8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Sekilas Mengenai Pasar Modal. Pasar didefinisikan sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli. Pasar modal pun secara formal dapat didefinisikan sebagai tempat bertemunya demand dana (emiten) dan supply dana (masyarakat/investor) untuk memenuhi kebutuhannya. Produk yang ditawarkan berupa sekuritas jangka panjang baik dalam bentuk hutang (obligasi) dan milik sendiri (saham) yang bisa diperjualbelikan. Jadi pasar modal menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan. Dari sisi supply (investor), pasar modal merupakan alternatif investasi selain sektor real asset. Sebagaimana dengan investasi pada umumnya, tujuannya adalah mengembangkan dana yang dimilikinya untuk memperoleh return optimal dimasa yang akan datang. Dari sisi demand (emiten), pasar modal merupakan alternatif pembiayaan external dengan biaya modal yang lebih rendah dari sistim perbankan. Sistim perbankan pada umumnya menetapkan spread bunga sebesar (5-7%) antara deposito dengan kredit. Spread ini merupakan biaya intermediasi karena bank bertindak sebagai perantara. Penghimpunan dana dari pasar modal memungkinkan emiten mengurangi biaya intermediasi ini karena penyaluran dana dari investor ke pihak emiten dilakukan secara langsung. Walaupun pada kenyataannya pada proses emisi saham dan obligasi memerlukan floatation cost untuk consultant fee, underwriting fee, selling agent 9 fee dan lain- lain tetapi biaya ini masih lebih rendah dibandingkan perbankan pada umumnya. Jika jumlah dana yang dihimpun semakin besar, maka prosentase biaya ini terhadap total dana terkumpul akan makin kecil (Husnan,2005). Terdapat beberapa daya tarik pasar modal. Pertama: Diharapkan pasar modal akan bisa menjadi alternatif pembiayaan selain sistem perbankan. Kedua: Pasar modal memungkinkan para pemodal mempunyai berbagai pilihan investasi yang sesuai dengan preferensi risiko mereka. Dengan adanya pasar modal, para pemodal (emiten) memungkinkan untuk melakukan diversifikasi investasi (pembiayaan) sesuai dengan return (cost of capital) yang mereka harapkan dan juga risiko yang bersedia ditanggung. Ketiga: Sekuritas yang diperdagangkan di pasar modal memiliki daya tarik tersendiri yaitu likuiditasnya. Pemodal bisa melakukan investasi hari ini pada sektor property dan menggantinya bulan depan pada sektor lain yang lebih menguntungkan seperti: pertambangan yang tidak mungkin dilakukan pada investasi di real asset. 2.2. Saham dan Obligasi Banyak jenis sekuritas yang diperdagangkan di pasar modal tetapi yang paling umum adalah saham dan obligasi. Obligasi merupakan surat tanda hutang jangka panjang yang diterbitkan oleh pemerintah, BUMN maupun korporasi. Dengan membeli obligasi, pemilik berhak mendapatkan coupon yang dibayarkan setiap periode tertentu dan menerima pembayaran nilai nominalnya pada saat obligasi tersebut jatuh tempo. Selama berjalannya waktu, harga obligasi bisa naik atau bisa pula turun. Jadi meskipun penghasilan dalam bentuk bunga bersifat tetap tetapi kalau pemodal ingin menjual obligasi tersebut sebelum jatuh tempo, ada 10 kemungkinan dia akan menerima harga yang lebih tinggi (lebih rendah) dengan harga pada saat pembeliannya. Hal inilah yang disebut dengan keuntungan (kerugian) yang diperoleh dari selisih harga atau capital gain (capital loss). Karena pemegang obligasi merupakan kreditur, maka mereka tidak akan mendapatkan tambahan pendapatan jika laba perusahaan meningkat. Oleh karena itu investasi pada obligasi sering juga disebut investasi FIS (fixed income securities). Sedangkan kalau pemodal membeli saham berarti mereka membeli prospek atau turut memiliki perusahaan sesuai dengan porsi sahamnya. Kalau kondisi ekonomi secara keseluruhan membaik (memburuk) dan prospek perusahaan membaik (memburuk) maka harga saham akan naik (turun) sehingga akan memperoleh keuntungan (kerugian) dari selisih harga atau capital gain (capital loss). Setiap tahun perusahaan yang go public selalu mengadakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) untuk menjelaskan kepada investor mengenai kinerja dan prospek perusahaan. Salah satu agenda yang biasa yang dibicarakan adalah memutuskan besarnya dividen pay-out ratio yang akan menentukan besarnya deviden per lembar saham yang akan dibayarkan kepada investor. Dividen per lembar saham bisa lebih besar, lebih kecil dari tahun sebelumnya atau tidak membagikan dividen sama sekali. Sekali lagi hal ini tergantung pada kinerja dan prospek perusahaan, rencana mangement, perbaikan modal kerja/ struktur hutang, serta adanya kesempatan investasi lainnya. Dipandang dari segi kepastian, dividen dan capital-gain/loss yang diperoleh dari saham lebih berisiko karena sifat saham itu sendiri yang berupa sertifikat kepemilikan dimana pemilik saham 11 ikut menaggung risiko jika kinerja perusahaan menurun dan memperoleh return yang lebih besar jika kinerjanya membaik. 2.2.1 Saham 2.2.1.1 Jenis- Jenis Saham 1. Common Stock Common stock merepresentasikan kepemilikan dalam suatu perusahaan. Suatu perusahaan dapat memiliki satu atau beberapa shareholder / pemilik. Bagaimanapun juga, memiliki common stock dari perusahaan besar tidak memiliki persamaan dengan kepemilikan rumah. Sebagai contoh, shareholder IBM Corporation tidak dapat memerintah manajemen IBM untuk menjalankan perusahaannya atau menentukan tipe komputer seperti apa yang harus diproduksi. Ini semua karena hak shareholder terbatas. Karakteristik Dari Common Stock Voting Right Suatu karakteristik dari common stock dimana shareholder dapat mengeluarkan suara pada pokok persoalan penting yang dihadapi perusahaan seperti pemilihan anggota- anggota dari board of directors. Common shareholder juga harus menyetujui dari perubahanperubahan sampai suatu pembentukan yang terjadi dalam perusahaan. Adapula sebagai pengganti dari kedatangan shareholder meeting untuk memberikan suara pada seseorang, banyak shareholder menggunakan a proxy vote. A proxy vote merupakan dokumen legal 12 yang memberikan penunjukan kepada seseorang atas kekuasaan sementara untuk memberikan suara untuk shareholder yang tidak dadir pada shareholder meeting. Claim on Income Sebagai pemilik dari perusahaan, common shareholder memiliki suatu hak untuk berbagi dalam net income, setelah bondholder dan preferred stockholder telah diberikan haknya. The Advantages of Stock Dividends and Stock Splits Keuntungan pertama dari point of view perusahaan adalah a conservation of cash. Dengan merubah suatu deviden saham menjadi deviden kas, suatu perusahaan dapat menghemat kas nya atau menggunakannya untuk kesempatan investasi menarik lainnya. Deviden saham dan stock splits tidak meningkatkan kekayaan dari stockholder, melainkan deviden kas meningkatkan kekayaan shareholders monetary. Claim on Assets Dalam keadaan likuidasi perusahaan, the common shareholders memiliki suatu residual claim terhadap harta perusahaan. Bagaimanapun, Ini hanya setelah klaim dari pihak yang memiliki surat hutang perusahaan telah diselesaikan. Limited Liability Limited liability feature of a corporation limits the amount of the loss of common shareholders in the event of bankruptcy. Preemptive Rights 13 Sertifikat yang disebut rights diterbitkan untuk shareholder, memberikan mereka pilihan untuk membeli sejumlah saham baru yang telah ditetapkan pada harga yang spesifik selama waktu yang spesifik pula. Right ini dapat di exercised (dimana diperbolehkan atas pembelian common stock baru pada harga yang lebih rendah dari harga pasar). 2. Preferred Stock Jenis lain dari saham adalah preferred stock, yang juga merepresentasikan suatu kepemilikan ekuitas dalam suatu perusahaan. Ekuitas didefinisikan sebagai modal yang diinvestasikan dalam perusahaan oleh pemiliknya; utang adalah modal yang dipinjamkan untuk korporasi, yang harus dibayar kembali. Preferred stock merupakan jenis hybrid dari sekuritas yang memiliki fitur- fitur dari utang dan ekuitas. Karakteristik Dari Preferred Stock Fixed Dividend Tidak seperti common stock, dividend rate dari preferred stock biasanya tetap. Mungkin telah ditetapkan sebagai presentase dari par value dari preferred stock atau sebagai a fixed dollar amount. Multiple Classes Sebagian besar perusahaan memiliki satu kelas common stock, tetapi ini terlalu biasa untuk melihat perusahaan dengan lebih dari satu seri preferred stock. Masing- masing kelas preferred stock memiliki fitur- fitur yang berbeda, seperti perbedaan dividend rates; salah 14 satunya mungkin menjadi cumulative preferred issue yang memberikan pemilik suatu hak untuk menerima seluruh missed dividend payment sebelum common shareholder dibayarkan, dan yang lainnya dalam series a convertible preferred issue dengan suatu call provision. Claim on Income and Assets Preferred stock memiliki preferensi yang lebih dari common stock dengan perhatian untuk klaim terhadap income dan asset. Perusahaan harus membayar dividend terhadap preferred stock sebelum mereka bisa membayar dividend kepada common stock stockholder. Cumulative Dividend Sebagian besar preferred stock menerbitkan carry a cumulative feature, yang berarti jika perusahaan gagal membayar dividen maka akan harus dapat membayarnya sebelum perusahaan dapat membayar dividen kepada common shareholder. Convirtible Feature Beberapa preferred stock yang diterbitkan memiliki a convertible feature yang membiarkan pemilik untuk menukar preferred stock mereka menjadi common stock. Persyaratan dari konversi adalah dilakukan ketika preferred stock adalah terbitan pertama. Ini termasuk konversi ratio, yang jumlah dari common stock dari preferred stokholder akan memperoleh masing- masing preferred share dan harga konversi dari common stock. Participation Feature 15 Beberapa perusahaan mencakup a participation feature untuk membuat the preferred stock issue lebih menarik bagi investor. Fitur ini membiarkan preferred stockholder untuk berbagi dalam earnings diluar yang telah dividen ditetapkan. Call Provision A preferred stock diterbitkan dengan a call provision memberi hak dalam penerbitan perusahaan untuk membeli kembali saham pada option from outstanding preferred stockholder. The call price secara umum lebih dari preferred stock’s par value. 2.2.1.2 Faktor-faktor yang memengaruhi harga saham Menurut Arifin (2007 : 115) faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan harga saham yaitu: a. Kondisi fundamental Emiten Faktor Fundamental adalah faktor yang berkaitan langsung dengan kinerja emiten itu sendiri. semakin baik kinerja emiten maka semakin besar pengaruhnya terhadapa kenaikan harga saham di pasaran. begitu juga sebaliknya, semakin menurun kinerja emiten maka semakin besar pengaruhnya dalam penurunan harga saham sehingga para investor dapat memperhatikan kinerja emiten sebagai acuan untuk pengambilan keputusan dalam berinvestasi. Saham-saham yang berpredikat blue chip, tentu salah satu tujuan para investor dikarenakan memiliki resiko yang sangat kecil. ini dikarenakan factor fundamental perusahaan sebagai emiten sangat baik. 16 b. Hukum Permintaan dan Penawaran Faktor hukum permintaan dan penawaran menjadi faktor penting kedua setelah faktor fundamental karena para investor selalu memperhatikan kinerja perusahaan dari faktor ini. Transaksi-transaksi yang terjadi dalam seharian akan menjadi pertimbangan para investor dalam menambah ataun mengurangi jumlah saham yang dimiliki sehingga akan sangat berpengaruh terhadap harga saham dan jumlah lembar saham yang sedang beredar. Dengan demikian semakin tinggi jumlah penawaran terhadap saham tersebut maka akan menaikan harga saham tersebut. c. Tingkat Suku Bunga (SBI) Faktor suku bunga ini penting untuk diperhatikan karena rata-rata semua orang termasuk investor saham, selalu mengharapkan hasil yang lebih besar dari saham yang dimilikinya. Dengan adanya perubahan suku bunga, tingkat pengembalian hasil berbagai sarana investasi akan mengalami perubahan. Yang dimaksud dengan suku bunga disini yaitu suku bunga yang diberlakukan oleh Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral yang mengontrol dan mengawasi seluruh kegiatan perbankan. Namun suku bunga yang tinggi akan berdampak pada alokasi dana investasi para investor. Investasi produk bank seperti deposito atau tabungan jelas lebih kecil resikonya dibandingkan investasi dalam bentuk saham. Karenanya para investor akan ramai-ramai menjual sahamnya dan dananya kemudian akan 17 ditempatkan di bank. penjualan saham yang serentak ini akan berdampak pada penurunan harga saham dipasaran secara signifikan. d. Valuta Asing Dalam kehidupan perekonomian global yang terjadi dewasa ini hampir tidak ada satupun Negara di dunia yang bisa menghindari perekonomiannya dari pengaruh pergerakan valuta asing, khususnya terhadap pengaruh US Dollar. karena Dollar Amerika telah menjadi semacam mata uang internasional maka, mau tidak mau setiap Negara harus mengandalkan mata uang tersebut untuk perdagangan internasional. Apabila suku bunga Dollar naik, para investor, terutama investor asing, mengharapkan hal yang sama. Mereka berbondongbondong menjual saham yang mereka miliki untuk ditempatkan dalam perusahaan dalam bentuk Dollar. secara otomatis harga saham menjadi turun. e. Dana Asing di Bursa Dana asing di Bursa perlu diketahui karena memiliki pengaruh yang sangat besar. jika sebuah bura dikuasai oleh investor asing maka ada kecendrungan transaksi saham sedikit banyak tergantung pada investor asing tersebut. Investor local pun akan banyak menjadi pengikut investor asing. jika semakin besar dana asing yang ditanamkan, hal itu akan menandakan bahwa kondisi investasi di Indonesia telah kondusif, yang berarti pertumbuhan ekonomi tidak 18 lagi negative yang tentu saja akan merangsang kemampuan emiten untuk mencetak laba. Sebaliknya, jika investasi asing berkurang, ada perkiraan bahwa mereka sedang ragu atas negeri ini, baik atas keadaan social politik maupun keamanannya. Jadi, besar kecilnya investasi dana asing di bursa akan sangat berpengaruh terhadap naik turunnya harga saham. f. Indeks harga Saham gabungan (IHSG) Sebenarnya IHSG lebih mencerminkan kondisi keseluruhan transaksi bursa saham yang terjadi jika dibandingkan menjadi ukuran kenaikan maupun penurunan harga saham. Karena bursa saham merupakan salah satu indicator perekonomian sebuah Negara maka diperlukanlah sebuah standar perhitungan tentang transaksi yang terjadi dalam bursa sepanjang periode tertentu. Perhitungan ini yang akan dipergunakan sebagai tolak ukur kondisi perekonomian dan investasi sebuah Negara. Untuk di Negara Indonesia khususnya, perhitungan tersebut adalah Indeks Harga Saham Gabungan. g. News dan Rumors Semua berita yang beredar dimasyarakat yang menyangkut berbagai hal baik itu masalah ekonomi, social, politik, keamanan, hingga berita seputar rencana reshuffle cabinet, semuanya disebut news dan rumors. 19 2.2.1.3 IHSG Indeks harga saham adalah suatu indikator yang menunjukkan pergerakan harga saham. Indeks berfungsi sebagai indikator trend pasar, artinya pergerakan indeks menggambarkan kondisi pasar pada suatu saat, apakah pasar sedang aktif atau lesu. Dengan adanya indeks, kita dapat mengetahui trend pergerakan harga saham saat ini; apakah sedang naik, stabil atau turun. Misal, jika di awal bulan nilai indeks 300 dan saat ini di akhir bulan menjadi 360, maka kita dapat mengatakan bahwa secara rata-rata harga saham mengalami peningkatan sebesar 20%. Pergerakan indeks menjadi indikator penting bagi para investor untuk menentukan apakah mereka akan menjual, menahan atau membeli suatu atau beberapa saham. Karena harga-harga saham bergerak dalam hitungan detik dan menit, maka nilai indeks pun bergerak turun naik dalam hitungan waktu yang cepat pula. Di Bursa Efek Indonesia terdapat beberapa jenis indeks, antara lain: 1. Indeks Individual, menggunakan indeks harga masing-masing saham terhadap harga dasarnya, atau indeks masing-masing saham yang tercatat di BEI. 2. Indeks Harga Saham Sektoral, menggunakan semua saham yang termasuk dalam masing-masing sektor, misalnya sektor keuangan, pertambangan, dan lain-lain. Di BEI indeks sektoral terbagi atas sembilan sektor yaitu: pertanian, pertambangan, industri dasar, aneka 20 industri, konsumsi, properti, infrastruktur, keuangan, perdagangan dan jasa, dan manufaktur. 3. Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG (Composite Stock Price Index), menggunakan semua saham yang tercatat sebagai komponen penghitungan indeks. 4. Indeks LQ 45, yaitu indeks yang terdiri 45 saham pilihan dengan mengacu kepada 2 variabel yaitu likuiditas perdagangan dan kapitalisasi pasar. Setiap 6 bulan terdapat saham-saham baru yang masuk kedalam LQ 45 tersebut. 2.2.2 Obligasi 2.2.2.1 Jenis- jenis Obligasi Obligasi sebagai salah satu sekuritas pendapatan tetap telah memberikan peranan yang cukup besar dalam perekonomian baik di dunia maupun di Indonesia sendiri. Secara sederhana dijelaskan bahwa obligasi diperdagangkan di banyak pasar yang pasarnya dikenal dengan sebutan Pasar Modal. Obligasi tersebut ada yang berdenominasi rupiah dan berdenominasi valuta asing. Obligasi yang mempunyai nilai dalam valuta asing dikenal dengan obligasi valuta. Obligasi dapat dikelompokkan berdasarkan kupon obligasi yaitu obligasi dengan tingkat bunga mengambang (floating coupon) dan obligasi dengan kupon tetap (fixed coupon). Obligasi dengan kupon tetap yaitu obligasi yang mempunyai tingkat bunga sama dari awal sampai jatuh tempo. Sedangkan obligasi dengan tingkat bunga mengambang yaitu kupon obligasiditentukan berdasarkan tingkat bunga tertentu dan berubah- ubah dari waktu ke waktu. Biasanya kupon bunga 21 obligasi ditentukan sekali dalam enam bulan sebelum kupon sebelumnya jatuh tempo. Patokan kupon tersebut merupakan rata- rata tingkat suku bunga dari deposito di beberapa bank dan ditambah premi. Pada sisi lain, ada juga obligasi yang tidak membayar kupon bunga sampai jatuh tempo obligasi tersebut dikenal dengan Obligasi Kupon Nil (zero coupon bond). Pemegang obligasi memperoleh kupon bunga sekaligus pada saat jatuh tempo di mana obligasi tersebut dibeli pada harga diskon. Selisih harga pembelian obligasi dengan dengan nilai jatuh tempo merupakan kupon obligasi selama periode investasi dan dapat juga disebut sebagai imbal hasil yang diperoleh investasi dalam obligasi tersebut. Selanjutnya, obligasi juga dapat dikelompokkan berdasarkan penerbit obligasi yaitu obligasi pemerintah dan obligasi perusahaan. Sedangkan obligasi pemerintah dikelompokkan atas dua yaitu obligasi pemerintah pusat (central government bond) dan obligasi pemerintah daerah (municipal bond). Obligasi perusahaan yaitu obligasi atau surat hutang yang dikeluarkan oleh perusahaan. Perusahaan yang menerbitkan obligasi dapat dikelompokkan menjadi perusahaan swasta, dan perusahaan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang masing- masing dikenal dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 2.2.2.2 Risiko- Risiko Obligasi Dalam melakukan investasi pada surat hutang maka ada berbagai risiko yang harus dihadapi oleh investor. Untuk obligasi, ditemukan berbagai risiko yang diuraikan secara singkat sebagai berikut: 22 1. Interest- rate risk yaitu risiko utama yang dihadapi investor, karena kenaikan tingkat bunga akan menurunkan harga obligasi. Risiko ini juga sering disebut dengan market risk. 2. Reinvestment risk yaitu risiko yang harus dihadapi akibat investasi atas bunga yang diperoleh melalui strategi reinvestment yang dijalankan. Interest rate risk dan reinvestment risk mempunyai efek yang saling menghilangkan (offsetting effect). Sebuah strategi yang didasarkan atas efek penghilangan tersebut disebut dengan immunisasi (immunization). 3. Call risk yaitu risiko yang dihadapi oleh investor dimana penerbit obligasi mempunyai hak untuk membeli kembali (call) atas obligasi tersebut. Bila tingkat bunga turun di bawah kupon obligasi dan biasanya penerbit akan menggunakan haknya untuk membeli obligasi tersebut. Investor biasanya bisa mengkompensasikannya dengan kenaikan harga tetapi sangat sulit untuk melakukannya. 4. Default risk yaitu risiko yang dihadapi oleh investor atau pemegang obligasi karena obligasi tersebut tidak dapat membayar obligai pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu investor harus hati- hati membeli obligasi terutama obligasi yang tidak termasuk dalam investment grade (kelas investasi yakni obligasi dengan peringkat AAA sampai BBB). 23 5. Inflation risk yaitu risiko yang dihadapi investor yang diakibatkan inflasi sehingga arus kas yang diterima oleh investor bervariasi dalam kemampuan membeli (purchasing power). 6. Exchange risk yaitu risiko yang dihadapi oleh investor akibat adanya perubahan nilai tukar, biasanya risiko ini akan diketemukan pada obligasi yang berdenominasi valuta asing. 7. Liquidity risk yaitu risiko yang dihadapi oleh investor dalam rangka dapat menjual obligasi tersebut di pasar. Ukuran dari likuiditas dapat diperhatikan dari selisih antara nilai beli dan jual dari obligasi tersebut. 8. Volatility risk yaitu risiko yang dihadapi oleh investor karena obligasi tersebut dikaitkan dengan opsi yang tergantung pada tingkat bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah gejolak (volatility) tingkat bunga. 2.2.2.3 Obligasi di Indonesia Obligasi di Indonesia diterbitkan oleh pemerintah, perusahaan milik pemerintah dan perusahaan swata. Kupon obligasi secara umum dibayarkan setiap tiga bulan baik kupon yang tetap maupun yang mengambang. Untuk kupon mengambang mempergunakan tingkat bunga deposito bank- bank pemerintah ditambah premium paling sedikit 150 basis point sampai 600 basis point. Investor di Indonesia lebih menyukai obligasi pemerintah dibandingkan dengan obligasi perusahaan swasta karena risikonya sangat kecil. Kecilnya risiko 24 yang dimaksud yaitu risiko gagal bayar sedangkan risiko tingkat bunga, risiko valuta asing masih tetap dimiliki oleh obligasi pemerintah tersebut. Bila obligasi perusahaan swasta dibandingkan dengan obligasi perusahaan pemerintah yang dikenal dengan BUMN maka obligasi yang dikeluarkan BUMN lebih diminati oleh investor. Sering kali terjadi bahwa obligasi BUMN mencapai oversubscribe (emisi laris) jauh lebih tinggi dari obligasi perusahaan swasta. Di samping itu, risiko yang dihadapi pemberi kredit (perbankan) sangat tinggi bila memberikan kredit karena situasi mikro perusahaan yang sangat sulit dewasa ini. Pada sisi lain, cukup besarnya tingkat bunga obligasi pemerintah yang membuat keputusan perbankan membeli obligasi pemerintah lebih utama dibandingkan memberikan kredit pada sektor riil. Selisih bunga yang dikenal dengan interest margin cukup tinggi bila dana yang dimiliki ditempatkan sebagai SBI dan obligasi pemerintah dan dananya diperoleh dari deposito yang cukup murah dewasa ini. Obligasi yang diterbitkan perusahaan swasta dengan peringkat baik atau dalam kriteria grade nvestasi oleh perusahaan pemeringkat belum dapat menjadi pegangan investor. Ada perusahaan- perusahaan yang mempunyai rating A tetapi tidak mampu membayar, bahkan lembaga rating tersebut cukup terkenal. Pada sisi lain, ada juga pemilik yang sengaja membuat atau merekayasa laporan keuangan untuk mendapatkan dana dari publik tetapi selanjutnya tidak mau atau tidak mampu membayarnya. Artinya investor juga harus bergati- hati dalam memilih atau berinvestasi pada obligasi berdasarkan rating karena rating tersebut bukan menjadi patokan. 25 Track record perusahaan yang mengeluarkan atau menerbitkan obligasi perlu dikaji ulang. Kupon obligasi yang diberikan juga perlu diperhatikan investor. Karena kupon yang tinggi disebabkan keinginan emiten untuk mendapatkan dana. Sekuritas yang membantu emiten untuk menawarkan obligasi kepada publik perlu diteliti, karena sering kali sekuritasnya lepas tangan bila terjadi persoalan bahwa emiten tidak bisa membayar bunga dan pokok pinjamannya. 2.2.2.4. Faktor yang mempengaruhi perubahan harga obligasi. Interest Rate. Besarnya tingkat suku bunga dipakai oleh pembeli obligasi sebagai benchmark dasar tingkat return yang diharapkan dan pada sisi emiten sebagai besarnya biaya modal. Tingkat suku bunga pasar dalam hal ini dapat berupa SBI rate atau suku bunga pasar pada umumnya. Perubahan tingkat suku bunga akan diproxy dari perubahan SBI rate karena setiap ada issu/ rencana perubahan pada SBI rate sudah langsung direspon oleh perubahan harga securitas (semi strong dan strong efficiency capital market) walaupun suku bunga pasar relatif tetap. Selama umur obligasi besarnya interest rate dapat berubah sesuai kondisi perekonomian secara keseluruhan. Dari sisi emiten jika suku bunga turun, beban biaya modal akan berkurang sehingga perusahaan akan melakukan ekspansi/investasi baru (dengan emisi obligasi baru atau credit baru) sehingga terjadi ekspektasi kenaikan pendapatan perusahaan. Ekspektasi yang positif ini 26 menyebabkan nilai perusahaan naik sehingga terjadi peningkatan harga securitas (saham dan obligasi). Sebaliknya jika suku bunga naik, beban biaya modal dan operational cost akan naik sehingga pendapatan operasional (EBIT) emiten akan turun. Para analis yang bekerja di pasar modal akan mengetahui informasi ini dari laporan keuangan yang diserahkan secara berkala per triwulan sesuai dengan persyaratan Bapepam. Informasi ini selanjutnya akan tersebar dan tercermin pada penurunan harga sekuritas (saham dan obligasi). Dari sisi bond holder pada saat tingkat suku bunga mengalami kenaikan sementara besarnya coupon rate tetap (fixed income bond), maka return riil dari investor relatif lebih kecil dibandingkan dengan suku bunga pasar. Hal ini akan menyebabkan terjadi aksi jual obligasi sehingga harga obligasi turun. Sebaliknya pada saat suku bunga turun, besarnya coupon rate tetap, return riil dari investor akan lebih besar/ naik sehingga terjadi aksi beli obligasi yang menyebabkan harga obligasi naik. Sebagai illustrasi, krisis moneter yang terjadi pada semester dua tahun 1998 banyak obligasi yang hanya ditawar dengan harga sebesar (20-40%) dari nilai nominalnya yang disebabkan tingginya tingkat suku bunga yang berlaku serta kemungkinan default yang cukup besar dari berbagai perusahaan sebagai akibat krisis moneter yang terjadi (Husnan, 2005). 2.2.2.5 Yield Obligasi Yield obligasi merupakan variabel penting dalam transaksi obligasi bagi investor. Investor selalu menanyakan yield yang diperolehnya bila membeli obligasi dengan harga tertentu. Maka dari itu bagi para manager investasi yang 27 mengelola portfolio obligasi maka harga dan yield sangat penting untuk menentukan dibeli atau tidaknya obligasi tersebut. Ada tiga ukuran yield obligasi yang sering digunakan oleh para dealer dan portfolio manager yaitu: 1. Yield Sekarang Yield sekarang merupakan yield dihasilkan oleh obligasi sekarang ini dengan dihubungkan kupon yang disetahunkan dan harga pasar dari obligasi tersebut. Adapun formula dari yield sekarang yaitu: Yield Sekarang = 2. Yield sampai Jatuh Tempo Yield sampai jatuh tempo merupakan tingkat pengembalian internal dari investasi yang bersangkutan. Yield sampai jatuh tempo dihitung dengan cara yang sama menghitung tingkat pengembalian internal yaitu sebagai berikut: 3. Yield untuk membeli kembali (yield to call) Ada beberapa yang bisa dibeli kembali sebelum jatuh tempo, sehingga hasil untuk mengukur sampai dibeli disebut dengan yield to call. 28 Perhitungan dari yield to call yaitu arus kas yang diperoleh sampai dibeli oleh emiten penerbit dari obligasi tersebut dengan rumusan matematik sebagai berikut: 2.3 Hubungan antara golongan-golongan aset Hubungan antara golongan-golongan aset yang berbeda merupakan persoalan yang mendasar dan penting bagi para manajer investasi. Resiko relatif antara aset-aset seperti saham dan obligasi secara khusus begitu penting dipahami, karena kemungkinan terjadi perubahan-perubahan secara terus menerus, yang menciptakan kebutuhan untuk memperbarui portofolio investasi sehingga keduanya bisa menunjukkan tingkat resiko yang diinginkan. Dari sudut pandang teori, hubungan antara saham dengan obligasi dapat ditinjau dari nilai sekarang (present value). Penambahan tingkat diskon di masa depan mengakibatkan merosotnya nilai sekarang dari saham dan obligasi, sehingga menyebabkan harga kedua aset ini merosot. Alasan ini menunjukkan korelasi positif antara saham dengan obligasi. Namun ada juga pendapat lain yang menyebutkan mengapa pergerakan pada saham dan obligasi menjadi hubungan yang positif. Sebagai contoh, variabel-variabel makroekonomi bisa memengarui keduanya menurut pola yang sama, sehingga menyebabkan gerakan korelasi positif pada kedua aset yang berbeda. Di samping faktor-faktor makroekonomi seperti inflasi masa depan, 29 struktur korelasi dapat juga bergantung pada sifat lead-lag antara saham dengan obligasi, sesuatu yang mungkin berubah dari waktu ke waktu. Ada pendapat lain dalam pustaka saham dan obligasi mengenai mengapa gerakan-gerakan pada kedua aset tersebut dapat berkorelasi negatif. Sebagai contoh, apa yang disebut dengan pendapat “flight to quality” yang menyatakan bahwa para investor cenderung untuk memasukkan dan mengeluarkan sebagian golongan aset akibat dari situasi pasar terkini dan akibat dari penilaian resiko terbaru. Selama tingkat resiko umum di pasar berubah-ubah, para investor diharapkan merubah bobot portofolio dari aset dengan karakteristik resiko yang berbeda-beda. Walaupun pemahaman mengenai hubungan antara aset yang berbeda golongan seperrti saham dan obligasi penting sekali bagi para manajer investasi, subyek ini anehnya hanya mendapat sedikit perhatian di dalam pustaka penelitian. 2.4 Hubungan Pasar Saham dan Pasar Obligasi Saham dan obligasi telah biasa dijelaskan sebagai aset yang saling melengkapi satu dengan yang lain dan bahwa para investor dapat memadukan kedua aset yang berbeda ini untuk membentuk portofolio yang sesuai dengan tingkat resiko yang mereka inginkan. Karakteristik resiko-keuntungan dari saham dan obligasi biasanya sangat berbeda dalam pengertian bahwa saham memperlihatkan tingkat volatilitas yang lebih tinggi dan diharapkan menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi. Akan tetapi, pandangan ini sangat terlalu sering menyederhanakan dan juga hanya memberikan sebagian yang terbaik dari keseluruhan gambar ketika sampai pada pemahaman 30 dan menggabungkan kedua golongan aset. Pertama, obligasi dapat memperlihatkan tingkat volatilitas yang sangat tinggi, paling tidak selama periode yang lebih pendek. Kedua, dan lebih penting, walaupun kedua bentuk aset berbeda dalam profil resiko-keuntungan, saling ketergantungan keduanya adalah penting ketika mendesain portofolio yang optimal. Hubungan antara saham dengan obligasi telah diteliti dan digunakan pada keadaan yang berbeda-beda. Sebagai contoh di Amerika, dikenal “Fed Model” yang menggunakan hubungan antara pasar saham dengan Obligasi Amerika selama 10 tahun guna mengidentifikasi apakah saham dinilai terlalu tinggi atau terlalu rendah. Menurut pendukung dari pendekatan penilaian ini, saham dapat menghasilkan keuntungan yang lebih rendah dan menjadi lebih mahal ketika hasil obligasi relatif rendah, karena kedua aset ditempatkan sebagai aset yang bersaing. Cara paling umum yang dapat dibantah dalam memandang saham dan obligasi adalah dengan menggunakan pendekatan nilai sekarang standar. Dari sudut pandang nilai sekarang, saham dan ob ligasi menuntut aliran kas masa depan. Nilai sekarang dari keduanya dapat menjadi sama dengan jumlah dari aliran kas masa depan yang didiskontokan oleh tingkat diskonto yang sesuai. Ini artinya baik saham maupun obligasi dengan cara yang sama digunakan untuk suatu perubahan dalam tingkat diskonto masa depan yang diharapkan dan bahwa keduanya dapat memperlihatkan pola korelasi yang positif. Meskipun demikian, penjelasan ini bersandar pada asumsi ceteris paribus yang sangat mungkin tidak dipakai dalam prakteknya. Satu masalahnya adalah bahwa tingkat diskonto untuk kedua aset bisa berbeda jika profil resiko keduanya berbeda dan ini sangat 31 mungkin terjadi. Begitu pula, aliran dividen dari saham dan obligasi berbeda secara signifikan. Hasil obligasi berbentuk nominal, yang artinya jika terjadi goncangan inflasi, hasil dari obligasi tersebut terpengaruh secara signifikan. Akan tetapi, harga dari saham kurang lebih terpengaruh, karena nilai nominal dari aliran dividen dari saham naik sebagai reaksi atas goncangan inflasi. Reaksi atas merosotnya tingkat bunga juga berbeda antara saham dengan obligasi. Merosotnya tingkat bunga menunjukkan pelambanan aktivitas ekonomi di masa depan, yang berarti bahwa harga saham terpengaruh secara negatif, karena aliran dividen masa depan yang diharapkan dari perusahaan menurun. Dapat diharapkan bahwa harga obligasi, pada sisi yang lain, bereaksi pada arah yang berlawanan karena aliran dividen dari obligasi akan didiskontokan pada tingkat yang lebih rendah, dengan begitu terjadi peningkatan nilai sekarang dari semua dividen masa depan. Salah satu kontribusi penting dari penelitian hubungan antara saham dengan obligasi dari perspektif nilai sekarang adalah seperti yang dikemukakan Shiller dan Beltratti (1992). Keduanya berpendapat bahwa harga saham dan hasil jangka panjang obligasi dapat berkorelasi negatif, karena tingkat diskontonya memiliki efek berlawanan pada keduanya. Shiller dan Beltratti menggunakan metode ekonometri rentetan waktu untuk meramalkan tingkat korelasi teoritis antara saham dengan obligasi di Amerika dan Inggris jika memakai model nilai sekarang. 32 Shiller dan Beltratti (1992) menunjukkan bahwa korelasi positif antara harga-harga saham dan obligasi (atau korelasi negatif antara harga saham dengan hasil obligasi) pada kenyataannya lebih tinggi dibandingkan dengan jika berdasarkan pada model nilai sekarang. Dalam penelitian yang lain, Campbell dan Ammer (1993) memerinci keuntungan ke dalam komponen-komponen yang dihubungkan dengan aliran kas dan tingkat diskonto masa depan. Dengan mengutip berita mengenai dividen dan tingkat bunga real, inflasi dan premi resiko yang diharapkan untuk saham dan obligasi, mereka meneliti efek dari komponen-komponen yang berbeda tersebut terhadap aset dan bagaimana saham dan obligasi bergerak dari waktu ke waktu. Di samping pendekatan nilai sekarang untuk saham dan obligasi, ada pendekatan lain yang terus berkembang yaitu fenomena flight-to-quality yang banyak berpengaruh kuat terhadap hubungan antara kedua golongan aset. Barsky (1989) melalui artikelnya membahas hubungan antara saham dengan obligasi dalam kerangka model penentuan harga aset berbasis konsumsi. Barsky menganalisis efek dari perubahan-perubahan pada resiko dan pertumbuhan produktivitas ekonomi real dan pengarunya pada perilaku gabungan saham dan obligasi. Kesimpulan utama Barsky adalah bahwa saham dan obligasi mungkin atau juga mungkin tidak bergerak bersamaan dan bahwa hasil akhirnya tergantung pada tingkat resiko umum agen ekonomi yang tidak disukai. Barsky memulai tulisannya dengan kutipan dari surat Bank Sentral, yang menyatakan bahwa investor cenderung mencari aman dan dengan begitu bergerak dari saham ke 33 obligasi yang lebih relatif lebih aman, dengan menurunkan harga-harga saham dan menaikkan harga-harga obligasi pemerintah sebagai kesudahannya. Connolly, Stivers dan Sun (2005) menunjukkan bahwa ketidakpastian pada pasar saham merupakan penentu utama dari korelasi saham dengan obligasi. Studi-studi lain yang melihat hubungan antara saham dengan obligasi selama periode krisis antara lain Hartman, Straetmans dan De Vries (2001), Gulko (2002), serta Baur dan Lucey (2009). Sejumlah kecil peneliian-penelitian tersebut menggunakan pendekatan yang hampir serupa, memusatkan perhatian pada struktur korelasi perbedaan waktu antara saham dengan obligasi dan bagaimana perilakunya selama periode krisis keuangan. Johansson (2010) menganalisis hubungan antara saham dengan obligasi di sembilan negara Asia termasuk Indonesia. Dengan menggunakan model bivariate stochastic volatility, Johansson menunjukkan bahwa terdapat efek volatilty spillover yang signifikan antara pasar saham dengan pasar obligasi di beberapa negara Asia. Selanjunya, pola korelasi dinamis menunjukkan bahwa hubungan antara pasar saham dengan pasar obligasi sangat berubah sepanjang waktu di semua negara Asia. Korelasi saham dengan obligasi meningkat selama periode kerusuhan di sejumlah negara, yang menunjukkan bahwa terdapat efek penularan penyilangan aset. Oleh karena itu, jika terdapat efek flight to quality di pasar-pasar Asia, nampaknya ikut terjadi untuk semua negara atau untuk semua wilayah dibandingkan dengan untuk semua aset domestik. Hasilnya memiliki pengaruh langsung dan penting untuk pembuat kebijakan regional dan juga investor domestik dan internasional yang berinvestasi pada golongan aset berganda. 34 Johansson (2010) menggunakan data berupa indeks pasar saham dan pasar obligasi nasional. Data pasar saham disusun oleh indeks saham yang biasa digunakan masing-masing negara Asia. Data pasar saham diperoleh dari J.P. Morgan Emerging Local Markets Index Plus (ELMI+) series. Johansson menggunakan indeks saham dan obligasi mata uang lokal karena ingin memusatkan perhatian pada hubungan antara kedua aset tanpa harus mempertimbangkan tingkat kurs. Data yang bersumber dari Datastream disatukan menurut frekuensi mingguan dari 31 Desember 1993 sampai dengan 2008 sehingga menghasilkan 783 observasi. Hasil Penelitian Johansson (2010) untuk Indonesia. Gambar 2.1 Gejolak Saham di Indonesia menurut penelitian Johansson (2010) Gambar 2.2 Gejolak Obligasi di Indonesia menurut penelitian Johansson (2010) 35 Gambar 2.3 Hubungan Saham dengan Obligasi di Indonesia menurut penelitian Johansson (2010). Untuk Indonesia, korelasi saham dengan obligasi sangat tinggi, yaitu mencapai 0.45 selama tahun 2007. 2.5 Suku Bunga 36 Suku bunga Pengertian tingkat suku bunga (interest rate) menurut Samuelson dan Nordhaus (1995:482) adalah sebagai berikut: "The interest rate is the amount of interest paid per unit of time. In other words, people must pay for the opportunity to borrow money. The cost of borrowing money, measured in dollar per year per dollar borrowed, is the interest rate". Sedangkan menurut Bernstein dan Wild (1998:292): “Interest is composition for use money. It is theexcess cah paid or collected beyond the money (peicipal) borrowed or loaned”. Penentuan tingkat bunga haruslah memperhatikan tingkat inflasi yang terjadi. Hal ini diungkapkan oleh Fisher dalam Mankiw (2003;86) bahwa tingkat bunga nominal akan berubah karena dua alasan yaitu karena tingkat bunga riil berubah atau karena tingkat inflasi berubah jadi tingkat bunga nominal besarnya adalah penjumlahan dari tingkat bunga riil ditambah tingkat inflasi. Tingkat bunga nominal yang terdiri dari tingkat inflasi plus tingkat bunga riil dinyatakan pula oleh Taylor (1998;521): “Real interest rate is the interest rate minus the expected rate of inflation,it adjust the nominal interest rate for inflation. Nominal interest rate is the interest rate uncorrected for inflation”. Keynes dalam Kuncoro (2001:38) menyatakan bahwa, tingkat bunga terjadi karena adanya masyarakat,sedangkan permintaan perubahan dan penawaran naik-turunnya akan tingkat uang suku dari bunga 37 mempengaruhi keinginan untuk menga dakan investasi, misalnya pada surat berharga, dimana harga dapat naik atau turun tergantung pada tingkat bunga (bila tingkat bunga naik maka surat berharga turun dan sebaliknya), sehingga ada kemungkinan pemegang surat berharga akan menderita capital loss atau gain. Tingkat suku bunga menyatakan tingkat pembayaran atas pinjaman atau investasi lain, di atas perjanjian pembayaran kembali, yang dinyatakan dalam persentase tahunan (Dornbusch, et.al., 2008 : 43). Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran. Suku bunga mempengaruhi laba perusahaan dalam dua cara yaitu: a) Karena bunga merupakan biaya, maka makin tinggi suku bunga, makin rendah laba perusahaan apabila hal lain tetap konstan. b) Suku bunga mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi sehingga mempengaruhi laba perusahaan. Suku bunga yang mempengaruhi laba perusahaan, dapat mempengaruhi harga saham (common stock) dengan tiga cara yaitu: a) Perubahan suku bunga dapat mempengaruhi kondisi perusahaan, kondisi bisnis secara umum dan tingkat profitabilitas perusahaan yang tentunya akan mempengaruhi harga saham di pasar modal. b) Perubahan suku bunga juga akan mempengaruhi hubungan perolehan dari obligasi dan perolehan dividen saham, oleh karena itu daya tarik yang relatif kuat antara saham dan obligasi. c) Perubahan suku bunga juga akan 38 mempengaruhi psikologis para investor sehungan dengan investasi kekayaan, sehingga mempengaruhi harga saham. Menurut teori tingkat bunga dari teori klasik, investasi bergantung pada tingkat bunga. Tingginya tingkat bunga menjadikan keinginan untuk berinvestasi menjadi lemah. Makin rendah tingkat bunga maka akan mendorong pengusaha untuk berinvestasi (Boediono, 1996:76). Sebagaimana tercantum dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, salah satu tugas Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter adalah membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam melaksanakan tugasnya, BI menggunakan beberapa piranti moneter yang antara lain adalah Giro Wajib Minimum, Fasilitas Diskonton, Himbauan Modal dan Operasi Pasar Terbuka, sehingga Bank Indonesia dapat melakukan transaksi jual beli surat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia. Tingkat bunga yang tinggi merupakan sinyal negatif terhadap harga saham. Tingkat suku bunga yang meningkat akan meningkatkan suku bunga yang diisyaratkan atas investasi pada suatu saham. Di samping itu, tingkat suku bunga yang meningkat bisa juga menyebabkan investor menarik investasinya pada saham dan memindahkannya pada investasi berupa tabungan ataupun deposito. Weston dan Brigham (1994) mengemukakan bahwa tingkat bunga mempunyai pengaruh yang besar terhadap harga saham. Suku bunga yang makin tinggi memperlesu perekonomian, menaikan biaya bunga dengan demikian menurunkan laba perusahaan, dan menyebabkan para investor menjual saham dan mentransfer dana ke pasar obligasi. 39 Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) mengalami fluktuasi pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2009. Terjadi penurunan suku bunga SBI dari sebesar 14,31 persen pada tahun 2000 menjadi 6,59 persen pada tahun 2009. Suku bunga SBI sempat mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2001, 2005 dan 2008 yaitu masing‐masing sebesar 17,63 persen, 12,83 persen, dan 11,08 persen. Suku bunga SBI mengalami titik terendah pada tahun 2004 sebesar 7,29 persen. Adanya trend penurunan suku bunga SBI disertai dengan peningkatan IHSG. Kontraksi moneter yang mendorong peningkatan suku bunga dapat menambah cost of capital bagi perusahaan. Selain itu, peningkatan suku bunga membuat nilai imbal hasil dari deposito dan obligasi menjadi lebih menarik, sehingga banyak investor pasar modal yang mengalihkan portofolio sahamnya. Meningkatnya aksi jual dan minimnya permintaan akan menurunkan harga saham dan sebaliknya (Prastowo, 2008:9). Hooker (2004) juga menemukan bahwa tingkat bunga berpengaruh negatif terhadap return pasar. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh Chiarella dan Gao (2004). Gjerde dan Sættem (1999) dalam penelitiannya yang mengkaji hubungan sebab akibat antara return saham dengan variabel makroekonomi memperoleh hasil perubahan suku bunga riil berpengaruh secara negatif dengan harga saham, di sisi lain perubahan suku bunga riil juga mempengaruhi tingkat inflasi. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut konsisten dengan dengan hasil yang diperoleh di Jepang dan Amerika. Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian Kandir (2008) dimana tingkat bunga mempengaruhi secara negatif return semua portofolio yang diteliti. 40 Wongbangpo dan Sharma (2002) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara harga saham dan tingkat bunga di negara Filipina, Singapura, dan Thailand, sedangkan hubungan positif terjadi di negara Indonesia dan Malaysia. Hasil yang diperoleh Gupta, Chevalier dan Sayekt (1997) bahwa terlihat dari trend, dibandingkan dengan nilai tukar, tingkat bunga lebih memiliki hubungan sebab akibat dengan harga saham. 2.6. Teori Vector Auto Regression Vector Auto Regression (VAR) merupakan sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linear dari konstanta dan nilai lag dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Menurut Gujarati (2004), model VAR mengabaikan pemisahan variabel eksogen dan endogen dan menganggap semua variabel yang digunakan dalam analisis berpotensi menjadi variabel endogen. Pasaribu (2003) menjelaskan bahwa VAR adalah model yang a-theory terhadap teori ekonomi namun model ini sangat berguna dalam menentukan tingkat eksogenitas suatu variabel ekonomi dalam sebuah sistem ekonomi di mana terjadi saling ketergantungan antar variabel dalam ekonomi. Arsana (2006) menjelaskan bahwa VAR menyediakan tiga macam penggunaan yaitu dalam bentuk: 1. Forecasting, ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel. 2. Impulse Response Functions (IRF), melacak respon saat ini dan masa depan dari setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu, 41 3. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD), prediksi kontribusi presentase varians setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu. Metode VAR memiliki keunggulan sekaligus kelemahan (Gujarati, 2004). Beberapa keunggulan VAR, yaitu: 1. Metode VAR sederhana karena tidak membedakan variabel endogen maupun variabel eksogen, semua variabel VAR adalah endogen. 2. Estimasi VAR sangat sederhana, metode OLS biasa dapat diaplikasikan kepada tiap persamaan secara terpisah. 3. Peramalan yang diperoleh dari VAR dalam banyak kasus lebih baik daripada yang diperoleh dari Model Persamaan Simultan yang lebih kompleks. Metode VAR juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu : 1. Tidak seperti model persamaan simultan, metode VAR bersifat atheory (tidak berdasarkan teori ekonomi) karena sedikit menggunakan informasi lampau. 2. Metode VAR lebih menitikberatkan pada peramalan (forecasting) sehingga model VAR dianggap tidak sesuai untuk analisis kebijakan. 3. Pemilihan panjang lag yang digunakan merupakan tantangan terberat dalam metode VAR. 4. Semua variabel dalam VAR harus stasioner. Jika tidak stasioner, maka ditransformasi lebih dahulu. 42 5. Interpetasi koefisien yang didapat berdasar model VAR tidak mudah. 2.7. Teori Vector Error Correction Model (VECM) VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi (Arsana, 2005). Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level, tetapi terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Karena itu, VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang. Adapun spesifikasi model VECM secara umum adalah sebagai berikut (Nuryati, Siregar, dan Ratnawati, 2006): ΔYt = ....................(2.1) dimana : Yt = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian = vektor intercept = vektor koefisien regresi t = time trend = αx β’ dimana β’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang = variabel in-level = matriks koefisien regresi k −1 = ordo VECM dari VAR 43 = error term 2.8. Hubungan antara SBI dengan IHSG dan IBPA Secara teori, tingkat bunga dan harga saham memiliki hubungan yang negatif (Tandelilin, 2010). Tingkat bunga yang terlalu tinggi akan mempengaruhi nilai sekarang (present value) aliran kas perusahaan, sehingga kesempatankesempatan investasi yang ada tidak akan menarik lagi. Tingkat bunga yang tinggi jugaTingkat bunga yang terlalu tinggi akan mempengaruhi nilai sekarang (present value) aliran kas perusahaan, sehingga kesempatan-kesempatan investasi yang ada tidak akan menarik lagi. Tingkat bunga yang tinggi juga akan meningkatkan biaya modal yang akan ditanggung perusahaan dan juga akan menyebabkan return yang diisyaratkan investor dari suatu investasi akan meningkat. 44 Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No. Penulis 1. Suramaya S. Kewal 2. Anders C. Johansson Judul Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, Kurs, dan Pertumbuhan PDB Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan – Suramaya. Jurnal Economia, Volume 8, Nomor 1, April 2012. Hasil Penelitian Penelitian ini menemukan bahwa secara parsial suku bunga SBI tidak berpengaruh terhadap IHSG. Nilai koefisien regresi yang ditemukan adalah sebesar ‐15,779 dengan t = ‐0,903 dan p = 0,368. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Sangkyun (1997) dan Mok (2004) yang menemukan bahwa suku bunga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap return saham. Penelitian ini menemukan bahwa di Stock and Bond relationships in Asia. April semua negara Asia menunjukkan korelasi positif antara saham dengan 2010. obligasi, kecuali untuk periode yang pendek di Cina, Korea, dan Singapura, di mana korelasi saham dan obligasi sedikit di bawah nol. Korelasi menunjukkan peningkatan selama masa krisis keuangan untuk sejumlah negara, yang menunjukkan bahwa kemungkinan diversifikasi aset-aset di negara yang sama menurun selama masa tersebut. Tingkat korelasi secara umum relatif sedang, dengan tingkat maksimum 0.45 yang terjadi di Indonesia pada tahun 2006-2007.