BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Etika Keraf (1998) dalam Bakri dan Hasnawati (2015) menyebutkan bahwa ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi. a. Etika Deontologi Istilah deontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu deon, yang berarti kewajiban. Menurut teori deontologi suatu tindakan dikatakan baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan tersebut, melainkan berdasarkan tindakan itu baik bagi dirinya sendiri atau tidak, atau dengan kata lain, tindakan tersebut bernilai moral jika tindakan tersebut dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. b. Etika Teleologi Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dari tindakan tersebut, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Suatu tindakan dinilai baik apabila tindakan tersebut bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik, atau akibat yang nantinya ditimbulkan baik dan berguna. Dengan dasar ini dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih bersifat situsional, karena 10 11 tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. 2. Teori Sikap dan Perilaku (Theory of Attitude and Behavior) Teori sikap dan perilaku menurut Pradanti (2014) menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh untuk apa orang-orang ingin melakukan (sikap), apa yang mereka pikirkan akan mereka lakukan (aturan-aturan sosial), apa yang bisa mereka lakukan (kebiasaan) dan dengan konsekuensi perilaku yang mereka pikirkan. Sikap menyangkut komponen kognitif berkaitan dengan keyakinan, sedangkan komponen afektif memiliki konotasi suka atau tidak suka. Sikap juga melayani suatu hal yang bermanfaat atau fungsi kebutuhan yang memuaskan. 3. Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi Pengertian persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal yang dialami oleh setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungan melalui panca indera (Mardawati, 2014). Pradanti (2014) mendeskripsikan persepsi sebagai sebuah proses bagaimana seorang individu mengatur dan menginterpretasikan kesan dengan tujuan untuk memberikan arti kepada lingkungannya. Setiap individu menunjukkan perbedaan pandangan akan suatu hal dipengaruhi 12 oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri dari 3 faktor yaitu : faktor pemersepsi, faktor situasi dan faktor objek. Faktor pemersepsi adalah sikap, motif, minat, pengalaman, dan harapan. Faktor situasi meliputi waktu, keadaan kerja, dan keadaan sosial. Faktor objek meliputi sesuatu yang yang baru, gerakan, suara, ukuran, latar belakang, kedekatan, dan kemiripan. Selain itu, Al-Fithrie (2015) mengemukakan bahwa Persepsi merupakan pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi merupakan pandangan individu-individu terhadap peristiwa yang diterima oleh panca indera sehingga individu-individu dapat memahami kejadian yang diterima sesuai dengan peristiwa yang terjadi (Pasek dkk, 2014). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang akuntan dituntut untuk memiliki etika. Etika akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik Akuntan Indonesia memuat delapan prinsip etika yang terdiri dari tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis (Al-Fithrie, 2015). Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia tersebut dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota dalam pemenuhan tanggung jawab profesionalnya. 13 Pentingnya etika dalam profesi akuntan mendorong perhatian pada penanaman nila-nilai etika sejak masa pendidikan calon akuntan. Pendidikan mengenai pentingnya etika dalam profesi tersebut perlu diberikan pada mahasiswa akuntansi sejak dini sebagai tindakan antisipatif dan sebagai langkah awal menciptakan bibit-bibit akuntan masa depan yang berperilaku etis. Dalam memasuki dunia kerja nantinya, mahasiswa akuntansi sebagai calon akuntan tidak menutup kemungkinan akan mengalami dilema ketika melakukan atau membuat suatu keputusan. Pada tahap tersebut, mahasiswa akuntansi akan membuat keputusan sesuai dengan persepsi etisnya. Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi terbentuk oleh pemahaman tentang akuntansi khusunya terkait dengan perilaku akuntan, sehingga mahasiswa dapat menilai etis atau tidak etis dari perilaku tersebut. Kode etik akuntan diharapkan dapat menjadi acuan dalam memberikan tanggapan atas skandal etis yang terjadi pada profesi akuntan (Al-Fithrie, 2015). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi merupakan pandangan atau penilaian dari seorang mahasiswa akuntansi sebagai calon akuntan mengenai etis atau tidaknya suatu tindakan yang dilakukan oleh para akuntan. Dimana pandangan atau penilaian tersebut didapat melalui suatu proses pengalaman dan pembelajaran terkait dengan etika profesi seorang akuntan. 14 4. Moral Reasoning (Penalaran Moral) Falah (2006) mengungkapkan bahwa moral merupakan sikap mental dan emosional yang dimiliki oleh individu sebagai anggota kelompok sosial dalam melakukan tugas-tugas serta loyalitas pada kelompok. Dalam teori perkembangan moral kognitif (Kohlberg, 2006) yang dijelaskan dalam Al-Fithrie (2015), pertimbangan moral/alasan moral dapat dinilai dengan menggunakan tiga kerangka level yang terdiri dari : 1) Pre-conventional level Dalam tahap ini, individu membuat keputusan untuk menghindari risiko atau kepentingan pribadi (fokus pada orientasi jangka pendek). Individu pada level moral ini akan memandang kepentingan pribadinya sebagai hal yang utama dalam melakukan suatu tindakan. Selain itu, individu akan melakukan suatu tindakan karena takut terhadap hukum/peraturan yang ada. 2) Conventional Level Dalam tahap ini, individu menjadi lebih fokus pada dampak dari tindakan yang mereka lakukan. Dalam situasi dilema etika, fokus individu bergeser dari fokus jangka pendek dan berorientasi kepentingan pribadi menjadi berorientasi pada pertimbangan akan kebutuhan untuk mengikuti aturan umum untuk menciptakan perilaku yang baik. Individu akan mendasarkan tindakannya pada persetujuan teman-teman atau keluarganya dan juga pada norma-norma yang ada di masyarakat. Individu akan memandang dirinya sebagai bagian integral dari 15 kelompok referensi. Mereka cenderung akan melakukan fraud demi menjaga nama baik kelompoknya. 3) The post conventional level Dalam level ini, individu fokus pada prinsip etika secara luas sebagai panduan perilaku mereka. Selain itu, individu mendasari tindakannya dengan memperhatikan kepentingan orang lain dan mendasarkan tindakannya pada hukum-hukum universal. Tabel 2.1 Tahap-Tahap Perkembangan Moral Kohlberg Tingkat (Level) Sublevel Ciri Menonjol 1. Orientasi Mematuhi peraturan untuk pada menghindari hukuman Tingkat I hukuman (Preconventional) 2. Orientasi Menyesuaikan diri untuk Usia < 10 tahun pada memperoleh hadiah/pujian hadiah Tingkat II (Conventional) Usia 10-13tahun) Tingkat III (Postconventional) 3. Orientasi anak baik Menyesuaikan diri untuk menghindari celaan orang lain. 4. Orientasi otoritas Mematuhi hukuman dan peraturan sosial untuk menghindari kecaman dari otoritas dan perasaan bersalah karena tidak melakukan kewajiban. 5. Orientasi kontrak sosial Tindakan yang dilaksanakan atas dasar prinsip yang disepakati bersama masyarakat demi kehormatan diri. 16 Usia > 13 tahun 6. Orientasi prinsip etika Tindakan yang didasarkan atas prinsip etika yang diyakini diri sendiri untuk menghindari penghukuman diri. Sumber : Al-Fithrie (2015) Moral dalam kehidupan manusia memegang peranan penting yang berhubungan dengan baik atau buruknya suatu tingkah laku manusia. Tingkah laku tersebut didasarkan terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dapat dikatakan memiliki moral yang baik apabila orang tersebut dalam bertingkah laku sesuai dengan aturan norma yang terdapat dalam masyarakat. Jadi, moral merupakan keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar. Akan tetapi, baik dan benarnya suatu tingkah laku menurut seseorang juga belum tentu baik dan benar menurut orang lain. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Moral Reasoning merupakan kesadaran moral yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi perilaku moral dalam pengambilan keputusan etis. Moral Reasoning tersebut merupakan suatu proses penentuan benar atau salahnya seseorang dalan mengambil keputusan etis. 5. Ethical Sensitivity (Sensitivitas Etika) Sensitivitas Etika merupakan suatu kemampuan untuk dapat menyadari nilai-nilai etika atau moral dalam suatu keputusan etis. Kemampuan seseorang untuk berperilaku etis sangat dipengaruhi oleh 17 sensitivitas individu tersebut terhadap etika. Seperti yang diungkapkan oleh Risa (2011) yaitu suatu keputusan dapat dinilai dari segi moral jika pada saat keputusan itu dibuat dengan memperhitungkan atau memasukkan nilainilai moral. Sensitivitas Etika dalam penelititan ini dikaitkan dengan kegiatan akademis mahasiswa selama proses belajar mengajar serta direfleksikan dalam tindakan akademik yang berdampak terhadap perilaki etis. Al-Fithrie (2015) menjelaskan bahwa sensitivitas etika merupakan ciri-ciri tindakan yang mendeteksi kemungkinan lulusan berperilaku etis. Apabila sebagai calon akuntan, mahasiswa berperilaku tidak etis maka besar kemungkinan setelah lulus akan berperilaku tidak etis. Hal tersebut perlu diantisipasi sejak dini sebagai langkah awal untuk mencegah perilaku tidak etis melalui cakupan atau muatan kurikulum etika dalam perkuliahan. Riset di bidang akuntansi telah difokuskan pada kemampuan para akuntan dalam membuat keputusan etika dan berperilaku etis. Faktor penting dalam penilaian dan perilaku etis adalah kesadaran para individu bahwa mereka adalah agen moral. Kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etik atau moral dalam suatu keputusan inilah yang disebut dengan sensitivitas etika (Ryanto, 2008). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, sensitivitas etika merupakan tingkat kepekaan seseorang dalam merespon kejadian atau peristiwa tertentu. Jadi, sensitivitas etika dapat diartikan sebagai kesadaran individu dalam menilai etis atu tidaknya suatu perilaku. Kesadaran individu 18 tersebut dapat dinilai melalui kemampuan untuk menyadari adanya nilainilai etis dalam suatu keputusan. 6. Gender Gender biasanya diinterpretasikan sebagai perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Normadewi (2012) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah suatu konsep analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari sudut nonbiologis yaitu dari aspek sosial, budaya, maupun psikologis. Ika (2011) pernah menjelaskan bahwa gender dapat diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan tingkah laku, selain itu, ia juga menjelaskan bahwa gender adalah konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional lakilaki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat B. Penelitian terdahulu dan Penurunan Hipotesis 1. Hubungan Moral Reasoning dengan Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi Moral Reasoning atau penalaran moral merupakan upaya dalam memecahkan suatu masalah moral dengan menggunakan logika yang sehat. Dalam berlogika secara sehat seseorang harus mampu untuk memahami dengan baik masalah yang sedang dihadapi sebelum memutuskan pemecahan masalah seperti apa yang akan diambilnya. 19 Begitu juga dengan mahasiswa akuntansi yang merupakan calon akuntan di masa depan, ketika mereka dihadapkan pada berbagai kasus pelanggaran etika yang dilakukan para akuntan, mereka akan memiliki persepsi etis atas kejadian tersebut. Mahasiswa dengan tingkat Moral Reasoning yang tinggi dalam memberikan persepsi etis dari kasus pelanggaran etika akan mendasarkan perilaku akuntan tersebut pada prinsip-prinsip moral. Sebaliknya, mahasiswa akuntansi dengan tingkat Moral Reasoning yang rendah akan cenderung mengabaikan prinsip- prinsip moral dalam memberikan persepsi etis kasus pelanggaran etika yang dilakukan para akuntan. Ilham (2012) pada penelitiannya menyatakan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara tingkat penalaran moral siswa dengan kedisiplinan siswa. Seorang siswa yang memiliki tingkat penalaran moral yang baik akan memiliki perilaku yang baik juga, dimana hal tersebut menunjukkan adanya kesatuan antara penalaran moral dan perilaku moral tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Fithrie (2015) menyatakan bahwa adanya pengaruh positif dan signifikan Moral Reasoning terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. Berdasarkan penjelasan di atas maka pada penelitian ini dirumuskan hipotesis : H1 : Moral Reasoning berpengaruh positif Mahasiswa Akuntansi. terhadap Persepsi Etis 20 2. Hubungan Ethical Sensitivity dengan Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi Ethical Sensitivity atau sensitivitas etika merupakan tingkat kepekaan terhadap nilai-nilai etika yang ada. Selain memiliki Moral Reasoning, akuntan seharusnya juga memiliki sensitivitas etika yang tinggi karena tingkat sensitivitas yang dimiliki oleh para akuntan akan mempengaruhi kinerja dari para akuntan tersebut. Akuntan yang memiliki tingkat sensitivitas etika tinggi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan etika sangat kecil, sedangkan akuntan dengan sensitivitas etika yang rendah kemungkinan untuk berbuat penyimpangan etika lebih tinggi. Kinerja dari para akuntan secara tidak langsung telah mendapat sorotan dan penilaian dari kalangan masyarakat termasuk dengan mahasiswa, khususnya mahasiswa akuntansi yang nantinya akan menjadi penerus profesi akuntan di masa yang akan datang. Informasi mengenai perilaku tidak etis para akuntan atau pelanggaran terhadap etika seperti pada kasus Enron menjadi contoh pelanggaran kode etik yang dipelajari oleh mahasiswa ketika berada di bangku perkuliahan. Mahasiswa yang memiliki tingkat sensitivitas etika yang tinggi akan mengambil pelajaran dari kasus tersebut dan cenderung menghindari kasus yang serupa. Mereka akan memiliki persepsi yang baik terhadap para akuntan yang tidak menyimpang dari etika yang berlaku. Sedangkan mahasiswa yang memiliki tingkat sensitivitas etika yang rendah akan cenderung mengabaikan dan tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan meniru dari contoh kasus yang ada. 21 Penelitian yang dilakukan oleh Al-Fithrie (2015) menyatakan bahwa Ethical Sensitivity berpengaruh positif dan signifikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. Selain itu, Febrianty (2010) menyatakan bahwa ethical sensitivity berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku etis mahasiswa akuntansi. Berdasarkan penjelasan di atas maka pada penelitian ini dirumuskan hipotesis : H2 : Ethical Sensitivity berpengaruh positif terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi. 3. Gender dapat memoderasi Pengaruh Moral Reasoning terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi Selama dibangku perkuliahan, mahasiswa akuntansi tentunya pasti sering membahas mengenai pelanggaran perilaku etis dari para akuntan. Salah satu contohnya yaitu mengenai kasus yang terjadi pada Enron dan melibatkan kantor akutan publlik Arthur Anderson. Dari pembahasan mengenai kasus tersebut tentunya akan memunculkan persepsi dari mahasiswa yang akan dipengaruhi salah satunya oleh Moral Reasoning yang dimiliki oleh mahasiswa tersebut.Mahasiswa yang memiliki tingkat Moral Reasoning yang tinggi maka akan memiliki persepsi negatif terhadap para akuntan yang melakukan pelanggaran etika. Sedangkan mahasiswa dengan tingkat Moral Reasoning yang rendah maka akan cenderung meniru perilaku dari para akuntan tersebut untuk melakukan pelanggaran terhadap kode etik. 22 Al-Fithrie (2015) menyatakan bahwa Moral Reasoning yang dimiliki oleh mahasiswa salah satunya dipengaruhi oleh Gender. Mahasiswa laki-laki cenderung akan memiliki tingkat Moral Reasoning yang rendah dibanding mahasiswa perempuan. Laki-laki memiliki moral yang lebih rendah sehingga akan dapat mempengaruhi pula penalaran moralnya, sedangkan perempuan lebih dipengaruhi oleh perasaan dan penghayatan akan kejadian yang terjadi disekitarnya sehingga perempuan akan lebih mudah menerima aturan norma yang ada. Lebih lanjut Al-Fithrie (2015) pada penelitiannya mengungkapkan bahwa gender dapat memoderasi pengaruh Moral Reasoning terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi. Febrianty (2010) mengungkapkan bahwa laki-laki akan bersaing untuk mencapai kesuksesan dan lebih cenderung akan melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan karena menurut mereka pencapaian suatu prestasi merupakan suatu persaingan. Sementara perempuan dalam bekerja akan lebih menitikberatkan pada pelaksanaan tugas dengan baik dan hubungan kerja yang harmonis. Oleh karena itu perempuan akan lebih mungkin untuk lebih patuh terhadap aturan-aturan dan kurang toleran terhadap individu yang melanggar aturan. Saputra (2005) juga mengungkapkan hal yang sama, yaitu laki-laki dan perempuan membawa nilai dan sifat yang berbeda dalam dunia kerja, dimana perbedaan nilai dan sifat tersebut akan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam membuat keputusan dan praktik. Laki-laki akan 23 cenderung bersaing untuk mencapai kesuksesan dengan cenderung untuk melanggar aturan karena memandang pencapaian suatu prestasi sebagai suatu persaingan. Sementara perempuan lebih memilih untuk patuh terhadap aturan dan kurang toleran terhadap tindakan yang melanggaar aturan. Sugiarti (2004) pada penelitiannya menyatakan adanya perbedaan sikap dan perbedaan penilaian etika antara laki-laki dan perempuan dilingkungan kerja. Berdasarkan penjelasan di atas maka pada penelitian ini dirumuskan hipotesis : H3 : Gender dapat memoderasi Pengaruh Moral Reasoning terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi 4. Gender dapat memoderasi Pengaruh Ethical Sensitivity terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi Dalam menjalankan tugasnya, para akuntan dituntut untuk mematuhi kode etik profesi yang ada, akan tetapi, pada kenyataannya tidak sedikit para akuntan yang melanggar dan tidak mematuhi kode etik yang berlaku. Dari berbagai kasus pelanggaran tersebut maka akan memunculkan persepsi dari berbagai golongan seperti masyarakat serta mahasiswa, khususnya mahasiswa akuntansi sebagai calon akuntan dimasa yang akan datang. Munculnya persepsi tersebut akan dipengaruhi salah satunya oleh tingkat sensitivitas etika yang dimiliki. Seseorang yang memiliki tingkat sensitivitas etika yang tinggi akan cenderung memiliki persepsi yang positif 24 kepada para akuntan yang mematuhi kode etik profesi yang ada dan akan memiliki persepsi negatif terhadap akuntan yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik profesi. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat sensitivitas etika yang rendah akan cenderung mengabaikan perilaku para akuntan yang melanggar kode etik profesi. Al-Fithrie (2015) mengungkapkan bahwa tinggi rendahnya sensitivitas etika yang dimiliki mahasiswa akan dipengaruhi oleh gender. Mahasiswalaki-laki cenderung memiliki tingkat sensitivitas etika yang rendah dibandingkan dengan mahasiswa perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki dalam berfikir dan bertindak cenderung menggunakan logika, yaitu termasuk pada saat memberikan penilaian atau persepsi terkait kasuskasus yang terjadi disekitarnya, sedangkan perempuan dalam berfikir dan bertindak cenderung menggunakan perasaan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Al-Fithrie (2015) mengungkapkan bahwa gender dapat memoderasi pengaruh Ethical Sensitivity terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. Sugiarti (2004) menyatakan secara umum perempuan memiiki tingkat sensitivitas etika yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Saputra (2005) pada penelitiannya menyatakan bahwa terdapat perbedaan sensitivitas etika yang signifikan antara akuntan publik perempuan dan akuntan publik laki-laki. Kartika (2013) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa tidak terdapat perbedaan sensitivitas etika antara mahasiswa akuntansi pria dan mahasiswa akuntansi wanita terhadap aktivitas tidak etis yang terjadi 25 didalam lingkungan akademik. Berdasarkan penjelasan di atas maka pada penelitian ini dirumuskan hipotesis : H4 : Gender dapat memoderasi Pengaruh Ethical Sensitivity terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi 5. Perbedaan Moral Reasoning Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi Islam dengan Moral Reasoning Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi Negeri/Nasional Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Moral Reasoning atau penalaran moral merupakan upaya dalam memecahkan suatu masalah moral dengan menggunakan logika yang sehat. Pembahasan mengenai moral tidak terlepas dari akhlak, karena jika dilihat dari segi fungsi dan peran dapat dikatan moralitas dan akhlak adalah sama, yaitu sama-sama menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia, untuk ditentukan baik atau buruknya, akan tetapi apabila dilihat dari segi sumber maka terdapat perbedaan, yaitu pada moralitas berasal dari kebiasaan umum yang berlaku umum di masyarakat, sedangkan akhlak berdasarkan al-Quran dan hadis. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa walaupun moral dan akhlak bersumber dari sumber yang berbeda akan tetapi mereka memiliki fungsi yang sama yaitu sama-sama digunakan untuk menentukan benar atau salahnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. 26 Menurut Reza (2013) religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam pengkahayatan atas agama yang dianut. Lebih lanjut Reza (2013) mengungkapkan bahwa religiusitas memiliki lima dimensi. Pertama akidah, yaitu tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agama Islam. Kedua syariah, yaitu tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan dalam agama Islam. Ketiga akhlak, yaitu tingkat perilaku seorang muslim berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam, bagaimana bersosialisasi dengan dunia beserta isinya. Keempat pengetahuan agama, yaitu tingkat pemahaman muslim terhadap ajaranajaran agama Islam sebagaimana termuat dalam al-Quran. Kelima penghayatan yaitu mengalami perasaan-perasaan dalam menjalankan aktivitas beragama dalam agama Islam. Mahasiswa akuntansi dengan lingkungan perguruan tinggi yang dilandasi ajaran agama kemungkinan akan memiliki tingkat penalaran moral yang lebih baik dan akan lebih baik dalam pengambilan keputusan penilaian mengenai etis atau tidaknya suatu tindakan. Dikarenakan pendidikan agama yang didapatkan oleh mahasiswa dari perguruan tinggi yang didasari ajaran agama akan menjadi norma dan nilai yang dianut oleh mahasiswa didalam kehidupan moral, karena didalam agama mengandung norma dan nilai yang mengatur semua sistem kehidupan manusia. Seperti yang diungkapkan Sumarmi (2007) yang menyatakan bahwa penalaran 27 moral bukanlah sesuatu yang bersifat bawaan, akan tetapi merupakan suatu hal yang diperoleh dan dipelajari dari interaksi seseorang dengan lingkungannya. Nazaruddin (2012) pada penelitiannya menyatakan bahwa individu dengan tingkat religiositas yang tinggi cenderung akan memiliki kemampuan penalaran moral yang baik dibandingkan dengan individu yang kurang religios. Individu yang religios dalam membuat suatu keputusan etis akan lebih mendasarkan pada keputusan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Lebih lanjut Nazaruddin (2012) menyebutkan bahwa individu yang mempertimbangkan pendekatan agama dalam kehidupannya akan menyisihkan waktu untuk berpikir dan berdoa, menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran agamanya, dan sadar akan keberadaan Tuhan sehingga individu tersebut akan memiliki kemampuan kognitif yang relatif baik ketika dihadapkan pada dilema etika. Berdasarkan penjelasan di atas maka pada penelitian ini dirumuskan hipotesis : H5 : Moral Reasoning Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi Islam lebih baik dibandingkan Moral Reasoning Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi Negeri/Nasional. 28 6. Perbedaan Ethical Sensitivity Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi Islam dengan Ethical Sensitivity Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi Negeri/Nasional Ethical Sensitivity atau sensitivitas etika merupakan tingkat kepekaan terhadap nilai-nilai etika yang ada. Menurut Reza (2013) religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam pengkhayatan atas agama yang dianut. Seseorang yang berada pada lingkungan yang didasari oleh ajaran agama, dalam hal ini mahasiswa akuntansi pada perguruan tinggi Islam, kemungkinan akan memiliki pengetahuan yang lebih mengenai agama serta akan lebih kokoh terhadap keyakinan dan lebih mengkhayati atas agama yang dianut. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa didalam agama terdapat aturan yang mengatur semua sistem kehidupan manusia. Dengan demikian, seseorang dengan pengetahuan agama dan sangat meyakini dan mengkhayati atas agama yang dianut akan memiliki tingkat sensitivitas etika yang tinggi pula. Ini dikarenakan orang dengan pengetahuan agama dan mengkhayati ajaran agama yang dianut akan sangat menghindari halhal yang menyimpang dari ajaran agama yang telah dianutnya. Salah satunya yaitu melakukan perbuatan yang menyimpang dari etika. Dari penjelasan tersebut maka pada penelitian ini dirumuskan hipotesis : 29 H6 : Ethical Sensitivity Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi Islam lebih baik dibandingkan Ethical Sensitivity Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi Negeri/Nasional. C. Model Penelitian Variabel Independen Varibale Moderasi Variabel Dependen Gender (X3) Moral Reasoning (X1) Ethical Sensitivity(X2) H1(+) H3 (+) Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi (Y) H2 (+) H4 (+) Gender (X3) Variabel Moderasi Gambar 2.1 Model Penelitian