AL-TASAMUH DALAM AL-QURAN: SATU KAJIAN TAFSIR TEMATIK

advertisement
PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017
Proceedings of the International Conference on Islam, Development and Social Harmony in Southeast Asia 2017
Editors: Mohd Nasran Mohamad, Muhamad Razak Idris, Farid Mat Zain, Cheloh Khaegphong,
Anis Pattanaprichawong & Nik Abdul Rahim Nik Abdul Ghani
© Faculty of Islamic Studies, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor Malaysia
Academy of Islamic and Arabic Studies, Princess of Naradhiwas University, Thailand
ISBN 978-983-9368-79-6 (2017), http://www.icdis2017.com
AL-TASAMUH DALAM AL-QURAN:
SATU KAJIAN TAFSIR TEMATIK
Mazlan Ibrahim
Abstrak: Al-Tasamuh atau toleransi antara kaum atau agama adalah sesuatu yang sering diperdebatkan
antara golongan sederhana yang menyeru kepada sikap toleransi antara agama atau kaum dengan golongan
yang agak esktrimis yang menentang segala bentuk toleransi apatah lagi apabila ianyanya melibatkan sesuatu
yang menyentuh persoalan agama atau akidah walaupun tidak seteruk itu apabila ianya menyentuh persoalan
kaum. Bagi mencari penyelesaian terhadap isu ini satu bentuk kajian tematik akan dilakukan dengan melihat
kepada ayat-ayat al-Quran bagi mengenal pasti apakah maksud atau pengertian al- tasamuh dengan mengkaji
lafaz-lafaz yang seerti dengannya seperti al-safhu, al-afwu, al-Rahmah dan al-Maghfirah yang terdapat di
dalam al-Quran. Kajian dijalankan menggunakan metode kualitatif menggunakan pendekatan analisis
dokumen dengan menjadikan ayat-ayat al-Quran, tafsiran dan al-ma’ajim sebagai sumber utama dan
pandangan-pandangan ulama dan buku-buku berkaitan sebagai sumber sekunder. Diharap dapatan kajian
mampu menyelesaikan persoalan yang sering diperdebatkan antara sesama muslim maupun juga antara kaum
dan agama lain tentang konsep al-tasamuh atau toleransi yang terdapat di dalam al-Quran dan adakah ianya
mempunyai syarat-syarat yang tertenti atau sebaliknya.
PENGENALAN
Islam adalah agama yang mudah dan penuh tasamuh. Allah mengutus Muhammad SAW dengan
membawa agama yang lurus dan mudah. Hukum-hukum Islam dibangun di atas kemudahan dan
tidak menyusahkan, Maka dari itu sangat perlu usaha manusia untuk mewujudkan hubungan yang
harmonis antara umat manusia. Salah satu caranya ialah dengan mengembangkan sikap tasamuh
antara manusia. Tasamuh adalah amalan yang paling ringan dan paling utama. Termasuk maksud
tasamuh dalam Islam adalah bahwa Islam merupakan agama Allah untuk seluruh umat manusia.
Tasamuh Islam menolak sikap fanatik dan perbezaan rupa paras dan bangsa. Islam telah
menyucikan diri dari ikatan dan belenggu jahiliyyah yang menggagungkan bangsa atau kabilah.
Dalam tulisan yang sangat sederhana ini, penulis berusaha menjelaskan secara tematik konsep
Islam tentang tasamuh yang terdapat di dalam al-Quran melalui tiga lafaz yang sering digunakan
oleh al-Quran bagi menggambarlan konsep tasamuh di dalam al-Quran iaitu lafaz al-al-safhu, alafwu , al-Rahmah dan al-maghfirah.
Tasamuh dalam al-Quran
Al-Qur’an tidak pernah menyebut lafaz al-tasamuh (toleransi) secara tersurat hingga tidak akan
pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun lafaz-lafaz yang seerti dengannya
seperti lafaz al-safhu dan al-afwu yang banyak dijelaskan di dalamnya yang menuntut agar umat
Islam tidak terlalu redikal sifatnya dan juga hendaklah sentiasa memaafkan kesalahan dan juga
kesilapan sekira ianya terjadi diantara sesama manusia.
secara tersirat al-Qur’an menjelaskan konsep al-tasamuh atau toleransi dengan segala batasanbatasannya secara jelas dan terang. Karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep tasamuh
dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan. Firman Allah dalam alQuran, surah Al-Hujurat ayat 13:
“Wahai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
442
PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017
paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktikal namun begitu dalam
hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi.
Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama
lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam
melarang penganutnya mencela Tuhan dalam agama manapun sebagaimana yang dijelaskan oleh
Allah SWT dalam Surah al-An’am, ayat 108.
Lafaz al-Safhu dalam al-Quran
Apabila kita merujuk kepada lafaz al-Safhu di dalam al-Quran kita dapati bahawa terdapat kurang
lebih 6 ayat yang mengandungi kalimah al-Safhu di dalamnya iaitu pada ayat 109 surah alBaqarah, ayat 13 surah al-Maidah, ayat 85 surah al-Hijr, ayat 22 surah al-Nur, ayat 89 surah alZukhruf dan ayat 14 surah al-Taghabun.
Al-Safhu bermaksud berlapang dada. Kata al-shafhu berarti ‘irdhu as-syai’, yaitu permukaan
atau dataran sesuatu yang menggambarkan kelapangan. Seperti safhatul wajhi atau safhatul al-saif
dan safhatul hajr. (Rahgib 1992:486) Dari kata ini terbentuk kata mushafahah yang berarti
bersalam-salaman, dan kata shafahat yang berarti lembaran-lembaran. Jadi, dengan as-shafhu, kita
disuruh bersikap lapang dada untuk menutup lembaran-lembaran lama dan membuka serta mengisi
lembaran yang baru.
Menurut pakar tafsir Al-Ashfahani, as-shafhu lebih tinggi nilainya dibanding al-afwu. Itu
karena, pada al-afwu, boleh jadi ada sesuatu yang sulit dihapus dan dibersihkan, atau karena
lembaran yang terkena noda. Meskipun sudah dibersihkan, ia tidak akan sebagus lembaran yang
baru sama sekali.
Apabila kita merujuk kepada tafsiran ayat 109 surah al-Baqarah Ibn Kathir menjelaskan
bahawa Allah Ta’ala mengingatkan hamba-Nya yang beriman, agar tidak menempuh jalan orang
kafir dari ahlil kitab. Dia juga memberitahukan mereka tentang permusuhan orang-orang kafir
terhadap mereka, baik secara batiniyah maupun lahiriyah. Dan berbagai kedengkian yang
menyelimuti mereka terhadap orang mukmin karena mereka mengetahui kelebihan yang dimiliki
orang-orang mukmin dan Nabi mereka. selain itu Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang
beriman untuk berlapang dada dan memberi maaf sampai tiba saatnya Allah memberikan
pertolongan dan kemenangan. Juga menyuruh mereka mengerjakan shalat dan menunaikan zakat.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishak dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, Huyay bin
Akhtab dan Abu Yasir bin Akhtab merupakan orang Yahudi yang paling dengki terhadap
masyarakat Arab, karena Allah telah mengistimewakan mereka dengan mengutus Rasul-Nya, Nabi
Muhammad saw. Selain itu keduanya gigih menghalangi manusia untuk memeluk agama Islam.
Berkaitan dengan kedua orang tersebut maka diturunlah ayat tersebut (Ibn Kathir 1990, 1:101)
Mengenai firman-Nya: ‫عفُوا وَاصْفَحُوا حَتهى‬
ْ ‫شيْءٍ قَدِيرٌ فَا‬
َ ِّ‫“( َيأْ ِتيَ اَّللهُ ِبَأمْرِهِ ۗ إِنه اَّللهَ عَلَى كُل‬Maka maafkanlah
dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.”) Ali bin Abi Thalhah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat-ayat 5
surah al-Tawbah yang bermaksud “Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian
jumpai mereka.”) dan juga ayat 29 surah yang sama yang bermaksud; “Perangilah orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir serta tidak mengharamkan apa
yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Dengan demikian pemberian maaf tersebut dinasakh (dihapuskan) bagi orang-orang musyrik.
Hal yang sama dikemukakan oleh Abu Aliyah, ar-Rabi bin Anas, Qatadah, dan as-Suddi, bahwa
ayat tersebut mansukh dengan ayat saif (perintah berperang) (Ibn Kathir 1990,2:85).
Maka arahan untuk memerangi tersebut pertamanya datang kemudian iaitu apabila golongan
kuffar masih memerangi umat Islam maka barulah keizinan untuk membalas tindakan yang mereka
lakukan itu dengan memerangi sama walaupun pada asalnya Allah mengarahkan umat Islam agar
bersabar dan memberi kemaafan kepada tindakan mereka.
443
PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017
Begitu juga apabila dirujuk kepada ayat 13 Surah al-Maidah Allah SWT mengarahkan umat
Islam agar memaafkan tindakan khianat yang dilakukan oleh golongan bani Israil sekiranya mereka
sedia bertaubat daripada tindakan khianat mereka itu terhadap penjanjian setia yang mereka
meterikan. Sebagaimana yang dijelaskan juga oleh Ibn Kathir dalam tafsirannya;
Setelah Allah menyuruh hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menepati janji yang telah
Allah ambil dari mereka melalui lisan hamba-Nya dan Rasul-Nya, Muhammad saw. dan
memerintahkan mereka untuk menegakkan kebenaran, memberi kesaksian dengan adil, serta
mengingatkan mereka atas nikmat lahir maupun batin yang Allah telah berikan kepada mereka,
berupa petunjuk kebenaran yang dianugerahkan kepada mereka, maka Allah mulai menjelaskan
kepada mereka bagaimana Allah mengambil janji dan ikatan dari orang-orang sebelum mereka dari
kalangan ahlul kitab; Yahudi dan Nasrani. Maka mereka mengingkari janji mereka kepada Allah,
Allah pun menyiksa mereka sebagai laknat bagi mereka dari-nya, dan sebagai pengusiran dari pintu
dan rahmat-Nya, sekaligus sebagai hijab bagi hati mereka untuk sampai kepada petunjuk dan
agama yang haq, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. (Ibn Kathir 1990,1:175)
“Dan kamu [Wahai Muhammad] senantiasa akan melihat pengkhianatan mereka, kecuali
sedikit di antara mereka [yang tidak berkhianat].”) yakni pengkhianatan mereka kepadamu dan
shahabat-shahabatmu. Mujahid dan ulama lainnya berkata, “Yang dimaksud dengan hal ini adalah
konspirasi mereka untuk membinasakan Rasulullah saw.” ْ‫صفَح‬
ْ ‫“(فَاعْفُ عَ ْن ُهمْ وَا‬Maka, maafkanlah
mereka dan biarkan mereka.”) yang demikian itu merupakan inti kemenangan dan keberuntungan
itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama salaf: “Selama engkau memperlakukan
orang yang zalim terhadap dirimu sesuai dengan ketentuan Allah dalam urusannya.” Maka, dengan
itu akan tercapailah penyatuan hati mereka dan akan cenderung kepada kebenaran. Oleh karena itu
Allah berfirman: َ‫“(إِنََّ اَّللَه يُحِبَُّ ا ْلمُحْسِنِين‬Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.”) iaitu memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu
Tantowi dalam tafsirnya al-wasit menyatakan bahawa para ulama mempunyai pandangan
yang berbeza berkaitan dengan siapakah yang perlu diberi kemaafan tersebut antaranya ialah;
Pertama; Sebahagianya berpendapat sebahagian kecil daripada golongan Yahudi yang telah
memeluk Islam. Tetapi pandangan ini ditolak kerana apabila mereka telah memeluk Islam maka
telah terpeliharalah darah dan harta mereka dan tidak timbul lagi isu memberikemaafan kepada
mereka.
Kedua: Iaitu semua orang Yahudi akan tetapi ayat ini telah dinasakhkan oleh ayat 29, surah alTawbah. Tetapi pandangan ini lemah kerana nasakh tidak terjadi kecuali apabila tidak mampu
untuk diselaraskan kedua-dua ayat tersebut.
Ketiga: Abu Muslim berpendapat ianya ditujukan kepada orang Yahudi yang kekal dengan
kekufuran mereka tetapi tidak mengingkari perjanjian yang telah mereka lakukan.
Seterusnya Tantowi menyatakan apa yang lebih naik daripada pendapat-pendapat itu ialah
bahawa kemaafan tersebut adalah umum bagi semua Yahudi dan bermuamalah dengan mereka
dengan menggunakan kaedah bagi mereka hak yang sama seperti apa yang kita miliki dan ke atas
mereka tanggungjawab yang sama seperti yang kita tanggung (‫ )لهم ما لنا وعليهم ما علينا‬dan dengan
memberi kemaafam ke atas kesalahan-kesalahan mereka yang tidak memberi kesan kepada
kewujudan dan survival dakwh islamiyyah (Tantowi 1984:1;75)
Begitu juga apabila kita melihat lafaz al-Safhu yang terdapat dalam surah al-Hijr ayat 85 yang
bermaksud;
“Dan (Ingatlah) tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
melainkan dengan cara yang sungguh layak dan berhikmah. Dan sesungguhnya hari kiamat itu
pasti akan datang; oleh itu biarkanlah (golongan kafir yang mendustamu itu wahai Muhammad)
serta layanlah mereka dengan cara yang elok.
HAMKA ketika mana mentafsirkan ayat ini menyatakan; “Inilah peringatan Tuhan kepada
rasulNya. Memberi maaf dan berlapang dadalah, jangan lekas marah melihat keras kepala mereka.
Mereka bersikap demikian ialah kerana tidak ingat bahawa segala sesuatu menunggu saat. Mereka
pasti kalah. Penderian mereka pasti dating saatnya tidak dapat dipertahankan lagi. Betapapun
mereka berkeras mulut, namun hujung perjalanan mereka sudah terang. (HAMKA 5:3877).
444
PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017
Lafaz al-Afwu dalam al-Quran
Secara bahasa Ar-Raghib menyebutkan: Al-‘Afwu (maaf) artinya keinginan mendapatkan sesuatu.
(Gharib 1992: 574) Jika kata ini dinisbatkan kepada Allah, maka artinya Allah memperhatikan
hamba-Nya lalu mengambil dosanya. Dengan makna ini makna “Al-‘Afwu”, yakni mengambil lalu
menutupi. Dari sini, lahir kata al-afwu, yang berarti “meninggalkan sangsi terhadap yang bersalah
dan memaafkan””.
Apabila kita merujuk di dalam al-Quran kita dapati terdapat kurang lebih 30 perkataan alafwu di dalam al-Quran.
Apabila kita melihat kepada maksud-maksud atau isu-isu yang dibincangkan dalam ayat yang
berkaitan dengan al-afwu kita dapati ianya lebih umum daripada isu-isu yang dibincangkan oleh
perkataan al-Safhu.
Antara isu-isu yang berkaitan dengan al-afwu yang dibincangkan oleh al-Quran kita boleh
bahagikannya kepada beberapa bahagian iaitu;
Pertama; Allah memafkan Kesilapan Nabi Muhammad SAW dan juga dosa-dosa umatnya
iaitu apabila kita merujuk kepada ayat 152,155, Surah Ali Imran, ayat 43,99,153 Surah al-Nisa’,
ayat 95 Surah al-Maidah, ayat 43 Surah al-Tawbah, ayat 25 dan 30 Surah al-Tawbah dan ayat 2
Surah Mujadalah.
Sebagai contoh pada ayat 152 Surah Ali Imran ianya berkaitan dengan para sahabat Nabi
SAW yang kalah pada peperangan Uhud kerana tidak mengikut arahan Nabi Muhammad agar agar
jangan meninggalkan tempatnya masing-masing sebelum ada perintah, tetapi ramai di antara kamu
yang melanggarnya, bahkan kamu berselisih karena menghendaki harta dunia, yakni mengejar
harta rampasan perang, maka terjadilah sebaliknya, musuh kembali menjadi kuat, karena telah
merebut tempat-tempat strategik, akhirnya kamu lemah, sehingga menderita kekalahan disebabkan
perbuatan dan tingkah laku kamu sendiri, sebagai ujian dari Allah terhadap keimanan, kesabaran
dan kedisiplinan kamu. Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan yang maksudnya walaupun itu
semuanya telah terjadi dan kamu telah sadar menyesali kesalahan-kesalahan kamu itu, karena itu
Allah Taala telah mengampuni kamu, karena Allah selalu memberikan karuniaanya kepada orangorang mukmin
Kedua: Allah meminta Nabinya agar memaafkan kesalahan orang kafir dan juga umatumatnya yang melakukan dosa. Ini dapat dilihat pada ayat 159 Surah Ali Imran, ayat 149 Surah alNisa’, ayat 13 dan 15 Surah al-Maidah juga ayat 60 Surah al-Hajj.
Sebagai contoh dalam ayat Surah al-Maidah ayat 13 Allah Taala menyatakan kerana orang
kafir telah melanggar janji mereka, Kami laknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras
membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja)
melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad)
senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak
berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berbuat baik.
Ketiga: Allah Meminta agar umat manusia memaafkan sesama sendiri kesilapan yang
dilakukan antara mereka dan juga antara suami isteri dan anak-pinak sebagaimana ianya boleh
dilihat pada ayat 237 Surah Baqarah, ayat 22 Surah an-Nur, ayat 40 Surah Syura dan ayat 2 Surah
al-Taqhabun.
Sebagai contoh ayat 22 surah al-Nur yang bermaksud; Dan janganlah orang-orang yang
mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di
jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka
bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini diturunkan ketika Abu Bakr al-Shiddîq bersumpah untuk tidak memberikan bantuan
kepada kerabatnya yang bernama Masthah ibn Utsâtsah, karena ia terlibat dalam kasus tuduhan
bohong (hadîts al-ifk) terhadap 'A'isyah r. a. (Quraish Shihab 2009, 7:225)
Kemudian Abu Bakr al-Shiddîq pun memberikan kembali nafkah yang dahulu pernah ia
berikan kepada Misthah. Ia berkata, “Demi Allah! Aku tidak akan menghentikan nafkah ini
selama-lamanya.” Ucapan ini sebagai pengganti dari ucapannya terdahulu, “Demi Allah! Aku tidak
akan memberikan sesuatu yang berguna selama-lamanya kepada Misthah.” Itulah Abu Bakar Ash445
PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017
Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, pribadi yang benar dan lurus. Semoga Allah meridhainya dan meridhai
puterinya.
Ayat ini sangat lembut menekankan anjuran untuk menyambung tali persaudaraan. Oleh
karena itu, Allah berfirman pada penggalan ayat berikutnya, ٓ‫“وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُو‬Dan hendaklah mereka
memaafkan dan berlapang dada,” atas tuduhan buruk dan menyakitkan yang pernah mereka
lakukan. Ini merupakan bukti kemurahan, kemuliaan dan kasih sayang Allah Taala terhadap
makhluk-Nya, meskipun mereka telah menzalimi diri mereka sendiri.
Al-Sonhadji ketika mana mentafsirkan ayat 89 Surah al-Zukhruf menyatakan bahawa Allah
mengarahkan Nabi Muhammad agar berpaling daripada orang kafir yang degil yang tidak percaya
kepada perutusannya dan juga tidak percaya kepada al-Quran dan maafkanlah, yakni jangan
engkau membalas dengan balasan yang serupa buruknya dengan perbuatan mereka dan berkatalah:
Selamat ! Yakni tinggalkanlah! Atau katakanlah kata-kata yang baik-ganti daripada kata-kata yang
memudaratkan mereka. (al-Sonhadji 25:184).
Manakala ayat 14 surah al-Taqhabun yang bermaksud; “Wahai orang-orang yang beriman!
Sesungguhnya ada di antara isteri-isteri kamu dan anak-anak kamu yang menjadi musuh bagi
kamu; oleh itu awaslah serta berjaga-jagalah kamu terhadap mereka dan kalau kamu memaafkan
dan tidak marahkan (mereka) serta mengampunkan kesalahan mereka (maka Allah akan berbuat
demikian kepada kamu), kerana sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihan.
Surah ini diturunkan berkenaan kejadian yang berlaku kepada ‘Auf Ibn Malik al-‘Ashja’i. Beliau
mempunyai seorang isteri dan seorang anak. Ketika ‘Auf hendak pergi berperang di jalan Allah,
isteri dan anaknya menangis dan menahannya supaya tidak pergi sambil mereka berkata, “Kepada
siapa kami akan kamu tinggalkan?” ‘Auf berasa simpati dengan mereka dan tidak jadi pergi. Maka
turunlah ayat 14 dalam surah ini menceritakan peristiwa berkenaan.
Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Imam At-Tirmizi dan Imam al-Hakim daripada
Ibnu Abbas, dia berkata: Ayat ini diturunkan berkenaan satu kaum daripada penduduk Makkah
yang telah memeluk agama Islam, tetapi isteri-isteri dan anak-anak mereka tidak mahu berhijrah ke
Madinah tempat Rasulullah SAW berada. Apabila sampai di Madinah dan melihat masyarakat
yang telah faham Islam, maka timbullah keinginan untuk menghukum isteri-isteri dan anak-anak
mereka tetapi Allah menurunkan ayat yang berbunyi: “dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi mereka serta mengampunkan (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Meskipun dua riwayat di atas berlainan antara satu sama lain, ia memberikan suatu gambaran
latar belakang ayat yang diturunkan. Kedua-duanya menyentuh masalah ayah atau suami yang
berdepan dengan kerenah isteri dan anak yang menghalang dan melambatkannya keluar di jalan
Allah. Kedua-dua riwayat itu juga memperlihatkan si ayah atau suami sebagai orang yang paling
bertanggungjawab dalam rumah tangga memiliki kafa’ah dan keupayaan yang lebih daripada isteri
dan anak-anak sama ada dari sudut ilmu, amal, iltizam, jihad dan lain-lain.
Menurut Ibnu Kathir pengertian musuh di sini adalah “sesuatu yang melalaikan daripada
mengerjakan amal saleh” seperti firman Allah dalam surah al-Munafiqun ayat 9 yang bermaksud:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah harta-harta dan anak-anakmu melalaikan kamu
daripada memperingati Allah. Barangsiapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
rugi.”
Daripada pendapat Ibnu Kathir ini dapatlah diambil pengertian umum bahawa apa sahaja yang
boleh melalaikan kita dari mengingati Allah, beramal saleh dan mentaati perintah Allah adalah
musuh kita. Dalam hal ini musuh kita yang paling utama adalah syaitan kerana ia sentiasa
menyuruh kita untuk mengingkari Allah SWT dan perintah-Nya. Usaha dan pergerakan syaitan
dalam menewaskan diri dan keimanan kita kadangkala dengan membisikkan idea dan pemikiran
yang berlawanan dengan kehendak Allah. Tetapi dalam banyak hal, syaitan menewaskan manusia
melalui berbagai wasilah seperti isteri, anak-anak, harta, kedudukan, pangkat dan lain-lain.
Allah SWT memberikan tuntunan kepada bapa atau suami supaya mengambil sikap
pertengahan dan sederhana antara al-tafrit (cuai) dan al-ifrat (melampau) ketika berdepan dengan
panggilan Alllah SWT dan tarikan keluarga. Mengikuti tarikan keluarga dan mengetepikan seruan
Allah adalah al-tafrit (cuai). Lantaran itu Allah SWT memperingatkan kita dengan kata-kata,
“berhati-hatilah kamu” atau “waspadalah kamu” daripada tarikan dan rayuan keluarga. Manakala
berniat dan berhasrat untuk memukul atau menghukum keluarga pula adalah dikira al-ifrat atau
446
PROCEEDINGS OF THE INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAM, DEVELOPMENT AND SOCIAL HARMONY IN SOUTHEAST ASIA 2017
melampau. Dalam hal ini Allah SWT menyuruh kita memaafkan dan bertasamuh dengan mereka.
Inilah dua sikap yang benar yang patut diambil oleh seorang ayah atau suami dalam menghadapi
kerenah keluarga apabila berha-dapan dengan seruan atau panggilan Allah SWT.
Kesimpulan
Ajaran Islam tentang al-Tasamuh ini bukan hanya merupakan teori belaka, tapi juga terbukti secara
praktikal melalui contoh-contoh yang dikemukakan di atas. Di mana dengan kita merujuk kepada
lafaz al-Safhu dan al-‘Afwu kita dapati bagaimana Akkah SWT mengajar Nabinya dan hambaNya
dengan sifat berlapang dada dan juga saling memaafkan setiap kesalahan yang dilakukan sama ada
oleh umat Islam sendiri mahupun juga daripada umat kafir yang memusuhi Islam dan bersedia
bertaubah dan mengakui kesalan mereka. Jesteru itu kita dalam menghadapi masyarakat yang
berbilang kaum sama ada kita merupakan majoriti atau kita minoriti kita mesti hidup dalam
keadaan aman damai berjiwa besar dan sabar serta mampu berlapang dada dan mudah memberi
kemaafan kepada sesiapa sahaja sama ada ianya dari kalangan kita yang beragama Islam ataupun
jiran-jiran kita atau masyarakat sekeliling kita yang berlainan agama. Jesteru itu tidak timbul apa
yang dikatakan kompromi dalam persoalan akidah kerana ianya sesuatu yang jelas dan nyata di
dalam al-Quran bahawa bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. Tetapi bagi kita sebagai
agama yang terbaik yang diakui diterima oleh Allah SWT mempunyai kewajipan untuk
menyelamatkan manusia daripada kekufuran dan azab api neraka dan Allah SWT menjanjikan bagi
mereka pahala yang besar lagi berlipat kali ganda.
Rujukan
Abdullah Basmeih. 1995. Tafsir Pimpinan al-Rahman: Kuala Lumpur: Percetakan Nastional.
Ahmad Sonhadji Mohamad.1992. Tafsir al-Quran al-Abr al-Athir. Kula Lumpur: Pustaka alMizan.
Departemen Agama RI.1993.al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Surya Cipta Aksara.
Dr. M. Quraish Syihab, 2009. Tafsir al-Mishbah. Jakarta Lentera Hati
Gharib, al-Husein bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam al-Mufradât li Alfâdz al-Quran,
Cet ke-1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997.
HAMKA , Dr Hj Abdulmalik Abdulkarim Amrullah.1999. Tafsir al-Azhar. Singapura: Pustaka
Nasional Pte Ltd Singapura.
Ismail bin Katsir,. 1990 Tafsir al-Quran al-‘Adzim Beirut: Dar al-Jil.
Muhammad Sayyid Tantawi, 1992. Tafsir al-wasit lil-Quran al-karim. Kaherah:Dar al-Maarif
Tirmidzi, Abu Isa Muḥammad ibn Isa .1961.Sunan at-Tirmidzi, Kaherah: al-Halabiy,
Nota Hujung
1
Antara surah-surat yang mengandungi lafaz al-afwu ialah al-Baqarah, ayat 52,109,178 187,219, 237
dan 286. Ali Imran 152,155 dan 159. Al-Nisa 43, 99,149 dan 153. Al-Maidah 13, 15 dan 95. al‘A’raf 199 Tawbah 4. ,al-Haj 60. al-Nur ayat 22. Syura 25, 30 dan 40. Mujadalah 2, dan Taghabun
ayat 14.
447
Download