MEMBANGUN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU PROFESIONAL (Analisis Arah Kebijakan Pengembangan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Menghadapi Era Persaingan Global) Oleh: Dr. Warsiman, M.Pd.1 Abstrak: Dewasa ini perkembangan teknologi demikian pesat. Batas antarnegara hampir tidak ada. Informasi di belahan dunia dapat dengan cepat kita akses melalui internet. Siswa-siwa sekolah pun sudah mulai menjamah teknologi yang canggih itu. Bagaimana dengan tenaga kependidikan. Harus disadari bahwa ke depan tuntutan terhadap peran guru semakin besar. Guru yang ideal adalah guru yang memiliki paradigma akademik. Paradigma akademik yang dimaksud adalah memiliki visi, misi, tujuan, dan strategi untuk mencapai cita-cita pendidikan yang direncanakan. Selain itu, guru harus pula memiliki metodologi yang kuat (konsep ilmiah yang baik), arah pikiran yang jelas, pandangan dunia, dan ideologi. Mengingat demikian beratnya amanah yang harus diemban oleh guru, maka sudah selayaknya pekerjaan guru diakui sebagai pekerjaan profesional. Tidak dapat dihindari pula tuntutan seorang guru untuk selalu mengembangkan diri dalam setiap waktu harus diwujudkan, dan pemerintah harus mengakomodasi. Paradigma mesti diubah. Perhatian dunia pendidikan perlu diperhatikan dengan serius. Penataan sistem penggajian, rekrutmen tenaga, dan pengembangan diri para guru harus terus menerus dilakukan. Suatu negara yang memperhatikan sistem pendidikan yang baik negara tersebut cenderung berkebang lebih cepat. Kata Kunci: Kompetensi, pedagogik, guru profesional A. Pembuka Keluarnya undang-undang nomor 14 tahun 2005 pada beberapa waktu yang lalu, menjadi hujan di tengah kemarau panjang. Dalam undang-undang itu dijanjikan bahwa guru akan mendapat pengakuan sebagai tenaga profesional dan memperoleh tunjangan profesi 1 Dosen tetap (PNS) pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang. sebesar satu kali gaji setelah mereka lulus menempuh program sertifikasi. Syukurlah, kini janji itu sudah mulai ditepati oleh pemerintah. Kita memaklumi bahwa niat pemerintah melakukan program sertifikasi tak lain karena komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air. Merupakan suatu kenyataan bahwa LPTK di negara kita ini ribuan jumlahnya. Pemerintah tidak sanggup membiayai lembaga pendidikan yang ribuan jumlahnya. Oleh karena itu, pemerintah membuka diri terhadap keikutsertaan masyarakat untuk turut membangun negeri ini. Namun, dalam perjalanan waktu, pemerintah tidak mampu mengendalikan keberadaan lembaga-lembaga pendidikan swasta tersebut terutama dalam hal kualitas. Di mana-mana berdiri lembaga swasta dan sebagian besar di antaranya hanya mengejar profit (keuntungan), tanpa mengedepankan kualitas. Itulah sebabnya banyak di antara lulusan lembaga tersebut yang hanya menyandang gelar sebagai sarjana, tetapi tidak mencerminkan kompetensi diri. Berdasarkan kenyataan itu, dan seiring dengan rencana pemerintah untuk mengakomodasi kepentingan kesejahteraan guru, maka jalan di antaranya yang mesti ditempuh adalah mengharuskan terselenggaranya program sertifikasi. Hal ini dilakukan agar kelak profesi keguruan benar-benar ditangani oleh orang-orang yang berkualitas dan berpotensi di bidangnya. Tanpa upaya itu, mustahil dunia pendidikan di Indonesia akan beranjak dari keterpurukan. Sebagaimana kita ketahui bahwa biaya untuk belanja pegawai negeri sipil di tanah air ini menyedot dana APBN maupun APBD yang cukup besar, termasuk belanja untuk guru (pegawai), sedangkan hasil yang diharapkan pemerintah akibat dari kausalitas tersebut masih belum sebanding. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk mencari jalan keluar agar harapan menjadikan dunia pendidikan di Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara lain dapat tercapai. Sementara itu, pada sisi lain banyak kebijaksanaan pemerintah yang masih menyisakan pertanyaan. Komitmen untuk menjadikan dunia pendidikan di Indonesia agar mampu bersaing dengan negara lain juga menjadikan kita sanksi, karena pada kenyataannya pemerintah masih saja merekrut calon tenaga guru yang dianggap masih belum selektif, misalnya perekrutan calon guru berdasarkan data base atau sering disebut kategori dua (K-2) tanpa mempertimbangkan sisi kualitas. Pengangkatan pegawai negeri yang bernuansa politik memang sudah pada saatnya harus dihentikan. Demikian pula, program pengangkatan pegawai negeri secara otomatis yang didasarkan atas data base K-2, dan sebagainya, juga perlu ditinjau kembali, terutama pengangkatan untuk tenaga guru. Kesan yang muncul terhadap kebijaksanaan tersebut adalah seperti ada udang di balik batu. Kebijaksanaan pengangkatan pegawai negeri terutama guru, yang didasarkan atas data base atau K-2 boleh saja tetap dilakukan, tetapi harus melalui seleksi kualitas yang ketat pula, dan bukan didasarkan atas nomor urut data base atau K-2, lebih-lebih didasarkan oleh urut kacang (urut usia). B. Hambatan-hambatan dalam Pengembangan SDM di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah Abad ke-21 merupakan abad yang penuh dengan harapan sekaligus tantangan. Kemajuan global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang kehidupan, tidak hanya menjanjikan kemudahan, tetapi juga bisa sebaliknya yakni: kecenderungan kejahatan memiliki peluang terbaiknya (Anwar, 2004:93). Negera-negara maju telah berlomba-lomba untuk menciptakan teknologi canggih guna untuk memenuhi hajat hidup manusia yang semakin kompleks itu. Pesatnya perkembangan teknologi di negara maju memaksa suatu negara yang sedang berkembang mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan. Tak dapat dihindari perkembangan yang pesat dan cepat tersebut akan menuntut konsekuensi tinggi terutama masuknya pasar bebas, dan kini era pasar bebas telah diberlakukan. Masyarakat Indonesia masih tampak bengong dan bingung apa yang harus dilakukan. Para pemilik modal dari negara-negara asing telah berlomba-lomba menanamkan modalnya. Di Indonesia sektor pendidikan menjadi incaran para pemilik modal asing tersebut. Lihat saja beberapa kota besar, telah berdiri puluhan lembaga pendidikan asing yang siap menyingkirkan lembaga pendidikan lokal. Menyikapi keadaan itu, pemerintah baik pusat maupun daerah, tidak ada jalan lain kecuali berpacu dengan waktu dan menata kembali rencana strategis untuk menjawab tantangan itu. Ujung tombak yang utama untuk mengantisipasi dampak tersebut adalah perlunya dibangun suatu pondasi pendidikan yang kuat. Pendidikan yang mantap akan menghasilkan sumber daya manusia yang handal, dan SDM yang handal akan menjadi tameng arus globalisasi yang dasyat itu masuk di negeri kita. Perubahan sistem pendidikan di Indonesia akibat perkembangan zaman, tentu akan menuntut perubahan perilaku tenaga kependidikan. Sering sekali perubahan suatu sistem pendidikan di negeri ini tidak mampu diikuti oleh perilaku tenaga kependidikan. Masalah yang nyata adalah sulitnya tenaga kependidikan kita memperoleh akses untuk dapat mengembangkan dirinya. Contoh riil adalah sulitnya tenaga kependidikan mendapatkan izin untuk belajar dari instansi yang menaunginya. Dengan kata lain, kewenangan lembaga pendidikan tempat mereka mengabdi selalu di bawah bayang-bayang birokrasi yang menaungi, sehingga kemandirian lembaga menjadi terkebiri. Sebagai tenaga kependidikan, meningkatkan kualitas diri dan membekali kemampuan akademik demi suatu pengabdian yang seutuhnya merupakan suatu keniscayaan. Namun, di sisi lain kondisi itu tidak memungkinkan untuk dilakukan. Padahal, perubahan zaman terus bergulir, dan keadaan juga terus berubah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Wibowo (2006:91), bahwa perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Perubahan akan selalu terjadi karena dorongan eksternal dan adanya kebutuhan internal. Dorongan eksternal terjadi karena adanya perubahan zaman, dan kebutuhan internal terjadi karena tuntutan keadaan yang menginginkan sekarang harus lebih baik dari sebelumnya. Tuntutan terhadap penyesuaian keadaan zaman menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawartawar oleh tenaga kependidikan. Mau tidak mau tenaga kependidikan dituntut untuk dapat menyesuaikan keadaan sekarang dari keadaan sebelumnya. Lihat saja kemajuan teknologi yang demikian pesat, batas antarnegara hampir tidak ada. Informasi juga demikian cepat dapat kita akses melalui berbagai alat modern. Internet sudah memasuki dunia kita. Siswa-siwa sekolah sudah mulai menjamah teknologi yang canggih itu. Bagaimana dengan tenaga kependidikan, jika mereka tetap berjalan ditempat, atau dengan kata lain masih gagap teknologi, maka mereka akan ketinggalan dengan siswasiswanya. Tenaga kependidikan yang profesional adalah tenaga kependidikan yang selalu dapat mengikuti perkembangan zaman dan juga dapat mengembangkan diri secara terus menerus. Pengembangan diri harus disesuaikan dengan bidang profesinya agar gayut dengan tugas dan tanggung jawabnya. Tidak dapat dimungkiri bahwa redahnya mutu pendidikan di negara kita ini antara lain disebabkan oleh rendahnya mutu tenaga kependidikan. Walaupun faktor lain seperti peserta didik, kurikulum, sarana pembelajaran termasuk masyarakat sekitar juga turut mempengaruhi (Tirtarahardja, 2005:233). Untuk mengatasi permasalahan mutu, salah satu di antaranya pemerintah harus membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi tenaga kependidikan untuk mengembangkan diri melalui studi lanjut, baik pelatihan, penataran, seminar, kegiatan-kegiatan kelompok studi (misalnya KKG, MGMP, dan lain-lain), maupun peningkatan strata pendidikan. Pemerintah harus mengupayakan akses itu dengan benar sesuai dengan amanat undangundang sistem pendidikan di negera ini. Selain itu, iklim akademik di suatu lembaga pendidikan perlu diciptakan agar tejadi eksplorasi keilmuan secara intensif. Hal-hal lain seperti: penyempurnaan kurikulum, pengembangan prasarana, peningkatan administrasi manajemen, kegiatan pengendalian mutu seperti: laporan penyelenggaraan pendidikan, supervisi dan monitoring, sistem ujian, akreditasi (Tirtarahardja, 2005:234), juga perlu mendapat perhatian yang seimbang serta dikelola dengan baik. Kebijakan dengan memberikan akses kemudahan dalam pemberian izin belajar atau lebih-lebih tugas belajar kepada insan-insan pendidikan (guru-guru), perlu terus didorong, agar dapat dicapai harapan peningkatan intelektual yang semakin banyak dan merata. Sebagaimana amanat PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, terutama pasal 59 dalam rinciannya bahwa salah satu hal yang harus diambil oleh pemerintah daerah dalam menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan, adalah hendaknya memprioritaskan program peningkatan status guru sebagai profesi3. Harapan tersebut tampaknya belum mudah untuk diwujudkan. Pada kenyataan banyak guru yang masih mengeluh terhadap sulitnya mendapatkan kesempatan izin belajar (studi lanjut) lebih-lebih tugas belajar dari instansi birokrasi yang menaunginya. Untuk menyiasati keadaan itu, para guru banyak yang berupaya sendiri atas kesadarannya terhadap tanggung jawab yang diemban dengan diam-diam menempuh studi di luar kedinasan. Selain itu, banyak pula di antaranya yang membentuk kelompok-kelompok kerja profesi di lingkungan internal dan eksternal lembaga, demi kebutuhan mereka sendiri serta untuk menyesuaikan keadaan zaman yang semakin maju tersebut. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa peningkatan strata pendidikan misalnya, tentu juga akan menaikan strata sosial serta ekonomi. Kausalitas dari kenyataan itu seharusnya menjadi modal yang besar bagi pemerintah untuk terus mendorong mereka mencapai tarap tersebut, yang pada ujungnya juga akan berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. C. Arah Kebijakan dalam Pengembangan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah Selama kurun waktu yang cukup lama dunia pendidikan kita berada dalam menara gading. Pola pendidikan tradisional sampai sekarang masih diadopsi oleh sebagian besar para praktisi pendidikan di lapangan. Padahal, pola pembelajaran yang bersifat koopratif dan eksploratif sudah lama muncul dan didengungkan oleh para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini. Permasalahannya tak lain karena SDM tenaga kependidikan kita masih rendah. Selain itu, faktor kesejahteraan juga belum memadai. Sebagai bukti bahwa banyak guru-guru yang selepas berdinas mereka pada mencari pendapatan tambahan. Bagaimana tidak, 3 PP Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang dikeluarkan oleh Presiden RI. kebutuhan keluarga semakin menghimpit, sedangkan gaji tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, sekalipun sebagian di antaranya telah mendapatkan gaji sertifikasi. Itulah sebabnya bagaimana mungkin seorang guru dapat berfokus memikirkan proses belajar mengajar di sekolah, bila keadaan keluarga mereka sendiri masih serba kekurangan. Berdasarkan kenyataan ini, maka banyak hal yang harus dipikirkan oleh para pemimpin negeri ini jika menginginkan dunia pendidikan di tanah air semakin baik. Hasil survei membuktikan bahwa kependidikannya, negara terbukti yang negara memperhatikan tersebut sistem cenderung penggajian mengalami tenaga peningkatan produktivitas. Ada hubungannya antara sistem penggajian dengan produktivitas kerja masyarakat, dan itu terkait erat. Sistem penggajian yang baik akan mendorong motivasi kerja, tenaga kependidikan yang memiliki motivasi kerja yang tinggi, cenderung akan menunjukkan kinerja yang baik, kinerja yang baik akan menghasilkan lulusan yang berkualitas, dan lulusan yang berkualitas akan mengangkat kesejahteraan masyarakat karena produktivitas kinerja yang semakin meningkat. Di Indonesia konsistensi pembiayaan pendidikan masih rendah. Pemerintah masih setengah hati dalam melaksanakan kebijakan investasi pendidikan. Lain halnya di negara tetangga, di Jepang misalnya, pemerintah Jepang dengan sepenuh hati telah mencurahkan perhatiannya pada dunia pendidikan, karena ia menyadari bahwa maju mundurnya negara ditentukan oleh hasil pendidikan. Untuk dapat mencapai harapan peningkatan mutu pendidikan, tidak ada jalan lain kecuali pemerintah segera memulai dengan menata dan memprioritaskan tenaga kependidikan memperoleh akses pengembangan diri dengan sebaik-baiknya. Meskipun 20 persen APBN telah dialokasikan untuk pendidikan, tetapi masih banyak pemerintah daerah melalui APBD-nya yang belum mau merealisasikan kebijakan tersebut tentu dengan berbagai alasan. 1. Pengembangan Diri Tenaga Kependidikan. Di lingkungan pendidikan dasar dan menengah, pengembangan diri seorang tenaga kependidikan tidak saja berorientasi pada ranah kemampauan pengetahuan dalam proses belajar mengajar, tetapi lebih dari itu. Pengembangan diri pada tataran keteladanan menjadi sesuatu yang lebih utama, mengingat siswa sekolah dasar dan menengah masih membutuhkan contoh konkrit pola pendidikan keteladanan dari para pendidiknya. Ranah kemampuan pengetahuan tetap dibutuhkan untuk suksesnya transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi ranah keteladanan jauh lebih penting untuk membentuk perilaku anak ke depan menjadi manusia yang manusiawi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mastuhu bahwa pendidikan tak lain adalah satu yaitu, memanusiakan manusia (2003:136). Artinya, pendidikan hakekatnya adalah mengembangkan semua potensi daya manusia menuju kedewasaan, sehingga mereka kelak mampu hidup mandiri dan mampu pula mengembangkan tatakehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan zaman. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai human dignity, yaitu menghargai harkat dan martabat, juga disebut humanizing human, yaitu menanusiakan manusia. Dahulu yang dinamakan guru adalah tenaga kependidikan yang pantas untuk di-gugu atau dijadikan panutan dan ditiru. Demikian pula filsafat pendidikan Indonesia yang digagas oleh Ki Hajar Dewantoro yang terkenal dengan tiga asas pendidikan, yaitu (1) ing ngarso sung tulodo, (2) ing madya mangun karsa, dan (3) tut wuri handayani, begitu mulianya. Tiga prinsip tersebut melekat kuat di hati guru (tenaga kependidikan), yaitu: (1) di depan menjadi teladan, (2) di tengah-tengah membangun kemauan, dan (3) di belakang memberi dorongan. Apakah ketiga prinsip tersebut telah melekat kuat pada diri tenaga kependidikan pada saat ini. Inilah yang barangkali perlu kita gali lagi nilai-nilai pendidikan pada saat ini dengan berkaca pada masa lalu. Tampaknya, sekarang ini banyak tenaga kependidikan yang telah melupakan nilai-nilai ketiga prinsip tersebut. Justru, karakter bangsa yang tercermin pada prinsip pertama perlu kita utamakan dalam pendidikan. Penyimpanganpenyimpangan perilaku peserta didik yang terjadi pada akhir-akhir ini antara lain adalah dampak dari krisis keteladanan tenaga kependidikan. Dalam proses pembelajaran, banyak pendidik yang lupa menanamkan nilai-nilai kepribadian tersebut, dan mereka pada umumnya lebih berorientasi pada tujuan mencerdaskan intelektual anak didik, bukan menanamkan karakter. Satu hal yang perlu dicermati bagi tenaga kependidikan kita yakni, mengembalikan proses pendidikan ke tujuannya. Di dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya, dinyatakan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, yakni tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, salah satu upaya yang harus dilakukan oleh tenaga kependidikan adalah memegang tiga asas pendidikan terutama pada asas pertama yaitu di depan bisa dijadikan teladan. Kenyataan memang demikian, tenaga kependidikan selalu berada pada garda depan yang langsung berhadapan dengan peserta didik dan lingkungannya. Masyarakat akan mencontoh semua perilaku mereka, kapan dan di mana saja. Oleh karena itu, keteladanan bagi tenaga kependidikan di lingkungan pendidikan dasar dan menengah harus senantiasa dijaga dan dipertahankan. 2. Pengembangan Organisasi Lembaga pendidikan Menurut Chester I. Bernard, organisasi merupakan sebuah sistem dari aktivitas yang dikoordinasi secara sadar oleh dua orang atau lebih (Kreitner dan Kinichi, 2001;621, dalam Wibowo, 2006:335). Sementara itu, tujuan pengembangan organisasi tak lain adalah untuk membuat organisasi dan anggotanya efektif. Pengembangan organisasi harus dilakukan dengan terencana, dan terus menerus untuk meningkatkan struktur, prosedur, dan aspek manusia dalam sistem, dan pengembangan organisasi adalah berlandas pada kelangsungan dan pertumbuhan organisasi dengan meningkatkan kualitas kehidupan kerja, dan kualitas hidup pekerja (Wibowo, 2006:336). Pengembangan organisasi lembaga pendidikan dengan demikian, maka tak lain adalah untuk kelangsungan dan pertumbuhan lembaga tersebut serta untuk meningkatkan kualitas siswa sebagai komponen utama dan guru dalam tataran keilmuan, untuk mencapai tujuan bersama. Tampaknya perkembangan zaman menuntut pula pengembangan organisasi lembaga pendidikan. Kebutuhan masa sekarang jauh lebih kompleks daripada dahulu. Tuntutan zaman itulah yang memaksa organisasi lembaga pendidikan mengikuti jejaknya. Yang lebih penting lagi bagi organisasi lembaga pendidikan adalah ia mampu menjawab semua permasalahan yang muncul dan menghadapi semua tantangan yang ada. Perannya sebagai agen perubahan, organisasi lembaga pendidikan harus mampu merespon perubahan dengan sifat terbuka. Sifat terbuka yang dimaksud adalah mau menerima atau mengadaptasi nilai-nilai baru, tetapi tetap kritis dan dengan cara selektif (Anwar, 2004:93). Menurut Profesor Moch Idochi Anwar (2004:93) bahwa nilai-nilai baru memang diperlukan untuk beradaptasi dengan lingkungan, yaitu lingkungan yang selalu berubah, serta nilai-nilai baru juga diperlukan untuk menjawab semua permasalahan yang dibawa oleh perubahan tersebut. Selain itu, nilai-nilai baru dapat pula dimanfaatkan untuk memodifikasi dan merevitalisasi nilai-nilai lama yang dinggap masih relevan dengan kebutuhan dan tantangan yang ada. Sebagai sebuah organisasi, lembaga pendidikan harus mampu memenuhi keinginan akan lingkungannya. Selain itu, pengembangan organisasi lembaga pendidikan juga harus menyentuh secara menyeluruh hal-hal berkaitan dengan perencanaan, baik perencanaan yang terkait dengan pengembangan karir dan pengetahuan, maupun terkait dengan penguasaan kompetensi oleh komponen tenaga kependidikan di dalamnya. Misalnya, kualifikasi, dan kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional) tenaga pendidiknya (Koeslita, 2007:3). Kompetensi yang dimaksud dalam paparan tersebut jika dijabarkan adalah sebagai berikut. 1) kompetensi pedagogik: menguasai karakteristik peserta didik, menguasai teori belajar, mampu memanfaatkan mengembangkan telekomunikasi kurikulum, untuk menyelenggarakan kepentingan pembelajaran, pembelajaran, memfasilitasi pengebangan potensi peserta didik, berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, menyelenggarakan evaluasi proses dan hasil belajar, memanfaatkan hasil evaluasi untuk pembelajaran, dan melaksanakan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pebelajaran. 2) kompetensi kepribadian: bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional, jujur, berakhlak mulia, teladan bagi masyarakat, dewasa dan berwibawa, beretos kerja, bertanggung jawab, memiliki rasa bangga sebagai tenaga pendidik, dan menjunjung kode etik profesi. 3) kompetensi sosial: bersikap inklusif, objektif, tidak diskriminatif, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan kerja. 4) kompetensi profesional: menguasai materi, struktur, konsep, pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, mampu mengembangkan materi pembelajaran, mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, dan menanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Itulah hal-hal penting yang harus ditangani dalam pengembangan organisasi lembaga pendidikan. C. Perbedaan dalam Pengembangan SDM di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah dengan di Lingkungan Pendidikan Tinggi Pengembangan SDM di lingkungan pendidikan dasar dan menengah berbeda dengan pengembangan SDM di lingkungan pendidikan tinggi. Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam tulisan sebelumnya bahwa pengembangan SDM di lingkungan pendidikan dasar dan menengah lebih diorientasikan pada sisi keteladanan atau kepribadian selain pengembangan pada kemampuan kompetensi pedagogik. Kebijaksanaan itu mengacu pada keberadaan anak pada usia sekolah dasar atau sekolah menengah masih belum sepenuhnya dapat diajak berpikir secara abstrak. Bahkan, menurut Pidarta (1997:192) secara kognisi pada periode ini anak baru mulai dapat berpikir logis, sistematis, dan baru mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat konkrit. Masa ini juga disebut sebagai masa pencarian jati diri. Oleh karena itu, kecenderungan anak untuk meniru sangat tinggi. Pendidikan yang diarahkan pada pencarian bentuk akan menjadikan guru sebagai aktor utama atau model bagi anak. Sementara itu, pengembangan SDM di lingkungan pendidikan tinggi berbeda, karena mahasiswa dianggap sebagai manusia yang telah matang dalam taraf berpikirnya. Daya nalar yang dimiliki untuk berpikir aktif dan responsif telah tumbuh dengan baik. Demikian pula daya analisis dan kemampuan berpikir abstrak juga telah mulai tumbuh sempurna. Dengan keadaan itu maka pengembangan tenaga kependidikan di tingkat perguruan tinggi sudah tidak sekedar keteladanan, melainkan lebih dari itu bahkan mungkin menciptakan keteladanan. Di lingkungan perguruan tinggi pendidikan diarahkan kepada hal-hal yang bersifat keilmuan. Dosen berperan sepenuhnya sebagai fasilitator dan motivator, mengingat mahasiswa adalah individu yang dinamis. Kedinamisannya memungkinkan dirinya bereksplorasi menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Itulah yang disebut lembaga tinggi sebagai tempat persemaian ilmu pengetahuan (Drost, 1998:194). Daya nalar yang telah mencapai kematangan tersebut didorong terus untuk mengeksplorasikan keilmuannya yang pada akhirnya dapat menemukan sesuatu, itulah yang disebut penelitian. Dalam dunia perguruan tinggi pengajaran diarahkan pada pencarian kebenaran. Hal ini sesuai dengan paparan Drost (1998: 201) dalam bukunya berjudul: Sekolah Mengajar atau Mendidik? bahwa, tujuan pertama dalam pengajaran di perguruan tinggi adalah mencari kebenaran, karena perguruan tinggi adalah tempat ”pelaku perkembangan”. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dunia perguruan tinggi keberadaannya tidak hanya sebagai pengabdi masyarakat, tetapi juga sebagai kritikus masyarakat. Oleh karena itulah, penulis mengharapkan dunia perguruan tinggi tidak lagi menjadi menara gading. Keberadaannya hendaknya menjadi bagian dari masyarakat secara inheren, bukan sebaliknya. Kenyataan selama ini lembaga pendidikan termasuk dunia perguruan tinggi sering ketinggalan dengan perkembangan masyarakat. Padahal, seharusnya lembaga pendidikan menjadi tempat mencari solusi persoalan di masyarakat. D. Strategi Pengembangan SDM di Lingkungan Dikdasmen Guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan, dan mereka berada di titik sentral dari setiap usaha perubahan dan pengembangan pendidikan. Perubahan terus terjadi. Manusia selalu dituntut beradaptasi dengan perubahan itu, tidak terkecuali pendidik. Justru para pendidik yang dianggap sebagai agen perubahan tentu akan memegang peran utama dalam perubahan itu. Apalagi perubahan yang terjadi sekarang ini menuntut adanya daya saing yang tinggi dari tenaga pendidik, karena adanya perkembangan zaman yang semakin kompetitif itu. Negara-negara di belahan dunia telah mencapai kemajuan yang begitu pesat. Teknologi yang serba canggih juga telah ditemukan oleh manusia. Kemajuan suatu negara tidak mustahil karena mantapnya sistem pendidikan di negara tersebut. Selalu kita dengar suatu jenis penyakit yang muncul belakangan ini membuat resah masyarakat dunia. Di sisi lain berita penemuan suatu riset di suatu lembaga pendidikan, mampu menemukan penangkal dari penyakit tersebut. Demikian terus-menerus kausalitas itu terjadi. Pada ujungnya diharapkan dunia pendidikan dapat menjawab permasalahan dan tantangan yang muncul di masyarakat. Di Indonesia dunia pendidikan telah berada di babak baru. Keluarnya ketetapan MPR RI tentang 20 persen anggaran belanja negara akan di orientasikan pada sektor pendidikan menjadikan harapan tersendiri bagi dunia pendidikan. Demikian pula keluarnya undangundang nomor 14 tentang tahun 2005, bagaikan hujan di tengah kemarau panjang. Amanat tersebut sebenarnya sudah lama tertuang dalam UU No. 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan nasional merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Dalam kesejahteraan guru prinsip tersebut lebih merupakan slogan daripada kenyataan. Tidak dapat dimungkiri bahwa faktor kesejahteraan tenaga pendidik akan mempengaruhi tingkat kinerja dalam tugas dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, solusi kebijakan tentang UU No. 14 2005 dan kebijaksanaan lain yang berpihak kepada guru sangat diperlukan untuk mendorong motivasi dan kinerja guru. Strategi yang lain berkaitan dengan pengembangan SDM di lingkungan pendidikan dasar dan menengah adalah rekrutmen dan penempatan guru. Selama ini pemerintah tidak konsisten dalam pola-pola yang dikembangkan pada rekrutmen calon guru dan penempatan guru. Dalam tingkat tertentu memang telah memperhitungkan kemampuan akademik calon, tetapi dalam aspek-espek kepribadian yang berkaitan dengan tugas-tugas mendatang belum terseleksi dengan baik. Padahal, kedua hal itu sama pentingnya. Apalagi akhir-akhir ini pemerintah membuat kebijakan pengangkatan guru berdasarkan data base (K-2) atau dengan kata lain merekrut calon guru berdasarkan masa pengabdian (sukwan) tanpa mempertimbangkan sisi kualitas diri personal. Demikian pula pemerataan tenaga pendidik yang masih mengalami kesenjangan. Sebagai misal, daerah-daerah perkotaan terjadi over suplay, sedangkan di daerah-daerah pedesaan kekurangan. Untuk menghindari hal tersebut pemerintah harus mencari terobosan dengan mengangkat guru mengutamakan putra daerah untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Strategi utama dalam pengembangan SDM di lingkungan pendidikan dasar dan menengah adalah peningkatan mutu. Dalam kenyataan, mutu guru amat rendah. Hal ini setidaknya terungkap dalam suatu riset. Dalam riset tersebut disebutkan bahwa banyak guru yang rendah tingkat penguasaan bahan ajar, keterampilan dalam menggunakan metode-metode inovatif dalam mengajar Supriadi, 2001:262). Demikian pula tingkat pendidikannya, sebagian besar guru SD, sekitar separo guru SMP, dan sekitar 20 persen guru SMA masih berpendidikan kurang (Supriadi, 2001: 262). Berdasarkan kenyataan itu pemerintah merekomendasi pembinaan mutu guru melalui pendidikan dalam jabatan, yang penekanannya diberikan pada kemampuan agar dapat meningkatkan efektivitas mengajarnya, mengatasi persoalan-persoalan praktis dalam pengelolaan proses belajar mengajar, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap perbedaan individu para siswa yang dihadapinya. Walupun rekomendasi ini dapat dikatakan telah terlambat jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita, tetapi upaya tersebut masih dikatakan brilian. Pemerintah dalam kurun waktu ini telah memprogramkan peningkatan kualifikasi pendidikan guru. Program tersebut diutamakan pada penyetaraan pendidikan. Dengan keluarnya UU 14 tahun 2005 semua guru harus berpendidikan S-1 atau D-4, sesuai dengan bidang profesinya. Demikian pula pemerintah juga meningkatkan kemampuan guru melalui penataran-penataran, mendorong pembinaan pemantapan kerja guru melalui KKG atau MGMP, KKKS, dan sebagainya. Upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualifikasi guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. E. Unsur-unsur Pemberdayaan Pengembangan SDM Hal yang tak kalah pentingnya dalam usaha pengembangan tenaga kependidikan adalah pemberdayaan sumber daya manusia. Menurut Supriadi (2001: xliv) ada lima hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan tenaga kependidikan di Indonesia. Kelima hal itu ialah: 1) pengelolaan guru dalam konteks otonomi; 2) pengembangan karier guru; 3) struktur insentif guru; 4) pengangkatan dan penempatan guru; dan 5) mutasi guru. Berkaitan dengan pengelolaan guru dalam konteks otonomi adalah perlunya pelaksanaan otonomi daerah dilakukan secara bertahap dan selektif dengan mempertimbangkan: perluasan kesempatan dan peningkatan mutu, relevansi dan efesiensi dunia pendidikan, integrasi nasional, dan keamanan psikologi guru. Oleh karena itu, perlu ada pembagian kewenangan yang seimbang antara pusat dan daerah. Berkaitan dengan pengembangan karier, pemerintah perlu melakukan pengelolaan administrasi guru dilakukan secara terintegrasi di bawah satu lembaga atau badan yang menangani administrasi kepegawaian guru dari semua jenjang dan jenis pendidikan, perlu adanya sistem karier guru yang fleksibel yang menunjang mobilitas antarjenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kebutuhan sistem pendidikan, perlu adanya perluasan sistem promosi dalam karier guru di samping sistem progresi yang sudah ada, perlu adanya promosi jabatan guru dikaitkan dengan penugasan khusus, perlu pengkajian ulang atas indikator-indikator dan prosedur pelaksanaan penilaian kinerja guru atas dasar angka kredit agar lebih mencerminkan kemampuan profesional guru dan mengurangi frustrasi yang dialami guru, penilaian kinerja guru hendaknya diserahkan pada sekolah, paling tinggi kabupaten/ kota dengan mengacu pada rambu-rambu yang ditetapkan oleh pusat. Selain angka kredit, rekomendasi kepada sekolah dan pengawas serta penilaian orang tua siswa perlu dijadikan pertimbangan penting dalam penilaian kinerja guru. Berkaitan dengan sistem intensif guru, perlu peningkatan kesejahteraan guru melalui peningkatan jumlah kumulatif penghasilan guru (gaji pokok dan berbagai tunjangan) hingga minimal dua kali lipat dari keadaan sekarang yang berlaku untuk semua guru pada semua jenis dan jenjang pendidikan dan dibayar dengan anggaran pemerintah dalam APBN, perbaikan kesejahteraan guru dilaksanakan secara bertahap dengan prioritas pada peningkatan jumlah tunjangan fungsional berdasarkan struktur yang bersifat progresif mengikuti kenaikan pangkat/ jabatan, pemberian subsidi kepada sekolah-sekolah swasta dengan model block grant untuk membantu pembayaran honorarium guru honorer, tunjangan khusus kepada guru-guru yang bertugas di daerah sulit/ terpencil yang diberikan berdasarkan tingkat kesulitan tempat tugas, dan perlindungan yang lebih sngguh-sungguh dari pemerintah terhadap keutuhan penghasilan yang menjadi hak guru. Berkaitan dengan pengangkatan dan penerimaan guru, untuk jenjang SD perlu diorientasikan pada tenaga-tenaga honorer lulusan SPG/ SGO/ PGA di samping lulusan program D-2 PGSD yang belum diangkat. Lebih dari itu sekarang ini guru harus setingkat S-1 atau D-4, rekrutmen calon guru SD hingga SLTA didesentralisasikan ke kabupaten/ kota dengan memprioritaskan calon-calon yang berasal dari daerah/ wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya, berkaitan dengan mutasi guru, perlu dikembangkan jenis-jenis mutasi berupa persyaratan dan teknis pelaksanaannya yang disertai juklak (petunjuk pelaksanaan) dan dipedomani secara konsisten pada semua tingkatan, penyusunan prioritas mutasi baik atas permintaan sendiri maupun penugasan, pengalokasian dana dari anggaran pendidikan untuk kompensasi biaya mutasi yang bersifat penugasan, pengelolaan administrasi mutasi yang lebih baik dengan dukungan sistem informasi yang andal, dan peningkatan pengawasan internal serta eksternal oleh anggota masyarakat untuk menjamin pelaksanaan proses mutasi yang sesuai dengan prosedur yang ditetapkan (Supriadi, 2001: xliv-xlvi). F. Pengembangan SDM Tenaga Pendidik di Lingkungan Dikdasmen Melalui Portofolio Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/ prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu (Depdiknas, 2007:3). Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial). Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan, komponen portofolio meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru (khususnya guru dalam jabatan) adalah untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran (Depdiknas, 2007:3). Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi akademik (Depdiknas, 2007:3). Portofolio juga berfungsi sebagai: (1) wahana guru untuk menampilkan/ membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung; (2) informasi/ data dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan; (3) dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi (layak mendapatkan sertifikat pendidikan atau belum); dan (4) dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru. Berdasarkan pedoman penilaian portofolio tersebut terdapat beberapa unsur yang merupakan penunjang kompetensi guru masuk di dalamnya. Adapun kompennsi yang dimaksud adalah: Kualifikasi akademik yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai dengan guru mengikuti sertifikasi, baik pendidikan gelar (S-1, S-2, atau S-3) maupun nongelar (D-4 atau Post Graduate diploma), baik di dalam maupun di luar negeri. Bukti fisik yang terkait dengan komponen ini dapat berupa ijazah atau sertifikat diploma. Pendidikan dan Pelatihan yaitu pengalaman dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan/ peningkatan kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada tingkat kecamatan, kabupaten/ kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Bukti fisik komponen ini dapat berupa sertifikat, piagam, atau surat keterangan dari lembaga penyelenggara diklat. Pengalaman mengajar yaitu masa kerja guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga yang berwenang (dapat dari pemerintah/ kelompok masyarakat penyelenggara pendidikan). Bukti fisik dari komponen ini dapat berupa surat keputusan/ surat keterangan yang sah dari lembaga yang berwenang. Perencanaan pembelajaran yaitu persiapan mengelola pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam kelas pada setiap tatap muka. Perencanaan pembelajaran ini paling tidak memuat perumusan tujuan/ kompetensi, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan sumber /media pembelajaran, skenario pembelajaran, dan penilaian proses dan hasil belajar. Bukti fisik dari subkomponen ini berupa dokumen Panduan Penyusunan Perangkat Portofolio perencanaan pembelajaran (RP/RPP/SP/RPI) yang diketahui disahkan oleh atasan. Pelaksanaan pembelajaran yaitu kegiatan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas dan pembelajaran individual. Kegiatan ini mencakup tahapan prapembelajaran (pengecekan kesiapan kelas dan apersepsi), kegiatan inti (penguasaan materi, strategi pembelajaran, pemanfaatan media/ sumber belajar, evaluasi, penggunaan bahasa), dan penutup (refleksi, rangkuman, dan tindak lanjut). Bukti fisik yang dilampirkan berupa dokumen hasil penilaian oleh kepala sekolah dan/atau pengawas tentang pelaksanaan pembelajaran yang dikelola oleh guru. Pelaksanaan pembelajaran yang dimaksud adalah kegiatan guru bimbingan dan konseling (konselor) dalam mengelola dan mengevaluasi pelayanan bimbingan dan konseling yang meliputi bidang pelayanan bimbingan pendidikan/belajar, karier, pribadi, sosial, akhlak mulia/budi pekerti. Jenis dokumen yang dilaporkan berupa: agenda kerja guru bimbingan dan konseling, daftar konseli (siswa), data kebutuhan dan permasalahan konseli, laporan bulanan, laboran semesteran/ tahunan, Berdasarkan paparan tersebut penulis berpendapat bahwa pengembangan sumber daya manusia tenaga pendidik di lingkungan pendidikan dasar dan menengah melalui sertifikasi portofolio baik untuk terus dijadikan patokan kemampuan, mengingat semua komponen kompetensi guru telah tercakup di dalamnya, tetapi hal-hal lain secara riil juga perlu diambil sebagai bukti nyata terhadap kemampuan. Untuk itu perlu dibuatkan regulasinya agar kompetensi riil tersebut dapat pula diketahui secara jelas. G. Pengembangan SDM di Lingkungan Dikdasmen Dilakukan Secara Learning Countinously Guru adalah profesi mulia yang penuh dengan tanggung jawab. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menjadi guru. Lebih-lebih guru pada tingkat sekolah dasar dan menengah. Selain kemampuan keilmuan, guru pada tingkat tersebut juga harus memiliki jiwa yang besar, karena mereka dihadapkan pada keadaan psikologi anak yang masih labil menuju keadaan jiwa yang stabil. Sebagai guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, mereka dituntut untuk selalu mengembangkan diri dan mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, mereka juga dituntut untuk selalu mencari inovasi pembelajaran yang tepat untuk peserta didik. Ukuran keberhasilan pendidikan ditentukan oleh mutu proses belajar yang dilakukan. Artinya proses belajar yang cocok dengan apa yang diharapkan oleh siswa jauh melampaui apa yang diharapkan, maka pendidikan itu disebut bermutu (Mastuhu, 2003:65). Profesi sebagai guru selalu mengikuti perkembangan zaman. Tuntutan belajar bagi seorang guru harus dilakukan secara terus menerus (learning countinously) tanpa batas. Hal itu sesuai dengan ajaran agama Islam bahwa menuntut ilmu bisa dilakukan sejak di dalam kandungan sampai di liang kubur. Seorang guru yang enggan berinovasi diri, mengembangkan diri, dan kemauan diri, maka ia akan tertinggal dengan murid-muridnya. H. Penutup Guru yang ideal adalah guru yang memiliki paradigma akademik. Paradigma akademik yang dimaksud adalah memiliki visi, misi, tujuan, dan strategi untuk mencapai cita-cita pendidikan yang direncanakan (Mastuhu, 2003:66). Wawasan akademik yang dimaksud ialah meliputi kemampuan menjabarkan visi, misi, tujuan dan strategi. Selain itu, harus pula memiliki metodologi yang kuat (konsep ilmiah yang baik), arah pikiran yang jelas, pandangan dunia, dan ideologi (Mastuhu, 2003: 72-75). Mengingat demikian beratnya amanah yang harus diemban oleh guru, maka sudah selayaknya pekerjaan guru diakui sebagai pekerjaan profesional. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari pula tuntutan seorang guru untuk selalu mengembangkan diri dalam setiap waktu harus terus diwujudkan. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Moch. Idochi. 2004. Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Drost S.J., J.I.G.M. 1998. Sekolah: Mengajar atau Mendidik. Yogyakarta: Kanisius. Depdiknas. 2007. Penyususnan Prangkat Portofolio Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Jakarta. Koeslita. 2007. “Pengembangan Tenaga Pendidik dan Kependidikan Tingkat SLTA yang Berorientasi Kebutuhan Individu dan Kebutuhan Organisasi”. Makalah. SPS UPI Bandung. Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insania Press. Pidarta, Made. 1997. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Supriadi, Dedi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Wibowo. 2006. Manajemen Perubahan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.