BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1
Kajian Teoretis
2.1.1 Pengertian Kemampuan
Kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan seseorang dalam
melakukan kegiatan. Semiawan (2001:1) mengemukakan bahwa kemampuan
adalah daya untuk suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan.
Menurut Smeth (2004:150) istilah kemampuan didefinisikan dalam arti
apa yang diharapkan di tempat kerja, dan merujuk pada pengetahuan, keahlian,
dan sikap yang dalam penerapannya harus konsisten dan sesuai standar kinerja
yang dipersyaratkan dalam pekerjaan. Ada tiga komponen penting yang tidak
tampak dalam kemampuan diri manusia yaitu; keterampilannya, kemampuannya
dan etos kerjanya. (Gomes, 2005:6). Tanpa ketiganya, semua sumber daya tetap
terpendam, tidak dapat dimanfaatkan, dan tetap merupakan potensi belaka.
Dari ketiga komponen yang tidak kelihatan tersebut memang berada dalam
diri manusia, tersimpan dalam bentuk kemampuan insani operasional (operational
human abilities). Sebagaimana digambarkan sebagai berikut: Lowler dan Porter
(dalam Hasibuan, 2001:61) mendefinisikan kemampuan (ability) sebagai
karakterisik individual seperti intelegensia, manual skill, traits yang merupakan
kekuatan potensial seseorang untuk berbuat dan sifatnya stabil. Selain itu
kemampuan dinyatakan sebagai seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung
jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
8
masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu
(Mendiknas, 045/U/2002 dalam Indrayanto, 2004:127).
Kemampuan pada individu tersebut paling tidak ditentukan oleh tiga aspek
kondisi dasar yaitu; kondisi sensoris dan kognitif, pengetahuan tentang cara
respon yang benar, dan kemampuan melaksanakan respon tersebut. Jadi
kemampuan (ability) merupakan suatu potensi untuk melakukan sesuatu. Atau
dengan kata lain kemampuan (ability) adalah what one can do dan bukanlah what
he does do (Hersey, 2002:60).
2.1.2 Pengertian Karakter
Menurut Muda (2006: 291) Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerrti yang menjadi ciri khas orang. Karakter meliputi kualitat
keseluruhan dari seseorang. Kualitat itu akan nampak dalam cara-caranya berbuat,
cara-caranya berfikir, cara-caranya mengeluarkan pendapat, sikapnya, minatnya,
filsafat hidupnya dan kepercayaannya. Karakter merupakan keseluruhan dari
reaksi psikologis dan sosial dari suatu individu, sintesa dari kehidupan emosional
dan kehidupannya, tingkah laku dan reaksinya terhadap lingkungannya.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter adalh sifat-sifat
yang terdapat dalam jiwa seseorang dan menjadi cirri khas dari seseorang.
Karakter merupakan keseluruhan dari rekasi psikologis dalam diri seseorang.
2.1.3 Macam-Macam Karakter
Karakter merupakan ciri-ciri khusus yang melekat pada diri seseorang.
Karakter memiliki berbagai macam diantaranya. Menurut Zulkifli (2007: 1-2)
Macam-macam karakter sebagai berikut:
1. Karakter dilihat aspek kognitif (pengenalan),yaitu pemikiran, ingatan,
khayalan, daya bayang, inisiatif, kreativitas, pengamatan dan penginderaan.
Fungsi aspek kognitif adalah menunjukkan jalan mengarahkan dan
mengendalikan tingkah laku.
2. Karakter dilihat aspek afektif, yaitu bagian kejiwaan yang berhubungan
dengan kehidupan alam perasaan atau emosi. Sedangkan hasrat, kehendak,
kemauan, keinginan ,kebutuhan, ,dorongan, dan elemen motivasi lainnya
disebut aspek konatif atau psiko-motorik (kecenderungan atau niat tindak)
yang tidak dapat dipisahkan dengan aspek afektif. Kedua aspek itu sering
disebut aspek finalis yang berfungsi sebagai energi atau tenaga mental yang
menyebabkan manusia bertingkah laku.
3. Karakter dilihat aspek motorik yang berfungsi sebagai pelaksana tingkah laku
manusia seperti perbuatan dan gerakan jasmaniah lainnya.
Dari pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa macam-macam
karakter dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif, dan aspek motorik.
2.1.4
Hakekat Bercerita
Bercerita berasal dari kata cerita. Cerita adalah jenis sastra yang ditulis dan
ditertibkan untuk anak atau lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Kata
cerita mengacu pada suatu yang diungkapkan dalam aktivitas bercerita.
Takdioratun (2005:1) mengatakan bahwa pengertian cerita yaitu: (1) tuturan yang
membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal peristiwa, kejadian dan
sebagainya; (2) karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman penderitaan
orang, kejadian dan sebagainya, baik sungguh-sungguh maupun rekaan belaka; (3)
Lakon yang diwujudkan atau dipertunjukan dan digambar hidup seperti
sandiwara, wayang, dan sebagainya.
Pengertian bercerita menurut Yusi (2003:40) adalah kegiatan yang
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa, berpikir logis,
pengaturan diri, pertimbangan memori yang mendalam, pertimbangan perilaku
serta pola umum dan makna cerita, karakter, ide, konsep logis dan peristiwa
penting yang bermanfaat. Sedangkan menurut Hurlock (2003:2) bahwa bercerita
adalah salah satu dari beberapa bidang kreativitas yang tidak saja membantu anak
melakukan penyesusaian sosial yang baik namu bercerita juga membantu mereka
melatih pribadi yang baik, membantu anak melakukan penyesuaian sosial yang
baik, membantu siswa melatih pribadi yang baik, membantu siswa meningkatkan
wawasan diri dengan mengetahui bagaimana reaksi orang lain terhadapnya dan
caranya bercerita.
Bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan
kepada orang lain dengan alat atau tanpa alat tentang apa yang harus disampaikan
dalam bentuk pesan, informasi atau hanya sebuah dongeng yang untuk
didengarkan dengan rasa menyenangkan, oleh karena orang menyajikan cerita
tersebut menyampaikannya dengan menarik.
Hendrikus dalam Winangsih (2005:9) mengatakan bahwa bercerita adalah
proses pengalihan makna antar pribadi manusia atau tukar menukar berita dalam
sistem informasi. Dijelaskan pula bahwa bercerita adalah suatu proses hubungan
antara manusia, yaitu terjadinya penyampaian pesan (anjuran atau pembeberan
lambang) bahan-bahan yang mengandung arti.
Mulyana (2005:61) mengkategorikan definisi-definisi tentang bercerita
dalam tiga konseptual yaitu bercerita sebagai tindakan satu arah, bercerita sebagai
interaksi dan bercerita sebagai transaksi. Dikatakan pula oleh Mulyana (2005:62)
bahwa bercerita sebagai tindakan satu arah memiliki pengertian bahwa suatu
pemahaman cerita sebagai penyampaian pesan searah dari seseorang (atau
lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung
(tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar,
majalah, radio, atau televisi.
Bercerita
sebagai
interaksi,
merupakan
suatu
pandangan
yang
menyetarakan cerita dengan suatu proses sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang
arahnya bergantian. Seseorang menyampaikan pesan, baik verbal atau nonverbal,
seorang penerima bereaksi dengan memberi jawaban verbal atau nonverbal,
kemudian orang pertama bereaksi lagi setelah menerima respon atau umpan balik
dari orang kedua, dan begitu seterusnya (Mulyana, 2005:62).
Bercerita sebagai transaksi merupakan pandangan yang menyatakan
bahwa kegiatan bercerita adalah proses yang dinamis yang secara sinambungan
mengubah phak-pihak yang bercerita. Berdasrkan pandangan ini, maka orangorang yang bercerita dianggap sebagai komunikator yang secara aktif
mengirimkan dan menafsirkan pesan. Setiap saat mereka bertukar pesan verbal
dan atau pesan nonverbal (Mulyana, 2005:62).
Menurut Irawan (2007:1) bahwa bercerita adalah proses komunikasi yang
melibatkan maklum-balas menggunakan percakapan untuk menyampaikan
maklumat lengkap kepada penerima. Sedangkan menurut Sunandar (2008:2)
bahwa bercerita adalah komunikasi dalam bentuk percakapan atau tertulis. Setiap
orang dalam suatu komunitas secara verbal dalam menyampaikan pesan atau
informasi. Kegiatan bercerita dilakukan dengan menggunakan kata-kata untuk
menyatakan ide. Gaya dalam berkomunikasi disesuaikan dengan situasi dan lawan
bicara.\
2.1.5
Unsur-Unsur Cerita Anak
Dalam suatu cerita terdapat unsur-unsur cerita, sebagaimana pendaoat dari
Amiruddin (2003:23) bahwa unsur-unsur cerita mencakup beberapa hal berikut.
a. Tokoh dan penokohan
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam
cerita. Tokoh adalah pelaku yang mengmban peristiwa dalam cerita rekaan
sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.Tokoh-tokoh dalam cerita
perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan batinnya agar watak juga di kenal oleh
pembaca. Penokohan atau perwatakan ialah pelukisan mengenai tokoh cerita
baik keadaan lahir dan batin yang berupa pandangan hidup, sikap, keyakinan,
adat istiadat dan sebagainya.
b. Latar atau seting
Latar atau seting yaitu tempat ,petunjuk,pengacuan yang berkaitan dengan
waktu, ruang suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya satra. Tidak
semua jenis latar cerita selalu ada dalam sebuah cerita.Mungkin dalam sebuah
cerita/latar yang mononjol atau latar dan waktu.
c. Alur atau Plot
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalinsuatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku/tokoh cerita.
Dalam alur terdapat serangkaian peristiwa dari awal sampai akhir, yang
terbagi atas : (1) pengenalan tahap peristiwa dalam suatu cerita yang
mengenalkan tokoh- tokoh atau latar cerita, (2) konflik, adalah ketegangan
atau pertikaian antara dua kepentingan dalam cerita (3) klimaks adalah titik
akhir dalam konflik, (4) leraian adalah bagian struktur setelah tercapai
klimaks, (5) selesaian merupakan tahap akhir dalam sebuah cerita.
d. Tema dan Amanat
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita yang berperan sebagai dasar bagi
pengarang dalam memaparkan karya fiksi. Amanat adalah gagasan yang
mendasari karya sastra. Pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya
tersirat, di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.
2.1.6 Cara-Cara Bercerita
Menurut Amirudin (2003:24) bahwa ada beberapa hal yang dapat dilakukan
agar siswa dapat bercerita dengan baik yakni :
a. Menentukan cerita yang disukai
b. Membaca berulang kali cerita itu sehingga isi cerita dapat dipahami
dengan baik
c. Melakukan latihan bercerita dengan memperhatikan nada, tempo, jeda,
perubahan wajah, mimik, dan lafal secara tepat
d. Memperhatikan urutan cerita yang logis dalam cerita serta menggunakan
bahasa menarik dan menyenangkan.
Sehubungan dengan teori di atas dapat dikatakan bahwa cara bercerita
diawali dengan menentukan cerita yang akan disampaikan, memahami cerita yang
akan disampaikan dan menyampaikan cerita dengan intonasi, mimik dan bahasa
yang menyenangkan.
Menurut Prihadi (2010:1) bahwa cara-cara bercerita meliputi beberapa hal
sebagai berikut.
a. Membaca keras, ini adalah cara termudah dalam bercerita, yaitu menggunakan
cerita yang sudah ada. Kita tinggal membacakannya Boleh kita baca dulu agar
selanjutnya lebih lancar. Cerita yang sudah dikemas dengan gaya bahasa
bertutur akan mempermudah. Tapi cerita yang terdapat di buku biasanya butuh
dikelola ulang agar bisa dibacakan dengan enak. Nah, berarti kita butuh cara
membaca yang menarik.
b. Gerak tanpa suara, cara bercerita seperti ini seperti berpantomim. Cara seperti
ini memang tidak lumrah. Namun karena tidak lumrah itu, biasanya anak
tertarik memperhatikannya. Di sisi lain, karena tidak biasa, maka kita perlu
tahu bagaimana caranya.
c. Mendayagunakan diri secara total. cara bercerita ini yang biasanya dilakukan
oleh kebanyakan kita dan para profesional. Bercerita dengan cara ini
menggunakan bahasa verbal dan nonverbal secara total. Menyelaraskan apa
yang kita ucapkan dengan ekspresi dan gestur adalah kuncinya. Namun,
bagaimana melakukan cara ini dengan baik.
Langkah-langkah bercerita menurut Prihadi (2010:1) meliputi beberapa hal
yakni : menentukan topik, menyusun kerangka cerita, mengembangkan kerangka
cerita, menyusun teks cerita. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam bercerita:
keruntutan cerita, alur cerita disampaikan haruslah runtut, cerita disampaikan
denganm urutan yang baik, sehingga pendengar akan mudah memahami isi cerita,
harus menggunakan suara, lafal, intonasi, gestur dan mimik yang tepat agar
pendengar tertarik pada cerita yang disampaikan. Suara yang jelas maksudnya
suara yang dikeluarkan terdengar jelas di telinga pendengar. Lafal adalah cara
seseorang mengucapkan bunyi bahasa. Intonasi merupakan tinggi rendah/keras
lembutnya suara. Gestur dan mimik, gestur adalah gerakan badan yang digunakan
dalam bercerita. Kalian dapat menggunakan gerak tangan, kepala, maupun badan
untuk mempertegas isi cerita. Adapun mimik adalah ekspresi wajah (air muka)
untuk menunjukkan perasaan yang terkandung.
2.1.7 Tujuan dan Manfaat Bercerita
Tujuan bercerita adalah agar siswa mampu mendengarkan dengan seksama
terhadap apa yang disampaikan pada siswa lain, siswa dapat bertanya apabila
tidak memahaminya, siswa dapat menjawab pertanyaan, selanjutnya siswa dapat
mengidentifikasi dan mengekspresikan terhadap apa yang didengarkan dan
diceritakannya, sehingga hikmah dari isi cerita dapat dipahami dan lambat laun
didengarkan, diperhatikan, dilaksanakan dan diceritakannya pada orang lain.
Menurut Fatimah (2008:23) bahwa ada beberapa tujuan bercerita yakni
sebagai media untuk menyampaikan peran moral, sebagai sarana pendidikan
emosi bagi siswa, sebagai sarana pendidikan fantasi, imajinasi dan kreatifitas
siswa, sebagai sarana pendidikan bahasa siswa, sebagai sarana pendidikan daya
pikir siswa, sebagai sarana memberikan pengalaman batin dan hasanah
pengetahuan siswa dan sebagai sarana hiburan dan pencegahan kejenuhan.
Manfaat kegiatan bercerita terdiri dalam beberapa kategori. Menurut
Mulyana (2005:63) bahwa kategori manfaat bercerita dibagi menjadi empat, yaitu
bercerita secara sosial, bercerita secara ekspresif, bercerita secara ritual dan
bercerita secara instrumental. Manfaat bercerita sebagai komunikasi sosial
setidaknya mengisyaratkan bahwa kegiatan bercerita itu penting untuk
membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk
memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain
lewat cerita yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan hubungan orang
lain. Melalui kegiatan bercerita kita bekerja sama dengan anggota masyarakat
untuk mencapai tujuan bersama.
Manfaat kegiatan bercerita secara ekspresif yakni untuk menyampaikan
perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama diceritakan
melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira,
sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun
bisa disampaikan secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal (Mulyana,
2005:64).
Dijelaskan pula oleh Mulyana (2005:63) bahwa manfaat kegiatan bercerita
instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan,
mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan tindakan, dan juga
menghibur. Sebagai instrumen, cerita tidak saja kita gunakan untuk menciptakan
dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut.
Kegiatan bercerita bermanfaat sebagi instrumen untuk mencapai tujuantujuan pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka
panjang.
Tujuan
jangka
pendek
misalnya
untuk
memperoleh
pujian,
menumbuhkan kesan yang baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan
material, ekonomi, dan politik, yang antara lain dapat diraih dengan pengelolaan
kesan (impression management), yakni taktik-taktik verbal dan nonverbal, seperti
berbicara sopan, mengobral janji, mengenakankan pakaian necis, dan sebagainya
yang pada dasarnya untuk menunjukkan kepada orang lain siapa diri kita seperti
yang kita inginkan.
Berkenaan dengan manfaat kegiatan bercerita ini, terdapat beberapa
pendapat dari para ilmuwan yang bila dicermati saling melengkapi, misalnya
pendapat Effendy (2006:10), bahwa manfaat kegiatan bercerita adalah
menyampaikan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Dijelaskan
pula oleh Nuruddin (dalam Effendy, 2006:12) bahwa manfaat bercerita yakni
untuk penjajagan/pengawasan lingkungan (surveillance of the information) yakni
penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi nilai masyarakat,
menghubungkan bagian-bagian yang terpisahkan dari masyarakat untuk
menanggapi lingkungannya; dan menurunkan warisan sosial dari generasi ke
generasi berikutnya.
Menurut Musfiroh (2005:83) bahwa manfaat bercerita antara lain untuk
mengasah imajinasi siswa, mengembangkan aspek sosial emosi, mengembangkan
kemampuan
berbahasa,
mengembangkan
aspek
moral,
mengembangkan
kesadaran beragama, menumbuhkan semangat berprestasi dan melatih konsentrasi
siswa.
2.1.8
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Model jigsaw merupakan strategi yang menarik untuk digunakan jika
materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi
tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi ini adalah
dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar sekaligus mengajarkan kepada
orang lain (Zaini. 2005:59).
Menurut Asma (2006) bahwa model pembelajaran jigsaw adalah sebuah
tehnik pembelajaran kooperatif dimana siswa, bukan guru, yang memiliki
tanggung jawab lebih besar dalam pelaksanaan pembelajaran. Adapun tujuan dari
medel pembelajaran jigsaw ini adalah untuk mengembangkan kerja tim,
ketrampilan belajar kooperatif, dan menguasai pengetahuan secara mendalam
yang tidak mungkin diperoleh bila mereka mencoba untuk mempelajari semua
materi sendirian.
b. Langkah-Langkah Model Jigsaw
Suprijono (2009:89) menjelaskan bahwa pembelejaran model jigsaw
diawali dengan pengenalan topik yang akan dibahas oleh guru. Kemudian guru
menanyakan kepada peserta didik apa yang mereka ketahui mengenai topik
tersebut. Kegiatan sumbang saran ini dimaksudkan untuk mengaktifkan schemata
atau struktur kognitif peserta didik agar lebih siap menghadapi kegiatan pelajaran
yang baru.
Selanjutnya guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok-kelompok
lebih kecil. Jumlah kelompok bergantung pada jumlah konsep yang terdapat pada
topik yang dipelajari. Setelah kelompok asal tersebut terbentuk, guru membagikan
materi tekstual kepada tiap-tiap kelompok. Setiap orang dalam setiap kelompok
bertanggung jawab mempelajari materi tekstual yang diterimanya dari guru. Sesi
berikutnya membentuk kelompok ahli. Jumlah kelompok ahli diatur sedemikian
rupa yang berasal dari masing-masing kelompok asal.
Kelompok ahli setelah terbentuk diberikan kesempatan kepada mereka
untuk
berdiskusi. Melalui diskusi di kelompok ahli diharapkan mereka
memahami topik model pelajaran. Setelah diskusi kelompok ahli selesai,
selanjutnya peserta didik kembai ke kelompok asal dan mendiskusikan
pengetahuan yang mereka dapatkan dari kelompok ahli. Setel;ah semua langkah
dilaksanakan, guru menutup pembelajaran dengan memberikan review terhadap
topik yang dipelajari.
c. Keunggulan dan Kelemahan Model Jigsaw
Model jigsaw dapat pengelompokkan homogen maupun pengelompokkan
heterogen. Namun kedua cara ini memiliki keunggulan dan kelemahan (Sunarto,
2009:2).
Kelebihan
model
jigsaw
yakni
pengelompokan
semacam
ini
memungkinkan peserta berbagi perspektif yang berbeda tantang bacaan yang
sama, yang secara potensial diakibatkan oleh pemahaman yang lebih mendalam
terhadap salah satu bab. Potensi yang lebih besar untuk memunculkan proses
analisis daripada hanya sekedar narasi sederhana. Memungkinkan “peer
instruction” dan pengumpulan pengetahuan, memberikan peserta informasi dari
bab-bab yang tidak mereka baca.
Sedangkan kekurangan model jigsaw yakni fokusnya sempit (satu bab)
dan kemungkinan akan berlebihan. Selain itu apabila satu peserta tidak membaca
tugasnya, informasi tersebut tidak dapat dibagi/didiskusikan. Potensi untuk
pembelajaran yang naratif (bukan interpretatif) dalam berbagi informasi.
Menurut Hasmiati dkk. (2008) bahwa kelebihan model jigsaw adalah (a)
meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan
juga pembelajaran orang lain. (b) Siswa tidak hanya mempelajari materi yang
diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi
tersebut pada anggota kelompoknya yang lain, sehingga pengetahuannya jadi
bertambah. (c) Meningkatkan bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari
materi yang ditugaskan
Dijelaskan pula oleh Hasmiati dkk. (2008) bahwa kekurangan model
jigsaw adalah (a) jika guru tidak mengingatkan agar siswa selalu menggunakan
keterampilan-keterampilan kooperatif dalam kelompok masing-masing maka
dikhawatirkan kelompok akan macet dalam pelaksanaan diskusi. (b) Jika jumlah
anggota kelompok kurang akan menimbulkan masalah. (c) Membutuhkan waktu
yang lebih lama, apalagi bila penataan ruang belum terkondisi dengan baik
sehingga perlu waktu untuk merubah posisi yang dapat menimbulkan kegaduhan.
2.1.9 Langkah-langkah Mengidentifikasi Karakter Tokoh Dalam Cerita
Melalui Metode Jigsaw
Dijelaskan
pula
oleh
Zaini
(2005:59)
bahwa
langkah-langkah
mengidentifikasi karakter tokoh dalam cerita melalui metode jigsaw yakni:
a) Pilihlah materi pelajaran yang dapat dibagi menjadi beberapa segmen
(bagian).
b) Bagilah siswa menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah segmen
yang ada.
c) Setiap kelompok mendapat tugas membaca dan memahami materi
pelajaran yang berbeda-beda.
d) Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk
menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompok.
e) Kembalikan suasana kelas seperti semula kemudian tanyakan sekiranya
ada persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam kelompok.
f) Sampaikan
beberapa
pertanyaan
kepada
siswa
untuk
mengecek
pemahaman mereka terhadap materi.
2.2
Kajian Penelitian yang Relevan
Kajian penelitian yang relevan dengan penelitian ini diantaranya adalah
hasil penelitian dari Holifatul Fitri (2012) yang berjudul ”Penerapan Media
Permainan Monopoli untuk Meningkatkan Kemampuan Mengidentifikasi Unsur
Cerita Pada Siswa Kelas VI SDN Karangbesuki I Malang”.
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan media
permainan monopoli mampu meningkatkan proses mengidentifikasi unsur cerita
yang meliputi tokoh, watak, latar, tema dan amanan cerita. Pada aspek
mengidentifikasi tokoh cerita terjadi peningkatan yang semula 64% pada
pratindakan menjadi 70% di siklus I dan menjadi 90% di siklus II. Aspek
mengidentifikasi watak tokoh mengalami peningkatan yang awalnya 54% pada
pratindakan menjadi 71% pada siklus I dan meningkat menjadi 88% pada siklus
II. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penggunaan media permainan
monopoli mampu meningkatkan kemampuan siswa mengidentifikasi unsur cerita
pada siswa kelas VI SDN Karangbesuki 1 Malang.
Hasil penelitan dari Holifatul Fitri (2012) memiliki persamaan dengan
penelitian yang akan dilaksanakan yakni pada kompentensi yang akan
ditingkatkan namun metode pembelajaran yang digunakan berbeda. Pada
penelitian sebelumnya menggunakan metode permainan monopoli dan pada
penelitian yang akan dilaksanakan menggunakan metode jigsaw.
Selain penelitian di atas, ada juga kajian relevan lainnya dari Dwika
Wulandari (2011) yang berjudul ”Kemampuan Mengidentifikasi Tokoh, Watak,
Latar, Tema dan Amanat dari Cerita Anak yang Dibacakan Pada Siswa Kelas VI
SDN 10 Pondok Tinggi Kota Sungai Penuh”.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa salah satu kompetensi dasar yang
harus dikuasai oleh siswa SD yakni kemampuan dalam mengidentifikasi unsurunsur karya sastra, dimana cerita anak merupakan salah satu unsur karya sastra
yang dipelajari pada sisswa kelas VI Sekolah Dasar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai rata-rata kemampuan siswa kelas VI SDN 10 Pondok
Tinggi Kota Sungai Penuh dalam mengidentifikasi tokoh, watak, latar, tema atau
amanat cerita anak yang dibacakan yaitu sebesar 75.83%. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan siswa kelas VI SDN 10 Pondok Tinggi Kota Sungai Penuh
dalam mengidentifikasi tokoh, watak, latar, tema atau amanat cerita anak yang
dibacakan tergolong baik.
Penelitian yang dilaksanakan oleh Dwika Wulandari (2011) memiliki
kemiripan dengan penelitian yang akan dilaksanakan oleh penulis yakni pada
variabel penelitian yakni mengidentifikasi tokoh, watak, latar, tema atau amanat
cerita anak. Sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang akan dilaksanakan
terletak pada jenis penelitiannya dan subyek penelitian. Penelitian sebelumnya
berbentuk kualitatif sedangkan penelitian ini berbentuk Penelitian Tindakan Kelas
(PTK).
2.3
Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori sebelumnya maka hipotesis yang dapat diajukan
yakni “jika guru menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw maka
kemampuan mengidentifikasi tokoh dalam cerita pada siswa kelas V SDN 8
Telaga Kabupaten Gorontalo dapat ditingkatkan”.
2.4
Indikator Kinerja
Indikator
kinerja
keberhasilan
dalam
penelitian
ini
adalah
dapat
meningkatkan kemampuan mengidentifikasi karakter tokoh dalam cerita melalui
model pembelajaran jigsaw pada siswa kelas V SDN 8 Telaga Kabupaten
Gorontalo yang mendapat nilai 70 keatas
Download