laporan akhir analisis usulan pemberian fasilitas bebas bea dan

advertisement
LAPORAN AKHIR
ANALISIS USULAN PEMBERIAN FASILITAS BEBAS BEA DAN BEBAS
KUOTA BAGI NEGARA
LEAST DEVELOPED COUNTRIES
PUSAT KEBIJAKAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
JAKARTA
2015
ABSTRAK
1. Indonesia sebagai salah satu negara anggota G20 memiliki kewajiban untuk
melaksanakan kesepakatan yang telah disetujui salah satunya dalam pertemuan
pimpinan kelompok tersebut di Seoul tahun 2011. Adapun salah satu
kesepakatan dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut adalah memberikan
bantuan akses pasar kepada negara paling tidak berkembang (Least Developed
Countries – LDC) berupa penghapusan kebijakan tarif dan kuota (Duty Free
Quota Free/DFQF). Adapun konsep awal pemberian preferensi pada negaranegara LDCs dituangkan dalam UNCTAD Resolution 21 (II) yang diadopsi tahun
1968 di New Delhi, India.
2. Pemberian akses pasar kepada negara-negara LDC bertujuan untuk mengurangi
kemiskinan
(reducing poverty) dan
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
(enhancing economic growth) bagi negara LDC. Adapun negara-negara yang
termasuk kedalam LDC adalah Angola, Bangladesh, Benin, Burkina Faso,
Burundi, Chad, Congo Djibouti, Gambia, Guinea, Guinea Bissau, Haiti, Kamboja,
Lesotho, Madagaskar, Malawi, Mali, Mauritania, Mozambik, Myanmar, Nepal,
Nigeria, Rwanda, Senegal, Sierra Leone, Solomon Island, Tanzania, Togo,
Uganda dan Zambia. Kelompok negara LDC tersebut didasarkan pada
pengelompokan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas negara yang diyakini
sangat sulit melepaskan diri dari kemiskinan akibat rendahnya pendapatan per
kapita, terbatasnya sumber daya manusia, dan kerentanan perekonomian mereka
berdasarkan Economic Vulnerability Index (UNCTAD, 2012).
3. Namun, sampai saat ini di Indonesia masih ada kekhawatiran di sebagian
Kementerian bahwa pemberian bebas bea masuk akan merugikan produsen
domestik karena produk LDC merupakan produk substitusi bagi produk nasional.
Wakil dari Kementerian Keuangan menyatakan bahwa Menteri Keuangan belum
dapat memberikan pemotongan tarif kepada LDC secara unilateral, sebagaimana
prosedur pemberian DFQF oleh negara lain, karena belum memiliki dasar hukum.
4. Perdagangan Indonesia dengan Negara LDC sampai tahun 2014 menunjukkan
surplus perdagangan yang tinggi bagi Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke LDC
tumbuh sebesar 17,76 persen selama tahun 2004 sampai 2014, dengan nilai
meningkat dari US$ 741 juta di tahun 2004 menjadi US$ 3,84 miliar ditahun 2014.
Nilai impor Indonesia dari negara LDC selama tahun 2004 sampai 2014 tumbuh
sebesar 20,98 persen, dari US$ 110 juta ditahun 2004 menjadi US$ 480.82 juta
ditahun 2014. Berdasarkan kinerja ekspor dan impor, Indonesia masih meraih
surplus perdagangan dengan negara LDC, sebesar US$ 630 juta ditahun 2004
dan meningkat menjadi US$ 3,365 miliar ditahun 2014.
5. Impor Indonesia dari negara LDC masih dikenakan bea masuk sesuai ketentuan
Most Favoured Nation (MFN) kecuali bagi negara LDC yang merupakan bagian
dari ASEAN yaitu Kamboja dan Myanmar. Dalam analisis ini impor Indonesia dari
kedua negara tersebut tidak akan dimasukkan, karena mereka menggunakan
liberalisasi ASEAN yang lebih baik dibandingkan pemberian fasilitas bebas bea
dan kuota. Total nilai impor Indonesia dari LDC ditahun 2014 mencapai US$
480.82 juta dengan penerimaan dari bea masuk sebesar US$ 15,76 juta.
Sebagian besar penerimaan Indonesia
dari negara LDC diperoleh dari bea
masuk atas impor 29 pos tarif yang mencapai US$ 13,50 juta atau 86% dari total
penerimaan bea masuk atas impor Indonesia dari LDC.
6. Hasil temuan turun lapang menemukan bahwa pemerintah propinsi meyakini
manfaat pemberian fasilitas bebas tarif dan kuota bagi negara LDC adalah
kemudahan memperoleh bahan baku bagi industri tekstil/produk tekstil, makanan
minuman dan produk/komponen otomotif yang dikembangkan saat ini. Adapun
produk bahan baku yang dapat diusulkan mendapat fasilitas bebas tarif dan kuota
antara lain biji coklat, kapas dan limbah besi.
7. Pemerintah propinsi masih keberatan jika fasilitas bebas bea masuk dan kuota
diberikan untuk produk pangan utama khususnya beras, jagung dan gula serta
produk jadi siap digunakan yang saat ini dikembangkan khususnya tekstil/produk
tekstil dan produk/komponen otomotif.
8. Berdasarkan
kesimpulan
tersebut,
maka
dapat
direkomendasikan
untuk
melaksanakan pemberian fasilitas bebas tarif dan kuota atas impor barang dari
negara-negara LDC antara lain biji coklat, kapas dan limbah besi dengan
mempertimbangkan masukan sektor dalam pemilihan produk dengan tujuan
utama memberikan kemudahan akses impor bahan baku industri. Selanjutnya,
pelaksanaan pemberian fasilitas tersebut memerlukan kesepakatan antar instansi
yang terlibat, yang sebaiknya diputuskan pada tingkatan Menteri Koordinasi atau
Presiden Republik Indonesia untuk merumuskan dasar hukum pemberian fasilitas
tersebut.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya
sehingga analisis yang berjudul Analisis Usulan Pemberian Fasilitas
Bebas Bea dan Bebas Kuota Bagi Negara Least Developed Countries,
dapat diselesaikan.
Selain itu Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala
Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional, BP2KP dan Kepala Bidang
Multilateral di Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional atas arahan dan
bimbingan dalam penulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan dan pihak lain yang memberikan bantuan dan tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, diharapkan masukan
yang membangun untuk memperbaiki laporan ini dimasa mendatang.
Jakarta, September 2015
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
Bab I.
PENDAHULUAN .................................................................
1
1.1 Latar Belakang ................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................
3
1.3 Tujuan .............................................................................
4
1.4 Hasil Analisis...................................................................
4
1.5 Dampak/Manfaat.............................................................
4
1.6 Ruang Lingkup ................................................................
4
Bab II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................
6
2.1 Negara Least Developed Countries ...............................
6
2.2 Tarif ................................................................................
7
2.3 Hambatan Perdagangan Bukan Tarif (non-tariff barrier)
10
Bab III. DATA DAN METODOLOGI ................................................
13
3.1 Data ...............................................................................
13
3.2 Kerangka Pemikiran .......................................................
13
3.3 Metodologi .....................................................................
14
Bab IV. RUJUKAN HASIL ANALISIS USULAN PEMBERIAN
FASILITAS BEBAS TARIF DAN KUOTA BAGI NEGARA
LEAST DEVELOPED COUNTRIES (LDC) DI TAHUN 2012..
15
4.1 Latar Belakang dan Asumsi Dasar................................. .
15
4.2 Rujukan Kinerja Perdagangan dan Hasil Simulasi .........
16
4.3 Usulan Pelaksanaan Pemberian Fasilitas Bebas Tarif
dan Kuota ......................................................................
18
Bab V. TANGGAPAN PEMERINTAH DAERAH ATAS USULAN
PEMBERIAN FASILITAS BEBAS TARIF DAN KUOTA
BAGI NEGARA LEAST DEVELOPED COUNTRIES (LDC) .
20
5.1 Perdagangan Indonesia Dengan Negara LDC Saat Ini .
20
5.2 Tanggapan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan .......
23
ii
5.3 Tanggapan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah .............
25
5.4 Tanggapan Pemerintah Propinsi Jawa Timur ................
26
5.5 Tanggapan Responden Atas Usulan Pemberian Fasilitas
Bebas Bea Masuk dan Kuota.........................................
29
5.6 Tanggapan Responden FGD Atas Usulan Pemberian Fasilitas
Bebas Bea Masuk dan Kuota........................................
31
Bab VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................
32
6.1 Kesimpulan ..................................................................
32
6.2 Rekomendasi ...............................................................
32
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
33
iii
DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR TABEL
Daftar Gambar
Halaman
2.1 Dampak-Dampak Keseimbangan Umum dari Pemberlakuan Tarif
Di Sebuah Negara Kecil.......................................................
8
2.2 Dampak Pembatasan Impor (Kuota) Terhadap Kesejahteraan
11
3.1 Kerangka Pemikiran .............................................................
14
5.1 Perdagangan Indonesia Dengan Negara LDC.....................
20
Daftar Tabel
Halaman
4.1 Pos Tarif Indonesia dan Impor Indonesia dari LDC ...............
16
5.1 Penerimaan Bea Masuk Utama Indonesia Dari Produk Impor
LDC........................................................................................
22
5.2 Rangkuman Pandangan Pemerintah Daerah Atas Produk
Impor Dari LDC ......................................................................
iv
30
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara anggota G20 memiliki kewajiban
untuk melaksanakan kesepakatan yang telah disetujui salah satunya dalam
pertemuan pimpinan kelompok tersebut di Seoul tahun 2011. Adapun salah
satu kesepakatan dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut adalah
memberikan bantuan akses pasar kepada negara paling tidak berkembang
(Least Developed Countries – LDC) berupa penghapusan kebijakan tarif
dan kuota (Duty Free Quota Free/DFQF). Adapun konsep awal pemberian
preferensi
pada
negara-negara
LDCs
dituangkan
dalam
UNCTAD
Resolution 21 (II) yang diadopsi tahun 1968 di New Delhi, India. Agar in line
dengan UNCTAD Resolution tersebut, maka dibuatlah waiver terhadap
Article I GATT melalui enabling clause 1979: Decision of 28 November 1979
on Differential and More Favorable Treatment, Reciprocity and Fuller
Participation of Developing Countries. Pemberian DFQF sendiri merupakan
mandat dari Hongkong Ministerial Decision yang intinya mewajibkan negaranegara maju untuk memberikan fasilitas DFQF sebesar 97% dari jumlah
tarifnya kepada negara kurang berkembang (LDCs). Sedangkan, bagi
negara-negara berkembang dianjurkan (tidak wajib) untuk memberikan hal
yang serupa kepada negara-negara LDCs. Pemberian DFQF ini kemudian
ditegaskan kembali pada hasil KTM IX WTO di Bali dimana negara maju
harus memberikan fasilitas DFQF (bagi yang belum memberikan) ataupun
memperluas coverage commodity-nya (bagi yang sudah memberikan)
sebelum pelaksanaan KTM X WTO di Nairobi pada Desember 2015, begitu
pula anjuran bagi negara-negara berkembang untuk melakukan hal yang
serupa. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara emerging economy
countries bersama-sama dengan RRT, India, Brazil, dan Afrika Selatan yang
telah lebih dulu memberikan fasilitas DFQF kepada negara-negara LDCs.
Pada kesempatan lain, Wakil Menteri Perdagangan pada forum Trade
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1
Policy
Review
telah
menyampaikan
bahwa
Indonesia
siap
untuk
mempertimbangkan pemberian fasilitas DFQF kepada negara LDCs. 1
Dalam pemberian akses pasar tersebut, setiap negara yang masih tergolong
negara
berkembang
seperti
Indonesia
diberikan
fleksibilitas
dalam
pelaksanaannya.
Pemberian akses pasar kepada negara-negara LDC bertujuan untuk
mengurangi kemiskinan (reducing poverty) dan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi (enhancing economic growth) bagi negara LDC. Adapun negaranegara yang termasuk kedalam LDC adalah Angola, Bangladesh, Benin,
Burkina Faso, Burundi, Chad, Congo Djibouti, Gambia, Guinea, Guinea
Bissau, Haiti, Kamboja, Lesotho, Madagaskar, Malawi, Mali, Mauritania,
Mozambik, Myanmar, Nepal, Nigeria, Rwanda, Senegal, Sierra Leone,
Solomon Island, Tanzania, Togo, Uganda dan Zambia. Kelompok negara
LDC tersebut didasarkan pada pengelompokan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) atas negara yang diyakini sangat sulit melepaskan diri dari
kemiskinan akibat rendahnya pendapatan per kapita, terbatasnya sumber
daya manusia, dan kerentanan perekonomian mereka berdasarkan
Economic Vulnerability Index (UNCTAD, 2012).
Salah satu contoh manfaat pemberian akses pasar bagi negara LDC
dapat dilihat dari temuan Bouet et.al (2010). Menurut Bouet et.al (2010),
pemberian akses pasar melalui kebijakan bebas bea masuk oleh negara
maju disertai negara ekonomi kuat lain seperti Brazil, Cina, India dan Rusia
diperkirakan memberikan dampak positif bagi perekonomian negara LDC.
Sebaliknya dampak bagi negara pemberi bebas bea masuk tidak signifikan
karena pangsa impor dari LDC relatif kecil. Terkait dengan usulan
pemberian DFQF dari Indonesia, pada tahun 2012 telah dilakukan kajian
dari Puska KPI terkait hal tersebut dengan rekomendasi agar pemberian
fasilitas bebas bea masuk harus bertujuan untuk meningkatkan akses bahan
baku murah yang dilakukan dengan pemberlakuan ketentuan Rules of
1
Paparan Direktorat Kerjasama Multilateral – Kementerian Perdagangan mengenai “Analisa Benchmarking Rencana
Skema DFQF Indonesia” pada tanggal 21 – 22 Agustus 2014 di Jakarta
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2
Origin (Surat Keterangan Asal) yang ketat, pemberlakuan ketentuan khusus
(Product Spesific Rules/PSR) untuk produk tertentu, dilakukan bertahap,
dan harus memaksimalkan fleksibiltas sebagai negara berkembang dengan
mengecualikan produk impor utama dari negara LDC.
Namun, sampai saat ini masih terdapat kekhawatiran di Kementerian
lain bahwa pemberian bebas bea masuk akan merugikan produsen
domestik karena produk LDC merupakan produk substitusi bagi produk
nasional. Hal ini disebabkan pemberian fasilitas bebas bea masuk tersebut
hanya satu arah, dari Indonesia kepada negara-negara LDC, tidak timbal
balik. Oleh karena itu pertimbangan utama dalam pemberian fasilitas adalah
peningkatan akses pasar bagi LDC. Selain itu masih terdapat pendapat dari
wakil Kementerian Keuangan yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan
belum dapat memberikan pemotongan tarif kepada LDC secara unilateral,
sebagaimana prosedur pemberian DFQF oleh negara lain, karena belum
memiliki
dasar
hukum.
Menyadari
permasalahan
tersebut,
dan
memperhatikan hasil kajian sebelumnya (Puska KPI, 2012) terutama
mengenai cakupan produk yang akan diberikan fasilitas DFQF untuk
negara-negara LDC, maka perlu dilakukan kajian lanjutan mengenai dasar
hukum dan manfaat pemberian bebas bea masuk untuk negara LDC bagi
Indonesia. Selanjutnya, berdasarkan temuan tersebut akan diusulkan
rumusan usulan apakah Indonesia dapat melaksanakan atau menunda
pemberian fasilitas DFQF tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan dalam latar belakang, permasalahan dari
analisis ini adalah:
a. Apakah manfaat bagi Indonesia jika memberikan fasilitas DFQF kepada
negara-negara LDC?
b. Apakah Indonesia memberikan atau tidak memberikan fasilitas DFQF
bagi LDC?
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
3
1.3 Tujuan
Adapun tujuan analisis ini adalah :
a. Mengetahui manfaat pemberian fasilitas DFQF bagi LDC di Indonesia.
b. Merumuskan usulan posisi pilihan Indonesia memberikan atau tidak
memberikan fasilitas DFQF bagi LDC.
1.4 Hasil Analisis
Adapun hasil dari analisis ini adalah tersedianya satu laporan mengenai
Usulan Pemberian Fasilitas Bebas Bea Dan Bebas Kuota Bagi Negara Least
Developed Countries.
1.5 Dampak/Manfaat
Tersedianya informasi mengenai a) manfaat pemberian fasilitas DFQF
bagi LDC di Indonesia, dan b) rumusan usulan posisi pilihan Indonesia
memberikan atau tidak memberikan fasilitas DFQF bagi LDC.
1.6 Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dalam analisis ini adalah :
a. Manfaat pemberian fasilitas DFQF bagi negara LDC yang dimaksudkan
dalam analisis ini merupakan pendapat pelaku usaha mengenai usulan
pemberian DFQF yang telah dilakukan dalam kegiatan 2012, dan
sekaligus melakukan evaluasi apakah terjadi perubahan pendapat atau
tidak.
b. Dasar hukum yang dimaksud dalam analisis ini adalah aturan yang
diterbitkan pemerintah yang dapat dirujuk sebagai landasan bagi
kementerian terkait untuk melaksanakan pemberian fasilitas DFQF.
c. Usulan produk yang menjadi rekomendasi akan didasarkan pada usulan
dari kegiatan sebelumnya yang akan disempurnakan dengan temuan
dari analisis tahun ini.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
4
d. Analisis ini hanya membahas pembebasan tarif dan kuota untuk produk
barang, belum memasukkan pemberian fasilitas diluar barang seperti
investasi, tenaga kerja, atau lainnya.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Negara Least Developed Countries
Semenjak
tahun
1971,
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
memperkenalkan pengelompokan negara Least Developed Countries (LDC)
sebagai kelompok negara yang mengalami ketertinggalan dalam proses
pembangunan karena masalah struktur, sejarah atau kondisi geografis.
Negara yang termasuk dalam kelompok ini umumnya miskin dan
terbelakang, sehingga membutuhkan banyak bantuan dari negara lain
anggota PBB. Pada saat ini terdapat 48 negara yang masuk kedalam
kelompok LDC, dengan populasi 880 juta jiwa, total Gross Domestic Product
(GDP) mereka mencapai 2% dari total GDP dunia, dan total perdagangan
mereka mencapai 1 % dari total perdagangan dunia (UNCTAD, 2015).
Negara yang termasuk kedalam LDC sebagian besar sudah merupakan
bagian dari WTO, dimana terdapat total 34 negara yang telah menjadi
anggota
WTO
yaitu
Angola,
Bangladesh,
Benin,
Burkina
Faso,
Burundi,Cambodia, Central African Republic, Chad, Democratic Republic of
the Congo, Djibouti, Gambia, Guinea, Guinea Bissau, Haiti, People’s
Democratic Republic Lao, Lesotho, Madagascar, Malawi, Mali, Mauritania,
Mozambique, Myanmar, Nepal, Niger, Rwanda, Senegal, Sierra Leone,
Solomon Islands, Tanzania, Togo, Uganda, Vanuatu, Yemen, Zambia. Lebih
lanjut terdapat delapan anggota LDC yang sedang dalam proses bergabung
dengan WTO yaitu Afghanistan, Bhutan,
Comoros,
Equatorial Guinea,
Ethiopia, Liberia, Sao Tomé & Principe, dan Sudan (WTO, 2015).
Sebagai salah satu upaya dari negara anggota WTO dalam membantu
percepatan pertumbuhan perekonomian negara LDC telah disepakati
komitmen dalam Konferensi Tingkat Menteri di Doha pada tahun 2001.
Dalam komitmen tersebut, negara anggota WTO berjanji akan memberikan
bantuan bagi negara LDC untuk berdagang dengan negara yang lebih
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6
makmur. Adapun bantuan tersebut diberikan dalam bentuk kemudahan
akses ekspor melalui kebijakan bebas tarif dan bebas kuota (Duty Free and
Quota Free). Lebih lanjut, pada 12 Februari 2012, Sub-komite LDC telah
menyusun beberapa program implementasi yang berisi : a. Mengidentifikasi
hambatan akses pasar bagi produk negara LDC, b. Melakukan tinjauan
tahunan atas peningkatan akses pasar bagi produk LDC, dan c. Melakukan
analisis potensi peningkatan akses pasar bagi negara LDC (WTO, 2003).
2.2 Tarif
Tarif pada dasarnya merupakan pembebanan pajak atau custom duties
terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Dilihat dari
aspek asal komoditi, terdapat dua macam tarif yaitu (Salvatore, 1997) :
1) Tarif impor, merupakan pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang
diimpor dari negara lain,
2) Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor.
Teori keseimbangan umum dapat menjelaskan dampak pemberlakuan
tarif terhadap tingkat produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan
di sebuah negara kecil yang hubungan dagang atau kekuatan ekonominya
terbatas. Dengan asumsi sebuah negara kecil tidak mampu mempengaruhi
harga yang berlaku di pasaran internasional, ketika tarif terhadap barangbarang impornya diberlakukan, yang berubah hanyalah harga barang
tersebut di pasar domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus
menghadapi segala implikasi kenaikan harga itu adalah konsumen dan
produsen di negara kecil yang bersangkutan.
Secara teoritis, dampak keseimbangan umum yang dihasilkan dari
pemberlakuan tarif di sebuah kecil, misalnya Indonesia, dapat dijelaskan
melalui Gambar 2.1 di bawah ini. Dalam gambar diasumsikan terdapat dua
komoditi yang diperdagangkan (komoditi X dan Y) dan dua negara yang
melakukan perdagangan (pertukaran komoditi), yaitu negara kecil (disebut
negara 2) yang menetapkan harga domestiknya dengan P F dan negara
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
7
lainnya (negara dunia/world) dengan harga P w . Sehingga pada gambar
tersebut terlihat bahwa di pasar dunia berlaku P x /P y = 1, negara 2 akan
berproduksi di titik B dan berkonsumsi di titik E. Namun ketika pemerintah
negara 2 mengenakan tarif ad valorem (sekian persen dari nilai impor harus
dibayarkan pengimpor ke kas negara sebagai pajak) sebesar 100%
terhadap komoditi X, harga komoditi tersebut bagi para konsumen dan
produsen domestik langsung melonjak menjadi P x /P y = 2, sehingga para
produsen domestik di negara 2 akan terdorong untuk berproduksi di titik F.
Itu berarti negara 2 akan mengekspor 30Y, dan mengimpor 30X; separuh
diantaranya, yakni GH atau 15X, akan langsung terarah ke konsumen
domestik, sedangkan selebihnya, yakni HH’ yang juga bernilai 15X, akan
menjelma sebagai pendapatan pajak bagi pemerintah yang bersumber dari
pengenaan tariff ad valorem 100% terhadap komoditi X yang diimpor.
Komoditi Y
140 120 -
B
85 -
F
60 55 -
E
G H
H’
40 -
II
A
PF = 2
0
III
I
I
I
40
I
I
PW = 1
Komoditi X
95 100
Gambar 2.1. Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari Pemberlakuan Tarif
di Sebuah Negara Kecil (Salvatore, 1997)
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
8
Karena diasumsikan bahwa pemerintah negara 2 menggunakan
kebijakan tarif tersebut dalam rangka meredistribusikan pendapatan yang
diperolehnya bagi warganya (agar beban pajak mereka tidak terlalu besar),
maka tingkat konsumsi setelah tarif dikenakan akan bergeser ke kurva
indiferen II’, tepatnya di titik H’ (titik berpotongan antara dua garis putusputus). Itu berarti, tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik E) dalam
perdagangan
bebas
lebih
tinggi
ketimbang
tingkat
konsumsi
dan
kesejahteraan (titik H’) yang ada setelah tarif tersebut diberlakukan.
Dari Gambar 2.1 dapat disimpulkan bahwa dengan adanya tarif, tingkat
kesejahteraan
negara
yang
bersangkutan
menjadi
lebih
rendah
dibandingkan dengan kondisinya di masa perdagangan bebas (tanpa tarif).
Hal ini terlihat dari bergesernya konsumsi dari titik E ke titik H’ yang terletak
pada kurva indiferen yang lebih rendah daripada sebelumnya.
Penurunan kesejahteraan tersebut bersumber dari dua sebab yaitu: (1)
Perekonomian tidak lagi berproduksi pada titik yang memaksimumkan nilai
pendapatan dan harga dunia; dan (2) Konsumen tidak dapat lagi
berkonsumsi
pada
kurva
indiferen
tertinggi
yang
memaksimumkan
kesejahteraan. Keduanya diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen dan
produsen domestik menghadapi harga yang berbeda dengan harga dunia.
Penurunan kesejahteraan terjadi karena kegiatan produksi yang tidak
efisien. Penurunan kesejahteraan sebagai akibat dari konsumsi yang tidak
efisien juga merupakan padanan dari kerugian akibat konsumsi.
Selain penurunan kesejahteraan, volume perdagangan di negara kecil
(negara 2) pun mengalami kemerosotan dengan adanya tarif. Volume serta
nilai-nilai
ekspor
dan
impor
sama-sama
turun
segera
setelah
dilaksanakannya pengenaan tarif itu dibandingkan dengan sebelumnya
ketika perdagangan masih berlangsung secara bebas.
Dari penjelasan tersebut, maka semakin tinggi tarif yang dikenakan,
akan semakin besar kerugian yang timbul. Pengenaan tarif yang terlalu
besar akan mendorong perekonomian yang bersangkutan menuju kondisi
autarki (semua komoditi dibuat sendiri, dan perdagangan internasional
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
9
lenyap). Tarif impor yang mematikan perdagangan internasional ini biasa
disebut dengan tarif prohibitif (prohibitive tariff). Tarif yang terlalu tinggi
akan memaksa suatu perekonomian terus-menerus berproduksi dan
berkonsumsi di titik A, dan jelas merugikan negara itu sendiri.
2.3.
Hambatan Perdagangan Bukan Tarif (non-tariff barrier)
Hambatan perdagangan bukan tarif (non-tariff barrier) merupakan
bentuk proteksi perdagangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan
hambatan tarif. Praktek perdagangan yang terjadi pada saat ini, masingmasing negara melakukan intervensi dalam perdagangan internasional
dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih kompleks,
yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi.
Secara teoritis, salah satu bentuk hambatan impor bukan tarif adalah
kuota. Kuota adalah pembatasan secara langsung jumlah fisik terhadap
barang yang masuk (kuota impor) dan keluar (kuota ekspor). Pemberlakuan
kuota impor memberikan dampak-dampak terhadap konsumsi dan produksi
seperti yang ditimbulkan oleh penerapan tarif impor yang setara.
Penyesuaian terhadap setiap pergeseran dalam kurva permintaan atau
kurva penawaran sehubungan dengan adanya kuota impor akan terjadi
pada harga-harga domestik. Sedangkan jika yang diberlakukan adalah tarif
impor, maka penyesuaian tersebut akan terjadi pada kuantitas impor.
Secara umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif impor yang
setara.
Hambatan kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca
pembayaran yang defisit dan akan meningkatkan harga produk. Pada
dasarnya proteksi terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan
bagi produsen namun merugikan bagi konsumen. Pada akhirnya hal ini
akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore, 1997).
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
10
Harga
S
PM
A
B
C
D
PW
D
Kuantitas
QS0
QS1
QD1
QD0
Gambar 2.2. Dampak Pembatasan Impor (Kuota) terhadap
Kesejahteraan (Sumber: Wall, 1999)
Dari Gambar 2.2, apabila terjadi perdagangan bebas maka barang
yang diimpor akan berada pada harga dunia yaitu P w . Negara akan
mengkonsumsi sebesar Q D0 dan produksi sebesar Q S0 . Jumlah yang akan
diimpor dari negara lain sebesar Q D0 -Q S0 . Ketika ada proteksi impor, maka
harga akan meningkat menjadi P M . Sebagai akibatnya, negara tersebut
akan berproduksi sebesar Q S1 dan jumlah impor akan berkurang menjadi
Q D1 -Q S1 . Konsumen akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih
mahal dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan
harga tinggi. Surplus konsumen akan berkurang sebesar area A+B+C+D.
Area A merupakan surplus konsumen yang ditransfer ke produsen. Area B
dan D adalah kehilangan kesejahteraan atau Dead Weight Loss (DWL) yang
merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan
penerimaan pemerintah dari tarif karena pembatasan impor bukan berasal
dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini secara teoritis
diukur sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan penerimaan
pemerintah yang berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat
oleh produsen negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
11
welfare loss to economy. Penerimaan pemerintah hanya dapat meningkat
melalui
penjualan
lisensi
kuota.
Dengan
menggunakan
θ
yang
mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari
pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C.
Berbagai
macam
restriksi
atau
hambatan
non
tarif
itu
telah
menggantikan peranan tarif di masa sebelumnya yang merupakan ancaman
bagi kelangsungan dan perkembangan perdagangan internasional yang
bebas. Saat ini terdapat indikasi terjadinya perubahan dalam kebijakan
perdagangan dunia. Salah satu alasan negara tidak memilih tarif sebagai
instrumen kebijakan yaitu adanya kerjasama bilateral dan regional yang
membatasi penggunaan kebijakan perdagangan tradisional seperti tarif.
Pada akhirnya negara lebih meningkatan pemberlakuan kebijakan non tariff
(Non Tariff Measures). Berbagai negara menggunakan alasan tertentu
seperti perlindungan kesehatan dan lingkungan untuk melegitimasi proteksi,
sehingga isu perdagangan yang semula menurunkan hambatan tarif
bergeser ke arah Non Tarif Mesures (NTMs).
Walaupun NTMs merupakan kebijakan yang memiliki efek membatasi
perdagangan, namun kebijakan ini dapat diterapkan tanpa melanggar
hukum perdagangan internasional. NTM didefinisikan sebagai langkahlangkah kebijakan selain tarif yang secara potensial memiliki dampak
ekonomi pada perdagangan barang internasional, mengubah kuantitas
perdagangan, atau harga, atau keduanya (UNCTAD 2013). Pemberlakuan
NTMs diperbolehkan dalam ketentuan WTO dengan alasan-alasan tertentu
seperti ketahanan pangan, perlindungan kesehatan dan lingkungan untuk
melegitimasi proteksi. NTMs mencakup berbagai macam kebijakan yang
terkait sanitary and phytosanitary measures (SPS), technical barrier to trade
(TBT), quotas, import and export licences, export restrictions, customs
surcharges, and anti-dumping and safeguard measure.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
12
BAB III
DATA DAN METODOLOGI
3.1 Data
Data yang digunakan dalam analisis ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui kegiatan turun lapang untuk
memperoleh informasi dari responden mengenai produk prioritas yang akan
dikembangkan di daerah, terutama produk pertanian, perkebunan dan
industri.
Selanjutnya
kepada
responden
ditanyakan
juga
mengenai
kebijakan pengembangan produk prioritas yang direncanakan Pemerintah
Daerah dimasa depan. Data sekunder yang terdiri dari data perdagangan
Indonesia dengan negara LDC diperoleh dari Biro Pusat Statistik melalui
Pusat Data dan Informasi, BPPKP serta data tarif yang diperoleh dari
Kementerian Keuangan.
3.2 Kerangka Pemikiran
Kegiatan Analisis ini merupakan lanjutan dari Analisis Usulan
Pemberian Fasilitas Bebas Tarif dan Kuota Bagi Negara Least Developed
Countries (LDC) yang telah dilaksanakan pada tahun 2012. Analisis pada
tahun 2012 merupakan analisis berdasarkan data sekunder yang kemudian
dilakukan
verifikasi
dengan
mengundang
masukan
dari
berbagai
Kementerian terkait. Namun sayangnya analisis pada tahun 2012 belum
melakukan verifikasi dengan responden dari Pemerintahan daerah. Oleh
karena itu, kegiatan analisis yang dilaksanakan pada tahun 2015
mengumpulkan informasi dari pemerintah daerah untuk mengetahui produk
prioritas dan rencana pengembangannya di daerah, serta tanggapan
mereka atas usulan pelaksanaan Bebas Tarif dan Kuota Bagi Negara LDC.
Selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan Kementerian
Terkait untuk menyusun usulan rekomendasi kebijakan bagi Pemberian
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
13
Fasilitas Bebas Tarif dan Kuota Bagi Negara (LDC). Adapun kerangka
pemikiran tersebut dapat dilihat selengkapnya dalam Gambar 3.1.
Usulan Barang Yang
Diberikan Fasilitas Bebas
Tarif dan Kuota
Responden
Pemerintah Daerah
Produk Perioritas
dan Bukan Prioritas
Rencana Pengambangan Produk
Perioritas dan Bukan Prioritas
Tanggapan Pemerintah Daerah Atas
Usulan Bebas Tarif dan Kuota
FGD Dengan
Kementerian Terkait
Rekomendasi Pemberian Fasilitas
Bebas Tarif dan Kuota Bagi LDC
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
3.3 Metodologi
Metode yang digunakan dalam analisis ini bersifat deskriptif dengan
pembobotan
rata-rata.
Nilai
pembobotan
rata-rata
bertujuan
untuk
mengetahui produk prioritas yang harus dilindungi dan produk lain yang
memungkin diberikan fasilitas bebas tarif dan kuota. Adapun sampel
kegiatan turun lapang ditentukan secara purposive (sengaja), yang
dilakukan di Makasar, Surabaya, dan Semarang. Pemilihan
ke empat
daerah tersebut karena sesuai dengan produk impor utama Indonesia dari
LDC yang terdiri dari kakao, limbah besi/baja, kapas dan tekstil.
Selanjutnya pengolahan data hasil kegiatan FGD dilakukan dengan
menggunakan analisis deskriptif dengan pembobotan rata-rata. Pemilihan
responden dalam kegiatan FGD juga dilakukan secara purposive, dimana
akan dipilih instansi pemerintah yang terlibat dalam kegiatan FGD dalam
kajian ditahun 2012. Adapun instansi yang dilibatkan dalam FGD ini terdiri
dari wakil Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian
Perindustrian, dan Kementerian Keuangan.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
14
BAB IV
RUJUKAN HASIL ANALISIS USULAN PEMBERIAN FASILITAS BEBAS
TARIF DAN KUOTA BAGI NEGARA LEAST DEVELOPED COUNTRIES
(LDC) DI TAHUN 2012
4.1 Latar Belakang dan Asumsi Dasar
Kegiatan Analisis Usulan Pemberian Fasilitas Bebas Tarif Dan Kuota
Bagi Negara Least Developed Countries (LDC) yang dilaksanakan pada
tahun 2012 mencakup 31 negara yang termasuk kategori LDC berdasarkan
PBB ditahun 2010 dan berdagang dengan Indonesia, sebagaimana terlihat
dalam Lampiran 1.
Adapun analisis tersebut dilaksanakan sebagai tindak lanjut atas
kesepakatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi antar pimpinan G20 di Seoul
untuk membantu negara belum berkembang (LDC), dimana kesepakatan ini
merujuk pada Deklarasi Hongkong. Deklarasi Hongkong tersebut salah
satunya berisikan ajakan untuk memberikan komitmen bantuan akses pasar
sebesar 70 persen dari nilai perdagangan atau pos tarif dengan LDC,
namun untuk negara berkembang masih memiliki fleksibilitas. Adapun
tujuan bantuan akses pasar tersebut untuk mengurangi kemiskinan
(reducing poverty) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (enhancing
economic growth) bagi LDC, dengan tindak lanjut berupa pemberian Duty
Free Quota Free (Puska KPI, 2013).
Asumsi dasar dalam pelaksanaan analisis tersebut merujuk pada
temuan Bouet di tahun 2010. Adapun temuan Bouet (2010) menyatakan
pemberian akses pasar bebas tariff dan kuota (Duty Free Quota Free :
DFQF) oleh negara maju disertai negara ekonomi kuat lain seperti Brazil,
China, India, dan Rusia diperkirakan memberikan dampak positif bagi
perekonomian LDC. Sebaliknya dampak bagi negara pemberi DFQF tidak
signifikan karena pangsa impor dari LDC relatif kecil.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
15
4.2 Rujukan Kinerja Perdagangan dan Hasil Simulasi
Impor Indonesia dari negara LDC di tahun 2011 mencapai USD 944
juta, meningkat sebesar 43,75 persen per tahun dibandingkan impor 2007
sebesar USD 180 juta. Sebaliknya, nilai ekspor ke LDC meningkat sebesar
19,16 persen per tahun dari 2007 – 2011, dimana nilai ekspor 2007
mencapai USD 1.483 juta, sedangkan ekspor 2011 mencapai USD 3,209
juta. Pada tahun 2011 Indonesia masih surplus sebesar USD 2,265 juta,
dan selama Jan-Okt 2012 surplus sebesar USD 1,685 juta. Namun, selama
Jan-Okt 2012 terdapat 236 pos tarif yang mendadak diimpor Indonesia dari
LDC (Puska KPI, 2013)
Selanjutnya, total pos tarif Indonesia di tahun 2012 sebanyak 10.012
pos tarif. Adapun threshold pemberlakuan DFQF adalah 70% dari total pos
tarif atau nilai perdagangan. Oleh karena itu Indonesia dapat meliberalisasi
7.008 pos tarif dan menempatkan 3.004 pos tarif lainnya sebagai sensitive
list. Pos tarif yang diusulkan sebagai sensitive list adalah produk dengan
tarif di atas 10%, dan produk impor yang bersaing dengan produk domestik.
Tabel 4.1. Pos Tarif Indonesia dan Impor Indonesia dari LDC
.
Sumber : Puska KPI, 2013
Impor untuk produk dari LDC hanya sebanyak 1.144 pos tarif (11.42%)
dari total 10.012 pos tarif Indonesia. Dari total 1.144 pos tarif tersebut, 906
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
16
pos tarif diimpor selama tahun 2007-2011, sedangkan 238 pos tarif hanya
diimpor selama periode Jan-Okt 2012. Hal ini mengindikasikan terdapat 238
pos tarif baru yang mendadak diimpor Indonesia dari negara LDC semenjak
pernyataan Indonesia berniat memberikan fasilitas bebas tarif dan kuota
dalam pertemuan G 20 di Seoul. Kajian di tahun 2012 lebih lanjut
menganalisis 906 produk yang diimpor berkala oleh Indonesia dari LDC.
Khusus untuk 906 produk yang diimpor berkala tersebut, ternyata 112
tidak dikenakan tarif, selanjutnya terdapat 363 pos tarif dikenakan tarif
sebesar 5%, dan 183 pos tarif dikenakan tarif antara 5-10 %. Selain itu
terdapat 248 pos tarif yang dikenakan tarif diatas 10 % dan diusulkan untuk
masuk kedalam sensitive list Indonesia dalam pemberian fasilitas bebas tarif
dan kuota bagi LDC. Berdasarkan pembahasan ini, dapat diusulkan bahwa
highlight Hijau dapat Tabel 4.1. menyatakan 7.008 pos tarif dapat
diliberalisasi jika sektor setuju, sedangkan highlight merah menyatakan
3.004 pos tarif dapat dimasukkan kedalam daftar sensitive list. Adapun
highlight kuning, pos tarif dapat
diliberalisasi untuk produk yang tidak
bersaing dengan industri domestik, sesuai persetujuan sektor.
Hasil simulasi dengan menggunakan model keseimbangan umum
Global Trade Analysist Project (GTAP) versi 7 menemukan bahwa sebagian
negara LDC yang paling banyak diimpor oleh Indonesia sudah termasuk
dalam anggota ASEAN (Kamboja dan Myanmar), dan telah melakukan
liberalisasi dengan Indonesia. Oleh karena itu, dampak penghapusan kuota
dan tarif ternyata tidak signifikan bagi Indonesia, namun akan menyebabkan
penurunan kinerja perdagangan. Meskipun penghapusan tarif menyebabkan
penurunan
kinerja
perdagangan
namun
dikompensasi
dengan
kesejahteraan. Agar pemberian fasilitas bebas tarif dan kuota memberikan
hasil terbaik bagi Indonesia, fasilitas tersebut harus bertujuan menyediakan
bahan baku murah bagi industri domestik. Adapun hasil selengkapnya untuk
hasil simulasi dapat dilihat dalam Lampiran 2.
Hasil simulasi dengan menggunakan GTAP versi 7 menemukan bahwa
kesejahteraan masyarakat akan meningkat sebesar 1% dibandingkan
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
17
kondisi
saat
ini.
Peningkatan
kesejahteraan
tersebut
disebabkan
meningkatnya impor baku industri makanan dan minuman, manufaktur,
serta tekstil dan pakaian jadi. Peningkatan impor khususnya untuk bahan
baku industri makanan dan minuman serta bahan baku industri tekstil dan
pakaian jadi akan meningkatkan ekspor Indonesia ke dunia. Adapun produk
impor dari LDC yang banyak digunakan oleh industri dalam negeri di
Indonesia adalah biji coklat dan kacang panjang yang banyak digunakan
industri makanan dan minuman, kapas yang banyak digunakan oleh industri
tekstil dan pakaian jadi, limbah besi dan limbah tembaga yang banyak
digunakan oleh industri manufaktur dan elektronik, serta karung goni yang
digunakan diberbagai jenis usaha di Indonesia.
4.3 Usulan Pelaksanaan Pemberian Fasilitas Bebas Tarif dan Kuota
Berdasarkan analisis yang telah ditemukan, pada tahun 2011,
Indonesia masih meraih surplus perdagangan dengan LDC, meskipun
menunjukkan trend yang relatif menurun. Hal ini disebabkan daya saing dan
keterkaitan industri LDC dengan indonesia masih rendah, dimana sebagian
besar produk impor dari negara tersebut merupakan bahan baku bagi
industri nasional. Selanjutnya usulan pemberian fasilitas DFQF mendapat
dukungan dari Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) melalui surat Nomor
194/AIKI/V/2012 tanggal 21 Mei 2012. Adapun hasil simulasi, dampak
DFQF akan meningkatkan kinerja impor, mengurangi surplus perdagangan,
namun dikompensasi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu fasilitasi DFQF sebaiknya bertujuan memberikan akses bahan
baku murah bagi industri nasional, dimana impor Indonesia dari LDC dalam
lima tahun terakhir relatif tidak berubah.
Merujuk pada temuan tersebut, telah dirumuskan usulan rekomendasi
pemberian fasilitas bebas tarif dan kuota sebagai berikut:
a. Pemberian
fasilitas
DFQF
harus
disertai
dengan
pemberlakuan
ketentuan Rules of Origin (Surat Keterangan Asal) yang ketat serta
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
18
pemberlakuan ketentuan khusus (Product Spesific Rules/PSR) untuk
produk tertentu.
b. Pemberian fasilitas tersebut sebaiknya dilakukan secara bertahap,
dengan menetapkan jangka waktu serta skemanya. Namun, perlu
ditentukan lebih lanjut mengenai pentingnya kriteria negara LDC yang
akan mendapatkan fasilitas ini (beneficiary countries), mengingat
perbedaan jumlah negara LDC yang masih berkembang, dimana
menurut versi WTO (33 negara) dan PBB (48 negara).
c. Mengingat Indonesia bukan proponen DFQF, serta jika terdapat
kekhawatiran pelaksanaan kebijakan tersebut akan memberikan dampak
buruk bagi industri nasional, Indonesia dapat memberikan DFQF bagi
seluruh produk impor dengan mengecualikan produk impor utama dari
negara LDC, khususnya biji coklat.
d. Berdasarkan deklarasi Hongkong telah menetapkan threshold sebesar
70% dari total perdagangan atau post tarif, sehingga Indonesia dapat
memasukkan 30% produk impor dari LDC sebagai sensitive list.
Penetapan produknya sebaiknya dilakukan bersama dengan dunia
usaha.
e. Selain itu dapat diusulkan kebijakan politis, dimana Indonesia dapat
memasukkan 1.144 pos tarif produk yang diimpor menjadi sensitive list
dan meliberalisasi produk yang tidak pernah diimpor dari LDC
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
19
BAB V
TANGGAPAN PEMERINTAH DAERAH ATAS USULAN PEMBERIAN
FASILITAS BEBAS TARIF DAN KUOTA BAGI NEGARA LEAST
DEVELOPED COUNTRIES (LDC)
5.1 Perdagangan Indonesia dengan Negara LDC Saat Ini
Perdagangan Indonesia dengan Negara LDC sampai tahun 2014
menunjukkan surplus perdagangan yang tinggi bagi Indonesia. Berdasarkan
data dalam Gambar 5.1., terlihat bahwa nilai ekspor Indonesia ke LDC
tumbuh sebesar 17,76 persen selama tahun 2004 sampai 2014, dengan
nilai meningkat dari US$ 741 juta di tahun 2004 menjadi US$ 3,84 miliar
ditahun 2014. Nilai impor Indonesia dari negara LDC selama tahun 2004
sampai 2014 tumbuh sebesar 20,98 persen, dari US$ 110 juta ditahun 2004
menjadi US$ 480.82 juta ditahun 2014. Berdasarkan kinerja ekspor dan
impor, Indonesia masih meraih surplus perdagangan dengan negara LDC,
sebesar US$ 630 juta ditahun 2004 dan meningkat menjadi US$ 3,365
miliar ditahun 2014.
Gambar 5.1. Perdagangan Indonesia dengan Negara LDC
Sumber : Pusdatin, 2015, diolah
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
20
Sepuluh produk ekspor utama Indonesia ke negara LDC adalah Palm
oil, refined, bleached & deodorised (rbd) (HS 1511909010), Fractions of
unrefined palm oil, not chemically modified (HS 1511901000), Chemical
wood pulp, soda, oth than dis solving grades,bleached,non coniferous (HS
4703290000), Areca nuts, fresh or dried (HS 0802901000), Bath soap (HS
3401112000), Oth soap & organic surface for toilet use (HS 3401119000),
Other paper & paperboard, weight>40g/m2 and =< 150g/m2 (HS
4802570000), Oth wash prep & clean prep,incl bleach cleans & degreas
prep,liquid, retail (HS 3402201900), Paper,no fibres, for other purpose 40<
weight <150 g/m,sheet (HS 4802569000), dan Oth industrial monocarboxylic
fatty acid (HS 3823199000). Dari sepuluh produk tersebut ditahun 2014, 58
% ekspor Indonesia ke LDC berupa Palm oil, refined, bleached & deodor
ised (rbd) (HS 1511909010), sedangkan pangsa ekspor sembilan produk
utama lainnya antara 1 % sampai 3%.
Adapun sepuluh produk impor utama Indonesia dari negara LDC terdiri
dari Cotton, not carded/combed (HS 5201000000), Beans (vigna mungo
hepper/vigna
radiata
wilczek),
dried,
other
than
for
sowing
(HS
0713319000), Refined copper for cathodes and sections of cathodes (HS
7403110000), Multiple (folded)/cabled of jute/ oth fibres bast fibres of
heading 53.03. (HS 5307200000), Flat-crc, 0,17< thickness< 0,5 mm
containing by weight<= 0.6% of carbon (HS 7209189000), Sack&bag,oth
bast fibr head 5303, new,of jute (HS 6305101100), Oth. ground nuts, not
roasted/otherwise cooked, in shell (HS 1202109000), Burley tobacco,
partly/wholly stemmed/ stripped
(HS 2401204000), Virginia tobacco,
partly/wholly stemmed/ stripped, flue-cured (HS 2401201000), dan Cocoa
beans, whole or broken,raw/roasted (HS 1801000000). Sebagian besar
impor
Indonesia
dari
LDC
ditahun
2014
terdiri
dari
Cotton,
not
carded/combed (HS 5201000000) dengan pangsa impor 47,79 %, Beans
(vigna mungo hepper/vigna radiata wilczek), dried, other than for sowing
(HS 0713319000) dengan pangsa 11,95% dan Refined copper for cathodes
and sections of cathodes (HS 7403110000) dengan pangsa 10,72%.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
21
Tabel 5.1. Penerimaan Bea Masuk Utama Indonesia dari Produk Impor LDC
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
HS
0713319000
7403110000
7209189000
5307200000
6203429000
1006400000
6204620000
6109101000
6109102000
6305101100
6205200000
1202109000
2401204000
2401201000
1801000000
2401103000
1202200000
3301291900
6110300000
7304230090
6105100000
3917329000
6109909000
0713399000
6110200000
1702909000
6111200000
6201130000
0701900000
URAIAN
Total (Non Migas)
Beans (vigna mungo hepper/vigna radiata wilczek), dried, other than for sowing
Refined copper for cathodes and sections of cathodes
Flat-crc, 0,17< thickness< 0,5 mm containing by weight<= 0.6% of carbon
Multiple (folded)/cabled of jute/ oth fibres bast fibres of heading 53.03.
Men/boys' trousers of cotton
Broken rice
Women/girls' trousers,bib&brace overall breeches,shorts of cotton
Men/boys't-shirts, singlets & oth vests, knitted/crocheted of cotton
Women/girls't-shirts,singlets & oth vests, knitted/crocheted of cotton
Sack&bag,oth bast fibr head 5303, new,of jute
Men/boys' shirts of cotton
Oth ground nuts, not roasted/otherwise cooked, in shell
Burley tobacco, partly/wholly stemmed/ stripped
Virginia tobacco, partly/wholly stemmed/ stripped, flue-cured
Cocoa beans, whole or broken,raw/roasted
Other tobacco, not stemmed/stripped, flue-cured
Ground nuts, shelled
Oth pharmaceutical grade-essential oils oth than those of citronella
Jerseys,pullovers, cardigans, waistcoat of man-made fibres
Oth. unfinished drill pipe (green pipe)
Male's wear of cotton, knitted/ crocheted
Oth unflexible tubes, pipes & hoses, not reinforced, without fittings
T-shirt,singlet&oth vest,knitte/crochet, of oth txtl mtrl,oth thn f rami,linn&slk
Other beans,dried,other than for sowing
Jerseys,pullovers, cardigans, waistcoat of cotton
Other sugar, incl. invert sugar & sugar syrup blends cont. 50% of fructose
Babie garment&clothing accessorie, knitt/crochet,of cotton
Men/boys'overcoats,raincoats,car-coats, cloaks of man-made fibres
Potatoes, other than seed , fresh or chilled
Impor 2014
Bea Masuk
Penerimaan
US$
%
US$
480,815,566
57,473,106
51,589,919
9,607,284
14,094,955
4,467,949
5,082,752
3,201,731
2,655,872
2,400,415
6,764,289
2,115,998
5,549,518
5,387,356
5,364,086
5,190,216
5,151,137
5,094,484
4,908,123
1,330,189
1,512,686
1,101,019
1,054,367
990,001
2,578,955
830,678
2,349,262
598,727
574,180
428,079
5
5
10
5
15
Rp450,-/kg
15
15
15
5
15
5
5
5
5
5
5
5
15
12.5
15
15
15
5
15
5
15
15
20
15,759,424
2,873,655
2,579,496
960,728
704,748
670,192
494,386
480,260
398,381
360,062
338,214
317,400
277,476
269,368
268,204
259,511
257,557
254,724
245,406
199,528
189,086
165,153
158,155
148,500
128,948
124,602
117,463
89,809
86,127
85,616
Sumber : Kementerian Keuangan, 2015, diolah
Impor Indonesia dari negara LDC masih dikenakan bea masuk sesuai
ketentuan Most Favoured Nation (MFN) kecuali bagi negara LDC yang
merupakan bagian dari ASEAN yaitu Kamboja dan Myanmar. Dalam
analisis ini impor Indonesia dari kedua negara tersebut tidak akan
dimasukkan, karena mereka menggunakan liberalisasi ASEAN yang lebih
baik dibandingkan pemberian fasilitas bebas bea dan kuota. Total nilai impor
Indonesia dari LDC ditahun 2014 mencapai US$ 480.82 juta dengan
penerimaan dari bea masuk sebesar US$ 15,76 juta. Sebagian besar
penerimaan Indonesia
dari negara LDC diperoleh dari bea masuk atas
impor 29 pos tarif (Tabel 5.1) yang mencapai US$ 13,50 juta atau 86% dari
total penerimaan bea masuk atas impor Indonesia dari LDC.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
22
5.2. Tanggapan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan
Makassar sebagai salah satu pusat produksi kakao dan sumber pangan
nasional merupakan propinsi yang tepat sebagai sumber informasi kegiatan
analisis tersebut. Adapun instansi yang dikunjungi dalam pengambilan data
terdiri dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Perencanaan
Daerah, dan Dinas Perkebunan.
Beberapa
informasi
penting
yang
diperoleh
dari
survei
dan
pengumpulan data pada instansi-instansi tersebut dalam mendukung
analisis ini yaitu:
1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Hasil kunjungan ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan menemukan
bahwa pemerintah daerah sangat memberikan perhatian penuh bagi
kebijakan stabilitas harga pangan, khususnya bagi pangan penting
daerah yaitu beras, gula, jagung, kedele, daging sapi, rumput laut dan
kakao. Selanjutnya untuk industri kakao, saat ini komoditas ekspor kakao
masih terdiri dari produk kakao terfermentasi, belum masuk kedalam
produk kakao bernilai tambah tinggi seperti bubuk kakao atau kakao cair.
Masalah utama adalah kurangnya investor dan terbatasnya bahan baku
yang dapat digunakan oleh industri pengolahan kakao.
2. Badan Perencanaan Daerah (Bappeda)
Hasil kunjungan ke Bappeda menemukan bahwa pemerintah daerah
sangat memberikan perhatian penuh bagi pengembangan komoditas
penting daerah yaitu beras, gula, jagung, kedele, daging sapi, rumput
laut dan kakao. Kebijakan tersebut terdiri dari kombinasi perbaikan bibit,
peningkatan produktifitas, investasi untuk meningkatkan nilai tambah dan
bantuan modal. Mengenai kebijakan terkait kakao, pemerintah daerah
mengupayakan peningkatan ekspor melalui peningkatan produksi
dengan upaya rehabilitasi dan reboisasi, serta pelatihan bagi petani
untuk melakukan fermentasi. Khusus untuk industri pengolahan kakao
saat ini masih terkendala minimya investor akibat rendahnya pasokan
bahan baku dan sulitnya mengurus perizinan.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
23
3. Dinas Perkebunan
Hasil kunjungan ke Dinas Perkebunan menemukan bahwa Sulawesi
Selatan masih berkonsentrasi untuk meningkatkan panen biji kakao yang
menurun akibat penurunan luas tanam dan produktifitas akibat pohon
sudah tua dan tidak produktif. Adapun kebijakan yang menjadi prioritas
Dinas Perkebunan terkait hal ini adalah reboisasi pohon kakao yang
sudah tua dengan memberikan bantuan bibit pohon kepada petani, dan
rehabilitasi pohon tidak produktif melalui pelatihan tehnik merawat dan
budidaya pohon kakao. Diharapkan kedua kebijakan ini akan kembali
meningkatkan produksi biji kakao tahun depan dan dapat membantu
mewujudkan target ekspor biji kakao. Selain itu wakil dari Dinas
Perkebunan menyatakan bahwa institusi terkait dan pengusaha kakao di
propinsi ini sudah memahami bahwa kakao Indonesia dengan kakao dari
Afrika bukan merupakan produk substitusi dan saling membutuhkan
dalam industri kakao olahan. Olah karenanya mereka tidak terlalu
khawatir jika kakao dari negara Afrika atau LDC masuk ke propinsi ini
selama memang digunakan untuk kepentingan industri pengolahan
kakao dan tidak merugikan petani.
Berdasarkan
hasil
kegiatan
turun
lapang
ke
Makasar,
dapat
disimpulkan bahwa Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan sampai saat ini
masih memperioritaskan peningkatan kemampuan produksi biji kakao
terfermentasi, dan belum mengarah pada produksi kakao bernilai tambah
lebih tinggi, seperti kakao bubuk atau kakao cair, karena keterbatasan
bahan baku dan investor. Dinas terkait dan pengusaha kakao di Sulawesi
Selatan sudah memahami bahwa kakao Indonesia dengan kakao dari Afrika
bukan merupakan produk substitusi dan saling membutuhkan dalam industri
kakao olahan. Olah karenanya mereka tidak terlalu khawatir jika kakao dari
negara Afrika atau LDC masuk ke propinsi ini dan akan memberikan
manfaat bahan baku murah untuk kepentingan industri pengolahan kakao
dan tidak merugikan petani.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
24
5.3 Tanggapan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah
Semarang sebagai salah satu pusat produksi kakao, dan industri
makanan dan minuman, tekstil dan kendaraan bermotor merupakan propinsi
yang tepat sebagai sumber informasi kegiatan analisis tersebut, karena
banyak mengimpor produk yang sesuai dengan ekspor negara LDC.
Adapun instansi yang dikunjungi dalam pengambilan data terdiri dari Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, Badan Perencanaan Daerah dan Dinas
Perkebunan.
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi diperoleh beberapa temuan
lapangan sebagai berikut:
1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Hasil kunjungan ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan melaporkan
bahwa saat ini tengah mengembangkan industri berbasis kerakyatan
yang berfokus kepada industri tepung–tepungan dengan bahan dasar
umbi-umbian. Industri ini diharapkan dapat tumbuh dan berkembang
sehingga perlu diberikan perhatian khusus dan perlindungan dari produk
impor agar para petani dan pengusaha yang terlibat dalam industri dapat
meningkat kesejahteraannya.
2. Badan Perencanaan Daerah (Bapeda)
Hasil kunjungan ke Bappeda menginformasikan bahwa sektor utama
yang penting bagi Pemprov Jateng saat ini adalah industri Tekstil dan
Produk Tekstil (TPT), industri karoseri, dan beberapa produk holtikultura
seperti tebu, kelapa, dan kakao. Industri TPT merupakan industri yang
paling banyak penyerapan tenaga kerjanya di Jateng serta memberikan
kontribusi ekspor sebesar 60% dari total nilai ekspor Jateng. Industri TPT
sendiri masih sangat bergantung kepada bahan baku impor seperti
kapas, serat, dan bahan pewarna tekstil. Lebih lanjut, industri karoseri
juga memainkan peranan penting di Jateng dimana bahan baku besi
baja juga masih impor, karena supply dalam negeri yang belum dapat
memenuhi
kebutuhan
konsumen
akhir.
Adapun
terkait
rencana
pemberian fasilitas kemudahan tarif dan kuota kepada negara-negara
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
25
LDCs, Bapeda beranggapan hal tersebut tidak dipermasalahkan dan
akan memberikan manfaat bahan baku murah, dibutuhkan oleh industri
dan bukanlah produk jadi yang dapat diproduksi sendiri di dalam negeri,
sebagai contoh kain dan pakaian jadi.
3. Dinas Perkebunanan
Kunjungan Dinas Perkebunan menginformasikan bahwa Jawa Tengah
merupakan produsen utama nasional untuk tebu dan kelapa. Pada tahun
2014, luas area perkebunan tebu adalah sebesar 65.706 hektar dengan
total produksi sebesar 279.955 ton. Tebu yang dihasilkan digunakan
untuk men-supply kebutuhan 11 (sebelas) pabrik gula yang ada di
Jateng. Untuk kelapa, luas area perkebunan kelapa pada tahun 2014
adalah sebesar 229.428 hektar atau produksi sebesar 187.396 ton.
Dinas Perkebunan juga menginformasikan bahwa saat ini pemerintah
daerah sedang berupaya meningkatkan produksinya dengan melakukan
pengembangan kawasan yang mengacu kepada Surat Keputusan
Permentan 46/Kpts/PD.300/1/2015 mengenai Pengembangan Kawasan
Komoditas Perkebunan. Terkait rencana pemberian fasilitas kemudahan
tarif dan kuota kepada negara-negara LDCs, Dinas Perkebunan tidak
mempermasalahkan karena beberapa produk seperti gula yang berasal
dari tebu dan kakao untuk bahan coklat, produksi dalam negeri belum
dapat memenuhi kebutuhan nasional. Namun, untuk produk kelapa dan
turunannya, Dinas Perkebunan menganggap kebutuhan industri sudah
dapat dipenuhi oleh hasil produksi di Jateng sehingga tidak perlu lagi
melakukan impor.
5.4 Tanggapan Pemerintah Propinsi Jawa Timur
Surabaya sebagai salah satu pusat produksi kakao dan sumber pangan
nasional merupakan propinsi yang tepat sebagai sumber informasi kedua
analisis tersebut. Selama kegiatan pengumpulan data di Surabaya
diharapkan akan diperoleh informasi mengenai kebijakan Pemerintah
Propinsi Jawa Timur dalam mengembangkan industri kakao. Komoditas
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
26
Kakao merupakan salah satu produk impor utama Indonesia dari negara
LDC yang masih dikenakan tarif sebesar 5 persen. Diharapkan dalam turun
lapang ini dapat diketahui pendapat Pemerintah Propinsi mengenai usulan
liberalisasi biji kakao, dan perkiraan dampaknya terhadap petani serta
industri pengolahan. Adapun instansi yang dikunjungi dalam pengambilan
data terdiri dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Perencanaan
Daerah, dan Dinas Perkebunan.
Beberapa
informasi
penting
yang
diperoleh
dari
survei
dan
pengumpulan data pada instansi-instansi tersebut dalam mendukung kajian
ini yaitu:
1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Hasil kunjungan ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan menemukan
bahwa pemerintah daerah sangat memberikan perhatian penuh bagi
kebijakan stabilitas harga pangan, khususnya bagi komoditi unggulan
daerah yaitu beras, gula, jagung, kedelai, dan kakao. Selanjutnya untuk
industri kakao, saat ini komoditas ekspor kakao masih terdiri dari produk
kakao terfermentasi, belum masuk kedalam produk kakao bernilai
tambah tinggi seperti bubuk kakao atau kakao cair. Masalah utama
adalah kurangnya investor dan terbatasnya bahan baku yang dapat
digunakan oleh industri pengolahan kakao.
2. Badan Perencanaan Daerah (Bappeda)
Hasil kunjungan ke Bappeda menemukan bahwa pemerintah daerah
sangat memberikan perhatian penuh bagi pengembangan komoditas
penting daerah yaitu beras, gula, jagung, kedelai,dan kakao. Kebijakan
tersebut terdiri dari kombinasi perbaikan bibit, peningkatan produktifitas,
investasi untuk meningkatkan nilai tambah dan bantuan modal.
Mengenai kebijakan terkait kakao, pemerintah daerah mengupayakan
peningkatan ekspor melalui peningkatan produksi dengan upaya
rehabilitasi dan reboisasi, serta pelatihan bagi petani untuk melakukan
fermentasi. Khusus untuk industri pengolahan kakao saat ini masih
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
27
terkendala minimya investor akibat rendahnya pasokan bahan baku dan
sulitnya mengurus perizinan.
3. Dinas Perkebunan
Hasil kunjungan ke Dinas Perkebunan menemukan bahwa Surabaya
memiliki 34 komoditi unggulan yaitu pala dalam bentuk bunga dan biji
pala yang diekspor ke Belanda dan tebu yang surplus 170.000 ton
/tahun, serta beberapa komoditi unggulan lain diantaranya tembakau,
kelapa, jambu mete, cengkeh, cabai, nilam, kapuk randu, kapas, jarak,
kakao dll. Namun Dinas pekebunan masih berkonsentrasi untuk
meningkatkan panen biji kakao yang menurun akibat iklim yang tidak
sesuai, penurunan luas tanam dan produktifitas akibat pohon sudah tua
dan tidak produktif. Adapun kebijakan yang menjadi prioritas Dinas
Perkebunan terkait hal ini adalah reboisasi pohon kakao yang sudah tua
dengan memberikan bantuan bibit pohon kepada petani, dan rehabilitasi
pohon tidak produktif melalui pelatihan tehnik merawat dan budidaya
pohon
kakao.
Diharapkan
kedua
kebijakan
ini
akan
kembali
meningkatkan produksi biji kakao tahun depan dan dapat membantu
mewujudkan target ekspor biji kakao. Selain itu wakil dari Dinas
Perkebunan menyatakan bahwa institusi terkait dan pengusaha kakao di
propinsi ini sudah memahami bahwa kakao Indonesia dengan kakao dari
Afrika bukan merupakan produk substitusi dan saling membutuhkan
dalam industri kakao olahan. Olah karenanya mereka tidak terlalu
khawatir jika kakao dari negara Afrika atau LDC masuk ke propinsi ini
selama memang digunakan untuk kepentingan industri pengolahan
kakao dan tidak merugikan petani.
Berdasarkan hasil kegiatan
turun
lapang ke
Surabaya,
dapat
disimpulkan bahwa Pemerintah Propinsi Jawa Timur sampai saat ini masih
memperioritaskan
peningkatan
kemampuan
produksi
biji
kakao
terfermentasi, dan belum mengarah pada produksi kakao bernilai tambah
lebih tinggi seperti kakao bubuk atau kakao cair karena keterbatasan bahan
baku dan investor. Dinas terkait dan pengusaha kakao di Surabaya sudah
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
28
memahami bahwa kakao Indonesia dengan kakao dari Afrika bukan
merupakan produk substitusi dan saling membutuhkan dalam industri kakao
olahan. Olah karenanya mereka tidak terlalu khawatir jika kakao dari negara
Afrika atau LDC masuk ke propinsi ini sebab akan memberikan manfaat
sebagai bahan baku murah untuk kepentingan industri pengolahan kakao
dan tidak merugikan petani.
5.5 Rangkuman Pandangan Pemerintah Daerah Untuk Produk Impor
Utama dari LDC
Hasil turun lapang ke tiga propinsi tersebut di atas menemukan bahwa
seluruh perwakilan dari Dinas atau instansi yang kami wawancarai tidak
keberatan jika fasilitas bebas bea masuk dan kuota diberikan untuk produk
bahan baku yang digunakan oleh industri pengolahan di Indonesia. Adapun
produk yang banyak digunakan tersebut antara lain terdiri dari biji coklat
yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan
minuman, kapas yang banyak digunakan oleh industri tekstil dan produk
tekstil, serta limbah besi yang banyak digunakan oleh industri otomotif
termasuk didalamnya industri karoseri. Namun, mereka masih keberatan
jika fasilitas bebas bea masuk dan kuota diberikan untuk produk bahan jadi
siap digunakan seperti baju atau kain (tekstil) yang saat ini merupakan salah
satu industri penyerap tenaga kerja di Indonesia, khususnya di Jawa
Tengah. Adapun rangkuman ini selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 5.2.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
29
Tabel 5.2. Rangkuman Pandangan Pemerintah Daerah Atas Produk Impor dari
LDC
Produk
Impor
Biji
Coklat
Kapas
Sulawesi
Selatan
a. Bukan
substitusi
komoditas
lokal
b. Bahan baku
industri
Bukan produk
prioritas
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bahan baku
industry
Bahan baku
industry
Bahan baku
industry
Data terkait
belum
tersedia
Bukan produk
prioritas
Limbah
besi
Bukan produk
prioritas
Bahan baku
industri
Produk
Tekstil
Bukan produk
prioritas
Industri
penting, harus
dilindungi
Bukan produk
prioritas
Rangkuman
Merupakan
bahan baku
industri yang
tidak bersaing
dengan produk
lokal
Merupakan
bahan baku
industri
Merupakan
bahan baku
industri
Industri yang
harus
dilindungi, tidak
termasuk
produk yang
memperoleh
fasilitas DFQF
Sumber : Rangkuman Kajian 2012 dan Hasil Survey 2015
Berdasarkan hasil temuan survey, responden tidak keberatan jika
fasilitas bebas bea dan kuota diberikan untuk produk bahan baku industri
namun tidak untuk produk jadi siap pakai, maka pelaksanaan pemberian
fasilitas ini memungkinkan dan memberikan manfaat bagi Indonesia.
Sebagai langkah lanjut, perlu dilakukan rapat antar pimpinan instansi terkait
untuk memutuskan apakah Indonesia akan memberikan fasilitas ini atau
tidak. Hal ini disebabkan masih terdapat pendapat dari wakil Kementerian
Keuangan yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan belum dapat
memberikan fasilitas pembebasan tarif bea masuk atas impor barang dari
negara-negar LDC secara unilateral, sebagaimana prosedur pemberian
DFQF oleh negara lain, karena belum memiliki dasar hukum.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
30
5.6 Tanggapan Responden FGD Atas Usulan Pemberian Fasilitas Bebas
Bea Masuk dan Kuota
Hasil pembobotan dari survey dan FGD mengenai tanggapan
responden atas usulan pemberian fasilitas bebas bea masuk dan kuota,
akan diselesaikan setelah FGD.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
31
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan
uraian pembahasan dari Bab-bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa:
a. Hasil temuan turun lapang menemukan bahwa pemerintah propinsi
meyakini manfaat pemberian fasilitas bebas tarif dan kuota bagi negara
LDC adalah kemudahan memperoleh bahan baku bagi industri
tekstil/produk tekstil, makanan minuman dan produk/komponen otomotif
yang dikembangkan saat ini.
b. Pemerintah propinsi masih keberatan jika fasilitas bebas bea masuk dan
kuota diberikan untuk produk pangan utama khususnya beras, jagung
dan gula serta produk jadi siap digunakan yang saat ini dikembangkan
khususnya tekstil/produk tekstil dan produk/komponen otomotif.
6.2 Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dapat direkomendasikan untuk
melaksanakan pemberian fasilitas bebas tarif dan kuota atas impor barang
dari negara-negara LDC dengan mempertimbangkan masukan sektor dalam
pemilihan produk dengan tujuan utama memberikan kemudahan akses
impor bahan baku industri. Selanjutnya, pelaksanaan pemberian fasilitas
tersebut memerlukan kesepakatan antar instansi yang terlibat, yang
sebaiknya diputuskan pada tingkatan Menteri Koordinasi atau Presiden
Republik Indonesia untuk merumuskan dasar hukum pemberian fasilitas
tersebut.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
32
DAFTAR PUSTAKA
Bouet, et.al. 2010. The Costs and Benefits of Duty-Free, Quota-Free Market
Access for Poor Countries. Who and What Matters? IFPRI Discussion
Paper 00990. Markets, Trade and Institutions Division, IFPRI.
Kementerian Keuangan. 2014. Buku Tarif dan Bea Masuk Indonesia. Jakarta.
Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional (Puska KPI), 2013.
Analisis Usulan Pemberian Fasilitas Bebas Tarif dan Quota Bagi Negara
Least Developed Countries (LDC). BPPKP, Kementerian Perdagangan.
Jakarta
Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.
United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD). 2015. Least
Developed
Countries
(LDCs).
Diunduh
http://unctad.org/en/Pages/ALDC/Least%20Developed%
melalui
20Countries
/LDCs.aspx, pada 28 Agustus 2015.
Wall H. 1999. Using the Gravity Model to Estimate the Costs of Protection.
Federal Reserve Bank of St. Louis Review. Jan:33-40.
World Trade Organization (WTO). 2003. Cancún WTO Ministerial 2003: Briefing
Notes. Least-Developed Countries:
Enhancing trade opportunities.
Diunduh
melalui
https://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/min03_e/brief_e/brief20_e
.htm, pada 28 Agustus 2015.
World Trade Organization (WTO). 2015. Understanding The WTO: The
Organization.
Least-developed
countries.
Diunduh
melalui
https://www.wto.org/english/thewto_e/ whatis_e/tif_e/org7_e.htm, pada
28 Agustus 2015.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
33
Lampiran 1. Daftar Negara LDC yang Berdagang Dengan Indonesia
Angola
Malawi
Bangladesh
Mali
Benin
Mauritania
Burkina Faso
Mozambique
Burundi
Myanmar
Cambodia
Nepal
Central African Republic
Niger
Chad
Rwanda
Congo, Democratic Republic of the
Senegal
Djibouti
Sierra Leone
Gambia
Solomon Islands
Guinea
Tanzania
Guinea Bissau
Togo
Haiti
Uganda
Lesotho
Zambia
Madagascar
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
34
Lampiran 2. Hasil Simulasi Dampak Pemberian Bebas Tarif dan Kuota dari
Indonesia Untuk Negara LDC
A. Dampak Terhadap Kesejahteraan dan Surplus Perdagangan
Sumber : Puska KPI, 2012
B. Dampak Terhadap Ekspor Nasional
Sumber : Puska KPI, 2012
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
35
C. Dampak Terhadap Impor Nasional
Sumber : Puska KPI, 2012
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
36
Lampiran 3. Perkiraan Penerimaan Negara Yang Hilang dari Pelaksanaan DFQF
Catatan :
a. Total nilai impor berdasarkan data perdagangan bulan Jan-Okt 2012
dari negara LDC adalah USD 767,59 juta.
b. Besar penerimaan bea keluar periode Jan-Okt 2012 dari negara LDC
adalah USD 13,39 juta yang diperoleh dari 32 pos tarif.
c. Sebagai negara berkembang, Indonesia hanya perlu meliberalisasi 70%
pos tarif atau volume perdagangan, dan dapat memasukkan 30% dalam
sensitive list.
d. Jika Indonesia memasukkan ke-32 pos tarif tersebut kedalam sensitive
list, penerimaan dari bea masuk tidak berubah.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
37
Lampiran 4. Produk Utama Yang Diimpor Indonesia dari LDC serta Informasi
Keterkaitan Industri dan Daya Saing Mereka Dengan Industri Nasional
HS
Share Accumul
Impor RI ation
URAIAN
5201000000 43.0% 43.0% Cotton, not carded/combed.
2709001000 23.6% 66.7% Crude petroleum oil
0713319000 6.7% 73.4% Beans (vigna mungo hepper/vigna radiata wilczek), dried, other than for sowing
7204490000 2.9% 76.3% Other ferrous waste and scrap :
1801000000 2.8% 79.1% Cocoa beans, whole or broken,raw/roasted
6305101100 2.7% 81.9% Sack&bag,oth bast fibr head 5303, new,of jute
5307200000 1.5% 83.4% Multiple (folded)/cabled of jute/ oth fibres bast fibres of heading 53.03.
8901902400 1.4% 84.8% Other vessels, motorised of gross tonnage > 500 but <= 4000 ton
1202200000 1.1% 85.9% Ground nuts, shelled
7404000000 1.1% 86.9% Copper waste and scrap.
2710117000 1.0% 87.9% Naphtha, reformate or preparations for preparing spirits
8802401000 0.9% 88.8% Aeroplanes of an unladen weight > 15,000 kg
3301291900 0.9% 89.7% Oth pharmaceutical grade-essential oils oth than those of citronella
1202109000 0.8% 90.5% Oth ground nuts, not roasted/otherwise cooked, in shell
2006
0.00
0.00
0.69
0.00
0.00
NA
0.00
NA
NA
0.06
0.68
0.00
NA
0.00
Index IIT (Gruber Lloyd)
2007 2008 2009
0.00
0.00
0.00
0.00
NA
NA
0.00
NA
NA
0.00
0.84
NA
NA
0.00
0.00
0.00
0.00
NA
NA
NA
0.00
NA
NA
0.37
0.56
NA
NA
0.00
0.00
0.00
0.05
0.20
NA
0.00
0.75
NA
0.16
0.00
0.30
NA
NA
0.03
2010
0.00
0.00
0.05
0.02
0.00
0.00
0.01
0.00
NA
0.88
0.34
NA
NA
0.33
2006
(1.00)
(1.00)
0.31
1.00
(1.00)
NA
(1.00)
NA
NA
(0.94)
0.32
(1.00)
NA
1.00
Sumber : Puska KPI, 2013
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
38
2007
(1.00)
(1.00)
1.00
1.00
NA
NA
1.00
NA
NA
(1.00)
(0.16)
NA
NA
1.00
Index TSI
2008 2009
(1.00)
(1.00)
(1.00)
NA
NA
NA
1.00
NA
NA
0.63
(0.44)
NA
NA
1.00
(1.00)
(1.00)
(0.95)
(0.80)
NA
(1.00)
0.25
NA
(0.84)
(1.00)
(0.70)
NA
NA
0.97
2010
(1.00)
(1.00)
(0.95)
(0.98)
1.00
(1.00)
(0.99)
1.00
NA
0.12
(0.66)
NA
NA
0.67
Download