analisis hasil tangkapan pukat ikan kaitannya dengan

advertisement
ANALISIS HASIL TANGKAPAN PUKAT IKAN KAITANNYA
DENGAN KANDUNGAN KLOROFIL-A DAN SUHU
PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN TAPANULI TENGAH
MARDAME PANGIHUTAN SINAGA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Hasil Tangkapan Pukat
Ikan Kaitannya dengan Kandungan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di
Perairan Tapanuli Tengah” adalah karya sendiri dengan arahan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2009
Mardame Pangihutan Sinaga
NRP C551050051
ABSTRACT
Mardame P Sinaga. 2008. Catch Analysis of fish net in its relationship to
Chlorophyll-a concentration and Sea Surface Temperature in Tapanuli Tengah Waters.
Supervise by Mr. Domu Simbolon and Mr. Budy Wiryawan.
Sea surface temperature (SST) and chlorophyll-a are two important oceanographic
parameters determining the abundance and distribution of fish. The aim of this
research is to determine distribution of SST, chlorophyll-a, composition of fish
catch and the relationship between SST, chlorophyll-a with fish catch. This study
was conducted in Tapanuli Tengah waters. Catch analysis data has been taken
from field of research on the 7-19 July 2007 and satellite imagery was taken
Laboratorium Matra Laut-Pusat Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur at July 2007. The amount
of fish catch from Tapanuli Tengah waters landed at PPN Sibolga city was 31.076
kgs. The catch of 15 species of dominant by peperek/keke (Leiognathus decorus),
teri (Stolephorus commersonii), belado kuning (Atule mate), layang (Decapterus
spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), buncilak (Alepes djeddaba)
dan parang-parang (Chirocentrus dorab). There was no relationship between SST,
chlorophyll-a with fish catch.
Key words: Catch analysis, Chlorophyll-a and SST, Tapanuli Tengah Waters.
RINGKASAN
Perairan Tapanuli Tengah memiliki peranan yang cukup strategis sebagai
sentra produksi perikanan laut di Sumatera Utara. Hasil tangkapan yang
dihasilkan oleh para nelayan Tapanuli Tengah terdiri atas ikan pelagis dan
demersal. Hasil tangkapan ikan pelagis umumnya lebih dominan dibandingkan
ikan demersal selama lima tahun dari tahun 2000-2004, yaitu sebesar 188.190 ton.
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam kegiatan eksploitasi
sumberdaya perikanan di Sibolga dan sekitarnya adalah ketidakpastian letak dan
sulitnya mencari daerah penangkapan (fishing ground), sehingga menyebabkan
hasil tangkapan ikan belum optimal. Parameter oseanografi merupakan faktor
yang sangat berpengaruh terhadap variabilitas hasil tangkapan ikan, sperti
klorofil-a dan suhu permukaan laut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan sebaran SPL optimum dan
kandungan klorofil-a untuk penangkapan ikan pelagis, komposisi hasil tangkapan
ikan pelagis dan hubungan antara SPL dan kandungan klorofil-a terhadap hasil
tangkapan. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar untuk
pengelolaan perikanan ikan pelagis di perairan Tapanuli Tengah, bagi industri
penangkapan, informasi yang akan diperoleh nantinya dapat digunakan sebagai
salah satu petunjuk untuk merencanakan operasi penangkapan ikan dan untuk
menambah khasanah ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan daerah
penangkapan ikan pelagis.
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dimaksudkan
untuk pengambilan data lapangan, yang meliputi data hasil tangkapan, posisi
penangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Pengambilan data lapangan ini
dilaksanakan di perairan Sibolga pada tanggal 7-19 Juli 2007. Posisi penangkapan
di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13. Tahap kedua untuk pengolahan
serta analisis data klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) hasil deteksi satelit
diambil dari Laboratorium Matra Laut-Pusat Penginderaan Jauh Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur pada
bulan Juli 2007. Data meteorologi berupa curah hujan, penyinaran matahari,
kelembaban udara, kecerahan perairan dan kecepatan angin diperoleh dari Stasiun
BMG Balai Besar Wilayah 1 Medan. Data perikanan dianalisis yang meliputi
komposisi jenis ikan (spesies), jenis dan jumlah ikan yang dominan tertangkap,
komposisi jumlah dan spesies ikan yang dominan tertangkap pada setiap posisi
penangkapan yang berbeda. Data hasil tangkapan yang diperoleh selama 11 hari
penangkapan, data suhu permukaan laut dan klorofil-a selama bulan Juli 2007,
dianalisis secara statistik deskriptif untuk menggambarkan hasilnya dan
selanjutnya dirata-ratakan untuk mendapatkan hasil tangkapan dominan dari 15
spesies dari tanggal 7-19 Juli 2007 untuk setiap posisi daerah penangkapan. Data
hasil tangkapan ikan yang dominan tertangkap hubungannya dengan SPL dan
klorofil-a ditentukan dengan Analisis Regresi Linear.
Hasil tangkapan ikan pelagis kecil pemakan plankton seperti teri
(Stolephorus commersonii), layang (Decapterus spp), kembung perempuan
(Rastrelliger brachysoma) tidak berpengaruh terhadap klorofil-a karena sebaran
kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah adalah bervariasi sehingga ikan
tersebut tidak dapat mentolerir perubahan kandungan klorofil-a secara tiba-tiba
pada setiap hari, dan banyaknya pemangsa terutama bagi gerombolan ikan teri
yang memiliki tujuan migrasi secara periodik sehingga menyebar secara tidak
merata serta mengakibatkan hasil tangkapan nelayan khususnya untuk ikan
pelagis kecil lainnya seperti ikan kembung perempuan, layang, belado kuning,
buncilak dan parang-parang berkurang.
Kekurangan dalam metode pengumpulan data adalah hasil tangkapan yang
diperoleh sangat sedikit karena sewaktu melakukan penangkapan ikan, kapal
lainnya sudah melakukan penangkapan pada posisi penangkapan yang sama
sebelum kapal pukat ikan melakukan penangkapan di posisi daerah penangkapan
tersebut dan kapal pukat ikan yang digunakan oleh peneliti tidak boleh mengambil
hasil tangkapan mereka di posisi yang sama, apabila terjadi bisa menimbulkan
konflik.
Kegiatan pengukuran sampel klorofil-a tidak menggunakan alat dalam
melakukan penangkapan ikan di laut selama penelitian karena alat yang
digunakan sangat susah diperoleh sehingga hanya melakukan pengukuran dari
citra satelit MODIS. Sedangkan suhu permukaan laut ada dilakukan pengukuran
terhadap daerah penangkapan tetapi data hasil pengukuran SPL di lapangan
ternyata tidak sama dengan data SPL pengukuran dari citra satelit NOAAAVHRR jadi hanya menggunakan data pengukuran SPL dari citra satelit NOAAAVHRR saja.
Mengacu pada keterbatasan yang ditemukan selama penelitian, maka
disarankan umtnk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan hasil
tangkapan terhadap faktor oseanografi lainnya, serta dilakukan penelitian
mengenai analisis perut ikan (stomach content) sehingga dapat diketahui apakah
ikan pemakan fitoplankton, zooplankton maupun jenis-jenis organisme lainnya.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS HASIL TANGKAPAN PUKAT IKAN KAITANNYA
DENGAN KANDUNGAN KLOROFIL-A DAN SUHU
PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN TAPANULI TENGAH
MARDAME PANGIHUTAN SINAGA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc.
Judul Tesis
: Analisis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan
Kandungan Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut di Perairan
Tapanuli Tengah
Nama
: Mardame Pangihutan Sinaga
NRP
: C551050051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si
Ketua
Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Tanggal Ujian : 23 Januari 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan karena
dengan rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul
”Analisis Hasil Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan Klorofil-a dan Suhu
Permukaan Laut di Perairan Tapanuli Tengah” diselesaikan tepat pada waktunya.
Ucapan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Domu F. Simbolon, M.Si (selaku
Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc (selaku Anggota
Komisi Pembimbing) yang telah banyak mengorbankan waktu dan tenaganya
dalam mengarahkan, mengoreksi dan memberikan saran kepada penulis, sehingga
penulisan usulan penelitian ini dapat terwujud. Demikian juga ucapan terimakasih
penulis haturkan kepada Bapak Prof Dr. Ir John Haluan, M.Sc selaku Ketua
Program Studi dan Prof Dr. Ir Mulyono S Baskoro, M.Sc sebagai penguji luar
komisi serta para staf pengajar yang telah banyak berperan dalam menambah
wawasan keilmuan.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Dra.
Mariani, M.Sc dan Bapak B Nainggolan yang telah banyak membantu penulis
dalam memperoleh data-data penelitian yang dibutuhkan serta saran kritikannya
serta teman-teman TKL lainnya maupun teman-teman dekat yang tidak dapat saya
sebutkan nama-namanya yang banyak mendukung penulis dalam segala hal.
Dengan penuh rasa sayang dan penuh kasih penulis ucapkan terimakasih
kepada Ayahanda Mangasa Sinaga dan Ibunda Tiodora Simanullang, abangku
Gira B P Sinaga, adekku Johannes Sinaga yang banyak terabaikan, kasih sayang
dan doa yang tiada putus selama penyelesaian studi ini, saya hanya bisa berdoa
semoga semua pengorbananmu dicatat dihati Tuhan Yesus Kristus.
Akhirnya penulis menyadari tulisan ini masih banyak kekurangan yang akan
ditemui pembaca, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kirtikan
yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan tesis ini di masa mendatang.
Bogor, Februari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan dari pasangan Bapak Mangasa Sinaga
dan Ibu Tiodora Simanullang pada tanggal 26 Desember 1979 di
Jalan Pintu Air IV No. 106, Medan Johor, Sumatera Utara.
Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Swasta
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Padang Bulan Medan, tahun 1995
menyelesaikan pendidikan SMP Kristen 1 Medan, tahun 1995 melanjutkan
Sekolah Menengah Atas (SMA) IMMANUEL Medan, tahun 1998 penulis
melanjutkan studinya pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus pada tahun 2005 dengan Skripsi
berjudul ”Pengaruh Jumlah Lampu terhadap Hasil Tangkapan Bagan Apung
di Perairan Sibolga Kecamatan Tapanuli Tengah”.
Pada bulan Agustus tahun 2005, penulis melanjutkan studi S2 di program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan program studi Teknologi Kelautan
(TKL). Pada tanggal 23 Januari 2009, penulis menyelesaikan studi S2 di program
studi Teknologi Kelautan (TKL) dengan judul Thesis : ”Analisis Hasil
Tangkapan Pukat Ikan Kaitannya dengan Kandungan Klorofil-a dan Suhu
Permukaan Laut di Perairan Tapanuli Tengah”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................
xii
DAFTAR TABEL......................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xvii
1
2
3
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .........................................................................
1.2 Perumusan Masalah .................................................................
1.3 Tujuan ......................................................................................
1.4 Manfaat ....................................................................................
1.5 Hipotesis...................................................................................
1.6 Kerangka Pemikiran.................................................................
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan
Daerah Penangkapan Ikan........................................................
2.2 Parameter Oseanografi .............................................................
2.2.1 Suhu permukaan laut....................................................
2.2.2 Produktivitas perairan ..................................................
2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis .........................................................
2.3.1 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus) ...................
2.3.2 Ikan kembung (Rastrelliger spp) .................................
2.3.3 Ikan layang (Decapterus spp) ......................................
2.3.4 Ikan belado kuning/selar hijau (Atule male) ................
2.3.5 Ikan buncilak/selar como (Alepes djeddaba) ...............
2.3.6 Ikan parang-parang (Chirocentrus dorab) ...................
2.3.7 Ikan teri (Stolephorus commersonii)............................
2.4 Karakteristik Alat Tangkap Trawl dan Pukat Ikan ..................
2.4.1 Karakteristik alat tangkap trawl ...................................
2.4.2 Karakteristik pukat ikan ...............................................
2.5 Operasi Penangkapan Ikan Pelagis dengan Trawl dan Pukat
Ikan...........................................................................................
2.5.1 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan trawl .........
2.5.2 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan pukat ikan.
Metode Penelitan
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................
3.2 Bahan dan Alat.........................................................................
3.3 Metode Pengumpulan Data .....................................................
3.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ....................................
1
5
6
6
6
6
8
12
12
14
16
17
19
21
23
24
25
26
27
27
31
33
33
34
36
37
37
38
3.4.1
3.4.2
3.4.3
4
Analisis komposisi hasil tangkapan .............................
Pengolahan citra satelit ................................................
Pengolahan citra SPL dan klorofil-a dari Er Mapper
ke ArcView GIS...........................................................
HASIL PENELITIAN
4.1 Komposisi Hasil Tangkapan ....................................................
4.2 Suhu Permukaan Laut ..............................................................
4.3 Klorofil-a..................................................................................
4.4 Hubungan antara SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil
Tangkapan ................................................................................
4.4.1 Hubungan suhu permukaan laut terhadap hasil
Tangkapan ....................................................................
4.4.2 Hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ............
38
37
40
43
47
52
58
58
59
5
PEMBAHASAN ...............................................................................
62
6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ..............................................................................
6.2 Saran.........................................................................................
71
71
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
72
LAMPIRAN...............................................................................................
78
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Produksi ikan pelagis dari perairan Sibolga, tahun 2000-2004 ...........
1
2
Karakteristik satelit NOAA dan Fengyun-1.........................................
9
3
Perbandingan kanal sensor antara AVHRR dan MVISR.....................
9
4
Komposisi ikan (spesies) .....................................................................
43
5
CPUE hasil tangkapan dominan menurut daerah penangkapan ..........
47
6
Penyebaran suhu permukaan laut dari satelit NOAA-AVHRR di empat
wilayah perairan Tapanuli Tengah.......................................................
52
Penyebaran klorofil-a di empat wilayah perairan Tapanuli
Tengah..................................................................................................
58
7
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Satelit NOAA-AVHRR dan satelit FY-1 MVISR ...............................
9
2
Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus) ...........................................
18
3
Ikan kembung (Rastrelliger spp) .........................................................
20
4
Ikan layang (Decapterus spp) ..............................................................
22
5
Ikan belado kuning/selar hijau (Atule mate) ........................................
23
6
Ikan buncilak/selar como (Alepes djeddaba) .......................................
24
7
Ikan parang-parang (Chirocentrus dorab) ...........................................
26
8
Ikan teri (Stolephorus commersonii)....................................................
26
9
Alat tangkap beam trawl ......................................................................
28
10 Alat tangkap otter trawl .......................................................................
29
11 Alat tangkap paranzella .......................................................................
29
12 Desain bentuk baku konstruksi pukat tarik dasar kecil tipe 2 seam atau
panel .....................................................................................................
33
13 Peta lokasi penelitian............................................................................
36
14 Diagram alir penelitian.........................................................................
42
15 Persentase tangkapan yang dominan....................................................
44
16 Komposisi hasil tangkapan ..................................................................
45
17 Frekuensi tertangkapnya ikan pada setiap kali operasi Penangkapan..
46
18 Sebaran nilai CPUE dan jumlah setting pada 11 lokasi Penangkapan.
45
19 Citra SPL untuk tanggal 7 Juli 2007 ....................................................
48
20 Citra SPL untuk tanggal 9 Juli 2007 ....................................................
48
21 Citra SPL untuk tanggal 12 Juli 2007 ..................................................
49
22 Citra SPL untuk tanggal 15 Juli 2007 ..................................................
50
23 Citra SPL untuk tanggal 17 Juli 2007 ..................................................
51
24 Citra SPL untuk tanggal 19 Juli 2007 ..................................................
51
25 Citra klorofil-a untuk tanggal 7 Juli 2007 ............................................
53
26 Citra klorofil-a untuk tanggal 9 Juli 2007 ............................................
54
27 Citra klorofil-a untuk tanggal 12 Juli 2007 ..........................................
54
28 Citra klorofil-a untuk tanggal 15 Juli 2007 .........................................
56
29 Citra klorofil-a untuk tanggal 17 Juli 2007 .........................................
56
30 Citra klorofil-a untuk tanggal 19 Juli 2007 .........................................
57
31 Hubungan suhu permukaan laut terhadap CPUE pada masing-masing
DPI .......................................................................................................
59
32 Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI..........
61
33 Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia..................
70
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Jenis ikan yang dominan ......................................................................
79
2
Jenis hasil tangkapan untuk setiap daerah penangkapan ikan pelagis
kecil .....................................................................................................
80
3
Tanggal operasi penangkapan ikan ......................................................
81
4
Hubungan suhu permukaan laut terhadap CPUE pada masing-masing
DPI menurut jenis ikan (Kg) ................................................................
86
Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI menurut
jenis ikan (Kg)......................................................................................
88
6
Pengumpulan data selama penelitian ...................................................
90
7
Diagram pengolahan citra suhu permukaan laut..................................
91
8
Diagram pengolahan citra klorofil-a ....................................................
94
5
9 Kecepatan angin, curah hujan, radiasi matahari, suhu udara dan kecerahan
perairan di daerah Sibolga dan sekitarnya tahun 2007.........................
97
10 Perifikasi antara nilai SPL exsitu dan insitu ........................................
98
11 Grafik hubungan kolerasi antara SPL exsitu dengan insitu .................
99
12 Gambar Kapal Pukat Ikan ....................................................................
99
13 Gambar Alat Tangkap Pukat Ikan........................................................
100
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perairan Tapanuli Tengah cukup strategis sebagai sentra produksi perikanan
laut di Sumatera Utara. Hasil tangkapan yang dihasilkan oleh para nelayan
Tapanuli Tengah terdiri atas ikan pelagis dan demersal. Hasil tangkapan ikan
pelagis umumnya lebih dominan dibandingkan ikan demersal. Adapun
perkembangan hasil tangkapan ikan pelagis selama lima tahun terakhir dari
perairan Tapanuli Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Produksi ikan pelagis dari perairan Tapanuli Tengah, tahun 2000-2004
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
Produksi (Ton)
42.082
41.915
42.025
30.960
31.208
Jumlah
188.190
Sumber : Harahap (2006).
Jenis-jenis ikan yang tertangkap pada umumnya adalah kembung
perempuan (Rastrelliger brachysoma), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta),
parang-parang (Chirocentrus dorab), peperek/keke (Leiognathus decorus), beloso
(Saurida rumbii), teri (Stolephorus commersonii), layang (Decapterus spp),
belado kuning (Atule male), teter/alu-alu (Sphyraena genie), biji nangka (Upeneus
sulphurcus), bentong/buncilak (Alepes djeddaba), selar (Selar crumenopthalmus),
baledang dan sotong.
Pendapatan para nelayan Sibolga dan sekitarnya bervariasi menurut musim,
karena harga ikan berbeda pada musim puncak, sedang dan paceklik. Menurut
Harahap (2006), harga rata-rata ikan pelagis di Tapanuli Tengah menurut musim
dan produktivitas yang diperoleh nelayan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
(1)
Pada musim puncak jumlah ikan hasil tangkapan rata-rata 2.750 kg/trip
dengan harga Rp.5.000,- per kg/trip
(2)
Pada musim sedang jumlah ikan hasil tangkapan rata-rata 1.500 kg/trip
dengan harga Rp.1.500,- per kg/trip.
(3)
Pada musim paceklik jumlah ikan hasil tangkapan rata-rata 7.000 kg/trip
dengan harga Rp.750,- per kg/trip.
Harga ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting biasanya sudah
ditentukan oleh para pengecer/tengkulak sesuai dengan peraturan-peraturan yang
telah mereka terapkan.
Eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Tapanuli Tengah telah
memicu terjadinya konflik antar nelayan setempat yang disebabkan oleh
perebutan daerah penangkapan ikan (DPI) yang baik. Persoalan semakin
bertambah dengan hadirnya nelayan-nelayan asing dari Thailand, Malaysia dan
Vietnam yang melakukan illegal fishing (penangkapan liar) dengan menggunakan
peralatan dan armada/kapal modern. Nelayan-nelayan tersebut datang ke perairan
Tapanuli Tengah sudah dilengkapi dengan peta daerah penangkapan ikan (DPI)
sehingga ketika melaut mereka tidak lagi datang dengan tujuan ‘mencari’ ikan
tetapi langsung ‘menangkap’ ikan karena dalam penentuan suatu daerah
penangkapan ikan (DPI) oleh nelayan di perairan Tapanuli Tengah umumnya
didasarkan pada faktor pengalaman yang dikaitkan dengan faktor musim.
Sedangkan untuk mendapatkan gerombolan ikan dilakukan dengan cara-cara
tradisional yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda di laut, misalnya adanya
gerombolan burung di atas/di dekat permukaan laut, ada tidaknya riak-riak
ataupun buih air di permukaan laut dan juga warna air laut. Dengan cara ini
tingkat keberhasilannya rendah dan mengandung keterbatasan-keterbatasan dalam
skala ruang dan waktu.
Keberadaan daerah penangkapan yang bersifat dinamis dan selalu
berpindah mengikuti pergerakan ruaya ikan menjadi faktor utama konflik
perebutan DPI pelagis. Secara alami ikan akan memilih lingkungan yang lebih
sesuai baginya sedangkan lingkungan tersebut dipengaruhi oleh kondisi
oseanografi perairan. Oleh karena itu DPI pelagis haruslah dapat diduga dan
ditentukan terlebih dahulu sebelum armada penangkapan ikan dioperasikan
menuju lokasi penangkapan.
Informasi tentang penyebaran daerah penangkapan ikan sangat perlu sekali
untuk mendukung pemanfaatan sumberdaya perikanan. Salah satu permasalahan
yang dihadapi dalam pengembangan perikanan adalah daerah penangkapan
(fishing ground). Daerah penangkapan dapat berubah sesuai dengan perubahan
kondisi perairan seperti perubahan suhu, arus, salinitas, produktivitas perairan dan
sebagainya. Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari adanya berbagai
kondisi lingkungan tersebut. Menurut Gunarso (1985), fluktuasi keadaan
lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap periode migrasi musiman serta
keberadaan ikan. Keadaan perairan serta perubahannya akan mempengaruhi
kehidupan dan pertumbuhan biota laut termasuk ikan. Faktor musiman dan
perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan lainnya akan mempengaruhi
penyebaran serta kelimpahan suatu jenis ikan pada daerah penangkapan ikan.
Informasi daerah penangkapan ikan dapat diperoleh melalui analisis
parameter lingkungan seperti suhu perairan dan kandungan klorofil-a serta hasil
tangkapan sehingga nelayan dapat meningkatkan efisien operasi penangkapan
melalui penghematan waktu, tenaga dan biaya operasi penangkapan. Informasi
tentang parameter lingkungan dapat diperoleh dengan cara memanfaatkan
perkembangan teknologi inderaja sedangkan hasil tangkapan diperoleh melalui
kegiatan operasi penangkapan. Namun demikian pemetaan daerah penangkapan
ikan adalah pekerjaan yang sangat rumit mengingat banyak sekali faktor-faktor
lingkungan perairan yang mempengaruhinya dan faktor tersebut bersifat dinamis.
Adapun faktor-faktor tersebut cukup banyak yang meliputi faktor fisik, kimiawi,
biologi dan ekologis. Parameter lingkungan yang menjadi fokus perhatian dalam
penelitian ini dibatasi pada SPL dan kandungan klorofil-a karena kedua parameter
tersebut sangat berperan penting terhadap keberadaan ikan di perairan.
Informasi tentang suhu perairan sangat penting karena dapat pula digunakan
untuk mempelajari proses-proses fisika, kimia dan biologi di laut. Pola distribusi
SPL dapat dipergunakan untuk mengidentifikasikan parameter-parameter laut
seperti arus, umbalan dan front. Umumnya setiap spesies ikan mempunyai kisaran
suhu optimum untuk makan, memijah, beruaya dan aktivitas lainnya (Laevastu
1981). Lebih lanjut Laevastu (1981) mengatakan bahwa, batasan arus serta variasi
arus permukaan mempengaruhi migrasi musiman dan tahunan dari ikan pelagis
dan semi pelagis serta berperan dalam transportasi telur, larva dan ikan-ikan kecil.
Dengan mengetahui distribusi SPL dan pola arus suatu wilayah perairan maka
akan dapat diamati fenomena upwelling dan thermal front yang merupakan daerah
potensial penangkapan ikan.
Ikan pelagis yang bersifat predator menyukai perairan yang banyak ikan teri
pemakan kandungan nutrien sebagai makanan utama. Kandungan nutrien tersebut
dapat diestimasi melalui analisis sebaran klorofil-a. Valiela (1984) mengatakan
bahwa sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan
kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya
matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut,
sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir,
serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di
perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah
besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di
perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara
langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai
konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan
oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik masa air,
dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan.
Sebelum melakukan penangkapan ikan pelagis terlebih dahulu perlu
mengetahui keberadaan ikan yang bersangkutan, sedangkan dalam upaya
pengembangan sebagai salah satu potensi bidang kelautan adalah pemanfaatan
sumberdaya hayati laut (ikan) secara optimal dan lestari. Oleh karena itu
dibutuhkan informasi yang lengkap mengenai keadaan sumberdaya ikan dan
lingkungannya di suatu perairan agar efisiensi operasi penangkapan ikan,
perencanaan daerah penangkapan ikan dapat terlaksana dengan baik. Informasi ini
sangat penting diketahui untuk perencanaan suatu usaha pemanfaatan sumberdaya
ikan. Informasi tentang daerah penangkapan ikan mempunyai peranan penting
untuk menghemat waktu, tempat dan biaya penangkapan. Dengan demikian,
informasi tentang penyebaran kepadatan stok sumberdaya ikan yang sesuai
dengan waktu dan tempat merupakan salah satu dasar bagi keberhasilan usaha
penangkapan ikan.
Penginderaan jauh (inderaja) kelautan saat ini telah berkembang seiring
dengan perkembangan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi inderaja dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan telah dilakukan di beberapa negara maju seperti
Jepang, Australia, Amerika dan beberapa negara-negara Eropa. Hal ini dapat
membantu berbagai penelitian untuk memahami dinamika sumberdaya ikan.
Menurut Aboet (1985), keberhasilan dari teknologi penginderaan jauh
dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama adalah kecanggihan dan ketelitian sensor,
dalam hal ini dipengaruhi oleh rancangan sensor yang tepat dan kalibrasi
instrumen
yang
benar.
Kedua
adalah
kemampuan
pengguna
dalam
menginterpretasikan citra, karena hasil observasi alat bukanlah pengukuran secara
langsung akan tetapi merupakan hasil perekaman satelit sesuai dengan karakter
reflektansi objek yang berbeda-beda. Hal ini berarti seorang pengguna data satelit
harus mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh dan proses interpretasi citra
untuk mendeteksi suatu fenomena alam pada suatu wilayah.
1.2 Perumusan Masalah
Para nelayan Sibolga dan sekitarnya masih menghadapi kendala untuk dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas operasi penangkapan ikan. Adapun
kendala yang dihadapi nelayan adalah sulitnya mencari daerah penangkapan ikan
karena ketidaktahuan tentang faktor oseanografi, tidak dapat merencanakan
operasi penangkapan ikan yang tepat. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
informasi daerah penangkapan ikan.
Penentuan daerah penangkapan ikan potensial yang dilakukan oleh para
masyarakat perikanan nelayan termasuk di Sibolga dan sekitarnya masih bersifat
tradisional. Waktu, tenaga dan biaya operasional cukup tinggi untuk mencari
daerah penangkapan ikan yang potensial dan tingkat ketidakpastian hasil
tangkapan masih cukup tinggi.
Untuk mengatasi tingkat ketidakpastian hasil tangkapan maka perlu
dilakukan berbagai upaya antara lain : (1) Mempelajari keberadaan ikan melalui
analisis paramater-parameter lingkungan yang mempengaruhinya, seperti suhu
permukaan laut dan kandungan klorofil-a, (2) Mempelajari hubungan antara suhu
permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan dan (3)
Mempelajari sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-a di
perairan Tapanuli Tengah. Kegiatan eksplorasi yang terkait dengan parameterparameter lingkungan yang mempengaruhinya (seperti mempelajari hubungan
suhu permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan,
sebaran SPL dan kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah) masih sangat
terbatas padahal manfaatnya sangat penting dalam perencanaan pemanfaatan
sumberdaya perikanan.
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menentukan sebaran SPL dan kandungan klorofil-a di perairan Tapanuli
Tengah.
2. Menganalisis komposisi hasil tangkapan.
3. Menentukan pengaruh sebaran SPL dan kandungan klorofil-a terhadap hasil
tangkapan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai informasi dasar untuk pengelolaan perikanan tangkap di perairan
Tapanuli Tengah.
2. Bagi industri penangkapan, informasi yang akan diperoleh nantinya dapat
digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk merencanakan operasi
penangkapan ikan.
3. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan daerah
penangkapan ikan pelagis.
1.5 Hipotesis
Sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a tidak berpengaruh
terhadap hasil tangkapan.
1.6 Kerangka Pemikiran
Di dalam melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan Tapanuli Tengah
dhadapkan dengan berbagai kendala dalam penentuan daerah penangkapan ikan,
yaitu : (1) Daerah penangkapan tidak pasti, (2) Waktu operasi lebih lama, (3)
Hasil tangkapan tidak pasti, (4) Resiko operasi penangkapan tinggi. Akibatnya,
biaya operasionalnya mahal, mutu hasil tangkapan sedikit dan produktivitas hasil
tangkapan juga sedikit.
Dengan berbagai kendala tersebut perlu dilakukan penentuan daerah
penangkapan ikan potensial, melalui analisis indikator yang mempengaruhinya.
Adapun indikator-indikator daerah penangkapan ikan potensial adalah suhu
permukaan laut (SPL) untuk melihat kejadian-kejadian thermocline dan
upwelling, klorofil-a untuk melihat upwelling dan produktivitas perairan,
komposisi hasil tangkapan yang diperoleh melalui kegiatan penangkapan ikan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan
National Oceanic Atmosperic Administration (NOAA) merupakan program
penginderaan jauh satelit untuk lingkungan kelautan yang dimulai sejak tahun
1960-an oleh negara Amerika Serikat yang pada awalnya bernama program
television infrared observation satellite (TIROS). Dan hingga tahun 2001 NOAA
masih mengoperasikan lima satelit dengan seri NOAA-12, 14, 15, 16 dan 17.
Satelit serial NOAA ini beredar pada orbit polar dengan ketinggian 833 km
di atas permukaan bumi. Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit
serial NOAA memanfaatkan sensor advanced very high resolution radiometer
(AVHRR).
Sementara itu pada tahun 1988, badan antariksa Cina meluncurkan satelit
lingkungan kelautan Fengyun-1 (FY-1 A) dan programnya terus berlanjut hingga
peluncuran satelit FY-1 D pada bulan Mei 2002. Satelit Fengyun tersebut
memiliki spesifikasi orbitnya mirip NOAA dan memilki sensor multispectral
visible and infrared scan radiometer (MVISR) dengan 10 kanal (band).
Selain perbedaan dari jenis sensor, FY-1 memiliki 3 kanal yang dapat
dipergunakan untuk kegiatan pendugaan sebaran klorofil-a (fitoplankton) dan
kekeruhan di perairan. Gambar 1, Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini menunjukkan
beberapa perbedaan dan persamaan kedua satelit beserta sensor yang dibawanya.
Satelit NOAA merupakan generasi kedua dari satelit TIROS yang
dilengkapi dengan sensor AVHRR. Satelit ini digunakan untuk prakiraan cuaca
dan sejumlah terapan untuk ilmu lingkungan termasuk antara lain pemantauan
albedo permukaan bumi, pengukuran suhu permukaan laut dan memantau front
laut. Dengan menggunakan data infra red dari satelit NOAA-14/AVHRR dapat
dilakukan pemetaan distribusi sebaran temperatur permukaan laut. Data suhu
permukaan laut ini akan sangat bermanfaat untuk perikanan, penelitian
meteorologi kelautan dan analisis perubahan cuaca dan iklim.
Tabel 2 Karakteristik satelit NOAA dan FY-1
Karakteristik
Jumlah satelit yang masih
beroperasi
Orbit
Ketinggian
orbit
dari
permukaan bumi
Periode pengulangan
Lebar sapuan data
Resolusi spasial
Resolusi radiometric
Sumber: Kushardono (2003).
NOAA
FY-1
5 satelit (NOAA-12,
15,16,17)
Polar
(sun-synchronous)
833 km
14,
102 menit
2048 piksel (pixel)
1,1 km (nadir)
10 bits/data
2 satelit (FY-1 C,
D)
Polar
(sun-synchronous)
863 Km
FY-1
102,3 menit
2048 piksel (pixel)
1,1 km (nadir)
10 bits/data
Tabel 3 Perbandingan kanal sensor antara AVHRR dan MVISR
Kanal
Panjang
Gelombang Sensor (m)
AVHRR
MVISR
1
0,58-0,68
0,58-0,68
2
3
0,84-0,89
4
0,725-1,10
A. 1,57-1,64
B. 3,55-3,93
10,5-11,5
5
11,5-12,5
11,5-12,5
3,55-3,95
10,3-11,3
6
7
8
9
10
Sumber: Kushardono (2003).
1,58-1,64
0,43-0,48
0,48-0,53
0,53-0,58
0,90-0,985
a
Keutamaan
Kecerahan awan, tutupan es dan salju,
tutupan vegetasi
Kecerahan awan dan tutupan vegetasi
Sumber panas, kecerahan awan malam
hari
Suhu
Permukaan
Laut
harian
(malam/siang), Kecerahan awan
Suhu
Permukaan
Laut
harian
(malam/siang), Kecerahan awan
Kepadatan tanah
Warna laut (klorofil-a)
Warna laut (klorofil-a)
Warna laut (klorofil-a)
Kekeruhan perairan
b
Sumber: Kushardono (2003).
Gambar 1 (a) Satelit NOAA-AVHRR dan (b) Satelit FY-1 MVISR.
Satelit Penginderaan Jauh adalah proses perolehan informasi muka bumi
dari instrumentasi yang ditempatkan di satelit. Satelit penginderaan jauh
memberikan kemampuan pemantauan daerah yang luas secara periodik dan
berkesinambungan (Kartasasmita 1999).
Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh khususnya data satelit National
Oceanic Atmosphere and Administration Advanced Very High Resolution
Radimeter (NOAA–AVHRR) merupakan alternatif yang sangat tepat dalam
penentuan daerah penangkapan ikan karena dari data ini dapat ditentukan nilai dan
distribusi SPL pada perairan yang luas secara sinoptik, mempunyai frekwensi
pengamatan yang tinggi dan biaya operasional yang jauh lebih murah jika
dibandingkan dengan cara lainnya. Kemampuan ini akan sangat berguna untuk
pengamatan fenomena oseanografi khususnya umbalan air dan front yang
merupakan indikator daerah penangkapan potensial bagi ikan. Informasi ini dapat
digunakan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan di
laut (Hasyim 1999).
Penentuan posisi daerah penangkapan ikan di laut lepas secara tepat sangat
sulit dilakukan karena perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat dinamis dari
parameter-parameter oseanografi seperti SPL, kekeruhan, konsentrasi klorofil-a,
pola dan arah angin, pasang surut dan arus. Informasi tentang zona potensial
perikanan dan dinamika perubahan sudah dapat dijadikan sebagai suatu alat bantu
dalam mendukung perencanaan strategis pembangunan pada sektor perikanan
khususnya penangkapan ikan (Kartasasmita 1999)
Penggunaan citra satelit untuk pengukuran SPL telah banyak digunakan
sebagai sumber data untuk melengkapi SPL hasil pengukuran langsung.
Perbedaan pengukuran antara SPL dari citra satelit dengan pengukuran lapang
lebih kecil dari 1oC (McClain et al. 1985; Gaol 2003). Perbedaan ini umumnya
disebabkan pengaruh atmosfer seperti uap air dan awan. Pengaruh awan dapat
menurunkan SPL sampai 1,5oC dibanding suhu pengukuran in-situ (Gaol 2003).
Butler et al. (1988) mengatakan bahwa, deteksi ikan secara langsung tidak
selalu dapat dikerjakan dengan mudah maka deteksi secara tidak langsung
mungkin saja dilakukan dengan melaksanakan berbagai observasi terhadap
beberapa fenomena permukaan laut yang dikaitkan dengan distribusi spesies.
Menurut Widodo (1999), peta SPL telah banyak digunakan oleh armada
penangkapan salmon dan tuna. Secara jelas diketahui bahwa beberapa spesies tuna
mencari makan pada bagian air laut yang panas dari suatu front sedangkan salmon
mencari makan pada bagian yang dingin.
Dalam bidang perikanan, salah satu alternatif yang mulai dikembangkan
adalah monitoring suhu permukaan laut khususnya lebih diaplikasikan pada ikanikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting seperti ikan tongkol, kembung
dan sebagainya. Fenomena suhu permukaan laut akan sangat memungkinkan
dalam menduga upwelling (penaikkan masa air dari bawah permukaan) karena
fenomena upwelling merupakan salah satu indikator utama dalam penentuan
lokasi ikan.
Sensor ocean color yang dibawa satelit dapat menyediakan data kuantitatif
tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau
informasi tentang adanya variasi warna perairan (ocean color) sebagai
implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi klorofil-a dalam perairan.
Pendeteksian klorofil-a dalam suatu perairan adalah dengan pengukuran
radiansi warna perairan pada spektrum 433-520 nm dari kanal 2, 3 dan 4 dari
sensor SeaWIFS. Dengan menggunakan sensor dari satelit SeaStar ini maka
tingkat kandungan klorofil-a dari suatu perairan dapat diketahui.
Pengukuran konsentrasi klorofil-a dengan metode remote sensing dapat
dilakukan oleh beberapa satelit yang salah satunya adalah satelit TERRA dengan
sensor MODIS yang dimilikinya. MODIS (Moderate Imaging Spektroradiometer)
adalah salah satu perangkat/piranti utama yang dibawa oleh Earth Observing
System (EOS) satelit TERRA, yang merupakan bagian dari program antariksa
Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA).
Program ini merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan
menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi di antara faktor-faktor ini
(Mustafa 2004).
2.2 Parameter Oseanografi
2.2.1 Suhu permukaan laut
Suhu adalah besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang
terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan
sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari (Weyl
1970).
Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25oC
hingga 30oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan
bertambahnya kedalaman hingga 80 db (± 8 m) (Tomascik et al. 1997). Menurut
Soegiarto dan Birowo (1975), suhu pada lapisan permukaan di Perairan Indonesia
berkisar antara 26oC hingga 30oC, lapisan termoklin berkisar 9oC hingga 26oC dan
lapisan dalam berkisar antara 2oC hingga 8oC.
Suhu air laut berkisar antara -2ºC hingga 30oC dimana nilai terendah
disebabkan karena adanya formasi es dan nilai tertinggi disebabkan oleh proses
radiasi dan perubahan atau pergantian bahang dengan atmosfer (Ingmanson dan
Wallace 1973). Sedangkan di daerah tropis suhu permukaan laut berkisar antara
27oC hingga 29oC dan 15oC hingga 20oC di daerah subtropis. Suhu ini menurun
secara teratur sesuai dengan kedalaman.
Reddy (1993) menyatakan bahwa, ikan adalah hewan berdarah dingin yang
suhu tubuh selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan
pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih kisaran
suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara
maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya.
Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam
proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas
tubuh seperti kecepatan renang serta dalam rangsangan syaraf.
Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama
pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya
pemijahan pada beberapa spesies ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah
pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting dalam menentukan kekuatan
keturunan dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan penting yang komersil.
Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground) selama musim
pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah
tersebut. Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan
tempat pemijahan (spawning ground) dan daerah penangkapan (fishing ground)
secara periodik (Reddy 1993).
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena
mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena pengaruh angin maka di
lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50 hingga 70 m terjadi pengadukan
sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28,00oC) yang
homogen. Oleh sebab itu, lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan homogen.
Karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa menjadi lebih
tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan homogen bisa mencapai kedalaman hingga
ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang
dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat yang disebut
termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan adalah
seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini
dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer). Mixed layer mendukung
kehidupan ikan-ikan pelagis secara pasif mengapungkan plankton, telur ikan dan
larva sementara lapisan air dingin di bawah termoklin mendukung kehidupan
hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam (Reddy 1993).
Nontji (1993) mengatakan bahwa, pada saat terjadi penaikkan massa air
(upwelling), lapisan termoklin ini bergerak ke atas dan gradien menjadi tidak
terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke
lapisan atas. Fluktuasi jangka pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh
pergerakan permukaan, pasang surut dan arus. Di bawah lapisan termoklin suhu
menurun secara perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman. Wyrtki (1961)
mengatakan bahwa, kedalaman termoklin di dalam Lautan Hindia mencapai 120
m menuju ke Selatan di daerah Arus Equatorial Selatan, kedalaman termoklin
mencapai 140 m.
Laevastu (1981) yang telah mempelajari pengaruh faktor oseanografi
terhadap sebaran ikan pelagis dari berbagai daerah penangkapan menunjukkan
bahwa, salah satu parameter utama yang sangat mempengaruhi sebaran ikan
pelagis adalah suhu dan arus. Banyaknya hasil tangkapan dan melimpahnya
populasi ikan pelagis sangat terkait dengan perubahan suhu perairan. Semakin
dalam gerombolan ikan pelagis berenang ke dasar perairan tergantung pada
struktur vertikal suhu. Selanjutnya ditambahkan bahwa beberapa jenis ikan
pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu di permukaan perairan hangat.
Kedalaman gerombolan ikan herring sangat tergantung pada luasnya lapisan
campuran di permukaan pada malam hari.
2.2.2 Produktivitas perairan
Plankton adalah organisme yang hidup melayang atau mengambang di
dalam air. Kemampuan geraknya sangat terbatas sehingga selalu terbawa oleh
arus. Plankton dibagi menjadi dua golongan utama yakni fitoplankton dan
zooplankton. Fitoplankton (plankton nabati) merupakan tumbuhan yang amat
banyak ditemukan di semua perairan, tetapi karena ukurannya mikrokopis sukar
dilihat kehadirannya. Konsentrasinya bisa ribuan hingga jutaan sel per liter air
laut. Zooplankton (plankton hewani) terdiri dari sangat banyak jenis hewan.
Ukurannya lebih besar dari fitoplankton, bahkan ada pula yang bisa mencapai satu
meter seperti ubur-ubur. Plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton
mempunyai peranan penting dalam ekosistem laut karena plankton menjadi bahan
makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya. Selain itu hampir semua hewan
laut memulai kehidupannya sebagai plankton terutama pada tahap masih berupa
telur dan larva (Nontji 2007).
Klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi
organisme yang ada di perairan. Ada tiga macam klorofil yang dikenal hingga saat
ini yang dimiliki fitoplankton yaitu klorofil-a, klorofil-b dan klorofil-c. Disamping
itu ada beberapa jenis pigmen fotosintesis yang lain seperti karoten dan xantofil.
Dari pigmen tersebut klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat
pada fitoplankton, oleh karena itu konsentrasi fitoplankton sering dinyatakan
dalam konsentrasi klorofil-a (Parson et al. 1984).
Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan
dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan
ikan pelagis kecil. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya
lebih tinggi dari produktivitas primer laut terbuka. Menurut Barnabe dan Barbane
(2000), produktivitas primer perairan pantai melebihi 60% dari produktivitas yang
ada di laut.
Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai
faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produktivitas primer di
perairan eutropik adalah percampuran vertikal, arus dan turbulensi, efek biologi
dari masuknya air tawar di daerah pesisir, struktur vertikal dan pergerakan dari
perairan pesisir (Barnabe dan Barbane 2000; Mann dan Lazier 1996).
Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan
kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya
matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut,
sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir,
serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di
perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah
besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di
perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara
langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai
konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan
oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air,
dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan (Valiela 1984).
Nontji (1993) menyatakan bahwa, faktor yang dapat meningkatkan
konsentrasi klorofil-a di lautan adalah adanya peristiwa upwelling yang salah satu
pemicunya adalah sistem angin muson ; hal ini berkaitan dengan daerah asal
dimana massa air diperoleh. Dari pengamatan terhadap sebaran konsentrasi
klorofil-a di perairan Indonesia bagian timur diketahui bahwa konsentrasi klorofila tertinggi dijumpai pada muson tenggara sedangkan kandungan klorofil-a
terendah dijumpai pada muson barat laut. Rendahnya konsentrasi klorofil-a
tersebut disebabkan konsentrasi nutrien lebih rendah akibat upwelling tidak terjadi
dalam skala besar. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua muson tersebut
telah dikemukakan oleh beberapa peneliti. Nontji (1993) diacu dalam Monk et al.
(1997) menyebutkan bahwa, rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia
kira-kira 0,19 mg/m3, 0,16 mg/m3 selama musin barat dan 0,21 mg/m3 selama
musim timur.
2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis
Sumberdaya ikan pelagis adalah jenis-jenis ikan yang hidup atau menghuni
perairan lapisan permukaan sampai lapisan tengah (mid layer). Sumberdaya
perikanan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang paling melimpah di perairan
Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik karena terutama
penyebarannya adalah di perairan dekat pantai. Di daerah-daerah dimana terjadi
proses penaikkan massa air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk
biomassa yang sangat besar.
Makanan utama ikan pelagis adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat
tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu, kelimpahan
sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan tergantung kepada lingkungan
perairannya.
Musim ikan pelagis di perairan Indonesia umumnya berlangsung pada akhir
musim Timur dan awal musim Barat (sekitar bulan Agustus sampai November).
Kesuburan perairan tersebut akibat adanya upwelling pada musim Timur seperti
yang terjadi di Laut Banda, Samudera Hindia dan Laut Jawa bagian Timur
(Puslitbangkan 1994).
Ikan pelagis pada umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya
maupun dengan jenis ikan lainnya. Ikan-ikan ini bersifat fototaksis positif (tertarik
pada cahaya) dan tertarik pada benda-benda terapung. Terdapat kecenderungan
ikan pelagis kecil bergerombol berdasarkan kelompok ukuran.
Kebiasaan makan ikan pelagis kecil umumnya waktu matahari terbit dan saat
matahari terbenam. Kebanyakan ikan pelagis termasuk pemakan plankton, baik
plankton nabati (fitoplankton) maupun plankton hewani (zooplankton).
Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang sering tertangkap di perairan Sibolga adalah
ikan layang, kembung, selar como (bentong/buncilak), parang-parang, baledang,
balato/belado kuning, teri, sebelah dan peperek (keke). Masing-masing jenis ikan
pelagis yang ditangkap di perairan Sibolga mempunyai musim penangkapan
tersendiri yaitu musim puncak, musim sedang dan musim kurang.
2.3.1 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus)
Badannya benar-benar pipih dan licin. Kepala lonjong keatas, punggungnya
sangat kecil di bagian permukaan. Selaput insang bersatu dengan isthmus. Mulut
sangat kecil dan protractile. Tidak ada gigi pada langit mulutnya sedangkan pada
keluarga Pseudobranchiae memiliki gigi pada langit mulut. Sirip bagian punggung
duri berjumlah 8 atau 9 yang besambung agak tegak di bagian depan; bagian
belakang memiliki sirip lembut yang terang berjumlah 14-16. 3 duri terletak di
bagian sirip ekor; sirip duri bagian depan dan ekor dengan bentuk bulan sabit.
Sebuah kelopak yang bersisik terletak pada dasar sirip bagian punggung dan ekor
untuk hewan bertulang belakang yang berjumlah 22-23. Semua spesies memiliki
organ kerongkongan yang terang. Juga dicatat bahwa hasil produksi makanan ikan
ini berbentuk lendir (mucus).
Klasifikasi ikan keke adalah sebagai berikut :
 Kingdom: Animalia
 Subkingdom: Bilateria
 Branch: Deuterostomia
 Infrakingdom: Chordonia
 Phylum: Chordata
 Subphylum: Vertebrata
 Infraphylum: Gnathostomata
 Superclass: Osteichthyes
 Class: Actinopterygii
 Order: Perciformes - perch-like fishes
 Suborder: Percoidei
 Family: Leiognathidae
 Genus: Leiognathus
 Species: decorus
Sumber : Kimura et al (2008).
Gambar 2 Ikan peperek/keke (Leiognathus decorus).
Family ini memiliki licin, mulut kecil (slipmouths) atau ponyfishes, dapat
ditemukan di daerah perairan terumbu karang. Ukurannya tergantung kepada diet;
ikan kecil yang berukuran <6.9 cm memakan crustacean (jenis-jenis kerangkerang), sedangkan ikan besar yang berukuran >7.0 cm biasanya dikelompokkan
kepada golongan pemakan amphipoda, polychaeta dan detritus.
Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari adanya berbagai kondisi
lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap
periode migrasi musiman serta keberadaan ikan. Keadaan perairan serta
perubahannya akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhannya. Faktor
musiman dan perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan lainnya akan
mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis ikan pada daerah
penangkapan ikan (Gunarso 1985).
Family Leiognathidae sama dengan kelas Actinopterygii (ray-finned fishes)
dan order Perciformes yang memiliki 3 genus dan 24 jenis. Ikan ini dapat
ditemukan di lingkungan laut, payau dan air tawar serta pada umumnya di laut.
Kelompok family ini tidak digunakan pada perdagangan khusus akuarium. Secara
reproduksi, kebanyakan family ini tidak perlu dijaga. Pola utama renang ikan
dewasa di family ini seperti berbentuk carangiform. Ikan peperek bergabung
dengan ikan lainnya, dengan membangun tingkat aktivitas yang normal.
2.3.2 Ikan kembung (Rastrelliger spp)
Spesies ikan kembung menurut Saanin (1968) terdiri atas Rastrelliger
kanagurta, Rastrelliger neglectus dan Rastrelliger branchysoma. Yang disebut
sebagai ikan kembung di sini adalah spesies Rastrelliger branchysoma dengan
nama lain sebagai kembung perempuan.
Ikan kembung mempunyai bentuk tubuh pipih agak lebar. Panjang kepala
sama atau sedikit lebih pendek dari tinggi badan. Panjang baku 3,7-4,3 kali badan.
Warna tubuh keperakan dan pada bagian punggung hijau kebiruan. Ikan kembung
yang sering tertangkap berukuran 16 cm. Makanan ikan kembung terdiri dari
diatom 31%, organisme lainnya 9% dan jasad tidak teridentifikasi 60%
(Puslitbangkan 1994).
Ikan kembung merupakan ikan pelagis kecil yang termasuk dalam famili
Scombridae. Ciri meristik ikan kembung adalah sirip punggungnya terpisah
menjadi dua bagian. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 10, sedangkan sirip
punggung yang kedua berjari-jari lemah 11-12. Sirip dada (pectoral) terdiri dari
16-19 jari-jari lemah, sirip perut (ventral) terdiri dari 7-8 jari-jari lemah, sirip ekor
(caudal) terdiri dari 50-52 jari-jari lemah bercabang dan sisik pada gurat sisi
(linea lateralis) terdiri dari 127-130 buah sisik (Collette dan Nauen 1983).
Klasifikasi ikan kembung menurut Fischer dan Whitehead (1974) diacu
dalam Almutahar (2005) adalah sebagai berikut :
 Phylum: Chordata
 Subphylum: Vertebrata
 Kelas: Pisces
 Subkelas: Teleostei
 Ordo: Perciformes
 Subordo: Scombroidea
 Famili: Scombroidae
 Spesies: Rastrelliger kanagurta (Indian mackerel/Pacific).
Rastrelliger brachysoma (Short-bodied mackerel).
Rastrelliger faughni (Faughn’s mackerel).
a
b
Sumber : Collette and Nauen (1983).
Gambar 3 (a) Kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dan (b) Kembung
lelaki (Rastrelliger kanagurta).
Kembung melakukan migrasi untuk memijah dan mencari makan
(Rounsefell dan Everhart 1962). Susanto (1961) secara spesifik berpendapat
bahwa, kembung perempuan melakukan migrasi untuk mencari makanan dan
mencari daerah pemijahan. Selain itu, faktor yang mempengaruhi migrasi adalah
kekuatan angin dan arus.
Ikan kembung perempuan yang menyebar di perairan dekat pantai karena
mereka hidup pada perairan dengan kadar garam rendah (Pasaribu 1967). Ikan
kembung umumnya memijah pada sekitar musim Barat (Nurhakim 1993).
Beberapa ahli telah menduga tempat dan waktu pemijahan ikan kembung.
Ikan kembung perempuan mempunyai musim pemijahan selama beberapa bulan
yang berlangsung dari bulan Mei-Oktober di Tanjung Satai (Kalimantan Barat).
Ikan kembung lelaki mempunyai dua musim pemijahan di Laut Jawa, yaitu
berlangsung dalam musim Barat dari Oktober-Februari dan musim Timur dari
bulan Juni-September. Jenis ini diduga banyak memijah di sebelah Utara Tanjung
Satai, Laut Cina Selatan, Samudera Hindia dan Laut Flores (Burhanuddin et al.
1984).
Nurhakim (1993) menyatakan bahwa, waktu pemijahan diduga berlangsung
antara bulan April-Agustus dan Desember dengan puncak pemijahan pada bulan
Agustus. Daerah pemijahan diduga sekitar Kepulauan Karimun Jawa dan
Matasari. Chisastit (1962) menduga bahwa migrasi ikan kembung perempuan
dijumpai pada musim pemijahan. Ikan kembung yang mature mungkin sekali
pergi ke daerah pemijahan dari daerah pantai, dan ikan juvenil akan ke pantai
untuk mencari makan.
Kelompok ikan kembung dapat ditemukan dengan melihat tanda-tanda di
laut pada siang hari. Tanda-tanda itu seperti perairan kelihatan lebih pekat dari
sekelilingnya serta adanya percikan-percikan yang disebabkan gerakan kelompok
ikan tersebut. Tanda ini adalah khas untuk kembung perempuan. Pada malam hari
dalam keadaan gelap kembung perempuan berada di lapisan permukaan. Bagian
punggung ikan ini kelihatan berkilau-kilau. Adanya cahaya memudahkan
penemuan ikan ini. Itu pula sebabnya penangkapan ikan ini umumnya dilakukan
pada malam hari dalam keadaan gelap (Pasaribu 1967).
Nontji (1987) mengatakan bahwa, ikan kembung lelaki dan ikan kembung
perempuan hidup dari plankton yang ditangkapnya dengan tapis insang. Ikan
kembung perempuan mempunyai tapis insang lebih halus karena plankton yang
dimakan terdiri dari plankton-plankton kecil seperti diatom dan copepoda,
sebaliknya tapis insang kembung lelaki lebih besar karena memakan plankton
yang lebih besar.
2.3.3 Ikan layang (Decapterus spp)
Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus ruselli dan
Decapterus
macrosoma.
Decapterus
ruselli
mempunyai
nama
sinonim
Decapterus maruadsi dengan nama umum ikan layang atau round scad.
Sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai nama umum ikan layang deles
atau layang scad (Nurhakim et al. 1987). Ikan ini hidup di perairan lepas pantai
berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan besar. Panjang tubuhnya dapat
mencapai 30 cm, umumnya antara 20-30 cm, bentuk badan agak memanjang dan
agak gepeng (Direktorat Jenderal Perikanan 1989). Dalam statistik perikanan,
keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang (Decapterus spp)
(Widodo 1988).
(a)
(b)
Sumber: Sawada (1980).
Gambar 4 Ikan layang : D. macrosoma (a) dan D. russelli (b).
Ikan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagik, tidak
menetap dan suka bergerombol. Jenis ikan tergolong stenohaline, hidup di
perairan yang berkadar garam relatif tinggi (32‰-34‰) dengan kisaran yang
sempit dan menyenangi perairan yang jernih. Menurut Lursinap et al. (1970),
salinitas optimum ikan layang berkisar antara 32‰-32,5 ‰. Ikan layang banyak
terdapat di perairan yang berjarak 37-56 km dari pantai (Weber dan de Beaufort
1931; Hardenberg 1937).
Ikan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu
minimum, yaitu sebesar 17°C. Suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan
penangkapan adalah sekitar 20ºC-30°C. Sedang suhu selang distribusi ikan layang
berkisar antara 12ºC-25°C (Laevastu dan Hela 1970). Ikan layang umumnya
memiliki dua kali masa pemijahan pertahun dengan puncak pemijahan pada bulan
Maret/April
(musim
Barat)
dan
Agustus/September
(musim
Timur)
(Puslitbangkan 1994). Ikan layang deles (Decapterus macrosoma) memijah
selama beberapa bulan dengan puncaknya bulan Agustus/September (Widodo
1988).
Menurut Asikin (1971), ikan layang muncul ke permukaan karena
dipengaruhi oleh ruaya harian dari plankton hewani (zooplankton) yang terdapat
di suatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari copepod 39%,
crustacean 31% dan organisme lainnya 30% (Puslitbangkan 1994).
Ruaya ikan layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan
pergerakan massa air laut, walaupun secara tidak langsung. Menurut penelitian
Hardenberg (1937), populasi layang yang berasal dari Samudera Hindia beruaya
melalui Selat Sunda ke Laut Jawa sampai di sebelah utara Cirebon.
2.3.4 Ikan belado kuning/selar hijau (Atule mate)
Belado kuning termasuk kedalam famili Carangidae dengan nama Indonesia
Selar Hijau (Atule mate) atau Slender scaled scad.
Sumber: Paxton et al (1989).
Gambar 5 Ikan belado kuning (Atule mate).
Klasifikasi ikan belado kuning adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Kelas : Actinopterygii

Order : Perciformes

Family : Carangidae

Spesies : Atule mate
Badan agak memanjang dengan profil dorsal dan ventral membulat. Jaringan
lemak menutup mata dan menutup seluruh mata dengan ulah sempit tegak lurus di
tengah-tengah mata. Bagian interval dari garis latersal sangat melengkung. Badan
berwarna hijau biru pada punggung, sepuhan warna kuning hijau pada sisi-sisi
sering dengan palang-palang gelap, perut putih keperakan. Sirip lemah dorsal
kuning dengan ujung putih pada cupingnya. Sirip ekor kuning gelap, sirip-sirip
lain transparan. Sebuah bintik hitam pada tepi tutup insang. Jari-jari sirip lemah
mirip dorsal dan anal terakhir terpisah agak penuh tapi dihubungkan dengan
membran.
Ikan ini hidup berkelompok di perairan pantai, berlumpur dan pasir atau
pasir batu dengan koral pada kedalaman 5-30 meter, hutan bakau (mangrove) dan
terumbu karang. Belado kuning aktif pada siang hari ke permukaan atau perairan
tengah (midswaks) pada malam hari dan dapat ditangkap dengan menggunakan
alat penangkap ikan seperti hand line, trawl dasar, pancing dan purse seine. Secara
spesifik, makanan ikan belado kuning adalah jenis crustacean dan cephalopoda
tetapi ikan belado kuning ini akan aktif berenang di permukaan air untuk
mengejar zooplankton.
Pada umumnya ikan belado kuning dengan ukuran antara 91 dan 150 mm
memakan makan utamanya berupa crustacean sedangkan pada ukuran 151 mm
akan memakan makanan utama, yaitu ikan kecil, jadi ikan ini bersifat pelagis yang
predator. Ikan belado kuning yang berukuran matang gonad berkisar antara 150160 mm melakukan pemijahan pada bulan Maret dan Oktober di perairan laut
dengan kedalaman 10 meter.
2.3.5 Ikan bentong/buncilak, selar como (Alepes djeddaba)
Buncilak merupakan satu famili dengan belado kuning yaitu famili
Carangidae. Nama Indonesia biasanya disebut Selar como (Alepes djeddaba) dan
nama Inggrisnya disebut Shrimp scad.
Sumber: Gloerfelt and Kailola (1984)
Gambar 6 Ikan buncilak (Alepes djeddaba).
Klasifikasi ikan buncilak adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Kelas : Actinopterygii

Order : Perciformes

Suborder : Percoidei

Superfamily : Percoidea

Family : Carangidae

Genus : Alepes

Spesies : Alepes djeddaba
Ikan ini memiliki tinggi melebar dan sedikit membulat. Profil tubuh bagian
punggung dan perut berbentuk cembung. Diameter mata sebesar 3,5–4 kali
panjang kepala. Sirip punggung pertama dengan sebuah duri keras yang
menghadap ke depan diikuti oleh 8 duri-duri keras lainnya. Sirip punggung kedua
dengan sebuah duri keras dan 23-25 duri-duri lunak. Sirip dubur dengan duri-duri
keras terpisah diikuti oleh sebuah duri keras dan 18-20 duri-duri lunak. Bagian
dada bersisik. Gurat sisi sangat melengkung bagian belakang. Warna hijau/biru
bagian atas, putih keperakan bagian bawah. Terdapat noktah hitam di pinggir atas
tutup insang. Sirip-sirip kuning pucat, terutama sirip ekor.
Ikan buncilak yang berukuran muda, yaitu 150-199 mm dan 240-319 mm
memakan makanan utamanya dari jenis crustacean seperti decapoda, ostrocoda,
amphipoda dan cladoceran, ketika ikan buncilak yang berukuran 200-239 mm
pada umumnya mengkonsumsi ostrocoda dan jenis crustacean lainnya. Buncilak
hidup di habitat perairan pantai yang berkarang dan banyak mengandung
crustacean berukuran kecil. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ini
adalah trawl dasar, purse seine dan bubu.
Daerah penyebaran ikan buncilak sepanjang daerah perairan Indo-Pasifik
sampai Afrika Utara bagian selatan, sepanjang pantai Afrika Timur, India, Asia,
Indonesia, Australia bagian selatan, Jepang hingga ke perairan Hawai. Pada
umumnya ikan ini hidup berkelompok di perairan pantai yang berkarang dan
berpasir bahkan di perairan berlumpur. Adakalanya ikan ini ditemukan pada
lingkungan laut lepas.
2.3.6 Ikan parang-parang (Chirocentrus dorab)
Ikan parang-parang masuk kedalam Family Chirocentrus (Wolf herring),
Ordo Clupeiformes (herring), Kelas Actinopterygii (ray-finned fishes) dengan
memiliki nama perdagangannya Dorab wolf herring. Panjang baku ikan jantan
yang belum matang kelamin 100 cm sedangkan ikan betina 36,6 cm. Hidup di
daerah karang yang banyak, amphidromous, air payau, laut dengan kedalaman
perairan 120 meter. Selain itu ikan ini mampu hidup pada daerah tropis dengan
posisi 35º 00' LU – 30° 00' LS.
Ikan ini berada pada daerah pantai termasuk air payau. Ikan ini termasuk
dalam predator yang suka memakan kelompok ikan-ikan kecil seperti ikan laut
dan sejenisnya. Di Australia, ikan ini mampu hidup dalam air yang bersuhu 26ºC-
29ºC. Makanan pokoknya adalah jenis-jenis ikan kecil tapi kadang-kadang juga
kerang-kerangan (Whitehead 1985).
Sumber: Whitehead (1985).
Gambar 7 Parang-parang (Chirocentrus dorab).
2.3.7 Ikan teri (Stolephorus commersonii)
Ikan teri termasuk kedalam famili Engraulidae (Anchovies), ordo
Clupeiformes (herrings), kelas Actinopterygii (ray-finned fishes) dengan nama
perdagangan adalah Commerson’s anchovy. Ikan teri jantan memiliki panjang 10
cm. Ikan ini masuk kedalam kelompok pelagis yang hidup di air laut dan tawar
pada kedalaman 0-50 m serta bersifat anadromous. Selain itu teri hidup di daerah
tropis dengan posisi 27º 00' LU – 24º 00' LS dan 38º00' BT – 155º 00' BT.
Sumber: Whitehead et al. (1988)
Gambar 8 Ikan teri (Stolephorus commersonii).
Ikan teri mempunyai sirip anal soft sebanyak 18-19, bentuk perut yang bulat,
ramping, dan gigi kecil terdapat di tulang hyoid. Ujung rahang menjangkau atau
bagian batasan per-operkulum sedikit mengarah ke belakang, berbentuk cembung
dan bulat. Otot isthmus yang lancip mengarah ke bawah, warna tubuh transparancoklat muda dengan sepasang dark patches (linea lateralis) yang bersambung
dengan sepasang garis ke arah sirip ekor berwarna putih.
Penyebaran ikan teri secara bergerombolan terdapat di perairan Atlantik,
Samudera India dan Samudera Pasifik biasanya dapat hidup di perairan dasar
terumbu karang dan daerah estuaria yang beriklim tropis. Beberapa di antaranya
dapat hidup atau bertahan hidup di perairan air payau. Selain itu, gerombolan ikan
teri dapat di jumpai di perairan estuaria Godavari, India selama 5 bulan dari bulan
Februari sampai Juni pada salinitas 19,6–32 ppt tetapi gerombolan ikan teri
hampir secara total ada pada musim banyaknya fitoplankton. Makanan utama
adalah plankton yang ada di permukaan laut tapi kadang-kadang memakan larva
udang dan kerang-kerangan.
2.4 Karakteristik Alat Tangkap Trawl dan Pukat Ikan
2.4.1 Karakteristik alat tangkap trawl
Menurut sejarahnya asal mula trawl adalah dari laut tengah dan abad 16
dimasukkan ke Inggris, Belanda, Perancis, Jerman dan negara-negara Eropa
lainnya. Bentuk trawl pada waktu itu (dalam bahasa Belanda disebut “schrob net”
bukanlah seperti trawl yang dipakai dewasa ini dimana telah mengalami
perkembangan dan perubahan-perubahan (Subani dan Barus 1989). Selanjutnya
dikemukakan bahwa trawl adalah alat penangkap ikan, udang dan biota laut
lainnya yang berupa jaring kantong besar, melebar dan mulut jaring yang terbuka
dengan kedua sayap jaring terbentang di bagian depan pada masing-masing
sisinya dan meruncing pada bagian akhir jaring. Bagian akhir jaring akan
menuntun hasil tangkapan ke bagian kantung (cod end) ketika ditarik secara
horizontal di perairan. Tipe pengoperasian trawl dapat diubah sesuai dengan
variasi kedalaman, jenis ikan, cara pengoperasian konstruksi dan perlengkapan
alat.
Trawl yang dikenal dengan istilah pukat harimau, menurut Nomura dan
Yamazaki (1977), didefinisikan sebagai alat tangkap ikan berbentuk kantong yang
pada mulut kantong dilengkapi dengan rantai pemberat dan papan pembuka (otter
board), dalam pengoperasiannya ditarik oleh satu atau dua kapal. Adapun bagian
dari jaring trawl antara lain: papan pembuka, tali penarik, tali ris atas dan tali ris
bawah, pelampung, rantai pemberat, jaring berbentuk kantong dan bagian ujung
kantong. Panjang tali penarik sepertiga dari panjang jaring, papan pembuka
bervariasi ukurannya, pada umumnya antara 0,5 m2 sampai 1,5 m2. Mesh size
jaring pada ujung pembuka pada umumnya antara 80-240 mm dan pada ujung
kantong sekitar 150 mm. Dengan karakteristik dan cara pengoperasian trawl
tersebut dapat ditarik keterangan bahwa jaring trawl termasuk peralatan yang
efektif untuk melakukan penangkapan ikan terutama untuk menangkap ikan
demersal.
Menurut Brandt (1984), trawl diklasifikasikan ke dalam alat tangkap
dragged (ditarik). Grup ini terdiri dari semua jaring kantong atau jaring terbentang
yang ditarik sepanjang kolom perairan atau dekat dasar perairan atau sesekali ke
perairan pelagis untuk waktu yang terbatas. Selanjutnya dikatakan pula oleh King
(1995) bahwa, trawl dan pukat adalah alat tangkap yang ditarik sepanjang perairan
untuk menjaring invertebrate dan ikan laut.
Subani dan Barus (1989) mengatakan bahwa, menurut arah bukaan mulut
jaring, pada dasarnya trawl dibagi menjadi 3 macam yaitu :
(1)
Beam trawl: terbukanya mulut jaring dikarenakan bentangan/rentangan kayu
pada mulut jaring. Jaring ini disebut “fixmouth trawl”. Jaring membuka
secara vertikal dengan trawl heads baja yang berat dan secara horizontal
dengan beam kayu (Gambar 9).
(2)
Otter trawl: terbukanya mulut jaring dikarenakan ada dua buah papan atau
“otter board” yang dipasang di ujung muka kaki sayap jaring yang
prinsipnya menyerupai layang-layang. Jaring membuka secara vertikal
dengan pelampung sepanjang head rope, dan secara horizontal dengan otter
board (Gambar 10).
(3)
Paranzella: terbukanya mulut jaring karena ditarik oleh dua buah kapal yang
jalannya sejajar dengan jarak tertentu dan biasanya disebut juga pair trawl.
Jaring terbuka secara vertikal karena ada pelampung dan pemberat dan
secara horizontal oleh jarak dua kapal (Gambar 11).
Gambar 9 Alat tangkap beam trawl.
Gambar 10 Alat tangkap otter trawl.
Gambar 11 Alat tangkap paranzella.
Menurut Brandt (1984), beam trawl termasuk dalam kelompok trawl dasar
(bottom trawl). Ditambahkan oleh Ayodhyoa (1979) bahwa, beam trawl adalah
trawl dengan mulut jaring terbuka karena adanya bentangan kayu atau besi pada
mulut jaring dan sayap yang pendek. Selanjutnya King (1995) menyebutkan
bahwa, beam trawl mempunyai kesamaan desain dengan otter trawl tetapi
jaringnya terbuka dan terbentang secar lateral dengan bingkai (beam) secara
horizontal sebagai pengganti otter broad. Beam trawl dengan bukaan tertentu
relatif mudah untuk di setting namun beam trawl dengan ukuran yang besar sulit
ditangani ketika dinaikkan ke atas kapal.
Beam trawl atau fixmouth atau trawl bermulut tetap atau berbingkai tetap.
Beam trawl adalah trawl dimana terbukanya mulut jaring sewaktu ditarik akibat
adanya bentangan kayu atau besi pada mulut jaring. Rentangan ini dapat
berbentuk bingkai empat persegi panjang atau menyerupai huruf “U” terbalik (π).
Otter trawl termasuk salah satu jenis yang banyak digunakan dewasa ini dalam
usaha penangkapan khususnya penangkapan udang, termasuk di dalamnya “pukat
udang”, “pukat harimau” dan semua jenis trawl yang menggunakan papan trawl
untuk membuka mulut jaring saat dioperasikan.
Jaring yang besar pada otter trawl ditarik sepanjang dasar perairan atau
ditarik dalam kolom air dengan kapal. Mulut jaring dibuka melalui dua papan
besar yang diletakkan di kedua sisi dan mulut jaring. Jaring ditarik oleh kapal
dengan kabel baja yang tebal. Otter trawl yang digunakan mempunyai bukaan
mulut jaring berkisar dari 50 kaki sampai lebih dari 100 kaki tergantung dari jenis
ikan yang akan ditangkap dan ukuran kapal yang digunakan.
Trawl umumnya dioperasikan pada dasar perairan namun juga dapat
dioperasikan pada kedalaman yang diinginkan. Menurut letak jaring dalam air
selama operasi penangkapan dilakukan, Ayodhyoa (1979) membagi trawl atas 3
yaitu :
(1)
Surface trawl (trawl yang dioperasikan pada permukaan perairan)
(2)
Mid-water trawl (trawl yang dioperasikan pada pertengahan atau kolom
perairan)
(3)
Bottom trawl (trawl yang dioperasikan pada dasar perairan).
Menurut letak penarikan jaring di kapal, trawl dibagi atas: side trawl (ditarik
dari samping kapal), stern trawl (ditarik dari buritan kapal) dan double rig trawl,
yang merupakan trawl yang ditarik melalui rigger yang dipasang pada kedua sisi
lambung kapal.
Berdasarkan cara pengoperasiannya, trawl dapat digolongkan kedalam 3
kategori utama yaitu : 1) bottom trawl (untuk menangkap ikan dasar dan udang),
2) mid water trawl, yang dioperasikan pada kolom air dan 3) semi pelagic trawl
(untuk menangkap ikan pelagis). Apabila dilihat dari pengoperasian kapal penarik
maka trawl dapat di golongkan kedalam 4 kategori, yaitu: (i) satu unit kapal
mengoperasikan satu unit trawl (beam trawl, otter trawl dan otter trawl with
boom), (ii) dua unit jaring trawl ditarik oleh satu unit kapal (beam trawl with
boom dan otter trawl with boom), (iii) satu unit jaring trawl ditarik oleh dua unit
kapal dan (iv) satu unit kapal menarik lebih dari dua unit jaring trawl. Selain itu
dikenal istilah lain tentang jenis trawl, antara lain: double rig shrimp trawl (dua
unit trawl yang ditarik oleh satu kapal) untuk menangkap udang, otter trawl (trawl
yang dilengkapi oleh otter board) yang ditarik dengan satu unit kapal payang
(sejenis trawl permukaan) dan sebagainya.
2.4.2 Karakteristik pukat ikan (fish net)
Alat tangkap pukat ikan mirip dengan pukat udang. Perbedaan kedua alat ini
adalah pukat ikan tidak memiliki BED (By-catch Excluder Device), jaring lebih
kasar dan memiliki mata jaring yang lebar dibandingkan dengan jaring udang.
Jenis pukat ikan termasuk kedalam kelompok Otter Trawl atau disebut juga jaring
tarik (Lampiran 13).
Otter trawl (baca : commercial shrimp trawl) pertama kali diperkenalkan
kurang lebih pada tahun 1912 dan 1915 di pantai timur Florida. Kehadiran otter
trawl tersebut secara cepat dapat diterima untuk menggantikan haul seine
tradisional sebagai standard commercial gear. Di Indonesia telah diperkenalkan
kurang lebih pada akhir abad 19.
Pada awalnya papan trawl tersebut diikatkan langsung pada ujung
sayap/kaki tetapi kemudian Vigneron dan Dahl (Bangsa Perancis) mengadakan
modifikasi yang selanjutnya dikenal dengan V-D trawl, yaitu kedua pada ujung
sayap/kaki diikatkan pada perentang (spreader), yakni ris (head rope) pada ujung
atas dan ris bawah (foot rope) pada ujung bawah perentang. Perentang bisa dibuat
dari kayu maupun besi. Selanjutnya perentang tadi dengan kawat baja pendek atau
panjang dihubungkan ke bagian belakang papan trawl (otter board). Demikianlah
Vigneron dan Dahl memasang papan trawl dengan jarak antara 50-100 (Q) dari
ujung sayap kaki jaring.
Pukat tarik dasar berbentuk kantong yang terbuat dari jaring dan terdiri dari
2 bagian sayap dan bagian square, bagian badan serta bagian kantong jaring
(BPPI. Semarang 1986).
(1)
Sayap/kaki jaring (wing); Bagian jaring terpanjang dan terletak di ujung
depan dari pukat tarik dasar.sayap jaring terdiri dari sayap atas (upper wing)
dan sayap bawah (lower wing).
(2)
Medan jaring atas (square); Bagian jaring yang terletak di atas mulut jaring
dan menjorok ke depan. Square merupakan selisih antara panjang sayap
bawah dan panjang sayap atas.
(3)
Badan jaring (body); Bagian jaring yang terpendek dan terletak di antara
bagian kantong dan bagian sayap jaring.
(4)
Kantong jaring (cod end); Bagian jaring yang terletak di ujung belakang dari
pukat tarik dasar.
(5)
Panjang total jaring; Hasil penjumlahan dari panjang bagian sayap/kaki,
bagian badan dan bagian kantong jaring.
(6)
Keliling mulut jaring (circumference at net mouth); Bagian badan jaring
yang terbesar dan terletak di ujung depan dari bagian badan jaring.
(7)
Palang rentang (beam); Kelengkapan pukat tarik dasar yang berbentuk
batang bambu/kayu atau besi, yang dipergunakan sebagai alat pembuka
mulut jaring.
(8)
Papan rentang (otter board); Kelengkapan pukat tarik dasar yang berbentuk
papan empat persegi panjang yang dipergunakan sebagai alat pembuka
mulut jaring.
(9)
Pemberat rantai (tackle chain); Sebagai alat pengejut udang yang berada di
dalam dasar perairan dan terpasang sepanjang tali ris bawah.
(10) Tali ris atas (head rope); Tali yang berfungsi untuk menggantungkan dan
menghubungkan kedua sayap jaring bagian atas, melalui bagian square
jaring.
(11) Tali ris bawah (ground rope); Tali yang berfungsi untuk menghubungkan
kedua sayap jaring bagian bawah, melalui mulut jaring bagian bawah.
(12) Tali selambar (warp rope); Tali yang berfungsi sebagai penghela (dragging)
di belakang kapal yang sedang berjalan dan penarik pukat tarik dasar ke
atas geladak kapal.
Konstruksi pukat tarik dasar kecil tipe 2 seam atau panel dapat dilihat pada
Gambar 12.
Keterangan gambar:
1) Panjang Bagian – Bagian Jaring
2) Lebar Bagian – Bagian Jaring
a) Panjang tali ris atas :l
a) Keliling mulut jaring : a
b) Panjang tali ris bawah : m
b) Setengah keliling mulut jaring : h
c) Keliling mulut jaring : a
c) Lebar ujung depan bagian sayap atas : g2
d) Panjang total jaring :b
d) Lebar antara bagian sayap atas : g2’
e) Panjang bagian sayap atas : c
e) Lebar ujung belakang bagian sayap atas : g1
f) Panjang antara bagian sayap atas : c’
f) Lebar ujung depan bagian sayap bawah : h2
g) Panjang bagian sayap bawah : d
g) Lebar antara bagian sayap bawah : h2’
h) Panjang antara bagian sayap bawah : d’
h) Lebar ujung belakang bagian sayap bawah : h1
i) Panjang bagian medan jaring atas (square) : Sqr i) Jarak ujung-ujung belakang sayap atas : g”
j) Panjang bagian badan : e
j) Jarak ujung-ujung belakang sayap bawah : h”
k) Panjang bagian kantong : f
k) Lebar ujung depan bagian square : g’
l) Lebar ujung belakang bagian square : g1’
m) Lebar ujung depan bagian badan : i
n) Lebar ujung belakang bagian badan : i1
o) Lebar ujung depan bagian kantong : j
p) Lebar ujung belakang bagian kantong : j1
Gambar 12 Desain bentuk baku konstruksi pukat tarik dasar kecil tipe 2 seam atau
panel (BPPI Semarang 1986).
2.5 Operasi Penangkapan Ikan Pelagis dengan Trawl dan Pukat Ikan
2.5.1 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan trawl
Pada umumnya trawl yang digunakan sampai saat sekarang masih
didasarkan pada prinsip yang tidak banyak mengalami perubahan. Bentuk dasar
masih merupakan jaring yang menyerupai kantong yang berbentuk “truncated
cone” dengan sayap yang terletak pada mulut jaring. Untuk membuka mulut
jaring, umumnya digunakan beam yang menghubungkan ke dua wing, otterboard
atau jaring tersebut ditarik oleh dua kapal.
Berdasarkan operasinya, trawl dapat dibedakan atas bottom trawl dan
midwater trawl (pelagic trawl). Kedua jenis trawl tersebut mempunyai
karakteristik yang berbeda sesuai dengan kondisi lapisan perairan dimana alat
tersebut di operasikan.
Cara pengoperasian trawl dapat dibagi atas tiga tahap yang meliputi :
(1)
Shooting yaitu melepaskan jaring ke laut.
(2)
Trawling yaitu menarik atau menghela jaring
(3)
Hauling yaitu mengangkat atau menaikkan jaring ke atas kapal.
Tertangkapnya ikan selama trawling dapat terjadi jika gerombolan ikan
berada di dalam jalur yang sama dengan jalur gerakan trawl. Dengan demikian
ikan hanya akan dapat tertangkap jika berada di antara sweepline atau wing
dengan kecepatan renang lebih rendah atau sama dengan kecepatan trawling
kemudian ikan mengurangi kecepatannya. Ikan yang sudah berada di dalam mulut
jaring dianggap sudah tertangkap dan diharapkan akan terus masuk ke codend.
Didasarkan pada pertimbangan bahwa ikan hanya akan dapat tertangkap jika
kecepatan trawling harus lebih tinggi atau sama dengan kecepatan renang
maksimum ikan maka suatu penangkapan dengan trawl tidaklah dapat sukses jika
kecepatan trawling di bawah kecepatan renang maksimum ikan.
Peristiwa lolosnya ikan atau “escapement” dapat terjadi jika ikan yang
sudah berada di antara wing atau di dalam mulut jaring bergerak ke luar jalur
gerakan trawl. Disamping itu ikan yang sudah tertangkap dapat pula lolos melalui
codend, jika mesh size codend lebih besar dari ukuran badan ikan.
Pencegahan escapment melalui codend dengan memperkecil mesh size akan
menyebabkan kenaikan resistensi dan penambahan berat (Friedman 1973)
selanjutnya Taniguchi (1969) menyatakan bahwa, dengan merubah koefisien tidak
begitu berpengaruh terhadap kenaikan resistensi.
2.5.2 Operasi penangkapan ikan pelagis dengan pukat ikan
Pukat ikan dengan alat pembuka mulut jaring, ditarik (dragging) di belakang
kapal yang sedang berjalan dan menyelusuri dasar perairan. Penarikan pukat tarik
dasar dengan kecepatan tarik (dragging speed) sekitar 2-4 knot selama 1-2 jam
operasi. Kelengkapan pukat ikan berupa papan rentang atau palang rentang
sebagai alat pembuka mulut jaring.
Pengoperasian pukat tarik dasar dilakukan dengan menarik (dragging) jaring
di belakang kapal yang sedang berjalan. Teknik pengoperasian dapat dilakukan
dengan 3 cara, yaitu :
(1)
Penurunan jaring (setting)
Penurunan jaring dilakukan dari bagian buritan kapal dan kapal bergerak maju
dengan bantuan atau perentaraan tali selambar. Panjang tali selambar disesuaikan
dengan kedalaman perairan. Penggunaan tali selambar dengan tujuan untuk
mengatur kedalaman pukat tarik dasar agar dapat menyelusuri dasar perairan.
(2)
Penghelaan jaring (dragging)
Penghelaan jaring dilakukan di belakang kapal yang sedang berjalan dan
diupayakan pukat tarik dasar menyelusuri dasar perairan dengan mengikatkan tali
selambar pada buritan kapal. Penghelaan jaring selama 1-2 jam operasi dengan
kecepatan hela sekitar 2-4 knot.
(3)
Penarikan dan pengangkatan jaring (hauling)
Penarikan dan pengangkatan jaring dilakukan dari buritan kapal atau sisi lambung
kapal dengan menarik tali selambar. Penarikan tali selambar tanpa atau dengan
menggunakan mesin bantu penangkapan (fishing machinery) yang berupa derek
penarik (trawl winch) kemudian penarikan dan pengangkatan pukat tarik dasar ke
atas geladak kapal.
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dimaksudkan
untuk pengambilan data lapangan yang meliputi data hasil tangkapan, posisi
penangkapan. Pengambilan data lapangan ini dilaksanakan di perairan Sibolga
dan sekitarnya pada tanggal 7-19 Juli 2007. Peta lokasi penelitian disajikan pada
Gambar 13. Tahap kedua untuk pengolahan serta analisis data klorofil-a dan suhu
permukaan laut (SPL) hasil deteksi satelit diambil dari Laboratorium Matra LautPusat Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur pada tanggal 6 Februari-5 Maret 2008.
Gambar 13 Peta Lokasi Penelitian.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Citra Suhu
permukaan laut hasil deteksi satelit NOAA-AVHRR, (2) Citra klorofil-a hasil
deteksi sensor SeaWIFS satelit Sea Star pada level 1 dan 2, (3) Termometer
digital, (4) Timbangan, (5) GPS dan (6) Kamera Digital.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga kelompok, yaitu :
1) Data produksi, 2) Data SPL, 3) Data klorofil-a.
Citra SPL dan klorofil-a yang dikumpulkan berbentuk model data raster
berasal dari jenis level dua yaitu telah terkoreksi baik secara geometri, radiometri
dan memiliki informasi dasar. Setelah citra diterima oleh antena penerimaan di
ILC PUSBANGJA LAPAN, kemudian dilakukan perekaman dan pengolahan
lebih lanjut, yang meliputi :
(1) Perekaman data kanal-kanal citra dari satelit NOAA-16 untuk SPL dan
Fengyun FY-1 D untuk klorofil-a pada komputer induk
(2) Perubahan (konversi) data kanal-kanal citra ke dalam bentuk raster
(3) Pemilihan citra bebas awan, dimaksudkan untuk memilih liputan citra yang
hanya memiliki < 10 % tutupan awan pada lokasi penelitian
(4) Penyimpanan data kanal-kanal citra bebas awan ke dalam CD-ROOM untuk
selanjutnya diolah.
Data hasil tangkapan diperoleh selama melakukan penelitan di perairan
Sibolga Kecamatan Tapanuli Tengah. Data kegiatan penangkapan diperoleh
dengan cara mengikuti pukat ikan. Lama trip operasi pukat ikan ini adalah 12 hari
(7-19 Juli 2007). Data kegiatan penangkapan diisi pada log book yang telah
disediakan meliputi waktu dan posisi penangkapan, jumlah total tangkapan posisi
pada setiap daerah penangkapan ikan.
Kegiatan pengukuran sampel klorofil-a tidak menggunakan alat dalam
melakukan penangkapan ikan di laut selama penelitian karena alat yang
digunakan sangat susah diperoleh sehingga hanya melakukan pengukuran dari
citra satelit MODIS. Sedangkan suhu permukaan laut ada dilakukan pengukuran
terhadap daerah penangkapan tetapi data hasil pengukuran SPL di lapangan tidak
digunakan karena tidak sama dengan data SPL pengukuran dari citra satelit
NOAA-AVHRR (Lampiran 11) sehingga menggunakan data pengukuran SPL
dari citra satelit NOAA-AVHRR saja.
3.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
3.4.1 Analisis komposisi hasil tangkapan
Ada beberapa hal yang dilakukan dalam menganalisis komposisi hasil
tangkapan, yaitu 1) komposisi jenis ikan (spesies), 2) jenis dan jumlah ikan yang
dominan tertangkap, 3) komposisi jumlah dan spesies ikan yang dominan
tertangkap pada setiap posisi penangkapan yang berbeda.
3.4.2 Pengolahan citra satelit
Pengolahan data kanal-kanal citra satelit NOAA-AVHRR dan FY-1 D
dilakukan dengan metode pengolahan citra berbasiskan komputer menggunakan
perangkat lunak Er Mapper. Tahapan-tahapan pengolahan adalah sebagai berikut :
(1) Pemformatan data kanal satelit NOAA-AVHRR dan FY-1 D dimaksudkan
untuk mempermudah pengolahan data-data kanal dalam perangkat lunak
Er-mapper
(2) Pemotongan (cropping area), dimaksudkan untuk memotong atau mengambil
wilayah yang akan diolah dan dianalisa saja dengan memanfaatkan fasilitas
cursor map atau dengan menggunakan sub fasilitas extents pada tools
geoposition
(3) Pemisahan (masking area) awan, darat dan laut dimaksudkan untuk menutupi
nilai-nilai piksel darat dan awan sehingga hanya nilai-nilai piksel dari laut
yang akan diolah informasinya. Persamaan untuk pemisahan awan, darat dan
laut menggunakan perbandingan nilai kanal 2 terhadap nilai kanal 1 dengan
ketentuan tiap-tiap kelas sebagai berikut (O’Reilly et al. 1998) :
jika i2/i1 < 1,3 maka objek adalah laut ................................................... (8)
jika i2/i1 >= 1,3 dan jika i2/i1 < 2 maka objek adalah awan .................. (9)
jika i2/i1 >= 2 maka objek adalah darat ................................................. (10)
Keterangan :
i1 = input kanal 1
i2 = input kanal 2
Proses perhitungan persamaan (8), (9) dan (10) dilakukan dengan
menggunakan fasilitas formula editor pada algorithm wizard
(4) Perhitungan
nilai
suhu
pemukaan
laut
(SPL),
dimaksudkan
untuk
mendapatkan nilai-nilai SPL berdasarkan nilai temperatur kecerahan
(brightness temperature) laut dengan menggunakan algoritma McMillin &
Crosby (BML LAPAN, 1997):
SPL = TB4 + 2,702 * (TB4 - TB5) – 273,582 ................................... (11)
Keterangan :
SPL
= nilai suhu permukaan laut dalam oC
TB4 dan TB5
= nilai suhu kecerahan dari kanal 4 dan 5
Proses perhitungan persamaan (11) dilakukan dengan menggunakan fasilitas
formula editor pada algorithm wizard
(5) Perhitungan
nilai
klorofil-a,
dimaksudkan
untuk
mendapatkan
nilai
konsentrasi klorofil-a dengan menggunakan algoritma ocean colour OC4-V4
(O’Reilly et al. 1998):
C  10 ( a0  a1R  a2 R  a3R ) a4 .............................................................. (12)
Kanal 8
R  Log
Kanal 9
Keterangan :
C = klorofil-a dalam mg/L
a0 = 0,4708
a1 = -3,8469
a2 = 4,5338
a3 = -2,4434
a4 = -0,0414
Proses perhitungan persamaan (12) dilakukan dengan menggunakan fasilitas
formula editor pada algorithm wizard
(6) Pengkelasan SPL
Citra yang telah diproses dibuat ke dalam bentuk peta SPL dengan kelas
tertentu. Setiap selang kelas akan diberi warna berbeda untuk memudahkan
analisis visual. Dalam penelitian ini digunakan selang kelas 0,5 ºC untuk
memudahkan dalam analisis daerah penangkapan ikan
(7) Klasifikasi citra klorofil-a dan SPL tidak perlu dilakukan hanya diekpsort saja.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai klorofil-a dan SPL jika citra SPL
dan klorofil-a sudah di klasifikasi.
3.4.3 Pengolahan citra SPL dan klorofil dari Er Mapper ke ArcView GIS
Pengolahan citra ke ArcView sangat perlu dilakukan untuk mendapatkan
peta SPL dan klorofil. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
(1)
Citra SPL dan klorofil-a yang ada diambil dari LAPAN, Jakarta dalam
bentuk Er Mapper. Citra tersebut telah diolah dari citra mentah (Level 2) ke
citra jadi yang akan diolah dalam bentuk Er Mapper.
(2)
Citra SPL dan klorofil-a yang telah jadi dalam bentuk Er Mapper tersebut
lalu dipotong (crop) sesuai dengan posisi daerah penelitian.
(3)
Citra SPL dan klorofil-a yang telah dipotong sesuai dengan daerah penelitian
kemudian disimpan dalam bentuk tipe ”Er Mapper Raster Dataset (.ers)”.
(4)
Tutup dulu semuanya kecuali jendela Er Mapper, lalu buka citra SPL,
klorofil-a dan Cell Value Profile Menu agar bisa di reclass citra tersebut
serta dapat melihat jumlah nilai terendah dan tertinggi kedalam rumus
sebagai berikut :
If i1 <A then null else if i1 <= B then i1 else null, dimana:
i1 = B1:Pseudo Layer atau kanal nilai SPL
A = Batas bawah nilai SPL
B = Batas atas nilai SPL
Jika dimasukan nilai-nilai yang telah diketahui maka formula reclass di atas
berubah menjadi:
If i1<25 then null else if i1 <=31 then i1 else null.
(5)
Citra SPL dan klorofil-a yang telah di reclass kedalam rumus diatas maka
disimpan ke bentuk Er Mapper Algorithm (.alg). Lalu tutup semuanya.
(6)
Munculkan kembali jendela Ermapper, buka citra SPL dan klorofil-a yang
telah disimpan ke bentuk ”Er Mapper Algorithm (.alg)” kemudian simpan
kembali dalam bentuk tipe ”Er Mapper Raster Dataset (.ers)”. Tujuannya
adalah untuk dapat di eksport.
(7)
Dari langkah ke-6 selanjutnya citra SPL dan klorofil-a dieksport kedalam
bentuk XYZ ASCII grid. Bertujuan untuk mendapatkan nilai SPL dan
klorofil dari citra SPL dan klorofil dalam bentuk algoritma.
(8)
Hasil yang telah dieksport tadi dibuka kedalam bentuk Microsoft Excel
berfungsi untuk mengetahui nilai serta posisi SPL dan klorofil atau bisa
langsung dibuka ke program Surfer 8 dalam bentuk worksheet.
(9)
Nilai serta posisi citra SPL dan klorofil-a dipindahkan ke worksheet di
Surfer 8 lalu datanya disortkan agar nilai-nilai tersebut berurutan dari
terkecil hingga terbesar dan simpan dalam koma.
(10) Hasil nilai-nilai yang telah disimpan dalam bentuk koma tersebut kemudian
digridkan (dalam bentuk longitude/bujur dan latitude/lintang) untuk dapat
ditampilkan citranya ke peta.
(11) Setelah nilai-nilai tersebut digridkan maka nilainya dapat ditampilkan ke
peta (Surfer 8).
(12) Peta yang sudah ada dalam bentuk kontur dan sudah lengkap dengan nilainilai SPL dan klorofil-anya tersebut dapat di ekspor kembali di program
Surfer 8 ke Esri shapfile (*.shp) agar bisa mendapatkan peta lengkap.
(13) Sesudah selesai di eksport ke Esri shapefile kemudian buka program
ArcView GIS 3.3 yang telah disimpan ke dalam folder, peta akan muncul
didalam program ArcView GIS 3.3.
(14) Untuk mendapatkan nilai-nilai SPL dan klorofil-a adalah memasukkan nilainilai SPL dan klorofil-a ke dalam “Theme Table” yang ada dijendela
ArcView GIS 3.3. Nilai-nilai tersebut harus sama dengan nilai-nilai yang
ada di peta Surfer 8 dalam bentuk kontur.
(15) Langkah terakhir adalah nilai-nilai SPL dan klorofil-a yang sudah lengkap
tersebut akan terlihat dalam peta di ArcView yang dibuat sendiri.
(16) Peta yang sudah jadi tersebut lengkap dengan nilai-nilai SPL dan klorofil
dapat dipindahkan kedalam bentuk peta yang sebenarnya dengan cara
mengekstension ke Graticules and Measured Grid di program ArcView GIS
3.3 lalu kelik layout dijendela ArcView GIS 3.3 (di “View”). Kemudian
mengubah peta di layout sesuai dengan keinginan sendiri.
Untuk pengolahan citra SPL dan klorofil-a dari Er Mapper dapat dilihat pada
Lampiran 7 dan 8. Gambar 14, menjelaskan alur pengolahan citra satelit secara
umum dibawah ini :
Mulai
Satelit NOAA-AVHRR
Bebas
Awan.
Data Hasil Tangkapan
Ikan Pelagis Kecil
selama Penelitian
Satelit Seastar-SeaWIFS
Tdk
Data diperoleh dari
LAPAN
Trend
Data Hasil Tangkapan
Harian selama 11 Hari
Penelitian
Ya
Bebas
Awan
Cropping
Ya
Pengolahan Citra
SPL Kanal 1 dan 2
Cropping
Ya
Ekstrak Data
Klorofil-a
Koreksi Geometri
Ok
Tdk
Koreksi Geometri
Ya
Tdk
Citra Sebaran SPL :
- Rata-rata
- Dominan
- Suhu Hangat
- Suhu Dingin
Kontur SPL
Ok
Ya
Citra Sebaran Klorofil-a :
- Rata-rata
- Dominan
- Suhu Hangat
- Suhu Dingin
Kontur Klorofil-a
Hubungan SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan Ikan
Selesai
Gambar 14 Diagram Alir Penelitian.
4 HASIL PENELITIAN
4.1 Komposisi Hasil Tangkapan
Jumlah hasil tangkapan total selama penelitian sebanyak 31.076 kg, yang
terdiri dari 15 spesies. Hasil tangkapan terbanyak adalah ikan keke yaitu sebanyak
11.420 kg (37%) kemudian menyusul teri sebanyak 3.887 kg (12,51%), ikan
layang sebanyak 2.016 kg (6%), kembung perempuan sebanyak 1.720 kg (5,53%),
belado kuning sebanyak 1.958 kg (6.30%), buncilak sebanyak 1.668 kg (5,37%),
baledang sebanyak 1.404 kg (4,52%) dan sebelah sebanyak 1.309 kg (4,21%).
Sedangkan hasil tangkapan terendah adalah sotong sebanyak 100 kg (0,32%).
Adapun komposisi jumlah tangkapan menurut jenis spesies dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi hasil tangkapan pukat ikan dari tanggal 7–19 Juli 2007 per
spesies.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Jenis Ikan (Spesies)
Kembung Perempuan
Kembung Lelaki
Parang-parang
Sebelah
Keke
Beloso
Teri
Layang
Belado Kuning
Teter
Biji Nangka
Buncilak
Selar
Baledang
Sotong
Jumlah Total
Jumlah Hasil Tangkapan (Kg)
1.720
939
1.477
1.309
11.420
873
3.887
2.016
1.958
798
893
1.668
614
1.404
100
31.076
Persentase (%)
5,53
3,02
5
4,21
37
2,81
12,51
6
6,3
3
3
5,37
2
4,52
0,32
100
Dari Tabel 4 terlihat bahwa hasil tangkapan yang dominan adalah ikan keke
(Leiognathus decorus), teri (Stolephorus commersonii), belado kuning (Atule
mate), layang (Decapterus spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma),
buncilak (Alepes djeddaba) dan parang-parang (Chirocentrus dorab). Persentase
masing-masing tangkapan yang dominan tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.
Kembung
Perempuan
7%
Buncilak
7%
Parang-parang
6%
Keke
48%
Layang
8%
Belado Kuning
8%
Teri
16%
Gambar 15 Persentase tangkapan yang dominan.
Komposisi spesies dan jumlah hasil tangkapan yang dominan menurut
periode waktu operasi penangkapan dapat dilihat pada Gambar 16. Dari Gambar
16 terlihat bahwa jenis ikan yang selalu dominan tertangkap pada setiap kali
operasi penangkapan adalah ikan keke, kembung perempuan, parang-parang,
belado kuning dan ikan layang.
Frekuensi tertangkapnya ikan pada setiap kali operasi penangkapan dapat
dilihat pada Gambar 17. Dari Gambar 17, ternyata ikan parang-parang, belado
kuning, keke dan ikan layang tertangkap 11 kali setting, sedangkan ikan buncilak
dan teri hanya tertangkap 8 kali setting dari total sebanyak 33 kali setting.
Daerah penangkapan ikan pelagis kecil untuk lokasi penangkapan selama
bulan Juli tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 18. Ada 11 lokasi penangkapan
selama penelitian dengan frekuensi setting pada lokasi tersebut dilakukan operasi
penangkapan berkisar 1-6 kali setting. Pada gambar juga terlihat produktivitas
hasil tangkapan (CPUE) untuk setiap lokasi penangkapan.
Adapun jenis-jenis ikan hasil tangkapan untuk setiap DPI disajikan pada
Tabel 5. Dari tabel terlihat bahwa jenis ikan yang dominan tertangkap selalu
ditemukan pada DPI3 (Perairan Barus), DPI4 (Perairan Sorkam), DPI5-8 (Perairan
Murshala). Sedangkan pada DPI1-2 (Perairan Barus), DPI9-10 (Perairan Sorkam)
dan DPI11 (Perairan Murshala) tidak selalu ditemukan ikan yang dominan
tertangkap.
45
07Juli2007
14Juli2007
1200
Hasil Tangkapan
(Kg)
Hasil tangkapan
(Kg)
1200
1000
800
600
400
200
1000
800
600
400
200
0
0
Jenis Tangkapan
Jenis Tangkapan
Kembungperempuan Keke Parang-parang Layang Beladokuning Teri Buncilak
Parang-prang Keke Buncilak Beladokuning Layang Teri Kembungperempuan
09Juli2007
15Juli2007
Hasil Tangkapan
(Kg)
1200
1000
1200
Hasil Tangkapan
(Kg)
800
600
400
200
0
Jenis Tangkapan
1000
800
600
400
200
0
Jenis Tangkapan
Kembungperempuan Keke Parang-parang Layang Beladokuning Teri Buncilak
Kembungperempuan Keke Parang-parang Buncilak Teri Layang Beladokuning
10juli 2007
16Juli2007
1000
800
1200
600
400
200
0
Jenis Tangkapan
Kembung perempuan Parang-parang Keke Belado kuning Teri
Layang Buncilak
Hasil Tangkapan
(Kg)
Hasil Tangkapan
(Kg)
1200
1000
800
600
400
200
0
Jenis Tangkapan
12juli2007
Kembungperempuan Keke Parang-parang Buncilak Teri Layang Beladokuning
17Juli2007
1000
800
1200
600
400
200
0
Jenis Tangkapan
Kembungperempuan Parang-parang Keke Beladokuning Teri Layang Buncilak
Hasil Tangkapan
(Kg)
Hasil Tangkapan
(Kg)
1200
1000
800
600
400
200
0
Jenis Tangkapan
13Juli 2007
Kembungperempuan Keke Parang-parang Buncilak Layang Beladokuning Teri
1200
18Juli2007
800
600
400
1200
200
0
Jenis Tangkapan
Kembung perempuan Parang-parang Keke Belado kuning Layang Teri Buncilak
Hasil Tangkapan
(Kg)
CPUE (Kg)
1000
1000
800
600
400
200
0
19 Juli 2007
JenisTangkapan
Kembungperempuan Keke Parang-parang Buncilak Teri Layang Beladokuning
Hasil Tangkapan
(Kg)
1200
1000
800
600
400
200
0
Jenis Tangkapan
Kembung Perempuan Keke Parang-parang Buncilak Layang Belado Kuning Teri
Gambar 16 Komposisi hasil tangkapan ikan
pelagis.
46
12
10
Frekuensi
8
6
4
2
0
Kembung
Perempuan
Parangparang
Keke
Belado
Kuning
Layang
Buncilak
Teri
Jenis Ikan
Gambar 17 Frekuensi tertangkapnya ikan pada setiap kali operasi penangkapan.
Gambar 18 Sebaran nilai CPUE dan jumlah setting pada 11 lokasi penangkapan.
47
Tabel 5 CPUE hasil tangkapan dominan menurut daerah penangkapan
Daerah
Penangkapan
Ikan (DPI)
Jenis Tangkapan (Kg)
Keke
Teri
Layang
DPI-1
400
150
DPI-2
420
-
DPI-3
1020
DPI-4
Total
(Kg)
Setting
Buncilak
CPUE
(Kg/setting)
73
787
1
787.0
68
727
1
727.0
176
225
2783
3
927.7
120
171
230
2187
4
546.8
80
160
285
279
3049
4
762.3
283
229
538
351
3608
5
721.6
78
245
381
294
4171
5
834.2
233
300
240
294
70
3437
6
572.8
140
180
100
152
-
1177
2
588.5
-
-
25
-
-
-
525
1
525.0
-
40
70
35
65
78
538
1
538.0
10695
3587
1941
1601
1349
2148
1668
22989
33.0
48
16
8
7
6
8
7
78
Kembung
Pr
31
Parangparang
55
Belado
Kuning
-
70
48
35
86
717
205
310
130
850
390
230
196
DPI-5
1470
500
275
DPI-6
1610
300
297
DPI-7
2000
800
373
DPI-8
1800
500
DPI-9
375
230
DPI-10
500
DPI-11
250
Total
Perentase (℅)
Pada Tabel 5 terlihat bahwa hasil tangkapan yang terbanyak adalah ikan
keke (Leiognathus decorus) sebanyak 10.695 kg (48%), dan ikan tersebut
tertangkap pada setiap DPI. Ikan kembung perempuan juga tertangkap pada setiap
DPI tetapi jumlahnya hanya 1.601 kg (7%).
4.2 Suhu Permukaan Laut
Pada tanggal 7 Juli 2007, sebaran suhu permukaan laut (SPL) pada perairan
Tapanuli Tengah dan sekitarnya lebih bervariasi, yaitu berkisar antara 25oC-31oC
(Gambar 19). Suhu permukaan laut di perairan tersebut didominasi oleh suhu
hangat, yaitu 30oC yang tersebar di perairan Murshala, Sorkam, Sibolga dan
Barus. Suhu minimum perairan Tap-teng sebesar 25ºC terdapat di perairan pantai
Sibolga dan Murshala sedangkan suhu maksimumnya sebesar 31oC terdapat di
perairan Barus dan Sorkam.
Pada tanggal 9 Juli 2007, sebaran suhu permukaan laut pada perairan
Tapanuli Tengah dan sekitarnya bervariasi, yaitu berkisar antara 26oC-30oC
(Gambar 20). Suhu permukaan laut di perairan tersebut didominasi oleh suhu
hangat, yaitu berkisar antara 28oC-30oC yang tersebar di perairan Barus, Sorkam,
Murshala dan pantai Sibolga. Suhu minimum perairan Tap-teng sebesar 26ºC
yang terdapat di perairan Murshala sedangkan suhu maksimumnya sebesar 30oC
terdapat di perairan Barus dan pantai Sibolga.
48
Barus
2.01º
Sorkam
1.84º
L a t itu d e
Legenda :
Sibolga
Daratan
25ºC
1.67º
P. Murshala
26ºC
27ºC
28ºC
29ºC
30ºC
1.5º
31ºC
98.333º
98.5º
98.667º
98.834º
Awan
Longitude
Gambar 19 Citra SPL untuk tanggal 7 Juli 2007.
Barus
2.01º
Sorkam
Legenda :
L a t i tu d e
1.84º
Daratan
Sibolga
25ºC
26ºC
1.67º
27ºC
28ºC
29ºC
30ºC
P. Murshala
31ºC
1.5º
98.333º
98.5º
98.667º
98.834º
Longitude
Gambar 20 Citra SPL untuk tanggal 9 Juli 2007.
Awan
49
Sebaran suhu permukaan laut (SPL) di perairan Tapanuli Tengah tanggal 12
Juli 2007 lebih homogen, yaitu berkisar antara 30oC-31oC (Gambar 21). Suhu
permukaan laut di perairan Tap-teng didominasi oleh suhu hangat sebesar 30oC
tersebar secara merata di perairan Sorkam, Barus, Sibolga dan Murshala. Suhu
minimum yang diperoleh Tap-teng sebesar 30oC tersebar secara merata di
perairan Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga sedangkan suhu maksimumnya
sebesar 31oC ada di semua perairan.
Pada tanggal 15 Juli 2007, suhu permukaan laut (SPL) di perairan Tap-teng
dan sekitarnya lebih bervariasi berkisar antara 25oC-30oC. Suhu di perairan
tersebut didominasi oleh suhu hangat sebesar 28oC yang tersebar secara merata di
seluruh perairan Barus, Sibolga, Murshala dan Sorkam serta suhu 29oC di perairan
Murshala dan Sorkam. Suhu minimum yang dimiliki perairan Tap-teng sebesar
25oC terdapat di perairan pantai Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga dan suhu
maksimumnya sebesar 30oC hanya terdapat di perairan Murshala dengan area
yang sempit (Gambar 22).
Barus
2.01º
Sorkam
1.84º
L a t i tu d e
Legenda :
Sibolga
Daratan
25ºC
26ºC
1.67º
27ºC
28ºC
29ºC
30ºC
P. Murshala
31ºC
1.5º
Awan
98.333º
98.5º
98.667º
98.834º
Longitude
Gambar 21 Citra SPL untuk tanggal 12 Juli 2007.
50
Barus
2.01º
Sorkam
1.84º
L a t itu d e
Legenda :
Sibolga
Daratan
25ºC
1.67º
26ºC
P. Murshala
27ºC
28ºC
29ºC
30ºC
1.5º
98.333º
98.5º
98.667º
98.834º
31ºC
Awan
Longitude
Gambar 22 Citra SPL untuk tanggal 15 Juli 2007.
Pada tanggal 17 Juli 2007, suhu permukaan laut (SPL) di perairan Tap-teng
lebih homogen, yaitu berkisar antara 28oC-30oC. Suhu permukaan lautnya
didominasi oleh suhu hangat, yaitu 29oC dan penyebarannya secara merata di
seluruh perairan. Suhu minimum yang diperoleh sebesar 28oC yang tersebar di
perairan pantai Murshala, perairan Sorkam, Barus dan Sibolga dan suhu
maksimumnya sebesar 30oC yang terdapat hanya pada area sempit di perairan
Murshala (Gambar 23).
Pada tanggal 19 Juli 2007, suhu permukaan laut (SPL) di perairan Tapteng
bervariasi yang berkisar antara 25oC-30oC. Suhu perairan Tapteng didominasi
oleh suhu dingin dan hangat. Suhu dominan dingin, yaitu sebesar 25ºC terdapat
sepanjang pantai, sedangkan suhu dominan hangat, yaitu sebesar 28ºC cenderung
menyebar ke luar dari pantai. Suhu minimumnya sebesar 25oC tersebar secara
merata di perairan pantai Murshala, perairan Sorkam, Barus dan Sibolga
sedangkan suhu maksimumnya sebesar 30oC terdapat di perairan Murshala dan
Sorkam (Gambar 24).
51
Barus
2.01º
Sorkam
L a t itu d e
1.84º
Legenda :
Sibolga
Daratan
25ºC
1.67º
26ºC
P. Murshala
27ºC
28ºC
29ºC
30ºC
31ºC
1.5º
98.333º
98.5º
98.667º
Awan
98.834º
Longitude
Gambar 23 Citra SPL untuk tanggal 17 Juli 2007.
Barus
2.01º
Sorkam
1.84º
L a t itu d e
Legenda :
Sibolga
Daratan
25ºC
26ºC
1.67º
1.5º
P. Murshala
27ºC
28ºC
29ºC
30ºC
31ºC
98.333º
98.5º
98.667º
98.834º
Longitude
Gambar 24 Citra SPL tanggal 19 Juli 2007.
Awan
52
Penyebaran SPL di empat lokasi wilayah perairan Tapanuli Tengah, yaitu
Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6
terlihat bahwa SPL di perairan Tapanuli Tengah bervariasi, yaitu pada tanggal 7,
9, 15 dan 19 Juli 2007 sedangkan pada tanggal 12 dan 17 Juli 2007 SPL relatif
homogen.
Berdasarkan pada Tabel 6 terlihat bahwa suhu dominan hangat di seluruh
wilayah perairan Tapanuli Tengah ditemukan pada tanggal 7, 12, 15 dan 17 Juli
2007 sedangkan pada tanggal 9 dan 19 Juli 2007, ditemukan suhu dominan hangat
dan dingin pada wilayah yang berbeda.
Pada tanggal 7, 9, 15 dan 19 Juli 2007, suhu dominan cukup bervariasi
menurut wilayah perairan. Selanjutnya pada tanggal 12 dan 17 Juli 2007, nampak
jelas bahwa suhu dominan relatif homogen dan penyebarannya hampir sama
untuk wilayah perairan yang berbeda.
Tabel 6 Penyebaran suhu permukaan laut dari satelit NOAA-AVHRR di empat
wilayah perairan Tapanuli Tengah.
No
Akuisasi
Data
SPL Tapanuli
Tengah (ºC)
Kisaran Dominan
1
2
3
4
5
7 Juli 2007
9 Juli 2007
12 Juli 2007
15 Juli 2007
17 Juli 2007
25-31
26-30
30-31
25-30
28-30
6
19 Juli 2007
25-30
Keterangan : H = Suhu hangat
D = Suhu dingin
30 (H)
28-30 (H)
30 (H)
28-29 (H)
29 (H)
25 (D)
28 (H)
SPL dominan menurut wilayah (ºC)
Keterangan
Barus
Sorkam
Murshala
Sibolga
30
29-30
30-31
28
29
30
28-30
30-31
28-29
29
30
26-30
30-31
28-29
29
30
28
30-31
28
29
Bervariasi
Bervariasi
Homogen
Bervariasi
Homogen
25
26-28
28-29
25
Bervariasi
53
4.3 Klorofil-a
Pada tanggal 7 Juli 2007, klorofil-a pada perairan Tapanuli Tengah
bervariasi berkisar antara 0,6-1,6 mg/m³. Klorofil-a dominan adalah berkisar
antara 0,6-0,9 mg/m³ terdapat di perairan Murshala, Sorkam, Barus dan Sibolga.
Klorofil-a minimum sebesar 0,6 mg/m³ terdapat di perairan Murshala dengan area
luas sedangkan tingkat klorofil-a tertingginya sebesar 1,6 mg/m³ terdapat di
perairan pantai Sorkam pada area sangat kecil (Gambar 25).
Untuk tanggal 9 Juli 2007, jumlah klorofil-a di perairan Tapanuli Tengah
bervariasi berkisar antara 0,6-2,0 mg/m³. Jumlah klorofil-a dominan adalah
sebesar 0.6 mg/m³ terdapat di perairan Barus, Murshala, Sorkam dan Sibolga.
Klorofil-a minimum sebesar 0,6 mg/m³ tersebar di perairan Murshala, Barus dan
Sibolga. Klorofil-a maksimum sebesar 2,0 mg/m³ terdapat di perairan Murshala,
pantai Murshala dan Sibolga pada area yang sempit (Gambar 26).
Barus
2.01º
Sorkam
Legenda :
L a t it u d e
1.84º
Daratan
Sibolga
2.0 mg/m³
1.8 mg/m³
1.6 mg/m³
1.67º
1.4 mg/m³
1.2 mg/m³
P. Murshala
1.0 mg/m³
0.9 mg/m³
0.8 mg/m³
0.7 mg/m³
1.5º
0.6 mg/m³
0.5 mg/m³
98.333º
98.5º
98.667º
98.834º
Awan
Longitude
Gambar 25 Citra Klorofil-a untuk tanggal 7 Juli 2007.
54
Barus
2.01º
Sorkam
Legenda :
L a t it u d e
1.84º
Daratan
Sibolga
2.0 mg/m³
1.8 mg/m³
1.6 mg/m³
1.67º
1.4 mg/m³
1.2 mg/m³
P. Murshala
1.0 mg/m³
0.9 mg/m³
0.8 mg/m³
0.7 mg/m³
1.5º
0.6 mg/m³
0.5 mg/m³
98.333º
98.5º
98.667º
98.834º
Awan
Longitude
Gambar 26 Citra Klorofil-a untuk tanggal 9 Juli 2007.
Barus
2.01º
Sorkam
Legenda :
1.84º
L a t it u d e
Daratan
Sibolga
2.0 mg/m³
1.8 mg/m³
1.6 mg/m³
1.67º
1.4 mg/m³
1.2 mg/m³
P. Murshala
1.0 mg/m³
0.9 mg/m³
0.8 mg/m³
0.7 mg/m³
1.5º
98.333º
98.5º
98.667º
Longitude
98.834º
0.6 mg/m³
0.5 mg/m³
Awan
Gambar 27 Citra Klorofil-a untuk tanggal 12 Juli 2007.
55
Tingkat konsentrasi klorofil-a untuk tanggal 12 Juli 2007 di perairan
Tapanuli Tengah, yaitu berkisar antara 0,5-1,4 mg/m³. Klorofil-a dominan, yaitu
berkisar antara 0,7-0,9 mg/m³ tersebar di perairan Barus, Sorkam, Murshala dan
Sibolga. Klorofil-a terendah sebesar 0,5 mg/m³ hanya terdapat di perairan
Murshala serta pada area yang sempit sedangkan klorofil-a maksimumnya sebesar
1,4 mg/m³ ada ke arah utara perairan Barus di area yang sempit (Gambar 27).
Pada tanggal 15 Juli 2007, klorofil-a bervarisi berkisar antara 0,6-2,0 mg/m³.
Klorofil dominan sebesar 0,6 mg/m³ tersebar di perairan Barus, Sorkam, Murshala
dan Sibolga. Klorofil-a minimum sebesar 0,6 mg/m³ yang tersebar di perairan
Barus, Murshala, Sibolga dan Sorkam sedangkan klorofil-a maksimumnya sebesar
2,0 mg/m³ terdapat di perairan Barus, Murshala, Sibolga pada area yang sempit
(Gambar 28).
Sebaran konsentrasi klorofil-a untuk tanggal 17 Juli 2007 di perairan
Tapanuli Tengah adalah berkisar antara 0,6-1,4 mg/m³. Klorofil-a dominan
berkisar antara 0,7-1,0 mg/m³ terdapat di perairan Barus, Sorkam, Murshala dan
Sibolga. Klorofil-a minimum sebesar 0,6 mg/m³ terdapat di perairan Barus dan
pantai Sibolga pada area yang sempit sedangkan klorofil-a maksimumnya sebesar
1,2 mg/m³ terdapat di perairan Murshala pada area sempit (Gambar 29).
Pada tanggal 19 Juli 2007 memiliki konsentrasi klorofil-a tertinggi di
perairan Tapanuli Tengah, yaitu berkisar antara 0,5-2,0 mg/m³. Klorofil-a
dominan berkisar antara 0,5-0,6 mg/m³ tersebar di perairan Barus, Sorkam,
Murshala dan Sibolga. Klorofil-a minimum 0,5 mg/m³ terdapat di perairan Barus
dan Murshala pada area yang luas sedangkan klorofil-a maksimum berjumlah 2,0
mg/m³ hanya terdapat di perairan Barus dan Sibolga (Gambar 30).
56
Barus
2.01º
Sorkam
Legenda :
L a t it u d e
1.84º
Daratan
2.0 mg/m³
Sibolga
1.8 mg/m³
1.6 mg/m³
1.67º
1.4 mg/m³
1.2 mg/m³
P. Murshala
1.0 mg/m³
0.9 mg/m³
0.8 mg/m³
0.7 mg/m³
1.5º
0.6 mg/m³
0.5 mg/m³
98.333º
98.5º
98.667º
Awan
98.834º
Longitude
Gambar 28 Citra Klorofil-a untuk tanggal 15 Juli 2007.
Barus
2.01º
Sorkam
Legenda :
1.84º
L a t it u d e
Daratan
2.0 mg/m³
Sibolga
1.8 mg/m³
1.6 mg/m³
1.4 mg/m³
1.2 mg/m³
1.67º
1.0 mg/m³
P. Murshala
0.9 mg/m³
0.8 mg/m³
0.7 mg/m³
0.6 mg/m³
0.5 mg/m³
Awan
1.5º
98.333º
98.5º
98.667º
98.834º
Longitude
Gambar 29 Citra Klorofil-a untuk tanggal 17 Juli 2007.
57
Barus
2.01º
Sorkam
Legenda :
1.84º
L a t it u d e
Daratan
Sibolga
2.0 mg/m³
1.8 mg/m³
1.6 mg/m³
1.67º
1.4 mg/m³
1.2 mg/m³
P. Murshala
1.0 mg/m³
0.9 mg/m³
0.8 mg/m³
0.7 mg/m³
1.5º
98.333º
98.5º
98.667º
98.834º
Longitude
0.6 mg/m³
0.5 mg/m³
Awan
Gambar 30 Citra Klorofil-a untuk tanggal 19 Juli 2007.
Penyebaran klorofil-a di empat lokasi wilayah perairan Tapanuli Tengah,
yaitu Barus, Sorkam, Murshala dan Sibolga disajikan pada Tabel 7. Dari Tabel 7
terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a dominan di perairan Tapanuli Tengah untuk
tanggal 7, 9, 12, 15, 17 dan 19 Juli 2007 berkisar antara 0,6-1,0 mg/m³ dan
memiliki kisaran konsentrasi klorofil-a antara 0,5-2,0 mg/m³.
Berdasarkan pada Tabel 7 terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a pada tanggal
7, 9, 12, 15, 17 dan 19 Juli 2007 menyebar di seluruh wilayah perairan Tapanuli
Tengah. Tingkat konsentrasi klorofil-a terbanyak sebesar 0,6-1,0 mg/m³ terdapat
di tanggal 7, 12 dan 17 Juli 2007, konsentrasi klorofil-a sedang sebesar 0,5-0,6
mg/m³ terdapat di tanggal 19 Juli 2007 sedangkan tingkat konsentrasi klorofil-a
terendah sebesar 0,6 mg/m³ terdapat di tanggal 9 dan 15 Juli 2007.
58
Tabel 7 Penyebaran klorofil-a dari satelit FY-1 D di empat wilayah perairan
Tapanuli Tengah.
No
1
2
3
4
5
6
Akuisasi
Data
7 Juli 2007
9 Juli 2007
12 Juli 2007
15 Juli 2007
17 Juli 2007
19 Juli 2007
Klorofil-a Tap-Teng (mg/m³)
Kisaran
Dominan
0,6-1,6
0,6-2,0
0,5-1,4
0,6-2,0
0,6-1,4
0,5-2,0
0,.6-0,9
0,6
0,7-0,9
0,6
0,7-1,0
0,5-0,6
Klorofil-a dominan menurut wilayah
(mg/m³)
Barus
Sorkam
Murshala
Sibolga
0,6-0,9
0,6
0,7-0,9
0,6
0,7-1,0
0,5-0,6
0,6-0,9
0,6
0,7-0,9
0,6
0,7-1,0
0,5-0,6
0,6-0,9
0,6
0,7-0,9
0,6
0,7-1,0
0,5-0,6
0,6-0,9
0,6
0,7-0,9
0,6
0,7-1,0
0,5-0,6
4.4 Hubungan antara SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan
4.4.1 Hubungan suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan
Hubungan suhu permukaan laut terhadap CPUE pada masing-masing DPI
untuk ke-7 jenis ikan dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari Gambar 31 terlihat
bahwa jumlah hasil tangkapan ikan teri berfluktuasi dari 150-350 kg/setting.
Jumlah tangkapan cenderung tinggi pada suhu 25ºC-30°C sebaliknya jumlah hasil
tangkapan rendah pada suhu permukaan laut sebesar 24ºC dan 31°C. Dengan
demikian, tangkapan ikan teri terbanyak terjadi pada suhu permukaan laut berkisar
antara 25°C-30°C.
Jumlah hasil tangkapan ikan keke berkisar dari 150-500 kg/setting dan
tertangkap pada kisaran suhu 25°C-31°C. Hasil tangkapan ikan keke cenderung
tinggi, yaitu sebesar 300-500 kg/seting pada suhu 25°C-30°C, tetapi tangkapan
rendah juga ditemukan pada kisaran suhu yang sama. Hal ini berarti bahwa suhu
tidak berpengaruh terhadap jumlah tangkapan ikan keke.
Jumlah hasil tangkapan ikan belado kuning berkisar dari 30-88 kg/setting
dan tertangkap pada kisaran suhu permukaan laut 25°C-31°C. Hasil tangkapan
tinggi, yaitu 72-88 kg/setting pada suhu 25°C-31°C, tetapi pada kisaran suhu
tersebut juga ditemukan tangkapan dengan jumlah sedikit. Dengan demikian suhu
perairan diduga tidak berpengaruh terhadap jumlah tangkapan.
Jumlah hasil tangkapan ikan layang cenderung stabil dengan kisaran 47-80
kg/setting. Jumlah hasil tangkapan ikan layang cenderung tinggi sebesar 70-82
kg/setting pada SPL berkisar antara 25°C-31°C, akan tetapi tangkapan redah juga
ditemukan pada kisaran SPL tersebut terutama pada kisaran suhu 29°C-31°C.
59
Jumlah hasil tangkapan ikan buncilak berkisar dari 48-84 kg/setting dan
tertangkap pada suhu berkisar dari 25°C-31°C. Hasil tangkapan ikan buncilak
cenderung tinggi sebesar 70-84 kg/setting pada suhu berkisar antara 27°C-31°C,
tetapi tangkapan rendah juga ditemukan pada kisaran suhu tersebut, yaitu pada
suhu 29°C.
550
32
500
31
30
400
350
29
SPL (°C)
Hasil Tangkapan (Kg)
450
300
28
250
27
200
150
26
100
25
50
0
24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Akuisasi Data
keke
layang
teri
kembung perempuan
parang-parang
belado kuning
buncilak
Gambar 31 Hubungan SPL terhadap CPUE pada masing-masing DPI.
Jumlah hasil tangkapan ikan parang-parang berkisar dari 15-70 kg/setting
dan tertangkap pada suhu 25°C-31°C. Hasil tangkapan cenderung tinggi sebesar
50-70 kg/setting tertangkap pada suhu 28°C-31°C, tetapi tangkapan rendah juga
ditemukan pada kisaran suhu, yaitu 31°C.
4.4.2 Hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan
Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI dapat dilihat
di Lampiran 5. Dari Gambar 32 terlihat bahwa jumlah hasil tangkapan ikan teri
berkisar antara 150-350 kg/setting. Jumlah hasil tangkapan cenderung tinggi, yaitu
240-350 kg/setting pada perairan yang kandungan klorofilnya 0,5-1,0 mg/m³.
Sebaliknya hasil tangkapan cenderung rendah juga ditemukan pada perairan yang
kandungan klorofilnya 0,8-1,0 mg/m³. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan
klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan teri.
60
Jumlah hasil tangkapan kembung perempuan berkisar antara 10-150
kg/setting, yang tertangkap pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a berkisar
dari 0,5-1,6 mg/m³. Hasil tangkapan terbesar 120-150 kg/setting tertangkap pada
perairan dengan konsentrasi klorofil-a sebesar 0,7-0,9 mg/m³. Akan tetapi hasil
tangkapan yang jumlahnya rendah justru tertangkap pada perairan dengan
konsentrasi klorofil-a yang berkisar dari 0,5-1,6 m/m³. Hal ini berarti bahwa
konsentrasi klorofil-a diduga tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan
kembung perempuan.
Jumlah hasil tangkapan ikan keke berkisar dari 150-500 kg/setting dan
tertangkap pada perairan dengan kandungan klorofil-a berkisar dari 0,5-1,6
mg/m³. Hasil tangkapan cenderung tinggi sebesar 300-500 kg/setting tertangkap
pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a sebesar 0,5-1,6 mg/m³, sebaliknya
hasil tangkapan cenderung rendah juga tertangkap pada kisaran tersebut di atas,
terutama pada perairan dengan kandungan klorofil-a berkisar dari 0,6-1,2 mg/m³.
Hal ini berarti bahwa konsentrasi klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil
tangkapan ikan keke.
Jumlah hasil tangkapan belado kuning berkisar antara 30-88 kg yang
tertangkap pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,5-1,6
mg/m³. Hasil tangkapan terbesar 72-88 mg/m³ tertangkap pada perairan dengan
kandungan klorofil-a berkisar dari 0,5-1,6 mg/m³, tetapi jumlah hasil tangkapan
rendah juga tertangkap pada kisaran tersebut, yaitu pada perairan dengan
konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,7-0,9 mg/m³. Berarti kandungan klorofil-a
tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan.
Jumlah hasil tangkapan buncilak berkisar dari 48-84 kg/setting yang
tertangkap pada perairan dengan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,5-1,6
mg/m³. Hasil tangkapan terbesar 70-84 kg/setting tertangkap pada perairan dengan
kandungan klorofil-a sebesar 0,5-1,0 mg/m³ sedangkan hasil tangkapan terendah
ditemukan pada peraira dengan kandungan klorofil-a yang tinggi. Hal ini berarti
bahwa kandungan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan buncilak.
61
550
1.8
500
1.6
450
1.4
1.2
350
300
1
250
0.8
200
0.6
Chlorofil-a (mg/m³)
Hasil Tangkapan (Kg)
400
150
0.4
100
0.2
50
0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Akuisasi Data
keke
parang-parang
teri
belado kuning
layang
buncilak
kembung perempuan
Chlorofil-a
Gambar 32 Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI.
Jumlah hasil tangkapan ikan layang tinggi pada kandungan klorofil-a
berkisar antara 0,6-1,6 mg/m³, tetapi jumlah hasil tangkapan rendah juga
ditemukan pada kisaran tersebut terutama pada kandungan klorofil-a sebesar 0,71,2 mg/m³. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a tidak berpengaruh
terhadap jumlah hasil tangkapan ikan layang.
Jumlah hasil tangkapan ikan parang-parang berkisar dari 15-70 kg/setting
yang tertangkap pada perairan dengan kandungan klorofil-a berkisar antara 0,51,6 mg/m³. Hasil tangkapan terbesar 50-70 kg/setting tertangkap pada perairan
dengan kandungan klorofil-a sebesar 0,6-1,0 mg/m³, tetapi pada kisaran tersebut
juga ditemukan hasil tangkapan rendah, yaitu pada kisaran 0,5-1,6 mg/m³. Hal ini
berarti bahwa kandungan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan
ikan parang-parang.
62
5 PEMBAHASAN
Hasil tangkapan terbanyak ditemukan di perairan Barus (DPI3), Sorkam
(DPI4) dan Murshala (DPI5-8), sedangkan di perairan Barus (DPI1-2), Sorkam
(DPI9-10) dan Murshala (DPI11) hasil tangkapan lebih sedikit. Hal ini
mengindikasikan bahwa penyebaran ikan bervariasi secara temporal dan spasial.
Namun penyebaran ini tidak dipengaruhi oleh suhu dan kandungan klorofil-a.
Untuk itu perlu dilakukan pengamatan terhadap parameter-parameter oseanografi
yang lain seperti arus dan salinitas dengan menggunakan data time series yang
lebih akurat.
Arus adalah faktor penting yang menyebabkan perubahan lokal pada
lingkungan laut. Ikan diduga mempunyai respons secara langsung pada perubahan
tersebut, baik disebabkan oleh arus maupun orientasi ikan terhadap arus. Laevastu
dan Hayes (1981) menyatakan bahwa, arus berpengaruh terhadap penyebaran ikan
sebagai berikut :
(1)
Arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dari spawning
ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah pembesaran) dan ke
feeding ground (tempat mencari makan).
(2)
Migrasi ikan-ikan dewasa dapat disebabkan oleh arus sebagai alat orientasi
ikan dan sebagai bentuk rute alami.
(3)
Tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus khususnya arus pasut.
(4)
Arus, khususnya secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan
dan secara tidak langsung mempengaruhi pengelompokkan makanan atau
faktor lain yang membatasinya (suhu).
Menurut pendapat Baskoro et al. (2004), suhu dapat mempengaruhi
penyebaran ikan dikarenakan: (1) sebagai pengatur proses metabolisme (dapat
mempengaruhi permintaan kebutuhan makanan dan tingkat penerimaan serta
tingkat pertumbuhan), (2) sebagai pengatur aktifitas gerakan tubuh (kecepatan
renang) dan (3) sebagai stimulus syaraf. Namun dalam penelitian ini suhu perairan
tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan
karena variasi suhu yang terjadi masih dapat ditolerir oleh ikan yang ada di
63
perairan Tapanuli Tengah, sehingga ikan-ikan tersebut tidak perlu bermigrasi
akibat perubahan suhu yang terjadi.
Berdasarkan Gambar 31 menunjukkan bahwa fluktuasi suhu permukaan laut
tidak begitu signifikan dalam menentukan banyak atau tidaknya hasil tangkapan.
Hal ini dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya suhu permukaan laut dengan
kelimpahan dan distribusi ikan tidak dapat dimutlakkan sebagai suatu hubungan
linear, akan tetapi setiap ikan mempunyai batas toleransi atau kondisi optimum
terhadap lingkungan yang ditempatinya. Laevastu dan Hayes (1981) mengatakan
bahwa, perubahan suhu perairan menjadi di bawah suhu normal/suhu optimum
menyebabkan penurunan aktifitas gerakan dan aktifitas makan serta menghambat
berlangsungnya pemijahan.
Fluktuasi hasil tangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan ditentukan
oleh kondisi oseanografi optimum pada perairan baik suhu permukaan laut,
klorofil-a maupun parameter lainnya. Oleh karena itu, setiap organisme perairan
akan bergerak mengikuti sebaran kondisi yang sesuai, disamping faktor mencari
makanan. Kondisi optimum suatu perairan juga dapat meningkatkan preferensi
untuk jenis ataupun schooling ikan yang selanjutnya akan mendorong peningkatan
intensitas armada penangkapan karena dianggap merupakan daerah penangkapan
ikan potensial.
Sebaran SPL secara temporal dari tanggal 7, 10, 12, 15, 17 dan 19 Juli 2007
bervariasi karena curah hujan, kecepatan angin dan radiasi matahari terhadap
permukaan perairan berbeda-beda untuk setiap waktu penelitian di perairan
Tapanuli Tengah. Curah hujan dan radiasi matahari yang diduga berperan
terhadap suhu permukaan laut ternyata cukup berfluktuasi pada waktu penelitian.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 9.
Pada tanggal 12 dan 17 Juli 2007 terjadi intensitas penyinaran matahari
sangat tinggi pada permukaan laut tenang yang menyebabkan penyerapan panas
ke dalam air laut lebih tinggi sehingga suhu air naik. Menurut pendapat Sverdrup
et al. (1942), proses-proses seperti absorbsi radiasi dari matahari, aliran bahang
dari dalam bumi melalui dasar laut, perubahan bentuk energi kinetik menjadi
energi bahang, aliran bahang dari atmosfer melalui udara ke laut dan kondensasi
dari uap air yang disertai dengan terjadinya pelepasan bahang yang terjadi di laut
64
akan menaikkan suhu air laut. Selanjutnya proses-proses radiasi balik dari
permukaan laut, aliran bahang (konveksi) ke atmosfer dan evaporasi dapat
menurunkan suhu air laut pada lapisan permukaan perairan.
Pada tanggal 7, 15 dan 19 Juli 2007, suhu perairan di daerah pantai lebih
rendah dibandingkan dengan perairan yang lebih jauh dari pantai. Diduga karena
munculnya kabut atau awan di daerah pantai, seperti terlihat pada citra tanggal 19
Juli 2007 (Gambar 24). Dengan adanya awan tersebut maka sebagian energi
radiasi matahari akan terserap, sehingga perairan yang berada di bawah awan
menjadi lebih dingin.
Sebaran SPL untuk tanggal 7 Juli 2007 lebih bervariasi, massa air panas
cenderung ke arah utara perairan Tapanuli Tengah sedangkan massa air dingin
cenderung ke arah pantai dan arah selatan perairan Murshala. Hal ini berbeda
dengan tanggal 9 Juli 2007, yaitu bervariasi, massa air panas cenderung ke arah
utara perairan Tapanuli Tengah serta ke arah pantai Sibolga dan sebagian panas ke
arah selatan perairan Murshala sedangkan massa air dingin cenderung ke arah
pantai Murshala.
Sebaran SPL untuk tanggal 15 Juli 2007 lebih fluktuatif, massa air dingin
cenderung ke arah pantai perairan Tapanuli Tengah sedangkan massa air panas
terjadi di perairan Tapanuli Tengah. Berbeda halnya dengan sebaran SPL untuk
tanggal 19 Juli 2007, yaitu bervariasi, massa air dingin cenderung lebih banyak ke
arah pantai perairan Tapanuli Tengah dan Murshala sedangkan sebagian massa air
panas cenderung ke arah laut perairan Tapanuli Tengah dan ke arah selatan
perairan Murshala.
Pada tanggal 7, 9, 15 dan 19 Juli 2007 terjadi percampuran massa air hangat
dan massa air dingin dari arah utara perairan Tapanuli Tengah sampai ke arah
selatan perairan Mentawai sehingga berganti dengan massa air hangat yang mulai
mendominasi hampir seluruh citra daerah penelitian. Hal ini diduga akibat pola
pergerakan massa air (arus) dari arah selatan perairan Mentawai ke perairan
Tapanuli Tengah membawa massa air yang bersuhu hangat. Arus merupakan
pergerakan atau perpindahan suatu massa air dari suatu tempat ke tempat lain
yang dapat disebabkan oleh tiupan angin atau karena adanya perbedaan densitas
air laut atau karena gerakan bergelombang panjang oleh pasang surut. Karena laut
65
merupakan medium yang tak pernah berhenti bergerak baik di permukaan maupun
di bawahnya menyebabkan terjadinya sirkulasi air baik berskala kecil maupun
skala besar. Penampilan yang paling mudah terlihat dari arus ini adalah arus
permukaan laut (Nontji 1993).
Konsentrasi klorofil-a pada tanggal 7 dan 12 Juli 2007 terkonsentrasi di
daerah pantai disebabkan karena banyaknya daerah terumbu karang di sekitar
perairan pantai Tapanuli Tengah. Terumbu karang dapat menahan plankton yang
terbawa arus dari perairan lepas ke perairan pantai Tapanuli Tengah. Menurut
LIPI (2007), perairan Tapanuli Tengah memiliki banyak sekali terumbu karang,
yaitu berjumlah 4.422,829 ha dan mangrove memiliki luas 1.823,436 ha yang
terdapat di daerah daratan Sibolga, Pulau Murshala dan sekitarnya sehingga
menyebabkan para nelayan pukat ikan menangkap ikan di sekitar perairan
Tapanuli Tengah.
Selanjutnya Parson et al. (1984) mengemukakan bahwa, tidak mudah untuk
menjelaskan kondisi yang berlaku umum tentang penyebaran fitoplankton secara
horizontal di laut. Disebabkan oleh perbedaan kondisi ekologi pada bagian-bagian
laut yang berbeda, seperti di daerah pantai dan estuari, pesisir dan laut lepas. Ada
kecenderungan penyebaran fitoplankton bersifat lebih mengelompok di daerah
neritik dibanding dengan daerah oseanik (lepas pantai).
Sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial untuk tanggal 7 Juli 2007
cenderung bergerak dari arah perairan pantai Sokam menuju perairan laut
Tapanuli Tengah sedangkan pada tanggal 19 Juli 2007, sebaran konsentrasi
klorofil-a bergerak secara luas dari daratan ke perairan pantai Barus, Sorkam,
Sibolga dan Murshala mengarah ke arah perairan laut Tapanuli Tengah (Gambar
25 dan 30).
Tingginya klorofil-a di perairan pantai Tapanuli Tengah untuk tanggal 7 dan
19 Juli 2007 dibandingkan dengan tanggal lainnya kemungkinan besar disebabkan
adanya faktor fisik dan kimia. Menurut pendapat Arinardi et al. (1997), plankton
di laut pada umumnya tidak tersebar secara merata melainkan hidup secara
berkelompok. Sebagai akibat adanya proses fisik dan kimia di perairan pantai,
berkelompoknya plankton lebih sering dijumpai perairan neritik (terutama
perairan yang dipengaruhi estuari) daripada perairan oseanik. Produktivitas
66
perairan pantai ditentukan oleh beberapa faktor seperti arus pasang surut,
morfogeografi dan proses fisik dari lepas pantai. Selain itu Sujoko et al (2002)
mengatakan bahwa, arus permukaan laut dapat membawa fitoplankton dan nutrien
lainnya mengikuti kecepatan dan pola pergerakan arus atau diakibatkan arus yang
dibentuk oleh arus itu sendiri dengan arus lainnya di sekitarnya. Hal ini dapat
ditetapkan bahwa densitas fitoplankton dipengaruhi oleh arus permukaan laut.
Rendahnya klorofil-a pada tanggal 10, 12, 15 dan 17 Juli 2007 diduga oleh
pengaruh fisik dan biologi. Menurut pendapat Arinardi et al. (1997), penyebab
terjadinya pengelompokan secara garis besar dibedakan atas pengaruh fisik dan
biologi. Pengaruh fisik dapat disebabkan oleh turbulensi atau adveksi (pergerakan
massa air yang besar mengandung plankton di dalamnya). Angin dapat pula
menyebabkan terkumpulnya plankton pada tempat tertentu seperti sepanjang
pantai di bawah angin (leeward side). Pengaruh biologi terjadi apabila terdapat
perbedaan pertumbuhan fitoplankton dan kecepatan difusi untuk menjauhi
kelompoknya serta adanya pemangsa dari fitoplankton.
Konsentrasi klorofil-a di lautan memiliki nilai yang berbeda secara vertikal,
karena dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi seperti suhu permukaan laut,
angin, arus dan lain-lain. Fluktuasi nilai tersebut bisa diamati dengan melakukan
pengukuran secara langsung atau dengan penggunaan teknologi inderaja.
Konsentrasi klorofil-a di suatu perairan dapat memberikan rona laut yang khas
sehingga melalui metode inderaja yang menggunakan wahana satelit, konsentrasi
pigmen bisa diduga.
Penyebaran kandungan klorofil-a secara temporal di perairan Tapanuli
Tengah umumnya bervariasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Parsons et al. (1984)
yang menyatakan bahwa, distribusi vertikal klorofil-a di laut pada umumnya
berbeda menurut waktu, dan suatu saat ditemukan maksimum di dekat
permukaan, namun di lain waktu mungkin lebih terkonsentrasi di bagian bawah
kedalaman eufotik. Menurut pendapat Setiapermana et al. (1992) yang kenyataan
didapatkan dari penelitiannya bahwa, di Lautan Hindia bagian timur dan Arinardi
(1995) di Teluk Jakarta yang menunjukkan adanya perbedaan distribusi klorofil-a
pada musim yang berbeda.
67
Selanjutnya Gabric dan Parslow (1989) mengemukakan bahwa, laju
produktifitas primer di lingkungan perairan ditentukan oleh faktor fisik. Faktor
fisik utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah
percampuran vertikal, penetrasi cahaya di dalam kolom air dan laju tenggelam sel
fitoplankton. Percampuran vertikal massa air sangat berperan dalam menyuburkan
kolom perairan yaitu dengan mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu
dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat
meningkatkan laju produktifitas primer melalui aktifitas fotosintesis fitoplankton.
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil-a mampu
melaksanakan reaksi fotosintesis dimana air dan karbon dioksida dengan adanya
sinar surya dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti
karbohidrat. Karena kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik maka
fitoplankton disebut sebagai sebagai produsen primer (primary producer).
Berdasarkan pendapat Nontji (2002) bahwa, perairan yang produktivitas
primer fitoplanktonnya tinggi akan mempunyai sumberdaya hayati yang besar
pula. Dalam rantai makanan (food web), fitoplankton akan dimakan oleh hewan
herbivora yang merupakan produsen sekunder (secondary primer). Produsen
sekunder ini umumnya berupa zooplankton yang kemudian dimangsa oleh hewan
karnivora yang lebih besar sebagai produsen tersier (tertiary producer). Demikian
seterusnya rentetan hewan karnivor memangsa karnivor lainnya hingga produsen
tingkat keempat, kelima dan seterusnya. Jelaslah bahwa fitoplankton, sebagai
produsen primer, merupakan pangkal rantai pakan dan merupakan fondamen yang
mendukung kehidupan biota laut lainnya.
Akan tetapi, dalam penelitian ini bahwa klorofil-a tidak berpengaruh
terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil pemakan plankton seperti teri
(Stolephorus commersonii), layang (Decapterus spp), kembung perempuan
(Rastrelliger brachysoma) karena sebaran kandungan klorofil-a di perairan
Tapanuli Tengah adalah bervariasi sehingga ikan tersebut tidak dapat mentolerir
perubahan kandungan klorofil-a secara tiba-tiba pada setiap hari, dan banyaknya
pemangsa terutama bagi gerombolan ikan teri yang memiliki tujuan migrasi
secara periodik sehingga menyebar secara tidak merata serta mengakibatkan hasil
68
tangkapan nelayan khususnya untuk ikan pelagis kecil lainnya seperti ikan
kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), layang (Decapterus spp), belado
kuning (Atule mate), buncilak (Alepes djeddaba) dan parang-parang (Chirocentrus
dorab) berkurang.
Reddy (1993) menyatakan bahwa, ikan adalah hewan berdarah dingin yang
suhu tubuh selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan
pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih kisaran
suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara
maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya.
Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam
proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas
tubuh seperti kecepatan renang serta dalam rangsangan syaraf.
Hasil tangkapan didominasi oleh ikan pelagis padahal tujuan utama
penangkapan dari pukat ikan umumnya adalah ikan demersal karena sewaktu
melakukan operasi penangkapan ikan, alat tangkap pukat ikan yang diturunkan ke
laut berada di permukaan laut seharusnya di dasar perairan. Cara pengoperasian
alat tangkap pukat ikan ini sama halnya dengan trawl, yaitu dapat dioperasikan
pada kedalaman perairan yang diinginkan seperti pada permukaan perairan
(surface trawl), pertengahan atau kolom perairan (mid-water trawl) dan dasar
perairan (bottom trawl). Menurut letak jaring dalam air selama operasi
penangkapan dilakukan, Ayodhyoa (1979) membagi trawl atas 3 yaitu :
(1)
Surface trawl (trawl yang dioperasikan pada permukaan perairan)
(2)
Mid-water trawl (trawl yang dioperasikan pada pertengahan atau kolom
perairan)
(3)
Bottom trawl (trawl yang dioperasikan pada dasar perairan).
Alat tangkap pukat ikan yang digunakan oleh nelayan Sibolga dan
sekitarnya termasuk ke dalam kelompok trawl. Menurut Brandt (1984), trawl
diklasifikasikan ke dalam alat tangkap dragged (ditarik). Grup ini terdiri dari
semua jaring kantong atau jaring terbentang yang ditarik sepanjang kolom
perairan atau dekat dasar perairan atau sesekali ke perairan pelagis untuk waktu
yang terbatas. Selanjutnya dikatakan pula oleh King (1995) bahwa, trawl dan
69
pukat adalah alat tangkap yang ditarik sepanjang perairan untuk menjaring
invertebrate dan ikan laut.
Kekurangan metode pengumpulan data ini adalah hasil tangkapan yang
diperoleh sangat sedikit karena sewaktu melakukan penangkapan ikan, kapal
lainnya sudah melakukan penangkapan pada posisi penangkapan yang sama
sebelum kapal penelitian kita melakukan penangkapan di posisi daerah
penangkapan tersebut dan kapal penelitian kita tidak boleh mengambil hasil
tangkapan mereka di posisi yang sama, apabila terjadi bisa menimbulkan konflik.
Untuk memperoleh data hasil tangkapan dari kapal penangkapan lainnya
diperbolehkan tapi tidak semua hasil tangkapan akan diberitahu.
Pada Lampiran 11 terlihat bahwa nilai data SPL insitu terhadap SPL exsitu
(lapangan) adalah tidak sama. Hal ini mungkin disebabkan oleh waktu perolehan
data secara in-situ dengan ex-situ yang berbeda. Data ex-situ dideteksi oleh xatelit
NOAA-AVHRR dalam sehari dua kali sedangkan data SPL in-situ yang diukur di
lapangan bervariasi antara jam 04.00 sampai 15.00 Wib tergantung waktu setting
pukat ikan. Menurut Nontji (1987), perbedaan antara SPL in-situ dengan ex-situ
dapat dipengaruhi oleh awan atau kabut, perbedaan penyinaran matahari
(intensitas matahari) yang datang dihambat oleh awan maupun partikel-partikel
lainnya yang ada di luar angkasa, arus, penaikan massa air dan pencairan es di
kutub. Secara alami suhu permukaan laut merupakan lapisan hangat, karena
mendapat sinar matahari pada siang hari. Akan tetapi karena pengaruh angin, pada
lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 meter terjadi pengadukan hingga
di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28.00oC) yang homogen,
sehingga disebut lapisan homogen. Lapisan permukaan umumnya memiliki
ketebalan kedalaman sebelum mencapai lapisan bawah yang lebih dingin (Gambar
33).
Air mempunyai sifat spesifik bahang yang baik, artinya bertambah atau
berkurangnya panas terjadi secara perlahan-lahan. Permukaan laut dapat
mengabsorbsi sejumlah besar energi matahari yang masuk ke dalamnya. Ketika
evaporasi, permukaan laut menjadi panas. Pada saat dipanaskan, air hangat tetap
dipermukaan sedangkan air dingin tenggelam atau berada di lapisan bawah.
70
Energi yang sampai dipermukaan bumi bervariasi menurut musim, lintang dan
topografi (Ingmanson dan Wallace 1973).
Kedalaman (E)
Suhu (ºC)
A. Lapisan Homogen Hangat, B. Lapisan termoklin, C. Lapisan Homogen Dingin
Gambar 33 Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia (Nontji 1987).
Suhu air laut di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang
yang diterima dari sinar matahari. Menurut Hela dan Laevastu (1970), perubahan
suhu permukaan laut selain disebabkan oleh jumlah bahang yang diterima dari
matahari juga dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungan sekitar di daerah
perairan tersebut. Pengaruh arus, keadaan awan, penaikkan massa air dan
pencairan es di kutub juga mempengaruhi suhu di permukaan laut.
Sverdrup et al. (1942) mengatakan bahwa, proses-proses seperti absorbsi
radiasi dari matahari, aliran bahang dari dalam bumi melalui dasar laut, perubahan
bentuk energi kinetik menjadi energi bahang, aliran bahang dari atmosfer melalui
udara ke laut dan kondensasi dari uap air yang disertai dengan terjadinya
pelepasan bahang yang terjadi di laut akan menaikkan suhu air laut. Selanjutnya
proses-proses radiasi balik dari permukaan laut, aliran bahang (konveksi) ke
atmosfer dan evaporasi dapat menurunkan suhu air laut pada lapisan permukaan
perairan.
71
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh dari penelitian
ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
(1) Sebaran SPL di perairan Tapanuli Tengah bervariasi yang berkisar antara
25°C hingga 31°C dengan kisaran SPL dominan 25°C hingga 30°C.
Kandungan klorofil-a bervariasi antara 0,5-2,0 mg/m³ dengan nilai dominan
0,5-0,9 mg/m³.
(2) Jumlah hasil tangkapan selama penelitian sebanyak 31.076 kg terdiri dari 15
spesies, yang didominasi oleh spesies ikan keke (Leiognathus decorus), teri
(Stolephorus commersonii), belado kuning (Atule mate), layang (Decapterus
spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), buncilak (Alepes
djeddaba) dan parang-parang (Chirocentrus dorab).
(3) Sebaran SPL dan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan.
6.2 Saran
Mengacu pada keterbatasan yang ditemukan selama penelitian maka
disarankan beberapa hal sebagai berikut :
(1) Perlu dilakukan validasi antara parameter oseanografi seperti arus, gelombang
dan pasut hasil pengukuran satelit dengan pengukuran lapangan (in-situ).
(2) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan hasil tangkapan
terhadap faktor arus,, gelombang, pasut, salinitas.
(3) Perlu dilakukan penelitian mengenai analisis perut ikan (stomach content)
sehingga dapat diketahui apakah ikan pemakan fitoplankton, zooplankton
maupun jenis-jenis organisme lainnya.
(4) Perlu dilakukan penambahan waktu pengamatan terhadap hasil tangkapan.
72
DAFTAR PUSTAKA
Aboet A. 1985. Penginderaan Jauh melalui Satelit suatu Alternatif Penelitian
Oseanografi. Proceeding Lokakarya Pemanfaatan Data Satelit Lingkungan
dan Cuaca, 18-19 September 1985 di Jakarta. 214-230 hal.
Arinardi. 1995. Sebaran Seston, Klorofil-a dan Bakteri di Teluk Jakarta. Atlas
Osenologi Teluk Jakarta. Bab VI : 101-9. Jakarta.
Arinardi O, Trimaningsih H, Sudirdjo, Sugestiningsih, Riyono SH. 1997. Kisaran
Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan
Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Vol. 11 No. 6 Tahun 2005. Jakarta. 128 hal.
Asikin D. 1971. Synopsis Biologi Ikan Layang (Decapterus spp). LPPL. Jakarta:
3-27.
. 1979. Fishing Methods. Diktat Kuliah. Ilmu Teknik Penangkapan
Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor. Institut Pertanian
Bogor. 97 hal.
Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. 1986. Petunjuk Menggambar Desain
Alat Tangkap Ikan. Semarang.
Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia.
Jakarta : Penebar Swadaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. 116 hal.
[BML LAPAN] Bidang Matra Laut-LAPAN. 1997. Laporan Akhir Kegiatan
Penelitian
dan
Pengembangan.
Pemanfaatan
Pengelolaan
Data
Penginderaan Jauh Satelit LAPAN Tahun Anggaran 1996/1997 tentang
Spesifikasi
Standar
Ketelitian
SST
dan
Pemanfaatannya
untuk
Pengamatan Pola Arus Laut dan Daerah Potensi Penangkapan Ikan.
Jakarta: Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional. 12 hlm.
Barnabe G and Barbane Regine. 2000. Ecology and Management of Coastal
Waters; The Aquatic Environment. Praxis Publishing. Chichester. 396p.
Baskoro MS, Wahyu RI, Effendi A. 2004. Migrasi dan Distribusi Ikan. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 152 p.
73
Brandt A Von. 1984. Fish Catching Methode of the World. Fishing News Book
Ltd 3rd Edition. Farnham- Surrey. England. 418 hal.
Butler MJA, Mouchot MC, Barale V, Le Blanca C. 1988. The Application of
Remote Sensing Technology to Marine Fisheries. An Introduction Manual.
FAO Fisheries Technical Paper. 295 p.
Burhanuddin, Martosewojo S, Adrim M, Hutomo M. 1984. Sumberdaya Ikan
Kembung. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. 50 hal.
Chisastit C. 1962. Progress Report on Tagging Experiment of Chub Mackerel
(Rastrelliger spp) in the Gulf Thailand. Proc. Indo-Pacific Fish. Coun, 15
(III): 265-286.
Collette BB dan Nauen CE. 1983. FAO Species Catalogue. Vol. 2. Scombrids of
the World. An Annoted and Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerels,
Bonitos and Related Species Knows to Date. FAO Fish. Synop. Vol. 2:
137p.
Dirjen Perikanan. 1989. Penyebaran Beberapa Sumberdaya Perikanan di
Indonesia. Direktorat Bina Sumberdaya Hayati. Direktorat Jenderal
Perikanan Laut, 1.117-144.
Fischer W, Whitehead PP. 1974. FAO Spesies Identification Sheet for Fishery
Porpuses. Eastern Indian Ocean (Fishery Area 57) and Weastern Central
Pacific (Fishing Area 71), ISW, ISEW Teleoster Identification Sheet,
Taxonomy, Geographic Distribution Fisheries, Vernacular Names. Vol.
IV. Rome: FAO. Pag. Var.
Friedman AL. 1973. Theory and Design of Commercial Fishing Gear. Israel
Program for Scientific Translataion. Jerusalem. 489 hal
Gabric AJ and Parslow J. 1989. Effect of Physical Factors on the Vertical
Distribution of Phytoplankton in Eutrophic Coastal Waters. Australian
Journal Marine Freshwater. Res., 189,40,559-569.
Gaol JL. 2003. Kajian Karakter Oseanografi Samudera Hindia Bagian Timur
dengan Menggunakan Multi Sensor Satelit Citra Satelit dan Hubungannya
dengan Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus). Disertasi
(tidak dipublikasikan) Program Doktor Teknologi Kelautan IPB.Bogor. 86
hal.
Gloerfelt T and Kailola PJ. 1984. Trawl Fishes of Souhtern Indonesia and
Northwestern Australia. Australian Development Assistance Bureau,
Australia, Directorate General of Fishes, Indonesia and German Agency
for Technical Cooperation, Federal Republic of Germany. 407 p.
74
Harahap H. 2006. Optimisasi Perikanan Purse Seine di Perairan Laut Sibolga
Provinsi Sumatera Utara. Sekolah Pasca Sarjana, Program Studi Teknologi
Kelautan, Institut Pertanian Bogor [tesis], Bogor. 119 hal. (tidak
dipublikasikan).
Hardenberg JA. 1937. Preliminary Report on Migration of Fish in the Java Sea.
Trendea Dell. 246 p.
Hasyim B. 1999. Analisis Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Kaitannya dengan
Lokasi Penangkapan Ikan. Prosiding Seminar Validasi Data Inderaja
untuk Bidang Perikanan. Jakarta 14 April 1999. Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT). Jakarta. ISBN: 979-956760-1-6:III-2–III46.
Ingmanson DE, Wallace WJ. 1973. Oceanology : An Introduction. California:
Wadsworth. Belmont. 325 hal.
Kartasasmita M. 1999. Beberapa Pemikiran Operasional Aplikasi Teknologi
Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan. Prosiding Seminar Validasi
Data Inderaja untuk Bidang Perikanan. Jakarta 14 April 1999. Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta. ISBN;979-95760-1-6. (I-2,
I-6).
Kimura S, Kimura R and Ikejima K. 2008. Revision of the Genus Nuchequula
with Descriptions of Three New Species (Perciformes: Leiognathidae).
Ichthyol. Res. 55 : 22-42 p.
King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News
Book. London. A Dvision of Blackwell Science Ltd. 376 p.
Kushardono B. 2003. Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Lautan. Di dalam: Trisakti B, Hasyim B, Dewanti R, Hartuti
M, Winarso G, editor. Jakarta: Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional.
hlm 12-18.
Kristjonson H. 1967. Modern Fishing Gear of the Wolrd, Vol. 1. Fsihing News
(Books) Ltd. London.
Laevastu T and Hela I. 1970. Fiheries Oceanography. London : Fishing News
Books. 238 p.
Laevastu T. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. London: Fishing News
(Books) Ltd. 199 p.
Laevastu T and Hayes ML. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing
News Books Ltd. England. 199 p.
75
LIPI. 2007. Coral Reef Information and Training Center Coral Reef Rehabilitation
and Management Program. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRTICCOREMAP II. Jakarta. 47 hal.
Lursinap A, Charoenruay M and Kunapongsiri N. 1970. Preliminary assessment
of the productivity of the waters of Prachuabkiribun coast on the Gulf of
Thailand 1968-1969. A paper submitted to the first Symposium on Marine
Fisheries organized by the Marine Fishery Laboratory. Bangkok. 37 p.
Mann KH and Lazier JRN. 1996. Dynamics of Marine Ecosystem. BiologicalPhysical Interaction in the Ocean. Blackwell Scientific Publication. 466 p.
Monk KY, Y De Frestes and G. Reksodihardjo-Liley. 1997. The Ecology of Nusa
Tenggara and Maluku. The Ecology of Indonesia Series. No. V. Periplus
Editions.
Mustafa AJ. 2004. MODIS, Mengamati Lingkungan Global dari Angkasa. Artikel
Iptek-Bidang Teknologi Informasi dan Telekomunikasi. Rabu, 8
September 2004. 4 hal.
Nurhakim S. 1993. Biology et Dynamique du Banyar Rastrelliger kanagurta
(Teleosteen-Scombridae) dans la pecherie des grands senneurs en mer de
Java. These, Univ. Bretagne Occidentale, Brest, French. 106p.
. 1993. Beberapa Aspek Reproduksi Ikan Banyar (Rastrelliger kanagurta)
di perairan Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 81: 8-20.
Nurhakim S, Atmaja SB, Potier M and Boely T. 1987. Study on Big Purse Seines
Fishery in the Java Sea. The Main Pelagic Caught. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut. I (39) :1-10.
Nomura M dan Yamazaki T. 1977. Fishing Technique. Tokio. Japan Internacional
Coorporation Agency. 206 p.
Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan pertama. Penerbit Djambatan. Jakarta.
360 hal.
Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan kelima. Penerbit Djambatan. Jakarta.
372 hal.
Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan. Jakarta. 368
hal.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Cetakan kedua. Jakarta: Djambatan. 368 hal.
Parson RT, Takeshi M and Hargrave B. 1984. Biological Oceanography Process.
3rd edition. Pergamon Press. Oxford. England, 330. International Journal
of Remote Sensing and Earth Sciences Vol. 2 September 2005. 94 p.
76
Pasaribu BP. 1967. Menemukan Kelompok Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di
Perairan Tapanuli. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan.
Institut Pertanian Bogor.
Paxton JR, Hoese PF, Allen GR and Hanley JE. 1989. Pisces Petromyzontidae to
Carangidae. Zoological Cataloque of Australian, Vol. 7. Australian
Government Publishing Service, Canberra. 665 p.
Puslitbangkan. 1994. Pedoman Teknis Perencanaan Pemanfaatan dan Pengelolaan
Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil dan Perikanannya. Seri Pengembangan
Hasil Penelitian Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Relly O, Maritorena JES, Mitchell BG, Siegel DA, Carder KL, Garver SA, Kahru
M, Mc Clain C. 1998. Ocean Colour Chlorophyll-a Algorithms for
SeaWifs, OC2 and OC4 : version 4. Di dalam: Hooker SB, Firestone ER,
editor. Seawifs Poslaunch Technical Report. Volume ke-2 (3). Maryland:
NASA Goddard Space Flight Center. hlm 9-23.
Reddy MP. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the
Abundance of Fish Catch. Proceeding of International Workshop on
Application of Satellite Remote Sensing for Identifying and Forecasting
Potential Fishing Zones in Developing Countries. India, 7-11 December
1993.
Rousenfell GA and Everhart WH. 1962. Fishing Gear (Fisheries Science its
Methods and Aplication). Jhon Willey Con, Inc. New York. 123p.
Sawada T. 1980. Fishes in Indonesia, with Illustrations. Japan: Japan
International Cooperation Agency. 200 hlm.
Setiapermana D, Santoso dan Riyono SH. 1992. Chlorophyl Content in Relation
to Physical Structure in East Indian Ocean. Puslitbang Oseanologi- LIPI.
Jakarta.
Soegiarto T, Birowo S. 1975. Atlas Oseanografi Perairan Indonesia dan
Sekitarnya, No. 1. Yakarta: Lembaga Oseanologi Indonesia- Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Subani W dan Barus HR. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di
Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 50. Balai Penelitian
Perikanan Laut. Departemen Pertanian Jakarta. 248 hal.
Susanto V. 1961. Some problems of fisheries Research with special reference to
the Rastrelliger Fishery. Proc. I.P.F.C. 9 (3):71-78.
Sverdrup HV, Johnson MW, Fleming RH. 1942. The Oceans : Their Physics,
Chemistry and General Biology. Engleword: Prentice Hall Inc.
77
Tomascik T, Nontji A, Mah AJ, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian
Seas part 2. The Ecology of Indonesian Series, Singapore: Periplus
Editions (HK) Ltd. Vol. VII.
Valiela I. 1984. Marine Ecological Processes. New York : Springer-Verlag. 546 p.
Weber M and LF Beaufort. 1931. The fishes of the Indo-Australian Archipelago.
EJ. Brill. Leiden, 6:194-201.
Weyl PK. 1970. Oceanography. An Introduction to The Marine Environment.
John Wiley & Sons Inc. New York.
Whitehead PJP, Nelson GJ and Wongratana T. 1988. FAO species catalogue. Vol.
7. Clupeoid fishes of the world (Suborder Clupeoidei). An annotated and
illustrated catalogue of the herrings, sardines, pilchards, sprats, shads,
anchovies and wolf-herrings. Part 2 - Engraulididae. FAO Fish. Synop.
125(7/2):305-579.
Whitehead PJP. 1985. FAO species catalogue. Vol. 7. Clupeoid Fishes of the
World (suborder: Clupeioidei). An Annotated and Illustrated Catalogue of
the Herrings, Sardines, Pilchards, Sprats, Shads, Anchovies and WolfHerrings. Part 1 - Chirocentridae, Clupeidae and Pristigasteridae. FAO
Fish. Synop. 125(7/1):1-303.
Whitehead PJP, Nelson GJ and Wongratana T. 1988. FAO Species Catalogue.
Vol. 7. Clupeoid Fishes of the World (Suborder: Clupeoidei). An
Annotated and Illustrated Catalogue of the Herrings, Sardines, Pilchards,
Sprats, Shads, Anchovies and Wolf-Herrings. Part 2 - Engraulididae. FAO
Fish. Synop. 125(7/2):305-579.
Widodo J. 1999. Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Perikanan di
Indonesia. Prosiding Seminar Validasi Data Inderaja untuk Bidang
Perikanan. BPPT Jakarta. ISBN;979-95760-1-16 : II-1–II-21.
. 1988. Dynamic Pool Analyses of the Ikan Layang (Decapterus spp.)
Fishery in the Java Sea. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 47.
Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. hlm 39-58.
Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of the South East Asian Waters. Naga
Report. Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography. California : The
University of California. La Jolla II. 195 p.
78
LAM PI RA N
79
Lampiran 1 Jenis Ikan yang Dominan
Jenis Ikan yang Dominan
Keke
Teri
Belado Kuning
Layang
Kembung Perempuan
Buncilak
Parang-parang
Total
Jumlah
11420
3887
1958
2016
1720
1668
1477
Persentase (%)
47.29561832
16.09790441
8.109003562
8.349208979
7.123333057
6.907976476
6.116955189
24146
100
80
Lampiran 2 Jenis hasil tangkapan untuk setiap daerah penangkapan ikan pelagis kecil.
Daerah Penangkapan Ikan
(DPI)
DPI-1
DPI-2
DPI-3
DPI-4
DPI-5
DPI-6
DPI-7
DPI-8
DPI-9
DPI-10
DPI-11
Total
Keke
400
420
1.020
850
1.470
1.610
2.000
1.800
375
500
250
Teri
150
717
390
500
300
800
500
230
-
Layang
78
70
205
230
275
297
373
233
140
40
10.695
3.587
1.941
Jenis Tangkapan (Kg)
Kembung Pr
Parang-parang
31
55
48
35
310
130
196
120
80
160
283
229
78
245
300
240
180
100
25
70
35
1.601
1.349
Belado Kuning
86
176
171
285
538
381
294
152
65
Buncilak
73
68
225
230
279
351
294
70
78
2.148
1.668
Total
(Kg)
Total/Set
(Kg)
787
727
2.783
2.187
3.049
3.608
4.171
3.437
1.177
525
538
787.0
727.0
927.7
546.8
762.3
721.6
834.2
572.8
588.5
525.0
538.0
22.989
81
Lampiran 3 Tanggal operasi penangkapan ikan
Tanggal Operasi
Penangkapan Ikan
Posisi
Lintang
Bujur
1º 49,986'
98° 33,584'
1º 43,980'
98° 31,575'
1º 45,982'
98° 29,577'
07 Juli 2007
Total
09 Juli 2007
1º 47,984'
98° 29,578'
1° 41,984'
98º 21,578'
1° 43,984'
98º 27,578'
Total
1° 51,729'
98º 25,975'
1° 53,769'
98º 25,422'
10 Juli 2007
Hasil Tangkapan
Jenis Tangkapan
Jumlah (Kg)
Kembung Perempuan
25
Keke
500
Kembung Perempuan
80
Parang-parang
60
Keke
300
Teri
250
Kembung Perempuan
150
Parang-parang
45
Keke
300
Layang
75
Belado Kuning
80
Teri
230
2095
Kembung Perempuan
30
Parang-parang
55
Keke
300
Layang
65
Belado Kuning
72
Kembung Perempuan
78
Parang-parang
60
Keke
300
Layang
70
Belado Kuning
80
Teri
150
Kembung Perempuan
80
Parang-parang
65
Keke
300
Layang
73
Belado Kuning
84
Teri
250
2112
Kembung Perempuan
120
Parang-parang
70
Keke
500
Belado Kuning
85
Teri
300
Layang
75
Kembung Perempuan
60
Parang-parang
35
Keke
250
Layang
78
Belado Kuning
88
Teri
150
Buncilak
80
82
Lampiran 3 (Lanjutan)
Tanggal Operasi
Penangkapan Ikan
Lintang
Posisi
Bujur
10 Juli 2007
1° 48,266'
98º 23,156'
Total
12 Juli 2007
1° 50,574'
98º 20,103'
1° 45,509'
98º 29,152'
1° 45,253'
98º 32,479'
Total
13 Juli 2007
1° 45,253'
98° 32,479'
1° 53,063'
98° 27,080'
1° 43,862'
98° 32,284'
Total
Hasil Tangkapan
Jenis Tangkapan
Jumlah (Kg)
Kembung Perempuan
120
Parang-parang
45
Keke
350
Layang
80
Belado Kuning
75
Teri
300
Buncilak
75
2936
Parang-parang
45
Keke
350
Layang
80
Belado Kuning
75
Teri
300
Buncilak
75
Kembung Perempuan
40
Parang-parang
50
Keke
400
Layang
73
Belado Kuning
65
Buncilak
70
Kembung Perempuan
40
Parang-parang
15
Keke
150
Layang
8
Belado Kuning
30
1866
Kembung Perempuan
40
Parang-parang
15
Keke
150
Layang
8
Belado Kuning
30
Kembung Perempuan
65
Parang-parang
45
Keke
300
Layang
75
Belado Kuning
83
Buncilak
70
Kembung Perempuan
20
Parang-parang
35
Keke
500
Layang
71
Belado Kuning
85
1592
83
Lampiran 3 (Lanjutan)
Tanggal Operasi
Penangkapan Ikan
Posisi
Lintang
Bujur
1° 48,744'
98° 23,974'
1° 45,756'
98° 15,195'
1° 43,141'
98° 23,375'
14 Juli 2007
Total
15 Juli 2007
1° 57,555'
98° 18,567'
1° 57,555'
98° 18,567'
1° 56,536'
98° 20,166'
Total
1° 57,817'
98° 18,666'
1° 52,595'
98° 15,712'
16 Juli 2007
Hasil Tangkapan
Jenis Tangkapan
Jumlah (Kg)
Parang-parang
45
Keke
250
Buncilak
70
Parang-parang
35
Keke
330
Belado Kuning
67
Buncilak
80
Layang
47
Teri
200
Parang-parang
45
Keke
500
Belado Kuning
65
Buncilak
70
Layang
75
Teri
300
2179
Parang-parang
40
Keke
300
Kembung Perempuan
71
Buncilak
80
Teri
240
Layang
77
Parang-parang
55
Keke
400
Kembung Perempuan
31
Buncilak
73
Teri
150
Layang
78
Parang-parang
45
Keke
250
Kembung Perempuan
150
Belado Kuning
65
Teri
200
Buncilak
74
Layang
80
2459
Parang-parang
50
Keke
450
Kembung Perempuan
150
Belado Kuning
45
Teri
267
Buncilak
73
Layang
70
Parang-parang
35
Keke
320
Kembung Perempuan
10
Belado Kuning
66
Teri
250
Buncilak
78
Layang
55
84
Lampiran 3 (Lanjutan)
Tanggal Operasi
Penangkapan Ikan
Lintang
Posisi
Bujur
16 Juli 2007
1º 45,903'
98° 25,390'
Total
1° 44,004'
98º 35,227'
1º 44,439'
98º 21,359'
1º 47,540'
98° 18,292'
17 Juli 2007
Total
18 Juli 2007
1º 43,511'
98° 25,638'
1° 41,511'
98° 23,638'
1° 48,192'
98° 18,871'
Total
19 Juli 2007
1° 46,750'
98° 22,861'
Hasil Tangkapan
Jenis Tangkapan
Jumlah (Kg)
Parang-parang
55
Keke
440
Kembung
40
Perempuan
Belado Kuning
65
Buncilak
58
Layang
66
2643
Parang-parang
35
Keke
250
Kembung
70
Perempuan
Belado Kuning
65
Buncilak
78
Layang
40
Parang-parang
55
Keke
300
Belado Kuning
60
Buncilak
78
Layang
82
Parang-parang
35
Keke
350
Belado Kuning
55
Buncilak
48
Layang
78
1679
Parang-parang
30
Keke
450
Belado Kuning
88
Buncilak
80
Teri
350
Layang
76
Parang-parang
55
Keke
450
Belado Kuning
88
Buncilak
66
Layang
70
Parang-parang
45
Keke
440
Belado Kuning
88
Buncilak
76
Layang
70
Kembung
80
Perempuan
2602
Parang-parang
35
Keke
420
Belado Kuning
86
Buncilak
68
Layang
70
Kembung
48
Perempuan
85
Lampiran 3 (Lanjutan)
Tanggal Operasi
Penangkapan Ikan
Posisi
Lintang
Bujur
1º 47,420'
98° 24,711'
1º 48,914'
98° 26,539'
19 Juli 2007
Total
Hasil Tangkapan
Jenis Tangkapan
Jumlah (Kg)
Parang-parang
48
Keke
320
Belado Kuning
40
Buncilak
80
Layang
73
Kembung Perempuan
53
Parang-parang
36
Keke
250
Belado Kuning
83
Buncilak
68
Layang
78
Kembung Perempuan
70
1926
86
Lampiran 4 Hubungan suhu permukaan laut terhadap CPUE pada masing-masing DPI menurut jenis ikan (Kg)
No Setting
(DPI)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Posisi DPI
Tanggal OPI
2º 00' LU-98.31º BT
2º 00' LU-98.40º BT
1.96° LU-98.31º BT
1.90º LU-98.30º BT
1.94º LU-98.34º BT
1.90º LU-98.40º BT
1.86º LU-98.43º BT
1.90º LU-98.42º BT
1.90º LU-98.45º BT
1.84º LU-98.33º BT
1.80º LU-98.31º BT
1.80º LU-98.30º BT
1.79º LU-98.30º BT
1.81º LU-98.44º BT
1.76º LU-98.42º BT
1.80º LU-98.40° BT
1.79° LU-98.41° BT
1.81° LU-98.40° BT
1.72° LU-98.42° BT
1.74° LU-98.40° BT
1.72° LU-98.38° BT
1.70° LU-98.36° BT
1.70° LU-98.40° BT
1.75° LU-98.54° BT
1.73° LU-98.53° BT
1.75° LU-98.53° BT
15 Juli 2007
19 Juli 2007
16 Juli 2007
16 Juli 2007
15 Juli 2007
15 Juli 2007
10 Juli 2007
10 Juli 2007
13 Juli 2007
12 Juli 2007
18 Juli 2007
14 Juli 2007
17 Juli 2007
19 Juli 2007
16 Juli 2007
10 Juli 2007
19 Juli 2007
14 Juli 2007
18 Juli 2007
17 Juli 2007
14 Juli 2007
9 Juli 2007
18 Juli 2007
12 Juli 2007
13 Juli 2007
12 Juli 2007
Keke
400
420
450
320
250
300
500
250
300
350
440
330
350
250
440
350
320
250
450
300
500
300
450
150
500
400
Jumlah Hasil Tangkapan menurut Jenis Ikan (Kg)
Kembung
ParangBelado
Teri
Layang
Pr
parang
Kuning
150
78
31
55
70
48
35
86
267
70
150
50
45
250
55
10
35
66
200
80
150
45
65
240
77
71
40
300
75
120
70
85
150
78
60
35
88
75
65
45
83
300
80
45
75
70
80
45
88
200
47
35
67
78
35
55
78
70
36
83
66
65
40
55
300
80
120
45
75
40
73
53
48
45
350
76
30
88
82
55
60
300
75
45
65
150
70
78
60
80
70
55
88
8
40
15
30
71
20
35
85
73
40
50
65
Buncilak
SPL (ºC) dominan di posisi
DPI
73
68
73
78
74
80
80
70
75
76
80
48
68
58
75
80
70
80
78
70
66
70
28
25
29
29
28
28
30
30
31
30
30
29
29
28
29
30
28
29
27
29
28
29
28
31
31
31
87
No Setting
(DPI)
Posisi DPI
Tanggal OPI
27
28
29
30
31
32
33
1.70° LU-98.54° BT
1.73° LU-98.45° BT
1.76° LU-98.52° BT
1.73° LU-98.53° BT
1.80° LU-98.49° BT
1.83° LU-98.55° BT
1.73° LU-98.60° BT
13 Juli 2007
9 Juli 2007
7 Juli 2007
7 Juli 2007
9 Juli 2007
7 Juli 2007
17 Juli 2007
Keke
150
300
300
300
300
500
250
Jumlah Hasil Tangkapan menurut Jenis Ikan (Kg)
Kembung
ParangBelado
Teri
Layang
Pr
parang
Kuning
8
40
15
30
250
73
80
65
84
230
75
150
45
80
250
80
60
65
30
55
72
25
58
40
70
35
65
Buncilak
SPL (ºC) dominan di posisi
DPI
78
30
28
30
30
29
28
29
88
Lampiran 5 Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI menurut jenis ikan (Kg).
No Setting
(DPI)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Posisi DPI
Tanggal OPI
2º 00' LU-98.31º BT
2º 00' LU-98.40º BT
1.96° LU-98.31º BT
1.90º LU-98.30º BT
1.94º LU-98.34º BT
1.90º LU-98.40º BT
1.86º LU-98.43º BT
1.90º LU-98.42º BT
1.90º LU-98.45º BT
1.84º LU-98.33º BT
1.80º LU-98.31º BT
1.80º LU-98.30º BT
1.79º LU-98.30º BT
1.81º LU-98.44º BT
1.76º LU-98.42º BT
1.80º LU-98.40° BT
1.79° LU-98.41° BT
1.81° LU-98.40° BT
1.72° LU-98.42° BT
1.74° LU-98.40° BT
1.72° LU-98.38° BT
1.70° LU-98.36° BT
1.70° LU-98.40° BT
1.75° LU-98.54° BT
1.73° LU-98.53° BT
1.75° LU-98.53° BT
15 Juli 2007
19 Juli 2007
16 Juli 2007
16 Juli 2007
15 Juli 2007
15 Juli 2007
10 Juli 2007
10 Juli 2007
13 Juli 2007
12 Juli 2007
18 Juli 2007
14 Juli 2007
17 Juli 2007
19 Juli 2007
16 Juli 2007
10 Juli 2007
19 Juli 2007
14 Juli 2007
18 Juli 2007
17 Juli 2007
14 Juli 2007
9 Juli 2007
18 Juli 2007
12 Juli 2007
13 Juli 2007
12 Juli 2007
Keke
400
420
450
320
250
300
500
250
300
350
440
330
350
250
440
350
320
250
450
300
500
300
450
150
500
400
Jumlah Hasil Tangkapan menurut Jenis Ikan (Kg)
Kembung
ParangBelado
Teri Layang
Pr
parang
Kuning
150
78
31
55
70
48
35
86
267
70
150
50
45
250
55
10
35
66
200
80
150
45
65
240
77
71
40
300
75
120
70
85
150
78
60
35
88
75
65
45
83
300
80
45
75
70
80
45
88
200
47
35
67
78
35
55
78
70
36
83
66
65
40
55
300
80
120
45
75
40
73
53
48
45
350
76
30
88
82
55
60
300
75
45
65
150
70
78
60
80
70
55
88
8
40
15
30
71
20
35
85
73
40
50
65
Buncilak
Klorofil-a (kg/m³) dominan di
posisi DPI
73
68
73
78
74
80
80
70
75
76
80
48
68
58
75
80
70
80
78
70
66
70
1
1.6
0.9
0.8
0.8
0.8
0.6
0.6
0.7
0.8
0.5
0.9
0.8
0.6
0.8
0.7
0.7
1.2
0.5
0.9
0.7
1
1
0.7
0.7
0.8
89
No Setting
(DPI)
Posisi DPI
Tanggal OPI
27
28
29
30
31
32
33
1.70° LU-98.54° BT
1.73° LU-98.45° BT
1.76° LU-98.52° BT
1.73° LU-98.53° BT
1.80° LU-98.49° BT
1.83° LU-98.55° BT
1.73° LU-98.60° BT
13 Juli 2007
9 Juli 2007
7 Juli 2007
7 Juli 2007
9 Juli 2007
7 Juli 2007
17 Juli 2007
Keke
150
300
300
300
300
500
250
Jumlah Hasil Tangkapan menurut Jenis Ikan (Kg)
Kembung
ParangBelado
Teri Layang
Pr
parang
Kuning
8
40
15
30
250
73
80
65
84
230
75
150
45
80
250
80
60
65
30
55
72
25
58
40
70
35
65
Buncilak
Klorofil-a (kg/m³) dominan di
posisi DPI
78
0.7
0.9
0.8
0.7
0.8
1
0.9
90
Lampiran 6 Pengumpulan data selama penelitian
No
Waktu
Kegiatan
Output Data
Metode
Pengumpulan Data
1
8-29 Juni
2007
Ambil data
primer di
PPN Sibolga
Hasil Tangkapan
selama 2 tahun
untuk semua kapal
perikanan
-
2
3
7-19 juli
2007
Trip Operasi
6 Februari5 Maret
2008
Ambil data
hasil olahan
citra
NOAAAVHRR dan
MODIS
Hasil Tangkapan
SPL
Klorofil-a
Waktu dan posisi
penangkapan, jumlah
tangkapan total pada
setiap posisi daerah
penangkapan
Pengolahan data citra
NOAA-AVHRR dan
MODIS dalam
bentuk data raster
yang sudah
terkoreksi, baik
secara geometri,
radiometri dan
memiliki informasi
dasar.
91
Lampiran 7 Pengolahan citra suhu permukaan laut
Mulai
Citra SPL yang akan diolah
Pemotongan Citra SPL
Menyimpan citra SPL ke
dalam bentuk tipe Er Mapper
Raster Dataset (.ers)
If i1<A then
null else if
i1<=B then i1
Menyimpan citra SPL
ke dalam bentuk Er
92
Lanjutan Lampiran 7...
Menyimpan kembali citra SPL
dari Er Mapper Algorithm
(.alg) ke bentuk Er Mapper
Raster Dataset (.ers)
Selanjutnya citra SPL dieksport
dalam bentuk XYZ ASCII grid
Hasil nilai SPL yang telah di eksport
lalu dibuka ke dalam Microsoft Excel
Nilai SPL yang akan digridkan
Setelah nilai SPL
digridkan maka dapat
ditampilkan ke peta
93
Lanjutan Lampiran 7...
Peta SPL di eksport ke
Esri shapefile (*.shp) dari
Surfer 8
Setalah nilai SPL di masukkan
ke Theme Table maka peta
SPL akan terlihat
Peta yang sudah jadi
diekstensionkan ke Graticules and
Measured Grid
Peta yang sudah jadi tersebut
dieksport dari ArcView GIS
kembali ke JPEG atau Placeable
WMF
Peta sudah jadi dalam bentuk JPEG
atau Placeable WMF
94
Lampiran 8 Pengolahan citra klorofil-a
Mulai
Citra klorofil-a yang
akan diolah
Pemotongan Citra
klorofil-a
If i1<A then null
else if i1<=B then i1
Menyimpan citra klorofil-a ke
dalam bentuk tipe Er Mapper
Raster Dataset (.ers)
Menyimpan citra klorofil-a ke
dalam bentuk Er Mapper
Algorithm (.alg)
95
Lanjutan Lampiran 8....
Menyimpan kembali citra
klorofil-a dari Er Mapper
Algorithm (.alg) ke bentuk Er
Mapper Raster Dataset (.ers)
Selanjutnya citra
klorofil-a dieksport
dalam bentuk XYZ
ASCII grid
Hasil nilai klorofil-a
yang telah di eksport
lalu dibuka ke dalam
Microsoft Excel
Nilai klorofil-a yang
akan digridkan
Setelah nilai klorofil-a
digridkan maka dapat
ditampilkan ke peta
96
Lanjutan Lampiran 8...
Peta klorofil-a di eksport ke
Esri shapefile (*.shp) dari
Surfer 8
Setalah nilai klorofil-a di masukkan
ke Theme Table maka peta klorofil-a
akan terlihat
Peta yang sudah jadi
diekstensionkan ke Graticules
and Measured Grid
Peta yang sudah jadi tersebut
dieksport dari ArcView GIS kembali
ke JPEG atau Placeable WMF
Peta sudah jadi dalam bentuk
JPEG atau Placeable WMF
97
Lampiran 9 Kecepatan angin, curah hujan, radiasi matahari, suhu udara dan
kecerahan perairan di daerah Sibolga dan sekitarnya tahun 2007.
Tgl
Kecepatan
Angin (Knot)
Curah Hujan
(mm)
Radiasi
Matahari (%)
1
4.1
100
2
4.2
90
3
5.8
100
4
3.1
4.9
79
5
5.3
54
6
4
66
7
4.6
TTU
50
8
2.3
0
9
2.9
40
10
3.6
0.3
85
11
3.8
100
12
3.8
100
13
2.8
41
56
14
8.4
100
15
4.7
41
16
2.7
51
17
6
60
18
3.4
6
19
5.4
2.1
100
20
3.6
0
21
4.6
19.6
0
22
6.6
20
0
23
1.5
57.6
0
24
4.6
14.4
79
25
2.4
0.3
0
26
3.5
TTU
100
27
3.3
91
28
5.3
8.2
41
29
2.4
31
30
6
91
31
4
32.5
68
Sumber : BMG Balai Besar Wilayah 1 Medan (2007).
Suhu
Udara (°C)
Kecerahan
Perairan (Km)
29.6
28.9
29.6
29.1
29.3
29.2
28.2
27.4
28.2
28.8
28.9
28.6
29
28.5
28
27.9
28.7
27.1
27.7
27
26
25
25.2
26.4
26.4
27.5
26.4
26.7
27
26.5
27.2
8
10
8
9
8
8
8
7
7
8
9
10
9
8
7
8
9
6
6
6
7
5
4
7
8
8
7
6
6
8
7
Keterangan : TTU = Nilai curah hujan kurang dari 0,1 mm (< 0,1 mm) artinya
tidak ada curah hujan sama sekali.
98
Lampiran 10 Perifikasi antara nilai SPL exsitu dan insitu.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Tanggal OPI
15 Juli 2007
19 Juli 2007
16 Juli 2007
16 Juli 2007
15 Juli 2007
15 Juli 2007
10 Juli 2007
10 Juli 2007
13 Juli 2007
12 Juli 2007
18 Juli 2007
14 Juli 2007
17 Juli 2007
19 Juli 2007
16 Juli 2007
10 Juli 2007
19 Juli 2007
14 Juli 2007
18 Juli 2007
17 Juli 2007
14 Juli 2007
9 Juli 2007
18 Juli 2007
12 Juli 2007
13 Juli 2007
12 Juli 2007
13 Juli 2007
9 Juli 2007
7 Juli 2007
7 Juli 2007
9 Juli 2007
7 Juli 2007
17 Juli 2007
Posis DPI
2º 00' LU-98.31º BT
2º 00' LU-98.40º BT
1.96° LU-98.31º BT
1.90º LU-98.30º BT
1.94º LU-98.34º BT
1.90º LU-98.40º BT
1.86º LU-98.43º BT
1.90º LU-98.42º BT
1.90º LU-98.45º BT
1.84º LU-98.33º BT
1.80º LU-98.31º BT
1.80º LU-98.30º BT
1.79º LU-98.30º BT
1.81º LU-98.44º BT
1.76º LU-98.42º BT
1.80º LU-98.40° BT
1.79° LU-98.41° BT
1.81° LU-98.40° BT
1.72° LU-98.42° BT
1.74° LU-98.40° BT
1.72° LU-98.38° BT
1.70° LU-98.36° BT
1.70° LU-98.40° BT
1.75° LU-98.54° BT
1.73° LU-98.53° BT
1.75° LU-98.53° BT
1.70° LU-98.54° BT
1.73° LU-98.45° BT
1.76° LU-98.52° BT
1.73° LU-98.53° BT
1.80° LU-98.49° BT
1.83° LU-98.55° BT
1.73° LU-98.60° BT
SPL ex-situ (ºC)
29
26
28
29
30
29
29
29
30
28
29
30
28
30
29
28
30
29
30
30
29
30
29
29
30
29
29
30
29
30
29
29
29
SPL in-situ (ºC)
28
25
29
29
28
28
30
30
31
30
30
29
29
28
29
30
28
29
27
29
28
29
28
31
31
31
30
28
30
30
29
28
29
99
Lampiran 11 Grafik Verifikasi antara SPL exsitu dengan insitu.
33
32
31
SPL insitu
30
29
28
27
26
25
24
24
25
26
27
28
SPL exsitu
Lampiran 12 Gambar Kapal Pukat Ikan
29
30
31
32
33
100
Lampiran 13 Gambar Alat Tangkap Pukat Ikan
Download