Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) DAMPAK PENERAPAN “SAK ETAP”: STUDI KASUS PADA GROUP BANK PERKREDITAN RAKYAT Bayu Nurcahyo Andini [email protected] Akhmad Riduwan Andayani Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya ABSTRACT The purpose of this research is to explain the impact of implementing of Financial Accounting Standards for Entities without Public Accountability (SAK ETAP) at Rural Bank (BPR) and to understand the opinion of the financial statement’s prepare and external auditor on the implementation of SAK ETAP at BPR so it can be concluded whether SAK ETAP is the correct accounting standard for BPR. This research is a qualitative research with case study approach at a group of BPR which consist of four BPR, which their shares are owned by one family. The data is collected through interviews, observations and documentations. Interviews are done with the directors, head of operational, accounting departments, and external auditors. The result of research shows that the implementation of SAK ETAP at BPR has an impact to the provision revenue, the deferred cost, the income tax and the preparation and the presentation of BPR financial report. However, this impact has no influence overall on BPR financial report. The implementation of SAK ETAP at BPR creates less implementation cost than the benefit which is gained by BPR, and also SAK ETAP is the accounting standard for BPR characteristics. Keywords: the impact of implementing, the appropriate financial accounting standards, SAK ETAP, Rural Bank ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan dampak atas penerapan SAK ETAP di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan memahami pendapat dari penyusun laporan keuangan dan auditor eksternal atas penerapan SAK ETAP di BPR, sehingga dapat diambil kesimpulan apakah SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang tepat untuk BPR. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada sebuah group BPR yang terdiri dari empat BPR yang sahamnya dimiliki oleh satu keluarga. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan dokumen. Wawancara dilakukan dengan direksi, kepala operasional dan bagian akuntansi, serta auditor eksternal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan SAK ETAP di BPR berdampak pada pendapatan provisi atas kredit, biaya ditangguhkan, pajak penghasilan, serta penyusunan dan penyajian laporan keuangan BPR. Namun dampak tersebut tidak berpengaruh secara keseluruhan atas laporan keuangan BPR. Penerapan SAK ETAP di BPR menimbulkan biaya penerapan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh BPR, serta SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang sesuai dengan karakteristik BPR. Kata Kunci : dampak penerapan, SAK yang sesuai, SAK ETAP, Bank Perkreditan Rakyat PENDAHULUAN Dampak dari konvergensi SAK Indonesia ke IFRS adalah merevisi PSAK yang telah ada, yaitu dengan menerbitkan PSAK baru, merubah PSAK yang telah ada, bahkan mencabutnya agar PSAK compliance terhadap IFRS. Salah satunya adalah pada tanggal 15 Desember 2009, DSAK – IAI mengesahkan PPSAK nomor 4, salah satunya berisi tentang pencabutan PSAK 31 (revisi 2000): Akuntansi Perbankan, dimana PPSAK tersebut berlaku efektif pada sejak tanggal 1 Januari 2010, sehingga standar akuntansi yang dipakai untuk Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 2 perbankan sama dengan standar akuntansi umum untuk industri lainnya yaitu seluruh PSAK yang relevan. Sebelumnya BI, selaku regulator perbankan di Indonesia, telah menerbitkan surat edaran BI No. 11/4/DPNP pada tanggal 27 Januari 2009, menyatakan bahwa sejak tanggal 1 Januari 2010 PAPI 2001 diganti dengan PAPI 2008. PAPI 2008 merupakan petunjuk pelaksanaan yang berisi penjabaran lebih lanjut dari beberapa PSAK yang relevan bagi industri perbankan, terutama PSAK 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan dan PSAK 55 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan. Akan tetapi BI berpendapat bahwa PSAK dan PAPI tersebut tidak sesuai dengan karakteristik operasional BPR dan penerapannya memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh maka BPR memerlukan standar akuntansi keuangan yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut, BI menerbitkan surat edaran BI No.11/37/DKBU pada tanggal 31 Desember 2009, yang menyatakan bahwa sejak tanggal 1 Januari 2010 standar akuntansi keuangan yang digunakan BPR adalah SAK ETAP dan pedoman akuntansi atas transaksi keuangan BPR tetap menggunakan pedoman akuntansi sebagaimana yang digunakan selama ini sepanjang PA-BPR belum diberlakukan. SAK ETAP adalah standar yang umum dan tidak dapat langsung diterapkan oleh industri BPR, sehingga diperlukan pedoman yang akan mempermudah penerapan SAK ETAP bagi BPR. Untuk itu, BI menerbitkan surat edaran BI No.12/14/DKBU pada tanggal 1 Juni 2010, yang menyatakan bahwa SAK ETAP merupakan standar akuntansi keuangan yang relevan bagi BPR dan PA-BPR merupakan petunjuk pelaksanaan yang berisi penjabaran lebih lanjut dari SAK ETAP. PA-BPR disusun oleh tim perumus yang terdiri dari: Perbarindo, IAI dan BI. Perbarindo, IAI dan BI memandang SAK ETAP dapat menjadi acuan yang tepat bagi BPR dalam menyusun laporan keuangan karena sesuai dengan kebutuhan BPR dan pengaruh perubahan perlakuan akuntansinya tidak terlalu banyak dibandingkan penggunaan standar sebelumnya, sehingga penyesuaian perlakuan akuntansi diharapkan tidak menyulitkan BPR dalam menyusun laporan keuangannya sesuai dengan SAK ETAP. Walaupun PA-BPR yang merupakan penjabaran SAK ETAP disusun mengacu pada PAPI 2001 yang merupakan penjabaran PSAK 31, sehingga tidak terdapat perubahan yang signifikan, tetapi masih terdapat praktek-praktek di lapangan yang belum sesuai dengan PAPI 2001 (Suryatno, 2010: 13). Suryatno juga menyatakan bahwa terdapat pontensi permasalah akan muncul atas penerapan SAK ETAP. Selain itu surat edaran BI No.12/14/DKBU mewajibkan BPR berpedoman pada PABPR yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 2010, sedangkan BPR telah terlanjur menyusun laporan keuangan periode 1 Januari 2010 sampai dengan 30 Juni 2010 sesuai pedoman yang lama. Permasalahan akan timbul jika penyusun laporan keungan BPR tidak memahami secara benar pedoman yang baru, maka akan terjadi kesalahan dalam penyesuaian laporan keuangan yang telah disusun dengan pedoman lama ke pedoman yang baru, akibatnya laporan keuangan BPR yang disajikan belum sepenuhnya sesuai dengan SAK ETAP. Pada saat laporan keuangan tersebut diperiksa oleh BI ataupun pihak auditor eksternal, hasil pemeriksaan kemungkinan terdapat temuan-temuan atas kesalahan penerapan SAK ETAP. Hal tersebut dapat disebabkan oleh karena penyusun laporan keuangan, pengawas bank maupun auditor eksternal tidak mendapatkan pelatihan yang sama atas penerapan standar akuntansi baru bagi BPR. Kemungkinan juga akibat perbedaan penafsiran dalam membaca maupun penerapan SAK ETAP. Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, memaparkan dampak atas penerapan SAK ETAP di BPR, sehingga dapat disimpulkan akar yang menjadi menyebabkan dampak tersebut timbul. Kedua, memahami pendapat dari penyusun laporan Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 3 keuangan dan auditor eksternal atas penerapan SAK ETAP di BPR, sehingga dapat diambil kesimpulan apakah SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang tepat untuk BPR. TINJAUAN TEORITIS BPR Definisi BPR adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan UU 10 tahun 1998 tentang perbankan, fungsi utama BPR adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, sedangkan tujuan BPR adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Berdasarkan peraturan BI nomor 8/26/PBI/2006 tentang BPR pasal 2 dan 3, bentuk badan hukum suatu BPR dapat berupa : (a) perusahaan daerah; (b) koperasi; atau (c) perseroan terbatas. BPR hanya dapat didirikan dan melaksanakan kegiatan usaha dengan izin BI serta BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya. Kegiatan usaha BPR adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk deposito dan tabungan dan menyalurkan kembali ke masyarakat dengan bentuk kredit dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan BPR diperoleh dari spread effect dan pendapatan bunga. Selain itu investasi yang dibolehkan hanya menempatkan dana dalam SBI, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. Selain itu ruang lingkup wilayah operasi BPR sangatlah terbatas, karena BPR hanya dapat membuka kantor kas di wilayah kabupaten atau kota yang sama dengan kantor induknya dan kantor cabang di wilayah provinsi yang sama dengan kantor pusatnya. Berdasarkan Peraturan BI nomor 8/20/PBI/2006, BI mewajibkan BPR untuk membuat dan menyajikan laporan keuangan, yang terdiri dari (a) Laporan Tahunan yaitu laporan lengkap mengenai kinerja suatu BPR dalam kurun waktu satu tahun yang berisi laporan keuangan laporan keuangan akhir tahun BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan informasi umum; dan (b) Laporan Keuangan Publikasi yaitu laporan keuangan BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan dipublikasikan setiap triwulan sesuai dengan ketentuan BI. Laporan tahunan BPR yang disebutkan diatas, wajib disampaikan kepada BI paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya jika laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik, apabila tidak diaudit oleh akuntan publik maka wajib menyampaikan paling lambat akhir bulan februari tahun berikutnya. Bagi BPR yang mempunyai total aset Rp10.000.000.000,00 atau lebih, laporan keuangan tahunan yang disampaikan kepada BI dalam laporan tahunan wajib diaudit oleh akuntan publik. Laporan keuangan publikasi BPR wajib dipublikasikan pada publik dengan cara diumumkan pada surat kabar lokal atau ditempelkan pada papan pengumuman di kantor BPR yang bersangkutan. Selain itu BI juga akan mempublikasikannya dalam website resmi BI, sehingga publik dapat mengakses laporan keuangan publikasi BPR. SAK ETAP DSAK-IAI menerbitkan SAK ETAP pada tanggal 19 Mei 2009 dan SAK ETAP berlaku efektif pada atau setelah 1 Januari 2011, dan penerapan dini diperkenakan (IAI, 2009: Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 4 Paragraf 30.1). SAK ETAP sendiri merupakan adopsi dari produk IASB yaitu IFRS for SMEs, akan tetapi yang diadopsi adalah Exposure Draft (ED) IFRS for SMEs karena pada saat DSAK-IAI menyusun SAK ETAP, IFRS for SMEs belum terbit. Sebenarnya DSAK-IAI ingin standar ini digunakan untuk UKM sesuai seminar yang diselengarakan IAI, akan tetapi istilah UKM menimbulkan masalah teknis akuntansi (Hoesada, 2010: 10). Jan Hoesada juga menyatakan bahwa akhirnya DSAK-IAI memutuskan untuk menggunakan istilah Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP). Istilah ETAP pertama kali dikemukan oleh bapak Jusuf Wibisana (ketua DSAK-IAI pada saat itu). Jermakowicz dan Epstein (2010: 73) juga menunjukkan hal yang sama, yaitu “the standard does not impose a size test in defining SMEs, notwithstanding the nomenclature used”, sedangkan PwC Indonesia (2010: 176) menyatakan bahwa “the definition of a SME is therefore based on the nature of the entity rather than on its size”. SAK ETAP dimaksudkan untuk digunakan entitas tanpa akuntabilitas publik. Definisi entitas tanpa akuntabilitas publik adalah entitas yang: (a) tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan; dan (b) menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statement) bagi pengguna eksternal. Contoh pengguna eksternal adalah pemilik yang tidak terlibat langsung dalam pengelolaan usaha, kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit (IAI, 2009: Paragraf 1.1). Entitas yang memiliki akuntabilitas publik signifikan adalah jika: (a) entitas telah mengajukan pernyataan pendaftaran, atau dalam proses pengajuan pernyataan pendaftaran, pada otoritas pasar modal atau regulator lain untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal; atau (b) entitas menguasai aset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar masyarakat, seperti bank, entitas asuransi, pialang dan atau pedagang efek, dana pensiun, reksa dana dan bank investasi (IAI, 2009: Paragraf 1.2). Entitas yang memiliki akuntabilitas publik signifikan dapat menggunakan SAK ETAP jika otoritas berwenang membuat regulasi mengizinkan penggunaan SAK ETAP (IAI, 2009: Paragraf 1.3). Perbedaan SAK umum dan SAK ETAP DSAK-IAI telah menyusun KDPPLK merupakan konsep yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan untuk tujuan umum, sehingga KDPPLK merupakan landasan konseptual dari rerangka prinsip akuntansi, akan tetapi terdapat perbedaan dalam penyusunan laporan keuangan yang berdasarkan SAK ETAP dengan KDPPLK, seperti yang tertera dalam Tabel 1. Tabel 1 Perbedaan KDPPLK dan Konsep dan Prinsip Pervasif SAK ETAP PERIHAL Tujuan laporan keuangan Karakteristik kualitatif laporan keuangan Unsur-unsur laporan keuangan Konsep pengakuan Konsep pengukuran KDPPLK Menyediakan informasi posisi keuangan, kinerja keuangan, dan laporan arus kas suatu entitas yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi. (1) Dapat dipahami; (2) Relevan; (3) Keandalan; (4) Dapat diperbandingkan • Posisi keuangan • Kinerja Keuangan • Probabilitas Manfaat Ekonomi Masa Depan • Keandalan Pengukuran (1) biaya historis; (2) biaya kini; (3) nilai realisasi bersih; (4) nilai sekarang Ada Konsep pemeliharaan modal (sumber : dirangkum dari SAK umum dan SAK ETAP) SAK ETAP Sama dengan KDPPLK Sama dengan KDPPLK Sama dengan KDPPLK Sama dengan KDPPLK (1) biaya historis ; (2) nilai wajar Tidak ada Laporan keuangan yang disusun menggunakan SAK ETAP lebih menekankan keandalan karena mayoritas menggunakan konsep biaya historis daripada nilai wajar, sehingga penyusunannya diharapkan lebih mudah dari pada SAK umum. Penyajian laporan keuangan yang disusun SAK ETAP dan SAK umum berbeda, seperti yang tertera dalam Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 5 tabel 2, sehingga laporan keuangan yang disusun SAK ETAP dan SAK umum tidak dapat diperbandingkan. Tabel 2 Perbedaan SAK umum dan SAK ETAP PERIHAL Kepatuhan terhadap SAK Komponen laporan keuangan Tanggung jawab atas laporan keuangan Asumsi dasar Laporan posisi keuangan / neraca SAK UMUM • Kepatuhan terhadap SAK • Pengungkapan atas PSAK “misleading” (1) Lap posisi keuangan/neraca; (2) Lap laba rugi komprehensif; (3) Lap perubahan ekuitas; (4) Lap arus kas; (5) Catatan atas laporan keuangan; (6) Laporan posisi keuangan awal periode komparatif Ada SAK ETAP Kepatuhan terhadap SAK ETAP Dasar akrual & kelangsungan usaha (1) Pos minimal yang disajikan; (2) Klasifikasi aset dan kewajiban; (3) Pengungkapan Dasar akrual & kelangsungan usaha (1) Pos minimal yang disajikan lebih sedikit; (2) Klasifikasi aset dan kewajiban; (3) Pengungkapan lebih sederhana • Laba rugi • Pos minimal lebih sedikit (1) Pos minimal lebih sedikit; (2) Pengungkapan distribusi Tidak ada; (3) Laporan perubahan ekuitas dan saldo laba dapat menggantikan lap laba rugi dan lap perubahan ekuitas (1) Arus kas operasi disajikan dengan metode tidak langsung; (2) Arus kas bunga & dividen, pajak penghasilan, dan transaksi nonkas; (3)Tidak ada Kas yang dibatasi • Laba rugi dan pendapatan kompresensif lain • Pos minimal Laporan perubahan (1) Pos minimal; (2) Pengungkapan distribusi ekuitas dividen dan dividen per saham; (3) Laporan perubahan ekuitas dan saldo laba dapat menggantikan lap laba rugi dan lap perubahan ekuitas tidak diperkenankan Laporan arus kas (1) Arus kas operasi disajikan dengan metode langsung atau tidak langsung; (2) Arus kas valas, bunga & dividen, pajak penghasilan, investasi pada entitas anak, ventura bersama & entitas asosiasi, perubahan kepemilikan, dan transaksi nonkas; (3) Kas yang dibatasi Catatan atas laporan (1) Kebijakan akuntansi; (2) Sumber estimasi keuangan ketidakpastian; (3) Modal; (4) Dividen dan informasi umum entitas (sumber : dirangkum dari PSAK No. 1 (Revisi 2009) dan SAK ETAP) Laporan laba rugi (1) Neraca; (2) Lap laba rugi; (3) Lap perubahan ekuitas; (4) Lap arus kas; (5) Catatan atas laporan keuangan Tidak ada (1) Kebijakan akuntansi; (2) Sumber estimasi ketidakpastian Pendapat terhadap SAK ETAP atau IFRS for SMEs BI memandang SAK ETAP dapat menjadi acuan yang tepat bagi BPR dalam menyusun laporan keuangan karena SAK umum (khususnya PSAK 50 dan 55) tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik BPR. Dipertegas dengan pernyataan Pengawas Bank Madya BI Denpasar Diana Yales Perdani, yaitu : “SAK ETAP lebih pas dan mudah diterapkan dalam industri BPR dibandingkan dengan menggunakan PSAK 31 dan PSAK 50 serta PSAK 55. Kegiatan BPR yang terbatas dan sederhana kurang memungkinan BPR untuk menerapkan PSAK 50 dan 55 yang diterapkan bank umum” (Bali Post, 14 Maret 2011). Sementara itu, Direktur Utama BPR Ayu Nulus, Wayan Supanca Ariyasa, S.Si., M.M, menjelaskan bahwa “setelah menerapkan SAK ETAP banyak manfaat yang didapat, diantaranya laba menjadi lebih stabil, pelaporan lebih transparan dan berstandar internasional. SAK ETAP ini sebenarnya tidak seseram yang dibayangkan dan murah dari sisi biaya. Kendala utama penerapan kebijakan ini terletak pada kualitas SDM yang belum memadai'' (Bali Post, 14 Maret 2011). Basir (2010: 3) menyatakan bahwa dalam menerapkan SAK ETAP, entitas perlu melakukan pertimbangan yang matang dan penyesuaian laporan keuangan. Penyesuaian laporan keuangan ke SAK ETAP perlu dilakukan sejak tahun sebelum penerapan standar itu dilakukan. Johnson (2010: 28) menunjukkan bahwa perusahaan yang akan mengadopsi IFRS for SMEs harus melakukan analisis mendalam dan perhatian yang penuh dari potensi dampak yang timbul atas perubahan tersebut. Analisis ini harus mencakup pembahasan tentang dasar akuntansi yang baru antara perusahaan dengan pengguna laporan keuangan perusahaan, akuntan eksternal perusahaan dan auditor independen. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 6 Hasil survei Deloitte yang dilakukan pada bulan Juni 2009 terhadap 170 entitas UKM di Amerika Serikat, menyatakan bahwa 43% “not aware” atau “don’t know” terhadap IFRS for SMEs, ini menunjukkan bahwa dibutuhkan pendidikan atau pengetahuan yang lebih, dan 10% telah menggunakan IFRS for SMEs atau akan mempertimbangkan mengadopsi IFRS for SMEs dalam waktu dekat, sementara itu 63% akan mengadopsi IFRS for SMEs bila diperlukan (Deloitte, 2009: 2-4). Rudiantoro dan Siregar (2011: 24-26) juga menunjukkan bahwa hanya sekitar 32% yang menjawab mengetahui tentang SAK ETAP, dan hanya sekitar 11 responden saja yang pernah mendapatkan pelatihan terkait SAK ETAP, serta 5 dari 11 responden tersebut mengaku kesulitan dalam memahami SAK ETAP. Penerapan standar akuntansi baru akan menimbulkan dampak bagi penggunanya, seperti penelitian yang dilakukan Hail et al. (2010), Lindberg dan Seifert (2010), serta Riduwan (2008). Begitu juga penerapan SAK ETAP, Rudiantoro dan Siregar (2011: 27) menunjukkan bahwa prospek implementasi SAK ETAP di tahun 2011 terhadap peningkatan kualitas laporan keuangan UMKM kemungkinan belum dapat tercapai optimal. Mengingat hingga saat ini pemahaman pengusaha UMKM, beserta pembina UMKMnya masih sangat rendah atas isi dari SAK ETAP tersebut. Rudiantoro dan Siregar (2011: 28) juga menunjukkan bahwa implemtasi SAK ETAP di tahun 2011 nampaknya masih menemui kendala yang dikhawatirkan menghambat penerapannya, yaitu masih rendahnya pemahaman para pengusaha UKM yang kelak akan menggunakan SAK ini. Selain itu, pihak perbankan atau lembaga UKM saat ini pun masih banyak yang belum sepenuhnya tersosialisasi mengenai proses implementasi SAK ETAP di tahun 2011. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan paradigma sosial constructivism. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus sebagai media untuk melakukan penelitian. Setting penelitian ini adalah sebuah group BPR yang terdiri dari 4 (empat) BPR yang sahamnya dimiliki oleh satu keluarga, dimana salah satu dari keempat BPR tersebut berada di wilayah pengawasan BI yang berbeda. Group BPR ini dipilih karena laporan keuangan tahun 2010 telah menerapkan SAK ETAP serta bagian accounting dan direktur telah beberapa kali mengikuti pelatihan penerapan SAK ETAP, baik yang dilaksanakan Perbarindo, BI maupun IAPI, serta seluruh laporan keuangan setiap BPR telah diaudit oleh akuntan publik. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumen. Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan seraca tidak terstruktur dan tidak terjadwal pada : (a) bagian accounting dan / atau kepala operasional dan / atau direktur; serta (b) auditor eksternal. Dengan cara tersebut diharapkan para informan tidak cenderung mengolah atau mempersiapkan informasi terlebih dahulu, serta dapat menjelaskan apa adanya. Informan dalam penelitian ini adalah Tikno Santoso selaku direktur utama PT. BPR Cinde Wilis, sebelumnya pernah menjabat sebagai diretur utama PT. BPR Wilis Putra Utama dan beliau merupakan salah satu penasehat atas pemilihan kebijakan akuntansi bagi group Wilis; Hurin’in selaku direktur PT. BPR Wilis Putra Utama, sebelumnya pernah menjabat sebagai bagian accounting dan kepala operasional, serta telah bekerja selama lebih dari 10 tahun; Cecillia selaku kepala operasional PT. BPR Tanggul Arto, sebelumnya pernah menjabat sebagai bagian accounting; Ayu Ningtyas selaku bagian accounting PT. BPR Gunung Modal Utama; dan Sugi Kuswardijah adalah akuntan publik yang merupakan rekan di KAP Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 7 Soebandi & Rekan, serta beliau merupakan patner in charge pada perikatan audit laporan keuangan PT. BPR Cinde Wilis dan PT. BPR Wilis Putra Utama untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2010. Satuan Kajian Satuan kajian dalam penelitian ini adalah : 1. Dampak atas penerapan SAK ETAP di BPR Suryatno (2010: 13 & 17) menunjukkan bahwa terdapat permasalahan penerapan SAK ETAP dan PA-BPR pada BPR. Mempertimbangkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini mengkaji dampak yang timbul dalam menerapkan SAK ETAP dan PA-BPR, sesuai yang diutarakan oleh Suryatno, yaitu dampak terhadap akun pendapatan provisi dan biaya yang ditangguhkan, serta dampak terhadap perpajakan. Selain itu dampak lain yang dikaji adalah dampak terhadap penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang telah menerapkan SAK ETAP. Dampak tersebut akan dipandang dari teknis penerapan standar akuntansi, pencatatan akuntansi dan pelaporan keuangan BPR. Selain itu dipaparkan juga sebab dan akibat terjadinya dampak tersebut sehingga dapat disimpulkan akar yang menjadi penyebab dampak tersebut timbul. 2. Pendapat dari penyusun laporan keuangan dan auditor eksternal atas penerapan SAK ETAP di BPR BI berpendapat bahwa SAK ETAP dapat menjadi acuan yang tepat bagi BPR dalam menyusun laporan keuangan karena SAK umum dan PAPI 2008 tidak sesuai dengan karakteristik operasional BPR serta penerapannya memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Penelitian ini memaparkan pendapat dari pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan laporan keuangan BPR yang telah disusun dengan standar akuntansi yang baru, sehingga dapat dibandingkan dengan pendapat dari BI yang menyatakan bahwa SAK ETAP sesuai dengan karakteristik operasional BPR serta tidak menimbulkan biaya yang besar dibandingkan dengan manfaat. Dari hasil perbandingan tersebut dapat diambil kesimpulan apakah SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang tepat untuk BPR. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Group Wilis Group Wilis merupakan empat BPR yang terdiri dari : PT. BPR Cinde Wilis – Jember (CW), PT BPR Wilis Putra Utama – Banyuwangi (WPU), PT. BPR Gunung Modal Usaha – Ambulu, Jember (GMU), dan PT. BPR Tanggul Arto – Lumajang (TA), dimana sahamnya dimiliki oleh satu keluarga dengan komposisi kepemilikan yang sama pada setiap BPR. Sistem Informasi Akuntansi Group Wilis Sistem Informasi Akuntansi pada BPR group Wilis dilakukan dengan sistem Semi Komputer, untuk sistem pencatatan akuntansi masih manual yang dikerjakan dengan komputer oleh bagian accounting. Sistem pencatatan data simpanan dan pinjaman sudah menggunakan program komputer. Setiap penambahan dan pengurangan atas nilai simpanan dan pinjaman akan selalu dicatat tersendiri per nasabah oleh bagian administrasi tabungan & deposito dan staff administrasi kredit, sedangkan bagian accounting hanya mencatat jumlahnya saja dalam satu hari. Setiap hari selalu ada pencocokan saldo simpanan dan pinjaman antara bagian administrasi tabungan & deposito dan staff administrasi kredit dengan bagian accounting yang diawasi oleh kepala operasional. Setelah melakukan pencocokan saldo maka bagian accounting akan menyiapkan laporan harian. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 8 Pelaporan Keuangan Group Wilis Laporan keuangan intern yang dihasilkan oleh BPR pada group Wilis belum sepenuhnya sesuai dengan SAK ETAP dan PA-BPR. Laporan keuangan intern hanya mencakup neraca dan laporan laba rugi, sedangkan laporan bulanan yang disusun untuk dilaporkan ke BI sebenarnya sudah lebih detail dari laporan keuangan intern, akan tetapi tetap saja belum sesuai dengan SAK ETAP dan PA-BPR karena tetap hanya mencakup neraca dan laporan laba rugi. BPR pada group Wilis hanya dapat membuat laporan keuangan yang lengkap pada saat akhir tahun saja atau laporan keuangan periode satu tahun, yaitu setelah laporan keuangan tersebut diaudit oleh kantor akuntan publik. Laporan keuangan tersebut terlampir dalam laporan hasil audit atas pemeriksaan laporan keuangan masing-masing BPR, sehingga jika laporan keuangan tidak diaudit oleh kantor akuntan publik maka kemungkinan laporan keuangan yang sesuai SAK ETAP dan PA-BPR dapat tidak disusun oleh BPR. Seluruh laporan keuangan pada BPR group Wilis pada tahun 2010 telah diaudit oleh kantor akuntan publik, laporan keuangan auditan tersebut telah sesuai dengan SAK ETAP dan PA-BPR. Sedangkan laporan keuangan pada BPR group Wilis pada tahun 2009 tidak seluruhnya diaudit. Laporan keuangan TA dan GMU yang tidak diaudit, karena total aset dari masing-masing BPR tersebut belum mencapai Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sehingga tidak diwajibkan untuk diaudit oleh kantor akuntan publik. Pemahaman Group Wilis Terhadap SAK ETAP Beberapa staf bagian SPI / audit mengikuti pelatihan tentang SAK ETAP yang diadakan oleh IAPI pada bulan Maret tahun 2010, diharapkan staf bagian SPI / audit tersebut dapat memberi bimbingan tentang SAK ETAP kepada seluruh BPR pada group Wilis, terutama pada bagian accounting. Pada pelatihan tersebut dipaparkan secara garis besar tentang SAK ETAP, akan tetapi tidak spesifik untuk digunakan kepada BPR. Setelah surat edaran BI No.12/14/DKBU, Perbarindo mengadakan pelatihan tentang PA-BPR pada bulan Agustus 2010 dan seluruh bagian accounting BPR pada group Wilis mengikutinya. Pada pelatihan dijelaskan secara garis besar penerapan PA-BPR dan SAK ETAP pada BPR. Selain bagian accounting Perbarindo juga mengadakan pelatihan yang sama untuk para Direksi dan Staf Kepala Bagian pada Bulan September 2010 dan perwakilan dari Dewan Direksi serta Kepala Operasional dari setiap BPR pada group Wilis mengikutinya. Dampak Penerapan atas SAK ETAP SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang untuk menyusun dan menyajikan laporan keuangan BPR sesuai perintah BI. Perintah BI tersebut terlalu mendadak, karena ditetapkan pada tanggal 31 Desember 2009 dan berlaku tanggal 1 Januari 2010, sehingga akan menimbulkan dampak bagi BPR. Suryatno (2010: 13 & 17) menunjukkan bahwa terdapat permasalahan penerapan SAK ETAP dan PA-BPR pada BPR adalah : 1. Permasalahan perlakuan akuntansi, terdiri dari : (a) pengakuan provisi kredit – diamortisasi. PAPI 2001 memberikan pertimbangan materialitas. Banyak praktek mengakui secara langsung, atau menetapkan batasan materialitas terlalu tinggi (2009 Industri: pendapatan provisi = 30% dari laba sebelum pajak); (b) biaya pendirian (pra operasional) dibebankan langsung dalam periode berjalan. Masih banyak BPR memiliki beban ditangguhkan dan diamortisasi. 2. Permasalahan pemberlakuan PA-BPR, terdiri dari : (a) pemberlakuan SAK ETAP terhitung sejak 1 Januari 2010, sementara PA-BPR diberlakukan 1 Juli 2010, untuk transaksi sejak tanggal 1 Januari 2010; (b) perbedaan pemberlakuan standar dan pedomannya membuat BPR perlu melakukan koreksi terhadap pencatatan periode Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 9 Januari – Juni 2010; (c) pemberlakuan PA BPR perlu didukung dengan sistem komputer yang memadai – perlu pengadaan dan pemahaman yang membutuhkan waktu. 3. Perbedaan ketentuan perpajakan dengan perbankan, yaitu : adanya koreksi pengakuan pendapatan dan biaya menyebabkan kemungkinan lebih bayar angsuran pajak badan Dampak Terhadap Pendapatan Provisi PAPI 2001 (2001: VI.3.1) menegaskan bahwa provisi dari kegiatan yang berkaitan dengan perkreditan dan terkait dengan jangka waktu diperlakukan sebagai pendapatan atau beban yang ditangguhkan dan diamortisasi secara sistematis selama jangka waktu komitmen kredit. Berdasarkan penjelasan tersebut seharusnya seluruh bank, bank umum maupun BPR, sejak tahun 2001 mengakui provisi yang berkaitan langsung dengan kredit dengan cara diamortisasi selama masa pinjaman kredit atau tidak boleh langsung diakui pada saat diterima atau dikeluarkan. Sebenarnya perlakukan akuntansi tersebut tidak berbeda dengan PA-BPR. PA-BPR (2010: 34) menegaskan bahwa provisi diamortisasi selama masa kredit secara garis lurus. Amortisasi tersebut diakui sebagai penambah pendapatan bunga. pernyataan tersebut merupakan penjabaran dari SAK ETAP, yaitu menegaskan bahwa entitas harus mengakui pendapatan atas dasar berikut: (a) bunga harus diakui secara akrual.... (IAI, 2009: Paragraf 20.27). Suryatno (2010: 14) menegaskan bahwa pengakuan provisi dan komisi kredit PA-BPR tidak berbeda dengan PAPI 2001, hanya menegaskan kembali prinsip yang ada, sehingga seharusnya perubahan pedoman ini tidak berdampak terhadap BPR. Akan tetapi perlakuan akuntansi tersebut bertentangan dengan yang terjadi pada BPR group Wilis, BPR masih mengakui provisi pada saat provisi diterima atau dikeluarkan atau masih berbasis kas, dan pengakuan tersebut masih dilakukan hingga BPR menerapkan SAK ETAP dan PA-BPR, yaitu pada tahun 2010, karena perlakukan akuntansi tersebut menjadi temuan dari pengawas bank pada saat melakukan pengawasan di masing-masing BPR dan disarankan untuk diterapkan. Suryatno (2010: 14) menegaskan bahwa dari praktek yang ada sebagian besar BPR, mengakui pendapatan provisi dan komisi kredit sebagai pendapatan periode berjalan atau menetapkan batasan materialitas yang terlalu tinggi. Dampak perubahan perlakuan akuntansi terhadap pendapatan provisi dapat dilihat secara jelas pada tabel 3, walaupun kredit yang diberikan seluruh BPR mengalami kenaikan (tabel 4) akan tetapi pendapatan provisi mengalami penurunan (tabel 3). Perlakukan akuntansi yang baru sangat berdampak pada performance pendapatan provisi, karena pada tahun 2010 pendapatan provisi akan ditangguhkan dan diamortisasi sepanjang masa kredit, sehingga pendapatan provisi terlihat menurun. Tabel 3 Perbandingan pendapatan provisi Pendapatan provisi (Ribuan Rp) Tahun 2010 Tahun 2009 CW 688.111 859.951 WPU 497.076 800.564 GMU 147.736 285.514 TA 165.539 254.352 (Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR) BPR Perbandingan (%) Naik/(turun) (19,98%) (37,91%) (48,26%) (34,92%) Tabel 4 Perbandingan kredit yang diberikan Kredit yang diberikan (bruto) dalam Ribuan Rp Tahun 2010 Tahun 2009 CW 29.289.289 19.116.659 WPU 33.660.765 20.806.538 GMU 12.825.516 8.998.806 TA 8.993.932 7.846.213 (Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR) BPR Perbandingan (%) Naik/(turun) 53,21% 61,78% 42,52% 14,63% Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 10 Pelakukan akuntansi pada tahun 2009 tidak disesuaikan dengan standar akuntansi yang baru, karena PA-BPR hanya diberlakukan secara prospektif pada tahun 2010, sesuai dengan penyataan pada PA-BPR (2010: 5) yaitu pada 1 Januari 2010, BPR mulai menerapkan ketentuan dalam pedoman ini secara prospektif. Sebenarnya penerimaan pendapatan provisi pada seluruh BPR group Wilis mengalami kenaikan. Pada tabel 5 menunjukkan bahwa penerimaan pendapatan provisi pada seluruh BPR group Wilis tidak menurun, hanya saja sebagian harus ditangguhkan terlebih dahulu. Terutama pada WPU dari total penerimaan Rp 1.237.713 Ribu, sebagian besar penerimaan tersebut ditangguhkan, yaitu sebesar Rp740.637 Ribu (59,84%). Dampak terhadap pendapatan provisi pada BPR group Wilis sesuai dengan penelitian Siskayani (2013), hasil penelitian menunjukkan bahwa diketahui terjadi perubahan penurunan pada pendapatan provisi dan komisi kredit. Perubahan ini terjadi karena beberapa bagian dari penerimaan provisi dan komisi tersebut harus dicatat dan ditangguhkan kedalam rupa-rupa pasiva, sehingga penerimaan perusahaan menurut SAK ETAP lebih rendah dibandingkan dengan akuntansi umum. Tabel 5 Perbandingan penerimaan pendapatan provisi BPR CW WPU GMU TA Ditangguhkan 472.023 740.637 187.154 123.205 Pendapatan provisi (Ribuan Rp) Tahun 2010 Tahun 2009 Diakui Total Ditangguhkan Diakui 688.111 1.160.134 0 859.951 497.076 1.237.713 0 800.564 147.736 334.890 0 285.514 165.539 288.744 0 254.352 (Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR) Total 859.951 800.564 285.514 254.352 Perbandingan (%) Naik/ (turun) 34,91% 54,61% 17,29% 13,52% Dampak Terhadap Biaya Ditangguhkan Salah satu tantangan yang akan ditemui dalam penerapan SAK ETAP adalah kesalahan pencatatan akuntansi yang masih salah, yaitu pengakuan biaya ditangguhkan (Wibowo, 2011: 16). Suryatno (2010: 16) menegaskan bahwa terdapat beberapa kekeliruan perlakuan akuntansi biaya ditangguhkan di BPR, yaitu : (1) biaya perbaikan gedung, biaya dibayar dimuka, jasa produksi karyawan, biaya seragam dan biaya perolehan agunan yang diambil alih; (2) renovasi gedung BPR bukan milik BPR, seharusnya diperhitungkan sebagai penambah nilai gedung atau bagian dari sewa dibayar dimuka; dan (3) pembelian mesin ATM, seharusnya menjadi bagian dari aset tetap. Tabel 6 menerangkan bahwa terjadi perubahan yang signifikan pada akun aset lainlain per 31 Desember 2010 dengan per 31 Desember 2009 pada BPR group Wilis, khususnya pada akun biaya ditangguhkan. Sebagian besar dari biaya ditangguhkan per 31 Desember 2009 pada BPR group Wilis adalah biaya renovasi gedung. Seluruh BPR pada group Wilis mengakui biaya renovasi gedung sebagai biaya ditangguhkan dan diamortisasi selama 10 tahun. Padahal seluruh kantor pusat, kantor cabang, maupun kantor kas pada BPR group Wilis bukan milik BPR atau menyewa, dan jangka waktu sewa kantor seluruhnya adalah satu tahun. Hal tersebut yang menyebabkan biaya ditangguhkan renovasi gedung pada tahun 2010 harus disesuaikan dengan SAK ETAP, biaya renovasi gedung hanya bisa ditangguhkan dan diamortisasi sepanjang masa sewa, sebab manfaat ekonomi yang dihasilkan dari renovasi kantor hanya bisa dinikmati oleh BPR selama masa sewa yaitu satu tahun dan belum tentu tahun depan kantor tersebut disewa kembali oleh BPR. SAK ETAP menegaskan bahwa aset adalah sumber daya yang dikuasai entitas sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh entitas (IAI, 2009: Paragraf 2.12(a)). SAK ETAP juga menegaskan bahwa aset diakui dalam neraca jika kemungkinan manfaat ekonominya di masa depan akan mengalir ke entitas dan aset tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal. Aset tidak diakui dalam neraca jika pengeluaran telah terjadi dan manfaat ekonominya Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 11 dipandang tidak mungkin mengalir ke dalam entitas setelah periode pelaporan berjalan. Sebagai alternatif transaksi tersebut menimbulkan pengakuan beban dalam laporan laba rugi (IAI, 2009: Paragraf 2.34). Oleh sebab itu BPR pada group Wilis menyesuaikan seluruh biaya renovasi gedung yang ditangguhkan yang tercatat pada aset, karena biaya renovasi gedung tersebut tidak sesuai dengan definisi aset. Tabel 6 Perbandingan aset lain-lain Aset Lain-Lain 31-12-2010 Nama Akun (Ribuan Rp) Agunan Yang Diambil Alih 0 Biaya Dibayar Dimuka 800 CW Biaya Ditangguhkan 0 TOTAL 800 Agunan Yang Diambil Alih 426.478 Biaya Dibayar Dimuka 73.616 WPU Biaya Ditangguhkan 0 TOTAL 500.094 Agunan Yang Diambil Alih 3.028 Biaya Dibayar Dimuka 51.632 GMU Biaya Ditangguhkan 0 TOTAL 54.660 Agunan Yang Diambil Alih 43.500 Biaya Dibayar Dimuka 136.182 TA Biaya Ditangguhkan 28.399 TOTAL 208.081 (Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR) BPR 31-12-2009 (Ribuan Rp) 93.650 21.177 105.432 220.259 68.958 45.711 207.540 322.209 23.200 0 77.783 100.983 323.499 0 193.401 516.900 Perbandingan Naik / (turun) Ribuan Rp % (93.650) (20.377) (105.432) (219.459) (99,64%) 357.520 27.905 (207.540) 177.885 55,21% (20.172) 51.632 (77.783) (46.323) (45,87%) (279.999) 136.182 (165.002) (308.819) (59,74%) Dampak Terhadap Perpajakan Dengan adanya dampak terhadap pendapatan provisi dan biaya yang ditangguhkan tersebut di atas, maka terjadi beberapa penyesuaian terhadap pendapatan dan beban pada laporan keuangan yang telah disusun oleh BPR pada group Wilis. Penyesuaian tersebut secara langsung akan mempengaruhi laba BPR, dan jika laba BPR terpengaruh maka pembayaran pajak penghasilan BPR juga akan terpengaruh. Suryatno (2010: 18) menyatakan bahwa dengan adanya koreksi pendapatan dan beban periode Januari-Juni 2010, terdapat potensi kelebihan pembayaran cicilan pajak. Besarnya angsuran pajak penghasilan pasal 25 untuk wajib pajak bank adalah sebesar pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laporan laba rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi pajak penghasilan pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas). Dampaknya akan timbul pada saat perhitungan pajak penghasilan pasal 25 tahunan yaitu terjadi kelebihan pembayaran atas angsuran pajak penghasilan pasal 25, hal tersebut terjadi karena penyesuaian atas PA-BPR yang dilakukan pada bulan Juli tahun 2010 mengakibatkan laba tahun 2010 BPR turun, sedang angsuran pajak penghasilan pasal 25 terlanjur menggunakan perhitungan laba rugi yang belum disesuaikan. Dampak tersebut sesuai dengan yang dikatakan Hurin’in, beliau mengatakan bahwa : “Angsuran PPh badan BPR untuk 3 bulan ke depan harus dihitung berdasarkan laporan keuangan 3 bulan yang lalu, untuk itu angsuran bulan Januari sampai dengan September 2010 WPU masih menggunakan pedoman yang lama karena WPU baru menerapkan PA-BPR pada bulan Agustus 2010. Ketika penerapan, ternyata banyak sekali penyesuaian terhadap perkiraan pendapatan komisi, sehingga pada saat perhitungan SPT tahunan 2010 hasilnya lebih bayar. Dari pada lebih bayar dan kami diperiksa pajak, maka banyak beban-beban yang kami koreksi fiskal.” (Hurin’in, Senin, 13 Pebruari 2012) Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 12 Pernyataan Hurin’in dipertegas oleh tabel 7, dimana terdapat perbedaan yang besar pada koreksi fiskal yang dilakukan oleh WPU pada saat perhitungan pajak penghasilan antara tahun 2010 dengan tahun 2009. Perbedaan terbesar terjadi pada koreksi positif, yaitu naik sebesar Rp 1.016.311 ribu atau 1.695,77%. Perbedaan koreksi positif diakibatkan karena banyaknya beban-beban yang seharusnya tidak dikoreksi fiskal positif, harus dikoreksi fiksal positif. Hal tersebut dilakukan oleh WPU agar pajak penghasilannya tidak lebih bayar. Begitu juga pada TA melakukan hal yang sama, sehingga mengakibatkan perbedaan pada koreksi positif antara tahun 2010 dengan tahun 2009 menjadi besar, yaitu naik sebesar Rp 294.271 ribu atau 3.989,57%, sedangkan pada GMU tidak ada perbedaan yang besar akan tetapi mereka juga melakukan koreksi fiskal positif beban-beban yang tidak seharusnya dikoreksi fiskal agar pajak penghasilannya tidak lebih bayar. Tabel 7 Perbandingan koreksi fiskal BPR CW WPU GMU TA Tahun 2010 (Ribuan Rp) 413.750 57.895 0 42.945 85.050 599.640 Tahun 2009 (Ribuan Rp) 193.357 0 32.073 73.627 391.064 690.121 135.300 7.866 52.521 401.292 596.979 207.841 220.826 418.480 122.168 56.344 7.507 10.207 0 32.870 1.076.243 354 0 35.818 0 36.172 0 0 0 0 0 0 0 7.500 52.432 59.932 134.946 7.866 16.703 401.292 560.807 207.841 220.826 418.480 122.168 56.344 7.507 10.207 (7.500) (19.562) 1.016.311 Pendapatan bunga Total Koreksi Negatif PPAP Beban pendidikan Biaya pemasaran Beban pajak lain-lain Beban lain-lain Total Koreksi Positif 79.159 79.159 38.113 8.740 23.202 9.874 122.801 202.730 62.561 62.561 90.681 0 0 0 210.174 300.855 16.598 16.598 (52.568) 8.740 23.202 9.874 (87.373) (98.125) Beban Penyusutan aset tetap Total Koreksi Negatif PPAP Beban tenaga kerja lain-lain Beban pajak lain-lain Beban adm lain-lain Beban lain-lain Total Koreksi Positif 0 0 235.388 33.128 7.500 2.431 23.200 301.647 1.301 1.301 7.376 0 0 0 0 7.376 (1.301) (1.301) 228.012 33.128 7.500 2.431 23.200 294.271 3.989,57% 12.765 12.765 11.345 11.345 1.420 1.420 12,52% Koreksi Fiskal PPAP Beban Pemasaran Beban tenaga kerja lain-lain Beban tagihan Beban non operasional Total Koreksi Positif Beban AYDA Beban penghapusan piutang Pendapatan bunga Penjualan aset tetap Total Koreksi Negatif Beban tagihan Share beban audit intern PPAP Beban pendidikan Beban entertaintment Beban pejalanan tugas Beban perawatan inventaris Beban pajak sewa gedung Beban non operasional Total Koreksi Positif Pendapatan bunga Total Koreksi Negatif (Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR) Perbandingan Ribuan Rp 220.393 57.895 (32.073) (30.682) (306.014) (90.481) naik / (turun) % (13,11%) 1.550,39% 1.695,77% 26,53% (32,62%) (100,00%) Sedangkan berdasarkan tabel 7, CW tidak terkena dampak pada perhitungan pajak penghasilan pada tahun 2010 karena CW melakukan koreksi fiskal negatif yang besar, yaitu Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 13 beban Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) yang bayar kembali dan pendapatan atas penjualan aset tetap, sehingga koreksi negatif naik sebesar Rp 560.807 atau sebesar 1.550,39%. Selama ini seluruh BPR pada group Wilis dalam menghitung angsuran pajak penghasilan pasal 25 yang harus dibayar berdasarkan laporan laba rugi dari laporan keuangan 3 bulan yang lalu yang disetahunkan tanpa dikoreksi fiskal atau menggunakan laporan laba rugi komersial. Salah satu contoh dimana BPR pada group Wilis menghitung angsuran pajak penghasilan pasal 25 tanpa dikoreksi fiskal adalah pada bulan Agustus tahun 2010, CW menjual gedungnya dan mendapat keuntungan yang tinggi. Keuntungan tersebut tercantum pada laporan laba rugi untuk perhitungan angsuran pajak penghasilan untuk bulan Oktober, Nopember dan Desember tahun 2010, padahal penjualan tersebut sudah dikenai pajak final, sehingga seharusnya keuntungan atas penjualan gedung dikoreksi negatif. Hal tersebut yang menyebabkan CW tidak terkena dampak perpajakan pada perhitungan pajak penghasilan pada tahun 2010. Dampak Terhadap Penyusunan Laporan Keuangan SAK ETAP menegaskan bahwa entitas menerapkan SAK ETAP secara retrospektif, namun jika tidak praktis, maka entitas diperkenankan untuk menerapkan SAK ETAP secara prospektif (IAI, 2009: Paragraf 29.1), serta dipertegas pula oleh PA-BPR, bahwa pada 1 Januari 2010 BPR mulai menerapkan ketentuan dalam pedoman ini secara prospektif (PABPR, 2010: 5). Berdasarkan ketentuan SAK ETAP dan PA-BPR maka penerapan SAK ETAP dan PA-BPR secara prospektif. Aset dan kewajiban yang terkena dampak langsung atas penerapan SAK ETAP dan PA-BPR adalah aset untuk akun kredit yang diberikan dan kewajiban untuk akun pinjaman diterima. Menurut PA-BPR (2010: 35) penyajian akun kredit yang diberikan adalah kredit disajikan di neraca sebesar pokok kredit/baki debet dikurangi provisi serta ditambah biaya transaksi yang belum diamortisasi. Jika melihat dari pernyataan dan persyaratan diatas, maka seharusnya pengakuan, pengukuran serta penyajian seluruh akun kredit yang diberikan sesuai dengan SAK ETAP dan PA-BPR tidak memandang kapan akun kredit yang diberikan tersebut diperoleh, sehingga walaupun akun kredit yang diberikan diperoleh sebelum tahun 2010 atau sebelum penerapan SAK ETAP dan PA-BPR dan masih tercatat di neraca (belum dilunasi oleh nasabah) maka akun tersebut harus disesuaikan dengan SAK ETAP dan PA-BPR, yaitu kredit disajikan sebesar pokok kredit dikurangi provisi serta ditambah biaya transaksi yang belum diamortisasi. Hal ini yang belum dilakukan oleh BPR pada group Wilis, mereka menafsirkan bahwa penerapan secara prosfektif adalah penerapan SAK ETAP dan PA-BPR hanya mulai dari transaksi yang terjadi pada tahun 2010 dan seterusnya (sejak SAK ETAP dan PA-BPR diterapkan). BPR pada group Wilis hanya melakukan penyesuaian terhadap perhitungan provisi dan biaya transaksi yang belum diamortisasi untuk pencairan kredit yang terjadi pada tahun 2010 saja, sedangkan untuk kredit yang cair pada tahun sebelum 2009 dan belum lunas pada tahun 2010 tidak disesuaikan. Begitu juga dengan akun pinjaman diterima, menurut PA-BPR (2010: 72) pinjaman diterima disajikan sebesar saldo pinjaman yang belum dilunasi pada tanggal laporan serta biaya transaksi dan diskonto yang belum diamortisasi. Penyajian akun pinjaman diterima pada BPR group Wilis belum disesuaikan dengan SAK ETAP dan PA-BPR karena hanya transaksi yang terjadi pada 2010 saja yang disesuaikan dengan standar baru tersebut, sedangkan akun pinjaman diterima yang belum dilunasi hingga awal tahun 2010 tidak disesuaikan. Kesalahan penafsiran SAK ETAP oleh penyusun laporan keuangan pada BPR group Wilis dipertegas oleh pernyataan Cecillia, yaitu : Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 14 “yang kami pelajari pada saat pelatihan dengan temuan hasil pemeriksaan pada saat kami diperiksa akuntan publik ada perbedaan, yaitu tentang waktu penerapan SAK ETAP dan PA-BPR. Pada saat pelatihan, penerapan dimulai pada tanggal 1 Januari 2010 sehingga transaksi sebelum tahun 2010 tidak terpengaruh, akan tetapi akuntan publik mengatakan bahwa saldo awal tahun 2010 harus disesuaikan dengan standar yang baru, sehingga jika terdapat perkiraan-perkiraan yang terpengaruh, maka harus disesuaikan.” (Cecillia, Jumat, 3 Pebruari 2012) Dampak belum disesuaikan laporan keuangan dengan SAK ETAP dan PA-BPR juga tercermin dari opini atau pendapatan atas hasil audit laporan keuangan pada BPR group Wilis, seluruh BPR mendapatkan opini wajar dengan pengecualian dan yang dikecualikan adalah neraca per 1 Januari 2010 BPR belum disesuaikan pengakuan dan pengukurannya secara prosfektif sesuai SAK ETAP dan PA-BPR. Dampak tidak disesuaikan akun-akun tersebut di atas bagi auditor dianggap sebagai salah saji yang material. Dampak Terhadap Penyajian Laporan Keuangan Penerapan SAK ETAP dan PA-BPR pada laporan keuangan BPR membuat penyajian beberapa pos-pos dalam laporan keuangan BPR berubah, menurut Tikno Santoso : “dengan adanya SAK ETAP dan PA-BPR kami jadi kebingungan atas perubahan yang sangat banyak. Banyak perkiraan-perkiraan laporan keuangan yang harus dirubah, banyak aturan-aturan yang harus dipatuhi, sedangkan sosialisasinya singkat sekali.” (Tikno Santoso, Senin, 30 Januari 2012) Pernyataan Tikno Santoso sesuai dengan Suprihadi (2012: 6) bahwa perubahan mendasar dengan diterapkannya standar akuntansi keuangan baru (SAK ETAP) adalah berubahnya akun-akun tertentu dalam pengakuan dan penyajian laporan keuangan yaitu; Kredit yang diberikan, Pinjaman yang diterima, Beban provisi, Pendapatan bunga, dan Beban bunga. Sebelum penerapan SAK ETAP dan PA-BPR pos-pos dalam laporan keuangan intern pada BPR group Wilis disajikan sesuai dengan PAPI 2001 dan laporan bulanan BI yang dilaporkan ke BI secara on line, sehingga BPR hanya tinggal memindahkan angka pada laporan keuangan intern yang telah disusun ke program laporan bulanan BI sesuai dengan format yang ada. Akan tetapi pada saat penerapan SAK ETAP dan PA-BPR pada tahun 2010, format laporan bulanan yang akan dilaporkan ke BI belum disesuaikan dengan standar yang baru, sehingga BPR pada group Wilis harus menyusun dua laporan keuangan, yaitu : pertama sesuai dengan SAK ETAP yang berpedoman pada PA-BPR; dan kedua sesuai laporan bulanan BI yang berpedoman pada surat edaran BI No.12/15/DKBU. Adanya dua versi laporan keuangan akan menimbulkan kerancuan bagi pembaca laporan keuangan, karena laporan keuangan yang dipublikasikan adalah laporan keuangan sesuai format laporan bulanan BI yang belum sesuai dengan SAK ETAP dan PA-BPR. Tabel 8 menerangkan bahwa terdapat perbedaan antara laporan keuangan auditan yang disusun berdasarkan SAK ETAP dan PA-BPR dengan laporan publikasi yang disusun sesuai format dengan laporan bulanan BI. Perbedaan yang terjadi adalah pada klasifikasi laporan keuangan aset dan kewajiban, hal tersebut disebabkan oleh pendapatan provisi yang ditangguhkan atas kredit yang diberikan dan belum diamortisasi pada laporan keuangan auditan diakui sebagai aset, yaitu pada akun kredit yang diberikan - provisi dan disajikan sebagai pengurang kredit yang diberikan, sedangkan pada laporan keuangan publikasi diakui sebagai kewajiban, yaitu pada akun pendapatan ditangguhkan dan disajikan sebagai bagian dari rupa-rupa pasiva. Selain itu perbedaan pada tabel 8 juga disebabkan oleh biaya transaksi atas pinjaman diterima dari pihak ketiga pada laporan keuangan auditan diakui Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 15 sebagai kewajiban, yaitu pada akun pinjman diterima – biaya transaksi dan disajikan sebagai pengurang pinjaman diterima, sedangkan pada laporan keuangan publikasi diakui sebagai aset, yaitu pada akun beban yang ditangguhkan dan disajikan sebagai bagian dari rupa-rupa aktiva. Perbedaan antara kedua laporan keuangan tersebut juga cukup besar yaitu antara 0,64% sampai dengan 2,58%, dan yang paling besar, bahkan bisa dikatakan material, adalah perbedaan yang terjadi pada WPU yaitu sebesar Rp 1.135.109 ribu atau 2,58%. Ini yang membuat total aset pada laporan keuangan yang dipublikasikan menjadi lebih kecil daripada laporan keuangan auditan, hal tersebut sesuai dengan Jati dkk (2011: 150) bahwa reklasifikasi provisi yang awalnya merupakan kewajiban menjadi aktiva yang mengurangi kredit diberikan. Hal ini memperkecil aset pada laporan keuangan BPR. Tabel 8 Perbandingan antara laporan keuangan auditan dengan laporan keuangan publikasi untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2010 BPR Klasifikasi Laporan Keuangan Laporan Keuangan (Ribuan Rp) Auditan Publikasi Aset 40.975.293 41.241.107 Kewajiban 37.243.529 37.509.343 Ekuitas 3.731.764 3.731.764 Pendapatan operasional 8.157.138 8.157.138 Beban operasional -6.959.721 -6.959.721 CW Pendapatan dan (beban) non 539.786 539.786 operasional Laba bersih sebelum pajak 1.737.203 1.737.203 Pajak penghasilan -322.393 -322.393 Laba bersih setelah pajak 1.414.810 1.414.810 Aset 46.630.594 47.765.703 Kewajiban 42.785.831 43.920.940 Ekuitas 3.844.763 3.844.763 Pendapatan operasional 8.618.207 8.618.207 Beban operasional -7.033.023 -7.033.023 WPU Pendapatan dan (beban) non -31.022 -31.022 operasional Laba bersih sebelum pajak 1.554.162 1.554.162 Pajak penghasilan -405.717 -405.717 Laba bersih setelah pajak 1.148.445 1.148.445 Aset 18.931.542 19.088.696 Kewajiban 16.930.770 17.087.924 Ekuitas 2.000.772 2.000.772 Pendapatan operasional 3.841.702 3.841.702 Beban operasional -2.954.809 -2.954.809 GMU Pendapatan dan (beban) non -21.512 -21.512 operasional Laba bersih sebelum pajak 865.381 865.381 Pajak penghasilan -144.283 -144.283 Laba bersih setelah pajak 721.098 721.098 Aset 13.563.885 13.784.318 Kewajiban 12.144.571 12.365.004 Ekuitas 1.419.314 1.419.314 Pendapatan operasional 3.053.142 3.053.142 Beban operasional -2.597.044 -2.597.044 TA Pendapatan dan (beban) non -122.801 -122.801 operasional Laba bersih sebelum pajak 333.297 333.297 Pajak penghasilan -67.003 -67.003 Laba bersih setelah pajak 266.294 266.294 (Sumber : Laporan Keuangan Auditan dan Laporan Keuangan Publikasi BPR) Perbandingan naik/(turun) Ribuan Rp % (265.814) (0,64%) (265.814) (0,71%) 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0 0 (1.135.109) (1.135.109) 0 0 0 0% 0% 0% (2,38%) (2,58%) 0% 0% 0% 0 0% 0 0 0 (157.154) (157.154) 0 0 0 0% 0% 0% (0,82%) (0,92%) 0% 0% 0% 0 0% 0 0 0 (220.433) (220.433) 0 0 0 0% 0% 0% (1,60%) (1,78%) 0% 0% 0% 0 0% 0 0 0 0% 0% 0% Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 16 Sebab dan Akibat dari Dampak Penerapan atas SAK ETAP Dampak terhadap pendapatan provisi, yang telah dibahas di atas, terjadi karena BPR pada group Wilis belum menerapkan standar akuntansi yang lama secara benar. Mereka masih mengakui pendapatan provisi berbasis kas bukan berbasis akrual. Seandainya sebelumnya mereka menerapkan sesuai standar akuntansi yang lama maka tidak ada dampak yang timbul terhadap pendapatan provisi. Dampak terhadap biaya yang ditangguhkan timbul karena kesalahan pencatatan akuntansi yang masih salah, dan dampak ini timbul juga bukan karena perubahan dari standar akuntansi yang lama ke SAK ETAP. Perlakuan akuntansi terhadap biaya ditangguhkan, dalam hal ini biaya renovasi, tidak berubah. Biaya renovasi tidak dapat ditangguhkan karena tidak sesuai dengan definisi dan klasifikasi sebuah aset, sehingga harus langsung dibebankan. Dampak diatas merupakan murni kesalahan pencatatan dan perlakuan akuntansi yang terjadi pada BPR group Wilis, bukan karena perubahan standar akuntansi yang baru, sehingga pada tahun 2010 BPR pada group Wilis harus menyesuaikan dengan pelakuan akuntansi yang ada pada standar akuntansi yang berlaku. Akibatnya banyak akun-akun pada akun laba rugi yang terpengaruh, sehingga menimbulkan kelebihan bayar pada pajak penghasilan pasal 25. Untuk mengantisipasi agar tidak lebih bayar, karena takut diperiksa oleh pajak, maka BPR pada group Wilis mengkoreksi positif beban-beban yang seharusnya tidak dikoreksi positif. Selain itu dampak yang lain adalah dampak terhadap penyusunan laporan keuangan. BPR pada group Wilis tidak menyesuaikan saldo awal neraca meraka dengan SAK ETAP dan PA-BPR, karena mereka salah menafsirkan penerapan secara prospektif dan kesalahan pada sosialisasi yang berikan, sehingga berakibat adanya pengecualian pada opini yang diberikan oleh kantor akuntan publik. Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya kekurangpahaman para penyusunan laporan keuangan pada BPR group Wilis karena penerapannya yang terlalu cepat dan sosialisai yang kurang. Sedangkan penyebab dari dampak terhadap penyajian laporan keuangan adalah belum siapnya regulator untuk membuat kebijakan atas berubahnya standar akuntansi pada BPR. BPR pada group Wilis harus menyusun dua versi laporan keuangan karena regulator belum menyesuaikan laporan bulanan yang harus dilaporkan oleh BPR dengan SAK ETAP dan PA-BPR. Pendapat Atas Penerapan SAK ETAP Penerapan SAK ETAP pada BPR merupakan penerapan yang bersifat mandatory, karena diwajibkan oleh BI dengan alasan BI berpendapat bahwa SAK umum dipandang tidak sesuai dengan karakteristik operasional BPR dan memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh maka BPR. Biaya dan manfaat atas peneranan standar akuntansi serta kebutuhan atas standar akuntansi yang sesuai merupakan indikasi yang relevan dalam menganalisa apakah standar akuntansi yang akan diterapkan pada suatu entitas atau negara telah sesuai. Hail et al. (2010: 235) menunjukkan bahwa peneliti mengembangkan kerangka kerja konseptual untuk menganalisa tentang potensi biaya dan manfaat dari adopsi IFRS di Amerika Serikat. Peneliti juga membahas kompatibilitas IFRS kepada lingkungan peraturan dan hukum Amerika Serikat, serta dampak makroekonomi yang mungkin timbul dari adopsi IFRS. Seperti yang disebutkan diatas, bahwa penerapan SAK ETAP bagi BPR bersifat mandatory, maka pada BPR group Wilis juga wajib menerapkan. Mereka tidak melakukan kajian terhadap biaya dan manfaat serta kesesuian dengan karakteristik operasional BPR pada saat mereka akan menerapkan SAK ETAP, sehingga terkesan mereka menerapkan SAK ETAP dengan terpaksa. Pembahasan dibawah merupakan penjabaran apakah alasan yang Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 17 dipakai oleh BI dalam menetapkan SAK ETAP sesuai dengan kondisi yang terjadi pada BPR group Wilis. Biaya Penerapan SAK ETAP Hail et al. (2010: 235) menunjukkan bahwa biaya yang akan timbul atas penerapan IFRS di Amerika Serikat dapat dibagi menjadi dua yaitu : biaya transisi dan biaya rutin. Biaya transisi adalah biaya yang hanya timbul karena adanya penerapan standar akuntansi baru, biaya tersebut dapat timbul sebelum atau pada saat standar tersebut diterapkan. Biaya rutin adalah biaya yang timbul secara terus menerus setiap tahun setelah adanya penerapan standar akuntansi baru. Berikut keterangan Tikno Santoso, yaitu : “biaya yang timbul atas penerapan SAK ETAP pada BPR group Wilis adalah biaya pelatihan dan biaya perubahan software komputer. Kami mengeluarkan biaya pelatihan bagi staf kami agar mereka paham SAK ETAP dan itu cukup besar, sedangkan biaya perubahan software komputer tidak besar karena software kami sudah lama dan sulit dirubah.” (Tikno Santoso, Senin, 30 Januari 2012) Biaya pendidikan merupakan pengeluaran BPR pada group Wilis yang digunakan untuk membiayai para pegawainya untuk dapat meningkatkan kinerjanya. Pada biaya pendidikan tahun 2010 terdapat beberapa transaksi yang dikeluarkan untuk membiayai bagian accounting dan / atau direksi untuk mengikuti pelatihan tentang SAK ETAP. Tabel 9 memaparkan bahwa biaya pendidikan seluruh BPR pada group Wilis pada tahun 2010 mengalami kenaikan, kecuali TA yang mengalami penurunan yaitu sebesar Rp 16.038 ribu atau sebesar 33,00%. Tabel 9 Perbandingan biaya pelatihan Tahun 2010 Rincian Biaya Pendidikan Ribuan Rp % Pelatihan SAK ETAP 21.750 17,64% CW Pendidikan Lainnya 101.559 82,36% TOTAL 123.309 100% Pelatihan SAK ETAP 35.200 28,81% WPU Pendidikan Lainnya 86.968 71,19% TOTAL 122.168 100% Pelatihan SAK ETAP 19.500 28,63% GMU Pendidikan Lainnya 48.615 71,37% TOTAL 68.115 100% Pelatihan SAK ETAP 25.900 79,56% TA Pendidikan Lainnya 6.655 20,44% TOTAL 32.555 100% (Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR) BPR Tahun 2009 Ribuan Rp 0 59.520 59.520 0 128.349 78.349 0 51.683 51.683 0 48.593 48.593 Perbandingan Naik / (turun) Ribuan Rp % 21.750 42.039 63.789 107,17% 35.200 (41.381) 43.819 55,93% 19.500 (3.068) 16.432 31,79% 25.900 (41.938) (16.038) (33,00%) Cecillia menjelaskan tentang biaya pelatihan pada TA, yaitu : “biaya pelatihan SAK ETAP pada TA cukup besar pada tahun 2010 dibandingkan dengan biaya pelatihan dibidang lain, karena kami mengirimkan kepala operasional, accounting dan direksi. Belum lagi tempat pelatihan yang ada di Malang sehingga biaya akomodasi juga diperhitungkan” (Cecillia, Jumat, 3 Pebruari 2012) Pernyataan tersebut sesuai dengan tabel 9, bahwa biaya pelatihan SAK ETAP pada TA mencapai 79,56% dari seluruh total biaya pendidikan atau sebesar Rp 25.900 ribu. Persentase tersebut adalah yang terbesar jika dibandingkan dengan BPR yang lain, sedangkan untuk biaya pelatihan SAK ETAP yang terbesar adalah WPU yaitu sebesar 35.200 ribu. Tetapi jika biaya pelatihan SAK ETAP tersebut dibandingkan dengan seluruh beban operasional, tabel Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 18 10, biaya pelatihan tersebut tidak lebih dari 1,00%, sehingga biaya pelatihan SAK ETAP tidak besar dan tidak menambah beban operasional secara signifikan. Bahkan pada WPU yang biaya pelatihan SAK ETAP paling besar, perbandingan biaya pelatihan SAK ETAP dibandingkan dengan total beban operasional hanya 0,50%. Tabel 10 Perbandingan antara biaya pendidikan dan pelatihan SAK ETAP dengan total beban operasional untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2010 Biaya Pendidikan Biaya Pelatihan (B.Pend) SAK ETAP (B.Pelat) Ribuan Rp Ribuan Rp CW 123.309 21.750 WPU 122.168 35.200 GMU 68.115 19.500 TA 32.555 25.900 (Sumber : Laporan Keuangan Auditan BPR) BPR Total Beban Operasional Ribuan Rp 6.959.721 7.033.023 2.954.809 2.597.044 Perbandingan dengan Total Beban Operasional ( % ) (B.Pend) (B.Pelat) 1,77% 0,31% 1,74% 0,50% 2,31% 0,66% 1,25% 1,00% Biaya perubahan software komputer pada BPR group Wilis hampir-hampir tidak ada, karena yang mengerjakan perubahan software komputer adalah bagian informasi teknologi BPR masing-masing. Menurut Ayu Ningtyas : “biaya perubahan software komputer atas penerapan SAK ETAP yang kami keluarkan hanya biaya lembur pada bagian IT (informasi teknologi), dan itupun hanya beberapa hari, karena kami tidak merubah aplikasi yang ada, hanya menambahkan perhitungan manual dengan excel” (Ayu Ningtyas, Selasa, 7 Februari 2012) Tikno Santoso mengatakan bahwa: “software komputer kami sudah terlalu lama dan sulit dirubah. Oleh karena yang berubah tidak terlalu banyak yaitu perhitungan provisi dan administrasi kredit, maka kami menggunakan perhitungan secara manual dibantu dengan excel. Selain itu group berencana membeli software komputer untuk seluruh operasional, termasuk akuntansinya, sehingga percuma jika kami rubah sekarang” (Tikno Santoso, Senin, 30 Januari 2012) Pernyataan Ayu Ningtyas dan Tikno Santoso sesuai dengan Yung (2010: 172-174) bahwa implementasi SAK ETAP pada BPR akan merubah sistem informasi perbankan, yaitu perubahan aplikasi pada data nasabah kredit dengan menambah input total pendapatan operasional bank (administrasi,provisi,dll) setiap nasabah. Hal itu terjadi karena adanya perubahan pengakuan pendapatan operasional bank (administrasi,provisi,dll) yang tadinya langsung diakui oleh bank pada saat proses pencairan kredit sekarang akan diakui secara bertahap. Aplikasi yang baru akan mengolah data nasabah kredit menjadi data sisa hutang nasabah dan sisa pendapatan yang ditangguhkan. Yakub (2011: 6) menyatakan bahwa SAK ETAP tidak akan berubah dalam beberapa tahun. Maka dapat dikatakan biaya transisi di atas tidak akan terulang kembali dalam beberapa tahun kedepan. Sedangkan biaya rutin yang akan timbul atas penerapan SAK ETAP tidak berbeda dengan sebelum menerapkan SAK ETAP, yaitu : biaya penyusunan laporan keuangan dan biaya audit laporan keuangan. Dengan adanya penerapan SAK ETAP pada BPR, kemungkinan biaya rutin akan mengalami kenaikan adalah biaya penyusunan laporan keuangan dalam dua bentuk, yaitu sesuai SAK ETAP dan PA-BPR; dan sesuai laporan BI. Namun biaya tersebut dapat diantisipasi dengan pembuatan software komputer atas sistem akuntansi yang tepat dan biaya pembuatan software komputer telah masuk kategori biaya transisi, serta dalam waktu dekat penyusunan laporan BI akan disesuaikan SAK ETAP dan PA-BPR sehingga tidak perlu lagi menyusun laporan keuangan dalam dua versi. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 19 Menurut Kuswardijah : “beban yang timbul pada saat BPR menerapkan SAK ETAP tidaklah besar, karena SAK ETAP dengan PSAK sebelum konvegensi ke IFRS sama-sama banyak menggunakan biaya historis, sehingga perubahannya pun tidak signifikan. Hanya karena BPR belum menerapkan PSAK 31 dan PAPI 2001 secara benar, maka mereka merasa perubahannya besar. Ditambah dengan adanya momen BPR menerapkan SAK ETAP dan PA-BPR, BI selaku pengawas menjadi lebih tegas, yaitu BPR harus sesuai SAK ETAP dan PA-BPR. Hal tersebut yang membuat BPR-BPR merasa dikarenakan SAK ETAP, mereka harus merubah sistem akuntansinya” (Kuswardijah, Selasa, 1 Mei 2012) Jadi apabila BI tidak mengeluarkan surat edaran yang mengharuskan BPR menggunakan SAK ETAP dan PA-BPR, maka praktis industri BPR harus menggunakan seluruh SAK umum yang relevan sebagai acuan dalam menyusun laporan keuangan, khususnya PSAK 50 dan 55, karena PSAK 31 telah dicabut oleh IAI. Caratri (2011) menyatakan bahwa penerapan PSAK 50 dan 55 membutuhkan sistem dan persiapan yang cukup lama dan cukup mahal karena harus menggabungkan semua laporan keuangan dalam satu paket. Dari sisi investasi, paling sedikit setiap bank harus mengeluarkan dan sebesar US$1 juta untuk membeli sistem informasi dan teknologi untuk aplikasi pelaporan keuangan berdasarkan PSAK 50 dan 55. Pernyataan di atas mempertegas bahwa biaya yang timbul akibat BPR penerapan SAK ETAP relatif murah dan tidak besar jika dibandingkan jika BPR menerapkan SAK umum. Hal ini sesuai dengan surat edaran BI No.11/37/DKBU pada tanggal 31 Desember 2009 yang menyatakan bahwa SAK umum dan PAPI 2008, sebagai penjabarannya di industri bank, penerapannya memerlukan biaya yang besar. Manfaat Penerapan SAK ETAP Laporan keuangan yang dihasilkan BPR sebelum penerapan SAK ETAP belum seluruhnya sesuai PSAK 31 dan PAPI 2011 (Suryatno; 2010: 13, Wibowo; 2011: 16), sehingga BI beriba hati, karena dewasa ini sebagian besar BPR, yang mendekati 10.000 entitas, belum mampu menerbitkan laporan keuangan berbasis SAK umum dan PAPI, dan pada tahun 2010 BI menerbitkan pedoman laporan keuangan Bank Perkreditan Rakyat berbasis SAK ETAP (Hoesada, 2010: 20). Pernyataan Suryatno, Wibowo dan Hoesada sesuai dengan yang terjadi pada BPR group Wilis, menurut Tikno Santoso : “memang sebelum SAK ETAP dan PA-BPR, kami belum menerapkan PAPI 2001 secara utuh, contohnya kami masih mengakui pendapatan provisi secara langsung.” (Tikno Santoso, Senin, 30 Januari 2012) Dengan menerapkan SAK ETAP, BPR diharapkan dapat menyusun laporan keuangan yang sesuai dengan SAK ETAP, sehingga dapat menyajikan informasi bagi para penggunanya. Jati dkk (2011: 150) menyatakan bahwa perlakuan akuntansi penyajian laporan keuangan harus terdapat unsur-unsur identification, measurement, recognation, valuation dan presentation agar sebuah laporan keuangan memberikan informasi yang relevan bagi pengguna laporan keuangan sesuai kondisi masing-masing BPR. Karakteristik kualitatif laporan keuangan meliputi; understandability, realibilitas, keterbandingan dan relevansi. Dengan adanya SAK ETAP diharapkan menciptakan keseragaman dalam penerapan perlakuan akuntansi dan penyajian laporan keuangan sehingga meningkatkan daya banding di antara laporan keuangan BPR. Fitakhurrokhmah (2013: 11) juga menegaskan bahwa SAK ETAP lebih mudah dipahami dan digunakan karena adanya penyederhanaan serta penyesuaian dalam beberapa standar penyajian laporan keuangan, sehingga dengan adanya SAK ETAP maka pengaruhnya terhadap BPR adalah adanya peningkatan efektifitas dan Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 20 kualitas laporan keuangan, meminimalisir adanya kesalahan dalam proses pelaporan keuangan serta meningkatkan daya saing BPR. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa SAK ETAP merupakan standar yang tepat bagi BPR, karena dapat dijadikan acuan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan yang relevan, komprehensif, andal serta dapat diperbandingkan bagi BPR. Selain itu penerapan standar akuntansi tersebut tidak sulit dan tidak berpengaruh sacara signifikan terhadap BPR. Suprihadi (2012: 95) menyatakan bahwa perubahan standar akuntansi keuangan dan pedoman akuntansi baru pada BPR, dasarnya adalah melakukan reklasifikasi akun-akun tertentu dan dapat mempermudah menilai konsistensi dalam pengakuan dan penyajian dalam laporan keuangan. Selain dilakukan reklasifikasi akun-akun tertentu, perubahan prinsip akuntansi yang dilakukan terhadap akun yang ditetapkan tidak mempengaruhi terhadap kinerja BPR secara keseluruhan. Kuswardijah mengatakan : “perubahan PSAK 31 ke SAK ETAP tidak banyak karena sama-sama menggunakan biaya historis, begitu juga dengan PAPI 2001 dengan PA-BPR tidak signifikan. Berbeda dengan Bank Umum yang harus menggunakan PSAK yang IFRS, mereka menjadi kesulitan dalam menyusun laporan keuangan, khususnya menghitung pencadangan penurunan nilai kredit mereka, karena harus menggunakan pengalaman mereka selama 3 tahun terakhir, sedangkan mereka tidak punya record data selama 3 tahun lalu, jika adapun mereka harus mengolahnya lagi. Bank umum saja masih kesulitan apalagi BPR. Bagi saya SAK ETAP merupakan berkah bagi BPR karena mereka tidak dihadapkan dengan PSAK yang IFRS” (Kuswardijah, Selasa, 1 Mei 2012) Pernyataan Kuswardijah sesuai dengan pernyataan Anggraita (2012: 2), yang menyatakan bahwa dampak utama dari PSAK 50/55 (revisi 2006) dalam bisnis perbankan adalah dalam valuasi pencadangan kredit bermasalah dimana penekanannya adalah pada objektifitas dalam menentukan Cadangan Kerugian penurunan Nilai (CKPN) dari kredit yang diberikan yang harus berdasarkan data historis 3 tahun kebelakang, dan juga adanya keharusan valuasi debitur secara individual. Girsang (2012) menyatakan bahwa sampai dengan akhir tahun 2009, belum ada satu bank pun yang mampu mengimplementasikan secara utuh PSAK 50-55 dan PAPI 2008. Dengan demikian manfaat yang diperoleh dari BPR pada group Wilis dengan menerapkan SAK ETAP adalah mereka dapat menyajikan laporan keuangan yang relevan, komprehensif, andal serta dapat diperbandingkan. Selain itu mereka tidak dihadapkan dengan strandar akuntansi yang rumit, yaitu SAK umum. Kesuaian SAK ETAP dengan Karakteristik Operasional BPR BPR memiliki karakteristik yang berbeda dengan bank umum. Karakteristik BPR jauh lebih sederhana dibanding bank umum, karena BPR lebih banyak berkecimbung di wilayah UMKM. BPR merupakan lembaga pembiayaan terdekat yang memahami kebutuhan UMKM dan masyarakat di sekitarnya. BPR selalu dihubungkan dengan UMKM karena BPR dapat memberikan pembiayaan usaha produktif berskala mikro dan kecil, serta persyaratan dan prosedur pencairan kredit yang sederhana dan cepat. Selain itu BPR sangat mengenal karakter dari nasabahnya, hal tersebut dikarenakan BI membatasi wilayah kerjanya, yaitu dalam satu provinsi saja, sehingga sumber daya manusianya lebih banyak dari lokal. Penyaluran dana atau kredit yang diberikan pada BPR group Wilis lebih ditekankan pada UMKM, hal tersebut dapat dilihat pada tabel 11, bahwa kredit yang diberikan lebih banyak disalurkan kepada nasabahnya dengan nilai kredit yang kecil daripada dengan nilai kredit yang besar. Pada tabel 13 dapat dilihat bahwa lebih dari 50% nasabah kredit pada BPR Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 21 group Wilis mendapatkan fasilitas kredit dibawah Rp 5.000.000, bahkan pada GMU mencapai 66% dari seluruh nasabah kredit pada tahun 2010. Sedangkan fasilitas kredit yang besar atau diatas Rp 100.000.000 persentase jumlah nasabahnya sedikit, tidak sampai 1%, tetapi jika dilihat dari total kredit yang diberikan persentasenya bervariasi. Pada CW cukup besar mencapai 18,27% atau Rp 4.771.500 ribu, sedangkan pada GMU sangat kecil, yaitu hanya 3,36% atau sebesar Rp 454.000 ribu. Tabel 11 Rincian pencairan kredit yang diberikan selama tahun 2010 BPR Kriteria (Rp) > 100 juta > 50 juta s/d 100 juta > 25 juta s/d 50 juta CW > 10 juta s/d 25 juta > 5 juta s/d 10 juta ≤ 5 juta TOTAL > 100 juta > 50 juta s/d 100 juta > 25 juta s/d 50 juta WPU > 10 juta s/d 25 juta > 5 juta s/d 10 juta ≤ 5 juta TOTAL > 100 juta > 50 juta s/d 100 juta > 25 juta s/d 50 juta GMU > 10 juta s/d 25 juta > 5 juta s/d 10 juta ≤ 5 juta TOTAL > 100 juta > 50 juta s/d 100 juta > 25 juta s/d 50 juta TA > 10 juta s/d 25 juta > 5 juta s/d 10 juta ≤ 5 juta TOTAL (Sumber : Bagian Kredit BPR) Kredit yang diberikan Ribuan Rp % 4.771.500 18,27% 3.577.707 13,70% 4.005.822 15,34% 3.816.767 14,62% 4.822.700 18,47% 5.120.600 19,61% 26.115.096 100,00% 2.032.800 6,71% 1.903.833 6,28% 7.230.625 23,86% 3.430.988 11,32% 8.005.500 26,42% 7.699.009 25,41% 30.302.755 100,00% 454.000 3,36% 877.667 6,49% 2.044.875 15,13% 1.705.125 12,61% 3.553.050 26,28% 4.884.956 36,13% 13.519.673 100,00% 1.077.500 11,69% 1.049.000 11,38% 991.250 10,76% 1.006.250 10,92% 2.596.950 28,18% 2.493.375 27,06% 9.214.325 100,00% Jumlah Nasabah Orang % 19 0,97% 46 2,32% 102 5,16% 212 10,75% 487 24,70% 1.106 56,10% 1.972 100,00% 11 0,44% 23 0,92% 178 7,18% 185 7,49% 667 26,95% 1.411 57,02% 2.475 100,00% 3 0,20% 11 0,77% 52 3,76% 93 6,71% 311 22,37% 920 66,19% 1.390 100,00% 7 0,91% 13 1,68% 27 3,43% 54 7,03% 213 27,60% 458 59,35% 772 100,00% Selain kredit yang diberikan, tingkat pengetahuan sumber daya manusia BPR terhadap standar akuntansi juga kurang, mereka tidak semerta-merta mengetahui perkembangan standar akuntansi yang baru jika pengawas mereka, dalam ini BI, mewajibkan untuk diterapkan. Berikut pendapat BPR pada group Wilis atas perkembangan standar akuntansi yang ada, khususnya di Indonesia : Menurut Hurin’in : “pada saat surat edaran BI tentang penerapan SAK ETAP terbit, kami tidak mengerti apa itu SAK ETAP, bahkan PSAK 31 belum pernah kami baca. Selama ini panduan kami hanya PAPI 2001 dan arahan dari pengawas BI, itupun PAPI 2001 belum sepenuhnya diterapkan” (Hurin’in, Senin, 13 Pebruari 2012) Tikno Santoso mengatakan bahwa : “kami mengetahui PSAK telah banyak yang berubah, tetapi kami hanya melalui internet dan tidak mempelajari lebih lanjut” (Tikno Santoso, Senin, 30 Januari 2012) Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 22 Menurut Cecillia : “kami tidak mengetahui apa yang dimaksud PSAK 50 dan 55, kami hanya melakukan pembukuan sesuai dengan perintah BI” (Cecillia, Jumat, 3 Pebruari 2012) Sedangkan menurut Ayu Ningtyas : “laporan keuangan yang kami susun sesuai dengan apa yang BI dan audit internal sarankan. Kami tidak mengikuti perkembangan standar akuntansi, karena melakukan pekerjaan sehari-hari saja sudah menyita banyak waktu” (Ayu Ningtyas, Selasa, 7 Februari 2012) Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa BPR pada group Wilis tidak terlalu perhatian terhadap standar akuntansi, mereka lebih memperhatikan apa yang disarankan pengawas BI dan pengawas internal mereka, sehingga mereka menyusun laporan keuangan hanya berdasarkan instruksi BI dan peraturan yang dikeluarkan oleh BI tanpa mempelajari lebih lanjut standar akuntansi yang berlaku. Kuswardijah mengatakan bahwa : “transaksi pada BPR merupakan transaksi yang sederhana, karena kegiatan mereka sederhana serta jangkauan kerja mereka juga tidak luas, maka mereka memerlukan standar akuntansi yang sederhana pula. Laporan keuangan BPR jarang diperhatikan oleh nasabah mereka, para nasabah hanya memperhatikan kemudahan kredit dan bunga bersaing, sehingga SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang tepat bagi BPR” (Kuswardijah, Selasa, 1 Mei 2012) Pernyataan Kuswardijah yang mengatakan bahwa SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang tepat bagi BPR sesuai dengan Suprihadi (2012: 95) bahwa perubahan standar akuntansi keuangan tidak berpengaruh terhadap efisiensi BPR, sehingga mengindikasikan bahwa, latar belakang terbitnya surat edaran BI yang mewajibkan perubahan standar akuntansi keuangan dengan memberlakukan SAK-ETAP dan selanjutnya menerbitkan PABPR, dalam rangka peningkatan transparansi kondisi keuangan BPR dan penyusunan laporan keuangan yang relevan, komprehensif, andal dan dapat diperbandingkan adalah sesuai. Perbandingan Pendapat Atas Penerapan SAK ETAP Berdasarkan surat edaran BI tentang penerapan SAK ETAP, BI beralasan bahwa SAK umum dan PAPI 2008 penerapannya memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Jika dibandingkan dengan pendapat dari para penyusun laporan keuangan pada BPR group Wilis dan auditor eksternal telah sesuai, karena penerapan SAK ETAP pada BPR group Wilis tidak memerlukan biaya yang terlalu besar dan tidak signifikan jika dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Biaya yang timbul tidak sebesar jika BPR menerapkan SAK umum dan beberapa tahun kedepan tidak akan terulang kembali. Sementara manfaat yang diperoleh cukup besar, yaitu dapat menyusun dan menyajikan laporan keuangan yang berkualitas, relevan, komprehensif, andal dan dapat diperbandingkan. Selain itu manfaat lain yang diperoleh adalah BPR tidak dihadapkan dengan SAK umum yang rumit, akan tetapi mereka tidak menyadari hal tersebut. Bank umum yang memiliki SDM dan sistem yang lebih maju saja belum bisa menerapkan, apalagi dengan BPR yang karakteristiknya lebih sederhana. Para penyusun laporan keuangan pada BPR group Wilis hanya terpaku pada aturan BI dan saran pengawasnya. Mereka tidak memahami dan mengikuti perkembangan standar akuntansi yang ada. Mereka merasa penerapan SAK Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 23 ETAP sudah cukup rumit, padahal penerapan ini hanya sedikit perubahannya. Bahkan Auditor eksternal menganggap seharusnya para BPR bersyukur karena diwajibkan SAK ETAP bukan SAK umum, karena auditor eksternal paham bahwa SAK umum sangat rumit dan tidak mungkin BPR, yang memiliki karakteristik sederhana, mampu menerapkan. Dengan demikian alasan kedua BI, yaitu SAK ETAP sesuai dengan karakteristik operasional BPR adalah benar dan sesuai dengan pendapat auditor eksternal, akan tetapi tidak disadari oleh BPR pada group Wilis. SIMPULAN DAN KETERBATASAN Simpulan Penelitian ini mengkaji bagaimana dampak atas penerapan SAK ETAP di BPR serta pendapat dari penyusun laporan keuangan dan auditor eksternal atas penerapan standar akuntansi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Penerapan SAK ETAP di BPR berdampak terhadap pendapatan provisi, biaya ditangguhkan, perpajakan, penyusunan laporan keuangan dan penyajian laporan keuangan. Dampak tersebut bukan dikarenakan perbedaan yang signifikan antara SAK ETAP dan PABPR dengan PSAK 31 dan PAPI 2001 dan SAK ETAP kurang dipahami oleh para penyusunan laporan keuangan BPR, serta penerapan SAK ETAP di BPR kurang didukung dengan kebijakan dan peraturan BI yang baru; (2) SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang tepat bagi BPR, karena biaya penerapannya rendah dan manfaat yang cukup banyak bagi BPR dari pada BPR menerapkan SAK umum, seperti yang dilakukan bank umum, serta sesuai dengan karakteristik BPR yang sederhana. Keterbatasan Keterbatasan penelitian ini adalah penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan studi kasus di sebuah group BPR, sehingga tidak dapat digeneralisasi keseluruh BPR yang ada di Indonesia, serta BPR yang ada dalam Group yang dipilih merupakan BPR yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip konvensional, atau tidak ada yang berprinsip syariah. Selain itu informan yang ada dalam penelitian ini hanya penyusun laporan keuangan dan auditor eksternal, tanpa ada informan dari pihak pengawas bank, dalam hal ini BI. Saran Penelitian ini membuka peluang untuk melakukan penelitian lanjutan di masa yang akan datang. Berikut ini adalah beberapa penelitian lanjutan yang dianjurkan : (1) Penelitian berikutnya dianjurkan dengan sampel BPR yang berprinsip syariah, karena SAK ETAP tidak mengatur prinsip syariah dan hingga saat ini belum ada pedoman akuntansi khusus BPR yang berprinsip syariah yang diterbitkan oleh BI; (2) Penelitian berikutnya dianjurkan dengan menambahkan informan dari pengawas bank (BI), karena BI merupakan salah satu pihak yang bersentuhan dengan penyusunan laporan keuangan BPR serta pembuat kebijakan dan peraturan untuk mengatur BPR; (3) Penelitian berikutnya dianjurkan dengan sampel entitas selain BPR, karena BPR dalam menerapkan SAK ETAP bersifat mandatory, sedangkan entitas lain yang menerapkan SAK ETAP akan melakukannya secara voluntary. DAFTAR PUSTAKA Anggraita, V. 2012. Dampak Penerapan PSAK 50/55 (Revisi 2006) terhadap Manajemen Laba Diperbankan: Peranan Mekanisme Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, dan Kualitas Audit. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi XV, Banjarmasin, 20-23 September 2012. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 24 Bali Post. 14 Maret 2011. SAK-ETAP Pas dan Bermanfaat bagi BPR, http://www.balipost.co.id/ mediadetail.php?module=detailberita&kid=32&id=49191, diakses pada tanggal 23 Juli 2011. Basir, S. 2010. Persiapan Penerapan PSAK ETAP. News Letter KAP Syarief Basir dan Rekan edisi Juli 2010, www.russellbedford.co.id, diakses pada tanggal 23 Juli 2011. Caratri, E. 2011. Implikasi Penerapan PSAK 50 dan 55 Revisi 2006 pada Dunia Perbankan. http://vibizmanagement.com/column/index/category/financial/ 2366/20 diakses pada tanggal 20 Juli 2013. Deloitte & Touche LLP. 2009. IFRS Survey 2009 for Private Companies. www.iasplus.com, diakses pada tanggal 22 Juli 2011. Fitakhurrokhmah. 2013. Pengaruh Persepsi Kemudahan Penggunaan dan Kegunaan Terhadap Penggunaan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik pada Bank Perkreditan Rakyat di Malang Raya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Brawijaya (FEB), 1(1). Girsang, T.B. 2012. PSAK 50 (60) - 55 : Panas – Dingin Perang Ala PSAK. www.bankirnews.com, diakses pada tanggal 25 Juli 2013. Hail, L., C. Leuz dan P. Wysocki. 2010. Global Accounting Convergence and the Potential Adoption of IFRS by the U.S. (Part I): Conceptual Underpinnings and Economic Analysis. Accounting Horizons, 24 (3): 355–394. Hoesada, J. 2010. Implementasi SAK ETAP: Sumber Daya, Peluang dan Tantangannya. Materi Seminar Kongres XI IAI 8-10 Desember 2010 Hari Kedua Concoren B Sesi 2, www.iaiglobal.or.id, diakses pada tanggal 11 Juli 2011. Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia. ______. 2012. Standar Akuntansi Keuangan Per 1 Juni 2012, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia. Jati, A.W, E. Suprapti dan S.W. Wicaksono. 2011. Kajian atas Standar Pelaporan Keuangan Bank Perkreditan Rakyat : Komparasi Antara PSAK No. 31, SAK ETAP, dan Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat. Jurnal Reviu Akuntansi dan Keuangan, 1 (2): 141-150 ISSN: 2088-0685. Jermakowicz, E.K. dan B.J. Epstein. 2010. IFRS for SMEs - An Option for US Private Entities? Review of Business, 30 (2): 72-79. Johnson, S.E. 2010. "Big GAAP" Versus "Little GAAP:" Do We Now Have A Possible Solution? Construction Accounting & Taxation, 20 (3): 24-28. Lindberg, D.L. dan D.L. Seifert. 2010. A New Paradigm of Reporting on the Horizon: International Financial Reporting Standards (IFRS) and Implications for the Insurance Industry. Journal of Insurance Regulation, 29: 229-252. Pencabutan Penyataan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK) Nomor 4. 2009. Pencabutan PSAK 31 (Revisi 2000): Akuntansi Perbankan, PSAK 42: Akuntansi Perusahaan Efek, dan PSAK 49: Akuntansi Reksa Dana, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia. Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat. 2010. Jakarta: Bank Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia. Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia. 2001. Jakarta: Bank Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia. Peraturan Bank Indonesia No.8/20/PBI/2006. 2006. Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 77. Gubernur Bank Indonesia. Jakarta. ______ No.8/26/PBI/2006. 2006. Bank Perkreditan Rakyat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 87. Gubernur Bank Indonesia. Jakarta. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 11 (2013) 25 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 (Revisi 2009). Penyajian Laporan Keuangan, Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia. Pricewaterhouse Coopers (PwC) Indonesia. 2010. US GAAP, IFRS and Indonesian GAAP Similarities and Differences. www.pwc.com, diakses pada tanggal 21 Juli 2011. Riduwan, A. 2008. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46 dan Koefisien Respon Laba Akuntansi. Ekuitas, 12 (3): 336-358. Rudiantoro, R. dan S.V. Siregar. 2011. Kualitas Laporan Keuangan UMKM Serta Prospek Implementasi SAK ETAP. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi XIV, Aceh, 20-23 Juli 2011. Siskayani, G.A.K. 2013. Pengaruh Pendapatan Provisi dan Komisi Kredit Sesudah Implementasi SAK ETAP Terhadap Laporan Keuangan PT. BPR Bali Dananiaga Denpasar. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 3 (2): 351-367 ISSN: 2302-8556. Suprihadi. 2012. Pengaruh Perubahan Standar Akuntansi Keuangan-(SAK) Terhadap Efisiensi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan Pendekatan Data Envelopment Analysis-(DEA). Tesis M.S. Akuntansi. Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Malang. Surat Edaran Bank Indonesia No.11/4/DPNP. 2009. Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia, Jakarta: Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia. ______ No.11/37/DKBU. 2009. Penetapan Penggunaan Standar Akuntansi Keuangan bagi Bank Perkreditan Rakyat, Jakarta: Direktur Kredit, Bank Perkreditan Rakyat dan Usaha Mikro Kecil Menengah Bank Indonesia. ______ No.12/14/DKBU. 2010. Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat, Jakarta: Direktur Kredit, Bank Perkreditan Rakyat dan Usaha Mikro Kecil Menengah Bank Indonesia. ______ No.12/15/DKBU. 2010, Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 Perihal Laporan Bulanan BPR, Jakarta: Direktur Kredit, Bank Perkreditan Rakyat dan Usaha Mikro Kecil Menengah Bank Indonesia. Suryatno, P.H. 2010. SAK ETAP: Sumber Daya, Peluang dan Tantangannya. Materi Seminar Kongres XI IAI 8-10 Desember 2010 Hari Kedua Concoren B Sesi 2, www.iaiglobal.or.id. diakses pada tanggal 21 Maret 2011. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182. Sekretaris Negara. Jakarta. Wibowo, Y.S. 2011. Implementasi SAK ETAP pada Industri BPR. Materi Acara HUT IAI ke-54 23 Desember 2011 Concurent Session Kelas F, www.iaiglobal.or.id, diakses pada tanggal 24 Juli 2012. Yakub. 2011. Implementasi SAK ETAP. Materi Acara HUT IAI ke-54 23 Desember 2011 Concurent Session Kelas F, www.iaiglobal.or.id, diakses pada tanggal 24 Juli 2012. Yung, S. 2010. Perancangan Sistem Perbankan Berbasis Usaha Kecil Menengah Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik. Jurnal Sistem Informasi, 5 (2):169 – 177 ISSN : 1907-1221. ●●●