BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Pengantar Perpajakan
II.1.1. Pengertian Dan Fungsi Pajak
Definisi pajak menurut Soemitro. R yang dikutip Mardiasmo (2006),
”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.”(h.1)
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri:
1. Merupakan iuran rakyat kepada negara
2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
3. Tanpa jasa timbal (kontra prestasi) dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk.
4. Pajak digunakan untuk membayar pengeluaran umum yang bermanfaat bagi
masyarakat luas.
5. Pajak dapat dipaksakan (bersifat yuridis)
Menurut Mardiasmo (2006), ”Fungsi pajak ada dua, yaitu:
1. Fungsi budgeter
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya.
2. Fungsi regulerend
6
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contoh:
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras utnuk mengurangi
konsumsi minuman keras.
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.
c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk
Indonesia di pasaran dunia.” (h.3)
II.1.2 Syarat Pemungutan Pajak
Mardiasmo
(2006)
menjelaskan,
”Agar
pemungutan
pajak
tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan
pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya
yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis
Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)
7
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara
maupun warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan,
sehingga
tidak
menimbulkan
kelesuan
perekonomian
masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)
Sesuai fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga
lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Contoh:
•
Bea meterai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
•
Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu
10%.
•
Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan (orang pribadi).
8
II.1.3. Pengertian Dan Kedudukan Hukum Pajak
Mardiasmo (2006), mengemukakan bahwa, ”Hukum pajak mengatur
hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai
wajib pajak.” (h.5) Ada 2 macam hukum pajak yakni:
1. Hukum Pajak Materiil
Memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa
hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek
pajak), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul
dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib
pajak.
Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan.
2. Hukum Pajak Formil
Memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil).
Hukum ini antara lain memuat:
a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak
mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan utang
pajak.
c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan, dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan
banding.
Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
9
II.1.4. Pengelompokkan Pajak Dan Tarif Pajak
Pengelompokkan pajak menurut Mardiasmo (2006) dibagi menjadi:
1. Menurut Golongannya
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak
dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Penghasilan
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh: Pajak Penghasilan
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut Lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Meterai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak daerah teerdiri atas:
10
•
Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi), contoh: Pajak Kendaraan Bermotor
dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
•
Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), contoh: Pajak Hotel dan
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan.
Tarif Pajak ada 4 macam:
1. Tarif Sebanding/Proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai
pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap nilai yang
dikenai pajak.
Contoh: Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean
akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.
2. Tarif Tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai
pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh: Besarnya tarif bea meterai untuk surat yang memuat nilai uang di atas
Rp 1.000.000,00 adalah Rp 6.000,00.
3. Tarif Progresif
Pesentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.
Contoh: Tarif PPh pasal 17 UU No.17 tahun 2000 untuk wajib pajak orang
pribadi adalah:
•
Sampai dengan Rp 25.000.000,00
5%
•
Di atas Rp 25.000.000,00 - Rp 50.000.000,00
10%
11
•
Di atas Rp 50.000.000,00 - Rp 100.000.000,00
15%
•
Di atas Rp 100.000.000,00 – Rp 200.000.000,00
25%
•
Di atas Rp 200.000.000,00
35%
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi:
a. Tarif progresif progresif
: kenaikan persentase semakin besar
b. Tarif progresif tetap
: kenaikan persentase tetap
c. Tarif progresif degresif
: kenaikan persentase semakin kecil
4. Tarif Degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.
II.1.5. Tata Cara Pemungutan Pajak
1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel:
a. Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undangundang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya, sehinggga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
12
c. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan
yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari
pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah.
Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2.
Asas Pemungutan Pajak
a. Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak
yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari
dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam
negeri.
b. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya
pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan
kebangsan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku
unutk wajib pajak luar negeri.
3. Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assessment System
13
Adalah sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya:
•
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
•
Wajib pajak bersifat pasif.
•
Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
•
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib
pajak sendiri.
•
Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
•
Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya:
•
Wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak ketiga,
pihak selain fiskus dan wajib pajak.
14
II.1.6. Timbul Dan Hapusnya Utang Pajak
Mardiasmo (2006) menjelaskan bahwa ada dua ajaran yang mengatur
timbulnya utang pajak, yaitu:
1. Ajaran Formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Ajaran ini diterapkan pada official assessment system.
2. Ajaran Materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai
pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self
assessment system.
Dan, hapusnya utang pajak menurut Mardiasmo (2006) dapat disebabkan
karena beberapa hal:
1. Pembayaran
2. Kompensasi
3. Daluwarsa
4. Pembebasan dan penghapusan
II.1.7. Hambatan Pemungutan Pajak
Mardiasmo (2006) mengelompokkan hambatan terhadap pemungutan pajak
menjadi dua, yaitu:
1. Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami oleh masyarakat.
15
c. Sistem kontrol yang tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain:
a. Tax avoidance, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar undang-undang.
b. Tax evasion, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar
undang-undang (menggelapkan pajak).
II.2. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
II.2.1. Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 23
Pajak penghasilan pasal 23 memiliki dasar hukum yang mengatur tentang
segala aspeknya, antara lain:
1. Pasal 23 Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas
Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 50/PJ/1994 tanggal 27 Desember 1994.
3. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 128/PJ/1997.
4. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 176/PJ/2000.
5. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 96/DPJ/2001 tanggal 21 Februari 2001.
6. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 170/PJ/2002 berlaku sejak tanggal 28
Maret 2002, mengatur tentang perkiraan penghasilan netto dan tarif efektif
Pajak Penghasilan pasal 23.
7. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 178/PJ/2006 tanggal 26 Desember 2006.
16
8. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tanggal 9 April 2007.
II.2.2. Dokumen Perpajakan Pajak Penghasilan Pasal 23
Dalam proses pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan pasal 23
harus dilengkapi dengan berbagai dokumen yang mendukung. Berikut ini adalah
dokumen yang diperlukan mulai dari terjadinya transaksi sampai dengan
pelaporan:
1. Kontrak kerja, yaitu surat perjanjian kerja sama pihak penerima jasa dengan
pihak pemberi jasa. Dalam kontrak kerja harus dituliskan secara jelas mengenai
jenis pekerjaan atau jasa, nilai kontrak, masa kontrak kerja, dan pajak yang
dikenakan (PPN/PPh). Kontak kerja ini ditandatangani oleh kedua belah pihak.
2. Dokumen tagihan yaitu faktur pajak, invoice, kwitansi untuk melakukan
penagihan kepada pihak yang menerima jasa.
3. Bukti pemotongan Pajak Penghasilan pasal 23 yang dibuat oleh pihak yang
melakukan pemotongan pajak, yaitu penerima jasa dan lembar asli diserahkan
kepada pihak pemberi jasa.
4. Surat Setoran Pajak (SSP), yaitu surat yang digunakan sebagai sarana untuk
menyetorkan pajak penghasilan pasal 23 yang telah dipungut ke kas negara.
5. Surat Pemberitahuan Masa (SPM) Pajak Penghasilan pasal 23, yaitu formulir
yang digunakan wajib pajak untuk melaporkan pajak penghasilan pasal 23
yang telah dipotong, dan disetor ke kas negara dengan dilampiri bukti
pemotongan pajak penghasilan pasal 23 dan surat setoran pajak (SSP).
17
II.2.3. Kewajiban Dan Hak Wajib Pajak Dalam Pajak Penghasilan Pasal 23
Kewajiban wajib pajak baik dilihat dari segi pemberi penghasilan dan
penerima penghasilan meliputi:
1. Mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) atau Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
2. Melakukan pemotongan pajak penghasilan pasal 23 atas penghasilan yang
dibayarkan pemberi jasa yang merupakan objek pajak penghasilan pasal 23.
3. Membuat bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 23 sebanyak 3 rangkap.
4. Menyerahkan bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 23 kepada pihak
pemberi jasa lembar aslinya.
5. Menyetorkan pajak penghasilan pasal 23 yang telah dipungut ke kas negara
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
6. Melaporkan pajak penghasilan pasal 23 ke kantor pelayanan pajak setempat
paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada
hari kerja sebelumnya.
Sedangkan, hak yang dapat diperoleh sebagai penerima penghasilan adalah:
1. Mendapatkan bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 23.
2. Mendapatkan surat setoran pajak lembar ke-5 atas penyetoran pajak
penghasilan pasal 23 apabila diperlukan.
18
II.2.4. Sanksi Perpajakan Pajak Penghasilan Pasal 23
Dalam melakukan kewajiban pajaknya, wajib pajak seringkali melakukan
pelanggaran. Misalnya, terlambat melaporkan Surat Pemberitahuan Masa (SPM),
tidak atau terlambat menyetorkan pajak yang terutang, atau menyetorkan pajaknya
lebih kecil dari jumlah yang harus dibayarkan sehingga menimbulkan utang pajak.
Atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak tersebut,
pemerintah menetapkan sanksi, yaitu:
1. Sanksi Administrasi
•
Bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan bagi wajib pajak yang memiliki
pajak kurang bayar.
•
Denda administrasi SPT Masa Rp 50.000,00 bagi wajib pajak yang tidak
atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh pasal 23.
•
Kenaikan sebesar 50% (pasal 8 ayat 5 UU No. 16 tahun 2000) untuk pajak
yang kurang bayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
2. Sanksi Pidana
•
Dalam pasal 39 Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa bagi wajib pajak yang
tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana
19
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
II.2.5. Pencatatan Dan Pembukuan
Berdasarkan Ketentuan Pasal 28 UU No. 9 tahun 1994 sebagaimana telah
diubah seluruhnya dengan Pasal 28 UU No. 16 tahun 2000 menyebutkan bahwa
wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dan wajib pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Dalam Sirkuler No. SE-50/PJ.71/1989 menyebutkan 3 (tiga) arti
pentingnya pencatatan dan pembukuan untuk perpajakan, yaitu:
1. Mempermudah wajib pajak dalam mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT)-nya.
2. Mempermudah perhitungan besarnya penghasilan kena pajak (PKP).
3. Penyajian informasi tentang posisi finansial dan hasil usaha (pekerjaan bebas
wajib pajak) untuk analisis maupun pengambilan keputusan ekonomis
perusahaan.
Metode pencatatan menurut ketentuan perpajakan dalam mencatat transaksi
yang merupakan objek pajak PPh pasal 23 ada 2, yaitu:
1. Cash Basis, yaitu pencatatan berdasarkan pembayaran sehingga terutangnya
PPh pasal 23 pada saat pembayaran.
2. Accrual Basis, yaitu pencatatan pada saat terjadinya transaksi langsung
dilakukan pencatatan dalam pembukuan, bukan berdasarkan pembayaran,
sehingga PPh 23 terutang dan harus dipotong pada saat pembebanan.
20
Berdasarkan hal tersebut, berarti pada saat terjadinya transaksi akan langsung
dibukukan sebagai PPh pasal 23 yang terutang.
Persyaratan atau ketentuan pembukuan menurut pasal 28 Undang-undang
Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan antara lain:
1. Pembukuan harus diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban
atau utang, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian.
3. Pembukuan harus ditutup setiap akhir tahun dengan membuat neraca dan
laporan laba rugi berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten)
dengan tahun sebelumnya.
4. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan huruf
latin, angka Arab, dengan bahasa Indonesia dan satuan mata uang rupiah (atau
dengan bahasa Inggris dan mata uang US$ dengan izin Menteri Keuangan).
5. Pembukuan atau pencatatan dan dokumen yang menjadi dasarnya serta
dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha (pekerjaan bebas)
harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun.
II.3. Pemotongan Pajak Penghasilan
II.3.1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2
II.3.1.1. Pengertian PPh Pasal 4 ayat 2
Ketentuan PPh Pasal 4 ayat (2) mengatur tentang perlakuan
perpajakan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lannya di bursa
21
efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan
serta penghasilan tertentu lainnya.
II.3.1.2. Jenis Penghasilan Yang Dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2
II.3.1.2.a. Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/ Atau
Bangunan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2002
jo KMK Nomor: 120/KMK.03/2002, atas penghasilan berupa sewa
atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun,
apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau
pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko,
gudang dan bangunan industri dikenakan PPh yang bersifat final.
Besarnya Pajak penghasilan yang terutang bagi Wajib
Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak badan yang menerima
atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan atau
bangunan adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai
persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat final.
Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua
jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewakan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan
tanah dan / atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan,
biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan service charge baik yang
perjanjiannya terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian
persewaan yang bersangkutan.
Tata Cara Pelunasan PPh atas sewa Tanah dan atau Bangunan yaitu:
22
a.
Melalui pemotongan oleh penyewa dalam hal penyewa adalah
badan
pemerintah,
Subjek
Pajak
badan
dalam
negeri,
penyelenggara kegiatan, BUT, kerjasama operasi, perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang
ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
b. Melalui penyetoran sendiri oleh yang menyewakan dalam hal
penyewa adalah orang pribadi atau bukan subjek pajak, selain
yang disebutkan pada huruf a di atas.
II.3.1.2.b. Penghasilan Dari Obligasi Yang Diperdagangkan Di
Bursa Efek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002
jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 121/KMK.04/2002, atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib pajak berupa bunga
dan diskonto obigasi yang diperdagangkan di bursa efek dan atau
yang dilaporkan di bursa efek, dikenakan pemotongan PPh yang
bersifat final, kecuali bagi Wajib Pajak tertentu.
II.3.1.2.c. Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/ Atau Bangunan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999
jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 566/KMK.04/1999 jo. SE55/PJ.42/1999, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan / atau
bangunan, baik dalam kegiatan usahanya maupun diluar usahanya,
23
wajib dibayar atau dipungut Pajak Penghasilan pada saat terjadinya
transaksi tersebut.
Yang dimaksud dengan pengalihan hak atas tanah dan /
atau bangunan adalah:
a. penjualan,
tukar-menukar
,
perjanjian
pemindahan
hak,
pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang
disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.
b. Penjualan, tukar-menukar termasuk ruishlag, pelepasan hak,
penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan
Pemerintah
guna
pelaksanaan
pembangunan
termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan
persyaratan khusus.
c. Penjualan, tukar-menukar termasuk ruislag, pelepasan hak,
penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna
pelaksanaan pembagunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus.
Tarif yang dikenakan atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan adalah 5 % dari jumlah bruto nilai
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.
II.3.1.2.d. Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto SBI
Berdasarkan Peraturan Pemernitah Nomor 131 Tahun
2000 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001,
atas penghasilan berupa bunga dengan nama dan dalam bentuk
24
apapun yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan
serta
diskonto
Sertifikat
Bank
Indonesia
dipotong
Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam
bentuk apapun, termasuk deposito berjangka, sertifikat deposito dan
“deposito on call” baik dalam mata uang rupiah maupun dalam
mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan pada atau
diterbitkan oleh bank.
Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama
apapun, termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing bank.
Termasuk dalam pengertian deposito dan tabungan seperti
disebutkan di atas adalah deposito dan tabungan dalam rupiah
maupun valuta asing yang ditempatkan di luar negeri melalui bank
yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.
Besarnya tarif Pajak Penghasilan atas penghasilan
berupa bunga dan diskonto adalah sebagai berikut:
a. Dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan bersifat final sebesar
20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto terhadap Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
b. Dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan bersifat final sebesar
20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif
25
berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang
berlaku terhadap Wajib Pajak luar negeri.
II.3.1.2.e. Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham Di
Bursa Efek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1997
jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 jo. SE06/PJ.4/1997, penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek
dipungut PPh final dengan tarif sebagai berikut:
1. 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan
2. Bagi pemilik saham pendiri dikenakan PPh sebesar:
a. 0,1% x Nilai transaksi + 0,5% dari nilai saham pada 30
Desember
1996,
dalam
hal
saham
tersebut
telah
diperdagangkan di bursa efek sebelum 31 Desember 1996.
b. 0,1% x nilai transaksi + 0,5% dari nilai saham saat IPO,
dalam hal saham tersebut diperdagangkan di bursa efek pada
atau setelah 1 Januari 1997.
II.3.2. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
II.3.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23
Mengacu pada pendapat Mardiasmo (2006) yang menjelaskan
bahwa ketentuan dalam pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan
mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
26
wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, dibayarkan atau terutang oleh
badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.(h.210)
II.3.2.2. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23
Pemotong PPh pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan
penghasilan, yang terdiri atas:
1. Badan Pemerintah.
2. Subjek Pajak badan dalam negeri.
3. Penyelenggara kegiatan.
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang telah mendapat
penunjukkan dari Direktur Jendral Pajak untuk memotong pajak
penghasilan pasal 23, yang meliputi:
a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan
konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan.
27
II.3.2.3.
Subjek Yang Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 23
Yang dikenakan pemotongan pajak penghasilan pasal 23 adalah
wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21.
II.3.2.4. Objek Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23
Penghasilan yang dikenakan pemotongan pajak penghasilan pasal
23 adalah:
1. Dividen.
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian hutang.
3. Royalti.
4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Pengasilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
5. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi.
6. Imbalan sehubungan dengan jas teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong
pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
28
II.3.2.5 Pengecualian Objek Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23
Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan pajak
penghasilan pasal 23 adalah:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna
usaha dengan hak opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseoan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, yayasan, atau organisasi
yang sejenis, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
4. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana.
5. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut:
a. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan Menteri
Keuangan, dan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya.
7. Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
29
II.3.2.6. Dasar Dan Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23
Menurut Mardiasmo (2006), ada 2 (dua) dasar pemotongan, yaitu:
1. Dari jumlah bruto, untuk penghasilan berupa:
a. Dividen.
b. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian hutang.
c. Royalti.
d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak
sebagaiman dimaksud dalam pasal 21.
2. Dari perkiraan penghasilan netto, untuk penghasilan berupa:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong
pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
Sedangkan tarif pemotongan pajak penghasilan pasal 23 adalah:
1. 15% dari penghasilan bruto atas penghasilan berupa:
a. Dividen.
b. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian hutang.
c. Royalti.
d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
2. 15% dari perkiraan penghasilan netto atas penghasilan berupa:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
30
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konsultan hukum , jasa konsultan pajak, dan jasa lain selain yang
telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
II.3.2.7. Perkiraan Penghasilan Netto
Perkiraan penghasilan netto dan tarif efektif Pajak Penghasilan
Pasal 23 diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 170/PJ/2002
berlaku sejak tanggal 28 Maret 2002 sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 178/PJ/2006 tanggal 26 Desember
2006 dan diubah terakhir dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER70/PJ/2007 tanggal 9 April .
Berikut ini adalah perbandingan perkiraan penghasilan netto dan
tarif efektif Pajak Panghasilan Pasal 23 berdasarkan peraturan yang berlaku
dari tahun ke tahun.
PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA DAN
PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA KECUALI
SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PERSEWAAN TANAH
DAN ATAU BANGUNAN YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK PENGHASILAN YANG
BERSIFAT FINAL
NO
1.
JENIS PENGHASILAN
Sewa dan penghasilan lain sehubungan
PERKIRAAN PENGHASILAN NETO
KEP-
PER-
PER-
170/PJ/2002
178/PJ/2006
70/PJ/2007
20 %
20 %
10 %
31
Dari jumlah
Dari jumlah
Dari jumlah
bruto tidak
bruto tidak
bruto tidak
termasuk
termasuk
termasuk
PPN
PPN
PPN
Sewa dan penghasilan lain sehubungan
40 %
40 %
30 %
dengan penggunaan harta, kecuali sewa
Dari jumlah
Dari jumlah
Dari jumlah
dan
bruto tidak
bruto tidak
bruto tidak
dengan persewaaan tanah dan atau
termasuk
termasuk
termasuk
bangunan yang telah dikenakan Pajak
PPN.
PPN.
PPN.
dengan
penggunaan
harta
khusus
kendaraan angkutan darat.
2.
penghasilan
Penghasilan
yang
lain
sehubungan
bersifat
final
berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
29
tahun
1996
dan
sewa
dan
penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta khusus angkutan
darat.
JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS JASA
TEKNIK, JASA MANAJEMEN, JASA KONSTRUKSI, JASA KONSULTAN DAN JASA
LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT 1 HURUF C UNDANGUNDANG NO. 7 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2000
NO.
JENIS PENGHASILAN
PERKIRAAN PENGHASILAN NETO
KEPPERPER170/PJ/2002
178/PJ/2006
70/PJ/2007
32
1.
50 %
30 %
30 %
Dari jumlah
Dari jumlah
Dari jumlah
bruto tidak
bruto tidak
bruto tidak
termasuk
termasuk
termasuk PPN
e. Jasa aktuaris.
PPN
PPN
a. Jasa teknik dan jasa manajemen
40 %
40 %
30 %
Dari jumlah
Dari jumlah
Dari jumlah
bruto tidak
bruto tidak
bruto tidak
termasuk
termasuk
termasuk PPN
PPN
PPN
13 1/3 %
13 1/3 %
a. Jasa profesi.
b. Jasa konsultan, kecuali konsultan
konstruksi.
c. Jasa akuntansi dan pembukuan.
d. Jasa penilaian.
2.
b. Jasa perancang / desain :
•
Jasa perancang interior dan
jasa perancang pertamanan;
•
Jasa perancang mesin dan jasa
perancang peralatan;
•
Jasa
perancang
alat-alat
transportasi / kendaraan;
•
Jasa perancang iklan / logo;
•
Jasa perancang alat kemasan.
c. Jasa instalasi / pemasangan :
•
Jasa instalasi / pemasangan
mesin,
Dari jumlah
Dari jumlah
bruto tidak
bruto tidak
listrik/telepon/air/gas/AC/TV
kabel, kecuali untuk wajib
pajak
yang
ruang
lingkup
di
bidang
pekerjaannya
konstruksi
dan
termasuk
PPN
termasuk
30 %
Dari jumlah
bruto tidak
termasuk PPN
PPN
mempunyai
izin/sertifikasi
sebagai
pengusaha konstruksi;
•
Jasa instalasi / pemasangan
peralatan;
13 1/3 %
13 1/3 %
Dari jumlah
Dari jumlah
bruto tidak
bruto tidak
d. Jasa perawatan / pemeliharaan /
perbaikan :
•
Jasa perawatan / pemeliharaan
/
perbaikan
termasuk
termasuk
30%
Dari jumlah
bruto tidak
termasuk PPN
mesin,
33
listrik/telepon/air/gas/AC/TV
PPN
PPN
kabel;
•
Jasa perawatan / pemeliharaan
/ perbaikan peralatan;
•
Jasa perawatan / pemeliharaan
/
perbaikan
alat-alat
transportasi/kendaraan;
•
Jasa perawatan / pemeliharaan
/ pebaikan bangunan, kecuali
yang dilakukan oleh wajib
pajak
yang
ruang
lingkup
di
bidang
pekerjaannya
konstruksi
dan
30%
mempunyai
izin/sertifikasi
sebangai
pengusaha konstruksi.
e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di
40 %
Dari jumlah
Dari jumlah
bruto tidak
bruto tidak
termasuk PPN
bidang penambangan minyak dan
gas bumi (migas), kecuali yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap
termasuk
PPN
(BUT).
f.
Jasa
penunjang
di
bidang
penambangan migas.
g. Jasa
penambangan
penunjang
dan
di
jasa
bidang
penambangan selain migas.
h. Jasa
penunjang
di
bidang
penerbangan dan bandar udara.
i.
Jasa penebangan hutan termasuk
land clearing.
j.
Jasa pengolahan / pembuangan
Dari jumlah
limbah.
bruto tidak
k. Jasa maklon.
l.
Jasa
rekruitment
tenaga kerja.
20 %
/
penyedia
termasuk PPN
30 %
34
Dari jumlah
m. Jasa perantara.
n. Jasa di bidang perdagangan suratsurat
berharga,
kecuali
bruto tidak
yang
termasuk PPN
dilakukan oleh BEJ, BES, KSEI,
dan KPEI.
o. Jasa kustodian / penyimpanan /
penitipan, kecuali yang dilakukan
KSEI dan tidak termasuk sewa
gudang yang telah dikenakan PPh
final
berdasarkan
Peraturan
Pemerintah No. 29 tahun 1996.
p. Jasa telekomunikasi yang bukan
untuk umum.
q. Jasa
pengisian
sulih
suara
(dubbing) dan atau mixing film.
r.
Jasa pemanfaatan informasi di
bidang teknologi, termasuk jasa
internet.
s.
Jasa sehubungan dengan software
komputer, termasuk perawatan,
pemeliharaan, dan perbaikan.
3.
Jasa
pelaksanaan
konstruksi,
13 1/3 %
13 1/3 %
13 1/3 %
/
Dari jumlah
Dari jumlah
Dari jumlah
pemeliharaan / perbaikan bangunan,
bruto tidak
bruto tidak
imbalan yang
jasa instalasi / pemasangan mesin,
termasuk
termasuk
dibayarkan
PPN
seluruhnya
termasuk
jasa
perawatan
listrik/telepon/air/AC/TV
kabel,
sepanjang masa tersebut dilakukan
wajib pajak yang ruang lingkup
PPN
termasuk
pekerjaannya di bidang konstruksi
dan
mempunyai
izin/sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi.
pemberian jasa
dan pengadaan
meterial/
barang tidak
35
termasuk PPN
4.
a. Jasa perencanaan konstruksi.
26 2/3 % dari
13 1/3 %
b. Jasa pengawasan konstruksi.
jumlah bruto
Dari jumlah
tidak
bruto tidak
temasuk PPN
termasuk
PPN
26 2/3 % dari
jumlah imbalan
yang
dibayarkan
seluruhnya
termasuk
pemberian jasa
dan pengadaan
material/barang
tidak temasuk
PPN
5.
a. Jasa pembasmian hama dan jasa
10 %
10 %
10 %
pembersihan.
Dari jumlah
Dari jumlah
Dari jumlah
b. Jasa catering.
bruto tidak
bruto tidak
termasuk
termasuk
PPN
PPN
c. Jasa
selain
diatas
jasa-jasa
yang
tersebut
pembayarannya
bruto tidak
termasuk PPN
dibebankan pada APBN atau
APBD.
II.3.2.8. Tata Cara Pemotongan Dan Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 23
Pada prinsipnya, kegiatan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 23 dilakukan secara desentralisasi, yaitu di tempat
terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang menjadi objek
Pajak Penghasilan Pasal 23.
36
Mengacu pada pendapat Barata & Djuhadiat (2007), Pajak
Penghasilan Pasal 23 harus dipotong pada saat dibayarkan atau pada saat
terutang, atau mana yang lebih dahulu terjadi antara keduanya. Akan tetapi
pada umumnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah pada saat pembayaran,
karena dianggap lebih adil bagi wajib pajak.
Besarnya PPh Pasal 23 yang akan dipotong harus sesuai dengan
ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Contoh: Perhitungan
PPh Pasal 23 pada PT. LJF untuk tahun 2005 mengacu pada Keputusan
Dirjen Pajak Nomor KEP 170/PJ/2002 yang berlaku sejak tanggal 28 Maret
2002, mengatur tentang perkiraan penghasilan netto dan tarif efektif Pajak
Penghasilan pasal 23.
Atas pemotongan pajak yang telah dilakukan, pihak pemotong
pajak berkewajiban membuat bukti pemotongan PPh Pasal 23 sebanyak 3
rangkap. Lembar asli diserahkan kepada pihak penerima penghasilan,
lembar 2 dilaporkan ke kantor pajak oleh pihak pemotong, dan lembar 3
untuk arsip pemotong pajak.
II.3.2.9. Saat Terutang Dan Tata Cara Penyetoran Serta Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 23
Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pada bulan
dilakukannya pembayaran atau pada bulan terutangnya penghasilan yang
bersangkutan.
Atas PPh Pasal 23 yang telah dipotong, pihak pemotong pajak
berkewajiban untuk menyetorkannya ke kas Negara melalui kantor pos dan
37
giro atau melalui bank persepsi dengan menggunakan surat setoran pajak
(SSP) paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat
terutangnya pajak. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka
penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.
PPh Pasal 23 yang telah dipotong dan disetorkan ke kas Negara
harus dilakukan pelaporan ke kantor pelayanan pajak (KPP) setempat
selambat-lambatnya tanggal 20 setelah bulan saat terutang pajak. Apabila
tanggal 20 jatuh pada hari libur maka pelaporan dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Cara pelaporan PPh Pasal 23 yaitu dengan menggunakan SPT
Masa PPh Pasal 23 dan dilampiri lembar ke 3 surat setoran pajak, lembar
ke 2 bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan daftar bukti pemotongan PPh
Pasal 23. Sebagai bukti pelaporan, wajib pajak akan memperoleh bukti
penerimaan surat dari kantor pajak.
38
Download