MEMBANGUN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU

advertisement
MEMBANGUN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU PROFESIONAL
(Analisis Arah Kebijakan Pengembangan Tenaga Kependidikan
di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah
dalam Menghadapi Era Persaingan Global)
Oleh:
Dr. Warsiman, M.Pd.1
Abstrak: Dewasa ini perkembangan teknologi demikian pesat. Batas antarnegara
hampir tidak ada. Informasi di belahan dunia dapat dengan cepat kita akses melalui
internet. Siswa-siwa sekolah pun sudah mulai menjamah teknologi yang canggih itu.
Bagaimana dengan tenaga kependidikan. Harus disadari bahwa ke depan tuntutan
terhadap peran guru semakin besar. Guru yang ideal adalah guru yang memiliki
paradigma akademik. Paradigma akademik yang dimaksud adalah memiliki visi, misi,
tujuan, dan strategi untuk mencapai cita-cita pendidikan yang direncanakan. Selain itu, guru
harus pula memiliki metodologi yang kuat (konsep ilmiah yang baik), arah pikiran yang
jelas, pandangan dunia, dan ideologi. Mengingat demikian beratnya amanah yang harus
diemban oleh guru, maka sudah selayaknya pekerjaan guru diakui sebagai pekerjaan
profesional. Tidak dapat dihindari pula tuntutan seorang guru untuk selalu mengembangkan
diri dalam setiap waktu harus diwujudkan, dan pemerintah harus mengakomodasi.
Paradigma mesti diubah. Perhatian dunia pendidikan perlu diperhatikan dengan serius.
Penataan sistem penggajian, rekrutmen tenaga, dan pengembangan diri para guru harus
terus menerus dilakukan. Suatu negara yang memperhatikan sistem pendidikan yang baik
negara tersebut cenderung berkebang lebih cepat.
Kata Kunci: Kompetensi, pedagogik, guru profesional
A. Pembuka
Keluarnya undang-undang nomor 14 tahun 2005 pada beberapa waktu yang lalu, menjadi
hujan di tengah kemarau panjang. Dalam undang-undang itu dijanjikan bahwa guru akan
mendapat pengakuan sebagai tenaga profesional dan memperoleh tunjangan profesi
1
Dosen tetap (PNS) pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Brawijaya Malang.
sebesar satu kali gaji setelah mereka lulus menempuh program sertifikasi. Syukurlah, kini
janji itu sudah mulai ditepati oleh pemerintah.
Kita memaklumi bahwa niat pemerintah melakukan program sertifikasi tak lain karena
komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air. Merupakan suatu kenyataan
bahwa LPTK di negara kita ini ribuan jumlahnya. Pemerintah tidak sanggup membiayai
lembaga pendidikan yang ribuan jumlahnya. Oleh karena itu, pemerintah membuka diri
terhadap keikutsertaan masyarakat untuk turut membangun negeri ini. Namun, dalam
perjalanan waktu, pemerintah tidak mampu mengendalikan keberadaan lembaga-lembaga
pendidikan swasta tersebut terutama dalam hal kualitas. Di mana-mana berdiri lembaga
swasta dan sebagian besar di antaranya hanya mengejar profit (keuntungan), tanpa
mengedepankan kualitas. Itulah sebabnya banyak di antara lulusan lembaga tersebut yang
hanya menyandang gelar sebagai sarjana, tetapi tidak mencerminkan kompetensi diri.
Berdasarkan
kenyataan
itu,
dan
seiring
dengan
rencana
pemerintah
untuk
mengakomodasi kepentingan kesejahteraan guru, maka jalan di antaranya yang mesti
ditempuh adalah mengharuskan terselenggaranya program sertifikasi. Hal ini dilakukan
agar kelak profesi keguruan benar-benar ditangani oleh orang-orang yang berkualitas dan
berpotensi di bidangnya. Tanpa upaya itu, mustahil dunia pendidikan di Indonesia akan
beranjak dari keterpurukan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa biaya untuk belanja pegawai negeri sipil di tanah air ini
menyedot dana APBN maupun APBD yang cukup besar, termasuk belanja untuk guru
(pegawai), sedangkan hasil yang diharapkan pemerintah akibat dari kausalitas tersebut
masih belum sebanding. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk mencari jalan
keluar agar harapan menjadikan dunia pendidikan di Indonesia dapat bersaing dengan
negara-negara lain dapat tercapai.
Sementara itu, pada sisi lain banyak kebijaksanaan pemerintah yang masih menyisakan
pertanyaan. Komitmen untuk menjadikan dunia pendidikan di Indonesia agar mampu
bersaing dengan negara lain juga menjadikan kita sanksi, karena pada kenyataannya
pemerintah masih saja merekrut calon tenaga guru yang dianggap masih belum selektif,
misalnya perekrutan calon guru berdasarkan data base atau sering disebut kategori dua
(K-2) tanpa mempertimbangkan sisi kualitas.
Pengangkatan pegawai negeri yang bernuansa politik memang sudah pada saatnya harus
dihentikan. Demikian pula, program pengangkatan pegawai negeri secara otomatis yang
didasarkan atas data base K-2, dan sebagainya, juga perlu ditinjau kembali, terutama
pengangkatan untuk tenaga guru. Kesan yang muncul terhadap kebijaksanaan tersebut
adalah seperti ada udang di balik batu.
Kebijaksanaan pengangkatan pegawai negeri terutama guru, yang didasarkan atas data
base atau K-2 boleh saja tetap dilakukan, tetapi harus melalui seleksi kualitas yang ketat
pula, dan bukan didasarkan atas nomor urut data base atau K-2, lebih-lebih didasarkan
oleh urut kacang (urut usia).
B. Hambatan-hambatan dalam Pengembangan SDM di Lingkungan Pendidikan
Dasar dan Menengah
Abad ke-21 merupakan abad yang penuh dengan harapan sekaligus tantangan. Kemajuan
global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
segala bidang kehidupan, tidak hanya menjanjikan kemudahan, tetapi juga bisa
sebaliknya yakni: kecenderungan kejahatan memiliki peluang terbaiknya (Anwar,
2004:93). Negera-negara maju telah berlomba-lomba untuk menciptakan teknologi
canggih guna untuk memenuhi hajat hidup manusia yang semakin kompleks itu.
Pesatnya perkembangan teknologi di negara maju memaksa suatu negara yang sedang
berkembang mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan. Tak dapat dihindari
perkembangan yang pesat dan cepat tersebut akan menuntut konsekuensi tinggi terutama
masuknya pasar bebas, dan kini era pasar bebas telah diberlakukan. Masyarakat
Indonesia masih tampak bengong dan bingung apa yang harus dilakukan. Para pemilik
modal dari negara-negara asing telah berlomba-lomba menanamkan modalnya. Di
Indonesia sektor pendidikan menjadi incaran para pemilik modal asing tersebut. Lihat
saja beberapa kota besar, telah berdiri puluhan lembaga pendidikan asing yang siap
menyingkirkan lembaga pendidikan lokal.
Menyikapi keadaan itu, pemerintah baik pusat maupun daerah, tidak ada jalan lain
kecuali berpacu dengan waktu dan menata kembali rencana strategis untuk menjawab
tantangan itu. Ujung tombak yang utama untuk mengantisipasi dampak tersebut adalah
perlunya dibangun suatu pondasi pendidikan yang kuat. Pendidikan yang mantap akan
menghasilkan sumber daya manusia yang handal, dan SDM yang handal akan menjadi
tameng arus globalisasi yang dasyat itu masuk di negeri kita.
Perubahan sistem pendidikan di Indonesia akibat perkembangan zaman, tentu akan
menuntut perubahan perilaku tenaga kependidikan. Sering sekali perubahan suatu sistem
pendidikan di negeri ini tidak mampu diikuti oleh perilaku tenaga kependidikan. Masalah
yang nyata adalah sulitnya tenaga kependidikan kita memperoleh akses untuk dapat
mengembangkan dirinya. Contoh riil adalah sulitnya tenaga kependidikan mendapatkan
izin untuk belajar dari instansi yang menaunginya. Dengan kata lain, kewenangan
lembaga pendidikan tempat mereka mengabdi selalu di bawah bayang-bayang birokrasi
yang menaungi, sehingga kemandirian lembaga menjadi terkebiri.
Sebagai tenaga kependidikan, meningkatkan kualitas diri dan membekali kemampuan
akademik demi suatu pengabdian yang seutuhnya merupakan suatu keniscayaan. Namun,
di sisi lain kondisi itu tidak memungkinkan untuk dilakukan. Padahal, perubahan zaman
terus bergulir, dan keadaan juga terus berubah. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Wibowo (2006:91), bahwa perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Perubahan akan selalu terjadi karena dorongan eksternal dan adanya kebutuhan internal.
Dorongan eksternal terjadi karena adanya perubahan zaman, dan kebutuhan internal
terjadi karena tuntutan keadaan yang menginginkan sekarang harus lebih baik dari
sebelumnya.
Tuntutan terhadap penyesuaian keadaan zaman menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawartawar oleh tenaga kependidikan. Mau tidak mau tenaga kependidikan dituntut untuk
dapat menyesuaikan keadaan sekarang dari keadaan sebelumnya. Lihat saja kemajuan
teknologi yang demikian pesat, batas antarnegara hampir tidak ada. Informasi juga
demikian cepat dapat kita akses melalui berbagai alat modern. Internet sudah memasuki
dunia kita. Siswa-siwa sekolah sudah mulai menjamah teknologi yang canggih itu.
Bagaimana dengan tenaga kependidikan, jika mereka tetap berjalan ditempat, atau
dengan kata lain masih gagap teknologi, maka mereka akan ketinggalan dengan siswasiswanya.
Tenaga kependidikan yang profesional adalah tenaga kependidikan yang selalu dapat
mengikuti perkembangan zaman dan juga dapat mengembangkan diri secara terus
menerus. Pengembangan diri harus disesuaikan dengan bidang profesinya agar gayut
dengan tugas dan tanggung jawabnya. Tidak dapat dimungkiri bahwa redahnya mutu
pendidikan di negara kita ini antara lain disebabkan oleh rendahnya mutu tenaga
kependidikan. Walaupun faktor lain seperti peserta didik, kurikulum, sarana
pembelajaran termasuk masyarakat sekitar juga turut mempengaruhi (Tirtarahardja,
2005:233).
Untuk mengatasi permasalahan mutu, salah satu di antaranya pemerintah harus membuka
kesempatan yang seluas-luasnya bagi tenaga kependidikan untuk mengembangkan diri
melalui studi lanjut, baik pelatihan, penataran, seminar, kegiatan-kegiatan kelompok studi
(misalnya KKG, MGMP, dan lain-lain), maupun peningkatan strata pendidikan.
Pemerintah harus mengupayakan akses itu dengan benar sesuai dengan amanat undangundang sistem pendidikan di negera ini. Selain itu, iklim akademik di suatu lembaga
pendidikan perlu diciptakan agar tejadi eksplorasi keilmuan secara intensif. Hal-hal lain
seperti: penyempurnaan kurikulum, pengembangan prasarana, peningkatan administrasi
manajemen, kegiatan pengendalian mutu seperti: laporan penyelenggaraan pendidikan,
supervisi dan monitoring, sistem ujian, akreditasi (Tirtarahardja, 2005:234), juga perlu
mendapat perhatian yang seimbang serta dikelola dengan baik.
Kebijakan dengan memberikan akses kemudahan dalam pemberian izin belajar atau
lebih-lebih tugas belajar kepada insan-insan pendidikan (guru-guru), perlu terus
didorong, agar dapat dicapai harapan peningkatan intelektual yang semakin banyak dan
merata. Sebagaimana amanat PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, terutama pasal 59 dalam rinciannya bahwa salah satu hal yang harus diambil
oleh pemerintah daerah dalam menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan,
adalah hendaknya memprioritaskan program peningkatan status guru sebagai profesi3.
Harapan tersebut tampaknya belum mudah untuk diwujudkan. Pada kenyataan banyak
guru yang masih mengeluh terhadap sulitnya mendapatkan kesempatan izin belajar (studi
lanjut) lebih-lebih tugas belajar dari instansi birokrasi yang menaunginya. Untuk
menyiasati keadaan itu, para guru banyak yang berupaya sendiri atas kesadarannya
terhadap tanggung jawab yang diemban dengan diam-diam menempuh studi di luar
kedinasan. Selain itu, banyak pula di antaranya yang membentuk kelompok-kelompok
kerja profesi di lingkungan internal dan eksternal lembaga, demi kebutuhan mereka
sendiri serta untuk menyesuaikan keadaan zaman yang semakin maju tersebut. Memang
tidak dapat dimungkiri bahwa peningkatan strata pendidikan misalnya, tentu juga akan
menaikan strata sosial serta ekonomi. Kausalitas dari kenyataan itu seharusnya menjadi
modal yang besar bagi pemerintah untuk terus mendorong mereka mencapai tarap
tersebut, yang pada ujungnya juga akan berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan
di Indonesia.
C. Arah Kebijakan dalam Pengembangan Tenaga Kependidikan di Lingkungan
Pendidikan Dasar dan Menengah
Selama kurun waktu yang cukup lama dunia pendidikan kita berada dalam menara
gading. Pola pendidikan tradisional sampai sekarang masih diadopsi oleh sebagian besar
para praktisi pendidikan di lapangan. Padahal, pola pembelajaran yang bersifat koopratif
dan eksploratif sudah lama muncul dan didengungkan oleh para pengambil kebijakan
pendidikan di negeri ini.
Permasalahannya tak lain karena SDM tenaga kependidikan kita masih rendah. Selain itu,
faktor kesejahteraan juga belum memadai. Sebagai bukti bahwa banyak guru-guru yang
selepas berdinas mereka pada mencari pendapatan tambahan. Bagaimana tidak,
3
PP Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang dikeluarkan oleh Presiden RI.
kebutuhan keluarga semakin menghimpit, sedangkan gaji tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan hidup, sekalipun sebagian di antaranya telah mendapatkan gaji
sertifikasi. Itulah sebabnya bagaimana mungkin seorang guru dapat berfokus memikirkan
proses belajar mengajar di sekolah, bila keadaan keluarga mereka sendiri masih serba
kekurangan.
Berdasarkan kenyataan ini, maka banyak hal yang harus dipikirkan oleh para pemimpin
negeri ini jika menginginkan dunia pendidikan di tanah air semakin baik. Hasil survei
membuktikan
bahwa
kependidikannya,
negara
terbukti
yang
negara
memperhatikan
tersebut
sistem
cenderung
penggajian
mengalami
tenaga
peningkatan
produktivitas. Ada hubungannya antara sistem penggajian dengan produktivitas kerja
masyarakat, dan itu terkait erat. Sistem penggajian yang baik akan mendorong motivasi
kerja, tenaga kependidikan yang memiliki motivasi kerja yang tinggi, cenderung akan
menunjukkan kinerja yang baik, kinerja yang baik akan menghasilkan lulusan yang
berkualitas, dan lulusan yang berkualitas akan mengangkat kesejahteraan masyarakat
karena produktivitas kinerja yang semakin meningkat.
Di Indonesia konsistensi pembiayaan pendidikan masih rendah. Pemerintah masih
setengah hati dalam melaksanakan kebijakan investasi pendidikan. Lain halnya di negara
tetangga, di Jepang misalnya, pemerintah Jepang dengan sepenuh hati telah mencurahkan
perhatiannya pada dunia pendidikan, karena ia menyadari bahwa maju mundurnya negara
ditentukan oleh hasil pendidikan.
Untuk dapat mencapai harapan peningkatan mutu pendidikan, tidak ada jalan lain kecuali
pemerintah segera memulai dengan menata dan memprioritaskan tenaga kependidikan
memperoleh akses pengembangan diri dengan sebaik-baiknya. Meskipun 20 persen
APBN telah dialokasikan untuk pendidikan, tetapi masih banyak pemerintah daerah
melalui APBD-nya yang belum mau merealisasikan kebijakan tersebut tentu dengan
berbagai alasan.
1. Pengembangan Diri Tenaga Kependidikan.
Di lingkungan pendidikan dasar dan menengah, pengembangan diri seorang tenaga
kependidikan tidak saja berorientasi pada ranah kemampauan pengetahuan dalam proses
belajar mengajar, tetapi lebih dari itu. Pengembangan diri pada tataran keteladanan
menjadi sesuatu yang lebih utama, mengingat siswa sekolah dasar dan menengah masih
membutuhkan contoh konkrit pola pendidikan keteladanan dari para pendidiknya.
Ranah kemampuan pengetahuan tetap dibutuhkan untuk suksesnya transformasi ilmu
pengetahuan kepada peserta didik, tetapi ranah keteladanan jauh lebih penting untuk
membentuk perilaku anak ke depan menjadi manusia yang manusiawi. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Mastuhu bahwa pendidikan tak lain adalah satu yaitu,
memanusiakan
manusia
(2003:136).
Artinya,
pendidikan
hakekatnya
adalah
mengembangkan semua potensi daya manusia menuju kedewasaan, sehingga mereka
kelak mampu hidup mandiri dan mampu pula mengembangkan tatakehidupan bersama
yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan zaman. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai
human dignity, yaitu menghargai harkat dan martabat, juga disebut humanizing human,
yaitu menanusiakan manusia.
Dahulu yang dinamakan guru adalah tenaga kependidikan yang pantas untuk di-gugu
atau dijadikan panutan dan ditiru. Demikian pula filsafat pendidikan Indonesia yang
digagas oleh Ki Hajar Dewantoro yang terkenal dengan tiga asas pendidikan, yaitu (1)
ing ngarso sung tulodo, (2) ing madya mangun karsa, dan (3) tut wuri handayani, begitu
mulianya. Tiga prinsip tersebut melekat kuat di hati guru (tenaga kependidikan), yaitu:
(1) di depan menjadi teladan, (2) di tengah-tengah membangun kemauan, dan (3) di
belakang memberi dorongan.
Apakah ketiga prinsip tersebut telah melekat kuat pada diri tenaga kependidikan pada
saat ini. Inilah yang barangkali perlu kita gali lagi nilai-nilai pendidikan pada saat ini
dengan berkaca pada masa lalu. Tampaknya, sekarang ini banyak tenaga kependidikan
yang telah melupakan nilai-nilai ketiga prinsip tersebut. Justru, karakter bangsa yang
tercermin pada prinsip pertama perlu kita utamakan dalam pendidikan. Penyimpanganpenyimpangan perilaku peserta didik yang terjadi pada akhir-akhir ini antara lain adalah
dampak dari krisis keteladanan tenaga kependidikan. Dalam proses pembelajaran, banyak
pendidik yang lupa menanamkan nilai-nilai kepribadian tersebut, dan mereka pada
umumnya lebih berorientasi pada tujuan mencerdaskan intelektual anak didik, bukan
menanamkan karakter.
Satu hal yang perlu dicermati bagi tenaga kependidikan kita yakni, mengembalikan
proses pendidikan ke tujuannya. Di dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang dapat
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Selanjutnya, dinyatakan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin
pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi
manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, yakni tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
menjamin pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, salah satu upaya yang harus
dilakukan oleh tenaga kependidikan adalah memegang tiga asas pendidikan terutama
pada asas pertama yaitu di depan bisa dijadikan teladan. Kenyataan memang demikian,
tenaga kependidikan selalu berada pada garda depan yang langsung berhadapan dengan
peserta didik dan lingkungannya. Masyarakat akan mencontoh semua perilaku mereka,
kapan dan di mana saja. Oleh karena itu, keteladanan bagi tenaga kependidikan di
lingkungan pendidikan dasar dan menengah harus senantiasa dijaga dan dipertahankan.
2. Pengembangan Organisasi Lembaga pendidikan
Menurut Chester I. Bernard, organisasi merupakan sebuah sistem dari aktivitas yang
dikoordinasi secara sadar oleh dua orang atau lebih (Kreitner dan Kinichi, 2001;621,
dalam Wibowo, 2006:335). Sementara itu, tujuan pengembangan organisasi tak lain
adalah untuk membuat organisasi dan anggotanya efektif. Pengembangan organisasi
harus dilakukan dengan terencana, dan terus menerus untuk meningkatkan struktur,
prosedur, dan aspek manusia dalam sistem, dan pengembangan organisasi adalah
berlandas pada kelangsungan dan pertumbuhan organisasi dengan meningkatkan kualitas
kehidupan kerja, dan kualitas hidup pekerja (Wibowo, 2006:336). Pengembangan
organisasi lembaga pendidikan dengan demikian, maka tak lain adalah untuk
kelangsungan dan pertumbuhan lembaga tersebut serta untuk meningkatkan kualitas
siswa sebagai komponen utama dan guru dalam tataran keilmuan, untuk mencapai tujuan
bersama.
Tampaknya perkembangan zaman menuntut pula pengembangan organisasi lembaga
pendidikan. Kebutuhan masa sekarang jauh lebih kompleks daripada dahulu. Tuntutan
zaman itulah yang memaksa organisasi lembaga pendidikan mengikuti jejaknya. Yang
lebih penting lagi bagi organisasi lembaga pendidikan adalah ia mampu menjawab semua
permasalahan yang muncul dan menghadapi semua tantangan yang ada.
Perannya sebagai agen perubahan, organisasi lembaga pendidikan harus mampu
merespon perubahan dengan sifat terbuka. Sifat terbuka yang dimaksud adalah mau
menerima atau mengadaptasi nilai-nilai baru, tetapi tetap kritis dan dengan cara selektif
(Anwar, 2004:93). Menurut Profesor Moch Idochi Anwar (2004:93) bahwa nilai-nilai
baru memang diperlukan untuk beradaptasi dengan lingkungan, yaitu lingkungan yang
selalu berubah, serta nilai-nilai baru juga diperlukan untuk menjawab semua
permasalahan yang dibawa oleh perubahan tersebut. Selain itu, nilai-nilai baru dapat pula
dimanfaatkan untuk memodifikasi dan merevitalisasi nilai-nilai lama yang dinggap masih
relevan dengan kebutuhan dan tantangan yang ada.
Sebagai sebuah organisasi, lembaga pendidikan harus mampu memenuhi keinginan akan
lingkungannya. Selain itu, pengembangan organisasi lembaga pendidikan juga harus
menyentuh secara menyeluruh hal-hal berkaitan dengan perencanaan, baik perencanaan
yang terkait dengan pengembangan karir dan pengetahuan, maupun terkait dengan
penguasaan kompetensi oleh komponen tenaga kependidikan di dalamnya. Misalnya,
kualifikasi, dan kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional) tenaga
pendidiknya (Koeslita, 2007:3).
Kompetensi yang dimaksud dalam paparan tersebut jika dijabarkan adalah sebagai
berikut. 1) kompetensi pedagogik: menguasai karakteristik peserta didik, menguasai teori
belajar,
mampu
memanfaatkan
mengembangkan
telekomunikasi
kurikulum,
untuk
menyelenggarakan
kepentingan
pembelajaran,
pembelajaran,
memfasilitasi
pengebangan potensi peserta didik, berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun
dengan peserta didik, menyelenggarakan evaluasi proses dan hasil belajar, memanfaatkan
hasil evaluasi untuk pembelajaran, dan melaksanakan tindakan reflektif untuk
peningkatan kualitas pebelajaran. 2) kompetensi kepribadian: bertindak sesuai dengan
norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional, jujur, berakhlak mulia, teladan
bagi masyarakat, dewasa dan berwibawa, beretos kerja, bertanggung jawab, memiliki
rasa bangga sebagai tenaga pendidik, dan menjunjung kode etik profesi. 3) kompetensi
sosial: bersikap inklusif, objektif, tidak diskriminatif, dan mampu beradaptasi dengan
lingkungan kerja. 4) kompetensi profesional: menguasai materi, struktur, konsep, pola
pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, mampu mengembangkan
materi pembelajaran, mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
melakukan tindakan reflektif, dan menanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Itulah hal-hal penting yang harus ditangani dalam pengembangan organisasi lembaga
pendidikan.
C. Perbedaan dalam Pengembangan SDM di Lingkungan Pendidikan Dasar dan
Menengah dengan di Lingkungan Pendidikan Tinggi
Pengembangan SDM di lingkungan pendidikan dasar dan menengah berbeda dengan
pengembangan SDM di lingkungan pendidikan tinggi. Sebagaimana yang telah
dipaparkan dalam tulisan sebelumnya bahwa pengembangan SDM di lingkungan
pendidikan dasar dan menengah lebih diorientasikan pada sisi keteladanan atau
kepribadian
selain
pengembangan
pada
kemampuan
kompetensi
pedagogik.
Kebijaksanaan itu mengacu pada keberadaan anak pada usia sekolah dasar atau sekolah
menengah masih belum sepenuhnya dapat diajak berpikir secara abstrak. Bahkan,
menurut Pidarta (1997:192) secara kognisi pada periode ini anak baru mulai dapat
berpikir logis, sistematis, dan baru mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat
konkrit. Masa ini juga disebut sebagai masa pencarian jati diri. Oleh karena itu,
kecenderungan anak untuk meniru sangat tinggi. Pendidikan yang diarahkan pada
pencarian bentuk akan menjadikan guru sebagai aktor utama atau model bagi anak.
Sementara itu, pengembangan SDM di lingkungan pendidikan tinggi berbeda, karena
mahasiswa dianggap sebagai manusia yang telah matang dalam taraf berpikirnya. Daya
nalar yang dimiliki untuk berpikir aktif dan responsif telah tumbuh dengan baik.
Demikian pula daya analisis dan kemampuan berpikir abstrak juga telah mulai tumbuh
sempurna. Dengan keadaan itu maka pengembangan tenaga kependidikan di tingkat
perguruan tinggi sudah tidak sekedar keteladanan, melainkan lebih dari itu bahkan
mungkin menciptakan keteladanan.
Di lingkungan perguruan tinggi pendidikan diarahkan kepada hal-hal yang bersifat
keilmuan. Dosen berperan sepenuhnya sebagai fasilitator dan motivator, mengingat
mahasiswa adalah individu yang dinamis. Kedinamisannya memungkinkan dirinya
bereksplorasi menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.
Itulah yang disebut lembaga tinggi sebagai tempat persemaian ilmu pengetahuan (Drost,
1998:194).
Daya nalar yang telah mencapai kematangan tersebut didorong terus untuk
mengeksplorasikan keilmuannya yang pada akhirnya dapat menemukan sesuatu, itulah
yang disebut penelitian. Dalam dunia perguruan tinggi pengajaran diarahkan pada
pencarian kebenaran. Hal ini sesuai dengan paparan Drost (1998: 201) dalam bukunya
berjudul: Sekolah Mengajar atau Mendidik? bahwa, tujuan pertama dalam pengajaran di
perguruan tinggi adalah mencari kebenaran, karena perguruan tinggi adalah tempat
”pelaku perkembangan”. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dunia perguruan tinggi
keberadaannya tidak hanya sebagai pengabdi masyarakat, tetapi juga sebagai kritikus
masyarakat. Oleh karena itulah, penulis mengharapkan dunia perguruan tinggi tidak lagi
menjadi menara gading. Keberadaannya hendaknya menjadi bagian dari masyarakat
secara inheren, bukan sebaliknya. Kenyataan selama ini lembaga pendidikan termasuk
dunia perguruan tinggi sering ketinggalan dengan perkembangan masyarakat. Padahal,
seharusnya lembaga pendidikan menjadi tempat mencari solusi persoalan di masyarakat.
D. Strategi Pengembangan SDM di Lingkungan Dikdasmen
Guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan, dan mereka berada di titik
sentral dari setiap usaha perubahan dan pengembangan pendidikan. Perubahan terus
terjadi. Manusia selalu dituntut beradaptasi dengan perubahan itu, tidak terkecuali
pendidik. Justru para pendidik yang dianggap sebagai agen perubahan tentu akan
memegang peran utama dalam perubahan itu. Apalagi perubahan yang terjadi sekarang
ini menuntut adanya daya saing yang tinggi dari tenaga pendidik, karena adanya
perkembangan zaman yang semakin kompetitif itu.
Negara-negara di belahan dunia telah mencapai kemajuan yang begitu pesat. Teknologi
yang serba canggih juga telah ditemukan oleh manusia. Kemajuan suatu negara tidak
mustahil karena mantapnya sistem pendidikan di negara tersebut. Selalu kita dengar suatu
jenis penyakit yang muncul belakangan ini membuat resah masyarakat dunia. Di sisi lain
berita penemuan suatu riset di suatu lembaga pendidikan, mampu menemukan penangkal
dari penyakit tersebut. Demikian terus-menerus kausalitas itu terjadi. Pada ujungnya
diharapkan dunia pendidikan dapat menjawab permasalahan dan tantangan yang muncul
di masyarakat.
Di Indonesia dunia pendidikan telah berada di babak baru. Keluarnya ketetapan MPR RI
tentang 20 persen anggaran belanja negara akan di orientasikan pada sektor pendidikan
menjadikan harapan tersendiri bagi dunia pendidikan. Demikian pula keluarnya undangundang nomor 14 tentang tahun 2005, bagaikan hujan di tengah kemarau panjang.
Amanat tersebut sebenarnya sudah lama tertuang dalam UU No. 2/1989 tentang sistem
pendidikan nasional, bahwa pendidikan nasional merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Dalam kesejahteraan guru prinsip tersebut
lebih merupakan slogan daripada kenyataan.
Tidak dapat dimungkiri bahwa faktor kesejahteraan tenaga pendidik akan mempengaruhi
tingkat kinerja dalam tugas dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, solusi kebijakan
tentang UU No. 14 2005 dan kebijaksanaan lain yang berpihak kepada guru sangat
diperlukan untuk mendorong motivasi dan kinerja guru.
Strategi yang lain berkaitan dengan pengembangan SDM di lingkungan pendidikan dasar
dan menengah adalah rekrutmen dan penempatan guru. Selama ini pemerintah tidak
konsisten dalam pola-pola yang dikembangkan pada rekrutmen calon guru dan
penempatan guru. Dalam tingkat tertentu memang telah memperhitungkan kemampuan
akademik calon, tetapi dalam aspek-espek kepribadian yang berkaitan dengan tugas-tugas
mendatang belum terseleksi dengan baik. Padahal, kedua hal itu sama pentingnya.
Apalagi akhir-akhir ini pemerintah membuat kebijakan pengangkatan guru berdasarkan
data base (K-2) atau dengan kata lain merekrut calon guru berdasarkan masa pengabdian
(sukwan) tanpa mempertimbangkan sisi kualitas diri personal. Demikian pula pemerataan
tenaga pendidik yang masih mengalami kesenjangan. Sebagai misal, daerah-daerah
perkotaan terjadi over suplay, sedangkan di daerah-daerah pedesaan kekurangan. Untuk
menghindari hal tersebut pemerintah harus mencari terobosan dengan mengangkat guru
mengutamakan putra daerah untuk mengurangi kesenjangan tersebut.
Strategi utama dalam pengembangan SDM di lingkungan pendidikan dasar dan
menengah adalah peningkatan mutu. Dalam kenyataan, mutu guru amat rendah. Hal ini
setidaknya terungkap dalam suatu riset. Dalam riset tersebut disebutkan bahwa banyak
guru yang rendah tingkat penguasaan bahan ajar, keterampilan dalam menggunakan
metode-metode inovatif dalam mengajar Supriadi, 2001:262). Demikian pula tingkat
pendidikannya, sebagian besar guru SD, sekitar separo guru SMP, dan sekitar 20 persen
guru SMA masih berpendidikan kurang (Supriadi, 2001: 262). Berdasarkan kenyataan itu
pemerintah merekomendasi pembinaan mutu guru melalui pendidikan dalam jabatan,
yang penekanannya diberikan pada kemampuan agar dapat meningkatkan efektivitas
mengajarnya, mengatasi persoalan-persoalan praktis dalam pengelolaan proses belajar
mengajar, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap perbedaan individu para siswa yang
dihadapinya. Walupun rekomendasi ini dapat dikatakan telah terlambat jika dibandingkan
dengan negara-negara tetangga kita, tetapi upaya tersebut masih dikatakan brilian.
Pemerintah dalam kurun waktu ini telah memprogramkan peningkatan kualifikasi
pendidikan guru. Program tersebut diutamakan pada penyetaraan pendidikan. Dengan
keluarnya UU 14 tahun 2005 semua guru harus berpendidikan S-1 atau D-4, sesuai
dengan bidang profesinya. Demikian pula pemerintah juga meningkatkan kemampuan
guru melalui penataran-penataran, mendorong pembinaan pemantapan kerja guru melalui
KKG atau MGMP, KKKS, dan sebagainya. Upaya tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kualifikasi guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
E. Unsur-unsur Pemberdayaan Pengembangan SDM
Hal yang tak kalah pentingnya dalam usaha pengembangan tenaga kependidikan adalah
pemberdayaan sumber daya manusia. Menurut Supriadi (2001: xliv) ada lima hal yang
perlu dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan tenaga kependidikan di
Indonesia. Kelima hal itu ialah: 1) pengelolaan guru dalam konteks otonomi; 2)
pengembangan karier guru; 3) struktur insentif guru; 4) pengangkatan dan penempatan
guru; dan 5) mutasi guru. Berkaitan dengan pengelolaan guru dalam konteks otonomi
adalah perlunya pelaksanaan otonomi daerah dilakukan secara bertahap dan selektif
dengan mempertimbangkan: perluasan kesempatan dan peningkatan mutu, relevansi dan
efesiensi dunia pendidikan, integrasi nasional, dan keamanan psikologi guru. Oleh karena
itu, perlu ada pembagian kewenangan yang seimbang antara pusat dan daerah.
Berkaitan dengan pengembangan karier, pemerintah perlu melakukan pengelolaan
administrasi guru dilakukan secara terintegrasi di bawah satu lembaga atau badan yang
menangani administrasi kepegawaian guru dari semua jenjang dan jenis pendidikan, perlu
adanya sistem karier guru yang fleksibel yang menunjang mobilitas antarjenjang dan
jenis pendidikan sesuai dengan kebutuhan sistem pendidikan, perlu adanya perluasan
sistem promosi dalam karier guru di samping sistem progresi yang sudah ada, perlu
adanya promosi jabatan guru dikaitkan dengan penugasan khusus, perlu pengkajian ulang
atas indikator-indikator dan prosedur pelaksanaan penilaian kinerja guru atas dasar angka
kredit agar lebih mencerminkan kemampuan profesional guru dan mengurangi frustrasi
yang dialami guru, penilaian kinerja guru hendaknya diserahkan pada sekolah, paling
tinggi kabupaten/ kota dengan mengacu pada rambu-rambu yang ditetapkan oleh pusat.
Selain angka kredit, rekomendasi kepada sekolah dan pengawas serta penilaian orang tua
siswa perlu dijadikan pertimbangan penting dalam penilaian kinerja guru.
Berkaitan dengan sistem intensif guru, perlu peningkatan kesejahteraan guru melalui
peningkatan jumlah kumulatif penghasilan guru (gaji pokok dan berbagai tunjangan)
hingga minimal dua kali lipat dari keadaan sekarang yang berlaku untuk semua guru pada
semua jenis dan jenjang pendidikan dan dibayar dengan anggaran pemerintah dalam
APBN, perbaikan kesejahteraan guru dilaksanakan secara bertahap dengan prioritas pada
peningkatan jumlah tunjangan fungsional berdasarkan struktur yang bersifat progresif
mengikuti kenaikan pangkat/ jabatan, pemberian subsidi kepada sekolah-sekolah swasta
dengan model block grant untuk membantu pembayaran honorarium guru honorer,
tunjangan khusus kepada guru-guru yang bertugas di daerah sulit/ terpencil yang
diberikan berdasarkan tingkat kesulitan tempat tugas, dan perlindungan yang lebih
sngguh-sungguh dari pemerintah terhadap keutuhan penghasilan yang menjadi hak guru.
Berkaitan dengan pengangkatan dan penerimaan guru, untuk jenjang SD perlu
diorientasikan pada tenaga-tenaga honorer lulusan SPG/ SGO/ PGA di samping lulusan
program D-2 PGSD yang belum diangkat. Lebih dari itu sekarang ini guru harus
setingkat S-1 atau D-4, rekrutmen calon guru SD hingga SLTA didesentralisasikan ke
kabupaten/ kota dengan memprioritaskan calon-calon yang berasal dari daerah/ wilayah
yang bersangkutan.
Selanjutnya, berkaitan dengan mutasi guru, perlu dikembangkan jenis-jenis mutasi
berupa persyaratan dan teknis pelaksanaannya yang disertai juklak (petunjuk
pelaksanaan) dan dipedomani secara konsisten pada semua tingkatan, penyusunan
prioritas mutasi baik atas permintaan sendiri maupun penugasan, pengalokasian dana dari
anggaran pendidikan untuk kompensasi biaya mutasi yang bersifat penugasan,
pengelolaan administrasi mutasi yang lebih baik dengan dukungan sistem informasi yang
andal, dan peningkatan pengawasan internal serta eksternal oleh anggota masyarakat
untuk menjamin pelaksanaan proses mutasi yang sesuai dengan prosedur yang ditetapkan
(Supriadi, 2001: xliv-xlvi).
F. Pengembangan SDM Tenaga Pendidik di Lingkungan Dikdasmen Melalui
Portofolio
Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/ prestasi
yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu
(Depdiknas, 2007:3). Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi
selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran (kompetensi
kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial). Dalam peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan, komponen
portofolio meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman
mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan
pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam
forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10)
penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru (khususnya guru dalam jabatan) adalah untuk
menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran
(Depdiknas, 2007:3). Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi
akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara lain melalui
dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain
melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar,
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi akademik (Depdiknas, 2007:3).
Portofolio juga berfungsi sebagai: (1) wahana guru untuk menampilkan/ membuktikan unjuk
kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan
pendukung; (2) informasi/ data dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan
kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan; (3) dasar
menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi (layak mendapatkan sertifikat
pendidikan atau belum); dan (4) dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum
lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dan
pemberdayaan guru.
Berdasarkan pedoman penilaian portofolio tersebut terdapat beberapa unsur yang merupakan
penunjang kompetensi guru masuk di dalamnya. Adapun kompennsi yang dimaksud adalah:
Kualifikasi akademik yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai dengan
guru mengikuti sertifikasi, baik pendidikan gelar (S-1, S-2, atau S-3) maupun nongelar
(D-4 atau Post Graduate diploma), baik di dalam maupun di luar negeri. Bukti fisik yang
terkait dengan komponen ini dapat berupa ijazah atau sertifikat diploma.
Pendidikan dan Pelatihan yaitu pengalaman dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan
pelatihan dalam rangka pengembangan/ peningkatan kompetensi dalam melaksanakan
tugas sebagai pendidik, baik pada tingkat kecamatan, kabupaten/ kota, provinsi, nasional,
maupun internasional. Bukti fisik komponen ini dapat berupa sertifikat, piagam, atau
surat keterangan dari lembaga penyelenggara diklat.
Pengalaman mengajar yaitu masa kerja guru dalam melaksanakan tugas sebagai
pendidik pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga yang
berwenang (dapat dari pemerintah/ kelompok masyarakat penyelenggara pendidikan).
Bukti fisik dari komponen ini dapat berupa surat keputusan/ surat keterangan yang sah
dari lembaga yang berwenang.
Perencanaan pembelajaran yaitu persiapan mengelola pembelajaran yang akan
dilaksanakan dalam kelas pada setiap tatap muka. Perencanaan pembelajaran ini paling
tidak memuat perumusan tujuan/ kompetensi, pemilihan dan pengorganisasian materi,
pemilihan sumber /media pembelajaran, skenario pembelajaran, dan penilaian proses dan
hasil belajar. Bukti fisik dari subkomponen ini berupa dokumen Panduan Penyusunan
Perangkat Portofolio perencanaan pembelajaran (RP/RPP/SP/RPI) yang diketahui
disahkan oleh atasan.
Pelaksanaan pembelajaran yaitu kegiatan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas
dan pembelajaran individual. Kegiatan ini mencakup tahapan prapembelajaran
(pengecekan kesiapan kelas dan apersepsi), kegiatan inti (penguasaan materi, strategi
pembelajaran, pemanfaatan media/ sumber belajar, evaluasi, penggunaan bahasa), dan
penutup (refleksi, rangkuman, dan tindak lanjut). Bukti fisik yang dilampirkan berupa
dokumen hasil penilaian oleh kepala sekolah dan/atau pengawas tentang pelaksanaan
pembelajaran yang dikelola oleh guru.
Pelaksanaan pembelajaran yang dimaksud adalah kegiatan guru bimbingan dan
konseling (konselor) dalam mengelola dan mengevaluasi pelayanan bimbingan dan
konseling yang meliputi bidang pelayanan bimbingan pendidikan/belajar, karier, pribadi,
sosial, akhlak mulia/budi pekerti. Jenis dokumen yang dilaporkan berupa: agenda kerja
guru bimbingan dan konseling, daftar konseli (siswa), data kebutuhan dan permasalahan
konseli, laporan bulanan, laboran semesteran/ tahunan,
Berdasarkan paparan tersebut penulis berpendapat bahwa pengembangan sumber daya
manusia tenaga pendidik di lingkungan pendidikan dasar dan menengah melalui sertifikasi
portofolio baik untuk terus dijadikan patokan kemampuan, mengingat semua komponen
kompetensi guru telah tercakup di dalamnya, tetapi hal-hal lain secara riil juga perlu diambil
sebagai bukti nyata terhadap kemampuan. Untuk itu perlu dibuatkan regulasinya agar
kompetensi riil tersebut dapat pula diketahui secara jelas.
G. Pengembangan SDM di Lingkungan Dikdasmen Dilakukan Secara Learning
Countinously
Guru adalah profesi mulia yang penuh dengan tanggung jawab. Tidak semua orang memiliki
kemampuan untuk menjadi guru. Lebih-lebih guru pada tingkat sekolah dasar dan menengah.
Selain kemampuan keilmuan, guru pada tingkat tersebut juga harus memiliki jiwa yang besar,
karena mereka dihadapkan pada keadaan psikologi anak yang masih labil menuju keadaan
jiwa yang stabil.
Sebagai guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, mereka dituntut untuk selalu
mengembangkan diri dan mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, mereka juga dituntut
untuk selalu mencari inovasi pembelajaran yang tepat untuk peserta didik. Ukuran
keberhasilan pendidikan ditentukan oleh mutu proses belajar yang dilakukan. Artinya proses
belajar yang cocok dengan apa yang diharapkan oleh siswa jauh melampaui apa yang
diharapkan, maka pendidikan itu disebut bermutu (Mastuhu, 2003:65).
Profesi sebagai guru selalu mengikuti perkembangan zaman. Tuntutan belajar bagi seorang
guru harus dilakukan secara terus menerus (learning countinously) tanpa batas. Hal itu sesuai
dengan ajaran agama Islam bahwa menuntut ilmu bisa dilakukan sejak di dalam kandungan
sampai di liang kubur. Seorang guru yang enggan berinovasi diri, mengembangkan diri, dan
kemauan diri, maka ia akan tertinggal dengan murid-muridnya.
H. Penutup
Guru yang ideal adalah guru yang memiliki paradigma akademik. Paradigma akademik yang
dimaksud adalah memiliki visi, misi, tujuan, dan strategi untuk mencapai cita-cita pendidikan
yang direncanakan (Mastuhu, 2003:66). Wawasan akademik yang dimaksud ialah meliputi
kemampuan menjabarkan visi, misi, tujuan dan strategi. Selain itu, harus pula memiliki
metodologi yang kuat (konsep ilmiah yang baik), arah pikiran yang jelas, pandangan dunia,
dan ideologi (Mastuhu, 2003: 72-75).
Mengingat demikian beratnya amanah yang harus diemban oleh guru, maka sudah
selayaknya pekerjaan guru diakui sebagai pekerjaan profesional. Oleh karena itu, tidak dapat
dihindari pula tuntutan seorang guru untuk selalu mengembangkan diri dalam setiap waktu
harus terus diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moch. Idochi. 2004. Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya
Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Drost S.J., J.I.G.M. 1998. Sekolah: Mengajar atau Mendidik. Yogyakarta:
Kanisius.
Depdiknas. 2007. Penyususnan Prangkat Portofolio Sertifikasi Guru dalam
Jabatan. Jakarta.
Koeslita. 2007. “Pengembangan Tenaga Pendidik dan Kependidikan Tingkat
SLTA yang Berorientasi Kebutuhan Individu dan Kebutuhan Organisasi”.
Makalah. SPS UPI Bandung.
Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam
Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Supriadi, Dedi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Wibowo. 2006. Manajemen Perubahan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Download