SKRIPSI POLITIK IDENTITAS KELOMPOK DISABILITAS (STUDI PERJUANGAN PENYANDANG TUNA NETRA DALAM MENGAKSES PENDIDIKAN DI KOTA TASIKMALAYA) Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik Pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi Tasikmalaya Oleh : Muhammad Irfan Adiguna 093507028 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA 2015 POLITIK IDENTITAS KELOMPOK DISABILITAS Studi Kasus: Perjuangan Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses Pendidikan di Kota Tasikmalaya Muhammad Irfan Adiguna1 Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Univesitas Siiwangi Jl. Siliwangi no.24 Tasikmalaya 46115 Telp. (0265) 323537 e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perjuangan penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya. Penyandang tuna netra merupakan bagian dari kelompok disabilitas yang mempunyai keterbatasan atau permasalahan dalam penglihatan. Sehingga harus adanya pengembangan atau pemberdayaan bagi penyandang tuna netra, di harapkan untuk mampu mendobrak keterbatasan penyandang tuna netra serta menghilangkan pandangan negatif di masyarakat normal pada umumnya. Pengembangan atau pemberdayaan bagi penyandang tuna netra salah satunya dengan aksebilitas pendidikan bagi penyandang tuna netra. Penelitian ini difokuskan untuk memberikan sebuah gambaran tentang perjuangan penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan. Metode penelitian yang digunakan adalah Kualitatif dengan pendekatan studi kasus, informan dipilih yang memahami konteks permasalahan yang sedang diteliti, pengumpulan data menggunakan dokumentasi dan wawancara mendalam dan analisis data menggunakan teknik analisis Interaktif Hasil penelitian ini menunjukan penyandang tuna netra membentuk kelompok khusus penyandang tuna netra, seperti DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Bertujuan menjadikan suatu kekuatan atau tempat advokasi bagi penyandang tuna netra lainnya, dalam rangka memperjuangkan hak-hak kebutuhan penyandang tuna netra, salah satunya memperjuangkan haknya dalam mengakses pendidikan, baik pendidikan secara formal maupun non formal di Kota Tasikmalaya. Kata Kunci: Penyandang tuna netra, Aksebilitas pendidikan, dan Kelompok penyandang tuna netra ABSTRACK This study aims to determine visual impairment people struggle to education in Tasikmalaya. The blind is part of a group disability who have limited or problems in sight. So should the development or empowerment for the blind, is expected to be able to break the limitations of the blind as well as eliminating the negative outlook in normal society in general. Development or empowerment for the blind one with the accessibility of education for the blind. This research is focused to provide an overview of the blind struggle in accessing education. The research method used is qualitative case study approach, selected informants who understand the context of the issues under investigation, documentation and data collection using in-depth interviews and analysis of the data using analytical techniques Interactive These results indicate the blind to form a special group of blind persons, such as DPC Pertuni Tasikmalaya City and the Foundation of the Blind Tasikmalaya City. Aiming to make a strength or a advocate for the blind other, in order to fight for the rights of the needs of the blind, one fighting for their rights to education, both formal education and non-formal in Tasikmalaya. Keywords: People with visual impairments, education accessibility, and visually impaired persons group KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb Segala puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Politik Identitas Kelompok Disabilitas; Studi Perjuangan Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses Pendidikan di Kota Tasikmalaya”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Politik pada Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan pengarahan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. oleh karena itu, peneliti menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Rudi Priyadi selaku Rektor Universitas Siliwangi; 2. Bapak Dr. H. Iis Marwan, M.Pd., selaku Dekan FSIP Universitas Siliwangi 3. Bapak Edi Kusmayadi, M.Si., selaku Wakil Dekan FISIP Universitas Siliwangi 4. Ketua Prodi Ilmu Politik yakni Bapak Akhmad Satori, S.IP., M.SI., sekaligus Dosen Pembimbing 1 5. Bapak Subhan Agung, S.IP., M.A selaku pembimbing II 6. Ibu Fitriyani Yuliawati, S.IP.,M.Si selaku dosen penguji (Outsider) 7. Secara khusus penulis sampaikan terima kasih atas doa dan dorongan Ayah dan Ibu penulis serta adikku yang telah banyak memberikan dukungan untuk secepatnya menyelesaikan studi dengan baik. 8. Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan serta motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesasikan. Akhir kata, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis dengan kebaikan yang lebih besar disertai dengan curahan rahmat dan kasih sayang-Nya.Amin. Wassalamu‘alaikum Wr.Wb. Tasikmalaya, April 2015 Penulis Muhammad Irfan Adiguna NPM 093507028 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………………………… i DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ii DAFTAR TABEL …………………………………………………….. iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .....……………………………………... 1 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………. 7 1.3 Pembatasan Masalah ……………………………………………. 7 1.4 Tujuan Penelitian ……………………………………………….. 8 1.5 Manfaat Penelitian ……………………………………………… 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Politik Identitas…………………………………………. 9 2.2 Kajian Subaltern................………………………………………. 14 2.3 Konsep Pendidikan………..……….…………………………….. 18 2.4 Penelitian Terdahulu……………………………………………... 27 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ………………………………………………. 32 3.2 Lokasi Penelitian ……………………………………………….. 32 3.3 Sasaran Penelitian ………………………………………………. 33 3.4 Fokus Penelitian ………………………………………………… 33 3.5 Pendekatan dalam Penelitian …………………………………… 33 3.6 Teknik Pengambilan Informan ………………………………… 34 3.7 Teknik Pengumpulan Data………………………………………. 34 3.8 Teknsis Analisis data……………………………………………. 36 3.9 Validasi Data. …………………………………………………… 39 BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……………………………. 42 4.1.1 Singkat Sejarah Kota Tasikmalaya ……………………..... 42 4.1.2 Kondisi Geografis Kota Tasikmalaya ………………….... 43 4.1.3 Rekapitulasi Data Kependudukan Kota Tasikmalaya……. 46 4.2 Sekilas Tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia ………..... 49 4.3 Identitas Komunitas Penyandang Tuna Netra di Kota Tasikmalaya…………………………………………………….. 58 4.4 Perjuangan Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses Pendidikan di Kota Tasikmalaya……………………………….. 71 4.4.1 Aksebilitas Pendidikan Formal bagi Penyandang Disabilitas di Kota Tasikmalaya………………………… 71 4.4.2 Perjuangan tuna netra dalam mengakses pendidikan…….. 84 4.5 Identitas Penyandang Tuna Netra masuk kedalam Kelompok Subaltern………………………………………………………... 98 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan……………………………………………………… 103 5.2 Saran……………………………………………………………. 104 DAFTAR PUSTAKA PEDOMAN WAWANCARA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Model Politik Identitas.……………………………………... 12 Tabel 2. Kategori Anak Berkebutuhan Khusus..……………………... 25 Tabel 3. Matriks Perbedaan Penelitian Sebelumnya…………………. 30 Tabel 4. Luas Wilayah Administratif Kecamatan dan Jumlah Wilayah Administratif Kelurahan……………………. 45 Tabel 5. Rekapitulasi Data Kependudukan Per-Kecamatan dan Jenis Kelamin…………………………………………….. 46 Tabel 6. Komposisi Penduduk Kota Tasikmalaya Berdasarkan Umur dan Kecamatan………………………………………………... 47 Tabel 7. Komposisi Penduduk Kota Tasikmalaya Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Kecamatan…………………………………… 47 Tabel 8. Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta Menurut Kecamatan di Kota Tasikmalaya 2013……………………………………… 48 Tabel 8.1. Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta Menurut Kecamatan di Kota Tasikmalaya 2013……………………………………... 49 Tabel 9. Perbandingan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dengan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD)………………………….. 54 Tabel 10. Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kota Tasikmalaya (2012)…………………... . 58 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Analisis Interaktif………………………………………... 39 Gambar 2. Peta Administratif Kota Tasikmalaya …………………... 45 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum, demokrasi dapat dipahami sebagai suatu istilah yang menggambarkan kondisi masyarakat yang memiliki kebebasan untuk menggunakan hak-hak individualnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara1. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara2. Dari pemaparan di atas bisa diartikan bahwa didalam suatu negara demokrasi, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengakomodasi aspirasi dan melindungi kaum minoritas di tengah–tengah dominasi suatu kelompok dalam masyarakat demokrasi. Implementasi dari berlakunya sistem demokrasi di Indonesia ialah rakyat Indonesia mempunyai hak untuk berpendapat, bersuara dan serta termasuk terjamin dalam terpenuhinya hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem demokrasi di Indonesia, diharapkan bisa mengkoordinir atau mengakomodasi kepentingan rakyat Indonesia yang sangat luas dan lebih spesifik. Salah satu bentuk tolak ukur demokrasi ialah pemerintah mampu menyediakan pelayanan publik bagi semua kebutuhan masyarakat yang dimilikinya. Berangkat dari kebutuhan masyarakat, maka akan adanya akses 1 2 Akhmad Satori, Pers, Demokrasi, Civil Society. Mata kuliah Negara dan masyarakat sipil Evie Ariadne Shinta Dewi, 2013. Modul Pendidikan Pemilih Perempuan. Kerjasama Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD dengan KPU Provinsi Jawa Barat: Bandung. 1 fasilitas publik yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, untuk tujuan masyarakat tersebut mampu memobilitaskan kehidupan dirinya menjadi lebih baik lagi. Akses fasilitas publik ini sangat penting sekali, terutama untuk kelompok penyandang disabilitas. Kelompok penyandang disabilitas, merupakan suatu kelompok masyarakat yang mempunyai keterbatasan fisik, keterbatasan mental, dan serta sering termaginalkan di masyarakat. Dalam UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak– Hak Penyandang Disabilitas. Penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak3. Dengan demikian, yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan adanya pengembangan atau pemberdayaan bagi penyandang disabilitas, serta peningkatan kepedulian dan sensitifitas masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif menuju kesetaraan derajat yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Sehingga dengan adanya aksebilitas fasilitas publik bagi penyandang disabilitas, diharapkan penyandang disabilitas mampu mendobrak keterbatasan mereka, dan serta mengubah stereotip negatif di masyarakat pada umumnya. Adanya upaya pengembangan atau pemberdayaan bagi kelompok penyandang disabilitas, salah satunya adalah dengan aksebilitas pendidikan 3 Ani Nur Sayyidah.2014. Dinamika Penyusaian Diri Penyandang Disabilitas di Tempat Magang Kerja :UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. SKRIPSI: Yogyakarta. bagi penyandang disabilitas. Secara hukum dan peraturan, pemenuhan hak pendidikan bagi setiap warga negara termasuk penyandang disabilitas telah dijamin oleh Undang-Undang. Dalam UUD 1945 pasal 28 C (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia4”. Pada pasal 1 (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Pendidikan menurut Redja Mudyahardjo, secara sempit dan secara luas adalah5: Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan formal tersebut diperuntukkan untuk anak dan remaja, agar mempunyai kemampuan yang sempurna, kesadaran penuh terhadap hubungan – hubungan dan tugas – tugas sosial mereka. Redja Mudyhardjo juga memberikan definisi pendidikan alternatif. Pendidikan6 adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan yang berlangsung disekolah ataupun di luar sekolah sepanjang seumur hidup. Bertujuan untuk mempersiapkan atau mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan tiap – tiap individu agar di kemudian hari dapat memainkan perannan hidup secara tepat. Sehingga disini saya selaku peneliti, tertarik akan meneliti perjuangan penyandang tuna netra dalam mendapatkan akses pendidikan di Kota Tasikmalaya. Penyandang tuna netra merupakan bagian dari kelompok disabilitas yang mempunyai keterbatasan atau permasalahan di dalam 4 Etd.ugm.2010. http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod= download&sub= DownloadFile&act= view&typ= html & file=260210. pdf&ftyp= potongan&tahun= 2014&potongan= S2-2014260210-chapter1 .pdf. Di akses : 22 Januari 2015. 5 Mudyahardjo, Redja. 2006. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal: 6 6 Ibid penglihatan. Kehilangan penglihatan sering mengakibatkan masalah-masalah sosial, seperti penolakan oleh lingkungan sosialnya, kesulitan membina hubungan sosial, dan sikap belas kasihan dan over proteksi dari orang-orang lain (Steffens & Bergler, 1998 dalam Ben-Zur & Debi, 2005)7. Terlepas dari semua itu, Helen Keller (dalam Dodds, 1993)8 mengamati bahwa hambatan utama bagi individu tuna netra bukan ketuna netraannya itu sendiri, melainkan sikap masyarakat terhadap tuna netra. Keterbatasan-keterbatasan yang terkait dengan kecacatan sebagian besar diakibatkan oleh lingkungan yang nonakomodatif dan sikap diskriminatif, bukan oleh kekurangan fungsional yang terkait dengan kecacatan itu sendiri (Seelman, 1998 dalam Bellini & Rumrill, 1999)9. Sehingga pemerintah harus menyediakan akses fasilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas seperti sekolah Segregasi. Sekolah yang berkebutuhan khusus atau sekolah Segregasi yang kita ketahui adalah Sekolah Luar Biasa (SLB). Menurut data rekapitulasi penyandang masalah kesejahteraan Sosial (PMKS) Kota Tasikmalaya (2012)10, jumlah penyandang disabilitas 644 orang, jumlah anak dengan kedisabilitas 287 orang, dan jumlah penyandang tuna netra 62 orang (2014)11. Data dinas pendidikan Kota Tasikmalaya (2014) 6 lembaga pendidikah formal atau sekolah yang melayani berkebutuhan khusus, sekolah luar biasa (SLB). Jumlah penyandang disabilitas yang sedang 7 Op.Cit4 Op.Cit4 9 Op.Cit4 10 Wawancara-Dewi, Pra-Penelitian. Dinas Sosial Kota Tasikmalaya. 27 Januari 2015 11 Ibid10 8 menjalani pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) 610 orang, dan jumlah penyandang tuna netra yang sedang menjalani pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) 24 orang12. Sekolah yang melayani berkebutuhan khusus di Kota Tasikmalaya diantara lain: 1. SLB Negeri Tamansari 2. SLB Aisyah Kawalu 3. SLB Yayasan Bahagian 4. SLB Yayasan Pendidikan Patriot 5. SLB ABC Argasari Lestari 6. SLB Yayasan Ihsan Sejahtera Namun dari ke-6 SLB tersebut, hanya 1-SLB yang tidak melayani berkebutuhan tuna netra, yaitu SLB Yayasan Ihsan Sejahtera. Adapun penyebab SLB yayasan ihsan sejahtera tidak melayani berkebutuhan bagi penyandang tuna netra ialah kurangnya seorang guru atau pengajar bagi penyandang tuna netra serta fasilitas sarana dan prasarana belum ada bagi penyandang tuna netra. Selain menyediakan lembaga pendidikan formal bagi penyandang tuna netra, juga diperlukannya seorang pengajar atau guru yang mempunyai kemampuan mengadaptasi program pembelajaran berkebutuhan khusus bagi penyandang tuna netra, agar mampu memaksimalkan aktivitas belajar dan prestasi belajar penyandang tuna netra. Namun, selain lembaga pendidikan 12 Wawancara-Topan Nugraha, Pra-Penelitian. Evaluasi dan Perencanaan-Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya. 18 Januari 2015 formal, serta guru yang berkompeten dalam menangani berkebutuhan khusus, penyandang tuna netra memerlukan peraga alat tulis yang berbeda dengan peraga alat tulis masyarakat pada umumnya. Peraga alat tulis seperti buku dan pulpen cukup untuk proses belajar membaca dan tulis menulis bagi masyarakat pada umumnya, namun bagi penyandang tuna netra memerlukan papan tulis braile, buku brile untuk proses belajar baca-membaca, sedangkan reglet dan pen diperuntukan untuk proses belajar tulis menulis. Dari data dinas sosial maupun dari Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya seperti yang di ungkapkan di atas sebelumnya, ada 62 orang penyandang tuna netra dan hanya 24 orang penyandang tuna netra yang sedang menjalani pendidikan di sekolah luar biasa (SLB), bisa di artikan bahwa minat dari penyandang tuna netra untuk menjalani pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) masih minim. Menurut Ibu Pepy selaku pengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Yayasan Bahagia Kota Tasikmalaya 13, beliau mengatakan masih ada warga masyarakat yang memiliki anak penyandang disabilitas, baik itu tuna netra, tuna rungu maupun tuna lainnya, disembunyikan oleh keluarganya, tidak dimasukkan kedalam sekolah Segregasi atau Sekolah Luar Biasa (SLB), dikarenakan malu kepada masyarakat sekitar. Adanya komunitas atau kelompok penyandang tuna netra seperti Pergerakan Tuna Netra Indonesia ( PERTUNI ), Ikatan Tuna Netra Muslim 13 Wawancara Ibu Pepy. Pra-Penelitian. di Sekolah Luar Biasa Yayasan bahagia. 23 Oktober 2014 Indonesia ( ITMI ), dan Yayasan Tuna Netra14 di Kota Tasikmalaya diharapkan bisa membantu pemerintah salah satunya untuk membantu mengakomodasi penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan. Baik itu dengan berdiskusi, pelatihan-pelatihan maupun mensosialisasikan atau menyemangati para penyandang tuna netra perlunya untuk mendapatkan pendidikan. Menurut Usman selaku seketaris pertuni membenarkan adanya tiga komunitas penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya yaitu “ PERTUNI, ITMI dan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya 15, adapun jumlah anggota Pertuni ialah sekitar 60 orang, ketua nya ialah Koni, Seketarias Usman, Bendahara Yuni dan Dapercab ( dewan Pertimbangan Cabang) oleh Ahmad Darojat. Anggota komunitas ITMI yang di ketuai oleh Supriyatno dan Yayasan Tuna Netra Majlis Taklim Hikmah ketuanya Rahmat beranggotakan sama dengan anggota Pertuni dan Itmi ialah sekitar 60 orang, namun yang membedakannya hanya kepengurusannya saja16. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi topik permasalahan di atas adalah bagaimanakah Perjuangan penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya ? 1.3 Tujuan Penelitian 14 Wawancara-Bpk. Henhen. Pra Penelitian. di Kesbangpol Kota Tasikmalaya Wawancara usman. Pra-Penelitian. di rumah atau kediamannya usman. 18 Febuari 2015 16 Ibid15 15 Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui Perjuangan kelompok penyandang tuna netra dalam mendapatkan akses pendidikan di Kota Tasikmalaya. 1.4 Batasan Penelitian Pada penelitian ini, pembatasan terhadap permasalahan akan peneliti fokuskan pada perjuangan penyandang tuna netra dalam mendapatkan akses pendidikan. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadikan masukan bagi perkembangan Ilmu Politik, khususnya dalam Kajian Politik Identitas. 2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan, keberadaan kelompok disabilitas di sekitar kita, dan perjuangan penyandang tuna netra dalam mendapatkan akses pendidikan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan, kepada penyandang disablitas dan masyarakat pada umunya, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan informasi terkait penelitian ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Politik Identitas Identitas adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin yaitu idem, yang artinya adalah sama. Secara filosofis, identitas merupakan konsep yang mempunyai dua pengertian didalamnya yaitu singleness over time dan sameness amid difference. Berarti terdapat dua konsep mengenai identitas, yaitu persamaan dan perbedaan. Individu mengidentifikasikan diri mereka dan dari orang lain. Setiap individu berpacu untuk menguatkan identitas yang melekat pada diri mereka. Setiap proses identifikasi, maka individu membentuk siapa dirinya. Ketika individu membentuk siapa dirinya (selfness), maka secara otomatis ia akan mencari negasinya atau the other. Jadi, proses identifikasi selfness dan the other tersebut dipengaruhi oleh cara individu atau kelompok memandang dirinya dalam lingkungan dan komunitas17. Dalam literatur Ilmu Politik, identitas dibedakan secara tajam antara identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of identity). Political identity merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik sedangkan political of identity mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian 17 Widayanti, Titik. 2009. Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: Research Center For Politics And Goverment Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM. Hal:18 9 identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik18. Ubed Abdilah dalam tulisannya Cin Pratipa Hapsarin ( Geliat sosial antara aku dan yang lain, 2014) mengatakan bahwa politik identitas ialah19: “Politik identitas adalah politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh seperti persoalan politik yang dimunculkan akibat problematika jender, feminisme dan maskulinisme, persoalan politik etnis yang secara dasariah berbeda fisik dan karakter fisiologis, dan pertentangan-pertentangan yang dimunculkannya, atau persoalan-persoalan politik karena perbedaan agama dan kepercayaan dan bahasa.“ Politik identitas diartikan juga sebagai politik perbedaan. Hal ini juga sejalan dari pernyataan Agnes Heller20, yang mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Donald L Morowitz (1998) mendefinisikan politik identitas adalah Memberikan garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen. Agnes Heller dan Donald L Morowitz mempunyai kesamaan pandangan dalam memaknai politik identitas sebagai politik perbedaan. Pemaknaan politik identitas menurut Kemala yang melangkah lebih jauh 18 Haboddin Mukhtar.2012. Politik Identitas:Menguatnya Identitas di Ranah Lokal. Malang: Jurnal Study Pemerintahan. 19 Hapsarin, Cin Pratipa. 2014. Politik Identitas : Geliat Sosial Antara Aku dan Yang Lain. Jurnal Academia.edu 20 Ibid19 dalam melihat politik identitas yang terjadi pada tataran praktis21 ialah politik identitas biasanya digunakan sebagai alat memanipulasi – alat untuk menggalang politik guna kepentingan ekonomi dan politik. Pada bagian yang lain, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran dengan mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik. Lukmantoro (dalam bukunya Buchari, 2014)22 berpendapat politik identitas dimaknai sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingankepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan. Pemahaman ini berimplikasi pada kecenderungan untuk: Pertama, ingin mendapat pengakuan dan perlakuan yang setara atau dasar hak-hak sebagai manusia baik politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Kedua, demi menjaga dan melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan. Ketiga, kesetiaan yang kuat terhadap etnistas yang dimilikinya. Selain lima kecenderungan di atas Klaus Von Beyme23, menyebutkan bahwa Gerakan politik identitas pada dasarnya membangun kembali “narasi besar” yang prinsipnya mereka tolak dan membangun suatu teori yang mengendalikan faktor-faktor biologis sebagai penyusun perbedaan–perbedaan 21 22 23 Opcit18 Buchari. Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Hal: 20. Ubed, Abdilah.2002. Politik Identitas Etnis. Magelang.: IndonesiaTera mendasar sebagai realitas kehidupannya. Dalam gerakan politik identitas ada suatu tendensi untuk membangun sistem Apartheid terbalik. Ketika kekuasaan tidak dapat ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak tercapai sebagai tujuan gerakan, pemisahan dan pengecualian diri diambil sebagai jalan keluar. Kelemahan dari gerakan politik identitas adalah upaya untuk menciptakan kelompok teori spesifik dari ilmu. Sebagai contoh, tidak seorangpun yang bisa menolak bahwa seorang hitam atau seorang sarjana wanita bisa jadi telah mempunyai pengalaman yang membuat mereka sensitif dalam kasus-kasus tertentu menyangkut hubungan dengan kelompok yang lain. Dari ketiga kriteria tersebut, Beyme membuat analisis dengan melihat politik identitas melalui pola gerakan, motivasi dan tujuan yang ingin dicapai. Hasil dari analisis Beyme digambarkan melalui tabel sebagai berikut24: Tabel 1 Model Politik Identitas Model Teori Pra Modern Modern Post Modern 24 Ibid23 Pola Keterangan Perpecahan Obyektif (dimana ada perpecahan fundamental pasti ada gerakan social yang menyeluruh ) Pendekatan kondisional (keterpecahan membutuhkan sumber – sember untuk mobilisasi) Gerakan tumbuh dari dinamika sendiri. Protes muncul dari berbagai Pola Aksi Mobilisasi secara ideologis atas inspirasi pemimpin Tujuan Gerakan Perampasan kekuasaan Keseimbangan Pembagian mobilisasi dari atas kekuasaan dan partisipasi dari bawah Kesadaran diri Otonomi macam kesempatan individual. Tidak terdapat satu perpecahan yang dominan. Menurut Castells politik identitas merupakan partisipasi individual pada kehidupan sosial yang lebih ditentukan oleh budaya dan psikologis seseorang. Identitas merupakan peroses konstruksi dasar dari budaya dan psikokultural dari seorang individu yang memberikan arti dan tujuan hidup dari individu tersebut karena terbentuknya identitas adalah dari proses dialog internal dan interaksi sosial25. Castells juga menyebutkan ada tiga bentuk pembangunan identitas yang berhubungan dengan peran dan arah pembangunan identitas serta kegunaannya, diantaranya26 : 1) Identitas legitimasi (legitimizing identity) yaitu identitas yang diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu masyarakat untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya terhadap aktoraktor sosial, seperti misalnya suatu institusi negara yang mencoba meningkatkan identitas kebangsaan anggota masyarakat. Institusi tersebut memang telah mendapatkan legitimasi untuk melakukan hal tersebut; 2) Identitas resisten (resistance identity) yaitu sebuah proses pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial yang dalam kondisi tertekan dengan adanya dominasi dan stereotipe oleh pihak-pihak lain sehingga membentuk resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak 25 Buchari. Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Hal : 19. 26 Ibid25. Hal : 23 yang mendominasi, dengan tujuan untuk keberlangsungan hidup kelompok atau golongannya. 3) Identitas proyek (project identity) yaitu suatu identitas dimana aktor-aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisiposisi baru dalam masyarakat sekaligus mentranspormasi struktur masyarakat secara keseluruhan. Hal ini misalnya, terjadi ketika kelompok aktivis feminisme berusaha membentuk identitas baru perempuan, menegosiasikan ulang posisi perempuan dalam masyarakat, dan akhirnya merubah struktur masyarakat secara kseluruhan dalam memandang peranan perempuan. Konsep politik identitas yang telah di jelaskan di atas, maka akan dapat menganalisa dan menjelaskan bagaimana identias perjuangan penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya. Dengan menggunakan konsep identitas politik maka akan memberikan gambaran bagaimana pola gerakan politik identitas dari obyek penelitian yang akan dilakukan. 2.2 Kajian Subaltern Istilah subaltern dalam pemikiran Antonio Gramsci ialah subaltern digunakan sebagai penunjuk terhadap kelompok inferior, yaitu kelompok dalam masyarakat yang menjadi objek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Seperti petani, buruh, dan kelompok – kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan hegemonik bisa disebut sebagai kelas subaltern (Garcia, 2012)27. Menurut ilmuan Gayatri Chakravorty Spivak dalam tulisannya “Can Subaltern Speak?”, yang dimaksud subaltern adalah subjek yang tertekan, para anggota ‘klas-klas’-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka yang berada di tingkat inferior (Gandhi 2006)28. Subaltern memiliki dua karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut bahwa subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga perlu kaum intelektual sebagai “wakil” mereka. Dari pemaparan di atas maka bisa diartikan bahwa Subaltern digunakan untuk menunjukan sekelompok orang-orang yang termarginalkan dan terekskusi dalam ranah publik sehingga mengalami tekanan, khususnya dalam perjuangan melawan hegemonisasi global. Marginalisasi yang didefinisikan sebagai pengasingan dari sistem ketenagakerjaan dan partisipasi dalam kehidupan sosial berdampak pada timbulnya perbedaan materi, pembatasan hak-hak kewarganegaraan dan hilangnya kesempatan untuk mengekspresikan diri, ciri ini melekat erat pada kaum subaltern. 27 28 Nia Kurnia. 2013. Komunitas Vespa Gembel. Kota Tasikmalaya: SKRIPSI Fakultas Sosial Ilmu Politik Unsil. Unversitas Siliwangi. Ibid27 Nadfa (2011) dalam tulisannya yang berjudul politik subaltern29, ia menjelaskan bahwa kajian subaltern tidak dapat dilepaskan dengan berbagai gagasan dan konsep yang membentuknya. Adapun gagasan dan konsep tersebut adalah: a. Teori Poskolonialisme Poskolonialisme adalah istilah yang menggambarkan sikap penduduk terjajah baik terhadap penjajah asing maupun terhadap penguasa patriarkal pribumi yang menindas. Sikap penentangan dilakukan terhadap budaya dan tradisi asing dan juga berusaha untuk mencari perpaduan yang seimbang antara budaya yang dimiliki mereka yang terjajah dengan budaya dominan yang selama ini mendominasi sebuah masyarakat. Menurut Ashos Nandy teori poskolonial merupakan gagasan tentang resistensi psikologis terhadap misi pengadaban (civilising mission) kolonialisme. Kolonialisme tidak hanya berakhir dengan berakhirnya pendudukan kolonial tetapi juga memunculkan resistensi psikologis terhadap kolonialisme itu sendiri30. b. Identitas dan Politik Identitas Manusia sebagai individu maupun kelompok dalam hubungannya antar manusia dilekatkan berbagai latar belakang berdasarkan pada etnis, agama, ras, tradisi, gender, orientasi seksual, dan sosial budaya. Perbedaan berbagai latar belakang ini yang 29 30 Nadfa. 2011. http://nadlirotululfa.blogspot.com/2011/11/politik-subaltern.html. Diakses: 08 Desember 2014 Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Qalam. Hal: 24 membentuk identitas. Setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial31. Pada dasarnya identitas berkaitan dengan apa-apa saja yang membedakan individu atau kelompok dengan yang lainnya atau dengan kata lain identitas erat hubungannya dengan “perbedaan”. Maka dari itu identitas tidak dapat dipisahkan dengan konstruksi keakuan (selfness) dan yang lain (the other)32. Pengidentifikasian selfness dan the other sangat dipengaruhi oleh cara individu memandang dirinya dalam lingkungan dan komunitas. Individu akan melakukan pengidentifikasian terhadap diri sendiri dan orang lain dan berupaya memperkuat identitas dirinya. Semua yang tidak memiliki karakter seperti dirinya atau komunitasnya dianggap sebagai the other. Kaum subaltern ini dalam menegaskan dan mempertahankan identitas tidak terlepas dari kemampuan mereka untuk memperoleh, memperluas dan mempertahankan identitas tersebut sebagai bukti nyata dalam representasi sosial. Sehingga mereka dapat diakui dan melepaskan “baju” minoritasnya. Oleh karena itu subaltern erat kaitannya dengan relasi kuasa dan politik. Dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari ranah publik dan tidak mampu menyuarakan kondisinya sebagai akibat kuatnya hegemoni dominan tidak berada jauh dari pandangan kita. 31 32 Kinasih, Ayu Windy. 2007. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Hal: 3. Widayanti, Titik. 2009. Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: Research Center For Politics And Goverment Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM. Hal: 13. Konsep subaltern yang telah dijelaskan di atas, memperlihatkan bahwa kelompok disabilitas juga termasuk kedalam kategori kelompok subaltern. Adapun salah satu penyebab termaginalkan identitas penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya adalah adanya suatu perbedaan fisik dalam penglihatan dengan masyarakat normal pada umumnya. Sehingga stereotip negative terhadap identitas penyandang tuna netra mengenai dirinya, mendapatkan pengasingan dari sistem partisipasi dalam kehidupan sosial, berdampak pada timbulnya perbedaan materi, pembatasan hak-hak kewarganegaraan, serta hilangnya kesempatan untuk mengekspresikan diri, menunjukan bakat dan keahlian penyandang tuna netra. 2.3 Kajian Konsep Pendidikan Redja Mudyahardjo memberikan definisi secara sempit bahwa pendidikan adalah33 pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Lemabaga tersebut diperuntukan untuk anak dan remaja agar mempunyai kemampuan yang sempurna, kesadaran penuh terhadap hubungan – hubungan dan tugas – tugas sosial mereka. Selanjutnya Redja Mudyhardjo memberikan definisi pendidikan alternatif. Pendidikan34 adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan yang berlangsung disekolah ataupun di luar sekolah sepajang seumur hidup. Bertujuan untuk 33 34 Mudyahardjo, Redja. 2006 Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal: 6 Ibid33 Hal: 11 mempersiapkan atau mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan tiap – tiap individu agar di kemudian hari dapat memainkan perannan hidup secara tepat. Menurut Dahama dan Bhatnagar (dalam bukunya Rulam Ahmadi, 2014) pendidikan merupakan proses membawa perubahan yang di inginkan dalam perilaku manusia. Pendidikan juga dapat di definisikan sebagai proses perolehan pengetahuan dan kebiasaan – kebiasaan melalui pembelajaran atau studi. Perubahan – perubahan itu hendaknya dapat diterima secara sosial, kultural, ekonomis, dan menghasilkan pengetahuan, keterampilan sikap serta pemahaman35. Pendidikan merupakan suatu proses interaksi manusia dengan lingkungannya. Berlangsung secara sadar dan terencana dalam rangka mengembangkan segala potensinya, baik jasmani ( kesehatan fisik) dan ruhani (pikir, rasa, karsa, karya, cipta dan budi pekerti). Pendidikan bertujuan menimbulkan perubahan positif dan kemajuan, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik yang berlangsung secara terus menerus guna mencapai tujuan hidupnya36. Ivan Illich seorang ilmuan radikal humanis mendefinisikan pendidikan cenderung dalam arti yang luas. Baginya, pendidikan adalah pendidikan sama dengan hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertembuhan seseorang. Ivan Iliich beranggapan bahwa sistem pendidikan yang baik adalah37 : 35 Rulam Ahmadi. 2014. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. Hal: 35 Ibid35 Hal: 38 37 Muammar, arfan. http://arfanmuammar.blogspot.com/2012/06/. Gagasan – ivan – illich – dalam - pendidikan.html#.VIlXOON_t7x. Di akses: 11 – 12 2014. 36 (1) Pendidikan memberikan kesempatan semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat, (2) Pendidikan memungkinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dapat dengan mudah melakukannya, demikian pula bagi yang ingin mendapatkannya, (3) Pendidikan menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan. Dari tiga tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa, sistem pendidikan yang baik menurut Ivan Illich adalah terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan Ilmu dan mendapatkan Ilmu. Sehingga seseorang diperbolehkan membagikan apa yang dia ketahui dan berpeluang menyampaikan masalah ke tengah masyarakat. Karena memperoleh pendidikan dan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara dimanapun dan setiap saat. 2.3.1 Pendidikan Menurut Sumber Hukum Positif RI38 1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional, − Pasal 4 Ayat 1 : Pendidikan diselenggarakan berdasarkan demokrasi dan berkeadilan dan tanpa diskriminasi. − Pasal 11 Ayat 1 : Adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi semua warga negara, tanpa adanya diskriminasi. 38 Irwanto, Eva Rahmi kasim, dkk.. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indoneisa: Sebuah Desk-Review. Jakarta :Pusat Kajian Disabilitas. Universitas Indonesia − Pasal 12 Ayat 1b : Hak dari murid untuk memiliki pendidikan yang layak berdasarkan bakat, minat dan kemampuannya 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional Pasal 41 tentang setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus 3. Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inlusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. 2.3.2 Macam - Macam Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia Pada dasarnya, penyelenggaraan pendidikan untuk mewadahi anak bersekolah terbagi atas tiga jenis, yakni pendidikan segregasi, pendidikan integratif, dan pendidikan inklusif39. a. Pendidikan Segregasi Pendidikan Segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk 39 Qita, Konselor. http://konselorqita.blogspot.com/2014/01/manajemen-pendidikan-inklusi.html. Di akses: 27 Januari 2015 anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas. b. Pendidikan Terpadu/Integratif Pendidikan terpadu/integratif adalah sekolah yamg memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa ada perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidikan dan kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus menyesuikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang disyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul dilingkungan sosial yang luas dan wajar. Sistem pendidikan integratif/ penyelenggaraan program pendidikan terpadu bermula dengan keluarnya surat keputusan Mendikbud No.002/U/1986 tanggal 4 Januari 1986 tentang program pendidikan terpadu bagi anak cacat. Keputusan itu disusul dengan surat edaran Dirjen Dikdasmen No.6718/C/I/89 tanggal 15 Juli 1989 tentang perluasan kesempatan belajar bagi anak berkelainan di sekolah umum. Kemudian SK Mendikbud No.0491/U/1992 mempertegas tentang pendidikan bagi anak berkelainan yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal di jalur pendidikan sekolah. Melalui program pendidikan terpadu ini para peserta didik dimungkinkan untuk saling menyesuikan diri, saling belajar tentang sikap, perilaku dan ketrampilan, saling berimitasi dan mengidentifikasi, menghilangkan sifat menyendiri, menimbulkan sikap saling percaya, menimbulkan sikap saling percaya, meningkatkan motivasi untuk belajar dan meningkatkan harkat serta harga diri. c. Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif merupakan sebuah proses dalam upaya merespon kebutuhan semua peserta didik yang beragam. Berbagai upaya dapat dilakukan melalui perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatanpendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik sesuai dengan kelompok usianya. Pendidikan inklusif berawal dari pendidikan untuk semua tidak diskriminatif terhadap siapapun termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus bersifat temporer (sementara) maupun permanen sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan khusus. Eggen dan kauchak (2004) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah40 pelayanan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang komprehensif yang di laksanakan secara sistematis, total dan terkoordinasi. Terdapat tiga komponen dalam pendidikan inklusif ini, yaitu: a. Menempatkan peserta didik dengan kebutuhan khusus pada kelas regular b. Menempatkan peserta didik dengan kebutuhan khusus pada usia dan jenjang yang sesuai dengan kelas yang sesuai c. Memberikan pelayanan bagi anak yang berkebutuhan khusus yang dilaksanakan dalam kelas regular Omrod (2011) mengkategorikan anak yang berkebutuhan khusus menjadi lima Kategori umum, seperti yang dikemukakan dalam Tabel 2 sebagai berikut41: 40 41 Omrod. Diterjemahkan oleh Nyoman Surna, olga D. Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan 1. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal: 199 Ibid40 Hal: 201 Tabel 2. Kategori Anak Berkebutuhan Khusus Kategori Umum Kategori Spesifik Learning disability Student with specific Cognitive or academic difficulties: Anak yang memiliki cirri ini menunjukan kemampuan akademik di bawah rata – rata; anak mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas khusus Attention-defict Hyperactivity disorder (ADHD): Tidak secara spesifik dapat dilakukan dengan pembelajaran individual, dibutuhkan pelayanan khusus indivudal, termasuk yang mengalami gangguan kesehatan Speech and communication disorder Students with social or Emotional and Ciri yang Tampak Proses kognitif anak mengalami keterbatasan dalam menelaah hal – hal khusus (seperti keterbatasan kemampuan persepsi, bahasa, atau mengingat) dan tidak berkaitan dengan keterbatasan kemampuannya lainnya seperti anak yang mengalami keterbelakangan mental, gangguan emosi dan perilaku, ataun gangguan sensori Keterbatasan kemampuan anak yang tergolong kategori ini memiliki cirri (a) kesulitan memusatkan perhatian dan (b) sering menunjukan perilaku hiperaktif dan implusif Keterbatasan kemampuan berbahasa ujar (seperti ujaran yang kurang tepat, gagap dalam berujar, dan bentuk sintaktik tidak beraturan) atau dalam upaya pemahaman bahasa ujar perlu bantuan khusus Keadaan emosi dan perilaku behavorial problems: Anak yang menunjukan keterbatasan dan kesulitan yang cukup serius dalam berperilaku, social dan juga emosional, dan sangat berkaitan dengan masalah akademik Student with general delays in cognitive and social functioning: anak yang menunjukan prestasi belajar yang sangat rendah pada semua mata pelajaran dan keterampilan social menunjukan tidak sesuai dengan usianya (seperti kekanak-kanakan). Students wits physical or sensory challengs: anak yang termasuk kategori ini adalah anak yang memiliki keterbatasan akibat masalah fisik dan secara medis mmiliki masalah behavorial disorder yang ditampilkan tidak sesuai dengan usia dan tuntuan lingkungan social yang seringkali mengganggu hubungan sosial dengan teman sebaya dan secara signifikan berdampak pada kegiatan akademik dan juga prestasi belajar Autism spectrum Keterbatasan tersebut disorder ditandai kesulitan dan kekurangan kemampuan bersosialisasi, tidak memiliki keterampilan sosial, keterbatasan sosial kognitif, perilakunya tidak terkontrol dan hanya berpusat pada kemauan diri sendiri, dan sangat berbeda dengan anak usia sebaya. Perkembangan kognitif dan bahasa sangat terlambat Intellectual Kecerdasan di bawah ratadisability rata dibandingkan dengan (mental anak-anak pada umumnya retardation) dan menunjukan kemampuan menyesuaikan diri yang sangat terbatas Physical and health impairment Visual impairment Kondisi fisik dan secara medis mengalami masalah dan dibutuhkan pelayannan khusus akibat dari keterbatasan tenaga, kekuatan fisik mengalami penurunan, kesiapan mental menurun. Penglihatan tidak berfungsi sebagaimana mestinya; saraf optic telah mengalami keterbatasan dalam Hearling loss Students with advanced cognitive development: anak yang tergolong pada kategori ini menunjukan kemampuan belajar yang tidak seperti anak pada umumnya dan menunjukan keunggulan satu atau beberapa bidang studi Giftednes (not covered by IDEA unless a disability is also present) mendeteksi penglihatan Pendengaran tidak berfungsi sebagaimana mestinya atau terjadinya kerusakan saraf yang menghubungkan antara persepsi suara denhgan frekuensi pendengaran melalui percakapan yang normal Memiliki kemampuan luar biasa atau bakat dalam satu beberapa bidang, dan anak ini membutuhkan pengayaan khusus yang tidak sama dengan anak pada umumnya agar potensi anak berkembang secara optimal 2.4 Penelitian Terdahulu Untuk menambah ketajaman dalam penelitian ini, penulis perlu untuk menjadikan penelitian terdahulu sebagai referensi dalam upaya mencapai tujuan penelitian secara baik. Penelitian terdahulu yang menjadi referensi diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Habodin (2012), ia meneliti identitas politik di ranah lokal42. Dalam karyanya yang berjudul menguatnya identitas politik di ranah lokal, ia menyimpulkan bahwa penguatan politik etnisitas merupakan potret diri dari pergulatan politik lokal. Sebuah potret berwajah ganda, wajah pertamanya berwujud dengan putra daerah sebagaimana terjadi di Kalimantan Barat, Riau, Papua dan Kalimantan Tengah, tetapi wajah lainnya dari politik identitas bisa berwujud pada 42 Haboddin Mukhtar.2012. Politik Identitas:Menguatnya Identitas di Ranah Lokal. Malang: Jurnal Study Pemerintahan. perjuangan untuk mendapatkan alokasi dana dari pemerintah pusat. Dimana proses desentralisasi politik ternyata diiringi dengan isu putra daerah. Sebuah isu yang sarat makna dan sangat mengkhawatirkan bukan hanya proses demokrasi lokal akan terancam, tetapi juga menjadi petunjuk memudarnya semangat nasionalisme. Kemudian oleh Widayati (2009) yang melakukan penelitian dengan judul Politik Subaltern; Pergulatan Identitas Waria43. Dalam penelitian tersebut ia mengatakan budaya dominan masyarakat yang hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan menyebabkan kaum waria mengalami diskriminasi dalam kelompok masyarakat. Diskriminasi yang dialami kaum waria berhubungan erat dengan stereotype dari masyarakat umum bahwa kaum waria dekat dengan hal negatif. Diskriminasi dalam kaum waria terbagi kedalam diskriminasi langsung dan tidak langsung. Diskriminasi langsung berupa pembatasan bagi waria untuk mengakses wilayah tertentu seperti daerah pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum, dan lain sebagainya. Diskriminasi tidak langsung terjadi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang menjadi pembatas kelompok waria untuk berhubungan dengan kelompok lain. Posisi waria yang terpinggirkan dalam ranah publik ini mengalami diskriminasi dalam akses administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan Waria sebagai subaltern tidak memiliki kemampuan untuk memperjuangkan dirinya sendiri. Organisasi waria memiliki peran penting 43 Widayanti, Titik. 2009. Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: Research Center For Politics And Goverment Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM. dalam mewujudkan pengakuan masyarakat terhadap identitas waria. Berusaha merubah paradigm negatif tentang waria menjadi yang lebih positif dalam kehidupan sosial. Upaya dilakukan dengan pernyataan dalam berbagai aktivitas diskusi baik formal maupun non formal dengan masyarakat luas, dan juga melalui media tulisan untuk membuat suatu wacana (Widayati, 2009). Selanjutnya ada Cin Pratipa Hapsarin politik identitas: “Geliat Antara Aku dan Yang Lain” mengenai gender, yang dimana merupakan konstruksi sosial atas ‘tubuh’ bukan saja secara wacana melainkan secara material mengena langsung pada subjek individu manusia laki-laki dan manusia perempuan44. Disini pelekatan sosial menegaskan asumsi-asumsi pembeda yang diandaikan secara biologis. Man from Mars and woman from Venus meneguhkan pernyataan laki-laki haruslah jantan, gagah, kuat, bertanggungjawab, cerdas, dapat melindungi dan memimpin berbanding lurus dengan asumsi perempuan haruslah lemah lembut, nrimo: sabar, ikhlas, dan penurut. Asumsi yang secara general ditafsir berdasar kategorial fisik (citra atas tubuh) dan mental itu berimbas ke ruang publik yang secara sepihak kemudian mengartikan bahwa perempuan ‘secara definitif’ tidak layak dan tidak pantas untuk berada di satu ruang yang sama dengan laki-laki. Dalam kondisi tertentu hal itu dapat diartikan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin dan hal ini berimbas pada minimnya keterlibatan perempuan dalam ruang-ruang publik khususnya dalam wilayah politik praktis. Karena diangap merugikan, dalam arti tidak membawa aspirasi 44 Hapsarin, Cin Pratipa. 2014. Politik Identitas : Geliat Sosial Antara Aku dan Yang Lain. Jurnal Academia.edu perempuan dalam kesetaraan hak, serta rentannya perempuan oleh tindak kekerasan dan diskriminasi lainnya. Sehingga adanya penolakan atas ide tersebut dan tafsir atas pembedaan jenis kelamin itu mengerucut pada apa yang dikenal dengan gerakan feminisme. Bahwa “anatomi bukanlah nasib”. Gerakan feminisme tersebut yang terus memperjuangkan hak – hak nya di wilayah politik praktis dan khususnya bagi kaum perempuan. Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu akan menjadi bahan referensi awal untuk peneliti, meneliti mengenai “Politik Identitas Kelompok Disabilitas, Perjuangan Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses Pendidikan di Kota Tasikmalaya”. Hal tersebut dikarenakan penelitian yang akan penulis lakukan memiliki kesamaan dengan penelitian terdahulu yaitu meneliti identitas politik dari suatu kelompok terutama kelompok yang termasuk dalam termaginalkan ataupun kelompok yang terdiskriminasikan. Dalam penelitian sebelumnya juga memiliki kesamaan dalam kajiannaya, mereka meneliti bagaimana suatu kelompok sosial dapat mempertahankan identitasnya dan berjuang untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Tabel 3. Matriks Perbedaan Penelitian Sebelumnya Penelitian Terdahulu No 1 Nama Penelitian Menguatnya Identitas Politik di Ranah Lokal (Mohtar Habodin, 2012) Latar Belakang adanya kesenjangan antara wilayah-wilayah di Indonesia. Posisi Penelitian Menjelaskan mengenai pergulatan politik etnisitas yang 2 Politik Subaltern; Pergulatan Identitas Waria (Titik Widayati, 2009) 3 Politik Identittas : Geliat Sosial Antara Aku dan Yang lain (Cin Pratipa Hapsarin, 2014 ). 4 Politik Identitas Kelompok Disabilitas: Perjuangan Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses Pendidikan terjadi di ranah local. adanya budaya dominan Penelitian ini masyarakat yang hanya lebih menekankan mengakui identitas lakipada penelitian laki dan perempuan mengenai sehingga kaum waria bagaimana kaum mendapat diskriminasi. waria memperjuangkan identitasnya dan juga upaya mereka untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Gender, perbedaan secara Gerakan fisik atau biologis, antara feminisme perempuan dan laki – tersebut yang laki. Perempuan terus seringkali di anggap memperjuangkan lemah dibandinkan laki – hak – hak nya di laki. Sehingga berimbas wilayah politik pada ruang gerak politik praktis dan perempuan. khususnya bagi kaum perempuan. Dibelatar belakangi atas Penelitian yang keterbatasan penglihatan. akan dilakukan Sehingga menyulitkan bertujuan meneliti penyandang tuna netra bagaimanakah untuk mengakses perjuangan pendidikan, baik itu di penyandang tuna lembaga formal maupun netra dalam non formal mengakses pendidikan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Dimana Metode Penelitian Kualitatif ini adalah penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan gejala atau kehidupan alamiah (riil) sosial masyarakat, guna memahami fenomena yang terjadi secara komperhensif. Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia, kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya”. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi45. 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Sekolah penyandang disabilitas (Sekolah Luar Biasa) dan di rumah warga yang memiliki penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya. 45 Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: CV. Alfabeta. 32 33 3.3 Sasaran Penelitian Sasaran penelitian ini adalah pihak-pihak terkait, yang diantaranya adalah, Penyandang Tuna Netra, Guru atau Pengajar Penyandang disabilitas, Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya, Dinas Sosial, Kelompok atau komunitas penyandang tuna netra (PERTUNI), Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia (ITMI) dan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Sedangkan untuk jumlah informan yang akan diwawancara akan disesuaikan dengan kebutuhan data yang diperlukan peneliti dilapangan sesuai teknik purposive sampling dan snowball sampling. 3.4 Fokus Penelitian Penelitian difokuskan pada perjuangan penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya. 3.5 Pendekatan Dalam Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif-kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sebuah gambaran tentang suatu individu tertentu atau suatu gejala atau hubungan dua gejala atau lebih. Penelitian kualitatif menghasilkan data berupa ucapan, tulisan dan perilaku serta penekanan pada aspek subjektif yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Metode ini langsung menunjuk seting dan individu-individu dalam seting itu secara keseluruhan materi46. 46 Ibid45 3.6 Teknik Pengambilan Informan Pengambilan sampel atau informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu47, teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya orang tersebut yang dianggap paling mengetahui tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai orang yang paling menguasai sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti, dampaknya adalah data yang dihasilkan sangat berkualitas. Kemudian ketika data yang didapatkan kurang dapat memenuhi kapasitas, dalam penelitian ini juga menggunakan teknik snowball sampling48, yaitu teknik pengambilan sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit kemudian menjadi semakin membesar, hal ini dikarenakan sumber data yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan maka mencari orang lain yang digunakan sebagai sumber data dan serta adanya rekomendasi dari informan pertama. 3.7 Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan sumber data yang akan digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan analisis dokumen, observasi dan wawancara. Untuk mengumpulkan data dalam kegiatan penelitian diperlukan cara-cara atau teknik pengumpulan data tertentu, sehingga proses penelitian dapat berjalan 47 48 Ibid45 Ibid 45 lancar49. Sumber data dan jenis data yang terdiri atas kata-kata dan tindakan, sumber tertulis, foto, dan data statistik. Selain itu masih ada sumber data yang tidak dipersoalkan di sini seperti yang bersifat nonverbal (Moloeng, 2007: 241). Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa cara pengumpulan data merupakan salah satu kegiatan utama yang harus diperhatikan dalam suatu penelitian antara lain: 1. Observasi Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena sosial yang terjadi dilokasi penelitian untuk mendapatkan data yang bersifat tindakan atau tingkah laku sehari-hari. Observasi atau pengamatan ini dimaksudkan sebagai teknik pengumpulan data secara selektif. Selanjutnya, peneliti memahami dan menganalisis berbagai gejala yang berkaitan dengan objek penelitian melalui berbagai situasi dan kondisi nyata yang terjadi baik secara formal atau informal. Dalam penelitian ini teknik observasi yang digunakan adalah teknik Participant As Observer, dimana peneliti dengan sengaja memberitahukan maksud kehadirannya kepada kelompok yang diteliti. 49 Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. PT. RemajaRosdakarya: Bandung. Hal: 241. 2. Wawancara Menurut Milles dan Huberman (dalam Sutopo)50 adalah wawancara informal yang dilakukan pada saat konteks yang di anggap tepat Guna mendapatkan data yang mempunyai kedalaman dan dapat dilakukan berkali-kali secara frekuentif sesuai dengan keperluan peneliti. Teknik ini dimaksudkan agar peneliti mampu mengeksplorasi data dari informan yang bersifat nilai, makna, dan pemahaman yang tidak mungkin dilakukan melalui teknik survei. Latar belakang informan dan pewawancara akan mempengaruhi pada jawaban yang diberikan informan dengan cara pengambilan data dengan tanya jawab dengan informan. 3. Dokumentasi Metode ini dilaksanakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian melalui buku-buku literatur, arsip, foto atau dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian tersebut. 3.8 Teknik Analisis Data Manurut Patton (dalam Moelong, 2007)51, teknik analisis data adalah proses kategori urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, ia membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Sedangkan menurut 50 51 Sutopo, H. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar Teoritis Dan Praktis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal. 24 Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Hal: 280. Bogdan dan Tylor (dalam Moloeng, 2007)52, analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis seperti yang disaranakan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis tersebut. Jika dikaji definisi pertama lebih menitik beratkan pada pengorganisasian data. Kedua lebih menekankan maksud dan tujuan analisis data. Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, analisis data, adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Metode teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan analisis interaktif (Interactive Of Analysis). Proses analisis ini dilakukan selama proses penelitian. Dalam teknik ini ada tiga komponen pokok analisis,53 yaitu Reduksi Data, Penyajian Data dan Penarikan Kesimpulan yang kesemuanya ini di fokuskan pada tujuan penelitian 1. Reduksi data 52 53 Ibid51 Hal: 280. Milles, Matthew dan Huberman, A. Michael.1992. Analisis Data Kualitatif. UI-Press. Jakarta. hal. 20 Merupakan proses seleksi, pemokusan, penyederhanaan dan abstraksi data yang ada dalam fieldnote yang berlangsung terus sepanjang pelaksanaan riset hingga laporan akhir penelitian selesai di tulis. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpuan akhir dapat dilakukan. Proses kuantifikasi tidak akan terjadi dalam riset kualitatif seperti halnya yang bisa dilakukan dalam riset kuntitatif. 2. Penyajian data Penyajian data merupakan kegiatan dengan adanya perencanaan kolom dalam bentuk matrix gambar (skema) dan tabel bagi data kualitatif dalam bentuk khususnya. Kegiatan ini dilakukan karena kemampuan manusia sangatlah terbatas dalam menghadapi fieldnote yang jumlahnya mencapai ribuan halaman. Dengan demikian, susunan penyajian data yang baik dan jelas sistematikanya sangatlah diperlukan untuk melangkah kepada tahapan penelitian (riset) kualitatif selanjutnya. 3. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan telah ada dengan memperhatikan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi berupa data-data yang belum siap digunakan dalam analisis, setelah data tersebut direduksi dan disajikan. Proses analisis interaktif (Interactive Of Analysis) dapat dilihat di gambar sebagai berikut: Gambar 1 Analisis Interaktif (Interactive Of Analysis) Pengumpulan data Reduksi data Penyajian data Kesimpulan-kesimpulan Sumber : Milles dan Huberman, 1992 : 20 3.9 Validasi Data Cara yang digunakan untuk menguji validitas data adalah teknik Trianggulasi. Denzim dalam Moleong54 membedakan empat macam Trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. a. Trianggulasi dengan Sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif 54 Moleong, Lexi J. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Rosda Karya. hal. 178 b. Trianggulasi dengan Metode ada dua strategi yaitu pertama, pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data. Kedua, pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. c. Trianggulasi dengan Penyidik adalah dengan jalan memanfaatkan penelitian atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data. d. Trianggulasi dengan Teori, berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. Untuk menguji data dalam penelitian di gunakan teknik trianggulasi sumber. Dalam hal ini dapat di tempuh dengan cara : a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu d. Membandingkan keadaan dan persfektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang yang memiliki latar belakang yang berlainan e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berlainan. Melalui teknik ini diharapkan validitas data akan terjamin. Adapun tahap yang digunakan dalam penelitian hanya berkisar pada tahap “A” (membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen) dan tahap “E” (membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen). Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan waktu, biaya dan tenaga sehingga tidak semua tahapan dapat dilaksanakan. Selain trianggulasi teknik uji validitas data dalam penelitian ini juga menggunakan teknik Informant Review. Informant review dilakukan dengan cara laporan penelitian di review oleh informan (khususnya key informant) untuk mengetahui apakah yang diteliti merupakan sesuatu yang dapat di setujui mereka. Dalam hal ini kadang-kadang memerlukan diskusi agar pengertian dari kedua belah pihak dapat dicapai55. 55 Sutopo, H. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar Teoritis Dan Praktis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal. 31 BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Sejarah Singkat Kota Tasikmalaya Kota Tasikmalaya berproses dari sebuah kota administratif yang hanya mencakup tiga kecamatan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1976 berubah menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB), dengan memekarkan diri dari daerah induk Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2001 yang meliputi delapan (8) kecamatan setelah disahkannya Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2001. Saat ini Kota Tasikmalaya terbagi menjadi 10 (sepuluh) kecamatan, dengan terbentuknya Kecamatan Bungursari dan Kecamatan Purbaratu berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 200856. Berikut ini urutan pemegang jabatan Walikotatif Tasikmalaya dari terbentuknya kota administratif sampai menjelang terbentuknya pemerintah Kota Tasikmalaya57: 1. Oman Roesman (1976-1985) 2. Yeng Ds. Partawinata (1985-1989) 3. R. Y. Wahyu (1989-1992) 4. Erdhi Hardhiana (1992-1999) 5. Bubun Bunyamin (1999-2007) 56 57 Profil Kota Tasikmlaya. Arsip Kota Tasikmalaya. Sejarah Kota Tasikmalya. 03-09-2013.http://tasikmalayakota.go.id/statis-91-sejarah.html. Di akses 20-03-2015 42 33 6. Syarif Hidayat (2007-2012) 7. Drs. H. Budi Budiman (2012-2017) Masyarakat Kota Tasikmalaya yang agamis dan kaya potensi ekonomi kreatif menjadikan Kota Tasimalaya sebagai kota pusat perdagangan dan industri termaju di wilayah Priangan Timur. Produckproduck baru dan investasi berskala besar terus tumbuh dan mampu menstabilkan perekonomian daerah. Pusat perdagangan modern dan tradisional tumbuh berdampingan, didukung menggeliatnya usaha perhotelan, restoran dan rumah makan menjadikan Kota Tasikmalaya seperti tak pernah tertidur, putaran ekonomi bergerak kencang menopang bertumbuhnya industri-industri kreatif yang menemukan pasarnya58. 4.1.2 Kondisi Geografis Kota Tasikmalaya Secara geografis Kota Tasikmalaya terletak antara 1080 08’38 ’’BT1080 24’02” BT dan antara 7010’LS-70 26-32” LS, berada di bagian tenggara Provinsi Jawa Barat, berjarak ± 105 Km dari Kota Bandung dan ± 255 Km dari Kota Jakarta, dengan luas wilayah 18.385 Hektar (185,85 Km2). Batasan administratif pemerintahan sebagai berikut59: 1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya (Kecamatan Cisayong, Sukaratu) dan dengan Kabupaten Ciamis (Kecamatan Sindangkasih, Cihaurbeti), dengan batas fisik Sungai Citanduy; 58 59 Op.cit56 Op.cit56 2. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya (Kecamatan Jatiwaras); 3. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya ( Kecamatan Sukaratu, Leuwisari, Singaparna, Sukarame) dengan batas fisik Sungai Ciwulan; 4. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya (Kecamatan Manonjaya dan Gunung Tanjung) dengan batas fisik saluran irigasi Cikunten II dan Sungai Cileuwimunding. Kota Tasikmalaya menurut undang-undang Nomor 10 Tahun 2001 memiliki wilayah seluas 17.156,20 Hektar yang terbagi kedalam 8 (delapan) Kecamatan, terdiri dari 15 Kelurahan dan 54 Desa. Seiring perkembangan Kota Tasikmalaya dan adanya tuntutan peningkatan pelayananan kepada masyarakat, sejak tahun 2008 Kota Tasikmalaya menjadi 10 (sepuluh) Kecamatan dan 69 Kelurahan dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang pembentukan Kecamatan Bungursari dan Kecamatan Purbaratu Kota Tasikmalaya60. Berdasarkan peraturan daerah Kota Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Kota Tasikmalaya tahun 20112031, luas wilayah administrasi Kota Tasikmalaya adalah 18.385,07 Ha (183,85 Km2). Hal ini tidak berarti ada penambahan wilayah, seluas 1.229,07 Ha (12,29 Km2) dari sebelumnya 17.156 Ha (171,56 Km2). Letak geografis Kota Tasikmalaya tergambar dalam peta sebagai berikut: 60 Op.cit56 Gambar 2. Peta Administratif Kota Tasikmalaya Sumber: BPKP, Jabar 2009 Sedangkan luas administratif Kecamatan di Kota Tasikmalaya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 4 Luas Wilayah Administratif Kecamatan dan Jumlah Wilayah Administratif Kelurahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kecamatan Cihideung Cipedes Tawang Indihiang Kawalu Cibeureum Tamansari Mangkubumi Bungursari Purbaratu Jumlah Luas Wilayah (Km2) 5,49 8,97 7,08 11,04 42,78 19,04 35,99 24,53 16,91 12,02 183, 85 Jumlah kelurahan 6 4 5 6 10 9 8 8 7 6 69 Sumber: Dinas Kependudukan Kota Tasikmalaya, Data Agregat Semester II Th. 2014 4.1.3 Rekapitulasi Data Kependudukan Kota Tasikmalaya Populasi penduduk Kota Tasikmalaya untuk kependudukan dari 10 (sepuluh) Kecamatan berjumlah total penduduk 678.027 Jiwa, yang terdiri dari 346.809 orang laki-laki dan 331.218 orang perempuan. Bisa dilihat dengan data pada tabel sebagai berikut: Tabel 5 Rekapitulasi Data Kependudukan Per Kecamatan dan Jenis Kelamin No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kecamatan Cihideung Cipedes Tawang Indihiang Kawalu Cibeureum Tamansari Mangkubumi Bungursari Purbaratu Jumalah Jenis Kelamin Junlah Laki-Laki Perempuan Penduduk (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) 37.435 36.217 73.652 43.604 41.464 85.068 30.830 30.626 61.456 26.965 25.754 52.719 46.964 44.340 91.304 35.298 32.936 64.533 33.013 31.520 68.234 45.183 43.328 88.511 25.863 24.679 50.542 21.654 20.354 42.008 346.809 331.218 678.027 Sumber: Dinas Kependudukan Kota Tasikmalaya, Data Agregat Semester II Th. 2014 Komposisi penduduk Kota Tasikmalaya berdasarkan kelompok Umur dari 0 > 75 Tahun dan Kecamatan. Bisa dilihat dengan data pada tabel sebagai berikut: Tabel 6 Komposisi Penduduk Kota Tasikmalaya Berdasarkan Umur dan kecamatan Sumber: Dinas Kependudukan Kota Tasikmalaya, Data Agregat Semester II. Th. 2014 Komposisi penduduk Kota Tasikmalaya berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Kecamatan. Bisa dilihat dengan data pada tabel sebagai berikut: Tabel 7 Komposisi Penduduk Kota Tasikmalaya Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Kecamatan Sumber: Dinas Kependudukan Kota Tasikmalaya, Data Agregat Semester II Th. 2014 Adapaun jumlah Sekolah Negeri dan Swasta menurut Kecamatan di Kota Tasikmalaya pada tahun 2013 ialah 700 sekolah, yang terdiri 268 Sekolah Negeri dan 432 Sekolah Swasta. Bisa dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 8. Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta Menurut Kecamatan di Kota Tasikmalaya 2013 No Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kawalu Tamansari Cibeureum Purbaratu Tawang Cihideung Mangkubumi Indihiang Bungursari Cipedes 2013 2012 SLB N 1 1 - S 1 1 2 1 5 5 TK N 1 1 1 Sumber: BPS Kota Tasikmalaya 2014 S 8 2 7 3 15 13 8 4 1 13 74 64 RA N - S 12 12 11 11 12 6 14 9 15 11 113 100 SD N 32 20 21 1 25 26 33 17 16 32 223 247 MI S 2 6 5 1 2 3 19 16 N 1 1 2 2 S 8 7 10 5 1 6 5 1 6 3 52 46 SMP N 2 2 1 1 6 2 1 3 1 2 21 21 S 5 3 6 6 5 5 1 4 3 38 28 Lanjutan Tabel 8.1 Tabel 8.1 Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta Menurut Kecamatan di Kota Tasikmalaya 2013 MTS SMA N S N S Kawalu 8 1 Tamansari - 11 1 Cibeureum 2 5 1 Purbaratu 4 1 Tawang 1 2 7 Cihideung 6 1 3 Mangkubumi 5 1 1 Indihiang 1 3 3 1 Bungursari 3 2 Cipedes 1 2 2013 3 50 10 17 2012 3 35 10 16 Sumber: BPS Kota Tasikmalaya 2014 N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kecamatan MA N S 5 4 2 2 2 2 1 2 3 2 2 1 3 25 3 19 SMK N S 4 1 4 4 1 1 1 6 8 1 4 1 1 6 4 39 4 33 Jumlah Sekolah S Jumlah 35 51 86 26 45 71 26 46 72 5 26 31 34 57 91 31 56 87 35 42 77 24 27 51 17 36 53 35 46 81 268 432 700 292 362 654 N 4.2 Sekilas Tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia Berdasarkan data WHO (World Health Organization) pada tahun 2012, menurut Dr. Vivi Yulaswati, MSc, di Indonesia terdapat 15 persen penyandang disabilitas. Dengan demikian, populasi penyandang disabilitas mencapai 36.841.956 dari keseluruhan 245 juta jiwa penduduk. Jumlah ini diperkirakan lebih tinggi mengingat tidak semua keluarga mau mendata anggota keluarganya yang menyandang disabilitas dengan alasan tertentu seperti malu, dan lain sebagainya61. WHO memberikan definisi disabilitas sebagai62 keadaan terbatasnya kemampuan (disebabkan karena adanya hambatan) untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas yang dianggap normal oleh manusia. Penyandang disabilitas diartikan, sebagai seorang manusia yang memiliki hambatan untuk 61 Harian Bappenas. Di posting 21 oktober 2013. http://www.bappenas.go.id/ berita-dan-siaranpers/ Bappenas-bersama-sejumlah -kl-matangkan-draft-ran-penyandang-disabilitas/. Di akses: 20 maret 2015 62 Irwanto, Eva Rahmi kasim, dkk.. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indoneisa. Sebuah Desk-Review. Pusat Kajian Disabilitas. Universitas Indonesia: Jakarta. melakukan aktifitas dibandingkan dengan manusia normal pada umumnya, sehingga penyandang disabilitas memerlukan ruang, waktu dan cara yang berbeda dengan manusia normal pada umumnya untuk mencapai tujuannya. Penggunaan istilah atau nama “Disabilitas” di Indonesia ialah setelah adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Dahulu penggunaan nama untuk seorang yang memiliki kelainan fisik, mental dan fisik-mental ialah dengan menggunakan istilah penyandang cacat yang termuat dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1997. Penggunaan istilah penyandang cacat dinilai sangat diskrimatif, mempersempit ruang dan akses publik bagi penyandang cacat itu sendiri, dan memunculkan perdebatan yang panjang. Sehingga melalui Undang-Undang No.19 Tahun 2011 berubah menjadi penyandang disabilitas, bertujuan untuk memenuhi hak – hak penyandang disabilitas. Berdasarkan keterangan di atas, bahwa istilah penyandang cacat dinilai sangat diskriminatif, sehingga mempersempit ruang dan akses publik bagi penyandang cacat. Permasalahan yang sangat mendasar tentang penyandang cacat atau penyandang disabilitas adalah kurangnya pemahaman masyarakat maupun aparatur pemerintah yang terkait tentang keberadaan penyandang disabilitas. Adanya anggapan bahwa penyandang disabilitas dianggap sama dengan orang sakit (dianggap manusia yang tidak normal, dibandingkan dengan manusia yang normal pada umumnya), sehingga sangat sulit untuk memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada penyandang disabilitas. Disamping itu fasilitas berupa aksesibilitas fisik dan non fisik untuk penyandang disabilitas relatif sangat terbatas, sehingga mereka sulit untuk bergerak secara mandiri. Padahal penyandang disabilitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Maka dari itu, permasalahan penyandang disabilitas merupakan permasalahan bangsa Indonesia. Mereka hidup sama seperti anggota masyarakat pada umumnya, ingin dihargai dan menghargai, ingin dicintai dan mencintai, ingin memiliki, dimiliki, mereka menginginkan hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya, mereka juga mempunyai kelebihan dan kekurangan sama seperti manusia lainnya. Berkenaan dengan persoalan tersebut, supaya penyandang disabilitas mendapatkan perlindungan dalam kehidupannya, maka kita perlu melihat dan mengingat bahwa didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 D (1) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap warga masyarakatnya, termasuk penyandang disabilitas. Adapun usaha pemerintah untuk melindungi penyandang disabilitas ialah dengan mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat. Undang – Undang tersebut kemudian di tindaklanjuti melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Upaya peningkatan kesejahteran sosial penyandang cacat sesuai dengan pasal 4 diberikan melalui rehabilitasi dan bantuan sosial (bantuan sosial material dan bantuan sosial fiansial), serta adanya Undang – Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dalam pasal 25 menyatakan pembebasan bea masuk atas impor, barang untuk keperluan khusus tuna netra dan penyandang cacat lainnya. Sehingga mempermudah penyandang disabilitas atau penyandang cacat untuk mendapatkan bantuan sosial material. Hal tersebut diberikan kepada penyandang disabilitas, merupakan bentuk kepedulian pemerintah dalam memberikan perlindungan atau kemudahan mendapatkan fasilitas keperluan penyandang disabilitas dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial yang diarahkan kepada penyandang disabilitas dalam memperoleh taraf hidup yang wajar. Menurut Rahmat tentang Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat adalah63: Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, hanya dilaksanakan oleh dinas sosial melalui rehabilitasi, meliputi rehabilitasi pendidikan, kesehatan/ medik dan rehabilitasi pelatihan, serta bantuan sosial material dan bantuan sosial finansial. Pelaksanaan peningkatan kesejahteraan penyandang cacat yang dilakukan dinas sosial sudah cukup bagus, dikarenakan sebagian penyandang cacat sudah dapat merasakan kemanfaatannya. Faktor penghambat dalam menjalankan peraturan pemerintah tersebut ialah kurangnya jumlah serta pemahaman aparatur pemerintah yang di anggap masih kurang, semakin bertambahnya penyandang cacat dari tahun ke tahun tidak sebanding dengan pendanaannya dan terbatasnya peran masyarakat dalam membantu penyandang disabilitas dan kurangnya aparatur atau petugas khusus yang menangani permasalahan penyandang disabilitas. Berdasarkan penjelasan di atas, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan penyandang cacat, sudah 63 Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua yayasan Tuna Netra Majlis Taklim Hikmah. Tanggal 02 April 2015 dinilai cukup bagus, dikarenakan sebagian penyandang disabilitas sudah bisa merasakan kemanfaatan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas. Adapun penyebab kurangnya optimal dalam mengimplimentasikan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 ialah anggaran dana yang terbatas, kurangnya peran masyarakat dalam membantu penyandang disabilitas, dan kurangnya pemahaman pemerintah serta jumlah aparatur pemerintah dalam menangani penyandang disabilitas. Sehingga UU No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, belum bisa memenuhi hak – hak penyandang disabilitas. Tonggak utama dalam memenuhi hak-hak penyandang disabilitas adalah setelah adanya Resolusi PBB No. 61 tahun 2006 tentang Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Sehingga ini menjadi suatu advokasi atau upaya yang dilakukan oleh tokoh penyandang disabilitas dan tokoh masyarakat lainnya, yang peduli terhadap penyandang disabilitas untuk merevisi UU No. 4 tahun 1997 kepada pemerintah Indonesia, yang bertujuan untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia, dan kemudian disahkannya Pengesahan UU No. 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Materi perbandingan UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang disabilitas dengan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Bisa dilihat pada tabel sebagai berikut64: Tabel 9 Perbandingan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dengan (CRPD) NO. 1. UU No. 4 TAHUN 1997 - Definisi penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya - Kesulitan berpartisipasi disebabkan oleh kelainan fisik dan mental. CRPD - Definisi penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakat, dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. - Kesulitan berpartisipasi disebabkan oleh hambatan lingkungan (fisik) dan sikap masyarakat (non fisik). - Yang diperlakukan didalam pemberdayaan penyandang disabilitas, perbaikan lingkungan fisik serta peningkatan kepedulian dan sensitivitas masyarakat untuk menuju kesetaraan martabat. 2. 3. 4. 64 Model penanganan terbatas pada upaya rehabilitasi kerusakan/kelainan (Medical Model). Kesejahteraan penyandang disabilitas dicapai dengan penyelenggaraan rehabilitasi sosial atau pendirian panti. Hal ini menunjukkan sebuah fenomena bahwa penyandang disabilitas dianggap sebagai obyek pelayanan rehabilitasi sosial. Paradigma Charity berbasis kesejahteraan. Upayaan kesejahteraan melalui panti-panti rehabilitasi dan Memberikan perlakuan lebih, perlakuan khusus, aksesibilitas, kemudahan, kepedulian dan penghilangan stigma negatif demi mewujudkan kesetaraan dengan yang lainnya (Sosial Model). Menempatkan penyandang disabilitas sebagai subyek pembangunan dan merekomendasikan agar penyandang disabilitas dilibatkan dan didorong untuk berpartisipasi penuh dalam perencanaan pelaksanaan, monitoring serta evaluasi pembangunan. Paradigma berbasis Hak Asasi Manusia dengan mengedepankan kesetaraan peluang dan hak dalam segala aspek Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, httppshk.or.idsiteq=idcontentadvokasi-ruupenyandang-disabilitas. Di akses 18 maret 2015 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. paket-paket pelatihan vokasional yang terbatas dan seringkali justru membatasi peluang penyandang disabilitas. Pemerintah menerapkan kebijakan kesejahteraan residual. Artinya, penganggaran di bidang peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas dilakukan setelah ada sisa anggaran dari bidang-bidang lain yang lebih diprioritaskan Kategorisasi penyandang disabilitas atau penyandang cacat termasuk kedalam kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang memposisikan mereka satu jenis dengan pekerja seks komersial (PSK), pecandu narkoba, serta gelandangan dan pengemis (gepeng). Membicarakan penyandang cacat secara umum tanpa memperhitungkan kondisi spesifik anak-anak dan sama sekali tidak menyebutkan prempuan disabilitas. Pemangku kewajiban adalah Pemerintah dan masyarakat. UU Penyandang cacat bersifat parsial hanya memuat enam hak (antara lain: pendidikan, ketenagakerjaan, pelayanan kesehatan, aksesibilitas, rehabilitasi sosial, bantuan sosial. Dalam tataran pemerintahan, sektor disabilitas merupakan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Kementerian Sosial yang wilayah kerjanya hanya pada bidang rehabilitasi, bantuan, serta perlindungan bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Sanksi yang ada sangat lemah dan hanya berlaku terhadap kuota 1% tenaga kerja Penyandang disabilitas. Namun, karena tidak ada mekanisme pengawasan, hal itu pun tidak dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya. Mengamanatkan lembaga koordinasi yang kini namanya menjadi Tim kehidupan. CRPD yang memandang penyandang disabilitas sebagai manusia utuh yang berhak menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan inklusi disegala bidang. Dengan demikian, penganggaran dibidang disabilitas pun dilakukan secara simultan, proposional dengan tahapan serta target-target yang jelas dan terukur. Menekankan penghormatan atas perbedaan dan penerimaan orang-orang dengan disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan rasa kemanusiaan. Mencantumkan kondisi spesifik perempuan disabilitas dan anak yang menyandang disabilitas, hak-haknya, dan tanggung jawab Negara untuk melindungi dan memenuhi hak-haknya. Secara tegas menyatakan bahwa pemangku kewajiban adalah Negara yang dalam hal ini pemerintah. CRPD lebih komprehensif dengan mencakup 26 Hak Asasi secara terperinci, antara lain: aksesibilitas, hak hidup, situasi–situasi beresiko dan darurat kemanusiaan, pengakuan yang setara di hadapan hukum, akses atas peradilan, kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan dan lainnya Disabilitas merupakan tupoksi berbagai Kementerian (seperti KEMKES, KEMENAKER, KEMENPU, KEMENPERHUB, BPS, Olahraga, Pariwisata dll.). Mengamanatkan adanya mekanisme independen yang diperlukan untuk memajukan, melindungi dan memonitor pelaksanaan konvensi. Mengamanatkan adanya lembaga koordinasi antar-kementerian/lembaga UPKS Penca. Tidak ada mekanisme pengawasan implementasi UU ini. negara (CRPD Pasal 33 ayat 1). Mengamanatkan mekanisme independen untuk monitoring dan evaluasi (CRPD Pasal 33 ayat 2 dan 3). Sumber: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia Menurut Yana Sunarya, tokoh-tokoh penyandang disabilitas sepakat dalam perbandingan UU diatas, ada 7 poin penting yang harus diperhatikan atau diperjuangkan dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2011 ialah65: Pertama, undang-undang yang dibutuhkan adalah UU baru, bukan sekadar merevisi sebagian UU Penyandang Cacat. Kedua, pengatur dalam UU Penyandang Disabilitas haruslah lengkap dalam rangka pelaksanaan dari prinsip-prinsip yang tercantum dalam CRPD. Ketiga, UU baru harus mampu mengubah cara pandang terhadap penyandang disabilitas. Keempat, UU baru harus menempatkan isu pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sebagai isu multisektor, tidak lagi terpusat dalam bidang sosial. Kelima, UU baru diproyeksikan untuk memfasilitasi penyandang disabilitas untuk hidup mandiri dan berbaur dengan masyarakat. Keenam, UU baru harus mengatur perihal lembaga khusus yang akan fokus dalam menindaklanjuti dan mengawasi pelaksanaan UU itu sendiri, dan khususnya pelaksanaan CRPD di Indonesia. Ketujuh, pendataan penyandang disabilitas yang relevan sesuai fakta di lapangan. Dari penjelasan di atas, di artikan untuk menuntut keseriusan pemerintah dalam memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Poin pertama dan kedua diharapkan Undang-Undang No.19 Tahun 2011 bukan hanya sekedar revisi sebagian atau alakadarnya, melainkan isi muatan UndangUndang tersebut harus mencakup semua lembaga-lembaga pemerintahan, bertujuan untuk dapat mengkoordinir kebutuhan penyandang disabilitas. Poin ketiga, difokuskan untuk mengubah cara pandang masyarakat pada umumnya terhadap penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas bukanlah yang suatu 65 Hasil Wawancara-Yana Sunara. Guru SLB Negeri Tamansari Kota Tasikmalaya tanggal 18 Maret 2015 harus dikasihani, bukan suatu aib ataupun sesuatu yang hina, tidak bisa mandiri atau merepotkan, mereka hanya perlu diperhatikan lebih, dan diberikan ruang, waktu dan cara yang berbeda agar menjadi manusia yang mampu melakukan aktifitas seperti masyarakat normal pada umumnya. Poin ke-empat, pemenuhan hak-hak penyandang disbilitas sama halnya dengan hak-hak masyarakat pada umumnya, selain bidang sosial penyandang disbilitas memerlukan haknya dalam berpendidikan, ekonomi, politik, informasi dan teknologi. Poin ke-lima, berupa akses dan fasilitas untuk mendorong terpenuhinya hak penyandang disabilitas, bertujuan supaya penyandang disbilitas mampu mandiri dan bisa berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Poin ke-enam, adanya lembaga independen, kelompok atau organasisai penyandang disabilitas dan organisasi yang peduli terhadap penyandang disabilitas, bertujuan dalam menindaklanjuti dan mengawasi pelaksanaan Undang-Undang No.19 Tahun 2011. Poin ke-tujuh, Pendataan penyadang disabilitas yang sesuai dengan data fakta dilipangan, dikarenakan akan berpengaruh dalam pembentukan kebijakan-kebijakan skala nasional maupun daerah, dalam upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Kategori Penyandang Disabilitas di Indonesia Undang-Undang No.19 Tahun 2011: 1. Tunanetra 2. Tunarungu, Tunawicara 3. Tuna Grahita 4. Tunalaras, Tuna Daksa 5. Autis, dan Sindroma AspergerKesulitan Belajar/Lambat Belajar (antara lain : Hyperaktif, ADD/ ADHD, Dysgraphia/ Tulis, Dyslexia/ Baca). 4.3 Identitas Kelompok Penyandang Tuna Netra di Kota Tasikmalaya Jumlah penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya, yang teridentifikasi dan sesuai dengan data rekapitulasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kota Tasikmalaya (2012) adalah 644 orang, jumlah anak dengan kedisabilitas 287 orang, dan jumlah penyandang tuna netra 62 orang (2014)66. Data rekapitulasi penyandang masalah kesejahteraan Sosial (PMKS) Kota Tasikmalaya (2012), bisa dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 10 Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kota Tasikmalaya (2012) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 66 PMKS Anak Balita Terlantar Anak Terlantar Anak Yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Anak Jalanan Anak Dengan Kedisabilitas Wanita Rawan Sosial Ekonomi Lanjut Usia Yang Menjadi Korban Kekerasan Lanjut Usia Terlantar Penyandang Disabilitas Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Hukum Wanita Tuna Susila Pengemis Bekas Warga Binaan LP Korban Penyalahgunaan NAFZA Keluarga Miskin JUMLAH 9.090 4.485 57 8 187 287 11.043 3.125 644 142 115 38 238 58 56.177 Hasil Wawancara-Dewi.Setianingsih Dinas Sosial Kota Tasikmalaya. tanggal 27 Januari 2015 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Pemulung Kelurga Bermasalah Sosial Psikologis Keluarga Yang Tinggal di Daerah Rawan Bencana Korban Bencana Alam Korban Bencana Sosial Pekerja Migran Bermasalah Orang dengan HIV/AIDS Komunitas Adat Terpencil Korban Trafficking Gelandangan Korban Tindak Kekerasan Kelompok Minoritas 509 31 1.491 1 2 210 1 11 31 210 Sumber: Dinas Sosial - Kota Tasikmalaya Kelompok disabilitas di Kota Tasikmalaya Tahun 2015 berjumlah tiga (3) Kelompok yaitu, Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia), Garkatin (Gerakan Tuna Wicara) dan Yayasan Tuna Netra. Kelompok tersebut di harapkan menjadi advokasi bagi para-penyandang disabilitas khususnya tuna netra, dan tuna wicara dalam mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara Indonesia dan warga Kota Tasikmalaya, sesuai yang tercantum dalam UU No. 9 Tahun 201167. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya masih sering terjadi, bisa kita lihat dari cara pandang (paradigma), perlakuan, pengakuan, hak-hak dalam masyarakat maupun fasilitas umum yang digunakan. Salah satu bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya menurut Yana Sunarya adalah68: Dari cara pandang (paradigma) masyarakat, ketika di masa anak-anak saat mereka duduk di bangku pendidikan. Anak 67 68 Hasil Wawancara-Koni Firman Suteja. Ketua DPC Petuni Kota Tasikmalaya. tanggal 16 Maret 2015 Hasil Wawancara-Yana Sunara. Guru SLB Negeri Tamansari Kota Tasikmalaya tanggal 18 Maret 2015 penyandang disabilitas kini dalam bahasa akademik disebut dengan sebutan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), namun sebelum menjadi sebutan ABK, dahulu orang-orang menyebut “mereka” dengan “Anak Cacat” atau Handicap, kemudian sebutan itu berubah menjadi Anak Luar Biasa atau ALB, dan kemudian disempurnakan menjadi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sebutan “anak cacat” kerap-kali di identifikiasi seusatu yang “hina atau aib” apabila seseorang menyandang cacat dan sebuatan cacat merupakan bentuk penindasan atau diskriminasi terhadap anak penyandang disabilitas. Sehingga tokoh penyandang disabilitas, guru-guru penyandang disabilitas bersama pemerintah Kota Tasikmalaya, sepakat dalam rangka merealisasikan UU No. 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Bahwa seorang anak yang menyandang kedisabilitasan, bukan lagi dengan sebutan “anak cacat”, melainkan dengan sebutan anak berkebutuhan khusus (ABK), bertujuan untuk menghilangkan stigma negatif bagi anak penyandang disabilitas.. Dari penjelasan di atas, bahwa seorang anak disebut berkebutuhan khusus, apabila memiliki kebutuhan khusus untuk menyesuaikan program pendidikan. Hal ini disebabkan karena keadaan mereka yang tidak dapat menerima pendidikan dengan cara biasa, akibat dari keterbatasan, ketidakmampuan, kelainan yang mereka miliki, ataupun juga mereka memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda dari pada anak yang lainnya. Sehingga dengan sebutan anak berkebutuhan khusus bagi anak penyandang disbilitas, merupakan salah satu bentuk terobosan untuk menghilangkan stigma negatif bagi anak penyandang disabilitas. Fasilitas dan sarana umum untuk penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas lainnya di Kota Tasikmalaya, menurut Koni Firman Suteja adalah69: 69 Ibid68 Fasilitas dan sarana umum di Kota Tasikmalaya sangat terbatas sekali, hanya ada di sekolah dan di Rumah sakit, namun di Rumah sakit alat fasilitas penyandang disabilitas seperti kursi roda, tongkat kaki dan tongkat tuna netra tidak gratis, kita harus membelinya dengan harga yang sangat mahal, sedangkan kalau di sekolah setiap ajaran baru suka diberikan alat fasilitas penunjang pembelajaran anak disabilitas di berikan secara gratis. Adapun fasilitas dan sarana umum seperti angkutan umum, trotoar, rambu-rambu lalu lintas itu tidak ada sama sekali. Sehingga menyulitkan penyandang tuna netra, serta penyandang disabilitas lainnya untuk mandiri dan berbaur dengan masyarakat pada umum lainnya. Adanya ruang fasilitas untuk penyandang disabilitas ditempat arena lingkungan hiburan Alun – Alun Kota Tasikmalaya, itupun merupakan pemberian dari Pemerintah Provinsi Jawa barat dan sangat membantu penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas lainnya dalam berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Faktor terbatasnya fasalitas dan sarana umum bagi penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya ialah tidak adanya Peraturan Walikota ataupun Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya dalam menangani penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya. Dari penjelesan di atas, Fasilitas dan sarana umum untuk penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya sangat minim sekali. Padahal Aksebilitas publik bagi penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas lainnya sangat diperlukan sekali untuk memobilisasi penyandang disabilitas menjadi mandiri, dan menghilangkan stigma negatif di masyarakat. Sehingga pemerintah Kota Tasikmalaya perlu memperhatikan penyandang disabilitas dengan memberikan aksebilitas publik bagi penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas lainnya. Adapun bentuk permasalahan lainnya bagi penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya, Menurut Rahmat adalah70: 70 Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua yayasan Tuna Netra Majlis Taklim Hikmah. Tanggal 02 April 2015 Penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya masih dianggap sebagai seorang manusia yang tidak akan mampu untuk mengikuti atau melakukan suatu pekerjaan yang sama seperti Orang yang normal pada umumnya, kecuali mengemis di jalanan dan penyandang tuna netra harus dikasihani. Upaya yang dilakukan Bapak. Rahmat dan tokoh penyandang tuna netra lainnya di Kota Tasikmalaya ialah merangkul penyandang tuna netra yang ada di Kota Tasikmalaya, dengan cara memberikan pendidikan membaca buku braile, kitab AlQur’an braile, usaha warung dan pulsa, serta ketrampilan, seperti pijat, musik, bahkan diberikan jadwal mengisi tempat untuk membuka praktik pijatnya di Yayasan Tuna Netra, DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dan di tempat penyandang tuna netra yang membuka dua tempat klinik panti pijatnya. Hal ini terjadi disebabkan, kurangnya pemahaman tentang disabilitas oleh keluarganya, masyarakat, dan pemerintah selaku pemegang kebijakan. Penyandang disabilitas bukanlah manusia yang perlu dikasihani, penyandang tuna netra mereka hanya membutuhkan cara yang berbeda” untuk belajar, ruang aktualisasi karya dan sedikit perhatian bersama. Sehingga penyandang tuna netra menjadi manusia yang berdaya dan mampu bersaing layaknya manusia pada umumnya. Penyandang tuna netra merupakan bagian dari kelompok disabilitas yang mempunyai keterbatasan atau permasalahan di dalam penglihatan. Omrod (2011) mengemukakan Visual Impairment (gangguan penglihatan) atau yang sering kita sebut dengan tuna netra dibagi kedalam dua kategori yaitu71, totally blind (buta total) dan low vision (penglihatan samar). Low vision iaalah seorang penyandang tuna netra yang masih memiliki sisa 71 Omrod. Diterjemahkan oleh Nyoman Surna, olga D. Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan 1. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal: 225 penglihatan 20 atau 70 feet. Totally blind seorang penyandang tuna netra yang sudah tidak mempunyai sisa penglihatan. Kehilangan penglihatan sering mengakibatkan masalah-masalah sosial, seperti penolakan oleh lingkungan sosialnya, kesulitan membina hubungan sosial, dan sikap belas kasihan dan over proteksi dari orang-orang lain (Steffens & Bergler, 1998 dalam Ben-Zur & Debi, 2005)72. Terlepas dari semua itu, Helen Keller (dalam Dodds, 1993)73, mengamati bahwa hambatan utama bagi individu tuna netra bukan ketuna netraannya itu sendiri, melainkan sikap masyarakat terhadap tuna netra. Keterbatasan-keterbatasan yang terkait dengan kecacatan sebagian besar diakibatkan oleh lingkungan yang nonakomodatif dan sikap diskriminatif, bukan oleh kekurangan fungsional yang terkait dengan kecacatan itu sendiri (Seelman, 1998 dalam Bellini & Rumrill, 1999)74. Upaya yang dilakukan tokoh penyandang tuna netra se-Indonesia dan tokoh penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya, dalam rangka menghilangkan diskriminasi terhadap penyandang tuna netra ialah membangun sebuah relasi atau kelompok khusus untuk tuna netra di Kota Tasikmalaya, seperti Yayasan Tuna Netra, DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dan DPC ITMI Kota Tasikmalaya75. Hal tersebut dilakukan oleh tokoh penyandang tuna netra, bahwa setiap individu membutuhkan individu lain 72 73 74 75 Etd.ugm.2010. http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod= download&sub= DownloadFile&act= view&typ= html & file=260210. pdf&ftyp= potongan&tahun= 2014&potongan= S2-2014260210-chapter1 .pdf. Di akses : 22 Januari 2015 Ibid72 Ibid72 Hasil Wawancara-Koni Firman Suteja. Ketua DPC Petuni Kota Tasikmalaya. tanggal 16 Maret 2015 untuk membangun relasi, serta membantu penyandang tuna netra untuk mampu berinteraksi dengan satu sama lain dan masyarakat pada umumnya. DPC Pertuni Tasikmalaya berdiri pada tahun 1995, pada saat itu Kota Tasikmalaya masih bernama Kabupaten Tasikmalaya, ketuanya oleh Jajang. Setelah terbaginya Tasikmalaya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, DPC Pertuni Kota Tasikmalaya baru dideklarasikan pada tanggal 12 Juli 2012 ketuanya oleh Koni Firman Suteja76. Yayasan Tuna Netra berdiri pada tanggal 5 Mei 2011, ketuanya M. Rahmat77. DPC ITMI Kota Tasikmalaya berdiri pada tahun 2013 ketuanya Supriyatno, namun dibulan September tahun 2014 secara resmi DPC ITMI Kota Tasikmalaya dibubarkan, dengan dalih jumlah penyandang tuna netra di Kota Tasikmlaya sedikit dan anggotanya DPC ITMI sama dengan dengan anggota DPC Pertuni dan Yayasan Tuna Netra, maka untuk memperkuat solidaritas penyandang tuna netra yang ada di Kota Tasikmalaya lebih baik satu organisasi dan satu Yayasan saja78. DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dibentuk pada tanggal 12 juli 2012 ketuanya oleh Koni Firman Suteja, seketaris Usman, bendahara Yuni dan Dapercab (Dewan Perwakilan cabang) Ahmad darojat, beranggotakan sekitar 45 orang pada awal berdirinya pertuni dan sekarang beranggotakan sekitar 60 orang. DPC Pertuni Kota Tasikmalaya, bertujuan untuk membangun silaturrahim dikalangan antara-penyandang tuna netra yang ada di Kota 76 77 78 Hasil Wawancara-Koni Firman Suteja. Ketua DPC Petuni Kota Tasikmalaya. Tanggal 16 Maret 2015. Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Tanggal 2 April 2015 Op.Cit76 Tasikmalaya, tanpa memandang latar belakang penyandang tuna netra tersebut (seperti dari agama), sehingga berlatar belakang dari agama manapun bisa menjadi anggota DPC Pertuni Kota Tasikmalaya79. Selain membangun siliaturrahim DPC Pertuni Kota Tasikmalaya juga bertujuan untuk memberikan atau mengembangkan bakat keterampilan bagi anggota Pertuni, dengan cara berbagai kegiatan seperti, keterampilan anyaman, pijat, lulur, musik dan agama (membaca buku kitab Agama braile) dan pendidikan ataupun pelatihan bagi penyandang tuna netra. Seketariat DPC Pertuni Kota Tasikmalaya pada awal dibentuk, bertempat di rumah atau di kediaman Koni yang terletak di Brujul80. Seiring kemajuan DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dan inisiatif dari anggota Pertuni, maka pada tanggal 20 Januari 2015 DPC Pertuni Kota Tasikmalaya membuat Seketariat baru, terletak di pemukiman padat warga Karoeng, Jl. Taman Pahlawan Kel. Cikalang Kec. Tawang. Seketariat DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dipergunakan untuk tempat kumpul atau perkumpulan anggota Pertuni, digunakan untuk pijat tuna netra dan lulur. Pijat tuna netra dan lulur tuna netra merupakan salah satu kegiatan penyandang tuna netra dalam rangka untuk mensejahterakan penyandang tuna netra dan bentuk perjuangan penyandang tuna netra dalam mengenalkan dirinya kepada masyarakat normal pada umumnya. Pijat tuna netra dinamakan pijat sport body (pijat kebugaran badan)81, pijat tuna netra 79 Op.cit76 Op.cit76 81 Op.Cit76 80 atau sport body berkisar seharga Rp. 40.000, - Rp. 50.000. Rp. 40.000,- di pijat di tempat, sedangkan untuk yang Rp. 50.000, apabila dipanggil kerumah pasien. Lulur tuna netra ditarif seharga Rp. 50.000,- untuk keterampilan lulur ini hanya dilakukan oleh perempuan penyandang tuna netra. DPC Pertuni Kota Tasikmalaya suka mengadakan kerja sama dengan Dinas Sosial Kota Tasikmalaya dan Wyata guna bandung, dalam mengembangkan keterampilan penyandang tuna netra Kota Tasikmalaya. Tahun 2012, 16 orang penyandang tuna netra mendapatkan pendidikan melalui out reet dari wyata guna Bandung, dan tahun 2013, 18 orang penyandang tuna netra mendapatkan latihan baca tulis Al-Quran braile di hotel mangkubumi82. Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam memenuhi UU No. 19 tahun 2011 tentang pengesahan konvensi hak-hak penyandang disabilitas, telah melakukan upaya bersama dengan dinas sosial Kota Tasikmlaya, DPC Pertuni bekerja sama dengan Pokja (kelompok kerja) provinsi Jawa Barat meluncurkan dana insetif, yang dianamakan bantuan Usaha Ekonomi produktif (UEP). Bantuan UEP tersebut sebesar Rp. 4.150.000,-/orang. Sembilan (9) orang penyandang tuna netra yang mendapatkan bantuan UEP di gunakan untuk menambah usaha anggota Pertuni tersebut, seperti warung, panti pijat, dan peralatan musik83. Yayasan Tuna Netra Tasikmalaya berdiri tanggal 5 Mei tahun 2011, breanggotakan sama dengan DPC Pertuni Kota Tasikmalaya sekitar 60 orang 82 83 Op.Cit76 Op.Cit76 diketuai oleh Mamat Rahmat, bertempat di Jl. Rumah Sakit Umum (RSU) Kota Tasikmalaya Gg. Cintarasa 1 Kel. Kahuripan Kec. Tawang. Berdirinya Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya bertujuan untuk silatuhrahmi antara penyandang tuna netra dan mengembangkan keterampilan penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya, seperti Pijat, musik, dan keterampilan lainnya. Perbedaan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya dengan DPC Pertuni Kota Tasikmalaya ialah Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya membentuk Majlis Taklim Hikmah yang kegiatannya lebih ke-agamaan, seperti pengajian, ceramah dan qosidahan84. Kegiatan yang dilakukan DPC Pertuni dan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya diharapkan bisa membuktikan bahwa menyandang disabilitas tuna netra atau seorang manusia yang mempunyai kelainnan fisik, bukanlah suatu yang hina dan bukan pula sesuatu yang harus dikasihani. Mereka (penyandang tuna netra) sama halnya dengan masyarakat normal pada umumnya, apabila mereka diberdayakan maka meraka mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Menurut Castells identitas merupakan peroses konstruksi dasar dari budaya dan psikokultural dari seorang individu yang memberikan arti dan tujuan hidup dari individu tersebut karena terbentuknya identitas adalah dari proses dialog internal dan interaksi sosial. Castells menyebutkan ada tiga 84 Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Tanggal 2 April 2015 bentuk pembangunan identitas yang berhubungan dengan peran dan arah pembangunan identitas serta kegunaannya, diantaranya85 : 1. Identitas legitimasi (legitimizing identity) yaitu identitas yang diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu masyarakat untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya terhadap aktor-aktor sosial, seperti misalnya suatu institusi negara yang mencoba meningkatkan identitas kebangsaan anggota masyarakat. Untuk mengetahui Identitas legitimasi (legitimizing identity) sebagai salah satu sumber pembentukan identitas penyandang tuna netra Kota Tasikmalaya ialah ada nya UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak–Hak Penyandang Disabilitas. Penyandang tuna netra merupakan bagian dari kelompok disabilitas yang mengalami gangguan fisik dalam penglihatan dan disabilitas itu sendiri ialah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. UU No. 19 Tahun 2011 merupakan langkah institusi Negara Indonesia, untuk meningkatkan identitas kebangsaan anggota masyarakatnya (salah satunya identitas penyandang tuna netra). 85 Buchari. Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Hal : 23 Dengan demikian, Tasikmalaya yang adalah harus harus dilakukan adanya pemerintah Kota pengembangan atau pemberdayaan bagi penyandang tuna netra, serta peningkatan kepedulian dan sensitifitas masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif menuju kesetaraan derajat yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Sehingga dengan adanya pengembangan atau pemberdayaan bagi penyandang tuna netra, diharapkan penyandang tuna netra mampu mendobrak keterbatasan mereka, dan serta mengubah stereotip di masyarakat pada umumnya. 2. Identitas resisten (resistance identity) yaitu sebuah proses pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial yang dalam kondisi tertekan dengan adanya dominasi dan stereotipe oleh pihak-pihak lain sehingga membentuk resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan untuk keberlangsungan hidup kelompok atau golongannya. Pembentukan kelompok penyandang tuna netra, sperti Yayasan Tuna Netra dan DPC Pertuni Kota Tasikmalaya itu dilakukan oleh aktor-aktor penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya, dalam rangka menghilangkan diskriminasi terhadap penyandang tuna netra. Diskriminasi terhadap penyang tuna netra ialah cara pandang (paradigma), perlakuan pengakuan dalam masyarakat normal pada umumnya dan fasilitas umum yang digunakan. Sehingga aktor-aktor penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya membangun sebuah relasi atau membentuk kelompok khusus penyandang tuna netra bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap penyandang tuna netra. Hasil dari observasi penelitian, kelompok–kelompok tersebut membangun kegiatan dalam pengembangan atau pemberdayaan bagi penyandang tuna netra, baik secara ekonomi maupun sosial. Upaya pengembangan atau pemberdayaan yang dilakakuan oleh aktor-aktor penyandang tuna netra atau kelompok-kelompok tuna netra ialah adanya keterampilan pijat, musik, dan pendidikan. Kegiatan pengembangan tersebut juga bertujuan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya. 3. Identitas proyek (project identity) yaitu suatu identitas dimana aktoraktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisi-posisi baru dalam masyarakat sekaligus mentranspormasi struktur masyarakat secara keseluruhan. Adanya kelompok DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dan Yayasan Tuna Netra, diharapkan mampu mendobrak keterbatasanketerbatasan yang dimiliki penyandang tuna netra. Sehingga mampu menempatkan posisi penyandang tuna tuna netra di ranah publik, dikarenakan merekea (penyandang tuna netra) mampu melakukan seperti masyarakat normal pada umumnya, salah satunya mampu dalam beroganisasi, mampu berdakwah atau berpidato, mampu bermain musik dan mampu mendapatkan penghasilan, baik dengan memijat, bermain musik ataupun usaha-usaha lainnya, seperti jual beli pulsa dan membuka warung. Kelompok DPC Pertuni dan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya, diharapkan mampu menjadi tempat atau lembaga advokasi untuk mendorong dan menuntut pemerintah Kota Tasikmalaya dalam memberikan perlindungan dan memenuhi kebutuhan bagi penyang tuna netra di Kota Tasikmalaya. Dengan demikian, kelompok – kelompok penyandang tuna netra diharapkan bisa merubah struktur masyarakat secara kseluruhan, dan pemerintah memandang peranan penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya. 4.4 Perjuangan Kelompok Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses Pendidikan di Kota Tasikmalaya 4.4.1 Aksebilitas Pedidikan Formal bagi Penyandang Tuna Netra di Kota Tasikmalaya Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Sehingga negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (penyandang disabilitas). Secara hukum dan peraturan, pemenuhan hak pendidikan bagi setiap warga negara termasuk penyandang disabilitas telah dijamin oleh UndangUndang. Dalam UUD 1945 pasal 28 C (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pada pasal 1 (1)86 “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”. Untuk memperkuat dan memperjelas peratuan dan hukum yang di ungkapkan di atas, Menurut Pendidikan Menurut Sumber Hukum Positif RI antara lain87: 1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional, − Pasal 4 Ayat 1 : Pendidikan diselenggarakan berdasarkan demokrasi dan berkeadilan dan tanpa diskriminasi. − Pasal 5 ayat 2 yang menegaskan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. − Pasal 11 Ayat 1 : Kewajiban pemerintah untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi semua warga negara, tanpa adanya diskriminasi. − Pasal 12 Ayat 1b : Hak dari murid untuk memiliki pendidikan yang layak berdasarkan bakat, minat dan kemampuannya 86 Etd.ugm.2010. http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod= download&sub= DownloadFile&act= view&typ= html & file=260210. pdf&ftyp= potongan&tahun= 2014&potongan= S2-2014260210-chapter1 .pdf. Di akses : 22 Januari 2015. 87 Irwanto, Eva Rahmi kasim, dkk.. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indoneisa: Sebuah Desk-Review. Jakarta :Pusat Kajian Disabilitas. Universitas Indonesia 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional Pasal 41 tentang setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus 3. Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inlusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Puncaknya pada UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, maka harus adanya pengembangan atau pemberdayaan bagi kelompok penyandang disabilitas. Salah satunya adalah aksebilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 72 tahun 2013, pasal 10 tentang penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas88. Pendidikan bagi penyandang disabilitas pada umumnya yang kita ketahui adalah sekolah segregasi atau Sekola Luar Biasa (SLB), namun secara resmi peraturan pemerintahan Kota Tasikmalaya aksebilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas ialah89 keluarnya Perwalkot atau adanya SK Piloting Inklusi Kota Tasikmalaya Nomor : 421.3/ 0146/ Dikdas 6 November Tahun 2013, tentang penetapan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi tingkat SD, SMP dan SLB Kota Tasikmalaya. 88 89 Toni Toni Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan usaha pemerintah dalam menjamin warga Negaranya mendapatkan pndidikan yang sama tanpa ada bentuk diskriminasi, termasuk penyandang disabilitas. Kita bisa melihat pada pasal 5 ayat 2 yang menegaskan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki hambatan, kelainan atau memiliki kemampuan potensi kecerdasan dan bakat istimewa, berhak memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam layanan pendidikan. Dalam perkembangannya, keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 70 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan, yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan, dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Hal ini tentunya merupakan terobosan, dalam bentuk pelayanan pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas dengan bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusi. Adanya penyelenggaraan pendidikan inklusi, bertujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya, dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif. Adanya SK Piloting Tahun 2013 dan susunan Pokja Perwalkot tentang pendidikan inklusif Tahun 2013, merupakan usaha pemerintah Kota Tasikmalaya memberikan kesamaan hak-hak penyandang disabilitas dalam mengakses pendidikan. Sehingga diaharapkan bisa merealisasikan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dalam hal berpendidikan. Menurut Hendra Lesmana, staf Disdik-seksi PP (Penunjang pembelajaran) dan beliau juga selaku bendahara Pokja (Kelompok Kerja) Perwalkot tentang pendidikan inklusif Tahun 2013, mengatakan SK Piloting sekolah penyelenggara pendidikan inklusif sebgai berikut: Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah sekolah regular yang menyelenggarakan atau menyediakan kuota untuk anak didik yang berkebutuhan khusus, namun untuk saat ini pendidikan sekolah inklusi tersebut jangan disamaratakan dengan anak berkebutuhan khusus yang mines ( anak didik berkebutuhan khusus yang selalu di bimbing, seperti tuna netra, tuna rungu, autis dan lainnya), tp sekolah pendidikan inklusi anak berkebutuhan khusus yang di maksud ialah anak yang memiliki Cerdas Istimewa (CI) dan Bakat Istimewa (BI). Anak cerdas istimewa dan bakat istimewa ialah anak yang mempunyai intelegensi tinggi atau IQ di atas rata-rata dengan anak-anak yang lainnya, sehingga anak tersebut pendidikannya harus di tambah, dengan kata lain harus di beri perhatian khusus atau berkebutuhan khusus, supaya bisa lebih maksimal dalam mengoptimal kemampuannya. Omrod (2011) memberikan penjelasan tentang anak yang berkebutuhan khusus, dalam kategori anak yang memiliki cerdas istimewa dan bakat istimewa atau Students with advanced cognitive development adalah90: anak yang memiliki kemampuan luar biasa atau bakat dalam satu atau beberapa bidang, dan anak ini membutuhkan pengayaan khusus yang tidak sama dengan anak pada umumnya, agar potensi anak tersebut berkembang secara optimal. Berdasarkan data di atas, maka implementasi sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di Kota Tasikmalaya untuk saat ini ialah anak berkebutuhan khusus, anak yang memiliki cerdas istimewa dan bakat istimewa (anak yang memiliki intelegnsi diatas rata-rata), harus diberikan perhatian atau pembelajaran lebih dibandingkan anak umumnya, bertujuan untuk mengoptimalkan perkembangan anak secara maksimal. Sehingga SK. Piloting pendidikan inklusi Kota Tasikmalaya tahun 2013 dan adanya Pokja ( Kelompok Kerja) Perwalkot pendidikan inklusif tahun 2014, belum bisa merealisasikan UU No. 19 tahun 2011 tentang hak-hak penyandang disabilitas dalam berpendidikan. Realitas dilapangan pendidikan inklusi di Kota Tasikmalaya belum semua anak berkebutuhan khusus bisa merasakan pendidikan di sekolah regular atau anak penyandang tuna netra duduk di sekolah umum bersama anak normal pada umumnya. Menurut hendra lesmana, ada 40 sekolah penyelenggara inklusi terdiri dari 21 Sekolah SD, 13 Sekolah SMP dan 6 SLB. Setelah hasil asesmen dan tes seleksi guru – guru sekolah regular penyelenggara pendidikan inklusi ialah: 90 Omrod. Diterjemahkan oleh Nyoman Surna, olga D. Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan 1. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal: 202 sekolah regular atau sekolah penyelenggara pendidikan inklusi selain menangani anak CI – BI, hanya baru mampu menengani anak berkebutuhan khusus dalam kategori anak yang mengalami kesulitan belajar/ lambat belajar dan belum ada sekolah penyelanggara pendidikan inklusi “sekolah regular” yang mampu menangani anak penyandang tuna netra, tuna rungu, grahita dan yang lainnya (anak berkebtuhan khusus yang selalu di bimbing). Dari penjelesan di atas, sekolah regular yang menyelenggakaran pendidikan inklusi, realitas dilapangan anak penyandang tuna netra belum bisa menikmati pendidikan sekolah regular, atau belum bisa duduk bersama dengan anak normal pada umumnya di sekolah, dikarenakan belum adanya guru yang berkompeten dalam menangani anak berkebtuhan khusus yang selalu dibimbing salah satunya anak penyandang tuna netra. Sehingga SK Piloting sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di Kota Tasikmalaya belum dapat merealisasikan UU No. 19 Tahun 2011 dalam hal pendidikan. Pendidikan lembaga formal “sekolah” di Kota Tasikmalaya, yang melayani Anak penyandang disabilitas yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah yang melayani anak penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya antara lain: 1. SLB Negeri Tamansari Kota Tasikmalaya 2. SLB Aisyiyah kawalu 3. SLB Yayasan Bahagian 4. SLB Yayasan Pendidikan Patriot 5. SLB ABC Argasari Lestari 6. SLB Yayasan Ihsan Sejahtera Namun dari ke-6 SLB tersebut, hanya 1-SLB yang tidak melayani berkebutuhan tuna netra, yaitu SLB Yayasan Ihsan Sejahtera. Adapun penyebab SLB yayasan ihsan sejahtera tidak melayani berkebutuhan bagi penyandang tuna netra ialah kurangnya seorang guru atau pengajar bagi penyandang tuna netra, serta fasilitas sarana dan prasarana belum ada bagi penyandang tuna netra. Pembelajaran di SLB dengan sekolah umum lainnya menurut Endang Jaenal Arifin, di tahun 2014-2015 hampir sama menggunakan kurikulum 2013, yang membedakannya ialah: Di SLB kurikulum 2013 hanya baru kelas- 1, kelas-IV, kelasVII dan kelas-XI, untuk kelas yang lain masih menggunakan kurikulum 2006 Karya Tulis Siswa Pelajar (KTSP). Mata pelajaran yang didapat Anak berkebutuhan khusus (anak penyandang tuna netra) di SLB dengan anak normal pada umumnya itu sama, yang membedakannya hanya metode penyampaian belajar dan fasilitas sarana yang sedikit berbeda. Kurikulum yang digunakan sama halnya dengan sekolah umum lainnya, sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang dipersiapkan untuk mencapai kemandirian anak berkebutuhan khusus. Sehingga diperlukannya seorang pengajar atau guru yang mempunyai kemampuan mengadaptasi program pembelajaran berkebutuhan khusus bagi penyandang tuna netra, agar mampu memaksimalkan aktivitas belajar dan prestasi belajar penyandang tuna netra. Selain lembaga pendidikan formal serta guru yang berkompeten dalam menangani berkebutuhan khusus, penyandang tuna netra memerlukan alat peraga tulis yang berbeda dengan alat peraga tulis anak normal pada umumnya. Alat peraga tulis seperti buku dan pulpen cukup untuk proses belajar membaca dan tulis menulis bagi anak normal pada umumnya, namun bagi penyandang tuna netra memerlukan papan tulis braile, buku brile untuk proses belajar baca-membaca, sedangkan reglet dan pen diperuntukan untuk proses belajar tulis menulis. Fasilitas dan sarana di SLB sangat minim sekali apabila dibandingkan dengan sekolah regular lainnya. Fasilitas dan sarana merupakan suatu alat penunjang dalam proses belajar mengajar, salah satunya alat peraga tulis-belajar untuk proses baca-membaca dan tulismenulis. Anak normal pada umumnya peraga alat tulis seperti buku dan pulpen, sangat mudah untuk mendapatkannya, sedangkan untuk penyandang tuna netra memerlukan papan tulis-brile, reglet dan pen itu sulit mendapatkannya, baik di pasar maupun ditoko buku, bisa dikatakan sangat minim dan bahkan mungkin juga tidak ada, hanya sekolah SLB lah yang menyediakan alat peraga tulis-belajar tersebut. Terbukti pada tanggal 18, 20 dan 28 maret 2014, saya mencoba observasi ke toko buku yang ada di Kota Tasikmalaya seperti toko buku aa, toko buku cerdas (Jl. Hz. Zaenal Mustofa) dan toko buku asean, serta observasi ke-pasar cikurbuk dan ke-pasar lama pun tidak adanya alat peraga tulis papan brile, reglet dan pen, mereka mengatakan sedang kosong. Alat peraga papan tulis brile, reglet dan pen hanya ada di SLB, namun itu juga terbatas, apabila ingin memesan barang tersebut pihak SLB harus ke Bandung atau memesan ke Wyata Guna dan itupun barangnya Inden (Nunggu). Paling cepat selama 8 hari atau 2 minggu dan paling lama bisa mencapai satu bulan, dikarenakan pernah terjadi. Upaya Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk mencegah hambatan proses belajar mengajar anak penyandang tuna netra, dikarenakan tidak adanya alat perga tulis-belajar ialah memesan lebih supaya dijadikan simpanan atau cadangan, ditakutkan nantinya ada anak penyandang tuna netra yang kehilangnya alat peraga tulis-belajar, dan memberitahukan kepada anak penyandang tuna netra beserta orang tuanya ataupun keluarganya supaya alat peraga tulis-belajarnya jangan sampai hilang. Apabila hilang, maka susah mendapatkannya dan pihak sekolah tidak boleh memesan lebih dari 10 unit. Harga alat peraga tulis-belajar terbilang cukup mahal apabila dibandingkan dengan buku dan pulpen bagi anak normal pada umumnya, papan tulis braile berkisar seharga Rp. 8500 – Rp. 30.000 sesuai bahannya tersebuat dari-apa? apakah dari plastik, kayu, ataukah dari besi dan besar ukurannya berpengaruh pada harga. Tokoh penyandang Tuna Netra Kota Tasikmalaya, dalam kegiatan kumpulannya juga suka mengumpulkan dana dalam rangka membelikan buku panduan braile, Kitab Al-Quran Braile dan alat peraga tulis untuk keperluan anak penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya. Fasilitas dan sarana teknologi seperti komputer sangat minim sekali. Fasilitas sarana seperti kompuiter bagi tuna netra perlu di ajarkan, bertujuan pengembangan keterampilan dan pengetahuan dibidang teknologi dan informasi. Kompuiter bagi tuna netra merupakan kompuiter berbicara atau kompuiter braile. Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kota Tasikmalaya hanya dua (2) SLB yang mempunyai Kompuiter berbicara yaitu SLB Negeri Tamansari dan SLB Yayasan Bahagia itu-pun bukan milik sekolah melainkan milik guru pengajar tuna netra. Pelayanan pendidikan bagi penyandang tuna netra selain memberikan pembelajaran huruf braile, teknologi kompuiter, ataupun pengetahuan umum ialah yang terutama dengan memberikan pembelajaran Orintasi Mobilitas (OM). Pembelajaran “OM” harus dimulai dari apa yang diketahui anak penyandang tunanetra menuju apa yang belum diketahui, dari yang kongkrit ke yang abstrak, dari yang mudah ke yang sukar, dari lingkungan yang sepi ke lingkungan yang ramai, mulai dari diri anak penyandang tunanetra ke lingkungan terdekat, menuju ke lingkungan yang lebih luas. Tujuan diberikan pembelajaran Orientasi Mobilitas bagi anak penyandang tuna netra agar mereka dapat bergerak sesuai dengan tujuan dalam segala lingkungan, yang sudah familiar/ dikenal atau tidak familiar /tidak dikenal dengan aman, efisien, menyenangkan, dan kemandirian (Hill & Ponder, 1976). Meningkatkan kemandirian melalui pelajaran “OM” mempunyai banyak nilai dan dampak positif bagi seseorang penyandang tuna netra. Menurut Dedeh dalam bukunya Sari Rudiyati yang berjudul nilainilai pengajaran Orientasi Mobilitas (OM) sebagai berikut91: 1. Secara Psikis Orientasi Mobilitas dapat mengembangkan konsep diri seseorang. Ide agar mampu bergerak secara efisien dan mandiri dalam bermacam-macam lingkungan dapat menimbulkan tidak hanya penghargaan terhadap dirinya, tetapi juga dapat menimbulkan rasa percaya diri. 2. Secara Phisik Sejak Orientasi Mobilitas terlibat gerakan dalam ruang, tubuh penyandang tunanetra dapat terbentuk dalam proses. Baik gross motor/ kasar (pada waktu jalan); dan fine motor/ halus, yaitu dengan mengajarkan menggunakan tongkat secara terus-menerus dan dikuatkan dengan proses “OM”. 3. Sosial Dalam proses keterampilan “OM” yang baik menciptakan kesempatan sosial bagi individu penyandang tunanetra, yang dalam hal ini mempunyai keterbatasan visual. 4. Ekonomi Mempunyai keterampilan “OM” yang baik secara ekonomi dari dua perspektif. 91 Hasil Wawancara-Dedeh. SLB Yayasan Bahagia. Tanggal 10 April 2015. dapat membantu a. Mobilitas akan menciptakan kesempatan berkarya untuk individual penyandang tunanetra. b. Pilihan berjalan atau menggunakan sistem transportasi umum atau menggunakan taxi untuk mencapai tempat tertentu, agar menghemat waktu dan uang dari individu penyandang tuna netra. 5. Kegiatan Kehidupan Sehari-hari Banyak kegiatan kehidupan sehari-hari diatasi dan difasilitasi dengan “OM”. Misalnya, berbelanja menuntut keterampilan “OM” berhubungan dengan mengetahui lokasi toko/pasar, perjalanan menuju toko/pasar; menemukan benda jatuh dan menyapu lantai, merupakan contoh yang dalam kegiatan kehidupan sehari-hari mengandalkan pada pola menjelajah yang sistematik yang merupakan bagian dari pengajaran “OM”. Sesuai dengan ungkapan Dahama dan Bhatnagar (dalam bukunya Rulam Ahmadi, 2014) pendidikan adalah92: Pendidikan merupakan proses membawa perubahan yang di inginkan dalam perilaku manusia. Pendidikan juga dapat di definisikan sebagai proses perolehan pengetahuan dan kebiasaan – kebiasaan melalui pembelajaran atau studi. Perubahan – perubahan itu hendaknya dapat diterima secara sosial, kultural, ekonomis, dan menghasilkan pengetahuan, keterampilan sikap serta pemahaman. 92 Ruslam Ahmadi. 2014. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. Hal: 35 Adanya pendidikan OM bagi anak penyandang tuna netra bertujuan untuk mampu memobilitaskan dirinya, berkamampuan untuk berinteraksi dengan anak normal pada umumnya. Sehingga di kemudian hari anak penyandang tuna netra mampu mandiri, bersosialisasi dengan masyarakat pada mumnya, dan ikut berpastisipasi dalam kegiatan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Orientasi Mobilitas (OM) merupakan model pembelajaran bagi anak penyandang tuna netra untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minat peserta didik, menumbuh kembangkan bakat dan minat peserta didik, mempersiapkan peserta didik sebagai bagian dari anggota masyarakat yang mandiri serta mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sehingga pembelajaran bagi anak penyandang tuna netra dikembangkan atas dasar kesadaran ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, dan keterampilan sosial, merupakan salah satu mencakup keseluruhan dimensi kompetensi yang meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor, mata pelajaran. 4.4.2 Perjuangan Kelompok Penyandang Tuna Netra dalam Mengkases Pendidikan di Kota Tasikmalaya Menurut Lukmantoro (dalam bukuhnya Buchari, 2014)93 berpendapat politik identitas sebagai berikut: Politik Identitas merupakan sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan. Dari penjelasan di atas, olitik identitas merupakan respon terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali tidak adil, serta kehadiran politik identitas itu hadir oleh sekumpulan-sekumpulan masyarakat yang mengalami marginalisasi. Sesuai dengan yang diungkapkan Lukmantoro dalam bukunya Buchari, 2014), politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedapankan kepentingan – kepentingan dari anggota suatu kumpulan, karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, maka kelompok penyandang tuna netra lahir dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan komunitas tersebut. Hal tersebut mereka lakukan, karena mereka merasakan adanya ketidakadilan atau adanya diskriminasi terhadap mereka. Kelompok penyandang tuna netra juga berusaha memperjuangkan keberadan perbedaan yang dimiliki mereka dan hak-hak penyandang tuna netra sebagai bangsa Indonesia. Orang – orang yang bergabung dalam kelompok penyandang tuna netra tersebut, merupakan sekumpulan orang yang memliki kesamaan kekurangan fisik dalam penglihatannya yang berbeda dengan masyarakat pada umunya. 93 Buchari. Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Hal: 20. Kelompok ini juga berusaha dengan keras membangun identitasnya, diatas perbedaan fisik yang mereka miliki dengan masyarakat pada umumnya. Kelompok penyandang tuna netra juga bekerja keras mendapatkan hak – haknya, khususnya dalam berpendidikan, supaya penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya mampu mandiri dan bersaing dengan masyarakat pada umumnya. Terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh kelompok penyandang tuna netra memperjuangkan hak-hak penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya. Upaya tersebut dibagi kedalam tiga kategori yaitu kategori perjuangan kepada keluarga/ masyarakat sekitar, diri sendiri dan Pemerintah. Perjuangan tersebut dilakukan memperjuangkan keberadaan penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya dan mendapatkan hak – hak mereka sebagai warga masyarakat Kota Tasikmalaya khususnya dalam mengakses pendidikan. A. Kepada Keluarga Penyandang Tuna Netra dan Masyarakat Sekitar. Kelompok penyandang tuna netra memiliki upaya – upaya khusus untuk memperjuangkan hak-haknya, khususnya hak berpendidikan. Upaya tersebut, salah satunya kepada keluarga yang memiliki anak penyandang tuna netra dan masyarakat sekitar. Keluarga dan masyrakat sekitar mempunyai peran yang sangat penting untuk perkembangan penyandang tuna netra. peranan keluarga dan masyrakat sangat penting perkembangan penyandang tuna netra disaat masih kecil atau di usia anak-anak. Membesarkan anak adalah sebuah kewajiban bagi kedua orang tua, sehingga orang tua memiliki peran yang sama di dalam mengasuh anakanak dalam membantu anak mengembangkan identitas dirinya. Ketika orang tua mendapat karunia anak berkebutuhan khusus, tentunya situasi yang harus dihadapi akan menjadi sangat jauh berbeda dibandingkan dengan mendapat anak normal pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus diperlukannya dukungan yang harus lebih banyak diberikan, harus ada diskusi yang lebih sering dilakukan dan ada kerja sama yang harus dijalin kedua orang tua. Hal ini berarti, kedua orang tua perlu bekerja sama dalam memikul tanggung jawab yang seimbang agar anak-anaknya tumbuh dan berkembang secara optimal (baik). Anak penyandang tuna netra pada umumnya seringkali mendapatkan perlakuan yang kurang baik di masyarakat, hal itu terjadi bukan karena sebabsebab kecacatannya, namun lebih disebabkan oleh pengaruh-pengaruh sosial dari lingkungannya, terutama keluarga. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah lingkungan pertama yang merasakan dampaknya terhadap keberadaan anak tuna netra. Bagaimana reaksi keluarga atau orang tua terhadap keberadaan anak tuna netra, apakah keluarga akan menyembunyikan anaknya yang menyandang tun netra, ataukah tidak?, sehingga sangat berpengaruh terhadap keseluruhan perkembangan pribadi-pribadi anak penyandang tuna netra di kemudian hari dan berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan bagi anak penyandang tuna netra. Menurut Ayi Marwan selaku Kepala Sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Yayasan Pendidikan patriot94, beliau mengatakan masih ada warga masyarakat yang memiliki anak penyandang tuna netra maupun disabilitas lainnya, disembunyikan oleh keluarganya, tidak dimasukkan kedalam sekolah Inklusi ataupun Sekolah Luar Biasa (SLB), dikarenakan malu kepada masyarakat sekitar. Dari data dinas pendidikan hanya 24 anak penyandang tuna netra yang menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB), dari 62 jumlah penyandang tuna netra yang ada di Kota Tasikmalaya. Menurut Yana Sunarya (Guru SLB Negeri Tamansari), minimnya anak penyandang tuna netra dalam menempuh pendidikan di Kota Tasikmalaya ialah Masih banyak pihak keluarga penyandang disabibilitas termasuk keluarga yang memiliki anak penyandang tuna netra kurang memahami tentang anak berkebutuhan khusus. Beliau juga beranggapan bahwa keluarga yang memiliki anak penyandang tuna netra menganggap anak berkebutuhan tersebut hanya bisa sampai menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) saja dan tidak ada tindak lanjut kedepannya, seperti keperguruan tinggi dan tanpa melihat ada peluang kemandirian masa depan anaknya. Konsekuensinya anak penyandang disabilitas termasuk anak penyandang tuna netra tidak dimasukkan ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan dan perkembangan anak berkebutuhan khusus tersebut semakin tertinggal dibandingkan dengan anak pada umumnya. Terbukti dari hasil data penelitian, anak penyandang tuna netra yang bernama Doni berusia 16 tahun, baru menempuh pendidikan kelas 3 SDLB di Sekolah Luar Biasa (SLB) ABC Argasari, Selvi berusia 12 tahun baru menempuh pendidikan kelas 4 SDLB di SLB Aisyah Kawalu dan Ayu 94 Wawancara Ayi Marwan. di Sekolah Luar Biasa Pendidikan Patriot. 03 Maret 2015 berusia 9 tahun baru menempuh pendidikan kelas satu 1 SDLB di SLB Yayasan Bahagia. Hasil wawancara dengan orang tua anak penyandang tuna netra tersebut bahwa mereka (Orang Tua), sempat kebingungan untuk memasukkan anaknya ke-Sekolah Luar Biasa (SLB), mereka menganggap perawatan medis dulu daripada memasukannya ke sekolah. Ada juga yang beranggapan bahwa anak mereka masih bisa sebanding dengan anak pada umumnya, mereka juga beranggapan bahwa bersekolah ke SLB itu pada umumnya untuk anak-anak yang memiliki kelainnan mental, sehingga sedikit ragu memasukkan anaknya bersekolah di SLB. Mereka juga mengatakan anak penyandang tuna netra pada saat usia 6-8 tahun (anak mereka), sulit atau tidak mau untuk bersekolah, dikarenakan hanya ingin berdiam di rumah ataupun hanya mau bermain bersama temanteman yang sudah di kenalinya. Upaya yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra dalam mendorong, serta membantu anak penyandang tuna netra untuk mengakses pendidikan kepada keluarga dan masyarakat sekitar adalah95: Bekerja sama dengan tokoh penyandang disabilitas lain (Garkatin), dinas sosial dan Sekolah Luar Biasa (SLB), dengan cara mengadakan sosialisasi kepada keluarga yang memiliki anak penyandang tuna netra dan masyarakat di berbagai daerah, terutama di lingkungan yang didareahnya ada anak penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas lainnya. Bentuk sosialisasi yang dilakukan ialah dengan seminar, diskusi, serta penampilan keterampilan dan kesenian yang ditampilkan oleh anak berkebutuhan khusus kepada keluarga yang memiliki anak penyandang tuna netra dan masyarakat sekitar. 95 Hasil Wawancara-Koni Firman Suteja. Ketua DPC Petuni Kota Tasikmalaya. Tanggal 16 Maret 2015. Sosialisasi yang dilakukan, bertujuan dapat memberikan pemahaman kepada keluarga yang mempunyai anak penyandang tuna netra dalam menangani atau mendidik anak berkebutuhan khusus, agar dapat mengoptimalkan perkembangan anak berkebutuhan khusus dan mampu meningkatkan minat orang tua anak penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas lainnya untuk menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Sosialisasi yang dilakukan juga bertujuan untuk menghilangkan stigma negatif di masyarakat pada umumnya, sehingga masyarakat bisa ikut membantu dan mendorong mengoptimalkan perkembangan anak penyandang tuna netra maupun anak berkebutuhan khusus lainnya di daerah sekitarnya. Adapun upaya kelompok penyandang tuna netra, tokoh penyandang disabilitas dan pihak – pihak Sekolah Luar Biasa (SLB) ternyata membuahkan hasil, terbukti dari data dinas pendidikan Kota Tasikmalaya Tahun 2013-2014 anak penyandang penyandang tuna netra yang berjumlah 62 orang, hanya ada 18 anak penyandang tuna netra yang menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB), kemudian Tahun 2014-2015 meningkat menjadi 24 anak penyandang tuna netra yang sedang menempuh pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) Kota Tasikmalaya. Hasil data tersebut, menurut Usman merupakan sebuah keberhasilan yang telah diperjuangkannya, namun untuk kedepannya akan lebih keras bersosialisasi kepada masyarakat, dan keluarga yang mempunyai anak tuna netra dan anak penyandang disabilitas lainnya. Bertujuan untuk meningkatkan anak penyandang tuna netra dan anak penyandang disabilitas dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya. B. Kepada Identitas Penyandang Tuna Netra/ Diri Sendiri. Upaya selanjutnya yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya ialah kepada identitas penyandang tuna netra (individu-individu penyandang tuna netra), dengan cara memberikan motivasi aktualisasi diri terhadap identitas-identitas penyandang tuna netra. Motivasi aktualisasi diri sangat penting untuk identitas penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan dan juga untuk mengoptimalkan perkembangan penyandang tuna netra, dikarenakan untuk menghilangkan rasa malu atau minder kepada masyarakat sekitar, takut kepada oranglain, dan memberikan pengakuan terhadap diri sendiri sebagai orang yang menyandang tuna netra, tidak bisa melihat seperti orang normal pada umumnya. Motivasi aktualisasi bertujuan untuk memberikan kepercayaan diri terhadap penyandang tuna netra, agar bisa mencapai keinginan atau impian-impian penyandang tuna netra. Menurut kamus psikologi, motivasi adalah kontrol batiniah dari tingkah laku seperti diwakili oleh kondisi – kondisi fisiologis, minat – minat, kepentingan – kepentingan, sikap-sikap, dan aspirasi-aspirasi, atau kecenderungan organisme untuk melakukan sesuatu, sikap atau perilaku yang dipengaruhi oleh kebutuhan dan diarahkan kepada tujuan tertentu yang telah direncanakan96. Sedangkan aktualisasi diri dapat dipandang sebagai kebutuhan tertinggi dari suatu hirarki kebutuhan, namun juga dapat dipandang sebagai tujuan final, tujuan ideal dari kehidupan manusia97 Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi aktualisasi diri adalah keseluruhan daya penggerak atau dorongan baik dari dalam diri sendiri ataupun oleh orang-lain, dengan cara mengusahakan untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan memenuhi potensi diri dan menyalurkan segala minat dan bakat untuk mencapai tahap setinggi-tingginya bagi individu. Sehingga setiap individu – individu, pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya dan setiap individu harus melakukan aktualisasi diri, jika menginginkan ke hidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri-sendiri dan mengembangkan sifat-sifat, serta potensi-potensi psikologisnya yang unik. Aktualisasi diri bahwasannya setiap manusia termasuk orang-orang dengan keterbatasan fisik, memiliki peluang yang sama dengan orang-orang normal pada umumnya untuk mengoptimalkan kemampuannya. Potensi-potensi kemampuan tersebut, dipenuhi atau diaktualisasikan tergantung pada kekuatan-kekuatan individual dan lingkugan sosial yang memajukan atau 96 97 Alwisol. Psikologi Kepribadian. 2009. Malang: Hak Cipta. Hal: 201 Alwisol. Psikologi Kepribadian. 2009. Malang: Hak Cipta. Hal: 290 menghambat aktualisasi98. Hal ini menjelaskan pada kita bahwa setiap orang mampu mengoptimalkan dan mengaktualisasikan potensinya, dan hal tersebut sangat tergantung pada kekuatan atau motivasi yang ada didalam dirinya, dalam mendapatkan pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman yang didapatkannya. DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dan Yayasan Kota Tasikmalaya merupakan organisasi yang berperan sebagai wadah para tuna netra, dan menjadi gerakan untuk mempersatukan kaum tuna netra di dalam mengaktualisasikan diri. Sebagai sebuah organisasi komunitas tuna netra, organisasi ini di pimpin oleh para tuna netra yang beranggotakan 60 orang penyandang tuna netra. Lewat organisasi ini para penyandang tuna netra dapat membuktikan bahwa mereka dapat beraktualisasi di masyarakat. Upaya yang dilakukan DPC Pertuni Kota Tasikmalaya menurut Koni Firman Suteja ialah99: Memberikan keterampilan pijat, lulur, anyaman, musik dan diskusi-diskusi kepada anggota pertuni, didalam diskusi tersebut memberikan pesan-pesan semangat untuk bermasyarakat, agar mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih luas lagi. DPC pertuni juga mengadakan kerjasama dengan Wyata Guna Bandung, yang dimana bertujuan untuk meningkatkan potensi penyandang tuna netra. Wyata Guna adalah unit pelaksana teknis di bidang rehabilitasi dan pelayanan sosial dilakukan dikementrian sosial, berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada dirjen rehabilitasi sosial kementrian sosial RI. Tugas dari Pusat Sarana Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna mempunyai tugas memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial 98 Irmawati Nooryani. 2013. Motivasi AKtualisasi Diri Penyandang Tuna Netra Dewasa. Yogyakarta: SKRIPSI Fakultas Dakwah dan komunikasi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 99 Hasil Wawancara-Koni Firman Suteja. Ketua DPC Petuni Kota Tasikmalaya. Tanggal 16 Maret 2015. yang bersifat kuratif, rehabilitasi, promotif dalam bentuk bimbingan pengetahuan dasar pendidikan, fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi, dan bimbingan lanjut bagi para penyandang tuna netra agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. Dari penjelasan di atas, diartikan bentuk-bentuk motivasi aktualisasi yang di lakukan DPC Pertuni Kota Tasikmalaya kepada identitas atau individu-individu penyandang tuna netra ialah dengan seminar dan diskusi yang membahas permasalahan penyandang tuna netra, serta memberikan pesan-pesan semangat atau motivasi pentingnya bermasyarakat agar mendapatkan pengetahuan dan informasi yang lebih luas lagi. DPC Pertuni juga memberikan pelatihan, pijat, musik, pengembangan bakat keahlian dan keterampilan, serta memberikan kesempatan kepada anggotanya mengikuti program di Wyata Guna Bandung, agar mengoptimalkan dan meningkatkan sumber daya manusia atau potensi yang ada dalam diri penyandang tuna netra. Upaya yang dilakukan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya menurut Rahmat ialah100: Pendidikan, pelatihan serta pengembangan bakat ke-ahlian dan keterampilan bagi penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya. Kegiatan Yayasan Tuna Netra lebih kedalam hal ke-Agamaan, Seperti pengajian, kosidahan, ceramah dan melatih penyandang tuna netra dalam berpidato atau berdakwah. Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya, pernah mengadakan forum diskusi bersama mahasiswa Cipasung, baik dalam hal ke-agamaan maupun pengetahuan umum lainnya dan bahkan mahasiswa Cipasung sedikit belajar tulisan braile kepada penyandang tuna netra. Adapun manfaat diadakannya forum diskusi ialah berbagi ilmu dengan masyarakat normal pada umumnya, dan penyandang tuna netra Kota Tasikmalaya 100 Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Tanggal 2 April 2015 mempunyai keberanian dalam berbaur dengan masyarakat normal pada umumnya. Dari ungkapan diatas, menjelaskan upaya yang dilakukan oleh Yayasan Tuna Netra dalam memberikan motivasi aktualisasi diri untuk mengakses pendidikan Kota Tasikmalaya ialah dengan mengembangkan kemampuan penyandang tuna netra, agar berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, supaya penyandang tuna netra mendapatkan pengetahuan dan informasi yang lebih luas lagi. Sistem pendidikan yang baik menurut Ivan Illich101 adalah terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan Ilmu dan mendapatkan Ilmu. Sehingga adanya forum diskusi bersama mahasiswa Cipasung yang diadakan oleh Yayasan Tuna Netra, merupakan bentuk seseorang diperbolehkan membagikan apa yang dia ketahui dan berpeluang menyampaikan masalah ke tengah masyarakat, dikarenakan memperoleh pendidikan, pengetahuan dan ilmu adalah hak dari setiap warga Negara dimanapun dan setiap saat. Berdasarkan dari data yang diperoleh, maka peneliti menyimpulkan bahwa motivasi aktualisasi diri yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra ialah upaya penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya. Adapun bentuk-bentuk motivasi aktualisasi diri yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra adalah bentuk pendidikan melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan, bertujuan untuk mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan penyandang tuna netra, agar 101 Omrod. Diterjemahkan oleh Nyoman Surna, olga D. Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan 1. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal: 202 dikemudian hari dapat memainkan perannan hidupnya secara tepat, serta menimbulkan perubahan positif dan kemajuan, baik kognitif, afektif maupun psikomotorik guna mencapai tujuan hidup penyandang tuna netra. C. Kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya. Upaya penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya juga kepada pemerintah Kota Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya merupakan daerah otonom Negara Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Sehingga kemajuan daerah bergantung kepada prestasi pemerintah setempat dalam mengurusi pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat di daerahnya, termasuk kepentitngan orang-orang penyandang disabilitas. Maka pemerintah Kota Tasikmalaya, harus benar-benar memperhatikan warga masyarakatnya, termasuk penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas. Adapun usaha yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra, kepada pemerintah Kota Tasikmalaya, menurut Rahmat adalah102: Bekerja sama dengan kelompok penyandang disabilitas, seperti DPC Pertuni, Yayasan Tuna Netra, ITMI, Garkatin, dan tokoh masyarakat yang peduli terhadap penyandang disabilitas, menuntut pemerintah Kota Tasikmalaya untuk memberikan aksesbilitas pendidikan yang sama, tanpa ada bentuk diskriminasi terhadap penyandang tuna netra maupun disabilitas, serta perlindungan hak-hak penyandang disabilitas sesuai UU No. 19 Tahun 2011 tentang Hak-Hak penyandang disabilitas. Tuntutan penyandang tuna netra dan penyandang 102 Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Tanggal 2 April 2015 disabilitas lainnya ialah setelah adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, tepatnya pada awal-awal Tahun 2012, pada saat Kota Tasikmalaya di pimpin oleh H. Syarif Hidayat. Tuntutan yang dilakukan kepada pemerintah Kota Tasikmalaya juga dilontarkan pada saat kepemimpinnan Budi-Dede, di awalawal Tahun 2013. Tuntutan tersebut akhirnya diakomodasi oleh pemerintah Kota Tasikmalaya, dengan keluarnya SK Piloting tentang pendidikan inklusi dan Perawalkot susunan kelompok Kerja (Pokja) pendidikan inklusif. Maka upaya yang dilakukan penyandang tuna netra untuk mewujudkan pendidikan yang adil tanpa ada bentuk diskriminasi menuju kesempurnaan, dikarenakan sudah ada payung hukum yang mengatur untuk penyandang disabilitas dalam mengakses pendidikan yang sama seperti masyarakat pada umumnya di Kota Tasikmalaya. Sehingga diperlukannya pengawasan yang baik terhadap implementasi SK. Piloting tersebut. Adapun bentuk tuntutannya kepada Walikota Kota Tasikmalaya pada saat kepemimpinnan Budi-Dede ialah dengan berdiskusi bersama Walikota Kota Tasikmalaya, dan meminta janji Budi Budiman pada saat kampanye beliau, dikarenakan pada saat kampanye, beliau menjumpai atau bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas serta menjanjikan akan memberikan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk pendidikan yang layak untuk penyandang disabilitas, sama halnya dengan masyarakat pada umumnya. Sehingga DPC Pertuni, Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya bersama–sama meminta kepada pemerintah Kota Tasikmalaya memperhatikan penyandang disabilitas di KotaTasikmalaya. Dari penjelasan diatas, diartikan bahwa upaya yang dilakukan penyandang tuna netra ialah bekerja-samanya kelompok penyandang tuna netra bersama kelompok penyandang disabilitas, serta tokoh masyarakat yang peduli terhadap penyandang disabilitas, menuntut pemerintah Kota Tasikmalaya memenuhi atau merealisasikan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, termasuk hak pendidikan. Upaya yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra ini berjalan cukup lambat, dikarenakan upaya yang mereka lakukan di awal-awal tahun 2012, kemudian di awal-awal tahun 2013 dan diakomodasi oleh pemerintah Kota Tasikmalaya pada tanggal 6 November 2013, keluarnya Perwalkot Pokja Pendidikan Inklusi dan SK Piloting tentang Pendidikan Inklusi. Adapun bentuk upaya yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas, peneliti menafsirkan bahwa ada unsur politik antara elite politik yaitu Budi Budiman dengan tokoh penyandang tuna netra dan tokoh penyandang disabilitas. Budi Budiman yang menginginkan menggalang suara yang banyak untuk memenangkan di Pilkada Walikota Kota Tasikmalaya 2012, sedangkan tokoh penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas menginginkan pemerintah Kota Tasikmalaya memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, sesuai UU No.19 Tahun 2011 tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Sehingga tokoh penyandang tuna netra dan tokoh penyandang disabilitas, di tahun 2013 menuntut pemerintah Kota Tasikmalaya untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, juga diartikan sebagai meminta janji Budi Budiman untuk merealisasikan janjinya pada saat kampanye kepada penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas yaitu memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Adanya Pokja pendidikan inklusi dan SK Piloting tentang pendidikan inklusi, merupakan upaya yang dilakukan penyandang tuna netra dalam menuntut pemerintah Kota Tasikmalaya untuk memenuhi hak-hak penyandang tuna netra dalam akses pendidikan di Kota Tasikmalaya. Pokja pendidikan inklusi dan SK Piloting tentang pendidikan inklusi diharapkan bisa merealisasikan UU No.19 Tahun 2011 tentang hak-hak penyandang disabilitas khususnya dalam pendidikan, serta meralisasikan Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inlusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Sehingga tidak ada bentuk diskriminasi pendidikan terhadap penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas. 4.5 Identitas Penyandang Tuna Netra masuk kedalam Kelompok Subaltern Menurut ilmuan Gayatri Chakravorty Spivak dalam tulisannya “Can Subaltern Speak?”, yang dimaksud subaltern adalah subjek yang tertekan, para anggota ‘klas-klas’-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka yang berada di tingkat inferior (Gandhi 2006)103. Subaltern memiliki dua karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut bahwa subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga perlu kaum intelektual sebagai “wakil” mereka. Dari pemaparan di atas maka bisa diartikan bahwa Subaltern digunakan untuk menunjukan sekelompok orang-orang yang termarginalkan 103 Nia Kurnia. 2013. Komunitas Vespa Gembel. Kota Tasikmalaya: SKRIPSI Fakultas Sosial Ilmu Politik Unsil. Unversitas Siliwangi. dan terekskusi dalam ranah publik sehingga mengalami tekanan, khususnya dalam perjuangan melawan hegemonisasi global. Marginalisasi yang didefinisikan sebagai pengasingan dari sistem ketenagakerjaan dan partisipasi dalam kehidupan sosial berdampak pada timbulnya perbedaan materi, pembatasan hak-hak kewarganegaraan dan hilangnya kesempatan untuk mengekspresikan diri, ciri ini melekat erat pada kaum subaltern. Cara pandang masyarakat terhadap kelompok disabilitas terbentuk melalui sistem sosial-budaya-agama yang kemudian diterima sebagai kebenaran sekalipun cara pandang atau persepsi ini sangat diskriminatif. Cara pandang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas bermula dari “dogma” bahwa manusia adalah makhluk ciptaan paling sempurna104, dengan demikian identitas penyandang tuna netra telah termarginalkan dan terdiskriminasikan, dikarenakan penyandang tuna netra merupakan bagian penyandang disabilitas yang masuk ke-dalam kategori kelompok subaltern dalam masyarakat, yang mengalami diskriminasi atas dasar stereotipe negatif yang melekat pada diri mereka. Penyandang tuna netra juga seorang manusia, namun mereka memiliki kelainan fisik dalam penglihatan, sehingga mereka dianggap bukanlah manusia yang sempurna dan seringkali di anggap sesuatu yang hina. Penyandang tuna netra termaginalkan dan tereksekusi dalam ranah publik dan mengalami tekanan dalam melawan hegemonisasi global. Hal tersebut identik dengan komunitas subaltern. Penyandang tuna netra 104 FX Rudy Gunawan. Diposting tanggal: 28 mei 213. http://majalahdiffa.com/ index.php/ gagasan/persepsi/493-filsafat-kaum-disabilitas-2?showall=1&limitstart=. Di akses: 27 maret 2015. menginginkan hak-hak yang sama dengan masyarakat normal pada umumnya. Namun yang mereka terima penolakan oleh lingkungan sosialnya, kesulitan membina hubungan sosial, dan hanya sikap belas kasihan. Konsekuensi adalah hilangnya ruang kehidupan yang menjadi hak mereka untuk hidup bersama dengan hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat yang normal pada umumnya. Diskrimanasi lain bagi penyandang tuna netra ialah tidak adanya penerapan kebijakan pemerintah Kota Tasikmalaya terhadap penyandang disabilitas. Sehingga berdampak langsung kepada perkembangan penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya, dikarenakan tida ada aksebilitas publik bagi penyandang tuna netra. Adapun bentuk diskriminasi terhadap penyandang tuna netra menuru Rahmat adalah105: Tidak adanya Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya tentang perlindungan hak-hak penyandang disabilitas, sehingga sulitnya aksebilitas publik bagi penyandang tuna netra. seperti Fasilitas dan sarana umum di Kota Tasikmalaya sangat terbatas sekali hanya ada di sekolah dan di Rumah sakit, dikarenakan fasilitas dan sarana umum seperti angkutan umum, trotoar, rambu-rambu lalu lintas itu tidak ada sama sekali. Sehingga menyulitkan penyandang tuna netra, serta penyandang disabilitas lainnya untuk mandiri dan berbaur dengan masyarakat pada umum lainnya. Fasilitas sarana di rumah sakit untuk penyandang disabilitas seperti kursi roda, tongkat kaki dan tongkat tuna netra tidak gratis, kita harus membelinya dengan harga yang sangat mahal, sedangkan kalau di sekolah setiap ajaran baru suka diberikan alat fasilitas penunjang pembelajaran anak disabilitas di berikan secara gratis. Adanya ruang fasilitas untuk penyandang disabilitas ditempat arena lingkungan hiburan Alun – Alun Kota Tasikmalaya, itupun 105 Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Tanggal 2 April 2015 merupakan pemberian dari Pemerintah Provinsi Jawa barat dan sangat membantu penyandang tuna netra dalam berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Dari penjelasan diatas, menjelaskan tidak adanya Peraturan daerah tentang penyandang disabilitas berdampak pada terbatasnya aksebilitas publik bagi penyandang tuna netra, sehingga menyulitkan penyandang tuna netra untuk berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya dan memobilitaskan dirinya ke arah yang lebih baik lagi. Adanya fasilitas dan sarana penyandang disabilitas di tempat sekolah, Rumah sakit dan di tempat arena lingkungan hiburan Alun-Alun Kota Tasikmalaya, merupakan salah satu cara penyandang tuna netra untuk berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya, mengoptimalkan kemampuannya dan memobilitaskan dirinya ke-arah yang lebih baik lagi. Mereka hanya membutuhkan cara yang berbeda untuk belajar, diperlukannya ruang aktualisasi karya dan sedikit perhatian bersama. Sehingga mereka menjadi manusia yang berdaya dan mampu bersaing layaknya manusia pada umumnya. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan difokuskan mengenai bagaimana perjuangan penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya, peneliti menarik kesimpulan bahwa penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya membentuk kelompok khusus penyandang tuna netra, seperti DPC Pertuni dan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya, bertujuan menjadikan suatu tempat advokasi bagi identitas penyandang tuna netra dalam rangka memperjuangkan hak-hak penyandang tuna netra, termasuk memperjuangkan haknya dalam pendidikan. Adapun bentuk perjuangan yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra dibagi kedalam tiga kategori yaitu, pertama, perjuangan kepada keluarga/ masyarakat sekitar, kedua, diri sendiri dan ketiga, kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya. Perjuangan yang dilakukan merupakan upaya memperjuangkan keberadaan penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya dan mendapatkan hak – hak mereka sebagai warga masyarakat Kota Tasikmalaya khususnya dalam mengakses pendidikan. Beberapa poin dalam upaya penyandang tuna netra mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya adalah pertama, Memberikan gambaran atau pemahaman kepada keluarga yang memiliki anak penyandang tuna netra dalam mendidik atau menangani anak berkebutuhan khusus, kedua, memberikan gambaran atau pemahaman, dan mendorong kepada masyarakat 103 yang di daerahnya ada penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas untuk mengoptimalkan perkembangan anak berkebutuhan khusus, ketiga, memberikan kepercayaan diri terhadap identitas penyandang tuna netra agar mampu meraih cita-cita dan impiannya, keempat, mendorong identitas penyandang tuna netra mengaktualisasikan dirinya di masyarakat, supaya mendapatkan pengetahuan dan informasi yang lebih luas, membagikan apa yang dia ketahui dan berpeluang menyampaikan masalah ke tengah masyarakat, agar dapat menghilangkan sitgma negatif di masyarakat pada umumnya, kelima, kelompok-kelompok penyandag tuna netra merupakan organisasi yang berperan sebagai wadah identitas penyandang tuna netra, menjadi gerakan untuk mempersatukan kaum tuna netra, serta mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah Kota Tasikmalaya dalam rangka memenuhi hak-hak penyang tuna netra dan penyandang disabilitas. 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti berharap kepada kelompok penyandang tuna netra, DPC Pertuni dan Yayasa tuna Netra Kota Tasikmalaya, agar terus selalu memperhatikan penyandang tuna netra yang ada di Kota Tasikmalaya, dengan cara bergabagai kegiatan. Supaya bisa menunjukan kepada masyarakat akan keberadaan penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya, dan mampu menghilangkan cara-pandang stigma negatif dikalangan masyarakat, bahwa seorang yang manusia yang mempunyai perbedaan kelainan atau kekurangan fisik dibandingkan masyarakat normal pada umumnya, bukanlah suatu ‘aib ataupun hina” dan bukan pula yang mesti harus dikasihani, melainkan harus diperlakukan sama dengan masyarakat pada umunya agar tercipta saling menghargai. Kepada masyarakat yang di daerahnya ada penyandang disabilitas termasuk penyandang tuna netra, agar tidak merasa jijik, tidak memandang sebelah mata kepada penyandang tuna netra, supaya tidak ada penolakan sosial bagi penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas lainnya. Kepada pemerintah Kota Tasikmalaya membuat kebijakan yang dapat memberikan ruang aktualisasi karya bagi penyandang tuna netra, agar mereka menjadi manusia yang berdaya dan mampu bersaing layaknya manusia pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Rulam. 2014. Pengantar Pendidikan. Ar-ruzz Media: Yogyakarta. Abdilah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. IndonesiaTera: Magelang. Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Hak Cipta: Malang. Dewi, Evie Ariadne Shinta. 2013. Modul Pendidikan Pemilih Perempuan. Kerjasama Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD dengan KPU Provinsi Jawa Barat : Bandung. Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Qalam: Yogyakarta. Kinasih, Ayu Windy. 2007. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo. Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM: Yogyakarta. Kurnia, Nia. 2013. Komunitas Vespa Gembel. SKRIPSI : Fakultas Sosial Ilmu Politik Universitas Siliwangi: Kota Tasikmalaya. Mudyahardjo, Redja. 2006. Pengantar Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Nooryani Iramawati. 2013. Motivasi AKtualisasi Diri Penyandang Tuna Netra Dewasa. Yogyakarta: SKRIPSI Fakultas Dakwah dan komunikasi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Sayyidah, Ani Nur.2014. Dinamika Penyusaian Diri Penyandang Disabilitas di Tempat Magang Kerja: UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. SKRIPSI: Yogyakarta. Omrod. Diterjemahkan oleh Nyoman Surna, olga D. Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan 1. Jakarta : Penerbit Erlangga. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. CV. Alfabeta: Bandung. Sutopo, H. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar Teoritis Dan Praktis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal. 31 Widayanti, Titik. 2009. Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria. Research Center For Politics And Goverment Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM: Yogyakarta. Jurnal : Satori, Akhmad. Pers, Demokrasi Civil Society. Slide Out Mata kuliah Negara dan masyarakat sipil. Haboddin, Mukhtar.2012. Politik Identitas:Menguatnya Identitas di Ranah Lokal. Jurnal Study Pemerintahan: Malang. Hapsarin, Cin Pratipa. 2014. Politik Identitas : Geliat Sosial Antara Aku dan Yang Lain. Jurnal Academia.edu Irwanto, Eva Rahmi kasim, dkk.. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indoneisa. Sebuah Desk-Review. Pusat Kajian Disabilitas. Universitas Indonesia: Jakarta. Internet: Nadfa. 2011. http://nadlirotululfa.blogspot.com/2011/11/politik-subaltern.html. Diakses: 08 Desember 2014. Muammar, arfan. http://arfanmuammar.blogspot.com/2012/06/. Gagasan – ivan – illich – dalam - pendidikan.html#.VIlXOON_t7x. Di akses: 11 – 12 2014 Mudjito. Desember 27, 2013 Admin. http://disdik.depok.go.id/?p=298. Di akses: 06 Januari 2014 Qita, Konselor. http://konselorqita.blogspot.com/2014/01/manajemen-pendidikaninklusi.html. Di akses: 27 Januari 2015 Gunawan, FX Rudy. Diposting tanggal: 28 mei 213. http://majalahdiffa.com/ index.php/ gagasan/ persepsi/ 493-filsafat-kaum-disabilitas-2? showall= 1&limitstart. Di akses: 27 maret 2015. Regulasi: Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Konvensi mengenai Hak – Hak Penyandang Disabilitas Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inlusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 72 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Peraturan Walikota Kota Tasikmalaya susunan Kelompok kerja tentang Pendidikan Inklusi Tahun 2013 SK Piloting Tahun 2013 tentang Penetapan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi