BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap
bencana di dunia. Sejumlah bencana tragis yang menghantam Indonesia selama
beberapa tahun terakhir. Tidak hanya membawa kesedihan karena kehilangan
nyawa, kerusakan harta benda dan infrastruktur penting, tetapi juga menyebabkan
trauma pada orang-orang yang terkena bencana ini. Masyarakat miskin dan
kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak-anak, seringkali menjadi pihak
yang paling menderita akibat bencana. Dampak besar dari rangkaian bencana
akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus
diselesaikan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil dan
masyarakat lokal, untuk mengurangi dampak bencana.
Bencana alam itu sendiri merupakan peristiwa alam yang disebabkan oleh
proses yang terjadi alami atau diawali oleh tindakan manusia dan menimbulkan
risiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia. (Sutikno,1985)
Besar kecilnya kerugian akibat bencana alam setidaknya disebabkan oleh
faktor, yaitu skala kejadian dan pengetahuan tentang bencana alam itu sendiri
yang meliputi tipe karakteristik dan agihannya. Verstappen (1983 dalam
Sutikno,1997) membagi bencana alam atas dasar penyebabnya, yaitu :
a. Bencana alam yang diakibatkan oleh proses eksogen, antara lain : banjir,
erosi, dan gerakan massa tanah atau batuan.
b. Bencana alam yang diakibatkan oleh proses endogen, antara lain :
aktivitas gunung api dan gempa bumi.
c. Bencana alam yang diakibatkan oleh proses antropogenik, misalnya
terban (subsidence) akibat pengambilan air tanah yang berlebihan.
Salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia adalah tanah
longsor. Tanah longsor merupakan proses perpindahan suatu massa batuan/tanah
akibat gaya gravitasi. Tanah longsor merupakan gejala alam, beberapa aktifitas
manusia dapat menjadi faktor penyebab terjadiya longsor. Gravitasi merupakan
1
kekuatan utama yang mempengaruhi material bergerak menuruni lereng. Benda
atau beban yang ada pada bidang atau permukaan yang miring menghasilkan gaya
gravitasi tidak tegak lurus dengan permukaan tersebut, sehingga gaya gravitasi
terbagi menjadi dua komponen gaya, yaitu gaya normal yang tegak lurus dengan
permukaan dan gaya yang bekerja searah permukaan yang miring.
Vernes (1960 dalam Sayogo, 2007), mengemukakan bahwa gerakan massa
terjadi bukan hanya oleh satu macam sebab, melainkan karena rangkaian proses
dari berbagai macam penyebab. Secara ringkas semua penyebab tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua faktor utama, yaitu faktor yang menambah tekanan
geser dan faktor yang mengurangi atau menurunkan hambat geser. Gerakan massa
yang terjadi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan fisik
daerah tersebut, dan tata guna lahan. Faktor fisik yang mempengaruhi gerakan
massa tanah atau batuan antara lain kemiringan lereng, kondisi geologi yang
meliputi jenis batuan, tingkat pelapukan batuan tekstur, permeabilitas dan iklim.
Daerah penelitian merupakan daerah yang memiliki topografi berbukit dan
bergunung dan daerah tersebut memiliki kemiringan lereng yang mendukung
terjadinya tanah longsor.
Tanah longsor yang sering terjadi di daerah perbukitan Jawa tidak hanya
menimbulkan infrastruktur serta kerugian ekonomi baik secara langsung maupun
tidak langsung, akan tetapi juga telah menimbulkan korban yang sangat banyak.
Lebih dari 1000 kejadian tanah longsor yang terjadi di Jawa selama kurun waktu
1990-2006 dengan rata-rata tahunan sebesar 62 kejadian, dan mengakibatkan
1300 orang meninggal dunia dan 492 orang luka (Hadmoko, 2006). Dari 1000
kejadian tersebut lebih dari 700 kejadian terdistribusi pada bulan November,
Desember, Januari, Februari, dan Maret. Bulan Januari merupakan bulan yang
terdapat kasus tertinggi bencana alam tanah longsor terkonsentrasi pada bulanbulan dimana terdapat curah hujan yang tinggi.
Salah satu Kabupaten yang sering terjadi tanah longsor adalah Kabupaten
Kulonprogo. Potensi kejadian longsor tanah di Kabupaten Kulonprogo selalu
terjadi dari tahun ke tahun dan selalu mengakibatkan kerugian bagi masyarakat
sekitarnya. Oleh karena itu maka diperlukan pemetaan daerah rawan bencana
2
tanah longsor agar masyarakat waspada terhadap daerah yang rawan akan bencana
tanah longsor.
Penggunaan sumber data penginderaan jauh sangat memungkinkan untuk
dijadikan sumber data karena dapat menyajikan gambaran permukaan bumi
dengan tingkat kejelasan sesuai dengan skala yang dimiliki. Salah satu data
penginderaan jauh adalah citra Landsat ETM, citra ini sangat mendukung dan
mempersingkat pemetaan. Penginderaan jauh itu sendiri merupakan ilmu dan seni
untuk memperoleh informasi mengenai suatu obyek, daerah atau fenomena
melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung
dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillessand dan Kiefer, 1994).
Sistem Informasi Geografi tentang tingkat kerentanan sangat penting
dalam upaya mengurangi kerentanan terhadap suatu bencana yang terjadi.
Biasanya informasi yang disajikan secara spasial dengan mengintegrasikan Sistem
Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh. Penyajian informasi tentang
kebencanaan secara spasial sangat menguntungkan karena masyarakat dilokasi
yang rawan bencana dapat secara langsung mengenali kondisi daerahnya yang
rawan terhadap bencana.
1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Kendala dalam menentukan lokasi tanah longsor yaitu sangat sulit untuk
dapat memetakan daerah tingkat kerawanan tanah longsor dan mengetahui faktorfaktor yang menjadi penyebab bahaya tanah longsor dalam waktu yang cepat
melalui pengamatan dan pengukuran langsung dilapangan, karena akan
memerlukan tenaga yang berat, biaya mahal, dan waktu yang sangat lama. Selain
itu juga disebabkan karena masing-masing faktor penyebab tanah longsor sangat
banyak dan saling terkait satu dengan yang lain. Akan tetapi seiring dengan
perkembangan teknologi terutama dibidang penginderaan jauh dan sistem
informasi geografi dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi tersebut.
Pemanfaatan citra dan SIG untuk zonasi yang rentan terhadap tanah longsor akan
sangat membantu perolehan informasi secara tepat, cepat dan efisien dalam waktu
serta biaya yang dikeluarkan. Citra mampu menyajikan suatu gambaran medan
3
yang relatif lengkap. Citra merupakan potret atau gambar permukaan bumi yang
mampu menggambarkan objek daerah dan gejala permukaan bumi dengan wujud
dan letaknya dipermukaan bumi (Sutanto,1986).
Dengan pembuatan peta zonasi kerentanan tanah longsor maka dapat
diketahui daerah-daerah yang memiliki potensi tanah longsor. Terkait dengan
XUDLDQ GLDW
DV P DND SHQ\XVXQ P HP LOLK -XGXO7 XJ DV $NKLU³
Aplikasi
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi dalam Rangka Pemetaan
Zonasi Kerentanan Longsor Lahan di Kabupaten Kulonprogo, Daerah
Istimewa Yogyakarta´
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka dalam penelitian
ini akan dibahas permasalahan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana memetakan faktor-faktor penyebab tanah longsor pada daerah
penelitian menggunakan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografi ?
2. Bagaimana distribusi daerah-daerah yang rentan akan tanah longsor di
Kabupaten Kulonprogo?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain :
1. Memetakan faktor-faktor penyebab longsor menggunakan Penginderaan
Jauh dan Sistem Informasi Geografi.
2. Mengetahui distribusi daerah-daerah yang rentan longsor di Kabupaten
Kulonprogo.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu :
1. Memberikan informasi tentang daerah yang rawan terhadap tanah longsor
di daerah penelitian.
2. Dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan
untuk perencanaan pemanfaatan lahan bagi pemerintah Kabupaten
Kulonprogo.
4
3. Pengembangan pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografi untuk pemetaan daerah rentan longsor.
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Tanah longsor
Tanah longsor adalah proses perpindahan atau pergerakan massa tanah
dengan arah miring atau vertikal dari kedudukan semula sebagai akibat gaya berat
atau proses perpindahan suatu massa batuan/tanah akibat gaya gravitasi. Longsor
dapat terjadi jika intensitas curah hujan yang tinggi, kondisi lereng yang miring
hingga terjal, pelapukan tebal, batuan dan strukur geologi bervariasi dan
penggunaan
lahan
yang
kurang
sesuai
dengan
karakteristik
lahannya
(Sutikno,1994)
Menurut Sharpe (1938 dalam Irianto, 1987), longsor lahan merupakan
gerakan massa batuan yang dapat membawa massa batuan, membawa bahan
rombakan permukaan bumi relative kering dan massa tersebut bergerak pada
lereng dengan kemiringan sedang sampai curam. Sedangkan Karna Wati, 2005,
mendefinisikan longsoran sebagai gerakan menuruni atau keluar lereng oleh
massa tanah atau batuan penyusun lereng, ataupun percampuran keduanya sebagai
bahan rombakan, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun
lereng tersebut.
Menurut Cruden dan Vernes (1992 dalam Hardiyatmo,2006), karakeristik
gerakan massa dapat dibagi menjadi lima macam yaitu :
1. Jatuhan (falls), adalah gerakan jatuh material pembentuk lereng (tanah
atau batuan) di udara dengan tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian
material yang longsor. Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor, dan
banyak terjadi pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang
mempunyai bidang-bidang tidak menerus (diskontinuitas). Jatuhan pada
tanah biasanya terjadi bila material mudah tererosi terletak di atas yang
lebih tahan erosi.
5
2. Robohan (topples), adalah gerakan material roboh dan biasanya terjadi
pada lereng batuan yang sangat tegak yang mempunyai bidang-bidang
ketidak menerusan yang relative vertikal. Tipe gerakan ini hampir sama
dengan jatuhan, hanya gerakan batuan longsor adalah mengguling hingga
roboh, yang berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya. Faktor
utama yang menyebabkan robohan, adalah seperti halnya kejadian jatuhan
batuan, yaitu air yang mengisi retakan.
3. Longsoran (slides) adalah gerakan material pembentuk lereng yang
diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, disepanjang satu atau lebih
bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecahpecah. Berdasarkan geometri bidang gelincirnya, longsoran dibedakan
dalam dua jenis yaitu : longsoran rotasional (rotational slides) mempunyai
bidang longsor melengkung ke atas, dan sering terjadi pada massa tanah
yang bergerak dalam satu kesatuan. Longsoran rotasional murni (slump)
terjadi pada material yang relative homogen seperti timbunan batuan
(tanggul). Longsoran translasional merupakan gerakan disepanjang
diskontinuitas atau bidang lemah yang secara pendekatan sejajar dengan
permukaan lereng, sehingga gerakan tanah secara translasi. Dalam tanah
lempung, translasi terjadi di sepanjang lapisan tipis pasir atau lanau,
khususnya bila bidang lemah tersebut sejajar dengan lereng yang ada.
Longsoran translasi lempung yang mengandung lapisan pasir atau lanau,
dapat disebabkan oleh tekanan airpori yang tinggi dalam pasir atau lanau
tersebut.
4. Sebaran (spreads) termasuk longsoran translasional dan disebut sebaran
lateral (lateral speading), adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah
dan turunnya massa batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak
dibawahnya. Permukaan bidang longsor tidak berada di lokasi terjadinya
geseran terkuat. Sebaran dapat terjadi akibat liquefaction tanah granuler
atau keruntuhan tanah kohesif lunak di dalam lereng.
5. Aliran (flows) adalah gerakan hancuran material kebawah lereng dan
mengalir seperti cairan kental. Aliran sering terjadi dalam bidang relatif
6
sempit. Material yang terbawa oleh aliran dapat terdiri dari berbagai
macam tanah (termasuk batu-batu besar), kayu-kayuan, ranting dan lainlain.
Pada prinsipnya longsor terjadi karena terganggunya keseimbangan lereng
akibat adanya pengaruh gaya-gaya yang berasal dari dalam lereng (gravitasi bumi
dan tekanan air pori di dalam tanah lereng) dan atau gaya-gaya yang berasal dari
luar lereng (getaran kendaraan dan pembeban yang berlebihan pada lereng).
Menurut Dwikorita (2002, dalam Priyanto 2005), dalam makalahnya menguraikan
kondisi lahan atau kawasan yang rawan akan longsor adalah sebagai berikut :
Kondisi alamiah :
1. Kondisi lereng yang biasanya mempunyai kemiringan lereng dari 20o .
2. Kondisi tanah atau batuan penyusun lereng, umumnya lereng yang
tersusun oleh :
a. Tumpukan massa tanah gembur/lepas-lepas yang menumpang diatas
permukaan tanah atau batuan yang lebih kedap dan kompak.
b. Lapisan tanah atau batuan yang miring searah dengan kemiringan
lereng.
3. Adanya struktur geologi yang miring searah dengan kemiringan lereng.
Struktur geologi ini dapat merupakan bidang-bidang lemah, sehingga
massa tanah sensitif bergerak disepanjang bidang-bidang lemah tersebut.
4. Kondisi hidrologi lereng, terutama kondisi aquifer dan kedudukan muka
air tanah dalam lereng.
5. Kondisi dinamika lereng yang dapat dipengaruhi oleh hujan (lamanya
hujan dan curah hujan) yang dapat mengakibatkan kenaikan tekanan
airpori di dalam tanah, hilangnya penahan lateral dan penahan di bagian
bawah lereng, dan getaran gempa bumi.
Kondisi non alamiah :
1. Getaran-getaran misalnya getaran
kendaraan atau getaran akibat
penggalian pada lereng.
7
2. Bertambahnya pembeban pada lereng, misal adanya konstruksi bangunan
atau meresapnya air dari permukaan.
3. Hilangnya penahan pada lereng karena penggalian dibawah lereng.
4. Aktivitas manusia, mencakup pola penggunaan lahan yang dilakukan oleh
manusia.
1.5.2. Kerentanan dan Risiko
Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas
atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam
menghadapi ancaman bahaya. Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk
diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana,
karena bencana baru akan terjadi bila bahaya terjadi pada kondisi yang rentan
(Ani Haryati, 2011).
Terdapat beberapa definisi kerentanan. Definisi dari ADPC (2004, dalam
Sare 2009), membagi kerentanan menjadi 4 (empat) tipe :
1. Kerentanan
Fisik
(Physical
Vulnerability)
menggambarkan
suatu
kondisifisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard)
tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indikator
sebagai berikut : persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan,
persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang
jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, dan jalan kereta api.
Wilayah permukiman di Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi
yang sangat rentan karena persentase kawasan terbangun, kepadatan
bangunan dan bangunan konstruksi darurat di perkotaan sangat tinggi
sedangkan persentase jaringan lisrik, rasio panjang jalan, jaringan
telekomunikasi, jaringan PDAM, dan jalan kereta api sangat rendah.
2. Kerentanan Sosial (Social Vulnerability) menggambarkan kondisi tingkat
kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya. Pada kondisi yang rentan
maka jika terjadi bencana dapat dipastikan akan menimbulkan dampak
kerugian yang besar. Beberapa indikator kerentanan sosial antara lain
kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk
8
usia tua-balita wanita. Kota-kota di Indonesia memiliki kerentanan sosial
yang tinggi karena memiliki persentase yang tinggi pada indikatorindikator tersebut.
3. Kerentanan Ekonomi (Economic Vulnerability) menggambarkan suatu
kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya.
Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah persentase
rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan terhadap
pemutusan hubungan kerja) dan persentase rumah tangga miskin.
4. Kerentanan Lingkungan (Enviromental Vulnerability) yang meliputi : air,
udara, tanah, tumbuhan dan hewan.
Kerentanan adalah tingkat kemungkinan suatu obyek bencana yang terdiri
dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah geografis mengalami kerusakan
atau gangguan akibat dampak dari bencana atau kecenderungan sesuatu benda
atau makhluk rusak akibat bencana. Kerawanan (Susceptibility) lebih diutamakan
untuk menentukan ciri-ciri fisik atau karakteristik fisik kondisi suatu wilayah yang
rentan terhadap suatu bencana tertentu. Istilah kerawanan adalah suatu tahapan
sebelum terjadinya bencana (pre-event phase). Kerentanan sangat berkaitan erat
dengan tingkat kerawanan dan risiko. Kerentanan adalah suatu fungsi dari
kepekaan (sensitivity) atau kerawanan dari suatu sistem (masyarakat, rumah
tangga, gedung, infrastruktur) terhadap suatu bencana.
Risiko (Risk) didefinisikan sebagai derajat kehilangan atau nilai dugaan
dari kerugian (kematian, luka-luka, properti) yang di akibatkan oleh suatu
bencana. Risiko bencana merupakan fungsi dari bahaya, exposeur, dan kerentanan
(ADRC,2005 dalam Sare,2009). Risiko terhadap suatu bencana adalah
kemungkinan terkena bencana dan kemungkinan kehilangan yang mungkin terjadi
pada kehidupan atau sarana dan prasarana fisik yang diakibatkan oleh suatu jenis
bencana pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Risiko bencana juga dapat
ditujukan sebagai kombinasi antara tingkat bencana dengan derajat kehilangan
yang mungkin terjadi. Tingkat bencana dapat ditujukan oleh tingkat kerawanan
bencana suatu daerah sedangkan derajat kehilangan yang mungkin terjadi dapat
diperhitungkan dari elemen atau objek yang dimungkinkan (Ani Haryati, 2011).
9
1.5.3. Bahaya (Hazard)
Istilah bahaya mempunyai pengertian kemungkinan terjadinya bahaya
dalam satu periode tertentu pada satu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya
tersebut. Bahaya berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan korban
jiwa, kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan. Bencana sebagai
satu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial atau diistilahkan
sebagai realisasi dari bahaya.
Bahaya adalah suatu ancaman yang berasal dari peristiwa alam yang
bersifat ekstrim yang dapat berakibat buruk atau keadaan yang tidak
menyenangkan. Tingkat ancaman ditentukan oleh probabilitas dari lamanya waktu
kejadian (periode waktu), tempat (lokasi), dan sifatnya saat peristiwa itu terjadi.
Bahaya alam (Natural hazard) adalah probabilitas potensi kerusakan yang
mungkin terjadi dari fenomena alam di suatu area / wilayah (Ani Haryati, 2011).
1.5.4. Prinsip Dasar Penginderaan Jauh dan Pemanfaatannya
Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
mengenai suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena
yang dikaji (Lillessand dan Kiefer, 1994 dalam Khakim,2001). Pengertian
penginderaan jauh saat ini sudah mengalami perkembangan. Pengertian
penginderaan jauh pada awalnya hanya terbatas pada teknik saja, akan tetapi
dengan semakin jelasnya lingkup studi, filosofi, serta metodologinya maka
pengertian-pengertian penginderaan jauh telah berkembang menjadi ilmu. Seiring
dengan
semakin
berkembangnya
teknologi
penginderaan
jauh
maka
pemanfaatannya pun menjadi semakin variatif dalam berbagai bidang.
Penginderaan jauh sistem satelit merupakan suatu sistem penginderaan
jauh menggunakan wahana satelit dan tenaga elektromagnetik pada spektrum
gelombang mikro. Tenaga pantulan yang diterima oleh detector diubah menjadi
sinyal elektrik. Sistem satelit dalam penginderaan jauh tersusun atas penyiam
(scanner) dengan dilengkapi sensor dengan wahana (platform). Sutanto (1987)
10
membedakan satelit menjadi enam jenis yaitu satelit sumber daya bumi, satelit
cuaca, satelit militer dan satelit kelautan. Satelit sumber daya bumi dewasa ini
mengalami perkembangan yang sangat pesat termasuk di dalamnya adalah satelit
Landsat, SPOT dan Ikonos.
Data penginderaan jauh didapatkan dengan menggunakan dua sistem,yaitu
dengan sistem pasif dan dengan sistem aktif. Sensor pasif merekam radiasi
elektromagnetik yang dipantulkan atau diemisikan dari objek yang ada
dipermukaan. Sebagai contoh, perekam kamera dan video digunakan untuk
merekam energi pantulan objek pada panjang gelombang tampak dan inframerah
dekat. Aktif sensor seperti gelombang radar dan sonar, menggunakan energi
elektromagnetik buatan yang dipancarkan pada suatu objek dan kemudian sensor
merekam kembali energi yang dipantulkan oleh objek tersebut (Jensen, 1996).
INCIDENT
ENERGY
SCATTERED
REFLECTED
EMITTED
ABSORBED
TRANSMITTED
(AND REFRACTED)
Gambar 1.1. Mekanisme Interaksi antara Energi Elektromagnetik dan Benda
Kepekaan spektral mata manusia hanya berkisar antara 0,4
sekitar 0,7 P
0,6 P
: DUQD ³ELUX´ W
HUGDat
S pada julat 0,4-0,5 P
GDQ ³P HUDK´ DQW
DUD
m hingga
³KLM
DX´ DQW
DUD
m. Tenaga ultraviolet membentang ke arah
panjang gelombang yang lebih pendek dari bagian spektrum tampak. Inframerah
termal terdapat pada panjang gelombang antara 10
m hingga 12,5
m. Pada
11
panjang gelombang yang lebih panjang (1mm-1m) disebut bagian spektrum
gelombang-mikro. Sistem penginderaan jauh yang paling sering digunakan
bekerja pada satu atau beberapa spektrum dari bagian spektrum tampak,
inframerah pantulan, inframerah termal atau gelombang mikro (Lillesand &
Kiefer, 1979 dalam Khakim, 2001).
Sensor merekam tenaga yang dipantulkan atau dipancarkan oleh objek
permukaan bumi pada penginderaan jauh. Rekaman tenaga ini setelah diproses
membutuhkan data penginderaan jauh. Data penginderaan jauh dapat berupa data
digital atau data numerik untuk dianalisis dengan menggunakan komputer. Ia juga
dapat berupa data visual yang pada umumnya dianalisis secara manual. Data
visual dibedakan lebih jauh atas data citra dan non-citra. Data citra berupa
gambaran yang mirip dengan wujud aslinya atau paling tidak berupa gambaran
planimetrik. Data non-citra pada umumnya berupa garis atau grafik sebagai
contoh data non-citra ialah grafik yang mencerminkan beda suhu yang direkam
disepanjang daerah penginderaan. Di dalam penginderaan jauh yang tidak
menggunakan tenaga elektromagnetik, contoh data non-citra antara lain berupa
grafik yang menggambarkan gravitasi maupun daya magnetik disepanjang daerah
penginderaan ( Sutanto, 1986 ).
Transformasi Kauth & Thomas (1976) memanfaatkan feature space pada
keempat saluran sekaligus ( Projo Danoedoro, 1996 ), berbeda dengan indeks
vegetasi yang hanya memanfaatkan dua saluran. Prinsip transformasi ini ialah
penyusunan kembali sumbu-sumbu saluran (empat saluran MSS) dalam ruang
spektral, sehingga sumbu-sumbu tersebut terputar (terotasi) kearah tertentu, yang
satu sama yang lain ortogonal. Masing-masing sumbu ini tidak lagi disebut
sebagai saluran MSS4, MSS5, MSS6 dan MSS7, melainkan sebagai sumbu
kecerahan (brightness), kehijauan (greeness), kelayuan (yellowness) dan
ketidaktentuan (nonesuch). Melalui sistem koordinat baru yang baru ini, garis
tanah dan garis vegetasi dapat dipresentasikan dengan lebih jelas.
Penginderaan Jauh merupakan aktivitas penyadapan informasi tentang
objek atau gejala di permukaan bumi (atau dekat permukaan bumi) tanpa melalui
12
kontak langsung. Diperlukan media supaya objek atau gejala tersebut dapat
GLDP DW
L GDQ µGLGHNDW
L¶ROHK SHQ
fsir.
D Media ini berupa citra (image atau gambar).
Konsep dasar penginderaan jauh terdiri atas beberapa komponen yang
meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan obyek di permukaan
bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data.
1.5.5. Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan suatu kegiatan untuk menentukan bentuk dan
sifat objek yang tampak pada citra, berikut deskripsinya. Interpretasi citra dan
fotogrametri berhubungan sangat erat, meskipun keduanya tidaklah sama.
Bedanya, fotogrametri berkepentingan dengan geometri objek, sedangkan
interpretasi citra berurusan dengan manfaat, penggunaan, asal-usul, ataupun
identitas objek yang bersangkutan (Glossary of Mapping Sciense, 1994).
Lillesand dan Kiefer (1994) dan juga Sutanto (1986) menyebutkan 8 unsur
interpretasi yang digunakan secara konvergen untuk dapat mengenali suatu objek
yang ada pada citra. Kedelapan unsur tersebut ialah warna/rona, bentuk, ukuran,
bayangan, tekstur, pola, situs dan asosiasi. Di antara kedelapan unsur tersebut,
warna/rona merupakan hal yang paling dominan, dan langsung mempengaruhi
penggunaan citra dalam memulai interpretasi. Sebenarnya, seluruh unsur-unsur
interpretasi itu dapat dikelompokkan kedalam tiga jenjang dalam piramida unsurunsur interpretasi. Pada jenjang paling bawah terdapat unsur-unsur elementer
yang dengan mudah dapat langsung dikenali pada citra, yaitu warna/rona, bentuk,
dan bayangan. Pada jenjang berikutnya terletak ukuran, tekstur dan pola, yang
membutuhkan pemahaman lebih mendalam tentang konfigurasi objek dalam
ruang. Pada jenjang paling atas terdapat situs dan asosiasi, yang merupakan unsurunsur pengenal utama dan seringkali menjadi faktor kunci dalam interpretasi,
namun sekaligus paling sulit dideskripsikan.
Untuk dapat membangun pemahaman tentang unsur-unsur interpretasi
secara utuh dan lengkap, diperlukan latihan di laboratorium dan lapangan
sekaligus. Observasi lapangan dengan panduan foto akan dapat membantu calon
calon penafsir untuk dapat memahami arti setiap unsur interpretasi dan kenyataan
13
kenampakannya di lapangan. Melalui latihan lapangan secara langsung, akan
dapat diketahui unsur-unsur interpretasi apa saja yang paling berperan dalam
membentuk kunci interpretasi. Menurut Sabins (1997), kunci interpretasi adalah
karakteristik atau kombinasi karakteristik (dalam hal ini diwakili oleh unsur-unsur
interpretasi) yang memungkinkan suatu objek pada citra dapat dikenali.Untuk
dapat melakukan interpretasi, penafsiran memerlukan unsur-unsur pengenalan
pada objek atau gejala yang terekam pada citra. Unsur-unsur pengenalan ini
secara indivisual mampu secara kolektif membimbing penafsiran kearah yang
benar. Unsur-unsur ini disebut unsur-unsur interpretasi, dan meliputi delapan hal,
yaitu rona/warna, bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, pola, situs, danasosiasi.
Rona (tone) mengacu ke kecerahan objek pada citra. Rona biasanya
dinyatakan dalam derajad keabuan (grey scale), misalnya hitam/sangat gelap,agak
gelap, cerah, sangat cerah/putih. Apabila citra yang digunakan itu berwarna
(color), meskipun penyebutannya masih terkombinasi dengan rona misalnya
merah, hijau, biru, coklat kekuningan, biru kehijauan agak gelap, dan sebagainya.
Bentuk (shape) sebagai unsur interpretasi mengacu ke bentuk secara
umum, konfigurasi, atau garis besar wujud objek secara individual. Bentuk
beberapa objek kadang-kadang begitu berbeda dari yang lain, sehingga objek
tersebut dapat dikenali semata-mata dari bentuknya saja.
Ukuran (size) objek dalam foto harus dipertimbangkan dalam konteks
skala yang ada. Penyebutan ukuran juga tidak selalu dapat dilakukan untuk semua
jenis objek.
Pola (pattern) terkait dengan susunan keruangan objek. Pola biasanya
terkait juga dengan adanya pengulangan bentuk umum suatu atau sekelompok
objek dalam ruang. Istilah-istilah yang digunakan untuk menyatakan pola
misalnya adalah teratur, tidak teratur, kurang teratur. Namun kadang-kadang perlu
digunakan istilah yang lebih eksprensif misalnya melingkar, memanjang terputusputus, konsentris, dan sebagainya.
Bayangan (shadows) sangat penting bagi penafsir, karena dapat
memberikan dua macam efek yang berlawanan. Pertama, bayangan dapat
menegaskan objek pada citra. Karena outline objek menjadi lebih tajam/jelas,
14
begitu juga kesan ketinggiannya. Kedua, bayangan justru kurang memberikan
pantulan objek ke sensor, sehingga objek yang diamati menjadi tidak jelas.
Tekstur (texture) merupakan ukuran frekuensi perubahan rona pada
gambar objek. Tekstur dapat dihasilkan oleh agregasi/pengelompokan satuan
kenampakan yang terlalu kecil untuk dapat dibedakan secara individual, misalnya
dedaunan pada pohon dan bayangannya, gerombolan satwa liar digurun, ataupun
bebatuan yang terserak diatas permukaan tanah. Kesan tekstur juga bersifat
relative, tergantung pada skala dan resolusi citra yang digunakan.
Situs (site) atau letak merupakan penjelasan tentang objek relative
terhadap obyek atau kenampakan lain yang lebih mudah untuk dikenali, dan
dipandang dapat dijadikan dasar untuk identifikasi objek yang dikaji. Objek
dengan rona cerah, berbentuk silinder, ada bayangannya, dan tersusun dalam pola
teratur dapat dikenali sebagai kilang minyak, apabila terletak di dekat perairan
pantai.
Asosiasi (association) merupakan unsur yang memperhatikan keterkaitan
antara suatu objek atau fenomena dengan objek atau fenomena lain, yang
digunakan sebagai dasar untuk mengenali objek yang dikaji. Misalnya pada foto
udara skala besar dapat dilihat adanya bangunan berukuran lebih besar daripada
rumah, mempunyai halaman terbuka, terletak ditepi jalan besar, dan terdapat
kenampakan seperti tiang bendera (terlihat dengan adanya bayangan tiang) pada
halaman tersebut. Bangunan ini dapat ditafsirkan sebagai bangunan kantor,
berdasarkan asosiasi tiang bendera dengan kantor (terutama kantor pemerintahan).
Perlu diperhatikan bahwa dalam mengenali objek, tidak semua unsur perlu
digunakan secara bersama-sama. Ada beberapa jenis fenomena atau objek yang
dapat langsung dapat dikenali hanya berdasarkan satu jenis unsur interpretasi saja.
Ada pula yang membutuhkan keseluruhan unsur tersebut. Ada kecenderungan
pengenalan objek penutup/penggunaan lahan pada foto udara skala besar pada
wilayah perkotaan membutuhkan lebih banyak unsur interpretasi seperti pada
diskripsi, dibandingkan pengenalan bentuk lahan atau fisiografi pada citra skala
sedang-kecil dan pada liputan wilayah yang luas.
15
Situ
Asosiasi
paling rumit
Ukuran
Tekstur, Pola
Rona/warna, Bentuk
Bayangan
menengah
paling sederhana/
mudah dilihat
Gambar 1.2. Piramida unsur-unsur interpretasi. Ada pandangan-pandangan lain yang sedikit
berbeda dalam meletakkan hirarkhi ini, namun secara umum dapat dikatakan bahwa rona/warna
merupakan unsure yang paling sederhana sedangkan situs dan asosiasi merupakan unsur-unsur
yang paling rumit.
1.5.6. Sistem Informasi Geografi dan Aplikasinya
Penerapan teknologi SIG saat ini telah meliputi berbagai bidang dan
kegiatan, dari organisasi pemerintah hingga swasta, untuk kegiatan perencanaan
maupun pemantauan (Dulbahri, 1993 dalam Khakim, 2001). Teknologi ini
dimanfaatkan untuk memecahkan suatu masalah, menentukan pilihan ataupun
menentukan suatu kebijakan berdasarkan metode analisis spasial dengan
menggunakan komputer sebagai alat untuk pengelolaan data sumberdaya yang
diperoleh.
Berbagai batasan SIG yang dikemukakan oleh (Marble, et al, 1983;
Burrough, 1986; Culkin and Tomlinson, 1984 dalam Dulbahri, 1993), mengarah
pada suatu pengertian SIG yang berkembang saat ini. Pengertian ini dikemukakan
oleh Aronoff (1989) yang menyatakan bahwa SIG adalah suatu sistem informasi
yang mendasarkan pada kerja komputer yang mempunyai kemampuan untuk
menangani data geografis, meliputi kemampuan untuk memasukan, mengolahan,
memanipulasi, dan analisa data serta memberi keluaran. SIG merupakan alat yang
bermanfaat untuk menangani data spasial yang mana di dalam SIG, data
tersimpan dalam format digital. Jumlah data yang besar dapat disimpan dan
16
diambil kembali secara cepat dengan biaya yang rendah dengan memanfaatkan
sistem informasi berbasis kerja komputer. Keunggulan SIG yang lainnya adalah
kemampuan manipulasi dan analisis data spasial dengan mengkaitkan data dan
informasi attribut untuk menyatukan tipe data yang berbeda kedalam suatu
analisis tunggal.
Penerapan teknologi SIG yang berbasis kerja komputer di dalam
pemprosesan data dan penyajian keluaran dikatakan oleh Dulbahri (1993 dalam
Khakim,
2001)
mencirikan
adanya
dinamisasi
proses
masukan,
klasifikasi,analisis, dan keluaran hasil yang memungkinkan sistem informasi ini
dapat menerima dan memproses data dalam jumlah besar dan waktu relatif
singkat.Perencanaan suatu tindakan maupun pengambilan keputusan memerlukan
analisis data yang mempunyai rujukan spasial atau geografis Dulbahri (1993
dalam Khakim, 2001). Dikemukakan bahwa pengambilan keputusan memerlukan
pengetahuan yang didukung oleh konsep yang mapan, sehingga informasi yang
berkaitan dengan permasalahan harus dipilih dari sejumlah besar data untuk
mengetahui keadaan permasalahan tersebut melalui pemprosesan dan analisis
data.
Menurut Arnoff (1989) dalam Khakim (2001), SIG terdiri dari beberapa
komponen yang dapat digunakan untuk menangani data spasial, yaitu komponen
masukan data, pengolahan data, manipulasi dan analisis data serta keluaran
data.Uraian selanjutnya mengenai komponen-komponen SIG mengacu pada(Weir
et al, 1988 dalam Khakim, 2001)
1. Komponen Masukan Data
Komponen masukan data merupakan sumber data yang dapat digunakan
dalam SIG. Sumber data ini antara lain berupa peta-peta, foto udara, citra
satelit, data lapangan maupun tabel-tabel atribut yang berkaitan.
Komponen ini harus dapat menjamin kosistensi kualitas data dalam proses
pemasukan dan penerimaan data agar hasilnya benar dan dapat
dimanfaatkan.
17
2. Komponen Pengolahan Data
Komponen pengolahan data SIG meliputi fungsi-fungsi yang dibutuhkan
untuk menyimpan atau menimbun dan memanggil kembali data dari arsip
data dasar. Efisiensi fungsi ini harus diutamakan sehingga perlu dipilih
sesuai dengan struktur data yang digunakan. Perbaikan data dasar untuk
mengurangi, menambah, ataupun memperbaharui data dapat dilakukan
pada komponen ini.
3. Komponen Manipulasi dan Analisis Data
Fungsi-fungsi manipulasi dan analisis data membedakan informasi yang
dapat dihasilkan oleh SIG. Ko mponen ini dapat digunakan untuk
mengubah format data dan memperoleh parameter.
4. Komponen Keluaran Data
Komponen ini berfungsi untuk menanyakan informasi dan hasil analisis
data spasial secara kualitatif maupun kuantitatif yang berupa peta-peta
ataupun arsip elektronik, yaitu tabel-tabel, data statistik, data dasar
lainnya. Keluaran data dapat digunakan sebagai dasar untuk identifikasi
informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan dan perencanaan.
Sistem
Komputer
Hardwaredan softwareuntuk
pemasukan, penyimpanan,pengolahan,
analisis,tampilan data, dsb.
Data
Geospatial
Pengguna
Peta,foto udara, citra satelit,
data statistik, dl.
Desain standar, pemutakhiran/updating,
analisis danpenerapan
Gambar 1.3. Komponen Kunci dalam SIG
18
1.5.6.1. Kemampuan SIG
Kemampuan Sistem Informasi Geografi dapat dinyatakan dengan fungsifungsi analisis spasial dan atribut yang dilakukan, jawaban-jawaban atau solusi
yang dapat diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
1. Pertanyaan Konseptual
Kemampuan SIG dapat dilihat dari kemampuannya dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan (yang bersifat) konseptual sebagaiberikut:
• What is at ...?
• Where is it?
• What has changed since …?
• What spatial patterns exit …?
• What if …?
2. Pertanyaan Tambahan
Selain dalam menjawab pertanyaan konseptual, kemampuan SIG
dapat dilihat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tambahan sebagai
berikut :
• Pertanyaan mengenai representasi
• Pertanyaan mengenai relasi antara representasi dengan penggunanya
• Pertanyaan mengenai model dan struktur data
• Pertanyaan mengenai tampilan data geografis
• Pertanyaan mengenai analitical tools
3. Dari Definisi
Secara eksplisit, kemampuan SIG dapat dilihat dari pengertian atau
definisinya. Berikut ini adalah kemampuan-kemampuan SIG yang diambil
dari beberapa definisinya.
• Memasukkan dan mengumpulkan data geografi (spasial dan atribut).
• Mengintegrasikan data geografi.
• Memeriksa dan meng-update data geografi.
• Menyimpan dan memanggil kembali data tentang geografi.
• Merepresentasikan atau menampilkan data geografi.
19
• Mengelola data geografi.
• Memanipulasi data geografi.
• Menganalisa data geografi.
• Menghasilkan output informasi
4. Fungsi Analisis
Kemampuan SIG juga dapat dikenali dari fungsi-fungsi analisis
yang dapat dilakukannya. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis
yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut.
Fungsi analisis spasial meliputi klasifikasi, network, overlay,
buffering, 3D analysis, digital image processing dan sebagainya.
Sedangkan fungsi atribut terdiri operasi dasar basisdata dan perluasan
operasi basisdata, seperti membaca dan menulis basisdata dalam sistem
basisdata lain, dapat berkomunikasi dengan basisdata lain dengan
menggunakan driver ODBC, dapat menggunakan bahasa basisdata
standart SQL dan operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang rutin
digunakan dalam sistem basisdata.
Seperti pada sistem lain yang memiliki karakteristik, SIG juga
memiliki karakter yang mencirikan bahwa komponen tersebut merupakan
bagian penting yang berkaitan dengan SIG. Menurut Sulistyo (1999),
karateristik SIG tersebut adalah :
a. Berisi kumpulan.
b. Data atau informasi yang bereferensi geografis.
c. Terdapat hubungan antara data, baik secara numeris maupun logis
untuk pengolahan data atau analisis.
d. Data yang disimpan harus mempunyai struktur data tertentu.
e. Adanya kemampuan untuk melaksanakan fungsi pengumpulan,
penyimpanan, pengambilan, analisis dan penyajian data.
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis secara terpadu dalam
pengolahan citra digital adalah untuk memperbaiki hasil klasifikasi. Dengan
demikian, peranan teknologi Sistem Informasi Geografis dapat diterapkan pada
operasionalisasi penginderaan jauh satelit. Mengingat sumber data sebagian
20
besar berasal dari data penginderaan jauh baik satelit maupun terestrial
terdigitasi, maka teknologi Sistem Informasi geografis erat kaitannya dengan
teknologi penginderaan jauh. Namun demikian, penginderaan jauh bukan
merupakan satu-satunya ilmu pendukung bagi sistem ini. Sumber data lain
berasal dari hasil survey terestrial atau uji lapangan dan data-data sekunder
lainnya seperti sensus, catatan, dan laporan yang terpercaya. Data spasial dari
penginderaan jauh dan survey terestrial tersimpan dalam basis data yang
memanfaatkan teknologi komputer digital untuk pengelolaan dan pengambilan
keputusan.
Perkembangan perangkat lunak SIG saat ini sudah sangat pesat, saat ini
sudah ada berbagai jenis software antara lain : Arc/info, Arcview, Mapinfo,
Ermapper, Erdas, SpansGIS, MGE, Ilwis, PCI GEOMATICS dan lain-lain,
yang pada umumnya dapat kompatibel satu dengan lainya termasuk dengan
penggunaan basis data yang ada (langsung dapat diaplikasikan atau melalui
proses konversi terlebih dahulu).
1.5.7. Citra Landsat 7 ETM+
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) bahwa satelit Landsat 7 saat ini
sudah mulai didiskusikan dalam program kerjasama NASA (National
Aeronauticsand Space Administration) dengan DOD (Department of Defence)
Amerika Serikat. Desain dan operasi Landsat 7 direncanakan akan membawa dua
sensor, yaitu Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM +) dan High
ResolutionMultispectral Stereo Imager (HRMSI). Desain ETM + titik beratnya
untuk keberlanjutan (continuity) dari program Landsat 4 dan 5. Pola orbitnya juga
dibuat sama dengan Landsat 4, 5 dan 6, yaitu lebar liputan 185 km. Desain sensor
ETM+ seperti ETM pada Landsat 6 ditambah dua sistem model kalibrasi untuk
gangguan radiasi matahari (dual mode solar calibrator system) dengan
penambahan lampu kalibrasi untuk fasilitas koreksi radiometrik. Transmisi data
ke stasiun penerima di bumi dapat dilakukan dalam tiga cara, yaitu :
1. Dikirim menggunakan gelombang radio secara langsung ke stasiun
penerima di bumi.
21
2. Melalui
relay
satelit
komunikasi
TDRSS
(Tracking
and
Data
RelaySatellites System) yang akan merekam kemudian mengirimkan ke
stasiun penerima di bumi, dan
3. Data objek permukaan bumi direkam/disimpan lebih dahulu dalam suatu
panel (storage on board) atau tipe (wideband tipe recorder),baru
kemudian dikirim ke stasiun penerima di bumi.
Satelit Landsat 7 akan dilengkapi dengan fasilitas penerima sistem posisi
lokasi (Global Positioning System / GPS receiver) untuk meningkatkan ketepatan
letak satelit di dalam jalur orbitnya (Purwadhi, 2001)
1.5.7.1. Karakteristik Citra Landsat 7 ETM+
Karakteristik Spasial
Karakteristik spasial ditandai dengan resolusi spasial yang digunakan
sensor untuk mendeteksi objek. Resolusi spasial adalah daya pilah sensor yang
diperlukan untuk bisa membedakan objek-objek yang ada dipermukaan bumi.
Istilah lain yang umum digunakan untuk resolusi spasial adalah medan pandang
sesaat (Intantenous Field of View /IFOV).
Tabel 1.1. Tabel IFOV pada masing-masing saluran.
NO. SALURAN
IFOV
1-5.7
30 m x 30 m
6
60 m
6
15 m
Sumber : Landsat 7 Handbook (www.brsi.msu.edu)
Karakteristik Spektral
Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan
untuk mendeteksi objek-objek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit julat
(range) panjang gelombang yang digunakan maka, semakin tinggi kemampuan
sensor itu dalam membedakan objek. Nama gelombang dan range panjang
gelombang pada masing-masing saluran dapatdilihat pada Tabel 1.2.
22
Karakteristik Temporal
Landsat 7 merupakan satelit dengan orbit yang selaras matahari (sun
synchronous), dan melintas di ekuator pada waktu lokal pukul 10:00 pagi. Landsat
TM memiliki kemampuan meliput scenes yang sama (revisitoppotunity) setiap 16
hari.
Tabel 1.2. Nama gelombang dan range panjang gelombang pada masingmasing saluran:
NO.
SALURAN
NAMA GELOMBANG
RANGE PANJANG
GELOMBANG (UM)
1
Biru
0.45-0.52
2
Hijau
0.53-0.61
3
Merah
0.63-0.69
4
Inframerah Dekat
0.78-0.90
5
Inframerah Gelombang Pendek
1.55-1.75
6
Inframerah Tengah
10.4-12.5
7
Inframerah Gelombang Pendek
2.09-2.35
8
Pankromatik
0.52-0.9
Sumber : Landsat 7 Handbook (www.brsi.msu.edu)
Interaksi gelombang elektromagnetik dengan obyek
Sistem pada Landsat 7 dirancang untuk mengumpulkan energi pantulan
yang dilakukan oleh saluran 1-5, 7,8 (7 saluran) dan energi pancaran yang
dilakukan oleh saluran 6 (1 saluran). Sensor Landsat akan mengkonversi energi
pantulan matahari yang diterimanya menjadi satuan radiansi. Radiansi adalah flux
energi per satu satuan sudut ruang yang meninggalkan satu satuan area
permukaan, pada arah tertentu. Radiansi ini terkait erat dengan kecerahan pada
arah tertentu terhadap sensor. Radiansi adalah sesuatu yang diukur oleh sensor
dan agak terkait dengan pantulan. Nilai radiansi kemudian dikuantifikasi menjadi
nilai kecerahan (brighnessvalue) citra yang tersimpan dalam format digital.
23
Ketika energi matahari mengenai obyek maka terdapat 5 kemungkinan
interaksi yang terjadi yaitu:
Tabel 1.3. Tabel Interaksi gelombang elektromagnetik dengan obyek
Interaksi
Transmisi
Absorpsi
Keterangan
Energi tersebut akan ditransmisikan (diteruskan) oleh objek
tersebut.
Energi akan diserap oleh objek tersebut.
Energi akan dipantulkan sempurna dengan sudut datang energi
Refleksi
tersebut sama dengan sudut pantulnya oleh objek. Panjang
gelombang yang dipantulkan oleh objek (bukan yang diserap), akan
mengindikasikan warna dari objek tersebut.
Energi akan dihamburkan secara acak ke segala arah oleh objek
Hamburan
tersebut. Hamburan Rayleigh dan Hamburan Mie merupakan tipe
hamburan yang paling sering terjadi di atmosfir.
Emisi
Energi yang telah diserap, akan dipancarkan lagi, biasanya pada
panjang gelombang yan lebih panjang.
Sumber : Landsat 7 Handbook (www.brsi.msu.edu)
Karakteristik Produk
Produk keluaran satelit Landsat 7 dibagi menjadi 3 level produk yaitu:
Tabel 1.4. Tabel Karakteristik level Landsat 7 ETM +
LEVEL
OR
KARAKTERISTIK
Level ini dapat dikatakan sebagai data mentahnya Landsat 7, dimana
dalam data Landsat belum mengalami koreksi radiometrik dan
geometrik.
IR
IG
Produk pada level ini adalah level O-R yang telah mengalami koreksi
radiometrik.
Produk pada level ini adalah level I-R yang telah mengalami koreksi
geometrik pada proyeksi tertentu. Terdapat 7 pilihan proyeksi yang
bisa digunakan yaitu:
24
Lanjutan Tabel 1.4. Tabel Karakteristik level Landsat 7 ETM +
LEVEL
KARAKTERISTIK
1. Universal Transverse Mercator
2. Lambert Conformal Conic
3. Polyconic
4. Transverse Mercator
5. Polar Stereografik
6. Hotine Oblique Mercator A.
7. Space Obilque Mercator
Sumber : Landsat 7 Handbook (www.brsi.msu.edu)
1.5.8. Software ArcGIS 9.3
Perkembangan teknologi pada saat ini begitu pesat, hal ini juga terjadi
pada perkembangan perangkat lunak yang digunakan dalam SIG dan pengolahan
citra penginderaan jauh. Tidak hanya kemampuan perangkat lunak yang
bertambah canggih tetapi juga jumlah perangkat lunak tersebut makin bertambah.
Walaupun secara umum software-software tersebut memiliki banyak kesamaan
tetapi masing-masing software tersebut memiliki karakteristik/spesifikasi yang
berbeda satu dengan yang lain. Dengan mengetahui karakteristik/spesifikasi
software SIG atau pengolah citra digital penginderaan jauh diharapkan mahasiswa
dapat memanfaatkan berbagai macam software SIG dan pengolah citra
penginderaan jauh sehingga menghasilkan hasil yang lebih optimal. Pada awal
perkembangan software SIG mempunyai kecenderungan hanya menggunakan
struktur data vektor dalam mempresentasikan model data, sedangkan software
pengolah
citra
terutama
menggunakan
struktur
data
raster.
Dalam
perkembangannya sekarang ini, software-software modern menggunakan kedua
struktur data tersebut dalam menyajikan data bahkan dalam manipulasi dan
analisis data. Hal ini disebabkan karena pada software-software tersebut memiliki
struktur data yang dapat disimpan dan dianalisis, menyediakan fasilitas proses
data yang lebih efisien, dan memiliki algoritma efektif untuk konversi data
diantara struktur data tersebut.
25
ArcGIS merupakan suatu software yang diciptakan oleh ESRI yang
digunakan dalam Sistem Informasi Geografi. ArcGIS merupakan Software
pengolah data spasial yang mampu mendukung berbagai format data gabungan
dari tiga software yaitu ArcInfo, ArcView dan ArcEdit yang mempunyai
kemampuan komplet dalam geoprocessing, modelling dan scripting serta mudah
diaplikasikan dalam berbagai type data. Dekstop ArcGis terdiri dari 4 modul yaitu
Arc Map, Arc Catalog, Arc Globe, dan Arc Toolbox dan model boolder.
•
ArcMap mempunyai fungsi untuk menampilkan peta untuk proses, analisis
peta, proses editing peta, dan juga dapat digunakan untuk mendesain
secara kartografis.
•
ArcCatalog digunakan untuk management data atau mengatur managemen
file-file, jika dalam Windows fungsinya sama dengan explore.
•
ArcGlobe dapat digunakan untuk data yang terkait dengan data yang
universal, untuk tampilan 3D, dan juga dapat digunkan untuk
menampilkan geogle earth.
•
Model Boolder digunakan untuk membuat model boolder / diagram alur.
•
ArcToolbox digunakan untuk menampilkan tools-tools tambahan.
Modul spatial adjusment merupakan suatu modul tambahan yang
digunakan untuk menggabungkan peta-peta yang memiliki cakupan wilayah yang
sama tetapi hasil digitasinya beda. Dalam spasial adjusment terdapat tiga modul
yang digunakan yaitu transformasi koordinat, rubber sheting, dan edge match.
Transformasi koordinat merupakan suatu cara untuk merubah/memindahkan suatu
koordinat peta dari asal koordinat ke koordinat tujuan. Rubber sheeting digunakan
untuk mengoreksi kesalahan koordinat dengan geometrik adjustment. Sama
seperti transformasi koordinat, displacement link yang digunakan dalam
rubbersheeting ini digunakan untuk menggambarkan feature yang dipindah. Edge
match merupakan suatu proses untuk mengatur feature sepanjang edge dari suatu
layer ke feature dari feature addjoint. Layer yang kurang akurat di adjust, dan
layer lainnya sebagai kontrol.
26
Vektorisasi Data
Vektorisasi adalah proses konversi data raster menjadi data vektor yang
lebih umum disebut dengan istilah digitalisasi sedangkan aktivitasnya disebut
sebagai tahap digitasi. Wujud digitalisasi ini diklasifikasikan secara spesifik
dalam tema-tema tertentu yang direpresentasikan dalam bentuk berbagai feature
yaitu : titik, garis dan poligon. Pada akhirnya, proses vektorisasi ini akan
menghasilkan suatu wujud peta yang menggambarkan keadaan permukaan bumi
atau bentang alam. (www.google.com)
Overlay
Analisis spasial yang sering diperbincangkan dalam SIG ialah overlay.
Overlay kadang diistilahkan sebagai tumpang susun dan juga beberapa tulisan
menyebutkannya sebagai komposit data. Overlay merupakan proses yang
digunakan untuk menyatukan/menggabungkan informasi dari beberapa data
spasial, baik data grafis/geometri maupun data atributnya dan selanjutnya untuk
menghasilkan informasi baru (Ani Haryati, 2011).
ArcGis overlay memiliki beberapa metode, yaitu erase, identity, intersect,
symetrical difference, union dan update. Dari beberapa metode tersebut dapat
dijelaskan sebagaqi berikut :
Gambar 1.4. Berbagai macam operasi Overlay dalam ArcGis
27
1.5.9. Peta dan Pemetaan Menggunakan SIG
Peta adalah suatu bentuk representasi/gambaran unsur-unsur atau
kenampakan abstrak, atau yang ada kaitannya dengan permukaan bumi atau benda
angkasa, dan umumnya digambarkan (ICA, 1973 dalam Khakim, 2001). Peta
merupakan penyajian grafis dari bentuk ruang dan hubungan keruangan antara
berbagai perwujudan yang diwakili, dalam ilmu geodesi, peta merupakan
gambaran dari permukaan bumi dalam skala tertentu dan digambarkan diatas
bidang datar melalui sistem proyeksi.
Data keruangan yang berupa keterangan yang dimuat dalam bentuk titik,
garis atau bidang pada umumnya diikat dan ditentukan oleh letak secara sistem
koordinat dan dalam beberapa jenis peta ditambah dengan berupa informasi fisik
dan non fisik (informasi sosial, ekonomi, kependudukan dan sebagainya). Data
dan informasi yang digambarkan dalam peta merupakan data yang penting tetapi
keterbatasan peta menyebabkan perolehan kembali data dari peta sangat terbatas
untuk itu diperlukan kemampuan dalam membaca dan analisis peta.
Penggunaan SIG untuk pemetaan sangat baik, karena SIG mampu
menangani masalah basis data spasial (peta digital) maupun basis non spasial.
Sistem ini merealisasikan lokasi geografis (data spasial) dengan informasiinformasi deskripsinya (non spasial) sehingga para penggunanya dapat membuat
peta (analog dan digital) dan menganalisis informasinya dengan berbagai cara.
Pada masa lalu peta-peta bersifat statistik dan hanya dibuat oleh seorang
kartogafer yang mahir, tetapi dengan SIG setiap orang dapat membuat peta dan
kemudian merubah atau memodifikasinya dengan cepat kapan saja. Selain itu
pengguna SIG juga dapat mengulang proses pembuatan peta dengan akurasi tinggi
kapan saja (Prahasta,2005).
1.5.10. Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang dilakukan oleh Noviansyah (2003) bertujuan untuk
mengetahui tipe-tipe longsor, tingkat kerentanan longsor, faktor dominan yang
memicu longsor, dan pengaruh curah hujan terhadap frekuensi kejadian longsor di
28
daerah Nglipar, Kulonprogo. Metode yang digunakan adalah metode survey
dengan interpretasi geomorfologi dan proses geomorfologi melalui foto udara.
Penentuan keterkaitan antara 1 variabel dengan variabel yang lain
menggunakan statistik tabel silang (crosstab) dan regresi linier sederhana. Faktor
pemicu dominan diketahui dengan nilai korelasi terbesar antara faktor pemicu
(variabel medan) dengan klas kerentanan longsor, analisis regresi digunakan
untuk mengetahui pengaruh variabel curah hujan terhadap frekuensi kejadian
longsor selama 20 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa tipe longsor yang
dijumpai didaerah penelitian adalah nendatan, jatuhan batuan, gelinciran batuan,
dan rayapan tanah. Terdapat zona tingkat kerentanan longsor di daerah penelitian,
yaitu : sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Faktor pemicu
dominan alami terhadap longsor adalah struktur perlapisan batuan, sedangkan
faktor pemicu non alami adalah pemotongan lereng dan kejadian longsor dipicu
oleh penyimpangan komulatif dari intensitas hujan.
Sutikno, dkk. (2002), melakukan penyusunan sistem informasi untuk
penanggulangan bencana alam tanah longsor dengan tujuan : 1). pemetaan detail
rawan tanah longsor dan penentuan risiko yang mungkin terjadi dengan
menggunakan SIG serta identifikasi karakteristik longsoran, 2). Penyusunan
kinerja manajemen penanggulangan bencana, 3). sosialisasi informasi bahaya
longsoran dan upaya mitigasi kepada masyarakat dan aparat pemerintah. Tingkat
kerawanan longsor ditentukan dengan pengharkatan dan pembobotan pada setiap
variabel medan yaitu tekstur dan kedalaman solum tanah, tingkat pelapukan
batuan, struktur perlapisan batuan, kemiringan lereng, drainase, stabilitas lereng,
penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi. Ada 3 klas tingkat kerawanan longsor
yaitu klas I (rendah), II (sedang), dan III (tinggi). Hasil penelitian menunjukan
bahwa di daerah Kulonprogo terdapat 4 jenis longsoran yaitu tipe longsoran/slide,
jatuhan batu/rock fall, nendatan/slump, dan rayapan/creep. Kecamatan yang
memiliki luas area kerawanan yang paling tinggi adalah Samigaluh, Girimulyo,
Kokap, dan Kalibawang.
Prasetya melakukan penelitian pada tahun 1997 dengan mengkaji manfaat
foto udara skala 1 : 50.000 untuk interpretasi karakteristik medan berkaitan
29
dengan estimasi tingkat kerentanan gerakan massa batuan/tanah pada daerah
penelitian. Pengolahan data dan analisisnya dilakukan dengan Sistem Informasi
Geografi. Analisis dilakukan berdasarkan faktor medan, yaitu kemiringan lereng,
bentuk lahan, kedalaman material lepas pelapukan, penggunaan lahan dan satuan
batuan. Tingkat kerentanan gerakan massa diperoleh dari penjumlahan harkat
semua parameter. Dari hasil penelitian unit medan yang berpotensi mengalami
gerakan massa tersusun atas faktor kemiringan lereng yang terjal, kedalaman
material lapukan dalam hingga sangat dalam, penggunaan lahan dengan pengaruh
terhadap beban massa diatas lereng yang besar dan memiliki jenis batuan dengan
bidang perlapisan miring, kandungan material halus (lempung) besar serta
memiliki bahan batuan yang telah berumur tua dan tingkat pelapukan lanjut.
Penelitian yang dilakukan oleh Dibyosaputro (1992) yaitu penelitian
longsor lahan yang dilakukan dengan pendekatan geomofologi didaerah Kokap,
Kabupaten Kulonprogo, Propinsi DIY dengan menggunakan foto udara sebagai
alat bantu untuk pemetaan geomorfologi, satuan medan, tipe proses longsor lahan,
dan tingkat bahaya longsor lahan. Tujuan penelitian adalah untuk memetakan tipe
longsor lahan dan tingkat bahaya longsor dengan satuan medan sebagai dasar
evaluasinya. Berbagai karakteristik medan yang digunakan untuk evaluasi tingkat
bahaya longsor lahan adalah lereng teksur tanah, solum tanah, permeabilitas
tanah, batuan, kedalaman pelapukan, topografi, kerapatan didinding terjal dan
torehan, bentuk penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi. Hasil penelitian
menunjukan bahwa saluran-saluran medan pegunungan denudasional berbatu
andesit yang digunakan sebagai tegalan dan kebun campuran pada umumnya
mempunyai tingkat bahaya yang sangat kuat. Perbukitan denudasional pada
umumnya mempunyai tingkat bahaya kuat pada tegalan, dan tingkat bahaya
sedang bagi lahan-lahan perkampungan, kebun campuran dan hutan sejenis.
Tingkat bahaya ringan hingga sangat ringan dimiliki oleh satuan medan lereng
kaki perbukitan struktural berbatu gamping batuan alluvial.
30
1.5.11. Batasan Istilah
Bencana alam
merupakan salah satu penyebab terjadinya kerugian
dalam kehidupan manusia. (Sayogo, 2007).
Tanah longsor
merupakan proses perpindahan atau pergerakan
massa tanah dengan arah miring atau vertikal dari
kedudukan semula sebagai akibat gaya berat atau
proses perpindahan suatu massa batuan/tanah akibat
gaya gravitasi.
Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau
masyarakat yang mengarah atau menyebabkan
ketidak mampuan dalam menghadapi ancaman
bahaya (Ani Haryati, 2011).
Kerawanan
merupakan ciri-ciri fisik atau karakteristik fisik dari
kondisi suatu wilayah yang rentan terhadap suatu
bencana tertentu. Istilah kerawanan adalah suatu
tehapan
sebelum
terjadinya
bencana.
(Scheinerbauer&Ehrlich,2004 dalam Sare,2009)
Risiko (Risk)
didefinisikan sebagai derajat kehilangan atau nilai
dugaan dari kerugian (kematian, luka-luka, properti)
yang diakibatkan oleh suatu bencana. (ADRC, 2005
dalam Sare, 2009).
Bahaya (Hazard)
adalah suatu ancaman yang berasal dari peristiwa
alam yang bersifat ekstrim yang dapat berakibat
buruk atau keadaan yang tidak menyenangkan (Ani
Haryati, 2011).
31
Download