Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun Komunikasi Politik Lewat Kartun: Sindiran, Kritik, Dukungan, & Perlawanan HADI OKI CAHYADI Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965, E-Mail: [email protected] Diterima tanggal 31 April 2007/Disetujui tanggal 12 Mei 2007 This study description about relation between cartoon and politics in general, and description they dependability relationship in political history in Indonesia. In fact, cartoon, become indivisible part from event and phenomenon political. Cartoon have symbolic meaning that show existence of suggestion, criticism, support and resistance to political object like executive, legislative, political party, and society. In consequence, its not wrong if told that cartoon existence in a country becomes indicator to see weather seriously a country do democracy or not. Cartoon is way to submit political message indirectly, although its comments not always will be impressing positive. But, this assessment is relative because cartoon can used as the government propaganda. Cartoon history in Indonesia indicates that at a period of government Soeharto cartoon publication gets tight monitoring. At a period of government Soekarno, it’s becomes political propaganda tool, both domestic and international relation. So, besides as the work of art and political art, in politics, cartoon is very strategic communication means. Keywords: Cartoon, Political communications, Political art. Pendahuluan Jika mendengar kata kartun 1, asosiasi yang terbentuk langsung pada sebuah gambar yang lucu dan menarik, kemudian akan membuat orang tersenyum. Mungkin senyum geli tapi tak jarang senyum kecut. Kartun memang sarat dengan satir. 2 Ia bisa menyindir ke sana 1 Kartun adalah sebuah bentuk wacana atau berita-pikiran tentang “sesuatu”. Dengan simbol-simbol yang bercorak sinekdot -memperlihatkan sebagian untuk mengatakan keseluruhan- dan tentu saja, karikatural, berita-pikiran yang disampaikan tak lain daripada sebuah ajakan berdialog yang intens dengan kekuasaan, masyarakat umum atau siapa saja. 2 Satir adalah semacam lelucon, tapi mengandung ironi (mencemoohkan) dan sarcasme (ejekan), suatu pernyataan yang menyakiti hati. Satir biasanya mengandung kritik yang mengandung kritik yang mengandung ejekan-ejekan mengenai berbagai kepincangan di dalam masyarakat. ke mari tanpa menyakiti. Bagi anak-anak kata kartun tentu tidak asing lagi di benaknya. Hal ini disebabkan karena kartun merupakan sarana hiburan yang biasanya dapat disaksikan di televisi dimana telah berkembangnya dewasa ini kartun memasuki media pefilman seperti film Doraemon, Sponge Bob, Tom and Jery dan sebagainya. Hal tersebut menjadikan film kartun dapat di konsumsi oleh anak-anak tanpa harus mebaca teks seperti yang telah tersadur kedalam sebuah komik ataupun biasanya didapatkan pada majalah anak-anak. Akan tetapi kartun tidak hanya menjadi hiburan semata, karena kartun dapat diartikan sebagai sebuah gambar yang bersifat representasi simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah publik. Namun, masalah-masalah sosial 45 Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi kadang juga menjadi target, misalnya dengan mengangkat kebiasaan hidup masyarakat, peristiwa olahraga, atau mengenai kepribadian seseorang. Untuk dapat memahami maksud dari kartun, maka dalam kartun terdapat dua tipe yang berbeda, yaitu: (1).Kartun humor atau sering disebut dengan gag cartoon. Kartun ini mengangkat humor-humor yang sudah dipahami secara umum oleh masyarakat, dan kadang juga digunakan untuk menyindir kebiasaan-kebiasaan prilaku seseorang atau situasi tertentu; (2).Kartun Politik (political cartoon). Kartun ini biasanya mengangkat topik tentang situasi politik yang biasa dibuat sebagai lelucon. Kartun/komik politik sangat sarat dengan kritik tajam terhadap prilaku serta kebijakan tokoh. Tokoh ini dapat digambarkan sebagai individu pejabat pemerintah, aparat, politikus, lembaga atau institusi tertentu, dan sebagainya. 3 Simbol-simbol karikatural yang dengan kreatif menonjolkan unsur-unsur yang lucu dan di luar kebiasaan itu bukan saja memberi kebebasan bagi sang kartunis dalam menyampaikan berita-pikirannya tetapi juga secara cerdik mengalihkan daya tusuk dari dialog yang intens tersebut. Dengan begini, maka yang getir dan pahit dapat disampaikan sebagai keanehan yang lucu belaka. Jadi kartun haruslah dipahami sebagai media yang dipakai oleh kartunis untuk menangkap dan menafsirkan berbagai keprihatinan yang hidup dalam masyarakat. Kartun tidak menegur orang secara langsung, tetapi objek akan merasa sadar juga dan tidak marah. Kartun adalah medium komunikasi untuk mengingatkan seseorang yang mungkin sedang lupa diri dengan cara ramah, bersahabat. Ia menyindir kehidupan seseorang dengan harapan akan menjadi lebih baik. Kartun merupakan bentuk karya seni rupa yang dapat mempengaruhi opini publik, baik secara langsung maupun tidak. Seni Kartun dapat membuat penonton/pembacanya tersenyum geli ataupun sebaliknya tersinggung karena merasa disindir atau tersindir kepentingannya. Pujian dan cacian, itulah dua hal 3 M. Nashir Setiawan, Menakar Panji Koming, (Jakarta: Kompas, 2002), hal. 34. 46 ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun yang sekaligus dapat diciptakan oleh seorang kartunis dengan kepiawaian ide dan gambarnya melalui kartun. Kartun merupakan tanda bahwa kritik dilakukan tidak dengan amarah, tetapi sebuah sindiran yang ramah. Karena itu, melihat kartun sebagai sebuah informasi yang tersembunyi, bukan hanya sekedar karya iseng belaka, menunjukkan bahwa orang tersebut dalam keadaan sadar. Kalau kartun dimengerti sebagai upaya untuk melecehkan, sesungguhnya orang tersebut sedang tidak sehat nuraninya saat menikmati kartun. Dewasa ini, fungsi kartun dan karikatur telah merambah jauh memasuki aspek sosial. Kecuali untuk menyampaikan kritik sosial, kartun dan karikatur juga digunakan untuk media pendidikan anak dan berbagai program sosialisasi, untuk maksud promosi, dan komunikasi. Terakhir, sebagai media kritik sosial, kartun dan karikatur dalam pers di Indonesia selalu menjadi pengingat terhadap halhal yang mungkin terlupakan atau terabaikan dalam kegelisahan terhadap perubahan sosial politik negaranya. Keberadaannya dalam pers bagai dua sisi mata uang. Karena lucu dan dapat untuk menyampaikan sebuah opini, maka koran-koran menggunakan kartun untuk sekadar "peringan" sajian berita setelah pembaca disuguhi berbagai berita berat. Dari sisi seni, kartun memang punya unsur metaforik, simbolis, untuk mengkritisi sesuatu Biasanya kartun ini diletakkan di bagian dalam sebuah koran maupun majalah dan bernada humor. Kehadirannya sudah menjadi barang yang selalu dinanti maka hampir setiap media memasang rubrik ini. Karena disadari oleh para penerbit, rubrik kartun dan karikatur punya daya tarik tersendiri, yaitu mudah di pahami serta tidak perlu berkerut kening dalam memahami pesan serta maksud yang disampaikan. Secara umum studi ini akan memaparkan secara singkat kaitan antara kartun dan politik. Selain itu mendeskripsikan bagaimana kaitan kartun dan politik dalam sejarah politik di Indonesia Metode dan Pendekatan Studi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan komuniksasi politik dan pendekatan sejarah. Fokusnya adalah pemaknaan simbol-simbol yang disalurkan lewat karikatur politik atau kartun politik dan dampaknya Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi terhadap wacana politik. Metode pengumpulan data pada studi ini dilakukan dengan menggunakan studi pustaka dan dokumen. Mengenal dan Memahami Kartun Menurut sejarah asal mula kartun sebenarnya bernuansa serius. Datang dari lingkungan seni rupa pada jaman renaisanse “keturunan”. Sedangkan istilah bahasa Italia, “cartoon”, yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “kertas”, dan dalam bahasa inggris berarti gambar yang bersifat satire.4 Kartun adalah sebuah bentuk wacana atau berita-pikiran tentang “sesuatu”. Dengan simbol-simbol yang bercorak sinekdot -memperlihatkan sebagian untuk mengatakan keseluruhan- dan tentu saja, karikatural, berita-pikiran yang disampaikan tak lain daripada sebuah ajakan berdialog yang intens dengan kekuasaan, masyarakat umum atau siapa saja. Menurut sejarah, cartoon lahir sejak abad pertengahan seiring dengan semangat humanisme yang meletakkan manusia sebagai objek dan subjek untuk mengenal berbagai hakikat kehidupan. Dalam The World Book Encyclopedia (1992) kartun berarti gambar atau serangkaian gambar yang memuat cerita atau pesan dalam wujud sindiran atau humor. 5 Pengertian kartun yang sebenarnya adalah meminjam istilah dari bidang fine arts. Kata kartun berasal dari bahasa Italia Cartone yang berarti “kertas”. Dalam bidang seni murni, kartun merupakan gambaran kasar atau sketsa awal dalam kanvas besar, atau untuk hiasan dinding pada bangunan arsitektural seperti mozaik, kaca, dan sebagainya.6 Menurut Berger kartun biasanya tampil dalam satu frame dan tidak dan tidak mempunyai karakter menerus. Namun, kadang terdapat tokoh karakter yang digunakan berkalikali. Kartun tidak menggunakan “balon kata” seperti pada komik, tetapi biasanya menggunakan keterangan (caption) di bawah frame untuk menunjukan permasalahan. 7 4 Danny Yustiniadi, Tentang Kartun, (Semarang: Effhar dan Dahara Prize, 1996), hal.11-12. 5 “Kartun Dan Sejarahnya”, [Artikel online], tersedia di: www.pikiran-rakyat.com; di unduh 7 April 2007. 6 M. Nashir Setiawan, loc.cit. 7 Ibid., hal. 33. ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun Noerhadi didalam artikelnya yang berjudul kartun dan Karikatur sebagai Wahana Kritik Sosial mendefenisikan kartun sebagai suatu bentuk tanggapan lucu dalam citra visual. Dalam artikel tersebut konsep kartun dipisahkan secara tegas dengan karikatur. Tokohtokoh kartun bersifat fiktif yang dikreasikan untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi jenaka. Sementara itu, tokoh-tokoh karikatur adalah tokoh-tokoh tiruan lewat pemiuhan (distorian) untuk memberikan persepsi tertentu kepada pembaca shingga seringkali disebut portrait caricature. 8 Adapun bentuk dari kartun dapat dibagi menjadi tiga bagian, menurut I Dewa Putu Wijana, yaitu Kartun Editorial (editorial cartoon), Kartun Humor (gag cartoon), Kartun Komik (comic cartoon). Kartun editorial (editorial cartoon) yang digunakan sebagai visualisasi tajuk rencana surat kabar atau majalah. Kartun ini biasanya membicarakan masalah politik atau peristiwa aktual sehingga sering disebut kartun politik. Memahami gambar kartun editorial menurut Heru Nugroho, sama rumitnya dengan membongkar makna sosial dibalik tindakan manusia. Dengan kata lain, untuk mengungkap interpretasi maksud suatu gambar kurang lebih tingkat kesulitannya sama dengan menafsirkan tindakan sosial. Ini menegaskan bahwa pada sisi lain tindakan manusia terdapat makna yang harus ditangkap dan dipahami, sebab manusia melakukan interaksi sosial melalui bentuk komunikasi yang menggunakan media simbol-simbol. 9 Melalui koranlah kartun editorial berkiprah mengomentari berbagai kejadian, sesuai dengan misi dan ideologi redaksi. Kartun mendapat kedudukan penting karena bahasa gambar lebih cepat ditangkap pembaca dibanding artikel tertulis. Beberapa koran meletakkan kartun pada halaman tiga. Harian Rakjat hampir tiap hari menayangkan kartun. Teknik gambar dengan kuas lebih banyak ditampilkan daripada dengan pena, kadang juga krayon hitam dipakai untuk nada tengah. Kartun dicetak hitam-putih sesuai dengan kemampuan teknologi koran masa itu. 10 8 I Dewa Putu Wijana, Kartun, (Jogjakarta: Ombak, 2003), hal. 7. 9 Ibid., hal. 10-11. 10 Majalah Tempo 25 (Agustus 20-07), hal. 105106. 47 Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi Kartunis editorial yang menonjol antara lain Ramelan (Suluh Indonesia), Sibarani (Bintang Timur), Mieke St. (Abadi), dan S. Soeharto (Indonesia Raja). Abdul Salam dan Dukut Hendronoto (Ooq), yang berkartun pada masa revolusi, tak banyak berperan dalam perang Koran Jakarta masa. 11 Gaya gambar kartun editorial yang muncul kebanyakan realistis mendekati ketepatan obyek, baik manusia maupun kelengkapan sekitarnya. Sibarani sering lebih bebas tak terlalu taat dalam anatomi lewat garis kontur spontan pena saja. Gaya garis demikian kemudian dikembangkan banyak kartunis editorial di Era Orde Baru. Beberapa idiom kartun, seperti tubuh besar untuk yang berkuasa dan tubuh kecil mewakili rakyat, orang gendut sebagai koruptor, bersarung untuk golongan muslim, dan hidung panjang untuk orang Barat, telah digunakan masa itu. Namun stereotipe demikian masih kita jumpai pula dalam kartun masa kini, yang menarik, secara umum, kartunis masa itu menampilkan profil wajah Indonesia dengan baik. Profil lokal juga sangat umum tampak pada gambar serta ilustrasi buku, majalah, koran, dan iklan masa itu. Sepertinya para penggambar masa itu lebih pede pada ras sendiri daripada perupa masa kini. 12 Kartun murni (gag cartoon) yang dimaksudkan sekadar sebagai gambar lucu atau olok-olok tanpa bermaksud mengulas suatu permasalahan atau peristiwa aktual. Menurut Berger, visualisasi humor-humor ini sangat beragam, ada yang menekankan pada masalah kebodohan, kekeliruan, eksagerasi, kejadian-kejadian tak terduga, satir, parodi, dan memutar balikan keadaan.13 Beberapa unsur humor yang biasanya digunakan dalam kartun, antara lain dijelaskan oleh berger sebagai berikut: pertama, eksagerasi, yaitu kelucuan dengan cara melebih-lebihkan ukuran fisik, seperti hidung yang sangat panjang, kaki yang panjang, badan dibuat tambun, atau menonjolkan telinga, dan sebagainya. Eksa-gerasi ini merupakan teknik standar yang digunakan untuk membuat lelucon, dan dari bentuk-bentuk eksagerasi fisik tersebut dapat mencerminkan karakter psikis, yang lucu. 11 Ibid., hal. 106. Ibid. 13 Lihat M. Nashir Setiawan, op.cit., hal. 36. 12 48 ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun Kedua, bentuk karikatur, yaitu suatu bentuk potret yang menjaga kemiripan karakter, dan dengan penuh kebebasan kartunis membuat deformasi wajah tersebut. Acapkali potret seorang tokoh ditempatkan pada situasi tertentu yang actual, signifikan dengan masalah politik atau sosial, dan sering kali humor ini bernada negative atau kurang mengenakan keterangan gambar (caption) juga sering digunakan sebagai penegas sindiran, sebagai contoh kata “Le Poires” dalam bahasa Perancis slang berarti “orang tolol” atau “dungu”. Ketiga, kekeliruan merupakan humor yang dibangun dengan menggunakan kekeliruan gestural atau kekeliruan lain yang mempunyai dimensi visual. Adapun problematik humornya menggunakan ciri-ciri konvensional, misalnya seekor landak keliru menganggap pohon kaktus senagai landak yang lain dan berkata kepadanya “I Love Yau”. Keempat, permainan kata yang digambarkan (Visual Puns), merupakan bagian dari permainan bahasa dan turunan dari gambar-gambarnya. Sebagai contoh kota CONS dari kata Convict (narapidana), makna kata tampak jelas bila dihubungkan dengan gambarkan dengan bentuk seseorang yang menggunakan pakaian bergaris-garis dan kadang ditambah dengan rantai dan bola besi. Kelima, kiasan bernada humor biasanya dilakukan dengan mempermainkan sejarah, legenda, tokoh mitologi, atau kejadian-kejadian tertentu yang ada dalam pikiran masyarakat sebagai efek komikal, yang pada dasarnya memparodikan hal-hal tersebut. Dalam kartun politik teknik ini kerap digunakan, sebagai seorang politikus digambarkan sebagai Superman atau sebagai dewa Yunani. Keenam, ilustrasi komik merupakan keterangan gambar dalam bentuk teks. Keterangan ini tidak selalu secara langsung berhubungan dengan gambar visual. Akan tetapi, humor ini terbentuk justru dengan mengaitkan antara gambar dengan teks. Kartun komik (comic cartoon) yang merupakan susunan gambar, biasanya terdiri dari tiga sampai enam kotak. Isinya adalah komentar humoristis tentang suatu peristiwa atau masalah aktual. Komik sebagai media komunikasi, mempunyai kemampuan menyesuai- Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi kan diri yang luar biasa sehingga kadang digunakan untuk berbagai macam tujuan. Di luar sebagai bacaan hiburan, komik dapat berperan sebagai media propaganda, alat bantu pendidikan dan pengajaran, dan sebagainya. Seperti halnya di Jepang, komik atau dalam bahasa Jepang disebut manga banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pengajaran di kalangan masyarakat umum dan pendidikan di sekolah. 14 Menurut jenisnya komik dikelompokkan menjadi dua, yaitu comicstrips dan comic-books. Comic-strip atau strip merupakan komik bersambung yang dimuat pada surat kabar. Adapun comic-books adalah kumpulan cerita bergambar yang terdiri dari satu atau lebih judul dan tema cerita, yang di Indonesia disebut komik atau buku komik. 15 Dalam rentang waktu cukup lama, komik mengalami perkembangan dari cerita khayalan anak-anak (kids stuff) yang biasa dimuat dalam surat kabar, lalu berkembang dalam bentuk cerita bergambar (graphic novels), dan sekarang gambar-gambar tersebut di beri “nyawa kehidupan” dalam bentuk film animasi. Cerita komik meskipun tampak sebagai wacana sederhana, namun di dalamnya terkandung nilai yang bermuatan ideology serta praktik sosial dan budaya. 16 Berdasarkan cirinya secara sederhana kartun dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kartun verbal dan kartun nonverbal. 17 Pertama, kartun verbal adalah kartun-kartun yang memanfaatkan unsur-unsur verbal seperti kata, frasa, kalimat, wacana disamping gambargambar jenaka didalam memancing senyum dan tawa para pembacanya. Unsur verbal ini merupakan tuturan, sedangkan gambar jenakanya sebagai konteks ekstralingual tuturan yang biasanya dapat menerangkan siapa yang berbicara, lawan bicara, dan seting yang berhubungan dengan dimana dan kapan tuturan itu diucapkan. Kartun verbal selanjutnya dibedakan menjadi dua bagian yaitu kartun verbal yang elemen verbalnya dominan dan kartun verbal yang elemen verbalnya tidak 14 Atmakusumah, “Komik”, Ensiklopedi Nasional Indonesia 9, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1997), hal. 55. 15 Boneff, op.cit., hal. 9. 16 Lihat tulisan Arthur Asa Berger, Seeing is Believing, (California: Mayfield Publishing Co., 1989). 17 I Dewa Putu Wijana, op.cit., hal. 8-9. ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun dominan. Kartun verbal yang elemen verbalnya dominan ini dapat membangkitkan kelucuan tanpa dukungan gambar. Kartun Verbal Yang Elemen Verbalnya tidak dominan tidak dapat membangkitkan kelucuan tanpa dukungan gambar. Kelucuan unsur-unsur verbal pada kartun jenis ini sangat bersifat kontekstual sehubungan dengan dominannya peranan elemen visual. Kartun nonverbal adalah kartun yang semata-mata memanfaatkan gambar-gambar/visualisasi jenaka untuk menjalankan tugas itu. Adapun gambar-gambar yang disajikan pada jenis kartun nonverbal ini adalah gambar-gambar yang memutarbalikkan logika. Kartun dalam Wacana Politik Indonesia Kartun di Indonesia sangat berkembang. Hal ini terlihat dari petanya yang berubah-ubah. Bahkan tidak kaku sekali. Hal ini dapat lihat dari Sabang sampai Merauke, dari Medan sampai Denpasar, terus dari Denpasar sampai ke Makasar, Banjarmasin. Sedangkan untuk Indonesia Timur, belum terjamah, atau belum terdata. Para kartunisnya terlihat sangat potensial. Karya-karya mereka tidak saja sekedar terlihat lucu, juga mengandung humor tinggi. Pesan di dalamnya menyiratkan makna yang bisa diperhitungkan. Para kartunis Indonesia sangat antusias untuk bisa maju. Kalau melihat peta demikian, yang sangat pesat dan maju adalah kartunis Bali. Di Indonesia, kartun sebagai media kritik sudah sejak lama dibuat oleh pelukis Affandi, Sudjojono, juga sebagian para pelukis senior yang sudah wafat. Meskipun berupa lukisan, karya-karya mereka mengandung hal-hal yang satiristik. Sebetulnya gambarnya pun kartun, meskipun diungkap dengan media cat minyak dan sebagainya. Misalnya, pelukis Sudjojono di galerinya di Pasar Minggu Jakarta, karyanya sangat lucu-lucu. Artinya, di situ ada kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat yang dia lihat. Contohnya soal jorok, kumuh, tukang judi, sabung ayam, semuanya itu disajikan dengan artistik yang menyedihkan. 18 18 Dodo Karundeng, “Di Mancanegara, Karya Kartunis Indonesia sudah Sejajar”, [Artikel online], tersedia di: www.mail-archive.com/[email protected]; diunduh 5 Maret 2007. 49 Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi Namun lain halnya dengan kartun-kartun sekarang kebanyakan grafis dan artistik. Bisa jadi di koran atau di majalah sebagai ilustrasi sebuah cerita. Garis atau arsirnya sangat disederhanakan, namun ekspresi dari pesan yang hendak disampaikan melalui objek-objek itu jelas. Misalnya, sedang marah, sedih, menangis, sedang bego dan sebagainya. Sekali lagi, kartun sekarang, walau garisnya sederhana, namun pesannya sampai. Peta kartunis di Indonesia, di dunia internasional, terutama di negara ASEAN, kartunis-kartunis di Indonesia sangat diperhitungkan saat ini. Artinya, di dalam segala macam lomba ataupun pameran, kartunis Indonesia selalu diundang. Juga tidak jarang para kartunis di Indonesia memenangkan salah satu kategori, meskipun itu belum menjadi pemenang utama atau pemecah rekor. Melihat hal itu, kartunis Indonesia berarti sudah dapat dipahami oleh orang-orang luar negeri, meskipun tanpa katakata. Hal ini berbeda kalau kita melihat kartun-kartun di Singapura dan Malaysia, sama sekali unsur-unsur kritikannya sangat lemah. Karena, pada dasarnya mereka dilarang untuk mengkritik dan menyindir pejabat tinggi atau tokoh-tokoh masyarakat. Di Malaysia, pesan karikatur politik semakin diperhalus. Kemudian lucunya ditambah, sehingga banyak hiasan saja. Esensi kartun itu penuh kritik namun tetap dalam koridor humor. Namun, banyak pihak yang masih alergi menghadapi kartun. Sebetulnya, gambar kartun itu adalah desain yang keluar atau ditumpahkan dari pemikiran-pemikiran yang sudah merupakan suatu kesimpulan. Kesimpulan dari suatu pembahasan dari suatu masalah, entah itu didapat dari koran, majalah, atau media lain. Kemudian itu ditumpahkan ke dalam sebuah gambar, kartun ataupun karikatur. Semua itu pasti mengandung ide-ide, ada visi, ada misi, ada semangat, dan ada harapan. Walaupun ada kartunis menggambar seseorang dipletat-pletotkan 19, sehingga karakternya kelihatan, itu bukanlah suatu penghinaan. Di sini sering kita lihat ada salah pengertian mengenai hal itu, sehingga hanya orang-orang Barat saja ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun yang kartunnya betul-betul kayak karikatur. Berbeda dengan orang Jepang dan Indonesia, baru dipletotkan sedikit, seperti hidungnya dipanjangkan atau matanya disipitkan dan kupingnya diperlebar sedikit, kemudian menjadi tersinggung. Mereka mengatakan saya bukan begini kayak sapi atau kayak gajah. Tetapi, sebetulnya tidak. Di masyarakat Indonesia, diketahui bahwa bertelinga besar itu adalah orang-orang yang punya kelebihan, orang bijaksana, orang yang mendengar dan mengerti serta orang-orang yang berani. 20 Sebenarnya simbol-simbol semacam itu adalah melengkapi dari perwajahan dimana memiliki makna yang bisa ditelaah panjang lebar. Namun, melihat hal itu, entah yang maju kartunisnya atau yang ketinggalan zaman para penikmatnya. Semua pihak semestinya paham, sehingga kartun pun bisa menonjolkan dirinya dan kartunisnya bisa mempertanggungjawabkan karyanya. Kenapa seorang kartunis menggambar itu. Ini yang harus dipahami, dia tidak hanya bekerja membuat kartun untuk sebagai bagian dari industri kartun, untuk mencari uang atau untuk suatu pekerjaan yang akhirnya menghasilkan. Tidak cuma itu. Kartunis itu punya visi, misi, semangat dan harapan serta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya lebih tinggi dari nilai pada uang. Kartun pun dapat masuk kedunia industri dalam artian, misalnya dengan sekelompok orang dalam kelompok kartunnya dengan membuat kartun. Mereka rata-rata membuat kartun dalam sehari semalam bisa puluhan. hal ini dapat dikatakan industri, karena dikerjakan secara massal. Setiap orang membuat kartun sebanyak-banyaknya, kemudian dikirimkan ke media massa sebanyak-banyaknya. Dari situ mereka mengharapkan hasil secara finansial. Ini artinya bahwa kartun itu tergantung pada media massa koran atau majalah. Ketika menjadi buku, isinya lebih dari limaratus gambar kartun, dan kemudian mencari target pembaca. Namun adanya kartun menjadi buku atau majalah kartun itu sebagai indikasi bahwa kartun ada yang suka dan kemudian mengoleksi kartun, tetapi, majalah 19 Proses pemiuhan atau istilah dari melebihlebihkan hingga menjadi bentuk objek yang distorsi, namun tidak menguragi keaslian dari objek gambar. Artinya tetap akan dikenali wujud yang digambar. 50 20 [Artikel online], tersedia di: www.mailarchive.com/[email protected]; diunduh 3 April 2007. Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi seperti itu tetap mampu juga untuk menjadi media belajar. Karena kartun yang penuh dengan muatan pesan yang mampu untuk menjadi penyegar ataupun penyadar tidak laku. Dengan memasuki pasar industri maka kartun tersebut bisa saja hilang akan maknanya, karena hanya mementingkan jumlah banyaknya kartun yang di terbitkan ketimbang niatnya sebagai media katalis. Di Indonesia, kartun muncul sekira tahun 1930-an. Kemunculannya dipelopori oleh Surono, Karyono, Kho Wang Gie, dan Norman Camil. Marcel Bonneff dalam buku “Komik Indonesia” menuliskan, di era tersebut, komik timur muncul berkat surat kabar “Sin Po” yang secara rutin memuat komik strip petualangan tokoh jenaka karya Kho Wang Gie. Dekade 50an, kartun karya Abdulrachim (Al) dan Muhammad Budino (Mobo) muncul di majalah “Terang Bulan”. Pada tahun itu pula, karyakarya Indri Sudono dan Sunarso muncul di “Penyebar Semangat”. 21 Di koran dan penerbitan serta tembok-tembok di beberapa kota besar di Indonesia antara 1945 - 1949 banyak dimuat dan tergambarkan berbagai kartun melawan penjajah. Gambarnya, tentara Jepang ditendang oleh kaki besar telanjang, dan tentara Inggris ditusuk. Tertulis "Jepang kita tendang, Inggris kita linggis." Saat Soekarno menyatakan Konfrontasi melawan Malaysia 1963, hampir setiap hari berbagai koran di Indonesia memuati karikatur yang menistakan Tengku Abdulrachman, Perdana Menteri Malaysia waktu itu. Slogan 'Ganyang Malaysia' disertai dengan gambar Tengku Abdulrahman sebagai boneka Inggris. Beberapa koran bahkan menggambarkannya bertubuh binatang, sebuah cara umum dan jamak dalam membangkitkan kebencian kolektif atas lawan lewat gambar kartun. Karakter Perdana Menteri itupun dibanting senilai tinjanya orang Inggris. 22 Di masa Orde Baru lain lagi. Setelah koran kiri macam Harian Rakyat, Bintang Timur, 21 “Kartun Indonesia”, [Artikel online], tersedia di: www.pikiran-rakyat.com; diunduh 15 Maret 2007. 22 “Pers Yang Terbelenggu”, [Artikel Online], tersedia di: www.ranesi.nl/tema/budaya/perang_ kartun_indo_aussie; diunduh 3 April 2007. ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun Suluh Marhaen, Swadesi dsb. diberangus atau mati perlahan-lahan, media pers Indonesia memang kehilangan kartunis politik yang hebat dan jenial karena ditangkap atau dibunuh seiring Pembantaian Massal 1965 dan pembersihan Sukarnois lewat operasi Bersih Lingkungan. Sensor pers dilakukan sangat ketat. Saat ke saat. Terbukti ketika Suluh Marhaen di Yogya, akhir 1960-an, memuat sebuah katun strip bercerita tentang bebekbebek gemuk bernama Hart Godean dan Tience Dembleb, koran itu dibredel dan karikaturisnya dipenjara tahunan lamanya. Setelah itu, tak satupun koran dan majalah di Indonesia berani memanfaatkan fungsi kartun editorialnya untuk mengkritik pemerintahan Orde Baru. Bila ada, hanya berupa sindiran dan amat sangat simbolik serta halus. Yang sama sekali tabu adalah memanfaatkan gambar untuk mempermainkan praktek-praktek biadab tentara dan kerakusan keluarga Cendana. 23 Kartun ataupun kartun politik, di antaranya memang efektif untuk dipakai menyerang golongan atau lawan lain yang dianggap berseberangan sikap, pemikiran dan ideologinya. Sesuai sifatnya yang mengusik emosi, menggelitik syaraf gelak, dan menghantarkan ke pemikiran kritis, sebuah kartun dengan penggambaran tertentu bisa dipakai untuk melukai perasaan atau membunuh karakter lawan. Di Indonesia, perkembangan kartun politik tidak begitu pesat bila dibandingkan dengan perkembangan komik, hal ini mungkin disebabkan kartun relative jarang dan tidak segera dimanfaatkan sebagai alat propaganda politik oleh pemerintah. Baru pada masa pendudukan, kartun dan poster mulai banyak digunakan. Namun, kemunculannya secara khusus dibawah perlindungan otoritas militer. Adapun target kartun-kartun tersebut umumnya “orang asing” seperti Belanda, Inggris, dan Amerika. 24 Dalam beberapa kasus, Sibarani menggunakan efek gelap-terang (Chiaroscuro) pada kartunnya, hal ini menjadikan kartun-kartun lebih berperan sebagai sarana pendidikan politik daripada ungkapan politis yang digunakan untuk menyerang lawan politiknya. De23 24 Ibid. M. Nashir Setiawan, op.cit., hal. 41. 51 Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun ngan demikian, chiaroscuro Sibarani merupakan alat untuk demistifikasi politik. Contoh gambar adalah sindiran terhadap Mr. Kasman Singodimedjo salah satu tokoh Masyumi yang didakwa telah membantu PRRI, Permesta dalam bentuk propaganda. 25 Selain Sibarani kartunis Bintang Timur yang lain adalah Delsy Syamsuar. Karya-karya kartunnya sebenarnya lebih mendekati ilustrasi berita. Namun, ia juga menghasilkan karya kartun yang bermuatan politik, seperti karyanya yang meyoroti konflik antara Indonesia dan Malaysia. Konteks peristiwanya mengenai pernyataan Perdana Menteri pemerintah revolusioner Kalimantan Utara, Encik Azhari yang memberi pernyataan pada pers di Manila, bahwa Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman merupakan alat imperialisme pemerintah Inggris. 26 ambil kebijakan dengan membatasi ruang gerak baik opini publik maupun opini redaksi. Kekhawatiran pemerintah terhadap pers pada akhirnya menimbulkan jurang pemisah antara pemerintah dengan kalangan jurnalistik. Tercatat dalam sejarah, pada masa Orde Baru, banyak intervensi pemerintah dengan melakukan pembredelan atau pencabutan lisensi, “budaya telepon” serta hegemoni ideide seperti “pers partner pemerintah” atau “kebebasan yang bertanggung jawab” 28 Pada era ini pemerintah berusaha menyeragamkan konstruksi esensi berita dengan menggunakan dalih ‘demi kepentingan stabilitas nasional’. Sementara itu para jurnalis melakukan langkah preventif, mereka mulai dengan muatan berita dan kartun editorialnya. Self cencorship semakin ketat dan berusaha untuk tidak merambah demarkasi taboo topics. 29 Pada tahun 1967 harian Kompas mulai menerbitkan kartun politik G.M Sudarta yang cukup dikenal dengan tokoh kartunnya “Oom Pasikom” mengawali kartun-kartunnya dalam bentuk kartun lepas dan belum mempunyai tokoh tetap. Kartun tersebut menggambarkan keberhasilan (mantan) Presiden Soeharto dalam membebaskan kepemimpinannya dari bayang-bayang karisma Soekarno dan konsepsi politik Orde Baru. 27 Baru pada awal 1991 terbuka kembali mata dan kesadaran orang Indonesia saat beredarnya sebuah Kalender poster bertajuk "Tanah Untuk Rakyat" yang berisi melulu kartun, dengan teknik Humor Hitam dan telah membuat pemerintahan Orde Baru, keluarga Cendana dan Militer secara serempak kebakaran jenggot. Kejaksaan Agung melarang peredaran, pemajangan, bahkan penyimpanan barang itu. Dan menginstruksikan penangkapan pembuatnya, hidup atau mati, serta menuduhnya telah melakukan tindakan subversif. Penerbitan kartun dengan nuansa humor merupakan strategi jitu menangkal “sapaan” penguasa rezim Orde Baru. Menurut G.M Sudarta, karikatur (baca: kartun) ala Indonesia memancing senyum untuk tiga hal: senyum untuk dikritik, agar tidak marah, dan supaya mau berdialog: senyum untuk masyarakat yang terwakili aspirasinya; dan senyum untuk karikaturisnya karena tidak ada rasa takut untuk dipenjarakan. Namun, pengungkapan kritik melalui kartun dengan kadar eufemisme dan sarat humor (tidak to do point); hal ini merupakan simbol ketidak berdayaan kita menghadapi kekuasaan. 30 Melihat kartun editorial di koran, terutama gambar kartun yang berhubungan dengan situasi politik bisa jadi petunjuk telah terjadinya loncatan besar keberanian dan kesadaran baru insan pers Indonesia. Bentuk editorial yang sangat khas dalam media cetak berupa gambar kartun atau karikatur. Gambar-gambar ini selain menyajikan visualisasi gambar yang bernuansa humor juga mempunyai muatan kritik, sindiran, dan harapan. Perkembangan kartun pada masa Orde Baru sebenarnya cukup marak dan kritis, namun rezim yang berkuasa mengkhawatirkan pengaruh kekuatan komunikasi pers terhadap masyarakat terutama kaum intelektual. Oleh karena itu, pemerintah secara perlahan meng25 Ibid., hal. 41-42. Ibid. hal. 42. 27 P. Swantoro (red), Membuka Cakrawala: 25 Tahun Indonesia dan Dunia dalam Tajuk Kompas, (Jakarta: PT Gramedia, 1990), hal. 18-19. 26 52 28 Dedy N. Hidayat, “Pers, Internet, dan Rumor dalam Proses Delegitimasi Rezim Soeharto”, Selo Soemardjan (ed), Kisah Perjuangan Reformasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999). hal. 348. 29 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, (Jakarta: Darul Falah, 1998), hal. 86-87. 30 GM Sudarta, Reformasi: Sejak Tumbangnya Orde Baru sampai Lahirnya Reformasi dalam Kartun, (Jakarta: Kompas, 2000), hal. xv. Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi Bentuk euphoria massa dalam konteks komunikasi politik, juga tercermin melalui kartunkartun editorial yang semakin berani dan kuantitas penerbitannya meningkat. hampir semua surat kabar menyediakan kolom untuk menyajikan kartun editorial. Berita-berita situasi politik negara yang panas, disajikan secara ringan, enak, dan lucu sehingga orang yang buta politik pun mampu mencerna.31 Jika penerbitan kartun tersebut tidak menyinggung simbol tertentu maka tidak akan ada menimbulkan reaksi ataupun sikap protes. Karena simbol adalah lambang yang mewakili nilai-nilai tertentu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja. Semisal ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol. Bagi Blumer interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis. 32 Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka; Kedua, makna tersebut berasal dan interaksi sosial seseorang dengan orang lain; Ketiga, makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi-sosial berlangsung. Dengan demikian aksi protes yang di gencarkan terhadap kartun oleh elit politik bukanlah tanpa suatu alasan. Hal ini tentunya didasari oleh pertimbangan-pertimbangan akan makna yang ada pada dari simbol itu. Apabila penghinaan itu di tujukan kepada simbol negara atau seorang presiden tentunya merupakan penghinaan besar juga bari rakyat Indonesia. Hal ini juga dikatakan oleh Richard Davetak dimana Simbol dapat mempengaruhi prilaku politik yang berpotensi melahirkan mass protest. Kekuatan pengaruh ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun simbol dalam hal ini Davetak menjelaskan sebagai berikut: 33 “The reality of power politics is always constituted through textuality and inscribed modes of representation. It concerned with exposing the textual interplay within power politics for the effects of textuality do not remain behind politics but are intrinsic to them”. Manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer sebagai proses “self-indication”. Self-indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu. 34 Apresiasi dan Ekspresi terhadap Kartun Politik Ketika kata “reformasi” mulai didengung-dengungkan menjelang akhir tahun 1997, perlahan membuka pintu keberanian masyarakat untuk mengeluarkan suara nuraninya, dan puncaknya terjadi setelah adanya pergantian pimpinan nasional hingga pemerintahan orde baru digantikan oleh pemerintahan kabinet Reformasi. Pers semakin berani menampilkan berita-berita faktual dan berupaya mengetengahkan informasi dari sumber-sumber yang terpercaya. Gambar kartun atau karikatur secara simbolis dapat digunakan untuk mengekspresikan maksud dan tujuan, yakni dengan bentuk dialog, gerak tubuh (gesture), ekspresi mimik, dan kadang menggunakan kata-kata sebagai penyerta gambar. Mengutip yang dikemukakan oleh Monty P. Satyadharma dalam Buletin Ilmiah Tarumanegara, menurut Kornreich dan Schimmel: 35 ”bahwa bentuk grafis simbolis sangat membuka peluang seseorang untuk lebih berani mengeksprseikan dirinya terhadap emosi ataupun agitasi yang ditekan. Selain itu, dinyatakan pula bahwa berkomunikasi melalui media gambar, membuat seseorang tidak akan merasa terancam karena takut mengaitkan hal-hal yang dianggap tabu. Bahkan sebaliknya, komunikasi dalam bentuk 31 A. Lukman dan Gelar Sutopo, Amien Rais: Jejak Langkah Bersejarah, (Jakarta: Nirmana, 1999), hal. 2. 32 Margaret M Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 258. 33 Richard Davetak, “Postmodernisme”, Scott Burchill, Theories of International Relation, (Macmillan: Palgrave, 2005). 34 Margaret M Poloma, op.cit., hal. 261 35 M. Nashir Setiawan, op.cit., hal. 11 53 Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun gambar visual memiliki kekuatan tersendiri akan penggambaran tentang suatu hal”. bila kartun digunakan sebagai media untuk pendidikan politik masyarakat. 38 Salah satu dari banyak media sebagai sarana yang lahir setelah Orde Baru memasuki reformasi sebagai wacana publik adalah kebebasan ekspresi dengan menggunakan media “kartun”. Kartun juga digunakan sebagai sarana komunikasi, karena kartun kaya akan permainan bahasa. Kartun menurut Anderson adalah: 36 Pada tahun 2006 dua kali berlangsung “peristiwa kartun” yang menimbulkan kebisingan. Pertama, kartun dalam sebuah tabloid di Denmark yang dianggap menghina agama, dan telah mengakibatkan gelombang protes di berbagai belahan bumi; kedua, kartun Presiden RI dalam sebuah tabloid di Autralia, yang juga menimbulkan keberangan sejumlah pihak di Indonesia.39 Pada kasus penerbitan kartun yang kedua menggambarkan seseorang tersebut dalam keadaan yang tidak pantas atau kartun tersebut bermaksud untuk melecehkan tokoh yang dijadikan sebagai objek pemberitaan di media massa tersebut. Kartun ini dapat di kategorikan juga sebagai kartun politik karena hal tersebut tentunya dapat mempengaruhi suhu politik yang sedang panas kedalam akibatnya yaitu hubungan antara kedua negara. “Aspek pertentangan dalam tradisi, penciptaan kartun sebenarnya bukanlah lebih mementingkan naluri untuk mengkritik, melainkan lebih menekankan fakta-fakta histories bahwa masyarakat telah memasuki bentuk komunikasi politik yang modern, dan tidak lagi menggunakan kekuatan atau kekuasaan. Lebih jauh ia mengemukakan bahwa kartun adalah alat untuk menciptakan kesadaran kolektif tanpa harus memasuki birokrasi atau berbagai bentuk kekuatan politik.” Meski begitu, menurut Benedict R.O’G. Anderson, dibandingkan dengan bentuk komunikasi politik lain, mungkin kartun dan karikatur merupakan bentuk yang paling terbaca. Karena sering diberi kata-kata tertulis, kartun terlihat dekat kepada dokumen tercetak konvensional. Selama sering merespons peristiwa-peristiwa bersejarah, kartun dapat, sekurang-kurangnya dalam satu tingkat, digali kandungan “faktual” nya. 37 Baik gambar-gambar komik kartun maupun karikatur merupakan metafora visual hasil ekspresi dan interpretasi atas lingkungan sosial politik yang tengah dihadapi oleh seniman pembuatnya. Perpaduan antara karya seni dengan bahasa yang digunakan menjadikan kartun penuh dengan muatan serta pesan yang disampaikan. Seperti yang dikatakan oleh Pramono R Pramoedja, mantan ketua Pakarti, kartun yang baik antara lain memiliki misi pendidikan, yaitu meningkatkan kemampuan berpikir dan perenungan bagi penikmatnya, meskipun mediumnya humor. Dengan gaya humor ini, maka kritik-kritik yang disampaikan oleh kartunis bisa lebih mengena dan tidak membuat sakit hati yang terkena kritikan. Dengan demikian pantaslah Kartun tidak hanyalah sebuah gambar-gambar lucu, yang membuat kita tertawa. Ia bisa saja menjadi sebuah “senjata” propaganda politik, yang tanpa teks pun dapat dipahami dengan mudah. Perang kartun sempat terjadi berkaitan dengan permintaan suaka beberapa warga Papua kepada pemerintah Australia beberapa waktu di tahun 2006. Seketika bermunculanlah beberapa kartun di media massa kedua negara, yang saling menghina, sehingga menimbulkan berbagai komentar dan kritik terhadap kedua kartun tersebut. Saling berbalas, hingga Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pun merasa perlu membuat pernyataan pers. Isu hubungan bilateral Indonesia-Australia seringkali juga dibakar oleh peran media dalam mengangkat isu-isu yang ada, baik media di Indonesia Maupun Australia. Kita masih ingat kasus David Jenkins dari the Sidney Morning Herald pada dekade 1980-an tentang kritik dan tulisannya mengenai keluarga Soeharto yang menyebabkan hubungan Jakarta-Canberra memanas. Media seringkali dianggap membuat isu-isu yang lebih condong memanaskan situasi ketimbang memba38 36 I Dewa Putu Wijana, op.cit., hal. 5. Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 133. 37 54 Hasil wawancara dengan Ketua Pakarti Medan, Pak Deny Adil Lubis, pada tanggal 11 Desember 2006. 39 Seno Gumira Ajidarma, Tabloid Intisari (Desember, 2006), hal. 97. Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010 Hadi Oki Cahyadi ngun secara konstruktif hubungan bilateral kedua negara. Mengingat karya seni itu berupa art simbol yang tidak secara langsung bisa diserap pembacanya, untuk memahaminya, masyarakat pembaca perlu mengikuti perkembangan sosial politik yang sedang terjadi.40 Seperti kartun “Panji Koming” yang menggunakan zaman Majapahit sebagai membrane pembungkus kisah-kisah petualangannya. Di sinilah anakronisme komik ini bebas bertualang melampaui batas-batas temporal, tempat, dialek budaya, bahkan peristilahan pada bahasa tertentu. Panji Koming sebagai kartun editorial cenderung menyentuh permasalahan bidang sosial politik. Sejak pertama kali muncul pada penerbitan hari Minggu 14 Oktober 1979, ia secara kritis melontarkan opini redaksional, terutama yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, pandangan dan prilaku-prilaku para petinggi negara, serta arogansi aparat militer selama masa Orde Baru, penerbitan berita atau opini yang berbau kritik terhadap pemerintah, kepala negara, petinggi negara, hingga aparat, selalu dihantui pembredelan atau pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). 41 Penutup Kartun, menjadi bagian tak terpisahkan dari peristiwa dan fenomena politik. Sebagian penerbitan kartun dalam bentuk karikatur misalnya, memilki makna simbolis yang menunjukkan adanya saran, kritik, dukungan dan perlawanan terahadap objek politik baik itu eksekutif, legislatif, partai politik, bahkan masyarakat itu sendiri. Karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa ada tidaknya penerbitan kartun di suatu negara dapat menjadi titik dasar untuk melihat apakah sebuah negara serius berdemokrasi atau tidak. Ini terkait dengan pertanyaan apakah ada jaminan dari pemerintah bagi kebebasan ekspresi, kreasi, menyampaikan kritik, dan saran-saran politik. Dalam hal ini kartun telah menjadi cara untuk menyampaikan pesan secara tidak langsung. Ia menjadi media komunikasi poli40 Heru Nugroho, “Menafsirkan Makna Sosial Karikatur”, Sketsa Tanah Mer(d)eka, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 1. 41 Agus Dermawan T, “Catatan Seni Rupa Indonesia 1998. Karikatur: “Rruaarrr’ Biasa”, Harian Umum Kompas, (3 Januari, 1999). ISSN: 0216-9290 Komunikasi Politik Lewat Kartun tik meskipun respon objek tidak selalu akan bernada positif, melainkan tergantung dari gaya kartun yang disampaikan. Penyebabnya adalah karena kartun merupakan bentuk karya seni rupa yang dapat mempengaruhi opini publik. Sejarah kartun di Indonesia menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto penerbitan kartun mendapat pantauan yang ketat. Sementara pada masa pemerintahan Soekarno, kartun menjadi alat propaganda politik, baik bagi kepentingan politik dalam negeri maupun bagi kepentingan politik luar negeri. Idealnya sebuah kartun menyampaikan gagasan yang di dalamnya mengandung pesan yang akan disampaikan bisa berupa fakta atau peristiwa aktual yang dikemas melalui humor yang berbentuk kartun. Namun penilaian terhadap kartun/ karikatur biasanya subjektif. Ada yang menilai menghina, tak patut, bercita-rasa rendah. Ada juga yang menilainya lucu, kritis dan kreatif. Objek-tivitas media massa menjadi penting sebagai bagian dari kontrol internal. Sementara seorang kartunis, sekalipun bisa bebas berekspresi, tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika yang ada di masyarakat. Daftar Pustaka Ajidarma, Seno Gumira. 2006. Tabloid Intisari (Desember). Atmakusumah. 1997. “Komik”, Ensiklopedi Nasional Indonesia 9. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. Al-Chaidar. 1998. Reformasi Prematur. Jakarta: Darul Falah. Berger, Arthur Asa. 1989. Seeing is Believing. California: Mayfield Publishing Co. Davetak, Richard. 2005. “Postmodernisme”. Scott Burchill. Theories of International Relation. Macmillan: Palgrave. Dermawan T, Agus. 1999. “Catatan Seni Rupa Indonesia 1998. Karikatur: “Rruaarrr’ Biasa”, Harian Umum Kompas (3 Januari). Hidayat, Dedy N. 1999. “Pers, Internet, dan Rumor dalam Proses Delegitimasi Rezim Soeharto”. Selo Soemardjan (ed). Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Karundeng, Dodo. 2007. “Di Mancanegara, Karya Kartunis Indonesia sudah Sejajar”. [Artikel online]. tersedia di: www.mail-archive.com /[email protected]; diunduh 5 Maret. “Kartun Dan Sejarahnya”. 2007. [Artikel online], tersedia di: www.pikiran-rakyat.com; di unduh 7 April 2007. Lukman, A. dan Gelar Sutopo. 1999. Amien Rais: Jejak Langkah Bersejarah. Jakarta: Nirmana. 55