksi, regresi, displacement, isolasi dan supresi. 2) Reaksi yang berkaitan dengan respon verbal seperti, menangis, tertawa, teriak, memukul dan menyepak, menggenggam, mencerca respon. 3) Reaksi yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Jika mekanisme pertahanan mental dan respon verbal tidak menyelesaikan masalah secara tuntas karena itu perlu dikembangkan kemampuan menyelesaikan masalah. Ini merupakan koping yang perlu dikembangkan. Koping ini melibatkan proses kognitif, afektif dan psikomotor. Koping ini meliputi : Berbicara dengan orang lain tentang masalahnya dan mencari jalan keluar dari informasi orang lain. Mencari tahu lebih banyak tentang situasi yang dihadapi melalui buku, masmedia, atau orang ahli. Berhubungan dengan kekuatan supernatural. Melakukan ibadah secara teratur, percaya diri bertambah dan pandangan positif berkembang. Melakukan penanganan stress, misalnya latihan pernapasan, meditasi, visualisasi, otigenik, stop berpikir. Membuat berbagai alternatif tindakan dalam menangani situasi. Belajar dari pengalaman yang lalu. Tidak mengulangi kegagalan yang sama. 2.2.4 Sumber Koping Sumber koping, pilihan, atau strategi membantu untuk menetapkan apa yang dapat dilakukan sebagaimana yang telah ditetapkan. Lazarus (1985) dalam Rasmun (2001), mengidentifikasikan lima sumber koping yang dapat membantu individu beradaptasi dengan stressor yaitu, ekonomi, keterampilan dan kemampuan, tehnik pertahanan, dukungan sosial dan motivasi. Kemampuan menyelesaikan masalah termasuk kemampuan untuk mencari informasi, identifikasi masalah, mempertimbangkan alternatif dan melaksanakan rencana. Social skill memudahkan penyelesaian masalah termasuk orang lain, meningkatkan kemungkinan memperoleh kerjasama dan dukungan dari orang lain. Aset materi mengacu kepada keuangan, pada kenyataannya sumber keuangan meningkatkan pilihan koping seseorang dalam banyak situasi stres. Pengetahuan dan intelegensia adalah sumber koping yang lainnya yang memberikan individu melihat cara lain untuk mengatasi stres. Sumber koping juga termasuk untuk kekuatan identitas ego, komitmen untuk jaringan sosial, stabilitas kultural, suatu sistem yang stabil dari nilai dan keyakinan, orientasi pencegahan kesehatan dan genetik atau kekuatan konstitusional (Stuart, 1998). 2.3 Program Pendidikan Ners Hasil Lokakarya Nasional dalam bidang keperawatan tahun 1983 telah menghasilkan kesepakatan nasional secara konseptual yang mengakui keperawatan di Indonesia sebagai profesi, mencakup pengertian, pelayanan keperawatan sebagai profesional dan pendidikan keperawatan sebagai pendidikan profesi (profesional education). Sesuai dengan hakikatnya sebagai pendidikan profesi, maka kurikulum pendidikan tinggi keperawatan disusun berdasarkan pada kerangka konsep pendidikan yang kokoh, yang mencakup: penguasaan IPTEK keperawatan, menyelesaikan masalah secara ilmiah, sikap tingkah laku dan kemampuan profesional, belajar mandiri serta belajar dimasyarakat. Program pendidikan Ners menghasilkan Sarjana keperawatan dan profesional (Ners= First Professional Degree) dengan sikap, tingkah laku, dan kemampuan profesional, serta akuntabel untuk melaksanakan asuhan/praktik keperawatan dasar secara mandiri. Program pendidikan Ners memiliki landasan keilmuan yang kokoh dan landasan keprofesian yang mantap sesuai dengan sifatnya sebagai pendidikan profesi (Nursalam 2008). Program pendidikan tahap profesi di Indonesia dikenal dengan pengajaran klinik dan lapangan, yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan ilmu yang dipelajari di kelas (pada tahap akademik) ke praktik klinik. Ini merupakan suatu proses transformasi mahasiswa menjadi seorang perawat profesional yang memberi kesempatan mahasiswa untuk beradaptasi dengan perannya sebagai perawat profesional dalam melaksanakan praktik keperawatan profesional disituasi nyata pada pelayanan kesehatan klinik atau komunitas dengan melaksanakan asuhan keperawatan dengan benar, menerapkan pendekatan proses keperawatan, menampilkan sikap profesional dan menerapkan ketrampilan profesional (Nursalam, 2008). Pembelajaran klinik merupakan wadah untuk mahasiswa dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan terhadap klien, sesuai dengan ilmu yang diperoleh dikelas dan memodifikasi kondisi situasional dilapangan dan menganalisa kritis sehingga mendapatkan perpaduan yang sempurna dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien di rumah sakit sesuai sumber daya sarana dan prasarana (Buku Panduan Program Pendidikan Profesi Ners Program Studi Ilmu Keperawatan USU, 2007). Tujuan dari pembelajaran profesi adalah mahasiswa mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap klien sehat dan sakit sesuai tujuan, mengaplikasikan bentuk asuhan keperawatan dengan critical thinking yang sesuai dengan sumber daya, sarana dan prasarana yang ada dilahan praktek sesuai dengan tujuan mata ajar, dan mengaplikasikan tampilan sosok dan sikap perawat profesional. Mahasiswa yang diperkenankan mengikuti program profesi adalah mahasiswa semester IX Program Studi Sarjana Keperawatan Fakultas Keperawatan USU yang telah menyelesaikan program sarjana (S.Kep) yang talah menempuh beban studi selama tiga semester dan telah menyelesaikan SKS sarjana keperawatan. Pelaksanaan program studi ditempuh selama satu tahun dengan total SKS kelas regular sebesar 27 SKS. Mahasiswa tetap dinas meskipun libur nasional dan melakukan praktek selama 7-8 jam setiap hari, serta pengaturan shif putaran dinas di atur oleh Klinical Instuctur atau pihak yang berwenang sesuai aturan yang berlaku di lahan praktek (Buku Panduan Program Pendidikan Profesi Ners Program Studi Ilmu Keperawatan USU, 2007). Ketentuan Umum bagi mahasiswa program profesi kelas regular adalah mahasiswa wajib mengikuti Kepanitriaan Umum sesuai jadwal yang telah ditetapkan, mahasiswa wajib mengikuti ujian kepanitriaan umum dengan metode ujian OSCA, presensi mahasiswa wajib hadir 100%, dengan ketentuan bila absent tanpa keterangan wajib mengganti 2x jam yang ditinggalkan. Bila ijin mengganti sesuai dengan hari yang ditinggalkan, mahasiswa wajib mengikuti penugasan mata ajar profesi terkait, dengan mendapatkan sanksi bila tidak menyelesaikan. Sanksi sesuai dengan mata ajar terkait, Seragam mahasiswa menggunakan seragam sesuai surat edaran resmi dari akademi, yaitu: seragam klinik / RS putihputih dengan sepatu putih, seragam dikomunitas/lapangan atas putih bawah coklat sepatu hitam. Mengenakan atribut lengkap nama dan kartu tanda praktikan yang dikeluarkan resmi sesuai lahan praktek. 2.4 Faktor Stres Mahasiswa Program Pendidikan Ners Mahasiswa keperawatan merupakan seorang calon perawat professional yang akan melaksanakan asuhan keperawatan di pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan profesinya mahasiswa rawan terhadap stres. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres perawat dengan kategori tinggi sebesar 47%, tingkat stres tinggi cenderung mengarah pada gangguan fisiologis, seperti: sering mengalami sakit kepala (pusing), tekanan darah meningkat, mengalami ketegangan dalam bekerja, sering mengalami jantung berdebar, bola mata melebar, barkeringat dingin, nyeri leher dan bahu (Ilmi, 2003). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mc. Grath dan kawan-kawan (1989) di Inggris, menemukan kesepakatan tentang sumber stres dalam bidang keperawatan yakni 67% responden menyatakan waktu tidak mencukupi untuk menyelesaikan tugas secara memuaskan, 46% batas waktu ditentukan oleh orang lain (Anonim, 2006). Stressor pada perawat cukup bervariasi. Penelitian yang dilakukan oleh Admi dengan indikator NSSS (Nursing Student’s Stres Scale) pada 46 mahasiswa keperawatan pada saat melaksanakan pendidikan profesi hasilnya menunjukkan perbedaan yang signifikan antara level stres mahasiswa yang sudah lama atau pernah praktek dengan mahasiswa yang baru mulai praktek. Menurut NSSS (Nursing Student’s Stres Scale) terdapat enam sumber stres pada mahasiswa keperawatan yaitu tuntutan pengetahuan yang memadai (adequate knouledge), pengawasan yg ketat (close supervision), pandangan yang tidak menyenangkan (averse sights), penyebab munculnya kesakitan (causing pain), sumber daya harus memadai (insufficient resources), dan adanya masalah nyata (reality conflict) (Wang, 2009). Demikian pula halnya pada mahasiswa keperawatan USU, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2010 didapatkan informasi secara verbal dari beberapa mahasiswa regular bahwa dalam melakukan praktik sebagai mahasiswa program ners selain melakukan asuhan keperawatan kepada klien sesuai kompetensi yang ditetapkan oleh institusi, mereka juga harus membuat tugas dalam bentuk laporan pendahuluan, makalah seminar, dan laporan data kasus. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa tugas-tugas yang diberikan tidak jarang menyebabkan para mahasiswa menjadi sangat terbebani (Juli, komunikasi personal,20 OKtober 2010). Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 20 Oktober 2010 pada 10 mahasiswa profesi ners didapatkan 7(70%) orang mengatakan selama praktek profesi mengalami kelelahan (ngantuk dan capek) hal ini disebabkan karena banyaknya tugas berkaitan dengan laporan pendahuluan, laporan studi kasus dan laporan presentasi seminar, 2 (20%) orang menyatakan praktek profesi menyenangkan karena banyak mendapat pengalaman baru di rumah sakit. 1(10%) orang mengatakan membosankan karena rutinitas yang monoton. Informasi tambahan lainnya yaitu tidak jarang mahasiswa meminta bantuan temannya untuk mengerjakan tugas, meskipun ada juga yang tetap semangat mengerjakan tugasnya dengan kemampuan yang dimiliki. Mahasiswa keperawatan diasumsikan bahwa banyak yang mengalami stres. Hal ini terlihat dari banyaknya keluhan-keluhan mahasiswa seperti perasaan lelah, nyeri otot dan sendi, jantung berdebar, mudah marah, sulit konsentrasi, apatis, serta nafsu makan menurun. Menurut Anoraga (2001) hal ini merupakan gejala-gejala adanya stres. Reilly dan Oermann (2002), menyatakan bahwa program pendidikan profesi ners (rumah sakit dan komunitas) merupakan bagian penting dalam proses pendidikan mahasiswa keperawatan, karena memberikan pengalaman yang kaya kepada mahasiswa bagaimana cara belajar yang sesungguhnya. Keberhasilan pendidikan tergantung ketersediaan lahan praktek di rumah sakit harus memenuhi persyaratan, diantaranya 1) melaksanakan pelayanan atau asuhan keperawatan yang baik (good nursing care), 2) lingkungan yang kondusife, 3) ada role model yang cukup, 4) tersedia kelengkapan sarana dan prasarana serta staf yang memadai, 5) tersedia standar pelayanan keperawatan yang lengkap. Dalam memasuki lahan praktek klinik, mahasiswa diharapkan mempersiapkan diri dengan baik, faktor-faktor kesiapan mental mahasiswa dipengaruhi oleh perkembangan, pengalaman, kepercayaan diri, dan motivasi (Minarsih, 2004). 2.5 Mekanisme Koping Mahasiswa Program Pendidikan Ners Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanana profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Pendidikan profesi keperawatan merupakan transformasi untuk menjadi perawat profesional yang memberi kesempatan beradaptasi untuk melaksanakan asuhan keperawatan dan menerapkan ketrampilan profesional. Stres dapat terjadi dimanapun dan pada siapapun, juga pada mahasiswa. Mahasiswa dengan kesulitan menyesuaikan diri dapat merupakan stressor tersendiri yang akan menghambat proses belajar mengajar sehingga mempengaruhi proses belajar. Manajemen stres yang dilakukan mahasiswa keperawatan dalam menghadapi stressor di lahan praktek lebih banyak menggunakan teknik refresing sebesar 75,3%, karena teknik tersebut mungkin lebih murah dan bisa dilakukan bersama orang lain. Menurunkan stres yang terkait dengan pekerjaan dapat menyebabkan perubahan konteks organisasional keperawatan atau pendekatan perawat individual terhadap kerja. Perbaikan lingkungan kerja dapat dipandang sebagai suatu tanggungjawab manajerial dalam upaya meminimalkan stressor yang terkait kerja. Dalam pelayanan kesehatan, perawat yang mengalami stres berat dapat kehilangan motivasi, mengalami kejenuhan yang berat dan tidak masuk kerja lebih sering (Gray & Anderson, 1981). Setiap orang mungkin mempunyai pendekatan yang berbeda dalam menanggulangi dan mengurangi dampak akibat stres. Dewe (1989) meneliti respon perawat stres dan mengidentifikasi enam kategori penanggulangan, yaitu: 1. Strategi pemecahan masalah. 2. Mencoba untuk meletakkan sesuatu dalam perspektif (sebenarnya). 3. Menjaga masalah pada diri sendiri. 4. Melibatkan diri sendiri dalam pekerjaan dan bekerja lebih keras dalam waktu yang lebih lama. 5. Menerima pekerjaan apa adanya. 6. Strategi pasif.