AIDS DAN PENCEGAHAN PENULARANNYA PADA PRAKTEK DOKTER GIGI SONDANG PINTAULI Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Dalam bidang kesehatan masyarakat, para ahli senantiasa memusatkan perhatian pada masalah-masalah kesehatan yang menyangkut orang banyak. Di masa lampau wabah penyakit dan bencana alam silih berganti mengancam kehidupan umat manusia, namun berkat kemajuan ilmu kedokteran, dewasa ini banyak diantara wabah penyakit tersebut telah dapat dikendalikan (11). Pada umumnya negara maju dapat menikmati taraf kesehatan rata-rata lebih baik, akan tetapi negara yang sedang berkembang masih berjuang untuk mendapatkan pemerataan kesehatan. Dalam suasana demikian ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ada satu jenis penyakit yang dapat berjangkit dengan cepat tanpa memandang bulu baik dinegara maju maupun dinegara sedang berkembang, yakni penyakit AIDS. Dewasa ini, Acquired Immune Deficiency (AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian dunia. WHO meramalkan bahwa jumlah penderita AIDS dan kematian akibat AIDS seluruh dunia akan meningkat 10 persen dalam waktu 8 tahun mendatang, yaitu dari satu setengah juta saat ini menjadi 12-18 juta pada tahun 2000 (4,5,6,7,8). Penyakit ini memang mempunyai angka kematian yang tinggi dimana hampir semua penderita AIDS meninggal dalam waktu lima tahun sesudah menunjukkan gejala pertama AIDS (Depkes 1988) (5). Di Indonesia, kasus AIDS yang pertama kali dilaporkan adalah seorang wisatawan laki-laki berkebangsaan Belanda yang meninggal di Bali pada tahun 1987. Kasus kedua juga orang asing sedangkan kasus berikutnya terjadi pada seorang pria Indonesia yang juga meninggal di Bali (1,2). Sejak itu, jumlah penderita AIDS terus meningkat. Hal ini terlihat dalam data kumulatif Depkes RI dari 15 Propinsi dimana sampai bulan Maret 1995 kasus AIDS sudah mencapai 288 orang (7,9). Di propinsi Sumatera Utara dilaporkan adanya dua kasus yang menderita HIV positif dan kemungkinan kasus ini akan bertambah banyak. AIDS merupakan penyakit yang fatal, menular dan sampai sekarang belum ada obatnya. Penderita AIDS tetap menularkan penyakit sepanjang hidupnya dan biasanya HIV menyerang usia produktif. Masalah AIDS menjadi lebih berat lagi karena pada kasus seropositif, penderita biasanya merasa sehat dan dari penampilan luar juga tampak sehat namun merupakan pembawa virus yang asimtomatik dan dapat menularkan HIV kepada orang lain (12). Sebagaimana diketahui bahwa penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui hubungan seksual, pemakaian jarum suntik secara bergantian, tranfusi darah serta oleh ibu yang terinfeksi kepada bayi yang dikandungnya (2,4,5,6). Yang perlu diperhatikan bahwa seorang pengidap HIV dapat tampak sehat tetapi potensial sebagai sumber penularan seumur hidup (1). Ketakutan terkena infeksi AIDS telah melanda semua orang termasuk dokter gigi sebagai salah seorang tenaga kesehatan oleh karena dalam prakteknya mereka selalu berkontak dengan saliva dan darah. Cara penularannya dapat berupa infeksi silang antara pasien ke pasien melalui alat-alat tercemar (6). Dibidang kedokteran gigi, tindakan perawatan yang beresiko penularan antara lain berupa pencabutan gigi, pembersihan karang gigi, pengesahan gigi terutama didaerah servikal, insisi serta tindakan lain yang dapat menimbulkan luka. Walaupun kemungkinan kecil, tetapi mempunyai resiko yang pasti (6,8). Atas dasar itulah Oral Health Department WHO menghimbau para dokter gigi di seluruh dunia agr melakukan tindakan pencegahan untuk melindungi pasien maupun dirinya sendiri (6). Di Amerika Serikat dilaporkan 2 orang penderita tertular HIV dipraktek dokter gigi serta diperoleh bukti bahwa mereka tertular ditempat praktek dokter gigi yang tidak melakukan tindakan pencegahan secara ideal (FDI, 1991). Apabila di negara maju masih terdapat hal semacam itu, maka dapat diasumsikan bahwa di negara berkembang seperti Indonesia tindakan pencegahan masih belum memadai. Perkembangan AIDS sejauh ini telah memberikan banyak perubahan dalam mutu pelayanan kesehatan, bukan saja karena penyakit ini merupakan penyakit baru tetapi juga merupakan penyakit yang telah memakan banyak porsi dana kesehatan. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi tenaga kesehatan untuk mempersiapkan diri dan agar dapat menciptakan sistem perawatan yang semakin baik (6). BAB 2 ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome, diterjemahkan secara bebas sebagai sekumpulan gejala penyakit yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan yang didapat dari faktor luar dan bukan bawaan yang sejak lahir. Jadi, sebenarnya AIDS merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit infeksi atau keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh atau kekebalan penderita (12). 2.1. Sejarah AIDS dan Perkembangannya Sindrome ini pertama sekali dilaporkan oleh Michael Gottlieb pada pertengahan tahun 1981 pada penderita pria homoseksual dan pecandu narkotik suntik di Los Angeles, Amerika Serikat. Sejak penemuan pertama inilah, dalam beberapa tahun dilaporkan lagi sejumlah penderita dengan sindrome yang sama dari 46 negara bagian Amerika Serikat lainnya (2). Cepatnya penyebaran AIDS ini keberbagai benua, serta dampak yang terlihat pada penderita beserta keluarganya, disamping belum diketahuinya cara penanganan dan pengobatannya menyebabkan keresahan psikososial yang sangat besar dikalangan masyarakat dimana kasus AIDS banyak terjadi. Pada tahun-tahun pertama ditemukannya penyakit ini belum diketahui bahwa agennya adalah retrovirus, namun diperkirakan bahwa penyebabnya adalah agen yang dapat menular. Baru pada akhir tahun 1983, para peneliti menemukan satu jenis retrovirus yang mulanya diberi nama Lympadenopati associated virus, dan pada bulan Mei tahun 1986 disepakati menggunakan satu nama saja yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV) (5,12,14,22.24,25). 2.2. Epidemiologi AIDS Di Amerika Serikat, pengumpulan data epidimiologi dilakukan oleh Centres for Disease Control (CDC) yang berasal dari daerah epidemi mulai tahun 1991, ditemukan bahwa mayoritas penderita AIDS dewasa dilaporkan kaum homoseksual/biseksual adalah 59%, pengguna obat secara intravena 22% dan lakilaki homoseksual yang menggunakan obat secara intravena 7%. Pasangan seksual dari orang-orang tersebut diatas merupakan kelompok beresiko tinggi. Sekitar 90% kasus tersebut dilaporkan terjadi pada pria dan 19% pada wanita. Wanita yang berusia 20-44 tahun adalah kelompok usia terinfeksi yang tercepat. Sekitar 40-50% anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV ternyata seropositif terhadap HIV. Pasien hemofilia dan penerima tranfusi darah merupakan kelompok terkecil dan jumlahnya terus berkurang sejak dilakukan screening terhadap donor yang terkontaminasi HIV yang dilaksanakan sejak tahun 1985. Secara umum dapat dipercaya bahwa kebanyakan penderita infeksi HIV akan menjadi penderita AIDS. Walaupun waktu terinfeksi HIV dengan diagnosa AIDS bervariasi, hasil penelitian melaporkan bahwa periode inkubasi sekitar 5-10. Dengan ditemukannya obat seperti zidovidume, yang juga dikenal sebagai azidothymidine (AZT), ternyata bahwa dapat memperpanjang masa inkubasi. Diperkirakan angka kematian 90% selama 3 tahun dengan diagnosa AIDS. 2.3. Patogenesis HIV secara selektif akan menginfeksi sel yang berperan membentuk zat anti pada sistem immunitas selluler yaitu sel limfosit T4. Limfosit T4 menjadi sasaran dari virus ini karena sel tersebut mempunyai CD4 antigen pada membrannya, yang dapat berperan sebagai reseptor untuk virus tersebut. Selain sel limfosit T4 yang yang menjadi sasaran HIV, terbukti kemudian adalah sel lain yang juga mempunyai CD4 antigen pada membrannya sehingga menjadi target dari HIV. Sel lain tersebut adalah sel monosit-makrofag, dan beberapa sel hemopoesis di dalam sum-sum tulang (8). HIV sebagai virus RNA mempunyai enzim reverse transcriptase dimana pada kejadian infeksi mampu membentuk virus DNA. Virus DNA yang terbentuk ini masuk kedalam inti sel target dan berintergrasi dengan DNA dari host dan menjadi provirus (DNA Provirus). DNA provirus yang telah berintergrasi dengan sel DNA dari host (sel limfosit T4) akan ikut mengalami replikasi pada setiap terjadi proliferasi sel. Setiap hasil replikasi DNA ini selanjutnya akan menghasilkan virus RNA, enzim reverse transcriptase dan protein virus. Demikian peristiwa infeksi HIV ini berlangsung (4,14,15). 2.4. Gambaran Penyakit Secara klinis gambaran penyakit yang diakibatkan oleh infeksi HIV ini dapat terlihat dalam 4 tahap berurutan. Tahap-tahap ini sangat berkolerasi dengan gambaran laboratorium akibat perubahan fungsi imunitas dan aktivitas virus. 1. Tahap pertama, tahap infeksi primer (primary infection) Tahap ini terlihat setelah beberapa minggu terpapar HIV, ditandai dengan gejala demam, sakit tenggorokan, lesu dan lemas, sakit kepala, fotofobia, limpadenopati serta berecak makulopapular. Tahap ini biasanya berlangsung sekitar satu atau dua minggu lebih dan ditemukan pada hampir 70% peristiwa infeksi HIV. 2. Tahap kedua, tahap infeksi dini (early infection) Tahap ini merupakan nama laten virus yang dapat berlangsung selama beberapa bulan sampai beberapa tahun. Umumnya penderita asimtomatik kecuali beberapa diantaranya dengan limpadenopati umum. 3. Tahap ketiga, tahap infeksi menengah (middle infection) Tahap ini itandai dengan munculnya kembali antigen HIV serta penurunan sel limfosit T sehinngga penderita menjadi sangat rentan terhadap berbagai kondisi dan infeksi. Kandiasis di mulut dan oral hairy leukoplakia serinng terlihat pada tahap ini. 4. Tahap keempat, tahap sakit HIV berat (severe HIV disease) Tahap ini ditandai dengan timbulnya infeksi oportunistik dan neoplasma yang menyebabkan keadaan sakit berat dengan angka kematian yang tinggi. Tahap inilah yang disebut AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) Pengalaman menunjukkan bahwa resiko masuknya ketahap sakit HIV berat atau AIDS meningkat sejalan dengan lamanya infeksi. Dalam keadaan penderita tidak mendapatkan pengobatan terhadap retrovirusnya, sekitar 50% penderita HIV ini sampai ketahap AIDS kira-kira sesudah 10 tahun. 2.5. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium sangat besar perananya dalam menetapkan diagnosis dan gambaran perjalanan penyakit serta dalam menentukan tindakan pengobatan, karenadalam banyak hal tidak dapat memberi petunjuk terhadap perkembangan penyakit khususnya padamasa asintomatik laten (20). Pemeriksaan laboratorium menunjukkan antigen atau antibody terhadap HIV didalam darah. Untuk itu digunakan pemeriksaan dengan tes Elisa (Enzim linked immunosorbent assay) sebagai pemeriksaan penyaring, yang apabila positif lebih lanjut dikonfirmasikan dengan pemeriksaan Westren Immunoblot (WB) (12, 14,18,25). Baru-baru ini diperkenalkan dengan satu cara pemeriksaan yang lebih akurat yaitu tes PCR atau Polymerase Chain Reactions. 2.6. Cara Penularan AIDS adalah merupakan penyakit yang fatal dan menular. Jalan utama untuk tranmisi HIV adalah kontak seksual (homoseksual atau heteroseksual) tranmisi jarum suntik dan alat kesehatan lain, tranmisi perinatal (dari ibu ke anak dalam persalinan), tranmisi darah dan produk darah serta tranmisi dalam pelayanan kesehatan yaitu pada pekerja rumah sakit yang berkontak dengan darah atau cairan tubuh pasien dengan infeksi HIV (4,5,8,10,14,15,25). Sekalipun penyelidikan secara epidemologi menunjukkan bahwa darah dan semen merupakan jalur penularan utama virus AIDS, telah dilaporkan bahwa HIV juga ditemukan dalam saliva, air mata, air susu ibu dan urin (8,10). Penularan melalui saliva sampai saat ini memang diragukan karena jumlah virus dalam saliva amat kecil sehingga tidak potensial untuk penularan. Hasil beberapa penyelidikan menunjukkan bahwa sebenarnya saliva dapat menghambat virus HIV agar tidak menginfeksi limfosit manusia disamping fungsi saliva sendiri sebagai pelindung karena mengandung sejumlah protein saliva. Resiko penularan dalam tindakan kedokteran diperkirakan melalui saliva yang tercampur darah karena luka yang timbul dalam perawatan (24). Disamping perawatan gigimemungkinkan terjadinya pendarahan, penggunaan hanplece berkecepatan tinggi, alat ultrasonic dan adanya kontak dengan sejumlah besar pasien juga memungkinkan terjadinya infeksi dan kontaminasi bagi dokter gigi sangat besar (24). Prosedur perawatan yang berakibat terjadinnya pendarahan adalah pencabutan gigi, pembedahan, perawatan periodontal, pembersihan karang gigi dan lain-lain. Pada dasarnya, instrumen yang menembus jaringan lunak atau yang akan menyebabkan pendarahan atau kontak dengan selaput lendir yang utuh seperti jarum suntik, jarum endodontik, tang ekstaksi merupakan instrumen yang tergolong beresiko tinggi (8). Hingga saat ini belum terbukti bahwa AIDS dapat ditularkan oleh gigitan serangga, minuman, makanan atau kontak biasa dalam keluarga, sekolah, kolam renang, WC umum atau tempat kerja dengan penderita AIDS (5). BAB 3 GEJALA KLINIS DAN MANIFESTASI AIDS DIRONGGA MULUT 3.1. Gejala Klinis AIDS AIDS mempunyai spectrum yang luas pada gambaran klinis. Pada awal permulaan terdapat gejala-gejala seperti terkena flu. Penderita merasa lelah yang berkepanjangan dan tanpa sebab, kelenjar-kelenjar getah bening dileher, ketiak, pangkal paha membengkak selama berbulan bulan, nafsu makan menurun/hilang, demam yang terus menerus mencapai 39 derajat Celcius atau berkeringat pada malam hari, diarrhea, berat badan turun tampa sebab, luka-luka hitam pada kulit atau selaput lendir yang tidak bias ssembuh, batuk-batuk yang berkepanjangan dan dalam kerongkongan, mudah memar atau pendarahan tanpa sebab. Gejala-gejala awal ini sering disebut AIDS Related Complex (ARC). Bila keadaan penyakit ini meningkat, penyakit ganas lain berkembang seperti: radang paru (penumocytis carinii), kandiasis oesophagus, cytomegalovirus atau herpes, sarcoma kaposi, tumor ganas pembuluh darah (3,19,23). 3.2. Manifestasi AIDS dirongga mulut Sekitar 95% penderita AIDS mengalami manifestasi pada daerah kepala dan leher sebagaimana juga menurut Shiod dan Pinborg 1987. Manifestasi di mulut seringkali merupakan tanda awal infesi HIV (16). 3.2.1 Infeksi karena jamur (Oral Candidiasis) Kandiasi nulut sejauh ini merupakan tanda di dalam mulut yang paling sering dijumpai baik pada penderita AIDS maupun AIDS related complex (ARC) dan merupakan tanda dari manifestasi klinis pada penderita kelompok resiko tinggipada lebih 59% kasus. Kandiasis mulut pada penderita AIDs dapat terlihat berupa oral thrush, acute atrophic candidiasis, chronic hyperplastic candidiasis, dan stomatis angularis (Perleche). 3.2.2 Infeksi karena virus Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai pada penderita AIDS dan ARC. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat berupa stomatis herpetiformis, herpes zoster, hairy leukoplakia, cytomegalovirus. 3.2.3 Infeksi karena bakteri Infeksi karena bakteri dapat berupa HIV necrotizing gingivitis maupun HIV periodontitis. a. HIV necrotizing gingivitis HIV necrotizing gingivitis dapat dijumpai pada penderita AIDS maupun ARC. Lesi ini dapat tersembunyi atau mendadak disertai pendarahan waktu menggosok gigi, rasa sakit dan halitosis. Necrotizing gingivitis paling sering mengenai gingiva bagian anterior. Pada situasi ini, pabila interdental dan tepi gingiva akan tampak berwarna merah, bengkak, atau kuning keabu-abuan karena nekrosis, bakan sering terjadi necrotizing ulcrerative gingivitis yang parah dan penyakit periodontal yang progresif sekalipun kebersihan mulut terjaga dengan baik dan walaupun telah diberikan antibiotika. b. HIV periodontitis Penyakit periodontal yang berlangsung secara progresif mungkin merupakan indicator awal yang dapat ditemukan pada infeksi HIV. Dokter gigi seyogyanya mendiagnosa secara dini proses kerusakan tulang alveolar tersebut dengan tetap mempertimbangkan kemungkinan adnya infeksi HIV. Hal ini disebabkan terutama oleh adanya fakta bahwa sejumlah penderita AIDS yang mengalami kerusakan tulang alveolar yang cepat. 3.2.4 Neoplasma Sarkoma kaposi yang berhubungan dengan AIDS tampak sebagai penyakit yang lebih ganas dan biasanya telah menyebar pada saat dilakukan diagnosa awal. Kira-kira 40% penderita AIDS dengan sarcoma kaposi akn meninggal dalam waktu kurang lebih satu tahun dan biasanya disertai dengan infeksi opotunistik yang lain (misalnya pneumocystic carinii, jamur, virus, bakteri). Manifestasi mulut sarcoma kaposi biasanya merupakan tanda awal AIDS dan umumnya (50%) ditemukan dalam mulut pria homoseksual. Selain mulut, sarcoma ini juga dapat ditemukan dikulit kepala dan leher. Sarkoma kaposi pada mulut biasanya terlihat mula –mula sebagai macula, nodul dan plak yang datar atau menonjol, biasanya berbewntuk lingkaran dan berwarna merah atau keunguan. Terletak pada palatum dan besarnya dari hanya beberapa millimeter sampai centimeter. Bentuknya tidak teratur, dapat tunggal atau multiple dan biasanya asintomatik, sehingga baru disadari oleh pasien bila lesi sudah menjadi agak besar. 3.2.5 Kelainan lain didalam mulut Kelainan-kelainan ini tidak diketahui sebabnya, dapat timbul berupa : a. Stomatis aphtosa rekuren, terutama tipe mayor. b. Ulkus nekrotik yang meluas sampai ke fausia. c. Xerostomia d. Pembesaran kelenjar parotis, terutama penderita AIDS anak-anak. e. Idiophatic thrombocytopenia purpura. f. Palsi wajah g. Addisonian mucosal hyperpigmentation h. Limfadenopati submandibula. i. Hiperpigmentasi melanotik j. Penyembuhan luka yang lama k. Bayi yang lahir dengan infeksi AIDS dapat mengalami deformasi wajah. BAB 4 PENCEGAHAN PENULARAN AIDS UNTUK DOKTER GIGI Setelah gejala klinis dimulut diketahui, maka perlu diambil upaya pencegahan penyebaran penyakit ini melalui praktek dokter gigi, sebab ketakutan terkena infeksi AIDS telah melanda kalangan dokter gigi, pasien maupun perawat gigi (24). Sampai sekarang upaya pencegahan kontaminasi atau penularan infeksi HIV pada praktek dokter gigi masih dilakukan seperti upaya pencegahan infeksi silang lainnya. Pada dasarnya tindakan pencegahan harus mencakup lima komponen penting yaitu penjaringan pasien, perlindungan diri, dekontaminasi peralatan, desinfeksi permukaaan lingkaran kerja dan penanganan limbah kllinik (1,2,13,14,17). Penjaringan Pasien Dalam hal ini harus disadari bahwa tidak semua pasien dengan penyakit infeksi dapat terjaring dengan rekam medik sehingga system penjaringan pasien tidak menjamin sepenuhnya pencegahan penularan penyakit. Konsep Universal precaution pertama kali dianjurkan oleh Centers For disease Control (CDC) pada tahun 1987 yaitu mempermalukan semua pasien seolah-olah mereka terinfeksi HIV. Perlindungan diri Perlindungan diri meliputi cuci tangan, pemakaian sarung tangan, cadar, kaca mata, dan mantel kerja. Prosedur cuci tangan dilakukan dengan sabun antiseptik di bawah air mengalir. Persyaratan yang harus dipenuhi sarung tangan adalah bdasar tidak mengiritasi tangan, tahan bocor, dan memberikan kepekaan yang tinggi bagi pemakainya. Cadar berfungsi untuk melindungi mukosa hidung dan kontaminasi percikan saliva dan darah pada mata karena conjunctiva mata merupakan salah satu port entry sebagian besar infeksi virus. Sedangkan mantel kerja dianjurkan digunakan sewaktu melayani pasien yang setiap saat terkancing baik. Dekontaminasi Peralatan Dekontaminasi adalah suatu istilah umum yang meliputi segala metode pembersihan, desenfeksi dan sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan pencemaran mikroorganisme yang melekat pada peralatan medis sedemikian rupa sehingga tidak berbahaya. Metode dekontaminasi yang utama adalah penguapan dibawah tekana (autklav), pemanasan kering (oven udara panas), air mendidih dan desinfektan kimia dengan menggunakan hipoklorit atau glutaraldehid 2%. Desinfeksi permukaan lingkungan kerja Setiap permukaan yang dijamah oleh tangan operator harus disterilkan (misalnya instrumen) atau desinfeksi (misalnya meja kerja, kaca pengaduk, tomboltombol atau pegangan laci dan lampu). Meja kerja, tombol-tombol, selang as[pirator, tabung, botol material dan pegangan lampu unit harus diulas dengan klorheksidin 0,5% dalam alcohol atau hipoklorit 1000 bagian perjuta (bpj) dari klorida yang tersedia, dalam setiap sesi atau setiap pergantian pasien. Piston harus dicuci dan debris dari pelastik penyaring dibersihkan setiap selesai satu pasien. Selang aspirator sebaiknya memakai yang sekali pakai. Bila ada noda darah, cairan tubuh atau nanah, permukaan harus didesinfeksidengan larutan hipoklorit yang mengandung 10.000 bjp dari klorida yang tersedia dan kemudian dibersihkan dengan lap sekali pakai. Larutan harus dibiarkan pada permukaan yang akan dibersihkan minimal selama tiga menit, kemudian larutan tersebut dilap, serta permukaan permukaan tersebut dibilas dan dikeringkan. Posisi operator tertentu didalam melakukan tindakan perawatan gigi, juga mempunyai rwesiko kontaminasi dari mulut pasien ke operator. Penelitian di Universitas Bologna, Itali membuktikan bahwa resiko terbesar bagi operator bila ia bekerja pada posisi kanan penderita diposisi jam 9. Penanganan limbah klinik Yang dimaksud dengan limbah klinik adlah semua bahan yang menular atau kemungkinan besar menular atau zat-zat yang berbahaya yang berasal dari lingkungan kedokteran dan kedokteran gigi. Sampah ini dikumpulkan untuk dibakar, atau ditanam untuk jenis tertentiu. Limbah klinik seperti jarum dikumpulkan di dalam wadah plastik berwarna kuninguntuk dibakar dan jenis limbah tertentu dikumpulkan untuk ditanam. Sebaiknya jarum suntik disposible setelah dipakai langsung dibuang dalam wadah tanpa memasang kembali penutup jarum, hal ini untuk menghindari tertusuknya tangan oleh jarum tersebut. Limbah darah, adalah yang paling potensial mengandung HIV, maka bila ada limbah darah misalnya kapas dengan darah, ekstraksi jaringan atau gigi jatuh ke lantai ambillah limbah tersebut dengan mengggunakan sarung tangan, dibersihkan dengan lap atau tissue kertas kemudian lap atau tissuedan daerah tumpahan dituangkan larutan hipoklorit 10.000 bpj. Setelah 10 menit atau lebih, bilas tempat tersebut dengan lap lain, dan lap serta tissue dapat dibuang sesuai dengan tempatnya. BAB 5 KESIMPULAN AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang ditandai dengan rusaknya system kekebalan tubuh sehingga mudah diserang berbagai macam infeksi. AIDS disebabkan oleh virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti dari mana mulai berjangkitnya penyakit AIDS. Penyakit AIDS tidak ditularkan melalui kontak biasa, namun ditularkan melalui hubungan seksual, kontak dengan darah yang tercemar HIV dan melalui jarum suntik atau alat kedokteran lainnya yang tercemar HIV. Sebaliknya AIDS tidak dapat ditularkan melalui gigitan serangga, minuman, atau kontak biasa dalam keluarga, sekolah, kolam renanng, WC umum atau tempat kerja dengan penderita AIDS. Penderita yang terinfeksi HIV akanmengalami gejala klinis dan manifestasi di rongga mulut. Manifestasi didalam rongga mulut oleh penderita AIDS terdiri atas serangkaian infeksi oportunistik (kandiasi, leukoplakia) dan neoplasma. Ketakutan terkena infeksi AIDS telah melanda kalangan dokter gigi sebagai salah seorang tenaga kesehatan oleh karena dalam prakteknya mereka selalu berkontak dengan saliva dan darah. Oleh karena itu dokter gigi perlu mawas diri dalam melakukan upaya pencegahan yang semaksimal mungkin diprakteknya. Sampai sekarang, upaya pencegahan kontaminasi atau penularan infeksi HIV pada praktek dokter gigi masih dilakukan seperti upaya pencegahan infeksi silang lainnya. Upaya pencegahan ini haru mencakup lima komponen penting yaitu penjaringan pasien, perlindungan diri, dekontaminasi peralatan, desinfeksi permukaan lingkaran kerja dan penanganan limbah klinik. Diharapkan dengan upaya pencegahan ini setidaknya dokter gigi dapat terhindar dari kemungkinan tertularnya virus HIV. DAFTAR RUJUKAN 1. Anton R. Pencegahan transmisi HIV dalam klinik perawatan gigi. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat 1994. 2. Basuki S. Petunjuk praktik sterilisasi instrumen dan pengendalian infeksi silang. Jakarta : EGC, 1993 : 1-43 3. Basyarahil H. AIDS dan profesi kedokteran gigi. Majalah PDGI 1987 : 49 : 559. 4. DepKes RI. Penanggulangan AIDS. Jakarta : 1-25. 5. DepKes RI. Informasi mengenai AIDS. Jakarta 1991 : 1-17 6. Djaya S.A. Alphons Q. Djohansyah L. Pengetahuan dan sikap mahasiswa kedokteran dan kedokterqan gigi terhadap penyakit dan penderita AIDS. MI Kedokteran Gigi Edisi Foril IV, Jakarta 1993 : 375-87. 7. Muninjaya GAA. Beberapa pokok pikiran untuk pengembangan program penelitian AIDS di Indonesia. JEN I 1994;3:49-52 8. Permana G. dkk. Tatalaksana kontrol infeksi sehubungan dengan upaya pencegahan dan penularan HIV dalam pelayanan Kesehatan Gigi. Jurnal jaringan Epidemiologi Nasional 1993; 3: 34-45 9. Hadi P, Imral Ch, S Notoatmojo. Studi tentang pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS dan praktek pencegahan resiko tertularnya dikalangan petugas pelayanan perinatal di lima rumah sakit Pendidikan dan Rujukan Di Indonesia, Jurnal JEN I 1994: 36-43 10. Jusuf B. AIDS, hubungannya dengan penyakit menular seksual lain. Cermin Dunia Kedokteran 1992; 75: 23-5 11. Juwono R. Petunjuk pencegahan penularan HIV untuk petugas kesehatan. Cermin Dunia Kedokteran 1992; 75: 40-2 12. Lubis I. Pemeriksaan Laboratorium untuk HIV, Cermin Dunia Kedokteran. 1992; 75:13-6 13. Madhin. Pencegahan ifeksi silang di klinik. Kumpulan Makalah Ilmiah, Medan: FKG USU 1996: 1-10 14. Pederson GW. Oral Surgery In: Purwanto B (alih bahasa).Buku ajar praktis bedah mulut. Jakarta: EGC, 1996: 1-13 15. Petrus A. AIDS dan penyakit kelamin lainnya. Jakarta: Penerbit arcan, 1992: 1-30. 16. Rachimhadhi T, Anthony RL. Hendarmin MLS. Sindrom AIDS, Penanggulangan Penyebarannya dalam praktek dokter gigi. Cetakan I, Jakarta: EGC, 1992:24 -57 17. Rachmat J. Petunjuk pencegahan Penularan HIV untuk petugas kesehatan. Cermin Dunia Kedokteran 18. Sihombing G. Berkenalan dengan AIDS. Jakarta: Yayasan penerbit IDI, 1992:1-37 19. Simatupang T. Mengapa AIDS begitu mematikan? Harian Analisa 1992 20. Soekidjo N. Pengantar perilaku kesehatan. Jakarta: FKM UI, 1994: 8-13 21. Soewarni, Retno PR. Mewaspadai Kontaminasi di Ruang Praktek dokter gigi. Jurnal Kedokteran Gigi PDGI 1993:1:59-67 22. Suriadi E. Perkembangan Masalah AIDS, Cermin Dunia Kedokteran, 1992; 75: 5-9 23. Tejanegara J. Momok AIDS. MKI (Ina Med Assoc) 1987: 36: 189-92 24. Trijatmo R, dkk. Sindrome AIDS Penanggulangan Penyebarannya dalam praktek dokter gigi. Jakarta: EGC, 1992:1-54 25. ------------.Kiat Sehat th IV/10-24 Mei 1995; no. 092 26. ------------. Facts about AIDS for the dental team, JADA Supplement 1991; 3rd: 1-10 27. -----------. Informasi Ringkas Kesehatan Kotamadya Medan. Dinas kesehatan Kotamadya daerah Tingkat II Medan, 1995