Informasi laba dalam laporan keuangan pada umumnya penting

advertisement
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
DAMPAK PENERAPAN “SAK ETAP”:
STUDI KASUS PADA GROUP BANK PERKREDITAN RAKYAT
Bayu Nurcahyo Andini
[email protected]
Akhmad Riduwan
Andayani
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
ABSTRACT
The purpose of this research is to explain the impact of implementing of Financial Accounting Standards for
Entities without Public Accountability (SAK ETAP) at Rural Bank (BPR) and to understand the opinion of the
financial statement’s prepare and external auditor on the implementation of SAK ETAP at BPR so it can be
concluded whether SAK ETAP is the correct accounting standard for BPR. This research is a qualitative
research with case study approach at a group of BPR which consist of four BPR, which their shares are owned by
one family. The data is collected through interviews, observations and documentations. Interviews are done with
the directors, head of operational, accounting departments, and external auditors. The result of research shows
that the implementation of SAK ETAP at BPR has an impact to the provision revenue, the deferred cost, the
income tax and the preparation and the presentation of BPR financial report. However, this impact has no
influence overall on BPR financial report. The implementation of SAK ETAP at BPR creates less
implementation cost than the benefit which is gained by BPR, and also SAK ETAP is the accounting standard
for BPR characteristics.
Keywords: the impact of implementing, the appropriate financial accounting standards, SAK ETAP, Rural Bank
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan dampak atas penerapan SAK ETAP di Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) dan memahami pendapat dari penyusun laporan keuangan dan auditor
eksternal atas penerapan SAK ETAP di BPR, sehingga dapat diambil kesimpulan apakah SAK ETAP
merupakan standar akuntansi yang tepat untuk BPR. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif
dengan pendekatan studi kasus pada sebuah group BPR yang terdiri dari empat BPR yang sahamnya
dimiliki oleh satu keluarga. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan dokumen.
Wawancara dilakukan dengan direksi, kepala operasional dan bagian akuntansi, serta auditor
eksternal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan SAK ETAP di BPR berdampak pada
pendapatan provisi atas kredit, biaya ditangguhkan, pajak penghasilan, serta penyusunan dan
penyajian laporan keuangan BPR. Namun dampak tersebut tidak berpengaruh secara keseluruhan
atas laporan keuangan BPR. Penerapan SAK ETAP di BPR menimbulkan biaya penerapan yang relatif
lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh BPR, serta SAK ETAP merupakan standar
akuntansi yang sesuai dengan karakteristik BPR.
Kata Kunci : dampak penerapan, SAK yang sesuai, SAK ETAP, Bank Perkreditan Rakyat
PENDAHULUAN
Dampak dari konvergensi SAK Indonesia ke IFRS adalah merevisi PSAK yang telah
ada, yaitu dengan menerbitkan PSAK baru, merubah PSAK yang telah ada, bahkan
mencabutnya agar PSAK compliance terhadap IFRS. Salah satunya adalah pada tanggal 15
Desember 2009, DSAK – IAI mengesahkan PPSAK nomor 4, salah satunya berisi tentang
pencabutan PSAK 31 (revisi 2000): Akuntansi Perbankan, dimana PPSAK tersebut berlaku
efektif pada sejak tanggal 1 Januari 2010, sehingga standar akuntansi yang dipakai untuk
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
2
perbankan sama dengan standar akuntansi umum untuk industri lainnya yaitu seluruh
PSAK yang relevan. Sebelumnya BI, selaku regulator perbankan di Indonesia, telah
menerbitkan surat edaran BI No. 11/4/DPNP pada tanggal 27 Januari 2009, menyatakan
bahwa sejak tanggal 1 Januari 2010 PAPI 2001 diganti dengan PAPI 2008. PAPI 2008
merupakan petunjuk pelaksanaan yang berisi penjabaran lebih lanjut dari beberapa PSAK
yang relevan bagi industri perbankan, terutama PSAK 50 (revisi 2006) tentang Instrumen
Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan dan PSAK 55 (revisi 2006) tentang Instrumen
Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan.
Akan tetapi BI berpendapat bahwa PSAK dan PAPI tersebut tidak sesuai dengan
karakteristik operasional BPR dan penerapannya memerlukan biaya yang besar
dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh maka BPR memerlukan standar akuntansi
keuangan yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut, BI menerbitkan surat edaran BI
No.11/37/DKBU pada tanggal 31 Desember 2009, yang menyatakan bahwa sejak tanggal 1
Januari 2010 standar akuntansi keuangan yang digunakan BPR adalah SAK ETAP dan
pedoman akuntansi atas transaksi keuangan BPR tetap menggunakan pedoman akuntansi
sebagaimana yang digunakan selama ini sepanjang PA-BPR belum diberlakukan. SAK ETAP
adalah standar yang umum dan tidak dapat langsung diterapkan oleh industri BPR,
sehingga diperlukan pedoman yang akan mempermudah penerapan SAK ETAP bagi BPR.
Untuk itu, BI menerbitkan surat edaran BI No.12/14/DKBU pada tanggal 1 Juni 2010, yang
menyatakan bahwa SAK ETAP merupakan standar akuntansi keuangan yang relevan bagi
BPR dan PA-BPR merupakan petunjuk pelaksanaan yang berisi penjabaran lebih lanjut dari
SAK ETAP. PA-BPR disusun oleh tim perumus yang terdiri dari: Perbarindo, IAI dan BI.
Perbarindo, IAI dan BI memandang SAK ETAP dapat menjadi acuan yang tepat bagi
BPR dalam menyusun laporan keuangan karena sesuai dengan kebutuhan BPR dan
pengaruh perubahan perlakuan akuntansinya tidak terlalu banyak dibandingkan
penggunaan standar sebelumnya, sehingga penyesuaian perlakuan akuntansi diharapkan
tidak menyulitkan BPR dalam menyusun laporan keuangannya sesuai dengan SAK ETAP.
Walaupun PA-BPR yang merupakan penjabaran SAK ETAP disusun mengacu pada PAPI
2001 yang merupakan penjabaran PSAK 31, sehingga tidak terdapat perubahan yang
signifikan, tetapi masih terdapat praktek-praktek di lapangan yang belum sesuai dengan
PAPI 2001 (Suryatno, 2010: 13). Suryatno juga menyatakan bahwa terdapat pontensi
permasalah akan muncul atas penerapan SAK ETAP.
Selain itu surat edaran BI No.12/14/DKBU mewajibkan BPR berpedoman pada PABPR yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 2010, sedangkan BPR telah terlanjur menyusun
laporan keuangan periode 1 Januari 2010 sampai dengan 30 Juni 2010 sesuai pedoman yang
lama. Permasalahan akan timbul jika penyusun laporan keungan BPR tidak memahami
secara benar pedoman yang baru, maka akan terjadi kesalahan dalam penyesuaian laporan
keuangan yang telah disusun dengan pedoman lama ke pedoman yang baru, akibatnya
laporan keuangan BPR yang disajikan belum sepenuhnya sesuai dengan SAK ETAP. Pada
saat laporan keuangan tersebut diperiksa oleh BI ataupun pihak auditor eksternal, hasil
pemeriksaan kemungkinan terdapat temuan-temuan atas kesalahan penerapan SAK ETAP.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh karena penyusun laporan keuangan, pengawas bank
maupun auditor eksternal tidak mendapatkan pelatihan yang sama atas penerapan standar
akuntansi baru bagi BPR. Kemungkinan juga akibat perbedaan penafsiran dalam membaca
maupun penerapan SAK ETAP.
Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, memaparkan
dampak atas penerapan SAK ETAP di BPR, sehingga dapat disimpulkan akar yang menjadi
menyebabkan dampak tersebut timbul. Kedua, memahami pendapat dari penyusun laporan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
3
keuangan dan auditor eksternal atas penerapan SAK ETAP di BPR, sehingga dapat diambil
kesimpulan apakah SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang tepat untuk BPR.
TINJAUAN TEORITIS
BPR
Definisi BPR adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan UU
10 tahun 1998 tentang perbankan, fungsi utama BPR adalah sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat, sedangkan tujuan BPR adalah menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi,
dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Berdasarkan peraturan BI nomor 8/26/PBI/2006 tentang BPR pasal 2 dan 3, bentuk
badan hukum suatu BPR dapat berupa : (a) perusahaan daerah; (b) koperasi; atau (c)
perseroan terbatas. BPR hanya dapat didirikan dan melaksanakan kegiatan usaha dengan
izin BI serta BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan
hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah,
atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya. Kegiatan usaha BPR adalah menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk deposito dan tabungan dan menyalurkan kembali ke
masyarakat dengan bentuk kredit dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.
Keuntungan BPR diperoleh dari spread effect dan pendapatan bunga. Selain itu investasi yang
dibolehkan hanya menempatkan dana dalam SBI, deposito berjangka, sertifikat deposito,
dan/atau tabungan pada bank lain. Selain itu ruang lingkup wilayah operasi BPR sangatlah
terbatas, karena BPR hanya dapat membuka kantor kas di wilayah kabupaten atau kota yang
sama dengan kantor induknya dan kantor cabang di wilayah provinsi yang sama dengan
kantor pusatnya.
Berdasarkan Peraturan BI nomor 8/20/PBI/2006, BI mewajibkan BPR untuk membuat
dan menyajikan laporan keuangan, yang terdiri dari (a) Laporan Tahunan yaitu laporan
lengkap mengenai kinerja suatu BPR dalam kurun waktu satu tahun yang berisi laporan
keuangan laporan keuangan akhir tahun BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi
keuangan yang berlaku dan informasi umum; dan (b) Laporan Keuangan Publikasi yaitu
laporan keuangan BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku
dan dipublikasikan setiap triwulan sesuai dengan ketentuan BI.
Laporan tahunan BPR yang disebutkan diatas, wajib disampaikan kepada BI paling
lambat akhir bulan April tahun berikutnya jika laporan keuangannya diaudit oleh akuntan
publik, apabila tidak diaudit oleh akuntan publik maka wajib menyampaikan paling lambat
akhir bulan februari tahun berikutnya. Bagi BPR yang mempunyai total aset
Rp10.000.000.000,00 atau lebih, laporan keuangan tahunan yang disampaikan kepada BI
dalam laporan tahunan wajib diaudit oleh akuntan publik.
Laporan keuangan publikasi BPR wajib dipublikasikan pada publik dengan cara
diumumkan pada surat kabar lokal atau ditempelkan pada papan pengumuman di kantor
BPR yang bersangkutan. Selain itu BI juga akan mempublikasikannya dalam website resmi
BI, sehingga publik dapat mengakses laporan keuangan publikasi BPR.
SAK ETAP
DSAK-IAI menerbitkan SAK ETAP pada tanggal 19 Mei 2009 dan SAK ETAP berlaku
efektif pada atau setelah 1 Januari 2011, dan penerapan dini diperkenakan (IAI, 2009:
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
4
Paragraf 30.1). SAK ETAP sendiri merupakan adopsi dari produk IASB yaitu IFRS for SMEs,
akan tetapi yang diadopsi adalah Exposure Draft (ED) IFRS for SMEs karena pada saat
DSAK-IAI menyusun SAK ETAP, IFRS for SMEs belum terbit. Sebenarnya DSAK-IAI ingin
standar ini digunakan untuk UKM sesuai seminar yang diselengarakan IAI, akan tetapi
istilah UKM menimbulkan masalah teknis akuntansi (Hoesada, 2010: 10). Jan Hoesada juga
menyatakan bahwa akhirnya DSAK-IAI memutuskan untuk menggunakan istilah Entitas
Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP). Istilah ETAP pertama kali dikemukan oleh bapak Jusuf
Wibisana (ketua DSAK-IAI pada saat itu). Jermakowicz dan Epstein (2010: 73) juga
menunjukkan hal yang sama, yaitu “the standard does not impose a size test in defining SMEs,
notwithstanding the nomenclature used”, sedangkan PwC Indonesia (2010: 176) menyatakan
bahwa “the definition of a SME is therefore based on the nature of the entity rather than on its size”.
SAK ETAP dimaksudkan untuk digunakan entitas tanpa akuntabilitas publik. Definisi
entitas tanpa akuntabilitas publik adalah entitas yang: (a) tidak memiliki akuntabilitas
publik signifikan; dan (b) menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum (general
purpose financial statement) bagi pengguna eksternal. Contoh pengguna eksternal adalah
pemilik yang tidak terlibat langsung dalam pengelolaan usaha, kreditur, dan lembaga
pemeringkat kredit (IAI, 2009: Paragraf 1.1). Entitas yang memiliki akuntabilitas publik
signifikan adalah jika: (a) entitas telah mengajukan pernyataan pendaftaran, atau dalam
proses pengajuan pernyataan pendaftaran, pada otoritas pasar modal atau regulator lain
untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal; atau (b) entitas menguasai aset dalam
kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar masyarakat, seperti bank, entitas asuransi,
pialang dan atau pedagang efek, dana pensiun, reksa dana dan bank investasi (IAI, 2009:
Paragraf 1.2). Entitas yang memiliki akuntabilitas publik signifikan dapat menggunakan
SAK ETAP jika otoritas berwenang membuat regulasi mengizinkan penggunaan SAK ETAP
(IAI, 2009: Paragraf 1.3).
Perbedaan SAK umum dan SAK ETAP
DSAK-IAI telah menyusun KDPPLK merupakan konsep yang digunakan dalam
menyusun laporan keuangan untuk tujuan umum, sehingga KDPPLK merupakan landasan
konseptual dari rerangka prinsip akuntansi, akan tetapi terdapat perbedaan dalam
penyusunan laporan keuangan yang berdasarkan SAK ETAP dengan KDPPLK, seperti yang
tertera dalam Tabel 1.
Tabel 1
Perbedaan KDPPLK dan Konsep dan Prinsip Pervasif SAK ETAP
PERIHAL
Tujuan laporan
keuangan
Karakteristik kualitatif
laporan keuangan
Unsur-unsur laporan
keuangan
Konsep pengakuan
Konsep pengukuran
KDPPLK
Menyediakan informasi posisi keuangan, kinerja keuangan, dan
laporan arus kas suatu entitas yang bermanfaat bagi sejumlah
besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi.
(1) Dapat dipahami; (2) Relevan; (3) Keandalan; (4) Dapat
diperbandingkan
• Posisi keuangan
• Kinerja Keuangan
• Probabilitas Manfaat Ekonomi Masa Depan
• Keandalan Pengukuran
(1) biaya historis; (2) biaya kini; (3) nilai realisasi bersih;
(4) nilai sekarang
Ada
Konsep pemeliharaan
modal
(sumber : dirangkum dari SAK umum dan SAK ETAP)
SAK ETAP
Sama dengan
KDPPLK
Sama dengan
KDPPLK
Sama dengan
KDPPLK
Sama dengan
KDPPLK
(1) biaya historis ;
(2) nilai wajar
Tidak ada
Laporan keuangan yang disusun menggunakan SAK ETAP lebih menekankan
keandalan karena mayoritas menggunakan konsep biaya historis daripada nilai wajar,
sehingga penyusunannya diharapkan lebih mudah dari pada SAK umum. Penyajian laporan
keuangan yang disusun SAK ETAP dan SAK umum berbeda, seperti yang tertera dalam
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
5
tabel 2, sehingga laporan keuangan yang disusun SAK ETAP dan SAK umum tidak dapat
diperbandingkan.
Tabel 2
Perbedaan SAK umum dan SAK ETAP
PERIHAL
Kepatuhan terhadap
SAK
Komponen laporan
keuangan
Tanggung jawab atas
laporan keuangan
Asumsi dasar
Laporan posisi
keuangan / neraca
SAK UMUM
• Kepatuhan terhadap SAK
• Pengungkapan atas PSAK “misleading”
(1) Lap posisi keuangan/neraca; (2) Lap laba rugi
komprehensif; (3) Lap perubahan ekuitas; (4) Lap
arus kas; (5) Catatan atas laporan keuangan; (6)
Laporan posisi keuangan awal periode komparatif
Ada
SAK ETAP
Kepatuhan terhadap SAK ETAP
Dasar akrual & kelangsungan usaha
(1) Pos minimal yang disajikan; (2) Klasifikasi aset
dan kewajiban; (3) Pengungkapan
Dasar akrual & kelangsungan usaha
(1) Pos minimal yang disajikan lebih
sedikit; (2) Klasifikasi aset dan kewajiban;
(3) Pengungkapan lebih sederhana
• Laba rugi
• Pos minimal lebih sedikit
(1) Pos minimal lebih sedikit; (2)
Pengungkapan distribusi Tidak ada; (3)
Laporan perubahan ekuitas dan saldo laba
dapat menggantikan lap laba rugi dan lap
perubahan ekuitas
(1) Arus kas operasi disajikan dengan
metode tidak langsung; (2) Arus kas
bunga & dividen, pajak penghasilan, dan
transaksi nonkas; (3)Tidak ada Kas yang
dibatasi
• Laba rugi dan pendapatan kompresensif lain
• Pos minimal
Laporan perubahan
(1) Pos minimal; (2) Pengungkapan distribusi
ekuitas
dividen dan dividen per saham; (3) Laporan
perubahan ekuitas dan saldo laba dapat
menggantikan lap laba rugi dan lap perubahan
ekuitas tidak diperkenankan
Laporan arus kas
(1) Arus kas operasi disajikan dengan metode
langsung atau tidak langsung; (2) Arus kas valas,
bunga & dividen, pajak penghasilan, investasi pada
entitas anak, ventura bersama & entitas asosiasi,
perubahan kepemilikan, dan transaksi nonkas; (3)
Kas yang dibatasi
Catatan atas laporan
(1) Kebijakan akuntansi; (2) Sumber estimasi
keuangan
ketidakpastian; (3) Modal; (4) Dividen dan informasi
umum entitas
(sumber : dirangkum dari PSAK No. 1 (Revisi 2009) dan SAK ETAP)
Laporan laba rugi
(1) Neraca; (2) Lap laba rugi; (3) Lap
perubahan ekuitas; (4) Lap arus kas; (5)
Catatan atas laporan keuangan
Tidak ada
(1) Kebijakan akuntansi; (2) Sumber
estimasi ketidakpastian
Pendapat terhadap SAK ETAP atau IFRS for SMEs
BI memandang SAK ETAP dapat menjadi acuan yang tepat bagi BPR dalam menyusun
laporan keuangan karena SAK umum (khususnya PSAK 50 dan 55) tidak sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik BPR. Dipertegas dengan pernyataan Pengawas Bank Madya BI
Denpasar Diana Yales Perdani, yaitu : “SAK ETAP lebih pas dan mudah diterapkan dalam
industri BPR dibandingkan dengan menggunakan PSAK 31 dan PSAK 50 serta PSAK 55.
Kegiatan BPR yang terbatas dan sederhana kurang memungkinan BPR untuk menerapkan
PSAK 50 dan 55 yang diterapkan bank umum” (Bali Post, 14 Maret 2011). Sementara itu,
Direktur Utama BPR Ayu Nulus, Wayan Supanca Ariyasa, S.Si., M.M, menjelaskan bahwa
“setelah menerapkan SAK ETAP banyak manfaat yang didapat, diantaranya laba menjadi
lebih stabil, pelaporan lebih transparan dan berstandar internasional. SAK ETAP ini
sebenarnya tidak seseram yang dibayangkan dan murah dari sisi biaya. Kendala utama
penerapan kebijakan ini terletak pada kualitas SDM yang belum memadai'' (Bali Post, 14
Maret 2011).
Basir (2010: 3) menyatakan bahwa dalam menerapkan SAK ETAP, entitas perlu
melakukan pertimbangan yang matang dan penyesuaian laporan keuangan. Penyesuaian
laporan keuangan ke SAK ETAP perlu dilakukan sejak tahun sebelum penerapan standar itu
dilakukan. Johnson (2010: 28) menunjukkan bahwa perusahaan yang akan mengadopsi IFRS
for SMEs harus melakukan analisis mendalam dan perhatian yang penuh dari potensi
dampak yang timbul atas perubahan tersebut. Analisis ini harus mencakup pembahasan
tentang dasar akuntansi yang baru antara perusahaan dengan pengguna laporan keuangan
perusahaan, akuntan eksternal perusahaan dan auditor independen.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
6
Hasil survei Deloitte yang dilakukan pada bulan Juni 2009 terhadap 170 entitas UKM
di Amerika Serikat, menyatakan bahwa 43% “not aware” atau “don’t know” terhadap IFRS for
SMEs, ini menunjukkan bahwa dibutuhkan pendidikan atau pengetahuan yang lebih, dan
10% telah menggunakan IFRS for SMEs atau akan mempertimbangkan mengadopsi IFRS for
SMEs dalam waktu dekat, sementara itu 63% akan mengadopsi IFRS for SMEs bila
diperlukan (Deloitte, 2009: 2-4). Rudiantoro dan Siregar (2011: 24-26) juga menunjukkan
bahwa hanya sekitar 32% yang menjawab mengetahui tentang SAK ETAP, dan hanya sekitar
11 responden saja yang pernah mendapatkan pelatihan terkait SAK ETAP, serta 5 dari 11
responden tersebut mengaku kesulitan dalam memahami SAK ETAP.
Penerapan standar akuntansi baru akan menimbulkan dampak bagi penggunanya,
seperti penelitian yang dilakukan Hail et al. (2010), Lindberg dan Seifert (2010), serta
Riduwan (2008). Begitu juga penerapan SAK ETAP, Rudiantoro dan Siregar (2011: 27)
menunjukkan bahwa prospek implementasi SAK ETAP di tahun 2011 terhadap peningkatan
kualitas laporan keuangan UMKM kemungkinan belum dapat tercapai optimal. Mengingat
hingga saat ini pemahaman pengusaha UMKM, beserta pembina UMKMnya masih sangat
rendah atas isi dari SAK ETAP tersebut. Rudiantoro dan Siregar (2011: 28) juga
menunjukkan bahwa implemtasi SAK ETAP di tahun 2011 nampaknya masih menemui
kendala yang dikhawatirkan menghambat penerapannya, yaitu masih rendahnya
pemahaman para pengusaha UKM yang kelak akan menggunakan SAK ini. Selain itu, pihak
perbankan atau lembaga UKM saat ini pun masih banyak yang belum sepenuhnya
tersosialisasi mengenai proses implementasi SAK ETAP di tahun 2011.
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan paradigma sosial constructivism.
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus sebagai media untuk melakukan
penelitian. Setting penelitian ini adalah sebuah group BPR yang terdiri dari 4 (empat) BPR
yang sahamnya dimiliki oleh satu keluarga, dimana salah satu dari keempat BPR tersebut
berada di wilayah pengawasan BI yang berbeda. Group BPR ini dipilih karena laporan
keuangan tahun 2010 telah menerapkan SAK ETAP serta bagian accounting dan direktur
telah beberapa kali mengikuti pelatihan penerapan SAK ETAP, baik yang dilaksanakan
Perbarindo, BI maupun IAPI, serta seluruh laporan keuangan setiap BPR telah diaudit oleh
akuntan publik.
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan
dokumen. Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan seraca tidak terstruktur dan
tidak terjadwal pada : (a) bagian accounting dan / atau kepala operasional dan / atau
direktur; serta (b) auditor eksternal. Dengan cara tersebut diharapkan para informan tidak
cenderung mengolah atau mempersiapkan informasi terlebih dahulu, serta dapat
menjelaskan apa adanya.
Informan dalam penelitian ini adalah Tikno Santoso selaku direktur utama PT. BPR
Cinde Wilis, sebelumnya pernah menjabat sebagai diretur utama PT. BPR Wilis Putra Utama
dan beliau merupakan salah satu penasehat atas pemilihan kebijakan akuntansi bagi group
Wilis; Hurin’in selaku direktur PT. BPR Wilis Putra Utama, sebelumnya pernah menjabat
sebagai bagian accounting dan kepala operasional, serta telah bekerja selama lebih dari 10
tahun; Cecillia selaku kepala operasional PT. BPR Tanggul Arto, sebelumnya pernah
menjabat sebagai bagian accounting; Ayu Ningtyas selaku bagian accounting PT. BPR Gunung
Modal Utama; dan Sugi Kuswardijah adalah akuntan publik yang merupakan rekan di KAP
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
7
Soebandi & Rekan, serta beliau merupakan patner in charge pada perikatan audit laporan
keuangan PT. BPR Cinde Wilis dan PT. BPR Wilis Putra Utama untuk tahun yang berakhir
31 Desember 2010.
Satuan Kajian
Satuan kajian dalam penelitian ini adalah :
1. Dampak atas penerapan SAK ETAP di BPR
Suryatno (2010: 13 & 17) menunjukkan bahwa terdapat permasalahan penerapan SAK
ETAP dan PA-BPR pada BPR. Mempertimbangkan hal tersebut, maka dalam penelitian
ini mengkaji dampak yang timbul dalam menerapkan SAK ETAP dan PA-BPR, sesuai
yang diutarakan oleh Suryatno, yaitu dampak terhadap akun pendapatan provisi dan
biaya yang ditangguhkan, serta dampak terhadap perpajakan. Selain itu dampak lain
yang dikaji adalah dampak terhadap penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang
telah menerapkan SAK ETAP. Dampak tersebut akan dipandang dari teknis penerapan
standar akuntansi, pencatatan akuntansi dan pelaporan keuangan BPR. Selain itu
dipaparkan juga sebab dan akibat terjadinya dampak tersebut sehingga dapat
disimpulkan akar yang menjadi penyebab dampak tersebut timbul.
2. Pendapat dari penyusun laporan keuangan dan auditor eksternal atas penerapan SAK
ETAP di BPR
BI berpendapat bahwa SAK ETAP dapat menjadi acuan yang tepat bagi BPR dalam
menyusun laporan keuangan karena SAK umum dan PAPI 2008 tidak sesuai dengan
karakteristik operasional BPR serta penerapannya memerlukan biaya yang besar
dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Penelitian ini memaparkan pendapat dari
pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan laporan keuangan BPR yang telah
disusun dengan standar akuntansi yang baru, sehingga dapat dibandingkan dengan
pendapat dari BI yang menyatakan bahwa SAK ETAP sesuai dengan karakteristik
operasional BPR serta tidak menimbulkan biaya yang besar dibandingkan dengan
manfaat. Dari hasil perbandingan tersebut dapat diambil kesimpulan apakah SAK ETAP
merupakan standar akuntansi yang tepat untuk BPR.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Group Wilis
Group Wilis merupakan empat BPR yang terdiri dari : PT. BPR Cinde Wilis – Jember
(CW), PT BPR Wilis Putra Utama – Banyuwangi (WPU), PT. BPR Gunung Modal Usaha –
Ambulu, Jember (GMU), dan PT. BPR Tanggul Arto – Lumajang (TA), dimana sahamnya
dimiliki oleh satu keluarga dengan komposisi kepemilikan yang sama pada setiap BPR.
Sistem Informasi Akuntansi Group Wilis
Sistem Informasi Akuntansi pada BPR group Wilis dilakukan dengan sistem Semi
Komputer, untuk sistem pencatatan akuntansi masih manual yang dikerjakan dengan
komputer oleh bagian accounting. Sistem pencatatan data simpanan dan pinjaman sudah
menggunakan program komputer. Setiap penambahan dan pengurangan atas nilai
simpanan dan pinjaman akan selalu dicatat tersendiri per nasabah oleh bagian administrasi
tabungan & deposito dan staff administrasi kredit, sedangkan bagian accounting hanya
mencatat jumlahnya saja dalam satu hari. Setiap hari selalu ada pencocokan saldo simpanan
dan pinjaman antara bagian administrasi tabungan & deposito dan staff administrasi kredit
dengan bagian accounting yang diawasi oleh kepala operasional. Setelah melakukan
pencocokan saldo maka bagian accounting akan menyiapkan laporan harian.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
8
Pelaporan Keuangan Group Wilis
Laporan keuangan intern yang dihasilkan oleh BPR pada group Wilis belum
sepenuhnya sesuai dengan SAK ETAP dan PA-BPR. Laporan keuangan intern hanya
mencakup neraca dan laporan laba rugi, sedangkan laporan bulanan yang disusun untuk
dilaporkan ke BI sebenarnya sudah lebih detail dari laporan keuangan intern, akan tetapi
tetap saja belum sesuai dengan SAK ETAP dan PA-BPR karena tetap hanya mencakup
neraca dan laporan laba rugi. BPR pada group Wilis hanya dapat membuat laporan
keuangan yang lengkap pada saat akhir tahun saja atau laporan keuangan periode satu
tahun, yaitu setelah laporan keuangan tersebut diaudit oleh kantor akuntan publik. Laporan
keuangan tersebut terlampir dalam laporan hasil audit atas pemeriksaan laporan keuangan
masing-masing BPR, sehingga jika laporan keuangan tidak diaudit oleh kantor akuntan
publik maka kemungkinan laporan keuangan yang sesuai SAK ETAP dan PA-BPR dapat
tidak disusun oleh BPR.
Seluruh laporan keuangan pada BPR group Wilis pada tahun 2010 telah diaudit oleh
kantor akuntan publik, laporan keuangan auditan tersebut telah sesuai dengan SAK ETAP
dan PA-BPR. Sedangkan laporan keuangan pada BPR group Wilis pada tahun 2009 tidak
seluruhnya diaudit. Laporan keuangan TA dan GMU yang tidak diaudit, karena total aset
dari masing-masing BPR tersebut belum mencapai Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) sehingga tidak diwajibkan untuk diaudit oleh kantor akuntan publik.
Pemahaman Group Wilis Terhadap SAK ETAP
Beberapa staf bagian SPI / audit mengikuti pelatihan tentang SAK ETAP yang
diadakan oleh IAPI pada bulan Maret tahun 2010, diharapkan staf bagian SPI / audit
tersebut dapat memberi bimbingan tentang SAK ETAP kepada seluruh BPR pada group
Wilis, terutama pada bagian accounting. Pada pelatihan tersebut dipaparkan secara garis
besar tentang SAK ETAP, akan tetapi tidak spesifik untuk digunakan kepada BPR. Setelah
surat edaran BI No.12/14/DKBU, Perbarindo mengadakan pelatihan tentang PA-BPR pada
bulan Agustus 2010 dan seluruh bagian accounting BPR pada group Wilis mengikutinya.
Pada pelatihan dijelaskan secara garis besar penerapan PA-BPR dan SAK ETAP pada BPR.
Selain bagian accounting Perbarindo juga mengadakan pelatihan yang sama untuk para
Direksi dan Staf Kepala Bagian pada Bulan September 2010 dan perwakilan dari Dewan
Direksi serta Kepala Operasional dari setiap BPR pada group Wilis mengikutinya.
Dampak Penerapan atas SAK ETAP
SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang untuk menyusun dan menyajikan
laporan keuangan BPR sesuai perintah BI. Perintah BI tersebut terlalu mendadak, karena
ditetapkan pada tanggal 31 Desember 2009 dan berlaku tanggal 1 Januari 2010, sehingga
akan menimbulkan dampak bagi BPR. Suryatno (2010: 13 & 17) menunjukkan bahwa
terdapat permasalahan penerapan SAK ETAP dan PA-BPR pada BPR adalah :
1. Permasalahan perlakuan akuntansi, terdiri dari : (a) pengakuan provisi kredit –
diamortisasi. PAPI 2001 memberikan pertimbangan materialitas. Banyak praktek
mengakui secara langsung, atau menetapkan batasan materialitas terlalu tinggi (2009
Industri: pendapatan provisi = 30% dari laba sebelum pajak); (b) biaya pendirian (pra
operasional) dibebankan langsung dalam periode berjalan. Masih banyak BPR memiliki
beban ditangguhkan dan diamortisasi.
2. Permasalahan pemberlakuan PA-BPR, terdiri dari : (a) pemberlakuan SAK ETAP
terhitung sejak 1 Januari 2010, sementara PA-BPR diberlakukan 1 Juli 2010, untuk
transaksi sejak tanggal 1 Januari 2010; (b) perbedaan pemberlakuan standar dan
pedomannya membuat BPR perlu melakukan koreksi terhadap pencatatan periode
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
9
Januari – Juni 2010; (c) pemberlakuan PA BPR perlu didukung dengan sistem komputer
yang memadai – perlu pengadaan dan pemahaman yang membutuhkan waktu.
3. Perbedaan ketentuan perpajakan dengan perbankan, yaitu : adanya koreksi pengakuan
pendapatan dan biaya menyebabkan kemungkinan lebih bayar angsuran pajak badan
Dampak Terhadap Pendapatan Provisi
PAPI 2001 (2001: VI.3.1) menegaskan bahwa provisi dari kegiatan yang berkaitan
dengan perkreditan dan terkait dengan jangka waktu diperlakukan sebagai pendapatan atau
beban yang ditangguhkan dan diamortisasi secara sistematis selama jangka waktu
komitmen kredit. Berdasarkan penjelasan tersebut seharusnya seluruh bank, bank umum
maupun BPR, sejak tahun 2001 mengakui provisi yang berkaitan langsung dengan kredit
dengan cara diamortisasi selama masa pinjaman kredit atau tidak boleh langsung diakui
pada saat diterima atau dikeluarkan. Sebenarnya perlakukan akuntansi tersebut tidak
berbeda dengan PA-BPR. PA-BPR (2010: 34) menegaskan bahwa provisi diamortisasi selama
masa kredit secara garis lurus. Amortisasi tersebut diakui sebagai penambah pendapatan
bunga. pernyataan tersebut merupakan penjabaran dari SAK ETAP, yaitu menegaskan
bahwa entitas harus mengakui pendapatan atas dasar berikut: (a) bunga harus diakui secara
akrual.... (IAI, 2009: Paragraf 20.27). Suryatno (2010: 14) menegaskan bahwa pengakuan
provisi dan komisi kredit PA-BPR tidak berbeda dengan PAPI 2001, hanya menegaskan
kembali prinsip yang ada, sehingga seharusnya perubahan pedoman ini tidak berdampak
terhadap BPR.
Akan tetapi perlakuan akuntansi tersebut bertentangan dengan yang terjadi pada BPR
group Wilis, BPR masih mengakui provisi pada saat provisi diterima atau dikeluarkan atau
masih berbasis kas, dan pengakuan tersebut masih dilakukan hingga BPR menerapkan SAK
ETAP dan PA-BPR, yaitu pada tahun 2010, karena perlakukan akuntansi tersebut menjadi
temuan dari pengawas bank pada saat melakukan pengawasan di masing-masing BPR dan
disarankan untuk diterapkan. Suryatno (2010: 14) menegaskan bahwa dari praktek yang ada
sebagian besar BPR, mengakui pendapatan provisi dan komisi kredit sebagai pendapatan
periode berjalan atau menetapkan batasan materialitas yang terlalu tinggi.
Dampak perubahan perlakuan akuntansi terhadap pendapatan provisi dapat dilihat
secara jelas pada tabel 3, walaupun kredit yang diberikan seluruh BPR mengalami kenaikan
(tabel 4) akan tetapi pendapatan provisi mengalami penurunan (tabel 3). Perlakukan
akuntansi yang baru sangat berdampak pada performance pendapatan provisi, karena pada
tahun 2010 pendapatan provisi akan ditangguhkan dan diamortisasi sepanjang masa kredit,
sehingga pendapatan provisi terlihat menurun.
Tabel 3
Perbandingan pendapatan provisi
Pendapatan provisi (Ribuan Rp)
Tahun 2010
Tahun 2009
CW
688.111
859.951
WPU
497.076
800.564
GMU
147.736
285.514
TA
165.539
254.352
(Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR)
BPR
Perbandingan (%)
Naik/(turun)
(19,98%)
(37,91%)
(48,26%)
(34,92%)
Tabel 4
Perbandingan kredit yang diberikan
Kredit yang diberikan (bruto) dalam Ribuan Rp
Tahun 2010
Tahun 2009
CW
29.289.289
19.116.659
WPU
33.660.765
20.806.538
GMU
12.825.516
8.998.806
TA
8.993.932
7.846.213
(Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR)
BPR
Perbandingan (%)
Naik/(turun)
53,21%
61,78%
42,52%
14,63%
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
10
Pelakukan akuntansi pada tahun 2009 tidak disesuaikan dengan standar akuntansi
yang baru, karena PA-BPR hanya diberlakukan secara prospektif pada tahun 2010, sesuai
dengan penyataan pada PA-BPR (2010: 5) yaitu pada 1 Januari 2010, BPR mulai menerapkan
ketentuan dalam pedoman ini secara prospektif. Sebenarnya penerimaan pendapatan provisi
pada seluruh BPR group Wilis mengalami kenaikan. Pada tabel 5 menunjukkan bahwa
penerimaan pendapatan provisi pada seluruh BPR group Wilis tidak menurun, hanya saja
sebagian harus ditangguhkan terlebih dahulu. Terutama pada WPU dari total penerimaan
Rp 1.237.713 Ribu, sebagian besar penerimaan tersebut ditangguhkan, yaitu sebesar
Rp740.637 Ribu (59,84%). Dampak terhadap pendapatan provisi pada BPR group Wilis
sesuai dengan penelitian Siskayani (2013), hasil penelitian menunjukkan bahwa diketahui
terjadi perubahan penurunan pada pendapatan provisi dan komisi kredit. Perubahan ini
terjadi karena beberapa bagian dari penerimaan provisi dan komisi tersebut harus dicatat
dan ditangguhkan kedalam rupa-rupa pasiva, sehingga penerimaan perusahaan menurut
SAK ETAP lebih rendah dibandingkan dengan akuntansi umum.
Tabel 5
Perbandingan penerimaan pendapatan provisi
BPR
CW
WPU
GMU
TA
Ditangguhkan
472.023
740.637
187.154
123.205
Pendapatan provisi (Ribuan Rp)
Tahun 2010
Tahun 2009
Diakui
Total
Ditangguhkan
Diakui
688.111
1.160.134
0
859.951
497.076
1.237.713
0
800.564
147.736
334.890
0
285.514
165.539
288.744
0
254.352
(Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR)
Total
859.951
800.564
285.514
254.352
Perbandingan
(%)
Naik/ (turun)
34,91%
54,61%
17,29%
13,52%
Dampak Terhadap Biaya Ditangguhkan
Salah satu tantangan yang akan ditemui dalam penerapan SAK ETAP adalah
kesalahan pencatatan akuntansi yang masih salah, yaitu pengakuan biaya ditangguhkan
(Wibowo, 2011: 16). Suryatno (2010: 16) menegaskan bahwa terdapat beberapa kekeliruan
perlakuan akuntansi biaya ditangguhkan di BPR, yaitu : (1) biaya perbaikan gedung, biaya
dibayar dimuka, jasa produksi karyawan, biaya seragam dan biaya perolehan agunan yang
diambil alih; (2) renovasi gedung BPR bukan milik BPR, seharusnya diperhitungkan sebagai
penambah nilai gedung atau bagian dari sewa dibayar dimuka; dan (3) pembelian mesin
ATM, seharusnya menjadi bagian dari aset tetap.
Tabel 6 menerangkan bahwa terjadi perubahan yang signifikan pada akun aset lainlain per 31 Desember 2010 dengan per 31 Desember 2009 pada BPR group Wilis, khususnya
pada akun biaya ditangguhkan. Sebagian besar dari biaya ditangguhkan per 31 Desember
2009 pada BPR group Wilis adalah biaya renovasi gedung. Seluruh BPR pada group Wilis
mengakui biaya renovasi gedung sebagai biaya ditangguhkan dan diamortisasi selama 10
tahun. Padahal seluruh kantor pusat, kantor cabang, maupun kantor kas pada BPR group
Wilis bukan milik BPR atau menyewa, dan jangka waktu sewa kantor seluruhnya adalah
satu tahun. Hal tersebut yang menyebabkan biaya ditangguhkan renovasi gedung pada
tahun 2010 harus disesuaikan dengan SAK ETAP, biaya renovasi gedung hanya bisa
ditangguhkan dan diamortisasi sepanjang masa sewa, sebab manfaat ekonomi yang
dihasilkan dari renovasi kantor hanya bisa dinikmati oleh BPR selama masa sewa yaitu satu
tahun dan belum tentu tahun depan kantor tersebut disewa kembali oleh BPR.
SAK ETAP menegaskan bahwa aset adalah sumber daya yang dikuasai entitas sebagai
akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan
akan diperoleh entitas (IAI, 2009: Paragraf 2.12(a)). SAK ETAP juga menegaskan bahwa aset
diakui dalam neraca jika kemungkinan manfaat ekonominya di masa depan akan mengalir
ke entitas dan aset tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal.
Aset tidak diakui dalam neraca jika pengeluaran telah terjadi dan manfaat ekonominya
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
11
dipandang tidak mungkin mengalir ke dalam entitas setelah periode pelaporan berjalan.
Sebagai alternatif transaksi tersebut menimbulkan pengakuan beban dalam laporan laba rugi
(IAI, 2009: Paragraf 2.34). Oleh sebab itu BPR pada group Wilis menyesuaikan seluruh biaya
renovasi gedung yang ditangguhkan yang tercatat pada aset, karena biaya renovasi gedung
tersebut tidak sesuai dengan definisi aset.
Tabel 6
Perbandingan aset lain-lain
Aset Lain-Lain
31-12-2010
Nama Akun
(Ribuan Rp)
Agunan Yang Diambil Alih
0
Biaya Dibayar Dimuka
800
CW
Biaya Ditangguhkan
0
TOTAL
800
Agunan Yang Diambil Alih
426.478
Biaya Dibayar Dimuka
73.616
WPU
Biaya Ditangguhkan
0
TOTAL
500.094
Agunan Yang Diambil Alih
3.028
Biaya Dibayar Dimuka
51.632
GMU
Biaya Ditangguhkan
0
TOTAL
54.660
Agunan Yang Diambil Alih
43.500
Biaya Dibayar Dimuka
136.182
TA
Biaya Ditangguhkan
28.399
TOTAL
208.081
(Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR)
BPR
31-12-2009
(Ribuan Rp)
93.650
21.177
105.432
220.259
68.958
45.711
207.540
322.209
23.200
0
77.783
100.983
323.499
0
193.401
516.900
Perbandingan
Naik / (turun)
Ribuan Rp
%
(93.650)
(20.377)
(105.432)
(219.459)
(99,64%)
357.520
27.905
(207.540)
177.885
55,21%
(20.172)
51.632
(77.783)
(46.323)
(45,87%)
(279.999)
136.182
(165.002)
(308.819)
(59,74%)
Dampak Terhadap Perpajakan
Dengan adanya dampak terhadap pendapatan provisi dan biaya yang ditangguhkan
tersebut di atas, maka terjadi beberapa penyesuaian terhadap pendapatan dan beban pada
laporan keuangan yang telah disusun oleh BPR pada group Wilis. Penyesuaian tersebut
secara langsung akan mempengaruhi laba BPR, dan jika laba BPR terpengaruh maka
pembayaran pajak penghasilan BPR juga akan terpengaruh. Suryatno (2010: 18) menyatakan
bahwa dengan adanya koreksi pendapatan dan beban periode Januari-Juni 2010, terdapat
potensi kelebihan pembayaran cicilan pajak.
Besarnya angsuran pajak penghasilan pasal 25 untuk wajib pajak bank adalah sebesar
pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laporan laba rugi
fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi pajak
penghasilan pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu,
dibagi 12 (dua belas). Dampaknya akan timbul pada saat perhitungan pajak penghasilan
pasal 25 tahunan yaitu terjadi kelebihan pembayaran atas angsuran pajak penghasilan pasal
25, hal tersebut terjadi karena penyesuaian atas PA-BPR yang dilakukan pada bulan Juli
tahun 2010 mengakibatkan laba tahun 2010 BPR turun, sedang angsuran pajak penghasilan
pasal 25 terlanjur menggunakan perhitungan laba rugi yang belum disesuaikan.
Dampak tersebut sesuai dengan yang dikatakan Hurin’in, beliau mengatakan bahwa :
“Angsuran PPh badan BPR untuk 3 bulan ke depan harus dihitung berdasarkan
laporan keuangan 3 bulan yang lalu, untuk itu angsuran bulan Januari sampai dengan
September 2010 WPU masih menggunakan pedoman yang lama karena WPU baru
menerapkan PA-BPR pada bulan Agustus 2010. Ketika penerapan, ternyata banyak
sekali penyesuaian terhadap perkiraan pendapatan komisi, sehingga pada saat
perhitungan SPT tahunan 2010 hasilnya lebih bayar. Dari pada lebih bayar dan kami
diperiksa pajak, maka banyak beban-beban yang kami koreksi fiskal.”
(Hurin’in, Senin, 13 Pebruari 2012)
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
12
Pernyataan Hurin’in dipertegas oleh tabel 7, dimana terdapat perbedaan yang besar
pada koreksi fiskal yang dilakukan oleh WPU pada saat perhitungan pajak penghasilan
antara tahun 2010 dengan tahun 2009. Perbedaan terbesar terjadi pada koreksi positif, yaitu
naik sebesar Rp 1.016.311 ribu atau 1.695,77%. Perbedaan koreksi positif diakibatkan karena
banyaknya beban-beban yang seharusnya tidak dikoreksi fiskal positif, harus dikoreksi fiksal
positif. Hal tersebut dilakukan oleh WPU agar pajak penghasilannya tidak lebih bayar.
Begitu juga pada TA melakukan hal yang sama, sehingga mengakibatkan perbedaan pada
koreksi positif antara tahun 2010 dengan tahun 2009 menjadi besar, yaitu naik sebesar Rp
294.271 ribu atau 3.989,57%, sedangkan pada GMU tidak ada perbedaan yang besar akan
tetapi mereka juga melakukan koreksi fiskal positif beban-beban yang tidak seharusnya
dikoreksi fiskal agar pajak penghasilannya tidak lebih bayar.
Tabel 7
Perbandingan koreksi fiskal
BPR
CW
WPU
GMU
TA
Tahun 2010
(Ribuan Rp)
413.750
57.895
0
42.945
85.050
599.640
Tahun 2009
(Ribuan Rp)
193.357
0
32.073
73.627
391.064
690.121
135.300
7.866
52.521
401.292
596.979
207.841
220.826
418.480
122.168
56.344
7.507
10.207
0
32.870
1.076.243
354
0
35.818
0
36.172
0
0
0
0
0
0
0
7.500
52.432
59.932
134.946
7.866
16.703
401.292
560.807
207.841
220.826
418.480
122.168
56.344
7.507
10.207
(7.500)
(19.562)
1.016.311
Pendapatan bunga
Total Koreksi Negatif
PPAP
Beban pendidikan
Biaya pemasaran
Beban pajak lain-lain
Beban lain-lain
Total Koreksi Positif
79.159
79.159
38.113
8.740
23.202
9.874
122.801
202.730
62.561
62.561
90.681
0
0
0
210.174
300.855
16.598
16.598
(52.568)
8.740
23.202
9.874
(87.373)
(98.125)
Beban Penyusutan aset tetap
Total Koreksi Negatif
PPAP
Beban tenaga kerja lain-lain
Beban pajak lain-lain
Beban adm lain-lain
Beban lain-lain
Total Koreksi Positif
0
0
235.388
33.128
7.500
2.431
23.200
301.647
1.301
1.301
7.376
0
0
0
0
7.376
(1.301)
(1.301)
228.012
33.128
7.500
2.431
23.200
294.271
3.989,57%
12.765
12.765
11.345
11.345
1.420
1.420
12,52%
Koreksi Fiskal
PPAP
Beban Pemasaran
Beban tenaga kerja lain-lain
Beban tagihan
Beban non operasional
Total Koreksi Positif
Beban AYDA
Beban penghapusan piutang
Pendapatan bunga
Penjualan aset tetap
Total Koreksi Negatif
Beban tagihan
Share beban audit intern
PPAP
Beban pendidikan
Beban entertaintment
Beban pejalanan tugas
Beban perawatan inventaris
Beban pajak sewa gedung
Beban non operasional
Total Koreksi Positif
Pendapatan bunga
Total Koreksi Negatif
(Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR)
Perbandingan
Ribuan Rp
220.393
57.895
(32.073)
(30.682)
(306.014)
(90.481)
naik / (turun)
%
(13,11%)
1.550,39%
1.695,77%
26,53%
(32,62%)
(100,00%)
Sedangkan berdasarkan tabel 7, CW tidak terkena dampak pada perhitungan pajak
penghasilan pada tahun 2010 karena CW melakukan koreksi fiskal negatif yang besar, yaitu
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
13
beban Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) yang bayar kembali dan pendapatan atas
penjualan aset tetap, sehingga koreksi negatif naik sebesar Rp 560.807 atau sebesar
1.550,39%. Selama ini seluruh BPR pada group Wilis dalam menghitung angsuran pajak
penghasilan pasal 25 yang harus dibayar berdasarkan laporan laba rugi dari laporan
keuangan 3 bulan yang lalu yang disetahunkan tanpa dikoreksi fiskal atau menggunakan
laporan laba rugi komersial. Salah satu contoh dimana BPR pada group Wilis menghitung
angsuran pajak penghasilan pasal 25 tanpa dikoreksi fiskal adalah pada bulan Agustus
tahun 2010, CW menjual gedungnya dan mendapat keuntungan yang tinggi. Keuntungan
tersebut tercantum pada laporan laba rugi untuk perhitungan angsuran pajak penghasilan
untuk bulan Oktober, Nopember dan Desember tahun 2010, padahal penjualan tersebut
sudah dikenai pajak final, sehingga seharusnya keuntungan atas penjualan gedung dikoreksi
negatif. Hal tersebut yang menyebabkan CW tidak terkena dampak perpajakan pada
perhitungan pajak penghasilan pada tahun 2010.
Dampak Terhadap Penyusunan Laporan Keuangan
SAK ETAP menegaskan bahwa entitas menerapkan SAK ETAP secara retrospektif,
namun jika tidak praktis, maka entitas diperkenankan untuk menerapkan SAK ETAP secara
prospektif (IAI, 2009: Paragraf 29.1), serta dipertegas pula oleh PA-BPR, bahwa pada 1
Januari 2010 BPR mulai menerapkan ketentuan dalam pedoman ini secara prospektif (PABPR, 2010: 5). Berdasarkan ketentuan SAK ETAP dan PA-BPR maka penerapan SAK ETAP
dan PA-BPR secara prospektif.
Aset dan kewajiban yang terkena dampak langsung atas penerapan SAK ETAP dan
PA-BPR adalah aset untuk akun kredit yang diberikan dan kewajiban untuk akun pinjaman
diterima. Menurut PA-BPR (2010: 35) penyajian akun kredit yang diberikan adalah kredit
disajikan di neraca sebesar pokok kredit/baki debet dikurangi provisi serta ditambah biaya
transaksi yang belum diamortisasi. Jika melihat dari pernyataan dan persyaratan diatas,
maka seharusnya pengakuan, pengukuran serta penyajian seluruh akun kredit yang
diberikan sesuai dengan SAK ETAP dan PA-BPR tidak memandang kapan akun kredit yang
diberikan tersebut diperoleh, sehingga walaupun akun kredit yang diberikan diperoleh
sebelum tahun 2010 atau sebelum penerapan SAK ETAP dan PA-BPR dan masih tercatat di
neraca (belum dilunasi oleh nasabah) maka akun tersebut harus disesuaikan dengan SAK
ETAP dan PA-BPR, yaitu kredit disajikan sebesar pokok kredit dikurangi provisi serta
ditambah biaya transaksi yang belum diamortisasi. Hal ini yang belum dilakukan oleh BPR
pada group Wilis, mereka menafsirkan bahwa penerapan secara prosfektif adalah penerapan
SAK ETAP dan PA-BPR hanya mulai dari transaksi yang terjadi pada tahun 2010 dan
seterusnya (sejak SAK ETAP dan PA-BPR diterapkan). BPR pada group Wilis hanya
melakukan penyesuaian terhadap perhitungan provisi dan biaya transaksi yang belum
diamortisasi untuk pencairan kredit yang terjadi pada tahun 2010 saja, sedangkan untuk
kredit yang cair pada tahun sebelum 2009 dan belum lunas pada tahun 2010 tidak
disesuaikan.
Begitu juga dengan akun pinjaman diterima, menurut PA-BPR (2010: 72) pinjaman
diterima disajikan sebesar saldo pinjaman yang belum dilunasi pada tanggal laporan serta
biaya transaksi dan diskonto yang belum diamortisasi. Penyajian akun pinjaman diterima
pada BPR group Wilis belum disesuaikan dengan SAK ETAP dan PA-BPR karena hanya
transaksi yang terjadi pada 2010 saja yang disesuaikan dengan standar baru tersebut,
sedangkan akun pinjaman diterima yang belum dilunasi hingga awal tahun 2010 tidak
disesuaikan. Kesalahan penafsiran SAK ETAP oleh penyusun laporan keuangan pada BPR
group Wilis dipertegas oleh pernyataan Cecillia, yaitu :
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
14
“yang kami pelajari pada saat pelatihan dengan temuan hasil pemeriksaan pada saat
kami diperiksa akuntan publik ada perbedaan, yaitu tentang waktu penerapan SAK
ETAP dan PA-BPR. Pada saat pelatihan, penerapan dimulai pada tanggal 1 Januari
2010 sehingga transaksi sebelum tahun 2010 tidak terpengaruh, akan tetapi akuntan
publik mengatakan bahwa saldo awal tahun 2010 harus disesuaikan dengan standar
yang baru, sehingga jika terdapat perkiraan-perkiraan yang terpengaruh, maka harus
disesuaikan.”
(Cecillia, Jumat, 3 Pebruari 2012)
Dampak belum disesuaikan laporan keuangan dengan SAK ETAP dan PA-BPR juga
tercermin dari opini atau pendapatan atas hasil audit laporan keuangan pada BPR group
Wilis, seluruh BPR mendapatkan opini wajar dengan pengecualian dan yang dikecualikan
adalah neraca per 1 Januari 2010 BPR belum disesuaikan pengakuan dan pengukurannya
secara prosfektif sesuai SAK ETAP dan PA-BPR. Dampak tidak disesuaikan akun-akun
tersebut di atas bagi auditor dianggap sebagai salah saji yang material.
Dampak Terhadap Penyajian Laporan Keuangan
Penerapan SAK ETAP dan PA-BPR pada laporan keuangan BPR membuat penyajian
beberapa pos-pos dalam laporan keuangan BPR berubah, menurut Tikno Santoso :
“dengan adanya SAK ETAP dan PA-BPR kami jadi kebingungan atas perubahan yang
sangat banyak. Banyak perkiraan-perkiraan laporan keuangan yang harus dirubah,
banyak aturan-aturan yang harus dipatuhi, sedangkan sosialisasinya singkat sekali.”
(Tikno Santoso, Senin, 30 Januari 2012)
Pernyataan Tikno Santoso sesuai dengan Suprihadi (2012: 6) bahwa perubahan
mendasar dengan diterapkannya standar akuntansi keuangan baru (SAK ETAP) adalah
berubahnya akun-akun tertentu dalam pengakuan dan penyajian laporan keuangan yaitu;
Kredit yang diberikan, Pinjaman yang diterima, Beban provisi, Pendapatan bunga, dan
Beban bunga. Sebelum penerapan SAK ETAP dan PA-BPR pos-pos dalam laporan keuangan
intern pada BPR group Wilis disajikan sesuai dengan PAPI 2001 dan laporan bulanan BI
yang dilaporkan ke BI secara on line, sehingga BPR hanya tinggal memindahkan angka pada
laporan keuangan intern yang telah disusun ke program laporan bulanan BI sesuai dengan
format yang ada. Akan tetapi pada saat penerapan SAK ETAP dan PA-BPR pada tahun 2010,
format laporan bulanan yang akan dilaporkan ke BI belum disesuaikan dengan standar yang
baru, sehingga BPR pada group Wilis harus menyusun dua laporan keuangan, yaitu :
pertama sesuai dengan SAK ETAP yang berpedoman pada PA-BPR; dan kedua sesuai
laporan bulanan BI yang berpedoman pada surat edaran BI No.12/15/DKBU. Adanya dua
versi laporan keuangan akan menimbulkan kerancuan bagi pembaca laporan keuangan,
karena laporan keuangan yang dipublikasikan adalah laporan keuangan sesuai format
laporan bulanan BI yang belum sesuai dengan SAK ETAP dan PA-BPR.
Tabel 8 menerangkan bahwa terdapat perbedaan antara laporan keuangan auditan
yang disusun berdasarkan SAK ETAP dan PA-BPR dengan laporan publikasi yang disusun
sesuai format dengan laporan bulanan BI. Perbedaan yang terjadi adalah pada klasifikasi
laporan keuangan aset dan kewajiban, hal tersebut disebabkan oleh pendapatan provisi yang
ditangguhkan atas kredit yang diberikan dan belum diamortisasi pada laporan keuangan
auditan diakui sebagai aset, yaitu pada akun kredit yang diberikan - provisi dan disajikan
sebagai pengurang kredit yang diberikan, sedangkan pada laporan keuangan publikasi
diakui sebagai kewajiban, yaitu pada akun pendapatan ditangguhkan dan disajikan sebagai
bagian dari rupa-rupa pasiva. Selain itu perbedaan pada tabel 8 juga disebabkan oleh biaya
transaksi atas pinjaman diterima dari pihak ketiga pada laporan keuangan auditan diakui
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
15
sebagai kewajiban, yaitu pada akun pinjman diterima – biaya transaksi dan disajikan sebagai
pengurang pinjaman diterima, sedangkan pada laporan keuangan publikasi diakui sebagai
aset, yaitu pada akun beban yang ditangguhkan dan disajikan sebagai bagian dari rupa-rupa
aktiva. Perbedaan antara kedua laporan keuangan tersebut juga cukup besar yaitu antara
0,64% sampai dengan 2,58%, dan yang paling besar, bahkan bisa dikatakan material, adalah
perbedaan yang terjadi pada WPU yaitu sebesar Rp 1.135.109 ribu atau 2,58%. Ini yang
membuat total aset pada laporan keuangan yang dipublikasikan menjadi lebih kecil
daripada laporan keuangan auditan, hal tersebut sesuai dengan Jati dkk (2011: 150) bahwa
reklasifikasi provisi yang awalnya merupakan kewajiban menjadi aktiva yang mengurangi
kredit diberikan. Hal ini memperkecil aset pada laporan keuangan BPR.
Tabel 8
Perbandingan antara laporan keuangan auditan dengan
laporan keuangan publikasi untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2010
BPR
Klasifikasi Laporan Keuangan
Laporan Keuangan (Ribuan Rp)
Auditan
Publikasi
Aset
40.975.293
41.241.107
Kewajiban
37.243.529
37.509.343
Ekuitas
3.731.764
3.731.764
Pendapatan operasional
8.157.138
8.157.138
Beban operasional
-6.959.721
-6.959.721
CW
Pendapatan dan (beban) non
539.786
539.786
operasional
Laba bersih sebelum pajak
1.737.203
1.737.203
Pajak penghasilan
-322.393
-322.393
Laba bersih setelah pajak
1.414.810
1.414.810
Aset
46.630.594
47.765.703
Kewajiban
42.785.831
43.920.940
Ekuitas
3.844.763
3.844.763
Pendapatan operasional
8.618.207
8.618.207
Beban operasional
-7.033.023
-7.033.023
WPU
Pendapatan dan (beban) non
-31.022
-31.022
operasional
Laba bersih sebelum pajak
1.554.162
1.554.162
Pajak penghasilan
-405.717
-405.717
Laba bersih setelah pajak
1.148.445
1.148.445
Aset
18.931.542
19.088.696
Kewajiban
16.930.770
17.087.924
Ekuitas
2.000.772
2.000.772
Pendapatan operasional
3.841.702
3.841.702
Beban operasional
-2.954.809
-2.954.809
GMU
Pendapatan dan (beban) non
-21.512
-21.512
operasional
Laba bersih sebelum pajak
865.381
865.381
Pajak penghasilan
-144.283
-144.283
Laba bersih setelah pajak
721.098
721.098
Aset
13.563.885
13.784.318
Kewajiban
12.144.571
12.365.004
Ekuitas
1.419.314
1.419.314
Pendapatan operasional
3.053.142
3.053.142
Beban operasional
-2.597.044
-2.597.044
TA
Pendapatan dan (beban) non
-122.801
-122.801
operasional
Laba bersih sebelum pajak
333.297
333.297
Pajak penghasilan
-67.003
-67.003
Laba bersih setelah pajak
266.294
266.294
(Sumber : Laporan Keuangan Auditan dan Laporan Keuangan Publikasi BPR)
Perbandingan
naik/(turun)
Ribuan Rp
%
(265.814)
(0,64%)
(265.814)
(0,71%)
0
0%
0
0%
0
0%
0
0%
0
0
0
(1.135.109)
(1.135.109)
0
0
0
0%
0%
0%
(2,38%)
(2,58%)
0%
0%
0%
0
0%
0
0
0
(157.154)
(157.154)
0
0
0
0%
0%
0%
(0,82%)
(0,92%)
0%
0%
0%
0
0%
0
0
0
(220.433)
(220.433)
0
0
0
0%
0%
0%
(1,60%)
(1,78%)
0%
0%
0%
0
0%
0
0
0
0%
0%
0%
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
16
Sebab dan Akibat dari Dampak Penerapan atas SAK ETAP
Dampak terhadap pendapatan provisi, yang telah dibahas di atas, terjadi karena BPR
pada group Wilis belum menerapkan standar akuntansi yang lama secara benar. Mereka
masih mengakui pendapatan provisi berbasis kas bukan berbasis akrual. Seandainya
sebelumnya mereka menerapkan sesuai standar akuntansi yang lama maka tidak ada
dampak yang timbul terhadap pendapatan provisi. Dampak terhadap biaya yang
ditangguhkan timbul karena kesalahan pencatatan akuntansi yang masih salah, dan dampak
ini timbul juga bukan karena perubahan dari standar akuntansi yang lama ke SAK ETAP.
Perlakuan akuntansi terhadap biaya ditangguhkan, dalam hal ini biaya renovasi, tidak
berubah. Biaya renovasi tidak dapat ditangguhkan karena tidak sesuai dengan definisi dan
klasifikasi sebuah aset, sehingga harus langsung dibebankan.
Dampak diatas merupakan murni kesalahan pencatatan dan perlakuan akuntansi yang
terjadi pada BPR group Wilis, bukan karena perubahan standar akuntansi yang baru,
sehingga pada tahun 2010 BPR pada group Wilis harus menyesuaikan dengan pelakuan
akuntansi yang ada pada standar akuntansi yang berlaku. Akibatnya banyak akun-akun
pada akun laba rugi yang terpengaruh, sehingga menimbulkan kelebihan bayar pada pajak
penghasilan pasal 25. Untuk mengantisipasi agar tidak lebih bayar, karena takut diperiksa
oleh pajak, maka BPR pada group Wilis mengkoreksi positif beban-beban yang seharusnya
tidak dikoreksi positif.
Selain itu dampak yang lain adalah dampak terhadap penyusunan laporan keuangan.
BPR pada group Wilis tidak menyesuaikan saldo awal neraca meraka dengan SAK ETAP
dan PA-BPR, karena mereka salah menafsirkan penerapan secara prospektif dan kesalahan
pada sosialisasi yang berikan, sehingga berakibat adanya pengecualian pada opini yang
diberikan oleh kantor akuntan publik. Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya
kekurangpahaman para penyusunan laporan keuangan pada BPR group Wilis karena
penerapannya yang terlalu cepat dan sosialisai yang kurang. Sedangkan penyebab dari
dampak terhadap penyajian laporan keuangan adalah belum siapnya regulator untuk
membuat kebijakan atas berubahnya standar akuntansi pada BPR. BPR pada group Wilis
harus menyusun dua versi laporan keuangan karena regulator belum menyesuaikan laporan
bulanan yang harus dilaporkan oleh BPR dengan SAK ETAP dan PA-BPR.
Pendapat Atas Penerapan SAK ETAP
Penerapan SAK ETAP pada BPR merupakan penerapan yang bersifat mandatory,
karena diwajibkan oleh BI dengan alasan BI berpendapat bahwa SAK umum dipandang
tidak sesuai dengan karakteristik operasional BPR dan memerlukan biaya yang besar
dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh maka BPR. Biaya dan manfaat atas peneranan
standar akuntansi serta kebutuhan atas standar akuntansi yang sesuai merupakan indikasi
yang relevan dalam menganalisa apakah standar akuntansi yang akan diterapkan pada
suatu entitas atau negara telah sesuai. Hail et al. (2010: 235) menunjukkan bahwa peneliti
mengembangkan kerangka kerja konseptual untuk menganalisa tentang potensi biaya dan
manfaat dari adopsi IFRS di Amerika Serikat. Peneliti juga membahas kompatibilitas IFRS
kepada lingkungan peraturan dan hukum Amerika Serikat, serta dampak makroekonomi
yang mungkin timbul dari adopsi IFRS.
Seperti yang disebutkan diatas, bahwa penerapan SAK ETAP bagi BPR bersifat
mandatory, maka pada BPR group Wilis juga wajib menerapkan. Mereka tidak melakukan
kajian terhadap biaya dan manfaat serta kesesuian dengan karakteristik operasional BPR
pada saat mereka akan menerapkan SAK ETAP, sehingga terkesan mereka menerapkan SAK
ETAP dengan terpaksa. Pembahasan dibawah merupakan penjabaran apakah alasan yang
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
17
dipakai oleh BI dalam menetapkan SAK ETAP sesuai dengan kondisi yang terjadi pada BPR
group Wilis.
Biaya Penerapan SAK ETAP
Hail et al. (2010: 235) menunjukkan bahwa biaya yang akan timbul atas penerapan IFRS
di Amerika Serikat dapat dibagi menjadi dua yaitu : biaya transisi dan biaya rutin. Biaya
transisi adalah biaya yang hanya timbul karena adanya penerapan standar akuntansi baru,
biaya tersebut dapat timbul sebelum atau pada saat standar tersebut diterapkan. Biaya rutin
adalah biaya yang timbul secara terus menerus setiap tahun setelah adanya penerapan
standar akuntansi baru.
Berikut keterangan Tikno Santoso, yaitu :
“biaya yang timbul atas penerapan SAK ETAP pada BPR group Wilis adalah biaya
pelatihan dan biaya perubahan software komputer. Kami mengeluarkan biaya
pelatihan bagi staf kami agar mereka paham SAK ETAP dan itu cukup besar,
sedangkan biaya perubahan software komputer tidak besar karena software kami sudah
lama dan sulit dirubah.”
(Tikno Santoso, Senin, 30 Januari 2012)
Biaya pendidikan merupakan pengeluaran BPR pada group Wilis yang digunakan
untuk membiayai para pegawainya untuk dapat meningkatkan kinerjanya. Pada biaya
pendidikan tahun 2010 terdapat beberapa transaksi yang dikeluarkan untuk membiayai
bagian accounting dan / atau direksi untuk mengikuti pelatihan tentang SAK ETAP. Tabel 9
memaparkan bahwa biaya pendidikan seluruh BPR pada group Wilis pada tahun 2010
mengalami kenaikan, kecuali TA yang mengalami penurunan yaitu sebesar Rp 16.038 ribu
atau sebesar 33,00%.
Tabel 9
Perbandingan biaya pelatihan
Tahun 2010
Rincian
Biaya Pendidikan
Ribuan Rp
%
Pelatihan SAK ETAP
21.750
17,64%
CW
Pendidikan Lainnya
101.559
82,36%
TOTAL
123.309
100%
Pelatihan SAK ETAP
35.200
28,81%
WPU
Pendidikan Lainnya
86.968
71,19%
TOTAL
122.168
100%
Pelatihan SAK ETAP
19.500
28,63%
GMU
Pendidikan Lainnya
48.615
71,37%
TOTAL
68.115
100%
Pelatihan SAK ETAP
25.900
79,56%
TA
Pendidikan Lainnya
6.655
20,44%
TOTAL
32.555
100%
(Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR)
BPR
Tahun 2009
Ribuan Rp
0
59.520
59.520
0
128.349
78.349
0
51.683
51.683
0
48.593
48.593
Perbandingan Naik / (turun)
Ribuan Rp
%
21.750
42.039
63.789
107,17%
35.200
(41.381)
43.819
55,93%
19.500
(3.068)
16.432
31,79%
25.900
(41.938)
(16.038)
(33,00%)
Cecillia menjelaskan tentang biaya pelatihan pada TA, yaitu :
“biaya pelatihan SAK ETAP pada TA cukup besar pada tahun 2010 dibandingkan
dengan biaya pelatihan dibidang lain, karena kami mengirimkan kepala operasional,
accounting dan direksi. Belum lagi tempat pelatihan yang ada di Malang sehingga
biaya akomodasi juga diperhitungkan”
(Cecillia, Jumat, 3 Pebruari 2012)
Pernyataan tersebut sesuai dengan tabel 9, bahwa biaya pelatihan SAK ETAP pada TA
mencapai 79,56% dari seluruh total biaya pendidikan atau sebesar Rp 25.900 ribu. Persentase
tersebut adalah yang terbesar jika dibandingkan dengan BPR yang lain, sedangkan untuk
biaya pelatihan SAK ETAP yang terbesar adalah WPU yaitu sebesar 35.200 ribu. Tetapi jika
biaya pelatihan SAK ETAP tersebut dibandingkan dengan seluruh beban operasional, tabel
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
18
10, biaya pelatihan tersebut tidak lebih dari 1,00%, sehingga biaya pelatihan SAK ETAP tidak
besar dan tidak menambah beban operasional secara signifikan. Bahkan pada WPU yang
biaya pelatihan SAK ETAP paling besar, perbandingan biaya pelatihan SAK ETAP
dibandingkan dengan total beban operasional hanya 0,50%.
Tabel 10
Perbandingan antara biaya pendidikan dan pelatihan SAK ETAP dengan
total beban operasional untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2010
Biaya Pendidikan
Biaya Pelatihan
(B.Pend)
SAK ETAP (B.Pelat)
Ribuan Rp
Ribuan Rp
CW
123.309
21.750
WPU
122.168
35.200
GMU
68.115
19.500
TA
32.555
25.900
(Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR)
BPR
Total Beban
Operasional
Ribuan Rp
6.959.721
7.033.023
2.954.809
2.597.044
Perbandingan dengan Total
Beban Operasional ( % )
(B.Pend)
(B.Pelat)
1,77%
0,31%
1,74%
0,50%
2,31%
0,66%
1,25%
1,00%
Biaya perubahan software komputer pada BPR group Wilis hampir-hampir tidak ada,
karena yang mengerjakan perubahan software komputer adalah bagian informasi teknologi
BPR masing-masing. Menurut Ayu Ningtyas :
“biaya perubahan software komputer atas penerapan SAK ETAP yang kami keluarkan
hanya biaya lembur pada bagian IT (informasi teknologi), dan itupun hanya beberapa
hari, karena kami tidak merubah aplikasi yang ada, hanya menambahkan perhitungan
manual dengan excel”
(Ayu Ningtyas, Selasa, 7 Februari 2012)
Tikno Santoso mengatakan bahwa:
“software komputer kami sudah terlalu lama dan sulit dirubah. Oleh karena yang
berubah tidak terlalu banyak yaitu perhitungan provisi dan administrasi kredit, maka
kami menggunakan perhitungan secara manual dibantu dengan excel. Selain itu group
berencana membeli software komputer untuk seluruh operasional, termasuk
akuntansinya, sehingga percuma jika kami rubah sekarang”
(Tikno Santoso, Senin, 30 Januari 2012)
Pernyataan Ayu Ningtyas dan Tikno Santoso sesuai dengan Yung (2010: 172-174)
bahwa implementasi SAK ETAP pada BPR akan merubah sistem informasi perbankan, yaitu
perubahan aplikasi pada data nasabah kredit dengan menambah input total pendapatan
operasional bank (administrasi,provisi,dll) setiap nasabah. Hal itu terjadi karena adanya
perubahan pengakuan pendapatan operasional bank (administrasi,provisi,dll) yang tadinya
langsung diakui oleh bank pada saat proses pencairan kredit sekarang akan diakui secara
bertahap. Aplikasi yang baru akan mengolah data nasabah kredit menjadi data sisa hutang
nasabah dan sisa pendapatan yang ditangguhkan.
Yakub (2011: 6) menyatakan bahwa SAK ETAP tidak akan berubah dalam beberapa
tahun. Maka dapat dikatakan biaya transisi di atas tidak akan terulang kembali dalam
beberapa tahun kedepan. Sedangkan biaya rutin yang akan timbul atas penerapan SAK
ETAP tidak berbeda dengan sebelum menerapkan SAK ETAP, yaitu : biaya penyusunan
laporan keuangan dan biaya audit laporan keuangan. Dengan adanya penerapan SAK ETAP
pada BPR, kemungkinan biaya rutin akan mengalami kenaikan adalah biaya penyusunan
laporan keuangan dalam dua bentuk, yaitu sesuai SAK ETAP dan PA-BPR; dan sesuai
laporan BI. Namun biaya tersebut dapat diantisipasi dengan pembuatan software komputer
atas sistem akuntansi yang tepat dan biaya pembuatan software komputer telah masuk
kategori biaya transisi, serta dalam waktu dekat penyusunan laporan BI akan disesuaikan
SAK ETAP dan PA-BPR sehingga tidak perlu lagi menyusun laporan keuangan dalam dua
versi.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
19
Menurut Kuswardijah :
“beban yang timbul pada saat BPR menerapkan SAK ETAP tidaklah besar, karena SAK
ETAP dengan PSAK sebelum konvegensi ke IFRS sama-sama banyak menggunakan
biaya historis, sehingga perubahannya pun tidak signifikan. Hanya karena BPR belum
menerapkan PSAK 31 dan PAPI 2001 secara benar, maka mereka merasa
perubahannya besar. Ditambah dengan adanya momen BPR menerapkan SAK ETAP
dan PA-BPR, BI selaku pengawas menjadi lebih tegas, yaitu BPR harus sesuai SAK
ETAP dan PA-BPR. Hal tersebut yang membuat BPR-BPR merasa dikarenakan SAK
ETAP, mereka harus merubah sistem akuntansinya”
(Kuswardijah, Selasa, 1 Mei 2012)
Jadi apabila BI tidak mengeluarkan surat edaran yang mengharuskan BPR
menggunakan SAK ETAP dan PA-BPR, maka praktis industri BPR harus menggunakan
seluruh SAK umum yang relevan sebagai acuan dalam menyusun laporan keuangan,
khususnya PSAK 50 dan 55, karena PSAK 31 telah dicabut oleh IAI. Caratri (2011)
menyatakan bahwa penerapan PSAK 50 dan 55 membutuhkan sistem dan persiapan yang
cukup lama dan cukup mahal karena harus menggabungkan semua laporan keuangan
dalam satu paket. Dari sisi investasi, paling sedikit setiap bank harus mengeluarkan dan
sebesar US$1 juta untuk membeli sistem informasi dan teknologi untuk aplikasi pelaporan
keuangan berdasarkan PSAK 50 dan 55.
Pernyataan di atas mempertegas bahwa biaya yang timbul akibat BPR penerapan SAK
ETAP relatif murah dan tidak besar jika dibandingkan jika BPR menerapkan SAK umum.
Hal ini sesuai dengan surat edaran BI No.11/37/DKBU pada tanggal 31 Desember 2009
yang menyatakan bahwa SAK umum dan PAPI 2008, sebagai penjabarannya di industri
bank, penerapannya memerlukan biaya yang besar.
Manfaat Penerapan SAK ETAP
Laporan keuangan yang dihasilkan BPR sebelum penerapan SAK ETAP belum
seluruhnya sesuai PSAK 31 dan PAPI 2011 (Suryatno; 2010: 13, Wibowo; 2011: 16), sehingga
BI beriba hati, karena dewasa ini sebagian besar BPR, yang mendekati 10.000 entitas, belum
mampu menerbitkan laporan keuangan berbasis SAK umum dan PAPI, dan pada tahun
2010 BI menerbitkan pedoman laporan keuangan Bank Perkreditan Rakyat berbasis SAK
ETAP (Hoesada, 2010: 20). Pernyataan Suryatno, Wibowo dan Hoesada sesuai dengan yang
terjadi pada BPR group Wilis, menurut Tikno Santoso :
“memang sebelum SAK ETAP dan PA-BPR, kami belum menerapkan PAPI 2001
secara utuh, contohnya kami masih mengakui pendapatan provisi secara langsung.”
(Tikno Santoso, Senin, 30 Januari 2012)
Dengan menerapkan SAK ETAP, BPR diharapkan dapat menyusun laporan keuangan
yang sesuai dengan SAK ETAP, sehingga dapat menyajikan informasi bagi para
penggunanya. Jati dkk (2011: 150) menyatakan bahwa perlakuan akuntansi penyajian
laporan keuangan harus terdapat unsur-unsur identification, measurement, recognation,
valuation dan presentation agar sebuah laporan keuangan memberikan informasi yang relevan
bagi pengguna laporan keuangan sesuai kondisi masing-masing BPR. Karakteristik kualitatif
laporan keuangan meliputi; understandability, realibilitas, keterbandingan dan relevansi.
Dengan adanya SAK ETAP diharapkan menciptakan keseragaman dalam penerapan
perlakuan akuntansi dan penyajian laporan keuangan sehingga meningkatkan daya banding
di antara laporan keuangan BPR. Fitakhurrokhmah (2013: 11) juga menegaskan bahwa SAK
ETAP lebih mudah dipahami dan digunakan karena adanya penyederhanaan serta
penyesuaian dalam beberapa standar penyajian laporan keuangan, sehingga dengan adanya
SAK ETAP maka pengaruhnya terhadap BPR adalah adanya peningkatan efektifitas dan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
20
kualitas laporan keuangan, meminimalisir adanya kesalahan dalam proses pelaporan
keuangan serta meningkatkan daya saing BPR.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa SAK ETAP
merupakan standar yang tepat bagi BPR, karena dapat dijadikan acuan dalam menyusun
dan menyajikan laporan keuangan yang relevan, komprehensif, andal serta dapat
diperbandingkan bagi BPR. Selain itu penerapan standar akuntansi tersebut tidak sulit dan
tidak berpengaruh sacara signifikan terhadap BPR. Suprihadi (2012: 95) menyatakan bahwa
perubahan standar akuntansi keuangan dan pedoman akuntansi baru pada BPR, dasarnya
adalah melakukan reklasifikasi akun-akun tertentu dan dapat mempermudah menilai
konsistensi dalam pengakuan dan penyajian dalam laporan keuangan. Selain dilakukan
reklasifikasi akun-akun tertentu, perubahan prinsip akuntansi yang dilakukan terhadap
akun yang ditetapkan tidak mempengaruhi terhadap kinerja BPR secara keseluruhan.
Kuswardijah mengatakan :
“perubahan PSAK 31 ke SAK ETAP tidak banyak karena sama-sama menggunakan
biaya historis, begitu juga dengan PAPI 2001 dengan PA-BPR tidak signifikan. Berbeda
dengan Bank Umum yang harus menggunakan PSAK yang IFRS, mereka menjadi
kesulitan dalam menyusun laporan keuangan, khususnya menghitung pencadangan
penurunan nilai kredit mereka, karena harus menggunakan pengalaman mereka
selama 3 tahun terakhir, sedangkan mereka tidak punya record data selama 3 tahun
lalu, jika adapun mereka harus mengolahnya lagi. Bank umum saja masih kesulitan
apalagi BPR. Bagi saya SAK ETAP merupakan berkah bagi BPR karena mereka tidak
dihadapkan dengan PSAK yang IFRS”
(Kuswardijah, Selasa, 1 Mei 2012)
Pernyataan Kuswardijah sesuai dengan pernyataan Anggraita (2012: 2), yang
menyatakan bahwa dampak utama dari PSAK 50/55 (revisi 2006) dalam bisnis perbankan
adalah dalam valuasi pencadangan kredit bermasalah dimana penekanannya adalah pada
objektifitas dalam menentukan Cadangan Kerugian penurunan Nilai (CKPN) dari kredit
yang diberikan yang harus berdasarkan data historis 3 tahun kebelakang, dan juga adanya
keharusan valuasi debitur secara individual. Girsang (2012) menyatakan bahwa sampai
dengan akhir tahun 2009, belum ada satu bank pun yang mampu mengimplementasikan
secara utuh PSAK 50-55 dan PAPI 2008.
Dengan demikian manfaat yang diperoleh dari BPR pada group Wilis dengan
menerapkan SAK ETAP adalah mereka dapat menyajikan laporan keuangan yang relevan,
komprehensif, andal serta dapat diperbandingkan. Selain itu mereka tidak dihadapkan
dengan strandar akuntansi yang rumit, yaitu SAK umum.
Kesuaian SAK ETAP dengan Karakteristik Operasional BPR
BPR memiliki karakteristik yang berbeda dengan bank umum. Karakteristik BPR jauh
lebih sederhana dibanding bank umum, karena BPR lebih banyak berkecimbung di wilayah
UMKM. BPR merupakan lembaga pembiayaan terdekat yang memahami kebutuhan UMKM
dan masyarakat di sekitarnya. BPR selalu dihubungkan dengan UMKM karena BPR dapat
memberikan pembiayaan usaha produktif berskala mikro dan kecil, serta persyaratan dan
prosedur pencairan kredit yang sederhana dan cepat. Selain itu BPR sangat mengenal
karakter dari nasabahnya, hal tersebut dikarenakan BI membatasi wilayah kerjanya, yaitu
dalam satu provinsi saja, sehingga sumber daya manusianya lebih banyak dari lokal.
Penyaluran dana atau kredit yang diberikan pada BPR group Wilis lebih ditekankan
pada UMKM, hal tersebut dapat dilihat pada tabel 11, bahwa kredit yang diberikan lebih
banyak disalurkan kepada nasabahnya dengan nilai kredit yang kecil daripada dengan nilai
kredit yang besar. Pada tabel 13 dapat dilihat bahwa lebih dari 50% nasabah kredit pada BPR
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
21
group Wilis mendapatkan fasilitas kredit dibawah Rp 5.000.000, bahkan pada GMU
mencapai 66% dari seluruh nasabah kredit pada tahun 2010. Sedangkan fasilitas kredit yang
besar atau diatas Rp 100.000.000 persentase jumlah nasabahnya sedikit, tidak sampai 1%,
tetapi jika dilihat dari total kredit yang diberikan persentasenya bervariasi. Pada CW cukup
besar mencapai 18,27% atau Rp 4.771.500 ribu, sedangkan pada GMU sangat kecil, yaitu
hanya 3,36% atau sebesar Rp 454.000 ribu.
Tabel 11
Rincian pencairan kredit yang diberikan selama tahun 2010
BPR
Kriteria
(Rp)
> 100 juta
> 50 juta s/d 100 juta
> 25 juta s/d 50 juta
CW
> 10 juta s/d 25 juta
> 5 juta s/d 10 juta
≤ 5 juta
TOTAL
> 100 juta
> 50 juta s/d 100 juta
> 25 juta s/d 50 juta
WPU
> 10 juta s/d 25 juta
> 5 juta s/d 10 juta
≤ 5 juta
TOTAL
> 100 juta
> 50 juta s/d 100 juta
> 25 juta s/d 50 juta
GMU
> 10 juta s/d 25 juta
> 5 juta s/d 10 juta
≤ 5 juta
TOTAL
> 100 juta
> 50 juta s/d 100 juta
> 25 juta s/d 50 juta
TA
> 10 juta s/d 25 juta
> 5 juta s/d 10 juta
≤ 5 juta
TOTAL
(Sumber : Bagian Kredit BPR)
Kredit yang diberikan
Ribuan Rp
%
4.771.500
18,27%
3.577.707
13,70%
4.005.822
15,34%
3.816.767
14,62%
4.822.700
18,47%
5.120.600
19,61%
26.115.096
100,00%
2.032.800
6,71%
1.903.833
6,28%
7.230.625
23,86%
3.430.988
11,32%
8.005.500
26,42%
7.699.009
25,41%
30.302.755
100,00%
454.000
3,36%
877.667
6,49%
2.044.875
15,13%
1.705.125
12,61%
3.553.050
26,28%
4.884.956
36,13%
13.519.673
100,00%
1.077.500
11,69%
1.049.000
11,38%
991.250
10,76%
1.006.250
10,92%
2.596.950
28,18%
2.493.375
27,06%
9.214.325
100,00%
Jumlah Nasabah
Orang
%
19
0,97%
46
2,32%
102
5,16%
212
10,75%
487
24,70%
1.106
56,10%
1.972
100,00%
11
0,44%
23
0,92%
178
7,18%
185
7,49%
667
26,95%
1.411
57,02%
2.475
100,00%
3
0,20%
11
0,77%
52
3,76%
93
6,71%
311
22,37%
920
66,19%
1.390
100,00%
7
0,91%
13
1,68%
27
3,43%
54
7,03%
213
27,60%
458
59,35%
772
100,00%
Selain kredit yang diberikan, tingkat pengetahuan sumber daya manusia BPR terhadap
standar akuntansi juga kurang, mereka tidak semerta-merta mengetahui perkembangan
standar akuntansi yang baru jika pengawas mereka, dalam ini BI, mewajibkan untuk
diterapkan. Berikut pendapat BPR pada group Wilis atas perkembangan standar akuntansi
yang ada, khususnya di Indonesia :
Menurut Hurin’in :
“pada saat surat edaran BI tentang penerapan SAK ETAP terbit, kami tidak mengerti
apa itu SAK ETAP, bahkan PSAK 31 belum pernah kami baca. Selama ini panduan
kami hanya PAPI 2001 dan arahan dari pengawas BI, itupun PAPI 2001 belum
sepenuhnya diterapkan”
(Hurin’in, Senin, 13 Pebruari 2012)
Tikno Santoso mengatakan bahwa :
“kami mengetahui PSAK telah banyak yang berubah, tetapi kami hanya melalui
internet dan tidak mempelajari lebih lanjut”
(Tikno Santoso, Senin, 30 Januari 2012)
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
22
Menurut Cecillia :
“kami tidak mengetahui apa yang dimaksud PSAK 50 dan 55, kami hanya melakukan
pembukuan sesuai dengan perintah BI”
(Cecillia, Jumat, 3 Pebruari 2012)
Sedangkan menurut Ayu Ningtyas :
“laporan keuangan yang kami susun sesuai dengan apa yang BI dan audit internal
sarankan. Kami tidak mengikuti perkembangan standar akuntansi, karena melakukan
pekerjaan sehari-hari saja sudah menyita banyak waktu”
(Ayu Ningtyas, Selasa, 7 Februari 2012)
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa BPR pada group Wilis tidak terlalu
perhatian terhadap standar akuntansi, mereka lebih memperhatikan apa yang disarankan
pengawas BI dan pengawas internal mereka, sehingga mereka menyusun laporan keuangan
hanya berdasarkan instruksi BI dan peraturan yang dikeluarkan oleh BI tanpa mempelajari
lebih lanjut standar akuntansi yang berlaku.
Kuswardijah mengatakan bahwa :
“transaksi pada BPR merupakan transaksi yang sederhana, karena kegiatan mereka
sederhana serta jangkauan kerja mereka juga tidak luas, maka mereka memerlukan
standar akuntansi yang sederhana pula. Laporan keuangan BPR jarang diperhatikan
oleh nasabah mereka, para nasabah hanya memperhatikan kemudahan kredit dan
bunga bersaing, sehingga SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang tepat bagi
BPR”
(Kuswardijah, Selasa, 1 Mei 2012)
Pernyataan Kuswardijah yang mengatakan bahwa SAK ETAP merupakan standar
akuntansi yang tepat bagi BPR sesuai dengan Suprihadi (2012: 95) bahwa perubahan standar
akuntansi keuangan tidak berpengaruh terhadap efisiensi BPR, sehingga mengindikasikan
bahwa, latar belakang terbitnya surat edaran BI yang mewajibkan perubahan standar
akuntansi keuangan dengan memberlakukan SAK-ETAP dan selanjutnya menerbitkan PABPR, dalam rangka peningkatan transparansi kondisi keuangan BPR dan penyusunan
laporan keuangan yang relevan, komprehensif, andal dan dapat diperbandingkan adalah
sesuai.
Perbandingan Pendapat Atas Penerapan SAK ETAP
Berdasarkan surat edaran BI tentang penerapan SAK ETAP, BI beralasan bahwa SAK
umum dan PAPI 2008 penerapannya memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan
manfaat yang diperoleh. Jika dibandingkan dengan pendapat dari para penyusun laporan
keuangan pada BPR group Wilis dan auditor eksternal telah sesuai, karena penerapan SAK
ETAP pada BPR group Wilis tidak memerlukan biaya yang terlalu besar dan tidak signifikan
jika dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Biaya yang timbul tidak sebesar jika BPR
menerapkan SAK umum dan beberapa tahun kedepan tidak akan terulang kembali.
Sementara manfaat yang diperoleh cukup besar, yaitu dapat menyusun dan menyajikan
laporan keuangan yang berkualitas, relevan, komprehensif, andal dan dapat
diperbandingkan.
Selain itu manfaat lain yang diperoleh adalah BPR tidak dihadapkan dengan SAK
umum yang rumit, akan tetapi mereka tidak menyadari hal tersebut. Bank umum yang
memiliki SDM dan sistem yang lebih maju saja belum bisa menerapkan, apalagi dengan BPR
yang karakteristiknya lebih sederhana. Para penyusun laporan keuangan pada BPR group
Wilis hanya terpaku pada aturan BI dan saran pengawasnya. Mereka tidak memahami dan
mengikuti perkembangan standar akuntansi yang ada. Mereka merasa penerapan SAK
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
23
ETAP sudah cukup rumit, padahal penerapan ini hanya sedikit perubahannya. Bahkan
Auditor eksternal menganggap seharusnya para BPR bersyukur karena diwajibkan SAK
ETAP bukan SAK umum, karena auditor eksternal paham bahwa SAK umum sangat rumit
dan tidak mungkin BPR, yang memiliki karakteristik sederhana, mampu menerapkan.
Dengan demikian alasan kedua BI, yaitu SAK ETAP sesuai dengan karakteristik operasional
BPR adalah benar dan sesuai dengan pendapat auditor eksternal, akan tetapi tidak disadari
oleh BPR pada group Wilis.
SIMPULAN DAN KETERBATASAN
Simpulan
Penelitian ini mengkaji bagaimana dampak atas penerapan SAK ETAP di BPR serta
pendapat dari penyusun laporan keuangan dan auditor eksternal atas penerapan standar
akuntansi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : (1)
Penerapan SAK ETAP di BPR berdampak terhadap pendapatan provisi, biaya
ditangguhkan, perpajakan, penyusunan laporan keuangan dan penyajian laporan keuangan.
Dampak tersebut bukan dikarenakan perbedaan yang signifikan antara SAK ETAP dan PABPR dengan PSAK 31 dan PAPI 2001 dan SAK ETAP kurang dipahami oleh para
penyusunan laporan keuangan BPR, serta penerapan SAK ETAP di BPR kurang didukung
dengan kebijakan dan peraturan BI yang baru; (2) SAK ETAP merupakan standar akuntansi
yang tepat bagi BPR, karena biaya penerapannya rendah dan manfaat yang cukup banyak
bagi BPR dari pada BPR menerapkan SAK umum, seperti yang dilakukan bank umum, serta
sesuai dengan karakteristik BPR yang sederhana.
Keterbatasan
Keterbatasan penelitian ini adalah penelitian dilakukan dengan menggunakan
pendekatan studi kasus di sebuah group BPR, sehingga tidak dapat digeneralisasi keseluruh
BPR yang ada di Indonesia, serta BPR yang ada dalam Group yang dipilih merupakan BPR
yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip konvensional, atau tidak ada yang
berprinsip syariah. Selain itu informan yang ada dalam penelitian ini hanya penyusun
laporan keuangan dan auditor eksternal, tanpa ada informan dari pihak pengawas bank,
dalam hal ini BI.
Saran
Penelitian ini membuka peluang untuk melakukan penelitian lanjutan di masa yang
akan datang. Berikut ini adalah beberapa penelitian lanjutan yang dianjurkan : (1) Penelitian
berikutnya dianjurkan dengan sampel BPR yang berprinsip syariah, karena SAK ETAP tidak
mengatur prinsip syariah dan hingga saat ini belum ada pedoman akuntansi khusus BPR
yang berprinsip syariah yang diterbitkan oleh BI; (2) Penelitian berikutnya dianjurkan
dengan menambahkan informan dari pengawas bank (BI), karena BI merupakan salah satu
pihak yang bersentuhan dengan penyusunan laporan keuangan BPR serta pembuat
kebijakan dan peraturan untuk mengatur BPR; (3) Penelitian berikutnya dianjurkan dengan
sampel entitas selain BPR, karena BPR dalam menerapkan SAK ETAP bersifat mandatory,
sedangkan entitas lain yang menerapkan SAK ETAP akan melakukannya secara voluntary.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraita, V. 2012. Dampak Penerapan PSAK 50/55 (Revisi 2006) terhadap Manajemen Laba
Diperbankan: Peranan Mekanisme Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, dan
Kualitas Audit. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi XV, Banjarmasin, 20-23
September 2012.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
24
Bali Post. 14 Maret 2011. SAK-ETAP Pas dan Bermanfaat bagi BPR, http://www.balipost.co.id/
mediadetail.php?module=detailberita&kid=32&id=49191, diakses pada tanggal 23 Juli 2011.
Basir, S. 2010. Persiapan Penerapan PSAK ETAP. News Letter KAP Syarief Basir dan Rekan edisi
Juli 2010, www.russellbedford.co.id, diakses pada tanggal 23 Juli 2011.
Caratri, E. 2011. Implikasi Penerapan PSAK 50 dan 55 Revisi 2006 pada Dunia Perbankan.
http://vibizmanagement.com/column/index/category/financial/ 2366/20 diakses pada tanggal
20 Juli 2013.
Deloitte & Touche LLP. 2009. IFRS Survey 2009 for Private Companies. www.iasplus.com,
diakses pada tanggal 22 Juli 2011.
Fitakhurrokhmah. 2013. Pengaruh Persepsi Kemudahan Penggunaan dan Kegunaan
Terhadap Penggunaan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas
Publik pada Bank Perkreditan Rakyat di Malang Raya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Brawijaya (FEB), 1(1).
Girsang, T.B. 2012. PSAK 50 (60) - 55 : Panas – Dingin Perang Ala PSAK. www.bankirnews.com,
diakses pada tanggal 25 Juli 2013.
Hail, L., C. Leuz dan P. Wysocki. 2010. Global Accounting Convergence and the Potential
Adoption of IFRS by the U.S. (Part I): Conceptual Underpinnings and Economic
Analysis. Accounting Horizons, 24 (3): 355–394.
Hoesada, J. 2010. Implementasi SAK ETAP: Sumber Daya, Peluang dan Tantangannya. Materi
Seminar Kongres XI IAI 8-10 Desember 2010 Hari Kedua Concoren B Sesi 2,
www.iaiglobal.or.id, diakses pada tanggal 11 Juli 2011.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas
Publik, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia.
______. 2012. Standar Akuntansi Keuangan Per 1 Juni 2012, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi
Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia.
Jati, A.W, E. Suprapti dan S.W. Wicaksono. 2011. Kajian atas Standar Pelaporan Keuangan
Bank Perkreditan Rakyat : Komparasi Antara PSAK No. 31, SAK ETAP, dan Pedoman
Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat. Jurnal Reviu Akuntansi dan Keuangan, 1 (2): 141-150
ISSN: 2088-0685.
Jermakowicz, E.K. dan B.J. Epstein. 2010. IFRS for SMEs - An Option for US Private Entities?
Review of Business, 30 (2): 72-79.
Johnson, S.E. 2010. "Big GAAP" Versus "Little GAAP:" Do We Now Have A Possible
Solution? Construction Accounting & Taxation, 20 (3): 24-28.
Lindberg, D.L. dan D.L. Seifert. 2010. A New Paradigm of Reporting on the Horizon:
International Financial Reporting Standards (IFRS) and Implications for the Insurance
Industry. Journal of Insurance Regulation, 29: 229-252.
Pencabutan Penyataan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK) Nomor 4. 2009. Pencabutan
PSAK 31 (Revisi 2000): Akuntansi Perbankan, PSAK 42: Akuntansi Perusahaan Efek, dan
PSAK 49: Akuntansi Reksa Dana, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan
Akuntan Indonesia.
Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat. 2010. Jakarta: Bank Indonesia dan Ikatan
Akuntan Indonesia.
Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia. 2001. Jakarta: Bank Indonesia dan Ikatan
Akuntan Indonesia.
Peraturan Bank Indonesia No.8/20/PBI/2006. 2006. Transparansi Kondisi Keuangan Bank
Perkreditan Rakyat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 77.
Gubernur Bank Indonesia. Jakarta.
______ No.8/26/PBI/2006. 2006. Bank Perkreditan Rakyat. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 87. Gubernur Bank Indonesia. Jakarta.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013)
25
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 (Revisi 2009). Penyajian Laporan
Keuangan, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia.
Pricewaterhouse Coopers (PwC) Indonesia. 2010. US GAAP, IFRS and Indonesian GAAP
Similarities and Differences. www.pwc.com, diakses pada tanggal 21 Juli 2011.
Riduwan, A. 2008. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46 dan Koefisien
Respon Laba Akuntansi. Ekuitas, 12 (3): 336-358.
Rudiantoro, R. dan S.V. Siregar. 2011. Kualitas Laporan Keuangan UMKM Serta Prospek
Implementasi SAK ETAP. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi XIV, Aceh, 20-23 Juli
2011.
Siskayani, G.A.K. 2013. Pengaruh Pendapatan Provisi dan Komisi Kredit Sesudah
Implementasi SAK ETAP Terhadap Laporan Keuangan PT. BPR Bali Dananiaga
Denpasar. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 3 (2): 351-367 ISSN: 2302-8556.
Suprihadi. 2012. Pengaruh Perubahan Standar Akuntansi Keuangan-(SAK) Terhadap
Efisiensi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan Pendekatan Data Envelopment
Analysis-(DEA). Tesis M.S. Akuntansi. Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya. Malang.
Surat Edaran Bank Indonesia No.11/4/DPNP. 2009. Pelaksanaan Pedoman Akuntansi
Perbankan Indonesia, Jakarta: Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank
Indonesia.
______ No.11/37/DKBU. 2009. Penetapan Penggunaan Standar Akuntansi Keuangan bagi Bank
Perkreditan Rakyat, Jakarta: Direktur Kredit, Bank Perkreditan Rakyat dan Usaha Mikro
Kecil Menengah Bank Indonesia.
______ No.12/14/DKBU. 2010. Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat,
Jakarta: Direktur Kredit, Bank Perkreditan Rakyat dan Usaha Mikro Kecil Menengah
Bank Indonesia.
______ No.12/15/DKBU. 2010, Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan BPR, Jakarta: Direktur
Kredit, Bank Perkreditan Rakyat dan Usaha Mikro Kecil Menengah Bank Indonesia.
Suryatno, P.H. 2010. SAK ETAP: Sumber Daya, Peluang dan Tantangannya. Materi Seminar
Kongres XI IAI 8-10 Desember 2010 Hari Kedua Concoren B Sesi 2, www.iaiglobal.or.id.
diakses pada tanggal 21 Maret 2011.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182.
Sekretaris Negara. Jakarta.
Wibowo, Y.S. 2011. Implementasi SAK ETAP pada Industri BPR. Materi Acara HUT IAI ke-54 23
Desember 2011 Concurent Session Kelas F, www.iaiglobal.or.id, diakses pada tanggal 24 Juli
2012.
Yakub. 2011. Implementasi SAK ETAP. Materi Acara HUT IAI ke-54 23 Desember 2011 Concurent
Session Kelas F, www.iaiglobal.or.id, diakses pada tanggal 24 Juli 2012.
Yung, S. 2010. Perancangan Sistem Perbankan Berbasis Usaha Kecil Menengah Berdasarkan
Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik. Jurnal Sistem
Informasi, 5 (2):169 – 177 ISSN : 1907-1221.
●●●
Download