ANALISIS HASIL TANGKAPAN PUKAT IKAN KAITANNYA DENGAN KANDUNGAN KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN TAPANULI TENGAH MARDAME PANGIHUTAN SINAGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan Kandungan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Perairan Tapanuli Tengah” adalah karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2009 Mardame Pangihutan Sinaga NRP C551050051 ABSTRACT Mardame P Sinaga. 2008. Catch Analysis of fish net in its relationship to Chlorophyll-a concentration and Sea Surface Temperature in Tapanuli Tengah Waters. Supervise by Mr. Domu Simbolon and Mr. Budy Wiryawan. Sea surface temperature (SST) and chlorophyll-a are two important oceanographic parameters determining the abundance and distribution of fish. The aim of this research is to determine distribution of SST, chlorophyll-a, composition of fish catch and the relationship between SST, chlorophyll-a with fish catch. This study was conducted in Tapanuli Tengah waters. Catch analysis data has been taken from field of research on the 7-19 July 2007 and satellite imagery was taken Laboratorium Matra Laut-Pusat Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur at July 2007. The amount of fish catch from Tapanuli Tengah waters landed at PPN Sibolga city was 31.076 kgs. The catch of 15 species of dominant by peperek/keke (Leiognathus decorus), teri (Stolephorus commersonii), belado kuning (Atule mate), layang (Decapterus spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), buncilak (Alepes djeddaba) dan parang-parang (Chirocentrus dorab). There was no relationship between SST, chlorophyll-a with fish catch. Key words: Catch analysis, Chlorophyll-a and SST, Tapanuli Tengah Waters. RINGKASAN Perairan Tapanuli Tengah memiliki peranan yang cukup strategis sebagai sentra produksi perikanan laut di Sumatera Utara. Hasil tangkapan yang dihasilkan oleh para nelayan Tapanuli Tengah terdiri atas ikan pelagis dan demersal. Hasil tangkapan ikan pelagis umumnya lebih dominan dibandingkan ikan demersal selama lima tahun dari tahun 2000-2004, yaitu sebesar 188.190 ton. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam kegiatan eksploitasi sumberdaya perikanan di Sibolga dan sekitarnya adalah ketidakpastian letak dan sulitnya mencari daerah penangkapan (fishing ground), sehingga menyebabkan hasil tangkapan ikan belum optimal. Parameter oseanografi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap variabilitas hasil tangkapan ikan, sperti klorofil-a dan suhu permukaan laut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan sebaran SPL optimum dan kandungan klorofil-a untuk penangkapan ikan pelagis, komposisi hasil tangkapan ikan pelagis dan hubungan antara SPL dan kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar untuk pengelolaan perikanan ikan pelagis di perairan Tapanuli Tengah, bagi industri penangkapan, informasi yang akan diperoleh nantinya dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk merencanakan operasi penangkapan ikan dan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan daerah penangkapan ikan pelagis. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dimaksudkan untuk pengambilan data lapangan, yang meliputi data hasil tangkapan, posisi penangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Pengambilan data lapangan ini dilaksanakan di perairan Sibolga pada tanggal 7-19 Juli 2007. Posisi penangkapan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13. Tahap kedua untuk pengolahan serta analisis data klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) hasil deteksi satelit diambil dari Laboratorium Matra Laut-Pusat Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur pada bulan Juli 2007. Data meteorologi berupa curah hujan, penyinaran matahari, kelembaban udara, kecerahan perairan dan kecepatan angin diperoleh dari Stasiun BMG Balai Besar Wilayah 1 Medan. Data perikanan dianalisis yang meliputi komposisi jenis ikan (spesies), jenis dan jumlah ikan yang dominan tertangkap, komposisi jumlah dan spesies ikan yang dominan tertangkap pada setiap posisi penangkapan yang berbeda. Data hasil tangkapan yang diperoleh selama 11 hari penangkapan, data suhu permukaan laut dan klorofil-a selama bulan Juli 2007, dianalisis secara statistik deskriptif untuk menggambarkan hasilnya dan selanjutnya dirata-ratakan untuk mendapatkan hasil tangkapan dominan dari 15 spesies dari tanggal 7-19 Juli 2007 untuk setiap posisi daerah penangkapan. Data hasil tangkapan ikan yang dominan tertangkap hubungannya dengan SPL dan klorofil-a ditentukan dengan Analisis Regresi Linear. Hasil tangkapan ikan pelagis kecil pemakan plankton seperti teri (Stolephorus commersonii), layang (Decapterus spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) tidak berpengaruh terhadap klorofil-a karena sebaran kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah adalah bervariasi sehingga ikan tersebut tidak dapat mentolerir perubahan kandungan klorofil-a secara tiba-tiba pada setiap hari, dan banyaknya pemangsa terutama bagi gerombolan ikan teri yang memiliki tujuan migrasi secara periodik sehingga menyebar secara tidak merata serta mengakibatkan hasil tangkapan nelayan khususnya untuk ikan pelagis kecil lainnya seperti ikan kembung perempuan, layang, belado kuning, buncilak dan parang-parang berkurang. Kekurangan dalam metode pengumpulan data adalah hasil tangkapan yang diperoleh sangat sedikit karena sewaktu melakukan penangkapan ikan, kapal lainnya sudah melakukan penangkapan pada posisi penangkapan yang sama sebelum kapal pukat ikan melakukan penangkapan di posisi daerah penangkapan tersebut dan kapal pukat ikan yang digunakan oleh peneliti tidak boleh mengambil hasil tangkapan mereka di posisi yang sama, apabila terjadi bisa menimbulkan konflik. Kegiatan pengukuran sampel klorofil-a tidak menggunakan alat dalam melakukan penangkapan ikan di laut selama penelitian karena alat yang digunakan sangat susah diperoleh sehingga hanya melakukan pengukuran dari citra satelit MODIS. Sedangkan suhu permukaan laut ada dilakukan pengukuran terhadap daerah penangkapan tetapi data hasil pengukuran SPL di lapangan ternyata tidak sama dengan data SPL pengukuran dari citra satelit NOAAAVHRR jadi hanya menggunakan data pengukuran SPL dari citra satelit NOAAAVHRR saja. Mengacu pada keterbatasan yang ditemukan selama penelitian, maka disarankan umtnk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan hasil tangkapan terhadap faktor oseanografi lainnya, serta dilakukan penelitian mengenai analisis perut ikan (stomach content) sehingga dapat diketahui apakah ikan pemakan fitoplankton, zooplankton maupun jenis-jenis organisme lainnya. © Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. ANALISIS HASIL TANGKAPAN PUKAT IKAN KAITANNYA DENGAN KANDUNGAN KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN TAPANULI TENGAH MARDAME PANGIHUTAN SINAGA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc. Judul Tesis : Analisis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan Kandungan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Perairan Tapanuli Tengah Nama : Mardame Pangihutan Sinaga NRP : C551050051 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Ketua Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Tanggal Ujian : 23 Januari 2009 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus : PRAKATA Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan karena dengan rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul ”Analisis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Perairan Tapanuli Tengah” diselesaikan tepat pada waktunya. Ucapan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Domu F. Simbolon, M.Si (selaku Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc (selaku Anggota Komisi Pembimbing) yang telah banyak mengorbankan waktu dan tenaganya dalam mengarahkan, mengoreksi dan memberikan saran kepada penulis, sehingga penulisan usulan penelitian ini dapat terwujud. Demikian juga ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Bapak Prof Dr. Ir John Haluan, M.Sc selaku Ketua Program Studi dan Prof Dr. Ir Mulyono S Baskoro, M.Sc sebagai penguji luar komisi serta para staf pengajar yang telah banyak berperan dalam menambah wawasan keilmuan. Pada kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Dra. Mariani, M.Sc dan Bapak B Nainggolan yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data-data penelitian yang dibutuhkan serta saran kritikannya serta teman-teman TKL lainnya maupun teman-teman dekat yang tidak dapat saya sebutkan nama-namanya yang banyak mendukung penulis dalam segala hal. Dengan penuh rasa sayang dan penuh kasih penulis ucapkan terimakasih kepada Ayahanda Mangasa Sinaga dan Ibunda Tiodora Simanullang, abangku Gira B P Sinaga, adekku Johannes Sinaga yang banyak terabaikan, kasih sayang dan doa yang tiada putus selama penyelesaian studi ini, saya hanya bisa berdoa semoga semua pengorbananmu dicatat dihati Tuhan Yesus Kristus. Akhirnya penulis menyadari tulisan ini masih banyak kekurangan yang akan ditemui pembaca, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kirtikan yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan tesis ini di masa mendatang. Bogor, Februari 2009 Penulis RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan dari pasangan Bapak Mangasa Sinaga dan Ibu Tiodora Simanullang pada tanggal 26 Desember 1979 di Jalan Pintu Air IV No. 106, Medan Johor, Sumatera Utara. Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Swasta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Padang Bulan Medan, tahun 1995 menyelesaikan pendidikan SMP Kristen 1 Medan, tahun 1995 melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) IMMANUEL Medan, tahun 1998 penulis melanjutkan studinya pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus pada tahun 2005 dengan Skripsi berjudul ”Pengaruh Jumlah Lampu terhadap Hasil Tangkapan Bagan Apung di Perairan Sibolga Kecamatan Tapanuli Tengah”. Pada bulan Agustus tahun 2005, penulis melanjutkan studi S2 di program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan program studi Teknologi Kelautan (TKL). Pada tanggal 23 Januari 2009, penulis menyelesaikan studi S2 di program studi Teknologi Kelautan (TKL) dengan judul Thesis : ”Analisis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan Kandungan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Perairan Tapanuli Tengah”. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................ xii DAFTAR TABEL...................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvii 1 2 3 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 1.3 Tujuan ...................................................................................... 1.4 Manfaat .................................................................................... 1.5 Hipotesis................................................................................... 1.6 Kerangka Pemikiran................................................................. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan........................................................ 2.2 Parameter Oseanografi ............................................................. 2.2.1 Suhu permukaan laut.................................................... 2.2.2 Produktivitas perairan .................................................. 2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis ......................................................... 2.3.1 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus) ................... 2.3.2 Ikan kembung (Rastrelliger spp) ................................. 2.3.3 Ikan layang (Decapterus spp) ...................................... 2.3.4 Ikan belado kuning/selar hijau (Atule male) ................ 2.3.5 Ikan buncilak/selar como (Alepes djeddaba) ............... 2.3.6 Ikan parang-parang (Chirocentrus dorab) ................... 2.3.7 Ikan teri (Stolephorus commersonii)............................ 2.4 Karakteristik Alat Tangkap Trawl dan Pukat Ikan .................. 2.4.1 Karakteristik alat tangkap trawl ................................... 2.4.2 Karakteristik pukat ikan ............................................... 2.5 Operasi Penangkapan Ikan Pelagis dengan Trawl dan Pukat Ikan........................................................................................... 2.5.1 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan trawl ......... 2.5.2 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan pukat ikan. Metode Penelitan 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................... 3.2 Bahan dan Alat......................................................................... 3.3 Metode Pengumpulan Data ..................................................... 3.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................... 1 5 6 6 6 6 8 12 12 14 16 17 19 21 23 24 25 26 27 27 31 33 33 34 36 37 37 38 3.4.1 3.4.2 3.4.3 4 Analisis komposisi hasil tangkapan ............................. Pengolahan citra satelit ................................................ Pengolahan citra SPL dan klorofil-a dari Er Mapper ke ArcView GIS........................................................... HASIL PENELITIAN 4.1 Komposisi Hasil Tangkapan .................................................... 4.2 Suhu Permukaan Laut .............................................................. 4.3 Klorofil-a.................................................................................. 4.4 Hubungan antara SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan ................................................................................ 4.4.1 Hubungan suhu permukaan laut terhadap hasil Tangkapan .................................................................... 4.4.2 Hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ............ 38 37 40 43 47 52 58 58 59 5 PEMBAHASAN ............................................................................... 62 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan .............................................................................. 6.2 Saran......................................................................................... 71 71 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 72 LAMPIRAN............................................................................................... 78 DAFTAR TABEL Halaman 1 Produksi ikan pelagis dari perairan Sibolga, tahun 2000-2004 ........... 1 2 Karakteristik satelit NOAA dan Fengyun-1......................................... 9 3 Perbandingan kanal sensor antara AVHRR dan MVISR..................... 9 4 Komposisi ikan (spesies) ..................................................................... 43 5 CPUE hasil tangkapan dominan menurut daerah penangkapan .......... 47 6 Penyebaran suhu permukaan laut dari satelit NOAA-AVHRR di empat wilayah perairan Tapanuli Tengah....................................................... 52 Penyebaran klorofil-a di empat wilayah perairan Tapanuli Tengah.................................................................................................. 58 7 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Satelit NOAA-AVHRR dan satelit FY-1 MVISR ............................... 9 2 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus) ........................................... 18 3 Ikan kembung (Rastrelliger spp) ......................................................... 20 4 Ikan layang (Decapterus spp) .............................................................. 22 5 Ikan belado kuning/selar hijau (Atule mate) ........................................ 23 6 Ikan buncilak/selar como (Alepes djeddaba) ....................................... 24 7 Ikan parang-parang (Chirocentrus dorab) ........................................... 26 8 Ikan teri (Stolephorus commersonii).................................................... 26 9 Alat tangkap beam trawl ...................................................................... 28 10 Alat tangkap otter trawl ....................................................................... 29 11 Alat tangkap paranzella ....................................................................... 29 12 Desain bentuk baku konstruksi pukat tarik dasar kecil tipe 2 seam atau panel ..................................................................................................... 33 13 Peta lokasi penelitian............................................................................ 36 14 Diagram alir penelitian......................................................................... 42 15 Persentase tangkapan yang dominan.................................................... 44 16 Komposisi hasil tangkapan .................................................................. 45 17 Frekuensi tertangkapnya ikan pada setiap kali operasi Penangkapan.. 46 18 Sebaran nilai CPUE dan jumlah setting pada 11 lokasi Penangkapan. 45 19 Citra SPL untuk tanggal 7 Juli 2007 .................................................... 48 20 Citra SPL untuk tanggal 9 Juli 2007 .................................................... 48 21 Citra SPL untuk tanggal 12 Juli 2007 .................................................. 49 22 Citra SPL untuk tanggal 15 Juli 2007 .................................................. 50 23 Citra SPL untuk tanggal 17 Juli 2007 .................................................. 51 24 Citra SPL untuk tanggal 19 Juli 2007 .................................................. 51 25 Citra klorofil-a untuk tanggal 7 Juli 2007 ............................................ 53 26 Citra klorofil-a untuk tanggal 9 Juli 2007 ............................................ 54 27 Citra klorofil-a untuk tanggal 12 Juli 2007 .......................................... 54 28 Citra klorofil-a untuk tanggal 15 Juli 2007 ......................................... 56 29 Citra klorofil-a untuk tanggal 17 Juli 2007 ......................................... 56 30 Citra klorofil-a untuk tanggal 19 Juli 2007 ......................................... 57 31 Hubungan suhu permukaan laut terhadap CPUE pada masing-masing DPI ....................................................................................................... 59 32 Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI.......... 61 33 Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia.................. 70 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Jenis ikan yang dominan ...................................................................... 79 2 Jenis hasil tangkapan untuk setiap daerah penangkapan ikan pelagis kecil ..................................................................................................... 80 3 Tanggal operasi penangkapan ikan ...................................................... 81 4 Hubungan suhu permukaan laut terhadap CPUE pada masing-masing DPI menurut jenis ikan (Kg) ................................................................ 86 Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI menurut jenis ikan (Kg)...................................................................................... 88 6 Pengumpulan data selama penelitian ................................................... 90 7 Diagram pengolahan citra suhu permukaan laut.................................. 91 8 Diagram pengolahan citra klorofil-a .................................................... 94 5 9 Kecepatan angin, curah hujan, radiasi matahari, suhu udara dan kecerahan perairan di daerah Sibolga dan sekitarnya tahun 2007......................... 97 10 Perifikasi antara nilai SPL exsitu dan insitu ........................................ 98 11 Grafik hubungan kolerasi antara SPL exsitu dengan insitu ................. 99 12 Gambar Kapal Pukat Ikan .................................................................... 99 13 Gambar Alat Tangkap Pukat Ikan........................................................ 100 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Tapanuli Tengah cukup strategis sebagai sentra produksi perikanan laut di Sumatera Utara. Hasil tangkapan yang dihasilkan oleh para nelayan Tapanuli Tengah terdiri atas ikan pelagis dan demersal. Hasil tangkapan ikan pelagis umumnya lebih dominan dibandingkan ikan demersal. Adapun perkembangan hasil tangkapan ikan pelagis selama lima tahun terakhir dari perairan Tapanuli Tengah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Produksi ikan pelagis dari perairan Tapanuli Tengah, tahun 2000-2004 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 Produksi (Ton) 42.082 41.915 42.025 30.960 31.208 Jumlah 188.190 Sumber : Harahap (2006). Jenis-jenis ikan yang tertangkap pada umumnya adalah kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), parang-parang (Chirocentrus dorab), peperek/keke (Leiognathus decorus), beloso (Saurida rumbii), teri (Stolephorus commersonii), layang (Decapterus spp), belado kuning (Atule male), teter/alu-alu (Sphyraena genie), biji nangka (Upeneus sulphurcus), bentong/buncilak (Alepes djeddaba), selar (Selar crumenopthalmus), baledang dan sotong. Pendapatan para nelayan Sibolga dan sekitarnya bervariasi menurut musim, karena harga ikan berbeda pada musim puncak, sedang dan paceklik. Menurut Harahap (2006), harga rata-rata ikan pelagis di Tapanuli Tengah menurut musim dan produktivitas yang diperoleh nelayan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) Pada musim puncak jumlah ikan hasil tangkapan rata-rata 2.750 kg/trip dengan harga Rp.5.000,- per kg/trip (2) Pada musim sedang jumlah ikan hasil tangkapan rata-rata 1.500 kg/trip dengan harga Rp.1.500,- per kg/trip. (3) Pada musim paceklik jumlah ikan hasil tangkapan rata-rata 7.000 kg/trip dengan harga Rp.750,- per kg/trip. Harga ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting biasanya sudah ditentukan oleh para pengecer/tengkulak sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah mereka terapkan. Eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Tapanuli Tengah telah memicu terjadinya konflik antar nelayan setempat yang disebabkan oleh perebutan daerah penangkapan ikan (DPI) yang baik. Persoalan semakin bertambah dengan hadirnya nelayan-nelayan asing dari Thailand, Malaysia dan Vietnam yang melakukan illegal fishing (penangkapan liar) dengan menggunakan peralatan dan armada/kapal modern. Nelayan-nelayan tersebut datang ke perairan Tapanuli Tengah sudah dilengkapi dengan peta daerah penangkapan ikan (DPI) sehingga ketika melaut mereka tidak lagi datang dengan tujuan ‘mencari’ ikan tetapi langsung ‘menangkap’ ikan karena dalam penentuan suatu daerah penangkapan ikan (DPI) oleh nelayan di perairan Tapanuli Tengah umumnya didasarkan pada faktor pengalaman yang dikaitkan dengan faktor musim. Sedangkan untuk mendapatkan gerombolan ikan dilakukan dengan cara-cara tradisional yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda di laut, misalnya adanya gerombolan burung di atas/di dekat permukaan laut, ada tidaknya riak-riak ataupun buih air di permukaan laut dan juga warna air laut. Dengan cara ini tingkat keberhasilannya rendah dan mengandung keterbatasan-keterbatasan dalam skala ruang dan waktu. Keberadaan daerah penangkapan yang bersifat dinamis dan selalu berpindah mengikuti pergerakan ruaya ikan menjadi faktor utama konflik perebutan DPI pelagis. Secara alami ikan akan memilih lingkungan yang lebih sesuai baginya sedangkan lingkungan tersebut dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan. Oleh karena itu DPI pelagis haruslah dapat diduga dan ditentukan terlebih dahulu sebelum armada penangkapan ikan dioperasikan menuju lokasi penangkapan. Informasi tentang penyebaran daerah penangkapan ikan sangat perlu sekali untuk mendukung pemanfaatan sumberdaya perikanan. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan perikanan adalah daerah penangkapan (fishing ground). Daerah penangkapan dapat berubah sesuai dengan perubahan kondisi perairan seperti perubahan suhu, arus, salinitas, produktivitas perairan dan sebagainya. Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan tersebut. Menurut Gunarso (1985), fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap periode migrasi musiman serta keberadaan ikan. Keadaan perairan serta perubahannya akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan biota laut termasuk ikan. Faktor musiman dan perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan lainnya akan mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis ikan pada daerah penangkapan ikan. Informasi daerah penangkapan ikan dapat diperoleh melalui analisis parameter lingkungan seperti suhu perairan dan kandungan klorofil-a serta hasil tangkapan sehingga nelayan dapat meningkatkan efisien operasi penangkapan melalui penghematan waktu, tenaga dan biaya operasi penangkapan. Informasi tentang parameter lingkungan dapat diperoleh dengan cara memanfaatkan perkembangan teknologi inderaja sedangkan hasil tangkapan diperoleh melalui kegiatan operasi penangkapan. Namun demikian pemetaan daerah penangkapan ikan adalah pekerjaan yang sangat rumit mengingat banyak sekali faktor-faktor lingkungan perairan yang mempengaruhinya dan faktor tersebut bersifat dinamis. Adapun faktor-faktor tersebut cukup banyak yang meliputi faktor fisik, kimiawi, biologi dan ekologis. Parameter lingkungan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini dibatasi pada SPL dan kandungan klorofil-a karena kedua parameter tersebut sangat berperan penting terhadap keberadaan ikan di perairan. Informasi tentang suhu perairan sangat penting karena dapat pula digunakan untuk mempelajari proses-proses fisika, kimia dan biologi di laut. Pola distribusi SPL dapat dipergunakan untuk mengidentifikasikan parameter-parameter laut seperti arus, umbalan dan front. Umumnya setiap spesies ikan mempunyai kisaran suhu optimum untuk makan, memijah, beruaya dan aktivitas lainnya (Laevastu 1981). Lebih lanjut Laevastu (1981) mengatakan bahwa, batasan arus serta variasi arus permukaan mempengaruhi migrasi musiman dan tahunan dari ikan pelagis dan semi pelagis serta berperan dalam transportasi telur, larva dan ikan-ikan kecil. Dengan mengetahui distribusi SPL dan pola arus suatu wilayah perairan maka akan dapat diamati fenomena upwelling dan thermal front yang merupakan daerah potensial penangkapan ikan. Ikan pelagis yang bersifat predator menyukai perairan yang banyak ikan teri pemakan kandungan nutrien sebagai makanan utama. Kandungan nutrien tersebut dapat diestimasi melalui analisis sebaran klorofil-a. Valiela (1984) mengatakan bahwa sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik masa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Sebelum melakukan penangkapan ikan pelagis terlebih dahulu perlu mengetahui keberadaan ikan yang bersangkutan, sedangkan dalam upaya pengembangan sebagai salah satu potensi bidang kelautan adalah pemanfaatan sumberdaya hayati laut (ikan) secara optimal dan lestari. Oleh karena itu dibutuhkan informasi yang lengkap mengenai keadaan sumberdaya ikan dan lingkungannya di suatu perairan agar efisiensi operasi penangkapan ikan, perencanaan daerah penangkapan ikan dapat terlaksana dengan baik. Informasi ini sangat penting diketahui untuk perencanaan suatu usaha pemanfaatan sumberdaya ikan. Informasi tentang daerah penangkapan ikan mempunyai peranan penting untuk menghemat waktu, tempat dan biaya penangkapan. Dengan demikian, informasi tentang penyebaran kepadatan stok sumberdaya ikan yang sesuai dengan waktu dan tempat merupakan salah satu dasar bagi keberhasilan usaha penangkapan ikan. Penginderaan jauh (inderaja) kelautan saat ini telah berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi inderaja dalam pemanfaatan sumberdaya ikan telah dilakukan di beberapa negara maju seperti Jepang, Australia, Amerika dan beberapa negara-negara Eropa. Hal ini dapat membantu berbagai penelitian untuk memahami dinamika sumberdaya ikan. Menurut Aboet (1985), keberhasilan dari teknologi penginderaan jauh dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama adalah kecanggihan dan ketelitian sensor, dalam hal ini dipengaruhi oleh rancangan sensor yang tepat dan kalibrasi instrumen yang benar. Kedua adalah kemampuan pengguna dalam menginterpretasikan citra, karena hasil observasi alat bukanlah pengukuran secara langsung akan tetapi merupakan hasil perekaman satelit sesuai dengan karakter reflektansi objek yang berbeda-beda. Hal ini berarti seorang pengguna data satelit harus mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh dan proses interpretasi citra untuk mendeteksi suatu fenomena alam pada suatu wilayah. 1.2 Perumusan Masalah Para nelayan Sibolga dan sekitarnya masih menghadapi kendala untuk dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas operasi penangkapan ikan. Adapun kendala yang dihadapi nelayan adalah sulitnya mencari daerah penangkapan ikan karena ketidaktahuan tentang faktor oseanografi, tidak dapat merencanakan operasi penangkapan ikan yang tepat. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan informasi daerah penangkapan ikan. Penentuan daerah penangkapan ikan potensial yang dilakukan oleh para masyarakat perikanan nelayan termasuk di Sibolga dan sekitarnya masih bersifat tradisional. Waktu, tenaga dan biaya operasional cukup tinggi untuk mencari daerah penangkapan ikan yang potensial dan tingkat ketidakpastian hasil tangkapan masih cukup tinggi. Untuk mengatasi tingkat ketidakpastian hasil tangkapan maka perlu dilakukan berbagai upaya antara lain : (1) Mempelajari keberadaan ikan melalui analisis paramater-parameter lingkungan yang mempengaruhinya, seperti suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a, (2) Mempelajari hubungan antara suhu permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan dan (3) Mempelajari sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah. Kegiatan eksplorasi yang terkait dengan parameterparameter lingkungan yang mempengaruhinya (seperti mempelajari hubungan suhu permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan, sebaran SPL dan kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah) masih sangat terbatas padahal manfaatnya sangat penting dalam perencanaan pemanfaatan sumberdaya perikanan. 1.3 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menentukan sebaran SPL dan kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah. 2. Menganalisis komposisi hasil tangkapan. 3. Menentukan pengaruh sebaran SPL dan kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai informasi dasar untuk pengelolaan perikanan tangkap di perairan Tapanuli Tengah. 2. Bagi industri penangkapan, informasi yang akan diperoleh nantinya dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk merencanakan operasi penangkapan ikan. 3. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan daerah penangkapan ikan pelagis. 1.5 Hipotesis Sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan. 1.6 Kerangka Pemikiran Di dalam melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan Tapanuli Tengah dhadapkan dengan berbagai kendala dalam penentuan daerah penangkapan ikan, yaitu : (1) Daerah penangkapan tidak pasti, (2) Waktu operasi lebih lama, (3) Hasil tangkapan tidak pasti, (4) Resiko operasi penangkapan tinggi. Akibatnya, biaya operasionalnya mahal, mutu hasil tangkapan sedikit dan produktivitas hasil tangkapan juga sedikit. Dengan berbagai kendala tersebut perlu dilakukan penentuan daerah penangkapan ikan potensial, melalui analisis indikator yang mempengaruhinya. Adapun indikator-indikator daerah penangkapan ikan potensial adalah suhu permukaan laut (SPL) untuk melihat kejadian-kejadian thermocline dan upwelling, klorofil-a untuk melihat upwelling dan produktivitas perairan, komposisi hasil tangkapan yang diperoleh melalui kegiatan penangkapan ikan. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan National Oceanic Atmosperic Administration (NOAA) merupakan program penginderaan jauh satelit untuk lingkungan kelautan yang dimulai sejak tahun 1960-an oleh negara Amerika Serikat yang pada awalnya bernama program television infrared observation satellite (TIROS). Dan hingga tahun 2001 NOAA masih mengoperasikan lima satelit dengan seri NOAA-12, 14, 15, 16 dan 17. Satelit serial NOAA ini beredar pada orbit polar dengan ketinggian 833 km di atas permukaan bumi. Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit serial NOAA memanfaatkan sensor advanced very high resolution radiometer (AVHRR). Sementara itu pada tahun 1988, badan antariksa Cina meluncurkan satelit lingkungan kelautan Fengyun-1 (FY-1 A) dan programnya terus berlanjut hingga peluncuran satelit FY-1 D pada bulan Mei 2002. Satelit Fengyun tersebut memiliki spesifikasi orbitnya mirip NOAA dan memilki sensor multispectral visible and infrared scan radiometer (MVISR) dengan 10 kanal (band). Selain perbedaan dari jenis sensor, FY-1 memiliki 3 kanal yang dapat dipergunakan untuk kegiatan pendugaan sebaran klorofil-a (fitoplankton) dan kekeruhan di perairan. Gambar 1, Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini menunjukkan beberapa perbedaan dan persamaan kedua satelit beserta sensor yang dibawanya. Satelit NOAA merupakan generasi kedua dari satelit TIROS yang dilengkapi dengan sensor AVHRR. Satelit ini digunakan untuk prakiraan cuaca dan sejumlah terapan untuk ilmu lingkungan termasuk antara lain pemantauan albedo permukaan bumi, pengukuran suhu permukaan laut dan memantau front laut. Dengan menggunakan data infra red dari satelit NOAA-14/AVHRR dapat dilakukan pemetaan distribusi sebaran temperatur permukaan laut. Data suhu permukaan laut ini akan sangat bermanfaat untuk perikanan, penelitian meteorologi kelautan dan analisis perubahan cuaca dan iklim. Tabel 2 Karakteristik satelit NOAA dan FY-1 Karakteristik Jumlah satelit yang masih beroperasi Orbit Ketinggian orbit dari permukaan bumi Periode pengulangan Lebar sapuan data Resolusi spasial Resolusi radiometric Sumber: Kushardono (2003). NOAA FY-1 5 satelit (NOAA-12, 15,16,17) Polar (sun-synchronous) 833 km 14, 102 menit 2048 piksel (pixel) 1,1 km (nadir) 10 bits/data 2 satelit (FY-1 C, D) Polar (sun-synchronous) 863 Km FY-1 102,3 menit 2048 piksel (pixel) 1,1 km (nadir) 10 bits/data Tabel 3 Perbandingan kanal sensor antara AVHRR dan MVISR Kanal Panjang Gelombang Sensor (m) AVHRR MVISR 1 0,58-0,68 0,58-0,68 2 3 0,84-0,89 4 0,725-1,10 A. 1,57-1,64 B. 3,55-3,93 10,5-11,5 5 11,5-12,5 11,5-12,5 3,55-3,95 10,3-11,3 6 7 8 9 10 Sumber: Kushardono (2003). 1,58-1,64 0,43-0,48 0,48-0,53 0,53-0,58 0,90-0,985 a Keutamaan Kecerahan awan, tutupan es dan salju, tutupan vegetasi Kecerahan awan dan tutupan vegetasi Sumber panas, kecerahan awan malam hari Suhu Permukaan Laut harian (malam/siang), Kecerahan awan Suhu Permukaan Laut harian (malam/siang), Kecerahan awan Kepadatan tanah Warna laut (klorofil-a) Warna laut (klorofil-a) Warna laut (klorofil-a) Kekeruhan perairan b Sumber: Kushardono (2003). Gambar 1 (a) Satelit NOAA-AVHRR dan (b) Satelit FY-1 MVISR. Satelit Penginderaan Jauh adalah proses perolehan informasi muka bumi dari instrumentasi yang ditempatkan di satelit. Satelit penginderaan jauh memberikan kemampuan pemantauan daerah yang luas secara periodik dan berkesinambungan (Kartasasmita 1999). Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh khususnya data satelit National Oceanic Atmosphere and Administration Advanced Very High Resolution Radimeter (NOAA–AVHRR) merupakan alternatif yang sangat tepat dalam penentuan daerah penangkapan ikan karena dari data ini dapat ditentukan nilai dan distribusi SPL pada perairan yang luas secara sinoptik, mempunyai frekwensi pengamatan yang tinggi dan biaya operasional yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan cara lainnya. Kemampuan ini akan sangat berguna untuk pengamatan fenomena oseanografi khususnya umbalan air dan front yang merupakan indikator daerah penangkapan potensial bagi ikan. Informasi ini dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan di laut (Hasyim 1999). Penentuan posisi daerah penangkapan ikan di laut lepas secara tepat sangat sulit dilakukan karena perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat dinamis dari parameter-parameter oseanografi seperti SPL, kekeruhan, konsentrasi klorofil-a, pola dan arah angin, pasang surut dan arus. Informasi tentang zona potensial perikanan dan dinamika perubahan sudah dapat dijadikan sebagai suatu alat bantu dalam mendukung perencanaan strategis pembangunan pada sektor perikanan khususnya penangkapan ikan (Kartasasmita 1999) Penggunaan citra satelit untuk pengukuran SPL telah banyak digunakan sebagai sumber data untuk melengkapi SPL hasil pengukuran langsung. Perbedaan pengukuran antara SPL dari citra satelit dengan pengukuran lapang lebih kecil dari 1oC (McClain et al. 1985; Gaol 2003). Perbedaan ini umumnya disebabkan pengaruh atmosfer seperti uap air dan awan. Pengaruh awan dapat menurunkan SPL sampai 1,5oC dibanding suhu pengukuran in-situ (Gaol 2003). Butler et al. (1988) mengatakan bahwa, deteksi ikan secara langsung tidak selalu dapat dikerjakan dengan mudah maka deteksi secara tidak langsung mungkin saja dilakukan dengan melaksanakan berbagai observasi terhadap beberapa fenomena permukaan laut yang dikaitkan dengan distribusi spesies. Menurut Widodo (1999), peta SPL telah banyak digunakan oleh armada penangkapan salmon dan tuna. Secara jelas diketahui bahwa beberapa spesies tuna mencari makan pada bagian air laut yang panas dari suatu front sedangkan salmon mencari makan pada bagian yang dingin. Dalam bidang perikanan, salah satu alternatif yang mulai dikembangkan adalah monitoring suhu permukaan laut khususnya lebih diaplikasikan pada ikanikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting seperti ikan tongkol, kembung dan sebagainya. Fenomena suhu permukaan laut akan sangat memungkinkan dalam menduga upwelling (penaikkan masa air dari bawah permukaan) karena fenomena upwelling merupakan salah satu indikator utama dalam penentuan lokasi ikan. Sensor ocean color yang dibawa satelit dapat menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang adanya variasi warna perairan (ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi klorofil-a dalam perairan. Pendeteksian klorofil-a dalam suatu perairan adalah dengan pengukuran radiansi warna perairan pada spektrum 433-520 nm dari kanal 2, 3 dan 4 dari sensor SeaWIFS. Dengan menggunakan sensor dari satelit SeaStar ini maka tingkat kandungan klorofil-a dari suatu perairan dapat diketahui. Pengukuran konsentrasi klorofil-a dengan metode remote sensing dapat dilakukan oleh beberapa satelit yang salah satunya adalah satelit TERRA dengan sensor MODIS yang dimilikinya. MODIS (Moderate Imaging Spektroradiometer) adalah salah satu perangkat/piranti utama yang dibawa oleh Earth Observing System (EOS) satelit TERRA, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi di antara faktor-faktor ini (Mustafa 2004). 2.2 Parameter Oseanografi 2.2.1 Suhu permukaan laut Suhu adalah besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari (Weyl 1970). Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25oC hingga 30oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db (± 8 m) (Tomascik et al. 1997). Menurut Soegiarto dan Birowo (1975), suhu pada lapisan permukaan di Perairan Indonesia berkisar antara 26oC hingga 30oC, lapisan termoklin berkisar 9oC hingga 26oC dan lapisan dalam berkisar antara 2oC hingga 8oC. Suhu air laut berkisar antara -2ºC hingga 30oC dimana nilai terendah disebabkan karena adanya formasi es dan nilai tertinggi disebabkan oleh proses radiasi dan perubahan atau pergantian bahang dengan atmosfer (Ingmanson dan Wallace 1973). Sedangkan di daerah tropis suhu permukaan laut berkisar antara 27oC hingga 29oC dan 15oC hingga 20oC di daerah subtropis. Suhu ini menurun secara teratur sesuai dengan kedalaman. Reddy (1993) menyatakan bahwa, ikan adalah hewan berdarah dingin yang suhu tubuh selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih kisaran suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh seperti kecepatan renang serta dalam rangsangan syaraf. Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa spesies ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting dalam menentukan kekuatan keturunan dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan penting yang komersil. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground) selama musim pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut. Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan (spawning ground) dan daerah penangkapan (fishing ground) secara periodik (Reddy 1993). Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena pengaruh angin maka di lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50 hingga 70 m terjadi pengadukan sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28,00oC) yang homogen. Oleh sebab itu, lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan homogen. Karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan homogen bisa mencapai kedalaman hingga ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat yang disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer). Mixed layer mendukung kehidupan ikan-ikan pelagis secara pasif mengapungkan plankton, telur ikan dan larva sementara lapisan air dingin di bawah termoklin mendukung kehidupan hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam (Reddy 1993). Nontji (1993) mengatakan bahwa, pada saat terjadi penaikkan massa air (upwelling), lapisan termoklin ini bergerak ke atas dan gradien menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas. Fluktuasi jangka pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh pergerakan permukaan, pasang surut dan arus. Di bawah lapisan termoklin suhu menurun secara perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman. Wyrtki (1961) mengatakan bahwa, kedalaman termoklin di dalam Lautan Hindia mencapai 120 m menuju ke Selatan di daerah Arus Equatorial Selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 m. Laevastu (1981) yang telah mempelajari pengaruh faktor oseanografi terhadap sebaran ikan pelagis dari berbagai daerah penangkapan menunjukkan bahwa, salah satu parameter utama yang sangat mempengaruhi sebaran ikan pelagis adalah suhu dan arus. Banyaknya hasil tangkapan dan melimpahnya populasi ikan pelagis sangat terkait dengan perubahan suhu perairan. Semakin dalam gerombolan ikan pelagis berenang ke dasar perairan tergantung pada struktur vertikal suhu. Selanjutnya ditambahkan bahwa beberapa jenis ikan pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu di permukaan perairan hangat. Kedalaman gerombolan ikan herring sangat tergantung pada luasnya lapisan campuran di permukaan pada malam hari. 2.2.2 Produktivitas perairan Plankton adalah organisme yang hidup melayang atau mengambang di dalam air. Kemampuan geraknya sangat terbatas sehingga selalu terbawa oleh arus. Plankton dibagi menjadi dua golongan utama yakni fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton (plankton nabati) merupakan tumbuhan yang amat banyak ditemukan di semua perairan, tetapi karena ukurannya mikrokopis sukar dilihat kehadirannya. Konsentrasinya bisa ribuan hingga jutaan sel per liter air laut. Zooplankton (plankton hewani) terdiri dari sangat banyak jenis hewan. Ukurannya lebih besar dari fitoplankton, bahkan ada pula yang bisa mencapai satu meter seperti ubur-ubur. Plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem laut karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya. Selain itu hampir semua hewan laut memulai kehidupannya sebagai plankton terutama pada tahap masih berupa telur dan larva (Nontji 2007). Klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi organisme yang ada di perairan. Ada tiga macam klorofil yang dikenal hingga saat ini yang dimiliki fitoplankton yaitu klorofil-a, klorofil-b dan klorofil-c. Disamping itu ada beberapa jenis pigmen fotosintesis yang lain seperti karoten dan xantofil. Dari pigmen tersebut klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton, oleh karena itu konsentrasi fitoplankton sering dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a (Parson et al. 1984). Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer laut terbuka. Menurut Barnabe dan Barbane (2000), produktivitas primer perairan pantai melebihi 60% dari produktivitas yang ada di laut. Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produktivitas primer di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, arus dan turbulensi, efek biologi dari masuknya air tawar di daerah pesisir, struktur vertikal dan pergerakan dari perairan pesisir (Barnabe dan Barbane 2000; Mann dan Lazier 1996). Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela 1984). Nontji (1993) menyatakan bahwa, faktor yang dapat meningkatkan konsentrasi klorofil-a di lautan adalah adanya peristiwa upwelling yang salah satu pemicunya adalah sistem angin muson ; hal ini berkaitan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari pengamatan terhadap sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia bagian timur diketahui bahwa konsentrasi klorofila tertinggi dijumpai pada muson tenggara sedangkan kandungan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Rendahnya konsentrasi klorofil-a tersebut disebabkan konsentrasi nutrien lebih rendah akibat upwelling tidak terjadi dalam skala besar. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua muson tersebut telah dikemukakan oleh beberapa peneliti. Nontji (1993) diacu dalam Monk et al. (1997) menyebutkan bahwa, rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3, 0,16 mg/m3 selama musin barat dan 0,21 mg/m3 selama musim timur. 2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis Sumberdaya ikan pelagis adalah jenis-jenis ikan yang hidup atau menghuni perairan lapisan permukaan sampai lapisan tengah (mid layer). Sumberdaya perikanan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik karena terutama penyebarannya adalah di perairan dekat pantai. Di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikkan massa air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Makanan utama ikan pelagis adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu, kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan tergantung kepada lingkungan perairannya. Musim ikan pelagis di perairan Indonesia umumnya berlangsung pada akhir musim Timur dan awal musim Barat (sekitar bulan Agustus sampai November). Kesuburan perairan tersebut akibat adanya upwelling pada musim Timur seperti yang terjadi di Laut Banda, Samudera Hindia dan Laut Jawa bagian Timur (Puslitbangkan 1994). Ikan pelagis pada umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya. Ikan-ikan ini bersifat fototaksis positif (tertarik pada cahaya) dan tertarik pada benda-benda terapung. Terdapat kecenderungan ikan pelagis kecil bergerombol berdasarkan kelompok ukuran. Kebiasaan makan ikan pelagis kecil umumnya waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam. Kebanyakan ikan pelagis termasuk pemakan plankton, baik plankton nabati (fitoplankton) maupun plankton hewani (zooplankton). Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang sering tertangkap di perairan Sibolga adalah ikan layang, kembung, selar como (bentong/buncilak), parang-parang, baledang, balato/belado kuning, teri, sebelah dan peperek (keke). Masing-masing jenis ikan pelagis yang ditangkap di perairan Sibolga mempunyai musim penangkapan tersendiri yaitu musim puncak, musim sedang dan musim kurang. 2.3.1 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus) Badannya benar-benar pipih dan licin. Kepala lonjong keatas, punggungnya sangat kecil di bagian permukaan. Selaput insang bersatu dengan isthmus. Mulut sangat kecil dan protractile. Tidak ada gigi pada langit mulutnya sedangkan pada keluarga Pseudobranchiae memiliki gigi pada langit mulut. Sirip bagian punggung duri berjumlah 8 atau 9 yang besambung agak tegak di bagian depan; bagian belakang memiliki sirip lembut yang terang berjumlah 14-16. 3 duri terletak di bagian sirip ekor; sirip duri bagian depan dan ekor dengan bentuk bulan sabit. Sebuah kelopak yang bersisik terletak pada dasar sirip bagian punggung dan ekor untuk hewan bertulang belakang yang berjumlah 22-23. Semua spesies memiliki organ kerongkongan yang terang. Juga dicatat bahwa hasil produksi makanan ikan ini berbentuk lendir (mucus). Klasifikasi ikan keke adalah sebagai berikut : Kingdom: Animalia Subkingdom: Bilateria Branch: Deuterostomia Infrakingdom: Chordonia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Infraphylum: Gnathostomata Superclass: Osteichthyes Class: Actinopterygii Order: Perciformes - perch-like fishes Suborder: Percoidei Family: Leiognathidae Genus: Leiognathus Species: decorus Sumber : Kimura et al (2008). Gambar 2 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus). Family ini memiliki licin, mulut kecil (slipmouths) atau ponyfishes, dapat ditemukan di daerah perairan terumbu karang. Ukurannya tergantung kepada diet; ikan kecil yang berukuran <6.9 cm memakan crustacean (jenis-jenis kerangkerang), sedangkan ikan besar yang berukuran >7.0 cm biasanya dikelompokkan kepada golongan pemakan amphipoda, polychaeta dan detritus. Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap periode migrasi musiman serta keberadaan ikan. Keadaan perairan serta perubahannya akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhannya. Faktor musiman dan perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan lainnya akan mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis ikan pada daerah penangkapan ikan (Gunarso 1985). Family Leiognathidae sama dengan kelas Actinopterygii (ray-finned fishes) dan order Perciformes yang memiliki 3 genus dan 24 jenis. Ikan ini dapat ditemukan di lingkungan laut, payau dan air tawar serta pada umumnya di laut. Kelompok family ini tidak digunakan pada perdagangan khusus akuarium. Secara reproduksi, kebanyakan family ini tidak perlu dijaga. Pola utama renang ikan dewasa di family ini seperti berbentuk carangiform. Ikan peperek bergabung dengan ikan lainnya, dengan membangun tingkat aktivitas yang normal. 2.3.2 Ikan kembung (Rastrelliger spp) Spesies ikan kembung menurut Saanin (1968) terdiri atas Rastrelliger kanagurta, Rastrelliger neglectus dan Rastrelliger branchysoma. Yang disebut sebagai ikan kembung di sini adalah spesies Rastrelliger branchysoma dengan nama lain sebagai kembung perempuan. Ikan kembung mempunyai bentuk tubuh pipih agak lebar. Panjang kepala sama atau sedikit lebih pendek dari tinggi badan. Panjang baku 3,7-4,3 kali badan. Warna tubuh keperakan dan pada bagian punggung hijau kebiruan. Ikan kembung yang sering tertangkap berukuran 16 cm. Makanan ikan kembung terdiri dari diatom 31%, organisme lainnya 9% dan jasad tidak teridentifikasi 60% (Puslitbangkan 1994). Ikan kembung merupakan ikan pelagis kecil yang termasuk dalam famili Scombridae. Ciri meristik ikan kembung adalah sirip punggungnya terpisah menjadi dua bagian. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 10, sedangkan sirip punggung yang kedua berjari-jari lemah 11-12. Sirip dada (pectoral) terdiri dari 16-19 jari-jari lemah, sirip perut (ventral) terdiri dari 7-8 jari-jari lemah, sirip ekor (caudal) terdiri dari 50-52 jari-jari lemah bercabang dan sisik pada gurat sisi (linea lateralis) terdiri dari 127-130 buah sisik (Collette dan Nauen 1983). Klasifikasi ikan kembung menurut Fischer dan Whitehead (1974) diacu dalam Almutahar (2005) adalah sebagai berikut : Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Kelas: Pisces Subkelas: Teleostei Ordo: Perciformes Subordo: Scombroidea Famili: Scombroidae Spesies: Rastrelliger kanagurta (Indian mackerel/Pacific). Rastrelliger brachysoma (Short-bodied mackerel). Rastrelliger faughni (Faughn’s mackerel). a b Sumber : Collette and Nauen (1983). Gambar 3 (a) Kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dan (b) Kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta). Kembung melakukan migrasi untuk memijah dan mencari makan (Rounsefell dan Everhart 1962). Susanto (1961) secara spesifik berpendapat bahwa, kembung perempuan melakukan migrasi untuk mencari makanan dan mencari daerah pemijahan. Selain itu, faktor yang mempengaruhi migrasi adalah kekuatan angin dan arus. Ikan kembung perempuan yang menyebar di perairan dekat pantai karena mereka hidup pada perairan dengan kadar garam rendah (Pasaribu 1967). Ikan kembung umumnya memijah pada sekitar musim Barat (Nurhakim 1993). Beberapa ahli telah menduga tempat dan waktu pemijahan ikan kembung. Ikan kembung perempuan mempunyai musim pemijahan selama beberapa bulan yang berlangsung dari bulan Mei-Oktober di Tanjung Satai (Kalimantan Barat). Ikan kembung lelaki mempunyai dua musim pemijahan di Laut Jawa, yaitu berlangsung dalam musim Barat dari Oktober-Februari dan musim Timur dari bulan Juni-September. Jenis ini diduga banyak memijah di sebelah Utara Tanjung Satai, Laut Cina Selatan, Samudera Hindia dan Laut Flores (Burhanuddin et al. 1984). Nurhakim (1993) menyatakan bahwa, waktu pemijahan diduga berlangsung antara bulan April-Agustus dan Desember dengan puncak pemijahan pada bulan Agustus. Daerah pemijahan diduga sekitar Kepulauan Karimun Jawa dan Matasari. Chisastit (1962) menduga bahwa migrasi ikan kembung perempuan dijumpai pada musim pemijahan. Ikan kembung yang mature mungkin sekali pergi ke daerah pemijahan dari daerah pantai, dan ikan juvenil akan ke pantai untuk mencari makan. Kelompok ikan kembung dapat ditemukan dengan melihat tanda-tanda di laut pada siang hari. Tanda-tanda itu seperti perairan kelihatan lebih pekat dari sekelilingnya serta adanya percikan-percikan yang disebabkan gerakan kelompok ikan tersebut. Tanda ini adalah khas untuk kembung perempuan. Pada malam hari dalam keadaan gelap kembung perempuan berada di lapisan permukaan. Bagian punggung ikan ini kelihatan berkilau-kilau. Adanya cahaya memudahkan penemuan ikan ini. Itu pula sebabnya penangkapan ikan ini umumnya dilakukan pada malam hari dalam keadaan gelap (Pasaribu 1967). Nontji (1987) mengatakan bahwa, ikan kembung lelaki dan ikan kembung perempuan hidup dari plankton yang ditangkapnya dengan tapis insang. Ikan kembung perempuan mempunyai tapis insang lebih halus karena plankton yang dimakan terdiri dari plankton-plankton kecil seperti diatom dan copepoda, sebaliknya tapis insang kembung lelaki lebih besar karena memakan plankton yang lebih besar. 2.3.3 Ikan layang (Decapterus spp) Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus ruselli dan Decapterus macrosoma. Decapterus ruselli mempunyai nama sinonim Decapterus maruadsi dengan nama umum ikan layang atau round scad. Sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai nama umum ikan layang deles atau layang scad (Nurhakim et al. 1987). Ikan ini hidup di perairan lepas pantai berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan besar. Panjang tubuhnya dapat mencapai 30 cm, umumnya antara 20-30 cm, bentuk badan agak memanjang dan agak gepeng (Direktorat Jenderal Perikanan 1989). Dalam statistik perikanan, keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang (Decapterus spp) (Widodo 1988). (a) (b) Sumber: Sawada (1980). Gambar 4 Ikan layang : D. macrosoma (a) dan D. russelli (b). Ikan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagik, tidak menetap dan suka bergerombol. Jenis ikan tergolong stenohaline, hidup di perairan yang berkadar garam relatif tinggi (32‰-34‰) dengan kisaran yang sempit dan menyenangi perairan yang jernih. Menurut Lursinap et al. (1970), salinitas optimum ikan layang berkisar antara 32‰-32,5 ‰. Ikan layang banyak terdapat di perairan yang berjarak 37-56 km dari pantai (Weber dan de Beaufort 1931; Hardenberg 1937). Ikan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum, yaitu sebesar 17°C. Suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan adalah sekitar 20ºC-30°C. Sedang suhu selang distribusi ikan layang berkisar antara 12ºC-25°C (Laevastu dan Hela 1970). Ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan pertahun dengan puncak pemijahan pada bulan Maret/April (musim Barat) dan Agustus/September (musim Timur) (Puslitbangkan 1994). Ikan layang deles (Decapterus macrosoma) memijah selama beberapa bulan dengan puncaknya bulan Agustus/September (Widodo 1988). Menurut Asikin (1971), ikan layang muncul ke permukaan karena dipengaruhi oleh ruaya harian dari plankton hewani (zooplankton) yang terdapat di suatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari copepod 39%, crustacean 31% dan organisme lainnya 30% (Puslitbangkan 1994). Ruaya ikan layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan massa air laut, walaupun secara tidak langsung. Menurut penelitian Hardenberg (1937), populasi layang yang berasal dari Samudera Hindia beruaya melalui Selat Sunda ke Laut Jawa sampai di sebelah utara Cirebon. 2.3.4 Ikan belado kuning/selar hijau (Atule mate) Belado kuning termasuk kedalam famili Carangidae dengan nama Indonesia Selar Hijau (Atule mate) atau Slender scaled scad. Sumber: Paxton et al (1989). Gambar 5 Ikan belado kuning (Atule mate). Klasifikasi ikan belado kuning adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Actinopterygii Order : Perciformes Family : Carangidae Spesies : Atule mate Badan agak memanjang dengan profil dorsal dan ventral membulat. Jaringan lemak menutup mata dan menutup seluruh mata dengan ulah sempit tegak lurus di tengah-tengah mata. Bagian interval dari garis latersal sangat melengkung. Badan berwarna hijau biru pada punggung, sepuhan warna kuning hijau pada sisi-sisi sering dengan palang-palang gelap, perut putih keperakan. Sirip lemah dorsal kuning dengan ujung putih pada cupingnya. Sirip ekor kuning gelap, sirip-sirip lain transparan. Sebuah bintik hitam pada tepi tutup insang. Jari-jari sirip lemah mirip dorsal dan anal terakhir terpisah agak penuh tapi dihubungkan dengan membran. Ikan ini hidup berkelompok di perairan pantai, berlumpur dan pasir atau pasir batu dengan koral pada kedalaman 5-30 meter, hutan bakau (mangrove) dan terumbu karang. Belado kuning aktif pada siang hari ke permukaan atau perairan tengah (midswaks) pada malam hari dan dapat ditangkap dengan menggunakan alat penangkap ikan seperti hand line, trawl dasar, pancing dan purse seine. Secara spesifik, makanan ikan belado kuning adalah jenis crustacean dan cephalopoda tetapi ikan belado kuning ini akan aktif berenang di permukaan air untuk mengejar zooplankton. Pada umumnya ikan belado kuning dengan ukuran antara 91 dan 150 mm memakan makan utamanya berupa crustacean sedangkan pada ukuran 151 mm akan memakan makanan utama, yaitu ikan kecil, jadi ikan ini bersifat pelagis yang predator. Ikan belado kuning yang berukuran matang gonad berkisar antara 150160 mm melakukan pemijahan pada bulan Maret dan Oktober di perairan laut dengan kedalaman 10 meter. 2.3.5 Ikan bentong/buncilak, selar como (Alepes djeddaba) Buncilak merupakan satu famili dengan belado kuning yaitu famili Carangidae. Nama Indonesia biasanya disebut Selar como (Alepes djeddaba) dan nama Inggrisnya disebut Shrimp scad. Sumber: Gloerfelt and Kailola (1984) Gambar 6 Ikan buncilak (Alepes djeddaba). Klasifikasi ikan buncilak adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Actinopterygii Order : Perciformes Suborder : Percoidei Superfamily : Percoidea Family : Carangidae Genus : Alepes Spesies : Alepes djeddaba Ikan ini memiliki tinggi melebar dan sedikit membulat. Profil tubuh bagian punggung dan perut berbentuk cembung. Diameter mata sebesar 3,5–4 kali panjang kepala. Sirip punggung pertama dengan sebuah duri keras yang menghadap ke depan diikuti oleh 8 duri-duri keras lainnya. Sirip punggung kedua dengan sebuah duri keras dan 23-25 duri-duri lunak. Sirip dubur dengan duri-duri keras terpisah diikuti oleh sebuah duri keras dan 18-20 duri-duri lunak. Bagian dada bersisik. Gurat sisi sangat melengkung bagian belakang. Warna hijau/biru bagian atas, putih keperakan bagian bawah. Terdapat noktah hitam di pinggir atas tutup insang. Sirip-sirip kuning pucat, terutama sirip ekor. Ikan buncilak yang berukuran muda, yaitu 150-199 mm dan 240-319 mm memakan makanan utamanya dari jenis crustacean seperti decapoda, ostrocoda, amphipoda dan cladoceran, ketika ikan buncilak yang berukuran 200-239 mm pada umumnya mengkonsumsi ostrocoda dan jenis crustacean lainnya. Buncilak hidup di habitat perairan pantai yang berkarang dan banyak mengandung crustacean berukuran kecil. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ini adalah trawl dasar, purse seine dan bubu. Daerah penyebaran ikan buncilak sepanjang daerah perairan Indo-Pasifik sampai Afrika Utara bagian selatan, sepanjang pantai Afrika Timur, India, Asia, Indonesia, Australia bagian selatan, Jepang hingga ke perairan Hawai. Pada umumnya ikan ini hidup berkelompok di perairan pantai yang berkarang dan berpasir bahkan di perairan berlumpur. Adakalanya ikan ini ditemukan pada lingkungan laut lepas. 2.3.6 Ikan parang-parang (Chirocentrus dorab) Ikan parang-parang masuk kedalam Family Chirocentrus (Wolf herring), Ordo Clupeiformes (herring), Kelas Actinopterygii (ray-finned fishes) dengan memiliki nama perdagangannya Dorab wolf herring. Panjang baku ikan jantan yang belum matang kelamin 100 cm sedangkan ikan betina 36,6 cm. Hidup di daerah karang yang banyak, amphidromous, air payau, laut dengan kedalaman perairan 120 meter. Selain itu ikan ini mampu hidup pada daerah tropis dengan posisi 35º 00' LU – 30° 00' LS. Ikan ini berada pada daerah pantai termasuk air payau. Ikan ini termasuk dalam predator yang suka memakan kelompok ikan-ikan kecil seperti ikan laut dan sejenisnya. Di Australia, ikan ini mampu hidup dalam air yang bersuhu 26ºC- 29ºC. Makanan pokoknya adalah jenis-jenis ikan kecil tapi kadang-kadang juga kerang-kerangan (Whitehead 1985). Sumber: Whitehead (1985). Gambar 7 Parang-parang (Chirocentrus dorab). 2.3.7 Ikan teri (Stolephorus commersonii) Ikan teri termasuk kedalam famili Engraulidae (Anchovies), ordo Clupeiformes (herrings), kelas Actinopterygii (ray-finned fishes) dengan nama perdagangan adalah Commerson’s anchovy. Ikan teri jantan memiliki panjang 10 cm. Ikan ini masuk kedalam kelompok pelagis yang hidup di air laut dan tawar pada kedalaman 0-50 m serta bersifat anadromous. Selain itu teri hidup di daerah tropis dengan posisi 27º 00' LU – 24º 00' LS dan 38º00' BT – 155º 00' BT. Sumber: Whitehead et al. (1988) Gambar 8 Ikan teri (Stolephorus commersonii). Ikan teri mempunyai sirip anal soft sebanyak 18-19, bentuk perut yang bulat, ramping, dan gigi kecil terdapat di tulang hyoid. Ujung rahang menjangkau atau bagian batasan per-operkulum sedikit mengarah ke belakang, berbentuk cembung dan bulat. Otot isthmus yang lancip mengarah ke bawah, warna tubuh transparancoklat muda dengan sepasang dark patches (linea lateralis) yang bersambung dengan sepasang garis ke arah sirip ekor berwarna putih. Penyebaran ikan teri secara bergerombolan terdapat di perairan Atlantik, Samudera India dan Samudera Pasifik biasanya dapat hidup di perairan dasar terumbu karang dan daerah estuaria yang beriklim tropis. Beberapa di antaranya dapat hidup atau bertahan hidup di perairan air payau. Selain itu, gerombolan ikan teri dapat di jumpai di perairan estuaria Godavari, India selama 5 bulan dari bulan Februari sampai Juni pada salinitas 19,6–32 ppt tetapi gerombolan ikan teri hampir secara total ada pada musim banyaknya fitoplankton. Makanan utama adalah plankton yang ada di permukaan laut tapi kadang-kadang memakan larva udang dan kerang-kerangan. 2.4 Karakteristik Alat Tangkap Trawl dan Pukat Ikan 2.4.1 Karakteristik alat tangkap trawl Menurut sejarahnya asal mula trawl adalah dari laut tengah dan abad 16 dimasukkan ke Inggris, Belanda, Perancis, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Bentuk trawl pada waktu itu (dalam bahasa Belanda disebut “schrob net” bukanlah seperti trawl yang dipakai dewasa ini dimana telah mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan (Subani dan Barus 1989). Selanjutnya dikemukakan bahwa trawl adalah alat penangkap ikan, udang dan biota laut lainnya yang berupa jaring kantong besar, melebar dan mulut jaring yang terbuka dengan kedua sayap jaring terbentang di bagian depan pada masing-masing sisinya dan meruncing pada bagian akhir jaring. Bagian akhir jaring akan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantung (cod end) ketika ditarik secara horizontal di perairan. Tipe pengoperasian trawl dapat diubah sesuai dengan variasi kedalaman, jenis ikan, cara pengoperasian konstruksi dan perlengkapan alat. Trawl yang dikenal dengan istilah pukat harimau, menurut Nomura dan Yamazaki (1977), didefinisikan sebagai alat tangkap ikan berbentuk kantong yang pada mulut kantong dilengkapi dengan rantai pemberat dan papan pembuka (otter board), dalam pengoperasiannya ditarik oleh satu atau dua kapal. Adapun bagian dari jaring trawl antara lain: papan pembuka, tali penarik, tali ris atas dan tali ris bawah, pelampung, rantai pemberat, jaring berbentuk kantong dan bagian ujung kantong. Panjang tali penarik sepertiga dari panjang jaring, papan pembuka bervariasi ukurannya, pada umumnya antara 0,5 m2 sampai 1,5 m2. Mesh size jaring pada ujung pembuka pada umumnya antara 80-240 mm dan pada ujung kantong sekitar 150 mm. Dengan karakteristik dan cara pengoperasian trawl tersebut dapat ditarik keterangan bahwa jaring trawl termasuk peralatan yang efektif untuk melakukan penangkapan ikan terutama untuk menangkap ikan demersal. Menurut Brandt (1984), trawl diklasifikasikan ke dalam alat tangkap dragged (ditarik). Grup ini terdiri dari semua jaring kantong atau jaring terbentang yang ditarik sepanjang kolom perairan atau dekat dasar perairan atau sesekali ke perairan pelagis untuk waktu yang terbatas. Selanjutnya dikatakan pula oleh King (1995) bahwa, trawl dan pukat adalah alat tangkap yang ditarik sepanjang perairan untuk menjaring invertebrate dan ikan laut. Subani dan Barus (1989) mengatakan bahwa, menurut arah bukaan mulut jaring, pada dasarnya trawl dibagi menjadi 3 macam yaitu : (1) Beam trawl: terbukanya mulut jaring dikarenakan bentangan/rentangan kayu pada mulut jaring. Jaring ini disebut “fixmouth trawl”. Jaring membuka secara vertikal dengan trawl heads baja yang berat dan secara horizontal dengan beam kayu (Gambar 9). (2) Otter trawl: terbukanya mulut jaring dikarenakan ada dua buah papan atau “otter board” yang dipasang di ujung muka kaki sayap jaring yang prinsipnya menyerupai layang-layang. Jaring membuka secara vertikal dengan pelampung sepanjang head rope, dan secara horizontal dengan otter board (Gambar 10). (3) Paranzella: terbukanya mulut jaring karena ditarik oleh dua buah kapal yang jalannya sejajar dengan jarak tertentu dan biasanya disebut juga pair trawl. Jaring terbuka secara vertikal karena ada pelampung dan pemberat dan secara horizontal oleh jarak dua kapal (Gambar 11). Gambar 9 Alat tangkap beam trawl. Gambar 10 Alat tangkap otter trawl. Gambar 11 Alat tangkap paranzella. Menurut Brandt (1984), beam trawl termasuk dalam kelompok trawl dasar (bottom trawl). Ditambahkan oleh Ayodhyoa (1979) bahwa, beam trawl adalah trawl dengan mulut jaring terbuka karena adanya bentangan kayu atau besi pada mulut jaring dan sayap yang pendek. Selanjutnya King (1995) menyebutkan bahwa, beam trawl mempunyai kesamaan desain dengan otter trawl tetapi jaringnya terbuka dan terbentang secar lateral dengan bingkai (beam) secara horizontal sebagai pengganti otter broad. Beam trawl dengan bukaan tertentu relatif mudah untuk di setting namun beam trawl dengan ukuran yang besar sulit ditangani ketika dinaikkan ke atas kapal. Beam trawl atau fixmouth atau trawl bermulut tetap atau berbingkai tetap. Beam trawl adalah trawl dimana terbukanya mulut jaring sewaktu ditarik akibat adanya bentangan kayu atau besi pada mulut jaring. Rentangan ini dapat berbentuk bingkai empat persegi panjang atau menyerupai huruf “U” terbalik (π). Otter trawl termasuk salah satu jenis yang banyak digunakan dewasa ini dalam usaha penangkapan khususnya penangkapan udang, termasuk di dalamnya “pukat udang”, “pukat harimau” dan semua jenis trawl yang menggunakan papan trawl untuk membuka mulut jaring saat dioperasikan. Jaring yang besar pada otter trawl ditarik sepanjang dasar perairan atau ditarik dalam kolom air dengan kapal. Mulut jaring dibuka melalui dua papan besar yang diletakkan di kedua sisi dan mulut jaring. Jaring ditarik oleh kapal dengan kabel baja yang tebal. Otter trawl yang digunakan mempunyai bukaan mulut jaring berkisar dari 50 kaki sampai lebih dari 100 kaki tergantung dari jenis ikan yang akan ditangkap dan ukuran kapal yang digunakan. Trawl umumnya dioperasikan pada dasar perairan namun juga dapat dioperasikan pada kedalaman yang diinginkan. Menurut letak jaring dalam air selama operasi penangkapan dilakukan, Ayodhyoa (1979) membagi trawl atas 3 yaitu : (1) Surface trawl (trawl yang dioperasikan pada permukaan perairan) (2) Mid-water trawl (trawl yang dioperasikan pada pertengahan atau kolom perairan) (3) Bottom trawl (trawl yang dioperasikan pada dasar perairan). Menurut letak penarikan jaring di kapal, trawl dibagi atas: side trawl (ditarik dari samping kapal), stern trawl (ditarik dari buritan kapal) dan double rig trawl, yang merupakan trawl yang ditarik melalui rigger yang dipasang pada kedua sisi lambung kapal. Berdasarkan cara pengoperasiannya, trawl dapat digolongkan kedalam 3 kategori utama yaitu : 1) bottom trawl (untuk menangkap ikan dasar dan udang), 2) mid water trawl, yang dioperasikan pada kolom air dan 3) semi pelagic trawl (untuk menangkap ikan pelagis). Apabila dilihat dari pengoperasian kapal penarik maka trawl dapat di golongkan kedalam 4 kategori, yaitu: (i) satu unit kapal mengoperasikan satu unit trawl (beam trawl, otter trawl dan otter trawl with boom), (ii) dua unit jaring trawl ditarik oleh satu unit kapal (beam trawl with boom dan otter trawl with boom), (iii) satu unit jaring trawl ditarik oleh dua unit kapal dan (iv) satu unit kapal menarik lebih dari dua unit jaring trawl. Selain itu dikenal istilah lain tentang jenis trawl, antara lain: double rig shrimp trawl (dua unit trawl yang ditarik oleh satu kapal) untuk menangkap udang, otter trawl (trawl yang dilengkapi oleh otter board) yang ditarik dengan satu unit kapal payang (sejenis trawl permukaan) dan sebagainya. 2.4.2 Karakteristik pukat ikan (fish net) Alat tangkap pukat ikan mirip dengan pukat udang. Perbedaan kedua alat ini adalah pukat ikan tidak memiliki BED (By-catch Excluder Device), jaring lebih kasar dan memiliki mata jaring yang lebar dibandingkan dengan jaring udang. Jenis pukat ikan termasuk kedalam kelompok Otter Trawl atau disebut juga jaring tarik (Lampiran 13). Otter trawl (baca : commercial shrimp trawl) pertama kali diperkenalkan kurang lebih pada tahun 1912 dan 1915 di pantai timur Florida. Kehadiran otter trawl tersebut secara cepat dapat diterima untuk menggantikan haul seine tradisional sebagai standard commercial gear. Di Indonesia telah diperkenalkan kurang lebih pada akhir abad 19. Pada awalnya papan trawl tersebut diikatkan langsung pada ujung sayap/kaki tetapi kemudian Vigneron dan Dahl (Bangsa Perancis) mengadakan modifikasi yang selanjutnya dikenal dengan V-D trawl, yaitu kedua pada ujung sayap/kaki diikatkan pada perentang (spreader), yakni ris (head rope) pada ujung atas dan ris bawah (foot rope) pada ujung bawah perentang. Perentang bisa dibuat dari kayu maupun besi. Selanjutnya perentang tadi dengan kawat baja pendek atau panjang dihubungkan ke bagian belakang papan trawl (otter board). Demikianlah Vigneron dan Dahl memasang papan trawl dengan jarak antara 50-100 (Q) dari ujung sayap kaki jaring. Pukat tarik dasar berbentuk kantong yang terbuat dari jaring dan terdiri dari 2 bagian sayap dan bagian square, bagian badan serta bagian kantong jaring (BPPI. Semarang 1986). (1) Sayap/kaki jaring (wing); Bagian jaring terpanjang dan terletak di ujung depan dari pukat tarik dasar.sayap jaring terdiri dari sayap atas (upper wing) dan sayap bawah (lower wing). (2) Medan jaring atas (square); Bagian jaring yang terletak di atas mulut jaring dan menjorok ke depan. Square merupakan selisih antara panjang sayap bawah dan panjang sayap atas. (3) Badan jaring (body); Bagian jaring yang terpendek dan terletak di antara bagian kantong dan bagian sayap jaring. (4) Kantong jaring (cod end); Bagian jaring yang terletak di ujung belakang dari pukat tarik dasar. (5) Panjang total jaring; Hasil penjumlahan dari panjang bagian sayap/kaki, bagian badan dan bagian kantong jaring. (6) Keliling mulut jaring (circumference at net mouth); Bagian badan jaring yang terbesar dan terletak di ujung depan dari bagian badan jaring. (7) Palang rentang (beam); Kelengkapan pukat tarik dasar yang berbentuk batang bambu/kayu atau besi, yang dipergunakan sebagai alat pembuka mulut jaring. (8) Papan rentang (otter board); Kelengkapan pukat tarik dasar yang berbentuk papan empat persegi panjang yang dipergunakan sebagai alat pembuka mulut jaring. (9) Pemberat rantai (tackle chain); Sebagai alat pengejut udang yang berada di dalam dasar perairan dan terpasang sepanjang tali ris bawah. (10) Tali ris atas (head rope); Tali yang berfungsi untuk menggantungkan dan menghubungkan kedua sayap jaring bagian atas, melalui bagian square jaring. (11) Tali ris bawah (ground rope); Tali yang berfungsi untuk menghubungkan kedua sayap jaring bagian bawah, melalui mulut jaring bagian bawah. (12) Tali selambar (warp rope); Tali yang berfungsi sebagai penghela (dragging) di belakang kapal yang sedang berjalan dan penarik pukat tarik dasar ke atas geladak kapal. Konstruksi pukat tarik dasar kecil tipe 2 seam atau panel dapat dilihat pada Gambar 12. Keterangan gambar: 1) Panjang Bagian – Bagian Jaring 2) Lebar Bagian – Bagian Jaring a) Panjang tali ris atas :l a) Keliling mulut jaring : a b) Panjang tali ris bawah : m b) Setengah keliling mulut jaring : h c) Keliling mulut jaring : a c) Lebar ujung depan bagian sayap atas : g2 d) Panjang total jaring :b d) Lebar antara bagian sayap atas : g2’ e) Panjang bagian sayap atas : c e) Lebar ujung belakang bagian sayap atas : g1 f) Panjang antara bagian sayap atas : c’ f) Lebar ujung depan bagian sayap bawah : h2 g) Panjang bagian sayap bawah : d g) Lebar antara bagian sayap bawah : h2’ h) Panjang antara bagian sayap bawah : d’ h) Lebar ujung belakang bagian sayap bawah : h1 i) Panjang bagian medan jaring atas (square) : Sqr i) Jarak ujung-ujung belakang sayap atas : g” j) Panjang bagian badan : e j) Jarak ujung-ujung belakang sayap bawah : h” k) Panjang bagian kantong : f k) Lebar ujung depan bagian square : g’ l) Lebar ujung belakang bagian square : g1’ m) Lebar ujung depan bagian badan : i n) Lebar ujung belakang bagian badan : i1 o) Lebar ujung depan bagian kantong : j p) Lebar ujung belakang bagian kantong : j1 Gambar 12 Desain bentuk baku konstruksi pukat tarik dasar kecil tipe 2 seam atau panel (BPPI Semarang 1986). 2.5 Operasi Penangkapan Ikan Pelagis dengan Trawl dan Pukat Ikan 2.5.1 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan trawl Pada umumnya trawl yang digunakan sampai saat sekarang masih didasarkan pada prinsip yang tidak banyak mengalami perubahan. Bentuk dasar masih merupakan jaring yang menyerupai kantong yang berbentuk “truncated cone” dengan sayap yang terletak pada mulut jaring. Untuk membuka mulut jaring, umumnya digunakan beam yang menghubungkan ke dua wing, otterboard atau jaring tersebut ditarik oleh dua kapal. Berdasarkan operasinya, trawl dapat dibedakan atas bottom trawl dan midwater trawl (pelagic trawl). Kedua jenis trawl tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda sesuai dengan kondisi lapisan perairan dimana alat tersebut di operasikan. Cara pengoperasian trawl dapat dibagi atas tiga tahap yang meliputi : (1) Shooting yaitu melepaskan jaring ke laut. (2) Trawling yaitu menarik atau menghela jaring (3) Hauling yaitu mengangkat atau menaikkan jaring ke atas kapal. Tertangkapnya ikan selama trawling dapat terjadi jika gerombolan ikan berada di dalam jalur yang sama dengan jalur gerakan trawl. Dengan demikian ikan hanya akan dapat tertangkap jika berada di antara sweepline atau wing dengan kecepatan renang lebih rendah atau sama dengan kecepatan trawling kemudian ikan mengurangi kecepatannya. Ikan yang sudah berada di dalam mulut jaring dianggap sudah tertangkap dan diharapkan akan terus masuk ke codend. Didasarkan pada pertimbangan bahwa ikan hanya akan dapat tertangkap jika kecepatan trawling harus lebih tinggi atau sama dengan kecepatan renang maksimum ikan maka suatu penangkapan dengan trawl tidaklah dapat sukses jika kecepatan trawling di bawah kecepatan renang maksimum ikan. Peristiwa lolosnya ikan atau “escapement” dapat terjadi jika ikan yang sudah berada di antara wing atau di dalam mulut jaring bergerak ke luar jalur gerakan trawl. Disamping itu ikan yang sudah tertangkap dapat pula lolos melalui codend, jika mesh size codend lebih besar dari ukuran badan ikan. Pencegahan escapment melalui codend dengan memperkecil mesh size akan menyebabkan kenaikan resistensi dan penambahan berat (Friedman 1973) selanjutnya Taniguchi (1969) menyatakan bahwa, dengan merubah koefisien tidak begitu berpengaruh terhadap kenaikan resistensi. 2.5.2 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan pukat ikan Pukat ikan dengan alat pembuka mulut jaring, ditarik (dragging) di belakang kapal yang sedang berjalan dan menyelusuri dasar perairan. Penarikan pukat tarik dasar dengan kecepatan tarik (dragging speed) sekitar 2-4 knot selama 1-2 jam operasi. Kelengkapan pukat ikan berupa papan rentang atau palang rentang sebagai alat pembuka mulut jaring. Pengoperasian pukat tarik dasar dilakukan dengan menarik (dragging) jaring di belakang kapal yang sedang berjalan. Teknik pengoperasian dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu : (1) Penurunan jaring (setting) Penurunan jaring dilakukan dari bagian buritan kapal dan kapal bergerak maju dengan bantuan atau perentaraan tali selambar. Panjang tali selambar disesuaikan dengan kedalaman perairan. Penggunaan tali selambar dengan tujuan untuk mengatur kedalaman pukat tarik dasar agar dapat menyelusuri dasar perairan. (2) Penghelaan jaring (dragging) Penghelaan jaring dilakukan di belakang kapal yang sedang berjalan dan diupayakan pukat tarik dasar menyelusuri dasar perairan dengan mengikatkan tali selambar pada buritan kapal. Penghelaan jaring selama 1-2 jam operasi dengan kecepatan hela sekitar 2-4 knot. (3) Penarikan dan pengangkatan jaring (hauling) Penarikan dan pengangkatan jaring dilakukan dari buritan kapal atau sisi lambung kapal dengan menarik tali selambar. Penarikan tali selambar tanpa atau dengan menggunakan mesin bantu penangkapan (fishing machinery) yang berupa derek penarik (trawl winch) kemudian penarikan dan pengangkatan pukat tarik dasar ke atas geladak kapal. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dimaksudkan untuk pengambilan data lapangan yang meliputi data hasil tangkapan, posisi penangkapan. Pengambilan data lapangan ini dilaksanakan di perairan Sibolga dan sekitarnya pada tanggal 7-19 Juli 2007. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13. Tahap kedua untuk pengolahan serta analisis data klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) hasil deteksi satelit diambil dari Laboratorium Matra LautPusat Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur pada tanggal 6 Februari-5 Maret 2008. Gambar 13 Peta Lokasi Penelitian. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Citra Suhu permukaan laut hasil deteksi satelit NOAA-AVHRR, (2) Citra klorofil-a hasil deteksi sensor SeaWIFS satelit Sea Star pada level 1 dan 2, (3) Termometer digital, (4) Timbangan, (5) GPS dan (6) Kamera Digital. 3.3 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga kelompok, yaitu : 1) Data produksi, 2) Data SPL, 3) Data klorofil-a. Citra SPL dan klorofil-a yang dikumpulkan berbentuk model data raster berasal dari jenis level dua yaitu telah terkoreksi baik secara geometri, radiometri dan memiliki informasi dasar. Setelah citra diterima oleh antena penerimaan di ILC PUSBANGJA LAPAN, kemudian dilakukan perekaman dan pengolahan lebih lanjut, yang meliputi : (1) Perekaman data kanal-kanal citra dari satelit NOAA-16 untuk SPL dan Fengyun FY-1 D untuk klorofil-a pada komputer induk (2) Perubahan (konversi) data kanal-kanal citra ke dalam bentuk raster (3) Pemilihan citra bebas awan, dimaksudkan untuk memilih liputan citra yang hanya memiliki < 10 % tutupan awan pada lokasi penelitian (4) Penyimpanan data kanal-kanal citra bebas awan ke dalam CD-ROOM untuk selanjutnya diolah. Data hasil tangkapan diperoleh selama melakukan penelitan di perairan Sibolga Kecamatan Tapanuli Tengah. Data kegiatan penangkapan diperoleh dengan cara mengikuti pukat ikan. Lama trip operasi pukat ikan ini adalah 12 hari (7-19 Juli 2007). Data kegiatan penangkapan diisi pada log book yang telah disediakan meliputi waktu dan posisi penangkapan, jumlah total tangkapan posisi pada setiap daerah penangkapan ikan. Kegiatan pengukuran sampel klorofil-a tidak menggunakan alat dalam melakukan penangkapan ikan di laut selama penelitian karena alat yang digunakan sangat susah diperoleh sehingga hanya melakukan pengukuran dari citra satelit MODIS. Sedangkan suhu permukaan laut ada dilakukan pengukuran terhadap daerah penangkapan tetapi data hasil pengukuran SPL di lapangan tidak digunakan karena tidak sama dengan data SPL pengukuran dari citra satelit NOAA-AVHRR (Lampiran 11) sehingga menggunakan data pengukuran SPL dari citra satelit NOAA-AVHRR saja. 3.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.4.1 Analisis komposisi hasil tangkapan Ada beberapa hal yang dilakukan dalam menganalisis komposisi hasil tangkapan, yaitu 1) komposisi jenis ikan (spesies), 2) jenis dan jumlah ikan yang dominan tertangkap, 3) komposisi jumlah dan spesies ikan yang dominan tertangkap pada setiap posisi penangkapan yang berbeda. 3.4.2 Pengolahan citra satelit Pengolahan data kanal-kanal citra satelit NOAA-AVHRR dan FY-1 D dilakukan dengan metode pengolahan citra berbasiskan komputer menggunakan perangkat lunak Er Mapper. Tahapan-tahapan pengolahan adalah sebagai berikut : (1) Pemformatan data kanal satelit NOAA-AVHRR dan FY-1 D dimaksudkan untuk mempermudah pengolahan data-data kanal dalam perangkat lunak Er-mapper (2) Pemotongan (cropping area), dimaksudkan untuk memotong atau mengambil wilayah yang akan diolah dan dianalisa saja dengan memanfaatkan fasilitas cursor map atau dengan menggunakan sub fasilitas extents pada tools geoposition (3) Pemisahan (masking area) awan, darat dan laut dimaksudkan untuk menutupi nilai-nilai piksel darat dan awan sehingga hanya nilai-nilai piksel dari laut yang akan diolah informasinya. Persamaan untuk pemisahan awan, darat dan laut menggunakan perbandingan nilai kanal 2 terhadap nilai kanal 1 dengan ketentuan tiap-tiap kelas sebagai berikut (O’Reilly et al. 1998) : jika i2/i1 < 1,3 maka objek adalah laut ................................................... (8) jika i2/i1 >= 1,3 dan jika i2/i1 < 2 maka objek adalah awan .................. (9) jika i2/i1 >= 2 maka objek adalah darat ................................................. (10) Keterangan : i1 = input kanal 1 i2 = input kanal 2 Proses perhitungan persamaan (8), (9) dan (10) dilakukan dengan menggunakan fasilitas formula editor pada algorithm wizard (4) Perhitungan nilai suhu pemukaan laut (SPL), dimaksudkan untuk mendapatkan nilai-nilai SPL berdasarkan nilai temperatur kecerahan (brightness temperature) laut dengan menggunakan algoritma McMillin & Crosby (BML LAPAN, 1997): SPL = TB4 + 2,702 * (TB4 - TB5) – 273,582 ................................... (11) Keterangan : SPL = nilai suhu permukaan laut dalam oC TB4 dan TB5 = nilai suhu kecerahan dari kanal 4 dan 5 Proses perhitungan persamaan (11) dilakukan dengan menggunakan fasilitas formula editor pada algorithm wizard (5) Perhitungan nilai klorofil-a, dimaksudkan untuk mendapatkan nilai konsentrasi klorofil-a dengan menggunakan algoritma ocean colour OC4-V4 (O’Reilly et al. 1998): C 10 ( a0 a1R a2 R a3R ) a4 .............................................................. (12) Kanal 8 R Log Kanal 9 Keterangan : C = klorofil-a dalam mg/L a0 = 0,4708 a1 = -3,8469 a2 = 4,5338 a3 = -2,4434 a4 = -0,0414 Proses perhitungan persamaan (12) dilakukan dengan menggunakan fasilitas formula editor pada algorithm wizard (6) Pengkelasan SPL Citra yang telah diproses dibuat ke dalam bentuk peta SPL dengan kelas tertentu. Setiap selang kelas akan diberi warna berbeda untuk memudahkan analisis visual. Dalam penelitian ini digunakan selang kelas 0,5 ºC untuk memudahkan dalam analisis daerah penangkapan ikan (7) Klasifikasi citra klorofil-a dan SPL tidak perlu dilakukan hanya diekpsort saja. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai klorofil-a dan SPL jika citra SPL dan klorofil-a sudah di klasifikasi. 3.4.3 Pengolahan citra SPL dan klorofil dari Er Mapper ke ArcView GIS Pengolahan citra ke ArcView sangat perlu dilakukan untuk mendapatkan peta SPL dan klorofil. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut : (1) Citra SPL dan klorofil-a yang ada diambil dari LAPAN, Jakarta dalam bentuk Er Mapper. Citra tersebut telah diolah dari citra mentah (Level 2) ke citra jadi yang akan diolah dalam bentuk Er Mapper. (2) Citra SPL dan klorofil-a yang telah jadi dalam bentuk Er Mapper tersebut lalu dipotong (crop) sesuai dengan posisi daerah penelitian. (3) Citra SPL dan klorofil-a yang telah dipotong sesuai dengan daerah penelitian kemudian disimpan dalam bentuk tipe ”Er Mapper Raster Dataset (.ers)”. (4) Tutup dulu semuanya kecuali jendela Er Mapper, lalu buka citra SPL, klorofil-a dan Cell Value Profile Menu agar bisa di reclass citra tersebut serta dapat melihat jumlah nilai terendah dan tertinggi kedalam rumus sebagai berikut : If i1 <A then null else if i1 <= B then i1 else null, dimana: i1 = B1:Pseudo Layer atau kanal nilai SPL A = Batas bawah nilai SPL B = Batas atas nilai SPL Jika dimasukan nilai-nilai yang telah diketahui maka formula reclass di atas berubah menjadi: If i1<25 then null else if i1 <=31 then i1 else null. (5) Citra SPL dan klorofil-a yang telah di reclass kedalam rumus diatas maka disimpan ke bentuk Er Mapper Algorithm (.alg). Lalu tutup semuanya. (6) Munculkan kembali jendela Ermapper, buka citra SPL dan klorofil-a yang telah disimpan ke bentuk ”Er Mapper Algorithm (.alg)” kemudian simpan kembali dalam bentuk tipe ”Er Mapper Raster Dataset (.ers)”. Tujuannya adalah untuk dapat di eksport. (7) Dari langkah ke-6 selanjutnya citra SPL dan klorofil-a dieksport kedalam bentuk XYZ ASCII grid. Bertujuan untuk mendapatkan nilai SPL dan klorofil dari citra SPL dan klorofil dalam bentuk algoritma. (8) Hasil yang telah dieksport tadi dibuka kedalam bentuk Microsoft Excel berfungsi untuk mengetahui nilai serta posisi SPL dan klorofil atau bisa langsung dibuka ke program Surfer 8 dalam bentuk worksheet. (9) Nilai serta posisi citra SPL dan klorofil-a dipindahkan ke worksheet di Surfer 8 lalu datanya disortkan agar nilai-nilai tersebut berurutan dari terkecil hingga terbesar dan simpan dalam koma. (10) Hasil nilai-nilai yang telah disimpan dalam bentuk koma tersebut kemudian digridkan (dalam bentuk longitude/bujur dan latitude/lintang) untuk dapat ditampilkan citranya ke peta. (11) Setelah nilai-nilai tersebut digridkan maka nilainya dapat ditampilkan ke peta (Surfer 8). (12) Peta yang sudah ada dalam bentuk kontur dan sudah lengkap dengan nilainilai SPL dan klorofil-anya tersebut dapat di ekspor kembali di program Surfer 8 ke Esri shapfile (*.shp) agar bisa mendapatkan peta lengkap. (13) Sesudah selesai di eksport ke Esri shapefile kemudian buka program ArcView GIS 3.3 yang telah disimpan ke dalam folder, peta akan muncul didalam program ArcView GIS 3.3. (14) Untuk mendapatkan nilai-nilai SPL dan klorofil-a adalah memasukkan nilainilai SPL dan klorofil-a ke dalam “Theme Table” yang ada dijendela ArcView GIS 3.3. Nilai-nilai tersebut harus sama dengan nilai-nilai yang ada di peta Surfer 8 dalam bentuk kontur. (15) Langkah terakhir adalah nilai-nilai SPL dan klorofil-a yang sudah lengkap tersebut akan terlihat dalam peta di ArcView yang dibuat sendiri. (16) Peta yang sudah jadi tersebut lengkap dengan nilai-nilai SPL dan klorofil dapat dipindahkan kedalam bentuk peta yang sebenarnya dengan cara mengekstension ke Graticules and Measured Grid di program ArcView GIS 3.3 lalu kelik layout dijendela ArcView GIS 3.3 (di “View”). Kemudian mengubah peta di layout sesuai dengan keinginan sendiri. Untuk pengolahan citra SPL dan klorofil-a dari Er Mapper dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8. Gambar 14, menjelaskan alur pengolahan citra satelit secara umum dibawah ini : Mulai Satelit NOAA-AVHRR Bebas Awan. Data Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil selama Penelitian Satelit Seastar-SeaWIFS Tdk Data diperoleh dari LAPAN Trend Data Hasil Tangkapan Harian selama 11 Hari Penelitian Ya Bebas Awan Cropping Ya Pengolahan Citra SPL Kanal 1 dan 2 Cropping Ya Ekstrak Data Klorofil-a Koreksi Geometri Ok Tdk Koreksi Geometri Ya Tdk Citra Sebaran SPL : - Rata-rata - Dominan - Suhu Hangat - Suhu Dingin Kontur SPL Ok Ya Citra Sebaran Klorofil-a : - Rata-rata - Dominan - Suhu Hangat - Suhu Dingin Kontur Klorofil-a Hubungan SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan Ikan Selesai Gambar 14 Diagram Alir Penelitian. 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Komposisi Hasil Tangkapan Jumlah hasil tangkapan total selama penelitian sebanyak 31.076 kg, yang terdiri dari 15 spesies. Hasil tangkapan terbanyak adalah ikan keke yaitu sebanyak 11.420 kg (37%) kemudian menyusul teri sebanyak 3.887 kg (12,51%), ikan layang sebanyak 2.016 kg (6%), kembung perempuan sebanyak 1.720 kg (5,53%), belado kuning sebanyak 1.958 kg (6.30%), buncilak sebanyak 1.668 kg (5,37%), baledang sebanyak 1.404 kg (4,52%) dan sebelah sebanyak 1.309 kg (4,21%). Sedangkan hasil tangkapan terendah adalah sotong sebanyak 100 kg (0,32%). Adapun komposisi jumlah tangkapan menurut jenis spesies dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi hasil tangkapan pukat ikan dari tanggal 7–19 Juli 2007 per spesies. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jenis Ikan (Spesies) Kembung Perempuan Kembung Lelaki Parang-parang Sebelah Keke Beloso Teri Layang Belado Kuning Teter Biji Nangka Buncilak Selar Baledang Sotong Jumlah Total Jumlah Hasil Tangkapan (Kg) 1.720 939 1.477 1.309 11.420 873 3.887 2.016 1.958 798 893 1.668 614 1.404 100 31.076 Persentase (%) 5,53 3,02 5 4,21 37 2,81 12,51 6 6,3 3 3 5,37 2 4,52 0,32 100 Dari Tabel 4 terlihat bahwa hasil tangkapan yang dominan adalah ikan keke (Leiognathus decorus), teri (Stolephorus commersonii), belado kuning (Atule mate), layang (Decapterus spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), buncilak (Alepes djeddaba) dan parang-parang (Chirocentrus dorab). Persentase masing-masing tangkapan yang dominan tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Kembung Perempuan 7% Buncilak 7% Parang-parang 6% Keke 48% Layang 8% Belado Kuning 8% Teri 16% Gambar 15 Persentase tangkapan yang dominan. Komposisi spesies dan jumlah hasil tangkapan yang dominan menurut periode waktu operasi penangkapan dapat dilihat pada Gambar 16. Dari Gambar 16 terlihat bahwa jenis ikan yang selalu dominan tertangkap pada setiap kali operasi penangkapan adalah ikan keke, kembung perempuan, parang-parang, belado kuning dan ikan layang. Frekuensi tertangkapnya ikan pada setiap kali operasi penangkapan dapat dilihat pada Gambar 17. Dari Gambar 17, ternyata ikan parang-parang, belado kuning, keke dan ikan layang tertangkap 11 kali setting, sedangkan ikan buncilak dan teri hanya tertangkap 8 kali setting dari total sebanyak 33 kali setting. Daerah penangkapan ikan pelagis kecil untuk lokasi penangkapan selama bulan Juli tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 18. Ada 11 lokasi penangkapan selama penelitian dengan frekuensi setting pada lokasi tersebut dilakukan operasi penangkapan berkisar 1-6 kali setting. Pada gambar juga terlihat produktivitas hasil tangkapan (CPUE) untuk setiap lokasi penangkapan. Adapun jenis-jenis ikan hasil tangkapan untuk setiap DPI disajikan pada Tabel 5. Dari tabel terlihat bahwa jenis ikan yang dominan tertangkap selalu ditemukan pada DPI3 (Perairan Barus), DPI4 (Perairan Sorkam), DPI5-8 (Perairan Murshala). Sedangkan pada DPI1-2 (Perairan Barus), DPI9-10 (Perairan Sorkam) dan DPI11 (Perairan Murshala) tidak selalu ditemukan ikan yang dominan tertangkap. 45 07Juli2007 14Juli2007 1200 Hasil Tangkapan (Kg) Hasil tangkapan (Kg) 1200 1000 800 600 400 200 1000 800 600 400 200 0 0 Jenis Tangkapan Jenis Tangkapan Kembungperempuan Keke Parang-parang Layang Beladokuning Teri Buncilak Parang-prang Keke Buncilak Beladokuning Layang Teri Kembungperempuan 09Juli2007 15Juli2007 Hasil Tangkapan (Kg) 1200 1000 1200 Hasil Tangkapan (Kg) 800 600 400 200 0 Jenis Tangkapan 1000 800 600 400 200 0 Jenis Tangkapan Kembungperempuan Keke Parang-parang Layang Beladokuning Teri Buncilak Kembungperempuan Keke Parang-parang Buncilak Teri Layang Beladokuning 10juli 2007 16Juli2007 1000 800 1200 600 400 200 0 Jenis Tangkapan Kembung perempuan Parang-parang Keke Belado kuning Teri Layang Buncilak Hasil Tangkapan (Kg) Hasil Tangkapan (Kg) 1200 1000 800 600 400 200 0 Jenis Tangkapan 12juli2007 Kembungperempuan Keke Parang-parang Buncilak Teri Layang Beladokuning 17Juli2007 1000 800 1200 600 400 200 0 Jenis Tangkapan Kembungperempuan Parang-parang Keke Beladokuning Teri Layang Buncilak Hasil Tangkapan (Kg) Hasil Tangkapan (Kg) 1200 1000 800 600 400 200 0 Jenis Tangkapan 13Juli 2007 Kembungperempuan Keke Parang-parang Buncilak Layang Beladokuning Teri 1200 18Juli2007 800 600 400 1200 200 0 Jenis Tangkapan Kembung perempuan Parang-parang Keke Belado kuning Layang Teri Buncilak Hasil Tangkapan (Kg) CPUE (Kg) 1000 1000 800 600 400 200 0 19 Juli 2007 JenisTangkapan Kembungperempuan Keke Parang-parang Buncilak Teri Layang Beladokuning Hasil Tangkapan (Kg) 1200 1000 800 600 400 200 0 Jenis Tangkapan Kembung Perempuan Keke Parang-parang Buncilak Layang Belado Kuning Teri Gambar 16 Komposisi hasil tangkapan ikan pelagis. 46 12 10 Frekuensi 8 6 4 2 0 Kembung Perempuan Parangparang Keke Belado Kuning Layang Buncilak Teri Jenis Ikan Gambar 17 Frekuensi tertangkapnya ikan pada setiap kali operasi penangkapan. Gambar 18 Sebaran nilai CPUE dan jumlah setting pada 11 lokasi penangkapan. 47 Tabel 5 CPUE hasil tangkapan dominan menurut daerah penangkapan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Jenis Tangkapan (Kg) Keke Teri Layang DPI-1 400 150 DPI-2 420 - DPI-3 1020 DPI-4 Total (Kg) Setting Buncilak CPUE (Kg/setting) 73 787 1 787.0 68 727 1 727.0 176 225 2783 3 927.7 120 171 230 2187 4 546.8 80 160 285 279 3049 4 762.3 283 229 538 351 3608 5 721.6 78 245 381 294 4171 5 834.2 233 300 240 294 70 3437 6 572.8 140 180 100 152 - 1177 2 588.5 - - 25 - - - 525 1 525.0 - 40 70 35 65 78 538 1 538.0 10695 3587 1941 1601 1349 2148 1668 22989 33.0 48 16 8 7 6 8 7 78 Kembung Pr 31 Parangparang 55 Belado Kuning - 70 48 35 86 717 205 310 130 850 390 230 196 DPI-5 1470 500 275 DPI-6 1610 300 297 DPI-7 2000 800 373 DPI-8 1800 500 DPI-9 375 230 DPI-10 500 DPI-11 250 Total Perentase (℅) Pada Tabel 5 terlihat bahwa hasil tangkapan yang terbanyak adalah ikan keke (Leiognathus decorus) sebanyak 10.695 kg (48%), dan ikan tersebut tertangkap pada setiap DPI. Ikan kembung perempuan juga tertangkap pada setiap DPI tetapi jumlahnya hanya 1.601 kg (7%). 4.2 Suhu Permukaan Laut Pada tanggal 7 Juli 2007, sebaran suhu permukaan laut (SPL) pada perairan Tapanuli Tengah dan sekitarnya lebih bervariasi, yaitu berkisar antara 25oC-31oC (Gambar 19). Suhu permukaan laut di perairan tersebut didominasi oleh suhu hangat, yaitu 30oC yang tersebar di perairan Murshala, Sorkam, Sibolga dan Barus. Suhu minimum perairan Tap-teng sebesar 25ºC terdapat di perairan pantai Sibolga dan Murshala sedangkan suhu maksimumnya sebesar 31oC terdapat di perairan Barus dan Sorkam. Pada tanggal 9 Juli 2007, sebaran suhu permukaan laut pada perairan Tapanuli Tengah dan sekitarnya bervariasi, yaitu berkisar antara 26oC-30oC (Gambar 20). Suhu permukaan laut di perairan tersebut didominasi oleh suhu hangat, yaitu berkisar antara 28oC-30oC yang tersebar di perairan Barus, Sorkam, Murshala dan pantai Sibolga. Suhu minimum perairan Tap-teng sebesar 26ºC yang terdapat di perairan Murshala sedangkan suhu maksimumnya sebesar 30oC terdapat di perairan Barus dan pantai Sibolga. 48 Barus 2.01º Sorkam 1.84º L a t itu d e Legenda : Sibolga Daratan 25ºC 1.67º P. Murshala 26ºC 27ºC 28ºC 29ºC 30ºC 1.5º 31ºC 98.333º 98.5º 98.667º 98.834º Awan Longitude Gambar 19 Citra SPL untuk tanggal 7 Juli 2007. Barus 2.01º Sorkam Legenda : L a t i tu d e 1.84º Daratan Sibolga 25ºC 26ºC 1.67º 27ºC 28ºC 29ºC 30ºC P. Murshala 31ºC 1.5º 98.333º 98.5º 98.667º 98.834º Longitude Gambar 20 Citra SPL untuk tanggal 9 Juli 2007. Awan 49 Sebaran suhu permukaan laut (SPL) di perairan Tapanuli Tengah tanggal 12 Juli 2007 lebih homogen, yaitu berkisar antara 30oC-31oC (Gambar 21). Suhu permukaan laut di perairan Tap-teng didominasi oleh suhu hangat sebesar 30oC tersebar secara merata di perairan Sorkam, Barus, Sibolga dan Murshala. Suhu minimum yang diperoleh Tap-teng sebesar 30oC tersebar secara merata di perairan Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga sedangkan suhu maksimumnya sebesar 31oC ada di semua perairan. Pada tanggal 15 Juli 2007, suhu permukaan laut (SPL) di perairan Tap-teng dan sekitarnya lebih bervariasi berkisar antara 25oC-30oC. Suhu di perairan tersebut didominasi oleh suhu hangat sebesar 28oC yang tersebar secara merata di seluruh perairan Barus, Sibolga, Murshala dan Sorkam serta suhu 29oC di perairan Murshala dan Sorkam. Suhu minimum yang dimiliki perairan Tap-teng sebesar 25oC terdapat di perairan pantai Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga dan suhu maksimumnya sebesar 30oC hanya terdapat di perairan Murshala dengan area yang sempit (Gambar 22). Barus 2.01º Sorkam 1.84º L a t i tu d e Legenda : Sibolga Daratan 25ºC 26ºC 1.67º 27ºC 28ºC 29ºC 30ºC P. Murshala 31ºC 1.5º Awan 98.333º 98.5º 98.667º 98.834º Longitude Gambar 21 Citra SPL untuk tanggal 12 Juli 2007. 50 Barus 2.01º Sorkam 1.84º L a t itu d e Legenda : Sibolga Daratan 25ºC 1.67º 26ºC P. Murshala 27ºC 28ºC 29ºC 30ºC 1.5º 98.333º 98.5º 98.667º 98.834º 31ºC Awan Longitude Gambar 22 Citra SPL untuk tanggal 15 Juli 2007. Pada tanggal 17 Juli 2007, suhu permukaan laut (SPL) di perairan Tap-teng lebih homogen, yaitu berkisar antara 28oC-30oC. Suhu permukaan lautnya didominasi oleh suhu hangat, yaitu 29oC dan penyebarannya secara merata di seluruh perairan. Suhu minimum yang diperoleh sebesar 28oC yang tersebar di perairan pantai Murshala, perairan Sorkam, Barus dan Sibolga dan suhu maksimumnya sebesar 30oC yang terdapat hanya pada area sempit di perairan Murshala (Gambar 23). Pada tanggal 19 Juli 2007, suhu permukaan laut (SPL) di perairan Tapteng bervariasi yang berkisar antara 25oC-30oC. Suhu perairan Tapteng didominasi oleh suhu dingin dan hangat. Suhu dominan dingin, yaitu sebesar 25ºC terdapat sepanjang pantai, sedangkan suhu dominan hangat, yaitu sebesar 28ºC cenderung menyebar ke luar dari pantai. Suhu minimumnya sebesar 25oC tersebar secara merata di perairan pantai Murshala, perairan Sorkam, Barus dan Sibolga sedangkan suhu maksimumnya sebesar 30oC terdapat di perairan Murshala dan Sorkam (Gambar 24). 51 Barus 2.01º Sorkam L a t itu d e 1.84º Legenda : Sibolga Daratan 25ºC 1.67º 26ºC P. Murshala 27ºC 28ºC 29ºC 30ºC 31ºC 1.5º 98.333º 98.5º 98.667º Awan 98.834º Longitude Gambar 23 Citra SPL untuk tanggal 17 Juli 2007. Barus 2.01º Sorkam 1.84º L a t itu d e Legenda : Sibolga Daratan 25ºC 26ºC 1.67º 1.5º P. Murshala 27ºC 28ºC 29ºC 30ºC 31ºC 98.333º 98.5º 98.667º 98.834º Longitude Gambar 24 Citra SPL tanggal 19 Juli 2007. Awan 52 Penyebaran SPL di empat lokasi wilayah perairan Tapanuli Tengah, yaitu Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 terlihat bahwa SPL di perairan Tapanuli Tengah bervariasi, yaitu pada tanggal 7, 9, 15 dan 19 Juli 2007 sedangkan pada tanggal 12 dan 17 Juli 2007 SPL relatif homogen. Berdasarkan pada Tabel 6 terlihat bahwa suhu dominan hangat di seluruh wilayah perairan Tapanuli Tengah ditemukan pada tanggal 7, 12, 15 dan 17 Juli 2007 sedangkan pada tanggal 9 dan 19 Juli 2007, ditemukan suhu dominan hangat dan dingin pada wilayah yang berbeda. Pada tanggal 7, 9, 15 dan 19 Juli 2007, suhu dominan cukup bervariasi menurut wilayah perairan. Selanjutnya pada tanggal 12 dan 17 Juli 2007, nampak jelas bahwa suhu dominan relatif homogen dan penyebarannya hampir sama untuk wilayah perairan yang berbeda. Tabel 6 Penyebaran suhu permukaan laut dari satelit NOAA-AVHRR di empat wilayah perairan Tapanuli Tengah. No Akuisasi Data SPL Tapanuli Tengah (ºC) Kisaran Dominan 1 2 3 4 5 7 Juli 2007 9 Juli 2007 12 Juli 2007 15 Juli 2007 17 Juli 2007 25-31 26-30 30-31 25-30 28-30 6 19 Juli 2007 25-30 Keterangan : H = Suhu hangat D = Suhu dingin 30 (H) 28-30 (H) 30 (H) 28-29 (H) 29 (H) 25 (D) 28 (H) SPL dominan menurut wilayah (ºC) Keterangan Barus Sorkam Murshala Sibolga 30 29-30 30-31 28 29 30 28-30 30-31 28-29 29 30 26-30 30-31 28-29 29 30 28 30-31 28 29 Bervariasi Bervariasi Homogen Bervariasi Homogen 25 26-28 28-29 25 Bervariasi 53 4.3 Klorofil-a Pada tanggal 7 Juli 2007, klorofil-a pada perairan Tapanuli Tengah bervariasi berkisar antara 0,6-1,6 mg/m³. Klorofil-a dominan adalah berkisar antara 0,6-0,9 mg/m³ terdapat di perairan Murshala, Sorkam, Barus dan Sibolga. Klorofil-a minimum sebesar 0,6 mg/m³ terdapat di perairan Murshala dengan area luas sedangkan tingkat klorofil-a tertingginya sebesar 1,6 mg/m³ terdapat di perairan pantai Sorkam pada area sangat kecil (Gambar 25). Untuk tanggal 9 Juli 2007, jumlah klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah bervariasi berkisar antara 0,6-2,0 mg/m³. Jumlah klorofil-a dominan adalah sebesar 0.6 mg/m³ terdapat di perairan Barus, Murshala, Sorkam dan Sibolga. Klorofil-a minimum sebesar 0,6 mg/m³ tersebar di perairan Murshala, Barus dan Sibolga. Klorofil-a maksimum sebesar 2,0 mg/m³ terdapat di perairan Murshala, pantai Murshala dan Sibolga pada area yang sempit (Gambar 26). Barus 2.01º Sorkam Legenda : L a t it u d e 1.84º Daratan Sibolga 2.0 mg/m³ 1.8 mg/m³ 1.6 mg/m³ 1.67º 1.4 mg/m³ 1.2 mg/m³ P. Murshala 1.0 mg/m³ 0.9 mg/m³ 0.8 mg/m³ 0.7 mg/m³ 1.5º 0.6 mg/m³ 0.5 mg/m³ 98.333º 98.5º 98.667º 98.834º Awan Longitude Gambar 25 Citra Klorofil-a untuk tanggal 7 Juli 2007. 54 Barus 2.01º Sorkam Legenda : L a t it u d e 1.84º Daratan Sibolga 2.0 mg/m³ 1.8 mg/m³ 1.6 mg/m³ 1.67º 1.4 mg/m³ 1.2 mg/m³ P. Murshala 1.0 mg/m³ 0.9 mg/m³ 0.8 mg/m³ 0.7 mg/m³ 1.5º 0.6 mg/m³ 0.5 mg/m³ 98.333º 98.5º 98.667º 98.834º Awan Longitude Gambar 26 Citra Klorofil-a untuk tanggal 9 Juli 2007. Barus 2.01º Sorkam Legenda : 1.84º L a t it u d e Daratan Sibolga 2.0 mg/m³ 1.8 mg/m³ 1.6 mg/m³ 1.67º 1.4 mg/m³ 1.2 mg/m³ P. Murshala 1.0 mg/m³ 0.9 mg/m³ 0.8 mg/m³ 0.7 mg/m³ 1.5º 98.333º 98.5º 98.667º Longitude 98.834º 0.6 mg/m³ 0.5 mg/m³ Awan Gambar 27 Citra Klorofil-a untuk tanggal 12 Juli 2007. 55 Tingkat konsentrasi klorofil-a untuk tanggal 12 Juli 2007 di perairan Tapanuli Tengah, yaitu berkisar antara 0,5-1,4 mg/m³. Klorofil-a dominan, yaitu berkisar antara 0,7-0,9 mg/m³ tersebar di perairan Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga. Klorofil-a terendah sebesar 0,5 mg/m³ hanya terdapat di perairan Murshala serta pada area yang sempit sedangkan klorofil-a maksimumnya sebesar 1,4 mg/m³ ada ke arah utara perairan Barus di area yang sempit (Gambar 27). Pada tanggal 15 Juli 2007, klorofil-a bervarisi berkisar antara 0,6-2,0 mg/m³. Klorofil dominan sebesar 0,6 mg/m³ tersebar di perairan Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga. Klorofil-a minimum sebesar 0,6 mg/m³ yang tersebar di perairan Barus, Murshala, Sibolga dan Sorkam sedangkan klorofil-a maksimumnya sebesar 2,0 mg/m³ terdapat di perairan Barus, Murshala, Sibolga pada area yang sempit (Gambar 28). Sebaran konsentrasi klorofil-a untuk tanggal 17 Juli 2007 di perairan Tapanuli Tengah adalah berkisar antara 0,6-1,4 mg/m³. Klorofil-a dominan berkisar antara 0,7-1,0 mg/m³ terdapat di perairan Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga. Klorofil-a minimum sebesar 0,6 mg/m³ terdapat di perairan Barus dan pantai Sibolga pada area yang sempit sedangkan klorofil-a maksimumnya sebesar 1,2 mg/m³ terdapat di perairan Murshala pada area sempit (Gambar 29). Pada tanggal 19 Juli 2007 memiliki konsentrasi klorofil-a tertinggi di perairan Tapanuli Tengah, yaitu berkisar antara 0,5-2,0 mg/m³. Klorofil-a dominan berkisar antara 0,5-0,6 mg/m³ tersebar di perairan Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga. Klorofil-a minimum 0,5 mg/m³ terdapat di perairan Barus dan Murshala pada area yang luas sedangkan klorofil-a maksimum berjumlah 2,0 mg/m³ hanya terdapat di perairan Barus dan Sibolga (Gambar 30). 56 Barus 2.01º Sorkam Legenda : L a t it u d e 1.84º Daratan 2.0 mg/m³ Sibolga 1.8 mg/m³ 1.6 mg/m³ 1.67º 1.4 mg/m³ 1.2 mg/m³ P. Murshala 1.0 mg/m³ 0.9 mg/m³ 0.8 mg/m³ 0.7 mg/m³ 1.5º 0.6 mg/m³ 0.5 mg/m³ 98.333º 98.5º 98.667º Awan 98.834º Longitude Gambar 28 Citra Klorofil-a untuk tanggal 15 Juli 2007. Barus 2.01º Sorkam Legenda : 1.84º L a t it u d e Daratan 2.0 mg/m³ Sibolga 1.8 mg/m³ 1.6 mg/m³ 1.4 mg/m³ 1.2 mg/m³ 1.67º 1.0 mg/m³ P. Murshala 0.9 mg/m³ 0.8 mg/m³ 0.7 mg/m³ 0.6 mg/m³ 0.5 mg/m³ Awan 1.5º 98.333º 98.5º 98.667º 98.834º Longitude Gambar 29 Citra Klorofil-a untuk tanggal 17 Juli 2007. 57 Barus 2.01º Sorkam Legenda : 1.84º L a t it u d e Daratan Sibolga 2.0 mg/m³ 1.8 mg/m³ 1.6 mg/m³ 1.67º 1.4 mg/m³ 1.2 mg/m³ P. Murshala 1.0 mg/m³ 0.9 mg/m³ 0.8 mg/m³ 0.7 mg/m³ 1.5º 98.333º 98.5º 98.667º 98.834º Longitude 0.6 mg/m³ 0.5 mg/m³ Awan Gambar 30 Citra Klorofil-a untuk tanggal 19 Juli 2007. Penyebaran klorofil-a di empat lokasi wilayah perairan Tapanuli Tengah, yaitu Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga disajikan pada Tabel 7. Dari Tabel 7 terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a dominan di perairan Tapanuli Tengah untuk tanggal 7, 9, 12, 15, 17 dan 19 Juli 2007 berkisar antara 0,6-1,0 mg/m³ dan memiliki kisaran konsentrasi klorofil-a antara 0,5-2,0 mg/m³. Berdasarkan pada Tabel 7 terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a pada tanggal 7, 9, 12, 15, 17 dan 19 Juli 2007 menyebar di seluruh wilayah perairan Tapanuli Tengah. Tingkat konsentrasi klorofil-a terbanyak sebesar 0,6-1,0 mg/m³ terdapat di tanggal 7, 12 dan 17 Juli 2007, konsentrasi klorofil-a sedang sebesar 0,5-0,6 mg/m³ terdapat di tanggal 19 Juli 2007 sedangkan tingkat konsentrasi klorofil-a terendah sebesar 0,6 mg/m³ terdapat di tanggal 9 dan 15 Juli 2007. 58 Tabel 7 Penyebaran klorofil-a dari satelit FY-1 D di empat wilayah perairan Tapanuli Tengah. No 1 2 3 4 5 6 Akuisasi Data 7 Juli 2007 9 Juli 2007 12 Juli 2007 15 Juli 2007 17 Juli 2007 19 Juli 2007 Klorofil-a Tap-Teng (mg/m³) Kisaran Dominan 0,6-1,6 0,6-2,0 0,5-1,4 0,6-2,0 0,6-1,4 0,5-2,0 0,.6-0,9 0,6 0,7-0,9 0,6 0,7-1,0 0,5-0,6 Klorofil-a dominan menurut wilayah (mg/m³) Barus Sorkam Murshala Sibolga 0,6-0,9 0,6 0,7-0,9 0,6 0,7-1,0 0,5-0,6 0,6-0,9 0,6 0,7-0,9 0,6 0,7-1,0 0,5-0,6 0,6-0,9 0,6 0,7-0,9 0,6 0,7-1,0 0,5-0,6 0,6-0,9 0,6 0,7-0,9 0,6 0,7-1,0 0,5-0,6 4.4 Hubungan antara SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan 4.4.1 Hubungan suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan Hubungan suhu permukaan laut terhadap CPUE pada masing-masing DPI untuk ke-7 jenis ikan dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari Gambar 31 terlihat bahwa jumlah hasil tangkapan ikan teri berfluktuasi dari 150-350 kg/setting. Jumlah tangkapan cenderung tinggi pada suhu 25ºC-30°C sebaliknya jumlah hasil tangkapan rendah pada suhu permukaan laut sebesar 24ºC dan 31°C. Dengan demikian, tangkapan ikan teri terbanyak terjadi pada suhu permukaan laut berkisar antara 25°C-30°C. Jumlah hasil tangkapan ikan keke berkisar dari 150-500 kg/setting dan tertangkap pada kisaran suhu 25°C-31°C. Hasil tangkapan ikan keke cenderung tinggi, yaitu sebesar 300-500 kg/seting pada suhu 25°C-30°C, tetapi tangkapan rendah juga ditemukan pada kisaran suhu yang sama. Hal ini berarti bahwa suhu tidak berpengaruh terhadap jumlah tangkapan ikan keke. Jumlah hasil tangkapan ikan belado kuning berkisar dari 30-88 kg/setting dan tertangkap pada kisaran suhu permukaan laut 25°C-31°C. Hasil tangkapan tinggi, yaitu 72-88 kg/setting pada suhu 25°C-31°C, tetapi pada kisaran suhu tersebut juga ditemukan tangkapan dengan jumlah sedikit. Dengan demikian suhu perairan diduga tidak berpengaruh terhadap jumlah tangkapan. Jumlah hasil tangkapan ikan layang cenderung stabil dengan kisaran 47-80 kg/setting. Jumlah hasil tangkapan ikan layang cenderung tinggi sebesar 70-82 kg/setting pada SPL berkisar antara 25°C-31°C, akan tetapi tangkapan redah juga ditemukan pada kisaran SPL tersebut terutama pada kisaran suhu 29°C-31°C. 59 Jumlah hasil tangkapan ikan buncilak berkisar dari 48-84 kg/setting dan tertangkap pada suhu berkisar dari 25°C-31°C. Hasil tangkapan ikan buncilak cenderung tinggi sebesar 70-84 kg/setting pada suhu berkisar antara 27°C-31°C, tetapi tangkapan rendah juga ditemukan pada kisaran suhu tersebut, yaitu pada suhu 29°C. 550 32 500 31 30 400 350 29 SPL (°C) Hasil Tangkapan (Kg) 450 300 28 250 27 200 150 26 100 25 50 0 24 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Akuisasi Data keke layang teri kembung perempuan parang-parang belado kuning buncilak Gambar 31 Hubungan SPL terhadap CPUE pada masing-masing DPI. Jumlah hasil tangkapan ikan parang-parang berkisar dari 15-70 kg/setting dan tertangkap pada suhu 25°C-31°C. Hasil tangkapan cenderung tinggi sebesar 50-70 kg/setting tertangkap pada suhu 28°C-31°C, tetapi tangkapan rendah juga ditemukan pada kisaran suhu, yaitu 31°C. 4.4.2 Hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI dapat dilihat di Lampiran 5. Dari Gambar 32 terlihat bahwa jumlah hasil tangkapan ikan teri berkisar antara 150-350 kg/setting. Jumlah hasil tangkapan cenderung tinggi, yaitu 240-350 kg/setting pada perairan yang kandungan klorofilnya 0,5-1,0 mg/m³. Sebaliknya hasil tangkapan cenderung rendah juga ditemukan pada perairan yang kandungan klorofilnya 0,8-1,0 mg/m³. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan teri. 60 Jumlah hasil tangkapan kembung perempuan berkisar antara 10-150 kg/setting, yang tertangkap pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a berkisar dari 0,5-1,6 mg/m³. Hasil tangkapan terbesar 120-150 kg/setting tertangkap pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a sebesar 0,7-0,9 mg/m³. Akan tetapi hasil tangkapan yang jumlahnya rendah justru tertangkap pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a yang berkisar dari 0,5-1,6 m/m³. Hal ini berarti bahwa konsentrasi klorofil-a diduga tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan kembung perempuan. Jumlah hasil tangkapan ikan keke berkisar dari 150-500 kg/setting dan tertangkap pada perairan dengan kandungan klorofil-a berkisar dari 0,5-1,6 mg/m³. Hasil tangkapan cenderung tinggi sebesar 300-500 kg/setting tertangkap pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a sebesar 0,5-1,6 mg/m³, sebaliknya hasil tangkapan cenderung rendah juga tertangkap pada kisaran tersebut di atas, terutama pada perairan dengan kandungan klorofil-a berkisar dari 0,6-1,2 mg/m³. Hal ini berarti bahwa konsentrasi klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan keke. Jumlah hasil tangkapan belado kuning berkisar antara 30-88 kg yang tertangkap pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,5-1,6 mg/m³. Hasil tangkapan terbesar 72-88 mg/m³ tertangkap pada perairan dengan kandungan klorofil-a berkisar dari 0,5-1,6 mg/m³, tetapi jumlah hasil tangkapan rendah juga tertangkap pada kisaran tersebut, yaitu pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,7-0,9 mg/m³. Berarti kandungan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Jumlah hasil tangkapan buncilak berkisar dari 48-84 kg/setting yang tertangkap pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,5-1,6 mg/m³. Hasil tangkapan terbesar 70-84 kg/setting tertangkap pada perairan dengan kandungan klorofil-a sebesar 0,5-1,0 mg/m³ sedangkan hasil tangkapan terendah ditemukan pada peraira dengan kandungan klorofil-a yang tinggi. Hal ini berarti bahwa kandungan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan buncilak. 61 550 1.8 500 1.6 450 1.4 1.2 350 300 1 250 0.8 200 0.6 Chlorofil-a (mg/m³) Hasil Tangkapan (Kg) 400 150 0.4 100 0.2 50 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Akuisasi Data keke parang-parang teri belado kuning layang buncilak kembung perempuan Chlorofil-a Gambar 32 Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI. Jumlah hasil tangkapan ikan layang tinggi pada kandungan klorofil-a berkisar antara 0,6-1,6 mg/m³, tetapi jumlah hasil tangkapan rendah juga ditemukan pada kisaran tersebut terutama pada kandungan klorofil-a sebesar 0,71,2 mg/m³. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan ikan layang. Jumlah hasil tangkapan ikan parang-parang berkisar dari 15-70 kg/setting yang tertangkap pada perairan dengan kandungan klorofil-a berkisar antara 0,51,6 mg/m³. Hasil tangkapan terbesar 50-70 kg/setting tertangkap pada perairan dengan kandungan klorofil-a sebesar 0,6-1,0 mg/m³, tetapi pada kisaran tersebut juga ditemukan hasil tangkapan rendah, yaitu pada kisaran 0,5-1,6 mg/m³. Hal ini berarti bahwa kandungan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan parang-parang. 62 5 PEMBAHASAN Hasil tangkapan terbanyak ditemukan di perairan Barus (DPI3), Sorkam (DPI4) dan Murshala (DPI5-8), sedangkan di perairan Barus (DPI1-2), Sorkam (DPI9-10) dan Murshala (DPI11) hasil tangkapan lebih sedikit. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran ikan bervariasi secara temporal dan spasial. Namun penyebaran ini tidak dipengaruhi oleh suhu dan kandungan klorofil-a. Untuk itu perlu dilakukan pengamatan terhadap parameter-parameter oseanografi yang lain seperti arus dan salinitas dengan menggunakan data time series yang lebih akurat. Arus adalah faktor penting yang menyebabkan perubahan lokal pada lingkungan laut. Ikan diduga mempunyai respons secara langsung pada perubahan tersebut, baik disebabkan oleh arus maupun orientasi ikan terhadap arus. Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa, arus berpengaruh terhadap penyebaran ikan sebagai berikut : (1) Arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dari spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan). (2) Migrasi ikan-ikan dewasa dapat disebabkan oleh arus sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami. (3) Tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus khususnya arus pasut. (4) Arus, khususnya secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dan secara tidak langsung mempengaruhi pengelompokkan makanan atau faktor lain yang membatasinya (suhu). Menurut pendapat Baskoro et al. (2004), suhu dapat mempengaruhi penyebaran ikan dikarenakan: (1) sebagai pengatur proses metabolisme (dapat mempengaruhi permintaan kebutuhan makanan dan tingkat penerimaan serta tingkat pertumbuhan), (2) sebagai pengatur aktifitas gerakan tubuh (kecepatan renang) dan (3) sebagai stimulus syaraf. Namun dalam penelitian ini suhu perairan tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena variasi suhu yang terjadi masih dapat ditolerir oleh ikan yang ada di 63 perairan Tapanuli Tengah, sehingga ikan-ikan tersebut tidak perlu bermigrasi akibat perubahan suhu yang terjadi. Berdasarkan Gambar 31 menunjukkan bahwa fluktuasi suhu permukaan laut tidak begitu signifikan dalam menentukan banyak atau tidaknya hasil tangkapan. Hal ini dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya suhu permukaan laut dengan kelimpahan dan distribusi ikan tidak dapat dimutlakkan sebagai suatu hubungan linear, akan tetapi setiap ikan mempunyai batas toleransi atau kondisi optimum terhadap lingkungan yang ditempatinya. Laevastu dan Hayes (1981) mengatakan bahwa, perubahan suhu perairan menjadi di bawah suhu normal/suhu optimum menyebabkan penurunan aktifitas gerakan dan aktifitas makan serta menghambat berlangsungnya pemijahan. Fluktuasi hasil tangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan ditentukan oleh kondisi oseanografi optimum pada perairan baik suhu permukaan laut, klorofil-a maupun parameter lainnya. Oleh karena itu, setiap organisme perairan akan bergerak mengikuti sebaran kondisi yang sesuai, disamping faktor mencari makanan. Kondisi optimum suatu perairan juga dapat meningkatkan preferensi untuk jenis ataupun schooling ikan yang selanjutnya akan mendorong peningkatan intensitas armada penangkapan karena dianggap merupakan daerah penangkapan ikan potensial. Sebaran SPL secara temporal dari tanggal 7, 10, 12, 15, 17 dan 19 Juli 2007 bervariasi karena curah hujan, kecepatan angin dan radiasi matahari terhadap permukaan perairan berbeda-beda untuk setiap waktu penelitian di perairan Tapanuli Tengah. Curah hujan dan radiasi matahari yang diduga berperan terhadap suhu permukaan laut ternyata cukup berfluktuasi pada waktu penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Pada tanggal 12 dan 17 Juli 2007 terjadi intensitas penyinaran matahari sangat tinggi pada permukaan laut tenang yang menyebabkan penyerapan panas ke dalam air laut lebih tinggi sehingga suhu air naik. Menurut pendapat Sverdrup et al. (1942), proses-proses seperti absorbsi radiasi dari matahari, aliran bahang dari dalam bumi melalui dasar laut, perubahan bentuk energi kinetik menjadi energi bahang, aliran bahang dari atmosfer melalui udara ke laut dan kondensasi dari uap air yang disertai dengan terjadinya pelepasan bahang yang terjadi di laut 64 akan menaikkan suhu air laut. Selanjutnya proses-proses radiasi balik dari permukaan laut, aliran bahang (konveksi) ke atmosfer dan evaporasi dapat menurunkan suhu air laut pada lapisan permukaan perairan. Pada tanggal 7, 15 dan 19 Juli 2007, suhu perairan di daerah pantai lebih rendah dibandingkan dengan perairan yang lebih jauh dari pantai. Diduga karena munculnya kabut atau awan di daerah pantai, seperti terlihat pada citra tanggal 19 Juli 2007 (Gambar 24). Dengan adanya awan tersebut maka sebagian energi radiasi matahari akan terserap, sehingga perairan yang berada di bawah awan menjadi lebih dingin. Sebaran SPL untuk tanggal 7 Juli 2007 lebih bervariasi, massa air panas cenderung ke arah utara perairan Tapanuli Tengah sedangkan massa air dingin cenderung ke arah pantai dan arah selatan perairan Murshala. Hal ini berbeda dengan tanggal 9 Juli 2007, yaitu bervariasi, massa air panas cenderung ke arah utara perairan Tapanuli Tengah serta ke arah pantai Sibolga dan sebagian panas ke arah selatan perairan Murshala sedangkan massa air dingin cenderung ke arah pantai Murshala. Sebaran SPL untuk tanggal 15 Juli 2007 lebih fluktuatif, massa air dingin cenderung ke arah pantai perairan Tapanuli Tengah sedangkan massa air panas terjadi di perairan Tapanuli Tengah. Berbeda halnya dengan sebaran SPL untuk tanggal 19 Juli 2007, yaitu bervariasi, massa air dingin cenderung lebih banyak ke arah pantai perairan Tapanuli Tengah dan Murshala sedangkan sebagian massa air panas cenderung ke arah laut perairan Tapanuli Tengah dan ke arah selatan perairan Murshala. Pada tanggal 7, 9, 15 dan 19 Juli 2007 terjadi percampuran massa air hangat dan massa air dingin dari arah utara perairan Tapanuli Tengah sampai ke arah selatan perairan Mentawai sehingga berganti dengan massa air hangat yang mulai mendominasi hampir seluruh citra daerah penelitian. Hal ini diduga akibat pola pergerakan massa air (arus) dari arah selatan perairan Mentawai ke perairan Tapanuli Tengah membawa massa air yang bersuhu hangat. Arus merupakan pergerakan atau perpindahan suatu massa air dari suatu tempat ke tempat lain yang dapat disebabkan oleh tiupan angin atau karena adanya perbedaan densitas air laut atau karena gerakan bergelombang panjang oleh pasang surut. Karena laut 65 merupakan medium yang tak pernah berhenti bergerak baik di permukaan maupun di bawahnya menyebabkan terjadinya sirkulasi air baik berskala kecil maupun skala besar. Penampilan yang paling mudah terlihat dari arus ini adalah arus permukaan laut (Nontji 1993). Konsentrasi klorofil-a pada tanggal 7 dan 12 Juli 2007 terkonsentrasi di daerah pantai disebabkan karena banyaknya daerah terumbu karang di sekitar perairan pantai Tapanuli Tengah. Terumbu karang dapat menahan plankton yang terbawa arus dari perairan lepas ke perairan pantai Tapanuli Tengah. Menurut LIPI (2007), perairan Tapanuli Tengah memiliki banyak sekali terumbu karang, yaitu berjumlah 4.422,829 ha dan mangrove memiliki luas 1.823,436 ha yang terdapat di daerah daratan Sibolga, Pulau Murshala dan sekitarnya sehingga menyebabkan para nelayan pukat ikan menangkap ikan di sekitar perairan Tapanuli Tengah. Selanjutnya Parson et al. (1984) mengemukakan bahwa, tidak mudah untuk menjelaskan kondisi yang berlaku umum tentang penyebaran fitoplankton secara horizontal di laut. Disebabkan oleh perbedaan kondisi ekologi pada bagian-bagian laut yang berbeda, seperti di daerah pantai dan estuari, pesisir dan laut lepas. Ada kecenderungan penyebaran fitoplankton bersifat lebih mengelompok di daerah neritik dibanding dengan daerah oseanik (lepas pantai). Sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial untuk tanggal 7 Juli 2007 cenderung bergerak dari arah perairan pantai Sokam menuju perairan laut Tapanuli Tengah sedangkan pada tanggal 19 Juli 2007, sebaran konsentrasi klorofil-a bergerak secara luas dari daratan ke perairan pantai Barus, Sorkam, Sibolga dan Murshala mengarah ke arah perairan laut Tapanuli Tengah (Gambar 25 dan 30). Tingginya klorofil-a di perairan pantai Tapanuli Tengah untuk tanggal 7 dan 19 Juli 2007 dibandingkan dengan tanggal lainnya kemungkinan besar disebabkan adanya faktor fisik dan kimia. Menurut pendapat Arinardi et al. (1997), plankton di laut pada umumnya tidak tersebar secara merata melainkan hidup secara berkelompok. Sebagai akibat adanya proses fisik dan kimia di perairan pantai, berkelompoknya plankton lebih sering dijumpai perairan neritik (terutama perairan yang dipengaruhi estuari) daripada perairan oseanik. Produktivitas 66 perairan pantai ditentukan oleh beberapa faktor seperti arus pasang surut, morfogeografi dan proses fisik dari lepas pantai. Selain itu Sujoko et al (2002) mengatakan bahwa, arus permukaan laut dapat membawa fitoplankton dan nutrien lainnya mengikuti kecepatan dan pola pergerakan arus atau diakibatkan arus yang dibentuk oleh arus itu sendiri dengan arus lainnya di sekitarnya. Hal ini dapat ditetapkan bahwa densitas fitoplankton dipengaruhi oleh arus permukaan laut. Rendahnya klorofil-a pada tanggal 10, 12, 15 dan 17 Juli 2007 diduga oleh pengaruh fisik dan biologi. Menurut pendapat Arinardi et al. (1997), penyebab terjadinya pengelompokan secara garis besar dibedakan atas pengaruh fisik dan biologi. Pengaruh fisik dapat disebabkan oleh turbulensi atau adveksi (pergerakan massa air yang besar mengandung plankton di dalamnya). Angin dapat pula menyebabkan terkumpulnya plankton pada tempat tertentu seperti sepanjang pantai di bawah angin (leeward side). Pengaruh biologi terjadi apabila terdapat perbedaan pertumbuhan fitoplankton dan kecepatan difusi untuk menjauhi kelompoknya serta adanya pemangsa dari fitoplankton. Konsentrasi klorofil-a di lautan memiliki nilai yang berbeda secara vertikal, karena dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi seperti suhu permukaan laut, angin, arus dan lain-lain. Fluktuasi nilai tersebut bisa diamati dengan melakukan pengukuran secara langsung atau dengan penggunaan teknologi inderaja. Konsentrasi klorofil-a di suatu perairan dapat memberikan rona laut yang khas sehingga melalui metode inderaja yang menggunakan wahana satelit, konsentrasi pigmen bisa diduga. Penyebaran kandungan klorofil-a secara temporal di perairan Tapanuli Tengah umumnya bervariasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Parsons et al. (1984) yang menyatakan bahwa, distribusi vertikal klorofil-a di laut pada umumnya berbeda menurut waktu, dan suatu saat ditemukan maksimum di dekat permukaan, namun di lain waktu mungkin lebih terkonsentrasi di bagian bawah kedalaman eufotik. Menurut pendapat Setiapermana et al. (1992) yang kenyataan didapatkan dari penelitiannya bahwa, di Lautan Hindia bagian timur dan Arinardi (1995) di Teluk Jakarta yang menunjukkan adanya perbedaan distribusi klorofil-a pada musim yang berbeda. 67 Selanjutnya Gabric dan Parslow (1989) mengemukakan bahwa, laju produktifitas primer di lingkungan perairan ditentukan oleh faktor fisik. Faktor fisik utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di dalam kolom air dan laju tenggelam sel fitoplankton. Percampuran vertikal massa air sangat berperan dalam menyuburkan kolom perairan yaitu dengan mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktifitas primer melalui aktifitas fotosintesis fitoplankton. Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil-a mampu melaksanakan reaksi fotosintesis dimana air dan karbon dioksida dengan adanya sinar surya dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Karena kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik maka fitoplankton disebut sebagai sebagai produsen primer (primary producer). Berdasarkan pendapat Nontji (2002) bahwa, perairan yang produktivitas primer fitoplanktonnya tinggi akan mempunyai sumberdaya hayati yang besar pula. Dalam rantai makanan (food web), fitoplankton akan dimakan oleh hewan herbivora yang merupakan produsen sekunder (secondary primer). Produsen sekunder ini umumnya berupa zooplankton yang kemudian dimangsa oleh hewan karnivora yang lebih besar sebagai produsen tersier (tertiary producer). Demikian seterusnya rentetan hewan karnivor memangsa karnivor lainnya hingga produsen tingkat keempat, kelima dan seterusnya. Jelaslah bahwa fitoplankton, sebagai produsen primer, merupakan pangkal rantai pakan dan merupakan fondamen yang mendukung kehidupan biota laut lainnya. Akan tetapi, dalam penelitian ini bahwa klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil pemakan plankton seperti teri (Stolephorus commersonii), layang (Decapterus spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) karena sebaran kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah adalah bervariasi sehingga ikan tersebut tidak dapat mentolerir perubahan kandungan klorofil-a secara tiba-tiba pada setiap hari, dan banyaknya pemangsa terutama bagi gerombolan ikan teri yang memiliki tujuan migrasi secara periodik sehingga menyebar secara tidak merata serta mengakibatkan hasil 68 tangkapan nelayan khususnya untuk ikan pelagis kecil lainnya seperti ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), layang (Decapterus spp), belado kuning (Atule mate), buncilak (Alepes djeddaba) dan parang-parang (Chirocentrus dorab) berkurang. Reddy (1993) menyatakan bahwa, ikan adalah hewan berdarah dingin yang suhu tubuh selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih kisaran suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh seperti kecepatan renang serta dalam rangsangan syaraf. Hasil tangkapan didominasi oleh ikan pelagis padahal tujuan utama penangkapan dari pukat ikan umumnya adalah ikan demersal karena sewaktu melakukan operasi penangkapan ikan, alat tangkap pukat ikan yang diturunkan ke laut berada di permukaan laut seharusnya di dasar perairan. Cara pengoperasian alat tangkap pukat ikan ini sama halnya dengan trawl, yaitu dapat dioperasikan pada kedalaman perairan yang diinginkan seperti pada permukaan perairan (surface trawl), pertengahan atau kolom perairan (mid-water trawl) dan dasar perairan (bottom trawl). Menurut letak jaring dalam air selama operasi penangkapan dilakukan, Ayodhyoa (1979) membagi trawl atas 3 yaitu : (1) Surface trawl (trawl yang dioperasikan pada permukaan perairan) (2) Mid-water trawl (trawl yang dioperasikan pada pertengahan atau kolom perairan) (3) Bottom trawl (trawl yang dioperasikan pada dasar perairan). Alat tangkap pukat ikan yang digunakan oleh nelayan Sibolga dan sekitarnya termasuk ke dalam kelompok trawl. Menurut Brandt (1984), trawl diklasifikasikan ke dalam alat tangkap dragged (ditarik). Grup ini terdiri dari semua jaring kantong atau jaring terbentang yang ditarik sepanjang kolom perairan atau dekat dasar perairan atau sesekali ke perairan pelagis untuk waktu yang terbatas. Selanjutnya dikatakan pula oleh King (1995) bahwa, trawl dan 69 pukat adalah alat tangkap yang ditarik sepanjang perairan untuk menjaring invertebrate dan ikan laut. Kekurangan metode pengumpulan data ini adalah hasil tangkapan yang diperoleh sangat sedikit karena sewaktu melakukan penangkapan ikan, kapal lainnya sudah melakukan penangkapan pada posisi penangkapan yang sama sebelum kapal penelitian kita melakukan penangkapan di posisi daerah penangkapan tersebut dan kapal penelitian kita tidak boleh mengambil hasil tangkapan mereka di posisi yang sama, apabila terjadi bisa menimbulkan konflik. Untuk memperoleh data hasil tangkapan dari kapal penangkapan lainnya diperbolehkan tapi tidak semua hasil tangkapan akan diberitahu. Pada Lampiran 11 terlihat bahwa nilai data SPL insitu terhadap SPL exsitu (lapangan) adalah tidak sama. Hal ini mungkin disebabkan oleh waktu perolehan data secara in-situ dengan ex-situ yang berbeda. Data ex-situ dideteksi oleh xatelit NOAA-AVHRR dalam sehari dua kali sedangkan data SPL in-situ yang diukur di lapangan bervariasi antara jam 04.00 sampai 15.00 Wib tergantung waktu setting pukat ikan. Menurut Nontji (1987), perbedaan antara SPL in-situ dengan ex-situ dapat dipengaruhi oleh awan atau kabut, perbedaan penyinaran matahari (intensitas matahari) yang datang dihambat oleh awan maupun partikel-partikel lainnya yang ada di luar angkasa, arus, penaikan massa air dan pencairan es di kutub. Secara alami suhu permukaan laut merupakan lapisan hangat, karena mendapat sinar matahari pada siang hari. Akan tetapi karena pengaruh angin, pada lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 meter terjadi pengadukan hingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28.00oC) yang homogen, sehingga disebut lapisan homogen. Lapisan permukaan umumnya memiliki ketebalan kedalaman sebelum mencapai lapisan bawah yang lebih dingin (Gambar 33). Air mempunyai sifat spesifik bahang yang baik, artinya bertambah atau berkurangnya panas terjadi secara perlahan-lahan. Permukaan laut dapat mengabsorbsi sejumlah besar energi matahari yang masuk ke dalamnya. Ketika evaporasi, permukaan laut menjadi panas. Pada saat dipanaskan, air hangat tetap dipermukaan sedangkan air dingin tenggelam atau berada di lapisan bawah. 70 Energi yang sampai dipermukaan bumi bervariasi menurut musim, lintang dan topografi (Ingmanson dan Wallace 1973). Kedalaman (E) Suhu (ºC) A. Lapisan Homogen Hangat, B. Lapisan termoklin, C. Lapisan Homogen Dingin Gambar 33 Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia (Nontji 1987). Suhu air laut di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Menurut Hela dan Laevastu (1970), perubahan suhu permukaan laut selain disebabkan oleh jumlah bahang yang diterima dari matahari juga dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungan sekitar di daerah perairan tersebut. Pengaruh arus, keadaan awan, penaikkan massa air dan pencairan es di kutub juga mempengaruhi suhu di permukaan laut. Sverdrup et al. (1942) mengatakan bahwa, proses-proses seperti absorbsi radiasi dari matahari, aliran bahang dari dalam bumi melalui dasar laut, perubahan bentuk energi kinetik menjadi energi bahang, aliran bahang dari atmosfer melalui udara ke laut dan kondensasi dari uap air yang disertai dengan terjadinya pelepasan bahang yang terjadi di laut akan menaikkan suhu air laut. Selanjutnya proses-proses radiasi balik dari permukaan laut, aliran bahang (konveksi) ke atmosfer dan evaporasi dapat menurunkan suhu air laut pada lapisan permukaan perairan. 71 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1) Sebaran SPL di perairan Tapanuli Tengah bervariasi yang berkisar antara 25°C hingga 31°C dengan kisaran SPL dominan 25°C hingga 30°C. Kandungan klorofil-a bervariasi antara 0,5-2,0 mg/m³ dengan nilai dominan 0,5-0,9 mg/m³. (2) Jumlah hasil tangkapan selama penelitian sebanyak 31.076 kg terdiri dari 15 spesies, yang didominasi oleh spesies ikan keke (Leiognathus decorus), teri (Stolephorus commersonii), belado kuning (Atule mate), layang (Decapterus spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), buncilak (Alepes djeddaba) dan parang-parang (Chirocentrus dorab). (3) Sebaran SPL dan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan. 6.2 Saran Mengacu pada keterbatasan yang ditemukan selama penelitian maka disarankan beberapa hal sebagai berikut : (1) Perlu dilakukan validasi antara parameter oseanografi seperti arus, gelombang dan pasut hasil pengukuran satelit dengan pengukuran lapangan (in-situ). (2) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan hasil tangkapan terhadap faktor arus,, gelombang, pasut, salinitas. (3) Perlu dilakukan penelitian mengenai analisis perut ikan (stomach content) sehingga dapat diketahui apakah ikan pemakan fitoplankton, zooplankton maupun jenis-jenis organisme lainnya. (4) Perlu dilakukan penambahan waktu pengamatan terhadap hasil tangkapan. 72 DAFTAR PUSTAKA Aboet A. 1985. Penginderaan Jauh melalui Satelit suatu Alternatif Penelitian Oseanografi. Proceeding Lokakarya Pemanfaatan Data Satelit Lingkungan dan Cuaca, 18-19 September 1985 di Jakarta. 214-230 hal. Arinardi. 1995. Sebaran Seston, Klorofil-a dan Bakteri di Teluk Jakarta. Atlas Osenologi Teluk Jakarta. Bab VI : 101-9. Jakarta. Arinardi O, Trimaningsih H, Sudirdjo, Sugestiningsih, Riyono SH. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No. 6 Tahun 2005. Jakarta. 128 hal. Asikin D. 1971. Synopsis Biologi Ikan Layang (Decapterus spp). LPPL. Jakarta: 3-27. . 1979. Fishing Methods. Diktat Kuliah. Ilmu Teknik Penangkapan Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 97 hal. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. 1986. Petunjuk Menggambar Desain Alat Tangkap Ikan. Semarang. Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Jakarta : Penebar Swadaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. 116 hal. [BML LAPAN] Bidang Matra Laut-LAPAN. 1997. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian dan Pengembangan. Pemanfaatan Pengelolaan Data Penginderaan Jauh Satelit LAPAN Tahun Anggaran 1996/1997 tentang Spesifikasi Standar Ketelitian SST dan Pemanfaatannya untuk Pengamatan Pola Arus Laut dan Daerah Potensi Penangkapan Ikan. Jakarta: Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional. 12 hlm. Barnabe G and Barbane Regine. 2000. Ecology and Management of Coastal Waters; The Aquatic Environment. Praxis Publishing. Chichester. 396p. Baskoro MS, Wahyu RI, Effendi A. 2004. Migrasi dan Distribusi Ikan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 152 p. 73 Brandt A Von. 1984. Fish Catching Methode of the World. Fishing News Book Ltd 3rd Edition. Farnham- Surrey. England. 418 hal. Butler MJA, Mouchot MC, Barale V, Le Blanca C. 1988. The Application of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries. An Introduction Manual. FAO Fisheries Technical Paper. 295 p. Burhanuddin, Martosewojo S, Adrim M, Hutomo M. 1984. Sumberdaya Ikan Kembung. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. 50 hal. Chisastit C. 1962. Progress Report on Tagging Experiment of Chub Mackerel (Rastrelliger spp) in the Gulf Thailand. Proc. Indo-Pacific Fish. Coun, 15 (III): 265-286. Collette BB dan Nauen CE. 1983. FAO Species Catalogue. Vol. 2. Scombrids of the World. An Annoted and Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerels, Bonitos and Related Species Knows to Date. FAO Fish. Synop. Vol. 2: 137p. Dirjen Perikanan. 1989. Penyebaran Beberapa Sumberdaya Perikanan di Indonesia. Direktorat Bina Sumberdaya Hayati. Direktorat Jenderal Perikanan Laut, 1.117-144. Fischer W, Whitehead PP. 1974. FAO Spesies Identification Sheet for Fishery Porpuses. Eastern Indian Ocean (Fishery Area 57) and Weastern Central Pacific (Fishing Area 71), ISW, ISEW Teleoster Identification Sheet, Taxonomy, Geographic Distribution Fisheries, Vernacular Names. Vol. IV. Rome: FAO. Pag. Var. Friedman AL. 1973. Theory and Design of Commercial Fishing Gear. Israel Program for Scientific Translataion. Jerusalem. 489 hal Gabric AJ and Parslow J. 1989. Effect of Physical Factors on the Vertical Distribution of Phytoplankton in Eutrophic Coastal Waters. Australian Journal Marine Freshwater. Res., 189,40,559-569. Gaol JL. 2003. Kajian Karakter Oseanografi Samudera Hindia Bagian Timur dengan Menggunakan Multi Sensor Satelit Citra Satelit dan Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus). Disertasi (tidak dipublikasikan) Program Doktor Teknologi Kelautan IPB.Bogor. 86 hal. Gloerfelt T and Kailola PJ. 1984. Trawl Fishes of Souhtern Indonesia and Northwestern Australia. Australian Development Assistance Bureau, Australia, Directorate General of Fishes, Indonesia and German Agency for Technical Cooperation, Federal Republic of Germany. 407 p. 74 Harahap H. 2006. Optimisasi Perikanan Purse Seine di Perairan Laut Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Sekolah Pasca Sarjana, Program Studi Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor [tesis], Bogor. 119 hal. (tidak dipublikasikan). Hardenberg JA. 1937. Preliminary Report on Migration of Fish in the Java Sea. Trendea Dell. 246 p. Hasyim B. 1999. Analisis Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Kaitannya dengan Lokasi Penangkapan Ikan. Prosiding Seminar Validasi Data Inderaja untuk Bidang Perikanan. Jakarta 14 April 1999. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Jakarta. ISBN: 979-956760-1-6:III-2–III46. Ingmanson DE, Wallace WJ. 1973. Oceanology : An Introduction. California: Wadsworth. Belmont. 325 hal. Kartasasmita M. 1999. Beberapa Pemikiran Operasional Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan. Prosiding Seminar Validasi Data Inderaja untuk Bidang Perikanan. Jakarta 14 April 1999. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta. ISBN;979-95760-1-6. (I-2, I-6). Kimura S, Kimura R and Ikejima K. 2008. Revision of the Genus Nuchequula with Descriptions of Three New Species (Perciformes: Leiognathidae). Ichthyol. Res. 55 : 22-42 p. King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News Book. London. A Dvision of Blackwell Science Ltd. 376 p. Kushardono B. 2003. Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Di dalam: Trisakti B, Hasyim B, Dewanti R, Hartuti M, Winarso G, editor. Jakarta: Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional. hlm 12-18. Kristjonson H. 1967. Modern Fishing Gear of the Wolrd, Vol. 1. Fsihing News (Books) Ltd. London. Laevastu T and Hela I. 1970. Fiheries Oceanography. London : Fishing News Books. 238 p. Laevastu T. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. London: Fishing News (Books) Ltd. 199 p. Laevastu T and Hayes ML. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Books Ltd. England. 199 p. 75 LIPI. 2007. Coral Reef Information and Training Center Coral Reef Rehabilitation and Management Program. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRTICCOREMAP II. Jakarta. 47 hal. Lursinap A, Charoenruay M and Kunapongsiri N. 1970. Preliminary assessment of the productivity of the waters of Prachuabkiribun coast on the Gulf of Thailand 1968-1969. A paper submitted to the first Symposium on Marine Fisheries organized by the Marine Fishery Laboratory. Bangkok. 37 p. Mann KH and Lazier JRN. 1996. Dynamics of Marine Ecosystem. BiologicalPhysical Interaction in the Ocean. Blackwell Scientific Publication. 466 p. Monk KY, Y De Frestes and G. Reksodihardjo-Liley. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. The Ecology of Indonesia Series. No. V. Periplus Editions. Mustafa AJ. 2004. MODIS, Mengamati Lingkungan Global dari Angkasa. Artikel Iptek-Bidang Teknologi Informasi dan Telekomunikasi. Rabu, 8 September 2004. 4 hal. Nurhakim S. 1993. Biology et Dynamique du Banyar Rastrelliger kanagurta (Teleosteen-Scombridae) dans la pecherie des grands senneurs en mer de Java. These, Univ. Bretagne Occidentale, Brest, French. 106p. . 1993. Beberapa Aspek Reproduksi Ikan Banyar (Rastrelliger kanagurta) di perairan Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 81: 8-20. Nurhakim S, Atmaja SB, Potier M and Boely T. 1987. Study on Big Purse Seines Fishery in the Java Sea. The Main Pelagic Caught. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. I (39) :1-10. Nomura M dan Yamazaki T. 1977. Fishing Technique. Tokio. Japan Internacional Coorporation Agency. 206 p. Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan pertama. Penerbit Djambatan. Jakarta. 360 hal. Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan kelima. Penerbit Djambatan. Jakarta. 372 hal. Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan. Jakarta. 368 hal. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Cetakan kedua. Jakarta: Djambatan. 368 hal. Parson RT, Takeshi M and Hargrave B. 1984. Biological Oceanography Process. 3rd edition. Pergamon Press. Oxford. England, 330. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences Vol. 2 September 2005. 94 p. 76 Pasaribu BP. 1967. Menemukan Kelompok Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Perairan Tapanuli. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Paxton JR, Hoese PF, Allen GR and Hanley JE. 1989. Pisces Petromyzontidae to Carangidae. Zoological Cataloque of Australian, Vol. 7. Australian Government Publishing Service, Canberra. 665 p. Puslitbangkan. 1994. Pedoman Teknis Perencanaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil dan Perikanannya. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Relly O, Maritorena JES, Mitchell BG, Siegel DA, Carder KL, Garver SA, Kahru M, Mc Clain C. 1998. Ocean Colour Chlorophyll-a Algorithms for SeaWifs, OC2 and OC4 : version 4. Di dalam: Hooker SB, Firestone ER, editor. Seawifs Poslaunch Technical Report. Volume ke-2 (3). Maryland: NASA Goddard Space Flight Center. hlm 9-23. Reddy MP. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the Abundance of Fish Catch. Proceeding of International Workshop on Application of Satellite Remote Sensing for Identifying and Forecasting Potential Fishing Zones in Developing Countries. India, 7-11 December 1993. Rousenfell GA and Everhart WH. 1962. Fishing Gear (Fisheries Science its Methods and Aplication). Jhon Willey Con, Inc. New York. 123p. Sawada T. 1980. Fishes in Indonesia, with Illustrations. Japan: Japan International Cooperation Agency. 200 hlm. Setiapermana D, Santoso dan Riyono SH. 1992. Chlorophyl Content in Relation to Physical Structure in East Indian Ocean. Puslitbang Oseanologi- LIPI. Jakarta. Soegiarto T, Birowo S. 1975. Atlas Oseanografi Perairan Indonesia dan Sekitarnya, No. 1. Yakarta: Lembaga Oseanologi Indonesia- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Subani W dan Barus HR. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 50. Balai Penelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian Jakarta. 248 hal. Susanto V. 1961. Some problems of fisheries Research with special reference to the Rastrelliger Fishery. Proc. I.P.F.C. 9 (3):71-78. Sverdrup HV, Johnson MW, Fleming RH. 1942. The Oceans : Their Physics, Chemistry and General Biology. Engleword: Prentice Hall Inc. 77 Tomascik T, Nontji A, Mah AJ, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas part 2. The Ecology of Indonesian Series, Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. Vol. VII. Valiela I. 1984. Marine Ecological Processes. New York : Springer-Verlag. 546 p. Weber M and LF Beaufort. 1931. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. EJ. Brill. Leiden, 6:194-201. Weyl PK. 1970. Oceanography. An Introduction to The Marine Environment. John Wiley & Sons Inc. New York. Whitehead PJP, Nelson GJ and Wongratana T. 1988. FAO species catalogue. Vol. 7. Clupeoid fishes of the world (Suborder Clupeoidei). An annotated and illustrated catalogue of the herrings, sardines, pilchards, sprats, shads, anchovies and wolf-herrings. Part 2 - Engraulididae. FAO Fish. Synop. 125(7/2):305-579. Whitehead PJP. 1985. FAO species catalogue. Vol. 7. Clupeoid Fishes of the World (suborder: Clupeioidei). An Annotated and Illustrated Catalogue of the Herrings, Sardines, Pilchards, Sprats, Shads, Anchovies and WolfHerrings. Part 1 - Chirocentridae, Clupeidae and Pristigasteridae. FAO Fish. Synop. 125(7/1):1-303. Whitehead PJP, Nelson GJ and Wongratana T. 1988. FAO Species Catalogue. Vol. 7. Clupeoid Fishes of the World (Suborder: Clupeoidei). An Annotated and Illustrated Catalogue of the Herrings, Sardines, Pilchards, Sprats, Shads, Anchovies and Wolf-Herrings. Part 2 - Engraulididae. FAO Fish. Synop. 125(7/2):305-579. Widodo J. 1999. Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Perikanan di Indonesia. Prosiding Seminar Validasi Data Inderaja untuk Bidang Perikanan. BPPT Jakarta. ISBN;979-95760-1-16 : II-1–II-21. . 1988. Dynamic Pool Analyses of the Ikan Layang (Decapterus spp.) Fishery in the Java Sea. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 47. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. hlm 39-58. Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of the South East Asian Waters. Naga Report. Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography. California : The University of California. La Jolla II. 195 p. 78 LAM PI RA N 79 Lampiran 1 Jenis Ikan yang Dominan Jenis Ikan yang Dominan Keke Teri Belado Kuning Layang Kembung Perempuan Buncilak Parang-parang Total Jumlah 11420 3887 1958 2016 1720 1668 1477 Persentase (%) 47.29561832 16.09790441 8.109003562 8.349208979 7.123333057 6.907976476 6.116955189 24146 100 80 Lampiran 2 Jenis hasil tangkapan untuk setiap daerah penangkapan ikan pelagis kecil. Daerah Penangkapan Ikan (DPI) DPI-1 DPI-2 DPI-3 DPI-4 DPI-5 DPI-6 DPI-7 DPI-8 DPI-9 DPI-10 DPI-11 Total Keke 400 420 1.020 850 1.470 1.610 2.000 1.800 375 500 250 Teri 150 717 390 500 300 800 500 230 - Layang 78 70 205 230 275 297 373 233 140 40 10.695 3.587 1.941 Jenis Tangkapan (Kg) Kembung Pr Parang-parang 31 55 48 35 310 130 196 120 80 160 283 229 78 245 300 240 180 100 25 70 35 1.601 1.349 Belado Kuning 86 176 171 285 538 381 294 152 65 Buncilak 73 68 225 230 279 351 294 70 78 2.148 1.668 Total (Kg) Total/Set (Kg) 787 727 2.783 2.187 3.049 3.608 4.171 3.437 1.177 525 538 787.0 727.0 927.7 546.8 762.3 721.6 834.2 572.8 588.5 525.0 538.0 22.989 81 Lampiran 3 Tanggal operasi penangkapan ikan Tanggal Operasi Penangkapan Ikan Posisi Lintang Bujur 1º 49,986' 98° 33,584' 1º 43,980' 98° 31,575' 1º 45,982' 98° 29,577' 07 Juli 2007 Total 09 Juli 2007 1º 47,984' 98° 29,578' 1° 41,984' 98º 21,578' 1° 43,984' 98º 27,578' Total 1° 51,729' 98º 25,975' 1° 53,769' 98º 25,422' 10 Juli 2007 Hasil Tangkapan Jenis Tangkapan Jumlah (Kg) Kembung Perempuan 25 Keke 500 Kembung Perempuan 80 Parang-parang 60 Keke 300 Teri 250 Kembung Perempuan 150 Parang-parang 45 Keke 300 Layang 75 Belado Kuning 80 Teri 230 2095 Kembung Perempuan 30 Parang-parang 55 Keke 300 Layang 65 Belado Kuning 72 Kembung Perempuan 78 Parang-parang 60 Keke 300 Layang 70 Belado Kuning 80 Teri 150 Kembung Perempuan 80 Parang-parang 65 Keke 300 Layang 73 Belado Kuning 84 Teri 250 2112 Kembung Perempuan 120 Parang-parang 70 Keke 500 Belado Kuning 85 Teri 300 Layang 75 Kembung Perempuan 60 Parang-parang 35 Keke 250 Layang 78 Belado Kuning 88 Teri 150 Buncilak 80 82 Lampiran 3 (Lanjutan) Tanggal Operasi Penangkapan Ikan Lintang Posisi Bujur 10 Juli 2007 1° 48,266' 98º 23,156' Total 12 Juli 2007 1° 50,574' 98º 20,103' 1° 45,509' 98º 29,152' 1° 45,253' 98º 32,479' Total 13 Juli 2007 1° 45,253' 98° 32,479' 1° 53,063' 98° 27,080' 1° 43,862' 98° 32,284' Total Hasil Tangkapan Jenis Tangkapan Jumlah (Kg) Kembung Perempuan 120 Parang-parang 45 Keke 350 Layang 80 Belado Kuning 75 Teri 300 Buncilak 75 2936 Parang-parang 45 Keke 350 Layang 80 Belado Kuning 75 Teri 300 Buncilak 75 Kembung Perempuan 40 Parang-parang 50 Keke 400 Layang 73 Belado Kuning 65 Buncilak 70 Kembung Perempuan 40 Parang-parang 15 Keke 150 Layang 8 Belado Kuning 30 1866 Kembung Perempuan 40 Parang-parang 15 Keke 150 Layang 8 Belado Kuning 30 Kembung Perempuan 65 Parang-parang 45 Keke 300 Layang 75 Belado Kuning 83 Buncilak 70 Kembung Perempuan 20 Parang-parang 35 Keke 500 Layang 71 Belado Kuning 85 1592 83 Lampiran 3 (Lanjutan) Tanggal Operasi Penangkapan Ikan Posisi Lintang Bujur 1° 48,744' 98° 23,974' 1° 45,756' 98° 15,195' 1° 43,141' 98° 23,375' 14 Juli 2007 Total 15 Juli 2007 1° 57,555' 98° 18,567' 1° 57,555' 98° 18,567' 1° 56,536' 98° 20,166' Total 1° 57,817' 98° 18,666' 1° 52,595' 98° 15,712' 16 Juli 2007 Hasil Tangkapan Jenis Tangkapan Jumlah (Kg) Parang-parang 45 Keke 250 Buncilak 70 Parang-parang 35 Keke 330 Belado Kuning 67 Buncilak 80 Layang 47 Teri 200 Parang-parang 45 Keke 500 Belado Kuning 65 Buncilak 70 Layang 75 Teri 300 2179 Parang-parang 40 Keke 300 Kembung Perempuan 71 Buncilak 80 Teri 240 Layang 77 Parang-parang 55 Keke 400 Kembung Perempuan 31 Buncilak 73 Teri 150 Layang 78 Parang-parang 45 Keke 250 Kembung Perempuan 150 Belado Kuning 65 Teri 200 Buncilak 74 Layang 80 2459 Parang-parang 50 Keke 450 Kembung Perempuan 150 Belado Kuning 45 Teri 267 Buncilak 73 Layang 70 Parang-parang 35 Keke 320 Kembung Perempuan 10 Belado Kuning 66 Teri 250 Buncilak 78 Layang 55 84 Lampiran 3 (Lanjutan) Tanggal Operasi Penangkapan Ikan Lintang Posisi Bujur 16 Juli 2007 1º 45,903' 98° 25,390' Total 1° 44,004' 98º 35,227' 1º 44,439' 98º 21,359' 1º 47,540' 98° 18,292' 17 Juli 2007 Total 18 Juli 2007 1º 43,511' 98° 25,638' 1° 41,511' 98° 23,638' 1° 48,192' 98° 18,871' Total 19 Juli 2007 1° 46,750' 98° 22,861' Hasil Tangkapan Jenis Tangkapan Jumlah (Kg) Parang-parang 55 Keke 440 Kembung 40 Perempuan Belado Kuning 65 Buncilak 58 Layang 66 2643 Parang-parang 35 Keke 250 Kembung 70 Perempuan Belado Kuning 65 Buncilak 78 Layang 40 Parang-parang 55 Keke 300 Belado Kuning 60 Buncilak 78 Layang 82 Parang-parang 35 Keke 350 Belado Kuning 55 Buncilak 48 Layang 78 1679 Parang-parang 30 Keke 450 Belado Kuning 88 Buncilak 80 Teri 350 Layang 76 Parang-parang 55 Keke 450 Belado Kuning 88 Buncilak 66 Layang 70 Parang-parang 45 Keke 440 Belado Kuning 88 Buncilak 76 Layang 70 Kembung 80 Perempuan 2602 Parang-parang 35 Keke 420 Belado Kuning 86 Buncilak 68 Layang 70 Kembung 48 Perempuan 85 Lampiran 3 (Lanjutan) Tanggal Operasi Penangkapan Ikan Posisi Lintang Bujur 1º 47,420' 98° 24,711' 1º 48,914' 98° 26,539' 19 Juli 2007 Total Hasil Tangkapan Jenis Tangkapan Jumlah (Kg) Parang-parang 48 Keke 320 Belado Kuning 40 Buncilak 80 Layang 73 Kembung Perempuan 53 Parang-parang 36 Keke 250 Belado Kuning 83 Buncilak 68 Layang 78 Kembung Perempuan 70 1926 86 Lampiran 4 Hubungan suhu permukaan laut terhadap CPUE pada masing-masing DPI menurut jenis ikan (Kg) No Setting (DPI) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Posisi DPI Tanggal OPI 2º 00' LU-98.31º BT 2º 00' LU-98.40º BT 1.96° LU-98.31º BT 1.90º LU-98.30º BT 1.94º LU-98.34º BT 1.90º LU-98.40º BT 1.86º LU-98.43º BT 1.90º LU-98.42º BT 1.90º LU-98.45º BT 1.84º LU-98.33º BT 1.80º LU-98.31º BT 1.80º LU-98.30º BT 1.79º LU-98.30º BT 1.81º LU-98.44º BT 1.76º LU-98.42º BT 1.80º LU-98.40° BT 1.79° LU-98.41° BT 1.81° LU-98.40° BT 1.72° LU-98.42° BT 1.74° LU-98.40° BT 1.72° LU-98.38° BT 1.70° LU-98.36° BT 1.70° LU-98.40° BT 1.75° LU-98.54° BT 1.73° LU-98.53° BT 1.75° LU-98.53° BT 15 Juli 2007 19 Juli 2007 16 Juli 2007 16 Juli 2007 15 Juli 2007 15 Juli 2007 10 Juli 2007 10 Juli 2007 13 Juli 2007 12 Juli 2007 18 Juli 2007 14 Juli 2007 17 Juli 2007 19 Juli 2007 16 Juli 2007 10 Juli 2007 19 Juli 2007 14 Juli 2007 18 Juli 2007 17 Juli 2007 14 Juli 2007 9 Juli 2007 18 Juli 2007 12 Juli 2007 13 Juli 2007 12 Juli 2007 Keke 400 420 450 320 250 300 500 250 300 350 440 330 350 250 440 350 320 250 450 300 500 300 450 150 500 400 Jumlah Hasil Tangkapan menurut Jenis Ikan (Kg) Kembung ParangBelado Teri Layang Pr parang Kuning 150 78 31 55 70 48 35 86 267 70 150 50 45 250 55 10 35 66 200 80 150 45 65 240 77 71 40 300 75 120 70 85 150 78 60 35 88 75 65 45 83 300 80 45 75 70 80 45 88 200 47 35 67 78 35 55 78 70 36 83 66 65 40 55 300 80 120 45 75 40 73 53 48 45 350 76 30 88 82 55 60 300 75 45 65 150 70 78 60 80 70 55 88 8 40 15 30 71 20 35 85 73 40 50 65 Buncilak SPL (ºC) dominan di posisi DPI 73 68 73 78 74 80 80 70 75 76 80 48 68 58 75 80 70 80 78 70 66 70 28 25 29 29 28 28 30 30 31 30 30 29 29 28 29 30 28 29 27 29 28 29 28 31 31 31 87 No Setting (DPI) Posisi DPI Tanggal OPI 27 28 29 30 31 32 33 1.70° LU-98.54° BT 1.73° LU-98.45° BT 1.76° LU-98.52° BT 1.73° LU-98.53° BT 1.80° LU-98.49° BT 1.83° LU-98.55° BT 1.73° LU-98.60° BT 13 Juli 2007 9 Juli 2007 7 Juli 2007 7 Juli 2007 9 Juli 2007 7 Juli 2007 17 Juli 2007 Keke 150 300 300 300 300 500 250 Jumlah Hasil Tangkapan menurut Jenis Ikan (Kg) Kembung ParangBelado Teri Layang Pr parang Kuning 8 40 15 30 250 73 80 65 84 230 75 150 45 80 250 80 60 65 30 55 72 25 58 40 70 35 65 Buncilak SPL (ºC) dominan di posisi DPI 78 30 28 30 30 29 28 29 88 Lampiran 5 Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI menurut jenis ikan (Kg). No Setting (DPI) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Posisi DPI Tanggal OPI 2º 00' LU-98.31º BT 2º 00' LU-98.40º BT 1.96° LU-98.31º BT 1.90º LU-98.30º BT 1.94º LU-98.34º BT 1.90º LU-98.40º BT 1.86º LU-98.43º BT 1.90º LU-98.42º BT 1.90º LU-98.45º BT 1.84º LU-98.33º BT 1.80º LU-98.31º BT 1.80º LU-98.30º BT 1.79º LU-98.30º BT 1.81º LU-98.44º BT 1.76º LU-98.42º BT 1.80º LU-98.40° BT 1.79° LU-98.41° BT 1.81° LU-98.40° BT 1.72° LU-98.42° BT 1.74° LU-98.40° BT 1.72° LU-98.38° BT 1.70° LU-98.36° BT 1.70° LU-98.40° BT 1.75° LU-98.54° BT 1.73° LU-98.53° BT 1.75° LU-98.53° BT 15 Juli 2007 19 Juli 2007 16 Juli 2007 16 Juli 2007 15 Juli 2007 15 Juli 2007 10 Juli 2007 10 Juli 2007 13 Juli 2007 12 Juli 2007 18 Juli 2007 14 Juli 2007 17 Juli 2007 19 Juli 2007 16 Juli 2007 10 Juli 2007 19 Juli 2007 14 Juli 2007 18 Juli 2007 17 Juli 2007 14 Juli 2007 9 Juli 2007 18 Juli 2007 12 Juli 2007 13 Juli 2007 12 Juli 2007 Keke 400 420 450 320 250 300 500 250 300 350 440 330 350 250 440 350 320 250 450 300 500 300 450 150 500 400 Jumlah Hasil Tangkapan menurut Jenis Ikan (Kg) Kembung ParangBelado Teri Layang Pr parang Kuning 150 78 31 55 70 48 35 86 267 70 150 50 45 250 55 10 35 66 200 80 150 45 65 240 77 71 40 300 75 120 70 85 150 78 60 35 88 75 65 45 83 300 80 45 75 70 80 45 88 200 47 35 67 78 35 55 78 70 36 83 66 65 40 55 300 80 120 45 75 40 73 53 48 45 350 76 30 88 82 55 60 300 75 45 65 150 70 78 60 80 70 55 88 8 40 15 30 71 20 35 85 73 40 50 65 Buncilak Klorofil-a (kg/m³) dominan di posisi DPI 73 68 73 78 74 80 80 70 75 76 80 48 68 58 75 80 70 80 78 70 66 70 1 1.6 0.9 0.8 0.8 0.8 0.6 0.6 0.7 0.8 0.5 0.9 0.8 0.6 0.8 0.7 0.7 1.2 0.5 0.9 0.7 1 1 0.7 0.7 0.8 89 No Setting (DPI) Posisi DPI Tanggal OPI 27 28 29 30 31 32 33 1.70° LU-98.54° BT 1.73° LU-98.45° BT 1.76° LU-98.52° BT 1.73° LU-98.53° BT 1.80° LU-98.49° BT 1.83° LU-98.55° BT 1.73° LU-98.60° BT 13 Juli 2007 9 Juli 2007 7 Juli 2007 7 Juli 2007 9 Juli 2007 7 Juli 2007 17 Juli 2007 Keke 150 300 300 300 300 500 250 Jumlah Hasil Tangkapan menurut Jenis Ikan (Kg) Kembung ParangBelado Teri Layang Pr parang Kuning 8 40 15 30 250 73 80 65 84 230 75 150 45 80 250 80 60 65 30 55 72 25 58 40 70 35 65 Buncilak Klorofil-a (kg/m³) dominan di posisi DPI 78 0.7 0.9 0.8 0.7 0.8 1 0.9 90 Lampiran 6 Pengumpulan data selama penelitian No Waktu Kegiatan Output Data Metode Pengumpulan Data 1 8-29 Juni 2007 Ambil data primer di PPN Sibolga Hasil Tangkapan selama 2 tahun untuk semua kapal perikanan - 2 3 7-19 juli 2007 Trip Operasi 6 Februari5 Maret 2008 Ambil data hasil olahan citra NOAAAVHRR dan MODIS Hasil Tangkapan SPL Klorofil-a Waktu dan posisi penangkapan, jumlah tangkapan total pada setiap posisi daerah penangkapan Pengolahan data citra NOAA-AVHRR dan MODIS dalam bentuk data raster yang sudah terkoreksi, baik secara geometri, radiometri dan memiliki informasi dasar. 91 Lampiran 7 Pengolahan citra suhu permukaan laut Mulai Citra SPL yang akan diolah Pemotongan Citra SPL Menyimpan citra SPL ke dalam bentuk tipe Er Mapper Raster Dataset (.ers) If i1<A then null else if i1<=B then i1 Menyimpan citra SPL ke dalam bentuk Er 92 Lanjutan Lampiran 7... Menyimpan kembali citra SPL dari Er Mapper Algorithm (.alg) ke bentuk Er Mapper Raster Dataset (.ers) Selanjutnya citra SPL dieksport dalam bentuk XYZ ASCII grid Hasil nilai SPL yang telah di eksport lalu dibuka ke dalam Microsoft Excel Nilai SPL yang akan digridkan Setelah nilai SPL digridkan maka dapat ditampilkan ke peta 93 Lanjutan Lampiran 7... Peta SPL di eksport ke Esri shapefile (*.shp) dari Surfer 8 Setalah nilai SPL di masukkan ke Theme Table maka peta SPL akan terlihat Peta yang sudah jadi diekstensionkan ke Graticules and Measured Grid Peta yang sudah jadi tersebut dieksport dari ArcView GIS kembali ke JPEG atau Placeable WMF Peta sudah jadi dalam bentuk JPEG atau Placeable WMF 94 Lampiran 8 Pengolahan citra klorofil-a Mulai Citra klorofil-a yang akan diolah Pemotongan Citra klorofil-a If i1<A then null else if i1<=B then i1 Menyimpan citra klorofil-a ke dalam bentuk tipe Er Mapper Raster Dataset (.ers) Menyimpan citra klorofil-a ke dalam bentuk Er Mapper Algorithm (.alg) 95 Lanjutan Lampiran 8.... Menyimpan kembali citra klorofil-a dari Er Mapper Algorithm (.alg) ke bentuk Er Mapper Raster Dataset (.ers) Selanjutnya citra klorofil-a dieksport dalam bentuk XYZ ASCII grid Hasil nilai klorofil-a yang telah di eksport lalu dibuka ke dalam Microsoft Excel Nilai klorofil-a yang akan digridkan Setelah nilai klorofil-a digridkan maka dapat ditampilkan ke peta 96 Lanjutan Lampiran 8... Peta klorofil-a di eksport ke Esri shapefile (*.shp) dari Surfer 8 Setalah nilai klorofil-a di masukkan ke Theme Table maka peta klorofil-a akan terlihat Peta yang sudah jadi diekstensionkan ke Graticules and Measured Grid Peta yang sudah jadi tersebut dieksport dari ArcView GIS kembali ke JPEG atau Placeable WMF Peta sudah jadi dalam bentuk JPEG atau Placeable WMF 97 Lampiran 9 Kecepatan angin, curah hujan, radiasi matahari, suhu udara dan kecerahan perairan di daerah Sibolga dan sekitarnya tahun 2007. Tgl Kecepatan Angin (Knot) Curah Hujan (mm) Radiasi Matahari (%) 1 4.1 100 2 4.2 90 3 5.8 100 4 3.1 4.9 79 5 5.3 54 6 4 66 7 4.6 TTU 50 8 2.3 0 9 2.9 40 10 3.6 0.3 85 11 3.8 100 12 3.8 100 13 2.8 41 56 14 8.4 100 15 4.7 41 16 2.7 51 17 6 60 18 3.4 6 19 5.4 2.1 100 20 3.6 0 21 4.6 19.6 0 22 6.6 20 0 23 1.5 57.6 0 24 4.6 14.4 79 25 2.4 0.3 0 26 3.5 TTU 100 27 3.3 91 28 5.3 8.2 41 29 2.4 31 30 6 91 31 4 32.5 68 Sumber : BMG Balai Besar Wilayah 1 Medan (2007). Suhu Udara (°C) Kecerahan Perairan (Km) 29.6 28.9 29.6 29.1 29.3 29.2 28.2 27.4 28.2 28.8 28.9 28.6 29 28.5 28 27.9 28.7 27.1 27.7 27 26 25 25.2 26.4 26.4 27.5 26.4 26.7 27 26.5 27.2 8 10 8 9 8 8 8 7 7 8 9 10 9 8 7 8 9 6 6 6 7 5 4 7 8 8 7 6 6 8 7 Keterangan : TTU = Nilai curah hujan kurang dari 0,1 mm (< 0,1 mm) artinya tidak ada curah hujan sama sekali. 98 Lampiran 10 Perifikasi antara nilai SPL exsitu dan insitu. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Tanggal OPI 15 Juli 2007 19 Juli 2007 16 Juli 2007 16 Juli 2007 15 Juli 2007 15 Juli 2007 10 Juli 2007 10 Juli 2007 13 Juli 2007 12 Juli 2007 18 Juli 2007 14 Juli 2007 17 Juli 2007 19 Juli 2007 16 Juli 2007 10 Juli 2007 19 Juli 2007 14 Juli 2007 18 Juli 2007 17 Juli 2007 14 Juli 2007 9 Juli 2007 18 Juli 2007 12 Juli 2007 13 Juli 2007 12 Juli 2007 13 Juli 2007 9 Juli 2007 7 Juli 2007 7 Juli 2007 9 Juli 2007 7 Juli 2007 17 Juli 2007 Posis DPI 2º 00' LU-98.31º BT 2º 00' LU-98.40º BT 1.96° LU-98.31º BT 1.90º LU-98.30º BT 1.94º LU-98.34º BT 1.90º LU-98.40º BT 1.86º LU-98.43º BT 1.90º LU-98.42º BT 1.90º LU-98.45º BT 1.84º LU-98.33º BT 1.80º LU-98.31º BT 1.80º LU-98.30º BT 1.79º LU-98.30º BT 1.81º LU-98.44º BT 1.76º LU-98.42º BT 1.80º LU-98.40° BT 1.79° LU-98.41° BT 1.81° LU-98.40° BT 1.72° LU-98.42° BT 1.74° LU-98.40° BT 1.72° LU-98.38° BT 1.70° LU-98.36° BT 1.70° LU-98.40° BT 1.75° LU-98.54° BT 1.73° LU-98.53° BT 1.75° LU-98.53° BT 1.70° LU-98.54° BT 1.73° LU-98.45° BT 1.76° LU-98.52° BT 1.73° LU-98.53° BT 1.80° LU-98.49° BT 1.83° LU-98.55° BT 1.73° LU-98.60° BT SPL ex-situ (ºC) 29 26 28 29 30 29 29 29 30 28 29 30 28 30 29 28 30 29 30 30 29 30 29 29 30 29 29 30 29 30 29 29 29 SPL in-situ (ºC) 28 25 29 29 28 28 30 30 31 30 30 29 29 28 29 30 28 29 27 29 28 29 28 31 31 31 30 28 30 30 29 28 29 99 Lampiran 11 Grafik Verifikasi antara SPL exsitu dengan insitu. 33 32 31 SPL insitu 30 29 28 27 26 25 24 24 25 26 27 28 SPL exsitu Lampiran 12 Gambar Kapal Pukat Ikan 29 30 31 32 33 100 Lampiran 13 Gambar Alat Tangkap Pukat Ikan