skripsi program studi ilmu politik fakultas ilmu sosial

advertisement
SKRIPSI
POLITIK IDENTITAS KELOMPOK DISABILITAS
(STUDI PERJUANGAN PENYANDANG TUNA NETRA DALAM
MENGAKSES PENDIDIKAN DI KOTA TASIKMALAYA)
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Politik Pada Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Oleh :
Muhammad Irfan Adiguna
093507028
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2015
POLITIK IDENTITAS KELOMPOK DISABILITAS
Studi Kasus: Perjuangan Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses
Pendidikan di Kota Tasikmalaya
Muhammad Irfan Adiguna1
Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Univesitas Siiwangi
Jl. Siliwangi no.24 Tasikmalaya 46115 Telp. (0265) 323537
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perjuangan penyandang tuna netra dalam
mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya. Penyandang tuna netra merupakan bagian dari
kelompok disabilitas yang mempunyai keterbatasan atau permasalahan dalam penglihatan.
Sehingga harus adanya pengembangan atau pemberdayaan bagi penyandang tuna netra, di
harapkan untuk mampu mendobrak keterbatasan penyandang tuna netra serta menghilangkan
pandangan negatif di masyarakat normal pada umumnya. Pengembangan atau pemberdayaan bagi
penyandang tuna netra salah satunya dengan aksebilitas pendidikan bagi penyandang tuna netra.
Penelitian ini difokuskan untuk memberikan sebuah gambaran tentang perjuangan penyandang
tuna netra dalam mengakses pendidikan.
Metode penelitian yang digunakan adalah Kualitatif dengan pendekatan studi kasus,
informan dipilih yang memahami konteks permasalahan yang sedang diteliti, pengumpulan data
menggunakan dokumentasi dan wawancara mendalam dan analisis data menggunakan teknik
analisis Interaktif
Hasil penelitian ini menunjukan penyandang tuna netra membentuk kelompok khusus
penyandang tuna netra, seperti DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dan Yayasan Tuna Netra Kota
Tasikmalaya. Bertujuan menjadikan suatu kekuatan atau tempat advokasi bagi penyandang tuna
netra lainnya, dalam rangka memperjuangkan hak-hak kebutuhan penyandang tuna netra, salah
satunya memperjuangkan haknya dalam mengakses pendidikan, baik pendidikan secara formal
maupun non formal di Kota Tasikmalaya.
Kata Kunci: Penyandang tuna netra, Aksebilitas pendidikan, dan Kelompok penyandang
tuna netra
ABSTRACK
This study aims to determine visual impairment people struggle to education in
Tasikmalaya. The blind is part of a group disability who have limited or problems in sight. So
should the development or empowerment for the blind, is expected to be able to break the
limitations of the blind as well as eliminating the negative outlook in normal society in general.
Development or empowerment for the blind one with the accessibility of education for the blind.
This research is focused to provide an overview of the blind struggle in accessing education.
The research method used is qualitative case study approach, selected informants who
understand the context of the issues under investigation, documentation and data collection using
in-depth interviews and analysis of the data using analytical techniques Interactive
These results indicate the blind to form a special group of blind persons, such as DPC
Pertuni Tasikmalaya City and the Foundation of the Blind Tasikmalaya City. Aiming to make a
strength or a advocate for the blind other, in order to fight for the rights of the needs of the blind,
one fighting for their rights to education, both formal education and non-formal in Tasikmalaya.
Keywords: People with visual impairments, education accessibility, and visually impaired
persons group
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Politik Identitas Kelompok Disabilitas;
Studi Perjuangan Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses Pendidikan di
Kota Tasikmalaya”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam
memperoleh gelar sarjana Ilmu Politik pada Program Studi Ilmu Politik, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan
pengarahan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. oleh karena itu, peneliti
menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Rudi Priyadi selaku Rektor Universitas Siliwangi;
2. Bapak Dr. H. Iis Marwan, M.Pd., selaku Dekan FSIP Universitas
Siliwangi
3. Bapak Edi Kusmayadi, M.Si., selaku Wakil Dekan FISIP Universitas
Siliwangi
4. Ketua Prodi Ilmu Politik yakni Bapak Akhmad Satori, S.IP., M.SI.,
sekaligus Dosen Pembimbing 1
5. Bapak Subhan Agung, S.IP., M.A selaku pembimbing II
6. Ibu Fitriyani Yuliawati, S.IP.,M.Si selaku dosen penguji (Outsider)
7. Secara khusus penulis sampaikan terima kasih atas doa dan dorongan
Ayah dan Ibu penulis serta adikku yang telah banyak memberikan
dukungan untuk secepatnya menyelesaikan studi dengan baik.
8. Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada semua pihak yang
telah banyak membantu dan memberikan dorongan serta motivasi
sehingga skripsi ini dapat terselesasikan.
Akhir kata, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah
mereka berikan kepada penulis dengan kebaikan yang lebih besar disertai dengan
curahan rahmat dan kasih sayang-Nya.Amin.
Wassalamu‘alaikum Wr.Wb.
Tasikmalaya, April 2015
Penulis
Muhammad Irfan Adiguna
NPM 093507028
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………..
ii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .....……………………………………...
1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………….
7
1.3 Pembatasan Masalah …………………………………………….
7
1.4 Tujuan Penelitian ………………………………………………..
8
1.5 Manfaat Penelitian ………………………………………………
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Politik Identitas………………………………………….
9
2.2 Kajian Subaltern................……………………………………….
14
2.3 Konsep Pendidikan………..……….……………………………..
18
2.4 Penelitian Terdahulu……………………………………………...
27
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ……………………………………………….
32
3.2 Lokasi Penelitian ………………………………………………..
32
3.3 Sasaran Penelitian ……………………………………………….
33
3.4 Fokus Penelitian …………………………………………………
33
3.5 Pendekatan dalam Penelitian ……………………………………
33
3.6 Teknik Pengambilan Informan …………………………………
34
3.7 Teknik Pengumpulan Data……………………………………….
34
3.8 Teknsis Analisis data…………………………………………….
36
3.9 Validasi Data. ……………………………………………………
39
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian …………………………….
42
4.1.1 Singkat Sejarah Kota Tasikmalaya …………………….....
42
4.1.2 Kondisi Geografis Kota Tasikmalaya …………………....
43
4.1.3 Rekapitulasi Data Kependudukan Kota Tasikmalaya…….
46
4.2 Sekilas Tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia ……….....
49
4.3 Identitas Komunitas Penyandang Tuna Netra di Kota
Tasikmalaya……………………………………………………..
58
4.4 Perjuangan Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses
Pendidikan di Kota Tasikmalaya………………………………..
71
4.4.1 Aksebilitas Pendidikan Formal bagi Penyandang
Disabilitas di Kota Tasikmalaya…………………………
71
4.4.2 Perjuangan tuna netra dalam mengakses pendidikan……..
84
4.5 Identitas Penyandang Tuna Netra masuk kedalam Kelompok
Subaltern………………………………………………………...
98
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan………………………………………………………
103
5.2 Saran…………………………………………………………….
104
DAFTAR PUSTAKA
PEDOMAN WAWANCARA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Model Politik Identitas.……………………………………...
12
Tabel 2. Kategori Anak Berkebutuhan Khusus..……………………...
25
Tabel 3. Matriks Perbedaan Penelitian Sebelumnya………………….
30
Tabel 4. Luas Wilayah Administratif Kecamatan dan
Jumlah Wilayah Administratif Kelurahan…………………….
45
Tabel 5. Rekapitulasi Data Kependudukan Per-Kecamatan
dan Jenis Kelamin……………………………………………..
46
Tabel 6. Komposisi Penduduk Kota Tasikmalaya Berdasarkan Umur
dan Kecamatan………………………………………………...
47
Tabel 7. Komposisi Penduduk Kota Tasikmalaya Berdasarkan Tingkat
Pendidikan dan Kecamatan……………………………………
47
Tabel 8. Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta Menurut Kecamatan di
Kota Tasikmalaya 2013………………………………………
48
Tabel 8.1. Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta Menurut Kecamatan di
Kota Tasikmalaya 2013……………………………………...
49
Tabel 9. Perbandingan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat dengan Convention on the Rights of
Persons with Disabilities (CRPD)…………………………..
54
Tabel 10. Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) Kota Tasikmalaya (2012)…………………...
.
58
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Analisis Interaktif………………………………………...
39
Gambar 2. Peta Administratif Kota Tasikmalaya …………………...
45
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Secara umum, demokrasi dapat dipahami sebagai suatu istilah yang
menggambarkan kondisi masyarakat yang memiliki kebebasan untuk
menggunakan hak-hak individualnya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara1. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas
dan setara2.
Dari pemaparan di atas bisa diartikan bahwa didalam suatu negara
demokrasi, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengakomodasi
aspirasi dan melindungi kaum minoritas di tengah–tengah dominasi suatu
kelompok dalam masyarakat demokrasi. Implementasi dari berlakunya sistem
demokrasi di Indonesia ialah rakyat Indonesia mempunyai hak untuk
berpendapat, bersuara dan serta termasuk terjamin dalam terpenuhinya hak
dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem demokrasi di
Indonesia, diharapkan bisa mengkoordinir atau mengakomodasi kepentingan
rakyat Indonesia yang sangat luas dan lebih spesifik.
Salah satu bentuk tolak ukur demokrasi ialah pemerintah mampu
menyediakan pelayanan publik bagi semua kebutuhan masyarakat yang
dimilikinya. Berangkat dari kebutuhan masyarakat, maka akan adanya akses
1
2
Akhmad Satori, Pers, Demokrasi, Civil Society. Mata kuliah Negara dan masyarakat sipil
Evie Ariadne Shinta Dewi, 2013. Modul Pendidikan Pemilih Perempuan. Kerjasama Fakultas
Ilmu Komunikasi UNPAD dengan KPU Provinsi Jawa Barat: Bandung.
1
fasilitas publik yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, untuk tujuan
masyarakat tersebut mampu memobilitaskan kehidupan dirinya menjadi lebih
baik lagi. Akses fasilitas publik ini sangat penting sekali, terutama untuk
kelompok penyandang disabilitas. Kelompok penyandang disabilitas,
merupakan suatu kelompok masyarakat yang mempunyai keterbatasan fisik,
keterbatasan mental, dan serta sering termaginalkan di masyarakat.
Dalam UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak–
Hak Penyandang Disabilitas. Penyandang disabilitas yaitu orang yang
memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap
masyarakatnya
dapat
menemui
hambatan
yang
menyulitkan
untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak3.
Dengan demikian, yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan
adanya pengembangan atau pemberdayaan bagi penyandang disabilitas, serta
peningkatan kepedulian dan sensitifitas masyarakat untuk menghilangkan
stigma negatif menuju kesetaraan derajat yang sama dengan masyarakat pada
umumnya. Sehingga dengan adanya aksebilitas fasilitas publik bagi
penyandang
disabilitas,
diharapkan
penyandang
disabilitas
mampu
mendobrak keterbatasan mereka, dan serta mengubah stereotip negatif di
masyarakat pada umumnya.
Adanya upaya pengembangan atau pemberdayaan bagi kelompok
penyandang disabilitas, salah satunya adalah dengan aksebilitas pendidikan
3
Ani Nur Sayyidah.2014. Dinamika Penyusaian Diri Penyandang Disabilitas di Tempat Magang
Kerja :UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
SKRIPSI: Yogyakarta.
bagi penyandang disabilitas. Secara hukum dan peraturan, pemenuhan hak
pendidikan bagi setiap warga negara termasuk penyandang disabilitas telah
dijamin oleh Undang-Undang. Dalam UUD 1945 pasal 28 C (1) dinyatakan
bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia4”. Pada pasal 1 (1)
“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Pendidikan menurut Redja Mudyahardjo, secara sempit dan secara
luas adalah5:
Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan
formal tersebut diperuntukkan untuk anak dan remaja, agar
mempunyai kemampuan yang sempurna, kesadaran penuh
terhadap hubungan – hubungan dan tugas – tugas sosial mereka.
Redja Mudyhardjo juga memberikan definisi pendidikan
alternatif. Pendidikan6 adalah usaha sadar yang dilakukan oleh
keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan pelatihan yang berlangsung
disekolah ataupun di luar sekolah sepanjang seumur hidup.
Bertujuan untuk mempersiapkan atau mengoptimalisasi
pertimbangan kemampuan tiap – tiap individu agar di
kemudian hari dapat memainkan perannan hidup secara tepat.
Sehingga disini saya selaku peneliti, tertarik akan meneliti perjuangan
penyandang tuna netra dalam mendapatkan akses pendidikan di Kota
Tasikmalaya. Penyandang tuna netra merupakan bagian dari kelompok
disabilitas yang mempunyai keterbatasan atau permasalahan di dalam
4
Etd.ugm.2010. http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod= download&sub= DownloadFile&act=
view&typ= html & file=260210. pdf&ftyp= potongan&tahun= 2014&potongan= S2-2014260210-chapter1 .pdf. Di akses : 22 Januari 2015.
5
Mudyahardjo, Redja. 2006. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal: 6
6
Ibid
penglihatan. Kehilangan penglihatan sering mengakibatkan masalah-masalah
sosial, seperti penolakan oleh lingkungan sosialnya, kesulitan membina
hubungan sosial, dan sikap belas kasihan dan over proteksi dari orang-orang
lain (Steffens & Bergler, 1998 dalam Ben-Zur & Debi, 2005)7. Terlepas dari
semua itu, Helen Keller (dalam Dodds, 1993)8 mengamati bahwa hambatan
utama bagi individu tuna netra bukan ketuna netraannya itu sendiri,
melainkan sikap masyarakat terhadap tuna netra. Keterbatasan-keterbatasan
yang terkait dengan kecacatan sebagian besar diakibatkan oleh lingkungan
yang nonakomodatif dan sikap diskriminatif, bukan oleh kekurangan
fungsional yang terkait dengan kecacatan itu sendiri (Seelman, 1998 dalam
Bellini & Rumrill, 1999)9. Sehingga pemerintah harus menyediakan akses
fasilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas seperti sekolah Segregasi.
Sekolah yang berkebutuhan khusus atau sekolah Segregasi yang kita ketahui
adalah Sekolah Luar Biasa (SLB).
Menurut data rekapitulasi penyandang masalah kesejahteraan Sosial
(PMKS) Kota Tasikmalaya (2012)10, jumlah penyandang disabilitas 644
orang, jumlah anak dengan kedisabilitas 287 orang, dan jumlah penyandang
tuna netra 62 orang (2014)11. Data dinas pendidikan Kota Tasikmalaya (2014)
6 lembaga pendidikah formal atau sekolah yang melayani berkebutuhan
khusus, sekolah luar biasa (SLB). Jumlah penyandang disabilitas yang sedang
7
Op.Cit4
Op.Cit4
9
Op.Cit4
10
Wawancara-Dewi, Pra-Penelitian. Dinas Sosial Kota Tasikmalaya. 27 Januari 2015
11
Ibid10
8
menjalani pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) 610 orang, dan jumlah
penyandang tuna netra yang sedang menjalani pendidikan di Sekolah Luar
Biasa (SLB) 24 orang12.
Sekolah yang melayani berkebutuhan khusus di Kota Tasikmalaya
diantara lain:
1. SLB Negeri Tamansari
2. SLB Aisyah Kawalu
3. SLB Yayasan Bahagian
4. SLB Yayasan Pendidikan Patriot
5. SLB ABC Argasari Lestari
6. SLB Yayasan Ihsan Sejahtera
Namun dari ke-6 SLB tersebut, hanya 1-SLB yang tidak melayani
berkebutuhan tuna netra, yaitu SLB Yayasan Ihsan Sejahtera. Adapun
penyebab SLB yayasan ihsan sejahtera tidak melayani berkebutuhan bagi
penyandang tuna netra ialah kurangnya seorang guru atau pengajar bagi
penyandang tuna netra serta fasilitas sarana dan prasarana belum ada bagi
penyandang tuna netra.
Selain menyediakan lembaga pendidikan formal bagi penyandang
tuna netra, juga diperlukannya seorang pengajar atau guru yang mempunyai
kemampuan mengadaptasi program pembelajaran berkebutuhan khusus bagi
penyandang tuna netra, agar mampu memaksimalkan aktivitas belajar dan
prestasi belajar penyandang tuna netra. Namun, selain lembaga pendidikan
12
Wawancara-Topan Nugraha, Pra-Penelitian. Evaluasi dan Perencanaan-Dinas Pendidikan Kota
Tasikmalaya. 18 Januari 2015
formal, serta guru yang berkompeten dalam menangani berkebutuhan khusus,
penyandang tuna netra memerlukan peraga alat tulis yang berbeda dengan
peraga alat tulis masyarakat pada umumnya. Peraga alat tulis seperti buku
dan pulpen cukup untuk proses belajar membaca dan tulis menulis bagi
masyarakat pada umumnya, namun bagi penyandang tuna netra memerlukan
papan tulis braile, buku brile untuk proses belajar baca-membaca, sedangkan
reglet dan pen diperuntukan untuk proses belajar tulis menulis.
Dari data dinas sosial maupun dari Dinas Pendidikan Kota
Tasikmalaya seperti yang di ungkapkan di atas sebelumnya, ada 62 orang
penyandang tuna netra dan hanya 24 orang penyandang tuna netra yang
sedang menjalani pendidikan di sekolah luar biasa (SLB), bisa di artikan
bahwa minat dari penyandang tuna netra untuk menjalani pendidikan di
Sekolah Luar Biasa (SLB) masih minim. Menurut Ibu Pepy selaku pengajar
di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Yayasan Bahagia Kota Tasikmalaya 13, beliau
mengatakan masih ada warga masyarakat yang memiliki anak penyandang
disabilitas, baik itu tuna netra, tuna rungu maupun tuna lainnya,
disembunyikan oleh keluarganya, tidak dimasukkan kedalam sekolah
Segregasi atau Sekolah Luar Biasa (SLB), dikarenakan malu kepada
masyarakat sekitar.
Adanya komunitas atau kelompok penyandang tuna netra seperti
Pergerakan Tuna Netra Indonesia ( PERTUNI ), Ikatan Tuna Netra Muslim
13
Wawancara Ibu Pepy. Pra-Penelitian. di Sekolah Luar Biasa Yayasan bahagia. 23 Oktober 2014
Indonesia ( ITMI ), dan Yayasan Tuna Netra14 di Kota Tasikmalaya
diharapkan bisa membantu pemerintah salah satunya untuk membantu
mengakomodasi penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan. Baik
itu dengan berdiskusi, pelatihan-pelatihan maupun mensosialisasikan atau
menyemangati para penyandang tuna netra perlunya untuk mendapatkan
pendidikan. Menurut Usman selaku seketaris pertuni membenarkan adanya
tiga komunitas penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya yaitu “
PERTUNI, ITMI dan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya 15, adapun
jumlah anggota Pertuni ialah sekitar 60 orang, ketua nya ialah Koni,
Seketarias Usman, Bendahara Yuni dan Dapercab ( dewan Pertimbangan
Cabang) oleh Ahmad Darojat. Anggota komunitas ITMI yang di ketuai oleh
Supriyatno dan Yayasan Tuna Netra Majlis Taklim Hikmah ketuanya Rahmat
beranggotakan sama dengan anggota Pertuni dan Itmi ialah sekitar 60 orang,
namun yang membedakannya hanya kepengurusannya saja16.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi topik
permasalahan di atas adalah bagaimanakah Perjuangan penyandang tuna netra
dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya ?
1.3 Tujuan Penelitian
14
Wawancara-Bpk. Henhen. Pra Penelitian. di Kesbangpol Kota Tasikmalaya
Wawancara usman. Pra-Penelitian. di rumah atau kediamannya usman. 18 Febuari 2015
16
Ibid15
15
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui Perjuangan kelompok
penyandang tuna netra dalam mendapatkan akses pendidikan di Kota
Tasikmalaya.
1.4 Batasan Penelitian
Pada penelitian ini, pembatasan terhadap permasalahan akan peneliti
fokuskan pada perjuangan penyandang tuna netra dalam mendapatkan akses
pendidikan.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadikan
masukan bagi perkembangan Ilmu Politik, khususnya dalam Kajian Politik
Identitas.
2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan, keberadaan kelompok disabilitas di sekitar kita, dan
perjuangan penyandang tuna netra dalam mendapatkan akses pendidikan.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
dan masukan, kepada penyandang disablitas dan masyarakat pada
umunya, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan informasi terkait
penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Politik Identitas
Identitas adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin yaitu idem,
yang artinya adalah sama. Secara filosofis, identitas merupakan konsep yang
mempunyai dua pengertian didalamnya yaitu singleness over time dan
sameness amid difference. Berarti terdapat dua konsep mengenai identitas,
yaitu persamaan dan perbedaan. Individu mengidentifikasikan diri mereka
dan dari orang lain. Setiap individu berpacu untuk menguatkan identitas yang
melekat pada diri mereka. Setiap proses identifikasi, maka individu
membentuk siapa dirinya. Ketika individu membentuk siapa dirinya
(selfness), maka secara otomatis ia akan mencari negasinya atau the other.
Jadi, proses identifikasi selfness dan the other tersebut dipengaruhi oleh cara
individu atau kelompok memandang dirinya dalam lingkungan dan
komunitas17.
Dalam literatur Ilmu Politik, identitas dibedakan secara tajam antara
identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of
identity). Political identity merupakan konstruksi yang menentukan posisi
kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik sedangkan
political of identity mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian
17
Widayanti, Titik. 2009. Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: Research
Center For Politics And Goverment Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM. Hal:18
9
identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan
sarana politik18.
Ubed Abdilah dalam tulisannya Cin Pratipa Hapsarin ( Geliat sosial
antara aku dan yang lain, 2014) mengatakan bahwa politik identitas ialah19:
“Politik identitas adalah politik yang fokus utama kajian dan
permasalahannya
menyangkut
perbedaan-perbedaan
yang
didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh seperti persoalan politik
yang dimunculkan akibat problematika jender, feminisme dan
maskulinisme, persoalan politik etnis yang secara dasariah berbeda
fisik dan karakter fisiologis, dan pertentangan-pertentangan yang
dimunculkannya, atau persoalan-persoalan politik karena
perbedaan agama dan kepercayaan dan bahasa.“
Politik identitas diartikan juga sebagai politik perbedaan. Hal ini juga
sejalan dari pernyataan Agnes Heller20, yang mendefinisikan politik identitas
sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai
suatu kategori politik yang utama. Donald L Morowitz (1998) mendefinisikan
politik identitas adalah
Memberikan garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan
disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis
penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status
sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak
bersifat permanen.
Agnes Heller dan Donald L Morowitz mempunyai kesamaan
pandangan dalam memaknai politik identitas sebagai politik perbedaan.
Pemaknaan politik identitas menurut Kemala yang melangkah lebih jauh
18
Haboddin Mukhtar.2012. Politik Identitas:Menguatnya Identitas di Ranah Lokal. Malang:
Jurnal Study Pemerintahan.
19
Hapsarin, Cin Pratipa. 2014. Politik Identitas : Geliat Sosial Antara Aku dan Yang Lain. Jurnal
Academia.edu
20
Ibid19
dalam melihat politik identitas yang terjadi pada tataran praktis21 ialah politik
identitas biasanya digunakan sebagai alat memanipulasi – alat
untuk
menggalang politik guna kepentingan ekonomi dan politik.
Pada bagian yang lain, argumen Kemala mengalami kemunduran
penafsiran dengan mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja
ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya
yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik.
Lukmantoro (dalam bukunya Buchari, 2014)22 berpendapat politik identitas
dimaknai sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingankepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan
identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau
keagamaan. Pemahaman ini berimplikasi pada kecenderungan untuk:
Pertama, ingin mendapat pengakuan dan perlakuan yang setara atau dasar
hak-hak sebagai manusia baik politik, ekonomi maupun sosial-budaya.
Kedua, demi menjaga dan melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas
kelompok yang bersangkutan. Ketiga, kesetiaan yang kuat terhadap etnistas
yang dimilikinya.
Selain lima kecenderungan di atas Klaus Von Beyme23, menyebutkan
bahwa Gerakan politik identitas pada dasarnya membangun kembali “narasi
besar” yang prinsipnya mereka tolak dan membangun suatu teori yang
mengendalikan faktor-faktor biologis sebagai penyusun perbedaan–perbedaan
21
22
23
Opcit18
Buchari. Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Hal: 20.
Ubed, Abdilah.2002. Politik Identitas Etnis. Magelang.: IndonesiaTera
mendasar sebagai realitas kehidupannya. Dalam gerakan politik identitas ada
suatu tendensi untuk membangun sistem Apartheid terbalik. Ketika
kekuasaan tidak dapat ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak tercapai
sebagai tujuan gerakan, pemisahan dan pengecualian diri diambil sebagai
jalan keluar. Kelemahan dari gerakan politik identitas adalah upaya untuk
menciptakan kelompok teori spesifik dari ilmu. Sebagai contoh, tidak
seorangpun yang bisa menolak bahwa seorang hitam atau seorang sarjana
wanita bisa jadi telah mempunyai pengalaman yang membuat mereka sensitif
dalam kasus-kasus tertentu menyangkut hubungan dengan kelompok yang
lain.
Dari ketiga kriteria tersebut, Beyme membuat analisis dengan melihat
politik identitas melalui pola gerakan, motivasi dan tujuan yang ingin dicapai.
Hasil dari analisis Beyme digambarkan melalui tabel sebagai berikut24:
Tabel 1
Model Politik Identitas
Model
Teori
Pra
Modern
Modern
Post
Modern
24
Ibid23
Pola Keterangan
Perpecahan Obyektif
(dimana ada perpecahan
fundamental pasti ada
gerakan social yang
menyeluruh )
Pendekatan kondisional
(keterpecahan
membutuhkan sumber –
sember untuk mobilisasi)
Gerakan tumbuh dari
dinamika sendiri. Protes
muncul dari berbagai
Pola Aksi
Mobilisasi secara
ideologis atas
inspirasi pemimpin
Tujuan
Gerakan
Perampasan
kekuasaan
Keseimbangan
Pembagian
mobilisasi dari atas kekuasaan
dan partisipasi dari
bawah
Kesadaran diri
Otonomi
macam kesempatan
individual. Tidak terdapat
satu perpecahan yang
dominan.
Menurut Castells politik identitas merupakan partisipasi individual
pada kehidupan sosial yang lebih ditentukan oleh budaya dan psikologis
seseorang. Identitas merupakan peroses konstruksi dasar dari budaya dan
psikokultural dari seorang individu yang memberikan arti dan tujuan hidup
dari individu tersebut karena terbentuknya identitas adalah dari proses dialog
internal dan interaksi sosial25.
Castells juga menyebutkan ada tiga bentuk pembangunan identitas
yang berhubungan dengan peran dan arah pembangunan identitas serta
kegunaannya, diantaranya26 :
1) Identitas
legitimasi
(legitimizing
identity)
yaitu
identitas
yang
diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu masyarakat
untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya terhadap aktoraktor sosial, seperti misalnya suatu institusi negara yang mencoba
meningkatkan identitas kebangsaan anggota masyarakat. Institusi tersebut
memang telah mendapatkan legitimasi untuk melakukan hal tersebut;
2) Identitas resisten (resistance identity) yaitu sebuah proses pembentukan
identitas oleh aktor-aktor sosial yang dalam kondisi tertekan dengan
adanya dominasi dan stereotipe oleh pihak-pihak lain sehingga
membentuk resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak
25
Buchari. Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Hal : 19.
26
Ibid25. Hal : 23
yang mendominasi, dengan tujuan untuk keberlangsungan hidup
kelompok atau golongannya.
3) Identitas proyek (project identity) yaitu suatu identitas dimana aktor-aktor
sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisiposisi baru dalam masyarakat sekaligus mentranspormasi struktur
masyarakat secara keseluruhan. Hal ini misalnya, terjadi ketika kelompok
aktivis feminisme berusaha membentuk identitas baru perempuan,
menegosiasikan ulang posisi perempuan dalam masyarakat, dan akhirnya
merubah struktur masyarakat secara kseluruhan dalam memandang
peranan perempuan.
Konsep politik identitas yang telah di jelaskan di atas, maka akan
dapat menganalisa dan menjelaskan bagaimana identias perjuangan
penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya.
Dengan menggunakan konsep identitas politik maka akan memberikan
gambaran bagaimana pola gerakan politik identitas dari obyek penelitian yang
akan dilakukan.
2.2 Kajian Subaltern
Istilah subaltern dalam pemikiran Antonio Gramsci ialah subaltern
digunakan sebagai penunjuk terhadap kelompok inferior, yaitu kelompok
dalam masyarakat yang menjadi objek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa.
Seperti petani, buruh, dan kelompok – kelompok lain yang tidak memiliki
akses kepada kekuasaan hegemonik bisa disebut sebagai kelas subaltern
(Garcia, 2012)27.
Menurut ilmuan Gayatri Chakravorty Spivak dalam tulisannya “Can
Subaltern Speak?”, yang dimaksud subaltern adalah subjek yang tertekan,
para anggota ‘klas-klas’-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka
yang berada di tingkat inferior (Gandhi 2006)28. Subaltern memiliki dua
karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu
mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut bahwa
subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk
menyuarakan aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk
menyuarakan kondisinya, sehingga perlu kaum intelektual sebagai “wakil”
mereka.
Dari pemaparan di atas maka bisa diartikan bahwa Subaltern
digunakan untuk menunjukan sekelompok orang-orang yang termarginalkan
dan terekskusi dalam ranah publik sehingga mengalami tekanan, khususnya
dalam perjuangan melawan hegemonisasi global. Marginalisasi yang
didefinisikan sebagai
pengasingan dari sistem ketenagakerjaan dan
partisipasi dalam kehidupan sosial berdampak pada timbulnya perbedaan
materi, pembatasan hak-hak kewarganegaraan dan hilangnya kesempatan
untuk mengekspresikan diri, ciri ini melekat erat pada kaum subaltern.
27
28
Nia Kurnia. 2013. Komunitas Vespa Gembel. Kota Tasikmalaya: SKRIPSI Fakultas Sosial Ilmu
Politik Unsil. Unversitas Siliwangi.
Ibid27
Nadfa (2011) dalam tulisannya yang berjudul politik subaltern29, ia
menjelaskan bahwa kajian subaltern tidak dapat dilepaskan dengan berbagai
gagasan dan konsep yang membentuknya. Adapun gagasan dan konsep
tersebut adalah:
a. Teori Poskolonialisme
Poskolonialisme adalah istilah yang menggambarkan sikap
penduduk terjajah baik terhadap penjajah asing maupun terhadap
penguasa patriarkal pribumi yang menindas. Sikap penentangan
dilakukan terhadap budaya dan tradisi asing dan juga berusaha untuk
mencari perpaduan yang seimbang antara budaya yang dimiliki
mereka yang terjajah dengan budaya dominan yang selama ini
mendominasi sebuah masyarakat. Menurut Ashos Nandy teori
poskolonial merupakan gagasan tentang resistensi psikologis terhadap
misi pengadaban (civilising mission) kolonialisme. Kolonialisme tidak
hanya berakhir dengan berakhirnya pendudukan kolonial tetapi juga
memunculkan resistensi psikologis terhadap kolonialisme itu sendiri30.
b. Identitas dan Politik Identitas
Manusia
sebagai
individu
maupun
kelompok
dalam
hubungannya antar manusia dilekatkan berbagai latar belakang
berdasarkan pada etnis, agama, ras, tradisi, gender, orientasi seksual,
dan sosial budaya. Perbedaan berbagai latar belakang ini yang
29
30
Nadfa. 2011. http://nadlirotululfa.blogspot.com/2011/11/politik-subaltern.html. Diakses: 08
Desember 2014
Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta:
Qalam. Hal: 24
membentuk identitas. Setiap individu memerlukan identitas untuk
memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial31. Pada dasarnya
identitas berkaitan dengan apa-apa saja yang membedakan individu
atau kelompok dengan yang lainnya atau dengan kata lain identitas
erat hubungannya dengan “perbedaan”.
Maka dari itu identitas tidak dapat dipisahkan dengan konstruksi
keakuan (selfness) dan yang lain (the other)32. Pengidentifikasian selfness dan
the other sangat dipengaruhi oleh cara individu memandang dirinya dalam
lingkungan dan komunitas. Individu akan melakukan pengidentifikasian
terhadap diri sendiri dan orang lain dan berupaya memperkuat identitas
dirinya. Semua yang tidak memiliki karakter seperti dirinya atau
komunitasnya dianggap sebagai the other.
Kaum subaltern ini dalam menegaskan dan mempertahankan identitas
tidak terlepas dari kemampuan mereka untuk memperoleh, memperluas dan
mempertahankan identitas tersebut sebagai bukti nyata dalam representasi
sosial. Sehingga mereka dapat diakui dan melepaskan “baju” minoritasnya.
Oleh karena itu subaltern erat kaitannya dengan relasi kuasa dan politik. Dan
kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari ranah publik dan tidak mampu
menyuarakan kondisinya sebagai akibat kuatnya hegemoni dominan tidak
berada jauh dari pandangan kita.
31
32
Kinasih, Ayu Windy. 2007. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo. Yogyakarta: Laboratorium
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Hal: 3.
Widayanti, Titik. 2009. Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: Research
Center For Politics And Goverment Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM. Hal: 13.
Konsep subaltern yang telah dijelaskan di atas, memperlihatkan
bahwa kelompok disabilitas juga termasuk kedalam kategori kelompok
subaltern. Adapun salah satu penyebab termaginalkan identitas penyandang
tuna netra di Kota Tasikmalaya adalah adanya suatu perbedaan fisik dalam
penglihatan dengan masyarakat normal pada umumnya. Sehingga stereotip
negative terhadap identitas penyandang tuna netra mengenai dirinya,
mendapatkan pengasingan dari sistem partisipasi dalam kehidupan sosial,
berdampak
pada
timbulnya
perbedaan
materi,
pembatasan
hak-hak
kewarganegaraan, serta hilangnya kesempatan untuk mengekspresikan diri,
menunjukan bakat dan keahlian penyandang tuna netra.
2.3 Kajian Konsep Pendidikan
Redja Mudyahardjo memberikan definisi secara sempit bahwa
pendidikan adalah33 pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal. Lemabaga tersebut diperuntukan untuk anak dan
remaja agar mempunyai kemampuan yang sempurna, kesadaran penuh
terhadap hubungan – hubungan dan tugas – tugas sosial mereka. Selanjutnya
Redja Mudyhardjo memberikan definisi pendidikan alternatif. Pendidikan34
adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan yang berlangsung
disekolah ataupun di luar sekolah sepajang seumur hidup. Bertujuan untuk
33
34
Mudyahardjo, Redja. 2006 Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal: 6
Ibid33 Hal: 11
mempersiapkan atau mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan tiap – tiap
individu agar di kemudian hari dapat memainkan perannan hidup secara tepat.
Menurut Dahama dan Bhatnagar (dalam bukunya Rulam Ahmadi,
2014) pendidikan merupakan proses membawa perubahan yang di inginkan
dalam perilaku manusia. Pendidikan juga dapat di definisikan sebagai proses
perolehan pengetahuan dan kebiasaan – kebiasaan melalui pembelajaran atau
studi. Perubahan – perubahan itu hendaknya dapat diterima secara sosial,
kultural, ekonomis, dan menghasilkan pengetahuan, keterampilan sikap serta
pemahaman35. Pendidikan merupakan suatu proses interaksi manusia dengan
lingkungannya. Berlangsung secara sadar dan terencana dalam rangka
mengembangkan segala potensinya, baik jasmani ( kesehatan fisik) dan
ruhani (pikir, rasa, karsa, karya, cipta dan budi pekerti). Pendidikan bertujuan
menimbulkan perubahan positif dan kemajuan, baik kognitif, afektif, maupun
psikomotorik yang berlangsung secara terus menerus guna mencapai tujuan
hidupnya36.
Ivan Illich seorang ilmuan radikal humanis mendefinisikan pendidikan
cenderung dalam arti yang luas. Baginya, pendidikan adalah pendidikan sama
dengan hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang
mempengaruhi pertembuhan seseorang. Ivan Iliich beranggapan bahwa
sistem pendidikan yang baik adalah37 :
35
Rulam Ahmadi. 2014. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. Hal: 35
Ibid35 Hal: 38
37
Muammar, arfan. http://arfanmuammar.blogspot.com/2012/06/. Gagasan – ivan – illich – dalam
- pendidikan.html#.VIlXOON_t7x. Di akses: 11 – 12 2014.
36
(1) Pendidikan memberikan kesempatan semua orang untuk bebas dan
mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat,
(2) Pendidikan memungkinkan semua orang yang ingin memberikan
pengetahuan mereka kepada orang lain dapat dengan mudah
melakukannya, demikian pula bagi yang ingin mendapatkannya,
(3) Pendidikan menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan
dengan pendidikan.
Dari tiga tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa, sistem pendidikan
yang baik menurut Ivan Illich adalah terjaminnya kebebasan seseorang untuk
memberikan Ilmu dan mendapatkan Ilmu. Sehingga seseorang diperbolehkan
membagikan apa yang dia ketahui dan berpeluang menyampaikan masalah ke
tengah masyarakat. Karena memperoleh pendidikan dan Ilmu adalah hak dari
setiap warga negara dimanapun dan setiap saat.
2.3.1 Pendidikan Menurut Sumber Hukum Positif RI38
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
nasional,
− Pasal 4 Ayat 1 : Pendidikan diselenggarakan berdasarkan demokrasi dan
berkeadilan dan tanpa diskriminasi.
− Pasal 11 Ayat 1 : Adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan
pendidikan yang layak bagi semua warga negara, tanpa adanya
diskriminasi.
38
Irwanto, Eva Rahmi kasim, dkk.. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indoneisa: Sebuah
Desk-Review. Jakarta :Pusat Kajian Disabilitas. Universitas Indonesia
− Pasal 12 Ayat 1b : Hak dari murid untuk memiliki pendidikan yang
layak berdasarkan bakat, minat dan kemampuannya
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Pendidikan Nasional Pasal 41 tentang setiap satuan pendidikan yang
melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan
yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi
peserta didik dengan kebutuhan khusus
3. Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang
Pendidikan Inlusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
2.3.2
Macam - Macam Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia
Pada dasarnya, penyelenggaraan pendidikan untuk mewadahi anak
bersekolah terbagi atas tiga jenis, yakni pendidikan segregasi, pendidikan
integratif, dan pendidikan inklusif39.
a. Pendidikan Segregasi
Pendidikan Segregasi
adalah sekolah
yang memisahkan
anak
berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia
bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau
Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti
SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C
(untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk
39
Qita, Konselor. http://konselorqita.blogspot.com/2014/01/manajemen-pendidikan-inklusi.html.
Di akses: 27 Januari 2015
anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri
atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. Sebagai satuan
pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah
sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum,
tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada
sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah
segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak
kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
b. Pendidikan Terpadu/Integratif
Pendidikan terpadu/integratif adalah sekolah yamg memberikan
kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti
pendidikan di sekolah reguler tanpa ada perlakuan khusus yang
disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap
menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidikan dan
kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta
didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam
mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri
yang harus menyesuikan dengan sistem yang dituntut di sekolah
reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus
menyesuaikan dengan sistem yang disyaratkan sekolah reguler.
Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain,
anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak
berkebutuhan khusus dapat bergaul dilingkungan sosial yang luas dan
wajar.
Sistem
pendidikan
integratif/
penyelenggaraan
program
pendidikan terpadu bermula dengan keluarnya surat keputusan
Mendikbud No.002/U/1986 tanggal 4 Januari 1986 tentang program
pendidikan terpadu bagi anak cacat. Keputusan itu disusul dengan surat
edaran Dirjen Dikdasmen No.6718/C/I/89 tanggal 15 Juli 1989 tentang
perluasan kesempatan belajar bagi anak berkelainan di sekolah umum.
Kemudian SK Mendikbud No.0491/U/1992 mempertegas tentang
pendidikan bagi anak berkelainan yang diselenggarakan bersama-sama
dengan anak normal di jalur pendidikan sekolah. Melalui program
pendidikan terpadu ini para peserta didik dimungkinkan untuk saling
menyesuikan diri, saling belajar tentang sikap, perilaku dan
ketrampilan, saling berimitasi dan mengidentifikasi, menghilangkan
sifat menyendiri, menimbulkan sikap saling percaya, menimbulkan
sikap saling percaya, meningkatkan motivasi untuk belajar dan
meningkatkan harkat serta harga diri.
c. Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan sebuah proses dalam upaya merespon
kebutuhan semua peserta didik yang beragam. Berbagai upaya dapat
dilakukan melalui perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatanpendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan
semua peserta didik sesuai dengan kelompok usianya. Pendidikan
inklusif berawal dari pendidikan untuk semua tidak diskriminatif
terhadap siapapun termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan
khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki
kebutuhan khusus bersifat temporer (sementara) maupun permanen
sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan khusus.
Eggen dan kauchak (2004) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif
adalah40 pelayanan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran yang komprehensif yang di
laksanakan secara sistematis, total dan terkoordinasi. Terdapat tiga komponen
dalam pendidikan inklusif ini, yaitu:
a. Menempatkan peserta didik dengan kebutuhan khusus pada kelas
regular
b. Menempatkan peserta didik dengan kebutuhan khusus pada usia
dan jenjang yang sesuai dengan kelas yang sesuai
c. Memberikan pelayanan bagi anak yang berkebutuhan khusus yang
dilaksanakan dalam kelas regular
Omrod (2011) mengkategorikan anak yang berkebutuhan khusus
menjadi lima Kategori umum, seperti yang dikemukakan dalam Tabel 2
sebagai berikut41:
40
41
Omrod. Diterjemahkan oleh Nyoman Surna, olga D. Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan 1.
Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal: 199
Ibid40 Hal: 201
Tabel 2.
Kategori Anak Berkebutuhan Khusus
Kategori Umum
Kategori
Spesifik
Learning
disability
Student with specific
Cognitive or academic
difficulties: Anak yang
memiliki cirri ini
menunjukan kemampuan
akademik di bawah rata –
rata; anak mengalami
kesulitan dalam
mengerjakan tugas
khusus
Attention-defict
Hyperactivity
disorder
(ADHD): Tidak
secara spesifik
dapat dilakukan
dengan
pembelajaran
individual,
dibutuhkan
pelayanan
khusus
indivudal,
termasuk yang
mengalami
gangguan
kesehatan
Speech and
communication
disorder
Students with social or
Emotional and
Ciri yang Tampak
Proses kognitif anak
mengalami keterbatasan
dalam menelaah hal – hal
khusus (seperti keterbatasan
kemampuan persepsi,
bahasa, atau mengingat) dan
tidak berkaitan dengan
keterbatasan
kemampuannya lainnya
seperti anak yang
mengalami keterbelakangan
mental, gangguan emosi dan
perilaku, ataun gangguan
sensori
Keterbatasan kemampuan
anak yang tergolong
kategori ini memiliki cirri
(a) kesulitan memusatkan
perhatian dan (b) sering
menunjukan perilaku
hiperaktif dan implusif
Keterbatasan kemampuan
berbahasa ujar (seperti
ujaran yang kurang tepat,
gagap dalam berujar, dan
bentuk sintaktik tidak
beraturan) atau dalam upaya
pemahaman bahasa ujar
perlu bantuan khusus
Keadaan emosi dan perilaku
behavorial problems:
Anak yang menunjukan
keterbatasan dan
kesulitan yang cukup
serius dalam berperilaku,
social dan juga
emosional, dan sangat
berkaitan dengan
masalah akademik
Student with general
delays in cognitive and
social functioning: anak
yang menunjukan
prestasi belajar yang
sangat rendah pada
semua mata pelajaran
dan keterampilan social
menunjukan tidak sesuai
dengan usianya (seperti
kekanak-kanakan).
Students wits physical or
sensory challengs: anak
yang termasuk kategori
ini adalah anak yang
memiliki keterbatasan
akibat masalah fisik dan
secara medis mmiliki
masalah
behavorial
disorder
yang ditampilkan tidak
sesuai dengan usia dan
tuntuan lingkungan social
yang seringkali
mengganggu hubungan
sosial dengan teman sebaya
dan secara signifikan
berdampak pada kegiatan
akademik dan juga prestasi
belajar
Autism spectrum Keterbatasan tersebut
disorder
ditandai kesulitan dan
kekurangan kemampuan
bersosialisasi, tidak
memiliki keterampilan
sosial, keterbatasan sosial
kognitif, perilakunya tidak
terkontrol dan hanya
berpusat pada kemauan diri
sendiri, dan sangat berbeda
dengan anak usia sebaya.
Perkembangan kognitif dan
bahasa sangat terlambat
Intellectual
Kecerdasan di bawah ratadisability
rata dibandingkan dengan
(mental
anak-anak pada umumnya
retardation)
dan menunjukan
kemampuan menyesuaikan
diri yang sangat terbatas
Physical and
health
impairment
Visual
impairment
Kondisi fisik dan secara
medis mengalami masalah
dan dibutuhkan pelayannan
khusus akibat dari
keterbatasan tenaga,
kekuatan fisik mengalami
penurunan, kesiapan mental
menurun.
Penglihatan tidak berfungsi
sebagaimana mestinya; saraf
optic telah mengalami
keterbatasan dalam
Hearling loss
Students with advanced
cognitive development:
anak yang tergolong pada
kategori ini menunjukan
kemampuan belajar yang
tidak seperti anak pada
umumnya dan
menunjukan keunggulan
satu atau beberapa
bidang studi
Giftednes (not
covered by
IDEA unless a
disability is also
present)
mendeteksi penglihatan
Pendengaran tidak berfungsi
sebagaimana mestinya atau
terjadinya kerusakan saraf
yang menghubungkan
antara persepsi suara
denhgan frekuensi
pendengaran melalui
percakapan yang normal
Memiliki kemampuan luar
biasa atau bakat dalam satu
beberapa bidang, dan anak
ini membutuhkan
pengayaan khusus yang
tidak sama dengan anak
pada umumnya agar potensi
anak berkembang secara
optimal
2.4 Penelitian Terdahulu
Untuk menambah ketajaman dalam penelitian ini, penulis perlu untuk
menjadikan penelitian terdahulu sebagai referensi dalam upaya mencapai
tujuan penelitian secara baik. Penelitian terdahulu yang menjadi referensi
diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Habodin (2012), ia
meneliti identitas politik di ranah lokal42. Dalam karyanya yang berjudul
menguatnya identitas politik di ranah lokal, ia menyimpulkan bahwa
penguatan politik etnisitas merupakan potret diri dari pergulatan politik lokal.
Sebuah potret berwajah ganda, wajah pertamanya berwujud dengan putra
daerah sebagaimana terjadi di Kalimantan Barat, Riau, Papua dan Kalimantan
Tengah, tetapi wajah lainnya dari politik identitas bisa berwujud pada
42
Haboddin Mukhtar.2012. Politik Identitas:Menguatnya Identitas di Ranah Lokal. Malang:
Jurnal Study Pemerintahan.
perjuangan untuk mendapatkan alokasi dana dari pemerintah pusat. Dimana
proses desentralisasi politik ternyata diiringi dengan isu putra daerah. Sebuah
isu yang sarat makna dan sangat mengkhawatirkan bukan hanya proses
demokrasi lokal akan terancam, tetapi juga menjadi petunjuk memudarnya
semangat nasionalisme.
Kemudian oleh Widayati (2009) yang melakukan penelitian dengan
judul Politik Subaltern; Pergulatan Identitas Waria43. Dalam penelitian
tersebut ia mengatakan budaya dominan masyarakat yang hanya mengakui
identitas laki-laki dan perempuan menyebabkan kaum waria mengalami
diskriminasi dalam kelompok masyarakat. Diskriminasi yang dialami kaum
waria berhubungan erat dengan stereotype dari masyarakat umum bahwa
kaum waria dekat dengan hal negatif. Diskriminasi dalam kaum waria terbagi
kedalam diskriminasi langsung dan tidak langsung. Diskriminasi langsung
berupa pembatasan bagi waria untuk mengakses wilayah tertentu seperti
daerah pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum, dan lain sebagainya.
Diskriminasi tidak langsung terjadi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan
yang menjadi pembatas kelompok waria untuk berhubungan dengan
kelompok lain. Posisi waria yang terpinggirkan dalam ranah publik ini
mengalami diskriminasi dalam akses administrasi kependudukan, kesehatan,
pendidikan dan pekerjaan
Waria
sebagai
subaltern
tidak
memiliki
kemampuan
untuk
memperjuangkan dirinya sendiri. Organisasi waria memiliki peran penting
43
Widayanti, Titik. 2009. Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: Research
Center For Politics And Goverment Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM.
dalam mewujudkan pengakuan masyarakat terhadap identitas waria. Berusaha
merubah paradigm negatif tentang waria menjadi yang lebih positif dalam
kehidupan sosial. Upaya dilakukan dengan pernyataan dalam berbagai
aktivitas diskusi baik formal maupun non formal dengan masyarakat luas, dan
juga melalui media tulisan untuk membuat suatu wacana (Widayati, 2009).
Selanjutnya ada Cin Pratipa Hapsarin politik identitas: “Geliat Antara
Aku dan Yang Lain” mengenai gender, yang dimana merupakan konstruksi
sosial atas ‘tubuh’ bukan saja secara wacana melainkan secara material
mengena langsung pada subjek individu manusia laki-laki dan manusia
perempuan44. Disini pelekatan sosial menegaskan asumsi-asumsi pembeda
yang diandaikan secara biologis. Man from Mars and woman from Venus
meneguhkan pernyataan laki-laki haruslah jantan, gagah, kuat, bertanggungjawab, cerdas, dapat melindungi dan memimpin berbanding lurus dengan
asumsi perempuan haruslah lemah lembut, nrimo: sabar, ikhlas, dan penurut.
Asumsi yang secara general ditafsir berdasar kategorial fisik (citra atas tubuh)
dan mental itu berimbas ke ruang publik yang secara sepihak kemudian
mengartikan bahwa perempuan ‘secara definitif’ tidak layak dan tidak pantas
untuk berada di satu ruang yang sama dengan laki-laki.
Dalam kondisi tertentu hal itu dapat diartikan bahwa perempuan tidak
layak menjadi pemimpin dan hal ini berimbas pada minimnya keterlibatan
perempuan dalam ruang-ruang publik khususnya dalam wilayah politik
praktis. Karena diangap merugikan, dalam arti tidak membawa aspirasi
44
Hapsarin, Cin Pratipa. 2014. Politik Identitas : Geliat Sosial Antara Aku dan Yang Lain. Jurnal
Academia.edu
perempuan dalam kesetaraan hak, serta rentannya perempuan oleh tindak
kekerasan dan diskriminasi lainnya. Sehingga adanya penolakan atas ide
tersebut dan tafsir atas pembedaan jenis kelamin itu mengerucut pada apa
yang dikenal dengan gerakan feminisme. Bahwa “anatomi bukanlah nasib”.
Gerakan feminisme tersebut yang terus memperjuangkan hak – hak nya di
wilayah politik praktis dan khususnya bagi kaum perempuan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu akan menjadi
bahan referensi awal untuk peneliti, meneliti mengenai “Politik Identitas
Kelompok Disabilitas, Perjuangan Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses
Pendidikan di Kota Tasikmalaya”. Hal tersebut dikarenakan penelitian yang
akan penulis lakukan memiliki kesamaan dengan penelitian terdahulu yaitu
meneliti identitas politik dari suatu kelompok terutama kelompok yang
termasuk dalam termaginalkan ataupun kelompok yang terdiskriminasikan.
Dalam penelitian sebelumnya juga memiliki kesamaan dalam kajiannaya,
mereka meneliti bagaimana suatu kelompok sosial dapat mempertahankan
identitasnya dan berjuang untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya
mereka dapatkan.
Tabel 3.
Matriks Perbedaan Penelitian Sebelumnya
Penelitian Terdahulu
No
1
Nama Penelitian
Menguatnya Identitas
Politik di Ranah
Lokal (Mohtar
Habodin, 2012)
Latar Belakang
adanya kesenjangan
antara wilayah-wilayah
di Indonesia.
Posisi Penelitian
Menjelaskan
mengenai
pergulatan politik
etnisitas yang
2
Politik Subaltern;
Pergulatan Identitas
Waria (Titik
Widayati, 2009)
3
Politik Identittas :
Geliat Sosial Antara
Aku dan Yang lain
(Cin Pratipa
Hapsarin, 2014 ).
4
Politik Identitas
Kelompok
Disabilitas:
Perjuangan
Penyandang Tuna
Netra dalam
Mengakses
Pendidikan
terjadi di ranah
local.
adanya budaya dominan
Penelitian ini
masyarakat yang hanya
lebih menekankan
mengakui identitas lakipada penelitian
laki dan perempuan
mengenai
sehingga kaum waria
bagaimana kaum
mendapat diskriminasi.
waria
memperjuangkan
identitasnya dan
juga upaya
mereka untuk
mendapatkan
pengakuan dari
masyarakat.
Gender, perbedaan secara Gerakan
fisik atau biologis, antara feminisme
perempuan dan laki –
tersebut yang
laki. Perempuan
terus
seringkali di anggap
memperjuangkan
lemah dibandinkan laki – hak – hak nya di
laki. Sehingga berimbas
wilayah politik
pada ruang gerak politik praktis dan
perempuan.
khususnya bagi
kaum perempuan.
Dibelatar belakangi atas
Penelitian yang
keterbatasan penglihatan. akan dilakukan
Sehingga menyulitkan
bertujuan meneliti
penyandang tuna netra
bagaimanakah
untuk mengakses
perjuangan
pendidikan, baik itu di
penyandang tuna
lembaga formal maupun netra dalam
non formal
mengakses
pendidikan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Dimana Metode Penelitian Kualitatif ini adalah penelitian
yang dilakukan untuk mendeskripsikan gejala atau kehidupan alamiah (riil)
sosial
masyarakat,
guna
memahami
fenomena
yang
terjadi
secara
komperhensif.
Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan
penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia, kawasannya
sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan
peristilahannya”. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah
sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi45.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah penyandang disabilitas (Sekolah
Luar Biasa) dan di rumah warga yang memiliki penyandang tuna netra di Kota
Tasikmalaya.
45
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: CV. Alfabeta.
32
33
3.3 Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah pihak-pihak terkait, yang diantaranya
adalah, Penyandang Tuna Netra, Guru atau Pengajar Penyandang disabilitas,
Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya, Dinas Sosial, Kelompok atau komunitas
penyandang tuna netra (PERTUNI), Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia
(ITMI) dan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Sedangkan untuk jumlah
informan yang akan diwawancara akan disesuaikan dengan kebutuhan data
yang diperlukan peneliti dilapangan sesuai teknik purposive sampling dan
snowball sampling.
3.4 Fokus Penelitian
Penelitian difokuskan pada perjuangan penyandang tuna netra dalam
mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya.
3.5 Pendekatan Dalam Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif-kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
sebuah gambaran tentang suatu individu tertentu atau suatu gejala atau
hubungan dua gejala atau lebih. Penelitian kualitatif menghasilkan data
berupa ucapan, tulisan dan perilaku serta penekanan pada aspek subjektif
yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Metode ini langsung
menunjuk seting dan individu-individu dalam seting itu secara keseluruhan
materi46.
46
Ibid45
3.6 Teknik Pengambilan Informan
Pengambilan sampel atau informan dalam penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling yaitu47, teknik pengambilan sumber data dengan
pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya orang tersebut
yang dianggap paling mengetahui tentang apa yang kita harapkan, atau
mungkin dia sebagai orang yang paling menguasai sehingga akan
memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti,
dampaknya adalah data yang dihasilkan sangat berkualitas. Kemudian ketika
data yang didapatkan kurang dapat memenuhi kapasitas, dalam penelitian ini
juga menggunakan teknik snowball sampling48, yaitu teknik pengambilan
sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit kemudian menjadi
semakin membesar, hal ini dikarenakan sumber data yang sedikit tersebut
belum mampu memberikan data yang memuaskan maka mencari orang lain
yang digunakan sebagai sumber data dan serta adanya rekomendasi dari
informan pertama.
3.7 Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan sumber
data yang akan digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah dengan analisis dokumen, observasi dan wawancara. Untuk
mengumpulkan data dalam kegiatan penelitian diperlukan cara-cara atau
teknik pengumpulan data tertentu, sehingga proses penelitian dapat berjalan
47
48
Ibid45
Ibid 45
lancar49. Sumber data dan jenis data yang terdiri atas kata-kata dan tindakan,
sumber tertulis, foto, dan data statistik. Selain itu masih ada sumber data yang
tidak dipersoalkan di sini seperti yang bersifat nonverbal (Moloeng, 2007:
241).
Berdasarkan pendapat
di atas, dapat dipahami bahwa cara
pengumpulan data merupakan salah satu kegiatan utama yang harus
diperhatikan dalam suatu penelitian antara lain:
1. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti
melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena sosial yang
terjadi dilokasi penelitian untuk mendapatkan data yang bersifat tindakan
atau tingkah laku sehari-hari. Observasi atau pengamatan ini dimaksudkan
sebagai teknik pengumpulan data secara selektif. Selanjutnya, peneliti
memahami dan menganalisis berbagai gejala yang berkaitan dengan objek
penelitian melalui berbagai situasi dan kondisi nyata yang terjadi baik
secara formal atau informal. Dalam penelitian ini teknik observasi yang
digunakan adalah teknik Participant As Observer, dimana peneliti dengan
sengaja memberitahukan maksud kehadirannya kepada kelompok yang
diteliti.
49
Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. PT. RemajaRosdakarya: Bandung. Hal:
241.
2. Wawancara
Menurut Milles dan Huberman (dalam Sutopo)50 adalah wawancara
informal yang dilakukan pada saat konteks yang di anggap tepat Guna
mendapatkan data yang mempunyai kedalaman dan dapat dilakukan
berkali-kali secara frekuentif sesuai dengan keperluan peneliti. Teknik ini
dimaksudkan agar peneliti mampu mengeksplorasi data dari informan
yang bersifat nilai, makna, dan pemahaman yang tidak mungkin dilakukan
melalui teknik survei. Latar belakang informan dan pewawancara akan
mempengaruhi pada jawaban yang diberikan informan dengan cara
pengambilan data dengan tanya jawab dengan informan.
3. Dokumentasi
Metode ini dilaksanakan untuk memperoleh data yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian melalui buku-buku literatur, arsip, foto
atau dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
3.8 Teknik Analisis Data
Manurut Patton (dalam Moelong, 2007)51, teknik analisis data adalah
proses kategori urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,
kategori dan satuan uraian dasar, ia membedakannya dengan penafsiran yaitu
memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian
dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Sedangkan menurut
50
51
Sutopo, H. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar Teoritis Dan Praktis.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal. 24
Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Hal:
280.
Bogdan dan Tylor (dalam Moloeng, 2007)52, analisis data sebagai proses
yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan
hipotesis seperti yang disaranakan oleh data dan sebagai usaha untuk
memberikan bantuan pada tema dan hipotesis tersebut. Jika dikaji definisi
pertama lebih menitik beratkan pada pengorganisasian data. Kedua lebih
menekankan maksud dan tujuan analisis data.
Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, analisis data,
adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data
dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber,
yaitu wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan,
dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.
Metode teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif dengan analisis interaktif (Interactive Of Analysis). Proses
analisis ini dilakukan selama proses penelitian. Dalam teknik ini ada tiga
komponen pokok analisis,53 yaitu Reduksi Data, Penyajian Data dan
Penarikan Kesimpulan yang kesemuanya ini di fokuskan pada tujuan
penelitian
1. Reduksi data
52
53
Ibid51 Hal: 280.
Milles, Matthew dan Huberman, A. Michael.1992. Analisis Data Kualitatif. UI-Press. Jakarta.
hal. 20
Merupakan proses seleksi, pemokusan, penyederhanaan dan
abstraksi data yang ada dalam fieldnote yang berlangsung terus sepanjang
pelaksanaan riset hingga laporan akhir penelitian selesai di tulis. Reduksi
data merupakan suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek,
membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur data
sedemikian rupa sehingga kesimpuan akhir dapat dilakukan. Proses
kuantifikasi tidak akan terjadi dalam riset kualitatif seperti halnya yang
bisa dilakukan dalam riset kuntitatif.
2. Penyajian data
Penyajian data merupakan kegiatan dengan adanya perencanaan
kolom dalam bentuk matrix gambar (skema) dan tabel bagi data kualitatif
dalam bentuk khususnya. Kegiatan ini dilakukan karena kemampuan
manusia sangatlah terbatas dalam menghadapi fieldnote yang jumlahnya
mencapai ribuan halaman. Dengan demikian, susunan penyajian data yang
baik dan jelas sistematikanya sangatlah diperlukan untuk melangkah
kepada tahapan penelitian (riset) kualitatif selanjutnya.
3.
Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan dan telah ada dengan memperhatikan hasil wawancara,
observasi dan dokumentasi berupa data-data yang belum siap digunakan
dalam analisis, setelah data tersebut direduksi dan disajikan.
Proses analisis interaktif (Interactive Of Analysis) dapat dilihat di
gambar sebagai berikut:
Gambar 1
Analisis Interaktif (Interactive Of Analysis)
Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian data
Kesimpulan-kesimpulan
Sumber : Milles dan Huberman, 1992 : 20
3.9 Validasi Data
Cara yang digunakan untuk menguji validitas data adalah teknik
Trianggulasi. Denzim dalam Moleong54 membedakan empat macam
Trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan
sumber, metode, penyidik dan teori.
a. Trianggulasi dengan Sumber berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbeda dalam metode kualitatif
54
Moleong, Lexi J. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Rosda Karya. hal. 178
b. Trianggulasi dengan Metode ada dua strategi yaitu pertama, pengecekan
derajat
kepercayaan
penemuan
hasil
penelitian
beberapa
teknik
pengumpulan data. Kedua, pengecekan derajat kepercayaan beberapa
sumber data dengan metode yang sama.
c. Trianggulasi dengan Penyidik adalah dengan jalan memanfaatkan
penelitian atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali
derajat kepercayaan data.
d. Trianggulasi dengan Teori, berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu
tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.
Untuk menguji data dalam penelitian di gunakan teknik trianggulasi
sumber. Dalam hal ini dapat di tempuh dengan cara :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu
d. Membandingkan keadaan dan persfektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang yang memiliki latar belakang yang
berlainan
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berlainan.
Melalui teknik ini diharapkan validitas data akan terjamin. Adapun
tahap yang digunakan dalam penelitian hanya berkisar pada tahap “A”
(membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen) dan tahap “E”
(membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen). Hal ini
dilakukan mengingat keterbatasan waktu, biaya dan tenaga sehingga tidak
semua tahapan dapat dilaksanakan.
Selain trianggulasi teknik uji validitas data dalam penelitian ini juga
menggunakan teknik Informant Review. Informant review dilakukan dengan
cara laporan penelitian di review oleh informan (khususnya key informant)
untuk mengetahui apakah yang diteliti merupakan sesuatu yang dapat di
setujui mereka. Dalam hal ini kadang-kadang memerlukan diskusi agar
pengertian dari kedua belah pihak dapat dicapai55.
55
Sutopo, H. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar Teoritis Dan Praktis.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal. 31
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Sejarah Singkat Kota Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya berproses dari sebuah kota administratif yang
hanya mencakup tiga kecamatan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
22 Tahun 1976 berubah menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB), dengan
memekarkan diri dari daerah induk Kabupaten Tasikmalaya pada tahun
2001 yang meliputi delapan (8) kecamatan setelah disahkannya Undang –
Undang Nomor 10 Tahun 2001. Saat ini Kota Tasikmalaya terbagi menjadi
10 (sepuluh) kecamatan, dengan terbentuknya Kecamatan Bungursari dan
Kecamatan Purbaratu berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun
200856.
Berikut ini urutan pemegang jabatan Walikotatif Tasikmalaya dari
terbentuknya kota administratif sampai menjelang terbentuknya pemerintah
Kota Tasikmalaya57:
1. Oman Roesman (1976-1985)
2. Yeng Ds. Partawinata (1985-1989)
3. R. Y. Wahyu (1989-1992)
4. Erdhi Hardhiana (1992-1999)
5. Bubun Bunyamin (1999-2007)
56
57
Profil Kota Tasikmlaya. Arsip Kota Tasikmalaya.
Sejarah Kota Tasikmalya. 03-09-2013.http://tasikmalayakota.go.id/statis-91-sejarah.html. Di
akses 20-03-2015
42
33
6. Syarif Hidayat (2007-2012)
7. Drs. H. Budi Budiman (2012-2017)
Masyarakat Kota Tasikmalaya yang agamis dan kaya potensi
ekonomi kreatif menjadikan Kota Tasimalaya sebagai kota pusat
perdagangan dan industri termaju di wilayah Priangan Timur. Produckproduck baru dan investasi berskala besar terus tumbuh dan mampu
menstabilkan perekonomian daerah. Pusat perdagangan modern dan
tradisional
tumbuh
berdampingan,
didukung
menggeliatnya
usaha
perhotelan, restoran dan rumah makan menjadikan Kota Tasikmalaya
seperti tak pernah tertidur, putaran ekonomi bergerak kencang menopang
bertumbuhnya industri-industri kreatif yang menemukan pasarnya58.
4.1.2 Kondisi Geografis Kota Tasikmalaya
Secara geografis Kota Tasikmalaya terletak antara 1080 08’38 ’’BT1080 24’02” BT dan antara 7010’LS-70
26-32” LS, berada di bagian
tenggara Provinsi Jawa Barat, berjarak ± 105 Km dari Kota Bandung dan ±
255 Km dari Kota Jakarta, dengan luas wilayah 18.385 Hektar (185,85
Km2). Batasan administratif pemerintahan sebagai berikut59:
1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya (Kecamatan
Cisayong, Sukaratu) dan dengan Kabupaten Ciamis (Kecamatan
Sindangkasih, Cihaurbeti), dengan batas fisik Sungai Citanduy;
58
59
Op.cit56
Op.cit56
2. Sebelah
Selatan,
berbatasan
dengan
Kabupaten
Tasikmalaya
(Kecamatan Jatiwaras);
3. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya ( Kecamatan
Sukaratu, Leuwisari, Singaparna, Sukarame) dengan batas fisik Sungai
Ciwulan;
4. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya (Kecamatan
Manonjaya dan Gunung Tanjung) dengan batas fisik saluran irigasi
Cikunten II dan Sungai Cileuwimunding.
Kota Tasikmalaya menurut undang-undang Nomor 10 Tahun 2001
memiliki wilayah seluas 17.156,20 Hektar yang terbagi kedalam 8 (delapan)
Kecamatan, terdiri dari 15 Kelurahan dan 54 Desa. Seiring perkembangan
Kota Tasikmalaya dan adanya tuntutan peningkatan pelayananan kepada
masyarakat, sejak tahun 2008 Kota Tasikmalaya menjadi 10 (sepuluh)
Kecamatan dan 69 Kelurahan dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 6 Tahun 2008 tentang pembentukan Kecamatan Bungursari dan
Kecamatan Purbaratu Kota Tasikmalaya60.
Berdasarkan peraturan daerah Kota Tasikmalaya Nomor 4 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Kota Tasikmalaya tahun 20112031, luas wilayah administrasi Kota Tasikmalaya adalah 18.385,07 Ha
(183,85 Km2). Hal ini tidak berarti ada penambahan wilayah, seluas
1.229,07 Ha (12,29 Km2) dari sebelumnya 17.156 Ha (171,56 Km2). Letak
geografis Kota Tasikmalaya tergambar dalam peta sebagai berikut:
60
Op.cit56
Gambar 2. Peta Administratif Kota Tasikmalaya
Sumber: BPKP, Jabar 2009
Sedangkan luas administratif Kecamatan di Kota Tasikmalaya dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4
Luas Wilayah Administratif Kecamatan dan
Jumlah Wilayah Administratif Kelurahan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kecamatan
Cihideung
Cipedes
Tawang
Indihiang
Kawalu
Cibeureum
Tamansari
Mangkubumi
Bungursari
Purbaratu
Jumlah
Luas Wilayah (Km2)
5,49
8,97
7,08
11,04
42,78
19,04
35,99
24,53
16,91
12,02
183, 85
Jumlah
kelurahan
6
4
5
6
10
9
8
8
7
6
69
Sumber: Dinas Kependudukan Kota Tasikmalaya, Data Agregat Semester II Th. 2014
4.1.3 Rekapitulasi Data Kependudukan Kota Tasikmalaya
Populasi penduduk Kota Tasikmalaya untuk kependudukan dari 10
(sepuluh) Kecamatan berjumlah total penduduk 678.027 Jiwa, yang terdiri
dari 346.809 orang laki-laki dan 331.218 orang perempuan. Bisa dilihat
dengan data pada tabel sebagai berikut:
Tabel 5
Rekapitulasi Data Kependudukan Per Kecamatan dan
Jenis Kelamin
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kecamatan
Cihideung
Cipedes
Tawang
Indihiang
Kawalu
Cibeureum
Tamansari
Mangkubumi
Bungursari
Purbaratu
Jumalah
Jenis Kelamin
Junlah
Laki-Laki
Perempuan
Penduduk (Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)
37.435
36.217
73.652
43.604
41.464
85.068
30.830
30.626
61.456
26.965
25.754
52.719
46.964
44.340
91.304
35.298
32.936
64.533
33.013
31.520
68.234
45.183
43.328
88.511
25.863
24.679
50.542
21.654
20.354
42.008
346.809
331.218
678.027
Sumber: Dinas Kependudukan Kota Tasikmalaya, Data Agregat Semester II
Th. 2014
Komposisi penduduk Kota Tasikmalaya berdasarkan kelompok
Umur dari 0 > 75 Tahun dan Kecamatan. Bisa dilihat dengan data pada tabel
sebagai berikut:
Tabel 6
Komposisi Penduduk Kota Tasikmalaya Berdasarkan
Umur dan kecamatan
Sumber: Dinas Kependudukan Kota Tasikmalaya, Data Agregat Semester II. Th. 2014
Komposisi penduduk Kota Tasikmalaya berdasarkan Tingkat
Pendidikan dan Kecamatan. Bisa dilihat dengan data pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 7
Komposisi Penduduk Kota Tasikmalaya Berdasarkan
Tingkat Pendidikan dan Kecamatan
Sumber: Dinas Kependudukan Kota Tasikmalaya, Data Agregat Semester II Th. 2014
Adapaun jumlah Sekolah Negeri dan Swasta menurut Kecamatan di
Kota Tasikmalaya pada tahun 2013 ialah 700 sekolah, yang terdiri 268
Sekolah Negeri dan 432 Sekolah Swasta. Bisa dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 8.
Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta Menurut Kecamatan
di Kota Tasikmalaya 2013
No
Kecamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kawalu
Tamansari
Cibeureum
Purbaratu
Tawang
Cihideung
Mangkubumi
Indihiang
Bungursari
Cipedes
2013
2012
SLB
N
1
1
-
S
1
1
2
1
5
5
TK
N
1
1
1
Sumber: BPS Kota Tasikmalaya 2014
S
8
2
7
3
15
13
8
4
1
13
74
64
RA
N
-
S
12
12
11
11
12
6
14
9
15
11
113
100
SD
N
32
20
21
1
25
26
33
17
16
32
223
247
MI
S
2
6
5
1
2
3
19
16
N
1
1
2
2
S
8
7
10
5
1
6
5
1
6
3
52
46
SMP
N
2
2
1
1
6
2
1
3
1
2
21
21
S
5
3
6
6
5
5
1
4
3
38
28
Lanjutan Tabel 8.1
Tabel 8.1
Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta Menurut Kecamatan
di Kota Tasikmalaya 2013
MTS
SMA
N S
N S
Kawalu
8
1
Tamansari
- 11 1
Cibeureum
2
5
1
Purbaratu
4
1
Tawang
1
2
7
Cihideung
6
1
3
Mangkubumi
5
1
1
Indihiang
1
3
3
1
Bungursari
3
2
Cipedes
1
2
2013
3 50 10 17
2012
3 35 10 16
Sumber: BPS Kota Tasikmalaya 2014
N
o
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kecamatan
MA
N S
5
4
2
2
2
2
1
2
3
2
2
1
3
25
3
19
SMK
N S
4
1
4
4
1
1
1
6
8
1
4
1
1
6
4
39
4
33
Jumlah Sekolah
S
Jumlah
35
51
86
26
45
71
26
46
72
5
26
31
34
57
91
31
56
87
35
42
77
24
27
51
17
36
53
35
46
81
268
432
700
292
362
654
N
4.2 Sekilas Tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) pada tahun
2012, menurut Dr. Vivi Yulaswati, MSc, di Indonesia terdapat 15 persen
penyandang disabilitas. Dengan demikian, populasi penyandang disabilitas
mencapai 36.841.956 dari keseluruhan 245 juta jiwa penduduk. Jumlah ini
diperkirakan lebih tinggi mengingat tidak semua keluarga mau mendata
anggota keluarganya yang menyandang disabilitas dengan alasan tertentu
seperti malu, dan lain sebagainya61.
WHO memberikan definisi disabilitas sebagai62 keadaan terbatasnya
kemampuan (disebabkan karena adanya hambatan) untuk melakukan aktivitas
dalam batas-batas yang
dianggap
normal
oleh
manusia.
Penyandang
disabilitas diartikan, sebagai seorang manusia yang memiliki hambatan untuk
61
Harian Bappenas. Di posting 21 oktober 2013. http://www.bappenas.go.id/ berita-dan-siaranpers/ Bappenas-bersama-sejumlah -kl-matangkan-draft-ran-penyandang-disabilitas/. Di akses:
20 maret 2015
62
Irwanto, Eva Rahmi kasim, dkk.. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indoneisa. Sebuah
Desk-Review. Pusat Kajian Disabilitas. Universitas Indonesia: Jakarta.
melakukan aktifitas dibandingkan dengan manusia normal pada umumnya,
sehingga penyandang disabilitas memerlukan ruang, waktu dan cara yang
berbeda dengan manusia normal pada umumnya untuk mencapai tujuannya.
Penggunaan istilah atau nama “Disabilitas” di Indonesia ialah setelah
adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention
on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak
Penyandang Disabilitas). Dahulu penggunaan nama untuk seorang yang
memiliki kelainan fisik, mental dan fisik-mental ialah dengan menggunakan
istilah penyandang cacat yang termuat dalam Undang-Undang No.4 Tahun
1997. Penggunaan istilah penyandang cacat dinilai sangat diskrimatif,
mempersempit ruang dan akses publik bagi penyandang cacat itu sendiri, dan
memunculkan perdebatan yang panjang. Sehingga melalui Undang-Undang
No.19 Tahun 2011 berubah menjadi penyandang disabilitas, bertujuan untuk
memenuhi hak – hak penyandang disabilitas.
Berdasarkan keterangan di atas, bahwa istilah penyandang cacat dinilai
sangat diskriminatif, sehingga mempersempit ruang dan akses publik bagi
penyandang cacat. Permasalahan yang sangat mendasar tentang penyandang
cacat atau penyandang disabilitas adalah kurangnya pemahaman masyarakat
maupun aparatur pemerintah yang terkait tentang keberadaan penyandang
disabilitas. Adanya anggapan bahwa penyandang disabilitas dianggap sama
dengan orang sakit (dianggap manusia yang tidak normal, dibandingkan dengan
manusia yang normal pada umumnya), sehingga sangat sulit untuk memberikan
hak dan kesempatan yang sama kepada penyandang disabilitas. Disamping itu
fasilitas berupa aksesibilitas fisik dan non fisik untuk penyandang disabilitas
relatif sangat terbatas, sehingga mereka sulit untuk bergerak secara mandiri.
Padahal penyandang disabilitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
bangsa Indonesia. Maka dari itu, permasalahan penyandang disabilitas
merupakan permasalahan bangsa Indonesia. Mereka hidup sama seperti anggota
masyarakat pada umumnya, ingin dihargai dan menghargai, ingin dicintai dan
mencintai, ingin memiliki, dimiliki, mereka menginginkan hak yang sama
dengan masyarakat pada umumnya, mereka juga mempunyai kelebihan dan
kekurangan sama seperti manusia lainnya.
Berkenaan dengan persoalan tersebut, supaya penyandang disabilitas
mendapatkan perlindungan dalam kehidupannya, maka kita perlu melihat dan
mengingat bahwa didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 D (1)
menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Sehingga pemerintah harus memberikan
perlindungan
terhadap
warga
masyarakatnya,
termasuk
penyandang
disabilitas.
Adapun usaha pemerintah untuk melindungi penyandang disabilitas
ialah dengan mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang nomor 4 tahun
1997 tentang penyandang cacat. Undang – Undang tersebut kemudian di
tindaklanjuti melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang
upaya
peningkatan
kesejahteraan
sosial
penyandang
cacat.
Upaya
peningkatan kesejahteran sosial penyandang cacat sesuai dengan pasal 4
diberikan melalui rehabilitasi dan bantuan sosial (bantuan sosial material dan
bantuan sosial fiansial), serta adanya Undang – Undang No. 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan, dalam pasal 25 menyatakan pembebasan bea masuk atas
impor, barang untuk keperluan khusus tuna netra dan penyandang cacat
lainnya. Sehingga mempermudah penyandang disabilitas atau penyandang
cacat untuk mendapatkan bantuan sosial material. Hal tersebut diberikan
kepada penyandang disabilitas, merupakan bentuk kepedulian pemerintah
dalam memberikan perlindungan atau kemudahan mendapatkan fasilitas
keperluan penyandang disabilitas dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial
yang diarahkan kepada penyandang disabilitas dalam memperoleh taraf hidup
yang wajar.
Menurut Rahmat tentang Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1998
tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat adalah63:
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, hanya
dilaksanakan oleh dinas sosial melalui rehabilitasi, meliputi
rehabilitasi pendidikan, kesehatan/ medik dan rehabilitasi
pelatihan, serta bantuan sosial material dan bantuan sosial
finansial. Pelaksanaan peningkatan kesejahteraan penyandang
cacat yang dilakukan dinas sosial sudah cukup bagus,
dikarenakan sebagian penyandang cacat sudah dapat merasakan
kemanfaatannya. Faktor penghambat dalam menjalankan
peraturan pemerintah tersebut ialah kurangnya jumlah serta
pemahaman aparatur pemerintah yang di anggap masih kurang,
semakin bertambahnya penyandang cacat dari tahun ke tahun
tidak sebanding dengan pendanaannya dan terbatasnya peran
masyarakat dalam membantu penyandang disabilitas dan
kurangnya aparatur atau petugas khusus yang menangani
permasalahan penyandang disabilitas.
Berdasarkan penjelasan di atas, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun
1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan penyandang cacat, sudah
63
Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua yayasan Tuna Netra Majlis Taklim Hikmah. Tanggal 02 April
2015
dinilai cukup bagus, dikarenakan sebagian penyandang disabilitas sudah bisa
merasakan kemanfaatan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan penyandang disabilitas. Adapun penyebab kurangnya optimal
dalam mengimplimentasikan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 ialah
anggaran dana yang terbatas, kurangnya peran masyarakat dalam membantu
penyandang disabilitas, dan kurangnya pemahaman pemerintah serta jumlah
aparatur pemerintah dalam menangani penyandang disabilitas. Sehingga UU
No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, belum bisa memenuhi hak –
hak penyandang disabilitas.
Tonggak utama dalam memenuhi hak-hak penyandang disabilitas
adalah setelah adanya Resolusi PBB No. 61 tahun 2006 tentang Convention
on the Rights of Persons with Disabilities. Sehingga ini menjadi suatu
advokasi atau upaya yang dilakukan oleh tokoh penyandang disabilitas dan
tokoh masyarakat lainnya, yang peduli terhadap penyandang disabilitas untuk
merevisi UU No. 4 tahun 1997 kepada pemerintah Indonesia, yang bertujuan
untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia, dan kemudian
disahkannya Pengesahan UU No. 19 Tahun 2011 tentang pengesahan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai
Hak-hak Penyandang Disabilitas).
Materi perbandingan UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang
disabilitas dengan Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(CRPD). Bisa dilihat pada tabel sebagai berikut64:
Tabel 9
Perbandingan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat dengan (CRPD)
NO.
1.
UU No. 4 TAHUN 1997
- Definisi penyandang cacat adalah
setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan/atau mental,
yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan secara
selayaknya
- Kesulitan berpartisipasi disebabkan
oleh kelainan fisik dan mental.
CRPD
- Definisi penyandang disabilitas
adalah orang yang memiliki
keterbatasan fisik, mental,
intelektual, atau sensorik dalam
jangka waktu lama, yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan
sikap masyarakat, dapat menemui
hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif
berdasarkan kesamaan hak.
- Kesulitan berpartisipasi disebabkan
oleh hambatan lingkungan (fisik) dan
sikap masyarakat (non fisik).
- Yang diperlakukan didalam
pemberdayaan penyandang
disabilitas, perbaikan lingkungan
fisik serta peningkatan kepedulian
dan sensitivitas masyarakat untuk
menuju kesetaraan martabat.
2.
3.
4.
64
Model penanganan terbatas pada
upaya rehabilitasi kerusakan/kelainan
(Medical Model).
Kesejahteraan penyandang disabilitas
dicapai dengan penyelenggaraan
rehabilitasi sosial atau pendirian
panti. Hal ini menunjukkan sebuah
fenomena bahwa penyandang
disabilitas dianggap sebagai obyek
pelayanan rehabilitasi sosial.
Paradigma Charity berbasis
kesejahteraan. Upayaan kesejahteraan
melalui panti-panti rehabilitasi dan
Memberikan perlakuan lebih,
perlakuan khusus, aksesibilitas,
kemudahan, kepedulian dan
penghilangan stigma negatif demi
mewujudkan kesetaraan dengan yang
lainnya (Sosial Model).
Menempatkan penyandang disabilitas
sebagai subyek pembangunan dan
merekomendasikan agar penyandang
disabilitas dilibatkan dan didorong
untuk berpartisipasi penuh dalam
perencanaan pelaksanaan, monitoring
serta evaluasi pembangunan.
Paradigma berbasis Hak Asasi Manusia
dengan mengedepankan kesetaraan
peluang dan hak dalam segala aspek
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, httppshk.or.idsiteq=idcontentadvokasi-ruupenyandang-disabilitas. Di akses 18 maret 2015
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
paket-paket pelatihan vokasional
yang terbatas dan seringkali justru
membatasi peluang penyandang
disabilitas.
Pemerintah menerapkan kebijakan
kesejahteraan residual. Artinya,
penganggaran di bidang peningkatan
kesejahteraan penyandang disabilitas
dilakukan setelah ada sisa anggaran
dari bidang-bidang lain yang lebih
diprioritaskan
Kategorisasi penyandang disabilitas
atau penyandang cacat termasuk
kedalam kelompok penyandang
masalah kesejahteraan sosial (PMKS)
yang memposisikan mereka satu jenis
dengan pekerja seks komersial
(PSK), pecandu narkoba, serta
gelandangan dan pengemis (gepeng).
Membicarakan penyandang cacat
secara umum tanpa
memperhitungkan kondisi spesifik
anak-anak dan sama sekali tidak
menyebutkan prempuan disabilitas.
Pemangku kewajiban adalah
Pemerintah dan masyarakat.
UU Penyandang cacat bersifat parsial
hanya memuat enam hak (antara lain:
pendidikan, ketenagakerjaan,
pelayanan kesehatan, aksesibilitas,
rehabilitasi sosial, bantuan sosial.
Dalam tataran pemerintahan, sektor
disabilitas merupakan tupoksi (tugas
pokok dan fungsi) Kementerian
Sosial yang wilayah kerjanya hanya
pada bidang rehabilitasi, bantuan,
serta perlindungan bagi penyandang
masalah kesejahteraan sosial
(PMKS).
Sanksi yang ada sangat lemah dan
hanya berlaku terhadap kuota 1%
tenaga kerja Penyandang disabilitas.
Namun, karena tidak ada mekanisme
pengawasan, hal itu pun tidak dapat
diimplementasikan sebagaimana
mestinya.
Mengamanatkan lembaga koordinasi
yang kini namanya menjadi Tim
kehidupan.
CRPD yang memandang penyandang
disabilitas sebagai manusia utuh yang
berhak menikmati dan berpartisipasi
dalam pembangunan inklusi disegala
bidang. Dengan demikian,
penganggaran dibidang disabilitas pun
dilakukan secara simultan, proposional
dengan tahapan serta target-target yang
jelas dan terukur.
Menekankan penghormatan atas
perbedaan dan penerimaan orang-orang
dengan disabilitas sebagai bagian dari
keragaman manusia dan rasa
kemanusiaan.
Mencantumkan kondisi spesifik
perempuan disabilitas dan anak yang
menyandang disabilitas, hak-haknya,
dan tanggung jawab Negara untuk
melindungi dan memenuhi hak-haknya.
Secara tegas menyatakan bahwa
pemangku kewajiban adalah Negara
yang dalam hal ini pemerintah.
CRPD lebih komprehensif dengan
mencakup 26 Hak Asasi secara
terperinci, antara lain: aksesibilitas, hak
hidup, situasi–situasi beresiko dan
darurat kemanusiaan, pengakuan yang
setara di hadapan hukum, akses atas
peradilan, kebebasan dari eksploitasi,
kekerasan dan penganiayaan dan
lainnya
Disabilitas merupakan tupoksi berbagai
Kementerian (seperti KEMKES,
KEMENAKER, KEMENPU,
KEMENPERHUB, BPS, Olahraga,
Pariwisata dll.).
Mengamanatkan adanya mekanisme
independen yang diperlukan untuk
memajukan, melindungi dan
memonitor pelaksanaan konvensi.
Mengamanatkan adanya lembaga
koordinasi antar-kementerian/lembaga
UPKS Penca. Tidak ada mekanisme
pengawasan implementasi UU ini.
negara (CRPD Pasal 33 ayat 1).
Mengamanatkan mekanisme
independen untuk monitoring dan
evaluasi (CRPD Pasal 33 ayat 2 dan 3).
Sumber: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia
Menurut Yana Sunarya, tokoh-tokoh penyandang disabilitas sepakat
dalam perbandingan UU diatas, ada 7 poin penting yang harus diperhatikan
atau diperjuangkan dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2011 ialah65:
Pertama, undang-undang yang dibutuhkan adalah UU baru,
bukan
sekadar
merevisi
sebagian
UU
Penyandang
Cacat. Kedua, pengatur dalam UU Penyandang Disabilitas
haruslah lengkap dalam rangka pelaksanaan dari prinsip-prinsip
yang tercantum dalam CRPD. Ketiga, UU baru harus mampu
mengubah cara pandang terhadap penyandang disabilitas.
Keempat, UU baru harus menempatkan isu pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas sebagai isu multisektor, tidak lagi terpusat
dalam bidang sosial. Kelima, UU baru diproyeksikan untuk
memfasilitasi penyandang disabilitas untuk hidup mandiri dan
berbaur dengan masyarakat. Keenam, UU baru harus mengatur
perihal lembaga khusus yang akan fokus dalam menindaklanjuti
dan mengawasi pelaksanaan UU itu sendiri, dan khususnya
pelaksanaan CRPD di Indonesia. Ketujuh, pendataan penyandang
disabilitas yang relevan sesuai fakta di lapangan.
Dari
penjelasan di atas, di artikan untuk menuntut keseriusan
pemerintah dalam memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Poin pertama
dan kedua diharapkan Undang-Undang No.19 Tahun 2011 bukan hanya
sekedar revisi sebagian atau alakadarnya, melainkan isi muatan UndangUndang tersebut harus mencakup semua lembaga-lembaga pemerintahan,
bertujuan untuk dapat mengkoordinir kebutuhan penyandang disabilitas. Poin
ketiga, difokuskan untuk mengubah cara pandang masyarakat pada umumnya
terhadap penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas bukanlah yang suatu
65
Hasil Wawancara-Yana Sunara. Guru SLB Negeri Tamansari Kota Tasikmalaya tanggal 18
Maret 2015
harus dikasihani, bukan suatu aib ataupun sesuatu yang hina, tidak bisa
mandiri atau merepotkan, mereka hanya perlu diperhatikan lebih, dan
diberikan ruang, waktu dan cara yang berbeda agar menjadi manusia yang
mampu melakukan aktifitas seperti masyarakat normal pada umumnya.
Poin ke-empat, pemenuhan hak-hak penyandang disbilitas sama
halnya dengan hak-hak masyarakat pada umumnya, selain bidang sosial
penyandang disbilitas memerlukan haknya dalam berpendidikan, ekonomi,
politik, informasi dan teknologi. Poin ke-lima, berupa akses dan fasilitas
untuk mendorong terpenuhinya hak penyandang disabilitas, bertujuan supaya
penyandang disbilitas mampu mandiri dan bisa berbaur dengan masyarakat
pada umumnya.
Poin ke-enam, adanya lembaga independen, kelompok atau
organasisai penyandang disabilitas dan organisasi yang peduli terhadap
penyandang disabilitas, bertujuan dalam menindaklanjuti dan mengawasi
pelaksanaan Undang-Undang No.19 Tahun 2011. Poin ke-tujuh, Pendataan
penyadang disabilitas yang sesuai dengan data fakta dilipangan, dikarenakan
akan berpengaruh dalam pembentukan kebijakan-kebijakan skala nasional
maupun daerah, dalam upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Kategori Penyandang Disabilitas di Indonesia Undang-Undang No.19
Tahun 2011:
1. Tunanetra
2. Tunarungu, Tunawicara
3. Tuna Grahita
4. Tunalaras, Tuna Daksa
5. Autis, dan Sindroma AspergerKesulitan Belajar/Lambat Belajar
(antara lain : Hyperaktif, ADD/ ADHD, Dysgraphia/ Tulis, Dyslexia/
Baca).
4.3 Identitas Kelompok Penyandang Tuna Netra di Kota Tasikmalaya
Jumlah penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya,
yang
teridentifikasi dan sesuai dengan data rekapitulasi Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kota Tasikmalaya (2012) adalah 644 orang,
jumlah anak dengan kedisabilitas 287 orang, dan jumlah penyandang tuna
netra 62 orang (2014)66. Data rekapitulasi penyandang masalah kesejahteraan
Sosial (PMKS) Kota Tasikmalaya (2012), bisa dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 10
Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) Kota Tasikmalaya (2012)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
66
PMKS
Anak Balita Terlantar
Anak Terlantar
Anak Yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan
Anak yang Berhadapan Dengan Hukum
Anak Jalanan
Anak Dengan Kedisabilitas
Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Lanjut Usia Yang Menjadi Korban Kekerasan
Lanjut Usia Terlantar
Penyandang Disabilitas
Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Hukum
Wanita Tuna Susila
Pengemis
Bekas Warga Binaan LP
Korban Penyalahgunaan NAFZA
Keluarga Miskin
JUMLAH
9.090
4.485
57
8
187
287
11.043
3.125
644
142
115
38
238
58
56.177
Hasil Wawancara-Dewi.Setianingsih Dinas Sosial Kota Tasikmalaya. tanggal 27 Januari 2015
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Pemulung
Kelurga Bermasalah Sosial Psikologis
Keluarga Yang Tinggal di Daerah Rawan Bencana
Korban Bencana Alam
Korban Bencana Sosial
Pekerja Migran Bermasalah
Orang dengan HIV/AIDS
Komunitas Adat Terpencil
Korban Trafficking
Gelandangan
Korban Tindak Kekerasan
Kelompok Minoritas
509
31
1.491
1
2
210
1
11
31
210
Sumber: Dinas Sosial - Kota Tasikmalaya
Kelompok disabilitas di Kota Tasikmalaya Tahun 2015 berjumlah
tiga (3) Kelompok yaitu, Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia), Garkatin
(Gerakan Tuna Wicara) dan Yayasan Tuna Netra. Kelompok tersebut di
harapkan menjadi advokasi bagi para-penyandang disabilitas khususnya tuna
netra, dan tuna wicara dalam mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara
Indonesia dan warga Kota Tasikmalaya, sesuai yang tercantum dalam UU
No. 9 Tahun 201167.
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya
masih sering terjadi, bisa kita lihat dari cara pandang (paradigma), perlakuan,
pengakuan, hak-hak dalam masyarakat maupun fasilitas umum yang
digunakan. Salah satu bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di
Kota Tasikmalaya menurut Yana Sunarya adalah68:
Dari cara pandang (paradigma) masyarakat, ketika di masa
anak-anak saat mereka duduk di bangku pendidikan. Anak
67
68
Hasil Wawancara-Koni Firman Suteja. Ketua DPC Petuni Kota Tasikmalaya. tanggal 16 Maret
2015
Hasil Wawancara-Yana Sunara. Guru SLB Negeri Tamansari Kota Tasikmalaya tanggal 18
Maret 2015
penyandang disabilitas kini dalam bahasa akademik disebut
dengan sebutan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), namun
sebelum menjadi sebutan ABK, dahulu orang-orang menyebut
“mereka” dengan “Anak Cacat” atau Handicap, kemudian
sebutan itu berubah menjadi Anak Luar Biasa atau ALB, dan
kemudian disempurnakan menjadi Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK). Sebutan “anak cacat” kerap-kali di identifikiasi seusatu
yang “hina atau aib” apabila seseorang menyandang cacat dan
sebuatan cacat merupakan bentuk penindasan atau diskriminasi
terhadap anak penyandang disabilitas. Sehingga tokoh
penyandang disabilitas, guru-guru penyandang disabilitas
bersama pemerintah Kota Tasikmalaya, sepakat dalam rangka
merealisasikan UU No. 19 Tahun 2011 tentang pengesahan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Bahwa
seorang anak yang menyandang kedisabilitasan, bukan lagi
dengan sebutan “anak cacat”, melainkan dengan sebutan anak
berkebutuhan khusus (ABK), bertujuan untuk menghilangkan
stigma negatif bagi anak penyandang disabilitas..
Dari penjelasan di atas, bahwa seorang anak disebut berkebutuhan
khusus, apabila memiliki kebutuhan khusus untuk menyesuaikan program
pendidikan. Hal ini disebabkan karena keadaan mereka yang tidak dapat
menerima pendidikan dengan cara biasa, akibat dari keterbatasan,
ketidakmampuan, kelainan yang mereka miliki, ataupun juga mereka
memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda dari pada anak yang lainnya.
Sehingga dengan sebutan anak berkebutuhan khusus bagi anak penyandang
disbilitas, merupakan salah satu bentuk terobosan untuk menghilangkan
stigma negatif bagi anak penyandang disabilitas.
Fasilitas dan sarana umum untuk penyandang tuna netra dan
penyandang disabilitas lainnya di Kota Tasikmalaya, menurut Koni Firman
Suteja adalah69:
69
Ibid68
Fasilitas dan sarana umum di Kota Tasikmalaya sangat terbatas
sekali, hanya ada di sekolah dan di Rumah sakit, namun di
Rumah sakit alat fasilitas penyandang disabilitas seperti kursi
roda, tongkat kaki dan tongkat tuna netra tidak gratis, kita
harus membelinya dengan harga yang sangat mahal, sedangkan
kalau di sekolah setiap ajaran baru suka diberikan alat fasilitas
penunjang pembelajaran anak disabilitas di berikan secara
gratis. Adapun fasilitas dan sarana umum seperti angkutan
umum, trotoar, rambu-rambu lalu lintas itu tidak ada sama
sekali. Sehingga menyulitkan penyandang tuna netra, serta
penyandang disabilitas lainnya untuk mandiri dan berbaur
dengan masyarakat pada umum lainnya. Adanya ruang fasilitas
untuk penyandang disabilitas ditempat arena lingkungan
hiburan Alun – Alun Kota Tasikmalaya, itupun merupakan
pemberian dari Pemerintah Provinsi Jawa barat dan sangat
membantu penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas
lainnya dalam berbaur dengan masyarakat pada umumnya.
Faktor terbatasnya fasalitas dan sarana umum bagi penyandang
disabilitas di Kota Tasikmalaya ialah tidak adanya Peraturan
Walikota ataupun Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya dalam
menangani penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya.
Dari penjelesan di atas, Fasilitas dan sarana umum untuk
penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya sangat minim sekali. Padahal
Aksebilitas publik bagi penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas
lainnya sangat diperlukan sekali untuk memobilisasi penyandang disabilitas
menjadi mandiri, dan menghilangkan stigma negatif di masyarakat. Sehingga
pemerintah Kota Tasikmalaya perlu memperhatikan penyandang disabilitas
dengan memberikan aksebilitas publik bagi penyandang tuna netra dan
penyandang disabilitas lainnya.
Adapun bentuk permasalahan lainnya bagi penyandang tuna netra di
Kota Tasikmalaya, Menurut Rahmat adalah70:
70
Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua yayasan Tuna Netra Majlis Taklim Hikmah. Tanggal 02 April
2015
Penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya masih dianggap
sebagai seorang manusia yang tidak akan mampu untuk
mengikuti atau melakukan suatu pekerjaan yang sama seperti
Orang yang normal pada umumnya, kecuali mengemis di
jalanan dan penyandang tuna netra harus dikasihani. Upaya
yang dilakukan Bapak. Rahmat dan tokoh penyandang tuna
netra lainnya di Kota Tasikmalaya ialah merangkul
penyandang tuna netra yang ada di Kota Tasikmalaya, dengan
cara memberikan pendidikan membaca buku braile, kitab AlQur’an braile, usaha warung dan pulsa, serta ketrampilan,
seperti pijat, musik, bahkan diberikan jadwal mengisi tempat
untuk membuka praktik pijatnya di Yayasan Tuna Netra, DPC
Pertuni Kota Tasikmalaya dan di tempat penyandang tuna
netra yang membuka dua tempat klinik panti pijatnya.
Hal ini terjadi disebabkan, kurangnya pemahaman tentang disabilitas
oleh keluarganya, masyarakat, dan pemerintah selaku pemegang kebijakan.
Penyandang disabilitas bukanlah manusia yang perlu dikasihani, penyandang
tuna netra mereka hanya membutuhkan cara yang berbeda” untuk belajar,
ruang aktualisasi karya dan sedikit perhatian bersama. Sehingga penyandang
tuna netra menjadi manusia yang berdaya dan mampu bersaing layaknya
manusia pada umumnya.
Penyandang tuna netra merupakan bagian dari kelompok disabilitas
yang mempunyai keterbatasan atau permasalahan di dalam penglihatan.
Omrod (2011) mengemukakan Visual Impairment (gangguan penglihatan)
atau yang sering kita sebut dengan tuna netra dibagi kedalam dua kategori
yaitu71, totally blind (buta total) dan low vision (penglihatan samar). Low
vision iaalah seorang penyandang tuna netra yang masih memiliki sisa
71
Omrod. Diterjemahkan oleh Nyoman Surna, olga D. Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan 1.
Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal: 225
penglihatan 20 atau 70 feet. Totally blind seorang penyandang tuna netra
yang sudah tidak mempunyai sisa penglihatan.
Kehilangan penglihatan sering mengakibatkan masalah-masalah
sosial, seperti penolakan oleh lingkungan sosialnya, kesulitan membina
hubungan sosial, dan sikap belas kasihan dan over proteksi dari orang-orang
lain (Steffens & Bergler, 1998 dalam Ben-Zur & Debi, 2005)72. Terlepas dari
semua itu, Helen Keller (dalam Dodds, 1993)73, mengamati bahwa hambatan
utama bagi individu tuna netra bukan ketuna netraannya itu sendiri,
melainkan sikap masyarakat terhadap tuna netra. Keterbatasan-keterbatasan
yang terkait dengan kecacatan sebagian besar diakibatkan oleh lingkungan
yang nonakomodatif dan sikap diskriminatif, bukan oleh kekurangan
fungsional yang terkait dengan kecacatan itu sendiri (Seelman, 1998 dalam
Bellini & Rumrill, 1999)74.
Upaya yang dilakukan tokoh penyandang tuna netra se-Indonesia
dan tokoh penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya, dalam rangka
menghilangkan
diskriminasi
terhadap
penyandang
tuna
netra
ialah
membangun sebuah relasi atau kelompok khusus untuk tuna netra di Kota
Tasikmalaya, seperti Yayasan Tuna Netra, DPC Pertuni Kota Tasikmalaya
dan DPC ITMI Kota Tasikmalaya75. Hal tersebut dilakukan oleh tokoh
penyandang tuna netra, bahwa setiap individu membutuhkan individu lain
72
73
74
75
Etd.ugm.2010. http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod= download&sub= DownloadFile&act=
view&typ= html & file=260210. pdf&ftyp= potongan&tahun= 2014&potongan= S2-2014260210-chapter1 .pdf. Di akses : 22 Januari 2015
Ibid72
Ibid72
Hasil Wawancara-Koni Firman Suteja. Ketua DPC Petuni Kota Tasikmalaya. tanggal 16 Maret
2015
untuk membangun relasi, serta membantu penyandang tuna netra untuk
mampu berinteraksi dengan satu sama lain dan masyarakat pada umumnya.
DPC Pertuni Tasikmalaya berdiri pada tahun 1995, pada saat itu
Kota Tasikmalaya masih bernama Kabupaten Tasikmalaya, ketuanya oleh
Jajang. Setelah terbaginya Tasikmalaya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dan
Kota Tasikmalaya, DPC Pertuni Kota Tasikmalaya baru dideklarasikan pada
tanggal 12 Juli 2012 ketuanya oleh Koni Firman Suteja76. Yayasan Tuna
Netra berdiri pada tanggal 5 Mei 2011, ketuanya M. Rahmat77. DPC ITMI
Kota Tasikmalaya berdiri pada tahun 2013 ketuanya Supriyatno, namun
dibulan September tahun 2014 secara resmi DPC ITMI Kota Tasikmalaya
dibubarkan, dengan dalih jumlah penyandang tuna netra di Kota Tasikmlaya
sedikit dan anggotanya DPC ITMI sama dengan dengan anggota DPC Pertuni
dan Yayasan Tuna Netra, maka untuk memperkuat solidaritas penyandang
tuna netra yang ada di Kota Tasikmalaya lebih baik satu organisasi dan satu
Yayasan saja78.
DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dibentuk pada tanggal 12 juli 2012
ketuanya oleh Koni Firman Suteja, seketaris Usman, bendahara Yuni dan
Dapercab (Dewan Perwakilan cabang) Ahmad darojat, beranggotakan sekitar
45 orang pada awal berdirinya pertuni dan sekarang beranggotakan sekitar 60
orang. DPC Pertuni Kota Tasikmalaya, bertujuan untuk membangun
silaturrahim dikalangan antara-penyandang tuna netra yang ada di Kota
76
77
78
Hasil Wawancara-Koni Firman Suteja. Ketua DPC Petuni Kota Tasikmalaya. Tanggal 16 Maret
2015.
Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Tanggal 2 April
2015
Op.Cit76
Tasikmalaya, tanpa memandang latar belakang penyandang tuna netra
tersebut (seperti dari agama), sehingga berlatar belakang dari agama manapun
bisa menjadi anggota DPC Pertuni Kota Tasikmalaya79.
Selain membangun siliaturrahim DPC Pertuni Kota Tasikmalaya
juga bertujuan untuk memberikan atau mengembangkan bakat keterampilan
bagi anggota Pertuni, dengan cara berbagai kegiatan seperti, keterampilan
anyaman, pijat, lulur, musik dan agama (membaca buku kitab Agama braile)
dan pendidikan ataupun pelatihan bagi penyandang tuna netra. Seketariat
DPC Pertuni Kota Tasikmalaya pada awal dibentuk, bertempat di rumah atau
di kediaman Koni yang terletak di Brujul80. Seiring kemajuan DPC Pertuni
Kota Tasikmalaya dan inisiatif dari anggota Pertuni, maka pada tanggal 20
Januari 2015 DPC Pertuni Kota Tasikmalaya membuat Seketariat baru,
terletak di pemukiman padat warga Karoeng, Jl. Taman Pahlawan Kel.
Cikalang Kec. Tawang.
Seketariat DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dipergunakan untuk
tempat kumpul atau perkumpulan anggota Pertuni, digunakan untuk pijat tuna
netra dan lulur. Pijat tuna netra dan lulur tuna netra merupakan salah satu
kegiatan penyandang tuna netra dalam rangka untuk mensejahterakan
penyandang tuna netra dan bentuk perjuangan penyandang tuna netra dalam
mengenalkan dirinya kepada masyarakat normal pada umumnya. Pijat tuna
netra dinamakan pijat sport body (pijat kebugaran badan)81, pijat tuna netra
79
Op.cit76
Op.cit76
81
Op.Cit76
80
atau sport body berkisar seharga Rp. 40.000, - Rp. 50.000. Rp. 40.000,- di
pijat di tempat, sedangkan untuk yang Rp. 50.000, apabila dipanggil kerumah
pasien. Lulur tuna netra ditarif seharga Rp. 50.000,- untuk keterampilan lulur
ini hanya dilakukan oleh perempuan penyandang tuna netra.
DPC Pertuni Kota Tasikmalaya suka mengadakan kerja sama dengan
Dinas Sosial Kota Tasikmalaya dan Wyata guna bandung, dalam
mengembangkan keterampilan penyandang tuna netra Kota Tasikmalaya.
Tahun 2012, 16 orang penyandang tuna netra mendapatkan pendidikan
melalui out reet dari wyata guna Bandung, dan tahun 2013, 18 orang
penyandang tuna netra mendapatkan latihan baca tulis Al-Quran braile di
hotel mangkubumi82.
Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam memenuhi UU No. 19 tahun
2011 tentang pengesahan konvensi hak-hak penyandang disabilitas, telah
melakukan upaya bersama dengan dinas sosial Kota Tasikmlaya, DPC
Pertuni bekerja sama dengan Pokja (kelompok kerja) provinsi Jawa Barat
meluncurkan dana insetif, yang dianamakan bantuan Usaha Ekonomi
produktif (UEP). Bantuan UEP tersebut sebesar Rp. 4.150.000,-/orang.
Sembilan (9) orang penyandang tuna netra yang mendapatkan bantuan UEP
di gunakan untuk menambah usaha anggota Pertuni tersebut, seperti warung,
panti pijat, dan peralatan musik83.
Yayasan Tuna Netra Tasikmalaya berdiri tanggal 5 Mei tahun 2011,
breanggotakan sama dengan DPC Pertuni Kota Tasikmalaya sekitar 60 orang
82
83
Op.Cit76
Op.Cit76
diketuai oleh Mamat Rahmat, bertempat di Jl. Rumah Sakit Umum (RSU)
Kota Tasikmalaya Gg. Cintarasa 1 Kel. Kahuripan Kec. Tawang. Berdirinya
Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya bertujuan untuk silatuhrahmi antara
penyandang tuna netra dan mengembangkan keterampilan penyandang tuna
netra di Kota Tasikmalaya, seperti Pijat, musik, dan keterampilan lainnya.
Perbedaan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya dengan DPC Pertuni Kota
Tasikmalaya ialah Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya membentuk Majlis
Taklim Hikmah yang kegiatannya lebih ke-agamaan, seperti pengajian,
ceramah dan qosidahan84.
Kegiatan yang dilakukan DPC Pertuni dan Yayasan Tuna Netra Kota
Tasikmalaya diharapkan bisa membuktikan bahwa menyandang disabilitas
tuna netra atau seorang manusia yang mempunyai kelainnan fisik, bukanlah
suatu yang hina dan bukan pula sesuatu yang harus dikasihani. Mereka
(penyandang tuna netra) sama halnya dengan masyarakat normal pada
umumnya, apabila mereka diberdayakan maka meraka mampu melakukan
sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Menurut Castells identitas merupakan peroses konstruksi dasar dari
budaya dan psikokultural dari seorang individu yang memberikan arti dan
tujuan hidup dari individu tersebut karena terbentuknya identitas adalah dari
proses dialog internal dan interaksi sosial. Castells menyebutkan ada tiga
84
Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Tanggal 2 April
2015
bentuk pembangunan identitas yang berhubungan dengan peran dan arah
pembangunan identitas serta kegunaannya, diantaranya85 :
1. Identitas legitimasi (legitimizing identity) yaitu identitas yang
diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu
masyarakat untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya
terhadap aktor-aktor sosial, seperti misalnya suatu institusi negara
yang
mencoba
meningkatkan
identitas
kebangsaan
anggota
masyarakat.
Untuk mengetahui Identitas legitimasi (legitimizing identity)
sebagai salah satu sumber pembentukan identitas penyandang tuna
netra Kota Tasikmalaya ialah ada nya UU No. 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Konvensi Hak–Hak Penyandang Disabilitas.
Penyandang tuna netra merupakan bagian dari kelompok disabilitas
yang mengalami gangguan fisik dalam penglihatan dan disabilitas itu
sendiri ialah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental,
intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat
menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh
dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
UU No. 19 Tahun 2011 merupakan langkah institusi Negara
Indonesia, untuk meningkatkan identitas kebangsaan anggota
masyarakatnya (salah satunya identitas penyandang tuna netra).
85
Buchari. Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Hal : 23
Dengan
demikian,
Tasikmalaya
yang
adalah
harus
harus
dilakukan
adanya
pemerintah
Kota
pengembangan
atau
pemberdayaan bagi penyandang tuna netra, serta peningkatan
kepedulian dan sensitifitas masyarakat untuk menghilangkan stigma
negatif menuju kesetaraan derajat yang sama dengan masyarakat
pada umumnya. Sehingga dengan adanya pengembangan atau
pemberdayaan bagi penyandang tuna netra, diharapkan penyandang
tuna netra mampu mendobrak keterbatasan mereka, dan serta
mengubah stereotip di masyarakat pada umumnya.
2. Identitas
resisten
(resistance
identity)
yaitu
sebuah
proses
pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial yang dalam kondisi
tertekan dengan adanya dominasi dan stereotipe oleh pihak-pihak
lain sehingga membentuk resistensi dan pemunculan identitas yang
berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan untuk
keberlangsungan hidup kelompok atau golongannya.
Pembentukan kelompok penyandang tuna netra, sperti
Yayasan Tuna Netra dan DPC Pertuni Kota Tasikmalaya itu
dilakukan oleh aktor-aktor penyandang tuna netra di Kota
Tasikmalaya, dalam rangka menghilangkan diskriminasi terhadap
penyandang tuna netra. Diskriminasi terhadap penyang tuna netra
ialah cara pandang (paradigma), perlakuan pengakuan dalam
masyarakat normal pada umumnya dan fasilitas umum yang
digunakan.
Sehingga aktor-aktor penyandang tuna netra di Kota
Tasikmalaya membangun sebuah relasi atau membentuk kelompok
khusus penyandang tuna netra bertujuan untuk menghilangkan
diskriminasi terhadap penyandang tuna netra. Hasil dari observasi
penelitian, kelompok–kelompok tersebut membangun kegiatan
dalam pengembangan atau pemberdayaan bagi penyandang tuna
netra, baik secara ekonomi maupun sosial. Upaya pengembangan
atau pemberdayaan yang dilakakuan oleh aktor-aktor penyandang
tuna netra atau kelompok-kelompok tuna netra ialah adanya
keterampilan pijat, musik, dan pendidikan. Kegiatan pengembangan
tersebut juga bertujuan untuk mempertahankan keberlangsungan
hidup penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya.
3. Identitas proyek (project identity) yaitu suatu identitas dimana aktoraktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan
posisi-posisi baru dalam masyarakat sekaligus mentranspormasi
struktur masyarakat secara keseluruhan.
Adanya kelompok DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dan
Yayasan Tuna Netra, diharapkan mampu mendobrak keterbatasanketerbatasan yang dimiliki penyandang tuna netra. Sehingga mampu
menempatkan posisi penyandang tuna tuna netra di ranah publik,
dikarenakan merekea (penyandang tuna netra) mampu melakukan
seperti masyarakat normal pada umumnya, salah satunya mampu
dalam beroganisasi, mampu berdakwah atau berpidato, mampu
bermain musik dan mampu mendapatkan penghasilan, baik dengan
memijat, bermain musik ataupun usaha-usaha lainnya, seperti jual
beli pulsa dan membuka warung.
Kelompok DPC Pertuni dan Yayasan Tuna Netra Kota
Tasikmalaya, diharapkan mampu menjadi tempat atau lembaga
advokasi untuk mendorong dan menuntut pemerintah Kota
Tasikmalaya dalam memberikan perlindungan dan memenuhi
kebutuhan bagi penyang tuna netra di Kota Tasikmalaya. Dengan
demikian, kelompok – kelompok penyandang tuna netra diharapkan
bisa merubah struktur masyarakat secara kseluruhan, dan pemerintah
memandang peranan penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya.
4.4 Perjuangan Kelompok Penyandang Tuna Netra dalam Mengakses
Pendidikan di Kota Tasikmalaya
4.4.1 Aksebilitas Pedidikan Formal bagi Penyandang Tuna Netra di Kota
Tasikmalaya
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Sehingga
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang
memiliki perbedaan dalam kemampuan (penyandang disabilitas).
Secara hukum dan peraturan, pemenuhan hak pendidikan bagi setiap
warga negara termasuk penyandang disabilitas telah dijamin oleh UndangUndang. Dalam UUD 1945 pasal 28 C (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pada pasal 1 (1)86 “Setiap warga
Negara berhak mendapat pendidikan”.
Untuk memperkuat dan memperjelas peratuan dan hukum yang di
ungkapkan di atas, Menurut Pendidikan Menurut Sumber Hukum Positif RI
antara lain87:
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
nasional,
− Pasal 4 Ayat 1 : Pendidikan diselenggarakan berdasarkan demokrasi
dan berkeadilan dan tanpa diskriminasi.
− Pasal 5 ayat 2 yang menegaskan bahwa warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus.
− Pasal 11 Ayat 1 : Kewajiban pemerintah untuk menyediakan
pendidikan yang layak bagi semua warga negara, tanpa adanya
diskriminasi.
− Pasal 12 Ayat 1b : Hak dari murid untuk memiliki pendidikan yang
layak berdasarkan bakat, minat dan kemampuannya
86
Etd.ugm.2010. http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod= download&sub= DownloadFile&act=
view&typ= html & file=260210. pdf&ftyp= potongan&tahun= 2014&potongan= S2-2014260210-chapter1 .pdf. Di akses : 22 Januari 2015.
87
Irwanto, Eva Rahmi kasim, dkk.. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indoneisa: Sebuah
Desk-Review. Jakarta :Pusat Kajian Disabilitas. Universitas Indonesia
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Pendidikan Nasional Pasal 41 tentang setiap satuan pendidikan
yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga
kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan
pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus
3. Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 70 Tahun 2009
Tentang Pendidikan Inlusif bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa.
Puncaknya pada UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Konvensi
Hak-hak
Penyandang
Disabilitas,
maka
harus
adanya
pengembangan atau pemberdayaan bagi kelompok penyandang disabilitas.
Salah satunya adalah aksebilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas
Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 72 tahun 2013, pasal 10 tentang
penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas88. Pendidikan bagi
penyandang disabilitas pada umumnya yang kita ketahui adalah sekolah
segregasi atau Sekola Luar Biasa (SLB), namun secara resmi peraturan
pemerintahan Kota Tasikmalaya aksebilitas pendidikan bagi penyandang
disabilitas ialah89 keluarnya Perwalkot atau adanya SK Piloting Inklusi Kota
Tasikmalaya Nomor : 421.3/ 0146/ Dikdas 6 November Tahun 2013,
tentang penetapan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi tingkat SD,
SMP dan SLB Kota Tasikmalaya.
88
89
Toni
Toni
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
merupakan
usaha
pemerintah
dalam
menjamin
warga
Negaranya
mendapatkan pndidikan yang sama tanpa ada bentuk diskriminasi, termasuk
penyandang disabilitas. Kita bisa melihat pada pasal 5 ayat 2 yang
menegaskan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Hal ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki hambatan, kelainan atau
memiliki kemampuan potensi kecerdasan dan bakat istimewa, berhak
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal)
dalam layanan pendidikan.
Dalam perkembangannya, keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) No. 70 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa
pendidikan inklusi sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan, yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan, dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan
secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Hal ini tentunya
merupakan terobosan, dalam bentuk pelayanan pendidikan bagi anak-anak
penyandang disabilitas dengan bentuk penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Adanya penyelenggaraan pendidikan inklusi, bertujuan untuk memberikan
kesempatan seluas-luasnya, dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan
yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif.
Adanya SK Piloting Tahun 2013 dan susunan Pokja Perwalkot
tentang pendidikan inklusif Tahun 2013, merupakan usaha pemerintah Kota
Tasikmalaya memberikan kesamaan hak-hak penyandang disabilitas dalam
mengakses pendidikan. Sehingga diaharapkan bisa merealisasikan UU No.
19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas dalam hal berpendidikan.
Menurut Hendra Lesmana, staf Disdik-seksi PP (Penunjang
pembelajaran) dan beliau juga selaku bendahara Pokja (Kelompok Kerja)
Perwalkot tentang pendidikan inklusif Tahun 2013, mengatakan SK Piloting
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif sebgai berikut:
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah sekolah
regular yang menyelenggarakan atau menyediakan kuota
untuk anak didik yang berkebutuhan khusus, namun untuk
saat ini pendidikan sekolah inklusi tersebut jangan disamaratakan dengan anak berkebutuhan khusus yang mines (
anak didik berkebutuhan khusus yang selalu di bimbing,
seperti tuna netra, tuna rungu, autis dan lainnya), tp sekolah
pendidikan inklusi anak berkebutuhan khusus yang di
maksud ialah anak yang memiliki Cerdas Istimewa (CI) dan
Bakat Istimewa (BI). Anak cerdas istimewa dan bakat
istimewa ialah anak yang mempunyai intelegensi tinggi atau
IQ di atas rata-rata dengan anak-anak yang lainnya,
sehingga anak tersebut pendidikannya harus di tambah,
dengan kata lain harus di beri perhatian khusus atau
berkebutuhan khusus, supaya bisa lebih maksimal dalam
mengoptimal kemampuannya.
Omrod
(2011)
memberikan
penjelasan
tentang
anak
yang
berkebutuhan khusus, dalam kategori anak yang memiliki cerdas istimewa
dan bakat istimewa atau Students with advanced cognitive development
adalah90:
anak yang memiliki kemampuan luar biasa atau bakat dalam
satu atau beberapa bidang, dan anak ini membutuhkan
pengayaan khusus yang tidak sama dengan anak pada
umumnya, agar potensi anak tersebut berkembang secara
optimal.
Berdasarkan data di atas, maka implementasi sekolah penyelenggara
pendidikan inklusi di Kota Tasikmalaya untuk saat ini
ialah anak
berkebutuhan khusus, anak yang memiliki cerdas istimewa dan bakat
istimewa (anak yang memiliki intelegnsi diatas rata-rata), harus diberikan
perhatian atau pembelajaran lebih dibandingkan anak umumnya, bertujuan
untuk mengoptimalkan perkembangan anak secara maksimal. Sehingga SK.
Piloting pendidikan inklusi Kota Tasikmalaya tahun 2013 dan adanya Pokja
( Kelompok Kerja) Perwalkot pendidikan inklusif tahun 2014, belum bisa
merealisasikan UU No. 19 tahun 2011 tentang hak-hak penyandang
disabilitas dalam berpendidikan. Realitas dilapangan pendidikan inklusi di
Kota Tasikmalaya belum semua anak berkebutuhan khusus bisa merasakan
pendidikan di sekolah regular atau anak penyandang tuna netra duduk di
sekolah umum bersama anak normal pada umumnya.
Menurut hendra lesmana, ada 40 sekolah penyelenggara inklusi
terdiri dari 21 Sekolah SD, 13 Sekolah SMP dan 6 SLB. Setelah hasil
asesmen dan tes seleksi guru – guru sekolah regular penyelenggara
pendidikan inklusi ialah:
90
Omrod. Diterjemahkan oleh Nyoman Surna, olga D. Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan 1.
Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal: 202
sekolah regular atau sekolah penyelenggara pendidikan inklusi
selain menangani anak CI – BI, hanya baru mampu menengani
anak berkebutuhan khusus dalam kategori anak yang
mengalami kesulitan belajar/ lambat belajar dan belum ada
sekolah penyelanggara pendidikan inklusi “sekolah regular”
yang mampu menangani anak penyandang tuna netra, tuna
rungu, grahita dan yang lainnya (anak berkebtuhan khusus
yang selalu di bimbing).
Dari penjelesan di atas, sekolah regular yang menyelenggakaran
pendidikan inklusi, realitas dilapangan anak penyandang tuna netra belum
bisa menikmati pendidikan sekolah regular, atau belum bisa duduk bersama
dengan anak normal pada umumnya di sekolah, dikarenakan belum adanya
guru yang berkompeten dalam menangani anak berkebtuhan khusus yang
selalu dibimbing salah satunya anak penyandang tuna netra. Sehingga SK
Piloting sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di Kota Tasikmalaya
belum dapat merealisasikan UU No. 19 Tahun 2011 dalam hal pendidikan.
Pendidikan lembaga formal “sekolah” di Kota Tasikmalaya, yang
melayani Anak penyandang disabilitas yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB).
Sekolah yang melayani anak penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya
antara lain:
1. SLB Negeri Tamansari Kota Tasikmalaya
2. SLB Aisyiyah kawalu
3. SLB Yayasan Bahagian
4. SLB Yayasan Pendidikan Patriot
5. SLB ABC Argasari Lestari
6. SLB Yayasan Ihsan Sejahtera
Namun dari ke-6 SLB tersebut, hanya 1-SLB yang tidak melayani
berkebutuhan tuna netra, yaitu SLB Yayasan Ihsan Sejahtera. Adapun
penyebab SLB yayasan ihsan sejahtera tidak melayani berkebutuhan bagi
penyandang tuna netra ialah kurangnya seorang guru atau pengajar bagi
penyandang tuna netra, serta fasilitas sarana dan prasarana belum ada bagi
penyandang tuna netra.
Pembelajaran di SLB dengan sekolah umum lainnya menurut
Endang Jaenal Arifin, di tahun 2014-2015 hampir sama menggunakan
kurikulum 2013, yang membedakannya ialah:
Di SLB kurikulum 2013 hanya baru kelas- 1, kelas-IV, kelasVII dan kelas-XI, untuk kelas yang lain masih menggunakan
kurikulum 2006 Karya Tulis Siswa Pelajar (KTSP). Mata
pelajaran yang didapat Anak berkebutuhan khusus (anak
penyandang tuna netra) di SLB dengan anak normal pada
umumnya itu sama, yang membedakannya hanya metode
penyampaian belajar dan fasilitas sarana yang sedikit berbeda.
Kurikulum yang digunakan sama halnya dengan sekolah umum
lainnya, sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang
dipersiapkan untuk mencapai kemandirian anak berkebutuhan khusus.
Sehingga diperlukannya seorang pengajar atau guru yang mempunyai
kemampuan mengadaptasi program pembelajaran berkebutuhan khusus bagi
penyandang tuna netra, agar mampu memaksimalkan aktivitas belajar dan
prestasi belajar penyandang tuna netra. Selain lembaga pendidikan formal
serta guru yang berkompeten dalam menangani berkebutuhan khusus,
penyandang tuna netra memerlukan alat peraga tulis yang berbeda dengan
alat peraga tulis anak normal pada umumnya. Alat peraga tulis seperti buku
dan pulpen cukup untuk proses belajar membaca dan tulis menulis bagi anak
normal pada umumnya, namun bagi penyandang tuna netra memerlukan
papan tulis braile, buku brile untuk proses belajar baca-membaca,
sedangkan reglet dan pen diperuntukan untuk proses belajar tulis menulis.
Fasilitas dan sarana di SLB sangat minim sekali apabila
dibandingkan dengan sekolah regular lainnya. Fasilitas dan sarana
merupakan suatu alat penunjang dalam proses belajar mengajar, salah
satunya alat peraga tulis-belajar untuk proses baca-membaca dan tulismenulis. Anak normal pada umumnya peraga alat tulis seperti buku dan
pulpen, sangat mudah untuk mendapatkannya, sedangkan untuk penyandang
tuna netra memerlukan papan tulis-brile, reglet dan pen itu sulit
mendapatkannya, baik di pasar maupun ditoko buku, bisa dikatakan sangat
minim dan bahkan mungkin juga tidak ada, hanya sekolah SLB lah yang
menyediakan alat peraga tulis-belajar tersebut.
Terbukti pada tanggal 18, 20 dan 28 maret 2014, saya mencoba
observasi ke toko buku yang ada di Kota Tasikmalaya seperti toko buku aa,
toko buku cerdas (Jl. Hz. Zaenal Mustofa) dan toko buku asean, serta
observasi ke-pasar cikurbuk dan ke-pasar lama pun tidak adanya alat peraga
tulis papan brile, reglet dan pen, mereka mengatakan sedang kosong. Alat
peraga papan tulis brile, reglet dan pen hanya ada di SLB, namun itu juga
terbatas, apabila ingin memesan barang tersebut pihak SLB harus ke
Bandung atau memesan ke Wyata Guna dan itupun barangnya Inden
(Nunggu). Paling cepat selama 8 hari atau 2 minggu dan paling lama bisa
mencapai satu bulan, dikarenakan pernah terjadi.
Upaya Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk mencegah hambatan proses
belajar mengajar anak penyandang tuna netra, dikarenakan tidak adanya alat
perga tulis-belajar ialah memesan lebih supaya dijadikan simpanan atau
cadangan, ditakutkan nantinya ada anak penyandang tuna netra yang
kehilangnya alat peraga tulis-belajar, dan memberitahukan kepada anak
penyandang tuna netra beserta orang tuanya ataupun keluarganya supaya
alat peraga tulis-belajarnya jangan sampai hilang. Apabila hilang, maka
susah mendapatkannya dan pihak sekolah tidak boleh memesan lebih dari
10 unit.
Harga alat peraga tulis-belajar terbilang cukup mahal apabila
dibandingkan dengan buku dan pulpen bagi anak normal pada umumnya,
papan tulis braile berkisar seharga Rp. 8500 – Rp. 30.000 sesuai bahannya
tersebuat dari-apa? apakah dari plastik, kayu, ataukah dari besi dan besar
ukurannya berpengaruh pada harga. Tokoh penyandang Tuna Netra Kota
Tasikmalaya, dalam kegiatan kumpulannya juga suka mengumpulkan dana
dalam rangka membelikan buku panduan braile, Kitab Al-Quran Braile dan
alat peraga tulis untuk keperluan anak penyandang tuna netra di Kota
Tasikmalaya.
Fasilitas dan sarana teknologi seperti komputer sangat minim sekali.
Fasilitas sarana seperti kompuiter bagi tuna netra perlu di ajarkan, bertujuan
pengembangan keterampilan dan pengetahuan dibidang teknologi dan
informasi. Kompuiter bagi tuna netra merupakan kompuiter berbicara atau
kompuiter braile. Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kota Tasikmalaya hanya dua
(2) SLB yang mempunyai Kompuiter berbicara yaitu SLB Negeri
Tamansari dan SLB Yayasan Bahagia itu-pun bukan milik sekolah
melainkan milik guru pengajar tuna netra.
Pelayanan
pendidikan
bagi
penyandang
tuna
netra
selain
memberikan pembelajaran huruf braile, teknologi kompuiter, ataupun
pengetahuan umum ialah yang terutama dengan memberikan pembelajaran
Orintasi Mobilitas (OM). Pembelajaran “OM” harus dimulai dari apa yang
diketahui anak penyandang tunanetra menuju apa yang belum diketahui,
dari yang kongkrit ke yang abstrak, dari yang mudah ke yang sukar, dari
lingkungan yang sepi ke lingkungan yang ramai, mulai dari diri anak
penyandang tunanetra ke lingkungan terdekat, menuju ke lingkungan yang
lebih luas.
Tujuan diberikan pembelajaran Orientasi Mobilitas bagi anak
penyandang tuna netra agar mereka dapat bergerak sesuai dengan tujuan
dalam segala lingkungan, yang sudah familiar/ dikenal atau tidak familiar
/tidak dikenal dengan aman, efisien, menyenangkan, dan kemandirian (Hill
& Ponder, 1976). Meningkatkan kemandirian melalui pelajaran “OM”
mempunyai banyak nilai dan dampak positif bagi seseorang penyandang
tuna netra.
Menurut Dedeh dalam bukunya Sari Rudiyati yang berjudul nilainilai pengajaran Orientasi Mobilitas (OM) sebagai berikut91:
1.
Secara Psikis
Orientasi
Mobilitas
dapat
mengembangkan
konsep
diri
seseorang. Ide agar mampu bergerak secara efisien dan mandiri
dalam bermacam-macam lingkungan dapat menimbulkan tidak
hanya penghargaan terhadap dirinya, tetapi juga dapat
menimbulkan rasa percaya diri.
2. Secara Phisik
Sejak Orientasi Mobilitas terlibat gerakan dalam ruang, tubuh
penyandang tunanetra dapat terbentuk dalam proses. Baik gross
motor/ kasar (pada waktu jalan); dan fine motor/ halus, yaitu
dengan mengajarkan menggunakan tongkat secara terus-menerus
dan dikuatkan dengan proses “OM”.
3. Sosial
Dalam proses keterampilan “OM” yang baik menciptakan
kesempatan sosial bagi individu penyandang tunanetra, yang
dalam hal ini mempunyai keterbatasan visual.
4. Ekonomi
Mempunyai keterampilan “OM” yang baik
secara ekonomi dari dua perspektif.
91
Hasil Wawancara-Dedeh. SLB Yayasan Bahagia. Tanggal 10 April 2015.
dapat membantu
a. Mobilitas akan menciptakan kesempatan
berkarya untuk
individual penyandang tunanetra.
b. Pilihan berjalan atau menggunakan sistem
transportasi
umum atau menggunakan taxi untuk mencapai tempat
tertentu, agar menghemat waktu dan uang dari individu
penyandang tuna netra.
5. Kegiatan Kehidupan Sehari-hari
Banyak kegiatan kehidupan sehari-hari diatasi dan difasilitasi
dengan “OM”. Misalnya, berbelanja
menuntut keterampilan
“OM” berhubungan dengan mengetahui lokasi toko/pasar,
perjalanan menuju toko/pasar; menemukan benda jatuh dan
menyapu lantai, merupakan contoh yang dalam kegiatan
kehidupan sehari-hari mengandalkan pada pola menjelajah yang
sistematik yang merupakan bagian dari pengajaran “OM”.
Sesuai dengan ungkapan Dahama dan Bhatnagar (dalam bukunya
Rulam Ahmadi, 2014) pendidikan adalah92:
Pendidikan merupakan proses membawa perubahan yang di
inginkan dalam perilaku manusia. Pendidikan juga dapat di
definisikan sebagai proses perolehan pengetahuan dan kebiasaan
– kebiasaan melalui pembelajaran atau studi. Perubahan –
perubahan itu hendaknya dapat diterima secara sosial, kultural,
ekonomis, dan menghasilkan pengetahuan, keterampilan sikap
serta pemahaman.
92
Ruslam Ahmadi. 2014. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. Hal: 35
Adanya pendidikan OM bagi anak penyandang tuna netra bertujuan
untuk mampu memobilitaskan dirinya, berkamampuan untuk berinteraksi
dengan anak normal pada umumnya. Sehingga di kemudian hari anak
penyandang tuna netra mampu mandiri, bersosialisasi dengan masyarakat
pada mumnya, dan ikut berpastisipasi dalam kegiatan masyarakat di
lingkungan sekitarnya. Orientasi Mobilitas (OM) merupakan model
pembelajaran bagi anak penyandang tuna netra untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minat peserta
didik,
menumbuh
kembangkan
bakat
dan
minat
peserta
didik,
mempersiapkan peserta didik sebagai bagian dari anggota masyarakat yang
mandiri serta mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi.
Sehingga
pembelajaran
bagi
anak
penyandang
tuna
netra
dikembangkan atas dasar kesadaran ilmu pengetahuan, teknologi dan
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan,
dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan
pribadi, keterampilan berpikir, dan keterampilan sosial, merupakan salah
satu mencakup keseluruhan dimensi kompetensi yang meliputi kognitif,
afektif, dan psikomotor, mata pelajaran.
4.4.2 Perjuangan Kelompok Penyandang Tuna Netra dalam Mengkases
Pendidikan di Kota Tasikmalaya
Menurut
Lukmantoro
(dalam
bukuhnya
Buchari,
2014)93
berpendapat politik identitas sebagai berikut:
Politik Identitas merupakan sebagai tindakan politis untuk
mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu
kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau
karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender,
atau keagamaan. Dari penjelasan di atas, olitik identitas
merupakan respon terhadap pelaksanaan hak-hak asasi
manusia yang seringkali tidak adil, serta kehadiran politik
identitas itu hadir oleh sekumpulan-sekumpulan masyarakat
yang mengalami marginalisasi.
Sesuai dengan yang diungkapkan Lukmantoro dalam bukunya
Buchari,
2014),
politik
identitas
adalah
tindakan
politis
untuk
mengedapankan kepentingan – kepentingan dari anggota suatu kumpulan,
karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, maka kelompok
penyandang tuna netra lahir dengan tujuan untuk memperjuangkan
kepentingan komunitas tersebut. Hal tersebut mereka lakukan, karena
mereka merasakan adanya ketidakadilan atau adanya diskriminasi terhadap
mereka.
Kelompok penyandang tuna netra juga berusaha memperjuangkan
keberadan perbedaan yang dimiliki mereka dan hak-hak penyandang tuna
netra sebagai bangsa Indonesia. Orang – orang yang bergabung dalam
kelompok penyandang tuna netra tersebut, merupakan sekumpulan orang
yang memliki kesamaan kekurangan fisik dalam penglihatannya yang
berbeda dengan masyarakat pada umunya.
93
Buchari. Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Hal: 20.
Kelompok ini juga berusaha dengan keras membangun identitasnya,
diatas perbedaan fisik yang mereka miliki dengan masyarakat pada
umumnya. Kelompok penyandang tuna netra
juga bekerja keras
mendapatkan hak – haknya, khususnya dalam berpendidikan, supaya
penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya mampu mandiri dan bersaing
dengan masyarakat pada umumnya.
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh kelompok penyandang
tuna netra memperjuangkan hak-hak penyandang tuna netra dalam
mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya. Upaya tersebut dibagi kedalam
tiga kategori yaitu kategori perjuangan kepada keluarga/ masyarakat sekitar,
diri sendiri dan Pemerintah. Perjuangan tersebut dilakukan memperjuangkan
keberadaan penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya dan mendapatkan
hak – hak mereka sebagai warga masyarakat Kota Tasikmalaya khususnya
dalam mengakses pendidikan.
A. Kepada Keluarga Penyandang Tuna Netra dan Masyarakat Sekitar.
Kelompok penyandang tuna netra memiliki upaya – upaya khusus
untuk memperjuangkan hak-haknya, khususnya hak berpendidikan. Upaya
tersebut, salah satunya kepada keluarga yang memiliki anak penyandang
tuna netra dan masyarakat sekitar. Keluarga dan masyrakat sekitar
mempunyai peran yang sangat penting untuk perkembangan penyandang
tuna netra. peranan keluarga dan masyrakat sangat penting perkembangan
penyandang tuna netra disaat masih kecil atau di usia anak-anak.
Membesarkan anak adalah sebuah kewajiban bagi kedua orang tua,
sehingga orang tua memiliki peran yang sama di dalam mengasuh anakanak dalam membantu anak mengembangkan identitas dirinya. Ketika orang
tua mendapat karunia anak berkebutuhan khusus, tentunya situasi yang
harus dihadapi akan menjadi sangat jauh berbeda dibandingkan dengan
mendapat anak normal pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus
diperlukannya dukungan yang harus lebih banyak diberikan, harus ada
diskusi yang lebih sering dilakukan dan ada kerja sama yang harus dijalin
kedua orang tua. Hal ini berarti, kedua orang tua perlu bekerja sama dalam
memikul tanggung jawab yang seimbang agar anak-anaknya tumbuh dan
berkembang secara optimal (baik).
Anak penyandang tuna netra pada umumnya seringkali mendapatkan
perlakuan yang kurang baik di masyarakat, hal itu terjadi bukan karena sebabsebab kecacatannya, namun lebih disebabkan oleh pengaruh-pengaruh sosial
dari lingkungannya, terutama keluarga. Hal ini disebabkan karena keluarga
adalah lingkungan pertama yang merasakan dampaknya terhadap keberadaan
anak tuna netra. Bagaimana reaksi keluarga atau orang tua terhadap keberadaan
anak tuna netra,
apakah keluarga akan menyembunyikan anaknya yang
menyandang tun netra, ataukah tidak?, sehingga sangat berpengaruh terhadap
keseluruhan perkembangan pribadi-pribadi anak penyandang tuna netra di
kemudian hari dan berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan bagi anak
penyandang tuna netra.
Menurut Ayi Marwan selaku Kepala Sekolah di Sekolah Luar
Biasa (SLB) di Yayasan Pendidikan patriot94, beliau mengatakan masih ada
warga masyarakat yang memiliki anak penyandang tuna netra maupun
disabilitas lainnya, disembunyikan oleh keluarganya, tidak dimasukkan
kedalam sekolah Inklusi ataupun Sekolah Luar Biasa (SLB), dikarenakan
malu kepada masyarakat sekitar.
Dari data dinas pendidikan hanya 24 anak penyandang tuna netra
yang menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB), dari 62 jumlah
penyandang tuna netra yang ada di Kota Tasikmalaya. Menurut Yana
Sunarya (Guru SLB Negeri Tamansari), minimnya anak penyandang tuna
netra dalam menempuh pendidikan di Kota Tasikmalaya ialah
Masih banyak pihak keluarga penyandang disabibilitas termasuk
keluarga yang memiliki anak penyandang tuna netra kurang
memahami tentang anak berkebutuhan khusus. Beliau juga
beranggapan bahwa keluarga yang memiliki anak penyandang
tuna netra menganggap anak berkebutuhan tersebut hanya bisa
sampai menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) saja
dan tidak ada tindak lanjut kedepannya, seperti keperguruan
tinggi dan tanpa melihat ada peluang kemandirian masa depan
anaknya. Konsekuensinya anak penyandang disabilitas termasuk
anak penyandang tuna netra tidak dimasukkan ke sekolah untuk
mendapatkan pendidikan dan perkembangan anak berkebutuhan
khusus tersebut semakin tertinggal dibandingkan dengan anak
pada umumnya.
Terbukti dari hasil data penelitian, anak penyandang tuna netra yang
bernama Doni berusia 16 tahun, baru menempuh pendidikan kelas 3 SDLB
di Sekolah Luar Biasa (SLB) ABC Argasari, Selvi berusia 12 tahun baru
menempuh pendidikan kelas 4 SDLB di SLB Aisyah Kawalu dan Ayu
94
Wawancara Ayi Marwan. di Sekolah Luar Biasa Pendidikan Patriot. 03 Maret 2015
berusia 9 tahun baru menempuh pendidikan kelas satu 1 SDLB di SLB
Yayasan Bahagia. Hasil wawancara dengan orang tua anak penyandang tuna
netra tersebut bahwa mereka (Orang Tua), sempat kebingungan untuk
memasukkan anaknya ke-Sekolah Luar Biasa (SLB), mereka menganggap
perawatan medis dulu daripada memasukannya ke sekolah.
Ada juga yang beranggapan bahwa anak mereka masih bisa
sebanding dengan anak pada umumnya, mereka juga beranggapan bahwa
bersekolah ke SLB itu pada umumnya untuk anak-anak yang memiliki
kelainnan mental, sehingga sedikit ragu memasukkan anaknya bersekolah di
SLB. Mereka juga mengatakan anak penyandang tuna netra pada saat usia
6-8 tahun (anak mereka), sulit atau tidak mau untuk bersekolah, dikarenakan
hanya ingin berdiam di rumah ataupun hanya mau bermain bersama temanteman yang sudah di kenalinya.
Upaya yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra dalam
mendorong, serta membantu anak penyandang tuna netra untuk mengakses
pendidikan kepada keluarga dan masyarakat sekitar adalah95:
Bekerja sama dengan tokoh penyandang disabilitas lain
(Garkatin), dinas sosial dan Sekolah Luar Biasa (SLB), dengan
cara mengadakan sosialisasi kepada keluarga yang memiliki
anak penyandang tuna netra dan masyarakat di berbagai
daerah, terutama di lingkungan yang didareahnya ada anak
penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas lainnya.
Bentuk sosialisasi yang dilakukan ialah dengan seminar,
diskusi, serta penampilan keterampilan dan kesenian yang
ditampilkan oleh anak berkebutuhan khusus kepada keluarga
yang memiliki anak penyandang tuna netra dan masyarakat
sekitar.
95
Hasil Wawancara-Koni Firman Suteja. Ketua DPC Petuni Kota Tasikmalaya. Tanggal 16 Maret
2015.
Sosialisasi yang dilakukan, bertujuan dapat memberikan pemahaman
kepada keluarga yang mempunyai anak penyandang tuna netra dalam
menangani atau mendidik anak berkebutuhan khusus, agar dapat
mengoptimalkan perkembangan anak berkebutuhan khusus dan mampu
meningkatkan minat orang tua anak penyandang tuna netra dan penyandang
disabilitas lainnya untuk menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa
(SLB). Sosialisasi yang dilakukan juga bertujuan untuk menghilangkan
stigma negatif di masyarakat pada umumnya, sehingga masyarakat bisa
ikut membantu dan mendorong mengoptimalkan perkembangan anak
penyandang tuna netra maupun anak berkebutuhan khusus lainnya di daerah
sekitarnya.
Adapun upaya kelompok penyandang tuna netra, tokoh penyandang
disabilitas dan pihak – pihak Sekolah Luar Biasa (SLB) ternyata
membuahkan hasil, terbukti dari data dinas pendidikan Kota Tasikmalaya
Tahun 2013-2014 anak penyandang penyandang tuna netra yang berjumlah
62 orang, hanya ada 18 anak penyandang tuna netra yang menempuh
pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB), kemudian Tahun 2014-2015
meningkat menjadi 24 anak penyandang tuna netra yang sedang menempuh
pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) Kota Tasikmalaya.
Hasil data tersebut, menurut Usman merupakan sebuah keberhasilan
yang telah diperjuangkannya, namun untuk kedepannya akan lebih keras
bersosialisasi kepada masyarakat, dan keluarga yang mempunyai anak tuna
netra
dan
anak
penyandang disabilitas
lainnya.
Bertujuan
untuk
meningkatkan anak penyandang tuna netra dan anak penyandang disabilitas
dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya.
B. Kepada Identitas Penyandang Tuna Netra/ Diri Sendiri.
Upaya selanjutnya yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra
dalam mengakses pendidikan di Kota Tasikmalaya ialah kepada identitas
penyandang tuna netra (individu-individu penyandang tuna netra), dengan
cara memberikan motivasi aktualisasi diri terhadap identitas-identitas
penyandang tuna netra. Motivasi aktualisasi diri sangat penting untuk
identitas penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan dan juga
untuk mengoptimalkan perkembangan penyandang tuna netra, dikarenakan
untuk menghilangkan rasa malu atau minder kepada masyarakat sekitar,
takut kepada oranglain, dan memberikan pengakuan terhadap diri sendiri
sebagai orang yang menyandang tuna netra, tidak bisa melihat seperti orang
normal pada umumnya. Motivasi aktualisasi bertujuan untuk memberikan
kepercayaan diri terhadap penyandang tuna netra, agar bisa mencapai
keinginan atau impian-impian penyandang tuna netra.
Menurut kamus psikologi, motivasi adalah kontrol batiniah dari
tingkah laku seperti diwakili oleh kondisi – kondisi fisiologis, minat –
minat, kepentingan – kepentingan, sikap-sikap, dan aspirasi-aspirasi, atau
kecenderungan organisme untuk melakukan sesuatu, sikap atau perilaku
yang dipengaruhi oleh kebutuhan dan diarahkan kepada tujuan tertentu yang
telah direncanakan96. Sedangkan aktualisasi diri dapat dipandang sebagai
kebutuhan tertinggi dari suatu hirarki kebutuhan, namun juga dapat
dipandang sebagai tujuan final, tujuan ideal dari kehidupan manusia97
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi aktualisasi
diri adalah keseluruhan daya penggerak atau dorongan baik dari dalam diri
sendiri ataupun oleh orang-lain, dengan cara mengusahakan untuk
menyediakan kondisi-kondisi tertentu, yang menjamin kelangsungan dan
memberikan arah pada kegiatan memenuhi potensi diri dan menyalurkan
segala minat dan bakat untuk mencapai tahap setinggi-tingginya bagi
individu. Sehingga setiap individu – individu, pada
dasarnya memiliki
kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya dan setiap individu harus
melakukan aktualisasi diri, jika menginginkan ke hidupan yang lebih baik
dari sebelumnya.
Aktualisasi
diri
adalah
proses
menjadi
diri-sendiri
dan
mengembangkan sifat-sifat, serta potensi-potensi psikologisnya yang unik.
Aktualisasi diri bahwasannya setiap manusia termasuk orang-orang dengan
keterbatasan fisik, memiliki peluang yang sama dengan orang-orang normal
pada umumnya untuk mengoptimalkan kemampuannya. Potensi-potensi
kemampuan tersebut, dipenuhi atau diaktualisasikan tergantung pada
kekuatan-kekuatan individual dan lingkugan sosial yang memajukan atau
96
97
Alwisol. Psikologi Kepribadian. 2009. Malang: Hak Cipta. Hal: 201
Alwisol. Psikologi Kepribadian. 2009. Malang: Hak Cipta. Hal: 290
menghambat aktualisasi98. Hal ini menjelaskan pada kita bahwa setiap orang
mampu mengoptimalkan dan mengaktualisasikan potensinya, dan hal
tersebut sangat tergantung pada kekuatan atau motivasi yang ada didalam
dirinya, dalam mendapatkan pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman
yang didapatkannya.
DPC Pertuni Kota Tasikmalaya dan Yayasan Kota Tasikmalaya
merupakan organisasi yang berperan sebagai wadah para tuna netra, dan
menjadi gerakan untuk mempersatukan kaum tuna netra di dalam
mengaktualisasikan diri. Sebagai sebuah organisasi komunitas tuna netra,
organisasi ini di pimpin oleh para tuna netra yang beranggotakan 60 orang
penyandang tuna netra. Lewat organisasi ini para penyandang tuna netra
dapat membuktikan bahwa mereka dapat beraktualisasi di masyarakat.
Upaya yang dilakukan DPC Pertuni Kota Tasikmalaya menurut Koni
Firman Suteja ialah99:
Memberikan keterampilan pijat, lulur, anyaman, musik dan
diskusi-diskusi kepada anggota pertuni, didalam diskusi
tersebut
memberikan pesan-pesan semangat untuk
bermasyarakat, agar mendapatkan informasi dan pengetahuan
yang lebih luas lagi. DPC pertuni juga mengadakan kerjasama
dengan Wyata Guna Bandung, yang dimana bertujuan untuk
meningkatkan potensi penyandang tuna netra. Wyata Guna
adalah unit pelaksana teknis di bidang rehabilitasi dan
pelayanan sosial dilakukan dikementrian sosial, berada
dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada dirjen
rehabilitasi sosial kementrian sosial RI. Tugas dari Pusat
Sarana Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna mempunyai
tugas memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial
98
Irmawati Nooryani. 2013. Motivasi AKtualisasi Diri Penyandang Tuna Netra Dewasa.
Yogyakarta: SKRIPSI Fakultas Dakwah dan komunikasi. Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta
99
Hasil Wawancara-Koni Firman Suteja. Ketua DPC Petuni Kota Tasikmalaya. Tanggal 16 Maret
2015.
yang bersifat kuratif, rehabilitasi, promotif dalam bentuk
bimbingan pengetahuan dasar pendidikan, fisik, mental, sosial,
pelatihan keterampilan, resosialisasi, dan bimbingan lanjut
bagi para penyandang tuna netra agar mampu mandiri dan
berperan aktif dalam kehidupan masyarakat.
Dari penjelasan di atas, diartikan bentuk-bentuk motivasi aktualisasi
yang di lakukan DPC Pertuni Kota Tasikmalaya kepada identitas atau
individu-individu penyandang tuna netra ialah dengan seminar dan diskusi
yang membahas permasalahan penyandang tuna netra, serta memberikan
pesan-pesan semangat atau motivasi pentingnya bermasyarakat agar
mendapatkan pengetahuan dan informasi yang lebih luas lagi. DPC Pertuni
juga memberikan pelatihan, pijat, musik, pengembangan bakat keahlian dan
keterampilan, serta memberikan kesempatan kepada anggotanya mengikuti
program di Wyata Guna Bandung, agar mengoptimalkan dan meningkatkan
sumber daya manusia atau potensi yang ada dalam diri penyandang tuna
netra.
Upaya yang dilakukan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya
menurut Rahmat ialah100:
Pendidikan, pelatihan serta pengembangan bakat ke-ahlian dan
keterampilan bagi penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya.
Kegiatan Yayasan Tuna Netra lebih kedalam hal ke-Agamaan,
Seperti pengajian, kosidahan, ceramah dan
melatih
penyandang tuna netra dalam berpidato atau berdakwah.
Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya, pernah mengadakan
forum diskusi bersama mahasiswa Cipasung, baik dalam hal
ke-agamaan maupun pengetahuan umum lainnya dan bahkan
mahasiswa Cipasung sedikit belajar tulisan braile kepada
penyandang tuna netra. Adapun manfaat diadakannya forum
diskusi ialah berbagi ilmu dengan masyarakat normal pada
umumnya, dan penyandang tuna netra Kota Tasikmalaya
100
Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Tanggal 2 April
2015
mempunyai keberanian dalam berbaur dengan masyarakat
normal pada umumnya.
Dari ungkapan diatas, menjelaskan upaya yang dilakukan oleh
Yayasan Tuna Netra dalam memberikan motivasi aktualisasi diri untuk
mengakses pendidikan Kota Tasikmalaya ialah dengan mengembangkan
kemampuan penyandang tuna netra, agar berperan aktif dalam kehidupan
bermasyarakat, supaya penyandang tuna netra mendapatkan pengetahuan
dan informasi yang lebih luas lagi. Sistem pendidikan yang baik menurut
Ivan Illich101 adalah terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan
Ilmu dan mendapatkan Ilmu. Sehingga adanya forum diskusi bersama
mahasiswa Cipasung yang diadakan oleh Yayasan Tuna Netra, merupakan
bentuk seseorang diperbolehkan membagikan apa yang dia ketahui dan
berpeluang menyampaikan masalah ke tengah masyarakat, dikarenakan
memperoleh pendidikan, pengetahuan dan ilmu adalah hak dari setiap warga
Negara dimanapun dan setiap saat.
Berdasarkan dari data yang diperoleh, maka peneliti menyimpulkan
bahwa motivasi aktualisasi diri yang dilakukan kelompok penyandang tuna
netra ialah upaya penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di
Kota Tasikmalaya. Adapun bentuk-bentuk motivasi aktualisasi diri yang
dilakukan kelompok penyandang tuna netra adalah bentuk pendidikan
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan, bertujuan untuk
mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan penyandang tuna netra, agar
101
Omrod. Diterjemahkan oleh Nyoman Surna, olga D. Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan 1.
Jakarta : Penerbit Erlangga. Hal: 202
dikemudian hari dapat memainkan perannan hidupnya secara tepat, serta
menimbulkan perubahan positif dan kemajuan, baik kognitif, afektif
maupun psikomotorik guna mencapai tujuan hidup penyandang tuna netra.
C. Kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya.
Upaya penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan di Kota
Tasikmalaya juga kepada pemerintah Kota Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya
merupakan daerah otonom Negara Indonesia, berdasarkan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Sehingga kemajuan
daerah bergantung kepada prestasi pemerintah setempat dalam mengurusi
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat di daerahnya, termasuk
kepentitngan orang-orang penyandang disabilitas. Maka pemerintah Kota
Tasikmalaya, harus benar-benar memperhatikan warga masyarakatnya,
termasuk penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas.
Adapun usaha yang dilakukan kelompok penyandang tuna netra,
kepada pemerintah Kota Tasikmalaya, menurut Rahmat adalah102:
Bekerja sama dengan kelompok penyandang disabilitas, seperti
DPC Pertuni, Yayasan Tuna Netra, ITMI, Garkatin, dan tokoh
masyarakat yang peduli terhadap penyandang disabilitas,
menuntut pemerintah Kota Tasikmalaya untuk memberikan
aksesbilitas pendidikan yang sama, tanpa ada bentuk
diskriminasi terhadap penyandang tuna netra maupun
disabilitas, serta perlindungan hak-hak penyandang disabilitas
sesuai UU No. 19 Tahun 2011 tentang Hak-Hak penyandang
disabilitas. Tuntutan penyandang tuna netra dan penyandang
102
Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Tanggal 2 April
2015
disabilitas lainnya ialah setelah adanya Undang-Undang No.
19 Tahun 2011 tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas,
tepatnya pada awal-awal Tahun 2012, pada saat Kota
Tasikmalaya di pimpin oleh H. Syarif Hidayat. Tuntutan yang
dilakukan kepada pemerintah Kota Tasikmalaya juga
dilontarkan pada saat kepemimpinnan Budi-Dede, di awalawal Tahun 2013. Tuntutan tersebut akhirnya diakomodasi
oleh pemerintah Kota Tasikmalaya, dengan keluarnya SK
Piloting tentang pendidikan inklusi dan Perawalkot susunan
kelompok Kerja (Pokja) pendidikan inklusif. Maka upaya yang
dilakukan penyandang tuna netra untuk mewujudkan
pendidikan yang adil tanpa ada bentuk diskriminasi menuju
kesempurnaan, dikarenakan sudah ada payung hukum yang
mengatur untuk penyandang disabilitas dalam mengakses
pendidikan yang sama seperti masyarakat pada umumnya di
Kota Tasikmalaya. Sehingga diperlukannya pengawasan yang
baik terhadap implementasi SK. Piloting tersebut. Adapun
bentuk tuntutannya kepada Walikota Kota Tasikmalaya pada
saat kepemimpinnan Budi-Dede ialah dengan berdiskusi
bersama Walikota Kota Tasikmalaya, dan meminta janji Budi
Budiman pada saat kampanye beliau, dikarenakan pada saat
kampanye, beliau menjumpai atau bersilaturahmi dengan
tokoh-tokoh penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas
serta menjanjikan akan memberikan hak-hak penyandang
disabilitas, termasuk pendidikan yang layak untuk penyandang
disabilitas, sama halnya dengan masyarakat pada umumnya.
Sehingga DPC Pertuni, Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya
bersama–sama meminta kepada pemerintah Kota Tasikmalaya
memperhatikan penyandang disabilitas di KotaTasikmalaya.
Dari penjelasan diatas, diartikan bahwa upaya yang dilakukan
penyandang tuna netra ialah bekerja-samanya kelompok penyandang tuna
netra bersama kelompok penyandang disabilitas, serta tokoh masyarakat
yang peduli terhadap penyandang disabilitas, menuntut pemerintah Kota
Tasikmalaya memenuhi atau merealisasikan UU No. 19 Tahun 2011 tentang
Hak-Hak Penyandang Disabilitas, termasuk hak pendidikan. Upaya yang
dilakukan kelompok penyandang tuna netra ini berjalan cukup lambat,
dikarenakan upaya yang mereka lakukan di awal-awal tahun 2012,
kemudian di awal-awal tahun 2013 dan diakomodasi oleh pemerintah Kota
Tasikmalaya pada tanggal 6 November 2013, keluarnya Perwalkot Pokja
Pendidikan Inklusi dan SK Piloting tentang Pendidikan Inklusi.
Adapun bentuk upaya yang dilakukan kelompok penyandang tuna
netra dan penyandang disabilitas, peneliti menafsirkan bahwa ada unsur
politik antara elite politik yaitu Budi Budiman dengan tokoh penyandang
tuna netra dan tokoh penyandang disabilitas. Budi Budiman yang
menginginkan menggalang suara yang banyak untuk memenangkan di
Pilkada Walikota Kota Tasikmalaya 2012, sedangkan tokoh penyandang
tuna netra dan penyandang disabilitas menginginkan pemerintah Kota
Tasikmalaya memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, sesuai UU No.19
Tahun 2011 tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Sehingga tokoh
penyandang tuna netra dan tokoh penyandang disabilitas, di tahun 2013
menuntut pemerintah Kota Tasikmalaya untuk memenuhi hak-hak
penyandang disabilitas, juga diartikan sebagai meminta janji Budi Budiman
untuk merealisasikan janjinya pada saat kampanye kepada penyandang tuna
netra dan penyandang disabilitas yaitu memenuhi hak-hak penyandang
disabilitas.
Adanya Pokja pendidikan inklusi dan SK Piloting tentang
pendidikan inklusi, merupakan upaya yang dilakukan penyandang tuna netra
dalam menuntut pemerintah Kota Tasikmalaya untuk memenuhi hak-hak
penyandang tuna netra dalam akses pendidikan di Kota Tasikmalaya. Pokja
pendidikan inklusi dan SK Piloting tentang pendidikan inklusi diharapkan
bisa merealisasikan UU No.19 Tahun 2011 tentang hak-hak penyandang
disabilitas khususnya dalam pendidikan, serta meralisasikan Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional, dan
Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang
Pendidikan Inlusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Sehingga tidak ada bentuk
diskriminasi pendidikan terhadap penyandang tuna netra dan penyandang
disabilitas.
4.5 Identitas Penyandang Tuna Netra masuk kedalam Kelompok Subaltern
Menurut ilmuan Gayatri Chakravorty Spivak dalam tulisannya “Can
Subaltern Speak?”, yang dimaksud subaltern adalah subjek yang tertekan,
para anggota ‘klas-klas’-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka
yang berada di tingkat inferior (Gandhi 2006)103. Subaltern memiliki dua
karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu
mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut bahwa
subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk
menyuarakan aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk
menyuarakan kondisinya, sehingga perlu kaum intelektual sebagai “wakil”
mereka.
Dari pemaparan di atas maka bisa diartikan bahwa Subaltern
digunakan untuk menunjukan sekelompok orang-orang yang termarginalkan
103
Nia Kurnia. 2013. Komunitas Vespa Gembel. Kota Tasikmalaya: SKRIPSI Fakultas Sosial
Ilmu Politik Unsil. Unversitas Siliwangi.
dan terekskusi dalam ranah publik sehingga mengalami tekanan, khususnya
dalam perjuangan melawan hegemonisasi global. Marginalisasi yang
didefinisikan sebagai
pengasingan dari sistem ketenagakerjaan dan
partisipasi dalam kehidupan sosial berdampak pada timbulnya perbedaan
materi, pembatasan hak-hak kewarganegaraan dan hilangnya kesempatan
untuk mengekspresikan diri, ciri ini melekat erat pada kaum subaltern.
Cara pandang masyarakat terhadap kelompok disabilitas terbentuk
melalui sistem sosial-budaya-agama yang kemudian diterima sebagai
kebenaran sekalipun cara pandang atau persepsi ini sangat diskriminatif. Cara
pandang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas bermula dari “dogma”
bahwa manusia adalah makhluk ciptaan paling sempurna104, dengan demikian
identitas penyandang tuna netra telah termarginalkan dan terdiskriminasikan,
dikarenakan penyandang tuna netra merupakan bagian penyandang disabilitas
yang masuk ke-dalam kategori kelompok subaltern dalam masyarakat, yang
mengalami diskriminasi atas dasar stereotipe negatif yang melekat pada diri
mereka. Penyandang tuna netra juga seorang manusia, namun mereka
memiliki kelainan fisik dalam penglihatan, sehingga mereka dianggap
bukanlah manusia yang sempurna dan seringkali di anggap sesuatu yang hina.
Penyandang tuna netra termaginalkan dan tereksekusi dalam ranah
publik dan mengalami tekanan dalam melawan hegemonisasi global. Hal
tersebut identik dengan komunitas subaltern. Penyandang tuna netra
104
FX Rudy Gunawan. Diposting tanggal: 28 mei 213. http://majalahdiffa.com/ index.php/
gagasan/persepsi/493-filsafat-kaum-disabilitas-2?showall=1&limitstart=. Di akses: 27 maret
2015.
menginginkan hak-hak yang sama dengan masyarakat normal pada
umumnya. Namun yang mereka terima penolakan oleh lingkungan sosialnya,
kesulitan membina hubungan sosial, dan hanya sikap belas kasihan.
Konsekuensi adalah hilangnya ruang kehidupan yang menjadi hak mereka
untuk hidup bersama dengan hak dan kewajiban yang sama dengan
masyarakat yang normal pada umumnya.
Diskrimanasi lain bagi penyandang tuna netra ialah tidak adanya
penerapan kebijakan pemerintah Kota Tasikmalaya terhadap penyandang
disabilitas. Sehingga berdampak langsung kepada perkembangan penyandang
tuna netra di Kota Tasikmalaya, dikarenakan tida ada aksebilitas publik bagi
penyandang tuna netra.
Adapun bentuk diskriminasi terhadap penyandang tuna netra menuru
Rahmat adalah105:
Tidak adanya Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya tentang
perlindungan hak-hak penyandang disabilitas, sehingga
sulitnya aksebilitas publik bagi penyandang tuna netra. seperti
Fasilitas dan sarana umum di Kota Tasikmalaya sangat terbatas
sekali hanya ada di sekolah dan di Rumah sakit, dikarenakan
fasilitas dan sarana umum seperti angkutan umum, trotoar,
rambu-rambu lalu lintas itu tidak ada sama sekali. Sehingga
menyulitkan penyandang tuna netra, serta penyandang
disabilitas lainnya untuk mandiri dan berbaur dengan
masyarakat pada umum lainnya. Fasilitas sarana di rumah sakit
untuk penyandang disabilitas seperti kursi roda, tongkat kaki
dan tongkat tuna netra tidak gratis, kita harus membelinya
dengan harga yang sangat mahal, sedangkan kalau di sekolah
setiap ajaran baru suka diberikan alat fasilitas penunjang
pembelajaran anak disabilitas di berikan secara gratis. Adanya
ruang fasilitas untuk penyandang disabilitas ditempat arena
lingkungan hiburan Alun – Alun Kota Tasikmalaya, itupun
105
Hasil Wawancara-Rahmat. Ketua Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya. Tanggal 2 April
2015
merupakan pemberian dari Pemerintah Provinsi Jawa barat dan
sangat membantu penyandang tuna netra dalam berbaur
dengan masyarakat pada umumnya.
Dari penjelasan diatas, menjelaskan tidak adanya Peraturan daerah
tentang penyandang disabilitas berdampak pada terbatasnya aksebilitas publik
bagi penyandang tuna netra, sehingga menyulitkan penyandang tuna netra
untuk berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya dan memobilitaskan
dirinya ke arah yang lebih baik lagi. Adanya fasilitas dan sarana penyandang
disabilitas di tempat sekolah, Rumah sakit dan di tempat arena lingkungan
hiburan Alun-Alun Kota Tasikmalaya, merupakan salah satu cara penyandang
tuna netra untuk
berinteraksi
dengan masyarakat
pada umumnya,
mengoptimalkan kemampuannya dan memobilitaskan dirinya ke-arah yang
lebih baik lagi. Mereka hanya membutuhkan cara yang berbeda untuk belajar,
diperlukannya ruang aktualisasi karya dan sedikit perhatian bersama.
Sehingga mereka menjadi manusia yang berdaya dan mampu bersaing
layaknya manusia pada umumnya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan difokuskan mengenai
bagaimana perjuangan penyandang tuna netra dalam mengakses pendidikan
di Kota Tasikmalaya, peneliti menarik kesimpulan bahwa penyandang tuna
netra di Kota Tasikmalaya membentuk kelompok khusus penyandang tuna
netra, seperti DPC Pertuni dan Yayasan Tuna Netra Kota Tasikmalaya,
bertujuan menjadikan suatu tempat advokasi bagi identitas penyandang tuna
netra dalam rangka memperjuangkan hak-hak penyandang tuna netra,
termasuk memperjuangkan haknya dalam pendidikan.
Adapun bentuk perjuangan yang dilakukan kelompok penyandang
tuna netra dibagi kedalam tiga kategori yaitu, pertama, perjuangan kepada
keluarga/ masyarakat sekitar, kedua, diri sendiri dan ketiga, kepada
Pemerintah Kota Tasikmalaya. Perjuangan yang dilakukan merupakan upaya
memperjuangkan keberadaan penyandang tuna netra di Kota Tasikmalaya
dan mendapatkan hak – hak mereka sebagai warga masyarakat Kota
Tasikmalaya khususnya dalam mengakses pendidikan.
Beberapa poin dalam upaya penyandang tuna netra mengakses
pendidikan di Kota Tasikmalaya adalah pertama, Memberikan gambaran atau
pemahaman kepada keluarga yang memiliki anak penyandang tuna netra
dalam mendidik atau menangani anak berkebutuhan khusus, kedua,
memberikan gambaran atau pemahaman, dan mendorong kepada masyarakat
103
yang di daerahnya ada penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas
untuk mengoptimalkan perkembangan anak berkebutuhan khusus, ketiga,
memberikan kepercayaan diri terhadap identitas penyandang tuna netra agar
mampu meraih cita-cita dan impiannya, keempat, mendorong identitas
penyandang tuna netra mengaktualisasikan dirinya di masyarakat, supaya
mendapatkan pengetahuan dan informasi yang lebih luas, membagikan apa
yang dia ketahui dan berpeluang menyampaikan masalah ke tengah
masyarakat, agar dapat menghilangkan sitgma negatif di masyarakat pada
umumnya, kelima, kelompok-kelompok penyandag tuna netra merupakan
organisasi yang berperan sebagai wadah identitas penyandang tuna netra,
menjadi gerakan untuk mempersatukan kaum tuna netra, serta mampu
mempengaruhi kebijakan pemerintah Kota Tasikmalaya dalam rangka
memenuhi hak-hak penyang tuna netra dan penyandang disabilitas.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti berharap kepada
kelompok penyandang tuna netra, DPC Pertuni dan Yayasa tuna Netra Kota
Tasikmalaya, agar terus selalu memperhatikan penyandang tuna netra yang
ada di Kota Tasikmalaya, dengan cara bergabagai kegiatan. Supaya bisa
menunjukan kepada masyarakat akan keberadaan penyandang tuna netra di
Kota Tasikmalaya, dan mampu menghilangkan cara-pandang stigma negatif
dikalangan masyarakat, bahwa seorang yang manusia yang mempunyai
perbedaan kelainan atau kekurangan fisik dibandingkan masyarakat normal
pada umumnya, bukanlah suatu ‘aib ataupun hina” dan bukan pula yang mesti
harus dikasihani, melainkan harus diperlakukan sama dengan masyarakat
pada umunya agar tercipta saling menghargai.
Kepada masyarakat yang di daerahnya ada penyandang disabilitas
termasuk penyandang tuna netra, agar tidak merasa jijik, tidak memandang
sebelah mata kepada penyandang tuna netra, supaya tidak ada penolakan
sosial bagi penyandang tuna netra dan penyandang disabilitas lainnya.
Kepada pemerintah Kota Tasikmalaya membuat kebijakan yang dapat
memberikan ruang aktualisasi karya bagi penyandang tuna netra, agar mereka
menjadi manusia yang berdaya dan mampu bersaing layaknya manusia pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Rulam. 2014. Pengantar Pendidikan. Ar-ruzz Media: Yogyakarta.
Abdilah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. IndonesiaTera: Magelang.
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Hak Cipta: Malang.
Dewi, Evie Ariadne Shinta. 2013. Modul Pendidikan Pemilih Perempuan.
Kerjasama Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD dengan KPU Provinsi
Jawa Barat : Bandung.
Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
Qalam: Yogyakarta.
Kinasih, Ayu Windy. 2007. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo. Laboratorium
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM: Yogyakarta.
Kurnia, Nia. 2013. Komunitas Vespa Gembel. SKRIPSI : Fakultas Sosial Ilmu
Politik Universitas Siliwangi: Kota Tasikmalaya.
Mudyahardjo, Redja. 2006. Pengantar Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung.
Nooryani Iramawati. 2013. Motivasi AKtualisasi Diri Penyandang Tuna Netra
Dewasa. Yogyakarta: SKRIPSI Fakultas Dakwah dan komunikasi.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sayyidah, Ani Nur.2014. Dinamika Penyusaian Diri Penyandang Disabilitas di
Tempat Magang Kerja: UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. SKRIPSI: Yogyakarta.
Omrod. Diterjemahkan oleh Nyoman Surna, olga D. Pandeirot. 2014. Psikologi
Pendidikan 1. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. CV.
Alfabeta: Bandung.
Sutopo, H. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar Teoritis Dan
Praktis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal. 31
Widayanti, Titik. 2009. Politik Subaltern: Pergulatan Identitas Waria. Research
Center For Politics And Goverment Jurusan Politik dan Pemerintahan
UGM: Yogyakarta.
Jurnal :
Satori, Akhmad. Pers, Demokrasi Civil Society. Slide Out Mata kuliah Negara dan
masyarakat sipil.
Haboddin, Mukhtar.2012. Politik Identitas:Menguatnya Identitas di Ranah Lokal.
Jurnal Study Pemerintahan: Malang.
Hapsarin, Cin Pratipa. 2014. Politik Identitas : Geliat Sosial Antara Aku dan Yang
Lain. Jurnal Academia.edu
Irwanto, Eva Rahmi kasim, dkk.. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di
Indoneisa. Sebuah Desk-Review. Pusat Kajian Disabilitas. Universitas
Indonesia: Jakarta.
Internet:
Nadfa. 2011. http://nadlirotululfa.blogspot.com/2011/11/politik-subaltern.html.
Diakses: 08 Desember 2014.
Muammar, arfan. http://arfanmuammar.blogspot.com/2012/06/. Gagasan – ivan –
illich – dalam - pendidikan.html#.VIlXOON_t7x. Di akses: 11 – 12
2014
Mudjito. Desember 27, 2013 Admin. http://disdik.depok.go.id/?p=298. Di akses:
06 Januari 2014
Qita, Konselor. http://konselorqita.blogspot.com/2014/01/manajemen-pendidikaninklusi.html. Di akses: 27 Januari 2015
Gunawan, FX Rudy. Diposting tanggal: 28 mei 213. http://majalahdiffa.com/
index.php/ gagasan/ persepsi/ 493-filsafat-kaum-disabilitas-2? showall=
1&limitstart. Di akses: 27 maret 2015.
Regulasi:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional
Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Konvensi mengenai Hak – Hak
Penyandang Disabilitas
Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan
sosial penyandang cacat
Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang
Pendidikan Inlusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 72 tahun 2013 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
Peraturan Walikota Kota Tasikmalaya susunan Kelompok kerja tentang
Pendidikan Inklusi Tahun 2013
SK Piloting Tahun 2013 tentang Penetapan Sekolah Penyelenggara Pendidikan
Inklusi
Download