1 Pengaruh Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw vs

advertisement
1
Pengaruh Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw vs Pembelajaran
Langsung dan Kemampuan Penalaran terhadap Prestasi Belajar Sosiologi dan
Keterampilan Sosial Siswa di SMA
Tikno Anianto
Abstract: The lowness of senior high school students’s social skill is
caused in learning process of sociology subject emphasize too much in
cognitive ability only, mainly towards the lowest cognitive dimension
level. Sociology learning process emphasizes in memorizing concept
and ignoring other cognitive aspects. Besides, teachers are used to
carrying out lerning process by using direct instruction strategy which
tends to teacher centered. As a result, the students do not have chances
to share their ability and skill each other lind the learning process. The
purposes of the research are as follow to examin the effectivenes of
learning achievement and social skill students’s by using jigsaw type
cooperative learning strategy. This research involved quasi-experiment
with factorial 2 x 2 design consisting of pretest-treatment-posttest
procedure. The subject of the research consisted of 45 students, class
XI IPS 1 treated or taught by using jigsaw type cooperative learning
strategy, and 44 students, class XI IPS 2 treated or taught by using direct
instruction strategy. The instrument which is used to measure learning
achievement was an essay test that consists of 10 items, wheres the
students’s social skill was measured by questionnaire consists of 25
questions. Then the data which are collected were analyzed by using
Manova technic with the the computer aid of program SPSS 13.0 for
windows.The results of the datum analysis show that: wholly, there is a
significant difference between the group of students who were taught by
using jigsaw type cooperative learning strategy and the group of students
who were taught by using direct instruction strategy on learning
achievement and social skill. There is a not a significant interaction
between two different learning strategies and different reasoning ability
grade on sociology learning achievement and social skill. Suggestion for
the utilization of research result: jigsaw type cooperative learning
strategy very suitable for increasing students’s learning achievement and
social skill during learning process.
Key Words: jigsaw type cooperative learning strategy, direct instruction, reasoning
ability, learning achievements, social skill
Rendahnya keterampilan sosial siswa pada pembelajaran sosiologi tingkat SMA
disebabkan dalam pembelajaran sosiologi terlalu menekankan kemampuan kognitif saja,
terutama mengarah pada tataran dimensi kognitif yang paling rendah. Pembelajaran
sosiologi mementingkan pada penghafalan konsep dan mengabaikan aspek-aspek
2
kognitif yang lain. Selain itu guru dalam melaksanakan pembelajaran masih terbiasa
dengan penggunaan strategi pembelajaran langsung yang cenderung berpusat pada guru.
Akibatnya siswa tidak mendapatkan kesempatan untuk saling berbagi kemampuan dan
ketrampilan antara sesama mereka dalam proses pembelajaran.
Menurut France (2004) cara pembelajaran yang berpusat pada guru ini bukan
pembelajaran yang baik. Pembelajaran harus berpusat pada siswa, yang menuntut
terjadinya interdiciplinary informasi dan pengetahuan, serta menghasilkan keterampilan
berpikir tingkatan lebih tinggi (higher order thinking skills), bukan sekadar
keterampilan berpikir tingkatan lebih rendah (lower thinking skills).
Kelas yang berpusat pada siswa, menuntut siswa untuk aktif terlibat dalam
proses pembelajaran. Meir (1999) menyatakan bahwa belajar bukanlah aktivitas yang
hanya bisa ditonton, melainkan sangat membutuhkan peran serta semua pihak. Belajar
bukan hanya menyerap informasi secara pasif melainkan aktif menciptakan
pengetahuan dan keterampilan. Upaya belajar benar-benar bergantung pada siswa dan
bukan merupakan tanggung jawab perancang atau fasilitatornya. Aktivitas siswa ini
menurut Suparno (2002) dicirikan oleh dua aktivitas yaitu aktif dalam berpikir (mindson) dan aktif dalam berbuat (hands- on). Oleh karena itu, dalam suatu kegiatan
pembelajaran dapat dikatakan terjadi aktivitas belajar
apabila terjadi perubahan
perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman (Dimyati dan Mujiono,
2006).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa peran guru dalam proses
pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah menciptakan suatu kondisi yang
memungkinkan siswa aktif dan mudah belajar, memberikan kondisi kondusif yang
mampu menciptakan pembelajaran bermakna secara signifikan bagi siswa. Untuk itu,
diperlukan suatu strategi pembelajaran yang lebih mengarahkan siswa agar terlibat
secara aktif di dalam proses pembelajarannya.
Satu unsur penting berkaitan dengan strategi pembelajaran menurut Degeng
(2002) adalah bagaimana menata lingkungan belajar agar benar-benar merupakan
aktivitas yang menggairahkan bagi siswa. Sejalan dengan itu Sudjana (1990)
menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran intinya adalah kegiatan peserta didik.
Tinggi rendahnya kadar kegiatan belajar banyak dipengaruhi oleh strategi pembelajaran
yang digunakan guru.
3
Dalam memilih dan menerapkan strategi pembelajaran diperlukan beberapa
pertimbangan. Uno (2007) mengemukakan bahwa pertimbangan pemilihan strategi
pembelajaran yang akan digunakan dalam proses pembelajaran adalah harus
berorientasi pada tujuan pembelajaran, harus disesuaikan dengan jenis materi, dan
karakteristik siswa. Demikian juga, menurut Sanjaya (2007) pertimbangan pemilihan
strategi pembelajaran harus memperhatikan tujuan yang ingin dicapai, bahan atau
materi pembelajaran serta pertimbangan dari sudut siswa. Dengan demikian, tujuan
pembelajaran, jenis materi pembelajaran, dan karakteristik siswa merupakan komponen
penting dalam memilih dan menetapkan strategi pembelajaran.
Pemilihan strategi pembelajaran yang tepat akan mampu membawa siswa dalam
situasi yang lebih kondusif karena siswa lebih aktif, lebih terbuka, sensitif dalam proses
pembelajaran dan bermakna bagi proses perkembangan hasil belajarnya. Hasil belajar
yang dicapai dapat dikategorikan sebagai hasil belajar yang diperoleh langsung
berdasarkan tujuan yang disasar atau berkaitan langsung dengan materi pelajaran, dan
hasil belajar sebagai dampak pengiring yang diperoleh di luar yang disasar atau dampak
dari penggunaan strategi pembelajaran. Joyce dan Weil (1986) mengacukan hasil
pembelajaran langsung sebagai instructional effects dan hasil pembelajaran sebagai
dampak pengiring disebut sebagai nurturant effects. Dampak pengiring ini biasanya
berkenaan dengan nilai dan sikap siswa seperti kerja sama, tenggang rasa, maupun
keterampilan sosial.
Selain pemilihan strategi pembelajaran yang tepat, tujuan dan karakteristik mata
pelajaran juga memberikan pengaruh yang kuat terhadap hasil belajar siswa. Setiap
mata pelajaran memiliki tujuan dan karakteristik yang berbeda. Dengan memahami
tujuan dan karakteristik dari mata pelajaran yang akan diajarkan, guru dapat
mengembangkan strategi pembelajaran untuk
membantu siswa meningkatkan hasil
belajarnya. Mata pelajaran yang menjadi fokus dalam kegiatan penelitian ini adalah
sosiologi.
Sosiologi sebagai salah satu mata pelajaran yang termasuk dalam rumpun ilmu
sosial, yang diberikan pada siswa tingkat SMA kelas X, kelas XI dan kelas XII. Untuk
kelas XI dan kelas XII diberikan khusus untuk program ilmu sosial. Jumlah alokasi
waktu pembelajaran dalam KTSP untuk mata pelajaran sosiologi di kelas X = 2 jam,
kelas XI = 4 jam, dan untuk kelas XII = 4 jam.
4
Tujuan mata pelajaran sosiologi menurut BNSP (2006) agar peserta didik
memiliki kemampuan: (1) memahami konsep-konsep sosiologi seperti sosialisasi,
kelompok sosial, struktur sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, dan konflik sampai
terciptanya integrasi sosial, (2) memahami berbagai peran sosial dalam kehidupan
bermasyarakat, (3) menumbuhkan sikap, kesadaran dan kepedulian sosial dalam
kehidupan bermasyarakat.
Memperhatikan tujuan dari sosiologi tersebut, dapat dijelaskan bahwa tujuan
pembelajaran sosiologi pada sekolah menengah pada dasarnya mencakup dua sasaran
yang bersifat kognitif dan bersifat praktis. Secara kognitif pembelajaran sosiologi
dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dasar sosiologi agar siswa mampu
memahami dan menelaah secara rasional komponen-komponen dari individu,
kebudayaan dan masyarakat sebagai suatu sistem. Sementara itu sasaran yang bersifat
praktis dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan sikap dan perilaku siswa
yang rasional dan kritis dalam menghadapi kemajemukan masyarakat, kebudayaan,
situasi sosial, serta berbagai masalah sosial yang ditemukan dalam kehidupan seharihari.
Sejalan dengan itu, Raven (1977) menyebutkan, bahwa salah satu tujuan
pendidikan menegah umum adalah untuk mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan
sosial. Selanjutnya Mulyono (1985) mengemukakan bahwa aspek keterampilan yang
harus diajarkan melalui pembelajaran sosiologi adalah keterampilan berpikir,
keterampilan akademik, keterampilan sosial, dan keterampilan meneliti.
Berkaitan dengan keterampilan sosial, maka menurut Sumaatmadja (1986)
tujuan pengembangan keterampilan sosial dalam pembelajaran sosiologi adalah agar
siswa mampu berinteraksi dengan teman-temannya sehingga mampu menyelesaikan
tugas bersama, dan hasil yang dicapai akan dirasakan kebaikannya oleh semua anggota
masing-masing. Hal ini selaras dengan fitrah manusia sebagai mahluk sosial yang
sangat dipengaruhi oleh masyarakatnya. Kepribadian individual, daya rasional, reaksi
emosional, aktivitas dan kreativitas manusia dipengaruhi oleh kelompok tempat
tinggalnya.
Dengan demikian, dalam pembelajaran sosiologi tidak hanya ditekankan pada
prestasi belajar (kognitif) saja, akan tetapi penekanan pada pengembangan keterampilan
sosial juga diperhatikan. Artinya, jika pembelajaran sosiologi hanya ditujukan untuk
5
sekadar menambah wawasan materi sosiologi dan mendapatkan angka lulus atau naik
kelas, berarti pembelajaran sosiologi gagal. Karena itu pengembangan keterampilan
sosial dalam pembelajaran sosiologi mutlak perlu dikembangkan.
Menurut Mustafa (2009) kurangnya keterampilan sosial menyebabkan siswa
sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan rasa
rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif
(misalnya asosial ), bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan
terjadinya kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dan sejenisnya.
Keadaan ini membuat siswa sulit berperan serta dalam berbagai aktivitas yang berujung
pada prestasi belajar, atau memiliki prestasi diri yang positif atau sukses.
Keterampilan sosial yang dimaksud adalah kemampuan mengatur pikiran,
emosi, dan perilaku untuk bekerja sama, mengontrol diri dan orang lain, membangun
hubungan
atau
interaksi
dengan
lingkungan
sosial
secara
efektif
dengan
mempertimbangkan kepentingan sosial serta tujuan pribadi. Jadi dalam pembelajaran
sosiologi perlu diperhatikan dan dikembangkan pikiran, perasaan, sikap, dan nilai-nilai
yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Hasil observasi peneliti yang diperkuat dengan hasil wawancara dengan guru
sosiologi di SMAN Tamanan pada tahun pelajaran 2012/2013, menunjukkan bahwa
kegiatan pembelajaran sosiologi cenderung mengarah pada aspek kognitif saja terutama
pada tataran dimensi kognitif yang paling rendah. Hal ini terjadi karena dalam kegiatan
pembelajaran sosiologi ditekankan pada pencapaian target kurikulum yang mengarah
pada keberhasilan ujian akhir atau ujian nasional (UN), sehingga pembelajaran lebih
mementingkan penghafalan konsep dan mengabaikan aspek-aspek kognitif yang lain.
Konsep-konsep yang dipelajari terbatas pada kemampuan mengingat atau menghafal,
dan belum mengarah pada kemampuan menjelaskan dan menerapkan konsep yang telah
dipelajari sebelumnya.
Selain itu ditemukan juga cara-cara guru dalam pembelajaran yang cenderung
mengarahkan siswa untuk selalu berlatih mengerjakan soal-soal UN tahun sebelumnya.
Dengan berlatih mengerjakan soal-soal UN diharapkan para siswa cepat beradaptasi dan
dapat mengerjakan soal-soal UN dengan mudah. Hasil pengamatan ini selaras dengan
apa yang dikemukakan Setyosari (2009) bahwa pada semester akhir biasanya sebagian
besar energi, tenaga, dan waktu para siswa dan guru lebih banyak digunakan atau
6
dicurahkan hanya untuk latihan mengerjakan soal-soal ujian dengan maksud agar
mereka (para siswa) di kelas akhir dapat lulus ujian. Hal ini mengindikasikan bahwa
siswa hanya ditekankan untuk menyerap informasi atau konsep-konsep dengan cara
menghafal.
Konsep pembelajaran direduksi pada ujian yang hanya mengukur transfer
pengetahuan, sehingga kemampuan siswa sebatas mengidentifikasi, menyebutkan
informasi dan data faktual. Sementara kemampuan untuk melakukan analisis,
menciptakan dan menggunakan konsep secara objektif, dan kemampuan melakukan
evaluasi data terabaikan. Dengan demikian, pengembangan keterampilan sosial dalam
pembelajaran sosiologi harus dilakukan secara optimal, sehingga siswa memperoleh
kecakapan hidup yang bermanfaat bagi kehidupannya kini dan masa depan.
Keterampilan sosial dalam pembelajaran sosiologi ini secara empirik di
lapangan sangat jarang dilakukan. Praktik pembelajaran di sekolah banyak mengalami
pergeseran, yakni banyaknya aktivitas yang lebih menekankan pada aspek-aspek yang
bersifat latihan mengasah otak.
Padahal jika mengacu pada target capaian setiap
jenjang tujuan, idealnya semua aktivitas pendidikan yang dirancang seharusnya
mengintegrasikan dimensi-dimensi kognitif, afektif, psikomotorik, dan pemberdayaan
fungsi sosialnya (Effendi, 2009).
Menurut Zuchdi (2008) ranah afektif merupakan bagian dari pengalaman belajar
dan berfungsi sebagai pasangan ranah kognitif. Terpisahnya pikiran (kognisi) dan afeksi
telah banyak menimbulkan permasalahan dalam kehidupan manusia. Bahkan
berdasarkan sinyalemen dari beberapa media masa, permasalahan yang muncul saat ini
sudah menyentuh pada tatanan kehidupan mendasar manusia. Krisis pada aspek sosial
khususnya sudah sampai pada bentuk yang cukup memprihatinkan. Penyimpangan
perilaku sosial tidak hanya diperlihatkan oleh para siswa tetapi juga oleh mahasiswa,
bahkan orang dewasa dalam bentuk-bentuk kekerasan, pemaksaan kehendak, konflik
antarkelompok serta tawuran.
Rendahnya nilai-nilai keterampilan sosial ini juga tampak terjadi di SMAN
Tamanan Bondowoso. Berdasarkan hasil observasi mendalam yang dilakukan peneliti
sebagai studi pendahuluan di sekolah tersebut ditemukan permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan kurangnya pengembangan keterampilan sosial. Permasalahan ini
tampak dalam perilaku keseharian siswa seperti sikap-sikap kurang mampu bekerja
7
sama, kurangnya kemampuan mengendalikan diri (self control), rendahnya kemampuan
berkomunikasi, serta rendahnya rasa empati.
Kondisi ini akibat dari strategi pembelajaran yang diterapkan guru masih
cenderung berpusat pada guru yang cenderung menekankan pada perluasan
pengetahuan/informasi dan pencapain prestasi belajar. Meir (1999) menyatakan bahwa
pembelajaran yang menekankan pada prestasi individu semata akan menciptakan siswa
bersaing untuk meraih nilai dan kehormatan tinggi. Akibatnya siswa akan mengisolasi
diri, terpisah dari yang lainnya. Sedikit peluang bagi siswa untuk berinteraksi dan
bertransaksi dengan siswa lain.
Proses komunikasi tidak berlangsung secara utuh dan adil. Komunikasi hanya
terjadi satu arah antara guru dan siswa. Sementara komunikasi antara siswa dengan
siswa lainnya kurang tampak, sehingga suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif,
dan siswa menjadi pasif.
Memperhatikan kondisi pembelajaran sosiologi ini, perlu kiranya dilakukan
inovasi dalam strategi pembelajaran yang dapat mengintegrasikan kemampuan siswa
baik kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diwujudkan sesuai dengan tingkat
kemampuannya. Di antara strategi pembelajaran yang dapat diterapkan untuk membantu
meningkatkan prestasi dan keterampilan sosial siswa adalah pembelajaran kooperatif.
Secara teoritik pembelajaran kooperatif dipandang mampu mengembangkan
bukan saja pencapaian akademik, tetapi juga pencapaian non akademik seperti
hubungan interpersonal dan kerja sama kelompok. Menurut Arends (2007)
pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan
penting, yaitu prestasi akademik, toleransi dan penerimaan terhadap keberagaman, serta
pengembangan keterampilan sosial.
Pembelajaran kooperatif adalah proses belajar bersama dalam kelompokkelompok kecil yang heterogen yang memungkinkan setiap anggotanya saling sharing,
saling bantu, berpartisipasi mengembangkan informasi, ide, sikap, pendapat,
kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya untuk secara bersama-sama
memecahkan berbagai masalah belajar.
Salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif adalah tipe jigsaw, yang dalam
penelitian ini akan diuji pengaruhnya terhadap prestasi belajar dan keterampilan sosial.
Tipe pembelajaran jigsaw ini terdiri dari beberapa anggota dalam suatu kelompok
8
(kelompok induk atau kelompok ahli) yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian
materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam
kelompoknya. Topik pembelajaran ditentukan oleh guru, sedangkan tugas siswa adalah
mempelajari dan mendiskusikan berbagai materi di kelompok ahli, selanjutnya saling
berbagi (sharing ) berbagai materi di kelompok asal.
Selain pemilihan dan penetapan strategi pembelajaran yang tepat, kemampuan
penalaran siswa juga harus dijadikan pertimbangan. Beberapa penelitian membuktikan
bahwa kemampuan penalaran memiliki pengaruh yang cukup tinggi terhadap hasil
belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Koyan (2002),Tawil dan Suryansari (2009)
tentang kemampuan penalaran dikaitkan dengan hasil belajar
siswa SMAN 1
Sungguminasa Gowa, membuktikan bahwa kemampuan penalaran mempunyai
pengaruh yang positif terhadap hasil belajar. Dengan demikian, siswa perlu diberikan
latihan-latihan soal yang berhubungan dengan kemampuan penalaran.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian
tentang efektivitas strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap prestasi belajar
dan keterampilan sosial dalam pembelajaran sosiologi pada siswa dengan kemampuan
penalaran berbeda. Secara umum kegiatan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh
strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung terhadap
prestasi belajar dan keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran sosiologi pada siswa
dengan penalaran berbeda. Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1. Menguji perbedaan prestasi belajar
perlakuan
dengan
strategi
antara kelompok siswa yang diberi
pembelajaran
kooperatif
tipe
jigsaw
dan
pembelajaran langsung
2. Menguji perbedaan prestasi belajar antara kelompok siswa yang memiliki
kemampuan penalaran berbeda.
3. Menguji interaksi antara strategi pembelajaran yang berbeda dengan
kemampuan penalaran berbeda terhadap prestasi belajar siswa.
4. Menguji perbedaan keterampilan sosial antara kelompok siswa yang diberi
perlakuan
dengan
strategi
pembelajaran
kooperatif
tipe
jigsaw
dan
pembelajaran langsung
5. Menguji perbedaan keterampilan sosial antara kelompok siswa yang memiliki
kemampuan penalaran berbeda.
9
6. Menguji interaksi antara strategi pembelajaran berbeda dengan kemampuan
penalaran berbeda terhadap keterampilan sosial siswa.
METODE
Bentuk penelitian eksperimen yang digunakan dalam hal ini adalah eksperimen
kuasi. Bentuk rancangan eksperimen kuasi dalam kegiatan penelitian ini adalah the
version of non equivalent control group design (Tuckman, 1999, hal 174). Secara
operasional model rancangan eksperimen ini menggunakan rancangan eksperimen
faktorial 2 x 2. Rancangan ini melibatkan dua kelompok subjek penelitian. Kedua
kelompok subjek penelitian mendapat perlakuan yang berbeda. Kelompok subjek yang
pertama dibelajarkan dengan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Sedangkan kelompok
kedua dibelajarkan dengan strategi pembelajaran langsung. Masing-masing kelompok
subjek penelitian terdiri dari siswa yang mempunyai tingkat kemampuan penalaran
tinggi dan tingkat kemampuan penalaran rendah.
Berdasarkan rancangan penelitian tersebut, maka prosedur penelitian meliputi
prates-perlakuan-postes. Prates dilakukan sebelum perlakuan diberikan kepada kedua
kelompok subjek. Setelah dilakukan prates, maka kedua kelompok subjek diberikan
perlakuan. Perlakuan diberikan selama tujuh kali pertemuan. Setiap pertemuan
berlangsung selama 2 x 45 menit. Setelah pelaksanaan perlakuan, maka kedua
kelompok subjek tersebut diberi postes.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPS SMAN Tamanan
semester ganjil tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 65 orang siswa. Penentuan
kelompok subjek yang ditetapkan sebagai sasaran penelitian adalah mengikuti pola
kelompok subjek (kelas) sebagaimana sudah terstruktur di SMAN Tamanan, yaitu kelas
XI IPS 1 sebanyak 33 siswa dan kelas XI IPS 2 sebanyak 32 siswa. Dengan demikian,
peneliti tidak melakukan pemilahan subjek dalam satu kelas yang sudah terstruktur di
sekolah, sehingga penelitian kelompok subjek sesuai dengan apa adanya (Vockell dan
Asher, 1995; Tuckman, 1999; Campbell dan Stanley, 1996).
Prosedur penarikan subjek penelitian kedalam perlakuan yang berbeda dilakukan
dengan cara undian, dua kelompok (kelas XI IPS) yang diidentifikasi sebagai kelompok
subjek penelitian dipilih secara acak untuk diberikan perlakuan. Hasil undian terhadap
kelompok subjek yang dilibatkan dalam penelitian menunjukkan, siswa kelas XI IPS1
10
(33 orang) dibelajarkan dengan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, dan siswa kelas XI
IPS2 (32 orang) dibelajarkan dengan pembelajaran langsung.
Instrumen prestasi belajar sosiologi yang digunakan untuk mengukur prestasi
belajar, disusun berdasarkan tujuan dari pembelajaran sosiologi. Sementara itu dalam
kegiatan penelitian ini, peneliti terfokus pada materi konflik dan integrasi sosial.
Berdasarkan tujuan dari materi konflik dan integrasi sosial tersebut, maka peneliti
menyusun butir-butir instrumen tes prestasi belajar sosiologi yang terdiri dari 10 butir
soal uraian, yang dijawab dalam waktu 90 menit. Untuk meningkatkan kevalidan isi,
dalam penyusunan butir tes peneliti melibatkan ahli dan guru-guru mata pelajaran
sosiologi yang sudah berpengalaman.
Untuk mengetahui valid dan tidaknya setiap butir tes dapat dilakukan dengan
cara mengkorelasikan antara skor setiap butir tes dan skor total butir tes. Analisis
validitas dan reliabilitas instrumen menggunakan Corrected Item-otal Correlation pada
SPSS 13.0. Menurut Sugiyono (2009) jika korelasi positif dan besarnya 0,3 ke atas
maka dikatakan butir instrumen itu valid, namun jika korelasi di bawah 0,3, maka
disimpulkan bahwa butir instrumen tersebut tidak valid. Sedangkan taraf reliabilitas
menurut Yamin (2009), jika nilai Cronbach`s Alpha di atas 0,7 maka butir instrumen
tersebut dikatakan reliabel.
Berdasarkan analisis uji coba instrumen prestasi belajar sosiologi pertama
menunjukkan sebanyak delapan butir pertanyaan diterima karena perhitungan Corrected
Item-otal Correlation menunjukkan korelasi positif dan besarnya di atas 0,3. Sebanyak
dua butir yakni butir 5 dan 7 dinyatakan tidak valid, sehingga pada butir 5 dan 7 perlu
dilakukan revisi dan perbaikan. Pada uji coba kedua menunjukkan hasil perhitungan
dengan menggunakan Corrected Item-otal Correlation, seluruh butir instrumen prestasi
belajar sosiologi dinyatakan valid. Pada bagian Reliability Coefficients terlihat nilai
Alpha Cronbach`s sama dengan 0,919. Nilai Alpha Cronbach`s tersebut lebih besar dari
0,7, maka instrumen prestasi belajar sosiologi yang diuji coba terbukti reliabel.
Instrumen keterampilan sosial yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini
mengadaptasi instrumen social skills assessment- adolescent dari scales from students
questionnaire, Child Development Project for Elementary School Students dan
Skillstreaming the Adolescent: New Strategies & Perpspectives for Teaching Prosocial
Skills oleh Ellen McGinnis dan Arnold R. Goldstein, dengan Robert P. Sprafkin, N.
11
Jane Gershaw, & Paul Klein. Instrumen ini digunakan untuk menilai tingkat
keterampilan sosial siswa dari kelas VI SD, sampai dengan siswa kelas XII tingkat
SMA.
Instrumen ini terdiri dari 25 pertanyaan, yang masing-masing pertanyaan
mempunyai 3 pilihan jawaban yakni hampir tidak pernah, kadang-kadang, dan hampir
selalu. Rentangan skor untuk pilihan jawaban adalah 1 sampai dengan 3. Setiap jawaban
dari pernyataan tidak ada yang salah. Teknik pemberian skor untuk jawaban hampir
selalu = 3, kadang-kadang = 2, hampir tidak pernah = 1. Jumlah skor yang dicapai
adalah antara 25 hingga 75 poin.
Berdasarkan hasil uji coba instrumen keterampilan sosial yang terdiri dari 25
butir pernyataan, maka butir 16 instrumen dinyatakan tidak layak digunakan sebagai
alat ukur keterampilan sosial, karena perhitungan Corrected Item-otal Correlation
menunjukkan angka korelasi di bawah 0,3, yakni 0,298. Langkah selanjutnya peneliti
mengeluarkan butir tersebut, dan melakukan pengujian ulang terhadap butir yang
dinyatakan valid.
Hasil perhitungan kedua analisis uji coba dengan Corected Item-Total
Correlation (CITC), sebanyak 24 butir dinyatakan layak. Kelayakan instrumen
keterampilan sosial ini didasarkan pada hasil analisis uji coba menggunakan Corrected
Item-Total Correlation pada SPSS 13,0 yang menunjukkan sebanyak 24 butir instrumen
memiliki korelasi positif dan besarnya di atas 0,3. Sedangkan pada bagian Reliability
Coeffcients terlihat Alpha Cronbach`s sebesar 0,936. Selain itu kelayakan instrumen ini
melalui proses pengujian validitas konstruk dengan analisis faktor.
Hasil uji pertama terhadap kelayakan butir pada matrik korelasi (anti image
correlation), angka korelasi yang bertanda a (arah diagonal dari kiri atas ke kanan
bawah) atau angka MSA terlihat pada butir 6 dan butir 15 bernilai di bawah 0,5,
sehingga butir 6 dan 15 dikeluarkan dan dilakukan pengujian lagi. Pengujian kedua
terhadap kelayakan butir pada matrik korelasi terlihat butir 16 bernilai 0,375. Nilai ini
masih dibawah 0,5, sehingga butir 16 harus dikeluarkan dan perlu dilakukan pengujian
ketiga. Setelah butir 6, 15, dan butir 16 dikeluarkan, maka pada pengujian ketiga terlihat
semua butir menunjukkan angka yang lebih besar dari (>) 0,5 sehingga dapat diprediksi
dan dianalisis lebih lanjut. Sementara itu, hasil pengujian ketiga terhadap ukuran
kecukupan sampel (KMO measure of sampling adiquacy) diperoleh harga sebesar 0,796
12
dengan signifikansi 0,000. Karena angka tersebut sudah di atas 0,5 dan signifikansi jauh
di bawah 0,05 (0,000 < 0,05) maka sampel yang ada dapat dianalisis lebih lanjut.
Berdasarkan hasil pengujian banyaknya faktor yang berhasil diekstraksi pada
tabel total variance explained terlihat bahwa hasil analisis faktor terdapat empat faktor,
karena dengan empat faktor angka eigenvalues masih di atas satu. Namun untuk lima
faktor angka eigenvalues sudah di bawah satu, yakni 0,975, sehingga proses faktoring
berhenti pada empat faktor saja.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan penalaran siswa dalam
kegiatan penelitian ini mengadaptasi instrumen kemampuan penalaran dari Miftah
(2004). Instrumen ini terdiri dari tiga aspek penalaran yang meliputi: (1) penalaran
verbal, (2) penalaran induktif, dan (3) penalaran abstrak. Instrumen ini berbentuk tes
pilihan ganda terdiri dari 65 butir soal dengan 4 pilihan jawaban. Berdasarkan hasil
perhitungan tingkat kesukaran butir tes kemampuan penalaran dapat dinyatakan bahwa
butir tes mudah 8 (12,3%) yakni nomor 3, 7, 8, 16, 28, 29, 33, dan 60, kategori sedang
31 butir (47,69%), dan soal sukar sebanyak 26 (40%). Selanjutnya untuk menguji
tingkat validitas dan reliabilitas instrumen ini,
digunakan Corected Item-Total
Correlation pada SPSS 13.0.
Hasil analisis validitas pertama pada bagian Corected Item-Total Correlation
(CITC) menunjukkan adanya beberapa butir tes yang dinyatakan tidak valid, yakni
nomor 3, 4, 7, 8, 16, 28, 29, 30, 33, 41, 57, dan 60. Langkah selanjutnya peneliti tidak
memperbaiki butir yang tidak valid, tetapi mengeluarkan butir tersebut, dan melakukan
pengujian ulang terhadap butir yang dinyatakan valid. Hasil perhitungan analisis uji
coba kedua dengan Corected Item-Total Correlation (CITC), sebanyak 49 butir
dinyatakan valid. Sedangkan pada bagian Reliability Coefficient terlihat nilai Alpha
Cronbach`s sebesar 0,965 menunjukkan sebanyak 49 butir instrumen kemampuan
penalaran yang diuji coba terbukti reliabel. Hasil uji tingkat validitas dan reliabilitas
instrumen dapat dilihat pada lampiran penelitian.
Kesimpulan dari hasil analisis tingkat kesukaran butir serta uji validitas dan
reliabilitas instrumen kemampuan penalaran yang tidak layak dipakai sebanyak 16
(24,6%) butir tes yakni nomor 3, 4, 7, 8,9,16, 19, 20, 28, 29, 30,32, 33, 41, 57, dan 60.
Meskipun demikian jumlah butir tes yang dapat dipakai cukup mewakili dimensi atau
konsep yang diukur.
13
HASIL
Tujuan penelitian pertama adalah untuk menguji adanya perbedaan prestasi
belajar sosiologi antara kelompok siswa yang dikenai strategi pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw dan pembelajaran langsung. Memperhatikan hasil analisis Manova bahwa
nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda, Hotelling`s Trace, dan Roy`st Root untuk strategi
pembelajaran berturut-turut adalah 0,446, 0,554, 0,807, dan 0,807. Nilai-nilai tersebut
setaraf dengan nilai F
hitung sebesar 33,878 dengan nilai signifikansi probability
sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut masih jauh di bawah taraf signifikansi sebesar
0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, yang berarti ada
perbedaan prestasi belajar sosiologi yang signifikan antara kelompok siswa yang
dikenai strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung.
Tujuan penelitian kedua adalah menguji adanya perbedaan prestasi belajar
sosiologi pada siswa yang memiliki kemampuan penalaran tinggi dan kemampuan
penalaran rendah. Berdasarkan hasil analisis Manova untuk variabel kemampuan
penalaran diperoleh nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda, Hotelling`s Trace, dan Roy`st
Root untuk kemampuan penalaran berturut-turut adalah 0,350, 0,650, 1,537, dan 1,537.
Nilai-nilai tersebut setaraf dengan nilai F
hitung sebesar 22,570 dengan nilai
signifikansi probability sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut masih jauh di bawah
taraf signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak,
yang berarti ada perbedaan prestasi belajar sosiologi yang signifikan antara kelompok
siswa dengan kemampuan penalaran tinggi dan siswa dengan kemampuan penalaran
rendah.
Tujuan penelitian ketiga adalah menguji adanya interaksi antara strategi
pembelajaran yang berbeda dengan kemampuan penalaran berbeda terhadap prestasi
belajar sosiologi. Berdasarkan hasil analisis Manova untuk interaksi variabel strategi
pembelajaran dan kemampuan penalaran diperoleh nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda,
Hotelling`s Trace, dan Roy`st Root untuk kemampuan penalaran berturut-turut adalah
0,060, 0,940, 0,063, dan 0,063. Nilai-nilai tersebut setaraf dengan nilai F hitung sebesar
2,2660 dengan nilai signifikansi probability sebesar 0,076. Nilai signifikansi tersebut
berada di atas taraf signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada interaksi antara strategi pembelajaran
berbeda dan kemampuan penalaran berbeda terhadap prestasi belajar sosiologi.
14
Tujuan
penelitian
keempat
adalah
untuk
menguji
adanya
perbedaan
keterampilan sosial antara kelompok siswa yang dikenai strategi pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung. Memperhatikan hasil analisis
Manova bahwa nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda, Hotelling`s Trace, dan Roy`st Root
untuk strategi pembelajaran berturut-turut adalah 0,446, 0,554, 0,807, dan 0,807. Nilainilai tersebut setaraf dengan nilai F hitung sebesar 33,878 dengan nilai signifikansi
probability sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut masih jauh di bawah taraf
signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, yang
berarti ada perbedaan keterampilan sosial yang signifikan antara kelompok siswa yang
dikenai strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran langsung.
Tujuan penelitian kelima adalah menguji adanya perbedaan keterampilan sosial
pada siswa yang memiliki kemampuan penalaran tinggi dan kemampuan penalaran
rendah. Berdasarkan hasil analisis Manova untuk variabel kemampuan penalaran
berdasarkan tabel 4.7 diperoleh nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda, Hotelling`s Trace,
dan Roy`st Root untuk kemampuan penalaran berturut-turut adalah 0,350, 0,650, 1,537,
dan 1,537. Nilai-nilai tersebut setaraf dengan nilai F hitung sebesar 22,570 dengan nilai
signifikansi probability sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut masih jauh di bawah
taraf signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak,
yang berarti ada perbedaan keterampilan sosial yang signifikan antara kelompok siswa
dengan kemampuan penalaran tinggi dan siswa dengan kemampuan penalaran rendah.
Tujuan penelitian keenam adalah menguji adanya interaksi antara strategi
pembelajaran yang berbeda dengan kemampuan penalaran berbeda terhadap
keterampilan sosial. Berdasarkan hasil analisis Manova untuk interaksi variabel strategi
pembelajaran dan kemampuan penalaran diperoleh nilai Pillai`s Trace, Wilk`s Lambda,
Hotelling`s Trace, dan Roy`st Root untuk kemampuan penalaran berturut-turut adalah
0,060, 0,940, 0,063, dan 0,063. Nilai-nilai tersebut setaraf dengan nilai F hitung sebesar
2,660 dengan nilai signifikansi probability sebesar 0,076. Nilai signifikansi tersebut
berada di atas taraf signifikansi sebesar 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada interaksi antara strategi pembelajaran
berbeda dan kemampuan penalaran berbeda terhadap keterampilan sosial siswa.
15
PEMBAHASAN
Hasil pengujian hipotesis penelitian tentang perbedaan pengaruh antara dua
strategi pembelajaran terhadap prestasi belajar sosiologi yang diteliti ternyata diterima.
Hal ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbeda dalam
pencapaian prestasi belajar sosiologi bila dibandingkan dengan strategi pembelajaran
langsung, dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian.
Prestasi belajar yang berbeda dari siswa kelompok pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw dengan kelompok pembelajaran langsung disebabkan dalam pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw para siswa bertanggung jawab terhadap keberhasilan
kelompoknya (Jacobsen, Eggen, dan Kauchak, 2009). Tanggung jawab ini menurut
Slavin (2005) memberikan insentif kepada siswa untuk saling membantu satu sama lain
dan saling mendorong untuk melakukan usaha yang maksimal. Begitu sukses satu orang
siswa, ia akan membantu siswa lain untuk berhasil.
Kondisi ini mendorong siswa yang memiliki kemampuan penalaran tinggi dan
cepat belajar mempunyai peluang yang sangat bernilai dalam hal penciptaan tutorial
yang efektif. Sebaliknya siswa yang lamban belajar dan memiliki kemampuan penalaran
rendah tidak perlu malu bertanya kepada siswa yang berkemampuan cepat belajar,
sehingga eksistensi setiap anggota atau siswa akan menjadi penting Artinya, bagi
keberhasilan kelompoknya. Arends (2007) mengatakan bahwa dalam pembelajaran
kooperatif siswa dengan kemampuan kurang, lebih banyak bekerja berdampingan
dengan mereka yang memiliki kemampuan lebih, dan kelompok yang berkemampuan
lebih ini mendapatkan manfaat dari proses perannya sebagai tutor bagi teman-temannya
yang kurang mampu.
Selain itu, pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menjadikan siswa mempunyai
banyak peluang untuk berinteraksi dengan siswa lain baik dalam kelompok asal maupun
dalam kelompok ahli (Gomleksi, 2007). Interaksi sosial memungkinkan siswa
melakukan sharing atas perspektif-perspektif alternatif, membantu siswa melihat
gagasan dengan cara-cara yang berbeda. Interaksi sosial juga memungkinkan siswa
untuk mengonstruksi pengetahuan dan memberdayakan gagasan orang lain (Jacobsen,
Eggen, dan Kauchak, 2009).
Dengan latar belakang berbeda siswa saling sharing, saling bantu, berpartisipasi
mengembangkan informasi, ide, sikap, pendapat, kemampuan dan keterampilan yang
16
dimilikinya untuk memecahkan masalah belajar secara bersama-sama. Tugas yang
diberikan kepada setiap anggota kelompok akan menjadi ringan karena ia tidak
mengerjakan sendiri melainkan dengan teman yang lainnya dalam kelompok ahli.
Dengan demikian, penemuan ini juga mendukung penelitian Leman dan Burcin (2012)
yang membuktikan bahwa strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat
meningkatkan keterampilan antarpribadi dan prestasi belajar siswa.
Hasil uji hipotesis penelitian kedua menunjukkan bahwa dibanding dengan
kelompok siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran rendah, kelompok siswa
yang memiliki tingkat kemampuan penalaran tinggi, menunjukkan adanya perbedaan
pencapaian prestasi belajar sosiologinya. Hal tersebut membuktikan bahwa ada
perbedaan pengaruh yang signifikan antara dua kondisi tingkat kemampuan penalaran
berbeda yakni tingkat kemampuan penalaran tinggi dan tingkat kemampuan penalaran
rendah terhadap prestasi belajar sosiologi. Implikasi hasil penelitian ini sangat penting,
karena terbukti bahwa tingkat kemampuan penalaran dapat mempengaruhi prestasi
belajar sosiologi ketika digunakan dalam proses pembelajaran sebagaimana yang
dilakukan dalam penelitian ini.
Penemuan ini sejalan dengan kerangka teoritik yang dikemukakan Rapar (1996)
bahwa kegunaan dari penalaran adalah membantu setiap orang mempelajari logika
untuk berfikir rasional, kritis, tepat, lurus, tertib, metodis, dan koheren. Penalaran juga
meningkatkan kemampuan berfikir secara tajam dan mandiri.
Prestasi belajar sosiologi adalah penguasaan terhadap materi sosiologi yang
tertuang dalam tujuan pembelajaran sosiologi, yakni penguasaan terhadap konsep
sosialisasi, kelompok sosial, struktur sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, dan
konflik sampai terciptanya integrasi sosial. Untuk mampu menguasai materi tersebut
diperlukan kemampuan berfikir analitis, kritis, rasional dan logis.
Siswa yang mampu berfikir kritis, analitis, rasional, dan logis berarti memiliki
kemampuan penalaran tinggi. Siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran
tinggi akan mampu menyerap dan menguasai materi sosiologi dengan baik, sebaliknya
bagi siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran rendah cenderung statis, dan
kurang responsif, sehingga kurang mampu menguasai materi sosiologi dengan baik, dan
prestasi belajar sosiologi cenderung rendah.
17
Pembuktian ini mendukung beberapa hasil penelitian sebelumnya yakni: (1)
penelitian yang dilakukan oleh Koyan (2002) menunjukkan bahwa tingkat kemampuan
penalaran memiliki pengaruh yang cukup tinggi terhadap hasil belajar, sehingga dalam
merancang program pembelajaran hendaknya mempertimbangkan tingkat kemampuan
penalaran siswa, (2) Ayse (2006) menemukan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan pada tingkat kemampuan penalaran tinggi dan rendah terhadap prestasi
belajar, (3) penelitian Tawil dan Suryansari (2009) yang membuktikan bahwa
kemampuan penalaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap hasil belajar. Dengan
demikian, siswa perlu diberi latihan-latihan soal yang berhubungan dengan kemampuan
penalaran.
Pengujian hipotesis penelitian ketiga menemukan bahwa tidak ada interaksi
antara strategi pembelajaran dan kemampuan penalaran terhadap prestasi belajar
sosiologi. Hal ini menunjukkan bahwa prestasi belajar sosiologi tidak ditentukan adanya
interaksi antara strategi pembelajaran dan tingkat kemampuan penalaran siswa, Artinya,
efektivitas strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw tidak tergantung pada tingkat
kemampuan penalaran siswa. Semua siswa dengan tingkat kemampuan penalaran
berbeda dapat meningkatkan prestasi belajarnya dengan menggunakan strategi
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa
strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sama efektifnya untuk diterapkan pada
siswa dengan tingkat kemampuan penalaran berbeda.
Kenyataan ini terjadi disebabkan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses kegiatan pembelajaran. Sebagaimana
Slavin (2005) menyatakan bahwa keseluruhan fokus pembelajaran dengan strategi
pembelajaran kooperatif melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran.
Seluruh siswa dengan berbagai tingkat kemampuan penalaran yang berbeda terlibat
aktif dalam proses kegiatan pembelajaran. Keaktifan siswa ini dapat meningkatkan
retensi, pemahaman konsep, dan pemecahan masalah. Sejalan dengan ini Syaodih
(2011) menyatakan bahwa penguasaan siswa dalam materi pelajaran meningkat melalui
penggunaan kegiatan pembelajaran yang mengaktifkan siswa.
Strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menjadikan suasana belajar menjadi
menyenangkan (Resor, 2008). Kondisi ini menggiring seluruh siswa dengan latar
belakang kemampuan berbeda untuk percaya diri dalam menyelesaikan tugas tanpa
18
harus bersaing dan menonjolkan individualistik antarsesama siswa. Dengan demikian,
beban siswa akan menurun, dan memungkinkan seluruh siswa dengan kemampuan
berbeda dapat meningkatkan prestasi belajarnya, sebagaimana hasil penelitian Wibowo
(2010) yang membuktikan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa dengan latar kemampuan berbeda.
Berdasarkan argumen tersebut, cukup logis untuk dikatakan bahwa tingkat
keefektifan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini tidak tergantung pada
tingkat kemampuan penalaran yang berbeda. Strategi pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw sama efektifnya untuk diterapkan pada siswa dengan tingkat kemampuan
penalaran berbeda. Bukti yang menunjukkan kenyataan ini, mengakibatkan penelitian
ini menghasilkan tidak adanya interaksi yang signifikan antara strategi pembelajaran
berbeda dan tingkat kemampuan penalaran berbeda terhadap prestasi belajar.
Hasil pengujian hipotesis penelitian tentang perbedaan pengaruh antara dua
strategi pembelajaran terhadap keterampilan sosial yang diteliti ternyata diterima. Hal
ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbeda dalam
pencapaian keterampilan sosial siswa bila dibandingkan dengan strategi pembelajaran
langsung, dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian. Hal tersebut senada dengan
pendapat
Arends
(2007)
yang
menyatakan
bahwa
pembelajaran
kooperatif
dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan penting yakni prestasi
akademik, toleransi dan penerimaan terhadap keberagaman, serta pengembangan
keterampilan sosial.
Keterampilan sosial siswa yang berbeda dari siswa kelompok pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw dibanding kelompok pembelajaran langsung disebabkan dalam
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menjadikan siswa mempunyai banyak peluang
untuk berinteraksi dan bertransaksi dengan siswa lain baik dalam kelompok asal (induk)
maupun dalam kelompok ahli (Gomleksi, 2007). Interaksi antarsiswa didorong oleh
adanya interdepedensi antaranggota kelompok (Sharan, 1999).
Johnson dan Johnson (2004) menyatakan bahwa interdepedensi positif (kerja
sama) akan menghasilkan interaksi yang positif (bersifat meningkatkan) ketika masingmasing siswa saling mendukung dan memfasilitasi usaha satu sama lain. Dengan dasar
saling ketergantungan positif ini pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat menggiatkan
interaksi antarsiswa.
19
Menurut Slavin (2005) fokus pembelajaran tipe jigsaw melibatkan siswa secara
aktif dalam proses pembelajaran. Keaktifan siswa dimaksudkan agar siswa dapat
berinteraksi secara optimal dengan siswa lainnya. Mereka bekerja sama untuk mencapai
satu tujuan, sehingga siswa cenderung untuk saling menghargai, serta bersikap positif
terhadap mata pelajaran yang dipelajarinya (Weidman, 2009). Dalam kerja sama ini
mereka saling mengoreksi, mengungkapkan gagasan dan saling meneguhkan. Setiap
siswa bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya dengan menyelesaikan
tugas atau materi yang diberikan kepadanya. Setiap siswa dituntut juga untuk
memperhatikan kemajuan dan toleransi terhadap siswa lain dalam kelompoknya saat
mengerjakan tugas atau menyelesaikan
tugas bersama.
Dengan sikap saling menghargai, tanggung jawab, dan toleransi, maka proses
pembelajaran tipe jigsaw ini akan meningkatkan hubungan yang positif antarindividu
(Yen dan Lin, 1999). Suasana psikologis seperti ini menghasilkan suatu lingkungan
yang membantu perkembangan kedewasaan dan tanggung jawab siswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan sosial siswa, sebagaimana hasil penelitian Marning dan
Lucking (1991) yang menemukan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw selain
memberikan kontribusi secara positif terhadap prestasi belajar, juga meningkatkan
keterampilan sosial dan self-esteem siswa.
Hasil penelitian Gilles (2003) juga menunjukkan bahwa siswa yang belajar
dalam kelompok berstruktur (tipe jigsaw) lebih kooperatif dan lebih banyak saling
memberikan bantuan antara satu dengan yang lain ketika belajar bersama dalam
kelompok dibandingkan dengan siswa dalam kelompok tak berstruktur. Dengan tipe
jigsaw mereka saling menghargai dan saling peduli satu sama lain, sehingga mampu
meningkatkan hubungan interpersonal di antara mereka.
Hasil uji hipotesis penelitian kelima menunjukkan bahwa dibanding dengan
kelompok siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran rendah, kelompok siswa
yang memiliki tingkat kemampuan penalaran tinggi, menunjukkan adanya perbedaan
pencapaian keterampilan sosialnya. Hal tersebut membuktikan bahwa ada perbedaan
pengaruh yang signifikan antara dua kondisi tingkat kemampuan penalaran berbeda
yakni tingkat kemampuan penalaran tinggi dan tingkat kemampuan penalaran rendah
terhadap keterampilan sosial siswa. Implikasi hasil penelitian ini sangat penting, karena
terbukti bahwa tingkat kemampuan penalaran dapat mempengaruhi keterampilan sosial
20
siswa ketika digunakan dalam proses pembelajaran sebagaimana yang dilakukan dalam
penelitian ini.
Penemuan ini sejalan dengan kerangka teori dan kerangka berfikir yang
menjelaskan bahwa keterampilan sosial akan semakin baik jika individu atau siswa
memiliki kemampuan untuk memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial.
Robinson dan Garber (1995) mengemukakan bahwa semakin baik keterampilan
memproses informasi sosial anak, maka akan semakin mudah baginya untuk
membentuk hubungan yang positif dengan orang lain, yang berarti akan menambah
jaringan sosial sebagai media pengembangan keterampilan sosial.
Kemampuan memproses informasi sosial membutuhkan kemampuan berfikir
yang tinggi dan rasional. Siswa yang mampu berfikir tinggi dan rasional berarti
memiliki kemampuan penalaran tinggi yakni kemampuan mengambil keputusan yang
cerdas dan bertindak secara cepat dan tepat. Siswa yang memiliki kemampuan
penalaran tinggi akan mudah memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial,
sehingga semakin mudah pula baginya untuk meningkatkan keterampilan sosialnya.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Smith dan Ragan (1992) yang
menyatakan bahwa seseorang yang memiliki afeksi yang kuat terhadap suatu objek,
maka ia harus memiliki kemampuan berfikir yang tinggi dan rasional terlebih dahulu
atau sebagai prasyarat untuk memiliki afeksi tersebut, sehingga ia mampu memahami
dan menghayati objek itu dengan baik dan benar. Dengan kata lain, siswa yang
memiliki keterampilan sosial tinggi ditentukan oleh tingkat kemampuan penalaran
mereka.
Pernyataan ini diperkuat hasil penelitian Miftah (2004) yang menunjukkan
bahwa siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran tinggi berbeda hasil belajar
afektifnya jika dibanding dengan siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran
rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat kemampuan penalaran siswa
berpengaruh secara signifikan terhadap tinggi rendahnya keterampilan sosialnya.
Hasil pengujian hipotesis penelitian keenam menemukan bahwa tidak ada
interaksi antara strategi pembelajaran dan kemampuan penalaran terhadap keterampilan
sosial siswa. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan sosial siswa tidak ditentukan
adanya interaksi antara strategi pembelajaran dan tingkat kemampuan penalaran siswa,
Artinya, efektivitas strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw tidak tergantung pada
21
tingkat kemampuan penalaran siswa. Semua siswa dengan tingkat kemampuan
penalaran berbeda dapat meningkatkan keterampilan sosialnya dengan menggunakan
strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan
bahwa strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sama efektifnya untuk diterapkan
pada siswa dengan tingkat kemampuan penalaran berbeda untuk meningkatkan
keterampilan
sosial siswa.
Johnson, Johnson, dan Holube (1993)menyatakan, bahwa setidaknya ada tiga
keuntungan besar dari pelaksanaan strategi pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) adanya
usaha yang lebih kuat dalam mencapai prestasi, hal ini dicirikan dengan adanya
kemampuan berupa pencapaian prestasi belajar yang baik, kemampuan untuk mengingat
lebih baik, adanya motivasi instrinsik, (2) adanya hubungan yang lebih positif
antarsiswa, hal ini dicirikan dengan adanya sikap saling menjaga dan komitmen
terhadap hubungan, saling mendukung secara sosial dan akademik, pengakuan terhadap
keberagaman, (3) adanya kondisi psikologis yang lebih sehat, yang dicirikan dengan
adanya kemampuan untuk menyesuaikan diri secara umum, pengembangan kekuatan
ego dan pengembangan sosial.
Adanya hubungan yang positif dan erat antaranggota kelompok baik kelompok
ahli maupun kelompok induk ini menurut Slavin (1996) akan mendorong siswa untuk
saling menolong di dalam proses pembelajaran. Masing-masing siswa saling
mendukung dan memfasilitasi usaha satu sama lain. Mereka bekerja sama dalam
kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan mereka saling bantu dan saling
menghargai di antara mereka. Pembentukan kelompok-kelompok kecil pada
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw didasarkan pada prinsip interdepedensi (Sharan,
1999).
Interdependensi ini dimungkinkan adanya saling ketergantungan positif di
kalangan siswa dalam satu kelompok untuk mencapai keberhasilan. Saling bergantung
secara positif digambarkan melalui kerja sama yang meningkatkan interaksi di dalam
kelompok kecil, sehingga seluruh siswa dengan kemampuan penalaran berbeda merasa
saling membutuhkan di antara mereka. Suasana pembelajaran seperti ini menghasilkan
suatu lingkungan sosial yang mempengaruhi perkembangan keterampilan sosial siswa.
Rubin (1998) mengemukakan bahwa secara umum pola interaksi anak dengan orang
tua, serta kualitas hubungan pertemanan dan penerimaan anak dalam kelompok
22
merupakan
dua
faktor
eksternal/lingkungan
yang
cukup
berpengaruh
bagi
perkembangan sosial anak.
Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw dapat berpengaruh terhadap keterampilan sosial siswa, baik siswa
yang memiliki tingkat penalaran tinggi maupun siswa yang memiliki tingkat penalaran
rendah. Dengan demikian, hasil penelitian ini semakin mendukung hasil penelitian
Weidman (2009) yang menemukan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat
meningkatkan sikap positif terhadap pembelajaran, mengembangkan keterampilan
sosial, dan prestasi belajar siswa.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian eksperimental pada SMA Negeri Tamanan
Kabupaten Bondowoso diperoleh temuan-temuan sebagai berikut.
1. Secara keseluruhan kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw mencapai prestasi belajar
sosiologi yang berbeda dibandingkan kelompok siswa yang dibelajarkan
dengan strategi pembelajaran langsung.
2. Ada perbedaan yang signifikan dua tingkat kemampuan penalaran yakni
tingkat kemampuan penalaran tinggi dan tingkat kemampuan penalaran
rendah terhadap prestasi belajar sosiologi. Siswa yang memiliki tingkat
kemampuan penalaran tinggi berbeda prestasi belajar sosiologinya
dibandingkan dengan siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran
rendah.
3. Tidak terdapat interaksi yang signifikan di antara dua strategi pembelajaran
berbeda dan tingkat kemampuan penalaran berbeda terhadap prestasi belajar
sosiologi.
4. Ada perbedaan yang signifikan penggunaan dua strategi pembelajaran yang
berbeda, yakni strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan strategi
pembelajaran langsung terhadap keterampilan sosial siswa.
5. Ada perbedaan yang signifikan dua tingkat kemampuan penalaran yakni
tingkat kemampuan penalaran tinggi dan tingkat kemampuan penalaran
23
rendah terhadap keterampilan sosial siswa. Siswa yang memiliki tingkat
kemampuan penalaran tinggi berbeda keterampilan sosialnya dibandingkan
dengan siswa yang memiliki tingkat kemampuan penalaran rendah.
6. Tidak terdapat interaksi yang signifikan di antara dua strategi pembelajaran
berbeda dan tingkat kemampuan penalaran berbeda terhadap keterampilan
sosial siswa.
SARAN
Berdasarkan simpulan penelitian tersebut, maka dapat dikemukakan saran-saran
terkait pemanfaatan hasil penelitian dalam pembelajaran sosiologi dan penelitian
lanjutan sebagai berikut.
1. Saran Pemanfaatan Hasil Penelitian
Dalam upaya penyebaran dan pemanfaatan hasil penelitian ini, maka diajukan
saran-saran sebagai berikut.
a. Untuk pelaksanaan pembelajaran, strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
dapat diterapkan pada pembelajaran sosiologi. Strategi ini, sangat cocok
digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar dan keterampilan sosial siswa.
b. Agar pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat dilaksanakan secara optimal,
maka kepada guru sosiologi disarankan: (1) merancang pembelajaran secara
cermat untuk menjamin adanya panduan di setiap langkah pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw, dan mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang
muncul saat siswa mengikuti proses pembelajaran, (2) memahami keterampilan
bekerja sama dalam kelompok sebagai langkah memahami konsep materi
pembelajaran, (3) memotivasi siswa agar dapat belajar bersama, dan berani
mengungkapkan gagasan sendiri dalam diskusi pada kelompok induk maupun
kelompok ahli.
c. Tingkat kemampuan penalaran ternyata berpengaruh signifikan terhadap
pencapaian prestasi belajar dan keterampilan sosial siswa. Oleh karena itu, guru
disarankan untuk mencari tahu tingkat kemampuan penalaran siswa sebelum
mereka belajar tentang materi pelajaran. Implementasi strategi pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw ini dapat memfasilitasi siswa dengan tingkat kemampuan
24
penalaran berbeda untuk meningkatkan prestasi belajar dan keterampilan sosial
siswa.
2. Penelitian Lanjutan
Berpijak dari hasil penelitian yang diperoleh dan berbagai keterbatasannya,
dalam rangka memperdalam efektivitas strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw,
maka perlu dilakukan penelitian lanjutan.
a.
Keefektivan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menunjukkan hasil
yang signifikan terhadap pencapaian prestasi belajar sosiologi dan
keterampilan sosial bagi siswa dengan tingkat kemampuan penalaran
berbeda. Agar penggunaan strategi ini lebih konsisten, maka pengkajian
keefektivan strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw untuk pembelajaran
pada mata pelajaran lainnya sangat perlu dilakukan.
b. Ternyata tingkat kemampuan penalaran sebagai variabel moderator yang
diteliti, tidak ada interaksi dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw terhadap prestasi sosiologi dan keterampilan sosial. Oleh karena itu,
disarankan dalam penelitian lanjutan menggunakan variabel moderator
lainnya seperti gaya berpikir, tingkat kemandirian siswa, dan motivasi
siswa.
c.
Kajian materi dalam penelitian ini masih terbatas pada mata pelajaran
sosiologi dengan materi konflik dan integrasi sosial. Penelitian ini belum
menjajaki efektivitas strategi pembelajaran yang dirancang untuk materi lain
dari mata pelajaran sosiologi. Oleh karena itu, disarankan juga untuk
dilakukan penelitian dengan mengeksploitasi variabel yang sama pada
cakupan materi yang berbeda pada mata pelajaran sosiologi.
d. Untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang keefektifan strategi
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, maka perlu dilakukan penelitian
lanjutan yang melibatkan subjek penelitian atau sampel yang
lebih
besar.
e.
Temuan penelitian ini dapat memberikan inspirasi jika menggunakan
strategi pembelajaran kooperatif tipe jigsaw akan dapat meningkatkan
prestasi belajar dan keterampilan sosial siswa.
25
DAFTAR RUJUKAN
Arends, R.I. 2007. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies,Inc., 1221
Avenue of the America.
Ayse, Y. 2006. Student`s Acheivement in Relation to Reasoning Ability, Prioe
Knowlegde and Gender. Research in Science dan Technological
Education.Volume.24,Issue1.(http://www.tandonline.com/doi/abs/1080/0950069
0116971. diakses tanggal 2 Mei 2012)
BNSP. 2006. Standart Kompetensi dan Kompetensi Dasar Sosiologi SMA/MA. Jakarta:
Depdiknas
Degeng, I.N.S. 2002. Pokok-pokok Pikiran Revolusi Belajar Mengajar Memasuki Era
Kesemerawutan Global. Malang: Teknologi Pembelajaran. UNM. Malang
Dimyati dan Mujiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta.
France, A. 2004. Collaborative Learning. (http://www.ncsl.org.uk/ mediastore/ image2/
pupil-learning-background.pps. diakses 5 Maret 2010)
Gillies, R.M. 1998. Behavior and Interactions of Children in Cooperative Group in
Lower and middle Elementary Grades. Journal of Educational psychology, Vol.
90
Gomleksi, 2007. Effectiveness of Cooperative Learning (Jigsaw II) Methode in
Teaching English as a Foreign Language to Engineering Student. Europen
Journal of Engeneering Education. V 32, p 613-625. (http://www.tand/
online/doi/abs/101080/03043790701433343. diakses tanggal 2 mei 2012)
Jacobsen, D.A., Eggen, P., Kauchak, D. 2009. Methodes for Teaching. New Jersey:
Pearson Education, Inc, Publishing as Allyn dan Bacon
Johnson, D.W., Johnson,R.T., dan Holube, E. 1993. Cooperation in The Classroom,
Edina, Minn: Interaction Book Company
Johnson, D.W., dan Johnson, Roger, T. 2004. The New Circle of Learning. Alexandria.
Virginia
Joice, B., dan Weil, M. 1986. Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon
Koyan, I.W. 2002. Pengaruh Jenis Tes Formatif dan Kemampuan Penalaran Terhadap
Hasil belajar PPKn Siswa SMU Singaraja. Disertasi. Jakarta: PPs. UNJ. Jakarta
Marning, M.L. dan Lucking, R. 1991. The What, Why and How of Cooperative
Learning . Social Studies. Vol 82
26
McGinnis, E., and Goldstein, A.R. 2006. New Strategies and Perspectives for Teaching
Social Skill. (http//wwwz. cscbroward.org/ docs/Repository/ Most2006SSA,
diakses tanggal 18 Juli 2010)
Meir, D. 1999. The Accelerated Learning Hand Book, The McGraw-Hill Compnies,
Inc.
Miftah, B. 2004. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar Afektif
PAI Ditinjau dari Kemampuan Penalaran. Disertasi. Jakarta: UNJ. Jakarta
Mulyono. 1985. Pengertian dan Karakteristik IPS. P3G. Jakarta: Depdikbud
Mustafa. 2009. Pentingnya Keterampilan Sosial. (http//Mustafa.wordprees.com
/2009/02/07/pentingnya-keterampilan-sosial, diakses tanggal 23 Juli 2010)
Puskur Balitbang Depdiknas. 2002. Kompetensi Mata Pelajaran Sosiologi SMA, MA
Jakarta: Depdiknas, Jakarta
Rapar, J.H. 1996. Pengantar Logika (Azas-azas Penalaran Sistematis). Yogjakarta:
Kanisius
Raven, J. 1977. Education, Values, and Society: The Objectives of Education and The
Nature and Development of Competence. London: HK Lewis dan Co.Ltd.
Resor, C. 2008. Encouraging Students to Read the tex: Jigsaw Methode. Teaching
History; A Journal of Methods. Vol 33
Roger, T., dan Johnson, D.W. 1994. Overview Cooperative learning. (http//co-operation
Org/pages/overviewpaper.html, diakses tanggal 3 September 2010)
Rubinson, N.S. dan G.J. 1995. Social Support and Psychopathology Acroos the Life
Span. Developmental Psychology Vol 2. New York: John. Wiley and Sons.Inc
Sanjaya, W. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Santoso, S. 2010. Statistik Multivariat, Konsep dan Aplikasi SPSS. Jakarta: Kompas
Gramedia
Setyosari, P. 2009. Pembelajaran Kolaborasi: Landasan Untuk Mengembangkan
Keterampilan Sosial. Rasa Saling Menghargai dan Tanggung Jawab.
Pidato Pengukuhan Guru besar. Malang: Universitas Negeri Malang
Sharan, S. 1999. Handbook of Cooperative Learning Methodes. London: Praeger
Wesport, Connecticut
Sudjana, N. 1990. Penilaian Hasil Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdikarya.
27
Sumaatmadja, N. 1986. Metodologi Guruan IPS. Bandung: Alumni
Suparno, P. 2002. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi. Yogjakarta: Kanisius
Slavin, R.E. 1996. Research on Cooperative Learning and Achievement; What are
Know, What We Need to Know. Contempory Educational Psychology, 21
Slavin, R.E. 2005. Cooperative Learning, Theory, Research, and Practce. London:
Allyn Bacon.
Smith, P.L., and Tilman J.R. 1992. Instructional Design. New York: Merril, an Imprint
of Macmillan Publishing Company.
Solso, R. L. 1991. Cognitif Psychology. Boston: Allyn and Bacon
Syaodih, E. 2011. Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan
Keterampilan Sosial. EDUCARE; Jurnal pendidikan dan Budaya. 3 Pebruari
2011, 22-14 (http://educare.e-fkipunia.net.generated; diakses tanggal 16
September 2011)
Tawil, M., dan Suryansari, K. 2009. Kemampuan Penalaran Formal dan Lingkungan
Pendidikan Keluarga Dikaitkan Dengan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas X
SMAN
1
Sungguminasa.
(http://www.depdiknas.go.id
/
publikasi/balitbang/075/j 75-03, diakses tanggal 28 Agustus 2010)
Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research. Orlando, FL: Harcourt Brace
Jovanovich. Publishers
UU no. 2 th. 1989 Tentang Pendidikan Nasional. 1989. Solo: Aneka Ilmu
Uno, H.B. 2008. Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Vockell, E.L., dan Asher, J.W. 1995. Educational Research. (2nd Ed) Englewood Cliffs,
N.J.: Prentice-Hall, Inc
Weidman, R. 2009. Using Model to Facilitate Cooperative Learning in Online Course.
ERIC. Quarterly Review of Distance Education. V 10, n1 p 51-64.
(http:pubs.eric.org/en/content/ar/html. Diakses tanggal 2 Mei 2012)
Wibowo, A.L. Pengaruh Metode Cooperative learning Teknik Jigsaw terhadap Prestasi
Belajar Mahasiswa. Portal Jurnal vol. VI no. 17. Bandung: UPI Bandung.
(http://jurnal.upi.edu/abmas/vew/260/html. diakses 2 Mei 2012)
Yamin, S. dan Kurniawan, H. 2009. SPSS Complete Teknik: Teknik Analisis Statistik
Terlengkap Dengan Software SPSS. Jakarta: Salemba Infotek
28
Yen, C., dan Ling, M. 1999. The Effect on Students Cognitive Achievement when
Using the Cooperative Learning Methode in Earth Science Classroom. School
science and matematics, vol. 99
Zuchdi, D. 2008. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Download