sifat Kimia Tanah Tanah memiliki sifat fisik, sifat kimia dan sifat

advertisement
TINJAUN PUSTAKA
Sifat – sifat Kimia Tanah
Tanah memiliki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi. Sifat fisik dan
biologi tanah dapat dilihat secara kasat mata dan diteliti dengan warna tanah,
tekstur tanah, kepadatan tanah,dan lain-lain. Sifat kimia tanah mengacu pada sifat
dasar tanah yang memiliki derajat keasaman tanah atau pH yang berbeda-beda,
pemupukan yang dilakukan oleh manusia dan kandungan organik serta mineral di
dalam tanah itu sendiri. Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat
dasar
inilah
kemudian
dapat
diteliti
bagaimana
memperlakukan
dan
pembubidayaan tanah (Anonim,2011).
Beberapa sifat kimia yang digunakan sebagai parameter dalam penelitian
ini adalah pH tanah, karbon tanah, nitrogen, C/N fosfat tersedia tanah. Beberapa
sifat kimia tanah dapat menilai apakah suatu tanah merupakan tanah yang
potensial atau tidak ( Hanafiah, 2005).
Bahan organik adalah semua bahan organik di dalam tanah baik yang mati
maupun yang hidup,walaupun organisme hidup (biomassa tanah) hanya
menyumbang kurang dari 5% dari total bahan organik. Jumlah dan sifat bahan
organik sangat menentukan sifat biokimia, fisika, kesuburan tanah dan membantu
menetapkan arah proses pembentukan tanah. Bahan organik menentukan
komposisi dan mobilitas kation yang terjerap, warna tanah, keseimbangan panas,
konsistensi, kerapatan partikel, kerapatan isi, sumber hara, pemantap agregat,
karakteristik air, dan aktifitas organisme tanah ( Mukhlis, 2007).
Kemasaman Tanah (pH)
Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ didalam tanah, semakin
masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain H+ dan ion-ion lain ditemukan pula
ion OH-, yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. pada tanahtanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-, sedang pada tanah alkalis
kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan
OH-, maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7 (Anonim 1991).
pH tanah atau tepatnya pH larutan tanah sangat penting karena larutan
tanah mengandung unsur hara seperti Nitrogen (N), potassium/kalium (K), dan
Pospor (P) dimana tanaman membutuhkan dalam jumlah tertentu untuk tumbuh,
berkembang, dan bertahan terhadap penyakit (Anonim, 2010).
Konsentrasi Alumunium dan besi (Fe) yang tinggi pada tanah
memungkinkan terjadinya ikatan terhadap fosfor dalam bentuk alumunium fosfat
atau Fe-fosfat. P yang terikat oleh alumunium tidak dapat digunakan oleh tanaman
makanan ternak. Tanaman makanan ternak yang ditanam pada tanah yang
memiliki pH rendah biasanya juga menunjukkan klorosis (peleburan klorofil
sehingga daun berwarna pucat) akibat kekurangan nitrogen atau kekurangan
magnesium. Selain itu pH tanah rendah memungkinkan terjadinya hambatan
terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang bermanfaat bagi proses mineralisasi
unsur hara seperti N dan P dan mikroorganisme yang berpengaruh pada
pertumbuhan tanaman, misalnya bakteri tanah yang dapat bersimbiosis degan
leguminosa seperti Rhizobium atau bersimbiosis dengan tanaman non leguminosa
seperti Frankia sehingga sering dijumpai daun-daun tanaman makanan ternak
pada tanah asam mengalami chlorosis akibat kekurangan N ( Nyakpa,dkk, 1998).
Di Indonesia pH tanah umumnya berkisar 3-9 tetapi untuk daerah rawa
seeperti tanah gambut ditemukan pH dibawah 3 karena banyak mengandung asam
sulfat sedangakan di daerah kering atau daerah dekat pantai pH tanah dapat
mencapai di atas 9 karena banyak mengandung garam natrium (Mas’ud, 1992).
C-organik
Dengan fotosintesis, tanaman mengumpulkan karbon yang ada di atmosfir
yang kadarnya sangat rendah, ditambah air yang diubah menjadi bahan organik
oleh klorofil dengan bantuan sinar matahari. Unsur yang diserap untuk
pertumbuhan dan metabolisme tanaman dinamakan hara tanaman. Mekanisme
perubahan unsur hara menjadi senyawa organik atau energi disebut metabolsime
(Kaptan ADB, 2011).
Salah satu peranan bahan organik yang penting adalah kemampuanya
bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa kompleks. Dengan
demikian ion logam yang bersifat meracuni tanaman serta merugikan penyediaan
hara pada tanah seperti Al, Fe dan Mn dapat diperkecil dengan adanya bahan
organik. Karakteristik bahan organik tanah dapat dilakukan secara sederhana.
Contoh secara kimia berdasarkan dari kadar C-organik (Suridikarta, dkk, 2002).
Nitrogen Tanah
Analisis N total tanah didasari oleh prinsip mengubah N-organik menjadi
N-ammonium oleh asam sulfat yang dipanaskan sekitar 3800C dan menggunakan
Cu-sulfat + selenium + Na-sulfat sebagai katalisator. Proses ini disebut digestasi
dan hasilnya disebut digest; secara keseluruhan disebut kjeldahl digestasi. Asam
digest yang mengandung ammonium dibasakan dengan NaOH sehingga ion
ammonium dikonversi menjadi amoniak. Lalu didestilasi menjadi ammonium
hidroksida. NH4OH ditentukan jumlahnya dengan mentitrasi dengan HCl
(Foth,1994).
Total N tanah (organik utama) umumnya diukur setelah didigestasi
menggunakan prosedur kjeldahl. Total bahan organik N (NH4+, NO3-, dan NO2-)
biasanya dideterminasi dengan destilasi menggunakan ekstrak tanah 2 M KCl.
Dan setelah didestilasi, N-NO3- bisa dideterminasi dengan sebuah prosedur asam
kromotropik (Tisdale, dkk.1985).
Rasio C/N
Laju dekomposisi sisa tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan
nitrogen dalam jaringan tanaman dimana senyawa protein yang kaya nitrogen
akan mudah terdekomposisi. Protein akan terdekomposisi membentuk asam
amino. Laju metabolisme yang menggunakan asam amino tergantung pada rasio
C:N dalam jaringan tanaman. Jika rasio C:N yang tersedia lebih besar dari 25,
semua asam amino akan dimanfaatkan oleh dekomposer, dan asam amino akan
dimineralisasi membentuk amoniak, dan kemudian amoniak akan ternitrifikasi
membentuk nitrat (Barchia, 2009).
Perbandingan C:N sangat menentukan apakah bahan organik akan
termineralisasi atau sebaliknya nitrogen yang tersedia akan terimmobilisasi ke
dalam struktur sel mikroorganisme. Karena C:N rasio pada tanah relatif konstan
maka ketika residu tanaman ditambahkan ke dalam tanah yang memiliki C:N
rasio relatif besar, residu tanaman akan terdekomposisi dan meningkatkan evolusi
CO2 ke atmosfer, dan sebaliknya akan terjadi depresi pada nitrat tanah karena
immobilisasi oleh kimia. Pada lahan ini pada umumnya mempunyai C:N rasio
lebih tinggi bila dibanding C:N rasio pada lahan yang diubah menjadi
agroekosistem. Tingginya rasio C:N pada lahan ini mencerminkan kualitas
substrat yang terurai relatif rendah, karena kualitas substrat yang rendah
mencerminkan laju respirasi yang rendah pula. Rendahnya laju pelepasan karbon
pada lahan ini dibanding pada alang-alang ini disebabkan bahwa tingginya rasio
C:N pada lahan hutan berkisar 13 – 16, sementara pada lahan alang-alang 5 tahun
berkisar 9 – 11, dan alang-alang > 10 tahun berkisar 10 – 13. Hubungan antara
C:N rasio dengan laju pelepasan karbon dalam bentuk CO2 melalui persamaan
regresi memiliki nilai r2 = 0.78 nyata (Anonim,2009).
Fosfat Tersedia Tanah
Secara umum, fungsi dari P dalam tanaman dapat dinyatakan sebagai
berikut :
1. Dapat mempercepat pertumbuhan tanaman
2. Dapat mempercepat perkembangan dan pemasakan buah, dan
3. Dapat meningkatkan produksi biji-bijian.
Defisiensi unsur hara P akan menimbulkan hambatan pada pertumbuhan
sistem perakaran, daun dan batang. Dalam tanah fungsi P terhadap tanaman
sebagai zat pembangunan dan terikat dalam senyawa-senyawa organis
(Sutedjo, 2002).
Tanaman lebih banyak menyerap H2PO-4 dibandingkan HPO=4 dan PO43-.
Kesetimbangan ion-ion ini dalam larutan tanah dikendvalikan oleh pH tanah
(Mas’ud, 1992). Sebagai tambahan pada pH tanah dan faktor-faktor yang ada
hubungannya, bahan organik dan mikroorganisme mempengaruhi tersedianya
fosfor anorganik yang tampak nyata sekali (Buckman and Brady, 1982).
Pada pH tanah yang kurang 6,5 akan banyak Al, dan Mn yang akan
mengikat P dalam tanah, reaksinya adalah sebagai berikut :
Al3+ + H2PO4- + 2H2O
2H+ + Al(OH)2 PO4
tidak larut
Cara mengurangi fiksasi fosfor di dalam tanah dapat dilakukan antara lain
sebagai berikut :
(a) Mengatur pH yaitu dengan pengapuran
(b) Pemberian bahan organik, pemberian ini akan menghasilkan anion dan
kation yang akan mengurangi fiksasi
(c) Mengurangi
kontak
langsung
antara
pupuk
dengan
tanah
(Sutedjo dan Kartasapoetra, 1997).
Ketersediaan fosfor tanah untuk tanaman terutama sangat dipengaruhi oleh
sifat dan cirri tanahnya sendiri. Pada ultisol tidak tersedia dan tidak
larutnya fosfor disebabkan fiksasi oleh mineral-mineral liat dan ion-ion Al,
Fe, yang membentuk senyawa kompleks dan tidak larut. Ada beberapa
faktor yang turut mempengaruhi ketersediaan fosfor tanah yaitu: (1) tipe
liat, (2) pH tanah, (3) waktu reaksi, (4) temperatur (5) dan bahan organik
(Nyakpa, dkk, 1988).
Aplikasi Limbah Cair Kelapa Sawit
Limbah cair yang dihasilkan pabrik kelapa sawit tidak langsung dibuang
ke badan air karena akan menimbulkan pencemaran. Oleh sebab
itu, untuk
mengurangi pencemaran limbah cair pabrik kelapa sawit pada badan air,
walaupun
telah
dilakukan
pengolahan
limbah,
maka
diatasi
dengan
mengaplikasikan limbah cair tersebut ke lahan perkebunan atau dikenal dengan
Land Application. Namun Land Application ini mempunyai banyak kelemahan,
diantaranya yaitu:
-
memerlukan areal yang datar yang cukup luas (300 Ha untuk pabrik
kapasitas 60 ton/dalam satu areal).
-
sifatnya yang sementara (tidak selamanya ) karena flatbed suatu saat akan
jenuh dan bila itu terjadi berarti harus membuat flatbed baru.
-
Jika pengaliran dan pendistribusian menggunakan pipa maka dalam waktu
2-3 tahun harus menggantinya, karena dalam pipa sudah terbentuk kristal
yang akan menyumbat pipa.
Sedangkan pada aplikasi tandan kosong sebagai mulsa juga memiliki beberapa
kelemahaan, yaitu volume tandan kosong yang besar sehingga memerlukan alat
tranportasi dalam kapasitas yang besar juga (Kamtoyo, 2004).
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingungan Hidup No.28 tahun 2003
pengaplikasian limbah cair ke areal perkebunan dilakukan dengan metode irigasi
yaitu dengan flat bed sistem, furrow sistem, dan long bed sistem. Flat bed sistem
digunakan untuk lahan dengan ketinggian relatif tidak sama atau terasering,
Furrow sistem digunakan di area dimana kecuramannya lebih tinggi dan lebih
rendah, dan long bed sistem digunakan untuk lahan dengan ketinggian sama atau
rata dan tanah dengan permeabilitas rendah ( Anonim, 2007).
Download