BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit infeksi yang menjadi salah satu masalah kesehatan global yang penting. Penyakit ini biasanya terjadi di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia yang umumnya terjadi di daerah perkotaan. DBD disebabkan oleh virus yang berasal dari genus Flavivirus dan famili Flaviviridae dan memiliki empat serotipe yakni DEN-1, 2, 3, dan 4. Virus dengue ditularkan ke manusia oleh serangga sehingga disebut Arthropod-borne virus (Arbovirus) (Hales et al., 2002; Mohammed dan Chadee 2011; Reiter, 2012). Vektor utama penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti yang memiliki habitat di daerah pemukiman (WHO, 2011). Dalam 50 tahun terakhir, insiden DBD terus meningkat dan pada dekade ini DBD telah menyebar dari wilayah perkotaan ke wilayah pedesaan. Infeksi dengue yang terjadi di seluruh dunia diperkirakan sebanyak 50 juta kasus dengan 22.000 kematian setiap tahun, namun terdapat 2,5 miliar orang yang hidup di daerah endemis. Dengue dikenal sebagai penyakit endemis yang terjadi di kawasan Asia Tenggara karena kasusnya terjadi setiap tahun. Wabah demam berdarah pertama kalinya terjadi di Asia Tenggara yakni di Filipina yang terjadi pada tahun 1956. Wabah demam berdarah pada tahun 1958 di Thailand merupakan epidemi yang terbesar. Pada tahun 2003, 8 negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, melaporkan kasus dengue yang terjadi di wilayah mereka. Jumlah kasus yang terjadi bervariasi yang dipengaruhi oleh perubahan suhu udara dan curah hujan setiap tahun, sehingga penyakit ini digambarkan sebagai penyakit musiman (WHO, 2010b). Penyakit demam berdarah dengue di Indonesia muncul pertama kali di Surabaya pada tahun 1968 dan sejak saat itu Indonesia menjadi negara endemis karena penyakit ini terjadi setiap tahun terutama pada awal musim hujan dan mengalami peningkatan kasus pada bulan November sampai Februari. Jumlah kasus dengue yang dilaporkan di Indonesia mulai mengalami peningkatan pada 1 2 tahun 2004 yaitu sebanyak 79.462 kasus dan jumlah kasus tertinggi tercatat antara tahun 2007 (157.442 kasus) dan 2009 (156.052 kasus) (WHO, 2010b). Penyakit demam berdarah dengue telah menyebar dan menetap di hampir seluruh wilayah Indonesia, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi yang telah dinyatakan sebagai daerah endemis penyakit DBD. Penyakit ini sering muncul setiap tahun dan menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi sehingga menyebabkan kejadian luar biasa (KLB). Angka insidensi DBD di Kota Kupang pada tahun 2006 sampai 2010 mengalami fluktuatif dari tahun ke tahun, yakni pada tahun 2006 sebesar 0,95 per 1000 penduduk, meningkat pada tahun 2007 menjadi 1,80 per 1000 penduduk, dan menurun pada tahun 2008 dan 2009, namun pada tahun 2010 mengalami peningkatan mencapai 1,05 per 1000 penduduk. Pada tahun 2011 angka insiden penyakit ini mengalami peningkatan mencapai 2,50 per 1000 penduduk. Jumlah kasus DBD di Kota Kupang pada periode Oktober 2011 sampai dengan Juli 2012 adalah 915 kasus, dimana 644 kasus di antaranya adalah anak-anak yang berusia 1-9 tahun, dan jumlah kematian akibat penyakit ini adalah 10 orang anak yang juga berusia 1-9 tahun (Dinas Kesehatan Kota Kupang, 2011). Kota Kupang tergolong dalam daerah perbukitan dengan daerah yang tertinggi terletak di bagian selatan setinggi 100-350 m dpl dan daerah terendah di bagian utara sebesar 0-50 m dpl. Kota ini memiliki kondisi iklim kering yang dipengaruhi oleh angin muson dan musim penghujan yang pendek yang umumnya terjadi sekitar bulan November sampai dengan Maret, dengan suhu udara mulai dari 20,16oC-31oC. Musim kering sekitar bulan April sampai dengan Oktober dengan suhu udara mulai dari 29,1oC-33,4oC. Kota ini memiliki kondisi lingkungan yang sangat optimal bagi perkembangan nyamuk Aedes aegypti sehingga penularan penyakit DBD terus terjadi (Dinas Kesehatan Kota Kupang, 2011). Kota Kupang memiliki beberapa faktor yang mendukung keberadaan vektor nyamuk penular DBD. Manajemen sampah dan kondisi perumahan yang tidak adekuat, serta perilaku sebagian masyarakat yang cenderung masih jauh dari pola hidup bersih mendukung keberadaan vektor di lingkungan pemukiman. 3 Kondisi seperti ini dapat mendukung terjadinya penularan DBD dengan meningkatkan genangan air di sekitar pemukiman yang sangat potensial untuk menjadi tempat perindukan nyamuk dan mempengaruhi aktivitas pencarian host yang berada dalam jangkauan terbang nyamuk (100-300 m). Selain itu penyediaan air bersih yang tidak adekuat juga mendukung penularan DBD. Akses air bersih di Kota Kupang pada tahun 2011 hanya sebesar 66,31%. Kurangnya ketersediaan air bersih pada musim kemarau yang masih dialami oleh sebagian masyarakat mendorong masyarakat untuk menampung air hujan pada bak penampungan dan kontainer. Perilaku masyarakat yang jarang membersihkan tempat penampungan air turut mendukung perkembangbiakan vektor penular DBD (Dinas Kesehatan Kota Kupang, 2011). Kondisi lingkungan yang optimal bagi kehidupan nyamuk dan adanya orang yang terinfeksi virus dengue yang terjadi di luar lingkungan perumahan menjadi sumber penularan penyakit di lingkungan rumahnya. Oleh karena kondisi tersebut, populasi nyamuk yang berada di sekitar tempat pemukiman terus meningkat sehingga jumlah vektor nyamuk yang dapat menularkan penyakit DBD juga ikut meningkat, kemudian mengakibatkan penyakit ini terus terjadi dan sulit untuk ditanggulangi (Colwell et al., 2011; Chadee, 2009). Kurang efektifnya pengendalian nyamuk dan pembangunan infrastruktur kesehatan masyarakat yang belum maksimal dapat memperparah kejadian DBD. Program pencegahan DBD yang dilakukan di Kota Kupang adalah melalui kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), abatesasi, fogging focus, dan penyuluhan DBD yang melibatkan peran serta masyarakat dan lintas sektor, namun sampai saat ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini terbukti dengan meningkatnya secara tajam kasus DBD di Kota Kupang pada tahun 2011 dan terjadinya KLB dengan kematian 10 orang anak (Dinas Kesehatan Kota Kupang, 2011). Masalah status nutrisi erat kaitannya dengan penyakit infeksi, termasuk DBD. Penelitian yang dilakukan oleh Pichainarong et al. (2006) di Thailand menunjukkan bahwa adanya hubungan antara ukuran tubuh dengan tingkat keparahan demam berdarah dengue pada anak usia 0-14 tahun. Hasil penelitian 4 tersebut juga menunjukkan bahwa anak-anak yang obesitas lebih rentan terhadap infeksi virus dengue (Pichainarong et al., 2006). Hal ini sejalan dengan pernyataan WHO bahwa anak-anak yang obesitas memang lebih berisiko terhadap infeksi DBD (WHO, 2011). Masalah gizi di Kota Kupang masih merupakan masalah yang serius. Pada tahun 2010, terdapat kasus gizi buruk sejumlah 123 anak dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 136 anak (Dinas Kesehatan Kota Kupang, 2011). Status nutrisi yang menunjukkan ukuran tubuh seseorang, berhubungan dengan infeksi dengue, karena semakin besar ukuran tubuh seseorang maka permeabilitas kapiler menjadi semakin buruk pada kasus DBD yang mendukung terjadinya komplikasi pada organ tubuh yang lain (Farrar, 2010). Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ukuran tubuh dengan tingkat keparahan demam berdarah dengue pada anak usia 1-9 tahun di Kota Kupang. Pengukuran berat badan anak menurut tinggi badan akan dilakukan untuk mendapatkan penentuan kriteria ukuran tubuh. Kemudian akan dikaji hubungannya dengan tingkat keparahan demam berdarah dengue. B. Perumusan Masalah Kota Kupang merupakan salah satu daerah endemis DBD di Indonesia. Penyakit ini selalu muncul setiap tahun dan menimbulkan KLB. Jumlah kasus DBD di Kota Kupang pada tahun 2011 adalah 915 kasus, dimana 644 kasus di antaranya adalah anak-anak yang berusia 1-9 tahun, dan jumlah kematian akibat penyakit ini adalah 10 orang anak yang juga berusia 1-9 tahun. Ukuran tubuh seseorang berpengaruh terhadap keparahan infeksi dengue, karena semakin besar massa tubuh maka kebocoran plasma akan lebih mudah terjadi sehingga akan mendukung terjadinya syok. Dengan demikian masalah yang akan diteliti adalah apakah tingkat keparahan demam berdarah dengue pada anak usia 1-9 tahun berhubungan dengan ukuran tubuh? 5 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat keparahan demam berdarah dengue dengan ukuran tubuh pada anak usia 1-9 tahun. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui tingkat keparahan demam berdarah dengue pada anak usia 1-9 tahun. b. Untuk mengetahui ukuran tubuh anak usia 1-9 tahun melalui pengukuran indeks massa tubuh menurut umur. c. Untuk menjelaskan hubungan antara ukuran tubuh dengan tingkat keparahan demam berdarah dengue pada anak usia 1-9 tahun. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan informasi tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak pada daerah endemis demam berdarah dengue untuk mempersiapkan metode yang berguna dan sistem peringatan dini dalam pengendalian demam berdarah dengue dan untuk membimbing strategi intervensi agar dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya manusia dan keuangan pada bidang yang paling dibutuhkan. b. Sebagai bahan informasi yang digunakan oleh instansi terkait untuk merencanakan tindakan pencegahan dan penanggulangan kejadian demam berdarah dengue pada anak-anak dan memberikan masukan pada pemerintah daerah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai bahan masukan untuk meningkatkan upaya pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kesehatan di bidang kesehatan ibu dan anak yang berhubungan dengan penyakit demam berdarah dengue. 6 b. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut yang berkaitan dengan penyakit demam berdarah dengue terutama pada anak-anak. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai demam berdarah dengue pada anak-anak dan kaitannya dengan status nutrisi atau ukuran tubuh sudah pernah dilakukan. Adapun beberapa penelitian serupa yang telah dilakukan dan perbedaannya dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Kalayanarooj et al. (2005) melakukan penelitian untuk menilai hubungan antara faktor nutrisi dan infeksi dengue pada anak-anak di Thailand, dengan rancangan penelitian cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan status gizi kurang memiliki risiko lebih kecil terhadap infeksi dengue, sedangkan anak-anak dengan status gizi lebih (obesity) memiliki risiko lebih besar terhadap infeksi dengue. Namun, anak-anak dengan status gizi kurang memiliki risiko yang lebih besar terjadinya shock daripada anak-anak dengan status gizi normal dan gizi lebih (Kalayanarooj and Nimmannitya, 2005). 2. Hung et al. (2005) melakukan penelitian untuk menjelaskan hubungan antara jenis kelamin, status nutrisi, dan tingkat keparahan DHF dan DSS pada 245 bayi di Vietnam, dengan rancangan penelitian case control. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terhadap DHF dan DSS. Namun, bayi dengan weight and height for age yang rendah, kurang terwakili untuk kasus DBD dan DSS jika dibandingkan dengan 533 bayi kontrol pada klinik bayi sehat (Hung et al., 2005). 3. Pichainarong et al. (2006) melakukan penelitian untuk menilai hubungan antara ukuran tubuh dengan tingkat keparahan demam berdarah dengue pada anak usia 0-14 tahun di Bangkok, Thailand dengan rancangan penelitian case control. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa obesitas dan tipe virus dengue serotipe 2 berhubungan dengan tingkat keparahan DBD pada anak usia 0-14 tahun (Pichainarong et al., 2006). 7 4. Marón et al. (2010) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara status nutrisi dan tingkat keparahan DBD pada anak-anak di El Salvador, dengan rancangan penelitian case control. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam weight-for-age antara ketiga grup yang diteliti. Anak-anak yang terinfeksi DBD memiliki height-for-age yang lebih besar daripada anak-anak yang sehat pada grup kontrol, tapi tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat stunting (Marón et al., 2010). Terdapat perbedaan dari penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan. Hal ini mencakup perbedaan pada rancangan penelitian yaitu dalam penelitian ini peneliti menggunakan rancangan penelitian hospital-based case control study dan perbedaan pada lokasi, subjek, dan variabel penelitian.