bab vi memudarnya pluralisme di pedesaan jawa

advertisement
105
BAB VI
MEMUDARNYA PLURALISME DI PEDESAAN JAWA
6.1
Elit Agama dan Paham Keagamaan
6.1.1 Sekilas Gambaran Elit Agama
Bagi masyarakat Cikeukeuh, agama menjadi hal yang sentral dalam
kehidupan sehari-hari karena berkaitan dengan keyakinan dan bersifat transenden.
Keyakinan-keyakinan tersebut diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan
yang jika dilaksanakan akan mendapat reward (pahala) dan jika ditinggalkan atau
dilanggar akan mendapat punishment (dosa). Proses penyadaran religius ini sangat
ditentukan oleh keberadaan elit agama sebagai pihak yang mensosialisasikan
ajaran agama di tengah masyarakat.
Kata elit, secara etimologi, berasal dari bahasa Latin eligere yang berarti
memilih. Istilah ini berkembang pada abad ke-14 menjadi a choice of persons
(orang-orang pilihan). Kemudian pada abad ke-15, dipakai untuk menyebutkan
best of the best (yang terbaik dari yang terbaik). Istilah elit dipakai untuk
menyebut sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu
masyarakat. Ilmuan sosial yang pertama kali menggunakan kata ini adalah
Vilfredo Pareto pada akhir abad ke-19 di Eropa, dan kemudian diikuti Gaetano
Mosca pada 1930-an (Alfan Alfian 2009, bandingkan juga dengan T.B. Bottomore
1984).
Menurut Pareto, yang disebut dengan kelompok elit adalah sekelompok
kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau
pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang
mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Ia menggolongkan
masyarakat ke dalam dua kelas, yakni lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (nonelite). Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang
memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing
elite). Antara governing elite dan non-governing elite senantiasa berebut
kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elit.
Elit agama yang dimaksud di sini adalah kelompok kecil masyarakat yang
memiliki pengetahuan dan pengaruh keagamaan di masyarakat sehingga menjadi
106
rujukan dan tempat masyarakat bertanya yang berkaitan dengan masalah agama,
baik mereka itu memiliki pesantren maupun tidak. Dalam kehidupan sehari-hari
elit agama biasanya disebut ulama, kyai, ustadz atau, dalam masyarakat Sunda,
ajengan. Hampir dipastikan bahwa setiap kampung atau RW memiliki elit agama,
dengan kapasitas yang berbeda-beda, yang secara religius bertanggung jawab
mengayomi umat ke arah nilai-nilai agama. Pengayoman tersebut, salah satunya,
terlembaga pada pengajian-pengajian yang dilakukan baik di tingkat kampung
maupun desa.
Masyarakat Cikeukeuh sangat menghormati elit agama lantaran mereka
memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran Islam. Masyarakat menilai elit
agama berdasarkan pada kriteria-kriteria seperti yang terlihat dalam tabel sebagai
berikut:
Tabel 8 Elit Agama dalam Pandangan Masyarakat
1. Menguasai ilmu agama
2. Tingkat kesalehan yang tinggi
Unsur
3. Mempunyai pondok pesantren
agama
4. Perilaku yang terpuji
5. Sudah naik haji
Elit agama
Unsur
akseptabilitas
Unsur
sosial
1. Sering diundang memberikan ceramah
2. Dikenal masyarakat luas
3. Panutan masyarakat
1. Aktif dalam kegiatan sosial
2. Pengambil keputusan dalam masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2012
Elit agama ini memiliki karisma tersendiri dalam masyarakat karena mereka
dianggap sebagai sosok yang paling otoritatif dalam menginterpretasikan ajaranajaran agama yang bersumber dari teks-teks suci. Jika Geertz (1960) menjelaskan
bahwa yang membuat seorang kyai menjadi karismatik adalah karena perannya
sebagai “perantara budaya” (cultural broker), maka di Desa Cikeukeuh karismatik
elit agama juga dilihat dari peran politik yang dimainkannya.
Beberapa elit agama ada yang pernah menjadi pengurus sebuah partai
besar dan ada juga yang menjadi anggota legislatif tingkat kabupaten dan
propinsi. Meski terlibat dalam dunia politik, elit agama tetap dipandang sebagai
107
elit agama karena dunia politik bersifat sementara dan muncul belakangan
dibandingkan dengan keberadaan elit agama itu sendiri yang muncul jauh sebelum
terlibat dalam politik. Di samping itu, peran elit agama terlihat suburnya pengajian
di semua kampung, sebagai media komunikasi dan pembinaan anggota. Pengajian
berkembang menjadi tempat rakyat dan kaum awam mengikat diri secara taqlid di
dalam kesatuan orang saleh.
Hubungan elit agama dengan masyarakat ibarat hubungan atas dan bawah.
Posisi masyarakat menerima apa yang menjadi pilihan dan keputusan elit agama.
Hubungan elit agama dengan masyarakat persis apa yang digambarkan oleh Karl
D. Jackson ketika menggambarkan hubungan kewibawaan tradisional (elit agama)
dengan masyarakat di Jawa Barat. Menurut Jackson (1990), pada saat tertentu
seorang pelaku (kewibawaan tradisional atau elit agama) mempengaruhi dan
mengubah perilaku masyarakat. Kewibawaan tradisional, dalam interaksinya
dengan masyarakat, mengirimkan pesan (dari teks-teks keagamaan) kepada
masyarakat, dan masyarakat menerimanya sebagai dasar perilakunya.
Elit agama adalah mereka yang menyediakan, melindungi, mendidik,
sumber nilai-nilai (religius) dan memiliki status unggul dari masyarakat yang
punya hubungan ketergantungan yang mapan. Perintah-perintahnya diterima
masyarakat semata-mata atas dasar siapa dia dan hubungan tertentu yang tersebar
dengan tokoh-tokoh lain termasuk Kepala Desa, sehingga ketika ada perintah dan
permintaan dari elit agama satu-satunya reaksi adalah mengabulkannya (Jackson
1990).
Begitulah yang terjadi ketika menanggapi Jemaat Ahmadiyah membangun
mesjid yang dianggap masyarakat sebagai pelanggaran Surat Keputusan Bersama
(SKB) Kabupaten. Reaksi berlebihan muncul dari elit agama dan mengumpulkan
tokoh masyarakat dari masing-masing RT/RW. Elit agama berkumpul bersama
tokoh masyarakat membicarakan tentang bagaimana menghadapi Jemaat
Ahmadiyah pascapelanggaran yang dilakukannya.
Pada saat itu kebencian terhadap Jemaat Ahmadiyah ditransformasikan oleh
elit agama kepada tokoh-tokoh masyarakat. Masyarakat menerima bentuk-bentuk
pemahaman keagamaan yang ditransformasikan elit agama kepada masyarakat.
Berdasarkan ajaran agama, menurut elit agama, masyarakat boleh menyerang dan
108
melakukan tindakan kekerasan (sikap fundamentalisme) terhadap Jemaat
Ahmadiyah sebagai bentuk jihad melawan orang kafir. Jackson (1990)
mengatakan bahwa selain faktor internal doktrin syariah yang dipandang baku dan
sakral, (sikap) fundamentalisme juga bersumber dari pola hubungan diadik elitumat yang membentuk klientalisme syariah. Hal ini terjadi sejak syariah
diberlakukan sebagai hukum tunggal dan baku pada abad-abad pertama Islam
(Rahman, 1984). Syariah kemudian berubah sebagai dasar ideologi perubahan
semua aspek kehiduapn sosial (Garaudy 1993; Abdullah 1987). Pada tahap ini
peran dominan elite agama akan berfungsi secara aktual (Mulkhan 2000).
Di satu sisi, fundamentalisme adalah fungsi dominasi ahli syariah yang
memiliki kebebasan menafsir doktrin Islam sesuai kondisi obyektif yang
mengitarinya. Pada sisi lain, keberadaan ahli syariah (elit agama) merupakan pra
syarat bagi realisasi aturan syariah dan untuk memelihara identitas diri sebagai
“orang Islam”. Dari sini, kebutuhan saling tukar kepentingan elit dan pengikut
(Jackson, 1990) memunculkan elite “orang saleh”. Elite ini tetap memegang peran
penting dalam dinamika sosial pemeluk Islam. Dalam perspektif Weber (1972)
dan Turner (1984) dominasi patrimonialisme elit agama ini menyebabkan
subyektivisme elitis hubungan sosial Muslim.
Masyarakat
tidak
punya
keberanian
untuk
menyanggah
atau
mempertanyakan ulang apa yang disampaikan oleh elit agama. Tidak hanya itu,
bagi siapa saja yang berani melawan “arus” elit agama, maka orang tersebut akan
mendapat celaan dan akan dikucilkan. Momen itu pernah dialami oleh Sekretaris
Desa (IZ) yang mencoba mengingatkan masyarakat untuk tidak sampai pada
tindakan anarkis dalam menghadapi masalah Ahmadiyah ketika pertemuan elit
agama dengan tokoh-tokoh masyarakat. Usai mengingatkan masyarakat agar tidak
bertindak anarkis, elit agama (tradisional) langsung berkomentar dengan katakata, “Sekdes naon eta (Sekdes apaan itu)?”. Himbauan Sekdes ini tentu saja
berseberangan dengan suasana emosional masyarakat yang sedang geram dengan
Ahmadiyah.
Pada lain kesempatan elit agama juga memerintahkan kepada masyarakat
untuk tidak lagi mengadakan pengajian bersama dengan Jemaat Ahmadiyah yang
selama ini sudah terlembagakan dan menjadi salah satu bukti jalannya kehidupan
109
pluralisme keagamaan di desa. Masyarakat menerima keputusan itu termasuk
kepala desa tidak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan itu karena kepala desa
menyerahkan masalah pengajian kepada tokoh agama. Sejak saat itu, hingga
sekarang, tidak pernah ada lagi pengajian bersama antara Jemaat Ahmadiyah dan
non Jemaat Ahmadiyah, bahkan juga berimbas pada kehidupan sosial lainnya.
Elit agama di desa ini terbagi ke dalam dua tipologi, yaitu elit agama yang
moderat (mereka yang cara pandang keagamaannya terbuka dan bisa menerima
perbedaan) dan elit agama tradisional (mereka yang cara pandang keagamaannya
tertutup dan tidak bisa menerima perbedaan). Dalam konteks keberadaan
Ahmadiyah, elit agama moderat dapat hidup bersama dalam perbedaan, baik
secara kegiatan keagamaan, seperti pengajian bersama, maupun dalam kehidupan
bermasyarakat.
Sementara itu, elit agama tradisional yang sangat kuat dengan paham Sunni
sulit menerima perbedaan teologis dengan Ahmadiyah karena dianggap
membahayakan keimanan masyarakat. Menurut mereka, Ahmadiyah sudah keluar
dari Islam bahkan sudah mengacak-acak pemahaman al-Quran. Meski tidak bisa
menerima perbedaan dengan Ahmdiyah, namun mereka secara kehidupan sosial
tidak mempermasalahkannya.
6.1.2 Aswaja Sebagai Tuntunan Hidup
Masyarakat desa Cikeukeuh adalah masyarakat yang taat beragama,
sekalipun sangat beragam dalam tingkat implementasi nilai-nilai religiusnya.
Mesjid-mesjid dan mushala di desa menjadi ciri lestari keberagamaan masyarakat.
Di tempat ini masyarakat menampakkan keberagamaannya dalam bentuk ibadah
ritual maupun pengajian-pengajian yang sudah terjadual. Ritual-ritual keagamaan
yang berkembang dan bertahan di masyarakat adalah ritual-ritual yang secara
teologi berafiliasi kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) dan secara islamic
yurisprudence (hukum Islam) berafiliasi kepada Syafi`iyyah. Semua doktrin ini
dianggap sebagai acuan yang baku dan standar yang mempunyai otoritas dalam
melaksanakan praktek-praktek keagamaan.
Kedua praktek keyakinan (secara teologi) dan keagamaan (secara hukum
Islam) tidak saja menjadi tuntunan masyarakat desa, melainkan juga menjadi
110
pegangan mayoritas umat Islam Indonesia. Bagi masyarakat, terutama elit agama,
paham Aswaja adalah paham yang dianut banyak ulama di Indonesia dan menjadi
paham yang kurang lebih paling bisa diterima dari paham-paham yang lain.
Sikap-sikap intoleransi akan muncul ketika ada orang yang mempraktekkan atau
memperlihatkan paham-paham keagamaan yang berada di luar yang diyakini
masyarakat. Ini dibuktikan dengan dilarangnya orang yang mengikuti paham
Jemaat Ahmadiyah Indonesia di desa ini karena tidak sejalan dengan paham
Aswaja.
Aswaja, secara historis, adalah golongan yang berpegang pada Sunnah Nabi
dan merupakan mayoritas sebagai lawan bagi kelompok Mu`tazilah (kelompok
rasionalis) yang minoritas dan tidak begitu berpegang pada Sunnah Nabi. Paham
Aswaja dianggap sebagai paham tradisional dalam pemikiran Islam dan tidak
terbuka terhadap pemikiran rasional. Setiap yang tidak sejalan dengan paham ini
maka akan dianggap keluar dari tradisi dan praktek-praktek orisinil para ulama
terdahulu, bahkan dianggap keluar dari ajaran Islam. Dalam sejarah Islam,
kelompok rasionalis minoritas seperti Mu`tazilah kerapkali dikucilkan oleh
kelompok tradisional ini karena dianggap rasional dan liberal. Bahkan tidak
sedikit dari mereka menganggap Mu`tazilah sebagai kelompok yang sesat, kafir
dan bid`ah (praktek keagamaan yang tidak pernah ada dalam tradisi kenabian).
Praktek-praktek keagamaan yang berkembang di masyarakat Cikeukeuh
tidak berbeda dengan tradisi yang ada di masyarakat NU, meski secara
organisatoris NU tidak ada di desa ini. Berkembangnya paham Aswaja dapat
dilacak dari pendidikan para ulama yang mengembangkan Islam di daerah ini.
Para ulama generasi pertama, seperti KH. MH, KH. MM, KH. MB, KH. FR, KH.
AMM, H. AM, H. OG, HB, dan generasi kedua, seperti KH. CM, KH. NS, H. MQ
adalah mereka yang pernah santri di beberapa pesantren yang tersebar di Jawa
Barat dan Banten yang notabene pesantrennya berpaham Aswaja.
Di antara pesantren tempat tokoh agama menimba ilmu agama adalah
pesantren di Menes, Kananga (Banten), tipar (Sukabumi) dan Sadeng (Bogor).
Bahkan hubungan pesantren Kananga dengan desa masih terjalin dengan baik
hingga sekarang dibuktikan dengan pengajian bulanan yang disampaikan oleh
111
tokoh-tokoh agama pesantren Kananga, masyarakat menyebutnya pengajian abi
turien.
Jadi, paham Aswaja yang berkembang di masyarakat sangat ditentukan oleh
apa dan bagaimana paham yang dimiliki oleh elit agama. ketika sudah
ditransformasikan kepada masyarakat, dan masyarakat menerimanya sebagai
suatu keyakinan dan praktek keagamaan, pada saat itu juga terjadi pelembagaan
paham Aswaja sehingga sangat tertutup kemungkinan bisa diterimanya paham dan
corak pemikiran keagamaan lainnya. Hal yang senada juga dikatakan oleh Sekdes
(IZ) sebagai berikut:
“Paham keagamaan di desa ini bersifat tradisional dan semuanya terpusat
pada tokoh agama. Orang tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh
tokoh agama sehingga pemahaman keagamaan seperti apa yang
disampaikan tokoh agama. Saya sering dicap Muhammadiyah (meski saya
bukan Muhammadiyah) karena seringkali berseberangan dengan paham
kebanyakan yang dianut masyarakat. Konsekuensinya, setiap saya
berpendapat tentang masalah agama, tokoh agama kerapkali curiga kepada
saya”. (Wawancara, 8 Juni 2012).
Menurut Ahmad Ali Riyadi (2005), terma tradisional dalam pengertian
bahwa masyarakat tetap bertahan pada khasanah intelektual dan tradisi
peninggalan pendahulu. Para ulama terdahulu dianggap mempunyai otoritas yang
lebih dibandingkan masyarakat yang ada sekarang dalam hal pemikiran dan
praktek keagamaan. Sehingga, dalam prakteknya, masyarakat sangat tidak toleran
jika ada perbedaan praktek-praktek keagamaan yang masuk ke desa. Memaksakan
praktek keagamaan yang berbeda dengan praktek keagamaan yang berlaku di
tengah masyarakat sama saja menentang dan melawan masyarakat. Menurut
kebanyakan masyarakat, agak sulit menerima praktek keagamaan yang berada di
luar yang sudah menjadi praktek masyarakat selama ini. Bagi masyarakat, praktek
keagamaan adalah seperti yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh agama desa dan
para ulama terdahulu.
6.1.3 Kepemimpinan dan Pengaruh Elit Agama
Northouse (2007) menulis bahwa kepemimpinan adalah proses dimana
individu mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Dalam
hal ini, elit agama adalah sosok yang mempengaruhi masyarakat kaitannya dengan
112
masalah-masalah keagamaan. Masyarakat dituntut menerima apa yang menjadi
himbauan atau perintah elit agama karena elit agama merasa memiliki otoritas
dalam masalah keagamaan. Di sini proses kepemimpinan berjalan tidak baik
karena prosesnya satu arah bukan berjalan secara interaktif antara masyarakat dan
elit agama.
Keberadaan elit agama sangat berpengaruh terutama yang berkaitan dengan
masalah-masalah agama, bahkan juga dalam kehidupan sosial. Hampir semua
persoalan-persoalan keagamaan dipegang oleh elit agama, misalnya menentukan
boleh tidaknya mengadakan pengajian di Kampung Ciladong yang masyarakatnya
menganut paham Ahmadiyah, menentukan jadual-jadual pengajian, menegur dan
menasehati masyarakat yang menyimpang dari paham Aswaja, dan lain-lain.
Peran elit lokal terlihat suburnya pengajian di tingkat desa dan di kampungkampung, sebagai media komunikasi dan pembinaan anggota. Pengajian
berkembang menjadi tempat rakyat dan kaum awam mengikat diri secara taqlid di
dalam kesatuan “orang saleh” (Mulkhan 2000). Dalam pengajian-pengajian ini
terjadi transformasi pengetahuan agama yang diterima oleh masyarakat secara
mentah-mentah tanpa pernah mempertanyakan kenapa pemahaman keagamaan
seperti itu.
Meminjam istilah Weber (1964), tindakan sosial dan tipe otoritas yang
dilakukan oleh elit agama adalah tipe otoritas tradisional yang berlandaskan pada
suatu kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi-tradisi masa dulu serta
legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya. Jadi,
alasan penting masyarakat Cikeukeuh taat pada otoritas tradisional ini adalah
kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah selalu ada.
Jenis otoritas yang berdasarkan tradisi ini masih dapat dibedakan ke dalam
jenis otoritas yang disebut dengan patriarkhalisme dan patrimonialisme.
Patriarkhalisme adalah suatu jenis otoritas di mana kekuasaan didasarkan kepada
senioritas. Mereka yang lebih tua dianggap secara tradisional memiliki kedudukan
yang lebih tinggi.
Sedangkan patrimonialisme adalah jenis otoritas yang mengharuskan
seorang pemimpin bekerja sama dengan kerabat-kerabatnya atau dengan orang
terdekat yang memiliki loyalitas pribadi kepadanya (Pababbari 2010). Di dalam
113
jenis otoritas yang bersifat patriarkhalisme dan patrimonialisme ini ikatan-ikatan
tradisional memegang peranan utama. Si pemegang otoritas adalah mereka yang
dianggap mengetahui tradisi yang disucikan.
Kepemimpinan elit agama di desa ini sangat ditentukan oleh pribadi dan
kedudukan yang dipegangnya. Elit agama yang sangat dominan di tingkat desa
ketika masalah Ahmadiyah menjadi sorotan adalah CM1 yang juga menjabat
Ketua MUI tingkat desa. CM adalah keturunan seorang ulama besar (FR) di desa
ini yang juga sangat dihormati oleh masyarakat. Dia memiliki pesantren dan
merupakan elit agama yang paling senior di desa.
Kepemimpinan CM sangat dominatif dan hampir tidak memberikan peluang
dan kesempatan masyarakat berpendapat. Elit agama ini cenderung reaktif dan
tidak toleran dengan perbedaan sehingga keberadaan Ahmadiyah di desa dianggap
mengancam akidah masyarakat. Sikap ingin menjaga akidah masyarakat di jalan
yang benar tentu saja sangat berkolerasi dengan posisinya sebagai Ketua MUI
desa.
Ketika ingin merespon dan menyelesaikan masalah Ahmadiyah, sikap
reaktif - dominatif CM sangat terlihat. Ini dibuktikan ketika pemilihan anggota
sebuah kelompok yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dari masing-masing
RW/RT yang dipilih langsung oleh CM tanpa persetujuan terlebih dahulu kepada
yang bersangkutan. Menurut AS dan IZ, pemilihan anggota kelompok ini lebih
didasarkan kepada mereka yang dikenal dekat dengan CM dan dianggap berani
kepada Ahmadiyah.
CM adalah elit agama yang kerapkali memancing emosi masyarakat. Dalam
pengajian dia sering mengutarakan masalah Ahmadiyah meski ketika itu
hubungan masyarakat dengan Ahmadiyah baik-baik saja. Dalam kaitan dengan
ini, AS mengungkapkan:
“Tiga tahun sebelum kejadian penyerangan Kampung Ciladong, yaitu pada
2007, CM mencoba mengungkit-ungkit masa lalu dimana tokoh agama di
desa seringkali kalah dalam diskusi dan perdebatan dengan Ahmadiyah.
Ketika itu CM menyampaikan pada saat pengajian desa yang didengar
banyak orang sehingga banyak jamaah yang terpancing termasuk saya”.
(Wawancara, 4 Juni 2012).
1
CM adalah elit agama yang sangat disegani dan terbilang paling senior di desa. Pada saat
penelitian dia sudah meninggal, yaitu sekitar tiga bulan pascakonflik pada Oktober 2010.
114
6.2
Pluralisme Keberagamaan: Dinamika Gagasan dan Praktek dalam
Historis
Dari sisi paham dan praktek keagamaan, Desa Cikeukeuh tidaklah
homogen, melainkan terdapat paham dan praktek keagamaan lain di luar aliran
utama (mainstream), yaitu paham Ahmadiyah (Qadian). Secara umum, paham dan
praktek keagamaan Ahmadiyah sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan paham
dan praktek keagamaan yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. Hanya saja ada
beberapa prinsip yang oleh masyarakat sangat mengganggu dan bertentangan
dengan teologi yang mereka percayai selama ini, seperti masalah kenabian Mirza
Ghulam Ahmad dan menganggap Tadzkirah sebagai kitab suci orang Ahmadiyah.
Keberadaan Ahmadiyah di desa ini sejak tahun 1930-an cukup diterima oleh
masyarakat. Hal ini dibuktikan terjalinnya hubungan sosial yang kohesif antara
masyarakat non Ahmadiyah dengan Ahmadiyah. Meskipun ada resistensi dari
sebagian kecil masyarakat, yaitu sebagian kalangan elit agama yang memiliki
pengetahuan tentang apa itu Ahmadiyah, namun masih dalam skala yang sangat
kecil. Masyarakat kebanyakan justru tidak menampakkan sifat resistensinya
kepada Jemaat Ahmadiyah, meski mereka berbeda keyakinan tentang sebagian
pemahaman agama. Masyarakat kebanyakan malah memperlihatkan sikap
toleransi dan hidup dalam perbedaan.
Resistensi yang dialami Jemaat Ahmadiyah sebelum masa reformasi hanya
sebatas ucapan yang disampaikan oleh sebagian kecil kalangan elit agama lewat
pengajian-pengajian atau pernyataan yang disampaikan di luar pengajian sebagai
bentuk kewajiban moral yang diembannya untuk membimbing umat. Tokoh
agama merasa bertanggung jawab menjaga keimanan umatnya dari gangguan
keyakinan yang menyalahi ajaran Islam. Meski mendapat resistensi dari kalangan
agama, namun tidak sampai pada konflik secara fisik karena bisa didialogkan
melalui diskusi dan debat terbuka yang membahas inti kepercayaan Ahmadiyah
antara kyai setempat dan tokoh Ahmadiyah.
Tokoh agama menolak kepercayaan yang dianut Jemaat Ahmadiyah karena
bertentangan dengan keyakinan kebanyakan warga yang menganut paham ahlu
sunnah wal jamaah. Penolakan tersebut tidak dilakukan secara frontal seperti
penolakan Ahmadiyah yang terjadi sekarang ini. Dalam kehidupan sosial
115
masyarakat Cikeukeuh berbaur dan hidup bersama dalam perbedaan dengan
Ahmadiyah.
Dalam pandangan kebanyakan masyarakat, penganut Ahmadiyah tidak
ubahnya dengan masyarakat lain, yaitu sama-sama warga Desa Cikeukeuh. Tidak
sedikit masyarakat yang menaruh rasa hormat dan kagum kepada warga
Ahmadiyah lantaran sikap, akhlak, religiusitas mereka yang terpuji. Ciri khas
Ahmadiyah, yang membedakan dengan warga lain, adalah kerap menyapa orang
lain ketika bertemu di jalan sambil mengucapkan kalimat “assalamu`alaikum”.
Tidak hanya itu, sikap Ahmadiyah yang patuh kepada pemerintahan desa dan
sangat kompak dalam berorganisasi merupakan perhatian tersendiri dari
masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat, tidak salahnya kita yang non
Ahmadiyah bisa meniru cara berorganisasi model Ahmadiyah demi memajukan
umat Islam.
Meski ada sebagian prinsip teologi yang berbeda, namun warga non
Ahmadiyah dan Ahmadiyah tetap dapat menjalin kehidupan sosial yang toleran.
Dalam konteks sosio-kemasyarakatan hidup berdampingan tanpa harus melihat
dan mempermasalahkan keyakinan masing-masing. Bagi masyarakat Cikeukeuh,
termasuk warga Ahmadiyah, bagaimana hidup bersama dan bisa membangun desa
secara bersama-sama adalah tujuan yang paling utama. Terpeliharanya kehidupan
pluralisme di desa juga banyak dipengaruhi oleh sistem pemerintahan Orde Baru
pada saat itu.
Banyak contoh dimana tradisi pluralisme berkembang dan terpelihara
dengan baik dalam kehidupan sosio-kemasyarakatan dan sosio-keagamaan (lihat
tabel 1). Warga non Ahmadiyah dan Ahmadiyah berbaur dan bersatu dalam
membangun desa. Mereka terlibat dalam kegiatan sosial seperti gotong-royong,
membangun kantor desa, membangun jalan, acara memperingati kemerdekaan RI
(17 Agustus) dan perlombaan-perlombaan setingkat desa.
Begitu juga dengan acara-acara hajatan yang diselenggarakan oleh warga
non Ahmadiyah dan Ahmadiyah dimana masing-masing mereka saling
mengundang.
Masyarakat
tidak
mempermasalahkan
perbedaan-perbedaan
keyakinan, yang ada hanyalah hidup bersama sebagai sesama warga desa. Ketika
itu, kata Sekdes IZ, tidak ada kebencian satu sama lain bahkan ketika memberikan
116
pengajian di Ciladong seorang ustad asal kampung lain, alm. ustadz HS, memuji
ibadah warga Ahmadiyah dan kelebihan ajarannya.
Dalam konteks sosio-keagamaan, pluralisme keberagamaan tercermin pada
kegiatan pengajian setingkat desa (pengajian bulanan) dan pengajian dalam
rangka memperingati hari besar Islam. Dalam pengajian ini warga non
Ahmadiyah dan Ahmadiyah berkumpul dalam satu mesjid, baik pengajian itu
diselenggarakan oleh warga non Ahmadiyah maupun Ahmadiyah sendiri. Mereka
saling mengundang satu sama lain, dan mengenyampingkan perbedaan keyakinan.
Bahkan dalam waktu yang cukup lama kehidupan toleransi terlembagakan
dalam bentuk pengajian bersama antara warga non-Ahmadiyah dengan warga
Ahmadiyah. Setiap hari besar Islam yang diadakan oleh warga non-Ahmadiyah
warga Ahmadiyah selalu diundang untuk mendengarkan pengajian. Begitu juga
sebaliknya, warga Ahmadiyah mengundang warga non-Ahmadiyah ketika mereka
menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam. Tidak ada prasangka negatif
yang berlebihan dari masyarakat ketika terjadi interaksi sosial keagamaan pada
saat itu.
Kuatnya tradisi saling menghargai dan toleransi kepercayaan juga terlihat
dalam dunia pendidikan. Warga Ahmadiyah tidak mendapat resistensi dari warga
non Ahmadiyah ketika mengajar dan sekolah di sekolah-sekolah (dasar) yang
muridnya mayoritas berasal dari warga non Ahmadiyah. Begitu juga sebaliknya,
warga non Ahmadiyah yang mengajar dan sekolah di kampung Ciladong yang
murid-muridnya kebanyakan Ahmadiyah disambut baik oleh warga Ahmadiyah.
Tabel 9 Tradisi Pluralisme Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
Era
Orde Lama
Orde Baru
Sosio-kemasyarakatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Hajatan
Gotong-royong
Pembangunan jalan
Perlombaan desa
Pendidikan
Kesehatan (Posyandu)
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2012
Sosio-keagamaan
1. Pengajian bulanan
2. Pengajian hari besar
Islam
3. Pengajian setingkat RW
4. Buka bersama
5. Tarawih bersama
117
Dari fakta sosial di atas jelas sekali bahwa kehidupan pluralisme di Desa
Cikeukeuh sebelum reformasi berjalan dengan baik, bahkan menjadi ciri khas dari
kehidupan beragama di pedesaan. Kehidupan pluralisme di desa ini tidak hanya
dilihat pada adanya perbedaan dua kepercayaan keagamaan antara non
Ahmadiyah dan Ahmadiyah, melainkan terjadinya keterlibatan aktif di antara
mereka dalam kehidupan pedesaan yang sama-sama memiliki komitmen bersama
untuk kemasyarakatan dan saling memahami satu sama lain (Ali; 2003; Eck 2006;
Misrawi 2007; Safi 2003).
Sikap pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan keyakinan dan
kepercayaan tersebut tidak harus selalu diartikan sebagai bentuk pembenaran
terhadap teologi mereka yang minoritas atau teologi yang dipeluk oleh mayoritas
warga. Dalam sistem pengetahuan dan praktik keberagamaan masyarakat Desa
Cikeukeuh yang pro pluralisme keberagamaan tersebut, bahwa pengakuan dan
penghargaan terhadap variasi keyakinan dan kepercayaan yang berkembang di
tengah masyarakat harus dipisahkan dari ranah teologis. Artinya, mereka tidak
asal melakukan pluralisme keberagamaan, tetapi berangkat dari sistem
pengetahuan mengenai tata kelola kehidupan beragama dalam suatu kehidupan
berbangsa dan bernegara yang telah digali dari tata aturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.
Mengutip pendapat Richard J. Mouw dan Sandra Griffioen (1993), Lutfi
Mustofa (2010) membedakan pluralisme ke dalam dua tipologi. Pertama,
pluralisme deskriptif, yang sekadar mengakui dan menghargai keragaman. Dalam
pengertian ini biasanya diistilahkan juga dengan toleransi. Kedua, pluralisme
normatif-preskriptif,
yang
tidak
sekadar
mengakui
tetapi
juga
mau
memperjuangkan keragaman. Pada tipologi yang pertama, pluralisme adalah
realitas sosial yang tidak terelakkan, karena kondisi awal masyarakatnya sudah
majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus
modernisasi. Sedangkan pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga konteks
pluralisme, yaitu konteks budaya (contextual pluralism), asosiasi kelembagaan
(associational pluralism), dan sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan
manusia (directional pluralism).
118
Beradasarkan pembedaan pluralisme yang disajikan oleh Mouw dan
Griffioen di atas, maka pluralisme keberagamaan dalam masyarakat Cikeukeuh
dapat dijelaskan, bahwa secara umum masih berada pada tipologi pluralisme
deskriptif, karena pada bagian besarnya masyarakat masih pada tahap mengakui
dan menghargai keragaman. Sekalipun belum pada tahap memperjuangkan
pluralisme, namun pluralisme keberagamaan yang terjadi di Desa Cikeukeuh
sudah pada tahap keterlibatan aktif demi komitmen bersama.
6.3
Konstruksi Masyarakat terhadap Ahmadiyah
Konstruksi masyarakat terhadap Jemaat Ahmadiyah tidak lepas dari,
meminjam konseptual Berger dan Luckmann (1966), tiga momen, yaitu momen
adaptasi (eksternalisasi), momen interaksi (obyektivasi) dan momen identifikasi
(internalisasi). Secara konseptual, momen adaptasi diri masyarakat Cikeukeuh
dengan lingkungan sosio-kulturalnya dalam merespon keberadaan Jemaat
Ahmadiyah dapat dijelaskan sebagai berikut.
6.3.1. Eksternalisasi: Momen Adaptasi Diri
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terusmenerus ke dalam dunia, baik dalam aktifitas fisik maupun mental (Berger &
Luckmann 1966). Eksternalisasi merupakan keharusan antropologis karena
keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan yang
tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan manusia harus terus-menerus mencurahkan
kediriannya dalam aktifitas.
Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Ia
merupakan momen adaptasi diri dengan dunia sosio-kultural. Dalam momen ini,
sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia menggunakan
bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia sosio-kulturalnya dan kemudian
tindakannya juga disesuaikan dengan dunia sosio-kulturalnya (Syam 2005).
Momen adaptasi (eksternalisai) masyarakat Cikeukeuh, oleh karena itu,
dapat dipahami sebagai berikut. Pertama, bagi masyarakat yang memiliki
kedekatan hubungan dengan elit agama, maka momen adaptasi diri tersebut
dilakukan terhadap sumber-sumber suci agama (al-Qur’an dan Hadis). Berbagai
119
ungkapan teks-teks suci tersebut dijadikan sebagai referensi untuk menilai dan
melegitimasi keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang ada di Kampung Ciladong.
Penafsiran dan pemahaman mengenai Jemaat Ahmadiyah kerapkali
dilakukan oleh elit agama yang dipandang sebagai sosok yang paling otoritatif
dalam mengiterpretasikan teks-teks keagamaan. Berbagai interpretasi terhadap
teks-teks keagamaan mengenai Ahmadiyah yang disampaikan dalam setiap
momentum, seperti pengajian bulanan, pengajian hari besar Islam, pengajian
tingkat RW, musyawarah atau perkumpulan dan khutbah Jum’at menjelaskan
bahwa teks-teks keagamaan tersebut menjadi rujukan bagi penilaian terhadap
Ahmadiyah.
Kedua, penyesuaian diri terhadap paham lama (Aswaja) dikaitkan dengan
keberadaan Ahmadiyah. Ada dua respon yang diperlihatkan dalam proses
penyesuaian tindakan individu dengan nilai-nilai yang ada dalam paham Aswaja,
yaitu penerimaan dan penolakan. Penerimaan terhadap paham
Aswaja
termanifestasi dalam tindakan berupa penolakan keberadaan Ahmadiyah yang ada
di desa. Banyaknya masyarakat yang terlibat dalam tindakan kekerasan dan
penolakan terhadap Ahmadiyah menandakan bahwa secara umum masyarakat
menerima paham Aswaja sebagai tradisi keagamaan lama yang perlu
dipertahankan.
Namun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang menolak paham lama
tersebut. Penolakan tersebut juga merujuk kepada teks-teks keagamaan yang
didasarkan pada cara pandang mereka masing-masing. Penolakan tersebut
terwujud dalam bentuk bahasa dan tindakan. Misalnya, tidak mau menghadiri
pertemuan atau rapat-rapat yang membahas persoalan Ahmadiyah, menghindari
tindakan kekerasan, mengingatkan warga lain agar tidak melakukan tindakan
anarkisme karena Islam tidak mengajarkan kekerasan kepada siapa pun.
6.3.2. Obyektivasi: Momen Interaksi Diri
Proses obyektivasi dapat dijelaskan bahwa realitas sosial itu seakan-akan
berada di luar diri manusia. Dia menjadi realitas obyektif. Karena obyektif, maka
di sini terdapat dua realitas, yaitu realitas diri yang subyektif dan realitas lainnya
yang berada di luar diri yang obyektif. Dua realitas ini membentuk jaringan
120
interaksi intersubyektif melalui proses pelembagaan. Obyektivasi adalah hasil
yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia.
Adapun proses obyektivasi terhadap pemahaman Ahmadiyah di Desa Cikeukeuh
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Proses obyektivasi dapat dijelaskan bahwa Tuhan (sakral) dan manusia
(profan) adalah dua entitas yang berbeda. Oleh karena itu, manusia ketika
memahami Realitas Sakral tersebut memerlukan medium gagasan dan pemikiran
untuk memamahi pesan-pesan-Nya. Memandang Ahmadiyah sesat dan kafir
adalah medium untuk mencapai pemahaman pesan-pesan-Nya yang terefleksi dari
kehidupan sosial. Semua pandangan dan tindakan masyarakat terhadap
Ahmadiyah dalam obyektivasi, menurut Berger dan Luckmann (1966), dapat
mengalami proses pembiasaan (habitualization) yang kemudian mengalami
pelembagaan (institutionalization). Gambaran ini sangat tepat ketika melihat
respon masyarakat yang negatif terhadap Ahmadiyah, dimana kemudian
pandangan itu tertanam dalam benak masyarakat bahkan berakhir dengan tindakan
kekerasan yang terpolakan atau, menurut Syam (2005), akan menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari.
Kata kunci dari semua proses ini terletak pada adanya agen yang
memainkan peran sebagai individu atau sekelompok individu untuk proses
penyadaran, pelembagaan dan pembiasaan. Hampir semua proses pelembagaan
dan pembiasaan memerlukan peran agen. Oleh karena itu, dalam proses
membangun pemahaman dan penilaian terhadap Ahmadiyah juga tidak lepas dari
keterlibatan jaringan agen-agen, termasuk di dalamnya elit agama.
Di dalam penolakan keberadaan Ahmadiyah yang ada di Kampung
Ciladong, maka didapati agen-agen yang menyuarakan anti Ahmadiyah dan
perlunya masyarakat membentengi keimanan agar tidak masuk ke dalam ajaran
Ahmadiyah. Memerangi Ahmadiyah, menurut agen-agen tersebut, adalah jihad di
jalan Allah dan bisa menghapuskan dosa. Bahkan dalam pengajian-pengajian
kerapkali suara-suara agen yang berperan dalam pembentukan pemahaman
masyarakat terhadap Ahmadiyah.
121
6.3.3. Internalisasi: Momen Identifikasi Diri
Internalisasi adalah proses manusia atau individu melakukan identifikasi diri
dalam dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas
sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi kenyataan subyektif. Realitas
sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia
akan teridentifikasi di dalam dunia sosio-kulturalnya.
Masyarakat Cikeukeuh tidak bisa lepas dari organisasi sosial kulturalnya
atau kelompok-kelompok pengajian karena, disamping menjadi bagian dari
organisasi sosialnya, juga secara kodrati manusia memiliki kecenderungan untuk
mengelompok yang didasarkan pada kesamaan identitas keagamaan (sama-sama
berpegang pada paham Aswaja). Sekat interaksi tidak akan ditemukan jika
masyarakat berada dalam identitas yang sama. Jika sesama paham Aswaja atau
non Ahmadiyah, maka secara leluasa masyarakat melakukan interaksi yang
intensif.
Di sini masyarakat menerima sosialisasi-sosialisasi yang berkaitan dengan
pemaknaan Ahmadiyah yang sesat dan kafir dari elit-elit agama. Individu-individu
dalam masyarakat tersebut sangatlah beragam karena kenyataan sosial sebagai
produk plural sehingga menghasilkan respon masyarakat yang beragam juga;
menerima dan menolak keberadaan Ahmadiyah. Inilah proses internalisasi sebagai
peresapan kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari
struktur-struktur dunia obyektif ke dunia subyektif (Berger dan Luckmann 1994).
Objectivation
Society
Objective
Externalization
Subjective
Self
Gambar 15 Konstruksi manusia terhadap realitas sosial.
Internalization
122
Berger dan Luckmann (1966) menguraikan sosialisasi primer sebagai
sosialisasi awal yang dialami individu pada saat kecil, saat dikenalkan pada dunia
sosial objektif. Individu berhadapan dengan orang yang sangat berpengaruh
(orang tua atau pengganti orang tua), dan bertangung jawab terhadap sosialisasi
anak. Batasan realitas yang berasal dari orang lain yang sangat berpengaruh itu
dianggap oleh si anak sebagai realitas objektif.
Realitas sebagai produk sosial sesungguhnya bersifat plural, karena bahasa
dan pengetahuan individu yang ikut menentukan terhadap konstruksi realitas
tersebut, secara sosial tidak dapat berdiri sendiri serta dibatasi oleh situasi dan
kondisi. Atas dasar itu, maka kehidupan sosial sebenarnya secara kodrati
meniscayakan terhadap adanya pluralitas dan diversitas. Itulah sebabnya terdapat
penggolongan sosial dalam masyarakat, yaitu Jemaat Ahmadiyah dan non
Ahmadiyah.
Penggolongan sosial ini tentunya memiliki basis nilai dan historis. Basis
nilai masyarakat non Ahmadiyah berpijak pada nilai-nilai Aswaja yang diajarkan
oleh elit-elit agama. Semua tindakan dan praktek keagamaan harus tunduk dan
sesuai dengan praktek-praktek yang terdapat dalam tradisi Aswaja. Sementara itu,
Jemaat Ahmadiyah tidak berpijak pada nilai-nilai Aswaja melainkan atas dasar
pemikiran Islam modern dan rasional seperti yang diajarkan oleh pendiri
Ahmadiyah dan khalifah-khalifahnya.
Secara historis masyarakat non Ahmadiyah sangat menjaga tradisi Aswaja
sebagai pandangan hidup keagamaan. Sebab dengan cara begitu tradisi Aswaja
yang diyakini sebagai sebuah kebenaran akan tetap terjaga. Sementara itu,
Ahmadiyah lebih kepada bagaimana merasionalkan pemahaman keagamaan.
Sebab mereka yakin dengan jalan seperti ini (rasionalisasi pemahaman
keagamaan) akan membantu umat Islam untuk maju setelah tertinggal di semua
aspek kehidupan. Jadi, dalam perkembangannya, kedua masyarakat ini sejak awal
memiliki perbedaan-perbedaan dan rentan dengan konflik.
123
Tabel 10 Dialektika Ekternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi
Momen
Eksternalisasi
Obyektivasi
Internalisasi
Proses
Fenomena
Adaptasi diri dengan dunia sosio- Menyesuaikan diri dengan teks
kultural
keagamaan sesuai interpretasi
para ulama masal lalu, dimana
semua
tindakan
kepada
Ahmadiyah memiliki basis
historis dan nilai.
Interaksi diri dengan dunia sosio- Penyadaran
bahwa
Tuhan
kultural
adalah Realitas Sakral dan perlu
medium
untuk
memahami
pesan-pesan-Nya. Memandang
Ahmadiyah sesat dan kafir
adalah medium untuk mencapai
pemahaman pesan-pesan-Nya
yang terefleksi dari kehidupan
sosial.
Identifikasi diri dengan dunia Terdapat penggolongan sosial
sosio-kultural
berbasis nilai dan historis akibat
realitas bersifat plural sehingga
memunculkan
kelompok
Ahmadiyah dan non Ahmadiyah
Sumber : Hasil Analisis Literatur
6.3.4. Penilaian Masyarakat terhadap Ajaran Ahmadiyah
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa keberadaan
Jemaat Ahmadiyah selalu mendapat tantangan dan penolakan dari Muslim
mainstream. Penolakan tidak saja terjadi di tempat kelahirannya di India,
melainkan juga di berbagai negara yang notabene paham dan pemikiran
keagamaannya masih didominasi oleh kelompok Sunni yang terlalu literal dalam
menafsirkan teks agama. Sebaliknya, Ahmadiyah justru mendapat respon yang
positif di negara-negara barat yang notabene paham keagamaannya bukan Sunni,
disamping negara Barat sangat menjunjung perbedaan agama, keyakinan dan
HAM.
Di sini penulis mencoba melihat tiga masalah penting, yaitu bagaimana
penilaian masyarakat (tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa) terhadap
ajaran Jemaat Ahmadiyah, penilaian terhadap pelarangan atau pembubaran
Ahmadiyah dan penilaian terhadap fatwa MUI dan peraturan lain (SKB Muspida)
mengenai Ahmadiyah di Desa Cikeukeuh, terutama di empat kampung, yaitu
Kampung Sukasari, Mekarsari (dekat dengan kampung Jemaat Ahmadiyah),
124
Sadang dan Nanggrek (jauh dari Jemaat Ahmadiyah). Ketiga masalah ini sangat
berkaitan dengan toleransi dan intoleransi masyarakat yang pada akhirnya juga
memperlihatkan bagaimana memudarnya pluralisme di desa.
Hampir semua masyarakat di Kampung Sukasari dan Mekarsari menolak
ajaran Ahmadiyah yang dinilai sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang
mereka kenal selama ini. Penolakan ajaran Ahmadiyah terutama berkaitan dengan
persoalan teologi, yaitu menganggap pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad
sebagai Nabi dan Kitab Tadzkirah sebagai kitab suci.
Tidak hanya itu, masyarakat menilai negatif Ahmadiyah karena beberapa
ajaran dan praktek keagamaannya dianggap berbeda dengan tradisi keagamaan
yang berlaku di desa. Di antara ajarannya itu adalah menganggap kafir mereka
yang belum mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi atau mereka yang
belum masuk Ahmadiyah. Kemudian praktek-praktek keagamaan yang juga tidak
ada dalam masyarakat desa adalah pembayaran canda yang dianggap “wajib” bagi
anggota Ahmadiyah. Dalam praktek keagamaan seperti shalat, Ahmadiyah tidak
mau menjadi ma`mum jika imamnya bukan dari kalangan Ahmadiyah.
Intoleransi masyarakat, bahkan sudah sampai pada tahap tindakan
kekerasan, akan meningkat jika Ahmadiyah memperlihatkan keahmadiyahannya
atau melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Ahmadiyah. Misalnya,
Jemaat Ahmadiyah tidak boleh shalat di mesjid karena penamaan dan bangunan
mesjid adalah milik umat Islam, sementara Jemaat Ahmadiyah bukanlah Islam.
Jemaat Ahmadiyah juga tidak diperkenankan melakukakn kegiatan-kegiata lain
seperti pertemuan yang dihadiri oleh Jemaat Ahmadiyah luar desa.
Memperlihatkan sikap keahmadiyahannya bermakna dua, yaitu: pertama,
bersikap agresif dan berani dalam menunjukkan ajaran-ajaran Ahmadiyah atau
mencoba menyampaikannya kepada masyarakat umum, seperti dalam pertemuanpertemuan, pengajian, dan lain-lain. Kedua, menunjukkan segala aktifitas yang
berkaitan dengan keagamaan dan sosial secara terang-terangan.
Ini terbukti ketika Jemaat Ahmadiyah melakukan pertemuan nasional
beberapa tahun yang lalu di Kampung Ciladong yang berujung pada penghentian
paksa dari masyarakat sehingga pertemuan nasional itu gagal dilanjutkan. Semua
umbul-umbul yang dipasang sepanjang jalan desa dicabut dan panitia acara juga
125
mendapat intimidasi dari masyarakat. Masyarakat marah karena menganggap
Jemaat Ahmadiyah menampakkan keahmadiyahannya dan mengancam keyakinan
masyarakat.
Kedua kampung ini memiliki resistensi yang kuat terhadap Jemaat
Ahmadiyah. Tidak hanya itu, menurut masyarakat dari kampung lain, masyarakat
di dua kampung dinilai sangat sensitif, reaktif dan gampang curiga terhadap
Jemaat Ahmadiyah dan orang luar desa yang masuk ke kampung ini. Penilaian
masyarakat dari luar kampung ini terbukti ketika beberapa waktu yang lalu ada
beberapa orang mencoba masuk ke Kampung Ciladong. Salah satu warga
Mekarsari menanyakan maksud dan tujuan datang ke Kampung Ciladong serta
surat ijinnya. Ketika pendatang itu tidak bisa menunjukkan surat ijinnya,
masyarakat terpancing dan melakukan penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah.
Dalam skala nasional intoleransi beragama di kalangan masyarakat
Indonesia semakin meningkat, terutama yang berkaitan dengan Ahmadiyah. Hasil
survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) memperlihatkan pembenaran terhadap
kekerasan pada warga Ahmadiyah makin tinggi. Jika pada tahun 2005, jumlah
warga yang setuju dengan tindakan kekerasan pada Ahmadiyah hanya 13,9%,
pada tahun 2010 angkanya naik menjadi 30,2%.
Kondisi sebaliknya diperlihatkan oleh masyarakat di Kampung Sadang dan
Kampung Nanggrek yang memperlihatkan sikap toleransinya kepada Jemaat
Ahmadiyah. Meski mereka tahu ajaran Ahmadiyah ada perbedaan dengan ajaran
yang mereka anut, namun mereka tidak serta merta menunjukkan sikap
intoleransinya karena bagi mereka Jemaat Ahmadiyah adalah sama-sama warga
desa yang perlu mendapat perlakuan yang sama. Di samping itu, sikap toleransi
yang mereka perlihatkan merujuk pada ajaran Islam yang mengajarkan saling
menghargai dan menghormati meski beda keyakinan. Warga Kampung Sadang
(MSH) malah bersimpati kepada warga Ciladong yang menjadi korban
pengrusakan ketika konflik terjadi. Dia dengan rasa kemanusiaan ikut memberi
bantuan semampunya untuk membantu merenovasi rumah warga Ciladong yang
terbakar.
Banyak masyarakat yang tidak tahu apa sebenarnya Jemaat Ahmadiyah,
khususnya masyarakat biasa. Bagi mereka Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi
126
keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, meski hanya pernah dengar ada
ajarannya yang berlainan dengan ajaran yang mereka ketahui selama ini.
Masyarakat pada umumnya tidak merasa terancam (keyakinannya) dengan adanya
Jemaat Ahmadiyah di desa. Kondisi ini berlainan dengan masyarakat yang ada di
dua kampung di atas dimana mereka kuatir dan merasa terancam dengan
keberadaan Jemaat Ahmadiyah. Mereka kuatir pada suatu saat nanti nasib anakanak mereka yang bisa saja terpengaruh dengan Jemaat Ahmadiyah yang mereka
nilai semakin hari semakin berkembang.
Pengetahuan tentang Jemaat Ahmadiyah di Kampung Sadang dan
Kampung Nanggrek hanya dimengerti oleh kalangan (elit) agama. Namun,
pemahaman itu hampir tidak pernah disosialisasikan melaui pengajian-pengajian
kepada masyarakat. Inilah yang menjadi alasan masyarakat kenapa warga di dua
kampung ini tidak mengalami resistensi, reaktif dan sensitif kepada Jemaat
Ahmadiyah.
Menurut masyarakat, di samping letak kampung berjauhan dengan Jemaat
Ahmadiyah, tokoh-tokoh agama hampir tidak pernah membahas tentang apa dan
bagaimana ajaran-ajaran Ahmadiyah sehingga tidak memancing masyarakat untuk
membencinya. Masyarakat juga menilai munculnya resistensi dan sikap reaktif
bahkan tindakan kekerasan tidak bisa dilepaskan bagaimana respon dari tokoh
agama. Kalau tokoh agama reaktif dan disosialisasikan melalui pengajianpengajian bisa saja masyarakat ikut terpancing.
6.3.5. Penilaian Masyarakat terhadap Pelarangan Ahmadiyah
Pada
dasarnya,
keahmadiyahannya
sepanjang
(dalam
bentuk
Ahmadiyah
ajaran,
tidak
simbol-simbol,
menampakkan
aktifitas
dan
keorganisasian Ahmadiyah), masyarakat Kampung Sukasari dan Kampung
Mekarsari tidak sampai melontarkan pernyataan pelarangan atau pembubaran
Ahmadiyah. Namun, semenjak isu nasional, terutama semenjak penyerbuan
Kampus Mubarak Parung pada 2005 dan penyerangan Kampung Ahmadiyah di
Ciladong pada 2010, pernyataan pelarangan dan pembubaran Ahmadiyah gencar
disuarakan oleh masyarakat, terutama kalangan elit agama.
127
Menurut masyarakat, kecuali kepala desa yang berasal dari salah satu
kampung ini yang bersifat netral, pelarangan ajaran dan pembubaran Ahmadiyah
mutlak dilakukan mengingat selain mengancam kepercayaan masyarakat, juga
sangat meresahkan dan mengganggu masyarakat. Upaya pelarangan dan
pembubaran tidak sekeras tindakan penyerangan kepada Ahmadiyah karena
masyarakat sadar Jemaat Ahmadiyah yang ada di Kampung Ciladong adalah
warga asli Desa Cikeukeuh sehingga dengan jumlah mereka yang sekitar 438 jiwa
sulit diusir dari desa. Sebagian masyarakat malah ada yang berkata bahwa
sekiranya jumlah mereka puluhan orang pasti sudah mereka usir seperti yang
terjadi di desa tetangga.
Kebanyakan masyarakat menolak (penyebaran) ajaran Ahmadiyah karena
bertentangan dengan kepercayaan yang diyakini masyarakat. Lapisan masyarakat
yang kuat menolak keberadaan (ajaran) Ahmadiyah adalah dari kalangan agama.
kalangan aparat desa sebagian menolak dan sebagian lagi tidak, tetapi lebih
banyak tidak menolaknya asal Jemaat Ahmadiyah tidak mengembangkan
ajarannya kepada warga lain. Sementara itu, di kalangan masyarakat umum sama
banyaknya antara setuju menolak dan tidak setuju menolak keberadaan ajaran
Ahmadiyah. Masyarakat yang setuju menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah
berasal dari kampung yang berdekatan dengan Kampung Ciladong. Sementara
masyarakat yang berada jauh dari Kampung Ciladong malah memperlihatkan
sikap toleransinya dan tidak menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah.
Bagi kebanyakan tokoh agama, Ahmadiyah dipandang sesat atau kafir
karena ajarannya sudah keluar dan tidak sejalan dengan Islam. Lain halnya
dengan pandangan aparat desa yang memilih tidak tahu karena keterbatasan ilmu
keagamaan. Bagi mereka masalah apakah Ahmadiyah sesat atau kafir diserahkan
kepada tokoh agama karena mereka yang memiliki pengetahuan agama. Hal yang
menarik adalah bagaimana penilaian masyarakat umum di mana kebanyakan
mereka juga memandang Ahmadiyah kafir atau sesat. Mereka yang menilai
Ahmadiyah sesat adalah mereka yang berasal dari kampung yang berdekatan
dengan Kampung Ciladong. Pemahaman tentang Ahmadiyah banyak didapat
masyarakat dari ceramah-ceramah tokoh agama yang cukup intens di Kampung
128
Sukasari dan Mekarsari, dua kampung yang berdekatan dengan Kampung
Ciladong.
Meski kebanyakan masyarakat menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah dan
menganggap Ahmadiyah kafir, namun masyarakat baik tokoh agama, aparat desa
dan masyarakat umum tidak setuju memusuhi dan mengusir Ahmadiyah. Faktor
yang mendorong mereka tidak memusuhi dan mengusir Ahmadiyah adalah karena
Ahmadiyah adalah warga asli Desa Cikeukeuh yang kebetulan memiliki
keyakinan yang berbeda secara turun-temurun serta jumlah Ahmadiyah yang
cukup banyak.
Kebanyakan masyarakat, baik tokoh agama, aparat desa dan masyarakat
umum menilai Ahmadiyah melanggar SKB Muspida. Menurut masyarakat, SKB
Muspida sudah melarang Ahmadiyah melakukan aktifitas selain shalat, namun
masih
melakukan
kegiatan-kegiatan
lain
seperti
pembangunan
mesjid.
Kebanyakan masyarakat juga minta ketegasan pemerintah atas pelanggaran SKB
Muspida yang dilakukan Ahmadiyah. Semenjak pelanggaran SKB ini resistensi
terhadap Ahmadiyah semakin meningkat di Desa Cikeukeuh hingga berujung
pada konflik sosial
Tabel 11 Penilaian Masyarakat Terhadap Jemaat Ahmadiyah Berdasarkan Lapisan
Masyarakat
Penilaian Berdasarkan Lapisan Masyarakat
Aspek
Penilaian
Tokoh Agama
Setuju Tidak Tidak
Setuju Tahu
Sesat/Kafir
5
1
Menolak
JAI
5
1
Memusuhi
0
6
Mengusir
0
6
Melanggar
SKB
Muspida
Jumlah
Informan
Total
Informan
-
Aparat Desa
Setuju Tidak Tidak
Setuju Tahu
Masyarakat Umum
Setuju Tidak Tidak
Setuju Tahu
1
-
4
3
-
5
2
3
-
4
4
-
-
-
5
-
-
8
-
6
-
-
5
-
2
6
-
0
-
5
-
-
6
-
2
6
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2012
5
19
8
129
Gambaran
meningkatnya
resistensi
masyarakat
terhadap
Jemaat
Ahmadiyah, secara nasional, juga diperlihatkan oleh hasil survei LSI dengan
membandingkan hasil survei 2005 dan 2010. LSI mencatat bahwa jumlah warga
yang setuju apabila pemerintah melarang ajaran Ahmadiyah di Indonesia juga
makin tinggi. Pada tahun 2005, jumlah mereka yang setuju seandainya
pemerintah melarang Ahmadiyah hanya 35,2%. Pada tahun 2010 jumlahnya naik
menjadi 53,4%. Data ini memperlihatkan toleransi terhadap warga yang
mempunyai keyakinan berbeda makin menurun.
6.3.6. Penilaian Masyarakat terhadap Fatwa MUI dan Peraturan-peraturan
lainnya
Paling tidak ada empat peraturan atau keputusan yang berkaitan dengan
Ahmadiyah, yaitu SKB 3 Menteri (2008), Fatwa MUI (1980 dan 2005), Pergub
Jawa Barat (No. 12 Tahun 2011) dan SKB Muspida. SKB 3 Menteri (Menteri
Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri) berisi tujuh poin yang isinya
antara lain; Jemaat Ahmadiyah Indonesia dilarang melakukan penafsiran dan
kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Di samping itu warga
masyarakat juga diminta untuk menjaga kerukunan umat beragama serta
menghindari perbuatan melawan hukum terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah.
Fatwa MUI yang dikeluarkan pada 29 Juli 2005 tersebut berbunyi bahwa
Ahmadiyah keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. Pergub Jawa Barat berisi
tentang pelarangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat. Anggota dan
pengurus Ahmadiyah dilarang melakukan aktivitas dan atau kegiatan dalam
bentuk apapun, sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran dan
aktivitas yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran yang menyimpang di
provinsi Jabar.
Pergub ini mengacu kepada SKB 3 Menteri meski masih bisa diperdebatkan
karena dalam SKB 3 Menteri memerintahkan kepada aparat pemerintah dan
pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka
pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini (poin keenam).
Sementara itu, SKB Muspida Kabupaten juga berisi tentang pelarangan
130
melakukan aktifitas. SKB ini lahir tidak lama setelah penyerangan Kampus
Mubarak Parung pada tahun 2005.
Dari keempat peraturan atau keputusan yang berkaitan dengan Ahmadiyah
ini pemahaman dan pengetahuan masyarakat tidaklah sama. Hampir semua
lapisan masyarakat tidak memahami isi SKB 3 Menteri meski mereka, kecuali
masyarakat biasa, tahu adanya keputusan tersebut. Ketiga lapisan masyarakat
(tokoh agama, aparat desa dan masyarakat biasa) mengetahui isi fatwa MUI yang
mengatakan Jemaat Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Berkaitan dengan Pergub
Jawa Barat, hanya aparat desa dan beberapa elit agama yang mengetahui
dikeluarkannya peraturan tersebut dan memahami isinya. Sementara itu, hampir
semua lapisan masyarakat tahu dikeluarkannya SKB Muspida dan mengetahui inti
dari isi SKB tersebut. Pengetahuan tentang SKB ini bisa dimengerti karena
penandatanganan oleh unsur Muspida dan pengurus Ahmadiyah dilakukan di
Kampung Ciladong yang kopiannya banyak beredar di kalangan masyarakat.
Tokoh agama dan aparat desa sangat mengetahui dikeluarkannya regulasi
berupa SKB 3 Menteri, fatwa MUI, Pergub Jawa Barat dan SKB Muspida terkait
dengan Ahmadiyah. Di antara tiga regulasi dan fatwa MUI tersebut hanya SKB
Muspida dan fatwa MUI yang diketahui oleh kebanyakan masyarakat umum.
Masyarakat umum tidak begitu mengetahui SKB 3 Menteri dan Pergub Jawa
Barat dikarenakan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Sebaliknya,
kebanyakan masyarakat umum sangat mengetahui fatwa MUI dan SKB Muspida
lantaran sosialisasi yang baik kepada masyarakat yang dilakukan oleh
pemerintahan desa (SKB Muspida) dan elit agama (fatwa MUI).
Hal yang menarik untuk dicermati adalah bahwa dari ketiga regulasi dan
fatwa MUI tentang Ahmadiyah tersebut kebanyakan dari ketiga lapisan
masyarakat setuju dengan dikeluarkannya regulasi dan fatwa tersebut dengan
alasan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing lapisan
masyarakat tersebut. Bagi tokoh agama, keberadaan regulasi dan fatwa MUI
sangat diperlukan untuk menekan keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang
menyimpang dari ajaran Islam. Dengan adanya fatwa MUI yang mengatakan
Jemaat Ahmadiyah adalah golongan yang sesat dan menyesatkan, maka
masyarakat diminta hati-hati untuk tidak mengikuti ajarannya.
131
Berbeda dengan tokoh agama, aparat desa melihat keberadaan regulasi dan
fatwa MUI dari sisi keamanan dan ketertiban masyarakat desa. Selama regulasi
dan fatwa tersebut berisi dan bisa menciptakan keamanan dan ketertiban
masyarakat desa, maka regulasi dan fatwa akan didukung penuh. Cara pandang
yang cukup berbeda diperlihatkan oleh kalangan masyarakat umum yang
kebanyakan mereka setuju dengan keberadaan regulasi dan fatwa MUI dan lebih
banyak mengikut elit agama atau mereka yang ditokohkan. Masyarakat umum
berpendapat bahwa pada dasarnya mereka tidak mengetahui ajaran Ahmadiyah
secara mendalam. Pengetahuan yang sangat dangkal mengenai Ahmadiyah
didapat dari elit agama melalui pengajian-pengajian atau informasi sekilas melaui
orang lain yang dianggap tahu tentang Ahmadiyah.
Tidak berbeda jauh dengan pengetahuan mengenai Ahmadiyah, sebenarnya
sikap setuju kebanyakan masyarakat tentang regulasi dan fatwa MUI juga banyak
dipengerahui oleh keberadaan elit agama atau mereka yang ditokohkan. Elit
agama atau mereka yang ditokohkan di desa banyak berperan memberitahukan
secara sekilas (kecuali fatwa MUI dan SKB Muspida) keberadaan regulasi dan
fatwa MUI kepada masyarakat, namun masyarakat umum tidak memahami isi dari
regulasi dan fatwa MUI.
Khusus untuk fatwa MUI sebagian masyarakat berpendapat bahwa
keberadaan fatwa dengan penanganan di masyarakat tidak sejalan. Bagi
masyarakat, kalau Ahmadiyah dianggap sesat kenapa para ulama tidak melakukan
upaya-upaya untuk menghimbau atau melakukan pembinaan terhadap mereka
yang dianggap sesat (Ahmadiyah). Bahkan masyarakat juga menilai bahwa elit
agama di desa terlalu keras kepada Ahmadiyah dan tidak menunjukkan
pembinaan kepada Ahmadiyah. Lepas dari itu semua kebanyakan masyarakat
umum bersikap setuju dengan dikeluarkannya fatwa MUI karena masyarakat
menganggap (hasil transformasi pengetahuan yang dangkal dari elit agama)
bahwa Ahmadiyah sesat. Harus diingat pendapat masyarakat umum ini
kebanyakan terkonsentrasi di Kampung Sukasari dan Mekarsari, dua kampung
yang berdekatan langsung dengan Kampung Ciladong.
Ada dua peraturan atau keputusan yang paling akrab dan dikenal di
masyarakat, yaitu fatwa MUI dan SKB Muspida. Dalam hal ini, sikap masyarakat
132
tidak sama dalam menilai keputusan tersebut. Bagi masyarakat Kampung
Mekarsari dan Sukasari yang berbatasan dengan Kampung Ciladong menerima
dan mendukung penuh kedua keputusan tersebut. Menurut masyarakat, kedua
keputusan tersebut sudah benar dan seharusnya begitu bahkan meminta
pemerintah mengawal terus implementasi kedua keputusan itu.
Meski menerima fatwa MUI dan SKB Muspida, namun bagi masyarakat
Kampung Nanggrek dan Sadang tidak mesti melakukan tindakan-tindakan
kekerasan
terhadap
Jemaat
Ahmadiyah
apalagi
sampai
melarang
dan
membubarkannya. Dalam hal ini MSH menuturkan:
“Menurut saya, penyelesaian masalah Jemaat Ahmadiyah harus dengan
jalan tanpa kekerasan. Kalau ada pengajian-pengajian setingkat desa
sebaiknya Jemaat Ahmadiyah diundang dan dirangkul (lagi). Ulama dan
tokoh agama harus melakukan itu, dan terkesan tokoh agama selama ini
enggan mendekati Ahmadiyah. Meski fatwa MUI menyatakan mereka
(Ahmadiyah) sesat, tetapi kenapa mereka dijauhi dan bukannya didekati dan
diberi pembinaan”. (Wawancara, 10 Juni 2012).
Tabel 12 Penilaian Masyarakat Terhadap Peraturan/Keputusan tentang
Ahmadiyah
Peraturan/Keputusan yang Berkaitan dengan Ahmadiyah
Aspek
Penilaian
Tahu (ada
aturan)
Tidak
Tahu
Setuju
Tidak
Setuju
Jumlah
Informan
Total
Informan
SKB 3
Menteri
Fatwa MUI
Pergub Jabar
SKB Muspida
TA
AD
MU
TA
AD
MU
TA
AD
MU
TA
AD
MU
8
4
2
8
3
7
5
5
2
8
5
8
-
1
8
-
2
3
3
-
8
-
-
2
8
5
8
8
4
9
7
5
8
8
5
6
-
-
2
-
1
1
1
-
2
-
-
4
8
5
10
8
5
10
8
5
10
8
5
10
23
Sumber : Hasil Pengolahan dan Analisis Data Primer, 2012
Keterangan:
TA = Tokoh Agama
AD = Aparat Desa
MU = Masyarakat Umum
Tahu/Tidak tahu = keberadaan aturan
Setuju/Tidak setuju = keberadaan aturan
133
6.4
Munculnya Konflik Komunal
6.4.1 Sumber Munculnya Konflik
Konflik merupakan sebuah gejala sosial yang selalu ada dalam setiap
masyarakat dalam setiap kurun waktu. Menurut Mawardi Rauf (2001) konflik
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat karena
konflik merupakan salah satu produk dari hubungan sosial (social relations). Pada
umumnya konflik diakibatkan oleh perbedaan pendapat, pemikiran, ucapan dan
perbuatan. William Chang (2003) mengatakan bahwa konflik menjadi saluran dari
akumulasi perasaan yang tersembunyi secara terus menerus yang mendorong
sesorang untuk berperilaku dan melakukan sesuatu berlawanan dengan orang lain.
Konflik yang terjadi di Desa Cikeukeuh benihnya bermula dari perbedaan
teologi yang dipahami oleh warga non Ahmadiyah dan warga Ahmadiyah.
Teologi yang dimaksud, di antaranya, adalah bahwa Ahmadiyah meyakini bahwa
Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi (bayangan), yang berfungsi untuk
menghidupkan kembali risalah atau ajaran Nabi Muhammad. Bagi masyarakat,
keyakinan ini sangat bertentangan dengan keyakinan yang mereka pegang selama
ini. Sehingga para elit agama merasa perlu meluruskan ajaran yang dianggap
bertentangan dan keluar dari ajaran Islam ini.
Tidak hanya persoalan kenabian Mirza Ghulam Ahmad saja yang menjadi
penolakan masyarakat. Masyarakat juga menolak beberapa hal prinsip, meski
ditolak oleh Ahmadiyah sendiri, seperti menjadikan kitab Tadzkirah sebagai kitab
suci Ahmadiyah, naik haji ke Pakistan dan beda syahadat. Dalam hal ini, faktor
agama, atau tepatnya penafsiran agama, lebih menonjol di bandingkan dengan
faktor ekonomi dan politik. Akan tetapi ketika terjadi penyerangan masyarakat ke
Kampung Ciladong faktor ekonomi dan politik ikut bermain di dalamnya.
Penolakan masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah puncaknya
terjadi pada 2010 dimana terjadi penyerangan ke Kampung Ciladong oleh warga
yang
berasal
dari
kampung-kampung
lain.
Konflik
ini
berawal
dari
ketidaksetujuan warga atas pembangunan mesjid yang menurut warga sampai tiga
lantai. Pembangunan mesjid ini oleh elit agama dipandang sebagai pelanggaran
atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Muspida yang melarang kegiatan Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang ditanda tangani pada Juli 2005. Salah satu
134
poinnya adalah Jemaat Ahmadiyah tidak boleh melakukan kegiatan apa pun selain
shalat, sehingga membangun mesjid, menurut warga, sebagai bentuk pelanggaran
keputusan tersebut.
Menurut Ketua Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong (MA), pembangunan
mesjid dilakukan karena kapasitas mesjid sudah tidak memadai lagi dengan
ukuran 10m x 20m, disamping mesjid tersebut belum pernah direnovasi sejak
dibangun pada tahun 1953. MA juga membantah kalau pembangunan mesjid
hingga tiga lantai, seperti isu yang berkembang di masyarakat, melainkan dua
lantai yang dibangun secara bertahap. Sejak dimulainya pembangunan fondasi
mesjid, banyak isu yang berkembang di antaranya, di samping pembangunan
mesjid tiga lantai, Jemaat Ahmadiyah Ciladong akan menjadi pusat Ahmadiyah
menggantikan kantor pusat yang berada di Parung dan akan membangun Ka`bah
sehingga Jemaat Ahmadiyah tidak perlu lagi naik haji ke Mekah.
Untuk merespon pembangunan mesjid ini, terbentuklah sebuah tim yang
beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dari masing-masing RW. Tim ini digagas
oleh elit agama CM yang juga Ketua MUI Desa, dan dia juga yang menenetukan
siapa-siapa yang masuk dalam anggota tim tersebut. Anggota tim meski mewakili
masing-masing RW tetapi asal dimasukkan saja sesuai dengan orang yang
dikehendaki (orang-orang dekat dengannya dan berani kepada Ahmadiyah).
Tim ini berperan sebagai wadah membicarakan masalah Ahmadiyah,
terutama merespon pembangunan mesjid. Tim ini, dalam prosesnya, tidak saja
membahas masalah pembangunan mesjid, melainkan sudah melebar ke masalah
bagaimana membubarkan Ahmadiyah. Bahasa-bahasa yang muncul dalam rapatrapat tim di atas sudah mengarah kepada rencana tindakan kekerasan,
sebagaimana yang dijelaskan oleh AS berikut ini:
“Bahasa yang menonjol dalam rapat-rapat adalah bahasa kekerasan, seperti
bakar saja, pokoknya kita berantas, pokoknya kita hancurkan. Dalam
kenyataannya terbukti ada mobil, motor, warung, rumah yang dibakar
warga. Diantara anggota tim ini berpendapat, karena Ahmadiyah sudah
tidak bisa diajak damai dan mau masuk ke kita (ahlu sunnah waljamaah), ya
sudah kita bakar saja”. (Wawancara, 4 Juni 2012).
Peran CM dalam menundukkan tokoh masyarakat sangat menentukan
jalannya proses sosial yang berakhir dengan konflik. Inilah yang dimaksud
Dahrendorf dengan peran otoritas dalam masyarakat ketika membicarakan
135
konflik. Menurut Dahrendorf (dalam Ritzer & Goodman 2004; lihat juga
Poloma 2003), otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam
analisis konflik serta mereka yang menduduki posisi otoritas akan
mengendalikan bawahan. Otoritas CM sebagai elit agama yang berwenang
menentukan mana aliran keagamaan yang benar dan sesat serta posisi dia
sebagai Ketua MUI Desa menjadikannya sosok yang didengar masyarakat.
Selanjutnya tim ini mencoba berkoordinasi dengan pihak pemerintahan desa
dan kecamatan untuk membicarakan masalah Ahmadiyah. Untuk menunjukkan
dukungan masyarakat yang sudah resah dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah,
tim ini menyediakan sebuah dokumen yang berisi lima ribu tanda tangan dimana
di dalamnya tertera kalimat “kalau tidak mau mengikuti ajaran kami dan apa
yang biasa kami lakukan, maka kami akan melakukan kekerasan”.
Tidak hanya sebatas kecamatan, sehari sebelum puasa tim ini juga berupaya
bertemu dengan bupati tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Jemaat
Ahmadiyah. Ketika itu bupati menjawab dan berjanji akan menindaklanjuti
masalah Ahmadiyah dua minggu setelah lebaran. Namun, janji itu tidak kunjung
ditepati bupati sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan kemarahan warga.
Menurut EK, lambannya pemerintahan kabupaten dalam merespon masalah
Ahmadiyah terutama setelah audiensi dengan bupati menjadi penyebab
penyerangan warga ke Kampung Ciladong. Penyerangan tidak begitu saja terjadi
melainkan setelah terjadi penusukan seorang remaja dari Kampung Sukasari yang
bersama
teman-temannya
melihat
pembangunan
mesjid
yang
menjadi
permasalahan tersebut.
Kondisi ini persis dengan apa yang dikatakan Dahrendorf (dalam Ritzer &
Goodman 2004) ketika mengatakan bahwa munculnya konflik akibat adanya
konsensus sebelumnya. Jadi, konflik tidak akan muncul kecuali setelah ada
konsesus sebelumnya. Dengan kata lain, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu
konflik dan konsesus.
Bertrand (2004) menulis bahwa konflik keagamaan sebagian besar
merupakan ekspresi yang sangat mendalam dari rasa kurang puas yang
menggunakan agama sebagai dasar identitas kelompok. Konflik di Indonesia,
lanjutnya, merupakan akibat rendahnya legitimasi politik dan adanya ancaman
136
terhadap identitas kelompok. Dalam konteks Desa Cikeukeuh, pecahnya konflik
justru berawal dari persoalan keagamaan (perbedaan teologi) dan diperkuat lagi
dengan rasa kecewa masyarakat kepada pemerintah yang tidak tanggap dengan
keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah Jemaat Ahmadiyah. Jadi,
Bertrand benar di satu sisi (lemahnya legitimasi terhadap pemerintah dan ancaman
terhadap identitas non Ahmadiyah), namun tidak tepat di sisi lain (seolah bukan
persoalan keagamaan).
Munculnya konflik komunal ini tidak bisa juga dilepaskan dari memudarnya
pluralisme di desa yang pernah berjalan sebelum era reformasi akibat regulasi dan
fatwa terkait Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh pemerintah dan MUI. Fatwa MUI
dan SKB Kabupaten melahirkan segregasi-segregasi dalam masyarakat.
Akibatnya hubungan dan interaksi sosial juga sangat terbatas diantara kedua
masyarakat tersebut.
Bagi Jemaat Ahmadiyah, meski secara sosial tidak begitu masalah, menjalin
hubungan lebih erat seperti dahulu sangat beresiko bagi kehidupan bermasyarakat
di desa karena dikuatirkan akan direspon negatif oleh masyarakat lain. Jemaat
Ahmadiyah lebih baik menjaga dan berhati-hati daripada harus menerima resiko
yang tidak diinginkan. Sementara itu, bagi masyarakat pada umumnya
menimbulkan ketakutan-ketakutan jika berinteraksi lebih jauh dengan Jemaat
Ahmadiyah karena kuatir akan diklaim sebagai orang yang dekat dan pro dengan
mereka.
Seorang Sekretaris Desa pun harus mengalami kekuatiran yang sama ketika
akan masuk Kampung Ciladong hanya untuk mengantarkan surat undangan desa.
Dia tidak berani masuk Kampung Ciladong ketika di pertigaan menuju Ciladong
banyak warga Mekarsari yang lalu-lalang. Kekuatiran itu sangat beralasan karena
sensitifitas warga Sukasari dan Mekarsari sangat tinggi. Warga kedua kampung
ini akan bereaksi jika ada warga yang sering keluar-masuk Ciladong karena
dianggap dekat dan pro terhadap Ahmadiyah. Kekuatiran-kekuatiran inilah yang
dijaga oleh warga di Desa Cikeukeuh termasuk aparat desa sendiri.
Buka tanpa dasar, reaksi warga kedua kampung itu pernah dibuktikan ketika
seorang aparat desa (AS) yang dekat dan sering keluar-masuk Kampung Ciladong.
Dalam pandangan warga, AS dianggap sebagai mata-mata Ahmadiyah bahkan
137
dituduh sebagai orang yang memberikan informasi saat penyerangan ke Ciladong
karena sebelum penyerangan warga Ciladong sudah tahu terlebih dahulu dan siap
melawan. Meski secara pribadi AS sudah buktikan kalau dia bukan mata-mata
atau pembela Ahmadiyah, namun warga tidak peduli dengan alasan yang
diberikan AS.
Masyarakat minta kepada Kepala Desa agar AS diberhentikan dari aparat
desa dengan dukungan sekitar 800 tanda tangan, kemudian diajukan ke KUA
karena dia aparat desa yang menangani pernikahan yang ada di desa (amil).
Akhirnya, AS secara sosial dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan statusnya
pun tidak jelas, yaitu tidak diberhentikan dan tidak juga diaktifkan. Di sini elit
agama (CM) sangat berperan karena dialah yang memprovokasi warga hingga
bernasib demikian. CM kerapkali memberitahukan warga bahwa AS seringkali
keluar-masuk Ciladong.
Interaksi sosial yang terjadi saat ini, meski masih ada, adalah interaksi sosial
kepura-puraan (pseudo social interaction) jika tidak dikatakan munafik. Interaksi
sosial yang terbangun bagus dan menciptakan sikap toleransi bahkan terwujudnya
kehidupan pluralisme di tengah masyarakat sebelum tahun 2005, kini mengalami
pemudaran, jika tidak dikatakan hilang sama sekali terutama di kampungkampung yang berdekatan dengan Ciladong. Bagi kedua masyarakat, hingga saat
ini masih ada perasaan “luka” dan trauma dengan kejadian tahun 2010 yang lalu
sehingga sangat sulit membangun kembali sikap toleransi dan kehidupan
pluralisme seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Segregasi interaksi sosial akibat regulasi yang dikeluarkan pemerintah
dan fatwa MUI tentu saja mematikan sikap toleransi dan pluralisme itu sendiri.
Pluralisme memungkinkan terjadinya kerukunan dalam masyarakat, bukan
konflik. Dalam model nation-state (Rahman 2011) diperlukan suatu konsep
baru dalam mengelola masyarakat yang heterogen, yakni pluralisme.
Pluralisme ini sebenarnya identik dengan paham masyarakat terbuka (open
society) Paham masyarakat terbuka ini memungkinkan tegaknya demokrasi
dan mencegah setiap bentuk otoritarianisme (keagamaan).
Menurut Bhattarai (2004) ada empat pola dasar hubungan dalam
masyarakat plural, yaitu penggabungan (amalgamation), yaitu munculnya
138
bentuk kebudayaan baru di tengah kebudayaan-kebudayaan lain, asimilasi
(assimilation), yaitu kelompok minoritas mengadopsi nilai-nilai mayoritas,
segregasi (segregation), yaitu pemisahan kelompok-kelompok budaya melalui
alat pendiskriminasian (regulasi), dan pluralisme (pluralism), yaitu kelompok
budaya masyarakat hidup bersama dalam hubungan dinamis dan punya
komitmen untuk kepentingan bersama. Empat pola dasar hubungan ini dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 13 Pola dasar hubungan dalam masyarakat plural
Empat Pola Dasar Hubungan dalam Masyarakat Plural
Pola
Rumusan
Penjelasan
Penggabungan
(amalgamation)
Asimilasi
(assimilation)
Segregasi
(segregation)
A+B+C=D
Munculnya formasi kelompok
budaya baru
Kelompok minoritas mengadopsi
nilai-nilai mayoritas (hegemoni)
Pemisahan kelompok budaya
melalui alat pendiskriminasian
(regulasi)
Kelompokbudaya hidup bersama
dalam hubungan dinamis
A+B+C=A
A≠B=A≠B
Pluralisme
A+B+C=A+B+C
(pluralism)
Sumber: Bhattarai (2004)
Pola dasar hubungan dalam masyarakat plural yang digambarkan
Bhattarai di atas tercermin dari masyarakat di Desa Cikeukeuh. Masyarakat
Cikeukeuh yang plural menjadi tersegregasi akibat dari regulasi yang
dikeluarkan pemerintah (dan juga MUI). Masyarakat yang awalnya hidup
bersama dan berkomitmen dalam pembangunan desa berujung pada
keterpisahan sosial akibat pembatasan-pembatasan yang terdapat dalam
regulasi pemerintah sehingga juga menurunkan makna hidup dan komitmen
bersama dalam kerangka pembangunan desa. Bahkan tidak saja sebatas pada
pemisahan sosial, yang muncul kemudian adalah konflik baru karena satu
pihak mengklaim pihak lain melanggar regulasi tersebut.
Tidak ada upaya atau akomodasi yang dilakukan pemerintah (dari
pemerintahan desa hingga pusat). Konflik berhenti hanya karena upaya
pengamanan dari kepolisian selama beberapa bulan. Menurut Kepala Desa,
139
pemerintahan desa tidak bisa menyelesaikan masalah Ahmadiyah karena
bukan kewenangan desa, melainkan kewenangan pemerintah pusat. Senada
dengan itu, Pemda Kabupaten juga merasa tidak bisa berbuat banyak dalam
memecahkan persoalan ini karena kewenangan pemerintah pusat.
Masyarakat meminta pemerintah lebih tegas dalam menyelesaikan masalah
Ahmadiyah dengan keputusan yang tegas. Mereka menganggap SKB 3 Menteri
tidak tegas apakah membiarkannya atau melarang kegiatan Ahmadiyah. Bagi
masyarakat yang menentangnya, pemerintah dipersilahkan melegalkannya asal
Ahmadiyah tidak membawa-bawa atribut Islam (jadi agama tersendiri), atau
sekaligus melarang kegiatannya dengan keputusan yang tegas. Masyarakat tidak
mau
Ahmadiyah
mengaku
Islam
karena
ajaran
dan
praktek-praktek
keagamaannya berbeda dengan masyarakat Islam kebanyakan.
6.4.2 Kekuasaan Agama dan Kekuasaan Negara
Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan pada agama tertentu dan bukan
pula negara sekuler. Namun, dalam prakteknya, kerancuan dan ambiguitas
kerapkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dimana negara tidak jarang
mencampuri masalah-masalah keagamaan atau mengesahkan peraturan-peraturan
yang berbasis agama seperti yang nampak pada Perda Syariah di berbagai daerah
di tanah air. Azra (2002) menyebut kondisi pascareformasi tidak lagi mengandung
restriksi-restriksi seperti pada masa Orde Baru, bahkan sekarang mendorong
kristalisasi kelompok atau komunitas-komunitas tertentu yang berusaha
mendapatkan pengakuan dari negara terhadap paham yang mereka yakini.
Kuatnya desakan dari kalangan tertentu untuk membubarkan Ahmadiyah
dan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang terkait dengan
Ahmadiyah adalah bentuk dari bagaimana persoalan agama dan negara menjadi
tidak jelas. Negara mengambil alih peran yang semestinya dilakukan oleh agama
sebagai institusi yang mengurus masalah-masalah agama, termasuk masalah
keyakinan.
Salah satu persoalan yang berkaitan dengan Ahmadiyah adalah persoalan
teologis. Karena persoalan teologis, maka masalah ini adalah persoalan internal
umat Islam, dan umat Islam sendiri yang mesti menyelesaikannya. Menyerahkan
140
masalah ini kepada pemerintah, di samping mengaburkan penanganan masalah,
juga merugikan umat Islam itu sendiri. Namun demikian, kalaupun negara
diharapkan menangani dan terlibat dalam masalah ini, tugas negara tidak lebih
sebagai fasilitator saja dalam mendialogkan kelompok-kelompok yang bertikai
(CRCS 2008).
Jelas sekali, dalam kasus Ahmadiyah, bahwa keluarnya SKB Muspida dan
Peraturan Gubernur Jawa Barat mengacu kepada SKB 3 Menteri, dimana SKB 3
Menteri dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat
(Bakorpakem) juga didasarkan pada fatwa MUI yang menyatakan bahwa
Ahmadiyah keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. Di sini terjadi relasi
institusi agama (MUI) dan institusi negara yang diwakili oleh lembaga negara
yang terlibat dalam mengeluarkan SKB 3 Menteri tersebut.
Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebagai wujud dari keluarnya Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang diantaranya berisi bahwa agama
yang diakui pemerintah ada 5 lima termasuk Islam, diberi wewenang mengontrol
praktek-praktek dan penafsiran keagamaan di tengah masyarakat. Hasil penafsiran
dan pengawasan MUI inilah yang menjadi referensi mana saja praktek-praktek
keagamaan yang dianggap murni dan yang dianggap menyimpang atau sesat.
Rahardjo (2011) menulis bahwa dalam sejarahnya memang selalu ada relasi
kuat antara agama dan negara-negara Nusantara dalam hubungan saling
mempengaruhi dan saling membutuhkan. Negara membutuhkan agama dalam
mendapatkan legitimasi kekuasaan, dan agama membutuhkan negara untuk
melindungi dan menegakkan ajaran-ajaran agama. dengan lahirnya ideologi
sekuler sebagai doktrin kenegaraan modern, maka negara sudah mulai
meninggalkan agama karena agama dianggap banyak menimbulkan masalah.
Dalam reaksinya terhadap situasi ini, agama mengalami ideologisasi,
terutama agama-agama monoteistik. Dalam ideologisasi itu doktrin komprehensif
keagamaan disesuaikan dengan struktur ideologi yang mencakup visi kenegaraan.
Dalam perkembangan pemikiran Islam, timbul wacana dari ulama al Azhar
Sheikh Ali Abdul Raziq bahwa Islam itu hanya membawa visi dan misi agama,
tidak visi dan misi negara. Oleh sebab itu, agama sesungguhnya membawa pesan
dakwah bukan pesan politik.
141
Di Barat, khususnya Eropa, konsep kesatuan agama dan negara ini
menimbulkan masalah karena melahirkan asolutisme dan diskrimiminasi. Guna
menghapus absolutism itu lahirlah gagasan sekularisme yang memisahkan agama
dan negara. Konsep sekularisme menimbulkan proses sekularisasi yang
menyingkirkan peranan agama di ruang publik, khususnya ruang publik politik.
Kuatnya relasi agama dan negara dalam masalah Ahmadiyah di Indonesia
menimbulkan hegemoni agama yang dilakukan oleh negara. Interpretasi MUI
yang dijadikan sandaran dan rujukan negara kemudian diinstitusionalisasikan
(institutionalized) melaui peraturan-peraturan negara (SKB, Pergub, SK
Bupati/Walikota). Ketika ini dilakukan, maka yang terjadi adalah negara telah
melakukan hegemoni agama yang kemudian melemahkan pluralisme di tingkat
masyarakat (pedesaan).
Dominannya peran negara dalam masalah-masalah keagamaan akan
membawa dampak negatif bagi relasi agama-negara maupun relasi antarumat
beragama. Kalau kita refleksikan konflik antarumat beragama, seperti konflik
Ahmadiyah, yang belakangan ini marak di berbagai daerah adalah bom waktu atas
kegagalan dan rapuhnya pengelolaan pluralitas agama oleh negara pascainstitusionalisasi agama-agama melalui regulasi-regulasi yang berkaitan dengan
Ahmadiyah. Oleh sebab itu (Hadi 2011), untuk menjaga pluralisme tetap terjaga
di masyarakat reposisi peran atau hegemoni yang dijalankan negara harus segera
dilakukan. Pemerintah tidak lagi berperan sebagai yang mengatur melainkan
berperan sebagai fasilitator.
Download