KEBIJAKAN DAN KETERBELAKANGAN MASYARAKAT MARITIM (Studi Kasus pada Komunitas Masyarakat Maritim di Negeri Bugis Makassar Sulawesi Selatan)1 Oleh : Eymal B. Demmallino, M. Saleh S. Ali, Abd- Qadir Gassing, Munsi Lampe, Nurbaya Busthanul, dan il lbrahim' Ta ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sebuah keprihatinan terhadap masyarakat maritim di lndonesia dan Sulawesi Selatan pada khususnya yang hingga kini masih sangat tertinggal dibanding dengan komunitas lainnya di daratan atau merosot jauh kebelakang dibanding dengan masyarakat maritim era kerajaan di masa lampau (abad abad )(Vll Sriwidjaya, Madjapahit, dan Gowa-Makassar). Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan keberpihakan pemerintah pada pengembangan kemaritiman di Negeri Bugis Makassar Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan metode lerstefren yang dilakukan melalui 'yen[e6atan ftistoris" seiak periode kerajaan hingga periode reformasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterbelakangan Komunitas Masyarakat Maritim di Negeri Bugis Makassar adalah berpangkal pada luputnya perhatian pemerintah atau tepatnya berpalingnya perhatian Vlll : pemerintah baik pusat maupun daerah dari darat ke laut. Sejak erEt kemerdekaan atau periode republik, kebijakan pemerintah pada umumnya lebih banyak bertumpuh pada kebijakan kontinental (kedaratan) pada hal potensi bangsa inisecara fisik adalah dominan pada potensi kemaritiman dan bangsa ini pula secara historis lebih dikenal sebagai bangsa lautan (maritim) daripada bangsa daratan. Penelitian ini merekomendasikan untuk mewujudkan apa yang dengan susah payah telah dirumuskan dalam REPELITA Vll s/d X, sebuah rumusan keberpihakan yang bertumpu pada modemisasi kemaritiman sesuai dengan potensi besar bangsa. Kata Kunci : Keterbelakangan, Pendekatan Historis, dan Luputnya Perhatian Pemerintah terhadap Potensi Besar Bangsa. 1 Tutisan ini merupakan seri ketiga dari kelima seri yang direncanakan, yang keseluruhannya disarikan dan dikembangkan pada hasil kajian disertasi penulis utama yang berjudul Transformasi Sosio Kultural Menggagas Pembaharuan Masyarakat Maritim di Negeri Bugis Makassar Sulawesi Selatan. Disaiikan pada Seminar Nasional PERHEPI Palu Sulawesi Tengah, Tanggal l0-ll April 2016. 2 Penulis Pertama, Kedua, Kelima, dan Keenim adalih Tenaga Akademik pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian UNHAS Makassar, Penulis Ketiga adalah Tenaga Akademik pada Univercitas lslam Negeri Alauddin Makassar, dan Penulis Keempat adalah Tenaga Akadernik Jurusan Antropolqi Fakultas llmu : Sosial dan Politik UNHAS Makassar. Kontak Person demmallino 1 964@vahoo. com : PROLOG Pertimbangan Obiektif ( Jvl asy ar a6at Svlar it im dntam ? ersy e Et if s{ktoris) Seiarah Dunia telah membuktikan bahwa Orang Bugis-ilakassar terkenal memiliki kehebatan di laut - ketika bangsa ini dikena! dengan sebutan Nusantara. Tom Pires dikutip oleh Pelras dalam Abu Hamid, 2005) dengan tegas menyatakan bahwa : o ....... Kepulauan Makassar terdapat kira-kira empat atau lima hari playaran lewat pulau yang baru kita kenal (Bomeo), di tengah jalan kalau kita dari Maluku...... pulau itu berdagang dengan Malaka, Jawa, Brunai, Negeri Siam dan juga dengan Pahang. Tidak ada bangsa yang lebih menyerupai orang Siam kecuali Mereka kafir, gagah, dan suka berperang. Disitu banyak bahan makanan. Orang daripulau itu adalah perampok paling hebat di seluruh dunia, kekuatannya sangat besar dan perahunya banyak. Mereka berlayar untuk merampok dari negeri mereka sampai ke Pegu, Maluku, Banda, dan di semua pulau di sekitar Jawa. ....... Mereka berlayar keliling Pulau Sumatera. Pada umumnya mereka disebut Bajau (orang Selat). Barang rampasannya mereka bawa ke Jumaika dekat Pahang, tempat mereka beriualan dan mengadakan pasar terus menerus". mereka Pustaka Sejarah iielayu, mengemukakan bahwa sebelum abad XVll (tepatnya abad XVI), Negeri Malaka pernah diserang oleh Karaeng Samarluka dari Negeri Balului (salah satu negeri di Makassar pada abad XVI), bersama armada berkekuatan 200 buah perahu. Mereka berlayar beberapa hari, dengan perlengkapan menuju Malaka, sebagai usaha untuk membuka jalur - jalur perdagangannya. Sejarawan ataupun budayawan lainnya, seperti L.J.J. Garon Noorduyn senantiasa melukiskan bahwa orang Bugis-Makassar mempunyai sejarah pelayaran yang sudah tua dengan menggunakan perahu phinisi. Suku bangsa ini dikenal sebagai pelaut yang tangkas dan berani mengarungi lautan sampai ke Asia Tenggara dan Australia. Berlayar sebagai pedagang dan pengangkut hasil bumi. Sejak jauh sebelum masuknya agama lslam di Sulawesi Selatan pada abad XVll, mereka sudah mengenal pantai Malaysia, Aceh, Borneo, Jambi, Banten, Nusantara, Maluku, dan Australia. (Baca: Abu Hamid,2005: 3). Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, mengakibatkan tumbuhnya di Nusantara kerajaan-keralaan maritim, termasuk di dalamnya Kerajaan Gowa-iiakassar. Dalam waktu yang relatif singkat tumbuh sebuah kerajaan raksasa maritim untuk menyaingi perdagangan rempah-rempah Portugis di Kepulauan Malaka. Pertumbuhan ini pula disusul dengan Kerajaan Bone pada paruh pertama abad XVll di Teluk Bone. Keadaan ini pula yang didapati oleh VOC, sejak mengalahkan dominasi Portugis di lndonesia Bagian Timur (Baca : Abu Hamid, 2005 : 7). Dalam sejarah lndonesia dikemukakan bahwa jauh sebelum lahirnya Perianjian Bongaya (18 November 1667), Kota Somba Opu Makassar pernah menjadi Pusat Perdagangan Antarpulau di Nusantara. Hargaharga komoditas pertanian seperti : beras, sayuran segar, dan rempahrempah adalah lebih murah dibanding dengan di pulau lain di kawasan ini (termasuk di daerah asal komoditas yang dimaksud). Bukan hanya itu tetapi pedagdng Eropa (Portugis, lnggris, dan Spanyol) pada masa itu mempunyai Kantor Perwakilan di Kota Somba Opu. Hal ini berarti Kota Somba Opu pernah jaya di masa silam. Akan tetapi setelah perlawanan Sultan Hasanuddin dilumpuhkan oleh Belanda (VOC). Kota Somba Opu Makassar secara per lahan-lahan hilang dalam percaturan ekonomi kemaritiman (Sagiman, 1983 dalam Abu Hamid, 2005) iiattulada (1991) mengemukakan bahwa Kota Makassar sebagai salah satu Pusat Kejayaan Maritim di Nusantara mencapai puncak keemasannya pada akhir abad XVI s/d awal abad XVll (sekitar setengah abad) atau tepatnya pada masa pemerintahan Raja Gowa ke 14 : I Manga'rangi Daeng Manra'bia - Sultan Alauddin dengan gelar anumerta Turrwnanga ri Qaufrnmn dengan Mangkubumi Karaeng Matowa : I Mallingkaan Daeng Manyonri - Sultan Abdullah Awrvalul lslam dengan gelar anumerta y'wncnanga ri Agarnana. Biasa disebut Keraiaan Kembar Gowa-Tallo' : Dua Raja Satu Rakyat atau disebut pula Kerajaan Makassar. Tetapi setelah Kerajaan Gowa-Makassar dipaksakan ke darat oleh Kolonialisme Belanda, semenjak itu kegiatan kemaritiman yang sebelumnya berada dalam penguasaan keralaan beralih kepada pengawasan yang ketat oleh pemerintah kolonial. Keadaan ini berlanjut sampai proklamasi kemerdekaan dan bahkan hingga sekarang di zaman republik ini perhatian terhadap pengrembangan kemaritiman masih kurang seserius dengan perhatian pemerintah di Zaman Kerajaan GowaMakassar yang memang secara gigih membangun bandar pelabuhan bertaraf intemasional, melindungi para pedagang yang berdagang di Makassar dan membangun armada pelayaran secara besar-besaran, serta menjalin hubungan persahabatan dengan para pedagang Nusantara dan pedagang Eropa, China, lndia, dan Arab pada khususnya, sebagai pewujudan kebijakan kerajaan yang lebih populer dikenal dengan *XebiiaQan sebutan ?intu Terburta". Dengan demikian sepintas kita dapat mengatakan bahwa keterpurukan atau pun keterbelakangan masyarakat maritim Nusantara dan Sulawesi Selatan adalah d isebab ka n ka rena 3Q foniafisme tse fa n da dan JOr angny a ? er fiatian di 3 ?em.erintaft ncybtirt. dalam membangun kembali peradaban maritim di Nusantara. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian (lvlengaya dan ufiut Aya) Bertolak dari pertimbangan objektif tersebut di atas, penelitian ini mempertanyakan Sampai berapa jauh kebijakan pembangunan ekonomi (keberpihakan) termasuk di dalamnya pilihan teknologi (baik secara nasional, regional, maupun daerah) sejak periode kemerdekaan memberi perhatian serius pada pengembangan aktivitas ekonomi kemaritiman di Sulawesi Selatan. Kajian ini merupakan kaiian seri ketiga dari lima seri yang direncanakan. Seri pertama yang secara khusus membahas Kapitalisme dan Keterbelakangan Masyarakat Maritim dan seri kedua yang secara khusus membahas Sufisme dan Keterbelakangan Masyarakat Maritim, keduanya telah diterbitkan- Keseluruhan seri tulisan ini disarikan dan dikembangkan dari hasil Kaiian Disertasi Penulis Utama yang berjudul "Transformasi Sosio-Kultural Menggagas Pembaharuan Masyarakat Maritim di Negeri Bugis Makassar Sulawesi Selatan". Kajian Disertasi itu menemukan bahwa Keterpurukan dan atau Keterbelakangan yang dialami oleh masyarakat maritim di Negeri Bugis Makassar adalah berpangkal sebuah "Percelingkuhan besar antara Sufisme, Kapitalisme, dan Kebijakan Kontinental" dalam suatu proses historis yang panjang. Atas dasar pertanyaan penelitian itu, maka tujuan penelitian atau penulisan artikel pada seri ketiga ini adalah untuk menelusuri dan menganalisis besamya perhatian pemerintah sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang terhadap pengembangan kemaritiman Negeri Bugis Makassar Sulawesi Selatan pada khususnya. : di Landasan Teoretis ? er sy e Ft if Jce 6 ij aft an . at au Ab dernis as i emh angunnn " Kebijakan atau tepatnya keberpihakan umumnya ditunjukkan melalui regulasi dan program keda yang disertai implementasi yang biasanya ditandai dengan pilihan teknologi atau apa yang disebut modernisasi. Kebanyakan teori tentang modemisasi atau pembangunan memasukkan ke dalamnya berbagai kadar detenninisme, dengan merujuk kepada negara-negara "m.ajnt" sebagai motre[ Apakah hal itu disebabkan karena kebanyakan ahli teori mengenai soal ini berasal dari daerahdaerah "maju" itu sendiri ? Atau belajar pada negara-negara "maju" ?. Dalam konteks ini, seorang sarjana Brazil : Alberto Guerreiro Ramos mencoba untuk membersihkan teori modernisasi dari apa yang ia anggap sebagai sisa - sisa evolusionisme metafisik pada abad XlX. Dengan menggolongkan semua "teori Eefiarusan" yang demikian ke dalam kelompok teoriA[ Ramos, dalam melakukan tugasnya tidak saja telah mengadakan studi yang luas mengenai sumbangan Eropa dan Amerika Utara kepada ilmu-ilmu sosial akan tetapi juga memanfaatkan pengalaman praktisnya dalam soal-soal Amerika Latin, mengembangkan untuk pertimbangan kita tentang garis-garis besar suatu "m.ode[ Eemrung0inan (yossi"6itity made|" yang selanjutnya ia namakan Teori ?, (Ramos dalam Beling dan Totten, 1985 : 92). Asumsi utama dari Teori N, sepanjang menyangkut modernisasi, adalah bahwa a^da suatu fruEutn F.efr^antsan ftistoris yailq m.emaQsa seti.ay masyarafi.at, untuL Serusafia mencayai ting6at yang sutrafl {uayai obft aya yang dinana6an mrsyclrafrat-masyara6at yang sutrafi maju atau mo[erru Masyarakat-masyarakat itu menyingkapkan kepada apa yang dinamakan masyarakat-masyarakat modern sebagai gambaran masa depan dari masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang. Kesimpulan dari cara pendekatan ini adalah bahwa para penu lis atau praktisi Teori N mengg unakan frEfrotvmi- di6frot omi seperti negara maju lawan negara sedang berkembang, dan masyarakat "refererui (mode}' lawan masyarakat 'yengirtut". Biasanya kebanyakan di antara mereka berbicara tentang "fiambatArt-framrtatart 5 agi y er Eemb ang an" atau "sy arat - sy arat mttt [aE mo dernis as i", hal inijelas sudah dipengaruhi oleh asumsi-asumsi deterministik dari Teori N, oleh model utama modemisasi yang beku, yang sedikit banyak diidentifkasikan dengan tingkat Eropa Barat atau Amerika Serikat sekarang. Sebaliknya, Teori P mempunyai dua ciri utama dalam hubungan dengan modernisasi, yakni : (1) Teori P beranggapan bahwa modernitas itu tidak terdapat di suatu bagian dunia tertentu; hafiwa Jrroses modernisasi titrat yerfu herorientasi Eeyatra suatu modet asfiseperti dalam ajaran Plato; dan (2) Teori P berpendirian bahwa setiap negara, apa pun konfigurasi masa kininya, sefafu memlnmryai EemangQinan F.emang6inan moderuisasi senfrri, yang pewujudannya dapat oleh penggunaan suatu model normatif yang beku dan asing bagi kemungkinan-kemungkinan itu. - seberapa jauh kebijakan pembangunan kemaritiman di Indonesia dan sulawesi selatan pada khususnya mencerminkan pewujudan Teori N (normatiye modc} atau Teori P (yossibitity *fufl merupakan suatu hal yang perlu dikaji - guna untuk memperkuat ataupun memperbaiki paradigma kebijakan pembangunan kemaritiman yang telah dilakukan selama beberapa dasawarsa terakhir. Bila kebijakan pembangunan bertumpu pada Teori N, maka dapat dipastikan bahwa pembangunan kemaritiman di lndonesia dan Sulawesi Selatan pada khususnya tidak berlandaskan pada persoalan pembangunan atau pada potensi modemisasi masyarakat maritim yang bersangkutan. Dengan demikian bila masyarakat maritim terkebelakang, maka kebijakan atau ketidakbijakan pembangunan, termasuk di dalamnya pilihan teknologi adalah menjadi salah satu penyebabnya (Schumachea 1979). Lebih lanjut, Schumacher dalam Karyanya : JCeci[ Itu In^d"afi (1979) mengeritik pengembangan teknologi di negara berkembang yang dipandang ti^dat Semvajaft F.emarutsiaan karena kehadirannya yang justru hanya merampok hak - hak ekonomi pekerja. Don lhde (dalam Francis Lim, 2008) menyebutnya tidak bertubuh atau tidak menambah atau memperluas aksesibilitas penggunanya, atau dalam pandangan Makagiansar (1997) menyebutnya *ti^dat ter6oneQsitas fuW* fuutraya Fita" yang kesemuanya itu dalam pandangan Ramos (dalam Belling dan Totten, 1980) tidak dapat dipandang sebagai sebuah madernisasi: sebuah kebijakan dan pilihan teknologi yang tidak relevan dengan potensi alam dan budaya bangsa. Termasuk di dalamnya di lndonesia yang potensi bangsanya yang terbesar : Benua taritim lndonesia, bertolak belakang dengan kebijakannya yang lebih fokus pada pertanian-daratan (Habibie dalam Firdaus Syam, 2OO7). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode historis bertalian dengan kebijakan pembangunan sejak zaman kerajaan di Nusantara (khususnya Kerajaan Gowa Makassar) hingga zaman republik-kemerdekaan (mulai dari periode orde lama, orde baru hingga orde reformasi). Data dikumpulkan melalui wawancara intensif (Intrcytft Interuiew) terhadap sejumlah informan kunci secara snowball dan sejumlah dokumen kebijakan yang bertalian dengan basis pembangunan ekonomi kemaritiman di lndonesia dan Sulawesi Selatan pada khususnya. Data dokumentasi pada umumnya dikumpulkan dari hasil penelitian terdahulu dan dari dokumendokumen kebijakan baik yang tersimpan di Perpustakaan Wlayah Provinsi Sulawesi Selatan, Perpustakaan UNHAS, maupun yang berada di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Data tersebut dianalisis se€ra kualitatif dan interpretative (Terstefien, Weber dalam Ritser dan Goodman, 2OC4 dan Kaelan, 2005) dengan menggunakan prosedur analisis yang dimulai dengan : (1) koleksi data (data collection), (2) data reduksi (data reduction), (3) pemetaan data (data display), dan (4) kesimpulan (conclution), Miles dan Hubennan, 1995. Penelitian ini diakhiri dengan yemi"Eiran refteEtf, yakni pengintuisian atas esensi objek yang dikaji (Husserl, dalam Zubaedi, 2007 : 121 -134). 6 KEBIJAKAN DAN KETERBELAKANGAN MASYARAKAT MARITIM Keberpihakan Kemaritiman Era Kerajaan Zaman Kerajaan (Gowa-Tallo') memperlihatkan keberpihakan yang yang sangat tinggi pada pengembangan aktivitas kemaritimam. Para Raja Gowa-Tallo' (khususnya Raja Gowa Vll s/d X dan Raja Gowa XIV s/d )(Vl) percaya. bahwa masa depan mereka ada di laut dan itu dibuktikan dengan kebijakannya yang nrembuat kerajaan ini sebagai kerajaan maritim yang tertandingi. Kebijakan Kemaritiman Kerajaan tak Gowa-Tallo' yang paling terkenal adalah apa yang disebut Kebijakan Pintu Terbuka atau yang dewasa ini populer disebut ?erdagangan tsebas dan menjadikan Pelabuhan Makassar sebagai Bandar Transito Bertaraf lnternasiomal. Dengan Kebijakan Pintu Terbuka memberi kesempatan kepada siapa saja (sepanjang tidak bermaksud untuk memonopoli perdagangan) atau yang berkeinginan untuk berdagang di Negeri Bugis-Makassar. Kebijakan ini dibarengi dengan Perlindungan Keraiaan terhadap siapa saja yang melakukan transaksi dagang di Kota Makassar. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk membangun Kemakmuran Bersama di Negeri Bugis-Makassar. Atas dasar kebijakan itu, pihak kerajaan mcmbangun dnm^hafr ftubunganyersafia"fiatart yanq sutraft sejat tama terbangun dengart sejumfah F.erajaan sebefumnya 6i Stusantara, yakni dengan pedagang Eropa (Kecuali Kompeni Belanda), Asia Barat (Timur Tengah-lndia-Gujarat), Asia Timur (China) dan Asia Tenggara (Kerajaan Sriwijaya - Nusantara). Kebijakan ini didukung dengan armada perahunya yang ribuan jumlahnya, baik sebagai pengangkut barang dagang (hasil bumi) maupun sebagai armada perlindungan laut. Selain itu dalam rangka memperkuat Pelabuhan Makassar sebagai penyedia stock pangan, maka pihak Kerajaan Gowa-Tallo' melakukan pengembangan (ekspansi) kekuasaannya (melalui proses lslamisasi) kepada seluruh Kerajaan Bugis-Makassar dan sekitamya yang dipandang dapat mensuplai komoditi dagang (terutama beras) dalam jumlah besar kepada Pelabuhan Makassar. Keberpihakan Kerajaan Gowa-Tallo' (Makassar) kepada kemaritiman ditunjukkan kemudian ketika pihak Belanda menunjukkan ketidak setiaannya terhadap perianjian persahabatan sebagaimana halnya yang berlaku dengan bangsa Eropa lainnya (Portugis dan Spanyol). Begitu pula ketika pihak Belanda meminta kepada Baginda Raja Gowa-Tallo' untuk menekan dan melarang orang-orang Makassar berdagang di sekitar Maluku dan Banda. Baginda Raja Gowa-Tallo' menolaknya dengan menyatakan : "tufi.art tefah menjatrirt"an htmi dan faut, hlmi te[afr difrogi fiantara umat mnrtwia dan faut di"herikan secara utrvu??L Ti{atyernahterdcngar hafrwa seoranq frtarang herfayar fr taut. JiEa eng6,nu (tsehnda) mchku6an itu &ry* demirtian engQ.au rnprclmJeas maQanan (roti) tri rrutut Pami" rwhtt seoranq rajamis6in" (Dg. Patunru, 1983 :22). Polinggomang, dkk. (2003 : 99) menyatakan bahwa penolakan Raja Gowa-Tallo' tersebut setidaknya mengandung empat hal penting. Pertama, pihak Raja Gowa-Tallo' menganut prinsip kebebasan di Iaut. Kedua, prinsip tersebut dipandang sebagai pengaturan llahi. Ketiga, kehidupan Kerajaan Gowa-Tallo' dan masyarakatnya amat bergantung pada hubungan niaga (rempah-rempah) dengan Maluku sehingga apabila tuntutan Belanda dipenuhi akan meniadakan sumber kehidupan mereka, dan Keempat, pernyataan Raja Gowa-Tallo' tersebut menunjukkan sikap menentang monopoli dan jika perlu dilakukan dengan kekerasan. Keberpihakan Kemaritiman Era Kemerdekaan Memasuki Zaman Republik-Kemerdekaan, dimana seluruh negeri di Nusantara bergabung dalam Negara Kesatuan Republik lndonesia (NKRI), pada awal kebijakannya masih memperlihatkan keberpihakan kepada pengembangan aktivitas kemaritiman. Di tangan Soekarno sebagai Presiden Pertama NKRI berhasil di deklarasikan ^lllawasan ttfirsantara dan kemudian mendapat peneguhan sebagai Sfegara Jtfirsantara di bawah Perdana Menteri Juanda (1957). Dua puluh tujuh tahun kemudian (tepatnya pada tanggal 16 November 19&4) di bawah Presiden Soeharto, gag1asan 5{egara 5fusantara berhasil mendapatkan pengakuan lnternasional. Tetapi apa yang teriadi kemudian, setelah Negara yang bemama NKRI ini merancang gagasan pembangunannya ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)-nya, khususnya dari REPELITA ! s/d Vl, para ahli yang mengitari Soeharto adalah ahli-ahli daratan-pertanian dan dengan latar belakang Soeharto pula sebagai Orang Mataram, maka kebijakan pembangunan ekonomi yang tercetuskan dalam REPELITA I s/d Vl lebih bertumpu pada yemfiangunan daratanlcertanian" dengan asumsi bahwa Negara lndonesia adalah Negara Agraris. Hal ini sangat ini sangat bertentangan dengan pengakuan tersebut di atas sebagai Negara Nusantara dan 8 bahkan ahistoris sebagaimana yang emah terjadi era kerajaan (Baca Renungan Habibie dalam Firdaus Syam, 2007). Dalam penjabaran dan pelaksanaan pembangunan ekonomi (pertaniandi Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik lndonesia, juga tetap bertumpu pada pembangunan daratan-pertanian, di antaranya dapat kita lihat dari program utama setiap periodisasi pemerintahan (gubemur) di Sularresi Selatan : (1) ?rograrn Layyoase yang digaungkan dan diimplementasikan oleh Gubernur Andi Oddang, (2\ ?ewifayafran Xcmoffitas, ?etik "rogram yang digaungkan dan otah dan ?erubafinn ?o[a diimplementasikan oleh Gubernur Ahmad Amiruddin, (3) ?rograrn QrateQs 2 yang digaungkan dan diimplementasikan oleh Gubernur H.Z.B. Palaguna, (4) ?rogram Qerbang Emas yang digaungkan dan diimplementasikan oleh Gubernur H. Amin Syam, dan (5) ?rogram Suf-Se[ Eo Qreen yang digaungkan dan diimplementasikan oleh Gubernur Syahru! Yasin Limpo sekarang. daratan) lnC "irtir Keberpihakan Kemaritiman Era Reformasi Selanjutnya di Era Reformasi yang merupakan era transparansi, kita dapat memahami keberpihakan pembangunan dengan menggunakan pendekatan anggaran. Terlebih di Era Reformasi telah terbentuk Departemen Kelautan dan Perikanan. Alokasi anggaran Nasiona! hingga di Era Reformasi (Tahun Anggaran 2004-2010), ternyata juga masih tetap dominan pada Departemen Pertanian (l-otal 7,285 Trilliun atau 1,040 Trilliun per tahun) dibandingkan dengan pada Departemen Kelautan dan Perikanan (5,912 Trilliun al^) U4,57 Miliar per tahun). Begitupula Anggaran Daerah Sularrvesi Selatan khususnya di Era Reformasi (Tahun Anggara 2005 -2010) juga masih tetap dominan pada Dinas Pertanian (390,111 Miliar atau 65,02 Miliar per tahun) dibandingkan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan (238,312 Miliar atau 39,72 Miliar per tahun). Dana yang dialokasikan pada Departemen Kelautan dan Perikanan ini pun sebagian besar masih berupa dana untuk pembiayaan perkantoran. Keterbatasan perhatian pemerintah terhadap pengembangan masyarakat maritim juga dapat dilihat dari substansi program pembangunan yang telah disusun oleh pemerintah daerah Sulawesi Selatan - sebagaimana yang tennuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP : 25 Tahun 2008 - 2023) yang selanjutnya dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM : Lima Tahunan) Sulawesi Selatan. Pada RPJM Sulawesi Selatan Tahun 2008 20',3 ditemukan bahwa dari 7 (tujuh) agenda kebijakan pembangunan dan 48 program - - I -l pembangunan di Sulawesi Selatan, hanya 5 (lima) program di antaranya yang dapat dinyatakan menyentuh aspek pembangunan kemaritiman. Kelima program pembangunan yang dimaksud adalah : (1) peningkatan produksi pertanian (termasuk di dalamnya perikanan laut dan darat) dan pengembangan agribisnis pedesaan, (2) peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap lembaga perkreditan, (3) kerjasama regiona! dan promosi perdagangan via Bandara Hasanuddin dan Pelabuhan Soekamo-Hatta, (4) pevtrujudan Sulawesi Selatan sebagai destinasi pariwisata terkemuka di Indonesia, dan (5) pembangunan perhubungan. Tetapi hal ini pun bukan merupakan agenda utama, karena yang menjadi agenda utama pembangunan Sulawesi Selatan pada periode pemerintaharl 2013 lebih difokuskan pada peningkatan pelayanan hak-hak dasar (pendidikan, kesehatan, dan pangan-raskin) sebagai prioritas utama. Begitu pula rumusan agenda pembangunan yang terdapat dalam RPJPD Sulawesi Selatan (2008 2023), keseluruhannya lebih menggambarkan yenguatan yembangunart Eontinenta{ yang lebih menekankan pada peningkatan produksi pertanian (pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan) menuiu terciptanya pembangu nan ind ustri strategis berbasis pertanian daratan. 2008 - Keberpihakan dan Pilihan Teknologi Kemaritiman Dengan demikian apa yang dirumuskan dalam RPJMD Sulawesi Selatan (2008 - 20131, termasuk RPJPD Sulawesi Selatan (2008 - 2023) masih merupakan keberlanjutan dari kebijakan pembangunan ke daratan (kontinental) atau sama sekali berbeda dengan apa yang pernah dirumuskan dalam REPELITA Vll (1999 : sejak Orde Reformasi : Era Habibie) sampai dengan REPELITA X (2019), yang keseluruhannya lebih menfokuskan pada pembangunan kemaritiman (perikanan, wisata bahari, perhubungan laut, industri kemaritiman, dan pertambangan dan energi laut) yang ditopang oleh llmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan Sumberdaya Manusia (SDM) yang handal. Hal ini tidaklah berarti bahwa selama REPELITA I - Vl di lndonesia dan atau selama Program Lappoase hingga Program Sul-Sel Go Green maupun Program-Program di Era Reformasi (RPJPD dan RPJMD) di Sulawesi Selatan, tidak ada perhatian sama sekali yang ditujukan pada pengembangan aktivitas ekonomi kemaritiman. Sesungguhnya di Era Pemerintahan Orde Baru (Soeharto) pemah digaungkan Program Rnofrsi tsint di bidang Kelautan dan Perikanan yang meskipun tidak setara dengan Rwofusi l{ijaudi bidang Pertanian-Daratan, diakui telah mampu mengangkat pendapatan masyarakat maritim. Hanya saja karena teknologi yang dikembangkan dalam Revolusi Biru tersebut umumnya adalah teknologi yang tidak adaptif dengan potensi 10 alam-anugratif dan budaya kemaritiman setempat, dalam perjalanannya kemudian justru menimbulkan banyak masalah. Baik r'efinotogi ?erceyatan ?ertum"6u-fian Udang dan Bandeng pada Komunitas Pallawa atau yang popular dikenal dengan sebutan Program INTAM (lntensifikasi Tambak) maupun le0rwfogi ?erceyatan pada "efayilranl Komunitas Pakkaja dan Pasompe atau yang popular dikenal dengan sebutan Motorisasi, keduanya telah menimbulkan beban ekonomi (biaya operasiona!) yang terus meningkat, perampokan atas hak-hak kaum pekeria yang kemudian beruiung pada patologi sosial saling merenggut (Situfr.Ea66i), perampokan lokalitas budaya (khususnya navigasi tradisional pada Komunitas Pakkaja dan Pasompe), dan perusakan lingkungan yang tak terhindarkan. EPILOG: Teoretis tran Imyfrfr.asi SQbijadan "effefrsi Ditempatkan dalam teori modernisasai, apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengembangan kemaritiman di Indonesia dan Sulawesi Selatan pada khususnya Iebih mencerminkan afrfi te0rwtogi (percepatan pertumbuhan alias program INTAM pada Komunitas Pallawa dan percepatan pelayaran alias motorisasi pada Komunitas Pakkaja dan Pasompe) sebuah revolusi yang tidak adaptif dengan potensi besar bangsa dan sama sekali gagal dalam membangun peradaban kemaritiman, dengan demikian apa yang dilakukan oleh pemerintah selama ini terhadap pembangunan kemaritiman tidak dapat dipandang sebagai sebuah modernisasi. Kegagalan ini terutama dipicu karena ketidakberpihakan pemerintah sejak era Soeharto yang lebih berorientasi pada pembangunan kedaratan (kontinental). Akibatnya lokalitas budaya kemartiman (navigasi tradisional) yang merupakan keban g gaan nasional telah mengamali penghancuran dan terjadinya pengambilalihan hak-hak ekonomi kaum pekerja yang kini telah berujung pada patologi sosial (saling merenggut) perusakan Iingkungan. Tulisan ini merekomendasikan untuk mewujudkan keberpihakan kemaritiman sebagaimana yang telah susah payah dirumuskan oleh para actor modernitas dalam REPELITA Vll (1999) s/d REPELITA X (2019) yang keseluruhannya lebih mencerminkan teori modernisasi dalam arti yang sesungguhnya. dan DAFTAR PUSTAKA Baso, Ahmad. 2005. Isfam ?asca K.obniaf: ?erse(mg&unnn Agama. 1Cofoniatismc, dnn LiSerafi.smp. Bandung : Mizan. Bertens, K. 2006. fenomenotogi Eksistensin[ Jakarta Universitas Atma Jaya. : 11 Burger, D.H. dan Prajudi Admosudirdjo. 1967. Sejarafi T6orwmis S osi.o fogis Intronesi* Jakarta : Prad ia Paramita. Demmallino, Eymal B. 1988. ?o[a ?tanajeria{ ?etanti lambaQ. : Suatu Annfrsk"erifaFu ?engemiangan Agrosktem ?ertamhaLan (Skripsi Jurusan Sosek Pertanian Makassar : Tidak Dipublikasikan. tulart.assar - - UNHAS). 1994. Sistem ?engetahuan Lofr.af tsWis K*jo ltengenai SQbafrnrian : leErwfogi ?efayaran ?erahu tratrisi"onat (Penelitian Mandiri : 1992 lttusantara "ninisi The Toyota 1994). Publikasi Foundation Japan. 997. transformasi Sosio-Ktt[turaf : lvlod"ef ?engem"6an0an ?tasyaraQat htefayatt (Tesis Magister 1 - 1997). Program llmu Sosial Pascasarjana UNPAD: 1994 2003. Tvafuasi tsantuan IDts terfratray ?ruyeE ?ercontoftan tambat tingtungan ffi "amnfi Larnasi ?antai Kabuyaten ^Cuwu, Sufawesi Sefatan^ Makassar : Laporan Hasil Penelitian. 2011. transformasi Sosio-JQttturaf : lvlenggagas ?engem.hanqan tvlasyarafr.at Svtaritim fr 5{eg eri htg is - lvlaQ as s ar Sufaw e s i S e fat an ( D se rta s i Dokto r i Program Pascasarjana Konsentrasi Sosial Ekonomi Pertanian UNHAS:2006 -2011). Dg. Patunru, Abd. Razad. 1983. Seiara"fi Qo.wa^ Ujung Pandang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Hamid, Abu. 2005. ?asomye : ?engem^6araan Orang tsWis. Makassar : Pustaka Refleksi. Kaelan. 2005. tvletode ?ene[itian fvafrtatif tsitrary yikafat : tsaqi ?engem"6an0an ?encfitian Inter"aradigmn dkiytiner tsidnry fitsafa| tsudaya SosiaC Semiotika. Sastra, g{uhm dan Seni. Yogyakarta : Paradigma. Koe ntj a ra n n g rat. 1 983. 3<e 6uday aan lvlent afrt as dan ? emb angurto*t Jakarta : Gramedia. Lapian, Andrian B. 2008. ?efayaran dan ferniagaan Ntusantara A6a"d Ee fi dan ry.Yogyakarta : Komunitas Bambu. Lim, Francis. 2008. fibafat Te0rwtogi Don lfr{e tentang Dunia" lvlanasia" dan gtat.Yogyakarta : Kanisius. Makagiansar, Makaminan. 1997. Jvleneroyongi ?ergurtnn fi"ggi In^donpsin dafum Dtlnin yanq Sating J(etergantungan [an Senantiasa ?enu"fr ?erubafinn^ Makassar : Orasi tlmiah Disampaikan pada Dies Natalis ke 41 UNHAS pada Tanggal 10 September 1997. i 12 lejat JQha"diran tvtaQ.assar dafam Sejarafi.. Makassar : Hasanuddin Univercity Press. Miles, M.8., dan A.M. Huberman. 1992. -knntisis Data Kntitatif. Jakarta : lndonesia University Press. Myrdal, Gunnar. 1981 ObjeFt*itas ?enefrtian Sosia[, Jakarta : LP3ES. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, 2008. ?eraturant Da.eraft ?rovinsi Sufawesi Sehtan 5{omor rc /aftwt 2oo8 tentang Maftulada 1990. ?lenyusuri B,enc.ana. Daeraft ?rovinsi IangEa "embangunan "anjang Su[avtesi Sefatan, fafnm zooS -2023. Makassar : Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, 2008. ?eraturant Daeraft ?rmtinsi Sufawesi Sefatan Stom.or p Ta"hurt zoo? tentang Rerrcan"a. ?em"Sangunan Jang6a Jvlenengafi Daeraft ?rmtinsi Sufawesi Sehtan" {afiun zoo9 -2013. Makassar : Bappeda Sulawesi Selatan. Poelinggomang, Edward L. 2002. lvlaQ.assar -q6a"d fiX. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. 2003. Sejarah ?erEem"6an0an lCerajaantCerajaan ffi Sufawesi Sefatan^ Makassar : Balibanda. 2004. fun Hubungan "eru"6a"fian "ofitirt. J(e0unsaan fuladassar ryo6 - 1942. Yogyakarta : Ombak. Ramos, Alberto Guenero. 1980. "Menuju Suatu Model Kemungkinan" dalam W.A. Belling dan G.O. Totten, 1985. lvtodernkasi : 34.as afaft tvto de I p emb angunnn- J akarta : Yl I S. Ritzer, Geoge. 1992. Sosiofogi ItTuL ?engetafruan tseryara^frgma Eantra^ Jakarta : CV. Rajawali. Ritzer, George & Douglas J. Goodman, 2004. Jakarta: Kencana. leori Sosiafogi tulo[ern- Ricklefs, M.C. 2005. Sejarafr In[.orwsia" ]vlofern poo - zoo9 (Terjemahan : A. History of Modern lndonesia, 1981). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Schumacher, E.F. 1979. K.ecif ltu Indaft : I[mu EEorwmi lang ?lemcntingQ.an"atyat Kecif, Jakarta : LP3ES. Syam, Firdaus. 2009. tulembangun ?eradahan Infonesia : B,enungan ts.J. 5{abibie. Jakarla: Gema lnsani. Weber, Max. 2006. Sosinbgi Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2006. Stufr. Jfumyrefrcnsif Sosiohgi lCehutrayaan Yogyakarta: lRCiSod. Zubaedi. 2007. Sitsafat tsarat : Dari Logi"Q.a tsantt Descartes hingga Revofwi Sains afa lfr.omas Kufln^ Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. 13 G) E tt o { (D = E d(r -I =A) Fd (D= o-, tro f.l 1' "J.J =' 3 E tr ql f U' ' I - T' o(D d .n F=. o !o tt .! =d ryB ,*= q r+ q, rn 'o 6' o o r xX f. o to r fI. (J : s,6 ! o 301 1 OI T .] 0r oll o g" s. il' s) : t 9. o CN E 9. m E {G ftr 0l -: qr ((1 lilJ e.6'EI [l AT (D =- !D', =, q E -= = Cq) -IDdts = -=- s C 3 3 E (D ! E Ed + E s E =e, = 3=g a @ 'El r !D rIO 1 s E Itr T = ? F tr ? x F Z x + ) m E z T D U :,,- rn GI E F D = = i I rn ct il [ilf Stsg f E o a e P* 0) xo 3 (L $ al: il ,tl ir ii t(DCD -r. .'-F tr) )*j T' =N) (D C')