PENYELESAIAN HARTA BERSAMA DALAM PERCERAIAN

advertisement
PENYELESAIAN HARTA BERSAMA DALAM PERCERAIAN
(Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Perkara No: 126/Pdt.G/2013/PTA.JK)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
SEFRIANES M DUMBELA
NIM. 1110044100020
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( AHWAL SYAKHSIYYAH )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015 M
ABSTRAK
Sefrianes M Dumbela. NIM 1110044100020. PENYELESAIAN HARTA
BERSAMA DALAM PERCERAIAN (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta No. 126/Pdt.G/2013/PTA.JK). Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015. x + 84 halaman
+ 5 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui mengapa Hakim menetapkan 1/3
bagian untuk suami dan 2/3 bagian untuk istri dari harta bersama dalam putusan
Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, tinjauan hukum positif, dan tinjauan fikih
terhadap putusan tersebut.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan dengan
pendekatan kualitatif. Sumber data primer berupa wawancara hakim Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta. Dan teknik penulisannya berdasarkan pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Studi ini membuktikan bahwa istri mendapatkan bagian harta bersama
lebih besar dari pada suami karena harta bersama tersebut adalah hasil jerih payah
dari istri, sedang suami hanya mengurusi anak dan memberi izin istri untuk
bekerja. Hal ini telah sesuai dan tidak berbenturan dengan hukum positif di
Indonesia, baik KUHPer, Undang-undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam,
dan peraturan lainnya. Dalam hukum positif, suami yang berkewajiban memberi
nafkah keluarga, namun dalam perkara tersebut istri lah yang bekerja mencari
nafkah untuk keluarga. Dalam tinjauan fikih pun, putusan ini telah sesuai dan
tidak bertentangan dengan syariat Islam, baik dilihat dari al-Qur’an, hadits, dan
pendapat Ulama. Hukum Islam mewajibkan suami memberi nafkah kepada
keluarga, namun pada perkara tersebut istri lah yang mencukupi nafkah keluarga.
Kata kunci: Cerai Gugat, Harta Bersama, Banding, dan Pengadilan Tinggi Agama.
Pembimbing
Daftar Pustaka
: Hotnidah Nasution, M.A
: Tahun 1965 s/d 2008
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., Sang Pencipta
alam raya, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat serta salam
senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis, yakni
Ayahanda Supriadi Dumbela dan Ibunda Hj. Riamti Bora, M.Pd., karena dengan
kasih sayang mereka saya bisa sampai mengenyam studi hingga kini. Kemudian,
saya persembahkan juga teruntuk adinda Putri Agriani Dumbela, semoga lancar
selalu studinya di Universitas Indonesia, dan adinda Martno Muhammad
Dumbela, semoga dimudahkan oleh Allah SWT. dalam studinya di Universitas
Negeri Gorontalo.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis temukan,
namun berkat usaha dan tentunya juga doa, akhirnya penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini. Namun tentunya, penulis tidak akan bisa melakukan semuanya tanpa
ada bantuan dari pihak-pihak lain yang telah bersedia membantu dan mendoakan
penulis. Oleh karena itu, melalui kata pengantar ini, penulis ingin mengucapkan
terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Dr. H. Abdul Halim, MA dan Arip Purkon, MA, selaku Ketua dan
Sekretaris Prodi Ahwal Al-Syahkhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3.
Hotnidah Nasution, MA., yang merupakan dosen pembimbing penulis,
yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk
membimbing penulis. Terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk beliau.
Semoga selalu dilimpahkan kesehatan dan keberkahan kepada ibu dan
keluarga.
4.
Kepada segenap Civitas Akademika Prodi Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Huku, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah memberikan segalanya untuk penulis selama berada di bangku
perkuliahan
5.
Terima kasih untuk partner penulis, yakni Handieni Fajrianty, S.Kom.I
yang selalu menemani, mendorong, dan mendoakan penulis.
6.
Kepada Hj. Maria Ulfa, MA, selaku pengasuh ponpes Baitul Qurro, Riton
Igisani, MA, H. Dasrizal, MA, Hj. Rahmawati Hunawa, MA, dan
Mohammad Husein, MA, sebagai kakak-kakak bagi penulis yang telah
menjadi motivator bagi penulis. Juga segenap teman-teman ponpes Baitul
yang tidak mungkin disebutkan semuanya.
7.
Sahabat-sahabat seperjuangan penulis, Irfan Helmi, Irfan Zidni, Ircham
Maha Putra, Ivan Rb, dan
semua teman-teman Peradialan Agama
angkatan 2010. Serta kepada teman-teman KKN (STMJ), kalian luar biasa.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
sebaik-baiknya.
vii
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 24 September 2015
Sefrianes M Dumbela
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJ .................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .....................................................................................iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR..............................................................................................vi
DAFTAR ISI.............................................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xi
BAB IPENDAHULUAN..........................................................................................1
A. LatarBelakangMasalah................................................................. 1
B. BatasandanRumusanMasalah....................................................... 8
C. TujuandanManfaatPenelitian .......................................................9
D. MetodePenelitian..........................................................................10
E. TinjauanKajianTerdahulu ............................................................13
F. SistematikaPenulisan ................................................................... 15
BAB II
HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN ...........................17
A. PengertianHartaBersama.............................................................. 17
B. DasarHukumHartaBersama..........................................................20
C. RuangLingkupHartaBersama.......................................................24
D. TerbentuknyaHartaBersama.........................................................29
E. HakdanTanggungJawabSuamiIstriTerhadapHartaBersama ........ 30
F. PembagianHartaBersamaDalamPerceraian..................................33
ix
BAB III
GAMBARAN UMUM PENGADILAN TINGGI AGAMA
JAKARTA......................................................................................... 38
A. SejarahPengadilanTinggi Agama Jakarta. ................................... 38
B. Tugas-tugasPokokPengadilanTinggi Agama Jakarta...................41
C. Kewenangan Absolut PengadilanTinggi Agama Jakarta ............. 42
D. ProsedurPengajuanPerkara di PengadilanTinggi Agama Jakarta 44
BAB IV
ANALISIS TERHADAP SENGKETA HARTA BERSAMA
PUTUSAN NOMOR 126/Pdt.G/2013/PTA.JK ............................. 48
A. GambaranUmumPutusanNomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK .........48
B. TinjauanHukumPositifTerhadapPutusanNomor
126/Pdt.G/2013/PTAJK ................................................................57
C. TinjauanFikihTerhadapPutusanNomor
126/Pdt.G/2013/PTA.JK ..............................................................69
BAB VPENUTUP..................................................................................................... 77
A. Kesimpulan .................................................................................. 77
B. Saran-saran...................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................80
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................... 83
1. LampiranTentangMohonKesediaanPembimbing .......................................... 83
2. LampiranTentangSuratPermohonan Data kepada PTA Jakarta..................... 84
3. LampiranTentangSuratJawabandari PTA Jakarta.......................................... 85
4. Lampiran Pertanyaan Wawancara Hakim PTA Jakarta.................................86
5. Lampiran Jawaban Wawancara Hakim PTA Jakarta.....................................87
DAFTAR LAMPIRAN
x
1. LampiranTentangMohonKesediaanPembimbing
2. LampiranTentangSuratPermohonan Data
3. LampiranTentangSuratJawabandari PTA Jakarta
4. Lampiran Pertanyaan Wawancara Hakim PTA Jakarta
5. Lampiran Jawaban Wawancara Hakim PTA Jakarta
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang perkawinan erat hubungannya dengan kehidupan
manusia itu sendiri, karena perkawinan itu merupakan proses untuk menjalani
hidup berkeluarga bagi setiap orang yang menghendaki adanya keseimbangan
lahir dan bathin selaras antara rohani dan jasmani.1 Hukum perkawinan
mengatur hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, dimulai
dari akad pernikahan hingga pernikahan itu berakhir dengan karena kematian,
perceraian dan lain sebagainya. Bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila
telah memiliki peraturan tentang perkawinan nasional yaitu Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, yang telah dimuat dalam lembaran negara No. 1 Tahun
1974, yang sifatnya dikatakan menampung sendi-sendi dan memberikan
landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku
bagi berbagai golongan masyarakat yang berbeda.2
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.3 Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan
1
Surojo Wignodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung,
1982), h.149.
2
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan,
Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.2.
3
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1, Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. DEPAG RI, 2001.
1
2
kesinambungan sebuah perkawinan tidaklah mudah, berbagai godaan dan
rintangan siap menghadang bahtera perkawinan, sehingga sewaktu-waktu
perkawinan dapat putus di tengah jalan. Putusnya perkawinan dapat terjadi
karena berbagai hal, baik karena meninggal dunia atau faktor lain seperti :
faktor biologis, psikologis, ekonomis serta perbedaan pandangan hidup dan
sebagainya,
seringkali
merupakan
pemicu
timbulnya
konflik
dalam
perkawinan.
Jika faktor-faktor tersebut dapat diselesaikan dengan baik, maka akan
dapat mempertahankan mahligai perkawinannya. Namun sebaliknya, jika
faktor-faktor tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan timbul perceraian
sebagai jalan keluar terakhir yang akan ditempuhnya. Perceraian menurut
hukum Islam pada prinsipnya dilarang, hal ini dapat dilihat pada isyarat sabda
Nabi Muhammad SAW, bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal
namun dibenci oleh Allah. Dari Ibn Umar r.a., berkata: bahwasanya Nabi
Muhammad SAW bersabda: "Sesuatu perbuatan yang halal yang paling
dibenci Allah adalah talak (perceraian)." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majjah
dan al-Hakim dari Ibnu Umar).
Oleh karena itu, isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian
merupakan alternatif terakhir sebagai "pintu darurat" yang boleh ditempuh,
manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan
keutuhan dan kesinambungannya. Setelah terjadi perceraian bukan berarti
persoalan-persoalan rumah tangga langsung berakhir, justeru dengan adanya
perceraian banyak persoalan yang harus diselesaikan oleh suami istri, salah
3
satunya adalah mengenai persoalan harta bersama dan pengaturannya. 4 Salah
satu isi Kompilasi Hukum Islam khususnya dalam buku I tentang Perkawinan,
membahas perihal harta kekayaan dalam perkawinan. Permasalahan ini
dianggap penting untuk dicantumkan dalam KHI, mengingat dunia
perkawinan selain berbicara mengenai ketenangan hidup juga tidak terlepas
dari segala kemungkinan yang pahit dalam kehiupan yang rumah tangga.
Perceraian, salah satu sengketa rumah tangga yang terburuk yang mungkin
terjadi bagi siapa saja, perlu mendapat antisipasi dan pembelajaran
sebelumnya agar para pasangan suami-istri merasa siap dalam menghadapi
konflik-konflik yang mungkin terjadi di kemudian hari, termasuk masalah
pembagian harta bersama ketika terjadi perceraian.
Pada saat perkawinan terjadi, maka antara suami istri telah terikat dalam
sebuah keluarga. Sering terjadi antara suami istri mencari penghasilan
bersama sehingga timbul harta kekayaan dalam keluarga. Harta kekayaan
dalam perkawinan bisa berupa harta yang dihasilkan istri maupun yang
dihasilkan suami pada saat perkawinan juga berupa harta bawaan suami istri
sebelum perkawinan.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan) Pasal 35 ayat (1)
menyatakan: “Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama
perkawinan”. Sedangkan pasal 35 ayat (2) menyatakan: “Harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masingmasing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing4
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
h.269.
4
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”5
Sedangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 85 disebutkan, adanya harta bersama dalam perkawinan itu
tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau
istri. Dalam pasal 86 KHI disebutkan, pada dasarnya tidak ada percampuran
antara harta suami dan harta istri. Harta istri tetap menjadi milik istri dan
dikuasai sepenuhnya oleh istri, begitu juga sebaliknya. Dalam pasal 88
disebutkan, jika terjadi perselisihan tentang harta bersama antara suami istri,
penyelesaiannya adalah di pengadilan.6 Dari kenyataan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa, yang termasuk harta kekayaan dalam perkawinan adalah:
1. Harta bersama suami istri.
2. Harta pribadi masing-masing suami istri.
Hukum Islam tidak mengenal harta bersama dalam perkawinan. Dalam
hukum Islam dijelaskan bahwa dalam perkawinan laki-laki berkewajiban
memberi nafkah kepada wanita dan keluarganya. Berdasarkan firman Allah
SWT dalam Q.S. al-Nisa (4):34, wanita diwajibkan menjaga apa yang telah
diberikan laki-laki (suami) kepadanya dengan sebaik mungkin.
Akan tetapi karena menurut agama Islam dengan perkawinan menjadilah
sang istri syarikat al-rajuli fi al-hayati (kongsi sekutu seorang suami dalam
melayani bahtera hidup). Maka antara suami istri terjadilah syirkah almufawwadlah atau perkongsian tak terbatas. Jika selama perkawinan
5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 35, Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. DEPAG RI, 2001.
6
h.146.
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, cet. ke-1 (Bandung: Pustaka Setia, 2000),
5
memperoleh harta, maka harta tersebut adalah harta syirkah yaitu harta
bersama yang menjadi milik bersama dari suami istri. Oleh karena masalah
pencarian bersama suami istri adalah termasuk perkongsian atau syirkah,
maka untuk mengetahui hukumnya perlu dibahas lebih dahulu tentang macammacam perkongsian sebagaimana telah dibicarakan oleh para ulama dalam
kitab fikih.7
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
sebagai pencari keadilan bagi yang beragama Islam, mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang. Tugas dan kewenangan Peradilan
Agama yaitu, memeriksa, memutuskan, menyelesaikan perkara-perkara
perdata bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, sedekah, dan
ekonomi syariah. Dengan demikian, kewenangan Peradilan Agama tersebut
sekaligus dikaitkan dengan asas personalitas keislaman, yaitu yang dapat
ditundukkan ke dalam kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka
yang beragama Islam.8
Didalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49,
dalam penjelasannya disebutkan bahwa, kewenangan Peradilan Agama
diperluas meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,
7
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta,
PT Kencana Prenada Media Group, 2006), h.111.
8
Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet. ke-1,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 106.
6
sedekah, dan ekonomi syari’ah.9
Dalam bidang perkawinan, Peradilan Agama mempunyai wewenang untuk
mengadili dan menyelesaikan masalah sengketa keluarga dan harta dalam
perkawinan, dan penetapan mengenai status hukum seseorang dalam keluarga
maupun status harta perkawinan. Perkara-perkara dalam bidang perkawinan
berlaku hukum acara perdata khusus dan selebihnya berlaku hukum acara
perdata pada umumnya. Hukum acara khusus ini meliputi kewenangan relatif
Pengadilan Agama, pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian dan biaya perkara
serta pelaksanaan putusan.10
Meskipun dalam hukum Islam tidak mengatur masalah harta bersama,
bukan berarti Peradilan Agama tidak berwenang untuk menangani masalah
harta bersama. Karena dalam hukum positif telah mengatur tegas tugas dan
wewenang Peradilan Agama. Perselisihan masalah harta bersama dalam
perkawinan pernah diproses oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta pada
tingkat banding. Pada tahun 2013 Pengadilan Tinggi Agama Jakarta telah
menangani perselisihan pembagian harta bersama yaitu dalam putusan Nomor
126/Pdt.G/2013/PTA.JK.
Sengketa harta bersama yang telah ditangani di lingkungan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta pada tingkat banding tentu melalui proses yang panjang
dengan berbagai alasan yang terjadi antara suami istri. Dan juga hakim dalam
menemukan suatu hukum tentu melalui alasan-alasan yang menjadi dasar
9
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
10
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. ke-2 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), h.9.
7
dalam membuat putusan dan juga melalui pertimbangn-pertimbangan maupun
ijtihad yang mendalam agar putusan hakim itu tepat dan benar. Pasal 62
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan:
“Segala penetapan dan putusan pengadilan, selain harus memuat alasanalasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
Dalam syari’at Islam seorang hakim dianjurkan untuk berlaku adil dalam
memutus
suatu
putusan.
Segala
keputusan
yang
diambil
harus
dipertimbangkan dengan baik. Pertimbangan yang baik harus sesuai dengan
aturan-aturan yang ditetapkan oleh syara’, dan diharapkan pertimbangan
hakim harus dihubungkan dengan kemaslahatan masyarakat. Hakim sebagai
penegak keadilan harus memutuskan suatu perkara sesuai yang ditetapkan
oleh syari’at. Syari’at mengajarkan dalam menyelesaikan perselisihan hakim
tidak mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Apabila hukum ditegakkan secara adil sesuai dengan ajaran syari'at, maka
akan tercipta perdamaian dalam masyarakat. Perselisihan harta bersama yang
ditangani oleh hakim juga harus diselesaikan secara adil tanpa memihak salah
satu pihak. Penentuan status dan kepemilikan harta bersama harus dilakukan
secara teliti dan adil sesuai yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan
tidak menyimpang dari ketentuan syara’. Hal inilah yang membuat penulis
berkeinginan untuk mengkaji secara mendalam tentang putusan hakim
terhadap kasus sengketa harta bersama yang terjadi di lingkungan Pengadilan
8
Tinggi Agama Jakarta pada tingkat banding. Berangkat dari latar belakang
masalah tersebut di atas, maka penulis mengadakan penelitian tentang
sengketa harta bersama dengan judul, “PENYELESAIAN HARTA
BERSAMA DALAM PERCERAIAN (Analisis Terhadap Putusan
Pengadilan
Tinggi
Agama
Jakarta
Perkara
No.
126/Pdt.G/2013/PTA.JK).”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, maka penulis memberikan
batasan lingkup permasalahan pada pembagian harta bersama dalam pokok
bahasan analisis terhadap putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Perkara No: 126/Pdt.G/2013/PTA.JK.
2. Rumusan Masalah
Di dalam Kompilasi Hukum Islam atau Inpres Nomor 1 Tahun 1991
pasal 97: “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.” Artinya ketika telah putus perkawinan, maka harta bersama
harus dibagi ½ untuk masing-masing suami dan istri. Akan tetapi, pada
tingkat banding di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, hakim dalam
putusannya nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK menetapkan harta bersama,
1/3 bagian untuk suami dan 2/3 bagian untuk istri.
Penulis merinci rumusan masalah tersebut
pertanyaan sebagai berikut:
dalam beberapa
9
a. Mengapa hakim menetapkan harta bersama 1/3 bagian untuk suami
dan
2/3
bagian
untuk
istri
dalam
putusan
nomor
126/Pdt.G/2013/PTA.JK ?
b. Bagaimana
tinjauan
hukum
positif
terhadap
putusan
nomor
126/Pdt.G/2013/PTA.JK ?
c. Bagaimana
tinjauan
fikih
terhadap
putusan
nomor
126/Pdt.G/2013/PTA.JK ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun hasil yang hendak di capai dari penelitian ini adalah
terjawabnya semua permasalahan yang dirumuskan, yaitu:
a. Mengapa Hakim menetapkan harta bersama 1/3 bagian untuk suami
dan
2/3
bagian
untuk
istri
dalam
putusan
nomor
hukum
positif
terhadap
putusan
nomor
fikih
terhadap
putusan
nomor
126/Pdt.G/2013/PTA.JK
b. Bagaimana
tinjauan
126/Pdt.G/2013/PTA.JK
c. Bagaimana
tinjauan
hukum
126/Pdt.G/2013/PTA.JK
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, hasil studi ini diharapkan
bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi masyarakat pada
umumnya, yaitu:
a. Secara Akademik
10
Menambah ilmu pengetahuan di bidang hukum perdata serta
mengembangkan ilmu di bidang syariah, khususnya dalam bidang
perkawinan mengenai pembagian harta bersama diakibatkan karena
perceraian.
b. Secara Lembaga Pustaka
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah
dalam memperkaya studi analisis yurisprudensi.
c. Secara Pribadi
Untuk memperluas pengetahuan hukum bagi penulis, khususnya
mengenai Keperdataan Islam di bidang kewarisan serta meningkatkan
kualitas penulis dalam membuat karya tulis ilmiah serta untuk
memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar S1 dalam bidang
hukum Islam.
d. Secara Umum
Pengembangan wawasan hukum terhadap perkara-perkara yang ada
pada perkawinan yaitu perkara pembagian harta bersama diakibatkan
karena perceraian.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang ditempuh oleh penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penulisan, sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
a. Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
11
deskriptif berupa ucapan, tulisan, atau perilaku yang dapat diamati dari
subjek itu sendiri (hakim yang menetapkan perkara yang penulis teliti).
b. Penelitian Kepustakaan
Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan pengkajian dari bukubuku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini
yang dianalisis data-datanya.
c. Studi Lapangan
Untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif dari tempat
penelitian dengan cara observasi langsung.
2. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer yaitu melakukan wawancara dengan hakim yang
menetapkan perkara yang penulis teliti.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet dan
beberapa
hasil
penelitian
yang
berhubungan
dengan
perkara
pembagian atau penyelesaian harta bersama dalam perceraian yang
diselesaikan dengan pandangan hakim serta pandangan-pandangan
hukum positif dan hukum Islam terkait harta bersama.
Studi kepustakaan (library reseach), yaitu untuk memperoleh landasan
teoritis yang ada kaitannya dengan judul penulis yang dibahas, dimana
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, makalah,
artikel maupun website.
12
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
a. Menganalisis putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor
126/Pdt.G/2013/PTA.JK
dan
studi
menelusuri
serta
literatur
buku-buku
dokumentasi
yang
dengan
berkaitan
cara
dengan
permasalahan yang dibahas.
b. Wawancara yaitu dengan mengumpulkan data yang dilakukan penulis
dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang
telah dipilih sebelumnya yaitu hakim Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta.
4. Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara mengedit data, lalu
data yang sudah diedit tadi dikelompokkan dan diberikan pengkodean dan
disusun berdasarkan kategorisasi serta diklasifikasikan berdasarkan
permasalahan yang dirumuskan secara deduktif. Dari data yang diperoleh
selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
5. Teknik Analisis Data
Bahan yang telah diperoleh, lalu diuraikan dan dihubungkan
dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sistematis dalam menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Data-data tersebut lalu dianalisis,
sehingga membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang
berguna.
6. Teknik Penulisan Skripsi
13
Teknik penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu
dengan cara menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data
yang ada, lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan.
Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah tahun 2012 serta penulisan ayat alQur’an dan al-Hadits ditulis satu spasi, termasuk terjemahan al-Qur’an dan
al-Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi meskipun kurang dari
enam baris dan penulisan skripsi ini menggunakan ejaan yang
disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang dan daftar pustaka ditulis
diawal.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
1. Rhezza Pahlawi, Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama
Tahun 2013, Penyelesaian sengketa harta bersama melalui Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri di Jakarta Selatan.
Mengetahui bagaimana hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri memutus perkara harta bersama. Pada penelitian ini penulis
memilih
objek
penelitian
berupa
putusan
Perkara
Nomor:
2803/Pdt.G/2011/PA.JS di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan
Perkara Nomor: 402/Pdt.G/2000/PN.Jak.Sel di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan gabungan antara
penelitian hukum normatif dan penelitian yuridis empiris. Skripsi ini lebih
mengacu kepada praktik penyelesaian sengketa harta bersama di
14
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri di Jakarta
Selatan.
2. Marlianita, Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama Tahun
2014, Penyelesaian gugatan harta bersama pasca perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Mengetahui bagaimana hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
menyeselesaikan perkara sengketa harta bersama. Skripsi ini lebih
mengacu kepada praktik penyelesaian sengketa harta bersama di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan mengumpulkan sejumlah
putusan tentang harta bersama di pengadilan agama tingkat pertama,
dalam hal ini PA Jakarta Selatan.
3. Miftah Ulhaq T, Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama
Tahun 2009, Sita marital terhadap harta bersama yang berada dalam
hipotik bank: analisis putusan pengadilan agama Tanjungkarang nomor
225/Pdt.G/2006/PA.Tnk.
Menyajikan analisis putusan pengadilan agama Tanjungkarang
nomor 225/Pdt.G/2006/PA.Tnk tentang sita marital terhadap harta
bersama menurut hukum yang berlaku. Skripsi ini lebih mengacu kepada
praktik penyelesaian sengketa harta bersama di Pengadilan Agama
Tanjung Karang.
4. Siti Mushofah, Akhwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama
Tahun 2008, Proses Pembagian Harta Bersama Melalui Perdamaian Di
Depan Sidang: analisis Putusan No.1585/Pdt.G/2007/PA.JT.
15
Menyajikan analisis putusan No.1585/Pdt.G/2007/PA.JT tentang
Proses Pembagian Harta Bersama Melalui Perdamaian Di Depan Sidang.
Skripsi ini lebih mengacu kepada praktik penyelesaian sengketa harta
bersama di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
Dari review yang saya lakukan, terlihat bahwa para peneliti memang
sudah banyak yang membahas mengenai masalah pembagian harta bersama
akibat putusnya perkawinan. Dari kasus peneliti diatas, maka penulis sangat
membedakan penelitian dalam masalah harta bersama ini yaitu berdasarkan
putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Tahun 2013. Ketidakserasian dalam
penerapan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama, menarik sekali
bagi penulis untuk membahasnya, dikarenakan penelitian-penelitian yang
telah dilakukan sebelum pembahasan skripsi ini memberikan inspirasi pada
penulis untuk mengkaji lebih lanjut ditinjau dari segi mana dan apa yang
menjadi dasar seorang hakim dalam memutuskan pembagian harta bersama.
Penulis ingin lebih fokus dengan analisis terhadap Putusan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta Perkara No: 126/Pdt.G/2013/PTA.JK tentang
penyelesaian harta bersama dalam perceraian agar pembahasan skripsi ini
tidak melebar. Dengan demikian penulis menggarisbawahi bahwasannya
bahasan ini tidak ada kesamaan isi dan pertimbangan hakim karena
berdasarkan data yang diperoleh di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
16
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu
sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, kajian tinjauan terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisikan tinjauan umum tentang harta bersama dalam
perkawinan yang meliputi pengertian harta bersama, dasar hukum harta
bersama, ruang lingkup harta bersama, terbentuknya harta bersama, hak dan
tanggung jawab suami istri terhadap harta bersama, dan pembagian harta
bersama dalam perceraian.
Bab ketiga berisikan gambaran umum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
yang meliputi sejarah PTA Jakarta, tugas-tugas pokok PTA Jakarta,
kewenangan absolut PTA Jakarta, dan prosedur pengajuan perkara di PTA
Jakarta.
Bab keempat mengenai analisis penulis terhadap sengketa harta
bersama pada putusan nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK yang meliputi
gambaran umum putusan nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, tinjauan hukum
positif terhadap putusan nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, dan tinjauan fikih
terhadap putusan nomor 126/Pdt.G/2013.PTA.JK.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan
saran-saran.
17
BAB II
HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian Harta Bersama
Di dalam Al-Qur’an maupun hadits tidak memberi ketentuan dengan
tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama perkawinan
berlangsung sepenuhnya menjadi hak suami, dan hak istri, hanya terbatas atas
nafkah yang diberikan suami. Dalam waktu yang sama Al-Qur’an dan hadits
juga tidak menegaskan bahwa harta benda yang diperoleh suami dalam
perkawinan, secara langsung istri juga ikut berhak atasnya. Dalam
menentukan apakah harta benda yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung menjadi harta bersama atau tidak, termasuk masalah ijtihadiyyah,
masalah
yang
termasuk
dalam
daerah
wewenang
manusia
untuk
menentukannya, bersumber kepada jiwa ajaran Islam.1
Hukum Islam memberi hak kepada masing-masing suami istri untuk
memiliki harta benda secara perseorangan, yang tidak dapat diganggu oleh
pihak lain. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya tanpa
ikut sertanya istri berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu.
Demikian pula halnya istri yang menerima pemeberian, warisan, mahar dan
sebagainya tanpa ikut sertanya suami berhak menguasai sepenuhnya harta
benda yang diterimanya itu.
Harta bawaan yang telah mereka miliki sebelum terjadi perkawinan
1
Ahmad Azhar Basyir, M.A, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000),
h.66.
17
18
juga menjadi hak masing-masing.2 Apabila kita memperhatikan ketentuan
hukum Islam yang menyangkut hak istri atas nafkah yang wajib dipenuhi
suaminya, sebagaimana ditentukan baik dalam Al-Qur’an maupun dalam
hadits, pada dasarnya hukum Islam menentukan bahwa harta milik istri selama
dalam perkawinan adalah berupa harta yang berasal dari suami sebagai nafkah
hidupnya. Kecuali itu apabila suami memberikan sesuatu kepada istri berupa
harta benda yang menurut adat kebiasaan khusus menjadi milik istri, seperti
mesin jahit, alat-alat rias, dan sebagainya, harta benda itu menjadi milik istri.
Adapun harta benda yang menurut adat kebiasaan tidak khusus milik istri
seperti perabot rumah tangga, meja kursi , almari dan sebagainya, tetap
menjadi milik suami. Ketentuan ini berlaku apabila yang bekerja
mencukupkan kebutuhan keluarga hanya suami, istri tidak ikut sama sekali.
Menurut ajaran Islam yang bertanggung jawab secara hukum untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga, menyediakan peralatan rumah tangga
seperti tempat tidur, perabot dapur dan sebagainya adalah suami. Istri dalam
hal ini tidak mempunyai tanggung jawab, sekalipun mahar yang diterimanya
cukup besar, lebih besar daripada pembelian peralatan rumah tangga tersebut.
Hal ini karena mahar itu menjadi hak perempuan sebagai imbalan dari
penyerahan dirinya kepada suami. Jadi mahar adalah hak mutlak bagi istri
bukan bagi ayahnya atau suaminya, sehingga tidak ada seorangpun yang lebih
berhak selain dirinya. Islam mengajarkan agar dalam pembelanjaan harta
untuk kepentingan-kepentingan yang bukan rutin, selalu dimusyawarahkan
antara suami dan istri.
2
Soermiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkwinan, (Yogyakarta:
Liberty, 1997), h.102.
19
Hal ini amat penting agar keserasian hidup perkawinan dapat tercapai.
Antara suami dan istri hendaklah senantiasa saling bersikap terbuka. Apa yang
menjadi keinginan istri diketahui suami, demikian pula sebaliknya yang
menjadi keinginan suami diketahui oleh istri. Adanya harta bersama dalam
perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing
suami atau istri. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan
harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai
penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya. Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan
harta yang diperoleh masing-masing sebelum perkawinan adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam
perjanjian kawin.3 Di dalam pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta
yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.4
Dari pengertian mengenai harta bersama sebagaimana tersebut di atas,
jelaslah bahwa harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama
perkawinan di luar warisan atau hadiah, maksudnya adalah harta yang
diperoleh atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan setelah
terjadinya suatu perkawinan yang akan membawa konsekuensi terhadap
kedudukan harta benda, baik harta tetap maupun harta yang bergerak yang
3
Slamet Abidin Aminuddin, Fikih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.182.
4
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h.15.
20
diperoleh sepanjang perkawinan adalah menjadi hak bersama antara suami
istri tanpa membedakan ataupun mempermasalahkan siapa yang bekerja, siapa
yang memperoleh uang yang digunakan untuk membeli harta benda tersebut
dan juga tanpa mempersoalkan harta benda tersebut diatasnamakan suami
maupun istri.5
Mengenai pengertian harta bersama disamping terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam, juga terdapat dalam pasal 35 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, ayat (1) menyatakan: “Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”, sedang ayat (2)
menyatakan: “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.”6
Dari ketentuan pasal 35 Undang-undang tentang Perkawinan
sebagaimana tersebut diatas, mengandung makna suatu perkawinan yang
diselenggarakan tanpa perjanjian kawin mengakibatkan timbulnya harta
persatuan atau harta bersama/harta gono-gini.
B. Dasar Hukum Harta Bersama
Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan
antara suami dan istri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat-
5
Ahnad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
h.200.
6
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun 2001.
21
istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian
didukung oleh hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di negara kita.7
Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undangundang dan peraturan berikut.
1. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1),
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta
benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan
yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta
bersama.
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 119, disebutkan bahwa
“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi
harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama
itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah
dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
3. Kompilasi Hukum Islam pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta
bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami istri.” Di dalam pasal ini disebutkan
adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-istri.
Hukum Islam mengakui adanya harta yang merupakan hak milik bagi
setiap orang, baik mengenai pengurusan dan penggunaannya maupun untuk
7
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Jakarta:
Visimedia, 2003), h.8.
22
melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas harta tersebut sepanjang tidak
bertentangan dengan syariat Islam. Disamping itu juga diberi kemungkinan
adanya suatu serikat kerja antara suami-istri dalam mencari harta kekayaan.
Oleh karenanya apabila terjadi perceraian antara suami istri, harta kekayaan
tersebut dibagi menurut hukum Islam dengan kaidah hukum “Tidak ada
kemudharatan dan tidak boleh memudharatkan”. Dari kaidah hukum ini jalan
terbaik untuk menyelesaikan harta bersama adalah dengan membagi harta
tersebut secara adil.8
Dari sisi hukum Islam, baik ahli hukum kelompok Syafi’iyah maupun para
ulama yang paling banyak diikuti oleh ulama lain, tidak ada satupun yang
sudah membahas masalah harta bersama dalam perkawinan, sebagaimana
yang dipahami oleh hukum adat. Dalam Al-Quran dan sunnah, harta bersama
tidak diatur dan tidak ada pembahasannya. Harta kekayaan istri tetap menjadi
milik istri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga sebaliknya, harta suami
tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya.9
Dalam kitab-kitab fikih imam mahzab, hanya ditemui pembahasan bahwa
masing-masing harta suami istri terpisah tidak ada penggabungan harta setelah
pernikahan terjadi, suami hanya berkewajiban menafkahi istri. Dasar
hukumnya adalah Q.S. al-Nisa’ (4): 32, yaitu:
8
Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam,(Surabaya: Mandar
Maju, 1997), h.34.
9
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan
Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 2007), h.127.
23
               
‫ )اﻟﻨّﺴﺎء‬              
(٣٢:
Artinya:“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Nisa’ : 32)
Namun kalau dilihat dari sisi teknisnya kepemilikan harta secara
bersamaan antara suami dan istri dalam kehidupan perkawinan tersebut dapat
disamakan dengan bentuk kerja sama, atau dalam istilah fikih muamalah dapat
dikategorikan sebagai syirkah, yaitu akad antara dua pihak yang saling
berserikat dalam hal modal dan keuntungan.10 Atau bisa juga disebut join
antara suami istri dan telah banyak dibahas dalam kitab-kitab fikih, tetapi
tidak dalam bab nikah melainkan pada bab buyu’. Syirkah digolongkan
sebagai suatu usaha yang sah oleh para ahli hukum Islam sepanjang tidak ada
kecurangan atau ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.
Macam-macam syirkah: Pada dasarnya syirkah terbagi menjadi dua, yaitu
syirkah amlak dan syirkah uqud.11 Fuqaha hanafiyyah membedakan jenis
syirkah menjadi tiga macam, yaitu syirkah al-amwal, a’mal dan wujuh, dan
masing-masing bisa bercorak muwafadhah dan inan. Sedangkan fuqaha
Hanabilah
membedakan
menjadi
lima macam,
yaitu
syirkah
inan,
muwafadhah, abdan, wujuh dan mudharabah. Adapun fuqaha Malikiyah dan
10
Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, (Beirut: Dar al Fikr, 1983), h.294.
11
Ghufron A. Mashadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo), h.93.
24
Syafi’iyah membedakan menjadi empat jenis, yaitu inan, muwafadhah, abdan
dan wujuh.
Dari macam-macam syirkah di atas, dibagi menjadi dua kategori: Pertama,
syirkah al-amwal, al-a’mal atau al-abdan dan al-wujuh. Pembagian syirkah ini
dalam kategori materi syirkah, sedangkan syirkah inan, muwafadhah dan
mudharabah dalam pembagian dari segi posisi dan komposisi saham.12
C. Ruang Lingkup Harta Bersama
Perkawinan tidak menjadikan hak kepemilikan harta suami atau istri
menjadi berkurang atau hilang. Suami istri tetap mempunyai hak penuh
terhadap hartanya masing-masing. Akan tetapi, dimungkinkan dalam suatu
perkawinan, suami istri mengadakan perjanjian percampuran harta kekayaan
yang diperoleh suami atau istri selama dalam hubungan perkawinan atas usaha
suami atau istri sendiri-sendiri atau atas usaha bersama-sama.13
Menurut Sayuti Thalib, terjadinya percampuran harta dapat dilaksanakan
dengan mengadakan perjanjian secara nyata-nyata tertulis atau diucapkan
sebelum atau sesudah berlangsungnya akad nikah dalam suatu perkawinan,
baik untuk harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh selama
dalam perkawinan tetapi bukan atas usaha mereka sendiri ataupun harta
pencaharian. Dapat pula ditetapkan dengan undang-undang atau peraturan
perundangan, bahwa harta yang diperoleh atas usaha salah seorang suami atau
12
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Daar al-Fikr,
Juz III, (terjemahan), 1990 M/1410 H), h.79.
13
Soemiyati, Hukum perkawinan, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang
Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1997), h.100.
25
istri atau kedua-duanya dalam masa adanya hubungan perkawinan yaitu harta
pencaharian adalah harta bersama suami istri tersebut.14
Di samping dengan dua cara tersebut di atas, percampuran harta
kekayaan suami istri dapat pula terjadi dengan kenyataan kehidupan suami
istri itu. Dengan cara diam-diam memang telah terjadi percampuran harta
kekayaan, apabila kenyataan suami istri itu bersatu dalam mencari hidup dan
membiayai hidup. Mencari hidup tidak hanya diartikan mereka yang bergerak
keluar rumah berusaha dengan nyata. Akan tetapi, harus juga dilihat dari sudut
pembagian kerja dalam keluarga.15
Menurut pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa
harta bersama meliputi harta-harta yang diperoleh suami istri sepanjang
perkawinan saja. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan dan sesudah
perceraian menjadi harta pribadi masing-masing. Hadiah, hibah, wasiat dan
warisan menjadi harta pribadi kecuali para pihak berkehendak untuk
memasukkan ke dalam harta bersama.16.
Kemudian
untuk
memperjelas
status
kepemilikan
harta
dalam
perkawinan, termasuk dalam harta bersama atau harta pribadi. Yahya Harahap
telah mengemukakan tentang ruang lingkup harta bersama yang diperoleh
selama perkawinan, yaitu:17
14
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1998), h.84.
15
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998) h.85.
16
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun 2001.
17
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), h.275-278.
26
1. Harta Yang Dibeli Selama Perkawinan
Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk
obyek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap
barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi obyek harta
bersama suami istri tanpa mempersoalkan apakah suami atau istri yang
membeli, apakah harta tersebut terdaftar atas nama suami atau istri dimana
harta tersebut terletak. Apa saja yang dibeli selama perkawinan
berlangsung otomatis menjadi harta bersama. Tidak menjadi soal siapa di
antara suami istri yang membeli. Juga tidak menjadi masalah atas nama
suami atau istri harta tersebut terdaftar. Juga tidak peduli apakah harta itu
terletak dimanapun. Yang penting, harta tersebut dibeli dalam masa
perkawinan, dengan sendirinya menurut hukum menjadi obyek harta
bersama.
Lain halnya jika uang yang digunakan untuk membeli barang tersebut
berasal dari harta pribadi suami atau istri, jika uang pembelian barang
tersebut secara murni berasal dari harta pribadi, barang yang dibeli tidak
termasuk obyek harta bersama. Harta yang seperti itu tetap menjadi milik
pribadi suami atau istri.
2. Harta Yang Dibeli Dan Dibangun Sesudah Perceraian Yang Dibiayai
Dari Harta Bersama
Patokan untuk menentukan sesuatu barang termasuk obyek harta bersama,
ditentukan oleh asal-usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang
yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah
27
terjadi perceraian. Misalnya suami istri selama perkawinan berlangsung
mempunyai harta dan uang simpanan, kemudian terjadi perceraian. Semua
harta dan uang simpanan dikuasai suami dan belum dilakukan pembagian.
Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun rumah.
Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun oleh suami
sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembelian atau biaya
pembangunan berasal dari harta bersama, maka barang hasil pembelian
atau pembangunan yang demikian tetap masuk kedalam obyek harta
bersama.
3. Harta Yang Dapat Dibuktikan Dan Diperoleh Selama Perkawinan
Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama. Semua harta
yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta
bersama. Namun kita sadar bahwa dalam sengketa perkara harta bersama,
tidak semulus dan sesederhana itu.
Pada umumnya, pada setiap perkara harta bersama, pihak yang
digugat selalu mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta
bersama, tetapi harta pribadi. Hak pemilikan tergugat bisa dialihkannya
berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah. Apabila tergugat
mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan apakah
suatu barang termasuk harta bersama atau tidak, ditentukan oleh
kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta
yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan
uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.
28
4. Penghasilan Harta Bersama Dan Harta Bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dari harta
bersama akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang
tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi obyek harta bersama
diantara suami istri, namun juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari
harta pribadi suami istri akan jatuh menjadi obyek harta bersama. Dengan
demikian, fungsi harta pribadi dalam perkawinan, ikut menopang dan
meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan kepemilikan
harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta
pribadi tidak terlepas dari fungsinya dan dari kepentingan keluarga.
Barang pokoknya memang tidak diganggu gugat, tapi hasil yang
tumbuh dari padanya jatuh menjadi obyek harta bersama. Ketentuan ini
berlaku sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Jika dalam perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai hasil
yang timbul dari harta pribadi seluruh hasil yang diperoleh dari harta
pribadi suami istri jatuh menjadi harta bersama. Misalnya rumah yang
dibeli dari harta pribadi, bukan jatuh menjadi harta pribadi, tetapi jatuh
menjadi harta bersama. Oleh karena itu, harus dibedakan harta yang dibeli
dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yeng diperoleh dari hasil
yang timbul dari harta pribadi. Dalam hal harta yang dibeli dari hasil
penjualan harta pribadi, tetapi secara mutlak menjadi harta pribadi.
29
5. Segala Penghasilan Pribadi Suami Istri
Segala penghasilan suami atau istri, baik yang diperoleh dari
keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan
masing-masing pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama
suami atau istri. Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami atau
istri
tidak
terjadi
pemisahan,
maka
dengan
sendirinya
terjadi
penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi
suami atau istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami atau istri tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
D. Terbentuknya Harta Bersama
Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah
menegaskan harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta
bersama, ini mengartikan syirkah atau harta bersama itu terbentuk sejak
tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan itu putus. Ketentuan
tentang satu barang atau benda masuk kedalam harta persatuan atau tidak
ditentukan oleh faktor selama perkawinan antara suami dan istri berlangsung,
barang menjadi harta bersama kecuali harta yang diperoleh berupa warisan,
wasiat dan hibah oleh satu pihak, harta ini menjadi harta pribadi yang
menerimanya.
Pasal 1 sub f jo pasal 85 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa
harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan, baik benda
itu terdaftar atas nama suami ataupun sebaliknya atas nama istri. Akan tetapi
akan menjadi barang pribadi apabila harta yang dipergunakan untuk membeli
30
benda tersebut mengunakan harta pribadi suami atau istri dengan kata lain
harta yang dibeli dengan harta yang berasal dari barang pribadi adalah milik
pribadi. Bisa juga terjadi suami istri memiliki harta bersama setelah terjadi
perceraian, dengan ketentuan bahwa uang yang dipergunakan untuk membeli
benda itu berasal dari atau harta bersama semasa perkawinan terdahulu,
sehingga ini juga akan tetap dibagi sama banyak.
E. Hak dan Tanggung Jawab Suami Istri Terhadap Harta Bersama
Ketentuan tentang harta bersama yaitu pasal 35 sampai dengan pasal 37
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 85 sampai dengan pasal 97
Kompilasi Hukum Islam, pada akhirnya menyangkut mengenai tanggung
jawab masing-masing suami istri antara mereka sendiri ataupun terhadap
pihak ketiga. Tanggung jawab dalam lingkup suami istri sendiri adalah
berkaitan dengan pemeliharaan harta bersama. KHI menjelaskan bahwa suami
bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya
sendiri. Istri juga turut bertanggung jawab terhadap harta bersama, maupun
harta suami yang ada padanya.
Dari ketentuan tersebut, dapat dimengerti bahwa suami istri mempunyai
tanggung jawab bersama dalam pemeliharaan harta bersama. Hal ini semata
dimaksudkan sebagai perwujudan penegakan kehidupan keluarga menuju
kehidupan sejahtera dan bahagia.
Tanggung jawab suami istri terhadap pihak ketiga adalah berkaitan
dengan penggunaan harta perkawinan. Dalam penggunaan harta perkawinan
tersebut dimungkinkan terdapat utang, baik utang bersama maupun utang
31
pribadi. Problem yang muncul kemudian adalah tanggung jawab terhadap
utang tersebut. Untuk mempertegas pembahasan mengenai utang dalam
perkawinan, lebih dahulu perlu dipahami makna utang dalam kapasitas pribadi
masing-masing suami istri ataupun utang bersama selama perkawinan.
Utang bersama merupakan semua utang-utang atau pengeluaranpengeluaran yang dibuat, baik oleh suami ataupun istri atau bersama-sama,
untuk kebutuhan kehidupan keluarga mereka, pengeluaran untuk kebutuhan
mereka bersama, termasuk pengeluaran sehari-hari. Sedangkan utang pribadi
merupakan utang-utang yang dibuat suami ataupun istri untuk kepentingan
pribadi mereka, yang bukan merupakan pengeluaran sehari-hari atau
pengeluaran untuk kepentingan harta pribadi mereka masing-masing.18
Berdasarkan hal tersebut, perihal tanggung jawab utang piutang masingmasing suami istri dapat timbul antara lain bahwa utang-utang yang
membebani dari masing-masing sebelum perkawinan, utang-utang yang dibuat
oleh suami istri untuk keperluan pribadinya dan utang-utang sesudah adanya
perceraian. Utang pribadi suami istri tersebut dibayar dengan menggunakan
harta pribadi masing-masing. Hal ini dipertegas dengan ketentuan pasal 93
ayat (1) KHI, bahwa “Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri
dibebankan pada hartanya masing-masing.”
Mengacu pada perolehan harta bersama yaitu harta yang diperoleh
selama perkawinan berlangsung, maka suami istri dalam problematika utang
bersama mempunyai tanggung jawab terhadap utang bersama tersebut dalam
18
75.
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, cet. ke-3 (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), h.74-
32
rangka membiayai pengeluaran bersama dalam keluarga. Pengeluaran bersama
adalah pengeluaran yang diperlukan untuk menghidupi keluarga yang
bersangkutan, termasuk didalamnya pengeluaran kebutuhan sehari-hari,
pengeluaran untuk kesehatan dan pengobatan serta pendidikan anakanak. Dengan demikian, harta bersama menanggung utang bersama.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa apabila harta bersama tidak
memadai untuk menutup tanggungan utang bersama maka dapat diambil dari
harta pribadi suami. Apabila harta pribadi suami tidak mencukupi, dibebankan
pada harta pribadi istri.
Kewajiban suami mempergunakan harta pribadinya untuk menutup utang
bersama sebelum mempergunakan harta pribadi istri dalam hal tidak
mencukupinya harta bersama, menurut penulis adalah terkait dengan
kedudukan suami sebagai kepala keluarga. Dengan kedudukan tersebut, suami
wajib melindungi istri dan memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. Artinya suami dengan penghasilannya menanggung
nafkah, tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
biaya pengobatan bagi istri dan anak, dan biaya pendidikan bagi anak.
Oleh karena itu, adalah wajar apabila KHI menentukan bahwa apabila
pelunasan beban utang bersama yang ditutup dengan harta bersama belum
cukup maka diambilkan dari harta pribadi suami. Dengan kata lain bahwa
prioritas utama untuk menutup utang bersama setelah dipergunakan harta
bersama dibebankan kepada harta pribadi suami.
33
Akan tetapi, mengingat harta bersama pada dasarnya merupakan harta
yang diperoleh selama masa perkawinan sedangkan kedudukan suami istri
berimbang dalam suatu perkawinan baik hak maupun tanggung jawabnya
maka suami istri mempunyai andil yang sama atas harta bersama. Hal ini
dimaksudkan agar kehidupan rumah tangga dapat kokoh.
F. Pembagian Harta Bersama Dalam Perceraian
Harta bersama antara suami istri baru dapat dibagi apabila hubungan
perkawinan itu sudah terputus. Hubungan perkawinan itu dapat terputus
karena kematian, perceraian, dan juga putusan pengadilan.19 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 37 mengatakan “Bila
perkawinan putus kerena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing” yang dimaksud dengan hukum masing-masing ditegaskan
dalam penjelasan pasal 37 ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum
lainnya.20 Dalam pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
menegaskan berapa bagian masing-masing antar suami atau istri, baik cerai
mati maupun cerai hidup, tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 96 dan
97 mengatur tentang pembagian syirkah ini baik cerai hidup maupun cerai
mati, yaitu masing-masing mendapat separuh dari harta bersama sepanjang
tidak ditentukan dalam perjanjian kawin. Selengkapnya pasal 96 Kompilasi
Hukum Islam berbunyi: “Apabila terjadi cerai mati maka separoh harta
19
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama Dan Zakat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,1998) h.35.
20
UU No.1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun 2001.
34
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian harta
bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya
secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.”
Sedangkan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, “Janda atau
duda yang cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin”.21 Dari kedua pasal
di atas, dapat disimpulkan bahwa harta bersama atau syirkah akan dibagi sama
banyak atau seperdua bagian antara suami dan istri, hal ini dapat dilakukan
langsung atau dengan bantuan pengadilan.
Al-Qur'an maupun hadits tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta
yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik suami sepenuhnya, dan juga
tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang diperoleh selama masa
perkawinan itu menjadi harta gono gini. Sehingga masalah ini merupakan
masalah yang perlu ditentukan dengan cara ijtihad, yaitu dengan
menggunakan akal pikiran manusia dan dengan sendirinya pemikiran tersebut
harus sesuai dengan hukum Islam.
Menurut hukum perkawinan Islam, istri mempunyai hak nafkah yang
wajib dipenuhi oleh suami. Maka pada dasarnya harta yang menjadi hak istri
selama dalam hubungan perkawinan adalah nafkah yang diperoleh dari
suaminya untuk hidupnya. Kecuali itu, mungkin juga ada pemberian-
21
h.145.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Surabaya: Mandar Maju, 1997)
35
pemberian tertentu dari suami, misalnya perhiasan, alat-alat rumah tangga,
pakaian yang biasanya langsung dipakai oleh istri.22
Di dalam hukum Islam tidak membahas secara rinci masalah harta gono
gini suami istri dalam perkawinan, melainkan hanya dalam garis besarnya
saja. Sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda. Para pakar hukum
Islam di Indonesia, ketika merumuskan pasal 85-97 KHI, setuju untuk
mengambil syirkah abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah
tentang harta gono gini suami istri. Kebolehan dalam melakukan syirkah ini
sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Shad (38) : 24, yaitu :
              
              
(٢٤ : ‫ )ص‬   
Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebahagian mereka berbuat lalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat
sedikitlah mereka ini.” (Q.S. Shad : 24)
Para perumus KHI melakukan pendekatan dari jalur syirkah abdan dengan
hukum adat.23 Cara pendekatan ini tidak bertentangan dengan kebolehan
menjadikan ’urf sebagai sumber hukum dan sejiwa dengan kaidah al-adatu almuhakkamah.45 Pendapat tersebut memang bisa dibenarkan bahwasanya
sebuah kebiasaan atau ’urf bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum
22
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1998), h.102.
23
h. 98.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya : Mandar Maju, 1997),
36
Islam. Jadi hukum Islam tidak menjelaskan tentang adanya harta gono gini.
Namun dalam KHI yang merupakan acuan bagi hakim Pengadilan Agama
untuk memutuskan perkara bagi yang beragama Islam.
Gugatan harta bersama bisa diajukan bersamaan dengan permohonan atau
gugatan perceraian dan bisa juga setelah perceraian berkekuatan hukum tetap
(inkracht). Dalam sengketa harta bersama selama ini yang diajukan ke
Pengadilan Agama kebanyakan kumulatif (samenvoeging van vordering).24
Gugatan harta bersama diajukan bersamaan dengan permohonan/gugatan
perceraian. Hal ini dibolehkan sebgaimana yang disebutkan dalam pasal 86
ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 berikut : “ Gugatan soal
penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri
dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah
putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Maka dari itu, gugatan ditinjau dari segi kuantitas terbagi dua, yakni
gugatan konvensi dan gugatan kumulasi.
1. Gugatan konvensi adalah gugatan yang berisi satu tuntutan, satu
penggugat dan satu tergugat. misalnya perkara gugatan perceraian
antara suami dan istri (satu lawan satu), maka yang diminta kepada
hakim adalah menjatuhkan talak kepada keduanya.
2. Gugatan kumulasi (samenvoeging) adalah gugatan yang berisi
beberapa tuntutan atau beberapa penggugat atau beberapa tergugat.
Gugatan kumulasi (commulatie) dibagi dua, yakni kumulasi
24
Berdasarkan wawancara penulis dengan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta, Drs. H. Pelmizar, M.H.I.
37
subyektif (lebih dari satu penggugat atau tergugat) dan kumulasi
obyektif (lebih dari satu tuntutan). Contoh kumulasi subyektif
banyak terjadi dalam masalah kewarisan, beberapa penggugat
melawan satu tergugat atau sebaliknya. Contoh kumulasi obyektif
misalnya perkara perceraian, namun yang diminta di dalam
gugatannya disertakan dengan pembagian harta bersama.25
25
Dikutip dari laman www.lawiindonesia.wordpress.com (Tanggal 15 Juni 2015 Pukul
16.00).
38
BAB III
GAMBARAN UMUM PENGADILAN TINGGI AGAMA JAKARTA
A. Sejarah Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Pengadilan Tinggi Agama sebagai salah satu pilar peradilan di lingkungan
Mahkamah Agung, salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman harus
mampu memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat pencari keadilan secara
prima, yang sejalan dengan visi Mahkamah Agung. 1 Namun sedikit orang yang
mengetahui sejarah berdiri lembaga peradilan tersebut. Penting untuk mengetahui
asal muasal lahirnya lembaga peradilan tersebut.
Sejarah terbentuknya PTA Jakarta tidak terlepas dari terbentuknya Peradilan
Agama itu sendiri. Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu Badan
Peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan lahir di Indonesia (Jawa dan
Madura) berdasarkan suatu Keputusan Raja Belanda (Konninklijk Besluit), yakni
Raja Willem II tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad
1882 Nomor 152, terdiri dari 7 pasal. Keputusan Raja Belanda itu baru dinyatakan
berlaku setelah ada desakan dari umat Islam pada tanggal 1 Agustus 1882.
Kemudian pemerintah Belanda pada tahun 1937 mengeluarkan Staatsblad
1937 Nomor 610 tentang Pembentukan Mahkamah Islam Tinggi (Hof voor
Islamietische Zaken) untuk Jawa dan Madura, berkedudukan di Jakarta, mulai
berlaku 1 Januari 1938. Kantor tersebut resmi dibuka pada tanggal 7 Maret 1938
M. bertepatan tanggal 5 Muharam 1357 H., bertempat di Gedung CikiniNo. 8,
1
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id (Tanggal 02 Juli 2015 Pukul 12.35 wib).
38
39
Jakarta, menjabat sebagai ketua adalah K.H. Moehammad Isa. Peresmian tersebut
dihadiri oleh Wakil Direktur Van justitie sebagai wakil pemerintah dan wakil
wakil dari lapisan masyarakat.
Tahun 1941, K.H. Moehammad Isa meninggal dunia. Kemudian Gubernur
Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan Nomor 6 tanggal 11
Agustus 1941 yang berisi pengangkatan K.H. Moehammad Adnan, seorang
penghulu di Surakarta sebagai Ketua MIT di Jakarta.
Kemudian, karena situasi Jakarta yang tidak kondusif, Menteri Kehakiman
melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 2 tanggal 2 Januari 1946
yang berisi bahwa mulai 1 Januari 1946 memindahkan MIT di Jakarta ke
Surakarta untuk waktu yang tidak dapat ditentukan lamanya. Atas dasar surat
keputusan tersebut, K.H. Moehammad Adnan memindahkan MIT tersebut ke
Surakarta.
Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tanggal 27 Desember
1949, suasana negeri mulai kondusif. Pusat pemerintahan RI kembali berpusat di
Jakarta dan kantor serta lembaga negara kembali dipindahkan ke Jakarta. Tetapi
MIT tidak kembali dipindahkan ke Jakarta, ia tetap berada di Surakarta dan
menjadi terkenal dengan nama MIT Surakarta.
Pada tahun 1976, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Menteri
Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976 tentang Pembentukan
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta di Bandung dan Surabaya.
Kemudian tahun 1980, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan
Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980 tentang Penyeragaman Penyebutan, dimana
40
untuk tingkat banding menggunakan nomenklatur Pengadilan Tinggi Agama dan
untuk tingkat pertama menjadi Pengadilan Agama. Dalam hal ini MIT Surakarta
menjadi Pengadilan Tinggi Agama Surakarta. Tahun 1985, Menteri Agama
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 61 Tahun 1985 tanggal 16
Juli 1985 tentang Pemindahan Mahkamah Islam Tinggi dari Surakarta ke Ibukota
Negara di Jakarta.
Keputusan itu baru terlaksana dengan diresmikan Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1987, dengan ketuanya Drs. H. M. Taufik. Maka
sejak tahun 1987, secara otomatis pengadilan agama yang sudah ada di DKI
Jakarta menjadi berada di bawah Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Pada saat itu
PTA Jakarta menempati gedung milik Kementerian Agama RI, yang beralamat di
Jalan Cemara Nomor 42, Jakarta Pusat. Dan hingga sekarang telah menempati
gedung sendiri di Jalan Radin Inten II Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta mencanangkan visi yaitu “Terwujudnya
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang Agung.” Sedangkan misi yang merupakan
sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan sesuai visi yang ditetapkan agar
tujuan organisasi dapat terlaksana dan terwujud dengan baik dari Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta adalah sebagai berikut:
1. Mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan
transparansi.
2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas Sumber Daya Aparatur Peradilan
dalam rangka peningkatan pelayanan pada masyarakat
41
3. Melaksanakan tertib administrasi dan manajemen peradilan yang efektif
dan efisien.
4. Mengupayakan tersedianya sarana prasarana dan profesional.2
B. Tugas-tugas Pokok Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Tugas-tugas pokok Pengadilan Tinggi Agama Jakarta adalah sebagai berikut :
1. Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni
menyangkut perkara-perkara: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqoh, dan ekonomi syariah.
2. Memberikan pelayanan yustisial bagi perkara banding.
3. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara banding dan
administrasi peradilan lainnya.
4. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum
Islam pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta
sebagaimana diatur dalam pasal 52 Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
5. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan perilaku hakim,
panitera, sekretaris dan jurusita di daerah hukumnya.
2
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id (Tanggal 07 Juli 2015 pukul 20.00).
42
6. Mengadakan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat
Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan
seksama dan sewajarnya.
7. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di
lingkungan Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama.
8. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti hisab rukyat dan
sebagainya.
C. Kewenangan Absolut Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan
yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan
atau tingkat pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang
beragama Islam.3
Berbicara tentang kewenangan absolut Pengadilan Tinggi Agama Jakarta,
tidak terlepas dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama itu sendiri.
Hanya saja yang membedakannya adalah Pengadilan Tinggi Agama
menyelesaikan sengketa pada tahap banding.
Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai
dengan pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang
tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Wewenang
3
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2003), h.56.
43
relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau pasal 142 RB.g. jo.
pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang
wewenang absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989. Perkara yang
menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama yakni : perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh, dan ekonomi syariah.4
Harta bersama termasuk dalam kewenangan absolut Pengadilan Tinggi
Agama, karena termasuk dalam lingkup perkara perkawinan. Di Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta sendiri berdasarkan wawancara penulis dengan Hakim
Tinggi Pengadilan Agama Jakarta Drs. H. Pelmizar, M.H.I dan juga
berdasarkan keterangan dari Panitera Muda Hukum Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta Fahruddin, S.H, masalah harta bersama dari tahun 2013 hingga
pertengahan 2015, menurut pengamatan para narasumber, tidak termasuk
perkara yang banyak menghiasi meja Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta.5
D. Prosedur Pengajuan Perkara di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Prosedur atau alur pengajuan perkara di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
sebagai berikut :
1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat
gugatan atau permohonan
2. Pihak berperkara menghadap petugas Meja I dan menyerahkan surat
gugatan atau permohonan, minimal 5 (lima) rangkap. Untuk surat
4
Dikutip dari blog www.wardhachece.blogspot.com (Tanggal 07 Juli 2015 Pukul 20.00
wib).
5
Wawancara penulis dengan Hakim PTA Jakarta, Drs. H. Pelmizarm M.H.I di Ruangan
Hakim PTA Jakarta, Tanggal 30 Juni 2015.
44
gugatan ditambah sejumlah Tergugat. Dokumen yang perlu diserahkan
kepada Meja I adalah :
a. Surat kuasa khusus (dalam hal Penggugat atau Pemohon
menguasakan kepada pihak lain).
b. Fotokopi kartu tanda advokat bagi yang menggunakan jasa
advokat.
c. Surat kuasa insidentil harus ada keterangan tentang hubungan
keluarga dari kepala desa/lurah dan/atau surat izin khusus dari
atasan bagi PNS/POLRI/TNI.
3. Petugas Meja I (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu
berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya
perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah
mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada
pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 Undangundang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dan terahir Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
Catatan yang perlu diketahui oleh pihak berperkara :
a. Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara Prodeo
(cuma-cuma).
Ketidakmampuan
tersebut
dibuktikan
dengan
melampirkan surat keterangan dari lurah atau kepala desa setempat
yang dilegalisasi oleh camat.
45
b. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp.0,00
dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM),
didasarkan pasal 237-245 HIR.
c. Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau
berperkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau
permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara.
Dalam posita surat gugatan atau permohon untuk berperkara secara
prodeo dan dalam petitumnya.
4. Petugas Meja I menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan
kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).
5. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (kasir) surat
gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM).
6. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar
biaya perkara ke bank.
7. Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip
penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank
tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti
nomor urut,dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian pihak
berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan
uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.
46
8. Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari
petugas layanan bank, pihak berperkara menunjukan slip bank tersebut
dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada
pemegang kas.
9. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan
kembali kepada pihak berperkara. Pemegang kas kemudian memberi
tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan
menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan
pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan
atau permohonan yang bersangkutan.
10. Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja II surat gugatan
atau permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap
serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
11. Petugas Meja II mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan
dalam register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat
gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor
pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.
12. Petugas Meja II menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan
atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak
berperkara.6
Pihak/pihak-pihak berperkara akan dipanggil oleh jurusita/jurusita
pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan
6
Dikutip dari www.pta-jakarta.go.id (Tanggal 07 Juli 2015 pukul 20.00).
47
Majelis Hakim (PMH) dan hari sidang pemeriksaan perkaranya (PHS).
Selanjutnya dalam proses persidangan hanya memutus perkara tersebut.
48
BAB IV
ANALISIS TERHADAP SENGKETA HARTA BERSAMA
PUTUSAN NOMOR 126/Pdt.G/2013/PTA.JK
A. Gambaran Umum Putusan Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK
1. Kasus Posisi
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta pada tanggal 2 Desember 2013 telah
menerima permohonan banding atas putusan Pengadilan Agama Jakarta
Barat Nomor 1213/Pdt.G/2013/PA.JB dan mendapatkan nomor perkara
126/Pdt.G/2013/PTA.JK dari Pembanding yang identitasnya sebagai
berikut :
a. Pembanding, umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta,
bertempat tinggal di Jakarta Barat. Dahulu sebagai Tergugat.
Penggugat Rekonvensi. Sekarang Pembanding.
Melawan Terbanding yang identitasnya sebagai berikut :
b. Terbanding, umur 66 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat
tinggal di Jakarta Barat. Dalam hal ini memberikan kuasa kepada
Advokat yang berkantor di Jakarta Pusat, berdasarkan surat kuasa
khusus
tanggal
19
September
2013,
dahulu
sebagai
Penggugat/Tergugat Rekonvensi. Sekarang Terbanding.
Pembanding dan Terbanding sudah resmi bercerai berdasarkan akta
cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama Jakarta Barat tanggal 27 Mei
2011.
Itu
artinya
bahwa
gugatan
harta
1213/Pdt.G/2013/PA.JB bukan gugatan kumulasi.
48
bersama
Nomor
49
Berdasarkan keterangan dari Panitera Muda Hukum Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta, Fakhruddin, S.H, nama-nama orang yang berperkara
sengaja dianonim (disamarkan) untuk menjaga nama baik dan juga hal-hal
lain nanti yang bisa merugikan kedua pihak di kemudian hari. Maka dari
itu juga penulis menganonim nama-nama Pembanding dan Terbanding.
Gugatan harta bersama pada putusan Nomor 1213/Pdt.G/2013/PA.JB
yang bertindak sebagai Penggugat adalah Terbanding yang tidak lain
adalah suami Pembanding. Di dalam putusan tersebut terbanding tidak
menerima putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat yang memutuskan
bagian untuknya 1/2 dari harta bersama karena menganggap putusan
tersebut tidak memenuhi unsur keadilan, dimana Pembanding lebih
mempunyai andil dalam mendapatkan harta bersama tersebut selama
perkawinan. Harta bersama yang dimaksud adalah sebidang tanah seluas
729 M2 yang terletak di Jakarta Barat dengan batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : berbatasan dengan jalan;
b. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Gang;
c. Sebelah Barat
: berbatasan dengan rumah;
d. Sebelah Timur : berbatasan dengan kebun kosong;
Sehingga ketika putusan telah dibacakan pada tanggal 27 Agustus 2013,
yang pada saat itu Pembanding hadir, Pembanding langsung mengajukan
permohonan banding pada tanggal 10 September 2013. Itu artinya
permohonan banding dari Pembanding dapat diterima karena masih dalam
tenggang waktu yakni 14 hari. Dan juga Pembanding memenuhi syarat
50
legal standing sebagai orang yang mempunyai hak berperkara dalam
putusan ini, berdasarkan pasal 61 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
Oleh karena itu permohonan banding dari Pembanding dapat diterima oleh
Pengadilan Tinggi Agama. Kemudian memori banding telah diberitahukan
kepada Terbanding pada tanggal 29 Oktober 2013 dan Terbanding
mengajukan kontra memori bandingnya pada tanggal 18 November 2013.
Dan kontra memori bandingnya telah disampaikan kepada Pembanding
pada tanggal 22 November 2013.
2. Duduk Perkara
Tentang duduk perkaranya atau motif Pembanding mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tinggi Agama Jakarta adalah sebagai berikut :
a.
Pembanding tidak menerima putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat
yang menetapkan sebidang tanah 729 M2 (tujuh ratus dua puluh
sembilan meter persegi) yang terletak di Jakarta Barat sebagai harta
bersama dan menghukum Pembanding untuk menyerahkan ½ dari
harta bersama tersebut ke Pembanding. Berdasarkan SHM Nomor 694
tercatat tanah itu atas nama Pembanding.
b.
Bahwa berdasarkan perjanjian yang dicatatkan di Kantor Notaris
Abdullah Bagus Hidmatin Wargahadibrata, S.H, M.Kn., selama dua
tahun pernikahan Pembanding dan Terbanding hasil usaha keduanya
yang
sekitar Rp 1,000,000,000,00 s.d. Rp 1,500,000,000,00
digunakan untuk melunasi utang-utang Terbanding sebelum menikah
51
dengan Pembanding. Maka dari itu bisa dilihat itikad baik dari
Pembanding yang ingin menolong terbanding untuk melunasi utangutang Terbanding.
c.
Dalam perjanjian tersebut juga, Pembanding memiliki usaha sendiri
saat menikah dengan Pembanding yakni PT. PGA dan Pembanding
sama sekali tidak memiliki utang.
d.
Pembanding memiliki usaha yakni PT. PGA yang cukup lancar,
bahkan dengan usaha itu, Pembanding bisa menafkahi keluarga
termasuk Terbanding dan anak-anak Terbanding dari istri pertamanya
yang sudah dicerai.
e.
Terbanding dalam soal keuangan tidak jujur karena tidak mengakui
memiliki
deposito
Rp
505,209,963,00.
Padahal
seharusnya
Pembanding sebagai istri harus mengetahui penghasilan suaminya
untuk menafkahi keluarga sebagai tugas utama suami.
f.
Pembanding juga sampai saat perjanjian di depan notaris dibuat, tidak
mengetahui penghasilan per bulan, rekening tabungan, dan rekening
koran Terbanding.
g.
Sampai saat perjanjian di depan notaris dibuat, penghasilan dari
Pembanding lah yang digunakan untuk kemaslahatan rumah tangga
Pembanding dan Terbanding untuk menyekolahkan putra-putri
Pembanding,
dan
mengembangkan
seluruhnya atas izin Terbanding.
usaha
Pembanding
yang
52
h.
Selain itu juga, Terbanding telah melakukan tindak pidana pemalsuan,
dengan mendirikan PT. JA, pada hari kamis tanggal 15 Juli 2010
tanpa sepengetahuan pihak Pembanding, dengan menggunakan surat
kuasa di bawah tangan tanpa kehadiran dan sepengetahuan
Pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa Terbanding ingin
menguasai hasil jerih payah Pembanding dengan cara yang tidak
pantas dan tidak jujur menjadikan Pembanding sebagai kuda
tunggangan, tanpa memberikan perhatian, sandang, pangan, papan,
dan kasih sayang.
i.
Sebaliknya pihak Pembanding bekerja keras membanting tulang untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga, kebutuhan Pembanding,
kebutuhan anak-anak, dan kebutuhan perusahaanya.
j.
Bahkan pihak Pembanding telah mendapatkan penghargaan dari
Presiden dan Gubernur DKI Jokowi serta pengkuan dari banyak badan
nasional dan internasional atas prestasi mengharumkan bangsa dan
negara, ini membuktikan bahwa Pembanding adalah orang yang
bersungguh-sungguh dalam bekerja, membantu masyarakat tanpa
lelah berkarya secara tulus ikhlas.
k.
Pembanding dan Terbanding di depan notaris telah bersepakat dari
setiap harta yang dicatatkan atas nama masing-masing selama
pernikahan akan tetap menjadi milik masing-masing sesuai jerih
payah masing-masing.
53
3.
Pertimbangan Hakim
Dalam memutuskan perkara ini, Majelis Hakimmempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut :
a. Bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah disertakan di dalam
persidangan oleh Pembanding, terbukti Pembanding, pada
tanggal 27 Februari 2009, telah membeli sebidang tanah SHM
Nomor 694/Palmerah Jakarta Barat seluas lebih kurang 729 M2
dan sebuah rumah permanen di atas tanah tersebut yang terletak
di Kota Administrasi Jakarta Barat dari Fulan.
b. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta berpendapat
bahwa bedasarkan pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jo. pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam,
harta bersama adalah harta yang diperoleh masing-masing
suami dan istri atau yang diperoleh bersama suami dan istri.
Oleh karena tanah dan rumah tersebut dibeli oleh Pembanding
pada saat terikat perkawinan dengan Terbanding, maka harta
tersebut termasuk harta bersama.
c. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta setelah
melihat bukti dan menimbang secara seksama, berkesimpulan
bahwa tanah SHM Nomor 694/Palmerah seluas 729 M2 dan
bangunan rumah di atas tanah tersebut yang terletak di Jakarta
Barat adalah harta bersama Pembanding dan Terbanding.
54
d. Majelis Hakim menimbang dengan seksama bahwa hasil usaha
Pembanding dan Terbanding digunakan untuk melunasi utangutang Terbanding yang terjadi sebelum perkawinan sejumlah
paling tidak Rp. 1,000,000,000,00. Dalam hal ini Pembanding
terlihat membantu Terbanding untuk melunasi utang-utang
Terbanding, padahal seharusnya sebagai seorang suami
seharusnya Terbanding harus mampu melunasi utang-utangnya
sendiri sebagai kepala rumah tangga. Pada kenyataannya suami
bukan menafkahi keluarga tapi malah menambah beban yang
dibawanya dari sebelum menikah dengan Pembanding.
e. Pihak Pembanding lah yang menjalankan usaha PT. JAR dan
PT. JARS, usaha yang bergerak di bidang pengadaan bibit jati.
Yang
hasilnya
digunakan
untuk
menafkahi
keluarga
Pembanding dan Terbanding.
f. Majelis Hakim menimbang berdasarkan fakta-fakta tersebut
akan tidak adil jika dalam pembagian harta bersama tersebut
menerapkan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yakni dibagi
dengan bagian yang sama untuk Pembanding dan Terbanding.
Oleh karena itu pasal 97 Kompilasi Hukum Islam tersebut
harus dipahami bahwa harta bersama dibagi dua antara suami
dan istri jika kebutuhan rumah tangga semuanya ditanggung
oleh karena kewajibannya, sebagaimana diatur dalam pasal 34
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo. pasal 80
55
ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, di samping itu sesuai dengan
substansi Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 32. Majelis Hakim
menimbang berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 229
wajib memahami nilai-nilai hukum yang hidup dan tumbuh di
dalam
masyarakat.
Memahami
bahwa
keadilan
tidak
mempunyai batas ruang dan waktu. Sedangkan Undang-undang
mempunyai batas (parsial) karena dibuat oleh manusia,
sehingga sangat mungkin suatu Undang-undang atau peraturan
tidak bisa digunakan pada suatu perkara yang kasuistis seperti
ini.
g. Majelis Hakim menimbang, walaupun mengesampingkan pasal
97 Kompilasi Hukum Islam (asas legal formal), hakim sebagai
pembuat hukum (judge made law) harus lebih jeli lagi melihat
dasar-dasar keadilan berdasarkan nuraninya. Dimana dalam
kasus ini hakim melihat pihak Pembanding yang lebih banyak
berkontribusi dalam mengumpulkan harta bersama dan
mempunyai itikad baik untuk menafkahi keluarga.
h. Terhadap pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis
Hakim
Pengadilan
Tinggi
Agama
Jakarta
menetapkan
pembagian harta bersama masing-masing untuk Pembanding
2/3 bagian dan untuk Terbanding 1/3 bagian.
56
4. Amar Putusan
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta mengadili
perkara Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK yang isinya sebagai berikut :
a. Menerima permohonan banding dari Pembanding. Pembanding
memenuhi syarat legal standing sebagai orang yang berhak
berperkara dalam perkara Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK.
Tidak obscur liebel dan sudah sesuai dengan kewenangan
relatif Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
b. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menguatkan sebagian
putusan dan melakukan perbaikan sebagian putusan Pengadilan
Agama Jakarta Barat Nomor 1213/Pdt.G/2013/PA.JB.
c. Menetapkan sebidang tanah seluas 729 M2 yang terletak di
Jakarta Barat dengan batas-batas sebagai berikut :
1) Sebelah Utara : berbatasan dengan jalan;
2) Sebelah Selatan : berbatasan dengan Gang;
3) Sebelah Barat
: berbatasan dengan rumah;
4) Sebelah Timur : berbatasan dengan kebun kosong;
Adalah harta bersama Pembanding dan Terbanding.
d. Menetapkan 2/3 bagian dari harta bersama untuk Pembanding
dan 1/3 untuk Terbanding.
e. Menghukum Pembanding untuk membagi harta bersama
tersebut dan menyerahkan 1/3 bagian kepada Terbanding, jika
tidak dapat dibagi secara riil harta bersama tesebut dijual secara
57
lelang di depan umum dan hasilnya 1/3 bagian diserahkan
kepada Terbanding.
B. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor
126/Pdt.G/2013/PTA.JK
Dalam menegakkan hukum harus ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (rechtsicherheit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechttigkeit). Demikian, jika hakim
hendak memutuskan
perkara, maka pijakannya harus pada tiga unsur
tersebut.1
Sengketa harta bersama oleh orang yang beragama Islam harus
diselesaikan di Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangan absolut yang
tertuang di dalam pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang telah beberapa kali diamandemen. Sengketa
harta bersama merupakan masalah yang cukup rumit karena berkaitan dengan
harta benda suami istri yang meminta bagian masing-masing tatkala bercerai.
Maka di sinilah hakim harus menggunakan tiga unsur di atas. Seperti dalam
perkara Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK yang akan penulis bahas pada bab IV
ini.
Dalam Bab VII pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal
119 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
tentang harta benda dalam
perkawinan, diatur sebagai berikut :
1
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1993), h.2.
58
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama” (Pasal 35 ayat (1))
“Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi
harta bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”
Jelaslah bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung,
menjadi harta bersama. Pasal 35 ayat (1) UUP dan pasal 119 BW (Burgerlijk
Wetboek) menjadi landasan hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Barat, yang kemudian dikuatkan lagi oleh Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta untuk menetapkan sebidang tanah seluas
729 M2 yang terletak di Jakarta Barat sebagai harta bersama, karena dibeli
pada saat Pembanding dan Terbanding masih terikat perkawinan. Namun
putusan belum inkracht, pihak Pembanding (yang dulu sebagai tergugat)
tidak puas dengan putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat yang
tertuang dalam putusan Nomor 1213/Pdt.G/2012/PA.JB , lalu mengajukan
banding kepada Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Pembanding mengklaim
bahwa tanah tersebut dibeli dengan jerih payahnya pada tanggal 27 Februari
2009 (SHM Nomor 694/Palmerah Jakarta Barat), namun dikarenakan
dibelinya tanah tersebut pada saat perkawinan, maka tanah tersebut
merupakan harta bersama.
Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan
antara suami dan istri (harta bersama). Kompilasi Hukum Islam pasal 86 ayat
59
(1), menegaskan bahwa “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta
istri dan suami karena perkawinan”. Pada ayat (2) disebutkan bahwa “Pada
dasarnya harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh
olehnya”. Konsideransi dari pasal ini adalah untuk melindungi hak masinghak masing dan menghargai hasil jerih payah satu pihak dengan pihak lain.
Oleh karena itu perjanjian perkawinan sangatlah penting jika di kemudian hari
terpaksa harus membagi harta bersama karena perceraian.
Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi
yang berkembang di Indonesia. Walaupun kata “gono-gini” berasal dari
konsep adat jawa, namun ternyata di daerah lain juga dikenal dengan konsep
yang sama dengan istilah-istilah yang berbeda, seperti “hareuta sirakeat” dari
Aceh, “harta suarang” dari bahasa Minagkabau, “guna kaya” dari bahasa
Sunda, dan “duwe gabro” dari Bali.2 Konsep ini kemudian didukung oleh
hukum positif di negara kita di dalam undang-undang dan aturan hukum
lainnya.
Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) pasal 85
disebutkan bahwa : “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami dan istri”. Pasal ini
telah menyebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata
lain, Kompilasi Hukum Islam mendukung adanya harta bersama dalam
2
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta :
Transmedia Pustaka, 2008), h.10.
60
perkawinan, walaupun sudah menikah tetap tidak tertutup kemungkinan ada
harta masing-masing dari suami dan istri.3
Penulis menyoroti tentang dasar hukum adanya harta masing-masing
dalam harta bersama, yakni Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun
1991) pasal 85 disebutkan bahwa : “Adanya harta bersama dalam perkawinan
itu tidak menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami dan istri”.
Dalam perkara Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, Pembanding dalam hal ini
adalah istri dari Terbanding yang sebelum melaksanakan pernikahan,
Pembanding mempunyai perusahan PT. PGA yang bergelut di bidang
pengadaan bibit jati yang sukses dan lancar. Hasil dari perusahaan itu ternyata
tidak hanya dinikmati sendirian oleh Pembanding. Pembanding yang
menafkahi keluarga bahkan anak dari istri pertama Terbanding pun ikut
diayomi oleh Pembanding dari hasil peruasahaan yang Pembanding jalankan.
Seharusnya jika mengacu pada peran dan tanggung jawab suami-istri, apa
yang dimiliki istri baik itu dari harta bawaan atau harta bersama, tidak wajib
untuk dipakai menghidupi keluarga. Hanya dalam hal ini, Pembanding
mempunyai itikad baik dalam menghidupi keluarga.
Tanggung jawab suami memberi nafkah tertuang dalam pasa 34 ayat (1)
UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya. Hal serupa juga telah diatur di dalam
3
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta :
Transmedia Pustaka, 2008), h.13.
61
BW (KUHPer), yaitu pada pasal 107 ayat (2). Kemudian Kompilasi Hukum
Islam menguatkannya dalam pasal 80 ayat (2) jo. ayat (4), yaitu bahwa suami
wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah
tangga
sesuai
dengan
kemampuannya.
Sesuai
dengan
penghasilannya, suami menanggung :
1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak
3. Biaya pendidikan bagi anak4
Suami menanggung nafkah keluarga sesuai dengan kemampuannya. Untuk
itu harus ada transparansi pendapatan suami kepada istrinya. Tidak boleh
disembunyikan hanya karena takut dengan beban nafkah.
Ikatan perkawinan mengkondisikan adanya harta bersama suami dan istri,
sebagaimana tertuang dalam pasal 35 ayat (1), namun bukan berarti dalam
perkawinan hanya ada harta bersama atau gono-gini yang diakui, hal ini
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 85 KHI yang menyatakan tidak
menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami dan istri dalam harta
bersama tersebut. Harta bersama dalam perkawinan ada tiga macam sebagai
berikut :
1. Harta gono-gini
4
Diakses dari hukumonline.com pada hari kamis 3 September 2015 pukul 01.11.
62
Harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 91 ayat (1), harta gonogini bisa berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Suami dan istri
harus bisa menjaga harta gono-gini ini dengan penuh amanah,
sebagaimana diatur dalam KHI pasal 89, sebagai berikut : “Suami
bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri, maupun
hartanya sendiri”.
2. Harta bawaan
Harta bawaan adalah harta benda milik masing-masing suami dan istri
yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh
warisan
dan
hadiah.
Tentang
harta
bawaan,
Undang-undang
Perkawinan pasal 35 ayat (2) mengatur, “Harta bawaan masingmasing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masingmasing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Berdasarkan ketentuan ini, suami maupun istri berhak memiliki
sepenuhnya harta bawaannya masing-masing, asalkan tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan. Pernyataan yang sama juga
diperkuat dalam KHI pasal 87 ayat (1). Harta bawaan bukan termasuk
dalam harta bersama. Suami atau istri berhak menggunakan harta
bawaannya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan
hukum atas hartanya masing-masing. Dasarnya adalah Undang-undang
63
Perkawinan pasal 36 ayat (2), dan hal ini senada juga dinyatakan dalam
KHI pasal 87 ayat (2). Berdasarkan ketentuan ini, harta masing-masing
pasangan tidak bisa diotak-atik oleh pasangannyayang lain. Harta
bawaan bisa saja menjadi harta bersama jika dalam perjanjian
perkawinan menyebutkan adanya peleburan atau penyatuan antara
harta bersama dan harta bawaan.
3. Harta perolehan
Harta perolehan adalah harta benda yang hanya dimiliki pribadi oleh
suami atau istri setelah terjadinya ikatan perkawinan. Seperti halnya
harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing
pasangan.
Sepanjang
tidak
ditentukan
lain
dalam
perjanjian
perkawinan. Dasarnya Undang-undang Perkawinan pasal 35 ayat (2).
Contohnya hadiah, hibah dan warisan.5
Oleh karena adanya kebersamaan harta kekayaan antara suami istri, maka
harta bersama atau gono-gini menjadi milik keduanya. Untuk menjelaskan hal
ini sebenarnya ada dua macam hak dalam harta bersama, yaitu hak milik dan
hak guna, artinya mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta
bersama tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan dari pasangannya.
Jika suami hendak menggunakan harta bersama, dia harus meminta
persetujuan
istrinya.
Demikian
juga
sebaliknya,
jika
istri
hendak
menggunakan harta bersama, maka dia harus izin kepada suaminya.
5
Ismail Muhammad Syah, Pencarian Bersama Suami-istri; Adat Gono-gini dari Sudut
Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1965), h.16.
64
Undang-undang Perkawinan pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa :
“Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak”.
Jika penggunaan harta gono-gini tidak mendapat persetujuan dari salah
satu pihak keduanya, tindakan tersebut dianggap melanggar hukum karena
merupakan tindak pidana yang bisa saja dituntut secara hukum. Dasarnya
dalam KHI pasal 92 : “Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak
diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama”
Suami atau istri juga diperbolehkan menggunakan harta bersama sebagai
barang jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah satu pihak. Tentang
hal ini, KHI pasal 91 ayat (4) mengatur bahwa : “Harta bersama dapat
dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain”
Dalam perkara Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, Terbanding yang dalam
hal ini adalah suami dari Pembanding diketahui ternyata memiliki deposito
sebesar Rp. 505,209,963,00 yang disembunyikan dari Pembanding. Jika
deposito itu ada pada saat perkawinan masih berlangsung, maka deposito
tersebut juga seharusnya menjadi harta bersama sesuai ketentuan KHI pasal
35. Namun rupanya Terbanding hendak mengelabui Pembanding hingga saat
perceraian Pembanding tidak mengetahui pasti berapa penghasilan Terbanding
per bulan, rekening tabungan, dan rekening koran.
Harta bersama jika ingin disimpan di bank atau dipindahkan atau
digunakan untuk apa saja, seharusnya dengan persetujuan kedua belah pihak.
65
Demikian juga ketentuan hukum harta bersama yang terkait dengan utang,
KHI pasal 93 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Pertanggungjawaban terhadap
utang suami atau istri dibebankan kepada hartanya masing-masing”.
Maksudnya utang yang secara khusus dimiliki oleh suami atau istri menjadi
tanggung jawab masing-masing. Misalnya, salah satu dari mereka mempunyai
utang sebelum mereka menikah, maka utang itu menjadi tanggung jawabnya
sendiri.
Dalam kasus di atas, Terbanding sebelum menikah dengan Pembanding,
telah mempunyai utang kurang lebih Rp. 1,000,000,000,00. Namun uang yang
dipakai untuk melunasi utang tersebut adalah harta bersama yang diperoleh
selama dua tahun menikah yakni sebesar Rp. 1,000,000,000,00 hingga Rp.
1,500,000,000,00. Jika merujuk pada hukum positif, seharusnya Terbanding
harus melunasi utangnya dengan hartanya sendiri, tidak boleh membebankan
kepada Terbanding.
Namun lain halnya ketika utang tersebut untuk kepentingan keluarga atau
utang tersebut ada pada saat perkawinan dan diketahui oleh kedua belah pihak,
maka bolehlah menggunakan harta bersama untuk pelunasannya.
Bahkan walaupun utang tersebut dipakai Terbanding untuk menafkahi
keluarga Pembanding dan Terbanding tetap saja hukum menyerahkan beban
pelunasannya kepada Terbanding yang dalam hal ini sebagai suami
Pembanding. Ketentuan tersebut telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
Jika utang tersebut untuk kepentingan keluarga, dalam KHI pasal 93 ayat (2),
66
bahwa : “Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta suami”.
Berdasarkan wawancara penulis dengan salah seorang hakim Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta, Drs. H. Pelmizar, M.H.I, mengatakan bahwa dalam
menyelesaikan kasus harta bersama ini Majelis Hakim merujuk kepada nashnash Al-Qur’an, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi
Hukum Islam sebagai hukum terapan dan hukum positif di Pengadilan
Agama.6
Dalam putusan perkara Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, Majelis
Hakim telah berusaha memberikan keadilan dalam hal pembagian harta
bersama. Dimana istri mendapatkan 2/3 harta bersama, sedangkan suami
hanya 1/3 harta bersama. meskipun suami tidak mempunyai andil terhadap
perolehan harta bersama tetapi masih mendapat bagian 1/3 dari harta bersama
dengan pertimbangan karena suami sebagai kepala rumah tangga telah
mengayomi keluarga antara lain memberikan izin istri untuk bekerja dan
suami telah mengurusi anak.
Menurut penulis, hal ini sudah cukup memberikan keadilan bagi
Pembanding dan Terbanding dalam perkara tersebut. Harta bersama dibagi ½
bagian untuk masing-masing pihak jika dalam kondisi normal, yaitu suami
memberi nafkah kepada keluarga, dan istrinya mengurus rumah tangga.
Namun dalam hal ini, perkara tersebut bisa disebut kasuistis. Kita harus
6
Wawancara penulis dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, Drs. H. Pelmizar,
M.H.I, di Ruangan Hakim PTA Jakarta, Tanggal 30 Juni 2015.
67
melihat sejauh mana peranan suami dan istri dalam mengumpulkan harta
bersama tersebut dan bagaimana mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban
mereka sebagai suami-istri. Walaupun tidak sesuai dengan pasal 97 Kompilasi
Hukum Islam, hakim lebih mengedepankan keadilan.
Tidak boleh dilupakan kewajiban hakim yang tercantum dalam pasal 28
Undang-undang RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, yaitu
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Sebagai “wakil Tuhan”, hakim mempunyai
wewenang untuk membuat hukum, yang biasa disebut “Judge made Law”.
Maka dari itu, setiap putusan pasti diawali dengan kalimat “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.7
Memang keadilan merupakan tujuan pokok Peradilan Agama, yaitu
menyelenggarakan peradilan agama, menegakkan hukum dan keadilan.
Konsep di atas sesuai dengan hasil wawancara dengan Drs. H. Pelmizar,
M.H.I.8 Sebagaimana diketahui tujuan hukum dalam kaidah-kaidah hukum,
yaitu:
1. Hukum melindungi kebebasan setiap warga negaranya
2. Setiap warga negara harus diperlakukan sama dihadapan hukum
7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2006),
h.21.
8
Wawancara penulis dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, Drs. H. Pelmizar,
M.H.I, di Ruangan Hakim PTA Jakarta, Tanggal 30 Juni 2015.
68
3. Hukum harus menegakkan kebenaran dan rasa keadilan dalam
kehidupan masyarakat.9
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung
terus menerus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturanperaturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan
asas-asas keadilan.10
Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian
hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada
keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.11 Oleh karena itu, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa putusan hakim dalam perkara No.
126/Pdt.G/2013/PTA.JK sudah benar dan telah memenuhi rasa keadilan,
meskipun tidak sesuai dengan yang diatur dalam KHI karena tujuan dari
hukum adalah keadilan dan keadilan adalah segala-galanya. Keberanian
tersebut telah dipraktekkan dengan memahami bahwa pasal 97 KHI yakni
janda atau duda cerai mendapat setengah adalah jika dalam ketentuan standar
normal, dalam arti suami yang mencukupi semua kebutuhan keluarga, baik
sandang, pangan, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya sedangkan istri
sebagai ibu rumah tangga mengerjakan pekerjaan kerumah tanggaan, seperti
memasak, mengasuh anak, mengurus kebersihan rumah dan lain-lainnya.
9
Ahmad Kamil, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta; Prenada Media, 2005),
h.21.
10
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h.48.
11
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h.34.
69
Dengan demikian, pembagian harta bersama tidak selamanya dibagi dua
sama rata diantara suami dan istri. Pembagian harta bersama seharusnya
dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidak adilan antara mana
yang merupakan hak suami dan mana yang hak istri.
C. Tinjauan Fikih Terhadap 126/Pdt.G/2013/PTA.JK
Pada dasarnya menurut hukum Islam, harta suami istri terpisah. Masingmasing memiliki hak untuk membelanjakan atau menggunakan hartanya
dengan sepenuhnya tanpa boleh diganggu oleh pihak lain, baik merupakan
harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh salah seorang suami
istri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta yang diperoleh oleh salah
seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka
menikah. Al Qur’an tidak mengatur lembaga harta bersama dalam
perkawinan. Dalam kitab fikih pun tidak menyebut tegas mengenai harta
bersama selama perkawinan yang disebut sebagai harta kekayaan perkawinan.
Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Nisa’ (4) : 32,
yaitu :
              
               
(٣٢: ‫)اﻟﻨّﺴﺎء‬
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Nisa’ : 32)
70
Menurut ayat tersebut jelaslah bagi laki-laki akan mendapat harta mereka
sesuai dengan jerih payahnya dan begitu pula bagi perempuan akan
mendapatkan haknya sesuai dengan jerih payahnya. Maka, ketika terjadi
perceraian masing-masing suami dan istri berhak mendapatkan apa yang
mereka telah usahakan.
Konsep harta bersama, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hanya
merupakan produk hukum adat, yang kemudian dikonsepkan di dalam hukum
positif Indonesia.
Di dalam hukum Islam atau fikih sendiri, membolehkan kebiasaan
masyarakat atau adat yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat Islam
diadopsi menjadi hukum positif. Di dalam ushul fikih adat kebiasaan disebut
“’Urf”. “’Urf” ini bisa menjadi sandaran hukum sesuai dengan kaidah yang
menyatakan :
‫اﻟ َﻌﺎ َدةُ ﻣُﺣَ ﱠﻛ َﻣ ٌﺔ‬
Artinya : “Sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sandaran hukum”.
Namun adat kebiasaan ini tidak serta merta harus diadopsi menjadi hukum
positif. Adat tersebut harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :
1. ‘Urf berlaku umum;
2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i;
3. ‘Urf tersebut sudah berlaku sejak lama, bukan kebiasaan yang baru
saja terjadi;
4. Tidak bertentangan dengan tashrih.
71
Oleh karena itu, sah-sah saja jika dalam perkawinan suami-istri bersepakat
mengadakan persatuan harta.
Harta bersama di dalam fikih bisa disebut sebagai hasil syirkah. Ada dua
pendapat yang mengenai harta bersama (syirkah) dalam Islam. Ada pendapat
yang menyatakan harta bersama dapat terjadi dalam perkawinan Islam.
Dengan adanya pernikahan, terjadi perkongsian terbatas (syarikatur rajuli
filhayati), yaitu kongsi sekutu seorang suami dalam melayari bahtera hidup,
maka antara suami istri dapat terjadi syirkah Abdaan (perkongsian tidak
terbatas), syirkah di bidang pemberian jasa atau melakukan pekerjaan
(perkongsian tenaga). Kekayaan bersatu karena syirkah seakan-akan
merupakan harta kekayaan tambahan akibat usaha/ pekerjaan bersama. Ada
juga yang berpendapat bahwa Islam tidak mengenal harta bersama kecuali
dengan tegas dilakukannya syirkah, hal ini bersandar pada pendapat yang
mengatakan bahwa tidak ada harta bersama, harta yang menjadi hak istri tetap
menjadi milik istri dan tidak dapat diganggu gugat termasuk oleh suami,
begitu pula apa yang diusahakan oleh suami keseluruhannya tetap menjadi hak
milik suami kecuali bila ada syirkah, perjanjian bahwa harta suami-istri
tersebut bersatu. Dalam Al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 32 hanya menegaskan
bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama berlaku atau berusaha dan untuk
memperoleh rezeki dari usahanya. Tidak menyebutkan adanya harta bersama.
Ahli-ahli yang berpendapat bahwa tidak ada harta bersama dalam Islam di
antaranya adalah Satria Effendi dan Abdullah Siddik. Sedangkan ahli-ahli
yang menyatakan adanya harta bersama dalam Islam, salah seorang di
72
antaranya adalah Sayuti Thalib.12 Masalah syirkah atau harta bersama asal
mulanya dari hukum adat. Hal ini kemudian diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam, dalam Bab XIII.
Ketika terjadi sengketa harta bersama, hakim diharapkan bisa memberikan
keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Masalah ini sangatlah sensitif
karena berkaitan dengan kepemilikan harta benda. Hakim harus pandai
menggunakan pisau hukumnya jika tidak mau mencederai keadilan. Hal itu
diperintahkan Allah di dalam Q.S. al-Nahl (16) : 90, yaitu :
           
(٩٠ : ‫ )اﻟﻨﺤﻞ‬.     
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. al-Nahl : 90)
Juga firman Allah dalam Q.S. al-Nisa’ (4) : 58, yaitu :
               
(٥٨ : ‫ )اﻟﻨﺴﺎء‬.           
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (Q.S. alNisa’ : 58)
Dalam setiap putusan pengadilan, pada bagian paling awal dari putusan
tersebut pasti diselipkan kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
12
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 54.
73
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Yang berarti bahwa keadilan harus
ditegakkan sesuai dengan perintah Tuhan Yang Maha Esa, yakni Allah SWT.
Tuhan menginginkan keadilan ditegakkan dengan seadil-adilnya sesuai firman
di atas. Dan sesuai dengan kaidah amar dalam ushul fikih “al-ashlu fil amri lil
wujub”, pada dasarnya perintah menunjukkan adanya suatu kewajiban. Maka
oleh karena itu, wajib hukumnya bagi kita menegakkan keadilan.
Pada putusan Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, hakim PTA Jakarta telah
berusaha memberikan keadilan bagi para pihak. Hal itu dilihat dari prosesnya
yang panjang, ketika Pembanding (yang dulunya Tergugat) tidak puas dengan
putusan hakim PA Jakarta Barat Nomor 1213/Pdt.G/2013/PA.JB lalu
mengajukan banding ke PTA Jakarta. Dan menurut penulis, setelah menelaah
kasus ini, hal itu telah sesuai dengan asas-asas keadilan. Baik dilihat dari
hukum positif maupun hukum Islam/fikih.
Putusan hakim yang paling mencolok adalah ketika hakim memutuskan
pembagian harta bersama untuk istri atau Pembanding 2/3 dan untuk suami
(Terbanding) 1/3. Tentunya hakim mempunyai dasar-dasar yang kuat. Salah
satunya adalah di dalam mengumpulkan atau membeli tanah yang menjadi
harta bersama tersebut, lebih banyak andil dari Pembanding atau istri. Dan di
dalam kehidupan rumah tangga pun, istri lebih banyak menafkahi keluarga
daripada suami yang seharusnya mengambil tugas memberi nafkah.
Menurut penulis, pembagian harta bersama tersebut telah cukup adil
mengingat seharusnya suami lah yang menafkahi keluarga, namun pada
74
kenyataannya tidak demikian. Hal ini sesuai yang difirmankan Allah SWT
dalam Q.S. al-Tholaq (65) : 7, yaitu:
                   
(٧ : ‫ )اﻟﻄﻼق‬.        
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
(Q.S. al-Tholaq : 7)
Juga dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda, yaitu : Dari Aisyah,
sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak memberi harta yang cukup
untukku dan anakku, kecuali apa yang saya ambil sendiri tanpa
sepengetahuannya.”Maka Rasulullah SAW bersabda, “Ambillah yang cukup
bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari No.5364 dan
Muslim No.1714).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata : “ Memberi nafkah kepada
keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syariat menyebutnya
sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah
menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapat
balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang diberikan kepada
orang yang bersedekah. Oleh karena itu, nafkah kepada keluarga juga adalah
75
sedekah. Sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada orang lain,
sebelum mereka mencukupinafkah keluarga sendiri.”13
Dari dalil-dalil di atas jelaslah bahwa yang harus memberi nafkah kepada
keluarga adalah suami. Namun di dalam perkara istri yang lebih dominan
memberi nafkah bagi keluarga daripada suami seperti halnya putusan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK adalah hal
kasuistis, yang pembagian harta bersama juga tidak mungkin dibagi sama rata.
Istri atau dalam perkara tersebut disebut Pembanding, masih menafkahi
keluarga karena gerakan dari hati nuraninya. Tidak melihat atau menuntut
bahwa itu adalah tugas suami atau Terbanding. Ternyata kebaikan
Pembanding disia-siakan dan seolah-olah Pembanding hanya dimanfaatkan
sebagai “kuda tunggangan” untuk memperkaya diri sendiri, yang terbukti
ternyata Terbanding mempunyai deposito dan tabungan ratusan juta yang
tidak diketahui Pembanding.
Dalam keluarga sudah seharusnya saling bantu-membantu. Istri jika
diperlukan bisa membantu suami dalam mencari nafkah, sebaliknya suami jika
diperlukan bisa membantu istri dalam urusan rumah tangga. Rasulullah SAW
bersabda yang artinya : “ Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling
baik kepada keluarganya.” (HR Ibnu Majah).
Diketahui juga bahwa ternyata Terbanding mempunyai utang yang
dibawanya sebelum menikah dengan Pembanding. Dan utang tersebut dilunasi
dengan uang dari harta bersama Pembanding dan Terbanding selama dua
13
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath Al-Bari Bisyarhi Shahih Al-Bukhari, Jilid IX, h. 498.
76
tahun menikah. Padahal dalam KHI pasal 93 ayat (2) jelas diterangkan bahwa
utang masing-masing harus ditanggung oleh masing-masing dan utang
keluarga dibebankan kepada harta suami. Namun pada kasus ini, Pembanding
membantu melunasinya dengan harta bersama, yang dalam harta bersama
tersebut banyak dari hasil jerih payah Pembanding. Allah SWT tidak akan
menyia-nyiakan orang yang meringankan beban orang lain, terlebih lagi itu
adalah suami dari Pembanding sendiri. Allah SWT berfirman dalam Q.S. alBaqarah (2) : 280, yaitu
‫ ) اﻟﺒﻘﺮة‬               
(٢٨٠ :
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S. alBaqarah : 280)
Dari uraian di atas, jelas dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, hakim telah menimbang dari sudut pandang
hukum positif dan hukum Islam atau fikih. Dalam hukum positif telah dikaji
dari berbagai Undang-undang dan peraturan lainnya, sedangkan dari hukum
Islam atau fikih telah dikaji dari dalil-dalil al-Qur’an, hadits, maupun pendapat
Ulama.
Maka dari itu, penulis telah menemukan jawaban bahwa dilihat dari
hukum positif maun fikih, putusan Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK telah
cukup memberikan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan menjadi
beberapa bagian, sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
dalam membagi harta bersama adalah dengan berlandasan dari rasa
keadilan, sehingga sikap hakim dalam memutuskan perkara tersebut lebih
kepada hukum yang timbul pada masyarakat (KHI pasal 229). Pandangan
Kompilasi Hukum Islam secara umum membagi pembagian harta
bersama adalah separuh untuk masing-masing pihak (KHI pasal 97).
Akan tetapi pasal 97 KHI ini harus dipahami dengan syarat nafkah
keluarga ditanggung oleh suami sepenuhnya. Artinya hal tersebut
berdasarkan pada standar normal yakni suami yang seharusnya
mencukupi kebutuhan rumah tangga baik sandang, pangan, tempat
tinggal maupun kebutuhan rumah tangga lainnya dengan dibantu istri
yang mengurusi rumah tangga. Praktek di Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta dalam putusan No. 126/Pdt.G/2013/PTA.JK. pembagiannya
adalah 1/3 untuk Terbanding dan 2/3 untuk Pembanding dengan
pertimbangan karena harta bersama merupakan hasil jerih payah
Pembanding. Terbanding masih mendapat bagian 1/3 dari harta bersama
hanya karena pertimbangan masih mengurusi anak dan memberikan izin
kepada Pembanding untuk bekerja. Di sisi lain mengapa Pembanding
mendapat 2/3 bagian harta bersama, antara lain adalah Pembanding ikut
77
78
melunasi utang Terbanding yang dibawa sebelum menikah, Pembanding
juga ikut menafkahi anak-anak dari istri pertama Terbanding,
Pembanding tidak menerima nafkah sesuai penghasilan Terbanding
karena tidak ada transparansi pendapatan Terbanding, dan Terbanding
pernah melukakan tindak pidana pemalsuan pendirian perusahaan tanpa
sepengetahuan Pembanding.
2. Putusan Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK telah sesuai dan tidak
berbenturan dengan hukum positif di Indonesia, baik dengan KUHPer,
Undang-undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan
lainnya. Hakim membagi harta bersama tersebut sekaligus memperbaiki
putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat yang tadinya ½ untuk masingmasing pihak menjadi 2/3 bagian untuk Pembanding dan 1/3 bagian
untuk Terbanding. Hal itu berdasarkan beberapa landasan hukum. Yaitu,
tentang kewajiban nafkah oleh suami dalam pasal 34 ayat (1) UUP, pasal
107 ayat (2) KUHPer, dan pasal 80 ayat (2) jo. ayat (4) KHI, yang
menyatakan seharusnya suami yang memberi nafkah bagi keluarga,
namun pada kenyataannya pada perkara tersebut istri yang bekerja
memberi nafkah bagi keluarga.
3. Putusan Nomor 126/Pdt.G/2013/PTA.JK telah sesuai dan tidak
bertentangan dengan hukum Islam atau fikih. Dalam Q.S. al-Tholaq (65)
: 7, Allah mewajibkan nafkah oleh suami kepada anak dan istrinya.
Begitu pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim. Kemudian pendapat dari Al-Hafizh Ibnu Hajar al-
79
Asqalani dalam Kitab Fathul Bari’. Namun dalam perkara tersebut,
Pembanding (istri) yang bekerja untuk menafkahi keluarga, bahkan
menafkahi anak-anak dari istri pertama suami (Terbanding).
B. Saran-saran
1. Diharapkan Majelis Hakim Pengadilan Agama mengutamakan keadilan
dan harus mencermati lebih seksama dalam menilai dan menafsirkan
undang-undang yang akan dijadikan pijakan hukum dalam mengambil
keputusan dengan menyesuaikan perkara yang sedang ditangani.
2. Hakim dalam memberikan putusan, perlu memperhatikan dengan
sungguh-sungguh faktor yang harusnya diterapkan, yaitu keadilan,
kemashlahatan,
kepastian
hukumnya,
dan
manfaat
yang
tidak
bertentangan dengan hukum syara’.
3. Agar kepada masyarakat yang ingin melakukan perkawinan supaya
membuat perjanjian mengenai pembagian harta bersama, agar ketika
terjadi perceraian tidak terjadi perselisihan dalam pembagian harta
bersama serta pemerintah diharapkan dapat melakukan penyuluhan
kepada masyarakat tentang ketentuan pembagian harta bersama menurut
hukum positif dan hukum Islam.
80
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’an al-Karim.
A. Mashadi, Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1998.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Surabaya: Mandar Maju,
1997.
Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian.
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Daar
al-Fikr. Juz III. Terjemahan, 1990/1410.
Aminuddin, Slamet Abidin. Fikih Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2000.
Harahap, M.Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan. Persidangan
Penyitaan Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika,
2005.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama.
Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
J. Satrio. Hukum Harta Perkawinan. cet. ke-3 Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993.
Kamil, Ahmad. Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi. Jakarta: Prenada Media,
2005.
Koesnoe, Moh. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional. Varia Peradilan, 1995.
Kompilasi Hukum Islam. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI
tahun 2001.
80
81
Kusuma, Hilman Hadi. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang
Undangan Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung. Mandar Maju,
1990.
Lubis, Sulaikin. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media Group, 2006.
Lumbuun, Gayus. Menerobos Goa Hantu Peradilan Indonesia. Jakarta: Business
Information Service, 2004.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT
Kencana Prenada Media Group, 2006.
Mertokusumo, Sudikno. Bunga Rampai Ilmu Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1984.
Mertokusumo, Sudikno. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti. 1993.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty,
2006.
Nasution, Bahder Johan dan Sri Warjiati. Hukum Perdata Islam. Surabaya:
Mandar Maju, 1997.
Ramulyo, Moh. Idris. Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan. Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al Fikr, 1983.
Soermiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan.
Yogyakarta: Liberty, 1997.
Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian. Jakarta :
Transmedia Pustaka, 2008.
Syah, Ismail Muhammad. Pencarian Bersama Suami-istri; Adat Gono-gini dari
Sudut Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1965
Sudarsono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991.
Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian.
Jakarta: Visimedia, 2003.
82
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998.
Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
DEPAG RI tahun 2001.
Wignodipuro, Surojo. Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat. Jakarta: Gunung
Agung, 1982.
www.hukumonline.com (Diakses Tanggal 16 Juli 2015 Pukul 13.55 WIB)
www.pta-jakarta.go.id (Diakses Tanggal 02 Juli 2015 Pukul 12.35 WIB)
Download