BAB III BENTUK KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT DI LAUT CINA SELATAN Meskipun tidak memiliki klaim di wilayah tersebut Amerika Serikat tetap secara terbuka menunjukan keterlibatannya di konflik Laut Cina Selatan. Di Bab ini penulis akan membahas apa saja bentuk keterlibatan Amerika Serikat, baik itu secara politik maupun militer. A. Keterlibatan Amerika Serikat secara Politik Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Bahasa Inggris: United Nations Convention on the Law of the Sea) disingkat UNCLOS, juga disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum Perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. UNCLOS menggantikan konsep “Freedom of the Seas', yang berasal dari abad ke-17. Hak-hak nasional terbatas pada wilayah air tertentu yang membentang dari garis pantai suatu negara, biasanya 3 mil laut (5,6 km).Semua perairan di luar 28 batas-batas nasional dianggap internasional, dimana semua bangsa bebas untuk mengakes, tetapi bukan milik negara manapun. Ketegangan yang meningkat di Laut Cina Selatan, telah mendorong perdebatan dan penelitian tentang kebijakan Laut Cina Selatan Cina, serta tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Bagi Beijing, perselisihan Laut Cina Selatan pada dasarnya adalah sebuah dilema dengan UNCLOS, dimana RRC ikut serta dalam negosiasi dari tahun 1973 sampai 1982, dan diratifikasi pada tahun 1996. Secara resmi, pemerintah bertekad untuk mematuhi konvensi yang ditandatangani dan diratifikasi. Namun, semakin banyak diskusi dalam beberapa tahun terakhir mengenai pertanyaan apakah Cina harusnya menarik diri dari UNCLOS. Butuh sembilan tahun dari tahun 1973 bagi masyarakat internasional untuk menyelesaikan konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akhirnya menyetujui UNCLOS pada tahun 1982. Untuk RRC, ini merupakan negosiasi multilateral pertamanya setelah bergabung dengan PBB pada tahun 1971. Beberapa sumber dari Cina baru-baru ini menyoroti keadaan pikiran delegasi Cina pada saat itu. Salah satu sumber penting adalah memoar kepala delegasi Cina, Ling Qing, yang kemudian menjadi wakil sekretaris jenderal PBB. Semua sumber ini memberikan gambaran yang sama: Pada tahun 1973 ketika negosiasi dimulai, Cina masih dalam pergolakan dalam Revolusi Kebudayaan, 29 sehingga delegasi Cina diberi tiga pedoman oleh pimpinan: anti-hegemoni (yang berarti anti-AS dan anti- Uni Soviet); Mendukung Dunia Ketiga; Melindungi kepentingan nasional. Dengan demikian mereka lebih mementingkan ideologi sebelum kepentingan nasional, hal yang biasa terjadi pada saat itu. Apalagi Cina sangat bersyukur atas dukungan yang didapatnya dari negara-negara Dunia Ketiga, yang telah memainkan peran penting dalam memutuskan untuk membiarkan RRC mengambil alih keanggotaan Cina di PBB dari pemerintah Kuomintang di Taiwan pada tahun 1971. Cina percaya karena hal tersebut , mereka harus mendukung Dunia Ketiga sebagai balasannya. Negara-negara berkembang terkemuka di Amerika Latin dan Afrika meminta laut teritorial sejauh 50-200 mil (nm) di bawah kedaulatan nasional penuh. Negaranegara tersebut tidak memiliki kemampuan negara maju, terutama negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet, untuk melindungi perairan mereka agar tidak dieksploitasi oleh orang lain. Dan A.S. dan Uni Soviet berusaha keras untuk membatasi hak maritim negara-negara yang lebih lemah dengan mengurangi ukuran laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (EEZ). Delegasi Cina melihat berbagai hal dari perspektif perjuangan kelas antara negara-negara hegemonis dan negara-negara dunia ketiga. Ling Qing ingat bagaimana Cina akhirnya memutuskan untuk mendukung negara-negara Dunia Ketiga dan mendukung permintaan akan EEZ 200 nm, walaupun pada kala itu sudah ada diskusi internal pada tahap akhir negosiasi karena beberapa pihak dari Cina telah 30 menyadari bahwa EEZ 200 nm mungkin menjadi kerugian bagi kepentingan nasional Cina. Sebuah buku oleh Liu Feng, mantan wakil presiden Institut Nasional untuk Studi Laut Cina Selatan, melihat Cina sebagai negara dengan kerugian di UNCLOS karena lokasinya geografisnya yang tidak menguntungkan. Di masa lalu, narasi geografis Cina digunakan untuk menekankan keuntungannya dalam memiliki wilayah yang luas. Buku teks geografi resmi untuk sekolah dasar dan menengah dengan bangga menyebutkan batas dan garis pantai Cina yang panjang, dan sumber daya alam yang melimpah. Baru belakangan ini disadari sepenuhnya bahwa meskipun Cina memiliki garis pantai sepanjang 18.000 kilometer, geografi Cina benar-benar menghambat realisasi ambisi maritimnya. Meskipun Cina berbatasan dengan empat lautan - Laut Bohai, Laut Kuning, Laut Cina Timur, dan Laut Cina Selatan semuanya ditutup oleh negara-negara kepulauan. Ini berarti Cina harus berbagi ruang maritimnya dengan negara lain. Sementara Laut Cina Selatan menawarkan lebih banyak ruang, namun tertutup oleh negara-negara yang membuat klaim kedaulatan di Laut Cina Selatan. Buku ini berpendapat bahwa peraturan EEZ 200 nm yang disepakati di UNCLOS sangat menahan ruang maritim Cina. (Wang, 2016) Keputusan UNCLOS sendiri sebenarnya menguntungkan bagi pihak Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan keputusan UNCLOS menyatakan bahwa perairan yang tidak berada di batas nasional suatu negara dianggap sebagai perairan internasional yang tidak boleh dimiliki oleh negara manapun, tetapi boleh di akses oleh semua 31 negara. Hal ini berarti jika Cina gagal melakukan klaim nya, maka sebagian besar Laut Cina Selatan akan menjadi perairan terbuka yang bisa diakses oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat mengakui UNCLOS sebagai acuan hukum internasional, namun A.S belum meratifikasinya. Ketika konferensi berlanjut sampai pertemuan terakhirnya pada akhir tahun 1982, dan hal terakhir yang perlu dilakukan adalah menandatangani konvensi tersebut. Amerika Serikat, bersama beberapa negaranegara maju lainnya, menyatakan tidak bersedia menyetujui Bagian XI dari Konvensi, yaitu mengenai bagian dasar laut dalam dan penambangan logam-logam yang berpotensi berharga. Amerika Serikat keberatan dengan Bagian XI dari Konvensi dengan beberapa alasan, bahwa perjanjian tersebut tidak menguntungkan kepentingan ekonomi dan keamanan AS. Lalu A.S. mengklaim bahwa ketentuan dalam perjanjian tersebut tidak sesuai dengan kebijakan pasar bebas yang dijalankan oleh A.S dan dirancang untuk mendukung sistem ekonomi negara-negara Komunis. Pemerintah Amerika Serikat yang sebelumnya tidak setuju dengan UNCLOS, kini mulai menunjukan perubahan. Salah satu yang menjadi poin momentum adalah pada tanggal 13 Januari 2009, saat berbicara di depan Senatnya sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang baru, Hillary Clinton mengatakan bahwa ratifikasi Hukum Perjanjian Laut akan menjadi prioritas baginya. Lalu pada tanggal 23 Mei 32 2012, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton memberi kesaksian di hadapan Komite Hubungan Luar Negeri A.S. untuk memperjuangkan ratifikasi perjanjian tersebut. “Joining the Convention would secure our navigational rights and our ability to challenge other countries’ behavior on the firmest and most persuasive legal footing, including in critical areas such as the South Cina Sea and the Arctic. Only as a Party to the Convention can the United States best protect the navigational freedoms enshrined in the Convention and exert the level of influence that reflects our status as the world’s foremost maritime power” Kutipan di atas adalah potongan dari pidato Hillary Clinton ketika memberi kesaksian di hadapan Komite Hubungan Luar Negeri A.S. Di dalam pidato nya, Clinton menyatakan bahwa meratifikasi UNCLOS akan memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat. Karena dengan meratifikasi UNCLOS Amerika Serikat akan melindungi hak-hak dan kebebasan perairan mereka. Selain itu menurut Clinton, dengan meratifikasi UNCLOS, akan menguatkan kemampuan Amerika Serikat dalam mencegah klaim negara lain secara hukum, seperti di Laut Cina Selatan. Dan setelah pidatonya, proses ratifikasi UNCLOS oleh Amerika Serikat terus berjalan maju. Meskipun meratifikasi UNCLOS bertujuan melindungi hak-hak dan kebebasan perairan Amerika Serikat secara umum, namun dari pidato Hillary Clinton dapat terlihat bahwa konflik Laut Cina Selatan merupakan salah satu hal yang 33 menjadi alasan Amerika Serikat meratifikasi UNCLOS. Dan proses peratifikasian ini menunjukan keterlibatan langsung Amerika Serikat di konflik Laut Cina Selatan Terkait atas keterlibatan Amerika Serikat tersebut ,Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hong Lei mengeluarkan sebuah pernyataan melalui Kedutaan Besar China di Manila, yang menyatakan: "Kami telah memperhatikan laporan terkait dan kami mengungkapkan keprihatinan atas hal ini. Sepengetahuan kami, mengenai masalah Laut Cina Selatan, pihak yang tidak memiliki klaim dan negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara telah mengambil posisi untuk tidak terlibat dalam sengketa teritorial.” (UPI, 2012) "Dengan prasyarat dan fondasi penting ini, pihak China secara konsisten berkomitmen untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah Laut China Selatan dengan cara seperti bernegosiasi dan menandatangani kontrak dengan negara-negara ASEAN, Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan, secara paralel Dengan usaha kita untuk mengejar penyelesaian perselisihan melalui negosiasi dengan negara-negara yang secara langsung berkepentingan. " Sebuah komentar yang jelas ditujukan kepada A.S dan menyatakan bahwa negara yang tidak memiliki klaim seperti A.S seharusnya tidak terlibat di konflik Laut Cina Selatan. 34 B. Keterlibatan Amerika Serikat secara Militer Meskipun banyak negara yang melakukan klaim di Laut Cina Selatan, Amerika Serikat menganggap Laut Cina Selatan sebagai perairan bebas dan. Seperti di perairan lainnya, Amerika Serikat pun mengerahkan angkatan bersenjatanya dan melakukan operasi “freedom of navigation”. Kebijakan A.S. sejak tahun 1983 menetapkan bahwa Amerika Serikat akan menjalankan dan menegaskan hak dan kebebasan navigasi laut dan hak “overflightnya” di seluruh dunia dengan cara yang sesuai dengan keseimbangan kepentingan yang tercermin dalam Konvensi Hukum Laut (LOS). Amerika Serikat tidak akan menyetujui tindakan sepihak negara lain yang dirancang untuk membatasi hak dan kebebasan masyarakat internasional dalam navigasi laut dan “overflight” dan penggunaan laut lainnya. Program FON sejak tahun 1979 telah menyoroti ketentuan navigasi dari Konvensi LOS untuk melanjutkan pengakuan akan kebutuhan nasional yang vital untuk melindungi hak-hak maritim di seluruh dunia. Program FON beroperasi di tiga jalur , yang melibatkan tidak hanya representasi diplomatik dan pernyataan operasional oleh unit militer AS, namun juga konsultasi bilateral dan multilateral dengan pemerintah lain dalam upaya mempromosikan stabilitas dan konsistensi maritim dengan hukum internasional, lalu menekankan bahwa menjadi kebutuhan 35 dan kewajiban dari semua Negara untuk mematuhi peraturan dan praktik hukum adat yang tercermin dalam Konvensi LOS. (Departemen Luar Negeri, 2002) Hal ini juga dilakukakan Amerika Serikat di Konflik Laut Cina Selatan. Karena klaim yang dilakukan oleh RRC dianggap akan membatasi hak dan kebebasan masyarakat internasional dalam penggunaan perairan di wilayah tersebut. Oleh karena itu A.S mengirimkan tenaga dari Angkatan Laut-nya untuk mengawasi dan menjaga ketenangan di Laut Cina Selatan Pada hari Tahun 2015, Angkatan Laut A.S. memastikan bahwa USS Lassen, kapal perang Amerika Serikat, telah menyelesaikan rangkain kegiatan pertama dalam serangkaian rencana operasi navigasi (FONOP) yang terencana di Laut Cina Selatan. Mulai berjalannya operasi tersebut adalah salah satu penegasan terkuat oleh Angkatan Laut A.S. bahwa mereka menolak klaim maritim Cina. Angkatan Laut AS. menyatakan bahwa USS Lassen juga berada dalam batas 12 mil dari fitur di laut yang disengketakan yang diklaim oleh sekutu perjanjian Vietnam Filipina. Kapal tersebut berlayar di dalam wilayah 12 mil laut di Pulau Karang Subi, sebuah pulau buatan yang dibangun oleh China pada tahun 2015. Mereka mengatakan patroli "freedom of navigation" semacam itu diperkirakan akan semakin sering terjadi dan akan menjadi hal yang permanen (Blanchard, 2015) Contoh lain dari bentuk gerakan "freedom of navigation" yaitu ketika dua Pesawat pembom strategis B-52 AS terbang mendekati pulau buatan Cina buatan di 36 Laut Cina Selatan pada tahun 2015 dan dihubungi oleh pengendali darat China namun melanjutkan misi mereka Dalam misi terakhir, yang terjadi di 8- 9 November 2015 , para pembom tersebut terbang di daerah Kepulauan Spratly namun tidak berada dalam zona 12 mil yang diklaim Cina sebagai wilayah di sekitar pulau-pulau yang telah dibangunnya dalam wilayah Gerakan-gerakan yang merupakan kebijakan “freedom of nation” tersebut juga diikuti dengan komentar dari Menteri Pertahanan A.S Ashton Carter yang secara terang-terangan memperingatkan China pada untuk menghentikan pembangunan pulau buatan di Laut Cina Selatan dan menyatakan bahwa militer A.S. akan terus berpatroli di perairan internasional dan wilayah udara di wilayah tersebut. Komentar Carter, yang dibuat pada sebuah upacara di Hawaii, berakibat meningkatkan ketegangan antara Washington dan Beijing mengenai akses ke Laut Cina Selatan dan perairan Asia lainnya. (Whitlock, 2015) Selain melakukan pengawasan dari luar, A.S juga menlakukan pengawasan dari dalam. Selama pemerintahan George W. Bush, pasukan A.S. di Filipina difokuskan terutama untuk membantu militer Filipina dalam usaha pertahan. Kini, kedua militer tersebut akan semakin berlatih melintasi spektrum operasi militer yang luas, mulai dari yang terendah sampai yang tinggi sebagai persiapan menghadapi konflik Laut Cina Selatan. Namun yang penting, A.S memiliki akses ke empat pangkalan udara (dengan potensi lebih banyak tersedia di kemudian hari) - terutama 37 yang di Luzon dan Palawan – yang akan menjadi tumpuan tenaga udara A.S. di Asia Tenggara. Akses ini akan memungkinkan penerbangan yang lebih sering dan lebih berkelanjutan melintasi Laut Cina Selatan, termasuk di atas Kepulauan Spratly dan Kepulauan Karang Scarborough yang disengketakan. Selain itu, kehadiran Angkatan Udara A.S di Luzon, yang mungkin diikuti oleh rotasi angkatan laut reguler di Subic Bay, akan menempatkan Amerika Serikat dalam posisi yang lebih baik untuk dapat segera menyegel Selat Luzon, yang menghubungkan Laut Cina Selatan ke Laut Filipina dan Samudera Pasifik yang lebih luas. Kemampuan militer AS yang meningkat untuk bergerak di dan di atas Laut Cina Selatan, terlebih lagi, akan memfasilitasi upaya yang lebih efektif untuk melacak kapal selam China yang berlayar dari pangkalan angkatan laut bawah tanah di pulau Hainan. Angkatan Laut P-8 sekarang secara teratur menyebar ke Singapura dan, walaupun tanpa akses reguler, mereka juga melakukan patroli dari Malaysia. Kapal tempur Amerika berputar melalui Singapura, di ekstrem barat Laut Cina Selatan, dan Singapura juga secara diam-diam membangun satu-satunya pelabuhan Asia di luar Yokohama dimana kapal induk A.S dapat berlabuh. Bahkan jika usaha Cina membangun pertahanan di pulau-pulau yang disengketakan, hal ini akan menjadi kasus dimana pasukan RRC dipantau secara terus-menerus dan mereka akan terus bergerak di bawah radar pengawasan A.S 38 Selain itu, keputusan pemerintahan Obama untuk mengangkat embargo senjata berusia puluhan tahun ke Vietnam sangat penting di sini. Dalam waktu dekat, hal ini dapat memungkinkan penjualan peralatan intelijen, pengawasan dan pengintai serta kapal patroli untuk memungkinkan Hanoi untuk dapat lebih memperhatikan keadaan di Laut Cina Selatan barat. Dalam jangka panjang, kontraktor pertahanan A.S mungkin mengarahkan pandangan mereka terhadap penjualan pesawat tempur dan menyerang helikopter. Vietnam juga sudah memesan jet tempur Rusia modern dan mengharapkan pengiriman akan sampai tahun ini. Jika Angkatan Laut China ingin memiliki jalan di Laut Cina Selatan, ia harus mendedikasikan sumber daya untuk melacak kapal selam tersebut. Dulu ketika RRC memindahkan sebuah oilrig besar, yaitu Haiyang Shiyou 981, ke zona ekonomi eksklusif Vietnam pada tahun 2014, Vietnam hanya memiliki pilihan terbatas untuk merespons. Namun kini dengan penjaga pantai, angkatan laut dan angkatan udara yang lebih matang, Vietnam akan menjadi musuh yang perlu diawasi oleh RRC. Sehingga RRC mungkin tidak akan semudah itu untuk menjalankan kepentingannya yang berlawanan dengan kepentingan Vietnam. Pengangkatan embargo senjata juga membuka pintu bagi bentuk kerjasama keamanan A.S.-Vietnam lainnya. Pengaturan baru untuk akses angkatan laut A.S. ke Teluk Cam Ranh mungkin bisa diatasi. Vietnam akan bergerak dengan hati-hati dan akses semacam itu mungkin terbatas pada tujuan dukungan logistik untuk saat ini. Tetapi jika RRC terus bertentangan dengan Vietnam dan jika Amerika Serikat 39 membuktikan dirinya sebagai mitra yang dapat diandalkan, kapal perang Amerika suatu hari nanti dapat beroperasi secara teratur di luar Teluk Cam Ranh, sebuah pelabuhan utama yang strategis. Akses semacam itu akan melengkapi kehadiran A.S. yang baru di Filipina; Memfasilitasi kehadiran reguler Amerika di bagian barat Laut Cina Selatan; Memungkinkan Amerika Serikat untuk lebih mudah membela - atau menutup - Selat Malaka; Dan, menempatkan pasukan Amerika dalam jarak serang ke markas utama RRC di Hainan, termasuk fasilitas pelabuhan yang menjadi tuan rumah kapal selam rudal China. (Mazza, 2016) 40