SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PEDOFILIA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM Disusun Oleh : FAUZAN 108043100023 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 ABSTRAK SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PEDOFILIA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM Di Indonesia sampai saat ini dunia anak sangat memprihatinkan. Hal itu bukan hanya pernyataan semata, tetapi fakta yang memang ada dan harus mendapatkan perhatian yang serius. Kondisi yang buruk ini sebenarnya telah disadari benar adanya oleh masyarakat Indonesia dan juga pemerintah. Hal ini terbukti dengan menjamurnya pertumbuhan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan nasib anak Indonesia, dan ada itikad baik pemerintah untuk mengatasi keadaan tersebut dengan mengeluarkan peraturan yang lebih khusus untuk menjamin adanya perlindungan terhadap anak. Kajian dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptik analitik. data yang digunakan berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik dari hukum positif maupun hukum Islam, yang dianalisis secara kualitatif dan kemudian diinterpretasikan dengan metode deduktif. Pelecehan seksual adalah suatu bentuk tindakan atau percakapan seksual di mana seorang dewasa mencari kepuasan seksual dari seorang anak. Dan pelecehan seksual pada anak dapat mencakup kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa, di mana anak tersebut dipergunakan untkk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban, termasu di dalamnya kontak fisik yang tidak pantas, membuat pornografi atau memperlihatkan alat vital/genital orang dewasa kepada anak. Hukuman bagi sanksi pelecehan seksual telah diatur secara khusus menurut KUHP pada pasal 287, pasal 290, pasal 293, pasal 294, dan pasal 295. Sedankan menurut Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, yaitu pasal 78, pasal 82, dan pasal 88. dari semua pasal-pasal di atas dijelaskan tentang ketentuan pidana dan jenis pidana yang diberikan kepada pelaku pelecehan seksual. Sanksi yang diberikan berupa sanksi pidana penjara dan denda. Hukum Islam ialah pengaturan hukum tentang pelecehan seksual, khususnya dalam al-Qur’an bersifat umum karena hanya menjelaskan bahwa pelecehan seksual adalah haram dan termasuk amal perbuatan setan. Sedangkan pada Hadits mengatur secara gloal tidak terinci, namun hukuman yang diberikan kepada pelaku pelecehan seksual adalah sanksi berat. Adapun selebihnya dari hukuman itu masih menjadi perdebatan, apakah termasuk hal yang baku yaitu had, ada pula yang menganggapnya sebagai hukuman ta’zir. Berdasarkan metode yang digunakan, maka terungkaplah bahwa yang membedakan antara hukum positif dan hukum Islam dalam memberikan hukuman bagi pelaku pelecehan seksual ialah jenis hukuman dan pelaksanaan hukumannya yang diladndaskan pada peraturan yang berlaku dimana hukum tersebut diterapkan. tentunya kedua hukum tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. KATA PENGANTAR بسم هللا الرحمن الرحيم Puji Syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesehatan serta telah melimpahkan Taufik serta Hidayah-Nya sehingga penulis mampu melangkah kepada hal yang lebih positif serta mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PEDOFILIA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM” sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) jurusan Perbandingan Mazhab Fiqih Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan Salam, semoga senantiasa terlimpahkan kepada manusia pilihan yaitu baginda Rosulullah SAW. Dalam proses pembuatan skripsi ini, berbagai hambatan, pengorbanan, dan kesulitan penulis hadapi. Namun tidak terlepas dari petunjuk dan pertolongan Allah SWT. Serta berkat berbagai dorongan serta bimbingan dari semua pihak, sehingga akhirnya penulisan ini skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan apreasi yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, di antaranya : 1. Bapak Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Yang telah banyak membantu penulis dalam menjalankan perkuliahan. Semoga dapat menjadi pemimpin yang memberikan teladan dan integritas yang lebih baik. 2. Bapak Dr. Khamami, MA. selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta waktu kepada penulis di sela-sela waktu kesibukan beliau. 3. Ibu Siti Hanna, MA selaku sekertaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kepada penulis, baik dari sisi intelektual dan spiritual di dalam segala kesibukan beliau. 4. Bapak Afwan Faizin, M.A. selaku dosen pembimbing yang telah tekun dan sabar serta meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan kritik dan saran dalam proses penyusunan skripsi ini. 5. Bapak Nahrowi,S.H., M.H.selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan, dan kesabaran serta dukungan do’a,waktu, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, yang telah ikhlas mengamalkan ilmunya kepada penulis selama studi. Semoga keberkahan ilmunya akan tetap mengalir. 7. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.si yang telah banyak berjasa kepada penulis dalam memeberikan masukan, saran serta kritiknya sehingga skripsi ini menjadi skripsi yang sempurna. 8. Kepada Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga memberikan bantuan berupa bahanbahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi ini. 9. Al marhumah ibu dan ayah tercinta, Umayyah (Alm) dan Bukhori yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu memberikan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan doa demi kesuksesan penulis. Mudahmudahan Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya “I love you all’’ 10. Kepada Kakak saya Saiful Anam dan adik saya tercinta Muhammad Subhan,Abdul Rahman dan Tara Amelia yang sudah mengisi hari-hari penulis untuk membuat skripsi ini selesai. 11. Pimpinan pondok pesantren Qotrun Nada, Drs. KH Burhanuddin Marzuki yang telah banyak memberikan warna kehidupan kepada penulis dalam mencapai segala cita dalam setiap sendi kehidupan. 12. Para Ustad dan Guru di pondok pesantren Qotrun nada yang telah banyak memberikan warna kehidupan kepada penulis dalam mencapai segala cita dalam setiap sendi kehidupan. 13. Kepada sahabat/i Alumni Pondok Pesantren Qotrun Nada (GALAXY) 608 angkatan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam studi dan selalu memberikan kenangan tak terlupakan. 14. Kepada sahabat/i sekelas penulis PMF dan PMH angkatan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam studi dan selalu memberikan kenangan tak terlupakan. 15. Mahrus Ali, Mujtaba, Dedi Rosadi, Suhandi, Ramdani, Nurul Anbiya, Ahmad Juniadi dan Ahmad Dzu falahain,Fadil. Yang telah memotivasi saya dengan celaan-celaan sehingga saya dapat menyelasaikan skripsi ini. 16. Hasan Aziz, Suhendrea dan Humaidah teman yang selalu menemani saya suka maupun duka di dalam kampus. 17. Berterima kasih sebesar-besarnya untuk Habibburahman dan Zainal Abidin yang telah membantu banyak sekali agar skripsi ini selesai. 18. Teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) angkatan 2009 Akhirnya atas segala jasa dan bantuan dari semua pihak, penuliskan ucapkan banyak terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan mudahmudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin Jakarta, 7 April 2015 M 18 Jumadil Tsaniyah 1436 H FAUZAN DAFTAR ISI Hal. HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING................................................... ii SURAT PENGESAHAN SKRIPSI ..................................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iv KATA PENGANTAR .......................................................................................... v ABSTRAK ............................................................................................................ viii DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 11 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 11 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 12 E. Tinjauan Studi Terdahulu .............................................................. 13 LANDASAN TEORI .......................................................................... 16 A. Pengertian Pelecahan Seksual ......................................................... 16 B. Pengeritian Anak ............................................................................. 17 C. Kekerasan Terhadap Anak .............................................................. 20 BAB II D. Faktor-faktor Penyebab timbulnya Kekerasan Pelecehan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur (Pedofilia) ................................... BAB III 25 PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM 30 A. Jenis-jenis Pelecehan Seksual ......................................................... 30 B. Kasus-kasus Pelecehan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur.. 34 C. Pelecehan Seksual pada Anak di Bawah Umur (Pedofilia) dalam Pandangan Hukum Positif ................................................... 36 D. Pelecehan Seksual pada Anak di Bawah Umur (Pedofilia) dalam Pandangan Hukum Islam ..................................................... BAB IV 41 ANALISIS SANKSI PIDANA BAGI PELAKU PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM ...................................... 46 A. Sanksi Pidana Pelaku Pelecehan Seksual pada Anak di Bawah Umur dalam Hukum Positif ...................................................................... 46 B. Sanksi Pidana Pelaku Pelecehan Seksual pada Anak di Bawah Umur dalam Hukum Islam ........................................................................ 52 C. Persamaan dan Perbedaan Sanksi Pidana Pelecehan Seksual pada Anak di Bawah Umur dalam Hukum Positif dan Hukum Islam .............. 62 D. Kendala-kendala Penegakan Hukum Bagi Pelaku Pelecehan Seksual Pada Anak di Bawah Umur di Indonesia ........................................ 64 PENUTUP............................................................................................ 67 A. Kesimpulan ..................................................................................... 67 B. Saran-saran ...................................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 71 BAB V BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk Allah lainnya. Dianugerahkan kepadanya insting untuk mempertahankan keturunan sebagai konsekuensi kemuliaannya itu. Ini berarti manusia harus memperkembangkan keturunan dengan alat yang telah diperlengkapkan Allah kepadanya. Di antara perlengkapan ini adalah alat kelamin dan nafsu syahwat untuk saling bercinta. Dari percintaan inilah akan timbul nafsu seks sebagai naluri manusia sejak lahir.1 Berdasarkan tingkah laku manusia. Sigmund Freud seorang pendiri ilmu psikhoanalisis dari Wina yang hidup dalam tahun 1956-1939, kesimpulan bahwa manusia hidup di dorong oleh dua naluri, yaitu : 1. Makan untuk mempertahankan hidup pribadi 2. Seks untuk mempertahankan keturunan. Pendapat Sigmund Freud amatlah tepat. Karena pada dasarnya manusia diciptakan Allah SWT telah diberi bekal nafsu seks sebagai kaitan untuk mempertahankan kelangsungan keturunan. Maka sekarang menjadi jelas bahwa seks adalah kebutuhan biologis manusia yang tak dapat dipisah-pisahkan dalam kehidupan. Dari kenyataan ini, maka seks merupakan faktor yang amat penting untuk dipelajari agar kebutuhan seks berjalan dengan wajar. Janganlah naluri seks 1 M. Bukhori, Islam dan Adab Seksual, (Jakarta : Bumi Aksara 1994). h. 1. 1 2 manusia anugerah Allah ini diselewengkan menurut hawa nafsu. Kalau ini terjadi, tentu insting manusia untuk mempertahankan kelangsungan keturunan tidak akan berhasil, bahkan sebaliknya akan punah. Untuk menghindari hal-hal seperti itu perlu sekali diterapkan moral agama dalam seks. Moral berarti ajaran mengenai baik dan buruknya tingkah laku manusia. Kalau moral agama diterapkan dalam seks, niscaya agama akan membimbing tingkah laku hubungan seks yang baik. Seks yang berjalan sesuai dengan moral agama, pasti akan berjalan dengan baik, wajar tanpa menodai harkat dan martabat manusia. Di sinilah letak kepentingan pendidikan seks, yaitu suatu pendidikan mengenai seks yang sesuai dan sejalan dengan tuntunan agama.2 Pengertian seks pada garis besarnya adalah kelamin. Pendidikan seks adalah pendidikan yang mempunyai obyek khusus dalam bidang perkelaminan secara menyeluruh. Mengenai arti dari pendidikan seks ada berbagai pendapat, antara lain: 1. Ilmu yang membahas mengenai perbedaan kelamin laki-laki dan perempuan ditinjau dari sudut anatomi, fisiologi, dan psikologi. 2. Ilmu yang membahas tentang nafsu birahi. 3. Ilmu yang membahas mengenai kelanjutan keturunan, procreation (hal memperanakkan), perkembangbiakan manusia. 4. Ilmu yang membahas tentang penyakit kelamin. Ada lagi yang mengartikan bahwa pendidikan seks adalah penerangan yang bertujuan untuk membimbing serta mengasuh setiap laki-laki dan 2 Ibid. h. 2. 3 perempuan, sejak dari anak-anak sampai dewasa di dalam perihal pergaulan antar kelamin pada umumnya dan kehidupan seksual khususnya.3 Masalah yang berkaitan dengan kebebasan masyarakat yang paling banyak dibicarakan adalah kebebasan hubungan dan pergaulan antara pria dan wanita. Tidak diragukan lagi bahwa jika orang-orang yang bertanggung jawab benar-benar mengurusi dan memperhatikan masalah dorongan nafsu seksual dan pengaruh positifnya tatkala disalurkan pada tempatnya, serta pengaruh negatif akibat menahan gejolak nafsu tersebut, maka mereka pasti akan memikirkan secara seksama dan berusaha mencari jalan keluar yang terbaik.4 Dalam Ilmu jiwa, masa transisi dialami anak mulai usia 10 tahun hingga 17 tahun, dalam bukunya Sudarsono sependapat dengan pendapat Andi Mappiare yang mengutip Elisabeth B. Harlock yang membagi usia anak remaja yaitu masa pubertas pada usia 10 tahun atau 12 tahun sampai 13 tahun atau 14 tahun, masa remaja awal pada usia 13 tahun atau 14 sampai 17 tahun, masa remaja akhir (dewasa muda) pada usia 17 tahun sampai pada 21 tahun.5 Pada masa remaja seorang anak mengalami perkembangan sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Hal ini berdasarkan pada pendapat tentang remaja. Menurut Singgih D. Gunarsa yang mengutip Anna Freud (ahli psikologi): “Adolesensia merupakan suatu masa yang meliputi proses perkembangan di mana 3 4 Ibid. h. 3. Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual Dalam Islam, (Jakarta : Pustaka Zahra, 2003), h. 73. 5 Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 13. 4 terjadi perubahan dalam hal motivasi seksual, organisasi dari pada ego, dalam hubungan dengan orang tua, orang lain dan cita-cita yang dikejarnya”.6 Dari hal itu maka Singgih D. Gunarsa berpendapat bahwa pada masa remaja seorang anak mengalami perkembangan psikoseksualitas dan emosionalitas yang mempengaruhi tingkah lakunya. Proses perkembangan yang dialami remaja akan menimbulkan permasalahan bagi remaja sendiri dan orangorang yang berada dekat dengan lingkungannya.7 Salah satu masalah yag dihadapi remaja masalah bagi lingkungannya adalah aktivitas seksual yang akhir-akhir ini nampak menjurus kepada hal-hal yang negatif. Dikatakan negatif karena para remaja bersikap dan bertingkah laku yang menyimpang, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai macam perilaku seksual yang disalurkan secara salah dan tidak pada tempatnya. Misalnya hubungan seksual dengan sesama jenis kelamin, dengan anak yang belum cukup umur, dan sebagainya. Dalam masalah ini penulis akan membahas tentang masalah pelecehan seksual terhadap anak atau disebut juga phedofil, pelecehan seksual anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual 6 7 Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1991), h. 7. Ibid., h. 3. 5 terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali pemeriksaan medis).8 Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus pelecehan seksual terhadap anak dimana pelakunya adalah orang dewasa dan kebanyakan adalah orang yang telah dikenal korban. Pada tahun 2011 ada 2.509 laporan kekerasan dan 59% nya adalah kekerasan seksual. Dan pada tahun 2012 Komnas PA menerima 2.637 laporan yang 62% nya kekerasan seksual. Tahun 2013, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Mabes Polri mencatat sepanjang tahun 2013 sekurangnya terjadi 1600 kasus asusila mulai dari pencabulan hingga kekerasan fisik pada anak-anak.9 Misalnya kasus di JIS (Jakarta International School), di mana korbannya adalah anak di bawah umur yang rata-rata berumur 7 sampai 12 tahun, kasus perkosaan, dimana korbannya adalah rima berumur 13 tahun yang diperkosa tetangganya Dany berumur 20 tahun,10 kasus perkosaan kakak kelas berusia 12 tahun yang memperkosa adik kelasnya 7 tahun, di cakung Jakarta Timur.11 Contoh kasus pedofilia terbaru yang menjadi sorotan publik dan menarik perhatian Peneliti adalah kasus pedofilia yang terjadi di wilayah Tebet, Jakarta Selatan. Pelakunya adalah Peter W.Smith, pria kelahiran London 13 Maret 1958, berkewarganegaraan ganda (London dan Australia), pekerjaan Guru Bahasa Inggris beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7 Jakarta Selatan. 8 Diakses pada tgl 9 Mei 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak Lihat di www.kompas.com dan www.bbc.com di akses pada 10 Mei 2014. 10 Faa “dipeluk dari belakang lalu digauli didapur rumah”, kisah nyata, (Jakarta) edisi 214 April 2006, h. 20. 11 ELN, “Siswa SD diperkosa”, Kompas, (Jakarta), 18 Maret 2006. h. 27. 9 6 Korbannya berjumlah tujuh anak berusia di bawah umur berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.12 Tersangka Peter W.Smith melakukan tindak pidana perbuatan cabul terhadap tujuh anak jalanan (pengamen) berjenis kelamin laki-laki sejak tahun 2003 hingga 31 Juli 2006 pukul 16.00 di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7, Jakarta Selatan. Ketujuh korban adalah Slamet Sandikah lahir Jakarta 25 Desember 1991, Rio Ruswan Iriansah lahir Manado 09 Februari 1989, Deni Mochamad lahir Medan 1991, Wawan Rahmat Kurniawan lahir Lampung 10 Oktober 1991, Arif Budiman alias Dani lahir Surabaya 01 Februari 1993, Wasja Jaya Kirana lahir Brebes 10 Desember 1989, dan Maryanto alias Yanto lahir Semarang 15 Januari 1990. Akibat perbuatannya tersebut Jaksa Penuntut Umum, menuntut terdakwa pada sidang Tuntutan Pidana tanggal 31 Januari 2007, Jaksa Penuntut Umum meminta supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menuntut terdakwa dengan tuntutan sebagai berikut:13 a. Menyatakan terdakwa Peter W. Smith terbukti bersalah menurut hukum dan keyakinan melakukan tindak pidana melakukan perbarengan beberapa kejahatan pencabulan terhadap anak melanggar pasal 82 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 35 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). 12 Lihat di www.setanon.PERTIMBANGAN-HAKIM-DALAM-MENJATUHKANPUTUSAN-PIDANA-TERHADAP-PELAKU-PEDOFILIA.htm 13 Ibid. 7 b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Peter W. Smith dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi masa penahanan denda sebesar Rp 60.000.000 (enampuluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan cedera fisik untuk anak pada diantara masalah lainnya pelecehan seksual oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua. Berdasarkan hukum “pelecehan seksual anak” merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual. Pelecehan seksual anak telah mendapatkan perhatian publik dalam beberapa dekade terakhir dan telah menjadi salah satu profil kejahatan yang paling tinggi. Sejak tahun 1970-an pelecehan seksual terhadap anak-anak dan penganiayan anak telah semakin diakui sebagai sesuatu yang sangat merusak bagi anak-anak dan dengan demikian tidak dapat diterima bagi masyarakat secara keseluruhan. Sementara penggunaan seksual terhadap anak oleh orang dewasa telah hadir sepanjang sejarah dan hanya telah menjadi obyek perhatian publik signifikan pada masa sekarang.14 Di DKI Jakarta anak-anak yang dilacurkan terdapat di bongkaran tanah abang, rawa bebek, sepanjang bantaran kali Manggarai-Dukuh atas, Kali Jodoh 14 Diakses pada tgl 10 Mei 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak. 8 dan Jatinegara. Dan mulai lima-enam tahun lalu Indonesia sudah masuk ke dalam peta tujuan kaum Phedofil dunia. Anak-anak di bawah umur berada di posisi yang sangat tidak menguntungkan, bahkan boleh dikatakan mereka berada pada garis bahaya yang akan menuggu tumbuh kembang mereka sebagai seorang anak.15 Menurut pendapat Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menilai Indonesia surga bagi pelaku Phedofil. Dia mengatakan akan menggagas amandemen undang-undang supaya hukuman pelaku Phedofil diperberat, termasuk suntik kimia di kemaluan. Namun, ide ini dianggap tidak mudah diterapkan. “suntik kimia di kemaluan yang dimaksud itu apakah untuk mematikan hasrat seksual pelaku ataukah supaya tidak bisa ereksi lagi?” kata pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia. Ganjar Laksmana Bonaprapta, saat di hubungi Tempo, Selasa 7 Mei 2014. Menurut Ganjar, bila yang dimaksud mengebiri adalah supaya pelaku tidak bisa ereksi lagi, maka hal itu sia-sia. Pelaku tetap punya hasrat seksual dan bahkan bisa melakukan kekerasan seksual dengan cara lain, misalnya dengan tangan. Suntik kimia supaya tidak bisa ereksi pun akan sulit diterapkan bila pelaku adalah perempuan. Ganjar mencontohkan kasus pelecehan seksual di Jakarta International School yang salah satu pelakunya adalah perempuan. Jika yang dimaksud suntik kimia di kemaluan adalah supaya pelaku kehilangan hasrat seksual, maka ada masalah hak asasi pelaku yang terenggut, misalnya pelaku bisa tidak punya keturunan. “padahal, pemidanaan tidak serta-merta bisa mencabut hak asasi seseorang.” Kata Ganjar. Bagi Ganjar, keinginan suntik kimia di kemaluan pelaku Phedofil harus 15 Pidana. Diakses pada tgl 10 Mei 2014 http://www.scribd.com/doc/95972197/Contoh-Skripsi-Hukum- 9 dipertimbangkan matang-matang dari berbagai aspek. Pengkajiannya harus melibatkan pakar dari berbagai bidang keilmuan.16 Kalau pun akan digunakan, harus bisa dipastikan metode yang digunakan aman dan tujuan membuat jera pelaku bisa tercapai. Sebenarnya, Ganjar melanjutkan, perangkat undang-undang yang ada telah cukup untuk membuat jera pelaku kekerasan seksual pada anak. Pengertian kekerasan Menurut UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 dalam Pasal 3 UU PA adalah meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Undang-undang mulai dari KUHP, undang-undang pornografi dan pornoaksi, serta undang-undang pelaku kekerasan seksual pada anak mencapai 15 tahun penjara. Hukuman penjara selama itu dianggap bisa membuat pelaku kekerasan seksual pada anak menjadi jera. “Cuma mengapa pelaku tidak jera, itu karena jaksa menuntutnya kurang berat dan hakim memvonisnya tidak maksimal.17 Perilaku seks menyimpang dengan sesama jenis sebenarnya sudah terjadi pada zaman Nabi Luth ketika ia menetap di salah satu dusun di Palestina, namanya Saduum. Nabi Luth tinggal di dusun itu setelah berpisah dengan pamannya, Nabi Ibrahim. Nama Saduum sangat terkenal sebagai pusat kejahatan, pada masa itu. Setiap warga dusun berlomba dalam dunia kejahatan. Tindakan kriminalitas seperti perampokan, pembunuhan, perkosaan, menjadi kebiasaan mereka. Dan, yang paling menonjol adalah perilaku kaum pria melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis karena mereka menilai betapa buruknya perempuan. 16 Diakses pada tgl 10 Mei 2014 http://en.tempo.co/read/news/2014/05/07/064576009/Soal- Suntik-Kimia-untuk-Pedofil-Pengamat-Sulit. 17 Diakses pada tgl 10 Mei 2014 http://en.tempo.co/read/news/2014/05/07/064576009/Soal- Suntik-Kimia-untuk-Pedofil-Pengamat-Sulit 10 Memberantas tindak pedofilia dan kekerasan seksual secara tuntas tidak bisa dilakukan secara parsial. Akan tetapi hanya bisa dilakukan secara sistemis ideologis. Hal itu tidak lain dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui negara. Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara juga berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat.18 Namun jika dalam sistem Islam masih ada yang melakukan kejahatan tersebut, maka sistem „uqubat Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua itu. Dengan dijatuhkannya sanksi hukum yang berat yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi akan dijatuhi hukuman mati. Begitupun pelaku homoseksual. Sehingga perilaku itu tidak akan menyebar di masyarakat.19 “Perlu dilakukan penguatan, revisi dan penyempurnaan. Dengan demikian, apabila dijalankan, itu akan menimbulkan efek tangkal, kemudian juga efektif, dan juga menjanjikan hukuman yang tidak ringan,” kata Presiden Yudhoyono dalam keterangan pers, usai rapat kabinet yang juga dihadiri wartawan BBC (British Broadcasting Corporation) Indonesia, Heyder Affan.20 Alasan inilah yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih jauh tentang pelecehan seksual pada anak di bawah umur (phedofil). Hal ini diharapkan dapat 18 A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 370. Ibid. 20 Diakses pada tgl 10 Mei 2014 http://www.bbc.co.uk/indonesia/beritaindonesia/2014/05/140508-sby_kekerasan_seksual_anak.shtml 19 11 dijadikan acuan bagi masyarakat pada umumnya. Adapun judul yang diangkat dalam skripsi ini adalah : “SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PHEDOFILIA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM”. B. Identifikasi Masalah 1. Apa Sanksi Pidana pelaku pelecehan seksual pada anak di bawah Umur (Phedofil) dalam pendangan Hukum Positif di Indonesia? 2. Bagaimana Pandangan Hukum Islam terhadap Sanksi Pidana bagi pelaku Pelecehan seksual terhadap anak di bawah Umur (Phedofil) dalam Hukum Positif di Indonesia? 3. Bagaimana kendala-kendala penegakan sanksi pidana pelaku pelecehan seksual pada anak di bawah umur di Indonesia? C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah merupakan usaha untuk menetapkan batasan-batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian.21 Dalam penelitian ini, karena masalah yang akan diteliti cukup luas oleh karena itu penulis memberi batasan sebagai berikut: a. Dengan Judul, Sanksi pidana terhadap pelaku Phedofil dalam hukum positif di Indonesia (Perspektif hukum pidana Islam) 21 Husaini Usman dan Pramono Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 23. 12 b. Penelitian ini hanya pada kasus Kekerasan seksual pada anak (Phedofil) 2. Perumusan Masalah Agar dapat mempermudah dalam penyusunan skripsi ini, maka perlu kiranya dirumuskan beberapa masalah berikut : a. Apa Sanksi Pidana pelaku pelecehan seksual pada anak di bawah Umur (Phedofil) dalam pendangan Hukum Positif di Indonesia? b. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap Sanksi Pidana bagi pelaku pelecehan seksual pada anak di bawah Umur (Phedofilia) dalam Hukum Positif di Indonesia? c. Bagaimana kendala-kendala penegakan sanksi pidana pelaku pelecehan seksual pada anak di bawah umur di Indonesia? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mencoba untuk memberikan informasi tentang pengetahuan hukum pidana Islam terhadap kasus pelecehan seksual pada anak (Phedofil). Penelitian ini memiliki tujuan utama sebagai berikut: a. Menjelaskan tentang Sanksi Pidana bagi pelaku pelecehan seksual pada anak (Phedofil) menurut Hukum Positif. b. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap sanksi pidana bagi pelaku pelecehan seksual pada anak di bawah umur dalam hukum positif di Indonesia. 13 c. Untuk menjelaskan kendala-kendala penegakan sanksi pidana pelaku pelecehan seksual pada anak di bawah umur di Indonesia. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan baik bagi masyarakat maupun bagi peneliti adalah: a. Dapat dijadikan bahan rujukan untuk menjawab permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan Sanksi Pidana pelaku pelecehan seksual pada anak (Phedofil) dalam Hukum Positif maupun Hukum Islam. b. Bagi akademisi, untuk menambah ilmu pengetahuan dan sebagai bahan referensi bagi mahasiswa, staf pengajar, dan lainnya dalam menunjang penelitian selanjutnya. c. Memberikan sumbangan informasi kepada masyarakat tentang Sanksi Pidana yang sebenarnya bagi pelaku pelecehan seksual pada anak (Phedofil) baik dalam Hukum Positif maupun Hukum Islam. d. Bagi penegak hukum, memberikan informasi dan menambah khazanah pengetahuannya tentang Sanksi Pidana bagi pelaku pelecehan seksual pada anak (Phedofil) menurut Hukum Islam, agar bias di kolaborasi dengan Hukum Positif. E. Tinjauan (Review) Study Terdahulu Penelitian tentang pembahasan ini memang bukan penelitian yang pertama, penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh: 14 Tabel 1. No. Nama Mahasiswa/i 1. Wahdah Fakultas/Jurusan, Tahun pembuatan Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Perbandingan Hukum, tahun 2008 Judul dan Permasalahannya Sanksi Pidana Pelecehan Seksual Antar Anak di bawah Umur menurut hukum Islam dan hukum Positif. Penelitian ini berkesimpulan hanya membandingkan hukum Islam dengan hukum positif tanpa menganalisis hukum positif menurut hukum Islam. Persamaan penelitian saudari Wahdah dengan penelitian saya ini adalah sama-sama membahas tentang pelecehan seksual pada anak di bawah umur tapi bukan Phedofil lebih cenderung pelecehan seksual sesama anak. Adapun perbedaannya yang menjadi Obyek penelitian ini adalah Sanksi Pidana dalam hukum positif di Indonesia menurut hukum Islam. 2. Yayah Ramadyan Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Jinayah Siyasah Pelecehan Seksual (di lihat dari Kacamata Hukum Islam dan KUHP). Dalam penelitian ini membatasi masalah dengan melihat bagaimana pandangan hukum Islam dan KUHP. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dalam hukum Islam yakni dapat dikenakan Sanksi 15 yang sangat hakiki, selain itu juga di kenakan denda atau dera yang dibebankan kepada pelaku atau yang berbuat. Sedangkan dalam KUHP pelaku kejahatan asusila, yakni sanksi pidana bagi pelaku karena erat kaitannya dengan tindakan kekerasan fisik maupun integritas seorang wanita dan cenderung merupakan kekerasan fisik dan mental. Dalam hal ini telah diatur secara umum dalam KUHP pasal 281282 yang berbunyikan, pasal 281 berisikan diantaranya adalah: Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Empat Ribu Lima Ratus Rupiah. Persamaan penelitian saudara Yayah Ramadyan dengan penelitian penulis adalah Sama-sama meniliti tentang Pelecehan Seksual. Adapun perbedaannya, dia membahas pelecehan seksual secara umum bukan (Phedofil) dan membandingkan Hukum Islam dengan KUHP. BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pelecehan Seksual Pelecehan atau kekerasan dalam arti Kamus Bahasa Indonesia adalah suatu perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan. Dari penjelasan di atas, pelecehan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidak relaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai. Defenisi seksualitas yang dihasilkan dari Konferensi APNET (Asia Pasific Network For Social Health) di Cebu, Filipina 1996 mengatakan seksualitas adalah sekpresi seksual seseorang yang secara sosial dianggap dapat diterima serta mengandung aspek-aspek kepribadian yang luas dan mendalam. Seksualitas merupakan gabungan dari perasaan dan perilaku seseorang yang tidak hanya didasarkan pada ciri seks secara biologis, tetapi juga merupakan suatu aspek kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan dari aspek kehidupan yang lain.1 Dalam pelecehan seksual terdapat unsur-unsur yang meliputi : 1. Suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual. 2. Pada umumnya pelakunya laki-laki dan korbannya perempuan. 3. Wujud perbuatan berupa fisik dan nonfisik. 1 Pelecehan Seksual, http://Pelecehan.htm. Di akses pada 9 Juli 2014. 16 17 4. Tidak ada kesukarelaan.2 Tindakan pelecehan seksual, baik yang bersifat ringan (misalnya secara verbal) maupun yang berat (seperti perkosaan) merupakan tindakan menyerang dan merugikan individu, yang berupa hak-hak privasi dan berkaitan dengan seksualitas. Demikian juga, hal itu menyerang kepentingan umum berupa jaminan hak-hak asasi yang harus dihormati secara kolektif. Oleh karena itu, pengertian pelecehan seksual adalah pelecehan yang berupa bentuk pembendaan dari kata kerja melecehkan yang berarti menghinakan, memandang rendah dan mengabaikan. Sedangkan seksual memiliki arti hal yang berkenan dengan seks atau jenis kelamin, hak yang berkenan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan pengertian tersebut maka pelecehan seksual berarti suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berkenan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan. B. Pengertian Anak Banyaknya pengertian tentang anak sehingga bisa dilihat dari bermacammacam aspek yang ada sekarang ini seperti3 : a. Pengertian anak dari aspek religius atau agama Anak adalah anugerah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, sehingga orang tua yang telah dianugerahi seorang anak oleh tuhan, bertugas dan bertanggung jawab untuk mengasuh, membina, dan mendidik anak agar menjadi manusia yang seutuhnya. 2 Sudarsono, Op.cit., h. 18. Komnas-Ham, Anak-anak Indonesia yang Teraniaya, Buletin Wacana, Edisi VII/Tahun IV/1-30 November 2006. 3 18 b. Pengertian anak dari aspek sosiologis Pengertian anak dari dalam makna sosial ini lebih mengarah kepada perlindungan anak secara kodrati, karena keterbatasan yang dimilikinya sebagai seorang anak. Anak tidak mungkin diharapkan untuk dalam waktu yang relatif singkat, tahu dan mengerti bagaimana ia harus bertingkah laku, bersikap, dan hidup bermasyarakat dengan orang lain dalam lingkungannya. c. Pengertian anak dari aspek ekonomi Dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan anak oleh orang-tuanya, demi menciptakan kesejahteraan bagi anak tersebut, kesejahteraan anak dapat diperoleh oleh faktor-faktor internal anak itu sendiri maupun dari faktor eksternal keluarga anak yang bersangkutan. Anak dalam pengertian ekonomi ini berkaitan erat dengan kegiatan eksploitasi anak dan perdagangan manusia. d. Pengertian anak dari aspek Hukum Pengertian anak dalam kedudukan Hukum yaitu anak dipandang sebagai subyek Hukum dan kedudukan anak sebagai subyek Hukum dapat dikelompokkan kedalam sub-sistem sebagai berikut : 1. Pengertian anak menurut Undang-undang Dasar Tahun 1945, didalamnya tidak dijelaskan pengertian anak secara definitive, akan tetapi kita dapat melihat bahwa Undang-undang Dasar memberikan perhatian secara khusus bagi anak-anak Indonesia, maka Undang-undang Dasar tahun 1945 ini menegaskan adanya upaya-upaya Negara (dalam hal ini pemerintah) untuk melindungi anak-anak Indonesia, khususnya anak-anak yang tidak mendapatkan asuhan dan pemenuhan pasokan kebutuhan yang seharusnya 19 diterima mereka dari orang tuanya ataupun dari orang dewasa lainnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum didalam Pasal 34 Undangundang Dasar tahun 1945 “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. 2. Pengertian anak dalam Hukum Perdata, di dalam ruang lingkup Hukum Perdata, anak dipandang sebagai subyek Hukum yang belum mempunyai kemampuan (tidak cakap) didalam melakukan hubungan keperdataan, ketentuan Pasal 330 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mendudukkan anak sebagai berikut “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”. 3. Pengertian anak menurut Hukum Pidana, pengertiaan anak di dalam lingkup Hukum Pidana hanya dikhususkan pada pengertian yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pengertian anak yang tercantum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran Hukum secara negatif, maksudnya adalah seseorang anak yang berstatus sebagai subyek Hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak Pidana yang dilakukan oleh anak itu sendiri, dan mempunyai hak-hak khusus dan perlu untuk mendapatkan perlindungan khusus menurut Undang-undang yang berlaku, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan contoh lainnya bisa dilihat di Pasal 287 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.4 4 Ibid. 20 C. Kekerasan Terhadap Anak Kenakalan anak adalah hal yang paling sering menjadi penyebab kemarahan orang tua, sehingga anak menerima hukuman dan bila disertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan fisik. Bila hal ini sering dialami oleh anak maka akan menimbulkan luka yang mendalam pada fisik dan batinnya. Sehingga akan menimbulkan kebencian pada orang tuanya dan trauma pada anak. Akibat lain dari kekerasan anak akan merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga menurunkan prestasi anak di sekolah atau hubungan sosial dan pergaulan dengan temantemannya menjadi terganggu, hal ini akan mempengaruhi rasa percaya diri anak yang seharusnya terbangun sejak kecil. Apa yang dialaminya akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau membentak bila timbul rasa kesal di dalam dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas, mengalami mimpi buruk, depresi atau masalah-masalah di sekolah. Istilah kekerasan setara dengan kata violence dalam bahasa Inggris. Violence berkaitan erat dengan kata latin vis (daya atau kekuatan) dan latus (yang berasal dari: membawa), yang berarti membawa kekuatan.5 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan. 5 Marshana Windu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 63. 21 Menurut penjelasan ini, kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit, atau penderitaan pada orang lain. Dimana salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai.6 Kata kekerasan yang dimaksud disini merupakan padanan dari kata violence dalam bahasa Inggris, meskipun keduanya memiliki konsep yang berbeda. Kata violence diartikan sebagai suatu serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Sedangkan kata kekerasan dalam bahasa Indonesia pada umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka.7 Sebenarnya jika dilihat dari hakekatnya, kekerasan dapat dibedakan dari aspek kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan politis dan kekerasan ekonomi. Penting untuk membuat spesifikasi kekerasan karena sebenarnya tindakan kekerasan yang bernuansakan seksual tidak sekedar melalui perilaku fisik belaka.8 Bentuk-bentuk kekerasan pada anak antara lain adalah : 1. Penganiayaan fisik: menyakiti dan melukai anak atau membunuhnya. Termasuk diantaranya: dipukul, dibakar, digigit, juga diracun, diberi obat yang salah, ditenggelamkan. 6 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: Refika Aditama. 2001), h. 30. 7 Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997), h. 7. 8 Purnianti dan Rita Serena Kalibonso, Menyikapi Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Mitra Perempuan, 2003), h.14. 22 2. Penganiayaan seksual: ketika anak-anak, laki-laki maupun perempuan, dianiaya secara seksual (sexually abused) oleh orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka sendiri. Hal ini dapat berupa hubungan kelamin (penetrasi), masturbasi (seks oral, hubungan seks anal, dan mengekspos anak untuk keperluan ponografi). 3. Penelantaran anak: ketika orang tua tidak memenuhi kebutuhan dasar anak seperti makanan, pakaian, pengobatan, juga meninggalkan anak yang masih kecil sendirian di rumah. Orang tua yang menolak atau tidak mampu memberi cinta dan kasih sayang dikatakan penelantaran emosional (emosional neglect). 4. Penganiayaan emosional: ketika anak kurang mendapatkan cinta dan kasih sayang, sering diancam dan dicela sehingga anak kehilangan percaya diri dan harga diri.9 Kekerasan, sebagai salah satu bentuk agresi, memiliki definisi yang beragam. Meski tampaknya setiap orang sering mendengar dan memahaminya. Salah satu definisi yang paling sederhana adalah segala tindakan yang cenderung menyakiti orang lain, berbentuk agresi fisik, agresi verbal, kemarahan atau permusuhan.10 Masing-masing bentuk kekerasan memiliki faktor pemicu dan konsekuensi yang berbeda-beda. Penderaan anak atau penganiayaan anak atau kekerasan pada anak atau perlakuan salah terhadap anak merupakan terjemahan bebas dari child abuse, yaitu perbuatan semena-mena orang yang seharusnya menjadi pelindung (guard) pada seorang anak (individu berusia kurang dari 18 tahun) secara fisik, seksual, dan emosional. Pengertian kekerasan Menurut UU 9 Ibid, h. 52. Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Jakarta: Penerbit Nuansa, 2006), h. 27. 10 23 perlindungan anak no 23 tahun 2002 dalam Pasal 3 UU PA adalah meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. UNICEF (United Nations International Children's Emergency Fund) mendefinisikan bahwa kekerasan terhadap anak adalah “Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan”.11 Kekerasan terhadap anak terbagi atas: kekerasan fisik, penelantaran, kekerasan seksual, dan kekerasan emosional. Namun antara kekerasan yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Anak yang menderita kekerasan fisik, pada saat yang bersamaan juga menderita kekerasan emosional. Sementara yang menderita kekerasan seksual juga mengalami penelantaran. Secara umum ciri-ciri anak yang mengalami kekerasan adalah sebagai berikut :12 5. Menunjukkan perubahan pada tingkah laku dan kemampuan belajar di sekolah. 6. Tidak memperoleh bantuan untuk masalah fisik dan masalah kesehatan yang seharusnya menjadi perhatian orang tua. 7. Memiliki gangguan belajar atau sulit berkonsentrasi, yang bukan merupakan akibat dari masalah fisik atau psikologis tertentu. 8. Selalu curiga dan siaga, seolah-olah bersiap-siap untuk terjadinya hal yang buruk. 11 UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Emmy Soekresno, Mengenali Dan Mencegah Terjadinya Tindak Kekerasan Terhadap Anak, (Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia, http://www.kpai.go, 2007). 12 24 9. Kurangnya pengarahan orang dewasa. 10. Selalu mengeluh, pasif atau menghindar. 11. Datang ke sekolah atau tempat aktivitas selalu lebih awal dan pulang terakhir, bahkan sering tak mau pulang kerumah. Sedangkan ciri-ciri umum orang tua yang melakukan kekerasan pada anak adalah: 1. Tak ada perhatian pada anak. 2. Menyangkal adanya masalah pada anak baik di rumah maupun sekolah, dan menyalahkan anak untuk semua masalahnya. 3. Meminta guru untuk memberikan hukuman berat dan menerapkan disiplin pada anak. 4. Menganggap anak sebagai anak yang bandel, tak berharga, dan susah diatur. 5. Menuntut tingkat kemampuan fisik dan akademik yang tak terjangkau oleh anak. 6. Hanya memperlakukan anak sebagai pemenuhan kepuasan akan kebutuhan emosional untuk mendapatkan perhatian dan perawatan. Ciri-ciri umum orang tua dan anak yang menjadi pelaku dan korban tindak kekerasan 1. Jarang bersentuhan fisik dan bertatap mata. 2. Hubungan diantara keduanya sangat negatif. 3. Pernyataan bahwa keduanya tak suka/membenci satu sama lain. Ciri-ciri tersebut penting diketahui agar keluarga, kerabat, tetangga, anggota masyarakat lainnya mudah untuk mengenali secara dini permasalahan 25 yang berkaitan tindak kekerasan baik sebagai korban atau pelaku tindak kekerasan.13 D. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Bawah Umur (Pedofilia) Salah satu praktek seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual. Artinya praktek hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non-fisik. Dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya itu. Abdul Wahid dan Muhammad Irfan memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang.14 Untuk mengenali bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak sesungguhnya tidaklah jauh dari sekitar kita. Realitas kekerasan seksual yang dialami anak–anak sampai saat ini masih menjadi masalah yang cukup besar di Indonesia. Lihat saja pemberitaan media cetak dan elektronik mengenai kekerasan seksual pada anak dapat dijumpai setiap hari. Bentuk dan modus operandinya pun juga cukup beragam. Berdasarkan ketentuan Konvensi Hak Anak (1989) dan protokol tambahannya KHA (option protocol Convention on the Rights of the Child) bentuk-bentuk kekerasan dibagi dalam empat bentuk. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan anak (sale children) untuk 13 14 Ibid. Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, op.cit, h. 18. 26 tujuan prostitusi (child prostitution) dan pornografi (child phornografy). Kekerasan seksual terhadap atau dengan sebutan lain perlakuan salah secara seksual bisa berupa hubungan seks, baik melalui vagina, penis, oral, dengan menggunakan alat, sampai dengan memperlihatkan alat kelaminnya, pemaksaan seksual, sodomi, oral seks, onani, pelecehan seksual, bahkan perbuatan incest.15 Seks merupakan ancaman yang seringkali mengikuti perkembangan anak, khususnya anak perempuan. Banyak hal-hal yang memungkinkan anak menjadi korban pelampiasan seks orang-orang dewasa yang seharusnya melindunginya. Salah satunya adalah faktor media massa, baik elektonik maupun cetak, dengan tampilan adegan-adegan yang menimbulkan hasrat seks. Hal ini berhubungan dengan rendahnya kesadaran dan pengamalan nilai agama. Faktor lainnya berasal dari lingkungan terdekat anak, yaitu keluarga, tetangga dan teman sebaya. Dan bisa juga oleh faktor ketidakharmonisan antara suami-istri didalam berumah tangga sehingga menjadi pendorong seorang ayah untuk melampiaskan hawa nafsu seksnya kepada anak perempuannya. Keadaan ini sangat mudah dilakukan karena selama ini ayah dianggap orang yang paling berkuasa didalam rumah tangga, sehingga anak tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Meskipun ada anggota keluarga yang mengetahui adanya kekerasan seksual, maka mereka akan menyimpan masalah itu dalam keluarga. Keadaan ini secara tidak langsung memberikan peluang bagi orang-orang dewasa untuk 15 http://www.lbh-apik.or.od/. Di akses pada 9 Juli 2014. 27 menjadi pelaku-pelaku tindak kekerasan seksual, dengan beranggapan tindakannya tidak akan diketahui oleh orang lain.16 Jika demikian persoalannya, maka bukan tidak mungkin apabila kejadiankejadian, seperti perkosaan terhadap anak perempuan yang di lakukan oleh anggota keluarga, juga dianggap sebagai suatu permasalahan dalam keluarga, dan tidak ada kaitannya dengan masyarakat. Selain itu, keberadaan anak sebagai sosok yang lemah dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa yang disekitarnya, membuat anak tidak berdaya saat dia diancam untuk tidak memberitahukan apa yang dialaminya. Kondisi diatas menempatkan anak perempuan pada situasi yang berbahaya dan menjadi sasaran empuk untuk perlakuan yang tidak adil. Marginalisasi, stereotip dan diskriminasi gender merupakan situasi yang sering dihadapi anak perempuan, sehingga bentuk-bentuk kekerasan yang dimotivasi oleh nafsu seks menjadi bahaya nyata yang mengancam anak perempuan, kapan dimana dan oleh siapa saja. Status sebagai perempuan pada satu sisi dan anak di sisi lain menyebabkan anak perempuan menjadi mangsa kebuasan seks laki-laki. Secara kemanusiaan kekerasan terhadap anak yang terjadi dan dilakukan dalam lingkup domestik, lingkup komunitas, dan akibat kebijakan Negara. Artinya, kekerasan terhadap anak bukan saja menjadi praktek dalam relasi domestik, namun relasi komunitas. Selain itu, justru kekerasan seksual lebih eskalatif dibandingkan kekerasan fisik dan psikis. Fakta ini patut dicemaskan karena kekerasan bahkan eksploitasi atas alat atau organ seksual anak, menjadi 16 Indonesia, www.Kompas.com, h. 5-8. 28 semakin biasa dan kerap terjadi. Bahkan lebih kerap terjadi dibandingkan kekerasan fisik. Kekerasan seksual ini sangat menghujamkan derita psikologis bagi anak-anak. Akibatnya, kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan rasa ketakutan, traumatik, mengulangi kekerasan terhadap anak lain (yang lebih kecil), bahkan bisa menggagalkan tumbuh dan kembang anak secara wajar.17 Banyaknya faktor yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur. Dan untuk tiap-tiap kasus, faktor-faktor tidak selalu sama baik jenis atau macam maupun kadar atau tingkat mempengaruhi terhadap perbuatan tersebut, karena masing-masing dilandasi motivasi yang berbeda. Motivasi utama dilakukannya tindak Pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur adalah dorongan nafsu seksual yang tidak mampu dikendalikan.18 Tindak Pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur sebagian dilakukan oleh orang-orang yang telah dikenal dengan cukup baik oleh korban. Perkosaan tersebut biasanya terjadi pada saat anak tersebut diluar pengawasan orang tua dan biasanya dilakukan saat suasana sepi. Kejahatan tidak dikehendaki masyarakat, akan tetapi justru senantiasa ada dalam masyarakat dan dilakukan oleh anggota masyarakat juga. Oleh karenanya penanggulangan kejahatan hanya dapat dilakukan secara menekan atau mengurangi adanya kejahatan tersebut. Dalam rangka mengurangi peningkatan kejahatan atau mengupayakan penurunan tingkat kejahatan perkosaan anak dibawah umur maka salah satu usaha 17 www.komnasna.or.id, Hentikan Kekerasan Terhadap Anak Sekarang dan Selamanya, hal IV/refleksi akhir tahun 2005. Di akses pada 9 Juli 2014. 18 Y. Singgih D. Gunarsa, Op. cit., h. 11. 29 yang terbaik adalah usaha pencegahan kejahatan yaitu sebelum kejahatan tersebut dilakukan. Pada kasus pelecehan seksual, terdapat istilah “pedofilia” yang berarti mengacu pada perasaan terus-menerus dari daya tarik pada orang dewasa atau remaja yang lebih tua terhadap anak-anak prepuber. Seseorang yang melakukan tindakan ini disebut pedofilia. Dalam penegakan hukum, istilah “pedofilia” umumnya digunakan untuk menggambarkan mereka yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur. Namun, tidak semua pelaku seksual terhadap anak adalah pedofil yang melakukan semua pelecehan terhadap anak-anak. Penegakan hukum dan professional hukum telah memulai menggunakan istilah predator pedofilia, yang berarti khusus untuk pedofil yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak dibawah umur.19 19 Wikipedia bahasa Indonesia, http://ensiklopedia-bebas.htm. Di akses pada 9 Juli 2014. BAB III PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PERSEPEKIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Jenis-jenis Pelecehan Seksual Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu. Meski berbagai kalangan berbeda pendapat dan pandangan mengenai pelecehan seksual, namun secara umum kriteria pelecehan seksual yang dapat diterima akal sehat, antara lain memiliki 10 tipe-tipe pelecehan seksual seperti ini: 1. Main mata atau pandangan yang menyapu tubuh, biasanya dari atas kebawah bak “mata keranjang” penuh nafsu. 2. Siulan nakal dari orang yang dikenal atau tidak dikenal. 3. Bahasa tubuh yang dirasakan melecehkan, merendahkan dan menghina. 4. Komentar yang berkonotasi seks. Atau kata-kata yang melecehkan harga diri, nama baik, reputasi atau pencemaran nama baik. 5. Mengungkapkan gurauan-gurauan bernada porno (humor porno) atau leluconlelucon cabul. 6. Bisikan bernada seksual. 7. Menggoda dengan ungkapan-ungkapan bernada penuh hasrat. 8. Komentar/perlakuan negatif yang berdasar pada gender. 30 31 9. Perilaku meraba-raba tubuh korban dengan tujuan seksual, yaitu: a. Cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu. b. Meraba tubuh atau bagian tubuh sensitif. c. Menyentuh tangan ke paha. d. Menyentuh tangan dengan nafsu seksual pada wanita e. Memegang lutut tanpa alasan yang jelas f. Menyenderkan tubuh ke wanita g. Memegang tubuh, atau bagian tubuh lain dan dirasakan sangat tidak nyaman bagi korban. h. Menepuk-nepuk bokong perempuan i. Berusaha mencium atau mengajak berhubungan seksual. j. Mencuri cium dan kabur k. Gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual l. Ajakan berkencan dengan iming-iming m. Ajakan melakukan hubungan seksual 10. Pemaksaan berhubungan seksual dengan iming-iming atau ancaman kekerasan atau ancaman lainnya agar korban bersedia melakukan hubungan seksual, dan sebagainya. Perkosaan adalah pelecehan paling ekstrem.1 Ada beberapa bentuk pelecehan seksual yang berdasarkan tingkatan antara lain: 1. Tingkatan pertama : Gender Harassment adalah pernyataan atau tingkah laku yang bersifat merendahkan seseorang berdasarkan jenis kelamin (sexist). 1 Ed Stewart Josh Mc Dowell, Pelecehan Seksual, (Yogyakarta: PT Gloria Usaha Mulia, 2005), cet. ke-2, h. 36. 32 Bentuk-bentuknya antara lain : cerita porno atau gurauan yang mengganggu; kata-kata seksual yang kasar dan ditujukan kepada seseorang; kata-kata rayuan tentang penampilan seseorang, tubuh, atau kehidupan seseorang; memandang secara terus menerus, mengerlingkan mata atau melirik dengan cara yang pantas; memperlihatkan, memakai, atau menyebarkan benda-benda yang tidak senonoh seperti gambar, buku, video porno, memperlakukan seseorang dengan cara berbeda karena berjenis kelamin tertentu, seperti mengistimewakan, tidak mengacuhkan atau mengabaikan berdasarkan jender; serta kalimat-kalimat yang merendahkan tentang pilihan karir perempuan. 2. Tingkatan kedua: Seduction Behavior adalah rayuan atau permintaan yang tidak senonoh bersifat seksual atau bersifat merendahkan tanpa adanya suatu ancaman. Bentuk-bentuknya antara lain: pembicaraan mengenai hal-hal yang bersifat pribadi atau bersifat seksualitas; tindakan untuk merayu seseorang; perhatian seksualitas seseorang, usaha menjalin hubungan romantis dengan seseorang; ajakan untuk berbuat tidak senonoh atau asusila; mengganggu privasi seseorang secara sengaja menjadikan seseorang sebagai sasaran sindiran dari suatu pembicaraan seksual, mengucapkan kalimat seksual yang kasar dan menganggu seseorang serta menyebarkan gosip seksual seseorang. 3. Tingkatan ketiga: Sexsual Bribery yaitu ajakan melakukan hal-hal yang berkenaan dengan perhatian seksual disertai dengan janji untuk mendapatkan imbalan-imbalan tertentu, misalnya: hadiah kenaikan gaji atau jabatan. Bentukbentuknya antara lain: secara halus menyuap seseorang dengan janji imbalan tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan seksual, misalnya: dipeluk, diraba, 33 dicium, dibelai. Secara langsung atau terang-terangan menjanjikan hadiah untuk melayani keinginan seksual seseorang, pemaksaan tindakan seksual karena memberikan janji atau hadiah, serta secara nyata memberikan hadiah kepada seseorang karena bersedia melayani secara seksual. 4. Tingkatan keempat: Sexual Coercion atau Threat yaitu adanya tekanan untuk melakukan hal-hal bersifat seksual dengan disertai ancaman baik secara halus maupun langsung. Bentuk-bentuknya adalah ancaman secara halus dengan pemberian semacam hukuman karena menolak keinginan seksual seseorang, ancaman secara langsung atau terang-terangan dengan harapan seseorang mau melakukan tindakan seksual meskipun tindakan tersebut belum terjadi, melakukan tindakan seksual dengan seseorang yang merasa takut karena ancaman atau hukuman yang diberikannya, serta akibat buruk yang diterima seseorang secara nyata karena menolak tindakan seksual dari seseorang. 5. Tingkatan kelima: Sexual Imposition yang serangan atau paksaan bersifat seksual dan dilakukan secara kasar atau terang-terangan. Bentuk-bentuknya adalah dengan sengaja memaksa menyentuh, berusaha mendorong atau memegang tubuh seseorang. Misalnya, menyentuh anggota tubuh yang vital dan sebagainya serta dengan sengaja memaksa untuk melakukan hubungan seksual.2 Adapun bentuk-bentuk pelecehan seksual yang lebih serius tingkatannya antara lain: 2 Sandra S. Tangri. dkk, Kekerasan Seksual di tempat Kerja: 3 model penjelasan, (Bandung: PT Revika Aditama, 2003), h. 89-110. Lihat juga dalam Sawitri Supardi Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), cet. I Mei, h. 70. 34 1. Serious Froms of Harassment adalah pelecehan seksual yang bersifat serius seperti tekanan untuk melakukan hubungan seksual melalui telepon atau surat, perkosaan dan penyiksaan seksual. 3 2. Less Serious Froms of Harassment adalah pelecehan seksual yang bersifat tidak serius seperti memandangi korban atau menyentuh bagian tubuh dengan sengaja. B. Kasus-kasus Pelecehan Seksual Pada Anak Di Bawah Umur Saat ini Indonesia diramaikan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur. Di awali dengan terungkapnya kasus pedofilia di Jakarta International School (JIS), setelah itu satu persatu kasus terungkap di beberapa daerah di Indonesia, ibarat fenomena bola es yang semakin lama semakin membesar. Kasus kekerasan seksual ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi di Indonesia, selalu ada setiap tahunnya, bahkan terjadi peningkatan kasus. Korbannya kalangan anak umur 5 hingga 13 tahun, dan dilakukan oleh orang orang terdekat baik tetangga, guru, bahkan keluarga sendiri.Komnas Anak mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak tahun 2007 adalah tindak sodomi terhadap anak. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke Komnas Anak tahun itu, sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus sodomi anak.4 Pada tahun 2009 ada 1.998 kekerasan meningkat pada tahun 2010 menjadi 2.335 kekerasan (tempointeraktif.com, 25/3/2011). Pada tahun 2011 ada 2.509 laporan kekerasan dan 59% nya adalah kekerasan seksual. Dan pada tahun 2012 Komnas PA menerima 2.637 laporan yang 62% nya kekerasan seksual (bbc,18/1). 3 4 Ibid. www.Kompas.com Di akses pada 9 Juli 2014. 35 Tahun 2013, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Mabes Polri mencatat sepanjang tahun 2013 sekurangnya terjadi 1600 kasus asusila mulai dari pencabulan hingga kekerasan fisik pada anak-anak.5 Adanya kasus ini berdampak buruk terhadap kondisi korban (anak) seperti dampak psikologis, emosional, fisik dan sosialnya meliputi depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, gangguan makan, rasa rendah diri yang buruk, kekacauan kepribadian. Yang paling membahayakan adalah perubahan perilaku seksual, yang kemungkinan besar akan terjadi setelah dewasa korban akan menjadi pelaku kejahatan seksual akibat trauma yang pernah dialaminya sejak kecil.6 Dr. Asrorun Niam Sholeh, Ketua Divisi Sosialisasi KPAI, menyebut beberapa faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual terhadap anak.Pertama, faktor moralitas dan rendahnya internalisasi ajaran agama serta longgarnya pengawasan di level keluarga dan masyarakat.Kedua, faktor permisifitas dan abainya masyarakat terhadap potensi pelecehan seksual.Ketiga, faktor kegagapan budaya dimana tayangan sadisme, kekerasan, pornografi, dan berbagai jenis tayangan destruktif lainnya ditonton, namun minim proses penyaringan pemahaman.7 Keempat, faktor perhatian orang tua dan keluarga yang relatif longgar terhadap anaknya dalam memberikan nilai-nilai hidup yang bersifat mencegah kejahatan pelecehan seksual.8 5 Ibid. Abu Huraerah, op.cit., h. 32. 7 Emmy Soekresno, op.cit. 8 Lihat di www.arrahmah.com Di akses pada 9 Juli 2014. 6 36 C. Pelecehan Seksual Pada Anak Di Bawah Umur (Phedofilia) Dalam Pandangan Hukum Positif 1. Menurut KUHP Sanksi bagi para pelaku phedofilia menurut KUHP terdiri dari:9 a. Persetubuhan Dalam hal persetubuhan, adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap wanita diluar perkawinan, dimana pihak korban adalah anak dibawah umur. Pasal 287 ayat 1 menyatakan bahwa : “barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata , belum mampu kawin diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Pasal 288 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa: “barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa sebelum mampu kawin, diancam apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka, dengan pidana penjara paling lambat empat tahun” Perbuatan yang terjadi disini adalah perbuatan memaksakan kehendak dari orang dewasa terhadap anak dibawah umur yang dilakukan tanpa atau dengan kekerasan. Persetubuhan yang dilakukan tanpa kekerasan bisa terjadi dengan cara atau upaya orang dewasa dengan membujuk korban dengan mengiming-imingi korban dengan sesuatu atau hadiah yang membuat korban menjadi senang dan tertarik, dengan demikian sipelaku merasa lebih mudah untuk melakukan maksudnya untuk menyetubuhi korban. 9 UU PA No. 23 Tahun 2002-2003 tentang Perlindungan Anak. 37 b. Perbuatan cabul Perbuatan cabul yang terjadi disini maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehormatan korban. Pasal 289 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa sesorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Pasal 290 ayat 2 KUHP menyatakan: “bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau belum kawin.” Pasal 290 ayat 3 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau ternyata belum kawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar pernikahan dengan orang lain.” Pasal 292 KUHP menyatakan: “bahwa orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” Pasal 293 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan penyesatan sengaja menggerakan seorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan dia, padahal belum cukup umurnya itu diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” 38 Pasal 294 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang memeliharanya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dianca dengan pidana paling lama tujuh tahun.” Pengertian perbuatan cabul ini adalah perbuatan dengan yang dilakukan dengan cara melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang berhubungan dengan tubuh korban dalam hal menyerang kehormatan korban dalam konteks perbuatan asusila, dan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak di bawah umur. c. pornografi Pengertian Pornografi sebelum adanya undang undang Anti Pornografi tahun 2008 yakni berdasarkan pendapat ahli dan KUHP. Menurut pendapat ahli hukum, pornografi merupakan perbuatan yang memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, terhadap anak dibawah umur. Memperlihatkan gambar-gambar atau alat yang melanggar kesusilaan terhadap anak dibawah umur dilarang sesuai dengan ketentuan dalam pasal 283 ayat 1 KUHP yang menyatakan: “bahwa seseorang diancamdengan ancaman pidana maksimal Sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus ribu rupiah barang siapa yang menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya”. 39 2. Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Sanksi bagi pelaku phedofilia menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah:10 a. Persetubuhan Dalam hal ini persetubuhan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap perempuan diluar perkawinan dalam hal ini adalah anak di bawah umur , diatur dalam pasal 81 yang isinya sebagai berikut: 1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. b. Perbuatan Cabul Perbuatan cabul yang terjadi disini adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehormatan korban, diatur dalam pasal 82 yang isinya sebagai berikut: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”. 10 UU PA No. 23 Tahun 2002-2003 tentang Perlindungan Anak. 40 c. Eksploitasi Eksploitasi dalam hal ini adalah mengeksploitasi seksual anak di bawah umur untuk kepentingan pelaku baik itu komersil ataupun kepuasan seksual, hal ini terdapat dalam Pasal 88 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”. Tindakan para pelaku phedofilia ini dengan berbagai macam cara baik itu melalui internet atau pun organisasi, dan phedofilia juga sudah mempunyai jaringan internasional lewat forum-forum sesama pelaku mereka menyebar atau berbagi informasi daerah tujuan dan siapa-siapa saja yang bisa di jadikan korban. Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat Pasal 81 dan 82 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan hukuman antara 3 sampai 10 tahun penjara. Sementara dalam KUHP, tindak pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara.Melihat banyaknya faktor penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual ini, dapat disimpulkan bahwa kasus ini bukan kasus yang sepele namun sudah ditingkat darurat yang mesti segera diselesaikan hingga keakar permasalahan, ketika kita melihat faktor hukum yang kurang tegas dan tidak menimbulkan efek jera terhadap tersangka, maka solusinya bukan hanya dengan menambah jumlah kurungan atau ketika melihat bertambahnya korban setiap tahunnya solusinya 41 bukan dengan membentuk sebuah LSM atau lembaga yang dapat mengurangi tindak kekerasan seksual pada anak.11 D. Pelecehan Seksual Pada Anak Di Bawah Umur (Phedofilia) Dalam Pandangan Menurut Islam Perilaku seks menyimpang dengan sesama jenis sebenarnya sudah terjadi pada zaman Nabi Luth ketika ia menetap di salah satu dusun di Palestina, namanya Saduum. Nabi Luth tinggal di dusun itu setelah berpisah dengan pamannya, Nabi Ibrahim. Nama Saduum sangat terkenal sebagai pusat kejahatan, pada masa itu. Setiap warga dusun berlomba dalam dunia kejahatan. Tindakan kriminalitas seperti perampokan, pembunuhan, perkosaan, menjadi kebiasaan mereka. Dan, yang paling menonjol adalah perilaku kaum pria melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis karena mereka menilai betapa buruknya perempuan.12 Dalam kehidupan sehari-hari, pria Saddum tidak tertarik kepada perempuan sebagai lawan jenisnya. Mereka membiasakan diri melakukan hubungan seksual dengan sesama pria dalam menyalurkan nafsu birahinya dan melepas syahwatnya. Hubungan seks sesama pria itulah salah satu tindak kejahatan yang membuat Saduum terkenal dan menjadi catatan dalam kehidupan manusia sampai sekarang yang disebut homoseksual. Homoseksual adalah ketertarikan melakukan hubungan seks dengan sesama jenis (pria dengan pria), sedangkan sesama wanita disebut lesbian. Ekspresi para pelaku homoseksual tidak selalu aktif bertindak sebagai pria dalam 11 UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Lihat di www.setanon.PERTIMBANGAN-HAKIM-DALAM-MENJATUHKANPUTUSAN-PIDANA-TERHADAP-PELAKU-PEDOFILIA.htm 12 42 hubungan seksnya tetapi kadang-kadang bertindak sebagai pria kadang-kadang pula bertindak sebagai wanita. Dalam kegiatan seks para homoseksual memperoleh kepuasan seksual dengan cara melakukan hubungan melalui anus (dubur). Kegiatan seks seperti ini dikenal dengan sebutan sodomi atau sexual analism. Penggunaan kata sodomi mengacu pada nama Kampung Saduum (Sodom dalam Bahasa Ibrani) yang tenar di masa Nabi Luth.13 Pelaku pedofilia (pedofil) jelas amoral dan merusak kehidupan masa depan anak-anak yang menjadi korbannya. Kejahatan seksual ini selain melanggar norma dan agama juga merupakan tindakan atau perbuatan yang melanggar undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia sehingga bisa dipidanakan ke pengadilan. Dalam perundang-undangan dan ketentuan hukum di Indonesia dijelaskan bahwa kehidupan anak-anak di bawah usia 18 tahun menjadi tanggung jawab negara dan masyarakat. Pemerintah menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan anak-anak.14 Pelaku pedofilia umumnya tidak merasa cemas atau depresi, meski dalam banyak kasus ada juga yang kemudian merasa bersalah atau malu karena seringnya melakukan kegiatan seksual tidak normal. Pelaku rata-rata tidak merasa sakit atau menyadari kelainan seksual yang diderita, meskipun secara sosial aktivitas tersebut sering menimbulkan konflik di masyarakat. Upaya-upaya tersebut tidak akan menyelesaikan permasalahan yang sudah crowded selama sistem yang dipakai di Indonesia masih berdasarkan asas pemisahan agama dengan kehidupan, yang salah satu prilaku individu 13 14 Ibid. Ibid. 43 penganutnya adalah kebebasan bertingkah laku, dan salahnya paradigma berpikir bahwa pelaku dulunya merupakan korban sehingga penyimpangan yang dilakukan adalah sebuah hal yang wajar akibat trauma. Memberantas tindak pedofilia dan kekerasan seksual secara tuntas tidak bisa dilakukan secara parsial. Akan tetapi hanya bisa dilakukan secara sistemis ideologis. Hal itu tidak lain dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui negara. Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara juga berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat.15 Hal itu ditempuh melalui semua sistem, terutama sistem pendidikan baik formal maupun non formal dengan beragam institusi, saluran dan sarana. Dengan begitu, maka rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya dari tindakan kriminal termasuk kekerasan seksual dan pedofilia. Rakyat juga bisa menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak. Penanaman keimanan dan ketakwaan juga membuat masyarakat tidak didominasi oleh sikap hedonis, mengutamakan kepuasan materi dan jasmani. Negara juga tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi menyebar di tengah masyarakat. Sebaliknya di masyarakat akan ditanamkan kesopanan dan nilai-nilai luhur. Namun jika dalam sistem islam masih ada yang melakukan kejahatan tersebut, maka sistem „uqubat Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi 15 Lihat di http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/11/18/dampakpemberitaan-media-terhadap-kejahatan-yang-melibatkan-anak-sebagai-korban-509181.html Di akses pada 9 Juli 2014. 44 masyarakat dari semua itu. Dengan dijatuhkannya sanksi hukum yang berat yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi akan dijatuhi hukuman mati. Begitupun pelaku homoseksual. Sehingga perilaku itu tidak akan menyebar di masyarakat. Hukuman mati itu didasarkan kepada sabda Rasul saw: ِ ُوط فَاقْت لُوا الْ َف ٍ من وج ْدتُموه ي عمل عمل قَوِم ل ول بِ ِه َ ُاع َل َوال َْم ْفع ُ ْ َ ََ ُ َ َْ ُ ُ َ َ ْ َ “Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi)” (HR Abu Dawud).16 Dalam Ijma’ sahabat menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati, meski diantara para sahabat berbeda pendapat tentang cara hukuman mati itu. Hal itu tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshan) atau belum pernah menikah (ghayr muhshan). Jika kekerasan seksual itu bukan dalam bentuk sodomi (homoseksual) tetapi dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya apabila sudah menikah akan dirajam (di lempari batu) hingga mati, sedangkan jika belum menikah akan dijilid (di cambuk) seratus kali. Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir. Bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtiha>d khali>fah dan qadhi. Dengan demikian, memberantas pedofilia dan menyelamatkan masyarakat dari kekerasan seksual termasuk kepada anak, jika serius harus dengan 16 Al-Imam Abu Daud Sulaiman Ibn asy al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu> Da>ud (Kairo: Tijarriyah Kubra,1354 H/1935 M), jilid 4 h. 158. 45 jalan mencampakkan ideologi dan sistem sekuler liberal demokrasi. Berikutnya menerapkan syariah Islam secara total di bawah naungan sistem khila>fah.17 17 Iibid. BAB IV ANALISIS SANKSI PIDANA BAGI PELAKU PELECEHAN SEKSUAL ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PERSEPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Sanksi Pidana Pelaku Pelecehan Seksual Pada Anak Di Bawah Umur Dalam Hukum Positif Secara yuridis, pemerkosaan merupakan sebuah kejahatan yang membawa dampak buruk bagi siapapun yang pernah mengalaminya. Ancaman pidana berat bagi pelaku pemerkosaan dimaksudkan agar Negara memiliki kesempatan untuk memperbaiki sikap dan perilaku terpidana agar tidak berbahaya lagi dan hidup normal di dalam masyarakat serta memberi peringatan kepada masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan serupa.1 Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289. Pasal 285 KUHP berbunyi : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung 1 Suryono Ekotama, dkk., Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaaan,(Yogyakarta: Universitas Atmajaya,2001), cet. Ke-1, h. 96. 46 47 oleh pelaku adalah dua belas tahun penjara. Hal ini adalah hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukuman yang sudah dibakukan harus diterapkan begitu. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan kebijaksanaan hakim. Dalam Pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan. Apa “sengaja” atau “alpa”. Tapi dengan dicantumkannya unsur “memaksa” kiranya jelas bahwa perkosaan harus dilakukan dengan “sengaja”. Pemaknaan ini lebih condong pada unsur kesengajaan untuk berbuat, artinya ada kecenderungan semi terencana dalam melakukan perbuatan kejahatan. Tanpa didahului oleh niat seperti ini, maka perbuatan itu akan sulit terlaksana. Pasal 287 KUHP ini juga terdapat di dalamnya semacam unsur paksaan meskipun paksaan yang bersifat psikis dan tidak dapat dikatakan atas dasar suka sama suka karena usia perempuan itu belum cukup umurnya atau belum cukup lima belas (15) tahun, kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, karena itu masuk ke dalam ruang lingkup pemerkosaan. Oleh karena itu pula dalam hal ini karena perbuatan bersetubuh tersebut dipandang salah dan dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun, seharusya penuntutan dilakukan tidak atas dasar pengaduan. Sama halnya dengan perbuatan bersetubuh yang dilakukan terhadap perempuan yang umurnya belum sampai 12 tahun.2 Adanya pemerkosaan terhadap anak tersebut didasarkan pada terbentuknya kejahatan dalam Pasal 287 KUHP, yang maksudnya memberi perlindungan 2 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), cet. Ke-1 h. 180-181. 48 terhadap kepentingan hukum anak perempuan dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan, maka tidak rasional apabila anak yang telah menjadi korban dan dia dikenai pidana. Akan tetapi, apabila pada perbuatan itu dilakukan berdasarkan suka sama suka dan padahal laki-laki itu telah beristri, maka Pasal 27 BW berlaku bagi laki-laki tersebut, karena keadaan ini telah diketahui oleh wanita pasangan yang bersetubuh itu. Dari rumusan KUHP Pasal 285 dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada untuk adanya tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh adalah : a. Barang siapa; b. Dengan kekerasan, atau c. Dengan ancaman kekerasan; d. Memaksa, e. Seorang wanita diluar perkawinan; f. Bersetubuh. 1) Tentang unsur “barang siapa”. Jika di simak Pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50, dan 51 KUHP dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” atau subjek tindak pidana adalah “orang” atau “manusia”.3 2) Unsur “dengan Kekerasan”. Yang dimaksud dengan kekerasan adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya, tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam tindak 3 Lihat di: http://takedaoz.blogspot.com/. Di akses pada 18 November 2014. 49 pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap, mengikat, membius, menindih, memegang, melukai dan sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang yang terkena tidak berdaya. 3) Unsur “ancaman kekerasan”. Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan. Dalam hal perkosaan dilakukan dengan ancaman, hakim tidak perlu memastikan apakah terdakwa benar-benar akan melaksanakan ancamannya tersebut atau tidak.4 4) Unsur “memaksa”. Unsur memaksa dalam perkosaan menunjukkan adanya pertentangan kehendak antara pelaku dengan korban. Pelaku mau/ingin bersetubuh sementara korban tidak mau/ingin, pelaku ingin berbuat cabul sementara korban tidak mau/ingin. Karenanya tidak ada perkosaan apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu dilakukan atas dasar suka sama suka. 5) Unsur “seorang wanita diluar perkawinan”.5 Dari adanya unsur ini dapat disimpulkan bahwa : (a) Perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita; (b) Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap laki-laki, lakilaki terhadap laki-laki, atau wanita terhadap wanita. Dalam hal terjadi 4 5 Ibid. Ibid. 50 pemaksaan nafsu wanita terhadap laki-laki, laki-laki terhadap laki-laki, atau wanita terhadap wanita maka yang terjadi adalah tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul sebagaimana diatur dalam Pasal 289 KUHP. (c) Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh laki-laki yang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadi korban atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suami terhadap isteri yang kita kenal dengan maritaal rape (perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya). 6) Unsur “bersetubuh”.6 Untuk selesainya tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh, maka harus terjadi persetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh mana kala tidak terjadi persetubuhan. Persetubuhan, yakni masuknya penis laki-laki ke dalam kemaluan perempuan menjadi syarat utamanya. Tanpa kejadian demikian, maka tidak bisa dikatakan bahwa hal itu terjadi suatu perkosaan bermakna persetubuhan. Penafsiran mengenai berbagai macam kekerasan seksual terhadap perempuan, bagaimanapun harus dikaitkan dengan tingkat dinamika dan kebermacaman tindak kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat atau yang dilakukan oleh pelaku kejahatan kekerasan seksual (perkosaan). Ada kekerasan yang masih dalam bentuk konvensional, namun ada yang ditempuh dengan caracara yang modern dan sistematik. 6 Ibid. 51 Konsep KUHP tidak lagi membedakan antara kejahatan kesusilaan dengan pelanggaran kesusilaan. Konsep KUHP mengelompokkan tindak pidana kesusilaan menjadi satu dengan judul “Tindak Pidana terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan”. Perkosaan tidak lagi dilihat sebagai persoalan moral semata-mata (moral offence). Didalamnya juga mencakup masalah anger and violence, yang dianggap merupakan pelanggaran dan pengingkaran terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak wanita. Oleh sebab itu pengertian perkosaan (modern) tidak lagi difokuskan pada pemaksaan dan hubungan seksual tapi diperluas sehingga mencakup beberapa hal, yaitu:7 a. Forcible rape, yakni persetubuhan yang bertentangan dengan kehendak wanita yang disetubuhi; b. Persetubuhan tanpa persetujuan wanita (wanita dalam keadaan tidak sadar); c. Persetubuhan dengan persetujuan wanita, tapi persetujuan itu dicapai melalui ancaman pembunuhan atau penganiayaan; d. Rape by fraud, persetubuhan yang terjadi karena wanita percaya bahwa laki-laki yang menyetubuhinya adalah suaminya, jadi disini ada unsur penipuan atau penyesatan; 7 Muladi, Memperketat Delik Susila, dalam Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: Refika Aditama, 2001), h. 115. 52 e. Statutory rape, yaitu persetubuhan dengan wanita berusia di bawah empat belas tahun meskipun atas dasar suka sama suka. Tindak pidana pemerkosaan tidak hanya dimuat dalam KUHP, melainkan dalam undang-undang khusus juga dimuat, yaitu di dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebagaimana yang telah di jelaskan pada bab sebelumnya. Dilihat dari kedua Hukum Positif di atas yaitu KUHP dan Undang-undang Perlindungan Anak, ancaman sanksi pidana pada Undang-undang Perlindungan Anak lebih berat dibanding dengan sanksi pidana KUHP. Akan tetapi pemerintah masih lebih mengunakan KUHP dalam memberikan putusan kepada pelaku, sehingga pelaku tidak jera dari hukuman yang diberikan oleh Majelis Hakim di persidangan. B. Sanksi Pidana Pelaku Pelecehan Seksual Pada Anak Di Bawah Umur Dalam Hukum Islam Aspek hukum pidana materil ini menyangkut soal suatu perbuatan yang berdasarkan syari‟at telah ditetapkan (digariskan) sebagai suatu tindak pidana. Pembuat hukum, dalam hal ini Allah SWT telah menggariskan berbagai jenis perbuatan (kejahatan) dikategorikan sebagai tindak pidana, seperti pencurian, penganiayaan, pembunuhan, dan perkosaan (kekerasan seksual). Pijakan atas larangan melakukan perzinahan adalah Qur‟an Surat Al-Israa‟ ayat 32 : 53 Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. Larangan dalam ayat ini menunjukkan suatu peringatan yang keras. Peringatan ini berkaitan dengan keharaman berbuat zina. Sebelum sampai pada jenis perbuatan yang sebenarnya (zina), Allah SWT sudah melarangnya. Baru pada tahap hendak “berdekatan” dengan perbuatan tersebut, atau berhubungan dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menjebak seseorang ke dalam perbuatan keji itu, Allah SWT sudah melarangnya dengan keras. Para pakar berpendapat mengenai pengertian zina sebagai suatu perbuatan (hubungan seks) yang dilakukan antara laki-laki dengan perempuan secara tidak sah (di luar ikatan perkawinan). Perkawinan yang sah menjadi suatu pijakan diperbolehkannya seseorang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan seks. Pendapat seperti itu berpijak pada firman Allah SWT berikut : Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas”. Dari pendapat para pakar hukum Islam dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa konsepsi perzinahan itu harus mengandung unsur-unsur : a. Terjadi hubungan seksual yang berbentuk persetubuhan; 54 b. Persetubuhan dimaksud bermakna masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam farji> (alat kelamin) perempuan (ada yang berpendapat: termasuk dubur dan mulut); c. Persetubuhan dimaksud dilakukan di luar ikatan perkawinan yang sah (bukan dengan isteri atau suaminya); d. Persetubuhan dimaksud dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan atas dasar paksaan salah satu pihak. Keempat unsur tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pijakan untuk membahas masalah perkosaan. Dari keempat unsur tersebut, ketiga unsur (a, b, dan c) merupakan unsur yang agak memenuhi konsep perkosaan. Bedanya, dalam perkosaan unsur keempat (d) perlu diganti dengan perbuatan yang terkait dengan ancaman atau tindakan kekerasan yang mengakibatkan wanita (korban) tidak berdaya dan terpaksa mengikuti kehendak pelaku. Dalam Hukum Islam menjatuhkan suatu sanksi bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, diperlukannya minimal empat orang saksi laki-laki yang adil dan berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan orang yang melakukan perbuatan tersebut harus mengakui secara terus terang. Contohnya Bayyinah atau Hujjah ialah berupa petunjuk alat bukti. Alat-alat bukti yang paling pokok atau Hujjah Shar’iyyah yang diperlukan dalam sebuah pembuktian adalah: 1. Iqra>r (pengakuan) yaitu hujjah bagi si pelaku memberi pengakuan sendiri. 2. Shaha>dah (kesaksian) yaitu hujjah yang mengenai orang lain. 55 3. Qari>nah (qarinah yang diperlukan).8 Apabila kasus pemerkosaan itu betul-betul telah memenuhi syarat dan dapat dibuktikan kebenarannya, sebagaimana dalam ketentuan yang telah ditetapkan, maka zina baru dapat dijatuhi sanksi dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur‟an bagi pelaku zina, sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S An-Nuur: 2, yaitu: Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orangorang yang beriman”. Kasus pelecehan seksual semacam ini memang belum terkuak secara jelas. Namun, ada tiga hal penting yang perlu dicermati. Pertama, sikap pihak sekolah yang terkesan menutup-nutupi dan menganggap perbuatan pelaku masih dianggap wajar. Kedua, kewenangan guru dalam memperlakukan siswa. Ketiga, sanksi hukum takzir yang harus dipertimbangkan agar kasus serupa dapat diantisipasi.9 Jika pedofilia dipandang sebagai penyakit seksual, tidak serta-merta pelakunya dibebaskan dari tuntutan hukum. Dalam hukum pidana Islam, seseorang yang dapat dibebaskan atau setidaknya dikurangi sanksi hukumnya jika 8 Abdul Qadir Audah, Al-Tashyri’ al-Jina>i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bil Qanu>ni AlWad}’i>y, Juz I, (Beirut-Libanon: Muassasah Al-Risa>lah, 1992), h. 441. 9 M. Nurul Irfan, Gratifikasi dan Krimininalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 123. 56 pelaku belum dewasa atau bermasalah moril dan kepribadiannya. Sebaliknya, pelaku pemerkosaan terhadap anak kecil, terlebih lagi korban berjenis kelamin laki-laki (dalam kasus sodomi), hukumnya harus diperberat. Sehubungan dengan itu, ulama dari kalangan mazhab Hanafi memperbolehkan hukuman takzir berupa hukuman mati, antara lain bagi pelaku tindak pidana sodomi. Terlebih lagi kejahatan yang satu ini dilakukan terhadap anak kecil yang tidak berdosa dan di bawah ancaman pelaku.10 Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan, apakah hukuman mati bagi pelaku sodomi atau pedofil ini masuk ke dalam ranah jarimah hudud atau takzir? Jika masuk ke wilayah hudud, berarti pelaku ini dianggap sebagai pelaku zina muhshan yang sanksi hukumnya berupa hukuman rajam. Sementara itu, kalau masuk ke dalam ranah takzir, pelaku tetap dapat dituntut hukuman mati untuk menimbulkan efek jera bagi yang lain dan menegakkan keadilan dalam masyarakat.11 Memang konsep-konsep sanksi hukum dalam pidana Islam sepertio ini tidak akan diberlakukan di Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Namun, sebagai seorang muslim, alangkah baiknya wacana ini dikemukakan sebagai bahan pertimbangan dalam menuntut pelaku tindak pidana agar dapat menimbulkan efek jera dan dapat menekan terulangnya kasus-kasus yang sama.12 10 Ibid. h. 126. Ibid., h. 131. 12 Ibid., h. 127. 11 57 Selanjutnya, sanksi hukum yang diturunkan Allah Swt. kepada mereka sangat keras. Hal ini dijelaskan dalam Al-quran Surah Al-„Ankabut ayat 34, sebagai berikut:13 Artinya: Sesungguhnya Kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota ini karena mereka berbuat fasik. Sementara itu sebagai bahan pertimbangan dalam menuntut pelaku pedofil dan sodomi paksa ini, dalam hadis Rasulullah Saw. dari Ibnu Abbas dijelaskan sebagai berikut:14 ِ ُوط فَاقْت لُوا الْ َف ٍ عن ابن عباس أن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال من وج ْدتُموه ي عمل عمل قَوِم ل اع َل ُ ْ َ ََ ُ َ َْ ُ ُ َ َ ْ َ ول بِ ِه َ َُوال َْم ْفع Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda “Barangsiapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR. Al-Baihaqi) Mayoritas ulama telah berpendapat bahwa dalam kasus perkosaan, pihak pelaku dapat ditempatkan (diposisikan) status hukumnya dengan pezina, sedangkan pihak korban status hukumnya menjadi seseorang yang terpaksa berhubungan seks atau berbuat sesuatu di luar kehendaknya. Ada upaya keras dan terkadang sistematik yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Pihak korban dibuatnya tidak berdaya, sehingga dapat dijadikan sarana melampiaskan nafsu bejatnya. Korban ditempatkan layaknya sebagai alat dan objek untuk memenuhi hajat pelaku. Sedangkan pelaku dapat berbuat sekehendaknya yang jelas-jelas tidak mengindahkan hak-hak asasi korban. 13 14 Ibid., h. 121. Ibid., h. 122. 58 Dengan adanya pemahaman demikian itu, maka setidak-tidaknya proses penyelesaian hukumnya dan penjatuhan sanksi hukumannya kepada pelaku perkosaan dapat berpijak pada proses penyelesaian dan sanksi hukuman yang dikenakan pada kasus perzinahan, artinya standar yang digunakan adalah standar minimal, dan bukan mengacu secara mutlak terhadap kasus perzinahan, khususnya dalam hal penjatuhan sanksi hukumnya. Secara substansi materilnya, perkosaan juga mengandung unsur perzinahan, yakni suatu jenis persetubuhan di luar perkawinan yang sah, dengan catatan perbuatan itu tidak didasari suka sama suka, melainkan atas dasar paksaan. Faktor paksaan dan kekerasan yang mendukung keberhasilan perbuatan itulah yang harus dijadikan acuan bahwa perbuatan itu melebihi kasus perzinahan. Perkosaan hanya merupakan wujud kebutuhan sepihak atau dari pihak pemerkosanya, sedangkan bagi yang diperkosa, kekerasan itu membuat dirinya menderita secara psikis maupun fisik. Dalam perzinahan, derita seperti ini tidak dirasakan secara langsung oleh pihak yang melakukannya, sedangkan dalam kasus perkosaan, pihak korbannya mengalami derita tiada tara. Pelaku perkosaan yang setidak-tidaknya dipersamakan dengan kedudukannya dengan pelaku perzinahan akan menghadapi sanksi hukum yang cukup berat. Jenis sanksi yang diantaranya dapat dikenakan kepada pelaku perkosaan adalah : a. Dicambuk atau didera sebanyak 100 kali dan diasingkan (ada yang menafsirkan diusir) ke luar daerah (bagi pelaku yang masih jejaka/belum beristeri); 59 b. Dihukum rajam atau dilempari batu sampai meninggal dunia. Rasulullah sendiri, ketika dihadapkan kepadanya pria dan wanita mukhs}o>n yang berzina, beliau menghukumnya dengan merajam. Penegasan ini masih disepakati para sahabat, tabi‟in, dan para ulama dan fuqaha Islam. Tidak satupun dari mereka yang meragukan hukum rajam sebagai hukum syari‟at yang tetap sesuai dengan dalil-dalil sunnah yang kuat lagi shahih. Ibnu Taimiyah juga menegaskan, bahwa pelaku zina mukhs}o>n dirajam hingga mati, sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW terhadap Maiz bin Malik Al-Aslami. Beliau juga pernah merajam wanita Ghamid, dan lain sebagainya.15 Jenis hukuman yang dijatuhkan berkaitan dengan pelaku zina itu juga diikuti oleh penguasa sesudah Nabi Muhammad SAW. Misalnya di zaman pemerintahan Umar bin Khattab, juga terjadi penerapan hukuman cambuk dan rajam sehingga sampai meninggal dunia. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab menjatuhi hukuman cambuk kepada anaknya bernama Ubaidillah atau Abi Syamsah, yang telah melakukan perzinahan. Kisah perzinahan putera Umar itu ditulis Abdur Rahman, “suatu hari dia melintasi rumah seorang Yahudi, minum anggur sehingga mabuk. Dia melihat seorang wanita yang sedang tidur, lalu menzinainya hingga dia hamil. Setelah melahirkan seorang anak lelaki, si wanita datang ke Masjid Nabawi lalu meletakkan si anak di pangkuan Khalifah Umar seraya berkata : “wahai penguasa kebenaran, ambillah anak ini, karena engkau mempunyai hak yang lebih besar 15 Ibnu Taimiyah, Al-Siya>sah Al-Shar’iyyah fi>l Is}la>hi Al-Ra>’iwa Al-Ra>’iyah, Terjemahan Muhammad Munawwir, (Kebijakan Politik Nabi SAW), (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 100. 60 atasnya daripada diriku sendiri”. Kemudian dia menjelaskan bahwa si anak merupakan putera dari (pembuahan) Abi Syamsah. Khalifah Umar menanyainya apakah hal itu benar sesungguhnya. Lalu si wanita menceritakan seluruh peristiwa yang telah menimpanya. Maka khalifah pulang dan meyakinkan dari putranya bahwa dia benar, si anak telah melakukan kejahatan, meskipun dirinya sendiri (Umar) sangat merasa malu karenanya. Khalifah mencengkeram leher bajunya, menyeretnya ke Masjid Nabawi, Abi Syamsah bertanya akan dibawa kemanakah dirinya, khalifah menjawab bahwa dia akan dibawa ke hadapan para sahabat Nabi di Masjid, “sehingga aku bisa mengambil hak Allah darimu di dunia ini sebelum ia dituntut darimu di akhirat nanti”. Abi Syamsah memohon kepada khalifah (ayahnya sendiri), akan mengambil hak Allah itu dari dirinya sendiri seketika itu juga sehingga mungkin dia tidak menimbulkan aib di hadapan para sahabat Nabi itu. Khalifah Umar menjawab, “wahai anakku, engkau justru telah mempermalukan dirimu sendiri dan diri ayahmu. Kita tetap harus pergi ke hadapan mereka”. Umar lalu memerintahkan Maflah agar mencambuk anaknya. Setelah dia menderanya tujuh puluh kali, Abi Syamsah memohon dengan lirihnya kepada para sahabat Nabi itu agar menunda (hukuman yang dijalankannya). Lalu para sahabat memohon kepada Umar agar menghentikannya. Umar menjawab, “wahai para sahabat Nabi, bukankah kalian telah membaca di dalam Al-Qur‟an surat An-Nuur Ayat 2? Kemudian dia terus dicambuk sampai seratus kali, sehingga akibatnya Abi 61 Syamsah meninggal dunia. Lalu Khafilah membawanya kerumahnya, memandikannya dan menguburkannya”.16 Uraian Abdur Rahman yang panjang itu menunjukkan tentang penerapan hukum rajam yang didasarkan asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Khalifah Umar konsisten menerapkan jenis hukuman cambuk kepada puteranya setelah terbukti puteranya melakukan perbuatan zina. Bahkan jika ditafsirkan, kasus “Putera Umar” itu dapat ditarik dalam bentuk kasus perkosaan, mengingat saat menyetubuhi wanita Yahudi, si wanita dalam keadaan tidur, yang dimungkinkan ada upaya pemaksaan untuk melakukannya. Sekurang-kurangnya, pada diri wanita Yahudi, ada perasaan takut untuk segera melaporkan pemaksaan perzinahan yang dilakukan putera Umar karena takut terhadap proses peradilan yang akan dihadapinya yang menuntut beban pembuktian yang cukup berat. Kasus “Putera Umar” itu baru dijatuhi hukuman setelah terbukti melakukannya. Artinya, hukuman baru bisa dilaksanakan setelah dilakukan hukum acara pidana Islam, yakni membuktikan pengaduan wanita Yahudi yang dizinai (diperkosa).17 Pengaduan itu didukung dengan alat-alat bukti dalam perkara pidana yang bisa dibenarkan, yakni : a. Pengakuan; b. Anak yang merupakan akibat dari perzinahan. Dengan memberikan tempat berlakunya bagi alat bukti lainnya, maka kemungkinan pelaku kejahatan dapat lolos dari jeratan hukum akan terhindarkan. 16 Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (terjemahan Wadi Masturi), (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 38-39. 17 Ibid. 62 Pelaku kejahatan akan bisa dijaring dengan cara implementasi penafsiran yuridis, termasuk interpretasi alat-alat bukti. Selain itu, masyarakat dan pihak yang menjadi korban kejahatan merasa mendapatkan perlindungan hukum, mengingat pelaku kejahatan yang jelas-jelas melanggar hak-hak asasi manusia tidak sampai lepas. Masyarakat mendapatkan jaminan hukum, sehingga hidupnya bisa tenteram. C. Persamaan Dan Perbedaan Sanksi Pidana Pelecehan Seksual Pada Anak Di Bawah Umur Dalam Hukum Positif dan Hukum Islam Di Indonesia perilaku penyimpangan seksual terutama sesama jenis lelaki atau homoseksual sebagai perbuatan terkutuk dan melanggar sehingga yang tertangkap melakukan diajukan ke pengadilan. Begitu juga dengan pedofilia perwujudan penyimpangan seksual orang dewasa terhadap anak-anak di bawah umur merupakan kejahatan seksual sehingga yang tertangkap melakukan pedofilia dibawa ke pengadilan dan dihukum sesuai undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku khususnya Undang Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Islam sangat melarang tindak kejahatan atau kekerasan terhadap anak-anak baik secara fisik maupun mental. Ajaran Agama Islam sangat jelas melindungi kehidupan anak-anak dengan memasang kaidah pendidikan yang kokoh, bijaksana dan benar. Ketika Islam menegaskan bahwa anak-anak kita adalah darah daging kita sendiri yang berjalan di atas bumi, dan merupakan hakekat dari arti hidup kita yang terwujud dalam bentuk manusia, hingga kelak di mana Allah sendiri yang akan mewarisi bumi seisinya, maka Islam membangkitkan perasaan cinta yang terdapat dalam jiwa 63 raga terhadap mereka, lalu menggariskannya sistem pendidikan anak-anak yang sangat ideal. Kejahatan seksual terhadap anak-anak karena menurunnya kualitas keimanan seseorang (pelaku). Pelaku pedofilia dalam upaya pencapaian kepuasan dirinya dengan siasat dan cara memperdaya si korban baik melalui bujukan dan atau pemberian sesuatu dengan harapan imbal balik maupun dengan cara paksaan. Pelaku pedofilia seperti pendapat para pakar kerap mengulang perbuatannya. Dari pandangan hukum Islam seperti uraian di atas sangat tegas dan jelas bahwa pedofilia atau kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur, termasuk dalam perbuatan keji seperti berzina dan homoseksual. Persamaan dan perbedaan hukum bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur (pedofil) antara hukum positif dan hukum Islam antara lain: a. Hukum positif dan hukum Islam sama-sama melarang terhadap pelecehan seksual anak di bawah umur (pedofil). b. Hukum positif dan hukum Islam sama-sama menghukum bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur (pedofil). Perbedaannya antara lain: a. Dalam hukum positif adalah dengan penjara minimal 3 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara. b. Denda maksimal 300.000.000,- dan paling sedikit 60.000.000,- sesuai dengan UU no. 23 tahun 2003. 64 c. Dalam hukum Islam bagi pelaku yang belum menikah di jatuhi hukuman dera dan pengasingan, yaitu di cambuk seratus kali dan di asingkan selama satu tahun. d. Bagi pelaku yan sudah menikah di jatuhi hukuman rajam yaitu dengan di lempari batu sampai mati. D. Kendala-Kendala Penegakan Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual Pada Anak Di Bawah Umur Di Indonesia Berdasarkan keterangan di atas, terdapat adanya perlakuan dan perlindungan yang sangat baik dari aparat penegak hukum. Namun pernyataan di atas tidak sesuai dengan keterangan yang penulis peroleh dari berbagai sumber maupun dari lembaga bantuan hukum. Aparat penegak hukum dinilai kurang berperspektif terhadap korban sehingga menimbulkan hambatan dalam menangani kasus tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: 18 Ditingkat Kepolisian: 1. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dirasa memojokkan korban. 2. Menghalangi pendamping korban pada waktu melapor. 3. Penyidik bersikap pasif, artinya korban dibebani untuk mengumpulkan bukti sendiri. 4. Kasus dibuat mengambang dan bahkan di peti-es kan. Ditingkat Kejaksaan: 1. Tidak menjalin komunikasi yang baik dengan korban atau pendamping. 18 Lihat di http://www-wds.worldbank.org 65 2. Menghalang-halangi korban untuk didampingi. 3. Akses informasi perkembangan kasus ditutup. 4. Meminta uang untuk melancarkan kasus. 5. Tidak mau menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian pada kasus perkosaan.10 Ditingkat Pengadilan: 1. Hakim dalam memberikan pertanyaan memojokkan korban (asumsi subyektif/bias jender yang blaming the victim) dan dianggap ikut andil dalam peristiwa itu. 2. Tidak jarang hakim membentak korban pada saat memberikan kesaksian. 3. Menghalangi pendamping untuk mendampingi korban ketika memberikan kesaksian. 4. Tidak menjadikan trauma atau gangguan psikis yang dialami korban akibat kekerasan seksual yang dialaminya sebagai pertimbangan untuk memberatkan pelaku. 5. Adanya pungutan-pungutan tidak jelas (tanpa mau memberikan kwitansi/bukti lain).19 Dalam memperlakukan korban selama proses peradilan pidana, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) masih memperlakukan korban kekerasan seksual sebagai obyek, bukan subjek yang harus didengarkan dan dihormati hakhak hukumnya. Mereka kebanyakan masih menjadikan korban menjadi korban kedua kalinya (revictimisasi) atas kasus yang dialaminya. Korban masih sering 19 Ibid. 66 dipersalahkan dan tidak diberi perlindungan seperti apa yang dibutuhkannya. Penanganan kasus kekerasan terhadap anak harus bersifat holistik, terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi internal penghayatan individu, aspek hukum yang masih banyak mengandung kelemahan, dukungan sosial, dukungan ekonomis, maupun langkah-langkah politis dan advokasi.20 20 Achie Sudiarti Luhulima (Penyunting), Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta: PT. Alumni, 2000), h. 43. BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Dari deskripsi skripsi di atas, juga dari rumusan masalah yang penulis rumuskan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan di bawah ini: 1. Sanksi pidana bagi pelaku pelecehan seksual anak di bawah umur dalam pandangan hukum positif adalah disesuaikan pada sanksi bagi pelaku phedofilia menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yaitu: a) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). b) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). c) Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, 67 68 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 2. Menurut pandangan hukum Islam, hukum pidana bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dalam hukum positif kurang ketat. Realitanya, masih banyak pelaku-pelaku pedofil yang masih berkeliaran dan mengancam bahaya terhadap anak-anak bangsa Indonesia. Dalam hukum pidana Islam, secara materiil, perkosaan mengandung unsur pemberatan yang tingkat kualitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan perzinaan, karena dalam perkosaan itu ada upaya kekerasan dan paksaan. Upaya-upaya ini menempatkan pelakunya berlaku sangat dominan dalam mewujudkan terjadinya tindak kejahatan kekerasan seksual itu. Dalam hukum pidana Islam, secara formil, eksistensi alat bukti di luar saksi tetap harus dipertimbangkan untuk mencari kebenaran materiil dari perkara pidana. Pihak korban kejahatan kekerasan seksual tidak dibuat sakit hati oleh penerapan hukum yang tidak adil. Hukuman bagi pelaku yang belum menikah yaitu dengan didera dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan bagi yang telah menikah yaitu di rajam. 3. Kendala-kendalanya adalah dalam memperlakukan korban selama proses peradilan pidana, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) masih memperlakukan korban kekerasan seksual sebagai obyek, bukan subjek yang harus didengarkan dan dihormati hak-hak hukumnya. Mereka kebanyakan masih menjadikan korban menjadi korban kedua kalinya (revictimisasi) atas kasus yang dialaminya. Korban masih sering dipersalahkan oleh sebagian besar penegak hukum dan tidak diberi perlindungan seperti apa yang dibutuhkannya. 69 Penanganan kasus kekerasan terhadap anak harus bersifat holistik, terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi internal penghayatan individu, aspek hukum yang masih banyak mengandung kelemahan, dukungan sosial, dukungan ekonomis, maupun langkah-langkah politis dan advokasi. B. Saran-saran Setelah memberikan kesimpulan disini penulis ingin mengajukan saransaran sebagai berikut: 1. Untuk para penegak hukum diharapkan dapat memberikan keadilan dengan seadil-adilnya tanpa ada yang merasa dizalimi atau terjadinya ketimpangan hukum terhadap korban, keluarga korban, maupun pelaku. Seperti halnya kejahatan perkosaan yang banyak terjadi pada masyarakat kita, penegakan hukum dalam Indonesia belum sampai membuat rasa jera bagi pelaku kejahatan. Sudah seharusnya pemerintah memberikan ketegasan hukum bagi pelaku kejahatan perkosaan karena perbuatan ini tidak hanya meresahkan orang sebagai korban saja tetapi keluarga juga masyarakat di sekitarnya. Bagi pemerintah atau RT harus lebih mengawasi atau mengetahui bagaimana keadaan atau keamanan lingkungan warga, seharusnya kejahatan pemerkosaan tidak hanya sebagai delik aduan, yang mana akan ada perkara atau pemeriksaan apabila ada pengaduan dari keluaraga atau korban. Juga bagi penegak hukum agar tidak menjadikan korban sebagai obyek. 2. Untuk masyarakat khususnya orang tua, agar lebih memperhatikan anak dalam pergaulan di lingkungan masyarakat supaya tidak terjadi hal-hal yang 70 membahayakan anak khususnya agar tidak terjadi tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Sebagai orang tua harus merawat dan melindunggi anak dari ancaman kejahatan yang akan menimpannya, Dengan kata lain orang tua memberikan nasihat-nasihat kepada anak agar tertanam pada dirinya agar ia menjadi seorang yang baik dan tidak akan melakukan perbuatan kejahatan. harus juga bagi para kedua orang tua agar memberikan pendidikan yang cukup, terutama lebih ditekankan kepada pendidikan yang bernuansa agama. DAFTAR PUSTAKA Al-qur’an al-Karim Abdullah, Haidar. Kebebasan Seksual Dalam Islam, Jakarta : Pustaka Zahra, 2003. Akbar, Ali. Seksualitas Ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta: Ghali Indonesia, 1982. Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2007. Audah, Abdul Qadir. At-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy Muqoronan bil qanunil wad’iy, Juz I, Beirut-Libanon: Muassasah Ar-Risalah, 1992. as-Sijistani, Al-Imam Abu Daud Sulaiman Ibn asy al-Azdi. Sunan Abu Daud jilid 4 Kairo: Tijarriyah Kubra,1354 H/1935 M. Bukhori, M. Islam dan Adab Seksual, Jakarta : Bumi Aksara 1994. Colier, Rohan. Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan Minoritas, Yogyakarta: PT. Tiara Yogya, 1998. Ekotama, Suryono. dkk., Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaaan, cet. Ke-1, Yogyakarta: Universitas Atmajaya,2001. Fausiah, Fitri. Psikologi Abnormal Klinik Dewasa, Jakarta: UIP, 2005. Finkelhor. dkk, "Prostitution of Juveniles: Patterns From NIBRS". Juvenile Justice Bulletin (U.S. Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention, June 2004). Tangri. Sandra S. dkk, Seksual Harassment At Work:Three Explanatory Models. Gunarsa. Y. Singgih D., Psikologi Remaja, Jakarta: Gunung Mulia, 1991. Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967. Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak, Jakarta: Penerbit Nuansa, 2006. Irfan, M. Nurul. Gratifikasi dan Krimininalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2014. Josh Mc Dowell, Ed Stewart. Pelecehan Seksual, Cet. ke-2, Yogyakarta: PT Gloria Usaha Mulia, 2005. 71 72 Kamal, Abu Malik. Fiqih Sunnah Wanita 1, Jakarta: Pena Pundit Aksara, 2007. Kartini dan Kartono. Psikologi Abnormal dan Abnormal Seksual, Bandung: Mandar Maju, 1989. Komnas-Ham, Anak-anak Indonesia yang Teraniaya, Buletin Wacana, Edisi VII/Tahun IV/1-30 November 2006. Luhulima, Achie Sudiarti. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta: PT. Alumni, 2000. Malik, Muhammad Abduh. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, cet. Ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, t.th. Marzuki, Suparman. Pelecehan Seksual, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:Aneka Cipta, 1993. Muladi, Memperketat Delik Susila, dalam Wahid, Abdul. dan Irfan, Muhammad. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: Refika Aditama, 2001. Purnianti, dan Kalibonso, Rita Serena. Menyikapi Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta : Mitra Perempuan, 2003. Rahman, Abdur. Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (terjemahan Wadi Masturi), Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Sadarjoen, Sawitri Supardi. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005. Soekresno, Emmy. Mengenali Dan Mencegah Terjadinya Tindak Kekerasan Terhadap Anak, Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia, http://www.kpai.go, 2007. Sudarsono, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Supanto. Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual, Yogyakarta: Fondation dengan Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1999. Syafrudin, Ayap. Islam dan Pendidikan Seks, Solo: CV. Pustaka Manttiq, 1991. 73 Taimiyah, Ibnu. As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fil Ishlahir Raa’iwar Ra’iyah, Terjemahan Munawwir, Muhammad. (Kebijakan Politik Nabi SAW), Surabaya: Dunia Ilmu, 1997. Tangri, Sandra S. dkk. Kekerasan Seksual di tempat Kerja: 3 model penjelasan, Bandung: PT Revika Aditama, 2003. Umar, Marzuki Sa’abah. Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001. Usman, Husaini, dan Setiady Akbar, Pramono. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. UU PA No. 23 Tahun 2002-2003 tentang Perlindungan Anak. Wahid, Abdul. dan Irfan, Muhammad. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: Refika Aditama. 2001. Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Windu, Marshana. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Yogyakarta : Kanisius, 1992. Internet http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak http://www.scribd.com/doc/95972197/Contoh-Skripsi-Hukum-Pidana. http://en.tempo.co/read/news/2014/05/07/064576009/Soal-Suntik-Kimia-untukPedofil-Pengamat-Sulit. http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita-indonesia/2014/05/140508sby_kekerasan_seksual_anak.shtml http://Pelecehan.htm. http://www.lbh-apik.or.od/. http://takedaoz.blogspot.com/. http://www-wds.worldbank.org www.arrahmah.com 74 www.Kompas.com, www.komnasna.or.id, Hentikan Kekerasan Terhadap Anak Sekarang dan Selamanya, hal IV/refleksi akhir tahun 2005. Wikipedia bahasa Indonesia, http://ensiklopedia-bebas.htm. http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/11/18/dampak-pemberitaanmedia-terhadap-kejahatan-yang-melibatkan-anak-sebagai-korban-509181.html http://www.islampos.com/indonesia-darurat-kekerasan-seksual-pada-anak-110754/. www.setanon.PERTIMBANGAN-HAKIM-DALAM-MENJATUHKANPUTUSAN-PIDANA-TERHADAP-PELAKU-PEDOFILIA.htm