1 Pengaruh Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw vs Pembelajaran Langsung dan Kemampuan Penalaran terhadap Prestasi Belajar Sosiologi dan Keterampilan Sosial Siswa di SMA Tikno Anianto Abstract: The lowness of senior high school students’s social skill is caused in learning process of sociology subject emphasize too much in cognitive ability only, mainly towards the lowest cognitive dimension level. Sociology learning process emphasizes in memorizing concept and ignoring other cognitive aspects. Besides, teachers are used to carrying out lerning process by using direct instruction strategy which tends to teacher centered. As a result, the students do not have chances to share their ability and skill each other lind the learning process. The purposes of the research are as follow to examin the effectivenes of learning achievement and social skill students’s by using jigsaw type cooperative learning strategy. This research involved quasi-experiment with factorial 2 x 2 design consisting of pretest-treatment-posttest procedure. The subject of the research consisted of 45 students, class XI IPS 1 treated or taught by using jigsaw type cooperative learning strategy, and 44 students, class XI IPS 2 treated or taught by using direct instruction strategy. The instrument which is used to measure learning achievement was an essay test that consists of 10 items, wheres the students’s social skill was measured by questionnaire consists of 25 questions. Then the data which are collected were analyzed by using Manova technic with the the computer aid of program SPSS 13.0 for windows.The results of the datum analysis show that: wholly, there is a significant difference between the group of students who were taught by using jigsaw type cooperative learning strategy and the group of students who were taught by using direct instruction strategy on learning achievement and social skill. There is a not a significant interaction between two different learning strategies and different reasoning ability grade on sociology learning achievement and social skill. Suggestion for the utilization of research result: jigsaw type cooperative learning strategy very suitable for increasing students’s learning achievement and social skill during learning process. Key Words: jigsaw type cooperative learning strategy, direct instruction, reasoning ability, learning achievements, social skill Rendahnya keterampilan sosial siswa pada pembelajaran sosiologi tingkat SMA disebabkan dalam pembelajaran sosiologi terlalu menekankan kemampuan kognitif saja, terutama mengarah pada tataran dimensi kognitif yang paling rendah. Pembelajaran sosiologi mementingkan pada penghafalan konsep dan mengabaikan aspek-aspek 2 kognitif yang lain. Selain itu guru dalam melaksanakan pembelajaran masih terbiasa dengan penggunaan strategi pembelajaran langsung yang cenderung berpusat pada guru. Akibatnya siswa tidak mendapatkan kesempatan untuk saling berbagi kemampuan dan ketrampilan antara sesama mereka dalam proses pembelajaran. Menurut France (2004) cara pembelajaran yang berpusat pada guru ini bukan pembelajaran yang baik. Pembelajaran harus berpusat pada siswa, yang menuntut terjadinya interdiciplinary informasi dan pengetahuan, serta menghasilkan keterampilan berpikir tingkatan lebih tinggi (higher order thinking skills), bukan sekadar keterampilan berpikir tingkatan lebih rendah (lower thinking skills). Kelas yang berpusat pada siswa, menuntut siswa untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Meir (1999) menyatakan bahwa belajar bukanlah aktivitas yang hanya bisa ditonton, melainkan sangat membutuhkan peran serta semua pihak. Belajar bukan hanya menyerap informasi secara pasif melainkan aktif menciptakan pengetahuan dan keterampilan. Upaya belajar benar-benar bergantung pada siswa dan bukan merupakan tanggung jawab perancang atau fasilitatornya. Aktivitas siswa ini menurut Suparno (2002) dicirikan oleh dua aktivitas yaitu aktif dalam berpikir (mindson) dan aktif dalam berbuat (hands- on). Oleh karena itu, dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat dikatakan terjadi aktivitas belajar apabila terjadi perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman (Dimyati dan Mujiono, 2006). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa peran guru dalam proses pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan siswa aktif dan mudah belajar, memberikan kondisi kondusif yang mampu menciptakan pembelajaran bermakna secara signifikan bagi siswa. Untuk itu, diperlukan suatu strategi pembelajaran yang lebih mengarahkan siswa agar terlibat secara aktif di dalam proses pembelajarannya. Satu unsur penting berkaitan dengan strategi pembelajaran menurut Degeng (2002) adalah bagaimana menata lingkungan belajar agar benar-benar merupakan aktivitas yang menggairahkan bagi siswa. Sejalan dengan itu Sudjana (1990) menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran intinya adalah kegiatan peserta didik. Tinggi rendahnya kadar kegiatan belajar banyak dipengaruhi oleh strategi pembelajaran yang digunakan guru. 3 Dalam memilih dan menerapkan strategi pembelajaran diperlukan beberapa pertimbangan. Uno (2007) mengemukakan bahwa pertimbangan pemilihan strategi pembelajaran yang akan digunakan dalam proses pembelajaran adalah harus berorientasi pada tujuan pembelajaran, harus disesuaikan dengan jenis materi, dan karakteristik siswa. Demikian juga, menurut Sanjaya (2007) pertimbangan pemilihan strategi pembelajaran harus memperhatikan tujuan yang ingin dicapai, bahan atau materi pembelajaran serta pertimbangan dari sudut siswa. Dengan demikian, tujuan pembelajaran, jenis materi pembelajaran, dan karakteristik siswa merupakan komponen penting dalam memilih dan menetapkan strategi pembelajaran. Pemilihan strategi pembelajaran yang tepat akan mampu membawa siswa dalam situasi yang lebih kondusif karena siswa lebih aktif, lebih terbuka, sensitif dalam proses pembelajaran dan bermakna bagi proses perkembangan hasil belajarnya. Hasil belajar yang dicapai dapat dikategorikan sebagai hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar atau berkaitan langsung dengan materi pelajaran, dan hasil belajar sebagai dampak pengiring yang diperoleh di luar yang disasar atau dampak dari penggunaan strategi pembelajaran. Joyce dan Weil (1986) mengacukan hasil pembelajaran langsung sebagai instructional effects dan hasil pembelajaran sebagai dampak pengiring disebut sebagai nurturant effects. Dampak pengiring ini biasanya berkenaan dengan nilai dan sikap siswa seperti kerja sama, tenggang rasa, maupun keterampilan sosial. Selain pemilihan strategi pembelajaran yang tepat, tujuan dan karakteristik mata pelajaran juga memberikan pengaruh yang kuat terhadap hasil belajar siswa. Setiap mata pelajaran memiliki tujuan dan karakteristik yang berbeda. Dengan memahami tujuan dan karakteristik dari mata pelajaran yang akan diajarkan, guru dapat mengembangkan strategi pembelajaran untuk membantu siswa meningkatkan hasil belajarnya. Mata pelajaran yang menjadi fokus dalam kegiatan penelitian ini adalah sosiologi. Sosiologi sebagai salah satu mata pelajaran yang termasuk dalam rumpun ilmu sosial, yang diberikan pada siswa tingkat SMA kelas X, kelas XI dan kelas XII. Untuk kelas XI dan kelas XII diberikan khusus untuk program ilmu sosial. Jumlah alokasi waktu pembelajaran dalam KTSP untuk mata pelajaran sosiologi di kelas X = 2 jam, kelas XI = 4 jam, dan untuk kelas XII = 4 jam. 4 Tujuan mata pelajaran sosiologi menurut BNSP (2006) agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) memahami konsep-konsep sosiologi seperti sosialisasi, kelompok sosial, struktur sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, dan konflik sampai terciptanya integrasi sosial, (2) memahami berbagai peran sosial dalam kehidupan bermasyarakat, (3) menumbuhkan sikap, kesadaran dan kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Memperhatikan tujuan dari sosiologi tersebut, dapat dijelaskan bahwa tujuan pembelajaran sosiologi pada sekolah menengah pada dasarnya mencakup dua sasaran yang bersifat kognitif dan bersifat praktis. Secara kognitif pembelajaran sosiologi dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dasar sosiologi agar siswa mampu memahami dan menelaah secara rasional komponen-komponen dari individu, kebudayaan dan masyarakat sebagai suatu sistem. Sementara itu sasaran yang bersifat praktis dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan sikap dan perilaku siswa yang rasional dan kritis dalam menghadapi kemajemukan masyarakat, kebudayaan, situasi sosial, serta berbagai masalah sosial yang ditemukan dalam kehidupan seharihari. Sejalan dengan itu, Raven (1977) menyebutkan, bahwa salah satu tujuan pendidikan menegah umum adalah untuk mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan sosial. Selanjutnya Mulyono (1985) mengemukakan bahwa aspek keterampilan yang harus diajarkan melalui pembelajaran sosiologi adalah keterampilan berpikir, keterampilan akademik, keterampilan sosial, dan keterampilan meneliti. Berkaitan dengan keterampilan sosial, maka menurut Sumaatmadja (1986) tujuan pengembangan keterampilan sosial dalam pembelajaran sosiologi adalah agar siswa mampu berinteraksi dengan teman-temannya sehingga mampu menyelesaikan tugas bersama, dan hasil yang dicapai akan dirasakan kebaikannya oleh semua anggota masing-masing. Hal ini selaras dengan fitrah manusia sebagai mahluk sosial yang sangat dipengaruhi oleh masyarakatnya. Kepribadian individual, daya rasional, reaksi emosional, aktivitas dan kreativitas manusia dipengaruhi oleh kelompok tempat tinggalnya. Dengan demikian, dalam pembelajaran sosiologi tidak hanya ditekankan pada prestasi belajar (kognitif) saja, akan tetapi penekanan pada pengembangan keterampilan sosial juga diperhatikan. Artinya, jika pembelajaran sosiologi hanya ditujukan untuk 5 sekadar menambah wawasan materi sosiologi dan mendapatkan angka lulus atau naik kelas, berarti pembelajaran sosiologi gagal. Karena itu pengembangan keterampilan sosial dalam pembelajaran sosiologi mutlak perlu dikembangkan. Menurut Mustafa (2009) kurangnya keterampilan sosial menyebabkan siswa sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ), bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dan sejenisnya. Keadaan ini membuat siswa sulit berperan serta dalam berbagai aktivitas yang berujung pada prestasi belajar, atau memiliki prestasi diri yang positif atau sukses. Keterampilan sosial yang dimaksud adalah kemampuan mengatur pikiran, emosi, dan perilaku untuk bekerja sama, mengontrol diri dan orang lain, membangun hubungan atau interaksi dengan lingkungan sosial secara efektif dengan mempertimbangkan kepentingan sosial serta tujuan pribadi. Jadi dalam pembelajaran sosiologi perlu diperhatikan dan dikembangkan pikiran, perasaan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Hasil observasi peneliti yang diperkuat dengan hasil wawancara dengan guru sosiologi di SMAN Tamanan pada tahun pelajaran 2012/2013, menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran sosiologi cenderung mengarah pada aspek kognitif saja terutama pada tataran dimensi kognitif yang paling rendah. Hal ini terjadi karena dalam kegiatan pembelajaran sosiologi ditekankan pada pencapaian target kurikulum yang mengarah pada keberhasilan ujian akhir atau ujian nasional (UN), sehingga pembelajaran lebih mementingkan penghafalan konsep dan mengabaikan aspek-aspek kognitif yang lain. Konsep-konsep yang dipelajari terbatas pada kemampuan mengingat atau menghafal, dan belum mengarah pada kemampuan menjelaskan dan menerapkan konsep yang telah dipelajari sebelumnya. Selain itu ditemukan juga cara-cara guru dalam pembelajaran yang cenderung mengarahkan siswa untuk selalu berlatih mengerjakan soal-soal UN tahun sebelumnya. Dengan berlatih mengerjakan soal-soal UN diharapkan para siswa cepat beradaptasi dan dapat mengerjakan soal-soal UN dengan mudah. Hasil pengamatan ini selaras dengan apa yang dikemukakan Setyosari (2009) bahwa pada semester akhir biasanya sebagian besar energi, tenaga, dan waktu para siswa dan guru lebih banyak digunakan atau 6 dicurahkan hanya untuk latihan mengerjakan soal-soal ujian dengan maksud agar mereka (para siswa) di kelas akhir dapat lulus ujian. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa hanya ditekankan untuk menyerap informasi atau konsep-konsep dengan cara menghafal. Konsep pembelajaran direduksi pada ujian yang hanya mengukur transfer pengetahuan, sehingga kemampuan siswa sebatas mengidentifikasi, menyebutkan informasi dan data faktual. Sementara kemampuan untuk melakukan analisis, menciptakan dan menggunakan konsep secara objektif, dan kemampuan melakukan evaluasi data terabaikan. Dengan demikian, pengembangan keterampilan sosial dalam pembelajaran sosiologi harus dilakukan secara optimal, sehingga siswa memperoleh kecakapan hidup yang bermanfaat bagi kehidupannya kini dan masa depan. Keterampilan sosial dalam pembelajaran sosiologi ini secara empirik di lapangan sangat jarang dilakukan. Praktik pembelajaran di sekolah banyak mengalami pergeseran, yakni banyaknya aktivitas yang lebih menekankan pada aspek-aspek yang bersifat latihan mengasah otak. Padahal jika mengacu pada target capaian setiap jenjang tujuan, idealnya semua aktivitas pendidikan yang dirancang seharusnya mengintegrasikan dimensi-dimensi kognitif, afektif, psikomotorik, dan pemberdayaan fungsi sosialnya (Effendi, 2009). Menurut Zuchdi (2008) ranah afektif merupakan bagian dari pengalaman belajar dan berfungsi sebagai pasangan ranah kognitif. Terpisahnya pikiran (kognisi) dan afeksi telah banyak menimbulkan permasalahan dalam kehidupan manusia. Bahkan berdasarkan sinyalemen dari beberapa media masa, permasalahan yang muncul saat ini sudah menyentuh pada tatanan kehidupan mendasar manusia. Krisis pada aspek sosial khususnya sudah sampai pada bentuk yang cukup memprihatinkan. Penyimpangan perilaku sosial tidak hanya diperlihatkan oleh para siswa tetapi juga oleh mahasiswa, bahkan orang dewasa dalam bentuk-bentuk kekerasan, pemaksaan kehendak, konflik antarkelompok serta tawuran. Rendahnya nilai-nilai keterampilan sosial ini juga tampak terjadi di SMAN Tamanan Bondowoso. Berdasarkan hasil observasi mendalam yang dilakukan peneliti sebagai studi pendahuluan di sekolah tersebut ditemukan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kurangnya pengembangan keterampilan sosial. Permasalahan ini tampak dalam perilaku keseharian siswa seperti sikap-sikap kurang mampu bekerja 7 sama, kurangnya kemampuan mengendalikan diri (self control), rendahnya kemampuan berkomunikasi, serta rendahnya rasa empati. Kondisi ini akibat dari strategi pembelajaran yang diterapkan guru masih cenderung berpusat pada guru yang cenderung menekankan pada perluasan pengetahuan/informasi dan pencapain prestasi belajar. Meir (1999) menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada prestasi individu semata akan menciptakan siswa bersaing untuk meraih nilai dan kehormatan tinggi. Akibatnya siswa akan mengisolasi diri, terpisah dari yang lainnya. Sedikit peluang bagi siswa untuk berinteraksi dan bertransaksi dengan siswa lain. Proses komunikasi tidak berlangsung secara utuh dan adil. Komunikasi hanya terjadi satu arah antara guru dan siswa. Sementara komunikasi antara siswa dengan siswa lainnya kurang tampak, sehingga suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif, dan siswa menjadi pasif. Memperhatikan kondisi pembelajaran sosiologi ini, perlu kiranya dilakukan inovasi dalam strategi pembelajaran yang dapat mengintegrasikan kemampuan siswa baik kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diwujudkan sesuai dengan tingkat kemampuannya. Di antara strategi pembelajaran yang dapat diterapkan untuk membantu meningkatkan prestasi dan keterampilan sosial siswa adalah pembelajaran kooperatif. Secara teoritik pembelajaran kooperatif dipandang mampu mengembangkan bukan saja pencapaian akademik, tetapi juga pencapaian non akademik seperti hubungan interpersonal dan kerja sama kelompok. Menurut Arends (2007) pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan penting, yaitu prestasi akademik, toleransi dan penerimaan terhadap keberagaman, serta pengembangan keterampilan sosial. Pembelajaran kooperatif adalah proses belajar bersama dalam kelompokkelompok kecil yang heterogen yang memungkinkan setiap anggotanya saling sharing, saling bantu, berpartisipasi mengembangkan informasi, ide, sikap, pendapat, kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai masalah belajar. Salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif adalah tipe jigsaw, yang dalam penelitian ini akan diuji pengaruhnya terhadap prestasi belajar dan keterampilan sosial. Tipe pembelajaran jigsaw ini terdiri dari beberapa anggota dalam suatu kelompok 8 (kelompok induk atau kelompok ahli) yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. Topik pembelajaran ditentukan oleh guru, sedangkan tugas siswa adalah mempelajari dan mendiskusikan berbagai materi di kelompok ahli, selanjutnya saling berbagi (sharing ) berbagai materi di kelompok asal. Selain pemilihan dan penetapan strategi pembelajaran yang tepat, kemampuan penalaran siswa juga harus dijadikan pertimbangan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa kemampuan penalaran memiliki pengaruh yang cukup tinggi terhadap hasil belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Koyan (2002),Tawil dan Suryansari (2009) tentang kemampuan penalaran dikaitkan dengan hasil belajar siswa SMAN 1 Sungguminasa Gowa, membuktikan bahwa kemampuan penalaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap hasil belajar. Dengan demikian, siswa perlu diberikan latihan-latihan soal yang berhubungan dengan kemampuan penalaran. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian tentang efektivitas strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap prestasi belajar dan keterampilan sosial dalam pembelajaran sosiologi pada siswa dengan kemampuan penalaran berbeda. Secara umum kegiatan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung terhadap prestasi belajar dan keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran sosiologi pada siswa dengan penalaran berbeda. Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1. Menguji perbedaan prestasi belajar perlakuan dengan strategi antara kelompok siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung 2. Menguji perbedaan prestasi belajar antara kelompok siswa yang memiliki kemampuan penalaran berbeda. 3. Menguji interaksi antara strategi pembelajaran yang berbeda dengan kemampuan penalaran berbeda terhadap prestasi belajar siswa. 4. Menguji perbedaan keterampilan sosial antara kelompok siswa yang diberi perlakuan dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung 5. Menguji perbedaan keterampilan sosial antara kelompok siswa yang memiliki kemampuan penalaran berbeda. 9 6. Menguji interaksi antara strategi pembelajaran berbeda dengan kemampuan penalaran berbeda terhadap keterampilan sosial siswa. METODE Bentuk penelitian eksperimen yang digunakan dalam hal ini adalah eksperimen kuasi. Bentuk rancangan eksperimen kuasi dalam kegiatan penelitian ini adalah the version of non equivalent control group design (Tuckman, 1999, hal 174). Secara operasional model rancangan eksperimen ini menggunakan rancangan eksperimen faktorial 2 x 2. Rancangan ini melibatkan dua kelompok subjek penelitian. Kedua kelompok subjek penelitian mendapat perlakuan yang berbeda. Kelompok subjek yang pertama dibelajarkan dengan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Sedangkan kelompok kedua dibelajarkan dengan strategi pembelajaran langsung. Masing-masing kelompok subjek penelitian terdiri dari siswa yang mempunyai tingkat kemampuan penalaran tinggi dan tingkat kemampuan penalaran rendah. Berdasarkan rancangan penelitian tersebut, maka prosedur penelitian meliputi prates-perlakuan-postes. Prates dilakukan sebelum perlakuan diberikan kepada kedua kelompok subjek. Setelah dilakukan prates, maka kedua kelompok subjek diberikan perlakuan. Perlakuan diberikan selama tujuh kali pertemuan. Setiap pertemuan berlangsung selama 2 x 45 menit. Setelah pelaksanaan perlakuan, maka kedua kelompok subjek tersebut diberi postes. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPS SMAN Tamanan semester ganjil tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 65 orang siswa. Penentuan kelompok subjek yang ditetapkan sebagai sasaran penelitian adalah mengikuti pola kelompok subjek (kelas) sebagaimana sudah terstruktur di SMAN Tamanan, yaitu kelas XI IPS 1 sebanyak 33 siswa dan kelas XI IPS 2 sebanyak 32 siswa. Dengan demikian, peneliti tidak melakukan pemilahan subjek dalam satu kelas yang sudah terstruktur di sekolah, sehingga penelitian kelompok subjek sesuai dengan apa adanya (Vockell dan Asher, 1995; Tuckman, 1999; Campbell dan Stanley, 1996). Prosedur penarikan subjek penelitian kedalam perlakuan yang berbeda dilakukan dengan cara undian, dua kelompok (kelas XI IPS) yang diidentifikasi sebagai kelompok subjek penelitian dipilih secara acak untuk diberikan perlakuan. Hasil undian terhadap kelompok subjek yang dilibatkan dalam penelitian menunjukkan, siswa kelas XI IPS1 10 (33 orang) dibelajarkan dengan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, dan siswa kelas XI IPS2 (32 orang) dibelajarkan dengan pembelajaran langsung. Instrumen prestasi belajar sosiologi yang digunakan untuk mengukur prestasi belajar, disusun berdasarkan tujuan dari pembelajaran sosiologi. Sementara itu dalam kegiatan penelitian ini, peneliti terfokus pada materi konflik dan integrasi sosial. Berdasarkan tujuan dari materi konflik dan integrasi sosial tersebut, maka peneliti menyusun butir-butir instrumen tes prestasi belajar sosiologi yang terdiri dari 10 butir soal uraian, yang dijawab dalam waktu 90 menit. Untuk meningkatkan kevalidan isi, dalam penyusunan butir tes peneliti melibatkan ahli dan guru-guru mata pelajaran sosiologi yang sudah berpengalaman. Untuk mengetahui valid dan tidaknya setiap butir tes dapat dilakukan dengan cara mengkorelasikan antara skor setiap butir tes dan skor total butir tes. Analisis validitas dan reliabilitas instrumen menggunakan Corrected Item-otal Correlation pada SPSS 13.0. Menurut Sugiyono (2009) jika korelasi positif dan besarnya 0,3 ke atas maka dikatakan butir instrumen itu valid, namun jika korelasi di bawah 0,3, maka disimpulkan bahwa butir instrumen tersebut tidak valid. Sedangkan taraf reliabilitas menurut Yamin (2009), jika nilai Cronbach`s Alpha di atas 0,7 maka butir instrumen tersebut dikatakan reliabel. Berdasarkan analisis uji coba instrumen prestasi belajar sosiologi pertama menunjukkan sebanyak delapan butir pertanyaan diterima karena perhitungan Corrected Item-otal Correlation menunjukkan korelasi positif dan besarnya di atas 0,3. Sebanyak dua butir yakni butir 5 dan 7 dinyatakan tidak valid, sehingga pada butir 5 dan 7 perlu dilakukan revisi dan perbaikan. Pada uji coba kedua menunjukkan hasil perhitungan dengan menggunakan Corrected Item-otal Correlation, seluruh butir instrumen prestasi belajar sosiologi dinyatakan valid. Pada bagian Reliability Coefficients terlihat nilai Alpha Cronbach`s sama dengan 0,919. Nilai Alpha Cronbach`s tersebut lebih besar dari 0,7, maka instrumen prestasi belajar sosiologi yang diuji coba terbukti reliabel. Instrumen keterampilan sosial yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini mengadaptasi instrumen social skills assessment- adolescent dari scales from students questionnaire, Child Development Project for Elementary School Students dan Skillstreaming the Adolescent: New Strategies & Perpspectives for Teaching Prosocial Skills oleh Ellen McGinnis dan Arnold R. Goldstein, dengan Robert P. Sprafkin, N. 11 Jane Gershaw, & Paul Klein. Instrumen ini digunakan untuk menilai tingkat keterampilan sosial siswa dari kelas VI SD, sampai dengan siswa kelas XII tingkat SMA. Instrumen ini terdiri dari 25 pertanyaan, yang masing-masing pertanyaan mempunyai 3 pilihan jawaban yakni hampir tidak pernah, kadang-kadang, dan hampir selalu. Rentangan skor untuk pilihan jawaban adalah 1 sampai dengan 3. Setiap jawaban dari pernyataan tidak ada yang salah. Teknik pemberian skor untuk jawaban hampir selalu = 3, kadang-kadang = 2, hampir tidak pernah = 1. Jumlah skor yang dicapai adalah antara 25 hingga 75 poin. Berdasarkan hasil uji coba instrumen keterampilan sosial yang terdiri dari 25 butir pernyataan, maka butir 16 instrumen dinyatakan tidak layak digunakan sebagai alat ukur keterampilan sosial, karena perhitungan Corrected Item-otal Correlation menunjukkan angka korelasi di bawah 0,3, yakni 0,298. Langkah selanjutnya peneliti mengeluarkan butir tersebut, dan melakukan pengujian ulang terhadap butir yang dinyatakan valid. Hasil perhitungan kedua analisis uji coba dengan Corected Item-Total Correlation (CITC), sebanyak 24 butir dinyatakan layak. Kelayakan instrumen keterampilan sosial ini didasarkan pada hasil analisis uji coba menggunakan Corrected Item-Total Correlation pada SPSS 13,0 yang menunjukkan sebanyak 24 butir instrumen memiliki korelasi positif dan besarnya di atas 0,3. Sedangkan pada bagian Reliability Coeffcients terlihat Alpha Cronbach`s sebesar 0,936. Selain itu kelayakan instrumen ini melalui proses pengujian validitas konstruk dengan analisis faktor. Hasil uji pertama terhadap kelayakan butir pada matrik korelasi (anti image correlation), angka korelasi yang bertanda a (arah diagonal dari kiri atas ke kanan bawah) atau angka MSA terlihat pada butir 6 dan butir 15 bernilai di bawah 0,5, sehingga butir 6 dan 15 dikeluarkan dan dilakukan pengujian lagi. Pengujian kedua terhadap kelayakan butir pada matrik korelasi terlihat butir 16 bernilai 0,375. Nilai ini masih dibawah 0,5, sehingga butir 16 harus dikeluarkan dan perlu dilakukan pengujian ketiga. Setelah butir 6, 15, dan butir 16 dikeluarkan, maka pada pengujian ketiga terlihat semua butir menunjukkan angka yang lebih besar dari (>) 0,5 sehingga dapat diprediksi dan dianalisis lebih lanjut. Sementara itu, hasil pengujian ketiga terhadap ukuran kecukupan sampel (KMO measure of sampling adiquacy) diperoleh harga sebesar 0,796 12 dengan signifikansi 0,000. Karena angka tersebut sudah di atas 0,5 dan signifikansi jauh di bawah 0,05 (0,000 < 0,05) maka sampel yang ada dapat dianalisis lebih lanjut. Berdasarkan hasil pengujian banyaknya faktor yang berhasil diekstraksi pada tabel total variance explained terlihat bahwa hasil analisis faktor terdapat empat faktor, karena dengan empat faktor angka eigenvalues masih di atas satu. Namun untuk lima faktor angka eigenvalues sudah di bawah satu, yakni 0,975, sehingga proses faktoring berhenti pada empat faktor saja. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan penalaran siswa dalam kegiatan penelitian ini mengadaptasi instrumen kemampuan penalaran dari Miftah (2004). Instrumen ini terdiri dari tiga aspek penalaran yang meliputi: (1) penalaran verbal, (2) penalaran induktif, dan (3) penalaran abstrak. Instrumen ini berbentuk tes pilihan ganda terdiri dari 65 butir soal dengan 4 pilihan jawaban. Berdasarkan hasil perhitungan tingkat kesukaran butir tes kemampuan penalaran dapat dinyatakan bahwa butir tes mudah 8 (12,3%) yakni nomor 3, 7, 8, 16, 28, 29, 33, dan 60, kategori sedang 31 butir (47,69%), dan soal sukar sebanyak 26 (40%). Selanjutnya untuk menguji tingkat validitas dan reliabilitas instrumen ini, digunakan Corected Item-Total Correlation pada SPSS 13.0. Hasil analisis validitas pertama pada bagian Corected Item-Total Correlation (CITC) menunjukkan adanya beberapa butir tes yang dinyatakan tidak valid, yakni nomor 3, 4, 7, 8, 16, 28, 29, 30, 33, 41, 57, dan 60. Langkah selanjutnya peneliti tidak memperbaiki butir yang tidak valid, tetapi mengeluarkan butir tersebut, dan melakukan pengujian ulang terhadap butir yang dinyatakan valid. Hasil perhitungan analisis uji coba kedua dengan Corected Item-Total Correlation (CITC), sebanyak 49 butir dinyatakan valid. Sedangkan pada bagian Reliability Coefficient terlihat nilai Alpha Cronbach`s sebesar 0,965 menunjukkan sebanyak 49 butir instrumen kemampuan penalaran yang diuji coba terbukti reliabel. Hasil uji tingkat validitas dan reliabilitas instrumen dapat dilihat pada lampiran penelitian. Kesimpulan dari hasil analisis tingkat kesukaran butir serta uji validitas dan reliabilitas instrumen kemampuan penalaran yang tidak layak dipakai sebanyak 16 (24,6%) butir tes yakni nomor 3, 4, 7, 8,9,16, 19, 20, 28, 29, 30,32, 33, 41, 57, dan 60. Meskipun demikian jumlah butir tes yang dapat dipakai cukup mewakili dimensi atau konsep yang diukur. 13 HASIL Tujuan penelitian pertama adalah untuk menguji adanya perbedaan prestasi belajar sosiologi antara kelompok siswa yang dikenai strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung. Memperhatikan hasil analisis Manova bahwa nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda, Hotelling`s Trace, dan Roy`st Root untuk strategi pembelajaran berturut-turut adalah 0,446, 0,554, 0,807, dan 0,807. Nilai-nilai tersebut setaraf dengan nilai F hitung sebesar 33,878 dengan nilai signifikansi probability sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut masih jauh di bawah taraf signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, yang berarti ada perbedaan prestasi belajar sosiologi yang signifikan antara kelompok siswa yang dikenai strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung. Tujuan penelitian kedua adalah menguji adanya perbedaan prestasi belajar sosiologi pada siswa yang memiliki kemampuan penalaran tinggi dan kemampuan penalaran rendah. Berdasarkan hasil analisis Manova untuk variabel kemampuan penalaran diperoleh nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda, Hotelling`s Trace, dan Roy`st Root untuk kemampuan penalaran berturut-turut adalah 0,350, 0,650, 1,537, dan 1,537. Nilai-nilai tersebut setaraf dengan nilai F hitung sebesar 22,570 dengan nilai signifikansi probability sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut masih jauh di bawah taraf signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, yang berarti ada perbedaan prestasi belajar sosiologi yang signifikan antara kelompok siswa dengan kemampuan penalaran tinggi dan siswa dengan kemampuan penalaran rendah. Tujuan penelitian ketiga adalah menguji adanya interaksi antara strategi pembelajaran yang berbeda dengan kemampuan penalaran berbeda terhadap prestasi belajar sosiologi. Berdasarkan hasil analisis Manova untuk interaksi variabel strategi pembelajaran dan kemampuan penalaran diperoleh nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda, Hotelling`s Trace, dan Roy`st Root untuk kemampuan penalaran berturut-turut adalah 0,060, 0,940, 0,063, dan 0,063. Nilai-nilai tersebut setaraf dengan nilai F hitung sebesar 2,2660 dengan nilai signifikansi probability sebesar 0,076. Nilai signifikansi tersebut berada di atas taraf signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada interaksi antara strategi pembelajaran berbeda dan kemampuan penalaran berbeda terhadap prestasi belajar sosiologi. 14 Tujuan penelitian keempat adalah untuk menguji adanya perbedaan keterampilan sosial antara kelompok siswa yang dikenai strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung. Memperhatikan hasil analisis Manova bahwa nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda, Hotelling`s Trace, dan Roy`st Root untuk strategi pembelajaran berturut-turut adalah 0,446, 0,554, 0,807, dan 0,807. Nilainilai tersebut setaraf dengan nilai F hitung sebesar 33,878 dengan nilai signifikansi probability sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut masih jauh di bawah taraf signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, yang berarti ada perbedaan keterampilan sosial yang signifikan antara kelompok siswa yang dikenai strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung. Tujuan penelitian kelima adalah menguji adanya perbedaan keterampilan sosial pada siswa yang memiliki kemampuan penalaran tinggi dan kemampuan penalaran rendah. Berdasarkan hasil analisis Manova untuk variabel kemampuan penalaran berdasarkan tabel 4.7 diperoleh nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda, Hotelling`s Trace, dan Roy`st Root untuk kemampuan penalaran berturut-turut adalah 0,350, 0,650, 1,537, dan 1,537. Nilai-nilai tersebut setaraf dengan nilai F hitung sebesar 22,570 dengan nilai signifikansi probability sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut masih jauh di bawah taraf signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, yang berarti ada perbedaan keterampilan sosial yang signifikan antara kelompok siswa dengan kemampuan penalaran tinggi dan siswa dengan kemampuan penalaran rendah. Tujuan penelitian keenam adalah menguji adanya interaksi antara strategi pembelajaran yang berbeda dengan kemampuan penalaran berbeda terhadap keterampilan sosial. Berdasarkan hasil analisis Manova untuk interaksi variabel strategi pembelajaran dan kemampuan penalaran diperoleh nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda, Hotelling`s Trace, dan Roy`st Root untuk kemampuan penalaran berturut-turut adalah 0,060, 0,940, 0,063, dan 0,063. Nilai-nilai tersebut setaraf dengan nilai F hitung sebesar 2,660 dengan nilai signifikansi probability sebesar 0,076. Nilai signifikansi tersebut berada di atas taraf signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada interaksi antara strategi pembelajaran berbeda dan kemampuan penalaran berbeda terhadap keterampilan sosial siswa. 15 PEMBAHASAN Hasil pengujian hipotesis penelitian tentang perbedaan pengaruh antara dua strategi pembelajaran terhadap prestasi belajar sosiologi yang diteliti ternyata diterima. Hal ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbeda dalam pencapaian prestasi belajar sosiologi bila dibandingkan dengan strategi pembelajaran langsung, dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian. Prestasi belajar yang berbeda dari siswa kelompok pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan kelompok pembelajaran langsung disebabkan dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw para siswa bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya (Jacobsen, Eggen, dan Kauchak, 2009). Tanggung jawab ini menurut Slavin (2005) memberikan insentif kepada siswa untuk saling membantu satu sama lain dan saling mendorong untuk melakukan usaha yang maksimal. Begitu sukses satu orang siswa, ia akan membantu siswa lain untuk berhasil. Kondisi ini mendorong siswa yang memiliki kemampuan penalaran tinggi dan cepat belajar mempunyai peluang yang sangat bernilai dalam hal penciptaan tutorial yang efektif. Sebaliknya siswa yang lamban belajar dan memiliki kemampuan penalaran rendah tidak perlu malu bertanya kepada siswa yang berkemampuan cepat belajar, sehingga eksistensi setiap anggota atau siswa akan menjadi penting Artinya, bagi keberhasilan kelompoknya. Arends (2007) mengatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif siswa dengan kemampuan kurang, lebih banyak bekerja berdampingan dengan mereka yang memiliki kemampuan lebih, dan kelompok yang berkemampuan lebih ini mendapatkan manfaat dari proses perannya sebagai tutor bagi teman-temannya yang kurang mampu. Selain itu, pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menjadikan siswa mempunyai banyak peluang untuk berinteraksi dengan siswa lain baik dalam kelompok asal maupun dalam kelompok ahli (Gomleksi, 2007). Interaksi sosial memungkinkan siswa melakukan sharing atas perspektif-perspektif alternatif, membantu siswa melihat gagasan dengan cara-cara yang berbeda. Interaksi sosial juga memungkinkan siswa untuk mengonstruksi pengetahuan dan memberdayakan gagasan orang lain (Jacobsen, Eggen, dan Kauchak, 2009). Dengan latar belakang berbeda siswa saling sharing, saling bantu, berpartisipasi mengembangkan informasi, ide, sikap, pendapat, kemampuan dan keterampilan yang 16 dimilikinya untuk memecahkan masalah belajar secara bersama-sama. Tugas yang diberikan kepada setiap anggota kelompok akan menjadi ringan karena ia tidak mengerjakan sendiri melainkan dengan teman yang lainnya dalam kelompok ahli. Dengan demikian, penemuan ini juga mendukung penelitian Leman dan Burcin (2012) yang membuktikan bahwa strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan keterampilan antarpribadi dan prestasi belajar siswa. Hasil uji hipotesis penelitian kedua menunjukkan bahwa dibanding dengan kelompok siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran rendah, kelompok siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran tinggi, menunjukkan adanya perbedaan pencapaian prestasi belajar sosiologinya. Hal tersebut membuktikan bahwa ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara dua kondisi tingkat kemampuan penalaran berbeda yakni tingkat kemampuan penalaran tinggi dan tingkat kemampuan penalaran rendah terhadap prestasi belajar sosiologi. Implikasi hasil penelitian ini sangat penting, karena terbukti bahwa tingkat kemampuan penalaran dapat mempengaruhi prestasi belajar sosiologi ketika digunakan dalam proses pembelajaran sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini. Penemuan ini sejalan dengan kerangka teoritik yang dikemukakan Rapar (1996) bahwa kegunaan dari penalaran adalah membantu setiap orang mempelajari logika untuk berfikir rasional, kritis, tepat, lurus, tertib, metodis, dan koheren. Penalaran juga meningkatkan kemampuan berfikir secara tajam dan mandiri. Prestasi belajar sosiologi adalah penguasaan terhadap materi sosiologi yang tertuang dalam tujuan pembelajaran sosiologi, yakni penguasaan terhadap konsep sosialisasi, kelompok sosial, struktur sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, dan konflik sampai terciptanya integrasi sosial. Untuk mampu menguasai materi tersebut diperlukan kemampuan berfikir analitis, kritis, rasional dan logis. Siswa yang mampu berfikir kritis, analitis, rasional, dan logis berarti memiliki kemampuan penalaran tinggi. Siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran tinggi akan mampu menyerap dan menguasai materi sosiologi dengan baik, sebaliknya bagi siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran rendah cenderung statis, dan kurang responsif, sehingga kurang mampu menguasai materi sosiologi dengan baik, dan prestasi belajar sosiologi cenderung rendah. 17 Pembuktian ini mendukung beberapa hasil penelitian sebelumnya yakni: (1) penelitian yang dilakukan oleh Koyan (2002) menunjukkan bahwa tingkat kemampuan penalaran memiliki pengaruh yang cukup tinggi terhadap hasil belajar, sehingga dalam merancang program pembelajaran hendaknya mempertimbangkan tingkat kemampuan penalaran siswa, (2) Ayse (2006) menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kemampuan penalaran tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar, (3) penelitian Tawil dan Suryansari (2009) yang membuktikan bahwa kemampuan penalaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap hasil belajar. Dengan demikian, siswa perlu diberi latihan-latihan soal yang berhubungan dengan kemampuan penalaran. Pengujian hipotesis penelitian ketiga menemukan bahwa tidak ada interaksi antara strategi pembelajaran dan kemampuan penalaran terhadap prestasi belajar sosiologi. Hal ini menunjukkan bahwa prestasi belajar sosiologi tidak ditentukan adanya interaksi antara strategi pembelajaran dan tingkat kemampuan penalaran siswa, Artinya, efektivitas strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw tidak tergantung pada tingkat kemampuan penalaran siswa. Semua siswa dengan tingkat kemampuan penalaran berbeda dapat meningkatkan prestasi belajarnya dengan menggunakan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sama efektifnya untuk diterapkan pada siswa dengan tingkat kemampuan penalaran berbeda. Kenyataan ini terjadi disebabkan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses kegiatan pembelajaran. Sebagaimana Slavin (2005) menyatakan bahwa keseluruhan fokus pembelajaran dengan strategi pembelajaran kooperatif melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Seluruh siswa dengan berbagai tingkat kemampuan penalaran yang berbeda terlibat aktif dalam proses kegiatan pembelajaran. Keaktifan siswa ini dapat meningkatkan retensi, pemahaman konsep, dan pemecahan masalah. Sejalan dengan ini Syaodih (2011) menyatakan bahwa penguasaan siswa dalam materi pelajaran meningkat melalui penggunaan kegiatan pembelajaran yang mengaktifkan siswa. Strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menjadikan suasana belajar menjadi menyenangkan (Resor, 2008). Kondisi ini menggiring seluruh siswa dengan latar belakang kemampuan berbeda untuk percaya diri dalam menyelesaikan tugas tanpa 18 harus bersaing dan menonjolkan individualistik antarsesama siswa. Dengan demikian, beban siswa akan menurun, dan memungkinkan seluruh siswa dengan kemampuan berbeda dapat meningkatkan prestasi belajarnya, sebagaimana hasil penelitian Wibowo (2010) yang membuktikan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dengan latar kemampuan berbeda. Berdasarkan argumen tersebut, cukup logis untuk dikatakan bahwa tingkat keefektifan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini tidak tergantung pada tingkat kemampuan penalaran yang berbeda. Strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sama efektifnya untuk diterapkan pada siswa dengan tingkat kemampuan penalaran berbeda. Bukti yang menunjukkan kenyataan ini, mengakibatkan penelitian ini menghasilkan tidak adanya interaksi yang signifikan antara strategi pembelajaran berbeda dan tingkat kemampuan penalaran berbeda terhadap prestasi belajar. Hasil pengujian hipotesis penelitian tentang perbedaan pengaruh antara dua strategi pembelajaran terhadap keterampilan sosial yang diteliti ternyata diterima. Hal ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbeda dalam pencapaian keterampilan sosial siswa bila dibandingkan dengan strategi pembelajaran langsung, dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian. Hal tersebut senada dengan pendapat Arends (2007) yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan penting yakni prestasi akademik, toleransi dan penerimaan terhadap keberagaman, serta pengembangan keterampilan sosial. Keterampilan sosial siswa yang berbeda dari siswa kelompok pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dibanding kelompok pembelajaran langsung disebabkan dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menjadikan siswa mempunyai banyak peluang untuk berinteraksi dan bertransaksi dengan siswa lain baik dalam kelompok asal (induk) maupun dalam kelompok ahli (Gomleksi, 2007). Interaksi antarsiswa didorong oleh adanya interdepedensi antaranggota kelompok (Sharan, 1999). Johnson dan Johnson (2004) menyatakan bahwa interdepedensi positif (kerja sama) akan menghasilkan interaksi yang positif (bersifat meningkatkan) ketika masingmasing siswa saling mendukung dan memfasilitasi usaha satu sama lain. Dengan dasar saling ketergantungan positif ini pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat menggiatkan interaksi antarsiswa. 19 Menurut Slavin (2005) fokus pembelajaran tipe jigsaw melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Keaktifan siswa dimaksudkan agar siswa dapat berinteraksi secara optimal dengan siswa lainnya. Mereka bekerja sama untuk mencapai satu tujuan, sehingga siswa cenderung untuk saling menghargai, serta bersikap positif terhadap mata pelajaran yang dipelajarinya (Weidman, 2009). Dalam kerja sama ini mereka saling mengoreksi, mengungkapkan gagasan dan saling meneguhkan. Setiap siswa bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya dengan menyelesaikan tugas atau materi yang diberikan kepadanya. Setiap siswa dituntut juga untuk memperhatikan kemajuan dan toleransi terhadap siswa lain dalam kelompoknya saat mengerjakan tugas atau menyelesaikan tugas bersama. Dengan sikap saling menghargai, tanggung jawab, dan toleransi, maka proses pembelajaran tipe jigsaw ini akan meningkatkan hubungan yang positif antarindividu (Yen dan Lin, 1999). Suasana psikologis seperti ini menghasilkan suatu lingkungan yang membantu perkembangan kedewasaan dan tanggung jawab siswa untuk dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa, sebagaimana hasil penelitian Marning dan Lucking (1991) yang menemukan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw selain memberikan kontribusi secara positif terhadap prestasi belajar, juga meningkatkan keterampilan sosial dan self-esteem siswa. Hasil penelitian Gilles (2003) juga menunjukkan bahwa siswa yang belajar dalam kelompok berstruktur (tipe jigsaw) lebih kooperatif dan lebih banyak saling memberikan bantuan antara satu dengan yang lain ketika belajar bersama dalam kelompok dibandingkan dengan siswa dalam kelompok tak berstruktur. Dengan tipe jigsaw mereka saling menghargai dan saling peduli satu sama lain, sehingga mampu meningkatkan hubungan interpersonal di antara mereka. Hasil uji hipotesis penelitian kelima menunjukkan bahwa dibanding dengan kelompok siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran rendah, kelompok siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran tinggi, menunjukkan adanya perbedaan pencapaian keterampilan sosialnya. Hal tersebut membuktikan bahwa ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara dua kondisi tingkat kemampuan penalaran berbeda yakni tingkat kemampuan penalaran tinggi dan tingkat kemampuan penalaran rendah terhadap keterampilan sosial siswa. Implikasi hasil penelitian ini sangat penting, karena terbukti bahwa tingkat kemampuan penalaran dapat mempengaruhi keterampilan sosial 20 siswa ketika digunakan dalam proses pembelajaran sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini. Penemuan ini sejalan dengan kerangka teori dan kerangka berfikir yang menjelaskan bahwa keterampilan sosial akan semakin baik jika individu atau siswa memiliki kemampuan untuk memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial. Robinson dan Garber (1995) mengemukakan bahwa semakin baik keterampilan memproses informasi sosial anak, maka akan semakin mudah baginya untuk membentuk hubungan yang positif dengan orang lain, yang berarti akan menambah jaringan sosial sebagai media pengembangan keterampilan sosial. Kemampuan memproses informasi sosial membutuhkan kemampuan berfikir yang tinggi dan rasional. Siswa yang mampu berfikir tinggi dan rasional berarti memiliki kemampuan penalaran tinggi yakni kemampuan mengambil keputusan yang cerdas dan bertindak secara cepat dan tepat. Siswa yang memiliki kemampuan penalaran tinggi akan mudah memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial, sehingga semakin mudah pula baginya untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Smith dan Ragan (1992) yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki afeksi yang kuat terhadap suatu objek, maka ia harus memiliki kemampuan berfikir yang tinggi dan rasional terlebih dahulu atau sebagai prasyarat untuk memiliki afeksi tersebut, sehingga ia mampu memahami dan menghayati objek itu dengan baik dan benar. Dengan kata lain, siswa yang memiliki keterampilan sosial tinggi ditentukan oleh tingkat kemampuan penalaran mereka. Pernyataan ini diperkuat hasil penelitian Miftah (2004) yang menunjukkan bahwa siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran tinggi berbeda hasil belajar afektifnya jika dibanding dengan siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat kemampuan penalaran siswa berpengaruh secara signifikan terhadap tinggi rendahnya keterampilan sosialnya. Hasil pengujian hipotesis penelitian keenam menemukan bahwa tidak ada interaksi antara strategi pembelajaran dan kemampuan penalaran terhadap keterampilan sosial siswa. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan sosial siswa tidak ditentukan adanya interaksi antara strategi pembelajaran dan tingkat kemampuan penalaran siswa, Artinya, efektivitas strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw tidak tergantung pada 21 tingkat kemampuan penalaran siswa. Semua siswa dengan tingkat kemampuan penalaran berbeda dapat meningkatkan keterampilan sosialnya dengan menggunakan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sama efektifnya untuk diterapkan pada siswa dengan tingkat kemampuan penalaran berbeda untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa. Johnson, Johnson, dan Holube (1993)menyatakan, bahwa setidaknya ada tiga keuntungan besar dari pelaksanaan strategi pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) adanya usaha yang lebih kuat dalam mencapai prestasi, hal ini dicirikan dengan adanya kemampuan berupa pencapaian prestasi belajar yang baik, kemampuan untuk mengingat lebih baik, adanya motivasi instrinsik, (2) adanya hubungan yang lebih positif antarsiswa, hal ini dicirikan dengan adanya sikap saling menjaga dan komitmen terhadap hubungan, saling mendukung secara sosial dan akademik, pengakuan terhadap keberagaman, (3) adanya kondisi psikologis yang lebih sehat, yang dicirikan dengan adanya kemampuan untuk menyesuaikan diri secara umum, pengembangan kekuatan ego dan pengembangan sosial. Adanya hubungan yang positif dan erat antaranggota kelompok baik kelompok ahli maupun kelompok induk ini menurut Slavin (1996) akan mendorong siswa untuk saling menolong di dalam proses pembelajaran. Masing-masing siswa saling mendukung dan memfasilitasi usaha satu sama lain. Mereka bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan mereka saling bantu dan saling menghargai di antara mereka. Pembentukan kelompok-kelompok kecil pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw didasarkan pada prinsip interdepedensi (Sharan, 1999). Interdependensi ini dimungkinkan adanya saling ketergantungan positif di kalangan siswa dalam satu kelompok untuk mencapai keberhasilan. Saling bergantung secara positif digambarkan melalui kerja sama yang meningkatkan interaksi di dalam kelompok kecil, sehingga seluruh siswa dengan kemampuan penalaran berbeda merasa saling membutuhkan di antara mereka. Suasana pembelajaran seperti ini menghasilkan suatu lingkungan sosial yang mempengaruhi perkembangan keterampilan sosial siswa. Rubin (1998) mengemukakan bahwa secara umum pola interaksi anak dengan orang tua, serta kualitas hubungan pertemanan dan penerimaan anak dalam kelompok 22 merupakan dua faktor eksternal/lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak. Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat berpengaruh terhadap keterampilan sosial siswa, baik siswa yang memiliki tingkat penalaran tinggi maupun siswa yang memiliki tingkat penalaran rendah. Dengan demikian, hasil penelitian ini semakin mendukung hasil penelitian Weidman (2009) yang menemukan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan sikap positif terhadap pembelajaran, mengembangkan keterampilan sosial, dan prestasi belajar siswa. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian eksperimental pada SMA Negeri Tamanan Kabupaten Bondowoso diperoleh temuan-temuan sebagai berikut. 1. Secara keseluruhan kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw mencapai prestasi belajar sosiologi yang berbeda dibandingkan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan strategi pembelajaran langsung. 2. Ada perbedaan yang signifikan dua tingkat kemampuan penalaran yakni tingkat kemampuan penalaran tinggi dan tingkat kemampuan penalaran rendah terhadap prestasi belajar sosiologi. Siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran tinggi berbeda prestasi belajar sosiologinya dibandingkan dengan siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran rendah. 3. Tidak terdapat interaksi yang signifikan di antara dua strategi pembelajaran berbeda dan tingkat kemampuan penalaran berbeda terhadap prestasi belajar sosiologi. 4. Ada perbedaan yang signifikan penggunaan dua strategi pembelajaran yang berbeda, yakni strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan strategi pembelajaran langsung terhadap keterampilan sosial siswa. 5. Ada perbedaan yang signifikan dua tingkat kemampuan penalaran yakni tingkat kemampuan penalaran tinggi dan tingkat kemampuan penalaran 23 rendah terhadap keterampilan sosial siswa. Siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran tinggi berbeda keterampilan sosialnya dibandingkan dengan siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran rendah. 6. Tidak terdapat interaksi yang signifikan di antara dua strategi pembelajaran berbeda dan tingkat kemampuan penalaran berbeda terhadap keterampilan sosial siswa. SARAN Berdasarkan simpulan penelitian tersebut, maka dapat dikemukakan saran-saran terkait pemanfaatan hasil penelitian dalam pembelajaran sosiologi dan penelitian lanjutan sebagai berikut. 1. Saran Pemanfaatan Hasil Penelitian Dalam upaya penyebaran dan pemanfaatan hasil penelitian ini, maka diajukan saran-saran sebagai berikut. a. Untuk pelaksanaan pembelajaran, strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat diterapkan pada pembelajaran sosiologi. Strategi ini, sangat cocok digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar dan keterampilan sosial siswa. b. Agar pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat dilaksanakan secara optimal, maka kepada guru sosiologi disarankan: (1) merancang pembelajaran secara cermat untuk menjamin adanya panduan di setiap langkah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, dan mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang muncul saat siswa mengikuti proses pembelajaran, (2) memahami keterampilan bekerja sama dalam kelompok sebagai langkah memahami konsep materi pembelajaran, (3) memotivasi siswa agar dapat belajar bersama, dan berani mengungkapkan gagasan sendiri dalam diskusi pada kelompok induk maupun kelompok ahli. c. Tingkat kemampuan penalaran ternyata berpengaruh signifikan terhadap pencapaian prestasi belajar dan keterampilan sosial siswa. Oleh karena itu, guru disarankan untuk mencari tahu tingkat kemampuan penalaran siswa sebelum mereka belajar tentang materi pelajaran. Implementasi strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini dapat memfasilitasi siswa dengan tingkat kemampuan 24 penalaran berbeda untuk meningkatkan prestasi belajar dan keterampilan sosial siswa. 2. Penelitian Lanjutan Berpijak dari hasil penelitian yang diperoleh dan berbagai keterbatasannya, dalam rangka memperdalam efektivitas strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan. a. Keefektivan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menunjukkan hasil yang signifikan terhadap pencapaian prestasi belajar sosiologi dan keterampilan sosial bagi siswa dengan tingkat kemampuan penalaran berbeda. Agar penggunaan strategi ini lebih konsisten, maka pengkajian keefektivan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw untuk pembelajaran pada mata pelajaran lainnya sangat perlu dilakukan. b. Ternyata tingkat kemampuan penalaran sebagai variabel moderator yang diteliti, tidak ada interaksi dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap prestasi sosiologi dan keterampilan sosial. Oleh karena itu, disarankan dalam penelitian lanjutan menggunakan variabel moderator lainnya seperti gaya berpikir, tingkat kemandirian siswa, dan motivasi siswa. c. Kajian materi dalam penelitian ini masih terbatas pada mata pelajaran sosiologi dengan materi konflik dan integrasi sosial. Penelitian ini belum menjajaki efektivitas strategi pembelajaran yang dirancang untuk materi lain dari mata pelajaran sosiologi. Oleh karena itu, disarankan juga untuk dilakukan penelitian dengan mengeksploitasi variabel yang sama pada cakupan materi yang berbeda pada mata pelajaran sosiologi. d. Untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang keefektifan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan yang melibatkan subjek penelitian atau sampel yang lebih besar. e. Temuan penelitian ini dapat memberikan inspirasi jika menggunakan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw akan dapat meningkatkan prestasi belajar dan keterampilan sosial siswa. 25 DAFTAR RUJUKAN Arends, R.I. 2007. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies,Inc., 1221 Avenue of the America. Ayse, Y. 2006. Student`s Acheivement in Relation to Reasoning Ability, Prioe Knowlegde and Gender. Research in Science dan Technological Education.Volume.24,Issue1.(http://www.tandonline.com/doi/abs/1080/0950069 0116971. diakses tanggal 2 Mei 2012) BNSP. 2006. Standart Kompetensi dan Kompetensi Dasar Sosiologi SMA/MA. Jakarta: Depdiknas Degeng, I.N.S. 2002. Pokok-pokok Pikiran Revolusi Belajar Mengajar Memasuki Era Kesemerawutan Global. Malang: Teknologi Pembelajaran. UNM. Malang Dimyati dan Mujiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta. France, A. 2004. Collaborative Learning. (http://www.ncsl.org.uk/ mediastore/ image2/ pupil-learning-background.pps. diakses 5 Maret 2010) Gillies, R.M. 1998. Behavior and Interactions of Children in Cooperative Group in Lower and middle Elementary Grades. Journal of Educational psychology, Vol. 90 Gomleksi, 2007. Effectiveness of Cooperative Learning (Jigsaw II) Methode in Teaching English as a Foreign Language to Engineering Student. Europen Journal of Engeneering Education. V 32, p 613-625. (http://www.tand/ online/doi/abs/101080/03043790701433343. diakses tanggal 2 mei 2012) Jacobsen, D.A., Eggen, P., Kauchak, D. 2009. Methodes for Teaching. New Jersey: Pearson Education, Inc, Publishing as Allyn dan Bacon Johnson, D.W., Johnson,R.T., dan Holube, E. 1993. Cooperation in The Classroom, Edina, Minn: Interaction Book Company Johnson, D.W., dan Johnson, Roger, T. 2004. The New Circle of Learning. Alexandria. Virginia Joice, B., dan Weil, M. 1986. Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon Koyan, I.W. 2002. Pengaruh Jenis Tes Formatif dan Kemampuan Penalaran Terhadap Hasil belajar PPKn Siswa SMU Singaraja. Disertasi. Jakarta: PPs. UNJ. Jakarta Marning, M.L. dan Lucking, R. 1991. The What, Why and How of Cooperative Learning . Social Studies. Vol 82 26 McGinnis, E., and Goldstein, A.R. 2006. New Strategies and Perspectives for Teaching Social Skill. (http//wwwz. cscbroward.org/ docs/Repository/ Most2006SSA, diakses tanggal 18 Juli 2010) Meir, D. 1999. The Accelerated Learning Hand Book, The McGraw-Hill Compnies, Inc. Miftah, B. 2004. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar Afektif PAI Ditinjau dari Kemampuan Penalaran. Disertasi. Jakarta: UNJ. Jakarta Mulyono. 1985. Pengertian dan Karakteristik IPS. P3G. Jakarta: Depdikbud Mustafa. 2009. Pentingnya Keterampilan Sosial. (http//Mustafa.wordprees.com /2009/02/07/pentingnya-keterampilan-sosial, diakses tanggal 23 Juli 2010) Puskur Balitbang Depdiknas. 2002. Kompetensi Mata Pelajaran Sosiologi SMA, MA Jakarta: Depdiknas, Jakarta Rapar, J.H. 1996. Pengantar Logika (Azas-azas Penalaran Sistematis). Yogjakarta: Kanisius Raven, J. 1977. Education, Values, and Society: The Objectives of Education and The Nature and Development of Competence. London: HK Lewis dan Co.Ltd. Resor, C. 2008. Encouraging Students to Read the tex: Jigsaw Methode. Teaching History; A Journal of Methods. Vol 33 Roger, T., dan Johnson, D.W. 1994. Overview Cooperative learning. (http//co-operation Org/pages/overviewpaper.html, diakses tanggal 3 September 2010) Rubinson, N.S. dan G.J. 1995. Social Support and Psychopathology Acroos the Life Span. Developmental Psychology Vol 2. New York: John. Wiley and Sons.Inc Sanjaya, W. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Santoso, S. 2010. Statistik Multivariat, Konsep dan Aplikasi SPSS. Jakarta: Kompas Gramedia Setyosari, P. 2009. Pembelajaran Kolaborasi: Landasan Untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial. Rasa Saling Menghargai dan Tanggung Jawab. Pidato Pengukuhan Guru besar. Malang: Universitas Negeri Malang Sharan, S. 1999. Handbook of Cooperative Learning Methodes. London: Praeger Wesport, Connecticut Sudjana, N. 1990. Penilaian Hasil Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdikarya. 27 Sumaatmadja, N. 1986. Metodologi Guruan IPS. Bandung: Alumni Suparno, P. 2002. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi. Yogjakarta: Kanisius Slavin, R.E. 1996. Research on Cooperative Learning and Achievement; What are Know, What We Need to Know. Contempory Educational Psychology, 21 Slavin, R.E. 2005. Cooperative Learning, Theory, Research, and Practce. London: Allyn Bacon. Smith, P.L., and Tilman J.R. 1992. Instructional Design. New York: Merril, an Imprint of Macmillan Publishing Company. Solso, R. L. 1991. Cognitif Psychology. Boston: Allyn and Bacon Syaodih, E. 2011. Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial. EDUCARE; Jurnal pendidikan dan Budaya. 3 Pebruari 2011, 22-14 (http://educare.e-fkipunia.net.generated; diakses tanggal 16 September 2011) Tawil, M., dan Suryansari, K. 2009. Kemampuan Penalaran Formal dan Lingkungan Pendidikan Keluarga Dikaitkan Dengan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas X SMAN 1 Sungguminasa. (http://www.depdiknas.go.id / publikasi/balitbang/075/j 75-03, diakses tanggal 28 Agustus 2010) Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research. Orlando, FL: Harcourt Brace Jovanovich. Publishers UU no. 2 th. 1989 Tentang Pendidikan Nasional. 1989. Solo: Aneka Ilmu Uno, H.B. 2008. Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Vockell, E.L., dan Asher, J.W. 1995. Educational Research. (2nd Ed) Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc Weidman, R. 2009. Using Model to Facilitate Cooperative Learning in Online Course. ERIC. Quarterly Review of Distance Education. V 10, n1 p 51-64. (http:pubs.eric.org/en/content/ar/html. Diakses tanggal 2 Mei 2012) Wibowo, A.L. Pengaruh Metode Cooperative learning Teknik Jigsaw terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa. Portal Jurnal vol. VI no. 17. Bandung: UPI Bandung. (http://jurnal.upi.edu/abmas/vew/260/html. diakses 2 Mei 2012) Yamin, S. dan Kurniawan, H. 2009. SPSS Complete Teknik: Teknik Analisis Statistik Terlengkap Dengan Software SPSS. Jakarta: Salemba Infotek 28 Yen, C., dan Ling, M. 1999. The Effect on Students Cognitive Achievement when Using the Cooperative Learning Methode in Earth Science Classroom. School science and matematics, vol. 99 Zuchdi, D. 2008. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara